studi perbandingan teknik perburuan tradisional …

44
102 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional STUDI PERBANDINGAN TEKNIK PERBURUAN TRADISIONAL BABI HUTAN (SUS BARBATUS MULLER 1896) ANTARA SUKU DAYAK KENYAH DAN SUKU PUNAN DI KABUPATEN MALINAU Comparative Studies on Traditional Hunting of Bearded Pig (Sus barbatus Muller 1896) between Dayak Kenyah and Punan in Malinau District NDAN IMANG 1) , IMAN KUNCORO 2) DAN CHANDRADEWANA BOER 2) ABSTRACT The objectives of this research were to compare the technique of traditional hunting between Dayak Kenyah and Punan in Malinau District. Some aspects such as: techniques, tools and other aspects related to bearded pig hunting were investigated in this research. The research resulted that Punan hunters were more dominant using blowpipe as the tool for hunting, while Dayak Kenyah were more dominant using shotgun. Passive hunting tools were not longer used to catch bearded pig, neither by the Dayak Kenyah and Punan because of safety and effectiveness reasons. In the last 5 years (1997-2001), there was no significant change of improvement of the hunting tools, neither for Dayak Kenyah and Punan. It means that the big forest fire didn’t influence the hunting techniques of Dayak Kenyah and Punan. All of the hunting tools used by Dayak Kenyah and the Punan were not selective for killing the bearded pig. The tools were designed to kill bearded pig as many as possible and there was no mechanism to keep the sustainability of bearded pig. Kata kunci: Dayak Kenyah, Punan, alat berburu, lokasi, pantangan, babi menyeberang. _______ 1) Fak. Pertanian Unmul, Samarinda 2) Laboratorium Sosekbud Fahutan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Satwa Liar Fahutan Unmul, Samarinda

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

102 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

STUDI PERBANDINGAN TEKNIK PERBURUAN TRADISIONAL BABI HUTAN (SUS BARBATUS

MULLER 1896) ANTARA SUKU DAYAK KENYAH DAN SUKU PUNAN DI KABUPATEN MALINAU

Comparative Studies on Traditional Hunting of Bearded

Pig (Sus barbatus Muller 1896) between Dayak Kenyah

and Punan in Malinau District

NDAN IMANG1)

, IMAN KUNCORO2)

DAN

CHANDRADEWANA BOER2)

ABSTRACT The objectives of this research were to compare the technique of traditional hunting between Dayak Kenyah and Punan in Malinau District. Some aspects such as: techniques, tools and other aspects related to bearded pig hunting were investigated in this research. The research resulted that Punan hunters were more dominant using blowpipe as the tool for hunting, while Dayak Kenyah were more dominant using shotgun. Passive hunting tools were not longer used to catch bearded pig, neither by the Dayak Kenyah and Punan because of safety and effectiveness reasons. In the last 5 years (1997-2001), there was no significant change of improvement of the hunting tools, neither for Dayak Kenyah and Punan. It means that the big forest fire didn’t influence the hunting techniques of Dayak Kenyah and Punan. All of the hunting tools used by Dayak Kenyah and the Punan were not selective for killing the bearded pig. The tools were designed to kill bearded pig as many as possible and there was no mechanism to keep the sustainability of bearded pig. Kata kunci: Dayak Kenyah, Punan, alat berburu, lokasi, pantangan, babi menyeberang. _______ 1) Fak. Pertanian Unmul, Samarinda

2) Laboratorium Sosekbud Fahutan Unmul, Samarinda

3) Laboratorium Satwa Liar Fahutan Unmul, Samarinda

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 103

I. PENDAHULUAN

Pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur adalah habitat yang sesuai bagi kehidupan berbagai jenis binatang seperti banyak jenis primata, burung maupun mamalia lainnya. Salah satu jenis mamalia adalah babi hutan (Sus barbatus Muller 1896) karena masih tersedianya lingkungan hutan, khususnya hutan primer yang menyediakan banyak sumber makanan, seperti buah berbagai spesies pohon di hutan yang sangat disukai oleh babi hutan. Dengan semakin berkurangnya areal hutan khususnya hutan primer akibat adanya perambahan hutan secara tradisional maupun penebangan oleh pemegang HPH dan berbagai aktivitas pembangunan lainnya berakibat semakin sempitnya habitat dan hilangnya beberapa pohon yang buahnya secara alami merupakan makanan babi.

Adanya gangguan terhadap habitat dan sumber makanan pokok akan mempengaruhi pola hidupnya dan akan mencari jenis makanan lain dengan cara bermigrasi atau memangsa tanaman penduduk. Pada waktu tertentu cukup sulit mencari babi hutan, hal ini diduga disebabkan antara lain karena pengaruh musim buah yang bervariasi atau mungkin karena kerusakan habitatnya (Chin, 2000).

Suku Punan yang dimukimkan di beberapa lokasi yang aksesnya lebih mudah, namun ketergantungannya pada hutan seperti pola hidup sebelumnya masih melekat. Bagi Suku Dayak Kenyah yang lebih suka hidup menetap dan berkelompok dalam satu desa dan sebagian suku Punan yang sampai sekarang lebih memilih hidup nomaden di hutan dengan mengandalkan intuisi dan fisik untuk mencari makanan, khususnya binatang buruan, tentunya memiliki cara-cara tersendiri dalam hal berburu. Walaupun akhir-akhir ini sudah banyak suku. Karena pola makan khususnya sumber konsumsi daging banyak tergantung dari hasil buruan di mana cara berburu secara tradisional sudah dipelajari dan dikerjakan turun-temurun dari nenek moyang, maka masyarakat desa khususnya para pemburu sudah memiliki pengetahuan luas tentang teknik berburu yang baik. Colfer dkk. (1997) menyatakan, bahwa hasil survei terhadap 10 responden di Apau Kayan diketahui setiap responden membunuh rata-rata 32 ekor dalam setahun untuk konsumsi keluarga.

Beberapa pengetahuan berburu antara lain menentukan lokasi untuk berburu, waktu yang tepat berdasarkan pengetahuan astronomi tradisional, bagaimana pergerakan/migrasi babi hutan, perkiraan lokasi berburu berdasarkan buah hutan sebagai makanan babi, serta beberapa pengetahuan tradisional berdasarkan tanda-tanda dari alam dipelajari berdasarkan pengalaman. Dengan adanya pengaruh dari luar dan modernisasi, maka cara berburu tentunya juga mengalami perubahan, baik dalam cara maupun alat yang dipakai. Jika dahulu pemburu hanya memakai sumpit dengan anak sumpit yang beracun, jerat kaki, tombak atau kombinasi tombak dengan anjing pemburu, maka sekarang sudah ada yang memakai senjata api rakitan. Perkembangan penggunaan alat ini tentunya juga akan berpengaruh

104 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

pada hasil buruan maupun keberadaan binatang buruan di tempat yang biasa dipakai untuk berburu, khususnya babi. Misalnya, memakai anjing pemburu merupakan cara yang mudah namun kurang selektif karena anjing akan membunuh anak babi yang masih sangat kecil sedangkan kalau dengan senjata api dapat lebih lebih selektif.

Teknik berburu antara kedua suku perlu dipelajari karena berburu itu sendiri memiliki banyak aspek selain hanya sekedar memenuhi kebutuhan akan daging. Ada nuansa sportifitas dan petualangan, aspek rekreasi, sosial ekonomi dan budaya, aspek-aspek kelestarian dan banyak menggunakan tanda-tanda alam, baik binatang, tumbuhan, geografi dan pengetahuan astronomi tradisional untuk keberhasilan perburuan. Banyak aspek tersebut menyebabkan perburuan tradisional antara kedua suku ini perlu dikaji secara lebih mendalam. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji dan membandingkan cara-cara tradisional perburuan babi hutan, ditinjau dari aspek cara (strategi) berburu, teknologi (alat) yang digunakan, perkembangan cara berburu (perubahan penggunaan alat-alat), kearifan tradisional atau peraturan adat dalam menjaga kelestariannya.

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan teknik dan cara berburu suku Dayak Kenyah dan Punan dapat diketahui secara lebih lengkap sehingga dapat dipertimbangkan penggunaan alat yang lebih efektif. Dengan diketahuinya cara dan teknik berburu kedua suku tersebut, dapat diambil langkah-langkah pembinaan, baik dari aspek sosial budaya maupun ekonomi. Selain itu dapat memberikan masukan bagi peneliti lain yang akan meneliti lebih lanjut tentang perburuan tradisional khususnya babi hutan.

II. METODE PENELITIAN

A. LOKASI, WAKTU DAN OBJEK PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di areal Bulungan Research Forest (BRF)

CIFOR, di Kabupaten Malinau. Pengumpulan data primer dilakukan di 4

desa, masing-masing 2 desa yang dihuni oleh Dayak Kenyah dan 2 desa

yang dihuni oleh suku Punan. Desa Tanjung Nanga sendiri dihuni oleh dua

suku yaitu suku Kenyah dan Punan. Secara administratif, kedua desa

tersebut adalah satu, namun lokasi suku Punan dibuat terpisah dengan suku

Kenyah yang sudah lebih dahulu menetap di desa tersebut. Keempat desa

yang dipilih sebagai lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah

ini.

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 105

Tabel 1. Desa-desa lokasi penelitian

Nama Desa Suku Keterangan

Tanjung Nanga

Tanjung Nanga

Kenyah Lepo’ Pua’

Punan

Sejak 1974

Dimukimkan 1998

Long Loreh Kenyah Lepo’ Ke Sejak 1972

Bila Bekayuk Punan Resettlement penduduk 1982

Sembuak Punan Resettlement penduduk 1974

Waktu yang diperlukan untuk penelitian ini sekitar 4 bulan terdiri

atas persiapan, pengumpulan data pada responden dan masuk hutan bersama

dengan para pemburu untuk melihat secara langsung alat dan teknik serta

cara berburu yang digunakan serta situasi daerah yang biasa dipakai untuk

berburu dan mengidentifikasi beberapa jenis makanan babi.

Objek penelitian adalah para pemburu, khususnya pemburu babi

hutan dari suku Dayak Kenyah dan Punan di 4 desa di Kabupaten Malinau.

Jumlah responden adalah 21 orang suku Dayak Kenyah dan 25 orang suku

Punan sehingga keseluruhannya mencapai 46 orang yang terdiri atas Dayak

Kenyah Tanjung Nanga 11, Dayak Kenyah Loreh 10, Punan Tanjung Nanga

10, Punan Bila Bekayuk 9 dan Punan Sembuak 6 orang. Selain pemburu-

pemburu aktif sebagai responden, terdapat juga 6 orang responden lainnya

yang dipilih secara purposive sebagai narasumber di setiap desa. Karena

jumlah orang yang masih aktif berburu dalam satu desa tidak terlalu banyak,

maka responden dipilih 100 % dari pemburu aktif yang memenuhi kriteria

berikut: i) frekuensi berburu paling sedikit satu kali dalam 2 bulan, ii)

memakai alat berburu yang biasa digunakan untuk membunuh atau

menangkap babi, iii) melakukan fungsi-fungsi mencari, mengejar dan

membunuh pada waktu berburu (Puri, 1999), dengan demikian, seseorang

yang hanya sekedar memasang jerat untuk menangkap babi tidak

dimasukkan sebagai responden, karena ketiga fungsi tersebut tidak

terpenuhi.

B. PROSEDUR PENELITIAN

Persiapan pertama adalah orientasi di CIFOR Bogor selama 3 hari

untuk berdiskusi dengan beberapa pihak yang terkait dalam penelitian ini

(staf dari pihak CIFOR) yaitu Dr. Patrice Levang, Dr. Douglas Sheil dan Dr.

Lini Wollenberg. Materi yang didiskusi dalam pertemuan dengan pihak

CIFOR tersebut adalah penentuan desa-desa yang akan dijadikan lokasi

penelitian dengan mempertimbangkan beberapa hal, memperbaiki daftar

pertanyaan (kuesioner), mendapatkan gambaran umum lokasi penelitian,

menentukan jadwal keberangkatan ke lapangan, serta mendiskusikan

beberapa hal yang perlu mendapat perhatian peneliti selama di lapangan.

106 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

Sumber-sumber data dalam penelitian ini ada tiga yaitu responden (pemburu aktif), beberapa tokoh masyarakat yang mengetahui banyak aspek berburu (key informants) dan peninjauan langsung di lapangan. Data yang diperlukan yaitu: perubahan alat berburu yang digunakan, jumlah anggota tim, jarak berburu, frekuensi, lama berburu, sarana yang dipakai, asesoris, mekanisme, teknik-teknik berburu, penentuan lokasi, pengetahuan tentang tanda-tanda alam dalam menentukan lokasi dan data lain yang berhubungan. Beberapa narasumber (key informants) juga diperlukan yang umumnya orang-orang tua di desa yang mengerti dan mengetahui banyak aspek tentang kegiatan berburu. Survey dilakukan langsung di hutan. Pembantu lokal, terutama pemburu bersama-sama dengan peneliti masuk ke beberapa lokasi yang selama ini dipakai untuk berburu untuk mengamati secara langsung situasi dan praktek berburu di lapangan. Dalam bermigrasi (umumnya siklus tahunan), babi diduga selalu memakai jalur/punggung gunung maupun titik penyeberangan yang sama dengan jalur migrasi sebelumnya (jika menyeberang sungai), sehingga hal ini perlu diamati di lapangan dan dideskripsikan.

C. ANALISIS DATA Data dari hasil wawancara dengan responden yang bersifat kualitatif

dianalisis secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif dianalisis secara matematis dengan persentase. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan key informant adalah data yang bersifat kualitatif. Data tersebut juga dianalisis secara deskriptif. Informasi yang menunjukkan adanya perbedaan maupun persamaan dalam segala aspek berburu suku Dayak Kenyah dan Punan ditampilkan dalam bentuk deskripsi maupun nilai persentase.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di 4 desa yang dihuni oleh suku Dayak Kenyah dan Punan. Desa-desa yang dihuni oleh suku Dayak Kenyah adalah Tanjung Nanga dan desa Loreh. Desa-desa yang dihuni oleh suku Punan adalah Punan Tanjung Nanga, desa Bila Bekayuk dan desa Mabung di resettlement pendududuk Sembuak. Semua desa tersebut terletak dalam DAS Malinau, Kecamatan Malinau, Kabupaten Malinau. Jarak antara desa-desa tersebut belum diketahui secara pasti, namun jika jarak antar desa ini diukur dengan jarak tempuh dengan ketinting berkekuatan 5 PK dimulai

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 107

dari desa yang paling hilir, diperoleh perkiraan jarak sebagai berikut: dari Desa Mabung Respen Sembuak ke Desa Loreh dan Bila Bekayuk (10 jam), dari Loreh ke Tanjung Nanga (2 jam). Jika memakai kendaraan mobil, dari Malinau ke Loreh dan Bila Bekayuk diperlukan waktu 3 jam (kurang lebih 60 km), dan dari Loreh ke Tanjung Nanga (melalui jalan logging) satu jam. Desa-desa tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian didasarkan atas saran dan pertimbangan dari pihak CIFOR (Center for International Forestry Research) Bogor, karena dianggap dapat mewakili keberadaan suku Kenyah dan Punan yang ada di sungai Malinau, khususnya di daerah penelitian CIFOR. Deskripsi singkat tentang lokasi penelitian dapat dilihat pada uraian di bawah ini. 1. Desa Tanjung Nanga: Menurut Devung (1997), desa Tanjung Nanga terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Malinau pada posisi 2

o54’ LU–

2o58’ LU dan 116

o11 BT–116

o15’ BT, dengan batas-batas sebagai berikut:

sebelah utara Desa Langap, sebelah selatan Desa Long Jalan, sebelah timur Desa Paya Seturan dan sebelah barat Desa Mirau. Desa Tanjung Nanga ini dihuni oleh suku Kenyah dari sub-etnis Pua’ yang berasal dari hulu sungai Bahau dan juga suku Punan yang berasal dari pemukiman hulu Malinau. Walaupun satu administrasi dengan desa Tanjung Nanga, namun lokasi rumah-rumah suku Punan dibangun berkelompok, terpisah sebelah hulu dari suku Kenyah. Suku Kenyah ini melakukan perpindahan dari hulu sungai Bahau Kecamatan Pujungan pada tahun 1964 dan mulai menetap di desa Tanjung Nanga pada tahun 1974. Populasinya pada saat ini adalah 456 jiwa yang terbagi dalam 104 KK, sedangkan suku Punan terdiri dari 26 KK atau 101 jiwa. Suku Punan mulai menetap di desa ini pada tahun 1998/1999 melalui proyek pemukiman masyarakat terasing dari Departemen Sosial, setelah desa asal Long Jalan, di hulu sungai Malinau disapu bersih oleh banjir besar akhir tahun 1998. Kegiatan utama perekonomian suku Kenyah di Tanjung Nanga umumnya adalah berladang dan bersawah, sebagian kecil adalah guru-guru SD (9 orang) dan pedagang. Di desa ini terdapat lahan berladang yang relatif luas dan suatu hamparan lahan yang cukup cocok untuk bersawah tadah hujan (300 ha) sehingga hasil dari padi ladang dan sawah selalu mencukupi kebutuhan akan beras. Kelebihan konsumsi beras umumnya dijual pada beberapa perusahaan kayu yang ada di sekitar desa atau perusahaan batu bara BDMS (Bara Dinamika Muda Sukses) di Loreh. Dari seluruh responden yang diwawancarai, tidak ada seorangpun yang menjadikan berburu sebagai pekerjaan pokok. Kegiatan berburu hanya merupakan pekerjaan sampingan jika kegiatan ladang atau kegiatan pokok lainnya tidak terlalu menyita waktu. Alasan yang dikemukakan mengapa kegiatan berburu tidak dapat dijadikan sumber penghasilan utama, adalah karena babi itu bersifat musiman dan nilai jualnya murah karena akses ke pasar juga sulit. Karena bersifat musiman, maka pada bulan atau tahun tertentu sangat sulit mencari babi walaupun sudah berburu di lokasi yang

