teori hukum kelsen

29

Click here to load reader

Upload: agus-hermawan

Post on 13-Aug-2015

199 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Hukum Kelsen

Hukum dan Negara serta Implementasinya terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pemikiran Hans Kelsen

I. Pendahuluan

Dalam kehidupan sosial terdapat berbagai macam tata aturan selain hukum,

seperti moral atau agama. Konsep hukum seringkali secara luas digunakan dengan

mengalami bias politik dan bias ideologis. Pendapat yang menyatakan bahwa hukum

dalam rezim Bolshevism, sosialisme nasional, atau fasisme yang menindas

kebebasan adalah bukan hukum, menunjukkan bagaimana bias politik dapat

mempengaruhi deinisi hukum. Akhirnya konsep hukum dibuat terkait dengan cita

keadilan, yaitu demokrasi dan liberalisme. Padahal dari optik ilmu yang bebas dari

penilaian moral dan politik, demokrasi dan liberalisme hanyalah dua prinsip yang

mungkin ada dalam suatu organisasi sosial, seperti halnya juga otokrasi dan

sosialisme yang juga mungkin ada pada masyarakat yang lain.1

Paul Vinogradoff2 menyebutkan manusia diidentifikasikan sebagai mahkluk

biologis dan mahkluk sosial sehingga manusia akan selalu senantiasa hidup bersama-

sama dengan manusia dan mahluk hidup lainnya. Aristoteles, berkata manusia itu

“zoon politicon”.3 Oleh karena itu Cicero menyebutkan bahwa dimana ada

masyarakat di situ ada hukum (ubi societas ibi ius) sehingga hukum tersebut lahir,

tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Tegasnya, tidak ada suatu

masyarakat dan negara yang beradab tidak memerlukan hukum. 

Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules)

tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan

tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan

sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak

mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.4

Dikaji dari perspektif hukum tata negara positif maka terhadap lahirnya suatu

negara, dikenal beberapa teori seperti teori kenyataan, teori ketuhanan, teori

1 Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 4.2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 26. 3 Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta,

1989, hlm. 2 4 Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 3. Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 30-31.

Page 2: Teori Hukum Kelsen

penaklukan dan teori perjanjian.5 Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro menyatakan

“negara adalah suatu organisasi diantara sekelompok atau beberapa kelompok

manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (territoir) tertentu dengan

mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan

sekelompok atau beberapa manusia tadi”6. Sri Soemantri Martosoewignjo secara

lebih sederhana lagi mengemukakan bahwa “mendirikan dan membentuk negara

pada hakikatnya mendirikan dan membentuk organisasi kekuasaan”7. Negara karena

sifatnya yang abstrak dan luas dapat dipahami dari berbagai aspek. Disamping

sebagai organisasi kemsyarakatan, negara juga dapat dipandang sebagai “organisasi

kekuasaan”8.

Bilamana dikaji dari unsur-unsurnya, menurut H. Abu Daud Busroh9

dikemukakan ada 3 (tiga) hal, yakni terdiri atas daerah, rakyat dan pemerintah yang

berdaulat. Penetapan ini sejalan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro10 yang

membedakan unsur-unsur negara terdiri atas masyarakat, wilayah/territoir dan unsur

pemerintahan. Perbedaan terhadap unsur-unsur negara baru dapat dijumpai bila

pendapat di bidang Hukum Tata Negara itu dibandingkan dengan pendapat di bidang

Hukum Internasional. 

Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah dipandang sebagai

prinsip-prinsip hukum umum tentang keberadaan suatu negara menurut Hukum

Internasional, mengemukakan unsur-unsur negara terdiri atas 4 (empat) hal, yakni :

1) Adanya penduduk yang tetap (a permanent population);

2) Memiliki wilayah yang jelas (a defined territory);

3) Adanya Pemerintah (a government);

5 Teori kenyataan menyebutkan bahwa suatu negara lahir sebagai suatu kenyataan apabila unsur-unsur negara (daerah, rakyat dan pemerintahan yang berdaulat) telah terpenuhi. Teori ketuhanan menentukan timbulnya suatu negara atas kehendak Tuhan, karena segala sesuatu tidak akan terjadi bilamana Tuhan tidak menghendakinya. Kemudian Teori penaklukan menentukan bahwa negara itu lahir karena adanya serombongan manusia lain yang berusaha untuk tetap menguasai hasil penaklukannya melalui pembentukan suatu organisasi negara. Selanjutnya Teori perjanjian menetapkan bahwa negara timbul karena adanya perjanjian yang diadakan antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, sehingga kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin.

6 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1983, hlm. 2. 7 Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undang Dasar Dan Ketetapan Majeleis Permusyawaratan

Rakyat, Pidato Pengukuhan pada penerimaan jabatan Guru Besar Tetap dalam Mata Kuliah Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNPAD, pada tanggal 21 Pebruari 1987, UNPAD, Bandung, 1987, hlm. 4.

