tetraploidisasi pada ikan lele afrika clnrias...
TRANSCRIPT
TETRAPLOIDISASI PADA IKAN LELE AFRIKA Clnrias gnriepirztrs Burchell (1 822)
PRIHANIK MARLINA WIDIYANTI
SKRIPSI
PROGRAM STUD1 TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Lembar pemyataan:
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
TETRAPLOIDISASI PADA IKAN LELE AFRIKA Clarias gariepi~tus
Burchell(1822)
adalall benar mer~~pakan hasil karya yang belum pemah diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
oleh penulis lain telah disebutkan dalam telcs dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2008
PRIHANIK MARLINA WIDIYANTI C. 14103035
JUNGKASAN
PRIHANIK MARLINA WIDIYANTI, C 14103035. TETRAPLOIDISASI
PADA IKAN LELE AFRIKA (Clarias gariepilzns) Burchell, 1822. Di bawah
bimbingan Prof. Dr. Komar Sumantadinata.
Tetraploidisasi merupakan rekayasa set kromosom dari individu normal
yang memiliki set kromosom 2n individu tetraploid yang memiliki set kromosom
4n. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan individu tetraploid sebagai indukan
untuk menghasilkan individu triploid secara massal, yaitu dengan cara
menyilangkannya dengan individu normal.
Induk yang sudah matang gonad disuntik ovaprim secara intra muskular
dengan dosis sebanyak 0,3 mlkg bobot tubuh untuk induk betina dan 0,2 mllkg
bobot tubuh untuk induk jantan. Pembuahan dilakukan dengan mencampur telur
dan spelma dengan larutan pembuahan kemudian diaduk dengan hati-hati dengan
menggunakan bulu ayam. Telur yang telah dicampur tersebut segera disebarkan di
atas 18 lembar kaca 10 x 20 cm yang telah direndam air. Setelah 32 menit, 34
menit, 36 menit, 38 menit dan 40 menit dilakukan kejutan panas pada suhu 40°C
selama 75 detik. Kemudian telur-telur tersebut diinkubasi ke dalam akuarium.
Parameter yang diamati adalah derajat pembuahan, kelangsungan hidup
enlbrio berumur 20 jam, derajat penetasan, dan kelangsungan hidup larva berumur
14 hari. Ikan tersebut dipelihara sampai dapat diambil jaringannya untuk dianalisa
tingkat ploidi dengan menggunakan metode pengukuran konsentrasi DNA,
penghitungan volume inti sel darah merah, penghitungan jumlah maksimal
nukleolus, serta penghitungan jumlah maksimal kromosom dengan teknik kultur
sel darah putih.
Derajat pembuahan pada semua perlakuan kejutan panas memperlihatkan
nilai yang cenderung sama dengan perlakuan kontrol. Pada nilai kelangsungan
hidup embrio, derajat penetasan serta kelangsungan hidup larva umur 14 hari
terdapat perbedaan pada setiap perlakuan dengan kontrol. Secara umum terlihat
bahwa semakin lama umur zigot saat mendapat kejutan suhu, senlakin rendah
derajat penetasan.
Dari analisis DNA, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan konsentrasi
antara DNA ikan tetraploid dan DNA ikan diploid. Perbedaan tersebut disebabkan
karena perbedaan jumlah kromosom yang dimiliki oleh ikan tetraploid dan
diploid. Tingginya konsentrasi DNA terkait dengan poliploidi dimana sel yang
memiliki set kromosom lebih tinggi akan memiliki jumlah DNA yang lebih
banyak pula. Dari penghitungan jumlah kromosom diketahui bahwa individu
diploid memiliki set kromosom 2n yang bejumlah sekitar 40-50 buah sedangkan
individu tetraploid memiliki jumlah kromosoln sekitar 92-100 buah.
Dari hasil pengukman volume inti sel darah merah terlihat adanya nilai
yang tumpang tindih antara ikan diploid dan tetraploid. Sedangkan dari hasil
pengamatan nukleolus dapat diketahui bahwa jumlah nukleolus ikan diploid
(nonnal) sebanyak 1 atau 2 nukleolus tiap sel dan untuk tetraploid sebanyak
1,2,3,4,5 atau 6 nukleolus tiap sel. Sehingga penentuan tingltat ploidi dengan
penghitungan inti sel darah merah dan jumlah maksimal nukleolus tidak dapat
diharapkan ketepatannya.
Individu tetraploid ditemukan pada perlakuan kejutan panas selama 75
detik pada 38 dan 40 menit setelah pembuahan. Ketepatan penentuan tingkat
ploidi pada ikan lele Afrika belum dapat dilakukan dengall penghitungan volume
inti sel darah merah dan penghitungan jumlah maksimal nukleolus. Akan tetapi
dapat didekati dengan pengukuran DNA, sedangkan hasil paling akurat dapat
ditentukan dengan penghitungan jumlah kromosom,
TETRAPLOIDISASI PADA IKAN LELE AFRIKA Clarias gariepinrrs Burchell(1822)
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh:
PRIHANIK MARLINA WlDIYANTl C 14103035
PROGRAM STUD1 TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JUDUL SKRIPSI : TETRAPLOIDISASI PADA IKAN LELE AFRIKA (Czarins gariepirzris) Burchell(1822)
NAMA : PRIHANIK MARLINA WIDIYANTI
NRP : C 14103035
Menyetujui:
Pembimbing I
Prof. Dr. Komar Sumantadinata NIP. 130 345 017
Mengetahui:
Tanggal Lulus : 2 3 ja4t; 2038
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Punvodadi tanggal 10 Maret 1985 dari ayah Mukari
dan ibu Wuryanti. Penulis merupakan bungsu dari empat bersaudara.
Pendidikan fonnal yang dilalui penulis adalah SDN 16 Punvodadi-
Grobogan pada tahun 1991-1997 dilanjutkan SLTPN 1 Punvodadi-Grobogan pada
tahun 1997-2000 kemudian SMAN 1 Purwodadi-Grohoga~l pada tahun 2000 dan
lulus pada tahun 2003. Penulis nlelanjutkan pendidikan tinggi di IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama dan
memilih proganl studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Sela~na mengikuti perkuliahan, penulis pemah magang di Taman
Akuariurn Air Tawar, Taman Mini Indonesia Indah (2005) dan di Balai Budidaya
Laut Batan1 (2006). Penulis juga pemah menjadi asisten mata kuliah Dasar-dasar
Budidaya Perairan semester ganjil (2006/2007) dan Dasar Genetika Ran semester
genap (200612007). Icegiatan lonlba karya ilmiah yang pemah diikuti oleh penulis
adalah Program Kreatifitas Mahasiswa dengan pemhiayaan DIKTI pada program
penelitian dengan judul program Efektifitas Babandotan Ageratum conyzoides
terhadap infeksi Motile Aeronzotzad Septicae~nia (MAS) yang disebabkan oleh
bakteri Aero~~tonas lzydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp. Selain itu penulis
juga aktif menjadi pengurus kegiatan Himpunan Mahasiswa Akuakultur
(HIMAKUA) periode 200512006. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi
diselesaikan dengan menulis sluipsi yang be~judul "Tetraploidisasi pada Ikan
Lele Afrika Clnrins gn~iepi~zus Burchell (1822)".
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan ralnnat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu awal kejutan panas terhadap
keberhasilan tetraploidisasi ikan lele Afnka Clarias gariepi~ztrs Burchell di
Laboratonum Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung sejak
bulan Desember 2006 sampai Oktober 2007.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata sebagai dosen pembimbing atas
kesabarannya membimbing dan memberikan arahan serta bantuan moril dan
materiil sehingga penelitian dan skripsi ini dapat selesai.
2. Bapak Dr. Alimuddin yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan
selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Orang tua ku tersayang : Bapak Mukari dan ibu Wuryanti yang telah
mengorbankan segalanya u~ltukku, serta lcakak-kakak ku : Mas Heru, Mas
Bowo dan Mbak Yeni atas bantuan moril dan materiilnya, serta keponakanku
Rizal dan Ian untuk wama lain dalam hidup ku.
4. Sahabatku Anna, Novi, dan Tyas atas keceriaan dan segala yang telah kita
hagi bersama selama ini, dan terima kasih untuk telah menunjuMtan indahnya
persahabatan.
5 . Relcan-rekan satu laboratorium (Bambang, Firman, Rahrnat, kakak Lina) serta
Mbak Lina laboran PBI, terima kasih atas segala bantuan dan kebersamaannya.
6. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutlcan satu per satu, yang turut
memberikan andil dalanl penyusunan slclipsi ini.
