tafsir ulama nusantara tentang …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36879...tafsir...
TRANSCRIPT
TAFSIR ULAMA NUSANTARA TENTANG
KEPEMIMPINAN NONMUSLIM
(Telaah Ayat-ayat Larangan Memilih Pemimpin Nonmuslim
dalam Al-Qur’an)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Oleh:
Siti Rodiah
1113034000003
PROGRAM STUDI ILMU QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan kesadaran dan tanggung jawab yang besar terhadap
pengembangan keilmuan, saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
starata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah
saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya
orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 07 Agustus 2017
Siti Rodiah
TAFSIR ULAMA NUSANTARA TENTANG
KEPEMIMPINAN NONMUSLIM
(Telaah Ayat-ayat Larangan Memilih Pemimpin Nonmuslim
dalam Al-Qur’an)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Siti Rodiah NIM: 1113034000003
Pembimbing,
Dr. Abd. Moqsith, M.A. NIP. 19710607200501 1 002
PROGRAM STUDI ILMU QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
ABSTRAK
SITI RODIAH
Tafsir Ulama Nusantara Tentang Kepemimpinan Nonmuslim
Hubungan muslim dan nonmuslim kerap diwarnai dengan
isu-isu negatif, salah satunya soal pengangkatan pemimpin
nonmuslim. Banyaknya ayat al-Qur'an yang melarang umat muslim
mengangkat pemimpin nonmuslim, seringkali dianggap sebagai
larangan yang bersifat mutlak oleh berbagai kalangan. Akan tetapi,
secara eksplisit al-Qur'an juga memuat beberapa ayat yang
menjelaskan sejauh mana pelarangan dan kebolehan mengangkat
pemimpin nonmuslim sebagai kepala negara. Oleh karena itu, untuk
memberi pandangan mendalam mengenai pemimpin nonmuslim
khususnya di Indonesia, maka penulis mengangkat tema tafsir ulama
Nusantara tentang kepemimpinan nonmuslim yang meliputi QS. Ali
Imran[3]: 28; QS. An-Nisa [4]: 144; dan QS. al-Maidah [5]: 51.
Adapun tafsir Nusantara yang dijadikan rujukan utama dalam
penelitian ini adalah Tafsīr Marāh Labīd karya Syeikh
Nawawi;Tafsīr al-Nūr karya Hasbi al-Shiddieqy; Tafsīr al-Azhar
karya Buya Hamka; dan Tafsir al-Misbāh karya M. Quraish Shihab.
Penelitian ini ingin mengetahui penafsiran ulama Nusantara
tentang kepemimpinan nonmuslim dalam al-Qur'an, yang dilakukan
melalui metode Analisis deskriptif, yakni suatu upaya
mendeskripsikan penafsiran ulama Nusantara tentang kepemimpinan
nonmuslim, kemudian dianalisis dan dicari korelasi dan
kontekstualisasinya di era sekarang ini.
Melalui pembacaan dari sumber utama penelitian, dapat
diketahui bahwa ada kesamaan persepsi antara Syeikh Nawawi,
Hasbi al-Shiddieqy dan Buya Hamka terkait pengangkatan
pemimpin nonmuslim. Mereka menegaskan bahwa sampai kapan
pun umat Islam tidak boleh menjadikan nonmuslim sebagai auliyā'
(sahabat, teman karib, pemimpin), karena mereka berpotensi
menyesatkan umat muslim.
Namun, pendapat berbeda justru datang dari M. Quraish
Shihab, yang secara eksplisit menyatakan bahwa larangan ini hanya
ditujukan kepada nonmuslim yang memiliki sifat buruk sebagaimana
yang dikecam dalam al-Qur'an. Adapun nonmuslim yang adil dan
memiliki kemampuan untuk memimpin bangsanya menjadi lebih
baik, maka tidak ada larangan menjadikannya seorang pemimpin.
Meski demikian, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa lebih baik
umat Islam mengutamakan pemimpin dari kalangan muslim.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt, Tuhan semesta alam atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul "Tafsir Ulama Nusantara Tentang
Kepemimpinan Nonmuslim".
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad saw., keluarganya, para sahabatnya, tabi' tabi'in,
dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan curahan syafaatnya
di hari akhir nanti.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang ikut
andil dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada dosen
pembimbing yang tak pernah lelah memberikan arahan dan
bimbingannya kepada penulis untuk dapat memberikan hasil
penelitian terbaik. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada berbagai pihak di antaranya sebagai berikut:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., sebagai Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu menjadi
inspirasi bagi mahasiswa untuk dapat menjadi intelektual
muslim yang berkualitas seperti beliau.
2. Bapak Prof. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu
iii
3. berupaya untuk menyediakan fasilitas terbaik bagi
mahasiswa Fakultas Ushuluddin.
4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Selaku Ketua Jurusan
Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin. Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd. Selaku sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur'an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.
5. Bapak Dr. Abd. Moqsith Ghazali, MA. Selaku Dosen
Pembimbing yang sudah banyak meluangkan waktunya
untuk memberi ilmu, arahan, dan masukan kepada penulis,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis
memohon maaf jika selama masa bimbingan skripsi telah
banyak merepotkan dan melakukan kesalahan baik yang
disengaja maupun tidak disengaja. Semoga ilmu yang bapak
berikan dapat bermanfaat bagi penulis.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah membagikan
ilmu dan pengalamannya kepada penulis, semoga ilmu yang
didapat menjadi bekal untuk masa depan, dan semoga seluruh
Dosen mendapat pahala kebaikan dari Allah swt.
7. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Ushuluddin,
Pusat Studi al-Qur'an, yang telah banyak membantu dalam
menyediakan referensi-referensi disaat penulis menyusun
skripsi ini.
iv
8. Kedua orang tua tercinta, yang tak pernah lelah memanjatkan
doa untuk kemudahan urusan anak-anaknya, jasanya tak akan
pernah terbalas sepanjang masa. Ibunda Oom dan ayahanda
Encep Dedi, terima kasih atas segala do'a, nasehat, semangat
dan semuanya yang telah diberikan kepada penulis, yang
benar-benar penulis rasakan keberkahannya hingga saat ini.
Semoga emak dan apa panjang umur, selalu dalam kesehatan,
dan berada dalam lindungan Allah swt.
9. Kepada semua keluarga, kerabat, adinda Siti Khalidah,
Dimas Andrean, dan Siti Nadiyah al-Musfiroh, yang selalu
memberikan dukungan dan keceriaan dalam keluarga.
10. Kepada KH. Akhmad Sodiq, MA. Selaku Pimpinan Ma'had
al-Jami'ah. Bunda Nailil Huda, MA. Selaku pengasuh Ma'had
Syarifah Muda'im UIN Jakarta yang tak pernah lelah
membimbing kami menuju jalan yang yang diridhai-Nya.
Juga tak lupa kepada seluruh Musyrif/Musyrifah, para staff
dan pegawai yang telah banyak memberikan pengabdiannya
untuk Ma'had al-Jami'ah.
11. Kepada seluruh Mudabbir/Mudabbiroh, para pengurus dan
aktivis Ma'had al-Jami'ah yang selalu semangat dalam
membangun Ma'had al-Jami'ah menjadi lebih baik.
Khususnya kepada rekan Mudabbiroh senior (Nurhasanah,
v
Novi Novera, dan Humaira az-Zahra) yang selalu
mendukung dan menginspirasi saya.
12. Kepada teman-teman jurusan Tafsir Hadits 2013, khususnya
kepada teman-teman "Atha" (Anak Tafsir Hadits A) yang
telah menjadi keluarga kedua dan selalu memberikan
dukungan dan bantuannya kepada penulis. Semoga kita
semua dapat menjadi generasi yang berguna bagi nusa,
bangsa, agama dan negara.
13. Kepada roommate kamar 105 A Ma'had UIN Jakarta (Martha
Alfiani, Yaza, Hana, Endah Ratnasari, Dini Ayu Cahyani,
Dian Pratiwi, Nasyiatul Lailly Noer Dini, dan Nurin
Amanillah) yang selalu memberikan keceriaan dan
kenyamanan selama tinggal di Ma'had Putri UIN Jakarta.
14. Kepada semua teman-teman peneriman Beasiswa Bidik Misi
yang selalu meninspirasi penulis melalui prestasi-prestasi
yang diraihnya.
15. Kepada adik-adik di Rumah Baca Dungus Biuk (Rubadubi)
sebagai salah satu penyemangat penulis untuk terus
mengabdi pada bangsa ini.
16. Kepada rekan-rekan Hmpsf Farmasi dan Dema FKIK UIN
Jakarta yang telah membantu saya dalam mengabdi di
kampung Dungus Biuk. Semoga semua kebaikan kalian
mendapatkan balasan yang terbaik dari Allah swt.
vi
17. Kepada semua kyai, ustadz, guru, kerabat, saudara, sahabat,
dan semua pihak yang telah membantu dan mendoakan
penulis dalam menyusun skripsi ini. Mohon maaf tidak bisa
disebutkan namanya satu persatu, penulis mengucapkan
terima kasih dan semoga kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis, bernilai kebaikan di sisi Allah swt.
Jakarta, Agustus 2017
Siti Rodiah
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ vii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 10
C. Tujuan dan Manfaat penelitian .................................. 11
D. Tinjauan Pustaka .......................................................... 12
E. Metode Penelitian .......................................................... 14
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 16
BAB II PEMIMPIN DALAM AL-QUR’AN
A. Definisi Pemimpin .......................................................... 18
B. Istilah Pemimpin di dalam al-Qur‟an ................................. 20
1. Khalīfah ........................................................................... 20
2. Imām ...................................................................... 23
3. Ulu al-Amri .......................................................... 25
4. Auliyā’ ...................................................................... 27
5. Sulthān .......................................................................28
6. Malik .......................................................................29
C. Urgensi Pemimpin dalam Al-Qur'an .................................. 32
D. Kriteria Pemimpin Ideal dalam al-Qur‟an ...................... 33
BAB III NON MUSLIM DALAM AL-QUR’AN
E. Nonmuslim dan Istilahnya di dalam al-Qur‟an .......... 49
a. Ahl al-Kitāb .......................................................... 49
b. Yahudi ...................................................................... 50
c. Nasrani ...................................................................... 54
d. Kafir ........................................................................... 55
F. Relasi Muslim dan Nonmuslim dalam al-Qur‟an .......... 57
viii
G. Kesetaraan Hak-hak Nonmuslim dalam al-Qur'an .......... 69
BAB IV ANALISIS AYAT-AYAT LARANGAN MEMILIH
PEMIMPIN NONMUSLIM DALAM AL-QUR'AN
A. Tafsir QS. Ali Imran[3]: 28 .............................................. 78
B. Tafsir QS. an-Nisa [4]: 144 .............................................. 89
C. Tafsir QS. al-Maidah [5]: 51 .............................................. 93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 101
B. Saran-Saran .................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA .........................................................103
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam
aksara latin:
HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik di bawah ص
ḍ de dengan titik di bawah ض
ṭ te dengan titik di bawah ط
ẓ zet dengan titik di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ` ء
y ye ي
x
Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vokal bahasa Indonesia,
terlebih dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN
ai a dan i ي
au a dan u و
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat huruf, yaitu:
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik
diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-
rijāl, al-dīwān bukan ad-dīwān.
Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandengkan huruf
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
tidak ditulis aḏ-ḏarūrah melainkan al-ḏarūrah, demikian الضرورة
seterusnya.
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL
LATIN KETERANGAN
ā a dengan garis di atas ئ ا
ī i dengan garis di atas ئ
ū u dengan garis di atas وئ
xi
Ta Marbūṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūṯah
terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal
yang sama juga
berlaku jika ta marbūṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na't) (lihat
contoh 2). Namun, jika huruf ta marbūṯah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
Contoh:
NO KATA ARAB ALIH AKSARA
ṭarīqah طرقة 1
al-Jāmi'ah al-Islāmiyyah الجامعة اإلسالمة 2
waẖdat al-wujūd وحدة الوجود 3
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya manusia adalah khalifah (pemimpin) yang
memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar. Ia diberi amanah oleh
Allah swt. untuk memakmurkan kehidupan di bumi ini. Karena amat
mulianya manusia sebagai pengemban amanah, akhirnya ia diberi
kedudukan sebagai wakil Allah (khalīfatullah).1 Sebagaimana firman
Allah swt. dalam Al-Qur‟an:
قالوا أتعل فيها من ي فسد وإذ قال ربك للملئكة إني جاعل ف الرض خليفة
س لك ماء ونن نسبيح بمدك ون قدي .قال إني أعلم ما ل ت علمون فيها ويسفك الدي"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
'aku hendak menjadikan khalifah di bumi.' Mereka berkata,
'Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-
Mu dan menyucikan nama-Mu?' Dia berfirman, “Sungguh, aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah[2]: 30)
Ayat ini menunjukkan tentang fungsi utama manusia, yaitu
sebagai khalīfah di muka bumi yang bertugas untuk memperbaiki dan
meninggalkan perbuatan yang merusak.2 Akan tetapi, malaikat tidak
setuju atas pemilihan manusia sebagai khalīfah, karena manusia adalah
1 Rohmat Syariffudin, Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim dalam Al-
Qur'an, Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang: 2016, h. 2. 2 Al-Qurṭūbī, Tafsīr Al-Qurṭūbī. Penerjemah Ahmad Faturrohman (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2010), h. 608.
2
penyebab dari kerusakan yang terjadi di muka bumi. Sedangkan
malaikat adalah makhluk yang selalu taat kepada-Nya.
Namun, Allah berusaha untuk mengeluarkan malaikat dari
perasaan banyak ibadah, tasbih dan mengagungkan Allah swt,
kemudian mengembalikan mereka pada kedudukan mereka yang
sebenarnya. Allah swt. berfirman,
اسجدوا لدم... ... "Sujudlah kamu kepada Adam." (QS. Thāhā [20]: 116).
Allah lebih mengetahui bahwa orang-orang yang dijadikan-Nya
khalīfah di bumi ini terdiri dari nabi-nabi, para ulama dan ahli
ketaatan. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak diketahui
oleh makhluk-Nya.3
Amanah khalīfah ini awalnya pernah ditawarkan kepada langit,
bumi, dan gunung-gunung. Namun, semuanya menolak karena
khawatir akan mengkhianati amanah tersebut. Allah swt berfirman:
ماوات والرض والبال فأب ي أن يملن ها وأشفقن م ها إنا عرضنا المانة على الس ن
نسان إنو كان ظلوما جهول وحلها ال"Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh."
(QS:Al-Ahzab [33]: 72).
3 Al-Qurṭūbī, Tafsīr Al-Qurṭūbī, h. 614.
3
Muqātil bin Hayyān sebagaimana dikutip Ibnu Katsīr dalam
tafsirnya Tafsīr al-Qur'ān al-'Aẓīm menjelaskan bahwa dalam ayat ini
Allah swt berusaha mengembankan amanah kepada makhluk-Nya4,
mulai dari langit, bumi, dan gunung-gunung, semuanya akan diberikan
ampunan dan surga jika siap mengemban amanah tersebut.5 Namun
semuanya menolak, kecuali Nabi Adam as6 yang bersedia
menerimanya.7
Dari Nabi Adam as, amanah kepemimpinan terus berlanjut
kepada keturunan dan cucu-cucunya. Sehingga sampai saat ini
kepemimpinan merupakan sunnatullah yang terus berlaku di bumi ini.8
Rasulullah saw. menegaskan bahwa kepemimpinan merupakan
suatu keniscayaan yang harus ada meskipun dalam batas dan wilayah
yang sangat kecil, bahkan dalam sebuah perjalanan sekalipun,
sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
حممد بن عجلن عن أب سلمة حدثنا علي بن بر حدثنا حامت بن إمساعيل حدثنا
عن أب ىري رة أن رسول اهلل قال إذا كان ثلثة ف سفر ف لي ؤمروا أحدىم قال نافع ف قلنا
رنا. لب سلمة فأنت أمي
4Amanah yang dimaksud adalah ketaatan kepada Allah swt, yaitu wajib
melaksanakan segala perintah Allah, dan tidak boleh menyalahi-Nya. 5 Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur' ān al-'Aẓīm (Yaman: Maktabah aulād al-Syaikh
li al-Turāts), Jilid 11, h. 252.
6 Raihan “Konsep Kepemimpinan di dalam Masyarakat Islam”, Jurnal al-
Bayan, Vol. 22, No. 31, Januari-Juni 2015 h. 15. 7 Kementrian Agama RI, Tafsir Ilmi: Penciptaan Manusia dalam Perspektif
al-Qur’an dan Sains (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia 2012), h. 3
8 Raihan “Konsep Kepemimpinan di dalam Masyarakat Islam”, h. 16.
4
Dari Abu Sa‟id dan Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw.
bersabda: "Apabila ada tiga orang berpergian bersama-sama,
maka hendaklah mereka memilih seseorang diantara mereka
untuk menjadi pemimpin rombongan." (HR. Abu Daud)9
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa dalam perjalanan yang
dilakukan oleh tiga orang saja perlu ada pemimpin, apalagi dalam
komunitas yang jumlahnya lebih besar.10
Melalui hadits ini, dapat diketahui bahwa pemimpin adalah
unsur fundamental tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Ia
ibarat kepala dari anggota tubuh seseorang, sehingga ia memiliki peran
yang strategis dalam pengaturan pola dan gerakan11
, untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan. Sebagaimana ungkapan Ali bin Abi Thalib
yang menyatakan bahwa:
“Suatu urusan meskipun benar, tetapi tidak dikelola secara
profesional akan mudah dikalahkan oleh kebatilan yang
dikelola secara baik dan profesional”.
Dari ungkapan di atas, dapat disimpulkan bahwa tatanan hidup
manusia tidak dapat teratur, jika tidak ada yang memimpin setiap
langkah dan kegiatannya.12
Oleh karena itu, keberadaan pemimpin
sangat diperlukan untuk menjamin keselamatan jiwa dan hak rakyat,
9 Lihat Hadits No. 3, Bab tentang sunah membentuk rombongan dan
memilih seseorang diantara mereka sebagai pemimpinnya, dalam Muslich Shabih,
Terjemah Riyadus Shalihin Jilid 2, (Semarang: Karya Toha Putra, 2004), h. 41.
10
Raihan “Konsep Kepemimpinan di dalam Masyarakat Islam”, h. 16.
11
Muhammad Dian Supyan, “Kepemimpinan Islam dalam Tafsir al-
Mishbāh Karya M. Quraish Shihab” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta: 2013), h. 4.
12
Raihan “Konsep Kepemimpinan di dalam Masyarakat Islam”, h. 16
5
serta menjamin berlakunya perintah Allah, karena amanah seorang
pemimpin adalah untuk memakmurkan kehidupan di bumi.13
Namun, dewasa ini kita seringkali melihat pergolakan disetiap
pemilihan pemimpin, karena adanya perbedaan teologis antara calon
pemimpin dengan mayoritas masyarakat yang akan dipimpin,
sebagaimana yang terjadi pada pemilihan cagub-cawagub DKI Jakarta
periode 2017-2022 beberapa waktu lalu.
Pemilukada DKI Jakarta sempat mengundang simpatik semua
kalangan, dimana agama lagi-lagi dijadikan kendaraan politik, untuk
bisa memenangkan egoisme diri sendiri. Seperti maraknya fenomena
fatwa larangan memilih pemimpin nonmuslim, mulai dari kalangan
penyanyi, politisi, da'i, bahkan kyai seringkali memberikan statemen
demikian di lingkungan masyarakat.
Persoalan ini kemudian dikejutkan dengan berbagai aksi
demonstrasi dari ormas Islam di Jakarta, karena tidak ingin dipimpin
oleh seorang nonmuslim. Padahal, UUD 1945 pasal 6 alinea 1
menyatakan “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Sehingga telah jelas
bahwa semua orang Indonesia memiliki hak yang sama untuk menjadi
pemimpin di Indonesia, tak terkecuali nonmuslim.
Namun, umat Islam sepertinya sudah terlanjur berparadigma
bahwa setiap orang yang berada di luar Islam, seperti Yahudi dan
13 Rohmat Syarifuddin, “Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim dalam al-
Qur‟an” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo semarang,
2016), h. 2.
6
Nasrani dianggap sebagai kafir dan halal darahnya untuk dibunuh.
Seakan manusia ingin menjadi Tuhan dengan cara menghukumi dan
melabeli orang lain dengan sebutan kafir.
Anggapan ini memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena
al-Qur'an mengatakan demikian, di antaranya dalam QS. al-Mā'idah
[5]: 51 dan 57; al-Mumtahanah [60]: 1; Āli Imrān [3]: 28; 100,118; al-
Mujādilah [58]: 22; al-Nisā' [4]: 141, 144; al-Anfāl [8]: 73; al-Taubah
[9]: 8 dan 71.14
Pemimpin nonmuslim sebetulnya merupakan masalah klasik
yang selalu mengundang perdebatan, khususnya di kalangan umat
muslim. Sebagian ulama menganggap bahwa nonmuslim tidak boleh
diangkat sebagai pemimpin umat Islam karena beberapa ayat dalam al-
Qur'an yang menyatakan demikian.
Sedangkan, sebagian lainnya memandang bahwa esensi
perdebatan bukan terletak pada latar belakang agama, namun yang
terpenting adalah: apakah seorang pemimpin mampu memperoleh
kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat yang notebene
merupakan perintah al-Qur'an dan hadits Nabi saw?.
Menurut al-Zamakhsyarī, dilarangnya umat Islam memilih
pemimpin nonmuslim menjadi hal yang logis. Mengingat orang-orang
kafir adalah musuh umat Islam, dan pada prinsipnya tak akan pernah
14 Abu Thalib Khalik, “Pemimpin Non-muslim Dalam Perspektif Ibnu
Taimiyah”, Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14, No. 1, tahun 2014, h. 60
7
mungkin bagi seseorang untuk mengangkat musuhnya sebagai
pemimpin. Jika umat Islam mengangkat orang kafir sebagai
pemimpinnya, maka mereka seolah memandang bahwa jalan yang
ditempuh oleh orang-orang kafir itu baik. Padahal ini tidak boleh
terjadi, sebab dengan meridhai kekafiran berarti ia telah menjadi
kafir.15
Berbeda dengan pernyataan di atas, kelompok kedua justru
menawarkan ijtihad politik baru yang mendukung presiden nonmuslim.
Beberapa di antaranya adalah: Mahmoud Mohammad Thaha, Abdullah
Ahmed al-Na'im, Thariq al-Bishri, Muhammad Sa'id al-'Asymāwī dan
Ibnu Taimiyah.
Menurut Mahmud Thaha sebagaimana dikutip oleh Mujar Ibnu
Syarif mengatakan, bahwa dalam negara mayoritas muslim,
nonmuslim juga memiliki persamaan hak dan status sebagaimana umat
Islam, termasuk hak untuk menjadi pemimpin negara.16
Senada dengan pendapat di atas, Ibnu Taimiyah menegaskan
bahwa, “jika kebutuhannya untuk mengalahkan kemafsadatan lebih
banyak, maka yang berjiwa religiuslah yang dipilih. Sedangkan, jika
kebutuhannya untuk menyelesaikan kasus-kasus yang pelik jauh lebih
15 Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyāf ’an Haqā’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-'Aqawil
fi Wujuh al-Ta’wil (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba‟ah Mustafa al-Babi al-Habi
wa Auladuh, 1392 H/1972 M), II/422 16
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Nonmuslim di Negara Muslim: Tinjauan dari
Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2006), h. 140.
