studi komparatif maqÂsid al-qurÂn abÛ hÂmid...
TRANSCRIPT
i
STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID
MUHAMMAD IBN MUHAMMAD AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Muhammad Anas
NIM: 11140340000131
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H./2018 M.
i
ABSTRAK
Muhammad Anas
Studi Komparatif Konsep Maqâsid Al-Qurân Abū Hâmid Al-Ghazâli Dan
Rasyîd Ridâ
Maqâsid al-Qurân sebuah istilah yang menjelaskan tujuan-tujuan
universal dari seluruh ayat-ayat al-Qurân, karena mustahil Allah menurunkan al-
Qur’an ke muka bumi hampa dari maksud dan tujuan. Memahami Maqâsid al-
Qurân sangat urgensi bagi para Mufassir dalam memproduksi Tafsir al-Qur’an.
Karena dengan memahaminya, Mufassir dituntut untuk berusaha memproduksi
Tafsir berorentasi pada kemaslahatan manusia dan mencegah kemafsadatan. Para
ulama menjadikan Maqâsid al-Qurân sebagai kaidah penting dalam penafsiran al-
Qur’an, karena sering kali penafsiran al-Qur’an ditunggangi hanya untuk
membela kepentingann ideologi, mazhab, golongan mufassir semata yang jauh
dari kemaslahatan manusia. Menjadikan Maqâsid al-Qurân sebagai basis
penafsiran al-Qur’an, akan mengantarkan Mufassir mampu melahirkan Tafsir
yang sejalan untuk kemaslahatan manusia. Penulis menyadari bahwa kajian
Maqâsid al-Qurân belum menjadi disiplin ilmu yang tersendiri yang disepakati
para ulama. Akan tetapi, istilah Maqâsid al-Qurân bisa didapati pada karangan-
karangan para ulama, baik ulama klasik maupun kontemporer. Pada tulisan ini,
penulis memilih dua ulama yang menawarkan konsep Maqâsid al-Qurân yaitu
Abû Hâmid al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ dan pula menganalisis studi komparatif
konsep Maqâsid al-Qurân yang keduanya tawarkan. Penulis memilih keduanya,
karena keduanya menawarkan konsep Maqâsid al-Qurân yang sistematis dan
panjang pembahasan dibandingkan ulama-ulama lainnya. Menurut penulis,
perbedaan yang sangat nampak konsep Maqâsid al-Qurân keduanya, kalau al-
Ghazâli menekankan prinsip-prinsip al-Qur’an, seperti keimanan kepada Allah
yang berha disembah, kenabian, hari akhir. Sedangkan Rasyîd Ridâ, disamping
menjelaskan Usûl al-Qurân (prinsip-prinsip al-Qur’an), beliau juga menjadikan
isu-isu kontemporer, seperti hak-hak perempuan, politik, mengelola harta bagian
dari tujuan-tujuan al-Qur’an. Hal demikian dilakukannya, agar terlihat nampak
bahwa al-Qur’an senantiasa relevan pada setiap zaman.
Kata Kunci, Maqâsid al-Qurân, Tafsir, Rasyîd Ridâ, al-Ghazâli
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji syukur kami hanturkan kepada Allah Swt, yang telah
menganugrahkan Taufīq, pertolongan, hidayah, sehinnga penulis mampu
menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw, semoga kita mendapatkan Syafaat Rasulullah di hari kiamat
nanti. Alhamdulillah dengan izin Allah, tulisan penelitian ini bisa diselesaikan
dengan judul “Studi Komparatif Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Abû Hâmid
al-Ghazâli Dan Muhammad Rasyîd Ridâ”. Skripsi ini diajukan guna untuk
memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan S1 pada program Studi Ilmu
Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kesalahan
dan bahkan jauh sampai pada sempurna. Untuk itu penulis sangat membuka dan
menerima segala saran, kritikan dan masukan dari semua pihak agar bisa menjadi
lebh baik lagi.
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang
ikut serta berpartisipasi dalam membantu menyelesaikan tulisan ini, bagi secara
langsung maupun secara tidak langsung, baik secara moril maupun materil. Untuk
itu penulis ucapkan ribuan ungkapan terima kasih kepada :
1. Orang tua kami Bapak Kiyai Mukhtar dan Ibu Ustadzah Narti yang
telah memberikan segalanya kapada saya, dengan bimbingan, arahan,
motivasinya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tulisan ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, selaku REKTOR UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, Selaku Dekan Fakultas
Usuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A, selaku ketua Jurusan Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M. Pd selaku
Seketaris Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
vii
5. Dosen Pembimbing Bapak Rifqi Mukhtar, M.A., yang memberikan
ilmu, arahan dan motivasi kepada penulis samapi terjuwudnya skripsi
ini dengan baik.
6. Dosen penasihat akademik, Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., yang
banyak memberi bantuan dan masukan kepada penulis selama studi di
kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, yang dengan
ikhlas memberikan ilmunya sehingga membuat penulis mampu
menyelesaikan menulis skripsi.
8. Kepada para guru yang ada di pondok Pesantren Ummul al-Qurâ al-
Islâmi. Terutama kepada Kiyai Helmi Abd al-Mubin Lc, yang telah
memperkenalkan kepada saya dasar-dasar ilmu-ilmu Islam kepada
saya. Dan pula kepada para guru Pesantren Hikām al-Salafiyyah,
terutama kepada Kiyai Badr al-Din sebagai pengasuh Pesantren, yang
pernah juga mengajar ilmu-ilmu agama kepada saya.
9. Para staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Usuluddin. Terima
kasih atas referensi yang telah dipersembahkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada keluarga Al-Munar (Mukhtar-Narti) yaitu seluruh kakak-kakak
dan keponakan-keponakan saya yang telah mendukung selesainya
skripsi ini.
11. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, teman teman
seperjuangan dalam memburu ilmu-ilmu agama di Fakultas Usuluddin.
12. Sahabat-sahabat saya TH D „Kandang Macan”, yang mendampingi
dan menopang penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. Semoga
kalian semua menjadi orang-orang yang berguna bagi bangsa
Indonesia.
Ciputat, 9 September 2018
Muhammad Anas
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol
dalam penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
ix
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
(S Es dengan garis di bawah ص
(D De dengan garis di bawah ض
(T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh Ge dan ha غ
x
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.Untukvokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda VokalLatin Keterangan
A Fathah َـ
I Kasrah ِـ
U Dammah ُـ
xi
Adapun untuk vokalrangkap,ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda VokalLatin Keterangan
يَـ Ai a dan i
وَـ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksaravokalpanjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dan garis di atas َـا
Î i dan garis di atas ِـْي
Û u dan garis di atas ُـو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd (ّـ) dalam alih aksara inidilambangkan
denganhuruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah
itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,
demikian seterusnya.
xii
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯahterdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûṯahtersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika
huruf ta marbûṯahtersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-Jâmi„ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xiii
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد
Tsabata al-ajru ثبت األجر
Al-harakah al-„asriyyah احلركة العصرية
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشهد أن ال إله إال اهلل
Maulânâ Malik al-Sâlih موالنا ملك الصاحل
yu`atstsirukum Allâh يؤثركم اهلل
Al-maẕâhir al-„aqliyyah املظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.
xiv
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
PENGESAHAN DOSEN ......................................................................................ii
SURAT PERYATAAN.........................................................................................iii
ABSTRAK............................................................................................................ iv
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN....................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERASI.........................................................................vii
DAFTAR ISI.........................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................5
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian......................................................5
D. Tinjauan Pustaka................................................................................6
E. Metode Penelitian..............................................................................7
F. Sistematika Pembahasa......................................................................8
BAB II ABÛ HÂMID AL-GHAZÂLI SERTA KITAB JAWÂHIR AL
QURÂN DAN RASYÎD RIDÂ SERTA TAFSÎR AL-MANÂR
A. Profil Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli...........................................9
1. Biografi Al-Ghazâli......................................................................9
2. Pendidikan Al-Ghazâli................................................................10
3. Karya-karya Al-Ghazâli..............................................................13
B. Kitab Jawâhir Al-Qurân.....................................................................15
1. Gambaran Umum Kitab Jawâhir Al-Qurân ...............................16
2. Metodologi Dan Sumber Penafsiran Kitab Jawâhir Al-
Qurân...........................................................................................17
3. Corak Kitab Jawâhir Al-Qurân...................................................18
C. Profil Muhammad Rasyîd Ridâ..........................................................19
1. Biografi Rasyîd Ridâ...................................................................20
2. Pendidikan Rasyîd Ridâ..............................................................20
3. Karya-karya Rasyîd Ridâ............................................................24
D. Tafsîr Al-Manâr ................................................................................25
xv
1. Latar Belakang Penafsiran Tafsîr al-Manâr................................25
2. Tujuan pokok penafsiran.............................................................26
3. Metodologi Tafsîr al-Manâr.......................................................27
4. Sumber Penafsiran.......................................................................28
5. Corak Tafsîr al-Manâr................................................................28
BAB III GAMBARAN UMUM MAQÂSID AL-QURÂN
A. Pengertian Secara Etimologi Dan Terminologi Maqâsid al-Qurân..30
B. Sejarah Perkembangan Maqâsid al-Qurân.........................................33
C. Tafsir al-Maqâsidî dan klafikasi Maqâsid al-Qurân..........................41
D. Kolerasi Antara Maqâsid al-Qurân dengan Tafsir al-Qur‟an.............41
E. Perbedaan Antara Maqâsid al-Qurân Dan Maqâsid al-Syari’ah.......42
BAB 1V ANALISIS KONSEP MAQÂSID AL-QURÂN ANTARA
ABÛ HÂMID AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ
A. Maqâsid Al-Qurân Menurut Abū Hâmid Muhammad Al
Ghazâli.................................................................................................45
1. Ta’rîf Al-Mad’û Ilaih (Menjelaskan Yang Berhak
Sembah)..........................................................................................46
2. Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju)
Allah Swt.......................................................................................48
3. Mengenalkan Keadaan Manusia Ketika Kembali
Ke Akhirat.....................................................................................50
4. Menjelaskan Kisah-kisah Sâlik (Orang-orang Taat
Menuju Allah) Dan Nâkib (Orang-orang Yang
Mengingkari Allah Swt).................................................................51
5. Membantah Keyakinan-keyakinan Orang-orang Kafir
Dan Menyingkap Kesalahan-kesalahan Mereka Dengan
Bukti/argumentasi Yang Jelas........................................................52
6. Menjelaskan Bagaimana Memakmurkan Manâzil al-Tarîq
(Tempat-tempat Jalan) Serta Tatacara Mempersiapkan Bekal
Untuk Sulûk Menuju Allah Swt.....................................................54
xvi
B. Maqâsid Al-Qurân Menurut Rasyîd Ridâ............................................55
1. Memperbaiki Tiga Pondasi Agama Islam (Keimanan,
Amal Sâlih, HariAkhir)..................................................................56
2. Menjelaskan Kebodohan Manusia Tentang Risalah Kenabian
Serta Tugas-tugas Para Rasul ...................... ................................58
3. Islam Agama Yang Sesuai Dengan Fitrah, Akal, Berdasarkan
Ilmu, Hikmah, Bukti Dan Argumentasi Secara Ilmiah, Hati,
Perasaan, Dan Membebasakan Dari Kejumudan...........................59
4. Memperbaiki Masyarakat Manusia Dengan Merealisasikan
Delapan Persatuan/persaudaraan....................................................61
5. Menetapkan Keistimewan-keistimewaan Islam Secara Umum
Dalam Menetapkan Taklîf (Pembebanan Hukum)........................62
6. Menjelaskan Hukm Al-Islâm Al-Siyâsî (Hukum politik Islam)......64
7. Irsyâd Ilâ Al-Islâ Al-Mâlî (Petunjuk Memperbaiki/mengelola
Harta Dengan Baik).......................................................................65
8. Memperbaiki Nizâm (Peraturan) berperang Di Dalam Islam........67
9. Memberikan Seluruh Hak Perempuan Dari Hak Kemanusian,
Keagamaan, Kewarganegaraan.....................................................69
10. Pembebesan Budak Dalam Islam...................................................71
C. Perbedaan Konsep Maqâsid Al-Qurân Antara
Abû Hâmid al-Ghazâli Dan Rasyîd Ridâ ...........................................73
D. Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Maqâsid Al-Qurân al-Ghazâli
Dan Rasyîd Ridâ..................................................................................76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................79
B. Saran-saran...........................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Maqâsid al-Qurân adalah istilah yang digunakan ulama untuk menggali
maksud-maksud Allah Swt menurunkan al-Qur‟an kepada seluruh manusia.
Kajian Maqâsid al-Qurân belum menjadi disiplin ilmu tersendiri di kalangan para
ulama klasik maupun kontemporer. Walau demikian, term istilah Maqâsid al-
Qurân terdapat bertebaran dijumpai di dalam karya-karya karangan ulama. Di
antara ulama klasik misalnya, Abû Hâmid al-Ghazâli dalam karyanya Jawâhir al-
Qurân yang secara eksplisit menyebutkan term Maqâsid al-Qurân dengan
ungkapannya, Fī Hasri Maqâsid al-Qurân Fî Sittah al-Aqsâm (membatasi
Maqâsid al-Qurân pada enam bagian). Menurut beliau, bahwa puncak tujuan
Allah menurunkan al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Allah Swt yang
maha esa1. Menurut „Izzuddin Abd al-Salâm, Mu‟zam Maqâsid al-Qurân Huwa
al-Amr Bi Iktisâb al-Masâlih Wa Asbâbihâ Wa al-Zajru An Iktisâb al-Mafâsid Wa
Asbâbihâ (inti dari Maqâsid al-Qurân adalah segala perintah Allah yang
mengusahakan segala kemaslahatan manusia dan sebab-sebab yang mengantarkan
kepada kemaslahatan, serta larangan yang mengusahakan mencegah segala
kerusakan-kerusakan serta sebab-sebabnya).2Begitu pula al-Râzî mengatakan,
Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan pokok al-Quran) adalah tawhîd (mengesakan
Allah), Ahkâm al-Syar‟iyyah (hukum-hukum al-Syariah), Ahwâl Ma‟âd (keadaan
hari akhir).
Di kalangan kontemporer, terdapat Ta‟rif (definisi) istilah Maqâsid al-
Qurân. Di antaranya, Ibn Âsyur mengatakan, Mâqsad al-A‟lâ Minhu Islâh Ahwâl
al-Fardiyyah Wa al-Jamâiyyah Wa al-„Imrâniyyah (tujuan puncak al-Qur‟an
1Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhir al-Qurân (Lebanon: Dar al-Ihyâ‟ al-Ulûm,
1990 ), h. 23. 2Izzuddin Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah al-
Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ), Jilid 1, h. 8.
2
adalah memperbaiki keadaan individu, masyarakat, peradaban manusia).3
Sedangkan menurut Rasyîd Ridâ mengatakan:
إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاذلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم مقاصد القرآن يو اإلنسانية وترقية عقوذلم وتزكية أنفسهم
“Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas,
kaum, serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan
kesatuan persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka,
dan membersikan jiwa mereka”.4
Begitu pula Abd al-Karîm al-Hâmidî secara gamlang mendefinisikan istilah
Maqâsid al-Qurân. Menurut beliau,
مقاصد القرآن يي الغايات اليت أنزل القرآن ألجلها حتقيقا دلصاحل العباد
“Maqâsid al-Qurân yaitu tujuan-tujuan yang diturunkan al-Qur‟an untuk
merealisasikan kemaslahatan-kemaslahatan hamba-hamba Allah”.
Memahami Maqâsid al-Qurân sangat penting dalam tubuh kajian tafsir.
Pada mulanya penafsiran al-Qur‟an benar-benar otentik, murni dan sesuai dengan
tujuan al-Qur‟an tidak ada penyelewengan dan penyimpangan karena yang
menafsirkan adalah Rasulullah Saw dan para sahabat. Namun dalam
perkembangannya setelah melewati berbagai fase, penafsiran dan pemahaman
terhadap ayat mulai ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan, baik
kepentingan ideologi, politik dan pula disisipi oleh kisah-kisah Isrâ‟îliyât,
sehingga mengalami penyelewengan dan distorsi makna al-Qur‟an. Di sinilah
penafsiran mulai kehilangan ruhnya, tafsir tidak lagi berfungsi sebagai disiplin
ilmu yang secara substansial digunakan untuk mengungkap makna otentik ayat-
ayat al-Qur‟an, justru yang terjadi sebaliknya.5
Menurut Husain al-Dzahabî, ada beberapa faktor penyebab terjadinya
penyelewengan dan distorsi makna dari ayat al-Qur‟an. Di antaranya adalah
riwayat-riwayat yang bersumber dari agama yahudi dan Isrâ`îliyât, fanatik
3Muhammad Tâhir Ibn Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dâr Tunisiyyah,
1984 M ), Jilid 1, h. 38. 4Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11, h. 206.
5Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursī”,
Furqonia, no. 1 (Agustus 2015): h. 50.
3
mazhab, pandangan politik dan kepentingan ideologi.6 Maka dari itu, memahami
tujuan tujuan al-Qur‟an (Maqâsid al-Qurân) menjadi sebuah keniscayaan bagi
para mufasir al-Qur‟an, agar mampu memproduksi tafsir yang sejalan dengan
tujuan tujuan Allah Swt dan kemaslahatan manusia.
Menurut Ahmad Raisûnî, dalam kitabnya Maqâsid Maqâsid menjelaskan
bahwa mengetahui tujuan-tujuan pokok al-Quran secara umum menjadi hal yang
urgensi bagi para mufasir, agar penafsiran al-Qur‟an sejalan dengan tujuan-tujuan
pokok al-Qur‟an. Sebagaimana perkataannya :
دد مهى كذل للففسري ي مهايههم مقاصد القرآن يي ادليزان وادلعيار الذي الوتفسرياهتم فبفعرفتها ومراعاهتا يضف ادلفسر لهفسى ولتفسريو أن تكون ايتفاماتى
ومقاصدو واستهباطاتى ي نطاق مقاصد القرآن دال زيادة وال نقصان ويذا ضرب م تفسري القرآن ي ضوء مقاصدو» تفسري القرآن دالقرآن » وديك تسفيتى ، » »
“Maqâsid al-Qurân adalah sebagai timbangan dan barometer yang wajib
mengetahuinya sebagai basis bagi para mufasir dalam metodologi penafsiran
mereka. Dengan memelihara Maqâsid al-Qurân, akan menjaga mufasir dan
tafsirnya yang bertumpu pada tujuan-tujuan dan istimbât pada ruang lingkup
Maqâsid al-Qurân tanpa ditambah atau dikurangi. Dan demikian perumpamaan
yang mungkin diistilahkan, menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an atau
menafsirkan al-Qur‟an dalam pencerahan Maqâsid al-qurân”.7
Sangat erat kaitannya antara Maqâsid al-Qurân dengan Tafsir. Tafsir
adalah upaya untuk melakukan identifikasi terhadap kandungan al-Qur‟an dengan
teliti dan cermat. Menurut Jalâl al-Dîn al-Suyutî, Tafsir adalah sebuah disiplin
ilmu yang berfungsi untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dengan menjelaskan maknanya dan mengambil kesimpulan hukum.8
Sedangkan Maqâsid al-Qurân sebagai basis dan arah dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Seorang mufassir dituntut untuk mengidentifikasi terlebih dahulu tentang
tujuan pokok dari sebuah ayat sebelum melakukan penafsiran. Ia harus memiliki
orientasi atau basis ketika hendak melakukan penafsiran atau berinteraksi dengan
6Muhammad Husain al-Dzahabî, Ittijâh al-Munharifah fī al-Tafsîr al-Qurân al-Karîm
(Kairo: Dâr al-Isti‟sâm 1978 ), h. 15-16. 7Ahmad Raisûnî, Maqâsid Maqâsid (Riyâd : Maktabah al-Rusyd 2007), hal. 16.
8Jalal al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fî Ulûm Al-Qurân (Kairo: Dâr al-Salâm 1998), hal. 174.
4
al-Qur‟an.9Daghamin mengemukakan, bahwa Maqâsid al-Qurân sebagai landasan
dalam ber‟intraksi dengan al-Qur‟an. Dengan demikian penafsiran al-Qur‟an tidak
akan liar dan sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an.
Menurut Wasfî Âsyur, memahami Maqâsid al-Qurân menjadi unsur yang
penting bagi Tafsir, akan mengantarkan terbentuknya tafsir yang menjahukan hal
hal yang tidak ada faidahnya serta sejalan dengan tujuan Allah Swt. Misalnya
Dalam Surah al-Naml/27: 18 berikut:
“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor
semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak
diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”
Menurut Wasfî Âsyur, bahwa pada ayat ini tidak penting memperdebatkan
tentang seekor semut, apakah semut laki-laki atau semut perempuan sebagaimana
terdapat di beberapa kitab tafsir, karena tidak ada faidah memperdebatkan nya.
Yang terpenting bahwa tujuan ayat ini adalah menjelaskan tentang kekuasaan
Allah, yang Allah Swt berikan kepada Nabi Sulaiman sehingga mampu berbicara
dengan semut.
begitu pula menurut Ibn Âsyur, bahwa tujuan-tujuan pokok al-Quran harus
menjadi orentasi tujuan bagi para mufasir dalam menciptakan produk tafsirnya.
Karena puncak tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah bahwa Allah Swt menurunkan al-
Quran untuk kemaslahatan manusia serta menjahukan segala kemafsadatan.10
Dari penjelasan di atas, betapa eratnya hubungan antara Maqâsid al-Qurân
pada kajian tafsir. Maka penulis tertarik membahas Konsep Maqâsid al-Qurân
menurut dua ulama yaitu Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli dan
Rasyîd Ridâ. Alasan yang melatar belakangi penulis memilih kedua ulama
tersebut, karena keduanya membahas lebih luas dibandingkan dengan para ulama
lainnya. Misalnya al-Ghazâli secara khusus beliau membahas Maqâsid al-Qurân
dalam karyanya Jawâhir al-Qurân. Dan begitu pula Ridâ, membahas Maqâsid al-
9Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursī”,
Furqonia, no. 1 (Agustus 2015): h. 73. 10
Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursī”,
Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 16.
5
Qurân secara panjang dalam Tafsir al-Manâr. Dan menurut Ahmad Raisūnī,
bahwa:
يو العالمة حمفد - ي حدود ما وقفت عليى-أول م توسع ي االستقصاء والبيان دلقاصد القرآن ضافياً ي حنو سبعني صفحة، وذل ي اجلزء احلادي عشر م رشيد رضا. فقد عقد لذل فصالً
.تفسري ادلهار ، عهد تفسري أول سورة يونس“Pertama kali yang meneliti secara luas dalam menjelaskan Maqâsid al-
Qurân pada batasan-batasan tertentu adalah Muhammad Rasyīd Ridā. Sungguh
beliau telah tetapkan pembahasan yang luas sekitar 70 halaman dan demikian
terdapat pada juz 11 dalam Tafsir al-Manâr pada awal tafsir surah al-Yûnus.”11
Dengan uraian di atas, maka penulis mengambil judul penelitian ini
“STUDI KOMPARATIF KONSEP MAQÂSID AL-QURÂN MENURUT
RASYÎD RIDÂ DAN ABÛ HÂMID MUHAMMAD AL-GHAZÂLI”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakangan yang sudah dipaparkan di atas, maka saya akan
membuat penelitian yang memfokuskan tentang konsep Maqâsid al-Qurân
menurut dua tokoh ulama yaitu Abū Hâmid Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd
Ridâ yang keduanya tawarkan dalam karya kedua yaitu Jawâhir al-Qurân dan
Tafsîr al-Manâr. Maka rumusan masalah yang akan dijawab pada tulisan ini
adalah bagaimana pandangan al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ tentang Maqâsid al-
Qurân serta perbandingan keduanya?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
- Untuk mengetahui apa itu Maqâsid al-Qurân menurut al-Ghazâli dan
Rasyîd Ridâ
- Mengetahui perbedaan dan persamaan konsep Maqâsid al-Qurân yang di
tawarkan oleh al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ
- Menjelaskan bahwa urgensinya mengetahui Maqâsid al-Qurân bagi para
Mufassir, sehingga mampu melahirkan produk tafsir yang tidak lepas dari
Maqâsid al-Qurân yaitu untuk kemasahatan manusia.
11
Ahmad Raisûnî, Maqâsid Maqâsid (Riyâd: Maktabah al-Rusyd 2007), hal. 16.
6
- Memberikan kontribusi akademik. Peneliti berharap atas tulisan yang di
kerjakan, bisa memberikan manfaat untuk khazanah ilmu pengetahuan dan
wawasan, khususnya dalam bidang ilmu al-Quran dan Tafsir.
D. Tinjauan Pustaka
Diakui penulis, bahwa kajian Maqâsid al-Qurân bukanlah hal yang baru.
Bahkan banyak para akademisi yang telah menyoroti kajian ini. Terbukti dari
beberapa literatur yang ditemukan, baik berupa buku-buku maupun artikel, skripsi
dan lain-lain. Namun menurut hemat penulis, penelitian secara independen
tentang konsep Maqâsid al-Qurân menurut Abû Hâmid Muhammad Ibn
Muhammad al-Ghazâli serta Muhammad Rasyîd Ridâ sangat minim bahkan
barangkali merupakan hal yang baru.
Di antara karya-karya tersebut adalah :
Jurnal Moh. Bakir dengan judul Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟
al-Zamân Saîd Nursî. Artikel ini memaparkan Maqâsid al-Qurân Serta
menjelaskan pembagian Maqâsid al-Qurân menurut Saîd Nursî. Dan penekanan
artikel ini, lebih menjelaskan secara gamblang tentang menurut Saîd Nursî yang
ditawarkan beliau.12
Disertasi karya Manuba Burhan, al-Fikr al-Maqâsidî „Inda Muhammad
Rasyîd Ridâ. Dalam buku ini menjelaskan konsep Maqâsid menurut Rasyîd Ridâ
yang di dalam nya pula menyinggung permasalahan yang berkaitan dengan
pandangan beliau tentang konsep Maqâsid al-Qurân
Karya Dr Mas‟ud dengan judul Juhûd al-Ulamâ‟ Fî Istimbât al-Maqâsid al-
Qurân. Dalam karya ini menjelaskan kesungguhan para ulama dalam menggali
Maqâsid alqurân serta pula menjelaskan tentang konsep pembagian Maqâsid al-
Qurân menurut Rasyîd Ridâ dan al-Ghazâli.13
Skripsi Azmi Mufidah dengan judul Tafsir Maqâsidi Ibn Âsyur dan
Aplikasinya. Dalam Skripsi ini menjelaskan Tafsir yang berorentasi pada
12
Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursī”,
Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). 13
Mas‟ûd Baudûkhah, “Juhûd al-Ulamâ‟ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân”, h. 2.
7
pendekatan tujuan-tujuan al-Syariah (Maqâsid al-Syariah) menurut Ibn Âsyur
dalam Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.14
Jurnal karya Dr. Kusmana dengan judul Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis
Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran Kuntowijoyo. Pada jurnal ini menjelaskan
perkembangan kajian Maqâsid. Dan pula Tulisan yang didasarkan studi
kepustakaan ini menemukan bahwa corak tafsirnya dapat dikelompokkan ke
dalam semangat Tafsir Maqâsidi Ilmi dengan kecenderungan untuk
mengkonstruksi ilmu pengetahuan dengan inspirasiinput Qur‟ani.15
Secara teoritis, dari berbagai literatur yang telah disebutkan diatas, sangat
membantu penulis dalam penelitian menulis konsep Maqâsid al-Qurân. Namun
secara praktis menurut hemat penulis, penelitian tersebut belum membahas secara
detail tentang konsep Maqâsid al-Qurân menurut al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ.
Dan perbedaan dari seluruh literatur kajian-kajian sebelumnya yang disebutkan di
atas dengan penelitian yang akan penulis kaji yaitu bahwa kajian-kajian
sebelumnya mengkaji Maqâsid al-Qurân secara umum saja yang berkaitan
dengan al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ. Sedangkan penulis, akan mencoba untuk
meneliti lebih dalam lagi tentang Maqâsid al-Qurân yang keduanya tawarkan.
E. Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah, dituntut untuk menggunakan metode yang
jelas. Metode ini merupakan cara dan aktifitas analisis yang digunakan seorang
peneliti dalam meneliti objeck penelitiannya.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian perpustakaan (Library Research),16
karena yang menjadi sumber penelitian adalah bahan pustaka, tanpa melakukan
survei dan observasi. Penelitian ini bersifat kualitatif, maka data yang diperoleh
dari data-data yang tersedia di perpustakaan. Dengan itu sumber penelitian itu
dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
dalam penelitian ini adalah kitab Jawâhir Alqurân karya Abû Hâmid Muhammad
14
Azmi Mufidah. “Tafsir Maqâsidi Pendekatan Maqâsid al-Syariah Ibn Âsyûr.” (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2013). 15
Kusmana, “Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran
Kuntowijoyo” Vol. 11 No. 2 (Desember 2015): h. 220 239. 16
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1998 ), hal. 256-261.
8
al-Ghazâli dan Tafsîr al-Manâr karya Rasyîd Ridâ. Dan sumber sekunder dalam
penelitian ini adalah buku-buku, artikel, serta karya-karya yang berisi informasi
berkatian dengan Maqâsid al-Qurân.
Penelitian ini bersifat deskriftif komparatif yaitu berusaha memaparkan
secara jelas pandangan Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ
tentang Maqâsid al-Qurân. Dari hasil pemaparan kedua tokoh tersebut, peneliti
menganalisis serta membandingkan kedua argumentasi kedua nya dengan mencari
titik temu persamaan dan perbedaan diantara keduanya, kemudian dapat ditarik
kesimpulan yang kongkrit tentang persoalan yang di teliti.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan penelitian ini tersusun dari lima bab yaitu :
Bab I, terdiri dari pendahuan, yang berkisar tentang titik tekan permasalahan
yang menjadi objek kajian pada penelitian. Yang terdiri dari, latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan perpustakaan,
metode penelitian, dan diakhiri sistematika pembahasan.
Bab II, terdiri dari dua sub bahasan. Pertama, menjelaskan beografi riwayat
hidup Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli dan karyanya kitab Jawâhir al-Qurân
dan beografi riwayat hidup Rasyîd Ridâ dan karyanya Tafsir al-Manâr.
Bab III, menejelaskan tentang pengertian Maqâsid al-Qurân bagi secara
etimologi dan terminologi, dan perkembangan Maqâsid al-Qurân, serta kolerasi
antara Tafsir dan Maqâsid al-Qurân.
Bab IV, merupakan inti dari penulisan ini, menjelaskan konsep Maqâsid al-
Quran menurut dua tokoh yaitu Abu Hamid Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd
Rida, serta konsep menurut keduanya. Dan perbedaan di antara keduanya.
Bab V, berupa penutup serta jawaban dari rumusan masalah yang di
fokuskan dari kajian ini.
9
BAB II
ABÛ HÂMID AL-GHAZÂLI SERTA KITAB JAWÂHIR AL-QURÂN DAN
RASYÎD RIDĀ SERTA TAFSÎR AL-MANÂR
Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ merupakan dua figur ulama yang tidak asing
lagi dalam dunia pemikiran Islam. Al-Ghazâli adalah seorang ilmuan besar dalam
dunia Islam di abad ke 5 yang terkenal dengan julukan Hujjah al-Islâm. Begitu
pula Rasyîd Ridâ adalah seorang tokoh muslim modernis, mufassir, penulis,
jurnalis yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Kalau al-
Ghazâli seorang ulama terkemuka di abad klasik, sedangkan Rasyîd Ridâ ulama
yang terkemuka di abad modern. Pada kesempatan ini, penulis akan memaparkan
riwayat hidup, pendidikan, serta gambaran-gambaran umum karya al-Ghazâli
yaitu Jawâhir al-Qurân dan karya Rasyîd Ridâ Tafsîr al-Manâr.
A. Sekilas Profil Abû Hâmid Al-Ghazâli
Menurut Dzahabî, al-Ghazâli adalah seorang Imam besar, Hujjah al-Islām,
penghias agama Islam yang keluasan ilmu-Nya laksana lautan sehingga memiliki
karya berbagai aneka macam disiplin ilmu. Imâm Juwainî guru al-Ghazâli pun
mengakui kecerdasan dan kepandaian ilmu al-Ghazâli, sehingga Imâm Juwainî
memberi gelar dengan “Bahr al-Mughrîq” (lautan yang menenggelamkan),
karena kedalaman dan keluasan keilmuan al-Ghazâli laksana lautan yang luas.
Begitu pula Abd al-Ghâfir al-Fârisi seorang ulama yang sezaman dengan al-
Ghazâli, beliau pula mengapresiasi keluasan ilmu al-Ghazâli dengan menyebut
beliau sebagai Imam para ahli fikih, Mujtahid pada zamannya, serta penolong
sunnah Rasulullah Saw.17
1. Biografi Al-Ghazâli
Nama lengkapnya Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli. Lebih
terkenal dengan sebutan al-Ghazâli. Ia lahir dikota kecil yang terletak Thûs,
17
Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-
Khâmisah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h.33.
10
provinsi Khurasân, Republik Islam Iran pada tahun 450 H (1058 M).18
Ayah al-
Ghazâli bekerja sebagai pemintal wol yang dalam bahasa Arab disebut ghazzâl.
Terdapat perbedaan pendapat tentang nama nama sebenarnya al-Ghazâli. Pada
umumnya dikenal dengan nama al-Ghazâli (dengan satu z) dan nama ini berasal
dari nama desanya, sehingga ada yang mengatakan bahwa nama al-Ghazâli
dinisbatkan pada nama kampungnya. Akan tetapi ia dikenal juga dengan nama al-
Ghazzâli (dengan dua z) dan nama ini diambil dari pekerjaan orang tuanya
sebagai Ghazzâl.19
Ayah al-Ghazâli termasuk orang-orang saleh yang mencintai para fuqaha serta
para ahli tasawuf dan ikut serta menghadiri kumpulan-kumpulan mereka dan
berdoa kepada Allah Swt, semoga Allah menganugrahkannya anak yang
sholeh.20
Al-Ghazâli tumbuh di keluarga yang religius, maka sejak kecil al-Ghazâli
mencintai ilmu pengetahuan dan seorang pencari kebenaran. Walaupun keadaan
orang tuanya yang kurang mampu serta keadaan politik dan keagamaan yang
labih, tapi tidak menggoyangkan semangat tekad dan kemauannya untuk belajar
dan menuntut ilmu kepada para ulama.
2. Pendidikan Al-Ghazâli
Sejak kecil al-Ghazâli belajar dengan sahabat karib ayahnya, ketika menjelang
wafat ayahnya, beliau berwasiat kepada al-Ghazâli dan saudaranya yang bernama
Ahmad, agar pergi ke temen dekat ayahnya seorang ulama Sufi. Dan disanalah al-
Ghazâli diajarkan menulis, adab, dan lain sebagainya.21
Di antara guru-guru al-
Ghazâli di waktu itu adalah Ahmad Râzakâni, dan kemudian melakukan
perjalanan menuju Jurjân untuk berguru dengan Imam Abî Nasr al-Ismâilî. Dan
disanalah al-Ghazâli mempelajari bahasa arab, persia, dan pengetahuan agama.22
dan setelah itu kembali lagi menuju Thûs untuk mengulang-ulang pelajaran yang
diperoleh di Jurjan selama tiga tahun, dan mempelajari tasawuf di bawah
bimbingan Yusûf al-Nassy. Kemudian ia pergi menuju Naisâbûr dan berguru
18
Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) , hal. 155. 19
Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1974), hal. 48. 20
Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 17. 21
Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 18. 22
Muhammad Yusran Asmûnî, Pertumbuhan Dan Perkembangan Berfikir Dalam Islam
(Surabaya: al-Ikhlâs 1994), hal. 8-9.
11
kepada salah-satu Imam tersohor yang mendapatkan gelar Imâm al-Haramain dan
pula seorang ulama besar beraliran al-asy‟ariyyah yaitu Ali al-Juwainî.
Dengannya, al-Ghazâli mempelajari teologi, hukum-hukum Islam, filsafat, logika,
sufiesme, dan lain lain. dengan kecerdasan al-Ghazâli, kemudian Imam Ali al-
Juwainî memberikan gelar al-Ghazâli dengan gelar “lautan yang
menenggelamkan” maksudnya adalah bahwa al-Juwainî mengibaratkan keluasan
ilmu al-Ghazâli bagaikan lautan yang dalam dan luas. Karenanya al-Ghazâli
sangat pandai dan mahir dalam beraneka ragam ilmu pengetahuan di antaranya,
dalam bidang fikih Imâm-Syâfi‟i, ilmu mantiq, ilmu usuluddin, filsafat, dan lain-
lain. Bahkan bukan hanya piawai beraneka ragam ilmu, akan tetapi juga al-
Ghazâli mengarang berbagai macam disiplin ilmu.23
Ia senantiasa bersama dengan gurunya al-Juwainî hingga ia meninggal dunia
pada tahun 478 H. Setelah itu, al-Ghazâli pergi dari Naisâbûr ke Muaskar.
kemudian bertemu dengan seorang menteri yang terkenal dengan sebutan Nidzâm
al-Muluk. Menteri tersebut sangat menghormati dan memuliakan al-Ghazâli
karena mengetahui kualitas pengetahuan kecerdasan al-Ghazâli. Dan pula, sebab
telah diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa pernah terjadi perdebatan antara al-
Ghazâli dengan sebagian ulama dalam sebuah forum ilmiah, dan al-Ghazâli keluar
menjadi pemenangnya sehingga Nidzâm al-Muluk menugaskan al-Ghazâli sebagai
pengajar di madrasah yang berada di Baghdâd yang dikenal sebagai Nidzâmiyah.
Pada tahun 484 H al-Ghazâli pergi menuju Irak dan mengajar disana, sehingga
penduduk Irak kagum dengan kecerdasan al-Ghazâli. 24
Dan berkata seorang
hakim yang bernama Abu Bakar Ibn al-Arabî, bahwa aku melihat di Baghdâd
bahwasanya lebih dari empat ratus orang-orang besar yang menghadiri majlis
pengajaran al-Ghazâli.25
Kedudukan dan ketinggian jabatan tidak membuat al-
Ghazâli congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk perang
batin dan hatinya tak tenang, suatu krisis kejiwaan melanda, setelah empat tahun
lamanya beliau menjalani tugas di Baghdâd. Sebagaimana yang di ungkapkan al-
Ghazâli, yaitu:
23
Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-
Khâmisah ( Damaskus: Dār al-Qalam, 1993 ), h.21. 24
Abū Wafâ‟ al-Ghânimi, Tasawuf Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2002),
hal. 184. 25
Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 18.
12
“ketika aku merasakan kelemahanku dan seluruh ikhtiar ku benar-benar
tidak ada lagi. aku kembali berlindung kepada Allah Swt dalam bentuk
perlindungan yang terpaksa yang tidak ada lagi cara lain, hatiku merasa senang
membelakangi kemegahan, harta, anak, dan juga sahabat”.26
Kesuksesan tidak mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan, bahkan
membuatnya gelisah dan menderita. Perasaan ini muncul setelah al-Ghazâli
mempelajari ilmu kalam (teologi). Kemudian tertanamlah keraguan di hati al-
Ghazâli, mana di antara aliran-aliran yang benar. Kegelisahan intelektualnya dan
rasa penasarannya dilukiskan di dalam bukunya al-Munqîd Min al-Dalâl
(menyelamatkan dari kesesatan ). 27
Pada tahun 488 H, terpancar di hati al-Ghazâli atas kehinaan kehidupan dunia,
kemudian ia meninggalkan kekayaan, popularitas yang ia raih di baghdâd.
Kemudian al-Ghazâli pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji serta pula
pergi ke Syâm untuk ber‟itikaf disana. Pada tahun 489 H, al-Ghazâli masuk kota
Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdîs
beberapa lama dan kembali ke Damaskus ber‟tikaf di menara barat masjid Jamî‟
Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nasr Ibn Ibrâhim Al
Maqdisî di masjid Jamî‟ Umawî (yang sekarang dinamai Al Ghazâliyyah).
Tinggal di sana dan menulis kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn, Al Arba‟în, Al Qistâs.
Beliau tinggal di Syâm sekitar 10 tahun.28
Pada tahun 498 H al-Ghazâli pergi
menuju Baitul Maqdîs untuk melakukan ibadah yang mendekatkan diri kepada
Allah Swt dan pula berziarah ke tempat-tempat bersejarah di sekitar Baitul
Maqdîs. Kemudian setelah itu, al-Ghazâli pergi ke Mesir dan tinggal beberapa
hari di Iskandariyyah. kemudian setelah itu, al-Ghazâli kembali Thûs tempat tanah
airnya.29
Ketika al-Ghazâli kembali ke Thûs, kemudian beliau habiskan seluruh
waktunya untuk mengarang kitab-kitab, serta ibadah kepada Allah Swt, dan pula
menghabiskan hidupnya mengkaji ilmu serta mengajar.30
Menurut al-dzahabî,
“pada akhir hayat kehidupannya, beliau tekun mengkaji ilmu hadits dan
berkumpul dengan ahli-ahlinya serta menelaah Shahihain ( Sahîh al-Bukhârî Dan
Muslim). Seandainya beliau ber‟umur panjang, niscaya beliau akan menguasai
26
Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”,hal. 130. 27
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Al Munqîd Min al-Dalâl (Istanbul: Darus Safeka,
tt), hal. 4. 28
Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”, hal. 131. 29
Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salām 2010), hal. 19. 30
Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salām 2010), hal. 18.
13
semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan
tidak memiliki keturunan kecuali beberapa putri”.31
Beliau wafat di kota Thûs pada hari Senin tanggal 14 Jumâdâ âkhir pada
Tahun 505 H bersamaan pada Tahun 1111 Masehi di Thûs. Jenazahnya di
kebumikan di tempat kelahiranya yaitu di perkuburan Tâbarân.
3. Karya- karya Al-Ghazâli
Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli mendapatkan gelar
Hujatul Islam atas pembelaaannya yang mengagumkan terhadap Islam. Dan al-
Ghazâli adalah seorang ulama besar yang produktif dalam menulis dan memiliki
karya buku yang banyak. Menurut al-Zarkalî, bahwa lebih dari dua ratus karangan
al-Ghazâli.32
Menurut Sulaimân Dunyâ, karangan Imâm al-Ghazâli mencapai 300
karangan.33
Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisâbûr.
Waktu yang digunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan
perhitungan ini, setiap tahunnya ia mengarang dan menghasilkan karya tidak
kurang dari 10 buku kitab besar dan kecil. Meliputi beberapa karya ilmu
diantaranya, ilmu filsafat, tasawuf, fikih, ilmu kalam, usul fikih, dan akhlak.
karya-karya Abû Hâmid al-Ghazâli di antaranya :
- Dalam bidang Tasawuf, al-Ghazâli mengarang kitab di antaranya, Ihyâ Ulûm al-
Dîn, pada kitab ini al-Ghazâli membagi pada empat bagian, bagian pertama
membahas Ibadah (ilmu, Taharah, Sholat, Zakat, puasa, Haji), bagian kedua
membahas norma-norma kebiasaan meliputi (adab makan, adab nikah, adab
mencari pekerjaan, adab bersahabat, adab bergaul dengan sesama insan), bagian
ketiga membahas hal-hal yang bisa membinasakan manusia, di antaranya
(musibah syahwat Farji dan perut, musibah lisan, malapetaka ujub, sombong,
pemarah, mencela dunia, harta, jabatan), dan bagian keempat membahas hal-hal
yang menyelamatkan, diantaranya (akhlak yang mulia, membersikan jiwa, sifat-
sifat yang baik seperti Sabar, jujur, syukur, juhud, Tawhîd, Tawakkal ).34
Dan
31
Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”, hal. 131. 32
Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-
Khâmisah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h.36. 33
Sulaimân Dunyâ, Al-Haqiqah fî Nazâ`ir Al-Ghazâli , (Mesir: Dâr Al-Ma‟ârif, 1119 H),
hal. 6. 34
Abû Hâmid al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm al-Dîn, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Arabiyyah, T.t ), hal.
27.
14
kitab-kitab tasawuf al-Ghazâli selain Ihyâ Ulûm al-Dîn di antaranya, Bidâyah al-
Hidâyah, Mukâsyafah al-Qulûb, Minhâj al-Âbidin, al-Risâlah al-Qudsiyyah,
Nasihat al-Mulk.
- Dalam bidang Filsafat, karya al-Ghazâli di antaranya Tahâfut al-Falâsifah. Secara
umum, kitab ini khusus al-Ghâzali karang untuk menjelaskan kerancuan-
kerancuan para filosof dan kitab ini disajikan oleh al-Ghazâli terdapat 20
permasalah yang berkaitan dengan kerancuan para filosof. Selain kitab ini, ada
beberapa karya al-Ghazâli lainnya yang berkaitan dengan bidang filsafat di
antaranya Maqâsid al-Falâsifah .
- dalam bidang al-Qur‟an, banyak karya al-Ghazâli di antaranya, Jawâhîr al-Qurân
yang membahas tentang mutiara-mutiara al-Qur‟an. Secara umum, kitab ini
menggali rahasia-rahasia ayat-ayat al-Qur‟an dan al-Qur‟an ini laksana lautan
yang luas membentang dan di dalamnya mengandung beraneka ragam mutiara-
mutiara yang jelita dan berharga.35
Selain itu, banyak karya-karya al-Ghazâli di
antaranya, Yâqût al-Ta‟wil Fî Tafsirât Ta‟wîl kurang lebih 40 Jilid.
- Dalam bidang Tawhîd di antaranya, Arba‟în Fî Usûl al-Dîn membahas tentang 40
permasalahan pokok pada agama, Qistâs al-Mustaqîm, Maqâsid Asnâ‟ Fī al-
Asmâ` al-Husnâ membahas tentang sifat-sifat Allah Swt yang terbaik.
- Dalam bidang Usûl al-Fikih dan Fikih di antaranya, al-Wajîz secara umum kitab
ini membahas fikih mazhab Imâm al-Syâfi‟î secara ringkas. al-Basît, al-Wasît
kedua kitab ini juga secara umum membahas tentang fikih mazhab al-Syāfi‟ī dan
al-Mustashfâ kitab ini karya monumental al-Ghazâli pada bidang Usûl al-Fikih.
Dengan banyaknya karya al-Ghazâli, sehingga banyak ulama yang
memberikan apresiasi kepada beliau. Al-Juwainî Imâm al-Haramain mengatakan,
bahwa keilmuan al-Ghazâli itu bagaikan lautan yang luas membentang.
Muhammad Ibn Yahyâ pula mengatakan bahwa tidak ada yang mampu
mengetahui keutamaan intelektual al-Ghazâli kecuali orang-orang yang sempurna
akalnya, atau mendekati kesempurnaan. Begitu pula Gâfir al-Fârisi mengatakan
35
Abû Hâmid Al-Ghazâli, Kitâb Jawâhîr al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 21.
15
bahwa tidak terlihat manusia yang seperti al-Ghazâli dari segi kepintarannya,
bagus retorika penjelasannya.36
B. Kitab Jawâhir Al-Qurân
Salah satu karya Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhamad al-Ghazâli dalam
bidang al-Qur‟an adalah Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an).
Gambaran umum kitab ini, al-Ghazâli mengibaratkan ilmu al-Qur‟an itu laksana
lautan yang luas dan membentang dan di dalamnya terdapat mutiara-mutiara yang
indah dan berkualitas, yang tak ada orang yang mendapati mutiara tersebut
kecuali orang-orang yang berusaha sekuat tenaga untuk menyelam kedalamannya.
Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazâli, yaitu:
“Sesungguhnya al-Qur‟an laksana lautan yang di dalamnya meliputi segala
macam mutiara. Segala puji bagi Allah dan pujian tersebut pembuka bagi
kitabnya (al-Qur‟an), Shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw sebagai
penutup pembawa risalah. Aku mengingatkanmu atas ketiduran mu, wahai
engkau yang terus membaca dan menjadikan al-Qur‟an sebagai pelajaran dan
amalan, dan pula mengambil makna-makna zâhir al-Qur‟an. mau sampai kapan
kau hanya berkeliling di tepi pantai laut dengan menutup kedua matamu
keindahan mutiara-mutiara di dalamnya. tidakah engkau berjalan melintasi
lautan dengan melihat keindahan-keindahan pulau-pulau, atau tidakah engkau
menyelami lautan untuk mendapati mutiara-mutiara, ataukah tidak irihkah
engkau melihat orang-orang yang menyelam mendapati mutiara-mutiara yang
indah. Sampaikah berita padamu, bahwa ilmu al-Qur‟an itu laksana lautan yang
sangat luas dan di dalamnya bercabangnya seluruh ilmu orang-orang terdahulu
dan orang-orang yang akan datang. Dan lautan itu bercabang pulau-pulau dan
sungai-sungai, begitu pula al-Qur‟an bercabang di dalamnya segala ilmu-
ilmu”.37
.
