tesis pengaturan perdagangan ikan hiu di indonesia
TRANSCRIPT
TESIS
PENGATURAN PERDAGANGAN IKAN HIU DI INDONESIA
BERDASARKAN KONVENSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
SATWA DAN TUMBUHAN LIAR SPESIES TERANCAM
(CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED
SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (CITES))
FILINA SUWANTO ANWAR
P 36002 12 016
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
TESIS
PENGATURAN PERDAGANGAN IKAN HIU DI INDONESIA
BERDASARKAN KONVENSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
SATWA DAN TUMBUHAN LIAR SPESIES TERANCAM
(CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED
SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (CITES))
FILINA SUWANTO ANWAR
P 36002 12 016
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PENGATURAN PERDAGANGAN IKAN HIU DI INDONESIA
BERDASARKAN KONVENSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
SATWA DAN TUMBUHAN LIAR SPESIES TERANCAM (CONVENTION
ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD
FAUNA AND FLORA (CITES))
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kenotariatan
Disusun dan diajukan oleh
FILINA SUWANTO ANWAR
P 36002 12 016
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
LEMBAR PERSETUJUAN
PENGATURAN PERDAGANGAN IKAN HIU DI INDONESIA
BERDASARKAN KONVENSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
SATWA DAN TUMBUHAN LIAR SPESIES TERANCAM (CONVENTION
ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD
FAUNA AND FLORA (CITES))
Disusun dan diajukan oleh
Filina Suwanto Anwar
P 36002 12 016
Untuk Tahap UJIAN AKHIR MAGISTER
pada tanggal 12 Juli 2017
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Ketua Anggota
Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H.,M.H. Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H. NIP. 19460312 196902 2 001 NIP. 19661018 199103 1 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. NIP. 19600621 198601 2 001
KATA PENGANTAR
Namo Ratanattayāya, (Terpujilah Permata Mulia),
Sotthi Hotu, (Semoga Kesejahteraan Ada pada Kalian),
Dengan usaha yang benar berdasarkan keyakinan kepada Tri Ratna maka penulis berhasil menyelesaikan tugas ini dengan baik. Sang Buddha masa sekarang, Siddhatta Gautama merupakan guru agung dewa dan manusia yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan dan metafisika yang berpesan agar murid-muridnya tidak hanya belajar ajaran-Nya tetapi juga mempelajari ilmu-ilmu lain yang bermanfaat bagi makhluk hidup lain. Sangha yang telah menjaga ajaran Sang Buddha sehingga memperlambat kelenyapannya, serta Dhamma yang tidak akan bisa dilenyapkan oleh sang waktu.
Dalam penyusunan tesis ini, banyak menemukan hambatan dan tantangan baik bersifat internal maupun eksternal sehingga Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini hampir mendekati kesempurnaan sebagai suatu karya ilmiah. Selanjutnya, Penulis berharap partisipasi aktif dari semua pihak berupa saran dan kritik membangun demi kemajuan pembelajaran kita selanjutnya di masa mendatang.
Keberhasilan dalam penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan harapan, dukungan, saran maupun kritik bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung mulai dari sebelum, proses hingga akhir dari penulisan tesis ini. Penulis hanturkan Anumodanā dan terima kasih kepada:
1. Orang tua kandung, LaoPe Suwanto Anwar dan YauLi Theresia Maria Jaury, serta Mendiang Orang Tua Asuh, yang telah dan/atau akan memberikan semuanya yang tidak ternilai oleh apapun di galaksi bimasakti ini.
2. Ade Budianto, yang momennya selama beberapa puluh tahun ini tidak bisa dilukiskan dengan kata dan bahasa apapun lagi.
3. Leluhur dan sanak keluarga, yang telah pindah alam sebelum melihat anaknya mencapai Magister Kenotariatan serta keluarga besar.
4. The Most Venerable Pa-Auk Tawya Sayadaw Bhaddanta Acinna, The
Venerable Ajahn Brahmavamso and Ajahn Brahmali, Y.M. Sri Paññāvaro Mahathera dan Uttamo Mahathera, Sayalay Dipankara, Sayadaw U Dhammasara, Y.M. Atthapiyo dan Ratanadhīro, Y.M Kovido, dan Pabbajjā yang pernah ditemui semasa hidup pada kehidupan ini, berserta semua Ariya dan Sammuti Sangha di bumi ini.
5. Prof. Dr. Mehm Tin Mon, B.Sc. Hons. M.Sc., Ph.D., Pdt. (Pandita) Romo Ir. Selamet R, Pdt. Bumi H, Harry H, Hardy D, Budi Satria Kwan, Denny Y, atas pengulangan dhamma berserta semua kalyāṇa-mittatā.
6. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, SPBO, selaku Mantan Rektor Unhas, berserta staf dan jajarannya.
7. Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Unhas, Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., DFM, selaku Mantan Dekan Fakultas Hukum Unhas yang telah melanjutkan perjalanan menjadi Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Pengembangan, Dr. Syamsuddin Muchtar,
S.H., M.H., selaku Wakil Dekan Bidang Perencanaan, Keuangan dan Sumber Daya, dan Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Unhas.
8. Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H, selaku Pembimbing I (Ketua Panitia Ujian), yang senantiasa sangat peduli dan menmberikan sumbangsih terbesar dalam penulisan tesis ini dan Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, yang senantiasa merasa sangat peduli kepada kepentingan anak bimbingannya.
9. Prof. Dr. Muh. Yunus Wahid, S.H, M.Si., selaku Penguji I, Dr. Maasba Magassing, S.H., M.H., selaku Penguji II, dan Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A., selaku Penguji III, yang merupakan para penguji yang sangat pengertian serta sangat welcome ketika di luar kampus, dan telah memberikan banyak sumbangsih penulisan tesis ini.
10. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si., selaku Ketua Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Unhas, yang senantiasa juga peduli.
11. Keluarga besar dosen-dosen yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Unhas. Berserta dengan para petugas di bidang akademik yang sangat membantu dalam pengurusan berkas-berkas dan pegawai selama Penulis berada di Fakultas Hukum Unhas Universitas Hasanuddin.
12. Semua pengarang dari bacaan yang telah dibaca oleh Penulis 13. Devyta W. K, S.H. dan Amirah Lahaya, S.H., M.Kn., yang telah penulis
anggap sebagai Pembimbing III karena telah menyediakan waktunya sedikit dari padatnya jam terbangnya untuk membaca dan meralat proposal tesis..
14. BPOM Makassar, Dinas Kelautan dan Perikanan Sul-Sel, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sul-Sel, Fakultas Kelautan dan Perikanan Unhas, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sub bagian Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat Makassar, Paotere, Perpustakaan Pusat Unhas, Perpusatakan Hukum Unhas, rumah makan dan toko toko. Semua informan dan responden yang sangat membantu dalam memberikan kesaksian-kesaksian yang riil.
15. Kak Jennifer D.K., S.H., Anni, S.H., Fitri A, S.H., M. Kn., Ika K, S.H., M. Kn., Edward W, S.H., M. Kn., Nining M, S.H., M. Kn. dan teman-teman seperjalanan dan seperjuangan Notariat kelas A dan kelas B, senior dan junior.
16. Yang tidak disebutkan satu persatu telah memberikan sumbangsih dalam bentuk apapun baik secara langsung maupun tidak langsung dan yang tidak memberikan sumbangsih tetapi tidak menghambat dalam penyelesaian tesis ini.
17. Semua makhluk hidup yang terlihat mata biasa dan terlihat oleh mata batin.
Semoga jasa-jasa kebajikan yang telah dilakukan akan menuai hasil melimpah. Akhir kata, semoga penulisan tesis ini bermanfaat bagi semua kalangan yang membutuhkan.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata (Semoga Semua Mahkluk Hidup
Berbahagia)
Nibbᾱnassa paccayo hotu (Mengondisikan Pencapaian Tertinggi
Kebahagiaan tanpa Kekotoran Batin sampai Keadaan Tanpa Materialitas dan Mentalitas)
Sādhu Sādhu Sādhu (Demikianlah Adanya Demikianlah Adanya Demikianlah Adanya)
Namo Ratanattayāya,
Sotthi Hotu,
Makassar, 25 Juni 2017
Penulis
ABSTRAK
FILINA SUWANTO ANWAR. Pengaturan Perdagangan Ikan Hiu di
Indonesia Berdasarkan Konvensi Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan Liar Spesies Terancam (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)) (dibimbing oleh Alma Manuputty dan Irwansyah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum
nasional menyangkut perdagangan ikan hiu sebagai spesies yang dilindungi dan efektifitas implementasi CITES di Indonesia.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, yaitu: Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Balai Besar Laboratorium Kementerian Kesehatan, Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere, rumah makan dan toko-toko. Pengumpulan data yang digunakan melalui wawancara langsung kepada pihak terkait dengan permasalahan yang dibahas. Data dengan teknik analisis kualitatif, yakni semua data dideskripsikan dan dijabarkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan dan penegakan hukum menyangkut pengaturan perdagangan ikan hiu sebagai spesies yang dilindungi masih kurang. Banyak dampak negatif perdagangan ikan hiu yang tidak terkendali dan belum efektifnya implementasi CITES di Indonesia memperlihatkan bahwa sangat banyak praktik perdagangan ikan hiu dari hulu hingga ke hilir, baik seluruhnya maupun sebagian dan/atau produk derivat dari ikan hiu.
ABSTRACT
FILINA SUWANTO ANWAR. The Shark Trade Arrangements in Indonesia
Based on the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) (supervised by Alma Manuputty and Irwansyah).
This study aimed to determine the national legal arrangements
concerning the shark trade as a species protected and effectiveness of CITES implementation in Indonesia.
This research was conducted in Makassar City, namely: Indonesia National Agency of Drug and Food Control, Maritime and Fisheries Affairs Department, Trade and Industry Department, Center for Laboratory of the Ministry of Health, Paotere Fish Landing Base, Restaurants and Shops. Data collection used was to through the direct interviews with related to the issues discussed. Data processing techniques used qualitative analysis techniques, in which data obtained were further described and elaborated.
