takjub simbolik: beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah...
TRANSCRIPT
Pekan XI
Takjub Simbolik: Beragama
31. Numinus dan Simbol-Simbolnya
Filsafat berawal dengan ketakjuban. Inilah pandangan
Plato yang terungkap dalam Theaetetus (CDP 155d) dan
digemakan oleh banyak filsuf lain selama berabad-abad.
Takjub dalam pengertian ini bukan sekadar bengong
tertegun, melainkan penasaran terhadap sesuatu yang tak
dikenal, yang menggiring kita untuk mencari makna yang
mendasar di balik keragaman hayati kita, yang mendorong
kita ke lubuk wawasan dan puncak pengetahuan yang selalu
baru. Saya memilih mengantarkan anda kepada filsafat di
matakuliah ini dengan tidak mengawalinya dengan
ketakjuban, tetapi dengan lawanannya, kebebalan. Itu
karena penahapan logis bagian-bagian dari pohon filsafat
berlawanan dengan penahapan kronologis normal pada
pengalaman kita dalam berfilsafat. Di kuliah-kuliah ini
saya berupaya menjelaskan filsafat sedemikian rupa
sehingga, dengan menuntaskan matakuliah ini, anda akan
mampu menempuh pengembaraan filosofis anda sendiri. Itu
berarti bahwa, walaupun mungkin cara terbaik untuk
belajar filsafat adalah bergerak dari metafisika melalui
logika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk
berfilsafat mungkin bergerak dari ketakjuban melalui
kealiman dan pemahaman ke pengakuan sepenuhnya akan
kebebalan anda sendiri.
Ketakjuban berkaitan terutama dengan kekaguman kita
terhadap pengalaman insani yang amat beragam, khususnya
pengalaman yang menelurkan pertanyaan yang tidak terjawab
dengan penalaran logis belaka, tetapi dengan mengalami
pengalaman itu sendiri. Jenis ketakjuban filosofis yang
paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan.
Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma dengan
menyusun teori metafisis, mempertajam keterampilan
pemikiran logis kita, atau memperdalam kedalaman dan
jangkauan pengetahuan kita. Alih-alih, makna kehidupan
muncul secara bertahap dari kemauan kita untuk terbuka
terhadap jenis-jenis pengalaman “ajaib” yang kita bahas
di Bagian Empat ini. Kendati pembahasan kita tentang
pengalaman-pengalaman itu bergantung pada kata-kata
sebagaimana dalam kuliah-kuliah terdahulu, kita harus
mengingat-ingat bahwa kita mengalami ketakjuban yang
paling berbobot dalam keheningan. Semua jawaban yang kita
periksa sebagai “jawaban” yang bolehjadi terhadap
berbagai masalah yang diangkat di Bagian Empat ini
memudar dalam kesepelean bila kita bandingkan dengan
jawaban hakiki yang kita terima manakala kita mengalami
ketakjuban lantaran keheningan. Itu karena ketakjuban
berkeheningan, lebih dari kata-kata sebanyak berapa pun,
bisa menanamkan timbangan sejati tentang realitas kita
sendiri, dan dapat mendorong kita ke tingkat keutuhan
yang oleh kata-kata belaka tak terungkap, yang memberi
makna terdalam bagi keragaman kata-kata kita.
Karena anda telah belajar berfilsafat, saya harap
anda telah mengalami jenis ketakjuban filosofis ini.
Sesungguhnya, salah satu alasan lain untuk mengawali
matakuliah ini dengan kuliah-kuliah tentang kebebalan
adalah bahwa saya rasa, itu merupakan salah satu cara
terbaik untuk membangkitkan ketakjuban pada diri orang-
orang yang pandangan kealaman ilmiah modernnya cenderung
memisahkan mereka dari banyak pengalaman yang pada dahulu
kala merupakan bagian alamiah dari kehidupan setiap
orang, sebelum teknologi mendominasi masyarakat. Saya
telah mempertimbangkan untuk mengajar matakuliah ini
dengan urutan terbalik, yang berawal dengan kuliah
tentang kematian dan berakhir dengan kuliah tentang
mitos. Meskipun barangkali ini akan membuat matakuliah
kita lebih menarik pada permulaan, dan sehingga lebih
cepat menarik anda ke suatu kajian filsafat yang serius,
akan ada bahaya yang berupa menafsiran jenis pengalaman
yang dibahas di sini secara terlalu ilmiah, tanpa
mengakui misteri menakjubkan yang ditunjukkannya. Hari-
hari ini, ketika keindahan amat sering terkunci di dalam
kurungan dinding museum, ketika pengalaman keagamaan amat
sering diidentifikasi dengan perbuatan yang “gerejawi”,
ketika kematian amat sering terjadi di bangsal rumahsakit
secara anonim, maka kita semua terlalu gampang untuk
mengira bahwa kita benar-benar telah mengalami misteri
kehidupan, walau, pada faktanya, yang kita lakukan
hanyalah memisahkan diri dari hal yang hakiki melalui
perangkap teknologi. Saya harap, pengakuan kebebalan kita
perihal realitas hakiki itu menggoncang anda dari
kepuasan kepada diri sendiri yang membunuh naluri
ketakjuban kita.
Blaise Pascal (1623-1662) ialah salah satu contoh
filsuf terbaik yang menghargai nilai kejut yang terdapat
pada pengakuan kebebalan manusia, di samping hubungan
antara pengakuan semacam itu dan ketakjuban filosofis.
Kumpulan wawasannya, yang disebut Pensées, dipenuhi
dengan pasal-pasal yang mengungkapkan ketegangan
eksistensi manusia, sebagaimana berikut ini:
What a chimera then is man! What a novelty! What a
monster, what a chaos, what a contradiction, what a
prodigy! Judge of all things, imbecile worm of the
earth; depositary of truth, a sink of uncertainty and
error; the pride and refuse of the universe!
... Know then, proud man, what a paradox you are to
yourself. Humble yourself, weak reason; be silent,
foolish nature; learn that man infinitely transcends
man, and learn from your Master your true condition, of
which you are ignorant. Hear God....
Whence it seems that God, willing to render the
difficulty of our existence unintelligible to
ourselves, has concealed the knot so high, or better
speaking, so low, that we are quite incapable of
reaching it; so that it is not by the proud exertions
of our reason, but by the simple submissions of reason,
that we can truly know ourselves. (PP 434)
(Maka betapa terbelah manusia! Betapa ganjil! Betapa
mengerikan, betapa kacau, betapa berlawanan, betapa
aneh! Penimbang segala hal, cacing-tanah dungu; penjaga
kebenaran, benaman ketidakpastian dan kekeliruan; harga
diri dan sampah alam semesta!
... Maka kenalilah, orang nan congkak, alangkah
paradoksnya engkau dengan dirimu sendiri. Rendahkanlah
dirimu, akal nan lembik; heninglah, alam nan tolol;
ketahuilah bahwa manusia melampaui manusia secara tak
terbatas, dan ketahuilah dari Tuanmu kondisi sejatimu,
yang takkan kauketahui. Simaklah Tuhan. ...
Lantaran itu rupanya Tuhan, yang kepada kita sendiri
hendak menganugerahkan kendala eksistensi kita yang tak
terpahami, menyembunyikan benang-kusut begitu tinggi
atau, dengan kata lain yang lebih baik, begitu rendah,
sehingga kita sungguh tak mampu untuk mencapainya;
sehingga bukan dengan memutar otak kita yang besar
kepala, melainkan dengan menyerahkan akal begitu saja,
bahwa kita bisa betul-betul mengenal diri kita
sendiri.) (PP 434)
Paradoks-paradoks Pascal membawa kita melampaui cara
pandang kealaman kita sehari-hari, dan memperhadapkan
kita dengan kenyataan transenden yang misterinya
mengobarkan ketakjuban yang berkeheningan di lubuk hati
kita.
