(tidak untuk dicetak)...adalah terjadinya alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit...

39
S E T A H U N M O R A T O R I U M M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t (Tidak untuk dicetak)

Upload: others

Post on 23-Jan-2020

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

(Tidak untuk dicetak)

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

(Halaman Belakang Cover - Tidak untuk dicetak)

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

P E N D A H U L U A N

isnis minyak kelapa sawit di Indonesia menjadi salah satu sektor andalan perekonomian negara, yakni perdagangan ekspor minyak sawit CPO (crude palm oil) yang mencapai angka 34 juta ton dengan nilai ekspor Rp 270 triliun1,

meningkat 8 persen dari tahun 20172. Selain itu di sektor tenaga kerja, Bambang Brojonegoro (Kepala Bappenas) menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit berkontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan petani di Indonesia. Industri ini berhasil menyerap 16,2 juta orang; 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga tidak langsung.3 Manfaat ekonomi ini mendasari paradigma dan alasan para pemimpin negara untuk meneguhkan posisi strategis komoditi sawit sebagai industri yang dapat menumbuhkan ekonomi. Pemerintah aktif menerbitkan kebijakan perlindungan dan pengamanan bisnis minyak sawit, termasuk pasang badan untuk menahan dan menepis pengkritik bisnis tersebut. Misalnya Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Bidang Perekonomian, melayangkan surat (Mei 2019) yang ditujukan kepada Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Ketua GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dan pimpinan perusahaan, yang berisi upaya melindungi data informasi strategis yang terkait industri sawit. Ada dugaan surat ini dikeluarkan untuk menghambat suara para pengkritik. Pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan untuk mendukung bisnis perkebunan kelapa sawit dan produksi minyak kelapa sawit, seperti pembangunan sawit perbatasan, pengembangan kebijakan hilirisasi dan puluhan paket kebijakan ekonomi, program MP3EI dan pembangunan koridor ekonomi, program pembangunan pangan regional, seperti MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Merauke, Provinsi Papua. Selain itu fenomena krisis pangan dan energi global menjadi salah satu pendorong meningkatnya akuisisi tanah dan investasi di sektor perkebunan kelapa sawit, yang dapat menyediakan pangan dan bahan baku biodiesel murah (Salim, dkk; 2013). Ekspansi dan investasi usaha perkebunan kelapa sawit dalam skala luas berlangsung sejak awal tahun 2000-an, terus berkembang pada era pemerintahan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) hingga Presiden Joko Widodo saat ini. Implikasi dari kebijakan dan praktik pembangunan kebun sawit skala luas tersebut adalah terjadinya alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dengan cepat yang pada akhirnya menimbulkan masalah sosial ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit (2016), diketahui pada tahun 2004 awal pemerintahan SBY, luas lahan perkebunan kelapa sawit sebesar 5.284.723 ha dan tahun 2014 menjadi 10.465.020 ha, serta diperkirakan tahun 2019 menjadi 14.677.560 ha. Menurut data KPK (2016) mencatat luas lahan perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 15,6 juta hektar. Sebagian besar lahan kebun tersebut dikuasai dan dimiliki oleh perusahaan swasta dalam

1 https://www.jpnn.com/news/ekspor-minyak-sawit-ri-maret-2019-capai-296-juta-ton 2 https://ekonomi.kompas.com/read/2019/02/06/172639726/2018-indonesia-ekspor-3471-juta-ton-minyak-

kelapa-sawit 3 https://bisnis.tempo.co/read/1142496/bappenas-industri-kelapa-sawit-serap-162-juta-tenaga-kerja/full&view=ok

B

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

negeri maupun luar negeri, dengan luas mencapai 10,7 juta ha. Sekitar 4,7 juta dari luasan tersebut dikuasai oleh 53 grup perusahaan, antara lain Salim Ivomas Pratama, Sime Darby, Astra Agro Lestari, Darmex Agro, Bakrie Plantation, Wilmar International. 4 Kajian KPK ini juga membuktikan sekitar 80 % produksi minyak sawit di Indonesia di ekspor keluar negeri dan perusahaan penguasa pasar ekspor masih berhubungan dengan perusahaan penguasa lahan. Merekalah yang paling dominan mengontrol dan menguasai rantai pasokan industri sawit mulai dari lahan, pabrik pengolahan dan tata niaga. Pemilik modal tersebut juga mendapat keuntungan sebagai penerima manfaat dana perkebunan kelapa sawit untuk program subsidi biofuel. Program subsidi biofuel tersebut tidak sejalan dengan peraturan perundangan.5 Buruknya tata kelola komoditas kelapa sawit menjadi salah satu penyebab ketidakadilan tersebut, seperti praktik korupsi perizinan, proses perizinan tidak transparan dan tidak terkontrol, pengabaian hak masyarakat dan lemahnya penegakan hukum (Kartodiharjo, 2018). Izin pembukaan hutan skala luas dan pengelolaan kebun tanpa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, telah menimbulkan permasalahan lingkungan hidup yang sangat serius, seperti pengrusakan dan hilangnya kawasan hutan. Laporan ini memuat temuan dan pandangan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat terkait perizinan dan dampak dari aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit yang aktif maupun masih sedang merencanakan mengembangkan kebun kelapa sawit, utamanya oleh tiga anak perusahaan Genting Group di daerah Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, dan 12 perusahaan di Sorong, Sorong Selatan, Maybrat, Fakfak, Teluk Bintuni, Manokwari, Teluk Wondama, dan Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat; 25 perusahaan di Merauke dan Boven Digoel, Provinsi Papua 6 . Laporan ini juga memuat pandangan umum menyoal dampak Industri kelapa sawit terhadap hak-hak adat, perempuan, dan krisis lingkungan, serta menyediakan rekomendasi atas pelaksanan Inpres moratorium sawit.

4 Lihat juga Studi TuK Indonesia (2015) yang menunjukkan 29 taipan pemilik 25 kelompok bisnis sawit dapat

menguasai lahan lima juta hektar lebih, di antaranya Sinar Mas Group, Wlimar Group dan Surya Damai Group. Hal ini dimungkinkan karena fasilitasi negara dan juga tindakan illegal, seperti kasus Wilmar dan Sinar Mas Group dapat memiliki lahan melebih dari yang diatur dalam Permentan No. 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, bahwa setiap group perusahaan diperbolehkan seluas 100.000 hektar di setiap provinsi. Perusahaan Wilmar Group, Darmex Agro, Musim Mas, First Resources dan Louis Dreyfus Company, juga mendapat dana subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan.