8 Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undang Dasar….., Loc. cit. 9 H. Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 29.10 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum……, Op. cit., hlm. 3. 

Page 3: Teori Hukum Kelsen

4) Adanya kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara

lainnya (a capacity to enter into relations with athor states). 

Keempat unsur ini menjadi elemen dasar dari adanya suatu negara dalam

pandangan Hukum Internasional. Disamping keempat unsur di atas, secara doktrinal

menurut pendapat Huala Adolf11 dan Wayan Parthiana12, disamping keempat unsur

tersebut ditambahkan lagi adanya unsur negara dapat mempertanggungjawabkan

tindakan-tindakan pejabat-pejabatnya terhadap pihak negara lain, dan negara harus

merdeka.

Negara untuk dapat mewujudkan ketertiban memerlukan adanya suatu sistem

pengendalian masyarakat, salah satunya berupa hukum13. Oleh karena itu maka

persoalan hukum dan negara telah mendapat perhatian dan menjadi obyek kegiatan

intelektual dari para pemikir dunia sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu sampai

sekarang. Plato (429-347 s.M) dan Cicerio (106-43 s.M) merupakan pemikir-pemikir

besar tentang negara dan hukum pada zaman Purbakala, Thomas Aquinas (1225 –

1274) sebagai pemikir pada zaman Pertengahan serta Montesquieu (1689-1755),

Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dan Hans Kelsen sebagai pemikir setelah pada

zaman pertengahan14. 

Pada asasnya Hans Kelsen mendapat pengaruh ajaran neo-Kantianisme15,

khususnya mazhab Marbug sehingga Hans Kelsen mengembangkan filsafat

hukumnya dengan bertolak pada tesis-tesis epistimilogi sebagai berikut:16

1) Adanya keyakinan bahwa cara pendekatan menentukan pengetahuan

dan struktur sistem ilmiah;

2) Ilmu harus berusaha dengan analisis konsep-konsep secara eksak

untuk menjaring unsur-unsur essensial dan merumuskannya kedalam

generalisasi-generalisasi secara formal;

11 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm. 2-8. 

12 Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 63-67. 13 Lili Rasjidi, Introduksi, dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), Filsafat Hukum Mazhab dan

Repleksinya, Remadja Karya, Bandung, 1989, hlm. 1. 14 J.J. Von. Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, PT. Pembangunan, Jakarta, 1980, 5-

6. Bandingkan dengan R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1986, hlm. 41.15 Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987, hlm. 48.16 B. Arief Sidharta, Teori Murni tentang Hukum, dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), Filsafat

Hukum…., Op. cit., hlm. 57-58.

Page 4: Teori Hukum Kelsen

3) Salah satu aspek dari setiap ilmu adalah masalah hubungan dengan

kenyataan.

Tolok ukur tesis konteks di atas maka B. Arief Sidharta mengkritisi konsepsi

Hans Kelsen tentang ilmu hukum dan teori hukum adalah:17

a. Ilmu Hukum adalah suatu pemahaman normologis tentang makna

hukum positif (normological apprehenson of the meaning of positive

law). 

b. Teori hukum (legal theory) adalah teori umum tentang hukum positif

yang menggunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara

murni.

Melalui pemahaman normologis ilmu hukum hanya mempelajari norma-norma

sehingga sebagai ilmu kognitif yang murni tentang hukum positif. Konteks dan

problematika korelasi tentang latar belakang lahirnya hukum, baik buruknya isi

hukum bukan merupakan dilema bagi Hans Kelsen. Selanjutnya melalui metode

yuristik, maka hukum sebagai ketentuan normatif dipandang secara holistik dan

dibebaskan dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan di luar hukum seperti

pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis dan etis suatu penlolakan terhadap

sinkretisme metodelogis. Disamping teori hukum murni yang mengemukakan bahwa

“hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis,

sosiologis, politis dan sebagainya”18 di atas, Hans Kelsen juga mengembangkan teori

Stufenbau des Recht (Teori Pertingkatan Hukum). Menurut teori Pertingkatan

Hukum sistem hukum itu pada hakikatnya bersifat hierarkis, dimana suatu ketentuan

hukum tertentu akan bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. 

Teori hukum murni (the Pure Theory of Law) adalah teori hukum positif tetapi

bukan hukum positif suatu sistem hukum tertentu melainkan suatu teori hukum

umum (general legal theory). Sebagai suatu teori tujuan utamanya adalah

pengetahuan terhadap subyeknya untuk menjawab pertanyaan apakah hukum itu dan

bagaimana hukum dibuat. Bukan pertanyaan apakah hukum yang seharusnya (what

the law ougth to be) atau bagaimana seharusnya dibuat (ought to be made).19 Teori

17 B. Arief Sidharta, Teori Murni….., Ibid., hlm. 58. 18 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2004, hlm. 39.19 Hukum dan nilai-nilai yang bersifat subyektif dan sering dijadikan dasar pembenar hukum dijelaskan

tersendiri dalam Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 17–23. Disebut juga dengan aliran formal reduksionis (formal reductionism). Lihat Jelic, Op.Cit. hal. 1.