Hari ini saya akan memperkenalkan salah satu cara
untuk mengalami ketakjuban berkeheningan yang paling umum
dan namun berbobot: yakni disiplin yang obyeknya adalah
realitas hakiki yang oleh kebanyakan orang disebut
“Tuhan”. Sebagaimana yang kita lihat pekan lalu, salah
satu nama tradisional yang dilekatkan pada tugas
filosofis tentang pemahaman hal itu dan cara-cara untuk
mengalami “kesatuan dalam keragaman” lainnya tentang hal-
hal yang eksis ialah “ontologi”—yakni “studi tentang
yang-berada”. Ontologi, studi tentang yang-merupakan,
adalah salah satu metode yang digunakan oleh para filsuf
untuk mengendurkan berbagai ketegangan yang tercipta oleh
penalaran filosofis kita. Contohnya, Kant tidak hanya
mengakui ketegangan antara kebebasan dan takdir,
sebagaimana yang kita saksikan di Kuliah 22, tetapi juga
mengemukakan bahwa manusia mempunyai “kebutuhan praktis”
untuk mencairkannya dalam rangka menghargai “totalitas”
pengalaman dan pengetahuan insani. Kita mengamati di
Kuliah 29 bagaimana ia pada mulanya berupaya mencairkan
ketegangan ini dengan mengambil sesuatu yang menyerupai
sudut pandang ontologis dalam catatannya tentang peran
keindahan dan tujuan alam. Di Kuliah 32 dan 33 pekan ini
kita akan memeriksa contoh dari Kant yang paling
signifikan tentang bagaimana ketegangan antara teori dan
praktek dicairkan dalam pengalaman.
Studi ontologis mengenai pengalaman insani tentang
yang-transenden (yaitu Tuhan) acapkali diakui sebagai
salah satu tugas cabang filsafat (terapan) yang dikenal
sebagai “filsafat agama”. Akan tetapi, ruang lingkup
disiplin ini mestinya terbatas pada persoalan-persoalan
yang lebih berkaitan langsung dengan pengetahuan kita,
antara lain: argumen tentang keberadaan Tuhan, hakikat
dan keandalan keyakinan dan bahasa religius, dan masalah
evil (kenistaan atau kejahatan). Yang bertugas memahami
sesuatu yang secara khas disebut “pengalaman religius”
adalah cabang-cabang pohon filsafat selama kita
mengajukan pertanyaan bisakah atau tidak bisakah
pengalaman semacam itu memberi kita pengetahuan tentang
Tuhan. Pengalaman-pengalaman yang apa adanya lebih tepat
untuk diperiksa pada daun-daun pohon tersebut. Namun
istilah umum “pengalaman religius” bisa menyesatkan
karena bisa diambil untuk menyiratkan bahwa pengalaman
semcam itu hanya bisa terjadi pada orang-orang yang
menganut agama yang mapan. Padahal pada faktanya,
sebagian orang yang tidak religius dalam pengertian
tradisional benar-benar mengalami tipe tersebut pada
suatu saat dalam kehidupan mereka. Ini menyiratkan bahwa
kita membutuhkan nama baru untuk mengacu pada pengalaman
semacam itu tatkala menelaah sifat ontologisnya.
Rudolf Otto (1869-1937) ialah seorang teolog Jerman
yang mengambil kerangka Kantian dalam berupaya menyusun
interpretasi yang seksama tentang agama dan pengalaman
keagamaan. Penekanannya pada penyelidikan tentang esensi
manifestasi empiris pengalaman religius itu amat berbeda
dengan penekanan Kant pada pondasi rasionalnya. Sekalipun
begitu, Otto yakin bahwa idenya bisa berfungsi sebagai
komplemen yang berguna bagi ide Kant. Sesudah menyelidiki
kemiripan antara pengalaman-pengalaman religius orang di
banyak tradisi yang berlainan, khususnya yang biasanya
dianggap “mistis”, Otto menulis sebuah buku, yang
berjudul The Idea of the Holy (1917), yang mengajukan
suatu deskripsi yang kini terkenal tentang sifat
fundamental pengalaman semacam itu.
Karena tidak di semua tradisi keagamaan kata “Tuhan”
digunakan, dan karena tradisi yang mengacu pada Tuhan pun
pasti memberlakukan nama dan/atau deskripsi yang
berlainan tentang Tuhan, Otto memutuskan untuk
menghindari pemakaian kata “Tuhan” sebisa mungkin. Di
samping itu, dalam pemeriksaan fenomena polos pengalaman
kita (yaitu ketika kita hanya berfokus pada yang kita
amati), pada aktualnya kita tidak mendapati Tuhan semacam
itu. Yang kita jumpai ialah berbagai tipe pengalaman.
Oleh sebab itu, Otto menciptakan kata “numen” dan
“numinus” (numinous) untuk mengacu pada “kehadiran”
Tuhan. (Ingatlah, Kant membuat perbedaan antara
“fenomena” dan “nomena” dengan cara serupa (lihat Gambar
III.5).) Tentu saja, kebanyakan orang menyebut obyek
tersebut “Tuhan”. Namun tujuan Otto bukan mengusulkan
teori mengenai obyek yang menyebabkan pengalaman semacam
itu (yakni apakah itu benar-benar Tuhan, ataukah alam,
ataukah hanya sesuatu yang kita santap dalam perjamuan);
alih-alih, ia hanya ingin menyediakan deskripsi
fenomenologis tentang apa yang terjadi. Omong-omong,
itulah metode khas yang diterapkan dalam berontologi.
Karena itu, ontologi dan “fenomenologi”—yaitu pemaparan
ciri esensial fenomena yang kita alami—selalu menjadi
disiplin yang cenderung saling berkaitan erat.
Menurut Otto, perasaan yang-berada dalam kehadiran
numen, suatu realitas transenden yang “sepenuhnya tidak
lain” kecuali diri saya sendiri, merupakan pengalaman
insani dasar, dan karenanya harus berfungsi sebagai titik
tolak segala ontologi pengalaman religius. Hasil dari
mengalami kehadiran numinus ini adalah merasa terkesan
secara mendalam dengan kebergantungan saya sendiri
kepadanya. Ini menimbulkan suatu hal yang oleh Otto
disebut “rasa-kemakhlukan”. Ia mengingatkan, jangan
tergoda untuk menganggap “rasa kebergantungan”
(sebagaimana Schleiermacher menyebutnya) ini sebagai
realitas primer, dan [jangan tergoda untuk] mengira bahwa
dari situ kita menyimpulkan keimanan kepada suatu obyek
dasar. Otto justru menyatakan, mula-mula obyek itu muncul
sendiri kepada kita secara misterius, dan perasaan
mistisnya hanya mengikutinya sebagai akibat. Tak peduli
apa yang kita yakini perihal Tuhan, kehadiran numinus ini
akan muncul kepada kita sebagai sesuatu yang bisa
diperikan dengan menilik ide tentang yang “suci”.
Otto mengerahkan banyak usaha demi tugas untuk
menjelaskan hakikat pengalaman kita tentang numinus. Ia
mengemukakan, obyek “suci” itu “nonrasional” dan
sekaligus “nonmoral”. Ini tidak berarti bahwa [obyek]
tersebut irrasional dan immoral, tetapi hanya bahwa
pertanyaan tentang rasionalitas dan moralitasnya tidak
relevan bila itu mendatangi perasaan yang ditimbulkan
oleh pengalaman yang semendalam itu. Selanjutnya Otto
menamai perasaan ini “mysterium tremendum” dan
mengemukakan bahwa ini mencakup lima “unsur” yang
berbeda: keseganan, kemegahan, urgensi, misteri, dan
pesona. Perasaan segan (awe) mengacu pada sejenis
ketakutan atau kengerian (suatu debaran) dalam kehadiran
sesuatu yang misterius. (Kita akan melihat lebih dekat
perasaan ini pada Kuliah 34.) Pengakuan kemegahan
(majesty) obyek numinus membangkitkan rasa rendah-hati
(atau “rasa-kemakhlukan”) di dalam diri kita. Fakta bahwa
itu merupakan pengalaman nyata yang dialami oleh obyek
yang hidup, dan bukan sekadar teori filosofis abstrak,
terungkap dalam “energi” atau urgensi yang kita rasakan
manakala kita mempunyai pengalaman semacam itu. Urgensi
ini kadang-kadang bisa menambah rasa ngeri kita,
sebagaimana ketika itu datang dalam bentuk “murka Tuhan”,
tetapi itu juga menimbulkan pengakuan bahwa obbyek ini
“sepenuhnya lain” (yakni misterius). Perasaan-perasaan
itu agak negatif sejauh ini, dan mungkin dengan
sendirinya menyebabkan kita lari dari obyek numinus itu;
namun perasaan-perasaan tersebut diseimbangkan oleh rasa
pesona yang mempertahankan ketertarikan kita secara
mendalam terhadap pengalaman itu dan terhadap obyek yang
tak dikenal itu. Dengan selesainya paparan singkat
tentang teori Otto itu, kita dapat meringkasnya dengan
mengkombinasikan dua peta pada Gambar X.1, sebagaimana
dalam Gambar XI.1.
numinus
pengalaman
religius
“numen”
ide tentang
yang suci
pesona,
segan, dsb.
