teknologi rekayasa chitosan
TRANSCRIPT
1
A. “TEKNOLOGI REKAYASA CHITOSAN++ SEBAGAI
PENGAWET DAN PENINGKAT KADAR PROTEIN PADA
TAHU"
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Potensi perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata
misalnya udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein
(21%), lemak (0,2%), vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat
kapur dan fosfor. Udang dapat diolah dengan beberapa cara seperti udang beku,
udang kering, udang kaleng, dan lain-lain (Goligo, 2009).
Sebagai penghasil udang dengan nilai ekspor yang tinggi Jawa Timur
memproduksi udang beku sebesar 47.807,788 ton atau setara dengan US$
368.644.445,41 pada tahun 2005 (Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur,
2005). Dari proses pembekuan, 40% dari berat udang menjadi limbah (bagian
kulit dan kepala) (Rekso, 2001). Di Indonesia udang mengalami proses “cold
storage” yaitu bagian kepala, ekor, dan kulit dibuang sebagai limbah.
Limbah udang ini dapat mencemari lingkungan di sekitar pabrik sehingga
perlu dimanfaatkan. Selama ini kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan kerupuk, terasi, dan suplemen bahan makanan ternak. Padahal 20-30%
limbah tersebut mengandung senyawa chitin yang dapat diubah menjadi chitosan
(Haryani dkk, 2007).
Chitin dalam cangkang udang, terdapat sebagai mukopoli sakarida yang
berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3),
protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh
chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein
(deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi), sedangkan untuk
mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi. Chitosan sangat
berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet makanan, karena chitosan
memiliki polikation bermuatan positif sehingga dapat menghambat pertumbuhan
mikroba (Wardaniati, 2009) dan mampu berikatan dengan senyawa-senyawa yang
bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat, logam berat dan
lain-lain (Murtini dkk, 2008). Selain itu, molekul chitosan memiliki gugus N yang
2
mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan
protein (Irianto dkk, 2009) dan memiliki atom H pada gugus amina yang
memudahkan chitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen (Rochima,
2009).
Menurut Hardjito (2006) pada prinsipnya untuk mengawetkan makanan
membutuhkan chitosan dengan konsentrasi 1,5 % (dalam 1 liter air dibutuhkan 15
gram chitosan) sedangkan aplikasi chitosan sebagai bahan pengawet dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu pencampuran dan perendaman pada bahan
pangan. Salah satu penelitian tentang aplikasi chitosan dengan cara perendaman
yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh Hardjito (2006) dan hasilnya
menunjukkan bahwa tahu yang telah diberi chitosan dengan konsentrasi 1,5%
mempunyai rasa, bau, tekstur yang hampir sama dengan tahu tanpa pemberian
chitosan, dan tahu mampu bertahan selama tiga hari yaitu cukup dicelup (dip)
selama 5-10 menit dalam larutan chitosan lalu dipindah ke rendaman air biasa saat
pengangkutan.
Menurut Standar Industri Indonesia (1992) tahu merupakan suatu produk
berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycine sp)
dengan cara pengendapan proteinnya dengan atau tanpa penambahan bahan lain
yang diijinkan (Farida, 2002). Suciati (2003) menyatakan bahwa tahu sebagai
salah satu produk olahan patut dikembangkan untuk mengatasi masalah
kekurangan protein bagi masyarakat luas. Hal ini ditunjang oleh harga tahu itu
sendiri yang relatif murah dan terjangkau.
Tahu merupakan suatu produk yang terbuat dari hasil penggumpalan
protein kedelai. Dalam perdagangan dikenal dua jenis tahu, yaitu tahu biasa dan
tahu Cina. Pada pembuatan tahu Cina, kedelai direbus terlebih dahulu sebelum
direndam dan biasanya mempunyai ukuran lebih besar (Koswara, 1992).