Based on research that has been done the research indicates that supervision and enforcement of regulatory law concerning the shark trade as a species protected is almost extinct to the environment is still lacking. The negative impacts of uncontrolable shark trade and the ineffectiveness of CITES implementation in Indonesia shows that very much the practice of shark trade practices from upstream to downstream, in whole or in part and/or derivative products of sharks.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ......................................................... i
HALAMAN JUDUL .......................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................ vii
ABSTRACT ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 12
D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian ...................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora (CITES) ............................................ 13
B. Keputusan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1978 .................... 19
C. Pelestarian Lingkungan Kelautan ........................................ 20
D. Konservasi Sumber Daya Alam di Laut ................................ 38
1. World Conservation Strategy in 1980 ............................... 39
2. Konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati di Laut Lepas........................................ 40
3. Konvensi Hukum Laut 1982 tentang Konsevasi ............... 41
3.1. Shared and straddling fish stock ............................... 42
3.2. Highly migratory species ........................................... 43
E. Landasan Teori ................................................................... 46
1. Teori Aplikasi Hukum Internasional dalam Hukum Nasional 43
2. Teori Pengembangan Hukum Lingkungan ...................... 49
F. Kerangka Konseptual .......................................................... 50
G. Definisi Operasional ............................................................ 54
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ................................................................. 56
B. Tipe Penelitian .................................................................... 57
C. Populasi dan Sampel ........................................................... 57
D. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 58
E. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 59
F. Analisis Data........................................................................ 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum Nasional Menyangkut Perdagangan Ikan
Hiu Sebagai Spesies yang Dilindungi .................................. 61
B. Efektifitas Implementasi CITES di Indonesia ....................... 78
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 93
B. Saran ................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 96
Sumber lain ....................................................................................... 100
Lampiran ........................................................................................... 102
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya
mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan. Sumber
daya alam yang melimpah harus dikelola dan dimanfaatkan secara
lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan umat manusia
pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya untuk
masa kini dan masa depan. Pembangunan sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari
pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan
Pancasila Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistem pada
dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan saling
mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur
akan berakibat terganggunya ekosistem. Untuk menjaga agar
pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan
cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi
sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu
terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat
dengan pembangunan itu sendiri.
2
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian
terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam
nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing
maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur
pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.
Mengingat kedudukan sumber daya tersebut yang mempunyai
peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban
mutlak dari tiap generasi. 1 Keanekaragaman sumber daya hayati
Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat terbesar kedua di dunia
keanekaragaman hayati atau disebut daerah megadiversity,2 yang di
dalamnya terdapat 11% (sebelas persen) jenis tumbuhan di dunia dan
37% (persen) jenis ikan di dunia.3
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara
kepulauan yang terdiri atas 18.108 pulau 4 dengan jumlah wilayah
perairan sebesar kurang lebih 3.166.163 km2 yang membentang dari
Sabang sampai Merauke5, yang terletak pada posisi silang antara dua
benua dan dua samudera6, dengan iklim tropis dan cuaca serta musim
1 Berdasarkan Penjelasan atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. 2 Sastrapradja.1989. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Bogor: Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Bioteknologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal. 5 dan TVRI pada tanggal 04-05-2015 pukul 22.15 WITA.
3 http://Www.Iwf.Or.Id/Detail_Content/160/ diakses pada tanggal 03-11-2014 pukul 12.51 WITA. 4 Gerd Winter. 2009. Towards Sustainable Fisheries Law, a Comparative Analysis. IUCN Enviromental Policy and
Law Paper. Hal 31-32 dalam Alma Manuputty, dkk. 2012. Identifikasi Konseptual Akses Perikanan Negara Tidak Berpantai dan Negara yang Secara Geografis Tidak Beruntung di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Makassar:
Arus Timur. Hal 1. 5 Arif Djohan Tunggal. 2008. Hukum Laut (Suatu Pengantar). Jakarta: Harvarindo. Hal. 7. 6 Berdasarkan Penjelasan Umum Angka (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3
yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu
Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan
jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah.7
Tingkat keanekaragaman hayati karang paling tinggi di bumi
untuk wilayah laut (marine biodiversity) di Kawasan Segitiga Terumbu
Karang (Coral Triangle). Keberadaannya sama pentingnya dengan
hutan hujan Amazon dan dataran rendah Kongo bagi kehidupan planet
ini. Keberadaannya sama pentingnya dengan hutan hujan Amazon dan
dataran rendah Kongo bagi kehidupan planet ini. membentang seluas
enam juta kilometer persegi di 6 (enam) negara, yaitu: Indonesia,
Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon
ini. Kawasan Coral Triangle ini menjadi sumber utama penghidupan
dan pangan bagi masyarakat di sekitarnya dan memiliki peran penting
bagi ekosistem di bumi.
Dengan jumlah wilayah perairan yang luas tersebut tentunya
menghasilkan sumber daya laut yang melimpah8 dengan total yang
terdata 76% (persen) spesies terumbu karang dunia, 6 (enam) dari 7
(tujuh) spesies penyu laut, dan sekitar 2.228 spesies ikan karang
menjadikan kawasan Coral Triangle sebagai rumah.9
7 Berdasarkan Penjelasan Umum Angka (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 8 Djoko Tribawono. 2013. Hukum Perikanan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal. 2. 9 http://www.wwf.or.id/?39802/Its-About-Time-to-Conserve-What-We-Have-Left-Protecting-Coral-Triangle pada
tanggal 06-07-2017 pukul 00.00 WITA
4
Ikan yang merupakan hasil laut yang menjadi salah satu
komoditas yang berharga untuk manusia, baik sebagai sumber
makanan maupun sebagai tujuan komersial lainnya yang
mendatangkan penghasilan dan keuntungan. Ikan yang meskipun
menjadi sumber daya alam yang melimpah, akan tetapi jika tidak dijaga
kelestariannya akan terancam punah. Hal tersebut ditunjukkan dengan
beberapa jenis ikan yang populasinya semakin sedikit dan spesiesnya
terancam punah. Salah satu jenis ikan yang terancam punah adalah
ikan jenis hiu.
Ikan hiu adalah pemakan ikan dan hewan diperairan laut lainnya
yang merupakan rantai makanan teratas (top predator) dalam segitiga
piramida makanan di habitat perairan laut. Morfologi spesies ikan hiu
adalah ikan laut class Chondrichthyes dan sub class Elasmobranchii
memiliki rahang dengan mulut terletak di kepala bagian bawah, gigi
yang tumbuh terus-menerus hingga sangat banyak mencapai 400
(empat ratus) buah, bertulang rawan yang terdiri dari tulang muda, kulit
tidak bersisik, tetapi berduri kecil yang mengarah ke belakang, bentuk
tubuh torpedo dengan kecepatan berenang hingga 88 km/jam
(kilometer per jam).10 Pekembangbiakkan spesies ikan hiu melalui 2
(dua) cara, yaitu melahirkan (vivipar) dan menetaskan telur dalam
10 Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Hiu diakses pada tanggal 03-11-2014 pukul 12.58 WITA dan
http://www.pusatbiologi.com/klasifikasi-ciri-ciri-anatomi-dan-fisiologi-ikan-hiu diakses pada tanggal 28-07-
2017 pukul 03.12 WITA.
5
tubuh (ovivipar). Masa reproduksi yang panjang dan kehamilan dengan
jumlah yang sedikit 12-41 ekor.11
Total jenis ikan hiu di dunia yang terdata ada 390 spesies dan
1/3 setara kurang lebih 150 spesies total spesies yang terdata di dunia
ada di Indonesia.12 Ikan hiu telah dianggap terancam punah masuk
daftar red list, di dunia Ikan Hiu Botol (Spiny Dogfish/Squalus
Acanthias);13 Ikan Hiu Gergaji (Green Sawfish/Pristis Zijsron);14 Ikan
Hiu Gergaji (Largetooth Jawfish/Pristis Microdon); Ikan Hiu Gergaji
(Dwarf Sawfish/Pristis Clavata dan Narrow Sawfish/Anoxypristis
Cuspidata);15 Ikan Hiu Koboi (Oceanic Whitetip Shark/Carcharhinus
Longimanus); 16 Ikan Hiu Martil Besar (Smooth Hammerhead
Shark/Sphyrna Zygaena, Great Hammerhead Shark/Sphyrna
Mokarran dan Scalloped Hammerhead Shark/Sphyrna Lewini);17 Ikan
11 http://www.antaranews.com/masih-banyak-anak-hiu-ditangkap diakses pada tanggal 28-07-2017 pukul 03.30
WITA. 12 Jimmy B. Oentoro. 2010. Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa. Jakarta: Gramedia. Hal. 387 dan
Syamsul Bahri Lubis, Kepala Sub Bagian Perlindungan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam http://antaranews.com/spesies_hiu_di_Indonesia_terancam _punah/ diakses pada tanggal 28-07-2017 pukul 02.23 WITA.
13 Menurut World Wide Fund for Nature/World Wildlife Fund (WWF) International dalam Mulia Nurhasan Kadarusman. 2007. Natural Resources Management for Ecoregion Papua Departement of Biodiversity, Ecology
and Evolution. France: Paul Sabatier University. Hal. 3. 14 Berdasarkan Appendix I Dan Ii Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And
Flora (CITES), World Wide Fund for Nature/World Wildlife Fund (WWF) International, Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa: 1 (satu) dari 7 (tujuh) jenis ikan (Pisces) dilindungi
Ikan Pari Sentani, Ikan Hiu Sentani (semua jenis dari genus Pritis). 15 Berdasarkan Appendix I Dan Ii Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And
Flora (Cites), World Wide Fund for Nature/World Wildlife Fund (WWF) International, Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7
tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa: 1 (satu) dari 7 (tujuh) Jenis Ikan (Pisces) Dilindungi ikan pari sentani, ikan hiu sentani (semua jenis dari genus Pritis).
16 Berdasarkan Appendix II Conference of the Parties 16 Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus Longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna Spp.).
17 Berdasarkan Appendix II Conference of the Parties 16 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus Longimanus) dan Hiu
Martil (Sphyrna Spp.).
6
Hiu Paus (Rhincodon Typus); 18 Ikan Hiu Penjemur (Basking
Shark/Cetorhinus Maximus); 19 Ikan Hiu Putih Besar (Carcharodon
Carcharias);20 Ikan Hiu Rajawali (Porbeagle Shark//Lamna Nasus);21
Ikan Pari Manta (Manta Birostris dan Manta Alfredi);22 Ikan Pari Manta
Karang (The Reef Manta Ray/Manta Alfredi dan Giant Oceanic Manta
Ray/Manta Birostris);23 Ikan Pari Sentani (Largetooth Sawfish/Pristis
Microdon);24 Ikan Hiu Sutra (Silky Shark/Carcharhinus Falciformis);25
Ikan Hiu Monyet (Thresher Sharks/Alopias Spp.); 26 Ikan Pari
Setan/Pari Mobula (Devil rays/Mobula Spp.).27
Populasi ikan hiu yang terancam punah tersebut disebabkan
penangkapan secara bebas yang tidak terkendali tanpa
memperhatikan kelangsungan hidup spesies ikan hiu tersebut. Ikan
hiu berasal sub class Elasmobranchii merupakan komoditas yang
bernilai jual tinggi di dunia khususnya terkait sirip ikan hiu.28
18 Berdasarkan Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013 tentang Penetapan Status
Perlindungan Punah Ikan Hiu Paus. 19 Berdasarkan Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) 20 Berdasarkan Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) 21 Berdasarkan Appendix II Conference of the Parties 16 Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 22 Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Status
Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta. 23 Berdasarkan Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES). 24 Berdasarkan Appendix I dan II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES), World Wide Fund For Nature/World Wildlife Fund (WWF) International, Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7
tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa: 1 (satu) dari 7 (tujuh) Jenis Ikan (Pisces) Dilindungi ikan pari sentani, ikan hiu sentani (semua jenis dari genus Pritis).
