the principles of media criticism

74
The Principles of Media Criticism This was written some time around 1997. For a more recent (and more detailed) treatment of the current state of the media, see Big Media & Bad Criticism. ________________________________________________________ Media criticism is in an undeveloped state, today, largely because the mainstream media allows virtually no open discussion of the subject. Some criticism that does get to the public, of course, but most of it is corrupted by the same forces that have turned the rest of the media into a source of manipulation. The selections below attempt to correct this conspiracy of silence by offering readers an introduction to the field that will allow them to see the larger trends that define much of the media. The selections focus on the following characteristics of contemporary culture and society: * The fact that all centers of power today rely on media and that all use sensory manipulations and simulations, along with story lines, rhetoric, and performances to sell audiences products, candidates and ideas. * The fact that most media, today, from news to advertising, rely on spectacle, simplification and exaggeration to grab and hold audiences.

Upload: arie-adhitya

Post on 30-Jul-2015

59 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: The Principles of Media Criticism

The Principles of Media Criticism

This was written some time around 1997. For a more recent (and more detailed) treatment of the

current state of the media, see Big Media & Bad Criticism.

________________________________________________________

Media criticism is in an undeveloped state, today, largely because the mainstream media allows

virtually no open discussion of the subject. Some criticism that does get to the public, of course,

but most of it is corrupted by the same forces that have turned the rest of the media into a source

of manipulation.

The selections below attempt to correct this conspiracy of silence by offering readers an

introduction to the field that will allow them to see the larger trends that define much of the

media. The selections focus on the following characteristics of contemporary culture and society:

* The fact that all centers of power today rely on media and that all use sensory manipulations

and simulations, along with story lines, rhetoric, and performances to sell audiences products,

candidates and ideas.

* The fact that most media, today, from news to advertising, rely on spectacle, simplification and

exaggeration to grab and hold audiences.

* The fact that the news media has become a part of the power and economic system that it is

supposed to report on. Instead of standing at a distance from events and trying to provide an

accurate account, all too often it is just another inside player manipulating information for its

own ends. This not only means that media companies have a conflict of interest but also that

journalists who would prefer to be honest end up subordinating themselves to those in power in

their own organizations and shaping their coverage accordingly. It also means that media

criticism that isn't afraid to report on what is taking place is now essential to the maintenance of

democracy.

* The fact that much of media is beset by idealization and demonization in which media

manipulators depict themselves and their allies as heroes and saints, and their opponents or

targets as villains, fools and disturbed characters, both to create exciting stories and win battles.

Page 2: The Principles of Media Criticism

* The fact that the media today is pervaded by missing information. What is missing is precisely

the information above, which would discredit the system and result in reforms that would lock

out many of those who now work the system for their own benefit.

* The fact that all media today is a form of action. Stories, rhetoric, sensory images and

manipulated impressions are all efforts to influence people's perceptions and action, evoke fears

and desires, and play to values. The omission of information from the media is a form of action,

as well.

* Finally, the fact that the media today is also full of efforts to get at the truth, which are often

disguised or limited in various ways. Many of these efforts to tell the public the truth can be

found in the fictions of movies and television which openly depict the con artist culture we now

live in and the corruption of the media.

These propositions have to form the core of any theory of media criticism and any theory that

seeks to describe contemporary society. The following selections are intended to provide

overviews that will introduce and expand on these ideas.

Telaah Dasar Teori Kritis Jerman

PENGANTAR

Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Modernitas manusia

sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada

sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan

teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan

manusia. Manusia semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.

Page 3: The Principles of Media Criticism

Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia.

Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia “bisa tidur nyenyak”

dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah menyatakan situasi semacam ini

sebagai ontological security. Modernitas, komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan

kisah kebebasan beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi,

keterjaminan pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi.

Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan

manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan sebagainya[i].

Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa dipisahkan dengan aspek-

aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap

meninggalkan jejak pengasingan manusia[ii]. Dalam akumulasi kemajuan teknologi yang ada,

tetap dilihat sebuah proses di mana manusia dibuat mabuk kepayang oleh modernitas,

komunikasi dan teknologi modern. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup

modern bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia.

Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia.

Maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa mengkritisi dan melihat

secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah manusia peroleh. Manusia boleh memanfaatkan

kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan

yang ada.

Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya – mencatat bahwa Teori

Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman telah memberikan kontribusi

yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia.

Kehadiran Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan

kawan-kawan telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh

fenomena modernitas yang menjanjikan tapi juga kalau tidak hati-hati –menjerumuskan.

Meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa

dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan

metodologis.

Page 4: The Principles of Media Criticism

Untuk memahami secara lebih luas Teori Kritis, penulis mencoba untuk membuat wacana kecil

yang didasarkan dari buku Seyla Benhabib yang berjudul “CRITIQUE, NORM, AND UTOPIA:

A Study of The Foundations of Critical Theory” (selanjutnya akan disebut CNU). Buku Seyla

Benhabib ini dipilih karena dalam buku ini termuat beberapa argumen inti pemahaman Seyla

Benhabib terhadap Teori Kritis. Argumentasi Seyla Benhabib begitu solid dan komprehensif

mengkritisi beberapa kata kunci dalam aliran Teori Kritis.

Penulis akan membagi tulisan dalam makalah ini dalam tiga bagian inti. Bagian pertama penulis

akan lebih banyak menulis tentang Teori Kritis dari tinjauan historis dan beberapa istilah dan

pemahaman kunci dalam Teori Kritis. Bagian kedua, penulis mencoba untuk melihat secara

ringkas pandangan Seyla Benhabib beberapa aspek teknis dan metodologis penulisan buku.

Bagian ketiga, meski dalam bentuk yang sangat sederhana, penulis mencoba merekonstruksi

bangun argumentasi Seyla Benhabib mengenai dasar-dasar Teori Kritis dalam buku tersebut.

Pada bagian ini juga, penulis memberikan beberapa konsiderasi kritis atas bangun argumentasi

yang dibangun oleh Seyla Benhabib[iii].

ALIRAN FRANKFURT, Teori Kritis (critical theory):

Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci

Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule)

merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung

Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai

masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan

mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada

tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh

Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus,

sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm

(psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya[iv].

Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische

Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi

teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx,

Page 5: The Principles of Media Criticism

meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan

aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu[v].

Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran

sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil

semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran

kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya

Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah

Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant.

Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal

rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan

barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya,

ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan

pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan

hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi

marxisme).

Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan pendasaran asumtif di atas dengan

pemikiran Teori Kritis ? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi

sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl

Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud.

Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas

otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat

dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan

tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak

perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan,

yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia.

Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang

bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan

bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan

kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu

Page 6: The Principles of Media Criticism

diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat

bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat

kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan

bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi

aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok

pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi

kelemahan epistemologi kritisisme Kant.

Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia.

Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru

menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus

semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis

lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah.

Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar

pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas

dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif

empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan teoritis. Ada sebagian

pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri

abad XX (Martin Jay, pp. 42).

Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak

begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa

merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi

asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel

ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum

dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori

Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel,

penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi

ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal,

problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak

bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba

Page 7: The Principles of Media Criticism

mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan

sosial dan sejarah manusia.

Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab

utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi

pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk

membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi

kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan

makna kritik dalam pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx

lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme

ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan

penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis.

Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari

Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik

yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori

Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang

kehidupan manusia atas praksis kapitalistis.

Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi

kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era

kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang

menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru

dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi

modern.

Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial

tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi

dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu.

Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik.

Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori

Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi

instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling

Page 8: The Principles of Media Criticism

dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan

dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena

kapitalisme modern yang semakin kompleks.

Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk

memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia.

Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga

menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam.

Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir

manusia[vi]. Namun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa

kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang

hilang” pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis

dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai “kesadaran

palsu”.

Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam

melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat

integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha

rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual – dalam

tataran mikro – dan masyarakat – dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran

Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien über

Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983).

Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa

sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya.

Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca

industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam

kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman

rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi

masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.

Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa

pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia

Page 9: The Principles of Media Criticism

dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang

melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan

manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya

sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika.

Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada

titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional.

Mitos mengandung representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon

tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya

diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya

sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu

pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku

Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).

Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah

kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa

masyarakat mengalami satu dimensi[vii] (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya

buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan,

seni, filsafat, sistem politik dan lainya.

Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang

sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep

kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan

formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik.

RANCANG BANGUN Seyla Benhabib DALAM BUKU

CRITIQUE, NORM AND UTOPIA

Seyla Benhabib (seorang perempuan) adalah seorang pemikir teori kritis. Dia merupakan

intelektual sistematik yang mempelajari seluk beluk Teori Kritis. Dia adalah penerima bea siswa

Alexander von Humboldt dari juni 1979 sampai Desember 1981 pada Max Planck Institutes fur

Erforschung der Leben. Seyla Benhabib belajar langsung di bawah bimbingan Jurgen Habermas

dan C.F. von Weizsacker.

Page 10: The Principles of Media Criticism

Seyla Benhabib menulis buku ini dengan membagi dua bagian besar buku yang mempunyai isi

yang berbeda. Meski berbeda tapi dua bagian besar itu tetap memperlihatkan hubungan yang

sangat erat.

Bagian pertama buku ini lebih banyak berisi pandangan dan perspektif Seyla Benhabib atas

konsep kritik dalam karya Hegel berikut transformasi pengertian kritik dalam pandangan Karl

Marx.

Dalam bagian kedua, Seyla lebih banyak menyatakan transformasi konsep kritik dalam

pengertian Hegel dan Marx diradikalisasikan oleh Sekolah Frankfurt, khususnya dalam

pandangan Horkheimer dan Adorno. Pada bagian ini, Seyla Benhabib juga menambahkan

refleksi kritik akal budi fungsionalis dalam masyarakat pasca-kapitalis yang dikembangkan oleh

Jurgen Habermas.

Seyla Benhabib dalam buku ini lebih kuat dalam penalaran penelusuran tematik yang

dibicarakannya dengan menyertakan konteks sosial, historis, konseptual dari ragam teori yang

dibicarakan.

Seyla Benhabib berkata:

…in general, to understand a philosophical argument and to evaluate its cogency, it is necessary

to know the questions and puzxles which such an argument proposes to answer. To understand

these questions and puzzles, in turn, it is necessary to reconstruct those social, historical dan

conceptual contexts which form the horizon of inquiry of different theories. (CNU, hal. x)

Tujuan utama penulisan buku ini adalah pengembalian dan penyusunan kembali “ketidakjelasan-

ketidakjelasan” dalam proyek-proyek Teori Kritis terutama dalam konteks perkembangan teoritis

yang ada[viii].

Seyla Benhabib memulai diskusi proyek Teori Kritis dengan mencoba untuk menarik kilas dasar

metode kritik imanen Hegelian. Dalam wacana filsafat modern, metode imanen sering disebut

dengan metode penelitian filsafat non kriteriologis. Metode non kriteriologis ini menarik untuk

dibahas karena peneliti diperkenankan untuk mengkritisi argumen kontra dengan

memperlihatkan inkonsistensi internal atau kontradiksi internal yang ada dalam setiap teks

proposisi filosofis yang dikritisi. Hegel mengkritisi teori hak kodrat dengan mengkritisi aspek

Page 11: The Principles of Media Criticism

internalnya. Sedemikian juga halnya, Marx mengkritisi teori hak kodrat modern John Locke dan

Kant sebagai hal yang preskriptif dan ideologis.

Bab kedua memperlihatkan dasar temuan Hegelian atas makna kerja dan prinsip emansipasi.

Seyla Benhabib lebih condong memprioritaskan tulisannya pada tulisan Hegel yang berjudul

“The phenomenology of Spirit”. Secara umum, tulisan pada bab II ini lebih banyak

mendiskusikan filsafat subjek. Filsafat subjek tidak ditolak tapi justru dipertegas melalui tulisan

Marx dalam Manuscripts 1844.