Page 5: Teori Hukum Kelsen

hukum murni adalah ilmu hukum (legal science),20 bukan kebijakan hukum (legal

policy)21.22

Oleh karena itu dengan titik tolak polarisasi pemikiran di atas berikut tulisan

ini akan lebih intens, detail dan terperinci mengkaji lebih dalam tentang pemikiran

Hans Kelsen tentang hukum dan negara serta implementasinya terhadap

perlindungan hak asasi manusia dikaji dari perspektif teori hukum.

II. Pembahasan

1. Pemikiran Hans Kelsen Terhadap Keberadaan Hukum dan Negara

Pada bagian 2 Bab I tentang Hukum dan Negara maka dalam buku General Theory

of Law and State khususnya terhadap konteks Hak Asasi Manusia maka

dikemukakan polarisasi pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum dan Negara

adalah sebagai berikut:

a. Pemikiran bahwa pada hakikatnya negara sebagai personifikasi dari Tata

Hukum Nasional, sehingga tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib

negara23.

Pandangan yang menempatkan Negara sebagai personifikasi dari Tata

Hukum Nasional menunjukkan negara diidentikan dengan hukum. Hal ini

merupakan pandangan yang ekstrim bilamana dikaitkan dengan teorinya

tentang hukum, yakni teori hukum murni. Sebagaimana telah dibahas,

20 Legal Science (Rechtswissenschaft) sering digunakan oleh Kelsen dalam arti “penyelidikan akademis terhadap hukum positif.” Namun terkait dengan teori hukum murni, dia memperluas terma sehingga asumsi-asumsi umum teoritis yang mendasari hukum termasuk di dalamnya. Dalam arti yang luas ini ilmu hukum juga meliputi teori hukum. Istilah ini semula digunakan berasal dari bahasa latin “Jurisprudentia” menjadi bahasa Jerman “Jurisprudenz” yang kadang-kadang menekankan pada ketrampilan hukum dan pengetahuan hukum. Pendekatan selain legal science yang dikemukakan oleh Kelsen adalah sejarah hukum (legal history)dan perbandingan hukum (comparative law). Namun pandangan Kelsen lebih tepat disebut sebagai Legal TheoryLihat Appendix I: Supplementary Notes pada Kelsen, Introduction…, Op.Cit., hal. 127-129. Masalah bangunan logika dari sistem hukum yang digunakan oleh Kelsen serta pengaruh dari Imanuel Kant dapat dilihat pada artikel Green, Op.Cit., hal. 365–413. sebut sebagai Legal TheoryLihat Appendix I: Supplementary Notes pada Kelsen, Introduction…, Op.Cit., hal. 127-129.

21 Kebijakan Hukum atau Legal Policy (Rechtspolitik) dapat dibandingkan dengan kebijakan luar negeri (foreign policy), kebijakan moneter (monetary policy). Legal policy secara umum arti dan tujuannya adalah terkait dengan pertanyaan apa yang seharusnya ditetapkan sebagai hukum (what ought to be enacted as law). Ibid., hal. 7 fn. 2

22 Ibid., hal. 7.23 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Dasar Ilmu Hukum

Empirik-Deskriptif, alih bahasa dari Somardi, Rimdi Press, 1995, hlm. 183. 

Page 6: Teori Hukum Kelsen

menurut teori hukum murni bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-

anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”24.

Pandangan ini menunjukkan hukum itu bebas nilai (in free value) serta

dilepaskan dari faktor-faktor realitas yang berpengaruh dalam

pembentukannya. Berbagai ahli non hukum mengkritik pendapatnya. Hans

Kelsen dipandang telah meremehkan peranan dan manfaat dari bidang di luar

hukum terhadap pembangunan dan pengembangan hukum tersebut. Kami

sependapat dengan kritikan yang diajukan kepada Hans Kelsen. Hukum

sebagai hasil budaya manusia yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

manusia atas kehidupan yang tentram dan tertib tentunya tidak dapat

dilepaskan dari pengaruh-pengaruh bidang lain di luar hukum. Tiap kaidah

hukum positif pada hakikatnya merupakan hasil penilaian manusia terhadap

prilaku manusia yang mendapat keajegan sebagai suatu kebiasaan yang telah

diterima dan disepakati untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri.

Dengan kata lain, hukum merupakan produk yang komprehensif sehingga

dapat dipandang sebagai gejala budaya, gejala sejarah, gejala politik,

disamping sebagai gejala sosial.

