tinjauan hak asasi manusia terhadap kebebasan...
TRANSCRIPT
TINJAUAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KEBEBASAN
BERPENDAPAT DALAM UNDANG-UNDANG MPR DPR DPD DAN DPRD
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Azzahra Jasmine Radintya
11140450000022
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Azzahra Jasmine Radintya. NIM 11140450000022 TINJAUAN HAK ASASI
MANUSIA TERHADAP KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM UNDANG-
UNDANG MPR DPR DPD DAN DPRD Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. IX + 62 halaman.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang mengkaji
tentang kebebasan berpendapat dalam undang-undang md3 yang ditinjau dari
perspektif hak asasi manusia
Hasil penelitian ini diketahui bahwa adanya ketidakselarasan UU MD3 dengan
hak bebas berpendapat. Adapun kebebasan berpendapat bisa tercemin dalam
masyarakat yang bebas mengemukakan pendapat nya , akan tetapi dalam UU No.
2 Tahun 2018 yang merupakan perubahan kedua dari UU No. 17 Tahun 2014
tentang MD3 kebebasan berpendapat seperti di batasi , ketidakselarasan tersebut
terlihat dalam salah satu pasal yg berbunyi “mengatur kewenangan Majelis
Kehormatan Dewan (MKD) untuk menyetret siapa saja ke ranah hukum jika
melakukan perbuatan yang patut di duga merendahkan martabat Dewan
perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota-anggotanya yang dimana pasal tersabut
tidak sesuai dengan sila ke 4 yg berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”.
Oleh karena itu dalam rangka mengembalikan hak asasi terkait kebebasan
berbicara atau kebebsan berpendapat pemerintah mengesahkan rancangan UU No.
13 Tahun 2019 yaitu terkait perubahan ketiga dari UU MD3 No. 17 Tahun 2014
yg dimana UU tersebut di harapkan bisa menjadi satu langkah nyata dalam upaya
penegakkan ham terkait kebebasan berpendapat.
Kata kunci: kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, MD3
Pembimbing: Atep Abdurrofiq, M. Si.
Daftar Pustaka: 1987-2019
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menikmati nikmat yang tiada tara dalam
proses penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam selalu terjunjung ke haribaan
Baginda Rasulullah SAW, yang mana telah memberikan warisan berharga berupa
akhlak dan suri tauladan yang baik kepada seluruh Umat Islam di muka bumi.
Penyusunan skripsi yang telah dilaksanakan oleh penulis, dimaksudkan untuk
memenuhi sebagian syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam melakukan penulisan, terdapat banyak sokongan
moril dan materil dari berbagai pihak. Tentunya para pihak tersebut merupakan
seseorang yang memiliki peran penting dibalik layar penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan banyak ucapan “Terima Kasih” yang
tulus disertai rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., MA., MH., Sebagai Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2. Sri Hidayati, M.Ag., Sebagai Ketua Jurusan Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
3. Masyrofah, MA., Sebagai Sekretaris Jurusan Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
4. Atep Abdurrofiq, M.Si., Sebagai Dosen Pembimbing yang selama ini selalu
membimbing penulis dalam menyelesaikan Skripsi.
5. Asep Saepudin Jahar M.A., Ph.d. Sebagai Dosen Penasehat Akademik yang
selama ini selalu membimbing penulis di masa perkuliahan.
6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas
Syariah dan Hukum, yang telah memberikan sajian ilmu yang sangat
bemanfaat dan berharga selama masa perkuliahan.
7. Orang tua penulis yang tercinta, Bapak H. Safruddin Hutabarat, S.H (Alm)
dan Ibu Hj. Agustina Setyawati, S.H., M.H., Dua orang yang sangat
berharga, yang tak penah lelah, mendoakan dan mendukung penulis secara
moral dan materil dalam menyelesaikan Skripsi ini. Apa yang selama ini
telah dicapai dan dimiliki penulis tiada lain adalah berkat cinta dan kasih
vi
sayang keduanya. Salam cinta dan terimakasih yang teramat dalam untuk
mereka.
8. Abang dan Adik tersayang, Adam Haekal Radintya Hutabarat dan Athalla
Khatami Radintya Hutabarat.
9. Sahabat seperjuangan 1 dekade yang telah membantu dalam penulisan
skripsi ini Abang Fadhrul Rahman, Almira Putri, Eggy Nur Aprilia, Hana
Qonita, Mala Hayati, Rizka Nur Jannah.
10. Kedua sahabat HTN Angga Praja Firdaus, Maelawati Safitri yang telah mau
menemani masa-masa senang dan sedih penulis selama perkuliahan.
Sahabat yang selalu sigap bahu-membahu, menyayangi, mendukung,
menemani dan selalu menjadi sahabat terkasih.
11. Teman-teman HTN Angkatan 2014, yang selama ini selalu menjadi bagian
dari kisah perjalanan senang dan sedih penulis di masa perkuliahan.
Terutama untuk kedua teman perempuanku, Nayla Istiqomah dan Yella
Yulianda.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bisa menjadi acuan
bagi penulisan selanjutnya, Aamiin.
Jakarta, 10 November 2019
Azzahra Jasmine Radintya
11140450000022
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
DAFTAR ISI ................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 5
C. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
D. Pembatasan Masalah ............................................................................ 5
E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
G. Metode Penelitian ................................................................................ 7
H. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 8
I. Sistematika penulisan ........................................................................... 10
BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A. Hak Asasi Manusia (HAM) ................................................................. 12
B. Hak Asasi Manusia dalam Islam .......................................................... 19
C. Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Deklarasi PBB ........................ 20
D. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia ................................. 22
E. Penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia ..................................... 27
viii
BAB III KEDUDUKAN WAKIL RAKYAT DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat ................................................. 29
B. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ...................... 30
C. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat ............................... 35
D. Hak dan Kewajiban Anggota DPR ...................................................... 38
BAB IV ANALISIS DATA KEBEBASAN BERPENDAPAT MENURUT
UNDANG-UNDANG NO.17 TAHUN 2018
A. Kebebasan mengemukakan pendapat dalam Prekspektif
Hak Asasi Manusia .............................................................................. 43
B. Landasan Perubahan Undang Undang No. 17 Tahun 2014
tentang MD3 ................................................................................ 46
C. Tinjauan Hak Asasi Manusia terhaap Pengaturan Kebebasan Berpendapat
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2019 tentang MD3 .................. 48
Bab V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 57
B. Saran ................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap negara di seluruh dunia memiliki sistem negaranya sendiri untuk
menciptakan kehidupan yang ideal, salah satu nya diantaranya adalah demokrasi.
Sistem ini banyak diterapkan di berbagai negara, hingga kini dianggap sebagai
suatu sistem yang ideal dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Indonesia
sebagai negara demokrasi diperkuat dengan penerapan hukum yang didasarkan
dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang menjelaskan bahwa Indonesia aalah negara
hukum.
Konsep demokrasi juga tentunya juga didasarkan pada UUD 1945 pasal 1
ayat 2 yang berbunyi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD 1945. Dengan adanya pasal ini memberikan ruang yang luas dalam
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam perkembangan negara.
Salah satu bentuk implementasi dari konsep demokrasi adalah kebebasan
berpendapat. Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah
pikiran. Berpendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran.
Dalam kehidupan Negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya
atau mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Kebebasan
berpendapat merupakan hak setiap indvidu sejak dilahirkan oleh karena itu,
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis berwenang
untuk mengatur dan melindungi pelaksanaanya. Kemerdekaan berpikir dan
mengeluarkan pendapat tersebut diatur dalam perubahan keempat Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 ayat E (3) Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
Indonesia merupakan negara hukum tentu saja memiliki peraturan yang
melindungi hak-hak asasi manusia. Kehadiran hak asasi manusia sebenarnya tidak
dihadirkan oleh negara melainkan hak asasi manusia menurut John Locke,1
merupakan hak-hak individu yang sifatnya kodrat dan dimiliki oleh setiap
1 Retno Kusniati, “Sejarah Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya
dengan Konsepsi Negara Hukum” Jurnal Inovatif, Vol 4 No. 5 (Januari 2011), h. 83.
2
manusia sejak lahir. Sebagai Negara hukum, Indonesia memiliki peraturan yang
melindungi hak-hak asasi manusia, hal ini sejalan dengan pasal 1 ayat 3 UUD
1945.2 Sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia memberikan
hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warga negaranya di hadapan hukum,
tidak boleh ada perbedaan perlakuan, baik yang disebabkan oleh suku, agama, ras,
golongan maupun jabatan.
Dalam konsep negara demokrasi, didalam masyarakat baru dapat disebut
berada dibawah rule of law, bila ia memiliki syarat-syarat esensil tertentu antara
lain harus terdapat kondisi minimum dari suatu sistem hukum dimana hak-hak
asasi manusia dan human dignity dihormati. Keadilan menghendaki bahwa
seseorang atau suatu golongan atau partai minoritas tidak akan ditiadakan dari
hak-haknya yang alamiah dan teristimewa dari hak-hak fundamental manusia
warga negara atau pelayanan yang sama sebab ras, warna, golongan, kepercayaan
politik, kasta ataupun ataupun turunan adalah kewajiban penguasa untuk
menghormati prinsip-prinsip itu.3
Ketentuan tentang HAM diatur dalam Undang-Undang Tentang HAM
Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 44, berbunyi:
“Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan
pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah
dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien,
baik dengan lisan maupun dengan tulisan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Pada pasal 2 dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
mejelaskan bahwa “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secra kodrati
melekat dan tidak dapat terpisahkan dari manusia , yang dimana harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”. dari pasal tersebut
2 Retno Kusniati, “Sejarah Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya
dengan Konsepsi Negara Hukum” Jurnal Inovatif, Vol 4 No. 5 (Januari 2011), h. 82.
3 Ismail Sunny. Mekanisme Demokrasi Pancasila, cet-6. (Jakarta: Aksara Baru, 1987)
Hal. 11-13.
3
kebebasan berpendapat mejadi hak asasi amnesia yang telah melekat padanya dan
tidak terpisahkan, wajib dihormati dan diakui Negara.
Kebebasan menyatakan pendapat merupakan salah-salah hak bagi setiap
warga negara yang wajib dijamin oleh undang-undang dengan sebuah sistem
politik demokrasi. Kebebasan tersebut diperlukan karena kebutuhan rakyat dalam
menyatakan pendapatnya yang senantiasa muncul pada setiap diri warga negara di
era pemerintahan yang terbuka saat ini.
Dalam revisi Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD (MD3) dinilai mengancam kebebasan dalam berpendapat dan
berdemokrasi. Hal ini juga diperkuat dengan revisi Pasal 122 Huruf L yang
berbunyi “Mengatur kewenangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) menyeret
siapa saja ke ranah hukum jika melakukan perbuatan yang patut di duga
merendahkan martabat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan amggota-
anggotanya”.
Kebebasan secara umum dimasukkan kedalam konsep dari filosofi poltik
dan mengenali kondisi dimana individu memiliki kemampuan untuk bertindak
sesuai dengan keinginanya.4 Hal ini tak lain merupakan wujud kepedulian
masyarakat sebagai warga negara dan hak yang kapan saja dapat dilakukan, salah
satu bentuk penyampaiannya adalah antara lain melalui demonstrasi, namun
dengan ketentuan perijinan berdemonstrasi yang cenderung mempersulit dan
mengekang seperti ketentuan di atas, maka dalam hal ini negara belum menjamin
hak dan kebebasan sepenuhnya masyarakat atas jaminan kebebasan berpendapat
sesuai hak asasi manusia.
Kebebasan berbicara di Indonesia dijamin oleh Undang-undang seperti
UUD 1945 dalam pasal 28. Dimana dalam pasal ini menjamin semua warga
negara untuk bebas mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan,
tanpa takut adanya hal yang akan menggangunya. Karena kebebasan berbicara
dan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia.