Model tindakan sosial manusia dan dasar rasionalitas kritik sangat diperlukan dalam seluruh

pemahaman Teori Kritis. Model kerja tersebut sebetulnya telah diperkenalkan oleh Hegel dalam

proses eksternalisasi manusia, tapi hal itu diubah oleh Karl Marx sebagai produksi[ix]. Tindakan

kerja manusia ini juga akan menjadi tema utama dalam Teori Kritis. Pengembangan lebih lanjut

filsafat subjek yang akhirnya menempatkan kerja sebagai unsur vital dalam Teori Kritis selain

dalam pemikiran Marxisme Ortodox.

Bab keempat buku Seyla Benhabib lebih banyak berisi argumentasi Seyla Benhabib melawan

makna tindakan dan filsafat subjek. Dalam argumentasinya, Seyla Benhabib mencoba membagi

dua dimensi inti argumennya, yaitu dimensi klarifikasi filosofis atas konsep tindakan, interpretasi

dan otonomi. Dimensi lainnya adalah dimensi kritik Seyla Benhabib atas model kerja dari

tindakan dan filsafat subjek berikut implikasinya terhadap teori sosial yang ada. Kritik Seyla

Benhabib ini terpecah dalam soal analisis Marx atas kapitalisme, diagnose Aliran Frankfurt atas

masyarakat state-capitalist dan teori Habermas atas masyarakat kapitalisme lanjut.

Tataran wacana terakhir akan menyatakan pandangan Seyla Benhabib tentang pertanyaan: apa

yang bisa dipelajari dari kritik Hegel atas teori Kant dalam konteks pengembangan program etika

komunikatif dan otonomi ? Keberatan Hegel atas prinsip universalibitas Kant menjadi pegangan

teks terakhir ini. Dalam kaitan ini, prinsip kritik Hegel ini akan dielaborasikan dengan prinsip

keadilan prosedural John Rawls sebagai penganut neo-kantisme (Rawls, 1974)[x].

Konsep norma dan utopia selalu mengandaikan politik pemenuhan dan politik transfigurasi.

Dalam hal ini, Seyla Benhabib melihat bahwa politik pemenuhan dan politik transfigurasi juga

mempengaruhi pola pandangan Teori Kritis dalam seluruh perkembangannya.

Page 12: The Principles of Media Criticism

Hal-hal di atas merupakan beberapa hal pokok terutama ketika kita melihat beberapa konsep

kunci yang diperlihatkan oleh Seyla Benhabib. Seyla Benhabib sebagai seorang penulis tidak

hanya sekedar menulis mengenai apa saja dasar-dasar Teori Kritis tapi secara jeli juga

memberikan penilaian kritis terhadap Teori Kritis itu sendiri. Itulah sifat kritik imanen yang

dikembangkan terus oleh Seyla Benhabib dalam bukunya.

BEBERAPA WACANA KUNCI ARGUMENTASI Seyla Benhabib:

Kritik, Norma Etis dan Utopia

Setelah kita melihat rancang bangun buku yang ditulis oleh Seyla Benhabib, maka penulis akan

mencoba untuk mendalami beberapa argumentasi yang dia bangun secara sistematis. Dalam

bukunya ini, Seyla Benhabib banyak mengandaikan kemampuan pembaca untuk berdialog

dengan para pemikir Jerman baik dalam era Aufklarung maupun era Modern.

Wacana Pratama: KRITIK

Berbicara tentang Teori Kritis tidak bisa dipisahkan dengan wacana kritik. Kekuatan Teori Kritis

terletak pada kemampuan elaborasi kritik dalam situasi dan kondisi tertentu. Sudah sejak awal

Teori Kritis mengambil sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan dalam hal ini teori tradisional dan

masyarakat. Teori Kritis secara lengkap memberikan pendasaran kritik pada krisis teori

tradisional yang melulu mempertahankan status quo yang ada, teori yang memisahkan teori dan

praksis – tidak berkecimpung dalam penerapan praktis sistem teoritis konseptualnya. Oleh sebab

itu, penolakan Teori Kritis terhadap preskriptivisme dan filsafat sosial tradisional merupakan

warisan Hegel.

Kritik imanen menjadi sangat krusial dalam seluruh pembangunan sebuah teori yang akhirnya

memerdekakan manusia. Kritik imanen adalah kritik yang pertama dan utama atas dogmatisme

dan formalisme pengetahuan yang ada. Kritik imanen yang dikembangkan oleh Teori Kritis

adalah kritik dogmatisme positivisme yang mendasarkan pada pemikiran August Comte dan

Francis Bacon, juga kritik atas formalisme deduktif Aristotelianisme yang kaku. Kritik imanen

mau mengatakan bahwa isi dan bentuk, yang apa adanya dan seharusnya, harus direfleksikan

pada dasar kesadaran yang terikat pada bentuk kehidupan.

Page 13: The Principles of Media Criticism

Seyla Benhabib mengatakan bahwa Hegel mengkritisi bifurkasi (entzweiung) masyarakat

modern yang tercermin melalui teori hak kodrati dari titik pijak utopia yang retrospektif.

Menurut Marx, bifurkasi lebih bersifat prospektif: penyatuan yang universal dengan yang

partikular. Dalam dua kasus tersebut, masyarakat modern dan teori hak kodrati dikritik dalam

dalih atas nama idea kebersatuan. Kritik dalam pengertian Hegel dipengaruhi oleh keberadaan

polis. Sementara itu, kritik Marx dilihat dalam kondisi medan sosial yang antagonistik. Seyla

Benhabib melihat bahwa proses berpikir bifurkasi – de-diferensiasi Hegel dan Marx untuk

konteks di atas tetap tidak dapat dipisahkan dari pandangan kehidupan etis dan politis yang de

fakto antagonistik dalam masyarakat modern.

Seyla Benhabib berpendapat bahwa pemahaman yang luas warisan Hegel dan ajaran Marx di

atas harus dipahami dalam kritik yang lebih konkret. Maka Seyla Benhabib memberikan

beberapa tesis pelengkap atas kritik yang ada. Pertama adalah fakta kritik Hegelian atas teori

preskripsi normatif yang ada dan memang terjadi perubahan mendasar dari pemikiran praktis

Aristotelian menuju filsafat praksis. Maka, Seyla Benhabib menambahkan konsep

intersubjektivitas dan transubjektivitas[xi] dalam wacana subjek Hegelian. Tidak berhenti di situ

saja, Seyla Benhabib juga memberikan kritik tajam atas pandangan Marx tentang emansipasi.

Menurutnya, emansipasi harus dibagi dalam dua pengertian yang jelas: pemenuhan dan

transfigurasi.

Terminologi pemenuhan (fulfillment) dan transfigurasi adalah konsep yang berbeda dengan

emansipasi. Terminologi pemenuhan dan transfigurasi lebih bersifat substantif dan normatif.

Sifat yang sama juga dialami oleh term intersubjektivitas dan transubjektivitas. Terminologi

pemenuhan lebih mengacu pada nilai Marxian sementara transfigurasi lebih mengacu pada ide

Hegel. Intersubjektivitas dan transubjektivitas lebih bersifat konstitutif pada negara modern.

Dalam masyarakat seperti inilah, wilayah tindakan dilembagakan dan dilaksanakan melalui

hukum yang terbuat secara tidak sengaja oleh agen sosial atau hanya bisa diselidiki oleh subjek

transubjektif.

Menurut Seyla Benhabib, Teori Kritis bermaksud untuk mendemistifikasikan kekuatan domain

sosial tersebut atas kehidupan individu, dan mengembalikan seluruh interpretasi dan tindakan

sosial pada masing-masing individu itu sendiri. Seyla Benhabib berpendapat bahwa kelemahan

pandangan Marx dalam hal ini lebih terletak pada term re-approsiasi. Re-approsiasi lebih

Page 14: The Principles of Media Criticism

bermakna ketika filsafat subjek dikembalikan lagi pada posisi sosialnya dari pada hanya sekedar

mengedepankan intersubjektivitas.

Seyla Benhabib mengembangkan argumentasi intersubjektivitas dan transubjektivitas. Tesis

Seyla Benhabib adalah diskursus intersubjektivitas dan transubjektivitas menjadi pokok masalah

dalam pembahasan Teori Kritis. Hegel dan Marx tidak mengasumsikan kerja sebagai karya

individu yang terisolasi. Kerja selalu bersifat sosial. Oleh sebab itu, kerja sebagai proses realisasi

diri tidak dipahami sebagai kerja individual tapi komutatif atau kolektif. Hegel dan Marx

ternyata justru bersifat transubjektif dalam melihat kerja kolektif .

Kritik Hegelian dan keberatan atas teori hak kodrati merupakan kesatuan bersama pada tingkatan

kehidupan etis. Menurut Seyla Benhabib, Hegel melihat sejarah sebagai keniscayaan sosial, etika

dan idealisme nilai. Filsafat sebetulnya dipakai untuk mengurangi bifurkasi dalam kehidupan

manusia. Tapi masalah dalam epistemologinya, Hegel tidak memberikan pandangan yang utuh

atas seluruh proses manusia, termasuk di dalamnya cara pandang, tata nilai, interpretasi dan

tindakan sosial.

Kritik anthropologis Marx terhadap Hegel lebih memanusiakan filsafat sejarah Hegel. Tapi tetap

saja, kritik Marx merupakan model normatif atas emansipasi. Ketidakakurasian kategori Marxian

atas objektifikasi untuk mengkarakterisasikan aktivitas komunikatif dan kegagalan paradigma

Hegel atas nilai eksternalisasi membawa pengaruh yang tidak sedikit dalam pemahaman Teori

Kritis. Objektifikasi dan eksternalisasi didasarkan pada model teleologis intensional tindakan

manusia.

Wacana II: Norma dan Transformasi Kritik

Dalam wacana selanjutnya, Seyla Benhabib mencoba mencatat tingkat radikalisasi dan

transformasi kritik Hegel dan Marx yang dilakukan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno.

Dalam kaitan dengan kritik rasionalitas, Teori Kritis jelas telah mengambil sikap dalam empat

karakter utama, yaitu Teori Kritis selalu bersifat historis. Perkembangan Teori Kritis selalu

mengacu pada situasi masyarakat yang konkret dan berpijak dan tidak berjarak dari realitas,

Teori Kritis disusun dalam keterlibatan aktif dan historis dari para pemikirnya, Teori Kritis

tersusun dalam proses kecurigaan kirtis terhadap masyarakat aktual, yang bermaksud untuk

menelanjangi manipulasi-manipulasi ideologi – ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat.

Page 15: The Principles of Media Criticism

Teori Kritis, terutama ditujukan untuk menjadi teori yang bertujuan praktis. Teori Kritis

mengambil sikap untuk tidak netral.

Seyla Benhabib pada bagian ini lebih mau mendiskusikan posisi Teori Kritis dalam seluruh

konteks transformasi kritik Hegelian dan Marxian dalam perspektif Teori Kritis. Keterbatasan

dan kelemahan metodologis epistemologi Hegel dan Karl Marx memperlihatkan perlunya

penjernihan makna kritik dan norma sosial. Kelemahan kedua filsuf itu terletak pada

ketidakmampuan kedua filsuf tersebut membumikan proses kritik imanen dan pencerahan yang

sebetulnya menjadi cita-cita teori yang mereka buat.

Dengan demikian perlu ada eksplorasi transformasi proyek kritik dengan menggunakan konsep

kritik imanen, kritik defetishsasi dan kritik sebagai diagnosa krisis.

Pola dominan yang dipunyai Teori Kritis dalam pembahasan ini adalah bahwa kritik Hegelian

dan Marxian ditransformasikan menjadi kritik atas rasio instrumental[xii].