Tahu telah menjadi daging tiruan di Cina sejak 2000 tahun yang lalu. Kini
sudah menyebar di seluruh penjuru dunia dan menjadi semakin populer. Hal ini
terjadi karena meningkatnya tuntutan pilihan pangan, yang menginginkan
makanan segar, sehat dan tidak terlalu memberatkan lambung, berkalori rendah,
protein tinggi, sedikit manis yang memudahkan penggunaan dalam berbagai
hidangan (Winarno, 1993). Standar Industri Indonesia (1992) menyatakan bahwa
3
yang disebut tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat
melalui proses pengolahan kedelai (Glycine sp) dengan cara pengendapan
proteinnya dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diijinkan (Farida,
2002).
Tahu yang diproduksi di Kota Batu pada saat ini proses pengolahannya
masih dilakukan secara tradisional. Sehingga daya simpan tahu yang diproduksi
memiliki tingkat keawetan yang cukup rendah. Berdasarkan observasi yang
dilakukan terhadap mitra PKMT, tingkat keawetan tahu yang diproduksi hanya
bertahan sekitar 2 hari setelah diproduksi padahal permintaan konsumen tahu di
Kota Batu cukup tinggi. Oleh karena itu perlu adanya suatu teknologi rekayasa
tepat guna dalam hal pengawetan tahu, yaitu dengan menggunakan chitosan dari
kulit udang. Selain dapat mengawetkan tahu, chitosan dari kulit udang dapat
meningkatkan kadar protein tahu dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan
yang disebabkan oleh limbah kulit udang sehingga teknologi rekayasa ini diberi
nama “Chitosan ++”
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang kami angkat
adalah:
1. Apakah pemberian chitosan kulit udang memberikan pengaruh sebagai
bahan pengawet tanpa merusak kualitas produk tahu yang diproduksi unit
usaha kecil di Kota Batu?
2. Apakah pemberian chitosan kulit udang memberikan pengaruh sebagai
bahan peningkat kadar protein tahu yang diproduksi unit usaha kecil di
Kota Batu?
3. Bagaimanakah mekanisme Chitosan ++ dalam proses pengawetan produk
tahu?
4. Bagaimanakah aplikasi teknologi rekayasa Chitosan ++ sebagai pengawet
alami yang berbahan dasar kulit udang?
4
D. TUJUAN
Teknologi dilakukan bertujuan untuk:
1. Mengetahui pemberian chitosan kulit udang dalam memberikan pengaruh
sebagai bahan pengawet tanpa merusak kualitas produk tahu yang diproduksi
unit usaha kecil di Kota Batu
2. Mengetahui pemberian chitosan kulit udang dalam memberikan pengaruh
sebagai bahan peningkat kadar protein tahu.
3. Mengetahui mekanisme Chitosan ++ dalam proses pengawetan produk tahu.
4. Mengetahui aplikasi teknologi rekayasa Chitosan ++ sebagai pengawet
alami yang berbahan dasar kulit udang.
E. LUARAN YANG DIHARAPKAN
1. Menghasilkan produk teknologi rekayasa Chitosan ++ sebagai pengawet
alami pada tahu yang dapat meningkatkan kualitas produk tahu dari segi
gizi ataupun organoleptik.
2. Hak paten produk pengawet alami Chitosan ++ yang berbahan dasar
limbah kulit udang.
F. KEGUNAAN
Kegunaan yang diharapkan dari teknologi ini adalah:
1. Secara Praktis
1. Memberikan solusi kepada masyarakat mengenai pengolahan
limbah khususnya limbah kulit udang dengan memanfaatkannya
sebagai bahan pengawet alami produk tahu.
2. Memberikan informasi dan pelatihan bagi unit masyarakat usaha
kecil pembuat tahu tentang bahan pengawet tahu secara alami.
2. Secara Teoritis
1. Memberikan penguatan konsep mata kuliah invertebrata sebagai
bentuk penerapan dalam bidang teknologi terapan.
2. Sebagai model terapan teori dasar-dasar ilmu gizi yang
diaplikasikan dalam bentuk pengawet alami pada tahu.
5
G. TINJAUAN PUSTAKA
G.1 Kulit Udang
Knorr et al (1988) menyatakan bahwa cangkang kulit udang yang keras
mengandung 34,9 % protein, 27,6 % mineral kalsium karbonat (CaCO3), 18,1 %
chitin dan 19,4 % komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan protein. Kulit
udang juga mengandung karoten astaksantin 0,02 % (Harini, 2003).
Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu : epikutikula, eksokutikula,
endokutikula dan epidermis. Tebal tipisnya kutikula bervariasi, bergantung pada
lokasinya, di daerah kepala tebalnya 75 mikron dan daerah lunak di bagian
pangkal kaki hanya 5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7% zat anorganik yang
mengandung 98,5% kalsium. Pada waktu moulting chitin dan protein dari kulit
yang lama lebih dulu diserap dan bahan anorganiknya tidak diserap. Sebelum
moulting epikutikula dan eksokutikula terbentuk dan terpisah dengan kutikula
yang lama, kemudian segera setelah terjadi moulting kalsium perlahan-lahan
tertimbun ke dalam eksokutikula dan dalam waktu 5 jam penimbunan tersebut
menjadi sempurna. Pertukaran kalsium antara cairan tubuh dengan air laut
berjalan melalui insang, kira-kira 90% Ca diserap dan 79% dikeluarkan
(Darmono, 199
G.2 Chitin dan Chitosan
Kata ”kitin” berasal dari bahasa Yunani, yaitu ”chiton”, yang berarti baju
rantai besi. Kitin pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu
ekstrak jamur yang dinamakan ”fugine”. Pada tahun 1823, Odier mengisolasi
suatu zat dari kutikula serangga jenis elytra dan mengusulkan nama ”chitin”
(Firdaus dkk, 2009). Pada umumnya chitin di alam tidak berada dalam keadaan
bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam
pigmen.
Walaupun chitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan
untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (crustaceae) yang
dipanen secara komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber-
6
yang kaya akan chitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam
jumlah besar sebagai limbah hasil dari pembuatan udang (Mudhzz, 2010).
Chitin (C8H13NO5)n merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa
dan mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) dengan
ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya.
Chitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas.
Namun dengan modifikasi struktur kimiawinya maka akan diperoleh senyawa
turunan chitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik (Srijanto dan Imam,
2009). Salah satu turunan chitin adalah chitosan (C6H11O4N)n suatu polisakarida
linier dengan komposisi glukosamin. Chitosan mempunyai rumus kimia poli (2-
amino2-dioksi-β-D-Glukosa) dan dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis chitin
menggunakan basa kuat (Srijanto dan Imam, 2009). Chitosan berbentuk serpihan
putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kadar chitin dalam berat udang,
berkisar antara 60-70 % dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield
15-20 % (Wardaniati, 2009).
Menurut Hardjito (2009) chitosan mempunyai bentuk mirip dengan
selulosa, dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2 dimana gugus hidroksi (OH)
pada C-2 digantikan oleh gugus amina (NH2). Proses utama dalam pembuatan
chitosan, meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses
kimiawi yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing
dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, chitosan
diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa
(Mudhzz, 2010). Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan
berbentuk kristal, chitosan mempunyai sifat biodegradabel yaitu mudah terurai
secara hayati, tidak beracun, dapat larut dalam larutan asam organik encer, tetapi
tidak larut dalam air, larutan alkali pada PH di atas 6,5 dan pelarut organik
lainnya. Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat (Mahmiah, 2005).
Menurut Harini (2003) molekul chitosan bersifat lebih kompak
dibandingkan dengan polisakarida lainnya apabila berada dalam larutan asam
encer dengan kekuatan ionik rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh densitas
muatan yang tinggi. Di dalam larutan berionik tinggi atau bila ke dalam larutan
ditambahkan urea, ikatan hidrogen dan gaya elektrostatik pada molekul chitosan
7
terganggu, konformasinya menjadi bentuk acak (random coil). Sifat fleksibel
molekul ini menjadikannya dapat membentuk baik konformasi kompak maupun
memanjang (polisakarida lain umumnya berbentuk memanjang).
