tesis ambivalensi manusia sabu: identitas dan …
TRANSCRIPT
TESIS
AMBIVALENSI MANUSIA SABU:
IDENTITAS DAN POLITIK INGATAN DALAM TEGANGAN KATOLIK-JINGITIU
Mario Ferdinandus Lawi
166322003
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini, saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang
bernama Mario Ferdinandus Lawi (NIM: 166322003), menyatakan bahwa tesis berjudul
―Ambivalensi Manusia Sabu: Identitas dan Politik Ingatan dalam Tegangan Katolik-
Jingitiu‖ merupakan hasil karya penelitian saya sendiri.
Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian,
peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya
untuk keperluan ilmiah sesuai peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis
dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 11 Maret 2020
Yang membuat pernyataan
Mario Ferdinandus Lawi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, penulis mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Mario Ferdinandus Lawi
NIM : 166322003
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulis yang berjudul:
Ambivalensi Manusia Sabu:
Identitas dan Politik Ingatan dalam Tegangan Katolik-Jingitiu
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian penulis memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas, dan memublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta izin dari penulis maupun memberi royalti kepada penulis
selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 11 Maret 2020
Yang menyatakan
Mario Ferdinandus Lawi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
Ambivalensi Manusia Sabu:
Identitas dan Politik Ingatan dalam Tegangan Katolik-Jingitiu
Mario Ferdinandus Lawi
Abstrak
Katolik dan Jingitiu adalah dua komunitas yang berbeda dalam banyak hal, tetapi
berinteraksi secara intensif sejak kedatangan Franz Lackner, SVD pada 1967 di Sabu.
Penulis menggunakan gagasan ambivalensi dan komunitas dari Homi Bhabha, dan
menemukan bahwa peristiwa 1965, pendirian dua sekolah Katolik di Sabu, dan
penerjemahan Alkitab adalah hal-hal yang memungkinkan Katolik berdialog dengan
Jingitiu di Sabu. Dialog ini menghasilkan resistensi dan apropriasi, membuat orang-
orang Katolik Sabu dan Jingitiu mendefinisikan kelompok dan pribadi mereka menurut
pertemuan-pertemuan tersebut. Definisi tersebut juga jadi bagian yang mewarnai politik
ingatan dan identitas dengan faset-fasetnya.
Kata Kunci: Katolik, Jingitiu, identitas, komunitas, ambivalensi, ingatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
The Ambivalence of Savunese:
Identity and the Politics of Memory in the Tension between Catholic and Jingitiu
Mario Ferdinandus Lawi
Abstract
Catholic and Jingitiu are two different communities in many ways. This two
communities have interacted intensively since the arrival of Franz Lackner, SVD in 1967
in Savu. The author uses the ideas of community and ambivalence of Homi Bhabha, and
finds that the post-1965 massacre, the building of two Catholic school in two different
areas of Savu, and the translation of the Bible enable the Catholic Church to encounter
conversations with Jingitiu. These conversations lead to resistance and apropriation,
and make Savunese, both Catholics and Jingitius, define their selves and communities
based on the ongoing encounters. Their definitions are parts of the memory and identity
politics with all the facets.
Keywords: Catholic, Jingitiu, identity, community, ambivalence, memory.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
Kata Pengantar
Saya ingin berterima kasih kepada semua orang yang telah membantu mewujudkan
karya ini:
Para dosen Ilmu Religi dan Budaya: Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr.
Y. Tri Subagya, Dr. Katrin Bandel, Dr. Y. Devi Ardhiani, Dr. FX Baskara Wardaya, S.J.,
Dr. Budi Susanto, S.J., Prof. Dr. Supratiknya, Dr. B. Hari Juliawan, S.J., serta dosen-
dosen lain. Ilmu dan teladan yang selama ini saya timba dari di IRB membuat pikiran
saya kian terbuka.
Ungkapan terima kasih juga saya tujukan kepada Pradewi Tri Chatami, Christina
Desy, Mulyadi, Agnes Dwityas Anindhita, dan kawan-kawan angkatan 2016 yang tidak
dapat saya sebutkan satu demi satu. Terima kasih atas masukan, diskusi, kritik dan saran
yang saya terima selama perkuliahan dan masa-masa penulisan tesis. Yang terakhir,
bukan berarti tidak penting, untuk kedua orang tua, kedua saudari, para keponakan,
komunitas Claretian Yogyakarta yang menjadi rumah pertama saya ketika berada di
Yogyakarta, keluarga besar yang mendukung langkah saya hingga kini, serta para
narasumber yang bersedia melayani pertanyaan-pertanyaan dan kedatangan-kedatangan
saya ketika melakukan penelitian.
Tanpa mereka semua, karya ini tak akan ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul ........................................................................................................................ i
Halaman Persetujuan ............................................................................................................. ii
Halaman Pengesahan .......................................................................................................... iii
Pernyataan Keaslian Karya .................................................................................................. iv
Pernyataan Kesediaan Publikasi .......................................................................................... v
Abstrak ................................................................................................................................. vi
Abstract ............................................................................................................................... vii
Kata Pengantar .................................................................................................................. viii
Daftar Isi ............................................................................................................................... ix
Daftar Tabel ........................................................................................................................ xii
Daftar Lampiran ............................................................................................................... xiii
Bab I Pendahuluan ................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2. Pertanyaan Penelitian Tesis .................................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian Tesis ........................................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian Tesis ......................................................................................... 8
1.5. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 8
1.5.1. Savu: Oral History and Oral Tradition on an Island of Indonesia .......................... 8
1.5.2. Dunia Orang Sawu ................................................................................................ 10
1.5.3. Orang Sabu dan Budayanya .................................................................................. 10
1.5.4. Penelitian-Penelitian Lain ..................................................................................... 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
1.6. Kerangka Teoretis ................................................................................................. 15
1.7. Batasan Tesis......................................................................................................... 17
1.8. Metode Penelitian ................................................................................................. 18
1.9. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 20
Bab II Sabu, Jingitiu dan Kristen: Kisah-Kisah Pertemuan Awal ...................................... 23
2.1. Genesis, Eksodus, dan Kelahiran Suku Bangsa Sabu ........................................... 23
2.2. Orang Sabu, Jingitiu dan Konsep tentang Agama ................................................ 27
2.3. Kristen Pribumi dan Mengerasnya Dikotomi Kristen-Jingitiu ............................. 31
2.4. Katolik dan Sabu: Pertemuan Awal ...................................................................... 40
Bab III Mencari Antara dalam Ruang dan Waktu .............................................................. 46
3.1. Katolik dan Jingitiu, Kedatangan dan Pertemuan ................................................. 47
3.1.1. Permandian dan Pernikahan .................................................................................. 55
3.1.2. Katolik, Jingitiu, dan Peristiwa 1965 .................................................................... 57
3.2. Pa Lede dan Kisah tentang Jingitiu ....................................................................... 61
3.3. Bahasa dan Pewartaan ........................................................................................... 68
Bab IV Ambivalensi dan Identitas ...................................................................................... 71
4.1. Ambivalensi dan Mimikri dalam Interaksi Sosial................................................. 73
4.1.1.Sekolah dan Bahasa: Identitas dan Ruang Memahami.......................................... 73
4.1.2. Nama Baptis: Mode Representasi ......................................................................... 75
4.1.3. Menyikapi Musim Tanam ..................................................................................... 77
4.2. Komunitas dan Narasi Identitas ............................................................................ 78
4.2.1. Interaksi Komunitas ............................................................................................. 78
4.2.2. Penciptaan, Eksodus, dan Identifikasi Identitas ................................................... 79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
4.2.3.Wènynyi Ri dan Ju Deo ......................................................................................... 80
Bab V Penutup .................................................................................................................... 87
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR TABEL
Orang Kristen di Sabu pada 1887 ...................................................................................... 36
Wenynyi Ri dan Ju Deo ..................................................................................................... 80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran1: Peta .................................................................................................................. 93
Lampiran 2: Foto-Foto ........................................................................................................ 94
Lampiran 3: Pedoman Wawancara ..................................................................................... 99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jingitiu adalah istilah Sabu untuk menyebut para penganut kepercayaan tradisi di
pulau Sabu dan Raijua, provinsi NTT, jauh sebelum agama Kristen yang dibawa bangsa
Eropa menancapkan kuku di sana. Di keluarga inti ibu, kakek adalah penganut Jingitiu
terakhir. Setiap tahun, keluarga kami mengenang kematiannya, pada setiap peringatan
tanggal kematiannya dan pada hari arwah, selain secara Katolik, yakni berdoa,
menyalakan lilin, juga dengan cara yang lazim dilakukan orang-orang di kampung ibu:
menyediakan bekal-bekal berupa sirih pinang dan makanan (biasanya nasi, telur atau
daging ayam rebus). Semua itu dilakukan dengan harapan jalannya ke surga dilapangkan.
Kakek tidak mengenal konsep surga dalam teologi Katolik. Ritual tahunan yang
dilakukan adalah kompromi keluarga atas irisan identitas yang hadir di tengah keluarga.
Nama kakek adalah Huki Leo. Ia seorang Kenuhe, salah satu bagian dari tujuh
imam Jingitiu yang sering disebut sebagai Ratu Mone Pidu. Ratu Mone Pidu adalah
istilah untuk menyebut tujuh pemangku adat bersama para pembantunya Sabu.1 Sejak
kecil hingga usia lima tahun saya tinggal di Sabu, pulau di sebelah barat daya Timor,
yang sampai sekarang merupakan tempat tinggal para penghayat Jingitiu. Dari kakek,
saya mengamati caranya, seperti cara orang-orang Sabu lain, menipiskan daun lontar
kering muda untuk membungkus tembakau sebagai pengganti rokok, mengasah pisau
yang tajam ujungnya, hingga mengenal silsilah semua leluhur secara lisan.
Kisah ini dialami juga oleh orang-orang keturunan Sabu lain yang memilih dibaptis
menjadi Kristen. Kisah personal tadi saya tempatkan dalam sebuah konteks yang lebih
1 Kana menerjemahkan Ratu Mone Pidu sebagai Imam Lelaki yang Tujuh (1983:38).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
besar, bagaimana pertemuan antara Gereja dan tradisi berpengaruh terhadap cara orang-
orang Sabu hidup, termasuk cara mengenang orang-orang yang mereka cintai.
Kakek meninggal menjelang saya tamat SMP, pertengahan 2005. Semua anggota
keluarga inti kami dan sejumlah sanak-saudara yang tinggal di Kupang hadir ketika
kakek dimakamkan di Sabu: tepat di bawah panggung sebelah kiri di bawah pintu d‟uru2
rumah tradisional (èmmu hawu), di tempat yang disebut roa mengèrru3, jenazahnya
diletakkan secara vertikal dalam posisi duduk di dalam lubang yang digali berbentuk
lingkaran, punggungnya disangga dengan kayu, tubuhnya dibalut dengan selimut tenun-
ikat, bagian kepalanya yang diikat destar dialasi dengan tikar daun sebelum makamnya
ditimbun dengan tanah.
Setelah kematian kakek, tidak ada lagi penghayat Jingitiu di keluarga inti ibu. Jauh
sebelum kematiannya, semua anak dan istrinya telah dibaptis menjadi Katolik. Ibu
dibaptis ketika SMP oleh Franz Lackner, seorang misionaris SVD asal Austria, jauh
sebelum ibu mengenal ayah, lelaki asal Manggarai, Flores, yang kemudian dinikahinya.
Nama ibu sebelum dibaptis adalah Teni Huki, sebagaimana juga tercatat dalam buku
induk sekolah semasa SD, kemudian berganti menjadi Tersiana Agustina Huki sesuai
Surat Permandian dan keterangan dalam Buku Induk Permandian.
Ibu kemudian tumbuh menjadi seorang katekis Katolik, dan ia termasuk katekis
awal Katolik dari desa Pedarro dan kecamatan Mehara, kabupaten Sabu-Raijua, NTT.
Sebagian kecil dari keluarga besar saya, anak-anak dari saudara-saudara kakek saya, ada
2 Rumah tradisional Sabu (èmmu hawu) dibagi atas tiga tingkatan; d‟amu, d‟ara èmmu (kelaga ae), kelaga rai.
Èmmu hawu lazim dianggap seperti perahu terbalik Letaknya mengikuti arah timur dan barat, dengan bagian
depan rumah biasanya menghadap ke utara atau ke selatan. Pembagian beberapa komponen rumah dilakukan
atas prinsip keseimbangan, peran dan tugas sosial penghuni, dan lain sebagainya. Selain atas empat tingkatan
(vertikal), arsitektur èmmu hawu biasanya dibagi menjadi dua bagian (horisontal), d‟uru dan wui yang masing-
masing menyimbolkan haluan/ anjungan dan buritan pada kapal. Wilayah perempuan adalah bagian wui,
sedangkan wilayah laki-laki adalah bagian d‟uru. (Kana, 1983:31-36; Dimu, 1998: 31-34; Bara Pa, 22013:223-
226). 3 Bara Pa (Ibid., op.cit. 238-241) menambahkan bagian keempat dari èmmu hawu yang tidak dimasukkan oleh
Kana dan Dimu yakni roa mengèrru. Roa mengèrru adalah kamar kematian atau kuburan yang berada tepat di
kolong rumah pintu bagian wui untuk perempuan dan pintu bagian d‟uru untuk laki-laki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
yang masih menganut Jingitiu. Kenuhe dalam tradisi Jingitiu adalah posisi yang diemban
secara turun-temurun oleh satu garis silsilah dalam suku Nappupudi. Dibaptis menjadi
Katolik menghilangkan peluang dari anak-anak laki-laki kakek untuk menggantikan ayah
mereka, karena Kenuhe adalah jabatan dalam struktur lembaga adat yang hanya mungkin
dijabat oleh orang-orang Sabu yang tidak dibaptis Kristen.
Meski demikian, ada fenomena lain yang menarik diamati. Ketika musim tanam
(ku‟ja ma), para petani di Pedarro, Mesara, mengikuti tradisi yang turun-temurun
diwariskan sesuai tata cara Jingitiu: tidak menyembelih hewan dan membelah kelapa
untuk masak selama tujuh hari masa tanam. Termasuk di antara orang-orang ini adalah
saudara-saudari ibu, baik kerabat jauh maupun dekat, yang telah dibaptis maupun tidak.
Lama waktu menanam pun disesuaikan dengan penanggalan adat yakni tujuh hari.
Fenomena di atas menunjukkan kompromi atas irisan identitas yang hadir di tengah
keluarga juga dilakukan oleh orang-orang Pedarro yang sudah menganut agama Katolik.
Terlahir sebagai anak Jingitiu yang dibaptis menjadi Katolik dan menjadi katekis
membuat ibu memelihara dongeng lain bagi kami, anak-anaknya. Dalam tradisi Jingitiu,
dongeng sendiri berperan penting dalam pewarisan silsilah keluarga, kisah-kisah
terjadinya suatu tempat dan pembagian genealogi yang kisahnya hanya mungkin
dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi. Ibu tidak hanya mendongengkan cerita-
cerita tradisional dari Sabu saja untuk kami, tetapi juga kisah-kisah yang kebanyakan
berasal dari Perjanjian Lama, yang pada masa kecil kami anggap juga sebagai dongeng.
Dalam tradisi keluarga Sabu, hal yang memudahkan suatu keluarga mengenal
leluhurnya maupun orang-orang dari klan yang sama adalah dengan mengurutkan silsilah
secara lisan. Orang-orang Sabu memiliki sistem penamaan ganda yang khas, nama
pertama sebagai nama anak, nama kedua merupakan nama orang tua (nama kedua adalah
nama ayah jika si anak lahir dari hubungan suami istri yang sah, atau merupakan nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
ibu jika si anak lahir sebagai ana pa kepue4). Tujuh silsilah leluhur teratas biasanya tidak
diucapkan oleh orang-orang muda yang belum menikah karena dianggap tabu (misalnya,
tidak akan mendatangkan keturunan jika diucapkan).
Dalam historiografi Kristen di Indonesia sangat mudah menemukan tulisan tentang
sejarah gereja Katolik di Flores, baik yang ditulis oleh kongregasi-kongregasi maupun
sejumlah peneliti (misalnya: Steenbrink, 2007; Aritonang, dkk, 2008). Dari sejumlah
kisah ibu dan sejumlah keluarga dekat, kisah tentang perkembangan gereja Katolik di
Sabu saya ketahui secara samar. Pada bulan Maret tahun 2017, gereja Katolik di Sabu
memperingati 50 tahun kedatangan Franz Lackner, SVD sebagai misionaris. Meski
dalam catatan Riwu Kaho (2005: 157-159), misalnya, ditemukan bahwa adanya
misionaris Portugis yang pernah ke Sabu pada abad ke-17, jejak yang ada sama sekali
lenyap setelah kedatangan VOC. Belum ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa ada
orang Sabu yang dibaptis Katolik pada waktu itu.
Kontak awal orang Sabu dengan bangsa Portugis disinggung oleh Duggan dan
Hägerdal dalam buku Savu: History and Oral Tradition on an Island of Indonesia (2018:
143-149). Dengan mencoba membandingkan sumber-sumber tertulis dan lisan, Duggan
dan Hägerdal berusaha membandingkan narasi kisah Ju Deo dan Ina Ju Deo dengan
pertemuan orang Sabu dengan Portugis, yang berarti juga dengan Katolik. Narasi
tersebut memiliki kesamaan dengan teks Alkitab: Ju Deo sebagai Yesus Kristus dan Ina
Ju Deo sebagai Maria, penyaliban, kebangkitan dan kenaikan ke surga. Ada pun
narasumber yang diwawancarai Duggan adalah Deo Rai, salah satu dari Ratu Mone Pidu
di Mesara. Ada pun versi lain narasi kisah Ju Deo yang saya dengar dari Kenuhe,
anggota lain dari Ratu Mone Pidu, saya letakkan pada bab 3 untuk melihat bagaimana
4 Ana pa kepue (anak pada pohon) atau ana pa èmmu (anak dalam rumah) merupakan kiasan bahasa Sabu untuk
menyebut anak yang lahir sebagai hasil hubungan tidak resmi dari perempuan yang belum kawin secara resmi
atau berstatus janda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
kemungkinan pengujian tersebut adalah salah satu dari kemungkinan interaksi Portugis
dan orang Sabu di masa lalu.
Putusnya riwayat pertemuan antara Katolik dan orang-orang Sabu yang
kemungkinannya dilemparkan oleh Duggan dan Hägerdal baru pada tahun 1967 dirajut
kembali oleh seorang imam Serikat Sabda Allah asal Austria bernama Franz Lackner.
Franz Lackner tiba pada tahun 1967 di Sabu, setahun setelah ekses peristiwa G30S di
Jawa merebak hingga ke Sabu, melanjutkan misi sebelumnya yang dirintis oleh Piet
Konijnsun. Orang-orang Sabu yang dituduh terlibat atau mendukung para dalang G30S
dibawa ke Rote untuk dibantai.5 Salah satu korban pembantaian ini adalah Dimu Dopo,
ayah dari Adrianus Dimu, satu-satunya imam projo Keuskupan Agung Kupang dari
pulau Sabu. Sebelum ekses tersebut, ada Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang menyebut dengan
pasti kategori agama adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu
(Confusius) (Picard, 2011: 13-14; UU 1 PNPS 1965, pasal 1). Di Sabu, akibat yang
paling terasa sebagai ekses peristiwa 1965 di Jawa adalah penghancuran gerakan
masyarakat sipil, orang-orang Jingitiu, dan guru-guru perempuan (Bara Pa & Nyake
Wiwi, 2012). Ekses peristiwa 1965 di daerah lain di NTT bisa dilihat dari laporan Van
Klinken (2015: 323) tentang orang-orang halaik (yang tidak menganut agama-agama
berdasarkan kategori yang disebutkan dalam Perpres no. 1 tahun 1965) di Timor. Pada
bulan Oktober 1967, seorang perwira militer dari Rote membawa ajaran agama Kristen
Protestan ke Boti (salah satu desa di kabupaten Timor Tengah Selatan, pulau Timor,
NTT) dan mengintimidasi kaum lelaki untuk berpindah agama. Sebagian besar
masyarakat yang mengubah agama mereka untuk menyenangkan hati para serdadu yang
5 Lihat artikel berjudul ―Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS‖ yang dipublikasikan historia.id.
(http://historia.id/modern/penumpasan-pki-di-ntt-dalam-dokumen-rahasia-as diakses 1 November 2017 pukul
15.35).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
mengintimidasi mereka dengan siksaan fisik kemudian pindah dari lokasi-lokasi yang
biasa digunakan sebagai ritual desa.
Meskipun hadir di daerah yang sejak zaman kolonial menjadi wilayah penyebaran
agama Kristen Protestan, pertemuan yang paling intensif terjadi justru antara gereja
Katolik dengan orang-orang Sabu yang tidak dibaptis. Dua daerah awal karya Franz
Lackner adalah Liae dan Mesara (sekarang masing-masing telah menjadi nama
kecamatan dari kabupaten Sabu-Raijua) melalui bidang pendidikan. Di dua daerah ini
masing-masing didirikan satu sekolah dasar: SD Katolik Mehona di desa Mehona, Liae,
dan SD Katolik Perema di desa Tanajawa, Mesara. Kedua SD Katolik ini berperan
penting dalam memperkenalkan agama Katolik melalui pelajaran di kelas dan
membidani lahirnya sejumlah misionaris awam dan katekis di pulau Sabu untuk
mendukung pertumbuhan Gereja Katolik. Dalam rentang 1967 hingga 1970, sebelum
hadirnya lembaga pendidikan Katolik yang berperan signifikan dalam pengembangan
misi gereja di Sabu, Franz Lackner mesti melewati fase embrional yang dijalaninya
melalui pembelajaran dari misionaris terdahulu yang melayani Sabu dan Rote maupun
dengan perjumpaan-perjumpaannya dengan orang-orang baru di tanah misi. Sebagai
misionaris muda pengemban tugas Gereja, salah satu adaptasi yang mesti cepat
dilakukan Franz Lackner muda adalah adaptasi bahasa. Sembari menyempurnakan
kemampuan Lii Hawu, Franz Lackner meminta bantuan guru dan Kepala SD GMIT
Lederae Mawide 1 Benyamin Bunga untuk menerjemahkan lagu-lagu rohani Katolik dari
buku Syukur kepada Bapa ke dalam bahasa Sabu.
Anak-anak dari keluarga Jingitiu seperti ibu saya, juga dari keluarga-keluarga
Kristen Protestan lain di desa-desa sekitar sekolahlah yang kemudian bersekolah di
sekolah-sekolah yang didirikan Franz Lackner di dua daerah tersebut. Dalam kasus-kasus
lain, orang-orang tua dari anak-anak yang dibaptis Katolik dan disekolahkan di sekolah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
misi ini kemudian ikut dibaptis. Mereka lazimnya memiliki dua nama: nama yang
mereka peroleh secara adat dan nama baptis. Nenek saya, lahir dengan nama adat Hehe
Hae, tetapi dikuburkan lewat ritus Katolik dengan nama permandian Maria Yosephina
Hae. Jauh sebelum Duggan memperingatkan pentingnya transmisi memori oral sebagai
mekanisme pemertahanan ingatan orang-orang Sabu (Duggan, 2009: 163-177), Gereja
dan modernitas yang datang dengan tradisi tekstualnya telah berpengaruh terhadap
penempatan prioritas orang-orang Sabu terhadap pemahaman dirinya dan hubungannya
dengan keluarga dan masyarakatnya.
Konsep politik ingatan adalah konsep yang berkaitan dengan wacana mimikri dan
ambivalensi. Jika mengingat silsilah keluarga, misalnya, adalah kerja kolektif oral di
dalam kerangka menjaga kekerabatan komunitas, maka tradisi tekstual pada awalnya
dapat dibaca sebagai sesuatu yang asing. Nama-nama yang ditulis di dalam buku dan
surat permandian mungkin mewakili orang yang sama, tetapi merupakan nama-nama
yang merepresentasikan identitas yang berbeda, sekaligus menjadi objek yang asing di
dalam khazanah lisan orang-orang Sabu. Di kampungnya Pedarro, ibu lebih dikenal
dengan nama Teni Huki ketimbang Tersiana Agustina Huki. Orang-orang seperti ibu
adalah orang-orang yang masih membawa tilas-tilas Jingitiu di dalam kekatolikannya,
dan menghayati kekatolikannya dengan tilas-tilas yang ditinggalkan tradisinya. Tilas-
tilas ini adalah ruang kompromi sekaligus ruang pengingkaran, ruang di mana identitas
terus-menerus direfleksikan.
1.2. Pertanyaan Penelitian Tesis
Terkait dengan latar belakang singkat di atas, pertanyaan-pertanyaan tesis saya
rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertama kali Katolik diperkenalkan kepada orang-orang Jingitiu?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
2. Bagaimana resistensi dan apropriasi dilakukan oleh orang-orang Jingitiu, baik yang
tidak dibaptis, maupun yang dibaptis menjadi Katolik?
3. Bagaimana ambivalensi berlangsung dalam produksi dan pewarisan ingatan
komunitas Katolik Sabu?
1.3. Tujuan Penelitian Tesis
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, tesis ini ditulis:
1. Untuk mengetahui pengaruh pertemuan Katolik dan Jingitiu.
2. Untuk mengetahui sejauh mana proses dialektika identitas berlangsung di tengah
komunitas Katolik dan Jingitiu.
3. Untuk mengetahui bagaimana ingatan, di tengah ambivalensi, diproduksi dan dirawat
oleh komunitas Katolik Sabu.
1.4. Manfaat Tesis
Tesis ini diharapkan bermanfaat bagi penelusuran akademik lebih lanjut mengenai
sejarah gereja Katolik di NTT, khususnya di Sabu, hubungannya dengan tradisi dan
khazanah tradisional, serta memperkaya kajian-kajian seputar persoalan identitas dan
refleksi yang melatarinya.
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. “Savu: History and Oral Tradition on an Island of Indonesia”
Penelitian untuk tesis ini sedang dilakukan ketika buku Savu: History and Oral
Tradition on an Island in Indonesia (NUS Press, 2018, selanjutnya disebut Savu) terbit.
Buku yang ditulis oleh Genevieve Duggan dan Hans Hägerdal adalah kolaborasi antara
riset antropologi selama puluhan tahun dan penelusuran arsip-arsip kolonial. Buku Savu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
memuat begitu banyak informasi penting tentang Sabu. Tiga bab awal buku Savu
membahas ingatan kolektif orang-orang Sabu tentang asal-mula dan terciptanya pulau,
terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat, sistem ritual dan pembagian wilayah.
Bab-bab selanjutnya, bab 4-10, membahas perkembangan Sabu dan interaksinya dengan
kebudayaan-kebudayaan lain: Majapahit, Portugis, dan Belanda, hingga zaman
pascakemerdekaan.
Dengan menggunakan sumber-sumber lisan, yakni penuturan-penuturan
masyarakat Sabu, dan sumber-sumber arsip tertulis kolonial, buku Savu merupakan buku
penelitian tentang Sabu yang paling komprehensif cakupannya, baik dari segi rentang
waktu maupun topik pembahasan. Buku Savu juga mengelaborasi dan menanggapi
beberapa penelitian sebelumnya tentang Sabu, baik dari ranah antropologi maupun studi-
studi singkat yang pernah dilakukan sebelumnya. Ketiga buku yang jadi rujukan dalam
buku Savu saya gunakan juga sebagai kajian pustaka, karena ketiganya ditulis oleh orang
Indonesia.
Sejumlah bagian dari Savu yang dipakai dalam tesis ini adalah kajian historis
Kristen dan pertemuannya dengan orang-orang Sabu yang menganut Jingitiu pada masa
kolonial. Bagian yang juga penting dari buku Savu bagi tesis ini adalah kisah tentang Ju
Deo dan Ina Ju Deo yang diperoleh Duggan dari narasumber di Sabu dalam buku Savu.