Gambar XI.1: Penerobosan Numinus dan Ide tentang
Yang Suci
Layak disebut bahwa Kant sendiri memiliki kesadaran
yang berbobot tentang jenis pengalaman numinus itu.
Umpamanya, pasal yang menyimpulkan Critique kedua (yang
dikutip di atas, pada akhir Kuliah 22) mengacu pada
“langit berbintang di atas saya” dan “hukum moral di
dalam diri saya” sebagai pengalaman dasar (“Saya melihat
keduanya di depan saya”), yang menimbulkan perasaan
“kekaguman dan keseganan”, sebagaimana pada rasa urgensi
misterius dan kebergantungan (“Saya langsung
mengasosiasikan keduanya dengan kesadaran akan eksistensi
saya sendiri”): kita hampir tak bisa mengutip contoh
deskripsi ontologis Otto yang lebih baik tentang
pengalaman religius! Di samping itu, Kant di tempat lain
memaparkan pengalaman yang sama dengan itu melalui
peristilahan “tangan Tuhan” di alam dan “suara Tuhan” di
hati kita. Bagi Kant, dua jalan yang dimiliki oleh akal
dalam memperlihatkan diri kepada manusia ini mensahihkan
sendiri, karena “tangan Tuhan” melambangkan sumber
pengetahuan ilmiah kita dan “suara Tuhan” melambangkan
kebaikan moral kita. Secara demikian, keduanya
mempersatukan keragaman tanpa-ujung yang selalu memerikan
pengalaman kebenaran dan kebaikan kita yang aktual.
sesungguhnya, inilah alasan mengapa sumber penalaran
logis itu sendiri tidak mungkin logis; begitu pula sumber
hukum moral itu sendiri bukan moral. Kant mengakui (walau
sayangnya ia tidak menekankan kenyataan) bahwa “langit
berbintang” (alam) dan “hukum moral” (kebebasan) itu
seperti tapal batas yang kita benturkan dengan kepala
jika kita mencoba melewatinya. Ini karena, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Otto, sumber tapal batas itu sendiri
pasti nonrasional dan nonmoral supaya mampu mempersatukan
keragaman pengalaman rasional dan pengalaman moral kita.
Barangsiapa memiliki pengalaman numinus semacam itu
akan segera mempunyai tanggapan terhadap Nietzsche, atau
terhadap siapa saja yang mengemukakan bahwa Tuhan telah
mati. Kematian Tuhan sebagimana yang diumumkan oleh
Nietzsche cukup nyata; namun itu kematian Tuhan palsu,
Tuhan yang diada-adakan oleh akal manusia, bukan oleh
wahyu ilahi. Orang-orang yang telah mengalami Tuhan akan
tahu bahwa kita tak dapat memaksa Tuhan untuk tinggal di
dalam tapal batas sistem insani apa pun. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Nierzsche dengan benar, upaya
melakukannya berarti membunuh Tuhan; dan satu-satunya
jawaban yang tepat adalah menerobos pola itu dalam rangka
memperoleh kembali kemungkinan untuk mengalami realitas
pemberi-kehidupan itu sendiri. Namun hal ini mengangkat
sebuah pertanyaan yang genting: segera sesudah kita
mengalami numinus, bagaimana kita bisa memaparkannya atau
memahaminya tanpa memaksanya ke dalam suatu pola yang
tidak alamiah?
Ada banyak cendekiawan di abad keduapuluh yang
menangani pertanyaan ini dengan mengacu pada daya simbol.
Pada waktu yang tersisa di jam kuliah ini saya akan
membahas pandangan seorang pemikir eksistensialis yang
telah kita jumpai di Pekan VI dan X dan akan kita temui
lagi pekan depan. Perihal banyaknya wawasan Paul Tillich
yang menarik, catatannya tentang hakikat iman dan
hubungannya dengan simbol merupakan salah satu yang
paling penting. Menurut Tillich, setiap orang memiliki
keimanan, karena setiap orang memiliki suatu “urusan
terdalam” (ultimate concern), walaupun mereka tidak
menyadarinya. Urusan terdalam kita adalah benda atau
orang atau tujuan yang dituju oleh semua energi kehidupan
kita; inilah faktor penentu dalam semua keputusan kita.
Bagi banyak mahasiswa, “menempuh studi sebaik-baiknya di
universitas” merupakan urusan terdalam mereka—persoalan
yang menentukan apa yang mereka lakukan dan kapan mereka
melakukannya pada sebagian besar dari waktu mereka. Akan
tetapi, Tillich mengklaim bahwa beberapa hal tidak layak
untuk dimuliakan, karena “penyerahan kepada suatu urusan
yang pada hakikatnya tidak terdalam” adalah
“pemberhalaan” dan karenanya “destruktif” (DF 16,35):
“Urusan terdalam kita bisa menghancurkan kita di samping
mampu menyehatkan kita. Namun kita tak pernah tanpa itu.”
Obyek urusan terdalam yang tidak tepat itu berbahaya
karena keimanan lebih dari sekadar kepercayaan atau
keyakinan rasional. Sebagaimana tulisan Tillich dalam The
Courage to Be (CB 168):
Faith is not a theoretical affirmation of something
uncertain, it is the existential acceptance of
something transcending ordinary experience. Faith is
not an opinion but a state. It is the state of being
grasped by the power of being which transcends
everything that is and in which everything that is
participates. He who is grasped by this power is able
to affirm himself because he knows that he is affirmed
by the power of being-itself. In this point mystical
experience and personal encounter are identical. In
both of them faith is the basis of the courage to be.
(Keimanan bukanlah pembenaran teoretis terhadap sesuatu
yang tidak pasti, [melainkan] penerimaan eksistensial
terhadap sesuatu yang melampaui pengalaman biasa.
Keimanan itu bukan opini, melainkan keadaan, yaitu
ketertangkapan oleh daya yang-berada yang melampaui
segala hal yang ada dan yang diikutsertai oleh segala
hal. Ia yang ditangkap oleh daya tersebut mampu
membenarkan dirinya sendiri karena ia tahu bahwa ia
dibenarkan oleh daya yang-ada. Dalam hal ini pengalaman
mistis dan perpapasan pribadi identik. Pada keduanya
keimanan merupakan pangkalan ketabahan-dalam-berada.)
Kita akan melihat lebih dekat konsep Tillich tentang
“ketabahan” pada Kuliah 34. Masalahnya dalam hal ini
adalah bahwa obyek iman yang tepat adalah sesuatu yang
oleh Otto disebut “numinus”—dengan kata lain, ini
merupakan obyek misterius pengalaman mendalam yang tentu
namun tak dapat dijelaskan yang kita miliki. Jadi,
bagaimana iman bisa eksis jika obyeknya misterius?
Jawaban Tillich adalah bahwa obyek-obyek yang tidak
misterius dapat membawa kita ke obyek yang misterius.
Obyek yang tidak misterius itu disebut “simbol”. Dengan
demikian, Tillich mendefinisikan bentuk keimanan religius
yang spesial sebagai “penerimaan simbol-simbol yang
mengungkapkan urusan terdalam kita dengan menggunakan
tindakan-tindakan ilahi” (DF 48).
Tillich dengan berhati-hati membuat perbedaan antara
“simbol” dan “tanda” (sign). Tanda adalah obyek yang bisa
diketahui yang dengan melampaui diri hanya menunjuk
kepada suatu obyek yang bisa diketahui lainnya, sedangkan
simbol adalah obyek yang bisa diketahui yang dengan
melampaui diri menunjuk kepada suatu realitas
tersembunyi, walau, pada saat yang sama, ikut serta dalam
misteri yang diarah olehnya tersebut. Tanda penunjuk
jalan mengarahkan kita ke tempat yang kita tuju, namun
ketika kita mencapai tujuan kita, kita melihat bahwa itu
tidak berkaitan dengan tanda penunjuk jalan yang kita
ikuti. Seperti “tangga” Wittgenstein (lihat Gambar V.1),
kita dapat mencampakkan tanda segera sesudah tugasnya
terselesaikan. Sebaliknya, kemampuan kita untuk mengalami
realitas yang dibicarakan berkaitan erat dengan simbol.
