tesis pengaruh pemberian virgin coconut oil terhadap
TRANSCRIPT
TESIS
PENGARUH PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL TERHADAP
PENINGKATAN KONVERSI SPUTUM BTA DAN STATUS GIZI
PADA PENDERITA TB PARU DI BBKPM
KOTA MAKASSAR TAHUN 2013
THE INFLUENCE OF VIRGIN COCONUT OIL (VCO) INTERVENTION TO
INCREASE CONVERSION AND NUTRIENT STATUS OF PATIENTS
WITH PULMONARY TB IN PUBLIC LUNG HEALTH CANCER
OF MAKASSAR CITY IN 2013
KASMAN
P1804211002
PROGRAM PASACASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
PENGARUH PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL TERHADAP
PENINGKATAN KONVERSI SPUTUM BTA DAN STATUS GIZI
PADA PENDERITA TB PARU DI BBKPM
KOTA MAKASSAR TAHUN 2013
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan oleh
K A S M A N
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Kasman
NIM : P1804211002
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya, agar dimanfaatkan
sebagaimana mestinya.
Makassar, Agustus 2013
Yang menyatakan
K a s m a n
P 180 42 11 002
iv
PRAKATA
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas rahmat, izin, petunjuk dan hinayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh Pemberian Virgin
Coconut Oil terhadap Peningkatan Konversi Sputum BTA dan Status Gizi
pada Penderita TB Paru di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013”. Tesis ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kesehatan Masyarakat di Universitas Hasanuddin.
Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari motivasi dan bantuan dari
berbagai pihak selama proses penelitian hingga penyusunan selesai. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ida Leida Maria, SKM.MKM.,M.Sc.PH
selaku ketua komisi penasihat dan Bapak Prof. dr. Veni Hadju, M.Sc.,
Ph.D selaku anggota komisi penasihat atas segala bantuan, bimbingan,
nasihat, petunjuk dan saran serta waktu yang telah diberikan selama ini
kepada penulis. Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya
penulis sampaikan pula kepada Bapak Prof. Dr. drg. H. A. Arsunan
Arsin, M.Kes, Bapak Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Kes,
M.Sc.PH dan Ibu Dr. Nurhaedah Jafar, Apt, M.Kes atas kesediaannya
menjadi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan
berharga. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
v
1. Dr. dr. H. Noer Bachry Noor, M. Sc selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin
2. Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin beserta staf
3. Prof. Dr. Ir. H. Mursalim selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin beserta staf.
4. Bapak Kepala Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)
Makassar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian.
5. Pegawai Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar
serta Tim penelitian yang telah banyak membantu dalam proses
pelaksanaan penelitian.
6. Teman-teman seperjuangan di Magister Kesehatan Masyarakat
Angkatan 2011 “Pasukan Anti Basi” yang telah memberikan
dukungan dan motivasi selama menimba ilmu dan dalam
penyelesaian tesis ini.
7. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu
persatu yang telah banyak membantu penulis selama ini.
Akhirnya sembah, sujud, segala cita, cinta dan penghargaan yang
tak terhingga penulis haturkan kepada kedua orang tua tercinta
Ayahanda Usman dan Ibunda Kansu, adik-adikku tersayang Satriadi,
Rahman, dan Ahyaruddin, terima kasih atas segala pengorbanan, doa
vi
dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama menempuh
pendidikan di Pascasarjana Universitas Hasanuddin sampai selesai. Dan
Kepada Adinda Nuning Irnawulan, terima kasih telah menjadi inspirasi
dan motivasi untuk menyelesaikan studi ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
karena berbagai hambatan dan keterbatasan penulis. Oleh karena itu,
kritik dan saran senantiasa diharapkan dari berbagai pihak. Semoga
karya sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya dan Allah SWT senantiasa meridhoi niat baik serta
berkenan memberikan curahan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin
Yaa Rabbal Alamin.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Makassar, Agustus 2013
K a s m a n
vii
ABSTRAK
Kasman Pengaruh Pemberian Virgin Coconut Oil terhadap Peningkatan
Konversi Sputum BTA dan Status Gizi pada Penderita TB Paru di BBKPM
Kota Makassar Tahun 2013.(dibimbing oleh Ida Leida M.Thaha dan Veni
Hadju)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi (pemberian) VCO terhadap peningkatan konversi dan status gizi penderita TB Paru. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Kota Makassar tahun 2013 dengan jenis penelitian True Experimental Design pre post test control group design.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengunjung yang datang berobat di BBKPM Makassar dengan memeriksakan dahaknya dengan jumlah sampel terbagi menjadi 2 kelompok masing-masing 20 penderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan klinis BTA positif, RO positif, dan menderita TB Paru serta merupakan penderita baru
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konversi pada penderita yang mendapatkan pengobatan DOTS dan VCO (mean = 4 minggu) lebih cepat dua hari dibanding dengan yang hanya mendapatkan pengobatan DOTS (mean = 6 minggu) dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Rata-rata peningkatan IMT selama pengobatan pada penderita yang mendapatkan pengobatan DOTS dan VCO (1,01 kg) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata peningkatan IMT pada pasien yang hanya mendapatkan pengobatan DOTS (0,43 kg) dengan nilai siginifikansi < 0,05. Penambahan VCO pada pengobatan TB Paru bisa menjadi pilihan untuk mempercepat konversi dan peningkatan status gizi penderita TB Paru.
Kata kunci : VCO, TB, Konversi, IMT
viii
ABSTRACT
Kasman. The Influence of Virgin Coconut Oil (VCO) Intervention to
Increase Conversion and Nutrient Status of Patients with Pulmonary TB in
Public Lung Health Cancer of Makassar City in 2013 (Supervised by Ida
Leida, M. Thaha, and Veni Hadju)
This aim of the research is to find out the influence of the intervention (provision) VCO to increase conversions and nutritional status of pulmonary TB patients. The research was conducted at the Center for Lung Health Society (BBKPM) Makassar in 2013 with the kind of non-randomized studies True Experimental Design pre post test control group design.
Population were all visitors tohave medical treatment inpublic Lung Health Center of Makassar with the number ofsputum samples. They were divided into two groups consiting of 20 pulmonary TB patients of each group in which the results ofclinical treatment indicate positive smear, positive RO, pulmonary TB, and new patients.
The results of the research indicate that the average conversion in patients who have DOTS treatment and VCO (mean = 4 weeks) is faster two weeks compared to the one in patients who have DOTS treatment (mean = 6 weeks) with the significant value of 0.000 (p <0,05). The average increase in body mass index during the medical treatment of patients who have DOTS treatment and VCO (1.01 kg) is higher than the the one of patients who have DOTS treatment (0.43 kg) with the siginificant value of p<0.05. VCO intervention of the treatment of Pulmonary TB can be a choice to accelerate conversion and increase nutrient status of pulmonary TB patients.
Key words : VCO, TB, conversion, body mass index
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ............................................................... iii
PRAKATA .................................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjau Umum Tentang TB .......................................................... 11
B. Tinjauan Umum Tentang Pengobatan TB .................................. 26
C. Tinjauan Umum Tentang VCO ................................................... 33
D. Tinjaun Umum Tentang Konversi ............................................... 41
E. Status Gizi pada penderita TB .................................................... 44
F. Kerangka Teori ........................................................................... 49
G. Kerangka Konsep Penelitian ...................................................... 50
H. Hipotesis Penelitian .................................................................... 51
I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ................................... 51
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Model Rancangan Penelitian ..................... 54
B. Tempat dan Waktu Penelitian..................................................... 55
C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................. 55
D. Tahapan Penelitian .................................................................... 59
E. Pengumpulan Data ..................................................................... 63
x
F. Pengolahan data ........................................................................ 64
G. Penyajian data ........................................................................... 65
H. Kontrol kualitas .......................................................................... 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 67
A. Hasil Penelitian ........................................................................... 67
B. Pembahasan .............................................................................. 85
C. Keterbatasan Penelitian .............................................................. 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 94
A. Kesimpulan ................................................................................. 94
B. Saran ......................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 96
LAMPIRAN ................................................................................................... 105
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kandungan Asam Lemak dalam VCO …………………. 37
Tabel 2 Tabel Sintesa Konversi BTA …………………………….. 43
Tabel 3 Batas Ambang Nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) ……… 46
Tabel 4 Tabel Sintesa Berat Badan dalam Pengobatan TB …… 46
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kelompok Penelitian di BBKPM
Kota Makassar Tahun 2013 ……………………………...
67
Tabel 6 Distribusi Karakteristik Penderita TB di BBKPM Kota
Makassar Tahun 2013 ……………………………………
68
Tabel 7 Food Frekuensi Penderita TB Paru di BBKPM Kota
Makassar Tahun 2013 ……………………………………
70
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gambaran Hapusan
Sputum BTA Selama Pengobatan Penderita TB di
BBKPM Kota Makassar Tahun 2013 ……………………
75
Tabel 9 Hasil Uji test Normalitas Lama Konversi ……………….. 77
Tabel 10 Perbandingan Rerata Lama Konversi antara Kelompok
Intervensi dan Kelompok Kontrol ………………………..
77
Tabel 11 Perbandingan Peningkatan Rerata IMT Selama
Pengobatan berdasarkan Status Gizi Penderita ……….
78
Tabel 12 Perbandingan Peningkatan Rerata IMT antara
Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Selama
Pengobatan ………………………………………………..
78
Tabel 13 Perbandingan Food Frekuensi Penderita TB Paru di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013 ……………………
79
Tabel 14 Hasil Uji test Normalitas IMT …………………………….. 81
Tabel 15 Hasil Perhitungan IMT Awal dan Akhir Pengobatan
Semua Pasien ……………………………………………..
81
Tabel 16 Perbandingan Beda Rerata IMT antara Kelompok
Intervensi dan Kelompok Kontrol ……………………......
82
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Teori ……………………………………………. 48
Gambar 2 Kerangka Konsep …………..…………………………….. 49
Gambar 3 Alur Penelitian Penelitian ………………………………… 57
Gambar 4 Perbandingan Rata-rata Peningkatan Berat Badan antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol …...
69
Gambar 5 Perbandingan Rata-rata Peningkatan IMT antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ……………
69
Gambar 6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Hasil Perhitungan IMT (≥18,5) Selama Pengobatan Penderita TB di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013 ……………………
71
Gambar 7 Gambaran Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Selama Pengobatan Pada Kelompok Intervensi (DOTS+VCO) .
72
Gambar 8 Gambaran Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Selama Pengobatan Pada Kelompok Intervensi (DOTS) .
73
Gambar 9 Gambaran Konversi Sputum BTA Selama Pengobatan Penderita TB di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013 ...
73
Gambar 10 Rerata Konversi Sputum BTA berdasarkan status gizi Penderita TB di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013....
76
Gambar 11 Perbandingan Peningkatan Rerata IMT Selama Pengobatan antara Kelompok Intervensi dan Kontrol ...
80
Gambar 12 Perbedaan Peningkatan Rerata IMT Selama Pengobatan Antara Kelompok Intervensi dan Kontrol ...
82
xiii
DAFTAR SINGKATAN
BACTEC : Battle Area Clearence and Training Equipment Consultants
BB : Berat Badan
BBKPM : Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BMI : Body Mass Index
BTA : Batang Tahan Asam
CDR : Case Detection Rate
CMI : Cell Mediated Immunity
DALY : Disability-Adjusted Life-Year
DOTS : Directly Observed Treatment Short-course
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
FDC : Fixed Dose Combination
HIV : Human Immunodeficiency Syndrome
ICT : Information and Communication Technology
IMT : Indeks Massa Tubuh
IUATLD : Internasional Union Against Tuberculosis
LDL : Low Density Lipoprotein
LED : Light-Emitting Diode
MDR : Multiple Drug Resistant
MCFA : Medium Chain Fatty Acid
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
PMO : Pengawas Minum Obat
PCR : Polymerase Chain Reaction
PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis
xiv
RBD : Refined, Bleached and Deodorized
RBW : Relative Body Weight
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
SPS : Sewaktu–Pagi–Sewaktu
TB : Tuberkulosis
UPK : Unit Pelayanan Kesehatan
USAID : United States Agency for International Development
VCO : Virgin Coconut Oil
WHO : World Health Organization
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Naskah Penjelasan kepada Subyek Untuk Persetujuan
Lampiran 2. Informed Concent Penelitian
Lampiran 3. Form Penelitian
Lampiran 4. Kuesioner Food Frekuensi
Lampiran 5. Master Tabel Penelitian
Lampiran 6. Hasil Output SPSS Analisis Uji Statistik
Lampiran 7. Surat Izin Penelitian
Lampiran 8. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Lampiran 9. Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian
Lampiran 10. Biodata Penulis
Lampiran 11. Dokumentasi Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang penting di tingkat global, regional, nasional, maupun
lokal. Tuberkulosis menyebabkan 5000 kematian per hari, atau hampir 2
juta kematian per tahun di seluruh dunia. Laporan WHO tahun 2010
menyatakan bahwa insiden kasus TB di dunia diperkirakan 137 kasus/
100.000 populasi. Angka prevalensi TB mencapai 200 kasus/100.000. TB
menjadi penyebab 20 kematian/100.000 populasi. Negara-negara di Asia
termasuk Indonesia menjadi penyumbang 55% kasus TB secara global.
(WHO, 2010).
Tingginya angka kesakitan terhadap penyakit TB paru menyebab-
kan WHO memprediksi bahwa lebih kurang sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi kuman TB dan diperkirakan 35 juta di antaranya akan
meninggal dunia pada kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2020.
Berdasarkan kalkulasi disability-adjusted life-year (DALY) WHO, TB
menyumbang 6.3% dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan
dengan 3.2 persen di wilayah regional Asia Tenggara (USAID, 2008).
Menurut Global Tuberculosis Control, Indonesia menduduki peringkat ke
empat setelah China, India, dan Aprika Selatan dalam hal jumlah kasus
2
baru pertahun (450.000 kasus baru/tahun) dari 22 negara dengan kasus
baru tertinggi. (WHO, 2011).
Jumlah pelaporan Kasus TB di seluruh daerah wilayah Indonesia
meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir, angka penemuan kasus/
Case Detection Rate (CDR) TB Paru BTA positif meningkat dari 37% pada
tahun 2003 menjadi 54% di tahun 2004 dan meningkat pula pada tahun
2005 menjadi 68% sebagai hasil akselerasi Ekspansi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Dan Proporsi jumlah kasus
Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS pada tahun 2009
sebanyak 73,1% dan tahun 2011 meningkat menjadi 83,48% (Bagian
Data & Informasi KUKP-RI MDGs, 2011).
Angka prevalensi semua tipe Kasus TB, insidensi dan kasus baru
TB Paru BTA Positif dan kematian Kasus TB menunjukkan bahwa pada
tahun 2009 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000 penduduk
atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB, dan tahun 2011 meningkat
menjadi 289 per 100.000 penduduk. Insidensi semua tipe TB sebesar 228
per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063, dan tahun 2011 menurun
menjadi 189 per 100.000 penduduk. Kasus semua tipe TB, Insidensi
Kasus baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau
sekitar 236.029 Kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB
39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari (Global Tuberculosis
Control, 2009, KUKP-RI MDGs, 2011).
3
Melihat dari data tersebut, pengendalian program tuberkulosis di
Indonesai telah mencapai target MDGs pada tahun 2011 dengan 189
kasus per 100.000 penduduk. Tetapi proporsi kasus TB yang diobati dan
sembuh dalam program DOTS tahun 2009 91,0% menurun pada tahun
2011 menjadi 90,30% (KUKP-RI MDGs, 2011). Walaupun insidensi TB
mengalami penurunan tapi prevalensi TB masih mengalami peningkatan.
Hal ini berarti pengobatan TB memiliki jangka waktu yang lama. Penelitian
ini dimaksudkan untuk membantu pengobatan TB dengan mempercepat
masa konversi hasil pemeriksaan dahak penderita.
Kematian akibat TB merupakan 25% dari seluruh kematian yang
sebenarnya dapat dicegah dan diperkirakan 95% penderita TB berada di
Negara berkembang dimana 75 % dari penderita TB adalah kelompok
usia produktif (15 – 55 tahun) (Ahmad, 2004).
Tahun 2011 di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)
Kota Makassar terdapat 436 (9,57%) penderita TB BTA positif dan pada
tahun 2012 meningkat menjadi 472 (10,28%) penderita TB BTA positif
dengan rata-rata perbulannya 40 penderita TB BTA positif.
Meningkatnya angka kejadian TB mengakibatkan pemerintah dan
departemen terkait berusaha semaksimal mungkin mengaktifkan berbagai
macam cara dalam menanggulangi penyakit TB (Aditama, 2004). Salah
satu cara adalah dengan pemberian asupan gizi yang baik karena dengan
pemberian asupan gizi baik makro maupun mikronutrien sangat
membantu penyembuhan penderita TB. Bagian paru rumah sakit
4
Pertamina Jakarta memaparkan contoh kasus pasien penyakit TB paru
yang dirawat di rumah sakit, menunjukkan perbaikan total setelah
mendapatkan pengobatan dan dukungan nutrisi enteral yang adekuat
tinggi protein, dan bebas laktosa (Mariono, 2003). Bagian Gastroentologi
FKUI RSCM memberikan asupan protein pada pasien penyakit kronis
yang berat dan pasien TB dengan malnutrisi dan berat badan rendah,
setelah 2 minggu ternyata terlihat adanya peningkatan indeks massa
tubuh (IMT) yang bermakna (p<0,05), penambahan berat badan dan juga
nitrogen balance yang positif (Simadibrata), 2002). Penelitian di Balai
Pengobatan Penyakit Paru Makassar pada 70 pasien rawat jalan TB
dengan malnutrisi yang dibagi dalam kelompok perlakuan (35) diberi diet
suplemen protein dan kelompok kontrol (35) tanpa diberi supplement
protein. Ternyata setelah 2 bulan menunjukkan perbedaan status gizi
yang bermakna (p<0,05) dimana kelompok perlakuan menunjukkan hasil
yang lebih baik (Taslim, 2004).