Al-Ghazâli mengibaratkan al-Qur‟an bagaikan lautan, mengisyaratkan betapa
luasnya makna ayat-ayat al-Qur‟an. Senada pula dengan pendapat Abdullah
Darrâz seorang ulama al-Azhar yang mengatakan bahwa, jika kau membaca al-
Qur‟an maka akan tampak jelas maknanya di hadapan anda. Tetapi bila anda
membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan makna-makna yang lain yang
berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya sampai anda
menemukan makna dalam satu kalimat yang bermacam-macam. Ayat-ayat al-
36
Sâlih Ahmad, al-Syâmî, Imâm al-Ghazâli Mujaddid al-Mi`ah al-Khamsah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h. 29
37Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân, (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 21.
16
Qur‟an itu bagaikan mutiara yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.38
1. Gambaran Umum Kitab Jawâhîr Al-Qurân
Kitab Jawâhir al-Qurân ini terdiri dari beberapa bab diantaranya yaitu :
- menjelaskan bahwa al-Qur‟an itu mengandung beraneka ragam mutiara-mutiara
yang berharga.39
- menjelaskan batasan tujuan-tujuan atau mutiara-mutiara al-Qur‟an. al-Ghazâli
membatasi Maqâsâd al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) dan Nafâ‟îs al-Qurân
(mutiara-mutiara al-Qur‟an) menjadi enam bagian. tiga bagian Usûl al-Muhimmah
(perkara-perkara dasar yang penting) dan tiga bagianya lainnya Tawâbi‟ al-
Mutammimah (perkara-perkara cabang yang peyempurna).40
- menjelaskan Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an). Tiga bagian Usûl al-
Muhimmah yaitu : mengenal yang berhak disembah yaitu Allah Swt (Ilmu
Tawhîd), menjelaskan Sulûk atau cara menuju Allah Swt, menjelaskan keadaan
ketika sampai kepada Allah atau keadaan hari akhirat. Dan tiga bagian Tawâbi‟al-
Mutammimah diantaranya yaitu : menjelaskan keadaan orang-orang yang Sulûk
(berjalan menuju Allah) seperti para nabi, orang bertakwa dan lain-lain. dan pula
keadaan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah seperti, orang-orang kafir,
munafik. dan pula Menjelaskan bantahan argumentasi orang-orang kafir dan
menyingkap kejahilan mereka atas penyembahan kepada berhala. Dan pula
menjelaskan bagaimana memakmurkan jalan menuju Allah dan hal-hal yang
harus yang semestinya dipersiapkan.41
- bercabangnya segala aspek-aspek ilmu agama dari sepuluh bagian yang telah
disebutkan.
- bercabangnya seluruh ilmu bersumber dari al-Qur‟an.
- Menjelaskan pula bahwa ayat-ayat al-Qur‟an ada yang lebih utama satu sama lain.
menurut al-Ghazâli, karena terdapat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang
38
Abdullah Darrâz, al-Naba` al-Azîm ( Mesir: Dâr al-Urubah, 1960), h. 111 39
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 21. 40
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 22. 41
Ahmad Raysûni, Maqâsid Maqâsid (Beirut: TT.pn., 2013 ), h. 14-15.
17
menjelaskan kemuliaan yang lebih pada sebagian surah atau ayat-ayat al-Qur‟an.
seperti sabda Rasulullah Saw “Yâsîn qalb al-Qurân” (Surah Yâsîn adalah jantung
al-Qur‟an), Ayât al-Kursî Sayyid al-Qurân (ayat kursi pangerannya al-Qur‟an).
- Rahasia-rahasia yang terselubung dalam surat al-Fâtihah
- Menjelaskan keadaan Surah al-Fâtihah adalah sebagai pembuka surga yang
delapan
- Menjelaskan keadaan ayat Kursî sebagai raja ayat suci al-Qur‟an, serta
menjelaskan nama-nama Allah yang agung
- Menjelaskan illat ( motif ) surah al-Ikhlas itu seperti sepertiga al-Qur‟an
- Menjelaskan surah Yâsîn adalah Qalb al-Qurân
- Menjelaskan keadaan orang-orang yang mengenal Allah serta menisbatkan
kenikmatan mereka dengan orang-orang yang lalai
- Menjelaskan pembagian inti sari surat-surat al-Qur‟an. dan membagi dengan dua
cara, pertama Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an) dan kedua Durar al-
Qurân ( permata-permata al-Qur‟an ). 42
2. Metode Penulisan Jawâhir Al-Qurân Dan Sumber Penafsiran
Ada beberapa metode penulisan penafsiran yang selama ini digunakan yaitu :
metode analisis (Tahlîlî), global/umum (Ijmâli), komparatif (Muqâran), dan
tematik (maudhû‟i). Dan jika diamati, bahwa penafsiran al-Ghazâli itu
mengunakan metode Ijmâli (umum) yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan cara
ringkas atau global yang mencangkup dengan bahasa yang mudah, populer, enak
dibaca.43
Dan sumber penafsiran al-Ghazâli dalam kitab Jawâhîr al-Qurân adalah
elaborasi antara Tafsîr bi al-Ra`yî (tafsir rasional) dan Tafsîr bi al-Ma`sûr (Tafsir
berdasarkan riwayat). Akan tetapi al-Ghazâli lebih mendominasi dengan
penafsiran rasionalnya dibandingkan penafsiran berdasarkan riwayat. Contoh
penafsiran al-Ghazâli, yaitu:
42
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn, 1411 H), h. 214-215
43Hujair,“Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassirin “, (Desember : 2008) : h. 272.
18
ة م صفاختاصة و فقولى تعايل ) دسم اهلل ( : نبأ ع الذات و )الرمح الرحيم ( : نبأ ع صفخاصيتها اهنا تستدعي سائر الصفات م العلم و قدرة و غرييا مث تتعلق داخللق ويم ادلرحومون و تعلقا يؤنسهم دى و يرغبكم ي طاعتى ال كوصف الغضب ولو ذكرو ددال ع الرمحة فان ذل حيزن
و خيوف و يقبض القلب وال يشرح“Pada firman Allah Swt, pada kalimat Bismillah adalah
menginformasikan tentang Zat Allah Swt. Dan pada kalimat al-Rahmân al-Rahîm
adalah menginformasikan tentang sifat diantara sifat-sifat Allah yang khusus.
Dan kekhususannya adalah karena sifat kasih sayang itu membutuhkan sifat ilmu,
qudrah, dan sifat-sifat lainnya. Kemudian sifat kasih sayang Allah itu berkaitan
dengan dengan seluruh makhluk dan seluruh makhluk disayang Allah Swt. dan
sifat ini berkaitan pula, bahwa Allah memberikan kabar gembira dengan sifat
kasih sayang serta mendorong untuk taat kepada Allah, tidak dengan sifat
pemarah nya dan seandainya disebutkan sifat kebalikan dari sifat rahmat Allah
Swt, maka hal demikian membuat berkesan membuat sedih dan menakut-nakuti
dan membuat hati sempit dan tak lapang”44
.
3. Corak Kitab Jawâhir Al-Qurân
Husain al-Dzahabî dalam karyanya Tafsîr wa al-Mufassirûn mengatakan,
bahwa corak kitab Jawâhir al-Qurân karya al-Ghazâli ini bercorak Tafsîr Ilmî.
Menurut al-Zahabî, Tafsîr Ilmiî adalah penafsiran yang dilakukan dengan
mengangkat mengunakan pendekatan teori-teori ilmiah dalam mengungkap
kandungan-kandungan ayat al-Qur‟an dan berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk menggali berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan
filsafat dari ayat tersebut.45
Sedangkan menurut Abd Mâjid al-Salâm, bahwa Tafsîr
Ilmî adalah penafsiran yang dimaksudkan oleh para mufassir untuk mencari
adanya kesesuaian ungkapan-ungkapan dalam ayat-ayat al-Qur‟an terhadap teori
ilmiah dan berusaha keras untuk menggali berbagai masalah keilmuan dan
pemikiran-pemikiran Filsafat.46
Dalam kitab Jawâhir al-Qurân pada fasal ke lima, al-Ghazâli mengatakan
pada pembahasan bercabangnya segala ilmu bersumber dari al-Qur‟an
diantaranya : Ilmu kedokteran, ilmu astronom, ilmu alam, ilmu anatomi tubuh,
dan ilmu-ilmu yang lainnya. Dan pula beliau berkata, bahwa segala ilmu yang
44
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Lebanon : Dâr Ihyâ Ulûm al-
Dīn, 1411 H), h. 64. 45
Muhammad Husain Al-Zahabî, Tafsîr Wa al-Mufassirûn (Kairo: Maktabah al-Wahbah )
Jilid II, h. 349. 46
Izzatul Laila,“Jurnal Penafsiran al-Qur‟an Berbasis Ilmi Pengetahuan”, no 1 (Juni
2014) : h. 48.
19
telah disebutkan dan yang tak disebutkan, seluruhnya tidak keluar dari al-Qur‟an.
karena seluruhnya berasal dari al-Qur‟an yaitu bersumber dari Allah Swt. Dan
ilmu Allah itu laksana lautan yang tak bertepi,47
sebagaiman firman Allah Swt
dalam Surah al-Kahfi ayat 109 yaitu :
109.”Katakanlah sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Contoh terdapat isyarat ilmu kedokteran yang dijelaskan oleh al-Ghazâli
pada firman Allah Swt dalam Surah al-Syu‟arâ ayat 80 yaitu :
80. “Apabila ku sakit, Dialah Allah yang menyembuhkan”.
Menurut beliau, bahwa yang menyembuhkan sesungguhnya hanya Allah Swt,
dan manusia tak akan bisa menyembuhkan kecuali setelah mengetahui ilmu
kedokteran.48
C. Sekilas Profil Muhammad Rasyîd Ridâ
Rasyîd Ridâ adalah seorang tokoh muslim modernis, mufassir, penulis,
jurnalis yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Karena beliau
hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad
ke-20. Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam
sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun waktu yang sebelumnya.
Sebab saat itu kaum impirealis barat telah bersekutu dengan kaum Zionis untuk
mempecah-belah umat Islam dan merampas harta kekayaan umat Islam.49
Kemunduran umat Islam menurut Rasyîd Ridâ, disebabkan karena mereka tidak
lagi menganut Islam yang murni, untuk mengetahui Islam yang murni orang harus
47
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 45-46. 48
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 45-46. 49
Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsîr Al-Manâr (Jakarta: PT.Gelora Aksara
Pratama,2006 ) h. 21.
20
kembali kepada al-Qur‟an dan Hadits. Beliau pula menolak dan menentang sifat
Jumûd (statis) yang terdapat dalam kalangan internal umat Islam. Sifat Jumûd
membuat mereka berhenti berfikir dan berusaha dan umat Islam harus memilki
sifat dinamis dan rasional.50
1. Biografi Muhammad Rasyîd Ridâ
Sayyid Rasyîd Ridâ adalah salah satu seorang tokoh pembaharu di dunia Islam
pada massa kontemporer. Nama asli Rasyîd Ridâ adalah Muhammad Rasyîd Ridâ
Ibn Alî Ridâ Ibn Muhammad Syâm al-Dîn al-Qalamûnî. Beliau lahir Hari rabu
pada tanggal 27 Jumâdâ Ûlâ tahun 1282 H atau pada tahun 1865 M, di suatu desa
bernama Qalamûn di Libanon yang letaknya tidak jauh sekitar 4 Km dari kota
Tripoli. Berkata Rasyîd Ridâ, :
”aku memilki dua tempat tinggal. Pertama tempat tinggal kelahiran ku dan
pendidikan ku yaitu di desa Qolamûn di kota Tripoli. Dan kedua tempat bekerja
ku di Mesir selama 11 Tahun. Disanalah, aku mengajar, belajar, serta bekerja di
beberapa organisasi”.51
Rasyîd Ridâ tumbuh di keluarga yang taat ber‟agama dan sangat dihormati
oleh masyarakat. Rasyîd Ridâ adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai
garis keturunan langsung dari Sayyidina Husein putra Sayyidina Ali dan Fâtimah
putri Rasulullah Saw. Oleh karena itu, di depan namanya memakai gelar Sayyid
atau kadang juga sering dipanggil Syaikh.52
Ketika Rasyîd Ridâ mencapai umur
remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa, serta ilmu sang nenek,
sehingga Rasyîd Ridâ banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri.53
2. Pendidikan Rasyîd Ridâ
Semasa kecilnya usia tujuh tahun, Rasyîd Ridâ dimasukan oleh orang tuanya
ke Madrasah tradisional di desanya Qalamûn. Rasyîd Ridâ juga belajar kepada
sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di
50
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 45. 51
Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 14.
52Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid „inda Muhammad Rasyîd Ridâ“.Tesis Fakultas
Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ`ir, 2006, hal. 14. 53
Muhammad Quraish, Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsir al-Manar,
(Tangerang : Lentera Hati, 2006), h. 72.
21
kampungnya yang ketika itu bernama al-Kuttâb. Disanalah ia diajarkan membaca
al-Qur‟an, menulis, dan dasar-dasar menghitung. Berbeda dengan anak-anak yang
seusianya, Rasyîd Ridâ lebih menghabiskan massa mudanya untuk belajar dan
membaca buku dari pada bermain. Dan sejak kecil, ia memang memiliki
kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengeahuan.54
Setelah menamatkan pelajaran di taman-taman pendidikan di kampungnya
yang dinamai al-Kuttâb, Rasyîd Ridâ dikirim oleh orang tuanya ke Tripoli
(Libanon) untuk belajar di Madrasah al-Ibtidaiyyah yang mengajarkan ilmu al-
Qur‟an, Nahwu, Sharaf, teologi, Fikih, Tasawuf, berhitung, dan ilmu bumi.
dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, karena Madrasah ini adalah milik
pemerintahan yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
akan menjadi pegawai pemerintahan Turkî Usmânî,55
Mengingat Libanon pada
waktu itu, dibawah kepemimpinan Turkî Usmânî. Rasyîd Ridâ tidak tertarik
dengan pada sekolah tersebut dan karena enggan menjadi pegawai, setahun
kemudian ia pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah al-Wathaniyyah al-
Islamiyyah yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan dengan bahasa
Arab sebagai pengantar, dan di samping diajarkan pula bahasa Turki Prancis.
Sekolah ini dipimpin oleh seorang ulama besar Syam pada massa itu yaitu Syakh
Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil yang besar terhadap perkembangan
pemikiran Rasyîd Ridâ.56
Nama asli Syaikh al-Jisr adalah Husain Ibn Muhammad Mustafâ al-Jisr.
Beliau seorang yang Alim dan bermazhab Hanafi, dan pula seorang sastrawan.
Beliau termaksuk guru dari Rasyîd Ridâ yang sangat dikagumi dan dicintai atas
pengajaranya yang dengan penuh perhatian serta keseriusan kepada Rasyîd Ridâ
semenjak duduk di bangku sekolah Madrasah al-Wataniyyah. Dan terkenal
sebagai ulama modern, yang mampu memadukan antara ilmu agama dengan ilmu
modern. Di samping itu, beliau juga pemimpin Tarîqah Khalwatiyyah.57
54
Ahmad Al-badawî Ibrâhîm, Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhid (Kâiro: al-Muassasah al-
Misriyyah al-Ammāh, t,th.), hal. 19. 55
Ahmad Al-Badawî Ibrâhîm, Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhid (Kâiro: al-Muassasah al-
Misriyyah al-Ammâh, t,th.), hal. 19. 56
A.Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar (Jakarta:PT.Gelora
Aksara Pratama,2006), hal. 25-26. 57Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas
Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 17.
22
Tujuan al-Jisr mendirikan Madrasah, di samping untuk memberikan
pengajaran kepada generasi muda sesuai dengan tuntunan zaman dan
mengimbangi aktivitas pendidikan dari sekolah-sekolah asing yang telah banyak
bermunculan disana dan banyak menarik minat sementara kalangan remaja mesir
untuk belajar di sekolah-sekolah tersebut. Namun Madarasah yang didirikan oleh
Jisr tidak dapat berumur panjang, karena pihak penguasa Turkî Usmânî tidak
dapat menerima Madrasah tersebut sebagai sekolah agama yang murid-murid nya
dapat dibebaskan oleh dinas militer. Dan akibatnya, Madrasah al-Wathaniyyah al-
Islamiyyah ditinggalkan murid-muridnya dan terpaksa ditutup oleh pemerintah.
disamping itu, meski Madrasah al-Wathaniyyah di tutup, Rasyîd Ridâ tetap
belajar pada Syakh al-Jisr, baik di Madrasah Râhibiyyah maupun di rumah
gurunya itu sendiri sampai selesai dan memperoleh ijazah dari gurunya pada
tahun 1315 H / 1897 M. 58
Di samping belajar dengan Syaikh al-Jisr, Rasyîd Ridâ juga belajar pada
ulama yang lain. Di antaranya yaitu Syakh Muhammad Nasyâbah, denganya
Rasyîd Ridâ menimbah Ilmu al-Hadîts Riwâyah dan Dirâyah. Beliau terkenal ahli
di bidang hadits dan karenanya Rasyîd Ridâ memahami dalam menilai hadits-
hadits Da‟îf dan Maudû‟i.59
Rasyîd Ridâ juga belajar dari Syakh Abd al-Ghanî al-
Râfi‟î. dan Rida belajar darinya Ilmu Hadîts, Usûl al-Hadîts, Tasawwuf dan
belajar pula kitab Naylu al-Awtâr karya Imâm al-syawkânî yang bermazhab Syîah
Zaidiyyah.60
Selama massa pendidikannya, Muhammad Rasyîd Ridâ membagi
waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah-satu Masjid milik keluarganya,
ibunya bercerita bahwa semenjak Muhammad Rasyîd Ridâ dewasa, aku tidak
pernah melihat dia tidur, karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun
sebelum kami tidur. Dan tidak itu saja, adiknya yang bernama Sâlih berkata, aku
tadinya menganggap saudaraku Rasyîd Ridâ adalah seorang Nabi. Tapi setelah ku
58
A.Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar (Jakarta:PT.Gelora
Aksara Pratama,2006), hal. 28. 59Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas
Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 17. 60Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas
Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 18.
23
tahu bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi penutup, maka aku menjadi yakin
bahwa dia adalah seorang Wali.
Setelah memperoleh ilmu yang luas, Ridâ memanfaatkan untuk
memberikan pengarahan dan petunjuk kepada para sahabatnya. Dalam
kegiatannya dia selalu mengamati masalah-masalah yang terjadi di kawasan
tetangga, terutama masalah agama kemasyarakatan melalaui surat dan majalah.
Ridâ sangat tertarik dan terkesan kepada Majallah ‟urwah al-Wustqâ yang
dipimpin oleh Jamâl al-Dîn al-Afghânî dan muridnya Syakh Muhammad Abduh.
Pertemuan dengan kedua tokoh tersebut hal yang didambakan dan dirindukan
Rasyîd Ridâ. Tetapi ia sangat menyesal karena ia sendiri tidak bisa bertemu
langsung dengan Jamâl al-Dîn al-Afghânî, sebab beliau keburu meninggal dunia
sebelum Ridâ bertemu dengannya. Akhirnya beliau langsung menemui muridnya
yaitu Syakh Muhammad Abduh menuju ke Mesir pada tahun 1879 M.61
Pertemuan antara murid dan guru yaitu Rasyîd Ridâ dan Muhammad
Abduh, bermula dari interaksi Ridâ dengan Majalah al-Urwah al-Wusqâ, Majalah
yang diterbitkan oleh Jamâl al-Dîn al-Afgânî dan Muhammad Abduh ketika di
Paris. Tulisan-tulisan kedua pembeharu tersebut memberikan kontribusi pengaruh
yang sangat besar kepada Muhammad Rasyîd Ridâ, sehingga mampu merubahnya
dari pemuda Sûfî menjadi pemuda yang penuh gairah semangat.62
Ketika di Mesir,
Ridâ bertemu dengan Muhammad Abduh. Pertemuan ini dijadikan momentum
yang penting bagi Ridâ untuk memperdalam pengetahuan dalam pembaharuan
Islam. Sebulan setelah bertemu Abduh, Ridâ menyampaikan keinginannya untuk
menerbitkan majalah yang nantinya diberi nama Majallah al-Manâr. Tujuan
Rasyîd Ridâ dalam menerbitkan Majallah al-Manâr yaitu untuk mengadakan
pembaharuan memalui media cetak yang di dalamnya berisikan bidang agama,
sosial, ekonomi, pemberantasan takhayyul, dan bid‟ah yang masuk di internal
umat muslim. Serta menghilangkan pula fatalisme, pemahaman-pemahaman salah
yang dibawah oleh tarikat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan, dan
membela umat Islam terhadap permainan politik negara Barat.
61
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang 1996), h. 45.
62
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 46.
24
Pada awalnya Abduh tidak merestui gagasan ini dikarenakan pada saat itu
di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi masalah yang diolah diduga
kurang menarik perhatian umum. Namun Ridâ menyatakan tekadnya, walaupun
harus menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah
penerbitan itu. Akhirnya Muhammad Abduh merestui dan memilih nama Al-
Manâr dari sekian banyak nama yang diusukan oleh Rasyîd Ridâ. Majalah ini
banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh. Muhammad Abduh memberikan
ide-ide dan gagasannya kepada Rasyîd Ridâ dan kemudian Rasyîd Ridâ yang
menguraikan dan menyiarkannya kepada masyarakat umum melalui lembaran-
lembaran majalah Al-Manâr. Walaupun demikian ide-ide al-Manâr juga berisikan
artikel-artikel yang dikarang Muhammad Abduh sendiri dan juga ditulis oleh
rekan-rekan pengarang lain. kemudian Rasyîd Ridâ mengusulkan kepada
Muhammad Abduh agar ia menulis Tafsîr al-Qurân dengan metode yang
digunakan dalam penulisannya di Majallah al-„urwah al-Wusqâ.63
Setelah kedua
ulama tersebut berdialog, akhirnya Muhammad Abduh bersedia memberikan
kuliah Tafsir di Jamî‟ al-Azhar kepada murid-muridnya. Al-Manâr terbit perdana
pada tanggal 22 Syawal 1315 H / 17 Maret 1898 M, berupa media mingguan
sebanyak delapan halaman. Majalah ini mendapat sambutan hangat bukan hanya
di Mesir dan negara-negara sekitarnya saja, tetapi juga sampai ke Eropa, bahkan
ke indonesia.64
3. Karya-karya Ilmiah Muhammad Rasyîd Ridâ
Muhammad Rasyîd Ridâ berhasil menulis sekian banyak karya Ilmiah,
diantaranya sebagaimana berikut :
- Al-Azhar dan al-Manâr. Isinya antara lain, sejarah al-Azhar,
perkembangan dan missinya, serta bantahan-bantahan terhadap ulama al-
Azhar yang menentang pendapatnya.
63
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsîr al-Manâr,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 78. 64
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsîr al-Manâr,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 79.
25
- Tarîkh al-Ustâdz al-Imâm, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan
perkembangan masyarakat Mesir di massa-Nya.
- Nidâ‟ Li al-Jins al-Latîf, berisi uraian tentang hak dan kewajiban wanita
- Zikr al-Maulîd al-Nabawî
- Risalah al-Hujjah al-Islam al-Ghazâli
- Wahdah al-Islamiyyah
- Wahyu al-Muhammadiyyah, berisi tentang penetapan wahyu Nabi
Muhammad Saw, serta perbedaan wahyu Nabi Muhammad dengan Nabi-
Nabi yang lainnya, serta menjelaskan tujuan-tujuan pokok al-Qur‟an.
- Majallah al-Manâr yang terbir sejak 1315 H / 1898 M sampai dengan
1354 H / 1935 M.
- Tafsîr al-Manâr
- Tafsir surah-surah al-Kausar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâs.65
D. Tafsîr Al-Manâr
Tafsîr al-Manâr yang bernama Tafsîr al-Qurân al-Hâkim yang
memperkenalkan dirinya sebagai salah-satu kitab Tafsir di antara kitab-kitab
Tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat yang Sahîh dan pandangan akal yang
tegas, yang menjelaskan syariah serta sunnatullah (hukum allah yang berlaku)
terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk untuk
seluruh manusia, di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara
petunjuk dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada massa diterbitkannya)
yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta (membandingkan pula) dengan
keadaan para Salaf (leluhur) yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu. Tafsîr
al-Manâr ini merupakan karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamâl al-Dîn
al-Afgânî, Muhammad Abduh, Rasyîd Ridâ. Tokoh pertama menanamkan
gagasan Islâh al-Ijtimâ‟i (memperbaiki masyarakat) kepada muridnya, yaitu
Muhammad Abduh. Kemudian gagasan tersebut dicerna, dikelola, ditafsirkan al-
Qur‟an dalam pengajaran-pengajaran Abduh di Universitas al-Azhar. Kemudian
65
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsīr al-Manâr,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 80.
26
penafsiran Muhammad Abduh ditulis serta dikembangkan oleh Muhammad
Rasyîd Ridâ.66
1. Latar Belakang Penafsiran Al-Manâr
Tafsîr al-Manâr ini pada mulanya adalah materi Tafsir yang diajarkan
Muhammad Abduh di Masjid al-Azhar yang dicatat oleh muridnya Ridâ. Materi
Tafsir ini kemudian diterbitkan di Kâiro, tapi pengaruhnya tersebar keseluruh
Negara Arab. Atas inisiatif Rasyîd Ridâ bahwa tulisan-tulisan ini dijadikan buku
Tafsir semua pengajaran Abduh yang dicatat oleh-Nya untuk kemudian dikoreksi
kembali oleh Abduh. Kemudian Tafsir tersebut diberi nama Tafsîr al-Hâkim dan
dikenal sangat populer dengan nama Tafsîr al-Manâr. Secara kuantitatif dalam
Tafsir al-Manar, Muhammad Abduh menafsirkan 413 ayat dari surat al-Fâtihah
sampai surat al-Nisâ‟ ayat 125 (Lima jilid pertama), karena beliau wafat tahun
1323 H. Penafsiran kemudian diteruskan oleh Rasyîd Ridâ dengan metode dan
corak yang hampir sama, sampai surat Yûsuf ayat 111 dengan jumlah 930 ayat.
Walaupun dicetaknya hanya sampai ayat ke-52 dari surat yang sama. Tepatnya
sampai pada volume ke 12, pada tahun 1354 H-1953 M Muhammd Rasyîd Ridâ
wafat. penulisan Tafsir ini tidak berhenti, tapi dilanjutkan oleh muridnya Ridâ
yaitu Muhammad bahjah al-Bîtâr, sampai selesai dan dicetak dalam edisi yang
terpisah dari Tafsîr al-Manâr.67
2. Tujuan Pokok Penafsiran
Tujuan pokok penafsiran Rasyîd Ridâ dalam Tafsîr al-Manâr sebagaimana
tujuan Muhammad Abduh yaitu memahami maksud Allah Swt sebagai Kitâb al-
Hidâyah yang membimbing manusia menuju mencapai kebahagian mereka baik
di kehidupan dunia maupun akhirat.68
Hal demikian bisa dipahami, karena
memang tujuan Allah Swt menurunkan al-Qur‟an ke bumi ini sebagai kitab
66
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsīr al-Manâr,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 83-84. 67
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 ), h. 93 68
Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah, t.t.), Jilid 2, hal. 424.
27
petunjuk untuk seluruh manusia menuju kebahagian di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana firman Allah QS al-Baqarah 2: 185 berikut:
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil”.
Menurut Ridâ, Muhammad Abduh ber‟argumentasi bahwa beliau mencela
sebagian para Mufasir yang mengiring penafsiran mereka yang hanya bertumpuh
pada kaidah-kaidah bahasa arab, cerita-cerita Isrâ`îliyyah dan tidak mengarahkan
manusia dari petunjuk al-Qur‟an. dan pula berkata bahwa menjadi kebutuhan
mendesak bagi manusia pada petunjuk al-Qur‟an sebagaimana sesuai tujuan al-
Qur‟an diturunkannya yaitu untuk memberi peringatan, kabar gembira, petunjuk,
dan perbaikan.69
Penekanan pada segi Hidâyah al-Qurân itu ditegaskan kembali
oleh muridnya Ridâ dalam muqaddimah Tafsîr al-Manâr, Ridâ mengatakan,
bahwa Allah Swt telah menurunkan bagi kita kitab suci-Nya sebagai Hidâyah
(petunjuk) dan cahaya terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya
untuk mensucikan kehidupan dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.70
Dan pula menurut Rasyîd ridâ, tujuan Allah Swt menurunkan al-Qur‟an
yaitu sebagai Hidâyah (petunjuk) untuk memperbaiki kepribadian insan,
kelompok, kaum, dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar dan diridhai
Allah Swt.71
3. Metodologi Tafsîr Al-Manâr
Ada beberapa metode penulisan penafsiran yang selama ini digunakan yaitu :
metode analisis (Tahlîlî), global / umum (Ijmâlî), komparatif (Muqâran), dan
tematik (maudû‟i). Jika dicermati penafsiran Rasyîd Ridâ, bahwa metodologi
69
Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,
t,t.), jilid 2, hal. 424. 70
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 94. 71
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu al-Muhammadiyyah (Beirut: Maktabah „Izzu al-Dîn,
1406 H), hal. 190.
28
penafsiran-Nya hampir sama sebagaimana penafsiran guru-Nya Muhammad
Abduh yaitu mengunakan metode analisi Tahlîlî.72
Jika Muhammad abduh dalam metodologi penafsirannya menyoroti ayat-ayat
al-Qur‟an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam
ayat yang ditafsirkan dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap
bagian ayat, dan juga memperluas masalah-masalah penafsiran yang tidak
disentuh oleh mufassir lainnya, namun ia berusaha meringkas pembahasannya
tentang kebahasaan dan sastranya dan pula membatasi pengambilannya riwayat-
riwayat yang Sahîh saja. Sedangkan Rasyîd ridâ dalam metodologinya mengikut
metodologi gurunya Muhammad Abduh, akan tetapi setelah wafatnya Abduh, ada
sedikit perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Sebagaimana perkataan
Rasyid Ridâ, yaitu :
”setelah wafatnya guruku Muhammad abduh. Aku berlainan dalam Manhâj
penafsiran, dengan memperluas yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan menghadirkan Hadits yang Sahih. Serta menganalisis bahasa, serta
menyingkap makna Lughawî secara umum, dan memaparkan permasalahan
ikhtilâf di kalangan „ûlamâ`, dan menghadirkan ayat-ayat al-Qur‟an pada surat-
surat yang berbeda, sera meluruskan penyimpang-penyimpang, dan menguatkan
untuk mematahkan argumentasi orang-orang kafir dan ahli bid‟ah, serta
memecahkan masalah-masalah dengan memberikan solusi yang menentramkan
jiwa dan menenangkan hati”.73
4. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran Rasyîd Ridâ, bahwa penafsirannya merupakan kelaborasi
antara Tafsir Riwayat (Tafsir bi al-Ma‟tsûr) dengan Tafsir akal (Tafsir bi al-
Ra‟yî). Menurut Husain al-Dzahabî, sumber penafsiran Rasyîd Ridâ sering kali
menafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, khususnya jika terulangnya ayat-ayat al-
Qur‟an dalam satu tempat. Dan pula beliau menafsirkan al-Qur‟an dengan Hadîts
Nabi Muhammad Saw yang Sahih menurut Ilmu Hadîts yang disepakati ulama.
dan juga menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat para Sahabat Rasulullah Saw,
para Tâbi‟în, dan pula menganalisis bahasa dan pula menafsirkan al-Qur‟an
mengunakan akalnya yang terlepas dari Taqlîd buta kepada para mufassir lainnya,
72
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 94. 73
Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,
t,t.), jilid 2, hal. 424.
29
kecuali pendapat yang baik yang diterima Rasyîd Ridâ, terlebih pendapat gurunya
Muhammad Abduh.74
5. Corak Penafsiran
Corak penafsiran Muhammad Rasyîd Ridâ tidak terlepas dengan pemikiran
guruhnya Muhammad Abduh yang mempelopori pengembangan tafsir yang
bercorak Adabî al-Ijtimâ‟î atau Tafsir yang ber‟orentasi pada sastra, budaya,
kemasyarakatan.75
Corak Tafsir Adabî al-Ijtimâ‟î adalah penafsiran yang
ber‟orentasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang
menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur‟an pada segi penelitian redaksionalnya,
kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah
dengan menonjolkan tujuan utama turunya ayat kemudian merangkaikan
pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.76
Menurut Muhammad Abduh, bahwa masing-masing kalimat dalam al-Qur‟an
tersusun secara serasi dan harmonis. Karena al-Qur‟an bukanlah kitab syair, akan
tetapi kitab bersumber dari Allah Swt yang maha kuasa atas segala sesuatu, dan
Dialah yang meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya secara serasi. Maka
tidak ada kata di dalam al-Qur‟an yang diletakkan hanya karena keterpaksaan.
Penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat dan keindahan susunannya dalam
penafsiran al-Qur‟an itu, tidak lain bertujuan untuk menarik jiwa manusia dan
menuntun mereka untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al-Qur‟an agar
maksud al-Qur‟an sebagai petunjuk dan Rahmat dapat tercapai dengan baik.77
Selain corak Adabî al-Ijtimâ‟î, Tafsir al-Manâr juga bercorak Hidâ‟i yaitu corak
yang di latarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan al-Qur‟an sebagai
petunjuk dan akhlak al-Qur‟an sebagai poros dan sentral dari usaha penafsiran
terhadap kitab suci al-Qur‟an.
74Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,
t,t.), jilid 2, hal. 424 75
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 97. 76
Abd al-Rahmân Rusli Tanjung,“Analisis Terhadap Corak Tafsîr al-Adabî al-Ijtimâ‟i”,
(Desember 2014): h. 163-164. 77
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 M), h. 97
30
Inti dari pembahasan ini, al-Ghazâli seorang ulama besar yang multi
latenta yang mengarang ratusan karya. Salah-satu karyanya yaitu Jawâhir al-
Qurân. Kitab ini secara umum membahas Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-
Qur‟an) yang ditawarkan oleh al-Ghazâli. Dan Rasyîd Ridâ adalah seorang
mufassir, jurnalis bahkan reformis yang lantang menyuarakan ide-ide
pembaharuan Islam. Tafsîr al-Manâr sebenarnya bukan murni karangan Ridâ,
karena kitab ini merupakan penyalinan pemikiran gurunya Muhammad Abduh
yang disalin/dibukukan oleh Rasyîd Ridâ. Tafsir yang bercorak Adabî al-Ijtimâ‟i
dan al-Hidâ`i, yang di dalamnya pula terdapat pemikiran Ridâ tentang Maqâsid
al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) yang beliau tawarkan.
31
BAB III
GAMBARAN UMUM MAQÂSID ALQURÂN
Al-Qur‟an diturunkan Allah ke muka bumi ini memiliki Maqâsid (tujuan-
tujuan dan tidak diturunkan secara sia-sia, hampa dari tujuan. Puncak tujuan al-
Qur‟an diturunkan adalah sebagai Hidâyah (petunjuk) bagi manusia menuju
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, lahir istilah di kalangan para
akademisi muslim dalam kajian diskursus al-Qur‟an yaitu Maqâsid al-Qurân
(tujuan-tujuan al-Qur‟an). Maqâsid al-Qurân adalah istilah yang digunakan para
ulama sebagai sebuah upaya/menggali tujuan-tujuan al-Qur‟an diturunkan untuk
manusia. Secara umum, puncak tujuan-tujuan al-Qur‟an menurut Abd al-Karîm
al-Hâmidî adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hamba-hamba Allah.78
Penulis menyadari bahwa kajian Maqâsid al-Qurân belum menjadi disiplin ilmu
tersendiri di kalangan para ulama. Akan tetapi, istilah Maqâsid al-Qurân bisa
didapati bertebaran di karangan karya-karya para ulama. Pada kesempatan ini,
penulis akan mengkaji gambaran umum, sejarah Maqâsid al-Qurân dan kolerasi
Maqâsid al-Qurân dengan Tafsir al-Qur‟an.
A. Pengertian Maqâsid al-Qurân
Kalau ditinjau dari segi etimologi/bahasa, kata Qasada dalam Mufradât Alfâdz
al-Qurân bermakna, Istiqâmah (jalan yang lurus), menuju sesuatu, dan berada di
antara dua perkara, misalnya di tengah-tengah antara dua ekstrim.79
Kata al-
Qasdu dari sisi bahasa berakar dari tiga dasar Qaf, Sad, Dal. Ketiga huruf tersebut
dirangkai menjadi kata Qasd yang dapat diartikan di antaranya al-iltizām
(berkehendak), al-Tawajjuh (menuju), al-Nuhûd nahwa al-Sya`a (bangkit menuju
sesuatu).80
dan kata Maqâsid al-Qurân adalah bentuk plural (Jamak) dari kata
78
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 31. 79
Al-Râgib al-Asfahânî, Mufradât Alfâdz al-Qurân (Lebanon: Maktabah al-Ilmiah ,t.t.), h.
672. 80
Ali al-Fayummî, al-Misbâh al-Munîr Fī Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Lebanon: Maktabah
al-Ilmiah, 1990), h. 192.
32
Maqsad yang bermakna, tempat yang diorentasikan atau dituju. Sedangkan al-
Qur‟an itu terambil dari kata أقر yang bermakna kumpulan dan himpunan, Karena
al-Qur‟an menghimpun huruf dan kalimat ayat-ayat al-Qur‟an.81
Jadi secara
bahasa, makna Maqâsid al-Qurân adalan orentasi atau tujuan al-Qur‟an.
Dalam al-Qur‟an, kata Maqâsid terdapat lima kali dan masing-masing terdapat
pada ayat yang berbeda-beda serta bentuk yang berbeda-beda. Pertama, kata
yang artinya moderat, tengah-tengah, berjalan yang lurus menuju مقتصد
kebenaran. Kata ini terdapat pada Surah al-Luqmân ayat 32 dan pula terdapat pada
Surah Fâtir ayat 32. Kedua, kata قصد dengan bentuk Masdar yang memiliki arti
jalan yang lurus. Kata ini terdapat di dalam Surah al-Nahl ayat sembilan. Ketiga,
kata قاصد dengan bentuk Isim Fâil yang bermakna dekat dan mudah ditempuh.
Dan menurut al-Qurtubî, kata tersebut bermakna mudah dan jalan yang sudah
diketahui. Keempat, kata إقصد dengan bentuk Fi‟il Amr (bentuk perintah).
Menurut Ibn Katsîr, kata tersebut bermakna sederhana, adil, seimbang yang tidak
terlalu cepat atau terlalu lambat dan adil di antara keduanya. Kelima, yang مقتصدة
bermakna moderat atau tengah-tengah di antara dua ekstrim.82
Kesimpulan dari
keseluruhan subtansi makna-makna di atas, bahwa makna Qasada adalah adil,
tengah-tengah, moderat, jalan yang lurus, dekat, mudah.
Sedangkan secara terminologi, belum ada istilah yang disepakati para ulama
tentang makna Maqâsid al-Qurân. Akan tetapi, terdapat isyarat pengertian
Maqâsid al-Qurân yang bertebaran pada karangan para ulama. Abû Hâmid al-
Ghazâli (505 H) dalam Jawâhir Al-Qurân mengatakan, puncak tujuan
diturunkannya al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Allah Swt
(Ma‟rifatullah). Sedangkan menurut Izzudin (660 H) Maqâsid al-Qurân adalah
معظم مقاصد القرآن األمر داكتساب ادلصاحل وأسباهبا، والزجر ع اكتساب ادلفاسد واسباهبا
“Puncak tujuan al-Qur‟an adalah menyeru manusia melakukan segala
kebaikan/kemaslahatan dan sebab-sebab yang mengantarkan kepada
81
Mannâ‟ al-Qattân, Mabâhis Al-Qurân (Kairo: Maktabah al-Wahbah, t.t.), h. 14 82
Muhammad Fuâd Abd al-Bâqi, Mu‟jam al-Muhfâras Li al-Alfâdz al-Qurân (Kairo:
Maktabah al-Misriyyah, 1365 H), hal. 545
33
kemaslahatan. Dan melarang melakukan kerusakan dan sebab-sebab yang
mengantarkan kepadanya”.83
Hal demikian bisa diketahui jika dicermati al-Qur‟an secara seksama, karena
setiap kali Allah Swt perintahkan sesuatu, pasti dibalik perintah tersebut ada
kemaslahatan dan kebaikan bagi orang yang melakukannya. Dan setiap kali Allah
Swt melarang sesuatu, pasti dibalik itu ada kemaslahatan agar tidak terjerumus
pada hal-hal yang merusak.84
Seperti larangan Allah tentang Khamr pada Surah
al-Mâidah ayat 90, bahwa tujuan Allah melarang demikian agar untuk menjaga
akal orang-orang beriman agar tidak rusak. Di kalangan ulama Usûl fikih, istilah
kebaikan dikenal dengan Jalb al-Masâlih (menarik kemaslahatan) sedangan
istilah kerusakan adalah Daf‟u al-Mafâsid (menolak segala kerusakan). Menurut
Râzî (606 H), Maqâsid al-Qurân adalah menjelaskan Tawhîd (mengesakan Allah
Swt), Ahkâm syar‟i (hukum-hukum syariat Islam), Ahwâl Ma‟âd (keadaan-
keadaan hari akhir) seperti hari pembangkitan, hari hisab, hari timbangan, surga
dan neraka. Sedangkan menurut Ibn Âsyur, tujuan utama Allah Swt menurunkan
al-Qur‟an yaitu:
حتقيق الصالح على ادلستوى الفردي، واجلفاعي، والعفراين
“Untuk merealisasikan perbaikan atau kemaslahatan baik tingkatan
individual, kelompok, masyarakat”.85
Menurut Abd Karîm al-Hâmidî, sorang ulama Maqâsîd di kalangan
kontemporer bahwa Maqâsid al-Qurân adalah
مقاصد القران يي الغايات اليت أنزل القران ألجلها حتقيقا دلصاحل العباد
“Maqâsid al-Qurân adalah tujuan-tujuan yang diturunkannya al-Qur‟an di
karenakan untuk merealisasikan kemaslahatan hamba”.86
Yang dimaksud dengan الغاياث adalah maksud dan hikmah yang terkandung di
dalam al-Qur‟an. dan yang dimaksud تحقيقا لمصالح العباد adalah itu merealisasikan
83
Izzuddin Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah al-
Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ), Jilid 1, h. 8. 84
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 30. 85
Muhammad Tâhir Ibnu Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al Tanwîr (Tunusia: Dâr al-
Tunisiyyah, 1984 M ), Jilid 1, h. 38. 86
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 31.
34
kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Rasyîd Ridâ,
Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu, masyarakat, kaum. Dan
menunjukan mereka kejalan yang benar serta mewujudkan persaudaraan sesama
manusia dan mengembangkan/meningkatkan akal serta mensucikan hati
manusia.87
B. Sejarah Perkembangan Istilah Maqâsid al-Qurân Di Kalangan Ulama
Dalam literatur klasik, penulis belum menemukan penjelasan yang pasti
tentang siapa pertama kali berbicara tentang Maqâsid al-Qurân dan kapan kajian
itu dimulai secara kajian ilmiah. Sejauh penelitian penulis, bahwa orang yang
pertama kali menjelaskan tentang Maqâsid al-Qurân di kalangan ulama klasik
adalah Abû Hâmid al-Ghazâli (w. 505 H) dalam karyanya Jawâhir Al-Qurân.
Dalam buku ini, al-Ghazâli mengemukakan bahwa puncak tujuan diturunkannya
al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Tuhan yang maha kuasa.88
Kemudian
beliau mengklasifikasi Maqâsid al-Qurân menjadi enam bagian. Tiga hal yang
pertama merupakan sentral dan prinsip-prinsip pokok dan tiga berikutnya
merupakan pelengkap atau penyempurna. Keenam demikian adalah pertama,
Menjelaskan tentang Zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt. Kedua, Menjelaskan
jalan yang lurus yang seharusnya ditempuh menuju Allah Swt. ketiga, Penjelasan
tentang kehidupan hari akhir. Empat, Menjelaskan keadaan orang-orang yang taat
kepada Allah Swt, seperti para Nabi, orang-orang Shaleh. Dan pula menjelaskan
perlakuan baik Allah Swt kepada mereka dan menjelaskan keadaan orang-orang
yang membangkang kepada Allah seperti Fir‟aun, orang-orang kafir, serta siksa
yang Allah timpakan kepada mereka. Lima, Bantahan terhadap kesalahan
argumentasi orang-orang kafir, dengan menyingkap kebenaran dan pula
menyingkap kebodohan mereka.89
Enam, Hal-hal yang diperlukan di dalam
perjalanan menuju Allah Swt yang meliputi pembekalan untuk menuju Allah Swt.
87
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu al-Muhammadiyyah, (Maktabah „Izzuddin 1406 H ), h.
191 88
Abu Hâmidi al-Ghazâli, Kitâb Jawâhir al-Qurân, (Lebanon : Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,
1411 H ), h. 23 89
Abu Hâmid al-Ghazâli, Kitâb Jawâhir al-Qurân, (Lebanon: Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,
1411 H ), h. 23-24.
35
Selanjutnya Râzî (606 H) yang memperkenalkan pertama kali dalam bidang
Ilmu Tafsir. Ia membahas dalam konteks kesatuan tujuan atau tema surah-surah
al-Qur‟an (Wihdah al-Mauduiyyah Li al-Suwar) sebagaimana yang dikatakan oleh
Quraish Shihab, bahwa Râzî mufassir yang pertama kali mencetuskan prinsip
kesatuan tujuan Surah al-Qur‟an dalam Tafsîr Mafâtih al-Ghaib.90
Menurut Râzi,
bahwa prinsip tujuan-tujuan al-Qur‟an secara umum adalah menetapkan empat hal
yaitu al-Ilâhiyât (ketuhanan), al-Ma‟âd (hari akhir), al-Nubuwât (kenabian),
Itsbât al-Qadâ` Wa al-Qadar (menetapkan takdir). Dan hal demikian terdapat
dalam surah al-Fâtihah, karena di dalamnya membahas tentang dzat Allah serta
sifat-sifatnya pada ayat 1-4 Dan pula membahas tentang kenabian pada ayat 7
dengan memohon kepada Allah agar ditunjukan jalannya para Nabi. Dan pula
bicara hari akhir pada ayat ke 4, bahwa Allah yang memiliki hari akhir. Dan pada
ayat ke 7, Allah menetapkan takdir dengan menetapkan hidayah kepada para nabi,
orang-orang shaleh, syuhada dan tidak memberikan hidayah kepada orang-orang
Nasrani dan Yahudi disebabkan keangkuhan mereka.91
Selanjutnya„Izzu al-Dîn Ibn Abd al-Salâm (660 H), yang secara eksplisit
menyebutkan Maqâsid al-Qurân dalam karangannya yang berjudul Nubadz Min
Maqâsid al-Qurân (inti sari dari tujuan-tujuan al-Qur‟an yang mulia). Beliau
mengatakan bahwa Maqâsid al-Qurân adalah menyeru manusia melakukan segala
kebaikan atau kemaslahatan dan sebab-sebab yang mengantarkan kepada
kemaslahatan. Dan melarang melakukan kerusakan dan sebab-sebab yang
mengantarkan kepadanya..92
Terdapat isyarat juga dalam Tafsîr al-Baydâwî karya Abdullah Bin Umar al-
Baydâwi (685 H) ketika membahas Tafsir Surah al-Ikhlâs, beliau mengatakan
bahwa sesungguhnya tujuan-tujuan al-Qur‟an terbatas pada tiga hal, pertama
menjelaskan akidah, kedua hukum-hukum, ketiga kisah-kisah.93
Begitu pula Ibnu
Juzayi (741 H) mengatakan dalam muqaddimah Tafsirnya, sesungguhnya makna-
makna umum di dalam al-Qur‟an atau Maqâsid al-Qurân itu ada tujuh macam.