Tanpa simbol, kita tak mampu mengalami hal yang
disimbolkan. Secara demikian, Tillich mengemukakan,
”bahasa simbolik sendirian mampu mengungkap yang-
terdalam. ... Bahasa iman adalah bahasa simbol” (DF 41,
45). Perbedaan antara tanda dan simbol, pada
kenyataannya, sejajar dengan perbedaan antara logika
analitik dan sintetik. Kita dapat melukiskan perbedaan
itu dengan menggunakan peta di Gambar XI.2, dengan anak-
panah berkepala-ganda (yang merupakan kombinasi antara
dua tipe anak panah yang terdapat pada Gambar X.1) yang
melambangkan partisipasi.
-A(=A)
realitas
tersembunyi
simbol
obyek yang
bisa diketahui
tanda
XI.2: Logika Tanda dan Simbol
Korelasi antara pertalian tanda-simbol dan pertalian
analitik-sintetik bukan kebetulan. Itu karena bahasa
simbolik didasarkan pada logika sintetik, sedangkan
penggunaan harfiah kata-kata kita sehari-hari (sebagai
tanda) didasarkan pada logika analitik. Dengan demikian,
sebagaimana yang terdahulu [yaitu bahasa simbolik],
menurut Tillich, berkaitan dengan bahasa iman, yang
terkemudian [yaitu kata-kata harfiah] pun berkaitan
dengan bahasa pengetahuan. Seperti yang kita saksikan di
Bagian Dua, penggunaan kata-kata harfiah kita
mensyaratkan bahwa “A” tetap “A” dan karenanya selalu
berlawanan dengan “-A”. Akibatnya, “B” yang tidak sama
dengan “A” harus dimasukkan sebagai bagian dari “-A”.
(Omong-omong, ini sering diakui sebagai hukum logika
analitik yang ketiga, yang disebut “hukum penolakan
pertengahan”: “B = salah satu dari A dan –A”.) dengan
cara ini tanda selalu menunjukkan kita hal-hal di seputar
alam yang diketahui dan yang bisa diketahui. Namun
manakala kita menggunakan kata dengan cara simbolik,
simbol asli (“A”) itu sendiri menyajikan kepada kita
suatu realitas tersembunyi (“-A”) yang bisa kita alami
secara aktual, karena “A” ini turut serta dalam “-A”, dan
begitu pula sebaliknya. (Oleh karena itu, tentu saja
logika sintetik menolak hukum penolakan pertengahan.)
Secara paradoksis, simbol memungkinkan obyek menjadi (to
be) sesuatu yang bukan obyek itu sendiri, sehingga kita
takkan terkejut mendapati beberapa filsuf yang
mendasarkan bahasa simbolik pada “hukum paradoks” atau
“hukum partisipasi” (lihat Kuliah 12).
Mari kita ambil cincin kawin saya untuk contoh
sederhana. Jika saya menganggap obbyek ini semata-mata
sebagai tanda status perkawinan saya, maka cincin itu
sendiri, sebagai obyek, tidak begitu penting bagi saya.
Saya akan lebih mempedulikan rupanya daripada maknanya
bagi saya. Jika saya kehilangan cincin itu, saya akan
sedih terutama lantara nilai moneternya, yang terbuat
dari emas. Namun itu tidak berpengaruh terhadap
perkawinan saya, karena saya bisa membeli cincin baru
yang akan menunjukkan status perkawinan saya secara
efektif. Akan tetapi, karena saya menghargai cincin saya
sebagai simbol komitmen saya untuk mencintai istri saya
selama kami hidup, cincin itu sendiri pada aktualnya
turut serta dalam perkawinan saya. Kehilangan cincin itu
atau bahkan keputusan untuk tidak memakainya akan menjadi
tragedi, karena dengan demikian bagian dari perkawinan
saya hilang. Tentu saja saya bisa membeli cincin lain
untuk menggantikannya; namun dibutuhkan waktu yang lama
bagi obyek itu untuk menjadi simbol misteri cinta yang
sama berbobotnya dengan cincin asli saya. Itu karena
sebagaimana telah kita perhatikan di pekan lalu, cinta
adalah salah satu tipe pengalaman paling lazim yang
mensyaratkan bahwa kita menafsirkan obyek sebagai simbol.
Karena kuliah-kuliah pekan ini terutama berkenaan
dengan “pengalaman religius”, mari kita pakai ritual
Ekaristi Nasrani sebagai salah satu contoh lain untuk
turut menerangkan bagaimana sebenarnya simbol bekerja.
Ketika orang-orang Kristen makan-minum di Makan Malam
Suci, setiap peserta biasanya memakan sepotong roti dan
minum beberapa tetes anggur. Kebermaknaan ritual ini
sangat bervariasi, bergantung pada apakah orang-orang itu
memandang obyek biasa “yang bisa diketahui” itu sebagai
tanda ataukah simbol. Dengan dihargai sebagai tanda, roti
dan anggur tersebut menandakan suatu realitas yang bisa
diketahui lainnya, semisal tubuh dan darah aktual manusia
historis yang bernama Yesus Kristus (dalam hal orang
Katolik yang percaya kepada doktrin
“transubstantiasi”),i[1] atau menandakan kenangan tentang
tokoh itu dan tentang apa yang ia perbuat (sebagaimana
dalam interpretasi khas Protestan). Pada kedua kasus itu
obyek-obyek aslinya kehilangan segi pentingnya sebagai
roti dan anggur segera sesudah kita memahami obyek itu
sebagai sesuatu yang dituju oleh obyek itu. Akan tetapi,
dengan dihargai sebagai simbol, obyek-obyek tersebut
tidak lagi berkaitan dengan kegaiban atau pun kenangan;
alih-alih, obyek-obyek itu diakui sebagaimana adanya
(yakni sebagai roti dan anggur), namun diyakini bahwa
obyek-obyek tersebut turut serta dalam misteri Inkarnasi
Allah dalam raga manusia. Oleh sebab itu, melahap
keduanya merupakan ekspresi yang berbobot dari kemauan
diri seseorang sendiri untuk turut serta dalam misteri
tersebut. Dengan mengalami ritual itu secara simbolis,
orang ini diangkut oleh obyek-obyek biasa itu menuju
komuni yang mendalam dengan suatu realitas misterius yang
takkan bisa dipahami,ii[2] kecuali barangkali dalam
ketakjuban berkeheningan yang tak terpahami.
Untuk menyimpulkan ulasan singkat kita terhadap
pandangan Tillich, mari kita pakai definisi iman menurut
dia untuk membuat perbedaan antara metafisika dan
ontologi—dua disiplin yang cenderung ditumpangtindihkan,
termasuk oleh filsuf-filsuf. Metafisika ialah pencarian
pengetahuan tentang realitas terdalam, sedangkan ontologi
adalah pencarian pengalaman tentang urusan terdalam.
Jadi, ketika kita menelaah berbagai bentuk ontologi di
Bagian Empat ini, kita harus senantiasa memperhatikan
bahwa “yang terdalam” [atau “yang hakiki”] itu, yang
merupakan sasaran perhatian kita dengan berbagai
simbolnya yang kita jumpai dalam pengalaman kita, adalah
jauh lebih merupakan jalan hidup atau sikap terdalam
daripada perangkat dogma atau obyek terdalam. Simbol-
simbol semacam itu semuanya harus dipandang bukan sebagai
pemberi pengetahuan metafisis tentang realitas terdalam
kepada kita, melainkan hanya sebagai penyala bara api di
dalam diri kita yang berisi perhatian terhadap makna
kehidupan dan petunjuk hakiki. Pada dua kuliah mendatang
di pekan ini, kita akan kembali kepada Kant, dengan
harapan bahwa filsafat Kritisnya mungkin mampu memberi
kita beberapa wawasan yang bahkan lebih mendalam mengenai
apa yang dimaksud dengan beragama dengan cara ini.
