tekstil tradisional : pengenalan bahan dan teknik ‘substrate’) dan bahan pewarna (colourant)...
TRANSCRIPT
Puji Yosep SubagiyoDirektur PNG, Alumni TNRICP Jepang & MCI Amerika Serikat
Primastoria StudioTaman Alamanda Blok BB2 No. 55-59, Bekasi 17510, Indonesia
Web: primastoria.net Email: [email protected] 2017
Pengenalan Bahan dan TeknikTEKSTIL TRADISIONAL :
Rompi / Jaket dari Melawi - Kalimantan Barat, No. Inv.: 5964.Ukuran: 45 x 35 cm, Bahan: katun, percik logam, kerang/ manik-manik (sulam),
Usia lebih dari 70 tahun.
Adalah suatu berkah dan rahmat yang teramat besar dari Allah SWT, saya telah berkesempatan untuk mengikuti suatu pendidikan tentang konservasi di Tokyo National Research Institute, Jepang dan Conservation Analytical Laboratory – Smithsonian Institution, Amerika Serikat pada periode tahun 1989 sampai 1992. Satu dasawarsa adalah waktu yang begitu berharga bagi saya untuk melihat, mendata (dalam bentuk database) dan mempelajari koleksi tekstil yang ada di Museum Nasional dan Museum Tekstil Jakarta.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan terimakasih kepada semua pihak, saya menyampaikan tulisan yang berjudul “TEKSTIL TRADISIONAL: Pengenalan Bahan dan Teknik.” Tulisan ini secara khusus membahas tentang kondisi bahan dan teknik pada tekstil koleksi Museum Nasional dan Museum Tekstil, dengan de�nisi kata dan ilustrasi gambar/ foto hasil pengamatan dengan menggunakan berbagai peralatan laboratorium, berikut klasi�kasi teknis (taksonomis) dan bentuk (anatomis) bahan atau koleksi secara utuh.
Saya berharap ada banyak manfaat dari tulisan ini, yang memberikan gambaran tentang kondisi bahan dan teknik pada tekstil, kemudian kajian dan komparasi dengan contoh tekstil dari luar Indonesia. Semoga isi dan seluruh rangkaian bahasan pada tulisan ini menjadi sesuatu yang berharga bagi kita semua. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga buah dokumentasi dan uraian penulis dari tahun 1989 sampai 2004 ini memiliki banyak kekurangan, dan saya berharap ada saran dan kritik untuk perbaikannya.
Bekasi, 13 September 2017.Puji Yosep Subagiyo.
Kata Pengantar
Kata PengantarDaftar Isi
A. PENDAHULUAN
B. TEKNIK PEMBUATAN DAN RIWAYATNYA
C. KONDISI DAN KLASIFIKASI BAHANC.1. KAIN TENUN
C.1.a. SeratC.1.b. BenangC.1.c. Barang Tenunan
C.2. ZAT WARNA
i. Bahan Celup Alamii. Bahan Celup Sintetis
C.2.a. Bahan Celup
i. Pigmen Organikii. Pigmen Anorganik
C.2.b. Pigmen
Daftar PustakaLampiran
Riwayat Hidup Penulis
ii
1
2
121314161719192124262930
56 - 5731 - 55
hal.
58
Daftar Isi
This paper is specially dedicated to :Drs. Muhammadin Razak (Perpustakaan Nasional, Indonesia), Prof. Katsuhiko Masuda (Tokyo National Research Institute for Cultural Properties, Jepang), Mrs. Mary W. Ballard [Museum Conservation Institute - Smithsonian Institution, Amerika Serikat], Dr. Helmut Schweppe [BASF, Jerman), My wife [Rini] and two my sons [Riko & Da�a].
i.
Sarung Ikat dari Rote, Flores - Nusa Tenggara Timur, No. Inv.: 3382,Ukuran: 170 x 106 cm, Bahan: katun, Usia: 83 Tahun.
[ 1 ]
A. PENDAHULUANTekstil pada mulanya diciptakan untuk melindungi tubuh manusia dari gangguan
cuaca atau alam disekitarnya; kemudian berkembang menjadi pelengkap dalam upacara, rumah tangga, sebagai simbol kebesaran pemakai, media ekspresi seni, dsb. Tekstil dapat memiliki banyak faset (segi) yang meliputi antropologi (sosial dan budaya), karena dapat menunjukkan tatanilai atau adat istiadat dari suatu masyarakat, atau arkeologi karena dapat melahirkan sejumlah informasi dan eksplanasi dasar pada evolusi budaya. Tekstil dapat pula menampilkan informasi teknologis karena proses pembuatannya menerapkan sejumlah teknik, seperti: teknik tenun dan pewarnaan. Tekstil kadangkala juga menggunakan aneka bahan, pola, corak dan ragam hias. Sebagai media ekspresi seni, tekstil yang sering kita jumpai dapat dikelompokkan dalam koleksi seni rupa (fine arts), seni rakyat (folk arts), atau seni turis (tourist arts). Sehingga tekstil itu dapat dipamerkan bersama dengan koleksi etnografi atau dengan koleksi seni rupa di galeri seni.
Atribut formal dan stilistik kain - seperti: pola, corak warna, serta pola dan ragam hias (motif) pada tekstil - telah dapat diurutkan secara kronologis dari jaman paling awal sampai abad modern sekarang. Keaneka ragaman hiasan pada tekstil Indonesia dapat dianggap memiliki keagungan, seperti perlambang yang bersifat magis. Sedangkan warna polikromatis, beraneka struktur benang logam, manik-manik, percik logam dan kaca telah melengkapi corak dan ragam hias itu. Di lain pihak, keterkaitan atribut, baik formal, stilistik atau teknologis dipertimbangkan dapat untuk meramalkan asal dan tahun menurut keadaannya (the Conditio Post Ante Quem). Lagipula, pemahaman empiris dan teoritis untuk maksud identifikasi dan penanggalan relatif ini juga bermanfaat untuk mengetahui tata-cara pemeliharaan tekstil itu sendiri.
Kita yang mengunjungi suatu museum atau ke rumah seorang kolektor dapat menikmati keindahan corak warna dan hiasan yang ditampilkan tekstil, mengagumi teknik tenun dan pewarnaan yang rumit dan unik, atau dapat mempelajari segala hal yang melatar-belakanginya. Sebagai sarana studi, kita dapat mengenali suatu kepercayaan atau keyakinan masyarakat pemakai dengan cara menguraikan dan mengartikan tanda, lambang atau simbol-simbol pada motif tekstil. Bahkan seorang ahli kimia atau konservator di museum dapat pula memanfaatkannya untuk keperluan analisa serat dan bahan-pewarna; dan kemudian ia dapat menampilkan cara pembersihan tekstil kuno yang tepat. Oleh karena itu, kita dapat menjumpai tekstil di museum-museum sejarah, museum etnologi, museum seni, museum sains dan teknologi, ataupun sebagai koleksi pribadi.
TEKSTIL TRADISIONAL:PENGENALAN BAHAN DAN TEKNIK
Oleh: Puji Yosep Subagiyo
[ 2 ]
Seperti halnya barang organik pada umumnya, tekstil sangat rentan atau mudah mengalami kerusakan. Proses kerusakan tekstil dapat terjadi secara fisik ataupun kimiawi, seperti: robek, noda, pelapukan/ pembubukan dan korosi. Pengaruh lingkungan seperti cahaya, kelembaban, suhu udara dan polusi merupakan penyebab utama terjadinya proses kerusakan itu. Kadangkala bahan pembentuk tekstil, seperti: unsur logam yang berwujud mordan atau garam logam dalam proses pencelupan, atau benang logam juga merupakan faktor internal kerusakan. Apalagi kondisi lingkungan Indonesia yang beriklim tropis, serta jenis bahan tekstil yang merupakan sumber makanan (nutrin) bagi organisme hidup telah menjadikan tekstil sebagai sasaran serangga atau jamur. Dan untuk itulah, maka kita perlu mengenal bahan dan teknik Tekstil Indonesia guna upaya pelestariannya.
Tekstil tradisional Indonesia dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, kondisi, dan untuk berbagai keperluan, serta menggunakan bahan baku alam atau buatan. Sehingga perubahan struktural dan non-struktural tekstil yang diakibatkan oleh kondisi bahan (faktor internal) dan lingkungan (faktor eksternal) harus diupayakan untuk diketahui secara sistematis. Pengamatan benda itu dilakukan dengan ancangan analitik dan studi antropologi yang membahas perubahan oleh kemajuan peradaban yang begitu cepat.
Dari ketidak-lengkapan deskripsi pada suatu koleksi, pengabaian tata-nilai, sampai pada usaha untuk menginterpretasikan tekstil tradisional dari satu disiplin ilmu telah mempersempit peluang peran serta para ahli yang mungkin dapat berkelanjutan. Ini juga dinilai telah memperlebar jarak antar pemaham benda tekstil itu. Dengan demikian, kemahiran dan ketajaman dalam meneliti karya seni dan sejarah (connoisseurship) semakin memberikan harapan dalam proses pembuatan keputusan terhadap apa yang harus dilestarikan untuk warisan budaya itu. Akhirnya, metode pengenalan secara holistik - khususnya pemahaman teknik dan bahan guna inventarisasi komprehensif - ditampilkan untuk maksud pelestarian substansi bagi pengarahan pada kurasi dan perlakuan perawatan secara aktual.
B. TEKNIK PEMBUATAN DAN RIWAYATNYAAda sementara pendapat yang mengatakan bahwa manusia purba dapat
membuat barang anyaman, jala, pagar, dan sejenisnya; berpangkal tolak dari ‘pemikiran bagaimana burung dapat menyusun sarangnya’. Di Eropa, pengetahuan tentang pakaian - diantaranya mantel berbulu yang dijahit - dari jaman sekitar 3000 - 2000 BC ditandai dengan penemuan ‘anak torak’ yang terbuat dari tulang dan kayu. Bahkan di Britania Raya (Inggris) ditemukan pula fragmen tekstil dari Jaman Pertengahan Perunggu yang terbuat dari wool dan linen. Fragmen tersebut berwarna biru dari woad (sejenis tarum atau indigo), Isatis tinctoria L.; merah dari madder (sejenis kesumba), Rubia tinctoria L.; dan safflower (kembang pulu), Carthamus tinctorius L. Sebagai bahan perbandingan, di benua Amerika tepatnya di Peru ditemukan fragmen tekstil dari Jaman Inca dan Pra-Inca (sekitar 2000 BC); dan di Asia tepatnya di Indonesia didapatkan pula fragmen tekstil dengan teknik ikat lungsi dari Jaman Perunggu (antara Abad ke-8 dan ke-2 BC).
[ 3 ]
Kita sering mendengar kata ‘kain’, ‘tekstil’, dan ‘pakaian’ sebagai kata benda, dimana dasar benda tersebut dibuat dengan cara menenun benang. Jika benda tersebut kita pakai maka benda tersebut dapat disebut pula sebagai ‘pakaian’. Semua definisi itu semuanya mungkin benar. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, kita masih dapat dibingungkan jika menjumpai barang yang bisa dikenakan tetapi cara pembuatannya tidak dengan teknik menenun benang, seperti mantel hujan, dan kain lakan. Mantel hujan biasa dibuat dari lembaran plastik yang tidak berserat, sedangkan kain lakan terbuat dari kombinasi (penyatuan) serat dengan bahan-perekat yang membentuk lembaran tipis. Sehingga pada tahap kategori ini, mantel hujan ditinjau dari fungsinya dapat dengan tetap dikelompokkan pada ‘pakaian’ dan mungkin ‘bukan tekstil’ apalagi ‘kain’. Dan kain lakan dapat dikategorikan pada kelompok tekstil karena sifatnya yang berserat (fibrous); walaupun kain lakan ini dibuat tidak dengan cara menenun benang.
Pada permasalahan ini, Jentina Leene[1] mendefinisikan tekstil sebagai benda yang dibuat dengan cara menyilangkan atau mengkaitkan benang, dimana benang terbentuk dari serat-serat yang memiliki sifat serat tekstil; disamping juga ditinjau dari fungsinya. Oleh karena itu, kita mungkin mengelompokkan barang tenunan, rajutan, rèndaan, mantel hujan, berbagai jenis pakaian yang memiliki sifat-sifat tekstil dapat dikategorikan sebagai ‘tekstil’. Sifat-sifat serat tekstil yaitu dapat dipilin/ dipintal (spinnability), dan ditenun (weavability); sedangkan sifat tekstil yaitu pegangannya yang lunak dan lembut atau fibrous (handling), tidak kaku (drape) dan elastis atau lentur (suppleness).
Kata ‘tekstil’ berasal dari Bahasa Latin ‘textilis’; yang merupakan penurunan dari kata ‘textere’, yang berarti ‘menenun’. Selanjutnya, Brown[2] dengan rinci mendiskusikan metode penyilangan atau pengkaitan benang menjadi sebuah kain (fabric). Secara teknis, elemen dasar tekstil adalah serat, benang, kain tenun (kemudian ketiganya disebut ‘substrate’) dan bahan pewarna (colourant) yang biasa digunakan pada tahap
Gambar 1.: Gambar Konstruksi Alat Tenun Sederhana.
1. Leene, Jentina (1972): TEXTILE CONSERVATION, Butterworths, London.2. Brown, R. (1990): THE WEAVING, SPINNING AND DYEING, A.A. Knoft.
[ 4 ]
penyempurnaan (finishing treatment). Substrat yang kebanyakan berserat/ berserabut (fibrous) dan bersusun (texture atau fabricate) adalah sebagai akseptor bahan pewarna. Sedangkan bahan pewarna adalah zat atau substansi yang memiliki warna, baik yang larut maupun tidak larut dalam medium pelarut (yang biasanya air). Bahan pewarna yang larut dalam medium pelarut disebut bahan-celup (dyestuff), dan yang tidak larut disebut pigmen (pigment).[3] Proses pewarnaan dengan bahan celup disebut pencelupan (dyeing) dan yang dengan pigmen disebut pigmentasi (pigmentation).[4] Dalam pengertian ini pewarnaan bukan merupakan pembentukan hiasan/ motif kain yang berstruktur. Menurut Indictor,[5] tekstil historis dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: kondisi fisik materi dan kegunaannya. Kualitas dan sifat yang tertentu (peculiarity) pada proses manufaktur, baik produksi dengan tangan atau mesin.
Holmgren[6] mendiskusikan tekstil Indonesia awal yang berasal dari daerah Sumba, Toraja dan Lampung. Ia menyebutkan bahwa tekstil tradisional dengan motif flora dan fauna. Motif atau desain telah dibentuk dengan cara penggabungan/ penyilangan benang dan pewarnaan benang/ kain yang unik dan komplek, yang umumnya memiliki arti dan fungsi. Di sini, bahan pewarna yang digunakan dapat berupa pigmen dan atau bahan-celup. Ornamentasi dengan bahan - bahan lain seperti manik-manik, logam dan kaca juga sering dijumpai pada tekstil tradisional itu. Suhardini[7] dan Suwati[8] juga menyebutkan akan keanekaragaman motif dan bahan dasar pada tekstil kita. Namun begitu, sampai sekarang kita masih perlu mengetahui deskripsi tentang keterkaitan antara bahan dan corak atau pola hiasan pada tekstil tersebut. Apalagi keterkaitan antara 5 unsur pokok tekstil historis, yaitu: (1) pola kain, (2) bahan pembentuk benda, (3) corak/ pola hiasan, (4) teknik pembuatan, dan (5) kegunaan/ fungsi (arti) tekstil secara jelas dan mudah dimengerti.
Gambar 2a.: Silang Polos (Plain Weave)
Gambar 2b.: Tenun Permadani (Tapestry Weave)
Gambar 2c.: Silang Rèp (Rèp Weave).
3. AATCC (1981): DYEING PRIMER, N.C., pp. 4-6.; River, Dan (1980): A DICTIONARY OF TEXTILE TERMS, Dan River Inc., N.Y.; Trotmann, E.R. (1984): DYEING AND CHEMICAL TECHNOLOGY OF TEXTILES FIBERS, Charles Griffin, High Wycombe.; Wingate, Isabel B. (1979): FAIRCHILD’S DICTIONARY OF TEXTILES, Fairchild, N.Y.
4. AATCC (1981), loc. cit.; Birell (1973): THE TEXTILE ARTS, Schocken Book, N.Y.; Brown (1990), loc. cit.; Corbman, Bernard P. (1983): TEXTILES: Fibers to Fabrics, McGraw Hill, N.Y.; Geijer, Agnes (1979): A HISTORY OF TEXTILE ART, The Pasold Research Fund Ltd. in association with Sotheby Parke Bernet Publications, New Jersey.; Leene (1972), loc. cit.; River (1980), loc. cit.; Wingate (1979), loc. cit.
5. Indictor, Norman (1987): THE USE OF METAL IN HISTORIC TEXTILES, N.Y., Personal Notes.6. Holmgren, Robert J. and Anita E. Spertus (1989): EARLY INDONESIAN TEXTILES, MMA, N.Y.7. Suhardini dan Sulaiman Jusuf (1984): ANEKA RAGAM HIAS TENUN IKAT INDONESIA, Museum Nasional,
Jakarta.8. Suwati Kartiwa (1986): KAIN SONGKET INDONESIA, Djambatan, Jakarta;. Suwati Kartiwa (1987): TENUN IKAT,
Djambatan, Jakarta.
[ 5 ]
Pengamatan benda dilakukan dari jalinan hasil pembentukan kain (pola kain, corak atau motif) dengan cara penggabungan atau pengkaitan benang sampai penerapan zat-warna (khususnya kategori pigmentasi); dan penerapan bahan dasar bukan zat warna. Oleh karena itu, istilah-istilah tekstil tradisional dapat dimasukkan dalam satu sistim penggolongan/ klasifikasi (lihat Lampiran 1 dan 4).[9] Sedangkan tujuan klasifikasi ini adalah untuk mendiskripsikan bahan teridentifikasi yang dinilai khas dan spesifik.
Fungsi, corak (warna) dan ragam (pola) hias Tekstil Indonesia telah banyak dibahas dalam berbagai bentuk tulisan. Bagi kita yang sering menjumpai koleksi tekstil Indonesia mungkin dapat dengan mudah mengidentifikasikan tekstil yang hanya didasarkan pada proses manufaktur dan kegunaan dikaitkan dengan motifnya. Misalnya, perbedaan antara kain ikat dan kain yang biasa digunakan untuk upacara adat (misalnya: upacara perkawinan) di Lampung. Karena kita mengetahui secara teknis bahwa kain ikat adalah kain yang pembentukan corak dan pola hiasnya dengan penerapan zat warna yang tertentu, yaitu pencelupan warna yang mana pola hiasnya dibuat dengan cara mengikat benang sebelum kain ditenun. Sedangkan kain upacara adat dari Lampung hanyalah menunjukkan pada kegunaannya. Jika kain tersebut adalah ‘kain tapis’ yang pembentukan motifnya dengan cara teknik ikat pula, maka kedua kain tersebut dikategorikan menurut teknik pewarnaan (dalam pembentukan ragam hias)-nya sebagai kain ikat.
Kita masih dapat dibingungkan oleh kedua pola kain tersebut (yang sudah tidak lagi dalam konteks kultural) tanpa adanya label yang menerangkan asal-usul, umur (penanggalan), dan fungsi koleksi itu. Karena, belakangan ini telah ditemukan teknik
Gambar 2d.: Tenun Permadani Berpisah (Slit Tapestry Weave).
Gambar 2e.: Tenun Permadani Berkait Tunggal(Single Interlocked Tapestry Weave).
Gambar 2f.: Tenun Permadani Berkait Ganda
(Double Interlocked Tapestry Weave)
Gambar 2g.: Tenun Permadani Terpisah-Kait
(Dovetailed Tapestry Weave)Gambar 2h.: Tenun Keranjang
(Basket Weave)
9. Subagiyo, P.Y. (1994e): THE CLASSIFICATION OF INDONESIAN TEXTILES BASED ON STRUCTURAL, MATERIALS AND TECHNICAL ANALYSES, International Seminar, Jakarta.
[ 6 ]
baru semacam ikat, dimana benang ikat (sebagai perintang larutan warna) dalam teknik tradisional telah diganti dengan zat lilin. Sedangkan aplikasi zat lilin itu dilakukan dengan teknik sablon atau batik.[10] Apalagi jika ia hanya menemukan fragmen yang tidak utuh tanpa menunjukkan motif dan pola kainnya. Sehingga tidak hanya alasan menyimpan fragmen menjadi kurang jelas dan tegas, tetapi apresiasi terhadap tekstil juga menjadi kurang tepat dan jelas. Dalam hal ini diperlukan cara untuk menelusuri informasi yang berkaitan dengan definisi, arti dan fungsi fragmen tersebut. Adapula teknik analisa bahan secara rinci, yang mencakup jenis bahan dan spesifikasinya (baik struktur atau teknik pembuatan). Dengan begitu, kita tidak akan lagi dibingungkan dengan adanya istilah-istilah nama, seperti: kain patola, kain geringsing, kain dodot, dan ulos dicampuradukkan dengan keterangan beristilah teknik, seperti: ikat, songkèt, jumputan, plangi, tritik, batik dan prada. Dodot adalah kain besar yang ukurannya 4X lebar kain biasa. Ulos = kain-tenun (yang berfungsi seperti selendang di Jawa) yang biasa digunakan untuk keperluan upacara adat di daerah Batak.[11]
Dengan pengertian diatas, kita dimungkinkan untuk membedakan teknik dan bahan, misalnya: perbedaan pengertian teknik yang menerapkan benang-logam [pada kain songkèt, sotis dan sulam cucuk [benang] (couching)], perbedaan pengertian teknik pada tekstil bertenun rangkap dengan kain pêrca (appliqué). Perbedaan antara motif kain yang berteknik sulam (embroidery dan brocade) dengan motif pada kain songkèt, perbedaan antara kain pêrca dengan sulam bantal (quilting). Sulam bantal adalah teknik pembentukan desain/ hiasan dengan cara menisikkan (stitching) pada (potongan) kain yang diberi bantalan (kain) dsb. Pembaca perlu hati-hati dalam mengamati kain berkampuh atau berkêlim (seamed with) dengan kain pêrca atau dengan sulam bantal.
Gambar 2i.: Silang Kêpar-berbaring (Reclining Twill)
Gambar 2l.: Tenun Komplek(Compound Weave)
Gambar 2m.: Kain Rangkap(Double Weave)
Gambar 2j.: Silang Kêpar-tegak (Steep Twill).
Gambar 2k.: Tenun Satin(Satin Weave)
10. Jiono (1992) : Informasi Verbal, BPBK, Yogyakarta. 11. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912b): KAIN TENUN DENGAN BENANG EMAS DAN PERAK (Goud En
Silverweefsels), De Inlandsche Kunstbijverheid In Nederlandsch Indie, pp.237-260.
[ 7 ]
Gambar 3e.: Sungkit, songkèt, sulam, rénda. Kain Ulos dari
Batak. No. Inv.: 23366.
Di sini kampuh dan kêlim berarti pinggiran kain atau pakaian yang melipat dan dijahit bersama. Bedakan kata ‘kampuh’ disini dengan nama pola kain yang berarti ‘kain bêbêd’ atau ‘dodot’. Juga kata ‘kêlim’ dengan nama teknik tenun yang berarti teknik silang polos yang mana benang-benang pakannya lebih banyak dari pada lungsinya, dan dalam pembentukan pola hiasan benang pakannya biasanya terputus dan atau dikaitkan benang pakan yang membentuk pola hias lainnya.
Identifikasi kain bermotif dengan teknik sulam biasa atau kain bordiran (embroidery) biasanya berupa hiasan yang kecil-kecil, seperti pembuatan jahitan pada lubang kancing baju (button-hole-stitch) dan pada teknik pembentukan hiasan pada kain yang beralas kain bantalan (quilt). Sehingga teknik sulam jenis ini sering diidentikkan dengan teknik ‘kerja-jarum’ (neddle-works). Lagipula kain bordiran (sulaman) menyerupai teknik-kerja sulaman pada kain kruistik. Identifikasi kain bermotif dengan teknik sulam brokat atau ‘brocade’ yang identik dengan kerja ‘jacquard loom’, yaitu suatu alat penyuntik benang berlatarkan pola konvensional atau geometris. Dengan begitu, kain bermotif dengan teknik songkèt atau sotis dapat dibedakan dengan kain bermotif dengan teknik sulam
Gambar 3d.: Kain brokat.Kol. Musnas. Inv.: 19753a.
Gambar 3c.: PilihKol. Musnas. No.: 02162b.
Gambar 3a.: Sulam cucuk (couching), percik kaca. Mata-
bantal dari Sumatera. Inv.: 27040.
Gambar 3b.: Sulaman (-cucuk)(embroidery). Hiasan bantal dari Sumatera. Kol. Musnas,
No. Inv.: 27039.
Gambar 3f.: Kain dipêrca (appliqué) dengan lempengan logam.
Kol. Musnas. No. Inv.: 13234.
[ 8 ]
Gambar 3j.: Satu set pelana kuda dari Bangkalan (Madura, Th. 1887) menerapkan aneka bahan (beludru, benang logam, kain damas, kain cindé) dan tehnik (ikat
ganda, sulam cucuk, dll) . Kol. Musnas, Inv.: ?
‘embroidery’ dan kain ‘brocade’. Karena pembentukan motif pada kain songkèt yang dilakukan bersamaan dengan proses tenunan kain dasar, tidak harus menggunakan jarum. Tetapi diperlukan beberapa pembentuk pola yang disebut ‘gun’ atau ‘cucukan’, dan mungkin berpola kearah benang pakan atau lungsi. Sedangkan sotis umumnya berpola ke arah benang pakan, dimana benang pakan tambahannya berupa benang berwarna (bukan logam). Adapula teknik penyisipan lain yang menyerupai teknik songkèt, yakni teknik pilih dan sungkit. Teknik pilih adalah penyisipan benang pakan tambahan diantara benang pakan reguler dengan bantuan anak torak; dan sungkit adalah penambahan benang pakan yang terputus. Lihat kain-kain dari Timor, Kalimantan dan sebagian daerah Indonesia lain.[12]
Tampilan kain songkèt pada umumnya berpola geometris dan besar; sehingga kain songkèt dapat menyerupai kain brokat. Tetapi kelindan pembentuk motifnya tidak pasti searah dengan benang pakan. Kain sulaman (bersulam setik) dapat dijumpai pada koleksi-koleksi dari Aceh, Sumatera Barat, Palembang dan Lampung. Sedangkan kain sulum cucuk [benang] kebanyakan berasal dari Lampung. Kain songkèt dan brokat dapat dilihat dari koleksi-koleksi yang hampir tersebar merata, seperti dari Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Kain sotis dari Timor, Nusatenggara Timur.
Gambar 3h.: Kain damas. Kol. Musnas. No. Inv.: 09597.Kiri: struktur tenunan depan. Kanan: struktur tenunan belakang.
Gambar 3g.: Songket, Rèp.Kain Ulos dari Batak
Kol. Musnas. Inv.: 00201.
Gambar 3i.: Permadani, silang kêpar, pilih, kêlim, rèp.Kain selimut dari Timor
Kol. Mustek. No. Inv. 00036
sumbu
damaslogam
sulam cucuk
damas
ikat ganda
12. Subagiyo, P.Y. (1994e), loc. cit.
[ 9 ]
Kain dengan teknik tenun permadani (tapestry weave) terdiri dari permadani biasa (teknik tenun mirip silang polos tetapi benang pakannya jauh lebih banyak daripada lungsinya) dan kêlim. Sedangkan kêlim meliputi ‘kêlim yang ujung belokan benang hiasnya bersambung’ atau disebut dengan ‘interlocked-tapestry weave’ dan ‘kêlim yang ujung belokan benang hiasnya lepas/ terpisah’ atau disebut dengan ‘slit-tapestry weave’. Tenun permadani biasa dan kêlim secara umum dapat diartikan sebagai teknik tenun silang polos tetapi benang-benang pakannya lebih banyak dari pada lungsinya. Adapun ujung-ujung belokan benang pakan (pada akhir hiasan) mungkin saling bertautan (interlocked) atau lepas (slit). Adapula kain dengan teknik kebalikan tenun permadani yang disebut rèp, yaitu teknik tenun mirip silang polos tetapi benang lungsinya jauh lebih banyak dari pada pakannya. Kain-kain yang dibuat dengan teknik rèp ini berasal dari Dayak - Kalimantan dan Sumba.
Dilihat dari definisinya, teknik sungkit sepertinya menyerupai teknik kêlim ‘yang slit’ yakni ujung-ujung belokan benang-pakannya tidak berkaitan. Padahal yang benar, pengertian dari pada ‘sungkit’ adalah suatu teknik penambahan benang pakan, yang mana proses ini biasanya dilaksanakan pada saat proses tenun. Benang lungsi pada ragam hias teknik sungkit tentunya tidak dapat direnggangkan (slit). Sedangkan benang lungsi pada teknik tenun permadani/ kêlim ‘yang jenis slit’ dapat direnggangkan. Jika ujung-ujung benang lungsi yang dililitkan benang pakannya dilebihkan maka teknik ini lazim disebut sebagai permadani atau tapestri bertajuk (‘embroidery tufted’). Kain dengan teknik kêlim, baik yang ‘slit’ atau ‘interlocked’, banyak dijumpai pada kalambi (jaket) dari suku Dayak-Iban Kalimantan dan kain tenun ‘rohu-banggi’ dari Sumba Timur.
Gambar 3k.: Bag. luar kêlim baju Dayak.Kol. Musnas. Inv. 08677
Gambar 3l.: Bag. dalam kêlim baju Dayak - Kalimantan.Kol. Musnas. Inv. 08677
Gambar 4a.: Kèpang (braiding)
Gambar 4b.: Rajut-kait (plaiting) Gambar 4c.: Rajut-melebar
(sprang)
[ 10 ]
Gambar 4d.: Penggandaan pakan (weft-twining)
Gambar 4e.: Penggandaan lungsi (warp-twining)
Gambar 4f.: Tenun brokat(brocade)
Gambar 4g.: Songkèt(supplementary weft)
Gambar 4i.: Pilih (chosen inserting the wefts between regular wefts, that cross concealling one or two warps)
Sedangkan kain dengan teknik sungkit banyak terdapat pada sarung dari Samarinda, Palembang dan Bugis.[13]
Kain rèndaan (lace atau crocheting) cenderung memiliki tingkat kehalusan jalinan benang. Benang pada kain bersimpul (knotting) cenderung besar-besar, sedangkan hiasan/ motif pada kain rèndaan cenderung halus. Barang rajutan (knitting) yang tanpa memiliki benang pakan dan lungsi dapat dibedakan secara mudah dengan kain bersimpul atau kain rendaan. Kain bersimpul dan rajutan dapat dijumpai pada rok-rok yang terbuat dari rumputan berasal dari Irian Jaya. Kain rèndaan (baik yang terbuat dari benang kapas atau logam) dapat dilihat dari koleksi-koleksi kain dari Sumatera.
Teknik kèpang (braiding) dan teknik anyaman (plaiting/ matting) dapat dibedakan dengan jelas terhadap teknik-teknik penyilangan/ pengkaitan benang sebelumnya, karena teknik kèpang/ anyam ini identik dengan teknik tenunan dasar (kain silang polos). Tetapi teknik kèpang/ anyam yang ‘finger-weaving’ (tenunan dengan tangan) mudah dikenali pada tampilan struktur penyilangan benangnya. Kèpang banyak dijumpai pada hiasan pinggiran kain yang berupa benang memanjang, yang biasa disebut rumbai (‘fringe’), sedangkan teknik anyam (anam-kèpang) banyak dijumpai pada tikar, dan berbagai anyaman yang terbuat dari daun pandan, bambu dsb.
Hitchcock[14] menjelaskan bagaimana (teknik) dan dengan apa (bahan) tekstil tradisional Indonesia itu dibuat. Disamping ia juga telah menyebutkan secara singkat tentang jenis substrat dan bahan pewarna. Di sana ada sekitar 12 macam serat alam; 4
Gambar 4h.: Sungkit(discontinuous
supplementary weft)
13. Jasper and Pirngadi (1912b), op. cit., pp. 237-260.14. Hitchcok, Michael (1985): INDONESIAN TEXTILES TECHNIQUE, Shire Ethnography, U.K.; Hitchcok, Michael
(1991): INDONESIAN TEXTILES, Harper Collins, N.Y.
[ 11 ]
jenis serat sintetis; dan sekitar 27 bahan celup. Rens Heringa[15] menjelaskan fungsi dan arti warna pada suatu desa di Jawa Timur. Sedangkan Subagiyo et. al.[16] mendiskusikan sekitar 113 spesies tanaman sebagai sumber bahan-celup alam (natural dyes), bahan penyamak (tannin), atau bahan pembantu (ingredients) dalam suatu database khusus. Sedangkan Montegut[17] dan Indictor[18] mendiskripsikan tentang spesifikasi penerapan logam yang mungkin diterapkan pada tekstil Indonesia.
Telah dengan jelas disebutkan dimuka bahwa corak dan ragam hias tekstil Indonesia sangat beraneka, baik bahan dasar maupun tekniknya. Dengan merujuk pada buku Ragam-ragam Perhiasan Indonesia pada Jaman Batu Muda atau Neolitikum, Pengaruh Kebudayaan Dongson, Hindu, dan Islam; teknik pembentukan corak dan ragam hias dan bahan pembentuk tekstil mungkin sekali telah berubah. Sehingga transformasi teknik dan bahan ini sangat perlu diperhatikan, diingat dan dicatat dengan baik.[19]
Kondisi bahan tekstil dapat berupa kumpulan zat, yang dapat pula didefinisikan sebagai serat, benang, kain, zat-warna dan sebagainya. Sehingga kita harus dapat mengidentifikasikan dengan benar berbagai jenis serat, benang, kain, dan zat warna secara sistematis berikut kekhasannya. Di sini ada serat yang berasal dari sutera, kapas, serat kulit kayu, rayon, dan polyester; serta bermacam-macam zat-warna seperti yang telah disebutkan di muka yang memiliki tingkat ketahanan terhadap kerusakan, serta memiliki umur. Oleh karena itu, kondisi kualitatif dan kuantitatif pada setiap bahan mungkin sekali menjadikan ciri dari pada tekstil tradisional kita.[20] Misalnya: benang yang tidak dipilin ganda, benang logam yang khusus, kain kêpar, kain dengan silang polos, serta kain-kain dengan bahan celup alam yang masih banyak dipergunakan sebelum tahun 1900-an dengan teknik penerapan yang unik dan rumit.
Barang tenunan sering dijumpai sebagai barang komposit, artinya kain yang dikombinasikan dengan koleksi bukan tekstil. Seperti pakaian yang terbuat dari kulit binatang dan kain lakan (tapa), barang anyaman atau pakaian kulit dihiasi dengan kain kapas, atau juga mebel sering dilengkapi dengan barang tenunan. Bahan barang-anyaman yang sering dipêrca dengan kain biasanya adalah dari daun aren (Arenga pinnata), nipa (Nypa fruticans) dan palas biru (Licuala valida). Adapun kulit kayu yang juga sering dipêrca kebanyakan terbuat dari kulit-kayu (bagian dalam) pohon benda (Artocarpus elasticus Reinw. and Bl. dari Moraceae), pohon sejenis yang tumbuh di Kalimantan (Artocarpus tamaran) dan dari pohon sepukau (Broussonetia papyrifera (L.) Vent. dari Moraceae).
15. Heringa, Rens (1989), lihat Gitinger, edit. (1989), loc. cit.16. Subagiyo, P.Y., et.al. (1991/92a): INDONESIAN NATURAL DYES AND INGREDIENTS: Botanical Names, Chemical
Constitution, Properties and Their Identification, CAL/MSC, Washington D.C.17. Montegut, D. et.al. (t.t.): TECHNICAL EXAMINATION OF METAL THREADS IN SOME INDONESIAN TEXTILES OF
WEST SUMATERA, Conservation Centre, NYU.18. Indictor, Norman (1987): THE USE OF METAL IN HISTORIC TEXTILES, N.Y., Personal Notes.; Indictor, Norman
and Mary W. Ballard (1989): THE EFFECTS OF AGING ON TEXTILES THAT CONTAIN METAL: Implication for Analyses, International Restorer Seminar, Hungary.