108 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

sangat jauh dari desa, dan pada musim babi harganya juga murah karena pembelinya kurang. Kehidupan suku Kenyah memang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berburu, khususnya berburu babi karena memang daging babi memiliki arti tersendiri dalam kehidupan masyarakat, khusus dalam menyambut acara atau upacara penting dalam keluarga maupun dalam kampung, seperti acara pernikahan, menyambut kelahiran seorang bayi, dan upacara adat lainnya. Untuk mengantisipasi keadaan di mana babi menghilang (bukan musim babi), hampir semua responden (90 %) memelihara babi peliharaan sekitar 1–5 ekor di belakang rumah masing-masing. Selain untuk kebutuhan sendiri, babi peliharaan ini juga dijual pada yang membutuhkan dengan harga Rp15.000–20.000/kg. Seperti halnya suku Kenyah, suku Punan juga sudah melakukan kegiatan-kegiatan pertanian seperti ladang dan berkebun. Menurut Devung (1997), karena ladang suku Punan terletak di daerah yang agak bergunung dan relatif sempit maka hasil ladang sering tidak mencukupi kebutuhan keluarga dalam setahun. Untuk itulah suku Punan selalu menanam singkong (Manihot utilissima) di ladang, di kebun tersendiri bahkan di sekitar rumah. Hampir setiap rumah suku Punan di Tanjung Nanga memiliki kebun singkong di sekitar rumah atau dekat rumah dengan luas bervariasi antara sekitar 5x10 m atau 10x15 m. Luas ladang tidak diketahui dengan pasti, namun dari jumlah benih yang dipakai sekitar 2–4 kaleng, berarti luas ladang berkisar 0,5–0,75 ha. Kegiatan menanam singkong ini ternyata bukan hanya sekedar pengganti beras semata. Alasan yang lebih penting adalah karena memang suku Punan sangat senang makan singkong terutama pada waktu mereka mendapatkan babi sebagai lauknya. Jika satu keluarga mendapat babi, maka keluarga tersebut tidak lagi memasak nasi, tetapi mengambil singkong di kebun sendiri dan memasaknya dicampur dengan babi yang dipotong besar-besar. Ini adalah cara masak dan makan suku Punan jika sudah mendapatkan daging babi. Setiap keluarga memiliki tidak kurang dari 3 kebun singkong yang tersebar di beberapa tempat baik di dekat rumah maupun di bekas ladang. Luasnya bervariasi antara 150–500m

2.

Kegiatan mencari gaharu yang dalam bahasa Punan disebut “ngusa” merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suku Punan di Tanjung Nanga. Setelah menanam di ladang, biasanya suku Punan masuk hutan untuk mencari gaharu selama beberapa minggu. Ada juga beberapa keluarga yang masuk hutan bersama seluruh anggota keluarga (mufut), pada waktu musim buah. Pada musim buah ini, mereka beranggapan bahwa akan banyak babi maupun binatang pemanjat seperti wak-wak di hutan serta banyak buah-buahan hutan yang dapat dimakan langsung. Karena sering meninggalkan desa maka tidak seorangpun suku Punan yang memelihara babi piaraan di rumah. Berburu langsung di hutan dianggap lebih praktis dibandingkan

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 109

kalau memelihara yang memerlukan waktu lama dan menuntut keberadaan pemiliknya selalu tinggal di rumah.

2. Desa Loreh: Desa ini terletak di bagian hilir desa Tanjung Nanga,

didiami oleh suku Kenyah dari sub-suku Lepo’ Ke. Desa ini dapat dicapai

dari Ibukota Kabupaten Malinau melalui jalan darat dengan waktu tempuh 3

jam, atau dengan ketinting 10 PK sekitar 10 jam (kalau air sungai tidak

surut). Desa ini berpenduduk 160 jiwa yang terbagi dalam 45 KK, dengan

batas-batas sebagai berikut: sebelah utara Desa Langap, sebelah timur Desa

Gong Solok, sebelah selatan Desa Bila Bekayuk dan sebelah barat Desa

Sengayan. Desa Loreh mulai dihuni oleh suku Lepo’ Ke yang berasal dari

bagian hulu Sungai Bahau dan sungai Ngiam di Kecamatan Pujungan pada

tahun 1963 dan diresmikan sebagai desa definitif pada bulan Oktober 1972. Keadaan perekonomian masyarakat tidak berbeda dengan suku Kenyah yang berada di Tanjung Nanga, yaitu hidup dari pertanian ladang, berburu dan meramu hasil hutan. Sekitar 90 % pekerjaan pokok penduduk adalah petani ladang, sisanya bekerja sebagai karyawan perusahaan HPH yang ada sekitar desa atau karyawan perusahaan batubara seperti PT John Holland dan BDMS (Bara Dinamika Muda Sukses) yang letaknya base-camp nya sekitar 500 m dari desa. Jika dibandingkan dengan desa tetangganya yaitu Bila Bekayuk yang didiami suku Punan yang berasal dari hulu sungai Tubu, maka suku Kenyah ini lebih dominan dalam kegiatan pertanian, sebaliknya suku Punan lebih dominan dalam kegiatan mencari gaharu (ngusa gaharu). Keberadaan perusahaan-perusahaan ini juga telah mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat, baik dampak positif maupun negatifnya. Dampak positifnya adalah terserapnya tenaga kerja lokal dan tempat penjualan hasil-hasil pertanian dan hasil berburu, terbukanya isolasi dengan Ibukota Kabupaten Malinau, tersedianya transportasi dengan truk menuju ke ladang. Dampak negatif yang paling banyak dikeluhkan masyarakat adalah polusi debu yang berterbangan siang dan malam yang menyebabkan masyarakat banyak menderita sesak nafas dan batuk, tercemarnya beberapa anak sungai, serta semakin menjauhnya binatang buruan dari desa, khususnya babi hutan karena bunyi berisik dan bising alat berat. 3. Desa Bila Bekayuk: Desa ini dihuni oleh suku Punan yang berasal dari hulu sungai Tubu, merupakan gabungan dari dua desa yang berasal dari Long Bila dan sungai Bekayuk, anak sungai Tubu. Karena sulitnya pembinaan dari pemerintah terhadap suku Punan yang berada di hulu sungai Tubu yang terisolasi, maka pemerintah melalui program resettlement penduduk pada tahun 1982 memindahkan sebagian penduduk ke suatu lokasi yang berdekatan, boleh dikatakan satu lokasi dengan Desa Loreh dan Desa Pelencau. Penduduk desa ini berjumlah 28 KK atau 224 jiwa.

110 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

Pekerjaan pokok masyarakat desa Bila Bekayuk adalah bertani ladang. Pekerjaan sampingan terbanyak adalah mencari gaharu. 4. Desa Mabung (Respen Sembuak): Seperti halnya desa Bila Bekayuk yang dihuni oleh suku Punan melalui resettlement penduduk, penduduk desa Sembuak adalah juga suku Punan yang dimukimkan melalui resttlement penduduk pada tahun 1974. Warga desa ini dulunya berasal dari desa Mabung di hulu Sungai Tubu. Karena sulitnya pembinaan dari pemerintah karena letaknya yang berada jauh di hulu Sungai Tubu (8 jam perjalanan dengan ketinting) maka pemerintah daerah memukimkan mereka di tempat yang sekarang ditempati. Respen Sembuak ini terdiri dari 4 desa suku Punan, yang mana nama-nama desa tersebut diambil dari nama daerah asal sebelum dipindahkan ke respen Sembuak. Desa-desa tersebut adalah Desa Mabung terdiri dari 23 KK (89 jiwa), desa Long Nit (198 jiwa), desa Menabur Besar (84 jiwa), desa Menabur Kecil (84 jiwa) dan desa Long Pangin (109 jiwa). Pekerjaan pokok masyarakat setempat adalah pertanian ladang dan sawah tadah hujan.

B. RESPONDEN Dari 46 responden, tidak satu pun yang dapat mengandalkan

hidupnya hanya dari hasil berburu. Berburu hanya merupakan pekerjaan sampingan di antara beberapa pekerjaan sampingan lainnya. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan bagaimana proporsi berburu sebagai pekerjaan sampingan di antara pekerjaan sampingan lainnya, baik pada suku Kenyah maupun Punan.

Tabel 2. Jumlah responden yang melakukan pejkerjaan pokok (PP) dan

sampingan (PS). (Angka di dalam tanda kurung dalam %)

Pekerjaan Kenyah Punan Kenyah + Punan

PP tani ladang 19 (90,48) 25 (100) 44 (95,65)

PP lainnya 2 (9,52) 0 (0) 2 (4,35)

PS berburu 15 (71,43) 7 (28,00) 22 (47,83)

PS berburu + gaharu 4 (19,05) 18 (72,00) 22 (47,83)

PS lainnya 2 (9,52) 0 (0) 2 (4,34)

Pada suku Kenyah, pekerjaan pokok tani ladang dilakukan oleh 19

responden (19/21x100 % = 90,48 %) dan pekerjaan pokok lainnya,

misalnya guru dan karyawan 2 responden (9,52 %). Pekerjaan sampingan

hanya berburu saja 15 responden (71,43 %), pekerjaan sampingan berburu

ditambah usaha lain 4 responden (19,05 %) dan pekerjaan sampingan

lainnya 2 responden (9,52 %).

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 111

Pada suku Punan, pekerjaan pokok sebagai petani ladang adalah 100

%, pekerjaan sampingan sebagai pemburu saja 7 orang (28 %) dan

pekerjaan sampingan sebagai pemburu sekaligus sebagai pencari gaharu

(mengusa gaharu) sebanyak 18 responden (72 %). Jadi terlihat bahwa

sebagian besar responden dari suku Punan adalah juga pencari gaharu,

sedangkan pada suku Kenyah tidak ada yang mencari gaharu.

Secara keseluruhan, pekerjaan pokok sebagai petani ladang adalah

44 responden (95,65 %) diikuti oleh pekerjaan pokok lainnya 2 responden

(4,35 %). Pekerjaan sampingan sebagai pemburu dilakukan oleh 22

responden (47,83 %), pekerjaan sampingan berburu dan mencari gaharu 22

responden (47,83 %) serta pekerjaan sampingan lainnya 2 orang (4,34 %).

Pada Tabel 2 juga terlihat, bahwa pekerjaan pokok sebagian besar

suku Kenyah dan Punan adalah berladang. Namun jika dilihat dari

pekerjaan sampingan, ternyata pekerjaan sebagai pemburu pada suku

Kenyah jauh lebih besar daripada Punan, sementara pekerjaan sampingan

suku Punan sebagai pemburu (baik berburu babi maupun binatang yang

mengandung batu guliga) dan mengusa gaharu jauh lebih besar daripada

suku Kenyah.

Jika dilihat dari latar belakang keberadaan suku Kenyah dan Punan,

memang hal tersebut wajar terjadi karena suku Kenyah sudah terlebih

dahulu mengenal cara berladang dibandingkan dengan suku Punan yang

sebelumnya hidup di lokasi yang terpencil. Hal ini sesuai dengan Inoue dkk.

(1991) yang menyatakan, bahwa kebanyakan suku Punan baru mulai

mengenal cara berladang pada tahun 1980-an. Karena lokasi tempat tinggal

yang selalu dekat dengan hutan, maka ketergantungan suku Punan terhadap

ekstraksi hasil hutan menjadi sangat besar. Sebagai contoh adalah kebiasaan

mufut bagi suku Punan (Inoue dkk., 1991) yaitu kepala keluarga bersama

sebagian atau seluruh anggota keluarga masuk hutan, khususnya pada

musim buah-buahan dengan maksud untuk menghidupi keluarga dari hasil

hutan sekaligus memburu batu guliga yang dijual kepada pembeli dari luar

dengan harga Rp250.000/gram, jauh lebih mahal daripada harga emas.

Dengan adanya mufut ini maka pertanian ladang menjadi tidak

berkesinambungan karena sering ditinggalkan dalam waktu yang cukup

lama.

Walaupun suku Punan sudah dimukimkan melalui resettlement

penduduk dan bersatu dengan suku Kenyah dalam satu lokasi desa, namun

kelihatannya kebiasaan untuk masuk hutan dalam waktu yang lama belum

dapat ditinggalkan. Karena harga kayu gaharu maupun guliga cukup

menggiurkan, maka pekerjaan ini menjadi alternatif kedua setelah ladang

untuk menghidupi keluarga.

112 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

C. PENGALAMAN BERBURU RESPONDEN

Yang dimaksud dengan pengalaman berburu responden adalah: umur rata-rata responden, sejak umur berapa mulai berburu, sudah berapa lama berburu. Dari 21 responden suku Kenyah diketahui bahwa umur rata-rata adalah 39 tahun, mulai berburu sejak umur 22 dan sudah berpengalaman berburu selama 16 tahun. Sementara dari 25 responden suku Punan diketahui bahwa umur rata-rata pemburu adalah 42 tahun, mulai aktif berburu sejak umur 22 tahun, dan sudah memiliki pengalaman berburu sekitar 20 tahun. Akhir-akhir ini terlihat adanya suatu kecenderungan meningkatnya minat berburu generasi muda suku Kenyah di Tanjung Nanga dan Loreh, khususnya bagi yang memakai senjata api. Bagi anak muda suku Kenyah, memiliki senjata api adalah suatu kebanggaan tersendiri karena dianggap merupakan lambang kedewasaan sekaligus sebagai alat mempertahankan diri maupun untuk mencari binatang buruan.