90
Mohammad Bakir, ” Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd Nursî”,
no. 01 (Agustus 2015): h. 53. 91
Dr. Mas‟ûd, Juhd Ulamâ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân (Lebanon: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 6. 92
Izzuddin Ibn Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fī Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah
al-Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ) Jilid 1, h. 8. 93
, Nasiruddin Baydâwi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Beirut: Dâr al-Rasyîd, 1421 H), Jilid 3, hal. 584.
36
Ilmu al-Rububiyyah (ilmu akidah ketuhanan), Ilmu al-Nubûwâh (Kenabian),
Ma‟âd (hari akhir), Ahkâm (hukum-hukum), janji dan ancaman.94
Terdapat pula
isyarat Maqâsid al-Qurân dalam karya Imam al-Zarkasyî (794 H) yaitu Kitâb al-
Burhân Fi Ulûm al-Qurân, bahwa beliau berkata:
يقصد القصد م إنزال القرآن تعليم احلالل واحلرام وتعريف شرائع اإلسالم وقواعد اإلديان ومل
مهى تعليم طرق الفصاحة
“Tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah mengajarkan antara halal dan
haram, mengenalkan syariat-syariat Islam dan kaidah-kaidah keimanan, dan
tidak bermaksud semata-mata mengajarkan cara-cara keindahan bahasa saja”.95
Selanjutnya Biqâ‟î (w. 885 H) dalam karyanya Masâid al-Nazar Li al-
Isyrâf„Ala Maqâsid al-Suwar (tangga-tangga pandangan untuk melihat tujuan-
tujuan surat al-Qur‟an). Menurut penulis, beliaulah mufassir setelah Râzî, yang
menggunakan istilah Maqâsid dalam tubuh kajian Tafsir. Menurut Biqâ‟î, bahwa
setiap Surah al-Qur‟an terdapat Maqâsid, dengan ungkapan A‟zam Maqâsid al-
Sûrah (tujuan utama pada surah) atau Maqâsid al-„Uzmâ (tujuan terbesar). Pada
istilah yang digunakan Biqâ‟î tersebut, bahwa pada setiap Surah al-Qur‟an
terdapat tujuan-tujuan Allah Swt. 96
Selanjutnya pula Imam al-Suyûtî (911 H)
ketika menafsirkan Surah al-Fâtihah dalam Tafsirnya Dur al-Mantsûr, beliau
menjelaskan salah satu nama surah al-Fâtihah adalah Umm al-Qurân. Al-Suyûtî
berpendapat, bahwa Maqâsid al-Qurân itu terkandung ringkasannya pada surah
al-Fâtihah dengan sumber riwayat-riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Karena pada surah al-Fâtihah terliputi beraneka ragam Maqâsid.
Diantaranya, Ilmu al-Usûl (ilmu dasar) berkaitan dengan Zat, sifat, kehendak
Allah Swt, kenabian, dan hari akhir. Ilmu Ibâdah (ilmu ibadah) berkaitan dengan
cara ibadah menyembah Allah, Ilmu al-Sulûk (jalan menempuh Allah Swt) dan
94
Abû Qâsim Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzayi, Tafsîr Tashîl Li al-Ulûm al-Tanzîl
(Beirut: Dār al-Rasyīd 1415 H ), Jilid 1, h. 8. 95
Badruddin Zarkasyi, al-Burhân Fî Ulûm al-Qurân (Kâiro: Dâr Ihyâ al-Kutub al-
Arabiyyah, 1957 M ) jilid 1, h. 312. 96
Ibrahim Ibn Umar Al-Biqâ‟î, Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar (Riyâd:
Maktabah al-Ma‟ârif, 1308 H), Jilid 1, h. 209.
37
ilmu kisah-kisah.97
Âlusî (1270 H) dalam Tafsirnya Tafsîr Rûh al-Ma‟âni pula
menyinggung tentang Maqâsid al-Qurân. Menurut Âlusî, yaitu:
مقاصد القرآن العظيم ال تهحصر ي األمر والههي ادلذكوري دل يو مشتفل على مقاصد أخرى كأحوال ادلبدأ وادلعاد وم يها قيل لعل األقرب أن يقال إن مقاصد القرآن التوحيد واألحكام
الشرعية وأحوال ادلعاد“Tujuan-tujuan utama al-Qur‟an tidak terbatas pada perintah dan larangan
saja, akan tetapi meliputi pula pada tujuan-tujuan yang lain, seperti tujuan
menjelaskan keadaan proses awal penciptaan makhluk sampai keadaan kembali
(hari akhir). Dari sini pernyataan yang paling tepat dikatakan, sesungguhnya
tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah Tawhîd, hukuk-hukum syariat, keadaan-keadaan
hari akhir (kematian,hari pembangkitan, padang mahsyar, surga atau neraka”.98
Pada zaman modern, konsep Maqâsid al-Qurân yang mencangkup
keseluruhan al-Qur‟an kembali diangkat oleh para mufassir. Muhammad Abduh
(1324 H) sebagai tokoh reformis dan pengarang Tafsîr al-Manâr adalah orang
yang pertama kali berbicara hal tersebut pada zaman kontemporer, meski tidak
secara eksplisit menggunakan istilah Maqâsid al-Qurân. misalnya ia berpendapat
tentang tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Menurut Abduh, yaitu:
أن ما نزل القرآن ألجلى التوحيد، والوعد والوعيد لألمة واألفراد ي الدنيا واآلخرة، والعبادة، وديان قصص م وقف عهد حدود اهلل وم نبذ أحكامى وديان سبيل السعادة ي الدنيا واآلخرة،
لالعتبار ا، وأن يذو يي األمور اليت احتوى عليها القرآن، والفاحتة مشتفلة عليها إمجاال“Sesungguhnya tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah Tahuid, janji,
ancaman bagi umat dan setiap induvidu insan di dunia dan di akhirat, dan pula
menjelaskan Ibadah kepada Allah Swt, dan menjelaskan jalan untuk mencapai
kebahagianan di dunia maupun akhirat, dan menjelaskan kisah orang-orang yang
yang bergantung atau taat pada hukum-hukum Allah (para Nabi, Syuhada, orang-
orang Shaleh) dan menjelaskan kisah orang-orang yang melempar atau tidak
patuh pada hukum-hukum Allah Swt, untuk diambil pelajaran bagi pembaca al-
Qur‟an. dan semua perkara ini yang meliputi a-Qur‟an dan Surah al-Fatihah
meliputi itu semua secara global”.99
Kemudian setelah Muhammad Abdu, kajian Maqâsid al-Qurân itu diteruskan
oleh murid nya yaitu Rasyîd Ridâ. Menurut penulis, Rasyîd Ridâ lah di kalangan
ulama kontemporer yang membahas Maqâsid al-Qurân secara luas dalam Tafsîr
97
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fī Tafsîr Bi al-Ma„tsûr (Kairo: T.pn.,
849 H) Jilid 1, h. 22. 98
Abd al-Rahmân,“Muqârabât Ta`rikh Maqâsid al-Qurân al-Karîm”, no. 39 (desember
2016): h. 205. 99
Abd al-Rahmân,“Muqârabât Ta`rikh Maqâsid al-Qurân al-Karîm”, no. 39 (desember
2016): h. 205.
38
al-Manâr dan Kitab Wahyu al-Muhammadiyyah. Dan Secara umum, Maqâsid al-
Qurân menurut Rasyîd Ridâ, yaitu:
إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وإدخاذلم ي طور الرشد وحتقيق أخوهتم اإلنسانية ووحدهتم وترقية عقوذلم وتزكية أنفسهم
“Memperbaiki baik individu manusia, masyarakat, kaum, dan memasukan
mereka kejalan yang lurus dan benar, serta merealisasikan persaudaraan sesama
manusia, dan mengembangkan potensi akal manusia serta membersikan hati
manusia”.100
Kemudian Rasyîd Ridâ membagikan Maqâsid al-Qurân pada sepuluh bagian.
di antaranya, Pertama menjelaskan tiga aspek sentral dalam agama (Iman kepada
Allah Swt, hari akhir, amal Shaleh). Kedua menjelaskan Risalah kenabian. Ketiga
menjelaskan Islam agama yang sesuai dengan Fitrah manusia, agama yang
rasional. Keempat memperbaiki masyarakat manusia serta mempererat persatuan.
Kelima menetapkan keistimewaan taklif syariat Islam. Keenam menjelaskan
hukum politik Islam. Ketujuh menjelaskan mengelola keuangan dalam Islam.
Kedelapan memperbaiki regulasi peperangan dalam Islam. Kesembilan
memberikan hak-hak perempuan pada agama maupun negara. Sepuluh
pembebasan budak.101
Kemudian pula Sa‟îd al-Nursî (1379 H) dalam Muqaddimah Isyârât al-I‟jâz
Fī Mazan al-I‟jâz mengatakan, bahwa hanya empat unsur fundamental al-Qur‟an
yaitu Tawhîd (akidah), al-Nubuwâh (kenabian), kebangkitan manusia, dan
keadilan. Dan keempat ini, Sa‟îd al-Nursî mengistilahkan dengan al-Maqâsid al-
Asâsiyyah (tujuan-tujuan dasar). Menurut beliau, empat hal demikian adalah
intisari dan hakikat dimana diturunkannya al-Qur‟an. maka dari itu, pada dasarnya
al-Qur‟an memilki berbagai macam tujuan, akan tetapi Sa‟îd al-Nursî menjadikan
empat tujuan pokok itu sebagai dasar-dasar Maqâsid al-Qurân.102
Kemudian Mahmûd Syaltût (1384 H) yang menulis buku dengan tema Ilâ al-
Qurân al-Karîm. Dalam kitab ini, Mahmûd Syaltût mengklasifikasikan Maqâsid
al-Qurân pada tiga aspek. Pertama aspek akidah yaitu membersikan jiwa dari
ketundukan kepada berhala-berhala, serta menguatkan keimanan kepada Allah
100
Muhammad Rasyîd Ridâ, al-Wahyu al-Muhammadiyyah, (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 191. 101
Ahmad Raysûni, Maqâsid Maqâsid (Beirut: T.pn., 2013 M ), h. 16-17. 102
Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursî”,
Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 53.
39
Swt, Risalah kenabian, Malaikat, hari akhirat. Kedua aspek akhlak yaitu
mensucikan sera membidik jiwa dari sifat-sifat buruk dengan menghiasasi sifat-
sifat baik, seperti Sabar, jujur, santun. Ketiga aspek hukum yaitu bagi hukum yang
bersifat vertikal antara hamba dengan Allah Swt, seperti Sholat, Haji. Dan pula
hukum yang bersifat horizontal antara hamba dengan hamba, seperti hukum
pernikahan, hukum bisnis.103
Menurut penulis, klasifikasi/pembagian Maqâsid al-
Qurân Mahmûd Syaltûtlah yang mencangkup seluruh ayat-ayat al-Qurân. Karena
ayat-ayat al-Qurân tidak terlepas dari tiga hal yaitu berkaitan dengan
akidah/keimanan, Ahkâm al-Syar‟iyyah, Akhlâk (etika).
Selanjutnya Ibn Âsyûr (1393 H) pula menjelaskan tentang Maqâsid al-Qurân,
beliau berkata bahwa :
اهلل مههمأن القرآن أنزل لصالح أمر الهاس كافة رمحة ذلم لتبليغهم مراد
“Sesungguhnya tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah untuk memperbaiki
segala urusan manusia dan sebagai Rahmat bagi mereka dengan disampaikannya
maksud Allah Swt kepada mereka”.104
Dan Ibn Âsyûr pula mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân pada delapan
bagian dalam muqaddimah Tafsirnya yaitu, memperbaiki akidah dan mengajarkan
akidah yang benar, memperbaiki akhlak, hukum-hukum Islam, mengatur umat,
kisah-kisah umat terdahulu, nasihat-nasihat peringatan dan kabar gembira, I‟jâz
al-Qurân (kemukjizatan al-Qur‟an).105
Muhammad Sâlih al-Siddîq pula
mengarang sebuah buku yang berjudul Maqâsid al-Qurân. Dalam buku ini, secara
khusus Muhammad Shâlih al-Shiddîq membahas luas berkaitan dengan Maqâsid
al-Qurân. kemudian dalam buku ini secara umum, bahwa Maqâsid al-Qurân itu
ada delapan. Yaitu, Tawhîd, akidah, agama, syariat, Ibadah, kisah-kisah, I‟jâz al-
Qurân, pelajaran yang agung serta mengatur dalam bermasyarakat.106
Selanjutnya Yusûf al-Qardâwî pula dalam karyanya yang berjudul Kayfa
Nata‟âmal Ma‟a al-Qurân di dalam nya membahas tentang Maqâsid al-Qurân.
dan beliau mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân pada tujuh aspek. Di antaranya,
103
Mahmûd Syaltût, Ilâ al-Qurân al-karîm, (T.tp: Penerbit Dār al-Syurûq, t.t. ) h. 5-6. 104
Muhammad Tâhir Ibn Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dâr Tunisiyyah,
1984 M ), Jilid 1, h. 38. 105
Muhammad Tâhir Ibn Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dār Tunisiyyah,
1984 M ), Jilid 1, h. 38. 106
Muhammad Sâlih al-Siddîq, Maqâsid al-Qurân (T.tp.: Dâr al-Ba‟tsi 1982 M) h. 35.
40
memperbaiki akidah-akidah yang menyimpang, memelihara manusia dan menjaga
hak-hak insan, perintah Ibadah kepada Allah serta Takwa, mensucikan jiwa
manusia, membentuk keluarga yang baik, membangun umat, dakwah keseluruh
manusia agar saling tolong menolong.107
Kemudian kajian Maqâsid al-Qurân menjadi diskursus kajian serius di
kalangan ulama. Misalnya Abd al-Karîm mengarang sebuah buku khusus
membahas Maqâsid al-Qurân dengan judul Maqâsid al-Qurân Min Tasyri‟ al-
Ahkâm. Dalam buku ini, Abd al-Karîm menjelaskan bahwa banyak di antara
ulama yang berbicara Maqâsid al-Syarî‟ah, seperti Ibn Âsyûr, Rasyîd Ridâ,
bahwa mereka menetapkan pula adanya Maqâsid al-Qurân. Misalnya Ibn Âsyûr
mengatakan bahwa Maqâsid al-Qurân secara umum adalah Islâh al-Fardiyyah
(memperbaiki induvidu manusia), Islâh al-Ijtimaiyyah (memperbaiki Masyarakat),
Islâh al-„Âlamiyyah (memperbaiki alam semesta).108
Bahkan kajian Maqâsid al-Qurân tidak saja berkembang di dunia Arab, tetapi
juga berkembang di Barat. Sejumlah buku yang ditulis meskipun mengunakan
istilah tema-tema pokok al-Qur‟an, dapat dikatagori sebagai buku-buku yang
menjelaskan Maqâsid al-Qurân. Di antaranya, Le Grands Themes Du Coran
karya Jacgues Jomier, yang kemudian diterjemahkan oleh Zoe Hezov ke dalam
bahasa Inggris dengan judul The Great Themes of the Qur‟an. buku ini bertujuan
menjelaskan persoalan-persoalan menurut pengarangnya sebagai tema-tema
utama al-Qur‟an. persoalan-persoalan itu di antaranya, al-Qur‟an, Mekkah, dan
awal kehadiran Islam, Tuhan sebagai pencipta, Adam bapak umat manusia,
Ibrahim sebagai muslim, Nabi yang maksum, Yesus anak Maryam, komunitas
muslim, argementasi dan persuasi. Selain itu pula, terdapat buku yang ditulis oleh
Fazlur Rahman dengan judul Major Thems Of The Qur‟an (Tema-tema utama
dalam al-Qur‟an). Menurutnya, tema-tema al-Qur‟an ada delapan, yaitu ; Tuhan,
manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta,
kenabian, dan wahyu, eskatologi, setan,dan lahirnya masyarakat muslim.109
107
Yusûf al-Qardâwî, Kayfa Nata‟âmal Ma‟a al-Qurân (T.tp.: Penerbit Dâr al-Syurûq,
1419 H), h. 71. 108
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkhal Ilâ Maqâsid al-Qurân, (Riyad: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 132. 109
Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursî”,
Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 60.
41
C. Tafsir al-Maqâsidî Dan Klasifikasi Maqâsid Al-Qurân
Tafsir al-Maqâsidî istilah baru dalam perkembangan diskursus kajian
Tafsir al-Qur‟an. Menurut Wasfî Âsyûr, dalam karyanya Tafsîr al-Maqâsidī Li
Suwar al-Qurân al-Karîm, Tafsir al-Maqâsidî adalah:
يو لون م ألوان التفسري يبحث ي الكشف ع ادلعاين والغايات اليت يدور حوذلا القرآن الكرمي كليًّا أو جزئيًّا مع ديان كيفية اإلفادة مهها ي حتقيق مصلحة العباد
“Corak di antara corak-corak tafsir yang membahas menyingkap makna-
makna dan tujuan-tujuan yang diorentasikan oleh al-Qur‟an, bagi bersifat
tujuan universal atau tujuan parsial, serta menjelaskan tatacara menggali
manfaat darinya untuk merealisasikan kemaslahatan hamba-hamba Allah”.110
Dari definisi diatas, Tafsir al-Maqâsidî adalah corak Tafsir al-Qur‟an,
yang berfokus untuk menggali/menyingkap tujuan-tujuan al-Qur‟an baik
secara al-Kuliyyah (keseluruhan) al-Qur‟an, maupun secara al-Juz`iyyah
(parsial)/bagian-bagian tertentu al-Qur‟an. Bisa dengan topik/tema, Surah,
ayat tertentu. Dan pula sebuah upaya untuk menggali manfaat dari tafsir
tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Pada umumnya, tidak
terlalu mencolok perbedaan antara Tafsir dengan Tafsîr al-Maqâsidî, karena
keduanya sama-sama menyingkap makna-makna ayat-ayat al-Qurân. Menurut
Wasfî Âsyûr, perbedaan yang mendasar antara keduanya, kalau Tafsir hanya
sekedar menyingkap atau menjelaskan makna ayat-ayat al-Qurân, sedangkan
Tafsîr al-Maqâsidî mengupayakan berusaha untuk memproduksi tafsir yang
mampu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, sebagaimana
ungkapannya yaitu بيان كيفيت اإلفادة منها في تحقيق مصلحت العباد (menjelaskan tatacara
mengambil manfaat dari hasil tafsir tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan
hamba-hamba Allah.111
Menurut penulis, Tafsîr al-Maqâsidî adalah corak tafsir yang
memfokuskan mencari esensi ruh (tujuan-tujuan) di balik ayat-ayat al-Qur‟an.
Sama seperti corak Lughawî yang memfokuskan mencari dan mengkaji
110Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,
2013), h. 8. 111
Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,
2013), h. 9.
42
gramatika bahasa pada ayat-ayat al-Qur‟an, corak Ilmî yang memfokuskan
mencari isyarat-isyarat ilmiah di balik ayat-ayat al-Qur‟an.
Kemudian Maqâsid al-Qurân diklasifikasi menjadi dua macam. Pertama,
Maqâsid al-„Âmmah (tujuan-tujuan umum/keseluruhan) al-Qur‟an. di
antaranya yaitu, Tawhîdullah (mengesakan Allah), Hidâyah bagi manusia,
memperbaiki akhlak manusia, menyucikan jiwa manusia, mengajarkan
hikmah dan lain lain. Kedua, Maqâsid al-Khâssah (tujuan-tujuan khusus).
Bisa berkaitan dengan permasalah-permasalah tertentu, seperti tujuan ayat-
ayat nikah, politik, akhlak, muamalah, dan lain lain. Bisa pula berkaitan
dengan surah-surah al-Qur‟an tertentu.112
D. Korelasi Antara Maqâsid Al-Qurân Dengan Tafsir
Penulis ber‟argumentasi bahwa sangat erat hubungan antara Maqâsid al-
Qurân dengan Tafsir. Tafsir secara etimologi atau bahasa artinya al-Bayân
(penjelasan) al-Kasyf (menyingkap). Secara terminologi makna Tafsir, menurut
al-Zarkasyî adalah perangkat ilmu dengannya dipahami kitab Allah Swt (al-
Qur‟an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, serta menjelaskan
makna-makna, dan mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah yang
terkandung di dalamnya, serta perangkat alat bantu dengannya yaitu ilmu bahasa
Arab, Nahwu, Sorof, Ilmu Bayân, Usûl fikih, Qirâ„at, Nasakh Mansûkh, dan
mengetahui Asbâb al-Nuzûl.113
Senada pula menurut Asbahânî, Tafsir adalah
perangkat ilmu untuk menyingkap makna-makna al-Qur‟an dan menjelaskan
maksud-maksudnya.114
Sedangkan Maqâsid al-Qurân adalah tujuan-tujuan atau
rahasia-rahasia yang terselubung di balik ayat-ayat al-Qur‟an.
Untuk mengetahui Maqâsid Ayât al-Qurân (tujuan-tujuan yang terselubung di
balik ayat-ayat al-Qur‟an), mufassir terlebih dahulu harus menafsirkan al-Qurân,
karena Dilâlah (indikasi) Maqâsid al-Qurân itu terdapat pada lafadz ayat al-
Qur‟an tersebut, baik secara tersurat yaitu Mâ yu`khazu Min al-Nusûs (apa yang
112
Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,
2013), h. 11-12. 113
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fī Ulûm al-Qurân (T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah al-
Su‟udiyyah, 1426 H), hal. 2265. 114
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fī Ulûm al-Qurân (T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah al-
Su‟udiyyah, 1426 H), hal. 2263.
43
terdapat pada nas al-Qur‟an), baik pula secara tersirat yaitu Mâ yufhamu Min
Nusûs (apa yang dipahami ada nas-nas al-Qur‟an).
Abd al-Karîm al-Hâmidî dalam karyanya Madhal Ilâ Maqâsid al-Qurân,
menjelaskan bahwa terdapat Adillah „Alâ tsubût Maqâsid al-Qurân (dalil-dalil
yang menetapkan terdapat Maqâsid al-Qurân di dalam al-Qur‟an). Kemudian
beliau membagikan dua macam. Pertama, Adillah al-Ammâh (dalil-dalil umum),
kedua, Adillah al-khâssah ( dalil-dalil yang khusus).115
Pertama, Adillah al-Âmmah (dalil-dalil umum) di antaranya ayat-ayat al-
Qur‟an yang secara umum mengisyaratkan terdapat Maqâsid (tujuan-tujuan). Qs
al-Anbiyâ` 21: 16:
16. “Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di
antara keduanya dengan bermain-main”.
Menurut Abd al-Karîm, bahwa Allah meniadakan kesia-siaan, main-main
dalam menciptakan langit, bumi dan segala sesuatu yang terdapat pada keduanya.
Akan tetapi, dalam menciptakannya terdapat Maqâsid (tujuan-tujuan) dan
hikmah-hikmah di balik penciptaannya.
Kedua, Adillah al-khâssah ( dalil-dalil yang khusus). Di antara ayat-ayat yang
secara khusus memiliki Illat (motif) yaitu Qs al-Isrâ` 17: 32:
32. “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. Pada ayat ini sangat jelas, secara tersurat Allah melarang mendekati zina
dengan bertujuan untuk Hifz al-Nasl (menjaga keturunan manusia ) dan pula
karena perbuatan zina adalah perbuatan yang keji dan buruk.116
E. Perbedaan Antara Maqâsid al-Qurân Dengan Maqâsid al-Syari‟ah
Terdapat perbedaan di kalangan ulama antara Maqâsid al-Qurân Dengan
Maqâsid al-Syari‟ah. Menurut Abd Karîm al-Hâmidî, perbedaan yang nampak
115
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 61. 116
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 72
44
antara keduanya, kalau Maqâsid al-Qurân merupakan Usul al-Maqâsid (pokok-
pokok Maqâsid), sedangkan Maqâsid al-Syari‟ah adalah Furû‟ al-Maqâsid
(cabang-cabang dari Maqâsid).117
Berangkat dari pernyataan di atas, bahwa
Maqâsid al-Syari‟ah termasuk bagian dari Maqâsid al-Qurân. Karena Maqâsid
al-Syari‟ah hanya bertumpu pada ayât al-Ahkâm (ayat-ayat hukum) saja,
sedangkan Maqâsid al-Qurân meliputi seluruh ayat-ayat al-Qur‟an.
Menurut Mahmûd Syaltût, Maqâsid al-Qurân adalah akidah, akhlak, syariah.
118Begitu pula menurut Râzî, Maqâsid al-Qurân adalah al-Ilâhiyât (akidah), al-
Nubûwât (kenabian), Ahkâm al-Syar‟iyyah (hukum-hukum syari‟ah), ma‟âd (hari
akhir).119
Dari pendapat keduanya sangat jelas, bahwa Maqâsid al-Syari‟ah adalah
bagian dari Maqâsid al-Qurân.
117
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 17. 118
Mahmûd Syaltût, Ilâ al-Qurân al-karîm, (T.tp: Penerbit Dâr al-Syurûq, t.t. ) h. 5-6. 119
Mohammad Bakir, ”Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd
Nursî”, no. 01 (Agustus 2015): h. 53.
45
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF KONSEP MAQÂSID AL-QURÂN ANTARA ABÛ
HÂMID AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ
Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ keduanya termasuk di antara ulama yang
berkontribusi dengan menjelaskan Maqâsid al-Qurân. Dan pula keduanya
memaparkan Maqâsid al-Qurân lebih luas dan detail dibandingkan ulama yang
lainnya. Walaupun demikian, tentu saja penjelasan Maqâsid al-Qurân yang
keduanya tawarkan tidak seluruhnya sama dan berbeda. Pada tulisan ini, penulis
akan membahas secara detail konsep Maqâsid al-Qurân menurut al-Ghazâli dan
Rasyîd Ridâ dan menganalisis Muqâran120
(komparatif) dengan mencari
perbedaan dan titik temu Maqâsid al-Qurân antara keduanya.
A. Maqâsid Al-Qurân Menurut Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli
Al-Ghazâli membatasi Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) atau
Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an) menjadi enam bagian dengan
mengklasifikasikan menjadi dua bagian, tiga hal yang pertama berisi Usûl al-
Muhimmah (prinsip-prinsip pokok) dan tiga hal bagian kedua sebagai
Mutammimah (penyempurna atau pelengkap). Tiga prinsip pokok Maqâsid al-
Qurân yaitu : Pertama, mengenal Tuhan yang berhak disembah. Kedua,
Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju) Allah Swt. Ketiga, menjelaskan Hâl
(keadaan) manusia ketika sampai kepada-Nya. dan tiga prinsip penyempurna atau
pelengkap yaitu : Pertama, menjelaskan keadaan orang-orang taat kepada Allah
seperti orang-orang ber‟iman dan menjelaskan pula balasan kasih-sayang Allah
kepada mereka (surga), bertujuan Targîb Wa Tabsyîr (memotivasi dan kabar
gembira bagi pembaca al-Qur‟an) dan menjelaskan keadaan orang-orang yang
durhaka kepada Allah seperti orang-orang kafir serta menjelaskan siksa yang
menimpah mereka, bertujuan Tarhîb (menakut-nakuti) agar tidak terjerumus ke
dalam kesengsaraan. Kedua, menceritakan Ahwâl (keadaan-keadaan) orang-orang
120
Muqâran adalah upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara
permasalahan yang sama dan pula membandingkan pendapat para mufassir yang berkaitan dengan
al-Qur‟an. (Mustafa Ibrahim, Tafsîr Muqâran, hlm. 147)
46
yang menentang ajaran al-Qur‟an dan menyingkap kebodohan mereka dengan
Mujâdalah (mebantah) dan Muhâjah „alâ al-Haq (ber‟argumentasi yang benar),
bertujuan untuk Ifdâh (mengungkap) kebatilan ajaran mereka, serta Tastbît
(menetapkan) kebenaran ajaran al-Qur‟an. Ketiga, menjelaskan bagaimana
memakmurkan Manâzil al-Tarîq (tempat-tempat jalan), serta tatacara
mempersiapkan bekal untuk Sulūk menuju Allah Swt.121
Maqâsid al-Qurân di dalam kitab Jawâhir al-Qurân yang ditawarkan al-
Ghazâli, sangat kental dengan istilah-istilah tasawuf. Misalnya, Tarîqah, Wusul,
Sirr, Hâl dll. Menurut Abd al-Rahmân Badawî, kitab Jawâhir al-Qurân ini
dikarang oleh al-Ghazâli sengaja untuk menjelaskan Maqâsid al-Qurân dan ilmu-
ilmu al-Qurân serta keutamaan di antara surah-surah al-Qur‟an. Kitab ini al-
Ghazâli karang tak kala beliau sudah menyelami dunia tasawuf. Hal demikian
terdapat isyarat penjelasannya pada karya al-Ghazâli yang lain, yaitu kitab al-
Qistâs al-Mustaqîm. Maka lantas, Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat
kental dengan istilah-istilah tasawuf.122
Al-Ghazâli mengibaratkan al-Qur‟an itu laksana lautan yang sangat luas
dan dalam. Dan di dalamnya terdapat Jawâhir (mutiara-mutiara) yang indah dan
jelita. Begitu pula al-Qur‟an, yang di dalamnya mengandung makna-makna yang
luas dan dalam, serta terdapat Jawâhir (mutiara-mutiara) yang diistilahkan beliau
dengan Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an). Menurut beliau, terkadang
Allah memberikan pemahaman makna al-Qur‟an kepada seseorang tidak melalui
proses pembelajaran. Akan tetapi, dengan disingkap oleh Allah rahasia-rahasia
makna al-Qur‟an kepada orang-orang tertentu. Menurut beliau :
ما م كلفة م القرآن إال وحتقيقها حموج إىل مثل ذل وإمنا يهكشف للراسخني ي العلم م أسرارو دقدر غزارة علومهم وصفاء قلوهبم وتوفر دواعيهم على التددر وجترديم للطلب ويكون
واحد حد ي الرتقي إىل درجة أعلى مهى فأما االستيفاء فال مطفع فيى ولو كان البحر مدادا لكل واألشهار أقالما فأسرار كلفات اهلل ال هناية ذلا فتهفد األحبر قبل أن تهفد كلفات اهلل عز وجل
121
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H ), h. 23-24. 122
Abd al-Rahmân Badawî, Muallafât al-Ghazâli (Kuwait: Wakâlah Matbû‟ah, 1977), h.
147.
47
“tidaklah satu kalimat di dalam al-Qur‟an kecuali mewujudkannya
dibutuhkan tersingkapnya makna seperti demikian. dan sesungguhnya
tersingkapnya rahasia-rahasia al-Qur‟an bagi orang-orang yang sudah
mantap/kokoh dalam ilmunya dengan sebab kadar keluasan ilmu-ilmu mereka
dan jernihnya hati-hati mereka dan terpenuhinya sebab-sebab dalam
merenungkan al-Qur‟an. Setiap insan memiliki batasan untuk naik ke derajat
yang lebih tinggi darinya. Adapun meraih makna-makna al-Qur‟an secara
sempurna, tidak mungkin bisa dicapainya. Seandainya lautan menjadi tintanya,
dan seluruh pohonan menjadi pulpennya, maka rahasia-rahasia kalimat-kalimat
Allah tidak ada penghabisannya. Maka habisnya lautan sebelum habisnya
kalimat-kalimat Allah yang maha mulia dan agung”.123
Al-Suyûtî dalam Kitâb al-Itqân mengutip sabda Rasulullah Saw, “al-Qur‟an
itu ada makna Zâhir (tekstual), Bâtin (kontekstual), had (hukum halal dan haram),
janji dan ancaman”. Menurut Ibn Nuqaib, makna Zâhir (tekstual) hanya bisa
disingkap oleh ahli ilmu pada bidang Zâhir (makna-makna tesktual), sedangkan
makna Bâtin rahasia-rahasia makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur‟an,
hanya bisa disingkap oleh sebagian orang yang Allah informasikan yaitu `Arbâb
al-Haqâ`iq atau para Sûfî.124
Dan menurut sebagian ulama, setiap ayat al-Qur‟an
mengandung enam puluh ribu makna yang terselubung di dalamnya.
Kemudian al-Ghazâli membagikan Maqâsid a-Qur‟an sebagai mutiara-
mutiara ke dalaman dan keluasan al-Qur‟an pada enam bagian.
1. Ta‟rîf Al-Mad‟û Ilaih (Menjelaskan Yang Berhak Disembah)
Al-Ghazâli berpendapat, bahwa Maqsad al-Aqsâ (puncak tujuan-tujuan al-
Qur‟an) adalah menyeruhkan kepada seluruh manusia untuk menyembah Allah
Swt. sebagaimana perkataannya:
رس نآرقلا هبابلو ىفصألا هدصقمو ىصقألا ةوعد دابعلا ىلا رابجلا ىلعألا بر الثري ةرخآلا ىلوألاو اخقل تاوامسلا ىلعلا نيضرألاو ىلفسلا امو امهنيب امو تحت
“Intisari al-Qur‟an dan tujuan puncak al-Qur‟an adalah mengajak hamba-hamba
Allah menyembah Allah yang Maha agung, Maha tinggi, sang pencipta kehidupan
akhirat dan dunia, yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya sejagat
raya alam ini”.125
123
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm al-Dîn (Beirut: Dâr Ibn Hajm, 2005). h.
347 124
Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakar al-Suyûtî, Al-Itqân Fî Ulûm al-Qurân
(Arab : Maktabah Markaz al-Dirâsâh al-Qurāniyyah, t.t.), hal. 2310-2312 125
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H ), h. 23-24
48
Al-Ghazâli menempatkat Ma‟rifatullah (mengenal Allah) sebagai Tuhan
yang berhak disembah, menjadi intisari dari keseluruhan Maqâsid al-Qurân.
Allah menjelaskan dalam Surat al-Zâriyât ayat 56 bahwa tujuan utama Allah
menciptakan Jin dan manusia adalah hanya untuk menyembah-Nya. sebagaimana
dalam Surah al-Dzâriyât/51: 56 berikut:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.
Menurut Ibn katsîr, Allah menciptakan manusia agar manusia menyembah
patuh kepada Allah dan bukan karena Allah butuh sesembahan mereka. Akan
tetapi maksudnya, penyembahan yang dilakukan manusia kepada Allah,
kemanfaatnya bukan untuk Allah, tapi kembali kepada manusia itu sendiri.126
Al-
Sa‟dî menafsirkan bahwa :
يذو الغاية اليت خلق اهلل اجل والإلنس ذلا, ودعث مجيع الرسل يدعون إليها ويي عبادتى، ادلتضفهة دلعرفتى وحمبتى وإلنادة إليى وإلقبال عليى وإلعراض عفا سواو، وذال يتضف معرفة اهلل
“Menyembah Allah adalah tujuan Allah menciptakan Jin dan manusia
dan Allah mengutus para Rasul menyeruh umat-umat nya agar menyembah
kepada Allah Swt. yang terkandung didalam (penyembahan Allah) adalah
mengenal, mencintai, kembali dan menuju kepada-nya dan berpaling dari selain
Allah, hal demikian adalah Ma‟rifatullah”.127
Kemudian al-Ghazâli mengutip beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan
dengan dzat, sifat-sifat, Afâl (perbuatan-perbuatan) Allah Swt. Misalnya dalam
Surat al-Syûrâ/42: 11 Allah berfirman:
“tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
mendengar dan Melihat”.
Menurut Alî al-Sâbûnî, tidak ada yang serupa seperti Allah Swt, pada dzatnya,
sifat-sifatnya, perbuatannya, Dialah Allah Swt yang maha tunggal dan Esa. Ayat
ini bertujuan untuk mensucikan Allah Swt dari serupa pada makhluknya, karena
126
Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut: Ibn Hajm 1420 H),
h. 1768. 127
Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fî Tafsîr Kalâm al-Mannâ‟ (Riyâd:
Maktabah „Abîkân 1422), hal. 813.
49
dzat Allah Swt tak seperti makhluk yang diciptakannya. Huruf Kâf disini, untuk
memberikan penguatan dan penekanan untuk menafikan keserupaan Allah Swt
dengan makhluknya.128
Menurut al-Sa‟dî, tidak ada sesuatu pun makhluk yang seperti Allah Swt pada
zat, sifat, Afâl-Nya. Karena nama-nama sifat Allah seluruhnya Asmâ` al-Husnâ
(nama-nama yang terbaik) dan sempurna. berbeda dengan sifat-sifat manusia yang
tak luput dari kekurangan. Begitu pula Afâl (perbuatan-perbuatan) Allah berbeda
dengan makhluk-Nya, karena Allah yang menciptakan ciptaan-ciptaan yang besar
seperti langit, bumi, yang Allah ciptakan sendiri tanpa campur tangan makhluk-
Nya. dan juga dzat Allah yang Esa yang tidak membutuhkan unsur-unsur yang
lain.129
2. Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju) Allah Swt
Setelah memaparkan Maqâsid al-Qurân yang pertama yaitu mengenalkan
insan kepada Allah Swt, kemudian al-Ghazâli menjelaskan tujuan al-Qur‟an yang
kedua yaitu menjelaskan Tarîq Sulûk (jalan menuju Allah Swt). Menurut al-
Ghazâli, ada dua pondasi cara atau jalan menuju Allah Swt. Pertama, dengan cara
Mulâzamah al-Zikrillah (senantiasa mengingat Allah Swt), Mukhâlafah al-Hawâ
(menentang dorongan hawâ nafsu) dan menjahukan segala hal yang menyibukan
dari zikir kepada Allah Swt.130
Dzikir secara bahasa bermakna mengingat. Ada juga sebagian pakar
berpendapat bahwa kata Dzikr itu pada mulanya berarti mengucapkan dengan
lidah atau menyebut sesuatu. kemudian makna ini berkembang menjadi
“mengingat”, karena mengingat sesuatu sering kali mengantarkan lidah
menyebutnya. Menurut Asfahânî, Dzikr itu mengupayakan menghadirkan sesuatu
yang lupa di dalam hati. dan Dzikr itu ada tiga macam.131
Pertama, Dzikr dengan
lisan yaitu dengan menyebut atau mengucapkan dengan lisan tapi tidak dihadirkan
128
Muhammad Alî al-Sâbûnî, Tafsir Safwah al-Tafāsîr (Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm
1402 H), jilid 3, h. 134. 129
Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fî Tafsîr Kalâm al-Mannâ‟ (Riyâd:
Maktabah „Abîkân 1422), hal. 754 130
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H ), h. 28. 131
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa (Jakarta:
penerbit lentera hati, 2006 ), h. 11.
50
dengan hati. Di dalam Surah al-Baqarah/2: 200 yang berkaitan dengan zikir lisan
yaitu:
“Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah
dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-
banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu.
Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami
(kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di
akhirat”.
Dahulu masyarakat Arab khususnya ketika setelah melaksanakan Haji,
sangat banyak menyebut-nyebut leluhur mereka sambil membangga-
banggakannya. Kemudian Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk
memperbanyak berzikir kepada Allah serta mengagungkan Allah Swt dengan
lisan mereka sebagaimana merek menyebut-nyebut leluhur mereka, bahkan
melebihi penyebutan leluhur mereka.132
Kedua, Zikr al-Qalbi (zikir hati) yaitu
dengan menghadirkan sesuatu di hati. Ketiga, Zikr Jawârih (zikir anggota badan)
yaitu zikir dengan mengunakan anggota badan untuk ketaatan kepada Allah.133
Allah berfirman dalam Surah al-Baqarah/2: 152 yaitu:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku”.
Menurut Hasan al-Basrî, makna Dzikr kepada Allah pada ayat ini adalah
dengan dengan menjalankan segala yang Allah perintahkan.134
Senada pula
dengan Sa‟îd Ibn Jubair yang menafsirkan ayat ini yaitu :
فاذكروين دطاعيت و أذكركم مبغفريت “Ingatlah aku dengan taat atas segala perintahku, maka aku akan
mengingatmu dengan memberikan ampunan atas dosa-dosa mu”.135
.
Ibn Jarîr al-Tabarî mengutip pendapat Ja‟far bahwa beliau berkata, Allah
memerintahkan orang-orang mukmin untuk Zikrullah (mengingat Allah) dengan
132
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa (Jakarta:
penerbit lentera hati, 2006 ), h. 24. 133
Rāghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus: Dâr al-Qalam ), h.
328. 134
Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),
h. 221. 135
Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),
h. 221
51
ketaatan kepada-Nya atas segala perintah-Nya dan menjahukan segala larangan
Allah. jika demikian, maka Allah akan Zikr (mengingat) kepada orang-orang
mukmin dengan mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya.136
3. Mengenalkan Keadaan Manusia Ketika Kembali Ke Akhirat
Pada tujuan-tujuan al-Qur‟an (Maqâsid al-Qurân) yang ketiga ini, al-
Ghazāli menjelaskan tentang keadaan manusia ketika kembali ke negeri akhirat.
Menurut al-Ghazâli, :
”Al-Qur‟an Meliputi menyebutkan Rûh, kenikmatan yang di dapati Sâlik
(orang-orang yang menempuh perjalanan) ketika Wusûl (sampai menuju Allah),
dan ungkapan yang menghimpun segala kenikmatan adalah surga, dan puncak
kenikmatan adalah memandang Allah Swt. meliputi juga menyebutkan kehinaan,
siksa yang didapati orang-orang yang terhalang karena teledor/mengabaikan
Sulûk menuju Allah, dan istilah yang menghimpun segala siksa adalah nereka
Jahim dan puncak siksa adalah terhalangnya dan dijahukannya dari rahmat
Allah. dan meliputi pula menyebutkan pengantar-pengantar keadaan akhirat.
diistilahkan di antaranya hari pembangkitan, Hisâb, Mîzân (timbangan),
jembatan Sirât mustaqîm”.137
Al-Ghazâli menjelaskan Ahwâl (keadaan-keadaan) orang-orang yang
menempuh jalan menuju Allah dan orang-orang yang mengabaikan jalan menuju
Allah. Menurut al-Ghazâli bahwa sepertiga al-Qur‟an menjelaskan keadaan-
keadaan hari akhir. Diawali dari kematian, kehidupan barzakh, hari pembangkitan,
hari Hisâb, Mîzân, surga dan neraka. Dan puncak kenikmatan yang Allah berikan
kepada hamba-hambanya yang Sulûk (menuju Allah) dengan taat kepada adalah
kenikmatan memandang Allah Swt. dan puncak siksa yang Allah berikan kepada
hamba-hamba-Nya yang mengabaikan Sulûk (menuju Allah) dengan mengikuti
Hawa nafsunya adalah terhalangnya tidak bisa memandang Allah dan dijahukan
dari rahmat Allah. Sebagaimana Surah al-Qiyâmah 75:23 berikut:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri 23. Kepada
Tuhannyalah mereka Melihat”.138
136
Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-
Risalah 1415 H), jilid 2, h. 695. 137
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H), h. 30. 138
QS al-Qiyâmah 75 : 22-23
52
Menurut al-Qurtûbî, mayoritas ulama menafsirkan ayat ini bahwa nanti
para penghuni surga akan memandang Allah Swt. Ibn „Umar menafsirkan, bahwa
penghuni surga yang paling mulia adalah mereka yang diberi kesempatan untuk
memandang Allah setiap pagi dan petang. Senada pula Hasan, bahwa nanti di hari
akhir, penghuni surga akan memandang Allah. akan tetapi, tidak semua ulama
sepakat dengan pendapat di atas, mereka ber‟argumentasi bahwa Allah itu bukan
materi yang bisa dijangkau oleh mata-mata manusia. mereka berpendapat bahwa
yang dimaksud memandang disini bukan memandang dzat Allah, akan tetapi
memandang pahala dari Allah.139
dan begitu pula sebaliknya, mereka yang
mengabaikan Sulûk (menuju Allah) dengan mengikuti Hawa nafsunya, akan
terhalang tidak bisa memandang Allah dan dijahukan dari rahmatnya.
Sebagaimana firman-Nya :
“Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup
dari Tuhan mereka”.140
Menurut Ibn Katsîr, bahwa nanti di hari akhir para penghuni neraka akan
terhalang tidak bisa memandang Allah Swt. Begitu pula Ibn Jarîr mengutip
pendapat Hasan, bahwa nanti di hari akhir, Allah menutup/menghalangi orang-
orang kafir sehingga tidak bisa memandang Allah Swt. Imam al-Syâfi‟î juga
berpendapat, bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa orang-orang kafir tidak bisa
memandang Allah Swt.141
4. Menjelaskan Kisah-kisah Sâlik (Orang-orang Taat Menuju Allah) Dan
Nâkib (Orang-orang Yang Mengingkari Allah Swt)
Menurut al-Ghazâli, selanjutnya tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah menjelaskan
kisah-kisah perjalanan orang-orang yang menuju Allah seperti para Nabi, Awliyâ‟
(kekasih Allah), orang-orang shālih, dan kisah perjalanan orang-orang yang
mengingkari serta membangkang kepada Allah Swt. seperti Fir‟aun, Qârun, Iblîs,
139
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar al-Qurtubî, Jâmi‟ Li al-Ahkâm al-Qurân
(Beirut: Mu`assah al-Risâlah, 1427 H), Jilid 21, hal. 427-428. 140
QS al-Mutaffifîn 83 : 15 141
Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),
h. 1973
53
Namrûd, Syaitân, kaum Âd, Lût, orang-orang kafir, munafik dan lain-lain
sebagainya. Jika kisah-kisah yang baik bertujuan untuk Targîb (memotivasi/
membangkitkan hasrat pembaca) agar mengikuti jalan menuju Allah. dan kisah-
kisah yang tidak baik bertujuan untuk Tarhîb (menakut-nakuti/memperingati) agar
tidak terjerumus ke jalan yang salah.142
Ada beberapa Maqâsid (tujuan-tujuan) kisah-kisah didalam al-Qur‟an
diantaranya :
- Menjelaskan prinsip para Nabî dalam ber‟dakwah yaitu mengajak untuk
menyembah Allah Swt.
- Sebagai „Ibrâh (pelajaran yang terkandung didalam kisah).143
- Meneguhkan hati Nabi dan orang-orang ber‟iman ketika tertimpa ujian dalam
ber‟dakwah / ketaatan kepada Allah
- Membenarkan para Nabi terdahulu dan mengabadikan jejak perjuangan mereka
- Sebagai pembenar kenabian Nabi Muhammad atas kebenaran berita massa lalu
dan massa yang akan datang yang sesuai dengan fakta dan realita.144
5. Membantah Keyakinan Orang-orang Kafir Dan Menyingkap Kesalahan
Mereka Dengan Bukti/argumentasi Yang Jelas
Tujuan al-Qur‟an selanjutnya menurut al-Ghazâli adalah Mujâdalah al-Kuffâr
(mebantah keyakinan orang-orang kafir) dan memaparkan kebatilan-kebatilan
keyakinan mereka dengan Burhân al-Wâdih (bukti yang jelas/nyata). Sekiranya
ada tiga pokok permasalahan menurut al-Ghazâli atas keyakinan-keyakinan
orang-orang kafir yang salah di dalam al-Qur‟an. Pertama, mereka menisbatkan
Allah dengan hal-hal yang tidak pantas bagi Allah. Misalnya, mereka meyakini
ada sekutu bagi Allah, malaikat adalah anak Allah. Kedua, mereka menisbatkan
hal-hal yang tidak pantas bagi para Nabi. Misalnya, menuduh Nabi seorang
penyihir, pendusta, manusia biasa yang tak layak diikuti. Ketiga, mereka
mengingkari hari akhir, pembangkitan, Hisâb, surga, nereka.
142
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H), h. 31.
143
Dr. Nurdin, Ulûm al-Qurân Al-Karîm, (Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1414 H), h.
240-241. 144
Mannā‟ al-Qattân, Mabâhis Fī Ulûm al-Qurân (kāiro : Maktabah al-Wahbah, t.t.), h.
301-302
54
Pertama, al-Qur‟an membantah penisbatan orang-orang kafir hal-hal yang
tidak layak bagi Allah, seperti menisbatkan Allah memiliki anak. Dalam Surah al-
Ikhlâs /112: 1 berikut:
“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.