Adanya gugus fungsi hidroksil primer dan sekunder mengakibatkan
chitosan mempunyai kereaktifan kimia yang tinggi. Gugus fungsi yang terdapat
pada chitosan memungkinkan juga untuk modifikasi kimia yang beraneka ragam
termasuk reaksi-reaksi dengan zat perantara ikatan silang, kelebihan ini dapat
memungkinkannya chitosan digunakan sebagai bahan campuran bioplastik, yaitu
plastik yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan.
Jika sebagian besar gugus asetil pada chitin disubsitusikan oleh hidrogen
menjadi gugus amino dengan penambahan basa konsentrasi tinggi. NaOH 50%
dapat digunakan untuk deasetilasi chitin dari limbah kulit udang, maka hasilnya
dinamakan chitosan atau chitin terdeasetilasi. Chitosan sendiri bukan merupakan
senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang terdeasetilasi sebagian dengan
derajat deasetilasi beragam.
Chitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi chitin, sedangkan chitin
sendiri dapat diperoleh dari kulit udang. Produksi kitin biasanya dilakukan dalam
tiga tahap yaitu: tahap demineralisasi, penghilangan mineral; tahap deproteinasi,
penghilangan protein; dan tahap depigmentasi, pemutihan. Sedangkan chitosan
diperoleh dengan deasetilasi chitin yang didapat dengan larutan basa konsentrasi
tinggi. Deproteinasi menggunakan natrium hidroksida lebih sering digunakan,
karena lebih mudah dan efektif. Pada pemisahan protein menggunakan natrium
hidroksida, protein diekstraksi sebagai natrium proteinat yang larut.
Pembuatan chitosan dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil (-
COCH3) pada gugusan asetil amino chitin menjadi gugus amino bebas chitosan
dengan menggunakan larutan basa. Chitin mempunyai struktur kristal yang
panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga
pada proses deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida konsentrasi 40-50%
dan suhu yang tinggi (100-150oC) untuk mendapatkan chitosan dari chitin.
8
Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu
amida oleh basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya.
Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus
NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu
amida yaitu chitosan.
Spesifikasi chitin dan chitosan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Spesifikasi (standart mutu) chitin dan chitosan
Spesifikasi Deskripsi
Air 2-10% pada kondisi normal laboratorium
Nitrogen 6-7% dalam chitin, 7-8,4% dalam chitosan
Derajat deasetilasi < 10% untuk chitin, >70% untuk chitosan
Abu < 1,0%
Sumber : Muzzarelli (1985) dalam Handayani (2004)
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba,
karena mengandung enzim lysosim, gugus aminopolysacharida, polikation
bermuatan positif yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi
daya hambat chitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan
chitosan. kemampuan dalam hal menekan pertumbuhan bakteri disebabkan
chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba (Wardaniati, 2009), dan mampu berikatan dengan senyawa-
senyawa yang bermuatan negative seperti protein, polisakarida, asam nukleat,
logam berat dan lain-lain (Murtini dkk, 2008). Selain itu, molekul chitosan-
memiliki gugus N yang mampu membentuk senyawa amino yang merupakan
komponen pembentukan protein (Irianto dkk, 2009) dan memiliki atom H pada
gugus amina yang memudahkan chitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan
hidrogen dan memiliki sifat hidrofobik (Rochima, 2009).
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan-IPB (2006) menyatakan bahwa
chitosan tidak dapat dicerna tanpa adanya enzim chitonase, oleh karena itu
penggunaan chitosan harus dilarutkan dahulu dalam larutan asam asetat 2 %.
Hasil akhir larutan tersebut mempunyai PH 5-6
9
Menurut Hardjito (2009) chitosan memiliki beberapa manfaat sebagai
berikut :
1. Penggunaan chitosan pada produk pangan dapat menghindarkan konsumen dari
kemungkinan terjangkit penyakit typhus, karena chitosan dapat menghambat
pertumbuhan berbagai mikroba patogen penyebab penyakit typhus seperti
Salmonella enterica, S. enterica var. Paratyphi-A dan S. enterica var. Paratyphi-B.