D. ALAT-ALAT BERBURU Alat-alat berburu yang digunakan oleh suku Kenyah dan Punan, pada

prinsipnya tidak jauh berbeda, bahkan dapat dikatakan bahwa peralatan yang digunakan sama. Hal ini disebabkan karena pemakaian suatu alat tertentu selalu diikuti atau ditiru oleh suku lainnya yang sejak zaman dahulu memang hidup di hutan dan sumber kehidupannya banyak tergantung dari hasil hutan, khususnya binatang buruan. Pada Tabel 3 berikut dapat dilihat peralatan berburu yang digunakan oleh suku Kenyah dan Punan di 4 desa yang menjadi lokasi penelitian. Tabel 3. Jumlah responden suku Kenyah dan Punan yang menggunakan

alat-alat utama untuk berburu. (Angka di dalam tanda kurung dalam %)

Nama alat Kenyah Punan Kenyah + Punan

Anjing (saja) 6 (27,27) 15 (62,50) 21 (45,65)

Anjing + senjata 4 (18,18) 2 (8,33) 6 (13,04)

Senjata api (saja) 10 (50,00) 0 (0) 10 (23,91)

Sumpit (saja) 0 (0) 6 (25,00) 6 (13,04)

Anjing + senjata + sumpit 1 (4,55) 0 (0) 1 (2,17)

Anjing + sumpit 0 (0) 2 (8,33) 2 (4,35)

Jumlah 21 (100) 25 (100) 46 (100)

Pada Tabel 3 terlihat, bahwa tidak ada responden yang menggunakan

tombak, jerat kaki, ranjau (belatik) karena beberapa alasan antara lain kemampuannya yang sangat terbatas, mengancam keamanan pemburu lain,

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 113

keamanan masyarakat luas maupun keamanan anjing pemburu. Sudah ada beberapa contoh di masa lampau yang mana ranjau (belatik) memakan korban nyawa manusia sehingga secara adat sudah dilarang. 1. Tombak: disebut juga bujak atau “nyatap” oleh suku Kenyah dan Punan. Alat ini terbuat dari sebilah besi berkualitas baik sepanjang 15–25 cm dengan lebar 3–6 cm. Bagian pangkalnya dibuat lebih tebal dengan maksud agar tidak bengkok pada saat digunakan untuk membunuh binatang buruan. Besi ini kemudian dikaitkan atau diikatkan pada sebatang kayu yang keras sebagai kayu peluncurnya (tongkatnya), umumnya dari anakan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) atau kayu yang lebih ringan tapi kuat yaitu “sanam betan” (Anacardiaceae) dengan ukuran panjang sekitar 2 m dan diameter 2–3 cm. Bentuk dan ukuran tombak ini sangat bervariasi, sesuai dengan jenis pemanfaatan alat tersebut. Jika tombak ini khusus digunakan untuk “mengusiq” (berburu tidak dengan anjing), maka ukuran besi tersebut dibuat lebih panjang dan lebar namun lebih tipis, sisi depan dan kiri-kanan tajam, sedangkan kayu peluncurnya lebih langsing, lebih panjang dan dibuat dari kayu dengan berat jenis lebih ringan namun cukup kuat dan lentur. Maksud dari teknik-teknik tersebut di atas adalah agar tombak itu mudah diluncurkan dari jarak yang jauh dari binatang buruan (15–30 m), meluncur lurus ke sasaran dengan tepat dan daya bunuhnya lebih tinggi karena luka akan lebih besar dan dalam. Kesempatan membunuh binatang buruan hanya satu kali dengan alat ini. Kalau tidak kena pada kesempatan pertama, maka kemungkinan besar buruan lepas. Kadang-kadang ujung besi dari alat ini dibubuhi racun untuk meningkatkan daya bunuhnya, namun akhir-akhir ini cara tersebut hampir tidak digunakan lagi karena kesulitan mendapatkan racun berkualitas tinggi maupun alasan kesehatan bagi yang memakan daging hasil buruan. Jika tombak ini akan digunakan sebagai pelengkap dari berburu dengan anjing maka bagian yang terbuat dari besi dibuat lebih tebal atau lebih kokoh, hanya bagian depan saja yang dibuat tajam sedangkan sisi kiri-kanan tidak perlu tajam, kayu peluncurnya harus terbuat dari kayu keras. Hal ini untuk menghindari pemburu dari bahaya pada saat berhadapan dengan binatang buruannya, misalnya babi. Pada saat binatang buruan terdesak oleh anjing dan bertahan disuatu tempat untuk melawan anjing (Kenyah = nekukung, Punan = logan) maka jarak pemburu dengan binatang buruan hanya sekitar 5 m. Jika pada saat itu tongkat tombaknya patah berarti jiwanya dapat terancam oleh serudukan dan gigitan, khususnya taring binatang buruan. Tombak ini dapat dibuat dalam berbagai variasi sesuai dengan tujuan pemanfaatannya, misalnya jika digunakan untuk menunggu babi berenang (babui nyatung) maka ujung besinya dibuat seperti kait sehingga begitu ditancapkan tidak bisa terlepas lagi dan pada pangkal peluncurnya dipasang tali dengan pelampung sehingga binatang buruannya tidak lepas dan babi yang terbunuh tidak tenggelam dalam sungai.

114 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

Tombak pada umumnya berfungsi sebagai alat untuk membunuh babi yang sudah terdesak atau keletihan ketika diburu oleh anjing, atau membunuh babi pada saat menghadang babi menyeberang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Uluk dkk. (2001) bahwa alat-alat yang boleh digunakan untuk membunuh babi yang sedang menyeberang sungai adalah tombak dan parang. Menurut beberapa narasumber dan responden, dengan adanya perubahan lingkungan hutan akibat kegiatan manusia maka binatang khususnya babi hutan semakin langka dan liar sehingga semakin sulit untuk membunuh babi hanya dengan tombak saja. Memang masih ada sebagian orang yang menggunakan tombak saja untuk berburu, tetapi terbatas hanya pada saat menunggu babi berenang yang mana frekuensinya semakin berkurang dan lokasinya semakin jauh dari desa. 2. Sumpit: Alat ini merupakan alat berburu yang serbaguna dan mudah digunakan oleh siapa saja dengan latihan rutin. Bagi suku Punan khususnya, yang memang terkenal handal dalam menggunakan alat ini, teknik-teknik pemakaian sumpit khususnya seperti latihan pernapasan, cara membidik dan menyusup di tengah hutan sudah diajarkan pada anak laki-laki sejak umur 10 tahun. Bahan untuk membuat sumpit adalah kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), kayu bitung (Garcinia mangostana) atau kayu balet (Dipterocarpaceae). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Uluk dkk. (2001) bahwa kayu yang baik untuk sumpit adalah kayu bitung dan ulin. Berdasarkan pengalaman seorang pemburu suku Punan yang berpengalaman puluhan tahun, kayu ulin lebih disukai dibandingkan kayu lainnya karena dalam perjalanan jauh, misalnya berburu sepanjang hari, kayu ini tidak licin kalau terkena keringat yang keluar dari gesekan telapak tangan dengan sumpit. Kalau terbuat dari kayu bitung, sumpitnya akan menjadi licin kalau terkena keringat sehingga kurang akurat pada waktu membidik sasaran. Teknik pembuatan satu sumpit cukup rumit dan memerlukan suatu keahlian khusus, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat membuat sumpit dengan kualitas bagus. Sumpit buatan suku Punan dianggap lebih baik dibandingkan dengan buatan suku Kenyah karena memang suku Punan-lah yang mengklaim pertama kali membuat sumpit dan banyak terlibat dalam pemanfaatan sumpit. Menurut seorang tokoh masyarakat Punan di desa Bila Bekayuk, Bare’ Tangga, satu sumpit yang bagus dapat diselesaikan dalam jangka waktu 2 minggu dengan harga Rp500.000–1.500.000. Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran sumpit yang ideal adalah panjangnya berkisar antara 1,5–2 m. Jika sumpit lebih pendek dari 1 m, maka hembusan angin lebih lemah atau kurang kencang dan jika terlalu panjang juga tidak baik karena tidak fleksibel dibawa di dalam hutan. Sebuah sumpit yang baik juga harus dikombinasikan dengan beberapa aksesoris lainnya yaitu anak sumpit (langan), gabus atau “piping” dan racun atau “salo’”. Anak sumpit (langan) biasanya dibuat dari bagian

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 115

yang keras/kulit pelepah daun talang “buo’” (Arenga undulatifolia) yang harus dikeringkan dulu sebelum diolah menjadi anak sumpit agar mencapai kekerasan tertentu dan tidak bengkok setelah dibentuk menjadi sebesar lidi atau tusuk sate. Pada bagian belakang anak panah ini dipasang sejenis gabus (piping) yang dimaksudkan sebagai sekat angin hembusan dari mulut sehingga anak panah dapat meluncur cepat dan lurus menuju sasaran. Gabus ini umumnya terbuat dari pelepah sejenis pohon palem “nanga” (Eugeissona utilis), sejenis palem berduri yang banyak terdapat di daerah setempat. Memilih gabus yang baik juga memerlukan ketelitian tersendiri yaitu harus diambil dari pelepah yang memiliki duri lebih rapat dan masih muda dengan diameter tidak lebih dari 3 cm karena pelepah dengan indikator demikian dianggap kualitas gabusnya baik, seratnya lebih halus sehingga mengirisnya lebih mudah. Pelepah ini dijemur di perapian atau sinar matahari selama seminggu sebelum diolah lebih lanjut dengan maksud supaya ringan dan tidak lembap selama penyimpanan. Anak sumpit ini dibuat tiga macam yaitu: anak sumpit biasa (langan lan), anak sumpit yang pada ujungnya diolesi racun sepanjang 1 cm (langan salo’) dan “langan irang” yaitu anak sumpit yang pada ujungnya dipasang besi tipis dan tajam serta diolesi racun (jenis ini sekarang sangat jarang dibuat). Uluk dkk. (2001) mendeskripsikan anak sumpit biasa sebagai “langan lat”, anak sumpit beracun yang ujungnya terbuat dari besi tipis sebagai “langan bela’dang”. Anak-anak sumpit tersebut disimpan dalam satu tempat yang terbuat dari bambu (telo’ langan) berbentuk silinder dengan ukuran tinggi 30 cm dan diameter sekitar 5–6 cm, di mana setiap jenis anak sumpit ditempatkan terpisah dengan sekat-sekat atau dalam bambu yang lebih kecil untuk memudahkan mengambil dengan cepat jenis anak sumpit yang sesuai dengan binatang yang akan disumpit. Bagian ujung dari anak sumpit yang berisi racun ditatak sedemikian rupa agar pada waktu anak sumpit menancap di tubuh buruannya bisa langsung patah, sehingga bagian yang beracun tetap tertancap di tubuh binatang walaupun bagian pangkal yang lebih panjang terlepas. Ini juga untuk menghindari binatang buruan yang memiliki tangan seperti monyet untuk mencabut anak sumpit yang tertancap pada tubuhnya. Jika binatang buruannya adalah binatang atau burung kecil, jenis anak sumpit yang dipakai adalah “langan lan”, jika yang disumpit adalah babi maka yang diambil adalah “langan salo’” dan jika yang disumpit adalah binatang besar dengan kulit yang keras atau lentur seperti beruang (Helarctos malayanus) maka yang dipakai adalah “langan salo’” atau yang ujungnya terbuat dari besi. Ujung yang terbuat dari besi tersebut dapat berupa silet bekas (silet goal) yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mudah menancap pada kulit binatang yang agak keras. Bagian paling menentukan dari sumpit adalah racun yang dioleskan pada ujung anak sumpit. Racun ini umumnya terbuat dari getah pohon racun (Antiaris toxicaria). Getah tersebut ditampung dalam suatu tempat tertentu kemudian dimasak sampai mengental, dibungkus dengan daun biru (Licuala valida Becc). Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti

116 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

rusaknya tanaman akibat bau asap/aroma dari proses pemasakan racun atau untuk menjaga daya bunuh racun tetap tinggi, maka seorang pembuat racun harus mecari tempat di luar kampung atau di dalam hutan untuk tempat memasak atau membuat racun, sedangkan untuk menambah daya bunuh racun tersebut menurut Uluk dkk. (2001), sebagian ahli pembuat racun ini juga mencampurkan racun tersebut dengan air tembakau atau bahkan bisa/liur ular berbisa misalnya liur ular kobra cokelat (Ophiophagus hannah) atau ular kobra hitam (Naja sumatrana). Binatang-binatang yang disumpit dengan menggunakan anak sumpit

beracun akan mati dalam hitungan detik atau menit, paling lama 20 menit,

tergantung dari jenis binatang yang kena atau kualitas racun yang dipakai.

Kalau melebihi 20 menit berarti ada kemungkinan bahwa sifat racunnya

sudah berkurang dan binatang buruan tidak mati. Yang paling lama adalah

babi hutan, karena kulitnya lebih tebal (berlemak) sehingga aliran racun

lebih lama mencapai bagian tubuh yang ada aliran darahnya. Untuk

menjaga agar daya bunuh racun tetap tinggi, maka beberapa pantangan

harus ditaati secara ketat. Kalau tidak ditaati, maka racun yang masih

tersisa/belum terpakai tersebut tidak lagi memiliki daya bunuh tinggi atau

daya bunuhnya luntur. Beberapa pantangan yang masih dipercaya dan

diyakini tersebut antara lain: daging binatang buruan yang diperoleh dari

hasil menyumpit hanya boleh dimasak dengan cara direbus, boleh dibubuhi

garam tanpa bumbu yang lain. Tidak boleh digoreng, tidak boleh dibubuhi

penyedap rasa vetsin (MSG) atau bumbu beraroma tajam lainnya, misalnya

bawang merah maupun bawang putih. Racun ini tidak boleh disimpan

dalam kamar atau ruangan rumah yang sering mendapat aroma minyak

wangi atau minyak harum yang sering digunakan oleh manusia karena daya

bunuhnya bisa luntur terkena aroma tersebut. Seorang pemburu atau

penyumpit sejati selalu meyimpan anak sumpit beracun maupun sisa racun

di luar rumah yang tidak terkena asap dan aroma dari dapur, atau

menyimpannya di lumbung padi yang berada di ladang atau di tengah

sawah.

Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa jumlah pemburu yang

menggunakan sumpit sangat kecil, apalagi pada suku Kenyah sama sekali

tidak menggunakannya dan suku Punan 25 %. Hal ini disebabkan karena

daya bunuh alat ini terhadap binatang besar seperti babi hutan dianggap

kurang efektif/tinggi, banyak pantangan terhadap racun yang digunakan,

adanya kekhawatiran keracunan pada penyumpit sewaktu meniup sumpit

maupun waktu makan daging hasil buruan dan orang yang ahli membuat

racun yang baik semakin langka. Perbedaan dan persamaan dalam beberapa

hal yang berkaitan dengan menyumpit antara suku Dayak Kenyah dan suku

Punan adalah seperti pada Tabel 4.

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 117

Tabel 4. Persamaan dan perbedaan dalam kegiatan menyumpit

Uraian Kenyah Punan

Responden yang masih memakai sumpit

Tidak ada (0 %) 25 %

Bahan baku sumpit yang disukai

Kayu Ulin Kayu Ulin

Waktu pergi berburu Hanya siang hari Siang dan malam Lokasi yang biasa dipakai menyumpit

Air asin (sungan) Hutan belantara

Pantangan masih ditaati? Tidak Ya Sasaran waktu menyumpit babi

Ketiak atau perut Ketiak atau perut kanan

Tempat menyimpan racun sumpit

Di dalam rumah saja Luar rumah dan pondok di ladang

Binatang buruan Monyet, burung dan binatang kecil lainnya

Babi, monyet dan binatang kecil lainnya

Perkenalan dengan sumpit Tidak tentu Sejak usia muda (10 tahun)

Manfaat sumpit saat ini Barang hiasan/antik Alat berburu

Dari uraian di atas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan prinsip

antara suku Dayak Kenyah dan Punan dalam hal menyumpit. Hampir semua proses menyumpit, mulai dari cara membuat dan memakai serta memperlakukan binatang hasil tangkapan boleh dikatakan hampir sama. Walaupun terdapat sedikit perbedaan tetapi hanya pada beberapa hal yang tidak prinsipil, misalnya lokasi yang biasa digunakan untuk menyumpit, sasaran anak sumpit pada binatang, dan jenis binatang yang diburu. Suku Punan yang menggunakan sumpit biasanya memilih hutan belantara sebagai lokasi berburu dengan sumpit sebagai bagian dari mufut, sementara suku Kenyah yang masih memiliki sumpit biasanya memilih sumber air asin untuk menunggu binatang yang akan disumpit. 3. Jerat kaki dan jerat leher: boleh dikatakan sebagai cara atau alat berburu yang pasif atau statis, artinya tidak ada fungsi mencari atau mengejar buruannya, tetapi hanya menunggu di satu tempat. Uluk dkk. (2001) mengklasifikasikan alat ini ke dalam alat berburu “nya’ut”. Alat sederhana ini terbuat dari sepotong tunas kayu (biasanya kayu ulin) sepanjang 3 m, seutas tali nilon atau kawat baja. Alat ini dibuat sedemikian rupa yang mana tali nilon atau kawat dipakai untuk mengikat kaki buruan yang diletakkan pada bekas jejak kaki yang sering dilewati binatang (nuang) dengan beberapa kamuflase agar tidak terlihat oleh binatang yang akan lewat. Dari bekas jejak kaki dapat diketahui jenis binatang yang sering lewat di situ, apakah babi hutan (Sus barbatus), payau (Cervus unicolor) atau landak (Hystrix brachyura) dan lain-lain. Dengan mengetahui jenis binatang yang sering lewat maka bentuk jerat yang dipasang dapat disesuaikan dengan anatomi binatang tersebut, misalnya jenis kawat apa

118 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

yang harus dipakai, berapa ketinggian dan lebarnya, serta kamuflase apa yang akan digunakan. Demikian juga, pemburu dapat menentukan apakah memasang jerat leher atau jerat kaki. Untuk binatang besar yang memiliki penciuman tajam seperti babi hutan, tidak ada pilihan lain selain memasang jerat kaki, bukan jerat leher. Sebab kalau memasang jerat leher akan dapat tercium oleh babi, sehingga kemungkinan terjerat sangat kecil. Bahaya lain jika memasang jerat leher adalah jika anjing terkena jerat tersebut bisa mati dalam waktu yang singkat sebelum sempat dilepaskan.

Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa tidak seorangpun yang menggunakan jerat ini sebagai alat utama untuk berburu, baik oleh suku Kenyah maupun Punan. Bagi yang ingin memasang alat ini harus yakin bahwa tempat tersebut tidak dijangkau oleh orang lain atau anjing orang lain, misalnya di pinggir kebun atau ladangnya sendiri. Tidak adanya pemburu yang memakai alat atau cara ini disebabkan beberapa hal seperti: adanya keluhan dari pemilik anjing pemburu karena anjing mereka sering mati tersangkut di jerat yang dipasang. Sifat dari alat ini yang pasif dan statis menyebabkan hasilnya kurang memuaskan, selain itu semakin jauhnya binatang buruan dari sekitar desa karena kegiatan manusia yang semakin intensif di dalam hutan menyebabkan alat ini tidak berfungsi secara efektif. 4. Ranjau (belatik): seperti halnya jerat, ranjau (belatik) ini juga termasuk alat yang pasif dan statis, hanya menunggu mangsa di satu tempat. Namun dibandingkan jerat, alat ini sangat berbahaya karena dapat mengancam jiwa manusia. Beberapa kasus sudah terjadi di daerah Malinau, di mana alat ini memakan korban nyawa manusia. Dilihat sepintas, alat ini mirip sekali dengan sebuah panah dengan busurnya yang ditempatkan di jalan yang sering dilewati binatang (nuang), siap untuk dilepaskan pada sasaran atau mangsanya yang lewat di situ. Bagian yang dapat membunuh dari alat ini (seperti anak panah) terbuat dari belahan bambu tertentu yaitu “bulo’ lan” (Schizostachyum latifolium) yang diruncingkan pada bagian ujungnya dan dapat meluncur cepat untuk menembus sasaran misalnya babi atau payau pada saat binatang tersebut menyentuh seutas benang halus yang dihubungkan ke pelatuknya. Jika seseorang memasang alat ini di suatu lokasi tertentu, maka yang bersangkutan harus membuat suatu tanda di tempat yang mudah terlihat, berupa pemancangan sepotong kayu setinggi 1,5 m dan disisipi dengan sebilah bambu runcing yang merupakan tanda bahwa di lokasi tersebut terdapat ranjau. Pemasang “belatik” juga harus mengumumkan pada seluruh anggota masyarakat, baik melalui kepala desa maupun pengumuman di gereja pada hari Minggu tentang lokasi ranjau tersebut dan disarankan jangan sekali-kali memasuki ataupun berburu di lokasi itu. Penggunaan alat ini sudah dilarang di setiap desa yang menjadi lokasi penelitian ini karena untuk menghindari jatuhnya korban jiwa

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 119

manusia. Itulah sebabnya, dari tabel di atas tidak ada lagi pemburu yang memakai alat ini sebagai bagian dari kegiatan berburu untuk menangkap binatang buruannya. Devung (1997) memberikan suatu contoh bagaimana ketatnya larangan terhadap pemakaian alat ini karena membahayakan manusia, yaitu tertuangnya peraturan atau larangan pemasangan “belatik” dalam Keputusan Musyawarah Kepala-kepala Desa Hulu Bahau di Apau Ping pada tanggal 12–14 Mei 1994. 5. Anjing pemburu: terdapat dua macam cara berburu dengan anjing, yaitu anjing dikombinasikan dengan tombak dan anjing dikombinasikan dengan senjata api. Maksud dari cara berburu yang pertama adalah bahwa alat yang dipakai untuk mengejar babi adalah anjing, sedangkan alat yang dipakai untuk membunuh babi adalah tombak. Cara ini yang paling umum digunakan oleh para pemburu.

Cara berburu yang kedua adalah bahwa alat yang dipakai untuk mengejar babi adalah juga anjing seperti cara di atas, namun alat yang dipakai membunuh babi yang sedang melawan anjing karena sudah terdesak adalah senjata api. Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa jumlah responden suku Kenyah yang menggunakan cara pertama untuk berburu sebanyak 6 responden (27,27 %) dan pada suku Punan 15 responden (62,50 %), sedangkan yang menggunakan cara kedua pada suku Kenyah sebanyak 4 responden (18,18 %) dan pada suku Punan 2 responden (8,33 %).

Ada beberapa alasan mengapa anjing banyak digunakan oleh pemburu, baik suku Kenyah maupun Punan yaitu: karena biayanya murah, artinya cukup diberi makan dari sisa makanan manusia, dapat mencari binatang buruannya sendiri, dan pada saat-saat bukan musim babi penggunaan anjing lebih efektif karena dengan penciuman yang tajam anjing dapat mencari binatang buruan di tempat tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh penglihatan manusia. Karena peranan anjing sangat besar dalam keberhasilan berburu, maka anjing yang dipakai juga harus anjing yang baik dan harus diseleksi sedemikian rupa oleh orang yang ahli, sejak anjing itu masih kecil/baru lahir. Anjing yang baik tidak dapat hanya ditentukan dari bentuk fisiknya semata, tetapi juga berdasarkan letak teteknya (iteq) yang berjumlah 6–7 buah di sepanjang bagian bawah perutnya. Jika seekor anjing melahirkan anak lebih dari dua ekor, maka dalam waktu tidak lebih dari satu bulan pemilik anjing akan memanggil orang tua atau pemburu yang ahli dalam menentukan dan memilih mana anjing yang bagus dan akan dipelihara dan mana yang tidak baik dan harus dibuang secepatnya. Baik-tidaknya seekor anjing pemburu ditentukan bedasarkan letak tetek-teteknya secara relatif terhadap tulang rusuk yang paling bawah maupun terhadap letak alat kelaminnya. Secara rasional memang seleksi anak anjing seperti ini sulit dipahami. Hal ini hanya merupakan rangkuman pengalaman bertahun-tahun dalam berburu dengan

120 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

anjing, kemudian diteruskan ke generasi berikutnya sebagai pewaris dari keyakinan tersebut. Berdasarkan posisi-posisi tetek tersebut dapat diketahui beberapa karakteristik mengenai setiap ekor anjing, jika ternyata anjing tersebut adalah yang pertama kali bertemu dan menggonggong seekor babi di hutan. Beberapa kemungkinan yang terjadi akibat dari anjing mana yang pertama kali menggonggong sehubungan letak teteknya tersebut adalah:

Babi yang digonggong akan terus lari menghindar menjauhi posisi pemburu sehingga kemungkinan untuk mendapatkannya lebih kecil atau babi baru akan terdesak setelah sekian jauh pengejaran. Anjing seperti ini kurang disenangi oleh pemburu karena perlu tenaga besar untuk mengejar dan mengikuti arah gonggongannya.

Babi langsung bertahan (nyakat) sehingga pemburu mempunyai kesempatan untuk membunuhnya dengan tombak. Jenis anjing seperti inilah yang paling disenangi oleh para pemburu karena babi akan bertahan dalam waktu singkat sehingga pemburu tidak perlu mengeluarkan banyak energi untuk mengejar.

Babi akan kembali lagi mendekati pemburu sehingga dapat dibunuh walaupun sempat berlari jauh dari posisi pemburu. Dalam hal ini pemburu tidak perlu harus mengikuti arah gonggongan anjing karena akan kembali lagi ke tempat semula. Anjing seperti ini juga disenangi oleh pemburu.

Babi yang digonggong akan bertahan (nyakat), tetapi sangat beringas dan dapat membahayakan jiwa pemburu atau pemiliknya maupun nyawa anjing itu sendiri. Anjing seperti ini juga dianggap bagus, tetapi pemburu harus hati-hati mendekati babi yang sudah terdesak karena dapat menyerang manusia.

Kemungkinan terakhir adalah suara gonggongan anjing akan cepat menghilang dari pendengaran pemburu (linget angang) karena babi selalu berlari di balik gunung tinggi, sehingga pemburu tidak dapat mengikuti kemana anjingnya pergi. Suara gonggongannya cepat menghilang dari pendengaran. Anjing seperti ini dianggap kurang baik karena pemburu harus berlari terus mengikuti arah gonggongannya (perlu tenaga besar).

Anjing yang terlahir tunggal jantan (putung), tunggal betina (umeng) maupun yang lahir kembar dianggap sudah memenuhi syarat untuk dijadikan anjing pemburu sehingga walaupun posisi teteknya tidak begitu bagus, namun tetap dipelihara semuanya, tidak ada yang dibuang, kecuali ada beberapa tanda bahwa anjing tersebut akan sangat membahayakan nyawa pemiliknya. Demikian juga dengan anjing yang warna bulunya belang-belang di sekujur tubuhnya dianggap baik sebagai anjing pemburu. Pemberian nama pada anjing-anjing suku Kenyah umunya disesuaikan dengan warna bulunya dan memakai nama anjing terdahulu yang dianggap bagus. Bagi suku Punan, memberikan nama kepada anjing-anjingnya disesuaikan dengan ciri-ciri yang terdapat sejak lahirnya seekor anjing. Jika

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 121

anjing yang lahir adalah tunggal dan jantan maka dinamakan “calan”, dan jika betina diberi nama “pintang”. Cara pemberian nama lainnya adalah berdasarkan jumlah tetek sebelah kiri dan kanan. Jika jumlah teteknya berjumlah 6 buah sebelah kiri dan 6 buah sebelah kanan dinamakan “antung”, dan jika posisinya 6-5 dinamakan “colot”. Jika warna bulu anjingnya menyerupai motif batik, dinamakan “kule” (macan). Menentukan anjing mana yang baik dan mana yang tidak baik dan harus dibuang, baik pada suku Kenyah dan Punan pada prinsipnya tidak jauh berbeda. Artinya, tetap berpatokan pada letak tetek-tetek anjing tersebut. Bahkan kedua suku ini saling berbagi pengalaman tentang cara-cara memilih anjing berburu yang baik. Suku Kenyah dapat menggunakan jasa suku Punan untuk menyeleksi anjing yang baik dan buruk, demikian juga sebaliknya. Jika yang pertama kali menggonggong adalah anjing yang posisi teteknya bagus, maka si pemburu memiliki harapan lebih besar untuk mendapatkan binatang buruannya dan dapat pula mengatur strategi pengejarannya, demikian juga sebaliknya. Seorang pemburu pasti dapat mengetahui suara anjing mana yang pertama kali menggonggong karena sudah hafal dengan baik suara anjing masing-masing. 6. Senjata api (serapang): Walaupun alat ini termasuk alat berburu yang dilarang digunakan secara bebas, namun alat ini justru semakin populer di kalangan pemburu, khususnya suku Dayak Kenyah. Dari beberapa pemilik senjata api yang diwawancarai, ternyata mereka juga mengetahui bahwa alat ini dilarang oleh pemerintah karena dikhawatirkan dapat digunakan untuk hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun demikian, ada alasan tersendiri untuk tetap memakai alat ini karena jika tidak digunakan, maka tanaman pertanian akan habis dimakan hama seperti babi, payau dan landak yang umumnya menyerang tanaman pada malam hari (nocturnal).

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan senjata api mulai populer digunakan di daerah ini, namun diperkirakan sejak 10–15 tahun yang lalu atau lebih, yang mana hubungan dagang secara tradisional antara penduduk asli yang tinggal dekat perbatasan dengan negara tetangga Malaysia yang merupakan pemasok utama peluru semakin lancar. Senjata yang digunakan umumnya adalah senjata laras panjang yang banyak dibeli dari pengrajin lokal di Malaysia (dekat perbatasan) bahkan ada yang buatan sendiri. Ukuran laras adalah 12 mm (kaliber 12) karena menyesuaikan dengan jenis peluru yang banyak diproduksi dan dijual bebas di Malaysia. Peluru kaliber 12 ini terdiri dari beberapa macam ukuran peluru yang terbuat dari timah, sesuai dengan jenis binatang yang menjadi sasaran. Jika yang akan ditembak adalah binatang besar seperti babi atau payau, peluru yang dipakai adalah yang berisi pelor terbuat dari timah sebanyak 9 biji, kalau yang akan ditembak adalah binatang memanjat seperti monyet atau beruk maka peluru yang dipakai adalah yang berisi pelor timah 60 biji, sedangkan kalau yang ditembak adalah burung maka yang dipakai adalah peluru yang berisi 120 biji pelor timah. Dengan semakin ketatnya penjagaan di perbatasan kedua

122 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

negara, maka pemasaran peluru semakin sulit sehingga harganya semakin mahal. Satu buah peluru yang pada tahun 1995 hanya Rp5.000, sekarang meningkat menjadi Rp25.000–30.000. Satu buah senjata dapat dibeli dengan harga Rp500.000–1.500.000, tergantung dari kualitasnya. Bila peluru yang asli habis, seorang pemilik senjata api masih dapat membuat peluru buatan dengan memanfaatkan selongsong bekas yang dibersihkan dan dirapikan sedemikian rupa sehingga siap diisi kembali dengan bahan peledak buatan yang terbuat dari korek api dan peluru buatan dari timah yang dicetak bulat. Satu selongsong peluru memerlukan bahan peledak (ubat) dari hasil kerikan bagian ujung 4 kotak korek api. Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa jumlah responden suku Punan yang memakai alat ini hanya 2 orang (8 %) dibandingkan suku Kenyah 15 responden (71,43 %). Beberapa responden suku Punan menyatakan, bahwa alat ini tidak dimiliki karena harganya dianggap mahal. Membeli peluru asli dari Malaysia semakin sulit dan mahal serta hanya bisa membunuh satu ekor buruan pada saat yang hampir bersamaan sementara binatang lainnya lari karena suaranya yang keras. Hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan suku Punan yang menggunakan sumpit yang dapat membunuh sekawanan binatang (beruk) dalam waktu hampir bersamaan karena suaranya tidak didengar oleh binatang lainnya, khususnya pada waktu mencari batu guliga (batu empedu).

Suku Kenyah malah lebih senang menggunakan alat ini walaupun mahal karena dianggap serbaguna, dapat digunakan siang dan malam hari, berdaya bunuh tinggi dalam arti dapat membunuh binatang besar dalam seketika, adanya rasa aman dari sergapan binatang buas ketika berada di ladang maupun di tengah hutan. Bahkan memiliki senjata api bagi suku Kenyah merupakan suatu kebanggaan dan kesiapan untuk menghidupi keluarga bagi generasi muda. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Withington (1998), bahwa berburu merupakan kebanggan dan transisi dari masa remaja ke masa dewasa bagi anak laki-laki.

E. PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN ALAT-ALAT BERBURU Logikanya, seorang pemburu selalu memiliki keinginan untuk

mengembangkan atau mengubah alat-alat berburu yang digunakan sesuai dengan perubahan lingkungan dan perkembangan alat itu sendiri, dengan maksud untuk mendapatkan alat yang lebih efektif dan lebih bagus dari sebelumnya serta meningkatkan atau paling tidak mempertahankan hasil tangkapan sama dengan sebelumnya.

Untuk melihat perkembangan dan perubahan alat-alat yang

digunakan, diambil suatu tenggang waktu yang mudah diingat oleh

responden sebagai patokan untuk melihat ada-tidaknya perubahan. Patokan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebakaran hutan tahun 1997

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 123

atau 5 tahun yang lalu, walaupun kebakaran hutan itu sendiri tidak terjadi di

lokasi penelitian. Patokan kebakaran hutan diambil karena dianggap mudah

diingat oleh para responden dan peristiwa kebakaran hutan juga

memberikan dampak luas terhadap ekologi hutan sebagai habitat babi. Dari

hasil pengolahan data primer diperoleh hasil seperti pada tabel-tabel

berikut:

Tabel 5. Perkembangan dan perubahan alat utama berburu dalam 5 tahun

pada suku Dayak Kenyah

Alat yang digunakan Jumlah responden

Perubahan sampai 1997 tahun 2001

Senjata api 10 11 +1

Anjing 9 5 -4

Anjing + senjata api 2 5 +3

Anjing + sumpit 0 0 0

Sumpit 0 0 0

Jumlah 21 21 0

Pada Tabel 5 diperlihatkan, bahwa pemakai senjata api di kalangan

pemburu suku Kenyah bertambah 1 orang, sebaliknya pemburu dengan alat

utama anjing justru menurun sebanyak 4 orang dan pemburu yang

mengombinasikan anjing dan senjata bertambah 3 orang. Berkurangnya

pemburu yang memakai anjing ini terutama disebabkan anjingnya mati

karena sakit, kemudian digantikan dengan alat lain seperti senjata api yang

dianggap serbaguna dan lebih praktis. Pemburu yang menggunakan

kombinasi anjing dan senjata api juga bertambah sebanyak 3 orang.

Pertambahan ini disebabkan kombinasi ini dianggap dapat mempertahankan

hasil tangkapan, terutama untuk mengantisipasi semakin sulitnya

mendapatkan babi akibat perubahan ekologi hutan oleh berbagai aktivitas

manusia, misalnya mencari gaharu, aktivitas perusahaan, maupun para

pemburu itu sendiri. Pada umumnya anjing dipakai untuk berburu pada

siang hari, dan kalau belum mendapat hasil maka pada malam harinya

menggunakan senjata api. Kedua alat ini sering juga dikombinasikan pada

saat bersamaan (saling melengkapi) untuk memaksimalkan usaha

perburuan.