Menganalogikan dengan konsep hukumnya, maka sangat sulit dapat diterima

secara ilmiah bilamana negara dimurnikan dan terlepas dari pengaruh disiplin

ilmu lainnya. Pandangannya bahwa “tidak ada konsep sosiologis tentang

negara selain konsep hukum”25 tidaklah benar sepenuhnya. Negara bukanlah

obyek hukum semata, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu

pemerintahan, bahkan biologi (melalui teori organis) sebagai ilmu eksak juga

dapat menjadikan negara sebagai obyek kajiannya. Dengan kata lain, kami

kurang sependapat dengan pandangannya bahwa “negara dan hukum bukan

dua obyek yang berbeda”26, “menolak adanya kehendak atau kepentingan

kolektif dari warga negara beserta negara itu sendiri”27.

Di lain pihak dalam rangka menegakkan supremasi hukum, kami sependapat

dengan pendapat beliau bahwa “untuk dapat mengetahui perbedaan antara

perintah atas nama organ negara dengan yang bukan adalah melalui tata

24 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar……, Loc. cit. 25 Hans Kelsen, Teori Hukum……, Op. cit., hlm. 190. 26 Hans Kelsen, Teori Hukum……, Ibid., hlm. 184. 27 Hans Kelsen, Teori Hukum……, Ibid.,, hlm. 186. 

Page 7: Teori Hukum Kelsen

hukum yang membentuk negara tersebut”28, “segala bentuk tindakan

memerintah dan mematuhi perintah yang beraneka ragam hanya terjadi

menurut tata hukum”29. Oleh karena itu, pendapat Hans Kelsen untuk

sebagian dapat diterima, baik dalam kaitannya dengan konsep negara hukum

yang menjunjung supremasi hukum maupun berkaitan dengan konsepsi

negara disamping sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum

nasional”30, sekaligus juga sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi

kemasyarakatan. 

b. Organ negara adalah individu yang menjalankan suatu fungsi tertentu yang

ditetapkan oleh tata hukum.

Organ negara dibedakan dalam artian luas (bersifat formal) dan artian sempit

(bersifat material). Mendasarkan kepada pendekatan fungsi, adapun organ-

organ negara yang melaksanakan fungsi membuat norma, fungsi menerapkan

norma, fungsi menerapkan sanksi hukum serta fungsi memilih parlemen

dikatagorikan sebagai organ negara dalam artian luas. Sedangkan organ

negara yang melaksanakan ketiga fungsi selain fungsi memilih parlemen

diklasifikasikan sebagai organ negara dalam artian sempit. Secara sederhana,

organ negara tersebut terdiri dari organ pemerintah dan non pemerintah

(warga negara). Adapun fungsi memilih parlemen merupakan jenis fungsi

yang dilakukan di luar pemerintah. Pandangan ini tampak tidak

mendikotomikan antara pemerintah dengan warga negara. Hal ini berarti

keduanya memiliki kekuasaan sesuai dengan fungsinya yang ditetapkan oleh

tata hukum. 

Dalam arti sempit, pengertian organ negara yang dikemukakan Hans Kelsen

tampak dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika yang membedakan kekuasaan

negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan

yudikatif. Pembidangan ini secara doktriner dikenal dengan organ negara

dalam arti luas, sehingga pendapat Hans Kelsen lebih luas dari pendapat para

sarjana seperti Montesquieu ataupun John Locke sebagai penganut ajaran

Trias Politika. Dalam realitanya kami kurang sependapat dengan pandangan

28 Hans Kelsen, Teori Hukum……, Ibid., hlm. 188. 29 Hans Kelsen, Teori Hukum……, Ibid., hlm. 189.30 Hans Kelsen, Teori Hukum……, Ibid, hlm. 183. 

Page 8: Teori Hukum Kelsen

Hans Kelsen, oleh karena pengertian organ negara erat kaitannya dengan

wewenang dan warga negara tentunya tidak mempunyai wewenang untuk

memerintah kecuali mereka telah menjadi pegawai negeri pada salah satu

organ negara dalam pengertian yang sempit. 

c. Negara sebagai personifikasi tata hukum tidak memiliki kewajiban dan hak.

Hans Kelsen yang tidak menerima adanya pembedaan antara hukum dan

negara, dalam konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan

pemberian hak kepada negara. Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada

kewajiban dan hak negara. Kewajiban dan hak selalu merupakan kewajiban

dan hak para individu”. Namun demikian, beliau tidak menyangkal

keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang mewakili negara terhadap

norma-norma hukum dalam hal berhubungan dengan warga negara. Dengan

kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan negara dengan

hukum tidak bersifat absolut, karena organ-organ negara (dalam arti

sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum.

