tesis vegf dan sflt-1
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Preeklampsia adalah suatu sindrom khas kehamilan berupa penurunan
perfusi organ akibat vasospasme dan pengaktifan endotel. Sindrom ini ditandai
oleh munculnya onset hipertensi, proteinuria, dan edema setelah 20 minggu
kehamilan. Sebagai komplikasinya, preeklampsia dapat berakibat pada kejadian
gagal ginjal, edema paru, dan koagulopati (Lam, 2005). Menurut American
College of Obstetricans and Gynecologist (ACOG), preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi (tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90
mmHg) disertai proteinuria (≥ 30 mg/liter urin atau ≥ 300 mg/24 jam) yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu (North, 1999). Preeklampsia juga
dapat berkembang menjadi sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme,
low platelets count) dan kejang (eklampsia). Preeklampsia hanya muncul dalam
keadaan plasenta yang masih ada, dengan ataupun tanpa janin, seperti pada kasus
mola hidatidosa. Sebagai konsekuensinya, salah satu pengobatannya adalah
dengan mengeluarkan plasenta (terminasi kehamilan) yang dapat menurunkan
morbiditas secara signifikan.
Prevalensi preeklampsia berkisar antara 4,4-17,5%. Sementara itu, laporan
lain menyebutkan angka kejadiaan preeklampsia sebesar 5-7% dari ibu hamil
(Cuningham, 2005). Di Indonesia angka kejadian preeklampsia 3-10% dan
memberikan kontribusi sebesar 39,5% pada angka kematian ibu pada tahun 2001
1
2
dan meningkat tajam menjadi 55,56% pada tahun 2002. Di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta kematian ibu hamil yang disebabkan oleh preeklampsia adalah 25 ibu
hamil dari 37 ibu hamil yang meninggal dari 1956 persalinan pada tahun 2008
(Sulistyowati, 2010).
Salah satu teori yang menjelaskan etiologi preeklampsia adalah teori
maladaptasi imun, yaitu adanya gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis
uterus sehingga terjadi aktivasi abnormal sel limfoid desidua, yang selanjutnya
menyebabkan peningkatan kadar spesies radikal bebas, neutrofil elastase, dan
sitokin, seperti tumor necrosis faktor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1) (Dekker,
1998). Dengan adanya peningkatan radikal bebas dan sitokin pada proses
plasentasi akan menyebabkan disfungsi endotel (endoteliosis) plasenta dan
sistemik. Keadaan ini mengakibatkan stres oksidatif sehingga terjadi
ketidakseimbangan antar faktor proangiogenik (Vascular Endothelial Growth
Faktor) VEGF, Placental Growth Faktor (PlGF, Tissue Growth Faktor β-
1/TGFβ-1) dan antiangiogenik (Soluble fms-like tyrosine kinase-1)sFlt-1 dan
Soluble Endoglin/sEng) (Karumanchi, 2008). Soluble fms-like tyrosine kinase-1
(sFlt-1) merupakan inhibitor endogen VEGF, yang akan meningkat sebelum onset
preeklampsia (Lam, 2008).
Meskipun telah terdapat kemajuan yang pesat dalam pemahaman mengenai
patogenesis preeklampsia, inovasi dalam proses deteksi dini dan penatalaksanaan
kasus preeklampsia masih kurang. Dengan demikian, preeklampsia masih tetap
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di dunia. Kami
melakukan kajian terhadap data mengenai faktor angiogenik dan peran mereka
3
dalam patogenesis preeklampsia serta dalam menentukan risiko perkembangan
penyakit tersebut. Deteksi lebih dini terhadap preeklampsia terbukti memberikan
efek positif dalam menurunkan angka morbiditas sehingga intervensinya pun
dapat dilakukan sedini mungkin (Chappell, 1999).
Ditemukannya faktor proangiogenik (Vascular Endothelial Growth
Faktor/VEGF) dan antiangiogenik (Soluble fms-like tyrosine kinase-1/sFlt-1)
membawa harapan baru bagi upaya deteksi dini preeklampsia pada wanita hamil.
Dengan membandingkan kadar VEGF dan sFlt-1 pada wanita hamil, yaitu antara
wanita hamil normal dan wanita preeklampsia, penelitian ini diharapkan mampu
mengetahui pengaruh dari VEGF dan sFlt-1 sebagai faktor risiko terjadinya
preeklampsia secara lebih dini sehingga penanganan untuk tujuan preventif dapat
diimplementasikan sejak awal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian, yaitu :
1. Apakah terdapat perbedaan kadar VEGF antara preeklampsia dengan
kehamilan normal?
2. Apakah terdapat perbedaan kadar sFlt-1 antara preeklampsia dengan
kehamilan normal?
4
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis etiopatogenesis terjadinya preeklampsia terutama
yang berhubungan dengan kadar VEGF dan sFlt-1.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis perbedaan kadar VEGF pada preeklampsia
dibandingkan dengan kehamilan normal.
b. Untuk menganalisis perbedaan kadar sFlt-1 pada preeklampsia
dibandingkan dengan kehamilan normal
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pengetahuan tentang kadar VEGF dan sFlt-1
pada kehamilan, yaitu antara preeklampsia dengan kehamilan normal
sehingga dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Aplikatif
Menambah khasanah korelasi pemeriksaan klinis dan laboratoris
biomolekuler pada proses kehamilan sehingga dapat memberi masukan
dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas maternal dan
perinatal akibat preeklampsia.
5
3. Manfaat Kedokteran Keluarga
Dengan mengetahui adanya perbedaan kadar VEGF dan sFlt-1 pada
kehamilan, yaitu antara Preeklampsia dengan kehamilan normal
diharapkan dapat dikembangkan usaha untuk melakukan deteksi dini
preeklampsia sehingga usaha preventif dapat direncanakan secara lebih
dini.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Preeklampsia
1. Definisi dan Faktor Risiko
Preeklampsia menurut American College of Obstetricans and
Gynecologist (ACOG) adalah hipertensi (tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
diastolik ≥ 90 mmHg) disertai proteinuria (≥ 30 mg/liter urin atau ≥ 300 mg/24
jam) yang didapatkkan setelah umur kehamilan 20 minggu (North, 1999).
Penyebab preeklampsia belum sepenuhnya diketahui. Beberapa faktor yang
dianggap berperan pada kejadian preeklampsia adalah gen, plasenta, respon imun,
dan penyakit vaskular pada ibu (Li, 2011).
Faktor risiko yang paling kuat untuk preeklampsia adalah primiparitas
dengan 75% kasus terjadi pada primigavida. Salah satu interpretasinya adalah
bahwa ibu mempunyai memori imunologi untuk kehamilan pertamanya dan
secara terminologi imunologi konvensional, kehamilan akan menginduksi
toleransi pada kehamilan berikutnya. Belum ada penjelasan yang memuaskan
mengapa kehamilan pertama berisiko preeklampsia dan mengapa kehamilan
berikutnya secara umum normal (Moffett, A., 2007).
Kurang lebih 40 sampai 50 persen wanita multipara yang didiagnosis
preeklampsia, mempunyai riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
(Noori, M., 2007). Jika kondisinya mengharuskan persalinan sebelum usia
6
7
kehamilan 32 minggu pada kehamilan sebelumnya, maka odds ratio untuk
terulangnya preeklampsia meningkat lebih dari 40%. Selanjutnya usia ibu lebih
dari 35 tahun juga meningkatkan kemungkinan preeklampsia, walaupun belum
ada penjelasan patogenesisnya (Sibai, 2000).
Predisposisi pewarisan dari maternal telah lama dicatat meningkatkan
risiko empat kali lipat mengalami preeklampsia berat jika wanita tersebut
mempunyai riwayat keluarga (Cincotta, 1998). Akhir-akhir ini penelitian berbasis
populasi besar memperlihatkan bahwa gen paternal juga berperan menjadi risiko
wanita mengalami preeklampsia (Moffett, A., 2007).
Penderita obesitas dengan Indeks Massa Tubuh [(IMT) (berat badan dalam
kilogram dibagi kuadrat dari tinggi badan dalam meter)] lebih dari 25 pada awal
kehamilan akan mengalami hipertensi dibandingkan dengan yang IMT-nya lebih
rendah, tetapi belum tentu menjadi hipertensi gestasional maupun preeklampsia
(Noori, M., 2007). Terjadi peningkatan risiko preeklampsia dari 4,3% pada
penderita dengan IMT kurang dari 19,8 kg/m2 menjadi 13,3% pada penderita
dengan IMT lebih dari 25 kg/m2 (Sibai, 2000).
Kehamilan multipel mempunyai dua kali risiko mengalami preeklampsia.
Sedangkan diabetes mellitus pragestasional juga merupakan faktor risiko lain
untuk preeklampsia, insidensinya berkisar antara 9% sampai dengan 66% pada
penderita dengan riwayat diabetik nefropati. Besarnya massa plasenta baik pada
kehamilan multipel maupun kehamilan dengan diabetes mellitus merupakan
penyebabnya (Noori, M., 2007).