Lain lagi halnya dengan sumpit, yang mana tidak terjadi perubahan

jumlah responden yang menggunakan alat ini sebagai alat berburu. Pada 5

tahun sebelumnya ternyata alat ini sudah tidak digunakan di kalangan

pemburu suku Kenyah sebagai alat untuk berburu.

124 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

Tabel 6. Perkembangan dan perubahan alat utama berburu dalam 5 tahun pada suku Punan

Alat yang digunakan Jumlah responden

Perubahan sampai 1997 tahun 2001

Senjata api 0 0 0

Anjing 16 15 -1

Anjing + senjata api 2 2 0

Anjing + sumpit 3 2 -1

Sumpit 4 6 +2

Jumlah 25 25

Seperti halnya pada suku Kenyah, jumlah pemburu suku Punan

yang memakai anjing juga berkurang, yaitu dari 16 orang menjadi 15 orang.

Hal ini juga disebabkan karena anjing yang dapat diandalkan mati, jadi

bukan sebagai respon terhadap kebakaran hutan atau perubahan ekologi

hutan itu sendiri. Demikian pula dengan kombinasi anjing dengan sumpit

terjadi penurunan karena anjingnya mati. Satu keluhan suku Punan setelah

pindah ke dekat perkotaan adalah semakin sulitnya memelihara anjing

karena sering mati karena sakit seperti sakit anjing gila dan sakit perut. Pada

waktu menetap di hulu sungai, cukup mudah bagi suku Punan untuk

memelihara anjing karena penyakitnya kurang.

Sebaliknya dengan sumpit, terjadi penambahan pemakai alat ini dari

4 orang menjadi 6 orang. Terjadinya penambahan ini juga bukan sebagai

tanggapan terhadap kebakaran hutan dan penyesuaian terhadap perubahan

lingkungan akibat kebakaran hutan tersebut, tetapi lebih banyak disebabkan

karena segi praktis pemakaian alat tersebut walaupun hasilnya kurang

memuaskan. Tampaknya penggunaan senjata api di kalangan suku Punan

tidak populer, hanya dua responden yang masih memiliki senjata api

sebagai alat berburu. Hal ini agak berlawanan dengan suku Kenyah yang

sebagian besar responden memiliki senjata api. Alasan mengapa jarang ada

yang memiliki senjata api di kalangan suku Punan adalah karena senjata api

dan pelurunya dianggap mahal, belum terbiasa menggunakan alat tersebut

dan tidak sesuai untuk membunuh rombongan lutung banggat (Presbitis

hosei) dan lutung dahi putih (P. frontata) yang mengandung batu “guliga”

di dalam usus besarnya.

F. TEKNIK BERBURU

1. Ngusiq: merupakan suatu istilah berburu yang digunakan baik oleh suku

Kenyah maupun Punan. Cara ini merupakan teknik berburu yang paling tua

digunakan di kalangan para pemburu Kenyah dan Punan yang dulunya

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 125

memang sangat tergantung dari hasil buruan. Jika dikaitkan dengan alat,

maka teknik ini berhubungan erat dengan tombak, karena satu-satunya alat

yang digunakan adalah tombak dipadukan dengan keahlian dan improvisasi

si pemburu.

Jika diperhatikan dari cara yang digunakan, maka teknik ini tidak

lain adalah meniru tingkah laku binatang lain yang hidupnya bersimbiosis

dengan babi, khususnya monyet atau beruk (Macaca nemestrina). Teknik

ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a). Ngusiq aktif: Ngusiq aktif dapat juga dikatakan mengintai kemudian

membunuh, di mana seorang pemburu dengan berbekal tombak yang

memang sudah dirancang untuk ngusiq, menelusup dalam hutan ke tempat-

tempat yang diperkirakan ada binatangnya. Pemburu harus betul-betul

memperhatikan arah angin yaitu harus berjalan melawan arah angin atau

paling tidak menyilang. Pada saat hembusan angin sangat pelan, arah angin

dapat diketahui dengan cara melihat arah asap rokok (kalau kebetulan

merokok) atau mengerik kuku tangan dengan pisau dan melihat arah

jatuhnya atau menjatuhkan debu halus yang menempel pada sebatang

pohon. Jika sudah menemukan binatang buruan, pemburu mencari posisi

yang baik, sebaiknya pada posisi lebih tinggi dari sasaran, kemudian

meluncurkan tombak ke arah sasaran. Latihan yang intensif untuk

meluncurkan tombak ke arah sasaran yang jauh (1530 m) merupakan

syarat mutlak untuk keberhasilan cara ini.

b)..Ngusiq pasif: untuk melakukan cara ini, pemburu melumuri sekujur

tubuhnya dengan lumpur atau tanah yang berasal dari kubangan babi

(tekina’) dengan maksud untuk menutupi pori-pori yang dapat

mengeluarkan aroma tubuh manusia atau keringat dan juga dimaksudkan

sebagai kamuflase. Hal itu dilakukan jika pemburu sudah melihat ada jejak-

jejak babi yang masih baru, dan diperkirakan masih ada di sekitar situ.

Pemburu juga harus mahir menirukan suara beruk untuk memberi tanda

pada binatang buruan. Selanjutnya pemburu membuat suara meniru suara

beruk, menjatuhkan benda-benda keras seolah-olah ada buah yang terjatuh,

menggoyang-goyang pohon kayu seolah-olah ada beruk yang saling

berloncatan di dahan. Babi yang berada di sekitar itu akan mengira bahwa

ada sekawanan beruk yang sedang “pesta buah” sehingga babi juga tergoda

untuk menikmati buah yang dijatuhkan oleh beruk. Jika pemburu sudah

melihat bahwa ada babi yang mendekat, dia kemudian menirukan gerakan-

gerakan yang sering dilakukan beruk, misalnya berguling di tanah sehingga

babi tidak merasa takut untuk mendekat. Pada saat babi sudah sangat dekat,

seorang pemburu yang ahli bahkan dapat membelai-belai seekor babi dan

pada saat itulah dia mengambil tombak atau mencabut pisau untuk

membunuh buruannya. Menurut beberapa sumber, baik dari suku Kenyah

maupun Punan, cara ini sudah tidak efektif lagi digunakan saat ini karena

sudah terlalu banyak aktivitas manusia di hutan, seperti pemburu batu

126 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

guliga dari lutung (Presbytis hosei), pencari gaharu dan lain-lain. Selain itu,

cara ini hanya dapat digunakan dengan efektif di hutan-hutan perawan yang

jarang sekali dilewati manusia (misalnya di hulu sungai Bahau dan

Pujungan) di mana babinya masih jinak. Tidak ada satu suku yang

mengklaim bahwa merekalah yang paling mahir dalam menggunakan cara

ini, malahan antar kedua suku saling memuji satu sama lain. Suku Punan

menyatakan bahwa orang yang ahli dalam ngusiq adalah suku Kenyah yang

berada di hulu sungai Pujungan, sementara suku Kenyah menyatakan bahwa

cara ini banyak dikuasai oleh orang Punan yang memang lebih sering

tinggal di hutan.

Jika dilihat pada Tabel 3, tidak satupun responden yang masih

menggunakan cara ini, baik dari suku Kenyah maupun Punan. Hal ini

disebabkan karena letak desa-desa tempat responden menetap berada di

kawasan yang sudah ramai dengan kegiatan manusia seperti kegiatan HPH,

pertambangan batu bara, kegiatan mencari gaharu, suara tembakan pemburu

batu guliga bahkan suara anjing pemburu.

2. Menyumpit (ngeleput): sebelum adanya pemakaian senjata api,

menyumpit merupakan cara yang paling efektif untuk menangkap binatang

buruan yang dapat terbang seperti jenis-jenis burung besar maupun kecil,

maupun binatang yang dapat memanjat seperti monyet, lutung atau beruk

dan lain-lain. Sejalan dengan semakin terbukanya masyarakat Kenyah dan

Punan dengan dunia luar dan banyaknya pemakaian senjata api, terlihat

adanya kecenderungan semakin tidak populernya pemakaian sumpit ini,

khususnya pada suku Dayak Kenyah.

Pada Tabel 5 dan 6 di atas, terlihat bahwa jumlah responden suku

Kenyah yang masih menggunakan teknik ini sebagai cara utama untuk

berburu sama sekali tidak ada, sedangkan pada suku Punan sebesar 24 %.

Walaupun masih ada sebagian suku Kenyah yang menyimpan sumpit, tetapi

hampir tidak pernah digunakan lagi, hanya sebatas sebagai warisan dari

orang tua atau sebagai hiasan dalam rumah. Alasan mengapa alat ini tidak

pernah lagi dipakai adalah karena racunnya sudah kedaluarsa, bahkan sudah

jarang sekali yang bisa atau mau membuat racun yang berdaya bunuh

tinggi.

Secara umum, cara menyumpit pada suku Kenyah dan Punan boleh

dikatakan sama karena adanya saling meniru satu dengan lainnya. Namun

demikian, umumnya suku Kenyah mengakui bahwa suku Punan jauh lebih

unggul dalam hal teknik menyumpit misalnya keunggulan dalam kekuatan

meniup sumpit, lebih ulet mencari buruan, racun yang lebih manjur, kualitas

sumpit lebih baik, dan ketepatan membidik sasaran lebih akurat.

Keunggulan ini bukan karena kebetulan mereka suku Punan, tetapi karena

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 127

memang teknik menyumpit sudah diajarkan pada anak laki-laki sejak usia

muda, sekitar umur sekitar 10 tahun.

Pada jaman dulu, suku Punan memang diidentikkan dengan sumpit

karena hampir semua laki-laki, bahkan perempuan memiliki sumpit dan

binatang buruan umumnya ditangkap dengan sumpit yang sampai sekarang

masih diwarisi oleh beberapa orang. Dengan terjadinya perpindahan dari

daerah hulu yang terisolir ke pemukiman baru di daerah hilir melalui

program Respen (Resettlement Penduduk) Departemen Sosial, pemanfaatan

alat ini secara umum makin lama makin berkurang dan banyak sumpit yang

dijual kepada kolektor barang antik.

a). Suku Kenyah: pada suku Kenyah, cara menyumpit ini dilakukan dengan

berbagai cara yaitu menyumpit aktif dan menyumpit pasif. Menyumpit

aktif, artinya pemburu masuk hutan dengan cara menyelinap secara diam-

diam sambil memperhatikan keadaan sekeliling dengan cermat, sesekali

berhenti untuk mendengar suara binatang buruan, baik yang ada di darat

atau di atas pohon. Pada saat menemukan buruannya, pemburu

memasukkan anak panah yang sesuai ke dalam sumpit dan mengarahkan ke

sasaran. Jika yang disumpit adalah binatang di atas pohon atau binatang

pemanjat, maka sasarannya dapat di sembarang bagian tubuh karena

kulitnya pada umumnya tipis. Setelah anak panah mengenai sasaran,

pemburu harus tetap bersembunyi dan sedapat mungkin meluncurkan anak

sumpit berikutnya supaya buruannya lebih cepat mati. Setelah itu pemburu

menunggu beberapa detik atau menit sambil secara diam-diam mengikuti

arah buruan yang baru disumpit, sampai binatang buruannya jatuh dan mati.

Jika yang menjadi sasaran adalah babi yang berkulit lebih tebal

(berlemak), maka anak sumpit harus diarahkan pada bagian tubuh yang

berkulit lebih tipis seperti misalnya di leher atau bagian luar dari ketiak.

Tanda-tanda bahwa racun yang masuk ke dalam tubuh binatang bekerja

dengan baik adalah binatang tersebut muntah-muntah atau terkencing-

kencing. Yang dimaksud dengan menyumpit pasif adalah cara menyumpit

yang mana pemburu hanya menunggu di satu tempat yang sering didatangi

atau sering dilewati buruan. Tempat-tempat yang sering didatangi tersebut

adalah sumber air asin (sungan), kubangan (tekina’) atau jalan yang sering

dilewati (nuang babui). Untuk menghindari terciumnya aroma manusia oleh

binatang buruan melalui angin, maka pemburu harus membuat suatu tempat

untuk duduk di atas pohon setinggi sekitar 7–10 m. Tempat duduk ini bisa

dibuat dari karung goni bekas atau potongan kayu yang diikat sedemikian

rupa sehingga aman untuk diduduki. Jika berburu dengan cara ini, pemburu

harus mengetahui kebiasaan dan pola makan dari setiap jenis binatang yang

sering minum di air asin (sungan) atau yang sering lewat.

Waktu untuk berburu dengan cara ini umumnya adalah pada jam

6.00–8.00 pagi dan jam 4.00–6.00 sore, yang mana pada waktu-waktu

tersebut binatang sedang haus dan banyak melakukan gerakan atau

128 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini sesuai dengan apa yang

dinyatakan oleh Puri (1999), bahwa babi hanya aktif pada jam-jam tertentu,

misalnya antara jam 6.00–10.00 pagi, jam 4.00–6.00 sore dan setelah itu

mencari cacing di tepi sungai atau makan siput. Di luar jam tersebut

biasanya mencari lereng-lereng bukit yang tenang atau tempat aman untuk

beristirahat.

Keuntungan dan kelebihan penggunaan cara ini adalah seorang

pemburu dapat membunuh serombongan binatang yang datang minum

secara bersamaan di sumber air asin (sungan) asal racun yang digunakan

berdaya bunuh tinggi atau masih bagus. Karena sumpit tidak mengeluarkan

suara, maka ada kesempatan bagi pemburu untuk menyumpit semua

binatang yang sedang minum, asalkan binatang yang disumpit pertama kali

tidak mengeluarkan suara sebagai peringatan bagi yang lainnya.

b). Suku Punan: seperti sudah disebutkan terdahulu, bahwa teknik

menyumpit suku Kenyah dan Punan tidak jauh berbeda. Perbedaan yang

ada hanya terletak pada teknik-teknik tertentu yang menjadi ciri khas

masing-masing. Suku Punan yang menggunakan sumpit pada umumnya

adalah pemburu aktif, artinya mereka selalu berpindah dari satu tempat ke

tempat lainnya di dalam hutan untuk mencari buruannya. Suatu kebiasaan

suku Punan yang dilakukan pada musim buah adalah mufut, yaitu satu

keluarga dibawa masuk ke dalam hutan selama berbulan-bulan pada musim

buah dengan maksud untuk menghidupi keluarga di hutan dengan cara

makan buah-buahan, umbut-umbutan, berburu serta mencari

binatang/lutung yang memiliki batu guliga untuk dijual. Menurut Kaskija

(2000), mufut adalah suatu kegiatan untuk menghindari kegiatan rutin yang

menjemukan di desa tempat tinggal untuk mencari variasi lain di hutan atau

untuk menghindari suatu penyakit yang sedang berjangkit di desa.

Di beberapa lokasi di hutan biasanya terdapat beberapa sumber air

asin (Kenyah = sungan, Punan = paan) yang sering didatangi berbagai jenis

binatang seperti babi, rusa, kijang atau beberapa jenis lutung yang

mengandung batu guliga yang ditemukan dalam pada usus besarnya

bercampur dengan kotorannya seperti lutung (Presbytis hosei), “tutok” (P.

frontata). Jika suku Kenyah menjadikan sungan ini sebagai tempat yang

strategis untuk menunggu binatang buruannya, maka sebaliknya bagi suku

Punan selalu berpindah-pindah.

Berdasarkan kepercayaan nenek moyang suku Punan, adalah suatu

pantangan (kudung) untuk membunuh binatang atau membuat ladang di

areal sebuah sungan (paan). Jika pantangan ini dilanggar, akibatnya salah

satu anggota keluarga akan mengalami kebutaan karena hantu yang tinggal

di situ murka. Walaupun pantangan ini sudah tidak sepenuhnya dipatuhi,

khususnya bagi yang sudah memeluk agama resmi tertentu, namun

kebanyakan pemburu yang berusia lanjut belum berani melanggar “kudung”

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 129

tersebut. Itulah sebabnya suku Punan selalu bersifat aktif dalam mencari

binatang buruannya, yaitu mengembara di dalam hutan mengintai mangsa

yang sedang bertengger di atas dahan.

Kelebihan lain dari suku Punan dalam menyumpit dibandingkan

suku Kenyah adalah: suku Punan sangat lihai dalam memanjat pohon pada

saat subuh untuk mendekati binatang buruan yang diketahui bersembunyi

atau tidur di dahan-dahan pohon tersebut. Pada saat matahari mulai bersinar,

binatang buruan biasanya keluar dari persembunyian atau bangun pagi,

maka pemburu siap meluncurkan anak sumpit ke sasaran dari jarak dekat.