Disamping itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia

dikemukakan bahwa negara dapat juga dibebankan kewajiban yang tercermin

dari sanksi yang harus dipertanggungjawabkannya. 

Adanya pengakuan kedaulatan negara dalam wilayah nasional suatu negara

sejalan dengan teori kedaulatan negara yang menempatkan negara secara utuh

dan berdaulat dalam wilayahnya. Pengakuan ini menurut pendapat kami

sangat penting untuk mempertahankan keutuhan suatu negara dari

rongrongan warga negara atau rakyatnya sendiri. Namun demikian

pengukuhan keutuhan negara ini bukan berarti melepaskan tanggung jawab

aparat pelaksana atau organ negara yang diduga dan/atau terbukti melakukan

perbuatan yang melawan hukum sehingga merugikan rakyatnya. Supremasi

hukum harus tetap ditegakkan, dan siapapun bersalah dan mempunyai

kemampuan bertanggung jawab wajib tunduk pada hukum.

Mengenai pertanggungan jawab dari aparat/organ negara tidaklah bersifat

serta merta, artinya terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

menurut ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan bukanlah

menjadi kewajiban organ negara bersangkutan. Tindakan aparat pemerintah

Page 9: Teori Hukum Kelsen

yang menurut hukum meskipun telah menimbulkan kerugian atau

pelanggaran terhadap hak-hak rakyat bukan menjadi kewajiban aparat

bersangkutan yang mempertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban akan

muncul bilamana tindakan pemerintah yang diduga atau telah menimbulkan

kerugian dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat dilakukannya dengan

melanggar hukum atau tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang telah ditetapkan terkait dengan pelaksanaan tugas negara bersangkutan.

Adanya kewajiban pertanggungjawaban pemerintah atau organ negara ini

secara contrario merupakan wujud perlindungan hukum dari negara melalui

aparatnya terhadap warga negara atau rakyatnya. Dengan kata lain, pendapat

Hans Kelsen secara tersirat pada hakikatnya mengakui keberadaan dari

konsep negara hukum, yang menurut Sri Soemantri Martosoewignjo31

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (recthsterlijke controle).32

Selanjutnya berkenaan dengan negara dalam hubungan internasional,

Mochtar Kusumaatmadja33 mengemukakan kedaulatan negara akan berakhir

bilamana kedaulatan negara lain dimulai. Hal ini menunjukkan bahwa setiap

negara berdaulat memiliki kemerdekaan serta persamaan derajat, sehingga

kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat merupakan tiga rangkaian

kata yang selaras. Perkembangan lebih lanjut dari dianutnya prinsip itu adalah

tidak dapat digugatnya suatu negara yang berdaulat dihadapan forum hakim

negara lain.

Aspek kedaulatan suatu negara ini melahirkan doktrin kekebalan atau

imunitas kedaulatan (Sovereign Immunity Doctrine) yang dikembangkan

dalam hubungan antar negara. Namun demikian, implementasi doktrin ini

juga tidak bersifat mutlak, oleh karena dalam beberapa hal ada pembatasan

31 R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29

32 Hans Kelsen, Teori Hukum……, Ibid, hlm. 183. 33 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum……, Loc. cit. 

Page 10: Teori Hukum Kelsen

yakni apabila negara didalam melakukan hubungan dengan negara lain tidak

dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik. Dengan kata lain,

perlindungan terhadap negara dalam bentuk immunitas kedaulatannya hanya

diberikan apabila negara tersebut bertindak dalam kualitasnya sebagai negara

dalam artian kesatuan politis (iure imperii) dan perlindungan tidak diberikan

bilamana negara sebagai badan hukum perdata seperti dalam hubungan

perdagangan (iure gestionis)34. 

d. Mendasarkan pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat, negara

dikualifikasikan dapat melakukan hubungan hukum publik dan hukum privat.

Menurut tata hukum tradisional, negara semata-mata sebagai badan hukum

publik yang diatur oleh hukum publik. Perkembangannya dalam tata hukum

modern, menurut beliau bahwa negara disamping sebagai badan hukum

publik juga dapat berkedudukan sebagai badan hukum perdata yang tunduk

pada Hukum Perdata35. Negara dinyatakan memiliki hak-hak kebendaan (jus

in rem) dan hak-hak perorangan (jus in personam), sehingga perselisihan

yang terjadi berkenaan dengan pelaksanaan hak-hak itu dengan warga negara

akan diselesaikan menurut Hukum Acara Perdata. 

Konsep seperti di atas dapat membawa dampak negatif bagi negara maupun

rakyatnya. Negara menurut Hans Kelsen dimungkinkan sebagai pemilik

(eighnaar) wilayah yang ditempati rakyatnya. Kekuasaan seperti ini dapat

mengakibatkan lahirnya negara otoriter yang dapat secara sewenang-wenang

mencabut hak-hak atas tanah yang telah ditempati rakyatnya.

