tgz makalah bph
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah yang sering dialami seorang pria usia lanjut yang berhubungan dengan
sistem perkemihan adalah Benign Prostatic Hyperlasia (BPH). Meskipun jarang mengancam
jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE)
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai
bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran
kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama
kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga
menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary
tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage
symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi
lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan
tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat
kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak
semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan
dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada
pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal
menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet
tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel
kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang
berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang
mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik
sedangkan protein growth factor dikenal sebagai factor intrinsik yang menyebabkan
hiperplasia kelenjar prostat. Sehingga, istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia
sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu karena terdapat hiperplasia sel-sel stroma
dan sel-sel epitel kelenjar prostat.
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan
diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup
1
rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang
5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk
Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang
berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki
Indonesia yang menderita BPH. Dengan demikian, akan banyak pula kasus di rumah sakit
yang pada umumnya berindikasi pembedahan.
Dengan semakin membaiknya pembangunan di negara kita yang akan memberikan
dampak kenaikan umur harapan hidup, maka BPH akan semakin bertambah. Oleh karena itu,
BPH harus dapat dideteksi oleh para dokter, dengan mengenali manifestasi klinik dari BPH
dan dapat dikelola secara rasional sehingga akan memberikan morbiditas dan mortalitas yang
rendah dengan biaya yang optimal (Rahardjo,1997). Terapi yang akan diberikan pada pasien
tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan
pilihan pasien. Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan
modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia
di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian, dokter dan perawat di daerah terpencilpun
diharapkan dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya terutama kasus BPH yang
berhubungan dengan tindakan pembedahan. Oleh karena itu, kita sebagai calon perawat perlu
memiliki pengetahuan yang cukup untuk menangani klien BPH khususnya dalam asuhan
keperawatan perioperatif (pra bedah, intra bedah, dan pasca bedah).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan BPH ?
1.3 TujuanMahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan BPH.
1.4 Manfaat
Mahasiswa sebagai calon perawat memiliki pengetahuan yang cukup untuk
menangani klien BPH khususnya dalam asuhan keperawatan perioperatif (pra bedah, intra
bedah, dan pasca bedah).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat terletak tepat di bawah leher kandung kemih. Kelenjar ini
mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan
kelanjutan dari vas deferen. Kelenjar ini berbentuk seperti buah kenari. Normal beratnya
kelenjar prostat kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata: panjang 3.4 cm, lebar 4.4 cm,
tebal 2.6 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum pubroprostatikum dan sebelah
inferior oleh diafragma urogenital. Pada prostat bagian posterior berumuara duktus
ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontarum pada dasar uretra
prostatika tepat proksimal dan sfingter uretra eksterna.
Secara embriologis terdiro dari 5 lobus: lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah,
lobus posterior 1 buah, dan lobus lateral 2 buah. Sedangkan menurut klassifikasi Lowsley;
prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri.
Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona
transisional, segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50
lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah
bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi
oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Nasar,1985;
Tanango,1995).
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan
menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak
tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista
kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang
kelenjar prostat terdiri dari :
a. Kapsul anatomis
Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar
prostat.
b. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
c. Jaringan kelenjar yang terbagi atas tiga kelompok bagian :
1) Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang
menghasilkan bahan baku sekret.
3
2) Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone.
3) Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang
merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami
hipertrofi pada usia lanjut.
Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari tiga lapis :
a. Kapsul anatomis
b. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya
(outer zone) sehingga terbentuk kapsul
c. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone)
dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada
lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan
suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena
sedikit mengandung jaringan kelenjar.
Vaskularisasi kelenjar prostat yang utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang
dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a.
pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk
lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi
menjadi 2 kelompok , yaitu:
a. Kelompok arteri uretra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic
junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar
periuretral.
b. Kelompok arteri kapsul, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang
yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar parauretral).6
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian
bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca
interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral. Persarafan kelenjar prostat sama dengan
persarafan kandung kemih bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis.
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari Hipogastricus
dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.
4
Gbr 2.1.1: kelenjar prostat dan uretra (Brown,1982)
Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika yang berhubungan
dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang juga berhubungan
dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur inilah sering dijumpai metastase
karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis.
Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang
dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Pertambahan unsur kelenjar
menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan
jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu
ditekan keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan
berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan
ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang
juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang
berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan
peradangan.
5
2.2 Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama ejakulasi,
mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti cairan ini belum
diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma.
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat dianggap
imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita. Kelenjar prostat dibawah pengaruh
Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol. Jadi prostat dipengaruhi
oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap androgen adalah bagian
perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah bagian tengah. Karena itu pada
orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang
berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut (Blandy,1983;
Ganong, 1983; Burkit 1988).
Fungsi Prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna
untuk menlindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terapat pada uretra dan vagina. Di
bawah kelenjar ini terdapat Kelenjar Bulbo Uretralis yang memilki panjang 2-5 cm yang
fungsinya hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar ini menghasilkan sekresi yang
penyalurannya dari testis secara kimiawi dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa.
Sewaktu perangsangan seksual, prostat mengeluarkan cairan encer seperti susu yang
mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah
volume cairan vesikula seminalis dan sperma. Cairan prostat bersifal basa (alkalis). Sewaktu
mengendap di cairan vagina wanita, bersama dengan ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan
karena motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah.
2.3 Pengertian BPH
BPH atau Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika
(Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994 : 193). Istilah Benigna Prostat Hipertropi
sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat,
tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah
banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul
surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat,
tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.
6
Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh
penambahan jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang
jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang
sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah
hiperplasia.
Gambar. 2.3.1: Gambar BPH
2.4 Patofisiologi BPH
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>45 tahun) di mana fungsi testis sudah
menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon
testosterone dan dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan dan pembesaran prostat.
Makroskopik dapat mencapai 60-100 gram dan kadang-kadang lebih besar lagi 200 gram atau
lebih. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya
usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron
menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya
penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat
(Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan
lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
7
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila
keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329;
Poernomo, 2000 hal 76). Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian
buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis
bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).
2.5 WOC
2.6 Etiologi
BPH akan ditemukan pada umur kira-kira 45 tahun dan frekuensi makin bertambah
sesuai dengan bertambahnya umur, sehingga di atas umur 80 tahun kira-kira 80% menderita
penyakit ini. Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat
biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas etiologi terjadinya BPH.
Etiologi sekarang, dianggap ketidakseimbangan hormonal oleh karena proses ketuaan yaitu
hormon endokrin testosterone yang dianggap mempengaruhi tepi prostat, sedangkan estrogen
(di buat oleh kelenjar adrenal) mempengaruhi bagian tengah prostat. Salah satu teori ialah
teori Testosteron (T) yaitu T bebas yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh
enzim 5a reduktase yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh
reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti
sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan
merangsang sintesis protein. Teori yang disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH
dengan inhibitor 5a reduktase (Rahardjo,1997).
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya
Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar
adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi
sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron
bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat
melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron
direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian
bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian
8
hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear
receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada kromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein
menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori Hormonal
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan
penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya
hyperplasia stroma.
3. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor,
transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth
factor. Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan
transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel. Peranan
dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
4. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
5. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa
berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang
mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan
prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan
tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat.
Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau
proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan
(Poernomo, 2000, hal 74-75).
9
Gambar. 2.6.1: A. Prostat normal ; 1.uretra; 2.kelenjar periuretra; 3.kelenjar prostat.
B. Hiperplasi prostat ; 1.uretra yg terjepit; 2.periuretra yang hiperplasi;
3.kelenjar asli prostat yang tertekan menjadi seperti simpai (simpai
prostat).
Gambar. 2.6.2: Serabut otot yang tertekan membentuk surgical capsule.
2.7 Tanda dan Gejala Klinik
Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi kalau neoplasma
telah menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi panjang (elongasil), sedangkan
kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran noduler ini tidaklah
10
berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan yang lain dengan kelenjar
prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya sedikit, karena dapat ditoleransi dengan
baik.
Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS (Internasional
Prostate Symptom Score) diklasifikasi dengan skore 0-7 penderita ringan, 8-19 penderita
sedang dan 20-35 penderita berat (Rahardjo,1997).
Ada juga yang membagi berdasarkan derajat penderita hiperplasi prostat berdasarkan
gambaran klinis: (Sjamsuhidajat,1997).