Satu kelompok binatang yang bersembunyi di satu pohon tersebut dapat

dibunuh dalam waktu yang singkat. Selain itu suku Punan juga sangat ahli

dalam memilih bagian tubuh seekor babi yang menjadi sasaran berdasarkan

pengetahuan mereka tentang anatomi tubuh babi. Sasaran yang sering

dipilih adalah bagian perut sebelah kanan, karena usus besar babi terletak

sebelah kanan sehingga jika anak panah menancap di situ akan

mempercepat kematiannya.

Sebaliknya, suku Kenyah tidak berusaha untuk mencari sasaran

tersebut. Jika anak sumpit tersebut menancap pada bagian yang bertulang,

maka babi tersebut akan berteriak kesakitan dan jika demikian kecil

kemungkinannya untuk mati. Jika babi tersebut diam saja pada saat terkena

anak sumpit dan tidak mengeluarkan banyak darah, berarti besar

kemungkinan akan mati karena racunnya akan cepat menyebar mengikuti

aliran darah.

Seekor babi yang kena sasaran sumpit tidak langsung mati di tempat

pada saat itu juga, tetapi memerlukan waktu sekitar 10–30 menit dan dapat

berpindah sejauh sekitar 2 km. Untuk itu pemburu harus mengikuti arahnya

secara diam-diam dengan mengikuti jejaknya di hutan. Karena di hutan

banyak sekali jejak babi yang hampir sama bentuknya, maka pemburu harus

mengukur dulu lebar, panjang dan bentuk jejak kaki babi yang baru

disumpit, sehingga dia dapat mengetahui dan membedakannya dengan jejak

babi lainnya pada waktu mengikuti jejaknya setelah disumpit.

Alat untuk mengukur panjang dan lebar bekas kaki tersebut dapat

berupa potongan anak sumpit yang terjatuh setelah mengenai sasarannya

atau sebatang ranting kayu yang dipatahkan sesuai dengan panjang dan

lebar jejaknya. Bentuk khas jejak harus pula diketahui, apakah berbentuk

lonjong atau bulat untuk menghindari kesalahan identifikasi.

Berdasarkan pengalaman, jarak antara pemburu dengan binatang

buruan khususnya babi yang bergerak di darat yang paling optimal adalah

20–40 m. Pada jarak tersebut, anak panah akan menancap lebih dalam

karena kecepatan meluncur anak sumpit berada dalam kondisi maksimum.

Sebaliknya, jarak yang terlalu dekat atau kurang dari 15 m dianggap kurang

baik karena kecepatan anak sumpit belum maksimal sehingga menancap

lebih dangkal. Ini menunjukkan bagaimana kuatnya hembusan atau tiupan

130 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

nafas seorang penyumpit Punan. Untuk itu keahlian mengarahkan sumpit ke

sasaran yang jauh menjadi syarat utama keberhasilan pemakaian alat ini.

3. Menghadang babi berenang (mabang satung): brburu dengan cara

menunggu babi berenang adalah suatu kegiatan berburu yang sangat jarang

dilakukan karena hanya dapat dilakukan pada tahun-tahun tertentu pada

waktu musim babi berenang atau migrasi. Migrasi babi hutan ini masih

merupakan suatu fenomena yang belum dapat dijelaskan mengenai waktu,

penyebab dan bagaimana migrasi ini terjadi. Beberapa ahli mejelaskan

bahwa migrasi ini terjadi karena adanya perpindahan sekelompok besar babi

untuk mendekati daerah yang sedang ada musim buah atau buah dari jenis

Dipterocarpaceae. Menurut beberapa narasumber dalam penelitian ini,

migrasi babi hutan yang bahasa lokal disebut “babui nyatung” (babi

berenang), migrasi besar terakhir yang terjadi di daerah Malinau adalah

pada tahun 1996 atau sekitar 5 tahun yang lalu. Kalau dihubungkan dengan

pengalaman beberapa sumber di hulu sungai Mahakam, ternyata migrasi ini

terjadi secara global dalam wilayah yang sangat luas karena pada tahun itu

juga terjadi migrasi babi berenang di hulu sungai Mahakam mulai dari

Kecamatan Long Iram, Long Hubung sampai ke Long Bagun dan Long

Pahangai.

Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, waktu dan arah datangnya

babi yang bermigrasi dapat diketahui oleh masyarakat suku Kenyah dan

Punan melalui arah terbang burung “mawat” (Pteropus vampyrus) dan

burung “tui” (Aceros corrugatus). Burung ini biasanya terbang tinggi

sekitar 100–150 m di atas permukaan tanah dengan suara sayapnya yang

dapat didengar manusia yang berada di tanah. Burung ini juga dianggap

sebagai pemandu bagi sekelompok besar babi yang sedang melakukan

migrasi, sebagai penunjuk arah di mana daerah yang sedang ada musim

buahnya. Jika masyarakat sering melihat burung ini terbang satu arah dalam

rombongan 3–5 ekor, berarti akan ada migrasi babi atau di daerah tertentu

ada musim buah.

Karena migrasi ini merupakan perpindahan dalam jarak yang jauh,

maka arah menyeberang sungai juga umumnya satu arah. Berdasarkan

pengalaman selama puluhan tahun, migrasi babi hutan yang terjadi di

sungai Malinau selalu dimulai dari arah kiri-mudik menuju ke arah kanan-

mudik. Jika dilihat pada peta, arah migrasi ini dimulai dari arah hulu sungai

Pujungan dan sungai Kayan menyeberang sungai Malinau dan menuju hulu

sungai Tubu sampai ke daerah perbatasan dengan Malaysia. Kecepatan

perpindahan menurut Pfeffer dan Caldecott (1985) sekitar 2 km/jam.

Pergerakan ini cukup pelan karena rombongan babi dalam jumlah kecil

selalu berhenti beberapa saat untuk makan buah-buah yang jatuh yang

ditemui dalam perjalanan.

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 131

Menurut beberapa narasumber yang ada di Tanjung Nanga dan

Loreh, pada migrasi/musim berenang pertama yaitu rombongan babi

bergerak dari arah kiri-mudik ke arah kanan-mudik sungai Malinau, jumlah

babi yang menyeberang dan bermigrasi tidak begitu banyak dan masih

kurus-kurus, banyak yang hamil dan hanya sebagian dari yang hamil

tersebut gemuk. Rombongan ini juga hanya makan sekedarnya buah-buah

hutan atau biji-bijian yang yang ditemui sepanjang perjalanan atau

mencungkil tanah (nulin) untuk mencari cacing. Lamanya musim babi pada

migrasi pertama ini tidak terlalu lama hanya sekitar 2–4 bulan, setelah itu

jauh berkurang.

Sebaliknya, pada musim babi/migrasi kedua, yang mana arah

perpindahan menjadi sebaliknya dari yang pertama, yaitu dari arah kanan-

mudik ke arah kiri-mudik atau menuju ke daerah sungai Pujungan dan

Kayan dan selanjutnya dapat sampai di hulu sungai Mahakam. Hal ini

sesuai dengan Pfeffer dan Caldecott (1985), bahwa babi ini berangkat dari

hulu Sesayap dan hulu Malinau, kemudian menuju arah Selatan di hulu

Bahau di Pujungan dan hulu sungai Kayan, menuju ke arah hilir sungai

Iwan dan akhirnya menyebar ke sungai Boh dan di hulu sungai Mahakam.

Jumlah rombongan babi yang berpindah menjadi berlipat ganda,

banyak yang gemuk dengan ketebalan lemak mencapai 10 cm, setebal

telapak tangan (ba’an palat), banyak sekali anak babi dan jangka waktunya

lebih lama yaitu sekitar 4–6 bulan. Pfeffer dan Caldecott (1985) selanjutnya

menyatakan, bahwa migrasi ini terjadi pada bulan Agustus–Januari. Pada

musim babi kedua inilah biasanya suku Kenyah dan Punan mengumpulkan

lemak atau minyak babi sebanyak-banyaknya sebagai persiapan

menghadapi masa paceklik. Dari pengamatan di lapangan, rombongan babi

yang bermigrasi dalam jumlah besar sekitar 30–50 ekor atau lebih, tempat

penyeberangan yang sering dipakai adalah bagian sungai yang agak dalam

(lubuk) yang menghubungkan dua buah punggung gunung yang saling

berseberangan, sedangkan secara individual dapat menyeberang di mana

saja. Pada waktu menyeberangi sungai yang agak dalam, serombongan babi

selalu berenang dalam suatu pola yang teratur setiap kali musim babi

berenang. Pada waktu tiba di tepi sungai dan tidak ada gangguan manusia

atau anjing, babi yang paling depan akan menunggu anggota rombongan

berikutnya sampai semuanya sudah berkumpul di tepi sungai serta

memutuskan siapa yang akan memulai penyeberangan.

Dalam setiap rombongan besar terdapat raja atau babi jantan yang

paling besar, gemuk dan berwarna hitam yang disebut “balangian”.

Ironisnya, pada waktu mulai berenang menyeberang sungai, ternyata bukan

balangian tersebut yang berada pada bagian paling depan, melainkan selalu

babi betina, sedangkan “raja” tersebut berada di tengah-tengah seolah-olah

dilindungi oleh anggota rombongan yang lain. Jika satu ekor sudah mulai

menyeberang, maka yang lain langsung mengikuti secara berurutan.

132 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

Menurut Pfeffer dan Caldecott (1985), pada waktu berenang ini biasanya

upaya babi untuk menghindar dari manusia menjadi berkurang, karena

mereka harus mengikuti rombongan besar, walaupun ada gangguan dari

manusia. Pada saat menyeberang inilah rombongan pemburu yang sudah

siap dengan tombak pada sisi sungai yang berseberangan atau di atas perahu

dengan mesin ketinting, bergerak serentak melakukan pembantaian. Untuk

keberhasilan cara ini diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara

semua pemburu yang ada di kampung atau paling tidak seluruh rombongan

yang berada dalam satu aliran sungai. Jika akan melakukan penghadangan

di suatu tempat yang sudah ditentukan, maka tidak seorangpun pemburu

boleh membawa anjing pemburu dan menembakkan senjata api atau segala

jenis alat berburu yang mengeluarkan bunyi dalam radius sekitar 5–10 km.

Kalau dilanggar maka babi akan menghindar dan menyeberang di tempat

lain atau rombongan menjadi terpecah-pecah, akibatnya penghadangan

tidak berhasil.

Alat yang boleh digunakan untuk membunuh babi berenang hanya

tombak (tombak biasa dan tombak berkait) dan parang. Karena banyaknya

babi yang mati, seorang pemburu dapat mengenali yang mana bagiannya

dari bekas luka yang ada pada babi tersebut. Caranya adalah dengan

menyesuaikan jumlah dan letak luka dengan jumlah dan bagian mana yang

ditombak pada waktu rombongan babi berenang. Sebagian pemburu

membawa tombak berkait lebih dari satu buah, sehingga dapat mengenali

buruannya dari jenis tombak yang masih tertancap pada babi tersebut.

a). Menghadang babi berenang oleh Suku Kenyah: dibandingkan dengan

suku Punan, kelihatannya suku Kenyah lebih ahli, lebih banyak improvisasi

dan lebih sering berburu atau menunggu babi berenang. Alat yang

digunakan antara lain tombak biasa, tombak berkait, perahu biasa atau

bermesin ketinting dan tali nilon. Tombak biasa berguna untuk menombak

beberapa ekor babi secara bergantian, sedangkan tombak berkait (tuduk)

hanya dapat digunakan untuk menombak satu kali pada satu ekor karena

setelah menancap tidak dapat dicabut lagi kecuali kalau sudah mati. Dalam

hal ini senjata api dilarang samasekali karena dapat membahayakan orang

lain dan juga dapat menyebabkan rombongan babi lainnya batal

menyeberang. Perahu digunakan untuk menghadang babi di tengah-tengah

sungai. Salah satu keahlian suku Kenyah yang ternyata tidak dimiliki suku

Punan adalah penggunaan tali nilon sepanjang 50–100 m untuk

menghambat laju babi yang sedang berenang. Tali nilon ini dibentangkan

setinggi permukaan air, searah aliran sungai (dari hulu ke hilir) pada sisi

sungai yang akan dituju oleh babi yang akan menyeberang. Kedua ujung tali

ini harus diikat kuat-kuat agar tidak mudah terlepas akibat terjangan

rombongan babi. Manfaat dari tali nilon yang dibentangkan ini adalah agar

pada saat babi berenang, bagian leher tersangkut pada bentangan tali

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 133

kencang yang tidak terlihat, karena berada sebatas permukaan air,

sedangkan keempat kakinya tidak dapat menyentuh dasar sungai, sehingga

laju menyebrang menjadi terhambat, bahkan tidak dapat lewat sama sekali

dari tali tersebut. Pada saat itulah pemburu mendapat kesempatan untuk

membunuh buruan sebanyak-banyaknya.

b). Menghadang babi berenang oleh suku Punan: bagi suku Punan, berburu

babi berenang ternyata tidak sepopuler suku Kenyah. Hal ini antara lain

disebabkan karena suku Punan umumnya tinggal di daerah hulu sungai,

yang mana sungainya lebih kecil dan lebih dangkal, sehingga tidak terlalu

cocok untuk melakukan penghadangan babi berenang. Pada waktu musim

babi berenang, suku Punan lebih suka pergi berburu secara individual

dengan menggunakan anjing atau melakukan penghadangan babi berenang

secara individual. Jika suku Kenyah memakai perahu biasa maupun

bermesin ketinting, suku Punan hanya melakukan penghadangan di

seberang sungai yang bertebing cukup tinggi (arah yang berlawanan),

sehingga babi yang sempat dibunuh pada waktu menyeberang lebih sedikit.

Tidak dipakainya perahu sebagai alat penghadangan juga disebabkan karena

suku Punan sangat jarang memiliki perahu apalagi mesin ketinting. Untuk

pergi berburu walaupun jaraknya jauh, suku Punan lebih suka berjalan kaki

karena memang terkenal sangat kuat berjalan jauh. Penggunaan tali nilon

sebagai alat untuk menghambat laju berenang binatang buruan ternyata

belum dikenal oleh para pemburu suku Punan.

4. Berburu: kata “berburu” dalam lingkungan suku Kenyah dan Punan

identik sekali dengan pergi berburu dengan menggunakan anjing berburu,

karena pada cara-cara berburu lainnya terdapat istilah masing-masing yang

berbeda dan lebih spesifik. Jadi, maksud dari berburu di sini adalah berburu

menggunakan anjing pemburu dilengkapi dengan tombak. Ada beberapa

istilah lokal yang sering digunakan jika seseorang akan pergi berburu.

“Berburu dengan anjing berburu” dalam bahasa Kenyah adalah

“nganup/ngasu”, dalam bahasa Punan “ngasu”. Namun dalam prakteknya

sehari-hari, ternyata kata “nuo’/tuya” lebih sering digunakan sebagai ganti

kata “nganup”, khususnya oleh kalangan yang lebih tua, karena dianggap

lebih halus. Padahal kata ”nuo’” itu secara harfiah artinya adalah pergi ke

ladang, sedangkan “tuya” artinya pergi bermain-main atau bersenang-

senang. Puri (1999) juga menyatakan hal yang sama, bahwa penggunaan

istilah-istilah yang lebih halus dimaksudkan untuk tujuan nasib baik. Jika

berbicara sembarangan atau tidak halus, dipercaya dapat membawa sial.

Alasan penggunaan dua kata yang sebetulnya tidak ada hubungannya

dengan berburu tersebut adalah agar supaya tidak sial pada saat pergi

berburu. Jika seseorang bertemu dengan seorang pemburu di jalan,

kemudian bertanya mau pergi ke mana dan untuk keperluan apa, dia akan

menjawab dengan kata “nuo’ atau tuya” seperti yang disebutkan di atas.

134 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

Jika langsung menjawab bahwa dia pergi “nganup” atau “mencari babi”

dikhawatirkan akan sial karena ada suatu kepercayaan yang sudah lama

diyakini bahwa roh-roh yang ada pada binatang buruan akan mendengar,

sehingga dapat lari menghindar sebelum pemburu tiba. Bagi kalangan

muda, penggunaan istilah-istilah tersebut tidak menjadi masalah, karena

mereka sudah bersikap lebih rasional, apalagi setelah memeluk agama

tertentu, khususnya Kristen, sehingga kepercayaan yang berasal dari ajaran

animisme terdahulu sudah ditinggalkan. Seseorang yang pergi berburu

menggunakan senjata api juga lebih sering menggunakan istilah tersebut

dengan tujuan yang sama.