19. Vandiver, Pamela B., J. Druzik and G.S. Wheeler (1990): MATERIALS ISSUES IN ARTS AND ARCHAEOLOGY II, MRS, Pittsburg.
20. Indictor (1987), loc. cit.; Montegut et.al. (t.t.), loc. cit.; Subagiyo, P.Y. (1991, 1991/92a), loc. cit.
[ 12 ]
C. KONDISI DAN KLASIFIKASI BAHAN Susunan tekstil dapat mencakup pada pengertian struktur
dan komposisi bahan dasar, misalnya: struktur benang logam, struktur kain tenun yang mikroskopis, konstitusi kimia serat dan zat warna, serta komposisi unsur logam pada benang logam. Subagiyo[21] membahas tentang kekhususan bahan celup alam Indonesia yang menampilkan teknik-teknik pencelupan unik dan rumit. Hasil studinya menunjukkan tentang warna-warna polikromatis, yaitu suatu warna yang dihasilkan dengan cara mengkombinasikan bahan-bahan celup alam. Dan yang paling menarik dari hasil diskusinya itu adalah kesimpulan data kromatogram bahan-celup alam Indonesia dari masing-masing daerah penghasil tekstil. Data kromatograpik/ kromatogram adalah presentasi hasil analisa/ pemisahan komponen zat warna dengan teknik kromatografi dengan maksud mengenali masing-masing zat dari ukuran pergesaran atau tampilan warnanya, lihat Gambar 5. Misalnya: kromatografi kertas, TLC, HPLC, dll.]
Dari 34 daerah yang secara geografis dipelajari oleh Subagiyo[22] menunjukkan sebanyak 32 teknik pencelupan untuk kapas dan 17 untuk sutera. Semua warna-warna polikromatis itu dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (a) warna kuning, (b) hijau, (c) biru/ hitam, (d) ungu/ lembayung, dan (e) warna merah/ cokelat [Lihat CD Software/ dBase tentang “Indonesian Textiles and Natural Dyeing Recipes”, atau lihat Contoh pada Lampiran 16]. Di sini ada tidak kurang dari 245 resep pencelupan warna dengan bahan-celup alam di Indonesia. Sedangkan sumber dari pada bahan pewarna, tannin, dan bahan pembantu yang digunakan adalah tanaman tingkat tinggi, Magnoliophyta yang meliputi dari 113 spesies [Lihat Index of Scientitic – Vernacular Plant Names dan Sistem Klasifikasi Cronquist, Lampiran 16 - 18]. Dari 113 spesies dikelompokkan menjadi 46 suku tanaman (family). Dari Klas Magnoliopsida/ Dikotil terdiri dari 6 Subklas dan 23 Ordo; dan dari Klas Liliopsida/ Monokotil terdiri dari 4 Subklas dan 4 Ordo. Sehingga melalui informasi ini, kita dapat memperkirakan sumber bahan-celup alam yang langka dan dilindungi (ditangkar), yang diantaranya termasuk tanaman penghasil bahan-celup alam untuk dapat dicarikan alternatifnya. Dengan menimbang sumber bahan-celup sintetis yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable sources) - yang sekarang mendominasi - pada suatu waktu mungkin beralih lagi ke bahan-celup alam. Dilain pihak, kebiasaan mendapatkan komponen warna yang bersifat merusak, seperti pemanfaatan
Gambar 5.: Identifikasi bahan celup
dengan TLC (Thin Layer
Chromatography).
21. Subagiyo, P.Y., et.al. (1991/92a), loc. cit.22. Ibid.
Jan, 23, 1990YOS 5631/Exp.B/2
4 : 1 : 5
Blac
k
Oran
ge
Blac
k
AC1-2 AD1-3
A
B
C
D
E
Yello
w
Gree
n
[ 13 ]
akar mengkudu yang dapat mematikan tanaman itu sendiri; juga dapat dicarikan jalan keluarnya.[23] Sedangkan tinjauan antropologis yang unik seperti yang dilakukan Rens Heringa[24] - tentang warna dan bahan pewarna pada sebuah desa di Jawa Timur - akan lebih meningkatkan apresiasi terhadap tekstil Indonesia secara utuh, khususnya terhadap tekstil yang terbuat dari bahan yang langka atau sudah punah.
Indictor[25] dan Montegut[26] mendiskusikan tentang penerapan logam menjadi 5 kategori. Kategori-kategori tersebut meliputi penggunaan pigmen (sebagai bahan pewarna), penerapan bahan bukan zat warna (anorganik), dan sebagai benang logam. Hasil pengamatan di sini yang meliputi struktur, komposisi, dan konstitusi kimia menunjukkan akan adanya persamaan kesimpulan tentang spesifikasi bahan. Di sana Indictor lebih banyak menekankan tentang referensi pembanding, kurang lebih sebanyak 40 jenis tekstil yang secara geografis tersebar di daratan Asia, Afrika, dan Eropa. Sehingga penulis pada tulisan ini mendiskusikan benang yang merupakan bagian penting, serta pembahasan pigmen anorganik menurut definisi Indictor tersebut. Di sini kita dapat mengenali dan mengindentifikasikan tekstil dengan mempelajari berbagai pokok bahasan, seperti tentang perkembangan teknologi tekstil (sejarah tekstil), tekstil yang bernilai sejarah khusus dimana bahan-bahan pembentuknya merupakan bukti fisik yang tidak dapat diganti dan dirubah; serta tekstil yang mengandung unsur seni atau keindahan.
C.1. Kain TenunTinjauan arkeologis terhadap tekstil tradisional Indonesia mungkin sejak
ditemukannya fragmen hasil eksavasi di Bali, yang kemudian setelah direkonstruksi menunjukkan bahwa benda tersebut adalah fragmen tekstil dengan teknik ikat.[27] Mereka menuliskan informasi tentang tekstil Indonesia sebagai perkembangan teknik menenun. Bahkan ada ahli yang berpendapat akan keberadaan tekstil Indonesia pada abad ke-8 sampai ke-2 Sebelum Masehi, dan barang anyaman yang mungkin telah ada dari Jaman Batu Muda atau Neolitikum (sekitar 3000 - 2000 SM). Adapula pendapat bahwa pengetahuan orang Indonesia tentang tekstil itu diawali dengan teknik menganyam daun atau serat kulit pohon, sebelum mencapai tingkat teknologi yang tinggi seperti sekarang ini.
Barang tenunan yang biasa disebut dengan tekstil atau kain dan berkomposisikan daripada serat-serat yang dipilin/ dipintal (benang) adalah bahan berserat dan bersusun yang biasa sebagai akseptor zat warna untuk membentuk motif atau pola hias. Dalam istilah teknik, kain yang merupakan gabungan benang/ serat itu disebut sebagai substrat. Istilah substrat ini dapat merujuk kesemua bahan yang bercirikan serat.[28] Bahkan orang-orang yang tidak berhubungan langsung dalam bidang tekstilpun akan mengenal subtrat itu, misalnya pelukis, tukang kayu dan sebagainya yang terbiasa
23. Jiono (1992), loc. cit. 24. Heringa (1989), loc. cit.25. Indictor (1987), loc. cit.; Indictor and Ballard (1989), loc. cit.26. Montegut et.al. (t.t.), loc. cit.27. Suwati (1986), loc. cit.; Wahyono, M. (1987): LURIK, Museum Nasional, Jakarta.28. Leene (1972), loc. cit.
[ 14 ]
menghadapi kanvas dan kayu sebagai media warna, pigmen sebagai zat warna, dan medium perekat pigmen atau binder.
Widjaya[29] mendiskripsikan sedikitnya 45 tumbuhan anyaman Indonesia, sedang- kan Bell[30] menyebutkan kurang lebih sebanyak 8 tumbuhan sebagai sumber/bahan pakaian kulit di Indonesia. Bell memberikan kriteria difinisi pakaian dari kulit tumbuhan, menjadi: ‘papyrus, (kain) tapa, amate dan kertas merang/ semprong (rice paper)’. Pakaian yang dibuat dengan cara penumbukan kulit kayu menjadi sangat tipis ini kemungkinan yang membuka pemikiran manusia membuat ‘kain lakan’ (felt) dan kertas. Kain lakan tiruan termasuk kelompok barang tekstil yang dibuat dengan cara penyusunan serat-serat dalam bahan perekat. Selanjutnya ia menyebutkan bahwa kain tapa telah dikenal di Cina sekitar tahun 4.300 BC. Teknologi pembuatan kain tapa menjadi kertas sungguhan (seperti yang kita gunakan sekarang) diperkirakan tahun 200 BC. Kemudian teknologi pembuatan kain tapa, bersama-sama dengan teknik pembuatan kertas tradisional dan cara bercocok tanam padi dari daratan Cina itu masuk ke Indonesia sekitar tahun 3.000 BC. Bell juga menyebutkan kain-tapa sebagai medium penulisan dan wayang bêbêr (theatrical scrolls) di Sumatera, Jawa dan Madura.
Kita yang ingin mengamati perkembangan tekstil Indonesia sebagai hasil kemajuan teknologi dapat mempelajari secara mendalam tentang teknik pengolahan serat menjadi benang sampai ke teknik penyilangan atau pengkaitan benang. Pengertian pengenalan bahan yang berstruktur mikroskopis berikut ini berbeda dengan pengenalan bahan sebelumnya. Karena pada tulisan ini lebih memfokuskan pada bahan sebagai pembentuk hiasan (kontruksi kain), sedangkan pada tulisan yang pertama (mikroskopis) membahas tentang struktur dan komposisi bahan (seperti morfologi serat).
C.1.a. Serat.Ada sekitar 14 serat alam dan 4 serat buatan (sintetis) digunakan pada
tekstil-tekstil Indonesia.[31] Namun begitu, kita sering menjumpai tekstil tanpa keterangan yang menyatakan jenis seratnya. Banyak orang menyebutkan akan adanya kekhususan serat pada sejumlah tekstil kuno yang dimilikinya, yakni ukuran panjang dan diameter seratnya. Pada tulisan terpisah Subagiyo[32] memperkenal- kan teknik analisa serat untuk membuktikan spesifikasi serat tersebut. Potongan melintang dan membujur serat alam, begitu juga tentang test kimia-mikro. Misalnya pengamatan benang teknis pada serat lenan yang merupakan gabungan serat-serat tunggal oleh perekat tumbuhan (pektin), pengamatan serat kapas yang dimerser, dan sebagainya. Tetapi test-test pelarutan (solubility tests) terhadap serat sintetis sangat dianjurkan.[33]
29. Widjaya, Elizabeth A. dkk. (1988): TUMBUHAN ANYAMAN INDONESIA, Mediyatama Sarana Utama, Jakarta.30. Bell, Lilian A. (t.t.): PAPYRUS, TAPA, AMATE AND RICE PAPER, Liliaceae Press, Oregon.31. Hitchcok (1991), loc. cit.32. Subagiyo, P.Y. (1994a): ANALISA SERAT DAN ZAT-WARNA TEKSTIL, Museum Nasional, Jakarta.33. Ballard, Mary W. (1992): Verbal Information, Smithsonian Instution.
[ 15 ]
Gambar 8a.: Kain bertajuk utuh (Uncut pile cloth)
Gambar 8b.: Kain bertajuk dipotong(Cut pile cloth)
Gambar 7.: Foto kain prada dan kerapatan benang kain. Koleksi Museum Nasional.
Tujuan lain identifikasi serat-serat tekstil adalah mengenali sifat fisik dan kimiawi yang akan dibahas pada tulisan terpisah.[34] Misalnya serat tumbuhan yang disebut dengan serat selulose, berkomposisikan: Karbon, Hidrogen, dan Oksigen dengan formula [C6H10O5]n sangat peka terhadap asam-kuat. Dan sifat fisik daripada serat tersebut adalah bersifat higroskopis atau mudah menyerap uap air. Serat kapas yang berkomposisikan selulose dan sutera yang berkomposisikan protein; yang mana kedua jenis serat ini secara umum ditemukan di museum-museum Indonesia memiliki sifat-sifat sebagai berikut:* Sifat fisik serat kapas antara lain mampu menyerap uap air sebanyak 27%
dari beratnya sendiri pada kondisi kelembaban relatif (RH) 95%. Pada kondisi seperti itu, serat kapas bertambah kekuatannya. Serat kapas ini berdinding tipis dan banyak berisi udara. Sedangkan serat sutera yang juga memiliki sifat higroskopis (mampu menyerap uap air) akan kehilangan kekuatannya.
* Sifat kimiawi serat kapas lebih aman dalam kondisi keasaman netral (pH = 7). Serat kapas akan mengalami kerusakan jika terkena asam kuat, asam lemah panas, dan basa kuat. Serat sutera juga lebih aman pada kondisi pH netral, akan dirusak oleh basa kuat dan berbagai jenis asam organik.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya mordan [= garam logam] dan logam pemberat yang bersifat merusak serat sutera. Mordan biasa digunakan untuk proses pencelupan warna, dan logam pemberat biasa digunakan setelah proses ‘degumming’ atau penghilangan zat perekat/ sericin.
Gambar 6.: Arah Pilinan Benang S dan Z.
sera
t
pradapakan
lungsi
prada
perekat
34. Subagiyo, P.Y. (1994a), loc. cit.
[ 16 ]
C.1.b. Benang.Benang merupakan bahan dasar sekunder dalam proses pembuatan kain.
Benang-benang ini sangat menentukan tingkat kehalusan dan kekuatan barang tenunan. Benang yang halus dibuat dengan cara memilin rapat-rapat sekumpulan serat dengan alat ‘antih’ (spindle) yang disebut ‘jantra’ (spinning-wheel). Sehingga jumlah pilinan (ply) persatuan panjang (misalnya per 1 cm) besar. Kita juga sering menemukan benang yang dipilin rangkap, artinya menggabungkan lebih dari satu macam pilinan. Arah pilinan (twist-direction) biasanya digunakan untuk menunjukkan jumlah pilinan benang. Jika kumpulan serat dipilin searah jarum jam akan membentuk huruf-S, maka arah pilinannya disebut twist-S. Kumpulan serat yang dipilin tidak searah jarum jam akan membentuk huruf-Z dan pilinannya disebut twist-Z.
Ada kemungkinan benang dipilin secara berganda, misalnya benang yang ber-twist-Z tersusun atas dua benang ber-twist-S, dan masing-masing benang yang bertwist-S itu tersusun atas 4 benang yang masing-masing ber-twist-Z. Dengan demikian, di sini diperlukan ketelitian dalam mengamati pilinan benang. Selanjutnya kita dapat menghitung jumlah pilinan (ply), berikut penghitungan jumlah benang pakan dan lungsi per sentimeter persegi (kerapatan benang atau density) pada
Gambar 10. Ikat pakan dan songket pada kain Limar dari Palembang.
Kol. Museum Tekstil, No.Inv.: 00030.
Gambar 13.: Batik dan tritik pada iket kepala.Koleksi Museum Nasional.
Gambar 9.: Ikat lungsi pada kain Hinggi Kombu dari Sumba.
Kol. Museum Tekstil, No.Inv.: 00666
Gambar 11.: Ikat ganda pada kain geringsing dari Tenganan - Bali.
Kol. Museum Tekstil, No.Inv.: 00774.
Gambar 12.: Sungkit pada kain damas, diantara benang logam yang teroksidasi terdapat kristal garam (yang diperkirakan mordan). Fragmen tekstil Museum Nasional
mordan
[ 17 ]
kain yang kita amati. Indictor,[35] Montegut[36] dan Subagiyo[37] telah mengamati tekstil tradisional Indonesia hampir seluruhnya berpilin tunggal dan lemah (sedikit jumlah pilinannya per satuan panjang benang). Disamping ini, kain-kain tradisional itu diperkaya dengan benang logam, yang telah ada di Indonesia sejak tahun 1400-an.[38] Struktur dan komposisi benang logam ini menunjukkan sifat yang khas dan khusus.[39] Montegut[40] mendiskripsikan sekitar 3 macam benang diantara 5 kategori penerapan logam pada tekstil-tekstil di seluruh penjuru dunia, yaitu: (a) benang logam polos [seperti kawat atau lempeng logam pipih], (b) benang logam dililitkan pada sumbu benang, dan (c) benang logam yang dililitkan pada sumbu benang dan dengan pembungkus/ substrat organik. Ia lebih lanjut menyebutkan spesifikasi substrat pembungkus, seperti kertas, membran, dan velum; serta komposisi unsur logam itu sendiri, lihat dan perhatikan Gambar 20 dan 21. Dimana substrat protein [membran dan velum] diidentikkan dengan teknik Eropa, sedangkan substrat selulose (kertas) diidentikan dengan Asia Timur (Cina dan Jepang).
C.1.c. Barang Tenunan Penjelasan teknik penyilangan/ pengkaitan benang, seperti: kain dengan
tenun silang polos, kain kêpar (twill), kain satin, rènda (lace; merènda = to crochet), kèpang (braiding), sulam (embroidery), brokat (brocade), dll. bermanfaat bagi keperluan dokumentasi, serta untuk keperluan perbaikan. Karena bentuk susunan penyilangan atau pengkaitan benang yang biasanya kecil, maka diperlukan alat bantu, seperti kaca pembesar atau mikroskop, kertas grafik, dan pinsil berwarna
Gambar 15.: Kain plangi atau jumputan.
Gambar 14a.: Proses pembuatan kain tritik.Gambar 14b.: Proses pembuatan kain jumputan.
Gambar 14c.: Proses pembuatan kain jumputan.
35. Indictor (1987), loc. cit.; Indictor and Ballard (1989), loc. cit.36. Montegut.et.al. (t.t.), loc. cit.37. Subagiyo, P.Y. (1991, 1991/92a), loc. cit.38. Subagiyo, P.Y. (1993/94a): IMPLIKASI ANALISA DAN METODA KONSERVASI TEKSTIL TRADISIONAL, Majalah
Museografia, Dedpdikbud, Jilid XXIII No. 1, hal.21-29.39. Indictor (1987), loc. cit.; Indictor and Ballard (1989), loc. cit.; Montegut et.al. (t.t.), loc. cit.40. Montegut et.al. (t.t.), loc. cit.
[ 18 ]
untuk memudahkan gambaran teknik yang dimaksudkan. Disamping tahapan pem- buatan gambar sketsa atau foto mikro dengan mikroskop digital, perlu dilakukan juga penghitungan jumlah benang pakan dan lungsi per satuan luas (1 sentimeter persegi), jumlah elemen benang dalam kain, serta rangkap dan tidaknya kain tenunan. Misalnya kain lakan yang tidak memiliki elemen benang; kain renda hanya terdiri dari 1 elemen benang; kain silang polos biasa memiliki 2 elemen benang (pakan dan lungsi); dan kebanyakan karpet memiliki 3 elemen benang.
Pengamatan tekstil pada struktur mikroskopis diperlukan guna mengetahui susunan benang lungsi dan pakan (untuk kategori kain tenun) atau susunan benang-benang yang saling bertautan (untuk kategori kain nir-tenun, misalnya: kain rajutan). Gambaran barang tenunan atau kain yang berstruktur mikroskopis ini kemudian digunakan untuk keperluan restorasi; seperti tenun-ulang (reweaving), penambalan (mending), dan penguatan (consolidation/ support).
Barang tenunan yang meliputi kain dengan silang polos (plain weave), kêpar (twill), dan satin merupakan suatu teknik dan dasar tenunan. Bahan dasar yang diperlukan untuk membuat barang tenunan ini dari jaman dahulu sampai sekarang secara prinsip adalah sama, yaitu serat yang dapat dipilin/ dipintal, kemudian dapat ditenun membentuk barang tenunan/ kain. Sedangkan seperangkat alat paling sederhana yang diperlukan untuk membuat kain meliputi: (1) penggulung ani (alat memanjang yang berfungsi untuk menggulung sederetan benang lungsi yang akan ditenun); (2) penggulung kain (alat memanjang yang berfungsi untuk menggulung kain hasil tenunan); (3) kisi gun (untuk menaik-turunkan benang lungsi); (4) suri (untuk mencegah bercampurnya benang lungsi); dan (5) (anak) torak (untuk memasukkan/ melewatkan benang pakan). Pada proses tenunan dengan alat tenun gendong, penggulung ani terletak dimuka [dihadapan penenun] dan penggulung kain yang menempel atau berdekatan dengan badan penenun dibentangkan untuk memudahkan pengoperasian alat-alat lainnya, seperti: kisi gun, suri dan torak. Topik barang tenunan telah dengan jelas dibahas dimuka yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar/ foto dan riwayatnya (hal. 4-11).
Penyempurnaan kain jadi biasanya dilakukan dengan pencelupan warna (penerapan zat warna) untuk memberikan corak dan pola hiasan kain dan penerapan bahan bukan zat warna (seperti pengkanjian atau starching dsb.) untuk keperluan khusus. Proses pewarnaan kain seperti itu, meliputi kain batik, kain plangi (ikat kain), dan kain prada. Tetapi ada pula pewarnaan kain sebelum proses tenunan dilaksanakan, seperti kain ikat. Pembentukan motif kain juga dapat dilakukan dengan cara lain, yakni: pembentukan corak/ pola hias bersamaan dengan proses tenunan. Misalnya: proses penyisipan benang berwarna atau benang logam; yang mana teknik ini biasa disebut dengan songkèt. Dengan demikian teknik songkèt dapat dibedakan dengan kain brokat dan kain sulam/ bordir atau ‘embroidery’.
[ 19 ]
C.2. Zat WarnaPola kain yang bagus biasanya tidak hanya memenuhi aturan desain yang baik, tetapi
juga penerapan unsur-unsur garis, bentuk, dan susunan yang dipadu dengan warna warna yang indah dan kontras akan menghasilkan pola kain yang bermutu. Zat warna yang meliputi pigmen dan bahan-celup pada tekstil digunakan untuk memperkaya corak dan ragam hiasan. Ada kain yang diwarnai pada saat kain ditenun, seperti teknik ikat (lungsi, pakan atau ganda), tetapi kita lebih banyak menjumpai kain yang menerapkan zat warna pada kain jadi (yang sudah ditenun), misalnya: kain batik dan pelangi (teknik ikat kain). Semua bahan pewarna yang digunakan adalah bahan celup, sedangkan pada proses nyungging dan colèt menerapkan pigmen, dan pigmen organik yang banyak digunakan pada proses sablon atau printing.
Thomson[41] memberikan kriteria dasar untuk mendefinisikan perbedaan antara pigmen (pigment) dan bahan-celup (dyestuff). Pigmen sebagai zat berwarna yang tidak larut dan bahan-celup sebagai zat berwarna yang larut dalam medium. Ia menyebutkan juga adanya beberapa pigmen yang dapat sedikit larut dalam media, misalnya: Toluidine Red dalam plastics, atau Arylamide Yellow dalam tinta bermedia toluene.
C.2.a. Bahan-celup. Kebanyakan bahan-celup mempunyai daya ikat [affinity] dengan substratnya,
yang kekuatannya tergantung dari kondisi bahan-celup itu sendiri.[42] Misalnya curcumin, yaitu zat warna kuning dari temu lawak, Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Zingiberaceae) akan dapat mengadakan afinitas dengan serat-serat selulosik, seperti kapas dan linen, secara langsung tanpa menggunakan mordan (garam logam komplek). Sehingga bahan-celup jenis ini disebut dengan ‘direct dye’ atau zat-warna direk. Sedangkan pemakaian mordan disamping dapat mempengaruhi warna yang dihasilkan dapat pula meningkatkan afinitas molekul zat warna pada serat.
Pada teknik pencelupan tradisional dijumpai pula bahan menyerupai mordan alum (potassium aluminum sulfate) pada jirek, Symplocos fasciculata Zoll. (Styracaceae). Apabila tumbukan babakan kayu jirek ini dicampur dengan morindone, yaitu zat warna dari mengkudu, Morinda citrifolia L. (Rubiaceae), kita akan mendapatkan warna merah pada substrat kapas.[43] Sedangkan bahan-bahan lain yang secara tradisional juga sering digunakan - biasa disebut ‘ngulèni’ (scouring) - seperti minyak jarak dan air merang oleh penulis hanya disebutkan sebagai bahan pembantu
41. Thomson (1976), lihat Venkataraman, K. (edit.) (1976): THE ANALYTICAL CHEMISTRY OF SYNTHETIC DYES, John Wiley, N.Y.
42. Ballard, Mary W. et.al. (1989a): HISTORIC SILK FLAGS FROM HARRISBURG, ACS, Washington DC, pp.134-142.; Ballard, Mary W. et.al. (1989b): HISTORICAL SILK FLAGS STUDIED BY SCANNING ELECTRON MICROSCOPY - ENERGY DISPERSIVE X-RAY SPECTROSCOPY (SEM-EDS), ACS, Washington DC, pp.419-428.; Crews, Patricia C. (1981): THE FADING RATES OF SOME NATURAL DYES, IIC, London, 32(1987), pp.65-72.
43. Ballard, Mary W., trans. (1991): STUDY ON THE TURKISH RED (ETRAIT DU BULLETIN DE LA SOCIETE INDUSTRIELLE DE MULHOUSE, Mulhouse; 1902: S.13-14), CAL/ MSC, Smithsonian Inst., Washington DC.
[ 20 ]
atau ingredients. Dengan syarat bahwa mordan adalah sebagai garam-garam logam (komplek). Karena bahan-bahan pembantu tersebut secara kimiawi hanya membantu pendisfusian molekul zat warna kedalam sel-sel serat, dan penetran tersebut juga tidak mempengaruhi warna yang dihasilkan.
Liles[44] menggolongkan bahan-celup menjadi dua kategori, yaitu: (a) bahan-celup mineral atau anorganik seperti halnya pigmen-pigmen pada lukisan dan oksida besi hidrat yang dianggap sebagai bahan-celup paling tua; dan (b) bahan-celup tradisional atau organik yang bersumber pada organisma hidup. Di sini bahan-celup dikelompokkan sebagai bahan-celup alam dan sintetis menurut ketentuan AATCC.[45] Karena pengertian senyawa organik dan anorganik secara kimiawi menurut Liles dapat membingungkan pembaca. Umumnya senyawa organik diartikan sebagai substansi yang mengandung unsur karbon, sehingga senyawa organik diidentikkan dengan senyawa karbon (dan pada umumnya berasal dari organisme hidup). Sedangkan senyawa anorganik sebagai senyawa yang berasal dari mineral. Dalam ilmu kimia, pengertian materi kimia organik dan anorganik seperti itu sudah terbiasa (lazim). Tetapi kita tidak akan mudah menunjukkan definisi itu, tanpa analisis laboratorium guna pengenalan unsur-unsur dalam senyawa bahan-celup tersebut. Semua bahan-celup berupa molekul-molekul [senyawa] yang komplek, bukan merupakan unsur tunggal [diatom/ poliatom]. Bagi pembaca yang ingin mengenal secara umum tentang bahan pewarna pada tekstil dianjurkan membaca Buku COLOUR INDEX[46] dan IMPORTANT EARLY SYNTHETIC DYES.[47]
Tujuan pemahaman teknik analisis zat warna seperti teknik analisa menurut Schweppe,[48] pembaca dapat juga mempelajari buku-buku acuan lain, seperti
Gambar 16a.: Foto potongan melintang dengan Mikroskop Skening Elektron (SEM)
kain prada. Kol. Musnas.
Gambar 16b.: Foto penampang atas dengan Mikroskop Skening Elektron (SEM)
kain prada. Kol. Musnas.
perek
at
(luas permukaan) prada
44. Liles, J.N. (1990): THE TEXTILE ART AND CRAFT OF NATURAL DYEING, Univ. of Tennessee.45. AATCC (1981), op. cit., pp. 4-6.46. AATCC, American Association of Textile Chemists and Colorists (1971): COLOUR INDEX; Society of Dyers and
Colorists, 5 vols.47. Ballard, Mary W., edit. (1989/91): IMPORTANT EARLY SYNTHETIC DYES: Chemistry, Constitution, Date and
Properties; Smithsonian Instution, Washington DC.48. Schweppe, Helmut (1986a): IDENTIFICATION OF DYES IN HISTORIC TEXTILE MATERIALS, ACS, Washington
DC.; Schweppe, Helmut (1989): IDENTIFICATION OF RED MADDER AND INSECT DYES BY THIN LAYER CHROMATOGRAPHY, ACS, Washington DC., pp.188-219.
(ketebalan) prada
serat benang lungsi
serat benang pakan
[ 21 ]
referensi yang mendiskusikan secara panjang lebar tentang analisa bahan-celup alam dan sintetis.[49] Analisa lebih lanjut pada tekstil-tekstil tradisional kita perlu dilaksanakan, untuk keperluan riset dan pengembangan bahan-celup yang mungkin juga sebagai obat tradisional. Misalnya curcumin disamping dapat memberikan warna kuning pada kain dan makanan, dapat pula memberikan khasiat obat (jamu).[50] Disamping tujuan terpenting dalam analisa warna pada tekstil tradisional Indonesia, yaitu pemahaman teknik-pencelupan yang unik dan komplek, penanggalan, identifikasi asal-usul koleksi tekstil, dan pengenalan sifat fisik dan kimia bahan-celup itu sendiri. Dengan kata lain adalah untuk rekontruksi aktifitas produksi serta pemahaman sifat-sifat, struktur dan tata-laku daripada benda tekstil.
C.2.a.i. Bahan-celup Alam.Pemakaian bahan-celup alam ini diperkirakan telah ada di Indonesia sejak
sekitar abad ke-2 SM.[51] Ini didasarkan pada penemuan fragmen hasil eksavasi yang setelah direkontruksi menunjukkan sebagai fragmen kain dengan teknik ikat. Sedangkan pengertian teknik ikat itu sendiri adalah teknik pencelupan warna pada benang untuk menghasilkan corak hiasan. Bahan-celup sintetis baru ada di Indonesia sekitar awal tahun 1900-an. Bahan-celup sintetis pertama ditemukan di London sekitar tahun 1956, yaitu penemuan zat warna ungu yang dikenal dengan ‘mauve’ oleh Williams Henry Perkins. Sedangkan pemakaian bahan-celup alam paling awal dipergunakan di Cina sekitar tahun 2500 SM.[52]
Gambar 17a.: Foto penampang atas dengan Mikroskop Skening Elektron (SEM)
kain dasar (serat-serat pada benang) prada yang mengalami kerusakan. Kol. Musnas.
Gambar 17b.: Foto penampang atas dengan Mikroskop Skening Elektron (SEM) menunjukkan
spora mikroorganisma pada kain dasar prada. Koleksi Musnas.
49. Ikan, Raphael (1991): NATURAL PRODUCTS: A Laboratory Guide, Academic Press, N.Y.; Lin-Vien, Daimay et.al. (1991): THE HANDBOOK OF INFRARED AND RAMAN CHARACTERISTIC FREQUENCIES OF ORGANIC MOLECULES, Academic Press, N.Y.; Snyder, L.R. and J.J. Kirkland (1979): INTRODUCTION TO MODERN LIQUID CHROMATOGRAPHY, John Wiley, N.Y.; Venkataraman, edit. (1976), loc. cit.
50. Akerele, Olayiwola et.al. (1991): CONSERVATION OF MEDICAL PLANTS, Cambridge Univ. Press, N.Y.; LBN (1978a): TANAMAN INDUSTRI, No-10 SDE-51, LIPI, Bogor.; LBN (1978b): TUMBUHAN OBAT, No-11 SDE-53, LIPI, Bogor.; Lust, John B. (1974): THE HERB BOOK, Bantam Books, N.Y.; Mabey, Richard (1988): THE NEW AGE HERBALIST, Macmillan, N.Y.; Westphal, E. and P.C.M. Jansen (edits.) (1989): PLANT RESOURCES OF SOUTH EAST ASIA: A Selection, Pudoc Wageningen.
51. Suwati Kartiwa (1987), loc. cit.52. AATCC (1981), op. cit., pp. 4-6.; Brunello, Franco (1973): THE ART OF DYEING ON IN THE HISTORY OF
MANKIND, trans. B. Hickey. Vinceza: Neri Pozza.
Serat kain rapuh
(spora) jamur
[ 22 ]
Bunga, daun, batang atau kulit, biji atau bunga, dan kayu mempunyai warna-warna karakteristik yang disebut ‘pigmen’ dalam Ilmu Tumbuh-tumbuhan (Botani) dan pigmen dapat juga diperoleh dari sel-sel hewan. Para ahli Biokimia telah mengidentifikasi beribu-ribu pigmen yang berbeda dari tumbuhan, serta mekanisme dan fungsi daripada pigmen-pigmen tersebut. Pigmen-pigmen organik ini digolongkan menjadi 8, menurut klas konstitusinya, seperti: carotenoids, hydroxy-ketones, anthraquinones, naphthaquinones, indigoids, flavones, flavonols, and flavonones. Ini berarti 8 diantara sekitar 25 klas konstitusi bahan-celup yang ada, baik alam atau sintetis.[53] Masing-masing bahan-celup alam berasal dari spesies-spesies atau suku-suku tanaman tertentu.[54] Lebih dari seratus spesies tanaman sebagai sumber bahan-celup alam, tannin (bahan-penyamak), dan bahan pembantu yang digunakan di Indonesia telah didokumentasi; serta sebagian dikonfirmasikan pada sampel-sampel tekstil yang dimiliki Museum Nasional Jakarta.[55] Selanjutnya asal-usul dan umur sampel (yang positif berkomponen bahan-celup alam Indonesia) yang tanpa keterangan apapun dapat dikenali dengan perbandingan pada data kromatograpik. Karena masing-masing daerah menunjukkan data kromatogram yang spesifik dan berjumlah kurang lebih 245 macam. Kemudian informasi distribusi dan kondisi geografi tanaman sebagai sumber bahan pewarna tersebut juga mendukung hasil-hasil analisa.
Pada umumnya, proses ekstraksi (pengambilan bahan-celup alam) dari sumber bahan-pewarna, yang berupa akar, kulit, kayu, atau daun secara langsung dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Misalnya: bahan-celup warna kuning dari kembang pulu (safflower), Carthamus tinctorius L. (Compositae/ Asteraceae) hanya dengan merebus atau mengucek daun-bunga (petal) pada air dingin. Tetapi sebaliknya, proses ekstraksi untuk mendapatkan pigmen warna merah, ‘carthamin’ dari daun bunga kembang-pulu dilakukan dengan agak rumit dan sulit. Karena pigmen berwarna merah yang tidak larut dalam air itu bercampur
Gambar 18a.: Bubuk dan lempengan prada. Koleksi National Museum of Natural Histrory
- Smithsonian Institution.
Gambar 18b.: Bahan-bahan untuk prada. Koleksi Museum of Natural Histrory -
Smithsonian Institution Washington DC.
53. Crews (1981), op. cit., pp. 65-72.54. Harborne, J.B. and B.L. Turner (1984): PLANT CHEMOSYSTEMATICS, Academic Press, London.; Jones,
Samuel B. and A.E. Luchsinger (1986): PLANT SYSTEMATICS, McGraw-Hill, N.Y.; King, John (1991): THE GENETIC BASIS OF PLANT PHYSIOLOGICAL PROCESSES, Oxford Univ. Press, N.Y.
55. Subagiyo, P.Y. (1991, 1991/92a), loc. cit.
[ 23 ]
dengan bahan-celup warna kuning yang dapat larut dalam air dingin. Sehingga untuk mendapatkan pigmen merah-nya harus membuang bahan-celup warna kuning-nya terlebih dahulu dengan cara membilas berulang-ulang dengan air dingin. Selanjutnya ekstraksi dilakukan dengan soda cuci. Kemudian larutan hasil ekstraksi dinetralkan dengan asam asetat.
Daun bunga kembang-pulu yang sudah bebas dari warna kuning diekstrak dengan sodium karbonat hidrat [Na2CO3.10H2O], dan didiamkan selama 5 sampai 6 jam. Kemudian carthamin hasil ekstraksi disimpan dalam keadaan tetap dingin selama satu hari. Setelah dilarutkan dengan air dingin yang dicampur dengan asam asetat; ekstraksi carthamin baru siap digunakan untuk proses pencelupan kain.[56] Kerumitan proses ekstraksi ini perlu mendapatkan perhatian, karena teknologi ekstraksi untuk pencelupan tersebut telah banyak ditiru oleh ahli-ahli kimia moderen untuk menghasilkan bahan-celup sintetis.[57] Pembahasan kimiawi lebih lanjut telah dibahas oleh Mayer and Cook.[58]
Daerah-daerah penghasil tekstil menampilkan kromatogram yang berbeda. Perbedaan data kromatograpik disebabkan oleh komponen kimia bahan-celup yang berbeda, dengan menampilkan jarak dan warna spot pada kromatogram. Harborne[59] menyebutkan sebagian pigmen pada tumbuhan berhubungan erat dengan genetik. Sedangkan jenis-jenis pigmen pada tumbuhan mungkin berhubungan dengan vektor polinasinya, misalnya serangga,[60] dan kondisi lingkungan geografinya, misalnya tanah dan iklim.[61] Harborne[62] dan King[63]
mendiskusikan tentang korelasi bahan-celup (pigmen) tertentu dengan perubahan genetis tanaman, sebagai sumber bahan-celup. Dimana faktor iklim, kondisi geografis/ kondisi tanah, dan pollinator secara dominan mempengaruhi perubahan itu.[64] Disamping itu, komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi fisiologi tumbuhan.[65]
Bahan-celup alam dan sintetis merupakan materi-materi organik dalam pengertian kimia. Misalnya, anilin sebagai bahan dasar bahan-celup sintetis diperoleh dari sintesa batu-bara (atau minyak bumi yang berasal dari fosil tumbuhan atau plankton yang terakumulasi pada lapisan bumi bawah, sehingga minyak bumi juga merupakan bahan organik). Tetapi anilin dan hasil sintesa (bahan-celup)-nya tetap merupakan materi-organik; yang memiliki unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen.