Kisah tersebut saya bandingkan dengan narasi lain yang saya dengar dari narasumber
penelitian saya, sebuah narasi yang dipertahankan dengan turun-temurun secara lisan
untuk melihat pengaruh pertemuan dengan Kristen dalam mitologi tradisional, dan
berubahnya sudut pandang narasi dalam mitologi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
1.5.2. Dunia Orang Sawu
Dunia Orang Sawu (1978) adalah sebuah karya analisis struktural tentang orang-
orang Sabu yang ada di Mesara. Karya Nico L. Kana ini adalah karya yang paling
mendalam yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya yang berasal dari disertasi
Kana ini dibuka dengan dua bab yang menjelaskan secara singkat alasan dan tujuan
penelitian di Sabu, serta gambaran umum tentang Sabu. Pada empat bab selanjutnya,
Kana membahas tentang rumah orang Sabu dan dimensi kulturalnya (bab 3), serta
upacara-upacara adat dan makna-makna simbolik di baliknya (bab 4-6). Tiga bab
berikutnya, bab 7-9, menampilkan penelusuran terhadap gagasan orang Sabu tentang
waktu, alam semesta dan manusianya. Pada bab 9, pandangan orang Sabu tentang
persebaran penduduk dan relasi antarkelompok ditampilkan Kana. Kana menutup
penelitiannya ini dengan bab yang memaparkan makna dunia kehidupan bagi orang
Sabu, dan mencoba menyingkap hal-hal yang ia pandang tersirat dalam kebudayaan
Sabu.
Dunia Orang Sawu digunakan dalam tesis ini karena tempat penelitian disertasi
Kana adalah juga tempat pengambilan data bagi tesis ini. Meski menulis tentang banyak
aspek kehidupan sosial dan kultural orang-orang Sabu, istilah ―Jingitiu‖ tidak sekalipun
digunakan Kana dalam Dunia Orang Sawu.
1.5.3. Orang Sabu dan Budayanya
Orang Sabu dan Budayanya (2005) adalah karya Robert Riwu Kaho yang ditulis
dengan tujuan memperkenalkan Sabu secara singkat kepada para peserta Persidangan
Majelis Sinode GMIT XXV di Sabu pada bulan April 2000. Karya ini coba
memfokuskan pembahasan tentang hubungan antara Sabu dan Gereja Masehi Injili di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Timor. Inilah buku pertama yang menggunakan konsep Jingitiu untuk menyebut agama
tradisional orang Sabu.
Orang Sabu dan Budayanya mengelaborasi gagasan-gagasan yang sebelumnya
sudah ditulis oleh Kana dalam bukunya. Bagian penting buku ini adalah bagaimana
penulis melihat hubungan Protestan dengan Jingitiu dan orang Sabu secara umum. Pada
bab 5, misalnya, Riwu Kaho membagi periode penginjilan berdasarkan masa pertemuan
dengan orang-orang Eropa. Pembagian ini berfungsi untuk mendudukkan peran GMIT di
Sabu.
Pada bab 6, diperlihatkan hubungan antara penginjilan dan dampaknya terhadap
budaya Sabu. Dampak positif menurut Riwu Kaho, antara lain, adalah pendidikan yang
memungkinkan orang-orang Sabu mengembangkan diri di tengah masyarakat (2005:
172). Riwu Kaho memotret dampak negatif yang pernah terjadi di Sabu berkaitan dengan
penginjilan, yakni dibongkarnya sebuah tempat acara Jingitiu di Liae dan dibatalkannya
sebuah perayaan syukur panen (Banga Liwu) di Namata karena bertepatan dengan hari
raya Paskah.
Karya Riwu Kaho ini berguna bagi penelitian saya terutama untuk mengkaji
hubungan antara Protestan dan Jingitiu yang sudah lebih dahulu disampaikan Riwu Kaho
dalam penelitiannya. Beberapa bagian dari karya ini, seperti etimologi Jingitiu, sejumlah
kasus yang berkaitan dengan G30S dan konversi agama orang-orang Jingitiu, saya
gunakan sebagai data dalam tesis saya.
1.5.4. Penelitian-Penelitian Lain
Dua penelitian awal yang penting dalam tarafnya masing-masing memperkenalkan
Sabu ke dunia internasional dan khazanah berbahasa Indonesia ditulis oleh Yakob Detaq,
Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu (1973), dan James Fox, Harvest of the
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Palm (1977). Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu adalah karya berbahasa
Indonesia pertama yang mencoba memperkenalkan khazanah Sabu. Seluruh bagian
dalam karya ini, dari asal mula terbentuknya pulau Sabu, pembagian waktu dan wilayah,
hingga silsilah orang Sabu, ditulis berdasarkan sumber-sumber lisan. Adapun Harvest of
the Palm adalah karya berbahasa Inggris yang memperkenalkan Sabu secara luas ke
lingkungan akademisi. Hal ini tampak dari rujukan buku-buku tentang Sabu dan Raijua
yang ditulis setelahnya. Harvest of the Palm membahas mengenai peranan lontar bagi
masyarakat Rote dan Sabu, dan membandingkannya dengan kasus di Madura. Dalam
Harvest of the Palm, Fox juga menunjukkan pertemuan orang Sabu dengan Belanda dan
pertama kali menunjukkan bahwa silsilah oral yang dirawat masyarakat Sabu dapat juga
dicocokkan dengan arsip yang ditinggalkan bangsa Eropa tentang Sabu. Dalam buku ini,
Fox menggunakan contoh jurnal James Fox.
Informasi-informasi dari kedua karya ini ditanggapi dalam karya-karya yang terbit
kemudian. Hubungan tradisi oral dan arsip teks kolonial yang embrionya kita kenal
melalui karya Fox, misalnya, dielaborasi Duggan dan Hägerdal secara lebih
komprehensif dalam karya mereka Savu: History and Oral Tradition on an Island in
Indonesia. Pewarisan silsilah, riwayat tempat dan tradisi secara lisan yang ada dalam
karya Detaq dikembangkan secara lebih struktural dan antropologis dalam karya-karya
yang ditulis kemudian, termasuk karya Kana dan Duggan dan Hägerdal.
Adapun karya yang juga saya gunakan untuk memperkaya khazanah pustaka saya
adalah skripsi-skripsi mengenai hubungan antara Sabu dan Jingitiu. Skripsi-skripsi ini
dipakai dalam tesis ini, karena sejauh ini, ketiga karya inilah yang membicarakan aspek-
aspek tertentu dari hubungan antara Jingitiu dan Katolik.
Karya pertama adalah skripsi berjudul Nilai Upacara Daba di Kalangan
Masyarakat Jingitiu bagi Karya Pastoral Gereja Katolik di Kelompok Umat Basis di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Desa Pedarro Stasi Santo Gregorius Perema Paroki Santo Paulus Seba Keuskupan
Agung Kupang (2010). Skripsi ini ditulis oleh Tersiana Huki, seorang sarjana Sabu yang
berkonversi agama dari Jingitiu menjadi Katolik. Skripsi Huki menunjukkan paralelitas
sakramen Permandian dalam Gereja Katolik dengan upacara Daba, sebuah ritual inisiasi
kaum Jingitiu. Tiga poin awal kesimpulan penelitian Huki adalah (2010: 53-57): (1)
upacara Daba adalah manifestasi kedalaman rohani orang-orang Jingitiu, (2) upacara
Daba identik dengan penerimaan Sakramen Permandian dalam liturgi Gereja Katolik dan
(3) kebudayaan setempat (Jingitiu) merupakan arena yang baik bagi pertumbuhan dan
pemeliharaan iman karena telah memiliki manifestasi kedalaman rohani dalam bentuk-
bentuk upacara seperti Daba. Penelitian ini dapat dibaca sebagai penyesuaian atau cara
kompromi yang, meski tidak mewakili pandangan umum komunitas Sabu yang dibaptis
Katolik, mampu menampilkan kecenderungan apropriasi atas agama baru dengan
penyesuaian faset-faset baru itu ke dalam kenyataan tradisi di mana agama baru itu
bertumbuh.
Penelitian itu sebenarnya tidak hanya menampakkan bagaimana apropriasi coba
untuk dilakukan. Laporan itu juga menampilkan bagaimana apropriasi dalam faset yang
berbeda bisa menampakkan sisi resistennya. Dalam penelitian itu dengan tegas
ditampilkan secara berbeda dua ritual dari Katolik dan Jingitiu. Dengan kata lain, adopsi
atas ritual-ritual Katolik ke dalam faset-faset upacara Daba Jingitiu tidak dilakukan.
Bertahannya Daba selama bertahun-tahun menandakan adanya resistensi yang sistematis
dari orang-orang Jingitiu, sebelum anak-anak yang di-daba cukup usia dan dibiarkan
dibaptis menurut agama luar yang dipilih mereka atau atas anjuran kerabat dan sanak-
saudara.
Contoh lain bagaimana tradisi Jingitiu coba dielaborasi dan dilihat dari kacamata
orang Sabu Kristen adalah penelitian yang dilakukan oleh Thomas Koro Magga dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Adrianis Dimu. Skripsi Koro Magga yang berjudul Studi Empiris tentang Upacara Tao
Leo di Kalangan Masyarakat Jingitiu di Raijua dalam Perbandingan dengan Liturgi
Pemakaman menurut P. Alexander Beding, SVD (1997) menampakkan kecenderungan
untuk melihat Tao Leo atau upacara ritual kematian orang Sabu sebagai indikasi positif
untuk menyusupkan nilai-nilai Kristiani. Dalam dua dari lima kesimpulan penelitiannya,
Koro Magga (1997: 156-159) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan sarana efektif
bagi pewartaan injil dan pertumbuhan iman, serta upacara Tao Leo identik dengan
penobatan orang kudus dalam Gereja Katolik. Setali tiga uang dengan kesimpulan Koro
Magga, Dimu dalam skripsinya yang berjudul Nilai Religius Ammu Hawu bagi
Masyarakat Sabu berpendapat bahwa ammu hawu (rumah tradisional Sabu)
menampakkan dimensi religius (sensus religiosus) dari penghuninya dan dapat
dipandang ―tanah yang baik bagi tumbuh kembangnya benih Firman Kehidupan‖ (1998:
67).
Penelitian Huki, Koro Magga, dan Dimu menunjukkan dimensi-dimensi yang rinci
tentang ritual-ritual dan aspek-aspek spiritual masyarakat Sabu, dan mereka dengan sadar
menggunakan pemahaman terhadap aspek-aspek tersebut sebagai celah untuk
memperkenalkan kesamaan nilai-nilai ritual tradisional Sabu dengan nilai-nilai Kristen.
Ketiga peneliti adalah orang Sabu yang mengalami pengalaman sebagai, atau
berinteraksi dengan orang-orang Jingitiu, entah berkat pergaulan dengan orang-orang di
sekitar atau mengalaminya sebagai bagian dari tradisi keluarga besar, sebelum akhirnya
benar-benar memilih untuk menjadi pewarta iman Katolik. Huki dan Koro Magga adalah
katekis-katekis angkatan awal di pulau Sabu, sedangkan Dimu adalah imam pribumi
pertama dari pulau tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
1.6. Kerangka Teoretis
Ada dua gagasan Homi Bhabha dari bukunya The Location of Culture (2004) yang
akan diuji dalam pembahasan kerangka teoretis penelitian ini. Gagasan yang pertama
adalah ambivalensi, sedangkan gagasan yang kedua adalah identitas. Gagasan yang
pertama berkaitan dengan konsep mimikri dan aspek identitas di dalam prosesnya,
sementara gagasan yang kedua berkaitan dengan penempatan identitas dalam komunitas.
Gagasan tentang ambivalensi saya ambil dari esai berjudul “Of Mimicry and Man: The
Ambivalence of Colonial Discourse” sedangkan gagasan kedua selain dari esai tersebut,
akan dibantu dengan esai lain Bhabha yang berjudul “How Newness Enters the World:
Postmodern Space, Postcolonial Times and the Trials of Cultural Translation”.
Dalam esai “Of Mimicry and Man,” Bhabha berpendapat bahwa mimikri
dikonstruksi dalam ambivalensi dan merupakan tanda dari sebuah artikulasi ganda, yang
mendekati ―Other‖ sebagaimana memandang kekuasaan (2004: 122). Dari gagasan di
awal esai tersebut dapat dilihat bahwa Bhabha menggunakan konsep-konsep kunci
psikoanalisa, terutama dari Lacan. Mimikri adalah hasrat untuk menjadi “a subject of a
difference that is almost the same, but not quite.” (ibid. loc.cit.). Dalam mimikri, tanda
rasial dan prioritas kultural diproblematisasi (2004: 124). Yang muncul adalah sebuah
penulisan, sejenis mode representasi, yang meminggirkan sejarah besar.
Dalam pemahaman Huddart (2006: 114), mimikri menurut Bhabha berarti
penyalinan yang berlebihan terhadap bahasa, budaya, kebiasaan dan gagasan. Sebagai
contoh, di antara kehidupan berkomunitas di NTT, ada stereotipe dan lelucon bahwa
bahasa Indonesia orang Sabu selalu melenyapkan huruf konsonan di akhir kata.
Stereotipe ini berangkat dari kenyataan bahwa bahasa Sabu adalah bahasa yang diakhir
oleh huruf vokal, dan sejumlah kecil orang Sabu kadang membawa kebiasaan melafalkan
bahasa daerah ketika berbicara bahasa Indonesia. Lelucon ini adalah olok-olok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
(mockery), jika dikisahkan oleh komunitas etnis lain dengan tujuan merendahkan.
Dengan sadar terhadap tujuan tersebut, orang Sabu pun justru mengulang lelucon
tersebut, yang awalnya bertujuan mengolok-olok, sebagai sarana menertawakan diri
sendiri. Lama-kelamaan, cara tersebut menghasilkan resistensi. Demikianlah mimikri
dihasilkan. Lelucon stereotipikal yang awalnya digunakan untuk menyerang, dipakai
sebagai bentuk resistensi.
Menurut Huddart, secara umum, mimikri adalah respons terhadap sirkulasi
stereotipe. Mimikri memiliki kualitas komikal penting justru karena wacana kolonial
begitu serius dan khidmat (2006: 114). Dialektika dalam proses mimikri ini menjadikan
wacana kolonial terbelah sehingga penerimaan realitas maupun penolakannya sebagai
realitas sekaligus pengggantiannya sebagai produk hasrat yang baru berlangsung secara
terus-menerus dan dalam pada itu realitas diartikulasikan sebagai mimikri (Bhabha,
2004: 130). Gagasan mimikri Bhabha dapat pula digunakan untuk melihat bagaimana
stereotipe secara umum digunakan sebagai sarana resistensi. Dalam penelitian ini,
mimikri digunakan dalam sebuah wilayah pascakolonial, yang ekses langsungnya sudah
lenyap puluhan tahun sebelumnya.
Ambivalensi, dalam gagasan yang diajukan Bhabha, sebagai bagian dari identitas,
menolak dikotomi, karena otoritas yang muncul dari efek kolonialisme berusaha terus-
menerus digerakkan oleh penentangan sekaligus penerimaan subjek yang dikoloni,
dihasratkan tetapi sekaligus tidak pernah dapat disamai secara persis. Dalam poros
semacam ini, kristianitas sebagai bagian dari otoritas kolonial terus-menerus bergerak
dalam dialektika identitas masyarakat Sabu.
Jika ambivalensi, dalam kaitannya dengan identitas, mempermasalahkan narasi
besar kolonialisme, gagasan yang tidak kalah pentingnya dari identitas manusia
pascakolonial adalah penempatan identitas tersebut di dalam realitas komunitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Komunitas manusia pascakolonial adalah komunitas yang bertolak belakang dari
pandangan Anderson dalam Imagined Communities. Dalam esainya yang kedua, “How
Newness Enters the World,” Bhabha menawarkan, antara lain, dua definisi tentang
komunitas. Pertama, komunitas, adalah pengganggu narasi besar kapital global, yang
mengganti penekanan pada produksi menjadi kolektivitas ‗kelas‘, dan yang
mengacaukan homogenitas dari komunitas terbayang sebuah bangsa. Kedua, komunitas
adalah suplemen antagonis dari modernitas: dalam wilayah metropolitan komunitas
adalah teritori dari minoritas, dalam dunia transnasional komunitas adalah masalah batas
dari orang-orang diaspora, migran dan pengungsi (2004: 330). Definisi pertama lebih
erat kaitannya dengan kritiknya terhadap Anderson terutama gagasannya tentang
imagined communities dan homogeneous, empty time (dan lebih jelas dielaborasi Bhabha
dalam esainya yang berjudul ―DissemiNation: Time, Narrative and the Margins of the
Modern Nation). Dalam definisi kedualah dapat dijumpai persinggungan tentang
minoritas dan kemungkinan bagi identitas-identitas yang terus-menerus bergerak dalam
berinteraksi. Definisi yang kedua dapat diuji untuk mencari tahu kesesuaian konsep
komunitas yang digunakan Bhabha untuk kasus India dengan strategi orang-orang yang
memperoleh identitas Jingitiu, sebagai bagian dari dialog dengan Kristen, untuk melihat
kristianitas sebagai sesuatu yang tidak lagi universal melainkan kontekstual dan bisa
diterima sekaligus yang mampu mereka tampilkan sebagai identitas baru yang sama
sekali berbeda dengan kristianitas versi terdahulu.
1.7. Batasan Tesis
Tesis ini mencakupi hubungan antara Katolik dan Jingitiu, dialektika kedua
khazanah dan bagaimana dialektika itu ditampilkan dalam ruang sosial. Hubungan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
hubungan dengan komunitas lain ditampilkan sejauh perlu dan mendukung tema utama
penelitian ini.
1.8. Metode Penelitian
Pengambilan data tesis dilakukan dengan tiga cara: studi pustaka, wawancara dan
studi lapangan (lived experience) selama liburan peralihan semester, Desember 2017-
Januari 2018, dan Juni 2018-Agustus 2018. Studi pustaka dilakukan untuk memeriksa
kembali kemungkinan-kemungkinan yang luput dikaji dalam penelitian-penelitian
tentang masyarakat Sabu dan gereja Katolik di NTT terdahulu, sekaligus memperoleh
hal-hal yang berguna untuk mempertajam perspektif sekaligus mendukung dua cara
pengambilan data yang lain. Bahan-bahan studi pustaka, selain ditelusuri di Yogyakarta
selama masa penulisan tesis, juga dikumpulkan dari bahan-bahan yang ada di Kupang
dan Sabu, terutama bahan-bahan yang berkaitan dengan sejarah Kristen, terutama gereja
Katolik di NTT. Wawancara dilakukan secara mendalam (in depth interview) bersamaan
dengan studi lapangan dengan sejumlah narasumber yang telah ditentukan, yakni
Kornelis Tael, Tadeus Lodo dan Habel Bunga, pengajar di dua sekolah dasar Katolik di
Sabu, Pa Lede Kenuhe salah satu dari Ratu Mone Pidu, serta Franz Lackner misionaris
yang memasuki tahun misi ke-51 di pulau Sabu, serta bahan-bahan dari para katekis yang
dibiayai oleh Franz Lackner. Hal-hal ini dilakukan dengan tujuan lebih beragam suara
yang diperoleh, tetapi sekaligus peneliti mampu menempatkan refleksivitas diri di
dalamnya, dan mendayagunakan dialektika yang terjadi untuk mempertajam dan
menjembatani cara peneliti melihat persoalan.6 Studi lapangan difokuskan di Sabu,
terutama di desa Tanajawa dan sekitarnya, lokasi tempat SD Katolik Perema berada dan
6 Menurut Saukko (2003: 72-73), tujuan penelitian new etnographic adalah untuk membangun mode-mode
kajian dan penulisan yang memungkinkan peneliti untuk menjadi lebih setia terhadap realitas dari masyarakat
lain. Dengan menekankan pada elemen kolaborasi, refleksivitas diri dan polivokalitas, new etnography
diharapkan mampu menampilkan perspektif yang berbeda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Mehona, tempat SD Katolik Mehona berada, tempat di mana orang-orang Kristen dan
orang-orang Jingitiu hidup bersama.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoetnografi, genealogi dan
dekonstruksi. Genealogi sebagai metode, menurut Saukko, (2003: 133-134) berusaha
menginvestigasi sejarah sebagai sesuatu yang taken-for-granted melalui pengujian
terhadap teks-teks sejarah untuk melihat sejak kapan pernyataan-pernyataan tertentu
muncul menjadi wacana. Pengujian lain yang memungkinkan penggunaan metode
genealogi adalah investigasi terhadap sejarah fenomena yang membentuk masa kini.
Teks-teks sejarah yang akan diteliti pada bagian ini tidak hanya bersumber dari laporan-
laporan yang ditulis oleh para misionaris, pemuka agama, antropolog, dan para sarjana
terdahulu, tetapi juga narasi-narasi lisan yang berkembang di tengah masyarakat Sabu,
dokumen-dokumen seperti Buku Induk Permandian dan Buku Induk Pernikahan gereja
Katolik Sabu.
Menurut Saukko, penyelidikan genealogis berbeda dari penyelidikan historis
tentang asal-usul. Melalui genealogi, sejarah tidak dilihat sebagai kontinuitas, melainkan
patahan. Jika penyelidikan historis melegitimasi masa kini dengan mencari pijakannya di
masa lalu, penyelidikan genealogis justru mengkaji sejarah untuk menantang masa kini.
Dengan kata lain, metode genealogis ditandai dengan karakter pembacaan yang hati-hati
terhadap detail-detail historis bukan untuk mencari kebenaran yang disampaikan,
melainkan untuk menyingkap kebenaran yang terkandung (2013: 129).
Dari penyelidikan genealogis ini pembahasan dilanjutkan melalui metode
dekonstruksi untuk mempermasalahkan dikotomi-dikotomi dan pandangan-pandangan
biner yang berkembang. Dekonstruksi sebagai metode (Saukko, 2003:147)
dikembangkan untuk membongkar masalah-masalah dasar yang problematik di bagian
dalam tetapi tampak progresif di permukaan. Kritik Saukko atas metode dekonstruksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
adalah bahwa penggunaannya sering kali berakhir pada pembentukan dikotomi baru dan
perangkulan gagasan-gagasan pokok dari kebebasan yang tak terartikulasikan. Untuk
sedapat mungkin menghindari jebakan ini atau malah terjerembap ke dalam nihilisme,
dekonstruksi sebagai metode akan ditempatkan dalam kerangka identitas dan
ambivalensi yang telah disediakan oleh Bhabha untuk membaca fenomena penelitian ini.
Dengan metode ini pula, narasi Bhabha dalam pembangunan konsep-konsepnya akan
ditinjau kembali.
Autoetnografi digunakan sebagai titik berangkat melihat persoalan dari bingkai
keluarga dan lingkungan terdekat ke area yang lebih luas, terutama komunitas Katolik
dan Jingitiu di Sabu. Autoetnografi digunakan sebagai metode agar sensitivitas terhadap
pertemuan antarkelompok dapat dielaborasi kembali menggunakan pengalaman yang
pernah dialami dan diamati.
Analisis tesis ini, mengikuti Saukko (2003: 23-25), adalah dengan uji validitas
dialogis dan kontekstual (ibid. op.cit., 19-22). Data-data yang diperoleh dari hasil studi
lapangan, wawancara dan penelusuran pustaka dipertemukan, dikritisi untuk disusun
kembali dengan mengedepankan self-reflexivity, truthfulness, polyvocality serta
sensitivitas terhadap konteks sosial dan kesadaran akan historisitas.
1.9. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri atas lima bab.
Bab pertama berisi latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, batasan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoretis, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan pembahasan konteks historis dan sosiokultural masyarakat
Sabu dan pertemuannya dengan gereja Kristen: pertama, sejarah pertemuan orang-orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Sabu dengan kaum kolonial pada masa lalu, termasuk munculnya dikotomi Jingitiu-
Kristen dan tegangan awal yang muncul dalam perubahan mekanisme pewarisan ingatan;
kedua, perkembangan agama Kristen di Sabu hingga sekarang. Bagian pertama
mencakupi bagaimana sejumlah pandangan hidup orang Sabu dapat disimak dari
sejumlah mitologi sebelum bertemu dengan agama Kristen. Deskripsi bagian ini dibantu
dengan penelusuran hasil laporan para antropolog terdahulu yang menulis tentang
khazanah Sabu. Bagian kedua mencakupi bagaimana agama Kristen berkembang di Sabu
sejak paruh kedua abad ke-20 hingga awal masuknya gereja Katolik di Sabu berdasarkan
penelusuran pustaka. Bagian ini akan mencakup bagaimana pemaknaan identitas dan
politik ingatan berkembang semakin kompleks dalam interaksi sosial orang-orang Sabu.
Bab ketiga adalah bentangan data penelitian. Bab ini berisi narasi hasil wawancara
terhadap narasumber terpilih. Bagian ini dibagi menjadi dua bagian: Pertama, narasi
historis tentang masa embrional gereja Katolik di Sabu melalui dua sekolah yang
dibangun, peran guru agama dan katekis, serta hubungan dengan orang-orang Jingitiu
yang bersekolah di sana. Pembahasan bagian ini juga dibantu dengan penelusuran
terhadap Buku Induk Permandian dan Buku Induk Pernikahan, dua arsip tertulis yang
menunjukkan angka perkembangan orang-orang Katolik di Sabu. Penelusuran arsip ini
juga berfungsi untuk melihat hubungan antara Katolik dan Jingitiu. Kedua, narasi tentang
pengalaman Pa Lede, Kenuhe dari komunitas Jingitiu di dalam ruang-ruang sosial di
Sabu yang juga dihuni para penganut Kristen dan Katolik. Pembahasan bagian kedua
dibantu dengan observasi lapangan, data autoetnografi peneliti dan penelusuran pustaka
yang mendukung.
Bab keempat adalah bab analisis. Bab ini berisi analisis tentang bagaimana mimikri
dan ambivalensi bekerja dalam temuan-temuan di bab tiga. Dari analisis tersebut,
identitas dan komunitas orang-orang yang berinteraksi di dalamnya dirumuskan kembali.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Bab kelima adalah kesimpulan berdasarkan rumusan masalah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
BAB II
SABU, JINGITIU DAN KRISTEN: KISAH-KISAH PERTEMUAN AWAL
Pertemuan awal Sabu dan Kristen penting untuk melihat bagaimana sejarah
kolonialisme berpengaruh terhadap orang Sabu merawat ingatan, sesuatu yang hingga
kini bertahan dan secara langsung berpengaruh terhadap dikotomi Kristen-Jingitiu.
Sebagian besar kronologi dalam bab ini mengandalkan buku-buku sejarah gereja tentang
NTT dan Sabu, serta laporan-laporan yang dihasilkan oleh para antropolog tentang Sabu
yang saya sesuaikan dengan kebutuhan pembahasan bab ini. Bagian pertama mencakupi
bagaimana sejumlah pandangan hidup orang Sabu dapat disimak dari sejumlah narasi
sebelum bertemu dengan agama Kristen. Deskripsi bagian ini dibantu dengan
penelusuran hasil laporan para antropolog terdahulu yang menulis tentang khazanah
Sabu. Bagian kedua mencakupi bagaimana agama Kristen berkembang di Sabu sejak
paruh kedua abad ke-20 hingga awal masuknya gereja Katolik di Sabu berdasarkan
penelusuran pustaka. Bagian ini akan mencakup bagaimana pemaknaan identitas dan
politik ingatan berkembang semakin kompleks dalam interaksi sosial orang-orang Sabu.