Tabel 7. Pengalaman dan kebiasaan para pemburu

Keterangan Kenyah Punan

Rataan % Rataan %

Jumlah anjing berburu 3,64 - 4,32 -

Rataan orang yang berangkat berburu 2,29 - 1,76 -

Sarana berburu dengan jalan kaki 16 76 24 96

Sarana berburu menggunakan perahu 0 0 0 0

Sarana berburu jalan kaki dan perahu 5 24 1 4

Lokasi berburu di hutan rimba 5 23,8 24 96

Lokasi berburu di hutan sekunder (jekau) 11 52,4 1 4

Lokasi berburu di rimba dan jekau 5 23,8 0 0

Lamanya jalan kaki ke lokasi berburu 1,26 - 3,22 -

a). Suku Kenyah

Seperti halnya pemburu-pemburu dari suku lain, pemburu suku

Kenyah umumnya berangkat dari rumah pada pagi hari antara jam 7.00–

8.00. Anjing yang akan dibawa berburu sebelumnya diberi makan tetapi

porsinya lebih sedikit atau hanya separuh dibandingkan dengan porsi makan

siang atau sore atau porsi normal. Hal ini dimaksudkan supaya anjing tidak

terlalu kenyang sehingga akan lebih semangat mengejar buruannya dan

badannya tidak terasa berat.

Dari seluruh responden, tidak seorangpun yang memiliki jadwal atau

hari yang tetap untuk berburu, hanya ada suatu kebiasaan untuk lebih sering

berburu pada hari Sabtu sebagai persiapan lauk pada hari Minggu.

Frekuensi berburu ditentukan oleh berbagai faktor, misalnya kegiatan di

ladang, perkiraan ada tidaknya babi di wilayah yang biasanya digunakan

untuk berburu. Jika diperkirakan ada babi di wilayah yang tertentu, biasanya

frekuensinya lebih sering, demikian juga sebaliknya.

Seorang pemburu dapat pergi berburu bila setiap saat ada keinginan,

kecuali hari Minggu atau pada saat ada orang meninggal di kampung. Ada

suatu kepercayaan di kalangan suku Kenyah bahwa seseorang yang pergi

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 135

berburu pada saat ada orang meninggal di kampung tidak akan

mendapatkan apa-apa atau sial.

Lokasi yang sering dipakai untuk berburu umumnya adalah di hutan-

hutan sekunder (jekau) yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampung. Hal

ini bukan berarti tidak ada hutan rimba di sekitar kampung. Berdasarkan

pengalaman, babi (khususnya sedentary population) justru sering berada di

dalam hutan sekunder karena makanan berupa umbut-umbutan banyak

tumbuh di lokasi tersebut. Belukar yang lebat di hutan sekunder atau bekas

ladang merupakan tempat yang baik untuk bersembunyi bagi babi hutan

yang merupakan populasi tetap (sedentary population).

Faktor lain mengapa pemburu suku Dayak Kenyah lebih banyak

memilih lokasi hutan-hutan sekunder sekitar desa sebagai lokasi berburu

adalah karena faktor alat yang digunakan. Sebagian besar pemakai senjata

api adalah suku Kenyah dan alat ini sangat cocok digunakan untuk berburu

di sekitar sumber air asin yang terdapat di hutan sekunder tidak jauh dari

desa.

Suatu fakta menarik yang diperoleh yaitu bahwa sekitar 60 % dari

responden menyatakan, bahwa tanda-tanda akan bernasib baik atau akan

mendapat babi kalau pergi berburu dapat diketahui melalui mimpi. Mimpi

yang merupakan pertanda akan mendapat babi adalah mimpi membunuh

orang atau berkelahi, menarik perahu atau memikul mayat. Sebaliknya, jika

bermimpi mendapat babi, berarti tidak akan mendapat apa-apa. Walaupun

demikian, ternyata mimpi-mimpi tersebut tidak terlalu berpengaruh besar

terhadap rencana seseorang yang memang sudah ada rencana untuk

berangkat karena lebih mempercayai kekuasaan Tuhan.

Pada waktu berada di hutan, jalur yang sering dipakai oleh suku

Kenyah adalah punggung-punggung gunung yang cukup tinggi. Hal ini

dilakukan dengan beberapa alasan seperti antara lain pada siang hari

binatang buruan umumnya sudah mencari tempat yang aman untuk

beristirahat yaitu di daerah-daerah berbukit yang dianggap lebih tenang.

Alasan lainnya adalah supaya pada waktu anjing menggonggong, maka

suara dan arahnya dapat diikuti oleh pemburu yang berada di punggung

gunung, sehingga suara gonggongan anjing pada sisi yang manapun dapat

didengar dan diikuti dengan mudah tanpa terlalu banyak berlari seperti yang

dilakukan oleh suku Punan. Jika terlihat bekas jejak kaki babi yang baru,

pemburu biasanya berhenti sebentar memberikan kesempatan pada anjing

untuk mengikuti jejak tersebut. Untuk menjaga komunikasi dengan anjing,

pemburu hanya sekali-sekali memanggil anjing dengan panggilan khas yang

disebut “nguu’” atau dapat juga meniru suara beruk. Pada waktu anjing

menggonggong (mangang), suku Kenyah cukup mengikuti arah larinya

buruan dari posisi yang tinggi (biasanya di punggung bukit) sambil sesekali

memberi semangat pada anjing dengan suatu teriakan khas yang disebut

“ngejui”. Kalau binatang buruannya sudah terdesak oleh anjing dan

136 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

melakukan perlawanan karena keletihan dan terdesak (nekukung), barulah

pemburu berlari sekuat-kuatnya ke arah sasaran. Suara anjing pada saat

masih mengejar buruan dan suara gonggongan anjing pada saat buruannya

terdesak dan melawan (nekukung) sangat jelas perbedaannya, walaupun

hanya terdengar samar-samar. Jadi seorang pemburu suku Kenyah tidak

perlu berlari terlalu cepat kalau suara gonggongan masih terdengar dalam

tahap masih mengejar buruan karena hanya akan menguras tenaga.

Pada saat berhadapan dengan buruannya yang terdesak oleh anjing,

adalah suatu kebanggan bagi pemburu suku Kenyah jika dapat

menghujamkan tombak secara langsung ke sasaran dengan tetap memegang

ujung lain dari tangkai tombak, bukan dengan cara melemparkan atau

meluncurkan ke arah sasaran yang seperti yang dilakukan suku Punan,

walaupun binatang buruannya terlihat ganas. Seorang pemburu yang tidak

berani menghujamkan tombaknya ke sasaran dari jarak dekat (hanya

melempar dari jauh), oleh pemburu suku Kenyah dianggap pengecut. Hal

ini juga bisa membahayakan anjing pemburu jika sasaran tombak tadi

meleset.

Babi yang didapat tidak boleh langsung dibagi atau pantang dibagi-

bagikan antara anggota rombongan, jika masih akan melanjutkan perburuan.

Jika tidak (kalau hasil buruan tersebut langsung dibagi), maka dalam

perjalanan selanjutnya tidak akan mendapat buruan yang baru. Babi yang

sudah mati dapat ditinggalkan dulu, misalnya digantung atau direndam

dalam sungai supaya tidak dimakan oleh binatang lain atau anjing. Ada

kepercayaan bahwa kalau hasil buruan sudah dibagi berarti para pemburu

siap pulang ke rumah, sehingga “dewa keberuntungan” tidak lagi menyertai

dalam perjalanan selanjutnya. Pantangan-pantangan lain terhadap anjing

maupun makanannya sudah tidak ada lagi seperti yang masih banyak

dilakukan dalam lingkungan orang Punan.

b). Suku Punan

Seperti halnya suku Kenyah, pemburu suku Punan juga berangkat

berburu pada pagi hari antara jam 7.00–8.00. Perlakuan yang dilakukan

suku Punan terhadap anjing sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh

suku Kenyah. Jika suku Kenyah memberi makan pada anjing sebelum

berangkat, maka sebaliknya suku Punan tidak boleh memberi makan anjing

sebelum berangkat berburu. Maksudnya adalah supaya anjing merasa lapar,

sehingga lebih semangat dan beringas mencari buruannya, badannya tidak

berat dan tidak malas. Supaya anjingnya lebih segar lagi, anjing berburu ini

dimandikan satu per satu atau dilemparkan secara paksa ke sungai yang

dilewati pada waktu berangkat berburu.

Lokasi yang sering digunakan suku Punan untuk berburu adalah

hutan rimba yang letaknya sangat jauh dari desa. Pada Tabel 7 terlihat,

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 137

bahwa waktu yang diperlukan untuk berjalan kaki dari rumah sampai di

daerah yang diperkirakan ada babinya (lokasi berburu) rata-rata 3,22 jam,

dibandingkan dengan suku Kenyah yang hanya 1,26 jam. Waktu untuk

mencapai lokasi berburu suku Punan ini disebabkan antara lain: i) hutan

rimba yang diperkirakan ada babinya memang sudah semakin jauh setelah

suku Punan ini pindah dari pemukimam-pemukiman di hulu sungai menuju

lokasi baru di hilir (Punan di Tanjung Nanga pindah dari Keramo’, Punan

Bila Bekayuk dan Respen Sembuak pindah dari hulu sungai Tubu), ii) suku

Punan memang terkenal kuat berjalan kaki, sehingga jarak yang jauh tidak

menjadi masalah, yang penting mendapatkan hasil, iii) anjing suku Punan

lebih terbiasa berburu di hutan rimba yang tidak banyak semak-semaknya,

sehingga pada waktu dibawa berburu di daerah hutan sekunder/bekas

ladang yang banyak semaknya, anjing tersebut tidak dapat berlari kencang

mengejar mangsanya, iv) kebiasaan para pemburunya sendiri yang lebih

senang berburu di hutan rimba yang sudah dilakukan sejak kecil atau sejak

mulai berburu.

Selama berada di hutan, pemburu suku Punan selalu berkomunikasi

dengan anjingnya sepanjang perjalanan dengan berbagai cara, baik dengan

suara yang meniru suara binatang tertentu, bersiul seperti suara burung

tertentu, maupun gerakan-gerakan tangan yang sudah dimengerti oleh

anjing. Pada saat pemburu melihat ada bekas jejak yang masih baru,

pemburu bersiul keras dengan nada panjang untuk memanggil anjing.

Kalau anjing sudah datang, pemburu kemudian menggerak-gerakkan atau

melambai-lambaikan tangan di atas jejak kaki tersebut (tanpa mengeluarkan

suara), seolah-olah memberi perintah pada anjing untuk mengikuti jejak

tersebut. Anjing yang mendapat perintah melalui isyarat tangan langsung

lari menyusuri jejak buruannya karena sudah mendapat isyarat dari

majikannya. Pada waktu anjing mulai menggonggong mengejar buruannya,

pemburu suku Punan langsung berlari sekuat tenaga ke manapun arah suara

gonggongan tersebut. Untuk itu perlu kekuatan berlari jauh, tidak seperti

suku Kenyah yang hanya memonitor arah larinya anjing dari tempat-tempat

atau bukit yang agak tinggi. Pada waktu binatang buruan/babi sudah

terdesak karena letih dan melawan anjing (lugan), suara gonggongannya

berubah, sebagai tanda bahwa binatang buruan sudah siap ditombak. Saat

itulah pemburu memberi aba-aba pada anjingnya dengan teriakan panjang

“lugan noooh”, maksudnya memberi semangat pada anjing maupun

memberitahu pada anjing lain yang belum sampai. Komunikasi jarak jauh

ini terus dilakukan sampai si pemburu berhadapan dengan buruan yang

sedang bertahan.

Berbeda dengan suku Kenyah yang lebih berani atau lebih suka

menghujamkan tombak secara langsung ke babi, suku Punan lebih suka

melemparkan atau meluncurkan tombak ke arah sasaran dari jarak yang

agak jauh, sekitar 5–10 m. Memang hal ini memerlukan keahlian khusus

138 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

agar tombak yang meluncur lepas tidak menciderai anjing yang jaraknya

sangat dekat dengan babi yang menjadi sasaran.

Untuk menjaga supaya anjing tetap bagus, artinya bisa tetap

mendapat babi, pemburu Punan melakukan berbagai cara dan pantangan,

baik terhadap anjing maupun daging hasil buruan yang masih tetap

dilakukan sampai sekarang. Beberapa pantangan tersebut adalah: i) usus

besar tidak boleh diberikan pada orang lain walaupun diminta, hanya

pemilik anjing yang boleh memakannya, ii) seorang pemburu lebih rela

memberikan satu paha yang besar sebagai ganti bila ada orang lain yang

minta bagian usus untuk dimakan, ini menunjukkan bagaimana pantangnya

suku Punan memberi usus besar pada orang lain demi menjaga supaya

anjingnya tetap baik, iii) buah pinggang (ginjal) babi tidak boleh dimakan

oleh siapapun termasuk anjing, untuk itu, ginjal tersebut harus dibenamkan

dalam air yang dalam, ditindih dengan batu, dengan maksud agar buruan

berikutnya tidak dapat lari jauh, seolah-olah tertindih beban berat, iv) semua

daging yang melekat di daerah pinggang tidak boleh dimakan orang lain

termasuk anjing kecuali pemiliknya yang sekaligus juga mewakili

anjingnya. Jika salah satu pantangan tersebut di atas secara tidak sadar

dilanggar, maka pemiliki anjing harus mengadakan beberapa upacara

khusus untuk mengembalikan anjing pada keadaan semula. Caranya antara

lain adalah si pemilik anjing memanggil orang yang melanggar satu

larangan di atas, kemudian secara simbolik memberikan satu buah parang

kecil kepada pemilik anjing dan parang itu diusapkan pada badan dan muka

anjing sehingga akhirnya dapat menyalak lagi.

5. Berburu memakai senjata api (nyerapang atau nyelapang)

“Nyerapang atau nyelapang” adalah cara berburu yang

menggunakan peralatan yang agak modern yang akhir-akhir ini semakin

banyak digunakan, khususnya di kalangan suku Kenyah, sedangkan pada

suku Punan sangat jarang digunakan. Cara ini merupakan alternatif dari

cara-cara berburu sebelumnya yang dianggap kurang efektif untuk

membunuh binatang buruannya. Cara yang digunakan suku Kenyah dan

Punan dengan alat ini boleh dikatakan sama, suku Punan hanya meniru

cara-cara Kenyah yang sudah lebih berpengalaman dan lebih dulu

menggunakan senjata api, sekitar 15–20 tahun lalu.

Cara ini bersifat serbaguna karena dapat membunuh binatang yang

berada di atas pohon, burung yang terbang atau hinggap di atas dahan, dapat

digunakan siang dan malam, tidak ada pantangannya dan juga tidak terlalu

terpengaruh dengan cuaca. Semakin sulitnya memelihara anjing di lokasi

yang baru karena banyak penyakit yang dapat membunuh anjing,

menyebabkan cara ini lebih disukai. Dalam beberapa tahun lalu pelurunya

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 139

cukup mudah diperoleh dari para pedagang atau pelintas batas dari

Malaysia.

Dari data pada Tabel 3 terlihat, bahwa terdapat 15 responden (71,43

%) dari suku Kenyah menggunakan cara ini yang dikombinasikan dengan

anjing atau hanya senjata api saja, sementara suku Punan hanya 2 orang (8

%). Sebetulnya 5 tahun lalu ada juga suku Punan yang membeli senjata api

yang dibeli dari hasil menjual gaharu, tetapi dengan semakin mahalnya

harga peluru asli yang dibeli dari Malaysia (Rp25.000–30.000 per butir),

maka banyak yang menjual senjata tersebut pada orang lain. Para bekas

pemilik senjata api tersebut tidak lagi berprofesi sebagai pemburu setelah

senjatanya dijual.

Dari angka-angka tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan,

bahwa kepemilikan senjata api di kalangan pemburu suku Punan sangat

rendah, sementara sebagian besar pemburu suku Dayak Kenyah memiliki

senjata api. Penggunaan senjata api ini dapat dikombinasikan bermacam-

macam misalnya: hanya senjata api saja, senjata api dengan anjing atau

senjata api dengan sumpit.

