the travelist 3

60
TRAVELIST TRAVELING THROUGH COFFEE SATISFYING YOUR CRAVING FOR TRAVEL EDISI 3 | OKTOBER-NOVEMBER 2012

Upload: travelist-e-magazine

Post on 26-Mar-2016

232 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Majalah online dua bulanan seputar traveling di Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: The Travelist 3

TRAVELIST

Traveling Through

Coffee

SatiSfying your Craving for travel

Edisi 3 | OKTOBER-NOVEMBER 2012

Page 2: The Travelist 3

Biji yang ditemukan oleh kambing-kambing Kaldi dalam alkisah ini terus menerus menjadi perbincangan kontroversi hingga saat ini. Sebuah biji berwarna hijau yang akhirnya menjadi cokelat tua dengan nama; kopi. Biji-biji kopi ini sudah berkelana dari jazirah Ethiopia, Eropa, Amerika hingga Asia. Biji-biji yang sudah menjadi teman jelajah para traveler dalam mengarungi dunia untuk menahan kantuk dikala malam atau untuk sekedar menjadi teman menulis catatan perjalanan. Kopi pun telah sejak lama menjelajah di Indonesia dan tiap daerah memiliki budaya meracik dan cara menikmatinya yang berbeda-beda. Jika dalam edisi pertama dan kedua kami membahas tentang indahnya landscape suatu destinasi, kali ini kami akan mengulas mengenai ragam budaya ngopi. Traveling through coffee? Oh come on, give me a caffeine!

Salamredaksi

EDITORIAL NOTES

Page 3: The Travelist 3

Foto oleh Maharsi Wahyu Kinasih

Page 4: The Travelist 3

REDAKSIEditor in Chief:Ferzya (@ferzyaya)Reporter:Farhaniza (@lafflyunya)Designer:Lingga Binangkit (@linggabinangkit)Project Manager:Wana D. (@wana23)

Kontak RedaksiE: [email protected]: Travelist e-MagazineT: @travelistmagzW: www.the-travelist.com

Cover oleh Maharsi Wahyu KinasihLokasi: Artemy Italian Gelato, JogjaDiambil dengan: Canon 5D - 50 f1,8

TRAVELISTEdisi 3 | Oktober-November 2011

LAPUTKopItIAM DI KotA FAshIon

JEPRET

INTERVIEWtony WAhID

TRAVELER’S TALESDIseruput oleh KopI

TRAVELER’S TALES CoAstAl CoFFee Culture

TRAVELER’S TALES sAnGer

REVIEW

DAFTAR ISIMY STORYerA KopI ||

|| || || || || || ||

68

243638445058

24

Majalah online dua bulanan terbitan pecinta traveling untuk memuaskan hasrat traveling para traveler dan calon traveler lainya. Silahkan download dan sebarkan ke teman-teman kamu supaya semakin banyak orang Indonesia yang menjelajah Indonesia bagian lain, mungkin saja kita bertemu di suatu tempat.

Page 5: The Travelist 3

20

47 50

Page 6: The Travelist 3

Kopi, biji eksotik yang hanya tumbuh di iklim tropis, kini ramai diminati orang. Menjadi barista, acara coffee testing, kiat-kiat bisnis kopi, sampai hunting

kopi klasik jadi hip di kalangan anak muda. Perkenalan pertama saya pada kopi adalah

saat seorang teman membawakan Kopi Ulee Kareng dari Aceh, yang dia bawakan bukan kemasan seperti suvenir, tapi sekantung plastik bubuk kopi yang dibeli dari salah satu kedai kopi di sana. Cara dia mengolahnya membuat saya jatuh cinta pada kopi, terutama dipadankan dengan biscotti kayu manis.

Sejak pertemuan kali itu, saya mulai menjelajah dunia kopi. Arabika dan Robusta, kopi yang

cara tanam, lokasi, dan perlakuan yang berbeda membuat kadar zat kimia di dalam kedua jenis kopi tadi menjadi berbeda. Cerita cinta berbeda hadir dalam setiap asal kopi dan racikannya. Cara pembuatan kopi dari kopi Tubruk, French Press, Vietnam Drip sampai Turkish Pot mempermainkan indera perasa di mulut saya sebegitu rupa, adiktif! Variasi kopi yang sangat beragam membuat saya sering mampir di kafe-kafe yang menyajikan kopi dengan komposisi kopi foam dan turunannya. Selain itu saya juga jadi penasaran, apakah setiap tempat mempunyai rasa yang berbeda dalam racikannya? Ternyata sampai saat ini saya selalu merasa ada yang spesial jika diracik oleh budaya berbeda. Kopi Solong di Aceh, kopi di Pasar Belitong, kopi Aroma di Bandung, kopi Kintamani racikan Bali, punya cita rasa unik dan menarik. Rasa ini melekat di lidah lalu mengendap di otak saya, sayangnya saya sampai saat ini belum kesampaian mencicipi Kopi Luwak yang tersohor itu. Ternyata bagi saya kopi tidak hanya diminum, proses buah kopi hingga sampai ke dalam cangkir menjadi penting bagi saya. Sebegitu penasarannya saya sampai sempat membantu mendesain sebuah pabrik kopi. Mengulik kopi sama seperti menelaah puisi Rumi, cerita cinta tanpa akhir.

era kopi oLeh Farhaniza

68|69 Event6 | MY STORY7

Page 7: The Travelist 3
Page 8: The Travelist 3

di KoTa fashionBandung dan kopi? Sejenak yang terlintas adalah deretan kafe-kafe internasional maupun kafe-kafe lain yang menyediakan latte dan croissant. Namun, Kota yang terkenal dengan image fashion-nya ini ternyata memiliki banyak pilihan warung kopi lokal atau franchise kedai kopi internasional, tinggal pilih saja yang sesuai dengan preferensi masing-masing dalam menikmati kopi. Dari beragam kopitiam (warung kopi) yang ada, saya jatuh cinta pada beberapa kopitiam yang unik ini.