25 Berdasarkan Appendix II Conference of the Parties 17 Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 26 Berdasarkan Appendix II Conference of the Parties 17 Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 27 Berdasarkan Appendix II Conference of the Parties 17 Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 28 Fowler S. L., T. M. Reed, & F. A. Dipper (Eds). 1997. Elasmobranchi Biodiversity, Conservation, And
Management. Proceedings Of The International Seminar And Workshop. Malaysia: Sabah Dalam R. Bonfil.
7
Menurut Bank Dunia pada tahun 2005, suatu produk dapat
menjadi komoditi ekspor apabila harga di pasar lebih mahal dari biaya
untuk memanen atau memburunya. Harga itu akan lebih tinggi apabila
setiap bagian dari satwa liar tersebut terdapat daging yang dapat dijual
dapat berupa makanan, ramuan tradisi, bahan material bangunan,
barang kulit, alat musik, perhiasan, satwa peliharaan kebun binatang,
koleksi pribadi,29 industri kosmetik, farmasi dan awetan (offset)30.
Ikan hiu sebagai predator teratas maka ikan hiu mengontrol
populasi hewan laut dalam rantai makan. Segitiga dalam rantai
makanan. Dari tahun 2000 sampai tahun 2010 Indonesia merupakan
penangkapan ikan hiu terbesar di dunia yang diekspor berupa sirip,
minyak dan kulit. Penangkapan besar-besaran karena permintaan
besar-besaran juga (demand) yang ekploitasi yang besar-besaran pula.
Dengan sangat kejam ikan hiu diambil kemudian dipotong siripnya lalu
dikembalikan hidup-hidup ke alam, ini disebut dengan praktik
penyiripan (shark finning). Ikan hiu tadi yang tidak memiliki sirip dan
terluka mati secara perlahan-lahan di dalam laut karena sirip ikan hiu
tidak bisa tumbuh lagi. Aktivitas ini dicatat dilakukan pada 38 juta ikan
hiu tiap tahunnya. 26 sampai dengan 76 juta ikan hiu ditangkapan
2002. Trends And Patterns In World And Asian Elasmobranch Fisheries. England: Shark Specialist Group. Hal.
15. 29 Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Hal. 115. 30 Berdasarkan Data Kompas. 1992 Dalam Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia Hal. 117.
8
untuk aktivitas perikanan tadi untuk daging dan kulit. Dagingnya diolah
untuk menjadi minyak.31
Impactnya di laut ikan dan organisme lainnya hidup saling
bergantungan satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup.
Sebagai piramida makanan teratas di laut berfungsi:
a. Memastikan terkendalinya populasi ikan dan terkendalinya
ekosistem; dan
b. Memakan ikan-ikan yang terluka dan tua, ini secara natural
membersihkan dan menghilangkan ikan-ikan yang berpenyakit atau
yang berkondisi lemah.
Yang terjadi jika ikan hiu berkurang dan/atau hilang seperti yang
terjadi di Samudra Atlantik yang mengalami penurunan 11 (sebelas)
jenis populasi ikan hiu mengakibatkan meledaknya hingga 10 (sepuluh)
kali lipat dari 12 (dua belas) jenis ikan pari. Kemudian berpengaruh
dengan populasi kerang divalvia karena makanan ikan pari adalah
kerang divalvia. Menurunnya populasi kerang divalvia akan
mengakibatkan menurunnya tingkat kejernihan air karena makanan
kerang divalvia adalah plankton-plankton. Ketika kurang yang makan
plankton air menjadi tidak jenih. Impactnya lagi lamun atau rumput laut
yang panjang tidak bisa melakukan fotositesis sehingga lamun atau
rumput laut mati akan terjadi dead zone ketika lamun atau rumput laut
dan ikan-ikan kecil yang hidup dekat dengan lamun atau rumput laut
31 Danan Wahyu. Campaign Save Shark disiarkan pada tanggal 24-04-2015 pukul 14.32 WITA.
9
akan berkurang dan menghilang. Ending habis seperti orang-orang
yang hidup dari bisnis kuliner seafood akan terkena dampak buruknnya,
nelayan yang biasa mengambil dan/atau menangkap ikan di laut
terkena bad impact untuk jangka panjangnya.
1 (satu) ikan hiu dihargai 1,3 juta rupiah secara material besar.
Kita harus orientasi terhadap sumber daya alam berkelanjutan dengan
menjaga. Dengan itu kita tidak akan merugikan anak cucu kita. Saran-
saran dari Danan Wahyu, Campaign Save Shark, sebagai berikut:32
1. Perikanan harus dikelola pada batas memberikan dampak yang
dapat ditoleransi oleh ekosistem. hanya dengan syarat apabila kita
bisa menangani bad impactnya.
2. Interaksi ekologis antara sumber daya ikan dan ekosistem harus
dijaga.
3. Perangkat pengelolahannya harus kompetibel untuk semua
distribusi sumber daya perikanan.
4. Prinsip kehati-hatian dalam pengambilan keputusan pengelolaan
perikanan.
5. Tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan
sistem manusia.
Harga jual itu menjadi lebih tinggi karena adanya kebutuhan
daging terhadap daging ikan hiu yang diangap sebagai makanan
eksotik di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur. Sebagai
32
Danan Wahyu. Campaign Save Shark disiarkan pada tanggal 24-04-2015 pukul 14.32 WITA.
10
contoh di Vietnam, bisnis ilegal ini mencapai 66,5 juta dollar per tahun
yang kebanyakan diekspor ke China33.
Ikan hiu sebagai salah satu satwa liar yang dilindungi termasuk
dalam kategori Appendix I dan II Konvensi Perdagangan Internasional
Satwa dan Tumbuhan Liar Spesies Terancam atau Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) akan tetapi pada kenyataannya ikan hiu yang merupakan
salah satu komoditi laut bernilai jual tinggi masih sering ditangkap dan
diperdagangkan secara bebas sehingga dapat mempengaruhi
kelangsungan populasi hiu tersebut. Perdagangan secara bebas
tersebut masih sering terlihat pada pasar-pasar lokal yang ada di
Indonesia. Ikan hiu tersebut juga masih menjadi salah satu sajian
berupa makanan siap saji pada beberapa rumah makan di Kota
Makassar dan juga produk turunan (derivat) dari ikan hiu dalam bentuk
suplemen makanan (food suplemen) dan produk perawatan kulit (skin
care) masih marak diperdagangkan di pasaran.
Menjaga ikan hiu berarti telah menjaga keseimbangan
kehidupan di laut dan pasokan pangan34 nasional dan internasional.
Sepantas seluruh pihak Internasional di dunia baik pemerintah maupun
non-pemerintah menjaga dan melestarikan ikan hiu terutama di
kawasan yang dibagi kepemilikannya salah satunya Indonesia.
33 Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Hal. 115. 34 National Geographic dalam Program Selatkan IKan Hiu
http://awsassets.wwf.or.id/downloads/poster_grafis___save_our_sharks___wwf_indonesia___sept_2013.pdf
diakses pada tanggal 13-07-2017 pukul 03.09 WITA.
11
Dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan dan bumi secara
keseluruhan jika terjadi terjadi ketidakseimbangan ekosistem di Coral
Triangle karena punahnya ikan hiu. Coral Triangle ini mendukung
kehidupan 120 juta lebih masyarakat pesisir baik langsung maupun
tidak langsung serta miliaran konsumen seafood di seluruh dunia.35
Milliaran konsumen diseluruh dunia akan terganggu kesediaan pangan
seafood.
Berdasarkan fenomena yang telah uraikan tersebut di atas,
fakta-fakta yang terkait dan hal-hal yang menjadi sumber masalah
penelitian terlihat ketidaksesuaian antara das sein dengan das sollen.
Dimana pelaku usaha yang masih memperdagangkan ikan hiu dan
pengawasan dari pemerintah terhadap pelaksanaan CITES, peraturan
perundang-undangan dan ketentuan-kententuan terkait penangkapan
dan perdagangan ikan hiu di Kota Makassar. Oleh karena itu, peneliti
hendak mengkaji dan meneliti lebih lanjut masalah-masalah tersebut di
atas karena belum pernah ada yang meneliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya di
atas, maka untuk menfokuskan penelitian, rumusan masalah yang
akan dibahas antara lain:
35 http://www.wwf.or.id/?39802/Its-About-Time-to-Conserve-What-We-Have-Left-Protecting-Coral-Triangle
diakses pada tanggal 06-07-2017 pukul 00.00 WITA
12
1. Bagaimanakah pengaturan hukum nasional menyangkut
perdagangan ikan hiu sebagai spesies yang dilindungi?
2. Bagaimanakah efektifitas implementasi CITES di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menggali, menemukan dan menganalisa pengaturan hukum
nasional menyangkut perdagangan ikan hiu sebagai spesies yang
dilindungi.
2. Untuk menemukan dan menganalisa efektifitas implementasi
CITES di Indonesia.
D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau
kegunaan, antara lain:
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran
dan informasi, sehingga referensi dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan secara umum dan dalam bidang hukum secara
khusus terutama mengenai hukum internasional dan nasional serta
lingkungan hidup yaitu lingkungan perairan laut khususnya sumber
daya ikan, serta dapat juga dijadikan referensi bagi penulis lain
yang ingin menulis tema yang serupa.
2. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam mengambil kebijakan oleh instansi pemerintah
13
serta pihak-pihak yang terkait dalam penangkapan dan
perdagangan spesies ikan-ikan tidak terkendali yang terancam
akan punah di dunia, terutama spesies ikan hiu, sehingga harus
dilindungi.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora (CITES)
Setelah Perang Dunia I, perhatian pada future of mammals in
general semakin berkembang, khususnya terhadap binatang menyusui
di laut seperti hiu dan anjing laut. Setelah itu terjadi polarisasi
pengetahuan hukumnya antara:
1. The preservation and proctection of wildlife; dan
2. The conservation of species of common value.
Yang pertama menekankan konsep heritage, trust quardianship
dan formulasi moral responsibility lainnya, Golongan kedua
menekankan long-range consideration of wise and efficient use of a
scarce and economically valuable resource.
Perkembangan signifikan dalam konsep perlindungan binatang
liar muncul pada tanggal 3 Maret 1973 di Washington DC, yakni
dengan terselenggaranya konvensi yang bertemakan Perdagangan
Internasional Spesies Flora dan Fauna yang Terancam Punah atau
CITES yang ditandatangani oleh 32 negara. Indonesia sendiri resmi
menjadi anggota yang ke-51 pada bulan Desember tahun yang sama.