Akhir lcata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
informasi dan masukan yang bermanfaat bagi pihak yang memnbutuhka~~.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR IS1
Halaman
......................................................................... KATA PENGANTAR i
DAFTAR TABEL .......................... .. ................................................. iv
............................................................................ DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... vi
I . PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
............................................................................................ 1.2 Tujuan 3
I1 . TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4 . . . 2.1 Tetraplo~d~sas~ ................................................................................ 4 2.2 Kejutan Panas ........................... .. ................................................. 4 . . 2.3 Identifikasi Plold~ ........................................................................... 5
2.3.1 Kromosom ........................................................................ 6 2.3.2 Nukleolus ..................................................................... 7
................................................................................. 2.3.3DNA 7 ............................................................................... 2.3.4 Darah 8
............................................ 2.4 Ikan Lele A h k a (Clarias gariepinus) 10
. ............................................................... 111 BAHAN DAN METODE 12 .......................................................................... 3.1 Waktu dan Tempat 12 ......................................................................... 3.2 Prosedur Percobaan 12
3.2.1 Percobaa~l Pendahuluan .................................................... 12 3.2.2 Rancangan Perlakuan ...................................................... 13 . . 3.2.3 Pemeliharaan Ikan UJI ....................................................... 14
................................................................... 3.3 Parameter yang Diamati 15 .................... 3.3.1 Tingkat Keberhasilan Tetraploidisasi (TKT) 15
3.3.2 Derajat Pembuahan (Fr) ................................................... 15 3.3.3 Tingkat Kelangsungan Embrio 20 jam (Sre-20) ................ 15 3.3.4 Derajat Penetasan (Hr) ....................................................... 15 3.3.5 Kelangsungan Hidup Larva U~nur 14 Hari (KHLld) ......... 16
....................................................... 3.4 Pengukuran Konsentrasi DNA 16 ...................................................... 3.5 Pembuatan Preparat Ulas Darah 16
........................................................ 3.6 Pembuatan Preparat Nukleolus 18 ................. 3.7 Pembuatan Preparat Kromosom Kultur Sel Darah Putih 19
. ...................................................... IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 ............................................................................................... 4.1 Hasil 22
.................................... 4.1.1 Perkembangan Embio dan Larva 22 4.1.2 Keberhasilan Tetraploidisasi ........................................... 23
4.2 Pembahasan ..................................................................................... 25 .................................... 4.2.1 Perkembangan Embio dail Larva 25
........................................... 4.2.2 Keberhasilan Tetraploidisasi 26
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA .. ........................... 28
LAMPIRAN ........................................................................................ 32
No Halaman
1 Dugaan keberhasilan tetraploidisasi ikan lele Afnka 23 berdasarkan metode pengukuran DNA, pengukuran volume inti sel darah merah dan penghitungan jumlah maksimal nukleolus
2 Hasil penghitungan jumlah kromosom ikan lele Afiika 24 (Clarias gariepiiztrs)
3 Tingkat keberhasilan tetraploidisasi pada ikan lele 25 Afrilta (Clarias gariepilzus)
DAFTAR GAMBAR
No
1 Skema terjadinya individu tetraploid (Carman, 1990)
2 Waktu terjadi mitosis I pada zigot ikan lele Afrika (Clarins gnriepinus)
3 Skema proses pemijahan dan tetraploidisasi ikan Iele Afrika (Cla~,ias gariepinus)
4 Skema proses ekstraksi DNA
5 Skema preparasi nukleolus ikan lele Afrika
6 Skema preparasi kromosom teknik kultur sel darah putih
7 Grafik perkembangan embrio dan larva ikan lele Afrika (Clnrias gariepirzzrs)
Halaman
5
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Hasil pengukuran DNA ikan lele Afiika (Clarias 33 gariepilzus)
Volume inti sel ikan lele Afiika (C. gariepinus) 35
Sel darah merah ikan lele Afiika (C. gariepinus) 36
Penghitungan jumlah nukleolus ikan lele Afrika (C. 37 gariepir~trs)
Gambar nukIeoIus ikan lele Afiika (Clarias 39 guriepiizto)
Hasil penghitungan jumlah krornosom ikan lele 40 Afrika (Clarias gariepiizto)
IOornosom ikan lele Afrilta (C. gariepii~us) 41
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan merupakan salal~ satu ha1 yang mendasar bagi budidaya.
Hampir senlua kegiatan budidaya bertujuan agar organisme yang dibudidayakan
dapat tun~buh dengan cepat sehingga dapat dipanen dalam waktu yang relatif
lebih singkat. Kecepatan pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh beberapa ha1
diantaranya faktor lingkungan, faktor pakan atau nutrisi, serta tidak kalah
pentingnya faktor genetik ikan itu sendiri (Effendie, 1997). Ikan-ikan yang
memiliki kualitas genetilt yang bagus biasanya memiliki ciri-ciri pertumbuhan
lebih cepat, tahan terhadap serangan penyakit, tidak terdapat cacat bawaan. Ikan-
ikan inilah yang bisa dijadikan induk untuk benih unggul. Menurut Thorgaard &
Gall (1979) sifat steril yang di~niliki oleh ikau-ikan triploid berpengaruh besar
terhadap laju konversi makanan dan kecepatan tumbuh karena penghematan
energi yang semestinya dig~unakan untuk perkembangan gonad dapat digunakan
untuk pertumbuhan jaringan somatik.
Di habitat aslinya, iltan lele Afnka banyak terdapat pada perairan sungai,
danau dan rawa-rawa. Iltan ini bersifat tenang dan jinak, tidak banyak bergerak
dan nlampu hidup diperairan yang kotor, berlumpur, bahkan dapat hidup pada
perairan yang kandungan oksigennya rendah, ha1 ini dikarenakan ikan tersebut
~nemiliki alat pemafasan tambahan yang disebut arbovesce~zt orga~z (Soetomo,
1987). Dalaln mencari makanan ikan tersebut aktif pada malam hari (noktumal),
tem~asuk pemakan segala makanan (omnivora), cenderung bersifat karnivora
(lebih menyukai makanan hewani). Selain itu ikan tersebut senang terhadap
makanan yang telah membusuk, sehingga ikan ini termasuk juga golongan
pemakan bangkai (scave~zger). Ikan tersebut juga bersifat kai~ibal apabila jumlah
nnakanan kurang tersedia
Poliploidisasi adalah usaha, proses atau kejadian yang menyebabkan
individu berkro~nosonn lebih dari dua set (Rieger et al., 1976). Salah satunya yang
paling populer adalah triploidisasi. Individu triploid adalah individu yang
memiliki tiga set 1a.omosom (3n) (Carman, 1990). Individu tersebut bersifat steril
sehillgga memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
individu normal. Hal ini dikarenakan individu triploid tidak membutuhkan energi
untuk perkembangan gonadnya sehingga energi tersebut dapat digunakan untuk
pertuinbuhan tubuhnya.
Menurut Canna11 (1990) terdapat berbagai macam jenis kejutan dalam
poliploidisasi, diantaranya dengan kejutan suhu panas, kejutan suhu dingin,
kejutan tekanan serta kejutan dengan menggunakan beberapa macam bahan kimia.
Menurut Don & Avtalion (1986) menyatakan bahwa kejutan panas merupakan
teknik perlakuan fisik yang paling unlunl digunakan untuk menghasilkan
poliploidi pada ikan. Metode ini paling mudah dilakukan, lebih murah dan waktu
yang dibutuhkan lebih singkat dibandingkan kejutan dingin (Mair, 1993). Salah
satu contoh poliploidisasi adalah tetraploidisasi. Tetraploidisasi merupakan
rekayasa set kromosom pada individu normal yang memiliki set kromosom 2n
menjadi individu tetraploid yang memiliki set kromosom 411.
Menun~t Wexelsen clalnal Refstie et nl. (1982) individu tetraploid biasanya
bersifat fertil dan apabila dilcawinkan dengan individu diploid normal (2n) akan
dapat menlberikan keturunan triploid (311). Men~lurut Purdom (1983) tetraploid
dapat diperoleh dengan cara menggagalkan pembelahan mitosis pertama, dengan
demilcian tejadilah sel dengan inti yang mengandung empat perangkat kromosom
(4n). Dua perangkat berasal dari telur dan dua perangkat lagi berasal dari sperma.
Individu tersebut diharapkan bila dikawinkan dengan individu normal maka akan
menghasilkan keturunan individu tnploid dengan set kromosom 3n. Pada
penelitian ini kejutan yang dipilih berupa kejutan suhu panas (Izeat slzock).
Pengujian hasil tetraploidisasi tersebut dilakukan dengan cara
penghitungan jumlah nukleolus, pengukuran volume inti sel darah merah serta
dengan penghitungan jumlah luomoson~ (Carman, 1990). Dan hasil penelitian
Camian (1990) jurnlah kro~nosoin ikan lele lokal (Clarins batrachus) adalah 98
untuk diploid dan 147 untuk triploid. Sedangkan pada C. ~nncroceplzalt~s adalah
54 untuk diploid dan 81 untuk triploid (Vejaratpimol QL Pewnim, 1990). Pada ikan
lele Afrika (C. gnriepir~us) jumlah kromosom 54 untuk diploid dan 82 untuk
triploid (Richter et nl., 1987). Menurut Varadi et nl. (1999) C. gnriepi~tzrs
tetraploid memiliki jumlah kromosom sebanyak 90-1 16. Pada penelitian Varadi et
al. (1999) hanya menggunakan metode penghitungan jumlah maksimal nukIeoIus,
sedangkan menurut Carman (1990) metode yang paling akurat untuk mengetahui
poliploidisasi adalah penghitungan jumlah kromosom secara langsung.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan individu tetraploid dan
pengujian tetraploidisasi secara lengkap yaitu dengan metode pengukuran
ltonsentrasi DNA, penghitungan volume inti sel darah merah, penghitungan
juinlah maksinlal nu~ltleolus serta penghitungan jumlah maksimal kromosom
dengan teknik kultur sel darah putih.