Inti kritik rasio instrumental Horkheimer, menurut Seyla Benhabib, adalah bahwa telah terjadi

penjerumusan akal budi objektif dengan mengemukakan akal budi yang semata-mata

instrumental. Usaha manusia untuk semakin dikuasai oleh rasionalitas justru membuat manusia

masuk pada kehancuran diri (self-destruction). Untuk itu, manusia mengusahakan akal budi yang

murni subjektif. Akal budi subjektif adalah akal budi yang mengarah pada manfaat.

Akal budi subjektif, dalam pandangan Seyla Benhabib, selalu mengandaikan dan melanggengkan

self-preservation[xiii], di mana akal dimanfaatkan untuk menjadi alat perhitungan kemungkinan-

kemungkinan tercapainya tujuan subjek[xiv] (Horkheimer, 1964). Lawan akal budi subjektif

(instrumental) adalah akal budi objektif. Seyla Benhabib melihat bahwa Horkheimer berpendapat

bahwa akal budi objektif mempunyai wewenang terhadap manusia. Rasio objektif tidak netral.

Dengan demikian, Horkheimer menurut Seyla Benhabib mengandaikan otonomi moral dan

reflektivitas moralitas yang tangguh dalam seluruh proses pemilihan tindakan sosial yang ada.

Akal budi instrumentalis pada dasarnya netral karena rasio instrumental bisa digunakan sebagai

tujuan di luar dirinya sendiri[xv] (Sindhunata, 1983).

Pada proses selanjutnya, manusia tidak lagi percaya pada konsep nilai dalam rasio objektif. Akal

budi diformalitaskan. Formalisasi akal budi memudahkan terjadi instrumentalisasi akal budi

Page 16: The Principles of Media Criticism

manusia. Hal ini terjadi ketika akal budi manusia dimasukkan dalam proses kapitalisasi kolektif

dalam perspektif ekonomi politik Karl Marx. Pergeseran demi pergeseran mengubah manusia

dalam kungkungan ideologi di mana manusia tidak bisa lagi kritis dengan keadaan sekitarnya

bahkan terhadap dirinya sendiri.

Masalahnya, Seyla Benhabib mencatat adanya ambivalensi posisi Teori Kritis dalam kritik rasio

instrumentalis. Di satu pihak, Teori Kritis memang menangkap maksud pemikiran Weberian

dalam proses rasionalisasi tapi di lain pihak Teori Kritis juga menerapkan utopia rasionalisasi

kemasyarakatan dan kebudayaan.

Berkaitan dengan konteks di atas, Seyla Benhabib melihat bahwa konsep self-preservation

mengimplikasikan cara berelasi, keperluan dan keinginan diri sebagai sesuatu yang tidak berubah

dan ahistoris. Meskipun demikian konsep self-preservation tetap memperhatikan kondisi sosial,

sejarah. Otonomi manusia mangandaikan tindakan reflektif. Tindakan reflektif ini akan dinilai

oleh prinsip etis sosial yang terkait dengan latar belakang kolektif yang ada.

Menurut Seyla Benhabib, Horkheimer mempertahankan wacana etika formalisme Kantian. Pada

dasarnya, Teori Kritis mengembangkan etika material atas nilai. Horkheimer mencoba

memperlihatkan dan mengeksplorasi seperangkat norma yang seharusnya memberikan makna

kehidupan manusia apa adanya.

Maka dapat dikatakan bahwa dalam seluruh wacana II ini dapat diperlihatkan bahwa terjadi

kompleksitas baru dalam pandangan Horkheimer, Adorno, Marcuse dan lainnya. Tetap terjadi

ketegangan antara filsafat yang praksis dengan pemikiran yang memperlihatkan momen

emansipasi tidak terbatas lagi dalam aktivitas konkret individu tapi juga dalam tataran nilai yang

mempengaruhi rasio dan sistem nilai orang atau individu.

Dalam Negative Dialectics, Adorno mencoba membuka untuk melihat secara jelas posisi premis

kesejarahan dalam seluruh pengalaman manusia individual. Harus ada posisi sosial yang

memberikan pengaruh pada pemikiran identitas.

Kritik filsafat anthropologi Teori Kritis tidak bisa dilihat lagi sebagai filsafat kesejarahan.

Konsep otonomi tidak bisa dilihat sebagai kategori aktualisasi diri. Otonomi seharusnya dilihat

dalam perspektif anthropologi filosofis atau filsafat sejarah. Yang jelas problem otonomi

Page 17: The Principles of Media Criticism

manusia harus dilihat dalam dua tahap yang jelas, yaitu tahapan bahwa otonomi melampaui soal

preservasi diri.

Wacana III: Transformasi Kritik dan Tranformasi Etika Komunikatif

Dalam pandangan Seyla Benhabib, di sana-sini terjadi kebuntuan dalam Teori Kritis dalam

memahami proses kritik sosial. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx sudah disibukkan

dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan manusia

tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong

praksis perubahan sosial. Praksis bukan merupakan tingkah laku buta atas naluri belaka,

melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Jadi praksis diterangi oleh kesadaran

rasional.

Seyla Benhabib melihat bahwa Habermas sudah meneliti bahwa Hegel menjadi pelopor tradisi

ilmu sosial kritis untuk memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja” tapi juga merupakan

proses “tindakan komunikatif”. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional, rasio tidak hanya

tampak dalam aktivitas menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi

intersubjektif dengan bahasa sehari-hari. Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi

dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik kerja maupun

bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas.

Seyla Benhabib juga melihat bahwa Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham ilmu kritis

juga menampakkan kebuntuan dengan kepentingan emansipatorisnya. Sesungguhnya teori ini

ingin membantu manusia untuk semakin otonom dan dewasa.

Otonomi kolektif berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi. Konsensus bisa

dicapai dalam masyarakat yang reflektif dan berhasil melakukan komunikasi secara memuaskan.

Tentu saja paradigma komunikasi meliputi klaim kesahihan yang terdiri dari klaim kebenaran,

klaim ketepatan, klaim otentisitas dan klaim komprehensibilitas (Habermas, 1983).

Dalam wacana ini, Seyla Benhabib berpendapat bahwa Habermas memberikan tawaran wacana

komunikatif untuk “menambal” kelemahan Teori Kritis dalam menghadapi masalah modernitas.

Teori Kritis, meski demikian, memperlihatkan rasio yang dikondisikan secara kontekstual. Teori

Kritis tetap memperlihatkan pencerahan tidak bisa diatasi dengan meninggalkan kompleksitas

Page 18: The Principles of Media Criticism

sosial modern tapi dengan pencerahan lebih lanjut. Menurut Seyla Benhabib, Habermas tetap

konsisten mengatakan bahwa negasi tetap atas rasio yang berpusat pada subjek dengan rasio

yang dipahami sebagai tindakan komunikatif.

Rasio komunikatif merupakan sikap mengobjektifkan yang membuat subjek pengetahuan

memandang dirinya sebagai entitas-entitas di dunilai luar tidak lagi terprevilegikan. Hubungan

ambivalensi dari subjek kepada dirinya dihancurkan oleh intersubjektivitas yang memungkinkan.

Rasio tidak mengasimilasikan diri pada kekuasaan tapi lebih langsung atau tidak langsung

berasimilasi pada klaim kebenaran, ketepatan normatif, otentisitas dan keselarasan estetik.

Seyla Benhabib melihat bahwa titik tolak Habermas atas rasionalisasi selalu menghasilkan tiga

segi. Segi pertama adalah reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru

yang muncul, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk

kebutuhan konsensus. Segi kedua adalah integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam situasi

baru, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana hubungan antar pribadi yang diatur

secara legitim. Segi ketiga adalah sosialisasi yang menjamin bahwa dalam situasi baru, perolehan

kemampuan umum untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin.

Refleksi: Wacana Alternatif

Setelah membaca buku Seyla Benhabib ini ada beberapa konsiderasi reflektif yang mungkin

perlu diungkapkan sebagai usaha proses pendalaman isi reflektif buku yang dibaca.

Pertama, salah satu maksud praktis dari Teori Kritis adalah membantu proses refleksi diri

masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Proses rasionalitas adalah proses

menuju otonomi dan kedewasaan. Dalam hal ini Teori Kritis berhutang besar pada “patron

sosiologi” Max Weber atas sumbangan tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang

sama juga, Teori Kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Teori

Kritis melalui Habermas dan Seyla Benhabib mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas

dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori Kritis mengkritisi

modernitas ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan

kemakmuran ekonomis. Dalam tindak komunikatif, ada bentuk rasionalitas lain yang perlu

dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak pernah bisa berkembang. Dalam hal

ini proyek emansipatoris mengalami hambatan yang luar biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana

Page 19: The Principles of Media Criticism

rasionalitas praktis-moral mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi

masyarakat.

Seyla Benhabib tidak melihat secara komprehensif potensi krisis yang dialami oleh masyarakat.

Seyla Benhabib secara jelas mencoba mengikuti Profesornya, yaitu Habermas, bahwa ancaman

krisis yang paling mencolok adalah krisis sosio-kultural. Meminjam istilah Habermas, krisis

legitimasi dimulai dengan krisis motivasi. Dalam pengalaman empiris, Seyla Benhabib

mengikuti Habermas menunjukkan bahwa krisis legitimasi negara telah menguras energi

utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja sosial memang habis.

Tapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah ? Kiranya justru sekarang utopia bergeser pada

arah komunikasi sosial.

Teori Kritis mencoba untuk menghitung dan memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada

masyarakat kapitalisme lanjut. Masihkah perjuangan sosial harus diteruskan dan disuarakan ?

Tetapkah energi pemikiran kritis tetap aktual bagi masyarakat sekarang ?

Perspektif Teori Kritis Komunikasi Massa

Perkembangan perspektif kritis dan budaya dalam memahami komunikasi massa, akhir-akhir ini,

menjadi penting dan menjadi perspektif alternatif. Akar perspektif kritis berangkat dari asumsi-

asumsi teori Marxis selain bahwa juga dipengaruhi dengan kritisisme bahasa. Argumentasi

teoretisi menyatakan bahwa media massa selalu mendukung status quo dan mencampuri usaha

gerakan perubahan sosial. Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah

di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi

intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik

bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian

komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi.

Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial

dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan

arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.

Page 20: The Principles of Media Criticism

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari

paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang

tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial.

Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari

kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba

membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis

tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan

paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas.

Beberapa teoretisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bisa bertahan dari gempuran pengaruh

media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite

domina mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam perdebatan teoretis ini memang

harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan

penelitian yang bersifat empirik positivistik.

Perspektif Kritis dan Kultural

Teori kultural dalam posisi tertentu merupakan juga teori kritis. Sistem nilai kurang lebih

menjadi dasar dari posisi epistemologis tersebut. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyaraakt

dipakai untuk mengkritisi institusi sosial yang ada dan praktik tindakan sosial. Institusi dan

tindakan sosial meminggirkan beberapa nilai penting yang dikritisi. Alternatif-alternatif institusi

atau tindakan sosial ditawarkan. Teori digunakan untuk melakukan tujuan praksis. Teori

dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik

sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil

karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi.

Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat,

pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik

kritis terdiri dari tiga kriteria.

Page 21: The Principles of Media Criticism

Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi.

Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam

masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu.

Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam

norma-norma budaya dominan.

Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan

dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan

demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu

kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas

yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan

manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretatif. Oleh sebab

itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara

simbol dengan realitas yang disimbolkan.

Politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan

makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial

penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi.

Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok

dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang

budaya - tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi -

konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang. Hal ini

disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah

dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan

paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.