Chitosan juga dapat menghambat perbanyakan sel kanker lambung manusia dan
meningkatkan daya tahan tubuh. Chitosan telah mendapatkan persetujuan dari
BPOM No.HK.00.05.52.6581 untuk digunakan dalam produk pangan. Di
Amerika chitosan telah mendapat pengesahan sebagai produk GRAS (Generally
Recognised As Safe) oleh FDA.
2. Chitosan dapat menjerat lemak (fat absorber) dan mengeluarkannya bersama
kotoran karena chitosan sebagai serat tidak dapat dicerna oleh tubuh, sehingga
penggunaan chitosan akan mengurangi resiko terkena kolesterol tinggi
3. Berfungsi sebagai pelembab, antioksidan, tabir surya pada produk kosmetik.
G.3 Protein
Menurut Suhardjo dan Clara (1992) protein berasal dari bahasa Yunani
(Greek). “Primary, holding first place” yang berarti menduduki tempat yang
terutama. Protein terbentuk dari unsur-unsur organik yang hampir sama dengan
karbohidrat dan lemak yatu terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan-
mineral yaitu fosfor, sulfur dan zat besi. Molekul protein tersusun dari satuan-
satuan dasar kimia yaitu asam amino. Dalam molekul protein, asam-asam amino
ini saling berhubung-hubungan dengan suatu ikatan yang disebut ikatan peptide
(-CONH-). Satu molekul protein terdiri dari 12 sampai 18 macam asam amino dan
dapat mencapai ratusan asam amino.
Kebutuhan badan manusia untuk mempertahankan dan memperbaiki
tenunan yang sudah tua terus berlangsung selama hidup. Protein dalam jaringan
tubuh kita tidak statis, atau tetap. Artinya, sel-sel jaringan tersebut dipecah dan
diganti dengan protein baru yang disintesis dari asam amino yang berasal dari
makanan dan tenunan dalam tubuh. Apabila seseorang baru saja menjadi donor
10
darah, mengalami menstruasi yang berlebihan, pendarahan yang hebat, kebakaran-
kulit, TBC kronis, dan sebagainya, maka keperluan proteinnya akan sangat tinggi
(Winarno, 1993).
Protein sendiri mempunyai banyak sekali fungsi di dalam tubuh kita. Pada
dasarnya protein menunjang keberadaan setiap sel tubuh, proses kekebalan tubuh,
sumber energi, pembentukan dan perbaikan sel dan jaringan, sebagai sintesis
hormon, enzim, antibodi, pengatur keseimbangan kadar asam basa dalam sel.
Menurut Budianto (2001) protein berfungsi sebagai media perambatan impuls
syaraf, alat pengangkut dan alat penyimpan, pengatur pergerakan.
Semua enzim adalah protein yang bertindak sebagai katalis dalam
pencernaan dan metabolisme. Beberapa hormon, khususnya tiroksin, adrenalin,
dan insulin yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar hormon pada umumnya terdiri
atas protein. Hormon tersebut berfungsi mengatur dan mengkoordinasi keaktifan
badan. Antibodi adalah senyawa yang membantu kemampuan badan untuk
melawan infeksi, yaitu masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh (Winarno, 1993).
Setiap orang dewasa harus sedikitnya mengkonsumsi 1 g protein per kg berat
tubuhnya. Kebutuhan akan protein bertambah pada perempuan yang mengandung
dan atlet-atlet. Sumber protein dapat diperoleh dari : daging, ikan, telur, susu,
tumbuhan berbiji, suku polong-polongan, kentang.
Menurut Anonymous (2009) kekurangan protein bisa berakibat fatal antara lain:
1. Kerontokan rambut (rambut terdiri dari 97-100% dari protein – keratin)
2. Kwasiorkor , penyakit kekurangan protein. Biasanya pada anak-anak kecil
yang menderitanya, dapat dilihat dari yang namanya busung lapar, yang
disebabkan oleh filtrasi air di dalam pembuluh darah sehingga
menimbulkan odem. Simptom yang lain dapat dikenali adalah:
hipotonus, gangguan pertumbuhan, hati lemak. Kekurangan yang terus menerus
menyebabkan marasmus dan berkibat kematian.