8
Penderita yang memiliki tekanan darah sistolik atau diastolik relatif
tinggi sebelum kehamilan 20 minggu, meningkatkan risiko preeklampsia. Sebagai
contoh, pada penelitian terhadap 13.000 wanita hamil trimester pertama dengan
tekanan darah sistolik 130 mmHg atau lebih, akan mempunyai kemungkinan
empat kali menjadi preeklampsia dibandingkan dengan wanita dengan tekanan
sistolik lebih rendah dari 110 mmHg. Tekanan darah diastolik dilaporkan
pengaruhnya sebagai faktor risiko lebih lemah dibandingkan tekanan darah
sistolik.
2. Patogenesis
Patogenesis preeklampsia sangat kompleks karena melibatkan beberapa
faktor genetik, imunologi dan faktor lingkungan yang saling berinteraksi.
Patogenesis preeklampsia secara umum terdiri dari dua tahapan proses. Tahap
pertama merupakan tahap asimtomatik yang ditandai perkembangan plasenta yang
abnormal selama trimester I yang mengakibatkan insufisiensi plasenta dan
pelepasan beberapa material plasenta ke dalam sirkulasi maternal. Tahap kedua
yaitu tahap simtomatik atau sindrom maternal yang ditandai oleh hipertensi,
gangguan ginjal, dan proteinuria (Karumanchi, 2008; Siddiqui, 2010, Li, 2011).
2.1. Tahap I: Abnormalitas Plasentasi
Preeklampsia hanya terjadi bila ada plasenta meskipun tidak ada fetus
misalnya pada mola hidatidosa. Preeklampsia akan sembuh dengan sendirinya
setelah plasenta diangkat. Pada kasus preeklampsia dengan kehamilan di luar
9
kandungan, pengangkatan bayi saja tidak cukup, gejala preeklampsia akan tetap
ada sampai plasenta diangkat (Karumanchi, 2008).
Plasenta berperan utama dalam patogenesis preeklampsia. Uji patologi
plasenta pada kehamilan dengan preeklampsia umumnya menunjukkan terjadinya
infark pada plasenta, penyempitan arteri dan arteriole karena sklerosis, yang
ditandai dengan adanya invasi endovaskular yang dangkal oleh sitotrofoblas dan
remodeling yang tidak memadai pada arteri spiral uterus (Karumanchi, 2008,
Siddiqui, 2010, Li, 2011).
Pada awal plasentasi, ekstravilli sitotrofoblas mempengaruhi uterus pada
makrofag desidua. Pada kehamilan normal invasi sitotrofoblas di arteri spiralis
menyebabkan down regulasi sel trofoblas yang akan mengadopsi fenotip sel
endotel. Proses ini dikenal sebagai pseudovaskulogenesis. Transformasi sel epitel
menjadi sel endotel ini akan memungkinkan peningkatan laju darah ke uterus
yang diperlukan untuk kelanjutan hidup janin selama dalam kandungan.
Transformasi ini juga diikuti oleh perubahan ekspresi molekul adhesi yang semula
merupakan karakter sel epitel (integrin α6/β5, αω/β3, dan E-chaderin) menjadi
bersifat adhesi yang diekspresikan oleh sel endotel (integrin α1/β1, αω/β3, platelet
endothelial cells adhesion molecule dan vascular endothelial-chaderin)
(Soleymanlou, 2005).
Trofoblas pada preeklampsia mengalami maltransformasi saat menginvasi
arteri spiralis. Hal tersebut menyebabkan abnormalitas plasentasi di mana invasi
sitotrofoblas pada arteri terbatas tidak sampai endotel, sangat dangkal dan tidak
10
menyebar (Gambar 2.1). Diferensiasi abnormal plasenta ini merupakan awal
hipoksia yang pada akhirnya menyebabkan iskemia plasenta (Maynard, 2005;
Karumanchi, 2008).
Pada salah satu peristiwa perkembangan plasenta (plasentasi) adalah
pelebaran (remodeling) dari arteri spiralis uterus ibu yang menghantarkan darah
menuju plasenta. Proses ini sangat bergantung dari tipe sel plasenta yang
terspesialisasi, yaitu sitotrofoblas Ekstravillous (Extravillous cytotrophoblast
[EVT]), yang bersifat invasif. EVT bermigrasi menuju arteria spiralis dan
menggantikan lapisan endothelial dan merubah arteri spiralis yang sempit dan
memiliki resistensi tinggi menjadi melebar dan memiliki resistensi yang rendah,
sehingga meningkatkan kapasitas dari sirkulasi uteroplasentral dalam mendukung
pertumbuhan fetus. Pada preeklampsia, arteri spiralis hanya mengalami
remodelling secara parsial sehingga aliran darah ke plasenta lebih rendah
dibandingkan dengan kehamilan normal. Selama tahap awal plasentasi (sebelum
kehamilan 10-12 minggu), ketika EVT bermigrasi menuju arteria spiralis, mereka
membentuk plug dan menutupi arteri, mencegah aliran darah dari plasenta dan
menimbulkan lingkungan dengan oksigen rendah yang dibutuhkan untuk
organogenesis fetal dan perkembangan dari tipe sel plasenta lain. Pada minggu
13-14 gestasi, arteria spiralis mulai mengalami pelepasan plug dan remodelling,
menimbulkan peningkatan aliran darah dan konsentrasi oksigen (Li, 2011).
Abnormalitas plasentasi yang terjadi akan menimbulkan gangguan pada
oksigenasi sel trofoblast. Sel trofoblast pada penderita preeklampsia sangat rentan
terhadap pengaruh hipoksia yang berbeda dengan sel trofoblast normal, yang lebih
11
tahan terhadap oksigen yang kurang. Sel sitotrofoblast seperti ini cenderung
mudah berkembang menjadi dasar patogenesis preeklampsia (Li, 2011). Hal ini
akan memacu sel trofoblast preeklampsia untuk mensekresikan berbagai mediator,
seperti sFlt-1 dan sEng yang akan dibahas dibawah. Hal ini akan menimbulkan
umpan balik positif yang memperparah preeklampsia (Gu, 2008).
Gambar 2.1. Perbandingan plasentasi kehamilan normal dan preeklampsia (Karumanchi, 2008).
DISFUNGSI ENDOTEL
Invasi trofoblas normal Invasi trofoblas pd desidua tidak adekuat dan gangguan pembentukan a.spiralis
Iskemia & inflamasi plasentaKehamilan
normal
Inflamasi sistemik
Apoptosis Radikal bebas
Pelepasan substansi toksik
PREEKLAMSIA
12
2.2. Tahap II: Sindrom Maternal
Abnormalitas plasentasi sebagai akibat maltransformasi sitotrofoblas pada
arteri spiralis uterus yang menyebabkan pelepasan faktor-faktor antiangiogenik
tersekresi ke sirkulasi maternal dan mencapai puncaknya pada simptom klinis
preeklampsia yang dikenal dengan sindrom maternal (Li, 2011). Manifestasi
klinis preeklampsia antara lain glomerular endotheliosis, peningkatan
permeabilitas vaskular dan respon inflamasi sistemik yang mengakibatkan
kerusakan organ atau hipoperfusi. Manifestasi klinis biasanya terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu (Karumanchi, 2008).
Glomerular endotheliosis pada sindrom maternal ini disebabkan karena
sekresi antiangiogenik dibuktikan melalui penelitian dari Gu (2008), yang
menyatakan terjadinya endotheliosis pembuluh darah pada tikus yang disuntik
faktor anti-angiogenik yang disekresikan plasenta preeklampsia. Hal ini akan
menimbulkan efek pada pembuluh darah ibu secara sistemik.
Manifestasi klinis yang dijumpai meliputi hipertensi, proteinuria dan
sindrom fetal seperti pertumbuhan janin terhambat. Meskipun penelitian tentang
patogenesis preeklampsia sudah sangat ekstensif dilakukan, namun etiologinya
masih belum jelas. Patofisiologi yang dapat menjelaskan mekanisme yang
mengakibatkan perkembangan preeklampsia antara lain (Sibai, 2008):
Gangguan diferensiasi dan invasi trofoblas ke arteri spiralis
Disfungsi endotel arteri spiralis
Maladaptasi imunitas terhadap antigen paternal
13
Respon inflamasi sistemik.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan Siddiqui (2010), menyatakan jika
pada ibu hamil yang mengalami Preeklampsia, memiliki autoantibodi terhadap
reseptor Angiotensin I (AT1-AA) yang berperan dalam pathogenensis
preeklampsia. Dalam penelitian tersebut, AT1-AA ditemukan berperan dalam
meningkatkan fungsi kardiomiosit, sehingga memperkuat kontraksi jantung,
menimbulkan peningkatan sFlt-1, sehingga akan mempengaruhi proses
angiogenesis, meningkatkan Plasminogen Activator Inhibitor I (PAI-I), yang
berpengaruh menurunkan invasi trofoblas, dan peningkatan radikal bebas, yang
kesemuanya itu sinergi dalam memperparah gejala preeklampsia (Siddiqui, 2010).
