tinjauan pustaka gambaran uimum dan manajemen …
TRANSCRIPT
a
Tinjauan Pustaka
GAMBARAN UIMUM DAN MANAJEMEN FARMAKOLOGI
DEPRESI RESISTEN TERAPI
Penulis :
Dr. Ni Ketut Putri Ariani SpKJ
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF PSIKIATRI FK UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2017
ii
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Terminologi Depresi Resisten Terapi ................................................ 11
Tabel 2. Model Tahapan Thase dan Rush ....................................................... 17
Tabel 3. Model Tahapan European ................................................................. 18
Tabel 4. Model Tahapan Massachusetts General Hospital ............................ 20
Tabel 5. Model Tahapan Maudsley ................................................................. 22
iii
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Aspek penting dari pengobatan antidepresan adalah
waktu dan pola respon ................................................................... 7
Gambar 2. Respon terapi ................................................................................. 8
Gambar 3. Remisi dan Recovery Terapi ......................................................... 9
Gambar 4. Relaps dan Recurrence Terapi ....................................................... 10
Gambar 5. Algoritme Pengobatan Depresi Resisten Terapi ........................... 25
iv
iv
DAFTAR SINGKATAN
5-HT1A : 5-hydroxytryptamine 1A
5-HT2 : 5-hydroxytryptamine 2
5-HT7 : 5-hydroxytryptamine 7
AMPA : amino 3 hidroksi 5 metil 4 isoksazola asam propionat
BDNF : Brain-Derived Neurotrophic Factor
CRD : chronic refractory depression
TRD : depresi resisten terapi
DSM-5 : Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder, Fifth
Edition
ECT : Electroconvulsive Therapy
EPA : Eicosapentaenoic Acid
ESM : European Staging Model
DHA : Docosahexaenoic Acid
FDA : Food & Drug Administration
GDM : Gangguan Depresi Mayor
HAM-D : Hamilton Depression Rating Scale
ICD-10 : International Classification of Diseases 10th revision
MADRS : Montgomery Asberg Depression Rating Scale
MAOIs : Monoamine oxidase inhibitors
MDD : Major Depressive Disorder
MGH-S : Massachusetts General Hospital - Staging
NICE : National Institute for Health and Clinical Exellence
NMDA : N-methyl-D-aspartat
OFC : Olanzapine Fluoxetine Combination
PPDGJ : Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
SAMe : S-adenosyl-metionin
SNRIs : serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors
SSRIs : selective serotonin reuptake inhibitors
v
v
STAR*D : Sequenced Treatment Alternatives to Relieve Depression
T3 : triiodothyronine
T4 : tiroksin
TCA : Tricyclic Antidepressant
vi
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
DAFTAR TABEL ................................................................................................... II
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ III
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... IV
DAFTAR ISI ......................................................................................................... VI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
LATAR BELAKANG................................................................................................. 1
BATASAN PEMBAHASAN ...................................................................................... 2
TUJUAN DAN MANFAAT ....................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 DEPRESI ................................................................................................................. 3
2.2 DEPRESI RESISTEN TERAPI ........................................................................ 6
2.3 EPIDEMIOLOGI ................................................................................................ 13
2.4 FAKTOR RESIKO DEPRESI RESISTEN TERAPI ................................ 14
2.5 TAHAPAN DEPRESI RESISTEN TERAPI .............................................. 16
2.6 MANAJEMEN FARMAKOLOGI DEPRESI RESISTEN TERAPI .. 24
2.6.1 STRATEGI MONOTERAPI .................................................................... 25
2.6.2 STRATEGI KOMBINASI ....................................................................... 26
2.6.3 TERAPI PELENGKAP (ADJUVAN TERAPI) ...................................... 27
vii
vii
2.6.3.1 ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL ........................................................... 28
2.6.3.2 LITHIUM ........................................................................................ 29
2.6.3.3 HORMONE TIROID ....................................................................... 30
2.6.3.4 BUSPIRONE ................................................................................... 31
2.6.3.5 PSIKOSTIMULAN .......................................................................... 32
2.6.3.6 PINDOLOL ..................................................................................... 33
2.6.3.7 GLUTAMATERGIC........................................................................ 34
2.6.3.8 PENGOBATAN KOMPLEMENTER LAINNYA ........................... 35
BAB III RINGKASAN ........................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 40
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini. Karena
orang dengan depresi akan mengalami penurunan produktivitas yang akan
berdampak buruk bagi diri sendiri, lingkungan masyarakat dan bangsa. Depresi
adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan disabilitas dan kronisitas yang
signifikan dan membawa pengaruh pada fungsi psikososial.
Di Indonesia (2000) penelitian seberapa banyak penderita depresi, depresi
terselubung dan juga kecemasan (prevalence rates, incidence rates) belum ada.
Namun dari kasus-kasus gangguan jiwa yang tergolong kecemasan dan depresi
semakin bertambah (Hawari, 2013).
Depresi mayor biasanya gangguan yang mempengaruhi 10%-15% populasi
per tahun. Meskipun kemajuan dalam psikofarmakologi depresi mayor dan
penelitian dari berbagai jenis antidepresan yang baru, hanya 60%-70% dari pasien
depresi respon terhadap pengobatan antidepresan. Mereka yang tidak merespon
10%-30% menunjukkan gejala resisten terapi ditambah dengan berbagai penyulit
pada fungsi sosial dan pekerjaan, kemunduran kesehatan fisik, pikiran bunuh diri
dan peningkatan penggunaan pelayanan kesehatan. Pengobatan resisten pada
depresi menggambarkan sebuah dilema bagi penyedia pelayanan kesehatan (Al-
Harbi, 2016).
2
Depresi resisten terapi merupakan sebuah kondisi umum dengan 50-60%
pasien tidak menunjukkan respon keberhasilan pengobatan antidepresan yang
memuaskan. Keadaan ini merupakan masalah besar dan banyaknya variasi
parameter mengharuskan membuat sebuah definisi yang pasti, tetapi beberapa
usaha telah ditawarkan lebih dari 30 tahun (Pitchot, 2013).
Batasan Pembahasan
Pada tinjauan pustaka ini membahas tentang definisi, penggolongan, faktor
yang mempengaruhi dan manajemen pengobatan depresi resisten terapi yang akan
dilakukan jika terjadi keadaan ini. Pembahasan tentang manajemen depresi resisten
terapi dibatasi hanya pada manajemen terapi farmakologis dan tidak membahas
untuk manajemen non farmakologis.
Tujuan dan Manfaat
Penulisan tinjauan pustaka ini sebagai bahan pertimbangan dalam upaya
penanganan pasien-pasien depresi yang mengalami resistensi terapi saat
pengobatan pada praktek klinis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEPRESI
Depresi adalah gangguan mental serius yang ditandai dengan penurunan
mood, anhedonia, hilangnya minat terhadap aktivitas sehari-hari dan gejala lainnya,
dan berkaitan erat dengan dampak yang berat termasuk bunuh diri. Depresi
mempengaruhi 15% populasi. Perawatan standart selama 50 tahun fokus pada
neurotransmitter monoamine, termasuk pengobatan selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRIs) dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs)
(Zarate, et al., 2013).
Kriteria Depresi menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental
Disorder, Fifth Edition (DSM-5), yang menggunakan istilah Major Depressive
Disorder (MDD) atau selanjutnya disebut Gangguan Depresi Mayor (GDM) yaitu
harus memenuhi kriteria :
A. Lima atau lebih dari gejala dibawah ini yang sudah ada bersama-sama
selama 2 minggu dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya;
minimal terdapat 1 gejala dari (1) mood yang depresi atau (2) hilangnya
minat.