Di dalam CITES, semua spesies dilarang untuk diperdagangkan
dibagi ke dalam 3 (tiga) Appendix, yaitu:
15
1. Appendix I terdiri dari semua flora dan fauna yang sangat terancam
punah dan hanya diperdagangkan dalam keadaan yang sangat
khusus. Semua spesies dalam daftar ini praktis tidak boleh
diperdagangkan.
Spesies ini hanya boleh diperdagangkan dalam keadaan khusus
(biasanya untuk penelitian ilmiah atau maksud pameran). Transaksi
ini memerlukan izin impor dari pejabat yang diserahi pelaksanaan
CITES di negara penerima maupun izin ekspor dari pejabat negara
asal (atau izin reekspor apabila negara reekspor terlibat). Spesies
yang tercantum dalam appendix ini meliputi: semua monyet besar,
badak, kura-kura laut, ikan paus besar, gajah Asia, tumbuhan
“pitcher” raksasa dan lebih dari 300 (tiga ratus) satwa dan
tumbuhan lainnya mengalami kepunahan.36
Tabel Rincian Appendix I37
Klasifikasi Appendix I
FAUNA
Mamalia 300 spesies (mencakup 11 populasi) + 23 subspesies (mencakup 3 populasi)
Unggas 154 spesies (mencakup 2 populasi) + 10 subspesies
Reptil 80 spesies (mencakup 8 populasi) + 5 subspesies
Amphibi 17 spesies
Ikan 16 spesies
36 Muhammad Akib. 2014. Hukum Lingkungan Prespektif Global Dan Nasional. Jakarta: Rajawali Pers. Hal. 35. 37 Https://Cites.Org/Eng/Disc/Species.Php// diakses pada tanggal 19-05-2015 pukul 12.53 WITA.
16
Invertebrata 63 spesies + 5 subspesies
TOTAL FAUNA 630 spesies + 43 subspesies
FLORA 301 spesies + 4 subspesies
GRAND TOTAL 931 spesies + 47 subspesies
2. Appendix II berisi flora dan fauna yang walaupun saat ini belum
terancam punah, tetapi akan segera menjadi punah bila
perdagangannya tidak diatur dengan ketentuan yang ketat.
Tabel Rincian Appendix II38
Klasifikasi Appendix II
FAUNA
Mamalia
501 spesies (mencakup 16 populasi) + 7 subspesies (mencakup 2 populasi)
Unggas 1278 spesies (mencakup 1 populasi) + 3 subspesies
Reptil 673 spesies (mencakup 6 populasi)
Amphibi 126 spesies
Ikan 87 spesies
Invertebrata 2162 spesies + 1 subspesies
TOTAL FAUNA 4827 spesies + 11 subspesies
FLORA 29592 spesies (mencakup 162 populasi)
38 Https://Cites.Org/Eng/Disc/Species.Php// diakses pada tanggal 19-05-2015 pukul 12.53 WITA.
17
GRAND TOTAL 34419 spesies + 11 subspesies
3. Appendix III mencantumkan spesies-spesies yang dilaporkan oleh
negara perserta agar negara anggota lainnya ikut membantu
ketentuan tersebut sehingga dapat berlaku secara efektif.
Spesies tersebut tidak boleh diperdagangkan tanpa izin ekspor dari
negara asalnya (apabila negara tersebut mencantumkannya dalam
appendix ini) atau sebuah sertipikat daerah asal (apabila tidak
datang dari negara yang tidak memasukkannya ke dalam daftar).39
Tabel Rincian Appendix III40
Klasifikasi Appendix III
FAUNA
Mamalia 45 spesies + 10 subspesies
Unggas 25 spesies
Reptil 40 spesies
Amphibi 3 spesies
Ikan -
Invertebrata 22 spesies + 3 subspesies
TOTAL FAUNA 135 spesies + 13 subspesies
39 Muhammad Akib. 2014. Hukum Lingkungan Prespektif Global Dan Nasional. Jakarta: Rajawali Pers. Hal. 35. 40 Https://Cites.Org/Eng/Disc/Species.Php// diakses pada tanggal 19-05-2015 pukul 12.53 WITA.
18
FLORA 12 spesies (mencakup 2 populasi)
GRAND TOTAL 147 spesies + 13 subspesies
Di Indonesia, satwa yang termasuk dalam Appendix I, misalnya:
1. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang pada tahun 1970-an
hanya tinggal beberapa ekor dan saat ini sudah dinyatakan punah;
2. Harimau Bali yang telah dinyatakan punah pada tahun 1970-an;
3. Harimau Sumatra yang sampai tahun 1992 diduga tinggal 400
(empat ratus) ekor dan hidup di kawasan taman nasional dan hutan
lindung serta 100 (seratus) ekor lainnya hidup di luar kawasan
hutan lindung.
Di Taiwan, tengkorak harimau dijual dengan harga 1600 dollar
Amerika Serikat, sedangkan kulit belangnya seharga 3000 (tiga ribu)
dollar Amerika Serikat. Kondisi seperti inilah yang menghancurkan
kemampuan bertahan hidup satwa ini, di samping kerusakan atau
perubahan habitatnya. Populasi harimau di seluruh dunia saat ini
diperkirakan tinggal sekitar 5000 (lima ribu) ekor.
Orang utan (Pongo Pygmaeus) dan gajah (Elephas Maximus)
juga termasuk dalam Appendix I. Gajah Asia diperkirakan hanya
berjumlah 35.740-50.835 ekor saja, sedangkan perkiraan untuk Gajah
Sumatera berjumlah 2.500-4.500 ekor. Di Propinsi Riau, gajah ini
19
masih terdapat sekitar 1.100 (seribu seratus) ekor dan paling banyak
menimbulkan konflik dengan petani.
Perubahan penggunaan lahan di seluruh Pulau Sumatera untuk
kepentingan pertanian, transmigrasi, perkebunan skala besar dan
eksploitasi hutan telah mengakibatkan fragmentasi habitat, khususnya
mamalia besar seperti gajah, orang utan, badak dan harimau. Satwa-
satwa tersebut kemudian sering memasuki perkampungan penduduk
karena sebagain besar habitat aslinya sudah merusak.
Gajah Sumatera yang diperkirakan tinggal 2.500-4.500 ekor kini
terpencar, terisolasi dan terperangkap dalam habitat-habitat yang
sempit dan terfragmentasi. Biaya yang dikeluarkan untuk
mengoperasikan 6 (enam) buah Pusat Latihan Gajah (PLG) di Pulau
Sumatera Rp. 10,8 miliar selama 5 (lima) tahun. Dan dari 2.392 ekor
gajah berhasil ditangkap hanya 414 ekor diantaranya telah dilatih di
PLG.
Kondisi perlindungan satwa secara umum memang masih
memprihatinkan. Catatan tahun 1982 menyebutkan bahwa di
Indonesia terdapat 15.650 jenis satwa, namun dari jumlah tersebut 521
jenis saja yang telah dilindungi secara resmi.
B. Keputusan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1978
Pemerintah meratifikasi melalui Keppres Nomor 43 Tahun 1978
tentang Pengesahan CITES sebagai implementasi CITES. Indonesia
20
terdaftar sebagai negara ke 48 peserta CITES. Setelah sekian lama
Pemerintah meratifikasi namun belum diterapkan secara optimal maka
dalam kurun waktu 12 (dua belas) tahun untuk membuat peraturan
perundang-undangan pelaksana atas proses ratifikasi CITES.
Peraturan perundangan-undangan tersebut adalah Undang Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya. Pemerintah juga membutuhkan waktu 9 (sembilan)
tahun lagi untuk mengesahkan peraturan pelaksana, antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Pengawetan dan Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.41
Manfaat Indonesia meratifikasi CITES diantaranya yaitu adanya
sistem kontrol terhadap perdagangan tumbuhan dan satwa liar, artinya
kontrol perdagangan tidak hanya di negara pengirim, tetapi juga di
negara penerima. Perdagangan ilegal ke luar negeri yang lolos dari
Indonesia kemungkinan besar tidak akan lolos di negara penerima.
Manfaat lainnya yaitu akan ada bantuan berupa financial dan technical
co-operation dari CITES.42
C. Pelestarian Lingkungan Kelautan
41 Andri Santosa. 2008. Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan Dan Kebijakan. Jakarta: Pokja
Kebijakan Konservasi. Hal. 35. 42 Http://Bbksdajatimwil1.Wordpress.Com/Informasi-Pemanfaatan-Tumbuhan-Dan-Satwa-Liar/Cites// diakses
pada tanggal 06-08-2016 pukul 14.58 WITA.
21
Laut menutupi lebih dari dua per tiga atau tujuh puluh persen
permukaan bumi. Luas wilayah keseluruhan wilayah laut menutupi
bumi yaitu 3,61 x108 km2 (kilometer persegi), dengan kedalaman rata-
rata 3.800 meter dan menyedikan sekitar 97% (persen) dari
keseluruhan ruang kehidupan di bumi ini.43
Laut selain berfungsi sebagai penghubung wilayah satu dengan
yang lainnya dalam memperlancar hubungan transportasi, juga
kekayaan yang terkandung di dalamnya sangat menopang hidup dan
kehidupan rakyat banyak. Namun dengan potensi kekayaan yang ada
dapat menimbulkan bencana apabila dalam pengelolaannya tanpa
memperhatikan batas kemampuan alam.
Laut telah lama diupayakan orang atau sekelompok orang
sebagai lahan yang bertaraf nasional bahkan internasional. Dalam
abad modern ini pengelolaan dan penangkapan telah dilengkapi
dengan peralatan yang cukup modern. Namun dampak yang cukup
dirasakan dari kegiatan pengelolaan tersebut adalah pengaruhnya
terhadap ekosistem/lingkungan laut, terutama apabila pengelolaannya
tanpa memperhatikan ketentuan dan persyaratan yang diwajibkan.
Dalam persyaratannya sudah diperhitungkan kapasitas dan kualitas
lingkungan laut, sehingga pelanggaran terhadap persyaratan akan
merusak atau menghancurkan lingkungan laut.
43 E. J. Prager And S. A. Earle. 2000. The Ocean. Canada: Mcgraw-Hill. Hal. 70.
22
Kerusakan lingkungan laut akibat tindakan yang dilakukan tanpa
memperhatikan lingkungannya, akibat belum dapat dirasakan saat ini
dan baru akan dirasakan oleh regenerasi selanjutnya. Di Indonesia,
pengelolaan laut yang berkaitan dengan masalah perikanan
berpedoman pada Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan.
Sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan laut sebagai akibat penangkapan ikan,
berdasarkan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 dan peraturan
pelaksananya telah diatur mengenai masalah pengelolaan sumber
daya ikan dengan prinsip pemanfataannya ditujukan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, dengan tidak meninggalkan ketentuan yang
ditetapkan oleh Menteri yang berwenang. Prinsip-prinsip tersebut
antara lain mengenai:
1. Alat penangkapan ikan yang diizinkan.
2. Syarat-syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal
perikanan.
3. Jumlah yang boleh ditangkap dan jenis serta ukuran ikan yang tidak
boleh ditangkap.
4. Memperhatikan daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan.
5. Pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan
peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya.
6. Penebaran ikan jenis baru.
23
7. Pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
8. Pencegahan dan pemberantasan hama serta penyakit ikan.
9. Hal-hal lain.
Bentuk ketentuan demikian dikeluarkan selain untuk
pencegahan seperti yang dimaksud di atas, juga untuk menunjukkan
kerawanan laut sehingga perlu penanganan yang seksama dan hanya
memperhatikan kepentingan sesaat saja.
Persyaratan-persyaratan sebagaimana diungkapkan di atas
pada dasarnya merupakan batasan dalam bentuk pencegahan, yang
mengarah pada pemeliharaan dan pelestarian.
Berdasarkan Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia 1945, yang merupakan landasan utama dalam
pengelolaan kekayaan alam di bumi Indonesia, pengelolaan sumber
daya yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan protein
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama rakyat Indonesia. Sebagai
pedoman dalam pengelolaan sumber daya alam dengan pendekatan
ekologi telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-
prinsip pada Pasal 5 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, sebagai berikut:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
24
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi
dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber
daya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor
pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam;
j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber
daya alam;
25
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa
atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau
yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber
daya agraria dan sumber daya alam.
Kebijaksanaan ini dikeluarkan dengan memperhatikan kondisi
saat ini dan yang akan datang tanpa mengabaikan potensi yang ada.
Sumber daya alam laut yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan rakyat banyak, pengelompokannya dapat dibedakan
dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
1. Hayati.
2. Non hayati.
Pengembangan sumber daya alam hayati di perairan Indonesia
terdiri dari dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, yaitu:
1. Pengembangan, peningkatan produksi yang ditujukan untuk:
- perbaikan mutu gizi;
- perbaikan konsumsi protein hewani.
Serta bagi pemerintah untuk peningkatan pendapatan melalui
ekspor perikanan.
2. Pengelolaan (management) yang dilakukan dengan sasaran:
26
- melakukan prinsip kelestarian hasil (sustainable yield),44
- peningkatan pendapatan nelayan;
- merangsang penanaman modal di sektor perikanan, baik melalui
modal dalam negeri maupun modal asing.
Hal ini bagi Indonesia yang secara geografis wilayahnya
sebagian besar merupakan perairan terutama setelah disahkannya
rezim hukum zona ekonomi eksklusif dalam hukum internasional.
Dalam budidaya ikan hanya jenis-jenis tertentu yang diizinkan
untuk dilakukan penangkapan, hal ini dimaksudkan untuk membina
kelestarian sumber daya ikan. Di perairan laut Indonesia, terdapat juga
bermacam-macam jenis ikan termasuk biota perairan lainnya, yang
meliputi (sesuai dengan penjelasan Pasal 1 ayat 2 Undang Undang
Perikanan):
- pisces (ikan bersirip),
- crustacea (udang, rajungan, kepiting),
- mullusca (kerang, tiran, cumi-cumi, gurita, siput),
- coelenterata (ubur-ubur),
- echinodermata (tripang, bulu babi),
- amphibia (kodok),
- reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air),
- mamalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung),
- algae (rumput laut, tumbuh-tumbuhan lain yang hidup di air),
44 Bernard J. Nebel And Richard T. Wright. 1998. Enviromental Science, The Way The World Works. New Jersey:
Upeer Saddle River. Hal. 14-16.
27
- biota perairan lainnya.
Dalam pembudidayaan ikan ini, dihindari timbulnya pencemaran
dan perusakan sumber daya ikan dan lingkungan, sehingga
penggunaan alat-alat seperti bahan peledak dan/atau alat yang dapat
membahayakan kelestarian sumber daya ikan tidak diperkenakan.
Dalam penangkapan ikan, juga diatur jumlah tangkapan yang
diizinkan dengan ditentukan berdasarkan potensi laut yang didasarkan
atas hasil penelitian, survei, evaluasi hasil kegiatan daerah yang
bersangkutan. Untuk di ZEEI, berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor: 473a/Kpts/IK.250/6/1985, ditentukan bahwa jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC)
berdasarkan kelompok jenis sumber daya alam hayati. Kebijakan ini
juga secara tegas tertuang dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 34 Tahun
2004 tentang Perikanan.
Selain ketentuan di atas, jumlah penangkapan ikan yang
diizinkan juga ditetapkan berdasarkan produktifitas masing-masing unit
penangkapan ikan. Unit penangkapan ikan pada dasarnya merupakan
suatu proses pengubahan inputs, yang berupa faktor-faktor produksi
untuk menghasilkan output berupa produksi hasil tangkapan. Di dalam
melakukan proses produksi diperlukan suatu pengelolaan atau
28
manajemen agar proses produksi dapat dilakukan secara efektif dan
efisien.45
Seperti telah disinggung di muka, di dalam pembudidayaan
sumber alam, selain di bidang hayati, terdapat juga di bidang non
hayati. Untuk non hayati, yang cukup besar adalah pembudidayan laut
dalam bentuk eksplorasi atau eksploitasi minyak dan gas bumi. Dalam
sejarah singkatnya, pembudidayaan tersebut secara intensif mulai
dikerjakan pada tahun 1984 dengan mengupayakan untuk
kemakmuran rakyat banyak.
Dengan berpedoman pada Mijn Ordonantiee Tahun 1930 dan
Mijn Politie Reglement Tahun 1930 juga mengingat secara geografis
maupun dalam pelaksanaan pengelolaan yang secara operasional
terus berkembang, maka diperlukan peraturan perundangan yang
mencakup pembudidayaan non hayati di daerah lepas pantai.
Dikeluarkannya Undang Undang Nomor 44/Prp/1960
tentang Pertambahan Minyak dan Gas Bumi kemudian diperbaharui
dengan Peraturan Pemerintah (untuk selanjutnya disingkat PP)
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan
Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Bumi di
Daerah Lepas Pantai dapat digunakan untuk berpijak dalam
melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di daerah
45 N. Sahdori. 1985. Teknik Penangkapan Ikan. Bandung: Angkasa. Hal 182.
29
lepas pantai pada tanah di bawah perairan Indonesia dan dilandas
kontinen Indonesia.
Untuk menjaga tetap terpeliharanya lingkungan laut yang ada
dan agar tidak terjadi pengelolaan yang tidak memperhatikan
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau dihindari, maka
sebagai pedoman pengawasan tugas dan kewajiban tersebut
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang
Pengawasan Pelaksanaan Ekplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas
Bumi di daerah lepas pantai.
Peraturan Pemerintah yang mengatur pengawasan pelaksanan
eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi tersebut sangat
memperhatikan kepentingan dan manfaat minyak dan gas bumi bagi
bangsa dan negara, bahkan tidak berskala nasional saja tetapi juga
internasional. Secara tegas diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 1974,
bahwa dengan pertambangan minyak dan gas bumi mempunyai
peranan penting dalam pembangunan negara pada umumnya dan
dengan tidak mengurangi kepentingan-kepentingan lainnya dengan
prioritas pemanfaatan sepanjang sangat diperlukan untuk
pembangunan negara.
Sebagai konsekuensi dengan adanya pengawasan, maka dalam
setiap kegiatan harus memperhatikan kewajiban, prosedur yang harus
ditempuh dalam memperoleh izin termasuk laporan-laporan yang perlu
disampaikan dari setiap langkah kegiatan. Dengan maksud untuk
30
dimonitor dalam pemasangan pipa-pipa penyalur sehingga yang perlu
diperhatikan, antara lain:
- Keamanan alur pelayaran;
- Dicegah terjadi pengkaratan (korosi) dan erosi terhadap pipa-pipa
penyalur;
- Tidak menimbulkan kerusakan terhadap kabel-kabel atau instalasi
yang telah ada;
- Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan;
- Tidak menggangu kehidupan biota lainnya.
Kegiatan cukup kompleks dan saling berkaitan, dengan harapan
tidak menganggu atau berpengaruh terhadap yang lainnya, semuanya
akan tetap berada pada kondisi dan posisi dan ditentukan.
Usaha pertambangan pada dasarnya sebagaimana dimaksud,
dikenal adanya 6 (enam) macam kegiatan yang meliputi46:
1. Penyelidikan umum;
2. Eksplorasi;
3. Ekploitasi;
4. Pengolahan dan/atau pemurnian;
5. Pengangkutan;
6. Penjualan atau pemasaran.
46 Berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Kententuan Ketentuan Pokok Pertambangan yang
kemudian diperbaharui dengan PP Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
31
Kompleksnya kegiatan tersebut disebabkan adanya
kepentingan lain yang perlu diperhatikan, sehingga dapat
menggoncangkan kehidupan yang ada. Seperti uraian J.A. Katili
bahwa kegiatan usaha pertambangan untuk eksploitasi dan
pengelolahan/pemurnian dan pengangkutan dapat mengakibatkan
ganguan keseimbangan lingkungan hidup yang cukup besar, berupa
ganguan keseimbangan permukaan tanah terutama yang berasal dari
kegiatan eksploitasi dan bentuk pencemaran air maupun udara dari
bahan-bahan kimia sebagai akibat proses pengolahan/pemurnian.47
Sumber daya alam di laut dijamin kelestariannya antara lain
dengan tetap mempertahankan lingkungan laut pada kondisi yang
menghubungkan bagi hakikat laut, juga sistem pengelolaan dalam
mengupayakan sumber daya yang ada. Tumbuhnya kesadaran yang
diciptakan dalam mengkoordinasikan laut ataupun dalam memenuhi
kebutuhan dari laut merupakan langkah terwujudnya pelestarian,
sekalipun sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya (laut) tak
terbatas.48
Di dalam pengupayaan laut, misalnya pelabuhan penangkapan
jenis ikan dengan menggunakan pukat harimau (jaring tral),
penangkapan dengan cara demikian sangat berbahaya, karena dapat
memusnahkan bibit-bibit maupun jenis-jenis ikan tertentu yang
semestinya masih diperlukan untuk pengembangbiakan, jenis alat
47 J.A. Kailiti. 1983. Sumber Daya Alam Untuk Pembangunan Nasional, Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal.135 48
32
tersebut dapat menyedot jelik-jelik ikan sekecil-kecilnya. Jadi pengaruh
alat tersebut pengembangbiakan tidak dapat berlangsung. Selain jenis
alatnya yang digunakan, juga di dalam penangkapan tidak
memperhatikan musim atau waktu penangkapan.49
Kemajuan teknologi dewasa ini telah berkembang jenis-jenis
alat penangkapan ikan yang dimaksudkan untuk mempermudah cara
penangkapan dan menghasilkan yang semaksimal mungkin, kondisi
yang demikian itu apabila tanpa memperhatikan ekologinya akan
berakibat:
1. Kepunahan jenis ikan-ikan tertentu.
2. Kemunduran bagi perusahaan-perusahaan yang operasionalnya
tergantung dari penangkapan jenis ikan tertentu yang bersangkutan.