Meskipun kebebasan berpendapat sudah di tegaskan dijamin dalam
Universal Declaration of Human Rights, di beberapa negara kebebasan
4 Rizki Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013). Hal. 55
4
berpendapat ini masih menjadi sesuatu yang sulit, karena tekanan politik rezim
yang berkuasa untuk melindungi kekuasaannya. Sementara di beberapa negara,
Kebebasan berpendapat disalahartikan dengan menganggap kebebasan bisa saja
tak terbatas, sehingga terjadi penghinaan dan ujaran kebencian menjatuhkan
martabat manusia, golongan dan kelompok masyarakat dan penodaan atas
kesucian agama. Karena itu lah perlu di jelaskan lagi bagaimana sebaiknya
kebebasan berpendapat yang diimplementasikan pada masa zaman modern
sekarang.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada dasarnya telah beberapa kali
mengalami perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun perubahan undang-
undang tersebut masih tidak sesuai dengan dinamika dan perkembangan hukum
dalam masyarakat sehingga masih perlu diubah.5 Karena itulah, penting untuk
dikaji bersama, bagaimana tinjauan hak asasi manusia terhadap pengaturan
kebebasan berpendapat terhadap masyarakat Indonesia yang sempat dibatasi
dalam UU Nomor 2 Tahun 2018 sebagai perubahan kedua atas UU MD3.
B. Identifikasi, Rumusan dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa masalah yang telah
teridentifikasi yakni:
a. Adanya revisi UU No. 17 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
menyebabkan hilangnya salah satu hak warga Negara Indonesia dalam
menyuarakan pendapat yang hak tersebut telah dilindungi oleh UUD 1945.
5Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Bagian Konsideran.
5
b. Adanya revisi UU MPR, DPR, DPD & DPRD membatasi masyarakat untuk
memberikan kritik atau pendapat kepada anggota DPR.
c. Terdapat pro dan kontra di masyarakat terhadap revisi UU No. 17 Tahun 2018
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
2. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah yang akan dibahas dalam proposal Skripsi ini
adalah:
a. Bagaimanakah kebebasan berpendapat dalam perspektif Hak Asasi Manusia?
b. Apa yang menjadi landasan perubahan UU MD3 terkait kebebasan
berpendapat?
c. Bagaimana tinjauan HAM terhadap pengaturan kebebasan berpendapat dalam
UU MD3?
3. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan dalam kebijakan
pemerintahan Indonesia terkait tentang kebebasan berdemokrasi, maka penulis
perlu membatasi pembahasan tersebut pada kajian pengaturan kebebasan
berpendapat dalam UU MD3.
C. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai
oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah:
a. Mengetahui dan mengkaji tentang kebebasan berpendapat dalam UU MD3
dalam prespektif HAM.
b. Mengetahui kesesuaian ketentuan kebebasan berpendapat dalam UU MD3
dengan upaya penegakan HAM.
D. Manfaat Penelitan
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah:
1. Peneliti/penulis
6
a. Mengembangkan kemampuan penalaran hukum dalam menganalisis
permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama masalah
mengenai Undang-Undang MPR, DPR, DPD & DPRD (MD3)
b. Merupakan sebuah latihan dalam mengkaji sebuah permasalahan yang sangat
penting mengenai kebebasan berdemokrasi dalam Undang-Undang MPR,
DPR, DPD & DPRD (MD3).
c. Memberikan sebuah pengalaman yang berharga kepada penulis karena dapat
melakukan akses secara langsung maupun tidak langsung dengan sumber
data-data yang akan digunakan untuk melakukan penelitian
2. Perguruan Tinggi
a. Hasil penelitian ini bisa menjadi sebuah landasan dalam melaksanakan
penelitian selanjutnya.
b. Hasil penelitian diharapakan dapat memberikan kontribusi Ilmiah.
c. Hasil penelitian ini dapat menjadi sebuah pengetahuan baru bagi pembacanya.
3. Instansi Pemerintahan
Sebagai penyumbang Informasi dalam menentukan kebijakan terkait
masalah kebebasan berpendapat menurut Undang-Undang MD3.
E. Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan karya Ilmiah ini maka penulis akan menjelaskan
metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pedoman utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang sumber data nya berasal
dari nilai relative yang umumnya dilakukan oleh peneliti social, hasil nya bersifat
obyektif, berlaku sesaat dan setempat6. Pendekatan ini di dasarkan pada
pertimbangan bahwa kajian ini lebih sinkron dengan pendekatan tersebut sebab:
(1) menyelesaikan permasalahan ini terlihat lebih mudah dan simple dengan
6 Sukandarrumidi, Metode Penelitian (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2012)
h.13.
7
metode kualitatif, dan (2) metode kualitatif dinilai oleh penulis lebih selektif dan
objektif dalam melakukan penelitian.
Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif pendekatan undang-
undang (statute approach).
2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu melalu bahan-bahan
hukum yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, adalah bahan bahan hukum berupa peraturan
perundang-undangan. Dalam penelitian ini sesuai dengan isu yang diangkat
bahwa peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3); Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3); dan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3).
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dan
penafsiran tentang hukum melalui literature-literatur, hasil penelitian, jurnal
dan data-data serupa. Dalam menyusun dan mengumpulkan data-data dalam
penelitian ini, penulis memanfaatkan beberapa fasilitas kepustakaan yang
berada di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah, maupun beberapa
perpustakaan lainnya yang mendukung kelengkapan data penelitian.
3. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari sumber penelitian di kelompokkan untuk di
lihat perbedaanya, tujuan nya agar penulis dapat mengenali point-point yang
dianggap penting. Kemudian data tersebut dianalisis oleh penulis menggunakan
data kualitatif. Metode kualitatif yang penulis gunakan adalah pendekatan
penafsiran hukum dan sejarah. Sehingga data yang dihasilkan terlihat lebih
argumentative dan rasional. Setelah sebelumnya telah melalui beberapa tahap, di
tahap akhir penulis menyajikan data tersebut dalam bentuk narasi, sehingga
menjadi kalimat yang mudah dipahami.
4. Teknik Penulisan
8
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Tahun 2017 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
F. Review Studi Terdahulu
Sebagai upaya untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang
dibuat oleh penulis, penulis meneliti tentang penelitian-penelitian yang telah ada
sebelumnya, dan ini lah hasil dari penelitian penulis terhadap penelitian yang telah
dibuat sebelum nya antara lain:
1. Peirol Gerrard Notanubun, seorang penulis Jurnal dari Fakultas Hukum Untag
Surabaya. Judul jurnal “Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berbicara
Dalam Ketentuan Pasal 27 Ayat 3 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE
Dalam Hubungan Dengan Pasal 28 UUD 1945”. Dalam fokus jurnalnya, dia
menulis tentang kebebasan berbicara dan atau berpendapat mengenai
informasi dan transaksi elektronik (ITE) guna melindungi penggunaan
teknologi informasi dan internet.7
2. Selain itu juga ada juga jurnal rujukan untuk penulis diantaranya tulisan Putu
Eva Ditayani Antari. yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pembatasan Kebebasan
Berpendapat pada Media Sosial di Indonesia”. Membahas mengenai larangan
untuk menyebarkan muatan atau konten yang tergolong ujaran kebencian dan
penyebaran berita bohong, yang utamanya dapat merugikan orang lain dan
memecah belah bangsa.8
3. Dalam jurnal yang di tulis oleh Amira Rahma Sabela, Dina Wahyu
Pritaningtias yang berjudul “Kajian Freedom of Speech and Expression dalam
Perlindungan Hukum Terhadap Demonstran di Indonesia”. Jurnal ini
menjelaskan tentang setiap orang bebas untuk melakukan Demontrasi dan
menyampaikan pendapat secara bebas dalam lisan maupun lisan asalkan tetap
7 Peirol Gerrard Notanubbun “Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berbicara Dalam
Ketentuan Pasal 27 Ayat 3 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE Dalam HUbungan Dengan Pasal
28 UUD 1945”. Jurnal Fakultas Hukum Untag Surabaya
8 Putu Eva Ditayani Antari “Tinjauan Yuridis Kebebasan Berpendapat pada Media Sosial
di Indonesia”. Jurnal Hukum Undiknas (Vol 4 No 1. 2017).
9
dalam aturan. Dan kebebasan berpendapat di muka umum pun juga sudah
dilindungi dalam UU No. 9 Tahun 1998.9
4. Mohid Sabri Bin Mamat, seorang penulis Skripsi Dari Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta. Judul Skripsi “Kebebasan Berpendapat Dalam Hukum
Indonesia dan Malaysia (Analisi Hukum Positif dan Hukum Islam. Dalam
fokus skripsi nya, dia menulis tentang adanya perbedaan antara kedua
konstitusi kedua negara ini secara fungsional.10
5. Eka Sandi Selfia Sari seorang penulis skripsi dengan judul “Kebebasan
Berpendapat berdasar atas Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang
Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum Ditinjau dari Perspektif
Hak Asasi Manusia”. Dalam skripsinya, membahas mengenai keseruan
undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kebebasan mengemukakan
pendapat di muka umum dengan hak asasi manusia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa apabila dalam UU nomor 9 tahun 1998 tentang
kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum belum dikatakan telah
melindungi kebebasan menyatakan pendapat yang di miliki oleh seseorang
dalam pemenuhan hak sosial dan politik.11
Dari paparan di atas, terlihat penelitian yang menyinggung tentang
kebebasan berpendapat di muka umum. Namun yang menjadi pembeda penelitian
ini dengan penellitian sebelumnya adalah penulis akan memfokuskan tentang
kebebasan berpendapat yang ditinjau dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(MD3) dalam beberapa Undang-undang yang mengaturnya.
9 Amira Rahma Sabela, Dina Wahyu Pritaningtias “Kajian Freedom Of Speech and
Expression dalam Perlindungan Hukum Terhadap Demonstran di Indonesia” Lex Scientia Law
Review. Volume 1 No. 1, November, hlm. 81-92
10 Mohid Sabri Bin Mamat “Kebebasan Berpendapat Dalam Hukum Indonesia dan
Malaysia (Analisi Hukum Postif dan Hukum Islam)”. Skripsi Fakutlas Syariah UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. 2012.
11 Eka Sandi Selfia “Kebebasan Berpendapat Berdasar Atas Undang-Undang No. 9
Tahun 1998 Tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum Ditinjau dari
Perspektif Hak Asasi Manusia”. Universitas 17 Agustus, Surabaya. 2012
10
G. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skrispsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis membagi susunan
penulisan skripsi ini ke dalam beberapa bab dengan sistematika penyusunan
sebagai berikut:
BAB I pendahuluan, latar belakang masalah penelitian, identifikasi
masalah penelitian, pembatasan dan rumusan masalah penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, metode dan teknik penelitian, studi terdahulu dan sistematika
penulisan.
BAB II Landasan Teori. Pada bab ini berisi Tinjauan tentang Hak Asasi
Manusia (HAM). Dalam pembahasan dijelaskan tentang Hak Asasi Manusia yang
di bagi atas beberapa sub poin yaitu, pengertian dan penegakkan Hak Asasi
Manusia di Indonesia
BAB III merupakan bab yang berisi Kedudukan Wakil Rakyat Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Dalam bab ini dijelaskan tentang pengertian
DPR, sejarah serta peran wewenang DPR di Indonesia
BAB IV, merupakan bab inti, yaitu Bab yang berisi analisis data terkait
dengan mengetahui dan mengkaji tentang kebebasan berpendapat yang terdapat
dalam Undang-undang MD3 ditinjau dalam perspektif hak asasi manusia.