Menurut „Ikrimah, orang-orang Yahûdi menyembah „Uzair anak Allah, orang-
orang Nasrani menyembah Isa sebagai anak Allah, orang-orang Musyrik
menyembah berhala-berhala sebagai perantara kepada Allah.145
Kemudian di
turunkan Surat al-Ikhlâs sebagai bantahan bahwa tidak layak menjadikan sekutu
bagi Allah Swt, bahwa Allah itu Esa pada dzat-Nya tidak terdiri dari unsur-unsur
atau bagian-bagian. karena bila dzat yang maha kuasa itu terdiri dari dua unsur
atau lebih, betapapun kecilnya unsur tersebut, maka ini berarti Dia membutuhkan
unsur atau bagian itu atau dengan kata lain unsur (bagian) itu merupakan syarat
bagi wujud-Nya dan ini bertentangan dengan sifat ketuhanan yang tidak
membutuhkan sesuatu apapun.146
Kedua, al-Qur‟an membantah penisbatan orang-orang kafir hal-hal yang tidak
layak kepada para Nabi, seperti penyair, penyihir, pendusta, penipu. Dalam Surah
Yâsîn/36: 69:
”Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu
tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab
yang memberi penerangan”.
Menurut Baydâwî, ayat ini sebagai bantahan bahwa nabi Muhammad tidak di
ajarkan syi‟ir, karena al-Qur‟an bukan syi‟ir yang bersajak dan tersusun baik
secara lafadz dan makna seperti imajinasi-imajinasi yang dibuat oleh para penyair.
Akan tetapi al-Qur‟an adalah peringatan, petunjuk dan kitab Samawi yang
bersumber dari Allah.147
Ketiga, al-Qur‟an membantah atas pengingkaran orang-orang kafir atas
kepastian hari pembangkitan, Hisâb, hari pertimbangan, surga, dan neraka. Dalam
Surah Yâsîn ayat 78-79 bahwa orang-orang kafir mengingkari hari akhir karena
145
Muhammad Ali al-Sabûnî, mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr (Beirut: Dâr al-Qurân al-
Karîm 1402), Jilid ke-3, hal. 693. 146
Muhammad Quraish Shihâb, Tafsîr al-Misbâh (Jakarta: Lentera Hati 2002), jilid 15,
hal. 612. 147
Abdullah Ibn „Umar Ibn Muhammad al-Syîrâzî al-Baydâwî, Tafsîr Anwâr al-Tanzîl
Wa Asrâr al-Ta`wîl (Beirut: Dâr al-Rasyîd, t.t.), jilid 3, hal 139.
55
berkeyakinan bahwa Allah tidak mampu menghidupkan kembali manusia setelah
hancur menjadi tulang-berulang. Menurut Ibn Jarîr,:
“orang-orang kafir menyangka bahwa Allah tidak mampu menghidupkan
kembali manusia yang sudah menjadi tulag-berulang. Mereka membuat
per‟umpamaan akan tetapi melupakan asal muasal mereka bahwa dahulu mereka
hanya sekedar air mani yang hina, kemudian Allah mampu menciptakan mereka
dengan bentuk yang sempurna. Tentu menciptakan awal saja Allah mampu,
apalagi hanya sekedar mengulang menghidupkan kembali”148
6. Menjelaskan Bagaimana Memakmurkan Manâzil al-Tarîq (Tempat-tempat
Jalan) Serta Tatacara Mempersiapkan Bekal Untuk Sulûk Menuju Allah
Swt.
Al-Ghazâli mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah Manzil Baina
Manâzîl Ilâ Allah (tempat di antara tempat-tempat proses Sulûk menuju Allah)
dan badan manusia adalah kendaraannya. Barang siapa yang lengah mengabaikan
kendaraan (badan), maka tidak akan sempurna perjalanan Sulûk menuju Allah.
kemudian untuk keberlangsungan sempurna Suluk menuju Allah, al-Ghazâli
menyarankan agar menjaga kemaslahatan badan manusia atau istilah para ahli
Usûl al-Fiqih adalah Jalb al-Masâlih (menarik segala kemaslahatan) dan
mencegah segala kerusakan badan atau Daf‟u al-Mafâsid (mencegah segala
kemafsadatan).149
Untuk menjaga kemaslahatan badan, maka Allah memerintahkan manusia
untuk mengkomsumsi makanan untuk menjaga dan menarik kemaslahatan badan
manusia. Menurut Quraish Shihab, terdapat 27 kali perintah makan di dalam al-
Qur‟an. Dan di dalam al-Qur‟an, yang selalu ditekankan dalam konteks perintah
makan ada dua sifat yaitu Halâl dan Tayyibah (baik).150
Dan pula menurut al-
Ghazâli untuk mejaga keberlangsungan manusia, maka Allah mensyariatkan
menikah dan menjelaskan segala hal-hal yang berkaitan dengan Nikah. Seperti
ayat-ayat Talâq, Rujû‟, „Iddah, mahar, Li‟ân, Zihâr. Ini semua disyariatkan
sebagai bentuk penjagaan keturunan manusia.
148
Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-
Risalah 1415 H), jilid 19, h. 487-488. 149
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H), h. 32-33. 150
Dr. Muhammad Quraish Sihâb, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan
1992), hal. 287.
56
Kemudian menurut al-Ghazâli, ada beberapa hal mencegah sebab-sebab
kerusakan jiwa/badan manusia. Disyariatkan Qisâs, untuk mencegah sewenag-
wenang menghilangkan nyawa orang lain. Disyariatkan pula Hadd al-Sariqah
(hukuman potong tangan bagi pencuri), untuk mencegah sewenang-wenang
mengambil harta orang lain tanpa hak. Begitu pula di syariatkan Hadd al-Zinâ
(hukuman bagi penzina), untuk mencegah kerancuan nasab/keturunan manusia. an
adapun disyariatkan Jihâd, untuk mencegah orang-orang yang melakukan
anarkisme penentang agama untuk mencegah kerusakan agama manusia, karena
agama sebagai sarana untuk sampai menuju Allah.151
Apa yang dipaparkan al-Ghazâli di atas, istilah yang digunakan ulama
Usûl al-Fiqih adalah al-Darûriyyah al-Khams (lima perkara mendesak/penting
pada kehidupan manusia) yaitu Hifz al-Dîn (menjaga agama), Hifz al-Nafs
(menjaga jiwa), Hifz al-Aql (menjaga akal), Hifz al-„Ird (menjaga kehormatan),
Hifz al-Mâl (menjaga harta). 152
B. MAQÂSID AL-QURÂN PERSPEKTIF RASYÎD RIDÂ
Rasyîd Ridâ termaksud ulama kontemporer yang memberikan kajian
Maqâsid al-Qurân secara panjang. Hal demikian bisa ditemukan dalam Tafsîr al-
Manâr pada jilid 11 di awal Surah al-Yunûs. Secara umum Maqâsid al-Qurân
menurut Rasyîd Ridâ adalah
إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاذلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم مقاصد القرآن يو اإلنسانية وترقية عقوذلم وتزكية أنفسهم
“Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas,
kaum, serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan
kesatuan persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka,
dan membersikan jiwa mereka”.153
Kemudian menurut Ahmad Raisûnî, Rasyîd Ridâ mengklasifikasikan
pembahasan Maqâsid al-Qurân sampai 10 bagian.154
Pertama, memperbaiki tiga
151
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H), h. 32-33. 152
Abd al-Wahhâb al-Khallâf,„Ilmu Usûl Al-Fikih (Indonesia: Penerbit al-Haramain 2004),
hal. 200. 153
Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349 H), jilid 11, h. 206. 154
Ahmad Raisûnî, Maqâsid Maqâsid (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 2007), hal 16.
57
rukun/pondasi agama Islam yaitu memperbaiki keimanan kepada Allah, hari
pembakitan, amal shalih. Kedua, menjelaskan bodohnya manusia tentang risalah
kerasulan dan tugas-tugas para Rasul. Ketiga, menjelaskan Islam agama yang
sesuai dengan fitrah, akal, berdasarkan ilmu, hikmah, bukti dan argumentasi
secara ilmiah, hati, perasaan, dan membebasakan dari kejumudan. Keempat,
memperbaiki masyarakat manusia, dan mengatur untuk merealisasikan persatuan.
Kelima, menetapkan keistimewaan Islam pada memberikan Taklîf (pembebanan
hukum). Keenam, menjelaskan hukum berpolitik dalam Islam. Ketujuh, petunjuk
al-Qur‟an dalam mengelola harta. Kedelapan, memperbaiki aturan/sistem
berperang dalam al-Qur‟an serta mencegah segala kemafsadatan. Kesembilan,
memberikan hak-hak perempuan. Kesepuluh, membebaskan perbudakan.
1. Memperbaiki Tiga Pondasi Agama Islam (Keimanan, Amal Shalih, Hari
Akhir)
Tujuan Maqâsid al-Qurân yang pertama menurut Rasyîd Ridâ adalah
memperbaiki tiga pondasi agama yaitu keimanan, amal shalih, hari akhir. Ketiga
pondasi ini menjadi syarat bergantungnya kebahagian seseorang di dunia dan di
akhirat.
Pertama, Islâh al-Îmân (memperbaiki keimanan kepada Allah). Menurut
Rasyīd Ridā, banyak sekali kaum-kaum yang tersesat dalam permasalahan
keimanan kepada Allah, sampai-sampai penyimpangan/penyelewengan keimanan
kepada Allah juga terjadi kepada umat-umat yang dekat dengan petunjuk para
nabi-nabi terdahulu, Seperti kaum Nasrani yang meyakini Tastlîst (trinittas) yang
berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang ketiga dari Tuhan yang tiga. Dan
pula sebagian orang-orang Yahudi yang meyakini bahwa „Uzair adalah anak
Tuhan. Hadir al-Qur‟an untuk Islâh Îmân (memperbaiki keimanan kepada Allah)
agar manusia mengesakan Allah Swt, sebagaimana ajaran yang dibawa oleh para
nabi yaitu ajaran Tawhîd.155
Kedua, memperbaiki keimanan pada hari akhir di antaranya hari
pembangkitan, Hisâb, Jazâ‟ (balasan atas segala perbuatan). Menurut Rasyîd Ridâ,
155
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 206.
58
telah terjadi Fasâd (kerusakan) dalam keimanan kepada kepastian hari akhir pada
ajaran umat-umat sebelum datangnya ajaran Islam. Di antaranya, orang-orang
musyrik yang sangat mengingkari kepastian hari akhir. Banyak sekali ayat al-
Qur‟an yang mengambarkan pengingkaran mereka terhadap hari akhir.156
Misalnya dalam Surah al-Mu‟minûm/23: 37:
“Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita
hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi”.
Ibn Jarîr mengutip pendapat Ibn Zaid, bahwa orang-orang musyrik berkata
demikian karena mereka mengkufuri atau tidak mempercayai hari akhirat dan hari
pembangkitan. Mereka berkata bahwa manusia itu seperti tanaman. Tanaman
ketika tumbuh itu laksana kehidupan manusia, dan ketika panen itu laksana
kematian manusia dan tidak ada lagi kehidupan setelah panen/kematian.157
Begitu pula rusaknya keyakinan Ahl al-Kitâb (orang-orang Yahudi dan
Nasrani) terhadap keimanan pada hari akhir setelah terjadi Tahrîf (penyimpangan)
terhadap kitab-kitab suci mereka. Orang-orang Nasrani meyakini Nabi „Isâ
sebagai juru selamat yang menebus segala dosa-dosa yang dilakukan orang-orang
Nasrani.
Ketiga, amal shalih adalah buah dari keimanan kepada Allah dan yaum al-
Jaza‟ (hari pembalas). Menurut Rasyîd Ridâ, keimanan kepada Allah dan hari
akhir yang mantap di jiwa, akan memotivasi untuk gemar beramal kebaikan dan
pula akan mencegah beramal buruk, karena seorang yang kuat keimanannya
kepada Allah dan hari akhir, ia yakin bahwa sekecil apapun amalan akan diganjar
oleh Allah.158
Sebagaimana firman Allah Surah al-Zalzalah/99: 7:
“7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya. 8. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.
156
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 200. 157
Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-
Risalah 1415 H), jilid 19, h. 44. 158
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 207.
59
Menurut Alî Sâbûnî,159
barang siapa yang berbuat kebaikan sekecil debu, ia
akan mendapatkan pada catatan amalnya dan mendapatkan balasan dari Allah Swt,
begitu pula perbuatan keburukan. Menurut Ibn Abbās, jika kau meletakan telapak
tanganmu di tanah kemudian kau angkat tanganmu, dan menempelkan debu-debu
yang kecil di tanganmu maka demikianlah Zarrah. Maksud dari ayat ini, Allah
Swt memberikan perumpamahan bahwa tidak ada sekecilpun amalan yang di
lakukan oleh manusia yang luput dari pengawasan Allah.
2. Menjelaskan Kebodohan Manusia Tentang Risalah Kenabian Serta Tugas-
tugas Para Rasul
Tujuan Maqâsid al-Qurân yang kedua adalah menjelaskan kejahilan manusia
tentang Risalah kenabian dan fungsi-fungsi para Nabi. Menurut Rasyīd Ridâ,
hampir mayoritas masyarakat Arab mengingkari tentang Risalah kenabian. Orang-
orang Musyrik sangat mengingkari kenabian, karena mereka berpendapat bahwa
semua manusia sama dan tidak ada manusia yang diberikan kelebihan dari Allah.
begitu pula orang-orang Yahudi yang mengingkari kenabian yang bukan dari
bangsa Bani Israil dan hanya membatasi kenabian hanya dari bangsa mereka Dan
mereka mensifati kepada para Nabi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka
dengan penipu, pendusta, dan bahkan mereka tega membunuh para Nabi dengan
cara zalim. Dan pula orang-orang Nasrani yang mensucikan pendeta-pendeta dan
para Nabi mereka, sampai sebagian para Nabi dijadikan Tuhan oleh mereka selain
Allah.160
Di antara Tujuan diturunkan al-Qur‟an, untuk menjelaskan serta
meluruskan kejahilan manusia tentang Risalah kenabian, bahwa setiap umat pasti
diutus seorang Rasul, serta keniscayaan Allah mengutus Rasul untuk
menyampaikan wahyu dari Allah dan menjelaskan pula tugas-tugas para Nabi
yang di utus oleh-Nya. Firman Allah dalam Surah al-Nahl/16: 36 berikut:
159
Muhammad Alî Sâbûnî, Safwah al-Tafāsîr (Beirut: Dâr al-Qurân 1402 H), jilid 3, hal.
591. 160
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 219.
60
“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”.
Menurut Ibn Katsîr, Allah mengutus Rasul pada setiap generasi umat
untuk menyeruh membawa misi Tawhîd (mengesakan dan menyembah Allah
Swt). Dan senantiasa Allah mengutus Rasul kepada manusia dari terjadian awal
kesyirikan kaum Nabi Nuh sehingga diutus Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad
Saw sebagai Nabi terakhir. Dan seluruh para Nabi memiliki misi yang sama yaitu
mengajak seluruh manusia untuk menyembah Allah serta melarang mereka
menyembah selain Allah Swt.161
Di antara tugas-tugas fungsi para Nabi diutus
oleh Allah diantaranya, Pertama, untuk mengeluarkan manusia dari
ber‟anekaragam kegelapan menuju cahaya kebenaran yang diridhai Allah Swt.
Kedua, Tablîgh (menyampaikan segala yang diwahyukan dari Allah). Ketiga,
menyampaikan Tabsyîr (kabar gembira) dan Tanzîr (peringatan). keempat,
membaca ayat-ayat Allah, dan mensucikan mereka serta mengajarkan kitab dan
hikmah.162
Menurut Ridâ, yang dimaksud dengan membacakan ayat-ayat Allah
adalah ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur‟an, atau ayat-ayat kauniyyah (alam
semesta) yang menunjukan atas besarnya kekuasaan Allah. kelima, Tazkiyyah al-
Nafs (mensucikan jiwa, akal, qalbu manusia dari segala keburukan). Keenam,
mengajarkan al-Kitâb (al-Qur‟an) dan al-Hikmah (pengajaran yang mendorong
untuk memperbaiki moral dan perbuatan manusia). 163
3. Islam Agama Yang Sesuai Dengan Fitrah, Akal, Berdasarkan Ilmu,
Hikmah, Bukti Dan Argumentasi Secara Ilmiah, Hati, Perasaan, Dan
Membebasakan Dari Kejumudan.
Menurut Rasyid Ridâ, sebelum datangnya Islam ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah, manusia tidak mengenal ajaran agama kecuali ajaran yang
bertentangan dengan Fitrah manusia, akal sehat manusia, ajaran yang menyiksa
diri manusia. kemudian Allah mengutus Nabi Muhammad dengan membawa
161
Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm (Beirut: Dâr Ibn Hajm
1402 H), h. 1062. 162
Umar Sulaimân al-Asyqâr, Rasul Wa Risâlah (Kuwait: Penerbit Al-Falâh, 1983), h.
43-50. 163
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 260.
61
Risalah al-Qur‟an bertujuan menjelaskan bahwa Islam itu agama yang sesuai
dengan Fitrah, akal sehat manusia, berdasarkan dengan ilmu, bukti, argumentasi
secara ilmiah, dan agama yang sesuai dengan hati, perasaan manusia.164
Pertama, Dîn al-Fitrah (agama fitrah). Fitrah secara etimologi menurut
Rāgib al-Asfahânî, memiliki beragam makna. Di antaranya membelah, memeras,
menciptakan sesuatu yang tidak ada contohnya, keadaan awal dalam penciptaan
manusia.165
Makna Fitrah yang sesuai dalam konteks Fitrah al-Dîn (fitrah agama)
terdapat dalam Surat al-Rûm/30: 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud Fitrah pada ayat ini adalah
kondisi atau keadaan penciptaan yang terdapat pada diri manusia yang
menjadikan manusia berpotensi untuk mengenal Allah dan ajaran-ajaran
syariatnya.166
Kedua, Dîn al-Aql Wa al-Fikr (agama yang berlandasan sesuai dengan
akal dan pikiran sehat). Menurut Ridâ, kata Aql didalam al-Qur‟an lebih dari 50
ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan akal manusia. Ini mengisyaratkan
betapa urgensinya akal bagi manusia dan pula bahwa Islam adalah ajaran yang
berlandasan sesuai dengan akal sehat manusia. banyak sekali fungsi akal di dalam
al-Qur‟an. di antaranya yaitu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an, untuk
merenungkan besarnya kekuasan Allah atas penciptaan alam semesta, untuk
memahami maksud syariat yang Allah perintahkan kepada manusia, agar tidak
terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan dan kesengsaraan.
Ketiga, Dîn al-„Ilmi Wa al-Hikmah (agama yang berlandaskan ilmu dan
hikmah). Kata علم menurut Rāghib al-Asfahânî adalah mengetahui sesuatu dengan
hakikatnya/sebenar-benarnya.167
Islam itu adalah Dîn al-„Ilmi (agama yang
164
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 224. 165
Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus: Dâr al-Qalam ), h.
353. 166
Muhammad Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati 2002), jilid 7, hal.
402. 167
Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus : Dār al-Qalam ),
h. 580.
62
berlandaskan pada ilmu) bukan ajaran agama yang berlandsan Taqlîd buta dan
menduga-duga/perasangka. Dan Hikmah menurut Rasyîd Ridâ mengandung
makna yang lebih khusus dari pada ilmu. Karena hikmah menurut beliau adalah
mengetahui sesuatu secara hakikatnya yang didalamnya mengandung manfaat-
manfaat yang membangkitkan melakukan perbuatan-perbuatan baik.168
Keempat, Dîn al-Hujjah Wa al-Burhân (agama yang berlandaskan pada
argumentasi dan bukti yang jelas dan nyata). Tidak seperti ajaran-ajaran orang-
orang kafir yang menjadi berhala-berhala sebagai sesembahan mereka yang tak
berlandaskan dengan argumentasi dan bukti yang jelas.
Kelima, Dîn al-Qalb Wa Wijdân Wa Damîr (agama yang sesuai dengan
hati manusia). Segala syariat yang Allah tetapkan dalam ajaran Islām, seluruhnya
tidak ada yang bertentangan dengan hati manusia. oleh karena itu, tidak ada
paksaan dalam menganut agama dalam Islam dan tidak ada penindasan atau
kezalimanan dalam ajaran Islam, karena Islam ajaran yang senada dengan
sanubari hati manusia.169
4. Memperbaiki Masyarakat Manusia Dengan Merealisasikan Delapan
Persatuan/persaudaraan
Tujuan Maqâsid al-Qurân selanjutnya yaitu memperbaiki masyarakat
manusia dengan merealisasikan persaudaran dan persatuan. Kemudian ada
delapan hal yang harus dipersatukan di dalam al-Qur‟an menurut Ridâ. Pertama,
Wahdah al-Ummah (persatukan umat), Wahdah al-Jinsyi al-Basyarî (menyatukan
persaudaraan di antara manusia), Wahdah al-Dīn (persatukan agama), Wahdah al-
Tasyri‟ (persatuan syariat), Wahdah al-Ukhuwwah al-Ruhiyyah (menyatukan
persaudaraan seagama), Wahdah al-Jinsiyyah al-Siyâsiyyah al-Wataniyyah
(persatuan persaudaraan sesama bangsa/negara), Wahdah al-Qadâ‟ (persatuan di
hadapan hukum), Wahdah al-Lughah (persatuan bahasa).170
168
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 247-248. 169
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 248-252. 170
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 256.
63
Persatuan dan persaudaraan di kalangan manusia menjadi bagian dari
Maqâsid al-Qurân, karena sebelum al-Qur‟an diturunkan ke bumi, manusia saling
bertengkar, bermusuhan karena perbedaan nasab, warna, bahasa, agama, bangsa,
kabilah dan lain-lain. mereka saling menindas, menzalimi, berperang satu sama
lain. datang ajaran al-Qur‟an yang dibawa oleh Nabi Muhammad menyuarakan
dan mengajak menuju Wahdah baina al-Insaniyyah (persatuan/persaudaraan di
antara manusia).171
Menurut Quraish Shihab, Ukhuwwah pada mulanya berarti persamaan dan
keserasian dalam banyak hal. karenanya, persamaan dalam keturunan, keimanan,
kemanusiaan mengakibatkan persaudaraan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab,
ditemukan bahwa kata Akh juga digunakan dalam arti teman atau kerabat. Dalam
al-Qur‟an, kata akh dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali, sebagian
dalam arti “saudara kandung” seperti pada ayat-ayat yang berbicara tentang
kewarisan QS al-Nisâ/4: 12. Dan sebagian mengandung arti “saudara sebangsa
walau tidak seagama”, sebagaimana dalam Surah al-A‟rāf/7: 65 “Wa ilâ „âd
akhâhum Hûd” (“dan kepada saudara mereka kaum‟Âd, Hûd”). Dalam bentuk
jamak dari kata akh ada dua macam. Pertama, Ikhwân yang digunakan untuk
persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali di
dalam al-Qur‟an. Kedua, Ikhwah terdapat tujuh kali ditemukan dalam al-Qur‟an,
yang mengandung makna persaudaraan seketurunan. Misalnya (QS 12: 58) yang
mengkisahkan kedatangan saudara-saudara kandung Nabi Yusuf dengan
menggunakan istilah Ikhwah.172
5. Menetapkan Keistimewan-keistimewaan Islam Secara Umum Dalam
Menetapkan Taklîf (Pembebanan Hukum)
Maqâsid al-Qurân selanjutnya menurut Ridâ adalah menjelaskan
keistimewaan hukum syariat Islam yang berbeda dengan ajaran-ajaran syariat
agama lain. Kemudian Ridâ meringkas terdapat beberapa hal keisitimewaan
hukum Taklif yang ditetapkan ajaran Islam.
171
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 257. 172
Muhammad Quraish Shihâb, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan,
1992 ), hal. 357.
64
Pertama, bersifat Wasatiyyah (moderat) yang menghimpun antara hak
jasmani dan hak rohani manusia.173
Menurut Abdu, keadaan manusia sebelum
datangnya ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian. bagian pertama, manusia
yang bersifat materialis yang hanya memikirkan hak-hak jasmani saja seperti
Yahudi, dan orang-orang Musyrik. Bagian kedua, manusia yang bersifat non
materialis yang hanya memikirkan hak-hak ruhani saja sehingga meninggalkan
dunia dan kenikmatan dunia, seperti orang-orang Nasrani, Sabi`in, kelompok
orang-orang Hindu. Allah menjadikan umat Islam adalah umat moderat, seimbang
yang menghimpun antara hak jasmani dan hak ruhani tanpa mengabaikan satu
sama lain, karena manusia terdiri dari jasad dan ruh. Kedua, tujuan syariat hukum
Islam adalah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. QS Tâhâ 20: 2 Allah
berfirman:
“Kami tidak menurunkan al-Qur‟an kepada mu (Muhammad) agar kamu
menjadi sengsara“.
Menurut Ibn Jarîr, Allah tidak menurunkan al-Qur‟an untuk sengsara.
Akan tetapi, Allah menurunkan al-Qur‟an sebagai rahmat untuk kemaslahatan
manusia, cahaya yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.174
Ketiga, tujuan hukum Islam adalah agar terjalini hubungan
persaudaraan yang harmonis di antara manusia, bukan untuk memecah bela dan
permusuhan di antara manusia sebagaimana yang dituduh para orentalis barat.
Keempat, keadaan hukum Islam itu menekankan kemudahan bukan untuk
mempersulit dan menyusahkan. Kelima, Islam melarang Ghulûl ekstrim dalam
beragama dan membatalkan segala syariat yang menyiksa diri manusia. QS al-
A‟râf 7:32 menurut Ibn Katsîr, Ibn Abbâs berpendapat bahwa orang-orang
Musyrik dahulu mengharamkan mengunakan pakaian ketika bertawaf. Kemudian
Allah batalkan ajaran ekstrim yang dibuat orang-orang musyrik.175
Menurut Sâ‟dî,
ayat ini sebagai bantahan terhadap ajaran-ajaran yang mengharamkan makanan,
minuman, pakaian yang baik-baik, karena segala yang baik (Tayyibât) disediakan
173
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 518. 174
Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-
Risalah 1415 H), jilid 5, h. 183. 175
Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm
1402 H), h. 753.
65
Allah untuk orang-orang mu‟min di dunia.176
Keenam, sedikitnya taklif dalam
ajaran Islam dan taklif menjadi dua bagian. pertama, Rukhsâh (keringanan).
Kedua, „Azîmah. Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Rukhsâh adalah apa yang
disyariatkan Allah dari hukum-hukum sebagai keringanan atas Mukallaf pada
keadaan tertentu atau membolehkan apa yang dilarang karena uzur memberatkan
pelaku Mukallaf.177
6. Menjelaskan Hukm Al-Islâm Al-Siyâsî (Hukum politik Islam)
Tujuan al-Qur‟an selanjutnya adalah Menjelaskan Hukm al-Islâm al-Siyâsî
(Hukum politik Islam). Secara global, Ridâ menjelaskan Qawâid al-Asâsiyyah
(kaidah-kaidah dasar) dan Usûl al-Tasyrî‟ (prinsip-prinsip penetapan hukum)
dalam politik Islam. Di antara kaidah-kaidah dasar dalam politik Islam adalah
Syûrâ (musyawarah), keadilan, mencari kebenaran, Musâwah (persamaan) dalam
memberikan hak-hak, saksi, dan hukum. Dan pula menetapkan segala
kemaslahatan dalam kebijakan, mencegah segala kemafsadatan.178
Dan diantara
Usūl al-Tasyrî (prinsip-prinsip dasar menetapkan hukum) dalam politik Islam
yaitu:
Pertama al-Qur‟an. yang masyhur di kalangan ulama Usul fikih adalah Ayât
al-Ahkâm (ayat-ayat hukum) yang hanya sekitar 500 ayat. Al-Qur‟an ini menjadi
referensi primer bagi umat muslim dalam menetapkan hukum. Karena al-Qur‟an
adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bagi secara lafadz
dan maknannya. Dan segala hukum yang di dalamnya wajib bagi umat muslim
mengikutinya, karena bersumber dari Allah disampaikan dengan cara Qat‟î tanpa
diragukan lagi kebenarannya.
Kedua Sunnah Rasulullah Saw. Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf definisi
Suunah secara Syar‟i adalah apa saja yang bersumber dari Rasulullah bagi dari
perkataan, perbuatan, ketetapan.179
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an yang
176
Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fī Tafsîr Kalâm al-Mannân
(Riyâd : Maktabah „Abîkân, 1422), hal. 287. 177
Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain
2004 M), h. 161. 178
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 268. 179
Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain
2004 M), h. 36.
66
menjelaskan bahwa wajibnya bagi umat muslim untuk menjadikan Sunnah
sebagai Hujjah. Qs al-„Imrân/3: 32 berikut:
“Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Ketiga, Ijmâ‟ al-Ummah (konsensus umat) atau kesepakatan para mujtahid.
Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Ijmâ‟ adalah kesepakatan para mujtahid
dikalangan umat Islam pada beberapa generasi setelah wafatnya Rasulullah atas
hukum syar‟i yang terjadi.180
Keempat, Ijtihad para Imam, „Umarâ` (pemerintah) dalam urusan hukum,
politik, kebijakan, kemiliteran, dan lain-lain sebagainya. Dalil yang melegitimasi
melakukan ijtihad adalah Qs al-Nisâ`/4: 59 berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),
dan ulil amri di antara kamu”.
Lafadz Ulî al-Amr menunjukan arti umum. Jika berkaitan dengan agama,
maka Ûlî al-Amr adalah ulama/para Mujtahid. Akan tetapi jika dikaitkan dengan
negara, maka Ûlî al-Amr adalah pemimpin/pemerintah.
7. Irsyâd Ilâ Al-Islâh Al-Mâlî (Petunjuk Memperbaiki/mengelola Harta
Dengan Baik)
Tujuan-tujuan al-Qur‟an selajnutmya adalah Irsyâd Ilâ al-Islâh al-Mâlî
(petunjuk memperbaiki harta) dalam naungan petunjuk al-Qur‟an. Ridâ
mengklasifikasi bagian ini menjadi enam kaidah.181
Pertama, menjelaskan kaidah umum bahwa harta pada dasarnya adalah
Fitnah Wa Ikhtibâr (ujian) dari Allah Swt dalam kebaikan atau keburukan. Dalam
Surat al-Taghâbûn/64: 15 berikut:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu),
dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
180
Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain
2004 M), h. 46. 181
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 272.
67
Menurut Ibn Katsîr, harta itu adalah Ibtilâ‟ (ujian), dengannya Allah
mengetahui siapa yang taat bersyukur kepada-Nya dan siapa yang bermaksiat
dengan mengkufuri nikmat harta.182
Senada pula menurut al-Baidâwî, bahwa harta
adalah ujian dari Allah, jangan sampai kecintaanmu yang melampaui batas
terhadap harta membuatmu berkhianat kepada Allah dengan durhaka pada-Nya.183
Kedua, harta berpotensi menyebabkan manusia melampaui batas dan
memalingkan atau menjahukan pada kebenaran. Di dalam QS al-Taghâbun/96: 6-
7 Allah berfirman:
“6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. 7.
Karena dia melihat dirinya serba cukup (kaya)”.
Ketiga, memuji harta sebagai balasan atas keimanan dan amal shalih yang
di lakukan oleh orang-orang beriman. Menurut Ridâ, harta bisa berpotensi
keburukan dan bisa pula berpotensi kebaikan. Menurut beliau, dalam QS al-
Baqarah 2: 180 yakni “In Taraka khairân” (“apabila meninggalkan
kebaikan/harta”). Allah menyebutkan harta adalah Khairân (kebaikan),
mengisyaratkan bahwa harta bisa berpotensi untuk kebaikan, bagi kebaikan dunia
maupun kebaikan akhirat.
Keempat, apa-apa yang Allah wajibkan untuk Hifz al-Mâl ( menjaga harta).
Salah-satu al-Kuliyyât al-Khams (lima prinsip dasar) tujuan syariat adalah Hifz al-
Mâl ( menjaga harta). Bentuk penjagaan Allah pada harta menurut Abd al-Khallâf,
bahwa Allah mensyariatkan dan membolehkan bermuamalah/berkerja. Dan
diharamkan mencuri, menipu, khianat, mengambil harta orang lain tanpa hak yang
dibenarkan, merusak harta orang lain, mencegah memberikan harta kepada Safî`
(bodoh dalam mengelola harta) adalah sebagai bentuk penjagaan Allah terhadap
harta.184
Kelima, menginfakkan harta sebagai tanda keimanan kepada Allah dan
sebagai wasilah untuk kemaslahatan umat dan menguatkan negara.185
182
Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm
1402 H), h. 1882. 183
Abdullah Ibn Umar Ibn Muhammad al-Syîrâzîal-Baidâwî, Anwâr al-Tanzîl Wa Asrâr al-Ta’wîl (Beirut: Dâr al-Rasyîd 1421 H), hal. 413.
184 Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usūl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain
2004 M), h. 201. 185
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 273-275.
68
Keenam, hak-hak harta yang diwajibkan dan disunnahkan dalam ajaran
Islam. Diantaranya yaitu pertama, Islam mengakui kepemilikan harta setiap
individu manusia sehingga tidak boleh orang lain mengambil harta orang lain
dengan cara yang zalim. Kedua, Islam mewajibkan zakat bagi orang-orang kaya
untuk kemaslahatan umat Islam dan agar harta tidak berputar hanya dikalangan
orang-orang kaya saja. Ketiga, Islam melarang pencurian, riba, judi, mengambil
hak orang lain dengan cara batil, sebagai penjagaan harta. Keempat, disyariatkan
mengeluarkan harta sebagai tebusan Kaffarât (penebus dosa-dosa) untuk
kemaslahatan orang-orang lemah (fakir-miskin). Kelima, disunnahkan sedekah,
hadiah, infaq untuk kemslahatan orang-orang ang butuh. Keenam, dilarangnya
Isrâf Wa Tabzîr (berlebihan dan boros), untuk menjaga harta.186
8. Memperbaiki Nizâm (Peraturan) berperang Di Dalam Islam
Tujuan Maqâsid al-Qurân selanjutnya menurut Ridâ adalah Islâh Nizâm
al-Harb Fî al-Qurân (memperbaiki sistem berperang di dalam al-Qur‟an).
Menurut Ridâ, ajaran Islam pada mulanya tidak menghendaki permusuhan,
pertengkaran, peperangan. Tujuan disyariatkan Qitâl (peperangan) bukan untuk
mengintimidasi atau menzalimi orang lain. Akan tetapi, hal demikian disyariatkan
untuk mencegah keganasan, kezalimanan musuh-musuh Islam. Kemudian Ridâ
mengklasifikasikan 6 kaidah mendasar peperangan di dalam al-Qur‟an.187
Pertama, tujuan peperangan dalam al-Qur‟an. Peperangan di dalam Islam,
hanya diarahkan kepada orang-orang yang zalim dengan bertujuan agar mencegah
segala bentuk kezaliman, penindasan, keganasan orang-orang yang berlaku zalim
terhadap orang-orang Islam. Jadi, spirit peperangan di dalam Islam adalah
menolak segala bentuk kriminalisasi, kezaliman, penganiayaan dan mencegah
segala kemafsadatan dan kerusakan. Karena pada sejatinya, Islam agama yang
mengajarkan kedamaian, keharmonisan, dan kasih sayang. Ayat yang pertama kali
turun perintah berperang bukan untuk menindas non muslim, akan tetapi
motif/tujuan berperang dalam Islam karena umat Islam ditindas, dizalimi orang-
186
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 317.
187
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 324.
69
orang yang memusuhi Islam. Oleh karenanya, diizinkan umat muslim berperang
untuk mencegah kezaliman dan segala bentuk kerusakan. Sebagaimana firman
Allah QS al-Hâjj/22: 39:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena
Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu”.
Kedua, Memprioritaskan perdamaian dari peperang. Memprioritaskan
perdamaian dari pada peperangan menjadi prinsip kaidah dasar dalam peraturan
peperangan didalam Islam. Menurut Rasyîd Ridâ, peperang dalam Islam adalah
darurat yang mendesak untuk kemaslahatan perdamaian dan mencegah segala
kerusakan-kerusakan. Allah memerintahkan agar umat Islam memprioritaskan
perdamaian dari pada peperang, jika musuh-musuh Islam condong pada
perdamaian.188
Sebagaimana firman-Nya QS al-Taubah/8: 61:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Menurut Muhammad Abduh, Pada dasarnya agama Islam itu Dîn al-Salâm
Wa al-Sulh (agama yang damai). Jika mereka musuh-musuh Islam condong pada
perdamaian dari pada peperangan, maka condonglah pula wahai Rasulullah pada
perdamaian, karena engkau lebih pantas melakukan demikian dari mereka. Dan
serahkan semuanya kepada Allah dan jangan takut oleh tipu daya mereka,
sesungguhnya Allah Maha mendengar segala yang mereka katakan dan Maha
mengetahui atas apa yang mereka akan rencenakan kepada mu. 189
Ketiga, Mempersiapkan secara maksimal alat-alat persiapan peperangan
bertujuan untuk menggetarkan musuh-musuh Islam. Kewajiban negara Islam
sebelum berperang yaitu mempersiapkan alat-alat perang sesuai dengan konteks
zamannya dengan bertujuan untuk menggetarkan musuh-musuh Islam dan
188
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 325. 189
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 273-275.
70
mengamankan umat Islam dari keganasan musuh-musuh Islam.190
Secara eksplisit
Allah perintahkan di dalam QS al-Taubah/8: 62:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu”.
Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsîr al-Manâr, Allah
memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan segala kekuatan untuk
mencegah musuh-musuh Islam dan mencegah keburukan serta menjaga jiwa
manusia. dan pula mempersiapkan pula mengikat kuda-kuda (militer) mereka
untuk menjaga batasan-batasan negara dari serangan musuh-musuh Islam. Dan
yang maksud dengan رداط اخليل sesuai dengan konteks zamannya. Jika zaman
Rasulullah melawan musuh dengan pedang, panah dan lain sebagainya. Akan
tetapi, pada konteks sekarang bisa juga diartikan mempersiapkan granat atau bom,
nuklir, pesawat militer, senapan peluru dan lain-lain yang yang diketahui pada
zamannya.191
Lima, Rahmâh Fî al-Harb (kasih sayang dalam peperangan). Di dalam
kondisi medan peperangan, Islam pula mengajarkan kasih sayang. bentuk kasih
sayang peperangan dalam Islam menurut Hasan al-Basrî, di antaranya dilarangnya
Ghulûl (mengambil harta rampasan perang), membunuh perempuan, anak-anak,
orang tua renta, Ruhbân (pendeta), orang-orang yang ber‟ibadah, membakar
rumah, membunuh binatang pada bukan kemaslahatan.192
9. Memberikan Seluruh Hak Perempuan Dari Hak Kemanusian, Keagamaan,
Kewarganegaraan.
Tujuan al-Qur‟an selanjutnya adalah memberikan hak-hak perempuan.
Menurut Rasyîd Ridâ sebelum datangnya Islam, perempuan kedudukannya sangat
190
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 325. 191
Rasyîd Ridâ, Tafsir Al-Manâr (Mesir: Penerbit , Al-Manār 1349 H), jilid 10, h. 69-70. 192
Abî Fidâ’ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm 1402 H), h. 248.
71
rendah pada umat-umat terdahulu. Mereka diintimidasi, dihinakan oleh
masyarakat terdahulu. Menurut Rasyîd Ridâ,:
”Telah ada perempuan terdahulu diperjual belikan laksana binatang
ternak dan barang. Dan pula dipaksa untuk menikah dan berzina serta diwarisi
dan tidak dapat warisan, dimiliki sepenuhnya dan tidak memiliki apa-apa. Dan
kebanyakan orang-orang yang memilikinya mencegahnya melakukan semaunya
atas apa yang mereka miliki tanpa izin suami. dan mereka berpendapat bahwa
bagi suami punya hak sepenuhnya pada harta perempuan. Telah menetapkan
salah-satu konvensi perkumpulan di romawi, sesunguhnya perempuan itu
binatang najis yang tidak ada ruh dan tidak abadi nanti di kehidupan akhirat,
akan tetapi wajib atas perempuan untuk ber‟ibadah dan mengabdi kepada suami.
Mulutnya berhak di berangus seperti diberangusnya unta, dikarenakan
dilarangnya wanita tertawa dan berbicara karena sesungguhnya wanita adalah
perangkap syaitan. Dan syariat ter‟agung di massa lalu bahwa bagi seorang ayah
berhak menjual anak perempuannya, dan orang-orang arab berpendapat bahwa
seorang ayah berhak membunuh anak perempuannya bahkan dibenarkan pula
membunuhnya dalam keadaan hidup-hidup”193
Al-Qur‟an membatalkan segala bentuk intimidasi, kezaliman, penghinaan
terhadap perempuan, serta mengangkat derajat perempuan dari martabat kehinaan
menuju martabat kemuliaan dan memberikan hak-hak yang semestinya diberikan
kepada perempuan. Diantara bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan.
diantaranya yaitu Pertama, Allah perintahkan kaum laki-laki untuk
memperlakukan perempuan dengan cara yang baik. Dalam Surah al-Nisâ/4: 19:
“dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Menurut Ibn Katsîr, yang dimaksud dengan memperlakukan perempuan
dengan Ma‟rûf adalah laki-laki diperintahkan agar berkata, berbuat,
memperlakukan perempuan dengan cara yang baik semampu mereka.194
Menurut
Jalâl al-Suyûtî, yang dimaksud dengan memperlakukan perempuan dengan cara
baik adalah dengan Ijmâl Fî al-Qaul Wa al-Nafaqah Wa al-Mabît
193
Muhammad Rasyid Ridâ, Huqûq Al-Nisâ Fi Al-Islâm (Beirut: Maktabah al-Islamiyyah,
1404 H), h. 6. 194
Abî Fidâ’ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm 1402 H), h. 445.
72
(memperperindah dalam ucapan, nafkah, memberikan tempat tinggal yang layak
dan baik).195
Kedua, Allah mengakui keimanan perempuan sama seperti keimanan laki-
laki, tidak seperti sebagian masyarakat Eropa yang melarang perempuan membaca
kitab-kitab suci, karena mereka berpendapat bahwa perempuan tidak
diperbolehkan ber‟agama. Terbukti yang pertama kali beriman kepada Nabi
Muhammad adalah seorang peremuan yaitu Khadîjah istri Rasulullah Saw.196
Dan
Allah juga menetapkan di dalam al-Qur‟an bahwa amalan shalih perempuan sama
seperti amal shalih laki-laki yang akan diganjarkan oleh Allah Swt. QS al-
Anbiyā‟/21: 94 yaitu:
“Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman,
Maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan Sesungguhnya kami
menuliskan amalannya itu untuknya”.
Ketiga, keikutsertaan perempuan bersama laki-laki dalam aspek syiar-syiar
diniyyah (agama), Ijtimâiyyah (kemasyarakatan), Siyâsah (politik).
Empat, Islam memberikan hak waris bagi perempuan, yang sebelumnya
perempuan dimiliki dan diwarisi oleh suami-suaminya. Dan pula mengharamkan
menjadikan perempuan sebagai warisan, hal demikian tertera dalam Surat al-
Nisâ‟/4: 19 berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa. dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan
bergaullah dengan merekas secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Menurut al-Qurtubî, kronologis ayat ini turun berkenaan dengan tradisi
orang-orang musyrik, jika seorang laki-laki meninggal, maka perempuan
dijadikan warisan untuk wali-walinya dan mereka berhak berkehendak sesuka
mereka. Kemudian Allah membatalkan tradisi demikian dengan mengharamkan
195
Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallî Dan Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Ibn
Abi Bakar al-Suyûtî, Tafsîr al-Jalâlain (Surabaya: Penerbit Nurul Huda, t.t), hal. 73. 196
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 333.
73
mempusakai wanita. Dan bahkan bukan saja demikian, Islam memberikan hak
waris bagi perempuan sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan.197
10. Pembebesan Budak Dalam Islam
menurut Ahmad Sayûtî al-Ansârî, mengenai bangsa Arab Jahiliyyah
bahwa kondisi budak di zaman jahiliyah mirip dengan kondisi budak di Yunani
dan Rumawi. Budak di zaman jahiliyah dianggap barang dagangan yang paling
menguntungkan. Pasar-pasar di jazirah Arab selalu dipenuhi dengan budak
sebagai komoditi unggulan, sementara orang-orang Quraisy termasuk orang yang
paling banyak menikmati hasil perdagangan budak. Kaum Quraisy mendapatkan
budak dari tawanan perang yang terjadi antar kabilah Arab atau yang mereka beli
dari pasar-pasar budak di Habsyah (untuk budak kulit hitam) atau daerah Kaukasia
(untuk budak kulit putih). Disamping itu banyak juga tuan yang mengawini
budaknya, ketika budak tersebut melahirkan anak buat tuannya, dia disebut
dengan umm al-walad. Kondisi terakhir ini berlaku terus sampai awal datangnya
Islam.198
Menurut Rasyîd Ridâ, salah satu tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah upaya
untuk memperbaiki kerusakan moral umat-umat terdahulu atas segala tindakan
kezaliman terhadap budak-budak dan pula mengupayakan menghapus perbudakan
terhadap manusia dengan cara bertahap-tahap atau sistematis. Menurut beliau, ada
dua cara al-Qur‟an untuk menghapus praktek pembudakaan.
Pertama, membatasi dan menututupi regenerasi praktek perbudakan
dengan melarang segala bentuk kezalimanan, sewenang-wenang terhadap budak.
Dan Islam melarang segala pintu menjadikan orang manusia sebagai budak,
kecuali hanya tawanan dalam peperangan.199
Kedua, Islam mensyariatkan untuk membebaskan budak dan perbudakan
diantaranya yaitu :
a. Menjelaskan hukum-hukum perbudakan dalam Islam dan pula cara-cara
untuk membebaskan perbudakan diantaranya :
197
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar al-Qurtubî, Al-Jâmî Li al-Ahkâm al-Qurân (Beirut: Mu’assah al-Risâlah, 1427 H), jilid 6, hal. 155.
198 Ahmad Sayuti Anshari, “Perbudakan Dalam Hukum Islam,” h. 97.
199 Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 340-341.
74
-Banyak ayat-ayat al-Qur‟an secara eksplisit memerintahkan agar memerdekakan
budak-budak. Di antaranya QS al-Balâd/90: 12-13 berikut:
“12. Tahukah kamu apakah itu al-Aqabah? 13. Yaitu melepaskan budak
dari perbudakan”.
Menurut Ibn Katsîr, al-Aqabah adalah jalan kebaikan dan keselamatan
yaitu membebaskan budak.200
- Allah mensyariatkan agar budak-budak membebaskan diri mereka dengan
mengadakan perjanjian kepada pemilik nya. sebagaimana tertera dalam QS al-
Nur/27: 33.
- Allah melarang keras menyakiti budak-budak, dan untuk membayar balasannya
dengan memerdekakannya.
b. Memerdekakan budak sebagai sanksi hukum dalam syariat Islam.
Misalnya QS al-Nisâ‟/4: 92. Menurut Sa‟dî, ayat ini berkaitan dengan orang
mu‟min yang membunuh orang lain karena kesalahan, maka sanksi hukum
baginya yaitu memerdekaan budak orang beriman bagi kecil, besar, mu‟min laki-
laki atau perempuan.201
QS al-Mujâdalah/58: 2-3, berkaitan dengan sanksi hukum
Zihâr (menyerupai istri dengan ibu), maka sanksinya adalah memerdekaan
budak.202
C. Perbedaan Konsep Maqâsid Al-Qurân Antara Abū Hâmid al-Ghazâli Dan
Rasyîd Ridâ
Setelah penulis memaparkan konsep Maqâsid al-Qurân antara Antara Abû
Hâmid al-Ghazâli Dan Rasyîd Ridâ, kemudian penulis akan menganalisis secara
Muqāran203
(komparatif) dengan mencari persamaan dan perbedaan pendapat
antara konsep Maqâsid al-Qurân yang di tawarkan keduanya.