5 Lihat: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180403095136-532-287789/bpk-subsidi-konglomerat-sawit-langgar-perpres-jokowi dan https://katadata.co.id/berita/2017/04/25/kpk-penyaluran-dana-pungutan-sawit-salah-sasaran/ diakses tanggal 13 September 2019;

6 Lihat lampiran tabel nama perusahaan

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

P E R I Z I N A N M E L E G A L I S A S I P E N C A P L O K A N H A K A T A S T A N A H

erdasarkan hukum di Indonesia, mekanisme perizinan perkebunan kelapa sawit diatur dalam beberapa alur yakni Izin Lokasi (IL) untuk perolehan hak atas tanah, Izin Lingkungan, Izin Usaha Perkebunan (IUP), SK Pelepasan

Kawasan Hutan dan Hak Guna Usaha. Dalam konteks Papua yang memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, diatur pasal terkait pengalihan hak dan pemanfaatan tanah adat (Pasal 43, ayat 4). Setiap pihak yang memerlukan tanah adat untuk keperluan apapun dilakukan melalui musyawarah dan kesepakatan masyarakat, yang mendahului penerbitan surat izin perolehan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Pasal ini sejalan dengan prinsip-prinsip FPIC dan atau Padiatapa, bahwa hak masyarakat membuat persetujuan secara bebas, sebelum ada pengesahan dan dimulainya kegiatan perusahaan. Prinsip FPIC diterima menjadi standar organisasi RSPO (Roundtabel Sustainable Palm Oil) dan FSC (Forest Stewardship Council). (Colchester dan Chao, 2013). Kami menemukan di Papua, umumnya perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi tanpa ada musyawarah dan persetujuan bebas dari masyarakat sejak awal, sebelum diterbitkannya Izin Lokasi. Masyarakat setempat tidak mengetahui jika perusahaan telah mengantongi Izin Lokasi dan tidak dikonsultasikan secara memadai berbagai izin-izin, seperti izin lingkungan, izin usaha perkebunan, izin pelepasan kawasan hutan dan hak guna usaha, yang berhubungan dengan pemananfaatan tanah di wilayah adat mereka. Tim peneliti tidak menemukan adanya dokumen surat berita acara yang memuat waktu pertemuan dan isi kesepakatan, pada saat sebelum diterbitkannya izin-izin. Kami menemukan surat dukungan dari LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Kabupaten Boven Digoel (Juni 2018) terhadap perusahaan PT. Indoagro Persada Lestari, PT. Indoagro Surya Alam, PT. Indoagro Daya Adimulia, dan PT. Indoagro Alam Sejahtera, namun surat ‘penguasa adat’ tidak cukup legitimasi, tanpa persetujuan pemegang hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999, Pasal 6, ayat (1), pemerintah wajib berkonsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah untuk mengetahui aspek penguasaan tanah dan penilaian fisik wilayah, untuk mendapatkan tanggapan masyarakat atas penyelesaian masalah dan ganti kerugian dalam kerangka pemberian Izin Lokasi. Kebanyakan kasus pejabat pemerintah tidak melakukan koordinasi dan konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah, hal ini terkonfirmasi dengan belum adanya pemahaman masyarakat tentang apa itu ‘izin lokasi’. Lemahnya kontrol terhadap proses pemberian izin mengakibatkan pejabat setempat leluasa memberikan izin dengan luas melebihi ketentuan batasan luas penguasaan tanah, yakni batas Hak Guna Usaha usaha perkebunan besar yang diberikan untuk komoditas pangan lainnya (termasuk kelapa sawit) per 1 (satu) provinsi seluas 20.000 ha (dua puluh ribu hektar) dan di seluruh Indonesia seluas 100.000 ha (seratus ribu hektar). Sedangkan batas maksimum luas penguasaan tanah di Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan 2 (dua) kali maksimum luas penguasaan tanah untuk 1 (satu) provinsi. (Pasal 4, Permen Agraria/ Kepala BPN

B

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

Nomor 2 Tahun 1999; dan telah direvisi dengan Permen ATR/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2015). Kami menemukan luas lahan grup perusahaan melebihi batas maksimum, dalam kasus Papua kebanyakan grup perusahaan menguasai lahan lebih dari 40.000 hektar dalam satu provinsi, yakni: (1) Gama Plantation mempunyai dua perusahaan PT. ACP dan PT. APM di Kabupaten Merauke dengan luas lahan seluas 45.785 hektar; (2) Menara Group mempunyai tujuh perusahaan PT. UNT; PT. MJR; PT. KCP; PT. ESK; PT. GKM; PT. TKU; PT. MSM, di Kabupaten Boven Digoel dengan luas lahan seluas 270.095 hektar; (3) Korindo Group memiliki tiga perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Merauke dengan luas lahan seluas 80.931 ha dan tiga perusahaan di Kabupaten Boven Digoel dengan luas lahan 67.706 hektar; (4) Bumi Mitratrans Maju Group memiliki tiga perusahaan PT. PBDS; PT. BBS; PT. PBDA, dengan luas lahan115.540 ha; (5) Star Vyobros Group memiliki tiga perusahaan PT. VHN; PT. DVG; PT. WAK, dengan luas lahan 72.890 ha; (6) ANJ Group memiliki tiga perusahaan PT. PMP; PT. PPM dan PT. PAM, dengan total luas 82.468 ha. Demikian pula di Kabupaten Kapuas, Genting Group memiliki tiga perusahaan PT. SP; PT. KMJ. PT. DWK, dengan luas mencapai 45.000 ha.

Pencaplokan hak atas tanah terjadi melalui mekanisme pemberian izin kepada segelintir badan usaha tertentu yang dilakukan dengan cara melanggar hukum dan hak adat warga. Negara memanfaatkan legalitas untuk membuka jalan bagi perampasan tanah oleh aktor perusahaan (Ito, Takeshi, Noer Fauzi Rahman, Laksmi A. Savitri; 2011). Perampasan tanah dalam jumlah luas tersebut terkesan normal, senyap dan berlangsung sangat cepat. Dalam kasus Papua, pemberian izin dilakukan dalam tempo singkat terjadi pada era pemerintahan SBY. Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, menerbitkan surat keputusan kepada satu perusahaan hutan tanaman