2.1. Genesis, Eksodus, dan Kelahiran Suku Bangsa Sabu
Ada sejumlah narasi tentang penciptaan dan hubungannya dengan genealogi
masyarakat Sabu saat ini. Salah satu narasi tersebut antara lain mengisahkan pulau Sabu
yang dibentuk dari tanah taburan yang diambil dari Raijua, dari kolong rumah Mone
Weo, yang didahului oleh eksodus seseorang bernama Kika Ga. Kisah kelahiran pulau
Sabu yang didahului kisah eksodus tersebut adalah kisah penciptaan kedua. Sabu adalah
dunia muda, yang dibentuk dari tanah yang diambil dari Raijua yang lebih tua di sebelah
Barat. Sabu adalah pulau yang tenggelam, dan untuk menghadirkannya ia perlu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
ditumpuki tanah. Duggan dan Hägerdal (2018) membuka laporan mereka tentang Sabu
dengan meletakkan kisah penciptaan dunia pada awal mula, melalui penelusuran
genealogi lisan orang-orang Sabu. Buku Savu: History and Oral Tradition on an Island
of Indonesia dibuka dengan bab berjudul ―From the Base of the World‖. Buku yang
ditulis oleh Duggan dan Hägerdal dengan memanfaatkan sumber-sumber lisan yang
berasal dari wawancara etnografi Duggan selama 30-an tahun dan sumber-sumber arsip
kolonial yang diakses Hägerdal tersebut adalah buku yang paling ambisius dan
komprehensif yang pernah ditulis dalam ranah penelitian tentang Sabu. Meski demikian,
menarik membandingkan susunan buku tersebut dengan dua buku lain tentang Sabu yang
sama-sama memuat kisah penciptaan. Buku tersebut adalah Orang Sabu dan Budayanya
yang ditulis Robert Riwu Kaho dan Dunia Orang Sawu dari Nico L. Kana. Kisah
penciptaan alam semesta baru dimasukkan Riwu Kaho pada bab 4 yang berjudul
―Budaya Orang Sabu‖, sub judul ―Tentang Penciptaan Alam Semesta dan Isinya‖,
sedangkan Kana bahkan mengisahkan narasi penciptaan yang dilacaknya dari genealogi
lisan orang-orang Sabu baru pada bab 8 yang berjudul ―Terjadinya Alam Semesta, Tanah
Sawu dan Manusianya‖. Ada kesamaan yang samar ditampakkan oleh Riwu Kaho dan
Kana dalam laporan mereka; kisah penciptaan Sabu hanya bisa disimak ketika para
pembaca telah mengetahui manusia dan budayanya. Di sisi sebaliknya, laporan Duggan
dan Hägerdal ditulis dengan meniru susunan Alkitab, segala sesuatu mesti dibuka dengan
penciptaan dunia, sebelum pembaca menemukan narasi tentang peradaban yang
dikembangkan manusia.
Kisah penciptaan dalam Riwu Kaho dan Kana selalu dimulai dengan sosok
bernama Deo Ama, sedangkan kisah penciptaan dalam Duggan dan Hägerdal dimulai
dengan ungkapan D‟a‟i Nata Woro Ei. Pada keturunan kelima dari Woro Ei adalah sosok
Deo Muri. Sosok pertama dari kisah penciptaan nyaris hanya disebutkan sebagai sosok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
tunggal tanpa cerita lanjutan dalam penelitian-penelitian sebelum Duggan dan Hägerdal.
Kedua peneliti terakhir kemudian berusaha menarik konsepnya secara harfiah. ―Dalam
kosmogoni Sabu,‖ tulis Duggan dan Hägerdal (2018: 13), ―awal mula ada di pusat dunia
dan muncul dari kegelapan, d‟a‟i nata woro ei.‖ ―D‟a‟i‖ berarti ―bawah‖ (sebagai
antonim ―d‟i‟da‖ yang berarti ―atas‖), ―nata‖ berarti ―dasar‖, ―woro‖ berarti ―buih‖, dan
―ei‖ berarti ―air‖. Dari penelusuran harfiah ini air adalah unsur penting dalam
pembentukan semesta orang Sabu. Dalam kisah penciptaan kedua (pengangkatan pulau
Sabu yang tenggelam), air adalah unsur yang mesti ditimbun dengan tanah, sementara
dalam penciptaan pertama airlah salah satu unsur dasar penciptaan. Pemisahan genealogi
secara tegas antara langit (liru), bumi (rai) dan laut (dahi) baru terjadi pada generasi
kesembilan setelah Deo Ama yang diwakili oleh keturunan Bèla Bako bernama Liru Bèla
(langit), Rai Bèla (bumi) dan Dahi Bèla (laut) (Kana, 1983: 106; Riwu Kaho, 2005: 79).
Dari Rai Bèla, muncullah garis keturunan keenam yang kemudian menghasilkan D‘a‘ra
D‘a‘i dan Nata D‘a‘i. Nata D‘a‘i adalah pangkal yang menurunkan manusia, binatang
dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan D‘a‘ra D‘a‘i adalah pangkal yang menurunkan gejala-
gejala angkasa (Kana, ibid., loc.cit.).
Meski demikian, barulah pada Kika Ga orang-orang Sabu dapat merujuk silsilah
keturunan patrilineal mereka (genealogi pria). Kisah pertama dapat kita simak dalam
laporan Detaq (1973: 7-8). Dikisahkan di suatu tempat bernama Hura berdiam dua orang
anak laki-laki bersaudara, Kika Ga dan Djape Ga. Djape Ga lebih dikasihi daripada Kika
Ga, karena itu Kika Ga memutuskan untuk meninggalkan Hura. Dengan berkuda, Kika
Ga meninggalkan Hura, meneruskan perjalanan berhari-hari dan tiba di Djawa Wawa
(sekarang bernama Raijua). Di Djawa Wawa pada waktu itu, di sebuah tempat yang
bernama Ketita, berdiamlah seorang dewa bernama Mone Rau dan saudarinya yang
bernama Mudji Rau. Kika Ga kemudian memperistri Mudji Rau dan memperoleh anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
bernama Hu Kika. Setelah berkeluarga, di sebelah timur Ketita, timbullah dari dasar laut
dataran Teriwu (sekarang merupakan dataran tertinggi di pulau Sabu). Setelah
kemunculan pulau tersebut, Kika Ga bersama keluarganya pun pindah dari Ketita ke
Teriwu. Selanjutnya mereka beranak pinak dan menghasilkan keturunan yang menjadi
cikal-bakal orang Sabu sekarang ini.
Hikayat lain mengisahkan bahwa Kika Ga datang dari sebuah tempat yang jauh,
ketika pulau Sabu belum terbentuk. Di tempat yang kini menjadi pulau Sabu, hanya ada
sebutir batu, yakni Wadu Mea, dan dua puncak, Merabu dan Kebuhu. Sekian lama
sendiri di Wadu Mea, Kika Ga pun tersangkut kail pancing Ludji Liru, anak dewa Liru
Bèla, dan ditarik ke kahyangan. Di kahyangan Kika Ga dijadikan anak angkat Liru Bèla,
dan memperistri dewi Lia Ra. Dari kahyangan, Kika Ga dan Lia Ra kembali ke puncak
Merabu bersama Ludji Liru. Kika Ga dan Lia Ra kemudian ditinggalkan Ludji Liru di
Merabu ketika ia pergi ke Ketita, tempat tinggal pasangan dewa-dewi Mone Weo dan
Bènni Weo. Dari bawah tangga rumah mereka, Ludji Liru mencuri tanah dan
menghamburkan tanah curian tersebut dari puncak Merabu, hingga terbentuklah daratan
yang mengelilingi Merabu dan Kebuhu, yakni pulau Sabu sekarang. Kelahiran pulau
Sabu bersamaan dengan lenyapnya Ludji Liru. Kisah Kika Ga hadir dengan sejumlah
variasi. Ada narasi yang mengisahkan bahwa ada saudari Kika Ga bernama Male Ga,
yang kemudian masuk ke laut dan menjadi paus mistik bernama Iwa Lungi. Ada variasi
lain yang menarasikan bahwa ketika kembali ke bumi Kika Ga dibekali dengan
perangkat tenun (Duggan & Hägerdal, 2018: 22).
Kisah tentang sepasang leluhur orang Sabu ini masih bertahan hingga sekarang
dalam cerita-cerita di antara masyarakat Sabu. Meski bertahan sebagai kisah kedatangan
dan penciptaan hingga sekarang, kisah ini mesti berbagi tempat dengan kehadiran kisah-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
kisah lain yang dibawa kaum kolonial pada masa penjajahan, misalnya kisah penciptaan
dan eksodus yang diperkenalkan para zendeling dan misionaris.
Pada bagian kedua dikotomi Jingitiu-Kristen diawali oleh bangsa penjajah yang
secara sederhana membagi masyarakat Sabu menjadi dua bagian akan ditampilkan.
Orang-orang Jingitiu yang mempertahankan kisah penciptaan tersebut relatif tidak
bersentuhan dengan khazanah tekstual, sebagaimana orang Kristen Sabu yang juga
mengenal kisah penciptaan dan eksodus lain dari Alkitab, seperti eksodus Abraham dan
Musa. Kisah tentang penciptaan dan manusia yang dapat dilacak dari genealogi lisan
orang-orang Sabu tidak seterkenal kisah dari Alkitab, yang tidak hanya direproduksi
kembali dari teks menjadi lisan, tetapi juga bertahan sebagai sumber penciptaan seni dan
alih wahana dari berbagai seniman di berbagai belahan dunia, khususnya Eropa Barat,
selama berabad-abad.
2.2. Orang Sabu, Jingitiu, dan Konsep tentang Agama
Sejumlah literatur yang membahas tentang Sabu tidak menyinggung ―Jingitiu‖
sebagai sebuah kategori, atau bagian dari pembahasan yang dibicarakan secara spesifik
mengenai sistem kepercayaan, meskipun menurut Riwu Kaho, istilah ini sudah
digunakan sejak zaman kolonial oleh para misionaris Portugis (2005: 76-77). Sebelum
mulai membahas Jingitiu, ada baiknya kita melihat bagaimana literatur-literatur
terdahulu membahas tentang Sabu dan khazanah tradisinya.
Salah satu literatur yang sering digunakan untuk merujuk pada khazanah Sabu
adalah catatan harian dari pelayar terkenal Inggris James Cook. Seperti telah disinggung
pada bagian Latar Belakang, James Cook mencatat keberadaannya di Sabu selama empat
hari, tanggal 18 September 1770 sampai tanggal 21 September 1770. Dari catatannya
diketahui bahwa pada waktu itu ada beberapa orang Sabu yang bisa berbahasa Portugis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Dalam jurnalnya bertanggal 20 September Cook menulis bahwa mereka dijamu dengan
tata cara setempat. Pada bagian lain, Cook juga mengisahkan sedikit tentang upacara
kematian seorang raja, dan memuji sistem pernikahan orang Sabu yang monogami dan
tidak mengenal perselingkuhan dan perzinahan. Cook pun menyinggung tentang mahar
yang mesti diserahkan seorang laki-laki Sabu kepada keluarga besar perempuan ketika
menikah, tentang bagaimana gula lontar diolah, tentang kebiasaan orang-orang Sabu
memamah sirih, pinang dan kapur yang dihaluskan dari batu koral, tentang penerjemahan
Perjanjian Baru ke dalam bahasa yang menurut Cook ―peculiar‖ dan ratusan orang yang
dibaptis Kristen oleh Belanda, tentang konstruksi rumah tradisional Sabu, dan lain
sebagainya. Dari catatan Cook diketahui bahwa Sabu pada waktu itu dijaga oleh seorang
petugas VOC kelahiran Jerman bernama Johan Christopher Lange. Lange telah bertugas
selama hampir sepuluh tahun dan mengelilingi pulau Sabu dua bulan sekali untuk
keperluan mengirim hasil panenan ke Kupang. Lange memiliki 50 budak pribumi yang
mengiringinya selama berkeliling mengumpulkan hasil panenan dari tiap wilayah di
Sabu. Para budak pribumi sering ditukar dengan budak yang lain, atau bahkan dengan
binatang seperti babi atau kuda yang bagus. Sabu, menurut catatan Cook, adalah bagian
dari wilayah yurisdiksi Portugal sebelum VOC datang dan berdagang di situ (1983: 453-
462).
Keterangan Cook ini merupakan sumber utama yang digunakan oleh Fox (1977)
untuk menulis bagian tentang hubungan Belanda dan Sabu pada abad ketujuh belas dan
kedelapan belas dari bukunya Harvest of the Palm. Dalam penelitian antropologis untuk
menunjukkan fungsi dan peran tanaman lontar/siwalan (Borassus flabellifer) bagi
masyarakat Sabu dan Rote, Fox juga menyinggung dan memberikan contoh singkat
bagaimana peran genealogi oral membuat orang-orang Sabu mampu melacak jejak para
pendahulu mereka. Dengan berpatokan pada tradisi lisan orang Sabu dalam mengingat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
silsilah keluarga, Fox melacak keturunan Madocho Lomi Djara, orang yang disebut
Cook dalam jurnalnya (1977: 120-121).
Meski beberapa kali menggunakan “Savunese religion‖ dalam tulisannya, Fox
tidak secara spesifik menggunakan istilah ―Jingitiu‖ (misalnya, 1977:119 & 120). Pilihan
Fox ini sama dengan cara yang ditempuh Detaq dalam buku Mengenal Kebudayaan Suku
Bangsa Sawu (1973). Detaq menulis tentang tata cara ritual tradisi orang-orang Sabu,
sejumlah narasi penciptaan dan asal-usul, genealogi oral dan dan pembagian tiap
kelompok masyarakat (udu dan kerogo) secara genealogis, pelaksanaan ritual dan
penanggalan sistem lunar, hingga sendi-sendi kehidupan sosial lainnya. Silsilah lisan
Lomi Djara yang dicontohkan Fox, misalnya, dapat kita temukan versi panjangnya dalam
laporan Detaq (1973: 14-15).
Setahun setelah buku Detaq terbit, Nico L. Kana merampungkan disertasinya yang
pada tahun 1983 dibukukan dengan judul Dunia Orang Sawu. Buku ini adalah hasil
penelitian antropologis Kana terhadap khazanah kehidupan orang Sabu, mulai dari
praktik-praktik ritualnya, mitologi penciptaannya, hingga pandangan orang Sabu tentang
waktu dan dunia. Kana memilih tempat penelitian di Mesara (yang kini merupakan satu
kecamatan tersendiri), karena pada waktu itu dianggap ―relatif masih sedikit kontak
dengan dunia luar, baik diperbandingkan dengan situasi prakolonial‖ (1983: 12).
Jika Kana dan Detaq sama-sama memberi porsi yang dominan pada sumber-
sumber lisan, termasuk cara mereka mengelaborasi mitologi-mitologi dan garis genealogi
dari sumber-sumber tersebut, maka Fox agak lebih ketat menelusuri referensi. Jika salah
satu perhatian penelitian dalam Kana dan Detaq adalah pada bagaimana genealogi lisan
menjadi bagian penting dari cara masyarakat Sabu memahami komunitas dan khazanah
kultural spiritual mereka, Fox justru berfokus pada sokongan ekologis, bagaimana daerah
segersang Sabu tetap bisa menghidupi orang-orangnya dengan tumbuhan lontar yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
nyaris semua elemennya dimanfaatkan orang Sabu untuk keperluan pangan dan papan.
Dari laporan-laporan ketiganya dalam rentang waktu yang relatif berdekatan, konsep
―jingitiu‖ tidak digunakan.
―Jingitiu‖ baru digunakan dalam buku Robert Riwu Kaho berjudul Orang Sabu
dan Budayanya (2005 [2000]). Tentang Jingitiu, Riwu Kaho menulis:
Agama Suku Sabu tidak diketahui namanya. Akan tetapi sekarang ini masyarakat,
baik di Sabu maupun di luar Sabu menamakan Agama Suku Sabu itu Agama Jingitiu.
Para pastor Katolik Roma berkebangsaan Portugis yang datang ke Sabu pada awal abad
ke-17 untuk tujuan penginjilan, memberi nama orang Sabu sebagai Gentios. Yang
dimaksudkan oleh mereka adalah kafir artinya tidak percaya kepada Allah menurut
konsep agama Kristen. Orang Sabu dan para Mone Ama tidak mengerti akan arti kata
itu sehingga mereka tidak membantahnya (2005: 76).
Dari keterangan ini, kita mengetahui bahwa Jingitiu adalah istilah kategorial, atau
kategori yang muncul untuk mengeksklusi sekelompok masyarakat dari kategori lain
(Kristen). Eksklusi tersebut masih dilanjutkan belakangan, misalnya, sebagaimana
dilaporkan Riwu Kaho bahwa menurut beberapa pendeta GMIT di Sabu, jingitiu berasal
dari tiga kata bahasa Sabu jingi ti Au yang jika diterjemahkan berarti ―menolak-Mu‖ atau
―menolak Tuhan‖ (2005: 77). Pernyataan sejumlah oknum pendeta GMIT itu tentu saja
tidak mewakili seluruh jemaat Protestan Kalvinis yang ada di Sabu, tetapi dapat dibaca
sebagai bagian dari strategi zending atau merupakan sebuah preseden akan adanya
eksklusivitas yang coba dibangun.
Kagiya mencatat bahwa di Raijua, pulau kecil di sebelah barat barat daya pulau
Sabu, jumlah penganut Jingitiu berdasarkan demografi agama tahun 2007 sebanyak
2.360 orang, meskipun jumlah itu secara persentase menurun drastis dari tahun 1982,
dari 60% menjadi 25% (2010: 19). Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, dalam
laporan tahun 2016 yang memuat data sensus tahun 2015, total persentase penganut
Jingitiu (yang dalam kolom keterangan agama dicantumkan ―lainnya‖) di kabupaten
Sabu Raijua, yang meliputi pulau Sabu dan Raijua, sebanyak 7,24%, berada di urutan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
kedua setelah penganut Protestan yang mencapai 89,86%. Katolik dan Islam berada di
urutan ketiga dan keempat dengan masing-masing persentase 1,95% dan 0,95% (2016:
111). Baik Riwu Kaho maupun Kagiya menggunakan istilah Jingitiu sebagai bagian dari
pandangan luar; Riwu Kaho menggunakan pandangan masyarakat umum, Kagiya
menggunakan pandangan pemerintah dalam sensus.
Kita dapat mengamati peran negara dalam cara laporan-laporan tentang orang-
orang Sabu dan Jingitiu ditulis melalui kasus ini. Istilah Jingitiu bagi penghayat
kepercayaan tradisi Sabu datang dari luar, sebagai identifikasi orang luar untuk
memandang orang-orang dan khazanah yang sudah ada sebelumnya. Menurut Picard,
sejak tahun 1952, Kementerian Agama coba untuk memberikan definisi yang legal
mengenai agama (religion) berdasarkan pandangan yang Islamik. ―Menurut
Kementerian,‖ sebagaimana dilaporkan Picard, ―untuk diakui, sebuah agama mesti
merupakan wahyu dari Tuhan, memiliki nabi dan kitab suci, mempunyai sistem hukum
yang diatur bagi para pemeluknya, dan mesti memperoleh pengakuan internasional dan
tidak terbatas pada sekelompok etnis tertentu.‖ Kelompok-kelompok di luar kriteria ini
dimasukkan Kementerian Agama ke dalam aliran kepercayaan. Melalui Penetapan
Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama, yang termasuk dalam agama menurut konstitusi adalah Islam, Protestan, Katolik,
Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius) (Picard, 2011: 13-14).
2.3. Kristen Pribumi dan Mengerasnya Dikotomi Kristen-Jingitiu
Ada hal yang lebih besar yang ditinggalkan bangsa kolonial selain agama bagi
masyarakat Sabu yakni tekstualitas dan cara lain merawat ingatan. Melalui narasi
pertemuan yang akan disampaikan berikut, hal tersebut akan ditampakkan secara
bersamaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Orang Sabu hari ini memiliki istilah do geré (bule) untuk menyebut orang-orang
kulit putih. Penyebutan ini dalam makna yang lebih jauh dari do j‟awa (orang non-Sabu).
Meski tidak tepat untuk menyebut para kolonial yang datang dari berbagai suku bangsa
di dunia, dikotomi do geré-do hawu akan digunakan untuk melihat bagaimana masuknya
kekristenan awal di Sabu dan NTT pada umumnya. Historiografi Kristen di NTT selalu
dimulai pada 1556 ketika Antonio Taveira, seorang imam Dominikan, membaptis 5000
orang di pulau Timor (Naisaban, dkk, 2013: 1; van den End & Weitjens, 1980: 87),
peristiwa yang menandai diterimanya Katolik oleh para pribumi. Peristiwa ini tidak
berpengaruh secara langsung terhadap orang-orang di Sabu. Dalam buku Ragi Carita 1
(91-92), Van den End & Weitjens mencatat bahwa masuknya agama Kristen di Sabu
berjalan seiring dengan kedatangan VOC setelah Belanda berhasil merebut benteng di
Solor pada 1613. Pada 1670-an, satu-dua orang raja di pulau Timor meminta diri mereka
atau pengikut mereka untuk dibaptis. Pertumbuhan jumlah orang Kristen di pulau Timor
yang dikuasai Belanda naik pada abad ke-18. Di Rote, salah satu pulau terdekat dengan
Timor, perkembangan agama Kristen dipelopori seorang raja mereka, hingga berhasil
memengaruhi ribuan rakyatnya. Perkembangan ini membuat jemaat di Timor dilayani
secara teratur selama sepuluh tahun (1753-1763), masa yang bersamaan dengan
berkembangnya gerakan kristenisasi di pulau Sabu.
Melalui pembacaan atas laporan seorang zendeling bernama Mattheus Teffer,
Duggan dan Hägerdal (2018: 143-149) mengajukan kemungkinan akan adanya kontak
masyarakat Sabu dengan orang Portugis dan agama Katolik yang disebarkan para pelaut
Portugis tersebut. Dalam surat bertanggal 29 Oktober 1876, Teffer mengisahkan kembali
mitologi Ju Deo. Dalam surat tersebut, Teffer mengisahkan bahwa Ju Deo dikirim
ayahnya untuk mengajar orang-orang Raijua, pulau di sebelah Barat pulau Sabu.
Dilaporkan bahwa Ju Deo melakukan mukjizat seperti memunculkan mata air yang layak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
diminum dari karang pantai, dan berjalan di atas air. Kisah tentang Ju Deo adalah kisah
yang terkenal di Raijua dan Mesara. Sebagai pembuktian, Duggan mewawancarai Deo
Rai, salah satu dari Ratu Mone Pidu, untuk mengisahkan kembali narasi Ju Deo dan
ibunya, Ina Ju Deo. Wawancara Duggan dengan Deo Rai saya kutip lengkap karena pada
bagian pembahasan, kisah ini akan dibandingkan dengan versi lain yang saya peroleh
dari Kenuhe:
Ditemani Maja, Appu Lod‘o dan Kenuhe, Ina Ju Deo mulai mencari anaknya di
Sabu dan mencapai bagian paling barat pulau Sabu, di mana ia bertemu dengan seorang
pria, Jèka Wai, yang sedang mengerjakan kebunnya. Menunjukkan perlawanan terhadap
permintaan kelompok tersebut, Jèka Wai pun ditantang oleh Kenuhe dan Maja, dan
kehilangan tanahnya. Jèka Wai pun kemudian diminta untuk mengikuti kelompok tersebut.
Ketika mereka tiba di Raijua, mereka bertemu dengan seorang penggembala kambing dari
udu Rohaba. Jawabannya memuaskan pertanyaan Ina Ju Deo, Ina Ju Deo memutuskan udu
Rohaba hanya boleh mengumpulkan garam laut dan dilarang untuk memiliki tanah sendiri
di Raijua. Ina Ju Deo melanjutkan perjalanannya ke Wuditèngu tempat ia bertemu seorang
penggembala kerbau dari Ledetalo. Ina Ju Deo menanyakan pertanyaan yang sama seperti
yang ditanyakan ke orang Rohaba tadi. Mendapatkan jawaban positif, Ina Ju Deo
menghadiahi si gembala dengan perangkap ikan kena‟a dan holo kodo.
Kelompok itu pun melanjutkan perjalanan ke Liurae, dan Ina Ju Deo mengulangi
pertanyaannya. Di sana ia diberitahu bahwa orang yang sedang ia cari sedang disalibkan di
Nada Roju‘u di Raenadega. Sebelum memasuki Raenadega, Ina Ju Deo memerah
payudara kirinya dan mengumpulkan air susunya dalam botol. Kemudian Ina Ju Deo
memercikkan air susunya ke arah orang-orang yang berkumpul di desa dan semua yang
terpercik air susunya meninggal. Sejak saat itu ada sebuah batu yang disebut wowadu
lakati di sana. Ina Ju Deo kemudian memasuki desa, dan pergi ke rumah Deo Rai dan
melihat putranya yang meninggal diikat di balok rumah yang berbentuk salib; Ina Ju Deo
menurunkannya dari balok tersebut dan pergi sesegeranya.
Ina Ju Deo, Maja, Apu Lod‘o, Kenuhe dan Jèka Wai kembali ke Sabu (melintasi
selat dengan perahu Maja). Di Lederaga, Ina Ju Deo memperoleh kain untuk membungkus
tubuh anaknya. Ina Ju Deo pergi ke mata air Èimadakebo ketika kelompoknya disambut
oleh orang-orang setempat yang menari ledo dan pedo‟a. Mereka melanjutkan perjalanan
ke D‘ara Raepumanu di desa Ledeae, dan kemudian ke D‘ara Raekewowo. Di setiap
tempat yang mereka singgahi, mereka disambut tarian dan sedikit demi sedikit Ju Deo
mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mereka kemudian pergi ke Koloteriwu,
perkampungan yang paling ditakzimkan di Sabu, yang dikenal dalam syair Rae Pulu Pa
Lobo Pulu Ewa Ana Deo Pulu Kati. Di Koloteriwu Ina Ju Deo, Ju Deo dan para
pengikutnya naik ke langit karena pada masa lalu langit dan bumi berdekatan. Bersama
putranya, Ina Ju Deo naik ke langit. Orang-orang melihat mereka diselubungi awan.
Jèka Wai tidak tinggal di langit tetapi kembali ke bumi dan menggunakan perahu
Maja, mengeklaim perahu tersebut sebagai miliknya sendiri, yang membuat Maja marah.
Sejak saat itu, kehidupan di bumi tak lagi aman karena ke mana pun Jèka pergi, akan terus-
menerus ada petir dan kilat. Suatu kali, Jèka berteduh di bawah pohon kepaka (Sterculia
foetida), tempat tinggal seorang bernama Denga. Denga mengatakan kepada Jèka bahwa
mengambil perahu Maja adalah hal yang salah. Karena itu, ia akan terus-menerus diteror
oleh kilat dan petir hingga ia meminta maaf. Jèka pun kembali ke langit dan meminta maaf
kepada Maja yang kemudian memutuskan bahwa semua orang dan keturunan mereka
mesti mengorbankan seekor babi kepada Maja setahun sekali, dan tradisi ini bertahan
hingga sekarang. Jèka merawat perahu yang diberi nama Ama Dèki Lomi itu. Untuk hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
ini, keturunannya mesti meluncurkan sebuah perahu upacara yang diisi oleh bahan-bahan
persembahan yang diberi nama kowa Jèka setahun sekali dari bagian paling Barat Mesara.
Menurut Duggan dan Hägerdal, narasi tersebut memiliki kesamaan dengan teks
Alkitab: Ju Deo (―Ju‖ bisa merupakan transliterasi dari Yesus, dan ―Deo‖ yang berarti
―Tuhan‖) dan ibunya (Ina Ju Deo secara harfiah berarti ―ibu dari Ju Deo‖), penyaliban,
kebangkitan dan kenaikan. Saya tidak setuju terhadap pendapat tersebut karena narasi
narasumber yang saya wawancarai mengindikasikan pemaknaan yang lain. Meski
demikian, versi yang direkam berdasarkan cerita Deo Rai jauh lebih panjang dari catatan
yang ditinggalkan Teffer pada abad ke-19. Meski tidak dijelaskan secara rinci perbedaan
laporan Teffer dengan kisah Ju Deo yang diceritakan Deo Rai, Duggan dan Hägerdal
menganggap kisah tersebut berasal dari kontak dengan bangsa Portugis pada abad ke-16,
dan zendeling Protestan yang datang kemudian menghilangkan referensi yang mengacu
pada Ina Ju Deo. Kecurigaan tersebut beralasan sebab tidak ada bukti lain untuk melacak
jejak pertemuan bangsa Portugis sebagai representasi dari Katolik dengan orang-orang
Sabu, sebelum masuknya VOC dan agama Protestan.
Catatan dari para zendeling Protestan menjelaskan bagaimana pertemuan Kristen
dan orang Sabu merupakan interaksi yang tidak selalu mudah. Catatan dari W.M.
Donselaar, seorang zendeling yang mencari pengikut Kristen yang baru di Timor dan
Sabu, dan teman-temannya, pada paruh kedua abad ke-19 (narasi bagian ini
diparafrasekan dari Duggan & Hägerdal, 2018: 330-349) menunjukkan hal tersebut. Pada
tahun 1869 penduduk pulau Sabu dan Raijua terserang cacar. Jumlah populasi sekitar
30.000 orang turun menjadi tak lebih dari 16.000 orang pada tiga tahun kemudian.