TuLisan Dan FoTo oLeh naThania aManDa

KopiTiamLAPUTLAPUT

Page 9: The Travelist 3
Page 10: The Travelist 3

10| LAPUT11

Page 11: The Travelist 3

Menyusuri daerah perdagangan lama di sekitar Alun-Alun Bandung, saya menjumpai sebuah warung kopi yang terselip di antara toko-toko gorden di Jalan Alkateri. Warung Kopi Purnama adalah sebuah

kopi tiam yang telah berdiri lebih dari 80 tahun dan konon didirikan pada tahun 1932, walaupun sebenarnya sang pemilik lupa kapan tepatnya kopi tiam ini didirikan oleh ayahnya. Lily, generasi ketiga pewaris resep meracik kopi turun-temurun, kini menjalankan usaha keluarganya setelah pindah dari Medan pada tahun 1920an. Saya melihat pilihan kopi yang ditawarkan dan ya, inilah sebenar-benarnya kopi tiam; hanya ada kopi hitam dan kopi susu dengan pilihan panas atau dingin, serta kopi telur. Selain cara penyajian yang khas, Warung Kopi Purnama ini juga menggunakan kopi keluaran pabrik kopi Aroma yang legendaris itu, pabrik kopi lokal yang hanya berjarak satu ruas jalan dari warung ini. Tempat ini biasanya ramai di pagi hari dengan orang-orang yang mencari sarapan. Hidangan yang populer adalah roti dengan berbagai pilihan isi, ada juga pilihan nasi, mie, atau hidangan yang bisa dipesan dari pedagang di sekitar.

Warung Kopi Purnama

Page 12: The Travelist 3

Saya sendiri tergiur dengan roti Palm Suiker, selembar roti bertabur butiran gula palm (gula aren) yang manis. Tetapi, kebanyakan pengunjung disini lebih memilih Mie Kocok yang berjualan tepat di depan warung. Selain itu juga tersedia banyak pilihan menu minuman lainnya seperti susu, teh, soda, dan jus. Satu hal yang membuatnya berbeda dari kebanyakan kopi tiam lain adalah penyajian menu yang mengandung daging babi, sehingga untuk anda yang memiliki pantangan sebaiknya bertanya lebih dulu. Duduk di tiam ini pada siang hari saat suasana sepi membuat saya merasa berada di sebuah warung kota tua, bukan di kota fashion yang glamor. Ya, Suasana tua dan nostalgia sangat kental terasa disini, dengan elemen-elemen dekorasi interior seperti lampu lukis, poster dan papan iklan kuno, kursi dan meja dari mebel jati, serta deretan kaca nako yang dicat warna-warni.

12| LAPUT13

Page 13: The Travelist 3
Page 14: The Travelist 3

Begitu tiba di Roemah Kopi, kita akan langsung tahu bahwa tempat ini cukup populer di kalangan anak muda Bandung. Roemah dengan pintu berukiran ornamen khas Bali ini

terletak di Jalan Ranca Kendal no. 9, daerah perbukitan Dago Utara yang sejuk.

Roemah Kopi

14| LAPUT15

Page 15: The Travelist 3
Page 16: The Travelist 3

Roemah Kopi sesungguhnya memang sebuah rumah milik keluarga Ibu Mirna. Beliau menceritakan bahwa awalnya, ketika rumah tersebut dibangun pada tahun 2002, banyak teman beliau yang senang berkunjung dan menghabiskan waktu sambil ngopi. Akhirnya timbul ide untuk membuat rumah tersebut dapat dinikmati oleh lebih banyak orang. Maka lahirlah Roemah Kopi pada tahun 2003, sebuah kafe dengan konsep kenyamanan dan kehangatan rumah, dimana pengunjung bisa santai duduk di bagian tengah ataupun belakang rumah, di kursi maupun bale-bale sambil menikmati kopi dan berbagai hidangan lain. Wajar saja jika Roemah Kopi menjadi tempat yang terkenal, karena selain suasana yang seperti di rumah, pengunjung juga disediakan pilihan minuman kopi yang beragam. Roemah Kopi menggunakan campuran biji kopi lokal untuk dasar variasi minuman panas maupun dinginnya. Selain itu juga tersedia jenis-jenis kopi khusus seperti Kalosi Toraja, Wamena, Special Arabika, dan Kopi Luwak tradisional. Bagi pengunjung yang hanya sekedar ingin berkumpul dengan teman-teman dan menikmati suasana, rumah ini menyediakan variasi yang cukup spesial, dikenal dengan istilah Queen dan King Coffee, campuran kopi dengan rum dan coklat leleh. Queen untuk versi panas dan King untuk versi dingin. Untuk pengunjung yang menyukai suasana ramai, sejuk, dan tentunya variasi kopi yang beraneka macam, Roemah Kopi adalah tempat ngopi yang sangat homey dan cozy bagi Anda. Ya, dimana lagi tempat yang bisa minum kopi dengan kaki selonjor di atas kasur tipis kalau bukan di rumah?