Kemudian perbedaan yang sangat mencolok dan nampak konsep Maqâsid al-
Qurân di antara keduanya adalah terpengaruhinya konsep Maqâsid al-Qurân yang
200 Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm
1402 H), h. 1997. 201
Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fī Tafsîr Kalâm al-Mannân
(Riyād: Maktabah „Abîkân 1422), hal. 193. 202
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 340-344. 203
Muqâran adalah upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara
permasalahan yang sama dan pula membandingkan pendapat para mufassir yang berkaitan dengan
al-Qur‟an. (Mustafa Ibrahim, Tafsîr Muqâran, hlm. 147).
75
keduanya tawarkan dengan backround latar belakang keahlian dan bidang
pendidikan keduanya. Al-Ghazâli adalah seorang sufi. Dalam Taqsîmât
(pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat kental
dengan istilah-istilah tasawuf. Misalnya istilah-istilah tasawuf yang digunakan al-
Ghazâli seperti, Sulûk Ilâ Allah (jalan menuju Allah), Tazkiyyah al-Nafs
(membersihkan jiwa), Mulâzamah Zikrillah (senantiasa mengingat Allah),
Mukhâlafah Hawâ (menentang hawa nafsu), Wusûl Ilâ Allah (sampai menuju
Allah), memandang Allah sebagai puncak kenikmatan dan terhalang/terhijab dari
Allah sebagai puncak siksa. Sedangkan Ridâ seorang reformis yang menyuarakan
ide-ide pembaharuan dalam Islam, sehingga Taqsîmât (pembagian-pembagian)
Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat kental bernuansa isu-isu
kontemporer. Misalnya dari sepuluh Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan
adalah Islâh al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (memperbaiki persaudaraan di antara
umat manusia), memberikan Huqūq al-Nisâ` (memberikan hak-hak perempuan
atau kesetaraan gender), menjelaskan Siyâsah al-Islâm (politk Islam), Islâh al-
Mâl Wa al-Iqtisâd (memperbaiki harta dan mengelola ekonomi) dalam al-Qur‟an,
menjelaskan pula tentang Tahrîr al-Raqîq (membebaskan budak) atau hak asasi
manusia.
Dan Maqâsid al-Qurân yang al-Ghazâli tawarkan, lebih menekankan pada
aspek Usûl Maqâsid (dasar-dasar Maqâsid) seperti, aspek mengenal Allah pada
dzat, sifat-sifat, perbuatan-Nya (Tawhîd), aspek kepastian hari akhir, kenabian, dll.
Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang lebih menekankan pada aspek Furû Maqâsid
(cabang-cabang Maqâsid) seperti, memperbaiki mengelola harta, memperbaiki
Nizâm (aturan) berperang, memberikan hak-hak perempuan (gender),
membebaskan perbedakan, dll.
Kemudian menurut penulis, Taqsîmât Maqâsid al-Qurân (pembagian tujuan-
tujuan al-Qurân) yang keduanya tawarkan, keduanya mengetahui Maqâsid al-
Qurân, karena Dilâlah (indikasi) Maqâsid al-Qurân itu terdapat pada lafadz ayat
al-Qur‟an tersebut, baik secara tersurat yaitu Mâ yu`khazu Min al-Nusûs (apa yang
terdapat pada nas al-Qur‟an), baik pula secara tersirat yaitu Mâ yufhamu Min
Nusûs (apa yang dipahami ada nas-nas al-Qur‟an). al-Ghazâli membagikan
Maqâsid al-Qurân pada enam bagian. Sedangkan Ridâ membagikan Maqâsid al-
76
Qurân pada 10 bagian. Hal yang menyebabkan perbedaan di antara keduanya,
karena berbedanya keahlian yang unggul pendidikan dan latar belakang keduanya.
Misalnya, Maqâsid al-Qurân yang al-Ghazâli tawarkan sangat banyak di
dalamnya istilah-istilah tasawuf, karena memang ketika beliau mengarang kitab
tersebut, beliau adalah seorang sufi. Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang
dijelaskan Ridâ banyak mengangkat isu-isu kontemporer, karena memang pada
massanya peradaban barat sedang naik daun. Oleh karenanya, tujuan-tujuan al-
Qur‟an yang beliau tawarkan banyak mengangkat isu-isu kontemporer, untuk
merespon dan membuktikan bahwa al-Qur‟an kitab suci yang relevan pada
kondisi zaman apapun dan mampu menjawab segala permasalahan di massa
modern.
Di antara titik temu adalah keduanya sama-sama merumuskan konsep
Taqsîmât (pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân. Al-Ghazâli membagikan
Maqâsid al-Qurân menjadi enam bagian.204
tiga hal yang pertama berisi Usûl al-
Muhimmah (prinsip-prinsip pokok) dan tiga hal bagian kedua sebagai
Mutammimah (penyempurna/pelengkap). Sedangkan muhammad Rasyîd Ridâ
mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân menjadi 10 bagian. Kemudian persamaan
keduanya yaitu sama-sama menjelaskan Maqâsid al-Qurân al-„Âmmah (tujuan-
tujuan al-Qur‟an secara umum). Seperti Islâh al-„Aqîdah (memperbaiki
akidah/keimanan) kepada Allah Swt, Tahdzîb al-Akhlâk (memperbaiki akhlak),
Bayân al-Ahkâm (menjelaskan hukum). Salah-satu contoh persamaan konsep
Maqâsid al-Qurân al-Ghazâli dan Ridâ yaitu:
Al-Ghazâli mengatakan bahwa Maqsad al-Aqsâ (tujuan puncak al-Qur‟an)
adalah mengajak manusia mengenal Allah yang berhak disembah yang
menciptakan segala sesuatu di jagat alam raya ini. begitu pula Rasyîd Ridâ yang
mengatakan bahwa tujuan pertama al-Qur‟an adalah menjelaskan Arkân al-Dîn al-
Tsalâsah (tiga pondasi dasar agama) salah satunya adalah menjelaskan keimanan
kepada Allah Swt.205
akan tetapi perbedaan Islâh al-„Aqîdah (memperbaiki akidah)
di antara keduanya, jika al-Ghazâli menekankan bahwa banyak sekali ayat-ayat al-
204
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 23-24. 205
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsīr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349 H), jilid
11, h. 207.
77
Qur‟an yang menjelaskan berkaitan dengan Dzat, sifat-sifat Allah atau Asmâ al-
Husnâ (nama-nama sifat Allah), perbuatan-perbuatan Allah, agar manusia
mengenal Allah sebagai Tuhan yang sebenar-benarnya dan agar pula manusia
menyembah Allah. Sedangkan Rasyîd Ridâ menekankan bahwa tujuan diturunkan
al-Qur‟an untuk merespon/mengkritik dan memperbaiki kesesatan, penyimpangan
akidah/kepercayaan manusia yang sudah tidak lagi murni mengesakan Allah Swt,
seperti orang-orang Musyrik yang menyembah berhala, orang Nasrani yang
menjadikan „Îsa sebagai Tuhan, dan lain-lain. Kemudian pula keduanya sama-
sama menjadikan keimanan kepada hari akhir sebagai bagian dasar tujuan-tujuan
al-Qur‟an. al-Ghazâli memposisikan menjelaskan kepastian hari akhir seperti
Yaum al-Ba‟tsi (hari pembangkitan), Yaum al-Hisâb (hari perhitungan) adalah
bagian dari prinsip-prinsip pokok Maqâsid al-Qurân.206
Begitu pula Rasyîd Ridâ
yang memposisikan keimanan kepada hari akhir bagian dari prinsip dasar
Maqâsid al-Qurân.207
Perbedaan keduanya berkaitan dengan keimanan kepada
hari akhir sebagai prinsip Maqâsid al-Qurân adalah kalau al-Ghazâli menjadikan
iman kepada kepada hari akhir sebagai Usul al-Muhimmah (prinsip-prinsip dasar
yang penting) Maqâsid al-Qurân, karena menurut beliau hampir sepertiga al-
Qur‟an berbicara tentang keadaan manusia setelah kembali kepada Allah. Seperti,
berbicara tentang kematian, Yaum al-Ba‟tsi (hari pembangkitan), Yaum al-Hisâb
(hari perhitungan), kenikmatan surga, kepedihan siksa neraka.208
Akan tetapi,
menurut Ridā menjadikan iman kepada hari akhir sebagai prinsip dasar Maqâsid
al-Qurân adalah sebagai respon al-Qur‟an atas rusaknya keimanan masyarakat
tentang hari akhir yang mengingkari atas kepastian hari akhir.
inti persamaan Maqâsid al-Qurân keduanya yaitu pada aspek Maqâsid al-
Ammâh (tujuan-tujuan al-Qur‟an yang umum) atau Maqâsid al-Qurân al-
Asâsiyyah (dasar-dasar tujuan-tujuan al-Qur‟an) seperti, tujuan akidah/keimanan,
tujuan akhlak, tujuan syariat.
206
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 29. 207
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 23-24. Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir : Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,
h. 207 208
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 30.
78
D. Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Maqâsid Al-Qurân Al-Ghazâli Dan
Rasyîd Ridâ.
Kelebihan konsep Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan Rasyîd Ridâ, beliau
menyentuh dengan meliputi segala aspek-aspek kehidupan manusia, bagi aspek
yang berkaitan dengan individu manusia dan aspek yang berkaitan dengan
masyarakat/kelompok manusia. karena inti Maqâsid Al-Qurân menurut beliau
adalah
ح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاذلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم مقاصد القرآن يو إصال اإلنسانية وترقية عقوذلم وتزكية أنفسهم
“Maqâsid Al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas, kaum,
serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan kesatuan
persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka, dan
membersikan jiwa mereka”.209
Rasyîd Ridâ menjelaskan hal yang berkaitan dengan Islâh al-Fardiyyah
(memperbaiki individu manusia) yaitu Islâh al-Aqîdah (memperbaiki akidah)
dengan menjelaskan keimanan kepada Allah, Rasul, hari akhir, Tazkiyyah al-Nafs
(membersikan jiwa), memperbaiki serta mengembangkan akal manusia dengan
menjelaskan Islam adalah Dîn al-Aql Wa al-Fikr (agama yang sesuai dengan akal),
sesuai dengan fitrah manusia, yang berlandaskan ilmu dan hikmah, serta melarang
Taqlid semata.210
Kemudian pula Ridâ menjelaskan Maqâsid al-Qurân berkaitan dengan
masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat/komunitas manusia.
Misalnya Islâh al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (memperbaiki persaudaraan di antara
umat manusia), memberikan Huqûq al-Nisâ` (memberikan hak-hak perempuan).
Dan pula tujuan al-Qur‟an menurut beliau berkaitan dengan Islâh al-Tasyri‟
(memperbaiki penerapan hukum) dengan menjelaskan keistimewaan hukum Islam
seperti moderat, kemudahan, tidak berlebihan/ekstrim, mencapai kebahagian
dunia dan akhirat dll. Kemudian berkaitan dengan Islâh al-Mâlî (memperbaiki
mengelola harta dengan baik) dengan menjelaskan halal, haram dalam
209
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 191. 210
Abd al-Karâm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 124.
79
ber‟muamalah yang baik dan benar. Dan pula berkaitan dengan Islâh al-Siyâsah
(memperbaiki politik) dengan menjelaskan keadilan, musyawarah, memberika
hak-hak, dan lain-lain. Sedangkan kekurangan konsep Maqâsid al-Qurân Rasyîd
Ridâ adalah terkesan beliau hanya menyinggung masalah-masalah kontemporer
saja, tidak begitu menekankan aspek-aspek fudamental dari tujuan-tujuan al-
Qur‟an.211
Kelebihan konsep Maqâsid al-Qurân Abū Hâmid al-Ghazâli pada Taqsîmât
(pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan yaitu tiga hal
Usûl al-Muhimmah (prinsip-prinsip yang penting) seperti mengenal Allah,
mengenal jalan yang lurus, mengenal hari akhir.212
Usûl al-Muhimmah (prinsip-
prinsip dasar yang penting) ini, mencakup tujuan-tujuan besar surah-surah al-
Qur‟an. Karena setiap Surah al-Qur‟an itu terdapat Maqâsid al-Sûrah (tujuan-
tujuan Surah), sebagaimana yang dipopulerkan dengan Râzî dalam Tafsir Mafâtih
al-Ghaib dan Biqâ‟î dalam karyanya Masâid al-Nazar Li al-Isyrâf „Alâ Maqâsid
al-Suwar (tingga-tannga memandang untuk melihat tujuan-tujuan surah-surah al-
Qur‟an).213
Dan prinsip-prinsip tujuan al-Qur‟an yang ditawarkan al-Ghazâli,
meliputi A‟zam Maqâsid Suwar al-Qurân (tujuan-tujuan besar surah al-Qur‟an),
karena tujuan-tujuan surah al-Qur‟an tidak terlepas dari aspek keimanan kepada
Allah, sifat-sifat agung Allah, kepastian hari akhir, petunjuk jalan yang di ridhai
Allah.
Dan kekurangan Maqâsid al-Qurân al-Ghazâli yaitu terkesan hanya melihat
al-Qur‟an dari aspek Tasawuf saja, tanpa melihat aspek-aspek lainnya padahal al-
Qur‟an sebagai Hidāyah bagi segala aspek kehidupan manusia.
Inti pada pembahasan ini, bahwa inti perbedaan antara Maqâsid al-Qurân
keduanya adalah kalau Abû Hâmid al-Ghazâli lebih menekankan Maqâsid al-
Qurân pada kajian-kajian klasik, seperti keimanan, risalah kenabian, kepastian
hari akhir. Sedangkan Ridâ lebih menekankan isu-isu permasalahan kontemporer,
seperti memberikan hak-hak perempuan (jender), politik, mempersiapkan
211
Abd al-Karâm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 125. 212
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 23. 213
Ibrahim Ibn Umar Al-Biqâ‟î, Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar
(Riyâd: Maktabah al-Ma‟ârif, 1308 H), Jilid 1, h. 209.
80
peperangan, mengelola uang (ekonomi) dengan cara baik, memerdekakan budak
(hak asasi manusia), persatuan antar manusia, dan lain-lain.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan konsep Maqâsid al-Qurân Abû Hâmid al-
Ghazâli dan Muhammad Rasyîd Ridâ dan pula membandingkan konsep Maqāsid
al-Qurān yang keduanya tawarkan. Menurut penulis, Benang merah yang nampak
perbedaan konsep Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan keduanya, terpengaruh
oleh Background latar belakang pendidikan keduanya. Kalau Maqâsid al-Qurân
yang ditawarkan al-Ghazâli lebih menekankan kajian-kajian klasik seperti
keimanan, risalah kenabian, hari akhir. Dan pula bercorak Tasawuf, karena
Tasawuf bagian keahlian al-Ghazâli. Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang
ditawarkan Rasyîd Ridâ pula tidak terlepas dari Background latar belakang
pendidikan Rasyîd Ridâ. Beliau adalah seorang reformis yang menyuarakan ide-
ide pembaharuan di era kontemporer. Dan Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan
Ridâ terkesan bernuansa kajian-kajian kontemporer.
B. Saran
1. Sepatutnya para Mufassir memahami Maqâsid al-Qurân sebagai basis dan tujuan
para mufassir dalam menafsirkan.
2. Penulis menyadari, penilitian tentang Maqâsid al-Qurân yang telah diteliti penulis
masih banyak kekurangan dan banyak pula selah-selah kekosongan yang harus
diteliti lebih komprehensif dan luas lagi.
3. Penelitian Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan Rasyîd Ridâ dan al-Ghazâli
memang sangat minim di kalangan para akademisi muslim. Diharapkan akan ada
peneliti-peneliti baru yang smampu berkontrbusi serta mengembangkan teori-teori
Maqâsid al-Qurân lebih luas lagi.
82
DAFTAR PUSTAKA
Âlûsî. Rûh al-Ma‟ânî Fî Tafsîr al-Qurân al-Azîm. Beirut: Mu`assasah al-Risâlah,
2010.
Al-Asfahânî, Râghib. Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân. Damaskus: Dâr al-
Qalam, t.t.
Asmûnî, Muhammad Yusran. Pertumbuhan Dan Perkembangan Berfikir Dalam
Islam. Surabaya: Penerbit al-Ikhlâs, 1994.
Âsyûr, Muhammad Tâhir Ibn. Tafsîr al-Tahrîr Wa al Tanwîr. Tunusia: Dâr al-
Tunisiyyah, 1984.
Al-Asyqâr, Umar Sulaimân. Rasul Wa Risâlah. Kuwait: Penerbit Al-Falâh, 1983.
Athaillah. Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsîr Al-Manâr. Jakarta: PT.Gelora
Aksara Pratama, 2006.
Bakir, Muhammad. ”Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd
Nursî”, no. 01 (Agustus 2015.
Baqi, Muhammad Fuad Abd, Mu‟jam al-Mufahrâs Li -Alfâdz al-Qurân Bi
Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarîf. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2007.
Basri, Hasan. Aktualisasi Pesan Alquran dalam bernegara. Jakarta: Ihsân
Yayasan Pancur siwah, 2003.
Baydâwi, Nasiruddin. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‟wîl. Beirut: Dâr al-Rasyîd,
1421 H.
Al-Biqâ‟î, Ibrahim Ibn Umar. Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar.
Riyâd : Maktabah al-Ma‟ārif, 1308 H.
Burhân, Manûbah.“al-Fikr al-Maqâsid „inda Muhammad Rasyîd Ridâ”. Tesis
Fakultas Syariah, Universitas Bātina al-Jazâ`ir, 2006.
Darrâz, Abdullah. al-Naba` al-Azîm. Mesir: Dâr al-Urubah, 1960.
Dunyâ, Sulaimân, al-Haqiqah fī Nazâ`ir Al-Ghazâli. Mesir: Dâr Al-Ma‟ârif, 1119
H.
Al-Fayummî, Ali. al-Misbâh al-Munîr Fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr. Beirut:
Maktabah al-Ilmiah, 1990.
Al-Ghânimi, Abû Wafâ‟. Tasawuf Islam. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama,
2002.
83
Al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad. Jawâhir Alqurân. Beirut: Dâr al-Ihyâ` Al-
Ulūm, 1990.
______________________________. al-Munqîd Min al-Dalâl. Istanbul: Darus
Safeka, t.t.
Hâmidî, Abd al-Karîm. Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân. Riyâd: Maktabah al
Rusyd,1428 H.
Hujair. “Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassirin “. (Desember : 2008).
Ibrâhîm, Ahmad Al-Badawî. Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhîd. Kâiro: al
Muassasah al-Misriyyah al-Ammâh, t.t.).
Juzayi, Abû Qâsim Muhammad Ibn Ahmad Ibn. Tafsîr Tashîl Li al-Ulûm al
Tanzîl. Beirut: Dâr al-Rasyîd 1415 H.
Katsîr, Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn. Tafsîr al-Qurân al-Azîm. Beirut: Ibn Hajm
1420 H.
Al-Khallâf, Abd al-Wahhâb. „Ilmu Usûl Al-Fikih. Indonesia: Penerbit al Haramain
2004.
Kusmana. “Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam
Pemikiran Kuntowijoyo” (Desember 2015).
Al-Mahallî, Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad dan al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Abd
Al-Rahmân Ibn Abi Bakar. Tafsîr al-Jalâlain. Surabaya: Penerbit Nurul
Huda, t.t.
Al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghi. Jilid II. Beirut: Dâr al- Kutub al-
Ilmiyah, 1998.
Mas‟ûd. Juhûd Ulamâ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Mufidah, Azmi. “Tafsir Maqâsidi Pendekatan Maqâsid al-Syariah Ibn Âsyûr”.
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga,
2013.
Nasution, Harun. Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang, 1974.
______________. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Nurdin. Ulûm al-Qurân Al-Karîm. Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1414 H.
84
Qardâwî, Yusûf. Kayfa Nataâ‟mal Ma‟a al-Qurân. Kâiro: Dâr al-Syurûq, 1968.
Al-Qattân, Mannâ‟ al-Khalîl. Mabâhis fī Ulûm al-Qurân. Beirut: al-Syirkah al-
Muttahidah, t.t.
Qutb, Sayyid. al-Adâlah al-Ijtimâ`iyyah Fîal-Islâm. Kâiro: Dâr: al-Syurûq, 1989.
Al-Qurtubî, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar. Jâmi‟ Li al-Ahkâm al-Qurân.
Beirut: Mu`assah al-Risâlah, 1427 H.
Râzî, Muhammad Fakhr al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr Musammâ Bi Mafâtih al Ghaib.
Beirut: Dâr al-Fikr,1990.
Raisuni, Ahmad, Maqâsid Maqâsid. Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2007.
Al-Rihyanî, Muhammad, Tafsîr Imâm al-Ghazâli. Kairo: Dâr al-Salâm 2010)
Ridâ, Muhammad Rasyîd. al-Wahyu al-Muhammadiyyah. Beirut: Maktabah „Izzu
al-Dîn, 1406 H.
________________________. Huqûq Al-Nisâ` Fi Al-Islâm. Beirut: Maktabah al
Islamiyyah, 1404 H.
________________________. Tafsîr al-Manâr. Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349
H.
Al-Sâbûnî, Muhammad „Alî. Tafsir Safwah al-Tafâsîr. Beirut: Dâr al-Qurân al
Karîm 1402 H).
______________________. Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr. Beirut: Dâr al-Qurân al
Karîm 1402 H.
_______________________. Rawâ`i‟u al-Bayân Tafsîr Ayât Al-Ahkâm Min Al
Qurân. Juz. 1. Beirut: Dār al-Qalam, 1998.
Al-Sa‟dî, Abd al-Rahmân Ibn Nâsir. Tafsîr al-Karîm Fī Tafsīr Kalâm al-Mannân.
Riyâd: Maktabah „Abīkān 1422.
Al-Salâm, Izzuddin Abd. Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm. Kairo:
Maktabah al-Kulliyyah al-Azhar, 1991.
Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Penerbit Mizan
1992.
________________________. Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa.
Jakarta: Penerbit lentera hati, 2006.
_________________________. Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsir al-
Manar. Tangerang: Lentera Hati, 2006.
85
_________________________. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati 2002.
Al-Siddîq, Muhammad Sâlih. Maqâsid al-Qurân. T.tp.: Dâr al-Ba‟tsi 1982 M).
Sirajuddin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn. al-Itqân Fî Ulûm al-Qurân. T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah
Al-Su‟udiyyah, 1426 H.
__________________. Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fī Tafsîr Bi al-Ma„tsûr. Kairo:
T.pn., 849 H.
Suryadilaga, M Fâtih, Tujuan Diturunkan Syariat Islam. Yogjakarta: Teras, 2008.
Al-Syâmî, Shâlih Ahmad, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at
Al-Khâmisah. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993.
Syâtibî, Abû Ishâq Ibrâhîm Ibn Mûsâ, al-Muwâfaqât Fî Usûl al-Syariah. Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2005.
Syaltût, Mahmûd. Ilâ al-Qurân al-Karîm. T.tp: Penerbit Dâr al-Syurûq, t.t.
Al-Tabarî, Ibn Jarîr. Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân. Beirut: penerbit
Al-Risalah 1415 H.
Zarkasyî, Badruddin. al-Burhân Fī Ulûm al-Qurân. Kairo: Dâr Ihyâ al-Kutub al-
Arabiyyah, 1957.
Al-Zahabî, Muhammad Husain. Tafsîr Wa al-Mufassirûn. Kairo: Maktabah al
Wahbah, 1119 H.
9
BAB II
ABÛ HÂMID AL-GHAZÂLI SERTA KITAB JAWÂHIR AL-QURÂN DAN
RASYÎD RIDĀ SERTA TAFSÎR AL-MANÂR
Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ merupakan dua figur ulama yang tidak asing
lagi dalam dunia pemikiran Islam. Al-Ghazâli adalah seorang ilmuan besar dalam
dunia Islam di abad ke 5 yang terkenal dengan julukan Hujjah al-Islâm. Begitu
pula Rasyîd Ridâ adalah seorang tokoh muslim modernis, mufassir, penulis,
jurnalis yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Kalau al-
Ghazâli seorang ulama terkemuka di abad klasik, sedangkan Rasyîd Ridâ ulama
yang terkemuka di abad modern. Pada kesempatan ini, penulis akan memaparkan
riwayat hidup, pendidikan, serta gambaran-gambaran umum karya al-Ghazâli
yaitu Jawâhir al-Qurân dan karya Rasyîd Ridâ Tafsîr al-Manâr.
A. Sekilas Profil Abû Hâmid Al-Ghazâli
Menurut Dzahabî, al-Ghazâli adalah seorang Imam besar, Hujjah al-Islām,
penghias agama Islam yang keluasan ilmu-Nya laksana lautan sehingga memiliki
karya berbagai aneka macam disiplin ilmu. Imâm Juwainî guru al-Ghazâli pun
mengakui kecerdasan dan kepandaian ilmu al-Ghazâli, sehingga Imâm Juwainî
memberi gelar dengan “Bahr al-Mughrîq” (lautan yang menenggelamkan),
karena kedalaman dan keluasan keilmuan al-Ghazâli laksana lautan yang luas.
Begitu pula Abd al-Ghâfir al-Fârisi seorang ulama yang sezaman dengan al-
Ghazâli, beliau pula mengapresiasi keluasan ilmu al-Ghazâli dengan menyebut
beliau sebagai Imam para ahli fikih, Mujtahid pada zamannya, serta penolong
sunnah Rasulullah Saw.1
1. Biografi Al-Ghazâli
Nama lengkapnya Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli. Lebih
terkenal dengan sebutan al-Ghazâli. Ia lahir dikota kecil yang terletak Thûs,
1 Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-
Khâmisah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h.33.
10
provinsi Khurasân, Republik Islam Iran pada tahun 450 H (1058 M).2 Ayah al-
Ghazâli bekerja sebagai pemintal wol yang dalam bahasa Arab disebut ghazzâl.
Terdapat perbedaan pendapat tentang nama nama sebenarnya al-Ghazâli. Pada
umumnya dikenal dengan nama al-Ghazâli (dengan satu z) dan nama ini berasal
dari nama desanya, sehingga ada yang mengatakan bahwa nama al-Ghazâli
dinisbatkan pada nama kampungnya. Akan tetapi ia dikenal juga dengan nama al-
Ghazzâli (dengan dua z) dan nama ini diambil dari pekerjaan orang tuanya
sebagai Ghazzâl.3
Ayah al-Ghazâli termasuk orang-orang saleh yang mencintai para fuqaha serta
para ahli tasawuf dan ikut serta menghadiri kumpulan-kumpulan mereka dan
berdoa kepada Allah Swt, semoga Allah menganugrahkannya anak yang
sholeh.4Al-Ghazâli tumbuh di keluarga yang religius, maka sejak kecil al-Ghazâli
mencintai ilmu pengetahuan dan seorang pencari kebenaran. Walaupun keadaan
orang tuanya yang kurang mampu serta keadaan politik dan keagamaan yang
labih, tapi tidak menggoyangkan semangat tekad dan kemauannya untuk belajar
dan menuntut ilmu kepada para ulama.
2. Pendidikan Al-Ghazâli
Sejak kecil al-Ghazâli belajar dengan sahabat karib ayahnya, ketika menjelang
wafat ayahnya, beliau berwasiat kepada al-Ghazâli dan saudaranya yang bernama
Ahmad, agar pergi ke temen dekat ayahnya seorang ulama Sufi. Dan disanalah al-
Ghazâli diajarkan menulis, adab, dan lain sebagainya.5Di antara guru-guru al-
Ghazâli di waktu itu adalah Ahmad Râzakâni, dan kemudian melakukan
perjalanan menuju Jurjân untuk berguru dengan Imam Abî Nasr al-Ismâilî. Dan
disanalah al-Ghazâli mempelajari bahasa arab, persia, dan pengetahuan agama.6
dan setelah itu kembali lagi menuju Thûs untuk mengulang-ulang pelajaran yang
diperoleh di Jurjan selama tiga tahun, dan mempelajari tasawuf di bawah
bimbingan Yusûf al-Nassy. Kemudian ia pergi menuju Naisâbûr dan berguru
2Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) , hal. 155.
3Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1974), hal. 48. 4Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 17.
5Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 18.
6Muhammad Yusran Asmûnî, Pertumbuhan Dan Perkembangan Berfikir Dalam Islam
(Surabaya: al-Ikhlâs 1994), hal. 8-9.
11
kepada salah-satu Imam tersohor yang mendapatkan gelar Imâm al-Haramain dan
pula seorang ulama besar beraliran al-asy‟ariyyah yaitu Ali al-Juwainî.
Dengannya, al-Ghazâli mempelajari teologi, hukum-hukum Islam, filsafat, logika,
sufiesme, dan lain lain. dengan kecerdasan al-Ghazâli, kemudian Imam Ali al-
Juwainî memberikan gelar al-Ghazâli dengan gelar “lautan yang
menenggelamkan” maksudnya adalah bahwa al-Juwainî mengibaratkan keluasan
ilmu al-Ghazâli bagaikan lautan yang dalam dan luas. Karenanya al-Ghazâli
sangat pandai dan mahir dalam beraneka ragam ilmu pengetahuan di antaranya,
dalam bidang fikih Imâm-Syâfi‟i, ilmu mantiq, ilmu usuluddin, filsafat, dan lain-
lain. Bahkan bukan hanya piawai beraneka ragam ilmu, akan tetapi juga al-
Ghazâli mengarang berbagai macam disiplin ilmu.7
Ia senantiasa bersama dengan gurunya al-Juwainî hingga ia meninggal dunia
pada tahun 478 H. Setelah itu, al-Ghazâli pergi dari Naisâbûr ke Muaskar.
kemudian bertemu dengan seorang menteri yang terkenal dengan sebutan Nidzâm
al-Muluk. Menteri tersebut sangat menghormati dan memuliakan al-Ghazâli
karena mengetahui kualitas pengetahuan kecerdasan al-Ghazâli. Dan pula, sebab
telah diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa pernah terjadi perdebatan antara al-
Ghazâli dengan sebagian ulama dalam sebuah forum ilmiah, dan al-Ghazâli keluar
menjadi pemenangnya sehingga Nidzâm al-Muluk menugaskan al-Ghazâli sebagai
pengajar di madrasah yang berada di Baghdâd yang dikenal sebagai Nidzâmiyah.
Pada tahun 484 H al-Ghazâli pergi menuju Irak dan mengajar disana, sehingga
penduduk Irak kagum dengan kecerdasan al-Ghazâli. 8 Dan berkata seorang hakim
yang bernama Abu Bakar Ibn al-Arabî, bahwa aku melihat di Baghdâd
bahwasanya lebih dari empat ratus orang-orang besar yang menghadiri majlis
pengajaran al-Ghazâli.9Kedudukan dan ketinggian jabatan tidak membuat al-
Ghazâli congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk perang
batin dan hatinya tak tenang, suatu krisis kejiwaan melanda, setelah empat tahun
lamanya beliau menjalani tugas di Baghdâd. Sebagaimana yang di ungkapkan al-
Ghazâli, yaitu:
7Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-
Khâmisah ( Damaskus: Dār al-Qalam, 1993 ), h.21. 8Abū Wafâ‟ al-Ghânimi, Tasawuf Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2002),
hal. 184. 9Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 18.
12
“ketika aku merasakan kelemahanku dan seluruh ikhtiar ku benar-benar
tidak ada lagi. aku kembali berlindung kepada Allah Swt dalam bentuk
perlindungan yang terpaksa yang tidak ada lagi cara lain, hatiku merasa senang
membelakangi kemegahan, harta, anak, dan juga sahabat”.10
Kesuksesan tidak mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan, bahkan
membuatnya gelisah dan menderita. Perasaan ini muncul setelah al-Ghazâli
mempelajari ilmu kalam (teologi). Kemudian tertanamlah keraguan di hati al-
Ghazâli, mana di antara aliran-aliran yang benar. Kegelisahan intelektualnya dan
rasa penasarannya dilukiskan di dalam bukunya al-Munqîd Min al-Dalâl
(menyelamatkan dari kesesatan ). 11
Pada tahun 488 H, terpancar di hati al-Ghazâli atas kehinaan kehidupan dunia,
kemudian ia meninggalkan kekayaan, popularitas yang ia raih di baghdâd.
Kemudian al-Ghazâli pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji serta pula
pergi ke Syâm untuk ber‟itikaf disana. Pada tahun 489 H, al-Ghazâli masuk kota
Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdîs
beberapa lama dan kembali ke Damaskus ber‟tikaf di menara barat masjid Jamî‟
Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nasr Ibn Ibrâhim Al
Maqdisî di masjid Jamî‟ Umawî (yang sekarang dinamai Al Ghazâliyyah).
Tinggal di sana dan menulis kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn, Al Arba‟în, Al Qistâs.
Beliau tinggal di Syâm sekitar 10 tahun.12
Pada tahun 498 H al-Ghazâli pergi
menuju Baitul Maqdîs untuk melakukan ibadah yang mendekatkan diri kepada
Allah Swt dan pula berziarah ke tempat-tempat bersejarah di sekitar Baitul
Maqdîs. Kemudian setelah itu, al-Ghazâli pergi ke Mesir dan tinggal beberapa
hari di Iskandariyyah. kemudian setelah itu, al-Ghazâli kembali Thûs tempat tanah
airnya.13
Ketika al-Ghazâli kembali ke Thûs, kemudian beliau habiskan seluruh
waktunya untuk mengarang kitab-kitab, serta ibadah kepada Allah Swt, dan pula
menghabiskan hidupnya mengkaji ilmu serta mengajar.14
Menurut al-dzahabî,
“pada akhir hayat kehidupannya, beliau tekun mengkaji ilmu hadits dan
berkumpul dengan ahli-ahlinya serta menelaah Shahihain ( Sahîh al-Bukhârî Dan
Muslim). Seandainya beliau ber‟umur panjang, niscaya beliau akan menguasai
10
Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”,hal. 130. 11
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Al Munqîd Min al-Dalâl (Istanbul: Darus Safeka,
tt), hal. 4. 12
Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”, hal. 131. 13
Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salām 2010), hal. 19. 14
Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salām 2010), hal. 18.
13
semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan
tidak memiliki keturunan kecuali beberapa putri”.15
Beliau wafat di kota Thûs pada hari Senin tanggal 14 Jumâdâ âkhir pada
Tahun 505 H bersamaan pada Tahun 1111 Masehi di Thûs. Jenazahnya di
kebumikan di tempat kelahiranya yaitu di perkuburan Tâbarân.
3. Karya- karya Al-Ghazâli
Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli mendapatkan gelar
Hujatul Islam atas pembelaaannya yang mengagumkan terhadap Islam. Dan al-
Ghazâli adalah seorang ulama besar yang produktif dalam menulis dan memiliki
karya buku yang banyak. Menurut al-Zarkalî, bahwa lebih dari dua ratus karangan
al-Ghazâli.16
Menurut Sulaimân Dunyâ, karangan Imâm al-Ghazâli mencapai 300
karangan.17
Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisâbûr.
Waktu yang digunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan
perhitungan ini, setiap tahunnya ia mengarang dan menghasilkan karya tidak
kurang dari 10 buku kitab besar dan kecil. Meliputi beberapa karya ilmu
diantaranya, ilmu filsafat, tasawuf, fikih, ilmu kalam, usul fikih, dan akhlak.
karya-karya Abû Hâmid al-Ghazâli di antaranya :
- Dalam bidang Tasawuf, al-Ghazâli mengarang kitab di antaranya, Ihyâ Ulûm al-
Dîn, pada kitab ini al-Ghazâli membagi pada empat bagian, bagian pertama
membahas Ibadah (ilmu, Taharah, Sholat, Zakat, puasa, Haji), bagian kedua
membahas norma-norma kebiasaan meliputi (adab makan, adab nikah, adab
mencari pekerjaan, adab bersahabat, adab bergaul dengan sesama insan), bagian
ketiga membahas hal-hal yang bisa membinasakan manusia, di antaranya
(musibah syahwat Farji dan perut, musibah lisan, malapetaka ujub, sombong,
pemarah, mencela dunia, harta, jabatan), dan bagian keempat membahas hal-hal
yang menyelamatkan, diantaranya (akhlak yang mulia, membersikan jiwa, sifat-
sifat yang baik seperti Sabar, jujur, syukur, juhud, Tawhîd, Tawakkal ).18
Dan
15
Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”, hal. 131. 16
Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-
Khâmisah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h.36. 17
Sulaimân Dunyâ, Al-Haqiqah fî Nazâ`ir Al-Ghazâli , (Mesir: Dâr Al-Ma‟ârif, 1119 H),
hal. 6. 18
Abû Hâmid al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm al-Dîn, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Arabiyyah, T.t ), hal.
27.
14
kitab-kitab tasawuf al-Ghazâli selain Ihyâ Ulûm al-Dîn di antaranya, Bidâyah al-
Hidâyah, Mukâsyafah al-Qulûb, Minhâj al-Âbidin, al-Risâlah al-Qudsiyyah,
Nasihat al-Mulk.
- Dalam bidang Filsafat, karya al-Ghazâli di antaranya Tahâfut al-Falâsifah. Secara
umum, kitab ini khusus al-Ghâzali karang untuk menjelaskan kerancuan-
kerancuan para filosof dan kitab ini disajikan oleh al-Ghazâli terdapat 20
permasalah yang berkaitan dengan kerancuan para filosof. Selain kitab ini, ada
beberapa karya al-Ghazâli lainnya yang berkaitan dengan bidang filsafat di
antaranya Maqâsid al-Falâsifah .
- dalam bidang al-Qur‟an, banyak karya al-Ghazâli di antaranya, Jawâhîr al-Qurân
yang membahas tentang mutiara-mutiara al-Qur‟an. Secara umum, kitab ini
menggali rahasia-rahasia ayat-ayat al-Qur‟an dan al-Qur‟an ini laksana lautan
yang luas membentang dan di dalamnya mengandung beraneka ragam mutiara-
mutiara yang jelita dan berharga.19
Selain itu, banyak karya-karya al-Ghazâli di
antaranya, Yâqût al-Ta‟wil Fî Tafsirât Ta‟wîl kurang lebih 40 Jilid.
- Dalam bidang Tawhîd di antaranya, Arba‟în Fî Usûl al-Dîn membahas tentang 40
permasalahan pokok pada agama, Qistâs al-Mustaqîm, Maqâsid Asnâ‟ Fī al-
Asmâ` al-Husnâ membahas tentang sifat-sifat Allah Swt yang terbaik.
- Dalam bidang Usûl al-Fikih dan Fikih di antaranya, al-Wajîz secara umum kitab
ini membahas fikih mazhab Imâm al-Syâfi‟î secara ringkas. al-Basît, al-Wasît
kedua kitab ini juga secara umum membahas tentang fikih mazhab al-Syāfi‟ī dan
al-Mustashfâ kitab ini karya monumental al-Ghazâli pada bidang Usûl al-Fikih.
Dengan banyaknya karya al-Ghazâli, sehingga banyak ulama yang
memberikan apresiasi kepada beliau. Al-Juwainî Imâm al-Haramain mengatakan,
bahwa keilmuan al-Ghazâli itu bagaikan lautan yang luas membentang.
Muhammad Ibn Yahyâ pula mengatakan bahwa tidak ada yang mampu
mengetahui keutamaan intelektual al-Ghazâli kecuali orang-orang yang sempurna
akalnya, atau mendekati kesempurnaan. Begitu pula Gâfir al-Fârisi mengatakan
19
Abû Hâmid Al-Ghazâli, Kitâb Jawâhîr al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 21.
15
bahwa tidak terlihat manusia yang seperti al-Ghazâli dari segi kepintarannya,
bagus retorika penjelasannya.20
B. Kitab Jawâhir Al-Qurân
Salah satu karya Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhamad al-Ghazâli dalam
bidang al-Qur‟an adalah Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an).
Gambaran umum kitab ini, al-Ghazâli mengibaratkan ilmu al-Qur‟an itu laksana
lautan yang luas dan membentang dan di dalamnya terdapat mutiara-mutiara yang
indah dan berkualitas, yang tak ada orang yang mendapati mutiara tersebut
kecuali orang-orang yang berusaha sekuat tenaga untuk menyelam kedalamannya.
Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazâli, yaitu:
“Sesungguhnya al-Qur‟an laksana lautan yang di dalamnya meliputi segala
macam mutiara. Segala puji bagi Allah dan pujian tersebut pembuka bagi
kitabnya (al-Qur‟an), Shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw sebagai
penutup pembawa risalah. Aku mengingatkanmu atas ketiduran mu, wahai
engkau yang terus membaca dan menjadikan al-Qur‟an sebagai pelajaran dan
amalan, dan pula mengambil makna-makna zâhir al-Qur‟an. mau sampai kapan
kau hanya berkeliling di tepi pantai laut dengan menutup kedua matamu
keindahan mutiara-mutiara di dalamnya. tidakah engkau berjalan melintasi
lautan dengan melihat keindahan-keindahan pulau-pulau, atau tidakah engkau
menyelami lautan untuk mendapati mutiara-mutiara, ataukah tidak irihkah
engkau melihat orang-orang yang menyelam mendapati mutiara-mutiara yang
indah. Sampaikah berita padamu, bahwa ilmu al-Qur‟an itu laksana lautan yang
sangat luas dan di dalamnya bercabangnya seluruh ilmu orang-orang terdahulu
dan orang-orang yang akan datang. Dan lautan itu bercabang pulau-pulau dan
sungai-sungai, begitu pula al-Qur‟an bercabang di dalamnya segala ilmu-
ilmu”.21
.
Al-Ghazâli mengibaratkan al-Qur‟an bagaikan lautan, mengisyaratkan betapa
luasnya makna ayat-ayat al-Qur‟an. Senada pula dengan pendapat Abdullah
Darrâz seorang ulama al-Azhar yang mengatakan bahwa, jika kau membaca al-
Qur‟an maka akan tampak jelas maknanya di hadapan anda. Tetapi bila anda
membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan makna-makna yang lain yang
berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya sampai anda
menemukan makna dalam satu kalimat yang bermacam-macam. Ayat-ayat al-
20
Sâlih Ahmad, al-Syâmî, Imâm al-Ghazâli Mujaddid al-Mi`ah al-Khamsah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h. 29
21Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân, (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 21.
16
Qur‟an itu bagaikan mutiara yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.22
1. Gambaran Umum Kitab Jawâhîr Al-Qurân
Kitab Jawâhir al-Qurân ini terdiri dari beberapa bab diantaranya yaitu :
- menjelaskan bahwa al-Qur‟an itu mengandung beraneka ragam mutiara-mutiara
yang berharga.23
- menjelaskan batasan tujuan-tujuan atau mutiara-mutiara al-Qur‟an. al-Ghazâli
membatasi Maqâsâd al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) dan Nafâ‟îs al-Qurân
(mutiara-mutiara al-Qur‟an) menjadi enam bagian. tiga bagian Usûl al-Muhimmah
(perkara-perkara dasar yang penting) dan tiga bagianya lainnya Tawâbi‟ al-
Mutammimah (perkara-perkara cabang yang peyempurna).24
- menjelaskan Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an). Tiga bagian Usûl al-
Muhimmah yaitu : mengenal yang berhak disembah yaitu Allah Swt (Ilmu
Tawhîd), menjelaskan Sulûk atau cara menuju Allah Swt, menjelaskan keadaan
ketika sampai kepada Allah atau keadaan hari akhirat. Dan tiga bagian Tawâbi‟al-
Mutammimah diantaranya yaitu : menjelaskan keadaan orang-orang yang Sulûk
(berjalan menuju Allah) seperti para nabi, orang bertakwa dan lain-lain. dan pula
keadaan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah seperti, orang-orang kafir,
munafik. dan pula Menjelaskan bantahan argumentasi orang-orang kafir dan
menyingkap kejahilan mereka atas penyembahan kepada berhala. Dan pula
menjelaskan bagaimana memakmurkan jalan menuju Allah dan hal-hal yang
harus yang semestinya dipersiapkan.25
- bercabangnya segala aspek-aspek ilmu agama dari sepuluh bagian yang telah
disebutkan.
- bercabangnya seluruh ilmu bersumber dari al-Qur‟an.
- Menjelaskan pula bahwa ayat-ayat al-Qur‟an ada yang lebih utama satu sama lain.
menurut al-Ghazâli, karena terdapat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang
22
Abdullah Darrâz, al-Naba` al-Azîm ( Mesir: Dâr al-Urubah, 1960), h. 111 23
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 21. 24
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 22. 25
Ahmad Raysûni, Maqâsid Maqâsid (Beirut: TT.pn., 2013 ), h. 14-15.
17
menjelaskan kemuliaan yang lebih pada sebagian surah atau ayat-ayat al-Qur‟an.
seperti sabda Rasulullah Saw “Yâsîn qalb al-Qurân” (Surah Yâsîn adalah jantung
al-Qur‟an), Ayât al-Kursî Sayyid al-Qurân (ayat kursi pangerannya al-Qur‟an).
- Rahasia-rahasia yang terselubung dalam surat al-Fâtihah
- Menjelaskan keadaan Surah al-Fâtihah adalah sebagai pembuka surga yang
delapan
- Menjelaskan keadaan ayat Kursî sebagai raja ayat suci al-Qur‟an, serta
menjelaskan nama-nama Allah yang agung
- Menjelaskan illat ( motif ) surah al-Ikhlas itu seperti sepertiga al-Qur‟an
- Menjelaskan surah Yâsîn adalah Qalb al-Qurân
- Menjelaskan keadaan orang-orang yang mengenal Allah serta menisbatkan
kenikmatan mereka dengan orang-orang yang lalai
- Menjelaskan pembagian inti sari surat-surat al-Qur‟an. dan membagi dengan dua
cara, pertama Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an) dan kedua Durar al-
Qurân ( permata-permata al-Qur‟an ). 26
2. Metode Penulisan Jawâhir Al-Qurân Dan Sumber Penafsiran
Ada beberapa metode penulisan penafsiran yang selama ini digunakan yaitu :
metode analisis (Tahlîlî), global/umum (Ijmâli), komparatif (Muqâran), dan
tematik (maudhû‟i). Dan jika diamati, bahwa penafsiran al-Ghazâli itu
mengunakan metode Ijmâli (umum) yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan cara
ringkas atau global yang mencangkup dengan bahasa yang mudah, populer, enak
dibaca.27
Dan sumber penafsiran al-Ghazâli dalam kitab Jawâhîr al-Qurân adalah
elaborasi antara Tafsîr bi al-Ra`yî (tafsir rasional) dan Tafsîr bi al-Ma`sûr (Tafsir
berdasarkan riwayat). Akan tetapi al-Ghazâli lebih mendominasi dengan
penafsiran rasionalnya dibandingkan penafsiran berdasarkan riwayat. Contoh
penafsiran al-Ghazâli, yaitu:
26
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn, 1411 H), h. 214-215
27Hujair,“Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassirin “, (Desember : 2008) : h. 272.
18
فقوله تعايل ) بسم اهلل ( : نبأ عن الذات و )الرمحن الرحيم ( : نبأ عن صفة من صفاختاصة واملرحومون و خاصيتها اهنا تستدعي سائر الصفات من العلم و قدرة و غريها مث تتعلق باخللق وهم
تعلقا يؤنسهم به و يرغبكم يف طاعته ال كوصف الغضب ولو ذكره بدال عن الرمحة فان ذلك حيزن و خيوف و يقبض القلب وال يشرح
“Pada firman Allah Swt, pada kalimat Bismillah adalah
menginformasikan tentang Zat Allah Swt. Dan pada kalimat al-Rahmân al-Rahîm
adalah menginformasikan tentang sifat diantara sifat-sifat Allah yang khusus.
Dan kekhususannya adalah karena sifat kasih sayang itu membutuhkan sifat ilmu,
qudrah, dan sifat-sifat lainnya. Kemudian sifat kasih sayang Allah itu berkaitan
dengan dengan seluruh makhluk dan seluruh makhluk disayang Allah Swt. dan
sifat ini berkaitan pula, bahwa Allah memberikan kabar gembira dengan sifat
kasih sayang serta mendorong untuk taat kepada Allah, tidak dengan sifat
pemarah nya dan seandainya disebutkan sifat kebalikan dari sifat rahmat Allah
Swt, maka hal demikian membuat berkesan membuat sedih dan menakut-nakuti
dan membuat hati sempit dan tak lapang”28
.