3. Fungsi kemajuan teknologi di bidang perikanan berangsur-angsur
akan mengalami kepunahan.
Memperhatikan faktor-faktor di atas, secara prinsip kepunahan
itu bukan akan dirasakan dalam jangka pendek melainkan memerlukan
waktu yang cukup lama dan baru akan dirasakan regenerasi
selanjutnya. Pencegahan yang cukup prinsip dan mendasar yaitu
memperhatikan dan mempertahankan lingkungan laut dengan
menghindari kerusakan laut.
Pemikiran yang mengarah pada pencegahan kepunahan
maupun kerusakan lingkungan laut sangat diperlukan, di sisi lain
49 P. Joko Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hal.31.
33
diperlukan kontrol dalam bentuk pengawasan baik secara sektoral
maupun regional yang dilakukan oleh kelompok-kelompok negara
tertentu, misalnya: Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara
(Association of Southeast Asian Nation/ASEAN), European Economic
Community (EEC) atau Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan
sebagainya, ataupun melalui badan-badan resmi internasional. Yang
cukup efektif sistem pengontrolan dapat dilakukan dengan melalui
penyerahan tanggung jawab50, yaitu:
1. Untuk wilayah territorial dan zona ekonomi eksklusif diserahkan
sepenuhnya kepada negara yang menguasainya, sampai pada
pembuatan ketentuan untuk kepentingan pengelolaan sumber daya
yang ada, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum
umum dan lingkungan hidup.
2. Untuk wilayah laut lepas, ini dibagi 2 (dua):
a. wilayah laut lepas yang berbatasan dengan laut territorial suatu
negara diserahkan pada negara yang berbatasan tersebut.
Pengontrolan ini dalam jarak yang tertentu.
b. wilayah laut lepas yang tidak berbatasan dengan laut territorial
(di luar jarak di atas), pengontrolan diserahkan pada kelompok
negara-negara tertentu apabila wilayah lautnya berada di
lingkungan kelompok-kelompok negara tersebut. Sedangkan di
50 P. Joko Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hal.32.
34
luar itu diserahkan pada badan-badan resmi internasional
misalnya PBB melalui kebijaksanaan.
Pengembangan teknologi menuju kemajuan yang lebih canggih
dilakukan adanya pemerataan pada negara-negara pengelolaan
lautan maupun bagi negara-negara yang berharsrat untuk itu. Adanya
alih teknologi minimal mengarah pada pemerataan yang menuju
kesejahteraan umat manusia, mengingat pada hakikatnya laut
merupakan fungsi sosial dan memperhatikan bahwa51:
a. Negara-negara, baik secara langsung maupun melalui organisasi
internasional dapat mengadakan kerja sama sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya untuk secara aktif menunjukkan
pengembangan dan pengalihan ilmu pengetahuan/teknologi
kelautan.
b. Semua negara diusahakan menunjukkan kemampuan ilmiahnya
dan teknologi kelautan, utamanya bagi negara-negara berkembang
yang memerlukan bantuan teknik dalam bidang tersebut, juga
negara tanpa pantai yang secara geografis tidak beruntung. Baik
bantuan di bidang eksplorasi, konservasi dan pengelolaan sumber
kekeyaan laut, pembudidayaan dan pelestarian lingkungan laut,
penelitian ilmiah kelautan yang bertujuan untuk mempercepat
pembangunan sosial dan ekonomi manusia khususnya bagi
negara-negara berkembang.
51 P. Joko Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hal.32
35
Semakin disadari betapa pentingnya pelestarian lingkungan
hidup dalam menjaga dan menata kondisi lingkungan laut. Pada tahun
1972 PBB menyelenggarakan konferensi lingkungan hidup di
Stockholm, Swedia dengan latar belakang pemikiran bahwa:
1. Pembuangan limbah ke dalam laut secara tidak terkendali dapat
membawa akibat kerusakan yang parah pada lingkungan laut.
2. Pencemaran yang diakibatkan oleh kecelakaan tangki-tangki
raksasa seperti Torrey Conyon 52 pada tahun 1967 dan Amoco
Cadiz 53 pada tahun 1978, dapat membawa akibat kerusakan
lingkungan laut pula.
Dengan melihat dan memperhatikan kenyataan dari sebab-
sebab yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan laut, maka
dalam konvensi tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan
dikeluarkanlah pernyataan bahwa54:
1. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan
melestarikan lingkungan laut, terutama bagi negara fasilitas laut
atau penguasa laut harus memperhatikan segala akibat yang akan
timbul.
52 Torrey Canyon itu membawa 119.000 ton minyak mentah kuwait pada instalasi penyulingan pada Milford Haven,
Southward Wales. pada sabtu 18-03-1967 pukul 08.50 Waktu Setempat, Kapal menabrak Pollard Rock, bagian dari Seven Stones di Lepas Pantai Barat Daya Uk, pada kecepatan 16 knots. Momentum kapal merusak hampir
setengah dari panjang kapal, menyebabkan 30.000 ton minyak tumpah pada jam pertama setelah kejadian dan selanjutnya 20.000 ton tumpah selama tujuh hari operasi penyelamatan. Torrey Conyon merupakan peristiwa polusi minyak pertama yang di dokumentasikan oleh ahli ekologi pantai. Peristiwa Torrey Canyon dengan jelas
adalah satu awal contoh dari suatu bencana ekologis yang besar dibuat menjadi lebih buruk karena penaganan yang tidak tepat.
53 Amoco Cadiz merupakan sebuah kapal tanker jenis very large crude carrier (VLCC) yang kandas di lepas Pantai
Brittany, Perancis pada tanggal 16-03-1978. kapal tersebut terbelah menjadi dua bagian dan dengan cepat tenggelam sebelumnya seluruh kargo dari 1.604.500 barrel atau sekitar 68,7 juta galon minyak tumpah ke laut, mencemari sekitar 200 mil dari garis Pantai Brittany itu.
54 P. Joko Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hal.33.
36
2. Setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan
sumber-sumber kekayaan alamnya sesuai dengan kewajiban yang
dipikulnya.
Di dalam praktik, apabila pelaksanaanya menimbulkan berbagai
permasalahan yang disebabkan karena adanya bentrokan
kepentingan atau salah dalam menafsirkan kebijaksanaan yang
dikeluarkan (missunder standing) kemudian berkelanjutan
menimbulkan suatu sengketa, maka apabila dijumpai keadaan
demikian bagi setiap negara perserta konvensi harus menyelesaikan
sengketa tersebut melalui jalan damai sesuai dengan ketentuan Pasal
2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selain itu dalam
konvensi 1982 antara lain juga mengatur sistem penyelesaian
sengketa dimana negara-negara perserta konvensi berkewajiban
tunduk pada salah satu lembaga penyelesaian sengketa yaitu:
1. Mahkamah Internasional (International Court of Justice).
2. Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut.
3. Arbitrase Umum.
4. Arbitrase Khusus.
Pengadilan Internasional untuk hukum laut yang dibentuk oleh
konferensi Hukum Laut tahun 1982 adalah mahkamah tetap (standing
tribune), sedangkan arbitrase umum dan arbitrase khusus adalah
mahkamah ad hoc (ad hoc tribunal). Keempat macam lembaga yang
dibentuk untuk menyelesaikan setiap sengketa yang berkaitan dengan
37
masalah kekeliruan dalam penafsiran dan penerapan konvensi,
sedangkan sengketa mengenai penafsiran dan penerapan konvensi
dasar laut internasional maupun lampiran-lampiran konvensi yang
bertalian dengan masalah Kawasan Dasar Laut Internasional
merupakan jurisdiksi mutlak kamar sengketa dasar.
Kaitannya dengan kawasan dasar laut internasional Undang
Undang Nomor 19 Tahun 1961 khususnya tentang konvensi mengenai
Dataran Kontinental yang terdapat dalam penjelasan pasal-pasalnya,
bahwa negara pantai mempunyai kedaulatan atas kontinentalnya yaitu
dasar laut dan tanah di bawahnya.
Di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor
4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia kemudian diganti dengan
Undang Undang Nomor Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia,
mengakibatkan suatu perubahan mendasar dalam struktur
kewilayahan Negara Republik Indonesia karena laut tidak lagi
dianggap sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi pemersatu yang
menjadikan keseluruhannya suatu kesatuan yang utuh. Penentuan
batas landas lautan teritorial yang lebarnya 12 (dua belas) mil diukur
dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada
pulau-pulau Negara Indonesia. Dengan melihatnya kedaulatan suatu
negara terhadap suatu wilayah maka bagi negara tersebut
38
bertanggung jawab penuh stabilitas kondisi lingkungannya dari
ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.55
D. Konservasi Sumber Daya Alam di Laut
Konsep konservasi diadasarkan pada anggapan atau teori
tentang kelangkaan atau keterbatasan kekayaan alam di bumi
(resource scarcity) sehingga perlu penggunaan yang bijaksana (wise
use atau anjuran untuk menciptakan teknik pengelolaan yang persepsi)
dan perkembangan zaman (masyarakat primitif, modern, pertanian,
industri dan sebagainya). Pada dasarnya konsep konservasi terutama
ditujukan pada masalah kelangkaan atau keterbatasan kekayaan alam
(scarity, exhaustabilty or depletion).
Betapapun maju dan militannya gerakan konservasi, tanpa
bantuan ilmu tidak akan mampu menjadi a moral crusade. Bantuan
utama dan mendasar diberikan oleh ilmu biologi. Dalam pengertian ini
gerakan konservasi dapat ditelusuri hingga zaman Aristoteles.
Sumbangan ahli biologi dan ilmu alam sangat besar bagi ilmu
lingkungan, seperti dasar ekologinya. Sekarang dasar ilmu
pengetahuan ini membantu prinsip-prinsip ekologi memasuki ilmu-ilmu
lain, termasuk ilmu sosial dan hukum.