Kelebihan protein dianggap tidak membahayakan. Banyak orang
mengkonsumsi lebih dari 200 gr protein per hari tanpa mengalami sakit. Akan
tetapi, beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsumsi protein yang
terlalu tinggi dapat berpengaruh tidak baik. Kelebihan protein dalam makanan
11
yang dikonsumsi dirusak dan sebagian besar nitrogennya dikeluarkan dalam-
bentuk urea. Beban yang harus dikerjakan dalam menyaring dan membuang hasil
metabolisme oleh ginjal, meningkat bila konsumsi protein meningkat (Winarno,
1993).
G.4 Tahu
Tahu merupakan suatu produk yang terbuat dari hasil penggumpalan
protein kedelai. Dalam perdagangan dikenal dua jenis tahu, yaitu tahu biasa dan
tahu Cina. Pada pembuatan tahu Cina, kedelai direbus terlebih dahulu sebelum
direndam dan biasanya mempunyai ukuran lebih besar (Koswara, 1992). Tahu
dikenal masyarakat sebagai makanan sehari-hari yang umumnya sangat digemari
serta mempunyai daya cerna yang tinggi. Keuntungan lain pada pembuatan tahu
adalah berkurangnya senyawa anti tripsin (tripsin inhibitor) yang terbuang
bersama whey dan rusak selama pemanasan. Disamping itu adanya proses
pemanasan dapat menghilangkan bau langu kedelai (Koswara, 1992). Tahu
sebagai salah satu produk olahan patut dikembangkan untuk mengatasi masalah
kekurangan protein bagi masyarakat luas. Hal ini ditunjang oleh harga tahu itu
sendiri yang relatif murah dan terjangkau. Tahu mempunyai nilai gizi yang cukup-
tinggi terutama kandungan proteinnya. Komposisi nilai gizi pada 100 gr tahu
segar dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini:
Tabel.2. Komposisi Nilai Gizi pada 100 gr Tahu Segar
Komposisi Jumlah
Energi 63 kal
Air 86,7 g
Protein 7,9 g
Lemak 4,1 g
Karbohidrat 0,4 g
Serat 0,1 g
Abu 0,9 g
Kalsium 150 mg
Besi 0,2 mg
12
Vitamin B1 0,04 mg
Vitamin B2 0,02 mg
Niacin 0,4 mg
(Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam
Suciati, 2003).
Tahu termasuk bahan makanan yang berkadar air tinggi. Besarnya kadar
air dipengaruhi oleh bahan penggumpal yang dipakai pada saat pembuatan tahu.
Bahan penggumpal asam menghasilkan tahu dengan kadar air lebih tinggi
dibanding garam kalsium. Bila dibandingkan dengan kandungan airnya, jumlah
protein tahu tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan oleh kadar airnya yang sangat
tinggi. Makanan-makanan yang berkadar air tinggi umumnya kandungan protein
agak rendah. Selain air, protein juga merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan bahan mempunyai
daya awet rendah. Pengeringan dapat menaikkan daya awet, tetapi menyebabkan
bahan berubah sifat dan penggunaannya yaitu tidak dapat digunakan sebagaimana
dalam bentuk segar, tetapi dikonsumsi sebagai kripik tahu (Fazani, 2009).
Pada dasarnya proses pembuatan tahu terdiri dari dua bagian, yaitu pembuatan
susu kedelai dan penggumpalan proteinnya. Zat yang dapat digunakan sebagai
penggumpal (koogulan) adalah jeruk nipis, cuka, larutan asam laktat, larutan
CaCI2 atau CaSO4. Beberapa faktor yang mempengaruhi rendaman protein dan
mutu tahu adalah : cara penggilingan atau ekstraksi, pemilihan bahan baku, bahan
penggumpal dan keadaan sanitasi proses pengolahan pada umumnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi secara panas menghasilkan rendaman
lebih banyak.