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

industri dan satu perusahaan pembalakan kayu, serta memberikan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit kepada enam perusahaan perkebunan dengan luas 120.599 ha, dilakukan hanya dalam sehari pada tanggal 29 September 2014. Legitimasi pemberian izin didukung dengan narasi bahwa kehadiran perusahaan akan mendukung program pemerintah dalam hal pemberdayaan masyarakat pedesaan, sebagai pioneer membuka akses pedalaman dan penciptaan lapangan kerja. Negara dan korporasi juga menggunakan cara kekerasan, janji-janji kesejahteraan dan pemberian kompensasi, sehingga warga terpaksa menyerahkan tanahnya, dari pada membiarkan tanahnya direngut tanpa ada kompensasi dan pekerjaan. Kami menemukan beberapa kasus warga dipaksa menandatangani surat perjanjian untuk mendukung perusahaan. Di Distrik Fofi, Boven Digoel, operator perusahaan PT. IAL dan tokoh warga setempat mengeluarkan nada ancaman dan merendahkan warga, saat perusahaan meminta surat dukungan. Di Distrik Jair, Boven Digoel, salah seorang oknum kepolisian setempat membawa senjata pistol dalam pertemuan di Kampung Anggai dan meminta warga menandatangani surat perjanjian dengan perusahaan PT. MJR. Bayangan kekerasan masa lalu dan ancaman kekerasan yang kerap kali dihadapi masyarakat adat Papua, membuat warga trauma, tidak bebas berpendapat, ‘malas tahu’ berurusan dengan hukum dan terpaksa mengikuti saja kemauan negara dan korporasi. Selain itu, tidak ada dokumen negara yang melegitimasi kepemilikan tanah, membuat pemilik tanah adat tidak dapat mempertahankan klaimnya atas perusahaan yang telah memiliki izin lokasi. Masyarakat terpaksa menandatangani perjanjian dan menyetujui perizinan yang sudah ada, meskipun nilai kompensasi untuk pemanfaatan tanah sangat tidak adil. Misalnya Warga Wetaku di Distrik Kais Darat hanya mendapatkan nilai kompensasi (2014) atas tanah mereka yang dimanfaatkan anak perusahaan ANJ se harga Rp. 77.175 per hektar atau Rp. 77 per meter; PT. APM di Kampung Bupul memberikan kompensasi Rp. 17.000 per hektar. Pemberian kompensasi tersebut tidak dapat menggantikan kerusakan ekonomi dan ekologi yang ditimbulkan dengan dampak jangka pendek dan jangka panjang. Sumardjono (2018) mengingatkan berurusan dengan tanah ulayat masyarakat hukum adat tidak selesai dengan pemberian kompensasi yang adil atas pemanfaatan tanah mereka. Pejabat penerbit izin belum berani membatalkan permintaan perusahaan jika masyarakat menolak dan tidak menyetujui rencana perusahaan sebagaimana ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Pasal 12). Penegakan hukum masih lemah, termasuk pembiaran atas kasus pengembangan lahan kebun diluar HGU yang terjadi pada PT. ACP dan PT. APM di Merauke, PT. IKSJ di Sorong, dan PT. MJR dan PT KCP di Boven Digoel. Pemerintah juga menerbitkan HGU kepada PT. PNM (November 2018) di Jayapura pada saat pemberlakukan moratorium pemberian HGU (September 2018).

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

P E R A M B A H A N H U T A N

i daerah hulu Sungai Kapuas, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, tempat berdiam Suku Dayak ot Danum, desa-desa mereka sedang mengalami serangan perusahaan perkebunan kelapa sawit, diantaranya tiga

anak perusahaan Genting, yakni PT. Dwie Warna Karya (12.500 ha), PT. Kapuas Maju Jaya (17.500 ha), dan PT. Susantri Permai (15.000 ha). Perusahaan dengan dukungan oknum aparatus keamanan setempat melakukan penggusuran lahan, tempat masyarakat berladang, kebun buah, sumber pangan masyarakat, yang dalam bahasa lokal disebut pahewan, himba, umo, kaleka, tajahan dan bahu. Berdasarkan peta penunjukkan kawasan hutan 7 , terdapat 17 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kapuas berada di kawasan hutan dengan luas 235.945 ha, tiga diantaranya adalah anak perusahaan Genting Group. Perusahaan tersebut belum memperoleh izin atau surat keputusan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Berdasarkan pemantauan peta citra satelit tahun 2008 hingga 2014 dan investigasi lapangan, diperoleh informasi data ketiga perusahaan telah melakukan aktivitas pembukaan kawasan hutan pada daerah hulu DAS Kapuas, masing-masing PT. DWK pada tahun 2008, PT. SP dan PT. KMJ pada tahun 2009. Hasil telaah tim terpadu yang dibentuk KLHK, sebagian besar areal kebun yang dimohonkan berada pada kawasan hutan produksi konversi (9.509 ha) dan hutan produksi (3.703 ha). Ketiga perusahaan membongkar hutan tanpa memenuhi syarat perizinan dalam mengelola dan memanfaatkan tanah, dan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Diketahui perusahaan belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan yang merupakan salah satu syarat sebelum mengelola lahan 8 dan belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Bahkan diduga ketika perusahaan baru memulai membuka kawasan hutan tanpa dilengkapi syarat dan dokumen kajian AMDAL, Upaya Pengelolaaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Perusahaan hanya menggantongi izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP). Kami menemukan juga keberadaan izin PT. SP dan PT. DWK, tumpang tindih dengan areal konsesi perusahaan pembalakan kayu (HPH), antara lain PT. Pandu Jaya Gemilang Agung, Koperasi Mandau Talawang, PT. Praba Nugraha Tech dan PT. Gunung Meranti. Pada tahun 2013, Bupati Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, Ben Brahim S. Bahat, mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor 525.26/1460/DISBUNHUT/2013, tertanggal 24 Juli 2013, tentang Penghentian Operasional Kegiatan Perusahaan PBS (Perkebunan Besar Swasta) yang belum Clear and Clean. Bupati meminta dan mengingatkan kepada pimpinan PBS agar menghentikan kegiatan sesuai peraturan perundang-undangan dan petunjuk

7 Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.529/Menhut-II/2012 tentang perubahan atas keputusan Menteri

Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982 tentang penunjukkan areal hutan di wilayah Prov. Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah sebagai kawasan hutan.

8 Lihat Permen Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007, tanggal 28 Februari 2007, dan Permen Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013, tanggal 30 September 2013, tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

D

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

Gubernur Kalteng 9 . Realitasnya, ketiga perusahaan tetap melakukan aktifitas, persoalan perambahan hutan, pencemaran lingkungan dan penyelesaian keluhan warga, tidak terselesaikan hingga hari ini.

9 Pada Juni 2013, Gubernur Prov. Kalteng, Teras Narang mengeluarkan surat No.540/647/EK, tanggal 28 Juni 2013,

bersifat penting dan segera, tentang penghentian pengoperasian kegiatan yang belum clear and clean. Gubernur meminta Bupati/Walikota menindak tegas dan menghentikan seluruh perusahaan (pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perhubungan, yang belum memiliki perizinan. Kebijakan ini masih terkait dengan keputusan sebelumnya yakni Surat Keputusan Gubernur Nomor 522/1144/Dishut, tentang Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan dan Penundaan Pemberian Izin Baru. Gubernur meminta para Bupati/Walikota agar pemanfaatan dan penggunaan lahan berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.292/Menhut-II/2011, tanggal 31 Mei 2011, dan SK Menteri Kehutanan No.SK.323/Menhut-II/2011, tanggal 17 Juni 2011.