Pemberian obat Kategori I tahap intensif yaitu INH, Rifamfisin,
Pyrazinamide dan Etambutol (2 HRZE) bila diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurung waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita dengan BTA positif menjadi BTA
negative pada akhir pengobatan intensif selama 2 bulan. Pada penelitian
di Mumbay India, menemukan pada satu bulan pertama sesudah terapi
intensif dijumpai konversi BTA 52% dan hanya 71,3% BTA negative
setelah pengobatan selama dua bulan (Al-Moamary, 1999). Faktor yang
5
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah
karena gizi buruk, berat badan rendah sehingga daya tahan tubuh menjadi
rendah (Depkes RI, 2002).
Malnutrisi sering dijumpai pada penderita TB paru. Beberapa studi
dilaporkan bahwa pasien dengan TB Paru mengalami malnutrisi dan
menunjukkan penurunan protein viseral. Penelitian di Philipina pasien
MDR-TB rata-rata mempunyai body mass index (BMI) 19,2 setengah dari
mereka mengalami malnutrisi (BMI < 18,5) dan 33,3% mempunyai
malnutrisi berat. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan ada hubungan
yang signifikan antara malnutrisi dengan lamanya waktu sputum smear
conversion (P = 0,02) (Antonios, 2007 dalam Ida Leida, 2012). Pada
kasus MDR-TB, konsumsi makanan penderita MDR-TB tidak mencukupi
kebutuhan yang seharusnya, dengan tak terpenuhinya kecukupan asupan
makan yang terstandar maka akan mempengaruhi status gizi, hal ini
dibuktikan penderita MDR-TB lebih banyak dengan status gizi kurang
(29,3%) dibandingkan dengan status gizi baik (9,8%) (Ida Leida, 2012).
Penelitian Karyadi (2002) dilakukan pada 80 pasien TB
menununjukan effek positif pada pemberian 5000 UI vitamin A dan 15 mg
Zn selama 6 bulan. Penderita TB paru dengan status gizi yang rendah
(IMT 17-18,5) memiliki risiko gagal konversi 8,861 kali lebih besar
dibandingkan dengan status gizi normal (IMT 18,5-25,0) sedangkan
pasien TB paru dengan status gizi kurus (IMT <17) memiliki risiko 30,918
kali lebih besar mengalami gagal konversi dibandingkan dengan status
6
gizi normal. Hal ini diakibatkan karena respon imunitas tubuh dalam
melawan infeksi TB hanya 10% yang dapat berkembang menjadi TB aktif
akibat sistim tidak melakukan replikasi kekebalan imunitas tubuhnya
(Subagyo dkk, 2006 dan Ahmad, 2011). Penurunan imunitas ini salah
satunya diakibatkan karena kurangnya asupan mikronutrien dalam tubuh.
Peranan mikronutrient sangat berpengaruh terhadap kejadian
penyakit infeksi seperti TB karena dengan terjadinya defisiensi zat
mikronutrient secara signifikan terjadi penurunan status imunitas sehingga
menurunkan kapasitas untuk mengontrol adanya infeksi (Means RT, 1999
dalam Ida Leida, 2012). Penelitian Van Crevel pada tahun 2002
menemukan bahwa penderita TB sering mengalami penurunan berat
badan yang parah, gejala yang dianggap imunosupresif dan penentu
utama keparahan penyakit.
Defisiensi mikronutrien telah dilaporkan pada penderita
tuberkulosis, termasuk juga mereka yang dengan koinfeksi HIV. Penelitian
penelitian secara cross sectional mengindikasikan defisiensi vitamin A,
thiamin, vitamin B6, folat dan vitamin E sering terjadi pada penderita TB
aktif. Defisiensi vitamin A, vitamin E, thiamin, riboflavin, vitamin B6 dan
vitamin C lebih umum terjadi penderita TB dengan HIV. Defisiensi
mikronutrien dan status gizi umum yang jelek pada penderita TB aktif
dapat menekan system imun cell-mediated yang merupakan pertahanan
utama host untuk melawan bakteri Mycobacterium (Cegielski, 2004). Hasil
penelitian yang dilakukan Ida Leida (2012) pada pasien TB dengan
7
resisten menununjukkan ada hubungan yang signifikan (OR = 4,1) antara
kandungan mikronutrien yang tak normal dengan kejadian TB dengan
resisten.
Untuk mempercepat konversi sputum BTA, penderita TB diberi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek program DOTS yang berefek
bakterisid dengan cara mencegah kekambuhan dalam 2 bulan setelah
pengobatan dengan kegiatan sterilisasi, menghilangkan atau mengurangi
gejala dan lesi melalui perbaikan kekebalan tubuh. Virgin Coconut Oil
(VCO), adalah salah satu bahan makanan yang mengandung proporsi
asam lemak jenuh rantai sedang dengan berbagai kandungan aktif, yang
memberikan asupan lemak jenuh rantai sedang serta dapat membantu
membunuh kuman bakteri dan virus, tetapi tidak membahayakan karena
bersahabat dengan bacteri flora dalam usus, serta dapat mencegah
resistensi antibiotic (Fife, 2004)
Bahan anti mikroba dalam VCO yang paling aktif adalah asam
laurat specific dalam bentuk Monolaurin. Medium Chaun Fatty Acid
(MCFA) yang terkandung dalam VCO dapat merusak dinding lipid kuman
TB, sehingga melemahkan membrane dan bahkan terjadi disintegrasi
membrane sehingga menumpahkan isinya dan membunuh
mikroorganisme tersebut tanpa menyebabkan kerusakan terhadap
jaringan tubuh manusia. Efek anticeptive VCO disebabkan karena
mengandung Glycerol Monolaurat (monolaurin) yang merupakan asam
laurat spesifik yang berfungsi sama dengan asam urat yang dapat
8
membunuh kuman TB (Fife, 2004). Manfaat lain dari VCO adalah dapat
memperbaiki nafsu makan dan menambah berat badan pada penderita
infeksi pernafasan kronik dengan kaheksia (Ashitani dkk, 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami tertarik untuk
melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian VCO
terhadap peningkatan konversi sputum BTA dan status gizi pada
penderita TB Paru.
A. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada
pengaruh intervensi Virgin Coconut Oil (VCO) terhadap peningkatan
konversi dan status gizi penderita TB di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (BBKPM) Makassar tahun 2013
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh intervensi (pemberian) VCO
terhadap peningkatan konversi dan status gizi penderita TB di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui rata-rata peningkatan konversi dan status gizi
penderita TB yang mendapat DOTS.
9
b. Untuk mengetahui rata-rata peningkatan konversi dan status gizi
penderita TB yang mendapat DOTS+VCO.
c. Untuk membandingkan peningkatan konversi dan status gizi
penderita TB yang mendapat DOTS dengan penderita yang
mendapatkan pengobatan DOTS+VCO.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber kajian
pustaka ilmiah khususnya untuk penanggulangan pengobatan
penderita TB paru dengan inovasi pengobatan untuk mempercepat
kesembuhan.
2. Manfaat Institusi
Sebagai sumber informasi bagi Kepala Dinas Kesehatan Kota
Makassar, khususnya pengelola atau pemegang program TB agar
lebih berhasil dimasa akan datang dan sebagai salah satu bahan
informasi bagi pihak yang terkait dalam penanggulangan penyakit
tuberkulosis guna proses perencanaan dan evaluasi dalam
penanggulangan TB, sehingga dapat merumuskan langkah-langkah
perbaikan dimasa mendatang.
3. Manfaat bagi Peneliti
Khusus bagi peniliti, sebagai penerapan ilmu yang telah
dipelajari dan merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam
10
kegiatan-kegiatan penelitian sehingga dapat memperluas wawasan
dan menambah pengetahuan penerapan keilmuwan di lapangan.
4. Manfaat untuk Masyarakat
Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
masyarakat tentang pengobatan TB-paru sehingga tingkat
kesembuhan penyakit TB paru menjadi lebih baik.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjau Umum Tentang TB
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman
TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2. Epidemiologi TB
WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia,
sepertiga penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis.
Pada tahun 1993 WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai
reemerging disease. Angka penderita TB paru di negara berkembang
cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang
penderita baru per 100.000 penduduk.
Survei prevalensi TB telah dilaksanakan pada beberapa negara.
Per 100.000 penduduk pada tahun 1995 di Korea terdapat 70 BTA
(Basil Tahan Asam) positif dan tahun 1997 di Philipina terdapat 310
BTA positif per 100.000. Survei di Cina tahun 2000 ditemukan 122 BTA
positif dan tahun 2001 di Ethiopia ditemukan 189 BTA positif per
100.000 penduduk (WHO dalam Depkes RI, 2005).
12
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per
100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA positif di
Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera
angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk, 2. wilayah
Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk,
3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per
100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka
prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil
survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA
positif secara Nasional 3 - 4 % setiap tahunnya. Menurut data survey
tuberkulosis nasional 2004, setiap 2,5 menit akan muncul satu
penderita tuberkulosis baru di Indonesia (Achmadi 2004).
3. Penyebab TB
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), pertama kali
ditemukan oleh Robert Kohc pada tahun 1882. Sebagian besar kuman
TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya
(Depkes RI, 2007).
Kuman TB berbentuk batang berwarna merah dengan ukuran
panjang sekitar 4 mikron dan tebalnya 0.3–0.6 mikron. Kuman TB
tersebut mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap penghilangan
warna dengan asam dan alkohol pewarnaan. Oleh karena itu disebut
13
pula dengan Basil Tahan Asam (BTA). Kuman akan tumbuh optimal
pada suhu 37oC dengan Ph 6.4–7 (Adiatma, 2006).
Kuman ini cepat mati sekitar 5 menit dengan sinar matahari
langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang
lembab dan gelap. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat
dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan tuberkulosis aktif lagi.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis antara lain :
a) Herediter : resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan
diturunkan secara genetik.
b) Jenis kelamin : pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka
kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
c) Usia: Pada masa bayi kemugkinan terinfeksi sangat tinggi
d) Pada masa puber dan remaja dimana pertumbuhan yang cepat,
kemungkinan infeksi cukup tinggi karena diet yang tidak adekuat.
e) Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau Penyakit,
kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik).
f) Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi Inflamasi
dan memudahkan untuk penyebarluasan infeksi.
g) Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi
lebih mudah.
h) Nutrisi ; status nutrisi kurang
14
i) Infeksi berulang : HIV, Measles, Pertusis.
j) Tidak mematuhi aturan pengobatan.
4. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit TB paru adalah pasien TB BTA
POSITIF. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman
ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk
dapat menghasilkan 3000 percikan dahak. Umumnya penularan dapat
terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama dan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
yang gelap dan lembab Sekali seorang terinfeksi kuman TB, risiko
berkembang menjadi klinis TB adalah 10% dimana kebanyakan Ya 50–
70% menampakkan gejala dalam waktu 2 tahun sejak terinfeksi
(Depkes RI, 2007).
Data dari penelitian Rungiigu dalam Enarson (1996) menyatakan
Percikan dahak yang mengandung kuman TB dapat bertahan beberapa
jam pada suhu kamar, terhirup oleh orang sehat sewaktu bernafas,
selanjutnya akan berkembang biak dalam jaringan paru-paru,
kemungkinan pula akan masuk pada jaringan tubuh lainnya melalui
pembuluh darah, saluran limfe atau penyebaran langsung ke tubuh
lainnya. Risiko tertular tergantung dari tingkat pejanan dengan percikan
dahak. Penderita TB Paru dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB Paru BTA
negatif. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi Tuberkulin
15
negatif menjadi Positif. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan
menjadi sakit TB. Faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi
penderita TB adalah daya tahan tubuh terhadap kuman TB rendah,
adanya infeksi HIV/AIDS dan gizi buruk (Depkes RI, 2007).
5. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis
a. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi pada saat soseorang terpapar pertama
kali dengan kuman TB, droplet yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati sistim pertahanan mukosiler
bronkus dan terus berjalan sehingga sampai dialveolus dan
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang
mengakibatkan peradangan didalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru dan ini
disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4–6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif.
b. Tuberkulosis Pasca Primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa
bulan atau setahun setelah infeksi primer, misalnya karena daya
tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau staus gizi buruk. Ciri
16
khasnya yaitu kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitasi
atau efusi pleura.
6. Penemuan Penderita
a. Penemuan Penderita Pada Orang Dewasa
Penemuan kasus adalah komponen yang sangat penting
dalam pemberantasan penyakit tuberkulosis paru dan hampir
semua penyakit menular lainnya. Penemuan Ya merupakan langkah
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan
dan penyembuhan penderita TB secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan TB
yang paling efektif di masyarakat. Pada program penanggulangan
dan pemberantasan TB Paru di Indonesia dengan strategi DOTS,
angka kesembuhan sudah cukup meningkat namun angka
penemuan masih sangat rendah (Info Gerdunas, 2005). Penemuan
penderita Tuberculosis pada orang dewasa dilaksanakan secara
pasif dengan promosi aktif, artinya penjaringan penderita tersangka
TB Paru yang dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung
ke Unit Pelayanan Kesehatan. Kegiatan ini harus didukung dengan
penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun oleh
masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan.
17
b. Penemuan Penderita Pada Anak
Penemuan penderita pada anak sebagian besar didasarkan
pada gambaran klinis, foto rontgen dan uji tuberkulin. Pada anak-
anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak
pada anak biasanya sangat sulit karena pada anak-anak jarang
batuk berdahak dan merka belum dapat mengeluarkan dahak dari
mulut (Depkes RI, 2007).
7. Mycobacterium Tuberculosis
Kuman tuberkulosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 µ x 0,2-
0,5µm, dengan bentuk uniform, tidak berspora dan tidak bersimpai.
Dinding sel mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan
khusus agar dapat terjadi penetrasi zat warna. Yang lazim digunakan
adalah pengecatan Ziehl-Nielsen. Kandungan lipid pada dinding sel
menyebabkan kuman TB sangat tahan terhadap asam basa dan tahan
terhadap kerja bakterisidal antibiotika.
M.Tuberculosis mengandung beberapa antigen dan determinan
antigenik yang dimiliki mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan
reaksi silang. Sebagian besar antigen kuman terdapat pada dinding sel
yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Kuman
TB tumbuh secara obligat aerob. Energi diperoleh dari oksidasi
senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang
pertumbuhan. Dapat tumbuh dengan suhu 30-400C dan suhu optimum
18
37-380C. Kuman akan mati pada suhu 600C selama 15-20 menit.
Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman.
8. Penegakan Diagnosis TB
Penegakan diagnosis penyakit TB Paru didasarkan pada :
a. Gejala Klinis
Gejala utama penderita TB Paru adalah :
1) Batuk berdahak selama 2–3 minggu atau lebih
2) Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, sesak napas dan rasa nyeri pada dada
3) Badan lemas, nafsu makan menurun, rasa kurang enak badan
(malaise)
4) Berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam,
meriang lebih dari satu bulan.
b. Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi
penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 3 (tiga) spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam 2 (dua) hari kunjungan berurutan berupa
Sewaktu–Pagi–Sewaktu (SPS).
S (Sewaktu) :Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
19
atau tersangka TB membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas di Unit Pelayanan Kesehatan
(UPK).
S (Sewaktu) : Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat
menyerahkan dahak pagi.
Pemeriksaan dahak dengan mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling sederhana, mudah dan murah, dimana
setiap Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dapat
melaksanakannya. Hasil pemeriksaan sangat spesifik dan sensitive.
Dahak yang baik untuk diperiksa adalah dahak mukopurulen (nanah
berwarna hijau kekuning-kuningan) jumlahnya 3–5 ml tiap
pengambilan.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3
spesimen SPS BTA hasil positif ; Bila hanya satu dari hasil
pemeriksaan SPS positif maka pemeriksaan lanjut dengan foto
rontgen dada, apabila hasil rontgen mendukung TB maka penderita
di diagnosis TB Paru BTA (+) ; Hasil rontgen tidak mendukung maka
di diagnosis bukan penderita TBC
20
c. Pemeriksaan Radiologis (Foto Rontgen)
Pemeriksaan rontgen ini membantu penegakan diagnosis TB,
bila 3 kali pemeriksaan dahak BTA hanya 1 negatif atau semuanya
negatif sedangkan secara klinis mendukung sebagai TB, maka
perlu pemeriksaan rontgen. Foto rontgen tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru dan belum merupakan
diagnosa pasti.
9. Klasifikasi Penyakit TB
Menurut Depkes RI pada panduan Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 cetakan pertama tahun 2007,
bahwa klasifikasi penyakit Tuberkulosis perlu ditentukan sebelum
pengobatan untuk menetapkan obat anti tuberkulosis.
a. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena
1) Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan
kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung dan lain-lain.
b. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak secara
Mikroskopis
1) Tuberkulosis Paru BTA positif yaitu :
21
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen
dada menunjukan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman
2) Tuberkulosis Paru BTA negatif yaitu :
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif .
b) Foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
c) TB Paru BTA negatif dan rontgen positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya yaitu berat ringanya. Berat jika
gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas dan keadaan umum penderita
buruk.
c. Klasifikasi berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya (Tipe
Penderita).
1) Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari 1 bulan (4 minggu).
2) Kambuh (Relaps) adalah penderita Tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, di diagnosis
kembali BTA positif .
22
3) Setelah Putus Berobat (Default/Drop out) adalah penderita yang
telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif .
4) Setelah Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang dipindahkan dari
UPK yang memiliki register TBC lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Lain adalah semua Ya yang tidak memenuhi ketentuan di atas,
termasuk dalam kelompok ini adalah Ya kronik yaitu penderita
yang masih BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan ulang
dengan kategori 2.
10. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas
indikasi seperti foto apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis
23
memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks.
Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa:
1) Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus
bawah
2) Bayangan berawan atau berbercak
3) Adanya kavitas tunggal atau ganda
4) Bayangan bercak milier
5) Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral
6) Destroyed lobe sampai destroyed lung
7) Kalsifikasi
8) Schwarte.
c. Pemeriksaan Khusus
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang
dapat mendeteksi kuman TB seperti :
1) BACTEC: dengan metode radiometrik, dimana CO2 yang
dihasilkan dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi
growth indexnya.
2) Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA
dari M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam
pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi.
3) Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot
24
d. Pemeriksaan Penunjang Lain :
Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan,
pemeriksaan darah dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak
dapat digunakan sebagai indikator yang spesifik pada TB. Di
Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan
yang didapat besar sekali.
11. Pengecatan dan Pembacaan Sediaan
a. Pewarnaan sediaan dengan metode Ziehl – Nielsen
Bahan – bahan yang diperlukan :
1) Botol gelas berwarna coklat berisi larutan Carbol Fuchsin 0,3%
2) Botol gelas berwarna coklat berisi akohol (HCl-Alcohol 3%)
3) Botol coklat berisi larutan Merhylen Blue 0,3%
4) Rak untuk pengecatan slide
5) Baskom untuk ditempatkan di bawah rak
6) Corong dengan kertas filter
7) Pipet
8) Pinset
9) Api spiritus
10) Air yang mengalir berupa air ledeng atau botol berpipet berisi
air.
11) Beberapa rak cadangan
25
Perwarnaan sediaan yang telah difiksasi, maksimum 12 slide.
Antar sediaan harus ada jarak untuk mencegah terjadinya
kontaminasi antar sediaan.
b. Cara Pewarnaan
1) Letakkan sediaan dahak yang telah difiksasi pada rak dengan
hapusan dahak menghadap ke atas.
2) Teteskan larutan Carbol Fuchsin 0,3% pada hapusan dahak
sampai menutupi seluruh permukaan sediaan dahak.
3) Panaskan dengan nyala api spiritus sampai keluar uap selama
3 – 5 menit. Zat warna tidak boleh mendidih atau kering. Apabila
mendidih atau kering maka Carbol Fuchsin akan terbentuk
kristal (partikel kecil) yang dapat terlihat seperti kuman TB
4) Singkirkan api spiritus, diamkan sediaan selama 5 menit.
5) Bilas sediaan dengan air mengalir pelan sampai zat warna yang
bebas terbuang.
6) Teteskan sediaan dengan asam alkohol (HCl Alcohol 3%)
sampai warna merah Fuchsin hilang
7) Bilas dengan air mengalir pelan
8) Teteskan larutan Methylen Blue 0,3% pada sediaan sampai
menutupi seluruh permukaan
9) Diamkan 10 – 20 detik
26
10) Bilas dengan air mengalir pelan. Keringkan sediaan di atas rak
pengering di udara terbuka (jangan dibawah sinar matahari
langsung)
c. Pembacaan BTA
Hasil pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(Internasional Union Against Tuberculosis) sesuai rekomendasi
WHO.
B. Tinjauan Umum Tentang Pengobatan TB
Program pengobatan TB paru dalam pemberantasan TB adalah
dengan menggunakan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Di
Indonesia panduan OAT yang disediakan oleh program ada 3 yaitu
kategori -1 , kategori -2, dan kategori -3 dan sisipan (HRZE). Setiap
kategori pengobatan terdiri dari atas dua tahap pemberian yaitu fase awal
intensif dan fase lanjutan anerkala. Pada fase awal pasien minum obat
setiap hari dengan pengawasan penuh dan pada fase intermiten pasien
minum obat 3 kali seminggu.
Penemuan obat dengan sediaan Fixed Dose Combination (FDC)
adalah obat yang dibuat dengan mengkombinasikan beberapa jenis obat
dalam satu sediaan tablet yang dapat disesuaiakan dosisnya
berdasarakan berat badan. Dengan kemajuan teknologi dibidang
farmakologi tampaknya memungkinkan untuk mengkombinasikan
27
beberapa jenis obat dalam satu sediaan yang tidak mengganggu
biovabilitas obat. Dengan demikian kualitas obat dapat terjamin dan
pemantauan dapat dilaksanakan secara berkala.
Beberapa keuntungan dari penggunaan OAT FDC untuk pengobatan
tuberkulosis adalah :
1. Mudahnya pemberiannya
Satu tablet sudah mengandung beberapa jenis obat yang dibutuhkan.
Dengan demikian dapat mencegah pengobatan TBC dengan obat
tunggal (mencegah terjadinya kekebalan obat).
2. Mudah untuk penderita
Memudahkan pasien untuk dapat minum obat secara rutin dan
mencegah ketidakkaruan minum obat.
3. Mudah menyesuaikan dosis obat dengan berat badan penderita
4. Mudah pengelolaan obat pada semua tingkat pelaksana karena hanya
beberapa jenis tablet sudah cocok untuk semua kategori.
5. Mudah pembiayaannya
Harga relatif murah dibandingkan dengan tablet yang mengandung
satu jenis obat seperti kombivak. Berdasarkan hal tersebut maka
memungkinkan untuk dapat meningkatkan akselerasi program
penanggulangan TBC dengan strategi DOTS.
Terdapat 2 jenis tablet FDC yang digunakan di Indonesia yaitu :
1. Tablet yang mengandung 4 macam obat yang dikenal sebagai tablet 4
FDC.
28
Tiap tablet mengandung :
a. 75 mg isoniasid (INH)
b. 150 mg rifampisin
c. 400 mg Pirazinamid
d. 275 Etambutol
Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif
dan untuk sisipan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan
berat badan penderita.
2. Tablet yang mengandung 2 macam obat yang dikenal sebagai 2 tablet
FDC.
Setiap tablet mengandung :
a. 150 mg Isoniasid (INH)
b. 150 mg Rifampisin
Tablet ini digunakan untuk pengobatan Intermitten 3 kali seminggu
dalam tahap lanjutan , jumlah tablet yang digunakan disesuaikan
dengan berat badan penderita.
Disamping itu, tersedia obat lain untuk melengkapi panduan obat
kategori 2 yaitu :
a. Tablet Etambutol @ 400 mg
b. Streptomisin Injeksi, vial @ 750 mg
c. Aquabidest.
29
1. Tujuan pengobatan TB dengan OAT
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat
Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan terhadap penderita Tuberkulosis dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan.
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita minum obat, dilakukan
pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap Intensif yaitu penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat. Jika pengobatan intensif diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurung waktu dua
minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) .
Tahap Lanjutan yaitu penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada tahap ini penting
untuk membunuh kuman sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
30
Panduan Obat Anti Tuberkulosis dengan Strategi DOTS yang
digunakan di Indonesia dibagi dalam 3 kategori yaitu :
a. Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3)
Obat ini diberikan untuk penderita :
1) Penderita baru TB Paru BTA positif
2) Pasien TB Paru BTA (-) rontgen positif yang sakit berat
3) Pasien TB Ekstra paru berat
Pada tahap intensif obat ini terdiri dari Isoniasid (@ 300 mgr),
Rifampisin (@ 450 mgr), Pirasinamid (@ 500 mgr) dan Etambutol
(@ 250 mgr) diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
dilanjutkan dengan tahap. lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (@
300 mgr), Rifampisin (@ 450 mgr) selama 4 bulan.
b. Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)
Obat ini diberikan untuk penderita :
1) Penderita Kambuh
2) Penderita Gagal
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai
Pada tahap intensif obat ini terdiri dari Isoniasid (@ 300 mgr),
Rifampisin (@ 450 mgr), Pirasinamid (@ 500 mgr) dan
Etambutol (@ 250 mgr & @ 400 mgr) serta Streptomisin Injeksi
diberikan setiap selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan diberikan
HRZE dan suntikan Streptomisin setiap hari dan 1 bulan
diberikan HRZE. Kemudian dilanjutkan dengan tahap. lanjutan
31
yang terdiri dari Isoniasid (@ 300 mgr), Rifampisin (@ 450 mgr)
Etambutol (@ 250 mgr & @ 400 mgr) selama 4 bulan.
c. OAT Sisipan (HRZE)
Pada tahap intensif obat ini terdiri dari Isoniasid (@ 300 mgr),
Rifampisin (@ 450 mgr), Pirasinamid (@ 500 mgr) dan Etambutol
(@ 250 mgr) diberikan setiap hari selama 1 bulan
2. Jenis dan Dosis OAT.
a. Soniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90%
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu
kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5
mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant
(persister) yang tidak dapat dibunuh oleh lsoniasid. Dosis 10 mg/kg
BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3
kali seminggu.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB,
32
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan
dengan dosis 35 mg/kg BB.
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan
dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75
gr/hari, sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50
gr/hari.
e. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15
mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
digunakan dosis 30 mg/kg BB.
3. Prinsip Pengobatan TB Paru
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan, supaya
semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh.
Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis
tunggal pada saat perut kosong. Apabila panduan obat yang digunakan
tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB
akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed
Treatment) oleh seorang pengawas menelan minum obat (PMO), untuk
menjamin kepatuhan penderita menelan obat.
33
Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, tahap intensif dan
lanjutan.
a. Tahap Intensif :
Pada tahap awal (intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap
Rifampisin. Bila saat tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat
dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
b. Tahap Lanjutan :
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat dalam jangka waktu
yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah
terjadinya kekambuhan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
C. Tinjauan Umum Tentang VCO
Produk kelapa yang paling berharga adalah minyak kelapa. Minyak
kelapa dapat diperoleh dari daging buah kelapa segar yaitu virgin coconut
oil (VCO) dan minyak kelapa yang diperoleh dari kopra yaitu RBD.CNO.
34
Proses pembuatan minyak kelapa yang berasal dari daging buah kelapa
segar dikenal dengan proses basah (wet process). Sedangkan pembuatan
minyak kelapa yang berasal dari kopra dikenal dengan proses kering (dry
process). (Suhardiyono,L. 1995).
Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemak digolongkan ke
dalam minyak asam laurat, karena kandungan asam laurtanya paling
besar dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Berdasarkan tingkat
kejenuhannya yang dinyatakan dengan bilangan iodin (iodine value),
maka minyak kelapa dapat dimasukkan ke dalam golongan non drying
oils, karena bilangan iod minyak tersebut antara 7,5 – 10,5. (Ketaren,S.
1986).
Virgin Coconut Oil merupakan minyak yang berasal dari pengolahan
buah kelapa segar yang diolah pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Selain
itu tanpa proses pemutihan dan hidrogenasi sehingga menghasilkan
minyak murni. Proses tersebut membuat minyak ini dikenal dengan
sebutan minyak kelapa murni (virgin coconut oil) atau ada yang
menamainya dengan sebutan minyak dara. Virgin coconut oil mempunyai
sifat tahan terhadap panas, cahaya, oksigen, dan proses degradasi. Sifat
itu membuat VCO dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. (Zainal
Ghani. 2006, Sutarmi, Rozaline, 2006 dan Nur, 2008, dan Marina, dkk,
2009).
Minyak kelapa murni tidak mengandung kolesterol, namun kaya
akan senyawa asam laurat. Berbeda dengan minyak goreng biasa,
35
pengolahan secara fermentasi membuat kandungan vitamin E, asam
laurat, serta enzim lain pada buah kelapa tetap utuh meski telah diolah
menjadi minyak. Sifat asam lemak ini mirip dengan asam lemak yang
terdapat dalam air susu ibu yang mampu memberikan ketahanan tubuh
dan berefek membunuh virus. Minyak kelapa murni memiliki warna bening
seperti air, hal ini disebabkan ketika proses fermentasi/pemanasan,
dilakukan juga proses penyaringan dan penjernihan dengan
menggunakan zeolit. Zat ini akan menyerap kotoran dan membuat warna
minyak bening. (www.geocities.com dalam lucky, 2008).
Minyak kelapa komersial (RBD) dibuat dari kopra. Kopra merupakan
daging buah kelapa yang dikeringkan. Kopra dibuat dengan pemanasan
matahari maupun pembakaran dengan suhu tinggi mencapai 200o C. Hasil
ekstraksi dari kopra merupakan minyak mentah. Jika belum dimurnikan,
hasil ekstraknya tidak layak dikonsumsi. Hal ini disebabkan oleh
pengeringan kopra tidak memperhatikan sanitasi. Kebanyakan kopra
dikeringkan dibawah sinar matahari pada udara terbuka serta
terkontaminasi serangga dan pengotor. Produk akhir standar yang terbuat
dari kopra adalah minyak kelapa RBD yang diperoleh dengan pemurnian,
pemutihan, dan penghilangan aroma. Ketiga metode tersebut
menggunakan bahan kimia (pelarut ekstraksi, katalisator) dan pemanasan
tinggi. Proses tersebut mengakibatkan sebagian kecil kandungan minyak
hilang. Telah dilaporkan bahwa VCO mampu meningkatkan aktivitas
enzim antioksidan dan mengurangi tingkat peroksida lipid dan juga
36
memiliki anti NINCDS aktivitas lebih dibandingkan dengan minyak kopra
(Nevin, dkk 2008).
Minyak kelapa komersial juga sering terjadi hidrogenasi. Minyak
terhidrogenasi mengandung lemak trans dan dapat meningkatkan serum
kolesterol yang terkontribusi pada penyakit jantung. Sementara minyak
kelapa murni (VCO) tidak mengalami proses pemurnian dan tidak
mengandung lemak trans. (Sutarmi,S. 2006).
1. Definisi
Minyak kelapa murni (VCO) berbeda dengan minyak kelapa
biasa. Minyak kelapa murni atau Virgin Coconut Oil (VCO) adalah
minyak yang dihasilkan dari buah kelapa segar tanpa melalui
penambahan bahan kimia ataupun proses yang melibatkan panas yang
tinggi (Timoti, 2005). Selain itu, juga tidak melalui tahap pemurnian,
pemucatan dan penghilang aroma (Sutarmi dan Rozaline, H, 2006).
Minyak kelapa murni juga memiliki warna dan rasa yang berbeda dari
minyak kelapa biasa (Timoti, 2005). Berdasarkan defenisi CODEX
Alimentarius, VCO adalah minyak dan lemak makan yang dihasilkan
tanpa mengubah minyak. Jadi, minyak yang diperoleh hanya dengan
perlakuan mekanis dan pemanasan minimal. Karena tidak melalui
pemanasan yang tinggi, vitamin E dan enzim-enzim yang terkandung di
dalamnya dapat dipertahankan (Nuralamsyah, 2005).
37
2. Kandungan VCO
Secara kimiawi minyak kelapa terbentuk dari rantai karbon,
hidrogen dan oksigen yang disebut asam lemak. Asam lemak digabung
oleh satu molekul gliserol membentuk gliserida. Gliserida yang terdapat
pada minyak dan lemak adalah trigliserida (lipida). Diperlukan tiga
molekul asam lemak yang dikombinasi dengan satu molekul trigliserida
(Kuncoro dan Maloedyn, 2005).
a) Asam Lemak
Minyak kelapa murni (VCO) mempunyai asam lemak yang
tidak terhidrogenasi seperti minyak kelapa biasa. Hal ini
disebabkan karena VCO banyak mengandung asam lemak rantai
sedang (Medium Chain Fatty Acid/MCFA). MCFA mempunyai sifat
mudah diserap sampai ke mitokondria sehingga dapat
meningkatkan metabolisme tubuh (Timoti, 2005). Setelah
dikonsumsi, setibanya di dalam saluran cerna, dinding usus
langsung menyerapnya tanpa harus melalui proses hidrolisa dan
enzimatika, kemudian langsung masuk ke dalam aliran darah dan
langsung dibawa ke dalam organ hati untuk dimetabolisir. Di dalam
hati, minyak kelapa murni diproses untuk memproduksi energi saja
dan digunakan untuk meningkatkan fungsi semua kelenjar
endokrin, organ dan jaringan tubuh (Budiarso, 2009). MCFA yang
paling banyak terkandung dalam VCO adalah asam laurat (lauric
acid) (Timoti, 2005).
38
Asam lemak yang terkandung dalam VCO memiliki berbagai
komposisi yang terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak
jenuh dengan persentase yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya,
secara umum dapat kita lihat komposisi asam lemak VCO pada
tabel berikut (Timoti, 2005 dan Nuralamsyah, 2005).
Tabel 1. Kandungan Asam Lemak dalam VCO
b) Polifenol
T J Rajamohan dari University of Kerala, India membuktikan
jumlah polifenol pada VCO lebih tinggi dibandingkan minyak
kacang maupun minyak kelapa biasa. Dibandingkan minyak
kacang yang nilai polifenolnya 45 mg/dl dan kopra 65 mg/ dl, nilai
polifenol VCO 80 mg/dl. Dengan antioksidan tinggi itu kemampuan
menghambat pembentukan karbonil protein LDL penyumbat
saluran jantung juga meningkat. Persentasenya mencapai 90%
39
pada VCO, sedangkan minyak kelapa 80%, dan minyak minyak
kacang 60% (Vina, 2013).
Menurut Dr Ir M. Ahkam Subroto, M. App. Sc., ahli peneliti
utama Pusat Penelitian Bioteknologi, kandungan antioksidan dalam
minyak kelapa murni berupa vitamin E dan polifenol. Jumlahnya
sangat bervariasi. Dalam 100 g VCO kualitas premium terdapat 0,1
mg vitamin E dan 80 mg polifenol. Vitamin E dan polifenol
meningkatkan kandungan dan aktivitas enzim-enzim antioksidan
dalam tubuh. Efeknya mencegah terjadinya peroksidasi dari lipida
dan menurunkan kadar lipida dalam plasma darah dan jaringan,
serta oksidasi LDL oleh oksidan fisiologis (Nevin dkk, 2004 dan
Nevin dkk, 2006).
