tatalaksana anestesia dan reanimasi pada operasi...
TRANSCRIPT
TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI MASTEKTOMI
HALAMAN JUDUL
Oleh :
Thiviya Balakrishnan
dr. I Putu Kurniyanta,SpAn
DI SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVESITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
i
HALAMAN
BAB I: PENDAHULUAN…………………………………..………… 1
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA………………………………….……2
2.1 Mastektomi ………………………………………….…….…2-4
2.2 Talaksanaan anestesia dan reanimasi ……….………………..4-9
2.3 Pre medikasi…………………………………………………..9-12
2.4 Mastektomi dengan anestesia umum ………………………...12-14
2.5 Pemantauan selama anestesia ………………………………..14-15
2.6 Pemulihan anestesia …………………………………….....15
2.7 Manajemen post operatif …………………………..…….…..16
BAB III: SIMPULAN ………………………………………………….17
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………....….18-19
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan keganasan yang menyerang hampir sepertiga
dari seluruh keganasan yang dijumpai pada wanita. Ini menjadikan kanker
payudara sebagai jenis kanker yang paling banyak ditemui pada wanita. Kanker
payudara memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi yaitu 27/100.000 atau 18%
dari kematian yang dijumpai pada wanita. Metastasis atau penyebaran ke organ lain
pada tubuh merupakan penyebab utama kematian. Beberapa pilihan terapi yang
dapat dlakukan pada kasus kanker payudara ini yaitu kemoterapi dan pembedahan,
di mana pembedahan masih menjadi terapi utama yang dipilih untuk menangani
kanker payudara itu sendiri. Terapi sistemik yang digunakan adalah kemoterapi,
sementara untuk terapi regional dilakukan pembedahan.
Teknik pembedahan untuk kanker payudara sendiri adalah
bermacam-macam tergantung dari penyebaran jaringannya dan disebut dengan
mastektomi. Tindakan pembedahan umumnya diiringi dengan kemoterapi baik
sebelum dan setelah pembedahan. Pada mastektomi sendiri, tergantung dari
tindakan pembedahan yang akan dilakukan, dapat dilakukan baik anestesia regional
maupun umum. Tindakan anestesia baik regional, maupun general masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan, serta ditambah dengan penyulit dari pasien
yang sangat bervariasi dari individu. Pada tinjauan pustaka ini, penulis hendak
memaparkan tindakan anestesia yang dilakukan dalam operasi mastektomi, baik
dari preoperatif hingga post operatif.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mastektomi
Mastektomi adalah suatu tindakan pembedahan mengangkat seluruh atau
sebagian payudara, baik hanya pada satu sisi maupun pada kedua sisi. Mastektomi
umumnya dilakukan pada pasien-pasien dengan kanker payudara, baik dengan
tujuan terapi kuratif (mengangkat jaringan tumor), diagnostik (insisi biopsi),
maupun tujuan preventif (pengangkatan payudara pada wanita dengan risiko tinggi
terkena kanker payudara).
Penanganan kanker payudara bergantung pada beberapa faktor meliputi :
usia, kesehatan secara menyeluruh, status menopause, dimensi tumor, tahapan
tumor dan seberapa luas penyebarannya, stadium tumor dan keganasannya, status
reseptor hormon tumor, penyebaran tumor telah mencapai kelenjar getah bening
atau belum. Mastektomi atau tindakan pembedahan adalah termasuk dalam terapi
locoregional.
Tipe pembedahan mastektomi di antaranya adalah:
a. Simple atau total mastectomy
Prosedur simple atau total mastectomy terfokus pada pengangkatan seluruh
jaringan payudara tanpa mengangkat jaringan Pada operasi jenis ini, tidak
dilakukan pengangkatan terhadap kelenjar limfe di sekitar daerah payudara.
b. Modified Radical Mastectomy
3
Pada prosedur Modified Radical Mastectomy (MRM), tidak hanya jaringan
payudara saja yang diangkat melainkan juga jaringan limfe di sekitaran
payudaranya (Level I dan II) tanpa mengangkat jaringan otot dada.
c. Radical Mastectomy
Pada prosedur Radical Mastectomy, selain pengangkatan dari jaringan
payudara dan jaringan limfe di sekitarnya, dilakukan pula pengangkatan
dari otot pektoralis.
d. Partial mastectomy
Pengangkatan jaringan kanker pada payudara dengan jaringan normal di
sekitarnya. Definisi dari partial mastectomy adalah sama dengan
lumpectomy, akan tetapi luas area operasinya lebih besar.
e. Nipple Sparring Mastectomy
Pengangkatan seluruh jaringan payudara dengan menyisakan puting susu.