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetraploidisasi
Poliploidisasi adalah usaha, proses, atau kejadian yang menyebabkan
individu berkromosom lebih dari dua set (Rieger et al., 1976). Tetraploid adalah
individu-individu yang memililci tingkat kromosom 4n. Menurut Wexelsen dalan~
Refstie eta1 (1982) Individu tersebut biasanya bersifat fei-ti1 dan apabila
dikawinkan dengan individu diploid normal (2n) akan dapat memberikan
lceturunan triploid (3n). Menurut Thorgaard & Gall (1979) sifat steril yang
dimiliki oleh ikan-ikan triploid berpengaruh besar terhadap laju konversi makanan
dan ltecepatan tumbuh karena penghematan energi yang semestinya digunakan
untuk perkeinbangan gonad dapat digunakan untuk peitumbuhan jaringan
somatik. Seperti penelitian Rustidja (1989) bahwa triploidisasi menekan
perkembangan gonad lele betina, ovarium ilcan triploid 30 sampai 70 kali lebih
ltecil dari ikan diploid. Stanley et al., (1981) menyebutkan bahwa ikan triploid
diduga menjadi steril karena jumlah kromosomnya ganjil (3n) sehingga
kromosom homolognya tidak mampu untuk berpasangan pada awal proses
meiosis. Maka diharapkan apabila individu tetraploid tersebut diperoleh akan
dapat menghasilltan individu-individu triploid dalam skala besar. Menurut
Purdoin (1983) tetraploid dapat diperoleh dengan cara menggagalkan pembelahan
mitosis pertama. Dengan demikian terjadilah sel dengan inti yang mengandung
empat perangkat kromosom (4n). Dua perangkat berasal dari telur dan .dua
perangkat lagi berasal dari sperma. Penggagalan pembelahan tersebut dapat
dilakukan dengan perlakuan fisik seperti kejutan panas, kejutan dingin, dan
kejutan tekanan hidrostatik. Sedangkan perlakuan kimia dapat berupa pemberian
zat kimia tertentu seperti Sitoltalasin B. Proses terjadinya individu tetraploid dapat
dilihat pada Gambar 1.
2.2 Kejutan Panas
Menunit Don & Avtalion (1986) kejutan panas meiupakan teknik
perlakuan fisik yang paling umunl digunakan untuk menghasilkan poliploidi pada
ikan. Menurut Mair (1993) rnetode kejutan panas paling mudah dilakukan, Iebih
n (polar bodi 11) kejutan panas - ikantetraploid
n (polar bodi 11)
- 6 - m - m - i k a n normal
Gambar 1. Skema terjadinya individu tetraploid (Carman, 1990).
mural>, dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat dibandingkan kejutan dingin.
Chourrout (1986) mengatakan bahwa untuk usaha ltomersial kejutan panas tidak
membutuhkan keahlian khusus. Sedangkan pada kejutan dengan teltanan
hidrostatik membutuhkan peralatau yang rumit sehingga relatif lebih mahal dan
lebih sulit. Carman (1992) menyebutkan bahwa tiga parameter yang berhuhungan
dengan perlakuan kejutan panas adalah umur zigot waktu awal kejutan, suhu
kejutan, dan lama waktu kejutan. Semua faktor tersebut spesifik atau khas untuk
tiap-tiap spesies. Penelitian Alimuddin (1994) dengan kejutan panas pada suhu
36OC selama 1.5 menit dengan umur zigot 1.5 menit sampai 4.5 menit setelah
pembuahan diperoleh ikan lele lokal (Clarias batrachus Linn) triploid dengan
presentase cukup tinggi sebesar 84-96%. Sedangkan Risnandar (2001)
memperoleh ikan jambal siam (Pangusius hypophthulmus Sauvage) triploid
dengan kejutan panas pada suhu 43OC selama 2 menit pada zigot berumur 2.5
menit dengan tingkat keberhasilan sebesar 46.67%.
2.3 Identifikasi Ploidi
Metode penghitungan ploidi meliputi metode langsung dan metode tidak
langsung. Metode langsung adalah metode yang mengbitung langsung jumlah
kromosomnya, kromosom dapat diperoleh dengan teknik preparasi kromosom
jaringan padat atau teknik kultur sel darah putih. Sedangkan metode tidak
langsung meliputi pemeriksaan morfologi, elektroforesis protein, penghitungan
nukleolus, pengukuran volume sel darah merah, dan pengukuran volume
nukleolus (Thorgaard, 1983).
2.3.1 Kt-omosom
Menurut Tave (1986) kromosom yang terletak di dalam inti sel merupakan
strulctur yang terbentuk dari gen, sedangkan gen melupakan unit genetik yang
mengandung cetak biru atau kode biologi untuk menghasilkan fenotip. Kromosom
ini dibedakan menjadi dua yaitu autosom (kromosom tubuh) dan gonosom
(kromosom kelamin). Autosom adalah kromosom yang secara morfologi tidak
berbeda antara jantan dan betina, sedangkan gonosom adalah kromosom yang
menentukan jenis kelamin individu.
Menurut De Robertis & De Robertis &lam Sukra (1991) kromosom dapat
dipelajari selanla anafase dan metafase pembelahan sel, yaitu pada saat terjadi
kontraksi maksimum. Oleb karena itu dalam pembuatan preparat kromosom
diperlukan kolkisin untuk menghentikan pelnbelahan sel pada tahap metafase
lcarena kollcisin dapat merusak benang-benang spindel dan efektif pada
konsentrasi yang sangat rendah (Gunarso, 1986). Sedangkan pada pemberian
kolkisin yang terlalu lama akan dapat menyebabkan kromosom berkontraksi
(Denton & Howell, 1969). Lebih lanjut ditambahkan bahwa pada ikan teleostei
jumlah metafase lebih banyak diperoleh dari ikan muda yang aktif. Akan tetapi
menurut Robert (1967) apabila digunakan embrio yang terlalu muda (blastomer)
dapat menimbulkan dua kelemahan yaitu pertarna kromosom cenderung menjadi
panjang dan sering kali membuat kesukaran dalam penentuan posisi sentromer
dan penghitungan, selain sulitnya membedakan sitoplasma dengan kromosom
karena adanya persamaan wama yang ditimbulkamlya.
Dan hasil penelitian Calman (1990) jumlah kromosom ikan lele lokal
(Clarins batmclzus) adalah 98 untuk diploid dan 147 untuk hiploid. Sedangkan
pada C. nzacrocepl~alus adalah 54 untuk diploid dan 81 untuk triploid
(Vejaratpimol & Pewnim, 1990). Pada ikan lele Afnka (Clarias gariepinus)
jumlah kromosom 54 untuk diploid dan 82 untuk triploid (Richter et al., 1987).
Menurut Varadi et nl. (1999) Clavias gariepinus tetraploid memiliki jumlah
kromosom sebanyak 90-1 16.
2.3.2 Nukleolus
Menur~~t Yatim (1980) nukleolus merupakan organel yang terdapat di
dalam inti sel yang berfungsi mengatur pembelaban sel dan mensintesa ribosom
bersama asanl nukleatnya. Menurut Phillips et al. (1986) penghitungan jumlah
nukleolus merupakan ~netoda yang mudah, relatif murah dan mempunyai peluang
yang besar untuk diterapkan pada berbagai spesies ikan. Metoda penghitungan
nukleolus melibatkan sel-sel yang dibe~i pewarnaan perak nitrat (AgN03) dan
menentukan jumlah maksimalnya per sel. Jumlah maksimal nukleolus berbeda
pada jellis ikan yang berbeda, dengan metoda ini jaringan apapun dapat di,makan
untuk analisa dan karena yang dibutuhkan adalah sel maka tidak perlu membunuh
ikan yang akan diperiksa. Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah nukleolus ikan
haploid adalah satu, individu diploid memiliki satu atau dua nukleoli dalam selnya
dan individu triploid memiliki satu, dua atau tiga nukleoli per selnya.
Menurut Varadi et nl. (1999) C. gnriepinus diebut rnozaic tetraploid
apabila memiliki 3-5 nukleolus per sel-nya sebanyalc 5-75%. Sedangkan individu
tersebut disebut fi1ll tetraploid apabila memiliki 3-5 nukleolus per sel-nya lebib
dari 75%. Berilcut ditanlbahkan bahwa individu tetraploid dengall jumlah
maksimu~n 5 nukleolus per sel sebesar 9.2% jumlah sel yang diamati pada
individu tersebut ditemukail pada kejutan panas 1.4~~-l)altle setelah fertilisasi,
pada suhu kejutan 40.5'C selama 2 menit.
2.3.3 DNA (Deoxyribo N~rcleic AcirC)
Menurut Tave (1986) kromosom adalah bahan inikroskopik berupa
sekumpulan gen yang tersusun dari DNA (asam deoksiribo nukleat) yang letaknya
di dalam inti sel dan merupakan struktur sel yang berperan dalam pewarisan sifat
keturunan. Protein terdapat dalam berbagai bentuk yaitu enzim, protein
pengangkut, protein cadangan, antibodi dan honnon. Dengan demikian DNA
mengendalikan proses kehidupan dan metabolisme. Di dalam sel dikenal empat
jenis lnolekul penting, yaitu :
(1). Polinukleotida : makroinolekul deilgan nukleotide sebagai molekul
dasarnya, asan1 nukleat merupakan senyawa polinukleotida, dan terdapat dua jenis
asam nukleat yaitu asan dioksiribo nukleat (DNA) dan asam ribo nukleat (RNA).
(2). Polipeptida : inerupakan rangltaian asam amino sekaligus merupakan
rantai dasar peiiyusun molekul protein.
(3). Polisakarida : mer~~pakan molekul yang mencakup berbagai senyawa
yang dilibatkan dalam reaksi metabolisme. Sakarida merupakan bahan dasar
penyusun rantai ini.
(4). Lemak : merupaltan rangkaian asam lemak.
Kromosom yang nampak saat pembelahan sel merupakan gulungan atau
konderisasi serat halus yang disebut kromatin. Krolnatin merupakan asosiasi satu
molekul DNA yang berukuran sangat panjang dengan protein dan RNA. Masa
protein yang terdapat didalam kromatin kira-ltira bejumlah dua kali lipat dari
DNA.