Ketika terserang wabah, menurut laporan Donselaar, orang-orang Sabu dan Raijua
melaksanakan ritual, menciptakan lempung berbentuk babi dan kerbau, dan
mempersembahkan kepada arwah leluhur. Menurut para zendeling, orang-orang Sabu
merasa kepercayaan lama mereka tidak lagi sepadan, karena tak lagi bisa membantu di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
saat-saat mala dan sakit menyerang. Ketika Donselaar dari Nederlandsche
Zendelinggenootschap (ZNG) mendarat di Sabu pada tahun 1870, sudah ada sebuah
sekolah Melayu yang didirikan pemerintah kolonial di Seba pada tahun 1862 atas
inisiatif Residen Isaac Esser. Melalui sekolah-sekolah seperti inilah agama Kristen dan
budaya Belanda diperkenalkan, dan dengan demikian para zendeling datang dengan
beban yang lebih ringan karena ada dasar yang telah dipersiapkan. Keterangan ini juga
berarti bahwa keberadaan sekolah pemerintah kolonial turut berandil dalam membentuk
pemahaman masyarakat pribumi terhadap agama baru yang kemudian diperkenalkan
para zendeling. Pada tahun 1872, kerabat Donselaar, Mattheus Teffer tiba di Sabu,
berturut-turut suksesornya kemudian seperti Niks, Letterboer dan Wijngaarden. Dalam
catatan para zendeling dapat dibaca bahwa Sabu (terutama Seba) bukan hanya wilayah
baru yang perlu dibuka dan terbuka bagi penerimaan Kristen, tetapi juga wilayah yang
penuh ancaman. Sejumlah surat dari Jan Kornelis Wijngaarden mengungkapkan
penyesalannya setelah kehilangan istrinya yang jatuh sakit akibat menginap beberapa
saat di Sabu. Jumlah orang Kristen meningkat pesat ketika pada tahun 1870-an para
zendeling membaptis empat raja di Sabu, dan kemudian diikuti oleh raja Raijua pada
awal abad ke-20. Kendala lain yang dihadapi para zendeling adalah kendala bahasa.
Letteboer melaporkan kesalahan penerjemah khotbahnya membuat pangeran Jonathan
Doko memarahinya di sebuah gereja di Seba. Ada pun tabel statistik orang-orang Kristen
di Sabu pada 1887 yang dikumpulkan Niks (dalam Duggan & Hägerdal, 2018: 338)
dapat kita lihat sebagai perbandingan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Tabel 1: Orang Kristen di Sabu pada 1887
Tempat Laki-laki Perempuan Total
Seba 748 787 1590
Menia 77 83 168
Rai Liu 68 69 139
Liae 257 268 526
Dimu Bodae 152 169 335
Dimu Bolou 65 45 117
Mesara 228 221 450 (Sumber: Duggan & Hägerdal, 2018: 338)
Duggan dan Hägerdal (2018: 338) mengingatkan bahwa meski statistik di atas
meragukan, karena total tidak sama dengan hasil jumlah laki-laki ditambah perempuan,
statistik tersebut menunjukkan bahwa Kristianitas telah berakar di Seba pada akhir abad
ke-19 dan telah mempunyai pengikut yang signifikan di tiga wilayah lain. Tabel ini bisa
dilengkapi salah satu narasi contoh penerimaan (Duggan & Hägerdal, 2018: 339-341).
Menurut laporan Teffer, kemampuan membaca yang diperoleh di sekolah Melayu
memungkinkan seorang pribumi mengakses pengetahuan yang lebih tinggi dari orang-
orang Kristen lainnya. Dalam kasus diakon Hanokh Hede Kore, sebagaimana dilaporkan
oleh Niks, kemampuan membaca membuat Hanokh mampu mengakses informasi dari
Perjanjian Lama yang dibelinya seharga 5 gulden, Perjanjian Baru seharga 2,5 gulden
dan buku serani karangan John Bunyan seharga 2,5 gulden. Hanokh percaya bahwa
Yesus adalah penyelamat setelah membaca Perjanjian Baru dan buku Bunyan, dan
kemudian meminta dibaptis. Kasus Hanokh secara gamblang menunjukkan bagaimana
pendidikan modern dan tradisi teks gereja turut berandil membentuk cara manusia Sabu
mengingat. Hanokh, dalam contoh kasus ini, tidak saja manusia yang beralih dari Jingitiu
kepada Kristen, tetapi juga dari tradisi lisan kepada tradisi tekstual. Dalam contoh lain
pada laporan Teffer diceritakan bagaimana sang zendeling berkonfrontasi dengan raja
Liae, Ama Amu, dan merasa menang. Di tengah kondisi kering, Teffer bertanya apakah
para tetua mampu memanggil hujan untuk mengusir kegersangan. Ama Amu menjawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
bahwa kegagalan-kegagalan ritual menyebabkan hujan tak kunjung datang, dan pada titik
itu membuat si raja tidak lagi percaya pada keyakinan lamanya. Si raja kemudian
memandang Teffer lebih superior dan merupakan seseorang yang bisa mendatangkan
hujan. Pada akhir sub-bab tentang penyebaran Kristen pada masa kolonial, Duggan dan
Hägerdal (2018: 348) menutup dengan kesimpulan bahwa laporan-laporan tertulis para
zendeling tersebut menghadirkan citra tentang Sabu sebagai daerah ambang antara
masyarakat pramodern dan masyarakat kolonial, antara Jingitiu dan Kristen. Meski
demikian, laporan para zendeling tersebut tetap saja tidak bisa menampilkan apa yang
sesungguhnya dirasakan oleh orang-orang Sabu pada waktu itu tentang perpindahan
agama.
Steenbrink (2007: 155) mencatat, Rote dan Sabu merupakan pusat utama orang-
orang Protestan pribumi di wilayah NTT. Ini dapat dilihat, misalnya, dari pesatnya
perkembangan orang pribumi yang dibaptis di Rote (kira-kira 8.000 orang pada 1858)
ketimbang di Timor (2.000 pada tahun yang sama). Perkembangan gereja Protestan
kedua pulau tersebut juga berpengaruh ke ranah lain yang pada saat itu juga erat
kaitannya dengan gereja, yakni pendidikan. Pendatang-pendatang dari Sabu dan Rote
menjadi orang-orang Protestan pertama di pulau Sumba, sedangkan sejumlah guru yang
mengajar di Sumba dan Timor adalah orang-orang Rote dan Sabu. Di Rote dan Sabu,
sebagaimana dicatat Van den End dan Weitjens (1989: 100), jumlah orang Protestan
bertambah dari kurang lebih 11.500 pada tahun 1899 menjadi 46.590 pada tahun 1938.
Pesatnya perkembangan jemaat Protestan pribumi di wilayah Sabu tidak bisa
dilepaskan dari strategi penginjilan yang diterapkan para pewartanya. Saya kutip secara
utuh penggalan keterangan dari Van den End dan Weitjens (1989: 100-101), tanda kursif
dari saya:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Meskipun pendeta Belanda-lah yang membaptis orang Kristen baru itu, tetapi usaha
p.I. terutama dilakukan oleh tenaga Indonesia. Mereka memakai berbagai cara untuk
menarik orang kafir ke dalam agama Kristen. Mereka umpamanya, mengunjungi orang di
rumahnya. Orang yang dikunjungi itu tentu tidak langsung masuk Kristen, tetapi kini ia
mengetahui bahwa ada agama baru. lalu di rumah itu misalnya ada yang jatuh sakit, dan
orang mau mengadakan percobaan: sang pendeta dipanggil untuk berdoa. Kalau si sakit
sembuh maka kemungkinan besar dia bersama keluarganya bertobat. Kesempatan lain
muncul pada waktu orang mengadakan pesta (yang di Timor sering terjadi. Sementara
orang menunggu hidangan disajikan, penginjil dapat berbicara mengenai kebaikan dan
kejahatan, mengenai kehidupan di seberang maut (khusus pada pesta kematian), mengenai
roh-roh serta dewa-dewa dan seterusnya, sambil mengemukakan pandangan Kristen. Atau,
kalau penginjil (yang kebanyakan orang Rote) sudah menguasai bahasa daerah, ia pada
malam hari duduk-duduk bersama orang setempat, Kristen dan kafir, omong-omong
mengenai hal agama.
Penulisan historiografi semacam ini pertama dan terutama ditujukan sebagai arsip
internal gereja (misalnya dengan penggunaan kata ―kafir‖ kepada orang non-kristen atau
penganut agama pribumi, dan ―bertobat‖ kepada kegiatan konversi kepada Kristen).
Namun, dari penulisan semacam itu, dapat kita baca bahwa identitas berkaitan erat
dengan politik kepentingan pihak-pihak yang berperan memainkannya.
Peristiwa bersejarah lain yang perlu dicatat berkaitan dengan perkembangan
Protestan di NTT secara umum dan Sabu secara khusus adalah semangat anti-Belanda
yang melatari keinginan untuk berdiri sendiri. Sebagaimana dilaporkan Van den End dan
Weitjens (1989: 104-108; lihat juga Aritonang & Steenbrink: 308-310), berdirinya
Gereja Masehi Injili di Timor pada 31 Oktober 1947 adalah buah dari keinginan tersebut.
Wilayah GMIT meliputi pulau Timor, Flores, Alor, Pantar, Rote, Sabu dan Sumbawa.
Pada tahun-tahun awal GMIT, meski telah berdiri sendiri, ketua Sinode GMIT masih
orang Belanda dan pembiayaan kegiatan gereja masih menjadi tanggungan pemerintah.
Pada awalnya GMIT dibiayai oleh pemerintah kolonial dan kemudian oleh pemerintahan
Indonesia. GMIT baru benar-benar berdiri secara mandiri (dalam arti lepas dari
tanggungan negara) pada masa kepemimpinan pendeta Abineno sejak tahun 1950. Hal
ini tidak lepas dari peran negara: Soekarno menyatakan pemisahan negara dari agama.
Sebagai kompensasi GMIT menerima dua juta rupiah pada waktu itu untuk mengawali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
kemandirian pengelolaan keuangannya. Uang ini habis pada 1955 dan sejumlah krisis
berlangsung, dan bertahan hingga ekonomi Indonesia membaik pada tahun 1970-an.
Banyak para pekerja gereja yang tetap mengabdi meskipun gaji jarang dibayar. Salah
satu sumbangan sosial GMIT adalah bidang pendidikan. Pada tahun 2004 yayasan GMIT
untuk pendidikan Protestan bertanggung jawab atas 102 TKK, 340 SD, 30 SMP, 9 SMA
dan 2 sekolah vokasional. Dalam kasus ini, sebagian besar sekolah-sekolah yang
didirikan pada masa kolonial dikelola GMIT, misalnya SD GMIT Lederae Mawide 1
yang berada di desa Pedarro.
Peristiwa politik lain dalam konteks nasional yang mempengaruhi GMIT adalah
peristiwa 1965. Sejumlah anggota gereja, bahkan pengurusnya, merupakan anggota PKI.
Setelah pelarangan PKI orang-orang Indonesia dipaksa untuk memilih satu dari lima
agama yang diakui pemerintah (Aritonang & Steenbrink, ibid., loc.cit.). Peristiwa 1965
turut berpengaruh dalam percepatan proses kristenisasi di Sabu, (Riwu Kaho, 2005: 165-
167). Para pejabat pemerintahan dan gereja bekerja sama untuk mengkristenkan orang-
orang Jingitiu, karena jika tidak, mereka akan dicap PKI dan disiksa. Pada tahun 1976,
Camat, Danramil dan Dansek Polri mendesak semua penganut Jingitiu menjadi Kristen.
Rencana tersebut tidak berjalan mulus. Pada tanggal penetapan pembaptisan massal di
Seba, 13 September 1976, muncul hujan lebat, dan beberapa sungai meluap karena
banjir. Kendaraan pengangkut para calon baptisan pun tertahan akibat sungai yang
meluap. Dengan demikian, upacara pembaptisan massal pun batal. Meski demikian,
secara umum dampak peristiwa G30S berakibat positif bagi pertumbuhan umat Kristen.
Jumlah jemaat GMIT melonjak, dari 19.982 jiwa pada tahun 1971 menjadi 36.481 jiwa
dari jumlah penduduk 57.609 jiwa pada tahun 1987. Pada tahun 1998 jumlahnya
meningkat menjadi 47.692 jemaat dari jumlah penduduk 63.617 jiwa. Sebaliknya,
penganut Jingitiu menurun drastis dari 20.813 menjadi 16.412 pada tahun 1992 dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
menjadi 14.077 pada tahun 1998. Dalam Sabu Raijua dalam Angka (2017: 41) yang
dirilis BPS, persentase penganut Kristen mencapai 91,91% (Protestan 89,86% dan
Katolik 1,95%), sedangkan persentase penganut Jingitiu sebesar 7,24%.
Dari narasi bagian ini dapat dilihat bagaimana pengerasan identitas yang awalnya
dimulai pada masa kolonial dilanjutkan dan bahkan dipaksakan oleh pemerintah melalui
aparat-aparatnya, selain karena terjadi secara alamiah sebagai akibat perbedaan yang
timbul dari dua kutub identitas tersebut. Sekolah Melayu yang pada awalnya berfungsi
untuk mendisiplinkan pikiran warga pribumi juga dipakai sebagai sarana untuk
memperkenalkan agama baru kaum kolonial. Orang-orang Sabu yang bersekolah di
sekolah Melayu bentukan Belanda adalah orang-orang yang berpindah dari khazanah
lisan ke khazanah tekstual, mengalami bahasa tidak saja sebagai suara, tetapi juga
sebagai hal yang visual, dan mengetahui ada cara lain menyimpan ingatan selain melalui
tuturan-tuturan yang dipraktikkan para leluhur mereka selama ribuan tahun.
2.4. Katolik dan Sabu: Pertemuan Awal
Meski Duggan dan Hägerdal telah memberikan kemungkinan adanya hubungan
antara orang Sabu dan Katolik melalui Portugis pada masa sebelum kedatangan VOC
berdasarkan penafsiran atas kisah Ju Deo dan Ina Ju Deo, nyaris tak ada bukti lain yang
mendukung spekulasi tersebut. Dengan kata lain, setelah sekian lama absen sejak masa
Portugis, baru pada paruh kedua abad kedua puluh gereja Katolik kembali hadir di Sabu
melalui para misionaris Serikat Sabda Allah.
Pada 1630, para imam Dominikan yang tiba bersama Miguel Rangel, OP—yang
pada tahun 1614 ditunjuk sebagai Vikaris Jenderal Dominikan Goa—ditugaskan ke
beberapa lokasi, termasuk Rote dan Sabu. Meski dicatat bahwa ada permintaan akan
seorang imam dari orang-orang di pulau Sabu pada 1624, seperti yang dilakukan orang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
oranng Rote pada 1621, permintaan orang-orang Sabu ini hanya bisa dikabulkan melalui
kunjungan misionaris-misionaris yang lewat, bukan melalui misionaris-misionaris yang
menetap seperti di Rote (Heuken, 2008: 83-84). Menurut Riwu Kaho, kata ―jingitiu‖
merupakan penyesuaian dialek setempat atas pelafalan kata Portugis salah satu
misionaris yang mengunjungi Sabu pada periode ini, yakni ―gentios‖ (2005: 158-159).
Nomina ―gentios‖ adalah bentuk plural dari ―gentio‖ yang berarti ―kaum pagan‖ atau
―penyembah berhala‖, yang berasal dari bentuk singular nomina bahasa Latin ―gens-
gentis‖ dengan arti serupa.
Setelah arus misionaris Katolik sempat terputus setelah ditinggal para misionaris
Dominikan pada tahun 1648 karena Sabu kemudian menjadi wilayah VOC dan Belanda,
kehadiran misionaris-misionaris dari kongregasi Serikat Sabda Allah (Societas Verbi
Divini) mengisi tempat yang ditinggalkan para misionaris Dominikan. Misionaris Sabda
Allah sebelum Franz Lackner yang pergi ke Sabu adalah Piet Konijnsun. Franz Lackner
adalah misionaris SVD pertama di Sabu yang menggunakan pendidikan sebagai salah
satu cara propaganda iman. Pendidikan adalah jalan untuk memudahkan Katolik diterima
sekaligus sarana mengajar dan merawat katekis-katekis awam sebagai corong
pewartaannya di Sabu. Meski Gereja Katolik di Sabu hadir di atas tilas-tilas yang
ditinggalkan Protestan, pendidikan tetap menjadi jalan yang ditempuh oleh Gereja untuk
memperkenalkan modernitas kepada orang-orang yang disasar. Beberapa contoh dari
berbagai wilayah dapat disimak sebagai perbandingan.
Pendidikan sebagai cara memperkenalkan modernitas kepada masyarakat yang
oleh para misionaris Eropa dianggap primitif bukanlah hal baru dalam sejarah misi di
dunia. Sebagaimana dilaporkan Steenbrink dalam tulisannya berjudul “Flores: Efforts to
create a modern and Christian society” (2007: 77-152), pendidikan menjadi salah satu
cara utama para misionaris Eropa untuk memodernisasi cara berpikir orang-orang,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
memenangkan persaingan ―pertempuran iman‖ dengan kaum Muslim dan menjadikan
Flores sebagai pulau dengan mayoritas penduduknya menganut Katolik. Peran sekolah
sebagai pendorong modernisasi dan kristenisasi juga dapat dilihat dalam kasus van Lith.
Seperti laporan Madinier, para murid di Muntilan tercatat mengonversi agama mereka
selama masa belajar di sekolah (2011: 39).
Sebagai sebuah contoh lain, misionaris-misionaris Spanyol seperti Francisco
Blancas de San José dan Agustín de Magdalena, sebagaimana dilaporkan Vicente L.
Rafael, menggunakan perangkat gramatika bahasa Spanyol yang diturunkan dari Latin
untuk merumuskan gramatika bahasa Tagalog, sebuah bahasa yang sama sekali asing
bagi orang-orang Filipina pada saat itu. Dengan mengabaikan realitas kultural yang ada
sebelumnya, para misionaris memperkenalkan Kekristenan dan bahasa Latin serta
Spanyol kepada orang-orang Filipina, elemen-elemen yang juga berperan penting dalam
perkembangan intelektual Bapak Bangsa Filipina José Rizal. Aksara baybayin yang
sudah ada dalam khazanah linguistik Filipina diabaikan oleh huruf-huruf yang dilatinkan.
Dalam kasus Filipina, konversi aksara dan gramatika diperlukan oleh para misionaris
demi mempermudah pengajaran dan penyebaran agama (1988: 23-54).
Menurut uskup pertama Keuskupan Agung Kupang Gregorius Manteiro SVD,
dalam autobiografi Memori Uskup Keuskupan Agung Kupang, Sabu sebagai bagian dari
wilayah Gereja Timor termasuk dalam wilayah pelayanan Vikariat Apostolik Timor,
dengan pemimpin Vikaris Mgr. Y. Pessers, SVD. Dua orang misionaris Sabda Allah
Pater Kresten dan Schroder tiba di Kupang pada 2 Oktober 1946. Wilayah pelayanan
keduanya mencakup wilayah parokial SoE, Alor, Rote, dan Sabu. Empat wilayah ini
secara periodik dilayani dari Kupang. Paroki Sabu dan Rote secara resmi dibentuk pada
1956, di bawah perlindungan St. Christoforus (1997: 29).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Karya kedua misionaris Sabda Allah di Sabu tersebut rupanya tidak terekam dalam
laporan-laporan selanjutnya selain autobiografi Manteiro. Dari laporan Duggan dan
Hägerdal (2018: 412-413), misionaris Serikat Sabda Allah yang diketahui pernah
bertugas di wilayah Sabu dan sekitarnya adalah Piet Konijnsun. Konijnsun yang waktu
itu mendirikan stasi Ba‘a dan tinggal di Ba‘a, sesekali bermisi di pulau Sabu, dari tahun
1956 hingga 1967. Kunjungannya ke Sabu pada waktu itu dalam rangka melayani tiga
polisi Flores beragama Katolik yang bertugas di sana. Dari sebuah skripsi berjudul
Pendampingan Kaum Muda Katolik dalam Upaya Menciptakan Kader Pastoral di Sabu
karya Markus Manu Nge Djo (2000: 15) keterangan pembaptisan warga Sabu pertama
diketahui. Dalam rentang waktu tugasnya di Sabu, Konijnsun membaptis seorang Sabu
bernama Mone Haga, dengan nama baptis Titus. Tulisan yang sama melaporkan bahwa
tidak ada penambahan umat melalui pembaptisan selama rentang waktu pastoral
Konijnsun.
Laporan Duggan dan Hägerdal (2018: 412-413) menunjukkan bahwa meski tak
tetap hadir langsung di Sabu, gereja Katolik melayani Sabu melalui kehadiran Piet
Konijnsun. Piet Konijnsun mulai mengunjungi umat Katolik di pulau Alor, Rote dan
Sabu pada tahun 1948. Pada tahun yang sama, persisnya 11 November 1948, paroki
Kalabahi di pulau Alor didirikan. Konijnsun yang waktu itu mendirikan stasi Ba‘a dan
tinggal di Ba‘a, tetapi juga sesekali bermisi di pulau Sabu, dari tahun 1956 hingga 1967.
Kunjungannya ke Sabu pada waktu itu dalam rangka melayani tiga polisi Flores
beragama Katolik yang bertugas di sana. Pada tahun 1956, Piet Konijnsun membuka
stasi Baa di Rote, karena wilayah misi Alor dan Pantar yang awalnya termasuk dalam
Vikariat Apostolik Atambua dipisahkan dan dimasukkan dalam Vikariat Apostolik
Larantuka. (Neonbasu & Lebao, 1993: 21-22).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Konijnsun kemudian digantikan oleh imam muda dari Serikat Sabda Allah, Franz
Lackner, pada tahun 1967. Menggantikan tugas Piet Konijnsun di Ba‘a, Franz Lackner
juga melanjutkan karya misinya ke pulau Sabu dan Raijua. Pada saat kedatangannya
hanya ada satu keluarga Katolik keturunan Filipina di pulau tersebut. Franz muda
mendirikan dua sekolah dasar, masing-masing di Perema pada tahun 1970 dan Mehona
pada tahun 1969, dan mempekerjakan guru-guru yang pada tahun 1966 dilarang
mengajar. Pada tahun-tahun tersebut juga dibangun gedung gereja dan asrama di Mèba,
Seba, satu asrama putri dan satu asrama putra yang sampai sekarang masih digunakan
untuk menampung anak-anak dari berbagai agama yang ingin melanjutkan sekolah di
Seba (Duggan & Hägerdal, 2018, ibid., loc.cit.).
Sebuah artikel berjudul “Missionar am Ende der Welt. Franz von Sabu”—
―Misionaris di Ujung Dunia, Franz dari Sabu‖ memberi informasi bahwa Franz Lackner
tiba di Sabu pada bulan Maret 1967.7 Franz Lackner berasal dari Paroki Paldau, Styria,
Austria.8 Ia dilahirkan pada 29 April 1940. Setelah dua tahun berada di Sabu,
9 tepatnya
pada tanggal 1 Januari 1969, Franz Lackner mendirikan sekolah dasar SD Katolik
Mehona yang berada di wilayah kecamatan Liae dan SD Katolik Perema setahun
kemudian, 1 Januari 1970, yang berada di wilayah kecamatan Mesara. Mehona dan
7 Dari situs https://www.3sat.de/page/?source=/dokumentationen/179273/index.html, diakses 10 Januari 2017
pukul 03.45 AM. Artikel ―Missionar am Ende der Welt Franz von Sabu‖ sendiri sebagian besar diadaptasi dari
sebuah artikel dan video dokumenter yang dipublikasikan di situs lain berjudul serupa tentang kehidupan harian
Pater Franz Lackner di Sabu yang juga bisa diakses lewat youtube. Dari video dokumenter karya Gundi
Lamprecht tersebut, misalnya, statistik kependudukan berdasarkan agama dicuplik. Menariknya, kedua sumber
tersebut, baik film dokumenter maupun artikel tersebut, masyarakat adat Sabu yang belum dibaptis tidak disebut
sebagai ―Jingitiu‖, melainkan sebagai ―Anhänger einer animistischen Naturreligion‖ atau ―Penganut sebuah
Agama Asli Animistik‖ (Jika ―die Religion‖ dalam pengertian ini boleh diterjemahkan sebagai ―agama‖). 8 Berdasarkan informasi dari situs ―Missio: Päpstliche Missionswerke‖, https://www.missio.at/unsere-
mission/die-dioezesanstellen/missio-steierrmark/steirische-missioarinnen.html, diakses 10 Januari 2017 pukul
04.00 AM. 9 Waktu itu, wilayah misi Franz Lackner adalah pulau Sabu, pulau Rote dan pulau-pulau kecil di sekitar kedua
pulau tersebut, seperti pulau Ndao dan Raijua, dengan rumah pastoran dan gereja paroki di pulau Sabu. Ketika
Rote berdiri sebagai paroki sendiri dan berganti-ganti diasuh oleh imam yang ditugaskan Keuskupan Agung
Kupang, Franz Lackner memusatkan pelayanannya di Sabu. Untuk mempersempit lingkup narasi, kisah ini
hanya akan berfokus pada kisahnya di Sabu. Franz Lackner adalah satu-satunya imam di wilayah Keuskupan
Agung Kupang yang tidak pernah dimutasi dari pulau Sabu oleh Uskup setelah kedatangannya 50 tahun yang
lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Perema adalah dua nama lokasi (Mehona adalah nama desa, sementara Perema adalah
bagian dari desa Tanajawa) yang sekaligus digunakan menjadi nama penunjuk kedua
sekolah dasar. Pembangunan kedua gedung sekolah tersebut dibantu oleh Bruder Beatus
dan Bruder Albert, dua orang bruder dari kongregasi SVD, para tukang bangunan, dan
orang-orang setempat. Kedua sekolah tersebut dikelola oleh Yayasan Swastisari milik
Keuskupan Agung Kupang. Selain peran langsung Franz Lackner, sekolah-sekolah
Katolik ini adalah tonggak untuk mencetak katekis-katekis awam untuk membantu
penyebaran agama Katolik di Sabu.
Hal mencolok yang membedakan ciri pelayanan misionaris Konijnsun dari Lackner
adalah pada mobilitasnya: Konijnsun terus bergerak merintis paroki-paroki yang kelak
termasuk dalam wilayah Dioses Kupang (stasi Ba‘a di Rote dan paroki Penfui di
Kupang, Timor), sementara Lackner berfokus hanya pada wilayah pulau Sabu, Rote dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya. Progresi pertambahan umat Katolik tidak terjadi pada
masa Konijnsun, sedangkan sepanjang lima puluh tahun masa berkarya Lackner jumlah
umat Katolik tumbuh dua persen di Sabu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
BAB III
MENCARI ANTARA DALAM RUANG DAN WAKTU
Dalam bab II telah kita baca bagaimana Kristen masuk bersama dengan kedatangan
kaum kolonial. Perbedaan masa embrional gereja Protestan dan Katolik di Sabu
terbedakan melalui peran aktor-aktornya, dan keaktifan mereka dalam mengembangkan
gereja dengan mengekspansi orang-orang dari kalangan Jingitiu, yang terlihat dari narasi
awal berdirinya gereja Protestan dan Katolik di Sabu. Jika pada kasus gereja Protestan
awal di Sabu pertumbuhan jumlah anggota gereja didorong oleh para zendeling Belanda
melalui perangkat-perangkat modern seperti sekolah Melayu dan Alkitab terjemahan
berbahasa Melayu, pada kasus gereja Katolik pertumbuhannya dibantu peran guru-guru
pribumi yang awalnya mengajar di kedua sekolah yang dibangun Franz Lackner, serta
katekis-katekis pribumi yang pendidikannya dibiayai Franz Lackner. Pertumbuhan ini
juga dipercepat oleh peristiwa 1965. Bab ini akan dibuka dengan kisah tentang masa
embrional gereja Katolik di Sabu melalui penelusuran terhadap narasi-narasi di seputar
sekolah, dan arsip-arsip berupa Buku Induk Permandian dan Buku Induk Pernikahan
setelah sekolah didirikan. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan narasi seputar
pertemuan-pertemuan antara Jingitiu dan Katolik berdasarkan data-data wawancara
terhadap narasumber-narasumber terpilih, pengalaman penelitian, data autoetnografi,
serta penelusuran pustaka yang mendukung. Narasi wawancara akan ditampilkan sebagai
parafrasa. Selain wawancara terhadap Franz Lackner yang setengah bagian berlangsung
dalam bahasa Inggris, dan terhadap Pa Lede yang sepenuhnya berlangsung dalam bahasa
Sabu, wawancara terhadap para narasumber dilakukan dalam bahasa Indonesia dan
Melayu-Kupang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
3.1. Katolik dan Jingitiu, Kedatangan dan Pertemuan
Adanya orang pribumi yang fasih berbahasa Portugis dalam laporan Cook, laporan
Duggan dan Hägerdal (2018: 129-148) bahwa adanya kemungkinan masyarakat Sabu
mengadakan kontak dengan orang Portugis dan agama Katolik yang dibawa orang
tersebut berdasarkan arsip-arsip kolonial, ditambah pendapat Riwu Kaho bahwa Jingitiu
berasal dari bahasa Portugis membuat satu hal perlu diperhitungkan: sejak zaman
kolonial, Sabu merupakan wilayah yang telah diketahui oleh pihak Portugis.