BAB V, penutup. Bab ini merupakan kesimpulan secara keseluruhan,
sebagai penegasan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan, serta terdapat
beberapa rekomendasi untuk penelitian lanjutan.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A. Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia dalam bahasa Prancis disebut “Droit L’Homme”,
yang artinya hak-hak manusia dan dalam bahasa Inggris disebut “Human
Rights”. Seiring dengan perkembangan ajaran Negara Hukum, dimana
manusia atau warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang
wajib dilindungi oleh Pemerintah, maka muncul istilah “Basic Right” atau
“Fundamental Rights”. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
adalah merupakan hak-hak dasar manusia atau lebih dikenal dengan istilah
“Hak Asasi Manusia”.1
Hak Asasi Manusia merupakan wacana yang mulai menggejala
bersamaan dengan munculnya gerakan demokratis di Indonesia. Untuk
memahami perbincangan tentang Hak Asasi Manusia tersebut, maka
pengertian dasar tentang hak menjadi penting. Hak merupakan unsur
normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku dan melindungi
kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam
menjaga harkat dan martabat nya.
Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memlikinya bukan karena diberikan
1 Rizky Ariestandi Irmansyah. Hukum Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi, (Yogyakarta:
Graha Ilmu 2013) hlm. 61.
13
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan
semta-mata berdasarkan martbatnya sebagai manusia2.
Hak Asasi Manusia merupakan suatu hak yang melekat pada diri
manusia yang telah dimilikinya sejak ia lahir. Hak Asasi Manusia ini pasti
dimiliki oleh setiap manusia di seluruh dunia. Sesuai dengan pengertian
Hak Asasi Manusia tersebut perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun
manusia di dunia yang tidak memiliki Hak Asasi Manusia, pasti manusia
tersebut memilikinya. Namun, tidak semua hak yang kita miliki dapat
terpenuhi dengan baik. Terdapat beberapa penyelewengan yang sudah
terjadi dengan berbagai faktor penyebabnya maupun dampak yang di
akibatkan.
Konsep HAM mempunyai dua dimensi, yang pertama adalah bahwa
hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah Hak Asasi
Manusia karena dia manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang
berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak ini bertujuan untuk
menjamin martabat setiap manusia. Arti yang kedua dari HAM adalah
hak-hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan
hukum dari masyarakat internasional maupun nasional.3
Indonesia merupakan negara hukum, dan salah satu ciri dari negara
hukum yaitu adanya kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, dan
jaminan adanya perlindungan Hak Asasi Manusia. Terkait kebebasan, ada
ungkapan John Stuart Mill, filosfi Inggris abad ke-17 yang gigih
memperjuangkan kebebasan dan menegaskannya dalam kehidupan
bermasyarakat, ia mengatakan “Semakin luas kebebasan berekspresi
2 Jack Donnely, Universal Human Rights Theory and Practice, Cornell University Press,
Ithaca and London, 2003, hlm. 7-12. Juga Maurice Cranston, What are Human Rights? Taplinger,
New York, 1973. Hlm. 70. Dalam Rhona K.M. Smith, dkk. ”Hukum Hak Asasi Manuisa”
(Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008) hlm. 11.
3 Anis Widyawati, “Kajian Hukum Internasional Terhadap HAM”, Jurnal Pandecta,
(Semarang: Fakultas Hukum UNNES, 2014), hlm. 41.
14
dibuka dalam sebuah masyarakat atau peradaban maka masyarakat atau
peradaban tersebut semakin maju dan berkembang.4
Kebebasan mengemukakan pendapat sangatlah penting untuk
dijamin perlindungannya agar masyarakat tidak merasa khawatir setiap
mengemukakan pendapat maupun kekurangan pada proses pemerintahan.
Kebebasan mengemukakan pendapat sebenarnya menguntungkan semua
warga negara dan pemerintah sendiri. Mengemukakan pendapat kerap kali
dilakukan saat masyarakat merasa kecewa terhadap kinerja pemerintah.5
Kebebasan berpendapat dalam UUD 1945, Pasal 28, berbunyi:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
undang”. Artinya sebagai Warga Negara Indonesia kita bebas untuk
menyuarakan isi hati kita, kepada pemerintah atau mungkin kebijakan asal
sesuai dengan Undang-Undang.6
Selain hak berpendapat diatas, semua manusia juga berhak
merasakan hak yang sama, mendapatkan perlakuan yang sama, tanpa
membedakan dari aspek apapun. Hak untuk hidup, hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak untuk bebas dan merdeka merupakan bagian dari hak-
hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang merupakan pemberian
oleh Sang pencipta sebagai mahkluk ciptaan Tuhan YME atau sering
disebut sebagai Hak Asasi Manusia. Sehingga dapat dikatakan kalau
kebebasan manusia itu adalah sesuatu yang asasi yang tidak boleh
dirampas oleh siapa pun baik itu seseorang, sekelompok maupun termasuk
oleh negara.
4 Hamid Basyaib, Membela Kebebasan, (Jakarta: Freedom Institute, 2006), hlm.267.
5 Andi Rahmat dan M.Najid, Gerakan Perlawanan Dari Majis Kampus, (Jakarta:
Purimedia, 2001), hlm.67.
6 Sukarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaran, (Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2013), hlm. 112.
15
Pada UUD 1945, Pasal 28D, Ayat 1, berbunyi: “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Artinya Setiap orang atau warga negara Indonesia memiliki hak yang
sama dengan orang lain, dan setiap orang berhak atas pengakuan dalam
arti di akui oleh negara, jaminan, dan perlindungan dari negara itu sendiri
perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dimana hukum tak akan
membeda-bedakan siapa kita, apa jabatan kita, dan akan memperlakukan
warganya dengan adil dan rata.
Landasan awal mengenai jaminan dan pembatasan Hak Asasi
Manusia di negara Indonesia tercetus melalui TAP MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan pada tanggal
13 November 1998. Tap MPR tersebut berisikan jaminan perlindungan
dan pembatasan tentang Hak Asasi Manusia secara lebih jelas di
bandingkan dengan yang termuat dalam UUD 1945 naskah asli. TAP
MPR hadir sebagai bagian dari amanat UUD 1945 untuk memberikan
pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan Hak Asasi
Manusia.
Meninjau mengenai pembahasan TAP MPR tersebut. Maka terdapat
kaitan antara TAP MPR dengan kebebasan menyatakan pendapat di
Indonesia. Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan jaminan kebebasan
menyatakan pendapat dan termaktub dalam TAP MPR pada bagian
Piagam Hak Asasi Manusia antara lain.
Awal reformasi, tepat nya sejak kelengseran pemerintahan orde baru
pada tanggal 20 Mei 1998, keadaan berubah. Pemerintahan dan warga
negara harus mengikuti keterbukaan informasi dan pers dapat dengan
leluasa memberitakan segala kegiatan pemerintah7 pers berjalan tanpa di
7 Ignatius Haryant. Dkk. Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan (LSPP). Jakarta, 2000. Hlm. 48-50.
16
ganggu oleh campur tangan pemerintah. Undang- undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers menetapkan bahwa ketentuan mengenai SIUPP
tidak berlaku lagi sejak Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden
Abdurachman Wahid. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-undang tentang Pers masih berlandaskan Pasal
28 UUD 1945 yang dikembangkan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
1. Hak Asasi Manusia Menurut UUD 1945
Tidak ada pengertian khusus tentang Hak Asasi Manusia dalam
UUD 1945. Hak-Hak Asasi Manusia di uraikan dalam pasal 28 A
sampai pasal 28 J setelah mengalami amandemen kedua yang disahkan
pada tanggal 18 Agustus 2000. Dalam pasal-pasal tersebut di sebutkan
bahwa manusia berhak atas hidup dan penghidupan yang layak, berhak
atas pendidikan, perlindungan di dalam hukum kebebasan beragama
dan berpendapat, penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan dan kebebasan dari perlakauan diskriminatif.
2. Kebebasan berpendapat dalam Hak Asasi Manusia
Muncul nya hak atas kebebasan berpendapat dimulai saaat
terjadinya Glorius Evolution di Inggris pada Tahun 1689, pada saat di
tetapkannya Bill of Rights. Bill of Rights sendiri merupakan dokumen
penting dalam rangka mneghormati Hak Asasi Manusia. Pada
dokumen tersebut, hak-hak individu dan kebebasan nya mendapat
perlindungan formal dalam undang-undang. Revolusi tersebut di
tujukan kepada Raja Charles II, yang isi undang-undang nya tersebut
antara lain:
a. Pemilihan anggota Parlemen harus dilakuakan dengan bebeas dan
rahasia.
b. Diakuinya kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
17
c. Warga negera Inggris mempunyai hak untuk memeluk agama nya
dan beribadat menurrut kepercayaaan itu.
Setelah muncul nya Bill of Rights di Inggris tersebut,
menimbulkan banyaknya negara-negara yang mengadopsi ketentuan-
ketentuan tentang hak-hak individu, khusus nya perlindungan
berpendapat tersebut.
Hak-hak tersebut dimiliki seseorang karena ia manusia. Hakhak
tersebut berlaku bagi setiap anggota umat manusia tanpa
memperhatikan faktorfaktor pemisah seperti ras, agama, warna kulit,
kasta, kepercayaan, jenis kelamin dan kebangsaan. Hak-hak itu bersifat
supralegal tidak tergantung pada adanya suatu negara atau undang-
undang dasar, mempunyai wewenang untuk bertindak lebih tinggi, dan
lepas dari pemerintah, dan dimiliki manusia, bukan karena perbuatan
amal dan kemurahan hati negara tetapi berasal dari sebuah sumber
yang lebih unggul dari pada hukum buatan manusia8
3. Tinjauan Hak Asasi Manusia menurut The Universal Declaration of
Human Right (DUHAM) 1948.
Deklarasi yang disahkan tanggal 1 Desember 1948 ini terdiri atas
30 pasal yang diantaranya mengatur hak-hak kemerdekaan, persamaan,
kebebasan, hak hidup, tidak diperbudak, tidak dianiaya, keadilan, hak
untuk berdomisili di suatu tempat, berkewarganegaraan, berkeluarga,
hak untuk memiliki sesuatu, berpendapat, berserikat, jaminan sosial,
pekerjaan, beristirahat, pengajaran, dan lain-lain9
Pasal 1 Universal Declaration of Human Right (DUHAM)
menyatakan “semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati
8 Hass , Robert, Hak-Hak Asasi Manusia dan Media , (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
1998). 9 https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universal-hak-asasi (diunduh
tgl 3 Oktober Pukul 09:00)
18
nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.”
Dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Right (DUHAM)
tertulis “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang
tercantum dalam deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apapun,
seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik, atau pandangan lain, asal-usul, kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukannya.” Kedua
pasal tersebut merupakan hakekat tentang Hak Asasi Manusia dalam
Universal Declaration of Human Right (DUHAM) 1948. Dari hakekat
tersebut, muncul aturan-aturan yang tidak spesifik dibuat dengan
melibatkan banyak bangsa bangsa di dunia. Hukum konvenan ataupun
statuta dilahirkan dan dijadikan aturan main dalam tertib dunia dari
hak-hak kebebasan.
4. Ciri-Ciri Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia memiliki beberapa ciri-ciri khusus jika
dibandingkan dengan hak-hak lainnya. Berikut ini penjelasan
mengenai ciri ciri HAM:
a. Tidak dapat dicabut, artinya Hak Asasi Manusia tidak dapat
dihilangkan atau diserahkan.
b. Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan
semua hak, apakah hak sipil dan politik atau hak ekonomi, social,
dan budaya.
c. Hakiki, artinya Hak Asasi Manusia adalah hak asasi semua umat
manusia yang sudah ada sejak lahir.
d. Universal, artinya Hak Asasi Manusia berlaku untuk semua
orang tanpa memandang status, suku bangsa, gender, atau
perbedaan lainnya. Persamaan adalah salah satu dari ide-ide Hak
Asasi Manusia yang mendasar.
