studi pustaka dinamika perkembangan flu … · dan bunda (s emoga kanda bisa menjadi contoh yang...
TRANSCRIPT
STUDI PUSTAKA DINAMIKA PERKEMBANGAN FLU
BURUNG/AVIAN INFLUENZA (AI) DI INDONESIA
(2003 -2007)
Didid Wahyu Jatmiko
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
STUDI PUSTAKA DINAMIKA PERKEMBANGAN FLU BURUNG/
AVIAN INFLUENZA (AI) DI INDONESIA (2003 -2007)
Oleh :
DIDID WAHYU JATMIKO
B04102105
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
i
Judul Skripsi : Studi Pustaka Dinamika Perkembangan Avian Influenza
di Indonesia (2003 – 2007)
Nama : Didid Wahyu Jatmiko
NRP : B04102105
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Dr.Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP. 131129090
Diketahui,
Wakil Dekan FKH IPB
Dr.Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP. 131129090
Tanggal Lulus : 26 September 2007.
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, penulis telah berhasil menyelesaikan tugas akhir ini dengan
baik. Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan kesehatan, pikiran dan
kedamaian yang merupakan berkah terbesar bagi penulis, tak lupa shalawat dan
salam kepada nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ayahanda Mulyono dan ibunda Kustati terimakasih yang teramat sangat
atas do’a, dukungan, cinta dan kasih sayangnya yang selalu menemani
langkah ananda.
2. Bripda Hellin Kristiono dan Ferdian Yoga Pradikda. Dengan adanya
skripsi ini mudah-mudahan beberapa tahun yang akan datang kalian juga
akan menulis skripsi dan kita akan bersama-sama membahagiakan ayah
dan bunda (Semoga kanda bisa menjadi contoh yang baik untuk kalian).
3. Leni Maylina dan dik Ike yang senantiasa berbagi keceriaan dan
optimisme dalam menghadapi hidup.
4. Mbak Tini dan Mas Nurul, terima kasih telah menyemangati dan
menghiburku ketika menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. selaku dosen pembimbing skripsi,
yang selalu memberikan waktu untuk memberikan bimbingan sampai
skripsi ini selesai.
6. Dr. drh. Bambang Pontjo P. sebagai pembimbing akademik, terima kasih
atas bimbingan, nasehat dan motivasinya, terima kasih untuk tiap semester
telah memberikan pertimbangan dan pencerahan studi.
7. Dr. drh. Setyo Widodo, yang telah memberi inspirasi dan motivasi untuk
belajar yang lebih baik.
8. Dr.drh. Retno D. Soejoedono, MS. selaku dosen penguji skripsi.
9. Staf pengajar dan pegawai di bagian Kitwan Kesmavet FKH IPB.
10. Komnas FBPI dan UPP-AI Deptan.
11. Teman-teman mahasiswa seperjuangan di FKH IPB.
12. Warga “Hamas” atas kebersamaan kita selama 4 tahun.
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magetan, Jawa Timur pada 12 Desember 1983. Yang
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari Bapak Mulyono, Spd dan Ibu
Kustati, Spd.
Penulis menempuh pendidikan dasar di MIN Takeran, tahun 1990 sampai
tahun 1996. Kemudian melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Kawedanan pada
tahun 1996 sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis meneruskan ke SMUN 1
Magetan sampai pada tahun 2002 dan pada tahun yang sama diterima sebagai
mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Pada tahun 2000 penulis mengikuti dan menjadi juara kedua Lomba
Metodologi Penelitian Sosial (Metpensos) tingkat provinsi Jawa Timur kategori
pelajar dan bergabung dalam pasukan pengibar bendera (PASKIBRA) tingkat
kabupaten. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti BEM KM-FKH
2002, BEM KM-IPB 2003, lembaga advokasi Mahasiswa IPB (LASMA IPB),
komunitas sepeda IPB (ABILITY), kegiatan himpro satwa liar, ornithology dan
unggas serta ruminansia. Penulis juga berperan dalam organisasi ektra kampus
diantaranya Brigade PII, Indonesian Moslem Student Association (IMSA),
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),Pandu Alam Pemuda dan Pelajar (PALAPA),
Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Magetan (IMPATA), Ikatan Mahasiswa Muslim
Madiun (IM-telu) dan LSM Lentera Bangsa.
Pada tahun 2005 penulis tergabung dalam tim relawan ”Recovery
Pendidikan Untuk Aceh” pasca bencana tsunami dan tahun 2006 tergabung dalam
”Mobile School” untuk penyelenggaraan sekolah darurat pasca gempa Jogjakarta.
Penulis menyelesaikan Advance Leadership Training (Advantra) tahun 2003 dan
Council Training (CI) tahun 2004 dan SUSPIMNAS 2006 yang diselengarakan
oleh IMSA. Mulai tahun 2003 hingga 2006 tergabung dalam relawan pemeriksa
hewan dan daging qurban FKH IPB.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah bekerja paruh waktu di KLT
Bogor dan Century Internet dan Computer (CIC), teknisi komputer di De
Computer’s Crew dan berwiraswasta.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya yang
senantiasa memberikan kecerahan jiwa sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Tak ada sembah sujud selain pada-Nya, semoga setiap langkah
selalu dituntun dan menuju pada-Nya.
Skripsi yang berjudul “Studi Pustaka Dinamika Perkembangan Flu
Burung/Avian Influenza (AI) di Indonesia (2003 – 2007)” ini bertujuan untuk
untuk mengetahui perkembangan flu burung (Avian Influenza/AI) di Indonesia
dari tahun 2003 hingga Juli 2007 dari jumlah kasus kejadian dan dampak yang
diakibatkan. Manfaat dari studi pustaka ini diharapkan mampu memberi informasi
seluas-luasnya kepada masyarakat tentang perkembangan flu burung, sehingga
mampu mengurangi distorsi informasi seputar AI yang sudah ada. Selain itu
diharapkan juga dapat meningkatkan kesadaran semua pihak akan pentingnya
kerja sama dalam pencegahan dan penanganan AI dalam menyukseskan program
pemerintah “Indonesia Bebas Flu Burung”.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna
mengingat keterbatasan yang dialami selama berlangsungnya penelitian. Semoga
hasil penelitian dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Bogor, September 2007
Penulis
v
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“STUDI PUSTAKA DINAMIKA PERKEMBANGAN FLU BURUNG/ AVIAN
INFLUENZA (AI) DI INDONESIA (2003 -2007)” BENAR-BENAR HASIL
KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
TULISAN KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2007
Didid W. Jatmiko B04103011
vi
ABSTRAK
DIDID WAHYU JATMIKO. Studi Pustaka Dinamika Perkembangan AvianInfluenza (AI) Di Indonesia (2003 – 2007). Dibimbing oleh I Wayan TeguhWibawan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaranperkembangan Avian Influenza (AI) di Indonesia dari awal kejadian kasus padatahun 2003, ditinjau dari kerugian ekonomi, kesehatan manusia dan upayapenangannya. Penelitian ini mengambil data sekunder yang diperoleh dari sumberinformasi internet, media massa, dan jurnal ilmiah serta data dari Komnas FBPIdan UPP-AI Pusat Deptan.Virus Avian Influenza diketahui sebagai virusinfluenza tipe A yang merupakan virus dengan antigenic shift dan drift yangmempunyai kemampuan untuk merubah komponen genetik, yang mengakibatkanperubahan penampakan biologi. Pada kondisi endemis AI di sebagian besarwilayah Indonesia ditunjukkan dengan penampakan subklinis dari penyakit ini,dimana virus AI dapat diisolasi dari ayam, bebek dan angsa yang terlihat dalamkondisi klinis sehat. Kondisi ini memegang peranan penting dalam shedding virusdan pencemaran lingkungan. Dari tahun 2005 hingga Juli 2007, kasus kejadianflu burung pada manusia di Indonesia menurut laporan mencapai 105 orangdengan 84 kematian. Kerja sama antar institusi dalam upaya penanganan wabahflu burung sangat diperlukan. Diantaranya yang dilakukan oleh pemerintahIndonesia dengan pendirian Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung danKesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) sebagaikoordinator semua upaya pengendalian flu burung di Indonesia.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
COVER DALAM.................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP............................................................................... iv
KATA PENGANTAR........................................................................... v
PERNYATAAN..................................................................................... vi
ABSTRAK............................................................................................. vii
DAFTAR ISI.......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL.................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xiii
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
1.3 Manfaat Penelitian....................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 4
2.1. Avian Influensa (AI) ................................................................. 4
2.1.1. Virus Penyebab AI.............................................................. 4
2.1.2. Vektor Alami AI.................................................................. 7
2.1.3. Patogenitas AI..................................................................... 8
2.1.4. Gambaran Klinis AI........................................................... 9
2.1.5. Patologi AI.......................................................................... 10
2.1.6 Diagnosis Banding AI ......................................................... 14
a. New Castel Disease/ ND.................................................... 15
b. Fowl Cholera...................................................................... 15
c. Infeksius Brochitis (IB) ..................................................... 16
d. Infectious Laringiotrachitis................................................ 17
2.1.7 Pemeriksaan Laboratorium................................................... 17
2.1.8 Penularan AI......................................................................... 18
viii
a. Penularan pada unggas....................................................... 18
b.Penularan pada manusia...................................................... 19
c. Penularan pada mamalia lain............................................. 21
2.1.9 Epidimiologi AI.................................................................... 21
2.1.10 Bahaya Pandemi AI............................................................ 22
2.2. Republik Indonesia..................................................................... 23
2.2.1 Teritorial Indonesia.............................................................. 24
2.2.2 Kondisi Perunggasan Indonesia........................................... 24
BAB III. MATERI DAN METODA..................................................... 25
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian………………………………… 25
3.2. Materi......................................................................................... 25
3.3. Metoda........................................................................................ 25
BAB IV. PEMBAHASAN..................................................................... 26
4.1. Sejarah AI di Indonesia.............................................................. 26
4.2. Perkembangan AI di Indonesia.................................................. 26
4.2.1 Mutasi Virus AI.................................................................... 26
4.2.2 Sifat Penampakan AI............................................................ 27
4.2.3 Kasus Kejadian AI................................................................ 27
a. Kejadian AI Pada Unggas................................................... 28
b. Kejadian AI Pada Manusia................................................. 29
c. Kejadian AI Pada Mamalia Lain........................................ 34
4.3.Dampak Kerugian Akibat AI..................................................... 34
4.3.1 Kerugian Bidang Peternakan................................................ 35
4.3.2 Kerugian Bidang Kesehatan................................................. 35
4.3.3 Kerugian Bidang Ekonomi................................................... 36
4.3.4 Kerugian Bidang Sosial........................................................ 37
4.3.5 Kerugian Bidang Ketahanan dan Keamanan........................ 37
4.4. Upaya Penanganan AI di Indonesia........................................... 38
4.4.1 Peran Institusi Pemerintah dan Institusi non Pemerintah..... 40
4.4.1.1 Peran Institusi Pemerintah............................................ 40
a. Departemen Pertanian.................................................... 41
b. Departemen Kesehatan................................................... 42
ix
c. Komnas FBPI.................................................................. 42
4.4.1.2 Peran Institusi non Pemerintah..................................... 43
4.4.2 Pelaksanaan Biosekuriti........................................................ 44
4.4.3 Vaksinasi Unggas Masal...................................................... 46
4.4.4 Depopulasi Unggas............................................................... 49
4.4.5 Pembenahan dan Pengaturan Sektor Peternakan Unggas.... 50
4.4.6 Peningkatan Kesadaran Masyarakat Tentang Hygiene........ 52
BAB V. PENUTUP................................................................................ 53
5.1. Kesimpulan................................................................................. 53
5.2. Saran........................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 54
x
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 1 Jumlah unggas yang dilaporkan terserang AI dan
perseberannya di Indonesia (2003-2007)................................ 30Tabel 2 Data persebaran jumlah kasus AI pada manusia di Indonesia
(Juli 2005 – Juli 2007)............................................................. 32Tabel 3 Data kumulatif kasus Avian Influenza pada manusia hingga
25 Juli 2007(WHO)................................................................. 34
xi
DAFTAR GAMBAR
HalamanGambar 1 Mikograf Elektron berwarna dari penularan virus flu
burung A H5N1 (terlihat kuning emas) dibiakkandalam sel-sel MDCK (terlihat hijau)............................... 4
Gambar 2 Ilustrasi Virus Influenza Tipe A 5Gambar 3 Gambaran Virus Influenza Tipe A, B, dan C.................. 6Gambar 4 Ilustrasi Antigenic Drift dan Shift Virus Influenza......... 7Gambar 5 Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu
burung dengan jengger dan pial yang mengalamikebiruan(cyanotic)........................................................... 11
Gambar 6 Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Fluburung dengan perdarahan titik (ptechie) pada daerahkaki..................................................................................
12
Gambar 7 Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Fluburung dengan perdarahan pada kaki diikuti udema....... 12
Gambar 8 Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Fluburung dengan perdarahan subkutan dan ptechie padadaerah dada......................................................................
12
Gambar 9 Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Fluburung dengan perdarahan merata pada proventikulus.. 13
Gambar 10 Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Fluburung dengan perdarahan pada trachea........................ 13
Gambar 11 Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Fluburung dengan perdarahan dan pembendungan darahpada ovarium................................................................... 13
Gambar 12 Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Fluburung dengan perdarahan usus..................................... 14
Gambar 13 Gambaran ayam yang mengalami kematian mendadakakibat terserang AI/Flu burung....................................... 14
Gambar 14 Diagram sistem industri perunggasan di Indonesia......... 25Gambar 15 Grafik jumlah unggas yang unggas yang dilaporkan
UPP-AI terjangkit Avian influenza (AI) dari tahun2003 hungga Juli 2007.................................................... 31
Gambar 16 Grafik jumlah kasus kejadian AI pada manusia diIndonesiahingga bualn Juli 2007..................................... 33
Gambar 17 Grafik perkembangan AI pada manusia di dunia hinggaJuli2007................................................................................. 35
Gambar 18 Vaksinasi Mampu Menekan Kematian Ayam AkibatSerangan Virus AI dan Mengurangi Kontaminasi Virusdi Lingkungan................................................................. 50
xii
DAFTAR LAMPIRAN
HalamanLampiran 1 Lampiran data dari FBPI................................................... 62Lampiran 2 Lampiran data dari UPP-AI Deptan.................................. 68Lampiran 3 Kampanye Tanggap AI..................................................... 69
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Penyakit Influenza unggas (avian Influenza), atau lebih dikenal sebagai
“wabah flu burung”, pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah
yang menjangkiti ayam dan burung di Italia (Perroncito 1878), yang disebut juga
sebagai “Penyakit Lombardia” mengikuti nama sebuah daerah lembah di hulu
sungai Po. Meskipun di tahun 1901 Centanini dan Savonucci berhasil
mengidentikfikasi organisme mikro yang menjadi penyebab penyakit tersebut,
baru di tahun 1955 Schafer dapat menunjukkan ciri-ciri organisme itu sebagai
virus Influenza A (Schafer 1955). Dalam penjamu alami yang menjadi reservoir
virus flu burung, yaitu burung-burung liar, infeksi yang terjadi biasanya
berlangsung tanpa gejala (asimtomatik) karena virus Influenza A itu dari jenis
yang berpatogenisitas rendah dan hidup bersama secara seimbang dengan
penjamu-penjamu tersebut (Webster 1992 dan Alexander 2000).
Akhir-akhir ini Influenza unggas memperoleh perhatian dunia ketika
ditemukan strain (turunan) dari subtipe H5N1 yang sangat patogen, yang mungkin
sudah muncul di China Selatan sebelum tahun 1997, menyerang ternak unggas di
seluruh Asia Tenggara dan secara tidak terduga melintasi batas antar kelas
(Perkins dan Swayne 2003) ketika terjadi penularan dari burung ke mamalia
(kucing, babi, manusia). Meskipun bukan merupakan kejadian pertama
(Koopmans 2004 ; Hayden dan Croisier 2005), sejumlah kasus infeksi pada
manusia akhir-akhir ini, yang ditandai dengan gejala parah dan menimbulkan
kematian telah menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya pandemi
infeksi virus strain H5N1 (Klempner dan Saphiro 2004; Webster 2006). Ada
sederetan bukti yang menunjukkan bahwa virus H5N1 telah mengalami
peningkatan potensi patogenik pada beberapa spesies mamalia. Oleh karena itu
dapat dipahami bahwa hal ini telah menibulkan kekhawatiran umum di seluruh
dunia (Kaye dan Pringle 2005).