32. Kenistaan dan Paradoks Kemuliaan
Sejak Kuliah 8 saya lebih memberi penakanan pada
ide-ide Immanuel Kant daripada filsuf lain—bahkan, jauh
lebih mendalam daripada yang biasanya dikira tepat untuk
kuliah pengantar semacam ini. Terminologi Kant itu begitu
rumit, teorinya begitu mendalam, dan argumennya begitu
kontroversial, sehingga kebanyakan dosen yang mengajar
mahasiswa tingkat awal hanya menyebut beberapa ciri khas
teori moral Kant, dengan barangkali sebagian [dari
mereka] yang melewatkan pengacuan epistemologinya. Namun
di matakuliah ini, kita bukan hanya meliput kedua bidang
itu (Kuliah 22 dan 8), melainkan juga pandangan
metafisiknya yang sesungguhnya (Kuliah 9), pembedaan
dasarnya perihal logika (Kuliah 11), pembelaannya perihal
prinsip kausalitas ilmu (Kuliah 21), teori politiknya
(Kuliah 27), dan teorinya tentang keindahan (Kuliah 29).
Saya mempunyai dua alasan untuk lebih memusatkan
perhatian pada satu filsuf ini. Pertama, saya jauh lebih
mengenal teori-teorinya daripada teori-teori filsuf lain,
sehingga saya lebih percaya diri dalam menawarkan
interpretasi yang akurat dan sekaligus maknawi.
Sesungguhnya, ada banyak penelitian saya dan hampir semua
terbitan saya berfokus pada satu tokoh ini. Namun yang
jauh lebih signifikan, alasan kedua: saya yakin Kant
membahas serangkaian persoalan filosofis secara lebih
seimbang dan lebih sistematis. Lagipula, pembahasannya
hampir selalu berwawasan luas dan biasanya juga benar!
Satu pengecualian terhadap kesan umum positif saya
tentang pendekatan Kant terhadap persoalan filosofis
muncul ketika saya untuk pertama kalinya membaca bukunya,
Religion within the Bounds of Bare Reason [atau Religion
within the Limits of Reason Alone] (1793). Pada waktu
itu, saya masih berada dalam tahap awal pengembangan
interpretasi saya sendiri terhadap bidang-bidang Filsafat
Kant lainnya. Selaku seseorang yang berharap untuk
memenuhi kualifikasi penganut Kristen, walau tanpa
mengorbankan kebebasan saya untuk mempertanyakan,
meragukan, dan/atau menafsirkan kembali beberapa dogma
tradisional, saya menyambut baik kerendahan hati
metafisis Kant: demonstrasi persuasifnya bahwa keberadaan
Tuhan tidak bisa dibuktikan secara teoretis (argumen-
argumen yang perinciannya tidak kita periksa lantaran
keterbatasan waktu) tampaknya merupakan konfirmasi
filosofis yang berbobot mengenai peringatan Bibel
terhadap upaya penggempuran langit dengan pengetahuan
manusia. Teori moralnya tampaknya juga jauh lebih sesuai
dengan pemikiran Kristiani: prinsip kebebasan yang dualis
dan hukum moralnya menohoh saya sebagai pernyataan
kembali internalisasi etika Yesus yang indah; dan argumen
moral Kant kelihatannya menyerupai cara yang tepat untuk
mengungkapkan keyakinan moral pribadi bahwa Tuhan pasti
eksis, kendati kita tak dapat membuktikannya. Bahkan
dalam catatannya tentang keindahan dan tujuan alamiah di
Kritik-nya yang ketiga, Kant tampaknya bertekad menyusun
filsafat teosentrik—sesuatu yang mengarahkan pembaca ke
suatu kesadaran yang senantiasa-makin-dalam bahwa Tuhan
ialah “semua dalam semua” (1 Korintus 15:28). Namun
tatkala saya membaca Religion tersebut untuk pertama
kalinya, hati saya patah: ia agaknya mereduksi kekayaan
pengalaman religius menjadi tidak lain kecuali moralitas
secara samar-samar!
Untungnya, saya memutuskan untuk membaca kembali
Religion beberapa tahun kemudian, ketika interpretasi
mawas saya terhadap Sistem Kant telah berkembang dengan
lebih seksama. Pada waktu itulah saya merasa seolah-olah
neraca penafsiran tampak di pelupuk mata saya: suatu
pemahaman yang benar-benar baru tentang apa yang hendak
ia tuntaskan menjadi jelas bagi saya. Ketika saya membaca
buku itu untuk pertama kalinya, saya membiarkan diri
terjatuh ke interpretasi tradisional, yang memandang
bahwa upaya Kant untuk membela agama, sekurang-kurangnya
agama Kristen, tidak benar-benar serius sama sekali dan
hanya berharap untuk mengalihkan orang-orang yang
berpikiran religius ke [moralitas] Kantian pengganti
agama. Pada waktu [pembacaan] kedua, yang saya sadari
kira-kira adalah bahwa Religion bukanlah buku mengenai
filsafat agama dalam pengertian masa kini yang biasanya
kita kira; alih-alih, buku ini mengenai beragama, suatu
interpretasi tentang makna beragama. Bahkan, saya
menyadari bahwa Kant tidak mereduksi agama ke moralitas
belaka, tetapi mengangkat moralitas (yang bila sendirian
merupakan harapan ideal yang sia-sia) ke tingkat yang
lebih tinggi (dan lebih realistis), tingkat agama! Demi
alasan ini, dan karena saya telah mengkaji buku tersebut
dengan lebih cermat daripada karya Kant lainnya, saya
akan memanfaatkan sebagian besar dari dua kuliah [di
pekan ini] untuk menjelaskan isinya.
Apa yang dimaksud dengan beragama (to be religious)?
Apakah “beragama” itu sesuatu yang niscaya dialami oleh
semua orang, atau apakah hanya pilihan yang dipilih oleh
sebagian orang—umpamanya bilamana mereka takut terhadap
apa-apa yang akan terjadi pada mereka selepas kematian
mereka? Dan agama manakah, kalau ada, yang terbaik untuk
diikuti? Religion karya Kant merupakan sebuah upaya yang
sistematis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan
pertanyaan-pertanyaan lain, yang didasarkan pada pondasi
yang terbentang dalam karya-karya sistematisnya yang
terdahulu. Ia membagi buku itu, dengan agak terduga,
menjadi empat bagian; masing-masing menggambarkan sebuah
tahap dalam proses penjelasan tentang apa yang membuat
agama sedemikian adanya. Di sini kita akan memeriksa dua
tahap pertamanya, dengan meninggalkan dua tahap lainnya
untuk kuliah mendatang. Namun mula-mula, sebuah tinjauan
umum tentang empat tahap itu (lihat Gambar XI.3) akan
membantu kita untuk tetap berada di lintasan kita. Buku
Satu mengajukan persoalan tentang apakah manusia itu pada
kodratnya baik ataukah buruk, dan mempertahankan keduanya
dengan sebuah jawaban bersisi-dua yang menarik, dengan
mengemukakan “kenistaan radikal” yang terletak pada akar
kodrat kita. Buku Dua memikirkan bagaimana kita mampu
mengatasi masalah yang tercipta lantaran adanya kenistaan
semacam itu di dunia ini, dengan berargumen bahwa suatu
bantuan ajaib dari Tuhan yang pemurah harus
diprasyaratkan. Kemudian Buku Tiga dan Empat berkenaan
dengan masalah-masalah baru yang timbul ketika orang yang
berhati-baik bersatu dalam kelompok-kelompok sosial. Buku
Tiga mengemukakan bahwa “kemenangan” akhir terhadap
kenistaan bisa terjadi hanya bila manusia bekerja sama
dalam suatu paguyuban keagamaan (yakni “gereja”). Adapun
Buku Empat menetapkan perbedaan antara peribadatan yang
sejati dan yang palsu di gereja.
IV. pelayanan kepada Tuhan
(baik, guyub)
agama
guyub
III. gereja I. kenistaan radikal
(buruk, guyub) (buruk, individual)
agama
individual
II. konversi ke yang baik
(baik, individual)
Gambar XI.3: Empat Tahap dalam Sistem Keagamaan
Kant
Menurut Kant, kenistaan (evil) adalah kondisi
pembatas dasar yang membangkitkan kebutuhan akan agama.