Salah satu ciri kajian budaya adalah menempatkan teori kritis sebagaim basis analisa. Pengertian

teori kritis di sini mencakup metode metadisiplin atau mengabaikan satu ilmu alat ketika analisa

dirasakan telah mencapai upaya membangun perspektif yang lebih baru. Sebagaimana galibnya

sebuah tujuan penelitian ilmu, ia tidak diharapkan hanya mengisi ulang alasan-alasan yang telah

ada, tetapi bagaimana memunculkan dan mematikan alasan-lasan lama bila dianggap tidak

berbasis pada teks yang dituju. Kearifan cultural studies akan menggiring kita kepada

Page 22: The Principles of Media Criticism

pemahaman bahwa setiap waktu atau satuan era, lokalitas, dan konteks masyarakat memiliki

hasrat sosial yang tidak sama. Pencapaian pemahaman tinggi dapat terjadi jika kita dengan lunak

mencerdasi setiap fenomena sosial melalui sebuah format ingin tahu, meneliti, dan berbicara

sebagai subyek pelaku.

Catatan Kritis

Namun demikian yang lebih penting untuk diuraikan berikutnya tentu saja adalah teori-teori

media dan kritisisme sosio-kultural yang mampu menyediakan wacana kritik dan telah

memungkinkan suatu praksis politik. Disamping beberapa konsep dan metode yang diderivasi

dari wacana filosofis tersebut, teori media dan teori kritik media juga tak mungkin di cerai-

beraikan dari teori budaya. Perjumpaan perspektif yang eklektif itu bisa dimengerti jika kita

menelisik pengertian budaya. Pengertian yang cukup representatif diusulkan oleh Raymond

Williams dalam Keywords (1983:87) yang mengoleksi tiga definisi untuk kata ‘budaya’;

pertama, budaya dapat digunakan untuk menunjuk pada proses umum intelektualitas, spiritualitas

dan perkembangan estetika.

Kita dapat, misalnya, berbicara tentang perkembangan budaya Aceh dan hanya menunjuk pada

faktor-faktor intelektual, spiritual, dan estetikanya -- ulama’-ulama’, para seniman, dan sajak-

sajak. Kedua, kata ‘budaya’ untuk menunjuk pada cara pandang tertentu, apakah itu suatu

masyarakat, jaman maupun suatu kelompok. Ketiga, Williams menyarankan bahwa budaya dapat

digunakan untuk mengacu pada karya-karya dan praktik-praktik intelektual khususnya aktivitas

artistik. Dengan kata lain, ‘teks-teks’ dan ‘praktik-praktik’ yang fungsi utamanya adalah untuk

menandakan dan untuk memproduksi makna. Definisi ketiga inilah yang memiliki

persinggungan dengan apa yang biasa disebut oleh para strukturalis dan pasca-strukturalis

sebagai ‘praktik-praktik penandaan’.

Berbicara tentang budaya, kiranya wilayah antropologi dan sosiologi tidak bisa dikesampingkan

begitu saja. Dalam pemahaman antropologis, budaya adalah “suatu sistem simbolik yang

terbentuk secara internal, khas secara sosio-historis. Dengan demikian -berlawanan dengan

definisi diatas- untuk merengkuh budaya tidak mungkin dengan mereduksinya pada praksis,

struktur sosial atau ‘impuls-impuls kemanusiaan dasar”.

Page 23: The Principles of Media Criticism

Teori Kritis Simulacra dan Hyper-reality: Super Junior, Representasi Ketampanan Lewat

pencitraan

PENDAHULUAN

Dari keseluruhan program hiburan yang disiarkan di tv, pasti salah satu satunya adalah acara

musik. Jika diperhatikan, acara musik di setiap statsiun tv swasta Indonesia jenisnya sama hanya

sedikit dibedakan pada packagingnya, misal indoor atau outdoor. Selebihnya, acara-acara musik

itu dipandu oleh MC yang terdiri dari artis perempuan cantik, pria tampan, dan aktor lawak

untuk memeriahkan suasana dan menghibur penontonnya.

Selain menyuguhkan musik-musik yang menjadi hits/single terbaru, acara musik di TV juga

biasanya menyajikan tayangan yang menggambarkan fenomena dalam dunia musik saat itu,

misalnya menampilkan Udin Sedunia,seorang penyiar radio yang terkenal karena lagu yang ia

buat dan ia post lewat jejaring youtube, fenomena Briptu Norman yang lipsing lagu india, dan

lain lain.

Acara musik tentu sangat berhubungan erat dengan rating karena rating akan mempengaruhi

pihak pengiklan apakah akan memasang iklan pada acara tersebut. Sumber dana produksi sebuah

acara tv sebagian besar dari iklan. Untuk itu, sebuah acara musik harus selalu menyajikan

tayangan tayangan yang terbaru, menyajikan musik-musik yang memang sedang trend dan

disukai masyarakat agar masyarakat tertarik untuk menonton acara tersebut sehingga rating acara

musik itu akan naik dan pemasang iklan tertarik untuk memasangkan iklan produknya pada

acara yang ber-rating tinggi tersebut.

Salah satu fenomena dalam dunia musik yang menyedot perhatian public di Indonesia dan yang

sedang terjadi sekarang yakni fenomena Boyband yang banyak bermunculan di Industri musik

dan pertelevisian Indonesia. Nama Boyband SM*SH muncul kepermukaaan sebagai gebrakan

pertama dan yang mempelopori lahirnya era baru Boyband Indonesia.

Ditengah kebosanan dan kejenuhan publik akan musik Indonesia sebelum boyband, yakni

menjamurnya band band yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia yang menyanyikan lagu

cinta dengan nama band yang ear-catching. Singe-single mereka menjadi hits dan menjadikan

mereka muncul sebagai bintang tetapi tidak lama kemudian, bintang itu pun akhirnya tenggelam

Page 24: The Principles of Media Criticism

karena situasi, yakni persaingan yang ketat dimana banyak bermunculan band band baru yang

lebih inovatif dan kreatif. Karena tidak bisa mempertahankan kreatifitas dan posisinya akhirnya

mereka tenggelam dalam persaingan. Sedikit banyak begitulah alur yang terlihat, walau ada

beberapa band yang bisa bertahan lebih lama dikarenakan beberapa factor pendukung, misalnya

ketersediaan modal produksi, kreatifitas yang terus dikembangkan, dan memang popularitasnya

selalu naik misal karena issue, gossip, dll contohnya Dewa19, Ungu, Seventeen, dll.

Kembali ke era baru Boyband dengan SM*SH sebagai pelopornya, acara musik di tv berlomba

lomba untuk menampilkan SM*SH di TV, duet SM*SH dengan penyanyi lain, bahkan

infotainment pun tidak mau ketinggalan.

Kemunculan Boyband SM*SH menuai pro-kontra di masyarakat. Pihak yang pro mendukung

boyband SM*SH karena dianggap memberi angin segar bagi dunia musik Indonesia yang mulai

monoton dan menghidupkan kembli era Boyband yang dulu pernah ada dan kemudian redup,

misalnya Trio Libels, ME,dll. Pihak yang kontra menganggap SM*SH telah melakukan

plagiarism konsep terhadap konsep Boyband-Boyband yang sekarang juga tengah menjadi trend

di Korea Selatan. Tetapi Plagiarism atau bukan belum ada yang bisa menentukan dan

membuktikannya sampai sekarang. Untuk mengklarifikasi dan meredam issue/tuduhan

plagiarism terhadap SM*SH, SM*SH sendiri telah mengakui kalau mereka memang terinspirasi

oleh boyband korea tetapi menolak untuk disebut sebagai plagiat. Hal tersebut membuktikan

bahwa memang industri musik negeri gingseng tersebut memang memberikan pengaruh

tersendiri terhadap dinamika musik Indonesia.

Salah satu boyband asal Korea Selatan yang memiliki banyak fans di Indonesia dan terkenal

tidak hanya di Asia bahkan Dunia serta cukup berpengaruh di industry musik asia adalah Super

Junior. Boyband yang beranggotakan 13 pria muda asal Korea Selatan ini memiliki penggemar

di banyak Negara di dunia terutama asia dan Super Junior merupakan sebuah fenomena yang

menarik untuk dikaji karena pasalnya boyband ini memiliki jutaan fans/penggemar yang

tergabung dalam banyak fansclub yang juga tersebar diseluruh dunia bahkan ada fansclub yang

lingkupnya internasional, jadi anda harus mendaftar dan memiliki kartu member fansclub jika

ingin menjadi fans resmi dan diakui menjadi fans Super Junior yang kerap disebut ELF ini.

Page 25: The Principles of Media Criticism

Fansclub ini melakukan banyak kegiatan bersama misalnya menonton konser bersama,

mengadakan acara gathering atau kumpul kumpul dan diskusi yang biasanya dilakukan via

online lewat forum-forum diskusi di internet dan tema diskusinya tentu saja tentang idola

mereka, Super Junior. pertanyaan yang sering muncul adalah hal apa yang sebenarnya dimiliki

oleh boyband ini dan apa saja yang mereka lakukan sampai melahirkan fenomena yang begitu

luar biasa, dicintai dan digemari banyak orang dari berbagai kelompok umur terutama remaja

wanita padahal mereka tidak kenal secara personal, bahkan banyak yang tidak pernah bertemu

langsung. Pada intinya mengapa mereka bisa begitu memuja dan mengidolakan orang “asing”

yang bahkan orang “asing” tersebut juga tidak mengenal para penggemarnya satu per satu.

Berbagai pendapat dilontarkan oleh para penggemarnya tentang Super Junior, apa yang mereka

suka, apa pendapat mereka, mengapa mereka begitu tergila gila kepada Super Junior, dan

jawaban mereka rata-rata sama yakni musik, dan ketampanan yang dimiliki masing masing

personil. Konsep tampan itu kini menjadi homogen bagi Super Junior, dan kesadaran yang

mereka miliki adalah bahwa yang memiliki ciri ciri wajah seperti Super Junior -lah yang

termasuk pria tampan. Homogenitas tentang criteria pria tampan dikonstruksikan atau dibentuk

oleh media dan salah satu representasinya adalah Super Junior, hal ini (konstruksi ketampanan

ini) yang juga menginspirasi salah satunya boyband SM*SH.

Ada kesamaan yang bisa dilihat dari boyband boyband tersebut, yakni wajah putih bersih, tubuh

proporsional, bentuk wajah lonjong atau segitiga, hidnung mancung, ceria, pembawaan hangat

dan ramah, charming, pembawaan yang romantis, mempesona dan menjadi idaman setiap

wanita. Kesadaran semu yang diciptakan yakni bahwa pria yang ideal adalah yang memiliki ciri

tersebut.

Citra tersebut mempengaruhi kesadaran dan penilaian orang apalagi yang menjadi fans fanatik

dari suatu boyband dalam melihat dunia dengan kata lain pandangan yang dimiliki akan menjadi

sempit karena akan selalu berpatok kepada apa yang dimiliki, melekat, dan dilakukan oleh

boyband tersebut. Pencitraan dalam konstruksi seperti apa kriteria pria tampan yang ideal itu

ditampilkan terus menerus sehingga melekat pada diri publik, sehingga publik terutama fans

akan memiliki standar yang sama atau homogen tentang seperti apa pria yang tampan itu.

Page 26: The Principles of Media Criticism

Manusia modern memang dibuat dan dikondisikan untuk tidak bisa dan tidak akan dapat lepas

dari kepentingan kapitalisme dengan ritual intinya (produksi, konsumsi, distribusi). Situasi

sekarang ini sudah bukan lagi situasi dimana produksi barang dilakukan untuk semata mata

memenuhi kebutuhan, kapitalis bertindak lebih juh dengan menciptakan sebuah kebutuhan

(perasaan dan hasrat membutuhkan sesuatu yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan

pokok/tidak terlalu dibutuhkan) lewat kesadaran yang dibentuk. Produk kapitalisme pun menjadi

satu atau berbaur dengan kesadaran yang dikonstruk oleh media. Tulisan ini akan membahas

konstruksi oleh media dalam membentuk dan menanamkan kesadaran tentang pria tampan yang

ideal dimana konstruksi media tentang pria tampan yang ideal itu direpresentasikan oleh

boyband asal Korea Selatan, Super Junior.