Flu burung sesungguhnya telah menyerang ternak unggas di Indonesia
sejak Juli-Agustus 2003 dan secara resmi baru diumumkan pemerintah pada 25
Januari 2004. Unggas yang terserang pada umumnya adalah ayam petelur,
pedaging, bebek dan puyuh. Penyakit ini menyebabkan kematian yang tinggi pada
ayam komersial petelur di Indonesia. Jumlah kematian unggas di Jawa Barat
akibat penyakit ini selama tahun akhir 2004 - 2005 sebanyak 1.779.425 ekor atau
27,86% dari populasi terancam di 10 kabupaten/kota. Pada tahun 2005 jumlah
unggas yang mati menurun menjadi 21.644 ekor yang terdiri atas 17.750 ekor
burung puyuh dan 3.894 ekor ayam buras atau 45.80% ekor dari populasi flok
tertular. Saat ini virus AI sudah dilaporkan di 31 propinsi di Indonesia (Komnas
FBPI 2007).
Salah satu strategi yang dibuat pemerintah Republik Indonesia membuat
dalam penanggulangan AI di wilayahnya, dengan pendirian Komite Nasional
Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza
(Komnas FBPI) dibawah koordinasi menteri koordinasi kesejahteraan rakyat
(Menkokesra). Komnas AI sendiri dalam melaksanakan tugasnya difokuskan pada
pada lima hal, yaitu penanganan kasus flu burung pada unggas, penanganan kasus
flu burung pada manusia, kegiatan riset, produksi obat, dan pemasyarakatan atau
sosialisasi.Komnas ini juga menjadi koordinator penetapan kebijakan dan rencana
strategi nasional untuk menanggulangi flu burung (Komnas FBPI 2007).
Kebijakan pemerintah dalam penanganan flu burung diantaranya
meletakkan vaksinasi sebagai salah satu cara tindakan pencegahan yang strategis.
Vaksinasi telah sangat diyakini sebagai salah satu cara untuk mengurangi kasus
klinis penyakit AI ini dan secara langsung mengurangi kontaminasi lingkungan
oleh virus AI. (Komnas FBPI 2007). Dalam pelaksanaannya, strategi vaksinasi
harus dipandang sebagai alat dalam usaha pengendalian yang komprehensif yang
mencakup biosekuriti, edukasi, diagnostik dan surveilans, serta eliminasi virus
pada hewan yang terinfeksi. Efek perlindungan pasca vaksinasi merupakan respon
kebal terhadap protein haemagglutinin (HA) pada permukaan virus dan atau
neuraminidase (NA) (FKH IPB 2007a).
2
1.2 Tujuan Penelitian
Studi pustaka ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan flu burung
(Avian Influenza/AI) di Indonesia dari tahun 2003 hingga Juli 2007 dari berbagai
aspek terkait terutama jumlah kasus kejadian dan dampak yang diakhibatkan.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari studi pustaka ini diharapkan mampu memberi informasi
seluas-luasnya kepada masyarakat tentang perkembangan flu burung (Avian
Influenza/AI) dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengendalikannya,
sehingga mampu mengurangi distorsi informasi seputar AI yang sudah ada.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Avian Influenza (AI).
Penyakit flu burung ini adalah penyakit hewan yang menyerang bangsa
unggas. Menurut Julie D Helm(2004), dikutip engormix.com, flu burung atau
sampar unggas (fowl plaque) adalah penyakit virus yang menyerang berbagai
jenis unggas, meliputi ayam, kalkun, merpati, unggas air, burung-burung piaraan,
hingga ke burung-burung liar. Namun, babi juga dapat tertular flu burung.
Avian Influenza (AI) merupakan virus yang sangat mudah bermutasi
dengan melakukan genetic drift yang merupakan kemampuan virus avian
influenza untuk merubah struktur genetiknya sehingga tidak dikenal oleh antibodi
yang sama dan genetic shift yang merupakan kemampuan virus avian influenza
untuk menerima materi genetik dari virus yang sama tetapi memiliki subtipe yang
berbeda sehingga dimungkinkan pembentukan subtipe baru dari virus influenza,
sehingga muncul virus AI baru yang tidak dikenal oleh sistem kekebalan tubuh
yang ada.
2.1.1. Karakteristik Virus AI
Virus flu burung yang menginfeksi hewan dan manusia masih virus
H5N1(Nidom 2006). Virus H5N1 ini termasuk dalam kelompok virus Influenza
yang biasa menimbulkan gejala penyakit flu.
.
Gambar 1. Mikograf Elektron berwarna dari penularan virus flu burung A H5N1 (terlihat
kuning emas) dibiakkan dalam sel-sel MDCK (terlihat hijau).Sumber : CDC (www.cdc.gov)
Virus Influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat
panjang, merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan
tersegmentasi sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas negatif. Bentuk
dan ukuran virus influenza bersifat pleiomorfik, berbentuk filamentous (filamen,
bulat panjang) atau spherical (bundar) dengan diameter 80-120nm (Harris et al.
2006).. Virus influenza penyebab penyakit flu adalah virus anggota famili
Orthomyxoviridae (ICTV 2006) dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C
berdasarkan perbedaan sifat antigenik pada nukleoprotein (NP) dan protein
matriks (M). Virus influenza yang diisolasi dari infeksi alami biasanya berbentuk
filamen dengan diameter konstan 100-150 nm tetapi panjangnya bervariasi. Virus
influenza mempunyai amplop yang dilapisi protein matriks dengan glikoprotein
integral yang menjulur keluar membentuk spike (duri) di permukaan virion
(Harris et al. 2006). Virus yang berbentuk filamen lebih infektif dan lebih banyak
mengandung RNA dibanding virus berbentuk bundar (Roberts dan Compans
1998).
Gambar 2. Ilustrasi Virus Influenza Tipe A
Sumber : http://www.agnr.umd.edu/avianflu/Images/Scrap2.gif
5
Gambar 3. Gambaran Virus Influenza Tipe A, B, dan C. Sumber : Moleculer medicine
2001, Cambrige University Press.
Selanjutnya subtipe ditetapkan berdasarkan antigenisitas pada dua buah
glikoprotein permukaan, hemaglutinin (HA), dan neuraminidase (NA). Virus AI
(Avian Influenza Viruses, AIV) termasuk dalam tipe A dan terdapat 15 subtipe
HA dan 9 subtipe NA yang diidentifikasi pada Influenza A. Lebih jauh sekuen
asam amino pada daerah HA1 bertanggung jawab terhadap antigenisitas HA,
sedangkan perbedaan di antara subtipe adalah sekitar 30%. (Annonymous. 2004ª)
Virus influenza tipe A secara natural dapat menginfeksi unggas dan manusia
(Khawaja et al. 2005).
Semua subtipe HA dan NA ditemukan pada unggas air, dan hanya 3
subtipe HA (H1-H3) dan 2 subtipe NA (N1-N2) ditemukan pada manusia
(Hoffman et al. 2001). Dilaporkan bahwa subtipe H5 dan H7 yang sangat virulen
pada unggas (Lee et al. 2001; Khawaja et al. 2005) dan berpotensi sebagai
penyebab pandemi (Russell dan Webster 2005).
Antigen permukaan yang dimiliki virus influenza tersebut dapat berubah
secara periodik yang lebih dikenal dengan istilah antigenic drift dan antigenic
shift. Antigenic drift merupakan perubahan yang terjadi akibat mutasi genetik
struktur protein permukaan virus, sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh
6
tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus
tersebut, sedangkan antigenic shift merupakan perubahan genetik virus yang
memungkinkan virus ini menginfeksi secara lintas spesies (Gambar 4).
Gambar 4. Ilustrasi Antigenic Drift dan Shift Virus Influenza
Sumber : http://www3.niaid.nih.gov/
Semua strain virus influenza diberi nama sesuai nomenklatur strandar.
Penandaan strain virus influenza terdiri dari tipe virus influenza/spesies hewan
(jika bukan manusia)/wilayah isolasi/urutan nomor isolasi laboratorium/tahun
isolasi (subtipe) (WHO 2002). Misalnya Influenza A/duck/Indonesia/RS.BK1/
2006 (H5N1).
2.1.2. Vektor Alami AI
Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian Influenza) adalah
suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A dan
ditularkan oleh unggas baik burung, bebek, ayam, dan unggas air. Data lain
7
menunjukkan penyakit ini bisa terdapat pada burung puyuh dan burung onta.
Penyakit ini menular dari burung ke burung, tetapi dapat juga menular ke
manusia. Penyakit ini dapat menular lewat udara yang tercemar virus H5N1 yang
berasal dari kotoran atau sekreta burung atau unggas yang menderita Influenza.
Sampai saat ini belum terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia.
Penyakit ini terutama menyerang peternak unggas ( Santoso et al. 2007 ).
Unggas air dan burung migrasi merupakan reservoir untuk 15 subtipe HA
virus AI, tetapi infeksi pada spesies jenis ini tidak menghasilkan gejala klinis.
Dari reservoir ini, beberapa virus AI subtipe H5 dan H7 akan membahayakan
unggas domestik. Selain itu, dengan adanya tekanan selektif, virus ini dapat
beradaptasi pada inang yang baru dan menghasilkan virus yang virulen (ganas)
yang disebut dengan virus HPAI.
Virus influenza dikeluarkan melalui sekresi unggas yang terinfeksi seperti
feses.. Pengeluaran virus dimulai 24 jam sebelum gejala klinis dapat dilihat dan
selanjutnya virus dapat dikeluarkan terus-menerus selama 30 hari kemudian.
Wood (2005) menyatakan bahwa virus AI dapat bertahan hidup pada feses
sekurang-kurangnya hingga 35 hari pada suhu 4oC. Pada karkas, virus tersebut
dapat bertahan hidup hingga beberapa hari pada suhu rendah dan dapat bertahan
hingga 23 hari pada suhu lemari pendingin (refrigerator). Virus ini, dapat
bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada
0°C. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit dapat bertahan
lebih lama, tetapi mati pada pemanasan 60°C selama 30 menit (Annonymous
2005)
2.1.3. Patogenitas AI
Virus AI adalah virus Influenza tipe A, pada awalnya hanya menyerang
unggas, dan berdasarkan atas patogenitasnya dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu
Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic Avian Influenza
(HPAI). Pada umumnya strain virus AI ada dalam bentuk LPAI (H1-H4, H6, H8-
H15) dan umumnya menyebabkan sedikit gejala klinis atau bahkan tidak
memperlihatkan gejala klinis sedikitpun (Annonymous 2005)
8
Semua virus HPAI disebabkan oleh subtipe H5 atau H7, tetapi tidak
semua subtipe ini adalah HPAI. Suatu virus AI dikatakan highy pathogenic
apabila mempunyai nilai IVPI lebih besar 1,2. Dengan melakukan sekuensing
pada genom virus AI, virus ini (HP) mempunyai multiple basic amino acids pada
cleavage site HA dengan motif R-R-R-K-K-R. Virus AI low pathogenic tidak
mempunyai multiple basic amino acids pada cleavage site HA atau mempunyai
motif R-E-T-R.Perubahan satu sekuen saja pada cleavage site gen HA dari tipe
virulen (HPAI) ke tipe avirulen (LPAI) akan mengurangi sebagian besar virulensi
virus. Di Indonesia, sampai bulan Februari 2005, virus AI yang berasal dari
wabah, yang telah diteliti berdasarkan sekuen pada cleavage site gen HA, masih
merupakan virus AI virulen (HPAI). (Payungporn et al. 2004)
Virus influenza juga mempunyai kemampuan untuk menghindar dari
respon humoral hospes melalui fenomena yang disebut antigenic drift. Mutasi
yang mengarahkan pada fenomena ini adalah perubahan asam amino dan pola
glikosilasi pada glikoprotein permukaan HA dan NA (Coleman 2007). Antigenic
drift adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik struktur protein
permukaan virus sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat
vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et
al. 2001). Konsep antigenic drift ini menuntut produksi vaksin selalu
diperbaharui. Ancaman yang lebih besar dari penghindaran respon imun bawaan
dan dapatan adalah kemampuan virus untuk reassort melalui fenomena yang
disebut antigenic shift (Coleman 2007).
Penularan interspesies dapat saja terjadi, tetapi inang yang ada terbatas.
Sebagai contoh, virus tidak dapat bereplikasi secara efisien pada manusia atau
primata yang bukan manusia. Virus influenza pada manusia pun tidak dapat
tumbuh dengan baik pada itik. Sangat sedikit yang diketahui tentang virus dan
faktor inang yang dapat menentukan rentang spesies dari virus influenza
(Marangon et al. 2004).
2.1.4. Gambaran Klinis AI
Gejala klinis (tanda-tanda kesehatan) penyakit ini sangat beragam dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat keganasan (virulensi) virus yang
9
menginfeksi, spesies yang tertular, umur, jenis kelamin, penyakit lain yang
menyertainya dan lingkungan.
Pada tipe AI yang virulen (sangat patogen) yang biasanya dikaitkan
dengan “fowl plaque’ (sampar unggas), penyakitnya muncul secara tiba-tiba pada
sekelompok unggas dan mengakibatkan banyak unggas mati baik tanpa disertai
oleh adanya tanda-tanda awal atau hanya ditandai oleh gejala klinis yang minimal
seperti depresi, kurang selera makan (hilangnya nafsu makan), bulu kusam dan
berdiri serta demam. Unggas lainnya terlihat lemas dan berjalan sempoyongan.
Ayam betina mula-mula akan menghasilkan telur dengan cangkang (kulit telur)
lunak, namun kemudian akan segera berhenti bertelur. Unggas yang sakit
seringkali terlihat duduk atau berdiri dalam keadaan hampir tidak sadarkan diri
dengan kepala menyentuh tanah. Jengger dan pialnya terlihat berwarna biru gelap
(cyanotic) dan bengkak (oedematous) serta mungkin menunjukkan adanya bintik-
bintik pendarahan di ujungnya. Diare cair yang parah seringkali terjadi dan
unggas terlihat sangat haus. Pernapasan terlihat berat (sesak napas). Bintik-bintik
perdarahan sering ditemukan pada kulit yang tidak ditumbuhi bulu. Tingkat
kematiannya berkisar antara 50% sampai 100%.
Pada ayam potong, gejala penyakitnya seringkali tidak begitu jelas, yang
mula-mula ditandai oleh depresi parah, berkurangnya nafsu makan, dan
peningkatan jumlah kematian yang nyata. Kebengkakan (oedema) pada wajah dan
leher serta berbagai gejala gangguan saraf seperti leher berputar (torticollis) dan
gerakan yang tidak terkoordinasi (ataxia) juga mungkin terlihat. Gejala yang
tampak pada kalkun mirip dengan gejala yang terlihat pada ayam petelur, namun
penyakitnya berlangsung 2 atau 3 hari lebih lama dan kadang-kadang disertai oleh
pembengkakan pada sinus hidung. Pada itik peliharaan dan angsa gejala depresi,
kurang nafsu makan dan diarenya mirip dengan gejala pada ayam petelur
meskipun seringkali disertai dengan pembengkakan pada sinus hidung. Unggas-
unggas muda bisa menunjukkan gejala-gejala gangguan saraf.
2.1.5. Patologi AI
Perubahan patologik yang ditemukan pada unggas sangat bervariasi
menurut lokasi lesi dan derajat keparahannya dan tergantung pada spesies unggas
10
serta patogenisitas virus influenza yang terlibat. Patogenesis dari virus HPAI
dapat digambarkan sebagai berikut: virus AI dapat masuk melalui pernapasan atau
per oral, kemudian menyebar melalui saluran pencernaan. Target virus AI adalah
endotel pembuluh darah dan epitel sehingga dapat terjadi perdarahan dan nekrosis
yang ekstensif. Sesudah replikasi dalam jaringan lokal, akan terjadi viremia
primer (3-4 hari) dan penyebaran virus AI lebih luas ke berbagai jaringan.
Replikasi virus AI yang ekstensif akan diikuti oleh viremia sekunder (6-7 hari)
dan gejala penyakit yang akut. Penyakit dapat berakhir dengan adanya respons
imun dan kesembuhan (8-10 hari), tetapi dapat juga tidak terjadi respons imun dan
berakhir dengan kematian.
Pada sejumlah kasus HPAI dapat ditemukan adanya kongesti, hemoragik
ekstensif, transudasi dan nekrosis pada berbagai jaringan. Jika unggas mati dalam
waktu yang singkat, maka biasanya tidak ditemukan adanya perubahan patologik
tertentu oleh karena lesi belum sempat berkembang. Lesi pada AI bentuk ringan
kerap kali tidak spesifik; dapat terlihat adanya eksudat yang bervariasi dari serus
sampai kaseus di dalam sinus, trakea ataupun pada kantong udara. Pada ayam
petelur, dapat ditemukan perdarahan pada ovarium, ova/folikel yang berbentuk
tidak teratur, dan kadang terlihat peritonitis fibrinus, dan egg peritonitis (Tabbu
2000).
Perubahan patologi dari unggas yang terserang Avian Influenza (flu
burung) meliputi:
Jengger dan pial mengalami sianosis (kebiruan)..