2.3. Disfungsi Endotelial Sistemik
Data dari berbagai studi telah mengindikasikan bahwa disfungsi endotel
merupakan penyebab abnormalitas klinis pada preeklampsia. Secara spesifik,
hilangnya kontrol endotel pada tonus vascular menyebabkan hipertensi,
meningkatnya permeabilitas vaskuler glomerulus menyebabkan proteinuria dan
terganggunya ekspresi endotel faktor-faktor koagulasi menghasilkan koagulopati.
Selain itu,vasokonstriksi dan iskemia yang muncul dari cidera endotel dapat
menyebabkan disfungsi hati. Sampel biopsi ginjal dan pasien preeklampsia
menunjukan karakteristik pembengkakan sel endotel glomerulus yang menyebar,
yang dikenal sebagai “ endotheliosis glomerular”. Serum dari wanita peeklamsia
telah ditemukan menunjukan peningkatan data penanda (markers) cidera sel
endotel, seperti fibronektin, antigen faktor VIII dan trombomodulin. Studi in vitro
dengan sel-sel endotel pembuluh darah di sekitar pusar menunjukan bahwa serum
14
pada pasien preeklampsia memicu aktivasi sel endotel. Disfungsi endotel
pembuluh arteri pada pasien dengan preeklampsia telah ditunjukan oleh
meningkatnya sensitivitas pressor dan abnormalitas pada vasodilatasi yang dipicu
aliran darah, bahkan sebelum munculnya onset penyakit tersebut. Meningkatnya
sensitivitas vaskuler terhadap Angiotensin II dan meningkatnya produksi
endotelin, serta berkurangnya produksi vasodilator yang berasal dari endothelium
seperti prostasiklin, juga telah dilaporkan ditemukan pada wanita dengan
preeklampsia (Karumanchi, 2005).
Studi terkini telah membuktikan adanya peningkatan ekspresi dan sekresi
sFlt-1 pada plasenta, yang merupakan antagonis faktor pertumbuhan endotel
vascular (Vascular Endothelial Growth Faktor [VEGF]) yang dihasilkan dan
bersirkulasi secara alami pada pasien preeklampsia ( Maynard, 2003 ).
Pendapat diatas juga diperkuat dengan penelitian Gu (2008), yang
menunjukkan sekresi dari sFlt-1 dan sEng yang berperan dalam antagonisasi
VEGF. Kedua zat tersebut disekresikan sitotrofoblas preeklampsia yang
diperparah pada penurunan kadar oksigen, dimana pada saat dikultur, sel
preeklampsia menunjukkan sekresi kedua zat tersebut secara lebih banyak.
2.4. Faktor Angiogenik pada Preeklampsia
Dahulu preeklampsia dikenal sebagai ”disease of theory”, karena begitu
banyak teori yang berusaha menjelaskan etiologi preeklampsia. Selain itu, strategi
manajemen preeklampsia yang ada masih bersifat suportif simtomatik dan
terminasi masih merupakan terapi definitif. Namun beberapa penelitian pada
15
sepuluh tahun terakhir telah merubah paradigma tersebut, karena penemuan
mengenai prediktor preeklampsia mulai menunjukkan titik terang, ditemukannya
jalur molekular yang mengatur pseudo vaskulogenesis membuka potensi faktor-
faktor yang terlibat di dalamnya menjadi prediktor preeklampsia. Faktor-faktor
tersebut antara lain faktor angiogenik dan reseptornya (Davidson, 2004).
Diduga ketidakseimbangan antara faktor proangiogenik dan
antiangiogenik berhubungan erat dengan terjadinya perkembangan preeklampsia.
Beberapa penelitian yang sudah dipublikasikan menunjukkan bahwa terdapat
ketidakseimbangan antara faktor proangiogenik dan antiangiogenik yang
bersirkulasi pada saat sebelum onset preeklampsia (Barton, 2008).
Mamalia termasuk manusia memerlukan angiogenesis yang ekstensif
untuk memastikan jaringan kerja yang baik untuk menyuplai oksigen dan nutrisi
ke janin. Angiogenesis ini melibatkan berbagai macam faktor proangiogenik dan
antiangiogenik yang bekerja sama dalam perkembangan plasenta. Pada
preeklampsia terdapat dua protein antiangiogenik yang diproduksi secara
berlebihan sehingga menyebabkan peningkatan pada sirkulasi maternal yang
bertanggung jawab terhadap fenotipe preeklampsia yaitu soluble Fms-like tyrosine
kinase-1 (sFlt-1) dan soluble Endoglin (sEng). Faktor-faktor proangiogeniknya
adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Placental Growth Factor
(PIGF), dan Tissue Growth Factor β-1 (TGFβ-1). Soluble Fms-like tyrosine
kinase-1 (sFlt-1) merupakan inhibitor endogen VEGF dan PIGF yang mengatur
angiogenesis plasenta, sedangkan sEng merupakan reseptor yang bersirkulasi dan
16
menghambat penandaan TGFβ-1 di dalam pembuluh darah (Gu, 2008, Varughese,
2010).
2.5. Vascular Endothelial Growth Faktor (VEGF)
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, VEGF memainkan peranan
yang sangat penting dalam patogenesis preeklampsia. Meski telah ditemukan
bahwa VEGF total mengalami sedikit kenaikan pada preeklampsia, namun VEGF
diikat oleh sFlt-1 pada preeklampsia. Seperti halnya pada PIGF, kondisi ini
mengakibatkan rendahnya kadar VEGF bebas atau VEGF bioaktif yang beredar
pada saat preeklampsia aktif. Namun demikian, karena VEGF mengikat sFlt-1
dengan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan PIGF, penurunan VEGF terjadi
secara lebih signifikan di dalam serum wanita hamil, yang menyebabkan sangat
rendahnya konsentrasi VEGF bebas yang bersirkulasi (Varughese, 2010).
Konsentrasi peredaran VEGF bebas biasanya sebanyak <30 pg/mL dan
kebanyakan berada di bawah batas deteksi peralatan ELISA yang ada saat ini
(Lee, 2007). Oleh karena itu, sangat kecil kemungkinan VEGF serum dapat
berfungsi sebagai penanda skrining yang bermanfaat kecuali jika terdapat
peralatan Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) yang cukup sensitif
untuk mendeteksi konsentrasi pikogram berdigit tunggal dengan reliabilitas yang
tinggi.
2.6. Faktor Antiangiogenik pada Plasenta Preeklampsia
Penelitian dilakukan dengan menggunakan chip microarray Affimetrix
yang membandingkan antara plasenta preeklampsia dan plasenta normal. Para
peneliti menemukan bahwa plasenta pada preeklampsia mengalami peningkatan
17
ekspresi faktor antiangiogenik yaitu sFlt-1 dan mRNA ENG. Hasil penelitian ini
juga dipastikan dengan northern blotting dan immunostaining terhadap Eng.
Pemeriksaan untuk sEng kemudian lebih dikembangkan dan ditemukan hubungan
yang erat antara sEng dan sFlt-1 sesuai derajad keparahan penyakit. Para peneliti
lalu menggunakan sEng dan sFlt-1 untuk menginduksi preeklampsia pada tikus
hamil. Perlakuan tersebut menyebabkan perubahan tekanan darah, peningkatan
enzim hati, dan proteinuria. Percobaan selanjutnya menunjukkan bahwa sEng dan
sFlt-1 menghambat sinyal TGFβ-1 pada sel endotel dan menghambat aktivasi
TGFβ-1 yang dimediasi oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) (Luft, 2006, Gu 2008).
Etiologi peningkatan konsentrasi sFlt-1 dan sEng pada preeklampsia
belum diketahui. Namun diperkirakan faktor genetik, hipoksia, dan imunologi
terlibat di dalamnya. Ekspresi sEng dan sFlt-1 meningkat sebagai respon terhadap
hipoksia yang dimediasi oleh hypoxia inducible factors 1 (HIF1). Selama
kehamilan normal plasenta relatif dalam keadaan hipoksia pada awal kehamilan.
Hipoksia kemudian menghilang seiring dengan peningkatan laju darah ke plasenta
selama trimester kedua. Penelitian pada preeklampsia baik sFlt-1 dan sEng
keduanya meningkat selama trimester 1 hingga trimester 2 pada preeklampsia
preterm, hal ini sangat berlawanan dengan kehamilan normal di mana kadar
keduanya tetap atau bahkan turun. Keadaan ini mendukung dugaan bahwa
hipoksia plasenta berperan penting dalam peningkatan produksi faktor
antiangiogenik pada wanita preeklampsia (Rana, 2007, Gu 2008).