19
B. Hak Asasi Manusia Dalam Islam
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia
yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah dari Tuhan
Yang Maha Esa. HAM menurut Jhon Locke adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Maha Pencipta sebagai hak kodrati.
Namun HAM yang isitlahnya the human right berbeda dengan hak warga
negara (the cutuzen right) yang bukan hak kodrati pemberian dari Tuhan
Yang Maha Esa.10
Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam merupakan standar
normative yang di tetapkan Allah atau dibuat manusia berdasarkan firman
Allah untuk mengatur hubungan sesama manusia, baik hubungan antar
individu, individu dengan masyarakat, maupun antar negara. Pengakuan
bahwa adanya kewajiban yang harus dilakukan terhadap orang lain atau
semua orang. Batas Hak Asasi Manusia yang satu adalah hak asasi orang
lain. Dalam konteks HAM pengakuan hak asasi pada suatu pihak
merupakan kewajiban asasi semua orang.
Konsepsi tentang HAM dalam Islam dapat di jumpai dalam sumber
utama Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun pelaksanaanya atau
implementasinya dapat dirujuk pada praktik kehidupan sehari-hari Nabi
Muhammad SAW.
Di Negara-negara Islam lain nya terlihat usaha untuk merumuskan
suatu dokumen mengenai HAM yang Islami, artinya mengacu pada Al-
Qur’an dan Sunnah. Hal ini antara lain dapat dilihat pada:
1. Deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi Manusia
Deklarasi ini disususn dalam konfernsi Islam di Mekkah pada
Tahun 1981. Deklarasi ini terdiri dari 23 pasal yang menampung dua
10 Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010) h.168.
20
kekuatan dasar, yaitu keimanan kepada Tuhan dan pembentukan
tatanan Islam. Dalam pendahuluan deklarasi ini dikemukakan bahwa
hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam bersumber dari suatu kepercayan
bahwa Allah SWT, dan hanya Allah sebagai hukum dan sumber dari
segala HAM.
Salah satu kelebihan dalam deklarasi ini adalah bahwa teksnya
memuat acuan-acuan yang gambling dan unik dari totalitas peraturan-
peraturan yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah serta hukum-hukum
lainnya yang di tarik dari kedua sumber tersebut dengan metode-
metode yang dianggap sah menurut hukum Islam.11
2. Deklarasi Kairo
Deklarasi ini di cetuskan oleh menteri-menteri luar negeri dari Negara-
negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Peran
central syari’at Islam sebagai kerangka acuan dan juga pedoman
interpretasi dari Deklarasi Kairo ini terwujud pada dokumen itu
sendiri, terutama pada dua pasal terakhirya yang menyatakan bahwa
semua Hak Asasi Manusia dan kemerdekaan yang ditetapkan dalam
deklarasi ini merupakan subjek dari syariah Islam, syariah Islam
adalah satu-satunya sumber acuan untuk penjelasan dan penjernihan
pasal-pasal deklarasi in ( pasal 23 dan Pasal 24).12
C. Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Deklarasi PBB
Deklarasi PBB secara singkat menjelaskan seperangkat hak-hak
dasar manusia yang sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup,
hak tidak menjadi budak, hak tidak disiksa dan ditahan, hak dipersamakan
dimuka hukum, hak untuk mendapatkan praduga tak bersalah, dan
sebagainya. Hak lain juga dimuat dalam deklarasi tersebut, seperti hak
11 Abdul Aziz Dahlan Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)
hal. 498.
12https://www.academia.edu/40264818/HAK_ASASI_MANUSIA_DALAM_KONSEP_I
SLAM (diunduh tgl 26 September Pukul 16:00)
21
akan nasionalitas, pemilikan, dan pemikiran; hak untuk menganut agama
dan memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan berbudaya.
Menurut Asykuri Ibnu Chamim deklarasi PBB menegaskan beberapa
kategori hak sebagai berikut:
1. Hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum
yang diperlukan individu, agar ia dapat mewujudkan watak
kemanusiannya seperti:
a. pengakuan atas martabat
b. Perlindungan dari tindak diskriminasi.
c. jaminan atas kebutuhan hidup
d. terbebas dari perbudakan,
e. perlindungan dari tindakan sewenang-wenang, kesempatan
menjadi warga negara dan berpindah warga negara.
2. Hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem
hukum, seperti persamaan dihadapan hukum, memperoleh pengadilan
yang adil, asas praduga tak bersalah, hak untuk tidak di intervensi
kehidupan pribadinya.
3. Hak yang memungkinkan individu dapat melakukan kegiatan tanpa
campur tangan pemerintah dan memungkinkan individu ikut ambil
bagian dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Hak ini lazim
disebut sebagai hak sipil dan politik, seperti, kebebasan berpikir dan
beragama, hak berkumpul dan berserikat, hak untuk ikut aktif dalam
pemerintahan
4. Hak yang menjamin terpenuhinya taraf minimal hidup manusia, dan
memungkinkan adanya pengembangan kebudayaan. Hak semacam ini
lazim disebut sebagai hak sosial-ekonomi-budaya, seperti
5. Hak untuk mendapatkan makanan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan,
hak untuk memperoleh pendidikan dan mengembangkan kebudayaan.
Sebagai satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan
22
semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam
masyarakat dengan senantiasa.
D. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Berbeda dengan Inggris Dan Perancis yang mengawali Sejarah
perkembangan dan Perjuangan Hak Asasi Manusianya dengan
menampilkan Sosok pertentangan kepentingan Antara kaum bangsawan
dan Rajanya yang Lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau
golongan tertentu saja. Peijuangan hak-hak asasi manusia Indonesia
mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat
dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia
dalam jangka waktu yang lama. Sehinggan timbul berbagai perlawan
rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegak nya
Hak Asasi Manusia di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan
yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja melainkan
menyangkut keepentingang bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak
berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan
bangsa asing tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya
penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia
dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar
dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul Tenggelam sejalan dengan
perkembangan peradaban manusia.
Hanya saja di bumi nusantara warna pertentangan-pertentangan
yang tidak begitu menonjol dalam panggung sejarah bahkan sebaliknya
dalam cacatatan sejarahyang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika
berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran sriwijaya pada abad
23
VII hingga pertengahan abad IX dan kerajaan majapahit sekitar abad XII
hingga permulaan abad XVI.13
Diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan
Penyelidik Usaha Perseiapana Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam
pembahasan-pembahasan tentang sebuah negara konstitusi bagi negara
yang akan segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM
sesungguhnya telah muncul.
Disana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu
pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammmad Yamin di pihak yang lain.
Pihak yang pertama menolak dimasukkan nya Ham terutama yang bersifat
individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus
dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua
menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah ekplisit.14
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang
untuk mengesahkan UUD 1945 sebgai UUD negara Republik Indonesia.
Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang didalamnya memuat
hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat
dasar pula. Seperti yang tertuang dalam pembukaan pernyataan mengenai
hak-Hak Asasi Manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu,
melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaiut hak bangsa.
Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi
manusia Indonesia yang bersifat kebangsaan dan bukan individu.
13 Marsudi Subandi. Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma reformasi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001) Hlm. 90.
14 Moh Mahfud. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999)
hlm. 110.
24
Sedangkan isitilah atau perkataan Hak Asasi Manusia itu sndiri sebenernya
tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh,
maupun penjelasaannya.
Istilah yang dapat ditemukan dalam pencantuman dengan tegas
perkataan hak dan kewjaiban warga negara, dan hak-hak dewan
perwakilan rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan
amandemen kedua, istilah Hak Asasi Manusia dicantumkan secara tegas.15
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami
perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang
did alamnya memuat ketentuan hak-Hak Asasi Manusia yang tercantum
dalam pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS
berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai Hak-Hak Asasi
Manusia yang dimuaut dalam pasal 7 sampai denga 34.
Kedua konstitusi yang di sebut berkakhir dirancang oleh soepomo
yang muatan hak asasinya banyak mencontoh piagam hak asasi yang
dihasilkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, yaitu The Universal
Declaration of Human rights tahun 1948 yang perisikan 30 pasal.
Dengan Dekrit Prsiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945
dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan itdak berlaku. Hal ini
berarti ketentuan-ketentuan hak-Hak Asasi Manusia Indonesia yang
berlaku adalah sebgaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman
atas hak-hak asasi manuisa natara tahun 1959 hingga tahun 1965 nebjadi
anat terbatas jarena pelaksanaan UUS 1945 dikaitkan dengan paham
NASAKOM yang membuang paham berbau barat.
Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-
penyimpangan terhadap paancasila dan UUD 1945 yang susasanya diliputi
penuh pertentnagan anatara golongan politik dan puncaknya terjadi
15 Ahadian ridwan indra. Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945, (Jakarta: CV. Haji
Masagung, 1991) Jakarta, hlm.15.
25
pemberontakan G30 S/PKI tahu 1965. Hal ini mendorong lahirnya orde
baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap orde lama.
Dalam awal masa Orde Baru pernaha di usahakan untuk menelaah
kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuang rancangan ketetapa
MPRS, yaitu berupa rancanga Pimpinan MPRS RI No.A3/I/Ad/ Hoc B/
MPRS/1966, yang terdiri dari mukadimah dan 31 pasal tentang HAM,
namun rancangan ini tidak berhasil di sepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian didalam pidato ketenegaraan Presiden RI pada
pertengahan bulan agustus 1990, yang dinyatakan bahwa rujukan
Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila pancasila
lainnya.
Secara historis pernyataan presiden mengenai HAM tersebut amat
penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual
HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila pancasila yang
merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, secara ideologis, politis dan koseptual, sila kedua
tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep
HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan lineralisme yang
secara ideologis tidak diterima.16
Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan keputusan
RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS
HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksankan
pembagunan, menujukkan keterkaitan yang erat antara pengeggakan Hak
Asasi Manusia di atu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya.
16 Sugondo Lies. Perkembangan Pelaksanaan HAM di Indonesia, Kapita Selekta Hak
Asasi Manusia, Puslitbang Diklat MARI, 2001). hlm. 129.
26
Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang
menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan.
Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekesar aspirasi
melainkan keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Hal
tersebut menjadi tugas badan-badan pembangunan internasonal dan
nasional untuk menempatkan HAM sebagai focus pembangunan.17
Untuk lebih menantapkan perhatian atas perkembangan HAM di
Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (Organisasi maupun
Lembaga), telah diusulakn agar dapat diterbitkannya suatu ketetapan MPR
yang membuat piagam hak-hak asasi manusia atau ketetapan MPR tentang
GBHN yang di mana didalamnya memuat operasional daripada hak-hak
dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD
1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang di harapakn memuat secara
adanya HAM itu dapat di wujudkan dalam Masa Orde Reformasi, yaitu
selama Sidang Istimewa MPR yang berlangsung dari tanggal 10 sampai
dengan 13 November 1988, telah di putuskan lahirnya ketetapan MPR RI
No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia.
Kemudian ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar
bagi lahirnya UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
disahlan pada tanggal 23 september 1998. Undang-undang ini kemudian
diikuti oleh lahirnya Perpu No. 1 tahun 1999 yang kemuidan
disempurnkana dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah lahir UU No. 9 tahun
1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umun yang
17
Darmodiharjo Draji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama1995) hlm. 164.
27
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta
dimuat dalam LNRI tahun 1999 No.165.
E. Penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Upaya penegakan HAM di Indonesia harus diapresiasi oleh
setiap elemen bangsa, hal tersebut dikarenakan HAM merupakan hak-hak
dasar yang mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Pelanggran terhadap
HAM juga ditentang oleh ajaran agama manapun, sehinggan HAM
mendapatkan perhatian serius. Selanjutnya tujuan bangsa Indonesia baru
dapat tercapai ketika nilai-nilai kemanusiaan ini dapat dijunjung tinggi dan
mendapat perhatian yang memadai. Adapun peneggakkan HAM di
Indonesia telah melakukan langkah-langkah konkrit antara lain18
1. Memasukkan HAM ke dalam berbagai perundang-undangan. Berbagai
peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenernya telah sangat
akomodatif terhadap HAM. Sebut saja di dalam Pancasila, pembukaan
UUD RI 1945, dalam batang tubuh UUD RI 1945 dan beberapa
ketetapan, peraturan dan undang-undang penguasa.