Bahwa ada kenistaan di dunia yang menurut Kant bukan
persoalan itu terbuka untuk keraguan. Tugas filosofisnya
adalah mengidentifikasi apakah kenistaan itu, mengapakah
itu ada di sini, dan dari manakah kedatangannya (yakni
bagaimana kemunculannya). Dalam pembahasan persoalan-
persoalan itu, ia secara total mengabaikan suatu masalah
yang disebut “masalah kenistaan” yang kini diakui sebagai
salah satu bidang perhatian utama filsafat agama—yaitu
masalah penjelasan bagaimana Tuhan yang baik dan
mahakuasa bisa membolehkan eksistensi penderitaan dan
kenistaan yang tidak semestinya. Upaya yang membenarkan
Tuhan berwajah nista itu disebut “teodisi”. Penolakan
total Kant terhadap hal itu mungkin sebagian lantaran
fakta bahwa ia telah menulis sebuah esai terpisah tentang
subyek itu secara singkat sebelum mulai menulis buku
Religion. Esai tersebut, yang berjudul “On the failure of
all the philosophical essays in the theodicy” (1791).
Mengemukakan bahwa upaya membela Tuhan dengan cara itu
menuju kegagalan. Dengan merujuk langsung ke cerita Bibel
tentang Ayyub (Job, tokoh Perjanjian Lama yang oleh Tuhan
dibiarkan menderita kesengsaraan, hanya sebagai tes
keimanannya), Kant memeriksa sembilan tipe teodisi yang
berlainan, dengan menunjukkan mengapa masing-masing itu
pasti gagal. Upaya apa pun yang meramu dalih rasional
perihal putusan Tuhan untuk membiarkan kenistaan eksis
itu menyesatkan, karena pengetahuan tentang misteri-
misteri semacam itu di luar batas pemahaman manusia.
Alih-alih, kemisteriusan masalah itu berfungsi untuk
mengangkat signifikansi eksistensial kenistaan dengan
memaksa setiap individu untuk menerima atau menolak Tuhan
atas dasar iman.
Buku Satu Religion bermula dengan pengajuan
pertanyaan apakah pada kodratnya manusia itu baik ataukah
buruk. Pertama, Kant menolak kemungkinan bahwa kita bisa
baik dan sekaligus buruk; ini bisa terjadi pada karakter
empiris kita (karena hasil tindakan bisa sebagian baik
dan sebagian buruk), tetapi motif di balik tindakan pasti
salah satu, baik atau buruk. Kemudian Kant membuat
perbedaan antara “fitrah” (predisposition, kecenderungan
universal yang dimiliki oleh semua manusia pada saat
kelahirannya, sebelum terlaksananya tindakan moral apa
pun), “tabiat” (disposition, landasan subyektif mendasar,
di dalam lubuk watak kita, yang menentukan bagaimana kita
memilih bertindak pada suatu titik waktu tertentu), dan
“nafsu” (propensity, kemungkinan kecenderungan seseorang,
atau bahkan ras manusia seluruhnya). Lalu Kant
mengemukakan bahwa fitrah kita baik, karena kebinatangan
kita, kemanusiaan kita, dan kepribadian kita semuanya
mengandung sifat-sifat yang jelas-jelas dimaksudkan untuk
kebaikan; tabiat kita mungkin baik atau buruk pada suatu
waktu tertentu, karena tidak mungkin baik dan sekaligus
buruk; nafsu kita selalu menuju kenistaan, karena fitrah
kita rusak entah bagaimana. Bagaimana kerusakan ini
terjadi itulah pertanyaan yang kata Kant tidak bisa
dijawab oleh akal manusia. Namun sebagai pengingat bahwa
itu telah terjadi, ia mengangkat istilah “kenistaan
radikal”, yang menunjukkan bahwa kehendak (atau tabiat)
manusia pada awal-mulanya telah dirusak (“radikal”
berarti “pada akarnya”) oleh kekuatan jahat yang tak
terjelaskan yang tidak terdapat pada kodrat orisinal kita
(fitrah kita).
Apa tepatnya kenistaan (evil) itu? Kant
mendefinisikan kenistaan sebagai kebalikan (reversal)
dalam “tatamoral insentif” yang menentukan kaidah kita
(RBBR 31). Anda mungkin ingat lagi dari Kuliah 22 bahwa
bagi Kant, suatu pilihan adalah baik secara moral
bilamana kita mematuhi suara hukum moral di hati kita,
dan bahwa orang yang membuat pilihan semacam ini pantas
dipuji jika ia sampai mengorbankan beberapa kebahagiaan
pribadinya (atau “cinta-diri”) dalam rangka melakukan hal
yang baik itu. Oleh sebab itu, kenistaan adalah putusan
orang yang membiarkan pementingan perkara cinta-diri di
atas perintah hati nurani. Kant mengemukakan bahwa bukti
empiris saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa manusia
di mana-mana memulai kehidupan moral mereka dengan
pilihan-pilihan yang lebih didasarkan pada cinta-diri
daripada hukum moral. Ia juga mencoba menyusun argumen
transendental, namun rinciannya tidak begitu terlihat di
buku-ajar ini. Saya merekonstruksi argumen itu sebagai
berikut: seorang manusia tidak bisa membuat pilihan yang
benar-benar bermoral sampai ia tahu kenistaan apa, di
samping kebaikan apa, yang tersangkut-paut; karena fitrah
kita baik, kita secara naluriah mengetahui apa yang baik
dengan mendengar hati nurani kita; namun sebelum kita
pada aktualnya membuat pilihan yang nista, tidak bisa
dikatakan bahwa kita telah mencapai kebebasan tulen,
lantaran kita tidak akan mempunyai pemahaman yang benar
tentang apa yang dipertaruhkan; oleh sebab itu, tindakan
bebas (yakni bermoral) sejati pertama setiap orang adalah
pilihan untuk berbuat nista.
Mengapa ia memulai buku tentang “agama rasional”
dengan klaim bahwa kita semua berawal dengan pelenyapan
kesempatan kita untuk hidup tanpa noda secara moral?
Tidakkah itu mempersoalkan rasionalitas upaya kita untuk
mematuhi hukum moral—suatu upaya yang segi pentingnya
telah ditekankan oleh Kant dengan amat tegas di Critique
kedua? Memang begitu! Dan hal itu membingungkan sebagian
besar dari filsuf-filsuf seangkatan Kant, yang berkat
Pencerahan menerima kepercayaan kepada dayanalar manusia
secara mutlak dan mengira Kant juga demikian. Goethe,
misalnya, berseru bahwa Kant “meneteskan air liur pada
jubah filsufnya” dengan doktrin kenistaan radikal (lihat
KCR 129, catatan). Namun Kant sendiri tidak menjijikkan,
karena ia tahu apa yang ia lakukan. Pengalaman kenistaan
kita dan ketidakmampuan kita untuk menjelaskan asal-mula
rasionalnya kecuali dengan mengukuhkan kemisteriusannya
(“keradikalannya!”) belaka berfungsi untuk mengisi kita
dengan ketakjuban eksistensial yang memaksa kita untuk
beragama. Sesungguhnya, niat Kant dalam Buku Satu adalah
menyajikan kondisi transendental demi kemungkinan
beragama: agama hanya dimungkinkan dalam suatu alam yang
di dalamnya yang-berada rasional dimaksudkan untuk
menjadi baik dan [yang-berada rasional itu] tidak mampu
memenuhi tujuan eksistensial ini. Itulah dunia yang kita
tinggali saat ini.
Buku Dua adalah peralihan yang agak mengejutkan.