Gambar 5. Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu burung dengan jengger dan pial
yang mengalami kebiruan(cyanotic). Sumber : Deptan 2005.
11
Perdarahan titik (ptechie) pada kaki ayam.
Gambar 6. Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu burung dengan perdarahan titik
(ptechie) pada daerah kaki. Sumber : Deptan 2005.
Perdarahan pada kaki diikuti dengan udema.
Gambar 7. Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu burung dengan perdarahan pada
kaki diikuti udema Sumber : Deptan 2005.
Perdarahan bawah kulit (subkutan) dan perdarahan titik (ptechie) pada
daerah dada
Gambar 8. Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu burung dengan perdarahan
subkutan dan ptechie pada daerah dada. Sumber : Deptan 2005.
12
Bercak darah merata pada proventikulus.
Gambar 9. Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu burung dengan perdarahan
merata pada proventikulus. Sumber : Deptan 2005.
Perdarahan pada trachea.
Gambar 10. Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu burung dengan perdarahan pada
trachea. Sumber : Deptan 2005
Perdarahan pada ovarium dan pembendungan darah pada ovarium.
Gambar 11. Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu burung dengan perdarahan
dan pembendungan darah pada ovarium. Sumber : Deptan 2005
13
Perdarahan dan pembendungan darah pada usus.
Gambar 12. Gambaran patologis ayam yang terserang AI/Flu burung dengan perdarahan
usus. Sumber : Deptan 2005
Kematian unggas akhibat AI.
Gambar 13. Gambaran kematian ayam yang mengalami kematian mendadak akibat terserang
AI/Flu Burung. Sumber : Deptan 2005
2.1.6 Diagnosis Banding AI
Beberapa penyakit pada unggas mempunyai kemiripan gejala klinis dan
patologis dengan kasus avian influenza, sehingga perlu adanya keseriusan dan
ketelitian dalam melakukan diagnosa. Gejala penyakit yang mirip dengan avian
influenza adalah Newcastle Disease (ND/Tetelo), Cholera Unggas (Fowl Cholera)
yang akut dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) pada unggas yang meliputi
Infeksius Bronchitis (IB) serta Infeksius Laringiotrachitis (ILT).
14
2.1.6.1 Newcastle Disease
Newcastle Disease adalah penyakit zoonosis pada unggas yang sangat
menular dan menyerang spesies unggas domestik maupun unggas liar. ND
pertama kali ditemukan di Newcastle, Inggris tahun 1926 (Annonymous 2007b).
Newcastle Disease (ND) biasanya dikenal dengan tetelo. Virus ND adalah
paramixovirus (Copland 1987). Virus ND sangat virulent, bahkan banyak unggas
yang terserang virus ini mati tanpa menunjukkan tanda klinis dan dapat
mengakibatkan kematian sampai 100% pada unggas yang tidak divaksinasi
(Annonymous 2007b).
Virus ini dapat pula memberikan gangguan pada organ respirasi dan
mengakibatkan inflamasi pada trakhea bahkan menyebabkan hemoragi. Pada
kantung udara juga terlihat keruh dan terjadi kongesti. Pada tipe viscerotropic,
virus menyebabkan lesio yang hemoragic pada traktus intestinal dan pada
proventrikulus. Namun Newcastle Disease ada kalanya tidak menunjukkan lesio
besar yang patognomonik sehingga sulit dideteksi secara klinis. Pencegahan
dengan melakukan vaksinasi.
2.1.6.2 Fowl Cholera
Penyebab penyakit ini adalah bakteri Pasteurella gallinarum atau
Pasteurella multocida. Biasanya menyerang ayam pada usia 12 minggu. Penyakit
ini menyerang ayam petelur dan pedaging. Serangan penyakit ini bisa bersifat
akut atau kronis. Ayam yang terserang kolera akan mengalami penurunan
produktivitas bahkan mati. Bakteri ini menyerang pernapasan dan pencernaan.
Sedangkan pada serangan kronis didapatkan gejala sbb:
sesak napas.
jengger dan pial bengkak serta kepala berwarna kebiruan.
Lesi yang didapatkan pada unggas yang mengalami kematian pada kolera akut
antara lain adalah :
perdarahan pint-point pada membran mukosa dan serosa dan atau pada
lemak abdominal.
inflamasi pada 1/3 atas usus kecil.
gambaran “parboiled” pada hati.
15
pembesaran dan pembengkakan limpa.
Diagnosis secara tentative dapat didirikan atas riwayat unggas, gejala dan
lesi postmortem. Sedangkan diagnosis definitive didapatkan pada isolasi dan
identifikasi organisme.
2.1.6.3 Infectious Bronchitis (IB)
Infectious Bronchitis (IB) merupakan penyakit pernafasan yang bersifat
akut dan sangat menular pada ayam. (Butcher et al. 2002). Virus penyebab IB
menginfeksi ayam pada segala umur dan menyebabkan kerugian pada industri
peternakan di dunia. Virus ini menyebabkan penyakit pernapasan, menurunkan
kualitas dan produksi telur, dan mengkibatkan kematian pada kasus yang nefritis
(McMartin,1993).Virus ini termasuk dalam famili Coronaviridae, berbentuk
pleomorfic walaupun umumnya rounded. Spike tidak dikemas seperti rodshapes
dari paramyxovirus (Cavanagh dan Naqi 1997).
Saluran pernafasan tidak dapat terinfeksi oleh IB pada ayam petelur
dewasa, tetapi akan menurunkan produksi telur hingga 60% dalam waktu 6 - 7
minggu yang diikuti dengan rendahnya mutu telur ayam. Informasi yang lain
menyebutkan bahwa ayam yang terserang penyakit ini dan berumur di bawah 3
minggu, kematian dapat mencapai 30-40%. Sering kali dalam satu serotipe dapat
diisolasi strain yang berbeda (Davelaar et al. 1984; Cook dan Huggins 1986; El
Houadfi et al. 1986; Avellaneda et al. 1994).
Gejala penyakit IB ini sangat sulit untuk dibedakan dengan penyakit
respiratori lainnya. Secara umum gambaran penyakit tersebut adalah:
susah bernapas, terengah-engah.
keluar lendir dari hidung.
pada periode layer akan didapatkan produksi telur yang sangat turun
hingga mendekati zero dalam beberapa hari.
2.1.6.4 Infectious Laringiotrachitis
Infectious Laryngotracheitis (ILT, LT) pada unggas merupakan penyakit
yang disebabkan oleh virus yang diindetifikasikan kelompok herpesvirus group A
yang mengakhibatkan penyakit pernafasan akut.(Bagust et al. 1986). ILT adalah
16
penyakit pernapasan yang sangat berbahaya, yang mempunyai angka morbiditas
dan mortalitas yang sesuai dengan tingkat keparahannya. Penyakit ini mempunyai
arti penting di bidang ekonomi karena akan menurunkan produksi telur. Gejala
patologis yang timbul diantanya terjadi perdarahan/radang di daerah trachea dan
laryng.
2.1.7 Pemeriksaan Laboratorium
Kemunculan penyakit flu burung mematikan pada ternak unggas di
peternakan ayam ras pertama kali dilaporkan terjadi bulan Agustus 2003 di
beberapa kabupaten di Jawa Tengah. Hasil pengujian laboratorium diagnostik
kesehatan hewan ditemukan bahwa penyakit tersebut diduga akibat virus tetelo
atau ND (Newcastle Disease) yang sangat mematikan. Hingga bulan Oktober –
November 2003, kasus penyakit tersebut telah meningkat dengan jumlah kematian
tinggi dan menyebar ke lokasi lainnya yang kemudian diketahui sebagai flu
burung/Avian influenza. Penyakit tersebut selanjutnya menyerang juga pada
peternakan perbibitan serta peternakan ayam petelur (layer) dan ayam pedaging
(broiler). Jenis ternak unggas lainnya yang diserang adalah ayam kampung, itik,
dan burung puyuh (Renstra 2005).
Virus influenza dapat diisolasi di dalam sel kultur atau telur berembrio. Sel
line yang banyak digunakan untuk isolasi virus influenza adalah Mardin-Darby
canine kidney (MDCK). Ke dalam medium kultur in vitro perlu ditambahkan
tripsin untuk mengkatalisis cleavage HA. Pertumbuhan virus ditandai adanya
cytopathogenic effect (CPE), dan keberadaan virus dapat dideteksi dengan uji
hemaglutinasi (HA), haemagglutination inhibition (HI), agar gel immunodiffusion
test (AGID) atau PCR (WHO 2002; OIE 2005b). Isolasi virus di dalam telur
berembrio lebih tepat untuk strain avian, sementara untuk strain manusia
biasanya mengalami tekanan seleksi sehingga terjadi substitusi asam amino pada
RBS (ribosomal binding site) atau RBP (ribosomal binding pocket) sehingga
digunakan sel line (Ito et al. 1997).
Deteksi antigen virus dapat dilakukan dengan uji hemaglutinasi (HA) dan
PCR. Uji HA didasarkan atas kemampuan virus untuk menghemaglutinasi sel
darah merah, namun uji ini mempunyai diagnostik banding virus New-castle yang
17
juga mempunyai kemampuan untuk menghemaglutinasi sel darah merah. Uji
haemaglutination inhibition (HI) dan agar gel immunodiffusion test (AGID)
dilakukan untuk mengetahui variasi antigenik molekul HA virus dengan
mereaksikannya dengan antibodi monoklonal/poliklonal (WHO 2002; OIE
2005b).
Deteksi dan sekaligus sub-typing virus influenza dapat dilakukan dengan
reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan primer
spesifik. Reverse transcriptase (RT) adalah enzim yang diperlukan untuk
membuat cDNA yang bersifat komplementer dengan RNA viral. cDNA
selanjutnya diperbanyak pada sekuen genom spesifik menggunakan sepasang
primer oligonukleotida menggunakan teknik PCR. PCR merupakan metode
alternatif untuk mengidentifikasi virus AI, meskipun gen virus hanya terdapat
dalam jumlah sedikit (Poddar 2002; Payungporn 2004; WHO 2002; OIE 2005b).
2.1.8 Penularan AI
Sebagai penyakit yang disebabkan oleh virus, avian influenza sangat
mudah menular. Penularan atau transmisi dari virus influenza secara umum dapat
terjadi melalui inhalasi, kontak langsung, ataupun kontak tidak langsung (Bridges
et.al. 2003).
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan sekresi dari
unggas terinfeksi, pakan, air, peralatan dan baju yang terkontaminasi(Komnas
FBPI 2007). Serangga, tikus, dan parasit serta manusia dapat berperan sebagai
vektor mekanis dalam menularkan virus ini. Sejauh ini belum ada bukti virus
HPAI ditularkan secara horizontal.
Virus dapat bertahan hidup pada suhu dingin. Bahan makanan yang
didinginkan atau dibekukan dapat menyimpan virus. Tangan harus dicuci sebelum
dan setelah memasak atau menyentuh bahan makanan mentah.
2.1.8.1 Penularan pada unggas
Penyebaran virus HPAI selain melalui aktivitas migrasi burung-burung liar
yang merupakan inang alami virus penyebab, dapat pula terjadi melalui kontak
langsung dengan hewan terinfeksi, feses, air minum, udara di daerah tercemar,
18
peralatan kandang tercemar, serta secara sekunder melalui pekerja kandang,
kendaraan pengangkut, pakan, dan lain-lain yang berasal dari daerah tercemar.
Virus HPAI ini dapat hidup pada temperatur lingkungan dalam jangka waktu yang
lama dan dapat bertahan hidup pada bahan-bahan yang telah dibekukan. Satu
gram dari feses hewan yang terinfeksi virus ini mengandung virus yang cukup
untuk menginfeksi satu juta unggas (FR 2005).
Virus AI ini dapat menular antar unggas satu peternakan dengan
peternakan lainya melalui kontak langsung dari hewan yang trinfeksi dengan
hewan sehat yang peka. Penularan secara tidak langsung penularan AI ini dapat
terjadi melalui :
Dropet aerosol cairan/lendir yang berasal dari hidung dan air mata.
Paparan muntahan.
Lubang anus (tinja) dari unggas yang sakit.
Penularan melaui aerosol merupakan penularan yang paling utama
karena konsentrasi virus yang tinggi dalam saluran pernafasan.
Manusia (melalui sepatu dan pakaian) yang terkontaminasi.
Pakan, air, dan peralatan yang terkontaminasi virus AI.
Penyebaran melaui perantara angin memegang peranan penting dalam
penularan penyakit dalam satu kandang dan sangat terbatas ke kandang
yang lain.
Penularan Flu burung (H5N1) pada unggas terjadi secara cepat dengan
kematian tinggi. Penyebaran penyakit ini terjadi diantara populasi unggas satu
pertenakan, bahkan dapat menyebar dari satu pertenakan ke peternakan daerah
lain. Sedangkan penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui udara yang
tercemar virus tersebut, baik yang berasal dari tinja atau sekreta unggas terserang
Flu Burung.
2.1.8.2 Penularan pada manusia
Sebenarnya virus flu burung tidak mudah menular kepada manusia. Tetapi
hal ini bisa berubah karena terjadinya reassortant (bercampurnya materi genetik
virus influenza pada hewan dan manusia) sehingga dalam perkembangannya
19
penyakit flu burung tidak hanya menyerang unggas, tetapi juga menyerang
manusia (zoonotik) (Renstra 2005).
Kebanyakan kasus infeksi flu burung H5N1 pada manusia adalah akibat
dari kontak langsung atau dekat dengan unggas yang terinfeksi (mis. ayam, bebek
dan kalkun piaraan) atau permukaan yang mungkin terkontaminasi oleh kotoran
burung yang terinfeksi. Pandemi influenza akan timbul jika flu burung
bermutasi/berubah sehingga dapat dengan mudah ditularkan dari satu orang
kepada orang lain (Annonymous 2007).
Pandemi influenza dapat timbul dari perubahan yang terjadi dalam flu
burung tertentu yang sangat patogenik, tetapi tidak ada orang yang tahu kapan
atau bahkan apakah hal ini akan terjadi (CDC. 2007a). Dewasa ini, belum ada
laporan kasus penularan flu burung dari manusia kepada manusia yang
berkelanjutan (Annonymous 2007).
Orang yang terinfeksi jenis virus flu burung yang ada dewasa ini (H5N1)
menunjukkan segala macam gejala dari gejala umum yang mirip influenza
manusia (demam,tenggorokan sakit, dan otot terasa sakit-sakit) sampai radang
paru-paru, penyakit pernafasan berat, dan komplikasi lain yang mengancam jiwa.
Gejala flu burung dapat tergantung pada subtipe dan jenis dari virus tertentu yang
menyebabkan infeksi yang bersangkutan (Annonymous 2007).
Kasus kejadian HPAI pada manusia yang dilansir badan kesehatan dunia
(WHO) hingga 25 Juli 2007 adalah 319 kasus dengan 192 korban meninggal
dunia (WHO 2007). Sebagian besar kasus infeksi HPAI pada manusia disebabkan
penularan virus dari unggas ke manusia (Beigel et al. 2005).
Bukti bahwa terjadinya transmisi dari manusia ke manusia sangat jarang
ditemukan. Namun demikian berdasarkan beberapa kejadian dimana terjadi
kematian pasien yang berkerabat dekat disebabkan oleh infeksi virus H5N1 (Hien
et al.2004)
Tidak ada risiko yang ditimbulkan dalam mengkonsumsi daging unggas
yang telah dimasak dengan baik dan matang (Mounts et al.1999). Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mengetahui risiko terinfeksi H5N1 bagi para
pakerja atau peternak unggas (Bridges et al. 2002), penelitian tentang risiko
tenaga kesehatan yang menangani pasien avian influenza A (Schults et al. 2005),
20
dan juga penelitian tentang kemungkinan transmisi virus H5N1 pada binatang
lainnya.
2.1.8.3 Penularan pada mamalia lain
Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan cara memberi makan binatang
seperti kucing, macan, ataupun macan tutul dengan unggas yang terinfeksi dengan
H5N1 terbukti bahwa binatang pemakan daging tersebut dapat mengalami
kelainan paru berupa pneumonia dan kerusakan pada rongga alveolar yang dapat
menyebabkan kematian (Keawcharoen et al. 2004; Kuiken et al. 2004).
Beberapa hewan yang ditengarai ikut menularkan virus AI itu adalah
kucing dan babi. Namun dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, belum ada
indikasi hewan-hewan tersebut ikut menularkan virus AI. Di Bali, masyarakat
banyak yang memelihara babi dan sejauh ini tidak ada masalah. Demikian juga
dengan kasus di beberapa negara seperti Thailand dan Malaysia.
Di Bangkok, Thailand semua kucing dalam suatu tempat pemukiman pada
2004 lalu mati karena terinfeksi virus flu burung. Demikian pula harimau dan
macan kumbang di kebun binatang Thailand yang juga mati akibat virus H5NI.