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

D E F O R E S T A S I D A N H I L A N G N Y A T E M P A T P E N T I N G M A S Y A R A K A T

ingga tahun 2019, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua mencapai 1.389.956, yang diberikan kepada 53 perusahaan 10 . Sebagian besar lahan tersebut berada di kawasan hutan. Sebanyak 42 perusahaan

diantaranya telah mendapatkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan dari pemerintah nasional dengan luas mencapai 1.082.505 ha. Berdasarkan analisis citra satelit (2019) diperkirakan sekitar 228.510 hektar kawasan hutan yang hilang (deforestasi) dan sudah berubah menjadi kebun sawit. Angka deforestasi tertinggi berada di wilayah Provinsi Papua sekitar 164.599 hektar, utamanya di daerah Merauke dan Boven Digoel. Kami menemukan kawasan hutan yang dialihkan untuk usaha perkebunan kelapa sawit merupakan hutan alam dan tempat-tempat penting masyarakat adat setempat, seperti dusun sumber pangan, dusun sagu, dusun buah, tempat berburu hewan liar, tempat keramat dan sakral yang bernilai sosio religious, tempat hasil hutan kayu komersial, dan sebagainya. Hak dan akses masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan yang telah diterbitkan izin, dan dikembangkan menjadi kebun kelapa sawit menjadi terbatas dan hilang. Suku Maybrat dari Kampung Ikana dan Suku Iwaro dari Kampung Puragi, menyaksikan dusun sagu mereka digusur oleh perusahaan kelapa sawit milik ANJ Group; Suku Yeinan di Bupul tidak berdaya dan memberikan sangsi kepada perusahaan PT. APM karena menggusur tanah keramat mereka yang hilang; Marga asal Suku Marind, pemilik dusun di daerah Mam sekitar areal PT. Dongin Prabhawa, mengeluhkan mata pencaharian yang hilang ; warga Suku Mandobo di Kampung Selil, Merauke, tidak dapat mengkonsumsi air bersih dan ikan di Kali Mbian karena tercemar limbah pabrik ; orang Arfak di dataran Prafi dan Warmare, Manokwari, terpaksa mengungsi meninggalkan kampung karena diterjang banjir ; warga di Getentiri, Boven Digoel dan Sei Hanyo, Kapuas, pasrah atas tanaman karet dan kebun ladang sumber ekonominya digusur perusahaan. Aktivitas perkebunan kelapa sawit kerap mendatangkan masalah baru bagi kehidupan masyarakat ; hilangnya hutan dan sumber pangan masyarakat, serta menurunnya daya dukung lingkungan. Mereka tidak menduga akan menanggung dampak di kemudian hari atas keputusan tersebut. Hak atas tanah sumber kehidupan yang hilang dan resiko kesejahteraan masyarakat menurun, tidak sebanding dengan manfaat yang diterima masyarakat setelah hadirnya perusahaan. Kini mereka mempertanyakan keberlanjutan hidup di tengah tekanan industri perkebunan. Negara dan korporasi seharusnya dapat mengawasi dan mencegah tidak terjadinya pelanggaran hak dasar warga tersebut dengan melaksanakan sungguh-sungguh prinsip pembangunan berkelanjutan dan kewajiban sebagaimana diatur dalam berbagai ketentuan perundangan, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

10 Angka ini diperoleh dari berbagai sumber, bisa jadi angka tersebut lebih besar dari yang sebenarnya, pemerintah

masih tertutup memberikan informasi izin-izin usaha perkebunan dan termasuk data HGU.

H

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan ini mewajibkan setiap usaha atau kegiatan untuk memiliki izin lingkungan, wajib memiliki AMDAL

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

(Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), dan UKL – UPL (Usaha pengelolaan dan pemantauan lingkungan)11. Masyarakat sekitar proyek yang terkena dampak seharunsya memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dalam penyusunan Amdal hingga pengawasan atas aktivitas pembangunan tersebut. Dalam kasus pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kapuas dan Papua, kami menemukan bahwa aktivitas pembukaan kebun oleh perusahaan hanya didasarkan pada Izin Usaha Perkebunan, tanpa memiliki izin lingkungan dan persyaratan dokumen lingkungan seperti Amdal dan UKL – UPL, yang prosesnya mengharuskan keterlibatan dan persetujuan masyarakat luas. Dalam kasus anak perusahaan Menara Group di Boven Digoel, perusahan PT. UNT; PT. KCP; PT. ESK; PT. GKM; PT. TKU; PT. MSM; dan anak perusahaan Star Vyobros Group: PT. VHN; PT. DVG; PT. WAK, ditemukan adanya Izin Usaha Perkebunan, tetapi tidak ditemukan adanya dokumen lingkungan hidup. Sementara Anak perusahaan Goodhope Group, PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Adi Perkara, yang beroperasi di daerah Nabire, justru tidak didahului proses AMDAL sama sekali. Perusahaan seharusnya menghormati hak-hak masyarakat dengan tidak menggusur dan menghilangkan kawasan vital dan bernilai konservasi tinggi (HCV, High Conservation Value). Pejabat pemberi izin lokasi dan HGU tidak dibolehkan menerbitkan izin pada daerah tersebut, termasuk jika lahan yang dimohonkan berada pada Areal Penggunaan Lain.12 Lagi, perusahaan yang beroperasi tanpa memiliki izin lingkungan dan pejabat yang menerbitkan izin usaha tanpa dilengkapi izin lingkungan, seharusnya mendapatkan sanksi pasal pidana sesuai UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup13, namun hal ini belum terlaksana sama sekali.

11 Lihat Pasal 22 dan Pasal 36, ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup. 12 Lihat Surat Edaran Menteri ATR/Kepala BPN No. 10/SE/VII/2015. 13 Lihat Undang-Undangan Nomor 32 Tahun 2009, Bab XII, Pengawasan dan Sanksi Administratif.