2.3.4 Darah
Darah adalah suatu cairan dalam tubuh yang mengalir ke seluruh tubuh
melalui pembuluh darah dan meiniliki hngsi utama sebagai alat transportasi, yaitu
mengangkut 0 2 dan paru-paru ke jaringan dan CO2 dan janngan ke pam-paru,
sekresi itelenjar endokrin dan sistein metabolisme jaringan, nutrisi dari usus, serta
sebagai pertahanan tubuh, dimana dalam darah terdapat leukosit yang berperan
sebagai unit mobil dari sisteni pertahanan tubuh (Guyton, 1996). Menurut Phillis
clnlanz Harris (1991) volume sel darah lunurnnya 6-8 % dari berat badan,
jumlahnya lebili sedikit dibandingkan dengan plasma. Darah ikan kecil bila
dibandingkan dengan kelas-kelas lain hewan vertebrata yakni sekitar lima persen
dari berat badannya (Nabib & Pasaribu, 1989). Voluine darah hewan dipengaruhi
oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui
atau laktasi, derajat aktivitas dan faktor lingkungan.
Darah terdiri dari plasma darah (55%) dan benda darah yang tersusun dari
senyawa organik dan anorganik. Sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit),
sel darah putih (leukosit) dan platelet (trombosit). Fungsi entrosit bersifat pasif
dalam pembuluh darah, sedangkan leukosit manipu keluar dari pembuluh darah
rneiiuju berbagai jaringan tubuh dan kemudian mati dalam jaringan (Brown, 1987)
cinlanz Sunarti (2003). Dengan gerakan amuboidnya leukosit dapat melakukan
fungsinya ke seluruh jaringan, sehingga leukosit inerupakan unit yang aktif daii
sistem pertahanan tubuh.
Menurut Fulton (1955) pada fetus muda, limpa dan hati adalah organ
utama pembentuk darah. Pada anak-anak dan dewasa, eritrosit dihasilkan dalam
rongga sumsum tulang (Ganong, 1995). Fungsi utama dari eritrosit adalah
mengangkut oksigen yang berasal dari paru-pam ke jaringan (Guyton, 1996).
Dalam tubuh, eritrosit adalah sel darah terbanyak dan harnpir mendekati jumlah
seluruh volume sel darah pada hewan (Breazile, 1971 clnlant Sabrina, 2005). Butir
darah merah secara umum berdiameter antara 5-6 pm dan rataan diameter pada
spesies berbeda adalah 3.5-7.5 pm (Banks, 1993). Eritrosit dewasa terdiri dari 62-
72% air dan ?35% benda padat yang terdiri dari 95% hemoglobin dan 5% protein
(Sikar & Widjajakusumah, 1996). Lama masa hidup eritrosit yang rata-rata 120
hari menyebabkan juilllah eritrosit yang relatif tetap, yang dihancurkan setiap hari
oleh reticztlo er~doplasmic system (RES).
Thorgaard & Gall (1979) mengatakan semua individu triploid mempunyai
volume inti sel darah merah rata-rata lebih tinggi daripada volume inti sel darah
meral~ individu diploid. Selanjutnya menurut Wolters et al. (1982) secara teoritis
perubahan dari diploid ke triploid akan mengakibatkan kenailcan 50% pada ukuran
inti. Ukuran sel dan inti sel darah merah yang besar tersebut disebabkan jumlah
kromosom ikan triploid lebih banyak dibandingkan jumlah kromosom ikan
diploid (Richter et al., 1987). Akan tetapi Carman (1990) mengatakan bahwa
ltadang terdapat tumpang tindih nilai-nilai panjang dan lebar sel darah antara ikan
diploid dan triploid. Dari beberapa penelitian temyata sel darah dan inti sel darah
merah ~nempunyai ketepatan yang rendah untuk menentukan poliploidi.
Menurut Guyton (1996) leukosit merupakan unit yang termobil/aktif
dalam sistem pertahanan tubuh. Berdasarkan granul yang berada dalam
sitoplasmanya, Caceci (1 998) dalant Sabrina (2005) menyebutkan bahwa leukosit
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu granulosit (mempunyai granul
dalam sitoplasmanya) dan agranulosit (tidak mempunyai granul dalam
sitoplasmanya). Granulosit dibedakan menjadi tiga, yaitu netrofil, basofil, dan
eosinofil yang semuanya diproduksi dalam sumsum tulang. Sedangkan
agranulosit dibedaltan menjadi dua yaitu limfosit dan monosit yang diproduksi di
jaringan limfoid seperti limpa, tonsil, timus dan bursa fabrisius (Swenson, 1977).
Meiiurut Caceci dalnrn Sabrina (2005) netrofil mempunyai ciri khas yaitu
sitoplasma bersifat eosinofililc, yaitu sitoplasina sedikit mengambil wama
sehingga inti terlihat jelas. Basofil berfungsi tnemproduksi heparin yang
mencegah pembekuan darah (Sikar & Widjajakusumah, 1996). Eosinofil bersifat
sangat niotil tetapi lcurang fagositik, namun eosinofil akan melekatkan din pada
parasit itu dan akan melepaskan bahan yang dapat membunuh banyak parasit
tersebut (Guyton, 1996). Sedangkan limfosit berfungsi dalam produksi antibodi
atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang melekat pada
makrofag (Tizard, 1988).
2 .4 Ikan lele Afrika (Clarias gariepirzus)
Menurut Weber de beaufort dnlanz Viveen et al. (1987), ikan lele Afiika
dapat digolongkan sebagai berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Subklas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Clariidae
Genus : Clnrins
Spesies : Clarins gariepinus
Ikan lele Afrika mempunyai bentuk tubuh silindris pada bagian depan dan
memipih ke arah ekomya, kepala gepeng dilindungi dengan lempengan tulang
kepala yang lceras. Mulutnya lebar dan disekitar bagian mulut terdapat empat
pasang sungut yang berperan sebagai peraba dalam mencari makaian. Tubuhnya
tidak bersisik daii dapat menghasilkan lendir, bila terkena stress tubuhnya terlihat
bernoda-noda seperti mozaik hitam putih. Sirip punggung, sirip ekor dan sirip
anal merupakan sirip tunggal, sedang sirip dada dan sirip perut merupakan sirip
berpasa~iga~~. Pada sirip dada terdapat jar-jari sirip keras yang disebut patil, patil
tersebut tidak beracun dan berfungsi sebagai senjata untuk membela din apabila
ada gangguan dari luar serta dapat juga digunakan untuk merayap (Viveen et al.,
1987).
Ikan lele Afrika bailyak terdapat pada perairan sungai, danau, dan rawa-
rawa. Ikan ini bersifat tenang dan jinak, tidak banyak bergerak, dan mampu hidup
diperairan yang kotor, berlumpur, bahkan dapat hidup pada perairan yang
kandungan oksigennya rendah, ha1 ini dikarenakan ikan tersebut memiliki alat
pernafasan tambahan yang disebut arborescerzt organ (Soetomo, 1987). Dalam
mencari makanan ikan tersebut aktif pada malarn hari (noktumal), termasuk
pemakan segala makanan (omnivora), cenderung bersifat lcarnivora (lebih
menyukai makanan hewani). Makanannya berupa jasad renik (zooplankton)
seperti ; kutu air, cacing rambut dan rotifera. Selain itu ikan tersebut senang
terhadap makanan yang telah membusuk, sehingga ikan ini termasuk juga
golongan pemalcan bangkai (scaverzger). Ikan tersebut juga bersifat kanibal
apabila jumlah makanan kurang tersedia.
111. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2006 sampai Oktober
2007, berteinpat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Jurusan
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor dan Laboratorium Lapangan Kolam babakan, Desa Babakan, Dramaga,
Bogor.
3.2 Prosedur Percobaan
3.2.1 Percobaan Pendahuluan
Penelitian ini berupa pengamatan pembelahan sel telur yang telab dibuahi.
Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan waktu yang tepat saat tejadinya
proses mitosis pertama. Diinana waktu tersebut akan digunakan untuk
menentukan waktu ltejutan panas saat tetraploidisasi. Pengamatan ini dilakukan
pada 100 butir telur ikan lele Afiika yang telah dibuahi. Hasil pengamatan dapat
dilihat pada Gambar 2.
Kejadian Mitosis I 1 1
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Waktu (menit) I
Gambar 2. Waktu terjadi mitosis I pada zigot ikan lele Afiika (Clarins gariepinus).
Berdasarkan hasil pada Gambar 2 maka pemilihan waktu kejutan dimulai
pada umur zigot mulai 32 menit sampai 40 menit setelah pembuahan
3.2.2 Rancangan Per-lakuan
Percobaan tetraploidisasi terdiri dari lima perlakuan dan satu kontrol.
Percobaan ini dilakukail pada suhu kejutan dan lama waktu kejutan yang sama
yaitu pada suhu 40' C selama 75 detik. Berikut masing-masing perlakuan :
Perlakuan K adalah kontrol, yaitu tanpa kejutan panas.
Perlakuan PI adalah perlakuan kejutan panas pada saat zigot berumur 32 menit.
Perlakuan P2 adalah perlakuan kejutan panas pada saat zigot berumur 34 menit.
Perlakuan P3 adalah perlakuan kejutail panas pada saat zigot berumur 36 menit.
Perlakuan P4 adalah perlakt~an kejutan panas pada saat zigot berumur 38 menit.
Perlakuan P5 adalah perlakuan kejutan panas pada saat zigot berumur 40 menit.