Di lain pihak, konsep di atas memungkinkan terjadinya negara pailit yang

berefek kepada pembubaran negara sepertinya halnya pembubaran

perusahaan dalam hal negara dipandang wanprestasi oleh sebagian besar

rakyatnya. Wanprestasi dapat muncul bilamana dikaitkan dengan kewajiban

atau prestasi negara untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-

hak warga negara seperti hak atas hidup yang layak, hak atas kesehatan, hak

atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas keamanan dan sebagainya. Oleh

karena itu, sebaiknya derajat negara dalam lingkungan wilayah negara tidak

diturunkan sebagai para pihak yang tunduk pada kaidah-kaidah hukum

34 Yudha Bhakti, Perkembangan Arti Kedaulatan…., Op. cit., hlm. 16. 35 Hans Kelsen, Teori Hukum……, Op. cit., hlm. 203. 

Page 11: Teori Hukum Kelsen

perdata. Negara secara teoritis sangat tepat bilamana mengkuasakan kepada

aparat pemerintahan didalam hal melakukan hubungan perdata. Dengan

pelimpahan kewenangan melalui “atribusi atau delegasi”36, maka negara

secara organisatoris terlepas dari kewajiban pertanggungjawaban perdata.

2. Keberadaan Hak Asasi Manusia dalam Pemikiran Hans Kelsen

Menyimak berbagai pemikiran Hans Kelsen yang telah dikemukakan di atas,

dalam perspektif Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang menarik dicermati.

Beberapa hal yang dimaksudkan dalam konteks wilayah kedaulatan negara adalah

terkait dengan kewajiban negara beserta pemerintahnya untuk melindungi hak asasi

manusia, dapat dipertanggungjawabkannya aparat pemerintah atas dugaan atau

adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia, adanya kewajiban negara untuk

memperbaiki dan menyempurnakan tata hukum nasional yang terbukti menjadi sebab

tindakan aparat pemerintah yang menurut hukum telah melanggar hak asasi manusia.

Sedangkan dalam konteks hubungan internasional, salah satu masalah yang menarik

adalah tidak dapat dipertanggungjawabkannya suatu negara oleh negara lain terhadap

pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung dinegaranya.

a. Negara beserta pemerintahnya berkewajiban untuk melindungi hak asasi

manusia.

Dalam kaitannya dengan negara Indonesia sebagai negara hukum37, hal ini

tentunya merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Mengingat perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan salah

satu syarat negara hukum. Pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar

manusia dalam konstitusi suatu negara sejalan dengan hasil penelitian K. C

Wheare38 yang menunjukkan bahwa dari sebagian besar konstitusi negara-

negara di dunia, hampir semuanya memuat tentang perlindungan hak asasi

manusia. 

36 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hlm. 64-66. 

37 Konsep negara hukum yang tumbuh di dunia Barat mengalami modifikasi disesuaikan dengan cita hukum dan cita negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dapat disimak pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang sampai sekarang disepakati tidak diamandemen dan lebih dipertegas pada Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang pada hakikatnya menetapkan “Negara Indonesia ialah Negara Hukum (rechtsstaat) berdasarkan Pancasila”. Lihat Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Penerbit Alumni, Cet. ke-1, Bandung, 1985, hal. 11; dan Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali, Cet. ke-1, Jakarta, 1983, hal. 2

38 K.C. Wheare, Modern Constitutional, Oxford University Press, London, 1975, hlm. 33. 

Page 12: Teori Hukum Kelsen

Kewajiban perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak terbatas melalui

penormaan melalui UUD 1945. Penormaannya lebih lanjut melalui

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UUD 1945 untuk

mengatur mengenai mekanisme penerapan atau penegakannya menjadi

sangat penting agar ada acuan yang jelas dan tegas bagi aparat

penyelenggara (organ) negara. Dengan kata lain, secara asas dan kaidah,

maka hak-hak dasar manusia sebaiknya diatur pada UUD 1945, sedangkan

pengaturan lebih lanjut mengenai lembaga dan proses penegakan hak-hak

dasar bersangkutan perlu didelegasikan kepada perundang-undangan yang

lebih rendah, seperti Ketetapan MPR, undang-undang dan peraturan

pemerintah. Kewajiban penormaan seperti di atas sejalan dengan amanat

ayat (5) Pasal 28 I UUD 1945 Amandemen Kedua yang menetapkan

“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan

prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi

manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-

undangan”. 