16| LAPUT17

Page 17: The Travelist 3
Page 18: The Travelist 3

18| LAPUT19

Page 19: The Travelist 3

Tempat ini menarik karena menyajikan kopi yang dicelup potongan arang membara, cara penyajian yang pernah saya temui ketika mencoba cita rasa Kopi Joss di Yogyakarta.

Dari sang pemilik warung, Bapak M. Khambali, saya mengetahui bahwa cara penyajian kopi seperti ini adalah warisan budaya yang telah ada sejak jaman raja-raja Jawa kuno. Visi beliau memang ingin melestarikan cara penyajian kopi asli Indonesia ini agar tidak hilang atau bahkan diklaim pihak lain. Kata ‘gesang’ sendiri dalam bahasa Jawa halus berarti ‘hidup’, merujuk pada arang membara yang dianggap sedang ‘hidup’. Walaupun tidak berafiliasi langsung, nama Kopi Gesang juga menjadi apresiasi untuk sang maestro keroncong Indonesia, almarhum Gesang, yang konon menggemari kopi yang dicelup arang. Sejak Maret 2011, Kopi Gesang yang awalnya berlokasi di Jalan Karangsari, pindah tempat ke jalan Cemara VIII no. 58 B. Pengunjung bisa menikmati kopi sambil duduk lesehan di saung-saung dengan meja rendah sambil menikmati suasana yang tenang dan asri walau berada di tengah kota. Untuk kopi celup arang kita bisa memilih kopi Aceh, Medan, Lampung, Bengkulu, Jawa, Bali, atau Toraja, dari jenis Arabika atau Robusta. Tentu saja tempat ini juga menyediakan makanan dan variasi minuman kopi lainnya.

KoPi GesanG

Page 20: The Travelist 3

WaddaddahKopi susu, inilah sajian utama di warung kopi yang baru beberapa bulan

berdiri di Gegerkalong Hilir 128. Kopi hitam dengan cita rasa pahit yang dominan dipadukan dengan susu kental manis menciptakan rasa kopi susu yang lembut tapi mantap.

20| LAPUT21

Page 21: The Travelist 3
Page 22: The Travelist 3

Waddaddah merupakan waralaba dari warung kopi DuaTelluE yang telah berdiri sejak tahun 1990 di BuluKumba, Sulawesi Selatan. Saat awal berdirinya Waddaddah, pendiri sekaligus pemilik DuaTelluE hadir di Bandung untuk memastikan standar operasi dan kualitas kopi susu di Waddaddah. Kopi hitamnya diseduh dengan teknik kopi saring, menggunakan dua teko sehingga kopi hitam ini sesungguhnya merupakan hasil dari dua kali ekstraksi. Dalam menu telah tersedia beberapa kombinasi takaran kopi dan susu, namun pengunjung boleh menyetel sendiri takarannya sesuai selera lidah masing-masing. Ingin kopi hitam saja tanpa tambahan susu kental manis juga boleh. Saya sempat mengobrol dengan Kang Yaya sang pemilik warung kopi Waddaddah ini. Beliau sebenarnya ingin memperkenalkan budaya warung kopi khas dari daerah asalnya, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Warung Kopi memiliki nilai sosial yang jauh lebih kompleks dari sekedar tempat minum kopi, warung kopi adalah sebuah melting pot dari masyarakat di sekitarnya, tempat pertukaran informasi, obrolan sangat serius sampai sangat tidak serius, bahkan menjadi bagian dari rutinitas harian. Konsep inilah yang ingin beliau leburkan dalam masyarakat Bandung dengan mendirikan warung kopi ini. [T]

22| LAPUT23

Page 23: The Travelist 3
Page 24: The Travelist 3
Page 25: The Travelist 3

tony Wahid

INTERVIEW

Page 26: The Travelist 3

Karena kopi penuh misteri dan pengalaman menikmatinya selalu “dramatis”, like people, coffee changes and they forgot to tell you. Kopi seperti minuman lainnya, adalah budaya yang melekat terutama di negara-negara pengkonsumsi kopi seperti Vietnam, Singapura, Malaysia, Amerika, termasuk Indonesia tentunya. Secara tak langsung, kopi bisa bercerita tentang kebiasaan dan kondisi sosiologis masyarakat yang bersangkutan hanya dengan melihat bagaimana mereka menikmati kopi. Seperti di Indonesia, kegunaan kopi bukan semata untuk teman di sore atau saat ronda malam, kopi juga sudah digunakan sebagai elemen penting untuk sesajen atau persembahan dunia transenden. Kopi bisa menghentikan pendarahan untuk luka kecil akibat benda tajam, malah ada rekan saya yang menggunakan kopi sebagai media meramal nasib seseorang. Tak terbatas dengan itu semua, kopi, khusus bagian ampasnya, bisa menjadi media seni saat masyarakat pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur menggunakannya sebagai tinta untuk melukis motif indah pada sebatang rokok yang dikenal dengan cethe.

Sebenarnya semua kopi punya rasa dan karakter yang unik tapi sampai sekarang tetap setia dengan Aceh Gayo dan kopi dari Papua yang apabila diseduh aromanya bisa menyebar kemana-mana, belum lagi rasanya yang merupakan sebuah kombinasi dari kopi yang pekat dan sedikit acidity, yang secara kesuluruhan kaya akan rasa.