3. Manfaat VCO
VCO mampu mengatasi penyakit degeneratif seperti diabetes
mellitus, jantung, kegemukan dan kolesterol. Diabetes mellitus di
Indonesia dikenal dengan nama kencing manis. Kencing manis adalah
glikosuria (glukosa dalam urin) karena menumpuknya glukosa dalam
darah sehingga dikelurakan bersama urin. Dalam kondisi ini produksi
insulin atau enzim menurun sehingga metabolisme terganggu. Hal ini
menyebabkan glukosa tidak bisa masuk kedalam sel-sel sehingga
konsentrasi glukosa darah meningkat. Timbunan glukosa tersebut
tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan akhirnya
dibuang bersama urin (Afriadi, 2010 dan Garfinkel et al., 2009).
40
Insulin berfungsi mengubah glukosa menjadi energi sel dengan
cara mentransfer glukosa ke darah dalam sel-sel yang membutuhkan.
Selain itu insulin juga mengubah glukosa menjadi energi cadangan
(glikogen dan lemak). Kandungan MCFA (medium chain fatty acid)
dalam VCO mampu merangsang produksi insulin yaitu hormon
pengangkut zat gula ke dalam sel-sel tubuh. Selain itu VCO juga dapat
menembus dinding usus tanpa bantuan enzim sehingga sel mampu
menghasilkan energi lebih cepat (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
4. Hasil-hasil Penelitian tentang VCO
Beberapa penelitian tentang VCO telah banyak dilakukan untuk
menilai pemanfaatan VCO dalam menanggulangi berbagai penyakit.
VCO mempunyai peranan yang efektif dalam mengobati lesi oral
penderita HIV-AIDS, baik lesi oral yang disebabkan oleh virus atau
bakteri yang dilapisi oleh lipid maupun lesi oral yang disebabkan oleh
kandida (jamur). Efektivitas Virgin Coconut Oil dalam mengobati lesi
oral pada penderita HIV-AIDS tidak hanya dengan sifat antimikroba
yang dimilikinya, tetapi VCO juga mampu menstimulasi pembentukan
sel T helper yang nantinya akan meningkatkan sistem imun penderita
AIDS. Dengan menurunnya kadar viral load dan meningkatnya sistem
imun, disertai dengan pemberantasan virus atau bakteri yang
bersangkutan terhadap timbulnya manifestasi oral, akan menyebabkan
terjadinya penyembuhan lesi oral yang terjadi pada penderita AIDS
41
dan akan mengurangi kemungkinan ia untuk mudah terkena infeksi
lainnya (Farah, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan Ashitani, dkk tahun 2009,
memberikan formula tinggi VCO dapat memperbaiki nafsu makan dan
pertambahan berat badan pada penderita infeksi pernapasan kronik
dengan kaheksia. Hasil penelitian Zakaria, dkk. 2011, menemukan
bahwa VCO dapat berfungsi sebagai antinoceptive dan anti inflamasi.
D. Tinjaun Umum Tentang Konversi
Konversi adalah perubahan dari BTA positif menjadi BTA negatif.
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan ulang dahak secara mikroskopik. Untuk memantau
kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak dua
kali (sewaktu dan pagi) hasil dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen
tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif maka hasil pemeriksaan
ulang dahak dinyatakan.
Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pada:
1. Akhir Tahap Intensif
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan kedua pengobatan
penderita baru BTA positif kategori I atau seminggu sebelum akhir
bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan katagori 2.
42
Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif dilakukan untuk
mengetahui telah terjadi konversi dahak.
a) Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori I akhir
bulan ke 2 pengobatan sebagian besar (seharusnya > 80%) dari
penderita dahaknya sudah BTA negatif (konversi) dan penderita ini
dapat meneruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika pemeriksaan
ulang dahak pada akhir bulan ke 2 hasilnya positif pengobatan
diteruskan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Setelah paket
sisipan satu bulan selesai, dahak diperiksa kembali. Pengobatan
tahap lanjutan tahap meskipun hasil pemeriksaan dahak BTA masih
tetap positif.
b) Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2. Jika
pemeriksaan ulang dahak pada akhir ke 3 positif, tahap intensif
harus diteruskan lagi selama 1 bulan dengan OAT sisipan. Setelah
satu bulan diberi sisipan dahak diperiksa kembali. Pengobatan
tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemeriksaan dahak
ulang BTA masih positif.
c) Pengobatan penderita BTA negatif rontgen positif dengan Kategori 3
(ringan) atau kategori (berat) Penderita TB paru BTA negatif,
rontgen positif baikan dengan pengobatan kategori 3 (ringan) atau
kategori 1 (berat), tetap dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada
akhir bulan ke 2. Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA positif.
43
Bila pemeriksaan ulang dahak akhir tetap intensif pada penderita
baru dan penderita pengobatan ulang BTA Positif, dahak menjadi BTA
negatif, pengobatan diteruskan ke tahap lanjutan.
Bila pada pemeriksaan ulang dahak pada tahap akhir intensif
penderita BTA negatif rontgen positif dahak menjadi BTA positif,
penderita dianggap gagal dan dimulai pengobatan dari permulaan
dengan kategori 2.
2. Sebulan Sebelum Akhir Pengobatan
Dilakukan seminggu sebulan akhir bulan ke 5 pengobatan
penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau seminggu sebelum
akhir bulan ke 7 pengobatan ulang penderita BTA positif dan kategori
2.
3. Akhir Pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan pada
penderita baru BTA positif dengan kategori I, atau seminggu sebelum
akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif dengan kategori 2.
Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan akhir pengobatan dan akhir
pengobatan (AP) bertujuan untuk menilai hasil pengobatan (sembuh
atau gagal)
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan
pengobatan secara lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak (follow up)
paling sedikit 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya negatif yaitu (pada AP
/ sebulan sebelum AP dan satu pemeriksaan follow up sebelumnya).
44
Tabel 2. Tabel Sintesa Konversi BTA
No Peneliti/tahun Masalah Utama
Karakteristik Temuan
Subjek Instrument Metode
1. Yani Triyani, Ida Parwati, I. Sjahid, J.E. Gunawan
Konversi BTA dipengaruhi oleh jumlah dosis dalam pengobatan TB
85 pasien TB
Pemeriksaan mikroskopik
Analisis Deskriptif
Konversi Sputum BTA untuk kelompok dosis tinggi ditemukan signifikan lebih cepat daripada kelompok dosis standar.
2. Cindradewi Tangahu, Furqan Naiem , Arsunan Arsin
Melihat pengaruh Intervensi Propolis terhadap Konversi penderita TB
20 responden
Observasi Kuesioner
uji wilcoxon dan Chi square
Ada perbedaan konversi antara yang mendapat propolis dengan tanpa propolis. Konversi TB lebih banyak pada responden yang mendapat propolis + OAT dibanding OAT saja
Sumber : beberapa artikel ilmiah
E. Status Gizi pada penderita TB
Malnutrisi sering dialami oleh penderita TB, hal ini dapat dijelaskan
karena Cell Mediated Immunity (CMI) pada host telah terpapar dengan
kuman TB, Malnutrisi merupakan defisiensi terhadap makro dan
mikronutrien, Hal ini terlihat pada percobaan hewan menerangkan bahwa
ada hubungan yang erat antara malnutrisi dengan keberlangsungan
penderita TB yang diakibatkan menurunnya jumlah sel T – lymphosit.
45
Malnutrisi merupakan faktor risiko penting untuk TB, karena imunitas
seluler merupakan kunci pertahanan host terhadap TB. Hubungan antara
berat badan, mortalitas dan morbiditas TB telah diteliti secara ekstensif
sejak 1986 (Sacks, dkk 1998, dan England, dkk 2003)
1. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau
sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi
dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Supariasa, 2002). Status gizi
merupakan suatu keadaan penampakan fisik yang terjadi karena
ketidakseimbangan antara metabolisme zat gizi dari pengeluaran oleh
individu. Dalam peneltian ini penentuan status gizi penderita MDR-TB
menggunakan pengukuran antropometri yaitu IMT (BB/TB2) yang
tercatat dalam kartu riwayat pengobatan pasien yang sebelumnya
mendapatkan pengobatan dimana pemberian dosis obat disesuaikan
dengan BMI nya (Ida Leida, 2012).
Status gizi yang kurang akan menurunkan kekebalan tubuh
sehingga akan mudah terjadi penyakit. Kekurangan protein dan kalori
serta zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru (Ida Leida,
2012), hal ini sesuai dengan penelitian di Tanzania yaitu dari 499
pasien TB diberikan asupan zat gizi (zink dan vitamin A) telah
mengalami peningkatan berat badan 0,8 Kg (Nyayogsa Range dkk,
2002).
46
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi
yaitu survei konsumsi pangan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.
a. Survei Konsumsi
Konsumsi pangan adalah indikator pola pangan yang baik,
dan tidak mengukur status gizi dengan cara yang tepat dan
langsung, Akan tetapi, suatu studi komsumsi lebih sering
digunakan hanya sebagai salah satu teknik untuk menunjukkan
tingkat keadaan gizi daripada dipakai sebagai salah satu pengukur.
b. Pemeriksaan Fisik
Penilaian antropometri yang meliputi pengukuran tinggi
badan, berat badan, tebal lipatan kulit dan lingkar lengan
merupakan teknik yang berharga untuk digunakan sehubungan
dengan pemeriksaan fisik guna menyaring individu untuk penilaian
tersebut. Cara ini sangat mudah dilakukan sehingga biasanya
dicantumkan dalam semua macam penilaian pengukuran status
gizi seseorang terutama dalam menentukan berat badan ideal,
antara lain menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), standar
Brocca, Relative Body Weight (RBW) dan SD-Score (Z-score).
Dalam penelitian ini pengukuran status gizi menggunakan
penilaian Indeks Massa Tubuh (IMT) yang merupakan pengukuran
antropometri yang paling mudah dan paling sering dihubungkan
dengan komposisi tubuh. Perhitungan ini digunakan komposisi
47
pada mereka dengan golongan usia 18 tahun atau lebih. Batasan
berat badan normal dapat ditentukan dengan menilai indeks dari
berat badan normal dapat ditentukan dengan nilai indeks dari berat
badan terhadap kuadrat tinggi.
𝐼𝑀𝑇 =𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝐾𝑔)
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)2
Berikut ini adalah kategori IMT yang digunakan di Indonesia
untuk menentukan keadaan seseorang.
Tabel 3 Batas Ambang Nilai Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT Kategori St. Gizi
<17,0 17,0 - 18,5
Kekurangan BB tingkat berat Kekurangan BB tingkat ringan Kurus
18,5 - 22,9 Normal
≥23 - 24,9 25 - 29,9
≥30
Overweight
Obesitas I Obesitas II
Gemuk
Sumber: Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 2002
Tabel 4. Tabel Sintesa Status Gizi dalam Pengobatan TB
No Peneliti/tahun Masalah Utama
Karakteristik Temuan
Subjek Instrument Metode
1. M. Vasantha, P.G. Gopi and R. Subramani
Berat badan berpengaruh terhadap pengobatan TB
1.557 pasien TB BTA (+)
Medical Record
Multiple regression method
Ada hubungan antara kenaikan berat badan dengan DOTS dalam penyembuhan pasien TB.
2. Colleen F. Hanrahan, Jonathan E. Golub, Lerato Mohapi, dkk
IMT dan risiko TB
3.456 responden
Kuesioner, telpon, surat
Clinical cohort
Peningkatan berat badan secara signifikan mengurangi kematian dan insiden TB.
Sumber : beberapa artikel ilmiah
48
c. Pemeriksaan Laboratorium
Teknik laboratorium yang paling sering digunakan adalah teknik
yang mengukur kandungan berbagai zat gizi dalam darah dan air
seni, pada penelitian ini digunakan dengan melihat kandungan zat
mikronutrient dalam darah seperti Kandungan feritin dan vitamin D.
49
F. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian
(UNICEF – DEPKES dalam Ida Leida, 2012)
Imun
Isu – Isu Utama
Asupan Gizi
Penyebab Mendasar
Makro Nutrien
Mikro Nutrien
Pendidikan Kurang; Kurang Pengetahuan
Kurangnya Sumber Daya
Kemiskinan; Inflasi; Ketahanan Pangan
Politik dan Sosial
Aktivasi Antiproliferasi
Status
Gizi
Penyakit Infeksi (TB)
Akses pada
Makanan tidak
Memadai
Pola Asuh Tidak Memadai
Pelayanan Kesehatan Tidak
Memadai dan Riwayat Pengobatan
Lingkungan / Sanitasi yang
Buruk
Konversi
Antioksidan
Kuat Mikobacterium
TB
ROS
VCO
Efek
50
G. Kerangka Konsep Penelitian
1. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah peningkatan konversi sputum BTA dan
status gizi penderita TB yang mendapatkan pengobatan DOTS saja
maupun yang mendapatkan pengobatan DOTS ditambah VCO.
2. Variabel Independent
Variabel Independen adalah perbandingan intervensi pengobatan
penderita TB yang mendapatkan pengobatan DOTS ditambah VCO
dengan penderita yang hanya mendapatkan pengobatan DOTS saja.
Kerangka koseptual penelitan ini ditujukan sebagaimana skema
dibawah ini :
Gambar 2. Kerangka Konsep
OAT
1. PENINGKATAN KONVERSI SPUTUM BTA
2. PENINGKATAN STATUS GIZI
OAT + VCO
1. Meningkatkan daya bunuh dan daya hambat Mikobakteri TB
2. Meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan
Berat Badan
51
H. Hipotesis Penelitian
Pemberian (intervensi) Virgin Coconut Oil (VCO) lebih mempercepat
konversi sputum BTA dan meningkatkan status gizi dalam pengobatan
penderita TB.
I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Virgn Coconut Oil (VCO) berbentuk cairan diberikan pada subyek
penelitian yang terpilih selama 2 bulan (fase awal/intensif) dengan
dosis 3 x 2 sendok makan (@10 ml) sehari pada kelompok intervensi
dibawah pengawasan PMO dan peneliti.
2. OAT adalah obat anti TB yang diberikan berupa combination fixed
dose (Rifampisin, INH, Pirazinamide, Etambutol) dengan dosis yang
diberikan oleh program di BBKPM Makassar.
3. Konversi
Adalah perubahan BTA postif menjadi negatif pada penderita TB paru
yang telah menjalani pengobatan fase intensif selama kurang lebih 2
bulan (Depkes, 2002). Semua subyek penelitian diperiksa konversi
sputum BTA yang dilakukan pada awal penelitian untuk selanjutnya
setiap minggu selama 8 minggu (2 bulan) untuk melihat waktu konversi
sptum BTAnya. Pemeriksaan menggunakan metode pewarnaan “Ziehl
Nieelsen” dengan mikroskop binokuler.
52
Kriteria Objektif :
a) Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya dengan hasil BTA
negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika
non OAT.
b) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB Paru BTA positif.
Kriteria diagnostic TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
Sewaktu : Negatif
Pagi : Negatif
Sewaktu : Negatif
4. Status gizi hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dari penderita
yang diukur berdasarkan Body Mass Indeks (BMI) atau Indeks Massa
Tubuh (IMT) (menurut Gray), dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan. Hasil perhitungan dihitung dengan rumus :
53
𝑩𝑴𝑰/𝑰𝑴𝑻 = 𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒅𝒂𝒏 (𝒌𝒈)
𝑻𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒃𝒂𝒅𝒂𝒏 (𝒎𝒆𝒕𝒆𝒓)𝟐
Kriteria Objektif :
Status Gizi kurang : IMT < 18,5
Status Gizi baik : IMT 18,5-25,0
54
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Model Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian True Experimental Design pre
post test control group design karena dalam intervensi dilakukan
randomisasi pengelompokan, ada reflikasi dan terdapat kelompok kontrol.
Rancangan penelitian sebagai berikut :
Keterangan:
O1 : Observasi dan pengukuran awal (pre-test) penilaian konversi
sputum BTA dan status gizi penderita yang akan mendapatkan
DOTS + VCO
P1 : Perlakuan (intervensi) yaitu penambahan VCO selain pengobatan
intensif (DOTS)
O2 : Observasi dan pengukuran akhir (post-tes) penilaian konversi
sputum BTA dan status gizi penderita yang diintervensi dengan
DOTS + VCO.
O3 : Observasi dan pengukuran awal (pre-tes) penilaian penderita yang
akan mendapatkan DOTS.
--- : Tanpa perlakuan, maksudnya adalah tidak diberikan VCO,
pengobatan berjalan sesuai dengan program.
O2
O4
TB+
O1
O3
P1
---
55
O4 : Observasi dan pengukuran akhir (post-tes) penilaian sputum BTA
dan status gizi penderita yang mendapatkan DOTS.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(BBKPM) Kota Makassar. Alasan pemilihan tempat penelitian ini dengan
pertimbangan berdasarkan survey data sekunder memperlihatkan bahwa
jumlah kasus TB paru selalu meningkat tiap tahun dan BBKPM Kota
Makassar merupakan balai layanan khusus untuk penyakit paru-paru.
Waktu penelitian selama 4 bulan, yaitu dari Bulan April – Juli 2013.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengunjung yang
datang berobat di BBKPM Makassar dengan memeriksakan dahaknya.