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

K E T E R G U S U R A N B E R L A P I S D A N K E K E R A S A N

ania Li (2016) menyebutkan bahwa warga mengalami ketergusuran berlapis saat berhadapan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat setempat sebagai pemilik tanah mengalami kekerasan, kehilangan otonomi

penguasaan ruang dan kemandirian ekonomi. Warga yang telah tergusur dari ruang hidupnya pada akhirnya juga tidak mampu diterserap sebagai pekerja oleh industri ini sebagaimana janji manis yang diobral saat pertama kali datang dan membujuk rayu warga. Pada kenyataannya warga bukanlah subjek dari investasi yang menggiurkan, mereka hanya penonton, tanahnya dirampas, lantas mereka disingkirkan. Serapan tenaga kerja perkebunan rendah dan upah rendah. Masyarakat setempat diperhadapkan pada akses mendapatkan kerja yang tidak mudah, terjadi kompetisi, pemilihan pekerja berdasarkan kriteria etnis, umur dan gender, serta pengalaman kerja. Di Papua, Orang Asli Papua (OAP) asal kampung sekitar perkebunan sawit tidak begitu banyak jumlahnya, karenanya perusahaan dan pemerintah beralasan mendatangkan dan menerima pekerja migran dari luar pulau Papua atau daerah lain di Papua. Mereka umumnya sudah memiliki pengalaman bekerja di perkebunan dan atau pekerjaan serupa, tetapi ada juga keluhan buruh migran terkait sistem rekruitmen, tarif upeti yang harus diberikan kepada mandor yang mendatangkan pekerja dan administrasi KTP yang dijaminkan sering disalah gunakan untuk memeras buruh. Sedangkan penduduk asli setempat dengan pengalaman terbatas dipekerjakan sebagai buruh kasar tidak tetap untuk pembukaan lahan dan pembibitan.

T

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

Mereka seringkali tersingkir dan disingkirkan oleh persyaratan administrasi dan beban kerja yang tidak seimbang dengan upah yang diterima. Pendapatan masyarakat setempat dari mata pencaharian sebelum ada perusahaan lebih besar daripada setelah perusahaan beroperasi (Savitri, 2013). Kebanyakan status pekerja OAP setempat adalah buruh harian lepas (BHL) dan menerima upah sebesar Rp. 75.000 – Rp. 120.000 per hari atau sebulan (20 hari kerja) sekitar 1.750.000 – Rp. 2.500.000 per bulan, besar kecil upah tergantung waktu dan jenis kerja. Nilai upah tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pekerja yang telah berkeluarga. Pekerja OAP yang tidak bertahan sebagai buruh kebun kembali berkebun, mengelola hasil kayu komersial dan berburu hewan yang tentu saja tidak semudah dahulu ketika sawit belum mengekspansi tanah-tanah mereka. Masyarakat di Kampung Puragi, Sorong Selatan, dan Kampung Katapop Pantai, Sorong, merasakan sulitnya mendapatkan hewan buruan. Buruh migran secara ekonomi kelihatan lebih menonjol, mereka memiliki modal dan pendapatan untuk mengembangkan usaha sampingan, jasa bengkel, kios, membeli tanah dan berkebun, dan sebagainya. Tekanan hidup miskin dan janji-janji perusahaan yang tidak terpenuhi mengundang protes dan kemarahan penduduk OAP setempat. Warga meminta hak-hak mereka dikembalikan dan dipenuhi melalui berbagai aksi. Aksi protes yang paling sering digunakan dan berulang kali terjadi adalah aksi ‘palang adat’, berupa ritual adat dan pemasangan rangkaian kayu dan bambu, dengan jenis tanaman adat tertentu dan ikatan kain mereka yang dipasang ditengah jalan, sehingga menghalangi lalu lintas kendaraan perusahaan. Terdapat pula aksi protes ke kantor pemerintah dan kantor perusahaan, atau mengirimkan surat protes. Perusahaan dan didukung aparat keamanan Polri dan TNI setempat, melakukan pendekatan hingga tindakan kekerasan, bahkan mengkriminalisasikan warga. Suku Mandobo dan pejuang tanah di Kampung Selil, Merauke yang melakukan protes dan pemalangan terhadap aktifitas PT. Bio Inti Agrindo, dihadapi oleh aparat TNI dengan cara kekerasan dan menembak warga yang sedang protes dengan senjata mesin. Warga pemilik tanah asal Kampung Puragi, Sorong Selatan, mendapat perlakuan kekerasan dan dua warga dihukum penjara, setelah terjadi aksi protes di kantor perusahaan ANJ Group. Kekerasan yang dialami warga setidaknya memerlukan ongkos besar untuk membiayai operator menggusur tanah, untuk mendatangkan aparat keamanan negara mengamankan bisnis perusahaan, untuk membiayai wartawan menangkal kritik dan protes dan membiayai pejabat korup.

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

P E R E M P U A N D A N P E R K E B U N A N K E L A P A S A W I T14

tudi Ben White dan Julia (2012), tentang pengalaman disposesi perempuan berhadapan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa perempuan di Komunitas Dayak Hibun mengalami; (1) hilangnya hak tenurial

perempuan, (2) struktur pembagian kerja gender yang baru dan feminisasi kerja-kerja pertanian, (3) hilangnya sumber-sumber pendapatan, dan (4) keterlibatan mereka terhadap kerja illegal seperti mengutip berondolan. Pengalaman ini tidak hanya dialami oleh Perempuan Dayak hibun saja, di beberapa tempat perempuan juga mengalami pengalaman yang hampir serupa. Perempuan di Tanah Papua yang hidup dalam ikatan adat, setelah melalui proses pernikahan, mereka hampir bisa dikatakan jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan mengenai tanah adat, sebab mereka dianggap sudah ‘masuk’ ke marga suaminya. Dalam proses musyawarah di marga suaminya pun, Mama-mama ini suaranya tidak banyak didengarkan. Ekspresi ketidaksetujuan terhadap proses-proses pengambilan keputusan lebih banyak disampaikan pada ruang-ruang informal via ekspresi harian yang disampaikan pada orang terdekat dan komunitas perempuan. Salah seorang Mama di Kampung Katapop Pantai, Distrik Salawati berkata ‘Kalau mau nanya soal tanah, tanya bapa saja, mama tra tahu apa-apa’, ketika ingin diwawancarai soal tanah plasma. Mama tidak berani memberikan informasi apapun soal tanah plasma, seolah-olah itu bukan domain hidupnya. Tetapi bukan berarti perempuan hari ini diam saja menghadapi kerakusan ekspansi perkebunan kelapa sawit, perlawanan di beberapa tempat terus-menerus bergulir ; baik berupa perlawanan secara terang dan jelas seperti protes dan demonstrasi, maupun yang tersembunyi atau yang disebut Scoot sebagai ‘everyday forms of resistance’. Morgan (2017) membongkar lapisan motivasi dan kesempatan politik yang membentuk motif perempuan di distrik Sambas, Kalimantan Barat yang memprotes keberadaan perkebunan kelapa sawit PT. Sentosa Asih Makmur di kampungnya. Ia mengemukakan, bahwa selain motivasi yang kuat untuk mempertahankan tanahnya, ada variable penting yang menjadi jalan bagi partisipasi perempuan, ia menyebutnya sebagai kesempatan politik formal dan kesempatan politik informal. Meskipun pada dua ruang ini perempuan kerap mengalami ekslusi dan marjinalisasi, serta berhadapan dengan berbagai macam tantangan ; Pendidikan dan literasi sebagai syarat untuk mendominasi ruang, mekanisme dan prosedur yang menyingkirkan mereka secara tidak langsung, dan absennya ‘undangan’ untuk mengklaim ruang-ruang partisipasi, Perempuan pada akhirnya harus menemukan sendiri alasan yang beragam untuk melegitimasi suaranya, sebab kedua ruang tersebut dikontrol dan didominasi oleh laki-laki. Kuatnya kultur patriarki yang membentuk relasi kuasa yang timpang antar gender menjadi salah satu alasan yang menyingkirkan perempuan dari akses dan kontrol terhadap sumber daya alam.