Dengan telah mengemukakan bahwa manusia tak pelak lagi
berawal dengan tabiat nista sebagai akibat dari pengaruh
negatif kenistaan radikal, Kant meneruskannya dengan
klaim bahwa adanya fitrah-baik kita memberi kita seculi
harapan bahwa mungkin ada cara transformasi tabiat yang
buruk menjadi yang baik. Namun bagaimana itu bisa
terjadi? Pertama, Kant menyarankan, satu-satunya harapan
bagi siapa saja yang percaya bahwa moralitas merupakan
tujuan yang layak diburu adalah beriman kepada Tuhan
yang, entah bagaimana, memberi kita bantuan yang kita
buthkan untuk mengatasi tabiat nista kita. Dalam teologi
Kristen tradisional, bantuan semacam itu berkenaan dengan
“kasih” (grace). Pertanyaan utama pada Buku Tiga adalah:
atas dasar apa seorang manusia mempunyai landasan
rasional demi harapan bahwa Tuhan akan menyediakan
bantuan semacam itu? Khususnya, adakah sesuatu yang harus
kita lakukan supaya berhak atas Kasih ilahi, ataukah itu
merupakan hadiah gratis dan tanpa hak? Solusi Kant
terhadap masalah itu sering dikecam lantaran paradoksis
dan, sebagai akibatnya, tidak jelas. Akan tetapi, saya
yakin paradoks itu disengaja: karena dalam konteks
filsafat Kritis Kant, segala upaya yang menjelaskan
bagaimana Tuhan (sang realitas transenden) bisa membantu
manusia (yang hidup sebagaimana kita di dunia fenomenal)
pasti paradoksis. Kant mempertahankan bahwa penjelasannya
merupakan refleksi akurat tentang situasi paradoksis
belaka.
Buku Dua berawal dengan pengenalan sesuatu yang oleh
Kant disebut “tipe-dasar” kemanusiaan sempurna (RBBR 54),
kemudian menggunakan tamsil biblikal yang populer untuk
memaparkan hakikatnya. Asal tipe-dasar itu ilahi, namun
“menurun kepada kita dari langit” untuk tinggal di dalam
setiap orang (54-55). Itu memberdayakan kita untuk
melakukan apa-apa yang pada asalnya mustahil, yakni
menjauh dari tabiat nista (atau yang oleh Kant disebut
“hati” nista) dan mulai hidup dengan prinsip baru. Akan
tetapi, supaya perubahan menjadi “hati baik” itu terjadi,
kita harus mempunyai “keimanan praktis” kepada tipe-dasar
tersebut. Maksud Kant, kita harus percaya bahwa jika kita
melakukan semua hal dengan daya kita untuk mematuhi hukum
moral, maka Tuhan akan memasok apa-apa yang kurang. Atas
dasar ini, ada banyak penafsir yang menuduh bahwa Kant
membela pola “kebenaran menurut karya” (righteousness by
works), yang dengannya kita harus berhak mendapat
keselamatan kita sendiri. Namun tidaklah demikian cara
Kant sendiri dalam menggambarkan pandangannya. Alih-alih,
ia bersikeras bahwa bantuan ilahi semacam itu bukan hak
kita sama sekali dan, bagaimanapun, tidak bisa
dikendalikan atau ditentukan menurut sesuatu yang kita
lakukan atau kita lalaikan. Sesungguhnya, ia juga
mengingatkan bahwa kita mampu melihat tabiat orang
(bahkan tabiat kita sendiri!) dengan cukup gamblang untuk
mengetahui secara pasti, apakah [tabiat] ini baik ataukah
nista. Ia menyatakan, Tuhan menilai kita menurut tabiat
ini, tetapi lantaran kita bebal perihal hakikatnya pada
titik waktu yang mana pun, satu-satunya landasan yang
kita miliki untuk menimbang status mutakhir kita adalah
menilai moralitas tindakan kita. Kalau kita melihat bukti
empiris kemajuan moral, itu merupakan tanda bahwa tabiat
kita mungkin baik. Sekalipun begitu, karena kita semua
beranjak dengan tabiat buruk, situasi kita tak
terpulihkan kecuali jika kita yakin bahwa Tuhan akan
mengganti kekurangan kita. Namun supaya agama itu
rasional, Tuhan pasti menggunakan suatu landasan untuk
memutuskan siapa yang dibantu dan siapa yang tidak
dibantu. Maka maksud Kant bukan bahwa kita dapat
melayakkan diri sendiri untuk diterima oleh Tuhan (yang
menuntut kesempurnaan), melainkan justru bahwa kita dapat
mematutkan diri sendiri untuk dilayakkan oleh Tuhan (to
be made worthy by God).
Karena tipe-dasar itu mempunyai fungsi yang sama
dengan sistem keagamaan rasional Kant yang dihasilkan
oleh Yesus dalam agama Kristen, Buku Dua menghadapi
sejumlah persoalan teologis yang berkaitan dengan sifat
dan status Yesus. Persoalan-persoalan itu meliputi sifat
ketuhanan Yesus, sifat kemanusiaannya, kelahirannya yang
dari perawan, kebangkitannya kembali dari kematian,
statusnya sebagai teladan moral, dan berbagai doktrin
yang lebih luas seperti persucian, keamanan nirwaktu, dan
pembuktian kebenaran dengan Kasih. Banyak penafsir
mengklaim bahwa Kant berniat untuk menolak nilai nyata
apa pun pada kebanyakan, kalau tidak semua, doktrin
tradisional tersebut. Akan tetapi, penafsiran semacam itu
didasarkan pada pembacaan teks secara ceroboh. Sebetulnya
strategi Kant pada masing-masing itu adalah mengemukakan
bahwa doktrin-doktrin tersebut bisa mempunyai makna
rasional yang sah asalkan itu berfungsi sebagai tujuan
praktis dalam membantu pemeluk agama untuk mengikuti
hukum moral dengan lebih taat-asas. Di setiap kali, ia
mengecam interpretasi apa pun yang berkemungkinan untuk
menghasilkan individu yang moralnya malas. Yang
dilalaikan oleh banya penafsir adalah bahwa ia juga
memperingatkan bahaya kebalikannya: menegaskan secara
dogmatis bahwa doktrin-doktrin tertentu tidak mungkin
benar, hanya karena tidak bisa dibuktikan secara
teoretis. Kant mengingatkan, doktrin seperti kelahiran
dari perawan pun tidak bisa secara mutlak ditolak,
lantaran kemungkinan keajaibannya merupakan persoalan
yang terletak di luar tapal batas akal manusia.
Sebagaimana yang dijelaskan dengan sangat rinci di buku
terbaru saya, Kant’s Critical Religion (2000),iii[3] niat
sejati argumen Kant adalah menunjukkan kepada kita
bagaimana orang yang hendak percaya bahwa, umpamanya,
Yesus ialah Tuhan dalam bentuk manusia, harus menafsirkan
doktrin ini dengan tujuan mendukung, bukan menghambat,
inti religius tulen yang terdapat pada keyakinan orang
itu. Kant sendiri tentu saja tidak menyarankan kita untuk
mengambil doktrin semacam itu selaku filsuf; ia tidak
menyatakan bahwa kita harus mempercayainya dengan tujuan
diterima oleh Tuhan. Namun ia menunjukkan bahwa kita bisa
mempercayainya tanpa mengorbankan rasionalitas kita dan
bahwa melakukannya terkadang bisa sangat mempertebal
keimanan religius kita.
Salah satu penyebab utama mengapa begitu banyak
penafsir yang salah-paham terhadap niat Kant dalam
Religion adalah bahwa versi baku terjemahan Inggris dari
buku ini di hampir sepanjang abad keduapuluh itu
menggunakan terjemahan judul yang amat menyesatkan.
Greene dan Hudson menerjemahkan judul Kant (Die Religion
innerhalb der Grenzen der blossen Vernunft) sebagai
Religion within the Limits of Reason Alone. Padahal di
tempat lain, Kant menerangkan bahwa istilah Grenzen
mengacu pada tapal batas yang memisahkan suatu area dari
kawasan di sekitarnya, bukan pada batas mutlak yang tak
bisa dilampaui [atau diterobos]. (Untuk [mengacu pada]
“batas mutlak”, Kant memakai istilah Schranken.) Selain
itu, “blossen” tidak bermakna “alone” (semata-mata),
tetapi bermakna “naked” (telanjang) atau “bare” (polos).
Pengaruh dua penerjemahan [istilah] yang keliru itu pasti
telah memberi kesan awal kepada pembaca bahwa buku Kant
merupakan upaya untuk menjejalkan agama sepenuhnya ke
dalam batas-batas akal yang ketat. Namun setelah kami
baca, ternyata tidak demikian. Alih-alih, strateginya di
keempat Buku itu adalah membuat perbedaan antara apa yang
bisa dan yang tidak bisa diberitahukan oleh akal kepada
kita mengenai gerak-hati religius kita.