Konstruksi yang diangkat oleh media tersebut didukung dengan perkembangan teknologi

informasi yang semakin maju, keberadaan internet yang bukan menjadi barang asing di

Indonesia telah melancarkan tersampaikannya pesan pesan media yang memberikan konstruksi

dan menciptakan sebuah realitas baru itu. Bagaimana konstruksi media atas boyband tersebut

dibangun serta pencitraan dan sign-sign tertentu serta realitas seperti apa yang timbul dan

terbentuk karena konstruksi yang dibuat media tentang pria ideal pada boyband selengkanya

akan dibahas dalam makalah ini menggunakan konsep simulacra dan hyper-reality dari Jean

Baudrillard.

2. FENOMENA

Korean Wave atau Hallyu atau demam Korea sudah mulai terasa di Indonesia sekitar tahun

1990-an yakni mulai banyaknya drama Korea yang diputar di Indonesia. (diunduh dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Korean_wave). Seiring dengan perkembangan korea wave di

berbagai Negara asia termasuk asia tenggara dan Indonesia tentunya, Korean Wave dari drama-

drama serial bergeser ke arah musik. Boy band-boy band mulai digandrungi para remaja di

Indonesia. Salah satu boyabnd yang booming dan oleh beberapa pengamat musik dan budaya

dianggap berpengaruh terhadap trend di Industri musik dan hiburan Indonesia adalah Super

Junior.

Page 27: The Principles of Media Criticism

Salah satu pengamat musik dan budayawan yang mengakui pengaruh artis K-pop di Indonesia

adalah Benny Benke. Benke mengatakan genre musik boyband Super Junior yakni K-pop adalah

kependekan dari Korean Pop atau musik pop Korea yang berasal dari Korea Selatan.

Kegandrungan akan musik K-Pop merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Demam Korea

(Korean Wave) di berbagai Negara termasuk Indonesia.

Super Junior yang juga dikenal SJ atau Suju adalah sebuah boyband asal negeri gingseng Korea

Selatan. Boyband ini beranggotakan 13 orang pria muda yakni, Leeteuk, Heechul, Han Geng,

Yesung, Kang-In, Shindong, Sungmin, Eunhyuk, Donghae, Siwon, Ryeowook, Kibum, dan

Kyuhyun. Album mereka yang diberi nama SuperJunior05 (TWINS) dirilis pada tahun 2005.

Super Junior berada dibawah sebuah agen bakat Korea dan label rekaman, SME (SM

Entertainment) milik salah satu pengajar Harvard yang juga asal korea selatan, Soo-Man Lee.

Perekrutan anggota Super Junior dilakukan lewat sebuah casting audition yang diadakan SM

Entertainment pada tahun 2000. Super Junior memulai debutnya pada 6 november 2005 dan baru

beranggotakan 12 (tidak termasuk Kyu hyun). Super Junior dengan 12 orang memulai debutnya

dalam program musik salah satu stasiun tv Korea, yakni SBS Online Songs tentunya pada

tanggal 6 November 2005 dengan membawakan single pertama mereka, “TWINS” (Knock Out).

Album perdana mereka terjual 28.536 kopi di bulan pertama rilis dan single debutnya menempatI

#3 di chart bulanan pada Desember 2005. Masih pada bulan desember 2005, Super Junior merilis

album bersama boyband yang lebih senior, DBSK bertajuk “Show Me Your Love” yang menjadi

single terlaris di korea dan asia pada Desember 2005 dengan 49.945 salinan yang terjual selama

bulan itu. Memulai kesuksesan nya di belantika musik korea dan asia, Super Junior

menambahkan 1 anggota baru, anggota ketigabelas pada mei 2006 yakni Kyuhyun.

Super Junior banyak meraih sukses, fans nya pun semakin banyak dan tersebar bukan hanya

Korea bahkan merambah asia, termasuk Indonesia. Super Junior dibentuk dengan pencitraan

sekelompok anak muda, pria yang ceria, bersahabat, tampan, digemari dan dicintai oleh target

audience nya yakni sebagian besar terdiri dari wanita dan pelajar, selain itu dicitrakan pula

sebagai sekelompok pemuda yang bertalenta terutama menyanyi dan menari. Karena targetnya

adalah perempuan yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa dengan kategori umur yang tidak jauh

Page 28: The Principles of Media Criticism

dari personil Super Junior, yakni maksimal 20-an/dibawah 30-an, maka publikasi dari segala

macam bentuk aktivitas, hasil karya, dan program yang menampilkan Super Junior dilakukan

lewat internet dan tv cabel sebagai media yang dekat dengan target audience.

Dari awal debut, internet adalah media yang paling berpengaruh dalam menyebarkan “demam

suju”. Single berjudul “U” yang dirilis masa awal debut bisa di download gratis pada 25 Mei

2006 di website resmi resmi Super Junior. Strategi SM Entertainment untuk emmpopulerkan

Super Junior adalah dengan menyebarkan “demam suju” seluas luasnya dengan menggunakan

berbagai media terutama media yang banyak diakses oleh target audience dan bisa dijangkau di

seluruh dunia, yakni internet. Single “U” telah didownload oleh lebih dari 400 ribu pendownload

hanya dalam waktu lima jam dan total pendownload mencapai angka lebih dari 1,7 juta

pendownload menuju server beberapa jam setelahnya. Di korea, single “U” pun menduduki

peringkat #1 di semua tangga lagu koea dan menjadikan Super Junior boyband paling popular

sepanjang tahun.

Super Junior meraih bnyak penghargaan tidak lama setelah mereka debut, penghargaan-

penghargan tersebut diantaranya menjadi nominasi dalam 7 kategori terpisah acara musik

bergengsi dikorean yakni M.NET / KM Musik Festival yang digelar di 17 November, 2007 dan

berhasil memenangkn beberapa nominasi diantaranya “Netizen Choice Award”, “Mobile

Popularitas”, “Best Artist of the Year” (Daesang) yakni penghargaan tertinggi bagi palku seni di

korea selatan.

Dari keempat album yang dirilis oleh Super Junior, yakni Super Junior05/TWINS (2005), Don’t

Don (2007), Sorry Sorry (2009), dan Bonamana (2010), albumnya yang paling booming di

Indonesia adalah album Sorry Sorry dengan single andalannya berjudul sama, Sorry Sorry. Super

Junior mulai menjadi perbncangan dimana mana terutama dikalangan pelajar terutama wanita,

pengamat hiburan dan tentunya pecinta K-Pop (musik Korea). Para penggemar Super Junior/fans

nya pun bergabung membentuk satu wadah/komunitas yang disebut ELF dan di Indonesia

disebut ELF Indonesia.

Page 29: The Principles of Media Criticism

Seberapa-digandrungi nya Super Junior bisa dilihat dari jumlah penggemarnya yang terus

menerus bertambah. Seperti yang dilansir dari asiangrup, sebuah situs berita online seputar artis

artis asia, Super Junior mendapat gelar artis dengan jumlah follower (pengikut) terbanyak di

Twitter versi Star News. Tanggal 4 Mei lalu, Star News mengumpulkan nama-nama artis idola

Korea dan, membandingkan jumlah fans mereka di situs jejaring sosial yang mereka punya

seperti Twitter dan me2day. Dari survei itu, Super Junior memiliki jumlah fans terbanyak.

Selama ini tiga belas personel Super Junior sangat aktif di Twitter. Kecuali Han Geng, Kang In,

dan Sung Min, sepuluh personel lainnya memiliki situs Twitter. Star News menulis, Lee Teuk

( 363.930 follower), Hee Chul (463.825 follower), Dong Hae (493.885 follower), Si Won

(444.642 follower), Ye Sung (339.883 follower), Shin Dong (352.605 follower), Eun Hyuk

(350.564 follower), Ryeo Wook (301.543 follower), Ki Bum (140.802 follower), Kyu Hyun

(269.583 follower).

Dari data Star News tersebut terlihat rata rata personil Super Junior memiliki follower lebih dari

100 ribu orang. Star news menyimpulkan bahwa dengan data tersebut Super Junior menempati

posisi teratas artis Korea dengan jumlah follower tertinggi dari seluruh dunia.

Selain dilihat dari jumlah follower di twitter, banyaknya jumlah penggemar Super Junior pun

bisa dilihat dari banyaknya “like” di facebook page mereka, artinya Super Junior adalah sebuah

fenomena dilihat dari angka penggemaranya yang mencapai ratusan ribu.

Di Indonesia tentunya ada banyak fans Super Junior yang biasa disebut ELF. Memang belum ada

data pasti tentang berapa jumlah elf di Indonesia. Sebuah EO, promoter musik yang berencana

mendatangkan Super Junior ke Indonesia masih berusaha mendata berapa jumlah elf di Indonesia

dan pihaknya memperkirakan jumlah elf bisa mencapai angka puluhan ribu, hal itu tergambar

dari jumlah “like” di banyak elf indonesia’s page di facebook.

Page 30: The Principles of Media Criticism

Banyaknya elf (penggemar Super Junior) tentu tidak diragukan lagi. Timbul sebuah pertanyaan

di banyak pihak yang sadar akan fenomena boyband korea di Indonesia dan Korean wave, apa

sebenarnya yang mereka suka dari boyband/artis artis korea terutama Super Junior?

Berbagai jawaban didapat para ELF lewat forum forum elf di Internet, dan dari berbagai jawaban

yang diberikan, ketampanan adalah alasan pertama yang diikuti skill/talenta lain.

Ketampanan pada personil Super Junior memang sebuah nilai plus bagi Boyband ini yang juga

menjadi ciri khas dari Super Junior dan tentu saja boyband boyband Korea lain. Jika diperhatikan

sekilas ada kemiripan diantara personil personil Super Junior atau boyband Korea lain.

Kesamaan/kemiripan tersebut yakni dagu lancip/segitiga, wajah lonjong, tubuh proporsional,

wajah dan kulit bersih, baby face, camera face, good looking, bahkan cenderung “cantik”,

terawat, dan fashionable.

Super Junior dicitrakan sebagai boyband dengan anggota yang berjiwa muda, dinamis, hangat,

ceria, dan tampan. Untuk menonjolkan pencitraan tersebut, dan untuk menampilkan sisi-sisi dari

citra yang ignin dibangun tersebut, Super Junior tidak hanya bernyanyi tapi kerap membintangi

sebuah film bioskop berjudul Wonder Boys. Dalam film tersebut sangat ditonjolkan sisi

ketampanan dan sisi Charming dari masing masing personil Super Junior, misalnya dengan

teknik pengambilan gambar yang kebanyakan close up pada wajah.

Selain film, pencitraan yang dilakukan SM Entertainment terhadap Super Junior banyak juga

lewat reality show, iklan, video video keseharian Super Junior yang di upload ke internet

(youtube), dan lain lain. Usaha tersebut dilakukan agar Super Junior mendapat pengakuan dan

semua pihak memiliki pandangan tertentu kepada Super Junior seperti yang dicitrakan, yakni

tampan, ceria, berkepribadian hangat, dan bertalenta. Tidak tanggung-tanggung, untuk

mendapatkan kesempurnaan dan kesan tampan yang diinginkan, pihak SM Entertainment

melakukan operasi plastic pada artis artisnya dan hampir semua personil Super Junior pernah

merasakan yang namanya operasi plastic.

Page 31: The Principles of Media Criticism

Kriteria tampan yang melekat pada boyband Korea terutama Suju ikut juga mempengaruhi

pendapat masyarakat terutama ELF dan para penikmat dunia hiburan tentang penilaian mereka

terhadap seorang pria. Masyarakat setuju kalau Super Junior itu terdiri dari para pemuda tampan

dengan criteria wajah segitiga, kulit putih bersih, fashionable, hidung mancung, tubuh

proporsional, dan baby face. Masyarakat terutama remaja wanita di Indonesia pun memuja Suju

sampai membeli semua photobook yang harganya bisa mencapai ratusan bahkan jutaan rupiah

dan mengikuti konser suju di luar negeri.