2. Meratifikasi dan mengadopsi instrument-instrumen HAM
Internasional Indonesia telah meratifikasi berbagai macam hukum-
hukum Internasional yang berkenaan dengan perlindungan terhadap
HAM
3. Menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap masalah HAM.
Kesadaran masyarakat terhadap masalah HAM perlu ditumbuhkan dan
dibangun sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang memang harus
18 TIM IDKI (Ikatan Dosen Kewarganegaraan Indonesia), Pendidikan Kewarganegaraan,
Membangun Kesadaran berbangsa dan Bernegara Berdasarkan Pancasila,(Universitas Taman
Yogyakarta, Jakarta, 2008)hal.2
28
dilindungi dan diperjuangkan. Membangun dapat pula di artikan
dengan membudayakan penghormatan terhadap nilai-nilai dasar
kemanusiaan.
Penegakan HAM dapat dilakukan melalui jalur hukum dan jalur
politik. Maksudnya terhadap siapapun yang melanggar HAM, maka
diupayakan menindak lanjutkan secara tegas kepada para pelaku
pelanggaran HAM tersebut. Untuk itu kita wajib menghargai dan
menghormati adanya upaya- upaya terhadap penegakan HAM adalah
sebagai berikut:
1. Membantu dengan menjadi saksi dalam proses penegakan HAM
2. Mendukung para korban pelanggaran HAM untuk memperoleh
restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.
3. Tidak mengganggu atau menghalangi jalannya persidangan
HAM di pengadilan HAM
4. Memberikan informasi atau melaporkan kepada aparat penegak
hukum dan lembaga-lembaga yang menangani HAM apabila terjadi
pelanggaran terhadap HAM.
5. Mendorong untuk dapat menerima rekonsiliasi kalau lewat peradilan
HAM mengalami jalan buntu.
Lembaga Komnas HAM yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden Nomor 50 Tahun 1993 mempunyai tujuan diantaranya:
1. Membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan
HAM
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembang
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam berbagai kehidupan untuk melaksanakan tujuan.
29
BAB III
KEDUDUKAN WAKIL RAKYAT DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga negara yang
menjalankan sistem pemerintahan negara memiliki tugas dan wewenang
tersendiri yang bertujuan agar dalam pelaksanaanya tidak mengalami
ketidakjelasan atau tumpang tindih dengan lembaga negara lainnya. Secara
sosiologis kekuasaan DPR merupakan amanat dari seluruh rakyat
Indonesia. Dalam hakikat nya, rakyak Indonesia memiliki andil
sepenuhnya dalam memerintah. Hal ini merupakan karakteristik yang
esensial dalam pemerintahan yang berlandasakna demokrasi, singkatnya
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam hal ini rakyatlah yang menentukan corak dan cara
pemerintahan di selenggarakan serta rakyat lah yang menentukan tujuan
yang hendak di capai oleh negara dan pemerintahannya itu.1 Namun
karena begitu banyak nya masyarakat di Indonesia tidak mungkin mereka
untuk memegang kekuasaan untuk memerintah secara efisien. Maka hal
itu direduksi ke dalam bentuk konsep perwakilan rakyat yaitu DPR.
DPR di sini tugas nya sebagai lemabaga Negara yang siap
menampung asprasi serta pemikiran rakyat dan juga menajdi jembatan
yuridis antara rakyat dengan pemerintahan eksekutif di dalam tata ruang
kekusaan lembaga Negara. Kehadiran lembaga perwakilan rakyat
mmerupakan wujud dari demokrsi.2
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010). hal. 414. 2 Charles Simabura, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2011. Hal. 23.
30
Berkaitan dengan pengertian DPR, B.N. Marbun mengutip
pendapat Mh. Isnaeni mengemukakan bahwa dewan perwakilan rakyat
adalah suatu lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi
rakyat mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari3.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa DPR adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk menampung dan
menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah dalam kerangka
membentuk suatu tatanan hidup sesuai dengan kehidupan demokrasi yang
berdasarkan Pancasila.
B. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Sesuai dengan konsep trias politica, Dewan perwakilan Rakyat
(DPR) merupakan bagian dari kekuasaan legislative di tingkat pusat,
sedangkan ditingkat daerah dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Selama ini terjadi banyak perubahan baik dari fungsi dan
wewenang DPR sejak dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde
baru, hingga pasca reformasi saat ini terus mengalami perkembangan yang
signifikan. Sejarah perkembangan DPR di Indonesia sebagai berikut:
1. Masa Sebelum Kemerdekaan Volksraad (1918-1942)
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam
parlemen bentukan pemerintah colonial Belanda yangg dinamakan
Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan
nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan
selesainya Peran Dunia I (1914-1918). Volksraad hanya di rancang
oleh Belanda sebagai konsesi untuk dukungan popular dari rakyat di
tanah jajahan terhadap keberadaan pemerintahan Hindia Belanda.4
3 B.N. Marbun, DPR daerah: pertumbuhan, masalah, dan masa depannya & UU No 5
Tahun 1974, (Ghalia Indonesia, 1982). Hal. 55. 4 T.A. Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat di Inndonesia: Studi dan Analisis Sebelum
dan Setelah perubahan UUD 1945, (Jakarta FORMAPPI, 2005), h. 16.
31
Pada tanggal 8 Maret 1942 setelah kedatangan penjajah Jepang
kemudian Belanda mengakhiri masa penjajaha selama 350 tahun di
Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda ke Jepang
mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui
lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan kemerdekaan.
2. DPR Pada Masa orde Lama
Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan
UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan pasal 4
aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan
Legislatif di Indonesia. KNIP merupakan bdan pembantu Presiden yng
pembentukannya didasarkan pada keputusan siding Panitis Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa ini bangsa Indonesua
masih di hadapkan kepada persoalan pengakuan kemerdekaan dari
Negara lain.5
Pada tahun 1959 Presiden mengeluarkan dekrit yang salah
satunya menyatakan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar
1945. Dengan berlakunya undang-Undang Dasar 1945, maka
keterwakilan yang dimiliki DPR menjadi terbatas. DPR bekerj dalam
suatu rangka yang lebih sempit, dalam arti hak-hak nya kurang luas
dalam Undang-undang dasar 1945 jika dibandingkan dengan UUD RIS
dan UUD 1950.6
Pada saat DPR Gotong-Royong (DPR-GR) didirkan dengan
penetapan Presiden No.4 Tahun 1960 yang mengatur susunan DPR-
GR. DPR-GR ini berbeda seklai dengan DPR sebelumnya, karena
DPR-GR bekerja dalam susunan dimana DPR ditonjolkan perannya
sebagai pembantu Pemenrintah, yang tercermin dalam istilah Gotong
5 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politi, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998), Cet XIX,
h.331.
6 B. N. Marbun, DPR-RI Pertubuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: PT Gramedia PUstaka
Utama, 1992), Edisi Revisi. h. 118.
32
Royong. Perubahan fungsi ini tercermin di dalam tata tertib DPR-GR
yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.14 Tahun 1960.7
3. DPR Pada Masa Orde Baru
Dalam susasana penegakkan Orde baru Sesudah terjadi nya G
30 S/PK, DPR-GR mengalami perubahan, baik mengenai keanggotaan
maupun wewenang nya. Selain itu juga diusahakan agar tata kerja
DPR-GR lebih sesuai dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945. Berdasarkan ketetapan MPRS No XX/MPRS/1966 yang
kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang No. 10/1966, DPR-GR
masa Orde Baru memulai kerja nya dengan menyesuaikan diri dari
Orde Lama ke Orde Baru.
Kedudukan, tugas, dan wewenang DPR-GR- 1966-1971 yang
bertanggung jawab dan berwenang untuk menjalankan tugas-tugas
utama sebagai berikut:
a. Bersama-sama dengan pemenrintahan menetapkan APBN sesuai
dengan pasal 23 ayat UUD 1945 beserta penjelasannya
b. Bersama-sama dengan pemerintahan membentuk UU sesuai
dengan pasal 5 ayat 1 , pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 ayat
22 UUD 1945 beserta penjelasannya
c. Melakukan pengawasan atas tindakan pemerintahan sesuai dengan
UUD 1945 dan penjelasannya.
Sesudah mengalami pengunduran sebanyak dua kali,
Pemerintahan Orde Baru akhirnya berhasil menyelenggarakan pemilu
yang pertama pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan ketetapan
MPRS No. XI Tahuun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968.
Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967 Oleh Jendral
7 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 336.
33
Soeharto, yang menggangtikan Presiden Soekarno, dengan
menetapkan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.8
Sejak pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 pemerintah “Orde
Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas.
Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dan stau golongan
karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada
dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut,
sementara mesin-mesin poltik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar.9
Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai
pemegang suara tebanyak. Dalam masa ini, DPR berada di bawah
control eksekutif. Kekuasaan Presiden yang terlalu besar dianggap
telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai
lembaga Legislatif yang diharapkan mampu menjalankan funsi
penyeimbang dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias
struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat
posisi Presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
4. DPR Pada Masa Reformasi
DPR Periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih
dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21
Mei 1998 yang kemudia digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segara
dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut
membuahkan hasil, pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan
Habibie.
8 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 338.
9 B. N. Marbun, DPR-RI Pertubuhan dan Cara Kerjanya, h.178.
34
Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU
tentang Partai POlitik (parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang
Susuna dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan
tujuan mengganti system Pemilu ke arah yang lebih demokratis.
Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.
Untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara
dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus koripsi di Badan
Urusan Logistik (oleh media massa popular sebagai “Buloggate”),
Presiden yang menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan
oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah ketetapan MPR No.
III tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil
Presiden yang menjabat ssat itu, Megawati Soekarnoputri.
DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah
berhasil melakuakan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat
kali yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Meskipun hasil dari
amandemen tersebut masih di rasa belum ideal namun ada beberapa
perubahan yang terjadi. Beberapa perubaha tersebut yaitu perubahan
system pemilihan lembaga Legislatif (DPR dan DPD) dan adanya
Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Hasil Pemilu 2004
Amandemen terhadap UU 1945 yang dilakukan pada tahun
1999-2000 membawa banyak iplikasi yang kemudia diterapkan pada
Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan
system pemilihan lembaga legislative (DPR dan DPD) dan adanya
presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Dalam piemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secraa resmi
lembaga perwakilan rakayat baru yang bernama Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). DPR merupakan represntasi dari jumlah penduduka
sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi
35
lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara
ini.
Idelanya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam
merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen
yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul terjadi
timpang. DPR memegang kekuasaan legislative yang lebih besa dari
DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepala DPR
dalam soal-soal tertentu.
C. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menurut Sri Soemantri
Mortosoewignjo, dimaksud sebagai upaya untuk menghindari manipulasi
kekuasaan seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan presiden
Soeharto. Disamping itu, perubahan untuk menyeimbangkan kekuasaan
antara legislative, eksekutif, dan yudikatif yang dianggap executive heavy
sehingga tercipta check and balances system.
Pada perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945, substansi
yang diubah menyangkut 2 hal, pertama memberdayakan DEwan
Perwakilan Rakyat, sedangkan kedua membatasi Kekuasaan Presiden.
Semula presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan DPR maka perubahan pertama ini terjadi
kebalikannya. Artinya Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang.