Selain terapi operatif, pasien penderita kanker payudara juga umumnya
menjalani kemoterapi. Kemoterapi pada penderita kanker payudara dapat dibagi
menjadi dua, yaitu neoadjuvant dan adjuvant kemoterapi. Pada terapi neoadjuvant,
pasien dengan kasus kanker yang dapat dioperasi kemudian diberikan kemoterapi
terlebih dahulu. Kemoterapi tersebut bertujuan terutama untuk memperkecil massa
tumor sehingga membatasi bagian tubuh yang perlu untuk dilakukan mastektomi.
Adjuvant kemoterapi adalah kemoterapi yang diberikan setelah pasien melakukan
operasi mastektomi. Kemoterapi ini bertujuan untuk menghancurkan sel-sel kanker
yang tersisa setelah operasi dan bersifat mikroskopik. Baik kemoterapi neoadjuvant
4
maupun adjuvant memiliki efek samping seperti efek toksik dari agen kemoterapi
terhadap organ tertentu, mual dan muntah, pengaruh pada sistem renal dan
kardiovaskular, dan berbagai efek samping lainnya.
2.2 Tatalaksana Anestesi dan Reanimasi pada Pembedahan Mastektomi
Evaluasi praanestesia dan reanimasi adalah langkah awal dari rangkaian
tindakan anestesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif. Tujuan evaluasi pra anestesi :
mengetahui status fisik pasien praoperatif
mengetahui dan menganalisis jenis operasi
memilih teknik anestesia yang sesuai
meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan pasca
bedah
Informed consent
Waktu evaluasia merupakan salah satu elemen penting. Pada kasus bedah
elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan beberapa hari sebelum operasi. Kemudian
evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi, selanjutnya evaluasi ulang
dilakukan lagi pada pagi hari menjelang pasien dikirim ke kamar persiapan. Pada
kasusu bedah daurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di ruang persiapan ,
karena waktu yang tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali
informasi tentang penyakit yang diderita kurang akurat.
Evaluasi pre operasi meliputi identitasi, history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi
tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala
ASA. Anamnesis dapat diperoleh langsung pada pasien sendiri atau dengan orang
5
lain seperti keluarga pasien. Anamnesis dimulai dengan identitas pasien seperti,
nama, umur, tanggal lahir, jenis kelaminan, alamat, pekerjaan dan lain-lain.
1. AMPLE
• Alergi
Sebelum melakukan tindakan anestesi perlu untuk mengetahui ada
tidaknya alergi pada obat-obatan yang mungkin akan digunakan selama
persiapan operasi hingga post operasi.
• Medikasi
Mencari riwayat penggunaan obat-obatan tertentu seperti obat
antihipertensi, diuretik, digitalis, antidiabetik dan aminoglykosida yang
mungkin menimbulkan intereaksi dengan obat-pbat anestetik.
• Past Illness
Mencari riwayat sebelumnya terhadap berbagai penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, gangguan paru, penyakit ginjal, penyakit gangguan
perdarahan dan lain-lain. Selain itu juga perlu untuk mencari
kemungkinan kelainan jantung pada pasien-pasien yang memiliki riwayat
hipertensi, menilai kemungkinan dehidrasi atau ketidak seimbangan
elektrolit. Selain itu, riwayat operasi dan anestesi sebelumnya dan apakah
pasien mengalami komplikasi saat itu.
• Last Meal
Menanyakan kapan pasien terakhir kami makan dan menyarankan pasien
untuk menjalani puasa selama 8 jam untuk usia dewasa.
• Environment
6
Menanyakan apakah pasien memiliki riwayat merokok dan mengonsumsi
alcohol sebelumnya. Serta menanyakan frekuensi dan jumlahnya yang
dikonsumi seharian.
Untuk pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari keadaan umum dan
tanda-tanda vital. Keadaan umum pasien diperhatikan jika ada gelisah,
takut, kesakitan, malnutrisi dan obesitas. Tinggi dan berat badan pasien
untuk penentuan dosis obat dan pengeluran urine yang adekuat.