Kenapa suka kopi?

paling suka kopi yang jenis seperti apa?

68|69 Event26| INTERVIEW27

Page 27: The Travelist 3
Page 28: The Travelist 3

68|69 Event28| INTERVIEW29

Page 29: The Travelist 3

Menulis itu menyenangkan apalagi bisa berbagi tanpa harus menggurui, semata pengalaman personal yang bisa dinikmati siapa saja. Tulisan saya pernah dimuat di harian Kompas, majalah Coffee Tea & I dan beberapa media lainnya. Dulu tak pernah terlintas menulis tentang kopi, tapi saat mulai menuangkan ide ternyata cukup mengasyikkan. Sedari dulu tidak pernah berharap bahwa tulisannya akan banyak dibaca orang, namun seiring waktu ternyata makin banyak yang memperhatikan dan jumlah pembaca semakin meningkat dan kesimpulannya, kopi ternyata menjadi topik yang cukup banyak digemari. Akhirnya karena sudah kepalang tanggung dan dengan mencurahkan segenap kemampuan, maka disajikanlah tulisan tentang kopi. Tidak semuanya serius, apalagi saya bukan seorang professional di industri kopi jadi bentuk tulisannya berupa sebuah narasi sederhana disertai dengan foto yang menawan untuk menjadi daya tarik juga bagi yang tidak menyukai kopi sekalipun. Memang susah membagi waktu dengan pekerjaan utama, tapi selalu ada kesempatan untuk menulis demi jamaah paroki cikopi.com.

Karena sudah punya bar kopi sendiri, jadi rumah adalah tempat nongkrong paling asyik bersama rekan saya penggila kopi. Tapi beberapa kafé di Jakarta punya keunikan dan suasana yang bagus selain rasa kopi bisa diandalkan.

pada awalnya apa yang membuat seorang toni Wahid meluangkan waktunya untuk membuat cikopi.com?

tempat minum kopi favorit?

Page 30: The Travelist 3

Cara yang paling utama adalah French press, tanpa basa basi, langsung seduh, tunggu empat menit, dan tekan plunger-nya untuk memisahkan ampasnya. Secangkir kopi tanpa penetrasi rasa lain seperti kertas pada drip coffee akan kita dapatkan dengan alat ini.

Buat sendiri dong.

Ya, di New Delhi, bukan pengalaman minum, tapi susahnya mencari warung kopi tradisional di kota ini. Ternyata secara kultur, India bagian Utara bukan peminum kopi tapi teh.

Cita rasa kopi akan sangat bergantung dari cara pembuatannya, menurut mas yang paling enak rasanya yang dibuat dengan cara apa?

lebih suka diseduhin orang atau nyeduh sendiri?

pernah ga mas punya pengalaman minum kopi yang unik/berkesan?

68|69 Event30| INTERVIEW31

Page 31: The Travelist 3
Page 32: The Travelist 3

68|69 Event32| INTERVIEW33

Page 33: The Travelist 3

Beberapa daerah sudah pernah, tapi ke depan, direncanakan untuk pergi ke Gayo dan Toraja, dua kiblat utama kopi Indonesia.

Semakin bagus, dalam arti banyak orang yang sudah mulai sadar bahwa ada kopi lain selain kopi sachet yang dijual di warung-warung. Saya tidak pernah mengatakan kopi sachet itu jelek karena selera tidak bisa diperdebatkan. Tapi cobalah explore beberapa rasa kopi dari banyak wilayah Indonesia untuk menambah wawasan betapa kayanya negeri ini dengan kopi dari banyak varian.

Indonesia kan terkenal dengan beragam jenis kopinya, mulai dari Gayo, Mandailing, sidikalang, Ijen, toraja dan daerah-daerah lainnya. pernah ga traveling secara khusus hanya untuk mencicipi kopi-kopi khas daerah-daerah tersebut?

Menurut seorang toni Wahid, gimana sih perkembangan dunia perkopian di Indonesia?

Page 34: The Travelist 3

Tony Wahid

Seorang pemerhati kopi dan dunia F&B sekaligus fotografer yang banyak meliput street foods. Saat ini bekerja di perusahaan retail Gap Inc sebagai Social Responsibility Manager untuk Asia Tenggara. Karyanya banyak dipublikasikan di majalah-majalah traveling dan life style baik di dalam maupun penerbitan di luar negeri. Proyek terbarunya adalah menampilkan jajanan khas Indonesia yang akan dimuat oleh salah satu jaringan hotel internasional.

68|69 Event34| INTERVIEW35

Page 35: The Travelist 3
Page 36: The Travelist 3

nuansa ngopi di VietnamVERy BaRusPENulIS Buku daN Travel WriTer

JEPRET

Page 37: The Travelist 3
Page 38: The Travelist 3
Page 39: The Travelist 3

diserupuT oleh Kopi

Warnanya hitam, beberapa orang senang yang berwarna cokelat, bahkan ada juga

yang menyenangi warna putih, katanya yang putih baik untuk lambung.