8
banyak, maka orang berilmu yang dipilih meskipun ia fasik.17
Selagi ia
dapat bersikap adil dan mensejahterakan rakyatnya, maka itu jauh lebih
baik dibandingkan dengan memilih pemimpin muslim yang religius,
namun dapat menyengsarakan rakyatnya.18
Perdebatan di atas tidak terlepas dari kehadiran al-Qur'an
sebagai petunjuk manusia, yang tidak membatasinya kepada etnis dan
generasi tertentu, sehingga ayat-ayatnya secara otomatis menimbulkan
ragam penafsiran. Dari generasi ke generasi, umat Islam terus berusaha
memahami kandungan al-Qur'an dan menyampaikan kembali hasil
pemahaman tersebut dalam berbagai karya tafsir dengan tujuan agar
dijadikan rujukan bagi umat Islam.19
Namun, rujukan tafsir al-Qur'an yang digunakan masyarakat
seringkali mengadopsi penafsiran-penafsiran dari luar.20
Padahal,
kondisi sosio historis Nusantara mempunyai perkembangan tersendiri
dalam proses menafsirkan al-Qur'an, yang berbeda dengan negara-
negara berpenduduk muslim lainnya.21
Hal ini memberi dorongan kepada para mufasir di Nusantara
untuk mencari kandungan makna ayat yang dimaksud dengan bertitik
17
Ibnu Taimiyah, Kebijaksanaan Politik Nabi saw. Penerjemah Muhammad
Munawir az-Zahidi (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 16. 18
Abu Thalib Khalik, "Pemimpin Nonmuslim Dalam Perspektif Ibnu
Taimiyah", Jurnal Studi Keislaman, h. 61. 19
Taufikurrahman, "Kajian Tafsir di Indonesia", Mutawātir: Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadits, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2012, h. 2. 20
Achyar Zein, "Urgensi Penafsiran Al-Qur'an Yang Bercorak Indonesia",
h. 33. 21
Taufikurrahman, "Kajian Tafsir di Indonesia", h. 2.
9
tolak pada keyakinan bahwa al-Qur'an adalah sumber petunjuk.22
Sehingga lahir literatur tafsir dari tangan ulama Nusantara, dengan
keragaman teknik penulisan, corak dan bahasa yang di pakai.23
Dalam perkembangannya, literatur tafsir Nusantara cukup
banyak ditulis dengan bahasa Indonesia dan aksara latin. Sebab, tidak
semua muslim Nusantara mahir berbahasa Arab.24
Meski demikian, masih ada ulama Nusantara yang menulis
karya tafsirnya dengan bahasa dan aksara Arab, dan nampaknya masih
tetap hidup di Indonesia, terutama di kalangan pesantren. Karya-karya
tafsir Indonesia ini diyakini cukup relevan untuk menjawab berbagai
masalah dalam aspek kehidupan, termasuk soal perdebatan fatwa
pemimpin nonmuslim yang telah disampaikan di awal pembahasan.
Tafsir Nusantara dipilih karena dalam penulisannya, para
mufasir seringkali menjadikan ayat-ayat al-Qur'an untuk
menanggulangi fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
(adabi ijtima'i) pada saat ditulisnya tafsir tersebut, sehingga hasil
penelitian ini dapat menjadi jawaban dari skeptisisme masyarakat
terhadap fatwa memilih pemimpin nonmuslim.
22
Achyar Zein, "Urgensi Penafsiran Al-Qur'an Yang Bercorak Indonesia"
Jurnal Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. XXXVI. No. 1 (Januari-Juni 2012),
h. 24. 23
Andi Miswar, "Tafsir al-Qur'an al-Majīd al-Nūr Karya T.M. Hasbi al-
Shiddieqy: (Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)",
Jurnal Adabiyah Vol. XV, No. 1 2015, h. 83. 24
Andi Miswar, "Tafsir al-Qur'an al-Majīd al-Nūr Karya T.M. Hasbi al-
Shiddieqy", h. 84.
10
Selain itu, sebaiknya tidak dilupakan bahwa karya-karya Islam
di penghujung abad 19 berdiri pada permulaan reformasi besar yang
mulai mengambil bentuk Islam Indonesia sejak permulaan abad ke-20
sehingga dapat membantu menjelaskan wacana Islam dominan yang
ada di Indonesia modern.25
Dalam hal ini, tafsir Nusantara yang dijadikan rujukan adalah:
Tafsir Marāh Labīd karya Syeikh Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Nūr
karya Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, dan
Tafsir al-Misbāh karya M. Quraish Shihab.
Supaya penelitian ini memiliki arah dan objek yang jelas serta
sistematis, maka penulis memberi judul: "Tafsir Ulama Nusantara
Tentang Kepemimpinan Nonmuslim (Telaah Ayat-ayat Larangan
Memilih Pemimpin Nonmuslim dalam Al-Qur‟an)."
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat luasnya ruang lingkup objek kajian, maka dalam
skripsi ini penulis membatasi permasalahan pada penafsiran ulama
nusantara tentang kepemimpinan nonmuslim dalam QS. Ali Imran[3]:
28; QS. al-Nisa [4]: 144; dan QS. al-Maidah [5]: 51 yang dikhususkan
pada term auliyā'.
Nonmuslim yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
seseorang yang memeluk agama selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani,
25
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi & Nasrani dalam al-Qur’an: Hubungan
Antaragama Menurut Syeikh Nawawi Banten (Bandung: Mizan, 2004), h. xii.
11
Shabi'i, Hindu, Buhdha, Sinto, Kong Hu Cu, dan lain-lain. Sedangkan
yang dimaksud pemimpin adalah pemimpin negara/ wilayah tertentu.
Adapun maksud dari 'Nusantara' dalam penelitian ini adalah
seluruh wilayah kepulauan Indonesia yang membentang dari sabang
sampai papua.26
Tafsir Nusantara dipilih karena memiliki ciri khas dan
keunggulan tersendiri dalam khazanah tafsir al-Qur‟an. Selain karena
penggunaan huruf latin, penjelasan yang disampaikan dalam tafsirnya
mudah dipahami oleh umat Islam khususnya di Indonesia. Selain itu,
Penelitian ini juga sekaligus menunjukkan betapa pentingnya
penelaahan produk-produk warisan Islam Nusantara.27
Selanjutnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
"Bagaimana penafsiran ulama Nusantara terhadap ayat-ayat larangan
memilih pemimpin nonmuslim dalam al-Qur'an?."
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Maksud tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi "Tafsir
Ulama Nusantara Tentang Kepemimpinan Nonmuslim (Telaah Ayat-
ayat Larangan Memilih Pemimpin Nonmuslim Dalam Al-Qur‟an)"
adalah sebagai berikut:
a. Menerangkan istilah-istilah pemimpin dalam al-Qur‟an
b. Memaparkan karakter pemimpin yang Ideal dalam Islam
26
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 1009. 27
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi & Nasrani dalam al-Qur’an: Hubungan
Antaragama Menurut Syeikh Nawawi Banten (Bandung: Mizan, 2004), h. xii.
12
c. Menjelaskan istilah nonmuslim dalam al-Qur‟an
d. Menjelaskan relasi muslim dan nonmuslim dalam al-Qur‟an
e. Menjelaskan kesetaraan hak-hak nonmuslim dalam al-Qur'an
f. Menguraikan penafsiran ulama Nusantara dalam QS. Ali Imran[3]:
28; QS. An-Nisa [4]: 144; dan QS. al-Maidah [5]: 51.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran ulama Nusantara tentang
larangan memilih pemimpin nonmuslim dalam al-Qur'an.
2. Secara teoritis, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dan
penelitian lebih lanjut tentang larangan memilih pemimpin
nonmuslim dalam al-Qur‟an.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis telah menemukan beberapa karya tulis yang berkaitan
dengan kepemimpinan nonmuslim dalam bentuk artikel, jurnal ilmiah
dan skripsi, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, jurnal yang berjudul "Pemimpin Nonmuslim Dalam
Perspektif Ibnu Taimiyah" karya Abu Tholib Khalik yang merupakan
dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, jurnal ini
memaparkan perdebatan melawan argumen Ibnu Taimiyah yang
menyatakan bolehnya memilih pemimpin nonmuslim.
Kedua, jurnal karya M. Suryadinata yang merupakan dosen
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul:
"Kepemimpinan Nonmuslim Dalam al-Qur‟an: analisis terhadap
13
penafsiran FPI mengenai ayat pemimpin nonmuslim "karya ini
berusaha memaparkan pandangan FPI (Front Pembela Islam) terhadap
kepemimpinan nonmuslim di wilayah mayoritas muslim.
Ketiga, skripsi karya Rohmat Syariffudin yang merupakan
mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakartra, dengan judul: "Pengangkatan Pemimpin
Nonmuslim Dalam Al-Qur‟an (Studi Penafsiran M. Quraish Shihab
dalam Tafsīr al-Miṣbāh)." Dalam tulisannya, peneliti berusaha
memaparkan penafsiran M. Quraish Shihab tentang kepemimpinan
nonmuslim.
Keempat, skripsi karya Wahyu Naldi yang merupakan
mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakartra, dengan judul: "Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat
Larangan Memilih Pemimpin Nonmuslim Dalam Al-Qur‟an (studi
komparasi antara M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb)." Dalam
penelitian ini, penulis menjelaskan penafsiran antara M. Quraish
Shihab dan Sayyid Quthb terhadap kata tabayyun dalam al-Qur‟an.
Kelima, skripsi karya Muhammad Dian Supyan mahasiswa
Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan Judul :
"Kepemimpinan Islam Dalam Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab". Dalam skripsinya, penulis berusaha memaparkan penjelasan
M. Quraish Shihab mengenai Kepemimpinan Islam.
14
Keenam, buku karya Mujar Ibnu Syarif, yang berjudul:
"Presiden Non Muslim Di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam konteks Indonesia." Buku ini
memaparkan perdebatan tentang pemimpin nonmuslim di negara
mayoritas muslim yang juga dikaitkan dengan fakta sejarah dan politik
Islam.
Dari daftar penelitian dan kajian pustaka diatas, belum
ditemukan karya yang secara khusus membahas pemimpin nonmuslim
dari sudut pandang ulama Nusantara. Sehingga penelitian yang
dilakukan penulis kali ini menjadi sangat penting, karena dapat
menjadi jawaban dari skeptisisme masyarakat Indonesia terkait fatwa
memilih pemimpin nonmuslim.
E. Metode Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research, yaitu usaha untuk
memperoleh data dalam kepustakaan. Melalui penelitian terhadap
buku-buku bacaan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
tafsir, yaitu dengan menelaah penafsiran ulama Nusantara terhadap
masalah yang diteliti.
15
2. Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab tafsir
karya ulama Nusantara yang meliputi: Tafsir Marāh Labīd karya
Syeikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H/1897 M) 28
, Tafsir al-Nūr
karya Hasbi al-Shiddieqy (w. 1975)29
, Tafsir al-Azhar Karya Buya
Hamka (w. 1981 M)30
, dan Tafsir al-Miṣbāh Karya M. Quraish
Shihab.31
Kitab Tafsir tersebut digunakan sebagai kitab primer karena
sangat relevan dengan judul yang diangkat atau diteliti. Sehingga
28
Tafsīr Marāh Labīd karya Syeikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H/1897 M)
yang ditulis atas desakan koleganya pada tahun 1884 dan diterbitkan pada tahun
1888. Dilihat dari segi penamaan kitab tafsirnya, nampaknya Nawawi berambisi
untuk memberikan identitas Qur'an bagi masyarakat muslim yang kuat
mempertahankan khazanah tradisionalnya. Dikutip dari karya Taufikurrahman,
"Kajian Tafsir di Indonesia", Muttawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,Vol. 2, No.
1 (Juni: 2012), h. 10-11. 29
Hasbi al-Shiddieqy berhasil menulis tafsir pertama yang paling lengkap
dalam bahasa Indonesia, yaitu Tafsīr al-Nūr (1970). Motivasi penulisan Tafsīr al-Nūr
ditujukan kepada para peminat tafsir yang belum menguasai bahasa Arab, sehingga
penyusunannya dibuat lebih sederhana agar menuntun para pembacanya untuk
memahami al-Qur'an dengan baik. Dikutip dari karya Andi Miswar, "Tafsir al-Qur'an
al-Majid (al-Nur) Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Corak Tafsir berdasarkan
Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)", Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1,
tahun 2015, h. 86. 30
Mulai tahun 1962, Hamka menyampaikan kajian tafsir ini di masjid al-
Azhar Jakarta, dan terus berlanjut hingga pada januari 1964, akhirnya Hamka
ditangkap oleh penguasa orde lama karena dianggap berkhianat pada Negara.
Penahanan selama dua tahun di penjara ternyata membuat Hamka dapat
menyelesaikan penulisan tafsirnya. Tafsir ini ditulis menggunakan metode analitis
atau tahlili, dalam bentuk pemikiran yang sarat dengan berbagai pesan pembaharuan
dan ide-ide kritis yang menggugah pembaca supaya bangkit memperbaiki umat Islam
dari segala aspeknya. Dikutip dari karya Taufikurrahman, "Kajian Tafsir di
Indonesia", Muttawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,Vol. 2, No. 1 (Juni: 2012), h.
17. 31
Tafsir al-Mishbāh diterbitkan pertama kali tahun 2000 oleh Lentera Hati
Jakarta. Quraish Shihab lebih bersifat dinamis dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur'an, dengan tetap memperhatikan kesesuaian dari maksud dan tujuan ayat itu
sendiri. Dikutip dari karya Taufikurrahman, "Kajian Tafsir di Indonesia",
Muttawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,Vol. 2, No. 1 (Juni: 2012), h. 22-24.
16
diharapkan agar penelitian ini dapat diselesaikan secara fokus dan
mendalam, serta dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini didapatkan dari
artikel, jurnal ilmiah, buku-buku yang berkaitan, dan internet yang
di dalamnya memuat informasi tentang masalah dalam skripsi ini.
3. Metode Analisa Data
Metode analisis kritis adalah metode deskriptif yang disertai
dengan analisis kritis. Objek penelitian analisis kritis adalah
mendeskripsikan, membahas, dan mengkritik gagasan primer yang
kemudian dipadukan dengan gagasan primer lainnya dalam upaya
melakukan perbandingan.32
Alinea baru dalam analisis data ini juga menggunakan metode
berfikir deduktif dan induktif. Deduktif yaitu mengambil
kesimpulan dari hal-hal yang umum kemudian ditarik pada hal-hal
yang khusus, sedangkan induktif yaitu mengambil kesimpulan dari
hal-hal yang khusus kemudian ditarik pada hal-hal yang umum.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika ini disusun sebagai gambaran pokok dari
pembahasan skripsi, sehingga dapat memudahkan pembaca dalam
32 Rohmat Syarifuddin, "Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim Dalam Al-
Qur‟an: Studi Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsīr al-Miṣbāh" (Skripsi S1
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2016) h. 13.
17
memahami dan mencerna masalah-masalah yang akan dibahas, sebagai
berikut:
Bab I pendahuluan, dalam bab ini akan dibahas latar belakang,
kajian pustaka, batasan dan rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II pemimpin dalam al-Qur'an, dalam bab ini akan
dijelaskan mengenai definisi pemimpin, istilah-istilah pemimpin dalam
al-qur‟an, tujuan kepemimpinan dalam al-qur‟an, dan kriteria
pemimpin yang ideal dalam al-qur‟an.
Bab III nonmuslim dalam al-Qur'an, dalam bab ini akan
dijelaskan nonmuslim dan istilahnya di dalam al-qur‟an, relasi muslim
dan nonmuslim dalam al-qur‟an, dan kesetaraan hak-hak nonmuslim
dalam al-qur'an.
Bab IV tafsir ulama Nusantara tentang kepemimpinan
nonmuslim, dalam bab ini akan dianalisis ayat-ayat larangan memilih
pemimpin nonmuslim dalam tafsir ulama Nusantara yang meliputi:
QS. Ali Imran [3]: 28; QS. an-Nisa [4]: 144, dan QS. al-Maidah [5]:
51.
Bab V penutup, dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dan
saran-saran yang menjadi respon konkret atas rumusan masalah dalam
penelitian. Sehingga semua problem yang muncul dalam penelitian ini
dapat terjawab dengan jelas dan bisa bermanfaat baik secara akademik,
sosial maupun praktis.
18
BAB II
PEMIMPIN DALAM AL-QUR’AN
A. Definisi Pemimpin
Pemimpin berasal dari kata 'pimpin' (dalam bahasa Inggris
lead) yang berarti bimbing dan tuntun. Setelah ditambah awalan 'pe'
menjadi pemimpin atau leader yang berarti tokoh dan orang yang
menuntun.1
Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu
memengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan
pencapaian tujuan bersama, sehingga yang bersangkutan menjadi awal
struktur dan pusat proses kelompok.2
Adapun secara terminologi banyak ditemukan definisi tentang
pemimpin. Ralph M. Stogdil sebagaimana dikutip oleh Surahman
Amin menyebutkan beberapa definisi tentang pemimpin, yakni: (1)
sebagai kepribadian yang berakibat; (2) sebagai seni menciptakan
kesepakatan; (3) sebagai kemampuan memengaruhi; (4) sebagai
tindakan perilaku; (5) suatu bujukan; (6) sebagai suatu hubungan
kekuasaan; dan (7) sebagai sarana penciptaan tujuan. Pemimpin juga
diterjemahkan sebagai orang yang membuat konsep relasi (relation
1 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka, 1976), h. 351.
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ba-hasa Indonesia, Edisi
III Cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h 874.
19
concept), disebut sebagai pemimpin bila ada relasi dengan orang lain.
Jika tidak ada pengikut, maka tidak disebut pemimpin.3
Pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Seluruh makhluk di bumi adalah hamba-hamba
Allah, dan para pemimpin adalah wakil-Nya yang bertugas untuk
mengelola, mengatur, dan mengurus jiwa-jiwa mereka.4
Istilah pemimpin dan kepemimpinan merupakan kesatuan yang
sulit dipisahkan, dalam bahasa Inggris pemimpin disebut leader,
sedangkan kepemimpinan disebut leadership. Kata pemimpin dan
kepemimpinan menjadi satu kesatuan kata yang mempunyai
keterkaitan baik dari segi kata maupun makna.
Secara etimologi, kepemimpinan berarti daya memimpin,
kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin itu sendiri.
Sedangkan menurut penulis, kepemimpinan adalah sikap atau gaya
dalam memimpin.
Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi
mengenai kepemimpinan, yaitu upaya mentranformasikan potensi yang
terpendam untuk menjadi kenyataan; kepemimpinan adalah tindakan
dalam mengarahkan dan memimpin pekerjaan anggota kelompok; dan
3Surahman Amin dan Ferry Muhammadsyah Siregar, "Pemimpin dan
Kepemimpinan Dalam al-Qur'an", h. 27-28. 4 Ibnu Taimiyah, Kebijaksanaan Politik Nabi Saw, h. 6-8.
20
merupakan proses pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan sekelompok
anggota yang tugasnya saling berkaitan.5
Kepemimpinan ortodoks yang ditegakkan setelah Nabi wafat
dipandang oleh ahli-ahli hukum, teolog, dan ahli politik muslim
sebagai manifestasi ideal dari bentuk pemerintahan Islam.6
Selain mengacu pada manifestasi tersebut, parameter suksesnya
kepemimpinan dalam Islam juga dinilai dari sejauh mana implementasi
amanah kekuasaan yang dijalankan secara profesional oleh seorang
pemimpin.7
B. Istilah Pemimpin di Dalam al-Qur’an
Kata pemimpin dalam al-Qur'an memiliki beberapa istilah
sebagai berikut:
1. Khalīfah (خليفة)
Khalīfah berasal dari kata khalf ( ف ل خ ) yang berarti pengelola,
penguasa8, atau di belakang.
9 Disebut khalīfah karena yang
menggantikan selalu berada di belakang atau datang di belakang
5 Muhammad Dian Supyan, Kepemimpinan Islam Dalam Tafsir al-Mishbāh
Karya M. Quraish Shihab, h. 15-16. 6 Qomaruddin Khan, Pemikiran Ibnu Taimiyah. Penerjemah Anas Mahyudin
(Bandung: Penerbit Pusaka, 1983), h. 120. 7 A.F. Djunaedi, “Filosofi dan Etika Kepemimpinan Dalam Islam”, Jurnal
al-Mawarid, Edisi XIII, Tahun 2005, h 55. 8 Deni Hamdani Firdaus, Kamus al-Qur'an: Cara Mudah Mencari Makna
dalam al-Qur'an (Purwakarta: Pustaka Ancala, 2007), h. 190. 9 Sahabuddin, ed., Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata Jilid 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. 1, h. 451.
21
sesudah yang digantikannya.10
Arti ini dapat dilihat di dalam QS. al-
Baqarah [2]: 255 sebagai berikut:
ماوات وما ل تأخذه سنة ول ن وم اللو ل إلو إل ىو الي القيوم لو ما ف الس
ي علم ما ب ي أيديهم وما من ذا الذي يشفع عنده إل بإذنو ف الرض
خلفهم"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-
Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa
yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa´at
di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di
hadapan mereka dan di belakang mereka…"
Akar kata tersebut membentuk beberapa kata jadian, yaitu:
khalafa (menggantikan); khalf (pergantian, generasi penerus atau
sesudah); khalīfah (wakil atau pengganti); khulafā' (bentuk jamak
dari khalifah); khawalif (tertinggal); khilāf (bertolak belakang);
khilfah (bergantian); khallafa (meninggalkan); khālafa (menyalahi
seseorang); akhlafa (gagal atau mengingkari janji); takhallafa
(tidak ikut menyertai); ikhtalafa (berlainan); dan istakhlafa
(menunjuk seseorang sebagai pengganti).11
Secara literal, Khalīfah berarti orang yang mewakili orang
sebelumnya, sebagaimana dalam sebuah riwayat dikisahkan:
"Ada seorang arab baduy bertanya kepada Abu Bakar ra,
Apakah anda adalah khalifah Rasulullah saw? Abu bakar
10
. Syauqi Dhaif, al-Mu'jam al-Wasith (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-
Dauliyah, 2004), h. 251. 11
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 347-348.
22
menjawab, bukan. Orang itu bertanya lagi, lalu siapakah
anda?, Abu Bakar menjawab: saya adalah khalifah setelah
Rasulullah saw."
Dalam Pada dasarnya Abu Bakar mengetahui bahwa ia adalah
khalīfah yang menduduki posisi Nabi Muhammad saw sebagai
kepala negara. Akan tetapi dalam semua aspek, ia tidak bisa
menggantikan Nabi saw, misalnya dari sisi kenabian.12
Pengertian khalīfah juga dikenal "wakil Tuhan" di bumi, yang
mengandung dua makna. Pertama, jabatan sultan atau kepala
negara. Kedua, sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.13
Term khalīfah dalam al-Qur‟an disebut pada dua konteks.
Pertama, pembicaraan tentang Nabi Adam as dalam QS. al-
Baqarah [2]: 30. Ayat ini menunjukkan peran manusia sebagai
khalīfah di bumi yang bertugas memakmurkannya sesuai dengan
konsep yang ditentukan Allah. Kedua, dalam konteks pembicaraan
nabi Daud as dalam QS. Shād [38]: 26. Ayat ini menunjukkan
bahwa nabi Daud menjadi khalīfah yang diberi tugas untuk
mengelola wilayah yang terbatas.