H. METODE PENDEKATAN
13
Adapun tahapan-tahapan pelaksanaan program ini terdiri atas:
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini kami akan melakukan koordinasi baik koordinasi intern
kelompok maupun koordinasi dengan mitra kami (Pengusaha tahu). Selain itu
kami akan melakukan uji pendahuluan dengan menggunakan pengawet alami
Chitosan ++ berbagai dosis untuk mendapatkan dosis terbaik dalam proses
pengawetan. Kemudian dilakukan pula uji kadar protein untuk mengetahui
peningkatan kadar protein pada tahu yang sudah ditambahkan teknologi rekayasa
Chitosan ++. Semua uji dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas
Muhammadiyah Malang.
proses pengaplikasian ini dilakukan pendampingan cara pengunaan
Chitosan ++. Adapun cara penggunaan teknologi rekayasa ini yaitu:
1. Melarutkan Chitosan ++ kedalam larutan asam asetat encer (1 %)
2. Menuangkan larutan Chitosan ++ tersebut ke dalam suatu wadah
3. Memasukkan tahu kedalam larutan Chitosan ++ dan direndam selama 15
menit.
1. Tahap Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dilakukan setiap kali produksi yang bertujuan untuk melihat
kualitas tahu pada setiap pembelian yang meliputi daya minat konsumen terhadap
tahu. Sedangkan pada tahap evaluasi bertujuan untuk mengetahui hasil dari proses
penerapan teknologi rekayasa Chitosan ++ yang dilakukan pada setiap
minggunya. Dari hasil evaluasi nantinya dapat diketahui apakah teknologi ini
sudah benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan program atau masih belum. Jika
dari hasil evaluasi belum sesuai dengan tujuan maka kami akan terus melakukan
perbaikan sampai teknologi rekayasa Chitosan ++ dapat teraplikasikan pada mitra
dengan hasil yang baik.
I. JADWAL KEGIATAN
14
Jenis Kegiatan
Bulan I Bulan II Bulan III
Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan
1. Koordinasi intern dan
mitra
2. Uji Coba Chitosan
X
X
X
X
Pelaksanaan Kegiatan
1. Pembuatan Chitosan
2. Pengaplikasian
3. Organoleptik
4. Monitoring dan
Pendampingan
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Evaluasi X X X X X X X X X X
Penyusunan Laporan X
Seminar Hasil X
J. RANCANGAN BIAYA
15
1. Biaya bahan habis pakai
a. Kedelai @Rp 50.000 x 10 kg Rp. 500.000
b. Kulit Udang @Rp 100.000 x 2 kg Rp. 200.000
c. NaOH 1 kg Rp. 200.000
d. HCL 1 liter Rp. 250.000
e. CH3COOH 1 liter Rp. 150.000
2. Biaya alat habis pakai
a. Masker wajah 1 kotak Rp. 250.000
b. Sarung tangan 1 kotak Rp. 150.000
c. Kertas saring Whatman 1 pak Rp. 200.000
3. Peralatan penunjang PKM
a. Alat-alat pembuatan Chitosan Rp. 800.000
b. Kertas, alat tulis, printer Rp. 350.000
4. Transport @Rp. 100.000,- x 4 orang Rp. 400.000
5. Organoleptik Rp. 600.000
6. Koordinasi dengan mitra Rp. 650.000
7. Monitoring/Pendampingan @Rp. 50.000 x 7 x 4 orang Rp. 1.400.000
8. Lain-lain
a. Dokumentasi Rp. 450.000
b. Poster Rp. 350.000
c. Seminar Hasil Rp. 500.000
d. Evaluasi program Rp. 525.000
e. Sewa Laboratorium Rp. 800.000
f. Sewa Alat Laboratorium Rp. 400.000
g. Laporan akhir Rp. 200.000
Total Biaya Rp 9.325.000
K. DAFTAR PUSTAKA
16
Budianto, M.A.K. 2001. Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang : UMM Press.
Darmono. 1993. Budidaya Udang Penaeus. Jakarta : Kanisius.
Dinas Kelautan dan Kelautan Jatim. 2005. Laporan Statistik Perikanan Jawa
Timur Tahun 2005. Surabaya : DKP.