Salah satu bidang ilmu yang berkembang dalam konsep
konservasi adalah teori ekonomi, seperti doktrin tentang increasing
55 P. Joko Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 34.
39
natural scarcity. Doktrin ini mengandung keterlibatan ilmu secara inter
dan multi-disipliner, meliputi antara lain: filosofi, ekologi, demografi,
ilmu politik dan ekonomi. Dalam pengertian natural scarcity,
exhaustability, ilmu ekologi memegang peranan penting. Kita kenal
teori Malthus tentang Lingkaran Setan (Malthusian Trap) yang
disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam, hubungan
pengadaan makan dan ledakan penduduk, timbulah konsep
conservation economics. Salah satu pengaruh dari teori ekonomi
sumber daya ini adalah pemisahan yang tegas dan jelas antara konsep
management dan conservation.
1. World Conservation Strategy in 1980
United Nations Environment Programme (UNEP),
International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan World
Wide Fund for Nature/World Wildlife Fund (WWF) pada 5 Maret
1980 sepakat menyusun suatu strategi khusus bagi upaya-upaya
konservasi di seluruh dunia. Hasilnya adalah sebuah buku berjudul
World Conservation Strategy yang berisi arahan umum tentang
konservasi dunia.
Pada prinsipnya, konservasi menurut World Conservation
Strategy perlu diarahkan pada 3 (tiga) tujuan pokok, yaitu:
a. Pertama, memelihara proses-proses ekologi yang esensial dan
sistem penyangga kehidupan;
b. Kedua, pelestarian keragaman genetik; dan
40
c. Ketiga, terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem secara
lestari.
Sebagian besar negara-negara di dunia kemudian
mengadopsi strategi tersebut. Pemerintah sendiri baru
meratifikasinya 10 (sepuluh) tahun kemudian, ketika Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dikeluarkan, dengan menjadikan
ke-3 (ketiga) tujuan konservasi global ini sebagai tujuan pokok
upaya-upaya konservasi di Indonesia.
2. Konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati di Laut Lepas
Banyak negara Dunia Ketiga sangat menghendaki
dibentuknya kontrol internasional atas dasar laut dalam agar negara-
negara maju tercegah dari tindakan penambangan mineral dari
sumber vital dan luas ini secara bebas tanpa batasan politik.
Sejumlah negara Barat bersemangat ingin melindungi kepentingan
ekonomi mereka melalui eksploitasi bebas sumber daya laut lepas
dan dasar laut dalam.56
Serangkaian konvensi telah diselenggarakan yang
menghasilkan 4 (empat) Konvesi Hukum Laut 1958 57 , sebagai
berikut: Konvensi 1958 tentang Laut Teritorial dan Zona Berdekatan
mulai berlaku pada tahun 1964, Konvensi 1958 tentang Laut Lepas
56 R.R. Churchill And A.V. Lowe. 1999. Law Of The Sea The Third Edition. Manchester: Juris Publishing. Hal. 15. 57 Malcolm N. Shaw Qc. 2013. Hukum Internasional Edisi Keenam. Bandung: Nusa Media. Hal. 547.
41
mulai berlaku pada tahun 1962, Konvensi 1958 tentang Perikanan
dan Konservasi Sumber Daya Hayati mulai berlaku pada tahun 1966
dan Konvensi 1958 tentang Landas Kontinen mulai berlaku pada
tahun 1964.58
Pasal 24 Konvensi tentang Laut Lepas 1958 tentang Laut
Lepas 1958 menghimbau agar negara-negara membuat peraturan
yang mencegah pencemaran laut melalui penumpahan minyak atau
pembuangan limbah radioaktif, sementara dalam Pasal 1 Konvensi
Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Hidup Laut Lepas 1958
menyatakan bahwa semua negara berkewajiban mengambil, atau
bekerja sama dengan negara lain dalam mengambil, langkah yang
diperlukan bagi konservasi sumber daya hayati di laut lepas.
Meskipun segenap ketentuan ini belum terbukti sukses sepenuhnya,
semuanya telah diperkuat oleh serangkaian perjanjian tambahan
yang saling terkait dan meliputi perlindungan lingkungan laut. 59
3. Konvensi Hukum Laut 1982 tentang Konservasi
Secara historis laut memiliki dua fungsi peranan penting:
pertama, sebagai media komunikasi, dan kedua sebagai gudang
besar sumber daya, baik yang hidup maupun yang tak hidup. Kedua
fungsi ini memicu berkembangannya aturan hukum.60
58 Ibid. Hal. 607. 59 Ibid Hal. 592. 60 Konvensi PBB Tentang Hukum Laut 1982. Hukum Internasional dalam Ibid Hal. 547.
42
Konvensi Hukum Laut 1982 hampir 50 (lima puluh) pasal
disusun untuk melindungi hukum lingkungan laut. Negara-negara
bertanggung jawab menjalankan kewajiban internasional mereka
terkait perlindungan dan pelestarian laut dan memikul tanggung
jawab sesuai dengan hukum internasional. Negara-negara juga
harus memastikan ketersedian bantuan sesuai dengan system
hukum mereka untuk memberikan kompensasi dengan segera
dengan memadai atau meminta bantuan lainnya terkait kerugian
yang disebabkan oleh pencemaran laut oleh orang yang berada di
bawah yurisdiksi mereka61 dan juga mereka juga berkewajiban untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan laut62.
Masyarakat internasional tidak selalu berurusan dengan
kepentingan individu dari setiap anggotanya, demikian juga setiap
anggota masyarakat internasional tidak selalu berususan dengan
kepentingan nasional, melainkan ada pula saat yang mengharuskan
mereka berurusan dengan kepentingan bersama, masalah-masalah
bersama, yang harus dipecahkan secara bersama-sama, seperti63
3.1. Shared and straddling fish stock.
PBB membuat straddling fish stock pada tahun 2001
untuk meningkatkan manajemen yang kooperatif berkaitan
dengan sumber daya ikan yang meliputi area yang luas, dan
61 Berdasarkan Pasal 235 Konvensi Hukum Laut 1982. 62 Berdasarkan Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 1982. 63 Akhmad Solihin. 2010. Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan Isu, Permasalahan Dan Telaah Kritis Kebijakan.
Bandung: Nusa Aulia. Hal. 131.
43
merupakan bentuk perhatian ekonomi serta lingkungan dari
berbagai negara. 64
Straddling stock adalah ikan yang bermigrasi terbatas
karena melewati atau masuk ke dalam lebih dari satu ZEE (Zona
Ekonomi Eksklusif) suatu negara. Perjanjian ini diadopsi pada
tahun 1995 namun baru di entry into force pada tahun 2001.
3.2. Highly migratory species.
Pasal 64 Konvensi Hukum Laut 1982 ini menjelaskan
tentang jenis ikan bergerak melalui daerah luas ruang laut, baik
di dalam dan di luar zona ekonomi ekslusif. Jenis biotik ini
disebut “spesies bermigrasi jauh”. Ayat (1) ini mengharuskan
negara pantai dan negara lain si suatu wilayah tertentu untuk
bekerja sama untuk memastikan konservasi dan meningkatkan
tujuan pemanfaatan optimum dari jenis ikan bermigrasi jauh.
Kerjasama yang dimaksud dapat secara langsung atau melalui
organisasi internasioanal dan harus dilakukan di seluruh
wilayah, di dalam maupun diluar zona ekonomi eksklusif. Dalam
hal ini juga dikatakan bahwa di daerah yang tidak terdapat
organisasi perikanan internasional, maka negara pantai dan
negara lain yang memanen jenis ikan tersebut harus
bekerjasama membentuk organisasi tersebut.
64 Yoshifumi Tanaka. 2012. The International Law Of The Sea. New York: Cambridge University Press. Hal. 227.
44
Spesies yang masuk dalam kategori highly migratory
species termasuk dalam daftar Annex I United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yaitu berbagai
spesies dari ikan tuna, ikan marlin, sailfish, swordfish, ikan
lumba-lumba, ikan hiu dan cetacean.65
Pasal 63 ayat (2) dan pasal 64 ayat (1) Konvensi Hukum Laut
1982 tidak mencantumkan secara spesifik mengenai langkah-
langkah dalam pengelolaan dan konservasi shared and straddling
fish stock (sediaan ikan bermigrasi terbatas) dan highly migratory
species (spesies bermigrasi jauh). Ketentuan ini hanya menyebutkan
langkah-langkah pengelolaan dan konservasi kedua jenis ikan
tersebut melalui kerjasama yang harus ditetapkan dalam persetujuan
dua atau lebih negara pantai atau persetujuan tentang pembentukan
organisasi internasional untuk menjamin tujuan pemanfaatan kedua
jenis ikan tersebut.66
Permasalahan tekanan yang terus berlanjut pada SDI di laut
lepas mengakibatkan terjadinya penurunan hasil tangkapan.
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 pengelolaan SDI di
perairan negara pantai adalah tanggung jawab negara pantai
sedangkan pengelolaan SDI di laut lepas merupakan tanggung jawab
bersama dari negara-negara. Dengan demikian harus ada komitmen
65 Paus atau Lodan. Spesies ini tidak termasuk dalam kategori ikan karena bernapas melalui paru-paru tetapi
masih satu famili/filum dengan ikan. 66 Chomariyah. 2014. Hukum Pengelolaan Konservasi Ikan Pelaksanaan Pendekatan Kehatihatian Oleh Indonesia.
Malang: Setara Press. Hal. 5.
45
yang kuat dari negara pantai, negara penangkap ikan jarak jauh, dan
kewajiban negara bendera untuk melakukan pengawasan.
Konferensi belum berhasil merumuskan pengaturan yang
komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan
perikanan di Laut Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan
tersebut pada negara yang berkepentingan dengan perikanan di Laut
Lepas di wilayahnya masing-masing. Dalam perkembangannya,
dalam kurun waktu 2 (dua) dekade terakhir ini terjadi penurunan yang
drastis sediaan SDI sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis.
Pada tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai
komersial tinggi, khususnya shared and straddling fish stock (sediaan
ikan bermigrasi terbatas) dan highly migratory species (spesies
bermigrasi jauh), telah menimbulkan keprihatian dunia karena
mempunyai kemampuan melintasi batas-batas wilayah suatu negara
(transboundary).67 Hal ini telah mendorong masyarakat internasional
untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut.
Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
menyusun suatu persetujuan baru untuk mengimplementasikan
ketentuan tersebut dalam bentuk Agreement for the Implementation
of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing
67 Akhmad Solihin. 2010. Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan Isu, Permasalahan Dan Telaah Kritis Kebijakan.
Bandung: Nusa Aulia. Hal. 131.
46
Agreement/UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan
multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan
pengelolaan shared and straddling fish stock (sediaan ikan
bermigrasi terbatas) dan highly migratory species (spesies
bermigrasi jauh), sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64
Konvensi Hukum Laut 1982. Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku
tanggal 11 Desember 2001 dan tujuan pembentukan Persetujuan ini
untuk menciptakan standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan
yang persediaannya sudah menurun, maka pengesahan UNIA 1995
merupakan hal yang mendesak bagi Indonesia.68
E. Landasan Teori
1. Teori Aplikasi Hukum Internasional dalam Hukum Nasional
Dua teori utama yang dikenal adalah monisme dan dualisme,
berdasarkan teori monisme, hukum internasional dan hukum
nasional merupakan aspek yang sama dari satu sistem hukum
umumnya; berdasarkan teori dualisme, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali
berbeda secara intrinsic (intrinsically) dari hukum nasional.