Melihat fenomena tersebut, para “pengontrol” dunia hiburan Indonesia lantas mengikuti dan

mengadopsi trend dari negeri gingseng tersebut. Kalau kita melihat layar tv, banyak artis muda

bermunculan dengan kriteria yang sama, yakni mengusung konsep Boyband yang fashionable,

wajah tampan dengan hidung mancung, dagu segitiga, wajah lonjong, kulit putih, bersih, dan

baby face. Dengan kata lain konstruksi media tentang criteria pria tampan yang

direpresentasikan dengan Super Junior telah menyebabkan homogenitas pada pemikiran

masyarakat sehingga pemikiran masyarakat menjadi lebih sempit dalam menilai sesuatu.

Teori

Jean Budrillard, seorang teoritisi asal perancis barat yang lahir di Reims pada 5 januari 1929,

berteori tentang masyarakat postmodern dimana asumsi utamanya adalah bahwa media, simulasi,

dan cyberblitz telah mengkonstruksi dan mengkonstitusi suatu bidang pengalaman baru, tahapan

sejarah, dan tipe masyarakat yang baru. Fondasi filsafatnya adalah Entertainment terhadap

pemikiran tradisional dan ilmiah yang menurutnya telah mengganti realitas dengan ilusi tentang

kebenaran. Lanskap pemikirannya yang luas dipengaruhi oleh semangat zaman yang tengah

mengalami krisis modernitas besar (The Great Depression) yang pertama.

Baudrillard telah menghasilkan banyak buku dan artikel lewat pemikiran pemikirannya. Karya-

karya awal Baudrillard yang banyak yang mengkaji soal kemungkinan konsumsi. Pemikiran

Baudrillard dapat dipetakan sebagai pelacakan terhadap kehidupan tanda-tanda (the life of the

Page 32: The Principles of Media Criticism

signs) dan pengaruh teknologi dalam kehidupan sosial

(http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/)

Baudrillard banyak membahas tentang makna yang tertanam dalam objek-objek dalam

kehidupan sehari-hari dan sistem-sistem struktural melalui objek yang terorganisasi dalam

masyarakat modern (misalnya prestise/gengsi atau nilai-tanda sebuah mobil sport baru) yang

coba ia tuangkan lewat bukunya. Buku buku tersebut diantaranya

1. tahun 1968 ia menulis buku The System Of Objects yang sangat terpengaruh oleh karya

Barthes yakni The Fashion System (1967). Dalam The System Of Objects Baudrillard

mengadopsi metode semiologi Barthesian untuk menggali dan mengetahui hubungan dan

mistifikasi objek-subjek yang ada dalam realitas masyarakat modern.

2. Tahun 1969 atau satu tahun setelah menerbitkan buku pertamanya, buku keduanya berjudul

Communications pun terbit. c mmunication adalah sebuah buku yang membahas mengenai

struktur komunikasi tanda (sign) dalam masyarakat Barat pada masa itu (1960-an) dan masih

berlaku dan tidak berbeda jauh dengan masa sekarang.

3. Tahun 1970 baudrillard menerbitkan buku berjudul La Societe de Consommation/The

Consumer Society yang membahas tentang consumer society/masyarakat konsumsi Barat

4. Tahun 1972 baudrillard menerbitkan buku kembali berjudul For a Critique of the Political

Economy of the Sign

5. Tahun 1973 baudrillard menerbitkan buku berjudul The Mirror Of Production .

(http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/).

Kelima buku yang ditulis baudrillard merupakan karya awal baudrillard dan oleh para pengamat

teori kritis karya karya awal baudrillard itu merupakan tahap awal yang disebut sebagai tahap

kritis dari baudrillard walau baudrillard sendiri tidak pernah membagi / mengkategorikan

pikirannya kedalam bentuk bentuk ata kelompok kelompok khusus.

Page 33: The Principles of Media Criticism

Karya awal baudrillard dianggap sebagai tahap awal kritisnya salah satunya adalah karena

pemikiran baudrillard sangat dipengaruhi oleh beberapa pemikir seperti Marx, Mauss, dan

Saussure dengan pemikiran Marx yang paling utama atau dominan. Cara berpikir baudrillard

adalah dengan mengadopsi pemikiran pemikiran tokoh tokoh tersebut sehingga menghasilkan

pemikiran yang benar benar “baudrillard” dimana pemikirannya terlihat lebih ke arah konsumsi

dan komunikasi massa.

Pemikiran kritis baudrillaard yakni bahwa Baudrillard ingin mengkonstruksi ulang masyarakat

kapitalis, karena keadaan saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk masyarakat keluar dari

kapitalisme seperti yang menjadi harapan Marx dan kini menurut baudrillard, dunia sudah

dipenuhi dengan konsumsi dan simbol-simbol.

Berangkat dari inilah, Baudrillard memandang bahwa apa yang dikatakan Marx mengenai nilai

guna dan nilai tukar tidak lagi relevan. Bangunan (konstruksi) masyarakat kapitalisme yang

memandang produksi sebagai penggerak ekonomi kini harus dibangun ulang bahwa masyarakat

kapitalisme melihat konsumsilah sebagai penggerak ekonomi, bahkan pada sosial, politik, dan

budaya juga. Mode of production dibawa kearah mode of consumption.

Konsumsi kini disadari dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan dan kegiatan diproduksi

bukan semata-mata untuk menghasilkan kebutuhan dasar namun untuk salah satunya untuk

meningkatkan kebanggaan simbolik. Seseorang yang menggunakan mobil Lamborgini akan

mendapatkan prestise dibandingkan orang yang menggunakan mobil BMW Mini Cooper karena

orang dengan mobil sport akan lebih disimbolkan sebagai orang yang maskulin daripada city car.

Jean Baudrillard sering dianggap sebagai pemikir barisan depan yang mengkaji persoalan

masyarakat konsumer secara cukup komprehensif karena tidak saja mengkritik filsafat ekonomi

politik Marx, melainkan memasukkan perkara konsumsi ini dalam linguistik struktural seperti

yang dirintis Saussure dengan semiologinya. Hasil analisis Baudrillard yakni konsumsi dewasa

Page 34: The Principles of Media Criticism

ini bukanlah konsumsi objek-objek material, melainkan konsumsi akan nilai- nilai; konsumsi

atas tanda.

Diskusi tentang masyarakat konsumer (consumer society) Baudrillard dimulai dengan

diagnosisnya akan nilai tanda (sign value). Nilai tanda (sign value) adalah “ideologi” yang

dihidupi oleh masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi. Dalam sign value, motif

terakhir tindakan konsumsi bukanlah pelayanan dan nilai guna suatu barang, melainkan produksi

dan manipulasi penanda-penanda sosial. Konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas

sosial, budaya bahkan politik (Kellner,1994: 3).

Terjadi transformasi dari mode of production ke mode of consumption. Transformasi tersebut

adalah bentuk pergeseran dari use-value dan exchange-value nya Marx ke arah dominasi nilai

tanda dan nilai simbol. Konsumsi menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek.

Konsumsi adalah sistem objek-objek yang mengklasifikasi dan membentuk makna dalam

kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Sign value dijalankan oleh pergeseran nilai tersebut

yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat postmodern.

Baudrillard pada awalnya tidak memberikan sumbangan pikirannya tersendiri, akan tetapi

dipengaruhi oleh beberapa pemikir walau pada perkembangannya baudrillard emmiliki “suara”

dan pendapatnya sendiri. Bukti bahwa pemikiran baudrillard itu dipengaruhi oleh marx salah

satunya yakni bahwa Baudrillard mengeksplorasi kritik terhadap pandangan MarxiSM

Entertainment dalam bukunya, The System of Objects yang menyatakan bahwa ketika sebuah

produk dikonsumsi, yang dikonsumsi adalah makna-makna yang disebarluaskan melalui media,

misalnya iklan. Melalui asumsi tersebut Baudrillard menjelaskan tentang keberlimpahan

(profusion) tanda-tanda yang menyebar dengan luas. Relasi antara tanda dan konsumsi ini

merupakan poin penting memahami teori konsumsi Baudrillard.

Page 35: The Principles of Media Criticism

Objek diperlakukan sebagai tanda, konsumsi dan reproduksi dibuat sedemikian rupa melalui

iklan, display, kemasan, fashion agar masyarakat konsumer memperlakukan konsumsi sebagai

tanda, citra, dan pesan. Pilihan konsumsi bukan lagi berdasarkan pada komoditas.

Baudrillard melihat bahwa dalam masyarakat konsumer, objek-objek dimiliki, diatur,

dikonsumsi, dan diinvestasi melalui makna oleh subjek yang kemudian mengubah dan

mendefinisikan ulang objek-objek tersebut. Baudrillard percaya bahwa konsumsi objek-objek

menentukan tatanan sosial masyarakat. Dengan mengadaptasi teori Strukturalis, Baudrillard

berargumen akan adanya relasi timbal-balik antara individu dan sistem makna dalam masyarakat.

Sistem makna memaksakan kekuasaannya terhadap individu dengan cara bahwa melalui sistem

makna tersebutlah individualitas mendapat makna.

Sistem makna inilah yang menjadi prioritas, bukan interpretasi atau penilaian subjek. Sistem

makna dibangun berdasarkan sistem objek yang terorganisasi melalui, salah satunya, kode-kode

fashion. Sistem objek ini menjalankan apa yang disebut “integrasi ideologis” (ideological

integration). Integrasi ideologis mengandung makna bahwa subjek baru mendapat makna sebagai

“seseorang” (person) melalui proses “personalisasi” (personalisation) yang diatur oleh sistem

objek dan sistem tanda .

Menjelaskan lebih jauh tentang keterkaitan dari makna, sign, masyarakat consumer, realitas, dan

hal lain yang telah disinggung sebelumnya, baudrillard adalah sebuah teoritisi yang khas dengan

istilah istilah yang diperkenalkannya dalam pemikirannya yang berhubungan dengan masyarakat

consumer, yakni simulasi, simulacra, dan hyperreality.

Media massa dan informasi sekarang ini, yakni media massa dalam masyarakat yang disebut

baudrillard dengan consumer society, tidak lagi menjadi sarana komunikasi utuh tetapi menjadi

Page 36: The Principles of Media Criticism

sarana representasi makna dari simbol simbol (signs) yang merupakan produk kapitalis dengan

tujuan menggiring publik kepada hiper-realita dalam sebuah simulacrum.

Ketika peta dunia dibuat, yang harus dilakukan adalah menggambar daerah teritori lalu

kemudian membubuhkan garis teritori diatasnya, membuat kontur tanah dan warna untuk

membedakan mana dataran tinggi, rendah, lautan, dan lain lain. Peta dunia merupakan bentuk

dari simulasi daerah di dunia. Simulasi dunia lewat peta sesungguhnya telah mengacaukan

keadaan/ bentuk dunia sebenarnya, bahwa pada dasarnya alam tidak se-simple di peta dengan

skala dan berbagai simbol lainnya. Dalam kenyataan, terdapat kerutan kerutan tanah dalam

dataran yang tidak tergambar di peta padahal hal tersebut nyata. Manusia menjadikan peta

sebagai patokan untuk mengetahui bentuk/isi dari suatu wilayah sehingga yang tergambar dan

menjadi mindset menusia tentang bentuk dan keadaan suatu wilayah adalah kenyataan/ simulasi

lewat peta. Padahal, kebenaran sebenarnya tentang sebuah daerah tidaklah seperti yang

tergambar di peta.

Allegori simulasi yang indah seperti peta itulah yang sekarang mengikat dan melingkari

kehidupan kita sehingga kita tidak tahu kebenaran yang nyata karena sesungguhnya kebenaran

yang nyata itu sedang bersembunyi dibalik sebuah simulasi dengan tingkat advance yang

berkembang menjadi sebuah simulacrum.