3. Corak Kitab Jawâhir Al-Qurân
Husain al-Dzahabî dalam karyanya Tafsîr wa al-Mufassirûn mengatakan,
bahwa corak kitab Jawâhir al-Qurân karya al-Ghazâli ini bercorak Tafsîr Ilmî.
Menurut al-Zahabî, Tafsîr Ilmiî adalah penafsiran yang dilakukan dengan
mengangkat mengunakan pendekatan teori-teori ilmiah dalam mengungkap
kandungan-kandungan ayat al-Qur‟an dan berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk menggali berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan
filsafat dari ayat tersebut.29
Sedangkan menurut Abd Mâjid al-Salâm, bahwa Tafsîr
Ilmî adalah penafsiran yang dimaksudkan oleh para mufassir untuk mencari
adanya kesesuaian ungkapan-ungkapan dalam ayat-ayat al-Qur‟an terhadap teori
ilmiah dan berusaha keras untuk menggali berbagai masalah keilmuan dan
pemikiran-pemikiran Filsafat.30
Dalam kitab Jawâhir al-Qurân pada fasal ke lima, al-Ghazâli mengatakan
pada pembahasan bercabangnya segala ilmu bersumber dari al-Qur‟an
diantaranya : Ilmu kedokteran, ilmu astronom, ilmu alam, ilmu anatomi tubuh,
dan ilmu-ilmu yang lainnya. Dan pula beliau berkata, bahwa segala ilmu yang
28
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Lebanon : Dâr Ihyâ Ulûm al-
Dīn, 1411 H), h. 64. 29
Muhammad Husain Al-Zahabî, Tafsîr Wa al-Mufassirûn (Kairo: Maktabah al-Wahbah )
Jilid II, h. 349. 30
Izzatul Laila,“Jurnal Penafsiran al-Qur‟an Berbasis Ilmi Pengetahuan”, no 1 (Juni
2014) : h. 48.
19
telah disebutkan dan yang tak disebutkan, seluruhnya tidak keluar dari al-Qur‟an.
karena seluruhnya berasal dari al-Qur‟an yaitu bersumber dari Allah Swt. Dan
ilmu Allah itu laksana lautan yang tak bertepi,31
sebagaiman firman Allah Swt
dalam Surah al-Kahfi ayat 109 yaitu :
109.”Katakanlah sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Contoh terdapat isyarat ilmu kedokteran yang dijelaskan oleh al-Ghazâli
pada firman Allah Swt dalam Surah al-Syu‟arâ ayat 80 yaitu :
80. “Apabila ku sakit, Dialah Allah yang menyembuhkan”.
Menurut beliau, bahwa yang menyembuhkan sesungguhnya hanya Allah Swt,
dan manusia tak akan bisa menyembuhkan kecuali setelah mengetahui ilmu
kedokteran.32
C. Sekilas Profil Muhammad Rasyîd Ridâ
Rasyîd Ridâ adalah seorang tokoh muslim modernis, mufassir, penulis,
jurnalis yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Karena beliau
hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad
ke-20. Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam
sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun waktu yang sebelumnya.
Sebab saat itu kaum impirealis barat telah bersekutu dengan kaum Zionis untuk
mempecah-belah umat Islam dan merampas harta kekayaan umat Islam.33
Kemunduran umat Islam menurut Rasyîd Ridâ, disebabkan karena mereka tidak
lagi menganut Islam yang murni, untuk mengetahui Islam yang murni orang harus
31
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 45-46. 32
Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,
1411 H), h. 45-46. 33
Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsîr Al-Manâr (Jakarta: PT.Gelora Aksara
Pratama,2006 ) h. 21.
20
kembali kepada al-Qur‟an dan Hadits. Beliau pula menolak dan menentang sifat
Jumûd (statis) yang terdapat dalam kalangan internal umat Islam. Sifat Jumûd
membuat mereka berhenti berfikir dan berusaha dan umat Islam harus memilki
sifat dinamis dan rasional.34
1. Biografi Muhammad Rasyîd Ridâ
Sayyid Rasyîd Ridâ adalah salah satu seorang tokoh pembaharu di dunia Islam
pada massa kontemporer. Nama asli Rasyîd Ridâ adalah Muhammad Rasyîd Ridâ
Ibn Alî Ridâ Ibn Muhammad Syâm al-Dîn al-Qalamûnî. Beliau lahir Hari rabu
pada tanggal 27 Jumâdâ Ûlâ tahun 1282 H atau pada tahun 1865 M, di suatu desa
bernama Qalamûn di Libanon yang letaknya tidak jauh sekitar 4 Km dari kota
Tripoli. Berkata Rasyîd Ridâ, :
”aku memilki dua tempat tinggal. Pertama tempat tinggal kelahiran ku dan
pendidikan ku yaitu di desa Qolamûn di kota Tripoli. Dan kedua tempat bekerja
ku di Mesir selama 11 Tahun. Disanalah, aku mengajar, belajar, serta bekerja di
beberapa organisasi”.35
Rasyîd Ridâ tumbuh di keluarga yang taat ber‟agama dan sangat dihormati
oleh masyarakat. Rasyîd Ridâ adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai
garis keturunan langsung dari Sayyidina Husein putra Sayyidina Ali dan Fâtimah
putri Rasulullah Saw. Oleh karena itu, di depan namanya memakai gelar Sayyid
atau kadang juga sering dipanggil Syaikh.36
Ketika Rasyîd Ridâ mencapai umur
remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa, serta ilmu sang nenek,
sehingga Rasyîd Ridâ banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri.37
2. Pendidikan Rasyîd Ridâ
Semasa kecilnya usia tujuh tahun, Rasyîd Ridâ dimasukan oleh orang tuanya
ke Madrasah tradisional di desanya Qalamûn. Rasyîd Ridâ juga belajar kepada
sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di
34
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 45. 35
Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 14.
36Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid „inda Muhammad Rasyîd Ridâ“.Tesis Fakultas
Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ`ir, 2006, hal. 14. 37
Muhammad Quraish, Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsir al-Manar,
(Tangerang : Lentera Hati, 2006), h. 72.
21
kampungnya yang ketika itu bernama al-Kuttâb. Disanalah ia diajarkan membaca
al-Qur‟an, menulis, dan dasar-dasar menghitung. Berbeda dengan anak-anak yang
seusianya, Rasyîd Ridâ lebih menghabiskan massa mudanya untuk belajar dan
membaca buku dari pada bermain. Dan sejak kecil, ia memang memiliki
kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengeahuan.38
Setelah menamatkan pelajaran di taman-taman pendidikan di kampungnya
yang dinamai al-Kuttâb, Rasyîd Ridâ dikirim oleh orang tuanya ke Tripoli
(Libanon) untuk belajar di Madrasah al-Ibtidaiyyah yang mengajarkan ilmu al-
Qur‟an, Nahwu, Sharaf, teologi, Fikih, Tasawuf, berhitung, dan ilmu bumi.
dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, karena Madrasah ini adalah milik
pemerintahan yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
akan menjadi pegawai pemerintahan Turkî Usmânî,39
Mengingat Libanon pada
waktu itu, dibawah kepemimpinan Turkî Usmânî. Rasyîd Ridâ tidak tertarik
dengan pada sekolah tersebut dan karena enggan menjadi pegawai, setahun
kemudian ia pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah al-Wathaniyyah al-
Islamiyyah yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan dengan bahasa
Arab sebagai pengantar, dan di samping diajarkan pula bahasa Turki Prancis.
Sekolah ini dipimpin oleh seorang ulama besar Syam pada massa itu yaitu Syakh
Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil yang besar terhadap perkembangan
pemikiran Rasyîd Ridâ.40
Nama asli Syaikh al-Jisr adalah Husain Ibn Muhammad Mustafâ al-Jisr.
Beliau seorang yang Alim dan bermazhab Hanafi, dan pula seorang sastrawan.
Beliau termaksuk guru dari Rasyîd Ridâ yang sangat dikagumi dan dicintai atas
pengajaranya yang dengan penuh perhatian serta keseriusan kepada Rasyîd Ridâ
semenjak duduk di bangku sekolah Madrasah al-Wataniyyah. Dan terkenal
sebagai ulama modern, yang mampu memadukan antara ilmu agama dengan ilmu
modern. Di samping itu, beliau juga pemimpin Tarîqah Khalwatiyyah.41
38
Ahmad Al-badawî Ibrâhîm, Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhid (Kâiro: al-Muassasah al-
Misriyyah al-Ammāh, t,th.), hal. 19. 39
Ahmad Al-Badawî Ibrâhîm, Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhid (Kâiro: al-Muassasah al-
Misriyyah al-Ammâh, t,th.), hal. 19. 40
A.Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar (Jakarta:PT.Gelora
Aksara Pratama,2006), hal. 25-26. 41Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas
Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 17.
22
Tujuan al-Jisr mendirikan Madrasah, di samping untuk memberikan
pengajaran kepada generasi muda sesuai dengan tuntunan zaman dan
mengimbangi aktivitas pendidikan dari sekolah-sekolah asing yang telah banyak
bermunculan disana dan banyak menarik minat sementara kalangan remaja mesir
untuk belajar di sekolah-sekolah tersebut. Namun Madarasah yang didirikan oleh
Jisr tidak dapat berumur panjang, karena pihak penguasa Turkî Usmânî tidak
dapat menerima Madrasah tersebut sebagai sekolah agama yang murid-murid nya
dapat dibebaskan oleh dinas militer. Dan akibatnya, Madrasah al-Wathaniyyah al-
Islamiyyah ditinggalkan murid-muridnya dan terpaksa ditutup oleh pemerintah.
disamping itu, meski Madrasah al-Wathaniyyah di tutup, Rasyîd Ridâ tetap
belajar pada Syakh al-Jisr, baik di Madrasah Râhibiyyah maupun di rumah
gurunya itu sendiri sampai selesai dan memperoleh ijazah dari gurunya pada
tahun 1315 H / 1897 M. 42
Di samping belajar dengan Syaikh al-Jisr, Rasyîd Ridâ juga belajar pada
ulama yang lain. Di antaranya yaitu Syakh Muhammad Nasyâbah, denganya
Rasyîd Ridâ menimbah Ilmu al-Hadîts Riwâyah dan Dirâyah. Beliau terkenal ahli
di bidang hadits dan karenanya Rasyîd Ridâ memahami dalam menilai hadits-
hadits Da‟îf dan Maudû‟i.43
Rasyîd Ridâ juga belajar dari Syakh Abd al-Ghanî al-
Râfi‟î. dan Rida belajar darinya Ilmu Hadîts, Usûl al-Hadîts, Tasawwuf dan
belajar pula kitab Naylu al-Awtâr karya Imâm al-syawkânî yang bermazhab Syîah
Zaidiyyah.44
Selama massa pendidikannya, Muhammad Rasyîd Ridâ membagi
waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah-satu Masjid milik keluarganya,
ibunya bercerita bahwa semenjak Muhammad Rasyîd Ridâ dewasa, aku tidak
pernah melihat dia tidur, karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun
sebelum kami tidur. Dan tidak itu saja, adiknya yang bernama Sâlih berkata, aku
tadinya menganggap saudaraku Rasyîd Ridâ adalah seorang Nabi. Tapi setelah ku
42
A.Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar (Jakarta:PT.Gelora
Aksara Pratama,2006), hal. 28. 43Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas
Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 17. 44Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas
Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 18.
23
tahu bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi penutup, maka aku menjadi yakin
bahwa dia adalah seorang Wali.
Setelah memperoleh ilmu yang luas, Ridâ memanfaatkan untuk
memberikan pengarahan dan petunjuk kepada para sahabatnya. Dalam
kegiatannya dia selalu mengamati masalah-masalah yang terjadi di kawasan
tetangga, terutama masalah agama kemasyarakatan melalaui surat dan majalah.
Ridâ sangat tertarik dan terkesan kepada Majallah ‟urwah al-Wustqâ yang
dipimpin oleh Jamâl al-Dîn al-Afghânî dan muridnya Syakh Muhammad Abduh.
Pertemuan dengan kedua tokoh tersebut hal yang didambakan dan dirindukan
Rasyîd Ridâ. Tetapi ia sangat menyesal karena ia sendiri tidak bisa bertemu
langsung dengan Jamâl al-Dîn al-Afghânî, sebab beliau keburu meninggal dunia
sebelum Ridâ bertemu dengannya. Akhirnya beliau langsung menemui muridnya
yaitu Syakh Muhammad Abduh menuju ke Mesir pada tahun 1879 M.45
Pertemuan antara murid dan guru yaitu Rasyîd Ridâ dan Muhammad
Abduh, bermula dari interaksi Ridâ dengan Majalah al-Urwah al-Wusqâ, Majalah
yang diterbitkan oleh Jamâl al-Dîn al-Afgânî dan Muhammad Abduh ketika di
Paris. Tulisan-tulisan kedua pembeharu tersebut memberikan kontribusi pengaruh
yang sangat besar kepada Muhammad Rasyîd Ridâ, sehingga mampu merubahnya
dari pemuda Sûfî menjadi pemuda yang penuh gairah semangat.46
Ketika di Mesir,
Ridâ bertemu dengan Muhammad Abduh. Pertemuan ini dijadikan momentum
yang penting bagi Ridâ untuk memperdalam pengetahuan dalam pembaharuan
Islam. Sebulan setelah bertemu Abduh, Ridâ menyampaikan keinginannya untuk
menerbitkan majalah yang nantinya diberi nama Majallah al-Manâr. Tujuan
Rasyîd Ridâ dalam menerbitkan Majallah al-Manâr yaitu untuk mengadakan
pembaharuan memalui media cetak yang di dalamnya berisikan bidang agama,
sosial, ekonomi, pemberantasan takhayyul, dan bid‟ah yang masuk di internal
umat muslim. Serta menghilangkan pula fatalisme, pemahaman-pemahaman salah
yang dibawah oleh tarikat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan, dan
membela umat Islam terhadap permainan politik negara Barat.
45
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang 1996), h. 45.
46
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 46.
24
Pada awalnya Abduh tidak merestui gagasan ini dikarenakan pada saat itu
di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi masalah yang diolah diduga
kurang menarik perhatian umum. Namun Ridâ menyatakan tekadnya, walaupun
harus menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah
penerbitan itu. Akhirnya Muhammad Abduh merestui dan memilih nama Al-
Manâr dari sekian banyak nama yang diusukan oleh Rasyîd Ridâ. Majalah ini
banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh. Muhammad Abduh memberikan
ide-ide dan gagasannya kepada Rasyîd Ridâ dan kemudian Rasyîd Ridâ yang
menguraikan dan menyiarkannya kepada masyarakat umum melalui lembaran-
lembaran majalah Al-Manâr. Walaupun demikian ide-ide al-Manâr juga berisikan
artikel-artikel yang dikarang Muhammad Abduh sendiri dan juga ditulis oleh
rekan-rekan pengarang lain. kemudian Rasyîd Ridâ mengusulkan kepada
Muhammad Abduh agar ia menulis Tafsîr al-Qurân dengan metode yang
digunakan dalam penulisannya di Majallah al-„urwah al-Wusqâ.47
Setelah kedua
ulama tersebut berdialog, akhirnya Muhammad Abduh bersedia memberikan
kuliah Tafsir di Jamî‟ al-Azhar kepada murid-muridnya. Al-Manâr terbit perdana
pada tanggal 22 Syawal 1315 H / 17 Maret 1898 M, berupa media mingguan
sebanyak delapan halaman. Majalah ini mendapat sambutan hangat bukan hanya
di Mesir dan negara-negara sekitarnya saja, tetapi juga sampai ke Eropa, bahkan
ke indonesia.48
3. Karya-karya Ilmiah Muhammad Rasyîd Ridâ
Muhammad Rasyîd Ridâ berhasil menulis sekian banyak karya Ilmiah,
diantaranya sebagaimana berikut :
- Al-Azhar dan al-Manâr. Isinya antara lain, sejarah al-Azhar,
perkembangan dan missinya, serta bantahan-bantahan terhadap ulama al-
Azhar yang menentang pendapatnya.
47
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsîr al-Manâr,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 78. 48
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsîr al-Manâr,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 79.
25
- Tarîkh al-Ustâdz al-Imâm, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan
perkembangan masyarakat Mesir di massa-Nya.
- Nidâ‟ Li al-Jins al-Latîf, berisi uraian tentang hak dan kewajiban wanita
- Zikr al-Maulîd al-Nabawî
- Risalah al-Hujjah al-Islam al-Ghazâli
- Wahdah al-Islamiyyah
- Wahyu al-Muhammadiyyah, berisi tentang penetapan wahyu Nabi
Muhammad Saw, serta perbedaan wahyu Nabi Muhammad dengan Nabi-
Nabi yang lainnya, serta menjelaskan tujuan-tujuan pokok al-Qur‟an.
- Majallah al-Manâr yang terbir sejak 1315 H / 1898 M sampai dengan
1354 H / 1935 M.
- Tafsîr al-Manâr
- Tafsir surah-surah al-Kausar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâs.49
D. Tafsîr Al-Manâr
Tafsîr al-Manâr yang bernama Tafsîr al-Qurân al-Hâkim yang
memperkenalkan dirinya sebagai salah-satu kitab Tafsir di antara kitab-kitab
Tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat yang Sahîh dan pandangan akal yang
tegas, yang menjelaskan syariah serta sunnatullah (hukum allah yang berlaku)
terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk untuk
seluruh manusia, di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara
petunjuk dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada massa diterbitkannya)
yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta (membandingkan pula) dengan
keadaan para Salaf (leluhur) yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu. Tafsîr
al-Manâr ini merupakan karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamâl al-Dîn
al-Afgânî, Muhammad Abduh, Rasyîd Ridâ. Tokoh pertama menanamkan
gagasan Islâh al-Ijtimâ‟i (memperbaiki masyarakat) kepada muridnya, yaitu
Muhammad Abduh. Kemudian gagasan tersebut dicerna, dikelola, ditafsirkan al-
Qur‟an dalam pengajaran-pengajaran Abduh di Universitas al-Azhar. Kemudian
49
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsīr al-Manâr,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 80.
26
penafsiran Muhammad Abduh ditulis serta dikembangkan oleh Muhammad
Rasyîd Ridâ.50
1. Latar Belakang Penafsiran Al-Manâr
Tafsîr al-Manâr ini pada mulanya adalah materi Tafsir yang diajarkan
Muhammad Abduh di Masjid al-Azhar yang dicatat oleh muridnya Ridâ. Materi
Tafsir ini kemudian diterbitkan di Kâiro, tapi pengaruhnya tersebar keseluruh
Negara Arab. Atas inisiatif Rasyîd Ridâ bahwa tulisan-tulisan ini dijadikan buku
Tafsir semua pengajaran Abduh yang dicatat oleh-Nya untuk kemudian dikoreksi
kembali oleh Abduh. Kemudian Tafsir tersebut diberi nama Tafsîr al-Hâkim dan
dikenal sangat populer dengan nama Tafsîr al-Manâr. Secara kuantitatif dalam
Tafsir al-Manar, Muhammad Abduh menafsirkan 413 ayat dari surat al-Fâtihah
sampai surat al-Nisâ‟ ayat 125 (Lima jilid pertama), karena beliau wafat tahun
1323 H. Penafsiran kemudian diteruskan oleh Rasyîd Ridâ dengan metode dan
corak yang hampir sama, sampai surat Yûsuf ayat 111 dengan jumlah 930 ayat.
Walaupun dicetaknya hanya sampai ayat ke-52 dari surat yang sama. Tepatnya
sampai pada volume ke 12, pada tahun 1354 H-1953 M Muhammd Rasyîd Ridâ
wafat. penulisan Tafsir ini tidak berhenti, tapi dilanjutkan oleh muridnya Ridâ
yaitu Muhammad bahjah al-Bîtâr, sampai selesai dan dicetak dalam edisi yang
terpisah dari Tafsîr al-Manâr.51
2. Tujuan Pokok Penafsiran
Tujuan pokok penafsiran Rasyîd Ridâ dalam Tafsîr al-Manâr sebagaimana
tujuan Muhammad Abduh yaitu memahami maksud Allah Swt sebagai Kitâb al-
Hidâyah yang membimbing manusia menuju mencapai kebahagian mereka baik
di kehidupan dunia maupun akhirat.52
Hal demikian bisa dipahami, karena
memang tujuan Allah Swt menurunkan al-Qur‟an ke bumi ini sebagai kitab
50
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsīr al-Manâr,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 83-84. 51
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 ), h. 93 52
Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah, t.t.), Jilid 2, hal. 424.
27
petunjuk untuk seluruh manusia menuju kebahagian di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana firman Allah QS al-Baqarah 2: 185 berikut:
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil”.
Menurut Ridâ, Muhammad Abduh ber‟argumentasi bahwa beliau mencela
sebagian para Mufasir yang mengiring penafsiran mereka yang hanya bertumpuh
pada kaidah-kaidah bahasa arab, cerita-cerita Isrâ`îliyyah dan tidak mengarahkan
manusia dari petunjuk al-Qur‟an. dan pula berkata bahwa menjadi kebutuhan
mendesak bagi manusia pada petunjuk al-Qur‟an sebagaimana sesuai tujuan al-
Qur‟an diturunkannya yaitu untuk memberi peringatan, kabar gembira, petunjuk,
dan perbaikan.53
Penekanan pada segi Hidâyah al-Qurân itu ditegaskan kembali
oleh muridnya Ridâ dalam muqaddimah Tafsîr al-Manâr, Ridâ mengatakan,
bahwa Allah Swt telah menurunkan bagi kita kitab suci-Nya sebagai Hidâyah
(petunjuk) dan cahaya terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya
untuk mensucikan kehidupan dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.54
Dan pula menurut Rasyîd ridâ, tujuan Allah Swt menurunkan al-Qur‟an
yaitu sebagai Hidâyah (petunjuk) untuk memperbaiki kepribadian insan,
kelompok, kaum, dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar dan diridhai
Allah Swt.55
3. Metodologi Tafsîr Al-Manâr
Ada beberapa metode penulisan penafsiran yang selama ini digunakan yaitu :
metode analisis (Tahlîlî), global / umum (Ijmâlî), komparatif (Muqâran), dan
tematik (maudû‟i). Jika dicermati penafsiran Rasyîd Ridâ, bahwa metodologi
53
Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,
t,t.), jilid 2, hal. 424. 54
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 94. 55
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu al-Muhammadiyyah (Beirut: Maktabah „Izzu al-Dîn,
1406 H), hal. 190.
28
penafsiran-Nya hampir sama sebagaimana penafsiran guru-Nya Muhammad
Abduh yaitu mengunakan metode analisi Tahlîlî.56
Jika Muhammad abduh dalam metodologi penafsirannya menyoroti ayat-ayat
al-Qur‟an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam
ayat yang ditafsirkan dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap
bagian ayat, dan juga memperluas masalah-masalah penafsiran yang tidak
disentuh oleh mufassir lainnya, namun ia berusaha meringkas pembahasannya
tentang kebahasaan dan sastranya dan pula membatasi pengambilannya riwayat-
riwayat yang Sahîh saja. Sedangkan Rasyîd ridâ dalam metodologinya mengikut
metodologi gurunya Muhammad Abduh, akan tetapi setelah wafatnya Abduh, ada
sedikit perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Sebagaimana perkataan
Rasyid Ridâ, yaitu :
”setelah wafatnya guruku Muhammad abduh. Aku berlainan dalam Manhâj
penafsiran, dengan memperluas yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan menghadirkan Hadits yang Sahih. Serta menganalisis bahasa, serta
menyingkap makna Lughawî secara umum, dan memaparkan permasalahan
ikhtilâf di kalangan „ûlamâ`, dan menghadirkan ayat-ayat al-Qur‟an pada surat-
surat yang berbeda, sera meluruskan penyimpang-penyimpang, dan menguatkan
untuk mematahkan argumentasi orang-orang kafir dan ahli bid‟ah, serta
memecahkan masalah-masalah dengan memberikan solusi yang menentramkan
jiwa dan menenangkan hati”.57
4. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran Rasyîd Ridâ, bahwa penafsirannya merupakan kelaborasi
antara Tafsir Riwayat (Tafsir bi al-Ma‟tsûr) dengan Tafsir akal (Tafsir bi al-
Ra‟yî). Menurut Husain al-Dzahabî, sumber penafsiran Rasyîd Ridâ sering kali
menafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, khususnya jika terulangnya ayat-ayat al-
Qur‟an dalam satu tempat. Dan pula beliau menafsirkan al-Qur‟an dengan Hadîts
Nabi Muhammad Saw yang Sahih menurut Ilmu Hadîts yang disepakati ulama.
dan juga menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat para Sahabat Rasulullah Saw,
para Tâbi‟în, dan pula menganalisis bahasa dan pula menafsirkan al-Qur‟an
mengunakan akalnya yang terlepas dari Taqlîd buta kepada para mufassir lainnya,
56
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 94. 57
Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,
t,t.), jilid 2, hal. 424.
29
kecuali pendapat yang baik yang diterima Rasyîd Ridâ, terlebih pendapat gurunya
Muhammad Abduh.58
5. Corak Penafsiran
Corak penafsiran Muhammad Rasyîd Ridâ tidak terlepas dengan pemikiran
guruhnya Muhammad Abduh yang mempelopori pengembangan tafsir yang
bercorak Adabî al-Ijtimâ‟î atau Tafsir yang ber‟orentasi pada sastra, budaya,
kemasyarakatan.59
Corak Tafsir Adabî al-Ijtimâ‟î adalah penafsiran yang
ber‟orentasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang
menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur‟an pada segi penelitian redaksionalnya,
kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah
dengan menonjolkan tujuan utama turunya ayat kemudian merangkaikan
pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.60
Menurut Muhammad Abduh, bahwa masing-masing kalimat dalam al-Qur‟an
tersusun secara serasi dan harmonis. Karena al-Qur‟an bukanlah kitab syair, akan
tetapi kitab bersumber dari Allah Swt yang maha kuasa atas segala sesuatu, dan
Dialah yang meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya secara serasi. Maka
tidak ada kata di dalam al-Qur‟an yang diletakkan hanya karena keterpaksaan.
Penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat dan keindahan susunannya dalam
penafsiran al-Qur‟an itu, tidak lain bertujuan untuk menarik jiwa manusia dan
menuntun mereka untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al-Qur‟an agar
maksud al-Qur‟an sebagai petunjuk dan Rahmat dapat tercapai dengan baik.61
Selain corak Adabî al-Ijtimâ‟î, Tafsir al-Manâr juga bercorak Hidâ‟i yaitu corak
yang di latarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan al-Qur‟an sebagai
petunjuk dan akhlak al-Qur‟an sebagai poros dan sentral dari usaha penafsiran
terhadap kitab suci al-Qur‟an.
58Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,
t,t.), jilid 2, hal. 424 59
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 97. 60
Abd al-Rahmân Rusli Tanjung,“Analisis Terhadap Corak Tafsîr al-Adabî al-Ijtimâ‟i”,
(Desember 2014): h. 163-164. 61
Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 M), h. 97
30
Inti dari pembahasan ini, al-Ghazâli seorang ulama besar yang multi
latenta yang mengarang ratusan karya. Salah-satu karyanya yaitu Jawâhir al-
Qurân. Kitab ini secara umum membahas Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-
Qur‟an) yang ditawarkan oleh al-Ghazâli. Dan Rasyîd Ridâ adalah seorang
mufassir, jurnalis bahkan reformis yang lantang menyuarakan ide-ide
pembaharuan Islam. Tafsîr al-Manâr sebenarnya bukan murni karangan Ridâ,
karena kitab ini merupakan penyalinan pemikiran gurunya Muhammad Abduh
yang disalin/dibukukan oleh Rasyîd Ridâ. Tafsir yang bercorak Adabî al-Ijtimâ‟i
dan al-Hidâ`i, yang di dalamnya pula terdapat pemikiran Ridâ tentang Maqâsid
al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) yang beliau tawarkan.
30
BAB III
GAMBARAN UMUM MAQÂSID ALQURÂN
Al-Qur‟an diturunkan Allah ke muka bumi ini memiliki Maqâsid (tujuan-
tujuan dan tidak diturunkan secara sia-sia, hampa dari tujuan. Puncak tujuan al-
Qur‟an diturunkan adalah sebagai Hidâyah (petunjuk) bagi manusia menuju
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, lahir istilah di kalangan para
akademisi muslim dalam kajian diskursus al-Qur‟an yaitu Maqâsid al-Qurân
(tujuan-tujuan al-Qur‟an). Maqâsid al-Qurân adalah istilah yang digunakan para
ulama sebagai sebuah upaya/menggali tujuan-tujuan al-Qur‟an diturunkan untuk
manusia. Secara umum, puncak tujuan-tujuan al-Qur‟an menurut Abd al-Karîm
al-Hâmidî adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hamba-hamba Allah.1
Penulis menyadari bahwa kajian Maqâsid al-Qurân belum menjadi disiplin ilmu
tersendiri di kalangan para ulama. Akan tetapi, istilah Maqâsid al-Qurân bisa
didapati bertebaran di karangan karya-karya para ulama. Pada kesempatan ini,
penulis akan mengkaji gambaran umum, sejarah Maqâsid al-Qurân dan kolerasi
Maqâsid al-Qurân dengan Tafsir al-Qur‟an.
A. Pengertian Maqâsid al-Qurân
Kalau ditinjau dari segi etimologi/bahasa, kata Qasada dalam Mufradât Alfâdz
al-Qurân bermakna, Istiqâmah (jalan yang lurus), menuju sesuatu, dan berada di
antara dua perkara, misalnya di tengah-tengah antara dua ekstrim.2 Kata al-Qasdu
dari sisi bahasa berakar dari tiga dasar Qaf, Sad, Dal. Ketiga huruf tersebut
dirangkai menjadi kata Qasd yang dapat diartikan di antaranya al-iltizām
(berkehendak), al-Tawajjuh (menuju), al-Nuhûd nahwa al-Sya`a (bangkit menuju
1Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1428
H), h. 31. 2Al-Râgib al-Asfahânî, Mufradât Alfâdz al-Qurân (Lebanon: Maktabah al-Ilmiah ,t.t.), h.
672.
31
sesuatu).3 dan kata Maqâsid al-Qurân adalah bentuk plural (Jamak) dari kata
Maqsad yang bermakna, tempat yang diorentasikan atau dituju. Sedangkan al-
Qur‟an itu terambil dari kata أقر yang bermakna kumpulan dan himpunan, Karena
al-Qur‟an menghimpun huruf dan kalimat ayat-ayat al-Qur‟an.4 Jadi secara bahasa,
makna Maqâsid al-Qurân adalan orentasi atau tujuan al-Qur‟an.
Dalam al-Qur‟an, kata Maqâsid terdapat lima kali dan masing-masing terdapat
pada ayat yang berbeda-beda serta bentuk yang berbeda-beda. Pertama, kata
yang artinya moderat, tengah-tengah, berjalan yang lurus menuju مقتصد
kebenaran. Kata ini terdapat pada Surah al-Luqmân ayat 32 dan pula terdapat pada
Surah Fâtir ayat 32. Kedua, kata قصد dengan bentuk Masdar yang memiliki arti
jalan yang lurus. Kata ini terdapat di dalam Surah al-Nahl ayat sembilan. Ketiga,
kata قاصد dengan bentuk Isim Fâil yang bermakna dekat dan mudah ditempuh.
Dan menurut al-Qurtubî, kata tersebut bermakna mudah dan jalan yang sudah
diketahui. Keempat, kata إقصد dengan bentuk Fi‟il Amr (bentuk perintah).
Menurut Ibn Katsîr, kata tersebut bermakna sederhana, adil, seimbang yang tidak
terlalu cepat atau terlalu lambat dan adil di antara keduanya. Kelima, yang مقتصدة
bermakna moderat atau tengah-tengah di antara dua ekstrim.5 Kesimpulan dari
keseluruhan subtansi makna-makna di atas, bahwa makna Qasada adalah adil,
tengah-tengah, moderat, jalan yang lurus, dekat, mudah.
Sedangkan secara terminologi, belum ada istilah yang disepakati para ulama
tentang makna Maqâsid al-Qurân. Akan tetapi, terdapat isyarat pengertian
Maqâsid al-Qurân yang bertebaran pada karangan para ulama. Abû Hâmid al-
Ghazâli (505 H) dalam Jawâhir Al-Qurân mengatakan, puncak tujuan
diturunkannya al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Allah Swt
(Ma‟rifatullah). Sedangkan menurut Izzudin (660 H) Maqâsid al-Qurân adalah
معظم مقاصد القرآن األمر باكتساب املصاحل وأسباهبا، والزجر عن اكتساب املفاسد واسباهبا
3Ali al-Fayummî, al-Misbâh al-Munîr Fī Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Lebanon: Maktabah
al-Ilmiah, 1990), h. 192. 4Mannâ‟ al-Qattân, Mabâhis Al-Qurân (Kairo: Maktabah al-Wahbah, t.t.), h. 14
5Muhammad Fuâd Abd al-Bâqi, Mu‟jam al-Muhfâras Li al-Alfâdz al-Qurân (Kairo:
Maktabah al-Misriyyah, 1365 H), hal. 545
32
“Puncak tujuan al-Qur‟an adalah menyeru manusia melakukan segala
kebaikan/kemaslahatan dan sebab-sebab yang mengantarkan kepada
kemaslahatan. Dan melarang melakukan kerusakan dan sebab-sebab yang
mengantarkan kepadanya”.6
Hal demikian bisa diketahui jika dicermati al-Qur‟an secara seksama, karena
setiap kali Allah Swt perintahkan sesuatu, pasti dibalik perintah tersebut ada
kemaslahatan dan kebaikan bagi orang yang melakukannya. Dan setiap kali Allah
Swt melarang sesuatu, pasti dibalik itu ada kemaslahatan agar tidak terjerumus
pada hal-hal yang merusak.7 Seperti larangan Allah tentang Khamr pada Surah al-
Mâidah ayat 90, bahwa tujuan Allah melarang demikian agar untuk menjaga akal
orang-orang beriman agar tidak rusak. Di kalangan ulama Usûl fikih, istilah
kebaikan dikenal dengan Jalb al-Masâlih (menarik kemaslahatan) sedangan
istilah kerusakan adalah Daf‟u al-Mafâsid (menolak segala kerusakan). Menurut
Râzî (606 H), Maqâsid al-Qurân adalah menjelaskan Tawhîd (mengesakan Allah
Swt), Ahkâm syar‟i (hukum-hukum syariat Islam), Ahwâl Ma‟âd (keadaan-
keadaan hari akhir) seperti hari pembangkitan, hari hisab, hari timbangan, surga
dan neraka. Sedangkan menurut Ibn Âsyur, tujuan utama Allah Swt menurunkan
al-Qur‟an yaitu:
حتقيق الصالح على املستوى الفردي، واجلماعي، والعمراين
“Untuk merealisasikan perbaikan atau kemaslahatan baik tingkatan
individual, kelompok, masyarakat”.8
Menurut Abd Karîm al-Hâmidî, sorang ulama Maqâsîd di kalangan
kontemporer bahwa Maqâsid al-Qurân adalah
مقاصد القران ىي الغايات اليت أنزل القران ألجلها حتقيقا ملصاحل العباد
“Maqâsid al-Qurân adalah tujuan-tujuan yang diturunkannya al-Qur‟an di
karenakan untuk merealisasikan kemaslahatan hamba”.9
6Izzuddin Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah al-
Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ), Jilid 1, h. 8. 7Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 30. 8
Muhammad Tâhir Ibnu Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al Tanwîr (Tunusia: Dâr al-
Tunisiyyah, 1984 M ), Jilid 1, h. 38. 9Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 31.
33
Yang dimaksud dengan الغاياث adalah maksud dan hikmah yang terkandung di
dalam al-Qur‟an. dan yang dimaksud تحقيقا لمصالح العباد adalah itu merealisasikan
kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Rasyîd Ridâ,
Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu, masyarakat, kaum. Dan
menunjukan mereka kejalan yang benar serta mewujudkan persaudaraan sesama
manusia dan mengembangkan/meningkatkan akal serta mensucikan hati
manusia.10
B. Sejarah Perkembangan Istilah Maqâsid al-Qurân Di Kalangan Ulama
Dalam literatur klasik, penulis belum menemukan penjelasan yang pasti
tentang siapa pertama kali berbicara tentang Maqâsid al-Qurân dan kapan kajian
itu dimulai secara kajian ilmiah. Sejauh penelitian penulis, bahwa orang yang
pertama kali menjelaskan tentang Maqâsid al-Qurân di kalangan ulama klasik
adalah Abû Hâmid al-Ghazâli (w. 505 H) dalam karyanya Jawâhir Al-Qurân.
Dalam buku ini, al-Ghazâli mengemukakan bahwa puncak tujuan diturunkannya
al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Tuhan yang maha kuasa.11
Kemudian
beliau mengklasifikasi Maqâsid al-Qurân menjadi enam bagian. Tiga hal yang
pertama merupakan sentral dan prinsip-prinsip pokok dan tiga berikutnya
merupakan pelengkap atau penyempurna. Keenam demikian adalah pertama,
Menjelaskan tentang Zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt. Kedua, Menjelaskan
jalan yang lurus yang seharusnya ditempuh menuju Allah Swt. ketiga, Penjelasan
tentang kehidupan hari akhir. Empat, Menjelaskan keadaan orang-orang yang taat
kepada Allah Swt, seperti para Nabi, orang-orang Shaleh. Dan pula menjelaskan
perlakuan baik Allah Swt kepada mereka dan menjelaskan keadaan orang-orang
yang membangkang kepada Allah seperti Fir‟aun, orang-orang kafir, serta siksa
yang Allah timpakan kepada mereka. Lima, Bantahan terhadap kesalahan
argumentasi orang-orang kafir, dengan menyingkap kebenaran dan pula
10
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu al-Muhammadiyyah, (Maktabah „Izzuddin 1406 H ), h.
191 11
Abu Hâmidi al-Ghazâli, Kitâb Jawâhir al-Qurân, (Lebanon : Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,
1411 H ), h. 23
34
menyingkap kebodohan mereka.12
Enam, Hal-hal yang diperlukan di dalam
perjalanan menuju Allah Swt yang meliputi pembekalan untuk menuju Allah Swt.
Selanjutnya Râzî (606 H) yang memperkenalkan pertama kali dalam bidang
Ilmu Tafsir. Ia membahas dalam konteks kesatuan tujuan atau tema surah-surah
al-Qur‟an (Wihdah al-Mauduiyyah Li al-Suwar) sebagaimana yang dikatakan oleh
Quraish Shihab, bahwa Râzî mufassir yang pertama kali mencetuskan prinsip
kesatuan tujuan Surah al-Qur‟an dalam Tafsîr Mafâtih al-Ghaib.13
Menurut Râzi,
bahwa prinsip tujuan-tujuan al-Qur‟an secara umum adalah menetapkan empat hal
yaitu al-Ilâhiyât (ketuhanan), al-Ma‟âd (hari akhir), al-Nubuwât (kenabian),
Itsbât al-Qadâ` Wa al-Qadar (menetapkan takdir). Dan hal demikian terdapat
dalam surah al-Fâtihah, karena di dalamnya membahas tentang dzat Allah serta
sifat-sifatnya pada ayat 1-4 Dan pula membahas tentang kenabian pada ayat 7
dengan memohon kepada Allah agar ditunjukan jalannya para Nabi. Dan pula
bicara hari akhir pada ayat ke 4, bahwa Allah yang memiliki hari akhir. Dan pada
ayat ke 7, Allah menetapkan takdir dengan menetapkan hidayah kepada para nabi,
orang-orang shaleh, syuhada dan tidak memberikan hidayah kepada orang-orang
Nasrani dan Yahudi disebabkan keangkuhan mereka.14
Selanjutnya„Izzu al-Dîn Ibn Abd al-Salâm (660 H), yang secara eksplisit
menyebutkan Maqâsid al-Qurân dalam karangannya yang berjudul Nubadz Min
Maqâsid al-Qurân (inti sari dari tujuan-tujuan al-Qur‟an yang mulia). Beliau
mengatakan bahwa Maqâsid al-Qurân adalah menyeru manusia melakukan segala
kebaikan atau kemaslahatan dan sebab-sebab yang mengantarkan kepada
kemaslahatan. Dan melarang melakukan kerusakan dan sebab-sebab yang
mengantarkan kepadanya..15
Terdapat isyarat juga dalam Tafsîr al-Baydâwî karya Abdullah Bin Umar al-
Baydâwi (685 H) ketika membahas Tafsir Surah al-Ikhlâs, beliau mengatakan
bahwa sesungguhnya tujuan-tujuan al-Qur‟an terbatas pada tiga hal, pertama
12
Abu Hâmid al-Ghazâli, Kitâb Jawâhir al-Qurân, (Lebanon: Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,
1411 H ), h. 23-24. 13
Mohammad Bakir, ” Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd Nursî”,
no. 01 (Agustus 2015): h. 53. 14
Dr. Mas‟ûd, Juhd Ulamâ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân (Lebanon: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 6. 15
Izzuddin Ibn Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fī Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah
al-Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ) Jilid 1, h. 8.
35
menjelaskan akidah, kedua hukum-hukum, ketiga kisah-kisah.16
Begitu pula Ibnu
Juzayi (741 H) mengatakan dalam muqaddimah Tafsirnya, sesungguhnya makna-
makna umum di dalam al-Qur‟an atau Maqâsid al-Qurân itu ada tujuh macam.
Ilmu al-Rububiyyah (ilmu akidah ketuhanan), Ilmu al-Nubûwâh (Kenabian),
Ma‟âd (hari akhir), Ahkâm (hukum-hukum), janji dan ancaman.17
Terdapat pula
isyarat Maqâsid al-Qurân dalam karya Imam al-Zarkasyî (794 H) yaitu Kitâb al-
Burhân Fi Ulûm al-Qurân, bahwa beliau berkata:
القصد من إنزال القرآن تعليم احلالل واحلرام وتعريف شرائع اإلسالم وقواعد اإلميان ومل يقصد
منو تعليم طرق الفصاحة
“Tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah mengajarkan antara halal dan
haram, mengenalkan syariat-syariat Islam dan kaidah-kaidah keimanan, dan
tidak bermaksud semata-mata mengajarkan cara-cara keindahan bahasa saja”.18
Selanjutnya Biqâ‟î (w. 885 H) dalam karyanya Masâid al-Nazar Li al-
Isyrâf„Ala Maqâsid al-Suwar (tangga-tangga pandangan untuk melihat tujuan-
tujuan surat al-Qur‟an). Menurut penulis, beliaulah mufassir setelah Râzî, yang
menggunakan istilah Maqâsid dalam tubuh kajian Tafsir. Menurut Biqâ‟î, bahwa
setiap Surah al-Qur‟an terdapat Maqâsid, dengan ungkapan A‟zam Maqâsid al-
Sûrah (tujuan utama pada surah) atau Maqâsid al-„Uzmâ (tujuan terbesar). Pada
istilah yang digunakan Biqâ‟î tersebut, bahwa pada setiap Surah al-Qur‟an
terdapat tujuan-tujuan Allah Swt. 19
Selanjutnya pula Imam al-Suyûtî (911 H)
ketika menafsirkan Surah al-Fâtihah dalam Tafsirnya Dur al-Mantsûr, beliau
menjelaskan salah satu nama surah al-Fâtihah adalah Umm al-Qurân. Al-Suyûtî
berpendapat, bahwa Maqâsid al-Qurân itu terkandung ringkasannya pada surah
al-Fâtihah dengan sumber riwayat-riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Karena pada surah al-Fâtihah terliputi beraneka ragam Maqâsid.
Diantaranya, Ilmu al-Usûl (ilmu dasar) berkaitan dengan Zat, sifat, kehendak
16
, Nasiruddin Baydâwi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Beirut: Dâr al-Rasyîd, 1421 H), Jilid 3, hal. 584.
17Abû Qâsim Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzayi, Tafsîr Tashîl Li al-Ulûm al-Tanzîl
(Beirut: Dār al-Rasyīd 1415 H ), Jilid 1, h. 8. 18
Badruddin Zarkasyi, al-Burhân Fî Ulûm al-Qurân (Kâiro: Dâr Ihyâ al-Kutub al-
Arabiyyah, 1957 M ) jilid 1, h. 312. 19
Ibrahim Ibn Umar Al-Biqâ‟î, Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar (Riyâd:
Maktabah al-Ma‟ârif, 1308 H), Jilid 1, h. 209.
36
Allah Swt, kenabian, dan hari akhir. Ilmu Ibâdah (ilmu ibadah) berkaitan dengan
cara ibadah menyembah Allah, Ilmu al-Sulûk (jalan menempuh Allah Swt) dan
ilmu kisah-kisah.20
Âlusî (1270 H) dalam Tafsirnya Tafsîr Rûh al-Ma‟âni pula
menyinggung tentang Maqâsid al-Qurân. Menurut Âlusî, yaitu:
يف األمر والنهي املذكورين بل ىو مشتمل على مقاصد أخرى مقاصد القرآن العظيم ال تنحصركأحوال املبدأ واملعاد ومن ىنا قيل لعل األقرب أن يقال إن مقاصد القرآن التوحيد واألحكام
الشرعية وأحوال املعاد“Tujuan-tujuan utama al-Qur‟an tidak terbatas pada perintah dan larangan
saja, akan tetapi meliputi pula pada tujuan-tujuan yang lain, seperti tujuan
menjelaskan keadaan proses awal penciptaan makhluk sampai keadaan kembali
(hari akhir). Dari sini pernyataan yang paling tepat dikatakan, sesungguhnya
tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah Tawhîd, hukuk-hukum syariat, keadaan-keadaan
hari akhir (kematian,hari pembangkitan, padang mahsyar, surga atau neraka”.21
Pada zaman modern, konsep Maqâsid al-Qurân yang mencangkup
keseluruhan al-Qur‟an kembali diangkat oleh para mufassir. Muhammad Abduh
(1324 H) sebagai tokoh reformis dan pengarang Tafsîr al-Manâr adalah orang
yang pertama kali berbicara hal tersebut pada zaman kontemporer, meski tidak
secara eksplisit menggunakan istilah Maqâsid al-Qurân. misalnya ia berpendapat
tentang tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Menurut Abduh, yaitu:
أن ما نزل القرآن ألجلو التوحيد، والوعد والوعيد لألمة واألفراد يف الدنيا واآلخرة، والعبادة، وبيان سبيل السعادة يف الدنيا واآلخرة، وبيان قصص من وقف عند حدود اهلل ومن نبذ أحكامو
القرآن، والفاحتة مشتملة عليها إمجااللالعتبار ا، وأن ىذه ىي األمور اليت احتوى عليها “Sesungguhnya tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah Tahuid, janji,
ancaman bagi umat dan setiap induvidu insan di dunia dan di akhirat, dan pula
menjelaskan Ibadah kepada Allah Swt, dan menjelaskan jalan untuk mencapai
kebahagianan di dunia maupun akhirat, dan menjelaskan kisah orang-orang yang
yang bergantung atau taat pada hukum-hukum Allah (para Nabi, Syuhada, orang-
orang Shaleh) dan menjelaskan kisah orang-orang yang melempar atau tidak
patuh pada hukum-hukum Allah Swt, untuk diambil pelajaran bagi pembaca al-
Qur‟an. dan semua perkara ini yang meliputi a-Qur‟an dan Surah al-Fatihah
meliputi itu semua secara global”.22
20
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fī Tafsîr Bi al-Ma„tsûr (Kairo: T.pn.,
849 H) Jilid 1, h. 22. 21
Abd al-Rahmân,“Muqârabât Ta`rikh Maqâsid al-Qurân al-Karîm”, no. 39 (desember
2016): h. 205. 22
Abd al-Rahmân,“Muqârabât Ta`rikh Maqâsid al-Qurân al-Karîm”, no. 39 (desember
2016): h. 205.