Seterusnya lima komponen utama tanda-tanda vital yang harus diperiksa
adalah tekanan darah, denyut nadi, frekuasi pernafasan, suhu tubuh dan
visual aanalog scale (VAS).
Pemerikasaan fisik (6B)
• Brain
Kanker payudara sering mengalami metastase ke susunan syaraf pusat dan
mungkin terdapat tanda defisit neurologis fokal, perubahan status mental,
atau peningkatan tekanan intrakranial pada pasien. Melihat apakah ada
terjadi penurunan status mental dan keadaan umum pasien secara
keseluruhan yang dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
• Breath
Untuk melihat fungsi paru maka frekuensi pernafasan, bunyi rhonki dan
wheezing dan saturasi oksigen perifer pasien diperiksa untuk memastikan
tidak ada kelainan.
• Blood
7
Dapat terjadi kardiomiopati sebagai efek dari agen kemoterapi seperti
misalnya Doxorubicin. Secara hematologik, pasien dapat mengalami
anemia sekunder akibat penyakit kronik atau pengaruh agen kemoterapi.
Tekanan darah, denyut nadi dan bunyi jantung diperiksa.
• Bowel
Malnutrisi umum didapatkan pada pasien dengan kanker stadium lanjut,
baik karena proses metastase maupun karena efek samping dari
kemoterapi (gangguan pengecapan, mual, dan muntah). Jadi menilai
bising usus pasien positif dalam keadaan normal dan jika ada distensi.
• Bladder
Terdapatnya kelainan pada ginjal dan hepar dapat mempengaruh
pemilihan terhadap obat anestesi dan muscle relaxant. Periksa produksi
urine pasien dalam sehari, normalnya setiap orang memproduksi urin
sebanyak 0,5-1 ml/Kg BB/Jam. Buang air kecil spontan atau
menggunakan kateter.
• Bone
Melihat kondisi akral pasien yang dapat mengindikasikan kemungkinan
terjadinya syok yang mungkin terjadi karena adanya infeksi atau gangguan
hemodinamik.
3. Pemeriksaan rutin dibedakan menjadi pemeriksaan darah dan urin. Komponen
darah yang diperiksa yakni hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit dan hitung
jenis, trombosit, masa perdarahan dan masa pembekuan. Pemeriksaan urin
meliputi pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin. EKG, digunakan untuk
menentukan terjadinya iskemik miokardium atau infark, perikarditis, dan efek dari
8
abnormalitas elektrolit terutama untuk pasien berumur diatas 40 tahun atau sesuai
klinis. Pemeriksaan rontegen thorax, untuk melihat adanya overload cairan, efusi
pericardium, infeksi paru, atau kardiomegali.
Pemeriksaan khusus diindikasikan kepada pasien yang akan menjalani
operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu dengan indikasi
tegas. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap
seperti fungsi hati, fungsi ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan faal
hemostasis lengkap. Untuk menentukan prognosis pasien perioperatif, American
Society of Anesthesiologist membuat klasifikasi status fisik praanestesia menjadi
lima kelas. Tujuan klasifikasi ASA adalah untuk mengidentifikasi derajat penyakit
dan status fisik pasien sehingga dapat menentukan prognosis pasien perioperatif.
Klasifikasi ASA dibedakan menjadi 5 kelas yaitu :
ASA 1 Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan
sampai sedang.
ASA 3 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa.
ASA 4 Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang secara langsung mengancam kehidupannya.
ASA 5 Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik
berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi
ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.
Table 1 : Menunjukkan derajat ASA
9
2.3 Premedikasi
Obat-obat yang biasa digunakan sebagai obat premedikasi antara lain obat
golongan sedasi, anti kholinergik dan analgetik. Pada penggunaan anestesi umum,
umumnya pada pasien akan dilakukan induksi terlebih dahulu. Induksi ialah
tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan
dengan intravena, inhalasi, intramuskular, atau rektal.
Tujuan premedikasi, menimbulkan rasa nyaman bagi pasien. Rasa nyaman
pada pasien dapat timbul setelah terbebas dari rasa takut, cemas, bebas nyeri, dan
mencegah mual-muntah. Kedua ia juga dapat memperlancar induksi anestesi,
penggunaan obat-obatan sedatif dapat menurunkan aktivitas mental sehingga
mental pasien menjadi tumpul dan reaksi terhadap rangsangan berkurang. Hal ini
menyebabkan penggunaan obat sedasi dan ansiolisis dapat membebaskan rasa takut
dan cemas pasien.