Di Buku Satu kita belajar bahwa akal bisa
memberitahu kita apakah kenistaan itu, dan bahwa kita
semua pasti terjerat oleh hasrat yang nista; namun akal
tidak mampu memberitahu kita sumber fenomena misterius
ini, kecuali menyatakan bahwa itu tidak berakar pada
definisi tentang apa yang dimaksud dengan manusia. Di
Buku Dua, kita belajar bahwa akal bisa memberitahu kita
bagaimana konversi berlangsung dan apa yang harus kita
lakukan supaya memiliki landasan rasional demi
pengharapan bahwa Tuhan akan menyelamatkan kita; namun
akal tak mampu memberitahu kita apa yang pada hakikatnya
baik, atau pun bisakah itu memberi kita pengetahuan yang
pasti tentang siapa yang akan menerima Kasih Allah. Di
Kuliah mendatang kita akan melihat betapa penting
perhatian bahwa Kant tidak mengajukan suatu pandangan
yang berat sebelah tentang agama sebagai akal moral
belaka secara samar-samar, tetapi memaparkan dua sisi
yang terdapat pada semua agama yang asli: inti rasional
(dan karenanya universal) bersama-sama dengan kulit
historis (dan karenanya tentu non-universal). Seperti
yang akan kita saksikan, kedua aspek agama tersebut harus
berjalan seiring supaya pengalaman religius kita asli.
Secara bersama-sama, kenistaan dan Kasih
melambangkan basis lipat-dua demi ketakjuban kala kita
merenungkan situasi manusia. Kasih pada khususnya
bukanlah sesuatu yang bisa kita pahami melalui akal
belaka—kecuali jika kita pada aktualnya mengalaminya.
Filsafat yang baik itu lebih unggul daripada teologi
tradisional dengan persis sampai batas bahwa filsafat itu
tidak mengklaim pemahaman tentang apa yang pada
hakikatnya tak terpahami. Filsafat hanya mengharapkan dan
menyediakan landasan rasional demi harapan. Namun dalam
hal itu, fungsinya bukan merongrong agama, melainkan
justru, menyiapkan kita untuk mengalami buah harapan
semacam itu. Kuliah 33 akan memeriksa bagaimana Kant
sendiri menganggap bahwa dua tahap pertama teorinya
menghasilkan pengalaman keagamaan melalui pembentukan
paguyuban yang dibaktikan untuk melayani Tuhan.
33. Paguyuban dan Misteri Penyembahan
Anda barangkali memperhatikan di kuliah yang lalu
bahwa catatan Kant tentang apa yang dimaksud dengan
beragama mengandung kemiripan yang mencolok dengan kisah-
kisah Bibel tentang turunnya Adam [dari surga] di
Kejadian 1-3 dan usaha penyelamatan oleh Yesus di Injil.
Begitu dekat kesejajaran itu sehingga beberapa komentator
secara aktual menuduh bahwa Kant hanya menerjemahkan ide-
ide Kristiani ke dalam terminologi rasional. Oleh sebab
itu, sebelum kita meneruskan telaah kita tentang
Religion, kita harus memikirkan bagaimana sebaiknya
penafsiran kesejajaran-kesejajaran itu. Pada
kenyataannya, itulah bagian yang krusial dari strategi
Kant. Ia menjelaskan, di Pengantar Edisi Kedua, bahwa
buku itu menjalankan dua eksperimen: yang pertama adalah
melihat seberapa jauh filsafat bisa menyingkap unsur-
unsur rasional yang terdapat pada semua agama-asli; yang
kedua adalah melihat seberapa baik keimanan dan
peribadatan yang terdapat sebuah “keimanan historis”
spesifik bersesuaian dengan ide rasional ini. Untuk yang
kedua ini, Kant memilih agama Kristen, tradisi yang
“telah tersedia” (already at hand) (RBBR 11, 123). Dengan
memperhatikan hal itu, kita jangan menafsirkan adanya
kesejajaran itu sebagai kelemahan teori Kant; alih-alih,
semakin rapat kesejajaran itu, semakin berhasil Kant
dalam menunjukkan bahwa agama Kristen mempunyai tingkat
kompatibilitas yang tinggi dengan agama-rasional. Ini
karena ia selalu membuktikan kebenaran unsur-unsur agama-
rasional dengan argumen-argumen yang tidak bergantung
pada tradisi Kristen.
Di Buku Satu dan Dua, Kant membuktikan kebenaran
unsur-unsur rasional yang menjadikan agama suatu urusan-
niscaya bagi segenap manusia. Setiap orang beranjak
dengan potensi kebaikan (yang didasarkan pada fitrah
mereka), namun mau-tak-mau membiarkan rusaknya kepolosan
orisinal dengan pilihan-pilihan nista. Dengan demikian,
masing-masing individu dihadirkan dengan tantangan
tentang bagaimana mengubah hati nista mereka menjadi hati
yang baik—suatu tantangan yang hanya bisa terwujud bagi
orang-orang yang beriman kepada bantuan daya ilahi yang
hadir di dalam diri mereka, dalam bentuk “tipe-dasar”
kesempurnaan. Buku Tiga dan Empat beralih dari fokus pada
penyelamatan individual ke pemeriksaan tentang bagaimana
individu-individu yang mengalami transformasi batiniah
semacam itu bisa membentuk paguyuban (community) orang-
orang yang berhati-baik dalam rangka menyenangkan Tuhan
melalui tindakan-tindakan mereka. Konsepsi tentang ras
manusia seluruhnya yang menyenangkan Tuhan ini merupakan
tujuan hakiki semua agama-asli. Masalahnya, sebagaimana
yang dicatat oleh Kant pada awal Buku Tiga, adalah bahwa
individu-individu—yang berhati-baik sekalipun—tak
terhindar dari saling merusak manakala mereka saling
berhubungan dalam kelompok-kelompok:
Envy, the lust for power, greed, and the malignant
inclinations bound up with these, besiege his nature,
contented within itself, as soon as he is among men.
And it is not even necessary to assume that these are
men sunk in evil and examples to lead him astray; it
suffices that they are at hand, that they surround him,
and that they are men, for them mutually to corrupt
each other’s predispositions and make one another evil.
(RBBR 85)
(Kedengkian, kehausan akan kekuasaan, kerakusan, dan
kecenderungan-kecenderungan ganas yang gemar akan hal
itu, mengepung kodratnya, yang puas dengan apa adanya,
selekas ia ada di antara orang-orang. Dan tidak perlu
pula diasumsikan bahwa mereka ialah orang-orang yang
tenggelam dalam kenistaan dan panutan-panutan yang
membawa dia kepada kesesatan; cukup [dikatakan] bahwa
mereka terjangkau, bahwa mereka di sekitar dia, dan
bahwa mereka ialah orang-orang, terhadap mereka yang
saling merusak fitrah orang lain dan membuat nista satu
sama lain.) (RBBR 85)
Solusi terhadap masalah itu adalah membentuk
paguyuban dengan maksud saling mendorong untuk berbuat
baik. Kant menyebut paguyuban semacam ini “persekutuan
beretika” (ethical commonwealth). Ini berbeda dengan
“persekutuan politik” selama yang belakangan ini
menyatukan orang-orang dengan memakai hukum eksternal
(“hukum pemaksaan”), sedangkan yang terdahulu harus
menggunakan hukum internal (“hukum keluhuran budi”) saja.
Beberapa pembaca Kristen mengadu bahwa paguyuban religius
asli pasti jauh lebih baik daripada sekadar sekelompok
orang yang bertemu bersama-sama untuk melakukan amal
kebaikan: organisasi sosial seperti Rotary Club memenuhi
kriteria itu tanpa perlu beragama sama sekali! Namun Kant
pada aktualnya mengakui masalah itu. Maka langkah kedua
dalam argumen Buku Tiga adalah bahwa persekutuan beretika
itu menuju kegagalan dalam upayanya untuk mendorong
kebaikan moral jika tidak membayangkan diri sebagai “Umat
Tuhan” di bawah bimbingan ilahi. Tanpa memandang
paguyuban itu dari perspektif ini, takkan ada harapan
bahwa pandangan kita yang bermacam-macam tentang apa yang
merupakan “kehidupan luhur” (lihat K