Dewan Perwakilan Rakyat adalah Lembaga Tertinggi Negara di
Indonesia yang secara formil dan formil dan materil mewakili rakyat
Indonesia dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Di
tinjau dari askpe ketenegaraan, DPR memiliki tugas dan kewenangan
sebagai berikut:10
10 Republik Indonesia. Pasal 20-22, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
36
1. DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
2. Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama.
3. DPR mempunya fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan
4. DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat
5. Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak
imunitas.
6. Anggota DPR berhak menagjukan usul rancangan Undang-Undang
7. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan yang selanjutnya, yaitu:
a. Mengenai fungsi dan badan legislatif, beberapa ahli
mengemukakan bahwa memuaskan kehendak masyarakat atau
keamanan umum, adalah esensi dari fungsi legislative selaku
wakil rakyat. Perlu di ingat bahwa badan legislative merupakan
salah satu uint dari suatu system politik. Anggota masyarakat
yang terdiri dari berbagai kelompok kepentingan juga merupakan
salah satu aspek jaringan kekuasaan disamping eksekutif dan
lembaga lainnya. Maka anggota badan tersebut perlu
mempertimbangkan berbagai kehendak atau opini yang ada, baik
yang datang perorangan, berbagai kesatuan individu seperti
kekuasaan politik, kelompok kepentingan eksekutif tersebut.
Sehingga, para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan
berbagai kehendak dan opini tersebut dalam proses perumusan
dan pemutusan kebijakan.
37
b. Dalam rangka menjalankan peran DPR tersebut, DPR dilengkapi
dengan beberapa fungsi utama yaitu:
1. Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk Undang-Undang.
Selain itu, dalam tata tertib DPR disebutkan badan legislasi
memilik tugas merencanakan dan menyusun program serta
urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu masa
keanggotaan DPR dan setiap tahun anggaran dengan
menginventrasi masukan dari anggota fraksi. Komisi, DPD,
dan masyarakat untuk ditetapkan menjadi Baleg.11
2. Fungsi Anggaran adalah fungsi DPR bersama-sama dengan
pemerintah menuyusun Anggaran pendapat dan belanja
negara dan harus mendapatkan persetujuan DPR. Kedudukan
DPR dalam penetapan APBN sangkat kuat karena DPR
berhak menolak RAPBN yang diajukan Presiden.12
3. Fungsi pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi
pelaksanaan Undang-Undang yang dijalankan oleh
pemerintah. Khususnya pelaksanaan APBN serta pengelolaan
keuangan negara dan pengawasan terhadap kebijakan
pemerintah.13
Di dalam sistem perwakilan politik, badan legislatif (DPR)
mempunyai posisi dan fungsi yang sentral dalam arti DPR merupakan
lembaga yang berkewajiban mewakili rakyat di daerah yang berwenang
membentuk peraturan darah untuk melaksanakan penyelenggaraan
pemerintah daerah. Berkenaan dengan fungsi legislatif yang paling penting
adalah:
11
FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia, ( Jakarta: FORMAPPI, 2005). h,
95.
12 FORMAPPI, Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan, (Jakarta: FORMAPPI,
2009) h. 162.
13 Laporan DPR periode 1999-2004. h. 67.
38
1. Membuat policy (kebijakan) dan pembuat undang-undang. Untuk ini
badan legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen
terhadap undang-undang yang disusun pemerintah dan hak budget.
2. Mengontrol badan eksekutif, dalam anti menjaga supaya semua
tindakan eksekutif sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan
Untuk menyelenggarakan tugas badan perwakilan rakyat diberi hak-
hak kontrol khusus. Kedua fungsi legislatif tersebut diatas, merupakan
fungsi yang paling pokok yang dimiliki dan dijalankan oleh badan
legislatif kedua fungsi tersebut juga merupakan konkretisasi dari tugas
perwakilan yang diemban oleh DPR. Kemudian apabila kedua fungsi
tersebut terutama fungsi pembuatan undangundang tidak berjalan,
maka akan terjadi kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
D. Hak dan Kewajiban Anggota DPR
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang pertama
mencerminkan kedaulatan rakyat. Dalam kegiatan bernegara, yang
pertama adalah mengatur kehidupan bersama. Oleh, sebab itu,
kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus
diberikan kepada lembaga Legislatif. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
Adalah kekuasaan Legislatif badan yang memiliki kewenangan khusus
untuk membuat Undang-Undang.
DPR merupakan perwakilan politik (political representation) yang
anggotanya dipilih melalui pemilu, DPR adalah organ pemerintahan yang
bersifat sekunder sedangkan rakyat bersifat primer, sehingga melalui DPR
kedaulatan rakyat bisa tercapai sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang–Undang Dasar”.
39
Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR mengucapkan
sumpah/ janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah
Agung dalam sidang paripurna DPR. Lembaga DPR mempunyai hak-hak
yaitu:
1. Hak Interpelasi
a. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan
kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
b. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
huruf a diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang
anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
c. Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang
akan dimintakan keterangan; dan alasan permintaan keterangan.
d. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi
DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan
keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua)
jumlah anggota DPR yang hadir.
2. Hak Angket
a. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Pelaksanaan hak angket telah di tentukan dalam UU Nomor 6
Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat,
sekurang-kurangnya diajukan oleh 10 orang anggota DPR bisa
menyampaikan usulan angket kepada Pimpinan DPR. Usulan
40
disampaikan secara tertulis, disertai daftar nama dan tanda tangan
pengusul serta nama fraksinya. Usul dinyatakan dalam suatu
rumusan secara jelas tentang hal yang akan diselidiki, disertai
dengan penjelasan dan rancangan biaya sedangkan dalam pasal
177 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah disebutkan bahwa hak angket harus diusulkan
oleh paling sedikit oleh dua puluh lima orang anggota serta lebih
dari satu fraksi disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-
kurangnya materi kebijakan memuat mengenai pelaksanaan
undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan.
3. Hak Menyatakan Pendapat
a. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk
menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah
mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam
negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau
sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak
angket.14
b. Pelaksanaan hak menyatakan pendapat terdapat pada Pasal
184 ayat (1) mengatur hak menyatakan pendapat diusulkan
paling sedikit 25 orang anggota DPR. Pengusulan diusulkan
disertai dokumen yang memuat materi dan alasan usul, dan
materi hasil hak angket disertai bukti yang sah atas dugaan
pelanggaran hukum sebagaimana Pasal 77 ayat (4) hutuf c.
Menggunakan hak menyatakan pendapat selanjutnya
diputuskan oleh 3/4 dari 3/4 jumlah anggota DPR. DPR
kemudian bersidang untuk memutuskan menerima atau
menolak usulan hak menyatakan pendapat.
14
http://www.dpr.go.id/tentang/hak-kewajiban (diunduh tgl 2 Oktober Pukul 10:00)
41
Adapun beberapa hak yang di punyai oleh anggota-anggota DPR yaitu
sebagai berikut:
a. Mengajukan rancangan Undang-Undang.
b. Mengajukan Pertanyaan.
c. Menyampaikan usul dan pendapat.
d. Memilih dan dipilih.
e. Membela diri
f. Imunitas
g. Protokoler
h. Dan keuang dan administrative.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, megatur tentang
kewajiban dari anggota DPR, yang disebutkan dalam Pasal 81 yang
menyatakan bahawa anggota DPR mempuyai kewajiban yang harus di
patuhi sebagai berikut:
a. Megang teguh dan mengamalkan Pancasila.
b. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945
dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan.
e. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan Rakyat.
f. Menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan Pemertintahan
Negara.
g. Menaati tata tertib dan kode etik.
h. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga
lain.
42
i. Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan
kerja secara berkala.
j. Menampung dan menindaklajuti aspirasi dan pengaduan masyarakat.
k. Memberikan pertanggung jawaban secara moral dan politis kepada
konstituen di daerh pemilihannya.
43
BAB IV
TINJAUAN HAM TERHADAP KEBEBASAN BERPENDAPAT
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG MD3
A. Kebebasan Mengemukakan Pendapat dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia
Dalam konsep negara hukum, pada dasarnya negara bertujuan untuk
memberikan pengakuan serta perlindungan terhadap masyarakat atas tindakan
atau perbuatan pemerintah yang dianggap menyalahgunakan wewenang dan
kekuasaan. Negara hukum juga tak terpisahkan dengan konsep demokrasi dan
perlindungan terhadap HAM.1 Dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi berada di
tangan rakyat. Peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
sangat penting sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan
dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan
diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa,
karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi.2
Prinsip dasar kedua dari pemerintahan yang demokratis ialah adanya
kesetaraaan atau kesamaan politik, kesetaraan politik di sini bahwa setiap warga
negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam proses
pembuatan kebijakan atau keputusan politik. Dengan demikian kesataraan politik
dalam demokrasi di berikan agar masyarakat dapat memberikan kritikan, masukan
serta pendapat sehingga mengurangi timbulnya perbedaan pendapat dalam
membuat suatu kebijakan maupun perundang-undangan, agar tercapai
pemerintahan yang demokratis.
Politik hukum HAM dalam negara hukum demokratis harus bersifat
promotif, protektif, dan implementatif terhadap HAM guna mencegah
1Majda El- Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia: Dari UU 1945
Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana, 2007), cet 2, h. 32-33.
2Suparman Marzuki, Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2014), h.
14.
44
penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk penyelenggaraan HAM. Sebenarnya
mengeluarkan pendapat atau kritikan yang benar bukan sekedar hak melainkan
kewajiban, apabila masyarakat bersikap apatis terhadap kebobrokkan, korupsi,
ketidakadilan, dan penyelewengan lainnya baik dilakukan oleh pemerintah
maupun individu, maka masyarakat terjebak dalam kubangan dosa.3
Dalam negara demokrasi rakyatlah yeng menentukan hukum melaui
wakil-wakilnya di parlemen yang dipilih langsung oleh rakyat sendiri.4 Maka dari
itu DPR dalam membuat Undang-Undang harus berdasarkan keluhan rakyat
bukan untuk kepentingan lembaga, organisasi ataupun anggota-anggota yang
terdapat di dalamnya. Apabila terdapat penyalahgunaan kekuasaan yang dapat
menimbulkan adanya penyimpangan politik dan hukum maka hal tersebut dapat
menciderai penegakkan HAM. DPR tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan
demi kepentingan pribadi dengan membuat undang-undang yang dapat membatasi
hak-hak masyarakat. Dalam prinsip demokrasi terdapat tujuh prinsip pokok yang
menjadi asas penegakan demokrasi itu sendiri, salah satunya kebebasan berbicara
yaitu setiap warga negara berhak mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa
takut.5
Meski reformasi sudah berjalan selama 20 tahun setelah runtuhnya Orde
Baru, namun ternyata, hingga saat ini, belum membuahkan perubahan yang cukup
siginifikan dalam rangka perjuangan demokrasi dan pemenuhan Hak Asasi
Manusia (HAM), diantaranya menyangkut kebebasan pers, kebebasan berekspresi
dan berpendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh
informasi. Salah satu polemik yang tengah hangat diperbincangkan yakni adanya
pembatasan hak kebebasan mengemukakan pendapat bagi masyarakat yang diatur
dalam UU MD3. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 122 huruf l yang
berbunyi “apabila merendahkan kehormatan DPR dapat ditindak pidana sesuai
3Suparman Marzuki, Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia………, h. 111.
4Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 217.
5 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Kencana, 2014),Reformasi 1998, h. 221.
45
dengan UU tersebut.” Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi
Manusia.
Hak atas kemerdekaan berekspresi dalam makna yang luas, mencakup
hak-hak seperti kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir (freedom of thought),
kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan memilih keyakinan (freedom of
religion), kemerdekaan berseni (mencipta atau melakukan suatu seni),
kemerdekaan melakukan penyelidikan (freedom of research).6 Pada pers juga
melekat hak atas kemerdekaan berekspresi. Sebagai bagian atau salah satu jenis
hak atas kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan pers bertalian erat dengan hak
atas kemerdekaan berpikir, berpendapat, penyelidikan (press investigation) dan
lain-lain.