56. Liles (1990), loc. cit.57. Buchanan, R. (1987): A WEAVER’S GARDEN, Interweave, Colorado.; Liles (1990), loc. cit.58. Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947): THE CHEMISTRY OF NATURAL COLORING MATTERS, Reinhold, N.Y.59. Harborne and Turner (1984), loc. cit.60. Barth, Friedrich G. (1991): INSECTS AND FLOWERS: The Biology of a Partnership, Princeton, N.J.61. Jones and Luchsinger (1986); Singer, Michael J. and Donald N. Munns (1987): S O I L S : An Introduction,
Macmillan, N.Y.62. Harborne and Turner (1984), loc. cit.63. King (1991), loc. cit.64. Barth (1991), loc. cit.; Harborne and Turner (1984), loc. cit.; Singer and Munns (1987), loc. cit.65. Brett, C. and Waldon K. (1990): PHYSIOLOGY AND BIOCHEMISTRY OF PLANT CELL WALLS,
Unwin Hyman, London.; Jones and Luchsinger (1986), loc. cit.; Noggle, G. Ray and G.J. Fritz (1976): INTRODUCTORY PLANT PHYSIOLOGY, Prentice, N.J.
[ 24 ]
Secara umum, bahan-bahan-celup alam terbentuk dari kombinasi 3 unsur, yakni karbon, hidrogen, dan oksigen. Tetapi ada pula beberapa bahan-celup yang mengandung unsur lain selain ketiga unsur tersebut, seperti unsur nitrogen pada indigo, dan magnesium pada kloropil.[66] Identifikasi bahan-celup disamping dapat menunjukkan asal-usul bahan-celup dan koleksi tekstil dapat pula bermanfaat dalam upaya penyelamatan tekstil itu sendiri. Karena dengan pengenalan bahan-celup kita mungkin dapat mengenali sifat-sifat daripada warna yang dihasilkan, berikut teknologi aplikasi bahan-celup tersebut.[67] Kita juga mengetahui informasi yang berhubungan dengan tingkat pelunturan warna terhadap cahaya (lightfastness) dan pencucian (washfastness), serta pengaruh bahan-pembantu-nya terhadap kerusakan tekstil.
Teknik analisa kromatograpik telah menunjukkan hasil ketepatan tinggi, disamping tidak memakan banyak waktu dan biaya.[68] Pada tulisan Analisa Serat dan Bahan-pewarna[69] ditampilkan pula bagaimana Schweppe[70] menerapkan teknik analisa warna dengan kromatograpi lapis tipis. Schweppe dalam hal ini dapat mengidentifikasikan 25 konstitusi kimia dari 12 spesies Rubia spp., dan 6 jenis serangga (Lac dan Cochineal). Dengan demikian, perbedaan madder, Rubia tinctorum L. (Rubiaceae) yang memiliki 15 komponen kimia; dengan mengkudu, Morinda citrifolia L. (Rubiaceae) yang memiliki 6 komponen kimia; dapat dibuktikan dengan mudah. Walaupun ada 3 persamaan komponen kimia pigmen pada kedua spesies tanaman yang sama sukunya. Sedangkan Subagiyo dan Ballard[71] menunjukkan tingkat perubahan warna terhadap cahaya. Pada resep pencelupan tradisional Indonesia, jenis serangga yang dimaksud adalah ‘malu sidom’ atau ‘blendok trembalo’ [Coccus laccae Kerr. (Coccidae)] yang banyak terdapat di hutan-hutan Sumatera dan ‘cochineal’ [Dactylopius coccus COSTA], yang berasal dari Amerika Tengah atau Amerika Selatan.[72]
C.2.a.ii. Bahan-celup Sintetis. Pengertian bahan-celup sintetis disini adalah bahan-celup hasil sintesa
yang umumnya dari batu-bara atau minyak bumi. Sehingga kita tidak dapat menyimpulkan bahwa bahan-celup sintetis adalah bahan-celup anorganik dan atau organik. Lain halnya dengan pigmen, sebagai bahan-pewarna yang didefinisikan sebagai zat berwarna yang secara umum tidak larut dalam medium pelarut.[73]
66. Cook, A.H. trans. (1947), lihat Mayer and Cook (1947), loc. cit.67. Subagiyo, P.Y. (1991, 1991/92a), loc. cit.68. Snyder and Kirkland (1979), loc. cit..; Subagiyo, P.Y. (1994a), loc. cit.69. Subagiyo, P.Y. (1994a), loc. cit.70. Schweppe (1986a), loc. cit.; Schweppe (1989), op. cit., pp. 188-219.71. Subagiyo, P.Y., et.al. (1991/92a), loc. cit..72. Mayer and Cook (1947), loc. cit.73. AATCC (1981), op. cit., pp. 4-6.
[ 25 ]
Penggolongan bahan-celup sintetis menurut ketentuan AATCC[74] adalah, seperti: Acid dyes, Basic Dyes, Direct Dyes, Vat Dyes, Sulfur Dyes, Azoic Dyes, Disperse Dyes dan Reactive Dyes. Penggolongan yang didasarkan pada proses pencelupan ini lebih mudah mengenalnya, misalnya zat-warna asam [acid dyes] dapat diartikan sebagai bahan celup yang menggunakan zat asam pada proses pencelupannya. Bahan celup jenis ini dapat dengan mudah ditunjukkan dengan test ekstraksi dengan air, ethanol, dan ammonia. Jika warna pada sampel luntur maka kita dapat menyebutnya sebagai acid dye.[75] Apabila sampel yang diekstrak berwarna hijau, selanjutnya kita dapat menduga untuk sementara bahwa warna tersebut mungkin yang disebut dengan Light Green SF Bluish (nama dagang) [penemu: Kohler, tempat: Jerman, tahun: 1879, Color Index Name: C.I. Acid Green 6; Color Index Number: C.I. 42075]. Hasil analisa selanjutnya perlu dilakukan, yaitu dengan Extraction and Spot Tests, serta dengan Kromatograpi Lapis Tipis.[76]
Carl Runge, seorang ahli kimia Jerman, telah menjelaskan tentang perlakuan anilin dengan asam kromik yang menghasilkan zat berwarna ungu. Anilin yaitu suatu zat hasil sintesa dari batu-bara yang kemudian dikenal sebagai bahan dasar pembuatan warna, plastik dll, dan berkomposisikan C6H5NH2 (yang juga merupakan turunan benzena). Sedangkan asam kromik adalah zat yang berkomposisikan H2CrO4. Namun begitu seorang mahasiswa yang baru berumur 18 tahun, bernama William Henry Perkin, lebih dahulu menemukan zat warna ungu, hasil analisa dari quinine [C20H24N2O2] di London. Penemuan zat warna ungu yang secara tidak sengaja menodai kain suteranya itu kemudian dikenal dengan nama mauve, sedangkan nama komponen kimia zat itu disebut dengan mauveine. Bahan celup sintetis yang ditemukan pada tahun 1856 disebut sebagai bahan-celup sintetis pertama, dengan Color Index Name: Basic Dye dan Color Index Number: 50245.[77]
Dengan pengenalan analisa bahan-celup sintetis awal ini, kita diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah. Sedangkan beberapa artikel[78] tahun 1900 sampai 1950an yang menyebutkan tentang bahan-celup-sintetis hanya sebagai anilin merah, hijau, hitam dst. masih perlu ditindaklanjuti. Sehingga latar belakang koleksi, umur maksimum dan teknologi pencelupan dapat dipahami; serta apresiasi koleksi pada tekstil dapat lebih ditingkatkan. Karena penyebutan zat pewarna dengan kata ‘anilin’ masih bersifat umum, artinya sama kalau menyebutnya dengan ‘bahan-celup sintetis awal’. Kompilasi yang diedisikan Ballard[79] mendiskripsikan sekitar 67 bahan-celup sintetis awal. Kompilasi ini memuat informasi tentang latar belakang bahan-celup, tahun penemuan, serta
74. ibid., pp. 4-6.75. Schweppe (1986a), loc. cit.76. Schweppe (1986a), loc. cit.; Schweppe (1989), op. cit., pp. 188-219.77. Ballard, edit. (1989/91), loc. cit.; Schweppe (1986a), loc. cit.; Schweppe (1989), op. cit., pp. 188-219.78. Jasper and Pirngadi (1912a): THE DYEING OF THE YARNS, Chapter 4, De Inlandsche Kunstnijverheid In
Nederlandsch Indie, Vol. II, De Weefkunst, The Hague: Mouton and Co. 79. Ballard, edit. (1989/91), loc. cit.
[ 26 ]
sifat fisik dan kimiawinya. Selanjutnya Schweppe[80] telah menunjukkan teknik - teknik analisa bahan-bahan celup itu, dengan initial micro-chemical tests dan Infra-red Spectra.
Ballard[81] mempertimbangkan kegunaan buku kompilasi tersebut untuk mem-berikan perkiraan umur koleksi tekstil berdasarkan penemuan bahan-celup sintetis hasil identifikasi dan mengistilahkannya sebagai the Conditio Post Ante Quem. Itu artinya perkiraan pembatasan umur berdasarkan pada kondisi bahan-celup sintetis tersebut. Jasper - Pirngadi[82] dan Steinmann[83] baru menyebutkan bahan celup sintetis telah dipergunakan di Indonesia secara komersial sekitar tahun 1930-an. Rouffaer[84] dan Steinmann[85] menyebutkan tentang pemakaian bahan-celup-sintetis paling awal di Jawa pada tahun 1900, yaitu penggunaan indigo sintetis dan alizarin. Bahan-celup sintetis Jerman, yang pertama kali dibuat sekitar tahun 1920 - 1928 digunakan di Jakarta dan Pekalongan, yakni bahan-celup yang disebut dengan nama ‘Griesheim’ (Anilide of Beta-hydroxynaphthoic acid). Warna hijau dari tumbuhan yang merupakan warna khusus pada tekstil produksi Pekalongan, juga telah digantikan dengan bahan-celup sintetis, yaitu Auramine-O (produksi Ciba Ltd., Basle, Switzerland), yang merupakan warna dasar kuning kemudian dikombinasikan dengan warna biru muda. Bahkan warna coklat soga yang begitu terkenal pada kain-kain batik di Jawa, turut juga ditirunya oleh perusahan Swiss itu dengan benzidine dan dinamakan ‘Soga-soga’.
C.2.b. Pigmen. Pigmen dapat didefinisikan sebagai substansi halus yang berwarna dan
tidak larut dalam medium pelarut, misalnya air.[86] Istilah pigmen itu sendiri berasal dari Bahasa Latin ‘pigmentum’ yang berarti mengecat.[87] Sehingga dari pengertian definisi dan arti, aplikasi pigmen atau pigmentasi pada substrat tekstil memerlukan medium perekat atau binder. Tetapi dalam Ilmu Makluk Hidup [Biologi, baik Botani atau Zoologi], pengertian pigmen akan meliputi kebanyakan substansi yang ada pada jaringan sel binatang dan tumbuhan yang mewarnainya. Misalnya, hemoglobin yang merupakan alat angkut vital, pembawa oksigen pada hewan
80. Schweppe (1986a), loc. cit.; Schweppe (1989), op. cit., pp. 188-219; Schweppe (1986c): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF EARLY SYNTHETIC DYES - PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH EARLY SYNTHETIC DYES, Washington, CAL/MSC, SI.; Schweppe (1988): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF DYES ON HISTORIC TEXTILE MATERIALS, Washington, CAL/MSC, SI.
81. Ballard, edit. (1989/91), loc. cit.82. Jasper and Pirngadi (1912b), op. cit., pp. 237-260.83. Steinmann, A. (1947): THE ART OF BATIK, Ciba Review, No.58, pp.2090-2101.84. Rouffaer, G.P. and H.H. Juynboll (1914): BATIK-KUNST IN NIEDERLANDISCH-INDIEN AND IHRE
GESCHICHTE, Utrect: Verlay von A. Ooosthoek.85. Steinmann (1947), op. cit., pp. 2090-2101.86. River (1980), loc. cit.; Wingate (1979), loc. cit.87. Pratt, Lyde S. (1947): THE CHEMISTRY AND PHYSICS OF ORGANIC PIGMENTS, John Wiley, N.Y.
[ 27 ]
bertulang belakang dan manusia; serta kloropil, yaitu zat hijau daun yang juga merupakan materi terpenting proses foto-sintesa; termasuk kategori pigmen.[88]
Secara umum pigmen dikelompokkan menjadi dua, yaitu pigmen organik dan pigmen anorganik. Kedua jenis pigmen ini identik dengan teknik colèt (painting) dan sablon (printing). Pengecatan atau colèt adalah pemindahan pigmen yang biasa dilakukan dengan kwas dan sejenisnya. Pengecatan dengan kwas ini tentunya tidak dapat sekaligus menghasilkan pola hiasan berukuran besar. Sedangkan printing, yang lebih dikenal dengan ‘sablon’ itu secara umum dapat diartikan sebagai teknik pemindahan cat (bahan-pewarna dan binder) yang sekaligus memberikan hiasan, baik yang berpola besar atau kecil. Dengan begitu, pigmen tersebut dapat dibedakan dengan bahan-celup dari teknik penerapan zat warna itu. Storey[89] lebih lanjut membahas pengertian sablon atau printing ini.
Pemakaian pigmen paling awal diperkirakan sekitar tahun 3000 SM di Cina dengan ditemukannya ‘cinnabar’ (mercuric sulfide) dan di Mesir dengan ditemukannnya ‘azurite’. [Cinnabar = pigmen berwarna merah cerah dengan formula HgS, sedangkan Azurite = pigmen berwarna biru cerah dengan formula 2CuCO3.Cu(OH)2]. Schaublin[90] menyebutkan tentang popularitas penggunaan pigmen prada di lingkungan bangsawan Kerajaan Madjapahit, yaitu sekitar tahun 1292 sampai 1528, dan di Bali sekitar abad pertengahan ke-19. Selanjutnya Miksic[91] mendiskripsikan tentang asal (sumber), proses manufaktur, dan bukti-bukti arkeologis emas di Indonesia. Ia menyebutkan secara khusus keberadaan (benda) emas bersamaan dengan ornamen-ornamen di Jawa pada Jaman Prasejarah, yaitu sekitar tahun 300 SM.; dan merupakan hasil hubungan langsung dengan pedagang-pedagang India dan dengan negara-negara Asia Tenggara pada umumnya.
Bahan dasar prada, yaitu daunan atau bubuk emas; yang merupakan komoditi impor terpenting pada waktu itu didatangkan dari Cina atau Thailand.[92] Wahyono[93] menerangkan secara lisan mengenai pemakaian binder prada. Teknik prada (gilding) dari Eropa menggunakan binder minyak dan yang dari Cina atau Jepang dengan binder semacam ancur (animal glue). Steinmann[94] menyebutkan putih telur dan minyak biji rami/ lenan (linseed-oil) dicampur dengan aluminum acetate sebagai binder prada. Teknik pigmentasi lain juga dapat dijumpai pada ‘tekstil-tekstil Indonesia awal’, misalnya kain tapa dan kulit kayu yang berwarna.
Molekul bahan-celup yang larut dalam medium pelarut, misalnya air, membentuk larutan bahan-celup (dye-liquor). Sehingga pemakaian larutan tersebut
88. ibid.89. Storey, J. (1991): TEXTILE PRINTING, Thames & Hudson, London.90. Schaublin, Brigitta H. et.al. (1991): TEXTILES IN BALI, Periplus, Singapore.91. Miksic, John (1989): OLD JAVANESE GOLD, Ideation, Singapore.92. Schaublin, et.al. (1991), loc. cit.93. Wahyono (1987), loc. cit.; Wahyono, M. (1991): Informasi Verbal, Museum Nasional, Jakarta. 94. Steinmann (1947), op. cit., pp. 2090-2101.
[ 28 ]
disebut dengan pencelupan, sedangkan untuk membuat atau meningkatkan afinitas molekul bahan celup dengan sel-sel serat biasanya ditambahkan bahan pembantu, seperti: asam sulfat, asam klorida, asam-asam organik, sodium sulfat, sodium karbonat, sodium hidrosulfida, atau sabun; dan mordan. Karena kebanyakan bahan-celup memiliki afinitas dengan serat, baik selulose atau protein, maka bahan-celup diidentikkan sebagai bahan-pewarna yang memiliki daya ikat. Sedangkan pigmen sebaliknya, tidak memiliki daya ikat. Sehingga dalam penggunaan pigmen memerlukan medium perekat atau binder, atau disepuhkan (dielektrolisa); yang (kedua teknik) menghasilkan ikatan ion.[95] Tetapi kita tidak dapat dengan mudah mengetahui apakah zat warna pada tekstil itu memiliki daya ikat dan larut dalam medium pelarut; atau dengan kata lain membedakan bahan-celup dengan pigmen tanpa kita memisahkan terlebih dahulu ke kategori teknik penerapan zat warnanya, misalnya pencelupan atau sablon/ colèt -nya.
Pada teknik colèt dan sablon, penerapan pigmen biasanya menggunakan binder semacam resin, atau zat perekat lain yang kemudian mengakibatkan kain menjadi kaku. Begitu juga pada kain yang penggunaan bahan-celup-nya diperlakukan seperti pigmen. Pada pigmentasi bahan-celup ini dibutuhkan zat penghalang semacam anti mblobor (seperti kanji); dan atau bahan-celup itu dicampur dengan binder (seperti cat). Sehingga bahan-pewarna itu tidak mengalir kebagian kain yang tidak ingin diwarnai. Disamping sifat fisik kain yang disablon atau dicat dengan pigmen atau bahan celup itu kaku; kain ini biasanya juga menampilkan zat warna yang tidak terpenetrasi/ menembus kebagian belakang kain yang diwarnai. Dengan demikian, sifat kain yang disablon atau dicat dapat dibedakan dengan kain yang dicelup dengan bahan-celup.[96] Di sini pigmen dapat diidentikkan dengan teknik pewarnaan sablon dan pengecatan (colèt).
Identifikasi dan pengenalan pigmen menjadi sangat penting, apalagi konon tekstil geringsing dari Tenganan - Bali, berpigmentasi darah; serta kain-kain yang betul-betul berpigmentasi ‘prada mas’. Definisi halus dalam artikel-artikel tersebut tidak dijelaskan secara rinci, sehingga pengukuran pigmen prada oleh penulis yang memiliki luas sekitar 0,1 mm2 (sebagai prada air/ yeh) dan lebih dari 4,9 mm2 (sebagai prada pèl-pèl) tetap dikategorikan sebagai pigmen. Sedangkan tebal kedua prada itu adalah sekitar 3 mikrometer (1 mikro = 1/1 juta; pengukuran dilakukan dengan Mikroskop Skening Elektron, SEM). Sedangkan Oddy menyebutkan ketebalan lempengan emas (gold-leaf) pada mebel (furniture) sebesar 101,6 mikrometer (sekitar 0,1 milimeter).[97]
95. River (1980), loc. cit.96. Corbman (1983), loc. cit.97. Bigelow, Deborah (1982): GOLD LEAF ON FURNITURE: Its History, Application and Conservation,
Dissertation Advanced Diploma Course, London College of Furniture.
[ 29 ]
C.2.b.i. Pigmen Organik.Pratt[98] menyebutkan tidak banyaknya perbedaan antara pigmen organik
dan bahan-celup, baik bahan-celup alam ataupun sintetis. Secara kimiawi, pigmen organik dan bahan-celup memiliki komposisi sama. Tetapi secara fisik, kedua bahan-pewarna memiliki perbedaan. Pigmen organik memiliki sifat tidak larut dalam medium pelarut, sedangkan bahan-celup dapat larut. Sehingga ia menyebutkan carthamin (zat warna merah dari kembang pulu, Carthamus tinctorius L.) dan bahan-bahan celup sintetis seperti yang telah disebutkan dimuka disebut pula sebagai pigmen organik dalam kondisi tertentu. Adapun bahan dasar pigmen organik adalah Benzene, Toluene, Xylene, Naphthalene, dan Anthracene. Proses manufaktur pigmen organik juga dimungkinkan adanya persamaan dengan bahan-celup.
Thomson[99] menyebutkan bahwa penggunaan pigmen organik diawali dari perjalanan usaha industri ‘vat dyes’ (zat-warna bejana) yang sekarang memainkan peranan penting. Ia menggolongkan pigmen organik menjadi, ‘Azo pigments’ yang meliputi klas: (1) acetoacetarylamide pigments; (2) pyrazolone pigments; (3) 2-naphthol pigments; (4) 2-hydroxy-3-naphthoicacid pigments; dan (5) 2-hydroxy-3-naphtharylide pigments; dan ‘Non-azo pigments’ yang meliputi klas: (6) triphenylmethane pigments; (7) phthalocyanine pigments; (8) vat pigments; (9) quinacridone pigments; (10) dioxazine pigments; (11) azamethine pigments; dan (12) miscellaneous pigments.
Struktur kimia dan warna pigmen organik dengan bahan-celup memiliki persamaan.[100] Sehingga kemampuan kita untuk mengidentifikasi dan mengetahui struktur kimia pada bahan-celup sangat membantu dalam mengenali pigmen organik ini. Namun begitu, struktur fisik dan warna yang tidak ditampilkan pada pengenalan bahan-celup dapat dipertimbangkan pada bagian ini. Karena identifikasi warna pada pigmen organik dan anorganik (pada kain) yang lebih mudah adalah dengan mengenali struktur fisik dan warnanya.
Pengamatan dapat dilakukan dengan mikroskop biasa yang dilengkapi dengan penerangan lampu ultra-violet dan kalau mungkin yang dilengkapi juga dengan set kamera. Kemudian teknik yang lebih canggih, seperti pengamatan dengan mikroskop skening elektron, spektrophotometer, dan difraktometer elektron (atau sinar-X) dapat pula melengkapi pengamatan sederhana itu. Tetapi secara prinsip kedua teknik harus mampu memberikan informasi tentang: (1) kondisi secara fisik (amorphous dan crystalline); (2) ukuran (crystals); (3) materi lain (crystalline dan amorphous); (4) identifikasi masing-masing materi (kualitatif);
98. Pratt (1947), loc. cit.99. Thomson (1976), lihat Venkataraman, edit. (1976), loc. cit.
100. Pratt (1947), loc. cit.
[ 30 ]
(5) jumlah perkiraan masing-masing bahan (kuantitatif); dan (6) karakteristik permukaan. Identifikasi kemudian dapat dilakukan dengan data-data pada sampel yang sudah diketahui (sampel pembanding).
C.2.b.ii. Pigmen Anorganik.Seperti halnya pada pigmen organik, pigmen anorganik dapat pula
diidentikkan dengan teknik colèt dan sablon. Tetapi kita sepertinya baru terbiasa mengamati ‘teknik prada’ atau ‘gilding’. Sementara pembaca mungkin lebih mengenal pigmen anorganik atau bahkan pigmen organik diidentikkan dengan ‘lukisan’. Sehingga mereka akan mengenal pigmen seperti karbonat timbal (putih) dasar, timbal sulfida dasar, oksida seng dsb. Bahkan pada abad moderen, pakaian antariksawan yang terbuat dari serat polybenzimidazole (PBI) yang tahan terhadap panas tinggi (bara api) serta radiasi yang berpigmen perak, menjadi menarik jika dibandingkan dengan kain batik prada yang berpigmentasi emas.
Ballard dan Subagiyo[101] mempelajari medium perekat dan bahan-pembantu pada teknik prada. Analisa unsur-unsur pada jangkang kepuh (stink-malve husks), Sterculia foetida L. (Sterculiaceae); ancur ikan (fish-glue); dan sampel-sampel kain prada milik Museum Nasional Jakarta. [Penelitian bahan organik ini telah dibantu oleh Walter Hopwood (Smithsonian Institution), dengan penerapan Fourier Transform Infrared Spectrometer (FT-IR)]. Proses pembuatan secara sederhana, ancur-ikan hanya dapat dibuat dengan ramuan larutan alkali jangkang-kepuh tersebut. Protein yang sangat sensitif dengan suhu dan asam itu kemungkinan hanya dapat di-denaturasi dengan larutan alkali tersebut.
Kemajuan teknologi belakangan ini barangkali telah banyak merubah teknik medium perekat tradisional tersebut. Contoh binder lain yang dapat ditemukan di tekstil misalnya: alkyd resins, urea, melamine, dan resin termoplastik (seperti: acrylate, dan berbagai vinyl copolymers), serta pengembangan selulose (ethers dan esters).[102] Kebanyakan emulsi dari medium perekat moderen tersebut tahan terhadap panas, oksidasi karena pengaruh udara; dan tahan terhadap air. Emulsi alkyd resins jauh lebih lemas (tidak kaku) dibandingkan dengan ancur ikan, putih telur (egg albumen), dan minyak biji rami yang banyak dijumpai pada tekstil-tekstil kuno (khususnya tekstil yang berpigmen dengan cara sablon/ colèt). Sehingga binder jenis baru ini lebih banyak dipakai untuk keperluan restorasi dan konservasi.
Bekasi, September 2017.Puji Yosep Subagiyo.
101. Subagiyo, P.Y., et.al. (1991/92a), loc. cit.102. Hartono, A.J. dkk (1992): MEMAHAMI POLIMER DAN PEREKAT, Andi Offset, Yogyakarta
[ 31 ]
Klasifikasi Tekstil Indonesia [Taksonomi]Lampiran 01.
Modern materialsscientist
Examiner of ancient
object
ParadigmaticModel for
Materials Science1. TYPE
2. DIMENSION
a. fibers; b. metal thread; c. colorant; d. etc.
* GEOMETRIC MOTIFS (G):
a. length; b. width; c. etc.
* HUMAN-MOTIFS (H):a. man; b. woman; c. etc.
* ANIMAL MOTIFS (A):
* FLORAL MOTIFS (F):
a. natural (polos); b. blue; c. green; d. etc.
5. MATERIALS
4. COLOUR
1. FABRICATION
Weaving
2. COLORATION
Non Weaving
Dyeing
Pigmenta�on
B. P
ROCE
SSIN
G A
CTIV
ITIE
S(t
echn
ical
i�es
)A.
PHY
SICA
L CO
NDI
TIO
N(o
bjec
t str
uctu
re a
nd n
on-s
truc
ture
)
3. MOTIF
GROUP SUB GROUP DERIVATIVE NAMES AND DESCRIPTION
a. sulur-suluran (tendrils); b. bunga (flower); c. etc.
a. tumpal (triangle); b. meander (winding or criss-crossing lines); c. swas�ka (hook or key design); d. pilin ganda (double spirals); e. parang rusak; f. kawung; g. etc.
a. pemandangan (landscape); b. gunung (mountain); c. mahameru (heavenly mountain); d. lidah api (flame); e. kapal (ship); f. etc.
a.plain weave (polos); b. twill (kepar); c. sa�n; d. tapestry (warp faced); e. kelim (slit/ interlocked tapestry); f. damask (flat reversible design); g. rep (we� faced); h.etc.
a.braiding (kepang/anyaman); b. kno�ng (simpul/ kait); c. ne�ng/kni�ng/lace (jala/ rajut/renda); d. brocade (weft patterning in bright colors & floated in tabby weave/ twilled ground fabric); e. couching (sulam cucuk); f. applique (perca); g. quil�ng (sulam bantal); h. pilih (chosen inserting threads in regular wefts); i. songket (supplementary weft/ warp); j. embroidery (sulam); k. embroidery tu�ed; l. sungkit (discontinuous supplementary wefts); m. etc.
a. material classifica�on: *natural dyes; ** synthe�c dyes.b. general applica�on: * ikat (on yarns); ** ba�k and plangi/jumputan/tri�k (on fabrics).c. dyeing technique (recipe/ procedure):* mono/polychroma�c dye (one/more dyes).** un/mordanted dye (without/with metal salt).
d. material classifica�on: * organic pigments; ** inorganic pigments.e. general applica�on: * prin�ng (sablon); ** free hand pain�ng (colet/ prada).f. pigmenta�on technique (recipe/ procedure): * adhesive/ binder: cellulosic based (starch, etc.); protein based (animal glue/ ancur; albumen/ pu�h telor, etc.); etc.** pigmenta�on fineness: water-prada (prada air/yeh); s�cking-on prada (prada pel-pel); etc.
a. rep�l (kadal); b. fish (ikan); c. etc.
PROCESSINGACTIVITIES* selec�on* synthesis
* processing* design
* manufacturing
PERFORMANCE(tata-laku)
* distribu�on* use
* socio func�on* ideo func�on
* techno func�on
PROPERTIES* colour (quality)
* fiber/ fabric* other materials
STRUCTURE* Typology* Stylis�c
a. kain panjang (wrapping cloth); d. sarung (tubular cloth); c. etc.
* OTHERS (O):
[ 32 ]
core
core
wire
spira
lsst
rip
rings
disk
sst
rip
core
strip
strip
subs
tratesu
bstra
te
met
al d
usts
met
al le
aves
wef
t
war
p
wef
t
warp
(in)o
rgan
ic pi
gmen
tssy
nthe
tic/
natu
ral d
yes
core
strip
core
strip
(cel
lulo
sic o
rpr
otei
nace
ous)
orga
nic
subs
trate
III IV VIII
COLO
URA
NTS
& A
TTRI
BUTE
S
FABR
IC C
ON
STRU
CTIO
NAN
D A
TTRI
BUTE
SM
ETAL
APP
LICA
TION
, ATT
RIBU
TES
AND
CAT
EGO
RIES
FIBE
RS &
YAR
NCO
NST
RUCT
ION
met
al d
usts
met
al le
avesad
hesiv
e
adhe
sive
wef
t war
pfib
re
Copyrights by Puji Yosep Subagiyo, Primastoria Studio 2017.
TW
IST
S Z ZSYA
RN
CON
STRU
CTIO
N
FIBR
E M
ORP
HO
LOG
Y
singl
efib
re
technical fibre
TWIS
T(S
PIN
DIRE
CTIO
N)
zs s
z z z z z z
PLY
(COU
NT O
F SP
IN)
23 3
DEN
SITY
(COU
NT O
F W
ARPS
/WEF
TS IN
CM
2 ) 1 cm2
1 cm
2
Plai
n W
eave
or
Tabb
y (6
/7)
(cel
lulo
sic o
rpr
otei
nace
ous)
orga
nic
subs
trate
Anal
isis
Stru
ktur
,Ba
han
& Te
knik
ANAT
OM
ITE
KSTI
LIN
DO
NES
IA
ANAT
OM
ITE
KSTI
LIN
DO
NES
IA
a.a.
b.
b.
c.c.a. b.
a. se
lulo
se (k
erta
s)b.
pro
tein
(vel
um, m
inya
k)
Bentuk, Susunan & Sifat Bahan Pada Tekstil Indonesia [Anatomi]Lampiran 02.
Styl
istic
kain sarung
kain tampan
tapelak meja
sarung tapis
ulos
sapu tangan
Motif (Hiasan) Design (Corak)Pattern (Desain/ Pola Kain)
kain palepaiselendang
sabuk, kain dringin, sampur, etc.
Thre
e D
imen
sion
Two
Dim
ensi
on
Iket Kepala and Dodot/ Kampuh
Sered
Peng
ada
Kem
ada
Kem
ben,
Sel
enda
ng, K
ain
Drin
gin,
Sam
pur,
etc
.
Cora
k M
otif
Set o
f for
ms
to th
e sh
ape,
Cora
k W
arna
Chro
ma-
Hue-
Valu
e, e
.g.:
light
blu
e, d
ark-
blue
, re
d, e
tc.
Raga
m H
ias/
Mot
ifFi
gure
/ fe
atur
e, e
.g.:
Teng
ahan
(bel
ah k
etup
at)
Kain Panjang, Selendang, etc.
POLA
HIA
S KA
IN (M
OTIF
PAT
TERN
OF
THE
CLOT
H)
Mot
if pa
ttern
of t
he o
ther
clo
th ty
pes,
suc
h a
s:
bebe
d, s
inja
ng, e
tc.
Tailoring models/ design, relating to the function & dimension (Contoh pola, seperti untuk penjahitan).
Kepa
la K
ain
Bada
n Ka
in
Teng
ahan
(bl
umba
ngan
)
Pola
-Hia
s Ka
inAr
rang
emen
t of f
orm
, di
spos
ition
of p
arts
for t
he
mot
ifs, e
.g.:
bad
an, k
epal
a,
teng
ahan
, kem
ada,
etc
.
kain dodot, kampuh, etc.
Kepa
la K
ain
Sered putih ornamental band
Pattern, Design & Motif(Pola, Corak & Motif)
Design & Motif(Corak & Motif)
Pattern, Design & Motif(Pola, Corak & Motif)
Pattern(Pola)
pengada
Badan Kain
Kepa
la K
ain
sprei, tapelak meja, etc.karpet (rug/ tapestry), hiasan dinding(wall-hanging), palampos, etc.
kain bebed, tapih/ sinjang
[ 33 ]
Lampiran 03. BENTUK DAN POLA HIAS KAIN (Tipologi & Analisa Stilistik)
NOTASI PENULISAN TEKNIK TENUN & KERAPATAN KAIN
Tabby 1/1, 16/22, Z Tabby 2/2, 24/24, Z Twill 2/2, 20/24, Z
Sulam Cucuk
DamasSongket
[ 34 ]
Lampiran 04
Atribut Formal = segala sesuatu yang bisa diukur (ukuran panjang dan lebar, volume, garis-tengah, berat, dll.);Atribut Stilistik = segala hal yang berhubungan dengan rasa atau estetika, seperti: bentuk, pola hias kain
(tata-letak hiasan), motif (bentuk hiasan), warna, dsb.; Atribut Teknologis = segala hal yang berhubungan dengan proses pembuatan (bahan dan teknik).
TENUN NIR-TENUN PENCELUPAN PIGMENTASI
KOLORASIFABRIKASI
Alur Kajian Teknis danTata Urut Penamaan
Sila
ng P
olos
Per
mad
ani
Keli
m
Rep
Su
ng
kit
Sula
m (B
ordi
r)
Sula
m C
ucuk
Sula
m B
anta
l
So
ng
ket
Perc
a
Bati
k
Ikat
Jum
pu
tan
Tri
tik
Pra
da
Sab
lon
Co
let
Dam
as
Pil
ih
Bro
kat
ATRIBUT TEKNOLOGIS 3ATRIBUT
STILISTIK 2ATRIBUT FORMAL 1B
ATRIBUT TEKNOLOGIS 3ATRIBUT
STILISTIK 2ATRIBUT FORMAL 1
TRIBUT (3 Atribut)Rumus ABC-PQRAge = Usia/ Umur; Beauty = Keindahan;
Condi�on = Kondisi; Provenance = Riwayat (Asal); Quality = Kualitas; Rarity = Kelangkaan Vs
A
PROVENANCEEthnographic Features: origin,
func�on, etc.
COMPLETE OBJECTDescrip�onOrienta�on
SUBJECTSANALYTICAL METHODS
(object and their a�ributes: formal, stylis�c and technical)
Socio Cultural Anthropology,Ethnography, Art History, Semio�c
- Iconography, etc.
STRUCTURAL OR TEXTURAL GREATER THAN 0.1 MM
(fabric construc�on, metal thread structure, etc.)
Visual Examina�on (eye, glass, microscope)
Ultra-Violet Light Examina�on
Diffrac�on (x-ray, neutron, op�cal and
electron)
Op�cal Examina�on(transmission, reflec�on)
Electron Microscopy (SEM, TEM, STEM)Electron Microbeam Analysis
Spectroscopic Examina�on (neutron, infra-red, op�cal & x-ray)
Chromatographic Analysis(paper, TLC, GC, PyGC and HPLC)
OBJECT STRUCTURE COMPLETE STRUCTURE(form, design/ layout, etc.)
Typology, Stylis�c Analysis, etc.
MACRO STRUCTURE
MICRO STRUCTURE
CRYSTAL STRUCTURE
ELEMENTAL STRUCTUREand
COMPLEX COMPOUNDS
STRUCTURAL OR TEXTURAL SMALLER THAN 0.1 MM
(fiber morphology, cross-sec�on materials, etc.)
METALLIC ELEMENTS AND OTHERS
(weigh�ng metal salts, mordant, corrossion products, etc.)
METALLIC ELEMENTS,DYES AND OTHERS
(pigments, dyes, adhesives,polymers, etc.)
METODE ANALISIS BENDA DAN BAHAN
123
4
5
6
No
C Blur-like E�ect
IKAT LUNGSI
Crepe-like E�ect
JUMPUTAN
TRITIK
BATIK
Crepe-like E�ectC
rack
-lik
e E�
ect
Gambar 1.: Tenun Satin Gambar 2.: Silang Kepar
[ 35 ]
01. Batik (waxed-resist-cloth dyeing) : teknik pembentukan pola hias dengan perintang warna lilin atau malam lebah (wax- resist) pada kain jadi sebelum proses pencelupan ke dalam larutan warna. Aplikasi lilin sebagai perintang warna ini biasanya dilakukan dengan canting atau stempel.