Persiapan wadah dilakukan dengan mencuci semua wadah pemeliharaan
meliputi bak pemeliharaan induk dan akuarium dengan air. Pemeliharaan induk
dilakukan selama 2 minggu di bak pelneliharaan sebelum dipijahkan. Pemberian
pakan diberikan sekali sehari dengan pakan yang diberikan beiupa pelet. Untuk
pemijahan, dipilih induk yang sudah matang gonad untuk kemudian disuntik
dengan ovaprim dengan dosis sebanyak 0.3 mllkg bobot tubuh untuk induk betina
dan 0.2 mllkg bobot tubuh untuk induk jantan, penyuntikan dilakukan secara intra
muskular. Keinudian kedua indukan dipelihara secara terpisah dalam bak
penampungan selama lcurang lebih 12 jam sebelum dipijahkan. Pemijahan
dilakukan secara buatan dengan mengulut perut induk betina ke arah anal
kemudian telur ditampung dalam mangkuk yang bersih dan kering. Untuk sperma
jantan diperoleh dengan meinbedah pen~t ikan jantan dan mengambil gonadnya
untuk kemudian dicacah dengan gunting dan diurut.
Peinbuahai~ dilakukan dengan mencampur telur dengan spemla lalu diberi
larutan penlbuahan yang terbuat dari campuran 4 g NaCl dan 3 g urea dalam 1
liter air suling, lcemudian telur dan sperma diaduk dengan hati-hati dengan
inenggunakan bulu ayam. Telur yang telah dicampur tersebut segera disebarkan di
atas 18 lembar kaca 10 x 20 cm yang telah direndam air. Kejutan panas dilakukan
pada umur zigot sesuai dengan perlakuan masing-masing pada suhu 40' C selama
1 menit 15 detik. Setelah itu telur-telur tersebut diinkubasi ke dalam akuarium
sesuai perlakuan masing-masing. Untuk lebih lengkapnya, skema pemijahan dan
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3.
Suntik ovaprim
Jantan (0.2 mllkg bobot) Betina 0.3 mlkg bobot)
6-12 jam = Bedah, ambil gonad Stripping telur
1 Pembuahan (To) / 26OC
1 Telur disebar lnerata pada lempeng kaca dalam air
I Heat shock pada 40°C selama 1.25 menit
Waktu awal kejutan : 32' ,34' ,36 ' ,38 ' ,40'
Serta tanpa ltejutan untuk kontrol
1 Inkubasi telur
Gambar 3. Skema proses pemijahan dan tetraploidisasi ikan lele Afrika (Clarias gariepinus).
3.2.3 Pemeliharaan Ikan Uji
Setelah telur tersebut menetas maka pada umur 3 hari larva mulai
diberikan makan berupa Artenzia sp yang diberikan tiga kali sehari yaitu pada
pagi, siang dan sore hari. Jenis pakan yang diberikan selanjutnya adalah cacing
darah yang dicacah halus setelah larva berunlur lebih dari 14 hari sampai 30 hari
pakan ini diberikan tiga kali sehari pada pagi, siang dan sore hari. Setelah larva
berumur lebih dari 30 hari, jenis pakan yang diberikan berupa pelet udang.
Pemberian pakan dilakukan secara ad setiation (sekenyangnya). Penyifonan air
dilakukan tiga hari sekali untuk menjaga kualitas air media pemeliharaan.
Pemeliharaan ikan uji dilaltukan sampai ikan uji dapat diambil jaringannya (sirip
ekor dan darah) untuk diidentifikasi tingkat ploidinya.
3.3 Parameter yang diamati
Parameter yang diamati adalah tingkat keberhasilan tetraploidisasi (Kt),
derajat pembuahan (Fr), tingkat kelangsungan hidup embrio 20 jam (Srezo),
derajat penetasan (Hr) dan derajat kelangsungan hidup larva (Sr).
3.3.1 Tingkat Keberhasilan Tetraploidisasi (TKT)
Keberhasilan tetraploidisasi lnerupakan presentase ikan yang tetraploid
dibandingkan dengan jurlllah ikan yang diamati (Sunarti, 2003).
C ilcan tetraploid TKT = x 100%
C ikan yang diar~zati
3.3.2 Derajat Pembuahan / Fertility rate (Fr)
Telur yang dibuahi benvarna bening sedangkan telur yang tidak dibuahi
benvanla putill susu. Pengamatan ini dilakukan 8 jam setelah telur dibuahi
(Alimuddin, 1994).
C telur yaizg dibuahi Fr = x 100%
C telur yang ditebar
3.3.3 Tingkat Kelangsungan Embrio 20 jam / Survival rate (Srezo)
Kelangsungan hidup elnbrio 20 jam adalah presentase urnur ernbrio yang
hidup sarnpai 20 jam dari jumlah telur yang dibuahi (Alimuddin, 1994).
C embrio yang hidup sampai untur 20 jain Sre = x 100%
C telur yaizg dibualzi
3.3.4 Derajat Penetasan / Hatching rate (Hr)
Derajat penetasan adalah presentase jumlah telur yang mampu menetas
menjadi larva dari jumlah telur yang dibuahi. Pengamatan dilakukan 30 jam
setelah pembuahan (Alimuddin, 1994).
C telul, yarzg 17zer1etas Hr = x 100%
C tehrr yai~g dibunhi
3.3.5 Kelangsungan Hidup Larva Umur 14 hari (KHL14)
Kelangsungan hidup larva umur 14 hari adalah presentase larva yang
hidup sampai umur 14 hari dari julnlah telur yang menetas (Sunarti, 2003).
C larva uitlur 14 lzari KHL,, = x 100%
C telur rnerzetas
3.4 Pengukuran Konsentrasi DNA
Tahapan pengukuruan konsentrasi dimulai dengan mengekstraksi DNA
sampel (Gambar 4) yang berasal dari sirip ekor ikan. Pertama sirip ekor dipotong
dan ditimbang sebanyak 5-10 mg (A) lalu dimasukkan ke dalam effendorf (1.5 ml)
kemudian ditambahltan 200 pl Cell Lysis Solutioi~ dan 1.5 p1 Proteinase K diaduk
dengan pipet dan dihomogenisasi dengan vortex lalu diinkubasi dalam inkubator
dengan suhu 55" C over night. Lalu diangkat dan dibiarkan sampai suhu ruang
kemudian ditambahkan RNase sebanyak 1.5 p1 dan diaduk dengan membolak-
balikkan tabung sebanyak 25 kali kemudian diinkubasi kembali pada suhu 37" C
selama 60 menit. Setelah itu diangkat lalu dibiarkan sampai suhu ruang dan
disimpan or1 'ice selama 5 menit lalu ditambalkan 100 p1 Protein Precipitation
Solution lalu disentrifuse pada 12000 rpm selama 15 menit. Lalu larutan
supematan ditt~ang secara hati-hati ke dalam tabung baru yang telah berisi 300 p1
isopropa~~ol lalu diaduk dengan membolak-balikkan tabung sebanyak 50 kali
hingga terlihat untaian pita DNA yang berwama putih. Kemudian tabung tersebut
disentrifi~se pada 12000 rpm selama 10 menit hingga terbentuk pelet di dasar
tabung. Setelah itu supernatan dibuang dan ditambahkan 300 p1 etanol70% dingin
lalu disentrifuse pada 12000 rpm selama 10 menit. Kemudian etanol dibuang dan
dibiarkan kering udara selama 15 menit. Setelah itu pelet DNA yang didapat
dilarutkan kembali dengan 50 p1 SDW untuk kemudian diukur secara langsung
maupun disimpan dalam freezer.
3.5 Pembuatan Preparat Ulas Darah
Darah diambil dengan menggunakan syringe yang telah dibasahi dengan
heparin lalu diteteskan sebanyak 2 tetes di atas gelas objek bagian ujung dan
diulaskan dengan ujung gelas objek yang lain sampai menutupi permukaan gelas
Sampel sirip caudal ditimbang (A) lalu masukkan eSendorf 1.5 ml
+ + 200 p1 Cell Lysis Solutioiz + 1.5 pl Proteinase K, vortex
I t
Inkubasi pada 55'C over rziglzt I t
Angkat, dinginkan pada suhu ruang + 1.5 p1 RNase, bolak-balik tabung
1 Inkubasi pada 37OC selama 60 menit
I + Anglcat dinginkan pada es selama 5 menit + 100 p1 Protein Precipitation Solution
1 Sentrifuse pada 12.000 rpm selana 15 menit
I t
Tuang supematan pada tube barn yang telah diisi 300 p1 isopropanol
Bolak-balik tube 50 kali I +
Sentrihse pada 12.000 rpm selama 10 menit I .(
Buang supernatan + 30P p1 ethanol 70% dingin
+ Sentrihse pada 12.000 rpm selama 10 menit
I Buang supematan 2 an kering udarakan
I t
Larutkan DNA dalam 50p1 SDW Simpan sampel untuk diukur
--
Gambar 4. Skema proses ekstraksi DNA
objek. Preparat dibiarkan kering udara lalu difiksasi dengan meneteskan 4-5 tetes
etanol 100 % selama 2 menit lalu divvamai dengan giemsa 10 % selama 20 menit.
Kemudian preparat dibilas dengan akuades dan dibiarkan kering udara. Setelah itu
preparat diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali dan diukur
diameter sel darah dengall menggunakan mikrometer. Pengukuran dilakukan pada
diameter panjang (a) dan diameter lebar (b) sel darah merah. Rumus penghitungan
4 volume sel darah adalah sebagai berikut: V = - a ab'
3
3.6 Pembuatan Preparat Nukleolus
Pembuatan preparat nukleolus (Gambar 5) dimulai dengan pengambilan
sampel yang akan dianalisa, yaitu berupa sirip ekor. Lalu jaringan tersebut
direndam dalam larutan hipotonik dengan KC1 0.075% agar sel-selnya membesar
sela~na 60 menit dengan penggantian setiap 30 menit, lalu dilanjutkan dengan
perendaman dalam laiutan carnoy selama 60 menit dengan penggantian carnoy
setiap 30 menit.