18
2.7. Soluble Fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1)
Soluble Fms-like tyrosine kinase-1 adalah protein anti-angiogenik sirkulasi
yang beraksi dengan mengikat reseptor yang didominasi PlGF dan VEGF,
sehingga mencegah interaksi PlGF dan VEGF dengan reseptor-reseptor
permukaan sel endotelial dan menyebabkan disfungsi endotelial. Selama
kehamilan normal terjadi kondisi proangiogenik, yaitu tingkat sFlt-1 adalah
rendah sampai dengan akhir trimester kedua dan tingkat VEGF adalah tinggi.
Pada saat usia kehamilan preeklampsia bertambah, tingkat sFlt-1 secara bertahap
akan meningkat sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi melemahkan
VEGF. Peningkatan produksi sFlt-1 oleh plasenta preeklampsia menyebabkan
konsentrasi PIGF dan VEGF bebas yang bersirkulasi menjadi rendah, karena
terikat oleh sFlt-1. Hal ini menyebabkan proses angiogenesis plasenta terganggu.
(Davidson, 2004).
Produksi Flt1 melalui sekresi trofoblas secara endogen menghasilkan
potongan Flt-1 bersifat larut air yang disebut soluble Flt-1 (sFlt-1) yang
dilepaskan ke sirkulasi. Soluble Flt-1 merupakan bentuk Flt-1 yang kehilangan
domain sitoplasmik dan transmembran tetapi masih memiliki domain ligand-
binding (Krysiak, 2005).
Pada preeklampsia sFlt-1 berfungsi sebagai umpan selama perkembangan
plasenta dan mencegah VEGF berikatan dengan reseptornya. Percobaan pada
tikus hamil yang diinjeksi adenoviral yang kuat mengekspresikan sFlt-1, ternyata
19
menyebabkan tikus mengalami hipertensi, proteinuria dan endoteliosis
glomerular (Luft, 2006).
Kadar sFlt-1 mengalami peningkatan pada keadaan preeklampsia. Pada
satu studi diketahui bahwa rata-rata konsentrasi serum sFlt-1 pada kehamilan
normal adalah 1,5 ± 0,22 ng/mL, pada preeklampsia ringan adalah 3,28 ± 0,83
ng/mL dan pada preeklampsia berat adalah 7,64 ± 1,5 ng/mL. Konsentrasi sFlt-1
akan menurun secara dramatis setelah melahirkan, baik pada preeklampsia
maupun pada yang normal (Lam, 2005).
Peran sFlt-1 dalam patogenesis preeklampsia memiliki nilai prediktif dan
implikasi diagnostik yang penting. Konsentrasi mulai meningkat mendekati akhir
trimester dua pada wanita yang nantinya mengalami preeklampsia. Empat
sampai lima minggu sebelum manifestasi klinis terdeteksi pertama kali. Seiring
dengan berjalannya waktu, manifestasi preeklampsia lebih nyata sebagai
peningkatan sFlt-1 dengan konsentrasi meningkat dua hingga empat kali
kehamilan normal dan terbesar pada preeklampsia berat (Karumanchi, 2008).
Pendapat ini diperkuat dengan penelitian Gu (2008), yang menunjukkan
peningkatan kadar sFlt-1 yang berperan sebagai faktor antiangiogenik, yang
muncul sebelum terjadinya onset preeklampsia.
B. Peranan VEGF dan sFlt-1 pada Kehamilan Normal
VEGF diketahui memiliki sifat parakrin di sel endotel seperti pada
plasenta, makrofag dan sel trofoblast yang berperan untuk mengawali
20
vaskulogenesis plasenta. Namun demikian baik VEGF dan sFlt-1 dibutuhkan
untuk perkembangan awal plasenta (Geva, 2002).
sFlt-1 spesifik berasal dari sel endotel. Akan tetapi, di plasenta baik
sel endotel maupun non endotel mengekspresikan sFlt-1. sFlt-1 diekspresikan
oleh endotel villi plasenta dan mRNA Flt-1 ekpresinya tinggi di permukaan
dan kolom sitotrofoblas. Sedangkan proteinnya terlokalisir di trofoblas dan
extravillous trophoblast (EVT). Makrofag (sel Hofbauer) dan sel desidual
mengekspresikan VEGF sedangkan EVT mengekspresikan sFlt-1,
mengindikasikan bahwa VEGF berperan sebagai kemotraktan yang
menstimulasi invasi trofoblas. EVT menurun jumlahnya pada usia 24 minggu
kehamilan saat migrasi trofoblast selesai. Berkebalikan dengan monosit,
migrasi monosit dimediasi oleh sFlt-1. Penelitian akhir – akhir ini
menunjukkan bahwa pada sel endotel VEGF berperan sebagai stimulator
yang kuat untuk proliferasi sel, migrasi dan produksi aktifator plasminogen
yang dibutuhkan untuk degradasi proteolisis baik secara invivo dan invitro.
VEGF juga menginduksi permeabilitas mikrovaskuler (Ahmed, 2000,
Andraweera, 2012).
Pada awal kehamilan terdapat peningkatan jumlah leukosit dalam sel
desidua termasuk sel Natural Killer (NK) dan makrofag. Sel NK uterus yang
diisolasi pada trimester pertama desidua mensekresikan banyak VEGF dan
PlGF, sedangkan arteri spiralis yang belum teremodelisasi mengekpresikan
Kinase Insert Domain Receptor (KDR). Sel NK uterus merupakan sumber
utama dari faktor angiogenesis pada permukaan maternal fetal selama awal
21
kehamilan dan berperan penting untuk remodeling vaskuler. VEGF berperan
pada awal vaskulogenesis plasenta dan angiogenesis bercabang yang
berlangsung sampai 24 minggu kehamilan. Setelah itu angiogenesis berganti
dari angiogenesis bercabang menjadi tidak bercabang yang diregulasi oleh
PlGF melalui ikatannya dengan sFlt-1. Selain itu VEGF juga berperan untuk
meregulasi remodeling arteri spiralis maternal.
Di plasenta VEGF dan PlGF dan dua reseptornya sFlt-1 dan KDR
diekspresikan berbeda selama kehamilan: VEGF dan KDR diekspresikan
lebih banyak selama awal kehamilan dan menurun pada kehamilan lanjut,
sedangkan PlGF dan sFlt-1 meningkat seiring usia kehamilan. Penurunan
VEGF seiring usia kehamilan menunjukkan adanya mekanisme regresi dari
jaringan kapiler selama pembentukan batang villus (Ahmed, 2000).
Terlokalisirnya VEGF, PlGF, KDR dan sFlt-1 di trofoblas dan di
permukaan sinsitiotrofoblas dari villi plasenta yang kontak langsung dengan
darah ibu dan beberapa fungsi endotel mengindikasikan adanya peranan
autokrin pada VEGF di sel trofoblas selain peranan parakrin pada sel endotel.
Selain memiliki aktifitas mitogen dan kemotaksis, VEGF juga menstimulasi
ekstravasasi cairan dan protein dari pembuluh darah dan memediasi
peningkatan kalsium serta pengeluaran Nitrit Oksida (NO) pada Human
Umbilical Vein Endothelial Cell (HUVEC). VEGF merangsang pengeluaran
NO melalui fosforalisi dengan sFlt-1. NO berpotensi sebagai vasodilator dan
mencegah agregasi platelet, sehingga mengindikasikan bahwa NO mungkin
meregulasi hemodinamis permukaan ibu dan anak, membantu dilatasi arteri
22
maternal yang mensuplai intervillous space. sFlt-1 dan NO juga mampu
menekan sintesis DNA sel endotel dan trofoblas, sehingga NO dapat
menghambat vascular smooth muscle cells (VSMC) dan proliferasi sel
endotel. Selain itu defosforalisasi faktor transkripsi AP-1 di sel endotel,
menghambat aksi promoter VEGF, sehingga menurunkan regulasi mRNA
VEGF dan merupakan regulasi negatif dari NO (Ahmed, 2000; Geva, 2002;
Barut, 2010;).
23
C. Kerangka Pikir
Faktor Maternal, Faktor Plasenta, dan Faktor Janin
Hypoxia-Inducible Factor (HIF)
Ketidakseimbangan VEGF, sFlt-1
VEGF
NO
Preeklampsia
Plasenta Hipoksia
Sel NK
Sel Desidua
Sel Houfbauer
: Yang diteliti
Sel Endotel Villi Plasenta
Membran Plasma
sFlt-1
Perfusi Uteroplasenta tidak adekuat
ANGIOGENESIS PATOLOGIS
Kegagalan pemanjangan, pencabangan dan dilatasi simpul kapiler arteri spiralis
Kegagalan pembentukan villi terminal
Janin Intrauterin
24
Penjelasan Kerangka Pikir
Kondisi plasenta yang hipoksia melalui ekspresi HIF yang
berlebih meningkatkan kadar sFlt-1 diawal kehamilan yang seharusnya baru
meningkat pada akhir trimester dua yang menyebabkan terjadinya penurunan
kadar VEGF pada preeklampsia. Keadaan ini akan menyebabkan
angiogenesis yang patologis yang ditunjukkan adanya kegagalan
pemanjangan, percabangan dan dilatasi dari simpul kapiler arteri spiralis dan
kegagalan pembentukan villi terminal aliran darah fetoplasenta. Seluruh
kejadian tersebut memicu terjadinya suatu keadaan preeklampsia.