TuLisan Dan FoTo oLeh Ferzya

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 40: The Travelist 3

Padahal bijinya berwarna hijau, biji yang ditemukan oleh ternak seorang penggembala di Kaffa, daratan Ethiophia dan diyakini

dapat membuat yang menenggaknya tetap terjaga. Biji-biji ini dibawa ke Semenanjung Arab dan pertama kali ditanam di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Negara Yaman. Seorang sufi dari Yaman mencoba untuk merebus biji tersebut dan dijadikannya sebagai obat penyakit kulit dan penyakit lainnya. Dari Yaman, dibawalah biji itu ke Turki dan disanalah biji kopi mulai diolah dengan cara dipanggang. Biji yang telah dipanggang kemudian dihancurkan dan direbus dalam air. Cara ini dikemudian hari menjadi rumus dasar dalam membuat minuman yang membantu kita terjaga untuk tetap semangat. Sebuah minuman yang terkenal dengan sebutan kopi. Pagi hari seringkali saya awali dengan menyeruput kopi panas, kadang kopi sachet biasa atau mungkin kopi-kopi hadiah dari beberapa teman yang sempat mampir ke warung lokal untuk membeli bubuk kopi. Tapi pagi ini saya yang diseruput oleh kopi yang berbeda dari biasanya. Ya, pagi ini kopi Cuba menemani saya memulai hari sebelum sempat menikmatinya, dan tampaknya saya sudah diseruput lebih dahulu olehnya. Wangi kopi Arabica yang mewah ini menyerbak di sudut kamar kos saya di sebuah daerah di Yogyakarta. Menyeduhnya saja membuat saya tak sabar ingin menyeruputnya, tapi lagi-lagi saya dibuat hanyut oleh wanginya kopi pemberian kakak saya ini.

Dalam kelarutan wangi kopi ini saya hanyut dalam ingatan kopi-kopi Indonesia yang beragam. Daerah Indonesia bagian barat, kopi, dan budaya melayu yang kental telah menyatu dalam warung kopi. Disatu sisi Indonesia lainnya, bubuk kopi jarang ditemui di warung kopi. Bahkan bisa dibilang jarang sekali bisa menemukan warung kopi. Saya teringat saat tinggal di Kepulauan Maluku Utara, mencari warung kopi susahnya luar biasa. Ternyata anggapan saya bahwa dimana ada orang melayu maka ada warung kopi pun terbantahkan. Berbeda dengan Maluku, masyarakat Maluku Utara lebih banyak didominasi oleh keturunan Melayu dan Portugis. Tapi tetap saja, sulit rasanya untuk menemukan warung kopi. Masyarakat di pulau ini juga jarang mengkonsumsi kopi kecuali untuk membantu mereka menahan kantuk. Mungkin itu pula yang membuat warung kopi tidak ditemukan ditempat ini. Bahkan, mencari bubuk kopi khas Maluku Utara saja juga sama sulitnya. Dari Halmahera Barat hingga Ternate, beberapa kali saya merasa terkecoh karena membeli kopi bubuk di pasar yang katanya kopi Maluku Utara yang ternyata hanya proses penggilingan dan pembungkusannya saja yang dilakukan di Maluku Utara. Hampir putus asa akan harapan mencicipi kopi khas Maluku Utara, sampai akhirnya saya bercakap-cakap dengan salah seorang warga yang menyukai kopi. Dari beliau, saya mengetahui bahwa kopi Maluku Utara yang paling enak terdapat di wilayah Pulau Tidore. Sayangnya kopi yang mereka hasilkan hanya untuk konsumsi pribadi. Tidak percaya akan hal tersebut,

68|69 Event40| traveler’s tales41

Page 41: The Travelist 3
Page 42: The Travelist 3

68|69 Event42| traveler’s tales43

Page 43: The Travelist 3

saya pun mendekati warga Tidore, sekedar untuk mengetahui seperti apa kopi Tidore itu. Namun memang waktu yang singkat tidak mengantarkan saya untuk menikmati kopi yang terkenal wangi dan kental itu. Akhirnya saya harus puas dengan kopi Guraka bubuk yang dijual di supermarket lokal Ternate. Kopi Guraka adalah kopi dengan campuran jahe, kombinasi penghangatan tubuh yang khas. Guraka sendiri artinya adalah jahe, mungkin kopi inilah satu-satunya kopi bubuk yang dicampur dengan jahe. Persepsi saya mengenai kopi khas pun sedikit bergeser, mungkin tidak harus ada warung kopi, mungkin juga tidak harus dari biji kopi lokal yang ditanam oleh penduduk lokal, tetapi dapat juga dari cara penyediaannya yang berbentuk bubuk ini. Wangi yang menghilang seiring dengan suhunya yang menurun turut serta melarutkan ingatan pengalaman mencari kopi khas Maluku Utara tersebut. Pagi ini telah diawali dengan ingatan sebuah kampung dan budaya kopinya. Saya pun tersentak melihat jam di dinding, kemudian terburu-buru menuang kopi ke dalam coffee press untuk menghilangkan ampasnya. Secangkir kopi hitam Arabica dari Cuba telah mengajak saya kembali dalam ingatan kopi Guraka dari Maluku Utara. [T]

Page 44: The Travelist 3
Page 45: The Travelist 3

tulIsAn oleh rAIsA KAMIlA Foto oleh IsMI lAIlA WIsuDAnA

sangerSetiap mengunjungi kota di luar Aceh, saya mulai terlibat dalam

obrolan dengan orang-orang yang baru saya temui. Selain ganja,

tsunami, dan politik, selalu ada topik menarik tentang kopi.

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 46: The Travelist 3

Tentunya sebagai orang yang menghabiskan sebagian besar hidup di Aceh, saya selalu menikmati obrolan itu.