Dari kedua ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kata khalīfah
dalam al-Qur‟an menunjuk kepada siapa saja yang diberi
kekuasaan untuk mengelola suatu wilayah di bumi14
, dan orang
12
Syamsuddin Ramadlan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), Cet. 1, h. 2. 13
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an, h. 346. 14
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata Jilid 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h 452.
23
yang memegang kekuasaan sesuai dengan norma-norma dan
hukum Tuhan, maka dengan sendirinya ia menjadi khalīfah.15
Khalīfah bertugas untuk menegakkan aturan-aturan Allah swt
di wilayah Daulah Islamiyah atas seluruh umat, serta mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.16
Allah telah mengisyaratkan suatu konsep tentang manusia,
yakni sebagai khalīfah Tuhan yang bertugas mengelola bumi secara
bertanggung jawab, dengan mempergunakan akal yang telah
dianugerahkan Allah kepadanya.17
2. Imām (إمام)
Kata Imām merupakan bentuk kata dari akar kata ( م أ م ؤ , ) yang
berarti „pergi menuju, bermaksud kepada, dan menyengaja‟.
Menurut Ali al-Salus dalam bukunya menyatakan bahwa “Imām
artinya pemimpin seperti ketua atau yang lainnya, baik dia
memberikan petunjuk atau menyesatkan”.18
Ibn Faris dalam Maqāyis al-Lughah menyebutkan bahwa kata
imām memiliki dua makna dasar, yaitu setiap orang yang diikuti
jejaknya, dan orang yang didahulukan urusannya.19
15
Rohmat Syariffudin, "Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim dalam Al-
Qur'an" (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang,
2016), h. 18. 16
Syamsuddin Ramadlan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), Cet. 1, h. 5. 17
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an, h. 364. 18
Ali as-Salus, Imāmah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i. Penerjemah
Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta: Gema Insani, 1997), h 15. 19
Abi Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah
Juz al-Awal (Beirut: Darul Fikri, 1979), h. 23.
24
Syauqi Dhaif dan Ibnu Manẓur dalam masing-masing kitabnya,
mendefinisikan imām dengan makna yang hampir sama, yaitu
orang yang diikuti oleh suatu kaum, baik ia pemimpin atau pun
bukan20
, baik yang menuju jalan lurus maupun sesat21
, Allah swt
berfirman dalam QS. Al-Isrā‟ [17]:71
فمن أوت كتابو بيمينو فأولئك ي قرءون كتاب هم ول ي وم ندعو كل أناس بإمامهم
يظلمون فتيل."(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat
dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab
amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca
kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun."
Sedangkan, Thabathaba‟i sebagaimana dikutip oleh Quraish
Shihab menyatakan bahwa makna imām dalam ayat di atas adalah
kitab yang dijadikan pedoman seperti taurat, injil, zabur dan al-
Qur‟an.22
Sesuai dengan penjelasan di atas, Thahir Ahmad al-Zāwī dalam
kitab Mukhtār al-Qāmūs menerjemahkan Imām sebagai kitab suci
al-Qur'ān, Nabi Muhammad saw, serta pemerintah yang dihargai
dan dapat membawa perdamaian atau kemashlahatan.23
20
Syauqi Dhaif, al-Mu'jam al-Wasith, h. 27. 21
Ibnu Mandzūr al-Ifrīqī, Lisān al-'Arāb, (Saudi Arabia: Wizārah al-Syu'ūni
al-Islāmiyyah wa al-Auqāf wa al-Da'wah wa al-Irsyād, t.t.), Juz 14, h. 287. 22
Sahabuddin, ed., Ensiklopedia al-Qur’an, h 350. 23
Al-Thahir Ahmad al-Zāwī, Mukhtār al-Qāmūs: Murātibi 'alā tharīqati
Mukhtāral-Shihāh wa al-Misbāh al-Munīr (Libya: al-Dār al-'Arabiyyah li al-Kitāb,
t.t.), h. 30.
25
Berdasarkan makna imām yang telah dijelaskan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa term imām lebih dikonotasikan sebagai
orang yang menempati kedudukan untuk menggantikan tugas nabi
dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia24
.
3. Ūlī al-amri (أولى األمر)
Kata ūli (أولى) berarti 'pemilik' dan kata al-amri berarti perintah
atau tuntunan melakukan sesuatu, dan keadaan atau urusan'. Dari
kedua kata ini, dapat diterjemahkan menjadi 'pemilik urusan' dan
'pemilik kekuasaan' atau orang-orang yang berwenang mengurus
urusan kaum muslimin.25
Al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan bahwa ūlī al-amri adalah
seseorang yang ahli di bidang agama26
, atau ulama yang
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada umat manusia.27
Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Mujar Ibnu
Syarif berpendapat bahwa ūlī al-amri adalah Ahlu al-halli wa al-
'aqd, yakni orang-orang yang mempunyai pengaruh di kalangan
masyarakat, semisal panglima perang, ulama, para pemimpin
negara, dan tokoh-tokoh bangsa.28
24Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulthāniyyah wa al-wilāyah al-
Diniyah, (Mesir: Mustafa al-asab al-halibt, t.t), Cet. III, h 5. 25
Deni Hamdani Firdaus, Kamus al-Qur'an: Cara Mudah Mencari Makna
dalam al-Qur'an, h. 361. 26
Syauqi Dhaif, al-Mu'jam al-Wasith, h. 26 27
Imam al-Baghāwī, Tafsīr al-Baghawī: Ma'ālim al-Tanzil, Jilid 2 (Riyadh:
Daar Thaibah: 1989), Juz 5, h. 239. 28
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Nonmuslim di Negara Muslim, h. 23.
26
Sedangkan, ahlu al-hallī wa al-'aqdi' dalam turāts fikih
dimaknai sebagai tempat rujukan para khalifah dalam perkara-
perkara rakyat, dan mereka mempunyai hak untuk memilih atau
menobatkan khalifah juga menghentikannya. Hal ini menunjukkan
bahwa kelompok ahlu al-hallī wa al-'aqdi' merupakan lembaga
legislatif.29
Lain halnya dengan Sayyid Quthb yang menafsirkan term ūlī
al-amri sebagai pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Juga mengesakan Allah swt sebagai pemilik kedaulatan hukum dan
pembuat syariat bagi seluruh manusia, menerima hukum hanya
dari-Nya, serta mengembalikan segala urusan hanya kepada Allah
swt.30
Penafsiran di atas sesuai dengan kata amr yang memiliki ragam
makna, yaitu bisa diterjemahkan dengan perintah (sebagai perintah
Tuhan), urusan (manusia atau Tuhan), keputusan (oleh Tuhan atau
manusia), kepastian (yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan
diartikan sebagai tugas, misi, kewajiban dan kepemimpinan.31
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ūlī
al-amri adalah orang-orang yang diperintahkan untuk
29
Fariq Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 78-79. 30
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Ẓilal al-Qur'an, Jilid 2. Penerjemah: As'ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, dan Muchotob Hamzah (Jakarta: Gema Insani, 2000),
h. 399. 31
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an, h. 466.
27
melaksanakan hukum dan perintah Tuhan dalam mengatur
masyarakat dan mewajibkan mereka untuk mentaatinya.32
Keabsahan kekuasaan ūlī al-amri mengandung makna bahwa
hukum-hukum dan kebijakan politik yang mereka putuskan,
bersifat mengikat seluruh rakyat. Sehingga ada dua hukum yang
berlaku dalam negara, yaitu hukum Allah (Syariat) dan Hukum
negara yang bersumber dari keputusan ūlī al-amri .33
4. Auliyā' ( ءآي ل و أ )
Kata auliyā' adalah bentuk jamak dari kata waliy ( ( ل و , yang
maknanya adalah orang yang mencintai, sahabat dekat, penolong34
,
penguasa segala sesuatu, orang yang ahli agama35
, orang-orang
yang dekat dengan Allah, orang-orang beriman dan bertakwa yang
disebut wali-wali Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Yunus [10]: 62-63:
قون. أل إن أولياء اللو ل خوف عليهم ول ىم يزنون. الذين آمنوا وكانوا ي ت "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa."
Auliyā' dalam ayat di atas dimaknai dengan wali-wali Allah,
yaitu orang-orang yang benar-benar beriman dan bertakwa. Mereka
32
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw:
Tinjauan Historis, Teologis dan Filosofis, h. 141. 33
Sahabuddin, ed., Ensiklopedia al-Qur’an, h. 1031. 34
Al-Thahir Ahmad al-Zāwī, Mukhtār al-Qāmūs: Murātibi 'alā tharīqati
Mukhtāral-Shihāh wa al-Misbāh al-Munīr , h. 270. 35
Imam Ibn Mandzur al-Ifriqī, Lisān al-'Arab, Juz 20, h. 271.
28
(wali-wali Allah) tidak akan merasa takut dan bersedih, karena
mereka meyakini bahwa Allah selalu menyertainya dalam semua
urusan dan perbuatannya, baik ketika bergerak maupun ketika
diam.36
Sebaliknya, Quraish Shihab bersikap lebih dinamis dalam
menafsirkan makna auliyā'. Ia membagi setiap makna dalam
konteks yang berbeda-beda, sebagai berikut: Jika tujuannya dalam
konteks ketakwaan dan pertolongan, maka auliyā' adalah penolong.
Apabila dalam konteks pergaulan dan kasih sayang, auliyā' adalah
ketertarikan jiwa, dan jika dalam konteks ketaatan, auliyā' adalah
seseorang yang berkuasa dan harus diaati ketetapannya.37
Jika dikaitkan dengan konteks ketaatan, maka makna ini
mengindikasikan bahwa sebaiknya yang menjadi pemimpin suatu
kaum dipilih dari orang yang benar-benar beriman dan bertakwa.
Dengan begitu, ia akan menjadi pemimpin yang tangguh dan taat
atas perintah Allah dan Rasul-Nya, serta harus ditaati ketetapannya
sebagai seorang pemimpin.
5. Sulthān
Kata sulthān (سلطان) berasal dari huruf sin, lam, dan tha (س ل ط)
yang secara literal bermakna 'kekuatan dan paksaan'. Kekuatan
dan paksaan ini dapat dimiliki seseorang karena pengaruh, wibawa,
36
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Ẓilal al-Qur'an, Jilid VI, h. 144. 37
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur'an vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 151.
29
dan kemampuan menyampaikan sesuatu secara lisan sehingga
dapat memaksa orang lain mengikuti dan menerima keinginannya.
Karena itu, orang yang memiliki kemampuan menyampaikan ide
secara fasih dan argumentasi yang akurat disebut as-salīth (السلظ).38
Penggunaan kata sulthān dalam al-Qur'an, disamping mengacu
pada kekuatan dan kekuasaan, baik fisik maupun mental, juga
mengacu pada pembuktian kebenaran sesuatu, seperti dalam QS.
al-Naml [27]: 21, mengenai berita yang dibawa oleh burung hud-
hud kepada Nabi Sulaiman. Pembuktian kebenaran tersebut,
mencakup argumentasi yang rasional dan empiris.
Istilah sulthān juga berkaitan dengan kekuasaan raja, istilah ini
tumbuh dan berkembang ketika negara-negara di dunia
menggunakan sistem monarki absolut, seperti kerajaan Saudi
Arabia. Dalam sejarah Islam, kata sulthān berkembang dari istilah
khilafah Islam yang bermarkas di Damaskus maupun di Baghdad,
masing-masing memiliki legitimasi sebagai khilafah39
.
6. Malik
Kata Malik terdiri dari huruf mīm, lām, dan kāf (م، ل، ك) yang
berarti ikatan dan penguatan, kekuatan dan keshahihan.40
38
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, Jilid 2,
h. 927. 39
Khairunnas Jamal dan Kadarusman, "Terminologi Pemimpin dalam al-
Qur'an", Jurnal An-Nida': Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 39, No. 1 (Januari-Juni,
2014), h. 125. 40
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata Jilid 3, h.
572.
30
Dari akar kata tersebut, terbentuk kata kerja malaka-yamliku
yang berarti kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term malik
bisa diartikan seseorang yang mempunyai kewenangan untuk
memerintah dan melarang sesuatu dalam kaitannya dengan
pemerintahan. Tegasnya, term malik adalah nama bagi setiap orang
yang memiliki kemampuan di bidang politik dan pemerintah.41
Malik biasanya mengandung arti raja adalah yang menguasai
dan menangani perintah, larangan, anugerah, dan pencabutan.
Maka dari itu, kerajaan biasanya terarah kepada manusia dan tidak
kepada barang atau yang sifatnya tidak dapat menerima perintah
dan larangan.42
Kata malik terulang sebanyak lima kali dalam al-Qur'an, dua di
antaranya dirangkaikan dengan kata "hak" yang berarti pasti dan
sempurna, yakni firman Allah QS. Thāhā [20]: 114 dan al-
Mu'minun [23]: 122. Maksudnya ialah hanya kerajaan Allah yang
sempurna dan hak. Berupa kerajaan langit dan bumi:
ن هما وعنده علم ماوات والرض وما ب ي اعة وإليو وت بارك الذي لو ملك الس الس ت رجعون
"Dan Maha Suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi; dan apa yang ada di antara keduanya; dan di sisi-Nya-lah
pengetahuan tentang hari kiamat dan hanya kepada-Nya-lah
kamu dikembalikan." (QS. Al-Zukhruf [43]: 85).
41
Khairunnas Jamal dan Kadarusman, "Terminologi Pemimpin dalam al-
Qur'an", h. 125. 42
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata Jilid 3, h.
572.
31
Allah juga pemilik kerajaan di akhirat dan dunia (QS. al-
Baqarah [2]: 247; QS. Āli Imrān [3]: 26; QS. al-An'am [6]: 73; dan
QS. al-Hajj [22]: 56). Namun, berbeda dengan kerajaan di hari
kemudian, kekuasaan dan kerajaan-Nya di dunia ini tidak dapat
dirasakan oleh semua makhluk. Oleh karena itu, ada di antara
manusia yang membangkang, bahkan sampai mengaku sebagai
Tuhan.43
Ada perbedaan antara lafaz Malik yang berarti raja, dan Mālik
yang berarti pemilik. Seorang pemilik belum tentu raja, sebaliknya
pemilikan seorang raja biasanya melebihi dari Mālik, dan Allah
adalah raja sekaligus pemilik, hal ini terlihat jelas dalam QS. Āli
Imrān [3]: 26 berikut:
تشاء وت نزع الملك من تشاء وتعز من قل اللهم مالك الملك ت ؤت الملك من ر تشاء وتذل من تشاء .إنك على كلي شيء قدير بيدك الي
"Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan,
Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah
segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas
segala sesuatu." (QS:Ali Imran [3]: 26).
Kepemilikan Allah berbeda dengan kepemilikan
makhluk/manusia. Allah swt. mempunyai wewenang penuh untuk
melakukan apa saja terhadap apa yang dimiliki-Nya.
43
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata Jilid 3, h.
573.
32
C. Urgensi Kepemimpinan dalam Al-Qur'an
Perlu diketahui bahwa memimpin umat manusia adalah
tergolong kewajiban agama yang bernilai besar. Bahkan agama tidak
bisa ditegakkan kecuali dengannya. Maka, mengangkat kepala negara
yang akan mengelola negara, memimpinnya, dan mengurus segala
permasalahan rakyatnya, sangat urgen dilakukan.44
Adalah tidak
mungkin, suatu negara berdiri tanpa penguasa yang akan melindungi
rakyatnya dari gangguan dan bahaya, baik yang timbul di antara
mereka sendiri atau pun yang datang dari luar.45
Menurut Qamaruddin Khan, eksistensi seorang pemimpin
sangat dibutuhkan untuk melindungi agama Allah, negara, dan
rakyatnya.46
Untuk itu, pemimpin harus bijak dalam mengendalikan
urusan-urusan kenegaraan, karena ia berkewajiban mewujudkan
kemaslahatan serta menjauhkan rakyat dari kerusakan dan keburukan
yang akan menimpa.47
Kemaslahatan yang harus diwujudkan, adalah kemaslahatan
primer (dārurī) yang bermuara pada kebutuhan dasar manusia
(maqāshidusy-syari'ah) yang mencakup lima hal, yaitu terjaganya
kehidupan beragama (al-dīn), terpeliharanya jiwa dan kehidupan
44
Ibnu Taimiyah, Kebijaksanaan Politik Nabi Saw, h. 158-159. 45
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990), h. 46. 46
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, h. 138. 47
Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Leadership & Manajemen
Muhammad Saw: The Super Leader Super Manager (Jakarta: Tazkia Publishing,
2011), jilid 5, Cet. 2, h. 155.
33
manusia (al-nafs), terjaminnya kegiatan berpikir dan berkreasi (al-
'aql), terpenuhinya kebutuhan materi (al-māl), dan keberlangsungan
meneruskan keturunan (al-nasl).48
Dengan demikian, setiap aktivitas manusia yang dapat merusak
kelima kebutuhan dasar manusia di atas adalah terlarang, karena
termasuk tindakan destruktif (fasād) yang bertentangan dengan
maṣlaḥah.49
D. Kriteria Pemimpin Ideal dalam Al-Qur’an
Al-Qur'an merupakan otoritas tertinggi dalam Islam dan
sumber utama hukum Islam50
, termasuk hukum-hukum yang mengatur
soal kepemimpinan. Meskipun, al-Qur'an tidak menjelaskan secara
rinci mengenai siapa yang harus diangkat sebagai pemimpin.
Namun, mengangkat seorang pemimpin untuk mengelola
negara, mengurus pemerintahan dan memimpin rakyat adalah penting
untuk dilakukan. Karena tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa
penguasa yang melindungi warga-warganya dari gangguan dan
bahaya.51
Memandang sedemikian pentingnya eksistensi seorang
pemimpin, Ibnu Taimiyah menyatakan sebagai berikut, "enam puluh
48
Muchlis M. Hanafi (ed.), Tafsir al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan
Hak Asasi Manusia, h. 11. 49
Muchlis M. Hanafi (ed.), Tafsir al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan
Hak Asasi Manusia, h. 12. 50
TM. Dhani Iqbal, ed., Toleransi dan Perkauman (T.tp.: Perkumpulan
Lentera Timur, 2014), h. 161. 51
Rohmat Syarifuddin, Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim dalam Al-
Qur'an, h. 3.
34
tahun di bawah pemerintahan imam (pemimpin) yang zalim, lebih baik
dari pada satu malam tanpa seorang pemimpin."52
Berdasarkan pernyataan di atas, maka sepatutnya setiap negara
memiliki pemimpin demi tercapainya kemaslahatan bagi seluruh umat.
Untuk mencapai kemaslahatan tersebut, calon pemimpin harus
memenuhi beberapa kriteria idelal yang dalam hal ini telah dirumuskan
oleh Muchlis Hanafi sebagai berikut:53
1. Beriman dan Bertakwa
Pemimpin negara haruslah seseorang yang beriman dan
bertakwa, agar dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya selalu
didasarkan iman dan takwa. Dengan demikian, ia diharapkan
mendapat taufik dan hidayah dari Allah dalam mengatasi berbagai
kesulitan yang dihadapi dalam memimpin rakyatnya.
Allah swt sudah memberikan panduan dalam QS. Āli Imrān
[3]: 28.
لك ف ليس مؤمني ل ي تخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون ال ومن ي فعل ذ
هم ت قاة قوا من ركم اللو ن فسو من اللو ف شيء إل أن ت ت وإل اللو ويذي
.المصي "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
52
Ibnu Taimiyah, al-Siyāsah al-Syar'iyah fi Islāh al-Ra'iy Wa al-Ra'iyyah
(Riyadh: Wizārat al-Syu'ūni al-Islāmiyah, 1418), h. 91. 53
Muchlis Hanafi, ed., Tafsir al-Qur’an Tematik: al-Qur’an dan
Kenegaraan, h. 191.
35
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu)."
Ayat di atas menjelaskan bahwa umat Islam dilarang
menjadikan orang kafir (orang yang tidak beriman dan bertakwa)
sebagai pemimpin. Sebab, yang demikian ini akan merugikan
mereka sendiri, baik dalam urusan agama, maupun kepentingan
rakyatnya. Hal ini terutama jika kepentingan orang kafir lebih
diutamakan daripada kepentingan kaum muslim sendiri, sehingga
membantu tersebar luasnya kekafiran.54
Itulah sebabnya umat Islam harus memilih pemimpin yang
beriman dan bertakwa agar tidak menimbulkan kemadharatan bagi
bangsa dan negara. Larangan ini juga mencakup seorang muslim
yang aktifitasnya bertentangan dengan tujuan ajaran Islam.55
2. Sehat Jasmani dan Memiliki Kecakapan
Seorang pemimpin negara harus memiliki kesehatan jasmani
maupun rohani, dalam hal sempurna anggota fisiknya, tidak ada
kecacatan anggota tubuh dan memiliki panca indera yang berfungsi
dengan baik.56
Allah swt berfirman dalam QS. al-Baqarah[2]: 247
54
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga
Percetakan Al-Qur'an Depag RI, 2009), cet. 3, Jilid I, h. 487. 55
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Jilid II, h 59. 56
Al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulthāniyah wa al-Wilāyah al-Dīniyyah, h. 6.
36
هم إن اللو قد ب عث لكم طالوت ملكا قالوا أن يكون لو الملك وقال لم نبي
نا ونن أحق بالملك منو ول ي ؤت سعة من المال فاه قال إن اللو اصط علي
واللو واسع واللو ي ؤت ملكو من يشاء عليكم وزاده بسطة ف العلم والسم
عليم."Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya
Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka
menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami
lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang
diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi
(mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu
dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa". Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi
Maha Mengetahui."
Ayat di atas menegaskan bahwa Allah memilih Tālūt menjadi
raja karena Allah telah menganugerahkan kepadanya ilmu yang
luas dan tubuh yang kuat, sehingga ia mampu memimpin Banī
Israīl. Pada sisi yang lain, "Allah memberikan pemerintahan
(kekuasaan) kepada siapa yang dikehendaki-Nya." Maka, Allah lah
pemilik kekuasaan itu, dialah yang memberlakukannya, dan dia
memilih siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.57
Secara eksplisit, ayat di atas menunjukkan bahwa syarat untuk
menjadi komandan pasukan ialah ketangguhan melawan musuh,
mengetahui strategi perang dan sehat secara jasmani.58
57
Sayyid Quthb, Tafsīr Fī al-Ẓilal al-Qur'an, h. 58
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar (Jakarta: Nur
al-Huda, 2015), penerjemah: Musa Mouzawir, h. 369.
37
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, pemimpin yang kuat
fisiknya haruslah diutamakan sekalipun ia fasik. Daripada orang
yang lemah dan tak bersemangat, sekalipun ia orang kepercayaan.59
Sebagaimana pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad bin
Hanbal tentang dua orang laki-laki yang akan memimpin
peperangan, satu di antaranya kuat tapi fasik, dan yang lain saleh
tetapi lemah;
"Di bawah komando siapa ia akan berperang? Maka beliau
menjawab: Adapun orang fasik tetapi kuat, maka kekuatannya
itu berguna bagi kaum muslimin, sedang kefasikannya adalah
atas tanggungan dirinya sendiri; dan orang shaleh tetapi
lemah, maka kesalehannya berguna bagi dirinya sendiri, dan
kelemahannya menimbulkan hal yang tidak baik bagi kaum
muslimin; maka beliau akan ikut berperang bersama pimpinan
komando yang kuat fisiknya, meskipun ia fasik.