Pada 2006 dua ekor kucing yang tinggal di dekat pemukiman di Irak mati akibat
virus AI. Di Jerman ada tiga ekor kucing yang mengalami nasib serupa setelah
menyantap burung yang positif terjangkit virus AI (Suara Merdeka 2007).
2.1.9 Epidimiologi AI
Epidemiologi adalah studi distribusi, determinan-determinan dan frekuensi
penyakit (termasuk peristiwa peristiwa lain yang berkaitan dengan kesehatan)
dalam populasi-populasi. Epidemiologi diperlukan dalam upaya pengendalian dan
pemberantasan penyakit pada populasi di suatu area/wilayah tertentu.
Virus flu burung (Avian influenza) adalah virus influenza A yang sering
sekali terdapat pada burung. Virus flu burung berbeda dari virus-virus yang
biasanya menyerang manusia. Subtipe virus flu burung banyak junlahnya dan
berbeda-beda termasuk H7 dan H5. Virus flu burung biasanya tidak menyerang
manusia, namun sejak 1997 ada laporan mengenai adanya infeksi dan wabah pada
manusia. Oleh karena virus flu burung biasanya tidak menyerang manusia, maka
21
risiko terserang flu burung bagi kebanyakan orang itu rendah. Influenza A (H5N1)
adalah subtipe virus influenza A. Virus ini mudah ditularkan di antara burung dan
dikenal bersifat endemik dan sering berakibat fatal dalam populasi burung,
terutama di Asia Tenggara. Biasanya H5N1 tidak menyerang manusia, tetapi
sudah pernah terjadi infeksi pada manusia. Infeksi pada manusia diketahui timbul
dari orang yang mengalami kontak langsung atau dekat dengan unggas yang
terinfeksi atau permukaan yang terkontaminasi. H5N1 sulit menular dari
seseorang kepada orang lain.
2.1.10 Bahaya Pandemi AI
Unggas air yang bermigrasi seperti belibis, bangau dan bebek liar (yang
ada di negara empat musim) adalah reservoir alamiah dari virus avian influenza
(AI), burung-burung ini lebih tahan terhadap infeksi. Ternak domestik, termasuk
ayam dan kalkun, adalah yang paling mudah terkena dampak fatal dengan cepat
dari epidemi influenza dan bila meluas akan menjadi kejadian pandemi.
Semua virus influenza tipe A, termasuk yang menyebabkan epidemi
musiman pada manusia, secara genetik sangat labil dan dapat beradaptasi dengan
cepat menghindari mekanisme pertahanan tubuh (antibody) si penjamu (host).
Virus-virus influenza kurang mempunyai mekanisme untuk “proofreading” atau
“memperbaiki kerusakan struktur” dan memperbaiki kecacatan/perbedaan yang
muncul selama replikasi.
Kecendrungan virus-virus influenza mengalami perubahan antigenik yang
permanen dan cukup sering ini menyebabkan WHO memonitor situasi influenza
di dunia dalam programnya WHO Global Influenza Programme dimulai sejak
tahun 1947. Setiap tahun setelah melakukan pemantauan pada 4 pusat penelitian
kolaborasi WHO yang mendapat data dari 112 institusi dari 83 negara.
Virus influenza mempunyai karakteristik kedua yang memicu
keprithatinan dari kesehatan masyarakat. Virus influenza tipe A, termasuk
subtipe-subtipe dari spesies yang berbeda (Avian maupun manusia), dapat
berubah atau materi-materi genetiknya dapat bertukaran dan tersusun baru
“reassort”. Antigenik shift akan menghasilkan jenis subtipe yang baru yang
berbeda dari kedua induknya. Oleh karena populasi manusia tidak mempunyai
22
imunitas terhadap subtipe baru, dan tidak ada vaksin yang tersedia untuk
memberikan proteksi, antigenic shift dalam sejarah menghasilkan pandemi
(wabah raya) yang sangat mematikan. Hal ini terutama akan muncul, bila subtipe
baru mempunyai gen dari virus influenza manusia sehingga dapat menular dari
orang ke orang pada periode yang terus menerus. Kondisi yang memungkinkan
munculnya antigenic shift telah lama diketahui melibatkan manusia yang hidup
atau tinggal dekat ternak domestik dan babi. Oleh karena babi mudah terkena
infeksi baik dari avian maupun dari virus-virus mamalia termasuk virus
Virus avian influenza secara normal tidak menginfeksi diluar spesies
unggas dan babi. Kasus pertama infeksi avian influenza pada manusia muncul di
Hongkong pada tahun 1997. Pada waktu itu strain H5N1 menyebabkan penyakit
pernapasan yang berat pada 18 pasien, yang mana 6 diantaranya meninggal.
Infeksi pada manusia merupakan koinsidensi dari epidemi avian influenza yang
sangat menular (H5N1) yang terjadi pada hewan-hewan ternak. Investigasi yang
ekstensif dari wabah mencerminkan bahwa kontak yang dekat dengan ternak
hidup yang terinfeksi merupakan sumber infeksi pada manusia. Studi pada tingkat
genetik lebih lanjut mencerminkan bahwa pindahnya virus dari unggas ke
manusia. Penularan pada beberapa pekerja kesehatan (terbatas) muncul, tetapi
tidak menyebabkan kasus penyakit yang berat.
2.2 Indonesia
2.2.1 Teritorial Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai
17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11
derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur
timur serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania.
Posisi strategis ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan,
sosial, politik, dan ekonomi.(Annonymous 2007a).
Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia
dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka
luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi. Lima pulau besar di Indonesia adalah :
Sumatera dengan luas 473.606 km persegi, Jawa dengan luas 132.107 km persegi,
23
Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas 539.460 km persegi,
Sulawesi dengan luas 189.216 km persegi, dan Papua dengan luas 421.981 km
persegi.(Wikipedia 2007)
Iklim tropis dan wilayah agraris ini menjadikan sebagian besar penduduk
Indonesia bercocok tanam. Peternakan merupakan salah satu alternatif usaha
disamping bidang peternakan. Peternakan sebagian besar dilakukan secara
tradisional dan sederhana.
Indonesia sebagai negara tropis kepulauan mempunyai arti tersendiri bagi
kondisi penyakit hewan. Masing-masing penyakit terkadang menunjukkan gejala
klinis yang berbeda antar daerah. Daerah tropis merupakan tempat yang subur
untuk beberapa penyakit hewan.
2.2.1 Kondisi Perunggasan Indonesia
Di Indonesia,menurut data dari Ditjen Bina Produksi Peternakan populasi
unggas merupakan terbesar dari sektor peternakan yang lainnya. Pada tahun 2004
populasi 271 juta ekor dengan angka pertumbuhan – 1,9 % per tahun. Ayam
broiler mencapai populasi 895 juta ekor dengan angka pertumbuhan 5,9 % per
tahun. Ayam layer atau petelur dengan populasi 80 juta ekor dengan angka
pertumbuhan 1,8 % per tahun.( Ditjenak 2004)
Sistem peternakan unggas Indonesia dibagi kedalam 4 kategori sektor yang
didasarkan pada tipe usaha dan tingkat biosekuriti.
Sektor 1 adalah sistem industri perunggasan yang terpadu. Kelompok
Industri perunggasan ini menerapkan sistem biosekuriti tingkat tinggi dan
hasilnya dijual secara komersial di wilayah kota atau diekspor.
Sektor 2 adalah kelompok usaha unggas yang masuk ke dalam sistem
produksi unggas komersial dengan menerapkan sistem biosekuriti tingkat
menengah sampai tinggi. Hasil produksinya dijual di wilayah perkotaan
dan desa.
Sektor 3 adalah kelompok usaha peternakan unggas yang hampir sama
dengan sektor 2 akan tetapi sistem biosekuriti yang diterapkannya masih
tingkat bawah.
24
Sektor 4 adalah kelompok usaha peternakan yang sistem pemeliharaannya
dengan cara sistem backyard (dilepas di alam bebas, tanpa di kandangkan)
dan sistem biosekuritinya sangat kurang. Tipe usaha unggas semacam ini
berpusat di wilayah desa dan merupakan usaha sambilan untuk memperleh
tambahan pendapatan atau untuk dikonsumsi sendiri.
Gambar 14. Diagram sistem industri perunggasan di Indonesia
Di Indonesia dikenal ada dua sistem peternakan yang dianut yaitu:
Sistem peternakan tunggal, yaitu sistem usaha peternakan yang memelihara satu
jenis ternak tanpa dicampur dengan jenis ternak lainnya, misalnya ternak unggas
yang tidak dicampur dengan usaha peternakan babi di dalam satu lokasi/kawasan
peternakan. Sistem peternakan campuran (mixed farming), yaitu sistem usaha
peternakan yang memelihara lebih dari satu jenis ternak dicampur dengan jenis
ternak lainnya misalnya : ayam , entok, kambing dan sapi dalam satu lokasi atau
kawasan (Deptan 2006).
Sistem Produksi Unggas
Sektor 2 :PRODUKSI
KOMERSIAL(Biosecurity tinggi dan
vaksinasi)
Sektor 1 :INDUSTRI
TERINTEGRASI(Biosecurity tinggi dan
vaksinasi )
Sektor 3 :PRODUKSI
KOMERSIAL(Biosecurity rendah
dan vaksinasi)
Sektor 4 :PETERNAKAN
AYAM KAMPUNG,(TANPA
BIOSECURITY dantanpa vaksinasi)
Peternakan BesarKomersial
20.000-500.000 ekor
Peternakan KecilKomersial
1000-20.000 ekor
Peternakan Kecil Komersial
1.000-20.000 ekor
PeternakanAyam Kampung dan
Puyuh1-10 ekor
25
BAB III
MATERI DAN METODA
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juli 2007 yang
bertempat di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, perpustakaan
LSI-IPB, perpustakaan Balivet, Cyber-mahasiswa IPB.
3.2. Materi
Materi yang digunakan dalam studi pustaka ini didapatkan berupa data
sekunder yang didapat dari jurnal, buku, dan keliping dari berbagai sumber
informasi dari internet dan media cetak serta data dari Komite Nasional
Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza
(Komnas FBPI) dan Unit Pengendali Penyakit Avian Influenza Pusat (UPP-AI
Pusat) Departemen Pertanian (Deptan).
3.3. Metode.
Penelitian ini menggunakan metode penelusuran pustaka dari berbagai
sumber informasi dan data publik sebagai data sekunder. Studi pustaka ini dikaji
dengan penelusuran data dan informasi yang sudah dipublikasikan ke publik dan
mengolahnya sehingga menjadi informasi yang falid.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Sejarah AI di Indonesia
Sebelum tahun 2003 Indonesia merupakan negara yang bebas dari HPAI
meskipun pada saat itu Balitvet pernah mengisolasi virus influenza Tipe A dari
itik dan berbagai jenis burung, namun semua isolate tersebut semuanya tergolong
dalam Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dengan subtype H4N2 dan H4N6
(Komnas FBPI 2007).
Virus Avian Influenza pertama kali ditemukan di Indonesia pada
pertengahan Agustus 2003 di peternakan ayam komersial. Virus Avian Influenza
ini menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di Jawa, kemudian meluas ke
Sumatera Selatan, Bali, dan daerah lain di Indonesia.
4.2. Perkembangan AI di Indonesia
Seiring waktu kasus demi kasus Avian Influenza (flu burung) di Indonesia
terus berkembang. Unggas yang menderita influenza H5N1 dapat mengeluarkan
virus dengan jumlah yang besar dalam kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan
hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22oC dan lebih dari 30 hari dalam suhu 30oC.
Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit dapat bertahan lebih
lama, tetapi akan mati pada pemanasan 60oC selama 30 menit (Anonimus 2006c).
4.2.1 Mutasi Virus AI
Vasin AI yang diterapkan secara massal di kalangan peternak unggas,
belum memiliki tingkat kompatibilitas memadai untuk mengatasi unsur patogen
dari virus H5N1. Vaksin tersebut berpotensi menjadi sumber mutasi virus baru
(Zarkasie 2007).
Penelitian pada saat ini telah menemukan bahwa virus-virus influenza
yang tadinya tidak patogen, setelah bersirkulasi beberapa saat pada populasi
peternakan, dapat bermutasi menjadi virus-virus yang sangat menular. Selama
epidemi di Amerika pada tahun 1983-1984, awalnya virus H5N2 menyebabkan
kematian dalam jumlah yang sedikit, namun dalam enam bulan berikutnya
berubah menjadi sangat menular, dengan tingkat mortalitas mendekati 90%.
Tingkat pencegahan wabah menghasilkan depopulasi terhadap 17 juta unggas
dengan biaya hampir 65 juta U S $. Selama epidemi di Itali tahun 1999-2001,
virus H7N1, mulanya tidak terlalu menular, tetapi dalam waktu 9 bulan virus
bermutasi menjadi sangat menular. Menyebabkan 13 juta unggas mati atau
dimusnahkan (CDC 2006).
Sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan secara tepat adanya
penularan dari manusia ke manusia. Orang yang mempunyai risiko tinggi untuk
tertular adalah orang-orang yang sering berhubungan langsung (kontak langsung)
dengan unggas, misalnya pekerja di peternakan ayam, pemotong ayam dan
penjamah produk unggas lainnya.
4.2.2 Sifat dan Penampakan AI
Penyakit AI ini dibawa oleh segala jenis unggas, yaitu ayam, itik, angsa,
burung dll. Avian influenza (H5N1) dapat menyebar dengan cepat diantara
populasi unggas dalam satu peternakan dan menimbulkan kematian yang sangat
cepat dan tinggi. Bahkan menyebar antar peternakan dari suatu daerah ke daerah
lain. Penyakit ini juga dapat menyerang manusia melalui udara yang tercemar
oleh virus tersebut, yang berasal dari sekret atau tinja unggas yang menderita flu
burung tersebut.
Pada awal terjadi wabah AI di Indonesia tahun 2003 kasus AI pada
unggas menunjukkan gejala klinis dan patologis. Virus Avian Influenza sebagai
penyebab flu burung pada unggas mempunyai kemampuan untuk bermutasi
menjadi lebih ganas (H5N1) yang mampu menginfeksi manusia. Kemampuan dari
virus AI ini terjadi karena keberhasilan beradaptasi dengan lingkungannya
sehingga meskipun unggas sehat, tetapi merupakan mesin biologis dalam
memproduksi virus yang akan mencemari lingkungan (Wibawan 2007).
4.2.3 Kasus Kejadian AI
Seiring berjalannya waktu, maka media masa baik dalam negeri maupun
mancanegara seperti koran, majalah, tabloid dan media elektronik mulai
menyuarakan berbagai kasus kejadian AI di Indonesia yang terus berkembang.
28
Dari hari ke hari kasus AI menjadi topik pemberitaan media. Pemberiataan media
ini terkadang terlalu bombastis sehingga menimbulkan keresahan dan ketakutan di
masyarakat.
4.2.3.1 Kejadian AI Pada Unggas
Awalnya pada tahun 2003, virus Avian Influenza menyerang di 9 provinsi
atau sekitar 57 kabupaten/kota dengan tingkat kematian unggas kurang lebih
4.179.270 ekor. Pada tahun 2004 kasus flu burung pada unggas sudah menyebar
ke 17 provinsi atau sekitar 107 kabupaten/kota dengan tingkat kematian unggas
menjadi 5.014.273 ekor. Tahun 2005, menyebar lagi menjadi 25 provinsi atau
sekitar 162 kabupaten/kota dengan kematian unggas sekitar 1.066.372 ekor.
Sedangkan sampai dengan saat ini (Juli 2007) virus Avian Influenza untuk kasus
pada unggas telah endemis di 32 dari 33 provinsi di Indonesia atau sekitar 216
kabupaten/kota dari 444 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Provinsi yang
dilaporkan belum ada kasus Avian Influenza pada unggas yaitu propinsi Maluku
Utara.
TahunJumlah unggas dilaporkan terserang
AI (dalam ribuan ekor)Jumlah Propinsi yang
dinyatakan terjangkit AI2003 4.123,791 92004 5.327,393 172005 643,622 252006 1.333,327 302007 84,729* 31**
Keterangan :Sumber data UPP-AI Departemen Pertanian (Laporan Dinas). * Data sampai 9 Maret 2007 (Deptan). ** Data sampai 27 Juli 2007 (Komnas FBPI).
Tabel 1.Jumlah unggas yang dilaporkan terserang AI dan perseberannya di Indonesia (2003-2007).
Pada unggas terutama unggas komersil ancaman flu burung atau Avian
influenza masih tetap tinggi, sehingga diperlukan vaksinasi untuk meningkatkan
atibodi terhadap virus flu burung (AI). Untuk unggas liar vaksinasi belum
diperlukan karena akan mengalami kesulitan baik dalam aplikasi maupun
mengontrol keberadaan unggas liar yang mempunyai kecenderungan tidak
menetap atau berpindah-pindah tempat. Bagi unggas domestik/komersil vaksin AI
yang beredar terdiri dari 12 merek vaksin yang digunakan dan diizinkan
29
pemerintah, terdiri dari vaksin seed subtipe H5N1, H5N2 dan H5N9 (Deptan
2007).