14 Sebagian besar tulisan laporan ini bersumber dari laporan riset Pusaka yang disusun oleh Rasella Malinda, Yang

Tersingkir dan Terpinggirkan Dari Ruang Hidup, 2019, belum diterbitkan.

S

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

B U R U H P E R E M P U A N D A L A M L I N G K A R A N P E R K E B U N A N

K E L A P A S A W I T

ama Y15 , buruh perempuan perusahaan sawit PT. IKSJ di kampungnya, Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong telah bekerja sejak 2008. Selama dua tahun pertama ia berstatus sebagai BHL (Buruh Harian Lepas) dengan

iming-iming kenaikan status sebagai KHT (Karyawan Harian Tetap) setelah bekerja dua hingga enam bulan lamanya. Tetapi hal itu hanya janji manis semata, ia baru mendapatkan status KHT pada tahun 2010, itupun tidak dia dapatkan sebagai belas kasih perusahaan. Ia dan buruh-buruh lainnya melakukan protes dan tekanan terus menerus untuk menagih janji pemodal, ‘Kami para BHL ini demo, baru kemudian dipanggil dan dinaikkan jadi KHT’, begitu tuturnya. Mama Y, memulai hidupnya di pagi hari dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga ; memasak, mencuci, mengisi air, menyapu, mengepel, menyiapkan perbekalan kerja dan lain-lain. Ia menghabiskan waktu selama satu hingga dua jam untuk mengerjakan ritual domestik, sendirian tentu saja, suami dan anak-anaknya baru akan terbangun setelah ia berangkat menuju perkebunan. Tepat pukul 06.00 ia berkemas mengenakan kostum kerja ; baju, masker dan sepatu boat, serta memanggul perkakas kerja ; parang dan rantang makanan. Ia lalu berjalan selama kurang lebih 1,5 hingga 2 jam, dan akan tiba tepat pukul 08.00 di tempat apel pagi. Ia tidak boleh telat barang berapa menit saja, mandor akan menyuruhnya pulang jika hal itu terjadi, ia tidak akan menerima upah selama satu hari dan ia tidak menginginkan hal tersebut. Ia bekerja hingga pukul 13.00 siang, berjalan pulang lagi dengan waktu tempuh yang sama seperti kedatangan, Iia akan tiba di rumah sekitar pukul 14.00 – 15.00. Sesampainya di rumah, ia tidak bisa langsung beristirahat, masih banyak pekerjaan rumah menunggu. Ia tidur paling awal, tubuhnya sudah tidak mampu lagi tidur melampaui pukul 09.00 malam, berjalan setiap hari selama kurang lebih 3-4 jam menurunkan daya tahan tubuhnya. Begitulah hidupnya selama kurun waktu 11 tahun terakhir, perusahaan tempat ia bekerja tidak menyediakan angkutan dari dan ke areal perkebunan, buruh -buruh harus berjalan kaki dari rumahnya masing-masing. Cerita Mama Y menunjukkan bagaimana ia harus menanggung beban ganda pada tataran domestik, juga tetap melakukan kerja-kerja reproduksi sosial – yang sayangnya tidak pernah diakui dan dibayar oleh rezim kapitalis agraria ini. Mama dan perempuan buruh perkebunan lainnya tanpa disadari telah menopang kerja-kerja mengakumulasi keuntungan perusahaan dengan (1) dikuras secara langsung tenaganya oleh perusahaan, (2) melakukan kerja-kerja reproduksi sosial yang berkontribusi bagi penyegaran tenaga kerja lain (laki-laki) di rumahnya, penciptaan tenaga kerja baru, pendidikan dan sosialisasi anak, pemeliharaan kesehatan, dan proses reproduksi sosial lainnya. Dua kerja ini lah yang membuat perempuan berada pada titik ekspolitatif yang lebih mengerikan dibanding laki-laki. ‘Kalau kerja di perkebunan upahnya pasti, berapa hari kita kerja segitu kita dibayar’,16 kepastian akan upah harian adalah motif yang cukup kuat mendorong