D. Hipotesis
Dari kerangka konsep penelitian di atas disusun suatu hipotesis bahwa pada
etiopatogenesis preeklampsia :
1. Terdapat penurunan kadar VEGF pada preeklampsia dibandingkan
dengan kehamilan normal
2. Terdapat peningkatan kadar sFlt-1 pada preeklampsia dibandingkan
dengan kehamilan normal
Penyakit kronis, maternal hipoksia, IMT yang rendah,
Kelainan plasenta, dll.
Hypoxia-Inducible Faktor (HIF)
Ketidakseimbangan VEGF, sFlt-1, PlGF, KDR
VEGF↓ ↓
NO
PREEKLAMPSIA
Plasenta Hipoksia
Sel NK
Sel Desidua
Sel Houfbauer
: Yang diteliti
Sel Endotel Villi Plasenta
Membran Plasma
sFlt-1
Perfusi Uteroplasenta tidak adekuat
ANGIOGENESIS PATOLOGIS
Kegagalan pemanjangan, pencabangan dan dilatasi simpul kapiler arteri spiralis
Kegagalan pembentukan villi terminal
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu Dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan
Oktober 2012, dibagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr Moewardi Surakarta
dan Laboratorium Klinik Prodia Jakarta.
B. Jenis Dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif observasional
menggunakan pendekatan Cross sectional dengan pendekatan uji klinis kadar
sFlt1 dan VEGF pada penderita Preeklampsia dan kehamilan normal.
VEGF ↓
PE
Kriteria inklusi sFlt-1 ↑Populasi Sampel
Kriteria eksklusi VEGF↑ Hamil Normal
sFlt-1↓
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian
25
26
C. Subyek Penelitian
Pasien dengan Preeklampsia dan kehamilan normal di kamar bersalin
Kebidanan dan Kandungan RSU Moewardi Surakarta dari bulan Agustus 2012
sampai dengan bulan Oktober 2012, yang sesuai dengan syarat penerimaan
sampel (kriteria inklusi) yang telah menyatakan setuju untuk ikut dalam penelitian
setelah mendapat penjelasan mengenai penelitian ini..
Kriteria inklusi :
Kriteria untuk Preeklampsia :
1. Ibu hamil usia 20-35 tahun
2. Pasien yang bersalin di RS.dr Moewardi Surakarta, yang memenuhi
kriteria Preeklampsia , baik pervaginam maupun perabdominal.
Sedangkan kriteria untuk Hamil normal:
1. Ibu hamil usia 20-35 tahun
2. Kehamilan aterm, janin tunggal hidup, intra uterin, memanjang,
presentasi kepala dimana selama antenatal care semenjak hamil sampai
melahirkan tidak ditemukan komplikasi bagi ibu dan janin/bayinya.
Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi untuk Preeklampsia :
1. Ibu hamil dengan penyakit kronis antara lain: kelainan
ginjal, kelainan jantung, hipertensi kronis, infeksi kronis, yang
merokok,dengan anemia, dengan / riwayat pecandu alkohol /morfin.
27
2. Kehamilan kembar
3. Kematian janin dalam rahim
4. Ibu hamil dengan ketuban pecah dini, infeksi intrauterine dan infeksi lain
5. Adanya kelainan plasenta ( hemangioma plasenta dan plasenta previa ).
D. Besar Sampel
Perhitungan jumlah sampel menggunakan rumus :
n = besar masing – masing kelompok sampel
Z = nilai studi normal yang besarnya tergantung
Bila = 0,05 Z = 1,96
Zβ = nilai studi normal yang besarnya bergantung β (power test)
Bila β = 0,05 Zβ = 1,89
Sehingga,
n = (1,96 + 1,89 )2
= 14,82 ≈ 15
(Pudjirahardjo,1993)
Dari rumus tersebut didapatkan besar sampel : 15 sampel untuk tiap
kelompok, yaitu 15 sampel untuk kelompok yang diteliti dan 15 sampel
untuk kelompok kontrol.
n = ( Z + Zβ )2
28
E. Variabel Penelitian
Variabel bebas : Kadar sFlt1 dan Kadar VEGF
Variabel terikat : Preeklampsia
F. Definisi Operasional Variabel
1. Pasien dengan Preeklampsia dengan tekanan darah sistolik sama atau di
atas 140 mmHg dan atau diastolik sama atau di atas 90 mmHg disertai
dengan proteinuria pada usia kehamilan di atas 20 minggu.
2. Kehamilan normal adalah kehamilan dimana selama antenatal cares
semenjak hamil sampai melahirkan tidak ada komplikasi bagi ibu dan
janin /bayinya ( kehamilan dengan janin tunggal, berat badan lahir 2500-
4000 gram dan dengan persalinan normal) .
3. Metode ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay) adalah suatu teknik
biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk
mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Kadar
VEGF adan sFlt-1 ditunjukkan dengan angka nominal pada pemeriksaan
ELISA. Rerata dosis minimal yang dapat terdeteksi: VEGF: 9,0 pg/mL,
dan sFlt-1: 3,5 pg/mL.
G. Instrumen Dan Pengambilan Sampel
1. Alat :
- Spuit disposible 5 ml.
- Tabung reaksi.
29
- Alat tulis kantor dan seperangkat komputer.
- Seperangkat alat untuk diagnosis Preeklampsia
2. Bahan :
- Reagen Human VEGF ImmunoassayQuantikine(R) DVE00.
- Reagen Human Soluble VEGF R1/Flt-1 Immunoassay Quantikine(R)
DRV 100.
- Kapas alkohol absolut 70%.
H. Proses Penelitian
1. Penderita yang memenuhi syarat penerimaan sampel diberikan penjelasan
mengenai tindakan yang akan dilakukan dan penderita menandatangani
persetujuan jika telah bersedia.
2. Dilakukan pengambilan darah vena cubiti sebanyak 10ml, selanjutnya 5
ml untuk pemeriksaan serum VEGF dan sFlt-1, 5 ml untuk pemeriksaan
SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, Hemoglobin, Angka leukosit dan protein
total. Untuk pemeriksaan gula darahsewaktu, SGOT, SGPT, Ureum,
Creatinin, Hemoglobin, Angka leukosit dan protein total langsung dilakukan
di laboratorium RS. Dr. Moewardi, sedangkan untuk pemeriksaan serum
VEGF dan sFlt-1langsung dilakukan sentrifuge dengan kecepatan 2000-
3000 rpm selama 15 menit selanjutnya serum yang diperoleh disimpan
dalam lemari pendingin dengan suhu -20 ᵒC dan selanjutnya dikirim ke
Jakarta dengan menggunakan ice pack untuk mempertahankan suhu
30
penyimpanan dilakukan pemeriksaan VEGF dan sFlt-1 di Laboratorium
Prodia Jakarta. Pemeriksaan kadar VEGF dan sFlt-1 serum dilakukan
dengan cara kuantitatif, menggunakan metode ELISA.
I. Pengolahan Dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari kadar serum VEGF dan sFlt-1 pada
preeklampsia dan kehamilan normal dikumpulkan dan dibandingkan
kemaknaannya secara statistik menggunakan uji t dengan menggunakan
SPSS versi 17.00 for windows.
31
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
A. Hasil dan Analisis Penelitian
4.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah 30 ibu hamil aterm, janin tunggal dengan status
gizi baik yang melahirkan di Bagian Obstetri dan Ginekologi. RSUD Dr.