37
Kemudian setelah Muhammad Abdu, kajian Maqâsid al-Qurân itu diteruskan
oleh murid nya yaitu Rasyîd Ridâ. Menurut penulis, Rasyîd Ridâ lah di kalangan
ulama kontemporer yang membahas Maqâsid al-Qurân secara luas dalam Tafsîr
al-Manâr dan Kitab Wahyu al-Muhammadiyyah. Dan Secara umum, Maqâsid al-
Qurân menurut Rasyîd Ridâ, yaitu:
وأقوامهم وإدخاهلم يف طور الرشد وحتقيق أخوهتم اإلنسانية ووحدهتم إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وترقية عقوهلم وتزكية أنفسهم
“Memperbaiki baik individu manusia, masyarakat, kaum, dan memasukan
mereka kejalan yang lurus dan benar, serta merealisasikan persaudaraan sesama
manusia, dan mengembangkan potensi akal manusia serta membersikan hati
manusia”.23
Kemudian Rasyîd Ridâ membagikan Maqâsid al-Qurân pada sepuluh bagian.
di antaranya, Pertama menjelaskan tiga aspek sentral dalam agama (Iman kepada
Allah Swt, hari akhir, amal Shaleh). Kedua menjelaskan Risalah kenabian. Ketiga
menjelaskan Islam agama yang sesuai dengan Fitrah manusia, agama yang
rasional. Keempat memperbaiki masyarakat manusia serta mempererat persatuan.
Kelima menetapkan keistimewaan taklif syariat Islam. Keenam menjelaskan
hukum politik Islam. Ketujuh menjelaskan mengelola keuangan dalam Islam.
Kedelapan memperbaiki regulasi peperangan dalam Islam. Kesembilan
memberikan hak-hak perempuan pada agama maupun negara. Sepuluh
pembebasan budak.24
Kemudian pula Sa‟îd al-Nursî (1379 H) dalam Muqaddimah Isyârât al-I‟jâz
Fī Mazan al-I‟jâz mengatakan, bahwa hanya empat unsur fundamental al-Qur‟an
yaitu Tawhîd (akidah), al-Nubuwâh (kenabian), kebangkitan manusia, dan
keadilan. Dan keempat ini, Sa‟îd al-Nursî mengistilahkan dengan al-Maqâsid al-
Asâsiyyah (tujuan-tujuan dasar). Menurut beliau, empat hal demikian adalah
intisari dan hakikat dimana diturunkannya al-Qur‟an. maka dari itu, pada dasarnya
al-Qur‟an memilki berbagai macam tujuan, akan tetapi Sa‟îd al-Nursî menjadikan
empat tujuan pokok itu sebagai dasar-dasar Maqâsid al-Qurân.25
23
Muhammad Rasyîd Ridâ, al-Wahyu al-Muhammadiyyah, (Beirut: Penerbit Izzuddin,
1606 H), h. 191. 24
Ahmad Raysûni, Maqâsid Maqâsid (Beirut: T.pn., 2013 M ), h. 16-17. 25
Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursî”,
Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 53.
38
Kemudian Mahmûd Syaltût (1384 H) yang menulis buku dengan tema Ilâ al-
Qurân al-Karîm. Dalam kitab ini, Mahmûd Syaltût mengklasifikasikan Maqâsid
al-Qurân pada tiga aspek. Pertama aspek akidah yaitu membersikan jiwa dari
ketundukan kepada berhala-berhala, serta menguatkan keimanan kepada Allah
Swt, Risalah kenabian, Malaikat, hari akhirat. Kedua aspek akhlak yaitu
mensucikan sera membidik jiwa dari sifat-sifat buruk dengan menghiasasi sifat-
sifat baik, seperti Sabar, jujur, santun. Ketiga aspek hukum yaitu bagi hukum yang
bersifat vertikal antara hamba dengan Allah Swt, seperti Sholat, Haji. Dan pula
hukum yang bersifat horizontal antara hamba dengan hamba, seperti hukum
pernikahan, hukum bisnis.26
Menurut penulis, klasifikasi/pembagian Maqâsid al-
Qurân Mahmûd Syaltûtlah yang mencangkup seluruh ayat-ayat al-Qurân. Karena
ayat-ayat al-Qurân tidak terlepas dari tiga hal yaitu berkaitan dengan
akidah/keimanan, Ahkâm al-Syar‟iyyah, Akhlâk (etika).
Selanjutnya Ibn Âsyûr (1393 H) pula menjelaskan tentang Maqâsid al-Qurân,
beliau berkata bahwa :
أن القرآن أنزل لصالح أمر الناس كافة رمحة هلم لتبليغهم مراد اهلل منهم
“Sesungguhnya tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah untuk memperbaiki
segala urusan manusia dan sebagai Rahmat bagi mereka dengan disampaikannya
maksud Allah Swt kepada mereka”.27
Dan Ibn Âsyûr pula mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân pada delapan
bagian dalam muqaddimah Tafsirnya yaitu, memperbaiki akidah dan mengajarkan
akidah yang benar, memperbaiki akhlak, hukum-hukum Islam, mengatur umat,
kisah-kisah umat terdahulu, nasihat-nasihat peringatan dan kabar gembira, I‟jâz
al-Qurân (kemukjizatan al-Qur‟an).28
Muhammad Sâlih al-Siddîq pula mengarang
sebuah buku yang berjudul Maqâsid al-Qurân. Dalam buku ini, secara khusus
Muhammad Shâlih al-Shiddîq membahas luas berkaitan dengan Maqâsid al-
Qurân. kemudian dalam buku ini secara umum, bahwa Maqâsid al-Qurân itu ada
26
Mahmûd Syaltût, Ilâ al-Qurân al-karîm, (T.tp: Penerbit Dār al-Syurûq, t.t. ) h. 5-6. 27
Muhammad Tâhir Ibn Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dâr Tunisiyyah,
1984 M ), Jilid 1, h. 38. 28
Muhammad Tâhir Ibn Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dār Tunisiyyah,
1984 M ), Jilid 1, h. 38.
39
delapan. Yaitu, Tawhîd, akidah, agama, syariat, Ibadah, kisah-kisah, I‟jâz al-
Qurân, pelajaran yang agung serta mengatur dalam bermasyarakat.29
Selanjutnya Yusûf al-Qardâwî pula dalam karyanya yang berjudul Kayfa
Nata‟âmal Ma‟a al-Qurân di dalam nya membahas tentang Maqâsid al-Qurân.
dan beliau mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân pada tujuh aspek. Di antaranya,
memperbaiki akidah-akidah yang menyimpang, memelihara manusia dan menjaga
hak-hak insan, perintah Ibadah kepada Allah serta Takwa, mensucikan jiwa
manusia, membentuk keluarga yang baik, membangun umat, dakwah keseluruh
manusia agar saling tolong menolong.30
Kemudian kajian Maqâsid al-Qurân menjadi diskursus kajian serius di
kalangan ulama. Misalnya Abd al-Karîm mengarang sebuah buku khusus
membahas Maqâsid al-Qurân dengan judul Maqâsid al-Qurân Min Tasyri‟ al-
Ahkâm. Dalam buku ini, Abd al-Karîm menjelaskan bahwa banyak di antara
ulama yang berbicara Maqâsid al-Syarî‟ah, seperti Ibn Âsyûr, Rasyîd Ridâ,
bahwa mereka menetapkan pula adanya Maqâsid al-Qurân. Misalnya Ibn Âsyûr
mengatakan bahwa Maqâsid al-Qurân secara umum adalah Islâh al-Fardiyyah
(memperbaiki induvidu manusia), Islâh al-Ijtimaiyyah (memperbaiki Masyarakat),
Islâh al-„Âlamiyyah (memperbaiki alam semesta).31
Bahkan kajian Maqâsid al-Qurân tidak saja berkembang di dunia Arab, tetapi
juga berkembang di Barat. Sejumlah buku yang ditulis meskipun mengunakan
istilah tema-tema pokok al-Qur‟an, dapat dikatagori sebagai buku-buku yang
menjelaskan Maqâsid al-Qurân. Di antaranya, Le Grands Themes Du Coran
karya Jacgues Jomier, yang kemudian diterjemahkan oleh Zoe Hezov ke dalam
bahasa Inggris dengan judul The Great Themes of the Qur‟an. buku ini bertujuan
menjelaskan persoalan-persoalan menurut pengarangnya sebagai tema-tema
utama al-Qur‟an. persoalan-persoalan itu di antaranya, al-Qur‟an, Mekkah, dan
awal kehadiran Islam, Tuhan sebagai pencipta, Adam bapak umat manusia,
Ibrahim sebagai muslim, Nabi yang maksum, Yesus anak Maryam, komunitas
muslim, argementasi dan persuasi. Selain itu pula, terdapat buku yang ditulis oleh
29
Muhammad Sâlih al-Siddîq, Maqâsid al-Qurân (T.tp.: Dâr al-Ba‟tsi 1982 M) h. 35. 30
Yusûf al-Qardâwî, Kayfa Nata‟âmal Ma‟a al-Qurân (T.tp.: Penerbit Dâr al-Syurûq,
1419 H), h. 71. 31
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkhal Ilâ Maqâsid al-Qurân, (Riyad: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 132.
40
Fazlur Rahman dengan judul Major Thems Of The Qur‟an (Tema-tema utama
dalam al-Qur‟an). Menurutnya, tema-tema al-Qur‟an ada delapan, yaitu ; Tuhan,
manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta,
kenabian, dan wahyu, eskatologi, setan,dan lahirnya masyarakat muslim.32
C. Tafsir al-Maqâsidî Dan Klasifikasi Maqâsid Al-Qurân
Tafsir al-Maqâsidî istilah baru dalam perkembangan diskursus kajian
Tafsir al-Qur‟an. Menurut Wasfî Âsyûr, dalam karyanya Tafsîr al-Maqâsidī Li
Suwar al-Qurân al-Karîm, Tafsir al-Maqâsidî adalah:
ىو لون من ألوان التفسري يبحث يف الكشف عن املعاين والغايات اليت يدور حوهلا القرآن الكرمي كليًّا أو جزئيًّا مع بيان كيفية اإلفادة منها يف حتقيق مصلحة العباد
“Corak di antara corak-corak tafsir yang membahas menyingkap makna-
makna dan tujuan-tujuan yang diorentasikan oleh al-Qur‟an, bagi bersifat
tujuan universal atau tujuan parsial, serta menjelaskan tatacara menggali
manfaat darinya untuk merealisasikan kemaslahatan hamba-hamba Allah”.33
Dari definisi diatas, Tafsir al-Maqâsidî adalah corak Tafsir al-Qur‟an,
yang berfokus untuk menggali/menyingkap tujuan-tujuan al-Qur‟an baik
secara al-Kuliyyah (keseluruhan) al-Qur‟an, maupun secara al-Juz`iyyah
(parsial)/bagian-bagian tertentu al-Qur‟an. Bisa dengan topik/tema, Surah,
ayat tertentu. Dan pula sebuah upaya untuk menggali manfaat dari tafsir
tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Pada umumnya, tidak
terlalu mencolok perbedaan antara Tafsir dengan Tafsîr al-Maqâsidî, karena
keduanya sama-sama menyingkap makna-makna ayat-ayat al-Qurân. Menurut
Wasfî Âsyûr, perbedaan yang mendasar antara keduanya, kalau Tafsir hanya
sekedar menyingkap atau menjelaskan makna ayat-ayat al-Qurân, sedangkan
Tafsîr al-Maqâsidî mengupayakan berusaha untuk memproduksi tafsir yang
mampu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, sebagaimana
ungkapannya yaitu بيان كيفيت اإلفادة منها في تحقيق مصلحت العباد (menjelaskan tatacara
32
Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursî”,
Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 60.
33
Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,
2013), h. 8.
41
mengambil manfaat dari hasil tafsir tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan
hamba-hamba Allah.34
Menurut penulis, Tafsîr al-Maqâsidî adalah corak tafsir yang
memfokuskan mencari esensi ruh (tujuan-tujuan) di balik ayat-ayat al-Qur‟an.
Sama seperti corak Lughawî yang memfokuskan mencari dan mengkaji
gramatika bahasa pada ayat-ayat al-Qur‟an, corak Ilmî yang memfokuskan
mencari isyarat-isyarat ilmiah di balik ayat-ayat al-Qur‟an.
Kemudian Maqâsid al-Qurân diklasifikasi menjadi dua macam. Pertama,
Maqâsid al-„Âmmah (tujuan-tujuan umum/keseluruhan) al-Qur‟an. di
antaranya yaitu, Tawhîdullah (mengesakan Allah), Hidâyah bagi manusia,
memperbaiki akhlak manusia, menyucikan jiwa manusia, mengajarkan
hikmah dan lain lain. Kedua, Maqâsid al-Khâssah (tujuan-tujuan khusus).
Bisa berkaitan dengan permasalah-permasalah tertentu, seperti tujuan ayat-
ayat nikah, politik, akhlak, muamalah, dan lain lain. Bisa pula berkaitan
dengan surah-surah al-Qur‟an tertentu.35
D. Korelasi Antara Maqâsid Al-Qurân Dengan Tafsir
Penulis ber‟argumentasi bahwa sangat erat hubungan antara Maqâsid al-
Qurân dengan Tafsir. Tafsir secara etimologi atau bahasa artinya al-Bayân
(penjelasan) al-Kasyf (menyingkap). Secara terminologi makna Tafsir, menurut
al-Zarkasyî adalah perangkat ilmu dengannya dipahami kitab Allah Swt (al-
Qur‟an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, serta menjelaskan
makna-makna, dan mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah yang
terkandung di dalamnya, serta perangkat alat bantu dengannya yaitu ilmu bahasa
Arab, Nahwu, Sorof, Ilmu Bayân, Usûl fikih, Qirâ„at, Nasakh Mansûkh, dan
mengetahui Asbâb al-Nuzûl.36
Senada pula menurut Asbahânî, Tafsir adalah
perangkat ilmu untuk menyingkap makna-makna al-Qur‟an dan menjelaskan
34
Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,
2013), h. 9.
35
Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,
2013), h. 11-12. 36
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fī Ulûm al-Qurân (T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah al-
Su‟udiyyah, 1426 H), hal. 2265.
42
maksud-maksudnya.37
Sedangkan Maqâsid al-Qurân adalah tujuan-tujuan atau
rahasia-rahasia yang terselubung di balik ayat-ayat al-Qur‟an.
Untuk mengetahui Maqâsid Ayât al-Qurân (tujuan-tujuan yang terselubung di
balik ayat-ayat al-Qur‟an), mufassir terlebih dahulu harus menafsirkan al-Qurân,
karena Dilâlah (indikasi) Maqâsid al-Qurân itu terdapat pada lafadz ayat al-
Qur‟an tersebut, baik secara tersurat yaitu Mâ yu`khazu Min al-Nusûs (apa yang
terdapat pada nas al-Qur‟an), baik pula secara tersirat yaitu Mâ yufhamu Min
Nusûs (apa yang dipahami ada nas-nas al-Qur‟an).
Abd al-Karîm al-Hâmidî dalam karyanya Madhal Ilâ Maqâsid al-Qurân,
menjelaskan bahwa terdapat Adillah „Alâ tsubût Maqâsid al-Qurân (dalil-dalil
yang menetapkan terdapat Maqâsid al-Qurân di dalam al-Qur‟an). Kemudian
beliau membagikan dua macam. Pertama, Adillah al-Ammâh (dalil-dalil umum),
kedua, Adillah al-khâssah ( dalil-dalil yang khusus).38
Pertama, Adillah al-Âmmah (dalil-dalil umum) di antaranya ayat-ayat al-
Qur‟an yang secara umum mengisyaratkan terdapat Maqâsid (tujuan-tujuan). Qs
al-Anbiyâ` 21: 16:
16. “Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di
antara keduanya dengan bermain-main”.
Menurut Abd al-Karîm, bahwa Allah meniadakan kesia-siaan, main-main
dalam menciptakan langit, bumi dan segala sesuatu yang terdapat pada keduanya.
Akan tetapi, dalam menciptakannya terdapat Maqâsid (tujuan-tujuan) dan
hikmah-hikmah di balik penciptaannya.
Kedua, Adillah al-khâssah ( dalil-dalil yang khusus). Di antara ayat-ayat yang
secara khusus memiliki Illat (motif) yaitu Qs al-Isrâ` 17: 32:
32. “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.
37
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fī Ulûm al-Qurân (T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah al-
Su‟udiyyah, 1426 H), hal. 2263. 38
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 61.
43
Pada ayat ini sangat jelas, secara tersurat Allah melarang mendekati zina
dengan bertujuan untuk Hifz al-Nasl (menjaga keturunan manusia ) dan pula
karena perbuatan zina adalah perbuatan yang keji dan buruk.39
E. Perbedaan Antara Maqâsid al-Qurân Dengan Maqâsid al-Syari‟ah
Terdapat perbedaan di kalangan ulama antara Maqâsid al-Qurân Dengan
Maqâsid al-Syari‟ah. Menurut Abd Karîm al-Hâmidî, perbedaan yang nampak
antara keduanya, kalau Maqâsid al-Qurân merupakan Usul al-Maqâsid (pokok-
pokok Maqâsid), sedangkan Maqâsid al-Syari‟ah adalah Furû‟ al-Maqâsid
(cabang-cabang dari Maqâsid).40
Berangkat dari pernyataan di atas, bahwa
Maqâsid al-Syari‟ah termasuk bagian dari Maqâsid al-Qurân. Karena Maqâsid
al-Syari‟ah hanya bertumpu pada ayât al-Ahkâm (ayat-ayat hukum) saja,
sedangkan Maqâsid al-Qurân meliputi seluruh ayat-ayat al-Qur‟an.
Menurut Mahmûd Syaltût, Maqâsid al-Qurân adalah akidah, akhlak, syariah.
41Begitu pula menurut Râzî, Maqâsid al-Qurân adalah al-Ilâhiyât (akidah), al-
Nubûwât (kenabian), Ahkâm al-Syar‟iyyah (hukum-hukum syari‟ah), ma‟âd (hari
akhir).42
Dari pendapat keduanya sangat jelas, bahwa Maqâsid al-Syari‟ah adalah
bagian dari Maqâsid al-Qurân.
39
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 72 40
Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 17. 41
Mahmûd Syaltût, Ilâ al-Qurân al-karîm, (T.tp: Penerbit Dâr al-Syurûq, t.t. ) h. 5-6. 42
Mohammad Bakir, ”Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd Nursî”,
no. 01 (Agustus 2015): h. 53.
44
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF KONSEP MAQÂSID AL-QURÂN ANTARA ABÛ
HÂMID AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ
Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ keduanya termasuk di antara ulama yang
berkontribusi dengan menjelaskan Maqâsid al-Qurân. Dan pula keduanya
memaparkan Maqâsid al-Qurân lebih luas dan detail dibandingkan ulama yang
lainnya. Walaupun demikian, tentu saja penjelasan Maqâsid al-Qurân yang
keduanya tawarkan tidak seluruhnya sama dan berbeda. Pada tulisan ini, penulis
akan membahas secara detail konsep Maqâsid al-Qurân menurut al-Ghazâli dan
Rasyîd Ridâ dan menganalisis Muqâran1 (komparatif) dengan mencari perbedaan
dan titik temu Maqâsid al-Qurân antara keduanya.
A. Maqâsid Al-Qurân Menurut Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli
Al-Ghazâli membatasi Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) atau
Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an) menjadi enam bagian dengan
mengklasifikasikan menjadi dua bagian, tiga hal yang pertama berisi Usûl al-
Muhimmah (prinsip-prinsip pokok) dan tiga hal bagian kedua sebagai
Mutammimah (penyempurna atau pelengkap). Tiga prinsip pokok Maqâsid al-
Qurân yaitu : Pertama, mengenal Tuhan yang berhak disembah. Kedua,
Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju) Allah Swt. Ketiga, menjelaskan Hâl
(keadaan) manusia ketika sampai kepada-Nya. dan tiga prinsip penyempurna atau
pelengkap yaitu : Pertama, menjelaskan keadaan orang-orang taat kepada Allah
seperti orang-orang ber‟iman dan menjelaskan pula balasan kasih-sayang Allah
kepada mereka (surga), bertujuan Targîb Wa Tabsyîr (memotivasi dan kabar
gembira bagi pembaca al-Qur‟an) dan menjelaskan keadaan orang-orang yang
durhaka kepada Allah seperti orang-orang kafir serta menjelaskan siksa yang
menimpah mereka, bertujuan Tarhîb (menakut-nakuti) agar tidak terjerumus ke
1 Muqâran adalah upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara permasalahan
yang sama dan pula membandingkan pendapat para mufassir yang berkaitan dengan al-Qur‟an.
(Mustafa Ibrahim, Tafsîr Muqâran, hlm. 147)
45
dalam kesengsaraan. Kedua, menceritakan Ahwâl (keadaan-keadaan) orang-orang
yang menentang ajaran al-Qur‟an dan menyingkap kebodohan mereka dengan
Mujâdalah (mebantah) dan Muhâjah „alâ al-Haq (ber‟argumentasi yang benar),
bertujuan untuk Ifdâh (mengungkap) kebatilan ajaran mereka, serta Tastbît
(menetapkan) kebenaran ajaran al-Qur‟an. Ketiga, menjelaskan bagaimana
memakmurkan Manâzil al-Tarîq (tempat-tempat jalan), serta tatacara
mempersiapkan bekal untuk Sulūk menuju Allah Swt.2
Maqâsid al-Qurân di dalam kitab Jawâhir al-Qurân yang ditawarkan al-
Ghazâli, sangat kental dengan istilah-istilah tasawuf. Misalnya, Tarîqah, Wusul,
Sirr, Hâl dll. Menurut Abd al-Rahmân Badawî, kitab Jawâhir al-Qurân ini
dikarang oleh al-Ghazâli sengaja untuk menjelaskan Maqâsid al-Qurân dan ilmu-
ilmu al-Qurân serta keutamaan di antara surah-surah al-Qur‟an. Kitab ini al-
Ghazâli karang tak kala beliau sudah menyelami dunia tasawuf. Hal demikian
terdapat isyarat penjelasannya pada karya al-Ghazâli yang lain, yaitu kitab al-
Qistâs al-Mustaqîm. Maka lantas, Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat
kental dengan istilah-istilah tasawuf.3
Al-Ghazâli mengibaratkan al-Qur‟an itu laksana lautan yang sangat luas
dan dalam. Dan di dalamnya terdapat Jawâhir (mutiara-mutiara) yang indah dan
jelita. Begitu pula al-Qur‟an, yang di dalamnya mengandung makna-makna yang
luas dan dalam, serta terdapat Jawâhir (mutiara-mutiara) yang diistilahkan beliau
dengan Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an). Menurut beliau, terkadang
Allah memberikan pemahaman makna al-Qur‟an kepada seseorang tidak melalui
proses pembelajaran. Akan tetapi, dengan disingkap oleh Allah rahasia-rahasia
makna al-Qur‟an kepada orang-orang tertentu. Menurut beliau :
وحتقيقها حموج إىل مثل ذلك وإمنا ينكشف للراسخني يف العلم ما من كلمة من القرآن إال من أسراره بقدر غزارة علومهم وصفاء قلوهبم وتوفر دواعيهم على التدبر وجتردىم للطلب ويكون لكل واحد حد يف الرتقي إىل درجة أعلى منو فأما االستيفاء فال مطمع فيو ولو كان البحر مدادا
ات اهلل ال هناية هلا فتنفد األحبر قبل أن تنفد كلمات اهلل عز وجلواألشجار أقالما فأسرار كلم
2 Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H ), h. 23-24. 3 Abd al-Rahmân Badawî, Muallafât al-Ghazâli (Kuwait: Wakâlah Matbû‟ah, 1977), h.
147.
46
“tidaklah satu kalimat di dalam al-Qur‟an kecuali mewujudkannya
dibutuhkan tersingkapnya makna seperti demikian. dan sesungguhnya
tersingkapnya rahasia-rahasia al-Qur‟an bagi orang-orang yang sudah
mantap/kokoh dalam ilmunya dengan sebab kadar keluasan ilmu-ilmu mereka
dan jernihnya hati-hati mereka dan terpenuhinya sebab-sebab dalam
merenungkan al-Qur‟an. Setiap insan memiliki batasan untuk naik ke derajat
yang lebih tinggi darinya. Adapun meraih makna-makna al-Qur‟an secara
sempurna, tidak mungkin bisa dicapainya. Seandainya lautan menjadi tintanya,
dan seluruh pohonan menjadi pulpennya, maka rahasia-rahasia kalimat-kalimat
Allah tidak ada penghabisannya. Maka habisnya lautan sebelum habisnya
kalimat-kalimat Allah yang maha mulia dan agung”.4
Al-Suyûtî dalam Kitâb al-Itqân mengutip sabda Rasulullah Saw, “al-Qur‟an
itu ada makna Zâhir (tekstual), Bâtin (kontekstual), had (hukum halal dan haram),
janji dan ancaman”. Menurut Ibn Nuqaib, makna Zâhir (tekstual) hanya bisa
disingkap oleh ahli ilmu pada bidang Zâhir (makna-makna tesktual), sedangkan
makna Bâtin rahasia-rahasia makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur‟an,
hanya bisa disingkap oleh sebagian orang yang Allah informasikan yaitu `Arbâb
al-Haqâ`iq atau para Sûfî.5 Dan menurut sebagian ulama, setiap ayat al-Qur‟an
mengandung enam puluh ribu makna yang terselubung di dalamnya.
Kemudian al-Ghazâli membagikan Maqâsid a-Qur‟an sebagai mutiara-
mutiara ke dalaman dan keluasan al-Qur‟an pada enam bagian.
1. Ta‟rîf Al-Mad‟û Ilaih (Menjelaskan Yang Berhak Disembah)
Al-Ghazâli berpendapat, bahwa Maqsad al-Aqsâ (puncak tujuan-tujuan al-
Qur‟an) adalah menyeruhkan kepada seluruh manusia untuk menyembah Allah
Swt. sebagaimana perkataannya:
رس نآرقلا هبابلو ىفصألا هدصقمو ىصقألا ةوعد دابعلا ىلا رابجلا ىلعألا بر الثري ةرخآلا اوىلوأل قلاخ تاوامسلا ىلعلا نيضرألاو ىلفسلا امو امهنيب امو تحت
“Intisari al-Qur‟an dan tujuan puncak al-Qur‟an adalah mengajak hamba-hamba
Allah menyembah Allah yang Maha agung, Maha tinggi, sang pencipta kehidupan
akhirat dan dunia, yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya sejagat
raya alam ini”.6
4 Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm al-Dîn (Beirut: Dâr Ibn Hajm, 2005). h.
347 5 Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakar al-Suyûtî, Al-Itqân Fî Ulûm al-Qurân (Arab :
Maktabah Markaz al-Dirâsâh al-Qurāniyyah, t.t.), hal. 2310-2312 6 Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H ), h. 23-24
47
Al-Ghazâli menempatkat Ma‟rifatullah (mengenal Allah) sebagai Tuhan
yang berhak disembah, menjadi intisari dari keseluruhan Maqâsid al-Qurân.
Allah menjelaskan dalam Surat al-Zâriyât ayat 56 bahwa tujuan utama Allah
menciptakan Jin dan manusia adalah hanya untuk menyembah-Nya. sebagaimana
dalam Surah al-Dzâriyât/51: 56 berikut:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.
Menurut Ibn katsîr, Allah menciptakan manusia agar manusia menyembah
patuh kepada Allah dan bukan karena Allah butuh sesembahan mereka. Akan
tetapi maksudnya, penyembahan yang dilakukan manusia kepada Allah,
kemanfaatnya bukan untuk Allah, tapi kembali kepada manusia itu sendiri.7 Al-
Sa‟dî menafsirkan bahwa :
ىذه الغاية اليت خلق اهلل اجلن والإلنس هلا, وبعث مجيع الرسل يدعون إليها وىي عبادتو، املتضمنة ملعرفتو وحمبتو وإلنابة إليو وإلقبال عليو وإلعراض عما سواه، وذالك يتضمن معرفة اهلل
“Menyembah Allah adalah tujuan Allah menciptakan Jin dan manusia
dan Allah mengutus para Rasul menyeruh umat-umat nya agar menyembah
kepada Allah Swt. yang terkandung didalam (penyembahan Allah) adalah
mengenal, mencintai, kembali dan menuju kepada-nya dan berpaling dari selain
Allah, hal demikian adalah Ma‟rifatullah”.8
Kemudian al-Ghazâli mengutip beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan
dengan dzat, sifat-sifat, Afâl (perbuatan-perbuatan) Allah Swt. Misalnya dalam
Surat al-Syûrâ/42: 11 Allah berfirman:
“tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
mendengar dan Melihat”.
Menurut Alî al-Sâbûnî, tidak ada yang serupa seperti Allah Swt, pada dzatnya,
sifat-sifatnya, perbuatannya, Dialah Allah Swt yang maha tunggal dan Esa. Ayat
ini bertujuan untuk mensucikan Allah Swt dari serupa pada makhluknya, karena
7Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut: Ibn Hajm 1420 H), h.
1768. 8Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fî Tafsîr Kalâm al-Mannâ‟ (Riyâd:
Maktabah „Abîkân 1422), hal. 813.
48
dzat Allah Swt tak seperti makhluk yang diciptakannya. Huruf Kâf disini, untuk
memberikan penguatan dan penekanan untuk menafikan keserupaan Allah Swt
dengan makhluknya.9
Menurut al-Sa‟dî, tidak ada sesuatu pun makhluk yang seperti Allah Swt pada
zat, sifat, Afâl-Nya. Karena nama-nama sifat Allah seluruhnya Asmâ` al-Husnâ
(nama-nama yang terbaik) dan sempurna. berbeda dengan sifat-sifat manusia yang
tak luput dari kekurangan. Begitu pula Afâl (perbuatan-perbuatan) Allah berbeda
dengan makhluk-Nya, karena Allah yang menciptakan ciptaan-ciptaan yang besar
seperti langit, bumi, yang Allah ciptakan sendiri tanpa campur tangan makhluk-
Nya. dan juga dzat Allah yang Esa yang tidak membutuhkan unsur-unsur yang
lain.10
2. Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju) Allah Swt
Setelah memaparkan Maqâsid al-Qurân yang pertama yaitu mengenalkan
insan kepada Allah Swt, kemudian al-Ghazâli menjelaskan tujuan al-Qur‟an yang
kedua yaitu menjelaskan Tarîq Sulûk (jalan menuju Allah Swt). Menurut al-
Ghazâli, ada dua pondasi cara atau jalan menuju Allah Swt. Pertama, dengan cara
Mulâzamah al-Zikrillah (senantiasa mengingat Allah Swt), Mukhâlafah al-Hawâ
(menentang dorongan hawâ nafsu) dan menjahukan segala hal yang menyibukan
dari zikir kepada Allah Swt.11
Dzikir secara bahasa bermakna mengingat. Ada juga sebagian pakar
berpendapat bahwa kata Dzikr itu pada mulanya berarti mengucapkan dengan
lidah atau menyebut sesuatu. kemudian makna ini berkembang menjadi
“mengingat”, karena mengingat sesuatu sering kali mengantarkan lidah
menyebutnya. Menurut Asfahânî, Dzikr itu mengupayakan menghadirkan sesuatu
yang lupa di dalam hati. dan Dzikr itu ada tiga macam.12
Pertama, Dzikr dengan
lisan yaitu dengan menyebut atau mengucapkan dengan lisan tapi tidak dihadirkan
9 Muhammad Alî al-Sâbûnî, Tafsir Safwah al-Tafāsîr (Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm
1402 H), jilid 3, h. 134. 10
Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fî Tafsîr Kalâm al-Mannâ‟ (Riyâd:
Maktabah „Abîkân 1422), hal. 754 11
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H ), h. 28. 12
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa (Jakarta:
penerbit lentera hati, 2006 ), h. 11.
49
dengan hati. Di dalam Surah al-Baqarah/2: 200 yang berkaitan dengan zikir lisan
yaitu:
“Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah
dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-
banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu.
Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami
(kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di
akhirat”.
Dahulu masyarakat Arab khususnya ketika setelah melaksanakan Haji,
sangat banyak menyebut-nyebut leluhur mereka sambil membangga-
banggakannya. Kemudian Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk
memperbanyak berzikir kepada Allah serta mengagungkan Allah Swt dengan
lisan mereka sebagaimana merek menyebut-nyebut leluhur mereka, bahkan
melebihi penyebutan leluhur mereka.13
Kedua, Zikr al-Qalbi (zikir hati) yaitu
dengan menghadirkan sesuatu di hati. Ketiga, Zikr Jawârih (zikir anggota badan)
yaitu zikir dengan mengunakan anggota badan untuk ketaatan kepada Allah.14
Allah berfirman dalam Surah al-Baqarah/2: 152 yaitu:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku”.
Menurut Hasan al-Basrî, makna Dzikr kepada Allah pada ayat ini adalah
dengan dengan menjalankan segala yang Allah perintahkan.15
Senada pula dengan
Sa‟îd Ibn Jubair yang menafsirkan ayat ini yaitu :
فاذكروين بطاعيت و أذكركم مبغفريت “Ingatlah aku dengan taat atas segala perintahku, maka aku akan
mengingatmu dengan memberikan ampunan atas dosa-dosa mu”.16
.
Ibn Jarîr al-Tabarî mengutip pendapat Ja‟far bahwa beliau berkata, Allah
memerintahkan orang-orang mukmin untuk Zikrullah (mengingat Allah) dengan
13
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa (Jakarta:
penerbit lentera hati, 2006 ), h. 24. 14
Rāghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus: Dâr al-Qalam ), h.
328. 15
Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),
h. 221. 16
Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),
h. 221
50
ketaatan kepada-Nya atas segala perintah-Nya dan menjahukan segala larangan
Allah. jika demikian, maka Allah akan Zikr (mengingat) kepada orang-orang
mukmin dengan mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya.17
3. Mengenalkan Keadaan Manusia Ketika Kembali Ke Akhirat
Pada tujuan-tujuan al-Qur‟an (Maqâsid al-Qurân) yang ketiga ini, al-
Ghazāli menjelaskan tentang keadaan manusia ketika kembali ke negeri akhirat.
Menurut al-Ghazâli, :
”Al-Qur‟an Meliputi menyebutkan Rûh, kenikmatan yang di dapati Sâlik
(orang-orang yang menempuh perjalanan) ketika Wusûl (sampai menuju Allah),
dan ungkapan yang menghimpun segala kenikmatan adalah surga, dan puncak
kenikmatan adalah memandang Allah Swt. meliputi juga menyebutkan kehinaan,
siksa yang didapati orang-orang yang terhalang karena teledor/mengabaikan
Sulûk menuju Allah, dan istilah yang menghimpun segala siksa adalah nereka
Jahim dan puncak siksa adalah terhalangnya dan dijahukannya dari rahmat
Allah. dan meliputi pula menyebutkan pengantar-pengantar keadaan akhirat.
diistilahkan di antaranya hari pembangkitan, Hisâb, Mîzân (timbangan),
jembatan Sirât mustaqîm”.18
Al-Ghazâli menjelaskan Ahwâl (keadaan-keadaan) orang-orang yang
menempuh jalan menuju Allah dan orang-orang yang mengabaikan jalan menuju
Allah. Menurut al-Ghazâli bahwa sepertiga al-Qur‟an menjelaskan keadaan-
keadaan hari akhir. Diawali dari kematian, kehidupan barzakh, hari pembangkitan,
hari Hisâb, Mîzân, surga dan neraka. Dan puncak kenikmatan yang Allah berikan
kepada hamba-hambanya yang Sulûk (menuju Allah) dengan taat kepada adalah
kenikmatan memandang Allah Swt. dan puncak siksa yang Allah berikan kepada
hamba-hamba-Nya yang mengabaikan Sulûk (menuju Allah) dengan mengikuti
Hawa nafsunya adalah terhalangnya tidak bisa memandang Allah dan dijahukan
dari rahmat Allah. Sebagaimana Surah al-Qiyâmah 75:23 berikut:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri 23. Kepada
Tuhannyalah mereka Melihat”.19
17
Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-
Risalah 1415 H), jilid 2, h. 695. 18
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H), h. 30. 19
QS al-Qiyâmah 75 : 22-23
51
Menurut al-Qurtûbî, mayoritas ulama menafsirkan ayat ini bahwa nanti
para penghuni surga akan memandang Allah Swt. Ibn „Umar menafsirkan, bahwa
penghuni surga yang paling mulia adalah mereka yang diberi kesempatan untuk
memandang Allah setiap pagi dan petang. Senada pula Hasan, bahwa nanti di hari
akhir, penghuni surga akan memandang Allah. akan tetapi, tidak semua ulama
sepakat dengan pendapat di atas, mereka ber‟argumentasi bahwa Allah itu bukan
materi yang bisa dijangkau oleh mata-mata manusia. mereka berpendapat bahwa
yang dimaksud memandang disini bukan memandang dzat Allah, akan tetapi
memandang pahala dari Allah.20
dan begitu pula sebaliknya, mereka yang
mengabaikan Sulûk (menuju Allah) dengan mengikuti Hawa nafsunya, akan
terhalang tidak bisa memandang Allah dan dijahukan dari rahmatnya.
Sebagaimana firman-Nya :
“Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup
dari Tuhan mereka”.21
Menurut Ibn Katsîr, bahwa nanti di hari akhir para penghuni neraka akan
terhalang tidak bisa memandang Allah Swt. Begitu pula Ibn Jarîr mengutip
pendapat Hasan, bahwa nanti di hari akhir, Allah menutup/menghalangi orang-
orang kafir sehingga tidak bisa memandang Allah Swt. Imam al-Syâfi‟î juga
berpendapat, bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa orang-orang kafir tidak bisa
memandang Allah Swt.22
4. Menjelaskan Kisah-kisah Sâlik (Orang-orang Taat Menuju Allah) Dan
Nâkib (Orang-orang Yang Mengingkari Allah Swt)
Menurut al-Ghazâli, selanjutnya tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah menjelaskan
kisah-kisah perjalanan orang-orang yang menuju Allah seperti para Nabi, Awliyâ‟
(kekasih Allah), orang-orang shālih, dan kisah perjalanan orang-orang yang
mengingkari serta membangkang kepada Allah Swt. seperti Fir‟aun, Qârun, Iblîs,
20
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar al-Qurtubî, Jâmi‟ Li al-Ahkâm al-Qurân (Beirut:
Mu`assah al-Risâlah, 1427 H), Jilid 21, hal. 427-428. 21
QS al-Mutaffifîn 83 : 15 22
Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),
h. 1973
52
Namrûd, Syaitân, kaum Âd, Lût, orang-orang kafir, munafik dan lain-lain
sebagainya. Jika kisah-kisah yang baik bertujuan untuk Targîb (memotivasi/
membangkitkan hasrat pembaca) agar mengikuti jalan menuju Allah. dan kisah-
kisah yang tidak baik bertujuan untuk Tarhîb (menakut-nakuti/memperingati) agar
tidak terjerumus ke jalan yang salah.23
Ada beberapa Maqâsid (tujuan-tujuan) kisah-kisah didalam al-Qur‟an
diantaranya :
- Menjelaskan prinsip para Nabî dalam ber‟dakwah yaitu mengajak untuk
menyembah Allah Swt.
- Sebagai „Ibrâh (pelajaran yang terkandung didalam kisah).24
- Meneguhkan hati Nabi dan orang-orang ber‟iman ketika tertimpa ujian dalam
ber‟dakwah / ketaatan kepada Allah
- Membenarkan para Nabi terdahulu dan mengabadikan jejak perjuangan mereka
- Sebagai pembenar kenabian Nabi Muhammad atas kebenaran berita massa lalu
dan massa yang akan datang yang sesuai dengan fakta dan realita.25
5. Membantah Keyakinan Orang-orang Kafir Dan Menyingkap Kesalahan
Mereka Dengan Bukti/argumentasi Yang Jelas
Tujuan al-Qur‟an selanjutnya menurut al-Ghazâli adalah Mujâdalah al-Kuffâr
(mebantah keyakinan orang-orang kafir) dan memaparkan kebatilan-kebatilan
keyakinan mereka dengan Burhân al-Wâdih (bukti yang jelas/nyata). Sekiranya
ada tiga pokok permasalahan menurut al-Ghazâli atas keyakinan-keyakinan
orang-orang kafir yang salah di dalam al-Qur‟an. Pertama, mereka menisbatkan
Allah dengan hal-hal yang tidak pantas bagi Allah. Misalnya, mereka meyakini
ada sekutu bagi Allah, malaikat adalah anak Allah. Kedua, mereka menisbatkan
hal-hal yang tidak pantas bagi para Nabi. Misalnya, menuduh Nabi seorang
penyihir, pendusta, manusia biasa yang tak layak diikuti. Ketiga, mereka
mengingkari hari akhir, pembangkitan, Hisâb, surga, nereka.
23
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H), h. 31.
24
Dr. Nurdin, Ulûm al-Qurân Al-Karîm, (Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1414 H), h.
240-241. 25
Mannā‟ al-Qattân, Mabâhis Fī Ulûm al-Qurân (kāiro : Maktabah al-Wahbah, t.t.), h.
301-302
53
Pertama, al-Qur‟an membantah penisbatan orang-orang kafir hal-hal yang
tidak layak bagi Allah, seperti menisbatkan Allah memiliki anak. Dalam Surah al-
Ikhlâs /112: 1 berikut:
“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.
Menurut „Ikrimah, orang-orang Yahûdi menyembah „Uzair anak Allah, orang-
orang Nasrani menyembah Isa sebagai anak Allah, orang-orang Musyrik
menyembah berhala-berhala sebagai perantara kepada Allah.26
Kemudian di
turunkan Surat al-Ikhlâs sebagai bantahan bahwa tidak layak menjadikan sekutu
bagi Allah Swt, bahwa Allah itu Esa pada dzat-Nya tidak terdiri dari unsur-unsur
atau bagian-bagian. karena bila dzat yang maha kuasa itu terdiri dari dua unsur
atau lebih, betapapun kecilnya unsur tersebut, maka ini berarti Dia membutuhkan
unsur atau bagian itu atau dengan kata lain unsur (bagian) itu merupakan syarat
bagi wujud-Nya dan ini bertentangan dengan sifat ketuhanan yang tidak
membutuhkan sesuatu apapun.27
Kedua, al-Qur‟an membantah penisbatan orang-orang kafir hal-hal yang tidak
layak kepada para Nabi, seperti penyair, penyihir, pendusta, penipu. Dalam Surah
Yâsîn/36: 69:
”Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu
tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab
yang memberi penerangan”.
Menurut Baydâwî, ayat ini sebagai bantahan bahwa nabi Muhammad tidak di
ajarkan syi‟ir, karena al-Qur‟an bukan syi‟ir yang bersajak dan tersusun baik
secara lafadz dan makna seperti imajinasi-imajinasi yang dibuat oleh para penyair.
Akan tetapi al-Qur‟an adalah peringatan, petunjuk dan kitab Samawi yang
bersumber dari Allah.28
Ketiga, al-Qur‟an membantah atas pengingkaran orang-orang kafir atas
kepastian hari pembangkitan, Hisâb, hari pertimbangan, surga, dan neraka. Dalam
Surah Yâsîn ayat 78-79 bahwa orang-orang kafir mengingkari hari akhir karena
26
Muhammad Ali al-Sabûnî, mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr (Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm
1402), Jilid ke-3, hal. 693. 27
Muhammad Quraish Shihâb, Tafsîr al-Misbâh (Jakarta: Lentera Hati 2002), jilid 15, hal.
612. 28
Abdullah Ibn „Umar Ibn Muhammad al-Syîrâzî al-Baydâwî, Tafsîr Anwâr al-Tanzîl Wa
Asrâr al-Ta`wîl (Beirut: Dâr al-Rasyîd, t.t.), jilid 3, hal 139.
54
berkeyakinan bahwa Allah tidak mampu menghidupkan kembali manusia setelah
hancur menjadi tulang-berulang. Menurut Ibn Jarîr,:
“orang-orang kafir menyangka bahwa Allah tidak mampu menghidupkan
kembali manusia yang sudah menjadi tulag-berulang. Mereka membuat
per‟umpamaan akan tetapi melupakan asal muasal mereka bahwa dahulu mereka
hanya sekedar air mani yang hina, kemudian Allah mampu menciptakan mereka
dengan bentuk yang sempurna. Tentu menciptakan awal saja Allah mampu,
apalagi hanya sekedar mengulang menghidupkan kembali”29
6. Menjelaskan Bagaimana Memakmurkan Manâzil al-Tarîq (Tempat-tempat
Jalan) Serta Tatacara Mempersiapkan Bekal Untuk Sulûk Menuju Allah
Swt.
Al-Ghazâli mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah Manzil Baina
Manâzîl Ilâ Allah (tempat di antara tempat-tempat proses Sulûk menuju Allah)
dan badan manusia adalah kendaraannya. Barang siapa yang lengah mengabaikan
kendaraan (badan), maka tidak akan sempurna perjalanan Sulûk menuju Allah.
kemudian untuk keberlangsungan sempurna Suluk menuju Allah, al-Ghazâli
menyarankan agar menjaga kemaslahatan badan manusia atau istilah para ahli
Usûl al-Fiqih adalah Jalb al-Masâlih (menarik segala kemaslahatan) dan
mencegah segala kerusakan badan atau Daf‟u al-Mafâsid (mencegah segala
kemafsadatan).30
Untuk menjaga kemaslahatan badan, maka Allah memerintahkan manusia
untuk mengkomsumsi makanan untuk menjaga dan menarik kemaslahatan badan
manusia. Menurut Quraish Shihab, terdapat 27 kali perintah makan di dalam al-
Qur‟an. Dan di dalam al-Qur‟an, yang selalu ditekankan dalam konteks perintah
makan ada dua sifat yaitu Halâl dan Tayyibah (baik).31
Dan pula menurut al-
Ghazâli untuk mejaga keberlangsungan manusia, maka Allah mensyariatkan
menikah dan menjelaskan segala hal-hal yang berkaitan dengan Nikah. Seperti
ayat-ayat Talâq, Rujû‟, „Iddah, mahar, Li‟ân, Zihâr. Ini semua disyariatkan
sebagai bentuk penjagaan keturunan manusia.
29
Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-
Risalah 1415 H), jilid 19, h. 487-488. 30
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H), h. 32-33. 31
Dr. Muhammad Quraish Sihâb, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan
1992), hal. 287.
55
Kemudian menurut al-Ghazâli, ada beberapa hal mencegah sebab-sebab
kerusakan jiwa/badan manusia. Disyariatkan Qisâs, untuk mencegah sewenag-
wenang menghilangkan nyawa orang lain. Disyariatkan pula Hadd al-Sariqah
(hukuman potong tangan bagi pencuri), untuk mencegah sewenang-wenang
mengambil harta orang lain tanpa hak. Begitu pula di syariatkan Hadd al-Zinâ
(hukuman bagi penzina), untuk mencegah kerancuan nasab/keturunan manusia. an
adapun disyariatkan Jihâd, untuk mencegah orang-orang yang melakukan
anarkisme penentang agama untuk mencegah kerusakan agama manusia, karena
agama sebagai sarana untuk sampai menuju Allah.32
Apa yang dipaparkan al-Ghazâli di atas, istilah yang digunakan ulama
Usûl al-Fiqih adalah al-Darûriyyah al-Khams (lima perkara mendesak/penting
pada kehidupan manusia) yaitu Hifz al-Dîn (menjaga agama), Hifz al-Nafs
(menjaga jiwa), Hifz al-Aql (menjaga akal), Hifz al-„Ird (menjaga kehormatan),
Hifz al-Mâl (menjaga harta). 33
B. MAQÂSID AL-QURÂN PERSPEKTIF RASYÎD RIDÂ
Rasyîd Ridâ termaksud ulama kontemporer yang memberikan kajian
Maqâsid al-Qurân secara panjang. Hal demikian bisa ditemukan dalam Tafsîr al-
Manâr pada jilid 11 di awal Surah al-Yunûs. Secara umum Maqâsid al-Qurân
menurut Rasyîd Ridâ adalah
مقاصد القرآن ىو إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاهلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم اإلنسانية وترقية عقوهلم وتزكية أنفسهم
“Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas,
kaum, serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan
kesatuan persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka,
dan membersikan jiwa mereka”.34
Kemudian menurut Ahmad Raisûnî, Rasyîd Ridâ mengklasifikasikan
pembahasan Maqâsid al-Qurân sampai 10 bagian.35
Pertama, memperbaiki tiga
32
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dîn, 1411 H), h. 32-33. 33
Abd al-Wahhâb al-Khallâf,„Ilmu Usûl Al-Fikih (Indonesia: Penerbit al-Haramain 2004),
hal. 200. 34
Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349 H), jilid 11, h. 206. 35
Ahmad Raisûnî, Maqâsid Maqâsid (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 2007), hal 16.