02. Brokat : teknik penyuntikan/ penyisipan benang berlatarkan pola konvensional atau geometris (brocade).
03. Colèt : teknik pemindahan cat (pigmen dan binder) yang biasa dilakukan dengan kwas atau sejenisnya. Pengecatan dengan kwas ini tentunya tidak dapat sekaligus menghasilkan pola hiasan berukuran besar.
04. Damas (damask) : kain berpola hias bagian depan kebalikan dengan belakang, yang ditenun dengan menyilangkan benang lungsi ke benang pakan dan tampilan polanya menyerupai kain satin (warp-faced satin weave) dengan dasar kain yang menonjolkan benang pakan (in the ground of weft-faced). Kain ini bisa terbuat dari sutera, wol, linen, kapas, atau serat sintetik.
05. Fabrikasi : teknik penyilangan atau pengkaitan benang untuk membentuk kain atau hiasan.
06. Ikat (tied-resist threads dyeing) : teknik pembentukan pola hias dengan perintang warna berupa tali dengan cara diikatkan pada benang sebelum proses pencelupan ke dalam larutan warna, setelah pola hiasan terbentuk pada benang lalu tali dilepas dan selanjutnya dilakukan proses tenun. Bila proses pembentukan pola hias pada benang pakan dan lungsi disebut ikat ganda (double ikat), jika pembentukan hanya pada benang pakan disebut ikat pakan (weft-ikat) dan yang hanya pada benang lungsi disebut ikat lungsi (warp-ikat).
07. Jumputan (tied-resist cloth dyeing) : teknik pembentukan pola hias dengan perintang warna berupa kain yang diikat kuat-kuat dengan tali atau tali itu sendiri yang diikatkan pada kain jadi sebelum proses pencelupan ke dalam larutan warna. Kain Pelangi termasuk dalam kategori ini.
08. Kêlim : teknik tenunan menyerupai permadani tetapi dalam satu pola hias, dengan pola hias lainnya bisa terputus (slit- tapestry weave) dan bersambung (interlocked-tapestry weave). Dari pengertian ini, kêlim meliputi yang ujung belokan benang hiasnya bersambung dan kêlim yang ujung belokan benang hiasnya lepas/ terpisah.
09. Kolorasi : teknik pewarnaan kain atau benang (sebelum proses tenun).
10. Nir-Tenun (non-weaving) : teknik penambahan, penyisipan atau penempelan benang atau bahan lain untuk membentuk (pola) hiasan. Penyilangan atau pengkaitan benang yang bukan pakan atau lungsi bisa termasuk nir-tenun (non-woven fabric), sehingga kain sulaman dan turunannya, rènda, kèpang, anyaman, songkèt, sungkit, pilih, dan sejenisnya masuk kategori ini.
11. Palampores (baca: palampos) : kain katun bermotifkan seperti pohon hayat, palmet (keong), dll. yang dibuat dengan teknik sablon-blok (block-print) dari India yang banyak dipasarkan ke Eropa.
12. Pencelupan (dyeing) : teknik pewarnaan dengan cara men- celupkan kain dalam larutan warna (dye liquor). Ciri utamanya adalah warna kain bagian depan sama dengan warna kain pada bagian belakang.
13. Pêrca (applique) : teknik pembentukan desain/ hiasan dengan menempelkan potongan kain dan dengan cara menisikkan (stitching) pada permukaan kain.
14. Permadani (tapestry) : teknik penyilangan benang pakan ke benang lungsi secara reguler, tetapi dalam hitungan 1 sentimeter persegi, jumlah benang pakannya jauh lebih banyak dari lungsinya (weft-faced plain weave).
15. Pigmentasi (pigmentation) : teknik pewarnaan dengan cara mencat, mensablon atau cara lain menempelkan pigmen pada kain. Ciri utamanya adalah warna kain bagian depan tidak- sama dengan warna kain pada bagian belakang, karena warna pada teknik pigmentasi hanya menempel pada bagian permukaannya saja.
16. Pilih : teknik penyisipan benang pakan tambahan diantara benang pakan reguler dengan bantuan anak torak (chosen inserting the wefts between regular wefts, that cross concealling one or two warps).
17. Prada (gilt) : teknik penempelan pigmen yang biasanya berwarna keemasan dengan perekat. Jika pradanya berupa bubuk halus disebut prada-yeh (prada-air), sedangkan yang berupa lembaran disebut prada pel-pel.
18. Rèp : teknik penyilangan benang pakan ke benang lungsi secara reguler, tetapi dalam hitungan 1 sentimeter persegi jumlah benang lungsinya jauh lebih banyak dari pakannya (warp-faced plain weave).
19. Satin (satin weave) : tenun satin, lihat gambar 1 dibawah.20. Silang kepar (twill) : silang kepar/ anam kepang, gambar 2.21. Silang Polos (plain weave / tabby) : teknik penyilangan benang
pakan ke benang lungsi secara reguler, bisa dengan notasi 1/1, 2/2, dst.
22. Sablon (printing) : teknik pemindahan cat (pigmen dan binder) yang sekaligus memberikan hiasan, baik yang berpola besar atau kecil.
23. Songkèt : teknik penambahan benang pakan dari pinggir kain paling kiri ke kanan searah pakan untuk membentuk pola hias (supplementary weft from selvage to selvage). Songkèt atau sotis dapat dibedakan dengan kain bermotif dengan tehnik sulam ‘embroidery’ dan ‘brocade’. Karena pembentukan motif pada kain songkèt yang dilakukan bersamaan dengan proses tenunan kain dasar, tidak harus menggunakan jarum, tetapi memerlukan beberapa alat pembentuk pola yang disebut ‘gun’ atau ‘cucukan’, dan mungkin berpola kearah benang pakan atau lungsi. Sedangkan sotis umumnya berpola ke arah benang pakan, dimana benang pakan tambahannya berupa benang berwarna (bukan logam).
24. Sulam (embroidery) : kain sulaman atau kain bordiran biasa- nya berupa hiasan yang kecil-kecil, seperti pembuatan jahitan pada lubang kancing baju (button-hole-stitch) dan pada tehnik pembentukan hiasan pada kain yang beralas kain bantalan (quilt). Sehingga tehnik sulam jenis ini sering diidentikkan dengan tehnik ‘kerja-jarum’ (neddle-works). Kain bordiran menyerupai tehnik-kerja sulaman pada kain kruistik.
25. Sulam-bantal (quilt) : teknik pembentukan desain/ hiasan dengan cara menisikkan (stitching) pada (potongan) kain yang diberi bantalan (kain) dsb.
26. Sulam-cucuk (couching) : teknik pembentukan desain/ hiasan dengan menempelkan benang logam (metal thread), percik logam (sequins) atau percik kaca (mirrors) dan dengan cara menisikkan (stitching) pada permukaan kain.
27. Sungkit : teknik penambahan benang pakan terputus untuk membentuk pola hias (discontinuous supplementary weft).
28. Tenun (weaving) : teknik penyilangan benang pakan dan lungsi untuk membentuk kain (woven-fabric). Silang polos (plain weave / tabby), silang kepar, permadani (tapestry), kêlim, rèp dan damas termasuk kategori ini.
29. Tritik (stitched-resist cloth dyeing) : teknik pembentukan pola hias dengan perintang warna berupa lipatan-lipatan kain yang diikat kuat-kuat dengan benang yang dimasukkan dengan jarum pada kain jadi sebelum proses pencelupan ke dalam larutan warna.
Daftar Istilah Teknologi TekstilLampiran 05.
0,5
cm
0,5 cm
495 μm 223 μm
238 μm
No. Inv.: 04594 (Lokasi: 03/01), Tahun 1932?, Aceh, Silang Polos (Tabby)22/18, 30X.
513 μm
366 μm Lung
si (W
arp)
Pakan (Weft)
weftwarp
(in)organic pigments synthetic/natural dyes
1.000 μm (1 mm) 0,5 cm (5 mm atau 5.000 μm)
440 μm
165 μm
Depan. No. Inv.: 20455 (Lokasi: ?), Tahun ?, ?, Sablon (Tabby 34/21), 30X.
Belakang. No. Inv.: 20455 (Lokasi: ?), Tahun ?, ?, Sablon (Tabby 34/21), 30X.
Pencelupan
Ikat, BatikPigmentasi
Sablon, Prada
Skala Cetak + (30x) 31:1
No. Inv.: 05819c (Lokasi: ?), Tahun 1887, Madura, Ikat Ganda (Tabby 18/22), 30X.
Pencelupan
[ 36 ]
NOTASI PENULISAN TEKNIK FABRIKASI - KOLORASI & KERAPATAN KAINLampiran 06.
[ 37 ]
500
μm =
0,5
mm
70 μm
2.643 μm
Inv.: 19062 (Lokasi: 02/04), Tahun ?, Asal?, Teknik?, 65X
Skal
a Ce
tak
+ (6
5x) 2
1:1
NOTA
SI PE
NULIS
AN KA
TEGO
RI AP
LIKAS
I LOG
AM
K-5 Z
696 μm
500
μm =
0,5
mm
Skal
a Ce
tak
+ (6
5x) 2
1:1
Inv.: 21883 (Lokasi: 15/03), Tahun 1937, Aceh, Songket, 65X
S
K-3
771 μm300 μm30 μm
K-3
Inv.: 22252 (Lokasi: 28/04), Tahun?, Asal?, Damas, 65X
479 μm 325 μm 23 μm
Holde
r: AF
Z
Inv.: 23076 (Lokasi: 06/01), Tahun?, Asal?, Sulam, 65XK-5 660 μm42 μm
1.569 μm
Inv.: 08341 (Lokasi: 02/01), Tahun ?, Sumbar, Songket, 65X
K-3
S
S49 μm272 μm 852 μm
Card
: AF1
2A
Card
: AF1
1CCa
rd: A
F11A
Card
: AF1
1DCa
rd: A
F11B
Inv.: 20318 (Lokasi: 45/04), Tahun ?, Asal?, Silang Polos, 65XSK-
3
Card
: AF1
2B
565 μm43 μm 260 μm
Inv.: GVT051 (Lokasi: 15/02), Tahun ?, Aceh, Silang Polos, 65X
K-3 S Ca
rd: A
F12C
433 μm 235 μm 56 μm
Inv.: 08748 (Lokasi: 04/01), Tahun ?, Aceh, Songket, 65X
K-3 S83 μm 206 μm 725 μm Ca
rd: A
F12D
119 μm
1.548 μm
Inv.: 21727 (Lokasi: 04/01), Tahun ?, Sumsel, Songket, 65XNO
TASI
PENU
LISAN
KATE
GORI
APLIK
ASI L
OGAM
K-5
Z 997 μm
Inv.: 05819a (Lokasi: ?), Tahun 1887, Madura, Damas, 65X
SK-3
296 μm585 μm
23 μm
K-3
Inv.: 01243c (Lokasi: 15/01), Tahun?, Asal?, Teknik?, 65X
222 μm 574 μm 26 μm
Holde
r: AG
Z
K-5 787 μm 96 μm
1.360 μm
Inv.: 13234 (Lokasi: 21/01), Tahun 1900, Aceh, Sulam-cucuk, 65XK-
5
S
Z1.813 μm156 μm 852 μm
Card
: AG1
4A
Card
: AG1
3ACa
rd: A
G13C
Card
: AG1
3DCa
rd: A
G13B
Inv.: TN3265 (Lokasi: 62/03), Tahun ?, Asal?, Songket, 65XS
K-3
Card
: AG1
4C
900 μm 25 μm314 μm
Inv.: 09597 (Lokasi: 05/02), Tahun 1900, Aceh, Damas, 65X
K-3
S
Card
: AG1
4D1.980 μm392 μm
Inv.: 21338 (Lokasi: 11/32), Tahun 1936, Sumsel, Songket, 65X
K-3 S57 μm488 μm1.196 μm Ca
rd: A
G14B
Inv.: 05819b (Lokasi: ?), Tahun 1887, Madura, Sulam-cucuk, 65X
1.052 μm
Lampiran 07.
[ 38 ]
Lampiran 08.
32 AB 03 A 03/02 21669 08 20 1936 K-5a Z 681 112 1.177 1?33 AC 06 C 02/04 21452 10 17 -- K-5a Z 735 72 1.219 234 AD 07 A 83/01 25419 06 14 -- K-5a Z 727 64 1.250 135 AE 10 C 55/04 03514 18 17 -- K-5a Z 582 108 1.253 236 AC 06 A 15/03 25294 01 14 1941 K-5a Z 685 73 1.320 137 AG 13 D -- 05819 b 16 17 1887 K-5a Z 787 96 1.360 2/3 1?38 AA 01 C 15/03 26967 01 14 1952 K-5a Z 634 61 1.455 139 AE 09 D 83/01 29109 b -- 01 -- K-5a Z 599 220 1.455 140 AE 10 D 02/04 23782 09 14 -- K-5a Z 416 216 1.470 2?
21 AE 09 A 01/02 00048 GVT 08 14 -- K-3a S 211 120 931 222 AB 04 D 05/03 00045 GVT -- -- -- K-3a S 365 47 1.010 123 AD 07 C 36/04 16496 -- 20 -- K-3a S 450 31 1.026 224 AG 14 B 11/02 21338 08 14 1936 K-3a S 488 57 1.196 2 225 AC 06 B 02/04 00044 GVT -- -- -- K-3a S 482 51 1.204 126 AA 02 D 36/02 03344 TN -- 20 -- K-3a S 238 497 1.233 S 2 1?27 AA 02 B 03/01 27650 08 14 -- K-3a S 470 185 1.251 1?28 AB 03 B 05/03 00041 GVT -- -- -- K-3a S 530 61 1.409 2?29 AE 10 A 55/04 21651 18 14 -- K-3a S 460 24 1.538 130 AC 05 D 05/03 00040 GVT -- -- -- K-3a S 508 451 1.560 1?31 AG 14 D 05/02 09597 01 13 1900 K-3a S 392 1.052 1.980 2
Notes: a). Semua ukuran dalam mikro meter (μm). 1μ (mikro) = 1/ sejuta. 1 mili = 1/ seribu. 1 senti = 1/ seratus. 1.000 μm =
1 mm. b). KAB = Kode Asal Benda. 01). Aceh; (02). Sumut; (03). Sumbar; (04). Riau; (05). Kep. Riau; (06). Kep. Babel; (07).
Jambi; (08). Sumsel; (09). Bengkulu; (10). Lampung; (11). Banten; (12). DKI Jakarta; (13). Jabar; (14). Jateng; (15). DIY; (16). Jatim; (17). Bali; (18). NTB; (19). NTT; (20). Kalbar; (21). Kalteng; (22). Kalsel; (23). Kaltim; (24). Kaltara; (25). Sulut; (26). Gorontalo; (27). Sulteng; (28). Sulbar; (29). Sulsel; (30). Sultra; (31) Malut; (32). Maluku; (33). Papua Barat; (34). Papua
c). TFK = Teknik Fabrikasi & Kolorasi. (01). Tenun (Tabby); (02). Batik; (03). Ikat ; (04). Jumputan/ Pelangi; (05). Tritik; (06). Sablon; (07). Prada; (08). Colet; (09). Satin; (10). Silang-kepar (Twill); (11). Permadani (Tapestry); (12). Rep; (13). Damas (Damask); (14). Songket; (15). Sungkit; (16). Pilih; (17). Sulam-cucuk (Couching); (18). Perca (Applique); (19). Sulam-bantal (Quilt); (20). Sulaman/ Bordir (Embroidery); (21). Brokat (Brocade); (22). Renda (Lace); (23). Rajut (knitting); (24). Kepang (braiding); (25). Anyaman (plaiting/ matting)
d). Thn = Tahun Perolehan; e). Bahan =>1=emas; 2=perak; 3=lgm lain; ?=tdk dikenal.f ). KA = kandungan air (%), pH = tingkat keasaman.
Lokasi - Asal Tekstil (Sumbu) Benang
LebarInv. No. Kategori JarakTwist Dia. Twist Ply Bahan KA - pH
Lokasi Sampel dan Hasil Pengamatan Logam Tekstil
Lokasi Sampel
Holder Card Side Lokasi KAB
Kondisi Logam
TFK ThnNo.
1 AC 05 A 55/03 13091 -- -- -- K-1 -- -- -- -- 12 AD 08 C 55/03 23807 a -- 07 -- K-1 -- -- -- -- 1?3 AF 12 C 15/02 00051 GVT 01 01 -- K-3a S 235 56 433 1?4 AC 05 C 04/01 10972 01 01 -- K-3a S 274 23 464 2 sumbu?5 AF 11 C 28/04 22252 -- 13 -- K-3a S 325 19 480 16 AF 12 B 45/04 20318 -- 01 -- K-3a S 260 43 565 17 AG 13 A 15/01 01243 c -- -- -- K-3a S 222 26 5748 AD 07 B 15/01 19753 a 04 21 -- K-3a Z 265 38 585 2?9 AG 13 C -- 05819 a 16 13 1887 K-3a S 296 23 585 1?
10 AE 09 C 15/03 20323 01 01 1932 K-3a S 310 10 665 111 AD 08 A 03/01 10963 01 01 1904 K-3a S 345 31 673 1?12 AF 12 D 04/01 08748 01 14 -- K-3a S 206 83 725 1?13 AA 01 D 15/02 08752 01 14 -- K-3a S 200 210 752 1?14 AB 04 B 15/03 20159 01 14 1932 K-3a S 292 25 767 1?15 AF 11 A 15/03 21883 01 14 1937 K-3a S 300 30 771 1?16 AA 01 B 15/01 01243 c -- -- -- K-3a S 195 36 800 2?17 AD 07 D 15/03 23261 01 14 -- K-3a S 209 121 824 2?18 AF 12 A 02/01 08341 03 14 -- K-3a S 272 49 852 119 AG 14 C 62/03 03265 TN -- 14 -- K-3a S 314 25 90020 AA 01 A 55/03 13147 -- 17 -- K-3a S 260 185 930 2
Notes: a). Semua ukuran dalam mikro meter (μm). 1μ (mikro) = 1/ sejuta. 1 mili = 1/ seribu. 1 senti = 1/ seratus. 1.000 μm =
1 mm. b). KAB = Kode Asal Benda. 01). Aceh; (02). Sumut; (03). Sumbar; (04). Riau; (05). Kep. Riau; (06). Kep. Babel; (07).
Jambi; (08). Sumsel; (09). Bengkulu; (10). Lampung; (11). Banten; (12). DKI Jakarta; (13). Jabar; (14). Jateng; (15). DIY; (16). Jatim; (17). Bali; (18). NTB; (19). NTT; (20). Kalbar; (21). Kalteng; (22). Kalsel; (23). Kaltim; (24). Kaltara; (25). Sulut; (26). Gorontalo; (27). Sulteng; (28). Sulbar; (29). Sulsel; (30). Sultra; (31) Malut; (32). Maluku; (33). Papua Barat; (34). Papua
c). TFK = Teknik Fabrikasi & Kolorasi. (01). Tenun (Tabby); (02). Batik; (03). Ikat ; (04). Jumputan/ Pelangi; (05). Tritik; (06). Sablon; (07). Prada; (08). Colet; (09). Satin; (10). Silang-kepar (Twill); (11). Permadani (Tapestry); (12). Rep; (13). Damas (Damask); (14). Songket; (15). Sungkit; (16). Pilih; (17). Sulam-cucuk (Couching); (18). Perca (Applique); (19). Sulam-bantal (Quilt); (20). Sulaman/ Bordir (Embroidery); (21). Brokat (Brocade); (22). Renda (Lace); (23). Rajut (knitting); (24). Kepang (braiding); (25). Anyaman (plaiting/ matting)
d). Thn = Tahun Perolehan; e). Bahan =>1=emas; 2=perak; 3=lgm lain; ?=tdk dikenal.f ). KA = kandungan air (%), pH = tingkat keasaman.
Lokasi - Asal Tekstil (Sumbu) Benang
LebarInv. No. Kategori JarakTwist Dia. Twist Ply Bahan KA - pH
Lokasi Sampel dan Hasil Pengamatan Logam Tekstil
Lokasi Sampel
Holder Card Side Lokasi KAB
Kondisi Logam
TFK ThnNo.
[ 39 ]
Lampiran 09.
I. II. III. IV. V.Asia
CinaJepangIndia IndonesiaThailandBirmaButanTibetAsia TengahPersiaTimur TengahBizantine
v-?vvvvv?
v?vvv
vvvv???vvvvv
vvvv????----
PharonicCopticAfrika UtaraSuku campuran
Afrika
EropaYunani & Romawi KunoBelanda dan BelgiaEropa Timur (Balkan, Rusia, dll)InggrisPerancisJermanItalia
* Luccan* Sicilia* Venesia
SkandinaviaSpanyol
FatimidTulunidSeljukBuvidTimuridMamlukOttomanPersia (Safavid, Qajar)IndiaSpanyolSiciliaCampuran (Afrika & Indonesia)
Islam
vvvv???v?vv?
?-
v??
??v
v?
?---
?---
?---
----?
vvv??
v?
v-
v?-v?vvvvvv
--
v?-vv---vvv
-----------v
?----v?vv??v
?vvvvv
??vv?
?vvvvv
??vvv
??????
vvvvv
?-----
-----
?vv?vv
vvv??
-?-?vv??v???-?vv
K A W A S A N Negara
K a t e g o r iPe
rseb
aran
Ber
baga
i Kat
egor
i Pen
erap
an Lo
gam
Pad
a Te
kstil
Di S
elur
uh D
unia
v =
cont
oh d
iket
ahui
; - =
cont
oh ta
k di
keta
hui t
etap
i dise
tuju
i; -? =
cont
oh ta
k di
kena
l & o
bser
vasi
terb
atas
; v? =
cont
oh d
iken
al te
tapi
seba
gai b
aran
g im
por.
K-3a
K-3b
K-3c
K-2a
K-2b
K-2c
Lempengan panjang logam
Kawat bundar logam
Spiral logam
Sumbu benang
Sumbu
benang
Sumbu
benang
Lempeng logam
Percik logam
(bulat)
K-4a
K-4b
Sumbu
benang
Sumbu
benang
Pembungkus organik
selulosik (kertas, dll.)
Pembungkus organik
protein (velum, minyak, dll.)
Lempeng logam
Lempeng logam
Percik logam
(persegi)
K-1a
K-1b
Kain jadiBubuk logam(emas/perak)
Lempengan logam (emas/perak)
K-5a
K-5bSumbu
benang
Sumbu benang
Strip organikselulosik (kertas, dll.)
Lempeng
logam
Strip organikprotein (velum, minyak, dll.)
Lempeng logam
-
1
2
3
4
5
[ 40 ]
Lampiran 10.
1868
1596 1602 1613 1619 1632 1645 1660 1695 1778 1815
1825-30
18831900 1908 1928 1933
1945
CE78
400 450 500518600 670 700732 900 960 10001279 1292 1370 1400
1453
15001509 1516
1528
The First Hinduism Kingdom
BCE3000 - 2000
PRE HISTORY (NEOLITHIC)
(manusia trinil). Pithecantropus erectus
BRONZE AGE
Aji Çaka
HISTORY (Kutai Kingdom,Kalimantan, Hindu)
800 - 200
TARUMANEGARA (Jawa Barat, Hindu)
Chinese chronicles mention that certain King of North Sumatera wore silk cloth. The stone inscription found is as foundation of Indonesian Historic period.(03)
(04)MATARAM I (Jawa Tengah, Hindu)
(06)(07)
(08)
SRIWIJAYA(Sumatera Selatan, Hindu)
The Sung dynasty mentions that cotton goods from Java were used as princely presents.(09)
* Borobudur and Prambanan* Kain Prada
(11)
(14)
(15)MATARAM II
(Jawa Tengah, Islam)
(16)
(17)
(23)
(20)
(22)
(19)
(24)
(26)
(28)
’.
(13)MADJAPAHIT(Jawa Timur, Hindu)
HISTORICAL RECORDSPERIODS YEAR
Ikat lungsi (warp) is considered present in the time. The textile with geometrized stylization of human, bird, reptilian, and floral forms. Those like textile producing
regions are Kalimantan (jackets and breechclouts from Dayak Iban, D.Bahau and D.Kenyah), Sumatera (ulos from Batak, Palepai and Tampan from Lampung), Sulawesi (Toraja), Nusatenggara (Timor and Sumbawa) and Bali. Songket or supplementary warp was also present in that time (?).
(01)
Motifs on the bronze-wares from that era is similar to the textile design and pattern of No.1. Bronze-wares from that era, for example kettle drums and axes
which were influenced by the Dongson’s culture (Tongkin, Vietnam).
(02)
Chinese source of the Ling and T’ang dynasties: the people of Java and North Coast of Sumatera wore cotton in use in Sumatera as early as the 6th century. There are
3 species of Gossypium, i.e. G. herbaceum (the most common), G. obtusifolium (in Southern Sumatera, cultivated by the Dutch), and G. brasiliense (Malay Peninsula, cultivated by the British).
(05)
Jatuhnya Kekuasaan JAYAKARTA.
Governor General Jan Peterzon Coen succeeded in gaining the authority over Jayakarta, which was renamed ‘Batavia’.
(18)
Secang-wood and mengkudu were in common use by using mineral alum (Javanese called it as tawas) and plant alum (probably Jirek). However, the plant alum was considered the older mordant than the mineral alum. [The raw materials were treated with oil (castor) and lye (ash from burning rice stalks, or trunks of various trees of banana) that dyes from Morinda mixed with Jirek, Symplocos fasciculata Zoll.] Sugar, indigo, and coffee from Java and Sumatera were exported to Europe.
(21)
(27)
The fragment recontruction on terracota with straight and waved lines is an evidence for the earliest textiles.
Ikat pakan (weft) together with import silks were brought by Indians and Islamic traders to Java and Sumatera (possibly, also applications of beads, sequins,
glass/mirrors, and gaining of the knowledge of technique for mixing color/dye). The regions of the two islands that were contacted by the mentioned traders were as indication of silk and songket clothes, and probably silver and gold threads. Other regions: Palembang (South Sumatera), Donggala (Central Sulawesi), Bugis (South Sulawesi) and Bali. In old Javanese written source suggest that ‘kain prada’ enjoyed very great popularity in aristocratic circles in East Javanese Kingdom of Madjapahit. (In Bali, gold leaf was an important article of commerce imported from China and Thailand via the port of Singaraja in the latter half of the 19th century).
(10)
In Palembang, was cultivated the mulberry trees for Bombix mori foods (silk coccon), it was also in Sulawesi. Typical silk cloth colors are red, green, blue and
other bright colors. Silver and gold threads was utilized throught the supplementary weft technique, which raises the metallic threads to the surface of the cloth with design of geometric and stylized floral meanders.
(12)
King Hayam Wuruk who succeeded in reuniting the Indonesian Archipelago was among the re-owned rulers of that period of Hindu Kingdoms. The same period saw the building of the Borobudur Buddist sanctuary under the Çailendra dynasty in Central Java and Prambanan Hindu temple by King Daksa.
The Board Commerce and Industry of the Dutch East Indies published the Native Batik Industry. Some German synthetic dyestuffs first produced
in the years 1920 to 1928 come into use in Jakarta and Pekalongan . e.g. for red color (aniline of Beta-hydroxy naphthoic acid, which applicable in cold water), for basic yellow (Auramine-O, Ciba Ltd., Basle), form brown (a benzidine dyestuffs, called soga-soga which developed with diazo compounds).
(30)
In the colonialism era the Fierce battles broke out everywhere led by brave patriots, like as Prince Diponegoro (1825-1830) in Central Java.
Artificial Indigo and Alizarin were firstly used by Javanese
The new museum bu i l d ing (presently National Museum) was opened in Jalan Merdeka Barat 12, Jakarta.
The Indonesian youth, in the 2nd congress on October 1928, called for unity among the Indonesian youth and pledged allegiance to ‘One Nation, Indonesia, One Motherland, Indonesia, One Language, Bahasa Indonesia.
Gunung Merapi (a volcano name in Central Java) eruption sent a plenty of minerals, i.e. mineral alum.
Mangosteen flower motifs in Prambanan temple reliefs (also similar in Palembang) or in Design Javanese Batik, jelamprang, attesting to origin in the Hindu-Indonesian Period.
(29)REPUBLIC OF INDONESIA
(25)
BCE : Before Common Era (Sebelum Masehi [SM]); CE ; Common Era (Sesudah Masehi [M])
Periode dan Penanggalan Kronometrik (CHRONOMETRIC DATING)
The Dutch settled in Banten, West Java.
Portuegese was the f i rs t European to set foot in Indonesia.
The Dutch established the Nether lands East Ind ies Company (VOC).
Because the fall of Constantinople in 1453, the European merchants sought to purchase spices, which at that time were very rare and quite expensive, directly the producing country, i.e. Indonesia.
Because in this period of national awakening was heralded by ‘Boedi Oetomo ’, the organization founded on May 20. Its ultimate aim was the establishment of an Independent Indonesian State.
Indian cotton (from Madapolam and Calicut) have been supplanted by European fabrics.
Sultan Agung introduced the Islamic-Javanese calendar and was patron of the Arts and Crafts.
There were mineral alum and madder imported from Mecca and Aden (Medinah), included coral and copper.
The Batavian (presently Jakarta) Society for the Arts and Sciences was founded in Jakarta on April 24, 1778.
Gunung krakatau (a volcano name in the Java Sea, close to Banten District) eruption also sent a plenty of minerals.
There was a barter trade which were Indonesian cotton cloth and Chinese silk. Silk patola cloth (may from India) also present in the era (Javanese and Sumatrans called as ‘cindai’).
In Aceh, sappan-wood (secang) already was one of the outstanding export stuffs to the Arab. The secang dye work was considered as the oldest native red dye work.
2017
72 y
rs
Japan Periods: Asuka (552-645); Nara (645-794); Heian (794-1185); Kamakura (1185-1333); Muromachi (1392-1573); Momoyama (1573-1615); Edo (1615-1868)China Dynasties: Sui (581-618); T’ang (618-906); Five (907-960); Sung (960-1279); Yuan (1280-1365); Ming (1368-1644); Ch’ing (1644-1912)
Lampiran 11.
Kondisi Bagus
Foto Tahun 1994
kondisi kain kuat, masih utuh & tidak ada lubang
1858
1938
80 ta
hun
1994
56 ta
hun
201622
tahu
n
136 t
ahun
78 ta
hun
158 t
ahun
TAHUNPEMBUATAN
TAHUNPEROLEHAN
(REGISTRASI)
TAHUNOBSERVASI
KONDISI 1
TAHUNOBSERVASI
KONDISI 2
Masa Depan(Kapan ?)
USIA
REL
ATIF
BEN
DA (U
RB)
22 ta
hun
Sedikitnya ada 8 (delapan) kain dodot diperoleh di tahun ini.Lihat dodot no inv. : 23144,
23145, 23146, 23147, 23148, 23149, 23150, dan
23334.
Kondisi RusakFoto Tahun 2016
Foto Tahun 2016, Foto-foto detail & Mikrotersimpan/ terdokumentasi.
pudar
lipatan
lubang
lubang
lubang
lubang
Kondisi Bagus
Foto Tahun 1994, Kondisi Tahun 1858 Bisa Lebih Bagus.
pudar
lipatan
Observasi & Indikator Keterawatan : Menelaah Kerusakan Dulu - Kini - Akan Datang
Kain dodot ini memiliki tengahan biru berbentuk belah ketupat. Bentuk tengahan ini lazim disebut sebagai "sidangan". Dodot yang berwarna biru, biru gelap (tua) dan coklat ini dihiasi dengan gambar-gambar gunung, burung, dan pohon yang sebagian dalam warna emas (prada). Salah satu sudut tertulis "Ping 1 Maulud Dal 1839" (Tanggal 1 Maulud Dal 1839 atau 17 November 1858) dalam huruf keemasan. Warisan Tuan J.W Van Dapperen yang wafat di Baturaden pada 1 Oktober 1937, Diterima di Museum Nasional tahun 1938.
23147: Kain Dodot dari Yogya, 360 x 210 cm, 1938.
kurangterawat
cukupterawat
Analisis Kerusakan : Hasil kajian menunjukkan bahwa kerusakan koleksi tekstil bisa disebabkan oleh kondisi koleksi (faktor internal) dan kondisi lingkungan (faktor eksternal). Faktor internal meliputi: garam logam komplek (mordan), logam pemberat sutera, dan benang logam yang dapat mengalami oksidasi; unsur-unsur belerang (yang biasa terikat dengan mordan alum) akan membentuk asam kuat. Selanjutnya hasil oksidasi (korosi) dan asam kuat yang terbentuk akan melapukkan serat (pemecahan rantai molekul). Penyimpanan koleksi yang dibungkus kertas minyak dalam kotak kayu (yang bersifat bu�ering) terbukti menyelamatkan koleksi. Korosi adalah reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tak dikehendaki. Reaksi oksidasi adalah reaksi pelepasan elektron oleh sebuah molekul, atom, atau ion. Reaksi reduksi adalah reaksi penambahan elektron oleh sebuah molekul, atom, atau ion. Oksidator yang biasa digunakan adalah natrium hipoklorit (NaOCl) dan hidrogen peroksida (H2O2). Cek pH (dengan pH meter) dan Potensial Redoks (dengan ORP meter dalam satuan miliVolts) untuk mengatasi pelapukan kain ini.
[ 41 ]
210 360
370220
KAIN bantalan dibuat kuat dan ringan + busa dan kain kasar untuk menahan koleksi menempel.
bahan pelindung sejenis akrilik/ plexiglass.
Lemari/ rak simpan berukuran lebar(ukuran dalam 250 x 450 cm)
Tidak Dilipat
Simpan: kondisi melebar [Flat]
Displai: terlindungi (akrilik)
1
2
3
Meja
Kerja
untuk
treat
men
250
500
meja ke
rja dibuat
ringan
dan ku
at
(stainles
s mesh
) den
gan ka
ki bisa
dilepas
. Meja
dibuat 2 u
ntuk
membolak
-bali
k kain
rapuh.
360
210
Meja Kerja untuk membalik kain rapuh
KAIN D
ODOT
Kain Kasa
StainlessWoven MeshMenyiapkan 2 Meja Kerja
(Ukuran Terbesar Dodot)
Beberapa Langkah Penanganan Kain Dodot Berumur 158 TahunLampiran 12.
[ 42 ]
Lampiran 13.
Dodota. Bentuk:375 x 115 cm.b. Ukuran:
kapas, prada masc. Bahan:biru tua, merahd. Warna:
burung, gununge. Motif/Hiasan:batik, pradaf. Teknik Pembuatan:
Kain dodot ini dibuat dengan cara batik, bagian tengahan yang berwarna merahmuda berbentuk belah ketupat ("sidangan"). Pada seluruh permukaan bidangkain (kecuali tengahan) dihiasi dengan gambar-gambar burung garuda yangdiatur secara simetris (yang berwarna kuning soga). Gambar-gambar burungini ditempatkan dalam bidang-bidang belah ketupat yang terbentuk daripemotongan bidang dasar secara diagonal. Potongan-potongan bidang ini,berikut hiasan-hiasanya isinya sebagaimana pola hias "semen" dalam batikJawa. Sebagai perbandingan lihat dodot no. 23148.Dodot termasuk pakaian keraton, kebesaran para bupati, pembesar, puteribangsawan, mempelai pria dan wanita, penari serimpi dan bedaya/ penarikeraton (jasper & Pringadie, 1997:91-95).
g. Uraian:
a. Tempat Asal:
pakaian keraton, kebesaran para bupati, puteribangsawan, .... lih. hal.2.
e. Kegunaan/ Fungsi:
14/10/1937f. Tahun Perolehan:
BeliTemuan
Hadiah/ HibahTransaksi lain
g. Cara Perolehan:
Baik Cukup Rusak Hancur7. Kondisi:
Warisan Tuan J.W. Van Dapperen yang wafat di Baturaden pada 14 Okt. 1937. diterima di MNI pada 1938. Ref.: J.E. Jasper &M. Pirngadie (1997): Seni Batik, Tim Peneliti Batik Indonesia, trans-edit-anot: S.H. Adiwoso & P.Y. Subagiyo, Tokyo - Jakarta.Subagiyo, P.Y. (1996): Metal Thread Exam..., Jambi Int. Symposium. hal.11-13.