Catatan : Jangan memasukkan gejala yang merupakan bagian dari
gangguan kondisi medis lainnya.
4
1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan
oleh baik laporan subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak
ada harapan) atau observasi orang lain (misalnya terlihat menangis).
(catatan pada anak-anak dan remaja, bisa mood yang iritabel).
2. Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh rasa senang,
aktifitas harian, hampir setiap hari (yang ditandai oleh perasaan
subyektif atau objektif).
3. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha
khusus (contoh : perubahan 5% atau lebih berat badan dalam 1 bulan
terakhir), atau penurunan dan peningkatan nafsu makan yang hampir
terjadi setiap hari. (catatan : Pada anak-anak, perhatikan kegagalan
mencapai berat badan yang diharapkan).
4. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh
orang lain, bukan semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan
yang subyektif).
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa
bersifat waham) hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan
diri atau rasa bersalah karena menderita sakit).
8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh
keragu-raguan hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan
secara subyektif atau teramati oleh orang lain).
5
9. Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran
berulang tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas,
atau ada usaha bunuh diri atau rencana bunuh diri yang jelas.
B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.
C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis
lainnya (Sadock, et al., 2015).
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III
episode depresi harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat) :
- afek depresif
- kehilangan minat dan kegembiraan, dan
- berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
Gejala lainnya :
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. tidur terganggu
g. nafsu makan berkurang
6
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya
dan berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan
berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang
pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah
satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33,-) (Maslim, 2013).
DEPRESI RESISTEN TERAPI
Definisi depresi resisten terapi yang dapat diterima di seluruh dunia sampai
saat ini tidak ada. Telah diusulkan bahwa kegagalan mencapai remisi dengan uji
dua atau lebih antidepresan yang adekuat untuk mendefinisikan depresi resisten
terapi (S, et al., 2013).
Definisi umum depresi resisten terapi adalah suatu respon yang tidak
adekuat terhadap terapi antidepresan yang adekuat (Yulisha & S, 2016). Istilah
'adekuat', yang digunakan untuk patokan pengobatan antidepresan, sebenarnya
mengacu pada keseluruhan 'kualitas' dari manajemen. Ini mencakup berbagai faktor
tambahan yang mempengaruhi respon pengobatan, termasuk apakah pasien
menerima diagnosis dan membutuhkan perawatan. Faktor-faktor ini penting karena
menentukan kepatuhan pengobatan. Karenanya pengobatan adekuat adalah konsep
yang rumit, tetapi pedoman klinis yang terpenting adalah mempertimbangkan
7
pemberian antidepresan setidaknya 3 minggu dengan dosis optimal (Yulisha & S,
2016).
Gambar 1. Aspek penting dari pengobatan antidepresan adalah waktu dan pola
respon (Yulisha & S, 2016).
Respon
Respon merupakan suatu konsep penting bagi dokter dan pasien yang dapat
digunakan untuk mendefinisikan “pengurangan gejala klinis yang bermakna yang
mengarah ke pemulihan fungsional”. Dalam sebuah penelitian, respon secara
konvensional adalah penurunan 50% atau lebih gejala dasar, yang diukur dengan
skala penilaian depresi seperti HAM-D atau MADRS. Ini berarti bahwa pasien
yang tidak mencapai penurunan 50% dianggap resistan pengobatan (lihat gambar
1) (Yulisha & S, 2016). Menurut American Psychiatric Association respon
didefinisikan sebagai penurunan 50% dari tingkat keparahan depresi yang diukur
selama ≥ 3 minggu (Gelenberg, et al., 2010).
8
Gambar 2. Respon terapi (Stahl, 2013).
Remisi dan Recovery
Remisi: Setidaknya dalam waktu 3 minggu tidak terdapat kedua perasaan
sedih dan penurunan minat, dan tidak lebih dari 3 gejala sisa dari episode depresi
mayor. Uji klinis sering menggunakan MADRS ≤ 10 sebagai kriteria remisi.
Recovery adalah suatu periode remisi (≥ 4 bulan) sehingga suatu episode depresi
mayor tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat (Gelenberg, et al., 2010).
Remisi yaitu ketika hasil dari pengobatan depresi menghilangkan semua
gejala utama, hal itu disebut remisi untuk beberapa bulan pertama dan kemudian
recovery jika dapat bertahan selama lebih dari 6 bulan. Remisi dan recovery adalah
tujuan utama ketika merawat pasien dengan depresi (Stahl, 2013).
9
Gambar 3. Remisi dan Recovery Terapi (Stahl, 2013).
Relaps dan Recurrence
Relaps diartikan munculnya kembali gejala depresi yang signifikan
(kembali ke episode depresi mayor) pada rentan waktu segera setelah remisi.
Recurrence diartikan berulangnya episode depresi mayor setelah periode recovery
(Gelenberg, et al., 2010). Ketika depresi muncul kembali sebelum ada pemulihan
gejala secara sempurna atau beberapa bulan setelah remisi gejala depresi, hal ini
yang disebut relaps. Sedangkan recurrence ketika depresi muncul kembali setelah
pasien sembuh (Stahl, 2013)
10
Gambar 4. Relaps dan Recurrence Terapi (Stahl, 2013).
Depresi Refraktori
Depresi refraktori mirip dengan depresi resisten terapi, yang biasa ditemui
oleh para profesional kesehatan mental, bahkan dalam konteks pengobatan dengan
antidepresan yang tepat. Depresi refraktori diartikan sebagai tidak adanya respon
terhadap pengobatan, gejala tidak berubah bahkan terjadi perburukan. Sekitar
setengah dari pasien depresi memiliki respon yang tidak adekuat untuk monoterapi,
dan sebanyak 20% mengalami depresi kronis meskipun dengan beberapa intervensi
(Yulisha & S, 2016).
Depresi resisten terapi dapat didefinisikan secara luas sebagai kegagalan
keseluruhan untuk respon pengobatan yang diketahui efektif untuk depresi mayor.
Usulan definisi operasional untuk terminologi pengobatan anti depresi ditunjukkan
pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Terminologi Depresi Resisten Terapi
Berdasarkan gambaran klinis, depresi resisten terapi biasanya merujuk pada
sebuah respon inadekuat pada sedikitnya satu antidepresan dengan dosis dan durasi
yang adekuat. Gambaran ini mungkin termasuk keadaan klinis yang
beranekaragam, dari kegagalan pada satu jenis antidepresan hingga kegagalan
multiple dengan gejala depresi jangka panjang dan persisten meskipun pengobatan
kompleks (Pitchot, 2013).
Pseudo-resisten
Berbeda dengan resistensi pengobatan sesungguhnya, "pseudo-resistance"
dapat timbul pada salah satu dari beberapa skenario klinis berikut:
1. Episode depresi "resisten" bila pengobatan baik dosis maupun durasi tidak
adekuat.
12
2. Episode depresi "resisten" bila setelah terapi yang adekuat dengan buruknya
kepatuhan perlakuan atau ketidakpatuhan.
3. Episode depresi "resisten" bila terapi yang diresepkan dengan dosis tertentu
gagal menghasilkan suatu respon terapi (misalnya, dalam kasus "metabolisme
yang cepat", atau pasien yang juga sedang diberikan induser metabolisme).