Jaringan dipotong (sirip ekor)
1 Rendam KC1 0.075% 60 menit @30 menit
1 Rendam Camoy 60 menit 30 menit a
Arnbil jaringan (keringkan tissue)
1 Tambahkan asam asetat (goyangkan)
Teteskan pa a a gelas objek (diatas hotplate)
1 Warnai (2 tetes A + 1 tetes B)
1 Staining box 20-30 menit
1 . Bilas akuades kerlng udarakan
1 Amati dibawah mikroskop
(perbesaran 400x)
Ganbar 5. Skema preparasi nukleolus ikan lele Afhka.
Kemudian jaringan diambil dan disentuhkan pada kertas tissue hingga
kering lalu ditempatkan dalam gelas objek cekung dan ditambahkan 3-4 tetes
asanl asetat 50% lalu digoyangkan sampai terbentuk suspensi sel. Suspensi
tersebut diambil dengan menggunakan pipet tetes dan diteteskan pada gelas objek
yang sebelumnya direndam dalam alkohol 70% selama minimal 2 jam yang
kemudian dipanaskan pada lempeng pemanas dengan suhu 45-SO0 C. ICemudian
suspensi diisap kembali dengan cepat sehingga pada gelas objek terbentuk
lingkaran dengan diameter 1-1.5 em. Lalu gelas objek diangkat dan diwainai.
Pewamaan dilakukan dengan memberikan dua tetes larutan A yang dibuat
dengan cara melarutkan 10 gram AgN03 dalam 20 ml akuades, dan satu tetes
larutan B yang dibuat dengan melarutkan 2 gram gelatin dalam 50 ml air hangat
dan ditambahkan 50 ml gliserin d m 20 tetes asam fonniat, lalu disebarkan ke
seluruh permukaan preparat dengan tusuk gigi. Preparat kemudian ditempatkan
dalam box stainii~g yang suhnnya dipertahankan 40-45" C, selama dua puluh
menit atau sampai wamanya berubah menjadi kuning kecoklatan. Setelah itu
preparat diangkat dan dibilas dengan akuades lalu dibiarkan kering udara. Bila
sudah kering preparat siap dianati dengan inenggunakan mikroskop dengan
menggunakan perbesaran 400 kali.
3.7 Pembuatan Preparat Kromosom dari Kultur Sel Darah Putih
Kultur sel darah putih dimulai dengan mencuci bersih dan mensterilkan
semua peralatan yang dipakai yaitu dengan mensterilkan lalninar aivflow dengan
menyemprotnya dengan alkohol 70 % lalu memasukkan semua alat-alat dan
media karyomax ke dalam lalninav air flow kemudian lampu UV dinyalakan
selama 30 menit. Setelah itu W dimatikal dan media karyomax dimasukkan
dalaln botol-botol kultur sebanyak 4 ml diatas nyala api. Proses kultur darah ini
sesuai dengan tahapm pada Gainbav 6.
Pengambilan darah dilakukan dengan menusuk daerah dekat pangkal ekor
dengall syringe 1 ml yang sebelumnya telah dibasal~i dengal heparin dan diisi
heparin sebanyak 0.02 ml, darah diambil sebanyak 0.2 ml dan diaduk dengan cara
membolak-balikkan syringe. Darah dimasukkan ke dalam media kultur sebanyak
2-3 tetes per botol diatas nyala api. Kemudian botol kultur dimasukkan ke dalam
inkubator deilgan suhu 28' C selama 4-7 hari (sampai waktu panen). Media
dikocolc dua kali sehari setiap hari selama masa kultur untuk lnenghindari
pengendapan. Panen dilakukan dengan menambahkan 2-3 tetes kolkisin 0.01% (1
mg kolkisin dalam 10 ml aknades) dua jam sebelum pemanenan. Botol tersebnt
Ambil3-4 tetes darah 5 ml media karyomax -+ Botol Kultur (15 ml) + Inkubasi 28OC selama 7 hari.
+ 4-5 tetes Kolkisin 0.01% 4 Biarkan 2 jam kocok @3O mer
Masukkan tube, sentrifuse 1500 rpm,lO menit
+ Buang supematan, + 1.5 ml KC1 0.075 M
4 Diamkan 1 jam aduk pipet @15 menit +
Sentrihse 1500 rpm, 10 menit + Buang s~lpernatan, + 1.5 ml Camoy
+ Sentrifuse 1500 rpm, 10 rnenit ulangi 2-3 kali + Teteskan pada gelas obyek, lcering udarakan +
Warnai Giemsa 20%, 20-30 menit + Bilas akuades, kering udara
4 Amati perbesaran lOOOx
Gambar 6. Skema preparasi kromosom teknik kultur sel darah putih.
dikocok setiap 30 menit sekali. Setelah itu suspensi dimasukkan ke dalain tube
lalu disentrifuse pada 1500 rpm selama 10 menit.
Kemudian supematan dibuang lalu ditambahkan larutan hipotonik (KC1
0.075 M dengan melarutkan 0.5065 gram dalam 100 ml akuades). Suspensi
Icemudial diaduk dengan pipet lalu dibiarkan selama 1 jam dengan diaduk setiap
15 menit. Setelah itu suspensi disentrihse pada 1500 rpm selama 10 menit lalu
supematan dibuang. Filcsasi dilakukan dengan menambahkan larutan carnoy yang
terbuat dari campuran etanol absolut : asam asetat dengan perbandingan 3:l
sebanyak 1.5 ml lalu disentrifuse pada 1500 rpm selama 10 inenit kemudian
supernatan dibuang. Tahap fiksasi tersebut diulangi sebanyak dua sampai tiga kali
sampai larutan jemih. Suspensi sel tersebut diteteskan di atas gelas objek daii
ketinggian 15 cm darl dibiarkan kering udara. Preparat yang telah kering lalu
diwarnai dengan giemsa 20 % dengan cara meberikan 3 tetes larutan di atas gelas
objek kemudian diratakail dengan tusuk gigi. Pewamaan dilakukan selama 20-30
menit kemudian preparat dicuci dengan akuades dan dibiarkan kering udara. Bila
sudah kering preparat siap diamati dengan menggunakan mikroskop dengan
menggunaltan perbesaran 1000 kali.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1 Perkembangan Embrio dan Larva
Setelah proses pembuahan, telur dipelihara dalam akuarium kemudian
diamati parameter derajat pembuahan, derajat kelangsungan hidup embrio saat
berumur 20 jam, derajat penetasan telur yang terbuahi, serta derajat kelangsungan
hidup larva benunur 14 hari semenjak penetasan, seperti ditunjukkan pada
Gambar 7.
Perkembangan Embrio dan Larva
I Kontrol 32 34 36 38 40
Umur zigot (menit)
Gambar 7. Grafik perkembangan embrio dan larva ikan lele A£rika (Clarias gariepinus).
Berdasarkan Gambar 7 dapat terlihat bahwa nilai derajat pembuahan (FR)
m e m i l i nilai antara 81,23% (pada umur zigot 40 menit) sampai 98,96% (pada
umur zigot 38 menit). Sedangkan nilai tingkat kelangsungan hidup embrio umw
20 jam (SreTo) menunjukkan perbedaan dimana individu kontrol memilii nilai
lebih rendah (58.33%) dari perlakuan pada umur zigot 34 menit (59.87%) yang
merupakan nilai tertinggi, sedangkan nilai terendah terdapat pada umur zigot 32
menit (45.17%). Derajat penetasan (FIR) menunjukkan perbedaan antara masing-
masing perlakuan dan kontrol. Derajat penetasan tertinggi terdapat pada kontrol
sebesar 24% sedangkan derajat penetasan terendah terdapat pada perlakuan umur
zigot 38 menit, yaitu sebesar 8,07%.
4.1.2. Keberhasilan Tetraploidisasi
Tahapan penganiatan keberhasilan tetraploidisasi meliputi pengukuran
DNA (Lampiran I), pengukuran volume inti sel darah merah (Lampiran 2) serta
pengl~itungan jumlah maksimal nukleolus (Lampiran 3). Ikan-ikan yang memiliki
nilai sekitar dua kali lipat dari nilai kontrol (pada konsentrasi DNA nilai kontrol
antara 264,6-1032 pg/ml, pada volume sel darah merah antara 47,4-220,6 p1, serta
pada jumlah maksimal nukleolus yang berkisar antara 1-2 nukleolus per sel)
diarnbil sebagai kandidat tetraploid, sehingga didapatkan dugaan keberhasilan
tetraploid dari ketiga uji tersebut di atas seperti nanlpak pada Tabel 1.
Tabel 1. Dugaan keberhasilan tetraploidisasi ikan lele Afika berdasarkan metode pengukuran DNA, pengukuran volume inti sel darah merah dan penghitungan jumlah maksimal nukleolus
Catatan : dari tiap perlakuan diamati sebanyak 10 ekor ikan.
Dari hasil ketiga metode tersebut kemudian ditentukan kandidat-kandidat
ikan tetraploid untuk diuji lebih lanjut yaitu penghitungan kromosom dengan
teknik kultur sel darah putih. Kandidat-kandidat tersebut adalah ikan 'dari
perlakuan kejutan pada umur zigot 32 menit (PI) yaitu ikan nomor 1, 3, dan 8.