8. Keterangan, Referensi, dll.:
Mata biasaKaca pembesarMikroskopLain-lain
9. Teknik Pengamatan:24 September 1994Tanggal Pengamatan:
Tanda tanganKurator:
Puji Yosep SubagiyoNama Kurator:
X
5. Deskripsi Benda:
6. Riwayat Benda:
Warisan Tuan J.W. VanDapperen
lipatan
.:baK.atrakaygoYDI Yogyakarta aisenodnI.:porP Negara :
b. Tempat Pembuatan:c. Tempat Temuan:d. Tahun Pembuatan:
4. Tempat Penyimpanan:
23150 b b 05132:.vnI romoN .3
Nomor Reg.:
)urab()amal(
23150 bNo. Foto:
GB.ST5.031.04
)urab()amal(
14b. (31B/7)
Kain dodot1. Jenis Koleksi: Etnografi2. Nama Benda:
(baru)(lama)
(Sub) Kelompok: Tekstil Batik,Prada
78Usia Relatif: Tahun
Silang polosSilang keparTapestriRep
SatinDamasLain-lain
Brokat (brocade)Kelim (slit/ interlocked)Perca (applique)PilihSongketSulam (embroidery)Sulam bantal (quilting)Sulam cucuk (couching)SungkitLain-lain
ColetPrada
Sablon/ PrintingLain-lain
BiasaBatikIkat
Plangi/JumputanTritikLain-lain
K-1aK-1bK-2aK-2bK-2c
K-3aK-3bK-3cK-4aK-4b
K-5aK-5bLain-lain
KETERANGAN KHUSUS (ATRIBUT)
Teknik Tenun/ Nir-Tenun :
Pewarnaan (Pencelupan/ Pigmentasi) :
Kategori Penerapan Logam :
LEMBAR INVENTARIS TEKSTILForm. LIK-Teks�l/PNG/2017
[ 43 ]
[ 44 ]
Lampiran 14. LEMBAR KONDISI TEKSTILForm. LKTe-Teks�l/PNG/2017
B. Restorasi, Penguatan dan Konsolidasi
Kotor/ debuSobekLubangLipatanPenguninganWarna berubahRapuh/ getasPerekat/ labelLain-lain
A. KERUSAKAN FISIK
Pembersihanpenyedotankwascuci basah
kering/ kimialokal/ spotkelantang
A.
lain-lain
pendobelan kainpelembab-rataan kain
pembingkaianpenempelan benang
1. Rapuh, getas = brittle (easily broken because it is hard (stiff) & not flexible).
2. Lapuk, mubut = fragile (easily broken or damaged).
isidnoKadneB lasAadneB amaN.vnI .oNoN
D. KERUSAKAN LAIN
No Foto :
Ukuran
REKOMENDASI PERAWATAN DAN PENGAWETAN :
Kulit BinatangBuluSerat SuteraSerat WolOther...
BAHANPEMBENTUKBENDA
PROTEIN
JamurSeranggaBubuk, kumbangLaba-labaNgengat kainRayapGegat (silver fish)KecoaKumbangBinatang pengeratLain-lain
B. KERUSAKAN BIOTIS
Pucat/pudarNoda (stains)Berlemak/minyak
KorosiKristal garamOksidasi
Lapuk/ mubutPudarBau
Lain-lainC. KERUSAKAN KIMIAWI
Catatan :
TulangKerangPigmen/ CatManik-manikKacaResin
LAIN-LAIN
Lokasi:
CATATAN:
K-1aK-1bK-2aK-2bK-2cK-3a
K-3bK-3cK-4aK-4bK-5aK-5b
KategoriAplikasi Logam
1 : emas; 2 : perak; 3 : lgm lain.
Prioritas Tindakan : A . Segera C. RendahB. Sedang
Pengawetan dan Perlakuan LainPembersihan bekas jamur/ insek
C.
FumigasiFreezing
Perlakuan lain
Benang LogamBenang EmasBenang PerakPercik LogamPradaOther...
Kulit KayuAnyamanSerat KapasSerat LinenSerat NanasSerat KoffoOther...
LOGAM
SELULOSE
LINGKUNGAN MIKRO DAN LAINNYA :A. Intensitas Cahaya (Lux)B. Radiasi UV (μW/Lmn) -C. Suhu Udara (0C) --------D. Suhu Permukaan (0C) --E. Kelembaban Udara (%) F. Kandungan Air (%) ------G. Keasaman (pH) ----------H. ORP (mili Volts) ---------
USULAN UJI BAHAN (LAB) DAN CATATAN= ......... (........)= ......... (........)= ......... (........)= ......... (........)
--- = ......... (........)= ......... (........)= ......... (........)= ......... (........)
I.
III.
IV.
C.
B.
A.
D.
E.
V.
VI. TEKNIK PENGAMATANA. Mata biasa (tanpa-alat)B. Kaca PembesarC. Mikroskop. ................ XD. .......................................E. .......................................F. ........................................
VII. TANGGAL PENGAMATAN
TandatanganObservator,
Konservator,dll.
Nama : ..............................................
(DD/MM/YYYY) ............................................
1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. 2. 3. 4. 5.
7.
1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
8. 9.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11.
1. 2. 3.
7. 8. 9.
4. 5. 6.
10.
II. KONDISI SAAT PENGAMATAN : Baik Cukup Rusak Hancur Ak�f
J.
1. 2. 3.
4. 5. 6.
7.
1. 2. 3.
4.
1. 2.
3. 4.
.......................
Lain-lain
Lain-lain
Lain-lain
Lain-lain
Perlakuan lain5.
I. Tekanan Udara (mb) -- = ......... (........) Catatan : ORP = Potensial Redoks.
..............................
..............................
..............................
[ 45 ]
773
743
782
783
784
123
124
157
159
170
313
314
808
839
840
843
907
926
949
950
952
345
901
346
357
358
KNI (Kode Nomor Inventaris)
Grafik Analisis Spontan (GAS) URB, NJB dan TKBUntuk Mengetahui Hubungan Usia, Bahan dan Tingkat Kerusakan
26 Teks�l di Museum Nasional
10
0
20
40
60
80
100
120
140
160
15
2530
9095
5045
55
Bes
aran
UR
B, N
JB d
an T
KB
URB
TKBNJB
Keterangan TKB => 10 : Baik; 15 : Cukup; 20 : Rusak; 25 : Hancur; 30 : Ak�f. URB = Usia Rela�f Benda; NJB = Notasi Jenis Bahan; TKB = Tingkat Kerusakan Benda.
Keterangan NJB => 40 : Kapas; 45 : Kapas + Logam; 50 : Sutera; 55 : Sutera + Logam; 90 : Kapas + Sutera;95 : Kapas + Sutera + Logam.
Perbandingan Jumlah Kerusakan Koleksiterhadap Lokasi dan Kondisi [Total: 1.694]
Kondisi dan Lokasi
0
100
200
300
400
500
600Ju
mla
h (P
erse
bara
n/ P
erse
ntas
e &
Kond
isi)
A B C D E
408
(84%
)6
(1,2
%)
12 (5
%) 70
(32%
)
9 (2
%)
12 (8
%)
16 (1
1%)
Jumlah
BaikSedangRusak
Per Ruang& Persebaran
Kond
isi
389
(23%
)33
3 (8
6%)
123
(81%
)
151
(9%
)
47 (1
2%)
139
(62%
)221
(13%
)
371
(82%
)
52 (1
2%)
25 (6
%)71
(15%
)
485
(29%
)
448
(26%
)
Gambar 1.
Gambar 2.
An
alis
a K
ua
nti
tati
f
Catatan: Pembandingan persentase kerusakan dikaitkan dengan kondisi suhu dan kelembaban pada setiap ruang (A, B, C, D dan E) dianggap sebagai Analisa Kualitatif, sedangkan pembandingan jumlah (bukan persentase) kerusakan pada setiap ruang (A, B, C, D dan E) dianggap sebagai Analisa Kuantitatif.
An
alis
a K
ua
liita
tif
Lampiran 15.
[ 46 ]
Lam
pira
n 16
.
SU
MATE
RA
BLA
CK
CO
TTO
N
Dyein
g M
ate
rials
:
indi
goje
pal
lime
pala
leng
kuas
Indi
gofe
ra a
rrec
ta H
ochs
t. e
x A.
Ric
h
Myr
istic
a fr
agra
nts
Hou
tt.
Lang
uas
gala
nga
L.
leav
es
rhiz
ome
kaem
pfer
itrin
min
eral
(M
i)in
gred
ient
(I)
gala
ngin
, ka
mpf
erid
(D;6
0;44
-49)
(I;6
9)(r
hi;5
3)
Ver
nacu
lar
Nam
eSci
entif
ic N
ame
Part
s Em
ploy
edChe
mis
try
Ref
eren
ce
1. A
CEH
1
Not
es
SU
MATE
RA
BLU
EC
OTT
ON
Dyein
g M
ate
rials
:
kayu
sep
ang
nyar
ibu
ngur
jali
air
tim
busa
nam
seba
saly
e (?
)
Cae
salp
inia
sap
pan
L.
Lage
rstr
oem
ia flo
s-re
gina
e Ret
z.Coi
x la
crym
a-jo
bi L
.
Indi
gofe
ra a
rrec
ta H
ochs
t. e
x A.
Ric
hG
loch
idio
n de
smoc
arpu
m H
ook.
leav
esba
rk
leav
esba
rk
braz
ilin
kaem
pfer
itrin
(wod
;I;1
4)(l
vs;?
)(b
rk;D
;52)
(?;2
7)
(lvs
;D;4
4/60
)(b
rk;D
;41)
Ver
nacu
lar
Nam
eSci
entif
ic N
ame
Part
s Em
ploy
edChe
mis
try
Ref
eren
ce
9. B
ENG
KU
LU2
SCO
URIN
G for
A9:
coc
onut
le
aves
ash
; ka
yuar
a ku
ning
(Fi
cus
spp.
); d
uren
(34
)pe
els;
ker
osen
e;ay
ar b
land
a (r
ice
stal
ks a
sh (
75);
wije
n (I
;oil;
93);
ke
paya
ng (
I;
Not
es
JAVA
RED
BR
OW
NC
OTT
ON
Dyein
g M
ate
rials
:
kem
bang
pul
upu
cuk
gant
im
esoi
jinte
n iren
gpa
lake
muk
usle
mon
jui
ce
Car
tham
us t
inct
oriu
s L.
Mac
lura
coc
hinc
hine
nsis
(Lo
ur.)
Cor
ner
Cry
ptoc
arya
mas
soy
(Oke
n) K
oste
rm.
Nig
ella
sat
iva
L.M
yris
tica
frag
rant
s H
outt
.Pi
per
cube
ba L.
f.Citr
us a
uran
tifol
ia (
Chr
ism
. &
Pen
z)
cart
ham
in(p
tl;D
;18)
.(l
vs;?
;57)
.(b
rk;?
;31)
.(n
ut;I
;72)
.(n
ut;I
;69)
.(n
ut;I
;83)
(frt
;I;2
2/23
).
Ver
nacu
lar
Nam
eSci
entif
ic N
ame
Part
s Em
ploy
edChe
mis
try
Ref
eren
ce
2. B
AN
DU
NG
and
KER
AW
AN
G
3
CIT
UAR I
I =
M
INYA
K S
UU
K/
MIN
YAK K
ACAN
G(o
il/nu
t;I;
7),
CIS
APU
, LO
MBO
KM
ERAH
and
JAH
E.
Not
es
MA
TER
IALS
LIS
T O
F TH
E IN
DO
NES
IAN
NA
TUR
AL
DYE
ING
REC
IPES
CO
NTO
H
[ 47 ]
1. Aleurites molluccana Willd. (Euphorbiaceae) = kemiri (Jv.). German (Germ.): lichtnuBbaum; English (Engl.) = candlenut. Synonym(s) (Syn.): A. triloba (J.R. et G. Forst.). Reference(s) (Ref.): Hager 2, 1177-78; Zander, p.97; LBN #10, p.61.
2. Allium cepa var. ascalonicum (L.) Back. (Liliaceae) = bawang merah (IN.). Ref.: LBN # 10, p.9.
3. Allium sativum L. (Liliaceae) = bawang putih (IN.). Ref.: LBN # 10, p.11.
4. Annona reticulata L. (Annonaceae): buah nona (IN., Ac.). Germ.: ochsenherz, netzannone. Ref.: Zander, p.109.; Afriastini, p.20.
5. Annona squamosa L. (Annonaceae) = sirkaya, srikaya (IN., Jv.); delima bintang (Ac.). Germ.: rahmapfel, suBsack, zuckerapfel. Ref.: Zander, p.109.; Afriastini, p.133.
6. Aporosa frutescens Blume (Euphorbiaceae) = sasah (Sn.). Syn.: A. fruticosa (Blume) Muell. Arg.; A. similis Merr. Ref.: Prosea 3, p.49.
7. Arachis hypogea L. (Leguminosae/ Fabaceae) = kacang tanah (IN.). Engl.: peanut. Germ.: peanut. Ref.: Prosea, p.45.
8. Artocarpus heterrophyllus Lmk. (Moraceae) = nangka (IN., Jv.). Syn.: A. integra Merr. Ref.: Afriastini, p.98.
9. Artocarphus champeden Spreng. (Moraceae) = campedak (Sn., Pb.). Ref.: Afriastini, p.24.
10. Averrhoa bilimbi L. (Oxalidaceae) = blimbing wuluh (IN., Jv.). Germ.: gurkenbaum. Engl.: cucumber tree. Ref.: Zander, p.129.; Afriastini, p.16.; Prosea, p.57.
11. Basella rubra L. (Basellaceae) = gandola (Sn.). Germ.: indischer spinat, malabarspinat. Engl.: malabar night shade. Ref.: Afriastini, pp.41-42.
12. Bixa orellana L. (Bixaceae) = kesumba keling (Jv.). Germ.: orleanstrauch, orlean-oder rukubaum. Engl.: anatto/lipstick tree. Ref.: Prosea 3, p.50.
13. Blumea balsamifera (L.) DC. (Compositae/ Asteraceae) = sembung (Sn., Jv.). Ref.: Afriastini, p.127.
14. Caesalpinia sappan L. (Leguminosae/Caesalpiniacea) = secang (Jv.). Name of the wood: kayu sapan(g) (Jv.); sappanholz (Germ.); sappanwood (Engl.). Syn.: Biancaea sappan (L.) Todaro. Ref.: Prosea 3, p.60.
15. Calotropis gigantea (Willd.) Dryand. ex Ait.f. (Asclepiadaceae) = widuri (Sn.). Ref.: Afriastini, p.147.
16. Capsicum annum L. (Solanaceae) = lombok
17. Carica papaya L. (Caricaceae) = pepaya (IN.). Germ.: melonenbaum. Engl.: papaya. Ref.: Afriastini, p.109-110.
18. Carthamus tinctorius L. (Compositae/ Asteraceae)
19. Cassia siamea Lam. (Leguminoceae/ Fabaceae) = johar (Jv.). Ref.: LBN # 11, pp.67-69.
Treatments for:
A B - C20. Ceiba petandra (L.) Gaertn. (Bombaceae) = kapok,
kapok randu (Jv.). Syn.: Eriodendron pentadrum (L.). Ref.: Prosea, p.79; LBN # 10, p.45.
21. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Robinson (Rhizophoraceae) = soga tingi (Jv.); tangirih (Mk.). Syn.: C. candolleana Arn. Ref.: Cardon, p.286.; Prosea 3, p.65.
22. Citrus aurantifolia (Chrism. & Penz) Swingle. (Rutaceae) = jeruk nipis, jeruk sambal or pecel (Jv.,IN.); acid lime, sour-lime (Engl.). Ref.: Afriastini, p.22.
23. Citrus hystrix DC. (Rutaceae) = jeruk purut (Jv.); percupin-orange (Engl.). Ref.: Afriastini, p.55.
24. Clerodendron celamitosum L. (Verbenaceae) = sikaso (La.); kembang bugang (Sn.). Ref.: Afriastini, pp.71-72.
25. Coccinia grandis L. Voigt. (Cucurbitaceae) = papasan (Mk.); kemarongan, cekli (Jv.). Ref.: Afriastini, p.71.
26. Cocos nucifera L. (Arecaceae) = kelapa (Jv). Ref.: Afriastini, p.70.
27. Coix lacryma-jobi L. (Gramineae/ Poaceae) = jali (Jv.). Ref.: Afriastini, p.47.
28. Cucumis sativus L. (Cucurbitaceae) = ketimun (IN.). Germ.: gurke. Engl.: cucumber. Ref.: Afriastini, p.96.
29. Curcuma domestica Val. (Zingiberaceae) = kunir (Jv.); kunyit (IN.) Syn.: C. Longa L., Amomum curcuma Murs. Germ.: gelbwurz. Engl.: turmeric. Ref.: Prosea 3, p.146.
30. Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Zingiberaceae) = temu-lawak (Jv.). Germ.: javanische kurkumawurzel. Ref.: Prosea 3,p.146.
31. Cryptocarya massoy (Oken) Kosterm. (Lauraceae) = misoi, mesui (Ma.); massoi (Engl.). Syn.: Cinnamomum massoy Oken; Massoia aromatica Becc.; Cryptocarya novoguineensis Teschner; Cryptocarya aromatica (Becc.) Kosterm. Ref.: Prosea, p.106.
Index of SCIENTIFIC - VERNACULAR of the Indonesian DYE and INGREDIENT Producing Plants
D - E32. Dioscorea hispida Dennst. (Dioscoreaceae) = gadung
(Jv.). Ref.: Prosea 3, 143.33. Duabanga mollucana Bl. (Lythraceae) = kejimas
(Ma.?). Ref.: Prosea 3, p.147.34. Durio zibethinus Murr. (Bombaceae) = durian (IN.,
COM.). Germ.: durianbaum, zibethaum. Ref.: Zander, p.233.
35. Erythrina hypaphorus Boer. (Leguminosae/ Fabaceae) = dadap (Jv.). Ref.: Prosea 3, p.147.
36. Eugenia cuprea (Myrtaceae) = kitambaga (Sn.).37. Eugenia jambolana (Myrtaceae) = juwet (Jv.);
kisireum (Sn.).38. Eugenia polyantha Wight. (Myrtaceae) = janggar-
ulem (Mt.).39. Excoecaria indica (Willd.) Muell. Arg. (Euphorbiaceae)
= gurah (Ac.); dawalong ? (Sn.). Ref.: Prosea 3, p.73.
* Taxonomy (genus/ species & family);* Chemosystematics (dyeing components);
Lampiran 17a.
* Dye Identi�cation on Historic Textiles.
merah (IN.). Germ.: spanischer pfeffer, cayenne-pfeffer, paprika. Engl.: red-peper, guinea peper. Ref.: Afriastini, p.23.
= kesumba (Jv.); kembang pulu (Sn.). Engl.: safflower. Germ.: farberdistel, saflor. Ref.: Prosea 3, p.16.
[ 48 ]
L - M
54. Lansium domesticum Correa. (Meliaceae) = enggusi (Ta.) [wild lansep]. Germ.: Lansibaum. Ref.: Zander, 317.
55. Liana variety * ( ? ) = kaparurihe, kapudirihe (Ta.).
56. Lingustrum glomeratum (Oleaceae) = pucuk ganti (Sn.).
57. Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner (Moraceae) = kayu kuning, tegeran, soga tegeran (Jv.). Syn.: Cudrania javanensis Trecul.; Maclura javanica Blume.; Cudrania cochinchinensis (Lour) Kudo & Masam. Ref.: Prosea, p.89.
58. Mangifera indica L. (Anacardiaceae) = mangga (IN.), memplam (Jv.). Germ.: mangobaum. Engl.: mango. Ref.: Hager 5, pp. 695-696; Zander, p.349.
59. Manilkara kauki (L.) Dubard. (Sapotaceae) = sawo kecik, sawo (Jv., Sn.). Ref.: Afriastini, p.125.
60. Marsdenia tinctoria R.Br. (Asclepiadaceae) = tarum akar [akar-tarum] (Dk.); aka sanam (Minang.). Ref.: Prosea 3, pp.93-94.
61. Melastoma malabathricum L. (Melastomaceae) = sanduduk (Bt.); sanduluk (Ba.). Syn.: M. polyanthum Bl.; M. normale D. Don. Ref.: Hager 5, p.752.; Zander, p.357.
62. Mimusops elengi L. (Sapotaceae) = kupula tanjung (Jv., AC.). Ref.: Afriastini, p.137.; Prosea 3, p.149.
63. Morinda citrifolia L. (Rubiaceae) = mengkudu (IN.); pace (Jv.); bakudu, bengkudu (Ta.); cengkudu, cangkudu (Sn.); indian mulberry (Engl.). Syn.: M. macrophylla Desf. Ref.: Prosea, p. 185.; LBN # 11, p.89.
64. Morinda umbellata L. (Rubiaceae) = mengkudu, pace (Jv.). Syn.: Stigmanthus cymosus Lour. This variety is present in Java, the so-called mengkudu. Therefore this plant is more preferred for mengkudu or pace.
65. Mucuna pruriens (L.) DC. (Fabaceae) = kara (Jv.). Ref. Afriastini, p.62.
66. Musa acuminata Colla. (Musaceae) = gedang klutuk (Jv.). Syn.: M. cavendishii Lamb. ex Paxt.; M. malaccensis Ridl. Ref.: Hager 5, p.892-893.
67. Musa nana Lour. (Musaceae) = pisang kidung (Ac.). Ref.: Afriastini, 112.
68. Musa paradisiaca L. (Musaceae) = pisang (IN.). Ref.: Afriastini, p.112.
70. Myrtus communis L. (Myrtaceae) = jambu keling (Jv.,IN.,Ma.). Germ.: brautmyrte, echte myrte. Engl.: common myrtle. Ref.: Zander, p.365.; Hager 5, p.938.
71. Nephelium lappaceum L. (Sapindaceae) = rambutan (IN., Jv., Ma.). Syn.: Euphoria nephelia DC. Ref.: Prosea, p.197.
72. Nigela sativa L. (Ranunculaceae) = jinten ireng (Jv.); black cummin (Engl.). Ref.: Afriastini, p.56.
74. Omalanthus populneus (Geiseler) Pax. (Euphorbiaceae) = kareumbi (Sn.); tutup abang (Jv.). Syn.: Homalanthus populneus (Geiseler) Pax.; Omalanthus leschenaultianus A.H.L. Jussieu.; H. populifolius (reinw.) Hook .f.; non O. populifolius Graham. Ref.: Prosea 3, p.100.
75. Oryza sativa L. (Gramineae/ Poaceae) = padi (IN.). Ref.: Afriastini, pp.102-103.
76. Oryza glutinosa Auct. (Poaceae) = padi ketan (IN.). Ref.: Afriastini, p.103.
G - J40. Garcinia mangostana L. (Guttiferae/ Clusiaceae) =
manggis (IN., JV.). Ref.: Prosea, 131.41. Glochidion desmocarpum Hook. (Euphorbiaceae) =
sebasa (La.).42. Glochidion obscurum (Willd.) Bl. (Euphorbiaceae)
= dulang-dulang (Mt.); ki pare (lalaki) (Sn.); dempul, cabuk (Jv.). Syn.: G. dasyanthum Kurz. Ref.: Afriastini, p.34.
43. Hiptage madablota Gaerta. (Malpighiaceae) = kakasan (Jv., Sn.).
44. Indigofera arrecta Hochst. ex A. Rich (Leguminosae) = nila (Jv.); sarap (Bt.); taim (Bt., Ba.). Engl.: indigoplant. Germ.: indigostrauch. Ref.: LBN #29, pp.52-53; Prosea, p.61.
45. Indigofera galegoides DC. (Leguminosae) = tarum-utan (Jv.). Ref.: LBN # 29, pp.78-79.
46. Indigofera guatemalensis Moc., Sesse & Cerv. ex Back. (Leguminosae) = tom presi (Jv.). Ref.: LBN # 29, pp.92-93.
48. Indigofera tinctoria L. (Leguminosae) = tom jawa (Jv.). Ref.: LBN # 29, pp.90-91.
49. Indigofera zollingeriana Miq. (Leguminosae) = tom pantai (IN.). Ref.: LBN # 29, pp.56-57.
50. Jatropha curcas L. (Euphorbiaceae) = nawaih (Ac.). Germ.: purgierstrauch, schwarze brechnuB. Engl.: pinon-nut, barbadoes but, purging nut. Ref.: Hager 5, pp.310-311.
P77. Pangium edule Reinw. (Flacourtiaceae/ Bixaceae) =
kepayang (La.). Ref.: Zander, p.393.
79. Peltophorum pterocarpum DC. Backer ex K. Heyne (Leguminosae)= soga jambal (Jv.). Syn.: P. ferrugineum (Decne.) Benth.; P. inerme. Ref.: Prosea 3, p.101.
D - E
N - O
47. Indigofera suffruticosa Mill. (Leguminosae) = tom cantik (Jv.). Ref.: LBN # 29, pp.88-89.
73. Odina wodier Roxb. (Anacardiaceae) = glundong (Ac.); kuda-kuda (Ma.). Syn.: O. gummifera Blume.; Lannea coromandelica (Houtt.) Merill.; L. grandis Dennst. DP.: in the flowers = Quercetin- 3-arabinosid, Morin, Ellagic acid, and Isoquercitrin; in the bark = 8% Phlobatannin, Anthraquinones (Physcion and Physcionanthranol B), DL-Epicatechin and (+)-Leucocyanidin; in the heartwood = much Leucocyanidin. Ref.: Hager 5, p.544.
78. Passiflora foetida L. (Passifloraceae) = peudendang (Ac.). Ref.: Afriastini, pp.110-111.
52. Lagerstroemia flos-reginae Retz. (Lythraceae) = bungur (La.). Syn.: L. speciosa Pers., L. reginae Roxb. Ref.: Afriastini, p.21.
53. Languas galanga (L.) Stuntz. (Zingiberaceae) = lengkuas (Jv.) Syn.: Rhizoma Galangae majoris. English (Engl.) : greater galanga; Germ.: groBer galgant. Ref.: Hager 2, 1232-1234.; Afriastini, p. 90. Dyeing Component(s) (DP): Galangin 93, 5,7-Trihydroxyflavon; Galangin methyl ether, Kampferid (3,5,7-Trihydroxy-4’-methoxyflavon).
69. Myristica fragrans Houtt. (Myristiaceae) = pala (IN.). Syn.: M. officinalis L.f. Germ.: muskatnuBbaum; Engl.: nutmeg. Ref.: Prosea, p. 193.; LBN # 10, p.81.
51. Jussiaea suffruticoasa L. (Onagraceae) = bujang semalem (Ac., IN.). Syn.: Ludwigia suffruticosa (L.) Gomez. Ref.: Zander, p.339.
[ 49 ]
U, V, Z105. Uncaria gambir (Hunt.) Roxb. (Rubiaceae) = gambir
(Jv.). Syn.: Ourouparia gambir (Hunt.) Baill.; Nauclea gambir Hunt. Germ.: gambir (=extractum uncaria). Ref.: Hager 6C, pp.342-344.; LBN # 10, p.25.
106. Urena lobata L. (Malvaceae) = lalupang (Mk.). Ref.: LBN # 11, p.99.
107. Vitex pubestus Vahl. (Verbenaceae) = laban (Jv.). Syn.: V. latifolia Lamk. Ref.: Afriastini, p.86.
108. Vitex trifolia (Verbenaceae) = lagundi (La.). Ref.: LBN # 11, p.83.
80. Peristrophe tinctoria L. (Acanthaceae) = amuja (Bu.), anudja (To.)
81. Phaseolus lunatus L. (Leguminosae) = roway, kacang roway (Sn.).; k. kara (Jv.); Gartenbohne (Germ.); lima bean (Engl.). Ref.: Zander, p.404.; Afriastini, p.59.
83. Piper cubeba L.f. (Piperaceae) = kemukus (Jv.). Ref.: Afriastini, p.74.
84. Piper nigrum L. (Piperaceae) = lada (IN.). Ref. Afriastini, p.87.
85. Pithecelobium jiringa (Jack) Prain ex King. (Fabaceae) = jengkol (Jv.). Ref.: Afriastini, p.53.
86. Pouzolzia indica Goud. (Urticaceae) = seumpueng (Ac.). Ref.: Afriastini, p.33.
87. Psidium guajava (L.) Raddi. (Myrtaceae) = jambu klutuk (Jv.). Syn.: P. pyriferum L.; P. guayava var. pyriferum (L.) Duthi., P. sapidissum Jacq. Germ.: djambu. Engl.: guajava. Ref.: Hager 6A, p.945.
88. Punica granatum L. (Punicaceae/ Lythraceae) = delima, buah delima (Jv., Sn.). Germ.: granatapfelbaum. Engl.: pomegranate. Ref.: Zander, p.438.; Hager 6A, pp.979-982.
R - T89. Rhodomyrtus tomentosa (Ait.) Wight. (Myrtaceae)
= harumonting (Bt.). Syn.: Myrtus tomentosa Ait. Ref.: Zander, p.453.
90. Ricinus communis L. (Euphorbiaceae) = jarak (Jv.). Germ.: wunderbaum. Ref.: Zander, p.456.; Prosea, p.237.; LBN # 10, p. 33.
91. Schleigera trijuga Willd. (Sapindaceae) = kesambi (Mk.). Ref.: Prosea 3, p.151.
92. Semecarpus heterophylla Bl. (Anacardiaceae) = kanume (Ta.). Ref.: Prosea 3, p.151.
93. Sesamum indicum L. (Leguminosae) = wijen (Jv.), bijen (La.). Ref.: Prosea 3, p.151.
94. Smilax china L. (Liliaceae) = gadung utan, gadung thamba, gadung cina (Jv.). Ref.: Afriastini, p.37.
95. Solanum melongena L. (Solanaceae) = terong (Jv.). Ref.: Afriastini, p.141.
96. Spondias dulcis Soland ex Park (Anacardiaceae) = kedondong jawa (Jv.). Ref.: Afriastini, p.69.
97. Spondias pinnata (L.f.) Kurz. (Anacardiaceae) = kedondong (IN.). Ref.: Afriastini, p.69.
98. Sterculia foetida L. (Sterculiaceae) = nita, nufa (Ti.), kepuh (Jv.). Sterculia variety ? = kapuk utan, nekefui (Ti.). Ref.: Prosea, pp.150-152.
99. Symplocos fasciculata Zoll. (Styracaceae) = jirek, jirak (Jv.), anropi (Bu.), kandung atau daun kandung (Pb.). Syn.: Symplocos ferruginea Roxb. Ref.: Prosea 3, p.95.
100. Syzygium aromaticum L. Morr. et L.M. Perry (Moraceae) = cengkeh (IN., Jv.). Syn.: Caryophyllus aromaticus L.; Eugenia caryophyllata Thunb.; Eugenia aromatica (L.) Baill. Spreng. Germ.: gewurznelkenbaum. Ref.: Hager 6B, pp.714-716.; Prosea, p.257.; LBN # 10, p.19.
101. Syzygium aqueum (Burm.f.) Alst. (Myrtaceae) = jambu air (IN.). Ref.: Afriastini, p.47.
102. Tamarindus indica L. (Fabaceae/ Leguminosae) = asam, asam jawa (Jv.,IN.). Germ.: tamarinde. Engl.: tamarind. Ref.: Zander, p.505.
103. Tectona grandis Lf. (Verbenaceae) = jati (IN., Jv.). Syn.: Theka grandis Lam. Germ.: teakbaum, indische eiche. Ref.: Hager 6C, pp.30-31.; LBN # 10, p.39.
104. Terminalia cattapa L. (Combretaceae) = ketapang (Jv.). Syn.: T. moluccana Lam. Germ.: katappenbaum, indischer oder, javanischer mandelbaum, etagenbaum. Ref.: Prosea 3, pp.120-122.
109. Zingiber officinalis Rosc. (Zingiberaceae) = jahe (Jv.). Ref.: Afriastini, p.47.
82. Phylantus emblica L. (Willd). (Euphorbiaceae) = malaka (Sn.); kemloko (Jv.); amblabaum (Germ.); indian gooseberry (Engl.). Syn.: Emblica officinalis Gaerth. Ref.: Hager, p.633-635.; Afriastini, p.74.
ngèthèl (scouring) with nyamplung
Indigo Dyeing
[ 50 ]
42. jali (Javanese) = Coix lacryma-jobi L. (Gramineae / Poaceae).
43. jambee ie (Acehnese) = see jambu air.44. jambu air (Indonesian) = Syzygium aqueum
(Burm.f.) Alst. (Myrtaceae). 45. jambu keling (Javanese, Indonesain, Malayan) =
Myrtus communis L. (Myrtaceae). 46. jambu klutuk (Javanese) = Psidium guajava (L.)
Raddi. (Myrtaceae). 47. janggar-ulem (Martapurese/ Lampung) = Eugenia
polyantha Wight. (Myrtaceae).48. jarak (Javanese) = Ricinus communis L.
(Euphorbiaceae). 49. jati (Indonesian, Javanese) = Tectona grandis Lf.
(Verbenaceae). 50. jengkol (Javanese) = Pithecelobium jiringa (Jack)
Prain ex King. (Fabaceae).51. jeruk nipis, jeruk sambal/ pecel (Javanese,
Indonesian) = Citrus aurantifolia (Chrism. & Penz) Swingle. (Rutaceae).
52. jeruk purut (Javanese) = Citrus hystrix DC. (Rutaceae).
53. jinten ireng (Javanese) = Nigela sativa L. (Ranun-culaceae).
54. jirek, jirak (Javanese) = Symplocos fasciculata Zoll. (Styracaceae).
55. johar (Javanese) = Cassia siamea Lam. (Leguminoceae / Fabaceae).
56. juwet (Javanese) = Eugenia jambolana (Myrtaceae).
57. kacang kara (Javanese) = see roway and kara.58. kacang tanah (Indonesian) = Arachis hypogea L.
(Leguminosae / Fabaceae). 59. kakasan (Javanese, Sundanese) = Hiptage
madablota Gaerta. (Malpighiaceae). 60. kandung, daun kandung (Palembangese) = see
jirek. 61. kanume (Tagulandangese/ N.E. Sulawesi) =
Semecarpus heterophylla Bl. (Anacardiaceae). 62. kaparurihe, kapudirihe (Tagulandangese) = Liana
variety * (?). 63. kapok, kapok randu (Javanese) = Ceiba petandra
(L.) Gaertn. (Bombaceae). 64. kara, koro (Javanese) = Mucuna pruriens (L.) DC.
(Fabaceae). 65. kareumbi (Sundanese) = Omalanthus populneus
(Geiseler) Pax. (Euphorbiaceae). 66. kayu kuning, tegeran, soga tegeran (Javanese)
= Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner (Moraceae).
67. kedondong jawa, k. manis (Javanese) = Spondias dulcis Soland ex Park (Anacardiaceae).
68. kedondong, k. sebrang (Indonesian) = Spondias pinnata (L.f.) Kurz. (Anacardiaceae).
69. kejimas (Martapurese/ Lampung) = Duabanga mollucana Bl. (Lythraceae).
70. kelapa (Javanese) = Cocos nucifera L. (Arecaceae). 71. kemarongan, cekli (Javanese) = see papasan.72. kembang bugang (Sundanese) = see sikaso.73. kembang pulu (Sundanese) = see kesumba. 74. kemiri (Javanese) = Aleurites molluccana Willd.
(Euphorbiaceae). 75. kemloko (Javanese) = see malaka.76. kemukus (Javanese) = Piper cubeba L.f.
(Piperaceae). 77. kepayang (Lampungese) = Pangium edule Reinw.
(Flacourtiaceae/ Bixaceae). 78. kepuh (Javanese) = see nita, nufa. 79. kesambi (Javanese, Makasarese) = Schleigera
trijuga Willd. (Sapindaceae). 80. kesumba (Javanese) = Carthamus tinctorius L.
(Compositae/ Asteraceae). 81. kesumba keling (Javanese) = Bixa orellana L.
(Bixaceae). 82. ketapang (Javanese) = Terminalia cattapa L.
(Combretaceae).83. ketimun (Indonesian) = Cucumis sativus L.
(Cucurbitaceae). 84. ki pare (lalaki) (Sundanese) = see dulang-dulang.85. kisireum (Sundanese) = see juwet.
G, H, J, K33. gadung (Javanese) = Dioscorea hispida Dennst.
(Dioscoreaceae). 34. gadung utan, gadung thamba, gadung cina
(Javanese) = Smilax china L. (Liliaceae). 35. gambir (Javanese) = Uncaria gambir (Hunt.)
Roxb. (Rubiaceae). 36. gandola (Sundanese) = Basella rubra L.
(Basellaceae). 37. gedang klutuk (Javanese) = Musa acuminata
Colla. (Musaceae). 38. glundong (Acehnese); kuda-kuda (Malayan) =
Odina wodier Roxb. (Anacardiaceae). 39. gurah (Acehnese); dawalong ? (Sundanese)
= Excoecaria indica (Willd.) Muell. Arg. (Euphorbiaceae).
40. harumonting (Batak Timorese) = Rhodomyrtus tomentosa (Ait.) Wight. (Myrtaceae).
1. aka sanam (Minangkabau/ West Sumatera) = see tarum akar.
2. amuja (Buginese), anudja (Toli-tolinese) = Peristrophe tinctoria L. (Acanthaceae).