Perbedaan jelas antara simulasi, simulacra, dan simulacrum yakni simulasi merupakan sebuah

tiruan dari sesuatu, objek/keadaan dimana masih mudah/bisa dibedakan atau ditemukan

perbedaannya antara yang asli dan palsu/mana realitas sebenarnya dan mana realitas buatan.

Ketika sebuah simulasi bercampur dengan kenyataan sebenarnya, direpresentasikan dan dibuat

se-nyata mungkin serta melibatkan pengalaman/sisi emosi dari masyarakat maka akan

membentuk sebuah simulacra. Simulacra merupakan “simulasi” yang lebih advance yang

mencapai sebuah titik dimana sebuah realita menjadi sulit bahkan tidak bisa dibedakan lagi mana

yang kenyataan sebenarnya dan mana kenyataan yang dikonstruksikan (dibentuk). Keadaan

tersebut diistilahkan dengan Hyperreal atau realitas yang berlebih.

Page 37: The Principles of Media Criticism

Simulacra membuat sesuatu menjadi lebih nyata dari yang nyata, itu adalah cara bagaimana

sebuah kenyataan sebenarnya terhapus. Simulacrum bisa juga dikatakan sebagai representasi,

misalnya dilakukan oleh pencitraan. Sebuah simbol dicitrakan sedemikian rupa menjadi seperti

yang diinginkan, padahal sebenarnya tidak seperti itu. tetapi karena terus menerus disuguhi

dengan symbol (sign) yang dicitrakan dan memang dibentuk untuk menjadi sesuatu yang

diinginkan, maka akan sulit membedakan mana yang nyata mana yang bukan yang sekali lagi

ditekankan bahwa keadaaan ini akan menggiring ke sebuah realitas berlebih atau hyperreality.

The simulacrum is never what hides the truth - it is truth that hides the fact that

there is none.

The simulacrum is true.

-Ecclesiastes-

Dengan segala pemikirannya tentang tanda, system makna, integrasi ideologi, objek, dll tidak

semata mata hanya melakukan rekonstruksi namun juga melakukan konstruksi terhadap

masyarakat konsumer itu sendiri . Kekurangan dari pemikiran baudrillard adalah bahwa ia tidak

pernah memberikan solusi dari bagaimana mengatasi kapitalisme yang semakin berkembang

hebat.

Budrillard dan pada pemikir yang mempengaruhinya

Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran Marx, Masa kapitalisme menandai runtuhnya era

feodaliSM Entertainment dan menciptakan struktur baru konsumsi berdasarkan pasar, uang, dan

keuntungan. Konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusi, justru malah

menjadi suatu kebutuhan yang terpisah dari kebutuhan dasar manusia.

Page 38: The Principles of Media Criticism

Kapitalisme membangun sistem ideologis konsumsi sehingga masyarakat tersugesti bahwa

konsumsi adalah sebuah aspek penting dari kehidupan sehari- hari (Storey, 2008:144). Fetish

komoditi yang terjadi di kalangan buruh mengumandangkan kemenangan nilai-tukar atas nilai-

guna. Fetish atau pemujaan komoditi memiliki arti bahwa dalam proses produksi, barang-barang

tidak diproduksi sebagai sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Barang-barang produksi diberi

nilai-nilai baru yang jauh dari nilai aslinya sebagai benda pakai dan bertransformasi menjadi

komoditi. Komoditi tidak lain adalah barang produksi yang memiliki nilai-tukar. Komoditi

menempati status istimewa dalam mode produksi (mode of production).

Fetishism produksi membuat komoditi memancarkan pesona fetish-nya sebagai objek pemujaan

konsumer. Karakter fetish dalam komoditi ini membuat kaum buruh sebagai orang-orang yang

memproduksi komoditi justru mengalami keterpisahan dari barang yang mereka produksi. Kaum

buruh tidak memiliki kuasa atas komoditi sebab komoditi itu menjadi klaim dari pemilik kapital

untuk dipertukarkan dalam pasar untuk memperoleh keuntungan. Untuk memiliki barang

tersebut, kaum buruh harus membeli dan menjadi konsumen atas barang-barang yang mereka

produksi sendiri. Marx menyatakan bahwa kaum buruh teralienasi dari komoditi yang mereka

produksi.

Komoditi sesegera mungkin akan menjadi sebuah sarana standar hidup masyarakat yang

memiliki cara khas untuk melaksanakan fungsi relasi dan mengekspresikan relasi sosialnya.

Dalam masyarakat pasar, komoditi menyembunyikan dan mengganti bentuk-bentuk relasi sosial

antar manusia. Hal ini terjadi karena keterlibatan dari fetishism bahwa produk produk buatan

manusia bergeser fungsinya/bertransformasi bertransformasi menggantikan produk-produk sosial

yang memungkinkan terjadinya kegiatan produksi barang.

Marx mengistilahkan proses tersebut sebagai reifikasi. Istilah singkat dari reifikasi adalah

pematerian, maksudnya jika ada penilaian untuk sebuah kesuksesan, maka kesusksesan itu

diukur dari apa yang dimiliki/objek tertentu . Relasi sosial yang mengandung reifikasi itu

Page 39: The Principles of Media Criticism

didefinisikan oleh kekuatan fetish komoditi. Dengan ini, relasi sosial yang diwakilkan dalam

sebuah objek muncul dan berada dibawah control manusia. Dengan demikian, manusia tidak

benar-benar sebagai subjek yang independent terhadap dirinya melainkan di stir oleh fetish

komoditi.

Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran Mauss, Baudrillard terpengaruh Mauss mengenai gift

exchange dalam buku Mauss yang paling terkenal, yaitu Essai sur le don (the Gift). Bagi Mauss,

meskipun hadiah itu berupa komoditas yang tak menuntut balasan namun tetap saja ada unsur

balasan. Kehadiran hadiah menyiratkantiga kewajiban: memberi, menerima, dan membalas.

Baudrillard dipengaruhi Saussure, Baudrillard dalam pemikirannya menjadi ragu terhadap

pemikiran Marx dan menganggap pemikiran Marx menjadi tidak relevan lagi untuk saat ini

karena terpengaruh dari semiotika Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes.

Menurutnya dalam masyarakat konsumer, dunia terbentuk dari hubungan berbagai tanda (sign)

dan kode acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Sebuah sign bukan lagi representasi dari

realitas karena realitas itu dibentuk dan diatur sedemikian rupa jadi bukan realitas yang

sebenarnya. Sign yang fakta digabung dengan yang semu lewat produksi citra (pencitraan)

sehingga saling tumpang tindih dan bergabung menjadi satu kesatuan yang sulit lagi dibedakan

mana yang nyata dan mana yang tidak nyata atau mana kenyataan yang benar sebenar benarnya.

Realitas itu adalah realitas yang ada dan kita hidupi sekarang.

Analisis

Asumsi pemikiran baudrillard, yakni media, simulasi, dan cyberblitz telah mengkonstruksi dan

mengkonstitusi suatu bidang pengalaman baru, tahapan sejarah, dan tipe masyarakat yang baru

adalah sebuah penjelasan tentang fenomena pada dunia hiburan kita sekarang dimana terjadi

homogenitas dalam menilai ketampanan seorang pria.

Page 40: The Principles of Media Criticism

Lewat Super Junior, agen bakat dan label rekman SM Entertainment (SM Entertainment)

membentuk sebuah hyper-reality dalam masyarakat dan hiper-realitas itu bisa ditemukan di

Indonesia. Pihak SM Entertainment bisa dikatakan pandai membaca keadaan pasar. SM

Entertainment mungkin telah mengetahui kemungkinan-kemungkinan konsumsi, kecenderungan

selera orang, the power of sign, symbol, dan technology.

Menurut baudrilard, keadaan yang terjadi saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk

masyarakat keluar dari kapitalisme seperti yang menjadi harapan Marx dan kini menurut

baudrillard, dunia sudah dipenuhi dengan konsumsi dan simbol-simbol. Konsumsi kini disadari

dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan dan kegiatan diproduksi bukan semata-mata

untuk menghasilkan kebutuhan dasar namun untuk salah satunya untuk meningkatkan

kebanggaan simbolik. Misalnya orang akan merasa bangga saat bercerita kalau dirinya telah

menonton konser Super Junior live di Singapura daripada bercerita telah menonton lewat

internet.

Terjadi transformasi dari mode of production ke mode of consumption. Transformasi tersebut

adalah bentuk pergeseran dari use-value dan exchange-value nya Marx ke arah dominasi nilai

tanda dan nilai simbol. menonton konser Super Junior, atau membeli souvenir atau photo book

nya bukanlah sebuah kebutuhan dasar manusia. Jika dipikir lagi untuk apa membeli barang

barang seperti itu, dan apa kegunaannya? Tetapi karena telah terjadi transformasi menjadi mode

of consumption dan bukan lagi mode of production, seorang elf rela mengeluarkan uang berjuta-

juta rupiah demi memuaskan konsumsi matanya, konsumsi telinga, dan konsumsi prestigenya.

Media massa dan informasi sekarang ini, yakni media massa dalam masyarakat yang disebut

baudrillard dengan consumer society, tidak lagi menjadi sarana komunikasi utuh tetapi menjadi

sarana representasi makna dari simbol simbol (signs) yang merupakan produk kapitalis dengan

tujuan menggiring publik kepada hiper-realita dalam sebuah simulacrum. Misalnya, di tv jarang

Page 41: The Principles of Media Criticism

sekali ada tayangan tayangan yang menayangkan performance dari Super Junior tetapi mengapa

pengaruh Korean wave terutama Super Junior begitu besar di Indonesia. Hal itu terjadi karena

media media lain misalnya internet yang gencar menayangkan symbol symbol dari dunia hiburan

korea atau symbol symbol yang khas dari Super Junior, misalnya avatar personil Super Junior,

foto foto mereka yang bertebaran di Internet, iklan iklan yang tersebar di mana mana bahkan

sampai segala jenis video dari mulai video cuplikan acara yang mereka hadiri/bintangi, sampai

video video buatan fans tentang mereka.

Allegori simulasi yang indah seperti ketampanan Super Junior telah melingkari dan mengikat

kesadaran dan pikiran kita para penikmat hiburan. Tidak jarang karena banyaknya boyband

korea yang diperkenalkakn dan dicitrakan agar digemari public, serta banyaknya actor actor

tampan yang membintangi drama korea yang banyak ditayangkan di tv, membuat banyak orang

berfikir “orang korea itu ganteng-ganteng ya!” . Dalam kenyataannya, mungkin tidak seperti itu

(semua orang korea ganteng). Drama korea di tv, boyband, termasuk kedalamnya Super Junior

merupakan sebuah simulacra, model simulasi yang dibentuk dan dicitrakan sedemikian rupa,

bercampur dengan kebenaran yang benar benar nyata sehingga sulit untuk dibedakan mana yang

realitas dan mana yang realitas buatan. Keadaan seperti itu disebut oleh baudrillard sebagai

hyperreality atau realitas yang berlebih.

SM Entertainment mengadakan sebuah audisi bakat untuk proyeknya yakni Super Junior, sebuah

Boyband dengan citra tampan, ceria, hangat, dan bertalenta.

Audisi yang dilakukan menghasilkan 13 pemuda yang sekarang tergabung dalam Super Junior.

Syarat utama yang diajukan SM Entertainment saat audisi adalah pemuda yang bertalenta,

minimal bisa bernyanyi dan menari. Syarat selanjutnya merujuk pada pencitraan yang dilakukan

SM Entertainment adalah para pemuda bertalenta yang berwajah tampan. SM Entertainment

membuat sebuah simulasi ketampanan lewat Super Junior. Jika diperhatikan, terdapat kemiripan

pada wajah ketigabelas personilnya, yakni hidung mancung, baby face, kulit putih besih, bentuk

wajah yang segitiga/lonjong, dan badan proporsional.