Selain itu, mengurangi sekresi kelenjar saliva dan bronkus. Sekresi dapat
terjadi selama tindakan pembedahan dan anestesi, dan dapat terjadi dengan adanya
rangsang oleh suction atau pemasangan pipa endotrakthea. Untuk mengurangi
sekresi dari saluran nafas dapat digunakan obat-obatan antikolinergik seperti
atropin dan scopolamin. Premedikasi juga dapat mengurangi kebutuhan atau dosis
obat anestesi. Tujuan premedikasi untuk mengurangi metabolisme basal sehingga
induksi dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah dan diperlukan kadar
obat-obatan yang lebih sedikit sehingga pasien akan sadar lebih cepat.
10
Seterusnya, mengurangi mual dan muntah paska operasi. Tindakan
pembedahan dan pemberian obat opioid dapat merangsang terjadinya mual dan
muntah, sehingga diperlukan pemberian obat yang dapat menekan respon mual,
muntah seperti golongan antihistamine, kortikosteroid, agonis dopamine atau
alpha-2 agonis. Terakhir premedikasi jug bisa mengurangi refleks yang tidak
diinginkan. Trauma pembedahan dapat menyebabkan bagian tubuh bergerak, bila
anestesi tidak adekuat sehingga pemberian obat analgesia dapat ditambahkan
sebelum pembedahan.
Premedikasi untuk operasi mastektomi, diberikan secara intramuskular 30-45
menit pra induksi dengan obat-obat sebagai berikut:
➢ Petidin 1,0-2,0 mg/kgBB
Pethidine digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Ini adalah analgesik, yang
juga dikenal sebagai pembunuh rasa sakit. Pethidine hydrochloride dapat
digunakan sebagai analgesik untuk menghilangkan nyeri sedang sampai berat
termasuk rasa sakit yang terkait dengan persalinan, dan nyeri sebelum, selama dan
setelah operasi. Hal ini digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai parah.
Secara umum obat ini digunakan untuk meringankan rasa sakit dalam berbagai
situasi.
➢ Midazolam 0,04-0,10 mg/kgBB
Mengurangi kecemasan atau memproduksi kantuk atau anestesi sebelum
menjalani prosedur medis tertentu atau operasi. Midazolam adalah benzodiazepin
yang bekerja di sistem saraf pusat (otak) untuk menyebabkan mengantuk, relaksasi
otot, dan kehilangan ingatan jangka pendek, dan untuk mengurangi kecemasan.
11
➢ Atropin 0,01 mg/kgBB
Mengurangi produksi air liur dan sekresi jalan nafas sebelum operasi. Hal
ini juga digunakan untuk mengobati kejang di perut, usus, dan organ lainnya.
Atropin adalah antikolinergik yang bekerja dengan menghalangi efek zat kimia di
dalam tubuh (asetilkolin) di sistem saraf, perut, usus, kelenjar tertentu (misalnya
kelenjar lidah), saluran kemih, dan jaringan lainnya.
2.4 Mastektomi dengan Anestesia Umum
Pengertian dari anestesi umum adalah hilang rasa sakit disertai hilangnya
kesadaran. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai
keadaan pingsan , merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi
refleks terhadap manipulasi pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot
(relaksasi). Anestesi umum yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini
secara keseluruhan, maka pada anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan
kombinasi hipnotika, analgetika, dan relaksansia otot.
Teknik anesteti yang digunakan pada operasi mastektomi adalah umum
inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa endotrakea dan nafas kendali.
Termasuk di dalam jenis obat-obatan anestesia ingalasi adalah sevofluran,
isofluram, enfluran, dan halotan. Pemberian obat-obatan tersebut adalah dalam
bentuk uap yang kemudian disalurkan melalui saluran napas. Keuntungannya
adalah resorpsi dan ekskresi yang cepat melalui alveoli. Pemantauan anestesi jenis
ini juga tergolong mudah dan bila perlu setiap waktu dapat dihentikan. Jenis
obat-obatan ini umumnya digunakan untuk pemeliharaan anestesi.