Adanya penormaan yang jelas serta tegas merupakan instrumen yuridis

yang sangat penting bagi pihak yudikatif maupun warga negara dalam

menilai dan meminta pertanggungjawaban aparat pemerintah bilamana

diduga atau terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi

manusia. Di lain pihak penormaan seperti itu menjadi penuntut bagi

aparat/organ pemerintah dalam bertindak menurut hukum sehingga sulit

diminta pertanggungjawaban secara individu meskipun tindakan yang

dilakukannya diduga melanggar hak asasi manusia.

b. Pertanggungjawabana aparat pemerintah atas dugaan atau adanya

pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia

merupakan wujud implementasi dari prinsip perlindungan hukum bagi

rakyat terhadap tindakan pemerintah39. Terdapat beberapa sarana yang

dapat ditempuh rakyat didalam memperjuangkan hak asasinya, baik

melalui jalur yuridis maupun non yuridis. Jalur yuridis antara lain

39 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 38. 

Page 13: Teori Hukum Kelsen

dilakukan melalui pengajuan gugatan ke Peradilan Hak Asasi Manusia

yang saat ini telah dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dengan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 1999 tertanggal 8

Oktober 1999. Jalur non yuridis yang dapat ditempuh, antara lain melalui

pengaduan kepada Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia yang telah

dibentuk di Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993,

pemberitaan melalui media massa sebagai sarana penekan (pressure)

kepada Pemerintah, maupun pengaduan kepada lembaga-lembaga

internasional yang mempunyai akses menekan kepada Pemerintah

Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia, seperti IMF, Bank Dunia,

PBB dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan lembaga Pengadilan Hak Asasi Manusia, adapun yang

melatarbelakangi pembentukannya di Indonesia adalah karena adanya

dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di berbagai

tempat di Indonesia. Pelanggaran yang diduga terjadi seringkali cenderung

berupa tindakan bersifat pembunuhan massal (genocide), pembunuhan

sewenang- wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra

judicialkilling), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, atau

diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination),

yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta

mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perorangan maupun

masyarakat. Kondisi seperti itu mempunyai dampak yang sangat luas baik

nasional maupun internasional, antara lain mengakibatkan menurunnya

kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Disamping itu, juga

untuk menjawab tuntutan reformasi yakni terciptanya suasana yang

kondusif berupa ketertiban, ketenteraman, dan keamanan dengan

memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa

yang beradab.

Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan “Pengadilan Hak Asasi Manusia

merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang

dibentuk di lingkungan Peradilan Umum”. Tugas dan wewenang pengadilan ini

Page 14: Teori Hukum Kelsen

adalah untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak

asasi manusia yang berupa:

a. pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku

bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau

cacat mental atau fisik dengan:

1) melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok tersebut;

2) melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan frsikatau mental

yang berat pada anggota kelompok;

3) menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan

kelompok tersebut musnah secara fisik;

4) memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam

kelompok tersebut; atau

5) memindahkan dengan paksa anak-anak kelompok tersebut

kekelompok lain.

b. pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan; 

c. penghilangan orang secara paksa;

d. perbudakan;

e. diskriminasi yang dilakukan secara sistematis;

f. penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang

mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun

mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau pengakuan baik

dari yang bersangkutan maupun orang ketiga, atau untuk menakut-nakuti atau

memaksa yang bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang

bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.

Perbuatan-perbuatan seperti di atas dilarang dilakukan baik oleh pemerintah

maupun warga negara terhadap warga negara lainnya. Bahkan pejabat atau aparat

pemerintah yang terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

huruf f di atas, menurut Pasal 8-nya dapat dikenakan pidana dengan pidana mati,

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan paling singkat 3 (tiga) tahun.

Negara Indonesia sebagai salah satu anggota PBB berkewajiban untuk

menghormati terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dicapai PBB di bidang HAM

Page 15: Teori Hukum Kelsen

baik yang diatur dalam bentuk deklarasi, perjanjian, piagam, konvensi maupun fakta-

fakta. Negara Indonesia secara moral berkewajiban untuk mengusahakan agar

berbagai kesepakatan dan pemikiran yang dihasilkan oleh masyarakat Internasional

terkait hak-hak dasar manusia dapat dijabarkan dalam kebijakan nasional maupun

Sistem Hukum Nasional Indonesia. Dalam kaitan ini menarik dikutip pendapatnya

Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan “hukum di negara kita agar dapat

berkembang dan kita bisa berhubungan dengan bangsa lain di dunia sebagai sesama

masyarakat hukum, kita perlu memelihara dan mengembangkan asas-asas dan

konsep-konsep hukum yang secara umum dianut umat manusia atau asas hukum

yang universal”40. Namun demikian, dalam mengembangkan asas-asas dan konsep-

konsep hukum global tersebut pada sistem hukum kita tidaklah dilakukan secara

serta merta. Hal ini tidak terlepas dari konsepsi bahwa pada hakikatnya “setiap

negara adalah berdaulat dan setara”41. 