4. Episode depresi "resisten" bila setelah perawatan yang tidak pantas dengan
keterangan misdiagnosis (misalnya, ketika episode depresi bipolar didiagnosis
sebagai salah satu unipolar, atau ketika depresi psikotik unipolar didiagnosis
sebagai depresi non-psikotik unipolar) .
5. Kesalahan klasifikasi dari kekambuhan depresi selama pengobatan jangka
panjang dengan agen sebelumnya efektif sebagai resisten terhadap pengobatan
dengan agen yang episode depresi. (Papakostas & Fava, 2010)
Oleh karena itu, langkah-langkah berikut sering dapat membantu dalam
menghadapi depresi resisten terapi:
1. Memastikan kecukupan dosis dan durasi pengobatan antidepresan.
2. Memastikan kepatuhan pengobatan yang memadai.
3. Klarifikasi Diagnostik: mengesampingkan gangguan bipolar, GDM dengan
psikotik, atau kesalahan klasifikasi depresi berulang sebagai resistensi
pengobatan.
4. Tingkat antidepresan dapat diperiksa, khususnya di kalangan pasien pada
tingkat optimal atau lebih tinggi dari antidepresan yang tidak mengalami efek
samping. Meskipun, dengan pengecualian anttidepresan trisiklik, tingkat
13
antidepresan tidak dapat digunakan untuk memandu pengobatan (Papakostas
& Fava, 2010).
“Kronis” berarti bahwa sindrom depresi telah berlangsung lama, dengan
atau tanpa pengobatan yang telah dicoba. Dalam definisi umum, "resisten
pengobatan" diartikan tidak respon terhadap suatu pengobatan standar, meskipun
pengobatan hanya salah satu pilihan terapi yang tersedia. Depresi disebut resisten
pengobatan jika dua kali percobaan terapi obat, masing-masing pada dosis yang
adekuat dan untuk jangka waktu yang cukup lama, tidak memiliki efek yang
menguntungkan. Definisi resistensi pengobatan yang lebih spesifik sesuai dengan
jumlah usaha pengobatan yang gagal (Bschor, et al., 2014).
“Distimia" menurut ICD-10, adalah bagian dari sindrom depresi yang
berlangsung selama beberapa tahun, dengan tingkat keparahan yang lebih rendah
dibandingkan depresi (termasuk depresi kronis) (Bschor, et al., 2014).
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi depresi secara konsisten sulit diperkirakan karena
keanekaragaman dalam metodologi penelitian, bias recall, sampling dan kriteria
diagnostik (Kessler & Bromet, 2013). Meskipun kesulitan-kesulitan ini, populasi
dari prevalensi depresi menggunakan langkah-langkah yang valid dan terstruktur
memberikan perkiraan beban penyakit. Perkiraan ini menyoroti perbedaan dalam
presentasi budaya depresi dan mencerminkan besarnya masalah bagi penyedia
layanan kesehatan dan pemerintah (Murphy, 2015).
14
Gangguan depresi mayor (GDM) menyebabkan beban yang berat terhadap
kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Prevalensi depresi resisten terapi berkisar
10-60 %, tergantung pada definisi yang digunakan, dan telah diperkirakan bahwa
sampai 40 % dari biaya tahunan terkait dengan GDM di Amerika Serikat dikaitkan
dengan kasus resisten. Memang, pasien dengan depresi resisten terapi dikenakan
biaya 19 kali lebih tinggi (≈ US $ 28 000) dibandingkan pasien dengan GDM yang
respon pengobatan (≈ US $ 1 455), karena mereka yang diresepkan obat, memiliki
kunjungan rawat jalan lebih banyak, dan dua kali lebih mungkin dirawat di rumah
sakit (Berlim, et al., 2015).
FAKTOR RESIKO DEPRESI RESISTEN TERAPI
Penelitian selama bertahun-tahun telah difokuskan untuk mengidentifikasi
faktor risiko yang terkait dengan depresi resisten terapi. Yang paling dapat
diandalkan antara lain:
Lamanya episode: semakin lama episode depresi, semakin besar atrofi di
daerah otak tertentu (misalnya hippocampus), perubahan kognitif dan perilaku
yang terjadi selama episode depresi mempersulit kembali pada keadaan semula
(Berlim, et al., 2015).
Pengenalan subtipe GDM (mis, melankolis, psikotik, karakteristik atipikal atau
musiman) juga merupakan elemen penting dalam evaluasi depresi resisten
terapi karena dapat merespon secara berbeda untuk terapi yang tersedia
(Berlim, et al., 2015). Depresi resisten terapi yang lebih menonjol pada depresi
bipolar daripada pada mayor depresi (Alessandro & Chiara, 2014).
15
Kurangnya perbaikan gejala dalam beberapa minggu pertama sejak awal
pengobatan (Berlim, et al., 2015).
Komorbiditas psikiatri : munculnya gangguan kecemasan merupakan salah
satu faktor klinis yang paling kuat terkait dengan depresi resisten terapi. Secara
khusus, serangan panik, fobia sosial dan gangguan obsesif-kompulsif dapat
mengakibatkan hasil yang lebih buruk dan resisten pengobatan (Berlim, et al.,
2015). Gejala cemas dan gangguan kecemasan menjadi prediktor rendahnya
tingkat respon dan remisi, gangguan kepribadian (terutama avoidant dan
borderline) merupakan faktor prognosis negatif (Alessandro & Chiara, 2014).
Usia tua
Memiliki usia kurang dari 18 tahun saat onset penyakit telah dikaitkan
dengan munculnya depresi resisten terapi dikemudian hari, meskipun masih
belum jelas apakah ini hanya mencerminkan episode keparahan atau merupakan
faktor independen yang sebenarnya. Di sisi lain, usia lebih dari 60 tahun telah
dikaitkan dengan fitur yang dapat menyebabkan resisten pengobatan, termasuk
adanya perubahan morfologi otak (misalnya, pembuluh darah), dan kondisi
medis penyerta (Berlim, et al., 2015).
Jenis Kelamin
Dalam hal jenis kelamin, ada sedikit bukti yang mendukung gagasan
bahwa jenis kelamin perempuan adalah faktor risiko untuk depresi resisten
terapi, meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan,
dibandingkan dengan laki-laki, mungkin kurang responsif terhadap
16
antidepresan trisiklik dan dapat merespon secara baik untuk SSRI atau MAOIs
(Berlim, et al., 2015).
Sejumlah kondisi yang mungkin penyebab relatif atau "pseudo" depresi
resisten terapi:
o Dosis antidepresan subterapeutik (sekitar 20%)
o Ketidakpatuhan pasien (sekitar 40%)
o Efek samping yang berat (20% sampai 30%)
o Salah diagnosis (10% sampai 15%) (seperti : penyakit tiroid, kekurangan
gizi, sleep apnea, "laten" bipolaritas) (Alessandro & Chiara, 2014)
Akhirnya, pada pasien yang dicurigai depresi resisten terapi, munculnya
penyakit medis umum yang mendasari, terutama dari endokrin (misalnya
hipotiroidisme, sindrom Cushing) harus diteliti dengan seksama. Kondisi lain
yang berpotensi diawasi termasuk gangguan neurologis (baik kortikal dan
subkortikal), karsinoma pankreas, gangguan autoimun (misalnya
rheumatologic), kekurangan vitamin, dan infeksi virus tertentu. Selain itu,
beberapa obat (mis imunosupresan, steroid, dan obat penenang) juga dapat
menyebabkan GDM kronis dan dikaitkan dengan hasil pengobatan
antidepresan yang buruk (Berlim, et al., 2015).