Hak atas kemerdekaan berpendapat sebagai suatu wujud hak atas
kemerdekaan berekspresi. Sengaja diberi tempat tersendiri, untuk menekankan
betapa penting hak atas kemerdekaan berpendapat. Ketika rapat-rapat menyusun
UUD 1945 (Sidang BPUPKI), Bung Hatta sangat gigih meminta agar hak atas
kemerdekaan berpendapat dan mengeluarkan pikiran (dan hak berapat dan
berkumpul), dimasukkan dalam UUD. Esensi hak atas kemerdekaan berpendapat
adalah exchange of ideas (pertukaran pendapat). Hak mengemukakan pendapat
juga bisa menjadi pengejawantahan atas hak atau kemerdekaan untuk melakukan
control terhadap pemerintahan. Kontrol adalah subsistem dari tatanan
pemerintahan yang bertanggung jawab. Pemerintahan yang bertanggung jawab
merupakan salah satu ciri demokrasi. Dalam demokrasi, pertanggungjawaban
dilakukan dan diberikan kepada rakyat. Tanpa kontrol tidak ada
pertanggungjawaban. Tidak bertanggung jawab memberi peluang kekuasaan
sewenang-wenang. Kontrol adalah sarana mencegah kekuasaan sewenang-
wenang. Kritik sebagai sarana publik melakukan kontrol agar kekuasaan tidak
sewenang-wenang.
6Bagir Manan, Pers, Hukum, Dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Dewan Pers, 2016), h.
74-75.
46
B. Landasan Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MD3
Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
diperlukan lembaga perwakilan rakyat yang mampu menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat guna mewujudkan tujuan nasional demi
kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara optimal. Hal
ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun
1945) menyatakan bahwa, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar".
Kedaulatan rakyat berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 selanjutnya
dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam
undang-undang tersebut telah secara eksplisit diatur mengenai Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka mewujudkan lembaga yang
mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.7
Meskipun dalam UU MD3 telah secara komprehensif diatur mengenai
pengejawantahan nilai-nilai demokrasi, namun masih terdapat beberapa ketentuan
dalam UU MD3 yang tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan
7Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Bagian Penjelasan.
47
mengakomodasi hasil pemilihan umum serta sistem pemerintahan presidensial,
sehingga dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan melalui perubahan
ketiga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan yang perlu disempurnakan adalah susunan
dan mekanisme Pimpinan MPR yang memberikan cerminan keterwakilan suara
partai pada struktur pimpinan lembaga tersebut. Selain itu, yang menjadi sorotan
yakni pada pasal 122 huruf l terkait pembatasan hak kebebasan berpendapat yang
turut diubah.
Dalam implementasinya, kebebasan berpendapat juga berkaitan dengan
hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia, yang tertuang dalam beberapa aturan
antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum,
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS,
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
4. Unda ng-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, sebagaimana telah di ubah menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sangat relevan dengan kebebasan
menyatakan pendapat. Undang-undang ini terbentuk sebelum terdapat
amandemen kedua UUD 1945 yang berfokus dalam hak asasi manusia. Landasan
konstitusi yang terkait berupa UUD 1945 dalam naskah asli, khususnya Pasal 28
yang menyebutkan bahwa: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagianya ditetapkan
dengan undang-undang” Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan jaminan dan
pembatasan terhadap kebebasan menyatakan pendapat di muka umum.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menyebutkan bahwa: Kemerdekaan
48
menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan
pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagianya secara bebas dan bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal tersebut menjelaskan mengenai kemerdekaan menyampaikan pendapat
sebagai hak setiap warga negara. Penjelasan ini memberikan makna bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang
telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Media yang ditawarkan untuk
menyampaikan pikiran yaitu secara lisan, tulisan, dan sebagianya. Kemerdekaan
menyampaikan pendapat dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab sesuai
dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku dan berkaitan.
Sementara dalam Pasal 1 angka 2 dari undang-undang tersebut
menyatakan bahwa: Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang
lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum secara konkret dapat
dimplementasikan secara lisan maupun tulisan dalam media cetak dan elektronik.
Lisan dapat terealisasi dalam bentuk ruang diskusi dan dalam bentuk audiovisual
dan audio melalui televisi, radio, dan internet yang menunjang hal tersebut karena
ruang tersebut merupakan ruang yang dapat didatangi atau dilihat setiap orang.
Sementara secara tulisan dapat dicapai melalui media cetak seperti pers dan media
elektronik seperti internet dalam bentuk tulisan.
Pasal tersebut menjamin bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat
dapat dituangkan di muka umum secara bebas terbuka dan tanpa tema tertentu
yang disebut dengan mimbar bebas. Konkretnya, mimbar bebas dapat dinikmati
saat terjadi percakapan ringan antar beberapa orang.
Lebih lanjut lagi, Pasal 2 menyebutkan bahwa: Setiap warga negara
secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai wujud
dan rasa tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dalam Demokrasi Pancasila. Tujuannya adalah penginformasian kepada
khalayak luas mengenai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dalam Demokrasi Pancasila.
49
Pasal 5 membahas mengenai jaminan terhadap hak warga negara yang
menyampaikan pendapat di muka umum. Warga negara berhak untuk
mengeluarkan pikiran secara bebas, dalam artian bebas dari tekanan dari luar atau
suatu pemaksaan untuk mengeluarkan pendapatnya atau tidak. Disamping itu,
warga negara memperoleh perlindungan hukum dalam menyampaikan pendapat
di muka umum. Perlindungan hukum dimaksudkan bahwa warga negara diberikan
kesempatan menyampaikan pendapat di muka umum. Pasal 5 menyebutkan
bahwa:
1. Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:
mengeluarkan pikiran secara bebas.
2. Memperoleh perlindungan hukum.
Pasal 8 memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat untuk turut
serta dalam menyampaikan pendapat. Disamping berperan serta, masyarakat pun
mempunyai tanggung jawab yang diberikan oleh undang-undang, yaitu untuk
mengusahakan agar penyampaian pendapat di muka umum berjalan dengan
kondusif. Pasal 8 menyebutkan bahwa: Masyarakat berhak berperan serta secara
bertanggung jawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum
dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai.
Dalam pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan bahwa:
1. Ayat 2: Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Polri
bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau
peserta penyampaian pendapat di muka umum.
2. Ayat 3: Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri
bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin
keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Dalam hal pembatasan kebebasan menyampaikan pendapat secara khusus,
tertuang dalam Pasal 6 yang menyebutkan bahwa: Warga negara yang
menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban untuk:
1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
50
3. Menaati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.
5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pembatasan dalam Pasal 6 undang-undang ini sejalan dengan pembatasan
yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan terbentuknya undang-undang terebut pada tahun 1998
menunjukkan bahwa sudah mulai berkembang pemikiran mengenai kebebasan
menyatakan pendapat yang dilindungi dan dibatasi berdasarkan hukum melalui
undang-undang Pengaturan mengenai pembatasan terdapat dalam UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM yang lebih rinci mengatur pembatasan-pembatasan
yang dikenakan dalam hal penyampaian pendapat tersebut, yakni dalam Pasal 23
ayat (2) seperti yang telah diuraikan diatas, dimana dalam ayat tersebut terdapat
ketentuan yang mengatakan “...dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban umum, dan keutuhan bangsa”. Oleh karena itu dalam hal
penggunaan hak berpendapat dimanapun dan melalui media apapun termasuk juga
lewat media internet, juga perlu memperhatikan hak orang lain serta pembatasan-
pembatasan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan ini. Pemberlakuan
dan pengesahan terhadap pembatasan hak yang dimiliki oleh seseorang ini berlaku
atas dasar ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 73 yang menyatakan
bahwa “hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-Undang semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar
orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.“
Hal ini tercantum dalam Pasal 74 yang menyatakan “tidak satu ketentuan-
pun dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai,
golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau
menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam
Undang-Undang ini. Selain itu dalam pelaksanaan hak menyatakan pendapat ini,
juga terdapat suatu kewajiban khusus dan tanggung jawab khusus yang
51
mengikutinya. Dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik seperti yang telah diketahui
bahwa telah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005 terlebih Pasal 19 ayat (3)
menyatakan bahwa pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 ini
menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat
dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan dengan hukum
dan sepanjang diperlukan untuk:
1. Menghormati hak atau nama baik orang lain
2. Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau
moral umum.”
Ketentuan mengenai pengenaan kewajiban yang juga harus dijunjung oleh
seseorang sebagai subjek hak juga terdapat dalam ketentuan Konstitusi UUD
NKRI Tahun 1945 Pasal 28 huruf J ayat (1) “setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.“ Selanjutnya dalam ayat (2) masih dalam Pasal 28 huruf J
menyebutkan “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.”
Berdasarkan beberapa ketentuan mengenai pembatasan dalam perundang-
undangan diatas, maka objek pembatasan yang dapat atau boleh dilakukan hanya
sebatas:
1) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan
dasar orang lain
2) Memperhatikan nilai-nilai agama
3) Moral dan kesusilaan
4) Keamanan dan ketertiban umum
5) Keutuhan dan kepentingan bangsa.
Jadi yang dimaksud kebebasan disini memang tidak bebas dalam artian
hak yang mutlak tak dapat dibatasi, namun dalam hak tersebut melekat suatu
52
kewajiban terhadap orang lain. Hal tersebut dimaknai sebagai perluasan dari
penggunaan atas perlindungan hak kebebasan berpendapat yang dimilikinya serta
adanya pembebanan tanggung jawab yang harus dilaksanakan pula demi menjaga
hak orang lain agar tidak saling merugikan. Sehingga diperlukan suatu kesadaran
kepada setiap pemilik hak untuk menyatakan pendapatnya agar memperhatikan
hak yang dimiliki orang lain.
Pasal 122 huruf L terkait tugas MKD yang dimuat dalam Undang-Undang
MD3 menuai kontroversi karena DPR dianggap menjadi anti kritik dan kebal
hukum. Bahkan pengamat menganggapnya sebagai upaya kriminalisasi terhadap
praktik demokrasi, khususnya rakyat yang kritis terhadap DPR itu sendiri. Secara
eksplisit ketentuan ini memuat perihal penghinaan terhadap parlemen maka
Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang untuk mengambil langkah hukum dan
atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan
hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.8 Dengan adanya
pasal 122 huruf L ditakutkan dapat memunculkan kediktatoran DPR di tengah
penegakan negara demokrasi.
Pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivtri susanti turut
memberikan argumentasi terkait Undang-Undang tersebut. Ia menyatakan bahwa
ketentuan ini merupakan kriminalisasi terhadap rakyat yang kritis terhadap DPR
dan tidak sesuai dengan nafas konstitusi yang melindungi hak masyarakat untuk
menyatakan pendapat.
Adapaun beberapa elemen masyarakat yang turut memberikan protes
antara lain Persatuan Wartawan Indonesia, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi,
forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk
MD3, dan the Institut for Criminal Justice Reform, termasuk institusi negara
seperti DPD dan Komnas HAM. Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam
pembicaraan mengenai beberapa pasal yang dianggap sebagai upaya
membungkam kritik masyarakat kepada DPR. Salah satunya adalah pandangan
dari Hairansyah, wakil ketua bidang internal Komnas HAM. Bagi Hairansyah,
8 Bbc.com/Indonesia/Trensosial (15 Oktober jam 10:00)
53
pasal 122 hururf L yang tertuang dalam UU MD3 bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia.9
Hairansyah menjelaskan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat oleh
warga diatur dalam Ayat 2 Pasal 23 UU 39 tahun 1999 tentang HAM. Adapun isi
dari pasal tersebut adalah setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan
dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektroknik dengan memperhatiakan nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
C. Tinjauan HAM terhadap Pengaturan Kebebasan Berpendapat dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MD3
Disahkannnya Rancangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang
perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan satu langkah nyata dalam hal
upaya penegakan HAM. Polemik UU MD3 yang menimbulkan banyak
perdebatan di kalangan masyarakat pasca disahkan sebagai suatu peraturan yang
mengikat memang perlu diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat itu
sendiri.