Sabu adalah bagian dari NTT. NTT sendiri merupakan wilayah yang memiliki
sejarah panjang dengan gereja Katolik yang diperkenalkan orang-orang Portugis.
Menurut Manteiro, mantan Uskup Agung Kupang, sejak abad ke-16 hingga abad ke-18,
bangsa Portugis berkarya di kawasan NTT. Karya misi tersebut, ―evangelizatio dan
implementatio ecclesiae, dilakukan secara gencar oleh bangsa Portugis‖. Pada masa
Portugis, imam yang melayani pulau Timor dan kawasan sekitarnya, termasuk Sabu dan
Rote, dikirim dari Lohayong, Solor, pulau yang termasuk dalam gugusan pulau Flores
(1997: 17). Tidak ada catatan lebih lanjut siapa para imam yang dikirim tersebut, tetapi
dari laporan tersebut tampak bahwa gereja Katolik di Sabu bermisi di atas tilas-tilas masa
lalu.
Dampak misi Franz Lackner di Sabu tampak setelah pembangunan SDK Perema
dan SDK Mehona. SDK Perema diresmikan pada 1 Januari 1970. Berdasarkan
keterangan Habel Bunga,10
SD tersebut sudah dioperasikan pada tahun sebelumnya.
Sebelum berlokasi di daerah sekarang, di wilayah desa Tanajawa, tempat kegiatan
belajar mengajar SDK Perema diadakan di kantor fetor Mesara. Hubungan baik Franz
Lackner dan fetor Mesara Benyamin Bunga membuat kegiatan tersebut bisa berlangsung
10
Wawancara dengan Habel Bunga dilakukan pada 11 Januari 2018 di kediamannya di desa Pedarro,
Kecamatan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu-Raijua, NTT. Habel Bunga adalah guru-guru awal yang direkrut
Franz Lackner untuk mengajar di SDK Perema. Ia tamat SMEA Negeri Waingapu Sumba pada 1969, pulang ke
Sabu, dan mulai mengajar di Perema tahun 1971.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
di kantor fetor sampai gedung sekolah berdiri. Menurut Lackner, Benyamin Bunga
adalah orang yang baik dan hidup sederhana. Hubungan baik inilah yang memungkinkan
Franz Lackner meminta siswa-siswa dari SD GMIT tersebut untuk menjadi murid-murid
perdana SDK Perema. Menurut Habel Bunga, uskup Manteiro disambut dengan tarian
Ledo yang meriah saat peresmian sekolah. Hubungan baik dengan orang-orang penting
dari kalangan Protestan inilah yang tidak dimiliki oleh Konijnsun menurut Lackner.
Selama masa bermisinya di Sabu, Konijnsun malah diminta oleh seorang pendeta
Protestan untuk tidak melakukan kegiatan apa pun di Sabu. ―Gereja Katolik tidak boleh
melakukan apa pun di Sabu,‖ demikian Lackner meniru kata-kata pendeta tersebut.
Stigma daerah merah tidak lantas membuat SDK Perema kehilangan pamor.
Menurut Bunga, pada masa awal berdiri, SDK Perema dianggap sebagai sekolah
berkualitas. Anak-anak dari desa sekitar memilih untuk bersekolah di SDK Perema,
meski harus berjalan kaki berkilo-kilometer. Begitu terkenalnya SDK Perema, pada masa
itu bahkan ada pepatah dalam bahasa Sabu untuk melukiskan kualitas sekolah tersebut,
―Wala ma Perema do nga wewe pa kelae” ([Gedung] Perema dengan usungan di pintu
adalah tempat yang bagus).
Menurut Kornelis Tael,11
SDK Perema seharusnya berdiri bersamaan dengan SDK
Mehona yang diresmikan setahun sebelumnya. Namun, karena keterbatasan bahan
bangunan dan tenaga kerja, pembangunan SDK Perema baru bisa dilangsungkan ketika
bahan-bahan dari Kupang tersedia. Jika alasan awal dibangunnya SD Katolik di Perema
dan Mehona adalah stigmatisasi akibat kekerasan negara, alasan tambahan yang
11
Kornelis Tael adalah salah satu dari 12 orang tukang bangunan yang dibawa oleh dua orang bruder SVD
(Beatus dan Albert) untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan gereja dan gedung-gedung milik
keuskupan di Sabu pada akhir 1960-an dengan Kapal Ratu Rosari. Sebelas orang tukang bangunan tersebut
berasal dari daerah Timor Tengah Utara, dan satu orang yang mengepalai mereka, Simon Saka, berasal dari
Flores. Timor Tengah Utara dan Flores adalah bekas wilayah jajahan Portugis di NTT, sehingga agama
mayoritas para penduduknya adalah Katolik. Tael lahir pada 1952 dan dibaptis setelah kelahirannya di
Bijaepasu, Timor Tengah Utara, Timor, NTT. Wawancara dilakukan pada 15 Januari 2018 di rumahnya di desa
Mehona, Kecamatan Liae, Kabupaten Sabu-Raijua, NTT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
membuat pembangunan sekolah di Mehona diterima adalah balas budi. Dua tahun
setelah diresmikan, ditingkatkan dari gedung semi-permanen ke permanen. Pada 1971
terjadi paceklik makanan di Mehona. Lackner memberikan bantuan bulgur untuk
meringankan paceklik, yang menurut Tadeus Lodo,12
diperolehnya berkat bantuan dari
luar negeri. Merasa berhutang budi atas bantuan tersebut, masyarakat membantu
pembangunan gedung SDK Mehona. Pasir sebagai bahan campuran lantai dan tembok
dipikul bersama-sama dari pantai. Bantuan bulgur masih diberikan beberapa tahun
setelah itu sampai paceklik makanan mereda. Bekas karung-karung bulgur digunakan
masyarakat untuk bahan baku celana, digunakan di rumah maupun ke sekolah.
Peresmian SDK Mehona dilakukan oleh Mgr. Gregorius Manteiro, SVD, Uskup Agung
Kupang waktu itu. Denah SDK Mehona pada saat itu menyerupai gedung-gedung biara,
dengan gerbang di bagian utara dan selatan, sisi barat dan timur digunakan sebagai
tempat mengajar untuk memudahkan pengontrolan. Seperti SDK Perema, SDK Mehona
adalah sekolah yang dianggap berkualitas pada masanya.
Menurut Tael, SDK Perema dan SDK Mehona didirikan oleh 12 tukang bangunan
yang berasal dari Timor Tengah Utara dengan dikomandoi Simon Saka yang berasal dari
Flores. Para tukang bangunan tersebut adalah orang-orang Katolik yang dipekerjakan
oleh Bruder Albert, SVD dan Bruder Beatus, SVD, dan sebelumnya telah membangun
beberapa sekolah dan gereja di Kupang. Mereka tiba pada awal 1969 di Sabu melalui
KM Ratu Rosari. Bahan-bahan bangunan yang dipakai untuk membangun gedung gereja,
asrama dan sekolah juga diangkut menggunakan kapal tersebut. Bahan-bahan bangunan
tersebut, seperti semen, dan besi, diangkut oleh para tukang bersama orang-orang dari
wilayah sekitar sekolah dengan berjalan kaki dari Seba dengan jarak lebih dari 20 km ke
12 Wawancara dengan Tadeus Lodo dilakukan di rumahnya, di dekat SD Katolik Perema, Desa Tanajawa, 10
Januari 2018. Lodo adalah guru agama di kapel St. Gregorius Perema, dan mengajar di SDK Perema.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Mehona, dan 18 km ke Tanajawa. Dalam kasus Mehona, bahan-bahan baku lain seperti
pasir, juga turut disumbangkan warga.
Sejak didirikan, SDK Perema dan SDK Mehona adalah sekolah yang bernaung di
bawah Yayasan Swasti Sari. Yayasan ini didirikan pada tanggal 22 Agustus 1969,
menaungi lembaga-lembaga pendidikan di wilayah Keuskupan Agung Kupang. Hanya
ada dua sekolah di wilayah paroki Ba‘a, Rote Ndao, keduanya berada di pulau Sabu
(Neonbasu & Lebao, 1993: 44-46).
Kedua lokasi sekolah, baik di Perema maupun di Mehona, adalah juga tempat
perayaan Ekaristi dan kegiatan-kegiatan gerejawi lain dilakukan sebelum dibangunnya
kapel-kapel. Kapel-kapel di Perema dan Mehona yang dibangun kemudian pun letaknya
berdekatan dengan lokasi sekolah. Meski menerima siswa dari berbagai latar belakang
agama, pelajaran yang diajarkan di kedua sekolah tersebut adalah pelajaran Agama
Katolik. Pada tahun-tahun awal pendirian sekolah, wali-wali kelas yang mengampu mata
pelajaran setiap kelaslah yang mengajarkan pelajaran Agama Katolik kepada para
siswanya. Menurut Bunga, meski beragama Protestan, ia mengajarkan pelajaran Agama
Katolik dengan senang hati pada waktu itu sebagai bagian dari memenuhi tuntutan
profesi.
Menurut Tadeus Lodo, sejak dulu, persyaratan masuk SDK Perema hanya akta atau
keterangan kelahiran. Hal ini wajar, mengingat pada tahun-tahun awal penerimaan siswa
baru, sebagian siswa berasal dari keluarga Jingitiu, yang keterangan kelahirannya pun
diperkirakan berdasarkan penyesuaian kalender Masehi atas penanggalan tradisional.
Menurut Lodo, sejumlah anak-anak yang bersekolah di Perema dan Mehona, termasuk
sejumlah orang tua dan kerabat mereka, pada waktu-waktu kemudian dibaptis Katolik.
Menurut Bunga, kedua sekolah tersebut dianggap unggul pada masanya bukan saja
karena militansi guru-gurunya untuk mengembangkan sekolah baru, tetapi juga karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
sarana mengajar yang mendukung. Alat peraga untuk mata pelajaran tertentu disediakan
oleh Lackner untuk kedua sekolah, sehingga penjelasan-penjelasan guru dapat lebih
mudah ditangkap oleh para siswa. Sebelum memulai dan setelah mengakhiri kegiatan
belajar mengajar, para siswa mendoakan doa-doa Katolik.
Menurut Lackner, pada saat pendirian kedua sekolah, tidak ada satu pun umat
Katolik di kedua daerah itu, termasuk tenaga pengajar beragama Katolik, sehingga ia
meminta bantuan guru-guru Protestan untuk mengajar di kedua sekolah tersebut.
Pelajaran Agama Katolik baru sepenuhnya diajarkan oleh guru-guru beragama Katolik
setelah ada tenaga guru yang berasal dari Flores dan Timor, baik yang dipersiapkan
secara khusus oleh Lackner seperti kasus Kornelis Tael dan orang-orang Katolik perdana
di Sabu yang diminta untuk mengajar di kedua sekolah tersebut. Berdasarkan keterangan
Lackner, diketahui bahwa di dalam kedua sekolah itulah, para siswa-siswa angkatan
perdananya, orang-orang non-Katolik, dididik dan berkenalan dengan nilai-nilai Katolik.
Setelah menyelesaikan pembangunan sekolah, yang dilakukan secara bertahap,
Kornelis Tael diminta untuk mengajar pelajaran Agama Katolik di SD Katolik Mehona,
dan kemudian SD Katolik Perema. Pada 1976 ia diminta Franz Lackner untuk mulai
mengajar. Kornelis Tael pun menandai masa di mana mulai hadirnya Katolik untuk
mengajarkan Pelajaran Agama Katolik. Untuk keperluan tersebut, Tael mengikuti Kursus
Persiapan Guru selama tiga tahun. Pada 1982, Tael lolos seleksi PNS. Tael pun tercatat
sebagai kepala sekolah di SD Katolik Perema selama 1991-2006.
Menurut Habel Bunga, pada awal-awal berjalannya kedua sekolah, setiap wali
kelas bertanggung jawab mengajarkan semua pelajaran. ―Sonde kayak sekarang, setiap
pelajaran sekarang ada gurunya. Dulu saya mengajar semua pelajaran untuk anak-anak di
kelas saya,‖ ujar Bunga. Karena kekurangan guru, pada awal berdirinya sekolah,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
sejumlah guru mesti mengajar di kedua sekolah pada hari bergantian. ―Saya juga
mengajar di Perema dan Mehona,‖ jelas Bunga.
Mengajarkan Pendidikan Agama Katolik adalah hal yang tak terhindarkan bagi
Bunga dan para guru lain saat itu. Menurut Bunga, sejak awal pelajaran, siswa-siswa
dipandu untuk berdoa secara Katolik. Sebagai seorang non-Katolik, Bunga memahami
hal tersebut, memandu anak-anak untuk berdoa, sebagai tuntutan profesi. ―Untuk anak-
anak wali saya, saya waktu itu mengajar anak-anak kelas satu, saya ajar doa-doa wajib;
Tanda Salib, Bapa Kami, Salam Maria,‖ jelas Bunga.
Menurut Tadeus Lodo, sejak dulu, semangat dan nilai-nilai Katolik yang
ditanamkan di sekolah selalu dipertahankan. Yang berbeda, menurut Lodo, adalah cara,
metode dan tuntutan zaman. ―Dulu ada guru yang setiap hari bisa mengajarkan cerita
Adam dan Hawa, sampai anak-anak hafal setiap kali dia mau masuk (kelas), mereka
pasti kusu-kusu (berbisik), ‗Pak Adam dan Hawa su datang‘,‖ kenang Lodo. Lodo pun
menambahkan:
―Dulu tidak ada silabus seperti sekarang. Setiap guru ajar apa yang dia tahu. Tetapi
mayoritas pelajaran asalnya dari Katekismus. Guru-guru yang mengajar tiap kelas akan
ajar sesuai pemahaman mereka. Kalau (untuk mengajarkan) doa-doa, ada buku kecil yang
bisa dipakai.‖
Menurut Bunga, meski berasal dari agama non-Katolik, para siswa dengan mudah
menghafal doa-doa yang diajarkan di sekolah. ―Yang agak stenga mati (setengah mati)
anak-anak kelas 1 dan 2, karena mereka belum belajar bahasa Indonesia,‖ ujar Bunga.
Bunga menambahkan bahwa semua bahan ajar kelas pada masanya disediakan oleh
Franz Lackner.
Ansow (2008: 17), mengutip dokumen Sekolah Katolik yang dipublikasikan 19
Maret 1997 oleh Kongregasi Suci bagi Pendidikan Katolik, menulis bahwa sekolah
katolik adalah tempat istimewa bagi pembentukan manusia yang utuh dan integral karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
tugas misinya. Ansow menambahkan bahwa sekolah Katolik adalah komunitas Kristen,
dan berfungsi memperkembangkan suasana yang dijiwai semangat cinta kasih dan
kebebasan dalam komunitas berdasarkan Injil.
Menurut dokumen yang sama, Pendidikan Agama Katolik berperan penting dalam
sekolah Katolik. Metode sistematisnya memungkinkan sekolah Katolik mengalihkan
budaya dalam terang iman, untuk mengembangkan integrasi antara budaya dengan iman,
dan iman dengan kehidupan (2008: 19).
Pendidikan Agama Katolik, dengan demikian, menjadi pelajaran yang
memungkinkan orang-orang Jingitiu yang bersekolah di Perema dan Mehona untuk
berkenalan dengan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Katolik. Kini, Mehona merupakan
wilayah dengan jumlah umat Katolik Sabu terbanyak.
Pendidikan Agama Katolik, menurut Lackner, penting untuk memperkenalkan
nilai-nilai Katolik kepada orang-orang halaik (menurut istilah Lackner sendiri). KBBI V
mendefinisikan halaik sebagai penyembah berhala, orang yang tidak menganut agama.
Untuk alasan inilah, pernikahan antara pasangan Jingitiu dan Katolik tidak pernah
diterakan Lackner sebagai disparitas cultus. Dalam semua kasus, pasangan Jingitiu
(biasanya perempuan), dipermandikan terlebih dahulu sebelum menerima sakramen
pernikahan, seperti akan kita baca dalam temuan di bawah ini.
Menurut Tael, sekolah berperan penting tidak hanya sebagai sarana untuk
mengajarkan nilai-nilai Katolik, tetapi juga berfungsi sebagai gedung gereja dalam arti
harfiah.
Waktu belum ada kapela kayak sekarang, Pater biasanya misa di bawah pohon itu
(sebuah pohon di depan SD Mehona). Kalau di Perema misa hari Minggu biasanya di
pohon ketapang di depan SD. Kalau sekarang berarti itu pohon ada di tengah kompleks
SD. Soalnya dulu bangunan lama masih sempit, kalau misa di bawah pohon kan ada
sombar (rimbun).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Keterangan Tael menunjukkan bahwa gedung sekolah juga berfungsi sebagai
kawasan ibadah pada hari Minggu. Dalam riwayat-riwayat pembaptisan sebelum ada
kapela, anak-anak dari kedua SD dan kerabat kenalan mereka sering dibaptis di dalam
kompleks SD tersebut.
Penelitian dan wawancara yang dilakukan beririsan dengan bulan Nyale Kuja,
bulan menanam. Di kedua daerah, Mesara dan Liae, tempat kedua sekolah berada, hal
yang terlihat mencolok adalah keseragaman waktu menanam. Sejumlah tanaman di Liae,
tempat beradanya SDK Mehona, sudah tumbuh tinggi ketika tanaman lain baru ditanami.
Menurut Tael, hanya sebagian kelompok di Mehona dan Liae yang mengikuti waktu
tanam berdasarkan penanggalan adat. ―Di sini orang mau tanam kapan, mereka lihat
hujan su pas atau tidak. Jadi ada yang tanaman su tinggi, baru yang lain tanam,‖ kata
Tael.
Di Mesara, kecamatan tempat adanya SDK Perema, ritual ku‟ja ma, berpantang
memasak dengan kelapa dan daging dilakukan. Ritual ini juga menandai tujuh hari
menanam yang dilakukan oleh seluruh orang Mesara. Mengenai hal ini, Lodo
mengatakan, ―Semua orang di sini dengar Mone Ama, seperti Ama Lede‖. Ama Lede
adalah nama panggilan Pa Lede di kalangan keluarga dan orang-orang yang
mengenalnya. Di Mesara, Pa Lede adalah Kenuhe dari suku Nappu Pudi, salah satu dari
imam Jingitiu yang disebut Ratu Mone Pidu. ―Kalau Ama Lede su bilang tanam, Bapa
dong di sini mulai tanam. Biasanya kalau musim tanam begini, pantang dan puasanya itu
masak pakai santan, karena dari kelapa. Tidak boleh makan daging juga,‖ ujar Lodo.
Menurut Lodo, pantang selama tujuh hari musim tanam di Mesara dilakukan oleh siapa
pun yang menanam, tak pandang latar belakang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
3.1.1. Permandian dan Pernikahan
Buku Induk Perkawinan dan Buku Induk Permandian adalah dua sumber yang
dapat digunakan untuk mengamati perkembangan umat Katolik di Sabu. Menurut catatan
dalam Buku Induk Perkawinan, hingga 14 Agustus 2014,13
sakramen pernikahan yang
diterimakan di paroki Sabu sebanyak 236. Pernikahan pertama di Sabu dilangsungkan
pada 12 Juli 1970 atas nama Alexander Fernandez dan Maria Magdalena Mira dengan
keterangan ―mixt relig.‖ pada Buku Induk Perkawinan. Sampai tahun 1987, tercatat ada
8 kasus pernikahan ―mixt relig.‖ yang disahkan gereja Katolik di Sabu. ―Mixt relig.‖
adalah singkatan dari frasa Latin mixta religio, sebuah istilah untuk menyebut pernikahan
antara umat Katolik dengan pasangan beragama Kristen. Dalam kasus-kasus di Sabu,
para pengantin pria adalah orang-orang Katolik.
Sejumlah pernikahan yang dilangsungkan di Sabu juga terjadi antara sesama
orang-orang Flores yang bekerja di Sabu. Orang-orang ini biasanya berprofesi sebagai
PNS dan menetap di Seba, yang jaraknya 18 sampai 20-an kilometer dari Mehona dan
Tanajawa. Pernikahan antara para pendatang ini biasanya adalah pernikahan yang
dilangsungkan antara pasangan Katolik.
Ada istilah lain selain mixta religio, yakni disparitas cultus. Disparitas cultus
adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan pernikahan yang dilangsungkan antara
umat Katolik dengan pasangan non-Kristen. Sampai bulan 12 Juli 1970 hingga 14
Agustus 2014 tercatat ada 14 kasus mixta religio, dan satu kasus disparitas cultus.
Sepanjang penelusuran Buku Induk Perkawinan, istilah disparitas cultus tidak saya
temukan diberikan untuk pernikahan yang dilangsungkan antara orang Katolik dengan
Jingitiu. Dalam Buku Induk Perkawinan, disparitas cultus diterakan untuk kasus
pernikahan antara seorang pria Katolik dengan wanita Muslim.
13
Data yang bisa saya akses dari foto Buku Induk Perkawinan yang diberikan Franz Lackner, SVD kepada saya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Untuk kasus permandian, hingga 24 Agustus 2014, sakramen permandian telah
diterimakan kepada 206414
orang di Paroki Sabu. Tempat permandian biasanya
disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk kasus permandian orang-orang di Perema dan
Mehona, permandian biasanya tidak dilakukan di gereja paroki di Seba, melainkan di
Mehona dan Perema. Dari 2064 jumlah permandian, 80% adalah anak-anak yang berasal
dari orang tua Jingitiu. Beberapa kasus menunjukkan pembaptisan menjelang
pernikahan. Sebagian besar lain adalah anak-anak yang berasal dari kedua sekolah di
Perema dan Mehona. Sebagian kecil adalah anak-anak para pendatang yang tinggal dan
bekerja di Sabu.
Permandian Katolik pertama di Sabu dilakukan pada 28 September 1971, atas
nama Martinus Goa. Martinus Goa adalah putra dari seorang polisi Flores bernama
Paulus Goa, salah satu umat Katolik perdana pada awal masa bermisi Franz Lackner.
Dua data awal dari penelusuran terhadap Buku Induk Perkawinan dan Buku Induk
Permandian Paroki St. Paulus Sabu Raijua ini saya tunjukkan untuk memperlihatkan
bahwa agen paling berhasil pada masa Franz Lackner adalah dua lembaga pendidikan.
Siswa-siswa dari latar belakang keluarga Jingitiu diperkenalkan kepada agama Katolik
secara formal melalui dua SD Katolik yang dibangun Franz Lackner.
Pada 20 Desember 1977 diadakan pembaptisan empat orang anak Sabu berusia
rata-rata 13-15 tahun di SDK Mehona. Anak-anak ini dibaptis bersama bayi-bayi dari
keluarga Flores dan Timor lain, dan seorang perempuan Jingitiu berusia 32 tahun
bernama Nila Rona. Pembaptisan keempat anak dengan rata-rata usia tersebut menandai
titik tumbuh misi Katolik yang dijalankan lewat pendidikan dan pelajaran Agama
Katolik di SDK Mehona. Dua tahun kemudian, 14 Oktober 1979, anak-anak dengan rata-
rata usia serupa, termasuk Teni Huki dan ketiga saudarinya, salah satunya baru berusia
14
Data yang bisa saya akses dari foto Buku Induk Permandian yang diberikan Franz Lackner, SVD kepada saya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
setahun, dipermandikan di Seba. Pembaptisan ini juga menandai titik tumbuh misi
Katolik di SDK Perema. Perkembangan Katolik selama 50 tahun lebih misi Franz
Lackner secara kuantitatif tentu jauh dari banyak, tetapi secara kualitatif, tumbuh di
tengah umat Protestan yang sudah mapan, baik dari segi kelembagaan, iman, maupun
tradisi pendidikan, adalah sebuah capaian. Hal ini juga didukung oleh satu kenyataan
tambahan, keduanya memperoleh anggota gereja baru dari kelompok yang sama:
Jingitiu.
Dalam permandian dan pernikahan, aspek identitas yang paling tampak berbeda
adalah nama. Nama-nama orang-orang Jingitiu yang dibaptis Katolik ditambahkan satu
nama santo/santa pelindung. Teni Huki, misalnya, nama yang diterima ketika Daba,
menjadi Tersiana Agustina Teni Huki dalam buku permandian. Hal serupa terjadi dengan
para mempelai perempuan dari keluarga Jingitiu yang akan menikahi laki-laki Katolik.
3.1.2. Katolik, Jingitiu, dan Peristiwa 1965
Peristiwa 1965 menjadi salah satu penanda penting dan kondisi yang
memungkinkan kedua SD Katolik di Sabu berdiri. Pada Maret 1967, tugas Konijnsun,
seorang imam Belanda, digantikan Franz Lackner. Ketika Franz Lackner tiba di Sabu,
Kristen Protestan yang dipayungi Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah agama
mayoritas. Kedatangan Lackner pun setahun setelah ekses 1965 di Jakarta merebak
hingga ke Sabu. Mengenai hubungan peristiwa 1965 dan orang-orang Jingitiu, Bara Pa
dan Nyake Wiwi menulis, ―Masyarakat adat juga terperanjat mengalami kejahatan
negara melalui pembunuhan bahkan teror. Atas nama penghancuran PKI, mereka dipaksa
beralih kepercayaan (dari agama asli ke gereja) sebagai tanda mereka ber-Tuhan‖ (2012:
126).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Peristiwa 1965 berdampak ke segi-segi penting kehidupan orang-orang Sabu.
Masyarakat sipil, komunitas adat, dan pendidikan, adalah aspek-aspek yang paling
merasakan imbasnya. Data sementara yang dihimpun oleh Bara Pa dan Nyake Wiwi
(2012: 184-185) menunjukkan bahwa mayoritas korban berasal dari kalangan guru,
sisanya berasal dari berbagai kalangan, seperti pendeta, istri PNS, dan kelompok lain
seperti orang-orang Jingitiu. Dari 22 orang perempuan yang ditahan karena PKI dan di-
PKI-kan, 16 orang merupakan guru (73%). Dari 57 orang lelaki yang ditahan, 26 orang
atau 46% adalah guru. Dari 34 orang lelaki yang dibunuh, 20 orang atau 59% adalah
guru. Eksekusi direncanakan berlangsung dalam dua tahap, malam hari 29 Maret 1966,
dan pagi hari 30 Maret 1966. 31 orang dibunuh pada tahap pertama, dan 3 orang dibunuh
pada tahap kedua. Pada hari kedua ada perintah bahwa Gerwani tidak dibunuh. Hal ini
menjelaskan mengapa semua korban pembunuhan adalah laki-laki.
Pada bab sebelumnya telah kita baca laporan Riwu Kaho bahwa peristiwa 1965
membawa dampak positif bagi Kristenisasi. Aparat-aparat negara bergerak untuk
melakukan pembaptisan besar-besaran dan mengecap PKI orang-orang yang menolak
dibaptis. Dalam kasus ini, tentu saja, yang menjadi korban adalah orang-orang Jingitiu.
Stigmatisasi ini terus berjalan dan berperan penting dalam memengaruhi keputusan
orang-orang Jingitiu beralih agama menjadi Kristen.