Moewardi, Surakarta yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu 15 orang ibu hamil
dengan preeklampsia dan 15 orang ibu hamil normal yang semuanya memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
Tabel 4.1 Sebaran dan Keragaman Data Subjek Penelitian
Variabel N Min Max Rerata SDUmur ibu (tahun) 30 22.00 41.00 33.06 5.58Umur kehamilan (minggu) 30 37.00 40.00 38.36 1.06Paritas 30 1.00 4.00 1.93 0.86Tekanan darah Sistole (mmHg) 30 110.00 190.00 150.66 33.49Tekanan darah diastole (mmHg) 30 70.00 100.00 82.33 10.40Haemoglobin (gr/dl) 30 9.80 12.50 10.91 0.60Ureum (mg/dl) 30 20.00 51.00 32.46 7.37Kreatinin (mg/dl) 30 0.20 0.90 0.58 0.19SGOT (U/I) 30 10.00 34.00 23.03 6.35SGPT (U/I) 30 10.00 36.00 18.60 6.41
Dari data diatas didapatkan bahwa rerata variabel umur ibu hamil adalah
33.06+5.58 tahun dengan umur kehamilan rerata berusia 38.36+1.06 minggu,
paritas rerata 1.93 + 0.86 kali, tekanan darah sistole rerata 150.66 + 33.49 mmHg,
tekanan darah diastole rerata 82.33+10.40 mmHg, kadar hemoglobin rerata 10.91
31
32
+ 0.60 gr/dl, kadar ureum rerata 32.46+7.37 mg/dl, kadar kreatinin rerata 0.58
+0.19 mg/dl, SGOT rerata 23.03 + 6.35 U/I, dan SGPT dengan rerata 18.60 + 6.41
U/I. Lampiran 3.1
Analisis statistik mengunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov
terhadap variabel penelitian umur ibu, umur kehamilan, paritas, tekanan darah
sistole, tekanan darah diastole, kadar hemoglobin, ureum, kreatinin, SGOT, dan
SGPT rerata sampel subjek penelitian pada kelompok preeklampsia dan kelompok
hamil normal tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (Kolmogorov-Smirnov
> 0.05).
Distribusi sampel pasien pada penelitian ini ditinjau dari umur ibu, umur
kehamilan, paritas, tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, kadar
hemoglobin, ureum, kreatinin, SGOT, dan SGPT antara kelompok hamil normal
dan kelompok preeklampsia adalah homogen (Lavene’s tes didapatkan nilai p>
0.05). Uraian di atas tercantum dalam lampiran 3.2
33
Tabel 4.2 Uji Beda Rerata Subjek Penelitian Menurut Kelompok Preeklampsia dan Kelompok Hamil Normal
Variabel Kelompok N Mean SD Nilai p
Umur ibu (tahun) Preeklampsia 15 29.13 4.06 0.00 *)
Normal 15 37.00 3.87
Umur kehamilan (minggu) Preeklampsia 15 38.26 1.09 0.61
Normal 15 38.46 1.06
Paritas Preeklampsia 15 1.86 0.99 0.68
Normal 15 2.00 0.75
Tekanan darah Sistole (mmHg) Preeklampsia 15 183.00 4.55 0.00 *)
Normal 15 118.33 7.94
Tekanan darah Diastole (mmHg) Preeklampsia 15 87.33 10.99 0.01*)
Normal 15 77.33 7.03
Haemoglobin (g/dl) Preeklampsia 15 10.82 0.49 0.41
Normal 15 11.00 0.70
Ureum (mg/dl) Preeklampsia 15 31.80 6.60 0.63
Normal 15 33.13 8.24
Kreatinin (mg/dl) Preeklampsia 15 0.58 0.13 0.92
Normal 15 0.58 0.23
SGOT (U/I) Preeklampsia 15 23.33 4.57 0.80
Normal 15 22.73 7.91
SGPT (U/I) Preeklampsia 15 16.46 4.91 0.06
Normal 15 20.73 7.16*) Nilai signifikansi p < 0.05
Dari hasil uji beda rata-rata kelompok preeklampsia dengan kelompok hamil
normal didapatkan hasil :
a. Tidak ada perbedaan yang bermakna untuk variabel umur kehamilan,
paritas, kadar Haemoglobin, Ureum, Kreatinin, SGOT, dan SGPT(nilai p
> 0,05). Digunakan uji t dengan asumsi tidak ada perbedaan varian kedua
kelompok, karena uji Levene menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
varian (p>0,05).
34
b. Ada perbedaan yang bermakna untuk variabel umur ibu, tekanan darah
sistole dan tekanan darah diastole antara kelompok preeklampsia dan
kelompok hamil normal dengan nilai p=0,00 (p<0,05).
4.2. Kadar sFlt-1 pada Serum Preeklampsia dan Serum Hamil Normal
Dengan menggunakan metode ELISA kadar sFlt-1 pada serum, didapatkan
hasil rerata kadar sFlt-1 pada serum seperti tertera pada Tabel 4.3 Distribusi rerata
kadar sFlt-1 tampak lebih tinggi pada serum preeklampsia (4308.02+2718.15
pg/ml), dibandingkan dengan serum kehamilan normal (2302.07+1767.05 pg/ml).
Hasil interpretasi grafik menunjukkan bahwa kelompok serum pada kehamilan
preeklampsia mempunyai puncak lebih tinggi dibandingkan dengan serum
kehamilan normal (Gambar 4.1)
Tabel 4.3. Distribusi Rerata Kadar sFlt-1 pada Serum Kelompok Preeklampsia dan Kelompok hamil normal
KelompokBesar Sampel
(N)Distribusi Rerata Kadar sFlt-1
(pg/ml)P
NormalPreeklampsia
1515
2302.07+1767.054308.02+2718.15
0.02
Tabulasi hasil perhitungan distribusi rerata kadar sFlt-1 pada serum,
menunjukkan kenaikan distribusi rerata kadar sFlt-1 pada serum dari kelompok
hamil normal kekelompok preeklampsia.
35
Gambar 4.1 Distribusi Rerata Kadar sFlt-1 pada Serum
Analisis variabel kadar sFlt-1 dengan menggunakan uji distribusi normal
(Kolmogorov-Smirnov) pada kelompok preeklampsia dan kelompok hamil
normal terdistribusi secara normal dengan nilai p=0.644 (p>0.05) untuk kelompok
preeklampsia dan p=0.068 (p>0.05) untuk kelompok hamil normal, sehingga
kadar sFlt-1 pada kelompok preeklampsia dan kelompok hamil normal adalah
homogen. Lampiran 3.3
Analisis uji t dengan menggunakan α=0.05 terbukti bahwa kadar sFlt-1
antara kelompok serum kehamilan normal dan preeklampsia terdapat perbedaan
yang signifikan dimana nilai p=0.023 (>0.05). Lampiran 3.4
4.3. Kadar VEGF pada Serum Preeklampsia dan Serum Hamil Normal
Dengan menggunakan metode ELISA kadar VEGF pada serum,
didapatkan hasil rerata kadar VEGF pada serum seperti tertera pada Tabel 4.4
Distribusi rerata kadar VEGF tampak lebih rendah pada serum preeklampsia
36
(9,5267+1,019 pg/ml), dibandingkan dengan serum kehamilan normal
(17,4133±8,05436 pg/ml). Hasil interpretasi grafik menunjukkan bahwa
kelompok serum pada preeklampsia mempunyai puncak lebih rendah
dibandingkan dengan serum pada kehamilan normal (Gambar 4.2).
Tabel 4.4 Distribusi Rerata Kadar VEGF pada Serum Kelompok Preeklampsia dan Kelompok hamil normal
KelompokBesar Sampel
(N)Distribusi Rerata Kadar VEGF
(pg/ml)P
NormalPreeklampsia
1515
17,4133+8,054369,5267+1,019
0.001
Tabulasi hasil perhitungan distribusi rerata kadar VEGF pada serum,
menunjukkan penurunan distribusi rerata kadar VEGF pada serum dari kelompok
preeklampsia kekelompok hamil normal.
Gambar 4.2 Distribusi Rerata Kadar VEGF pada Serum
Normal
37
Analisis variabel kadar VEGF dengan menggunakan uji distribusi normal
(Kolmogorov-Smirnov) pada kelompok preeklampsia dan kelompok hamil
normal terdistribusi secara normal dengan nilai p=0.111 (p>0.05) untuk kelompok
preeklampsia dan p=0.682 (p>0.05) untuk kelompok hamil normal, sehingga
kadar VEGF pada kelompok preeklampsia dan kelompok hamil normal adalah
homogen. Lampiran 3.2.
Analisis uji t dengan menggunakan α=0.05 terbukti bahwa kadar VEGF
antara kelompok serum kehamilan normal dan preeklampsia terdapat perbedaan
yang signifikan dimana nilai p=0.001 (p<0.05). Lampiran 3.4.
38
BAB V
PEMBAHASAN
Preeklampsia hanya terjadi bila masih terdapat plasenta meskipun tidak
ada fetus misalnya pada mola hidatidosa. Preeklampsia akan sembuh dengan
sendirinya setelah plasenta diangkat. Pada kasus preeklampsia dengan
kehamilan di luar kandungan, pengangkatan bayi saja tidak cukup, gejala
preeklampsia akan tetap ada sampai plasenta diangkat. Oleh sebab itu
diasumsikan bahwa plasenta berperan utama dalam patogenesis preeklampsia.
Uji patologi plasenta pada kehamilan dengan preeklampsia umumnya
menunjukkan terjadinya infark pada plasenta, penyempitan arteri dan arteriole
karena sklerosis yang ditandai dengan adanya invasi endovaskular yang
dangkal oleh sitotrofoblas dan remodeling yang tidak memadai pada arteri
spiralis uterus (Karumanchi, 2008).