- Teori Transformasi
68 Lihat Penjelasan Umum Atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Agreement For The
Implementation Of The Provisions Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982 Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish Stocks And Highly Migratory Fish
Stocks .
47
Berdasarkan teori transformasi, hukum internasional tidak akan
pernah berlaku sebelum konsep, kaidah dan prinsip-prinsip
hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip atau kaidah-kaidah
hukum nasional. Agar dapat berlaku, maka prinsip-prinsip hukum
internasional harus terlebih dahulu menjadi bagian dari prinsip-
prinsip hukum nasional. Misalnya Undang Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup sebagai
hasil transformasi dari hukum Lingkungan Internasional, yaitu
Deklarasi Stockholm 1972. Demikian pula dengan Undang
Undang pembaharuannya, yaitu Undang Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi
Deklarasi Rio 1992.
Proses transformasi ini dilakukan dengan melakukan perubahan
terhadap undang-undang. Perubahan dapat dilakukan dengan
melakukan penambahan, pengurangan atau pembaharuan
secara keseluruhan terhadap isi undang-undang dan
menggantikannya dengan yang baru. Proses perubahan tunduk
dan diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum ketatanegaraan
yang mekanisme kerjasamanya dengan pembuatan undang-
undang, yaitu dilakukan dengan melakukan pengajuan oleh
DPR/DPRD atau presiden. Sebagaimana yang telah terjadi di
Negara-negara lain yang memiliki proses yang sama:
- Teori Delegasi
48
Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah
didelegasikan ke hukum nasional yang dapat dilegalkan dengan
pencantuman kaedah-kaedah hukum internasional kedalam
berbagai peraturan perundangundangan nasional atau dengan
menerapkan kaedah-kaedahnya dalam memutus atau
menyelesaikan sengketa nasional.
- Teori Harmonisasi
D.P.O. Connell menggambarkan teori ini melalui suatu
pernyataan yang berbunyi:
“the theory of harmonization assumes that international law, as a
rule of human behavior, form part of municipal law and hence is
available to a municipal judge; but in the rare instance conflict
between the two system theory acknowledges that he is obligade
by his jurisdictional rules”
“teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional
sebagai hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum
internasional dan diatur oleh hukum nasional, tetapi teori ini juga
mengakui adanya konflik antar kedua hukum tersebut”.
Menurut pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah
“tingkah laku atau tindakan” yang sama antara hukum
internasional dengan hukum nasional dengan batas-batas dan
kewenangan yang berbeda.
49
Dari berbagai penuturan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional memiliki persamaan dan
perbedaan baik dalam cara pandang maupun bagaimana
keduanya menjatuhkan sanksi-sanksi kepada setiap pelanggar
hukum.
2. Teori Pengembangan Hukum Lingkungan69
- Teori Pendekatan Ekonomi
Teori pendekatan ekonomi terhadap hukum mengandung aspek
aspek heuristic, deskriptif dan normatif. Dari aspek heuristik,
teori ini berusaha membuktikan adanya pertimbangan-
pertimbangan atau argument-argumen ekonomi yang
melandasi doktrin-doktrin dan institusi-institusi hukum. Dari
aspek deskriptif, teori ini berusaha mengidentifikasi adanya
logika-logika ekonomi dan pengaruh-pengaruh ekonomi dari
doktrin dan institusi hukum serta alasan-alasan ekonomi yang
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan hukum. Dari
aspek normatif, teori ini mendorong para pembuat kebijakan
publik, serta hakim agar dalam membuat pengaturan hukum
dan putusan-putusan pengadilan semestinya memerhatikan
prinsip efisiensi.
Dalam konteks penerapannya ke dalam hukum lingkungan, teori
pendekatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh asumsi asumsi
69 Takdir Rahmadi. 2011. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pres. Hal 30.
50
dasar ilmu ekonomi yang memandang masalah-masalah
lingkungan bersumber dari dua hal, yaitu kelangkaan (scarity)
sumber daya alam dan kegagalan pasar (market failure). Kedua
konsep ini perlu dipahami dalam rangka memahami pendekatan
ekonomi terhadap hukum.70
- Pengembangan hukum lingkungan berdasarkan teori hak71
Pengembangan hukum lingkungan berdasarkan teori hak
dipengaruhi oleh filsafat moral dan etika. Aliran filsafat ini
menganggap perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan
perusakan lingkungan merupakan perbuatan jahat sehingga
masayarakat atau negara wajib untuk menghukum perbuatan
semacam itu. Teori hak ini juga mencakup dua aliran pemikiran,
yaitu libertarianisme di satu sisi dan aliran pemikiran tentang
hak-hak hewan (animal right) di sisi lain. Teori ini mewajibkan
para pelaku usaha untuk terus menerus meminimalisasi tingkat
pencemaran atau perusakan lingkungan dan kemudian
meniadakan sama sekali pencemaran dan perusakan
lingkungan.
Beberapa aktivis lingkungan hidup berpendapat, bahwa
kegiatan-kegiatan pemburuan hewan baik karena motif ekonomi
maupun karena hobi harus dilarang jika kegiatan-kegiatan itu
70 Stewart And Krier. 1978. Enviromental Law And Policy. New York: The Bobbs Merril Co. Inc. Hal. 99 dalam
Takdir Rahmadi. 2011. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hal 31. 71 Mark Sagoff. 1987. Ecology Law Quarterly. Hal 265-362 dalam Takdir Rahmadi. 2011. Hukum Lingkungan di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hal 35.
51
dapat membahayakan keberlanjutan eksistensi dari hewan atau
spesies itu. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan ini dapat
mengakibatkan kepunahan hewan.
Beberapa sarjana juga mengusulkan membangun etika
ekologis dan perlindungan hak-hak hewan sebagai dasar bagi
hukum dan kebijakan hidup. Aldi Leopold mengusulkan perlunya
konsep etika tanah (land ethic), yaitu aturan perilaku untuk
melindungi komunitas yang tidak saja terdiri atas manusia, tetapi
juga mencakup tanah, air, tumbuh, dan hewan. Suatu kebijakan
atau perbutan adalah dianggap baik, bila kebijakan itu tidak
mengancam integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas.72
F. Kerangka Konseptual
Bertitik tolak dari rumusan masalah, tujuan penelitian dan
tinjauan pustaka yang telah di paparkan pada bagian terdahulu, maka
penulis akan menguraikan secara sistematis kerangka pemikiran dari
rencana penelitian ini sebagai berikut:
Penelitian ini berjudul tentang “Pengaturan Perdagangan Ikan
Hiu di Indonesia Berdasarkan Konvensi Perdagangan Internasional
Satwa dan Tumbuhan Liar Spesies Terancam (CITES)”. Adapun
menjadi dasar hukum dari penelitian ini yaitu, CITES, Undang Undang
72 H. J. Mvcloskey. 1983. Ecological Ethics and Politics. Totowa New Jersey: Roman and Littlefield. Hal 55-56
dalam Takdir Rahmadi. 2011. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hal 30.
52
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Dan Ekosistemnya, PP Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan
Satwa Buru, PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa, Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 18 Tahun 2013 tentang Penetapan Status
Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus, Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Status
Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta dan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014
tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus
Longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna Spp.).
Peraturan-peraturan tersebut di atas menjadi dasar terkait
penangkapan dan perdangangan ikan hiu di Indonesia yang harus
ditaati, tetapi dalam kenyataanya tidak demikian karena penangkapan
dan perdagangan ikan hiu masih kerap ditemukan di masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode deduktif yang memulai
pembahasan dari hal-hal yang sifatnya umum ke hal-hal yang sifatnya
khusus. Ada 3 (tiga) objek kajian yang akan di bahas dalam penulisan
ini, yaitu: mengenai pengaturan hukum nasional menyangkut
perdagangan ikan hiu sebagai spesies yang dilindungi dan efektifitas
implementasi CITES di Indonesia.
53
Berkaitan dengan pengaturan hukum nasional menyangkut
perdagangan ikan hiu sebagai spesies yang dilindungi, indikator yang
akan dikaji antara lain: mekanisme dan substansi. Penulis
menganggap penting indikator mekanisme. Indikator ini dianggap
penting oleh penulis karena mekanisme adalah salah satu aspek untuk
mengetahui terlaksananya serta segala aturan yang terkait
penangkapan dan perdagangan ikan hiu.
Indikator kedua yang akan dikaji mengenai efektifitas
implementasi CITES adalah pelaksanaan hukum dan faktor yang
mempengaruhinya. Indikator ini dianggap penting oleh penulis karena
penulis ingin mengetahui lebih lanjut terkait faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan hukum terhadap para pelaku
penangkapan dan perdagangan ikan hiu.
Keterkaitan antara semua aspek-aspek tersebut di atas, akan
memberikan dasar analisis yang lebih mengarah pada objek kajian
penulisan yaitu terwujudnya perlindungan hukum terhadap
perdagangan ikan hiu di Indonesia.
54
Bagan Kerangka Konseptual
Efektifitas Implementasi
CITES di Indonesia
Pelaksanaan hukum
Faktor yang
mempengarunginya
Pengaturan hukum nasional
menyangkut perdagangan
ikan hiu sebagai spesies
yang dilindungi
Mekanisme
Substansi
PENGATURAN PERDAGANGAN IKAN HIU DI INDONESIA KAJIAN BERDASARKAN CONVENTION INTERNASTIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES WILD FAUNA AND FLORA (CITES)
TERWUJUDNYA PERLINDUNGAN IKAN HIU DARI PERDAGANGAN DI INDONESIA
55
G. Definisi Operasional
1. Perdagangan Ikan Hiu:
Aktivitas menangkap ikan hiu yang dilakukan oleh pelaku usaha
kemudian dikomersilkan dengan cara diperdagangkan dari hulu
(upstream) hingga ke hilir (downstream).
2. Mekanisme:
Prosedur pembuatan aturan dan teknik perundang-undangan.
3. Substansi:
Tata cara pelaksanaannya.
4. Efektifitas:
Mengkaji tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
5. Pelaksanaan Hukum:
Kententuan-ketentuan hukum yang telah dibuat mencapai
maksudnya (berhasil) atau tidak mencapai maksudnya (tidak
berhasil) dalam perwujudannya.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhinya:
Hal-hal yang dapat mempengaruhi atau menyebabkan
pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut meliputi substansi
hukum, struktur, kultur dan fasilitasnya.