TAHAPAN DEPRESI RESISTEN TERAPI
Beberapa model tahapan telah diajukan, semuanya dimaksudkan untuk
memperjelas konsep dari depresi resisten terapi. Meskipun terdapat tumpang tindih
diantara beberapa model ini, semuanya sebagian besar mempertimbangkan
beratnya parameter kuantitatif dan kualitatif. (Pitchot, 2013).
17
1. Model Thase and Rush (1997)
Dihadapkan dengan berbagai macam depresi resisten terapi (TRD),
thase & Rush (1997) mengusulkan menerapkan konsep klasifikasi penyakit
yang digunakan dalam onkologi. Titik awal mereka adalah situasi yang paling
umum: kegagalan dari selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) sebagai
pengobatan lini pertama. Pedoman mereka menyarankan serangkaian strategi
berurutan untuk setiap tahap resisten. Rekomendasi ini terutama didasarkan
pada publikasi yang tersedia pada manajemen pengobatan nonresponse SSRI.
Nonresponders antidepresan diklasifikasikan dalam lima tahapan berdasarkan
jumlah dan jenis antidepresan yang telah gagal memberikan respon (Pitchot,
2013).
Tabel 2. Model Tahapan Thase dan Rush (Berlim, et al., 2015)
Tahapan Thase dan Rush merupakan upaya pertama kali untuk
menggambarkan data berbasis bukti strategi pengobatan dan tingkat resistensi
dalam model yang komprehensif (thase & Rush, 1997). Ini merupakan tools
yang mudah digunakan, memberikan gambaran logis dari tingkat resistensi
untuk klinisi. Keterbatasannya adalah dosis dan durasi setiap tahapan tidak
disebutkan dan nonresponse dua antidepresan dari kelas yang berbeda
18
diasumsikan lebih sulit untuk diobati daripada nonresponse dua antidepresan
dari kelas yang sama. Ini mungkin perlu revisi berdasarkan data yang lebih
baru. Selain itu, model tahapan ini dibatasi oleh hirarki implisit antidepresan
(MAOIs> TCA> SSRI), yang tidak ada bukti yang cukup dalam literatur
(Pitchot, 2013).
2. Model Tahapan European (1999)
Kelompok Studi Resisten Depresi mengembangkan model tahapan
kuantitatif yang tidak mengintegrasikan strategi pengobatan.
Tabel 3. Model Tahapan European (Berlim, et al., 2015)
Tahapan ini membedakan antara nonresponse dan lima tingkat depresi
resisten terapi. Titik awal adalah mengenali episode depresi yang kurang
respon dan mengenali jenis obat yang resisten. Suatu episode depresi yang
tidak respon setelah pengobatan antidepresan monoterapi secara adekuat cukup
untuk disebut resisten. Pasien yang tidak respon terhadap salah satu jenis obat
19
(misalnya episode depresi resisten SSRI) diklasifikasikan sebagai
nonresponders terapi antidepresan. Hal ini diasumsikan bahwa dosis dan durasi
pengobatan antidepresan telah adekuat. Berikut ini, lima tingkat TRD,
didefinisikan menurut lamanya pengobatan (TRD 1 ke TRD 5). Durasi
pengobatan yang biasa antara 4 dan 8 minggu. TRD 5 hampir 1 tahun
pengobatan dengan setidaknya lima uji coba antidepresan berturut-turut
dengan hasil berbeda, sementara TRD 1, 1 tahun pengobatan dengan satu
percobaan yang gagal. Tahap ini berlaku untuk pengobatan akut dan tidak
mempertimbangkan lamanya jangka waktu resisten pengobatan. Konsep
tambahan adalah chronic refractory depression (CRD), pasien diobati dengan
beberapa antidepresan selama lebih dari 12 bulan dengan respon yang tidak
memuaskan (Pitchot, 2013).
Keuntungan dari Model Staging Eropa (ESM) adalah
kesederhanaannya. Hal ini dapat dengan mudah digunakan dalam penelitian
klinis untuk menentukan tingkat resistensi pasien yang dilibatkan dalam uji
klinis. Namun, mungkin dianggap tidak lengkap karena tidak
mempertimbangkan strategi pengobatan seperti adjuvan terapi, kombinasi atau
ECT. Ini mungkin menyesatkan dalam membedakan antara nonresponse dan
resisten, dengan resistensi yang dilihat sebagai kurangnya respon setelah dua
kegagalan. Nonresponse harus dipertimbangkan tingkat pertama TRD (Pitchot,
2013).
3. Model Tahapan Massachusetts General Hospital (2003)
20
Tabel 4. Model Tahapan Massachusetts General Hospital (Berlim, et al.,
2015).
Metode tahapan massachusetts general hospital menggunakan
pendekatan kuantitatif, menghasilkan skor terus menerus yang mewakili
tingkat resistensi. Tiga kategori skor diusulkan, mengembangkan jumlah uji
coba dan jenis strategi pengobatan.
Dalam kategori 1, nonresponse untuk masing-masing uji antidepresan
yang adekuat (setidaknya 6 minggu dosis yang adekuat dari antidepresan) uji
antidepresan meningkatkan skor dengan 1 poin. Sementara label dari setiap
tahap menggunakan skor bukan kategori TRD (TRD1 ke TRD5), pendekatan
ini mirip dengan ESM. Tidak ada batasan untuk jumlah percobaan yang gagal.
MGH-S berbeda dalam mempertimbangkan strategi terapi tambahan dan
optimalisasi di tingkat resistensi. ECT juga termasuk dalam model ini.
Dalam kategori 2, skor keseluruhan resistensi meningkat sebesar 0,5
poin tiap percobaan ketika strategi optimalisasi atau terapi tambahan
digunakan: optimalisasi dosis dan durasi, dan terapi tambahan atau kombinasi
setiap percobaan. MHG-S dikembangkan bersama-sama dengan Rumah Sakit
Umum Massachusetts atau Antidepressant Treatment Response Questionnaire,
21
sebuah alat yang berguna untuk mengumpulkan data yang dapat dipercaya
pada pengobatan sebelumnya.
Dalam kategori 3, skor ini lebih meningkat 3 poin jika ECT diterapkan
(Pitchot, 2013).
MHG-S tidak membuat perbedaan dan tidak ada hierarki berdasarkan
mekanisme kerja antidepresan. Dalam kategori 1, setiap percobaan yang
adekuat dengan antidepresan akan meningkatkan skor. Dalam kategori 2, terapi
tambahan, kombinasi, optimalisasi dosis dan durasi sama-sama bermakna
(Pitchot, 2013).
4. Model Tahapan Maudsley (2009)
Tabel 5. Model Tahapan Maudsley
22
Sebagian besar model tahapan yang ada bergantung pada respon
pengobatan dan jumlah obat sebagai kriteria utama yang digunakan untuk
menentukan TRD. Sementara kurangnya efikasi suatu antidepresan merupakan
elemen inti dari resisten pengobatan, banyak faktor lain yang berhubungan
dengan episode depresi yang perlu dipertimbangkan .
Di luar parameter hasil pengobatan, faktor multidimensi TRD telah
dipertimbangkan dalam mengembangkan model tahapan Maudsley. Tingkat
keparahan dan lamanya depresi masuk dalam model tahapan TRD, sedangkan
23
jumlah kegagalan pengobatan tetap menjadi parameter kunci dalam tingkat
resistensi.