Abnormalitas plasentasi sebagai akibat maltransformasi sitotrofoblas pada
arteri spiralis uterus yang menyebabkan pelepasan faktor-faktor antiangiogenik
tersekresi ke sirkulasi maternal dan mencapai puncaknya pada simptom klinis
preeklampsia yang dikenal dengan sindrom maternal. Manifestasi klinis
preeklampsia antara lain glomerular endotheliosis, peningkatan permeabilitas
vaskular dan respon inflamasi sistemik yang mengakibatkan kerusakan organ
atau hipoperfusi. Manifestasi klinis biasanya terjadi setelah usia kehamilan 20
minggu.
38
39
Pada awal plasentasi, ekstravilli sitotrofoblas mempengaruhi uterus pada
makrofag desidua. Pada kehamilan normal invasi sitotrofoblas di arteri spiralis
menyebabkan down-regulation sel trofoblas yang akan mengadopsi fenotip sel
endotel. Proses ini dikenal sebagai pseudovaskulogenesis. Transformasi sel
epitel menjadi sel endotel ini akan memungkinkan peningkatan laju darah ke
uterus yang diperlukan untuk kelanjutan hidup janin selama dalam kandungan.
Penilitian ini mengambil sampel dari serum darah pada kehamilan
preeklampsia maupun pada kehamilan normal, dikarenakan kadar VEGF dan
sFlt-1 yang berasal dari sitotrofoblas disekresikan ke dalam sirkulasi darah.
Serum darah ibu merupakan material yang mudah didapatkan dan kurang
invasif, dimana cukup representatif dalam menggambarkan kadar VEGF dan
sFlt-1 pada penderita preeklampsia.
Dari hasil penilaian karakteristik antara kedua kelompok penelitian, tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok, hal ini dapat
diartikan faktor perancu antara kedua kelompok dapat diminimalisir, sehingga
murni membandingkan kadar VEGF dan sFlt-1 antara kedua kelompok.
Dari hasil penelitian ditemukan kadar VEGF pada kelompok preeklampsia
adalah 9,5267±1,019 pg/mL, sedangkan pada kelompok kehamilan normal
didapatkan kadar sebesar 17,4133±8,054 pg/mL. Dari penelitian ini, ditemukan
kadar VEGF lebih rendah pada kelompok preeklampsia dibandingkan dengan
kehamilan normal. Dari hasil uji t didapatkan perbedaan yang signifikan
(p=0.001) antara kedua kelompok.
40
Penurunan kadar VEGF ini sesuai dengan teori dari patogenesis
preeklampsia, dimana terjadi penurunan kadar VEGF yang menyebabkan
terjadinya neovaskularisasi pada saat plasentasi. Hal ini mengakibatkan
kegagalan terbentuknya sirkulasi uteroplasental yang normal. Kegalan ini
ditandai dengan uji patologi plasenta yang menunnjukkan terjadinya infark
pada plasenta, arteriosklerosis, invasi sitotrofoblas yang dangkal, dan
remodelling yang tidak memadai pada arteri spiralis uterus pada pemeriksaan
patologi anatomi. Pada kehamilan normal, kadar VEGF lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok preeklampsia, sehingga proses plasentasi
berjalan normal, dan invasi trofoblast dan pembentukan sirkulasi uteroplasental
menjadi normal.
Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan iskhemia pada plasenta, yang
akan diikuti dengan pelepasan berbagai macam material dari plasenta, yang
pada akhirnya akan menimbulkan gejala seperti peningkatan tekanan darah,
Proteinuria, Endotheliosis glomerular, kelainan koagulasi, dan oedem cerebri
jika terjadi preeklampsia. Kesemuanya ini disebabkan karena peningkatan sFlt-
1 dan peningkatan Autoantibodi pada reseptor AT1.
Dari penghitungan kadar sFlt-1 pada kehamilan normal didapatkan sebesar
2.302,07±1.767,05 pg/mL, sedangkan pada kelompok preeklampsia
4.308,02±2.718,15 pg/mL. Dari penelitian ini ditemukan kadar sFlt-1 lebih
tinggi pada kelompok preeklampsia dibandingkan dengan normal. Dengan
menggunakan uji t, ditemukan perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok (p=0.02).
41
Kadar sFlt-1 ditemukan lebih tinggi pada kelompok preeklampsia
dibandingkan dengan kehamilan normal menjelaskan peranan sFlt-1 pada
preeklampsia. sFlt-1 berperan di dalam menghambat interaksi VEGF dengan
sel endothel, mengakibatkan tidak adanya sinyal kepada endothel untuk
membentuk neovaskularisasi, hal ini menyebabkan terjadinya kegagalan
pembentukan sirkulasi uteroplasental yang semakin berat.
Dari hasil diatas, dapat disimpulkan jika terdapat perbedaan antara kadar
VEGF dan sFlt-1 pada preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal,
dimana kadar VEGF lebih rendah pada kelompok preeklampsia dan sFlt-1
lebih tinggi pada kelompok preeklampsia.
Penelitian sebelumnya, oleh Shakil (2004), mengatakan rasio relatif
VEGF pada sFlt-1 menurun 53% pada preeklampsia dibandingkan dengan
kehamilan normal, dimana terdapat hubungan yang berlawanan antara kadar
VEGF dan sFlt-1, sFlt pada preeklampsia memiliki aktivitas antiangiogenik
yang dapat mengikat semua VEGF, sehingga, kadar VEGF menurun pada
preeklampsia dan kadar sFlt meningkat.
Krysiak (2005), dari hasil penelitiannya menyatakan terdapat peningkatan
sFlt-1 pada preeklampsia, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan dari
kadar VEGF pada preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal.
Selain mempengaruhi faktor antiangiogenik pada serum, sFlt-1 juga
mempertahankan aktivasi neutrofil pada preeklampsia, sehingga menurunkan
kadar VEGF, dimana neutrofil berpengaruh pada patofisiologi preeklampsia.
42
Young Kim (2007), kadar sFlt-1 meningkat secara signifikan pada
preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal, dimana kadar VEGF
lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal. Kadar dari sFlt-1 yang
tinggi akan berdampak pada penurunan VEGF yang bersifat angiogenik. Pada
penelitian ini disebutkan sensitivitas dan spesifisitas dari metode ini dalam
mendiagnosis preeklampsia sebesar 80.4% dan 78%.
Chen (2009), menyatakan jika preeklampsia terjadi dalam dua tahap, pada
tahap pertama, terjadi penurunan VEGF yang akan menimbulkan gangguan
endothelialisasi dan invasi dari arteri spiralis menuju miometrium,
menimbulkan peningkatan resistensi vaskular, hal ini akan diikuti pada tahap
kedua, dimana terjadi iskhemia pada plasenta, menimbulkan stress oksidatif
pada plasenta dan pelepasan protein seperti sFLt-1, prostaglandin, dan sitokin.
Kedua hal tersebut sinergis dalam memperberat preeklampsia.
Verugeese (2010), juga menunjukkan adanya peningkatan kadar sFlt-1
pada preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal, dimana
sebaliknya, terjadi penurunan kadar VEGF pada preeklampsia dibandingkan
dengan kehamilan normal. Pada penelitian ini juga ditemukan penurunan PlGF
yang bekerja sinergis dalam mempotensiasi efek VEGF dalam proses
plasentasi.
Dari seluruh penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan hasil
sama dengan hasil peenelitian ini, yaitu penurunan kadar VEGF pada
preeklampsia dan peningkatan kadar sFlt-1 pada preeklampsia Meskipun dari
hasil penelitian yang dilakukan Hunter (2000), didapatkan adanya peningkatan
43
kadar VEGF pada preeklampsia dibandingkan kehamilan normal. Hal tersebut
dapat terjadi, kemungkinan karena peneliti melakukan penelitian terhadap
kadar VEGF pada usia kehamilan yang berbeda, untuk setiap kasus
preeklampsia.
Keterbatasan pada penelitian ini adalah:
Penelitian ini menggunakan serum darah sebagai bahan, dimana kadar VEGF
dan sFlt-1 lebih akurat apabila diukur dengan plasenta sebagai bahan
penelitian.
44
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat penurunan kadar VEGF pada preeklampsia dibandingkan
dengan kehamilan normal.
2. Terdapat peningkatan kadar sFlt-1 pada preeklampsia dibandingkan
dengan kehamilan normal.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai perbandingan
kadar VEGF dan sFlt-1 antara kelompok preeklampsia dengan
kehamilan normal dengan pengambilan sampel penelitian
menggunakan plasenta.
2. Penggunaan analisis kadar VEGF dan sFlt-1 pada kelompok
kehamilan resiko tinggi untuk pencegahan terjadinya preeklampsia.