12
Prosedur mastektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum
(general anesthesia). Secara umum beberapa pertimbangan yang diperhitungkan
dalam pemilihan anestesia adalah preferensi dari pasien, anestesiologis, dan dokter
bedah, penyakit penyerta yang mungkin tidak berhubungan dengan tindakan
pembedahan sendiri, lokasi pembedahan, posisi tubuh pasien selama pembedahan,
pembedahan elektif atau emergensi.
Pada umumnya, general anestesia dilakukan pada operasi yang
memerlukan waktu yang lama, lokasi pembedahan yang luas, dan manipulasi yang
banyak. Selain itu kenyamanan pasien juga menjadi pertimbangan dikarenakan
pada pasien yang gelisah dapat terjadi perubahan tanda-tanda vital seperti nadi,
tekanan darah, dan denyut jantung yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh pasien
saat dilakukan prosedur operasi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
dapat kita lihat bahwa kebanyakan operasi mastektomi dilakukan di bawah anestesi
umum. Anestesi umum yang biasa dipakai adalah GA LMA atau GA OTT.
13
Gambar 1. Pemasangan Laryngeal Mask Airway pada teknik GA-LMA16
Gambar 2. Intubasi Endotrakeal pada teknik anestesi GA OTT17
2.5 Pemantauan selama anestesia
Pemantauan selama anestesia penting dilakukan untuk meningkatkan
kualitas penatalaksanaan pasien. Selama pemberian anestesia/analgesia, tenaga
anestesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah yang bertujuan
agar dapat memantau pasien dan memberikan antisipasi segera terhadap perubahan
abnormal yang terjadi.
Jalan nafas selama anestesia dipantau secara kontinu baik dengan teknik
sungkup maupun intubasi trakea. Apabila pasien bernafas spontan, pemantauan
dilakukan melalui gejala/tanda seperti, terdengar suara nafas tambahan, gerakan
kantong reservoir terhenti atau menurun, tampak gerakan dada paradoksal. Hal lain
yang juga perlu dievaluasi adalah memeriksa kadar oksigen gas inspirasi melalui
pulse oxymeter.
14
Ventilasi pernapasan pasien dipantau dengan cara, mengamati gerak naik
turunnya dada, gerak kembang kempisnya kantong reservoar atau auskultasi suara
nafas, memantau “end tidal CO2” terutama pada pasien dengan risiko tinggi
(kraniotomi) dan mengaktifkan sistem alarm jika ventilasi dilakukan dengan alat
bantu nafas mekanik sehingga dapat terdengar sinyal jika nilai ambang tekanan
dilampaui.
Fungsi sirkulasi pasien dipastikan dalam kondisi terpantau dengan baik yang
dilakukan dengan cara menghitung denyut nadi secara manual pada orang dewasa
dan dengan stetoskop prekordial pada bayi dan anak. Selanjutnya dilakukan
pengukuran tekanan darah secara non invasif menggunakan tensimeter
air raksa. Pemantauan fungsi sirkulasi pasien juga dilakukan dengan memantau
EKG dari monitor, pulse oksimeter dan produksi urin secara kontinu.
Terapi cairan Apabila selama operasi terjadi perdarahan sebanyak <20% dari
perkiraan volume darah pasien maka diberikan cairan pengganti berupa kristaloid
atau koloid. Namun, apabila perdarah >20% maka diberikan transfuse darah berupa
PRC.
2.6 Pemulihan Anestesia
Prosedur pemulihan diawali dengan membersihkan dan menghisap cairan,
lendir atau bekuan darah yang ada dalam pipa endotrakeal. Selanjutnya mengganti
pipa lumen ganda dengan pipa endotrakeal yang biasa dan menhentikan aliran
nafas gas atau obat anestesia inhalasi dan berikan oksgen 100% (4-8 liter) selama
2-5 menit. Obat antikolinesterase yaitu neostigmin dan dikombinasikan dengan
atropin diberikan untuk memulihkan pernafasan pasien. Setelah pasien bernafas
spontan dan adekuat maka dapat dilakukan ekstubasi pada pasien. Pada kasus yang
15
diduga akan terjadi depresi nafas pasca bedah, tidak dilakukan ekstubasi pipa
endotrakeal dan pasien langsung dikirim ke ruang terapi intensif untuk tindakan
perawatan dan terapi lebih lanjut.