3. anropi (Buginese) = see jirek. 4. ara kuning (Lampungese) = see secang.5. asam, asam jawa (Javanese, Indonesian) =
Tamarindus indica L. (Fabaceae/ Leguminosae). 6. bah ulim (Acehnese) = see soga (jambal).7. bakudu, bengkudu (Tagulandangese/ N.E. Sulawesi)
= see mengkudu.8. bawang merah (Indonesian) = Allium cepa var.
ascalonicum (L.) Back. (Liliaceae) 9. bawang putih (Indonesian) = Allium sativum L.
(Liliaceae). 10. bijen (Lampungese) = see wijen.11. bingkudung (Toli-tolinese, Buginese) = see
mengkudu.12. blimbing wuluh (Indonesian, Java) = Averrhoa
bilimbi L. (Oxalidaceae).13. boh geulima (Acehnese) = see delima.14. boh kruet (Acehnese) = see jeruk purut.15. boh kuyun (Acehnese) = see jeruk nipis.16. boh meunteue (Acehnese) = a kind of grape fruit.17. boh reng (Acehnese) = see jeruk nipis/ sambal.18. boh [asam] udeb (Acehnese) = see blimbing wuluh.19. boh seulimeng meusagu (Acehnese) = another
blimbing variety.20. buah nona (Indonesian, Acehnese). = Annona
reticulata L. (Annonaceae).
23. campedak (Sundanese, Palembangese) = Artocarphus champeden Spreng. (Moraceae).
24. cengkeh (Indonesian, Java) = Syzygium aromaticum L. Morr. et L.M. Perry (Moraceae).
25. cengkudu, cangkudu (Sundanese) = see pace.26. dadap (Javanese) = Erythrina hypaphorus Boer.
(Leguminosae/ Fabaceae). 27. delima, buah delima (Javanese, Sundanese) =
Punica granatum L. (Punicaceae/ Lythraceae). 28. delima bintang (Acehnese) = see sirkaya.29. dempul, cabuk (Javanese) = see dulang-dulang. 30. dulang-dulang (Martapurese/ Lampung) =
Glochidion obscurum (Willd.) Bl. (Euphorbiaceae).31. durian (Indonesain, English) = Durio zibethinus
Murr. (Bombaceae). 32. enggusi (Tagulandangese/ North-eastern Sulawesi)
= Lansium domesticum Correa. (Meliaceae).
A - E
Index of VERNACULAR - SCIENTIFIC of the Indonesian DYE and INGREDIENT Producing Plants
Lampiran 17b.
21. bujang semalem (Acehnese, Indonesian) = Jussiaea suffruticoasa L. (Onagraceae).
22. bungur (Lampungese) = Lagerstroemia flosreginae Retz. (Lythraceae).
41. jahe (Javanese) = Zingiber officinalis Rosc. (Zingiberaceae).
149. tom cantik (Javanese) = Indigofera suffruticosa Mill. (Leguminosae).
[ 51 ]
90. laban (Javanese) = Vitex pubestus Vahl. (Verbenaceae).
91. lada (Indonesian) = Piper nigrum L. (Piperaceae). 92. lagundi (Lampungese) = Vitex trifolia
(Verbenaceae). 93. lalupang (Makasarese) = Urena lobata L.
(Malvaceae). 94. lansi (Tagulandangese/ N.E. Sulawesi) = see
enggusi.95. lengkuas (Javanese) = Languas galanga (L.)
Stuntz. (Zingiberaceae). 96. loba (Timorese) = see jirek.97. lombok merah (Indonesian) = Capsicum annum L.
(Solanaceae).98. malaka (Sundanese) = Phylantus emblica L.
(Willd). (Euphorbiaceae). 99. mangga (Indonesian) = Mangifera indica L.
(Anacardiaceae). 100. manggis (Indonesian, Javanese) = Garcinia
mangostana L. (Guttiferae/ Clusiaceae). 90. laban (Javanese) = Vitex pubestus Vahl.
(Verbenaceae). 91. lada (Indonesian) = Piper nigrum L. (Piperaceae). 92. lagundi (Lampungese) = Vitex trifolia
(Verbenaceae). 93. lalupang (Makasarese) = Urena lobata L.
(Malvaceae). 94. lansi (Tagulandangese/ N.E. Sulawesi) = see
enggusi.95. lengkuas (Javanese) = Languas galanga (L.)
Stuntz. (Zingiberaceae). 96. loba (Timorese) = see jirek.97. lombok merah (Indonesian) = Capsicum annum L.
(Solanaceae).98. malaka (Sundanese) = Phylantus emblica L.
(Willd). (Euphorbiaceae). 99. mangga (Indonesian) = Mangifera indica L.
(Anacardiaceae). 100. manggis (Indonesian, Javanese) = Garcinia
mangostana L. (Guttiferae/ Clusiaceae). 101. memplam (Javanese) = see mangga.102. mengkudu (Indonesian) = Morinda citrifolia L.
(Rubiaceae). 103. mengkudu, pace (Javanese) = Morinda umbellata
L. (Rubiaceae). 104. misoi, mesui (Malayan) = Cryptocarya massoy
(Oken) Kosterm. (Lauraceae). 105. nangka (Indonesian, Javanese) = Artocarpus
heterrophyllus Lmk. (Moraceae).106. nawaih (Acehnese) = Jatropha curcas L.
(Euphorbiaceae). 107. nila (Javanese) = Indigofera arrecta Hochst. ex A.
Rich (Leguminosae). 108. nita, nufa (Timorese/ Nusatenggara) = Sterculia
foetida L. (Sterculiaceae). 109. pace (Javanese) = see mengkudu. 110. padi (Indonesian) = Oryza sativa L. (Gramineae/
Poaceae). 111. padi ketan (Indonesian) = Oryza glutinosa Auct.
(Gramineae/ Poaceae). 112. pala (Indonesian) = Myristica fragrans Houtt.
(Myristiaceae). 113. papasan (Makasarese) = Coccinia grandis L. Voigt.
(Cucurbitaceae).
115. pepaya (Indonesian) = Carica papaya L. (Caricaceae).
116. peuno (Acehnese) = see sawo.117. pisang (Indonesian) = Musa paradisiaca L.
(Musaceae).
L, M, N, P, R S, T, U, W122. sanduduk (Batak Timorese) = Melastoma
malabathricum L. (Melastomaceae). 123. sanduluk (Batak Tobanese) = see sanduduk.124. sarap (Batak Timorese) = see nila.125. sasah (Sundanese), alum plant (see jirek) =
Aporosa frutescens Blume (Euphorbiaceae). 126. sawo kecik, sawo (Javanese, Sundanese) =
Manilkara kauki (L.) Dubard. (Sapotaceae). 122. sanduduk (Batak Timorese) = Melastoma
malabathricum L. (Melastomaceae). 123. sanduluk (Batak Tobanese) = see sanduduk.124. sarap (Batak Timorese) = see nila.125. sasah (Sundanese), alum plant (see jirek) =
Aporosa frutescens Blume (Euphorbiaceae). 126. sawo kecik, sawo (Javanese, Sundanese) =
Manilkara kauki (L.) Dubard. (Sapotaceae). 127. sebasa (Lampungese) = Glochidion desmocarpum
Hook. (Euphorbiaceae). 128. secang, kayu sapan(g) (Javanese) = Caesalpinia
sappan L. (Leguminosae/ Caesalpiniaceae).129. seha (Torajan/ Sulawesi) = see mengkudu.130. sembung (Sundanese, Javanese) = Blumea
balsamifera (L.) DC. (Compositae/ Asteraceae). 131. seumpueng (Acehnese) = Pouzolzia indica Goud.
(Urticaceae). 132. seureuba, serba (Acehnese) = see sirkaya.133. sikaso (Lampungese) = Clerodendron
celamitosum L. (Verbenaceae). 134. sirkaya, srikaya (Indonesian, Javanese) = Annona
squamosa L. (Annonaceae).135. soga jambal (Javanese) = Peltophorum
pterocarpum DC. Backer ex K. Heyne (Leguminosae).
136. soga teger = see kayu kuning.137. soga tingi (Javanese) = Ceriops tagal (Perr.) C.B.
Robinson (Rhizophoraceae). 138. taim (Batak Timorese/ Tobanese) = see nila. 139. tangirih (Makasarese) = see soga tingi. 140. tantam (Acehnese) = see pulasan.141. tarum akar [akar-tarum] (Dayak/ Kalimantan) =
Marsdenia tinctoria R.Br. (Asclepiadaceae). 142. tarum-utan (Javanese) = Indigofera galegoides
DC. (Leguminosae). 143. temu-lawak (Javanese) = Curcuma xanthorrhiza
Roxb. (Zingiberaceae). 144. tegerang (Javanese) = see kayu kuning.145. tembu, sanam (Palembangese) = see tarum and
tom.146. terong (Javanese) = Solanum melongena L.
(Solanaceae). 147. timo (Timorese) = see ketimun.148. tingi (Javanese) = see soga tingi.
150. tom jawa (Javanese) = Indigofera tinctoria L. (Leguminosae).
151. tom pantai (Indonesian) = Indigofera zollingeriana Miq. (Leguminosae).
152. tom presi (Javanese) = Indigofera guatemalensis Moc., Sesse & Cerv. ex Back. (Leguminosae).
153. tutup abang (Javanese) = see kareumbi.154. ulem (Balinese) = see janggar-ulem.155. ulim (Acehnese) = see soga (jambal).156. widuri (Sundanese) = Calotropis gigantea (Willd.)
Dryand. ex Ait.f. (Asclepiadaceae). 157. wijen (Javanese) = Sesamum indicum L.
(Leguminosae).
118. pisang kidung (Acehnese) = Musa nana Lour. (Musaceae).
119. pucuk ganti (Sundanese) = Lingustrum glomeratum (Oleaceae).
120. rambutan (Indonesian, Javanese, Malayan) = Nephelium lappaceum L. (Sapindaceae).
121. roway, kacang roway (Sundanese) = Phaseolus lunatus L. (Leguminosae).
86. kitambaga (Sundanese) = Eugenia cuprea (Myrtaceae).
87. kunir (Javanese) = Curcuma domestica Val. (Zingiberaceae).
88. kunyit (Indonesian) = see kunir.89. kupula tanjung (Javanese, Acehnese) = Mimusops
elengi L. (Sapotaceae).
114. peudendang (Acehnese) = Passiflora foetida L. (Passifloraceae).
[ 52 ]
SU
B C
LAS
S
OR
DER
FAM
ILY
8. A
NN
ON
ACE
AE;
9.
MYR
ISTI
CACE
AE
7. L
AU
RA
CEA
E2
. LA
UR
ALE
S
3.
PIP
ERA
LES
3. P
IPER
ACE
AE
7. R
ANU
NCU
LALE
S 1
. RAN
UN
CULA
CEAE
1. M
AG
NO
LIA
LES
6.
UR
TIC
ALE
S4
. M
OR
AC
EAE;
6
. U
RTI
CA
CEA
E
1. C
AR
YOPH
YLLA
LES
7. C
HEN
OP
OD
IAC
EAE;
10
. BA
SELL
ACE
AE 2
. TH
EALE
S10
. CLU
SIAC
EAE
(GU
TTIF
ERAE
)
3. S
TER
CULI
ACE
AE;
4.
BO
MBA
CEA
E;
5. M
ALV
ACE
AE
3. M
ALV
ALE
S
6. V
IOLA
LES
3.
BIX
AC
EAE;
16
. PAS
SIFL
ORA
CEAE
; 18
. CA
RIC
ACE
AE;
21
. CU
CUR
BITA
CEA
E
12
. EB
ENA
LES
1. S
AP
OTA
CEA
E;
3. S
TYR
AC
AC
EAE
IV. D
ILLE
NII
DA
E
2. F
ABA
LES
2. C
AESA
LPIN
IACE
AE;
3. F
ABA
CEA
E
2. L
YTH
RA
CEA
E;
7. M
YRTA
CEA
E;
9. O
NA
GR
ACE
AE;
11
. MEL
ASTO
MAT
ACEA
E;
12. C
OM
BRET
ACE
AE
6. M
YRTA
LES
12. E
UPHO
RBIA
LALE
S 4
. EU
PH
OR
BIA
CEA
E
15. P
OLYG
ALAL
ES 1
. MA
LPH
IGH
IACE
AE
5. S
API
ND
ACE
AE;
9
. AN
ACA
RD
IACE
AE;
13
. MEL
IACE
AE;
14
. RU
TACE
AE
16. S
API
ND
ALE
S
17. G
ERA
NIA
LES
1. O
XA
LID
ACE
AE
7. R
HIZ
OPH
ORA
LES
1. R
HIZ
OPH
OR
ACE
AE
1. G
ENTI
ANAL
ES 6
. ASC
LEPI
ADAC
EAE
3. S
OLA
NA
CEA
E
2. S
OLA
NA
LES
3. L
AM
IALE
S 3
. VER
BEN
ACE
AE
6. S
CROP
HULA
RIAL
ES 2
. OLE
AC
EAE;
8
. ACA
NTH
ACE
AE
8. R
UBI
ALE
S 1
. RU
BIA
CEA
E
1. A
STER
ACE
AE
(CO
MPO
SITA
E)
10. A
STER
ALE
S
V.
RO
SID
AE
VI.
AS
TER
IDA
EI.
MA
GN
OLI
IDA
EII
I. C
AR
YOPH
YLLI
DA
E
II.
AR
ECID
AE
IV. Z
ING
IBER
IDA
E V
. LIL
IID
AE
III
. CO
MM
ELIN
IDAE
1.
AR
ECA
LES
1. A
REC
ACE
AE
(
PALM
AE)
2. P
OA
CEA
E
(GR
AM
INEA
E)
5.
CY
PER
ALE
S 2
. ZIN
GIB
ERA
LES
3. M
USA
CEA
E;
5. Z
ING
IBER
ACE
AE
5. L
ILIA
CEA
E 1
. LIL
IALE
S
MAGNOLIOPHYTA
(DICOTS)LILIOPSIDA
(MONOCOTS)
SU
B C
LAS
S
II. H
AM
AM
ELID
AE
Alli
um
sat
ivu
m L
.[b
awah
put
ih (
IN)]
CLASS
Cron
quist
Syst
em o
f Cla
ssi�
catio
ncr
eate
d by
Puj
i Yos
ep S
ubag
iyo
[gen
us; s
peci
�c ep
ithet
/ sp
ecie
s; au
thor
cit.]
Lam
pira
n 18
.
MAGNOLIOPSIDA
CLASS
DIVISION
[ 53 ]
1. AATCC, American Association of Textile Chemists and Colorists (1971): COLOUR INDEX; Society of Dyers and Colorists, 5 vols.
2. AATCC (1981): DYEING PRIMER, N.C., pp. 4-6.3. Afriastini, J.J. (1988): DAFTAR NAMA TANAMAN, Penebar Swadaya, Jakarta. (ISBN 979-8031-85-7).4. Akerele, Olayiwola et.al. (1991): CONSERVATION OF MEDICAL PLANTS, Cambridge Univ. Press, N.Y.5. Ballard, Mary W. et.al. (1989a): HISTORIC SILK FLAGS FROM HARRISBURG, ACS, Washington DC, pp.134-142.6. Ballard, Mary W. et.al. (1989b): HISTORICAL SILK FLAGS STUDIED BY SCANNING ELECTRON MICROSCOPY -
ENERGY DISPERSIVE X-RAY SPECTROSCOPY (SEM-EDS), ACS, Washington DC, pp.419-428.7. Ballard, Mary W., trans. (1991): STUDY ON THE TURKISH RED (ETRAIT DU BULLETIN DE LA SOCIETE
INDUSTRIELLE DE MULHOUSE), Mulhouse; 1902: S.13-14), CAL/ MSC, Smithsonian Instution, Washington DC.8. Ballard, Mary W., edit. (1989/91): IMPORTANT EARLY SYNTHETIC DYES: Chemistry, Constitution, Date and
Properties; Smithsonian Instution, Washington DC.9. Ballard, Mary W. (1992): Verbal Information, Smithsonian Instution.
10. Barth, Friedrich G. (1991): INSECTS AND FLOWERS: The Biology of a Partnership, Princeton, N.J.11. Bell, Lilian A. (t.t.): PAPYRUS, TAPA, AMATE AND RICE PAPER, Liliaceae Press, Oregon.12. Bigelow, Deborah (1982): GOLD LEAF ON FURNITURE: Its History, Application and Conservation, Dissertation
Advanced Diploma Course, London College of Furniture.13. Birell, Verla (1973): THE TEXTILE ARTS, Schocken Book, N.Y.14. Brett, C. and Waldon K. (1990): PHYSIOLOGY AND BIOCHEMISTRY OF PLANT CELL WALLS, Unwin Hyman,
London.15. Brown, R. (1990): THE WEAVING, SPINNING AND DYEING, A.A. Knoft.16. Brunello, Franco (1973): THE ART OF DYEING ON IN THE HISTORY OF MANKIND, trans. B. Hickey. Vinceza: Neri
Pozza.17. Buchanan, R. (1987): A WEAVER’S GARDEN, Interweave, Colorado.18. Cardon, D. and G. du Chatenet (1990): Guide des TEINTURES NATURELLES, Delachaux et Nistle S.A.,
Neuchatel - Paris. (ISBN 2-60a-00732-7).19. Cook, A.H., trans. (1947): Lihat Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947).20. Corbman, Bernard P. (1983): TEXTILES: Fibers to Fabrics, McGraw Hill, N.Y.21. Crews, Patricia C. (1981): THE FADING RATES OF SOME NATURAL DYES, IIC, London, 32(1987), pp.65-72. 22. Franke, W. (1985): NUTZPFLANZENKUNDE, George Thime Verlag, Stuttgart - New York. (ISBN 3-13-530403-5).23. Geijer, Agnes (1979): A HISTORY OF TEXTILE ART, The Pasold Research Fund Ltd. in association with Sotheby
Parke Bernet Publications, New Jersey. 24. Gerling, Dr. J.H. Jager (1953): SPREKENDE WEEFSELS, Uitgave Koninklijk Institut vor de Tropen.25. Geirnaert-Martin, Danielle (1981): ASK LURIK WHY BATIK, A STRUCTURAL ANALYSIS OF TEXTILES AND
CLASSIFICATIONS (CENTRAL JAVA), The Future of Structuralism - The IUAES-InterCongress, Jarick Oosten and Arie de Ruijter (eds.), Amsterdam.
26. Gillow, John (1992): TRADITIONAL INDONESIAN TEXTILES, London, Thames and Hudson.27. Gittinger, M. (1985): SPLENDID SYMBOLS: TEXTILES AND TRADITION IN INDONESIA, Singapore, Oxford Univ.
Press.28. Gittinger, M. (edit.) (1989): TO SPEAK WITH CLOTH: Studies in Indonesian Textiles, Univ. of California, L.A.29. Guralnik, David B. (edit.), (1982): WEBSTER’S NEW WORLD DICTIONARY, 2nd. edit., N.Y., Simon and Schuster.30. Haake, Annegret (1984): JAVANISCHE BATIK, METHODE - SYMBOLIK - GESCHICHTE, Hannover, Verlag M. & H.
Schaper.31. Hadden, Re� C., and Lau E. Start., (1936): “IBAN SEA DAYAK FABRICS AND THEIR PATTERNS: A Descriptive
Catalogue of the Iban Fabrics in the Museum of Technology and Ethnology Cambridge”, Cambridge, Univ. Press.
32. Hager (1969 - 1979): HAGERS HANBUCH DER PHARMAZEUTICHEN PRAXIS 4. Neuausgabe; 8 Vols., Volume 1 - 5, 6A, 6B, 6C. Springer- Verlag, Heidelberg - Berlin.
33. Hamzuri (1989): BATIK KLASIK, Jakarta, Djambatan, Cet.ke-3.34. Harborne, J.B. and B.L. Turner (1984): PLANT CHEMOSYSTEMATICS, Academic Press, London.35. Hartono, A.J. dkk (1992): MEMAHAMI POLIMER DAN PEREKAT, Andi O�set, Yogyakarta36. Heringa, Rens (1989), lihat Gitinger, edit. (1989).37. Himpunan Pecinta Kain Tenun dan Batik Indonesia (Wastraprema), (1985): PESONA BATIK MADURA,
Jakarta, Wastraprema.38. Hitchcok, Michael (1985): INDONESIAN TEXTILES TECHNIQUE, Shire Ethnography, U.K.39. Hitchcok, Michael (1991): INDONESIAN TEXTILES, Harper Collins, N.Y.40. Holmgren, Robert J. and Anita E. Spertus (1989): EARLY INDONESIAN TEXTILES, MMA, N.Y.41. Ikan, Raphael (1991): NATURAL PRODUCTS: A Laboratory Guide, Academic Press, N.Y.42. Indictor, Norman (1987): THE USE OF METAL IN HISTORIC TEXTILES, N.Y., Personal Notes.43. Indictor, Norman and Mary W. Ballard (1989): THE EFFECTS OF AGING ON TEXTILES THAT CONTAIN METAL:
Implication for Analyses, International Restorer Seminar, Hungary.44. Institut Teknologi Tekstil (1979): EKSTRAKSI DAN SIFAT CELUP SOGA ALAM TINGI, Bandung, Institut
Teknologi Tekstil.45. Jahan, S.A.M. Monowar (t.t.): THE MANUFACTURE OF SHADOW THEATRE FIGURES ON JAVA, INDONESIA,
Bangladesh National Museum, Dhaka.46. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912a): THE DYEING OF THE YARNS, Chapter 4, De Inlandsche Kunstnijverheid
In Nederlandsch Indie, Vol. II, De Weefkunst, The Hague: Mouton and Co. (trans. C. Atwell of NYU).47. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912b): KAIN TENUN DENGAN BENANG EMAS DAN PERAK (Goud En
Silverweefsels), De Inlandsche Kunstbijverheid In Nederlandsch Indie, pp. 237-260; (Diterjemahkan Oleh: Ny. Adiwoso, Museum Nasional di Jakarta 1993).
48. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1916): SENI BATIK [De Batik-kunst], De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie. (Translated by S.H. Adiwoso & Edited - Annotated by P. Yosep Subagiyo, Institut Seni Indonesia - Yogyakarta, 1994/95.)
49. Jiono (1992) : Informasi Verbal, BPBK, Yogyakarta. 50. Jones, Samuel B. and A.E. Luchsinger (1986): PLANT SYSTEMATICS, McGraw-Hill, N.Y.51. Kahlenberg, Mary Hunt (1977): TEXTILE TRADITIONS OF INDONESIA, Los Angeles, Los Angeles County
Museum of Art.52. Kajitani, N. (1980): TRADITIONAL DYES IN INDONESIA, Indonesian Textiles, Irene Emery Roundtable on
Museum Textiles, 1979 Proceedings, Washington Textile Museum, pp.305-325.53. Kashiwagi, K.M. (1976): AN ANALYTICAL STUDY OF PRE-INCA PIGMENTS, DYES, AND FIBERS, Tokyo,
Chemical Society of Japan (Bulletin) Vol. 49 (5), pp.1236-1239.54. King, John (1991): THE GENETIC BASIS OF PLANT PHYSIOLOGICAL PROCESSES, Oxford Univ. Press, N.Y.55. Krumsik, Rolf (1984): INDONESISCHE TEXTILIEN, Koln, Deutsches Textilemuseum.56. Landi, Sheila (1985): TEXTILE CONSERVATOR’S MANUAL, London, Butterworths.57. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1978a): TANAMAN INDUSTRI, No-10 SDE-51, LIPI, Bogor.58. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1978b): TUMBUHAN OBAT, No-11 SDE-53, LIPI, Bogor.59. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1984): POLONG-POLONGAN PERDU, No-29, Bogor. 60. Leene, Jentina (1972): TEXTILE CONSERVATION, Butterworths, London.61. Lemmens, R.H.M.J., and N.Wulijarni-Soetjipto (edit.) (1992): DYE AND TANNIN-PRODUCING PLANTS, Bogor,
Prosea Foundation.62. Liles, J.N. (1990): THE TEXTILE ART AND CRAFT OF NATURAL DYEING, Univ. of Tennessee.63. Lin-Vien, Daimay et.al. (1991): THE HANDBOOK OF INFRARED AND RAMAN CHARACTERISTIC FREQUENCIES
OF ORGANIC MOLECULES, Academic Press, N.Y.64. Lust, John B. (1974): THE HERB BOOK, Bantam Books, N.Y.65. Mabey, Richard (1988): THE NEW AGE HERBALIST, Macmillan, N.Y.66. Markham, K.R. (1982): TECHNIQUES OF FLAVONOID IDENTIFICATION, N.Y., Academic Press.67. Matsumoto, Kaneo (1989): 7th AND 8th CENTURY TEXTILES IN JAPAN FROM THE SHOSO-IN AND HORYU-JI,
Nara National Museum, Special Exhibition, Shikosa.68. Maxwell, Robyn (1990): TEXTILES OF SOUTHEAST ASIA: Tradition, Trade, and Transformation, N.Y., Oxford
Univ. Press.69. Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947): THE CHEMISTRY OF NATURAL COLORING MATTERS, Reinhold, N.Y.70. Miksic, John (1989): OLD JAVANESE GOLD, Ideation, Singapore.
71. Miller, Janet (1989): DEGRADATION IN WEIGHTED AND UNWEIGHTED HISTORIC SILK, Washington DC., The American Institute for Conservation, Vol.2 No.2.
72. Mohanty, B.C., et.al. (1987): NATURAL DYEING PROCESSES OF INDIA, Ahmedabab Calico Museum of Textiles.
73. Montegut, D. et.al. (t.t.): TECHNICAL EXAMINATION OF METAL THREADS IN SOME INDONESIAN TEXTILES OF WEST SUMATERA, Conservation Centre, NYU.
74. Murni, Harini (1975): SOGA DAN TUMBUHAN LAIN DALAM PEWARNAAN BATIK, (Thesis), Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.
75. Noggle, G. Ray and G.J. Fritz (1976): INTRODUCTORY PLANT PHYSIOLOGY, Prentice, N.J.76. Pearce, Susan M. (1989): MUSEUM STUDIES IN MATERIAL CULTURE, Washington, Smithsonian Inst.77. Pearce, Susan M. (1990): ARCHAEOLOGICAL CURATORSHIP, Washington DC, Smithsonian Inst.78. Pratt, Lyde S. (1947): THE CHEMISTRY AND PHYSICS OF ORGANIC PIGMENTS, John Wiley, N.Y.79. PROSIDING SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL “ETNOBOTANI”, (1992), Depdikbud, Deptan, LIPI dan
Perpusnas; Cisarua - Bogor, 19-20 Februari 1992.80. Przibram, Karl (1956): IRRADIATION COLOURS AND LUMINESCENCE, London, Pergamon.81. Radley, J.A. and J. Grant (1954): FLUORESCENCE ANALYSIS IN ULTRA-VIOLET LIGHT, London, Chapman &
Hall.82. Reinman, M. (1868): ANILINE AND ITS DERIVATIVES, N.Y., John Wiley.83. Remington, John S., and W. Francis (1954): PIGMENTS: Their Manufacture, Properties, and Use; London,
Leonard.84. Rifai, Mien A. dan Eko B. Waluyo (1992): ETNOBOTANI DAN PENGEMBANGAN TETUMBUHAN PEWARNA
INDONESIA: ULASAN SUATU PENGAMATAN DI MADURA, Bogor, Seminar Nasional Etnobotani.85. Risman Marah (1990): BERBAGAI POLA KAIN TENUN DAN KEHIDUPAN PENGRAJINNYA, Jakarta, Depdikbud.86. River, Dan (1980): A DICTIONARY OF TEXTILE TERMS, Dan River Inc., N.Y.87. Rose, Carolyn L. (1988): ETHICAL AND PRACTICAL CONSIDERATIONS IN CONSERVING ETHNOGRAPHIC
MUSEUM OBJECTS, Senri Ethnological Studies, Osaka, 23(1988). 88. Rou�aer, G.P. and H.H. Juynboll (1914): BATIK-KUNST IN NIEDERLANDISCH-INDIEN AND IHRE GESCHICHTE,
Utrect: Verlay von A. Ooosthoek (Translated into English by Thomassen, in 1992).89. Sangat, Harini M. (1976): SOGA SEBAGAI BAHAN PEWARNA UTAMA BATIK: Siaran Ilmu Pengetahuan
Populer R.R.I. Bogor, 6-1-1976.90. Sareng Orinbao, P. (19920: SENI TENUN, SUATU SEGI KEBUDAYAAN ORANG FLORES, Flores, Seminari Tinggi
St. Paulus.91. Schaublin, Brigitta H. et.al. (1991): TEXTILES IN BALI, Periplus, Singapore.92. Schweppe, Helmut (1986a): IDENTIFICATION OF DYES IN HISTORIC TEXTILE MATERIALS, ACS, Washington
DC.93. Schweppe, Helmut (1986b): PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH NATURAL DYES, Washington, Smithsonian
Instution, CAL/MSC.94. Schweppe, Helmut (1986c): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF EARLY SYNTHETIC
DYES - PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH EARLY SYNTHETIC DYES, Washington, CAL/MSC, SI.95. Schweppe, Helmut (1988): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF DYES ON HISTORIC
TEXTILE MATERIALS, Washington, CAL/MSC, SI.96. Schweppe, Helmut (1989): IDENTIFICATION OF RED MADDER AND INSECT DYES BY THIN LAYER
CHROMATOGRAPHY, ACS, Washington DC., pp.188-219.97. Singer, Michael J. and Donald N. Munns (1987): S O I L S : An Introduction, Macmillan, N.Y.98. Soetjipto, N. Wulijarni and J. S. Siemonsma (edits.) (1991): BIBLIOGRAPHY 3: Dye and Tannin-producing
plants, PROSEA, Pudoc Wagenigen.99. Soetopo (1981): B A T I K , Jakarta, Indira.
100. Snyder, L.R. and J.J. Kirkland (1979): INTRODUCTION TO MODERN LIQUID CHROMATOGRAPHY, John Wiley, N.Y. 101. Stearn, W.T. (1983): BOTANICAL LATIN, London, David & Charles,1983.102. Steinmann, A. (1947): THE ART OF BATIK, Ciba Review, No.58, pp.2090-2101.103. Storey, J. (1979): DYES AND FABRICS, Thames & Hudson, London.104. Storey, J. (1991): TEXTILE PRINTING, Thames & Hudson, London.105. Subagiyo, P.Y. (1993/94b): SUATU KAJIAN DALAM UPAYA PENYELAMATAN KAIN TRADISIONAL, Majalah Kebudayaan,
Dedpdikbud, No.6, hal. 50-57.106. Subagiyo, P.Y. (1994a): ANALISA SERAT DAN ZAT-WARNA TEKSTIL, Museum Nasional, Jakarta.107. Subagiyo, P.Y. (1994b): BATIK PANTAI UTARA JAWA DAN MADURA, Museum Nasional, Jakarta. [represented into NORTH
COASTH JAVA BATIK AT 1994: Museum and Site Surveys, Subagiyo (2000)].
108. Subagiyo, P.Y. (1994e): THE CLASSIFICATION OF INDONESIAN TEXTILES BASED ON STRUCTURAL, MATERIALS AND TECHNICAL ANALYSES, International Seminar, Jakarta.
109. Subagiyo, P.Y. (1994/95): KEBIJAKAN MANAJEMEN KOLEKSI, Majalah Kebudayaan, Depdikbud, No.8, hal. 52-60.110. Subagiyo, P.Y. (1996): METAL THREAD EXAMINATION FOR DETERMINING THE DATE, ORIGIN AND DISTRIBUTION OF
INDONESIAN SONGKET WEAVING, International Seminar, Jambi - Indonesia.111. Subagiyo, P.Y. (1999): MENGENAL BAHAN CELUP ALAMI MELALUI STUDI KOLEKSI TEKSTIL DI MUSEUM, Makalah Seminar
Nasional “Bangkitnya Warna-warna Alam”, Yogyakarta, Dewan Kerajinan Nasional. 112. Subagiyo, P.Y. (2000): NORTH COASTH JAVA BATIK AT 1994: Museum and Site Surveys, International Symposium, Institute
of Oriental Culture - University of Tokyo. 113. Suhardini dan Sulaiman Jusuf (1984): ANEKA RAGAM HIAS TENUN IKAT INDONESIA, Museum Nasional, Jakarta.114. Susanto, Sewan S.K. (1980a): CONTOH WARNA INDIGOSOL: PERPADUAN PEWARNAAN INDIGOSOL UNTUK WARNA
KHUSUS 1200 CONTOH WARNA, Yogyakarta, Balai Penelitian Batik dan Kerajinan [BPBK], Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Industri.
115. Susanto, Sewan S.K. (1980b): SENI KERAJINAN BATIK INDONESIA, Yogyakarta, BPBK, pp. 64 - 128.116. Suwati Kartiwa (1986): KAIN SONGKET INDONESIA, Djambatan, Jakarta.117. Suwati Kartiwa (1987): TENUN IKAT, Djambatan, Jakarta.118. Taylor, G.W. (1983): DETECTION AND IDENTIFICATION OF DYES ON ANGLO SCANDINAVIAN TEXTILES, Studies in
Conservation, IIC, 8(1983), pp. 153 - 160.119. Textile Research Associates (1989): DYES in HISTORY and ARCHAEOLOGY, Bootham Terrace York, No.8.120. Textile Research Associates (1990): DYES in HISTORY and ARCHAEOLOGY, York, No.9.121. Thomson (1976), lihat Venkataraman, edit. (1976)122. Trotmann, E. R. (1984): DYEING AND CHEMICAL TECHNOLOGY OF TEXTILES FIBERS, Charles Gri�n, High Wycombe.123. van der-Hoop, A.N.J. (1949): INDONESISCHE SIERMOTIEVEN - RAGAM-RAGAM PERHIASAN INDONESIA - INDONESIAN
ORNAMENTAL DESIGN, Koninklijk Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschapen, Batavia (Jakarta).124. Vandiver, Pamela B., J. Druzik and G.S. Wheeler (1990): MATERIALS ISSUES IN ARTS AND ARCHAEOLOGY II, MRS, Pittsburg.125. Veldhuisen, Harmen C. (1993): BATIK BELANDA 1840 - 1940, Dutch In�uence in Batik from Java History and Stories, Jakarta,
PT Gaya Favorit Press.126. Veldhuisen-Djajasoebrata, Alit (1998): WEAVINGS OF POWER AND MIGHT, The Glory of Java, Rotterdam, Museum voor
Volkenkunde.127. Venkataraman, K. (edit.) (1976): THE ANALYTICAL CHEMISTRY OF SYNTHETIC DYES, John Wiley, N.Y.128. Verheij, E.W.M. and R.E. Cornel (eds.) (1992): EDIBLE FRUITS AND NUTS, Plant Resources of South-East Asia (PROSEA),
Bogor.129. Wahyono, M. (1987): LURIK, Museum Nasional, Jakarta.130. Wahyono, M.(1991): Informasi Verbal, Museum Nasional, Jakarta. 131. Warming, Wanda and M. Gaworski (1981): THE WORLD OF INDONESIAN TEXTILES, N.Y., Kodansha.132. Weiner, Annete B. and Jones Schneider (1989): CLOTH AND HUMAN EXPERIENCE, Wash., Smithsonian Instution.133. Westphal, E. and P.C.M. Jansen (edits.) (1989): PLANT RESOURCES OF SOUTH EAST ASIA: A Selection, Pudoc Wageningen.134. Widjaya, Elizabeth A. dkk. (1988): TUMBUHAN ANYAMAN INDONESIA, Mediyatama Sarana Utama, Jakarta.135. Wilson, Kax (1981): A HISTORY OF TEXTILES, Westview, Colorado.136. Wingate, Isabel B. (1979): FAIRCHILD’S DICTIONARY OF TEXTILES, Fairchild, N.Y.137. Winter, John (1983): THE CHARACTERIZATION OF PIGMENTS BASED ON CARBON, Studies in Conservation, IIC, 28 (1983),
pp. 49 -66.138. Yeager, Ruth Marie and Mark Ivan Jacobson (1996): TRADITIONAL TEXTILES OF WEST TIMOR, Regional Variations in
Historical Perspective, Illionis, Batuan Biru Productions.139. Zander (1984): ZANDER ‘HANDWORTERBUCH DER PFLANZENNAMEN’, 13th ed. by F. Encke, G. Buchheim, and S. Seybold,
Stuttgart, Ulmer. (ISBN 3-8001-5042-5).
~~~ooOoo~~~
DAFTAR PUSTAKA
[ 54 ]
1. AATCC, American Association of Textile Chemists and Colorists (1971): COLOUR INDEX; Society of Dyers and Colorists, 5 vols.