Pasal 122 huruf L Undang-Undang MPR DPR DPD dan DPRP menyebut
bahwa Mahmakah Kehormatan Dewan bertugas mengambil langkah hukum
dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan
hukum yang merendahkan kehormaran DPR dan anggota DPR. Pada dasarnya
Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR adalah suatu badan pemerintah yang
bertugas untuk menampung segala keluhan rakyat terhadap badan eksekutif atau
pelaksana pemerintahan yakni Presiden dan jajarannya.
Sejatinya kekuasaan membuat Undang-Undang harus terletak dalam suatu
badan yang berhak khusus untuk itu. Jika penyusunan Undang-Undang tidak
diletakkan pada suatu badan tertentu, maka memungkinkan setiap golongan atau
9 https://indopos.co.id/read/2018/02/15/127679/wakil-komnas-ham-sebut-revisi-uu-md3-
tabrakan-dengan-uu-ham. (diunduh tgl 15 Oktober Pukul 09:00)
54
tiap orang mengadakan Undang-Undang demi kepentingannya sendiri. Indonesia
adalah negara demokrasi. Di dalam negara demokrasi, peraturan perundang-
undangan haruslah berdasarkan kedaulatan rakyat, maka dari itu badan perwakilan
rakyat dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk
menyusun Undang-Undang. Badan Perwakilan Rakyat disebut sebagai lembaga
legislatif. Legislatif ini adalah yang sangat terpenting dalam susunan kenegaraan,
karena Undang-Undang adalah ibarat tiang yang menegakkan hidup perumahan
negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan
negara.10
Ada empat lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yaitu MPR, DPR, DPD, DPRD. Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) adalah
lembaga legislatif negara yang bertugas mengubah Undang-Undang, melantik dan
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, menunjuk Presiden atau Wakil
Presiden baru dari rekomendasi partai politik pemenang pemilu jika Presiden atau
Wakil Presiden sebelumnya mangkat, diberhentikan, atau tidak bisa lagi
melanjutkan karena alasan tertentu. Anggota MPR tediri dari anggota DPR dan
DPD. Dewan Perwakilan Rakyat atau biasa disebut dengan DPR merupakan
lembaga negara yang memegang kekuasaan legislative.
Secara umum, dapat dipahami oleh masyarakat bahwa fungsi DPR
meliputi fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi budgeting. Di antara
ketiga fungsi itu, yang paling pokok adalah inisiatif pembuatan Undang-Undang.
DPR memiliki hak sebagaimana diatur dalam pasal 20 A Undang-Undang Dasar
1945 sebagai berikut:
1. DPR memiliki fungsi legisasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
2. Dalam hal melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-
pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi
(meminta keterangan), hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
10
CST. Kansil & Christie, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cet. I, (Jakarta, PT.
Aneka Cipta, 2008), h. 75.
55
3. Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini,
setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat serta imunitas.
4. Ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak angota DPR diatur dalam
Undang-Undang.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara
optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus memperkokoh pelaksanaan
checks and balances oleh DPR. Dengan adanya perubahan ketentuan pembatasan
hak berpendapat terhadap masyarakat, maka secara tidak langsung akan
berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini menyebabkan
bertambahnya kekebalan hukum bagi anggota DPR dan membungkam aspirasi
rakyat yang sebenarnya telah dijamin melalui Hak Asasi Manusia. Sehingga hal
tersebut akan menggeser Executive Heavy kearah Legistlative Heavy yang
terkesan bukan keseimbangan yang dituju melalui perubahan Undang-Undang ini
melainkan DPR ingin memusatkan kekuasaaan di tangannya.11
Pada dasarnya, perubahan Undang-Undang MD3 juga sudah sejalan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-
XVI/2018. Dengan adaya Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018. Ketentuan ini telah menciptakan keadaan dimana DPR dan anggotanya
mendapatkan perlakuan berbeda di hadapan hukum yaitu timbulnya hak untuk
mengkriminalisasi warga negara Indonesia lainnya yang tindakannya melanggar
nilai-nilai demokrasi dan pancasila. Penetapan undang-undang tersebut
merupakan wujud tidak adanya pengakuan DPR dan anggotanya terhadap hak
warga negara Indonesia yang juga memiliki kedudukan yang sama dengan
anggota DPR di hadapan hukum, sehingga membuat masyarakat dan para ahli
hukum mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk dicabut
Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 tersebut
11
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi revisi, cet. Ke-V, (Jakarta, PT.
Raja Grafindo, 2010), h. 171-172
56
agar tidak menyimpang dari hak- hak warga negara Indonesia yang telah diatur
dalam undang-undang hak asasi manusia.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa Pasal 122 huruf l
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 dinyatakan bertentangan dengan UUD
NRI 1945 dan melanggar hak asasi manusia untuk mengeluarkan pendapat atau
mengkritik anggota DPR yang seharusnya DPR dan anggotanya menerima
pendapat, maupun kritikan oleh rakyat mengingat DPR merupakan wakil rakyat
untuk menyampaikan aspirasi rakyat terhadap pemerintah.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam prinsip demokrasi terdapat tujuh prinsip pokok yang menjadi asas penegakan
demokrasi itu sendiri, salah satunya kebebasan berbicara yaitu setiap warga negara
berhak mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa takut. Rakyatlah yang
menentukan hukum melaui wakil-wakilnya di parlemen. Dengan demikian, DPR dalam
membuat Undang-Undang harus berdasarkan keluhan rakyat bukan untuk kepentingan
lembaga, organisasi ataupun anggota-anggota yang terdapat di dalamnya. Apabila
terdapat penyalahgunaan kekuasaan yang dapat menimbulkan adanya penyimpangan
politik dan hukum maka hal tersebut dapat menciderai penegakkan HAM. Dalam
menjalankan pemerintahan terdapat konsep check and balances antara pemerintah dan
rakyatnya. Masyarakat mempunyai hak untuk ikut berperan dalam memberikan
masukan, pendapat maupun upaya kontroling kepada pemerintah termasuk terhadap
wakilnya di parlemen yaitu DPR.
2. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada dasarnya telah beberapa kali mengalami
perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Namun perubahan undang-undang tersebut masih tidak sesuai dengan
dinamika dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehingga masih perlu diubah.
Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, diperlukan lembaga
perwakilan rakyat yang mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat guna
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia secara optimal.
58
3. Disahkannnya Rancangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang perubahan
ketiga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah merupakan satu langkah nyata dalam hal upaya penegakan HAM.
Dengan adanya perubahan tersebut maka hak masyarakat untuk ikut serta dalam
penyelenggaraan negara lebih diakui,
B. Saran
1. Menetapkan batasan-batasan yang jelas serta sanksi tegas dalam kasus kebebasan
berpendapat melalui media cetak dan elektronik, guna menghindari hal-hal yang
merugikan.
2. Dengan adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Undang-undang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai perubahan atas Undang-undang MD3 yang
sebelumnya maka perlu ada penegasan terhadap ketentuan tersebut.
59
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
BUKU
Abdul Aziz dahlan Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996.
Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, Ciputat: UIN Syarif
HIdayatullah Jakarta, 2010.
Ahadian, ridwan indra., 1991, Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945, Jakarta:
CV. Haji Masagung, Jakarta
Andi Rahmat dan M.Najid, Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus, Jakarta:
Purimedia, 2001.
Amira Rahma Sabela, Dina Wahyu Pritaningtias “Kajian Freedom Of Speech and
Expression dalam Perlindungan Hukum Terhadap Demonstran di
Indonesia” Lex Scientia Law Review. Volume 1 No. 1, November, hlm. 81-
92
Bagir Manan, Pers, Huku dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Dewan Pers, 2016
B.N. Marbun, DPR daerah : pertumbuhan, masalah, dan masa depannya & UU
No 5 Tahun 1974, Ghalia Indonesia, 1982.
B. N. Marbun, DPR-RI Pertubuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1992.
Charles Simabura, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2011.
CST. Kansil & Christie, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cet. I, Jakarta,
PT. Aneka Cipta, 2008.
Darmodiharjo, Draji., dan Shidarta., 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Eka Sandi Selfia “Kebebasan Berpendapat Berdasar Atas Undang-Undang No. 9
Tahun 1998 Tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum
Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia”. Universitas 17 Agustus,
Surabaya. 2012
60
Hass , Robert, Hak-Hak Asasi Manusia dan Media , Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1998.
Hamid Basyaib, Membela Kebebasan, Jakarta: Freedom Institute, 2006.
Jack Donnely, Universal Human Rights Theory and Practice, Cornell University
Press, Ithaca and London, 2003, hlm. 7-12. Juga Maurice Cranston, What
are Human Rights? Taplinger, New York, 1973. Hlm. 70. Dalam Rhona
K.M. Smith, dkk. ”Hukum Hak Asasi Manuisa” Yogyakarta: Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UU 1945
sampai dengan amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana,
2007.
Mahfud, Moh. 1999 Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama
Media.
Marsudi, Subandi 2001, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma reformasi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Dian Rakyat.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakata: Dian Rakyat.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: Dian Rakyat.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualitas Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Kencana, 2014), Reformasi 1998
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Meneggakan Konstitusi, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011
Mohid Sabri Bin Mamat “Kebebasan Berpendapat Dalam Hukum Indonesia dan
Malaysia (Analisi Hukum Postif dan Hukum Islam)”. Skripsi Fakutlas
Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2012.
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi revisi, cet. Ke-V, (Jakarta,
PT. Raja Grafindo, 2010).
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada, 2008.
Peirol Gerrard Notanubbun “Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berbicara
Dalam Ketentuan Pasal 27 Ayat 3 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE
Dalam HUbungan Dengan Pasal 28 UUD 1945”. Jurnal Fakultas Hukum
Untag Surabaya
Putu Eva Ditayani Antari “Tinjauan Yuridis Kebebasan Berpendapat pada Media
Sosial di Indonesia”. Jurnal Hukum Undiknas (Vol 4 No 1. 2017).
61
Rizky Ariestandi Irmansyah, S.H. Hukum Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi,
Yogyakarta: Graha Ilmu 2013.
Rizki Ariestandi Irmansyah, S.H. Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi,
Yogyakarta: Graha Ilmu,2013.
Sukandarrumidi, Metode Penelitian Yogyakarta: Gadja Mada University Press,
2012.
Sukarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaran, Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2013.
Suparman Marzuki, Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Erlangga,
2014.
Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, cet-6. Jakarta: Aksara Baru,
1987.
JURNAL
Anis Widyawati, Kajian Hukum Internasional Terhadap HAM, Jurnal Pandecta,
Semarang: Fakultas Hukum UNNES, 2014.
Ignatius Haryant. Dkk. Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). Jakarta, 2000.
FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia, Jakarta: FORMAPPI, 2005
.
FORMAPPI, Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan, Jakarta:
FORMAPPI, 2009.
Republik Indonesia. Pasal 20-22, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
T.A. Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat di Inndonesia: Studi dan Analisis
Sebelum dan Setelah perubahan UUD 1945, Jakarta FORMAPPI,2005.
TIM IDKI (Ikatan Dosen Kewarganegaraan Indonesia), Pendidikan
Kewarganegaraan, Membangun Kesadaran berbangsa dan Bernegara
Berdasarkan Pancasila, Universitas Taman Yogyakarta, Jakarta, 2008
INTERNET
https://www.academia.edu/
http://www.dpr.go.id/
Bbc.com/Indonesia
62
https://business-law.binus.ac.id
https://icjr.or.id
https://indopos.co.id
https://www.komnasham.go.id