2.7 Manajemen Post-Operatif
Pemantauan post operatif di antaranya bertujuan untuk mengurangi risiko
yang dapat timbul dari penggunaan anestesia selama operasi. Di antaranya adalah
obstruksi saluran napas bagian atas (misalnya karena residu anestesi atau edema
jalan napas atas), hypoxemia arterial, hipoventilasi, hipotensi atau hipertensi,
disritmia jantung, oliguria, penurunan suhu tubuh, agitasi atau delirium, delayed
awakening, mual dan muntah, serta nyeri. Pemantauan jalan napas, serta koreksi
oksigen, cairan, serta elektrolit dan perbaikan suhu tubuh umumnya dapat
mengatasi kondisi di atas secara umum. Selain itu nyeri yang ditimbulkan setelah
operasi juga memerlukan perhatian khusus.
Opioid merupakan obat-obatan analgetik yang dapat diberikan pasca
operasi. Obat-obatan tersebut dapat diberikan melalui IV maupun epidural.
Sedangkan untuk pemberian obat-obatan melalui IM sudah tidak
direkomendasikan lagi untuk terapi pasca operasi. Fentanyl, merupakan poten
sinteti opioid, dengan penggunaan obat ini mampu untuk airway dengan baik.
Dosis intravena dapat dititrasi sedikit demi sedikit sebanyak 25 sampai 50 mcg.
Morfin, dosis 2-4 mg IV, dapat diulang tiap 10 sampai 20 menit hingga
mencapai dosis yang adekuat. Penggunaan ada anak-anak usia di atas 1 tahun,
15-20 mcg/kg bb IV atau IM dapat diberikan dengan interval 30 sampai 60 menit.
Selan itu, NSAID merupakan obat-obatan antiinflamasi yang memiliki efek yang
16
mirip dengan obat golongan opioid. Ketorolac 30 mg IV, diikuti 15 mg setiap 6
sampai 8 jam. Obat-obatan analgesi lain juga efektif seperti ibuprofen,
acetaminophen, dan indomethacin.
17
BAB 3
KESIMPULAN
Mastektomi adalah suatu tindakan pembedahan pengangkatan kelenjar
payudara yang dapat diiringi dengan pengangkatan baik jaringan aksila di
sekitarnya hingga lapisan otot pektoralis. Umumnya mastektomi dilakukan sebagai
tindakan utama dalam terapi kanker payudara. Anestesia selama operasi dapat
dilakukan dengan anestesia umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa
endotrakea dan nafas kendali. Manajemen post operatif yang utama meliputi
pemantauan efek samping dari obat-obatan anestesia dan manajemen nyeri. Nyeri
pasca operasi mastektomi yang bersifat akut dapat menghalangi proses
penyembuhan dan rehabilitasi pasca operasi dan dapat menjadi nyeri kronik.
Manajemen nyeri post operatif mastektomi dapat dilakukan dengan multimodal
terapi dengan tujuan memperoleh terapi yang sufisien sambil mengurangi dosis
efek samping yang dapat timbul dari obat-obat anestesia tersebut.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Jaffe RA, Samuel, Stanley L, Schmiesing, Clifford A, Golianu et al.
Anesthesiologist’s Manual of Surgical Procedures. Lippincott Williams &
Wilkins; 2009.
2. Butterworth JF, Mackey DC and Wasnick JD. Clinical Anesthesiology.
McGraw-Hill Education; 2013.
3. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. PT
Indeks; 2017.
4. Longnecker DE, Brown DL, Newman MF and Zapol WM.
Anesthesiology. The McGraw-Hill Companies; 2012.
5. Siegel R, Miller K, Jemal A. Cancer statistics, 2016. CA: A Cancer
Journal for Clinicians [Internet]. 2016 [1 Mei 2017];66(1):7-30. Diakses
pada: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.3322/caac.21332/full
6. Mauri D, Pavlidis N, Ioannidis J. Neoadjuvant Versus Adjuvant Systemic
Treatment in Breast Cancer: A Meta-Analysis. JNCI Journal of the
National Cancer Institute. 2005;97(3):188-194.
7. Nagelhout J, Plaus K, Nagelhout J. Handbook of anesthesia. 1st ed.
Maryland Heights, MO: Elsevier Saunders; 2014. p.352-353.
8. Hurford W. Clinical anesthesia procedures of the Massachusetts General
Hospital. 1st ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
9. Morgan G, Mikhail M, Murray M, Kleinman W, Nitti G, Nitti J et al.
Clinical anesthesiology. 1st ed. New York: McGraw-Hill.