Saat masih kanak-kanak, saya tidak pernah punya gagasan apapun tentang kopi dan keterikatannya dengan orang Aceh. Ayah saya sering menghabiskan waktu sore dengan duduk di kedai kopi dengan teman-temannya. Bang Min yang selalu mengantar jemput saya ke sekolah, menghabiskan waktunya di kedai kopi sembari menunggu saya pulang atau saat dia senggang. Sebelum ada telepon seluler, saya cukup mendatangi kedai kopi untuk meminta Bang Min mengantar saya pergi les. Kedai kopi nyaris ada di setiap perempatan jalan baik di tengah kota maupun di kampung. Kedai kopi selalu ramai dengan lelaki dewasa yang sibuk dalam topik perbincangan yang bermacam-macam. Selain jajanan seperti pulut atau roti selai, biasanya ada koran lokal yang memicu perbincangan di meja-meja kedai kopi. Salah satu diantaranya adalah warung kopi Jasa Ayah-Solong yang berada di Simpang Tujuh Ulee Kareng, kedai yang terkenal penuh dengan perbincangan tentang isu politik. Solong menjadi tempat bertukar gagasan dan arena perdebatan mengenai isu-isu terhangat di Aceh. Banyak teman saya yang setuju bahwa rasa kopi Solong sangat khas, apalagi ditambah dengan roti selai dari Sibreh yang lembut.

Barangkali tidak ada hiburan di Banda Aceh yang lebih menyenangkan selain pergi ke pantai-pantai atau dengan menghabiskan waktu di kedai kopi. Saat saya berumur 15 tahun, menghabiskan waktu di kedai kopi sore hari bagi anak-anak muda seumuran saya adalah hal yang wajar. Di Simpang Tujuh Ulee Kareng misalnya, selain Solong, ada beberapa kedai kopi lainnya yang tidak pernah kekurangan pengunjung. Salah satunya adalah Chek Wan yang terkenal karena selain kopinya yang harum, ada soto ayam yang gurih dengan harga terjangkau. Berbeda dengan Solong yang dipenuhi pembicaraan sosial dan politik, Chek Wan dipenuhi anak-anak muda dengan perbincangan yang lebih beragam. Di kawasan Simpang Lima, ada kedai kopi Chek Yuke di jalan Tepi Kali yang langsung berhadapan dengan Krueng Aceh, sungai yang melintasi kota Banda Aceh. Di Chek Yuke, pengunjungnya lebih beragam dan selalu ramai. Menjelang tahun terakhir di SMA, mulai hadir kedai kopi dengan konsep baru, konsep yang berbeda dengan kedai kopi biasa yang ada di setiap perempatan jalan. Konsep baru ini seperti memadukan kedai kopi biasa yang ada di Aceh dengan gaya kedai kopi seperti Starbucks. Bedanya adalah jajanan seperti cheese cake diganti dengan martabak atau roti selai, pilihan kopi yang terbatas, dan harga yang lebih terjangkau. Kedai kopi modern ini memiliki lebih banyak meja, menyediakan fasilitas

68|69 Event46| traveler’s tales47

Page 47: The Travelist 3
Page 48: The Travelist 3

68|69 Event48| traveler’s tales49

Page 49: The Travelist 3

wi-fi, dan sebagian besar dihias dengan dekorasi ruangan sesuai selera anak muda seperti adanya minibar, lampu warna-warni, foto, poster, atau sekadar warna cat yang mencolok. Contoh dari kedai kopi modern ini antara lain Black and White, De Vincce, Tower, Rise Up, Haba, Coffee Bay, Corner Five, dan Ring Road. Pengunjungnya pun sangat beragam, sebagian besar anak-anak muda dengan pakaian dan riasan yang menjadikan kedai kopi lebih mirip arena peragaan busana. Semua mata pengunjung akan menyaksikan dari ujung kepala hingga ujung kaki setiap orang yang datang atau pergi di kedai tersebut. Kesimpulannya, citarasa kopi sepertinya tidak lagi menjadi tujuan utama yang dicari pengunjung kedai. Selain kopi yang khas, kedai kopi di Aceh memiliki sanger, sejenis campuran susu kental manis dan kopi dengan takaran tertentu dan sulit bagi saya untuk membedakannya dengan kopi susu. Sanger biasa disajikan hangat atau dengan es dalam cangkir. Kedai-kedai kopi dengan konsep biasa maupun dengan konsep yang baru pada awalnya akan memiliki pasarnya sendiri. Namun kenyataannya justru menjadi pasar keduanya menjadi lebih melebur. Anak-anak muda yang

sibuk membicarakan modifikasi mobil bisa saja berada di tengah-tengah perbincangan pemilihan kepala daerah di Solong, pengamat politik di kedai kopi modern semacam Corner Five sibuk mengomentari status Facebook musuh politiknya dan mungkin tak sadar dirinya berada dalam kepungan perempuan modis berjilbab warna-warni. Saat ada pertandingan sepakbola, semua orang, tak peduli anak-anak muda ataupun orang tua, turut menyaksikannya melalui layar tancap yang terpasang di kedai kopi. Apa yang menjadi pertimbangan saya dalam memilih kedai kopi? Saya biasanya memilih yang paling mudah dijangkau oleh teman-teman yang rumahnya saling berjauhan. Jika ada keperluan untuk membahas hal tertentu, saya memilih kedai kopi yang tidak terlalu ramai. Salah satu yang biasa saya datangi adalah sebuah kedai kopi di jembatan Peukan Bada. Kedai-kedai kopi yang ramai, biasanya menyajikan kopi yang terlalu cair karena sudah melalui saringan yang kesekian kalinya. Sementara di kedai kopi ini, saya bisa menikmati kopi yang kental, sembari melihat nelayan yang pulang dari melaut dengan pemandangan matahari terbenam di balik bukit Ghop Leumo yang indah. [T]