Tiga set parameter / dimensi yang digambarkan dalam model: durasi,
tingkat keparahan gejala dan kegagalan pengobatan:
1. Durasi ini menyajikan episode yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori:
akut (1 tahun atau kurang), subakut (antara 1 dan 2 tahun) dan kronis (lebih
dari 2 tahun). Durasi episode depresi ditentukan terlepas dari riwayat
pengobatan dan diberi skor dari 1 sampai 3.
2. Tingkat keparahan gejala didasarkan pada statistik International
Classification of Diseases 10th revision (ICD-10) klasifikasi sindrom
depresi (ringan, sedang, berat tanpa psikosis dan berat dengan psikosis).
Subsindrom depresi juga termasuk dalam variabel tingkat keparahan
gejala dan diberi skor dari 1 sampai 5.
3. Parameter kegagalan pengobatan, dibagi lima tingkat (dari tingkat 1: 1-2
pengobatan untuk level 5:> 10 pengobatan). Kegagalan pengobatan juga
termasuk penggunaan atau tidak terapi tambahan (skor 0 atau 1) dan
penggunaan ECT atau tidak (skor 0 atau 1). Skor maksimal untuk
kegagalan pengobatan adalah 7.
Skor total TRD seharusnya antara 3 dan 15. Tahapan resistensi dapat
dinyatakan dalam tiga kategori: ringan (skor 3-6), sedang (skor 7-10) dan berat
(skor 11-15) (Pitchot, 2013).
24
MANAJEMEN FARMAKOLOGI DEPRESI RESISTEN TERAPI
Bagi individu yang tidak respon sepenuhnya terhadap pengobatan, fase
akut pengobatan tidak harus disimpulkan secara dini, respon pengobatan yang
tidak lengkap sering dikaitkan dengan luaran fungsional yang buruk. Jika
setidaknya perbaikan sebagian gejala tidak diamati dalam waktu 4-8 minggu
selama awal pengobatan, diagnosis harus dievaluasi kembali, penilaian efek
samping, dan penilaian faktor psikososial dan penyesuaian rencana
pengobatan. Selain itu juga penting untuk menilai kualitas terapi aliansi dan
kepatuhan terhadap pengobatan. Untuk pasien dengan psikoterapi, faktor
tambahan yang akan dinilai meliputi frekuensi sesi dan apakah pendekatan
khusus psikoterapi secara memadai menangani kebutuhan pasien. Jika obat
yang diresepkan, psikiater harus menentukan faktor farmakokinetik atau
farmakodinamik dalam menyesuaikan dosis obat-obatan. Setelah tambahan 4-
8 minggu pengobatan, jika pasien terus menunjukkan sedikit atau tidak ada
perbaikan dalam gejala, psikiater harus melakukan evaluasi secara menyeluruh
kemungkinan faktor penyebab dan membuat tambahan perubahan dalam
rencana pengobatan (Gelenberg, et al., 2010).
25
Gambar 5. Algoritme pengobatan depresi resisten terapi (Gelenberg, et al.,
2010).
Strategi Monoterapi
Penggunaan strategi monoterapi pada depresi resisten terapi, meliputi
meningkatkan dosis antidepresan atau penggantian dari satu antidepresan ke
antidepresan yang lain. Beberapa keuntungan monoterapi daripada polifarmasi
telah disarankan. Misalnya, dengan meningkatkan dosis antidepresan atau
penggantian dari satu antidepresan ke antidepresan yang lain, orang akan
menghindari potensi interaksi obat yang melekat dalam penggunaan polifarmasi
(Papakostas & Fava, 2010).
26
Sebuah pedoman NICE depresi (NICE 2009) merekomendasikan bahwa
pasien yang gagal untuk merespon pengobatan awal SSRI dengan dosis optimal
harus beralih ke SSRI kedua atau obat antidepresan lain yang lebih baru, misalnya
mirtazapine. Secara intuitif, tampaknya bahwa jika pasien tidak merespon salah
satu pendekatan farmakologis tertentu akan masuk akal untuk menggunakan obat
dengan mekanisme yang berbeda untuk pengobatan berikutnya; Namun, bukti
untuk ini masih lemah. Antidepresan trisiklik, amitriptilin dan clomipramine secara
konvensional telah dianggap berguna dalam depresi berat dan dapat
dipertimbangkan untuk pasien yang resisten terhadap monoterapi secara aman
(Philip & Ian, 2015).
Selain itu, strategi monoterapi juga menguntungkan berkaitan dengan
kepatuhan (lebih mudah diingat untuk mengambil satu pil daripada beberapa).
Terakhir, monoterapi juga dapat dikaitkan dengan biaya lebih rendah dari
polifarmasi (Papakostas & Fava, 2010).
Strategi Kombinasi
Strategi kombinasi sering digunakan pada praktek klinis rutin dan mungkin
menawarkan beberapa keuntungan pada manajemen terapi depresi resisten terapi,
seperti : (i) menghindari gejala penghentian dan jadwal titrasi silang; (ii)
antidepresan golongan kedua mungkin lebih efektif dalam kombinasi daripada
monoterapi; dan (iii) kemungkinan untuk menambah efek farmakodinamik
(Carvalho et al., 2014).
27
Mekanisme kerja mirtazapine dan mianserin hampir sama namun berbeda
jenis antidepresan. Terdapat beberapa keuntungan penting dari kombinasi golongan
ini dengan SNRIs dan SSRIs, yaitu : (i) potensiasi neurotransmisi monoaminergik;
(ii) memperluas cakupan gejala untuk insomnia dan kurangnya nafsu makan; (iii)
mencegah efek samping ganstrointestinal dari SSRIs dan SNRIs (misalnya mual).
Manfaat dari mianserin dalam kombinasi telah diteliti setidaknya dua studi acak
terkontrol. Ferreri dan rekannya (2001) secara acak dari 104 pasien GDM yang
tidak respon terhadap 6 minggu fluoxetine (20mg/hari) diujicoba untuk terapi
selanjutnya : fluoxetine 20mg/hari ditambah mianserin 60mg/hari; fluoxetine
20mg/hari ditambah dengan placebo; atau mianserin 60mg/hari ditambah placebo.
Kombinasi ini lebih efektif daripada fluoxetine dengan placebo pada akhir studi
(Carvalho, et al., 2015).
Terapi Pelengkap (Adjuvan Terapi)
Pengobatan antidepresan dapat dikombinasi dengan antidepresan non-
MAOI lainnya atau jenis selain antidepresan. Penambahan antidepresan non-MAOI
kedua mungkin membantu, terutama bagi pasien yang memiliki respon parsial
dengan antidepresan monoterapi. Salah satu pilihan dengan menambahkan obat
antidepresan non-MAOI kedua dari kelas farmakologis yang berbeda. Pilihan lain
adalah dengan menambahkan adjuvan terapi non antidepresan seperti lithium,
hormon tiroid, antikonvulsan, psikostimulan, atau antipsikotik generasi kedua
(atipikal) (Gelenberg, et al., 2010).
Penggunaan polifarmasi untuk depresi resisten terapi memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan strategi monoterapi (peningkatan dosis antidepresan atau
28
penggantian antidepresan). Misalnya, menggabungkan dua golongan dengan
mekanisme yang berbeda (yaitu, serotonergik dan noradrenergik) dapat
mengakibatkan efek farmakologis sinergis (dual atau triple-acting) (Philip & Ian,
2015).