Gambar 15 . Grafik jumlah unggas yang unggas yang dilaporkan UPP-AI terjangkitAvian influenza (AI) dari tahun 2003 hungga Juli 2007
Dalam perkembangan berikutnya, dunia mengamati bahwa sifat penyakit
HPAI ini mulai berubah, di mana wabah menjadi lebih sering timbul dalam
rentang waktu lima tahun belakangan ini (2000-2004). Sejak penyakit HPAI
diketahui mampu menyerang manusia di Hongkong pada tahun 1997 yang lalu,
tercatat ada 20 kali terjadi wabah di dunia termasuk 10 negara Asia dengan
dampak kematian unggas, baik karena sakit maupun dimusnahkan, mencapai lebih
dari 150 juta ekor. Ini menunjukkan bahwa virus AI telah bermutasi menjadi jauh
lebih ganas daripada sebelumnya dan bahkan menjadi potensi ancaman bagi
kesehatan manusia (Naipospos 2004).
4.2.3.2 Kejadian AI Pada Manusia
Di Indonesia kasus kejadian AI pada manusia pertama kali ditemukan di
Tangerang pada Juli 2005. Hal ini merupakan babak baru perkembangan Avian
Influenza (flu burung) yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi manusia.
41235327
6431333
840200040006000
Jum
lah
(ribu
anek
or)
2003 2004 2005 2006 2007
Tahun Kajadian
Jumlah Unggas Yang Dilaporkan Terjangkit AI (UPP-AI)
Unggas terserang AI
30
Konfirm(Tahun 2005)
Konfirm (Tahun 2006)
Konfirm(Tahun 2007) Total KasusNo Provinsi
K MCFR(%) K M
CFR(%) K M
CFR(%) K M
CFR(%)
1 DKI Jakarta 8 7 87,50 10 9 90,00 7 6 85,71 25 22 88,00
2 Banten 5 4 80,00 4 4 100,00 4 3 75,00 13 11 84,62
3 Jawa Barat 3 2 66,67 22 18 81,82 4 3 75,00 29 23 79,31
4 Jawa Tengah 1 0 0,00 3 3 100,00 5 5 100,00 9 8 88,89
5 Jawa Timur 0 0 5 3 60,00 2 2 100,00 7 5 71,43
6 Sumatera Utara 0 0 7 6 85,71 1 1 100,00 8 7 87,50
7 Sumatera Barat 0 0 2 0 0,00 1 1 100,00 3 1 33,33
8 Lampung 3 0 0,00 0 0 0 0 3 0 0,00
9 Sulawesi Selatan 0 0 1 1 100,00 0 0 1 1 100,00
10 Sumatera Selatan 0 0 0 0 1 1 100,00 1 1 100,00
11 Riau 0 0 0 0 3 2 66,67 2 2 100,00
TOTAL 20 13 65,00 54 44 81,48 28 24 85,71 102 81 79,41Keterangan; K = kasus M = meninggal CFR = case fatality rateSumber : Progres Report bulan Juli 2007, data komnas FBPI.
Tabel 2. Data persebaran jumlah kasus AI pada manusia di Indonesia (Juli 2005 – Juli 2007)
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di
Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah
penyakit.Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai
timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna
secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.Kriteria
tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang
Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan
itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur: (Wikipedia 2007).
Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal.
Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun
waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan,
tahun).
31
Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat
atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun
sebelumnya.
Gambar 16. Grafik jumlah kasus kejadian AI pada manusia di Indonesia
Dari data yang diperoleh dari Komnas FBPI tersebut diatas dapat diketahui
perkembangan kasus kejadian flu burung di Indonesia dari tahun demi tahun terus
meningkat baik dalam jumlah korban manusia maupun jumlah propinsi asal
korban. Sehingga ditakutkan akan terjadi pandemi flu burung yang dimulai dari
Indonesia.
Kasus flu burung pada manusia menurut badan kesehatan dunia (WHO),
juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah negara yang terserang
flu burung juga meningkat. Dari tahun 2003 hingga Juli 2007 terjadi kasus flu
burung pada manusia sebanyak 319 kasus dengan kematian 192 orang. Indonesia
menepati posisi pertama dalam jumlah kasus dan korban meninggal akibat flu
burung ini. Dengan kejadian ini maka ditakutkan akan terjadi adanya pandemik
flu burung yang akan dimulai dari Indonesia. Banyak riset-riset penelitian
dilakukan dalam rangka pencegahan kasus pandemik diantaranya pembuatan
vaksin AI untuk manusia yang mulai diproduksi masal.
Grafik Perkembangan Flu Burung Pada Manusia di Indonesia(Komnas FBPI)
20
54 58
13
44
24
0
20
40
60
80
2005 2006 2007Tahun
Jum
lah
(ora
ng)
Kasus flu burung
Kematian akibat fluburung
32
Tabel 3. Data kumulatif kasus Avian Influenza pada manusia hingga 25 Juli 2007(WHO)
Flu burung tidak dapat didiagnosa berdasarkan gejalanya saja. Perlu
diadakan uji laboratorium. Flu burung pada manusia biasanya didiagnosa dengan
mengambil spesimen (swab) dari hidung atau tenggorokan selama hari-hari
pertama sang pasien sakit. Spesimen ini kemudian dikirim ke laboratorium. Di
sini para ahli kesehatan mencari virus flu burung dengan menggunakan tes
molekul atau mencoba membiakkan virus tersebut. Membiakkan virus flu burung
sebaiknya hanya dilakukan di laboratorium yang menjalankan prosedur bioscurity
dan biosafety. Jika pasien sudah lama menderita sakit, mungkin sulit untuk secara
langsung menemukan virus flu burung dengan cara ini. Jika demikian halnya,
masih mungkin untuk mendiagnosa flu burung dengan mencari tanda-tanda reaksi
tubuh terhadap virus. Akan tetapi ini tidak selalu bisa menjadi pilihan, karena
diperlukan dua spesimen darah (satu diambil selama hari-hari pertama sakit dan
satu lagi beberapa minggu kemudian), dan mungkin diperlukan waktu beberapa
minggu untuk memverifikasi hasilnya (annonymous 2006).
33
Gambar 17. Grafik perkembangan AI pada manusia di dunia
Kasus pada manusia ini oleh Departemen Kesehatan RI dikategorikan
menjadi tiga hal yaitu:
1. Kasus Suspek
Kasus suspek adalah seseorang yang menderita ISPA dengan gejala
demam (temp > 38°C), batuk dan atau sakit tenggorokan dan atau beringus
serta dengan salah satu keadaan;
Seminggu terakhir mengunjungi petemakan yang sedang berjangkit
KLB flu burung.
Kontak dengan kasus konfirmasi flu burung dalam masa penularan
Bekerja pada suatu laboratorium yang sedang memproses spesimen
manusia atau binatang yang dicurigai menderita flu burung.
2. Kasus Probabel
Kasus probabel adalah kasus suspek disertai salah satu keadaan;
Bukti laboratorium terbatas yang mengarah kepada virus influenza
A (H5N1), misal : Test HI yang menggunakan antigen H5N1.
Dalam waktu singkat berlanjut menjadi pneumonial gagal
pernafasan/ meninggal.
Grafik Perkembangan Kasus Flu Burung Pada Manusia di Dunia (WHO)
4
46
98
115
56
4
3243
79
34
0
20
40
60
80
100
120
140
2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Jum
lah
(ora
ng)
Kasus flu burung
Kematian akhibat fluburung
34
Terbukti tidak terdapat penyebab lain.
3. Kasus Konfirmasi
Kasus komfirmasi adalah kasus suspek atau probabel didukung oleh salah
satu hasil pemeriksaan laboratorium;
Kultur virus influenza H5N1 positip.
PCR influenza (H5) positip.
Peningkatan titer antibodi H5 sebesar 4 kali (dari pemeriksaan
awal)
Pada kasus kejadian di manusia gejala klinis yang ditemui seperti gejala
flu pada umumnya, yaitu; demam, sakit tenggorokan. batuk, ber-ingus, nyeri otot,
sakit kepala, lemas. Dalam waktu singkat penyakit ini dapat menjadi lebih berat
berupa peradangan di paru-paru (pneumonia), dan apabila tidak dilakukan
tatalaksana dengan baik dapat menyebabkan kematian (Depkes 2007).
4.2.3.3 Kejadian AI Pada Mamalia Lain
Menurut laporan beberapa ahli virus AI telah menginfeksi beberapa
spesies mamalia. Diantara mamalia yang pernah dan bisa terpapar AI adalah babi,
kucing, hariamau dan musang. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh rantai
makanan, sehingga hewan-hewan tersebut akan mendekati wilayah teritorial
mangsa mereka (unggas) yang terpapar AI yang sudah tentu di daerah itu banyak
sekali virus AI. Para predator baik secara sengaja ataupun tidak dapat tertular oleh
virus AI.
Disamping karena hubungan jaring-jaring makanan, virus AI dapat
menular ke mamalia lain melalui lingkungan yang telah tercemar oleh virus.
Keberadaan burung liar terutama unggas air yang biasa bermigrasi memegang
peranan yang cukup penting dalam persebaran AI dan pencemar lingkungan.
Unggas migrasi biasanya melakukan perjalanan jauh secara berkelompok baik
kelompok besar maupun kecil.
35
4.3.Dampak Kerugian Akibat AI
Seiring kemunculan wabah Avian Influenza di Indonesia khususnya HPAI
(Hight Pathogenic Avian Influenza) telah membawa dampak kerugian yang luar
biasa bagi masyarakat Indonesia. Kerugian ini baik berupa kerugian materi
ataupun secara psikis yang mendorong terhadap kecemasan publik yang dapat
menggangu kestabilitasan negara.
4.3.1 Kerugian Bidang Peternakan
Sektor peternakan terutama peternakan unggas sangat terpukul atas
kejadian AI di negeri ini. Banyak peternak yang merugi alias pailit karena ternak
mereka banyak yang mati (Trobos 2005). Disamping itu harga jual hasil ternak
mereka terutama broiler, jatuh karena pasar yang lesu akan permintaan unggas
dan produk unggas (Infovet 2005). Peternak juga harus mengeluarkan dana ekstra
dalam rangka pelaksanaan bio-sekuriti dan vaksin untuk ternak mereka.
Semenjak ditutupnya pintu ekspor unggas yang berasal dari Indonesia
membuat beberapa peternak besar mengurangi jumlah ternak unggas mereka,
yang berdampak pada pengosongan beberapa flok peternakan sehingga produksi
ternak unggas Indonesia menurun drastis pada saat awal wabah AI. Di pasar
unggas lokal juga mengalami kegetiran karena omset penjualan unggas menurun
derastis karena masyarakat mulai ketakutan dan fobia terhadap unggas (daging
ayam).
4.3.2 Kerugian Bidang Kesehatan
Meningkatnya korban kasus AI pada manusia turut menyedot anggaran
yang tidak sedikit. Biaya perawatan para pasien flu burung (AI) dan penyiapan
fasilitas pendukung perawatan turut meningkat. Dengan demikian anggaran
kesehatan akan turut meningkat, seiring meningkatnya subsidi kesehatan untuk
korban AI, penyediaan obat (tamiflu) dan penyediaan ruang rawat isolasi khusus
bagi penderita AI.
Menurut Ketua Pelaksana Harian Komisi Nasional Pengendalian Flu
Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) Bayu
Krisnamurthi (2006), pada 2007 pemerintah menganggarkan dana 61 juta dollar
36
AS untuk pengendalian flu burung, lebih tinggi dari anggaran tahun 2006 yang
jumlahnya sebesar 55 juta dollar AS. Tahun 2006 anggaran pengendalian pada
manusia dan hewan masing-masing sekitar 63,6 persen dan 36,4 persen dari total
anggaran, sedangkan pada 2007 anggaran untuk kedua kegiatan itu masing-
masing 53,1 persen dan 46,9 persen dari total anggaran.
Bertambahnya korban virus AI dari waktu ke waktu ini memberi
gambaran kondisi kesehatan masyarakat yang cenderung menurun dan tidak
diperhatikan oleh masyarakat sendiri, ditambah dengan pemberitaan yang tidak
berimbang oleh media masa.. Masyarakat menjadi panik yang tak beralasan
sehingga mudah sekali terjadi penurunan daya tahan tubuh dan dapat
menyebabkan sakit. Hal ini merupakan potret kondisi kesehatan masyarakat di
negeri ini yang memang sudah buruk.
4.3.3 Kerugian Bidang Ekonomi
Kerugian ekonomik akibat AI dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung sehubungan dengan adanya keterkaitan dengan populasi dan tingkat
produksi ternak unggas, dampak terhadap ketahanan dan keamanan pangan, dan
potensi penularannya pada manusia. Industri perunggasan di Indonesia
mempunyai peranan yang besar dalam penyediaan sumber protein asal hewan
bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan daging di Indonesia ditopang oleh unggas
sekitar 60% dari sekitar 1,2 milyar ekor ayam pedaging yang diproduksi setiap
tahun. Populasi ayam petelur berkisar antara 76-80 juta ekor per tahun; jumlah
ayam buras sekitar 295 juta ekor; dan populasi itik sekitar 45 juta ekor. Tenaga
kerja yang langsung dapat diserap oleh industri perunggasan adalah 2,5 juta
peternak dan sekitar 30 juta rumah tangga memelihara ayam buras/itik (Data
Ditjennak 2004).
Kerugian yang langsung akibat AI dapat dihubungkan dengan morbiditas,
mortalitas, dan angka afkir yang tinggi pada ternak unggas. Sebagai contoh:
jumlah ternak unggas yang mati atau diafkir sejak agustus 2003 sampai dengan
November 2005 mencapai 10,45 juta ekor. Di samping itu, biaya penanggulangan
penyakit dan biaya produksi akan meningkat tajam oleh karena sistem
penanggulangan AI yang bersifat kompleks.
37
Dampak tidak langsung AI pada usaha perunggasan, meliputi pengaruh
negatif terhadap harga produk unggas, yaitu harga daging dan telur rendah;
penurunan tingkat konsumsi produk unggas akibat kekuatiran akan tertular virus
AI, kehilangan peluang pemasaran di dalam dan luar negeri, kesulitan pemasaran
DOC, pakan, dan sarana kesehatan unggas maupun produk unggas (daging dan
telur) dan kehilangan peluang kerja. Sebagai gambaran dampak ekonomik AI
pada industri perunggasan sejak tahun 2003 sampai tahun 2004 adalah: penurunan
permintaan terhadap DOC pedaging sebesar 57,9% dan DOC petelur sebesar
40,4%; penurunan permintaan terhadap pakan unggas sebesar 45%; penurunan
pasokan telur sebesar 52,6% dan pasokan ayam pedaging sebesar 40,7%; dan
penurunan peluang kerja sebesar 39,5% (Data FAO 2004).
4.3.4 Kerugian Bidang Sosial
Terjadi pergeseran nilai sosial di masyarakat terkai dengan AI sehingga
terjadi distorsi nilai yang ada. Terjadi pengucilan kepada peternakan unggas dan
korban AI pada manusia karena dianggap bisa menularkan penyakit. Hal ini
sungguh suatu tindakan yang dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
Ketakutan yang berlebihan terhadap unggas dan produk unggas ini dapat
menurunkan tingkat konsumsi protein masyarakat Indonesia yang sudah rendah.
Jika hal ini terus terjadi ditakutkan di masa mendatang akan banyak ditemukan
anak-anak dengan tingkat kecerdasan rendah dan gangguan pertumbuhan
(Sulistyo 2006).
4.3.5 Kerugian Bidang Ketahanan dan Keamanan
Terjadinya penyelundupan vaksin AI ilegal turut menghiasi lembaran
hitam Hankam negeri ini. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan akan
vaksin AI di dalam negeri. Para importir turut bermain dengan pendatangan
vaksin untuk AI ke negeri ini. Keadaan ini dibaca oleh para impottir nakal,
sehingga mereka dengan nekat mengimpor secara ilegal vaksin AI ini demi
keuntungan pribadi mereka. Dengan adanya vaksin ilegal di pasaran ini ditakutkan
akan dapat memperparah keadaan yang menyebabkan semakin ganas virus AI
yang sudah ada.
38
Seirirng kebutuhan akan unggas dan produk unggas yang tidak dapat
dipenuhi oleh produksi ternak dalam negeri akan berakhir dengan impor unggas
dan produknya. Maraknya penyelundupan ternak dan produk unggas dari negara
tetangga lebih didasari sugesti rasa aman konsumen ketimbang menkonsumsi
unggas lokal yang terserang AI. Padahal kesemuanya itu belum tentu benar
adanya, karena secara sadar ataupun tidak strategi ini digunakan untuk
melemahkan dan menghancurkan perunggasan Indonesia oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.