2. Sampel
Adalah sebagian dari pengunjung di BBKPM Makassar yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dan hasil pemeriksaan klinis BTA
positif, RO positif, dan menderita TB Paru serta merupakan penderita
baru. Sampel penelitian dibagi atas 2 group, yaitu group I (kelompok
intervensi) adalah penderita TB Paru yang mendapatkan DOTS +
VCO. Group II (kelompok kontrol) adalah penderita TB Paru yang
hanya mendapatkan DOTS. Penentuan nomor urut dalam group baik
kelompok intervensi maupun kontrol ditentukan berdasarkan urutan
56
kunjungan, dimana setiap pemilihan kelompok intervensi diikuti dengan
pemilihan kelompok kontrol pada setiap group.
a) Kriteria inklusi
1) Penderita TB paru kategori I (BTA positif)
2) Belum pernah mendapatkan pengobatan TB DOTS sebelumnya
(penderita baru).
3) Usia pasien 18-45 tahun pada saat penelitian berlangsung baik
laki-laki maupun perempuan dimana kelompok usia ini adalah
usia produktif.
4) Status status gizi kurang (IMT < 18,5) dan gizi baik (IMT ≥ 18,5)
5) Bersedia ikut dalam penelitian ditandai dengan inform consent.
6) Penderita TB yang beralamatkan di Kota Makassar.
7) Didampingi PMO (Pengawas Minum Obat).
8) Tidak menderita penyakit HIV-AIDS positif.
9) Tidak menderita penyakit komplikasi paru berat seperti : pleural
effusion, PPOK, Pneumoni berat, Azthma kronik dan
Bronchopneumoni berat.
b) Kriteria eksklusi
1) Berdomisili diluar Kota Makassar.
2) Pasien pernah mendapatkan pengobatan dibawah 1 bulan
c) Kreteria pengunduran diri/drop out
1) Pasien berpindah tempat tinggal di luar Kota Makassar yang
memungkinkan untuk dilakukan kontrol.
2) Pasien menyatakan untuk berhenti mengikuti penelitian.
57
3) Penderita yang mengalami efek samping obat selama
penelitian.
d) Sampling (cara penarikan sampel)
Penarikan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
Sistematic Random Sampling, sampel penelitian diambil dari kasus
suspek TB yang berkunjung di BBKPM Makassar dengan
memenuhi kriteria penelitian. Setiap pasien dengan memenuhi
kriteria penelitian secara otomatis akan masuk dalam sampel
penelitian dengan urutan kelompok Intervensi kemudian kelompok
kontrol. Penentuan urutan dilakukan dengan sistim undian/lot.
Dalam 1 kelompok terbagi menjadi 2 kategori yakni pasien dengan
status gizi kurang dan status gizi baik. Penetuan urutannya juga
dilakukan secar undian/lot.
e) Besar Sampel
Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif dengan
menggunakan skala pengukuran numerik berpasangan. Dengan
demikian rumus besar sampel yang digunakan adalah :
𝑛1 = 𝑛2 = 𝑍𝛼 + 𝑍𝛽 𝑆
𝑋1 − 𝑋2
2
Dimana :
n1=n2 = jumlah sampel tiap kelompok
Z = Harga kurva normal tingkat kepercayaan tertentu
S = Simpangan baku kedua kelompok (dari pustaka) = 5
58
α = Kesalahan tipe I, ditetapkan sebesar 5% atau 0,05, hipotesis 1
arah sehingga Zα=1,64
β = Kesalah tipe II ditetapkan sebesar 10% sehingga Zβ=1,28
𝑋1 − 𝑋2 = Selisih perbedaan klinis minimal yang dianggap
bermakna = 3,25
𝑛1 = 𝑛2 = 1,64 + 1,28 . 5
3,25
2
𝑛1 = 𝑛2 = 20 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Jadi jumlah sampel minimal sesuai dengan rumus diatas adalah
20 tiap kelompok. Jumlah keseluruhan sampel adalah 20 x 2 = 40
orang.
59
D. Tahapan Penelitian
1. Tahap Pengukuran Variabel Penelitian
Gambar 3. Alur Penelitian
Komparasi Hasil Pre dan Post Test
Pemeriksaan I 1. Pemeriksaan Sputum BTA (3 kali - SPS) 2. Status Gizi awal penderita(Ukur BB, TB)
DOTS
POPULASI : Semua pengunjung yang datang berobat di BBKPM
Makassar dengan memeriksakan dahaknya
SAMPEL : Memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dan hasil
pemeriksaan klinis BTA+, RO+, dan menderita TB Paru serta merupakan penderita baru
Pemeriksaan III 1. Pemeriksaan Sputum BTA (3 kali - SPS) 2. Status Gizi awal penderita(Ukur BB, TB)
Pemeriksaan II 1. Pemberian DOTS + VCO pada kelompok intervensi dan
DOTS pada kelompok kontrol 2. Pemeriksaan Sputum BTA setiap minggu(3 kali - SPS) 3. Mengukur BB dan TB penderita setiap bulannya untuk
menghitung IMT
DOTS+VCO
60
Tahapan dalam pengumpulan data sebagai berikut:
a. Penderita suspectI TB ke BBKPM Makassar.
b. Mengambil dahak penderita suspect dan dilakukan pemeriksaan
dahak oleh petugas laboratorium BBKPM Makassar.
c. Membuat list penderita suspect dengan hasil pemeriksaan BTA
Positif hingga didapatkan penderita TB positif.
d. Memberikan inform concent pada penderita TB positif serta
menjelaskan tujuan penelitian, penjelasan pengambilan dan
pemeriksaan dahak, pengukuran status gizi serta penjelasan
mengenai pemberian VCO kepada kelompok intervensi (penderita
yang mendapatkan pengobatan DOTS + VCO) beserta efek
samping yang mungkin terjadi selama mendapatkan pengobatan.
Inform concent ini dilakukan hingga tercapai 40 penderita yang
menjadi subjek penelitian.
e. Melakukan pengukuran Tinggi badan dan berat badan
menggunakan alat ukur yang tersedia di BBKPM Makassar.
Pengukuran ini dilakukan setiap minggunya selama 8 minggu untuk
melihat peningkatan berat badan penderita. Pengerjaan ini
dilakukan oleh peneliti dan/atau pembantu peneliti. Penderita yang
tidak bisa datang ke BBKPM untuk dilakukan pengukuran berat
badan akan didatangi oleh peneliti dan/atau pembantu peneliti.
f. Melakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis untuk
mengetahui apakah telah terjadi konversi. Pemeriksaan dahak ini
61
dilakukan setiap minggu untuk mengetahui perkembangan
pengobatan.
g. Sebelum penderita pulang ke rumah, diberikan 1 pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi minggu berikutnya dan dibawa ke
BBKPM untuk diperiksa. Penderita pada kelompok intervensi
diberikan pengobatan DOTS ditambah VCO untuk 1 minggu.
Sehari sebelum obat habis, penderita datang ke BBKPM untuk
mengambil obat sekaligus membawa dahak pagi untuk diperiksa.
Penderita yang tidak bisa datang ke BBKPM Makassar untuk
mengambil obat dan/atau membawa dahaknya, akan didatangi oleh
peneliti dan/atau pembantu peneliti.
h. Untuk menghindari terjadinya bias dalam minum obat, maka
penelitii/pembantu peneliti mengingatkan kepada pasien untuk
minum obatnya. 3 hari pertama di lakukan setiap hari dan
selanjutnya setiap 3 hari akan sampai penelitian selesai (minggu
ke-8 pengobatan).
i. Data yang telah terkumpul seperti karakteristik responden, hasil
pengukuran tinggi badan dan berat badan, serta hasil pemeriksaan
dahak, kemudian diinput dalam program SPSS dan selanjutnya
dilakukan analisis data.
2. Metode Pengukuran
a. Pemeriksaan sputum : Pemeriksaan sputum BTA sampel
penelitian menggunakan metode pewarnan “Ziehl Neelsen” semua
62
dilaksanakan di laboratorium BBKPM Kota Makassar, sehingga
kualitas pengukuran tetap sama.
b. Pengukuran status gizi : Semua pengukuran status gizi subyek
penelitian dilaksanakan di BBKPM Kota Makassar dengan cara
menimbang BB dengan menggunakan timbangan badan merek
“Seca” dan TB menggunakan alat ukur tinggi badan “Microtoise
Staturmeter” setiap setiap bulannya untuk menghitung IMT,
sehingga kualitas pengukuran tetap sama. Pengukuran Food
Frekuensi dilakukan untuk memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan dari penderita.
3. Pelaksanaan Pengukuran Penelitian
a. Semua kegiatan intervensi di atas dilaksanakan oleh petugas
BBKPM Makassar yang sudah dilatih (petugas pelaksana peneliti,
petugas gizi dan petugas laboratorium).
b. Petugas yang melaksanakan pengukuran baik petugas laboratium
dan petugas gizi sebelum penelitian dilaksanakan, terlebih dahulu
dilatih di BBKPM Kota Makassar. Petugas pengukur tidak
diberitahu siapa kelompok intervensi dan siapa kelompok kontrol.
c. Pasien dianjurkan datang setiap minggu selama 8 minggu untuk
pemeriksaan sputum BTA dan setiap bulan selama 2 bulan untuk
mengukur status gizi penderita.
d. Setiap 3 hari pasien diingatkan untuk minum obat untuk
menghindari bias dalam minum obat.
63
E. Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari hasil pengamatan selama
proses penelitian, dimana kelompok kontrol mendapatkan pengobatan
DOTS sedangkan kelompok intervensi diberi pengobatan DOTS +
VCO, kemudian diamati dan dicatat perkembangan dan kemajuannya
oleh peneliti selama 2 bulan. Pengukuran tinggi badan dan berat
badan dilakukan untuk mengetahui status gizi subjek penelitian.
Adapun tahapan pengumpulan data sebagai berikut:
a. Pengumpulan data dengan kuesioner meliputi pertanyaan tentang
karakteristik responden, hasil pemeriksaan sputum BTA, serta
pengukuran status gizi penderita.
b. Pemeriksaan sampel dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) dilakukan
untuk menentukan apakah pasien menderita TB atau tidak.
Pemeriksaan dahak dilakukan setiap minggu untuk melihat apakah
terjadi konversi atau tidak.
c. Pengukuran tinggi badan dan berat badan dilakukan untuk
menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) pasien. Pengukuran berat
badan dilakukan selama 3 kali setiap bulannya selama dua bulan
untuk mengetahui peningkatan berat badan penderita. Pengukuran
pertama dilakukan pada saat pasien pertama kali didiagnosis TB
positif. Pengukuran kedua dilakukan setelah 1 bulan mendapatkan
64
pengobatan, dan pengukuran ke tiga dilakukan setelah 2 bulan
mendapatkan pengobatan.
d. Pengukuran Food Frekuensi dilakukan untuk untuk memperoleh
data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau
makanan jadi.
2. Data Sekunder
Data sekunder diambil di BBKPM Makassar berupa jumlah suspek
dan kasus TB yang tercatat di register TB serta nomor registrasi pasien
untuk memudahkan dalam melakukan kontrol pencatatan hasil
penelitian.
F. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program
SPSS versi 18 untuk melakukan analisis data secara univariat dan
bivariat.
1. Analisi Univariat
Analisis yang dilakukan pada masing-masing variabel untuk melihat
gambaran umum setiap variabel, distribusi, dan frekuensinya seperti
karakteristik (umur, jenis kelamin, pekerjaan), status gizi serta hasil
pemeriksaan dahak untuk melihat konversi.
2. Analaisis Bivariat
Hasil yang diperoleh dibandingkan antara sebelum dan sesudah
intervensi dengan menggunakan uji T-test. Untuk melihat perbedaan
65
rerata lama konversi antara kelompok intervensi (DOTS + VCO)
dilakukan analisis uji T tidak berpasangan. Untuk melihat perbedaan
rerata peningkatan status gizi selama pengobatan maka dilakukan uji T
berpasangan.
G. Penyajian data
Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel dan grafik disertai
dengan narasi.
H. Kontrol kualitas
Kontrol kualitas dilakukan untuk mengontrol semua aspek operasional
dalam proses penelitian mulai dari persiapan sampai pengolahan data.
1. Standarisasi Petugas Lapangan
Standarisasi petugas lapangan dilaksanakan untuk memberikan
pemahaman yang sama dengan gold standard peneliti, pelatihan
petugas yaitu melatih petugas dalam hal penggunaan instrument
penelitian secara baik dan benar dengan presisi dan akurat. Untuk
tenaga laboratorium, peneliti menggunakan tenaga dari BBKPM
Makassar yang sudah berpengalaman.
2. Standarisasi Alat Ukur
Uji coba alat ukur di lapangan untuk melihat apakah alat ukur yang
digunakan benar-benar berfungsi baik dan mampu untuk memberikan
hasil pengukuran yang diharapkan. Untuk menjamin alat ukur maka
66
digunakan alat ukur yang standar yang digunakan di BBKPM
Makassar.
3. Etika Penelitan
Penelitian ini telah mendapat izin dari Komite Etik FK Unhas serta izin
pelaksanaan penelitian dari Kepala BBKPM Makassar. Inform Concern
(persetujuan untuk mengikuti penelitian) diberikan kepada responden
dan ditandatangani sebagai bentuk pernyataan persetujuan. Data yang
terkumpul semata-mata hanya untuk keperluan ilmiah, identitas dari
responden terjamin kerahasiaannya.
4. Supervisi Lapangan
Kegiatan supervisi dilakukan oleh peneliti kepada pembantu peneliti,
termasuk mengkonfirmasi ulang sebagai bentuk crosscheck. Kegiatan
ini juga dimaksudkan untuk mengantisipasi bila terjadi masalah yang
muncul dilapangan.
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(BBKPM) Makassar yang merupakan klinik khusus untuk TB di wilayah
Indonesia Timur. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh intervensi
(pemberian) VCO terhadap peningkatan konversi dan status gizi penderita
TB di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar
dengan menggunakan desain True Experimental Design pre post test
control group design.
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan terhitung mulai April sampai
Juli 2013 pada dua kelompok yakni kelompok intervensi dan kontrol.
Kelompok intervensi adalah penderita yang mendapatkan pengobatan
DOTS ditambah dengan VCO serta kelompok kontrol adalah penderita
yang hanya mendapatkan pengobatan DOTS. Penilaian sputum BTA
dilakukan setiap minggu selama 8 minggu dan pengukuran status gizi
penderita dilakukan setiap bulan selama 2 bulan. Setelah itu setiap
kelompok diikuti dan dilihat perkembangannya untuk mengetahui penilaian
sputum BTA dan status gizi penderita.
Dalam proses penelitian terdapat 2 sampel penelitian yang
mengalami drof out karena tidak bisa meminum VCO sehingga dilakukan
pergantian sampel yang memenuhi kriteria penelitian. Jumlah sampel
68
yang didapatkan adalah 20 penderita TB positif kelompok intervensi
(DOTS + VCO) dan 20 penderita TB positif kelompok kontrol (DOTS).
Sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 40 penderita TB Positif. Data
yang telah dikumpulkan kemudian diperiksa kelengkapannya dan diolah
menggunakan program SPSS. Hasilnya dianalisis dan disajikan secara
deskriptif dengan tabel distribusi frekuensi serta analisis bivariat dengan
uji T test untuk melihat perbedaan rerata peningkatan konversi dan status
gizi selama penelitian pada kedua kelompok.
1. Analisis Univariat
Pada tahap ini dilakukan analisis diskriptif untuk melihat
gambaran dari kelompok intervensi dan kelompok kontrol serta
karakteristik umum responden seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan,
status gizi pre-post dan pemeriksaan sputum BTA pre-post. Tujuan
analisis ini adalah mendeskripsikan karakteristik sampel dan variabel
yang diteliti menurut jenis data masing-masing kedalam bentuk
distribusi frekwensi dan presentase sebagai berikut:
a. Kelompok Penelitian
Kelompok penelitian terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu
kelompok intervensi (DOTS + VCO) dan kelompok kontrol (DOTS)
untuk dapat membandingkan pengaruh pemberian VCO terhadap
peningkatan konversi sputum BTA dan status gizi penderita TB.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa jumlah sampel masing-
masing kelompok adalah sama yakni 20 orang (50,0%).
69
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kelompok Penelitian di BBKPM Kota
Makassar Tahun 2013
Kelompok Penelittian Total
Jumlah %
Intervensi (VCO + DOTS) 20 50,0
Kontrol (DOTS) 20 50,0
Jumlah 40 100,0
Sumber : Data Primer
b. Karakteristik Responden
Karakteristik umum penderita TB mencakup kelompok umur,
jenis kelamin, dan pekerjaan. Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat
dilihat bahwa untuk kelompok intervensi, paling banyak pada
kelompok umur >40 tahun yaitu 30%, sedangkan untuk kelompok
kontrol paling banyak pada kelompok umur 31 – 35 tahun yakni
30%. Baik pada kelompok intervensi dan kontrol, pasien paling
banyak dengan jenis kelamin laki-laki yaitu masing-masing 55%
dibandingkan dengan pasien perempuan yaitu 45%.
Karakteristik pekerjaan kelompok intervensi dan kontrol lebih
banyak bekerja sebagai swasta yakni masing-masing 30% dan
40%. Secara keseluruhan responden paling banyak bekerja di
sektor swasta yakni 35% dan paling sedikit bekerja sebagai
PNS/honorer 5%.
70
Tabel 6. Distribusi Karakteristik Penderita TB di BBKPM Kota
Makassar Tahun 2013
Karakteristik Intervensi Kontrol Total
n % n % n %
Umur (tahun)
< 21 2 10,0 1 5,0 3 7,5
21 – 25 2 10,0 3 15,0 5 12,5
26 – 30 5 25,0 2 10,0 7 17,5
31 – 35 2 10,0 6 30,0 8 20,0
36 – 40 3 15,0 4 20,0 7 17,5
> 40 6 30,0 4 20,0 10 25,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 55,0 11 55,0 22 55,0
Perempuan 9 45,0 9 45,0 18 45,0
Jenis Pekerjaan
PNS/honorer 2 10 0 0 2 5 Swasta 6 30 8 40 14 35 Nelayan/sopir 1 5 2 10 3 7,5 IRT 5 25 5 25 10 25 Pelajar/ Mahasiswa 3 15 3 15 6 15 Tidak bekerja 3 15 2 10 5 12,5
Jumlah 20 100 20 100 40 100,0
Sumber : Data Primer
c. Status Gizi
Status gizi merupakan ukuran dari keadaan kesehatan fisik
seseorang yang diukur dari ukuran gizi tertentu. Dalam penelitian
ini, pengukuran status gizi dengan menggunakan antropometri
yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT) yang merupakan satuan dari
perhitungan antara berat badan dan tinggi badan dengan
menggunakan rumus :
𝐼𝑀𝑇 =𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝐾𝑔)
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)2
71
Karakteristik status gizi penderita (tinggi badan, berat badan,
dan IMT) selama pengobatan antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4. Perbandingan Rata-rata Peningkatan Berat Badan antara
Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Gambar 5. Perbandingan Rata-rata Peningkatan IMT antara
Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Gambar 4 dan gambar 5 memperlihatkan bahwa baik
kelompok intervensi (DOTS +VCO) dan kelompok kontrol (DOTS)
masing-masing mengalami peningkatan berat badan dan status
48,5649,71
51,06
4444,78 45,04
40
42
44
46
48
50
52
1 2 3
DOTS + VCO
DOTS
18,91
19,39
19,92
17,7318,07 18,16
16,5
17
17,5
18
18,5
19
19,5
20
20,5
1 2 3
DOTS + VCO
DOTS
Berat Badan
72
gizi. Tetapi pada kelompok intervensi mengalami rata-rata
peningkatan berat badan dan IMT yang lebih baik dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Perbedaan frekuensi makanan antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Food Frekuensi Penderita TB Paru Setelah Pengobatan di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013
Food Frekuensi
Intervensi (DOTS + VCO)
Kontrol (VCO) Total
n % n % n %
Cukup 12 63,2 7 36,8 19 100,0
Kurang 8 38,1 13 61,9 21 100,0
Jumlah 20 50,0 20 50,0 4 100,0
Sumber : Data Primer
Tabel 7 menunjukkan bahwa penderita yang mendapatkan
pengobatan DOTS+VCO lebih banyak yang frekuensi makannya
cukup yakni 63,2%, sedangkan pada penderita yang hanya
mendapatkan pengobatan DOTS lebih banyak yang frekuensi
makannya kurang yakni 38,1%.
Selama menjalani pengobatan, beberapa pasien mengalami
perubahan status gizi yangbaik. Perubahan status gizi (IMT ≥ 18,5)
penderita TB di BBKPM Kota Makassar selama pengobatan
kelompok intervensi (DOTS + VCO) dan kelompok kontrol (DOTS)
dapat dilihat pada gambar berikut:
73
Sumber : Data Primer
Gambar 6 memperlihatkan bahwa peningkatan status gizi
pada penderita yang mendapatkan pengobatan DOTS + VCO
(intervensi) lebih baik dibandingkan dengan penderita yang hanya
mendapatkan pengobatan DOTS (kontrol). Pada pemeriksaan ke
dua (1 bulan setelah pengobatan) jumlah penderita dengan status
gizi baik (IMT ≥ 18,5) meningkat menjadi 60% pada kelompok
intervensi sedangkan pada kelompok kontrol tidak mengalami
perubahan yakni 50%. Pada pemeriksaan ke tiga (2 bulan setelah
pengobatan), status gizi baik (IMT ≥ 18,5) pada kelompok intervensi
meningkat menjadi 80% sedangkan pada kelompok kontrol
mengalami penurunan menjadi 45%.
50%
60%
80%
50% 50%45%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
I II II
Gambar 6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan HasilPerhitungan IMT (≥ 18,5) Selama Pengobatan PenderitaTB di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013
DOTS + VCO
DOTS
74
d. Sputum BTA
Hasil pemeriksaan sputum BTA pasien di awal penelitian dapat
dilihat pada gambar 6-7.
Gambar 7 - 8 menunjukkan hasil pembacaan hapusan
sputum BTA selama pengobatan (8 minggu). Pada awal
pengobatan (minggu 1), pasien dengan hasil pembacaan 1+ lebih
banyak pada kelompok kontrol yakni 75% dibandingkan kelompok
intervensi yaitu 50%. Untuk hasil bacaan sputum 2+ dan 3+ lebih
banyak pada kelompok intervensi yaitu masing-masing 25%.
Penderita yang mendapatkan pengobatan DOTS+VCO mengalami
konversi 100% pada minggu ke 7 sedangkan penderita yang hanya
mendapatkan pengobatan DOTS sampai minggu ke-8 hanya
mengalami 85% konversi.
20%
45%
65%70%
90%100% 100%
50%
80% 55% 35% 30% 10%
25%
25%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
Mg 1 Mg 2 Mg 3 Mg 4 Mg 5 Mg 6 Mg 7 Mg 8
Gambar 7. Gambaran Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Selama Pengobatan Pada Kelompok Intervensi (DOTS+VCO)
3+
2+
1+
Negatif
75
Gambar 9. Gambaran Konversi Sputum BTA Selama Pengobatan
Penderita TB di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013
Gambar 8 memperlihatkan perubahan konversi sputum BTA
setiap minggu selama penelitian (8 minggu). Kelompok intervensi
mengalami perubahan konversi lebih cepat dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Minggu ke-2 pada kelompok intervensi telah
5%
15%
30%
50%
65%
85%
75%70%
85% 75%
70% 50% 35% 15%
15% 20%
10% 10%10% 10%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
Mg 1 Mg 2 Mg 3 Mg 4 Mg 5 Mg 6 Mg 7 Mg 8
Gambar 8. Gambaran Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Selama Pengobatan Pada Kelompok Kontrol (DOTS)
3+
2+
1+
Negatif
0
20%
45%
65%70%
90%
100% 100%
5%
15%
30%
50%
65%
85%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1 2 3 4 5 6 7 8
Minggu
Intevensi
Kontrol
76
mulai mengalami konversi sebanyak 20% dan minggu ke 7 telah
mengalami konversi sebanyak 100%. Sedangkan pada kelompok
kontrol mulai mengalami konversi pada minggu ke-3 sebanyak 5%
dan diakhir penelitian (minggu ke-8) masih terdapat 15% yang
belum mengalami konversi.
2. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara
variabel independen dan variabel dependen. Hasil yang diperoleh diuji
dengan menggunakan T-test. Uji T tidak berpasangan untuk melihat
perbedaan rerata lama konversi antara kelompok intervensi
(DOTS+VCO) dengan kelompok kontrol (DOTS). Uji T berpasangan
untuk melihat perbedaan rerata status gizi selama pengobatan.
Intervensi (pemberian) VCO dapat mempengaruhi peningkatan
konversi dan status gizi penderita. Karena adanya Efek anticeptive
VCO yang disebabkan karena mengandung Glycerol Monolaurat
(monolaurin) yang merupakan asam laurat spesifik yang berfungsi
sama dengan asam laurat yang dapat membunuh kuman TB (Fife,
2004). Selain itu, manfaat lain dari VCO adalah dapat memperbaiki
nafsu makan dan menambah berat badan (Ashitani dkk, 2009).
a. Konversi
Konversi merupakan perubahan hasil pemeriksaan sputum
BTA dari BTA positif menjadi BTA negatif. Konversi sputum BTA
dapat dilihat pada Tabel berikut.
77
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gambaran Hapusan Sputum BTA Selama Pengobatan Penderita TB di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013
Kelompok Status Gizi Min Max Mean n Std.
Deviation
Intervensi
(DOTS +
VCO)
Gizi baik 2 7 3,90 10 1,663
Gizi Kurang 2 7 4,50 10 1,780
Total 2 7 4,20 20 1,704
Kontrol
(DOTS)
Gizi baik 4 8 6,00 10 1,491
Gizi Kurang 2 8 6,60 10 1,713
Total 3 8 6,30 20 1,593
Total Gizi baik 2 8 4,95 20 1,877
Gizi Kurang 2 8 5,55 20 2,012
Total 2 8 5,25 40 1,945
Sumber : Data Primer
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konversi pada
penderita yang mendapatkan pengobatan DOTS dan VCO (mean =
4 minggu) lebih cepat dua hari dibanding dengan yang hanya
mendapatkan pengobatan DOTS (mean = 6 minggu). Dilihat dari
status gizinya, terlihat bahwa pemderita dengan status gizi baik
mengalami konversi yang lebih cepat dibandingkan dengan status
gizi yang kurang. Hal ini dapat dilihat lebih jelas pada gambar 10.
Pada kelompok intervensi, status gizi baik mengalami rata-
rata konversi selama 3,9 (4 minggu), lebih cepat dibandingkan
dengan penderita dengan status gizi kurang yakni 4,5 (5 minggu).
Konversi pada kelompok kontrol dengan status giz mengalami
konversi selama 6 minggu, lebih cepat dibandingkan dengan
kelompok kontrol yakni 6,6 (7 minggu). Secara keseluruhan pasien
dengan status gizi baik mengalami rata-rata konversi 4,95 (5
78
minggu), lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol yakni
5,5 (6 minggu).
Gambar 10. Rerata Konversi Sputum BTA berdasarkan status gizi
Penderita TB di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013
Untuk melakukan uji perbedaan rerata lama konversi antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilakukan uji T tidak
berpasangan. Analisis ini dilakukan untuk melihat perbedaan lama
konversi antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
untuk melakukan uji t tidak berpasangan maka sebaran data harus
normal. Hasil uji normalitas data dapat dilihat pada tabel 9.
3,9
6,0
5,0
4,5
6,6
5,6
0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0
Intervensi (DOTS+VC)
Kontrol (DOTS)
Total
Minggu
Gizi Kurang Gizi Baik
79
Tabel 9. Hasil Uji test Normalitas Lama Konversi
status penderita Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig.
konversi VCO ,159 20 ,198
Kontrol ,207 20 ,024
a. Lilliefors Significance Correction
Karena nilai P > 0,05, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa sebaran data lama konversi untuk kelompok intervensi dan
kelompok kontrol mempunyai sebaran yang normal. Sehingga
dilakukan uji-T tidak berpasangan. Hasil uji-T tidak berpasangan
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 10. Perbandingan Rerata Lama Konversi antara Kelompok
Intervensi dan Kelompok Kontrol
n Rerata ± s.b. Perbedaan Rerata
(IK95%) P
Intervensi 20 4,2 ± (1,704) 2,1 (1,044 - 3,156) 0,000
Kontrol 20 6,3 ± (1,593)
Uji T tidak berpasangan
Hasil analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan
didapatkan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05), artinya terdapat
perbedaan rerata percepatan konversi antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol setelah pengobatan dengan penambahan
VCO.
b. Status Gizi
Perbandingan peningkatan rerata status gizi selama
penelitian berdasarkan status gizi dapat dilihat pada tabel berikut.
80
Tabel 11. Perbandingan Peningkatan Rerata IMT Selama Pengobatan
berdasarkan Status Gizi Penderita
IMT Bulan 1 IMT Bulan 2 IMT Bulan 3
Gizi baik Mean 20,51 20,89 21,14
Std. Deviation 1,96 2,06 2,20
Gizi
kurang
Mean 16,13 16,56 16,95
Std. Deviation 1,44 1,56 1,77
Total Mean 18,3217 18,7293 19,0412
Std. Deviation 2,78978 2,83973 2,89360
Sumber : Data Primer
Tabel 11 memperlihatkan bahwa rata-rata status gizi awal
pengobatan pada pasien gizi baik adalah 20,51 dan mengalami
peningkatan pada bulan ke-3 menjadi 21,14. Pada pasien gizi
kurang rata-rata status gizi awal pengobatan adalah 16,13 dan
mengalami peningkatan di bulan ke-3 menjadi 16,95.
Tabel 12. Perbandingan Peningkatan Rerata IMT antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Selama Pengobatan
IMT Bulan 1 IMT Bulan 2 IMT Bulan 3
Intervensi
(DOTS+VCO)
Mean 18,91 19,39 19,92
N 20 20 20
S.D. 2,80 2,77 2,74
Kontrol (DOTS) Mean 17,73 18,07 18,16
N 20 20 20
S.D. 2,72 2,83 2,84
Total Mean 18,32 18,73 19,04
N 40 40 40
S.D. 2,79 2,84 2,89
Sumber : Data Primer
Untuk melihat perbedaan peningkatan rerata IMT selama
pengobatan antara pasien yang mendapatkan pengobatan OAT
81
ditambah dengan VCO dan pasien yang hanya mendapatkan
pengobatan VCO, dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 menunjukkan bahwa kedua kelompok mengalami
peningkatan rerata IMT selama pengobatan. Pada kelompok
Intervensi mengalami peningkatan rerata IMT dari 18,91 pada awal
pengobatan menjadi 19,39 setelah 1 bulan pengobatan dan setelah
2 bulan pengobatan menjadi 19,92. Pada kelompok Kontrol
memiliki rerata IMT pada awal pengobatan yakni 17,73 menjadi
18,07 setelah 1 bulan pengobatan menjadi 18,16 setelah 2 bulan
pengobatan. Untuk melihat perbandingan food frekuensi penderita
TB antara kelompok intervensi dan kontrol setelah pengobatan
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 13. Perbandingan Food Frekuensi Penderita TB Paru di BBKPM Kota Makassar Tahun 2013
Intervensi (DOTS+VCO)
Kontrol (DOTS) p
N 20 20
Mean 421,85 376,80 0,113
Std. Deviation 61,60 73,75
Sumber : Data Primer
Penderita yang mendapatkan pengobatan DOTS+VCO
memiliki rerata asupan makanan yang lebih tinggi yakni 421,85
dibandingkan dengan penderita yang hanya mendapatkan
pengobatan DOTS yakni 376,80.
82
Gambar 11. Perbandingan Peningkatan Rerata IMT Selama
Pengobatan antara Kelompok Intervensi dan Kontrol
Gambar 11 menunjukkan perbedaan peningkatan rerata IMT
antara kelompok Intervensi dengan kelompok Kontrol. Dimana
kelompok Intervensi memiliki peningkatan rerata IMT yang lebih
baik.
Untuk melakukan analisis status gizi maka dilakukan uji T
tidak Berpasangan. Uji ini dilakukan untuk melihat perbedaan IMT
sebelum dan sesudah pengobatan. Untuk melakukan uji T tidak
berpasangan, maka sebaran data harus normal. Berikut ini adalah
hasil uji normalitas.
0,48
0,53
0,34
0,09
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
δ Mean IMT Bulan 1 δ Mean IMT Bulan 2
VCO + OAT
OAT
83
Tabel 14. Hasil Uji test Normalitas IMT
Kolmogorov-Smirnov
a
Statistic df Sig.
IMT Bulan 1 ,090 40 ,200*
IMT Bulan 3 ,095 40 ,200*
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Karena nilai P > 0,05, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa sebaran IMT untuk kelompok intervensi dan kelompok
kontrol mempunyai sebaran yang normal. Sehingga dilakukan uji-T
berpasangan dengan hasil analisis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 15. Hasil Perhitungan IMT Awal dan Akhir Pengobatan Semua
Penderita
n Rerata ± s.b. Perbedaan
Rerata±s.b. IK95% P
IMT awal 20 18,32 ± 2,79 7,19 (0,69) 0,50 -0,94 0,000
IMT akhir 20 19,04 ± 2,89
Uji T berpasangan
Hasil analisis uji T berpasangan perhitungan IMT awal dan
akhir pengobatan didaptkan nilai P = 0,000 (P< 0,05). Artinya
“terdapat perbedaan rerata perhitungan IMT pada awal dan akhir
pengobatan dimana rerata IMT pada awal pengobatan didapatkan
18,32 dan setelah 2 bulan pengobatan rerata IMT meningkat
menjadi 19,04.
Untuk melihat perbandingan beda rerata IMT selama
pengobatan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol
dapat dilihat pada tabel berikut.
84
Tabel 16. Perbandingan Beda Rerata IMT antara Kelompok Intervensi
dan Kelompok Kontrol
n Rerata ± s.b. Perbedaan
Rerata (IK95%) P
Intervensi
(DOTS+VCO) 20 1,01 ± 0,66 0,58 (0,178- 0,99) 0,006
Kontrol (VCO) 20 0,43 ± 0,59
Uji t tidak berpasangan
Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil uji statistic
didapattkan nilai p=0.006 (p<0,05). Artinya “terdapat perbedaan
beda rerata IMT pada awal dan akhir pengobatan antara dua
kelompok. Nilai rerata IMT pada kelompok Intervensi adalah
1,01kg, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yakni
0,43kg dapat dilihat pada gambar berikut.
1,01
0,43
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
VCO + OAT OAT
Gambar 12. Perbedaan Peningkatan Rerata IMT Selama Pengobatan Antara Kelompok Intervensi dan Kontrol
VCO + OAT
OAT
85
B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik
Krakteristik penderita menggambarkan status IMT, kelompok
umur, jenis kelamin dan pekerjaan. Hasil penelitian ini (Tabel 6)
memperlihatkan penderita TB Paru pada kelompok kontrol lebih
banyak pada kelompok umur 31-35 tahun (30%), sedangkan pada
pada kelompok intervensi lebih banyak pada umur >40 tahun (30%).
Menurut WHO 75% dari penderita TB Paru adalah kelompok usia
produktif (15-50 tahun) (Depkes RI, 2002). Begitu juga penelitian Yani,
dkk 2007 yang mendapatkan bahwa penderita TB Paru lebih banyak
pada umur 26-35 tahun yakni 38,8%.
Distribusi menurut jenis kelamin pada penelitian ini untuk berat
badan rendah yang terbanyak adalah laki-laki (55%). Hasil ini sesuai
dengan penelitian Suwarno, 2008 yang menemukan bahwa penderita
TB Paru lebih banyak pada laki-laki (69%), penelitian Yani, dkk 2007
bahwa penderita TB paling banyak pada laki-laki yakni 53,8% dan
penelitian Indra tahun 2008 juga lebih banyak pada laki-laki 63%..
Distribusi responden menurut pekerjaan, yang paling banyak
menderita TB adalah wiraswasta (35%). Hal ini berkaitan akibat
rendahnya tingkat penghasilan karena pekerjaan yang tidak tetap
sehingga mengalibatkan kurangnya asupan maupun kualitas gizi yang
dikonsumsi sehari-hari, dimana asupan gizi yang kurang akan
meningkatkan risiko menderita TB Paru.
86
2. Konversi
Konversi adalah perubahan dari BTA positif menjadi BTA negatif.
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan ulang dahak secara mikroskopik. Dalam penelitian ini
pemeriksaan dahak dilakukan setiap minggu untuk melihat hasil
konversi antara pasien yang mendapatkan DOS (kontrol) dan pasien
yang mendapatkan DOS+VCO (intervensi).
Hasil pemeriksaan sputum BTA setiap minggu (Gambar 7-8)
memperlihatkan bahwa pada penderita yang mendapatkan tambahan
VCO mulai konversi pada minggu ke-2 (20%) dan mengalami konversi
secara keseluruhan (100%) pada minggu ke-7 pengobatan, sedangkan
pada penderita yang hanya mendapatkan pengobatan DOTS mulai
konversi pada minggu ke-3 (5)% dan pada akhir penelitian (minggu ke-
8) tidak semua mengalami konversi (85%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yani, dkk, 2007 yang mendapatkan bahwa hasil akhir penelitian
ditemukan sebanyak 15,4% penderita TB paru yang mendapat
pengobatan (terapi) DOTS kategori I tidak mengalami perubahan
(konversi) pada minggu ke-8. Ada beberapa penyebab tidak terjadinya
pengubahan (konversi) sputum BTA antara lain, IMT yang rendah, dan
kepatuhan meminum obat (Depkes RI, 2002). IMT yang rendah akan
menurunkan kekebalan tubuh sehingga akan mudah terjadi penyakit.
87
Kekurangan protein dan kalori serta zat besi, dapat meningkatkan
risiko tuberkulosis paru (Ida Leida, 2012).
Jika dilihat dari trend percepatan konversi (gambar 9) maka
terlihat pasien yang mendapatkan tambahan VCO mengalami konversi
lebih cepat dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan
pengobatan OAT. Hasil statistik nilai rata-rata konversi yang
mendapatkan VCO adalah 4 minggu, lebih cepat 2 minggu
dibandingkan dengan rata-rata konversi pada pasien yang hanya
mendapatkan pengobatan DOTS yakni 6 minggu (Tabel 9). Hali ini
dikarenakan asam lemak jenuh rantai sedang yang terkandung dalam
VCO membantu membunuh kuman bakteri dan virus, tetapi tidak
membahayakan karena bersahabat dengan bakteri flora dalam usus,
serta dapat mencegah resistensi antibiotic.
Kandungan asam laurat specific dalam bentuk Monolaurin.
Medium ChaIn Fatty Acid (MCFA) yang terkandung dalam VCO dapat
merusak dinding lipid kuman TB, sehingga melemahkan membrane
dan bahkan terjadi disintegrasi membrane sehingga menumpahkan
isinya dan membunuh mikroorganisme tersebut tanpa menyebabkan
kerusakan terhadap jaringan tubuh manusia. Efek anticeptive VCO
disebabkan karena mengandung Glycerol Monolaurat (monolaurin)
yang merupakan asam laurat spesifik yang dapat membunuh kuman
TB (Fife, 2004). Hasil penelitian Zakaria, dkk. 2011, menemukan
bahwa VCO dapat berfungsi sebagai antinoceptive dan anti inflamasi.
88
Hasil uji T tidak berpasangan menunjukkan adanya perbedaan
rerata percepatan konversi secara bermakna antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol setelah pengobatan dengan
penambahan VCO (p=0,000). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil
penelitian rotor pada tahun 2008 bahwa kuman TB yang diberi
Glycerol Monolaurat (GML) dari VCO akan terjadi perubahan morfologi
karena terjadi diskuontinuitas dari lapisan terluar sel menunjukkan
adanya penyusutan sel, ruang kosong dalam sel, hilangnya sebagian
atau tidak lengkapnya komponen seluler, sel-sel terpecah-pecah yang
menyebabkan bahan seluler bocor sehingga tidak terjadi pembelahan
sel.
Clinical trail yang dilakukan Dalmation tahun 2011 di Philipina
General Hospital yang memakai VCO untuk mendukung pengobatan
TB, dirancang untuk membandingkan antara penderita yang hanya
diberi Pengobatan DOTS dengan penderita yang diobati dengan
DOTS ditambah dengan VCO. Hasilnya bahwa VCO dapat
meningkatkan energy untuk membantu membunuh Mycobacterium TB
dengan cara memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Jika dilihat rerata konversi berdasarkan status gizi, maka
penderita dengan status gizi baik mengalami konversi yang lebih cepat
dibandingkan dengan penderita dengan status gizi kurang (Gambar
10). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Collen, dkk tahun 2010
bahwa semakin baik status gizi akan semakin baik dalam pengobatan
89
TB. Perbedaan gizi menjadi salah satu penyebab biologis untuk efek
perlindungan terhadap kuman TB. Individu dengan peningkatan BMI
mungkin memiliki protein yang lebih tinggi setiap hari dan asupan
energi, yang dapat mengakibatkan fungsi kekebalan tubuh lebih kuat
dan mendorong penurunan kematian dan TB (Abba, dkk 2008)
3. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau
sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi
dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Supariasa, 2002). Status gizi
merupakan suatu keadaan penampakan fisik yang terjadi karena
ketidakseimbangan antara metabolisme zat gizi dari pengeluaran oleh
individu (Ida Leida, 2012). Dalam peneltian ini penentuan status gizi
penderita TB paru menggunakan pengukuran antropometri yaitu IMT
(BB/TB2) yang tercatat dalam kartu riwayat pengobatan pasien yang
mendapatkan pengobatan dimana pemberian dosis obat disesuaikan
dengan BMI nya. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat
peningkatan perbaikan status gizi penderita TB Paru setelah
mendapatkan pengobatan. Pemberian penambahan VCO akan
membantu memperbaiki status gizi penderita TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik nilai rata-rata status
gizi penderita mengalami peningkatan selama pengobatan. Tetapi
pengingkatan rerata status gizi (gambar 4-5) pada kelompok intervensi
90
(DOTS+VCO) lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol
(DOTS). Peningkatan status gizi terkait dengan frekuensi makanan.
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran frekuensi makanan. Metode
frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode
tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Frekuensi makanan
pengobatan pada pasien yang mendapatkan pengobatan DOTS
ditambah dengan VCO lebih baik dibandingkan dengan pasien yang
hanya mendapatkan DOTS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7.
Status gizi penderita TB dalam satu bulan pengobatan pada
pasien yang mendapatkan pengobatan DOTS ditambah dengan VCO
mengalami peningkatan menjadi 60% yang sebelumnya 50% gizi baik,
dan setelah 2 bulan pengobatan meningkat lagi menjadi 80%.
Sedangkan pada pasien yang mendapatkan pengobatan OAT saja
justru mengalami penurunan dari 50% gizi baik menjadi 45% (Gambar
6). Hal ini menunjukkan bahwa penderita TB yang mendapatkan
penambahan VCO mengalami perbaikan status gizi yang lebih baik
dibandingkan dengan penderita yang diobati dengan DOTS saja. Hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ashitani, dkk 2009,
memberikan formula tinggi VCO dapat memperbaiki nafsu makan dan
pertambahan berat badan pada penderita infeksi pernapasan kronik
dengan kaheksia. Penderita yang mendapatkan tambahan pengobatan
VCO memiliki rerata frekuensi makan yang lebih tinggi dibandingkan
91
dengan penderita yang hanya mendapatkan pengobatan DOTS (Tabel
7).
VCO mempunyai asam lemak yang tidak terhidrogenasi seperti
minyak kelapa biasa. Hal ini disebabkan karena VCO banyak
mengandung asam lemak rantai sedang (Medium Chain Fatty Acid
/MCFA). MCFA mempunyai sifat mudah diserap sampai ke mitokondria
sehingga dapat meningkatkan metabolisme tubuh (Timoti, 2005).
Setelah dikonsumsi, setibanya di dalam saluran cerna, dinding usus
langsung menyerapnya tanpa harus melalui proses hidrolisa dan
enzimatika, kemudian langsung masuk ke dalam aliran darah dan
langsung dibawa ke dalam organ hati untuk dimetabolisir. Di dalam
hati, minyak kelapa murni diproses untuk memproduksi energi saja dan
digunakan untuk meningkatkan fungsi semua kelenjar endokrin, organ
dan jaringan tubuh (Budiarso, 2009). MCFA yang paling banyak
terkandung dalam VCO adalah asam laurat (lauric acid) (Timoti, 2005).
Jika dilihat dari perbandingan rerata IMT selama pengobatan
(Gambar 12), dapat dilihat bahwa pada pasien yang mendapatkan
pengobatan OAT ditambah dengan VCO mengalami peningkatan
status gizi yang lebih baik. Hasil analisis uji T berpasangan
menunjukkan adanya perbedaan rerata status gizi pada awal dan akhir
(setelah 2 bulan) pengobatan (p=0.000). Jika dilihat dari perbandingan
beda rata-rata setiap bulannya (Gambar 11), maka akan terlihat bahwa
92
peningkatan rerata IMT pada kelompok Intervensi (DOTS+VCO) lebih
baik dibandingkan dengan kelompok Kontrol (DOTS).
Hal ini sesuai dengan penelitian di Tanzania yaitu dari 499
pasien TB diberikan asupan zat gizi (zink dan vitamin A) telah
mengalami peningkatan berat badan 0,8 Kg (Nyayogsa Range dkk,
2002). Status gizi yang kurang akan menurunkan kekebalan tubuh
sehingga akan mudah terjadi penyakit. Kekurangan protein dan kalori
serta zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru (Ida Leida,
2012). Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa kepustakaan yang
memuat penjelasan bahwa keadaan (status) gizi/IMT merupakan hal
yang perlu diperhatikan dalam pemberian pengobatan (terapi) untuk
mendapatkan hasil penyembuhan yang lebih maksimal (Karyadi, dkk,
2002), dan (Raviglione, dkk, 2000). Penurunan berat badan dan
berkurangnya gizi mewakili faktor risiko independen untuk insiden
radang paru-paru dan kematian pada pasien dengan penyakit
pernapasan kronis (Alp, dkk tahun 2005 dan Chailleux, 2003).
Hasil penelitian ini mengindikasikan pentingnya asupan
mikronutrien seperti yang terkandung dalam VCO untuk memperbaiki
status gizi dan meningkatkan imunitas penderita TB Paru. Sehingga
konversi sputum BTA bisa menjadi lebih cepat. Peranan mikronutrient
sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit infeksi seperti TB
karena dengan terjadinya defisiensi zat mikronutrient secara signifikan
terjadi penurunan status imunitas sehingga menurunkan kapasitas
93
untuk mengontrol adanya infeksi (Means RT, 1999 dalam Ida Leida,
2012).
Defisiensi mikronutrien dan status gizi umum yang jelek pada
penderita TB aktif dapat menekan system imun cell-mediated yang
merupakan pertahanan utama host untuk melawan bakteri
Mycobacterium (Cegielski, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan Ida
Leida (2012) pada pasien TB dengan resisten menununjukkan ada
hubungan yang signifikan (OR = 4,1) antara kandungan mikronutrien
yang tak normal dengan kejadian TB dengan resisten.
C. KETERBATASAN PENELITIAN
Dalam pelaksanaan penelitian ini ditemukan beberapa keterbatasan
antara lain.
1. Kontrol pasien dalam minum obat tidak bisa dilakukan sepenuhnya
oleh peneliti, sehingga memungkinkan pasien tidak teratur dalam
minum obat baik OAT maupun VCO.
2. Masih kurangnya hasil penelitian serupa yakni penggunaan VCO
dalam pengobatan TB paru sehingga menyulitkan peneliti dalam
melakukan pembahasan.
94
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Rata-rata peningkatan konversi penderita TB Paru yang hanya
mendapatkan pengobatan DOTS adalah 6 minggu. Untuk
perbedaan rerata peningkatan status gizi adalah 0,43 kg.
2. Rata-rata peningkatan konversi penderita TB Paru yang
mendapatkan pengobatan DOTS+VCO adalah 4 minggu. Untuk
perbedaan rerata peningkatan status gizi adalah 1,01 kg.
3. Terdapat perbedaan rerata percepatan konversi antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol setelah pengobatan dengan
penambahan VCO (p=0,000). Dimana kelompok intervensi
mengalami konversi yang lebih cepat.
4. Terdapat perbedaan rerata IMT antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol setelah pengobatan dengan penambahan VCO
(p=0,006). Pada pemeriksaan ke tiga (2 bulan setelah pengobatan),
status gizi baik (IMT ≥ 18,5) pada kelompok intervensi meningkat
menjadi 80% sedangkan pada kelompok kontrol mengalami
penurunan menjadi 45%.
95
B. Saran
1. Kepada penderita TB Paru diharapkan menjaga asupan
makanannya untuk mencukupi asupan gizi.
2. Perlu dilakukan penambahan VCO pada pengobatan penderita TB
Paru karena dengan penelitian ini, penambahan VCO bisa
mempercepat konversi dan peningkatan status gizi penderita TB
Paru.
3. Untuk penelitian selanjutnya perlu menggunakan VCO dengan
kandungan asam laurat khusus kuman TB untuk melihat efektifitas
pengobatan.
4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan kepada penderita TB dengan
Resisten (MDR-TB) untuk membuktikan apakah VCO juga bisa
berpengaruh terhadap pengobatan pasien MDR-TB.
96
DAFTAR PUSTAKA
Abba K, Sudarsanam TD, Grobler L, Volmink J. 2008. Nutritional
supplements for people being treated for active tuberculosis.
Cochrane Database Sys Rev. 2008; 4:CD006086.
Achmadi UF, 2004; Masaalah TB di Indonesia dan Upaya Percepatan
Penanggulangan Tuberkulosis, ”Stop TB Sekarang Juga ” dalam
buku Makalah Seminar TB Day: FK USU: 53-61
Aditama TY. 2004. Overview: Update Global TB Management (DOTS)
dalam buku Makalah Seminar TB Day ; FK USU : 75-84
Aditama, T.Y. 2006. Perkembangan Teknologi, Perkembangan Kuman.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 3(2): ii.
Afriadi, 2010. Uji Efek Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Berat Badan
Dan Penurunan Kadar Gula Darah (KGD) Tikus Putih Diabetes Yang
Diinduksi Streptozotocin (STZ). Tesis. Program Magister Farmasi
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.
Ahmad S,2004; Masaalah TB di Indonesia pada Seminar TB Day di FK-
USU.
Aggett PJ. 1994. Zinc In : Trace element in infancy and childhood.
Annales Nestle Journal; 52 : p. 94– 106
Ahn J, Koo SI. 1995. Effects of zinc and essential fatty acid deficiencies on
the lymphatic absorbtion of vitamin A and secretion of phospholipids.
J Nutr Biochem : p. 595 – 603
97
Alp E, Güven M, Yildiz O, Aygen B, Voss A, Doganay M: Incidence, Risk
Factors and Mortality of Nosocomial Pneumonia in Intensive Care
Units: a Prospective Study. Ann Clin Microbiol Antimicrob 2004,
3:17.
Al-Moamary MS, Black W, Bessuille, Elwood RK, Vedal S. 1999. The
Significance of the Persistent Presence of Acid-fast Bacilli in Sputum
Smears in Pulmonary Tuberkulosis, Cheast ; 116:726-731.
Ashitani J,I., Matsumoto, N, and Masamitsu, N. 2009. Effect Of Octanoic
Acid-Rich Formula On Plasma Ghrelin Levels In Cachectic Patients
With Chronic Respiratory Disease. Biomed Central.
Bakaev VV, Duntau AP. 2004. Ascorbic acid in blood serum of patients
with pulmonary tuberculosis and pneumonia. Int J Tuberc Lung Dis.
Vol.8(2):263-266.
Beard JL. 2001. Iron biology in immune function, muscle metabolism and
neuronal functioning. Journal of Nutrition ; Vol.131: p. 568 – 80.
Berdanier CD. 1998. Advanced Nutrition and Micronutrition. CRC Press
New York. USA: p. 183 – 203
Browning J, O’Dell B. 1995. Zinc deficiency decreases the concentration
of N-ethyl D-aspartate receptors in guinea pig cortical synaptic
membranes. J. Nutr. Vol.125: p. 2083 – 89.
Budiarso IT, 2009. Minyak Kelapa, Minyak Goreng Yang Paling Aman Dan
Paling Sehat. http://www.wismamas.tk.
98
Cegielski JP. 2004. McMurray DN. The relationship between malnutrition
and tuberculosis, evidence from studies in humans and experimental
animals. International Journal of Tuberculosis and Lung
Disease;8(3):286–98.
Chailleux E, Laaban JP, Veale D: Prognostic Value of Nutritional Depletion
in Patients with COPD Treated by Long-term Oxygen Therapy: data
from the ANTADIR observatory. Chest 2003, 123:1460-1466.
Colleen, dkk. 2010. Body Mass Index and Risk of Tuberculosis and Death.
Online Journal. National Institut of Health. 24(10): 1501–1508
Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Depkes RI, Jakarta
Depkes RI. 2005. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Depkes RI, Jakarta
Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi
2 Cetakan Pertama. Depkes RI, Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Keputusan Menteri
Kesehatan RI Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis.
Depkes RI, Jakarta.
England A, Bjorge T, Sogaard AJ, Tverdal A. 2003. Body mass index in
adolescence in relation to total mortality: 32-year follow-up of
227,000 Norwegian boys and girls. Am J Epidemiol 2003; 157(6):
517-
99
23 Farah, Julia Nasution. 2009. Peranan Virgin Coconut Oil (VCO) Dalam
Menyembuhkan Lesi Oral Penderita HIV/AIDS. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Medan.
Fife, Bruce, C.N., N.D, 2004. Coconut Oil Miracle, cetakan kedua, PT
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta 1114
Garfinkel M., Lee S., Opara E C., Akwari O E. (2009). Insulinotropic
potency of lauric acid: a metabolic rationale for medium chain fatty
acids (MCF) in TPN formulation. J-Surg-Res. 1992 Apr; 52(4): 328-
33. http://www.apnet.com/www/journal/jr.htm
Gerdunas, Warta. 2005. Menyajikan Informasi Seputar Tuberkulosis.
Cetakan ke 8. Departemen Kesehatan RI , Jakarta
Groff JL, Gropper SS, Hunt SM. 1996. Advanced Nutrition and Human
Metabolism. 2nd-ed; p. 368.
Guneylioglu D, Yilmaz A, Bilgin S, Bayram U, Akkaya E, 2004; Factors
Affecting Delays in Diagnosis and Treatment of Pulmonary
Tuberkulosis in Tertiary Care Hospital in Istanbul, Turkey: J.Med SCI
Monit; 10(2): 62-67
Hariadi S, 2005. Fixed Dose Combination to Prrevent Drug Resistance.
KONAS PDPI 2005.
Heidelise. Neurodevelopment of preterm infant. 1997. In : Fanarof AA,
Martin RJ. (editor). Neonatal – perinatal medicine : disease of the
fetus and infant.;6th ed.
100
Hemila H, Kaprio J, Pietinen P, Albanes D, Heinonen OP. 1999. Vitamin C
and other compounds in vitamin C rich food in relation to risk of
tuberculosis in male smokers. Am J Epidemiol.;150(6):632-641.
Isselbecher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL,
1999. Harrison’s Principle of Internal Medicine. Editor edisi bahasa
Indonesia Ahmad A Asdie ed 13, Jakarta EGC : 799-805.
Ida Leida, 2012. Analisis Epidemiologi Genetik dan Faktor Mikronutrien
Pada Penderita Multi Drug Resisten Tuberkulosis (Mdr – TB).
Disertasi Program Pasca Sarjan dan Spesialis Fakultas Kedokteran
Unhas.
Indra, Janis, 2008. Konversi BTA pada Penderita TB Paru Kategori I yang
mendapat Terapo Intensif dengan Diabetes Mellitus Terkontrol dan
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol. Tesis Pascasarjana USU.
Jun, dkk. 2009. Effect of Octanoic Acid-Rich Formula on Plasma Ghrelin
Levels in Cachectic Patients with Chronic Respiratory Disease.
Nutrition Journal 2009, 8:25 doi:10.1186/1475-2891-8-25
Karyadi E, Schultink JW, Nelwan RHH, et al. Poor Micronutrient Status of
Active Pulmonary Tuberculosis Patients in Indonesia. J Nutr
2000;130: p. 2953-8
Karyadi E, West CE, Schultink W. 2002. A double-blind, placebo-
controlled study of vitamin A and zinc supplementation in persons
with tuberculosis in Indonesia: effects on clinical response and
nutrional status. Am J Clin Nutr ; 75: 720–7.
101
Ketaren,S.1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI – Press.
King JC, Keen CL. Zinc. Dalam Modern Nutrition in Health and Disease.
9th ed. Lippincot Williams and Wilkins. Maryland. USA. 1999 : p. 223
– 39.
Kuncoro J., dan Maloedyn. 2005. Gempur Penyakit Dengan VCO. Jakarta:
Agromedia Pustaka, hal : 14 – 22
Lucky, Prima Prihatinani. 2008. Studi Analisis Beberapa Parameter Mutu
Refined Bleaching Deodorized Coconut Oil (RBD.CNO) dan Virgin
Coconut Oil (VCO). Tesis di terbitkan. Universitas Sumatra Utara.
M. Sopiyudin Dahlan. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Edisi 3. Jakarta:
Salemba Medika
Mariono S. 2003. Nutrisi untuk Pasien Paru di Rumah Sakit dan Rawat
Jalan, Respina V
Marina AM, Che Man YB, Nazimah AH. 2009. Chemical Properties of
Virgin Coconut Oil. J Am Oil Chem Soc; 86: 301–307.
Mugusi FM, Rusizoka O, Habib N, Fawzi W. 2003. Vitamin A status of
patients presenting with pulmonary tuberculosis and asymptomatic
HIV-infected individuals, Dar es Salaam, Tanzania. Int J Tuberc Lung
Dis.;7(8):804-807.
Nevin KG, Rajamohan T. 2004. Beneficial Effects of Virgin Coconut Oil on
Lipid Parameters and in Vitro LDL Oxidation. Clin Biochem 2004; 37:
830–835.
102
Nevin KG, Rajamohan T. 2006. Virgin Coconut Oil Supplemented Diet
Increases the Antioxidant Status in Rats. Food Chem 2006; 99: 260–
266.
Nevin KG, Rajamohan T. 2008. Influence of virgin coconut oil on blood
coagulation factors, lipid levels and LDL oxidation in cholesterol fed
Sprague-Dawley rats. Eur J Clin Nutr Metab 2008; 3: 1–8.
Nixon P. 2000. Iron transport, storage and overload. GMC Biochemistry
home page. Biochemistry department. The University of Quesland.
Australia.. (http://biosci.uq.edu.au/GMC/iron ovr 00.htm.)
Nur Hapsari, 2008. Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) dengan Metode
Sentrifugasi. Jurnal online. ejournal.upnjatim.ac.id
Nuralamsyah A, 2005. Minyak Kelapa Murni: Harapan Nilai Tambah yang
Menjanjikan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Ramachandran G, Santha T, Garg R, et al. 2004. Vitamin A Levels in
Sputum-Positive Pulmonary Tuberculosis Patients in Comparison
with Household Contacts and Healthy ‘Normals.’ Int J Tuberc Lung
Dis.;8(9):1130-1133.
Raviglione MC and O’Brien. 2000. Tuberculosis. Dalam: Harrison’s
Principles of Internal Medicine. Edisi ke-15. New York, McGraw Hill
international Book Co.
Sacks LV, S Pendle. 1998. Factors related to in-hospital deaths in patients
with Tuberculosis. Arch Intern Med 1998; 158(17): 1916-22.
103
Simadibrata M. 2003. Manfaat Suplemen Protein Formula Khusus
Berbasis Kedelai Bagi Pasien Malnutrisi . Respina V.
Suhardiyono, L. 1995. Tanaman Kelapa : Budidaya dan Pemanfaatannya.
Yogyakarta : Kanisus.
Sutarmi dan Rozaline, H. 2006. Taklukan Penyakit dengan VCO. Jakarta :
Penebar Swadaya.
Suwarno, Usman. 2008. Konversi BTA Pada Penderita TB Paru Kategori I
Dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal
Yang Mendapatkan Terapi Intensif. Tesis diterbitkan. USU e-
Repository
Taslim NA. 2004. Penyuluhan Gizi, Pemberian Soy Protein dan Perbaikan
Status Gizi Penderita Tuberculosis di Makassar. J Med Nus. 2004;
25:59-64.
Timoti H. 2005. Aplikasi Teknologi Membran Pada Pembuatan Virgin
Coconut Oil (VCO). Nawapanca Adhi Cipta.
Van Crevel R, dkk. (2002). Decreased plasma leptin concentrations in
Tuberculosis patients are associated with wasting and inflammation.
J Clin Endocrinol Metab 2002; 87(2):758-63.
Vasantha M, dkk. 2008. Weight Gain in Patients With Tuberculosis
Treated Under Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS).
Indian J Tubrc 2009; 56: 5-9
104
Vigna Dyah Puspitasari, 2010. Kadar Asam Laurat Dan Fenol Virgin
Coconut Oil (VCO) Yang Diolah Dengan Metode Pemanasan,
Sentrifugasi Dan Pancingan. Jurnal online. http://eprints.undip.ac.id
Vina Fitriani, 2013. Perjuangan VCO Menerjang Fitnah.
http://www.vcosemeru.com/?Kajian_Ilmiah_VCO . Diakses tanggal 6
Februari 2013.
Whittaker P. 1998. Iron and zinc interaction in human. Am J Clin Nutr
1998;68 : p. 442-6.
World Health Organization Report. 2009. Global Tuberculosis Control. A
short update to the 2009 report.
Yani, Triyani, Ida Parwati, I. Sjahid, J.E. Gunawan. 2007. Peralihan
(Konversi) Sputum Bta Antara Pemberian Dosis Baku (Standar) Dan
Tinggi Rifampicin Pada Pengobatan (Terapi) Anti Tuberkulosis
Kelompok (Kategori) I. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, Vol. 14, No. 1: hal.1-10.
Zakaria, Z.A. Somchit, M.N. Mat Jais, A.M. The, L.K. Salleh, M.Z. 2011. In
vivo Antinociceptive and Anti-inflammatory Activities of Dried and
Fermented Processed Virgin Coconut Oil. Med Princ Pract; 20: 231–
236
1
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu
JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar. Telp. (0411)5780103, Fax (0411) 581431.
Contact person dr. Andi Muh Ichsan,PhD (HP. 081342280880), email: am_ichsan @ yahoo.com
LAMPIRAN 1
NASKAH PENJELASAN KEPADA SUBYEK UNTUK PERSETUJUAN
Selamat siang Bapak/ Ibu, saudara(i).
Bagaiamna keadaan Bapak/ Ibu, saudara(i)? Kenalkan nama saya Kasman,
saya mahasiswa pasca sarjana Unhas sedang melakukan penelitian akhir study.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian Virgin
Coconut Oil (VCO) terhadap peningkatan konversi sputum BTA penderita TB Paru.
Bapak/ Ibu, saudara(i) akan di ukur berat badan dan tinggi badan untuk menghitung
IMT (Indeks Massa Tubuh) serta pengukuran food recall untuk mengetahui asupan
makanan yang akan dilakukan sebanyak 3 kali yaitu diawal penelitian, bulan pertama
penelitian dan akhir penelitian (bulan ke 2 penelitian). Selain itu, kamu akan
melakukan pemeriksaan sputum BTA setiap minggu selama 2 bulan untuk melihat
progress dari konversi Sputum BTAnya.
Anda akan kami berikan OAT dan VCO secara gratis dan kami akan
membantu dan memantau supaya bisa meminum obatnya secara rutin. VCO ini aman
diminum karena memberikan asupan lemak jenuh rantai sedang serta dapat membantu
membunuh kuman bakteri dan virus, tetapi tidak membahayakan karena bersahabat
dengan bacteri flora dalam usus, serta dapat mencegah resistensi antibiotik. Efek
anticeptive VCO disebabkan karena mengandung Glycerol Monolaurat (monolaurin)
yang merupakan asam laurat spesifik yang berfungsi sama dengan asam urat yang
dapat membunuh kuman TB.
Efek yang mungkin terjadi adalah rasa mual-mual setelah meminum VCO.
Hal ini karena belum terbiasa dengan rasa dari VCO, tetapi setelah terbiasa, maka hal
ini akan berkurang.
Jika setuju, maka Bapak/ Ibu, saudara(i) akan mendapatkan pengawasan
selama prosedur kegiatan tersebut berlangsung dan semua biaya untuk tindakan dan
bahan yang digunakan dalam penelitian ini akan ditanggung sepenuhnya oleh saya
2
selaku peneliti. Semua data-data mulai dari identitas sampai hasil penelitian akan
dijamin kerahasiaanya. Namun jika Bapak/ Ibu, saudara(i) tidak bersedia ikut dalam
penelitian ini atau mungkin mengundurkan diri dari penelitian ini, kami tidak akan
memaksakannya dan tetap akan memberikan pelayanan sebagaimana mestinya sesuai
dengan standar pelayanan medis yang berlaku.
Jika ada sesuatu ketidaksesuaian selama rangkaian penelitian ini, Bapak/ Ibu,
saudara(i) bersama saya selaku peneliti dapat menelaah kembali untuk mencari jalan
terbaik dalam menangani ketidaksesuaian tersebut. Bila ada yang belum dimengerti
dipersilakan untuk bertanya.
Terima kasih
Kasman, SKM
Jln. Sahabat 3 No. 13 Tamalanrea Makassar
HP. 085226549077
INFORMED CONCENT PENELITIAN
PENGARUH PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL TERHADAP
PENINGKATAN KONVERSI SPUTUM BTA DAN STATUS GIZI
PADA PENDERITA TB PARU DI BBKPM
KOTA MAKASSAR TAHUN 2013
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya telah mendapatkan
penjelasan dan kesempatan bertanya tentang hal-hal yang belum saya mengerti
mengenai penelitian ini. Setelah mendapatkan penjelasan, dengan ini saya
menyatakan secara sukarela ikut serta dalam penelitian ini dan saya berhak
mengundurkan diri bila ada alasan sehubungan dengan kesehatan saya. Demikian
pula jika terjadi ketidaksesuaian, saya akan menelaah kembali untuk mencari jalan
keluar yang terbaik tentang ketidak sesuaian tersebut.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dengan penuh
kesadaran dan tanpa paksaan.
Makassar, 2013
Saksi Tanda tangan Yang menyatakan
1. ………………. ……………
2. ………………. …………… (…..………………..)
Penanggung jawab penelitiaan,
Kasman, SKM
Jln. Sahabat 3 No. 13 Tamalanrea Makassar
HP. 085226549077
Lampiran 2
FORM PENELITIAN
PENGARUH PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL TERHADAP PENINGKATAN
KONVERSI SPUTUM BTA DAN STATUS GIZI PADA PENDERITA TB PARU
DI BBKPM KOTA MAKASSAR TAHUN 2013
I. DATA KARAKTERISTIK (DK)
DK1 Nomor urut Responden
DK2 No. Registrasi BBKPM …………………………………..
DK3 Tanggal Masuk Berobat ………………………………….
DK4 Nama responden …………………………………………………
DK5 Kelompok Penelitian 1. Intervensi 2. Kontrol
DK6 Umur .............. tahun
DK7 Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan
DK8 Pekerjaan ............................................................
DK9 No. Telpon ..........................................................
DK10 Alamat ................................................................
DK11 PMO ...................................................................
II. KONVERSI
Minggu
SPS
I II III IV V VI VII VIII
Sewaktu
Pagi
Sewaktu
III. STATUS GIZI
Waktu
STATUS GIZI
(AWAL)
I
(1 BULAN PENGOBATAN)
II
(2 BULAN PENGOBATAN)
III
Tinggi Badan
Berat Badan
IMT
RAHASIA Lampiran 3
KUESIONER FOOD FREKUENSI
PENGARUH PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL TERHADAP PENINGKATAN KONVERSI SPUTUM BTA DAN STATUS GIZI PADA PENDERITA TB PARU
DI BBKPM KOTA MAKASSAR TAHUN 2013
I. DATA KARAKTERISTIK (DK)
DK1 Nomor urut Responden
DK2 No. Registrasi BBKPM
DK3 Tanggal Masuk Berobat ………………………………….
DK4 Nama responden …………………………………………………
DK5 Kelompok Penelitian 1. Intervensi 2. Kontrol
DK6 Umur .............. tahun
DK7 Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan
Bahan Makanan Frekuensi Konsumsi
Setiap Kali Makan 1 x
Sehari >3 x
Seminggu < 3 x
Semingu Jarang TidakPernah
Makanan Pokok
Beras
Jagung
Sagu Roti
Mie
Lauk Hewani
Daging
Ikan segar
Ikan asin
Ayam
Telur
Udang Lauk Nabati
Tempe
Tahu
Kacang-kacangan
Sayur-sayuran
Daun hijau
Daun berwarna
Sayur buah-buah
Kacang panjang
Buah-buahan Pisang
Pepaya
Mangga
Jeruk
Jambu
Lainnya
Lain-lain
Minyak kelapa
Kue Susu
Kopi
Teh
Gula
RAHASIA Lampiran 4
DOKUMENTASI PENELITIAN
Inform Consent
Pengukuran Tinggi Badan dan Berat badan
Pemeriksaan Dahak
Tempat Pembuatan VCO
Pengukuran Food Frekuensi
CURICULUM VITAE
A. DATA DIRI
1. Nama : Kasman
2. Tempat/Tanggal Lahir : Rappang / 04 Februari 1988
3. Alamat : Jl. KUD Sipodeceng, Passeno II, Kel.
Duampanua Kec. Baranti Kab. Sidrap,
91652
4. Telp/Hp : 085226549077
5. Jenis Kelamin : Laki-laki
6. Agama : Islam
7. Status pernikahan : Belum Menikah
B. PENDIDIKAN
1. SDN 6 Baranti, Kab. Sidrap, tamat tahun 2000
2. SMPN 1 Baranti Kab. Sidrap, tamat tahun 2003
3. SMAN 1 Panca Rijang Kab. Sidrap. Tamat tahun 2006
4. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, tamat tahun
2010.
5. Program Pasca Sarjana FKM UNHAS, tamat tahun 2013.
Makassar, Agustus 2013
K a s m a n