Page 50: The Travelist 3

Coffee CulTureTidak ada yang tahu kapan sejarah perkopian Gresik dimulai. Ada yang menyebut bahwa kopi datang seiring dengan berkembangnya Gresik menjadi kota santri dan munculnya banyak pesantren tradisional yang didirikan

oleh para ulama penerus Sunan Giri.

TuLisan Dan FoTo oLeh ayos PurWoaji

CoasTalTraveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 51: The Travelist 3
Page 52: The Travelist 3

Barangkali kopi sangat diperlukan para santri untuk menahan kantuk selama mengkaji kitab kuning yang berisi huruf arab

pegon yang seringkali membingungkan itu. Tapi saya punya dugaan lain, mengingat Gresik adalah kota pelabuhan penting pada zamannya, bisa jadi budaya ngopi muncul untuk memenuhi kebutuhan para pelaut yang mampir singgah. Saya mendasarkan pemikiran pada daerah pesisir seperti Belitong yang tidak memiliki kebun kopi namun punya akar tradisi kopi yang juga sama kuno. Tapi itulah hebatnya Gresik. Meskipun tidak ada satupun pohon kopi yang tumbuh di daerah pesisir ini, namun kopi sudah menjadi bagian dari masyarakat. Jika suatu saat mengunjungi kota Gresik, cobalah perhatikan pinggir jalan yang terdapat warung kopi hampir setiap jengkalnya. Barangkali ada ratusan bahkan sampai ribuan warung kopi yang berjajar di seluruh penjuru Gresik. Daerah penghasil sarung dan semen ini memang memiliki kebudayaan ngopi yang sama tuanya dengan umur kota itu sendiri. Ada anekdot yang mengatakan bahwa setiap lelaki Gresik terlahir sebagai peminum kopi, bahkan bisa jadi candu yang harus diminum lima kali sehari. Para pengusaha warung kopi asal Gresik juga melebarkan sayap budayanya ke kota lain. Hampir seluruh warung kopi di Surabaya disebut ‘warung gresikan’. Sedangkan di Jogja, jaringan raksasa

warung kopi tradisional, Blandongan, juga dimiliki orang Gresik. Citarasa budaya kopi kental dari Gresik ini pun menyebar. Ada ciri khas yang melekat pada setiap warung kopi gresikan. Identitasnya terlihat jelas dari desain warung kopi yang khas: biasanya terdapat sebuah bar berbentuk persegi yang mengelilingi sang barista. Di atas bar inilah segala macam rupa gorengan tersaji, mulai dari dadar jagung, pisang goreng, hingga tahu isi. Tapi jangan harap Anda menemukan berbungkus-bungkus sego kucing seperti model angkringan di Jogja. Sebagai gantinya, jika Anda tiba dalam keadaan lapar, Anda bisa memesan seporsi mie instan. Pada setiap bar warung gresikan juga biasanya terdapat jajaran botol kaca minuman berkarbonasi, toples kerupuk, korek gas yang digantung, dan untaian minuman instan. Pengunjung bisa duduk di kursi kayu panjang yang mengitari bar kecil ini, dari tempat duduk inilah kita bisa menyaksikan bagaimana barista menyeduh kopi. Coffee brewing ala Gresik mungkin biasa saja; secangkir kecil kopi panas hitam diguyur air panas tua (sudah mendidih berkali-kali) lengkap dengan rasa super manis dan tekstur yang kental. Sesederhana itu, namun rasanya cukup untuk membuat mata terjaga semalaman. Ada banyak jujugan yang bisa dikunjungi para coffee lover di Gresik. Salah satunya adalah Warkop Pak Rochim yang terletak di belakang Masjid Jami. Selama bertahun-tahun warung ini menjadi sebuah legenda yang masih hidup nyala apinya.

68|69 Event52| traveler’s tales53

Page 53: The Travelist 3
Page 54: The Travelist 3

68|69 Event54| traveler’s tales55

Page 55: The Travelist 3

Bondan Winarno, pendiri komunitas kuliner Jalasutra, memberikan nilai istimewa untuk citarasa kopi yang dimiliki warung ini. Crema kopi dari warung ini memang istimewa. Busa yang muncul di atas permukaan secangkir kopi disebut crema, yakni lapisan froth yang muncul di atas permukaan kopi yang terbentuk oleh karbondioksida yang secara alamiah muncul ketika menyeduh kopi. Pria lokal memanfaatkan crema ini untuk ‘nyethe’, yaitu mengolesi permukaan rokok dengan sari kopi. The coffee-flavored clove cigarette. Samsul, pria paruh baya yang duduk di samping saya ini juga nyethe. Ia melumuri batang rokok kreteknya dengan ampas kopi. Samsul dan dua pria lain bukan orang Gresik, mereka adalah kru dari truk barang “Jaguar” dengan trayek Pantura. “Setiap mampir Gresik pasti ngopi mas. Apalagi masuk Gresik biasanya sudah malam betul, harus ngopi biar nggak ngantuk,” kata Samsul. Saya bertemu Samsul di Warung Kopi Cak Ambon. Jarum jam menunjukkan pukul 2.30 WIB, para pengunjung pulang satu-satu meninggalkan penjual yang sudah mulai suntuk menahan kantuk, sedangkan televisi mungil yang digantung di sudut ruangan masih setia dengan siaran Animal Planet. Menghabiskan waktu di warung kopi tentu lebih seru dengan obrolan politik atau sumpah serapah yang menghiasi pertandingan bola. Tapi malam itu kami diam saja,