Pengakuan terhadap prinsip kesetaraan seperti di atas membawa konsekuensi

terhadap negara-negara anggota masyarakat dunia untuk tidak mencampuri urusan

dalam negeri suatu negara. Dalam hubungan internasional yang telah berlangsung

diterima prinsip bahwa suatu negara berdaulat tidak dapat melaksanakan

yurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya (par in parem non habet

jurisdictionem)42 prinsip hidup bertetangga secara baik (Good neighbourhood

principle), serta prinsip hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existance).

Prinsip-prinsip tersebut menurut pendapat kami melahirkan adanya doktrin

kekebalan kedaulatan (sovereign immunity), yakni “suatu negara yang berdaulat

tidak dapat diadili oleh hakim-hakim dari negara-negara lain, mengingat suatu negara

yang berdaulat kedudukannya sama rata terhadap sesama negaranya itu”43.

Demikian pula dalam kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Internasional

terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa perang, maupun peradilan tentang

hak asasi manusia yang bersifat internasioanl yang secara khusus dibentuk untuk

mengadili pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, sifatnya bersifat subsider. 40 Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan

Masa yang Akan Datang, Makalah pada Seminar tentang Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional di Jakarta, 22 – 24 Mei 1995, BPHN, Jakarta, 1995, hlm. 6.

41 R.Y. Jennings dan AD. Watts (ED)., Oppenheim’s International Law, Volume I Peace (London: Longman), 1992, hlm. 52. 

42 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djadjaatmadja, Sinar Grafika, Bandung, 1980, hlm. 2-3. 

43 Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 27.

Page 16: Teori Hukum Kelsen

Lembaga-lembaga itu baru akan berfungsi bilamana negara-negara berdaulat seperti

misalnya Indonesia tidak berupaya atau tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan

terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah

Indonesia. 

III. Penutup

Dalam beberapa hal, pendapat Hans Kelsen dalam kaitannya dengan konsep

negara hukum yang menjunjung supremasi hukum dapat diterima, namun berkaitan

dengan konsepsi negara yang menekankan sebagai “komunita yang diciptakan oleh

suatu tata hukum nasional” semata, dan negara dapat melakukan hubungan perdata

dalam kedaulatannya adalah kurang tepat.

Oleh karena itu melalui pemikiran Hans Kelsen mengenai hukum dan negara

yang menjunjung supremasi hukum maka keberadaan hak asasi manusia mendapat

perlindungan baik dalam perspektif penormaan maupun penegakkannya.

Perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak terbatas dalam wilayah nasional suatu

negara namun juga bersifat internasional melalui jalur-jalur yuridis dan non yuridis

dengan membatasi sifat kemutlakan suatu kedaulatan negara ataupun kewajiban

pertanggungjawaban aparat/organ pemerintah terhadap tindakannya yang diduga atau

telah menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi atau hak dasar manusia.

Page 17: Teori Hukum Kelsen

DAFTAR PUSTAKA

BukuBernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987.

H. Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1989.

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Dasar Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, alih bahasa dari Somardi, Rimdi Press, 1995. 

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991. 

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991. 

J.J. Von. Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, PT. Pembangunan, Jakarta, 1980.

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djadjaatmadja, Sinar Grafika, Bandung, 1980. 

K.C. Wheare, Modern Constitutional, Oxford University Press, London, 1975. 

Lili Rasjidi, Introduksi, dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), Filsafat Hukum Mazhab dan Repleksinya, Remadja Karya, Bandung, 1989. 

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987. 

R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1986.

R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1992.

R.Y. Jennings dan AD. Watts (ED)., Oppenheim’s International Law, Volume I Peace (London: Longman), 1992. 

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di

Indonesia, Penerbit Alumni, Cet. ke-1, Bandung, 1985, hal. 11; dan Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali, Cet. ke-1, Jakarta, 1983.

Page 18: Teori Hukum Kelsen

Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1985.

Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1989. 

Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990. 

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1983. 

InternetHamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun WaktuPelita I - Pelita IV, Disertasi, Univ. Indonesia, Jakarta, 1990. Didownload dari http://www.unpad.ac.id tanggal 10 Maret 2013 pukul 20.00 WIB

Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah pada Seminar tentang Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional di Jakarta, 22 – 24 Mei 1995, BPHN, Jakarta, 1995. Dalam www.google.com

Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat Dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Disertasi, Fakultas Pasca sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996. Didownload dari http://www.unpad.ac.id tanggal 10 Maret 2013 pukul 20.30 WIB

Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undang Dasar Dan Ketetapan Majeleis Permusyawaratan Rakyat, Pidato Pengukuhan pada penerimaan jabatan Guru Besar Tetap dalam Mata Kuliah Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNPAD, pada tanggal 21 Pebruari 1987, UNPAD, Bandung, 1987. Dalam www.google.com