Tabel 6. Beberapa golongan pelengkap yang digunakan pada depresi
resisten terapi (Philip & Ian, 2015).
Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik atipikal dapat meningkatkan tingkat respon atau
menurunkan gejala depresi pada pasien yang tidak respon terhadap lebih
dari dua uji coba terapi, bahkan saat gejala psikotik tidak muncul.
Umumnya, dalam praktek klinis, dosis lebih rendah digunakan untuk
antidepresan daripada pengobatan psikosis. Tiga jenis antipsikotik atipikal
yang telah disetujui Food & Drug Administration (FDA) sebagai terapi
tambahan (misalnya, aripiprazole dan quetiapine) atau kombinasi
29
(kombinasi olanzapine fluoxetine [OFC]) dengan terapi antidepresan.
Misalnya, kombinasi olanzapine dan fluoxetine telah dipelajari secara
ekstensif dan dimulai dengan 6 mg olanzapine dan 25 mg fluoxetine setiap
hari dan dititrasi ke atas ditoleransi sampai dosis maksimal 18 mg
olanzapine dan 75 mg fluoxetine setiap hari. Aripiprazole telah menerima
persetujuan FDA untuk adjuvan antidepresan dan biasanya dimulai pada
2,5-5 mg / hari dan dititrasi ke atas ditoleransi sampai maksimal 15 mg /
hari. Dengan quetiapine, dosis 25 sampai 400 mg / hari telah digunakan.
Dosis adjuvan risperidone hingga 3 mg untuk meningkatkan respon
antidepresan (Gelenberg, et al., 2010).
Efek samping dengan kombinasi ini dapat bervariasi dari berbagai
macam golongan, meliputi sedasi, kelelahan, insomnia, mengantuk
(misalnya quetiapine), mual, hiperprolaktinemia, dislipidemia, disregulasi
glukosa, peningkatan berat badan (yaitu, quetiapine, OFC), dan gejala
ekstrapiramidal termasuk akatisia (misalnya aripiprazole), reaksi distonia,
parkinsonisme, sindrom neuroleptik maligna, dan tardive diskinesia
(Papakostas & Fava, 2010).
Lithium
Lithium yang paling banyak dipelajari diantara terapi adjuvan
lainnya, sebagian besar penelitian adjuvan lithium fokus pada depresi
resisten terapi dan juga mengurangi risiko jangka panjang bunuh diri.
Waktu yang diperlukan adjuvan lithium bekerja optimal sekitar beberapa
hari sampai 6 minggu. Jika efektif dan ditoleransi dengan baik, lithium
30
harus dilanjutkan setidaknya untuk masa pengobatan akut dan mungkin
setelah fase akut untuk tujuan pencegahan kambuh (Gelenberg, et al.,
2010).
Potensi efek samping selama pengobatan dengan adjuvan lithium
meliputi tremor, mengantuk, sedasi, mual, anoreksia, sakit perut, diare,
poliuria (melalui antagonisme hormon antidiuretik), edema, ruam
(termasuk jerawat dan psoriasis), leukositosis, hipotiroidisme,
hipertiroidisme, ataksia, peningkatan berat badan, insufisiensi ginjal,
perubahan elektrokardiografi, aritmia, kelainan konduksi jantung dan,
dalam kasus yang jarang, perkembangan sindrom nefritik. Penggunaan
lithium awal selama kehamilan juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
lahir cacat (Papakostas & Fava, 2010).
Hormon tiroid
Terapi pelengkap tiroid belum dipelajari secara sistematis baik
dengan SSRI atau SNRIs. Sebuah publikasi hanya mencakup laporan
kasus dan serial kasus kecil. Hormon tiroid telah dipublikasikan
manfaatnya sebagai terapi adjuvan pada beberapa penelitian terkontrol
antidepresan trisiklik. Studi lain menunjukkan bahwa adjuvan
triiodothyronine (T3) secara signifikan lebih efektif daripada tiroksin (T4)
dalam mengobati non respon anti depresan trisiklik (Boyer & Bunt, 2001).
Suplemen hormon tiroid dapat meningkatkan efektivitas
pengobatan obat antidepresan, apakah digunakan sebagai terapi pelengkap
atau terapi kombinasi dengan obat antidepresi dari awal terapi. Dosis yang
31
digunakan untuk tujuan ini adalah 25 mcg / hari triiodothyronine, dapat
ditingkatkan menjadi 50 mcg / hari jika respon tidak memadai setelah
sekitar satu minggu. Durasi pengobatan yang diperlukan belum diteliti
dengan baik (Gelenberg, et al., 2010).
Efek samping penggunaan T3 dikombinasikan dengan
antidepresan antara lain palpitasi, berkeringat, tremor, dan gugup serta
mual, sakit kepala, mengantuk, insomnia, dan mulut kering (Papakostas &
Fava, 2010). Konsultasi kardiologi harus dipertimbangkan sebelum
memulai pasien dengan kelainan jantung pada terapi adjuvan tiroid.
Seperti adjuvan lithium, lamanya waktu terbaik untuk melanjutkan tiroid
dan cara terbaik untuk menghentikan tidak diketahui (Boyer & Bunt,
2001).
Buspirone
Buspirone merupakan golongan ansiolitik yang merupakan agonis
parsial pada reseptor 5-HT1A. Alasan mempelajari efikasi buspirone
sebagai terapi pelengkap depresi resisten terapi bergantung pada
potensinya untuk meningkatkan 5-HT. Meskipun faktanya bahwa
beberapa studi label terbuka mendukung efikasi terapi pelengkap
buspirone pada depresi resisten terapi. Kombinasi Buspirone juga telah
diuji di STAR*D trial dan tidak memberikan keuntungan yang signifikan
secara statistik dibanding kombinasi bupropion (Berlim, et al., 2015).
32
Buspirone telah digunakan pada terapi pelengkap SSRIs dalam
pengobatan depresi dan juga sebagai pengobatan disfungsi seksual akibat
SSRI (Boyer & Bunt, 2001).
Psikostimulan
Psikostimulan adalah suatu golongan yang memiliki efek
signifikan pada neurotransmisi dopaminergik dan telah diuji sebagai terapi
pelengkap untuk depresi resisten terapi. Methylphenidate dan amfetamin
umumnya diresepkan untuk tujuan ini (Berlim, et al., 2015).
Beberapa studi negatif menunjukkan bahwa methylphenidate
efikasinya tidak dapat dipercaya sebagai tambahan untuk terapi
antidepresan konvensional pada GDM dewasa. Hal ini menunjukkan
bahwa psikostimulan tidak efektif untuk mengobati depresi resisten terapi
telah terjawab, tapi akan lebih bermanfaat untuk gejala sisa, namun tidak
terbatas pada fatique dan sedasi. Selain itu, studi negatif formodafanil pada
GDM memberikan alasan untuk tidak merekomendasikan sebagai
pengobatan depresi resisten terapi (meskipun efikasi terhadap fatique dan
sedasi disarankan). Meskipun studi negatif untuk methylphenidate dan
modafanil, lisdexamfetamine mampu menawarkan perbaikan gejala pada
depresi resisten terapi, efikasi lisdexamfetamine sebagai tambahan untuk
pengobatan escitalopram telah dievaluasi pada GDM dewasa (berusia 18-
55 tahun)(Trivedietal., 2013).