seolah tenggelam dalam malam. Dini hari memang waktu yang membingungkan. Ia belum lama meninggalkan hingar bingar malam, tapi juga belum sampai pada waktu subuh yang teduh. Maka di waktu-waktu seperti ini sepertinya lebih asyik untuk berbincang dengan diri sendiri. Dan secangkir kopi pekat menjadi katarsis sempurna untuk menemani dialog dini hari yang sunyi. Saya memesan kopi tubruk. Cak Ambon menyajikan kopi ini dalam cangkir keramik kecil yang buntung. Pegangannya patah, sehingga mulut cangkirnya harus dipegang secara akrobatik agar jemari saya tidak terlalu lama terpapar panas. Kopi tubruk pesanan saya begitu kental, dan setelah habis saya baru tahu bahwa sepertiga isi cangkir kecil ini adalah bubuk kopi. Alamak! Itu kenapa kopinya terasa begitu kental. Para barista lokal seperti Cak Ambon ini memang tidak pernah main-main dengan takaran kopi. Komposisi kuno ini terus mereka jaga untuk mendapatkan rasa yang orisinil. Jangan lupa untuk mencoba coffee brewing ala Gresik yang lebih ekstrim: Kopi Kopyok. Ini adalah kopi yang ditumbuk (dikopyok) dengan lesung dan hasilnya diseduh dengan segelas air panas. Ampas kopi yang masih kasar pun perlahan naik, mengambang dan memenuhi permukaan gelas. Cara brewing seperti ini menghasilkan citarasa yang lebih kuat karena aroma kopi tidak gampang menguap seperti seduhan kopi

Page 56: The Travelist 3

bubuk. Kopi Kopyok bisa ditemukan di Warkop Cak Rochim atau Warkop Jasmin di Kecamatan Sidomoro, Gresik. Saya menikmati tegukan terakhir dari cangkir kedua saat adzan subuh mulai berkumandang. Saya segera membayar dua cangkir kopi yang saya pesan. Sambil menyodorkan selembar lima ribuan saya bertanya kapan warungnya tutup; “Tutup jam piro, Cak?” “Mari ngene aku tutup (setelah ini aku tutup),” kata Cak Ambon sambil sibuk mengambil cangkir-cangkir yang sudah ditinggalkan. Setelah pamit pulang, saya menghidupkan motor dan mulai melaju di jalanan Gresik yang masih sepi. Saya lihat satu dua warung kopi mulai tutup, tapi di sisi lain ada juga warung kopi yang mulai buka. Siklus hidup pun dimulai. Selamat pagi mata yang belum sayu! [T]

68|69 Event56| traveler’s tales57

Page 57: The Travelist 3
Page 58: The Travelist 3

JJ Royal yang sebenarnya telah memulai produksinya sejak tahun 2003 dan kini mulai mengemas secara premium kopi bubuk yang mereka hasilkan. Sebagai spesialis kopi Toraja, rasa dari kopi ini benar-benar

deep. Bisa jadi karena teknik sangrainya mampu membuat rasa produk ini begitu lama tinggal di mulut. Aroma karamel yang khas membuat Anda ketagihan untuk menyeduhnya lagi dan cara terbaik untuk menyajikannya adalah dengan menggunakan coffee press atau ekspreso. Selamat mabuk kopi. [T]

JJ royal Kopi ToraJa arabiKa

68|69 Event58 REVIEW

Page 59: The Travelist 3

Perempuan yang suka kopi hitam, dan paling sebal jika ditanya “perempuan kok sukanya kopi hitam?”. Sedang belajar ilmu desain interior di kampus ITENAS Bandung.

Nathania Amanda

Lahir dan besar di Aceh. Kini kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan mengelola Forum Diskusi Daftar Pustaka di Perpustakaan Literati.

Raisa Kamila

Suka jalan-jalan dan memotret. Pengasuh blog wisata Hifatlobrain.

Ayos Purwoaji

Sudah lulus dari Universitas Syiah Kuala Aceh, aktivis sosial dan budaya Aceh.

Ismi Laila Wisudana

Hey Travelist!

My Story

@dr_ismi

@rkhum

@nathania_manda

@aklampanyun

profil KonTribuTor

Punya kritik dan saran untuk The Travelist? Kirim surat anda melalui email: [email protected] dengan menyebutkan nama, kota, dan nomor telepon. Surat yang terpilih akan mendapatkan suvenir menarik dari The Travelist.

The Travelist mengundang siapa saja yang mau berbagi cerita mengapa ia menyukai traveling, diving, ataupun hiking untuk menyebarkan ‘virus’ ini kepada pembaca yang lain agar semakin mencintai Indonesia.Kirim melalui email: [email protected] dengan subjek : cerita sayaTulisan maksimal 500 kata dan disertai minimal lima foto.

Page 60: The Travelist 3