15 Wawancara dengan YM, Moi Segen, 20 Agustus 2019. 16 Wawancara dengan YM, Moi Segen, 19 Agustus 2019.

M

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

Mama Y untuk berhenti menokok sagu sebagai sumber penghidupan. Kepastian upah harian tidak bisa ia sandarkan pada penghidupan subsistensinya sebagai penokok sagu dan pemburu, maka ketika perusahaan sawit hadir dan berkhotbah tentang Upah Minimum yang akan mereka terima jika bekerja full selama satu bulan, Mama melihat ini sebagai jalan keluar. Julia dan White (2012) juga menemukan motif yang serupa di Perempuan Dayak Hibun, kebutuhan akan economy cash saling berkompetisi dengan kehendak mempertahankan alat produksi. Mama Y juga merasa bahwa perkebunan sawit bukanlah tempat yang aman bagi perempun, ia adalah arena penyiksaan. Pada suatu hari, saat ia sedang menebang menebang pohon – sebagai bagian dari aktivitas perawatan – ia diserbu oleh segerombolan tawon. Ia berlari sekencang mungkin mencari sumber air, ia lalu bersembunyi cukup lama di bawah air untuk mengecoh tawon yang mengejarnya. ‘Mama tahan napas cukup lama, kawan yang melihat kasih tahu mama untuk terus berendam, tawonnya belum pergi. Setelah beberapa saat, mama keluar dari air , mama pingsan, bangun-bangun sudah di rumah sakit’, tuturnya. Ia demam berhari-hari setelah kejadian itu, lantas bagaimana respon perusahaan? Jangankan santunan perhatian-pun tidak mereka berikan pada tenaga kerja yang bertaruh nyawa demi kepentingan ekonomi nasional ini (Baca : Kepentingan pemodal). Standar keselamatan kerja sungguh sangat rentan di perkebunan kelapa sawit. Bagi mereka yang tinggal di barak tidak diberikan MCK yang memadai, salah seorang buruh di Distrik Kais bercerita bahwa mereka harus menggunakan air di parit untuk mandi dan mencuci, air yang tentu saja tercemar dengan penggunaan pupuk kimia. Bahkan beberapa buruh meninggal akibat akumulasi zat kimia di tubuhnya, hal itu pun sudah dikonfirmasi oleh dokter yang menangani ‘Ya bagaimana tidak meninggal, mereka setelah bekerja langsung makan tidak cucui tangan, jadi pupuk-pupuk itu sisanya menempel di kuku dan tangan’. RK, perempuan berusia 28 Tahun, sudah berhenti selama setahun belakangan dari Perusahaan sawit di kampungnya, Distrik Klasari, Papua Barat. Ia didiagnosa mengalami asam lambung, yang kerap menimbulkan rasa sesak di ulu hatinya. Penyebabnya? Ia hampir selalu telat makan ketika bekerja di perkebunan, sistem target membuatnya terus diburu waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, alhasil ia kerap enggan makan sampai pekerjaan belum selesai. Selama dinyatakan sakit, ia tidak bisa menggunakan fasilitas BPJS yang sudah ia bayarkan tiap bulan, dipotong dari gaji pokoknya. Menurut pihak rumah sakit, perusahaan belum menjalin kerja sama dengan mereka, sehingga BPJS tidak berlaku. RK dan suami harus merogoh kocek pribadi yang tidak sedikit. Buruh perempuan dalam lingkar perkebunan kelapa sawit mengalami lapisan penindasan yang melampaui laki-laki ; beban ganda, reproduksi sosial, keselamatan dan kesehatan kerja, serta problem diskriminasi gender lainnya. Problem ini bersifat laten alih-alih manifes, namun menahun dan berlangsung lama. Mereka tidak hanya sedang berhadap-hadapan dengan wajah industrialisasi sumber-sumber agraria yang menyingkirkan mereka dari arena strategis pengaturan, pengelolaan dan penguasaan, tapi juga pada level yang lebih mikro dihadapkan pada kultur patriarki yang membentuk relasi gender yang timpang satu sama lain.

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

T A R I N G I N P R E S M O R A T O R I U M S A W I T

ada September 2018, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa

sawit. Inpres 8/2018 ini sering disebut Inpres moratorium sawit, secara umum tujuannya untuk memberikan arahan kepada Kementerian/Kepala Badan, Gubernur dan Bupati, berdasarkan kewenangan masing-masing dalam melakukan penundaan pemberian izin, evaluasi dan verifikasi data perizinan yang ada atau izin yang sudah terbit, menetapkan langkah hukum, alokasi distribusi lahan dari kawasan hutan untuk perkebunan masyarakat, membentuk tim kerja dalam rangka koordinasi dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Ketika kebijakan moratorium sawit sedang dibicarakan (2016), ada kekhawatiran dari kalangan industri bahwa kebijakan tersebut akan mendatangkan kegaduhan massal dan dipandang mustahil dijalankan.17 Sebaliknya kalangan organisasi masyarakat sipil dan petani mengharapkan dan mendesak adanya kebijakan moratorium untuk dapat menyelesaikan sengketa agraria dan lingkungan, 18 serta menyelesaikan permasalahan ketergusuran berlapis yang rumit dialami masyarakat disekitar kawasan hutan. Namun kebanyakan suara senada mengapresiasi kebijakan Inpres moratorium sawit. Penundaan izin perkebunan kelapa sawit yang berlangsung selama 3 (tiga) tahun ini, diharapkan dapat berguna untuk menyelesaikan masalah dengan cara membenahi dan menata industri sawit dan sektor usaha terkait lainnya, melalui upaya seperti verifikasi dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit, penegakan hukum dan pemulihan kawasan hutan. Inpres ini dibayangkan mempunyai ‘taring’ menjadi kekuatan dan tambahan amunisi untuk menyelesaikan permasalahan. Sekar (2019) mencermati Inpres seperti ini masuk dalam kategori instruction to officials dalam kerangka pengaturan kebijakan. Inpres bukan merupakan keputusan yang mengikat umum. Inpres merupakan perintah atasan kepada bawahan yang bersifat individual, konkrit dan sekali-kali, sehingga tidak dapat digolongkan dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan kebijakan (beleid sregel, pseudo wetgeving). Inpres hanya dapat mengikat Menteri, kepala lembaga pemerintah non departemen, atau pejabat-pejabat pemerintahan yang berkedudukan di bawah Presiden dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan. Koalisi organisasi masyarakat sipil (2018) mengusulkan agar Inpres ini diperkuat dan dibumikan dengan menyinergikan Inpres tersebut dengan kebijakan yang relevan, seperti ketentuan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan; Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria; Keterbukaan Informasi Publik yang diatur dalam berbagai peraturan; komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) untuk

17 https://gapki.id/news/4417/rencana-moratorium-sawit-berpotensi-kegaduhan-masal-mengapa/; diakses tanggal

12 September 2019; 18 http://sawitwatch.or.id/wp-content/uploads/2017/07/Full-rasionalitas-moratorium-sawit2.pdf/ diakses tanggal 12

September 2019.