Andaikata seorang itu tidak fasik, maka dia pun lebih baik
untuk memegang komando perang daripada keterangan di atas.
Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw lebih suka mengangkat
Khalid bin Walid untuk memegang komando peperangan sejak ia
masuk Islam. Sebagaimana Nabi saw bersabda:
. )الديث(إن خالدا سيف سلو اهلل 6على المشركي"Sesungguhnya Khalid adalah pedang Allah yang terhunus
atas kaum musyrikin."
59
Ibnu Taimiyah, Al-Siyāsah al-Syar'iyyah fī Ishlāh al-Rā'iy wa al-
Ra'iyyah, h. 15. 60
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Riyadh: Bait al-Afkār al-
Dauliyah Li al-Nasyr wa al-Tauzī', 1998), jilid 4: hadits ke-16939, h. 1207.
38
Padahal, Khalid bin Walid kadang melakukan sesuatu yang
tidak disukai oleh Nabi saw. hingga suatu ketika Nabi mengangkat
kedua tangannya ke atas langit seraya berdo'a:
6. )رواه البخاري(د ال خ ل ع ا ف م ك ي ل إ أ ر ب أ ني إ م ه الل "Ya Allah, sesungguhnya aku serahkan kepada-Mu atas apa
yang telah diperbuat oleh Khalid."
Adapun Abu Dzār ra lebih amanah dan lebih benar daripada
Khalid bin Walid. Akan tetapi, ia tidak memiliki kemampuan untuk
memimpin, sebagaimana keterangan yang telah disebutkan Nabi
saw. berikut ini :
، إني أر يا أباعن أب ذر أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال فا، ذر اك ضعي
، و رن على اث ن ي )رواه ل ت ولي مال يتيم.وإني أحب لك ما أحب لن فسى ل تأم
6مسلم(.
"Dari Abi Dzar, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Hai
Abu Dzar, saya melihatmu lemah dan aku menginginkan
untukmu apa yang aku inginkan untuk diriku. Janganlah
engkau menjadi pemimpin untuk dua orang dan jangan menjadi
wali yang menjaga harta anak yatim." (H.R. Muslim).
Jelaslah bahwa Nabi saw melarang Abu Dzār untuk memegang
kendali pimpinan karena Nabi melihatnya seorang yang lemah63
,
61
Al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhārī,(64) kitāb al-Maghāzī,(58) Bāb ba'atsa al-
Nabiyyu Shalallahu 'alaihi wa sallam Khālidun bin al-Walīd ilā Banī Jadzīmah, h.
1181. 62
Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjāj al-Naisābūrī, Shahih Muslim (Riyadh:
Dār Ṭoyibah Li al-Nasyr wa al-Tauzī', 2006), h. 885. 63
Ibnu Taimiyah, Al-Siyāsah al-Syar'iyyah fī Ishlāh al-Rā'iy wa al-
Ra'iyyah, h. 16.
39
baik lemah jiwa, badan dan kondisi. Dalam konteks ini Abu Dzār
menurut penilaian rasul saw seolah tidak memiliki kemampuan
untuk memimpin, karena ia tidak tegas, tidak cermat dan tidak
cakap.64
Bahkan untuk memimpin dua orang saja, ia tidak mampu.
Jabatan pemimpin memang sepatutnya diberikan kepada orang
yang cakap, yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk
memimpin, cerdas, cekatan dan juga inovatif dalam mewujudkan
solusi untuk mengatasi problematika yang dihadapi rakyatnya.65
Oleh sebab itu, pemimpin diharuskan memiliki pengetahuan
politik, tata negara, ekonomi, dan lain-lain. Untuk mendukung
kelancaran tugasnya menjalankan roda pemerintahan.66
Kecakapan menjadi relevan untuk diangkat sebagai syarat bagi
pemimpin.67
Sehingga menjadi sebuah kewajiban seorang
pemimpin (pembesar) untuk meneliti lebih dulu siapa-siapa yang
berhak memikul jabatan pemimpin, karena haruslah orang yang
betul-betul cakap (patut) yang dipilih dalam bidang tersebut.68
اعة. قيل يا رسول اهلل: وما إضاعت ها؟ قال: إذا عت المانة، إن تظر الس إذا ضي ي
اعة. )رواه البخارى(. وسد المر إل غي أىلو فان تظر الس"Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah
kehancuran. Sahabat bertanya: bagaimana menyia-
64
Enizar, "Pemimpin Dalam Perspektif Islam", h. 156. 65
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Nonmuslim di Negara Muslim, h. 46. 66
Muchlis M. Hanafi, ed., Al-Qur'an dan Kenegaraan, h. 197. 67
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 368. 68
Ibnu Taimiyah, Al-siyāsah al-Syar'iyyah fī Ishlāh al-Rā'iy wa al-Ra'iyyah,
h. 15.
40
nyiakannya? Rasulullah menjawab: "Apabila suatu jabatan
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kiamat kehancurannya". (HR. Bukhari).
Umat Islam harus lebih dulu mempertimbangkan kecakapan
dan kelayakan calon pemimpin, sebelum memberikan kewenangan
untuk memimpin.69
Sehingga pemimpin yang terpilih adalah
seseorang yang menduduki jabatan dengan haknya, dan dapat
berlaku adil dalam pandangan Allah swt sesuai dengan
kemampuannya, karena dengan begitu berarti ia telah mendapatkan
petunjuk dari Allah swt.70
3. Adil dan Profesional
Kriteria berikutnya adalah komitmen kepada nilai keadilan.71
Adil berasal dari kata 'ain, dal dan lam, ('adala) yang berarti
"persamaan, lurus, tidak berat sebelah, kepatutan, dan kandungan
yang sama.72
Kata adil juga berasal dari bentuk masdar 'adl yang
berarti lurus atau sama.
Adapun dalam kamus besar bahasa Indonesia kata 'adil'
diartikan dengan: (1) tidak berat sebelah (2) berpihak kepada
69
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 369. 70
Ibnu Taimiyah, Al-siyāsah al-Syar'iyyah fī Ishlāh al-Rā'iy wa al-Ra'iyyah,
h. 24. 71
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 365. 72
Muchlis M. Hanafi, ed., Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan
Berpolitik, h. 189.
41
kebenaran, (3) sepatutnya atau tidak sewenang-wenang.73
Arti ini
sesuai dengan firman Allah swt dalam al-Qur'an:
.... أن تكموا بالعدل وإذا حكمتم ب ي الناس ..."... Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil..." (QS. an-Nisā'
[4]: 58).
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin negara
harus lah memiliki sikap yang adil, yaitu bersikap lurus dan tidak
berat sebelah dalam menentukan suatu kebijakan atau hukum.
Bersifat adil berarti jujur dalam perkataan, amanah
(terpercaya), menjaga diri dari hal-hal yang haram, menjauhi segala
perbuatan dosa, jauh dari keragu-raguan, dapat menahan diri dalam
waktu senang maupun waktu marah dan menjaga sikap santunnya
dalam agama dan dunia. Apabila seseorang telah bersikap adil,
maka boleh diterima kesaksiannya dan sah memberikan kekuasaan
padanya.74
Nabi Muhammad saw telah mencontohkan prilaku adil dalam
kehidupannya. Ia tidak pernah membeda-bedakan manusia dalam
perlakuannya secara pribadi ketika di Mekah, maupun dalam
kedudukannya sebagai kepala negara di Madinah.75
Beliau
73
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 7. 74
Imam al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulthāniyah, h. 84. 75
Afzalur Rahman, Muhammad sebagai Pemimpin Militer ), penerjemah:
Muhammad Hasyim Assagaf (Jakarta: YAPI, 1990), h. 72.
42
memutuskan setiap perkara atas dasar persamaan dan keadilan,
sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisa [4]: 135:76
يا أي ها الذين آمنوا كونوا ق وامي بالقسط شهداء للو ولو على أن فسكم أو
فل ت تبعوا الوى أن إن يكن غنيا أو فقيا فاللو أول بما الوالدين والق ربي
وإن ت لووا أو ت عرضوا فإن اللو كان با ت عملون خبيا. ت عدلوا
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjakan."
Adil adalah akhlak yang paling utama. Jika seseorang tidak
bersikap adil, maka tidak sah kekuasaannya dan tidak boleh
diterima kesaksiannya.77
Selama keadilan dapat ditegakkan, maka keseimbangan
kehidupan dunia akan terpelihara dan terjaga dengan baik.78
4. Bertanggung jawab dan Amanah
Amanah memiliki pengertian khusus dan pengertian umum.
Amanah dalam arti khusus adalah pengembalian benda atau
lainnya kepada orang yang memberikan amanah. Sedangkan
amanah dalam arti umum adalah menyembunyikan rahasia, ikhlas
76
Nabilah Lubis, ed., Ensiklopedia Nabi Muhammad Saw. Sebagai
Pemimpin, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2011), Cet.1, h. 44. 77
Farid Abdul Khalik, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005),
penerjemah: Faturrahman A. Hamid, h. 113. 78
Muchlis M. Hanafi, ed., Al-Qur'an dan Kenegaraan, h. 202-203.
43
dalam memberikan nasihat dan menyampaikan sesuatu yang
dititipkan kepadanya.79
Allah berfirman dalam al-Qur'an:
إن اللو يأمركم أن ت ؤدوا المانات إل أىلها وإذا حكمتم ب ي الناس أن تكموا
ا يعظكم بو بالعدل يعا بصيا. إن اللو نعم إن اللو كان مس"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.". QS. an-
Nisā' [4]:58
Ayat di atas mewajibkan kepada setiap muslim baik pimpinan
Negara, para pejabat atau lainnya, agar melaksanakannya dengan
jujur dan amanah, karena kelak akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah swt.80
Seorang pemimpin haruslah orang-orang yang amanah, agar
dapat diberikan tanggung jawab dengan rasa aman dan tanpa
adanya keraguan.81
Berkenaan dengan hal tersebut, al-Māwardī
mengatakan bahwa ada beberapa kewajiban yang harus dijalankan
oleh pemimpin negara, yaitu:82
Memelihara agama Allah;
Menjalankan hukum-hukum diantara orang yang berselisih;
79
Syafii Antonio, Ensiklopedia & Manajemen Muhammad Saw. "The Super
Leader Super Manager": Kepemimpinan dan Pengembangan Diri, h. 234. 80
Muchlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur'an dan Kenegaraan, h. 206. 81
Abu al-A'la al-Maudūdi, Khilafah dan kerajaan. Penerjemah: Muhammad
al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996), Cet. VI, h. 72. 82
Al-Māwardi, al-Ahkam al-Sulthāniyah, h. 15-16.
44
Menjaga keamanan dalam negeri;
Menegakkan hudūd (hukum pidana);
Memperkuat pertahanan keamanan negara;
Mengelola keuangan negara;
Menentukan belanja negara (APBN);
Mengangkat pejabat negara berdasarkan kejujuran dan
keadilan;
mengelola urusan kenegaraan secara umum
Semua kewajiban yang telah disebutkan merupakan tanggung
jawab pemimpin negara yang dalam pelaksanaannya juga
memerlukan sifat amanah dari seorang pemimpin.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kepemimpinan,
khususnya dalam masyarakat Islam adalah amanah Allah yang
diberikan kepada manusia. Karena amanah tersebut, seorang
pemimpin harus mampu menempatkan diri sebagai pengemban
risalah kebenaran dengan memberikan uswatun hasanah (suri
tauladan yang baik) terhadap masyarakat yang dipimpinnya.83
5. Berani dan Tegas
Keberanian merupakan karakter yang harus dimiliki sosok
pemimpin, sehingga karakter pengecut dan penakut tentu menjadi
sangat tercela bagi pemimpin. Sebagaimana perkataan Imam Ali
bin Abi Thalib: "kerentanan penguasa lebih buruk bagi rakyat
83
Raihan, "Konsep Kepemimpinan dalam masyarakat Islam", h. 25.
45
daripada kezalimannya."
Jika tanggung jawab pemimpin
diserahkan kepada mukmin yang memiliki keberanian, maka
pembangunan akan sesuai dengan yang dicita-citakan.84
Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk melindungi
wilayah kekuasaannya dan mempertahankannya dari serangan
musuh. Karena baik buruknya nasib suatu umat tergantung pada
keberanian pemimpin dalam mengambil sebuah keputusan.85
Pemimpin yang tegas dan berani sangat diperlukan untuk
memperhatikan kelicikan ulah pihak luar dan mampu membedakan
mana prinsip, strategik, dan tehnik dalam urusan pemerintahan.86
6. Mampu Bermusyawarah
Secara etimologi musyawarah berasal dari akar kata syūra yang
bermakna pokok mengambil sesuatu, menampakkan, menawarkan
sesuatu, menjelaskan, menyatakan atau mengajukan, dan
mengambil sesuatu.87
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tersebut pada mulanya
bermakna dasar mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini
kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang
diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Dalam
al-Qur'an kata Syawarā dengan segala perubahannya terulang
84
Syahrin Harahap, Islam Dinamis, h. 97. 85
Ali Asgar Nusrati, Sistem Politik Islam, h. 371. 86
AM. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 147. 87
Muhammad Syafi'i Antonio, Ensiklopedia Leadership & Manajemen
Muhammad saw, h. 24.
46
sebanyak empat kali; Asyārat, syāwīr, syūrā, dan tasyāwur.88
Berkenaan dengan musyawarah ini, disebutkan secara tegas dalam
QS. Āli 'Imrān [3]:159:
ظا غليظ القلب لن فضوا من حولك ولو كنت ف فبما رحة من اللو لنت لم
هم واست غفر لم وشاورىم ف المر ل على اللو فاعف عن فإذا عزمت ف ت وك
لي. ب المت وكي إن اللو ي
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."
Menurut suatu riwayat, ayat ini diturunkan setelah kegagalan
kaum muslimin dalam perang uhud. Dijelaskan, ketika itu sebagian
sahabat ada yang melanggar perintah Rasulullah saw, sehingga
kaum muslimin mengalami kekalahan. Meskipun demikian, Nabi
Muhammad saw sama sekali tidak mencela para sahabatnya dan
tetap bermusyawarah dengan mereka dalam menentukan strategi
peperangan selanjutnya.89
Musyawarah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
ajaran agama Islam dan tradisi yang dicontohkan oleh Rasulullah
88
Muchlis M. Hanafi (ed.), Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik, h. 41. 89
Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Leadership & Manajemen
Muhammad saw, h. 27.
47
saw. Jika muncul satu persoalan, para sahabat lebih dulu melihat
bagaimana cara Nabi memutuskan. Jika tidak diperoleh, lalu
dimusyawarahkan.
Umar pun berbuat demikian, dilihatnya dulu cara Nabi
menentukan sebuah hukum. Jika tidak ada, maka dilihatnya cara
Abu Bakar memutuskan suatu perkara hukum.90
Sebagaimana
dijelaskan dalam hadits berikut:
ن أحد أكث ر مشورة لصحابو من رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم. )رواه يك ل
.عن أب ىريرة("Tidak ada seorang pun yang paling banyak bermusyawarah
dengan para sahabatnya selain Rasulullah saw."
Allah swt memerintahkan musyawarah kepada Nabi-Nya
untuk mengikat hati para sahabatnya, agar yang datang kemudian
dapat menirunya, yakni supaya mereka mengambil keputusan
bersama dalam masalah peperangan dan perkara-perkara yang
muncul. Karena dalam hal yang seperti itu, Nabi saw
mengutamakan musyawarah.91
Syura adalah fondasi bagi sistem sosial.92
Oleh karena itu,
mayoritas ulama dan pakar undang-undang konstitusional
90
Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 25. 91
Ibnu Taimiyah, Al-siyāsah al-Syar'iyyah fī Ishlāh al-Rā'iy wa al-Ra'iyyah,
h. 224. 92
Taufiq Muhammad al-Syawi, Demokrasi atau Syura. Penerjemah:
Djamaluddin, Z.S (Depok: Gema Insani, 2013), h. 25.
48
meletakkan "musyawarah" sebagai kewajiban dan prinsip yang
pokok.93
Para pemimpin tidak boleh melakukan syura atas dasar tipu
muslihat. Karena jika ia mengkhianati amanahnya, berarti ia telah
membangkang terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.94
Melihat betapa pentingnya musyawarah dalam kehidupan
masyarakat95
, maka setiap penguasa wajib bermusyawarah dalam
segala hal, baik yang berkenaan dengan urusan agama maupun
umum.96
93
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 35. 94
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 64. 95
Abdul Qadir Djaelani, Mewujudkan Masyarakat Sejahtera dan Damai, h.
609-610. 96
M. Saripuddin, "Perspektif Kepemimpinan dalam Islam", Jurnal Tajdid,
Vol. XI, No. 2, 2012, h. 336.
49
BAB III
NONMUSLIM DALAM AL-QUR'AN
A. Nonmuslim dan Istilahnya dalam al-Qur’an
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia di dunia ini majemuk
(plural), baik suku, bangsa, maupun agama.1
Sebagai agama universal,
Islam juga mengakui keberagaman ini, seperti keberadaan nonmuslim
yang istilah-istilahnya telah diabadikan dalam al-Qur'an sebagai
berikut:
a. Ahlul Kitāb
Ahlul kitāb terdiri dari dua, yaitu ahlu berarti keluarga atau
kerabat dekat, dan kitāb menunjuk kepada makna lembaran atau
buku. Jadi ahlul kitāb dapat diartikan sebagai komunitas yang
diturunkannya suatu kitab.2 Sedangkan para ulama mendefinisakan
ahlul kitāb dengan makna sebuah komunitas atau kelompok yang
telah memiliki kitab suci sebelum diturunkannya al-Qur'an.3
Term ahlul kitāb dalam al-Qur'an disebut sebanyak 30 kali,
yaitu dalam QS. al-Baqarah [2]: 105 dan 109; QS. Ali Imrān [3]:
64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113 dan 119; QS. an-Nisā'
1 Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme dan Perdamaian (Jakarta: Fikr,
1998), h. v. 2 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur'an dan Hadits, h.
176. 3 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur'an dan h. 177.
50
[4]: 123, 153, 159, 171; QS. al-Māidah [5]: 15, 19, 59, 65, 68, 77;
QS. al-Ankabūt [29]: 46; QS. al-Ahzāb [33]: 26; QS. al-Hadīd
[57]: 29; QS.al-Hasyr [59]: 2 dan 11; QS. al-Bayyinah [98]: 1 dan
6.4
Istilah yang berkembang untuk ahlul kitāb biasanya menunjuk
kepada komunitas Yahudi dan Nasrani (Kristen), demikian pula
yang dimaksud dalam al-Qur'an dan Hadits. Namun menurut
sebagian ulama, ahlul kitāb juga mencakup agama dan
kepercayaan lainnya, seperti Majusi5 dan Shabi'in (sabian).
6
b. Yahudi
Yahudi adalah salah satu agama samawi yang ada 2000 tahun
lalu sebelum datangnya Islam. Kitab sucinya adalah taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kata "Yahudi" diambil dari
nama keturunan nabi Ya'qub a.s. yang bernama "Yahuda", Banī
Isrā'īl yang berbangsa Yahuda disebut Yahudi.7 Istilah Yahudi
juga diambil dari perkataan Nabi Musa a.s.: innā hudnā ilaika,
yang berarti raja'a yarji'u (kembali).8 Allah swt berfirman:
4 Tim Penyusun, Ensiklopedi al-Qur'an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya
(Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h. 6. 5 Para penyembah api.
6 Rohmat Syariffudin, Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim dalam Al-
Qur'an, h. 33. 7 Rizem Aizid, Al-Qur'an Mengungkap Tentang Yahudi (Yogyakarta: Diva
Press, 2015), h. 7. 8 Rukman Abdul Rahman Said, "Hubungan Islam dan Yahudi dalam
Lintasan Sejarah", Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015, h. 47.
51
ن يا حسنة وف الخرة إنا ذه الد قال عذاب أصيب إليك هدناواكتب لنا ف ى
قون وي ؤتون الزكاة ورحت وسعت كل شيء بو من أشاء فسأكتب ها للذين ي ت
والذين ىم بآياتنا ي ؤمنون."Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di
akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada
Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada
siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala
sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-
orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang
yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (QS. al-A'raf [7]: 156)
Lafaz innā hudnā ilaika adalah permohonan taubat nabi Musa
kepada Allah swt, yang artinya "sesungguhnya kami kembali
(bertobat) kepada-Mu". Lafaz hudnā yang berarti "tobat atau
kembali" kemudian diadopsi oleh umat nabi Musa menjadi
Yahudi.9 Nama ini adalah yang paling populer dalam literatur
barat.
Ibrānī (al-'Ibraniyyun) dan Isrā'īl juga merupakan nama lain
dari umat Yahudi. Ibrānī yang berasal dari kata 'abara yang berarti
"menyebrang" atau senantiasa berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lainnya. Sedangkan Isrā'īl merujuk pada Ya'qub a.s. yang
bernama Isrā'īl, karena itu mereka dikenal dengan Bani Isrā'īl atau
anak keturunan Ya'qub a.s.10
Namun, orang Yahudi sendiri lebih senang dengan sebutan
"Israel" (Isrā'īl). Bagi mereka, tidak mudah untuk menentukan
9 Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jilid 12, h. 608.
10 Rukman Abdul Rahman Said, "Hubungan Islam dan Yahudi dalam
Lintasan Sejarah", h. 48.
52
siapa yang disebut Yahudi. Karena istilah Yahudi merujuk kepada
bangsa sekaligus agama yang biasanya ditujukan kepada bangsa
Yahudi atau Israel. Dalam perjanjian lama, istilah ini bahkan
menunjuk kepada rakyat kerajaan Judah yang dikontraskan dengan
nonyahudi.11
Yahudi dan Islam mempunyai latar belakang yang sama, yaitu
menganut keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa melalui garis
panjang kenabian. Umat Yahudi dan umat Islam sama-sama
percaya kepada Nabi Ibrahim a.s. atau Abraham dalam sebutan
mereka.
Hubungan antara Islam dan Yahudi pada masa Rasulullah saw
dan sahabatnya berlangsung secara toleran. Islam memandang
agama Yahudi sebagai agama samawi. Islam juga mengakui Tuhan
Yahudi, Tuhan Nabi Ibrahim a.s., Ismail a.s., Ishaq a.s., Ya'qub
a.s., dan Musa a.s., serta mengakui bahwa zabur dan taurat adalah
wahyu Tuhan.
Islam hanya menentang fundamentalisme Yahudi yang ditandai
lahirnya kaum zionis, dengan paham bahwa tanah palestina adalah
tanah keberkatan yang satu-satunya dihadirkan untuk anak-anak
Tuhan.12
11
Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam (Jakarta:
Gema Insani, 2004), h. 19. 12
A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam
(Jakarta: PT Kompas Media, 2009), Cet. 1, h. 161.