Secara klinik derajat berat BPH dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan
penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml. Penonjolan 0-1 cm ke
dalam rektum prostat menonjol pada bladder inlet. Pada derajat ini belum
memerlukan tindakan operatif, dapat diberikan pengobatan secara konservatif ,
misal alfa bloker, prazozin, terazozin 1-5 mg per hari.
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol
penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum, prostat menonjol diantara bladder inlet
dengan muara ureter. Batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml
tetapi kurang dari 100 ml. Pada derajat ini sudah ada indikasi untuk intervensi
operatif.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine lebih
dari 100 ml. penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum. Prostat menonjol sampai
muara ureter. TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila diperkirakan
reseksi tidak selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
Derajat 4 : Terjadi retensi urin total. Penonjolan > 3 cm ke dalam rektum prostat menonjol
melewati muara ureter.
Tanda klinik terpenting pada BPH adalah ditemukannya pembesaran pada
pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat teraba
membesar dengan konsistensi kenyal.
11
Pada penderita BPH dengan retensi urin pemasangan kateter merupakan suatu
pertolongan awal, selain menghilangkan rasa nyeri juga mencegah akibat-akibat yang dapat
ditimbulkan karena adanya bendungan air kemih ( Sarim,1987).
Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih. Di antaranya adalah:
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS)
terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretra pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi
cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejala obstruktif antara lain :
1) Harus menunggu pada permulaan miksi (hesistancy)
2) Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
3) Miksi terputus (intermittency)
4) Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)
5) Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih
tergantung tiga faktor, yaitu :
1) Volume kelenjar periuretral
2) Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3) Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga
meskipun volume kelenjar periuretral sudah membesar dan elastisitas leher vesika,
otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi
dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejala iritatif antara lain :
1) Bertambahnya frekuensi miksi (frequency)
12
2) Nokturia
3) Miksi sulit ditahan (urgency)
4) Disuria (nyeri pada waktu miksi)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis
derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa
urin > 150 ml.
Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa factor
pencetus, antara lain:
1) Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum
(alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan.
2) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
3) Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau
yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain: golongan antikolinergik
atau alfa adrenergik.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa
gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, demam yang merupakan tanda dari infeksi atau
urosepsis, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya
dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis,
foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78;
Mansjoer, 2000, hal 330).
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan
gejala:
13
1. Hemorogi
2. Hematuri
3. Peningkatan nadi
4. Tekanan darah menurun
5. Gelisah
6. Kulit lembab
7. Temperatur dingin
8. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
9. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah
g.warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.
2.8 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter dan Hidronefrosis
i. Gagal Ginjal
14
2.9 Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi
dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya
hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah
supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu
uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim
persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu :
i. Derajat I = beratnya ± 20 gram.
ii. Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
iii. Derajat III = beratnya > 40 gram.
Pemeriksaan fisik diagnostik yang paling penting untuk BPH adalah colok dubur
(digital rectal examination). Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pembesaran prostat teraba
simetris dengan konsistensi kenyal, Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran
tentang keadaan tonus sfingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan
lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat
harus diperhatikan:
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostat
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostat
6. Adakah krepitasi
15
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar,
konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri
simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat
hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada karcinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.
Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit
pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain
yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus dicurigai
suatu karsinoma. Franks pada tahun 1954 mengatakan: BPH terjadi pada bagian dalam
kelenjar yang mengelilingi urethra prostatika sedangkan karsinoma terjadi di bagian luar pada
lobus posterior (Jonhson,1988; Burkit,1990).
Kelenjar prostat Normal
16
Kelenjar prostat Hiperplasia, ada pendorongan prostat kearah rectum
Kelenjar prostat Karsinoma, teraba nodul keras
2.10 Pemeriksaan Penunjang
a). Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
1) Darah :
a) Ureum dan Kreatinin
b) Elektrolit
c) Blood urea nitrogen
d) Prostate Specific Antigen (PSA)
e) Gula darah
2) Urin :
17
a) Kultur urin + tes sensitifitas
b) Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
c) Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna dalam mencari jenis
kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk
mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada vesica urinaria.
b). Pemeriksaan Pencitraan
1) Foto polos abdomen (BNO)
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica
urinaria yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
Selain itu juga bisa menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih
atau adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
2) Pielografi Intravena (IVP)
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:
a) Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis.
b) Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi
prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat) atau ureter di sebelah distal
yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish.
c) Penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi vesica urinaria.
d) Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin.
3) Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
4) USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan
pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi
prostat, menentukan volume vesica urinaria dan jumlah residual urine, serta
18
mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam vesica urinaria seperti batu,
tumor, dan divertikel.
5) Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan
urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan gambaran
kemungkinan tumor di dalam vesica urinaria atau sumber perdarahan dari atas bila
darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu
juga memberi keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur panjang uretra
pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.
6) MRI atau CT
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam
potongan.
c). Pemeriksaan Lain
1) Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Untuk
mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada waktu
miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi otot detrusor,
tekanan intravesica, dan tahanan uretra.
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8
ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi
semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
2) Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.
Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat
diukur.
3) Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang
masih tinggal atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat
pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada
19
orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat
melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap
sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.
2.11 Penatalaksanaan
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat
gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Skor ini
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah
dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan
menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul
obstruksi.1,8
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan.
a. Derajat I biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan
pengobatan secara konservatif.
b. Derajat II sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang
sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR).
Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam
keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif.
c. Derajat III, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman
biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam
maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
d. Derajat IV tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita
dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah
itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian
terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan
bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).
Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah
yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh tiga faktor yaitu pembesaran kelenjar
20
periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka
pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
a. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
b. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada
leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau
tindakan endourologi yang kurang invasif.
Observasi (Watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang diberikan adalah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-
obatan dekongestal (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan
minuman alkohol agar tidak sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan kontrol keluhan (sistem
skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.
Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk:
1. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan blocker
(penghambat alfa adrenergik).
2. Menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dehidrotestosteron (DHT).
Obat Penghambat Adrenergik
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di dalam prostat dan leher
vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alpha adrenergik. Seperti diketahui di
dalam otot polos prostat dan leher vesica banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-
obatan yang sering digunakan prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat
penghambat alpha adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu α1a
(tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai obat ini dapat
dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan
antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi pada vesica tanpa merusak
kontraktilitas detrusor.
21
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine, menurunkan sisa urin
dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi penyulit hipotensi, pusing, mual,
lemas, dan meskipun sangat jarang bisa terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.
Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini
dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron sehingga prostat yang membesar dapat
mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan alpha blocker dan
manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Salah satu efek samping obat ini
adalah melemahkan libido dan ginekomastia.
Terapi Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan penyulit
tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi saluran kemih,
kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan
adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra.
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).
2. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien buang
air kecil > 100 Ml.
3. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan system perkemihan seperti retensi
urine atau oliguria.
4. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
a. Prostatektomi terbuka
1) Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
1. Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal.
2. Mortality rate rendah
3. Langsung melihat fossa prostat
4. Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
5. Perdarahan lebih mudah dirawat
22
6. Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila membuka
vesika.
Kerugian :
1. Dapat memotong pleksus santorini
2. Mudah berdarah
3. Dapat terjadi osteitis pubis
4. Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
5. Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam
vesika.
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis
2) Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)
Keuntungan :
1. Baik untuk kelenjar besar
2. Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
3. Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit : batu buli,
batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya sistostomi, retropubik sulit karena
kelainan os pubis, kerusakan sphingter eksterna minimal.
Kerugian :
1. Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh
2. Sulit pada orang gemuk
3. Sulit untuk kontrol perdarahan
4. Merusak mukosa kulit
5. Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%), Inkontinensia
(<1%), Perdarahan , Epididimo orchitis, Recurent (10 – 20%), Carcinoma, Ejakulasi
retrograde, Impotensi, Fimosis, Deep venous thrombosis
3) Transperineal
Keuntungan :
1. Dapat langssung pada fossa prostat
2. Pembuluh darah tampak lebih jelas
23
3. Mudah untuk pinggul sempit
4. Langsung biopsi untuk karsinoma
Kerugian :
1. Impotensi
2. Inkontinensia
3. Bisa terkena rektum
4. Perdarahan hebat
5. Merusak diagframa urogenital
b. Prostatektomi Endourologi
1)Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri
dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini
cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian
kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan
tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk
membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan
selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TURP. Saat ini tindakan TURP
merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar
prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya
daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang
dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran
listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O
steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada
saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala
intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien
yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam
keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP dipakai cairan non ionik yang lain
tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin, membatasi
jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk
mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.