Farida, M. 2002. Pengaruh Penggunaan Whey sebagai Media Perendaman
terhadap Daya Simpan Tahu yang Dikemas (Kajian Lama Penundaan Whey
dan Lama Pemanasan Tahu). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
Firdaus U.A, Khoriyah, Wahyudi, Alziyah N.A.K. 2009. Pemanfaatan CaCO3
dalam Kulit Udang sebagai Absorben Limbah Logam Berat pada Perairan.
Makalah Jurusan Kimia Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.
Goligo, I .2009. Subsektor Perikanan. Makasar : Bone.
Handayani, T. 2004. Pengaruh Habitat Hidup Udang dan Urutan Tahapan Proses
Ekstraksi Terhadap Kualitas Chitin dan Chitosan dari Kulit Udang serta
Pemanfaatannya sebagai Bahan Koogulasi Pada Sari buah Tomat. Skripsi
program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang.
Hardjito, L. 2006. Chitosan Lebih Awet dan Aman (online), (http://www.mail-
archive.com/[email protected]/msg00980 html. Diakses 8
Oktober 2010).
Harini, N .2003. Proses Pembuatan Chitin-Chitosan (Kajian Berdasarkan Bagian-
Bagian Tubuh Kulit Udang (Penaeus vannamei) dan Perlakuan fisik).
Laporan Grand Research Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Haryani, K dan Budiyati. 2007. Khitosan dari Kulit Udang untuk Mengadsorbsi
Logam Krom (Cr6+) dan Tembaga (Cu) (online), Vol. 11 No.2
(http://eprints.undip.ac.id/2175/1/Artikel_Kristinah_UNDIP_7.pdf. Diakses
8 Oktober 2010).
Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
17
Mahmiah. 2005. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Sebagai Bahan Dasar Isolasi
Chitin dan Chitosan. Jurnal Perikanan, No.2 Vol.1 Februari 2005 Hal.71-75
Mudzz. 2010. Chitosan (online), (http://mudhzz.wordpress.com/chitosan/. Diakses
6 Oktober 2010).
Murtini, J.T, Dwiyitno dan Yusma. 2008. Penurunan Kandungan Kolesterol pada
Cumi-cumi dengan Kitosan Larut Asam dan Pengepresan. Prosiding
Seminar Nasional Tahunan V Hasil Kelautan Tahun 2008. Jakarta.
Rekso, G.T. 2001. Pemanfaatan Limbah Perikanan. Jakarta : Puslitbang Teknologi
Isotop dan Radiasi (P3TIR), Badan Teknologi Nasional.
Rochima, E. 2009. Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan
Cirebon Jawa Barat (online), ([email protected]. Diakses 6 Oktober
2010).
Suciati, W. 2003. Analisis Nilai Tambah dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor
Produksi pada Agroindustri Tahu Skala Kecil dan Skala Rumah Tangga
(Studi Kasus pada Agroindustri Tahu di Desa Gedog Wetan Turen
Kabupaten Malang). Skripsi Jurusan Teknologi Industri, Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
Suhardjo dan Clara M.K. 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta : Kanisius.
Wardaniati, R.A dan Sugiyani S. 2009. Pembuatan Chitosan dari Kulit
Udang dan Aplikasinya untuk Pengawetan Bakso. Makalah Penelitian,
(online),
L.LAMPIRAN
BIODATA KETUA KELOMPOK
18
1. Nama : Heri Okta Padang
2. Tempat dan tgl. lahir : Porsea,5 Oktober 1991
3. Alamat : Perumnas Tiga Dolok
Kec. Dolok Panribuan.Kab,Simalungun
No. Telp.Rumah/HP :081370730332
E-mail : [email protected]
4. Program Studi : Teknik Mesin
5. Perguruan Tinggi : Institut Teknologi Medan
6. Status/Angkatan : Mahasiswa / 2009/2010
7. NIM : 09202102
8. Riwayat Pendidikan :
No Sekolah Tahun Kelulusan
1 SD Negri Simp.kawat 2003
2 Smp Negri 1 Dolok
Panribuan
2006
3 SMAN 1 Dolok Panribuan 2009
Medan 20 Juni 2011
Ketua Kelompok,
(Heri Okta Padang)
NIM:09202102