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, H. I., Billett, A., Kan, A. K. (1998). Obstetric outcome in 232 ovum donation pregnancies dalam Moffett, A., Hiby, S., (2007), Immunologycal faktors and placentation: implicationsfor pre-eclampsia, Pre-eclampsia: Etiology and Clinical Practice,92
Brockelsby J, Hayman R, Ahmed A, Warren A, Johnson I, Baker P.VEGF via VEGF receptor-1 (Flt-1) mimics preeclamptic plasma in inhibiting uterine blood vessel relaxation in pregnancy: implications inthe patogenesis of PE. Lab Invest. 1999;;79:1101–1111.
Baker PN, Krasnow J, Roberts J, Yeo K. Elevated serum levels of VEGFin patients with PE. Obstet Gynecol. 1995;86:815– 821.
Barton, J.R., Sibai, B.M. (2008), Prediction and prevention of reccurent preeklampsia, Clinical expert series obstetric and gynecologic, 112:359-372
Burton, G. J., Hung, T. H. (2003), Hypoxiareoxygenation; a potential source of placental oxidatives stress in normal pregnancy and preeklampsia, Fetal Maternal Med. Rev., 14(2):97-117
Chappell, L. C., Seed, P. T., Briley, A. (2002), A longitudinal study of biochemical variables in women at risk of preeklampsia, American Journal Obstetric Gynecologic, 187(1), 127-136
Chen Yu. 2009. Novel Angiogenic Factors for Predicting Preeklampsia: sFlt-1, PIGF, and Soluble Endoglin. The Open Clinical Chemistry Journal, 2009, 2, 1-6
Cincotta dan Brennecke, (1998), Family history of preeklampsia as predictor preeklampsia in primigravidas dalam Moffett, A., Hiby, S., (2007), Immunologycal faktors and placentation: implications for pre-eclampsia, Pre-eclampsia: Etiology and Clinical Practice, 93
Concard, K.P, Benyo, D.F. (2006), Placental cytokines and the patogenesis of preeklampsia. Am J reprodImmunol ;37:240-249
Cunningham, F.G., Norman, G., Leveno, K.J., Gilstrap. (2005) William’s Obstetrics, 22th ed, 567-618
Davidson, J.M., Homuth, V., Jeyabalan A. Karumanchi, S.A. (2004), New aspect in phatophysiology of preeklampsia, 15:2440-2448
46
Davidge, S. T. (1998), Oxidative stress and altered endothelial cell function in preeklampsia, Reproduction Endocrinology, 16(1), 65-73
Dekker, G.A., Sibai, Sibai, B.M. (1998), Ethiology and patogenesis of preeklampsia: current concept; 179:1359-1375
Duley, L., Meher, S., Abalos, E. (2006), Management of Preeklampsia, BMJ: 332:463-468
Emery. P.S. (2005), Hypertensive disorders of pregnancy: overdiagnosis is appropriate, Cleavland clinic journal of Medicine, 72(4):345-52
Evans PW, Wheeler T, Anthony F, Osmond C. A longitudinal study ofmaternal serum vascular endothelial growth faktor in early pregnancy.Hum Reprod. 1998;13:1057–1062.
Gibson P., Carson M. (2008), Hypertension and pregnancy, Medicine Ob/Gyn, Psyciatry and surgery, dalam Sulistyowati S. (2010), Ekspresi Protein MHC Klas Ib (HLA-G & Qa-2) yang Rendah Terhadap Profil Hsp-70, VCAM-1, dan MMP-9 pada Preeklampsia. Penelitian Pada IbuHamil dan Hewan Coba Mus Musculus dengan Model Disfungsi Endotel, 1
Gu Yang, Lewis David F., dan Wang Yuping. 2008. Placental Productions and Expressions of Soluble Endoglin, Soluble fms-Like Tyrosine Kinase Receptor-1, and Placental Growth Faktor in Normal and Preeclamptic Pregnancies. J Clin Endocrinol Metab 93: 260–266, 2008
Hunter Alyson, Aitkenhead Mark, Caldwell Carolyn, McCracken Geoffrey, Wilson David, Neil McClure. 2000. Serum Levels of Vascular Endothelial Growth Factor In Preeclamptic and Normotensive Pregnancy. Hypertension. 2000;36:965-969.
Krysiak, O., Bretschneider, A., Zhong, E., Webb, J., Hopp, H. (2005), Soluble vascular endothelial growth faktor receptor-1 (sFlt-1) mediates down regulation of Flt-1 and prevents activated netrophilis from women with preeklampsia from additional migration by VEGF, 97:1253-1261
Kupferminc MJ, Daniel Y, Englender T, Baram A, Many A, Jaffa AJ,Gull I, Lessing JB. Vascular endothelial growth faktor is increased inpatients with PE. Am J ReprodImmunol. 1997;38:302–306.
Lyall F, Greer IA, Boswell F, Fleming R. Suppression of serum vascularendothelial growth faktor immunoreactivity in normal pregnancy and PE.Brit J ObstetGynaecol. 1997;104:223–228.
47
Lam, C., Liem, KH., Karumanchi, S.A. (2005), Circulating angiogenic faktors in patogenesis and prediction of preeklampsia, Hypertension, 46:1077-1085
Lim, J.H., Kim, S.Y., Park, S.Y., Yang, J.H., Kim, M.Y., Ryu, H.M. (2008), Effective prediction of preeklampsia by a combined ratio of angiogenesis-related faktors, Obstetric and Gynecologic, 111:1403
Li, D. K., Wi, S. (2000), Changing paternity and the risk of preeklampsia/eclampsia in the subsequent pregnancy dalam Moffett, A., Hiby, S., (2007) Immunologycal faktors and placentation: implicationsfor pre-eclampsia, Pre-eclampsia: Etiology and ClinicalPractice, 93
Li Ying, Puryer Michelle, Lin Eliane, Hale Kathryn, Salamonsen Lois A., Manuelpillai Ursula, Tong Stephen, Chan Weng, Wallace Euan M., and Guiying Nie. 2011. Placental HtrA3 Is Regulated by Oxygen Tension and Serum Levels Are Altered during Early Pregnancy in Women Destined to Develop Preeklampsia. J Clin Endocrinol Metab 96: 403–411, 2011.
Masuyama Hisashi, Nakatsukasa Hideki, Takamoto Norio, and Hiramatsu Yuji. 2007. Correlation between Soluble Endoglin, Vascular Endothelial Growth Faktor Receptor-1, and Adipocytokines in Preeklampsia. J Clin Endocrinol Metab 92: 2672–2679, 2007
Noori, M., Savvidou, M., Williams, D., (2007), Endothelial faktors dalam Pre-eclampsia: Etiology and Clinical Practice: 62
North, R.A. (1999), Classification and diagnosis of pre-eclampsia dalam Etiology and Clinical Practice, 244-245
Noris, M., Perico, N., Remuzzi, G.. (2005), Hypotesis of preeklampsia pathophysiology
Roeshadi, R. H. (2004), Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Hariadi R., Ilmu kedokteran fetomaternal Surabaya, Himpunan Kedokteran Fetomaternal, POGI, 494-498
Roberts JM, Taylor RN, Musci T J, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlinMK. Preeklampsia: an endothelial cell disorder. Am J Obstet Gynecol.
1989;161:1200 –1204.
Sulistyowati S. (2010), Disertasi: Ekspresi Protein MHC Klas Ib (HLA-G & Qa-2) yang Rendah Terhadap Profil Hsp-70, VCAM-1, dan MMP-9 pada Preeklampsia. Penelitian Pada Ibu Hamil dan Hewan Coba Mus Musculus dengan Model Disfungsi Endotel, 2:26
48
Shakil Ahmad dan Ahmed Asif. 2005, Elevated Placental Soluble Vascular Endothelial Growth Factor Receptor-1 Inhibits Angiogenesis in Preeklampsia. Circ Res. 2004; 95:884-891
Sharkey AM, Cooper JC, Balmforth JR, McLaren J, Clark DE,Charnock-Jones DS, Morris NH, Smith SK. Maternal plasma levels ofvascular endothelial growth faktor in normotensive pregnancies and inpregnancies complicated by PE. Eur J Clin Invest. 1996;26:1182–1185.
Siddiqui Athar H., Irani Roxanna A., Blackwell Sean C., Ramin Susan M., Kellems Rodney E., Xia Yang. 2010. Angiotensin Receptor Agonistic Autoantibody Is Highly Prevalent in Preeklampsia Correlation With Disease Severity. Hypertension. 2010;55:386-393.
Young Kim Shin, Mee Ryu Hyun, Hyug Yang Jae, Young Kim Moon, Yeol Han Jung, Oh Kim Joo, Hoon Chung Jin, Yeon Park So, Hee Lee Moon, dan Jin Kim Do. 2007. Increased sFlt-1 to PIGF Ratio in Women Who subsequently Develop Preeklampsia. J Korean Med Sci 2007; 22: 873-7
Verughese Betsy, Bhatla Neerja, Rani Kumar, Dwivedi SN, Dhingra Renu. 2010. Circulating Angiogenic Fator In Pregnancies Complicated by Preeklampsia. The National Medical Journal Of India vol. 23, No. 2, 2010