24
Keuntungan :
1. Luka incisi tidak ada
2. Lama perawatan lebih pendek
3. Morbiditas dan mortalitas rendah
4. Prostat fibrous mudah diangkat
5. Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
1. Teknik sulit
2. Resiko merusak uretra
3. Intoksikasi cairan
4. Trauma sphingter eksterna dan trigonum
5. Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
6. Alat mahal
7. Ketrampilan khusus
Komplikasi:
1. Selama operasi : perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
2. Pasca bedah dini : perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
3. Pasca bedah lanjut : inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura
uretra.
2)Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya
mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang
umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau
bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik
yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TURP tetapi memakai alat
pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai
dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat.
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TURP dan menurunnya kejadian
ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TURP.
BAB 3
25
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian Preoperatif BPH
1. Riwayat Keperawatan
Suspect BPH umur > 60 tahun
Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.
Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi,
terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala
pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.
BPH hematuri
2. Pemahaman klien tentang kejadian
Ahli bedah bertanggung jawab, untuk menjelaskan sifat operasi, semua pilihan alternatif,
hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Ahli bedah
mendapatkan dua consent (ijin) satu untuk prosedur bedah dan satu untuk anestesi. Perawat
bertanggung jawab untuk menentukan pemahaman klien tentang informasi, lalu memberitahu
ahli bedah apakah diperlukan informasi lebih banyak (informed consent).
3. Kondisi akut dan kronis :
Untuk mengkompensasi pengaruh trauma bedah dan anestesi, tubuh manusia membutuhkan
fungsi pernafasan, sirkulasi, jantung, ginjal, hepar dan hematopoetik yang optimal. Setiap
kondisi yang mengganggu fungsi sistem ini (misalnya: DM, gagal jantung kongestif, PPOM.
Anemia, sirosuis, gagal ginjal) dapat mempengaruhi pemulihan. Disamping itu faktor lain,
misalnya usia lanjut, kegemukan dan penyalahgunaan obat / alkohol membuat klien lebih
rentan terhadap komplikasi.
4. Pengalaman bedah sebelumnya
Perawat mengajukan pertanyaan spesifik pada klien tentang pengalaman pembedahan masa
lalu. Informasi yang didapatkandigunakan untuk meningkatkan kenyamanan (fisik dan
psikologis) untuk mencegah komplikasi serius.
5. Status Nutrisi
Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya pada trauma
pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik karena trauma atau bedah, tubuh
harus membentuk dan memperbaiki jaringan serta melindungi diri dari infeksi. Untuk
membantu proses ini, klien harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat dengan
26
cukup untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif, hipoalbuminemia, dan penurunan
berat badan. Status nutrisi merupakan akibat masukan tidak adekuat, mempengaruhi
metabolik atau meningkatkan kebutuhan metabolik.
6. Status cairan dan elektrolit
Klien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektolit cenderung mengalami shock,
hipotensi, hipoksia, dan disritmia, baik pada intraoperatif dan pascaoperatif. Fluktuasi valume
cairan merupakan akibat dari penurunan masukan cairan atau kehilangan cairan abnormal.
7. Status emosi.
Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan yang direncanakan
tergantung pada pengalaman masa lalu, strategi koping, signifikan pembedahan dan sistem
pendukung.
Kebanyakan klien dengan pembedahan mengalami ancietas dan ketakutan yang disebabkan
penatalaksanaan tindakan operasi, nyeri, dan immobilitas.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis
menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
b. Distensi kandung kemih
c. Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik retensi urine
d. Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang
air kecil retensi urine
e. Perkusi : Redup residual urine
f. Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus,
striktur uretra, batu uretra/femosis.
g. Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) posisi knee chest
a. Syarat : buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan : Menentukan konsistensi prostat
Menentukan besar prostat.
9. Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a) Menentukan volume Benign Prostatic Hyperplasia
b) Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
27
c) Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benign Prostatic
Hyperplasia atau tidak
Beberapa Pemeriksaan Radiologi
a. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi,
dipertikel buli.
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
b. BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
c. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko
ureter/striktur uretra.
d. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran
prostat jinak/ganas
10. Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli
11. Pemeriksaan Laborat
Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K,
Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur). Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel
Darah Putih, Sel Darah Merah atau PUS.
RFT evaluasi fungsi renal
Serum Acid Phosphatase Prostat Malignancy.
Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon fisiologis dan psikologis
pada klien, tergantung pada individu dan pengalaman masa lalu yang unik, pola koping,
kekuatan dan keterbatasan. Kebanyakan klien dan keluarganya memandang setiap tindakan
bedah merupakan peristiwa besar dan mereka bereaksi dengan takut dan ansietas pada tingkat
tertentu.
Pengertian Keperawatan Pre operatif
28
Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanggung
jawab keperawatan yang berhubungan dengan fase-fase preoperatif, intraoperatif, pemulihan
pascaanestesi dan pascabedah. Sepanjang periode perioperatif, perawat menerapkan proses
keperawatan untuk mengidentifikasi fungsi positip, perubahan fungsi, dan potensial
perubahan fungsi pada klien. Adapun tanggung jawab keperawatan untuk masing-masing
fase berfokus pada masalah kesehatan spesifik aktual atau resiko.
Fokus Asuhan Keperawatan Pada periode Pre operatif
1. Fase Preoperatif
a. Pengkajian Preoperatif
b. Penyuluhan Preoperatif
c. Persiapan untuk pindah ke ruang operasi
d. Dukungan orang terdekat
2. Fase Intraoperatif
a. Keamanan lingkungan
b. Kontrol Asepsis
c. Pemantauan fisiologis
d. Dukungan psikologis (prainduksi)
e. Pemindahan ke ruang pemulihan pascaanestesi
3. Fase Pemulihan Pascaanestesi
a. Pemantauan fisiologis (jantung, pernafasan, sirkulasi, ginjal dan neurologis)
b. Dukungan psikologis
c. Keamanan lingkungan
d. Tindakan kenyamanan
e. Stabilitas untuk pindah ke unit atau bangsal
4. Fase Pascaoperatif
a. Pemantauan fisiologis
b. Dukungan psikologis Tindakan kenyamanan
c. Dukungan orang terdekat
d. Keseimbangan fisiologis (nutrisi, cairan dan eliminasi)
e. Mobilisasi
f. Penyembuhan luka
g. Penyuluhan pulang.
29
3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan pada Klien BPH
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
Pre Operasi :
1. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih unmtuk
berkontraksi secara adekuat.
1. Tujuan : tidak terjadi obstruksi
2. Kriteria hasil :
a. Berkemih dalam jumlah yang cukup
b. Tidak teraba distensi kandung kemih
3. Rencana Tindakan:
a. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. Rasional:
Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
b. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urin. Rasional:
Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
c. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih. Rasional: Retensi urine
meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi
fungsi ginjal
d. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung. Rasional:
Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan
ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
e. Berikan obat sesuai indikasi (antispamodik). Rasional: Mengurangi spasme
kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
2. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung
kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
1. Tujuan :Nyeri hilang / terkontrol
2. Kriteria hasil:
a. Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol
30
b. Menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk
situasi individu.
c. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat
3. Rencana Tindakan:
a. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional: Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
b. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
Rasional: Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
c. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih. Rasional: Retensi urine
meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi
fungsi ginjal.
d. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung. Rasional:
Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan
ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
e. Berikan obat sesuai indikasi (antispamodik). Rasional: Mengurangi spasme
kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
3. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1. Tujuan: Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2. Kriteria hasil:
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi
perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin
tepat.
3. Rencana Tindakan:
a. Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml
Rasional: Diuresis yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl
cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
b. Pantau masukan dan haluaran cairan. Rasional: Indikator keseimangan cairan dan
kebutuhan penggantian.
31
c. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan
tekanan darah, diaforesis, pucat. Rasional: Deteksi dini terhadap hipovolemik
sistemik.
d. Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi. Rasional: Menurunkan kerja
jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
e. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit.
Rasional: Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian.