4.4. Upaya Penanganan AI di Indonesia
Strategi penanggulangan AI menurut OIE, meliputi stamping out/pemusnahan
secara total dengan tanpa vaksinasi terhadap penyakit tersebut. Strategi tersebut
dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan struktur peternakan di Indonesia,
kemampuan keuangan negara untuk memberikan kompensasi pada peternak jika
dilakukan stamping out, kondisi ekonomi, dan dampak sosial-politik dari penyakit
tersebut. Penanggulangan AI di Indonesia, meliputi isolasi peternakan/daerah
yang terserang AI, depopulasi secara selektif ayam/unggas yang terinfeksi virus
AI pada peternakan tertentu, stamping out pada ayam/unggas pada daerah tertular
baru, meningkatkan biosecurity pada semua aspek manajemen peternakan;
pengendalian lalulintas unggas/produk asal unggas dan kotoran/limbah, vaksinasi
terhadap AI dan mengembangkan program bebas AI per wilayah (segmental)
(Tabbu 2005).
Penanggulangan AI harus di dukung oleh sarana/prasarana yang memadai,
meliputi laboratorium yang memenuhi persyaratan biosafety level-3 (BSL-3),
sumber daya manusia profesional yang handal, dan sistem komunikasi yang baik.
Penanggulangan AI pada unggas dan flu burung pada manusia, membutuhkan
suatu kerjasama yang terpadu, obyektif, dan bertanggung jawab antara berbagai
lembaga pemerintahan sebagai pemegang kebijakan (khususnya Deptan, Depkes)
dan lembaga swasta/industri, tenaga ahli/profesional, peternak, pengusaha industri
peternakan, dan masyarakat luas.
Di samping itu, penanggulangan AI harus juga didukung oleh kajian
epidemiologik, meliputi sampling dan evaluasi laboratorik yang tepat untuk
39
mengetahui distribusi geografik kasus AI di Indonesia, menetapkan perwilayahan
(zoning) wabah AI (daerah bebas, terancam, dan tertular) dan mendeteksi tingkat
kekebalan kelompok ayam/unggas pasca vaksinasi AI. Kajian epidemiologi
tersebut diharapkan juga meliputi studi kasus kontrol untuk mengetahui faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap penularan AI pada unggas atau penularan AI
dari unggas ke manusia.
Metode epidemiologi tersebut memungkinkan untuk melakukan kajian suatu
penyakit pada suatu populasi unggas pada kondisi alamnya. Dalam hal ini, kajian
akan dilakukan pada faktor penyebab kejadian penyakit yang bersifat langsung
maupun faktor-faktor lain yang terkait. Walaupun kejadian AI pada unggas di
Indonesia telah menurun secara drastis dan hanya bersifat sporadis pada ayam
buras, itik, atau puyuh dan kadang pada peternakan ayam komersial skala kecil,
namun munculnya kasus flu burung pada manusia perlu mendapat perhatian yang
serius dari pemerintah, peneliti, pengusaha peternakan, maupun masyarakat luas.
Saat ini WHO telah membuat pedoman tentang langkah–langkah
kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi influenza sesuai
fase–fase pandemi influenza. Secara garis besar fase–fase tersebut terdiri dari 6
fase yang kemudian dikelompokkan menjadi 3 periode yaitu periode
interpandemi, periode waspada pandemik dan periode pandemi.
Sebagai langkah menghadapi KLB Avian Influenza, maka Indonesia
menerapkan 10 Strategi Nasional Penanggulangan Avian Influenza dan
Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza yaitu:
1. Pengendalian penyakit pada hewan.
2. Penatalaksanaan kasus pada manusia.
3. Perlindungan kelompok resiko tinggi dengan biosekuriti.
4. Surveilans epidemiologi pada hewan dan manusia.
5. Restrukturisasi system industri perunggasan.
6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE).
7. Penguatan dukungan peraturan.
8. Peningkatan kapasitas (capacity building).
9. Penelitian kaji tindak.
10. Monitoring dan evaluasi.
40
4.4.1 Peran Institusi Pemerintah dan Institusi non Pemerintah
Penanganan masalah flu burung merupakan tanggung jawab bersama
seluruh elemen masyarakat. Karena tanpa adanya koordinasi dan kerjasama dari
semua pihak kasus AI (flu burung) ini tidak akan selesai. Flu burung harus
dijadikan musuh bersama oleh bangsa ini agar negara Indonesia bisa segera bebas
dari cengkraman bahaya flu burung.
4.4.1.1 Peran Institusi Pemerintah
Institusi pemerintah dari pusat hingga daerah berupaya berperan aktif
dalam penanganan kasus AI (flu burung). Hal ini dalam rangka menyukseskan
target pemerintah penanganan sepenuhnya kasus flu burung di Indonesia pada
akhir tahun 2008 yang termaktub dalam strategi nasional penanggulangan avian
influenza dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza
Dalam pelaksanaan pemberantasan wabah avian influenza ini pemerintah
pusat melalui instruksi presiden dan ditindak lanjuti oleh Mendagri dengan
mengeluarkan surat edaran dengan nomor 440/93/SJ yang berlaku efektif mulai
pertengahan Januari 2007. Surat tersebut berisi imbauan kepada kepala daerah
untuk segera melakukan langkah-langkah disesuaikan dengan status daerah
masing-masing, yaitu berisiko rendah atau berisiko tinggi. Dengan adanya surat
edaran menteri tersebut para pimpinan daerah menindaklanjuti dengan membuat
peraturan daerah (perda) yang diperlukan dalam rangka pengendalian Avian
Influenza yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Dalam aplikasi pelaksanaan perda flu burung ini kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah daerah berbeda-beda. Isi dari perda ini diantaranya
berupa melarang keras adanya unggas, pemusnahan total populasi unggas yang
ada dan ada pula yang tidak memusnahkan unggas yang dipelihara oleh rumah
tangga, tetapi mengarahkannya untuk dikelola sebagai sebuah peternakan
sehingga dapat dikembangkan menjadi komoditas daerah. ada pula yang hanya
bersifat imbauan kepada masyarakat.
41
a. Departemen Pertanian
Dalam rangka pemberantasan AI maka Departemen Pertanian (Deptan)
membentuk Unit Pengendali Penyakit Avian Influenza Pusat/UPPAIP (Campaign
Management Unit / CMU) yang berperan dalam penyebaran informasi mengenai
wabah penyakit secara regular dan tepat waktu kepada masyarakat internasional;
memperkuat surveilans dan kapasitas respon terhadap penyakit. Dalam
pelaksanaanya dibentuk pula Unit Pengendali Penyakit AI Regional (UPPAIR)
untuk mengimplementasikan program yang aktif untuk mengendalikan dan
mencegah AI.
Untuk memastikan transparansi dan penyebaran informasi secara regular
tentang wabah penyakit ini dan isolat virus penyebab, CMU mengikutsertakan
perwakilan dari tim FAO sebagai anggota pendukung. CMU pertama kali
didirikan untuk menyusun kebijakan, dan saran tehnis serta memanage kampanye
nasional pengendalian dan pemberantasan AI di Indonesia. Unit ini sekarang telah
berkembang dengan mengikutsertakan narasumber (Deptan 2007).
Departemen Pertanian juga bekerja untuk memperkuat surveilans dan
respon penyakit melalui perluasan tim surveilans dan respons penyakit
(Participatory Disease Surveillance-Participatory Disease Response/PDS-PDR).
PDS merupakan aplikasi dari metode penelitian desa partisipatif atau PRA
(Participatory Rural Appraisal) untuk pengawasan penyakit atau lebih dikenal
sebagai tim pelacak penyakit. PDR merupakan tim reaksi cepat yang harus telah
sampai di lokasi wabah untuk menfasilitasi tindakan pengendalian cepat dan
langkah-langkah preventif berbasis masyarakat. Sebagai tindakan pengendalian
cepat, tim ini merekomendasikan dua tindakan, yakni: local culling dengan
kompensasi segera dan ring vaksinasi yang dilakukan penduduk setempat. Kedua
tim ini bekerja sama bertugas melakukan investigasi dan tindakan pencegahan
serta tindakan-tindakan pengendalian termasuk peningkatan kesadaran publik,
pemusnahan unggas, kompensasi dan vaksinasi (Deptan 2007).
Program percontohan PDS/PDR yang dibentuk di empat area di Jawa, saat
ini telah berkembang ke 159 kabupaten/kota di pulau Jawa, Sumatera dan Bali.
Pendekatan ini menggunakan dokter hewan dan tenaga tehnis yang dilatih secara
khusus untuk melakukan investigasi lapangan dengan dukungan penuh dari
42
masyarakat setempat. Dalam perkembangannya, metode ini terbukti sangat
efektif. Masyarakat sangat mendukung dan telah berkontribusi dalam memahami
situasi penyakit. Sampai dengan tanggal 15 September 2006, tim-tim PDS/PDR
telah mendeteksi 364 wabah AI (Deptan 2007).
Agar dapat mengendalikan AI secara efektif, Departemen Pertanian
pertama-tama mendirikan Unit Pengendali Penyakit AI Regional (UPP-AI
Regional) di Medan (Sumatera Utara) dan Denpasar (Bali). Tujuan UPP-AI
Regional adalah untuk melakukan koordinasi secara sistematis dalam kegiatan
pencegahan dan pengendalian AI serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
menerapkan vaksinasi di semua sektor mulai dari masyarakat lokal sampai ke
pemerintahan kabupaten/kota dan propinsi serta sektor swasta (Deptan 2007).
b. Departemen Kesehatan
Dalam rangka pemberantasan AI maka Departemen Kesehatan (Depkes)
membentuk tim Komando Kejadian Luar Biasa yang berperan untuk melaporkan
kemungkinan kasus pada manusia atau untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenai flu burung pada manusia. Tim ini dibentuk dari tingkat pusat hingga
tingkat daerah dalam rangka meningkatkan kinerja yang efektif.
c. Komnas FBPI
Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan
Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) mengkoordinasikan kegiatan
berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah dalam menangani penyebaran
virus H5N1.
Komnas FBPI didirikan pada 7 Maret 2006 berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono didasari oleh
ketidak-singkronan dalam komando dalam penanganan AI di Indonesia. Komnas
FBPI mengkoordinasikan dan memfasilitasi gerakan nasional untuk memerangi
virus flu burung dan mengidentifikasi cara-cara paling efektif untuk menerapkan
Rencana Strategi Nasional untuk Pengendalian dan Kesiapsiagaan Menghadapi
Pandemi Influenza 2006-2008. Target pemerintah adalah kasus flu burung di
Indonesia dapat tertangani sepenuhnya di akhir tahun 2008.
43
Dalam rangka pencegahan, pengendalian dan penanggulangan Flu
Burung dan membangun upaya kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza,
Komnas FBPI bertugas:
1. Menetapkan kebijakan, rencana strategis dan pedoman umum pencegahan,
pengendalian dan penangulangan Flu Burung (Avian Influenza) serta
kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza.
2. Menetapkan langkah–langkah strategis (strategic action) yang diperlukan
dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan Flu Burung
(Avian Influenza) serta kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza.
3. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan (action implementation)
pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan Flu Burung (Avian
Influenza) pada hewan dan manusia serta kesiapsiagaan menghadapi
pandemi influenza.
4. Mengendalikan, memantau dan mengevaluasi, serta menetapkan langkah
penyelesaian masalah strategis nasional pengendalian Flu Burung (Avian
Influenza) dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza, serta
menetapkan langkah–langkah penyelesaian permasalahan strategis yang
timbul dalam kegiatan pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan Flu
Burung (Avian Influenza) serta kesiapsiagaan menghadapi pandemi
influenza.
5. Mengkoordinasikan pengolahan data dan informasi yang terkait dengan
masalah Flu Burung (Avian Influenza) pada hewan dan manusia.
6. Memberi arahan lepada komite provinsi dan komite kabupaten dalam
rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan Flu Burung
(Avian Influenza) serta kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza.
4.4.1.2 Peran Institusi non Pemerintah
Ahli-ahli sedunia memantau risiko pandemik influenza global dan
menggunakan sistem peringatan enam tahap untuk menyampaikan tingkat
ancaman dan menentukan serta memicu persiapan yang tepat. Pada bulan
September 2006 Organisasi Kesehatan se-Dunia (WHO) berpendapat bahwa
dunia berada pada Tahap 3 dari sistem peringatan pandemik yang berkaitan
44
dengan adanya infeksi pada manusia yang disebabkan oleh suatu virus baru tetapi
tidak ada, atau sedikit saja, penularan dari manusia kepada manusia. Berdasar
pada klasifikasi ini dan mengingat pula laporan terdahulu mengenai kasus-kasus
flu burung (H5N1) pada manusia di kawasan Asia Tenggara, maka Pusat
Kesiapan terhadap Petaka di Asia (Asian Disaster Preparedaness Centre –
ADPC), menyelenggarakan lokakarya bertemakan Kesiapan Darurat Fasilitas
Perawatan Kesehatan dan Penanggulangan Epidemi dan Pandemi ( WHO 2006 ).
Di Indonesia banyak juga lembaga non pemerintah yang berperan aktif
dalam penanganan AI baik secara langsung, maupun tidak langsung dan bekerja
sama baik secara lokal daerah, nasional maupun dengan lembaga nirlaba
internasional. Beberapa lembaga non pemerintahan ini giat dalam penyuluhan
pemberdayaan masyarakat dalam tanggap AI maupun vaksinasi langsung pada
unggas yang ada di masyarakat. Lembaga non pemerintahan itu diantaranya :
PMI, Civas, PP Muhammadiyah dan beberapa LSM lainnya.
4.4.2 Pelaksanaan Biosekuriti
Bio berati hidup dan security berarti aman dari ancaman bibit penyakit..
Biosekuriti adalah semua praktek manajemen yang dilakukan untuk mencegah
penyakit dan organisme penyebab penyakit zoonosis yang akan masuk ke
Peternakan (Farm).
Dalam pelaksanaan biosekuriti ini terbagi dalam beberapa tahap,yaitu:
Biosekuriti Konseptual.
Merupakan tingkatan pertama dan merupakan basis dari seluruh program
pencegahan penyakit. Hal ini meliputi manajemen Peternakan yang ideal,
pemilihan lokasi Rumah Potong (jauh dari perkampungan penduduk, jauh
dari lokasi industri dan jauh dari sumber pencemaran yang lain ), pasar
yang memenuhi syarat. Kegagalan pada tingkat ini tidak dapat diubah
dalam menghadapi munculnya penyakit baru dan berdampak pada
kerugian yang besar bahkan kegagalan usaha.
Biosekuriti Struktural.
Meliputi hal-hal yang berhubungan dengan tata letak perkandangan atau
RPH/RPU. Yang meliputi tata letak, pemisahaan secara jelas batas-batas
45
sanitasi, saluran pembuangan limbah, jalan alternatif, perangkat
dekontaminasi/sanitasi, instalasi penyimpanan. Sedangkan untuk penjualan
daging seharusnya di los pasar tersendiri dan tertutup. Biosekuriti pada
tingkat ini dapat diperbaiki atau ditingkatkan sesuai dengan nilai investasi
dan obyektivitas Peternakan/Rumah Potong/Pasar.
Biosekuriti Operasional.
Merupakan implementasi prosedur-prosedur manajemen untuk
pencegahan kejadian dan penyebaran infeksi di dalam
Peternakan/RPH/RPU/Pasar Swalayan atau Tradisional. Kegiatan ini dapat
disesuaikan dengan timbulnya penyakit mendadak. Peninjauan ulang
prosedurnya sesuai kaidah kualitas manajemen total dan partisipasi seluruh
personal
Peternak perlu menerapkan biosekuriti untuk pencegahan dari
kemungkinan penularan virus. Langkah-langkah biosekuriti yang dapat
dilakuakan sebagai berikut: (Soejoedono dan Handaryani 2005).
Membatasi secara ketat lalu lintas unggas atau ternak, produk unggas,
pakan, kotoran, bulu dan alas kandang.
Membatasi lalu lintas pekerja atau orang dan kendaraan yang keluar
masuk peternakan. Orang dan kendaraan yang keluar atau masuk ke
peternakan harus disemprot disinfektan lebih dulu.
Peternak dan orang yang hendak masuk ke peternakan harus emakai
pakaian pelindung, seperti : pakaian kandang, masker, sepatu, sarung
tangan dan kaca mata plastik (goggle).
Mencegah kontak langsung antara unggas dalam peternakan dengan
burung liar, burung air, tikus dan hewan lain.
Melakukan disinfeksi pada semua bahan, sarana dan prasarana peternakan,
termasuk bangunan kandang.