Seperti sudah disebutkan di atas bahwa alat ini bersifat serbaguna

karena dapat digunakan dalam beberapa cara sebagai berikut: a. Nyerapang biasa (nyerapang): istilah yang biasa digunakan oleh suku Kenyah dan Punan untuk seseorang yang pergi berburu memakai senjata api disebut “nyerapang”. Dengan cara ini seorang pemburu masuk ke hutan seperti yang dilakukan dalam cara ngusiq maupun menyumpit, berangkat pagi hari dan pulang pada sore hari. Pemburu menyelinap ke dalam hutan, mengintai dengan hati-hati untuk mencari buruannya. Pengetahuan tentang arah angin dan tempat-tempat yang biasanya digunakan babi untuk makan, istirahat yang dihubungkan dengan waktu (pagi, siang, sore, malam) mutlak harus diketahui seorang pemburu. Misalnya, pada pagi hari pemburu biasanya menyusuri sungai, kemudian pada siang hari menyusuri daerah-daerah yang berbukit dan bergunung tinggi, kemudian pada sore hari kembali lagi menyusuri anak-anak sungai atau dekat sumber air, karena itulah tempat-tempat yang sering didatangi oleh babi pada jam-jam tersebut. Keberadaan babi di dalam hutan dapat juga diketahui oleh seorang pemburu terlatih dari suara binatang lainnya, misalnya beruk atau sejenis burung yang hidup di atas tanah. Prinsipnya, setiap suara binatang di dalam hutan dianggap memiliki makna tertentu. Jika terdengar suara beruk dengan irama tertentu misalnya lebih cepat dari biasanya, berulang-ulang dan tidak berpindah-pindah diartikan bahwa di bawahnya terdapat babi yang menunggu jatuhan buah-buahan yang sedang dimakan oleh beruk atau kaliawat. Jika yang terdengar adalah suara sejenis burung (dalam bahasa lokal/Kenyah disebut upit tana’), diartikan juga bahwa ada babi di lokasi tersebut. Dari pengalaman pemburu, burung tersebut hidup secara simbiosis-mutualistis dengan seekor babi. Artinya, burung tersebut berdiri di atas punggung babi yang sedang berjalan sambil memakan kutu babi

140 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

tersebut. Pemburu yang berpengalaman akan secepatnya mendekati kedua tanda tersebut untuk melihat apakah ada buruannya. b. Nyerapang malam hari (nitiu mau): berburu malam hari ini ada dua macam, yang pertama dengan jalan kaki dan yang kedua naik perahu. Pada cara yang pertama, pemburu mendatangi tempat-tempat yang sering didatangi babi, landak atau payau pada malam hari misalnya kebun singkong, bekas ladang, kebun kacang, kebun jagung, sumber air asin (sungan) atau tanaman-tanaman lain yang sering dimakan, terlihat dari bekasnya. Dengan cara ini pemburu harus mengetahui dengan pasti kebiasaan makan tiap-tiap jenis binatang yang makan di suatu tempat. Kalau mendatangi tempat tersebut pada jam yang tidak tepat, maka pemburu tidak pernah menemukan binatang buruannya yang biasanya makan dalam waktu relatif singkat yaitu 15–20 menit. Misalnya, babi biasanya datang pada jam 1 malam atau jam 4 subuh, payau pada jam 12 malam dan landak pada jam 2 subuh. Kebiasaan-kebiasan tersebut selalu dipelajari secara berulang-ulang agar dapat “bertemu” dengan binatang buruannya. Jika tidak, maka pemburu selalu selisih waktu dengan buruannya. Jika sedang bernasib baik yaitu dapat menemukan binatang buruan yang sedang makan, pemburu menyiapkan senjata dengan menarik pelatuk kemudian mengarahkan pada buruan bersamaan dengan senter di tangan dinyalakan. Jika sasaran sudah terlihat, pelatuk siap ditarik. Untuk menghindari adanya peluru nyasar ke arah pemburu lain yang mungkin berada di daerah yang sama, maka seorang pemburu sewaktu-waktu harus menyalakan senter ke atas sebagai isyarat bahwa dia ada di lokasi tersebut sehingga pemburu lain dapat menghindar. Cara lain untuk menghindari korban akibat peluru nyasar adalah mempelajari situasi pada siang hari untuk mencari arah yang aman, bukan mengarah ke pondok penduduk. Cara berburu kedua yang dilakukan pada malam hari adalah naik perahu dari arah hulu ke hilir sungai. Pada sore hari, seorang pemburu dengan satu atau beberapa orang pendayung perahu (dengan ketinting atau hanya memakai tangkar) menuju hulu sungai sampai pada satu tempat yang telah ditentukan. Pada saat malam tiba, perahu dengan para pemburu di atasnya bergerak secara perlahan-lahan (mesin ketinting dimatikan), hanya mengikuti gerakan perahu oleh arus sungai yang deras dan kalau arusnya pelan para pendayung dapat mengayuh perahu supaya lebih laju. Gerakan perahu yang terlalu lambat juga tidak baik karena dikhawatirkan aroma manusia tercium duluan sebelum buruan sempat ditembak. Pemburu atau yang memegang senjata mengambil posisi paling depan, mengarahkan nyala senter ke arah kiri dan kanan perahu mencari sasaran, khususnya babi yang sedang mencungkil cacing atau makan siput di tepi sungai, atau payau yang sedang makan rerumputan atau minum di tepi sungai. Jika sasaran sudah terlihat, umumnya terlihat dari pantulan sinar mata babi atau payau, pemburu memberi isyarat pada pendayung untuk

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 141

mengarahkan perahu mendekati sasaran. Seorang pemburu dengan mudah dapat membedakan jenis binatang dari warna pantulan mata yang diterangi cahaya senter walaupun badannya tidak kelihatan atau tersembunyi di semak-semak. Jika warna matanya terang dan agak hijau, berarti binatang tersebut adalah payau atau kijang, sedangkan jika warna matanya agak redup dan merah berarti babi. Pemburu dapat langsung menembak dari atas perahu atau kalau tidak memungkinkan, maka dapat turun dari perahu kemudian mendekati sasaran. Teknik mendekati dan mencari sasaran juga agak berbeda pada jenis binatang yang berbeda. Cara berburu seperti ini hanya dilakukan oleh suku Kenyah yang tinggal di desa Tanjung Nanga dan Loreh, sedangkan suku Punan tidak ada yang melakukan cara ini karena tidak memiliki perahu dan senjata api. c. Mengepung (ngepung): merupakan metode berburu terbaru dan hanya dilakukan oleh suku Kenyah di desa Loreh. Cara berburu ini sebetulnya merupakan perpaduan antara cara berburu dengan anjing maupun senjata api dan dilakukan malam hari. Jika anjing pada umumnya hanya bisa mengejar babi pada siang hari, maka dengan cara ini anjing mengejar babi atau buruannya pada malam hari. Tentu saja anjing yang dibawa adalah anjing-anjing khusus yang sudah terlatih dan sudah terbiasa mengejar buruannya pada malam hari. Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa cara berburu ini hanya di temui di satu desa yang dihuni oleh suku Kenyah yaitu desa Loreh, sedangkan desa Kenyah lainnya seperti Tanjung Nanga maupun desa-desa Punan belum mengenal cara ini. Munculnya cara ini berawal dari semakin sulitnya para pemburu untuk mendapatkan babi, baik pada siang hari apalagi pada malam hari, sehingga timbullah ide untuk mengombinasikan anjing dengan senjata supaya lebih efektif. Para pemburu biasanya berangkat dari rumah pada malam hari antara jam 8.00–10.00 malam ke suatu tempat yang biasa didatangi oleh babi atau payau untuk makan pada malam hari. Jika sudah ada jejak kaki buruan memasuki daerah tersebut, para pemburu yang memegang senjata api kemudian menyebar mengambil posisi masing-masing yang dianggap strategis untuk menghadang pada jarak dan posisi yang aman. Setelah semua pemburu bersenjata dianggap sudah menempati posisi masing-masing, pemilik anjing kemudian melepaskan anjing memasuki semak-semak atau tempat buruan mencari makan. Jika anjing sudah menggonggong, binatang buruan akan lari, biasanya selalu mengikuti jalan yang sama pada saat masuk. Pada saat keluar inilah pemburu melepaskan tembakan jika buruannya sudah terlihat. Cara tersebut lebih baik dilakukan pada saat terang bulan atau bulan purnama agar lebih mudah bagi pemburu untuk mengetahui sasaran dibandingkan kalau menggunakan lampu senter yang dapat membuat buruan takut. Tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk meghadang buruan yang berlari adalah jalan besar (jalan perusahaan HPH atau logging) maupun sungai agar terdapat kesempatan lebih lama untuk melihat mangsa yang lewat.

142 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

Dari penjelasan tersebut di atas dapat diambil suatu ringkasan tentang kegiatan berburu suku Dayak Kenyah dan Punan dengan menggunakan senjata api sebagai berikut: i) suku Dayak Kenyah jauh lebih dominan daripada suku Punan dalam hal pemakaian senjata api untuk berburu, ii) suku Dayak Kenyah lebih banyak berimprovisasi dalam menyiasati semakin berkurangnya binatang buruan, khususnya babi dalam arti tidak hanya berburu pada siang hari saja atau hanya berburu di hutan primer saja. Ada juga yang berburu malam hari di hutan sekunder, iii) suku Kenyah lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh bencana alam maupun kegiatan manusia seperti HPH, tambang dan pembukaan hutan lainnya. 6. Nya’ut Menurut Puri (1999), “nya’ut” adalah kegiatan menangkap buruan dengan memasang perangkap yang sifatnya statis dan pasif. Perangkap ini terdiri atas bermacam-macam jenis misalnya perangkap kaki menggunakan tali nilon atau kawat baja (biyu), ranjau bambu (belatik). Dari temuan di lapangan diketahui bahwa cara-cara berburu tersebut hanya dilakukan oleh suku Kenyah, sedangkan suku Punan tidak tertarik untuk mencoba cara-cara tersebut.

G. MEMILIH WAKTU DAN LOKASI BERBURU Seorang pemburu, baik suku Kenyah maupun Punan, bebas untuk berburu di manapun lokasi yang diinginkan asal masih dapat dijangkau. Namun sebelum berangkat ke suatu lokasi berburu, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan seorang pemburu, apakah pergi berburu di daerah tersebut atau memilih tempat lain, seperti pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Faktor yang menjadi pertimbangan pemburu dalam pemilihan

lokasi berburu

Faktor yang menjadi pertimbangan Kenyah Punan

Jumlah % Jumlah %

Sudah lama tidak berburu di situ + informasi 7 33,33 16 64,00

Ada informasi bahwa ada jejak babi di situ 6 28,57 4 16,00

Lokasi tersebut mudah dijangkau 3 14,29 1 4,00

Diperkirakan ada babi di lokasi tersebut 3 14,29 1 4,00

Sudah hafal dengan lokasi tersebut 2 9,52 3 12,00

Jumlah 21 100 25 100

Pada Tabel 8 tampak bahwa faktor yang menjadi pertimbangan utama bagi seorang pemburu untuk menentukan lokasi berburu, baik suku

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 143

Kenyah maupun Punan adalah karena sudah lama tidak berburu di daerah tersebut dan juga karena mendapat informasi dari orang lain bahwa diperkirakan sudah ada babi di daerah tersebut karena ditemukan jejak yang baru di sana. Sebanyak 33,33 % responden dari suku Kenyah menganggap bahwa tenggang waktu yang sudah cukup lama tidak berburu di lokasi tersebut serta adanya informasi dari orang lain bahwa ada jejak babi di lokasi tersebut merupakan pertimbangan utama untuk mengambil keputusan. Pada suku Punan, faktor tersebut lebih dominan lagi, yang mana sekitar 64,00 % responden menganggap bahwa faktor tersebut sangat perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi. Tampaknya bahwa faktor jarak atau jauh-dekatnya lokasi berburu tidak menjadi persoalan bagi suku Punan, yang penting ada babi di lokasi yang akan dituju. Hal ini dapat terlihat karena hanya 4,00 % dari responden suku Punan menjadikan jarak sebagai faktor penentu untuk memilih lokasi, sebaliknya pada suku Kenyah lebih besar, yaitu 14,29 %.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Bagi pemburu yang menggunakan anjing, tidak terdapat perbedaan

yang mendasar dalam hal berburu antara Dayak Kenyah dan Punan. 2. Berburu hanya merupakan pekerjaan sampingan, tidak seorangpun di

antara 46 responden yang menjadikan berburu sebagai pekerjaan pokok (sumber penghasilan utama).

3. Suku Dayak Kenyah lebih dominan dalam penggunaan senjata api sementara suku Punan lebih dominan dalam pemakaian sumpit.

4. Pemburu suku Kenyah lebih banyak berimprovisasi dan beradaptasi dibandingkan suku Punan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan semakin langkanya binatang buruan. Suku Punan masih terkonsentrasi dengan lokasi berburu di hutan rimba pada siang hari. Berburu pada malam hari dengan anjing dan senjata api hanya dilakukan oleh suku Dayak Kenyah.

5. Lokasi berburu suku Punan lebih jauh dibandingkan lokasi berburu suku Dayak Kenyah. Waktu rata-rata untuk mencapai lokasi berburu suku Punan adalah 3,22 jam, sedangkan suku Dayak Kenyah hanya 1,26 jam.

6. Cara-cara berburu pasif yaitu memasang perangkap yang bersifat statis (nyaut) sudah tidak digunakan lagi untuk menangkap babi, baik di lingkungan suku Dayak Kenyah maupun Punan karena alasan keamanan bagi manusia dan efektifitasnya. Cara berburu “ngusiq” juga sudah tidak lagi dilakukan oleh suku Dayak Kenyah maupun Punan karena terjadinya gangguan terhadap habitat babi.

144 Imang dkk. (2002). Studi Perbandingan Teknik Perburuan Tradisional

7. Selama 5 tahun terakhir (1997–2001) tidak terjadi perubahan yang berarti dalam perkembangan alat-alat berburu sebagai antisipasi terhadap perubahan ekologi hutan karena kebakaran hutan tahun 1997/1998 maupun semakin berkurangnya populasi babi di daerah perkampungan.

8. Alat-alat berburu suku Dayak Kenyah dan Punan pada umumnya tidak selektif membunuh babi. Semua alat bertujuan untuk membunuh buruan sebanyak mungkin.

9. Teknik menghadang babi berenang pada suku Kenyah lebih bervariasi dan lebih inovatif dibandingkan suku Punan. Suku Kenyah memakai perahu dan memasang tali nilon di alur sungai untuk menghambat laju berenang, sementara suku Punan hanya menunggu di seberang sungai pada bagian yang agak terjal.

Saran-saran 1. Agar babi tidak menjauh dari sekitar desa karena takut, maka alat

berburu yang digunakan sebaiknya bukan senjata api. 2. Perlu pengaturan waktu-waktu berburu yang diperkirakan populasi

babi telah banyak, agar lokasi berburu tidak terlalu jauh. 3. Untuk mendapatkan anjing yang pandai berburu, maka diperlukan

seleksi bibit secara ketat, sehingga anjing-anjing yang dipelihara merupakan unggulan.

4. Untuk mengantisipasi kelangkaan akan daging, khususnya babi hutan karena populasinya semakin berkurang dan lokasi berburu semakin jauh, perlu adanya program pemerintah setempat untuk menggalakkan ternak babi di setiap desa karena kebutuhan masyarakat terhadap daging babi cukup tinggi sekaligus menambah pendapatan. Kesulitan utama beternak babi adalah ketersediaan bibit.

DAFTAR PUSTAKA Chin, C.L.M. 2000. Borneo 2000. Beside the Beaten Track. Effect of the

Increased of Accessibility on Wildlife and Pattern of Hunting in Sarawak, Kuching.

Colfer, J.P.; N. Peluso and C.S. Chung. 1997. Beyond Slash and Burn.

Building on Indigenous Management of Borneo Tropical Rain Forest. The N.Y. Botanical Garden, Bronx, USA. 236 h.

Devung, G.S. 1997. Pengetahuan dan Kebijaksanaan Tradisional dalam

Pemanfaatan Hutan sebagai Tempat Berburu. Tempayan-WWF Kayan Mentarang. Samarinda. 23 h.

EQUATOR 1 (2), Oktober 2002 145

Inoue, M.; Lugan and I. Bilung. 1991. Changes in Economic Life of the Hunters and Gatherers: the Kelay Punan in East Kalimantan. Tropic1: 143-153.

Kaskija, L. 2000. Punan Malinau and the Bulungan Research Forest.

CIFOR, Bogor. 82 h. Pfeffer, P. and J.O. Caldecott. 1985. The Bearded Pig (Sus barbatus) in East

Kalimantan and Sarawak. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 59 (2): 81-100

Puri, R.K. 1999. Teknik-teknik Perburuan pada Masyarakat Punan dan

Kenyah di Kawasan Sei Lurah dalam Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Eds. Christina Eghenter dan Bernard Sellato. PHPA, the Ford Foundation, WWF. 73-97.

Uluk, A.; M. Sudana, E. Wollenberg. 2001. Ketergantungan Masyarakat

Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. CIFOR, Bogor. 150 h.

Withington, D. 1998. Perburuan. Tempayan (12): 5-6. WWF, Samarinda.