Dampak penghancuran perempuan dan para guru melalui peristiwa 1965 yang
dialami orang-orang Sabu membuat beberapa daerah dicap sebagai daerah merah,
termasuk wilayah Mesara. Bara Pa dan Nyake Wiwi melaporkan salah satu peristiwa
yang mendukung alasan ini (2012: 134):
Di kampung adat Rae Loro terjadi kebakaran rumah keluarga Dima sekitar Juli-
Agustus 1965. Sejak rumah itu terbakar kampung ini sepi. Kebakaran juga melanda Kota
Seba, mulai di rumah Pak Mone Dami, salah satu pengurus PNI, pada Juli 1965 serta SD
GMIT Lederaemawide di wilayah Mehara. Di Sabu sering terjadi kebakaran pada Juli-
Agustus sebab selain musim kering, angin juga kencang. Tetapi pada 1965, kebakaran di
Seba dan Lederaemawide dicurigai oleh anggota partai lain dilakukan oleh anggota PKI,
sedangkan pak Mone Dami sendiri dituduh dan ditangkap atas kebakaran di Kota Seba.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
SD Lederaemawide merupakan SD GMIT yang berada di wilayah Mesara. Alasan
lain mengapa Mesara, terutama desa Pedarro, dijadikan daerah merah, adalah karena di
Pedarrolah para tertuduh PKI ditampung untuk sementara sebelum dibawa ke tempat
pembantaian di Seba (Bara Pa & Nyake Wiwi, 2012: 147).
Menurut Lackner, alasan daerah merahlah yang membuat otoritas setempat
mengizinkannya membangun dua sekolah Katolik di wilayah Perema dan Mehona.
Gertruida Kana, salah satu korban peristiwa 1965 dan anggota Gerwani merupakan
kepala sekolah dan pengajar perdana SDK Perema tersebut. Setelah dua sekolah
didirikan, orang-orang Jingitiu memilih menjadi Katolik bukan saja untuk menghindari
stigmatisasi dan teror, tetapi juga karena sejak kecil mereka mengenal ajaran-ajaran dan
nilai-nilai agama tersebut melalui pelajaran di sekolah.
Dalam khotbah misa hari Minggu, 14 Januari 2018, Lackner dengan terang-
terangan menyatakan ketidaksukaannya terhadap komunisme. Dalam wawancara tanggal
20 Januari 2018,15
ia menjelaskan maksud khotbahnya. Baginya, komunisme menjual
harapan palsu: para petingginya hidup bergelimang kemewahan, sedangkan kalangan
bawah tetap hidup dalam kemelaratan dengan iming-iming utopis. Lackner menuturkan
bahwa ia belajar dari pengalaman partai-partai komunis di Eropa. Ketika saya
menyinggung tentang laporan adanya tertuduh PKI di Sabu, yang dibawa dan kemudian
dibantai di Rote, Franz Lackner menjawab singkat, ―Saya tahu letak kuburan mereka, di
sebuah persimpangan di Rote.‖
Bermalam-malam sesudah peristiwa tersebut, menurutnya, dilakukan jaga malam.
―Saya tiba setelah peristiwa tersebut terjadi. Keluargamu juga terpengaruh?‖ tanya Franz
15
Semua narasi tentang Franz Lackner diambil dari wawancara dengannya di pastoran paroki St. Paulus Seba,
20 Januari 2018. Ia meminta untuk tidak merekam wawancara dengannya, dan tidak memasukkan isu-isu yang
menurutnya sensitif. Karena itu, narasi tentangnya dan pendapat-pendapatnya diolah kembali dari catatan-
catatan yang saya buat sesudah wawancara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Lackner kepada saya. Keluarga yang ia maksud adalah kakek buyut saya, kakek dari ibu
saya. Menurut cerita ibu dan salah satu saudaranya, kakek mereka adalah korban salah
tangkap. Kakek buyut pada waktu itu adalah seorang Kenuhe, jabatan Jingitiu yang kelak
diemban oleh kakek saya ketika kakek buyut meninggal. Waktu itu, seperti semua
korban yang lain, ia dibawa ke Seba, ke sebuah tempat bernama Hanga Loko Pedae
(secara harfiah berarti: Ceruk Kali Kering yang Sering Dibicarakan), lokasinya sekarang
terletak di ujung lapangan terbang Terdamu. Seperti Ratu Mone Pidu pada umumnya,
rambut kakek buyut tidak dipotong. Ketika ditahan, rambutnya hendak dipotong sebelum
dibawa ke tempat pembantaian. Namun, usaha tersebut gagal setelah dicoba beberapa
kali karena gunting yang digunakan tidak berfungsi. Kejadian itu mungkin dianggap
magis oleh para tentara, sehingga kakek ibu dilepaskan dengan pertimbangan tambahan
bahwa ia adalah seorang Ratu Mone Pidu.
Franz Lackner memang mengatakan ia tidak menyukai komunisme, tetapi ia
meminta umat Katolik berpihak kepada orang-orang yang tertindas dan tidak mempunyai
akses bersuara kepada kekuasaan. Ketika pengambilan data penelitian ini dilangsungkan
di Sabu, isu eksploitasi tambang mangan sedang menguat di wilayah tersebut, terutama
di dua kecamatan yang menjadi wilayah operasi perusahaan. ―Kita harus berada bersama
orang-orang Mesara dan Liae yang terancam digusur,‖ ujarnya dalam khotbah hari
Minggu. Mesara, dengan nama administratif kecamatan Hawu Mehara, dan Liae, adalah
dua kecamatan dengan populasi penganut Jingitiu terbanyak. Eksploitasi tambang tidak
hanya mengancam tergusurnya komunitas di dua wilayah tersebut, tetapi juga akan
makin menggerus orang-orang Jingitiu dan tempat-tempat ritual mereka yang jadi bagian
dari wilayah penambangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
3.2. Pa Lede dan Kisah tentang Jingitiu16
Pa Lede menuturkan bahwa ia tahu akan menggantikan pamannya, kakek saya,
ketika dalam sebuah ritual, tahun 2005, sang paman berkata, ―Inilah anak yang akan
menggantikan saya.‖ Pa Lede jelas memilih posisi berada di luar sekolah dan di luar
agama Kristen. Berada di luar jalur pendidikan formal memungkinkannya untuk tidak
bersentuhan dengan tulisan, hal yang menurutnya akan merampas perhatiannya dari doa-
doa ritual yang mesti diucapkannya ketika upacara menjelang musim tanam, bahkan
silsilah leluhur yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan. Ketika wawancara, Pa
Lede bahkan menyebutkan nama beberapa generasi yang namanya hilang dari memori
keluarga kami, nama-nama yang tidak tercantum dalam buku-buku silsilah orang Sabu
yang pernah ditulis. Dengan memilih untuk tidak menempuh jalur pendidikan formal, Pa
Lede percaya ia tidak akan lupa dengan tata cara dan kata-kata yang mesti diucapkan
seperti saat Kenuhe pertama menyelamatkan Wènynyi Ri, ketika dunia masih gelap,
dengan silsilah yang mungkin telah dilupakan sebagian besar keluarga.
Sabu di zaman Pa Lede adalah wilayah yang digempur dengan teknologi yang
bertumbuh, handphone dan jaringan internet. Orang-orang Jingitiu tertentu menggunakan
handphone untuk merekam silsilah keluarga mereka dan cerita-cerita rakyat Sabu, dan
menyebarkannya melalui handphone kepada kerabat-kenalan yang lain. Pa Lede memilih
untuk tidak mengikuti cara itu. Baginya, cara terbaik merawat silsilah adalah dengan
mengisahkannya langsung, jauh dari intervensi teknologi dan buku-buku. Orang-orang
Jingitiu lain seperti Pa Lede biasanya mencari nafkah dari pekerjaan-pekerjaan
keterampilan yang tidak menuntut ijazah, seperti tukang bangunan, penyadap nira, dan
penjual gula dan sopi (minuman distilasi nira lontar yang diasamkan).
16
Sebagian besar data bagian berasal dari wawancara dengan Pa Lede pada 2 Juli 2018 di Kupang. Tanggapan-
tanggapan Pa Lede disampaikan dalam bahasa Sabu. Demi kerapian dan efisiensi tulisan, semua versi yang
dipakai sebagai data adalah versi terjemahan Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Pa Lede menggunakan penanggalan menurut musim tanam seperti yang digunakan
orang-orang Jingitiu. Orang-orang Jingitiu menghitung penanggalan berdasarkan siklus
menanam. Bulan mereka, berturut-turut Waru A‟a (atau bulan ―Kakak‖ jatuh pada Mei-
Juni), Waru Ari (atau bulan ―Adik‖, jatuh pada Juni-Juli), Waru Hobo (atau bulan
―bertunas‖, jatuh pada Juli-Agustus), Waru Wadu Ae (atau bulan ―kekeringan hebat‖
jatuh pada Agustus-September), Waru Kai Ai (atau bulan ―mencari air‖, jatuh pada
September-Oktober, Waru Ha‟e Rae (atau bulan ―naik kampung‖, jatuh pada Oktober-
November, Waru Ko‟o Ma (atau bulan ―membersihkan ladang‖, jatuh pada November-
Desember), Waru Nyale Ku‟ja (atau bulan ―menugal‖, jatuh pada Desember-Januari),
Waru Nyale Ae (atau bulan ―nyale besar‖, jatuh pada Januari-Februari), Waru Penata
(atau bulan ―manis‖, jatuh pada Februari-Maret), Waru Daba Ae (atau bulan ―Daba‖ ritus
inisiasi orang Jingitiu, jatuh pada Maret-April), dan Waru Banga Liwu (atau bulan Banga
Liwu, jatuh pada April-Mei).
Bulan Waru Hobo adalah bulan saat pohon-pohon menggugurkan daun-daun yang
lama dan bertunas baru, menandai akan makin panasnya bulan kemarau. Bulan Wadu Ae
dinamakan sesuai kondisi pada bulan tersebut, di mana bulan tersebut adalah bulan yang
lebih kering dan panas daripada bulan-bulan lain. Wadu Ae disusul bulan Kai Ai, bulan
ketika air perlu dicari karena sumur-sumur biasanya mulai mengering. Air yang dicari
dalam bulan Kai Ai bukan saja air sumur, tetapi juga air nira lontar. Karena itulah ada
upacara untuk memohon agar air nira lontar menjadi banyak. Nira lontar biasanya diolah
menjadi gula kental (donahu Hawu), diminum langsung ketika masih manis, diasamkan
untuk dijadikan minuman beralkohol seperti laru dan sopi, hingga dijadikan minuman
hewan domestik seperti anjing dan babi.
Bulan Ha‟e Rae adalah bulan saat berlangsungnya upacara mengembalikan
kekuatan gaib yang merusak ke laut. Orang-orang Jingitiu percaya kekuatan yang paling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
jahat berasal dari laut, karena itu mesti dikembalikan ke laut. Upacara ini juga dilakukan
sebagai persiapan untuk menanam. Dengan terluputnya mara dari kampung dan ladang,
panenan diharapkan dapat mendatangkan hasil berlimpah. Bulan Ko‟o Ma adalah bulan
mempersiapkan ladang untuk ditanami. Bulan ini diikuti dengan Nyale Kuja, bulan
menugal dan mulai menanam. Di bulan ini, Pa Lede mengadakan upacara Ku‟ja Ma, agar
tanaman dapat tumbuh dengan baik. Untuk upacara ini, orang-orang di Mesara biasanya
berpantang, termasuk tidak makan daging dan memasak menggunakan kelapa untuk
konsumsi selama masa menugal dan menanam. Menurut Pa Lede, hal ini dilakukan
untuk menghormati bumi yang sedang bekerja merawat benih-benih tanaman.
Bulan selanjutnya adalah Nyale Ae, tempat dilakukannya pencarian terhadap nyale,
cacing laut Leodice viridis dalam jumlah besar. Pencarian nyale biasanya dilakukan pada
hari-hari sesudah bulan purnama, dengan ember berisi garam. Nyale yang ditangkap di
pinggir pantai menggunakan perangkap dari kain biasanya langsung dimasukkan ke
dalam ember berisi garam. Nyale yang diawetkan bisa bertahan lebih dari setahun. Untuk
konsumsi sehari-hari, nyale biasanya dicampurkan dengan cuka lontar dan daun
kemangi.
Bulan Penata berkaitan dengan sejumlah upacara untuk menyambut panenan
kacang hijau. Kacang hijau adalah salah satu tanaman yang berperan penting dalam
kehidupan dan ritual orang-orang Jingitiu. Pada upacara melepaskan orang dewasa yang
akan pergi merantau, misalnya, kacang hijau bersama kopra diberikan kepada calon
perantau sebagai bekal simbolik agar si perantau tidak kekurangan makanan selama di
tempat perantauan. Bulan Daba Ae adalah bulan diadakannya upacara Daba, upacara
inisiasi anak-anak yang lahir setelah bulan Daba Ae tahun sebelumnya, untuk menjadi
anggota suku. Bulan setelahnya adalah Banga Liwu, bulan yang berkaitan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
upacara larung hasil panenan ke laut (Hole), bulan syukur karena panenan yang baru
diterima dari alam.
Berdasarkan latar belakang Pa Lede tersebut, saya pun menggali cerita tentang Ina
Ju Deo dan Ju Deo yang saya baca dalam laporan Duggan. Beginilah kisah menurut Pa
Lede:
Ini kisah tentang Wènynyi Ri, anak dari Ri D‘ara. Ia dilahirkan di atas pohon
pinang, di antara pelepah dan tangkai buah pinang, di tengah laut biru, ketika bintang
berekor (moto nga lado) diletakkan di langit oleh Deo Ama sebagai tanda, ketika dunia
masih gelap, laut dan daratan belum jelas terpisah. Ari-ari si bayi yang jatuh ke laut
menjadi nyale (cacing laut yang biasanya dikonsumsi masyarakat Sabu). Wenynyi Ri dan
ibunya tinggal di pohon pinang sampai kemudian diturunkan dan dibawa oleh kapal Liru
Bèla. Tanda dari bintang berekor membuat muatan kapal yang diturunkan Liru Bèla
mudah untuk diarahkan, karena bintang berekor adalah juga bintang penunjuk tempat.
Setelah menemukan tempat, mereka mencari puncak gunung (kolo lede) yang menyembul
dari laut. Ujung tersebut adalah penanda daratan. Di daratan, ada rumah kosong, dengan
kandang hewan. Setelah menemukan itu, anak yang baru lahir tersebut kemudian
dimandikan di tempat hewan dengan air yang ada di darat.
Wènynyi Ri pun tumbuh besar, dan menjadi perbincangan karena kejatmikaannya.
Orang-orang takut karena Wènynyi Ri dapat diangkat menjadi raja (duae) ketika sudah
cukup usia. Perbincangan dari mulut ke mulut ini sampailah ke sebuah tempat bernama
Wonga ‗Dai ‗Dara ‗Dai. Agar mencegah hal itu terjadi, Wènynyi Ri pun dibunuh. Setelah
ia mati, orang-orang di tempat itu pun tetap saja takut. ―Jangan biarkan jenazahnya tetap
berada di sini,‖ kata mereka satu kepada yang lain. Jenazahnya pun dipindahkan ke
berbagai tempat, disembunyikan dengan segala macam jenis asap, tetapi masih saja
terlihat. Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Dana, tetapi tetap saja tak bisa
disembunyikan. Akhirnya, jenazahnya dipindahkan ke tempat tinggal Hemège di ‗Jawa
Wawa, sebuah tempat di pulau Raijua.
Hemège pun menyembunyikan jenazah Wènynyi Ri di dalam rumahnya,
menggantungnya di ketanga rohe (balok rumah yang berbentuk salib). Ketika kejadian
menimpa Wènynyi Ri, Ri D‘ara pun berusaha mencari anaknya. Kagetlah ia ketika ia tak
menemukan anaknya di tempat anaknya dikabarkan seharusnya berada. Ri D‘ara pun
mencari anaknya hingga ke ‗Jawa Wawa. Diajaklah Maja dan Kenuhe, karena mereka
berdualah yang sama sekali tak gentar berhadapan dengan wango (iblis). (Tugas-tugas
Kenuhe saya emban, sedangkan tugas Maja sekarang dilaksanakan Tudu Gili dari suku
Nabelu). Karena tugas-tugas itulah, kami yang mengemban tugas sejak awal mula tidak
sekolah. Orang-orang kami ada yang bersekolah, tetapi tidak ada yang berhasil.
Setelah itu, mereka pun pergi ke ‗Jawa Wawa untuk menurunkan jenazah Wènynyi
Ri. Hari telah malam di sana. Di jalan, mereka bertemu Jèka Wai yang sedang
mengerjakan kebunnya. ―Ini kebun siapa?‖ tanya Kenuhe dan Maja. Kenuhe bertanya
jawab sebanyak sembilan kali dengan Jèka Wai. Dengan Maja, Jèka Wai bertanya jawab
sebanyak tujuh kali. Karena kalah dalam tanya jawab tersebut, kebun Jèka Wai („doka
Jèka) menjadi milik Kenuhe dan Maja, sedangkan Jèka Wai ditugaskan menjaga kebun
tersebut selama Kenuhe dan Maja tidak membutuhkan apa-apa dari kebun tersebut. Dari
kebun tersebut, Kenuhe dan Maja memperoleh sirih dan pinang hingga penuh „beka
(tempat menampung sirih pinang dari anyaman lontar). Mendekati ‗Jawa Wawa, mereka
bertemu dengan seorang anak gembala (ana mata b‟ada) bernama Pu Tèdo, anak dari
Tèdo Lede, dan menanyakan tempat Hemège. Berdasarkan keterangan Pu Tèdo, mereka
bertiga menemukan tempat Hemège. Pu Tèdo berasal dari ‗Jawa Wawa, tempat tinggal
Hemège.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Hemège adalah raja iblis (duae wango), dan bisa memerintahkan iblis-iblis lain.
Pada saat itu, ia membuat jalan ke rumahnya seolah-olah sedang terjadi pesta, dan riuh
dengan musik dan tari-tarian. Untuk melapangkan jalan ke tempat Hemège dan
menurunkan jenazah Wènynyi Ri dari ketanga rohe, Ri D‘ara memerah payudara kirinya.
Orang-orang yang sedang berpesta tersebut mati terkena air susu dari payudara kiri Ri
D‘ara. Agar ada orang yang bisa diperintah, Hemège meminta Ri D‘ara pun
menghidupkan 40 orang dengan air susu dari payudara kanannya. Setelah itu, Wènynyi Ri
pun diturunkan dari ketanga rohe. Ketika jenazah Wènynyi Ri dibawa oleh Ri D‘ara,
Kenuhe dan Maja bertugas melawan iblis-iblis dari segala tempat yang diperintahkan oleh
Hemège.
Wènynyi Ri kemudian dibawa ke kubur. Orang-orang masih tak ingin Wènynyi Ri
hidup karena ia akan menjadi raja dan memerintah mereka. Kubur Wènynyi Ri berbentuk
bundar, ia didudukkan di atas batu di dalam kubur, dan dari lubang kubur bagian atas Ri
D‘ara memerah air susu dari payudara kanannya.
Menurut Pa Lede, dalam versi lain, Wenynyi Ri dikenal juga sebagai Ju Deo.
Beberapa bagian kisah di atas serupa dengan narasi yang diperoleh Duggan dari Deo Rai,
tokoh-tokoh seperti Maja, Kenuhe, Jèka Wai dan gembala, muncul dalam garis besar
cerita. Dalam cerita Pa Lede, tokoh gembala memiliki nama. Wènynyi Ri adalah
padanan Ju Deo dalam kisah Deo Rai, sedangkan Ri D‘ara adalah Ina Ju Deo.
Bagian-bagian yang berbeda pun tak bisa dibilang sedikit. Narasi yang diperoleh
Duggan secara jelas menampakkan kesamaan nama-nama tempat dalam narasi dengan
nama-nama tempat historis di Sabu, sedangkan dalam narasi Pa Lede, nama-nama tempat
lebih tersamar. Perbedaan paling pokok yang membedakan narasi Deo Rai yang dikutip
Duggan dan narasi Pa Lede adalah lenyapnya keberadaan Hemège dalam narasi Deo Rai.
Seperti telah kita baca, keberadaan Hemège menjadikan narasi lebih dari sekadar sebuah
kisah pencarian seorang ibu terhadap anaknya yang hilang.
Dunia dalam kisah Pa Lede tentang Wènynyi Ri dan Ri D‘ara adalah dunia yang
dipercaya oleh orang-orang Jingitiu saat ini. Sejumlah kiasan dan objek dalam cerita
adalah bagian dari tradisi yang hidup di tengah orang-orang Jingitiu. Adapun sejumlah
unsur yang muncul dalam kisah tentang Wènynyi Ri dan Ri D‘ara bisa dipakai untuk
melihat khazanah orang-orang Jingitiu yang merentang dari kelahiran hingga kematian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Pelepah pinang adalah alat yang digunakan untuk menerima bayi Jingitiu yang
baru lahir. Nyale adalah makanan orang-orang Jingitiu yang biasa diawetkan dengan
garam dan tahan selama setahun. Air susu dari payudara kanan melambangkan
kehidupan. Air susu payudara kiri melambangkan kematian. Sirih dan pinang dalam
kosmologi Sabu berperan penting dalam segala situasi dan mewakili berbagai bentuk
komunikasi, baik komunikasi dengan sesama manusia yang masih hidup, maupun
komunikasi dengan arwah leluhur. Sirih dan pinang bisa berfungsi sebagai pembuka
tegur sapa antara orang-orang ketika bertemu di perjalanan. Di dalam jamuan dan
penerimaan tamu, sirih dan pinang adalah hal pertama yang ditawarkan kepada para
tamu. Ketika hendak memulai sebuah ritual penting, sirih dan pinang adalah sapaan yang
disampaikan oleh orang-orang hidup kepada para leluhur melalui peletakan kedua jenis
buah tersebut di makam-makam mereka. Dalam ritual Daba, ritual inisiasi orang-orang
Jingitiu, air olesan sirih pinang digunakan sebagai salah satu tanda pengesah diterimanya
seorang anak ke dalam komunitas Jingitiu.
Ketika meninggal, orang-orang Jingitiu dimakamkan dalam posisi duduk, dalam
sebuah kubur yang digali berbentuk lingkaran. Di dalam kubur disediakan kerang untuk
mendudukkan jenazah. Jenazah didudukkan di atas kerang dengan berbalutkan tikar
anyaman, dan dengan kepala ditutupi gong. Bentuk kubur dan posisi jenazah seperti ini
merujuk kepada bentuk kubur dan posisi jenazah Wènynyi Ri ketika dikuburkan. Di
akhir kisah Pa Lede, kita baca bahwa Ri D‘ara memerah air susu dari payudara kanannya
ke atas kubur Wènynyi Ri yang dilubangi. Ini merujuk kepada tindakan cinta seorang ibu
yang berusaha menghidupkan kembali anak yang dikasihinya.
Bagi Pa Lede, keberadaan sekolah membuatnya rentan kehilangan narasi tersebut
secara lisan karena ia akan makin sering berurusan dengan hal-hal yang dianggapnya
tidak ia perlukan. Kisah Wènynyi Ri dan Ri D‘ara lebih dari sekadar kisah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
menyiratkan hubungan antara Katolik dan orang-orang Sabu seperti anggapan Duggan
dan Hägerdal. Kisah Wènynyi Ri menjelaskan banyak aspek dalam kehidupan orang-
orang Jingitiu, yang membentang dari kelahiran sampai kematian.
Pa Lede sendiri adalah putra sulung di keluarganya. Nyaris seluruh keluarganya
telah menjadi penganut Kristen. Ibunya meninggal dan dikuburkan sebagai orang
Kristen. Dengan demikian, ia tidak dikuburkan seperti orang-orang Jingitiu, di bawah
rumah panggung, melainkan di depan rumah salah satu saudara Pa Lede, dengan epitaf
bertuliskan nama sang ibu.
Saat ditanya mengenai pendapatnya tentang orang-orang Jingitiu di Sabu sekarang,
Pa Lede berpendapat (tanda kurung dari saya):
Lede dan Liha (putra dan putri Pa Lede) masih Jingitiu. Lede nanti yang akan
menggantikan saya (menjadi Kenuhe). Om-om (maksudnya saudara-saudaranya yang lain)
yang lain ada di Kupang dan semuanya orang Kristen. Ama Dari (salah satu saudaranya di
Sabu) yang masih Jingitiu, sama seperti saya. Kau punya saudara-saudara yang lain juga
masih ada yang Jingitiu. Begini sudah kita hidup. Mau jadi orang Kristen atau Jingitiu,
yang penting ingat kampung. Kalau ada apa-apa (kegembiraan atau kemalangan) harus
bikin acara (ritual), ingat orang tua-orang tua kita (maksudnya: leluhur) yang sudah
meninggal. Mau bagaimanapun, kita dari satu pohon (keluarga).
Pendapat tersebut menunjukkan penerimaan Pa Lede terhadap keberagaman yang
ada di tengah keluarga besarnya. Sebagai Kenuhe, salah satu dari Ratu Mone Pidu,
jajaran imam dalam Jingitiu, pendapat tersebut menunjukkan adanya keterbukaan untuk
melakukan dialog. Namun, di satu sisi, pilihan-pilihannya untuk tetap berada dalam cara
hidup yang ditempuh leluhurnya menunjukkan pula sisi resistensinya.
Lede Pa dan keluarganya tinggal di Lede Para Galla, kawasan rumah adat yang
menjadi pusat beberapa upacara penting, termasuk tempat penguburan jenazah Kenuhe
sebelumnya. Tak jauh dari rumahnya, ada SD Katolik Perema dan kapel St. Gregorius
Perema, wilayah yang menjadi tempat tugas Tadeus Lodo, sebagai guru agama dan
katekis. Tak jauh dari Lede Para Galla, ada pantai, tempat sering dilangsungkannya
upacara hole, melarungkan panenan sebagai tanda syukur atas berkat bumi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
3.3. Bahasa dan Pewartaan
Stigmatisasi ―Jingitiu sama dengan PKI‖ memuncak pada 1976, ketika orang-orang
Jingitiu dipaksa menganut Kristen. Alkitab terjemahan pertama berbahasa Sabu, Injil
Markus (Lii Haga Dara do Hure ri Markus), diterbitkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia pada tahun yang sama. Tahun 1970-an adalah tahun-tahun signifikan bagi
gerakan kristenisasi di Sabu, sebab orang-orang Jingitiu tidak hanya berhadapan dengan
lembaga-lembaga agama dan lembaga-lembaga pendidikan GMIT yang ada di sana
selama bertahun-tahun maupun yang belakangan dibangun oleh gereja Katolik, tetapi
juga menghadapi negara melalui ekses pascaperistiwa 1965. Jingitiu menjadi sinonim
dari PKI.
Peran penerjemahan Alkitab terhadap misi dan zendeling diakui signifikan oleh
Lackner. Hidup dan berkarya selama lebih dari 50 tahun di pulau Sabu membuat Lackner
memahami bahasa Sabu melalui cara yang tidak dipikirkan oleh orang-orang Sabu pada
umumnya: menyenaraikan kata-kata, contoh-contoh kalimat, dan aturan-aturan tata
bahasanya dalam bentuk tertulis. Ia memiliki manuskrip daftar kata-kata bahasa Sabu,
beserta contoh-contoh penempatan kata-kata tertentu untuk konteks kalimat yang
berbeda, serta aturan tata bahasa sederhana dalam bahasa Sabu yang ia kumpulkan
selama berada di Sabu.
Alkitab terjemahan membantu Lackner untuk mempelajari bahasa Sabu dengan
lebih baik. Ketika wawancara dilakukan, Lackner menyampaikan bahwa ia telah
membaca berulang kali Lipedara Wowiu, Perjanjian Baru terjemahan bahasa Sabu
(2000) yang, menurut Lembaga Alkitab Indonesia penerbitnya, merupakan ―buku yang
pertama (secara lengkap dari Matius – Wahyu) yang mengalihkan (menulis) bahasa Sabu
dari bahasa Lisan menjadi bahasa Tulisan‖ (LAI, 2000). Lackner tidak secara eksplisit
mengatakan bahwa Alkitab terjemahan membantunya belajar bahasa Sabu secara lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
baik. Namun, dengan mengungkapkan bahwa ia telah membaca Alkitab sejak kecil, ia
menyiratkan bahwa ia lebih mudah menafsirkan bagian-bagian yang dimaksud dalam
bahasa Sabu karena memiliki khazanah biblis yang ia simpan selama bertahun-tahun
dalam bahasa aslinya.