Stoll dan rekannya melaporkan respon cepat methylphenidate
sebagai terapi pelengkap terhadap SSRI yaitu pada dosis 5-20mg tiga kali
33
sehari. Stimulan sangat membantu dalam mengobati gejala sisa fatique dan
anergia setelah percobaan antidepresan dinyatakan berhasil. Stimulan juga
digunakan untuk menetralkan efek pengobatan terkait disfungsi seksual.
Efek samping signifikan stimulan, termasuk ketergantungan dan
penyalahgunaan jarang terjadi (Boyer & Bunt, 2001).
Pindolol
Pindolol adalah reseptor β-adrenergik antagonis nonselektif yang
juga bertindak sebagai antagonis pada 5-HT1A. Sebuah bukti
menunjukkan bahwa pindolol efektif dalam mempercepat respon terhadap
SSRI (Berlim, et al., 2015).
Beta-blocker pindolol merupakan tambahan lain yang telah
menghasilkan respon yang cepat dalam uji sangat terbatas. Alasan
kombinasi dengan pindolol adalah pindolol memblokir 5HT1A
autoreseptor sehingga dapat mencegah kompensasi down-regulasi dari
fungsi serotonergik yang dipicu oleh peningkatan aktivitas serotonin
sinaptik terkait dengan SSRI. Ada kemungkinan bahwa mekanisme kerja
pindolol dan buspirone hampir sama, meskipun buspirone merupakan
agonis reseptor 5HT1A. Titik kuncinya adalah bahwa buspirone merupakan
agonis relatif lemah dibandingkan dengan ligan endogen. Ini dapat
memperburuk asma dan mengaburkan gejala hipoglikemik. Sebuah gejala
serius 'toksisitas' buspirone dan pindolol adalah memburuknya iritabilitas
pada beberapa pasien dengan SSRI (Boyer & Bunt, 2001).
34
Glutamatergic
Bukti terbaru berimplikasi disregulasi glutamatergic dalam
patofisiologi gangguan mood. Konsisten dengan temuan ini, serangkaian
laporan klinis telah menunjukkan bahwa glutamat N-methyl-D-aspartat
(NMDA) antagonis reseptor ketamin memiliki efek antidepresan yang
cepat. Dosis subanestetik tunggal ketamin menghasilkan efek antidepresan
yang cepat dan lama pada pasien dengan pengobatan depresi resisten terapi
(TRD) terhadap terapi antidepresan konvensional (S, et al., 2013).
Mekanisme neurobiologis yang mendasari efek antidepresan
ketamine adalah kompleks dan tidak sepenuhnya dipahami. Studi praklinis
menunjukkan bahwa blokade reseptor NMDA menyebabkan peningkatan
regulasi ekspresi reseptor AMPA dan aktivasi berikutnya dari target
mamalia dari rapamycin (mTOR) cascade intraseluler yang diperlukan
untuk antidepresan ketamin ini. Secara khusus, cepat dan transien
peningkatan regulasi dari otak neuroplastisitas penanda berasal
neurotrophic factor (BDNF) yang terlibat sebagai komponen penting dari
mekanisme antidepresan ketamin. BDNF adalah neurotrophin penting
dalam memfasilitasi dan mendukung populasi neuron tertentu selama
pengembangan dan mediasi plastisitas sinaptik terkait dengan belajar dan
memori (Haile, et al., 2014)
Hipotesis glutamatergic depresi akan menunjukkan bahwa
intervensi langsung (misalnya, ketamin dan riluzole) atau tidak langsung
(misalnya, skopolamin) mengatur fungsi glutamat dapat mengurangi
35
gejala depresi pada individu dengan GDM. Efek antidepresan ketamin
diduga dimediasi oleh peningkatan pelepasan glutamate presinap dengan
menangkap pengaruh dari peningkatan glutamatergic melalui reseptor
amino 3 hidroksi 5 metil 4 isoksazola asam propionat (AMPA) terhadap
reseptor asam N- Methyl-D-aspartat (NMDAR). Infus dosis tunggal
ketamin (0.5mg / kg) telah ditunjukkan untuk meningkatkan gejala depresi
dalam waktu 1-4 jam pada individu dengan TRD. Selain itu, keinginan
bunuh diri pada TRD juga dilaporkan telah berkurang secara signifikan
dengan infus ketamine (Zarate, et al., 2013).
Pengobatan Komplementer Lainnya
Pada saat ini, terdapat beberapa modalitas yang dapat
direkomendasikan dan memiliki bukti sederhana untuk keberhasilan
antidepresan, antara lain St. John’s wort, S-adenosyl methionine, asam
lemak omega-3 dan folat.
St John Wort adalah tanaman yang banyak digunakan untuk
mengobati gejala depresi. Secara keseluruhan, penelitian St John Wort
menunjukkan manfaat pada gangguan depresi mayor ringan sampai
sedang dibandingkan dengan gejala yang lebih berat. Suatu percobaan
double-blind yang dilakukan pada pasien depresi rawat jalan dengan gejala
ringan sedang dapat disimpulkan bahwa St John Wort dalam dosis 300
mg/hari dan 1.800 mg/hari memiliki efek yang besar dibandingkan
plasebo. St John Wort memiliki khasiat umumnya sebanding dan efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dosis rendah pengobatan TCA
36
(misalnya, 30-150 mg/hari amitriptyline). Tetapi St John Wort tidak akan
memenuhi persyaratan minimum FDA untuk dinyatakan sebagai
antidepresan yang efektif dan tidak direkomendasikan untuk pengobatan
depresi. Pertimbangan penting lainnya adalah potensi interaksi obat-obat.
St John Wort dapat menginduksi metabolisme obat melalui CYP 3A4,
mengurangi efek obat, termasuk obat-obatan antiretroviral, imunosupresan
(termasuk cyclosporine), antineoplastik, antikoagulan (termasuk
warfarin), kontrasepsi oral, dan terapi penggantian hormon dan penolakan
transplantasi organ telah diamati ketika St John Wort diberikan bersama
dengan siklosporin. Penggunaan gabungan St John Wort dengan MAOIs
merupakan kontraindikasi (Gelenberg, et al., 2010).
S-adenosyl metionin adalah molekul alami yang pada manusia
terkonsentrasi di hati dan otak dan berfungsi sebagai donor metil dalam
sintesis senyawa biologis aktif seperti fosfolipid, katekolamin, dan
neurotransmiter dopamin dan serotonin. Kadar SAMe pada cairan
serebrospinal lebih rendah pada individu dengan gangguan depresi mayor
yang parah, dibandingkan dengan subyek kontrol, dan pengobatan dengan
SAMe meningkatkan SAMe pada cairan serebrospinal dan kadar asam 5-
hidroksiindoleacetic. S-adenosyl metionin tersedia dalam bentuk
parenteral dan oral. Beberapa data mendukung efikasi dan tolerabilitas
SAMe pada pasien dengan gangguan depresi mayor. Seperti St John Wort,
SAMe tidak diatur oleh FDA dan tidak memiliki standarisasi komposisi
dan potensi (Gelenberg, et al., 2010).
37
Papakostas et al. (2010) telah mengevaluasi dan membandingkan
SAMe (800mg / dua kali sehari) dengan placebo pada pasien rawat jalan
yang memenuhi kriteria DSM-IV untuk GDM yang berusia 18-80. Semua
subjek menunjukkan respon tidak cukup baik untuk dosis awal SSRI atau
SNRI dengan lamanya dosis stabil yang adekuat. Angka respon HAM-D
dan remisi lebih tinggi untuk subjek yang menerima tambahan SAMe
(berturut-turut 36,1% dan 25,8%) dibandingkan tambahan plasebo
(berturut-turut 17,6% dan 11,7%) (Papakostas & Fava, 2010).
Kebanyakan penelitian asam lemak omega-3 untuk gangguan
depresi mayor, asam lemak omega-3 yang digunakan dalam penelitian
bervariasi yaitu asam eicosapentaenoic [EPA], docosahexaenoic acid
[DHA], atau kombinasi, dan dosis dan jangka waktu percobaan studi juga
telah bervariasi. Asam lemak omega-3 umumnya direkomendasikan
sebagai terapi tambahan untuk gangguan mood, kesehatan jantung,
individu dengan gangguan kejiwaan mungkin beresiko lebih besar untuk
obesitas dan masalah metabolisme. Dosis 1-9 gram telah dipelajari dalam
gangguan mood, dengan sebagian besar bukti yang mendukung
penggunaan dosis yang lebih rendah. Adjuvan EPA atau kombinasi dari
EPA dan DHA paling efektif. Data lebih lanjut diperlukan untuk
memastikan peran asam lemak omega-3 sebagai monoterapi untuk
gangguan depresi utama (Gelenberg, et al., 2010).
Folat terutama telah dinilai sebagai prediktor respon pengobatan
antidepresan dan sebagai adjuvan terapi. Rendahnya kadar folat dalam
38
darah dikaitkan dengan kurangnya respon dan lambatnya respon
fluoxetine pada penyakit depresi, dan kadar folat lebih tinggi pada awal
pengobatan terkait dengan respon yang lebih baik untuk antidepresan.
Folat telah dipelajari sebagai adjuvan terapi dibandingkan dengan plasebo
selain fluoxetine, terjadi peningkatan secara signifikan bagi subjek yang
menerima folat, terutama pada pasien perempuan. Secara umum, 0,4-1 mg
folat disarankan untuk wanita usia reproduksi, folat dapat
direkomendasikan sebagai adjuvan terapi untuk depresi dan dapat
menurunkan lahir cacat dalam kasus kehamilan. Data tidak memadai untuk
menyarankan manfaat folat sebagai monoterapi (Gelenberg, et al., 2010).
Efek samping yang umum dilaporkan selama pengobatan MDD
dengan adjuvant folat atau SAMe termasuk insomnia, mual, kecemasan,
dan sakit kepala (Papakostas & Fava, 2010).
39
BAB III
RINGKASAN
Definisi depresi resisten terapi yang dapat diterima di seluruh dunia sampai
saat ini tidak ada. Telah diusulkan bahwa kegagalan mencapai remisi dengan uji
dua atau lebih antidepresan yang adekuat untuk mendefinisikan depresi resisten
terapi. (S, et al., 2013). Depresi resisten terapi dapat didefinisikan secara luas
sebagai kegagalan keseluruhan untuk respon pengobatan yang diketahui efektif
untuk depresi mayor (Pitchot, 2013).
Terdapat 5 model tahapan telah diajukan, semuanya dimaksudkan untuk
memperjelas konsep dari depresi resisten terapi, yaitu Thase and Rush model,
European Staging Model, Model Tahapan Massachusetts General dan Maudsley
staging model dan (Pitchot, 2013).
Manajemen farmakologis pada depresi resisten terapi meliputi penggantian
antidepresan, kombinasi antridepesan dan penggunaan terapi adjuvan dalam setiap
terapi gangguan depresi mayor.
40
DAFTAR PUSTAKA
Alessandro, S. & Chiara, F., 2014. Psychiatric Times. [Online]
Available at: http://www.psychiatrictimes.com/special-reports/factors-predispose-patients-
treatment-resistant-depression
[Accessed 30 September 2014].
Al-Harbi, K. S., 2016. Treatment-resistant depression: therapeutic trends, challenges,
and future directions. Patient Preference and Adherence, Issue 6, p. 369–388.
Berlim, M. T., Tovar-Perdomo, S. & Fleck, M. P., 2015. Treatment-resistant major
depressive disorder: current definitions, epidemiology, and assessment. In: A. F. Carvalho &
R. S. McIntyre, eds. Treatment-Resistant Mood Disorders. United Kingdom: Oxford
University Press.
Boyer , W. & Bunt, R., 2001. Selective serotonin reuptake inhibitors and serotonin–
norepinephrine reuptake inhibitors in treatment-resistant depression. In: J. D. Amsterdam, M.
Hornig & A. A. Nierenberg, eds. Treatment-resistant mood disorders. United Kingdom:
Cambridge University Press, pp. 157-252.
Bschor, T., Bauer, M. & Adli, M., 2014. Chronic and Treatment Resistant Depression
Diagnosis and Stepwise Therapy. Deutsches Ärzteblatt International, Volume 111, pp. 766-
776.
Carvalho, A. F., Hyphantis, . T. N. & S , R., 2015. Evidence-based pharmacological
approaches for treatment-resistant major depressive disorder. In: A. F. Carvalho & R. S.
McIntyre, eds. Treatment-Resistant Mood Disorders. New York: Oxford University Press, pp.
71-82.
41
Elvira, S. D. & Hadisukanto, G., 2013. Buku Ajar Psikiatri. 2 ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Gelenberg, A. J. et al., 2010. Treatment of Patients With Major Depressive Disorder.
3rd ed. United States: American Psychiatric Publishing.
Haile, C. N. et al., 2014. Plasma brain derived neurotrophic factor (BDNF) and response
to ketamine in treatment-resistant depression. International Journal of
Neuropsychopharmacology, Issue 17, p. 331–336.
Hawari, D., 2013. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. 2 ed. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
Jerald, K. & Rafay, A., n.d. Treatment-Resistant Depression. Hospital Physician Board
Review Manual, 10(1).
Maslim, R., 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-
5. 2 ed. Jakrta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta.
Papakostas, G. I. & Fava, M., 2010. Polypharmacy Strategies for Treatment-Resistant
Depression. In: Pharmacotherapy for depression and treatment-resistant depression.
singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., pp. 165-167.
Philip, C. & Ian, A., 2015. New approaches to treating resistant depression. BJPsych
Advances, 21(5).
Pitchot, D. S. a. W., 2013. Definitions and Predictors of Treatment-resistant
Depression. In: S. K. a. S. Montgomery, ed. Treatment-resistant Depression. USA: A John
Wiley & Sons, Ltd.,, pp. 1-20.
Sadock, B. J., Sadock, V. A. & Ruiz, P., 2015. Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences / Clinical Psychiatry. 11 ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.
42
Singh, A. B., Bousmanb, C. A., Ngb, C. & Berk, M., 2014. Antidepressant
pharmacogenetics. Current Opinion in Psychiatri, 27(1).
S, M. R. et al., 2013. Treatment-resistant depression : Definitions, review of the
evidence, and algorithmic approach. Journal Of Affective Disorders, 156(2014), pp. 1-7.
Stahl, S. M., 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 4th ed. New York:
Cambridge University Press.
Yulisha, B. & S, M. G., 2016. Is treatment-resistant depression a useful concept?. Evid
Based Mental Health, 19(1).
Zarate, C. et al., 2013. New paradigms for treatment-resistant depression. AnnalsOf The
New York Academy of Sciences, 1292(1), pp. 21-31.
43