P

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

pengurangan emisi gas rumah kaca; kebijakan satu peta dan pemberantasan korupsi.19 Mengenai reforma agraria, kebijakan tersebut tidak sesederhana menyediakan tanah kepada masyarakat yang bersumber dari kawasan hutan yang telah dilepaskan dan ditelantarkan perusahaan. Di Papua, tanah-tanah tersebut berstatus tanah adat dan masih berkonflik dengan perusahaan, sehingga memberikan tanah adat kepada penduduk yang baru datang akan memperluas konflik menjadi horisonal, yang pada gilirannya akan menguntungkan perusahaan. Sejatinya reforma agraria dilakukan untuk merubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah secara adil, termasuk memberikan akses dan hak atas tanah kepada petani miskin dan tanpa tanah. Tanah dan kawasan hutan yang diberikan izin kepada perusahaan dan melebihi ketentuan batas luas maksimum, seharusnya dikembalikan pada masyarakat adat setempat, serta diakui dan dilindungi oleh negara. Hampir setahun usia Inpres moratorium sawit, belum terlihat taringnya untuk mengurai dan membenahi tata kelola pengurusan lahan dan hutan. Perkembangan terkahir yang terdengar adalah telah dilakukan rapat-rapat petugas kementerian membicarakan kebijakan satu peta dan pembuatan rancangan SOP (Standar Operasional) untuk penyusunan pemetaan dan validasi data, sedangkan Tim Kerja yang diharapkan dapat mengkoordinasikan upaya moratorium belum juga terbentuk. Di sisi lain, terjadi perkembangan yang mengkhawatirkan, seperti ada upaya pemerintah untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dianggap membawa dampak melemahkan posisi KPK untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus Korupsi; pemerintah masih juga belum terbuka untuk memberikan informasi data perizinan dan HGU, bahkan Deputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengirimkan surat yang untuk menutup akses memberikan informasi sawit (Mei 2019). Menteri ATR/BPN masih menerbitkan HGU kepada perusahaan kelapa sawit PT. Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura (November 2018). Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten di Papua dan Kapuas, Kalimantan Tengah, tidak banyak mengetahui Inpres moratorium tersebut, karenanya masih ada pemberian izin baru kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit, seperti dugaan pemberian izin usaha perkebunan kepada PT. Mitra Silva Lestari di Distrik Tahota, Kabupaten Manokwari Selatan dan perusahaan PT. MSL melakukan pembukaan lahan tanpa Amdal. Kasus serupa terjadi di Boven Digoel, adanya pemberian atau pengalihan izin lokasi baru kepada PT. Digoel Agri di Distrik Jair. Perkembangan menarik. Pada Suku Awyu di Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Inpres moratorium sangat bermanfaat dan menjadi kekuatan melawan rencana ekspansi dan menunda bisnis perusahan perkebunan kelapa sawit di wilayah adat mereka. Inpres ini meningkatkan kepercayaan menyuarakan hak-hak mereka dan menuntut perlindungan hak-hak atas tanah. Mereka tergabung dalam Gerakan Cinta Tanah Adat secara kolektif dan meluas, membuat dan menanam papan plang yang mencantumkan judul Inpres moratorium sawit. Puluhan papan perlawanan ini dipasang di samping tiang salib pada tiap batas tanah adat setiap kelompok marga di 20 kampung di Distrik Fofi, Distrik Mandobo, dan Distrik Kamur (Kabupaten Mappi).

19 Lihat: http://kaoemtelapak.org/wp-content/uploads/2019/07/ID-Policy-Brief-Moratorium.pdf/ diakses tanggal 12

September 2019.

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

R E K O M E N D A S I

1. Kebijakan moratorium sawit sudah seharusnya diperkuat, tidak hanya dari

aspek pengaturan dan program saja, melainkan dengan lebih membuka diri dan melibatkan masyarakat luas. Pada tataran praksis, moratorium seharusnya tidak semata bergantung pada pada tim kerja yang sangat tekhnokratik dan analisis di atas kertas, perlu upaya yang lebih radikal untuk melihat problem-problem yang terjadi di lapangan. Tim ini juga sebaiknya dipimpin oleh Presiden secara langsung, serta melibatkan berbagai penegak hukum lainnya seperti KPK, kementerian terkait dan individu yang berkompeten dan mempunyai integritas di bidang terkait.

2. Kebijakan moratorium harus ditujukan untuk kepentingan penyelesaian dan pemulihan hak-hak masyarakat, buruh perkebunan, krisis lingkungan. Pemulihan dilakukan dengan memberikan pengakuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan terhadap hak-hak atas tanah, hak atas pekerjaan dengan upah layak dan jaminan keselamatan kerja. Kerugian-kerugian sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan harus diselesaikan dengan pemberian kompensasi dan kebijakan rehabilitasi. Juga harus memberikan perlindungan dan dukungan kepada petani sawit mandiri dengan kemudahan akses terhadap permodalan, pengetahuan kelembagaan dan pasar.

3. Inpres moratorium ini tidak hanya berkutat dengan pekerjaan mengumpulkan dan memverifikasi data, melainkan harus ada upaya penegakkan hukum atas pelanggaran hak dasar dan kejahatan lingkungan, utamanya pada kasus yang sudah jelas mengandung pelanggaran hukum, misalnya (a) kasus perusahaan yang sudah sejak lama memiliki izin lingkungan tetapi belum beroperasi dan tidak mengusahakan lahan lebih dari 30 persen; (b) perusahaan yang terbukti jelas merambah hutan dan beroperasi di tempat-tempat yang bernilai konservasi tinggi dan daerah gambut; (c) perusahaan yang sudah tiga tahun beroperasi tetapi tidak memfasilitasi pembangunan kebun plasma masyarakat. Kami menemukan masih banyak kasus penelantaran tanah oleh perusahaan di Papua dan Kapuas.

4. Mendesak pemerintah untuk mengakui dan mengembalikan kawasan hutan milik masyarakat adat Papua yang dialihkan kepada perusahaan perkebunan dengan cara melawan hukum legal formal dan hukum adat setempat, utamanya tanah dan kawasan hutan yang belum diusahakan oleh perusahaan. Kami memperkirakan ada sekitar 1.161.446 hektar kawasan hutan yang sudah dilepaskan dan mendapatkan izin namun belum diusahakan perusahaan.

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

B A H A N B A C A A N :

• Aji, Sekar Banjaran, (2019), Moratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Ala Politik Hijau, makalah.

• Colchester, Marcus, Sophie Chao (penyunting), (2013), Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan, Forest Peoples Programme, Sawit Watch dan Transformasi untuk Keadilan Indonesia.

• Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi, (2016), Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit.

• Ito, Takeshi, Noer Fauzi Rachman, Laksmi A. Savitri, (2011), Naturalizing Land Dispossession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate, makalah dipresentasikan di Konferensi International Global Land Grabbing.

• Kartodihardjo, Hariadi, (2018), Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan: 73 Esai-esai Reflektif dalam Kuasa Pengetahuan, Politik PSDA dan Problematika Kebijakan, Forest Watch Indonesia.

• Li, Tania (2016), Ketergusuran Antar Generasi di Zona Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, Jurnal Analisis Sosial, Vol. 20. No 1 & 2.

• Salim, M. Nasir, dkk, (2013), Politik dan Kebijakan Konsesi Perkebunan Sawit di Riau, dalam Ahmad Nashih Luthfi (Peny), Membaca Ulang Politik dan Kebijakan Agraria, cetakan pertama, Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

• Savitri, A. Laksmi, (2013), Korporasi dan Politik Perampasan Tanah, Insist Press, Jogyakarta.

• Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, (2016), Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 2015 – 2017.

• Sumardjono, Maria S.W, (2018), Pluralisme Hukum Sumber Daya Alam dan Keadilan dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat, cetakan pertama, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

D A F T A R K E B U N D I P A P U A B A R A T

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

(Halaman Belakang Cover - Tidak untuk dicetak)

S E T A H U N M O R A T O R I U M

M e n d e s a k N e g a r a M e m u l I h k a n H a k M a s y a r a k a t

Seharusnya menjadi instrumen keselamatan lingkungan hidup. Kembakikan Kawasan hutan adat Papua yang sudah

dilepaskan seluas 1.161.446 hektar kepada Orang Asli Papua.