Dari perlakuan kejutan pada umur zigot 34 menit (P2) diambil ikan nomor 2 dan
dari perlakuan kejutan pada umur zigot 36 menit (P3) diambil ikan nomor 2.
Sedangkan dari perlakuan kejutan pada umur zigot 38 menit (P4) diambil ikan
nomor 1 dan 6, serta dari perlakuan kejutan pada umur zigot 40 menit (P5)
diambil ikan nomor 7. Kedelapan ikan tersebut diambil untuk kemudian dikultur
darahnya sebagai preparasi kromosom. Kromosom yang dihasilkan kemudian
dihitung jumlahnya untuk menentukan individu-individu mana yang tetraploid.
Hasil penghitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil penghitungan jumlah kromosom ikan lele Afrika (Clarias gariepiizzls)
Catatan : P I sampai P5 adalah perlakuan umur zigot
hdividu diploid memiliki set kromosom 2n yang berjumlah sekitar 40-50
buah sedangkan individu tetraploid memiliki jumlah kromosom sekitar 92-100
buah. Namun terdapat pula individu-individu yang memiliki jumlah kromosom
satu setengah kali jumlah diploid yang diperkirakan merupakan individu-individu
triploid. Hasil penghitungan kromosom ini lebih meyakinkan apabila
dibandingkan dengan hasil penghitungan volume sel darah merah, penghitungan
lconsentrasi DNA maupun penghitungan jumlah malcsimal nukleolus, karena tidak
ada jumlah kromosom yang tumpang tindih antara individu diploid dengan
individu tetraploid. Sehingga dari hasil penghitungan jumlah kromosom dapat
diketahui individu yang benar-benar tetraploid untuk menghitung keberhasilan
tetraploidisasi seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkat keberhasilan tetraploidisasi pada ikan lele Afiika (Clarias gariepinus)
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa tingkat keberhasilan tetraploid tertinggi
terdapat pada perlakuan keliina, yaitu kejutan pada umur zigot 40°C sebesar
12,5%. Sedangkan pada perlakuan kejutan saat umur zigot kurang dari 36 menit
tidak menunjukkan keberhasilan tetraploid (0%).
4.2. Penibahasan
4.2.1. Perkembangan Embrio dan Larva
Derajat pembuahan setiap perlakuan memiliki nilai antara 81.23%-98.96%
sehingga dapat diartikan bahwa kualitas telur dan sperma yang digunaltan bagus
serta hampir semua telur dapat terbuahi oleh sperma secara merata, sehingga tidak
ada perbedaan pada derajat pen~buahan Cfertility rate). Perbedaan pada derajat
kelangsu~~gan hidup embrio ulnur 20 jam disebabkan karena goncangan yang
terjadi pada saat tetraploidisasi. Hal ini didukung oleh pemyataan Lagler et al.
(1977) yaitu goncangan, kejutan dan perubahan temperatur yang cepat sangat
berbahaya pada periode sensitif awal, balkan dapat berakibat kematian enlbrio.
Hal inilah yang mempengaiuhi rendahnya derajat penetasan telur pada masing-
masing perlakuan kejutan bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak mendapat
perlakuan kejutan.
Tave (1993) mengemukakan mortalitas yang terjadi kemungkinan
disebabkan oleh beberapa macam efek merugikan dari perlakuan kejutan pada
sitoplasma telur. Perlakuan kejutan suhu dapat mengakibatkan kerusaltan pada
benang-benang spindel yang terbentuk saat proses pembelahan sel dalam telur.
Sedangkan Pandian & Varadaraj (1990) menyatakan beberapa telur yang diberi
kejutan panas mati sebelum atau sesaat setelah menetas. Seperti terlihat pada
grafik dilnana pada derajat penetasan telur pada kontrol memiliki nilai yang lebih
tinggi (24%) dibai~dingkan dengan perlakuan keempat (8,07%).
Kelangsungan hidup larva perlakuan tetraploidisasi lebih rendah dari larva
diploid (kontrol). Hal ini seperti terlihat pada Gambar 7, dimana nilai derajat
ltelangsungan bidup larva herumur 14 hari pada perlakuan ketiga, keempat dan
kelima sangat rendah (14.70%, 26.55%, dan 21.13%) bila dibandingkan dengan
kontrol (88.3%). Menurut Thorgaard (1992) yang menyatakan kelangsungan
hidup ikan poliploid pada fase larva pertama kali makan umumnya lebih rendah
bila dibandingkan dengan diploid selain disebabkan karena rendahnya
kemampuan ikan-ikan tetraploid dalam menangkap oksigen terlarut dalam air.
Diduga pada perlakuan ketiga, keempat, dan kelima terdapat banyak individu-
individu tetraploid.
4.2.1. Keberhasilan Tetraploidisasi
Analisis DNA menunjukltan bahwa terdapat perbedaan konsentrasi antara
DNA ikan tetraploid dan DNA ikan diploid. Perbedaan tersebut disebabltan oleh
karena perbedaan jumlah kromosom yang dimiliki oleh ikan tetraploid dan
diploid. Tingginya konsentrasi DNA terkait dengan poliploidi dimana sel yang
memiliki set kromosom lebih tinggi akan memiliki jumlah DNA yang lebih
banyak pula. kromosom tersusun oleh dua unsur yaitu DNA dan protein yang
disebut histon, sehingga apabila jumlah kromosom meningkat, maka konsentrasi
DNA juga akan meningkat.
Hasil pengukuran volume inti sel darah merah terlihat adanya nilai yang
tumpang tindih antara ikan diploid dan tetraploid. Karena itu penentuan tingkat
ploidi dengan penghitungan inti sel darah inerah diduga tidak dapat diharapkan.
Caiman (1990) juga menyebutkan bahwa penghitungan volume sel darah merah
meiniliki ketepatan yang rendah dalam penentuan tingkat ploidisasi.
Jumlah nukleolus ikan tetraploid maksimal 6 nukleolus per sel. Akan
tetapi semua individu yang dinyatakan tetraploid berdasarkan uji nukleolus
merupakan individu tetraploid mozaik. Hal ini disebabkan proporsi jumlah
nukleolus maksirnal yang kurang dari 75%. Menurut Varadi et al. (1999) individu
disebut full tetraploid apabila jumlah maksimal nukleolus 3-5 per individu lebih
dari 75% dan disebut mozaik tetraploid apabila jumlah rnaksimal nukleolus 3-5
antara 5-75%.
Menurut Richter et nl. (1987) pada ikan lele Afrika (C. gariepinus) jumlah
kromosom sebanyak 54 untuk diploid dan 82 untuk triploid. Sedangkan menurut
Varadi et nl. (1999) C. gariepinus tetraploid memiliki jumlah kromosom sebanyak
90-1 16. Walaupun jumlah kromosom yang diamati sama dalam setiap spesies,
akan tetapi dari satu spesies selalu terdapat jumlah kromosom yang kurang atau
lebib. Hal ini dapat disebabkan oleh kromosom yang penyebarannya kurang
sehingga akan meyebabkan penumpukan salah satu kromosom ataupun hilangnya
kromosom pada saat perlakuan. Sel dengan jumlah kromosom yang lebih atau
lcurang dari jumlah normal atau kelipatannya disebut aneuploidi (Hartono, 2003).
Aneuploidi dapat terbentuk karena adanya ketidakseimbangan pada proses
segregasi kromosom dalam meiosis. Satu pasang kromosom homolog mungkin
tidak terpisah pada saat metafase.
Pada preparasi luomoson~ menggunakan teknik kultur sel darah putih
diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran kromosom antara lain
lama waktu inkubasi, lama serta konsentrasi perendaman dengan kolkisin, serta
perlakuan hipotonik. Hartono (2003) melakukan inkubasi kultur sel darah kerapu
selama 7 hari. Perbedaan lamar~ya waktu inkubasi ini dapat disebabkan oleh
perbedaan sifat fisiologis sel darah yang dikultur sehingga akan mengakibatkan
respon sel terhadap media akan berbeda-beda. Perbedaan lama dan konsentrasi
perendaman kolkisin akan menyebabkan perbedaan penyebaran serta kontraksi
sel. Sehingga kontralcsi sel yang berbeda akan menyebabkan perbedaan kontraksi
kromosom.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Individu tetraploid ditemukan pada perlakuan kejutan panas selarna 75
detik pada saat umur zigot 38 dan 40 menit setelah pembuahan.
Penentuan tingkat ploidi pada ikan lele Afrika belum dapat dilakukan
dengan pengukuran DNA, penghitungan volume inti sel darah merah, dan
penghitungan jumlah maksimal nukleolus. Akan tetapi hasil paling akurat dapat
ditentukan dengan penghitungan jumlah kromosom.
5.2 Saran
Untuk mendapatkan hasil tetraploid yang lebih tinggi masih perlu
dilakukan penelitian tentang ketepatan waktu kejutan. Serta perlu lebih berhati-
hati dalam penangan telur saat proses kejutan berlangsung agar tidak terlalu
banyak telur yang stress sehingga derajat penetasan akan lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin. 1994. Pengaruh waktu awal kejutan panas terhadap keberhasilan triploidisasi ikan lele lokal Clnrias batlzracus L. Slcripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Banks, W.J. 1993. Applied veterinary histology. 3'd ed. St. Louis: Mosby. 583p
Carman, 0. 1990. Ploidy manipulation in some warm-water fish. Master's thesis. Departemen of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries.
Carman, 0. 1992. Chromosomes set manipulation in some warn-water fish. A disertation. Departemen of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries.
Chourrout. D. 1986. Techniques of chromosome manipulation in rainbow trout : a new evaluation withAkaryology. Teoritical and Applied Genetics. 72:627- 632.