53
Visi zionisme adalah mengubah Palestina menjadi Negara
Yahudi dengan cara machiavelli yaitu mengabaikan segala
pertimbangan, termasuk moral. Ketidakadilan dan kezaliman yang
dilakukan zionisme begitu rumit dan majemuk. Sehingga belum
ada cara untuk menghentikannya sampai saat ini.13
Dewasa ini umat muslim bahkan disuguhi pemandangan yang
memilukan di Palestina. Semua orang yang tidak berdosa menjadi
korban kekejaman zionis dalam misinya untuk mendirikan negara
di tanah Palestina.14
Pernyataan di atas seolah membenarkan keterangan al-Qur'an
yang menggambarkan bangsa Yahudi sebagai bangsa yang
sombong dan senang melakukan kerusakan di bumi. Sekalipun di
antara mereka terdapat manusia pilihan karena keimanan dan
ketakwaannya, seperti Nabi Musa a.s., Harun a.s., Daud a.s.,
Sulaiman a.s., Yahya a.s., Isa a.s., Yakub a.s., dan Yusuf a.s.15
Watak dan sifat kejam mereka ini tidak akan berhenti meski
telah mati. Bahkan setelah hampir musnah pada masa Fir'aun, kini
mereka justru menjadi kekuatan adikuasa yang kejam di dunia.16
13
Rukman Abdul Rahman Said, "Hubungan Islam dan Yahudi dalam
Lintasan Sejarah", h. 59. 14
Rizem Aizid, Al-Qur'an Mengungkap Tentang Yahudi, h. 10. 15
Zulfahmi, "Analisis hadits Tentang Bangsa Yahudi: Suatu Kajian dengan
Pendekatan Kritik Hadits," Jurnal al-Risālah Vol. 15, No. 2, Nopember 2015, h.150. 16
Rizem Aizid, Al-Qur'an Mengungkap Tentang Yahudi, h. 7.
54
c. Nasrani
Nasrani adalah sebutan bagi seseorang yang menganut agama
Nasrani, yaitu agama yang mengikuti Isa almasih a.s.17
Nama lain
dari agama Nasrani adalah Kristen atau disebut juga dengan Christ
yang berarti Isa al-Masih.18
Pada awalnya pengikut Nabi Isa a.s. melaksanakan agama yang
benar, meskipun Isa a.s. telah diangkat ke surga. Mereka tetap
menghadap kiblat ketika shalat dan melaksanakan puasa ramadhan.
Namun, orang Naṣrāni kemudian dianggap telah melampaui batas
karena meyakini bahwa Isa yang suci adalah putra Tuhan, dan
Tuhan adalah salah satu dari trinitas yang diberikan sifat yang tak
layak bagi-Nya.
Meski begitu, umat Nasrani dikatakan paling besar rasa
cintanya kepada orang Islam, jika dibandingkan dengan umat
Yahudi. Umat Nasrani memiliki keramahtamahan dan kelembutan
hati kepada orang Islam.19
Selain itu, mereka memiliki minat yang
besar kepada ilmu dan amal, serta penyingkirannya dari hawa
nafsu.20
17
Syauqi Dhaif, al-Mu'jam al-Wasith, h. 925. 18
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, h. 113. 19
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur'an: Hubungan
antaragama menurut Syeikh Nawawi al-Bantani, h. 121. 20
Syu'bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur'an: Tafsir Ayat-ayat Politik (Jakarta:
PT. Gramedia, 2000), h. 30.
55
d. Kafir
Kata kafir merupakan isim fa'il (kata pelaku) dari kafara-
yakfuru-kufr, yang dengannya disebut 525 kali dalam al-Qur'an.
Secara etimologi, kafir adalah orang yang tidak percaya Allah dan
Rasul-Nya.21
Sedangkan, Ibnu Manẓur dalam lisān al 'Ārab,
mengatakan bahwa kafir memiliki arti yang multimakna, yaitu hal
yang bertentangan dengan iman kepada Allah, maksiat, tidak
mensyukuri nikmat Allah, menutup hati, melakukan
pembangkangan, perlawanan dan kemunafikan.22
Jadi, kafir (isim
fā'il) bermakna orang yang menyembunyikan atau mengingkari
kebenaran.
Adapun dalam terminologi kultural, kafir adalah orang yang
menentang, menolak kebenaran Allah swt yang disampaikan oleh
Rasul-Nya.23
Dalam hal ini, kafir juga menjadi lawan kata dari
syakir (orang yang bersyukur) atau merujuk pada orang-orang yang
mengingkari nikmat Allah.24
Secara umum, kafir tidak hanya berlaku pada penganut agama
nonmuslim, tetapi kepada siapapun yang melakukan maksiat, tidak
mensyukuri nikmat, menutup hati, melakukan pembangkangan dan
21
Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
Indonesia, h. 615. 22
Ibnu Manẓūr al-Ifrīqī, Lisan al-'arāb, Juz 6, h. 459. 23
Hafirudin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur'an: Suatu Kajian
Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 7. 24
Tim Penulis Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) IDEA Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo, "Idea: Diskursus Transformasi Intelektual", edisi 32
(September 2012): h. 8.
56
kemunafikan, sehingga umat Islam pun bisa saja dikatakan kafir
jika melakukan perbuatan-perbuatan tercela di atas.25
Lebih dari itu, para koruptor juga dapat dikatakan kafir, negara
yang membiarkan rakyatnya dalam kebodohan adalah negara yang
beramah tamah dengan kekafiran, karena tidak menghargai
martabat manusia, dan negara yang menutup diri dan tidak
menghargai hak-hak rakyatnya, berarti mengkafirkan diri sendiri.26
Selanjutnya, Quraish Shihab menegaskan bahwa orang-orang
kafir tidak berpikir dan berusaha untuk menemukan kebenaran.
Mereka justru menutup mata di hadapan kebenaran, supaya tidak
melihat dan mendengar. Mereka itu bagaikan hewan yang memiliki
mata, telinga, dan lidah, namun mereka tidak berpikir, dari itulah
mereka tidak dapat mengerti kebenaran. Begitulah sifat orang kafir;
tuli, bisu, buta27
, sehingga mereka tidak mengerti.
Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 6-7
ختم اللو على . إن الذين كفروا سواء عليهم أأنذرت هم أم ل ت نذرىم ل ي ؤمنون
ولم عذاب عظيم. وعلى أبصارىم غشاوة ق لوبم وعلى مسعهم "Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka
tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan
25
Tim Penulis LPM IDEA IAIN Walisongo, "Idea: Diskursus Transformasi
Intelektual", h. 11. 26
Hasil wawancara Tim Penulis LPM IDEA IAIN Walisongo dengan
pendeta Gunarto, S. Th yang merupakan dosen di STT ABDIEL Ungaran dalam
Majalah "Idea: Diskursus Transformasi Intelektual", h. 19. 27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Vol. 1, h. 460-461.
57
pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat."
Menurut al-Zamaksyari ayat ini menjelaskan bahwa orang-
orang kafir seperti Abu Lahab dan Abu Jahal, dan yang serupa
dengan mereka28
, akan sama saja perbuatannya baik setelah mereka
mendapatkan peringatan ataupun tidak.29
Orang-orang kafir tidak akan memahami ayat-ayat al-Qur'an
yang mereka dengar dan tidak dapat mengambil pelajaran dari
kebesaran Allah yang mereka lihat di permukaan bumi, dan pada
diri mereka sendiri.30 Oleh karena itu, mereka akan mendapatkan
siksaan yang sangat pedih selama-lamanya.
B. Relasi Muslim dan Nonmuslim dalam al-Qur’an
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, adat
istiadat, dan agama yang merupakan realitas primodial serta
menunjukkan betapa pentingnya tingkat kemajemukan sosial-budaya
di Indonesia.31
Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia juga tak bisa
dilepaskan dari sentuhan dan pengaruh agama-agama yang ada dan
berkembang di berbagai daerah. Kehadiran agama-agama besar seperti
Hindu, Budha, Islam dan Nasrani memberikan warna tersendiri bagi
28
Sa'd bin Abdu al-Rahmān al-hushayyin, Mahdzab Tafsīr al-Jalālain, h. 3. 29
Al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf 'an haqā'iq ghawāmidh al-Tanzīl wa 'Uyūn al-
Aqāwīl Fī Wujūhi al-Ta'wil, h. 162. 30
Akmaldin Noor dan Aa Fuad Mukhlish, Al-Qur'an Tematis: Allah SWT
dan Kepercayaan Manusia (Jakarta: Yayasan SIMAQ, 2010), Cet. 2, h. 177. 31
Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura books,
2012), h. 219.
58
kemajemukan agama di Indonesia.32
Hal ini sebagaimana digambarkan
dalam QS. al-Hujurāt [49]: 13 yang menegaskan bahwa manusia
diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling
mengenal dan menghargai. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
sikap Islam terhadap pluralisme agama sejatinya berdiri di atas prinsip
kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi.
Pluralisme bukanlah penyamaan agama, namun lebih kepada
pemahaman atas legitimasi setiap agama yang berbeda dengan Islam.
Melalui sikap menghargai dan memahami orang lain yang berbeda
agama, maka akan melahirkan toleransi dan kasih sayang yang kuat
sesama manusia, demi terciptanya kerukunan dalam kebinekaan.33
Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Māidah [5]: 48:
قا لما ب ي يديو من الكتاب ومهيمنا عليو فاحكم وأن زلنا إليك الكتاب بالقي مصدي
ن هم با أن زل اللو ا جاءك من القي ب ي لكل جعلنا منكم ول ت تبع أىواءىم عم
هاجا لوكم ف ما آتاكم شرعة ومن ة واحدة ولكن ليب ولو شاء اللو لعلكم أم
رات يعا ف ي نبيئكم با كنتم فيو تتلفون إل اللو مر فاستبقوا الي .جعكم ج"Dan kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
32
Ali Maschan Moesa, Memahami Nahdlatul Ulama: Urgensi Besar
Membangun Kembali Jembatan Putus (Surabaya: Pesantren Luhur al-Husna, 2010),
h. 73. 33
Abdul Rahman I. Marasabessy, "Al-Qur'an dan Pluralitas: Membangun
Kehidupan Masyarakat yang Majemuk", Jurnal MIQOT : Jurnal Ilmu-ilmu
Keislaman (Juli-Desember 2012), h. 226-227.
59
yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-
Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu."
Fakhruddin al-Razi menyatakan bahwa berdasarkan ayat di
atas, Allah swt. tidak menjadikan manusia terhimpun dalam satu
syariah, tetapi Ia berkehendak menjadikannya beragam dalam berbagai
wadah syariah; Injil, Taurat, dan al-Qur'an, untuk menguji siapa di
antara mereka yang tulus melaksanakan ajaran agama dan tidak
melalaikannya.34
Dari uraian ini, al-Qur'an telah menetapkan prinsip
kebebasan beragama agar para penganutnya yang beragam dapat hidup
berdampingan, aman, damai, dan sejahtera.35
Bertolak dari kebebasan beragama ini pula, Khalifah Umar bin
Khattab memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Baitul Maqdis
yang beragama Kristen. "Bagi mereka jaminan keamanan atas
kehidupan, gereja-gereja dan salib-salib mereka. Mereka tidak boleh
diganggu dan ditekan karena alasan agama dan keyakinan yang mereka
anut." Demikian kebijakan dan jaminan Umar bin Khatthab bagi umat
nonmuslim dalam negara Islam.36
34
Fakhr Al-din al-Razi Muhammad bin Umar al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr
(Beirut: Dar kutub al-'ilmiyah, 2000), Jilid 12, h. 12. 35
Syahrullah Iskandar (ed.), Kekerasan Atas Nama Agama, h. 168. 36
Syahrullah Iskandar (ed.), Kekerasan Atas Nama Agama, h. 178.
60
Shalāhuddīn al-Ayyūbī juga berhasil mencerminkan moralitas
Islam dalam upayanya memahami perbedaan untuk menciptakan
kerukunan pasca pembebasan al-Quds tahun 1187 M.
Shalāhuddīn memberi pasukan salib kebebasan untuk hidup.
Selain itu, ia juga memberi bekal perjalanan pulang bagi tentara salib
yang tidak mampu. Bahkan, Shalāhuddīn tidak menyentuh tempat-
tempat suci mereka dan memerintahkan umat Islam agar menghormati
dan memelihara toleransi di hadapan umat Kristen.37
Tindakan yang diambil Shalāhuddīn di atas, sesuai dengan al-
Qur'an yang menganjurkan persaudaraan bukan hanya kepada sesama
muslim, namun juga kepada nonmuslim38
, untuk menciptakan
kedamaian (Assalām) sebagai misi semua agama yang telah diajarkan
oleh para Nabi39
, termasuk Nabi Muhammad saw. yang diutus untuk
mencerminkan akhlak al-Qur'an yang mulia.40
Melalui risalahnya,
Nabi saw. bertugas memberi kabar gembira dan peringatan kepada
seluruh umat manusia untuk menciptakan kedamaian dan keselamatan
di muka bumi ini. Oleh karena itu, ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad adalah hal-hal yang menjungjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan sekaligus menjaga harkat dan martabat manusia.
37
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, h. 127-128. 38
Muchlis M. Hanafi (ed.), Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik, h. 71. 39
Surahman Hidayat, Islam Pluralisme & Perdamaian, h. vii 40
Mujar Ibnu Syarif, Moderasi Islam: Menangkal Radikal berbasis Agama
(Tangerang: Pusat Studi al-Qur'an, 2013), h. 273.
61
Salah satu nilai-nilai kemanusiaan yang beliau jaga adalah
jaminan kebebasan beragama. Sebagaimana yang diriwayatkan Abū
Dāwūd dan Ibnu Hibbān dalam sebuah hadits yang bersumber dari
sahabat 'Abd Allāh ibn 'Abbās juga al-Tahawi dan al-Bayhaqī. Dari
Sa'īd ibn Jubayr, bahwa ada seorang perempuan yang tidak memiliki
anak, kemudian ia bersumpah jika di kemudian hari ia dikaruniai
seorang anak, maka ia akan menjadikan anaknya menganut agama
Yahudi. Setelah beberapa waktu kemudian, para sahabat bertanya
kepada Nabi saw. berkenaan dengan anak-anak saudara mereka yang
masih beragama Yahudi, Nabi pun terdiam, kemudian turunlah ayat lā
ikrāha fi al-dīn (al-Baqarah [2]: 256). Lalu Nabi saw. menjawab:
"Biarkan keluarga kalian memilih, jika mereka memilih kalian, maka
mereka termasuk kalian (Islam). Jika mereka memilih tetap, maka
mereka bagian dari mereka (Yahudi)".41
Peristiwa ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw.
adalah seorang pemimpin agama yang tidak pernah memaksakan
kehendaknya untuk mengajak orang lain memeluk agama yang
dibawanya. Bahkan Nabi menjamin kebebasan beragama dan
melaksanakan ibadahnya masing-masing.
Namun, betapa pun mulianya akhlak dan perbuatan Nabi saw.
tetap saja ada orang yang tidak menyambut kedatangannya dengan
41
Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd (Beirut: Dār Ibn Hazm, 1997), juz 3, h.
92.
62
baik, bahkan mereka menolak dakwah beliau. Sebagaimana yang
digambarkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 120 berikut:
ت تبع ملت هم قل إن ىدى اللو ىو الدى ولن ت رضى عنك الي هود ول النصارى حتما لك من اللو من ول ول ولئن ات ب عت أىواءىم ب عد الذي جاءك من العلم
.نصي "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada
kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
"Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)".
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu."
Imam al-Suyuthi mengutip dari sahabat Ibnu 'Abbas, yang
menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan masalah
pemindahan arah kiblat dalam shalat yang mengarah ke Ka'bah. Kaum
Yahudi di Madinah dan Nasrani (Najran) menanggapinya dengan sinis,
karena mereka berharap agar kaum muslim mengarahkan shalat ke
arah kiblat mereka42
, sehingga umat muslim terkesan meniru dan
mencontoh praktek-praktek Yahudi sebagaimana yang mereka
inginkan.
Menurut Ibnu Katsīr, hal itu dilakukan oleh Yahudi dan
Nasrani karena mereka tidak akan rela menerima seruan Nabi
Muhammad saw.43
, sebelum ia mengikuti ajaran mereka, karena
42
Al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, dalam Hamisyah Tafsir
Jalālain (Beirut: Dār al-Fikr, tth.), h. 22. 43
Ibnu katsīr al-Dimsyaqi, Tafsīr al-Qur'ān al-'Adzīm (Yaman: Maktabah
Aulād al-Syaikh Li al-Turāts, 2000) Jilid 2, h. 44.
63
mereka takut akan kehilangan kekuasaan dan pengaruh di lingkungan
masyarakat.44
Padahal, Yahudi dan Nasrani seharusnya lebih dulu beriman
kepada Nabi saw., karena mereka telah mengetahui kebenarannya
berdasarkan keterangan kitab-kitab suci mereka yang telah
menyampaikan kabar kedatangan Nabi akhir zaman.45
Namun sebaliknya, mereka justru mengingkarinya.46
Keingkaran Yahudi dan Nasrani ini menyebabkan munculnya
peringatan dan kecaman dari ayat-ayat al-Qur'an terhadap mereka, di
antaranya adalah firman Allah swt. dalam QS. an-Nisā' [4]: 54
نا آل إب راىيم الكتاب اللو من فضلو أم يسدون الناس على ما آتاىم ف قد آت ي
ناىم ملكا عظيما .والكمة وآت ي "Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad)
lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?
Sesungguhnya kami telah memberikan kitab dan hikmah
kepada keluarga Ibrahim, dan kami telah memberikan
kepadanya kerajaan yang besar.
Dalam ayat ini Allah swt. mencela Yahudi, yang telah
menyampaikan omong kosong kepada kaum musyrik dari kalangan
penyembah berhala, bahwa orang-orang yang musyrik lebih mendapat
petunjuk dan lebih benar jalannya daripada Muhammad dan
sahabatnya. Padahal mereka menyadari bahwa perkataannya hanyalah
44
Rifqi Muhammad Fatkhi, "Interaksi Nabi Muhammad dengan Yahudi
dan Kristen", Jurnal Refleksi, Vol. 13, no. 3 (Oktober 2012: h. 349). 45
M. Thalib, 76 Karakter Yahudi Dalam Al-Qur'an, h. 17. 46
Rizem Aizid, Al-Qur'an Mengungkap Tentang Yahudi, h. 107.
64
kebohongan. Perbuatan mereka hanyalah karena rasa dengki kepada
Muhammad saw., keluarga dan sahabatnya atas karunia yang Allah
telah berikan, yaitu berupa kenabian.47
Kedengkian kaum Yahudi dan Nasrani terhadap umat Islam
merujuk pada sejarah masyarakat Madinah sebelum kedatangan Nabi
saw. Pada masa itu Yahudi dan Nasrani adalah agama mayoritas yang
memegang kitab, karenanya lebih terpelajar, dan berada di depan.
Sementara orang Arab yang menjadi penduduk asli penyembah berhala
maupun penganut sisa-sisa agama nabi Ibrahim, praktis berada di
belakang. Kelompok ahlul kitab di Madinah tidak ingin kondisi ini
berubah, persis seperti kemajuan yang terjadi pada kalangan pemuka
musyrik Arab di Mekah dalam menghadapi kebangkitan Islam di
sana.48
Oleh karena itu, Yahudi dan Nasrani selalu menggunakan
berbagai cara untuk menghalang-halangi mereka dari jalan Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imrān [3]: 99.
غون ها عوجا وأن تم شهداء ون عن سبيل اللو من آمن ت ب قل يا أىل الكتاب ل تصد
ا ت عملون .وما اللو بغافل عمKatakanlah: "Hai ahlul kitāb, mengapa kamu menghalang-
halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu
menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu
menyaksikan?". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu
kerjakan.
47
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid 7, h.
219. 48
Akmaldin Noor dan Aa Fuad Mukhlish, Al-Qur'an Tematis: Allah SWT dan
Kepercayaan Manusia, h. 24.
65
Menurut Hamka, dari ayat ini dapat diketahui bahwa Yahudi
dan Nasrani tidak akan pernah ridha kepada Islam49
, sebelum umat
Islam tunduk kepada ajarannya.50
Dari berbagai kecaman inilah, muncul pandangan buruk
terhadap golongan nonmuslim. Padahal, penelusuran terhadap ayat-
ayat al-Qur'an menyatakan bahwa tidak semua orang Yahudi dan
Nasrani menentang Nabi Muhammad saw., karena di antara mereka
juga terdapat orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan.51
Isyarat ini dapat ditemukan dalam QS. al-Mā'idah [5]: 59
نا وما أنزل من ق بل قل يا أىل الكتاب ىل ت نقمون منا إل أن آمنا باللو وما أنزل إلي
.وأن أكث ركم فاسقون Katakanlah: "Hai Ahlul Kitab, apakah kamu memandang kami
salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa
yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan
sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar
orang-orang yang fasik?
Ungkapan yang menjadi indikasi dalam ayat di atas adalah
"kebanyakan di antara ahlul kitab adalah orang-orang fasik". Secara
kebahasaan, ungkapan banyak dalam ayat tersebut berarti tidak semua
ahlul kitab bersikap memusuhi umat muslim.52
Dari penjelasan inilah, dapat dimengerti penegasan QS. Āli
Imrān [3]: 113-115 sebagai berikut:
49
Hamka, Tafsir al-Azhar,Juz 6, h. 278. 50
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), h. 137. 51
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur'an, h. 131. 52
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996), h. 354.
66
لون آيات اللو آناء الليل وىم يسجدون سوا سواء لي ة قائمة ي ت .من أىل الكتاب أم
هون عن المنكر ويسارعون ف ي ؤمنون باللو والي وم الخر ويأمرون بالمعروف وي ن
رات واللو عليم وما ي فعلوا من خي ف لن يكفروه وأولئك من الصالي.الي
بالمتقي."(113)Mereka itu tidak sama; di antara ahlul kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah
pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga
bersujud (sembahyang). (114) Mereka beriman kepada Allah
dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf,
dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada
(mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-
orang yang saleh. (115) Dan apa saja kebajikan yang mereka
kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menenerima
pahala)nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
bertakwa." (Q.S. Āli Imrān [3]: 113-115).
Para mufasir berbeda pendapat menyangkut ayat ini. Kelompok
pertama, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ummah qā'imah
(kelompok yang lurus), adalah orang-orang saleh yang berhak atas
ridha dan pujian-Nya53
, yaitu segolongan ahlul kitab yang telah masuk
Islam, di antaranya adalah Abdullah bin Salam, Tsa'labah bin Sa'id,
Usaid bin Ubaid, dan lain-lain.54
Kelompok kedua, memahami ayat tersebut berbicara tentang
kelompok ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang belum masuk Islam,
karena kata sujud tidak harus diartikan shalat, tetapi juga dapat
diartikan tunduk dan patuh. Mereka termasuk golongan orang-orang
53
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur'an, h. 132. 54
Syahrullah Iskandar (ed.), Kekerasan Atas Nama Agama, h. 211.
67
yang saleh dalam kehidupan dunia ini karena memelihara nilai-nilai
yang luhur.55
Terlepas dari apakah mereka sudah masuk Islam atau belum,
al-Qur'an telah jelas menyatakan bahwa di antara ahlul kitab tidak
semua bersikap sama untuk ikut berkonspirasi memusuhi umat Islam.56
Karena sebagian ahlul kitab juga terdapat golongan orang-orang
beriman yang selalu bersegera dalam berbuat kebaikan.
Perbedaan sikap di antara mereka ahli kitab yang beriman dan
yang kafir juga dapat terlihat dalam QS. Āli Imrān [3]: 75:
هم من إن تأمنو بدينار ل ي ؤديه ومن أىل الكتاب من إن تأمنو بقنطار ي ؤديه إليك ومن ييي سبيل وي قولون إليك إل ما دمت عليو قائما نا ف المي لك بأن هم قالوا ليس علي ذ
على اللو الكذب وىم ي علمون "Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu
mempercayakan kepadanya harta yang banyak,
dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang
yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak
dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu
menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan:
"tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka
berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui."
Sayyid Quthb menyatakan bahwa di antara ahlul kitab juga
terdapat orang-orang yang dapat dipercaya, yaitu mereka tidak mau
memakan hak orang lain, walaupun itu menggiurkan.57
Allah swt.
berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 62:
55
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, vol. II, h. 178. 56
Syahrullah Iskandar (ed.), Kekerasan Atas Nama Agama, h. 201-202. 57
Sayyid Quthb, Fī Zhilal al-Qur'an, Jilid II, h. 246.
68
الخر وعمل إن الذين آمنوا والذين ىادوا والنصارى والصابئي من آمن باللو والي وم
م ول خوف عليهم ول ىم يزنون .صالا ف لهم أجرىم عند ربي"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala
dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. al-Baqarah [2]: 62)
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa golongan ahlul kitab yang
beriman, yaitu berlaku lurus, membaca ayat-ayat Allah pada beberapa
waktu di malam hari, melaksanakan shalat malam (tahajjud), beriman
kepada Allah dan hari akhir, menyuruh kepada kebajikan dan melarang
keburukan, serta berlomba-lomba dalam menjalankan perintah yang
wajib maupun sunnah58
, maka mereka akan mendapat jaminan pahala
dan pertolongan dari Allah swt.
Dengan demikian, sikap seorang muslim yang memandang
buruk seluruh golongan nonmuslim, dan meyakini bahwa tidak ada
kebaikan dalam diri mereka, maka pendapat ini tidak dapat dibenarkan.
Karena sebagian mereka juga ada yang beriman kepada Allah dan hari
akhir.
Di sinilah terlihat objektivitas dan keadilan al-Qur'an dalam
menjelaskan kondisi ahlul kitab yang dahulu dihadapi oleh umat
muslim, dan juga boleh jadi yang dihadapi oleh mereka dewasa ini.
Beberapa gambaran permusuhan ahlul kitab terhadap Islam dan kaum
58
Al-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid 5, h. 747.
69
muslim, tipu daya mereka yang keji terhadap umat Muhammad saw.
serta niat buruk mereka terhadap jamaah muslim, sama sekali tidak
mempengaruhi al-Qur'an untuk mengungkapkan kebaikan sebagian
mereka, sekalipun sedang memaparkan perdebatan dan konfrontasi.59
C. Kesetaraan Hak-hak Nonmuslim dalam Al-Qur'an
Di era globalisasi saat ini, HAM (Hak Asasi Manusia)
merupakan suatu isu yang menjadi perhatian dan agenda yang sangat
penting, salah satunya dalam dunia Islam. Isu HAM bahkan menjadi
faktor pertimbangan kebijakan luar negeri setiap negara.
HAM adalah bagian dari hakekat kemanusiaan yang paling
fundamental. Secara historis, ide tentang HAM berasal dari gagasan
hak-hak alami. Sedangkan, di dunia Barat ide tentang HAM
merupakan hasil perjuangan kelas sosial yang menuntut tegaknya nilai-
nilai dasar kebebasan dan persamaan.60
Ide-ide di atas, sesuai dengan apa yang Allah firmankan dalam
QS. al-Isrā' [17]: 70 berikut ini:
على ولقد كرمنا بن آدم وحلناىم ف الب ري والبحر ورزق ناىم من الطييبات وفضلناىم
.كثي من خلقنا ت فضيل "Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah kami ciptakan."
59
Sayyid Quthb, Fī Zhilal al-Qur'an, Jilid II, h. 246. 60
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur'an: Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Tangerang: Ciputat Press, 2005), h. 296.
70
Sebagaimana disampaikan dalam ayat di atas, Allah swt. telah
menjadikan anak adam mulia dengan akalnya, yang membedakannya
dengan makhluk lain di bumi. Allah juga memberi mereka rezeki
melaui makanan yang beragam di bumi baik dari jenis hewan maupun
tumbuhan.61
Secara fitrah (natural) manusia memiliki kemuliaan (karamah)
harus dilindungi62
, dihormati, serta tidak boleh dilanggar, ataupun
dihilangkan.63
Oleh karena itu, manusia hendaknya memahami
keanekaragaman sebagai kerukunan dan bukan permusuhan, terlebih
peperangan.
Hadirnya perbedaan antara satu sama lain, semata-mata
menunjukkan kekuasaan Allah dalam menciptakan manusia, tanpa
adanya diskriminasi sosial dan superioritas wilayah. Oleh karena itu,
slavery/servitude atau penghambaan diri tidak boleh dilakukan oleh
siapapun dan kepada siapapun, meskipun oleh orang yang merasa
sangat berkuasa (superior) kepada orang yang lemah (inferior), karena
prilaku ini telah melanggar hak-hak asasi manusia.64
61
Imam Syaikh Muhammad Thāhir Ibnu 'Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-
Tanwīr (Tunisia: Jami'i Huqūqi al-Thab'i Mahfūdzati Li al-Dāri al-Tūnisiyati Li al-
Nasyr, 1984) Juz 15, h. 165-166. 62
Masykuri Abdillah, "Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakan dan
Problem HAM di Indonesia, Jurnal MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol.
XXXVIII. No. 2 (Juli-Desember 2014), h. 379. 63
Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam (Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2004), h. 112. 64
Murni Djamal, Pramono Ubeid Thantowi (ed.), Kesetaraan Hak-hak
nonmuslim dalam perspektif al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta,
2004), Cet. 2, h. 5-7.
71
Hak-hak asasi ini juga menjadi tanggung jawab negara untuk
melindungi seluruh rakyatnya dari segala pelanggaran ataupun
penindasan, berupa diskriminasi antar suku, bahasa, terlebih agama.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa komunitas nonmuslim juga
memiliki hak-hak asasi yang sama, dan harus dilindungi oleh negara
serta dihormati semua orang meskipun mereka hidup di negara
mayoritas muslim seperti di Indonesia.
Indonesia adalah negara yang majemuk dari suku bangsanya.
Hal ini menjadi gambaran nyata adanya heterogenitas budaya.
Demikian pula dari segi keagamaannya, walaupun Islam adalah agama
yang dianut mayoritas penduduknya, namun terdapat pula komunitas
agama-agama lain seperti Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha yang
hak-haknya juga dilindungi oleh negara ini.65
Pemerintah Indonesia bahkan menerapkan kebijakan "trilogi
kerukunan agama" sebagai upaya untuk meminimalisasi diskriminasi
agama. Dalam trilogi itu disebutkan; pertama, toleransi antar penganut
suatu agama tertentu; kedua, toleransi antar penganut agama yang
berbeda; dan ketiga, toleransi antar penganut agama dengan
pemerintah. Landasan dari trilogi kerukunan agama ini lahir dari
kesadaran akan adanya pluralitas agama di Indonesia.66
65
Karlina Helmanita, Pluralisme dan Inklusivisme Islam di Indonesia Ke
Arah Dialog Lintas Agama (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2004), Cet. 2, h. 4. 66
Karlina Helmanita, Pluralisme dan Inklusivisme Islam di Indonesia Ke
Arah Dialog Lintas Agama, h. 35.
72
Lalu, bagaimanakah Islam memperlakukan masyarakat
nonmuslim dalam kehidupan bermasyarakat, dan seberapa jauhkah
hak-hak kesetaraan mereka yang diberikan oleh al-Qur'an?. Dengan
kata lain, apakah agama Islam memiliki konsep dan doktrin yang kuat
serta bersifat universal dalam melindungi HAM, seperti hak politik dan
advokasi bagi nonmuslim?. Mungkinkah kelompok nonmuslim di
negara mayoritas muslim seperti di Indonesia akan ditindas oleh
negara dan dikucilkan oleh masyarakatnya?, sehingga mereka merasa
sebagai kelas dua.67
Jean Claude Vatin sebagaimana dikutip oleh Sukron Kamil
mengatakan bahwa prinsip-prinsip dasar mengenai persamaan,
kemerdekaan, dan penghormatan terhadap sesama manusia telah
dikukuhkan Islam pada tahap awal, sehingga dunia Islam telah
mendahului dunia Barat beberapa abad.68
Islam juga selalu
memerintahkan pemeluknya untuk membangun hubungan yang baik
dengan pemeluk agama lain, serta mendorong mereka untuk saling
bekerjasama dalam bidang muamalah berdasarkan prinsip keadilan dan
toleransi.69
67
Murni Djamal, Kesetaraan Hak-hak Nonmuslim dalam Perspektif Al-
Qur'an dan Hadits, h. 1-2. 68
Sukron Kamil, Al-Qur'an-Hadits dan Demokrasi: Analisis Penafsiran dan
Praktiknya (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2004), cet. II, h. 36. 69
Bagus Purnomo, "Toleransi Religius Antara Prularisme dan Pluralitas
Agama dalam Perspektif Al-Qur'an", SUHUF: Jurnal Kajian al-Qur'an, Vol. 6, No.
1, 2013, h. 83.
73
Sebagaimana Nabi Muhammad saw. yang telah berhasil
menciptakan hubungan baik antara umat muslim dan nonmuslim,
melalui kesepakatan Madinah (piagam Madinah) bersama suku-suku
Yahudi pada tahun pertama Hijriyah. Kesepakatan ini berhasil
menciptakan perdamaian di kota Madinah, sekaligus mengangkat
posisi mereka setara dengan kaum muslimin dalam hal perlindungan
hak-hak asasi manusia. Begitu pula, kesepakatan antara Nabi
Muhammad saw. dengan kelompok Kristen (Najran) pada tahun 10
Hijriyah/631 Masehi yang berlaku efektif sampai masa wafatnya
Rasulullah saw. Selain itu, ia memberikan kekuasaan otonomi wilayah
dan kekuasaan yang mengatur pemerintahan sendiri bagi kelompok
Kristen. Mereka aman di bawah perlindungan muslim selama mereka
mentaati perjanjian. Pada saat yang sama pemerintah muslim pun akan
mengambil tindakan yang keras terhadap kelompok muslim yang
melanggar dan mengganggu ketentraman minoritas nonmuslim.70
Lebih dari itu, Islam tidak hanya melindungi hak kesetaraan
antara nonmuslim dengan masyarakat muslim, melainkan juga hak-hak
asasi manusia lainnya yang meliputi: hak hidup, hak untuk dihargai,
hak mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang baik, hak
mengemukakan pendapat dan kebebasan beragama, hak mendapatkan
70
Murni Djamal, Kesetaraan Hak-hak nonmuslim dalam perspektif al-Qur'an
dan Hadits, h. 24.
74
kekayaan dan kehormatan, dan hak-hak publik yang dewasa ini sedang
ramai diperbincangkan.71
Dalam Islam tidak ada larangan kerjasama hak-hak publik
khususnya politik antara kaum muslim dan nonmuslim. Hal ini
sebagaimana yang dicontohkan oleh para Khalifah terdahulu, di
antaranya adalah para penguasa Dinasti Abbasiyah yang banyak
menjadikan orang-orang Persia-Majusi sebagai wazir (perdana
menteri), seperti keluarga Barmak. Selanjutnya, penguasa-penguasa
Islam di Spanyol telah berhasil menjadikan Spanyol untuk tiga agama
dan "satu tempat tidur" bagi orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam
dalam membangun peradaban yang gemilang. Demikian pula, Bait al-
Hikmah sebagi lembaga penerjemahan dan penelitian nasional Dinasti
Abbasiyah pada masa al-Ma'mun dipimpin juga oleh Hunain bin Ishaq
yang berlatar belakang Kristiani.72
Namun, perlu diketahui bahwa menurut Sayyid Quthb, contoh-
contoh di atas tidak berlaku dalam mengangkat nonmuslim sebagai
pemimpin umat Islam. Menurutnya, toleransi Islam kepada nonmuslim
khususnya ahlul kitab adalah satu hal. Sedangkan menjadikan mereka
sebagai pemimpin yang diberikan loyalitasnya adalah hal lain73
, yang
tidak bisa disamakan dengan hubungan toleransi dalam pertemanan.
71
Muhammad Amara, Islam and Human Rights: Requisite Necessities rather
than the Right (ISESCO, Rabat, 1996), h. 134. 72
Sukron Kamil, Al-Qur'an-Hadits dan Demokrasi: Analisis Penafsiran dan
Praktiknya (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2004), cet. II, h. 31. 73
Sayyid Quthb, Tafsīr Fī Zhilalil Qur'ān, Jilid III, h. 547.
75
Hal ini tergambar dari negara-negara mayoritas Muslim yang
ada di dunia, semisal Tunisia, al-Jaza‟ir, Mesir, Suriah, Bangladesh,
Iran, Yordania, dan Malaysia, yang sama-sama menetapkan aturan
bahwa calon pemimpin harus beragama Islam. Karena itu, di negara-
negara tersebut, nonmuslim tidak dapat menjadi presiden. Hanya
sebagian kecil saja diantara negara-negara meyoritas Muslim yang
disamping membolehkan juga pernah dipimpin oleh presiden
nonmuslim. Dalam konteks ini, ada 3 negara yang dapat ditunjuk
sebagai contohnya, yaitu: Nigeria, Senegal, dan Libanon.74
Secara teoritis, tampak sekali bahwa semangat syari'ah Islam
pada awalnya adalah bersifat melindungi dan memberikan hak-hak
nonmuslim. Namun, dewasa ini yang seringkali terjadi justru
penyimpangan, yang mengaburkan makna serta semangat yang
dikandung syari'ah itu sendiri. Dalam kapasitasnya sebagai nonmuslim,
kendati mereka diperbolehkan beribadah sesuai keyakinannya dan
diperbolehkan menerapkan hukum keluarganya. Namun, dalam urusan
politik, mereka tidak diperkenankan menjadi pemimpin politik dan
anggota majelis permusyawaratan. Sehingga semua urusan politik
dipegang oleh umat muslim. 75
74
Mujar Ibnu Syarif, “Memilih Presiden non-muslim di Negara Muslim dalam
Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1, Nomor 1, November
(2008), h. 91 75
Rohmat Syarifuddin, "Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim dalam Al-
Qur'an", h. 79.
76
Berbeda halnya di Indonesia, meski menjadi negara mayoritas
muslim terbesar di dunia yang menganut paham demokrasi, dalam
konstitusinya justru tidak mensyaratkan presiden harus seorang
muslim. Ini artinya, jabatan presiden terbuka bagi siapa saja termasuk
nonmuslim.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 6 alinea
1, yang menyatakan bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli”.
Sehingga, kelompok nonmuslim yang merupakan warga negara
Indonesia juga memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam
pemerintahan. Dengan demikian, tindakan yang menomorduakan
kelompok nonmuslim adalah problematik. Alasannya, karena dalam
konsep negara bangsa, semua warga negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama, tanpa dibedakan berdasarkan agama.76
Selain itu, menomor duakan golongan nonmuslim tersebut juga
menjadi problem dalam konteks hak-hak sipil yang diakui oleh hukum
internasional yang melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama.
Sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 DUHAM (Deklarasi Universal
tentang HAM) dan pasal 26 Konvenan Internasional tentang hak-hak
sipil dan politik, dan yang lebih baru lagi adalah "the Declaration on
the Elimination of All Formns of Intolerance and of Discrimination
76
Rohmat Syarifuddin, "Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim dalam Al-
Qur'an", h. 81.
77
Based on Religion or Belief" yang telah dideklarasikan pada sidang
umum PBB pada tanggal 25 November 1981.77
Meski demikian, Amin Rais berpendapat bahwa sebagaimana
kebebasan berbicara, beragama, bebas berkehendak, bebas dari
ketakutan dan seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, maka
hak-hak nonmuslim untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan
lainnya juga diakui. Akan tetapi, Islam tidak memberikan hak kepada
nonmuslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini, menurutnya
hanya menunjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-
negara demokrasi barat yang mempersamakan secara konstitusi, tetapi
tidak dalam kenyataan. Karenanya Islam memberlakukan syarat secara
de jure dan de facto bahwa kepala negara harus merupakan anggota
dari mayoritas.78
Selain itu, perlu dipahami juga bahwa undang-undang di atas
secara tekstual mengandung kontradiksi dengan beberapa ayat-ayat al-
Qur'an yang telah dengan jelas melarang orang-orang mukmin
menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin. Karenanya, dalam rangka
mencari jalan keluar dari perdebatan ini, penelaahan terhadap ayat-ayat
tersebut sangatlah diperlukan, sebagaimana yang akan dibahas pada
bab selanjutnya.
77
Sukron Kamil, Chaidar S, Syariah Islam, h. 81. 78
Sukron Kamil, Chaidar S, Syariah Islam, h. 82.
78
BAB IV
ANALISIS AYAT-AYAT LARANGAN MEMILIH PEMIMPIN
NONMUSLIM DALAM AL-QUR'AN
Dewasa ini, hukum memilih pemimpin nonmuslim masih
menjadi perdebatan di negara-negara mayoritas muslim, khususnya di
Indonesia. Perdebatan ini tidak lepas dari perbedaan sudut pandang
para mufasir dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an, sehingga
melahirkan ragam penafsiran tentang kepemimpinan nonmuslim. Oleh
karena itu, dalam bab ini penulis akan menganalisis larangan memilih
pemimpin nonmuslim dalam al-Qur'an berdasarkan perspektif mufassir
Nusantara.
A. Tafsir QS. Ali Imran[3]: 28
لك ف ليس من ل ي تخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمني ومن ي فعل ذ
هم اللو ف شيء إل قوا من ركم اللو ن فسو ت قاة أن ت ت .وإل اللو المصي ويذي"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali (pemimpin)1 dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya ia tidak dengan
Allah sedikit pun, kecuali menghindar dari sesuatu yang kamu
takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)Nya. Dan hanya kepada Allah tempat kembali (segala
sesuatu)."
Sabab nuzul ayat ini menurut Hamka berdasarkan pada riwayat
yang dikeluarkan Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim, bahwa
1 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), Juz III, h. 203.
79
Ibnu Abbas berkata: "Al Hajjaj bin 'Amr mengikat janji setia kawan
dengan Ka'ab bin al-Asyraf2, Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid.
Ketiga orang ini telah bermaksud jahat, yaitu hendak mengganggu
kaum Anshar. Lalu, al-Hajjaj kemudian ditegur oleh Rifa'ah bin al-
Mundzir, Abdullah bin Jubair dan Sa'ad bin Khatamah, supaya mereka
menjauhi orang-orang Yahudi tersebut, supaya agama mereka jangan
sampai difitnah oleh orang-orang Yahudi.3 Akan tetapi, orang yang
diberi peringatan itu tidak memperdulikannya." Karena peristiwa inilah
turun ayat tersebut.
Dari riwayat di atas, dapat diketahui bahwa latar belakang
turunnya ayat ini adalah karena terjadinya persekongkolan antara orang
Islam dengan kaum Yahudi untuk melakukan kejahatan terhadap
orang-orang mukmin. Sehingga ayat ini sepatutnya tidak diberlakukan
untuk seluruh golongan nonmuslim, khususnya yang tidak berbuat
jahat kepada umat mukmin.
Namun, realitas yang terjadi di masyarakat justru sebaliknya.
Mereka seringkali menjadikan ayat ini sebagai argumen atau dalil
untuk menolak kepemimpinan nonmuslim secara mutlak di wilayah
mayoritas muslim. Bahkan, melalui ayat ini sebagian ulama bersikukuh
menolak kepemimpinan nonmuslim, seperti halnya Buya Hamka.
2 Seorang pemuka Yahudi yang terkenal sebagai penafsir.
3 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), juz III, h. 205
80
Menurut Hamka, berdasarkan ayat ini umat mukmin tidak
boleh sekali-kali menjadikan seseorang dari golongan kafir sebagai
auliyā' dalam konteks pemimpin atau sahabat dekat. Beliau
menegaskan bahwa term kafir dalam ayat di atas bermakna orang yang
tidak percaya kepada Tuhan, sehingga jika ia dijadikan sebagai
pemimpin, maka orang mukmin akan dibawanya menyembah thagut.4
Sedangkan jika dia dijadikan sahabat, maka orang mukmin akan
diajaknya kepada jalan yang sesat, menyuruh berbuat jahat, dan
mencegah berbuat baik. Oleh sebab itu, Hamka memperingatkan umat
Islam untuk selalu waspada, dan menggunakan segala daya upaya
untuk menangkis kesesatan mereka.5
Pemaknaan term kafir dalam ayat ini sangat mempengaruhi
argumen dari para mufasir. Penolakan Hamka terhadap kepemimpinan
nonmuslim juga dirasa wajar, karena ia memahami term kafir sebagai
orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Sehingga bagaimana jadinya
seseorang yang angkuh, dan tidak mau tunduk kepada Tuhan, justru
diangkat menjadi pemimpin. Makna ini tidak keliru, karena al-Qur'an
menggunakan kata "kafir" dalam berbagai bentuknya untuk banyak arti
yang puncaknya adalah pengingkaran terhadap wujud atau keesaan
Allah swt., disusul keengganan melaksanakan perintah atau menjauhi
4 Thagut diterjemahkan sebagai lāta, 'uzza, syaithan, dan segala sesembahan
selain Allah swt. dikutip dari al-Thahir Ahmad al-Zāwī, Mukhtār al-Qāmūs, h. 284. 5 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz III, h. 205-207.
81
larangan-Nya walau tidak mengingkari wujud dan keesaan-Nya,
sampai kepada tidak mensyukuri nikmat-Nya, yakni kikir.6
Atas dasar itu, walaupun ayat ini turun dalam konteks melarang
orang-orang beriman menjadikan orang Yahudi atau Nasrani sebagai
pemimpin yang diberi wewenang menangani urusan orang-orang
beriman, tetapi larangan ini juga mencakup orang muslim yang
melakukan aktifitas yang bertentangan dengan tujuan ajaran Islam.
Larangan ini adalah karena kegiatan mereka secara lahiriyah
bersahabat, menolong, dan membela umat Islam, tetapi pada
hakikatnya dengan halus mereka menggunting dalam lipatan.7 Karena
itu, "janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin."8
Menurut Quraish Shihab, "jika memang keadaan nonmuslim
sebagaimana diuraikan pada ayat-ayat lalu, maka apakah wajar
mengangkat musuh-musuhNya sebagai wali yang diserahi wewenang
mengurus urusan umat muslim? Tentu saja tidak wajar!" Tidak wajar
mendekat kepada orang-orang yang menolak menjadikan kitab suci
sebagai rujukan hukum seperti orang-orang Yahudi yang telah dikecam
dalam al-Qur'an. Selain itu, orang-orang mukmin menjadikan orang-
orang kafir demikian, maka berarti orang mukmin dalam keadaan
lemah. Sedangkan Allah swt. tidak menyukai hamba yang lemah.
6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, vol. 2, h. 59.
7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, vol. 2, h. 59.
8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, vol. 2, h. 58.
82
Maka dari itu, jangan jadikan mereka penolong, kecuali jika ada
kemaslahatan kaum muslim dari pertolongan itu, atau paling sedikit
tidak ada kerugian yang dapat menimpa kaum muslim dari pertolongan
tersebut.9
Namun, redaksi Quraish Shihab yang mengatakan, "jika
memang keadaan nonmuslim sebagaimana yang telah diuraikan pada
ayat-ayat yang lalu" seolah mengindikasikan bahwa larangan dalam
ayat ini adalah bersyarat, yakni hanya berlaku jika kondisi nonmuslim
sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat sebelumnya yang berupa
kecaman terhadap sifat buruk mereka, sehingga dapat disimpulkan
bahwa jika kondisnya tidak demikian, maka tidak ada larangan
mengangkat nonmuslim menjadi pemimpin. Senada dengan ungkapan
Gus Dur yang tidak setuju dengan penggunaan QS. Ali Imrān: 28
yang dijadikan dasar untuk menolak kepemimpinan nonmuslim.
Alasannya karena term auliyā' dalam ayat ini memiliki makna yang
beragam, dan menurut Gus Dur makna umarā' (penguasa) bukanlah
makna yang tepat untuk disandingkan dengan ayat tersebut.10
M. Quraish Shihab menegaskan bahwa turunnya peringatan ini
juga karena adanya kekhawatiran terhadap umat mukmin, yang apabila
berbuat demikian, maka ia akan membuka rahasia-rahasia agama
Islam, serta mendahulukan kemaslahatan orang kafir daripada
9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, vol. 2, h. 59.
10 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, h. 71-71.
83
kemaslahatan umat muslim. Sebagaimana gambaran masa lalu yang
dilakukan Abu Lahab pada saat perang Badar, dimana ia memberikan
bantuan berupa harta yang sangat banyak kepada kaum musyrik
Quraisy yang berangkat untuk memerangi Nabi saw. di Badar.11
Perbuatan tersebut amat jauh dari sikap keimanan dan
pertolongan Allah swt. yang seharusnya melekat pada diri setiap orang
beriman12
, sehingga Allah melarang umat Islam bersikap loyal
terhadap nonmuslim yang telah nyata memusuhi, memerangi, dan
berusaha menghapuskan Islam. Karena sikap loyal memiliki hubungan
dengan kesetiaan dan dukungan. Maka sekali-kali janganlah
menjadikan mereka sebagai auliyā'. Bahkan menurut Syeikh Nawawi,
larangan ini harus dilakukan secara zahir maupun batin dan diterapkan
dalam segala hal.13
Namun, umat Islam tetap dianjurkan berbuat baik kepada orang
Yahudi dan Nasrani yang berperangai baik dalam hal bermasyarakat.
Allah swt. berfirman dalam QS. al-Mumtahanah [60]: 8:
ين ول يرجوكم من دياركم أن ت ب روى هاكم اللو عن الذين ل ي قاتلوكم ف الدي م ل ي ن
ب المقسطي وت قسطوا إليهم .إن اللو ي"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
11
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XXVIII, h. 107. 12
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,vol. 2 h. 60. 13
Syeikh Nawawi al-Bantani, Tafsīr Marāh Labīd, jilid 1, h. 94.
84
Melalui ayat ini, dengan tegas Allah swt. menganjurkan umat
muslim berbuat baik, bergaul dengan cara yang baik, berlaku adil dan
jujur terhadap golongan nonmuslim. Selama mereka tidak memusuhi,
memerangi dan mengusir umat Islam dari kampung halamannya, maka
kita juga harus berbuat adil kepada mereka, sama halnya dengan
berbuat baik kepada tetangga sesama muslim, seperti mengantarkan
makanan yang enak kepada mereka.14
Hamka menegaskan bahwa surat al-Mumtahanah [60]: 8 di atas
adalah "muhkamah", artinya berlaku untuk selama-lamanya, dan tidak
dimansukhkan. Dengan demikian, dalam segala zaman hendaklah
orang mukmin berbuat baik dan bersikap adil serta jujur kepada
nonmuslim yang tidak melakukan kejahatan terhadap orang mukmin
dan tidak mengusirnya dari kampung halaman. Karena seorang muslim
diwajibkan menunjukkan budi Islam yang tinggi.15
Selanjutnya, Allah swt. memberi pengecualian16
, bahwa
larangan menjadikan kafir sebagai auliyā' berlaku dalam seluruh
situasi dan kondisi, kecuali dalam siasat memelihara diri guna
menghindar dari ancaman pembunuhan atau sesuatu yang ditakuti dari
mereka yang disebut taqiyyah.17
Praktek taqiyyah dapat dilihat dan dipahami melalui riwayat
Al-Hasan, bahwa Musailamah al-Kadzāb menggertak dua orang laki-
14 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XXVIII, h. 105.
15 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XXVIII, h. 106.
16 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,vol. 2 h. 60.
17 Syeikh Nawawi al-Bantani, Tafsīr Marāh Labīd, jilid 1, h. 94.
85
laki dari kalangan sahabat nabi saw. Musailamah berkata kepada salah
seorang di antara keduanya: "apakah kamu bersaksi bahwa nabi
Muhammad adalah utusan Allah?, dia menjawab: iya (sebanyak tiga
kali). Kemudian ia bertanya lagi: apakah kamu bersaksi bahwa aku
adalah rasul Allah?, dan laki-laki itu menjawab: 'iya', kemudian pergi
dengan selamat.18
Tetapi seorang sahabat lain dibunuh, karena ketika
diberikan pertanyaan yang sama, dia menjawab: 'saya tuli'. Tentu saja
bukan tuli sungguhan. Dengan jawaban itu, maksudnya dia tidak mau
mengakui Musailamah itu seorang rasul.19
Ketika dua peristiwa tersebut dilaporkan kepada Nabi saw.,
beliau pun berkata: "orang (sahabat) yang dibunuh itu telah kembali
kepada Allah dengan keyakinan dan kepercayaan (yang hak). Adapun
orang yang selamat, dia mempergunakan kelonggaran yang diberikan
oleh Allah, dan tidak ada hukuman baginya."
Dari peristiwa di atas, dapat diketahui bahwa taqiyyah adalah
bersikap lunak dan lemah lembut kepada musuh yang lebih kuat dalam
suatu ketundukan20
yang hanya diikrarkan melalui lisan saja,
sedangkan hatinya tetap beriman kepada Allah swt. Praktek ini hanya
dilakukan dalam kondisi mendapat tekanan dan ancaman pembunuhan
dari lawan.
18
Syeikh Nawawi al-Bantani, Tafsīr Marāh Labīd, jilid 1, h. 94 19
Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nur, Jilid I, h. 568. 20
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz III, h. 207.
86
M. Quraish Shihab menegaskan bahwa praktek taqiyyah hanya
dibenarkan bagi seorang muslim yang tidak dapat keluar dari wilayah
yang tidak memberinya kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama,
dimana jiwanya dan sesuatu yang amat berharga terancam baginya.
Maka, dalam kondisi seperti ini, ia dibenarkan untuk tetap berada
dalam wilayah itu dan berpura-pura mengikuti kehendak yang
mengancamnya, dengan tetap berusaha mencari jalan keluar.
Sedangkan bersikap loyal kepada orang-orang kafir adalah hal yang
berbeda dengan taqiyyah. Karena taqiyyah termasuk ke dalam rukhṣah
(keringanan) dari Allah swt. meski demikian, akan lebih baik jika
menolak hal itu dan memilih untuk keluar dari wilayah tersebut.21
Sebagaimana pendapat Hasbi al-Shiddieqy yang menyatakan
bahwa kelonggaran dan kelapangan taqiyyah adalah hal-hal darurat
yang bukan merupakan pokok agama. Karena itu, wajib bagi para
muslim untuk berhijrah (berpindah) dari tempat dimana mereka tidak
bisa menegakkan agama dan perlu memelihara agama dengan cara
menyelamatkan diri.22
Ungkapan di atas berdasar pada firman Allah, Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya
diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang
21
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,Vol. 2, h. 61 22
Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nur, Jilid I, h. 569.
87
yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?".
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya
upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)." (QS. al-Nisā' [4]:
97-98).
Hamka bahkan menganjurkan orang mukmin memilih larangan
pertama dibandingkan dengan taqiyyah, yaitu tetap tidak menjadikan
orang kafir sebagai auliyā' sampai pada saat yang terakhir, seorang
mukmin harus tetap melawan mereka, walaupun dalam hati.23
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa larangan
menjadikan nonmuslim (kafir) sebagai auliyā' terjadi karena adanya
kekhawatiran dari munculnya mafsadat yang disebabkan oleh
golongan nonmuslim terhadap umat Islam. Sebagaimana potret umat
nonmuslim dewasa ini, yang dengan terang-terangan memusuhi,
mengusir, dan membunuh umat Islam seperti yang terjadi di Palestina
hingga muslim Rohingnya di Myanmar.
Selain itu, larangan ini juga dipengaruhi oleh kondisi sosial
pada saat ayat tersebut diturunkan, dimana maraknya pengkhianatan
yang terjadi pada saat peperangan melawan orang-orang kafir,
23
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz III, h. 207.
88
sehingga mana mungkin dalam kondisi seperti ini, seorang mukmin
menjadikan musuhnya sebagai auliyā'.
Meski demikian, ayat ini tidak menjadi larangan untuk berkasih
sayang dengan orang-orang kafir yang tidak suka berhubungan dengan
kitabullah dan tidak menata kehidupannya, serta mendukung mereka
dengan tindakan nyata bukan termasuk taqiyyah.24
Akhirnya, kepada setiap orang, baik yang beriman tetapi
menjadikan orang kafir sebagai auliyā', maupun orang-orang kafir
yang mengancam orang-orang beriman, demikian juga yang
bertaqiyyah bukan pada tempatnya, kepada mereka lah penutup ayat
ini ditujukan, "Allah memperingatkan kamu dari diri-Nya", yakni dari
siksa-Nya.25
Allah menyebut kata diri-Nya di sini dengan maksud untuk
memberitahu bahwa dalam berteman dengan orang kafir harus tetap
memiliki sikap waspada. Jangan sampai kita terperosok ke dalam
perangkapnya, yang akhirnya menjatuhkan kita pada siksa Allah, dan
tidak bisa dipatahkan oleh seorang pun.
Pernyataan Allah ini menjadi ancaman besar bagi mereka yang
memberikan pertolongan dan bantuan kepada musuh-musuh Allah.26
Ayat ini juga menekankan bahwa siksa tersebut sungguh berat dan
pedih. Seakan-akan ayat ini menyatakan bahwa yang menangani hal ini
24
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'ān, Jilid 2, h. 226. 25
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,Vol. 2, h. 61. 26
Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nur, Jilid I, h. 569.
89
adalah Allah sendiri secara langsung, tidak mendelegasikannya kepada
yang lain. Ini tidak sulit karena hanya kepada Allah tempat kembali
segala sesuatu.27
B. Tafsir QS. an-Nisa [4]: 144
أتريدون أن تعلوا يا أي ها الذين آمنوا ل ت تخذوا الكافرين أولياء من دون المؤمني
.للو عليكم سلطانا مبينا"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-
orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu)?"
Setelah jelas apa yang harus dihindari, termasuk menghindari
orang-orang kafir dalam konteks menjadikan mereka sebagai auliyā',
kini melalui ayat ini Allah menyeru kepada semua yang mengaku
beriman: "Hai orang-orang yang (mengaku) beriman, baik pengakuan
yang benar maupun yang bohong, janganlah kamu menjadikan orang-
orang kafir sebagai auliyā', dengan meninggalkan persahabatan dan
pembelaan orang-orang mukmin. Maukah kamu mengadakan alasan
yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu atau bukti yang jelas bahwa
kamu benar-benar bukan orang-orang beriman? Sungguh hal yang
27
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,Vol. 2, h. 61.
90
demikian tidak sejalan dengan keimanan kamu, tidak juga dengan
nilai-nilai ajaran Islam yang kamu anut.28
Sama halnya dengan uraian di atas, ayat ini juga mengandung
term auliyā' yang memiliki makna sama dengan pembahasan
sebelumnya. Hanya saja menurut al-Qurthubi ayat ini memiliki dua
maf'ul (objek), yaitu "janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir
sebagai orang yang mempunyai kedudukan yang khusus di hati kalian
dan menjadikan mereka pemimpin kalian."29
Kedudukan khusus yang dimaksud dalam ayat ini adalah
menjadikan orang-orang kafir sebagai teman akrab tempat menyimpan
rahasia, pembela, dan pelindung, terlebih menjadikannya pemimpin
umat muslim dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Menurut Hamka, larangan ini bukanlah tanpa dasar, melainkan
karena orang kafir adalah orang-orang yang ingkar kepada Tuhan.
Sehingga keingkarannya akan menyebabkan rencana pimpinan mereka
tidak tentu arah. Jika demikian, maka niscaya kamu yang menjadi
teman akrab mereka atau yang menjadikan mereka pemimpin akan
mendapat celaka.30
Berbeda halnya dengan Hamka, Syeikh Nawawi berpendapat
bahwa term kafir dalam ayat di atas bermakna kaum Yahudi. Ia
menyatakan bahwa janganlah orang-orang beriman memilih seorang
28
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,Vol. 2, h. 602. 29
Imam Al-Qurṭūbī, Tafsīr Al-Qurṭūbī, jilid 5, h. 1008. 30
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid V, h. 333.
91
Yahudi sebagai auliyā' dengan dalih tidak adanya orang muslim yang
mampu menjadi pemimpin.31
Pendapat Syeikh Nawawi sejatinya dapat dibenarkan,
mengingat banyaknya kecaman ayat-ayat al-Qur'an terhadap kaum
Yahudi, karena sikap mereka yang arogan, jahat, dan sangat memusuhi
umat Islam32
. Sehingga atas dasar inilah, Nawawi menafsirkan term
kafir dalam ayat di atas sebagai orang-orang dari kalangan Yahudi.
Jika demikian, maka memberi pertolongan kepada kafir, baik
dengan ucapan ataupun perbuatan, hasilnya justru akan mendatangkan
kemudaratan bagi umat muslim, baik perorangan ataupun lembaga,
lebih-lebih yang merugikan agama.33
Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa ayat di atas
menggunakan kata (أتردون) aturīdūn atau "maukah kamu", redaksi yang
dipilih adalah "maukah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi
Allah", dan bukan redaksi "apakah kamu menjadikan." Hal ini menurut
Quraish Shihab adalah untuk menekankan betapa buruknya perbuatan
tersebut. Baru pada tingkat “mau” saja telah dikecam, apalagi jika
benar-benar menjadikannya sebagai auliyā'.34
Ayat ini merupakan kecaman keras bagi yang menjadikan
orang-orang kafir sebagai auliyā', namun bukan larangan untuk
bergaul secara harmonis dengan kalangan nonmuslim, atau bahkan
31
Nawawi al-Bantani, Tafsīr Marāh Labīd, jilid 1, h. 181. 32
Syahrullah Iskandar (ed.), Kekerasan Atas Nama Agama, h. 207. 33
Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nur, jilid 1, h. 983. 34
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,Vol. 2, h. 603.
92
memberi bantuan kemanusiaan untuk mereka. Allah swt. bahkan
membolehkan umat muslim bersedekah kepada nonmuslim, dan
menjanjikan ganjaran untuk yang bersedekah. Sebagaimana firman-
Nya dalam QS. al-Baqarah [2]: 272 berikut:
وما ت نفقوا من خي فلن فسكم ليس عليك ىداىم ولكن اللو ي هدي من يشاء وما ت نفقوا من خي ي وف إليكم وأن تم ل تظلمون وما ت نفقون إل ابتغاء وجو اللو
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat
petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk
(memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka
pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu
membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan
Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan,
niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang
kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)."
Dalam ayat ini, Quraish Shihab menafsirkan bahwa bukanlah
kewajiban Nabi Muhammad saw., menjadikan mereka mendapat
petunjuk. Akan tetapi, Allah lah yang memberi petunjuk kepada yang
dikehendaki-Nya. Jika demikian, jangan jadikan bantuan apapun
sebagai cara untuk membujuk, menggiring, atau memaksa orang lain
untuk memeluk agama Islam. Jangan pula jadikan perbedaan agama
sebagai alasan atau penghalang untuk tidak memberi bantuan kepada
siapapun yang membutuhkan, dan bagi siapa saja yang menafkahkan
hartanya, baginya pahala dari Allah swt., selama ia tulus dan berusaha
mendapatkan ridha illahi.35
35
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,Vol. 2, h. 602-603.
93
Akhirnya datanglah pertanyaan dari Tuhan, "apakah kamu
ingin Allah menjadikan atas kamu kekuasaan yang nyata (untuk
menyiksamu)?". Dalam redaksi ini terdapat kata sulthān yang berarti
kekuasaan. Artinya, karena pimpinan suatu umat Islam diserahkan oleh
orang Islam sendiri kepada orang kafir, maka timbullah kekacauan dan
keruntuhan kaum muslim itu sendiri. Dalam hal ini tentu Tuhan akan
memakai kekuasaan-Nya untuk menjatuhkan azab dan siksaan kepada
orang mukmin yang berbuat demikian. Apakah itu yang
diinginkannya?.36
Sebab itu, orang yang beriman tidaklah akan menyerahkan
pimpinan kepada orang kafir, atau pun kepada orang munafik. Karena
yang dapat berbuat demikian adalah orang munafik pula.
C. Tafsir QS. al-Maidah [5]: 51
ومن ب عضهم أولياء ب عض يا أي ها الذين آمنوا ل ت تخذوا الي هود والنصارى أولياء
هم م منكم فإنو من .إن اللو ل ي هدي القوم الظالمي ي ت ول"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-
pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
36
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid V, h. 429.
94
Ada beberapa riwayat yang menerangkan latar belakang
turunnya ayat tersebut. Salah satunya adalah yang dikutip oleh Hasbi
al-Shiddieqy dari riwayat Ibn Abi Syaibah dan Ibn Jarir dari Athiyah
ibn Sa'ad, ujarnya: "Ubadah ibn Shamit dari golongan Khazraj
bertengkar dengan Abdullah ibn Ubai ibn Salul. Ubadah berkata:
"Saya mempunyai beberapa kawan dari golongan Yahudi yang banyak
jumlahnya dan keras syaukahnya. Saya melepaskan diri dan berjanji
setia kepada mereka dan tidak ada yang saya harapkan pertolongannya,
selain dari Allah swt.' Mendengar hal itu, Abdullah bin Ubai berkata:
"Saya tidak mau melepaskan diri dari bersumpah setia dengan bangsa
Yahudi, karena saya takut akan timbul bencana yang memerlukan
pertolongan mereka." Maka, Rasulullah saw. berkata kepada Abdullah
bin Ubay: "Perasaan yang terkandung dalam hati mengenai hubungan
orang-orang Yahudi dengan Ubadah biarlah untuk kamu saja, bukan
untuk orang lain." Berkenaan dengan hal ini, akhirnya Allah swt.
menurunkan QS. al-Maidah ayat 51 di atas. 37
Syeikh Nawawi al-Bantani mengatakan bahwa berdasarkan
sabab nuzul di atas, orang-orang beriman dilarang memberikan
kepercayaan, meminta pertolongan dan hidup bermasyarakat dengan
penuh cinta bersama golongan nonmuslim.38
Sebagaimana Hasbi al-
Shiddieqy yang berpendapat bahwa orang-orang beriman sebetulnya
37
Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nur, jilid 2, h. 1110-1101. 38
Syeikh Nawawi al-Bantani, Tafsīr Marāh Labīd, jilid 1, h. 208.
95
benar-benar tidak layak mengerjakan apa yang dilarang oleh Allah,
yaitu menjadikan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani
sebagai penolong yang erat. Seperti memberikan kasih sayangnya
kepada mereka, berjanji setia dan membuka rahasia agama Islam
kepada mereka.39
Siapa saja yang menjadikan mereka demikian
dengan mengesampingkan Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin,
maka dia termasuk golongan mereka dalam memerangi Allah, Rasul,
dan kaum mukmin.40
Hal ini sebagaimana dalam riwayat dari Abdul Humaid, bahwa
sahabat Rasulullah saw. yang terkenal, yaitu Hudzaifah bin Yaman
pernah berkata:
رع ش ي ل و ى ا و ي ان ر ص ن و ا أ ي د و ه ي ن و ك ي ن أ م دك ح أ ق ت ي ل و “Hati-hati tiap-tiap orang diantara kamu, bahwa dia telah menjadi
Yahudi atau Nasrani, sedang dia tidak merasa.”
Lalu dibacanya ayat al-Maidah ayat 51, yaitu jika seseorang
telah menjadikan Yahudi dan nasrani sebagai pemimpin, maka dia
telah termasuk ke dalam agama pemimpin yang diangkatnya.41
Kemudian untuk memperteguh disiplin, menyisihkan mana
kawan mana lawan, Hamka menegaskan bahwa melalui ayat ini Allah
melarang orang-orang beriman untuk menjadikan orang dari kalangan
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin umat muslim.42
39
Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nur, jilid 2, h. 1097. 40
Al-Thabari, Jami' al-Bayan, Juz IV, h. 615. 41
Hamka, Tafsir al-Azhar jiid Juz IV, hlm. 276 42
Hamka, Tafsir al-Azhar jiid Juz IV, hlm. 278.
96
Karena Yahudi dan Nasrani merupakan dua golongan yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka menjadi musuh Allah dan
Rasul-Nya. Oleh sebab itu, seorang mukmin yang menjadikan Yahudi
atau Nasrani sebagai auliyā, maka ia menjadi bagian dari mereka,
yakni menjadi sahabat mereka, dan akan masuk neraka sama halnya
seperti mereka.43
Dengan demikian, sepatutnya seorang mukmin tidak
menjadikan Yahudi ataupun Nasrani sebagai auliyā'/waliy dengan
mengabaikan orang-orang mukmin, karena tindakan tersebut dianggap
sebagai persekongkolan muslim dengan kelompok nonmuslim untuk
memusuhi kaum mukmin.44
Namun, apakah pandangan di atas dapat sepenuhnya dipahami
secara mutlak, seperti yang terjadi dewasa ini? Dan dapatkah
disimpulkan bahwa siapa saja yang bekerjasama dengan nonmuslim
tersebut tidak boleh dijadikan pemimpin atau teman dekat?.
Jika kesimpulan yang diambil adalah demikian, maka tentu saja
logika lanjutannya memang yang bekerjasama dengan mereka adalah
bagian darinya. Akan tetapi, sebagaimana telah disampaikan di awal,
bahwa tidak ada larangan bagi umat mukmin untuk berbuat baik dan
bekerjasama dengan nonmuslim yang tidak mendatangkan
kemafsadatan.
43
Imam Al-Qurṭūbī, Tafsīr Al-Qurṭūbī, jilid 6, h. 520. 44
Syahrullah Iskandar (ed.), Kekerasan Atas Nama Agama, h. 190.
97
Selain itu, dalam hal ini M. Quraish Shihab nampaknya
memiliki pandangan yang berbeda dengan mufasir Nusantara lainnya.
Yaitu sebelum menafsirkan QS. al-Mā'idah [5]: 51, beliau
mendahuluinya dengan kata "Jika keadaan orang-orang Yahudi dan
Nasrani atau siapa pun seperti yang dilukiskan oleh ayat-ayat yang
lalu, maka janganlah mengambil mereka sebagai auliyā’".45
Secara
tersirat, redaksi ini seolah mengajak para pembaca untuk mengetahui
lebih dulu sifat-sifat buruk kedua golongan tersebut yang dikecam
dalam al-Qur'an.
Beberapa sifat buruk golongan nonmuslim yang dikecam al-
Qur'an adalah orang-orang kalangan ahlul kitab selalu berupaya untuk
mengalihkan umat Islam dari agamanya, seperti sifat hasad/dengki
mereka, melalui firman Allah swt. dalam (QS. an-Nisā' [4]: 54);
selanjutnya, mereka memperolok-olok agama Islam dan menghina
kesuciannya, salah satunya adalah pelecehan mereka terhadap adzan
yang dikumandangkan umat Islam (QS. al-Mā'idah [5]: 120); dan
apabila mereka mendapat kemenangan terhadap umat muslim, mereka
tidak memelihara hubungan kekerabatan dan tidak pula perjanjian (QS.
al-Taubah [9]: 8); dan lain-lain.
Selain itu, pergulatan sejarah yang kelam antara umat muslim
dan nonmulim, terutama saat terjadi pengkhinatan kaum Yahudi
terhadap Nabi Muhammad di Madinah, dukungan kaum Nasrani
45
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh,Vol. 3, Cet. 1, h. 122.
98
terhadap tentara Salib dalam perang salib (1097-1291 M), dan
belakangan munculnya kolonialisme Barat terhadap dunia Islam pada
masa modern, juga menjadi alasan kuat dari larangan menjadikan
mereka sebagai auliyā'.
Setelah mengetahui sebagian sifat-sifat nonmuslim yang
dikecam al-Qur'an di atas, M. Quraish Shihab menyatakan, "Jika
keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani atau siapa pun seperti yang
dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu..." mengindikasikan bahwa
larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin/auliyā' adalah
larangan yang bersyarat. Sebagaimana ungkapan beliau sebelum
menafsirkan QS. al-Mā'idah ayat 57, "Kini kembali dipertegas
larangan mengangkat nonmuslim menjadi auliyā', tetapi disertai
dengan alasan larangan tersebut."
Menurut M. Quraish Shihab, sebagian orang bahkan ulama,
tidak menyadari bahwa kecaman dan sifat-sifat buruk yang
disandangkan kepada nonmuslim hanya tertuju kepada sebagian dari
mereka, sehingga banyak kalangan yang menduganya bersifat mutlak,
yakni berlaku bagi semua nonmuslim.46
Padahal, sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam bab III, bahwa al-Qur'an juga memberikan
pujian dan penghargaan bagi kalangan nonmuslim yang beriman dan
bersifat baik kepada umat muslim. Lebih lanjut, Quraish Shihab
mengatakan;
46
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, h. 320.
99
"Disebabkan oleh sifat-sifat atau ciri-ciri inilah muncul
kecaman itu. Karenanya, kecaman tersebut tidak berlaku bagi
mereka yang tidak memiliki sifat dan ciri demikian, meski
berasal dari keturunan Ishaq (Yahudi). Sebaliknya, siapapun
yang memiliki sifat-sifat demikian, baik dari keturunan Ishaq
maupun Nabi lain, entah menganut ajaran Yudisme maupun
Islam semuanya wajar untuk dikecam."47
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa larangan ini hanya
berlaku bagi orang nonmuslim yang dapat merusak kemaslahatan umat
Islam seperti yang telah digambarkan di atas. Karena menjadikan
mereka sebagai pemimpin berarti meletakkan perwalian bukan pada
tempatnya, dan juga dipandang sebagai orang yang zalim, sehingga
Allah tidak akan menunjuki orang tersebut kepada kebajikan.48
Adapun nonmuslim yang berperangai baik dan tidak
menimbulkan kemafsadatan bagi umat mukmin, maka tidak ada
larangan untuk menjadikannya pemimpin. Karena kepemimpinan
adalah amanah yang harus diserahkan kepada orang-orang yang
sanggup mengembannya meskipun ia nonmuslim. Sebagaimana yang
dikutip oleh Quraish Shihab, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"apabila amanat disia-siakan, maka nantikanlah kehancuran." Ketika
ditanya: "bagaimana menyia-nyiakannya?" Beliau menjawab: "yaitu
apabila wewenang pengelolaan diserahkan kepada yang tidak
mampu."49
Maka tidak salah bila Nabi menolak Abu Dzar ketika
47
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, h. 319. 48
Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Qur'anul Majid an-Nur, jilid 2, h. 1099. 49
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, h. 319.
100
meminta suatu jabatan, karena Nabi saw. tahu bahwa Abu Dzar adalah
orang yang lemah dalam memegang suatu jabatan.
Sebab itulah, sebagai negara bangsa yang tidak mengambil
syariah Islam menjadi dasar negara. Maka, memilih pemimpin
nonmuslim tidak dilarang di negara ini, selama ia mampu dalam
mengemban amanah kepemimpinan. Namun, hendaknya tetap
memprioritaskan orang beriman yang mumpuni dalam mengemban
amanah kepemimpinan.50
50
M. Quraih Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Vol. II, h. 73.
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, disimpulkan bahwa dalam
menafsirkan QS. Āli-Imrān[3]: 28; al-Nisā [4]: 144; dan al-Māidah [5]:
51, Hasbi al-Shiddieqy, Syeikh Nawawi, dan Buya Hamka cenderung
tekstual dalam memahami larangan menjadikan nonmuslim sebagai
auliyā'. Hal ini terlihat melalui pendapatnya bahwa orang-orang
mukmin yang mengangkat orang kafir sebagai pemimpin dianggap
telah keluar dari barisan Islam dan terlepas dari pertolongan Allah swt.
Alasannya karena ada kekhawatiran kepada orang kafir yang
dapat mendatangkan kemudaratan, kerusakan, dan kehancuran terhdap
agama Islam. Pendapat ini juga dipengaruhi oleh kondisi sosial pada
saat mufassir di atas menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, dimana masih
maraknya penjajahan dari hindia-belanda di Indonesia yang juga
membawa misi kristenisasi. Selain itu, pemaknaan "kafir" dari para
mufassir juga mempengaruhi hasil penafsiran, dimana mereka yang
dianggap sebagai orang yang tidak percaya kepada Tuhan, sehingga
bagaimana mungkin orang yang tidak percaya kepada Tuhan diangkat
menjadi pemimpin?.
Berbeda halnya dengan pendapat di atas, M. Quraish Shihab
justru bersikap toleran dan lebih kontekstual dalam menafsirkan ayat di
102
atas. Secara tersirat beliau menegaskan bahwa larangan memilih
pemimpin nonmuslim dalam al-Qur'an hanya ditujukan kepada
golongan Yahudi, Nasrani, dan orang-orang kafir yang memiliki
perangai buruk, sebagaimana yang telah dikecam dalam al-Qur'an.
Dengan demikian, nonmuslim yang tidak memiliki sifat seperti ini,
tidak ada larangan menjadikannya pemimpin negara. Namun, alangkah
lebih baik jika mengutamakan orang mukmin.
Selanjutnya, keempat mufasir di atas sepakat memberikan
pengecualian kepada mukmin yang terancam keselamatan jiwanya
untuk bertaqiyyah. Meski demikian, Hamka tetap menganjurkan orang
mukmin untuk tidak bertaqiyyah, karena bagaimana pun sulitnya,
perlawanan terhadap orang kafir itu lebih baik daripada bertaqiyyah.
B. Saran-saran
1. Penulis berharap agar pembaca memahami hukum memilih
pemimpin nonmuslim dari sudut pandang ulama Nusantara, yang
sedikit banyaknya dipengaruhi konteks sosial dan budaya
Indonesia.
2. Penulis juga berharap agar masyarakat selalu bersikap kritis
terhadap permasalahan yang terjadi dewasa ini, sehingga lebih
objektif dalam memahami suatu masalah.
103
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. "Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakan dan
Problem HAM di Indonesia, Jurnal MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu
Keislaman, vol. XXXVIII. no. 2 (Juli-Desember 2014), h. 379.
Abdullah, Taufik dan Karim, Rusli. Metodologi Penelitian Agama,
Suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
Ahmad, Abi Husain. Mu'jam Maqayis al-Lughah Juz al-Awal. Beirut:
Darul Fikri, 1979.
Aizid, Rizem. Al-Qur'an Mengungkap Tentang Yahudi. Yogyakarta:
Diva Press, 2015.
Amara, Muhammad. Islam and Human Rights: Requisite Necessities
rather than the Right. Rabat: ISESCO, 1996.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Tangerang: Mazhab Ciputat,
2013.
Antonio, Muhammad Syafii. Ensiklopedia Leadership & Manajemen
Muhammad Saw: The Super Leader Super Manager. Jakarta:
Tazkia Publishing, 2011.
Asa, Syu'bah. Dalam Cahaya al-Qur'an: Tafsir Ayat-ayat Sosial
Politik. Jakarta: PT Gramedia, 2000.
Al-Syāwi, Taufiq Muhammad. Demokrasi atau Syura. Depok: Gema
Insani, 2013.
Āsyūr, Imam Syaikh Muhammad Thāhir Ibnu. Tafsīr al-Tahrīr wa al-
Tanwīr. Tunisia: Jami'i Huqūqi al-Thab'i Mahfūdzati Li al-Dāri
al-Tūnisiyati Li al-Nasyr, 1984.
Al-Baghāwī, Imam. Tafsīr al-Baghawī: Ma'ālim al-Tanzil. Riyadh:
Daar Thaibah: 1989.
Bantani, al, Syeikh Nawawi, Tafsir Marah Labid. T.tp.: Daar al-Kutub
al-Islamiyah, t.th.
Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia. penerjemah: Safroedin
Bahar. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
104
Cawidu, Hafirudin . Konsep Kufur Dalam al-Qur'an: Suatu Kajian
Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Tafsirnya. Jakarta: Lembaga
Percetakan al-Qur'an Depag RI, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi III Cet. II. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Al-Dimsyaqi, Ibnu katsīr. Tafsīr al-Qur'ān al-'Adzīm. Yaman:
Maktabah Aulād al-Syaikh Li al-Turāts, 2000.
Djaelani, Abdul Qadir. Mewujudkan Masyarakat Sejahtera dan
Damai, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.
Djamal, Murni. Kesetaraan hak-hak nonmuslim dalam perspektif al-
Qur'an dan hadits. Jakarta: CSRS UIN Jakarta, 2004.
Djunaedi, A. F. "Filosofi dan Etika Kepemimpinan dalam Islam."
Jurnal al-Mawarid Edisi XIII, 2015.
Echols, John, dan Shadily, Hassan. An English-Indonesian Dictionary,
Cet. XXV. Jakarta: PT. Gramedia, 2003.
Effendy, Bachtiar. Jalan Tengah Politik Islam. Jakarta: Ushul Press,
2005.
Firdaus, Deni Hamdani. Kamus al-Qur'an: Cara Mudah Mencari
Makna dalam al-Qur'an. Purwakarta: Pustaka Ancala, 2007.
Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam. Jakarta: Gema Insani, 2015.
Hamka, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985.
Hanafi, Muchlis. Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kenegaraan: Tafsir al-
Qu’an Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Qur‟an, 2011.
Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal. Riyadh: Bait al-
Afkār al-Dauliyah Li al-Nasyr wa al-Tauzī', 1998.
Harahap, Syahrin. Islam Dinamis: menegakkan nilai-nilai ajaran al-
Qur'an dalam kehidupan modern di Indonesia. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.
105
Helmanita, Karlina. Pluralisme dan Inklusivisme Islam di Indonesia
Ke Arah Dialog Lintas Agama. Jakarta: CSRC UIN Jakarta,
2004.
Hendropriyono, A.M. Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi,
Islam. Jakarta: PT Kompas Media, 2009.
Hidayat, Komaruddin . Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura
books, 2012.
Hidayat, Surahman , Islam Pluralisme & Perdamaian. Jakarta: Fikr,
2008.
Husaini, Adian. Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam.
Jakarta: Gema Insani, 2004.
Ibnu Taimiyah, al-Siyāsah al-Syar'iyah fi Islāh al-Ra'iy Wa al-
Ra'iyyah. Riyadh: Wizārat al-Syu'ūni al-Islāmiyah, 1418.
Al-Ifrīqī, Ibnu Mandzūr. Lisān al-'Arāb. Saudi Arabia: Wizārah al-
Syu'ūni al-Islāmiyyah wa al-Auqāf wa al-Da'wah wa al-Irsyād,
t.t.
Ilham, "Respons Kelompok Muslim Terhadap Kepemimpinan
Nonmuslim: Studi Kasus di Kelurahan Lenteng Agung."
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2015.
Iqbal, Asep Muhammad. Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur'an:
Hubungan antaragama menurut Syeikh Nawawi al-Bantani.
Bandung: PT. Mizan Publika, 2004.
Iqbal, TM. Dhani, ed. Toleransi dan Perkauman. T.tp: Perkumpulan
Lentera Timur, 2014.
Kamil, Sukron. Al-Qur'an-Hadits dan Demokrasi: Analisis Penafsiran
dan Praktiknya. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2004.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara,
Demokrasi, Civil Siciety, Syariah dan HAM, Fundamentalisme,
dan Antikorupsi. Jakarta: Kencana, 2013.
Karim, Abdul. Islam dan Kemerdekaan Indonesia: Membongkar
Marginalisasi Peranan Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan
RI. Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005.
106
Katsīr, Ismā‟īl bin „Umar. Tafsir al-Qur’anil ‘Azim. Beirut:Dārul Fikr,
1998.
Kementrian agama RI. Tafsir al-Qur’an Tematik: al-Qur’an dan
Kenegaraan. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an.
2011.
Khalik, Farid Abdul. Fikih Politik Islam. Penerjemah: Faturrahman A.
Hamid. Jakarta: Amzah, 2005.
Khan, Qomaruddin. Pemikiran Ibnu Taimiyah. Penerjemah Anas
Mahyudin. Bandung: Penerbit Pusaka, 1983.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi. Imam Penerus Nabi Muhammad Saw:
Tinjauan Historis, Teologis dan Filosofis. Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 2004.
Lubis, Nabilah, ed. Ensiklopedia Nabi Muhammad Saw. Sebagai
Pemimpin. Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2011.
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: sebuah Refleksi Sejara. Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2009.
Marasabessy, Abdul Rahman I. "Al-Qur'an dan Pluralitas: Membangun
Kehidupan Masyarakat yang Majemuk." Jurnal MIQOT :
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman (Juli-Desember 2012): h. 226-227.
Al-Maudūdi, Abu al-A'la. Khilafah dan Kerajaan (Terjemah),
Bandung: Mizan, 1996.
Al-Mawardi, Abu Hasan. Al-Ahkām al-Sulthāniyah wa al-Wilāyah al-
Dīniyyah Beirut: Daar al-kutub al-'ilmiyah, 1971.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur'an: Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki. Tangerang: Ciputat Press, 2005.
Noor, Akmaldin, dan Mukhlish, Aa Fuad. Al-Qur'an Tematis: Allah
SWT dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: Yayasan SIMAQ,
2010.
Nusrati, Ali Asgar. Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, Jakarta:
Nur al-Huda, 2015.
107
Pasha, Abdurrahman Azzam. Konsepsi Perdamaian Islam. Jakarta: PT.
Karya Unipress, 1985.
Purnomo, Bagus. "Toleransi Religius Antara Prularisme dan Pluralitas
Agama dalam Perspektif Al-Qur'an", Jurnal SUHUF: Jurnal
Kajian al-Qur'an, vol. 6, no. 1 (2013): h. 83.
Qardhawi, Yusuf. Sunnah Rasul, Sumber Ilmu Pengetahuan dan
Peradaban. Penerjemah: Abdul Hayyi al-Kattanie dan abdul
Zulfikar. Jakarta: Gema Insani Press, 1988.
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Ẓilal al-Qur'an. Penerjemah: As'ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah. Jakarta:
Gema Insani, 2000.
Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Rahman, Afzalur. Muhammad sebagai Pemimpin Militer. Penerjemah:
Muhammad Hasyim Assagaf. Jakarta: YAPI, 1990.
Ramadlan, Syamsuddin. Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah.
Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003.
Al-Razi, Fakhr Al-din al-Razi Muhammad bin Umar. Al-Tafsīr al-
Kabīr. Beirut: Dar kutub al-'ilmiyah, 2000.
Rif'atul Hasanah, Kerukunan Umat Beragama, Magelang: PKBM
Ngudi Ilmu, 2014.
Saefuddin, A.M. Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim. Jakarta: Gema
Insani Press, 1996.
Said, Rukman Abdul Rahman. "Hubungan Islam dan Yahudi dalam
Lintasan Sejarah," Jurnal al-Asas, vol. III, no. 1 (April 2015):
h. 47.
Salus, Ali. Imāmah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i. Penerjemah,
Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Gema Insani, 1997.
Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Qur'anul Majid an-
Nur. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.
Shihab, Quraish. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an.
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007.
108
Shihab, Quraish. Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata Jilid 2.
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Supyan, Muhammad Dian. "Kepemimpinan Islam Dalam Tafsir Al-
Misbah Karya M. Quraish Shihab." Skripsi S1 fakultas Dakwah
UIN Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Suyuthi, Jalal al-Dīn. Al-Durru al-Mantsūr Fī al-Tafsīr bi al-Ma'tsūr.
Mesir: Markaz li al-Buhūts wa al-Dirāsāt al-'Arabiyah wa al-
Islāmiyah, 2003.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1990.
Syarif, Mujar Ibnu . Moderasi Islam: Menangkal Radikal berbasis
Agama. Tangerang: Pusat Studi al-Qur'an, 2013.
Syarif, Mujar Ibnu. Presiden nonmuslim di Negara muslim: Tinjauan
dari perspektif politik Islam dan relevansinya dalam konteks
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Syarifuddin, Rohmat. "Pengangkatan Pemimpin Nonmuslim dalam Al-
Qur'an." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN
Walisongo Semarang, 2016.
Syauqi, al-Mu'jam al-Wasith. Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah,
2004.
Al-Syawi, Taufiq Muhammad. Demokrasi atau Syura. Penerjemah:
Djamaluddin, Z.S. Depok: Gema Insani, 2013.
Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syar'iyyah fī Ishlāh al-Rā'iy wa al-
Ra'iyyah. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989.
Tantāwi, Muhammad Sayyed. al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-
Karīm. Kairo: Dār Nahdah, 1997.
Al-Thabari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir. Tafsir al-Thabari.
Penerjemah Abdul Somad. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Thalib, Muhammad. 76 Karakter Yahudi Dalam Al-Qur'an. Solo: CV.
Pustaka Mantiq, 1992.
109
Tim Penulis Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) IDEA Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo, "Idea: Diskursus Transformasi
Intelektual", edisi 32 (September 2012): h. 8.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Tumanggor, Rusmin. Sosiologi Dalam Perspektif Islam. Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2004.
Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman al-Qur'an dan Hadits.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014.
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama
Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: Yayasan Abad
Demokrasi, 2011.
Zakariya, Abi Husain Ahmad bin Faris. Mu'jam Maqayis al-Lughah
Juz al-Awal. Beirut: Darul Fikri, 1979.
Zaqzuq, Mahmud Hamdi. Reposisi Islam di Era Globalisasi.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Al-Zāwī, Thahir Ahmad. Mukhtār al-Qāmūs: Murātibi 'alā tharīqati
Mukhtāral-Shihāh wa al-Misbāh al-Munīr. Libya: al-Dār al-
'Arabiyyah li al-Kitāb, t.t.
Zulfahmi, "Analisis hadits Tentang Bangsa Yahudi: Suatu Kajian
dengan Pendekatan Kritik Hadits." Jurnal al-Risālah, vol. 15,
no. 2 (Nopember 2015) h.150.
Curiculum Vitae
DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Siti Rodiah
Agama : Islam
No. HP : 085718615196
Email : [email protected]/
Tempat tanggal lahir : Bogor, 15 Agustus 1995
Alamat sesuai KTP : Kp. Dungus Biuk Rt.002/005
Desa Babakan Kec. Tenjo
Kab. Bogor
Alamat tinggal sekarang : Asrama Putri UIN Jakarta, Jln. Ibnu Taimiya IV
Nomor 163, Pisangan, Ciputat- Tangerang Selatan
Banten.
RIWAYAT PENDIDIKAN
2000-2001 : DKM (TPA) Assulaha, Cieurih-Tasikmalaya
2001-2003 : MI Assulaha Cieurih, Kab. Cibeureum-Tasikmalaya
2003-2007 : SDN Babakan 04 Tenjo-Kab. Bogor
2007-2010 : Pon-Pes Al-Ihsan Parung Panjang-Kab. Bogor
2010-2013 : Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 5 Bogor
2013-sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI DAN KOMUNITAS
2007 - 2009 : Palang Merah Remaja (PMR) jabatan sebagai Divisi Kesehatan
2007 – 2009 : Sekretaris OSIS Mts Al-Ihsan
2010 - 2013 : Ketua Umum Ekstrakulikuler Kaligrafi MAN 5 Bogor
2014 - 2015 : Organisasi Mahasantri Ma’had Putri UIN Jakarta sebagai Ketua
2013 – 2016 : UKM HIQMA sebagai pengurus Divisi PO (Project Officer)
2015 – 2017 : Mudabbirah Ma’had dan Asrama Putri UIN Jakarta - Bid.
Kemahasantrian
2015 : Volunteer Dompet Dhuafa (Bidang Food Adventure)
2015 : Volunteer di Daarul Quran (Qurban dan Aqiqah)
2013 – sekarang : Kepala Yayasan Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) Daarul Iman.
Desa Babakan, Kec. Tenjo-Kab.Bogor
2013 – sekarang : Pendiri Rumah Baca Dungus Biuk (RuBaDuBi)
2015 – sekarang : Ikatan Santri Pecinta Perdamaian (CSRC UIN Jakarta)
2016 – sekarang : Ikatan Volunteer Narasumber RuBi (Ruang Berbagi Ilmu) Halmahera
Utara-Maluku Utara. 2016
2016- sekarang : Komunitas Rubadubi (Rumah Baca Dungus Biuk) sebagai ketua.
2017- sekarang : Creative Tim Komunitas Arsa Regional Bogor
PRESTASI YANG PERNAH DIRAIH:
1. Juara 1 Lomba Fahmil Qur’an Parungpanjang-Bogor
2. Juara III Ceramah Agama MAN 5 Bogor 2013
3. Juara III Ceramah Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015
4. Menjadi Relawan Narasumber terpilih di RuBi (Ruang Berbagi Ilmu) Yayasan
Indonesia Mengajar di Halmahera Utara-Maluku Utara 2016
5. Menjadi Relawan Pengajar di Pedalaman Aceh Tengah dalam Kegiatan Traveling and
Teaching #4 1000 Guru Atjeh pada tahun 2016
6. Menjadi Praktivist di Event Hidden Park Taman Tebet selama 1 Bulan di tahun 2016
7. Peraih SAA (Student Achievements AwardA) UIN Jakarta, kategori III (Menjadi
Pembicara tingkat Nasional) 2016.
8. Peraih PMA (Pengabdian Masyarakat Award) PPM-LP2M UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2016.
9. Relawan Inspirator Kelas Inspirasi Kapuas-Kalimantan Tengah, 09 Maret 2017.
10. Peserta terpilih Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) Kemenko Maritim Rute Nusa
Tenggara Barat, 17-24 September 2017