Serta dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor
pembekuan darah
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah
1. Tujuan: Pasien tampak rileks.
2. Kriteria hasil:
a. Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
b. Menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
3. Rencana Tindakan:
a. Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya. Rasional: Menunjukkan
perhatian dan keinginan untuk membantu
b. Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan. Rasional:
Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan
c. Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
Rasional: Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan
masalah
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi
1. Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya
2. Kriteria hasil:
a. Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu
32
b. Berpartisipasi dalam program pengobatan
3. Rencana Tindakan:
1. Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian. Rasional: Membantu
pasien dalam mengalami perasaan
2. Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien. Rasional: Memberikan dasar
pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH Post Prostatektomi dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Data subyektif :
a. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka berwarna merah.
b. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
c. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
d. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
2. Data Obyektif:
a. Terdapat luka insisi, karakteristik luka berwarna merah.
b. Takikardia, normalnya 80-100 kali/menit.
c. Gelisah.
d. Tekanan darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg.
e. Ekspresi wajah ketakutan.
f. Terpasang kateter.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti
keganasan
pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi
ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg /
ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific
33
Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15
maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan
sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi
buli–buli dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan
maupun yang tidak berhubungan dengan BPH. Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius, pembesaran ginjal
atau buli – buli.
Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan
hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter belok–belok di vesika)
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal, mendeteksi residu
urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli (Arif Mansjoer, 2000).
Pemeriksaan Diagnostik.
1) Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang, penampilan keruh, Ph : 7
atau lebih besar, bacteria
2) Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, e. coli.
3) BUN / kreatinin : meningkat.
4) IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan adanya pembesaran
prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih.
5) Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung kemih.
6) Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi kandung kemih dan
uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal.
7) Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan kandung kemih.
8) Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur sisa urine dan
keadaan patologi seperti tumor atau batu (R.Sjamsuhidayat, 2004).
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan pada Klien Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi bedah.
1. Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
2. Kriteria hasil
34
a. Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang
b. Ekspresi wajah klien tenang.
c. Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
d. Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
e. Tanda – tanda vital dalam batas normal
3. Rencana Tindakan:
a. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih. Rasional: Kien
dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih
b. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal
gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih. Rasional: Menentukan
terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
c. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24
sampai 48 jam. Rasional: Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya
temporer Rasional: penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter
Mengurang kemungkinan spasmus.
d. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan
TUR-P. Rasional: Mengurangi tekanan pada luka insisi
e. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi
Rasional: Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
f. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan
tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang
Rasional: Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan
distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme
g. Observasi tanda – tanda vital. Rasional: Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
h. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti
spasmodik ). Rasional: Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung
kemih.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
1. Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi.
35
2. Kriteria hasil:
a. Klien tidak mengalami infeksi.
b. Dapat mencapai waktu penyembuhan.
c. Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock
3. Rencana Tindakan:
a. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril
Rasional: Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
b. Anjurkan intake cairan yang cukup (2500 – 3000) sehingga dapat menurunkan
potensial infeksi. Rasional: Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi
ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
c. Pertahankan posisi urobag dibawah. Rasional: Menghindari refleks balik urine
yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih
d. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
Rasional: Mencegah sebelum terjadi shock.
e. Observasi urine: warna, jumlah, bau. Rasional: Mengidentifikasi adanya infeksi.
f. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic. Rasional: Untuk
mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
1. Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
2. Kriteria hasil:
a. Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
b. Tanda – tanda vital dalam batas normal .
c. Urine lancar lewat kateter .
3. Rencana Tindakan :
a. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan
tanda – tanda perdarahan. Rasional: Menurunkan kecemasan klien dan
mengetahui tanda – tanda perdarahan
36
b. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter . Rasional:
Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan
kandung kemih
c. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan
defekasi
Rasional: Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan
d. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk
sekurang – kurangnya satu minggu. Rasional: Dapat menimbulkan perdarahan
prostat
e. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas
Rasional: Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa
prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan
f. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan warna urine
Rasional: Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat
mencegah kerusakan jaringan yang permanen.
4. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
1. Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat
lanjutan .
2. Kriteria hasil:
a. Klien akan melakukan perubahan perilaku.
b. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
c. Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan
berobat lanjutan
3. Rencana tindakan:
a. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu. Rasional:
Dapat menimbulkan perdarahan
b. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan
memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan. Rasional: Mengedan bisa
37
menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan
pada waktu BAB
c. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari . Rasional:
Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah
d. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter . Rasional: Untuk menjamin tidak
ada komplikasi
e. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh . Rasional:
Untuk membantu proses penyembuhan.
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
1. Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
2. Kriteria hasil:
a. Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
b. Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
c. Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
3. Rencana tindakan:
a. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan
cara untuk menghindari. Rasional: Meningkatkan pengetahuan klien sehingga
mau kooperatif dalam tindakan perawatan
b. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi
kebisingan
Rasional: Suasana tenang akan mendukung istirahat
c. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
Rasional: Menentukan rencana mengatasi gangguan
d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri
(Analgesik). Rasional: Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan
cukup
6. Gangguan mobilitas fisik dan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
pembedahan.
1. Tujuan:
Memperbaiki mobilitas fisik.
38
2. Intervensi Keperawatan
a. Kaji terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terbatasnya gerakan (misalnya:
nyeri).
b. Redakan nyeri dengan memberikan medikasi yang diresepkan.
c. Dorong penggunaan alat bantu tongkat untuk berjalan.
d. Libatkan orang terdekat dalam membantu pasien saat latihan rentang gerak,
mengubah posisi dan berjalan.
e. Puji pasien saat ia berhasil menyelesaikan hal-hal yang kecil.
3. Rasional
a. Analgesic memungkinkan pasien untuk meningkatkan aktivitasnya lebih nyaman.
b. Dukungan dapat memberikan keamanan yang diperlukan untuk menjadi lebih
mobile.
c. Bantuan dari pasangan atau orang lain yang dekat dengan pasien mendorong
pasien untuk mengulangi aktivitas dan mencapai tujuan.
4. Hasil yang Diharapkan
a. Mencapai mobilitas fisik yang lebih baik.
b. Menunjukkan bahwa tujuan jangka pendek lebih mendorong pasien karena
tujuan tersebut lebih cepat dicapai.
7. Disfungsi seksual berhubungan dengan pembedahan
1. Tujuan:
Mampu untuk melanjutkan/menikmati fungsi seksual yang dimodifikasi.
2. Intervensi Keperawatan
a. Tetapkan kondisi-kondisi medis pasien yang mempengaruhi fungsi seksual dari
riwayat keperawatan.
b. Informasikan pada pasien tentang efek dari bedah prostat, orkhiektomi (bila
memungkinkan), kemoterapi, iradiasi, dan terapi hormonal pada fungsi seksual.
c. Libatkan pasangan pasien dalam mengembangkan pemahaman dan menemukan
alternatif hubungan yang akrab serta memuaskan satu sama lain.
3. Rasional
a. Biasanya menurunkan libido dan kemudian impotensi mungkin akan dialami.
b. Modalitas pengobatan dapat mengubah fungsi seksual tetapi masing-masing
dievaluasi sesuai dengan dengan efeknya pada pasien tertentu.
39
c. Sering ikatan antara pasangan diperkuat dengan apresiasi yang baru dan dukungan
yang tadinya tidak ada sebelum penyakit yang saat ini dialami.
4. Hasil yang Diharapkan
a. Menguraikan alasan-alasan adanya perubahan dalam fungsi seksual.
b. Mendiskusikan dengan tenaga perawatan kesehatan yang sesuai mengenai
pendekatan alternatif dan metode ekspresi seksual.
8. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan mobilitas fisik sekunder
terhadap pembedahan.
1. Tujuan:
Aktivitas kebutuhan sehari-hari (AKS) dapat terpenuhi.
2. Intervensi Keperawatan
a. Tentukan tingkat bantuan yang diperlukan. Berikan bantuan AKS sesuai dengan
keperluan. Membiarkan pasien melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya.
b. Berikan waktu yang cukup bagi pasien untuk melaksanakan aktivitas.
c. Intstruksikan pasien adaptasi untuk melakukan AKS. Dimulai dari kegiatan yang
mudah dan berlanjut sampai kegiatan yang sulit. Berikan pujian untuk
keberhasilan tersebut.
d. Memberikan perhatian kepada pasien.
3. Rasional
a. Mendorong kemandirian.
b. Tidak membebani pasien dengan aktivitas yang menyebabkab frustasi.
c. Mendorong kemandirian. Pujian memotivasi untuk terus belajar.
d. Memberikan rasa nyaman.
4. Hasil yang Diharapkan
a. Pasien tampak nyaman.
b. Pasien mengungkapkan bahwa AKS terpenuhi.
c. Dorongan menstimulasi penampilan yang lebih baik.
40
BAB 4
PENUTUP
4.1 Simpulan
BPH atau Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>45 tahun) di mana fungsi testis sudah menurun.
Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosterone dan
dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan dan pembesaran prostat.
4.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah BPH ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat
bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana melakukan
sebuah proses asuhan keperawatan terutama pada klien yang mengalami BPH.
Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.
41
DAFTAR PUSTAKA
42