2. AATCC (1981): DYEING PRIMER, N.C., pp. 4-6.3. Afriastini, J.J. (1988): DAFTAR NAMA TANAMAN, Penebar Swadaya, Jakarta. (ISBN 979-8031-85-7).4. Akerele, Olayiwola et.al. (1991): CONSERVATION OF MEDICAL PLANTS, Cambridge Univ. Press, N.Y.5. Ballard, Mary W. et.al. (1989a): HISTORIC SILK FLAGS FROM HARRISBURG, ACS, Washington DC, pp.134-142.6. Ballard, Mary W. et.al. (1989b): HISTORICAL SILK FLAGS STUDIED BY SCANNING ELECTRON MICROSCOPY -
ENERGY DISPERSIVE X-RAY SPECTROSCOPY (SEM-EDS), ACS, Washington DC, pp.419-428.7. Ballard, Mary W., trans. (1991): STUDY ON THE TURKISH RED (ETRAIT DU BULLETIN DE LA SOCIETE
INDUSTRIELLE DE MULHOUSE), Mulhouse; 1902: S.13-14), CAL/ MSC, Smithsonian Instution, Washington DC.8. Ballard, Mary W., edit. (1989/91): IMPORTANT EARLY SYNTHETIC DYES: Chemistry, Constitution, Date and
Properties; Smithsonian Instution, Washington DC.9. Ballard, Mary W. (1992): Verbal Information, Smithsonian Instution.
10. Barth, Friedrich G. (1991): INSECTS AND FLOWERS: The Biology of a Partnership, Princeton, N.J.11. Bell, Lilian A. (t.t.): PAPYRUS, TAPA, AMATE AND RICE PAPER, Liliaceae Press, Oregon.12. Bigelow, Deborah (1982): GOLD LEAF ON FURNITURE: Its History, Application and Conservation, Dissertation
Advanced Diploma Course, London College of Furniture.13. Birell, Verla (1973): THE TEXTILE ARTS, Schocken Book, N.Y.14. Brett, C. and Waldon K. (1990): PHYSIOLOGY AND BIOCHEMISTRY OF PLANT CELL WALLS, Unwin Hyman,
London.15. Brown, R. (1990): THE WEAVING, SPINNING AND DYEING, A.A. Knoft.16. Brunello, Franco (1973): THE ART OF DYEING ON IN THE HISTORY OF MANKIND, trans. B. Hickey. Vinceza: Neri
Pozza.17. Buchanan, R. (1987): A WEAVER’S GARDEN, Interweave, Colorado.18. Cardon, D. and G. du Chatenet (1990): Guide des TEINTURES NATURELLES, Delachaux et Nistle S.A.,
Neuchatel - Paris. (ISBN 2-60a-00732-7).19. Cook, A.H., trans. (1947): Lihat Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947).20. Corbman, Bernard P. (1983): TEXTILES: Fibers to Fabrics, McGraw Hill, N.Y.21. Crews, Patricia C. (1981): THE FADING RATES OF SOME NATURAL DYES, IIC, London, 32(1987), pp.65-72. 22. Franke, W. (1985): NUTZPFLANZENKUNDE, George Thime Verlag, Stuttgart - New York. (ISBN 3-13-530403-5).23. Geijer, Agnes (1979): A HISTORY OF TEXTILE ART, The Pasold Research Fund Ltd. in association with Sotheby
Parke Bernet Publications, New Jersey. 24. Gerling, Dr. J.H. Jager (1953): SPREKENDE WEEFSELS, Uitgave Koninklijk Institut vor de Tropen.25. Geirnaert-Martin, Danielle (1981): ASK LURIK WHY BATIK, A STRUCTURAL ANALYSIS OF TEXTILES AND
CLASSIFICATIONS (CENTRAL JAVA), The Future of Structuralism - The IUAES-InterCongress, Jarick Oosten and Arie de Ruijter (eds.), Amsterdam.
26. Gillow, John (1992): TRADITIONAL INDONESIAN TEXTILES, London, Thames and Hudson.27. Gittinger, M. (1985): SPLENDID SYMBOLS: TEXTILES AND TRADITION IN INDONESIA, Singapore, Oxford Univ.
Press.28. Gittinger, M. (edit.) (1989): TO SPEAK WITH CLOTH: Studies in Indonesian Textiles, Univ. of California, L.A.29. Guralnik, David B. (edit.), (1982): WEBSTER’S NEW WORLD DICTIONARY, 2nd. edit., N.Y., Simon and Schuster.30. Haake, Annegret (1984): JAVANISCHE BATIK, METHODE - SYMBOLIK - GESCHICHTE, Hannover, Verlag M. & H.
Schaper.31. Hadden, Re� C., and Lau E. Start., (1936): “IBAN SEA DAYAK FABRICS AND THEIR PATTERNS: A Descriptive
Catalogue of the Iban Fabrics in the Museum of Technology and Ethnology Cambridge”, Cambridge, Univ. Press.
32. Hager (1969 - 1979): HAGERS HANBUCH DER PHARMAZEUTICHEN PRAXIS 4. Neuausgabe; 8 Vols., Volume 1 - 5, 6A, 6B, 6C. Springer- Verlag, Heidelberg - Berlin.
33. Hamzuri (1989): BATIK KLASIK, Jakarta, Djambatan, Cet.ke-3.34. Harborne, J.B. and B.L. Turner (1984): PLANT CHEMOSYSTEMATICS, Academic Press, London.35. Hartono, A.J. dkk (1992): MEMAHAMI POLIMER DAN PEREKAT, Andi O�set, Yogyakarta36. Heringa, Rens (1989), lihat Gitinger, edit. (1989).37. Himpunan Pecinta Kain Tenun dan Batik Indonesia (Wastraprema), (1985): PESONA BATIK MADURA,
Jakarta, Wastraprema.38. Hitchcok, Michael (1985): INDONESIAN TEXTILES TECHNIQUE, Shire Ethnography, U.K.39. Hitchcok, Michael (1991): INDONESIAN TEXTILES, Harper Collins, N.Y.40. Holmgren, Robert J. and Anita E. Spertus (1989): EARLY INDONESIAN TEXTILES, MMA, N.Y.41. Ikan, Raphael (1991): NATURAL PRODUCTS: A Laboratory Guide, Academic Press, N.Y.42. Indictor, Norman (1987): THE USE OF METAL IN HISTORIC TEXTILES, N.Y., Personal Notes.43. Indictor, Norman and Mary W. Ballard (1989): THE EFFECTS OF AGING ON TEXTILES THAT CONTAIN METAL:
Implication for Analyses, International Restorer Seminar, Hungary.44. Institut Teknologi Tekstil (1979): EKSTRAKSI DAN SIFAT CELUP SOGA ALAM TINGI, Bandung, Institut
Teknologi Tekstil.45. Jahan, S.A.M. Monowar (t.t.): THE MANUFACTURE OF SHADOW THEATRE FIGURES ON JAVA, INDONESIA,
Bangladesh National Museum, Dhaka.46. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912a): THE DYEING OF THE YARNS, Chapter 4, De Inlandsche Kunstnijverheid
In Nederlandsch Indie, Vol. II, De Weefkunst, The Hague: Mouton and Co. (trans. C. Atwell of NYU).47. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912b): KAIN TENUN DENGAN BENANG EMAS DAN PERAK (Goud En
Silverweefsels), De Inlandsche Kunstbijverheid In Nederlandsch Indie, pp. 237-260; (Diterjemahkan Oleh: Ny. Adiwoso, Museum Nasional di Jakarta 1993).
48. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1916): SENI BATIK [De Batik-kunst], De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie. (Translated by S.H. Adiwoso & Edited - Annotated by P. Yosep Subagiyo, Institut Seni Indonesia - Yogyakarta, 1994/95.)
49. Jiono (1992) : Informasi Verbal, BPBK, Yogyakarta. 50. Jones, Samuel B. and A.E. Luchsinger (1986): PLANT SYSTEMATICS, McGraw-Hill, N.Y.51. Kahlenberg, Mary Hunt (1977): TEXTILE TRADITIONS OF INDONESIA, Los Angeles, Los Angeles County
Museum of Art.52. Kajitani, N. (1980): TRADITIONAL DYES IN INDONESIA, Indonesian Textiles, Irene Emery Roundtable on
Museum Textiles, 1979 Proceedings, Washington Textile Museum, pp.305-325.53. Kashiwagi, K.M. (1976): AN ANALYTICAL STUDY OF PRE-INCA PIGMENTS, DYES, AND FIBERS, Tokyo,
Chemical Society of Japan (Bulletin) Vol. 49 (5), pp.1236-1239.54. King, John (1991): THE GENETIC BASIS OF PLANT PHYSIOLOGICAL PROCESSES, Oxford Univ. Press, N.Y.55. Krumsik, Rolf (1984): INDONESISCHE TEXTILIEN, Koln, Deutsches Textilemuseum.56. Landi, Sheila (1985): TEXTILE CONSERVATOR’S MANUAL, London, Butterworths.57. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1978a): TANAMAN INDUSTRI, No-10 SDE-51, LIPI, Bogor.58. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1978b): TUMBUHAN OBAT, No-11 SDE-53, LIPI, Bogor.59. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1984): POLONG-POLONGAN PERDU, No-29, Bogor. 60. Leene, Jentina (1972): TEXTILE CONSERVATION, Butterworths, London.61. Lemmens, R.H.M.J., and N.Wulijarni-Soetjipto (edit.) (1992): DYE AND TANNIN-PRODUCING PLANTS, Bogor,
Prosea Foundation.62. Liles, J.N. (1990): THE TEXTILE ART AND CRAFT OF NATURAL DYEING, Univ. of Tennessee.63. Lin-Vien, Daimay et.al. (1991): THE HANDBOOK OF INFRARED AND RAMAN CHARACTERISTIC FREQUENCIES
OF ORGANIC MOLECULES, Academic Press, N.Y.64. Lust, John B. (1974): THE HERB BOOK, Bantam Books, N.Y.65. Mabey, Richard (1988): THE NEW AGE HERBALIST, Macmillan, N.Y.66. Markham, K.R. (1982): TECHNIQUES OF FLAVONOID IDENTIFICATION, N.Y., Academic Press.67. Matsumoto, Kaneo (1989): 7th AND 8th CENTURY TEXTILES IN JAPAN FROM THE SHOSO-IN AND HORYU-JI,
Nara National Museum, Special Exhibition, Shikosa.68. Maxwell, Robyn (1990): TEXTILES OF SOUTHEAST ASIA: Tradition, Trade, and Transformation, N.Y., Oxford
Univ. Press.69. Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947): THE CHEMISTRY OF NATURAL COLORING MATTERS, Reinhold, N.Y.70. Miksic, John (1989): OLD JAVANESE GOLD, Ideation, Singapore.
71. Miller, Janet (1989): DEGRADATION IN WEIGHTED AND UNWEIGHTED HISTORIC SILK, Washington DC., The American Institute for Conservation, Vol.2 No.2.
72. Mohanty, B.C., et.al. (1987): NATURAL DYEING PROCESSES OF INDIA, Ahmedabab Calico Museum of Textiles.
73. Montegut, D. et.al. (t.t.): TECHNICAL EXAMINATION OF METAL THREADS IN SOME INDONESIAN TEXTILES OF WEST SUMATERA, Conservation Centre, NYU.
74. Murni, Harini (1975): SOGA DAN TUMBUHAN LAIN DALAM PEWARNAAN BATIK, (Thesis), Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.
75. Noggle, G. Ray and G.J. Fritz (1976): INTRODUCTORY PLANT PHYSIOLOGY, Prentice, N.J.76. Pearce, Susan M. (1989): MUSEUM STUDIES IN MATERIAL CULTURE, Washington, Smithsonian Inst.77. Pearce, Susan M. (1990): ARCHAEOLOGICAL CURATORSHIP, Washington DC, Smithsonian Inst.78. Pratt, Lyde S. (1947): THE CHEMISTRY AND PHYSICS OF ORGANIC PIGMENTS, John Wiley, N.Y.79. PROSIDING SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL “ETNOBOTANI”, (1992), Depdikbud, Deptan, LIPI dan
Perpusnas; Cisarua - Bogor, 19-20 Februari 1992.80. Przibram, Karl (1956): IRRADIATION COLOURS AND LUMINESCENCE, London, Pergamon.81. Radley, J.A. and J. Grant (1954): FLUORESCENCE ANALYSIS IN ULTRA-VIOLET LIGHT, London, Chapman &
Hall.82. Reinman, M. (1868): ANILINE AND ITS DERIVATIVES, N.Y., John Wiley.83. Remington, John S., and W. Francis (1954): PIGMENTS: Their Manufacture, Properties, and Use; London,
Leonard.84. Rifai, Mien A. dan Eko B. Waluyo (1992): ETNOBOTANI DAN PENGEMBANGAN TETUMBUHAN PEWARNA
INDONESIA: ULASAN SUATU PENGAMATAN DI MADURA, Bogor, Seminar Nasional Etnobotani.85. Risman Marah (1990): BERBAGAI POLA KAIN TENUN DAN KEHIDUPAN PENGRAJINNYA, Jakarta, Depdikbud.86. River, Dan (1980): A DICTIONARY OF TEXTILE TERMS, Dan River Inc., N.Y.87. Rose, Carolyn L. (1988): ETHICAL AND PRACTICAL CONSIDERATIONS IN CONSERVING ETHNOGRAPHIC
MUSEUM OBJECTS, Senri Ethnological Studies, Osaka, 23(1988). 88. Rou�aer, G.P. and H.H. Juynboll (1914): BATIK-KUNST IN NIEDERLANDISCH-INDIEN AND IHRE GESCHICHTE,
Utrect: Verlay von A. Ooosthoek (Translated into English by Thomassen, in 1992).89. Sangat, Harini M. (1976): SOGA SEBAGAI BAHAN PEWARNA UTAMA BATIK: Siaran Ilmu Pengetahuan
Populer R.R.I. Bogor, 6-1-1976.90. Sareng Orinbao, P. (19920: SENI TENUN, SUATU SEGI KEBUDAYAAN ORANG FLORES, Flores, Seminari Tinggi
St. Paulus.91. Schaublin, Brigitta H. et.al. (1991): TEXTILES IN BALI, Periplus, Singapore.92. Schweppe, Helmut (1986a): IDENTIFICATION OF DYES IN HISTORIC TEXTILE MATERIALS, ACS, Washington
DC.93. Schweppe, Helmut (1986b): PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH NATURAL DYES, Washington, Smithsonian
Instution, CAL/MSC.94. Schweppe, Helmut (1986c): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF EARLY SYNTHETIC
DYES - PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH EARLY SYNTHETIC DYES, Washington, CAL/MSC, SI.95. Schweppe, Helmut (1988): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF DYES ON HISTORIC
TEXTILE MATERIALS, Washington, CAL/MSC, SI.96. Schweppe, Helmut (1989): IDENTIFICATION OF RED MADDER AND INSECT DYES BY THIN LAYER
CHROMATOGRAPHY, ACS, Washington DC., pp.188-219.97. Singer, Michael J. and Donald N. Munns (1987): S O I L S : An Introduction, Macmillan, N.Y.98. Soetjipto, N. Wulijarni and J. S. Siemonsma (edits.) (1991): BIBLIOGRAPHY 3: Dye and Tannin-producing
plants, PROSEA, Pudoc Wagenigen.99. Soetopo (1981): B A T I K , Jakarta, Indira.
100. Snyder, L.R. and J.J. Kirkland (1979): INTRODUCTION TO MODERN LIQUID CHROMATOGRAPHY, John Wiley, N.Y. 101. Stearn, W.T. (1983): BOTANICAL LATIN, London, David & Charles,1983.102. Steinmann, A. (1947): THE ART OF BATIK, Ciba Review, No.58, pp.2090-2101.103. Storey, J. (1979): DYES AND FABRICS, Thames & Hudson, London.104. Storey, J. (1991): TEXTILE PRINTING, Thames & Hudson, London.105. Subagiyo, P.Y. (1993/94b): SUATU KAJIAN DALAM UPAYA PENYELAMATAN KAIN TRADISIONAL, Majalah Kebudayaan,
Dedpdikbud, No.6, hal. 50-57.106. Subagiyo, P.Y. (1994a): ANALISA SERAT DAN ZAT-WARNA TEKSTIL, Museum Nasional, Jakarta.107. Subagiyo, P.Y. (1994b): BATIK PANTAI UTARA JAWA DAN MADURA, Museum Nasional, Jakarta. [represented into NORTH
COASTH JAVA BATIK AT 1994: Museum and Site Surveys, Subagiyo (2000)].
108. Subagiyo, P.Y. (1994e): THE CLASSIFICATION OF INDONESIAN TEXTILES BASED ON STRUCTURAL, MATERIALS AND TECHNICAL ANALYSES, International Seminar, Jakarta.
109. Subagiyo, P.Y. (1994/95): KEBIJAKAN MANAJEMEN KOLEKSI, Majalah Kebudayaan, Depdikbud, No.8, hal. 52-60.110. Subagiyo, P.Y. (1996): METAL THREAD EXAMINATION FOR DETERMINING THE DATE, ORIGIN AND DISTRIBUTION OF
INDONESIAN SONGKET WEAVING, International Seminar, Jambi - Indonesia.111. Subagiyo, P.Y. (1999): MENGENAL BAHAN CELUP ALAMI MELALUI STUDI KOLEKSI TEKSTIL DI MUSEUM, Makalah Seminar
Nasional “Bangkitnya Warna-warna Alam”, Yogyakarta, Dewan Kerajinan Nasional. 112. Subagiyo, P.Y. (2000): NORTH COASTH JAVA BATIK AT 1994: Museum and Site Surveys, International Symposium, Institute
of Oriental Culture - University of Tokyo. 113. Suhardini dan Sulaiman Jusuf (1984): ANEKA RAGAM HIAS TENUN IKAT INDONESIA, Museum Nasional, Jakarta.114. Susanto, Sewan S.K. (1980a): CONTOH WARNA INDIGOSOL: PERPADUAN PEWARNAAN INDIGOSOL UNTUK WARNA
KHUSUS 1200 CONTOH WARNA, Yogyakarta, Balai Penelitian Batik dan Kerajinan [BPBK], Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Industri.
115. Susanto, Sewan S.K. (1980b): SENI KERAJINAN BATIK INDONESIA, Yogyakarta, BPBK, pp. 64 - 128.116. Suwati Kartiwa (1986): KAIN SONGKET INDONESIA, Djambatan, Jakarta.117. Suwati Kartiwa (1987): TENUN IKAT, Djambatan, Jakarta.118. Taylor, G.W. (1983): DETECTION AND IDENTIFICATION OF DYES ON ANGLO SCANDINAVIAN TEXTILES, Studies in
Conservation, IIC, 8(1983), pp. 153 - 160.119. Textile Research Associates (1989): DYES in HISTORY and ARCHAEOLOGY, Bootham Terrace York, No.8.120. Textile Research Associates (1990): DYES in HISTORY and ARCHAEOLOGY, York, No.9.121. Thomson (1976), lihat Venkataraman, edit. (1976)122. Trotmann, E. R. (1984): DYEING AND CHEMICAL TECHNOLOGY OF TEXTILES FIBERS, Charles Gri�n, High Wycombe.123. van der-Hoop, A.N.J. (1949): INDONESISCHE SIERMOTIEVEN - RAGAM-RAGAM PERHIASAN INDONESIA - INDONESIAN
ORNAMENTAL DESIGN, Koninklijk Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschapen, Batavia (Jakarta).124. Vandiver, Pamela B., J. Druzik and G.S. Wheeler (1990): MATERIALS ISSUES IN ARTS AND ARCHAEOLOGY II, MRS, Pittsburg.125. Veldhuisen, Harmen C. (1993): BATIK BELANDA 1840 - 1940, Dutch In�uence in Batik from Java History and Stories, Jakarta,
PT Gaya Favorit Press.126. Veldhuisen-Djajasoebrata, Alit (1998): WEAVINGS OF POWER AND MIGHT, The Glory of Java, Rotterdam, Museum voor
Volkenkunde.127. Venkataraman, K. (edit.) (1976): THE ANALYTICAL CHEMISTRY OF SYNTHETIC DYES, John Wiley, N.Y.128. Verheij, E.W.M. and R.E. Cornel (eds.) (1992): EDIBLE FRUITS AND NUTS, Plant Resources of South-East Asia (PROSEA),
Bogor.129. Wahyono, M. (1987): LURIK, Museum Nasional, Jakarta.130. Wahyono, M.(1991): Informasi Verbal, Museum Nasional, Jakarta. 131. Warming, Wanda and M. Gaworski (1981): THE WORLD OF INDONESIAN TEXTILES, N.Y., Kodansha.132. Weiner, Annete B. and Jones Schneider (1989): CLOTH AND HUMAN EXPERIENCE, Wash., Smithsonian Instution.133. Westphal, E. and P.C.M. Jansen (edits.) (1989): PLANT RESOURCES OF SOUTH EAST ASIA: A Selection, Pudoc Wageningen.134. Widjaya, Elizabeth A. dkk. (1988): TUMBUHAN ANYAMAN INDONESIA, Mediyatama Sarana Utama, Jakarta.135. Wilson, Kax (1981): A HISTORY OF TEXTILES, Westview, Colorado.136. Wingate, Isabel B. (1979): FAIRCHILD’S DICTIONARY OF TEXTILES, Fairchild, N.Y.137. Winter, John (1983): THE CHARACTERIZATION OF PIGMENTS BASED ON CARBON, Studies in Conservation, IIC, 28 (1983),
pp. 49 -66.138. Yeager, Ruth Marie and Mark Ivan Jacobson (1996): TRADITIONAL TEXTILES OF WEST TIMOR, Regional Variations in
Historical Perspective, Illionis, Batuan Biru Productions.139. Zander (1984): ZANDER ‘HANDWORTERBUCH DER PFLANZENNAMEN’, 13th ed. by F. Encke, G. Buchheim, and S. Seybold,
Stuttgart, Ulmer. (ISBN 3-8001-5042-5).
~~~ooOoo~~~
[ 55 ]
1. AATCC, American Association of Textile Chemists and Colorists (1971): COLOUR INDEX; Society of Dyers and Colorists, 5 vols.
2. AATCC (1981): DYEING PRIMER, N.C., pp. 4-6.3. Afriastini, J.J. (1988): DAFTAR NAMA TANAMAN, Penebar Swadaya, Jakarta. (ISBN 979-8031-85-7).4. Akerele, Olayiwola et.al. (1991): CONSERVATION OF MEDICAL PLANTS, Cambridge Univ. Press, N.Y.5. Ballard, Mary W. et.al. (1989a): HISTORIC SILK FLAGS FROM HARRISBURG, ACS, Washington DC, pp.134-142.6. Ballard, Mary W. et.al. (1989b): HISTORICAL SILK FLAGS STUDIED BY SCANNING ELECTRON MICROSCOPY -
ENERGY DISPERSIVE X-RAY SPECTROSCOPY (SEM-EDS), ACS, Washington DC, pp.419-428.7. Ballard, Mary W., trans. (1991): STUDY ON THE TURKISH RED (ETRAIT DU BULLETIN DE LA SOCIETE
INDUSTRIELLE DE MULHOUSE), Mulhouse; 1902: S.13-14), CAL/ MSC, Smithsonian Instution, Washington DC.8. Ballard, Mary W., edit. (1989/91): IMPORTANT EARLY SYNTHETIC DYES: Chemistry, Constitution, Date and
Properties; Smithsonian Instution, Washington DC.9. Ballard, Mary W. (1992): Verbal Information, Smithsonian Instution.
10. Barth, Friedrich G. (1991): INSECTS AND FLOWERS: The Biology of a Partnership, Princeton, N.J.11. Bell, Lilian A. (t.t.): PAPYRUS, TAPA, AMATE AND RICE PAPER, Liliaceae Press, Oregon.12. Bigelow, Deborah (1982): GOLD LEAF ON FURNITURE: Its History, Application and Conservation, Dissertation
Advanced Diploma Course, London College of Furniture.13. Birell, Verla (1973): THE TEXTILE ARTS, Schocken Book, N.Y.14. Brett, C. and Waldon K. (1990): PHYSIOLOGY AND BIOCHEMISTRY OF PLANT CELL WALLS, Unwin Hyman,
London.15. Brown, R. (1990): THE WEAVING, SPINNING AND DYEING, A.A. Knoft.16. Brunello, Franco (1973): THE ART OF DYEING ON IN THE HISTORY OF MANKIND, trans. B. Hickey. Vinceza: Neri
Pozza.17. Buchanan, R. (1987): A WEAVER’S GARDEN, Interweave, Colorado.18. Cardon, D. and G. du Chatenet (1990): Guide des TEINTURES NATURELLES, Delachaux et Nistle S.A.,
Neuchatel - Paris. (ISBN 2-60a-00732-7).19. Cook, A.H., trans. (1947): Lihat Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947).20. Corbman, Bernard P. (1983): TEXTILES: Fibers to Fabrics, McGraw Hill, N.Y.21. Crews, Patricia C. (1981): THE FADING RATES OF SOME NATURAL DYES, IIC, London, 32(1987), pp.65-72. 22. Franke, W. (1985): NUTZPFLANZENKUNDE, George Thime Verlag, Stuttgart - New York. (ISBN 3-13-530403-5).23. Geijer, Agnes (1979): A HISTORY OF TEXTILE ART, The Pasold Research Fund Ltd. in association with Sotheby
Parke Bernet Publications, New Jersey. 24. Gerling, Dr. J.H. Jager (1953): SPREKENDE WEEFSELS, Uitgave Koninklijk Institut vor de Tropen.25. Geirnaert-Martin, Danielle (1981): ASK LURIK WHY BATIK, A STRUCTURAL ANALYSIS OF TEXTILES AND
CLASSIFICATIONS (CENTRAL JAVA), The Future of Structuralism - The IUAES-InterCongress, Jarick Oosten and Arie de Ruijter (eds.), Amsterdam.
26. Gillow, John (1992): TRADITIONAL INDONESIAN TEXTILES, London, Thames and Hudson.27. Gittinger, M. (1985): SPLENDID SYMBOLS: TEXTILES AND TRADITION IN INDONESIA, Singapore, Oxford Univ.
Press.28. Gittinger, M. (edit.) (1989): TO SPEAK WITH CLOTH: Studies in Indonesian Textiles, Univ. of California, L.A.29. Guralnik, David B. (edit.), (1982): WEBSTER’S NEW WORLD DICTIONARY, 2nd. edit., N.Y., Simon and Schuster.30. Haake, Annegret (1984): JAVANISCHE BATIK, METHODE - SYMBOLIK - GESCHICHTE, Hannover, Verlag M. & H.
Schaper.31. Hadden, Re� C., and Lau E. Start., (1936): “IBAN SEA DAYAK FABRICS AND THEIR PATTERNS: A Descriptive
Catalogue of the Iban Fabrics in the Museum of Technology and Ethnology Cambridge”, Cambridge, Univ. Press.
32. Hager (1969 - 1979): HAGERS HANBUCH DER PHARMAZEUTICHEN PRAXIS 4. Neuausgabe; 8 Vols., Volume 1 - 5, 6A, 6B, 6C. Springer- Verlag, Heidelberg - Berlin.
33. Hamzuri (1989): BATIK KLASIK, Jakarta, Djambatan, Cet.ke-3.34. Harborne, J.B. and B.L. Turner (1984): PLANT CHEMOSYSTEMATICS, Academic Press, London.35. Hartono, A.J. dkk (1992): MEMAHAMI POLIMER DAN PEREKAT, Andi O�set, Yogyakarta36. Heringa, Rens (1989), lihat Gitinger, edit. (1989).37. Himpunan Pecinta Kain Tenun dan Batik Indonesia (Wastraprema), (1985): PESONA BATIK MADURA,
Jakarta, Wastraprema.38. Hitchcok, Michael (1985): INDONESIAN TEXTILES TECHNIQUE, Shire Ethnography, U.K.39. Hitchcok, Michael (1991): INDONESIAN TEXTILES, Harper Collins, N.Y.40. Holmgren, Robert J. and Anita E. Spertus (1989): EARLY INDONESIAN TEXTILES, MMA, N.Y.41. Ikan, Raphael (1991): NATURAL PRODUCTS: A Laboratory Guide, Academic Press, N.Y.42. Indictor, Norman (1987): THE USE OF METAL IN HISTORIC TEXTILES, N.Y., Personal Notes.43. Indictor, Norman and Mary W. Ballard (1989): THE EFFECTS OF AGING ON TEXTILES THAT CONTAIN METAL:
Implication for Analyses, International Restorer Seminar, Hungary.44. Institut Teknologi Tekstil (1979): EKSTRAKSI DAN SIFAT CELUP SOGA ALAM TINGI, Bandung, Institut
Teknologi Tekstil.45. Jahan, S.A.M. Monowar (t.t.): THE MANUFACTURE OF SHADOW THEATRE FIGURES ON JAVA, INDONESIA,
Bangladesh National Museum, Dhaka.46. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912a): THE DYEING OF THE YARNS, Chapter 4, De Inlandsche Kunstnijverheid
In Nederlandsch Indie, Vol. II, De Weefkunst, The Hague: Mouton and Co. (trans. C. Atwell of NYU).47. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912b): KAIN TENUN DENGAN BENANG EMAS DAN PERAK (Goud En
Silverweefsels), De Inlandsche Kunstbijverheid In Nederlandsch Indie, pp. 237-260; (Diterjemahkan Oleh: Ny. Adiwoso, Museum Nasional di Jakarta 1993).
48. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1916): SENI BATIK [De Batik-kunst], De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie. (Translated by S.H. Adiwoso & Edited - Annotated by P. Yosep Subagiyo, Institut Seni Indonesia - Yogyakarta, 1994/95.)
49. Jiono (1992) : Informasi Verbal, BPBK, Yogyakarta. 50. Jones, Samuel B. and A.E. Luchsinger (1986): PLANT SYSTEMATICS, McGraw-Hill, N.Y.51. Kahlenberg, Mary Hunt (1977): TEXTILE TRADITIONS OF INDONESIA, Los Angeles, Los Angeles County
Museum of Art.52. Kajitani, N. (1980): TRADITIONAL DYES IN INDONESIA, Indonesian Textiles, Irene Emery Roundtable on
Museum Textiles, 1979 Proceedings, Washington Textile Museum, pp.305-325.53. Kashiwagi, K.M. (1976): AN ANALYTICAL STUDY OF PRE-INCA PIGMENTS, DYES, AND FIBERS, Tokyo,
Chemical Society of Japan (Bulletin) Vol. 49 (5), pp.1236-1239.54. King, John (1991): THE GENETIC BASIS OF PLANT PHYSIOLOGICAL PROCESSES, Oxford Univ. Press, N.Y.55. Krumsik, Rolf (1984): INDONESISCHE TEXTILIEN, Koln, Deutsches Textilemuseum.56. Landi, Sheila (1985): TEXTILE CONSERVATOR’S MANUAL, London, Butterworths.57. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1978a): TANAMAN INDUSTRI, No-10 SDE-51, LIPI, Bogor.58. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1978b): TUMBUHAN OBAT, No-11 SDE-53, LIPI, Bogor.59. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1984): POLONG-POLONGAN PERDU, No-29, Bogor. 60. Leene, Jentina (1972): TEXTILE CONSERVATION, Butterworths, London.61. Lemmens, R.H.M.J., and N.Wulijarni-Soetjipto (edit.) (1992): DYE AND TANNIN-PRODUCING PLANTS, Bogor,
Prosea Foundation.62. Liles, J.N. (1990): THE TEXTILE ART AND CRAFT OF NATURAL DYEING, Univ. of Tennessee.63. Lin-Vien, Daimay et.al. (1991): THE HANDBOOK OF INFRARED AND RAMAN CHARACTERISTIC FREQUENCIES
OF ORGANIC MOLECULES, Academic Press, N.Y.64. Lust, John B. (1974): THE HERB BOOK, Bantam Books, N.Y.65. Mabey, Richard (1988): THE NEW AGE HERBALIST, Macmillan, N.Y.66. Markham, K.R. (1982): TECHNIQUES OF FLAVONOID IDENTIFICATION, N.Y., Academic Press.67. Matsumoto, Kaneo (1989): 7th AND 8th CENTURY TEXTILES IN JAPAN FROM THE SHOSO-IN AND HORYU-JI,
Nara National Museum, Special Exhibition, Shikosa.68. Maxwell, Robyn (1990): TEXTILES OF SOUTHEAST ASIA: Tradition, Trade, and Transformation, N.Y., Oxford
Univ. Press.69. Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947): THE CHEMISTRY OF NATURAL COLORING MATTERS, Reinhold, N.Y.70. Miksic, John (1989): OLD JAVANESE GOLD, Ideation, Singapore.
71. Miller, Janet (1989): DEGRADATION IN WEIGHTED AND UNWEIGHTED HISTORIC SILK, Washington DC., The American Institute for Conservation, Vol.2 No.2.
72. Mohanty, B.C., et.al. (1987): NATURAL DYEING PROCESSES OF INDIA, Ahmedabab Calico Museum of Textiles.
73. Montegut, D. et.al. (t.t.): TECHNICAL EXAMINATION OF METAL THREADS IN SOME INDONESIAN TEXTILES OF WEST SUMATERA, Conservation Centre, NYU.
74. Murni, Harini (1975): SOGA DAN TUMBUHAN LAIN DALAM PEWARNAAN BATIK, (Thesis), Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.
75. Noggle, G. Ray and G.J. Fritz (1976): INTRODUCTORY PLANT PHYSIOLOGY, Prentice, N.J.76. Pearce, Susan M. (1989): MUSEUM STUDIES IN MATERIAL CULTURE, Washington, Smithsonian Inst.77. Pearce, Susan M. (1990): ARCHAEOLOGICAL CURATORSHIP, Washington DC, Smithsonian Inst.78. Pratt, Lyde S. (1947): THE CHEMISTRY AND PHYSICS OF ORGANIC PIGMENTS, John Wiley, N.Y.79. PROSIDING SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL “ETNOBOTANI”, (1992), Depdikbud, Deptan, LIPI dan
Perpusnas; Cisarua - Bogor, 19-20 Februari 1992.80. Przibram, Karl (1956): IRRADIATION COLOURS AND LUMINESCENCE, London, Pergamon.81. Radley, J.A. and J. Grant (1954): FLUORESCENCE ANALYSIS IN ULTRA-VIOLET LIGHT, London, Chapman &
Hall.82. Reinman, M. (1868): ANILINE AND ITS DERIVATIVES, N.Y., John Wiley.83. Remington, John S., and W. Francis (1954): PIGMENTS: Their Manufacture, Properties, and Use; London,
Leonard.84. Rifai, Mien A. dan Eko B. Waluyo (1992): ETNOBOTANI DAN PENGEMBANGAN TETUMBUHAN PEWARNA
INDONESIA: ULASAN SUATU PENGAMATAN DI MADURA, Bogor, Seminar Nasional Etnobotani.85. Risman Marah (1990): BERBAGAI POLA KAIN TENUN DAN KEHIDUPAN PENGRAJINNYA, Jakarta, Depdikbud.86. River, Dan (1980): A DICTIONARY OF TEXTILE TERMS, Dan River Inc., N.Y.87. Rose, Carolyn L. (1988): ETHICAL AND PRACTICAL CONSIDERATIONS IN CONSERVING ETHNOGRAPHIC
MUSEUM OBJECTS, Senri Ethnological Studies, Osaka, 23(1988). 88. Rou�aer, G.P. and H.H. Juynboll (1914): BATIK-KUNST IN NIEDERLANDISCH-INDIEN AND IHRE GESCHICHTE,
Utrect: Verlay von A. Ooosthoek (Translated into English by Thomassen, in 1992).89. Sangat, Harini M. (1976): SOGA SEBAGAI BAHAN PEWARNA UTAMA BATIK: Siaran Ilmu Pengetahuan
Populer R.R.I. Bogor, 6-1-1976.90. Sareng Orinbao, P. (19920: SENI TENUN, SUATU SEGI KEBUDAYAAN ORANG FLORES, Flores, Seminari Tinggi
St. Paulus.91. Schaublin, Brigitta H. et.al. (1991): TEXTILES IN BALI, Periplus, Singapore.92. Schweppe, Helmut (1986a): IDENTIFICATION OF DYES IN HISTORIC TEXTILE MATERIALS, ACS, Washington
DC.93. Schweppe, Helmut (1986b): PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH NATURAL DYES, Washington, Smithsonian
Instution, CAL/MSC.94. Schweppe, Helmut (1986c): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF EARLY SYNTHETIC
DYES - PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH EARLY SYNTHETIC DYES, Washington, CAL/MSC, SI.95. Schweppe, Helmut (1988): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF DYES ON HISTORIC
TEXTILE MATERIALS, Washington, CAL/MSC, SI.96. Schweppe, Helmut (1989): IDENTIFICATION OF RED MADDER AND INSECT DYES BY THIN LAYER
CHROMATOGRAPHY, ACS, Washington DC., pp.188-219.97. Singer, Michael J. and Donald N. Munns (1987): S O I L S : An Introduction, Macmillan, N.Y.98. Soetjipto, N. Wulijarni and J. S. Siemonsma (edits.) (1991): BIBLIOGRAPHY 3: Dye and Tannin-producing
plants, PROSEA, Pudoc Wagenigen.99. Soetopo (1981): B A T I K , Jakarta, Indira.