Pada 2006, Injil Markus diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Sabu oleh Unit
Bahasa dan Budaya GMIT, dengan judul Lii Hag‟a D‟ara j‟ara lua Yesus pedutu nga do
hure do b‟uke ri Ma‟u (Kabar Baik tentang Yesus menurut Markus), dengan bahasa yang
lebih vulgar dari versi terbitan 1976. Terjemahan lengkap Alkitab Perjanjian Baru
digunakan oleh katekis-katekis Katolik sebagai sarana pewartaan untuk menyampaikan
kisah-kisah tentang Yesus melalui bahasa yang dipahami oleh orang-orang Sabu.
Lackner memiliki versi cetak Lipedara Wowiu maupun versi terjemahan elektronik
yang menjadi bagian dari aplikasi android Alkitab. Lackner sadar akan fungsi bahasa
sebagai jembatan maupun tembok. Dalam wawancara, contohnya, ia memilih
mengobrolkan isu-isu yang menurutnya sensitif bagi masyarakat Sabu memakai bahasa
Inggris karena pastoran yang ia tinggali dekat dengan asrama putri paroki, dan bahasa
Inggris adalah bahasa yang sama sekali asing bagi anak-anak perempuan yang tinggal di
asrama.
Sejak didirikan hingga hari ini, bahasa yang digunakan untuk mengajar di kedua
sekolah adalah bahasa Sabu dan bahasa Indonesia. Bahasa Sabu hanya digunakan untuk
siswa-siswa kelas I dan II, sebagai transisi bagi mereka sebelum berkenalan dengan
pengajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas selanjutnya. Penggunaan bahasa Sabu di
kelas-kelas bawah tersebut pun terbatas pada aspek pelisanan, karena bahan-bahan yang
digunakan ditulis dalam bahasa Indonesia.
Alkitab terjemahan adalah sarana yang menempatkan orang-orang Sabu dalam
situasi antara merawat oralitas dan menerima tekstualitas dalam taraf yang berbeda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Melalui Alkitab terjemahan, bahasa Sabu ditarik dari kelisanannya dan dimasukkan ke
dalam tradisi tertulis, tetapi kisah-kisah yang ditulis dalam bahasa tersebut bukanlah
kisah-kisah yang berasal dari kosmologi mereka. Menurut Lackner, salah satu akibat dari
terjemahan Alkitab ini adalah kebingungannya para katekis untuk melisankan kembali
versi tertulis karena variasi vokal dalam bahasa Sabu lebih mudah untuk dilisankan
ketimbang dibacakan.
Tadeus Lodo pun merasakan pentingnya peran bahasa Sabu bagi para umat
Katolik. Lodo adalah salah satu katekis Sabu yang berasal dari keluarga Jingitiu, dan
menganut Katolik setelah kedatangan Lackner. Ia menjadi Katolik di usia SMP, dan kini
merupakan guru agama di kapel Perema.
Menurut Lodo, orang-orang di Sabu untuk lebih baik memahami pesan-pesan
ibadah dan bacaan-bacaan Kitab Suci jika disampaikan dalam bahasa Sabu. Untuk
kepentingan ibadah rosario, katekese bulan Kitab Suci, dan ibadah hari Minggu, Lodo
memfotokopi Lipedara Wowiu yang dimiliki Lackner untuk digunakan di Perema.
Menurut Lodo:
Lebih gampang orang di sini mengerti kalau Bapa omong dalam bahasa Sabu.
Ibadat hari Minggu ju sama. Alkitab yang Bapa fotokopi dari Pater biasanya berguna kalau
ada pas ada ibadat dan harus ambil bacaan, bapa pakai (Alkitab) bahasa Sabu. Orang-orang
di sini mau tua ko muda, lebih senang kalau Bapa bawakan ibadah dalam bahasa Sabu.
Dalam bahasa Sabu pula, Franz Lackner dipanggil oleh orang-orang Katolik Sabu,
―Ama Di‖. Ama Di, dalam bahasa Indonesia, berarti Ayah Kami. Sabu hanya memiliki
satu bahasa yang dapat dipahami oleh semua orang di pulau tersebut. Bahasa, dalam
kasus di atas, berfungsi untuk menyeberangkan gagasan-gagasan Alkitab dan khazanah
kristiani ke dalam perbendaharaan kosakata yang sehari-hari digunakan oleh orang-orang
Sabu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
BAB IV
AMBIVALENSI DAN IDENTITAS
Bab ini berisi analisis terhadap temuan-temuan pada bab-bab sebelumnya,
konkretisasi dua konsep Bhabha, ambivalensi dan identitas. Ambivalensi berkaitan
dengan konsep mimikri dan aspek identitas di dalam proses terjadinya. Dalam gagasan
tentang identitas, ada kaitan terhadap proses berkomunitas.
Bhabha membicarakan mimikri sebagai bagian dari realitas pascakolonial dalam
konteks India. Menurut Bhabha, mimikri dikonstruksi di sekitar ambivalensi. Agar
efektif, mimikri mesti terus menghasilkan ekses, perbedaan dan slippage. Dalam
membaca gagasan Bhabha, Huddart (2006: 40) menyampaikan bahwa pada dasarnya,
wacana kolonial ingin agar para terkoloni sama tetapi tidak identik dengan pengoloni.
Dalam konteks India, para terkoloni berbicara bahasa Inggris dan menjadi Kristen,
tetapi mereka tetap tidak sama dengan orang-orang Inggris. Orang-orang India yang
demikian menjadi Anglicised, tetapi bukan English (2004: 125). Inilah situasi
ambivalensi awal. Meski berbicara bahasa Inggris, mereka adalah orang-orang India.
Ambivalensi menjadi tak terelakkan dalam proses mimikri karena kekuasaan dominan
tidak pernah stabil dan gagasan dominan tidak pernah absolut. Mimikri adalah proses
yang menunjukkan bahwa gagasan dominan bisa disimpangkan. Jika identitas beroperasi
melalui metafora, maka mimikri beroperasi melalui metonimia. Metonimia adalah istilah
linguistik untuk merujuk sesuatu atau konsep berdasarkan nama sesuatu yang dekat atau
berhubungan dengan hal atau konsep tersebut.
Dalam konteks Indonesia, sejak zaman penjajahan, orang-orang pribumi tidak
berbicara bahasa Belanda sebagai bahasa pemersatu. Seperti ditunjukkan Maier (1993)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
dalam artikel “From Heteroglossia dan Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch
in the Indies,” pihak Belanda menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa administrasi
sekaligus bahasa pengontrol kaum pribumi. Dengan latar seperti itulah mimikri
berpotensi dihadirkan oleh kaum terkoloni di Indonesia: bahasa yang diatur kaum
penjajah untuk memperlancar tugas dan kepentingan administrasi wilayah jajahan
dipakai oleh kaum terjajah sebagai sarana resistensi. Ambivalensi tampak dalam kisah
selanjutnya: alih-alih menjadi bahasa yang mengatur, bahasa Melayu kemudian menjadi
embrio bahasa Indonesia. Bahasa yang diharapkan menekan para terjajah dalam
keberjarakannya dengan bahasa penjajah, justru berhasil mengikat berbagai macam suku
dari bahasa berbeda dalam satu wilayah terbayang. Bahasa Melayu, dari polyglossia,
seperangkat bahasa yang diatur secara hierarkis dan mengikat secara individual demi
kepentingan otoritas untuk mengatur wilayah kekuasaan justru digunakan secara akrab
sebagai polyglossia, bentuk bahasa hibrida yang digunakan oleh orang-orang dari
berbagai latar belakang budaya ketika bertemu.
Dalam konteks Sabu, mimikri sebagai proses mengulang alih-alih
merepresentasikan dapat kita temukan dalam interaksi anak-anak Jingitiu di sekolah
Katolik, sebuah keadaan yang beririsan dengan ambivalensi sebagai cara menerima
sekaligus meresistensi; dalam diri Kenuhe dan orang-orang Jingitiu lain yang hidup
berdampingan dengan orang-orang Katolik di Perema dan Mehona; dalam diri para
katekis yang mengajarkan agama Katolik dalam bahasa Sabu.
Sementara itu, identitas komunitas, sebagai bagian dari ingatan kolektif dan
resistensi/apropriasi terhadap khazanah lain, dilacak melalui dua narasi berbeda. Dua
narasi ini hidup dan berkembang di tengah kelompok Katolik maupun Jingitiu, dan
menunjukkan bagaimana dialog dilakukan di dalam komunitas Katolik Sabu dan
komunitas Jingitiu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
4.1. Ambivalensi dan Mimikri dalam Interaksi Sosial
4.1.1. Sekolah dan Bahasa: Identitas dan Ruang Memahami
Sekolah dan bahasa adalah dua bagian yang tak terpisahkan untuk memahami
bagaimana gereja Katolik di Sabu masuk pertama kali. Dalam sekolah, pengajaran dan
penanaman nilai berlangsung nyaris setiap hari selama seminggu. Dengan tambahan
―Katolik‖, ada nilai-nilai Katolik yang turut diajarkan. Sebagai sekolah Katolik,
Pendidikan Agama Katolik menjadi pelajaran penting untuk memperkenalkan Katolik.
Dalam kasus gereja Katolik di Sabu, sekolah berperan penting untuk
memperkenalkan nilai-nilai Kristiani. Di bangunan awal kedua sekolah pula, ibadah dan
Misa Mingguan diadakan, sebelum kapel-kapel dibangun di lokasi yang tak jauh dari
sekolah. Pertemuan langsung Katolik di wilayah-wilayah yang menjadi tempat
komunitas-komunitas Jingitiu membuat ruang pemahaman menjadi lebih kompleks dan
terbuka, seperti siasat yang ditampilkan oleh orang-orangnya.
Anak-anak Jingitiu yang awalnya bersekolah di Perema dan Mehona melihat
―jingitiu‖ tidak dengan kacamata yang dipakai Portugis ketika menyematkan nama
tersebut, yang berarti ―pagan‖. Realitas sehari-hari mereka di sekolah membuat mereka
memiliki perbandingan dengan kehidupan sehari-hari di rumah. Ibadah dan misa setiap
hari Minggu semakin mengintensifkan pertemuan anak-anak di sekolah dengan Katolik.
Di sekolah, mereka bertemu dengan bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama Katolik.
Pada hari Minggu, mereka mendengarkan Injil dibacakan dalam bahasa Sabu.
Dalam diri mereka, mimikri hadir lewat wajah ganda. Mereka berasal dari
kelompok Jingitiu yang menjadi Katolik, tetapi juga menjadi Katolik di tengah orang-
orang Jingitiu. Ambivalensi dalam diri terus-menerus bergema karena mimikri tidak
pernah akurat. Mereka mengalami ritual-ritual dan melaksanakan kalender adat seperti
para orang tua mereka, tetapi mereka juga dirawat dalam nilai-nilai dan ajaran-ajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Katolik. Keadaan ambivalen justru lahir dari cairnya mimikri. Di dalam diri mereka ada
bagian yang senantiasa mengulang ritual-ritual tradisional dengan identititas yang baru,
ada juga bagian yang memandang hal tersebut sebagai bagian dari masa lalu.
Anak-anak di SDK Mehona dan Perema yang mengalami misa dan mendengarkan
pembacaan Alkitab, serta mengulangi doa-doa wajib dalam bahasa Indonesia. Dalam
bahasa Sabu, ―Tuhan‖ diterjemahkan menjadi ―deo‖. Orang-orang Jingitiu memahami
konsep ―deo‖ secara berbeda. Dalam khazanah mereka, ―deo‖ adalah salah satu nama
untuk menyebut entitas dewata yang mereka miliki, misalnya Deo Ama, atau nama salah
satu Ratu Mone Pidu, yakni ―Deo Rai‖. ―Deo‖ dalam pengertian biblis adalah pengertian
kepada sosok tunggal. ―Deo‖, terjemahan bahasa Sabu untuk ―Allah‖, mereka alami
dalam identitas baru. Melalui kata ―Deo‖, bahasa menampilkan ambivalensi identitas:
―deo‖ bisa dipakai untuk merujuk tidak hanya sosok dewata atau salah satu Ratu Mone
Pidu dalam khazanah Jingitiu, tetapi juga untuk merujuk sosok transenden di luar
Jingitiu.
Bagi anak-anak SD Mehona dan Perema yang belum sepenuhnya memahami doa-
doa wajib yang diajarkan dalam bahasa Indonesia, mengulangi pengucapan doa-doa
tanpa paham sepenuhnya makna setiap kata adalah bentuk mimikri yang paling harfiah.
Identitas dikembangkan dengan cara meniru. Efek slippage mimikri justru diperoleh dari
tidak sepenuhnya arti doa-doa yang diucapkan dipahami.
Anak-anak yang kemudian melanjutkan sekolah di Seba dan memanggil Franz
Lackner dengan panggilan ―Ama Di‖ atau ―Ayah Kami‖ juga bisa dibaca dalam
hubungan dengan ambivalensi dan mimikri. Dengan memanggil ―Ama Di‖, Franz
Lackner dipandang oleh anak-anak tersebut sebagai ayah mereka, tetapi sekaligus
sebagai ayah bagi siapa saja yang merasa berada di dalam kelompok ―kami‖. ―Ama Di‖
adalah mimikri bagi panggilan terhadap ayah yang dimiliki setiap orang Sabu di rumah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
4.1.2. Nama Baptis: Mode Representasi
Dalam kasus pembaptisan, dan juga pernikahan di mana mempelai perempuan
Jingitiu dibaptis Katolik sebelum menikah, nama-nama yang diterima oleh orang-orang
Jingitiu saat ritual Daba ditambahkan nama santo dan santa pelindung. Mungkin
tampaknya sepele, tetapi kenyataannya jauh lebih kompleks dari yang tampak di
permukaan. Pembaptisan Katolik dan ritual daba dalam Jingitiu sama-sama merupakan
ritual inisiasi, di mana seseorang diterima sebagai anggota baru sebuah komunitas:
komunitas gerejawi dalam pembaptisan, komunitas suku dalam daba.
Dua ritual ini mewakili dua khazanah dari dua tradisi berbeda yakni oralitas dan
tekstualitas. Untuk tegangan tersebut, saya ingin berpaling pada Walter J. Ong. Pada
bagian awal karyanya yang terkenal Orality and Literacy, Ong (2012: 8) menulis:
―[D]alam ranah-ranah ajaib tempat tulisan tersedia, kata-kata yang terucap
tetap tersisa dan hidup. Semua teks-teks tertulis mesti dikaitkan, langsung
maupun tidak, dengan ranah bunyi, habitat natural dari bahasa, untuk
menghasilkan maknanya. ‗Membaca‘ sebuah teks berarti mengubahnya ke dalam
bunyi, keras-keras atau dalam imajinasi, silabel demi silabel dalam pembacaan
pelahan atau sekilas dalam pembacaan cepat lazimnya menurut kebudayaan
teknologi-tinggi. Tulisan tidak dapat tersalur tanpa oralitas. ... Ekspresi oral dapat
eksis dan kebanyakan telah eksis tanpa tulisan sama sekali, tetapi tulisan tidak
dapat eksis tanpa oralitas.‖
Nama tradisional adalah nama yang diperoleh seorang anak saat ritual Daba.
Dalam tradisi nama orang-orang Jingitiu, nama-nama disusun dengan pola nama anak –
nama orang tua, masing-masing nama terdiri atas satu kata. Dari Huki Leo, misalnya,
kita bisa merujuk silsilah ke satu generasi sebelumnya yakni Leo Kana, terus ke Kana
Robo, Robo Hidi, Hidi Wadu, dan seterusnya. Ada pola anadiplosis yang terus berulang,
yang memungkinkan pelisanan hingga ke turunan pertama dapat diucapkan tanpa
kehilangan satu generasi pun. Namun, ada hal yang lebih penting dari itu. Melalui cara
itu, orang-orang Jingitiu melihat masa lalu sebagai, dan melalui, masa kini. Mereka
menelusuri sejarah melalui apa yang ada di masa kini. Yang disebutkan terlebih dahulu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
dalam meriwayatkan silsilah bukanlah nama nenek moyang, melainkan nama orang-
orang yang hadir sekarang, nama diri mereka atau nama anak-cucu mereka.
Setelah pembaptisan, nama-nama dicatat dalam Buku Permandian, dengan tanggal
lahir dan tanggal permandian, beserta nama orang tua dan orang tua baptis. Di Sabu,
pembaptisan dapat dilakukan tanpa waktu tertentu, seperti Daba yang hanya bisa
dilakukan pada bulan Daba. Mekanisme pencatatan berdasarkan penanggalan Masehi ini
memiliki keteraturan yang sama dengan sistem Daba. Dalam Daba, keteraturan
diperoleh dari bulan pengadaan ritual. Setiap orang Jingitiu bisa mengetahui bulan Daba-
nya. Daba sebagai ritual inisiasi jadi bagian yang juga dirayakan keluarga besar. Dalam
pencatatan buku permandian, keteraturan jadi jauh lebih rinci dan detail, karena satuan
waktunya menjadi lebih sempit, dan orang-orang yang dicatat adalah orang-orang yang
spesifik.
Orang-orang Katolik Sabu melewati dua proses ini: proses perekaman secara lisan
dalam upacara Daba dan pencatatan dalam buku setelah dipermandikan. Nama baptis
adalah identitas yang di dalamnya terkandung proses pengarsipan tekstual, sedangkan
nama daba menyimpan proses pengarsipan kolektif berdasarkan ingatan dan tradisi oral.
Di tengah orang-orang Jingitiu yang ingin mengurutkan kembali silsilah keluarga, atau
melakukan ritual tradisi, nama baptis adalah identitas yang diabaikan keberadaannya,
karena berada di luar ―gramatika‖ tradisional. Di tengah ibadah orang-orang Katolik,
nama santo/santa pelindung adalah salah satu nama yang disebutkan untuk mendoakan
kita. Identitas ini bergerak di dalam ruang yang selalu dinamis, dalam diri orang-orang
Katolik Sabu.
Melalui meleburnya nama baptis dan nama daba, orang-orang Katolik Sabu
mengalami mimikri karena tanda rasial dan prioritas kultural digugat (Bhabha, 2004:
125), sebagaimana diwakili oleh nama Katolik sekaligus nama Jingitiu. Memakai nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
santo/santa Eropa tidak lantas menjadikan orang Sabu seperti orang Eropa, sedangkan
meski memakai nama Jingitiu, mereka tidak lagi sama seperti orang-orang Jingitiu pada
umumnya. Dalam peleburan nama, identitas adalah sesuatu yang goyah, dan mimikri
menjelma menjadi sebuah cara penulisan ulang yang terus-menerus.
4.1.3. Menyikapi Musim Tanam
Ada dua cara menyikapi musim tanam dan ritual ku‟ja ma, atau ritual menanam. Di
Mehona, seperti yang disampaikan Tael, orang-orang tidak lagi mengacu kepada ritual
ku‟ja ma sebagai referensi musim tanam. Selain orang-orang Jingitiu, setiap orang di
Mehona dan Liae menanam pada waktu yang mereka anggap baik untuk tanaman. Di
Perema dan Mesara, menurut Lodo dan Pa Lede, orang-orang menjadikan ritual ku‟ja ma
sebagai satu-satunya referensi musim tanam, tak peduli latar belakang mereka. Ritual ini
biasanya ditandai dengan penanaman tanaman-tanaman konsumsi, seperti sorgum,
kacang hijau dan kacang tanah, di kebun sekitar Lede Para Galla, tempat tinggal Pa Lede
sekaligus tanah di sekitar kompleks rumah adat suku Nappu Pudi di Mesara. Jika Pa
Lede mulai menanam, orang-orang Mesara mengetahui bahwa ku‟ja ma sudah dimulai
dan akan berlangsung selama tujuh hari.
Dari data-data di atas, tampak bahwa di Mehona, penanggalan dan ritual adat tidak
lagi menjadi satu-satunya acuan orang-orang untuk menanam. Sebaliknya, di Perema,
waktu menanam adalah salah satu masa yang mengumpulkan kembali orang-orang di
dalam kalender adat dan ritualnya. Dua cara tanggap terhadap ritual dan musim tanam ini
menunjukkan dua model penerimaan: ritual dan kalender adat tidak lagi menjadi satu-
satunya acuan orang-orang Katolik Sabu di Mehona untuk mengidentifikasi kesabuan
dan tilas-tilas kejingitiuannya. Di Perema, ritual-ritual seperti inilah yang sama-sama
dirayakan oleh orang-orang Jingitiu dan orang-orang Katolik Sabu. Di saat seperti itulah,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Tadeus (nama baptis Tadeus Lodo) dan Pa Lede sama-sama berharap kepada ibu bumi
agar panenan berhasil. Melalui musim tanam, orang-orang Katolik Sabu di Mesara
menjadi serupa seperti orang-orang Jingitiu, tetapi tidak cukup sama. Dalam hal ini,
ambivalensi mengemuka karena mereka punya doa-doa lain selain yang disampaikan Pa
Lede dan para Mone Ama. Sementara bagi orang-orang Katolik di Mehona, ritual tidak
lagi menjadi sarana identifikasi kejingitiuan mereka.
4.2. Komunitas dan Narasi Identitas
4.2.1. Interaksi Komunitas
Lede Para Galla, kompleks rumah sekaligus rumah kediaman Pa Lede, terletak
tidak jauh dari SD Katolik Perema dan kapel St. Gregorius di samping SD. Lede Para
Galla adalah kompleks yang berisi rumah orang-orang Jingitiu, bercampur dengan
rumah-rumah komunitas lain. Di Lede Para Galla, sejumlah ritual dilaksanakan. Orang-
orang Jingitiu di sekitar Lede Para Galla biasanya mendapatkan sumber penghasilan dari
bertani (entah sebagai petani lontar, petani ladang, petani peternak), berdagang
kelontong/ hasil tenunan, hasil-hasil kerajinan, maupun menjadi tukang bangunan.
Tempat-tempat ritual keagamaan (entah agama Jingitiu maupun agama Katolik)
yang berdekatan menampakkan keberterimaan. Tadeus Lodo, pengajar Pendidikan
Agama Katolik di SDK Perema dan guru agama kapel St. Gregorius Perema, masih
menjalankan ritual-ritual Jingitiu seperti keluarga besarnya di Mesara, ritual-ritual yang
dipimpin oleh Pa Lede. Pada hari Minggu, Tadeus Lodo adalah pemimpin ibadah di
kapel Gregorius.
Penerimaan Pa Lede dalam lakunya sejalan dengan ungkapan lisannya: ―Mau jadi
orang Kristen atau Jingitiu, yang penting ingat kampung. Kalau ada apa-apa harus bikin
acara, ingat orang tua-orang tua yang sudah meninggal. Mau bagaimanapun, kita dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
satu pohon.‖ Penerimaan Tadeus Lodo, seorang Katolik Sabu, menunjukkan betapa
cairnya identitas, dan satu hal yang bisa kita anggap sebagai apropriasi, di satu sisi justru
menampakkan resistensinya.
Ungkapan Pa Lede yang berangkat dari pengalaman banyaknya saudara dan
keluarganya yang menganut Kristen tidak semata bisa kita baca sebagai apropriasi.
Dengan tetap memilih menganut Jingitiu, Pa Lede menunjukkan resistensinya. Dari
pertemuan-pertemuan di tengah komunitas semacam itulah, identitas, bersama segenap
ambivalensinya mengemuka.
4.2.2. Penciptaan, Eksodus dan Identifikasi Identitas
Kisah penciptaan dari Kitab Kejadian menjadi menarik untuk disandingkan dengan
narasi penciptaan orang-orang Sabu karena terdapat kesamaan sekaligus perbedaan.
Kesamaannya adalah bahwa ada entitas tunggal yang menjadi asal mula segala hal, dan
bahwa air adalah bagian paling awal dari segala sesuatu sebelum dunia terbentuk. Di
dalam Kitab Kejadian dikisahkan Roh Allah melayang-layang di permukaan air sebelum
penciptaan dunia. Dalam narasi penciptaan dunia versi Sabu airlah yang merupakan
elemen dasar entitas pertama. Kesamaan lainnya adalah bahwa peradaban dimulai
setelah penciptaan manusia: Dalam Kitab Kejadian setelah Adam dan Hawa diusir dari
Eden, dalam narasi mitologi Sabu setelah Kika Ga diberikan peralatan tenun. Jika
kediaman Liru Bèla dan taman Eden adalah representasi realitas surgawi, peradaban baru
bisa dimulai ketika kedua pasangan tersebut berpindah dari realitas surgawi; Kika Ga
dari kediaman Liru Bèla, dan Adam dan Hawa dari Eden. Bedanya, dalam genealogi
lisan Sabu manusia berasal dari genealogi entitas pertama, sedangkan dalam kisah
Kejadian manusia diciptakan oleh entitas tunggal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Dalam narasi eksodus Kika Ga, dari tempat yang jauh untuk menemukan pulau
Sabu, kita temukan bahwa penemuan wilayah baru adalah sebuah peristiwa sakral,
sebagaimana peristiwa eksodus Abraham menuju Kanaan. Kika Ga dan Abraham sama-
sama patriark bagi keturunan mereka. Dalam narasi perjalanan Kika Ga tidak ditemukan
semacam nubuat, seperti yang diperoleh Abraham, atau bahkan tokoh-tokoh epos
terkenal dari Eropa seperti Aeneas dan Odysseus. Narasi Kika Ga terbalik dari narasi-
narasi Abraham atau epos-epos besar Eropa Barat. Realitas dewata belum muncul sejak
awal eksodus. Hanya ketika tiba di tempat tujuanlah Kika Ga akhirnya berkenalan dan
diajak memasuki realitas dewata.
Narasi-narasi penciptaan dan eksodus orang-orang Sabu yang dicuplik dari
sumber-sumber tertulis dalam bagian ini adalah narasi-narasi yang hingga saat ini tetap
hidup dalam khazanah lisan orang-orang Sabu dengan berbagai variasinya. Berbagai
variasi menunjukkan ciri ingatan masyarakat lisan yakni tersebar dan kolektif. Narasi
tidak dituliskan, melainkan dilisankan, dan dalam beberapa kasus, dapat dikisahkan
kemballi secara variatif sesuai bagian-bagian yang diingat oleh si penyimpan.
4.2.3. Wenynyi Ri dan Ju Deo
Dua kisah dari pokok tradisi yang sama saya sandingkan untuk melihat bagaimana
kisah yang sama dapat menghasilkan tafsir yang berbeda. Kolom sebelah kiri adalah
kisah Ju Deo yang dikutip Duggan dari Deo Rai (2018: 145-146). Kolom sebelah kanan
adalah kisah tentang Wènynyi Ri D‘ara yang saya kutip dari Kenuhe (2018):
Ju Deo versi Deo Rai via Duggan Wènynyi Ri dan Ri D’ara versi Kenuhe
Ditemani Maja, Appu Lod‘o dan Kenuhe,
Ina Ju Deo mulai mencari anaknya di Sabu dan
mencapai bagian paling barat pulau Sabu, di
mana ia bertemu dengan seorang pria, Jèka
Wai, yang sedang mengerjakan kebunnya.
Menunjukkan perlawanan terhadap permintaan
kelompok tersebut, Jèka Wai pun ditantang
Ini kisah tentang Wènynyi Ri, anak dari Ri
D‘ara. Ia dilahirkan di atas pohon pinang, di
antara pelepah dan tangkai buah pinang, di
tengah laut biru, ketika bintang berekor (moto
nga lado) diletakkan di langit oleh Deo Ama
sebagai tanda, ketika dunia masih gelap, laut
dan daratan belum jelas terpisah. Ari-ari si
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
oleh Kenuhe dan Maja, dan kehilangan
tanahnya. Jèka Wai pun kemudian diminta
untuk mengikuti kelompok tersebut. Ketika
mereka tiba di Raijua, mereka bertemu dengan
seorang penggembala kambing dari udu
Rohaba. Jawabannya memuaskan pertanyaan
Ina Ju Deo, Ina Ju Deo memutuskan udu
Rohaba hanya boleh mengumpulkan garam
laut dan dilarang untuk memiliki tanah sendiri
di Raijua. Ina Ju Deo melanjutkan
perjalanannya ke Wuditèngu tempat ia bertemu
seorang penggembala kerbau dari Ledetalo. Ina
Ju Deo menanyakan pertanyaan yang sama
seperti yang ditanyakan ke orang Rohaba tadi.
Mendapatkan jawaban positif, Ina Ju Deo
menghadiahi si gembala dengan perangkap
ikan kena‟a dan holo kodo.