Menggunakan disinfektan yang telah direkomendasikan seperti asam
perasetat, hidroksi peroksida, sediaan ammonium kuartener,
formaldehide/formalin 2-5%, iodoform kompleks (iodin), senyawa fenol,
natrium/kalium hipoklorit.
46
Penerapan biosekuriti ini untuk menjamin tidak ada cemaran virus Avian
influenza (flu burung) dan mikroba di peternakan (kegiatan produksi) maupun
proses pengolahan menjamin keamanan karyawan dan pengusaha serta adanya
jaminan produk yang dihasilkan tidak membahayakan konsumen. Perlu
ditingkatkan pengawasan terhadap mata rantai produksi bahan pangan asal hewan
mulai dari pemeliharaan ternak, proses pemotongan hewan, proses penyimpanan,
proses pengolahan dan pemasaran hingga konsumsi bahan pangan asal hewan,
kemudian diperlukan pemeriksaan cemaran mikroba yang ditujukan untuk
mengetahui tingkat higienis pengolahannya.
4 .4.3 Vaksinasi Unggas Masal
Dalam pelaksanaannya, strategi vaksinasi harus dipandang sebagai alat
dalam usaha pengendalian yang komprehensif yang mencakup biosecurity,
edukasi, diagnostik dan surveilans, serta eliminasi virus pada hewan yang
terinfeksi (FKH IPB 2007a). Efek perlindungan pasca-vaksinasi merupakan
respon kebal terhadap protein haemagglutinin (HA) pada permukaan virus dan
atau neuraminidase (NA). Efek perlindungan yang diberikan oleh sebuah vaksin
hanya terhadap subtipe HA individual yang terdapat dalam vaksin. Pengembangan
vaksin AI dengan menggunakan reverse genetic telah pula dikembangkan
(Cameron 2003; Zarkasie 2007).
Vaksinasi unggas masal mulai dilakukan pemerintah pada tahun 2004
hingga sekarang (2007). Pada tahun 2007 jumlah vaksin yang digunakan sebanyak
98 juta dosis dengan rincian pengadaan dari APBN (60 juta dosis), bantuan
pemerintah China (33 juta dosis) dan bantuan Bank Dunia (5 juta dosis) (Mentan
2007).
Subtipe vaksin yang disuntikkan ke unggas berbeda dengan virus flu
burung yang menyerang Indonesia.Virus flu burung (avian influenza, AI) di
Indonesia berpotensi mutasi menjadi lebih berbahaya. Penelitian yang dilakukan
Fakultas Kedokteran Universita Airlangga (Unair) Surabaya, menyebutkan
penyuntikan vaksin H5N2 dan H5N9 pada ayam, tidak efektif mengeliminir virus
AI. Virus itu masih dikeluarkan melalui kotoran dalam waktu lebih dari enam
hari.Virus AI yang keluar dari kotoran itu, jika menginfeksi ayam lagi maka lebih
47
membahayakan dari virus sebelumnya. Karena virus-virus ini telah mampu
melewati cekapan antibodi dalam tubuh unggas. Hal ini dibuktikan adanya mutasi
pada beberapa fragmen dari virus AI (Nidom 2007).
Menurut Nidom (2007) dalam menangani bahaya flu burung pemerintah
menggunakan dan mengizinkan sekitar 12 vaksin. Vaksin-vaksin ini terdiri dari
vaksin homolog (berisi seed virus AI subtipe H5N1) dan vaksin heterolog (berisi
seed virus yang punya tipe H5N2 atau H5N9). Penggunaan vaksin H5N2 dinilai
tidak tepat. Dari tinjauan molekuler, struktur RNA virus H5N2 berbeda dengan
H5N1 ( Zarkasie 2007).
Dari 12 merek vaksin yang digunakan dan diizinkan pemerintah, diambil
tiga merek yang mewakili vaksin subtipe H5N1, H5N2 dan H5N9.Vaksin tersebut
disuntikkan ke unggas. Setelah unggas dianggap memiliki antibodi maksimal dari
hasil vaksinasi itu, unggas diuji tantang dengan menyuntikkan virus H5N1 ke
unggas melalui saluran pernafasan. Hasil yang didapatkan kurang maksimal
sehingga diadakan pengujian ulang menggunakan ke-12 jenis vaksin tersebut,
termasuk menggunakan vaksin H5N1 dengan metode reverse genetic yang telah
dibuat oleh salah satu perguruan tinggi di Indonesia (IPB-Shigeta). Hasil yang
diperoleh shedding virus (virus dikeluarkan dalam kotoran) selama lebih dari
enam hari, kecuali kelompok unggas yang divaksin dengan vaksin H5N1 metode
reverse genetic (Nidom 2007).
Ahli mikrobiologi Jepang menyatakan bahwa penggunaan vaksin
heterelog (non-H5N1) memberikan hasil yang tidak baik, jika dibanding
penggunaan vaksin homolog (H5N1). Jika virus yang keluar kotoran itu
menginfeksi ayam lagi, maka akan lebih membahayakan dari virus sebelumnya.
Hal ini dibuktikan adanya mutasi pada beberapa fragmen dari virus yang ada di
dalam kotoran ayam (Kompas 2007).
Vaksin H5N1 buatan lokal diproduksi pada tahun 2003. Vaksin ini tak
melalui proses reverse genetic yang memperhatikan tingkat patogenitas virus.
Padahal virus H5N1 tercatat amat patogen yang pembuatan antigen-nya tidak bisa
dilakukan dengan cara biasa. Akibatnya vaksin tidak memiliki kompatibilitas
(keampuhan) seratus persen membasmi virus (Zarkasie 2007).
48
NonVaccinatedDEAD BIRD
HARBORING
HARBORING
LowAI CHALLENGE
Vaccinated
HighAI CHALLENGE
11 22 33
TIDAK DIVAKSIN
Gambar . 18.Vaksinasi Mampu Menekan Kematian Ayam Akibat Serangan Virus AI danMengurangi Kontaminasi Virus di Lingkungan (diambil dari bahan presentasi Drh IWayan Wiryawan, PT Romindo Primavetcom)
Strategi vaksinasi diharapkan dapat menurunkan kerentanan terhadap
infeksi virus sekaligus mengurangi pengeluaran virus dari tubuh unggas, baik dari
segi jumlah maupun lamanya waktu, sehingga merupakan alat yang tepat untuk
menekan terjadinya kasus baru dan sirkulasi virus di lingkungan. Kesuksesan
program vaksinasi dapat tercapai apabila vaksinasi dianggap sebagai alat untuk
memaksimalkan tindakan biosecurity tanpa mengesampingkan pelaksanaan
surveilans agar setiap perubahan antigenik virus yang bersirkulasi di lapangan
dapat segera terdeteksi. (FKH IPB 2007).
Program vaksinasi unggas dalam rangka pengebalan terhadap Avian
Influenza (flu burung) menggunakan vaksin inaktif (killed vaccine) yang resmi
dizinkan pemeritah. Hal ini dijelaskan sebagai berikut: (Deptan 2005; Soedjono
dan Handaryani 2005)
Ayam petelur (layer):
Umur 4 - 7 hari : 0,2 ml dibawah kulit pada pangkat leher.
Umur 4 - 7 minggu : 0,5 ml dibawah kulit pada pangkat leher.
49
Umur 12 minggu : 0,5 ml dibawah kulit pada pangkat leher
atau pada otot dada.
Umur 3 -4 bulan diulang : 0,2 ml dibawah kulit pada pangkat leher.
Ayam pedaging (broiler):
Umur 4 - 7 hari : 0,2 ml dibawah kulit pada pangkat leher.
Untuk unggas lain:
Pemberian vaksin disesuaikan dengan petunjuk yang tercantum pada etiket
masing-masing produsen
4.4.4 Depopulasi Unggas
Depopulasi merupakan tindakan pemusnahan unggas secara selaktif di
peternakan yang tertular virus AI (flu burung). Tindakan ini dilakukan dalam
upaya pencegahan penyebaran penyakit lebih luas. Hal ini dimungkinkan jika ada
kejadian AI (flu burung) pada suatu wilayah tertentu sedangkan wilayah di
sekitarnya masih bersih, dalam artian belum terjadi kasus AI (flu burung)
(Soejoedono dan Handaryani 2005).
Cara pemusnahan unggas yang terinfeks oleh Avian Influenza (flu burung)
dapat dilakukan dengan menyembelih unggas yang sakit dan dan unggas sehat
dalam satu kandang (peternakan). Selanjutnya dilakukan disposal yaitu
pembakaran dan pengubuaran unggas mati (bangkai unggas), karkas, telur, feces,
bulu, sekam alas kandang dan pakan yang tercemar serta bahan peralatan yang
terkontaminasi yang tidak bisa didekontaminasi/didesinfeksi secara efektif.
Lubang tempat penguburan/pembakaran berjarak minimal 20 m dari kandang
tertular dengan kedalaman 1,5 m dari permukaan bangkai. Apabila lubang
penguburan ini berada jauh diluar peternakan tertular maka harus jauh dari
pemukiman penduduk (Ditjennak 2005, Soejoedono dan Handaryani 2005).
Jika timbul suatu kasus avian influenza (flu burung) di suatu daerah yang
telah didiagnosa secara klinis, patologis anatomis dan epidemiologis serta
dikonfirmasi secara laboratoris maka harus dilakukan pemusnahan secara
menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru. Stamping out dilakukan
dengan memusnahkan seluruh ternak unggas yang sakit maupun yang sehat pada
50
peternakan tertular dan juga pada semua unggas yang ada sampai radius 1 km dari
peternakan tertular tersebut (Ditjenak 2005; Soejoedono dan Handaryani 2005).
Program depopulasi dan kompensasi unggas dilakukan pemerintah mulai
tahun 2004 hingga 2006 sebanyak 7, 96 juta ekor unggas dengan nilai kompensasi
mencapai Rp 18,2 milyar. Untuk kasus tahun 2007 disediakan Rp 3,2 milyar
untuk depopulasi 200.000 ekor unggas (Mentan 2007).
Banyak daerah telah melakukan tindakan depopulasi unggas di
kawasannya. Masyarakatpun antusias dalam pelaksanaan program ini. Pemerintah
DKI Jakarta telah melakukan depopulasi dan stmping out terhadap populasi
unggas yang ada diawal 2007.
4.4.5 Pembenahan dan Pengaturan Sektor Peternakan Unggas
Pemerintah berupaya melakukan penata kembali perungasan di Indonesia.
Langkah awal dilakukan dengan dikeluarkannya SK Mentan No.50 tanggal 13
Oktober 2006 tentang Pedoman Pemeliharaan Unggas di daerah Pemukiman,
Surat Edaran Mentan No.266 tanggal 13 Nopember 2006 tentang Kewaspadaan
Terjadinya Kasus AI Terkait Perubahan Musim Hujan dan Komitmen Daerah
dalam Pendanaan dan Pengendalian Penyakit AI, dan Surat Edaran Mentan
No.283 tanggal 21 Nopember 2006 tentang Restrukturisasi Perunggasan (Mentan
2007).
Menurut SK Mentan No.50/2006 tidak dianjurkan memelihara unggas di
pemukiman, jika tetap memelihara unggas di daerah pemukiman harus memenuhi
beberapa syarat, diantaranya:
Unggas harus dikandangkan.
Unggas harus dikelompokkan berdasar setiap spesies, tidak boleh
dicampur.
Jarak kandang dengan bangunan pemukiman harus memenuhi syarat
kesehatan lingkungan.
Selalu menjaga kebersihan.
Penepatan sistem tata laksana peternakan dilakukan pada awal
pemeliharaan untuk menciptakan kondisi yang aman dan nyaman bagi unggas di
51
peternakan. Dengan kondisi yang nyaman dan aman ini diharapkan stamina dan
kondisi unggas menjadi sehat sehingga diharapkan akan mempunyai daya tahan
terhadap bibit penyakit (Soejoedono dan Handaryani 2005).
Pengaturan kepadatan
Kepadatan harus diatur sehingga semua anakan/bibit unggas dapat dengan
leluasa beraktivitas. Dengan kepadatan yang tidak terlalu banyak dapat
dengan mudah melakukan pengontrolan. Unggas yang sakit mudah
diketahui dan ditangani.
Temperatur
Temperatur kandang harus dikontrol dan diatur sedemikian rupa, sehingga
stabil dan sesuai dengan kondisi tubuh yang diperlukan. Fluktuatif dan
perubahan suhu yang tidak teratur dapat menyebabkan unggas tercekam
stres yang akan menurunkan daya tahan tubuhnya.
Pakan
Pemberian pakan harus sesuai dengan kebutuhan, jika asupan pakannya
kurang akan menyebabkan berkurangnya asupan energi bagi unggas yang
salah satunya berfungsi untuk pembentukan sistem kekebalan unggas.
Asupan pakan ini harus diberikan sesuai dengan kebutuhan gizi dan usia
unggas. Diharapakan pakan yang diberikan dapat langsung habis dan tidak
ada sisa yang dapat menjadi media berbiak penyakit. Tempat pakan harus
sering dibersihkan untuk menghindari virus yang menempel.
Air
Keberadaan minum harus diperhatikan secara baik. Unggas tidak boleh
dehidrasi yang dapat menurunkan kekebalan tubuhnya. Kondisi air juga
harus bersih dan bebas dari kuman penyakit dan virus. Pembersihan
tempat air dilakukan secara periodik secara teratur.
Pencahayaan
Pencahayaan dapat menstimulasi unggas untuk makan dan tumbuh
sehingga sangat penting bagi unggas. Pencahayaan yang cukup juga
berperan dalam pengontrolan terhadap kelembaban kandang.
52
Ventilasi
Pengaturan ventilasi dilakukan untuk mengontrol kondisi suhu dan
memperlancar sirkulasi udara. Tersedianya udara segar juga membantu
dalam proses respirasi.
Litter
Litter yang ada di kandang diusahakan tidak terlalu basah atau kering.
Kondisi litter yang terlalu kering akan menyebabkan debu yang dapat
menggangu pernafasan unggas.
4.4.6 Peningkatan Kesadaran Masyarakat Tentang Higiene
Di kebanyakan daerah di negara kita, pembahasan bidang kesehatan selalu
dikonotasikan sebagai pelayanan terhadap orang sakit di pusat kesehatan
masyarakat atau rumah sakit. Tidak heran apabila alokasi dana pemerintah lebih
banyak diprioritaskan pada pelayanan kesehatan untuk mengobati orang sakit.
Padahal teknik pencegahan (preventif) seharusnya lebih murah dan gampang
untuk diterapkan.
Upaya preventif ini lebih dikenal sebagai higiene personal. Tindakan
higiene personal ini mudah diucapkan tetapi terkadang sulit dilaksanakan. Salah
contoh dari tindakan ini seperti kebiasaan mencuci tangan, memakai alas kaki ke
tempat yang lembab dan mengganti baju secara periodik (Depkes 2007).
Upaya pencegahan penularan AI dilakukan dengan cara menghindari
bahan yang terkontaminasi tinja dan sekreta unggas, dengan tindakan sebagai
berikut :
Setiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran
cerna unggas harus menggunakan pelindung (masker, kacamata renang).
Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas seperti tinja harus
ditatalaksana dengan baik ( ditanam / dibakar) agar tidak menjadi sumber
penularan bagi orang disekitarnya.
Alat-alat yang dipergunakan dalam peternakan harus dicuci dengan
desinfektan.
Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan.
53
Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak pada suhu 80°C selama 1
menit, sedangkan telur unggas perlu dipanaskan pada suhu 64°C selama 5
menit.
Melaksanakan kebersihan lingkungan.
Melakukan kebersihan diri.
54
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Terjadi perkembangan kasus kejadian flu burung atau Avian Influenza di
Indonesia antar tahun 2003 hingga 2007 dilihat dari jumlah kasus,
penyebaran kasus dan jumlah korban meninggal baik pada manusia
maupun unggas.
2. Virus AI telah mengalami mutasi karena daya adaptasi terhadap inang
yang tinggi sehingga pada unggas yang sehatpun dapat memproduksi virus
dan merupakan sumber pencemar lingkungan.
3. Salah satu stategi pengendalian AI di Indonesia yaitu dengan pendirian
Komnas FBPI yang berperan sebagai koordinator semua kegiatan dalam
rangka menyukseskan Indonesia bebas AI 2008.
5.2. Saran
1. Perlunya dukungan regulasi yang kuat membantu pengumpulan data dan
survei kasus AI terutama untuk peternakan besar (sektor 1 dan 2 ), tanpa
melupakan kasus kejadian AI di peternakan rakyat (sektor 3 dan 4).
2. Peningkatan kesadaran masyarkat tentang sanitasi dan higiene dalam
rangka membentengi dari bahaya Avian Influenza (AI).
3. Peningkatan kerja sama semua lini (baik pemerintah, swasta, dan
masyarakat) dalam rangka menyukseskan Indonesia bebas AI 2008.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander DJ. 2000.A review of avian Influenza in different bird species. VetMicrobiol; 74:3-13
Annonymous. 2004a. Producing Polyclonal Antibodies : Advantages of UsingChicken Egg-derived IgY Antibodies. Gallus Immunotech Inc.