100. Snyder, L.R. and J.J. Kirkland (1979): INTRODUCTION TO MODERN LIQUID CHROMATOGRAPHY, John Wiley, N.Y. 101. Stearn, W.T. (1983): BOTANICAL LATIN, London, David & Charles,1983.102. Steinmann, A. (1947): THE ART OF BATIK, Ciba Review, No.58, pp.2090-2101.103. Storey, J. (1979): DYES AND FABRICS, Thames & Hudson, London.104. Storey, J. (1991): TEXTILE PRINTING, Thames & Hudson, London.105. Subagiyo, P.Y. (1993/94b): SUATU KAJIAN DALAM UPAYA PENYELAMATAN KAIN TRADISIONAL, Majalah Kebudayaan,
Dedpdikbud, No.6, hal. 50-57.106. Subagiyo, P.Y. (1994a): ANALISA SERAT DAN ZAT-WARNA TEKSTIL, Museum Nasional, Jakarta.107. Subagiyo, P.Y. (1994b): BATIK PANTAI UTARA JAWA DAN MADURA, Museum Nasional, Jakarta. [represented into NORTH
COASTH JAVA BATIK AT 1994: Museum and Site Surveys, Subagiyo (2000)].
108. Subagiyo, P.Y. (1994e): THE CLASSIFICATION OF INDONESIAN TEXTILES BASED ON STRUCTURAL, MATERIALS AND TECHNICAL ANALYSES, International Seminar, Jakarta.
109. Subagiyo, P.Y. (1994/95): KEBIJAKAN MANAJEMEN KOLEKSI, Majalah Kebudayaan, Depdikbud, No.8, hal. 52-60.110. Subagiyo, P.Y. (1996): METAL THREAD EXAMINATION FOR DETERMINING THE DATE, ORIGIN AND DISTRIBUTION OF
INDONESIAN SONGKET WEAVING, International Seminar, Jambi - Indonesia.111. Subagiyo, P.Y. (1999): MENGENAL BAHAN CELUP ALAMI MELALUI STUDI KOLEKSI TEKSTIL DI MUSEUM, Makalah Seminar
Nasional “Bangkitnya Warna-warna Alam”, Yogyakarta, Dewan Kerajinan Nasional. 112. Subagiyo, P.Y. (2000): NORTH COASTH JAVA BATIK AT 1994: Museum and Site Surveys, International Symposium, Institute
of Oriental Culture - University of Tokyo. 113. Suhardini dan Sulaiman Jusuf (1984): ANEKA RAGAM HIAS TENUN IKAT INDONESIA, Museum Nasional, Jakarta.114. Susanto, Sewan S.K. (1980a): CONTOH WARNA INDIGOSOL: PERPADUAN PEWARNAAN INDIGOSOL UNTUK WARNA
KHUSUS 1200 CONTOH WARNA, Yogyakarta, Balai Penelitian Batik dan Kerajinan [BPBK], Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Industri.
115. Susanto, Sewan S.K. (1980b): SENI KERAJINAN BATIK INDONESIA, Yogyakarta, BPBK, pp. 64 - 128.116. Suwati Kartiwa (1986): KAIN SONGKET INDONESIA, Djambatan, Jakarta.117. Suwati Kartiwa (1987): TENUN IKAT, Djambatan, Jakarta.118. Taylor, G.W. (1983): DETECTION AND IDENTIFICATION OF DYES ON ANGLO SCANDINAVIAN TEXTILES, Studies in
Conservation, IIC, 8(1983), pp. 153 - 160.119. Textile Research Associates (1989): DYES in HISTORY and ARCHAEOLOGY, Bootham Terrace York, No.8.120. Textile Research Associates (1990): DYES in HISTORY and ARCHAEOLOGY, York, No.9.121. Thomson (1976), lihat Venkataraman, edit. (1976)122. Trotmann, E. R. (1984): DYEING AND CHEMICAL TECHNOLOGY OF TEXTILES FIBERS, Charles Gri�n, High Wycombe.123. van der-Hoop, A.N.J. (1949): INDONESISCHE SIERMOTIEVEN - RAGAM-RAGAM PERHIASAN INDONESIA - INDONESIAN
ORNAMENTAL DESIGN, Koninklijk Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschapen, Batavia (Jakarta).124. Vandiver, Pamela B., J. Druzik and G.S. Wheeler (1990): MATERIALS ISSUES IN ARTS AND ARCHAEOLOGY II, MRS, Pittsburg.125. Veldhuisen, Harmen C. (1993): BATIK BELANDA 1840 - 1940, Dutch In�uence in Batik from Java History and Stories, Jakarta,
PT Gaya Favorit Press.126. Veldhuisen-Djajasoebrata, Alit (1998): WEAVINGS OF POWER AND MIGHT, The Glory of Java, Rotterdam, Museum voor
Volkenkunde.127. Venkataraman, K. (edit.) (1976): THE ANALYTICAL CHEMISTRY OF SYNTHETIC DYES, John Wiley, N.Y.128. Verheij, E.W.M. and R.E. Cornel (eds.) (1992): EDIBLE FRUITS AND NUTS, Plant Resources of South-East Asia (PROSEA),
Bogor.129. Wahyono, M. (1987): LURIK, Museum Nasional, Jakarta.130. Wahyono, M.(1991): Informasi Verbal, Museum Nasional, Jakarta. 131. Warming, Wanda and M. Gaworski (1981): THE WORLD OF INDONESIAN TEXTILES, N.Y., Kodansha.132. Weiner, Annete B. and Jones Schneider (1989): CLOTH AND HUMAN EXPERIENCE, Wash., Smithsonian Instution.133. Westphal, E. and P.C.M. Jansen (edits.) (1989): PLANT RESOURCES OF SOUTH EAST ASIA: A Selection, Pudoc Wageningen.134. Widjaya, Elizabeth A. dkk. (1988): TUMBUHAN ANYAMAN INDONESIA, Mediyatama Sarana Utama, Jakarta.135. Wilson, Kax (1981): A HISTORY OF TEXTILES, Westview, Colorado.136. Wingate, Isabel B. (1979): FAIRCHILD’S DICTIONARY OF TEXTILES, Fairchild, N.Y.137. Winter, John (1983): THE CHARACTERIZATION OF PIGMENTS BASED ON CARBON, Studies in Conservation, IIC, 28 (1983),
pp. 49 -66.138. Yeager, Ruth Marie and Mark Ivan Jacobson (1996): TRADITIONAL TEXTILES OF WEST TIMOR, Regional Variations in
Historical Perspective, Illionis, Batuan Biru Productions.139. Zander (1984): ZANDER ‘HANDWORTERBUCH DER PFLANZENNAMEN’, 13th ed. by F. Encke, G. Buchheim, and S. Seybold,
Stuttgart, Ulmer. (ISBN 3-8001-5042-5).
~~~ooOoo~~~
1. AATCC, American Association of Textile Chemists and Colorists (1971): COLOUR INDEX; Society of Dyers and Colorists, 5 vols.
2. AATCC (1981): DYEING PRIMER, N.C., pp. 4-6.3. Afriastini, J.J. (1988): DAFTAR NAMA TANAMAN, Penebar Swadaya, Jakarta. (ISBN 979-8031-85-7).4. Akerele, Olayiwola et.al. (1991): CONSERVATION OF MEDICAL PLANTS, Cambridge Univ. Press, N.Y.5. Ballard, Mary W. et.al. (1989a): HISTORIC SILK FLAGS FROM HARRISBURG, ACS, Washington DC, pp.134-142.6. Ballard, Mary W. et.al. (1989b): HISTORICAL SILK FLAGS STUDIED BY SCANNING ELECTRON MICROSCOPY -
ENERGY DISPERSIVE X-RAY SPECTROSCOPY (SEM-EDS), ACS, Washington DC, pp.419-428.7. Ballard, Mary W., trans. (1991): STUDY ON THE TURKISH RED (ETRAIT DU BULLETIN DE LA SOCIETE
INDUSTRIELLE DE MULHOUSE), Mulhouse; 1902: S.13-14), CAL/ MSC, Smithsonian Instution, Washington DC.8. Ballard, Mary W., edit. (1989/91): IMPORTANT EARLY SYNTHETIC DYES: Chemistry, Constitution, Date and
Properties; Smithsonian Instution, Washington DC.9. Ballard, Mary W. (1992): Verbal Information, Smithsonian Instution.
10. Barth, Friedrich G. (1991): INSECTS AND FLOWERS: The Biology of a Partnership, Princeton, N.J.11. Bell, Lilian A. (t.t.): PAPYRUS, TAPA, AMATE AND RICE PAPER, Liliaceae Press, Oregon.12. Bigelow, Deborah (1982): GOLD LEAF ON FURNITURE: Its History, Application and Conservation, Dissertation
Advanced Diploma Course, London College of Furniture.13. Birell, Verla (1973): THE TEXTILE ARTS, Schocken Book, N.Y.14. Brett, C. and Waldon K. (1990): PHYSIOLOGY AND BIOCHEMISTRY OF PLANT CELL WALLS, Unwin Hyman,
London.15. Brown, R. (1990): THE WEAVING, SPINNING AND DYEING, A.A. Knoft.16. Brunello, Franco (1973): THE ART OF DYEING ON IN THE HISTORY OF MANKIND, trans. B. Hickey. Vinceza: Neri
Pozza.17. Buchanan, R. (1987): A WEAVER’S GARDEN, Interweave, Colorado.18. Cardon, D. and G. du Chatenet (1990): Guide des TEINTURES NATURELLES, Delachaux et Nistle S.A.,
Neuchatel - Paris. (ISBN 2-60a-00732-7).19. Cook, A.H., trans. (1947): Lihat Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947).20. Corbman, Bernard P. (1983): TEXTILES: Fibers to Fabrics, McGraw Hill, N.Y.21. Crews, Patricia C. (1981): THE FADING RATES OF SOME NATURAL DYES, IIC, London, 32(1987), pp.65-72. 22. Franke, W. (1985): NUTZPFLANZENKUNDE, George Thime Verlag, Stuttgart - New York. (ISBN 3-13-530403-5).23. Geijer, Agnes (1979): A HISTORY OF TEXTILE ART, The Pasold Research Fund Ltd. in association with Sotheby
Parke Bernet Publications, New Jersey. 24. Gerling, Dr. J.H. Jager (1953): SPREKENDE WEEFSELS, Uitgave Koninklijk Institut vor de Tropen.25. Geirnaert-Martin, Danielle (1981): ASK LURIK WHY BATIK, A STRUCTURAL ANALYSIS OF TEXTILES AND
CLASSIFICATIONS (CENTRAL JAVA), The Future of Structuralism - The IUAES-InterCongress, Jarick Oosten and Arie de Ruijter (eds.), Amsterdam.
26. Gillow, John (1992): TRADITIONAL INDONESIAN TEXTILES, London, Thames and Hudson.27. Gittinger, M. (1985): SPLENDID SYMBOLS: TEXTILES AND TRADITION IN INDONESIA, Singapore, Oxford Univ.
Press.28. Gittinger, M. (edit.) (1989): TO SPEAK WITH CLOTH: Studies in Indonesian Textiles, Univ. of California, L.A.29. Guralnik, David B. (edit.), (1982): WEBSTER’S NEW WORLD DICTIONARY, 2nd. edit., N.Y., Simon and Schuster.30. Haake, Annegret (1984): JAVANISCHE BATIK, METHODE - SYMBOLIK - GESCHICHTE, Hannover, Verlag M. & H.
Schaper.31. Hadden, Re� C., and Lau E. Start., (1936): “IBAN SEA DAYAK FABRICS AND THEIR PATTERNS: A Descriptive
Catalogue of the Iban Fabrics in the Museum of Technology and Ethnology Cambridge”, Cambridge, Univ. Press.
32. Hager (1969 - 1979): HAGERS HANBUCH DER PHARMAZEUTICHEN PRAXIS 4. Neuausgabe; 8 Vols., Volume 1 - 5, 6A, 6B, 6C. Springer- Verlag, Heidelberg - Berlin.
33. Hamzuri (1989): BATIK KLASIK, Jakarta, Djambatan, Cet.ke-3.34. Harborne, J.B. and B.L. Turner (1984): PLANT CHEMOSYSTEMATICS, Academic Press, London.35. Hartono, A.J. dkk (1992): MEMAHAMI POLIMER DAN PEREKAT, Andi O�set, Yogyakarta36. Heringa, Rens (1989), lihat Gitinger, edit. (1989).37. Himpunan Pecinta Kain Tenun dan Batik Indonesia (Wastraprema), (1985): PESONA BATIK MADURA,
Jakarta, Wastraprema.38. Hitchcok, Michael (1985): INDONESIAN TEXTILES TECHNIQUE, Shire Ethnography, U.K.39. Hitchcok, Michael (1991): INDONESIAN TEXTILES, Harper Collins, N.Y.40. Holmgren, Robert J. and Anita E. Spertus (1989): EARLY INDONESIAN TEXTILES, MMA, N.Y.41. Ikan, Raphael (1991): NATURAL PRODUCTS: A Laboratory Guide, Academic Press, N.Y.42. Indictor, Norman (1987): THE USE OF METAL IN HISTORIC TEXTILES, N.Y., Personal Notes.43. Indictor, Norman and Mary W. Ballard (1989): THE EFFECTS OF AGING ON TEXTILES THAT CONTAIN METAL:
Implication for Analyses, International Restorer Seminar, Hungary.44. Institut Teknologi Tekstil (1979): EKSTRAKSI DAN SIFAT CELUP SOGA ALAM TINGI, Bandung, Institut
Teknologi Tekstil.45. Jahan, S.A.M. Monowar (t.t.): THE MANUFACTURE OF SHADOW THEATRE FIGURES ON JAVA, INDONESIA,
Bangladesh National Museum, Dhaka.46. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912a): THE DYEING OF THE YARNS, Chapter 4, De Inlandsche Kunstnijverheid
In Nederlandsch Indie, Vol. II, De Weefkunst, The Hague: Mouton and Co. (trans. C. Atwell of NYU).47. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1912b): KAIN TENUN DENGAN BENANG EMAS DAN PERAK (Goud En
Silverweefsels), De Inlandsche Kunstbijverheid In Nederlandsch Indie, pp. 237-260; (Diterjemahkan Oleh: Ny. Adiwoso, Museum Nasional di Jakarta 1993).
48. Jasper, J.E. and M. Pirngadi (1916): SENI BATIK [De Batik-kunst], De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie. (Translated by S.H. Adiwoso & Edited - Annotated by P. Yosep Subagiyo, Institut Seni Indonesia - Yogyakarta, 1994/95.)
49. Jiono (1992) : Informasi Verbal, BPBK, Yogyakarta. 50. Jones, Samuel B. and A.E. Luchsinger (1986): PLANT SYSTEMATICS, McGraw-Hill, N.Y.51. Kahlenberg, Mary Hunt (1977): TEXTILE TRADITIONS OF INDONESIA, Los Angeles, Los Angeles County
Museum of Art.52. Kajitani, N. (1980): TRADITIONAL DYES IN INDONESIA, Indonesian Textiles, Irene Emery Roundtable on
Museum Textiles, 1979 Proceedings, Washington Textile Museum, pp.305-325.53. Kashiwagi, K.M. (1976): AN ANALYTICAL STUDY OF PRE-INCA PIGMENTS, DYES, AND FIBERS, Tokyo,
Chemical Society of Japan (Bulletin) Vol. 49 (5), pp.1236-1239.54. King, John (1991): THE GENETIC BASIS OF PLANT PHYSIOLOGICAL PROCESSES, Oxford Univ. Press, N.Y.55. Krumsik, Rolf (1984): INDONESISCHE TEXTILIEN, Koln, Deutsches Textilemuseum.56. Landi, Sheila (1985): TEXTILE CONSERVATOR’S MANUAL, London, Butterworths.57. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1978a): TANAMAN INDUSTRI, No-10 SDE-51, LIPI, Bogor.58. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1978b): TUMBUHAN OBAT, No-11 SDE-53, LIPI, Bogor.59. LBN (Lembaga Biologi Nasional) (1984): POLONG-POLONGAN PERDU, No-29, Bogor. 60. Leene, Jentina (1972): TEXTILE CONSERVATION, Butterworths, London.61. Lemmens, R.H.M.J., and N.Wulijarni-Soetjipto (edit.) (1992): DYE AND TANNIN-PRODUCING PLANTS, Bogor,
Prosea Foundation.62. Liles, J.N. (1990): THE TEXTILE ART AND CRAFT OF NATURAL DYEING, Univ. of Tennessee.63. Lin-Vien, Daimay et.al. (1991): THE HANDBOOK OF INFRARED AND RAMAN CHARACTERISTIC FREQUENCIES
OF ORGANIC MOLECULES, Academic Press, N.Y.64. Lust, John B. (1974): THE HERB BOOK, Bantam Books, N.Y.65. Mabey, Richard (1988): THE NEW AGE HERBALIST, Macmillan, N.Y.66. Markham, K.R. (1982): TECHNIQUES OF FLAVONOID IDENTIFICATION, N.Y., Academic Press.67. Matsumoto, Kaneo (1989): 7th AND 8th CENTURY TEXTILES IN JAPAN FROM THE SHOSO-IN AND HORYU-JI,
Nara National Museum, Special Exhibition, Shikosa.68. Maxwell, Robyn (1990): TEXTILES OF SOUTHEAST ASIA: Tradition, Trade, and Transformation, N.Y., Oxford
Univ. Press.69. Mayer, Fritz and A.H. Cook (1947): THE CHEMISTRY OF NATURAL COLORING MATTERS, Reinhold, N.Y.70. Miksic, John (1989): OLD JAVANESE GOLD, Ideation, Singapore.
71. Miller, Janet (1989): DEGRADATION IN WEIGHTED AND UNWEIGHTED HISTORIC SILK, Washington DC., The American Institute for Conservation, Vol.2 No.2.
72. Mohanty, B.C., et.al. (1987): NATURAL DYEING PROCESSES OF INDIA, Ahmedabab Calico Museum of Textiles.
73. Montegut, D. et.al. (t.t.): TECHNICAL EXAMINATION OF METAL THREADS IN SOME INDONESIAN TEXTILES OF WEST SUMATERA, Conservation Centre, NYU.
74. Murni, Harini (1975): SOGA DAN TUMBUHAN LAIN DALAM PEWARNAAN BATIK, (Thesis), Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.
75. Noggle, G. Ray and G.J. Fritz (1976): INTRODUCTORY PLANT PHYSIOLOGY, Prentice, N.J.76. Pearce, Susan M. (1989): MUSEUM STUDIES IN MATERIAL CULTURE, Washington, Smithsonian Inst.77. Pearce, Susan M. (1990): ARCHAEOLOGICAL CURATORSHIP, Washington DC, Smithsonian Inst.78. Pratt, Lyde S. (1947): THE CHEMISTRY AND PHYSICS OF ORGANIC PIGMENTS, John Wiley, N.Y.79. PROSIDING SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL “ETNOBOTANI”, (1992), Depdikbud, Deptan, LIPI dan
Perpusnas; Cisarua - Bogor, 19-20 Februari 1992.80. Przibram, Karl (1956): IRRADIATION COLOURS AND LUMINESCENCE, London, Pergamon.81. Radley, J.A. and J. Grant (1954): FLUORESCENCE ANALYSIS IN ULTRA-VIOLET LIGHT, London, Chapman &
Hall.82. Reinman, M. (1868): ANILINE AND ITS DERIVATIVES, N.Y., John Wiley.83. Remington, John S., and W. Francis (1954): PIGMENTS: Their Manufacture, Properties, and Use; London,
Leonard.84. Rifai, Mien A. dan Eko B. Waluyo (1992): ETNOBOTANI DAN PENGEMBANGAN TETUMBUHAN PEWARNA
INDONESIA: ULASAN SUATU PENGAMATAN DI MADURA, Bogor, Seminar Nasional Etnobotani.85. Risman Marah (1990): BERBAGAI POLA KAIN TENUN DAN KEHIDUPAN PENGRAJINNYA, Jakarta, Depdikbud.86. River, Dan (1980): A DICTIONARY OF TEXTILE TERMS, Dan River Inc., N.Y.87. Rose, Carolyn L. (1988): ETHICAL AND PRACTICAL CONSIDERATIONS IN CONSERVING ETHNOGRAPHIC
MUSEUM OBJECTS, Senri Ethnological Studies, Osaka, 23(1988). 88. Rou�aer, G.P. and H.H. Juynboll (1914): BATIK-KUNST IN NIEDERLANDISCH-INDIEN AND IHRE GESCHICHTE,
Utrect: Verlay von A. Ooosthoek (Translated into English by Thomassen, in 1992).89. Sangat, Harini M. (1976): SOGA SEBAGAI BAHAN PEWARNA UTAMA BATIK: Siaran Ilmu Pengetahuan
Populer R.R.I. Bogor, 6-1-1976.90. Sareng Orinbao, P. (19920: SENI TENUN, SUATU SEGI KEBUDAYAAN ORANG FLORES, Flores, Seminari Tinggi
St. Paulus.91. Schaublin, Brigitta H. et.al. (1991): TEXTILES IN BALI, Periplus, Singapore.92. Schweppe, Helmut (1986a): IDENTIFICATION OF DYES IN HISTORIC TEXTILE MATERIALS, ACS, Washington
DC.93. Schweppe, Helmut (1986b): PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH NATURAL DYES, Washington, Smithsonian
Instution, CAL/MSC.94. Schweppe, Helmut (1986c): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF EARLY SYNTHETIC
DYES - PRACTICAL HINTS ON DYEING WITH EARLY SYNTHETIC DYES, Washington, CAL/MSC, SI.95. Schweppe, Helmut (1988): PRACTICAL INFORMATION FOR THE IDENTIFICATION OF DYES ON HISTORIC
TEXTILE MATERIALS, Washington, CAL/MSC, SI.96. Schweppe, Helmut (1989): IDENTIFICATION OF RED MADDER AND INSECT DYES BY THIN LAYER
CHROMATOGRAPHY, ACS, Washington DC., pp.188-219.97. Singer, Michael J. and Donald N. Munns (1987): S O I L S : An Introduction, Macmillan, N.Y.98. Soetjipto, N. Wulijarni and J. S. Siemonsma (edits.) (1991): BIBLIOGRAPHY 3: Dye and Tannin-producing
plants, PROSEA, Pudoc Wagenigen.99. Soetopo (1981): B A T I K , Jakarta, Indira.
100. Snyder, L.R. and J.J. Kirkland (1979): INTRODUCTION TO MODERN LIQUID CHROMATOGRAPHY, John Wiley, N.Y. 101. Stearn, W.T. (1983): BOTANICAL LATIN, London, David & Charles,1983.102. Steinmann, A. (1947): THE ART OF BATIK, Ciba Review, No.58, pp.2090-2101.103. Storey, J. (1979): DYES AND FABRICS, Thames & Hudson, London.104. Storey, J. (1991): TEXTILE PRINTING, Thames & Hudson, London.105. Subagiyo, P.Y. (1993/94b): SUATU KAJIAN DALAM UPAYA PENYELAMATAN KAIN TRADISIONAL, Majalah Kebudayaan,
Dedpdikbud, No.6, hal. 50-57.106. Subagiyo, P.Y. (1994a): ANALISA SERAT DAN ZAT-WARNA TEKSTIL, Museum Nasional, Jakarta.107. Subagiyo, P.Y. (1994b): BATIK PANTAI UTARA JAWA DAN MADURA, Museum Nasional, Jakarta. [represented into NORTH
COASTH JAVA BATIK AT 1994: Museum and Site Surveys, Subagiyo (2000)].
108. Subagiyo, P.Y. (1994e): THE CLASSIFICATION OF INDONESIAN TEXTILES BASED ON STRUCTURAL, MATERIALS AND TECHNICAL ANALYSES, International Seminar, Jakarta.
109. Subagiyo, P.Y. (1994/95): KEBIJAKAN MANAJEMEN KOLEKSI, Majalah Kebudayaan, Depdikbud, No.8, hal. 52-60.110. Subagiyo, P.Y. (1996): METAL THREAD EXAMINATION FOR DETERMINING THE DATE, ORIGIN AND DISTRIBUTION OF
INDONESIAN SONGKET WEAVING, International Seminar, Jambi - Indonesia.111. Subagiyo, P.Y. (1999): MENGENAL BAHAN CELUP ALAMI MELALUI STUDI KOLEKSI TEKSTIL DI MUSEUM, Makalah Seminar
Nasional “Bangkitnya Warna-warna Alam”, Yogyakarta, Dewan Kerajinan Nasional. 112. Subagiyo, P.Y. (2000): NORTH COASTH JAVA BATIK AT 1994: Museum and Site Surveys, International Symposium, Institute
of Oriental Culture - University of Tokyo. 113. Suhardini dan Sulaiman Jusuf (1984): ANEKA RAGAM HIAS TENUN IKAT INDONESIA, Museum Nasional, Jakarta.114. Susanto, Sewan S.K. (1980a): CONTOH WARNA INDIGOSOL: PERPADUAN PEWARNAAN INDIGOSOL UNTUK WARNA
KHUSUS 1200 CONTOH WARNA, Yogyakarta, Balai Penelitian Batik dan Kerajinan [BPBK], Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Industri.
115. Susanto, Sewan S.K. (1980b): SENI KERAJINAN BATIK INDONESIA, Yogyakarta, BPBK, pp. 64 - 128.116. Suwati Kartiwa (1986): KAIN SONGKET INDONESIA, Djambatan, Jakarta.117. Suwati Kartiwa (1987): TENUN IKAT, Djambatan, Jakarta.118. Taylor, G.W. (1983): DETECTION AND IDENTIFICATION OF DYES ON ANGLO SCANDINAVIAN TEXTILES, Studies in
Conservation, IIC, 8(1983), pp. 153 - 160.119. Textile Research Associates (1989): DYES in HISTORY and ARCHAEOLOGY, Bootham Terrace York, No.8.120. Textile Research Associates (1990): DYES in HISTORY and ARCHAEOLOGY, York, No.9.121. Thomson (1976), lihat Venkataraman, edit. (1976)122. Trotmann, E. R. (1984): DYEING AND CHEMICAL TECHNOLOGY OF TEXTILES FIBERS, Charles Gri�n, High Wycombe.123. van der-Hoop, A.N.J. (1949): INDONESISCHE SIERMOTIEVEN - RAGAM-RAGAM PERHIASAN INDONESIA - INDONESIAN
ORNAMENTAL DESIGN, Koninklijk Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschapen, Batavia (Jakarta).124. Vandiver, Pamela B., J. Druzik and G.S. Wheeler (1990): MATERIALS ISSUES IN ARTS AND ARCHAEOLOGY II, MRS, Pittsburg.125. Veldhuisen, Harmen C. (1993): BATIK BELANDA 1840 - 1940, Dutch In�uence in Batik from Java History and Stories, Jakarta,
PT Gaya Favorit Press.126. Veldhuisen-Djajasoebrata, Alit (1998): WEAVINGS OF POWER AND MIGHT, The Glory of Java, Rotterdam, Museum voor
Volkenkunde.127. Venkataraman, K. (edit.) (1976): THE ANALYTICAL CHEMISTRY OF SYNTHETIC DYES, John Wiley, N.Y.128. Verheij, E.W.M. and R.E. Cornel (eds.) (1992): EDIBLE FRUITS AND NUTS, Plant Resources of South-East Asia (PROSEA),
Bogor.129. Wahyono, M. (1987): LURIK, Museum Nasional, Jakarta.130. Wahyono, M.(1991): Informasi Verbal, Museum Nasional, Jakarta. 131. Warming, Wanda and M. Gaworski (1981): THE WORLD OF INDONESIAN TEXTILES, N.Y., Kodansha.132. Weiner, Annete B. and Jones Schneider (1989): CLOTH AND HUMAN EXPERIENCE, Wash., Smithsonian Instution.133. Westphal, E. and P.C.M. Jansen (edits.) (1989): PLANT RESOURCES OF SOUTH EAST ASIA: A Selection, Pudoc Wageningen.134. Widjaya, Elizabeth A. dkk. (1988): TUMBUHAN ANYAMAN INDONESIA, Mediyatama Sarana Utama, Jakarta.135. Wilson, Kax (1981): A HISTORY OF TEXTILES, Westview, Colorado.136. Wingate, Isabel B. (1979): FAIRCHILD’S DICTIONARY OF TEXTILES, Fairchild, N.Y.137. Winter, John (1983): THE CHARACTERIZATION OF PIGMENTS BASED ON CARBON, Studies in Conservation, IIC, 28 (1983),
pp. 49 -66.138. Yeager, Ruth Marie and Mark Ivan Jacobson (1996): TRADITIONAL TEXTILES OF WEST TIMOR, Regional Variations in
Historical Perspective, Illionis, Batuan Biru Productions.139. Zander (1984): ZANDER ‘HANDWORTERBUCH DER PFLANZENNAMEN’, 13th ed. by F. Encke, G. Buchheim, and S. Seybold,
Stuttgart, Ulmer. (ISBN 3-8001-5042-5).
~~~ooOoo~~~
[ 56 ]
Pemegang Unesco Fellowship Award dari tahun 1989 sampai 1992 ini mendapatkan pendidikan sains konservasi di Tokyo National Research Institute for Cultural Properties (TNRICP), Jepang dari 1989-1990; pernah mengikuti kursus “spotting” di International Fabricare Institute (IFI) di Maryland - Amerika Serikat; serta mengikuti berbagai kursus analisis konservasi di Museum Conservation Institute (MCI)* of the Smithsonian Institution di Washington D.C., Amerika Serikat (1991-1992).
Selama periode magang di Smithsonian Institution, Subagiyo telah mengadakan kunjungan observasi di laboratorium-laboratorium museum dan lembaga penelitian di kota New York, Harrisburg, dan Washington D.C. Ia pernah ambil bagian dalam pengamatan kerusakan pakaian astronout di National Air and Space Museum (NASA) di Washington D.C. dan demo pencelupan warna di Carnegie Mellon College,
Maryland. Pada akhir tahun 2013, Subagiyo melakukan kunjungan observasi di Museum Nasional Tokyo dan Museum Joshibi University of Art and Design, Kanagawa - Jepang.
Puji Yosep Subagiyo lahir di Purworejo, Jawa Tengah. Ia adalah seorang konservator senior berserti�kasi internasional, dari tahun 1986 sampai 2016 bekerja di Museum Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Subagiyo yang telah memiliki pendidikan lebih dari 4.500 jam dan 30 tahun berpengalaman di bidang konservasi, banyak melakukan penelitian aneka bahan - teknik pembuatan tekstil tradisional dan lukisan, penulisan, rancang-bangun database konservasi dan kurasi, mengikuti dan pembicara pada berbagai seminar
internasional. Sejak Januari 2017, Puji Yosep Subagiyo menjadi Direktur PT Primastoria Network Group (PNG) yang membawahi Studio Primastoria (yang sudah berdiri sejak 1994). Melalui Studio ini Subagiyo melayani jasa konsultasi
dan konservasi tekstil, lukisan, logam, dan aneka benda etnogra�.
Pro�l dan Riwayat
5. Sebagai nara sumber Bimtek Permuseuman - Konservasi (1996, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta); Bimtek Konservasi Tekstil (2000, Museum Tekstil Jakarta); Bimtek Permuseuman - Konservasi (2002, Asdep Kesenian - Kembudpar); survai kondisi lukisan, rancang-bangun database dan penyusunan rencana induk preservasi (2002 - 2003, Istana Kepresidenan di Jakarta - Bogor - Cipanas - Yogya - Bali).
6. Pembicara Seminar Nasional tentang Warna Alami (1999, Yogyakarta) dan Konservasi Lukisan (2002, Jakarta).7. Sebagai nara sumber kajian Batik Pantai Utara Jawa dan Madura (1994, ISI Yogya - Univ. Tokyo - Yayasan Toyota) dan kajian kanvas
lukisan (2006, Pencarian Penyebab Kerusakan dan Identitas Lukisan, Balai Konservasi - Jakarta).8. Rancang-bangun database koleksi museum (2012, Museum Nasional - Jakarta).9. Menyusun kompilasi naskah yang berhubungan dengan tekstil, konservasi dan analisis bahan (Primastoria Studio, 2013).
10. Menyusun laporan hasil Observasi Tekstil di Museum Nasional (Primastoria Studio, 2014-15).11. Sebagai narasumber Seminar atau Workshop Konservasi di Borobudur - Magelang, Bogor - Jawa Barat dan TMII
Jakarta (2015); Museum Basuki Abdullah dan Museum Senirupa & Keramik (2016); Museum Nasional (2017).12. Konservasi lukisan di Istana Presiden R.I. (2016 - 2017).
1. Perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan konservasi tekstil dan lukisan :* Survai kondisi (identi�kasi bahan dan kerusakan, membuat usulan tindakan konservasi, pembuatan dokumentasi, kalkulasi waktu dan
biaya).* Pelaksanaan pekerjaan konservasi.
2. Penguasaan sains komputer (kalkulasi matematis, pemrograman database, 3D modelling, illustration, dsb.) untuk aplikasi sistem perencanaan dan pengembangan konservasi yang berbasis sains konservasi (penerapan sifat �sik - kimiawi bahan, pengaruh jasad hidup/ biotis, faktor iklim, dan interpretasi alat ukur digital/ manual):* Rancang-bangun database untuk survai kondisi keterawatan dan kondisi klimatologi untuk evaluasi teknis konservasi dan uji kompetensi
tenaga konservasi.* Rancang-bangun sistem/ model untuk simulasi tata letak (mapping) gedung, ruang, lemari, koleksi berikut kalkulasi ukuran dimensi (objek)
dan kalkulasi kebutuhan serta efek alat penunjang displai-storage-konservasi (konsumsi daya listrik, konversi energi semua jenis lampu, hubungan �uktuasi - tekanan barometrik, kebutuhan alat-bahan-biaya, dsb.), serta aplikasi computerized-optical-microscope untuk mengukur objek skala mikro meter, aplikasi weather probe (station), RFID (Radio Frequency Identi�cation), dsb. [1 mikro = 1 per sejuta].
* Pembuatan paket pelatihan elektronis (e-Learning Pack) untuk konservasi & kurasi.3. Penguasaan sains komputer untuk membantu perencanaan dan pengembangan kurasi, registrasi, dokumentasi, serta pemantauan dan evaluasi
kinerja pegawai [Key Performance Indicators (KPI)] :* Rancang-bangun database koleksi museum dan galeri yang memiliki �tur untuk memudahkan pencarian, validasi tata-letak,
validasi syarat minimum entri data, map-tracking asal koleksi/ seniman, penanggalan relatif, coding tingkat kerusakan - jenis bahan (konversi data teks ke numerik), dsb.
4. Kajian teknis dan bahan koleksi untuk dokumentasi, konservasi, kurasi, registrasi dan kajian tingkat lanjut.
Prestasi dan Penghargaan1. Pemegang Unesco Fellowship Award dari tahun 1989 sampai 1992.2. Penulisan artikel tentang tekstil, konservasi dan manajemen koleksi museum (1993 - 1995, Majalah Museogra� dan Majalah
Kebudayaan, Depdikbud - Jakarta).3. Sebagai Editor dan Anotator untuk terjemahan Buku Seni Batik dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia (1994-5, ISI Yogya - Yayasan
Toyota).4. Pembicara Seminar Internasional tentang Tekstil Tradisional tahun 1994 (Jakarta), 1996 (Jambi), 1999 (Denpasar) dan 2000 (Tokyo
University - Toyota Foundation).Catatan:Makalah berjudul “The Classi�cation of Indonesian Textiles Based on Structural, Material and Technical Analyses (1994)” menjadi rujukan Prof. Basavaraj S. Anami dan Prof. Mahantesh C. Elemmi dalam International Journal of Signal Processing, Image Processing and Pattern Recognition (Judul Tulisan: “A Rule Based Approach for Classi�cation of Shades of Basic Colors of Fabric Images” ), Vol. 8, No. 2 (2015), pp. 389-400.
S TORiAPRiMA
R
Pro�l dan Sekilas PengalamanPUJI YOSEP SUBAGIYO
Spesialisasi & Kompetensi
Taman Alamanda Blok BB2 No. 55-59, Bekasi 17510, Indonesia.Web: primastoria.net Email: [email protected] : (021) 2210 2913 Mobile | Line | WA : 0812 8360 495
PT Primastoria Network GroupKepmenkumham R.I. No. AHU-0001256.AH.01.01 Tahun 2017
Kepmenkumham R.I. No. AHU-0015626.AH.01.02 Tahun 2017
* Museum Conservation Institute (MCI) sebelumnya disebut sebagai Museum Support Centre (MSC), yang memiiki Conservation Analytical Laboratory (CAL).
www.primastoria.net September 2017