Kelompok itu pun melanjutkan perjalanan
ke Liurae, dan Ina Ju Deo mengulangi
pertanyaannya. Di sana ia diberitahu bahwa
orang yang sedang ia cari sedang disalibkan di
Nada Roju‘u di Raenadega. Sebelum
memasuki Raenadega, Ina Ju Deo memerah
payudara kirinya dan mengumpulkan air
susunya dalam botol. Kemudian Ina Ju Deo
memercikkan air susunya ke arah orang-orang
yang berkumpul di desa dan semua yang
terpercik air susunya meninggal. Sejak saat itu
ada sebuah batu yang disebut wowadu lakati di
sana. Ina Ju Deo kemudian memasuki desa,
dan pergi ke rumah Deo Rai dan melihat
putranya yang meninggal diikat di balok rumah
yang berbentuk salib; Ina Ju Deo
menurunkannya dari balok tersebut dan pergi
sesegeranya.
Ina Ju Deo, Maja, Apu Lod‘o, Kenuhe dan
Jèka Wai kembali ke Sabu (melintasi selat
dengan perahu Maja). Di Lederaga, Ina Ju Deo
memperoleh kain untuk membungkus tubuh
anaknya. Ina Ju Deo pergi ke mata air
Èimadakebo ketika kelompoknya disambut
oleh orang-orang setempat yang menari ledo
dan pedo‟a. Mereka melanjutkan perjalanan ke
D‘ara Raepumanu di desa Ledeae, dan
kemudian ke D‘ara Raekewowo. Di setiap
tempat yang mereka singgahi, mereka
disambut tarian dan sedikit demi sedikit Ju
Deo mulai menunjukkan tanda-tanda
kehidupan. Mereka kemudian pergi ke
Koloteriwu, perkampungan yang paling
ditakzimkan di Sabu, yang dikenal dalam syair
Rae Pulu Pa Lobo Pulu Ewa Ana Deo Pulu
Kati. Di Koloteriwu Ina Ju Deo, Ju Deo dan
bayi yang jatuh ke laut menjadi nyale (cacing
laut yang biasanya dikonsumsi masyarakat
Sabu). Wenynyi Ri dan ibunya tinggal di
pohon pinang sampai kemudian diturunkan
dan dibawa oleh kapal Liru Bèla. Tanda dari
bintang berekor membuat muatan kapal yang
diturunkan Liru Bèla mudah untuk diarahkan,
karena bintang berekor adalah juga bintang
penunjuk tempat. Setelah menemukan tempat,
mereka mencari puncak gunung (kolo lede)
yang menyembul dari laut. Ujung tersebut
adalah penanda daratan. Di daratan, ada
rumah kosong, dengan kandang hewan.
Setelah menemukan itu, anak yang baru lahir
tersebut kemudian dimandikan di tempat
hewan dengan air yang ada di darat.
Wènynyi Ri pun tumbuh besar, dan
menjadi perbincangan karena kejatmikaannya.
Orang-orang takut karena Wènynyi Ri dapat
diangkat menjadi raja (duae) ketika sudah
cukup usia. Perbincangan dari mulut ke mulut
ini sampailah ke sebuah tempat bernama
Wonga ‗Dai ‗Dara ‗Dai. Agar mencegah hal
itu terjadi, Wènynyi Ri pun dibunuh. Setelah
ia mati, orang-orang di tempat itu pun tetap
saja takut. ―Jangan biarkan jenazahnya tetap
berada di sini,‖ kata mereka satu kepada yang
lain. Jenazahnya pun dipindahkan ke berbagai
tempat, disembunyikan dengan segala macam
jenis asap, tetapi masih saja terlihat.
Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Dana,
tetapi tetap saja tak bisa disembunyikan.
Akhirnya, jenazahnya dipindahkan ke tempat
tinggal Hemège di ‗Jawa Wawa, sebuah
tempat di pulau Raijua.
Hemège pun menyembunyikan jenazah
Wènynyi Ri di dalam rumahnya,
menggantungnya di ketanga rohe (balok
rumah yang berbentuk salib). Ketika kejadian
menimpa Wènynyi Ri, Ri D‘ara pun berusaha
mencari anaknya. Kagetlah ia ketika ia tak
menemukan anaknya di tempat anaknya
dikabarkan seharusnya berada. Ri D‘ara pun
mencari anaknya hingga ke ‗Jawa Wawa.
Diajaklah Maja dan Kenuhe, karena mereka
berdualah yang sama sekali tak gentar
berhadapan dengan wango (iblis). (Tugas-
tugas Kenuhe saya emban, sedangkan tugas
Maja sekarang dilaksanakan Tudu Gili dari
suku Nabelu). Karena tugas-tugas itulah, kami
yang mengemban tugas sejak awal mula tidak
sekolah. Orang-orang kami ada yang
bersekolah, tetapi tidak ada yang berhasil.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
para pengikutnya naik ke langit karena pada
masa lalu langit dan bumi berdekatan. Bersama
putranya, Ina Ju Deo naik ke langit. Orang-
orang melihat mereka diselubungi awan.
Jèka Wai tidak tinggal di langit tetapi
kembali ke bumi dan menggunakan perahu
Maja, mengeklaim perahu tersebut sebagai
miliknya sendiri, yang membuat Maja marah.
Sejak saat itu, kehidupan di bumi tak lagi aman
karena ke mana pun Jèka pergi, akan terus-
menerus ada petir dan kilat. Suatu kali, Jèka
berteduh di bawah pohon kepaka (Sterculia
foetida), tempat tinggal seorang bernama
Denga. Denga mengatakan kepada Jèka bahwa
mengambil perahu Maja adalah hal yang salah.
Karena itu, ia akan terus-menerus diteror oleh
kilat dan petir hingga ia meminta maaf. Jèka
pun kembali ke langit dan meminta maaf
kepada Maja yang kemudian memutuskan
bahwa semua orang dan keturunan mereka
mesti mengorbankan seekor babi kepada Maja
setahun sekali, dan tradisi ini bertahan hingga
sekarang. Jèka merawat perahu yang diberi
nama Ama Dèki Lomi itu. Untuk hal ini,
keturunannya mesti meluncurkan sebuah
perahu upacara yang diisi oleh bahan-bahan
persembahan yang diberi nama kowa Jèka
setahun sekali dari bagian paling Barat Mesara.
Setelah itu, mereka pun pergi ke ‗Jawa
Wawa untuk menurunkan jenazah Wènynyi
Ri. Hari telah malam di sana. Di jalan, mereka
bertemu Jèka Wai yang sedang mengerjakan
kebunnya. ―Ini kebun siapa?‖ tanya Kenuhe
dan Maja. Kenuhe bertanya jawab sebanyak
sembilan kali dengan Jèka Wai. Dengan Maja,
Jèka Wai bertanya jawab sebanyak tujuh kali.
Karena kalah dalam tanya jawab tersebut,
kebun Jèka Wai („doka Jèka) menjadi milik
Kenuhe dan Maja, sedangkan Jèka Wai
ditugaskan menjaga kebun tersebut selama
Kenuhe dan Maja tidak membutuhkan apa-apa
dari kebun tersebut. Dari kebun tersebut,
Kenuhe dan Maja memperoleh sirih dan
pinang hingga penuh „beka (tempat
menampung sirih pinang dari anyaman
lontar). Mendekati ‗Jawa Wawa, mereka
bertemu dengan seorang anak gembala (ana
mata b‟ada) bernama Pu Tèdo, anak dari
Tèdo Lede, dan menanyakan tempat Hemège.
Berdasarkan keterangan Pu Tèdo, mereka
bertiga menemukan tempat Hemège. Pu Tèdo
berasal dari ‗Jawa Wawa, tempat tinggal
Hemège.
Hemège adalah raja iblis (duae wango), dan
bisa memerintahkan iblis-iblis lain. Pada saat
itu, ia membuat jalan ke rumahnya seolah-olah
sedang terjadi pesta, dan riuh dengan musik
dan tari-tarian. Untuk melapangkan jalan ke
tempat Hemège dan menurunkan jenazah
Wènynyi Ri dari ketanga rohe, Ri D‘ara
memerah payudara kirinya. Orang-orang yang
sedang berpesta tersebut mati terkena air susu
dari payudara kiri Ri D‘ara. Agar ada orang
yang bisa diperintah, Hemège meminta Ri
D‘ara pun menghidupkan 40 orang dengan air
susu dari payudara kanannya. Setelah itu,
Wènynyi Ri pun diturunkan dari ketanga rohe.
Ketika jenazah Wènynyi Ri dibawa oleh Ri
D‘ara, Kenuhe dan Maja bertugas melawan
iblis-iblis dari segala tempat yang
diperintahkan oleh Hemège.
Wènynyi Ri kemudian dibawa ke kubur.
Orang-orang masih tak ingin Wènynyi Ri
hidup karena ia akan menjadi raja dan
memerintah mereka. Kubur Wènynyi Ri
berbentuk bundar, ia didudukkan di atas batu
di dalam kubur, dan dari lubang kubur bagian
atas Ri D‘ara memerah air susu dari payudara
kanannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Dalam kesimpulannya, Duggan dan Hägerdal menganggap kisah Ju Deo memiliki
banyak kesamaan dengan teks-teks biblis: Ju Deo, dan ibunya, ―Perempuan Kehidupan‖,
penyaliban, kebangkitan dan kenaikan ke surga adalah bagian-bagian penting dari kisah
tersebut, baik yang dikisahkan di Sabu maupun di Raijua. Duggan dan Hägerdal juga
menduga bahwa kisah tersebut memiliki hubungan dengan ajaran-ajaran misionaris
Portugis pada abad ke-16 hingga abad ke-17, atau justru kisah-kisah biblis justru
dikisahkan oleh para pelaut dan pedagang. Kemungkinan tersebut masih terbuka sebab,
menurut Duggan dan Hägerdal, setelah kontak singkat dengan Portugis pada abad ke-16,
agama Kristen tak memiliki dampak di Raijua hingga abad ke-20 (2018: 146).
Duggan dan Hägerdal menambahkan bahwa langit dan bumi yang dekat satu sama
lain, seperti dalam kisah Ju Deo, menempatkan kisah Ju Deo dalam waktu mitos, bukan
waktu historis. Kisah kebangkitan melalui cerita tersebut, dengan demikian, bukan
merupakan hal yang baru bagi orang-orang Sabu ketika Kristen tiba di Sabu (ibid.).
Duggan dan Hägerdal juga menyinggung bahwa narasi tersebut juga berhubungan
dengan sejumlah ritual spesifik di Raijua dan Sabu: misalnya tarian ledo dan pedoa, babi
korban kepada Maja, dan perahu upacara kowe Jèka (2018: 147).
Jika dugaan Duggan dan Hägerdal bahwa beberapa bagian dari cerita tersebut,
seperti yang telah disebutkan, berkaitan dengan pengaruh Portugis, maka dalam narasi
yang dikutip keduanya kita temukan bentuk penyerapan yang menampakkan resistensi
sekaligus apropriasi terhadap narasi biblikal. Resistensi tersebut tampak justru karena
cerita itu dipindahkan seluruh nama tokoh dan asosiasi tempat dan wilayah, menjadi
bukan lagi milik orang-orang yang pernah menyampaikannya. Resistensi, karena melalui
cerita hibrida di atas, kisah-kisah biblis dapat hidup di luar tradisi Kristen.
Mirip dengan cerita dari Deo Rai, kisah Wènynyi Ri yang disampaikan Pa Lede
bisa juga kita kaitkan dengan dimensi kehidupan orang-orang Jingitiu:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Pelepah pinang yang lebar (Keru‟ba wènynyi), tempat lahir Wènynyi Ri, juga
digunakan untuk pertama kali menerima bayi Jingitiu yang baru dilahirkan. Ari-ari si
bayi, yang menjadi organnya menyerap makanan selama berada di dalam kandungan,
jatuh ke laut menjadi nyale, jenis makanan lain yang dikonsumsi oleh orang-orang
dewasa. Narasi tersebut menggambarkan sebuah siklus: dari sumber makanan kembali
menjadi sumber makanan.
Wènynyi Ri dan Hemège sebagai pasangan baik-jahat juga secara simbolik
ditampilkan melalui payudara kiri dan kanan Ri D‘ara yang masing-masing
melambangkan kehidupan dan kematian. Kelahiran Wènynyi Ri sebagai anak tanpa ayah
menjadi rujukan bagi anak-anak Jingitiu yang lahir tanpa ayah diterima sama baiknya
dengan anak-anak dengan ayah dan ibu, dengan istilah ana pa kepue (anak di dalam
rumah). Posisi Wènynyi Ri ketika dikuburkan setelah diturunkan dari tiang ketanga rohe
rumah Hemège sama seperti posisi orang-orang Jingitiu ketika dikuburkan. Orang-orang
Jingitiu yang meninggal akan dikuburkan duduk, biasanya didudukkan di atas kerang,
lalu dialasi dengan gong agar kepala jenazah tidak terkena tanah, lalu ditimbun dengan
tanah. Penguburan ini tidak dialami oleh orang-orang Jingitiu yang dibaptis Kristen.
Resistensi melalui cerita Ju Deo turut menghadirkan ambivalensi. Dengan
mengubah nama Wènynyi Ri menjadi Ju Deo dan Ri D‘ara menjadi Ina Ju Deo, peran
perempuan dalam narasi kepahlawanan tersamarkan, dan disubordinatkan menjadi ibu
dari Ju Deo. Identitas Ina Ju Deo hanya akan menjadi berarti jika kita mengetahui Ju
Deo. Ina Ju Deo bisa memiliki nama siapa saja, karena dalam bahasa Indonesia nama
tersebut berarti ―Ibu dari Ju Deo‖, sedangkan dalam pola penamaan Wènynyi Ri dan Ri
D‘ara, nama satu tokoh tidak perlu dijelaskan melalui nama tokoh lain. Pola penamaan
Wènynyi Ri dan Ri D‘ara membuat kita bisa mengetahui nama sang ibu melalui nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
sang anak. Di dalam ―Ri D‘ara‖ ada ―Ri‖, seorang anak adalah sebagian dari orang
tuanya.
Kisah Ju Deo dan Wènynyi Ri adalah kisah yang tersebar luas di Mesara secara
lisan. Dengan demikian, ia tidak hanya menjadi milik orang-orang Jingitiu. Melalui kisah
ini pula orang-orang Katolik Sabu mengidentifikasi diri mereka. Dengan demikian, kisah
yang pada awalnya bertujuan sebagai resistensi, oleh orang-orang Katolik Sabu justru
diapropriasi sebagai kisah mereka. Bagi sebagian orang Katolik Sabu, kisah Ju Deo lebih
familiar ketimbang Wènynyi Ri. Ju Deo adalah sosok yang mereka temui sebagai Yesus
Kristus melalui pembaptisan, tokoh yang hidup dalam kisah-kisah orang tua dan leluhur
mereka yang tidak dibaptis. Melalui kisah Wènynyi Ri, orang-orang Jingitiu seperti Pa
Lede mengafirmasi semesta mereka dalam cerita tersebut. Sampai sekarang, mereka
masih mengalami hal-hal yang diwariskan Wènynyi Ri atau Ju Deo, sebagai buah
kebaikan Ri D‘ara. Melalui kisah yang sama, orang-orang Katolik Sabu mengafirmasi
iman Katolik mereka melalui cerita yang pernah mereka dengar ketika kecil. Kisah
Wènynyi Ri, yang dipelihara dalam satu tradisi, dapat diidentifikasi oleh komunitas
Katolik Sabu dan komunitas Jingitiu sebagai kisah mereka.
Narasi Kika Ga, juga narasi Ju Deo dan Wènynyi Ri, membelah sekaligus
memperkaya identitas orang-orang Katolik Sabu. Orang-orang Katolik Sabu adalah
orang-orang yang berasal dari Kika Ga, tetapi juga bertemu dengan dua manusia pertama
bernama Adam dan Hawa. Seperti kisah Wènynyi Ri dan Ju Deo, kisah Kika Ga adalah
metafora bagi identitas, yakni identitas Jingitiu, dan Sabu pada umumnya. Anak-anak
Kika Ga merujuk kepada orang-orang Sabu yang dibaptis maupun tidak, karena Kika
Ga-lah pulau Sabu, rumah untuk semua orang yang hidup di sana, dibentuk/ditemukan.
Jika Kika Ga adalah metafora bagi identitas orang-orang Sabu, identifikasi mengerucut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
tampak pada kisah Adam dan Hawa. Kisah Adam dan Hawa, yang sejak sekolah dasar
diajarkan kepada anak-anak Sabu, adalah identitas bagi kekristenan orang-orang Sabu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
BAB V
PENUTUP
Katolik pertama kali diperkenalkan secara sistematis kepada orang-orang Jingitiu
oleh Franz Lackner, SVD. Kedua sekolah yang didirikan sebagai lembaga pendidikan
Katolik berperan penting dalam memperkenalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Katolik ke
orang-orang Jingitiu. Transmisi pertama melalui para pengajar kepada anak-anak yang
bersekolah di sana. Transmisi kedua melalui anak-anak tersebut kepada orang tua mereka
di rumah. Kedua sekolah juga berfungsi sebagai tempat berkumpul dan beribadah pada
hari Minggu. Sebelum ada gedung gereja, kedua sekolah adalah gereja perdana di
Mehona dan Perema.
Melalui kedua sekolah, anak-anak Jingitiu mengenal nilai-nilai dan ajaran-ajaran
Katolik yang diajarkan oleh para guru mereka. Pengenalan ini menyebabkan resistensi
dan apropriasi. Apropriasi berupa penerimaan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Katolik sambil
tetap mengikuti dan berperan dalam ritual-ritual Jingitiu, seperti yang ditunjukkan oleh
guru agama di Perema dan orang-orang di Mesara. Resistensi ditunjukkan oleh orang
Jingitiu seperti Pa Lede, dalam lakunya yang tetap menjaga tradisi leluhur dalam segala
manifestasinya, termasuk penanggalan-penanggalan tradisional dan ritual-ritual
berdasarkan musimnya. Tetapi yang hadir dari Pa Lede adalah juga apropriasi. Ia
menerima realitas bahwa dunia di sekelilingnya berubah, bahwa orang tua dan
keluarganya memilih menganut Kristen. Dari sisi sebaliknya, orang-orang Kristen di
Perema dan Mesara tetap berperan aktif dalam setiap ritual tradisi, termasuk menjaga
pantang ketika musim menanam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Komunitas Katolik Sabu, orang-orang yang mengalami berbagai lintasan khazanah
kultural dan agama, memelihara ingatan terhadap nama daba mereka sebagai bagian
yang mempererat mereka dengan kampung halaman, tetapi juga tetap menerima nama
baptis mereka sebagai bagian dari kekatolikan mereka.
Apropriasi dan resistensi lain ditunjukkan oleh orang-orang Jingitiu dan orang-
orang Katolik Sabu lewat Wenynyi Ri dan Ju Deo. Melalui cerita yang berasal dan
dipelihara tradisi yang sama, orang-orang Katolik Sabu melihat kekatolikan mereka, dan
orang-orang Jingitiu mengidentifikasi kejingitiuan mereka. Resistensi terhadap narasi
asing ditunjukkan dalam cerita Ju Deo dengan menyerap dimensi nama menjadi
menyerupai nama-nama Jingitiu, dan mengontekskan kisahnya dengan khazanah yang
familiar dengan orang-orang Sabu. Apropriasi terhadap cerita diberikan oleh orang-orang
Jingitiu yang dibaptis. Dalam kisah Ju Deo, mereka menemukan kemiripan dengan
narasi Yesus Kristus. Narasi lain yang juga menjadi kisah identifikasi diri adalah cerita
tentang Kika Ga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
DAFTAR PUSTAKA
Ansow, J. 2008. Legitimasi Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Katolik. Jakarta: Cahaya
Pineleng.
Aritonang, J.S. & Karl Steenbrink (editor). 2008. A History of Christianity in Indonesia.
Leiden & Boston: Brill.
Bara Pa, P. & Dorkas Nyake Wiwi. 2012. ―Penghancuran Perempuan Guru Sabu-Raijua oleh
Negara‖ dalam Kolimon & Wetangterah (editor). Memori-Memori Terlarang: Perempuan
Korban & Penyintas Tragedi ‟65 di Nusa Tenggara Timur. Kupang: Yayasan Bonet
Pingupir.
Bara Pa, P. 2013. ―Amu Hawu: Bangunan Berperspektif Gender (Pada Masyarakat Sabu)‖
dalam Neonbasu, G. (editor). Kebudayaan: Sebuah Agenda dalam Bingkai Pulau Timor
dan Sekitarnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bara Pa, P. 2017. Tradisi Ru-Kétu: Suatu Kajian Budaya dan Refleksi Theologis. Bandung:
Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan.
Bhabha, H. 2004. The Location of Culture. London: Routledge.
Cook, J. 1893. Captain Cook‟s Journal During His First Voyage Round the World. London:
Eliot Stock 62 Pater Noster Row.
Da Silva, J.A. 1996. ―Inkulturasi sebagai Suatu Dialog‖ dalam Kirchberger & Prior (editor)
Iman dan Transformasi Budaya. Ende: Nusa Indah.
Detaq, Y.Y. 1973. Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu. Ende: Nusa Indah.
Duggan, G. 2009. ―The Genealogical Model of Savu, Eastern Indonesia‖ dalam Journal of
Indonesian Social Sciences and Humanities. Vol. 2, 2009, pp. 163–177
Duggan, G. & Hans Hägerdal. 2018. Savu: History and Oral Tradition on an Island of
Indonesia. Singapore: NUS Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Fox. J. 1977. Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia. Cambridge &
London: Harvard University Press.
Hägerdal, H. 2012. Lord of the Land, Lord of the Sea: Conflict and Adaptation in Early
Colonial Timor, 1600-1800. Leiden: KITLV Press.
Huddart, D. 2013. Homi K. Bhabha. Oxon & New York: Routledge.
Huki, T.A. 2010. Nilai Upacara Daba di Kalangan Masyarakat Jingitiu bagi Karya Pastoral
Gereja Katolik di Kelompok Umat Basis di Desa Pedarro Stasi Santo Gregorius Perema
Paroki Santo Paulus Seba Keuskupan Agung Kupang. (skripsi). Kupang: Sekolah Tinggi
Pastoral Keuskupan Agung Kupang.
Kagiya, A. 2010. Female Culture in Raijua: Ikats and Everlasting Witch-Worship in Eastern
Indonesia. Tokyo: Japan Publication.
Kana, N.L. 1983. Dunia Orang Sawu. Jakarta: Sinar Harapan.
Koro Magga. 1997. Studi Empiris tentang Upacara Tao Leo di Kalangan Masyarakat
Jingitiu di Raijua dalam Perbandingan dengan Liturgi Pemakaman Menurut P. Alexander
Bedinig, SVD. Madiun: STKIP Widya Yuwana.
Lamprecht, G. 2014. Misionar am Ende der Welt: Franz von Sabu. (film dokumenter dalam
Orientierung, 7 menit 11 detik), diakses 10 Januari 2017 pukul 03.45.
Lembaga Alkitab Indonesia. 1976. Lii Haga Dara do Hure ri Markus. Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia.
___________. 2000. Lipedara Wowiu. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Madinier, R. 2011. ―The Catholic politics of inclusiveness: A Jesuit epic in Central Java in
early twentieth century and its memory‖ dalam Picard & Madinier (editor) The Politics of
Religion in Indonesia: Syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali.
London & New York: Routledge.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Maier, H. M. J. 1993. ―From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch
in the Indies‖ dalam Indonesia No. 56 (Oct., 1993), pp. 37-65. New York: Cornell
University Press.
Manteiro, G. 1997. Memori Uskup Keuskupan Agung Kupang. Masa Bakti Karya Pelayanan
Pastoral 1967-1997. Kupang: tanpa penerbit.
Neonbasu, G & Moses Lebao. 1993. Kupang dari Diaspora Menuju Keuskupan Agung
(dalam Karya dan Sejarah untuk Menghadap Masa Depan). Kupang: Seksi Publikasi
Panitia Perayaan Perak Keuskupan Agung Kupang & Jabatan Uskup YM. Mgr. Gregorius
Manteiro, SVD.
Nge Djo, M.M. 2000. Pendampingan Kaum Muda Katolik dalam Upaya Menciptakan Kader
Pastoral di Sabu Paroki Rote-Sabu-Raijua. (Skripsi). Kupang: Institut Pastoral Indonesia
Malang.
Ong, W.J. 2012. Orality and Literacy. London: Routledge.
Picard, M. 2011. ―Introduction: ‗Agama‟, „adat‟, and Pancasila‖ dalam Picard & Madinier
(editor) The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, orthodoxy, and religious
contention in Java and Bali. London & New York: Routledge.
Rafael, V.L. 1988. Contracting Colonialism: Translation and Christian Conversion in
Tagalog Society under Early Spanish Rule. Manila: Ateneo de Manila University
Press.
Riwu Kaho, R. 2005 [2000]. Orang Sabu dan Budayanya. Yogyakarta: Jogja Global Media.
Saukko, P. 2003. Doing Research in Cultural Studies: an Introduction to Classical and New
Methodological Approaches. London, Thousand Oaks & New Delhi: Sage Publications.
Sitompul, M. 2017. ―Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS‖ dalam historia.id,
Kamis, 26 Oktober 2017. (http://historia.id/modern/penumpasan-pki-di-ntt-dalam-
dokumen-rahasia-as diakses Rabu, 1 November 2017 pukul 15.35).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Steenbrink, K. 2007. Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History volume 2,
The spectacular growth of a self-confident minority, 1903-1942. Leiden: KITLV Press.
Turner, V. 1979. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Ithaca: Cornell University
Press.
Unit Budaya dan Bahasa GMIT. 2006. Lii Hag‟a D‟ara J‟ara lua Yesus Pedutu nga do Hure
do B‟uke ri Ma‟u. Kupang: UBB-GMIT.
Van den End, Th. & J. Weitjens. 1980. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500 –
1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
___________. 1989. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1986-an – Sekarang.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
LAMPIRAN 1
PETA
Peta NTT (Sumber: ppid.ntt.prov.go.id)
Peta Kabupaten Sabu-Raijua (Sumber: petatematikindo.wordpress.com)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
LAMPIRAN 2
FOTO-FOTO
Foto 1: Ketanga rohe, seperti yang muncul dalam kisah Ju Deo (dok. pribadi)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Foto 2: SDK Mehona dan pohon nitas yang dulu dipakai sebagai tempat berkumpul ibadah
dan misa hari Minggu sebelum kapel dibangun (dok. pribadi).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Foto 3: SDK Perema dan pohon ketapang yang dulu digunakan sebagai tempat berkumpul
ibadah dan misa sebelum kapel dibangun (dok. pribadi).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Foto 5: Halaman pertama Buku Induk Perkawinan Paroki Sabu (foto: Franz Lackner, SVD)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Foto 5: Halaman pertama Buku Induk Permandian Paroki Sabu (foto: Franz Lackner, SVD)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
LAMPIRAN 3
PEDOMAN WAWANCARA
Tentang Katolik:
Sejak kapan sekolah didirikan? Apa tanggapan warga sekitar pada saat itu? Bagaimana proses
pembangunannya?
Kapan mulai mengajar di sekolah? Bagaimana Pendidikan Agama Katolik diajarkan di
sekolah?
Apa peran Alkitab terjemahan bagi katekese, ibadah hari Minggu dan doa lingkungan, bagi
umat Katolik?
Tentang Jingitiu:
Mengapa menerima pilihan menjadi Kenuhe?
Bagaimana keadaan orang-orang Jingitiu hari ini?
Adakah legenda tentang orang Jingitiu dari zaman dahulu yang bisa disampaikan sekarang,
dan memiliki kaitan dengan jabatan Kenuhe?
Berapa anggota keluarga yang beragama Kristen?
Mengapa tidak mengikuti jejak anggota keluarga?
Tentang Pertemuan:
Kapan Anda menerima Da‘ba?
Kapan Anda menerima pembaptisan?
Mengapa ritual-ritual Jingitiu atau kewajiban adat lain bermanfaat bagi Anda? Seberapa
penting?
Seberapa banyak warga di sini yang masih menjalankan kalender adat, misalnya, saat musim
tanam?
Pernahkah mendengar cerita Wènynyi Ri atau Ju Deo?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI