tabloid edukasia edisi mei 2012

16
ADI PURWANTO : HAJATAN NASIONAL KETIKA PEKERJAAN BIKIN “KELAS” ITU TIDAK MEMUASKAN Prestasi Halaman 9 Halaman 5 Halaman 16 TERBIT DWI MINGGUAN | EDISI 2 | MINGGU I-II | MEI 2012 HARGA Rp. 3.500 INGIN BERKENALAN DENGAN GURU-GURU BAMBANG Suhartono MEMACU PRESTASI DENGAN KESEDERHANAAN ALAMI KEJENUHAN HANIFA NUR APRILIAN

Upload: warta-blora

Post on 10-Mar-2016

258 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Tabloid Edukasia Edisi II Mei 2012 - Kerjasama wartablora.com dengan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Blora

TRANSCRIPT

Page 1: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

ADI PURWANTO :

UJIAN NASIONAL 2012HAJATAN NASIONAL

KETIKA PEKERJAAN

BIKIN “KELAS” ITU TIDAK

MEMUASKAN

Prestasi

Halaman 9

Halaman 5

Halaman 16

TERBIT DWI MINGGUAN | EDISI 2 | MINGGU I-II | MEI 2012 HARGA Rp. 3.500

INGINBERKENALANDENGAN GURU-GURU

BAMBANG Suhartono

MEMACU PRESTASI DENGAN

KESEDERHANAAN ALAMI KEJENUHANHANIFA NUR APRILIAN

Page 2: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

KARIKATUR Dari Redaksi

2EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012Edukasiana

Redaksi tabloid EDUKASIA menerima kisah anekdot tentang dunia pendidikan. Lebih me-

narik jika dari kisah nyata. Naskah dapat dikirim melalui email ke:

[email protected]

ANEKDOT

TERBITAN Tabloid Edukasia edisi dua ini agak molor. Rencana terbit dua mingguan pada edisi dua ini berganti dengan bulanan. Pada terbitan perdana edar di Minggu II bulan lalu. Edisi dua ini di Minggu II bulan ini.

Terbitan yang molor ini kami sadari dengan beberapa persoa-lan yang sesegera mungkin perlu dibenahi. Mulai dari keterbatasan tenaga redaksi, ketersediaan anggaran untuk mencukupi kebutu-han operasional, hingga persoalan belum dimilikinya kantor yang representatif.

Namun keterbatasan ini tetap tak membuat kami surut berkarya buat mendorong berbagai pihak untuk kemajuan dunia pendidikan di Blora, baik dari mutu hingga fasilitas. Sehingga meskipun molor, tabloid di tangan anda ini tetap kami terbitkan.

Awal dari terbitnya tabloid ini bagi kami sendiri bukanlah ide yang selama ini kami miliki. Dengan bekal pengalaman kami menerbitkan media cetak yang membutuhkan penganggaran leb-ih dari terjangkau, bisa disebut tindakan nekad untuk menerbitkan media cetak kembali. Namun lagi-lagi ada tanggung jawab sebagai orang asli Blora yang menyaksikan belum terpenuhinya harapan-harapan kami untuk dunia pendidikan di Blora. Sehingga ide untuk menerbitkan media yang khusus di segmen pendidikan akhirnya kami terima.

Sebelum ide diterbitkannya tabloid ini, mulanya adalah per-mintaan untuk menerbitkan jurnal pendidikan. Terbitan jurnal ini dengan tujuan sebagai media yang dipakai sebagai acuan kedina-san untuk naik pangkatnya seorang guru. Bentuk jurnal juga lebih mirip buku, yang ketebalan isinya bisa ratusan. Penerbitan jurnal hanya terbatas pada konsumsinya. Jurnal juga khusus menampung tulisan-tulisan berbahasa ilmiah yang hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu.

Wacana akhirnya berkembang lebih luas untuk menampung semua bentuk tulisan. Intinya: guru disediakan tempat untuk menggagas apa saja yang berkaitan dengan pekerjaannya. Bahkan ide-ide untuk memperbaiki hasil pekerjaannya.

Tak tanggung-tanggung, kami membuka kesempatan tulisan yang berbau otokritik. Karena otokritik sangat diperlukan untuk ber-benah dari dalam.

Pada akhirnya, kami akan tetap berusaha untuk menerbitkan media yang khusus untuk segmen pendidikan dengan segala ke-terbatasan yang ada. Dengan harapan mampu menjadi motor pe-rubahan yang lebih baik buat dunia pendidikan di Blora khususnya. (*)

Harapan itu Masih Ada

Tabloid Redaksi Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi : Gatot Aribowo Redaktur : G. Aribowo, Ari Suyono Redaktur Tamu : Sunaryo, Yatno Yuwono Fotografer : Maidarina G Artistik : ReeHan Tata letak : Leo R Hananto, Herman Josan

Alamat Redaksi/ManajemenJln. Rajawali XII no. 2 BloraTelepon : 0296-525025Faks : 0296-525025http://edukasia.wartablora.comemail : [email protected]

Tabloid EDUKASIA diterbitkan oleh CV. TUNAS KARYA dan CV. DJIRANANDA MEDIA KARYA

ManajemenManajer Umum: SuriptoPemasaran : Agung Pramono, Murino, Manbek, M. Andi RifaiKoordinator Iklan : Teguh Ari WibowoKeuangan : PriyadiBagian Umum : Maryanto

Ketika itu sedang berlangsung pelajaran Sejarah.

Pak Guru: "Tommy, siapa yang membunuh John F. Kennedy?"

Tommy (dengan wajah pucat): "Bu... bukan saya, Pak!"

Pak Guru (marah): "Jangan main2, ya, kamu! Cepat jawab: Sia­pa yang membunuh John F. Ken­nedy??"

Tommy: "Sungguh mati, Pak! Bukan saya!"

Pak Guru: "Dasar anak bandel. Besok panggil ayahmu untuk ber­bicara dengan saya!"

Besoknya, datanglah ayah Tom­my menghadap Pak Guru.

Pak Guru: "Anak Bapak benar2 nakal. Bayangkan, ketika saya tanyakan kepadanya: Siapa yang membunuh John F. Kennedy. Dia jawab : Bukan dia! Tolong Bapak memberi nasihat kepadanya!"

Bapak Tommy: "Baiklah, saya akan berbicara dengannya."

Pendidikan dan PekerjaanSeorang pemuda baru lulus

dari SMU. Karena tidak punya bi­aya akhirnya dia memutuskan untuk bekerja. Oleh karena itu dia mendatangi pamannya yang salah seorang pengurus partai politik un­tuk dicarikan kerja.

“Paman, tolong carikan saya pe­kerjaan dong,” pinta pemuda itu.

“Wah lulusan SMU ya. Kalo be­gitu sebaiknya jadi pengurus partai aja,” kata pamannya.

“Kenapa begitu, Paman?” tan­yanya polos.

“Mmmm...kamu tahu nggak enaknya jadi pengurus partai itu,

Tidak lama kemudian, kem­balilah Bapak Tommy kepada Pak Guru.

Dengan wajah serius dia ber­kata, "Tommy memang anak yang nakal. Tetapi, dia takut ke­pada saya. Dia tidak berani ber­bohong kepada saya. Saya telah

Antara Tommy, Bapaknya, dan Gurunya

bertanya kepadanya beberapa kali. Ternyata, memang dia bu­kan yang membunuh John. F. Kennedy!!" (*)

suatu saat nanti kamu bisa jadi anggota DPR, terus jadi ketua DPR/MPR, bahkan jadi menteri, wakil presiden atau presiden se­kalipun juga bisa,” tambah pa­mannya penuh semangat.

“Wah paman saya nggak mau muluk­muluk, saya minta yang sederhana saja, kaya guru SD mis­alnya,” jawab pemuda itu.

Sang paman berpikir seben­tar kemudian berkata, “Wah, ka­lau itu permintaanmu seperti­nya agak susah, karena jadi guru SD kamu harus sarjana, goblok petock!” (*)

Page 3: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

3 EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012

BLORA (Edukasia) ­ Seorang murid di SD 2 Jetis menjalani ujian nasionalnya di rumah sakit. Ang­git Huda, nama murid tersebut, mengalami kecelakaan beberapa hari sebelum digelarnya ujian na­sional SD pada 7 Mei lalu. Anggit kecelakaan bersama orang tuanya.

Kondisi Anggit saat disam­bangi Kontibutor Edukasia Andi Eko Prasetyo masih cukup lemah. Tangannya sulit digerakan untuk membuka lembaran­lembaran soal ujian. Tiga pengawas, 2 dari sekolah lain dan 1 dari UPTD tu­rut membantu Anggit membuka lembaran soal.

Meski dalam keadaan sakit,

Anggit tetap melaksanakan ujian nasional guna mendapatkan kelu­lusan. Meski terkendala oleh kon­disi fisiknya, Anggit dapat menye­lesaikan dengan baik tanpa adanya kecurangan.

Sementara di luar ruangan bangsal RSU Blora, tampak orang tua Anggit turut mendampingi anaknya melaksanakan ujian.

“Setelah mendapatkan ijin dari dokter, dan kami mengharapkan anak kami dapat menyelesaikan ujian. Jadi kami meminta pihak sekolah bahwa anak kami tetap melaksanakan ujian nasional. Mesti kami khawatir kondisi anak yang sedang sakit sehingga mempenga­

Murid SD 2 Jetis Kerjakan UN di RS

Anggit, murid SD 2 Jetis sedang mengerjakan Ujian Nasional di salah satu ruang RSU Dr. Soetijono Blora. Tampak 2 pengawas memperhatikan Anggit berkonsentrasi menyelesaikan soal demi soal Ujian. (Foto : Andi Eko Prasetyo)

Redaksi Tabloid EDUKASIA menerima tulisan reportase tentang kegiatan dan seremonial di institusi kedinasan atau sekolah. Naskah dapat anda kirim melalui email ke: [email protected] dengan dilampiri foto kegiatan.Informasi kegiatan juga dapat anda sampaikan melalui SMS ke

085717181878.

Warta Edukasiaruhi hasil ujian,” kata Geno, orang tua Anggit.

Meski lancer, Anggit dalam mengerjakan soal­soal ujian sem­pat beberapa kali mengalami ke­sulitan. Luka­luka yang dideritanya akibat kecelakaan kerap membuat dia kehilangan konsentrasi.

Sementara itu Rusman, Kepala UPTD Kecamatan Blora Kota Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahra­ga Kabupaten Blora mengatakan, dengan adanya siswa sekolah dasar yang mengalami musibah pihaknya tetap memberikan kes­empatan untuk melakukan ujian meski di rumah sakit.

“Untuk menghindari kecuran­gan kami memberikan penga­wasan tiga orang, dua dari sekolah lain dan satu dari pengawas UPTD,” kata Rusman. (*)

DUA lompatan salto di­peragakan Adit, anak kelas 4 SD 1 Sambong di Aula Dinas Pendi­dikan Kabupaten Blora siang itu. Diiring tetabuhan dari teman­temannya yang duduk sebagai pengrawit, Adit dengan keluwe­sannya mengolah gerak didapuk untuk menjadi Bujang Ngganong. Sementara dua penunggang kuda kepang di pinggir pang­gung masih menunggu aba­aba dari Bujang Ngganong untuk ma­suk ke pentas memeragakan olah gerak tari yang menggambarkan pasukan berkuda.

Hingga akhirnya BUjang Ng­ganong duduk berlutut, menanti iringan cangkriman Agil Cahyo Sembodo: “Pring ori pring bong­kotan, cegat buri metu brosostan”, lalu disusul dengan tangan kanan Bujang Ngganong memukul ta­nah dan memberi isyarat pasukan berkuda memasuki pentas.

Berjalan dengan langkah melompat­lompat selaras bunyi kendang, Siti Zulaeha dan Janinda Hannisa masuk ke pentas. Dua anak perempuan itu adalah dua penunggang kuda kepang yang sejak tadi menanti gilirannya ma­suk ke panggung.

Giliran dua anak ini memang paling bontot. Awal yang masuk ke panggung adalah David Suher­man, anak kelas 5 SD 1 Sambong. David mengambil peran sebagai

Singo Barong. Gerakannya cukup lincah dibalik barongan yang dib­awakannya. Kadang berguling­guling.

Inilah gambaran cerita olah gerak dan seni tari daerah yang ditampilkan Singo Barong­Siswo Kridho Budoyo milik SD 1 Sam­bong. Ceritanya adalah gambaran suasana Kabupaten Blora yang ke­datangan segerombolan pasukan untuk mengacaukan situasi. Pen­gacau itu Singo Barong. Lalu diha­lau oleh Bujang Ngganong dengan pasukan berkudanya.

Penampilan SD 1 Sambong di lomba ini cukup all out. Ba­yangkan, dari peserta yang tampil tampaknya hanya SD 1 Sambong satu­satunya yang tak menggu­nakan iringan kaset dalam olah gerak dan tarinya. Seperangkat alat karawitan diusung sejauh 30­an kilometer menggunakan kendaraan roda empat. Lengkap dengan penabuhnya. Tak keting­galan Agil yang menabuh kenong. Agil juga dipercaya untuk mem­bawakan pembuka.

Dengan suara dalangnya, Agil memulai pertunjukan dengan hapalannya: “Kalamun ka condro. Candrane Singo Barong. Rambut gimbal. Ka ore rembyak-rembyak. Moto abang koyo suryo kembar. Tutuk mengo lir kadyo guwo mang-kleng. Siunge modot gedhene sak gedang ambon. Ngebyak kiwo nge-

byak nengen. Polahe Singo Barong gawe gegaring bawono. yak yak yak.”

Disusul tetabuhan kendang yang dipegang Damar Jati menga­wali tetabuhan pengrawit, bertu­rut kemudian David, Adit, Siti, dan Janinda tampil ke pentas.

Mereka ini sebenarnya hanya dua hari dipersiapkan untuk me­menangi lomba ini. Namun, ke­senian yang menjadi program eks­tra­kurikuler ini membuat latihan rutin seminggu sekali perlu dijalani anak­anak.

“Setiap hari Selasa kami melaku­kan latihan rutin,” kata seorang guru SD 1 Sambong.

Khusus untuk latihan salto Adit, perlu menjalaninya selama sebulan.

“Selama satu bulanan,” jawab Adit atas pertanyaan berapa lama dia berlatih untuk bisa salto.

Dan kerja anak­anak itu akhir nya cukup membanggakan. Mereka me­nyisihkan tim dari SD 1 Tutup yang menyabet juara II. Sedangkan juara III dipegang tim dari SD Ngelo Cepu.

Tim seni daerah dari SD 1 Sam­bong ini menyatakan siap untuk ditanggap. Kesiapan ini menjawab teriakan penonton yang berseru ingin menanggap mereka.

Sementara itu Ketua Panitia Jasmani menyebutkan, festival dan lomba ini selain untuk mem­peringati hari pendidikan nasional

juga ditujukan untuk membina dan meningkatkan kreativitas dalam bidang seni dan sastra.

“Lomba­lomba yang diadakan antara lain: lomba menyanyi tung­gal, pidato bahasa Indonesia, cipta cerita bergambar, seni tarian dae­rah, seni kriya anyam, seni lukis, cipta baca puisi, dan membatik.” (*)

Penampilan apik dari SD 1 Sambong menghantarkan anak-anak itu menyabet Juara I Lomba Seni Tarian Daerah di rangkaian lomba yang digelar Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Blora pada Senin, 30 April 2012. Se-mentara ada 8 lomba yang dilangsungkan selama sehari itu.

Gelar 8 Lomba Dalam Sehari

Dari Festival dan Lomba Seni Siswa SD Tingkat Kabupaten Blora

Lomba Menyanyi Tunggal : Kingkin Prabawati dari SD K Santa Louisa Cepu.Lomba Pidato Bahasa Indonesia : Febriyanti Diah dari SDN Tempelan-Blora.Lomba cipta cerita Bergambar: M. Galih Kusumo W dari SDN Tempelan-Blora.Lomba Seni Kriya Anyam : Salma Faiz Arifani dari SDN 2 Sidorejo-Kedungtuban.Lomba Seni Lukis: Nadia Dypta W dari SDN Tempelan-Blora.Lomba Cipta Baca Puisi: Retno Ayu Tri Astuti dari SDN 6 Jepon.Lomba Membatik :Yesi Ruwina dari SDN Ngawenombo-Kunduran.Lomba Seni Daerah :SDN 1 Sambong

DAFTAR PEMENANG LOMBA

Penampilan SDN 1 Sambong dalam lomba dan festival seni Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Blora untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. (Foto : Humas Dindikpora)

Page 4: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

Sejumlah 14.889 anak SD mengi-kuti Ujian Nasional (UN) di Kabu-paten Blora tahun ini. Sementara jumlah peserta UN SMP mencapai 12.578 anak, dan peserta UN SMA sejumlah 7.837 anak.

RABU siang di SMK Muhammadiyah 1 Blora. Hening suasana menyambut ke­datangan siapa saja di hari itu. Tulisan “Harap Mesin Dimatikan” di tempat parkir kendaraan tamu bikin semakin lengang. Sementara seorang polisi turut nong-krong di posko ujian. Seperti mencekan, ada 3 polisi yang disertakan dalam keg­iatan ujian sekolah.

Hari itu hari ketiga ujian nasional un­tuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Yang diujikan hari itu adalah matematika. Sekolah kejuruan memang hanya 3 mata pelajaran yang diujikan. Yakni: Bahasa In­donesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Sedangkan SMA tergantung dari pro­gram jurusan yang ditempuh.

Untuk program IPA: 3 mata pelajaran yang diujikan di SMK, ditambah Fisika, Kimia, dan Biologi. Sedangkan program IPS: 3 mata pelajaran yang diujikan di SMK, ditambah Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi. Sementara program bahasa ada: 3 mata pelajaran yang diujikan di SMK, ditambah bahasa asing (selain ba­hasa Inggris), Antropologi, dan Sastra In­

4EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012

donesia. Di program keagamaan: 3 mata pelajaran yang diujikan di SMK, ditambah Tafsir, Fiqih, dan Hadis. Program ke­agamaan ini ada di Madrasah Aliyah (MA).

“Hari ini hari terakhir bagi anak­anak kami. Ada 492 peserta. Ruangan yang di­gunakan ada 25 ruangan. Terbanyak di Blora,” kata Sunarwanto, Kepala SMK Mu­hammadiyah 1 Blora yang ditemui Tab­loid Edukasia di pokso ujian pada Rabu, 18 April 2012 silam.

Keseluruhan peserta ujian dari SMK di Blora sejumlah 4.445 anak. Lebih banyak 1053 anak dibanding peserta ujian dari SMA dan MA. Ditotal se­Blora peserta ujian setingkat menangah atas sejumlah 7.837 anak.

“Untuk jumlah ruangan yang digu­nakan ada 453 ruangan, terdiri 197 ru­angan untuk SMA dan MA ditambah 256 ruangan untuk SMK. Jumlah sekolah yang mengikuti di Blora ada 63 sekolah,” kata Kepala bidang pendidikan menen­gah (Kabid. Dikmen) Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Blora, Marsono.

Ketua Badan Nasional Standar Pendi­dikan (BNSP) Aman Wirakartakusumah menyebutkan ada 2.540.446 anak mengi­kuti ujian nasional untuk SMA dan set­ingkatnya di Indonesia tahun 2012 ini. Sedang jumlah sekolahnya ada 27.232 sekolah, dan ruangan yang digunakan ada 148.352 ruang kelas, serta jumlah

yang mengawasi ada sedikitnya 296.704 orang. Ini belum termasuk jumlah polisi yang disertakan untuk turut mengawasi dan atau menjaga ber langsungnya ujian.

Dari tahun ke tahun jumlah peserta ujian na­sional setingkat SMA terus menin­gkat. Terjadi penu­runan di tahun ajaran 2010/2011 yang jumlah pesertanya ada 2.442.599 anak di 25.656 sekolah di seluruh Indonesia. Sedangkan tahun sebelumnya ada 2.448.071 anak.

buat anak­anak setingkat SMA, anak­anak setingkat SMP menempuh ujian nasional pada 23 April hinga 26 April lalu. Menurut Kasubag Kurikulum di Bi­dang Pendidikan Dasar (Bid. Dikdas) Di­nas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Blora, Sardjono ada sejumlah 12.578 anak yang mengikuti ujian nasi­onal SMP. Jumlah ini terdiri dari 8.837 anak sekolah di SMP/MTs negeri, sisanya di sekolah swasta. Total ruangan yang digunakan sejumlah 654 ruangan kelas di 129 SMP dan setingkatnya di seluruh Kabupaten Blora. Baik negeri, maupun swasta.

Dari data yang didapat Tabloid Edu­kasia, jumlah ketidak­lulusan anak­anak setingkat SMP ini cukup tinggi. Tahun lalu anak yang tidak lulus ada 115 anak. Ter­banyak dari SMP negeri yang ada 84 anak tidak lulus. Sementara swasta 19 anak, dan MTs swasta ada 12 anak.

Jumlah terbanyak ketika pelaksanaan ujian nasional pada 5 tahun silam. Ketika itu anak yang tidak lulus mencapai ham­pir 2.000 anak. Lagi­lagi sekolah negeri menyumbang jumlah ketidak­lulusan terbanyak. Ada mencapai 905 anak tidak lulus. Disusul MTs swasta menyumbang 509 anak, SMP swasta ada 331 anak, SMP terbuka ada 90 anak, dan MTs negeri ada 11 anak.

Mata pelajaran yang diujikan di ujian ini ada 4: Bahasa Indonesia, Bahasa Ing­gris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Ujian Nasional SDUjian nasional untuk sekolah dasar

digelar mulai 7 Mei 2012. Berlangsung 3 hari dengan mata pelajaran yang diuji­kan: Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ada 14.888 anak SD yang akan mengikuti ujian ini di Ka­bupaten Blora. Dengan jumlah ruangan yang akan digunakan mencapai 1.027 ru­angan kelas di 649 SD dan setingkatnya di Kabupaten Blora. Baik negeri, maupun swasta.

Tahun lalu ada 14.425 anak (463 lebih sedikit dari tahun ini) yang ikut ujian. Dari jumlah ini terdapat 37 anak yang tidak lu­lus. Sebagian besar dari SD negeri.

Sedangkan jumlah tidak lulus ter­banyak pernah dialami Kabupaten Blora pada tahun ajaran 2008/2009. Terdapat 458 anak di SD negeri yang tidak lulus. Sementara dari MI (Madrasah Ibtidaiyah) sejumlah 57 anak, dan SD swasta ada 17 anak.

Akankah terjadi penurunan jumlah ketidak­lulusan pada tahun ini?

Hasilnya akan diketahui pada 24 Mei 2012 untuk anak­anak SMA, MA, dan SMK. Sementara untuk SMP satu minggu ke­mudian. Sedangkan untuk SD menunggu kewenangan dari provinsi. (*)

Reporter/Editor: Gatot Aribowo

LIPUTAN Utama

Hajatan Tahunan Ujian Nasional

TAHUN SD / MI / SDLB SMP / MTs / SMPLB SMA / SMK / MA

2006/2007 14.056 12.256 ­

2007/2008 15.169 12.359 6.961

2008/2009 14.569 12.015 7.173

2009/2010 14.028 12.720 7.321

2010/2011 14.425 12.865 7.290

JUMLAH PESERTA UJIAN NASIONAL KAB. BLORA

Sumber : Dindikpora Kab. Blora

Sejumlah siswa tingkat akhir SMK Muhammadiyah 1 Blora sedang mengerjakan soal-soal Ujian NasionalFoto : Reehan

Di Blora, dari data yang didapat Ta­bloid Edukasia, jumlah peserta UN MA tahun ajaran 2010/2011 mencapai 7.293 anak. Dari sejumlah ini, hasilnya ada 11 anak yang tidak lulus. Sementara 100 persen jumlah peserta mengikutinya. Sedangkan 1 tahun sebelumnya jumlah pesertanya ada 7.342 anak dengan yang tidak lulus mencapai 60 anak.

“Saya berharap tahun ini bisa lulus semua,” demikian disampaikan Marsono.

Ujian nasional untuk setingkat SMA ini telah digelar pada 16 April hingga 19 April lalu. Dengan syarat kelulusannya 60 persen diambil dari ujian nasional, sisan­ya dari ujian sekolah. Lalu dibagi dua, dan ketemu angka minimal 5,5. Jika kurang 0,01 saja maka tidak lulus. Sehingga ke­tika anak mendapatkan nilai rerata ha­nya 5,49 berarti tidak ada toleransi, dan dinyatakan tidak lulus. Bahkan jika nilai rerata bisa mencapai 6, belum tentu din­yatakan lulus.

“(Sebab) Ada syarat lagi yaitu perole­han nilai pada mata pelajaran yang diu­jikan secara nasional harus minimal 4,” sebut Marsono.

Nilai rerata ini telah dinaikan dari 5,25 sejak 3 tahun silam. Tahun ajaran 2007/2008 nilai rerata masih 5,25. Ken­dati nilai rerata hanya 5,25, ada 364 anak yang dinyatakan tidak lulus pada tahun ajaran itu.

Setahun kemudian, dengan syarat nilai rerata jadi 5,50 terdapat 232 anak yang tidak lulus. Sedangkan tahun ajaran 2009/2010 terdapat penurunan jumlah yang tidak lulus, jadi 59 anak. Tahun lalu turun menjadi 11 anak yang tidak lulus. Semuanya dari SMK.

Ujian Nasional SMPBerbarengan dengan ujian susulan

Page 5: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

RUANGAN kelas itu terle­tak di ujung belakang sekolah, berdekatan dengan warung kantin sekolah. Sederet dengan deret kelas 7, ruangan itu se­dianya akan digunakan untuk kelas 8F.

Ruangan kelas (istilah bi­rokrasi: lokal) baru milik SMP 1 Jati tersebut yang awal min­ggu ke­4 bulan April lalu ditilik Djoko Nugroho, Bupati Blora. Secara kebetulan memang. Karena agenda Bupati waktu itu sekedar tandang sekolah untuk cek kelangsungan pelak­sanaan ujian nasional tingkat SMP.

Namun, mungkin sial bagi kepala sekolah Plt­nya. Tidak sekedar tandang ujian, Bupati menyambungnya dengan tilik ruangan kelas baru itu. Kontan saja aib dipergoki Bupati.

Dalam keadaan terkunci, ru­angan berukuran 32 x 26 jeng­kal kaki orang dewasa itu lantai tengahnya sudah jebol. Dere­tan lantai yang jebol itu mem­bentuk diagonal, hampir persis memotong lantai ruangan jadi dua segitiga. Dinding setinggi 7 kepalan tangan seorang bocah ada bagian yang retak.

Miris lagi, jika mata meman­dang ke atas, ke arah blandar tembok ada rembesan air yang membuatnya mulai retak.

“Iya, Mas. Betul sudah mle-thek-mlethek,” kata Satpam SMP 1 Jati ketika mendampingi Tabloid Edukasia untuk ngecek kelas yang sempat digegerkan oleh media harian yang bere­dar di Blora, Rabu, 25 April 2012.

Beberapa wartawan sempat turut dalam tilik ujian SMP Bupati Blora di sejum­lah tempat.

“Saya tidak rekam yang Bupati marah­marah. Saya kok malah tidak melihat Bu­pati marah­marah. Di gambarku yang nampak prengat-prengut,” kata Umbaran Wibowo, Koresponden TVRI Semarang un­tuk wilayah Blora.

Di sejumlah media cetak harian, ditulis­kan Bupati marah­marah setelah melihat keadaan kelas itu.

Kelas yang dikatakan Kepala Bidang Pendidikan Dasar (Kabid. Dikdas) Dinas Pen­didikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Blora, Wardoyo telah selesai dikerjakan pada Desember tahun lalu itu sama sekali belum dibuka oleh pihak sekolah. Alasannya, kunci belum diserahkan ke pihak sekolah.

“Kami pihak sekolah belum diberi kuncinya. Saya tidak tahu alasannya,” kata Suprioso, Wakil Kepala Sekolah SMP 1 Jati yang ditemui Tabloid Edukasia pada Jumat pekan lalu.

Kabid Dikdas Wardoyo membantah jika kunci tidak akan diberikan ke pihak sekolah. Wardoyo menyuruh kepala sekolahnya untuk datang ke kantor dinas mengambil kunci.

“Sudah kami sampaikan setelah rekan­

an menyerahkan pekerjaan ke dinas, bah­wa gedung bisa dipergunakan. Hanya SMP Jati 1 yang belum menggunakan dan tidak lapor ke dinas,” SMS Wardoyo ke Gatot Ari­bowo dari Tabloid Edukasia.

Namun, tampaknya bagi Suprioso urusan mengambil kunci ke dinas hanyalah sepele.

“Yang kedua adalah (kelas) mau direhab kembali pemborongnya. Lha ini lho,” elak Suprioso.

Pekerjaan kontraktor yang hasilnya tidak memuaskan tersebut memang masih dalam masa pemeliharaan selama 6 bulan. Sayang­nya, hingga mau memasuki bulan kelima tahun ini tak ada tanda­tanda dari CV Patra Patma lekas memperbaiki lantai yang jebol, memperkuat blandar tembok agar murid tak alami kekuatiran dalam belajar, serta me­nambal dinding­dinding yang retak.

“Sehabis pekerjaan mengecat kem­bali salah satu sekolah di Jiken, kami akan segera memperbaiki kondisi kelas terse­but,” kata Dian, salah satu pemilik CV Patra Patma yang pada Senin siang, 30 April 2012 menghadap Wardoyo untuk membicara­kan perbaikan kelas dan meluruskan soal kunci kelas.

Soal kunci ini, ternyata Dian memiliki penjelasan sendiri.

“Setelah pekerjaan dinyatakan sele­

sai, saya perintahkan tenaga saya yang mengerjakan pembangunan kelas tersebut agar kuncinya diberikan ke pihak sekolah. Namun kok ternyata saya baru dengar ka­lau pihak sekolah belum menerima kunci kelas itu. Mungkin pihak kami yang lalai. Dan kami siap mengganti kunci pintu kelas tersebut jika memang kuncinya sudah tak bisa ditemukan lagi,” papar Dian.

Pekerjaan membangun kelas tersebut dilelang dinas pendidikan dengan nilai pe­kerjaan sekitar Rp 105 juta. Mulai di kerjakan pada Oktober tahun lalu, selesai 3 bulan ke­mudian. Saat itu yang jadi kepala sekolahn­ya: Bambang Kiswanto, sebelum memasuki semester ini diganti oleh Abdul Said sebagai pelaksana tugas (plt). Plt kepala sekolah ini­lah yang kena semprot Bupati.

“Apa pantas kelas dibiarkan seperti ini,” demikian sedikit luapan kekesalan Djoko Nugroho ketika itu, yang paginya ditulis koran­koran harian yang beredar di Blora.

Kekecewaan Bupati bukan tanpa alasan. Bupati merasa dirinya telah berusaha mem­berikan perhatian untuk sekolah­sekolah yang minim infrastruktur. Termasuk untuk SMP 1 Jati yang jauh dari perkotaan. Namun bagaimana jika hasil pekerjaan pembangu­nan infrastruktur sekolah tak memuaskan dan tak digunakan sebagaimana mestinya?

5 EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012 LIPUTAN Utama

Pekerjaan Bikin ‘Kelas’ Itu Tak Memuaskan

SMP 1 Jati jauh sebelumnya memang telah memikirkan untuk menambah ru­angan kelas. Penambahan ini diperlukan setelah semester pertama tahun ajaran 2011­2012 kelas 3 dijadikan 7 kelas. Posisi 7 kelas ini memaksa kelas 8F sekolah terse­but menempati ruang laboratorium pela­jaran tata boga. Jadinya hingga sekarang praktek tata boga pun dilakukan di luar ruangan.

“Kami tetap lakukan praktek­praktek. Dan itu kita lakukan di luar ruangan. Se­mentara alat­alat praktek tetap kita simpan di ruang yang ditempati kelas 8F itu. Jika akan praktek, alat­alat itu kita keluarkan,” kata Neni Tri Ratna, guru tata boga yang mengajak Tabloid Edukasia untuk melihat ruangan laboratorium tersebut pada Ju­mat, pekan lalu.

Sayangnya, pemikiran untuk menam­bah ruang kelas yang usulannya diwujud­kan pemerintah itu tak dikerjakan sebaik mungkin. Akibatnya, hingga 10 bulan prak­tek tata boga pun masih dilakukan di luar ruangan. (*)

Reporter/Editor : Gatot Aribowo

Kelas yang Terkunci Itu Membuat B up at i Blora Mrengut. Kepada siapa?

Andri Yudi Setiawan, murid kelas 7 SMP 1 Jati sedang mengukur ketinggian dinding kelas yang retak. Ketinggiannya mencapai 7

kepalan tangan Andri - Foto Gatot Aribowo

Page 6: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

6EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012LIPUTAN Utama

Tak ada yang sulit bagi Adi Purwanto untuk lekas menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya yang baru. Kemam­puan untuk cepat belajar dengan hal­hal baru menjadi modal kepindahan dia dari mengurusi minyak ke urusan mendidik. Se­lain bekal kemampuannya memanajemen orang, Adi Purwanto juga merasa seolah telah bergaul dengan guru selama puluhan tahun. Lantas, dengan telah "bergaul" itu apakah Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Blora ini tahu cara memotivasi guru dengan segala persoalan­nya sejauh ini?

Tim Edukasia­­Gatot Aribowo, Ari Su­yono, dan Leo Hananto­­diperkenankan untuk mewancarai panjang lebar anak dari seorang guru dan suami dari seorang guru pula ini. Ya. Ayah dari Adi Purwanto adalah seorang guru. Beristri pun seorang guru. Apakah lalu dia punya cita­cita anaknya juga jadi guru?

"Alami saja. Lha wong orang tua saya dulu juga gak mencita­citakan anaknya (juga) jadi guru kok," kata ayah dua anak ini.

Saat ditanya alasannya, mantan Kepala Dinas Energi, dan Sumber Daya Mineral ini hanya tertawa ringan. Apalagi dia dulu juga tak pernah punya angan­angan memiliki is­tri seorang guru.

Untuk urusan guru, suami dari Wakil Ke­pala Sekolah SMP 2 Blora ini punya harapan tinggi. Bahkan dia sepakat untuk juga meng­gunakan kata ganti "pendidik" untuk guru.

"Pendidik harus meningkatkan kemam­puan dirinya. Dan kita akan memotivasinya. Agar pendidik (guru) bisa meningkatkan kualitas. Karena era globalisasi kompetisi sangat ketat. Sehingga kompetensi guru perlu ditingkatkan yang akan membantu meningkatkan proses belajar mengajar di sekolah. Jika bisa dilakukan secara baik dan sistematik, saya yakin kelulusannya akan meningkat," ujar pria yang menikahi Sri Mu­lyani tahun 1987 tersebut.

Sebaliknya, Adi Purwanto juga akan memberikan harapan ke guru. Terutama kesejahteraan guru yang mau mengabdi­kan dirinya di daerah­daerah yang akses fasilitas perkotaannya sulit.

"Saya akan rumuskan (kesejahteraan buat guru di pedalaman) itu. Jadi wajar, ka­

lau di daerah­daerah sulit itu mendapatkan penghargaan yang lebih dari yang sudah mapan­mapan. Saya setuju. Hanya saja, kemampuan APBD yang coba kami lihat dulu."

Sementara soal APBD Blora yang jum­lahnya tak seberapa itu, disikapi Adi deng­an langkah­langkah strategis.

"Kita membuat networking, bagaimana mengkomunikasikan anggaran di APBD Provinsi mapun di APBN. Sehingga kalau itu kita dapatkan, sarana dan prasarana bisa dibantu dari sana. Sementara yang kesejahteraan, diupayakan di APBD Kabu­paten."

Setelah dipercaya untuk memegang kemudi di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Blora, pria kelahiran Karangayar, 22 Juni, 54 tahun silam ini telah beberapa kali melakukan kunjungan ke daerah­daerah terpencil. Salah satunya di Desa Kali Malang, Kecamatan Jati.

"Perjuangan guru­gurunya, murid­mu­ridnya berat. Dan nyatanya (tetap) berjalan. Ini yang perlu kita beri apresiasi. Sehingga kalau mas­mas wartawan ini berkenan me­nyempatkan diri untuk melihat di sana, itu bagus sekali," arahan dari Staf Kantor Pembantu Gubernur Provinsi Jawa Tengah Wilayah Surakarta tahun 1983 ini.

Tentang pejabat perlu turun di lapan­gan, pengajar di Pusdiklat Migas terse­but menyatakan perlu dilakukan seorang pimpinan.

"Sehingga biar mengetahui secara jelas. Karena perencanaan bisa dari bottom up, tak hanya top down. Ke depan, kami ma­sih perlu berkunjung ke sekolah. Ini untuk membangun hubungan."

Selain bisa untuk membuat perenca­naan pembangunan, kunjungan bisa di­manfaatkan untuk memberikan semangat ke bawahan.

"Seperti yang saya lakukan saat datang ke guru­guru yang mengajar tehnik otomo­tif. Saya dorong agar ada semacam inisiatif, kreasi, mencari kerjasama dengan dunia usaha dan industri. Pertama itu memotivasi deng an pendidik (guru). Harus kenalan dulu (dengan guru­guru)."

Orang nomor satu di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Blora ini rencana

akan melanjutkan perkenalannya ke guru­guru lainnya.

"Saya ingin bertemu dengan guru­guru di MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelaja­ran). Ingin berkenalan, ingin memotivasi, ingin tahu permasalahan. Syukur, suatu saat bisa mendatangkan ahli­ahlinya di bi­dang masing­masing. Mungkin bisa diajak kerjasama. “Idhep-idhep” in house training. Biayanya tidak terlalu besar."

Sementara untuk murid, Adi memiliki harapan yang jauh pula. Karena baginya (ke­bisa­an) anak tak bisa diukur dengan angka­angka.

"Wawasan kebangsaan juga diperlukan. Nasionalisme pun demikian. Selain kecer­dasan kognitifnya bagus."

Sedangkan buat mahasiswa dari Blora, Adi mengakui belum ada alokasi untuk bantuan bea siswa buat mahasiswa yang alami kekurangan biaya.

"Setahu saya APBD untuk mahasiswa yang NIP (pegawai). Untuk yang mahasiswa umum, kami ma­sih akan mengkaji lebih dalam. Idealnya pemer­intah menyediakan kebutuhan gratis. Namun demikian, pemerintah Blora yang harus diurusi banyak. Saya setuju (bantuan untuk ma­hasiswa). Namun besarnya berapa, kita akan kaji lebih dalam."

Tentang kema­juan pendidikan nasi­onal, Adi memiliki pan­dangan yang bagus.

"Komitmen para pe­mimpin itu perlu. Kalau

Ingin Berkenalan dengan Guru-Guru semua pemimpin dalam semua tingkatan visinya sama untuk meningkatkan pendidi­kan yang berkualitas, kemudian komitmen saya untuk mengalokasikan dana yang cu­kup, ideal, saya yakin cepat atau lambat kita akan menuju perbaikan kualitas."

Menyikapi adanya kemungkinan bo­cornya anggaran pendidikan, Adi cukup berpikir sistematis.

"Jadi kita berpikir sistemik manajemen­nya. Sejak dari perencanaan kita perlu evalu­asi, kemudian pelaksananya perlu kita ajak ngomong, perlu kita beri tahu. Perlu kita beri arahan agar sesuai norma yang ditentukan. Kemudian ada pengawasan," kata pengajar manajemen pendidikan agama Islam di STAI Al­Muhammad Cepu ini.

Terakhir soal keberadaan LSM, Adi cu­kup bijak menyikapi. Pesannya ke LSM agar proporsional dan konstruktif.

"Paradigma pembangunan ada good governance. Dan itu (keberadaan LSM di

pendidikan) perlu. Perlu kerjasama yang baik. Ada masukan yang

baik. Serta sosial kontrolnya ada. Selagi teman­teman

dari kalangan sekolah itu bisa menjalankan tugas sebagaimana norma­norma yang ada, saya kira tak masalah kehad­iran mereka (LSM). Mer­eka juga positive think-ing. Kalau ada nega tive thinking bisa dikomu­nikasikan," pesan man­

tan Asisten Bidang Tata Praja Kabupa ten Blora

tersebut mengakhiri waw­ancara pada 26 April lalu. (*)

Lebih Dekat Dengan Adi Purwanto, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga yang Baru

Adi PurwantoKepala Dinas Dindikpora Kab. Blora

Koperasi Pegawai Negeri

“WARGO TUNGGAL”BLORA

Page 7: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

“Tanggal 2 Mei itu hari Rabu,” sahut Masripah, anak SMK 2 Blora yang ditanya tiba­tiba tanggal 2 Mei itu hari apa.

Pertanyaan ini dilontarkan Edukasia dengan tiba­tiba di depan gerbang barat Stadion Kridosono pada Selasa siang, 1 Mei 2012. Edukasia mendapati 3 gadis bersera­gam abu­abu putih ini sedang berjalan ke arah selatan. Mereka dua minggu lalu telah menyelesaikan ujian sekolahnya.

Tiga gadis ini sebenarnya enggan menyebutkan nama. Yang menyebutkan nama Masripah bukan anaknya sendiri. Tapi temannya yang bernama Mutmai­nah.

Padahal Mutmainah sendiri plonga-plongo ketika ditanya tentang tanggal 2 Mei itu (sebagai) hari apa. Teman satunya yang bernama Siti pun bengong saja saat ditanya hal yang sama.

Pertanyaan yang tiba­tiba ini awalnya membuat mereka terkejut. Bahkan Mas­ripah menyambutnya dengan, “waah, saya bukan orang sini.” Mungkin Masripah men­gira akan ditanya rumah orang.

Padahal, “Tidak. Saya cuma mau tanya, besok tanggal berapa ya?”

Woalaaah.“Tanggal 2 Mas.”“Hari apa itu tanggal 2 Mei?”“Hari Rabu.”“Bukan itu. Tapi diperingati sebagai hari

apa?”Sejenak Siti, Mutmainah, dan Masripah

berpandangan satu sama lainnya. Seolah saling melemparkan untuk menjawab per­tanyaan itu.

“Saya ingat kalau tanggal 1 (Mei) ini hari Buruh,” sergah Masripah tiba­tiba.

“Kalau tanggal 2 Mei?”Tak ada satu pun yang bisa menjawab.

Sehingga Edukasia tak melanjutkan ke per­tanyaan: mengapa dijadikan Hari Pendidi­kan. Yang bisa menjawab tanggal 2 Mei se­bagai hari pendidikan adalah seorang anak SMP Katolik Blora bernama Agustinus.

Agustinus disergap pertanyaan Eduka­sia saat berjalan di trotoar seberang Kantor Kejaksaan Negeri Blora pada Senin siang, 30 April 2012.

“Ehmmm, hari pendidikan,” jawab Agus­tinus sesaat setelah berpikir.

“Tahu mengapa tanggal 2 Mei itu dijadi­kan hari pendidikan?” lanjut Edukasia.

Sambil garuk­garuk kepala mengingat sesuatu, Agustinus seolah sedang berpikir keras untuk menjawabnya.

“Apa gak diajarkan di sekolah tentang mengapa tanggal 2 Mei dijadikan hari pen­didikan?” desak Edukasia.

“Diajarkan. Sebentar­sebentar. Saya lupa e,” sahut Agustinus.

Namun akhirnya Agustinus menyerah.Poin buat Agustinus ini setidaknya se­

dikit lebih baik dari 3 anak SMK sebelum­nya. Juga setingkat lebih bagus dari rom­bongan anak­anak MTSN Jepon yang salah satunya ada yang tidak tahu juga tentang

tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan.

Rombongan ini sedang bersepeda sepulang mereka dari sekolahnya. Dengan mengendarai motor, Edukasia mengurangi kecepatan motor un­tuk bisa berbarengan dengan sepeda yang mereka kendarai. Cu­kup resiko menyergap pertanyaan sambil membagi konsentrasi dengan keselamatan di jalan. Hingga akh­irnya seorang anak bernama Ahmad mam­pu menjawab kalau tanggal 2 Mei itu seb­agai hari pendidikan. Meski sebelumnya seorang teman Ahmad tak mampu men­jawabnya.

Untuk mengurai tentang mengapa tanggal 2 Mei dijadikan hari pendidikan, ada baiknya sedikit tahu sejak kapan hari pendidikan itu ditetapkan. Dari penca­rian Edukasia di Wikipedia, tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari pendidikan pada jamannya Soekarno.

Sejak 1960, tanggal 2 Mei diperingati setelah terbitnya keputusan presiden Soek­arno untuk jasa Ki Hajar Dewantara merin­tis (sistem) pendidikan untuk bangsanya.

Siapa Ki Hajar Dewantara­­atau se­lama 33 tahun sebelumnya menyandang nama Raden Mas Soewardi Soeryaning­rat itu?

Sedikit cerita ini dikutip dari Wikipedia tanpa suntingan. Alias, Edukasia cukup copy-paste (copas).

Soewardi berasal dari lingkungan ke­luarga Keraton Yogyakarta. Ia menamat­kan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bu­miputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, an­tara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia ter­golong penulis handal. Tulisan­tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda

7 EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012 LIPUTAN Utama

berniat mengumpul­kan sumbangan dari warga, termasuk pribu­mi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada ta­hun 1913, timbul reak­si kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemu­dian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun kolom Ki Hajar Dewantara yang

paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Ned-erlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di ka­langan pejabat Hindia Belanda.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propa­ganda untuk menyosialisasikan dan meng­gugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam pengasingannya di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pela­jar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Per­himpunan Hindia).

Di sinilah ia kemudian merintis cita­citanya memajukan kaum pribumi den­gan belajar ilmu pendidikan hingga mem­peroleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lemba­ga pendidikan yang didirikannya.

Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide­ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, ser­ta pergerakan pendidikan India, Santinik­etan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh­pe­ngaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Sampai jumpa di Shoot Out edisi beri­kutnya. (*)

Reporter/Editor: Tim Edukasia

Seorang anak setingkat SMP tertangkap “kamera” tak bisa menjawab per-tanyaan tanggal 2 Mei itu sebagai hari pendidikan. Sedangkan 3 anak SMK juga bingung saat ditanya tanggal 2 Mei itu hari apa. Sementara seorang anak SMP lainnya lupa mengapa tanggal 2 Mei itu dijadikan momentum hari pendidikan. Mereka semua adalah yang disergap Edukasia dengan pertan-yaan mengejutkan. Secara kebetulan, kesemuanya kelas akhir (9 dan 12).

Tanggal 2 Mei itu Hari Rabu...

Page 8: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

8EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012 Sekolahku

uatu siang di ruangan beruku-ran tak lebih dari 4,5 kali 4,5 meter. Seorang bocah perem-puan asyik berkomat-kamit membaca tulisan dari buku

pelajarannya. Suara gaduh di sekeliling-nya seolah tak mengganggu keasyikannya. Dengan dua tangan memegangi pinggiran kanan kiri buku, bocah bernama Anggi itu sesekali menyimak gurunya yang duduk di sudut kanan depan mejanya.

“Tak terganggu (dengan suara gaduh kelas),” jawabnya singkat saat ditanya ten-tang konsentrasi membacanya.

Anggi termasuk satu dari 13 siswa kelas 2 SD 2 Brumbung. Ada 7 bangku di situ. Ditata berhadap-hadapan; 4 bangku di sisi timur, dan 3 bangku di sisi barat. Dengan meja guru yang ditempatkan di sebelah utara agak ke sudut, tata bangku kelas itu mirip letter U.

Kelas Anggi ditempatkan satu ruangan dengan kelas 4. Ruangan dibagi 2, dengan pemisah sekat triplek setinggi tak lebih 2 meter.

“Sebelumnya, kelas 2 ditempatkan satu ruangan dengan kelas 3. Sementara kelas 4 ditempatkan satu ruangan dengan kelas 5. Sedangkan kelas satu yang jumlah mu-ridnya paling banyak menempati satu ru-angan. Sementara kelas 6 yang disiapkan menghadapi ujian, juga menempati satu ruangan. Sehingga anak lebih konsen-trasi,” kata Damini, Kepala Sekolah SD 2 Brumbung yang ditemui Gatot Aribowo dari Tabloid Edukasia pada minggu ketiga bulan April 2012 lalu.

Siang itu, Anggi tengah belajar IPS yang diampu wali kelasnya, Musyaropah. Sedang kelas tetangganya yang dihuni 15 anak tengah menerima palajaran bahasa Indonesia dari Sukowinarni. Suara keras anak-anak kelas 4 yang menjawab per-tanyaan dari gurunya tetap tak mempen-garuhi kesibukan Anggi membaca buku pelajarannya dengan suara bergumam. Membaca dengan bersuara ini Anggi laku-kan untuk mengusir suara-suara lain yang mengusik.

“Sudah terbiasa (dengan suasana kelas yang gaduh),” jawab Anggi dengan tak acuh.

Penataan bangku di dua kelas dalam satu ruangan itu sering digeser-geser. Terutama untuk meja guru. Kadang meja guru kelas 2 dan kelas 4 sama-sama ditempatkan di sisi selatan kelas. Lain waktu, meja guru kelas 2 ditempatkan di sisi utara dan meja guru kelas 4 di sisi selatan ruangan.

Sejak berdiri 27 tahun silam, sekolah ini hanya memiliki 4 ruangan kelas. Menempati lahan di tengah sawah, sekolah ini berjarak 4 kilometaran dari jalan raya. Bisa ditempuh dari perempatan Seso ke selatan, masuk ke Desa Brumbung. Bisa juga ditempuh dari pe-rumahan Kidang Kencana, Jepon.

“Sekolah ini didirikan sejak tahun 1985, dan sampai sekarang hanya mampu menye-diakan 4 ruangan kelas. Ini yang dikeluh-kan banyak guru yang tak nyaman mengajar anak-anak. Konsentrasi anak-anak pun jadi tak fokus,” kata Damini.

Sekolahan SD ini termasuk Kelompok Sekolah Imbas. Kelompok ini dibawah Ke-lompok Sekolah Inti. Kelompok yang dise-but terakhir ini merupakan sekolah dengan sarana prasarana yang mampu meningkatkan mutu pendidikan.

“Kami hanya berharap agar pemerintah memperhatikan sekolah kami. Setidaknya,

meski tak memperbaiki sarana prasarana lain tapi bisa membangun ruangan agar kelas di sekolah kami tak lagi disekat-sekat,” ujar Damini.

Jumlah murid di sekolah ini ada 98 anak, dengan rincian: 23 anak kelas 1, 13 anak ke-las 2, 18 anak kelas 3, 15 anak kelas 4, 15 anak kelas 5, dan 14 anak kelas 6.

“Jumlah murid dalam satu kelas memang sudah optimal. Rata-rata kurang dari 20 mu-rid. Namun dengan kondisi satu ruangan di-isi dengan dua kelas dan hanya dipisah sekat berupa kayu triplek, tentu saja proses men-gajar jadi tak maksimal,” keluh Damini. (*)

DIBATASI OLEH DINDING TRIPLEKS dan lemari kayu, siswa kelas 3 dan kelas 4 berbagi ruangan untuk belajar, ketika kelas yang satu sedang menyimak pe-lajaran tak jarang terganggu konsentrasinya oleh aktivitas kelas lainnya. Hal inilah yang sering dikeluhkan banyak guru dan murid karena kegitan belajar-mengajar menjadi tidak berjalan maksimal.Sejak berdiri tahun 1985 sekolah ini hanya mempunyai 4 ruang kelas. [foto: ReeHan]

S

SD 2 Negeri Brumbung, Kecamatan Jepon

Bertahan dengan Ruang Kelas “2 in 1”

Page 9: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

SOSOK9 EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012 Sosok

antun dan penuh keseder-haan, inilah kesan yang kita dapat ketika berbin-cang dengan sosok kita yang satu ini. Hampir dua

jam redaktur Edukasia diterima dengan penuh kehangatan ketika berkunjung di rumahnya, Jum’at sore (4/5) pekan lalu.

Perbincangan semakin nyaman karena udara sejuk diruang tamu. Tapi ternyata bukanlah dinginya AC yang jadi sumbernya. Melainkan karena adanya beberapa pohon yang di tanam di pe-karangan rumah inilah yang membuat

teduh suasana.Banyak kisah yang terungkap, saat laki-

laki yang pernah meraih prestasi guru Te-ladan se-Blora ini bertutur sedikit tentang riwayatnya. Mulai dari masa kecil, sampai perihal motor kesayangan yang selalu di-naiki saat berangkat dan pulang sekolah .

“ Dulu ketika pertama kali mengajar saya memakai motor Yamaha L2 Super, namun beberapa tahun lalu saya tukar dengan motor bebek ini,” ungkapnya se-dikit berkisah, sambil menunjuk sepeda motor bebek merk Honda yang diparkir di beranda rumahnya.

Memulai karier sebagai guru sejak 1979, Bambang Suhartono S.Pd tentu sudah cukup merasakan

asam garam dunia pendidikan. Dan pengalaman se-

lama menjadi guru itulah yang menjadi bekal dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Sekolah sampai saat ini. “ Dari pengalaman membuat saya tahu apa yang harus atau tidak bo-leh saya lakukan selama menjadi kepala Sekolah,” jelas Bambang yang sudah mengepalai empat SD yang berbeda semenjak 2005 sam-

pai sekarang.Ketika ditanya lebih suka

mana, antara menjadi guru atau menjadi

kepala sekolah dengan te-

gas dijawab bahwa dia menyukai k e d u a -

Bambang Suhartono :

Memacu Prestasi Dengan Kesederhanaan

Lahir : Grobogan, 29 Agustus 1959Alamat :Jl. Mr. Iskandar XII A / 24 BMlangsen, Blora

Pendidikan: • SD Tanjungharjo 1 Kec.

Ngaringan (lulus 1972)• SMP Negri Wirosari kab.

Grobogan (lulus 1975)• SPG Negri Blora (lulus 1979)• DII PGSD (lulus 1997)• STKIP Jurusan BK (lulus 2001)

Orang Tua: - Ayah : Roeslan Siswosoedarmo- Ibu : Endang SudarmaniIstri : Supriyanti (pensiunan)Anak : 1. Herlina Nurani Cahyaningsih2. Agus Wibowo

Karier : 1. Guru SD Kedungtuban 2

Kec.Kedungtuban Blora ( 1 November 1979 – 1 April 1984)

2. Guru SD Jepangrejo 3 Blora (1 April 1984 – 1 juli 1985)

3. Guru SD Krida Dharma Blora (1 Juli 1985 – 1 Agustus 1997)

4. Guru SD Tempelan 2 kec. Blora (1 Agustus 1997 – 23 Pebruari 2005)

5. Kepala Sekolah SD Je-pangrejo 1 Blora (23 Pebruari 2005 – 23 Maret 2006)

6. Kepala Sekolah SD Kamolan 1 Blora (23 Maret 2006 – 3 Agustus 2010) merangkap Kepala Sekolah SD Tempelan 1 Blora (19 Pebruari 2009 – 3 Agustus 2010)

7. Kepala Sekolah SD Ke-dung Jenar Blora (3 Agustus 2010 sampai sekarang)

Organisasi :1. Ketua KKKS SD /MI Kab. Blora

( 2007 sampai dengan sekarang)2. Ketua KKKS SD/MI Kec. Blora

( 2006 sampai dengan sekarang)3. Pengurus FIG Kab. Blora4. Pengurus PGRI5. Tim PAK ( Penilai Angka

Kredit ) Kab. Blora

Dalam kesederhanaan ada kebersahajaan yang menuntun kepada kebahagiaan nurani, karena sesungguhnya yang kita butuhkan hanya sedikit dan tidak selalu berupa materi, selebihnya untuk memberi dan memenuhi hak orang lain. Kesederhanaan memiliki arti dan manfaat yang luar biasa sebagai energi kehidupan. Energi untuk bertahan, energi untuk memberi dan berbagi, serta energi

untuk mensyukuri hidup itu sendiri

Bambang Suhartono, S.Pd

Snya. “Karena tugas seorang kepala sekolah maupun guru sebenarnya hampir sama,” ungkapnya.

Baginya seorang guru adalah ujung tombak pelaksanaan tugas fungsi sekolah. Artinya seorang guru yang melaksanakan tugas pengajaran,dan edukasi. Sedangkan Kepala Sekolah sebagai pimpinan tertingi di dalam suatu sekolah lebih kearah tugas manajerial dan mempunyai tugas yang lebih kompleks. Tapi kedua peran ini sama-sama menentukan maju mundurnya suatu sekolah.

Untuk itu baik selama menjadi guru maupun ketika diangkat menjadi kepala

sekolah, semua dijalank-anya dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh dedikasi. “ Saat jadi guru maupun sesu-dah jadi Kepala Sekolah yang saya utamakan

adalah prestasi siswa,” imbuh Kepala Seko-lah yang juga ketua KKKS SD/MI Kabupa-ten Blora ini.

Menurut ayah dari dua anak ini, menjadi pendidik itu harus iklas berjuang meman-daikan anak bangsa. “Jangan mengharap sesuatu yang lebih dari Sekolah yang kita kelola, apalagi kekayaan,” dia mengingat-kan. “Kalau semua dijalani dengan keik-lasan Insyaallah akan membawa berkah,” terang Bambang lebih lanjut.

“ Jaman sekarang jadi guru itu enak, ti-dak seperti jaman dahulu,” tutur Bambang. Sekarang kesejahteraan guru jauh lebih baik, selain menerima gaji juga ada sertifi-kasi dari pemerintah. “Makanya kita harus menjawab perhatian dari pemerintah itu dengan peningkatan prestasi anak didik,” harapnya.

Di contohkannya, dengan adanya Per-aturan Menteri no 60 tahun 2011 yang melarang adanya pungutan di sekolah, janganlah membuat kualitas dan kuantitas kegiatan belajar mengajar menurun. Kare-na pasti akan berimbas pada penurunan prestasi anak didik.

“Justru harus kita tingkatkan prestasi walaupun harus dengan kesederha-naan,” tegas Bambang Suhartono Ke-pala Sekolah SD Kedung Jenar ini. “Kita

harus menghemat dana yang ada (Dana BOS-red) dan kita gunakan dengan sebaik-baiknya untuk kegiatan yang menunjang prestasi siswa,” pungkasnya. (*)

“Kalau semua dijalani dengan penuh keikhlasan

Insyaallah akan membawa berkah”

Page 10: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

10EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012Wacana

Apa betul guru benar-benar sudah mak-mur sehingga muncul pemeo ,“Wah, ena-knya jadi guru ?” Pemeo ini kerap diungkap-kan oleh pegawai bukan guru saat melihat berbagai kemudahan dan beragam tamba-han rezeki yang diterima oleh guru.

Kemudahan yang diterima antara lain kenaikan pangkat cepat, jumlah hari libur banyak, jam kerja pendek, dan lain-lain. Sementara tambahan rezeki yang diterima meliputi tunjangan funsional, tunjangan profesi, tunjangan tambahan penghasi-lan, bahkan ada daerah yang memberikan transport dan uang makan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pen-dayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, dengan jabatan fungsional yang dimiliki memungkinkan guru dapat naik pangkat setiap dua tahun sekali. Enaknya, kenaikan pangkat ini tidak terpengaruh dengan pangkat dan jabatan atasannya. Meskipun kepala sekolah baru berpangkat/ golongan III/d, guru yang ak-tif dan kreatif dapat melaju ke IV/b dan se-lebihnya.

Hal ini berbeda dengan pegawai di ling-kup struktural yang terpengaruh dengan pangkat dan golongan atasan langsungnya. Jumlah hari libur guru juga menggiurkan. Hari libur guru mengikuti hari libur siswa. Jumlahnya sangat banyak. Bisa dihitung jika dalam satu semester ada 2 minggu hari libur, maka dalam setahun ada 4 minggu hari libur. Ini belum termasuk libur puasa Ramadhan, libur Idul Fitri, dan hari-hari ti-dak efektif pada awal dan akhir tahun pela-jaran. Masih di tambah dengan cuti dan izin tidak masuk.

Terkait tambahan penghasilan, yang san-gat mencolok adalah pemberian tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Tunjan-gan ini sangat signifikan untuk mengangkat pendapatan guru. Ini merupakan konskue-nsi dari lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Dengan dikeluarkannya Undang-Un-dang tersebut guru diposisikan sebagai suatu profesi sebagaimana profesi dokter, hakim, jaksa, akuntan dan profesi-profesi lain yang mendapat penghargaan se-padan dengan profesinya. Namun, guru yang belum mendapat tunjangan profesi

pun tak kalah enaknya. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2009 tentang Tambahan Penghasilan bagi Guru PNS, guru yang belum mendapat tunjangan profesi memperoleh tambahan pen-gahsilan sebesar Rp 250.000 per bulan. Tambahan penghasilan ini masih ditambah dengan tunjangan pendidikan yang me-lekat pada gaji pokok dan pendapatan lain-lain dari sekolah, seperti insentif bulanan, honor kegiatan, dan insentif lain.

Beragam kemudahan dan berbagai tambahan pendapatan inilah yang ter-kadang memunculkan perasaan iri dari pegawai lain sehingga mereka beru-cap enteng,” Wah, enaknya jadi guru !” Tapi, benarkah guru sudah benar-benar makmur ?

Ukuran kemakmuran sangat relatif. Kelebihan materi bukan satu-satunya uku-ran kemakmuran atau kesejahteraan. Ma-sih banyak indikator lain yang menentukan makmur dan tidaknya seseorang. Kelebi-han materi juga bukan jaminan seseorang hidup bahagia bila tidak bisa memenej se-cara baik.

Namun, dengan pendapatan yang lebih baik minimal dapat meningkatkan taraf hidup guru, meskipun (maaf ) ini baru bisa dinikmati oleh guru PNS. Kalau soal guru non PNS masih jauh dari harapan.

Pengembangan DiriTanda-tanda perbaikan taraf hidup

guru sudah mulai terlihat dari beberapa indikator, seperti jumlah jamaah haji yang cenderung meningkat pasca pemberian tunjangan sertifikasi, kemampuan guru membeli motor, membeli mobil, memper-baiki rumah, dan menyekolahkan putra-putrinya.

Patut disyukuri bahwa pemberian tunjangan sertifikasi berimplikasi posi-tif pada peningkatan taraf hidup guru. Memang, makna tersirat dari pemberian kemudahan dan berbagai tambahan peng-hasilan bagi guru harus berimplikasi pada peningkatan kinerja guru.

Misalnya banyaknya hari libur bagi guru harus dimaknai sebagai kesempa-tan untuk mengembangkan diri, seperti melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) untuk memecahkan berbagai permasala-

han pembelajaran yang dihadapi guru di kelas. Kegiatan ini sangat penting karena tanggung jawab professional guru untuk mengkondisikan siswa dalam pembelaja-ran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.

Dengan kesempatan waktu yang terse-dia guru bisa mengkaji dan mencobakan berbagai strategi pembelajaran baru yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan pendi-dikan saat ini.

Guru juga memiliki banyak kesempa-tan untuk membaca buku, majalah, jurnal penelitian untuk menambah wawasan pengetahuannya apalagi seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendaya-gunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, aturan kenaikan pangkat/jabatan guru semakin sulit. Jika dalam aturan sebelumnya unsur Pengembangan Profesi dalam penilaian PAK hanya diwajibkan bagi kenaikan pan-gkat mulai dari golongan IV/a ke IV/b, kini dengan aturan baru unsur Pengembangan Profesi menjadi prasyarat wajib sejak kenai-kan pangkat dari golongan III/a ke III/b.

Aturan ini semestinya mulai diimple-mentasikan tahun 2011. Misalnya kenai-kan pangkat dari III/a ke III/b wajib melak-sanakan kegiatan pengembangan diri (pelatihan dan kegiatan kolektif guru) yang nilainya 3 angka kredit. Demikian juga kenaikan pangkat dari IV/a ke IV/b wajib melaksanakan kegiatan pengembangan diri yang nilainya 4 angka kredit dan pub-likasi ilmiah/karya inovatif dengan 12 ang-ka kredit; dan seterusnya.

Demikian pula, pemberian tambahan pendapatan bagi guru diharapkan dapat memacu guru meningkatkan kompetensi diri, baik melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang diikuti maupun melalui pen-ingkatan kualifikasi pendidikan. Dengan pendapatan yang cukup, mereka dapat me-nyisihkan sebagian pendapatannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Bila kedua hal tersebut (pengemban-gan diri dan peningkatan kompetensi) dapat dilaksanakan, maka akan berpen-garuh secara signifikan terhadap per­formance guru. Pada gilirannya dapat me-ningkatkan posisi tawar dan penghargaan terhadap guru. Inilah sebenarnya esensi

dari lahirnya UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 dan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Bahwa guru merupakan sebuah profesi yang bermartabat di ten-gah-tengah masyarakat dan memperoleh penghargaan yang tinggi dari masyarakat. Namun, yakinkah kita bahwa guru sudah benar-benar mendapat penghargaan semestinya?

Citra GuruPercaya atau tidak, adanya tunjangan

profesi guru telah mengangkat citra guru sebagai profesi yang diinginkan akhir-akhir ini. Jika sebelumnya Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan tidak banyak dilirik oleh para calon mahasiswa baru, kini sebaliknya fakultas ini menjadi bahan rebutan. Con-tohnya program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di perguruan tinggi manapun selalu diserbu calon mahasiswa baru.

Fakta ini telah membuktikan bahwa profesi guru makin eksis dan dihargai oleh masyarakat, meskipun kalau kita dalami lebih lanjut belum tentu pilihan calon ma-hasiswa tersebut dilandasi oleh suatu ide-alisme. Tapi, paling tidak fakta ini memberi bukti bahwa profesi guru makin menjanji-kan masa depan yang lebih baik dan hara-pan peningkatan taraf hidup.

Kondisi ini sangat menguntungkan un-tuk mendapatkan calon guru yang berkual-itas dan cerdas karena berasal dari pilihan dan seleksi yang ketat.

Kelak ketika menjadi guru yang se-benarnya mereka tidak mudah menge-luh dan berkeluh kesah, tetapi dengan bangga berujar, “Wah, enaknya jadi guru !” *) Penulis adalah Pegawai Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Blora

Enaknya Jadi Guru Oleh Sunaryo *)

Ir. Sutikno SlametKadis Pertanian Kab. Blora

Priyadi, S.SosKa UPTD RSPD Gagak Rimang Blora

Page 11: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

11 EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012 Wacana

Pendidikan non formal yang dulu le­bih dikenal dengan Pendidikan Luar Seko­lah (PLS) keberadaannya di jamin dalam pasal 13 dan pasal 26 Undang­Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 13 memuat kedudukan pendidikan formal, non formal, dan informal yang saling melengkapi dan memperkaya. Pasal 26 ayat 3 menyebut­kan bahwa pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skill), pen­didikan anak usia dini ( PAUD ), pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidi­kan ketrampilan dan pelatihan kerja, pendi­dikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemam­puan peserta didik.

Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa begitu luasnya cakupan pendidikan non formal. Hal lain dapat dilihat pada be­berapa kementrian yang menangani/membi­dangi program yang berkaitan dengan pen­didikan non formal. Sebagai gambaran pada kementrian social ada program pendidikan kemasyarakatan dan penitipan anak, pada kementrian Negara Pemberdayaan Perem­puan dan Perlindungan Anak, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ada program pendidikan dan pelatihan kerja dan lain se­bagainya. Dari kenyataan tersebut dapat di­simpulkan ternyata pendidikan non formal hampir masuk pada semua sendi­sendi ke­hidupan.

Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa berarti memberdayakan setiap warga negara agar mampu berbuat seimbang baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, antara hak dan kewajiban, men­jadi warga negara yang bersikap dan ber­buat demokratis terhadap sesama manusia menuju masyarakat yang memahami akan hak, kewenangan dan tanggung jawab mere­ka dalam semua aspek kehidupan berbangsa

dan bernegara. ( Kartasasmita, 1996 : 142) menyatakan bahwa pemberdayaan masyara­kat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai­nilai sosial yakni bersifat people-centered, parcipatory, empowering and sustainable. ( Sumodining­

rat 1996 : 185) menyatakan pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkat­kan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisis sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkat ke­miskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat bermaksud untuk mengembangkan kemampuan ma­syarakat agar secara berdiri sendiri memiliki ketrampilan untuk mengatasi masalah­ma­salah mereka sendiri.

Proses pemberdayaan masyarakat berarti kemampuan seseorang untuk memahami dan mengendalikan keadaan sosial, ekonomi dan

kemampuan politiknya yang sangat diper­lukan dalam upaya memperbaiki kedudu­kannnya dimasyarakat, dengan kata lain proses pemberdayaan adalah setiap usaha pendidikan yang bertujuan untuk membang­kitakan kesadaran/pengertian dan kepekaan pada warga masyarakat terhadap perkem­bangan sosial, ekonomi, dan/atau politik sehingga pada akhirnya warga masyarakat memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat, atau menjadi masyarakat yang berdaya.

Masyarakat yang berdaya adalah ma­syarakat yang hidup dalam suatu masyarakat madani ( civil society ), yakni suatu masyara­kat yang percaya atas kemampuan para ang­gotanya untuk menciptakan kehidup an yang lebih baik serta masyarakat yang menyadari akan hak­hak dan kewajibannya dalam hidup bermasyarakat dimana kondisi pemberdayaan akan terwujud apabila anggota masyarakat memperoleh kesempatan agar semakin ber­daya. Pemberdayaan sangat identik dengan pendidikan dan merupakan hakekat pendi­dikan itu sendiri, karena apa yang disebut dengan pendidikan termasuk pendidikan non formal adalah usaha memberdayakan manu­sia, memampukan manusia, mengembangkan kemampuan yang ada pada diri manusia agar dengan kemampuan/potensi yang dimi likinya dapat dikembangkan melalui pendidikan.

Upaya memberdayakan masyarakat me­lalui pendidikan setidaknya mampu men­transfer 4 hal yaitu ;

1). pendidikan motivasional, bagaimana pendidikan non formal mampu memberikan motivasi kepada masyarakat untuk member­dayakan dirinya, melakukan kegiatan yang positip dan bermanfaat bagi kehidupannya;

2). Pendidikan pengetahuan, yaitu bagaiman pendidikan non formal mampu memberikan ilmu pengetahuan sehingga me­nambah kemampuan intelektual masyarakat, menambah wawasan masyarakat sehingga mampu membuka cakrawala pikir masyara­kat;

3). Pendidikan keahlian (skill), yaitu bagaimana peran pendidikan non formal mampu menambah penguasaan keahlian (skill) masyarakat sehingga mampu menin­

gkatkan kualitas produk yang dihasilkan, mampu meningkatkan kompetensi masyara­kat dalam penguasaan sebuah teknologi;

4). Pengembangan kemampuan (ability), yaitu bagaiman peran pendidikan non formal dalam upaya menambah kemampuan ma­syarakat dalam segala hal, misalnya kemam­puan mengkomunikasikan apa yang menjadi keinginannya dengan orang yang kira­kira dapat membantu menyelesaikan permasala­han yang dihadapinya, kemampuan manaje­rial dari usaha yang selama ini dikembang­kan dan kemampuan tambahan lain yang sekiranya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dengan memperhatikan empat hal diatas diharapkan bantuan dari pemerintah maupun swasta yang selama ini dijalankan melalui program­program dan bantuan langsung mampu memberdayakan masyarakat, bukan malah sebaliknya, menciptakan ketergantun­gan dan jiwa meminta­minta yang akut di masyarakat.

Proses pemberdayaan masyarakat me­lalui pendidikan non formal, sesungguhnya merupakan sebuah upaya yang memung­kinkan masyarakat dengan segala ke­beradaannya dapat memberdayakan dirinya. Dengan pusat aktivitas harusnya berada di tangan masyarakat itu sendiri dengan berti­tik tolak dari masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat dan manfaatnya untuk masyara­kat atau dengan istilah lain pendidikan ber­basis masyarakat. Pembelajaran yang perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan pen­didikan non formal sehingga dapat terjadi proses pemberdayaan harus me,miliki cirri­ciri sebagai berikut :

1.Need oriented, yaitu pendekatan yang berorientasi dan didasarkan pada kebutuhan dan potensi/sumberdaya masyarakat;

2.Endegonius, yaitu pendekatan yang berorientasi dan mengutamakan kesesuaian nilai­nilai keaslian local, dengan cara meng­gali dan menggunakan potensi yang dimiliki warga bealajar;

3.Self reliant, yaitu pendekatan yang membangun rasa percaya diri atau sikap mandiri pada setiap warga masyarakat;

4.Ecologically sound, ialah pendekatan yang berorientasi, memperhatikan dan mem­pertimbangkan aspek perubahan lingkungan dan,

5.Based on structural transformation, yaitu pendekatan yang dilakukan berdasar­kan pada perubahan struktur system, baik dan menyangkut hubungan social, kegiatan ekonomi, penyebaran keuangan, system manajemen maupun partisipasi masyarakat setempat.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa;

1). Peran pendidikan non formal dalam pemberdayaan masyarakat sangat strategis;

2). Pemberdayaan masyarakat merupak­an upaya yang harus dilakukan secara sadar oleh masyarakat sebagai sebuah kebutuhan;

3). Perlu kerja/koordinasi lintas sektoral dalam pemberdayaan masyarakat; 4). Mem­posisikan masyarakat sebagai subyek bukan sebagai obyek dalam proses pemberdayaan.

*)Penulis adalah Pamong Belajar SKB Blora.

Peran Pendidikan Non Formal dalam Pemberdayaan Masyarakat

Sintong Joko Kusworo, S.PdKepala Sekolah SDN 3 Balun Cepu

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas ) membawa pengaruh yang besar dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Hal yang sangat menggembirakan dalam undang-undang ini adalah semakin disadarinya peran dan fungsi pendidikan non formal dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Oleh : Nuril Huda, SP*

Page 12: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

12EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012Wacana

MASIH ingatkah peristiwa ironis ujian nasional tahun lalu? Dunia pendidikan dibuatnya kebakaran jenggot atas keju-juran dan keluguan sang bocah. Alif Ah-mad Maulana, siswa kelas VI SDN Gadel II, Surabaya, Jawa Timur, putra Ibu Siami merupakan pahlawan cilik di dunia pendi-dikan Indonesia tahun lalu. Dengan berani dia mengungkapkan kasus contek masal yang telah dirancang di sekolahnya.

Jika kita teropong dari peristiwa Alif tersebut, sudah pantaskah sosok guru me-nyandang gelar dan tanggung jawabnya sebagai pendidik? Lalu, masihkah tragedi semacam itu akan kembali diukir pada ta-hun 2012 ini?

Ujian Nasional tingkat SMA telah usai, kini berganti menunggu usainya pelak-sanaan untuk tingkat SMP, SD dan sed-erajatnya. Seiring dengan perubahan sistem, yang mana ujian nasional bukan lagi penentu utama kelulusan siswa, du-nia pendidikan tentu berharap pada tahun 2012 ini akan nampak perubahan ke arah positif. Walau tindakan amoral 100 persen tidak mudah untuk dihilangkan. Sebagai contoh saja pada tanggal 17 April 2012 ke-marin, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud Ujian Nasional menerima 254 pengaduan mengenai Ujian Nasional. Hari pertama pelaksanaan saja sudah di-warnai dengan pengaduan tindak-tindak kecurangan. Hingga hari ketiga mencapai 752 pengaduan.

Ujian Nasional merupakan sepercik gambaran dari maraknya kasus amoral di dunia pendidikan. Peristiwa-peristiwa menyedihkan selalu terjadi dari tahun ke tahun. Kasus mencontek merupakan ber-ita rutin yang akan dikupas media massa. Seperti halnya ada beberapa guru terlibat kasus mencontek. Betapa memalukannya dunia pendidikan kita. Mencontek meru-pakan pencemaran yang sulit ditanggulan-gi. Peran guru dalam kasus ini juga diang-gap kurang, bahkan sebagian besar kasus ditimbulkan oleh adanya dukungan dan

campur tangan guru.Digugu lan ditiru pepatah Jawa men-

gatakan. Ini bermakna bahwa guru adalah sosok yang dapat dipercaya dan dicontoh. Namun, fakta berkata lain. Beberapa guru bahkan mencontohkan perbuatan tak la-yak seperti; kekerasan, pelecehan seksual, dan perilaku menyimpang lainnya terma-suk ketidakjujuran pada ujian nasional tersebut. Tak jarang juga ada guru yang dengan sengaja memberi kesempatan siswanya mencontek. Sungguh mencekam. Mana sosok guru yang diangkat derajatnya sebagai sosok yang mulia?

Bukan hanya kognitifMendidik anak menjadi pintar tentu

lebih mudah dibanding mendidik anak agar bermoral. Dengan memberinya asu-pan teori-teori yang ada, dia dapat pintar. Lalu, lulus secara kognitif. Namun, bisakah dikatakan lulus secara afektif? Tak cukup dengan ceramah. Kemampuan naratif dan semantik saja tak cukup. Butuh pem-belajaran secara konkret. Sungguh miris jika guru tak mampu menjadi contoh dan panutan dalam kebajikan. Kelulusan kog-nitif tanpa diimbangi kelulusan afektif akan berdampak pada kehancuran Indo-nesia. Karena, secara tidak langsung akan mencetak bibit-bibit koruptor yang lebih tangguh dan segar. Mau dibawa ke mana negara kita?

Lulus Secara Afektif ?Oleh : Suwirawati Nur Azizah *)

Kelulusan moral Tugas guru juga meluluskan moral

generasi bangsa. Pahlawan tanpa tanda jasa, itulah sebutannya. Jika benar mampu mencetak koruptor yang tangguh, dapat-kah dikatakan pahlawan kehancuran? Deng an mengatas-namakan jabatan dan faktor ekonomi belaka, negara akan dibuat-nya porak poranda. Bahkan akan rela dijual. Miris. Hanya bisa ditebus dengan moral kita. Untuk itu, guru dituntut semakin kompetitif dan memiliki kemampuan yang memadai dalam bidang akademik maupun moral. Sekarang sulit untuk mendapati guru yang memiliki kedua kemampuan itu seimbang. Kebanyakan hanya unggul di salah satu bi-dang akademik maupun moral saja. Bayang-kan, jika berhasil mencetak generasi yang lulus secara kognitif dan afektif. Tentu akan merubah aroma dunia ke depannya secara perlahan. Generasi tumbuh menjadi orang yang berkompetensi sekaligus bermoral.

Murni lulus kognitif dan afektif?Pengalaman saya sewaktu menjadi

siswa. Saya selalu bertanya dalam diri saya. Sudah sekolah dengan baikkah kamu? Benarkah kamu sudah lulus kogni-tif? Bagaimana kelulusan afektifmu? Per-tanyaan-pertanyaan yang selalu terbesit. Karena, beberapa siswa di lingkungan saya pantas untuk mendapat pertanyaan itu. Bahkan saya sendiri harus turut men-jawab. Mereka berangkat sekolah seolah untuk ajang bergaya. Bahkan mereka lu-lus pun terkadang saya mempertanyakan. Mendapat nilai baik belum tentu keringat sendiri. Termasuk nilai ujian nasional dan ujian lainnya. Mereka rela membiarkan uangnya melayang untuk mendapatkan bocoran soal maupun jawaban. Bocoran soal dan kunci jawaban tersebar di selu-ruh penjuru ruang. Apalagi teknologi se-makin canggih, siswa pun semakin kreatif untuk bertindak amoral. Sungguh miris. Biaya selama bertahun-tahun seolah hanya untuk membeli selembar sertifikat saja. Nilai pun tak murni. Tentu tindakan seperti itu mencerminkan bahwa sesung-guhnya mereka tidak lulus kognitif apa-lagi afektif.

Guru di JepangJika kita kupas tentang kedudukan guru

di Jepang, guru merupakan jabatan ter-hormat. Guru di Jepang bersifat adil dan penuh dedikasi. Di sekolah ada semacam mekanisme sehingga guru-guru bekerja dengan baik. Hubungan komunikasi antara guru, siswa bahkan orang tua terjalin den-gan baik. Sehingga guru dapat mengetahui keadaan masing-masing siswa dengan baik. Guru berkunjung setahun sekali untuk ko-munikasi dengan orang tua. Selain itu, sebu-lan sekali orang tua diminta datang ke seko-lah untuk melihat perkembangan anaknya. Dan tiga bulan sekali ada diskusi mengenai kemajuan anaknya. Dapat kita lihat adanya hubungan baik antara guru dan orang tua untuk mendidik anak. Keduanya memiliki sentuhan hangat sebagai sosok pendidik.

Pendidikan di Jepang tidak hanya kognitif

Lebih penting lagi tidak hanya mengacu pada perkembangan kognitif saja. Pendidi-kan sekolah di Jepang untuk membentuk anak memiliki hati yang bersih dan lapang, jasmani yang kuat lagi sehat, merangsang untuk bersedia menderita dalam segala urusan dan menyadarkan siswa saling me-lengkapi dengan teman sekelasnya. Guru dituntut untuk memberikan pendidikan moral, tiga hal yang ditonjolkan adalah: egalitarianisme, “individualisme” dan parti-sipasi. Ada juga pengajaran nilai-nilai kon-vensional seperti persahabatan, keramah-an, kerjasama dan disiplin. Mengagumkan bukan?

Cikal bakal bangsa ada di tangan para pendidik. Begitu pula kompetensi dan moral bangsa. Dengan mengajarkan moral, salah satunya kejujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional maka akan menciptakan generasi-generasi yang bermoral dan ber-tanggung jawab akan kemajuan bangsan-ya. Sudahkah guru kita memberi contoh dan panutan yang baik? Atau malah mene-taskan benih-benih koruptor? Tentu seka-rang yang dibutuhkan adalah guru yang kompeten baik dalam bidang akademik maupun moral. Karena, kita tidak cuma butuh lulus secara kognitif saja, melainkan juga lulus secara afektif.

*) Penulis adalah mahasiswa di STKIP Ke­bangkitan Nasional (Sampoerna School of Education)

TIP & TRIK

RESENSI

Ujian nasional sudah berakhir dan menghasilkan lulusan-lulusan yang bakal menuju jenjang perguruan tinggi atau masa kuliah maupun yan memilih untuk bekerja. Bagi yang mau melanjutkan kejejang per-guruan tinggi sudah saatnya memikirkan jurusan-jurusan yang bakal di pilih nantinya.

Karena masa kuliah itu memakan waktu yang lama, maka Tanya dulu pada diri kita sendiri apa yang jadi minat kita, jurusan apa yan kita sukai dan yang mampu kita kuasai, apa yang kita bisa karena dengan memilih jurusan yang berdasarkan kemauan dan minat, maka semangat kita untuk menjalani dunia perkuliahan itu akan terasa enteng dan kita tidak merasa terbebani, berdoalah jika masih bing ung.

Jangan penah mengikuti jejak orang lain, jadilah diri sendiri, karena sifat ikut-ikutan tidak akan bertahan lama yang akan mem-

buat kita putus di tengah jalan.Sebelum benar-benar memilih jurusan

kuliah khususnya perguruan tinggi swasta, pelajari dulu latar belakangnya, kualitas dan fasilitas yang disediakan, apakah sudah ter-pecaya atau lihat apakah lulusan perguruan tinggi disana menjanjikan atau tidaknya un-tuk masa depan kita.

Cari informasi sebanyak-banyaknya le-wat para kerabat kita yang pernah kuliah, tanya mereka semua hal yang menyangkut tentang masa kuliah tesebut, serta tan-yakan apa saja yang bisa kita jadikan pato-kan dalam memilih serta mempersiapkan hal-hal yang harus ada

Lihat keuangan keluarga kita, jangan memaksakan keadaan, pilihlah jurusan atau perguruan yang terjangkau oleh keuanga keluarga kita, terutama untuk yang berasal dari luar kota. Perhitungkan juga biaya hid-up sehari -hari, misalnya untuk biaya tempat tinggal, makan, dan kebutuhan harian lain-nya, termasuk kebutuhan tidak terduganya.

Jangan menyerah pada keadaan, gali terus informasi, banyak bertanya pada yang telah berpengalaman, pasti kita menemukan jalan yang akan membawa mimpi kita men-jadi kenyataan.

Sumber : www.iniunik.web.id

Di buku ini, sebagian dari kisah, pengala-man, pengamatan pengajar muda dituliskan. Mengajar itulah yang dipilah dan dipublikasikan dalam buku ini. Kisah-kisah yang membuat kita semakin optimistis bahwa masa depan Repub-lik ini memang cerah untuk semua.

Di desa-desa terpencil itu para pengajar muda menorehkan jejak, menitipkan pahala, di sana. Mereka hadir memberikan harapan. Anak-anak SD di pelosok negeri memiliki mimpi membuat para orangtua di desa-desa terpencil ingin memiliki anak yang terdidik seperti para Pen-gajar muda.

Seperti cerita yang ditulis oleh Sekar Arrum Nuswant-ara, pengajar muda di Majene. Ia menuliskan cerita tentang semangat peserta didiknya bernama Satriana.

Satriana dipilih karena ia berhasil menu-liskan sebuah surat yang cukup menyentuh hati. Surat Satriana pun diterima secara lang-sung oleh wakil Presiden. Dan Satriana pun mendapat doa dari wakil Presiden, “Kamu akan menjadi orang besar, Nak” (hlm. 110).

Kisah inspiratif juga hadir dari Nanda Yuni-ka Wulandari, Pengajar muda di Bengkalis. Ia berhasil membesarkan hati peserta didiknya untuk maju. Saat peserta didiknya merasa bahwa ketika kalah dalam lomba, maka Ibu Guru akan merasa malu.

Dengan kegigihannya, ia berhasil meng-hilangkan satu huruf “L” dari kata “malu” menjadi “mau”. Setalah “mau” maka ia me-nambahkan huruf “J” menjadi “maju”. Berkat semangat dan optimisme, anak-anak di Beng-kalis mampu mengikuti olimpiade dan lomba-

lomba lainnya. Buku ini semacam potret

yang disajikan secara apik, menawan, penuh suka cita, kesedihan, dan kegembiraan Pengajar muda adalah mere-ka yang telah disaring melalui proses ketat oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar pimpinan Anies Baswedan (Rektor Universitas Parama-dina, Jakarta). (*)

Judul Buku :Indonesia MengajarPenerbit : Bentang, 2011Penulis : Pengajar MudaPereview : Benni Setiawan Tip Memilih Jurusan

Perguruan Tinggi

Page 13: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

13 EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012 WACANA

“Education is what remains af-ter one has forgotten everything he learned in school” - Albert Ein-stein

enarkah hari pendidikan itu melulu hanya untuk diperingati oleh guru dan muridnya?

Apa maksud dari kata ingat itu sendiri?

Benarkah cukup dengan upacara-upa-cara di sekolah? Atau upacara di lapangan yang inspekturnya seorang Bupati?

Jika cukup dengan upacara saja, tida-kah perlu jika untuk membuat “ingat pen-didikan” menyertakan unsur peserta upa-cara dari orang tua?

Bukankah orang tua itu perlu dilibatkan untuk mendidik anak?

Bukannya orang tua itu perlu bertang-gung-jawab jika anaknya tidak rajin seko-lah dan tidak giat belajar?

Lantas, mengapa tidak dinamakan Hari Pengajaran saja?

Kemudian, haruskah negara mengu-rusi iman, takwa, dan akhlak mulia dalam sistem pendidikannya? Jika iya, apakah penyelenggara negara sudah mencapai ke situ?

Pertanyaan berkecamuk dalam benak saya untuk turut berpikir membenahi sistem pendidikan di negara ini. Sistem ini juga terbangun dari penggunaan ba-hasa oleh birokrasi. Saya memang bukan seorang birokrat, apalagi--guru--pengajar (dosen/mentor/instruktur/dan lain sebu-tan). Tapi saya merasa berhak untuk me-nyandang sebutan pendidik. Setidaknya saya wajib mendidik diri saya sendiri, men-didik tenaga-tenaga yang membantu saya menyelesaikan pekerjaan; mendidik orang-orang yang lebih muda dari saya.

Renungan ini bukan untuk mengulas perkataan didik maupun ajar. Meski seti-daknya pemahaman tentang bahasa di-perlukan untuk berpikir hal-hal yang siste-matis. Catatan ini hanya untuk menjawab rangkaian pertanyaan yang mengerucut menjadi pertanyaan: sebenarnya (hari) pendidikan milik siapa dan untuk apa ada hari pendidikan.

Dalam bahasa birokrasi maupun poli-tisi ada yang namanya pemangku kepent-ingan, untuk menerjemahkan serapan bahasa Inggris Stake Holder. Saya enggan mengulas mengapa serapannya jadi sep-erti itu. Yang pasti-pasti, mereka menyebut ini untuk kelompok-kelompok berkepent-ingan, seperti: Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, pengurus sekolah mulai dari ke-pala sekolah, guru, murid, hingga Satpam sekalipun. Selain itu ada juga kelompok masyarakat lain di luar Komite Sekolah. Ke-lompok masyarakat ini ada: LSM juga pers.

Kelompok-kelompok ini muncul setelah era saya sekolah. Yang mana era saya itu dulu hanya mengenal sebutan: kepala sekolah, guru, murid, dan kebon. Sebutan terakhir itu untuk menerjemahkan penjaga sekolah. Tugasnya selain menjaga sekolah, juga bersih-bersih lingkungan sekolah. Kadang untuk menambah penghasilan, mereka dibebaskan sekolah agar meng-gunakan sebagian kecil tempat di sekolah dijadikan kantin (warung).

Perubahan jaman menjadikan pemer-intah (birokrat) merasa perlu mengadopsi pengajaran demokrasi ke sistem keber-langsungan jalannya pendidikan di repub-lik ini. Saya cukup kaget, sepulang saya dari Papua ke Blora. Ternyata ada yang namanya komite sekolah. Ada juga yang namanya dewan pendidikan. Sekolah dan sistem bi-rokrasinya telah berubah dari jaman saya dulu. Maklumlah. Dulunya saya jarang sekali liputan di Dinas Pendidikan Provinsi Papua maupun Dinas Pendidikan Kota Jayapura. Delapan tahun tugas liputan di Papua, saya malah sering liputan isu yang lebih laris dijual ke Jakarta. Menemukan sekolah rusak adalah suatu pekerjaan yang kerap saya lakukan. Bahkan tak jarang saya mengerjakan liputan tentara yang ikhlas menjadi guru bagi murid-murid di pedala-man. AK47 pun jadi alat untuk meluruskan garis yang oleh kita dikerjakan dengan penggaris.

Namun bagi saya yang menyenangkan adalah ketika meliput George Saa untuk Metro TV, selain juga anak-anak Papua lain yang maju ke kancah olimpiade internasi-onal. Seingat saya ada dua yang saya liput ketika namanya mengharumkan Papua. Satunya saya lupa. Yang saya ingat adalah Septinus George Saa. Karena saat itu saya mengupayakan dia ke Dinas untuk diong-kosi buat wawancara live di Metro TV di Ja-karta. Ide live ini saya sampaikan ke Korda (atasan saya di Redaksi Metro TV) sebagai upaya untuk menunjukan jika anak-anak Papua pun ada yang canggih-canggih.

Lantas, apakah mampu menciptakan anak-anak yang canggih itu suatu keber-hasilan dari suatu sistem pendidikan?

Setidaknya memang harus diakui. Kare-na, siapa yang tak bangga jika muridnya dikenal di kancah internasional. Bahkan seorang guru yang mengabdi di Desa Alas Malang di Kecamatan Jati, Kabupaten Blora pun pun akan bangga jika muridnya dike-nal di kancah daerah kabupaten. Apalagi seorang guru yang bisa membawa murid-nya dikenal dikancah provinsi, juga nasio-nal.

Jika ukurannya ini, di sistem negara yang otoriter sekalipun bisa diciptakan anak-anak yang canggih. Habibie adalah satu contoh anak canggih yang kelak di-ambil oleh Soeharto untuk menggantikan posisinya sebagai presiden.

Demokrasi memang telah mengubah segala-galanya. Saat ini kita tengah belajar berdemokrasi. Mencari bentuk terbaik dari pendidikan adalah proses panjang yang dilewati dengan adu argumentasi. Perbe-daan pendapat sering tak diterima oleh mereka yang kepentingannya tidak sama. Tak jarang adu kekuatan dipertontonkan orang-orang yang ditunjuk mewakili ke-pentingan dewan pendidikan, komite sekolah, dan pengurus sekolah di DPR. Ge-dung di Senayan tak jarang dijadikan arena untuk main tonjok.

Demokrasi juga membuat kebanyakan orang bernafas lega setelah Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dari kedudu-kannya sebagai undang-undang. Kita pun boleh bernafas lebih ketika uang untuk mengurusi pendidikan dialokasikan seper-limanya uang yang dimiliki APBN. Muncul-

nya pun di jaman setelah saya dulu sekolah di jaman Soeharto.

Lalu, apakah tidak cukup uang itu untuk mengurusi pendidikan 250-an juta pen-duduk negara ini?

Kenyataannya, masih banyak sekolah-sekolah yang rusak. Tak sedikit sekolah-sekolah yang lantainya tidak mengkilat seperti lantai keramik. Cukup banyak guru-guru tidak tetap dan guru bantu yang ber-gaji seper-empatnya kuli tukang kayu yang bekerja 4 minggu.

Mungkin karena tak cukup itu, sam-pai-sampai pengurus negara ini berpikir pendek dengan menambah ongkos peng-hidupan orang tua murid dengan menaik-kan harga BBM. Salah satu alasannya; biar ada tambahan buat perbaikan sekolah-sekolah rusak. Lalu keluarga yang mungkin anak-anaknya tak bisa bersekolah, diberi-kan yang namanya BLT. Saking teracuni orde baru bermain kata, diganti dengan BLSM. Intinya: bantuan langsung. Bahasa agamanya: sedekah.

Gagasan pemerintah ini tidak mendidik rakyatnya dengan benar. Karena parameter yang digunakan untuk pendekatan pen-gelompokan kategori sering tidak relevan. Sifat keperluannya berubah-ubah, kendati sifat kebutuhannya cenderung tetap.

Pengelompokan-pun tercampur aduk. Untuk membandingkan kategori kelom-pok miskin saja dibuat-buat kelompok ma-syarakat miskin, hampir miskin, dan sangat miskin. Lalu ketemu angka yang berbeda-beda untuk masing-masing tempat. Ke-lompok miskin inilah yang akan diberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. Berganti dari Bantuan Langsung Tunai. Saya gagal paham dengan maksud pemer-intah di negara ini.

Ada ungkapan dari Calon Gubernur Jakarta yang diusung Gerindra (dan juga PDIP), yang saya sangat suka.

Kutipan dari Republika Online: Jokowi mengatakan bantuan langsung sementara masyarakat atau bantuan langsung tunai sebagaimana pernah digulirkan pada 2005 tidak produktif karena hanya mengajari masyarakat untuk meminta.

Bagi Jokowi--calon tersebut--salah satu tugas pemerintah adalah mengajari ma-syarakat untuk produktif (agar tidak miskin) dan jangan mengajari dengan memberi yang membuat rakyatnya jadi peminta-minta.

Saya sedang tidak menulis tentang persetujuan saya terhadap Walikota Solo itu. Saya juga tak sedang ingin bermain angka-angka statistik yang menunjuk Rp 192 ribu penghasilan sebulan dikelompo-kan ke kategori masyarakat miskin. Meski sebenarnya saya lebih suka menggunakan range statistik yang menunjuk keluarga tak mampu, kurang mampu, agak mampu, cu-kup mampu, mampu, dan sangat mampu.

Tetapi ada proses panjang yang perlu dilewati oleh dunia pendidikan dan pen-gajaran di negara yang kita cintai ini. Ada perjalanan jauh untuk mencapai kredi-bilitas yang disandang Finlandia sebagai negara terbaik dunia yang menerapkan sistem pendidikan dan pengajarannya. Terdapat penekanan dan kasabaran un-tuk mendapatkan hasil terbaik. Menekan pemerintah untuk mengajarkan sistem

pendidikan yang baik, dan sabar menerima kesejahteraan yang relatif antara satu guru dengan guru lainnya.

Proses ini tidak hanya terjadi di institusi pendidikan mulai kementerian hingga ba-gian terkecil darinya. Namun juga proses yang terjadi di luar lingkungan sekolah. Sistem sosial sedang terjadi di luar lingkun-gan sekolah. Sistem yang terangkai dari pendidikan politik dengan ajaran-ajaran tidak sehatnya untuk bangsa ini. Mulai dari merebut kekuasaan dengan kudeta merangkak ala Soeharto, hingga mere-but hati rakyat dengan membagi recehan ke calon-calon pemberi suara. Dan poli-tisi, adalah guru-guru politik kita. Sedang atasan adalah guru bawahan dalam bi-rokrasi.

Model apa yang diajarkan gurunya, begitulah murid menirunya. Apa yang di-katakan gurunya, begitulah murid mengi-kutinya. Apa yang terucap gurunya, be-gitulah murid mengingatnya. Apa yang diperintahkan gurunya, begitulah murid mengerjakannya. Apa yang ditulis gurunya, begitulah murid mengenangnya.

Seperti halnya pemilihan kepala desa, pemilihan wakil-wakil rakyat sejak 1999 telah menganut ajaran politik uang. Jauh sebelumnya di jaman 32 tahun, pemilihan kepala desa dengan menelan uang jutaan dari calonnya sudah jamak. Uang pun jadi kekuatan politik. Bukan kader-kader yang penuh dengan ideologi seperti jaman mendekati proklamasi kemerdekaan.

Meski mental untuk perekrutan kar-yawan swasta, kekuatan uang juga jamak di perekrutan pegawai dan staf di birokrasi pemerintah. Akibatnya: ajaran sogok-me-nyogok, suap-menyuap mewabah hingga membentuk endemis.

Namun, saya sedang tidak membicara-kan soal moral melainkan sistem pendidi-kan yang membentuk manusia (Indone-sia yang) cerdas. Dan kita tak perlu repot dengan kata-kata indah seperti yang ada di ayat 3 pasal 31 UUD 1945 amandemen ke-4. Terlalu repot negara ini untuk men-gurusi iman, ketakwaan, dan akhlak mulia. Apalagi sistem pendidikan yang mencer-daskan bangsa itu hingga saat ini belum membuat manusia-manusianya berbuat cerdas. Padahal kecerdasan akan mem-bawa Indonesia menuju yang indah-indah itu. Sila simak kutipan dari seorang jenius (kecerdasan yang melebihi) ini, “Science without religion is lame, and religion with­out science is blind.” Kutipan ini muncul dari Albert Einstein yang memiliki kecerdasan lebih itu. Terjemahan saya: (kecerdasan) ilmu pengetahuan tanpa agama itu akan membuat cacat, sedangkan agama tanpa (kecerdasan) ilmu pengetahuan itu akan membuat orang jadi sesat.

Sistem pendidikan yang seharusnya juga sistem yang membentuk tatanan so-sial yang mengarah pada mencerdaskan bangsa. Sebab sekolah tak cukup waktu mengajarkan hal-hal terlupakan dari yang diajarkannya; tatanan sosial lah yang akan mengajarkan. Jika di tatanan sosial diajari negaranya untuk tak cerdas, rakyat yang bodoh adalah keniscayaan. Sampai kapan negara akan memelihara kebodohan?

Akhir renungan ini saya ingin mengu-cap selamat hari pendidikan. Jadikan tiap hari sebagai hari pendidikan, seperti mer-eka yang merayakan tiap harinya dengan hari kasih sayang valentine. Didiklah diri untuk tidak menjadi manusia bodoh. (*)

*) Penulis adalah Wartawan, tinggal di Blora

Renungan Hari Pendidikan

Setiap Hari adalah Hari Pendidikanoleh: Gatot Aribowo *)

B

Page 14: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

14EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012apresiasi

Akhir semester genap ini tera-sa sempurna bagiku. Dengan nilai memuaskan, aku dinyatakan masuk jurusan impianku, IPA. Ini berarti akhir penderitaanku belajar materi-materi sosial yang membosankan, penuh dengan hafalan, dan jawaban soal yang membuat tangan pegal saking banyaknya. Alhamdulillah, Ya Rabb.

“Hey, masuk IPA kan?” sapa suara yang sudah familiar di telingku.

Aku mengangguk pasti. Seulas se-nyum tersungging di bibirku.

“Wow, selamat ya. Aku IPS aja lah. IPA bikin pusing. Isinya rumus-rumus semua. Apalagi Fisika tuh, nggak pent-ing banget. Ngapain coba ngitung-ngitung batu jatuh, kelapa jatuh sama bola jatuh? Kalau mau jatuh, ya jatuh aja kali!” cerocos gadis berambut se-bahu itu tanpa memedulikan aku yang sedikit tersinggung. Tapi sudah biasa diantara kami saling mengejek seperti itu. Sekedar untuk menjalin keakra-ban, atau kadang me-refresh pikiran. Di ujung kalimatnya dia menambah-kan sedikit tawa renyah, sesuatu yang aku rindukan ketika tak bersama saha-batku satu ini.

“Daripada IPS, apaan tuh? Geografi tuh isinya cuma ngitung kekerasan batu. Kalau akuntansi tuh ngitung-ngitung duit tapi nggak ada duitnya, hahaha,” balasku.

Kami tertawa bersama di koridor depan ruang kelas X.

Jujur aku anti dengan jurusan so-sial. Terlebih kondisi anak-anaknya yang doyan bolos, tidur dikelas, suka rusuh, rese, nggak penah belajar. Ng-gak banget deh pokoknya bagiku. Kadang males kalau harus berhubun-gan sama anak-anak berlabel kelas so-sial. Mungkin hanya Friska, anak kelas sosial yang enggan kujauhi. Walaupun bisa dibilang dia hari ini resmi berla-bel anak kelas sosial, tapi aku yakin sa-habatku sejak TK ini tak akan menjadi anak IPS seperti bayanganku.

****“Ra, tugas Bahasa kemarin disuruh

apa ya?”“Apa ya? Nggak tau tuh. Tanya yang

lain aja ya,” jawabnya datar.Bohong banget kalau kamu nggak

tau. Ih, marmos banget sih nih anak. Cuma nanya gitu aja nggak mau jawab. Wooii, aku Cuma nanya tugasnya apa, bukan mau nyontek jawaban kamu. Be-rasa gondok banget.

Ternyata bukan hanya Rara saja, hampir semua anak di kelasku tak mau peduli satu sama lain.

“Udah deh. Ngurusin diri sendiri masing-masing aja, nggak usah ngu-rusi orang lain,” kometar teman lain, bikin telingaku pedas. Kubanting tas coklatku ke meja, membuat seluruh isi kelas menatap sinis ke arahku. Tanpa pedulikan mereka, aku beran-jak menuju ruang guru. Kuputuskan bertanya langsung pada si pemberi tugas.

****Rasa lelah mejalar ke seluruh tu-

buhku. Enggan rasanya masuk sekolah esok. Tepat jam 11 malam aku mengin-jakan kaki di rumah seteleh selama empat hari ini mewakili sekolah dalam kejuaraan Fisika tingkat propinsi.

Kuraih ponsel dan segera jariku menari diatas keypad.

Rara, besok ada ulangan nggak ?

Send. OK.Sepuluh menit,

tak ada balasan. Ku putuskan mengirim SMS yang sama ke teman yang lain. Tak berapa lama kemudian ku dapati ponselku berbunyi. Sebuah pesan baru tertera di layar.

Nggak.Thanks, Nis.Huft, bisa tidur nyenyak malam ini

tanpa harus belajar untuk ulangan. Kalaupun ada PR, bisa dikerjakan be-sok disekolah.

Semenjak kelas XI, hari-hariku berubah drastis. Organisasi dan lomba-lomba membuatku tak sempat, bahkan hanya untuk istirahat. Apalagi untuk mengerjakan tugas dan belajar. Mental-ku sudah aku persiapkan jika semester ini harus kulepaskan peringkatku.

Keesokan harinya, sengaja aku berangkat tepat saat bel berbunyi. Beberapa saat setelah duduk dibang-kuku, guru Matematika bertubuh jangkung masuk dengan setumpuk kertas di tangannya. Suasana kelas hening. Ketua kelas maju, lalu mem-bagikan soal lengkap dengan lembar jawabannya.

“Ra, ulangan dadakan?”“Nggak. Dua hari lalu udah dikasih

tau,” jawabnya malas.

Berasa tersambar petir. Kubaca soal demi soal. Dari 10 soal aku hanya menger-ti 2. Parah. Kukerjakan sebisaku. Bab ini disampaikan ketika aku mengikuti lomba di nasional dua minggu lalu. Otomatis aku tak mengerti sama sekali. Mungkin aku masih bisa mengerjakan jika saja tadi malam aku membaca buku pelajaran. Tapi aku memaksa otakku bekerja keras, mencoba mengutak-atik angka-angka yang aku sendiri tidak mengerti harus dihitung dengan cara apa. Biarlah, bisa dipastikan aku akan gagal. Tapi kenapa temanku harus bohong ?

****“Adien, kamu kenapa?” suara lem-

but Friska buyarkan lamunanku di ko-ridor sekolah setelah pelajaran usai.

Tak kuasa aku menahan semua ini. Aku menghambur ke pelukan gadis berkacamata itu. Kuluapkan segala keluh kesahku. Dengan setia dia men-dengarkan setiap kata yang terucap dari bibir tipisku. Ah, beruntung sekali aku mempunyai sahabat seperti dia.

“Aku salah apa sama mereka? Ke-napa mereka sama sekali nggak mau berbagi. OK, emang aku jarang dike-las, selalu sibuk lomba dan organisasi. Tapi begitukan cara mereka memper-lakukan seorang teman? Atau mung-kin mereka nggak nganggep satu sama lain itu teman. Bukan cuma satu, Fris, tapi seluruh teman di kelasku acuh tak acuh satu dengan lainya. Be-rasa di neraka, Fris. Bahkan Rara, te-man sebangkuku juga tak berbeda,” luapku pada Friska.

“Kamu boleh gabung sama kita kok. Kalau fisika kan kamu udah jago. Biologi sama kimia bisa kamu baca sendiri lah. Kita bakal bantuin kamu belajar matematika. Walaupun kamu

sibuk dan nggak sempet buat les, satu jam setelah pulang sekolah pas hari Senin dan Kamis bisa jadi jam yang efektif. Gimana?”

“ M a k s u d kamu?” tanyaku tak mengerti.

“ M a t e m a t i -ka-nya anak IPA

sama IPS hampir sama kan? Bedanya dalam satu semester IPA ada 5 bab se-dangkan IPS cuma 4 bab. Iya, kan?” su-ara Frsika terdengar ceria diikuti den-gan anggukan kepalaku.

Masih excited rasanya. Anggapanku tentang anak IPS salah total. Sekarang, setiap Senin dan Kamis kami–aku dan beberapa anak IPS–belajar Matema-tika di mushola sekolah. Tak ada yang egois, tak ada yang sok pintar. Tak ada yang menggurui, karena hakikatnya kami belajar bersama, saling bertu-kar pikiran dan pendapat. Terkadang, diselingi dengan canda tawa seperti keluarga sendiri. Keakraban mulai ter-jalin seiring berjalannya waktu.

Aku memang butuh pengajar un-tuk matematika. Hanya mata pela-jaran yang satu ini. Entah mengapa. Pernah terlintas pikiran untuk me-manggil guru privat, tapi kuurungkan karena aku menemukan kenyamanan lebih bersama teman-temanku anak IPS ini.

Sekilas memang mereka sering rusuh. Tapi rusuh mereka beralasan. Mereka akan marah jika kamu melukai

teman mereka, persis seperti harimau marah ketika kamu mengusik anaknya. Persahabatan mereka sangat solid. Kekeluargaan mereka pantas diacungi jempol. Tak ada yang egois, bahkan hampir tak mementingkan pribadinya.

Pada dasarnya pelajaran sosial yang mereka terima berpengaruh pada jiwa sosial mereka pula. Mung-kin ini yang tidak aku temui pada teman-temanku di kelas IPA. Persain-gan ketat dan tidak mendapatkan pe-lajaran sosial kecuali sejarah, menjadi alasan mereka tidak mau berbagi ilmu dengan yang lain. Ah, hanya pikiranku saja. Toh juga tak semua anak IPA sep-erti itu. Mungkin hanya dikelasku saja.

“Sebenarnya bukan karena mereka jahat. Tapi mungkin mereka takut ter-saingi. Mereka takut nilai teman yang mereka ajari lebih tinggi daripada nilai mereka. Kalau kami sih nggak peduli. Kami anak IPS, contekan itu biasa. Itu yang contoh jelek. Kalau contoh baik, yang kayak gini. Belajar bareng, saling tukar pikiran dan pendapat,” komen-tar Friska.

Aku hanya diam, menatap langit senja yang indah. Hanya diam dan me-renungi apa yang dikatakan Friska.

“Itulah pentingnya komunikasi. Ketika kamu ada masalah, jangan per-nah memendamnya sendiri. Kamu tau dengan siapa kamu harus cerita. Kami siap menampung seluruh cerita kamu. Setidaknya lebih menarik dari cerita guru sejarah, huehehehehe......”

Friska terkekeh dengan perkataan-nya sendiri.

“Komunikasi dan kontak sosial itu syarat interaksi sosial, kan?” tanyaku.

Kami tertawa bersama.Friska melanjutkan opininya,

“Anak IPS terlalu bebas mengekspre-sikan diri mereka. Terlalu realistis mungkin. Makanya kadang terlihat seperti pembuat onar. Dan nggak semua anak IPS itu suka rusuh. Kami nggak pernah iri, walaupun dianak-tirikan. Nggak pernah dipuja kayak anak IPA. Hahahaaa.”

“Anak IPA boleh lebih pintar dari kami, tapi jiwa sosial dan kekeluargaan jangan harap bisa melebihi kami. Hahaha....”

“Aku do’ain besuk pas naik kelas XII kamu dapet temen-temen yang bisa bikin kamu enjoy dan peduli satu sama lain.”

“Aamiin, Ya Rabb,” aku mengamini do’a Friska dengan seulas senyum di bibirku.

“Aku kok udah nggak pernah den-gerin kamu bangga-banggain anak IPA lagi sih sekarang?” ucap Friska nyengir.

“Ngejek nih ceritanya? Awas kamu ya! Sini, aku pengen cubit pipi kamu!” selorohku sekenanya.

Friska berlari menjauh. Aku menge-jarnya hanya untuk melampiaskan hasratku mencubit pipi tembemnya itu.

“Aduh aduh, jangan donk! Ntar aku diputus sama pacarku gara-gara tambah tembem. Hahaha. Seharusnya kamu berterimakasih sama aku. Kan aku udah bukain mata kamu biar ng-gak terlalu mengagungkan anak IPA, dan nggak selamanya juga anak IPS itu jelek. Banyak juga kali anak IPS yang sukses ke depannya. Weeekkk,” Friska menjulurkan lidahnya ke arahku.

Aku tertegun mendengar ucapan gadis itu. (*)

Suka Rusuh? Oo ya?Oleh : Lintang Kemuning

“Berasa tersambar petir. Kubaca soal demi soal. Dari 10 soal aku hanya mengerti 2. Parah”.

Page 15: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

15 EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012 apresiasi

Seorang yang Kaya dan Seorang yang Miskin

Disebuah negeri hiduplah seorang yang kaya dan seorang yang miskin. Seorang yang miskin itu hidupnya menjadi seorang tabib. Ia pandai dan rajin. Sementara orang yang kaya itu terlalu bebal. Tidak pernah mau bekerja, sepanjang hari hanya bersuka ria dan berfoya-foya saja.

Pada suatu hari bertemulah kedua orang tersebut.

Kata orang yang kaya: Apakah gunanya kepandaianmu? Biarpun engkau terlalu pan-dai dan rajin bekerja sepanjang hari, tapi tidak juga menjadi kaya dan mulia seperti aku. Se-dangkan aku ini dihormati orang, orang-orang besar dan terpandang dinegeri ini menjadi sa-habatku, mereka keluar masuk rumahku. Ses-ungguhnya kekayaan lebih dari kepandaian.

Suatu hari negeri yang dihuni oleh kedua orang itu didatangi oleh musuh, rumah-rumah dibakar serta hartanya dirampas, ter-masuk rumah orang kaya itu dibakar dan harta bendanya dirampas. Sehelai benangpun tidak ada yang tertinggal.

Maka kata orang yang miskin itu: bagaimanakah sekarang dengan engkau? Dan bagaimanakah cara engkau mencari penghidupan selanjutnya? Karena selamanya engkau tidak pernah mau bekerja. Rumahku juga dibakar oleh musuh dan harta yang se-dikit dirampasnya juga, tetapi aku masih bisa mencari penghidupan, karena aku telah dike-nal di negeri ini, bahwa aku pandai mengo-bati orang yang sakit.

Jelaslah kepada orang yang bebal itu, bahwa harta dunia ini tidaklah kekal adanya, melainkan kepandaian yang berguna selama-lamanya.

Adapun rumah dapat dibakar dan harta benda dapat dirampas akan tetapi kepan-daian tidak akan hilang juga. Orang yang pandai lagi rajin niscaya dapat mencari penghidupan selama-lamanya. (*)

Serigala dengan Buaya

Pada suatu hari berjalanlah seekor seri-gala ditepi sungai, mencari ikan, ketam kecil dan sebagainya karena perutnya lapar. Di-dalam sungai itu ada seekor buaya yang amat besar dan sangat buas. Apabila buaya itu me-lihat seekor serigala yang sedang berjalan, buaya itupun terlalu ingin menangkap dan hendak dimakannya serigala itu. Serigala itu berjalan kesana-kemari mencari makanan tapi tidak didapatnya juga.

Setelah beberapa lama berjalan kesana-ke-mari, maka serigalapun melihat seekor ketam didalam air sungai yang jernih diantara beber-apa teratai yang tumbuh disitu. Buaya itupun berada ditempat ketam itu. Ketika serigala menjulurkan kakinya hendak menangkap ke-tam, tiba-tiba kakinya ditangkap oleh buaya. Berpikir serigala dalam hatinya: wah! Kakiku sudah ditangkap buaya, coba kucari akal agar bisa melepaskan diriku dari bahaya ini.

Katanya: Hai buaya jangan kau sangka bahwa kakiku yang kau tangkap ini,melainkan tangkai bunga teratai yang tertangkap olehmu.

Malulah buaya itu, dikiranya benarlah kata serigala itu. Karena tidak terlihat jelas didalam air yang banyak ditumbuhi teratai, lalu dilepaskanlah kaki serigala itu.

Setelah serigala merasa kakinya sudah dilepas oleh buaya, iapun tertawa-tawa dan berkata: hai buaya, engkau ini terlalu bodoh, tidak tahu mem-bedakan tangkai bunga dengan kaki binatang. Pu-langlah serigala dengan sukacitanya.

Pada keesokan harinya, kembalilah serigala itu ketepi sungai untuk mencari makanannya. Karena terlalu takut dengan buaya, maka serigala mencari tahu dimanakah buaya itu berada saat itu.

Serigalapun berteriak dengan kerasnya: aku terlalu ingin makan ketam, kalau ada yang timbul akan kutangkap dia.

Ucapan serigala itu terdengar oleh buaya dan buayapun berpikir: baiklah kukeluarkan ujung moncongku dari dalam air supaya seri-gala itu menyangka bahwa itu ketam yang tim-bul, apabila dia menjulurkan kakinya hendak

menangkap ketam maka kutangkap kakinya.Tiba-tiba buayapun mengeluarkan ujung

moncongnya dari dalam air. Dan terlihatlah oleh serigala moncong buaya itu, maka kat-anya: hai buaya, oleh sebab engkau disini bai-klah akan kucari makanan ditempat lain saja. Buaya itupun marah karena dipermainkan serigala lagi dan dalam hatinya, coba ku cari akal untuk mebinasakan serigala celaka itu.

Keesokan harinya serigala datang lagi mencari ketam. Iapun berpikir dalam hatinya, coba kuperiksa dulu, buaya itu dimanakah sekarang. Serigalapun berteriak kencang: di-manakah ketam yang banyak itu,seekorpun tidak tampak,jikalau ada biasanya naeklah gelembung-gelembung air yang ditimbulkan oleh ketam itu.

Buaya mendengarkan teriakan serigala, maka iapun berpikir: baiklah akan kuperbuat seperti ketam itu, lalu menggelembungkan air sungai itu sekuat-kuatnya.

Serigala melihat air sungai itu seperti mendidih, maka katanya: hai buaya sesung-guhnya engkaulah yang membuat gelem-bung-gelembung itu, karena ketam tidak bisa, baiklah kucari makanan pada tempat lain saja. Buaya itupun marah karena telah dipedaya serigala untuk yang kesekian ka-linya. Berhari-hari buaya berada dipinggir sungai menunggu serigala datang. Tetapi serigala itu tidak pernah kembali lagi karena takut ditangkap buaya.

Serigala lalu pergi kehutan mencari buah-buahan yang jatuh dan dimakannya. Setelah beberapa hari buaya menantikan serigala di-tepi sungai namun tidak kunjung datang, maka buaya naik kedarat dan mencari akal untuk membinasakan serigala. Sampailah buaya pada sebatang pohon ara yang amat tinggi, dibawahnya banyak buahnya yang jatuh. Buaya menimbunkan badannya dengan buah ara yang jatuh sehingga badannya tidak kelihatan. Ti-dak berapa lama datanglah serigala,dilihatnya dari jauh timbunan buah ara yang amat besar, serigala berpikir jangan-jangan buayalah yang menyembunyikan dirinya kedalam tumpukan

buah ara yang banyak itu. Lalu iapun berteriak dengan nyaringnya: saya heran melihat timbu-nan buah yang begitu besar, karena buah yang jatuh selamanya berguling-gulingan, sebuah kesana sebuah kesini, apakah sebabnya seka-rang semua terkumpul menjadi timbunan ini?

Mendengar ucapan serigala itu, buaya lalu menggulingkan buah-buah ara itu den-gan badannya, sehingga buah ara itu tegul-ing kesana-kemari sehingga badannya ter-lihat oleh serigala. Serigalapun berkata: hai buaya, karena engkau telah menunjukkan tempatmu kepadaku, baiklah aku akan lari supaya selamat dari bahaya.

Buaya marah bukan main lalu ia berkata: aku akan menunjukkan kepada serigala itu bahwa akulah yang lebih cerdik.

Pada keesokan harinya buaya pergi ke-liang serigala. Dan dilihatnya serigala sudah keluar mencari rezekinya. Masuklah buaya kedalam liang itu dan duduk menantikan seri-gala. Tak berapa lama serigala itupun pulang.

Ketika hampir sampai liangnya, dilihat-nya jejak binatang yang besar yang berjalan ditempat itu.

Serigalapun berpikir: siapakah yang ber-jalan disini, jangan-jangan buayalah yang masuk kedalam liangku. Maka serigala ber-teriak: akan kucari kayu dulu supaya aku dapat memasak makananku. Ucapan serigala terdengar oleh buaya yang ada dalam liang itu, dan buaya berpikir: apabila serigala itu sudah selesai memasak makanannya, ia akan masuk kedalam liang dan kumakanlah si celaka itu.

Serigala itu mencari daun-daun dan rant-ing-ranting yang kering, dikumpulkannya didepan liangnya. Setelah terkumpul banyak lalu dibakarnya. Panas api didepan liang itu terlalu panas dan tidak dapat ditahan oleh buaya, sehingga hanguslah badannya dan akhirnya matilah buaya itu. Serigala sangat bersuka cita karena musuhnya telah mati.

Barangsiapa menggali lubang, dia sen-diri yang akan masuk kedalam lubang itu. (*)

Oleh: Widyasintha Himayanthi

Oleh: Tyas Artikasari

Maafkan Aku

Kau masih terdiam disana, di sudut sepi tanpa penerang

menunduk bermandikan kegalauanentah apa yang kau pikirkan, kau seperti

tak waras lagikau membisu memikirkan sesuatu, tapi

entah apamungkin penyebab kau jadi giladulu kau selalu tersenyum, meski kau

jarang bicara karena ku tahu kau memang pendiam

kau pernah ceria kala itu, duduk di ping-gir danau

bertemankan kanvasmumatamu memandang luas ke alam dan sekali lagi kau menuangkannnya

dengan kuas di atas imajimusetelah tiruan alam itu jadi kau tersenyum

dan memperlihatkannya padaku

tatapan matamu akan memancarkan ke-bahagiaan bila aku memuji lukisanmu bagus

namun itu dulu, sekarang sepertinya kau lebih mencintai pojok kamarmu yang lusuh

ruang persegi empat yang dua tahun telah kau tinggali, yang cat di temboknya mulai mengelupas perlahan

aku memperhatikanmu, kau menatapku dan kau menangishatiku sakit, teriris rasanyamaaf.., maaf.., maaf aku yang tak pernah ada di dekatmuaku yang selalu terbuai dengan hingar

bingar duniaaku yang hanya pentingkan egoku tanpa

tahu aku menyakitimuselama itu...maafkan aku

Love Never End

Hakekat cinta itu, selalu memaafkanDan tentu saja tak bisa di ganggu gugat.Berapa kali di kecewakan, berapa kali

juga memaafkanBerkali air mata mengalir, begitu pula

kata maaf akan terus mendampinginya.Berulang kali mengucap dusta, namun

akhirnya memaafkan kembaliBodoh memang, namun itulah kenyata-

annyaTak seorangpun ingin di sakiti, bahkan

hingga berakhir dengan penyesalanTapi bila semua berhubungan dengan

cinta, sudah barang tentu kata maaf akan se-lalu mudah terucap

Tanpa peduli berapa sering di sakiti, barapa ember air mata yang selama ini telah keluar hingga membuat mata itu tak lagi ter-lihat cantik, dan berapa kali rasa menyesak-

kan dada akan terus terasa.Beberapa orang menganggap itu satu hal

tolol, di sakiti berkali-kali namun masih ter-us bertahan

Lagi-lagi, itulah hakekat cintaDisakiti memang sakit, namun jangan

sampai kesalahan membutakan kebaikan yang selama ini telah tercipta

Kembali mengingat masa indah bersama, berapa banyak pengorbanan yang selama ini terlahir untuk mempertahankan cinta ini.

Jarak menjadi penghalang cinta kala itu, namun dengan mudah bisa di patahkan oleh cinta

Dan ketika telah bersama, dan kembali di sakiti

Akan terus memaafkan, karena keyaki-nan saling cinta akan selalu ada

disinidi hati ini..

Page 16: Tabloid Edukasia Edisi Mei 2012

16EDISI 2MINGGU I - II | MEI 2012

Hanifa Nur Aprilian

Alami KejenuhanLomba demi lomba dia lalui. Lebih sering ikut lomba menyanyi. Pernah menjuarai festival seni tingkat nasional, iseng-iseng ikut lomba karya ilmiah. Meski cukup berat menjalanin-ya, namun akhirnya dapat juara dua di tingkat provinsi.

UASANA kelas 8.1 SMP 2 Blora siang itu agak riuh. Jam pelajaran tampaknya sedang kosong. Seorang gadis belasan tahun tengah asyik ngo-brol dengan temannya di sudut kelas. Gadis ber-

jilbab itu adalah Hanifa Nur Aprlian.Di bulan yang ia merayakan ulang tahunnya ke 14, Hanifa

menyabet juara 2 lomba Karya Ilmiah Remaja (KIR) tingkat Jawa Tengah. Tulisan ilmiahnya yang mengupas soal kesub-uran tanah hutan jati di Blora m a m p u menarik perhatian juri.

“Awalnya hanya di-suruh oleh guru un-tuk ikut lomba karya ilmiah ini. Lalu saya disuruh untuk cari bahan-bahan di internet. Jadilah satu tulisan ilmiah yang mengambil materi kesuburan tanah hutan jati di Blora. Saya kirim le-wat pos dan di pen-gumuman dapat juara 2,”

cerita Hanifa pada suatu siang di kelasnya di kelas VIII.1 SMP 2 Blora.

Ikut lomba karya ilmiah ini sempat menjadi beban tersen-diri buat Hanifa. Maklum, baru pertama kalinya ia ikut lomba ini. Meski berat, Hanifa akhirnya Hanifa mampu mendapat ha-sil yang memuaskan.

“Berat juga sih. Memang ada beban tersendiri. Alhamdulil-lah, dapat juga juara 2,” kata penghobi menyanyi ini.

Bungsu dari 3 saudara perempuan semua ini mengaku baru pertama kalinya ikut lomba yang berbau ilmiah-ilmiah. Sebelumnya lomba yang sering diikutinya adalah lomba me-nyanyi. Bahkan pernah dapat juara 3 untuk lomba grup nasyid di festival seni tingkat nasional.

“Lomba karya ilmiah ini baru pertama kali. Sebelumnya lomba-lomba yang sering saya ikuti hanyalah lomba-lomba menyanyi,” ujar anak pasangan dari Jasmani dan Munarti ini.

Kegemaran menyanyi dari pemilik ukuran sepatu 39 ini muncul ketika duduk di kelas 7. Jauh sebelumnya ia sama sekali tak menyukai menyanyi.

“Waktu itu kan saya mendengar kakak kelas sedang memperdengarkan suaranya di salah satu radio di Blora.

Saya mendengarnya kok lagunya enak. Dari situ saya jadi tertarik untuk mendalami seni suara,” kata pe-

nyuka warna hijau ini.Sejak itu gadis kelahiran 29

April 14 tahun silam ini mulai ak-tif ikut ekstra-kurikuler seni tarik

suara di sekolahnya. Dalam seminggu ia bisa latihan

sampai 2 kali. Lebih rutin menjelang ada perlom-

Prestasiku

S

baan. Tak tercatat dengan pasti berapa kali lomba yang ia ikuti.

“Terus terang saya alami kejenuhan. Di kelas 3 nanti saya akan coba menghentikan sementara ikut lomba-lom-ba. Saya coba akan konsentrasi di pelajaran sekolah,” kata penyuka alat musik kibor ini.

Kejenuhan Hanifa bukan tanpa alasan. Sering ia keting-galan pelajaran saat konsentrasi ikut lomba. Beruntung, Hanifa masih memiliki seorang teman dekat di kelasnya yang membantunya untuk tidak ketinggalan pelajaran.

“Seorang teman dekat bagi saya sangatlah berarti. Se-lain jadi tempat curhat, saya juga bisa bertanya tentang pelajaran yang ketinggalan saya ikuti,” kata Hanifa sambil menunjuk seorang gadis yang sedang ngobrol di pojok ke-las sebagai seorang teman dekatnya.

Gadis itu setiap harinya duduk di bangku belakang Hanifa. Ia penggemar jalan-jalan berkeliling kota Blora den-gan sepedanya.

“Sering saya diajak menemani dia untuk jalan-jalan berkeliling sepulang sekolah,” ujar penggemar musik Pop ini.

Di kelasnya, Hanifa masuk 10 besar di rangking kelasnya yang dihuni 23 anak.

“Dapat rangking 6. Pengen juga sih bisa masuk 3 besar. Tapi kan kelas kami ini termasuk kelas unggulan. Jadinya kalau rangking 6 di kelas ini bisa rangking 1 di kelas lain yang bukan unggulan,” kata pengagum Agnes Monica ini.

Soal kegiatan belajarnya, Hanifa mengaku sulit bela-jar di pagi hari. Jadinya selepas bangun jam 4.30 pagi dan menunaikan ibadah sholat subuh, biasanya Hanifa tidur lagi hingga menjelang kesiapannya berangkat sekolah.

“Berangkat sekolah jam setengah 7 gitu. Bersepeda sampai sekolah jam 7 kurang,” kata Hanifa yang belum pu-nya banyangan tentang cita-citanya kelak. (*)

Nama Lengkap : Hanifa Nur AprlianTempat lahir : BloraTanggal lahir : 29 April 1998Sekolah : SMP 2 Blora Kelas : VIII.1Nama ayah : JasmaniNama ibu : MunartiAnak : ke 3 dari 3 bersaudaraHobi : MenyanyiWarna kesukaan : HijauPelajaran disukai : MatematikaLomba terakhir yang diikuti : Karya Ilmiah Remaja Tingkat Provinsi

Biodata:

Membangun kecerdasan, kebersamaan, dan keteladananing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan tut wuri handayani ( di belakang memberi dorongan) adalah semangat pendidikan nasional yang harus kita jaga. Semangat yang mengiringi kerja keras membangun kualitas bangsa yang cerdas, berbudi pekerti tinggi dan menjadi teladan bagi keluarga, lingkungan dan seluruh bangsa. Maju terus pendidikan Indonesia.Selamat Hari Pendidikan Nasional.

IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH TABLOID EDUKASIA DAN ALUMNI SMANSA ‘93 & ‘94 BLORA