Page 42: The Principles of Media Criticism

Untuk membuat simulasi tersebut, SM Entertainment melakukan “penyempurnaan” kepada

wajah ketigabelas personil Super Junior, yakni dengan melakukan operasi plastik. Disebut

simulasi karena masih bisa dibedakan, apalagi dengan melihat foto personil sebelum operasi

plastic sehingga masih mudah untuk dibedakan bagian wajah yang asli dan hasil operasi.

Selanjutnya SM Entertainment melakukan bimbingan dan pengembangan kepribadian untuk

menciptakan citra sebagai kelompok pria yang ceria, hangat,dan bertalenta. Di Korea, bukanlah

hal yang mudah untuk bisa menjadi seorang selebritis apalagi selebritis tenaar, pasti ada

pengorbanan yang besar. Super Junior misalnya, setiap anggotanya harus mengikuti training dari

SM Entertainment, rata rata selama 2-3 tahun bahkan ada yang sampai 5 tahun. Saat training,

Super Junior diajarkan apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan sebagai selebritis dan

dibentuk sesuai dengan pencitraan yang dikehendaki SM Entertainment.

Dengan pencitraan yang dibentuk SM Entertainment untuk Super Junior, SM Entertainment

membantuk sebuah hiper-realitas dalam masyaarkat consumer. Setelah debut, terbukti Super

Junior menyabet banyak penghargaan, artinya Super Junior berhasil untuk menjadi artis yang

digemari masyarakat bahkan dalam tingkat asia. Masyarakat terutama penggemar Super Junior

tidak terkecuali di Indonesia rata rata memiliki pendapat yang sama dimana mereka mengaku

memberi dukungan dan mengidolakan Super Junior karena beberapa hal, yang pertama adalah

ketampanan mereka dan kedua kepribadian dan talenta yang dimiliki.

SM Entertainment melakukan konstruksi lewat media, dari mulai cetak sampai Internet yang bisa

menjangkau public di seluruh dunia. Dia mengkinstruksikan sebuah ketampanan ideal yang di

citrakan dan direpresentasikan lewat Super Junior. SM Entertainment berhasil membuat banyak

orang terutama penggemar Super Junior mengakui ketampanan dari personil Super Junior.

Konstruksi tersebut mempengaruhi pendapat, kesadaran, dan penilaian dari pihak yang percaya

pencitraan tersebut. Jika sebelum menonton konser/pertunjukan suju criteria pria tampan yang

saya miliki adalah A, maka setelah menonton pertunjukan suju, bisa sekali, dua kali, ketiga kali,

Page 43: The Principles of Media Criticism

bahkan jika terus disuguhkan maka lama kelamaan saya akan kehilangan kesadaran dan criteria

pria tampan menurut saya tidak lagi A, tapi berubah menjadi Super Junior.

Konsep ketampanan yang dibentuk oleh SM Entertainment dan dicitrakan kepada Super Junior

merupakan simulacrum. Ciri simulacrum yakni di masyarakat sudah tidak bisa dibedakan lagi

mana ketampanan yang sebenarnya mana ketampanan yang dikonstruksikan. Sebuah

ketampanan tidak memiliki sejarah, pandangan orang menjadi sempit dan homogeny ketika

mereka terpengaruh oleh sebuah pencitraan yang didukung lewat konstruksi dari media yang

terus menyuguhkan sisi sisi tertentu dari Super Junior. saking sudah tidak bisa dibedakan lagi

maka criteria ketampanan itu selalu mengikuti konstruksi dari media dan pra “pengontrol”

dalam kapitalis. Misalnya criteria tampan tahun 70-an, atau saat jamannay boyband trio libels

akan berbeda di jaman maraknya Boyband K-Pop seperti sekarang.

Rangkaian Konstruksi criteria sebuah ketampanan pria yang dilakukan lewat media terlihat dari

beberapa reality show yang menampilkan Super Junior misalnya lewat reality show Exploration

Human Body. Exploration Human Body (EHB) adalah sebuah variety shows yang menjawab

berbagai pertanyaan tentang keunikan keunikan tubuh misalnya bagaimana caranya untuk

mengurangi kepekaan pada indera pengecap, dll. Selama belasan episode, EHB mengeksplore

fakta-fakta unik dalam tubuh manusia sambil juga mengeksplore pencitraan dari suju lewat

tingkah tingkahnya. EHB episode Super Junior adalah sebuah variety show yang paling banyak

ditonton sepanjang sejarah ehb bahkan penggemar yang di Indonesia pun bisa mengakses acara

ini lewat internet.

Menurut Marx, Fetish atau pemujaan komoditi memiliki arti bahwa dalam proses produksi,

barang-barang tidak diproduksi sebagai sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Barang-barang

produksi diberi nilai-nilai baru yang jauh dari nilai aslinya sebagai benda pakai dan

bertransformasi menjadi komoditi. Komoditi tidak lain adalah barang produksi yang memiliki

nilai-tukar. Komoditi menempati status istimewa dalam mode produksi (mode of production).

Page 44: The Principles of Media Criticism

Pencitraan terhadap Super Junior mungkin tidak akan begitu mempengaruhi kesadaran

seseorang, jika intensitasnya untuk melihat performance Super Junior hanya sedikit atau sekali

sekali.

Dalam ilmu Public Relation, pencitraan memiliki tujuan salah satunya agar public merubah

perilakunya sesuai dengan yang diharapkan oleh sebuah perusahaan dengat kata lain merubah

perilaku public menjadi favorable. Lewat pencitraan Super Junior, harapan SM Entertainment

agar suju digemari oleh publiknya yakni remaja wanita yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, dll

nampaknya tercapai. Fans-fans fanatic yang rela membeli berbagai photobook berharga ratusan

ribu bahkan jutaan, harga tiket konser di luar negeri yang bisa menguras kantong orang tua

mereka masing masing sudah mengindikasikan sebuah fetish atau pemujaan terhadap barang

konsumsi demi sekedar kepuasan dan mendapat prestige atas kepemilikan pengalaman bisa

menyaksikan ketampanan Super Junior lewat performance-nya langsung.

Dengan fetish public yang menggemari Super Junior, akan menyebabkan apa yang disebut

sebagai alienasi total atau keterasingan total. Sekali mereka suka dan tersihir dengan ketampanan

Super Junior, selanjutnya akan memuja Super Junior dan memilikir asa keingintahuan yang besar

seputar apa yang sedang Super Junior lakukan, siapa yang dekat dengan mereka, mereka sedang

dimana, dll yang sebenarnya masih banyak hal yang bisa diurusi dan lebih penitng untuk disimak

misal masalah masalah social di Indonesia. Orientasi para penggemar Super Junior bukan lagi

terletak pada musik tetapi pada apa yang dilakukan Super Junior dan pada ketampanannya.

Karena menurut pengamat musik sendiri, kualitas vocal Super Junior belum menjadi sebuah

ketertarikan khusus.

Pemujaan atau fetish terhadap Super Junior akan menimbulkan apa yang disebut marx sebagai

reifikasi. Istilah singkat dari reifikasi adalah pematerian, maksudnya jika ada penilaian untuk

sebuah kesuksesan, maka kesusksesan itu diukur dari apa yang dimiliki/objek tertentu . satu

orang akan menjadi sorotan dan pusat perhatian ketika memiliki sebuah photobook Super Junior

Page 45: The Principles of Media Criticism

mahal yang harganya mencapai jutaan rupiah yang tentunya tidak bisa dimiliki anak lain.

Populaaritas dalam kehidupan social dengan sendirinya akan naik dengan ia memiliki tiket

konser Super Junior atau photobooknya.

Super Junior dalam simulacrum nya, menciptakan sebuah hyper-reality. Hyper-reality itu

terletak pada konsep pria tampan yang dibentuk lewat simulacrum yang terdiri dari gabungan

banyak simbol dan pencitraan atas Super Junior, misalnya dalam aspek fashion, penampakan

fisik, dan lain lain.

Dampak dari simulacra konsep/criteria ganteng dengan representasinya yakni Super Junior

membuat orang terutama penggemar kehilangan kesadaran akan sebuah konsep ketampanan.

Selera mereka menjadi homogen atau sama. Selain itu mereka cenderung memiliki pandangan

dan penilaian yang lebih sempit, misalnya jika melihat seorang pria maka pria tersebut akan

dibandingkan dengan Super Junior. Sisi kritis akan berkurang bahkan cenderung hilang karena

termakan oencitraan dan terjebak dalam hyper-reality tau realitas yang berlebih. Ketika kritis

mengahruskan kita untuk tahu mengapa sesuatu itu dikatakan A, maka dengan memuja bahkan

menjadikan ciri ciri ketampanan ala boyband layaknya Super Junior sifat kritis akan berkurang

karena sesungguhnya hiper realita yang ditimbulkan/simulacra yang ada tidak memilikireferensi

atau sejarah/asal usul yang jelas. Siapa yang bisa menjawab seperti apa idealnya pria yang

tampan?

Menurutnya dalam masyarakat konsumer, dunia terbentuk dari hubungan berbagai tanda (sign)

dan kode acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Sebuah sign bukan lagi representasi dari

realitas karena realitas itu dibentuk dan diatur sedemikian rupa jadi bukan realitas yang

sebenarnya. Sign yang fakta digabung dengan yang semu lewat produksi citra (pencitraan)

sehingga saling tumpang tindih dan bergabung menjadi satu kesatuan yang sulit lagi dibedakan

mana yang nyata dan mana yang tidak nyata atau mana kenyataan yang benar sebenar benarnya.

Realitas itu adalah realitas yang ada dan kita hidupi sekarang.

Page 46: The Principles of Media Criticism

3. PENUTUP

Kriteria tampan yang ideal di masyarakat sudah memasuki fase hyper-reality karena simulacra

atau tidak bisa lagi dibedakan mana criteria yang sebenarnya, mana criteria yang berasal dari

pencitraan dan konstruksi media. Kebenaran atau realita yang ada di masyarakat sekarang,

criteria tampan adalah mengikuti konstruksi media dan para “pengontrol” kapitalisme.

Super junior merupakan representasi dari sebuah konsep ketampanan yang ideal dari konstruksi

dan pencitraan dai media. karena pencitraan dan konstruksi yang dilakukan terus menerus

tersebut maka penilaian dan kesadaran akan criteria pria tampan menjadi sebuah homogenitas di

benak public atau dengan kata lain selera orang menjadi sama. Pandangan dan cara orang

menilai pun menjadi sempit karena berpatok kepada konstruksi media dengan representasinya

Super Junior.

Page 47: The Principles of Media Criticism

DAFTAR PUSTAKA

Kellner, Douglas, Baudrillard Reader, Cambridge, Blackwell, 1994

Kellner, Douglas, Jean Baudrillard, diunduh dari http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/,

2007

Pawlett, William, “Against Banality – The Object System, the Sign System and the Consumption

System”, International Journal of Baudrillard Studies, Volume 5, Number 1 (January,

2008)

Kellner, Douflas, Baudrillard and the Art Conspiracy, diunduh dari

http://gseis.ucla.edu/faculty/kellner/index.html

Baudrillard, Jean, Seduction (Terjemahan Brian Singer), New World Perspectives,1990

Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulation (Terjemahan Sheila Faria Glaser), Michigan

Baudrillard, Jean, The Violance of The Global (Terjemahan Francois Debrix), diunduh dari

http://www.ctheory.net/printer.asp?id=385

Baudrillard, Jean, Screened Out (Terjemahan Chris Turner), New York, Verso,2002

Witwer, Julia(ed.), Jean Baudrillard, Vital Illusion, New York, Columbia University Press, 2000

Lane, Richard J, Jean Baudrillard, New York, Routledge, 2001

Radike, Tectona(ed.), Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik

Internasional (Terjemahan Teguh Wahyu Utomo), Yogyakarta, BACA!, 2010