Denton, T.E. and W.M. Howell. 1969. A technique for obtaining chromosome from the scale epithelium of teleost fishes. Departement of Biology Semford University, Birmingham, Alabama. p. 392-393
Don, J. and R.R. Avtalion. 1986. The introduction of triplody in Oreochromis nureus by heat-shock. Theor. Appl. Genet., 72:186-192.
Effendie, M.I. 1997. Pengalltar biologi perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 105p.
Fulton, R.W., C. Holton., and S. Fischer. 1955. Plant pathology:problems and progress. Madison:University of Wisconsin Press. 588p.
Ganong, W.F. 1995. Buku ajar fisiologi kedokteran. Pentejemah Petrus Adrianto. Ed-14. Jakarta: EGC. 757p.
Gunarso, W. 1986. Penuntun praktiku~n sitogenetika. PAU. Institut Pertanian Bogor. 135p.
Guyton, A. C. 1996. Texbook of medical physiology. W.B. Sounders. London. 1181p.
Harris, J.R. 1991. Blood cell biochemistry. Vol3: Lymphocytes and granulocytes. New York: Plenum Press. 537p.
Hartono, D.P. 2003. Karakteristik kromosom ikan kerapu. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lagler, K.F., J. E. Bardach, R.R. Miller and D.R.M. Passino. 1977. Ichtiology. 2nd Ed. John Willey and Sons, Inc. New York. 566p.
Mair, G.C. 1993. Chromosome set manipulation in Tilapia-teqnique, problems and prospects. Aquaculture, 11:217-224.
Nabib, R. dan F. H. Pasaribu., 1989. Patologi dan penyakit ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 159p.
Phillips, R.B., K.D. Zajicek, P.E. Ihssen and 0 . Johnson. 1986. Application of silver staining to the identification of triploid fish cells. Aquaculture, 54:313-319.
P~~rdom, C. E. 1983. Genetics engineering by manipulation of chromosomes. Aquaculture, 33: 287-308.
Refstie, T., J. Stoss and M. Donaldson. 1982. Production of all-female Oncovhynchus lcisutch by diploid gynogenesis using irradiated sperm and cold shock. Aquaculture, 29:67-82.
Rieger, R., A. Michaelis and M.M. Green. 1976. Glossary of genetic and cytogenetic. Springer Veerlag, Berlin Heidelberg. New York. 490p.
Richter, C.J.J., A.M. Henjen, E.H. Eding., J.H. Van Doesum and P. De Boor. 1987. Induction of triploidy by cold-shocking eggs and performance of triploids of the African catfish, Clarias gariepinus (Burchell, 1822). Proc. World Syrnp. On Selection, Hybridization, and Genetic Engineering in Aquaculture. Bordeaux 27-30 May, 1986. Vol 11. Berlin 1987.
Risnandar, D. 2001. Penga~uh umur zigot pada saat kejutan panas terhadap tingkat keberhasilan triploidisasi serta kelangsungan hidup embrio dan larva ikan jambal siam (Pangasius lzypophthalmus). Slwipsi. Departemen Budadaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Roberts, F.L. 1967. Chromosome cytology of the osteichtyes. Prog. Fish-Cult., 29:75-83.
Rustidja. 1989. Artificial induced breeding and triploidy in the Asian catfish (Clarias batlirncus Linn.). Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sabrina, N. 2005. Respon eritrosit, leukosit, kadar hemoglobin dan nilai bematokrit darah kelinci yang diberi kapsul buah mengkudu (Morincla citrifolia). Skripsi. Departemen Fisiologi Faramakologi dan Anatomi. Fakultas Kedokteran hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sikar, S., dan R. Widjajakusumah. 1996. Pengaruh bursektomia pada produksi antibodi terhadap antigen tertentu pada anak ayam kampung dan white leghorn. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 21p.
Soetomo, M. 1987. Teknik budidaya ikan lele dumbo. Penerbit Sinar Baru. Bandung. 109p.
Sukra,Y. 1991. Studi tentang pengembangan teknik fertilisasi in vitro kultur, pewarnaan kromosom dan penyayatan enlbrio dalam proses perekayasaan embrio. Laporan Penelitia?~. Institut Pertanian Bogor. 112p.
Sunarti, E.E. 2003. Tingkat keberhasilan tliploidisasi ikan baung dengan penlberian kejutan pailas pada umur zigot yang berbeda. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. FPIK. IPB.
Stanley, J.G., S.K. Allen and Hidu. 1981. Poliploidy induced in the American oyster, Crasostrea virginica, with Cytochalasin B. 95p.
Swenson, M.J. 1984. Duke's physiology of domestic animals. 9th ed. Ithaca: Comel. 922p.
Tave, D. 1986. Genetics for fish hatchery managers. Avi. Publ. Co. Inc, Westport, Connecticut. 299p.
Tave, D. 1993. Genetics for fish hatchery managers. Avi. Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut. 368 p.
Tizard, I. 1988. An introduction to veterinary immunology. Penterjemah P. Masduki dan S. Hardjosworo. Pengantar imunologi veteiiner. Universitas Airlangga. 197p.
Thorgaard, G. H. 1992. Application of genetics technologies to rainbow trout. Aquaculture. 100: 85-97.
Thorgaard, G. H. 1983. Chromosome set manipulation and sex control in fish. In "fish physiology" (W. S. Hoar, D. J. Randall and E. M. Donaldson, eds.) Vol. IXB. Academic Press, New York. p.405-434.
Thorgaard, G. H. and G. A. E. Gall. 1979. Adult triploid in rainbow trout family. Genetics, 98: 961-973.
Varadaraj, K. and T.J. Pandian. 1990. Production all-female sterile triploid Oreochrorizis niossa~izbicto. Aquaculture, 84:117-123.
Varadi, L., I. Benko, J. Varga and L. Horvath. 1999. Induction of diploid gynogenesis using interspecific sperm and production of tetraploids in African catfish, Clarias gariepinus Burchell (1822). Laboratory of Fish
Culture, Institut of Animal Husbandry, Godollo University of Agricultural Sciences. Hungary. 93:lOl-114.
Vejaratpimol, R and T. Pewnim. 1990. Induction of triploidi in Clarias nzacroceplzalus by cold shock. The Second Asian Fisheries Forum.
Viveen, W.J.A.R., J.J. Richter, P.G.W.J. Van Oordt, J.H.R. Janssen and E.A. Huisman. 1987. Petunjuk praktis budidaya lele Afrika (Clarias gariepinus). INFIS Manual Sen No. 57. 136 p.
Wolters, W.R., C.L. Crisman and G.S. Libey. 1982. Erythrocyte nuclear measurements of diploid and triploid channel catfish, Ictaltirus ptlrtctatus (Rafinesque). J . Fish. Biol., 20:253-258.
Woynarovich, E. and L. Horvath. 1980. The artificial propagation of wann-water finfishes - A manual for extension. FA0 Fish. Tech. Pap. Rome. 183p
Yatim, W. 1980. Genetika. Penerbit Tarsito. Bandung. 22-24p.
Lampiran 1. Hasil pengukuran DNA ikan lele Afrika (Clnrias gariepinus)
1. Kontrol
2. Perlakuan Icejutan 32 inenit setelah pembuahan
3. Perlakuan Kejutan 34 menit setelah pembuahan
4. Perlakuail kejutan 36 menit setelah pembuahan
5. Perlakuan kejutan 38 menit setelah pelnbuahan
6. Perlakuan ltejutan 40 menit setelah pembuahan
Lampiran 2. Volume inti sel ikan lele Afrika (C. gariepinus)
1 Ikan / Perlakuan setelah pembuahan (menit)
Keterangan :
* = ikan mati
Lampiran 3. Sel darah nlerah ikan lele Afiika (C. gariepinus)
Lampiran 4. Penghitungan jumlah nukleolus ikan lele Afrika (C. gnriepinus)
1. Kontrol
2. Perlakuan kejutan 32 menit setelah pembuahan
ikan uji
1
2
3
3. Perlakuan kejutan 34 menit setelah pembuahan
Z sel yang dia~nati (%)
100
100
100
.X sel yang diamati (%)
Z nukleolus per sel (%)
8
9
10
Ikan
Uj i
4 1
59.02
59.06
47.53
-
100
100
100
57.95
52.56
51.72
Z sel yang diamati (%)
26.15
47.44
43.84
2
40.98
40.94
52.47
7.69
3.94
Z Nukleolus (%)
3
8.21
0.49
I 2 3 5 4 6 7
4. Perlakuan kejutan 36 menit setelah pembuahan
5. Perlakuan 38 menit setelah pembuahan
6. Perlakuan 40 menit setelah pembuahan
Ikan I Z Sel yang / Z Nukleolus (%)
Keterangan : * = ikan mati
Lampiran 5. Gambar nukleolus ikan lele Afrika (Clarias gariepinus)
1. Nukleolus ikan diploid (kontrol2), jumlah nukleolus 1 sampai 2 buah tiap
sel (perbesaran 1368 kali).
2. Nukleolus &an tetraploid (P4-6), jumlah nukleolus 1, 2, 3,4, 5, sampai 6
buah tiap sel (perbesaran 1368 kali).
Lanlpiran 6. Hasil penghitungan jumlah kromosom ikan lele Afrika (Clarias
Lampuan 7. Kromosom ikan lele Afiika (C. gariepinus) :
1. Kromosom ikan diploid (kontrol 3) berjumlah 40 sampai 50 buah tiap sel
(perbesaran 1468 kali).
2. Kronlosom ikan tetraploid (P4-6) berjumlah 92 sampai 100 buah tiap sel
(perbesaran 1468 kali)