Annonymous. 2004b. Bird flu vaccine six months away: WHO. ABC News online24/01/2004.
Annonymous. 2005. Avian influenza infection in humans.http://www.avianflu.com.
Annonymous. 2006. Pandemic Avian Flu.http://www.pandemicflu.gov/
Annonymous. 2007. Pemeriksaan Flu Burung pada Manusia. http:\\ www.avianflu.com [18 April 2007]
Annonymous. 2007a. Avian Biotech International. http://medicineworld.org/images/blogs. [05 April 2007]
Annonymous. 2007b.What is Newcastle Disease. http://www.affa.gov.au/content/ND [06 April 2007].
Avellaneda GE, Villages P, Jackwood MW dan King DJ.1994. In vivo evaluationof pathogenicity of field isolates of infectious bronchitis virus. AvianDis. 38: 698-597.
Bagust TJ, Calnek BW, dan Fahey KJ. 1986. Herpesvirus Infection On Chiken. 3.Reinvestigation Of The Pathogenesis Of Infectious LaryngotracheitisIn Acute And Early Post-Acute Respiratory Disease. Avian Dis.30:179-190
Bano S, Naeem K, dan Malik SA. 2003. Evaluation of pathogenic potential ofavian influenza virus serotype H9N2 in chicken. Avian Dis; 47: Suppl:817-22.
Beigel JH, Farrar Jdan Han AM. 2005. Avian influenza (H5N1) infecttion inhumans. N Engl J Med. : 1374-1385.
Bridges CB, Keurhnet MJ dan Hall CB. 2003. Transmission of influenza :implecation for control in health care setting Clin Infect Dis.;37 : 1094– 1101.
56
Cameron B. 2003. St. Jude develops vaccine against potential pandemic influenzavirus H5N1 using reverse genetics.http://www.eurekalert.org/pub_releases/ 2003-04/sjcr-sjd040203.php
Cavanagh D dan Naqi SA. 1997. Infectious bronchitis. p.th 511-526. dalam:.Diseases of Poultry, 10th ed. Calnek BW (Editor). Iowa StateUniversity, Ames, IA.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention.2005. Influenza viruses, types,subtypes, and strains. http://www.cdc.gov/flu/avian/gen-info/flu-viruses.htm
______. 2007 http://www.cdc.gov/flu/avian/facts.htm Basic Information AboutAvian Influenza (Bird Flu). [30 Juni 2007]
______. 2007a. Transmission of Influenza A Viruses Between Animals andPeople. http://www.cdc.gov/. [30 Juni 2007]
______. 2007b. Avian Influenza Infection in Humans. http://www.cdc.gov/ [30Juni 2007].
Coleman MA. 2000. Using Egg Antibodis to Treat Diseases.. Sim JS, Nakai JS,dan Guenter W, penerjemah. Wallingford. UK. CABI Publish.Terjemahan dari: Egg Nutrition and Biotechnology
Coleman JR. 2007. The PB1-F2 protein of Influenza A virus: increasingpathogenicity by disrupting alveolar macrophages. Virology Journal.4:9 doi:10.1186/1743-422X-4-9
Cook JKA dan M.B. Huggins. 1986. Newly isolated serotypes of infectiousbronchitis virus: Their role in disease. Avian Pathol. 15: 129-138.
Copland JW. 1987. Newcastle Disease in poultry (a new Food Pellet Vaccine).Australian Centre for International Agricultural Research. Ramsayware printing: Melbourne.
Davelaar FG, Kouwenhoven B, dan Burger BA. 1984. Occurrence andsignificance of infectious bronchitis virus variant in egg and broilerproduction in Netherland. Vet.Quart. 6: 114-120.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2007.Waspada Flu Burunghttp://www.depkes.go.id [2 Juli 2007]
[Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia.2007. Laporan Dinas UPP-AIDepartemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta
57
[Ditjennak]Direktorat Jendral Peternakan. 2004. Populasi Peternakan Indonesia.Direktorat Peternakan Departemen Pertanian Republik IndonesiaJakarta
________. 2005. Bagaimana Terhindar dari Flu Burung(Avianinfluenza)Prosedur Operasi Standart Pengendalian Avian Influenza.Direktorat Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia.Jakarta
El-Houadfi MD, Jones RC, Cook JKA dan Ambali AG. 1986. The isolation andcharacterization of six avian infectious bronchitis viruses isolated inMorocco. Avian Pathol. 15: 93-105.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. Imbas Avian Influenzahttp://www.fao.org/avianflu/en/index.html [5 Juli 2007]
[FR] Federal Register. 2005.Wild bird :Avian influenza Federal Register Vol. 70,No. 20, 1 Februari 2005
[FKH IPB a]. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 2007 LaporanMonitoring Dan Evaluasi Program Pengendalian Avian Influenza PadaPeternakan Ayam Rakyat Di Kabupaten Sukabumi Dan Bogor . FKHIPB.
[FKH IPB b].Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 2007. LaporanPemetaan Dan Penyusunan Sistem Informasi Pengendalian PenyebaranAvian Influenza (AI) Di Banten. PT. Bogor Life Science AndTechnology (PT. BLST) bekerja sama dengan Dinas Pertanian DanPeternakan Provinsi Banten
Gary DB, David P, Richard D. Miles. 2007. The Veterinary Medicine-LargeAnimal Clinical Sciences Department, Florida Cooperative ExtensionService, Institute of Food and Agricultural Sciences, University ofFlorida. Original publication date May 1, 2002. Visit the EDIS WebSite at http://edis.ifas.ufl.edu.
Hampson RJ dan Zellen GK. 1973. Infectious Bronchitis in Chickens,Ministry ofAgriculture, Food and Rural Affair Ontario,US.
Hayden F dan Croisier A. 2005. Transmission of avian influenza viruses to danbetween humans. J Infect Dis;192: 1311-4.
Helm JD. 2007. Avian Flu. Universitas Clemson, US. http : // www.engormix.com
Herman RA dan Strock M. 2005. Possibel Pandemic Threat on the horizon-Avianinfluenza A (H5N1).World Drug Infor; 16(4) :1-4.
58
Hien TT, Liem NT, Dung NT, et al. 2004. Avian influenza A (H5N1) in 10patients in Vietnam. N Engl J Med; 350: 1179-1188.
Hoffmann E , Neumann G, Kawaoka Y, Hobom G, dan Webster RG. 2000. ADNA transfection system for generation of influenza A virus fromeight plasmids. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 97(11):6108-13.
[ICTV] International Committe on Taxonomy of Viruses. 2006. List of VirusesTaxonomy. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/Ictv/index.htm [2Desember 2006]
Infovet. 2005. Mendung Hitam Menyelimuti Bisnis Perunggasan.Majalah Infovetedisi VII tahun 2005.
Jordan FTW. 1990. Poultry Disease. edisi 3. Bailere Tindal: London,Philadelphia, Toronto, Sydney, Tokyo.
KalbeFarma. 2007. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/148_08AvianInfluenzaFlu-Burung.pdf/ 148_08AvianInfluenza FluBurung.html [10 April2007].
Kaye D dan Pringle CR. 2005. Avian influenza viruses and their implication forhuman health. ClinInfect Dis; 40: 108-12.
Keawcharoen J, Oraveerakul K, dan Kuiken T.2004. Avian influenza H5N1 intigers and leopards Emerg Infect Dis. : 2189-2191.
Klempner MS dan Shapiro DS. 2004.Crossing the species barrier – one small stepto man, one giant leap to mankind. N Engl J Med; 350: 1171-2. EpubFeb 25.
[Komnas FBPI]Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan KesiapsiagaanMenghadapi Pandemi Influenza. 2007. Laporan Bulanan : Juli 2007.Komnas FBPI.Jakarta.
_______. 2007a. Seputar Avian Influenza. http://www.komnasfbpi.go.id/glossary_ind.html [25 Juni 2007].
Kompas. 2007. 10 Tahun Virus H5N1 Memangsa Manusia. Harian Kompas 30Mei 2007
Koopmans M, Wilbrink B, dan Conyn M. 2004.Transmission of H7N7 avianinfluenza A virus to human beings during a large outbreak incommercial poultry farms in the Netherlands.Lancet; 363: 587-93
Krauss S, Walker D, Pryor SP, Niles L, Chenghong L, Hinshaw VS, Webster RG.2004.Influenza A viruses of migrating wild aquatic birds in NorthAmerica. Vector Borne Zoonotic Dis; 4: 177-89.
59
Krisnamurthi B. 2006.. Anggaran Pengendalian Flu Burung Meningkat pada 2007Harian Kompas edisi 29 Desember 2006 http://www.kompas.co.id/ver1/Kesehatan/061229/120621.htm
Kuiken T, Rimmelzwaan G, dan Van Riel D. 2004. Avian H5N1 influenza in cats.J Science. : 241.
Kandun IN, Wibisono H, Sedyaningsih ER, Yusharmen, dan Hadisoedarsuno W.2006.Three Indonesian clusters of H5N1 virus infection in 2005. NEngl J Med 355: 2186–2194
Marangon S, Capua I, Pozza G, Santucci U. 2004. Field experiences in the controlof avian influenza outbreaks in densely populated poultry areas. DevBiol (Basel); 119: 155-64.
McMartin DA.1993. Infectious bronchitis. dalam Incidence, Characterization andProphylaxis of Nephropathogenic Avian Infectious Bronchitis VirusesJ.B. MacFerran and M.S. MacNully ,editor. Vet. Rec. 120: 205-206.
[Mentan] Menteri Pertanian. 2007. Pidato Pengantar Rapat Kerja Dengan KomisiIV DPR RI 1 Februari 2007. Departen Pertanian. Jakarta.
Mount AW, Kwong H., dan Isureita HS. 1999.Case control study of risk factorsfor avian influenza A(H5N1) disease, Hongkong, 1997. J Infect Dis :505-508
Munch M, Nielsen LP, Handberg KJ dan Jorgensen PH.. 2001. Detection andsubtyping (H5 and H7) of avian type A influenza virus by reversetranscription-PCR and PCR-ELISA. Arch Virol, 146, 87-97.
Naipospos, TS. 2004. Berantas "Avian Influenza" dengan Vaksinasi - PilihanStrategi yang Tepat dan Benar, Kompas [23 Juni 2004].
Nidom CA. 2006. Kilas Balik Flu Burung. Harian Republika :29 Desember 2006
________. 2007. Vaksin H5N2 dan H5N9 Gagal Atasi Flu Burung.HarianRepublika: 25 Mei 2007
[OIE] Office Internationale des Epizooties. Terrestrial Animal Health Code.Chapter2.7.12.Avianinfluenza.http://www.oie.int/eng/normes/mcode/en_ chapitre _2.7.2.htm [05 April 2007]
________. 2005a. Update on Avian Influenza Viruses, Including HiglyPathogenic H5N1 from Poultry in live Bird Market in Hanoi, Vietnamin 2001. J Virol 79: 4201-4212
________. 2005b. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for TerrestrialAnimal. http://www.oie.int/eng/OIE/organisation/en_LR.htm. [1 Juni2006].
60
Payungporn S. Oraveerakul K, Amonsin A, dan Poovorawan Y. 2004. Single-StepMultiplex Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) for Influenza A Virus Subtype H5N1 Detection. Viral Immunol17: 588-593
Payungporn S, Phakdeewirot P dan Amonsin A. 2005. Single step multiplex real-time RT-PCR for H5N1 Influenza A Virus Detection. J Virol Methods
Payungporn S, Phakdeewirot P, Chutinimitkul S, Theamboonlers A, KeawcharoenJ, Oraveerakul K, Amonsin A, Poovorawan Y. 2004. Single-stepmultiplex reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR)for influenza A virus subtype H5N1 detection. Viral Immunol; 17: 588-93.
Perkins LE dan Swayne DE. 2002. Pathogenicity of a Hong Kong-origin H5N1highly pathogenic avian influenza virus for emus, geese, ducks, danpigeons. Avian Dis a; 46: 53-63.
Perkins LE dan Swayne DE. 2002. Susceptibility of laughing gulls (Larusatricilla) to H5N1 and H5N3 highly pathogenic avian influenzaviruses. Avian Dis ; 46: 877-85
Tabbu, Rangga. 2005. Kajian Avian Influenza UGM (Jawa Tengah, DIY danJawa Timur) 2005.Fakultas Kedokteran Hewan.Universitas GajahMada.Yogyakarta.
Reed WM. 1998.Infectious Laryngotracheitis, In Merck Veterinary Manual,National Publishing Inc. Eight , Philadelphia, p. 1982-1983
[Renstra] Rencana Strategis. 2005. Rencana Strategis Nasional Pengendalian FluBurung (Avian Influenza) Dan Kesiapsiagaan Menghadapi PandemiInfluenza 2006-2008. Jakarta
Santoso M, Herman S dan Hasanudin A. 2006. Avian Influenza (Flu Burung).Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UniversitasKristen Krida Wacana/ SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit UmumDaerah Koja.Jakarta
Shafer AL, Katz JB dan Eernisse KA. 1998. Development and validation of acompetitive enzyme-linked immunosorbent assay for detection of typeA Influenza antibodies in avian sera. Avian Dis.; 42: 28-34.
Soejoedono RD dan Handharyani E. 2005. Flu Burung. Jakarta Penebar Swadaya.
Suara Merdeka. 2007. Virus Flu Burung Cepat Menyebar lewat Kucing.SuaraMerdeka :29 Januari 2007
61
Sulistyo H.. 2006. Dampak Flu Burung Bagi Perkembangan Anak. Kompas CyberMedia.www.kompas.or.id [21 Maret 2007].
Swayne DE. 1998. Avian Influenza, Avian Paramyxovirus Infections, In MerckVeterinary Manual, National Publishing Inc. Eight ed, Philadelphia, p.1982-1983
Trobos. 2005. Flu Burung Meluluh-lantakan Peternakan Ungga Indonesia.Majalah Trobos. Edisi Maret 2005.
Ungchusak K, Auewarakul P, Dowell SF, Kitphati R, dan Auwanit W. 2005.Probable person-to-person transmission of avian influenza A (H5N1).N Engl J Med 352: 333–340
Webster RG, Bean WJ, Gorman OT, Chambers TM dan Kawaoka Y. 1992.Evolution and ecology of influenza A viruses. Microbiol Rev; 56: 152-79.
Webster RG, Peiris M, Chen H dan Guan Y. 2006. H5N1 outbreaks and enzooticinfluenza. EmergInfect Dis; 12: 3-8
[WHO] World Healt Organization. 2003. WHO manual on Animal Influenza.Diagnosis and Surveillance.www.who.int/vaccine_research/diseases/influenza/WHO_manual_on_animaldiagnosis_and_surveillance_2002_5.pdf
______. 2005. Avian Influenza A (H5N1) Infection in Humans. N Engl J Med.353:1374-1385.
______. 2006a. Avian influenza – epidemiology of human H5N1 cases reported toWHO. http://www.who.int/ [3 Juni 2007]
______. 2006b. Avian influenza http://www.who.int/csr/disease/avian_ influenza/en/ Avianinfluenza [3 Juni 2007]
______. 2006c. Indonesia holds avian influenza expert consultation.www.who.int/mediacentre/news/notes/2006/np14/en/index.html[20 Juni 2007]
______. 2007. Cumulative Number of Confirmed Human Cases of AvianInfluenza A/(H5N1) Reported to WHO. http://www. who.int/. [27 Juli2007]
______. 2007a. Avian influenza (" bird flu") - Fact sheet. http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs277/en/anInfluenza fact sheet. [3 Juni 2007]
62
______. 2007b. Avian influenza.http://www.who.int/csr/disease/avian_ influenza/guidelines/seasonal vaccine/en/print.html [3 Juni 2007].
______. 2007c. Cumulative Number of Confirmed Human Cases of AvianInfluenza A/(H5N1) Reported to WHO. http://www. who.int/. [27 Juli2007]
Wibawan IWT. 2007. Bedah Avian Influenza (AI) dalam Kajian Ilmiah. Materiseminar Stadium General : Bedah Avian Influenza (AI) dalam KajianIlmiah [24 Maret 2007].
Wikipedia. 2007a. Newcastle Disease.http://en.wikipedia.org/wiki/Newcastledisease. [10 April 2007].
________. 2007b.http://id.wikipedia.org/wiki/Kejadian_luar_biasa.[20 Juli 2007].
Wood JM 2005. Protection of Mice and Poultry from Lethal H5N1 AvianInfluenza Virus through Adenovirus-Based Immunization J Mikro10.1128/JI.80.4.
Zarkasie M. 2007. Kemungkinan Mutasi Virus AI. Harian Republika (18 Maret2007)
63
65
66
67
68