56
rukun/pondasi agama Islam yaitu memperbaiki keimanan kepada Allah, hari
pembakitan, amal shalih. Kedua, menjelaskan bodohnya manusia tentang risalah
kerasulan dan tugas-tugas para Rasul. Ketiga, menjelaskan Islam agama yang
sesuai dengan fitrah, akal, berdasarkan ilmu, hikmah, bukti dan argumentasi
secara ilmiah, hati, perasaan, dan membebasakan dari kejumudan. Keempat,
memperbaiki masyarakat manusia, dan mengatur untuk merealisasikan persatuan.
Kelima, menetapkan keistimewaan Islam pada memberikan Taklîf (pembebanan
hukum). Keenam, menjelaskan hukum berpolitik dalam Islam. Ketujuh, petunjuk
al-Qur‟an dalam mengelola harta. Kedelapan, memperbaiki aturan/sistem
berperang dalam al-Qur‟an serta mencegah segala kemafsadatan. Kesembilan,
memberikan hak-hak perempuan. Kesepuluh, membebaskan perbudakan.
1. Memperbaiki Tiga Pondasi Agama Islam (Keimanan, Amal Shalih, Hari
Akhir)
Tujuan Maqâsid al-Qurân yang pertama menurut Rasyîd Ridâ adalah
memperbaiki tiga pondasi agama yaitu keimanan, amal shalih, hari akhir. Ketiga
pondasi ini menjadi syarat bergantungnya kebahagian seseorang di dunia dan di
akhirat.
Pertama, Islâh al-Îmân (memperbaiki keimanan kepada Allah). Menurut
Rasyīd Ridā, banyak sekali kaum-kaum yang tersesat dalam permasalahan
keimanan kepada Allah, sampai-sampai penyimpangan/penyelewengan keimanan
kepada Allah juga terjadi kepada umat-umat yang dekat dengan petunjuk para
nabi-nabi terdahulu, Seperti kaum Nasrani yang meyakini Tastlîst (trinittas) yang
berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang ketiga dari Tuhan yang tiga. Dan
pula sebagian orang-orang Yahudi yang meyakini bahwa „Uzair adalah anak
Tuhan. Hadir al-Qur‟an untuk Islâh Îmân (memperbaiki keimanan kepada Allah)
agar manusia mengesakan Allah Swt, sebagaimana ajaran yang dibawa oleh para
nabi yaitu ajaran Tawhîd.36
Kedua, memperbaiki keimanan pada hari akhir di antaranya hari
pembangkitan, Hisâb, Jazâ‟ (balasan atas segala perbuatan). Menurut Rasyîd Ridâ,
36
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,
h. 206.
57
telah terjadi Fasâd (kerusakan) dalam keimanan kepada kepastian hari akhir pada
ajaran umat-umat sebelum datangnya ajaran Islam. Di antaranya, orang-orang
musyrik yang sangat mengingkari kepastian hari akhir. Banyak sekali ayat al-
Qur‟an yang mengambarkan pengingkaran mereka terhadap hari akhir.37
Misalnya
dalam Surah al-Mu‟minûm/23: 37:
“Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita
hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi”.
Ibn Jarîr mengutip pendapat Ibn Zaid, bahwa orang-orang musyrik berkata
demikian karena mereka mengkufuri atau tidak mempercayai hari akhirat dan hari
pembangkitan. Mereka berkata bahwa manusia itu seperti tanaman. Tanaman
ketika tumbuh itu laksana kehidupan manusia, dan ketika panen itu laksana
kematian manusia dan tidak ada lagi kehidupan setelah panen/kematian.38
Begitu pula rusaknya keyakinan Ahl al-Kitâb (orang-orang Yahudi dan
Nasrani) terhadap keimanan pada hari akhir setelah terjadi Tahrîf (penyimpangan)
terhadap kitab-kitab suci mereka. Orang-orang Nasrani meyakini Nabi „Isâ
sebagai juru selamat yang menebus segala dosa-dosa yang dilakukan orang-orang
Nasrani.
Ketiga, amal shalih adalah buah dari keimanan kepada Allah dan yaum al-
Jaza‟ (hari pembalas). Menurut Rasyîd Ridâ, keimanan kepada Allah dan hari
akhir yang mantap di jiwa, akan memotivasi untuk gemar beramal kebaikan dan
pula akan mencegah beramal buruk, karena seorang yang kuat keimanannya
kepada Allah dan hari akhir, ia yakin bahwa sekecil apapun amalan akan diganjar
oleh Allah.39
Sebagaimana firman Allah Surah al-Zalzalah/99: 7:
“7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya. 8. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.
37
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 200. 38
Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-
Risalah 1415 H), jilid 19, h. 44. 39
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 207.
58
Menurut Alî Sâbûnî,40
barang siapa yang berbuat kebaikan sekecil debu, ia
akan mendapatkan pada catatan amalnya dan mendapatkan balasan dari Allah Swt,
begitu pula perbuatan keburukan. Menurut Ibn Abbās, jika kau meletakan telapak
tanganmu di tanah kemudian kau angkat tanganmu, dan menempelkan debu-debu
yang kecil di tanganmu maka demikianlah Zarrah. Maksud dari ayat ini, Allah
Swt memberikan perumpamahan bahwa tidak ada sekecilpun amalan yang di
lakukan oleh manusia yang luput dari pengawasan Allah.
2. Menjelaskan Kebodohan Manusia Tentang Risalah Kenabian Serta Tugas-
tugas Para Rasul
Tujuan Maqâsid al-Qurân yang kedua adalah menjelaskan kejahilan manusia
tentang Risalah kenabian dan fungsi-fungsi para Nabi. Menurut Rasyīd Ridâ,
hampir mayoritas masyarakat Arab mengingkari tentang Risalah kenabian. Orang-
orang Musyrik sangat mengingkari kenabian, karena mereka berpendapat bahwa
semua manusia sama dan tidak ada manusia yang diberikan kelebihan dari Allah.
begitu pula orang-orang Yahudi yang mengingkari kenabian yang bukan dari
bangsa Bani Israil dan hanya membatasi kenabian hanya dari bangsa mereka Dan
mereka mensifati kepada para Nabi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka
dengan penipu, pendusta, dan bahkan mereka tega membunuh para Nabi dengan
cara zalim. Dan pula orang-orang Nasrani yang mensucikan pendeta-pendeta dan
para Nabi mereka, sampai sebagian para Nabi dijadikan Tuhan oleh mereka selain
Allah.41
Di antara Tujuan diturunkan al-Qur‟an, untuk menjelaskan serta
meluruskan kejahilan manusia tentang Risalah kenabian, bahwa setiap umat pasti
diutus seorang Rasul, serta keniscayaan Allah mengutus Rasul untuk
menyampaikan wahyu dari Allah dan menjelaskan pula tugas-tugas para Nabi
yang di utus oleh-Nya. Firman Allah dalam Surah al-Nahl/16: 36 berikut:
40
Muhammad Alî Sâbûnî, Safwah al-Tafāsîr (Beirut: Dâr al-Qurân 1402 H), jilid 3, hal.
591. 41
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 219.
59
“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”.
Menurut Ibn Katsîr, Allah mengutus Rasul pada setiap generasi umat
untuk menyeruh membawa misi Tawhîd (mengesakan dan menyembah Allah
Swt). Dan senantiasa Allah mengutus Rasul kepada manusia dari terjadian awal
kesyirikan kaum Nabi Nuh sehingga diutus Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad
Saw sebagai Nabi terakhir. Dan seluruh para Nabi memiliki misi yang sama yaitu
mengajak seluruh manusia untuk menyembah Allah serta melarang mereka
menyembah selain Allah Swt.42
Di antara tugas-tugas fungsi para Nabi diutus oleh
Allah diantaranya, Pertama, untuk mengeluarkan manusia dari ber‟anekaragam
kegelapan menuju cahaya kebenaran yang diridhai Allah Swt. Kedua, Tablîgh
(menyampaikan segala yang diwahyukan dari Allah). Ketiga, menyampaikan
Tabsyîr (kabar gembira) dan Tanzîr (peringatan). keempat, membaca ayat-ayat
Allah, dan mensucikan mereka serta mengajarkan kitab dan hikmah.43
Menurut
Ridâ, yang dimaksud dengan membacakan ayat-ayat Allah adalah ayat-ayat yang
terdapat di dalam al-Qur‟an, atau ayat-ayat kauniyyah (alam semesta) yang
menunjukan atas besarnya kekuasaan Allah. kelima, Tazkiyyah al-Nafs
(mensucikan jiwa, akal, qalbu manusia dari segala keburukan). Keenam,
mengajarkan al-Kitâb (al-Qur‟an) dan al-Hikmah (pengajaran yang mendorong
untuk memperbaiki moral dan perbuatan manusia). 44
3. Islam Agama Yang Sesuai Dengan Fitrah, Akal, Berdasarkan Ilmu,
Hikmah, Bukti Dan Argumentasi Secara Ilmiah, Hati, Perasaan, Dan
Membebasakan Dari Kejumudan.
Menurut Rasyid Ridâ, sebelum datangnya Islam ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah, manusia tidak mengenal ajaran agama kecuali ajaran yang
bertentangan dengan Fitrah manusia, akal sehat manusia, ajaran yang menyiksa
diri manusia. kemudian Allah mengutus Nabi Muhammad dengan membawa
42
Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm (Beirut: Dâr Ibn Hajm
1402 H), h. 1062. 43
Umar Sulaimân al-Asyqâr, Rasul Wa Risâlah (Kuwait: Penerbit Al-Falâh, 1983), h. 43-
50. 44
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 260.
60
Risalah al-Qur‟an bertujuan menjelaskan bahwa Islam itu agama yang sesuai
dengan Fitrah, akal sehat manusia, berdasarkan dengan ilmu, bukti, argumentasi
secara ilmiah, dan agama yang sesuai dengan hati, perasaan manusia.45
Pertama, Dîn al-Fitrah (agama fitrah). Fitrah secara etimologi menurut
Rāgib al-Asfahânî, memiliki beragam makna. Di antaranya membelah, memeras,
menciptakan sesuatu yang tidak ada contohnya, keadaan awal dalam penciptaan
manusia.46
Makna Fitrah yang sesuai dalam konteks Fitrah al-Dîn (fitrah agama)
terdapat dalam Surat al-Rûm/30: 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud Fitrah pada ayat ini adalah
kondisi atau keadaan penciptaan yang terdapat pada diri manusia yang
menjadikan manusia berpotensi untuk mengenal Allah dan ajaran-ajaran
syariatnya.47
Kedua, Dîn al-Aql Wa al-Fikr (agama yang berlandasan sesuai dengan
akal dan pikiran sehat). Menurut Ridâ, kata Aql didalam al-Qur‟an lebih dari 50
ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan akal manusia. Ini mengisyaratkan
betapa urgensinya akal bagi manusia dan pula bahwa Islam adalah ajaran yang
berlandasan sesuai dengan akal sehat manusia. banyak sekali fungsi akal di dalam
al-Qur‟an. di antaranya yaitu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an, untuk
merenungkan besarnya kekuasan Allah atas penciptaan alam semesta, untuk
memahami maksud syariat yang Allah perintahkan kepada manusia, agar tidak
terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan dan kesengsaraan.
Ketiga, Dîn al-„Ilmi Wa al-Hikmah (agama yang berlandaskan ilmu dan
hikmah). Kata لم ع menurut Rāghib al-Asfahânî adalah mengetahui sesuatu dengan
hakikatnya/sebenar-benarnya.48
Islam itu adalah Dîn al-„Ilmi (agama yang
45
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 224. 46
Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus: Dâr al-Qalam ), h.
353. 47
Muhammad Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati 2002), jilid 7, hal.
402. 48
Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus : Dār al-Qalam ), h.
580.
61
berlandaskan pada ilmu) bukan ajaran agama yang berlandsan Taqlîd buta dan
menduga-duga/perasangka. Dan Hikmah menurut Rasyîd Ridâ mengandung
makna yang lebih khusus dari pada ilmu. Karena hikmah menurut beliau adalah
mengetahui sesuatu secara hakikatnya yang didalamnya mengandung manfaat-
manfaat yang membangkitkan melakukan perbuatan-perbuatan baik.49
Keempat, Dîn al-Hujjah Wa al-Burhân (agama yang berlandaskan pada
argumentasi dan bukti yang jelas dan nyata). Tidak seperti ajaran-ajaran orang-
orang kafir yang menjadi berhala-berhala sebagai sesembahan mereka yang tak
berlandaskan dengan argumentasi dan bukti yang jelas.
Kelima, Dîn al-Qalb Wa Wijdân Wa Damîr (agama yang sesuai dengan
hati manusia). Segala syariat yang Allah tetapkan dalam ajaran Islām, seluruhnya
tidak ada yang bertentangan dengan hati manusia. oleh karena itu, tidak ada
paksaan dalam menganut agama dalam Islam dan tidak ada penindasan atau
kezalimanan dalam ajaran Islam, karena Islam ajaran yang senada dengan
sanubari hati manusia.50
4. Memperbaiki Masyarakat Manusia Dengan Merealisasikan Delapan
Persatuan/persaudaraan
Tujuan Maqâsid al-Qurân selanjutnya yaitu memperbaiki masyarakat
manusia dengan merealisasikan persaudaran dan persatuan. Kemudian ada
delapan hal yang harus dipersatukan di dalam al-Qur‟an menurut Ridâ. Pertama,
Wahdah al-Ummah (persatukan umat), Wahdah al-Jinsyi al-Basyarî (menyatukan
persaudaraan di antara manusia), Wahdah al-Dīn (persatukan agama), Wahdah al-
Tasyri‟ (persatuan syariat), Wahdah al-Ukhuwwah al-Ruhiyyah (menyatukan
persaudaraan seagama), Wahdah al-Jinsiyyah al-Siyâsiyyah al-Wataniyyah
(persatuan persaudaraan sesama bangsa/negara), Wahdah al-Qadâ‟ (persatuan di
hadapan hukum), Wahdah al-Lughah (persatuan bahasa).51
49
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 247-248. 50
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 248-252. 51
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 256.
62
Persatuan dan persaudaraan di kalangan manusia menjadi bagian dari
Maqâsid al-Qurân, karena sebelum al-Qur‟an diturunkan ke bumi, manusia saling
bertengkar, bermusuhan karena perbedaan nasab, warna, bahasa, agama, bangsa,
kabilah dan lain-lain. mereka saling menindas, menzalimi, berperang satu sama
lain. datang ajaran al-Qur‟an yang dibawa oleh Nabi Muhammad menyuarakan
dan mengajak menuju Wahdah baina al-Insaniyyah (persatuan/persaudaraan di
antara manusia).52
Menurut Quraish Shihab, Ukhuwwah pada mulanya berarti persamaan dan
keserasian dalam banyak hal. karenanya, persamaan dalam keturunan, keimanan,
kemanusiaan mengakibatkan persaudaraan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab,
ditemukan bahwa kata Akh juga digunakan dalam arti teman atau kerabat. Dalam
al-Qur‟an, kata akh dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali, sebagian
dalam arti “saudara kandung” seperti pada ayat-ayat yang berbicara tentang
kewarisan QS al-Nisâ/4: 12. Dan sebagian mengandung arti “saudara sebangsa
walau tidak seagama”, sebagaimana dalam Surah al-A‟rāf/7: 65 “Wa ilâ „âd
akhâhum Hûd” (“dan kepada saudara mereka kaum‟Âd, Hûd”). Dalam bentuk
jamak dari kata akh ada dua macam. Pertama, Ikhwân yang digunakan untuk
persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali di
dalam al-Qur‟an. Kedua, Ikhwah terdapat tujuh kali ditemukan dalam al-Qur‟an,
yang mengandung makna persaudaraan seketurunan. Misalnya (QS 12: 58) yang
mengkisahkan kedatangan saudara-saudara kandung Nabi Yusuf dengan
menggunakan istilah Ikhwah.53
5. Menetapkan Keistimewan-keistimewaan Islam Secara Umum Dalam
Menetapkan Taklîf (Pembebanan Hukum)
Maqâsid al-Qurân selanjutnya menurut Ridâ adalah menjelaskan
keistimewaan hukum syariat Islam yang berbeda dengan ajaran-ajaran syariat
agama lain. Kemudian Ridâ meringkas terdapat beberapa hal keisitimewaan
hukum Taklif yang ditetapkan ajaran Islam.
52
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 257. 53
Muhammad Quraish Shihâb, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan,
1992 ), hal. 357.
63
Pertama, bersifat Wasatiyyah (moderat) yang menghimpun antara hak
jasmani dan hak rohani manusia.54
Menurut Abdu, keadaan manusia sebelum
datangnya ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian. bagian pertama, manusia
yang bersifat materialis yang hanya memikirkan hak-hak jasmani saja seperti
Yahudi, dan orang-orang Musyrik. Bagian kedua, manusia yang bersifat non
materialis yang hanya memikirkan hak-hak ruhani saja sehingga meninggalkan
dunia dan kenikmatan dunia, seperti orang-orang Nasrani, Sabi`in, kelompok
orang-orang Hindu. Allah menjadikan umat Islam adalah umat moderat, seimbang
yang menghimpun antara hak jasmani dan hak ruhani tanpa mengabaikan satu
sama lain, karena manusia terdiri dari jasad dan ruh. Kedua, tujuan syariat hukum
Islam adalah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. QS Tâhâ 20: 2 Allah
berfirman:
“Kami tidak menurunkan al-Qur‟an kepada mu (Muhammad) agar kamu
menjadi sengsara“.
Menurut Ibn Jarîr, Allah tidak menurunkan al-Qur‟an untuk sengsara.
Akan tetapi, Allah menurunkan al-Qur‟an sebagai rahmat untuk kemaslahatan
manusia, cahaya yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.55
Ketiga, tujuan hukum Islam adalah agar terjalini hubungan persaudaraan
yang harmonis di antara manusia, bukan untuk memecah bela dan permusuhan di
antara manusia sebagaimana yang dituduh para orentalis barat. Keempat, keadaan
hukum Islam itu menekankan kemudahan bukan untuk mempersulit dan
menyusahkan. Kelima, Islam melarang Ghulûl ekstrim dalam beragama dan
membatalkan segala syariat yang menyiksa diri manusia. QS al-A‟râf 7:32
menurut Ibn Katsîr, Ibn Abbâs berpendapat bahwa orang-orang Musyrik dahulu
mengharamkan mengunakan pakaian ketika bertawaf. Kemudian Allah batalkan
ajaran ekstrim yang dibuat orang-orang musyrik.56
Menurut Sâ‟dî, ayat ini sebagai
bantahan terhadap ajaran-ajaran yang mengharamkan makanan, minuman,
pakaian yang baik-baik, karena segala yang baik (Tayyibât) disediakan Allah
54
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 518. 55
Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-
Risalah 1415 H), jilid 5, h. 183. 56
Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm
1402 H), h. 753.
64
untuk orang-orang mu‟min di dunia.57
Keenam, sedikitnya taklif dalam ajaran
Islam dan taklif menjadi dua bagian. pertama, Rukhsâh (keringanan). Kedua,
„Azîmah. Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Rukhsâh adalah apa yang
disyariatkan Allah dari hukum-hukum sebagai keringanan atas Mukallaf pada
keadaan tertentu atau membolehkan apa yang dilarang karena uzur memberatkan
pelaku Mukallaf.58
6. Menjelaskan Hukm Al-Islâm Al-Siyâsî (Hukum politik Islam)
Tujuan al-Qur‟an selanjutnya adalah Menjelaskan Hukm al-Islâm al-Siyâsî
(Hukum politik Islam). Secara global, Ridâ menjelaskan Qawâid al-Asâsiyyah
(kaidah-kaidah dasar) dan Usûl al-Tasyrî‟ (prinsip-prinsip penetapan hukum)
dalam politik Islam. Di antara kaidah-kaidah dasar dalam politik Islam adalah
Syûrâ (musyawarah), keadilan, mencari kebenaran, Musâwah (persamaan) dalam
memberikan hak-hak, saksi, dan hukum. Dan pula menetapkan segala
kemaslahatan dalam kebijakan, mencegah segala kemafsadatan.59
Dan diantara
Usūl al-Tasyrî (prinsip-prinsip dasar menetapkan hukum) dalam politik Islam
yaitu:
Pertama al-Qur‟an. yang masyhur di kalangan ulama Usul fikih adalah Ayât
al-Ahkâm (ayat-ayat hukum) yang hanya sekitar 500 ayat. Al-Qur‟an ini menjadi
referensi primer bagi umat muslim dalam menetapkan hukum. Karena al-Qur‟an
adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bagi secara lafadz
dan maknannya. Dan segala hukum yang di dalamnya wajib bagi umat muslim
mengikutinya, karena bersumber dari Allah disampaikan dengan cara Qat‟î tanpa
diragukan lagi kebenarannya.
Kedua Sunnah Rasulullah Saw. Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf definisi
Suunah secara Syar‟i adalah apa saja yang bersumber dari Rasulullah bagi dari
perkataan, perbuatan, ketetapan.60
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an yang
57
Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fī Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyâd :
Maktabah „Abîkân, 1422), hal. 287. 58
Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain
2004 M), h. 161. 59
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid
11, h. 268. 60
Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain
2004 M), h. 36.
65
menjelaskan bahwa wajibnya bagi umat muslim untuk menjadikan Sunnah
sebagai Hujjah. Qs al-„Imrân/3: 32 berikut:
“Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Ketiga, Ijmâ‟ al-Ummah (konsensus umat) atau kesepakatan para mujtahid.
Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Ijmâ‟ adalah kesepakatan para mujtahid
dikalangan umat Islam pada beberapa generasi setelah wafatnya Rasulullah atas
hukum syar‟i yang terjadi.61
Keempat, Ijtihad para Imam, „Umarâ` (pemerintah) dalam urusan hukum,
politik, kebijakan, kemiliteran, dan lain-lain sebagainya. Dalil yang melegitimasi
melakukan ijtihad adalah Qs al-Nisâ`/4: 59 berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),
dan ulil amri di antara kamu”.
Lafadz Ulî al-Amr menunjukan arti umum. Jika berkaitan dengan agama,
maka Ûlî al-Amr adalah ulama/para Mujtahid. Akan tetapi jika dikaitkan dengan
negara, maka Ûlî al-Amr adalah pemimpin/pemerintah.
7. Irsyâd Ilâ Al-Islâh Al-Mâlî (Petunjuk Memperbaiki/mengelola Harta
Dengan Baik)
Tujuan-tujuan al-Qur‟an selajnutmya adalah Irsyâd Ilâ al-Islâh al-Mâlî
(petunjuk memperbaiki harta) dalam naungan petunjuk al-Qur‟an. Ridâ
mengklasifikasi bagian ini menjadi enam kaidah.62
Pertama, menjelaskan kaidah umum bahwa harta pada dasarnya adalah
Fitnah Wa Ikhtibâr (ujian) dari Allah Swt dalam kebaikan atau keburukan. Dalam
Surat al-Taghâbûn/64: 15 berikut:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu),
dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
61
Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain
2004 M), h. 46. 62
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,
h. 272.
66
Menurut Ibn Katsîr, harta itu adalah Ibtilâ‟ (ujian), dengannya Allah
mengetahui siapa yang taat bersyukur kepada-Nya dan siapa yang bermaksiat
dengan mengkufuri nikmat harta.63
Senada pula menurut al-Baidâwî, bahwa harta
adalah ujian dari Allah, jangan sampai kecintaanmu yang melampaui batas
terhadap harta membuatmu berkhianat kepada Allah dengan durhaka pada-Nya.64
Kedua, harta berpotensi menyebabkan manusia melampaui batas dan
memalingkan atau menjahukan pada kebenaran. Di dalam QS al-Taghâbun/96: 6-
7 Allah berfirman:
“6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. 7.
Karena dia melihat dirinya serba cukup (kaya)”.
Ketiga, memuji harta sebagai balasan atas keimanan dan amal shalih yang
di lakukan oleh orang-orang beriman. Menurut Ridâ, harta bisa berpotensi
keburukan dan bisa pula berpotensi kebaikan. Menurut beliau, dalam QS al-
Baqarah 2: 180 yakni “In Taraka khairân” (“apabila meninggalkan
kebaikan/harta”). Allah menyebutkan harta adalah Khairân (kebaikan),
mengisyaratkan bahwa harta bisa berpotensi untuk kebaikan, bagi kebaikan dunia
maupun kebaikan akhirat.
Keempat, apa-apa yang Allah wajibkan untuk Hifz al-Mâl ( menjaga harta).
Salah-satu al-Kuliyyât al-Khams (lima prinsip dasar) tujuan syariat adalah Hifz al-
Mâl ( menjaga harta). Bentuk penjagaan Allah pada harta menurut Abd al-Khallâf,
bahwa Allah mensyariatkan dan membolehkan bermuamalah/berkerja. Dan
diharamkan mencuri, menipu, khianat, mengambil harta orang lain tanpa hak yang
dibenarkan, merusak harta orang lain, mencegah memberikan harta kepada Safî`
(bodoh dalam mengelola harta) adalah sebagai bentuk penjagaan Allah terhadap
harta.65
Kelima, menginfakkan harta sebagai tanda keimanan kepada Allah dan
sebagai wasilah untuk kemaslahatan umat dan menguatkan negara.66
63
Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm
1402 H), h. 1882. 64
Abdullah Ibn Umar Ibn Muhammad al-Syîrâzîal-Baidâwî, Anwâr al-Tanzîl Wa Asrâr al-Ta’wîl (Beirut: Dâr al-Rasyîd 1421 H), hal. 413.
65 Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usūl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain
2004 M), h. 201. 66
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,
h. 273-275.
67
Keenam, hak-hak harta yang diwajibkan dan disunnahkan dalam ajaran
Islam. Diantaranya yaitu pertama, Islam mengakui kepemilikan harta setiap
individu manusia sehingga tidak boleh orang lain mengambil harta orang lain
dengan cara yang zalim. Kedua, Islam mewajibkan zakat bagi orang-orang kaya
untuk kemaslahatan umat Islam dan agar harta tidak berputar hanya dikalangan
orang-orang kaya saja. Ketiga, Islam melarang pencurian, riba, judi, mengambil
hak orang lain dengan cara batil, sebagai penjagaan harta. Keempat, disyariatkan
mengeluarkan harta sebagai tebusan Kaffarât (penebus dosa-dosa) untuk
kemaslahatan orang-orang lemah (fakir-miskin). Kelima, disunnahkan sedekah,
hadiah, infaq untuk kemslahatan orang-orang ang butuh. Keenam, dilarangnya
Isrâf Wa Tabzîr (berlebihan dan boros), untuk menjaga harta.67
8. Memperbaiki Nizâm (Peraturan) berperang Di Dalam Islam
Tujuan Maqâsid al-Qurân selanjutnya menurut Ridâ adalah Islâh Nizâm
al-Harb Fî al-Qurân (memperbaiki sistem berperang di dalam al-Qur‟an).
Menurut Ridâ, ajaran Islam pada mulanya tidak menghendaki permusuhan,
pertengkaran, peperangan. Tujuan disyariatkan Qitâl (peperangan) bukan untuk
mengintimidasi atau menzalimi orang lain. Akan tetapi, hal demikian disyariatkan
untuk mencegah keganasan, kezalimanan musuh-musuh Islam. Kemudian Ridâ
mengklasifikasikan 6 kaidah mendasar peperangan di dalam al-Qur‟an.68
Pertama, tujuan peperangan dalam al-Qur‟an. Peperangan di dalam Islam,
hanya diarahkan kepada orang-orang yang zalim dengan bertujuan agar mencegah
segala bentuk kezaliman, penindasan, keganasan orang-orang yang berlaku zalim
terhadap orang-orang Islam. Jadi, spirit peperangan di dalam Islam adalah
menolak segala bentuk kriminalisasi, kezaliman, penganiayaan dan mencegah
segala kemafsadatan dan kerusakan. Karena pada sejatinya, Islam agama yang
mengajarkan kedamaian, keharmonisan, dan kasih sayang. Ayat yang pertama kali
turun perintah berperang bukan untuk menindas non muslim, akan tetapi
motif/tujuan berperang dalam Islam karena umat Islam ditindas, dizalimi orang-
67
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 317.
68
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 324.
68
orang yang memusuhi Islam. Oleh karenanya, diizinkan umat muslim berperang
untuk mencegah kezaliman dan segala bentuk kerusakan. Sebagaimana firman
Allah QS al-Hâjj/22: 39:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena
Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu”.
Kedua, Memprioritaskan perdamaian dari peperang. Memprioritaskan
perdamaian dari pada peperangan menjadi prinsip kaidah dasar dalam peraturan
peperangan didalam Islam. Menurut Rasyîd Ridâ, peperang dalam Islam adalah
darurat yang mendesak untuk kemaslahatan perdamaian dan mencegah segala
kerusakan-kerusakan. Allah memerintahkan agar umat Islam memprioritaskan
perdamaian dari pada peperang, jika musuh-musuh Islam condong pada
perdamaian.69
Sebagaimana firman-Nya QS al-Taubah/8: 61:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Menurut Muhammad Abduh, Pada dasarnya agama Islam itu Dîn al-Salâm
Wa al-Sulh (agama yang damai). Jika mereka musuh-musuh Islam condong pada
perdamaian dari pada peperangan, maka condonglah pula wahai Rasulullah pada
perdamaian, karena engkau lebih pantas melakukan demikian dari mereka. Dan
serahkan semuanya kepada Allah dan jangan takut oleh tipu daya mereka,
sesungguhnya Allah Maha mendengar segala yang mereka katakan dan Maha
mengetahui atas apa yang mereka akan rencenakan kepada mu. 70
Ketiga, Mempersiapkan secara maksimal alat-alat persiapan peperangan
bertujuan untuk menggetarkan musuh-musuh Islam. Kewajiban negara Islam
sebelum berperang yaitu mempersiapkan alat-alat perang sesuai dengan konteks
zamannya dengan bertujuan untuk menggetarkan musuh-musuh Islam dan
69
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 325. 70
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,
h. 273-275.
69
mengamankan umat Islam dari keganasan musuh-musuh Islam.71
Secara eksplisit
Allah perintahkan di dalam QS al-Taubah/8: 62:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu”.
Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsîr al-Manâr, Allah
memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan segala kekuatan untuk
mencegah musuh-musuh Islam dan mencegah keburukan serta menjaga jiwa
manusia. dan pula mempersiapkan pula mengikat kuda-kuda (militer) mereka
untuk menjaga batasan-batasan negara dari serangan musuh-musuh Islam. Dan
yang maksud dengan رباط اخليل sesuai dengan konteks zamannya. Jika zaman
Rasulullah melawan musuh dengan pedang, panah dan lain sebagainya. Akan
tetapi, pada konteks sekarang bisa juga diartikan mempersiapkan granat atau bom,
nuklir, pesawat militer, senapan peluru dan lain-lain yang yang diketahui pada
zamannya.72
Lima, Rahmâh Fî al-Harb (kasih sayang dalam peperangan). Di dalam
kondisi medan peperangan, Islam pula mengajarkan kasih sayang. bentuk kasih
sayang peperangan dalam Islam menurut Hasan al-Basrî, di antaranya dilarangnya
Ghulûl (mengambil harta rampasan perang), membunuh perempuan, anak-anak,
orang tua renta, Ruhbân (pendeta), orang-orang yang ber‟ibadah, membakar
rumah, membunuh binatang pada bukan kemaslahatan.73
9. Memberikan Seluruh Hak Perempuan Dari Hak Kemanusian, Keagamaan,
Kewarganegaraan.
Tujuan al-Qur‟an selanjutnya adalah memberikan hak-hak perempuan.
Menurut Rasyîd Ridâ sebelum datangnya Islam, perempuan kedudukannya sangat
71
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 325. 72
Rasyîd Ridâ, Tafsir Al-Manâr (Mesir: Penerbit , Al-Manār 1349 H), jilid 10, h. 69-70. 73
Abî Fidâ’ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm 1402 H), h. 248.
70
rendah pada umat-umat terdahulu. Mereka diintimidasi, dihinakan oleh
masyarakat terdahulu. Menurut Rasyîd Ridâ,:
”Telah ada perempuan terdahulu diperjual belikan laksana binatang
ternak dan barang. Dan pula dipaksa untuk menikah dan berzina serta diwarisi
dan tidak dapat warisan, dimiliki sepenuhnya dan tidak memiliki apa-apa. Dan
kebanyakan orang-orang yang memilikinya mencegahnya melakukan semaunya
atas apa yang mereka miliki tanpa izin suami. dan mereka berpendapat bahwa
bagi suami punya hak sepenuhnya pada harta perempuan. Telah menetapkan
salah-satu konvensi perkumpulan di romawi, sesunguhnya perempuan itu
binatang najis yang tidak ada ruh dan tidak abadi nanti di kehidupan akhirat,
akan tetapi wajib atas perempuan untuk ber‟ibadah dan mengabdi kepada suami.
Mulutnya berhak di berangus seperti diberangusnya unta, dikarenakan
dilarangnya wanita tertawa dan berbicara karena sesungguhnya wanita adalah
perangkap syaitan. Dan syariat ter‟agung di massa lalu bahwa bagi seorang ayah
berhak menjual anak perempuannya, dan orang-orang arab berpendapat bahwa
seorang ayah berhak membunuh anak perempuannya bahkan dibenarkan pula
membunuhnya dalam keadaan hidup-hidup”74
Al-Qur‟an membatalkan segala bentuk intimidasi, kezaliman, penghinaan
terhadap perempuan, serta mengangkat derajat perempuan dari martabat kehinaan
menuju martabat kemuliaan dan memberikan hak-hak yang semestinya diberikan
kepada perempuan. Diantara bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan.
diantaranya yaitu Pertama, Allah perintahkan kaum laki-laki untuk
memperlakukan perempuan dengan cara yang baik. Dalam Surah al-Nisâ/4: 19:
“dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Menurut Ibn Katsîr, yang dimaksud dengan memperlakukan perempuan
dengan Ma‟rûf adalah laki-laki diperintahkan agar berkata, berbuat,
memperlakukan perempuan dengan cara yang baik semampu mereka.75
Menurut
Jalâl al-Suyûtî, yang dimaksud dengan memperlakukan perempuan dengan cara
baik adalah dengan Ijmâl Fî al-Qaul Wa al-Nafaqah Wa al-Mabît
74
Muhammad Rasyid Ridâ, Huqûq Al-Nisâ Fi Al-Islâm (Beirut: Maktabah al-Islamiyyah,
1404 H), h. 6. 75
Abî Fidâ’ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm 1402 H), h. 445.
71
(memperperindah dalam ucapan, nafkah, memberikan tempat tinggal yang layak
dan baik).76
Kedua, Allah mengakui keimanan perempuan sama seperti keimanan laki-
laki, tidak seperti sebagian masyarakat Eropa yang melarang perempuan membaca
kitab-kitab suci, karena mereka berpendapat bahwa perempuan tidak
diperbolehkan ber‟agama. Terbukti yang pertama kali beriman kepada Nabi
Muhammad adalah seorang peremuan yaitu Khadîjah istri Rasulullah Saw.77
Dan
Allah juga menetapkan di dalam al-Qur‟an bahwa amalan shalih perempuan sama
seperti amal shalih laki-laki yang akan diganjarkan oleh Allah Swt. QS al-
Anbiyā‟/21: 94 yaitu:
“Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman,
Maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan Sesungguhnya kami
menuliskan amalannya itu untuknya”.
Ketiga, keikutsertaan perempuan bersama laki-laki dalam aspek syiar-syiar
diniyyah (agama), Ijtimâiyyah (kemasyarakatan), Siyâsah (politik).
Empat, Islam memberikan hak waris bagi perempuan, yang sebelumnya
perempuan dimiliki dan diwarisi oleh suami-suaminya. Dan pula mengharamkan
menjadikan perempuan sebagai warisan, hal demikian tertera dalam Surat al-
Nisâ‟/4: 19 berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa. dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan
bergaullah dengan merekas secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Menurut al-Qurtubî, kronologis ayat ini turun berkenaan dengan tradisi
orang-orang musyrik, jika seorang laki-laki meninggal, maka perempuan
dijadikan warisan untuk wali-walinya dan mereka berhak berkehendak sesuka
mereka. Kemudian Allah membatalkan tradisi demikian dengan mengharamkan
76
Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallî Dan Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Ibn
Abi Bakar al-Suyûtî, Tafsîr al-Jalâlain (Surabaya: Penerbit Nurul Huda, t.t), hal. 73. 77
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 333.
72
mempusakai wanita. Dan bahkan bukan saja demikian, Islam memberikan hak
waris bagi perempuan sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan.78
10. Pembebesan Budak Dalam Islam
menurut Ahmad Sayûtî al-Ansârî, mengenai bangsa Arab Jahiliyyah
bahwa kondisi budak di zaman jahiliyah mirip dengan kondisi budak di Yunani
dan Rumawi. Budak di zaman jahiliyah dianggap barang dagangan yang paling
menguntungkan. Pasar-pasar di jazirah Arab selalu dipenuhi dengan budak
sebagai komoditi unggulan, sementara orang-orang Quraisy termasuk orang yang
paling banyak menikmati hasil perdagangan budak. Kaum Quraisy mendapatkan
budak dari tawanan perang yang terjadi antar kabilah Arab atau yang mereka beli
dari pasar-pasar budak di Habsyah (untuk budak kulit hitam) atau daerah Kaukasia
(untuk budak kulit putih). Disamping itu banyak juga tuan yang mengawini
budaknya, ketika budak tersebut melahirkan anak buat tuannya, dia disebut
dengan umm al-walad. Kondisi terakhir ini berlaku terus sampai awal datangnya
Islam.79
Menurut Rasyîd Ridâ, salah satu tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah upaya
untuk memperbaiki kerusakan moral umat-umat terdahulu atas segala tindakan
kezaliman terhadap budak-budak dan pula mengupayakan menghapus perbudakan
terhadap manusia dengan cara bertahap-tahap atau sistematis. Menurut beliau, ada
dua cara al-Qur‟an untuk menghapus praktek pembudakaan.
Pertama, membatasi dan menututupi regenerasi praktek perbudakan
dengan melarang segala bentuk kezalimanan, sewenang-wenang terhadap budak.
Dan Islam melarang segala pintu menjadikan orang manusia sebagai budak,
kecuali hanya tawanan dalam peperangan.80
Kedua, Islam mensyariatkan untuk membebaskan budak dan perbudakan
diantaranya yaitu :
a. Menjelaskan hukum-hukum perbudakan dalam Islam dan pula cara-cara
untuk membebaskan perbudakan diantaranya :
78
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar al-Qurtubî, Al-Jâmî Li al-Ahkâm al-Qurân (Beirut: Mu’assah al-Risâlah, 1427 H), jilid 6, hal. 155.
79 Ahmad Sayuti Anshari, “Perbudakan Dalam Hukum Islam,” h. 97.
80 Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 340-341.
73
-Banyak ayat-ayat al-Qur‟an secara eksplisit memerintahkan agar memerdekakan
budak-budak. Di antaranya QS al-Balâd/90: 12-13 berikut:
“12. Tahukah kamu apakah itu al-Aqabah? 13. Yaitu melepaskan budak
dari perbudakan”.
Menurut Ibn Katsîr, al-Aqabah adalah jalan kebaikan dan keselamatan
yaitu membebaskan budak.81
- Allah mensyariatkan agar budak-budak membebaskan diri mereka dengan
mengadakan perjanjian kepada pemilik nya. sebagaimana tertera dalam QS al-
Nur/27: 33.
- Allah melarang keras menyakiti budak-budak, dan untuk membayar balasannya
dengan memerdekakannya.
b. Memerdekakan budak sebagai sanksi hukum dalam syariat Islam.
Misalnya QS al-Nisâ‟/4: 92. Menurut Sa‟dî, ayat ini berkaitan dengan orang
mu‟min yang membunuh orang lain karena kesalahan, maka sanksi hukum
baginya yaitu memerdekaan budak orang beriman bagi kecil, besar, mu‟min laki-
laki atau perempuan.82
QS al-Mujâdalah/58: 2-3, berkaitan dengan sanksi hukum
Zihâr (menyerupai istri dengan ibu), maka sanksinya adalah memerdekaan
budak.83
C. Perbedaan Konsep Maqâsid Al-Qurân Antara Abū Hâmid al-Ghazâli Dan
Rasyîd Ridâ
Setelah penulis memaparkan konsep Maqâsid al-Qurân antara Antara Abû
Hâmid al-Ghazâli Dan Rasyîd Ridâ, kemudian penulis akan menganalisis secara
Muqāran84
(komparatif) dengan mencari persamaan dan perbedaan pendapat
antara konsep Maqâsid al-Qurân yang di tawarkan keduanya.
Kemudian perbedaan yang sangat mencolok dan nampak konsep Maqâsid al-
Qurân di antara keduanya adalah terpengaruhinya konsep Maqâsid al-Qurân yang
81 Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm
1402 H), h. 1997. 82
Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fī Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyād:
Maktabah „Abîkân 1422), hal. 193. 83
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 340-344. 84
Muqâran adalah upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara permasalahan
yang sama dan pula membandingkan pendapat para mufassir yang berkaitan dengan al-Qur‟an.
(Mustafa Ibrahim, Tafsîr Muqâran, hlm. 147).
74
keduanya tawarkan dengan backround latar belakang keahlian dan bidang
pendidikan keduanya. Al-Ghazâli adalah seorang sufi. Dalam Taqsîmât
(pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat kental
dengan istilah-istilah tasawuf. Misalnya istilah-istilah tasawuf yang digunakan al-
Ghazâli seperti, Sulûk Ilâ Allah (jalan menuju Allah), Tazkiyyah al-Nafs
(membersihkan jiwa), Mulâzamah Zikrillah (senantiasa mengingat Allah),
Mukhâlafah Hawâ (menentang hawa nafsu), Wusûl Ilâ Allah (sampai menuju
Allah), memandang Allah sebagai puncak kenikmatan dan terhalang/terhijab dari
Allah sebagai puncak siksa. Sedangkan Ridâ seorang reformis yang menyuarakan
ide-ide pembaharuan dalam Islam, sehingga Taqsîmât (pembagian-pembagian)
Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat kental bernuansa isu-isu
kontemporer. Misalnya dari sepuluh Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan
adalah Islâh al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (memperbaiki persaudaraan di antara
umat manusia), memberikan Huqūq al-Nisâ` (memberikan hak-hak perempuan
atau kesetaraan gender), menjelaskan Siyâsah al-Islâm (politk Islam), Islâh al-
Mâl Wa al-Iqtisâd (memperbaiki harta dan mengelola ekonomi) dalam al-Qur‟an,
menjelaskan pula tentang Tahrîr al-Raqîq (membebaskan budak) atau hak asasi
manusia.
Dan Maqâsid al-Qurân yang al-Ghazâli tawarkan, lebih menekankan pada
aspek Usûl Maqâsid (dasar-dasar Maqâsid) seperti, aspek mengenal Allah pada
dzat, sifat-sifat, perbuatan-Nya (Tawhîd), aspek kepastian hari akhir, kenabian, dll.
Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang lebih menekankan pada aspek Furû Maqâsid
(cabang-cabang Maqâsid) seperti, memperbaiki mengelola harta, memperbaiki
Nizâm (aturan) berperang, memberikan hak-hak perempuan (gender),
membebaskan perbedakan, dll.
Kemudian menurut penulis, Taqsîmât Maqâsid al-Qurân (pembagian tujuan-
tujuan al-Qurân) yang keduanya tawarkan, keduanya mengetahui Maqâsid al-
Qurân, karena Dilâlah (indikasi) Maqâsid al-Qurân itu terdapat pada lafadz ayat
al-Qur‟an tersebut, baik secara tersurat yaitu Mâ yu`khazu Min al-Nusûs (apa yang
terdapat pada nas al-Qur‟an), baik pula secara tersirat yaitu Mâ yufhamu Min
Nusûs (apa yang dipahami ada nas-nas al-Qur‟an). al-Ghazâli membagikan
Maqâsid al-Qurân pada enam bagian. Sedangkan Ridâ membagikan Maqâsid al-
75
Qurân pada 10 bagian. Hal yang menyebabkan perbedaan di antara keduanya,
karena berbedanya keahlian yang unggul pendidikan dan latar belakang keduanya.
Misalnya, Maqâsid al-Qurân yang al-Ghazâli tawarkan sangat banyak di
dalamnya istilah-istilah tasawuf, karena memang ketika beliau mengarang kitab
tersebut, beliau adalah seorang sufi. Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang
dijelaskan Ridâ banyak mengangkat isu-isu kontemporer, karena memang pada
massanya peradaban barat sedang naik daun. Oleh karenanya, tujuan-tujuan al-
Qur‟an yang beliau tawarkan banyak mengangkat isu-isu kontemporer, untuk
merespon dan membuktikan bahwa al-Qur‟an kitab suci yang relevan pada
kondisi zaman apapun dan mampu menjawab segala permasalahan di massa
modern.
Di antara titik temu adalah keduanya sama-sama merumuskan konsep
Taqsîmât (pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân. Al-Ghazâli membagikan
Maqâsid al-Qurân menjadi enam bagian.85
tiga hal yang pertama berisi Usûl al-
Muhimmah (prinsip-prinsip pokok) dan tiga hal bagian kedua sebagai
Mutammimah (penyempurna/pelengkap). Sedangkan muhammad Rasyîd Ridâ
mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân menjadi 10 bagian. Kemudian persamaan
keduanya yaitu sama-sama menjelaskan Maqâsid al-Qurân al-„Âmmah (tujuan-
tujuan al-Qur‟an secara umum). Seperti Islâh al-„Aqîdah (memperbaiki
akidah/keimanan) kepada Allah Swt, Tahdzîb al-Akhlâk (memperbaiki akhlak),
Bayân al-Ahkâm (menjelaskan hukum). Salah-satu contoh persamaan konsep
Maqâsid al-Qurân al-Ghazâli dan Ridâ yaitu:
Al-Ghazâli mengatakan bahwa Maqsad al-Aqsâ (tujuan puncak al-Qur‟an)
adalah mengajak manusia mengenal Allah yang berhak disembah yang
menciptakan segala sesuatu di jagat alam raya ini. begitu pula Rasyîd Ridâ yang
mengatakan bahwa tujuan pertama al-Qur‟an adalah menjelaskan Arkân al-Dîn al-
Tsalâsah (tiga pondasi dasar agama) salah satunya adalah menjelaskan keimanan
kepada Allah Swt.86
akan tetapi perbedaan Islâh al-„Aqîdah (memperbaiki akidah)
di antara keduanya, jika al-Ghazâli menekankan bahwa banyak sekali ayat-ayat al-
85
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 23-24. 86
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsīr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349 H), jilid 11,
h. 207.
76
Qur‟an yang menjelaskan berkaitan dengan Dzat, sifat-sifat Allah atau Asmâ al-
Husnâ (nama-nama sifat Allah), perbuatan-perbuatan Allah, agar manusia
mengenal Allah sebagai Tuhan yang sebenar-benarnya dan agar pula manusia
menyembah Allah. Sedangkan Rasyîd Ridâ menekankan bahwa tujuan diturunkan
al-Qur‟an untuk merespon/mengkritik dan memperbaiki kesesatan, penyimpangan
akidah/kepercayaan manusia yang sudah tidak lagi murni mengesakan Allah Swt,
seperti orang-orang Musyrik yang menyembah berhala, orang Nasrani yang
menjadikan „Îsa sebagai Tuhan, dan lain-lain. Kemudian pula keduanya sama-
sama menjadikan keimanan kepada hari akhir sebagai bagian dasar tujuan-tujuan
al-Qur‟an. al-Ghazâli memposisikan menjelaskan kepastian hari akhir seperti
Yaum al-Ba‟tsi (hari pembangkitan), Yaum al-Hisâb (hari perhitungan) adalah
bagian dari prinsip-prinsip pokok Maqâsid al-Qurân.87
Begitu pula Rasyîd Ridâ
yang memposisikan keimanan kepada hari akhir bagian dari prinsip dasar
Maqâsid al-Qurân.88
Perbedaan keduanya berkaitan dengan keimanan kepada hari
akhir sebagai prinsip Maqâsid al-Qurân adalah kalau al-Ghazâli menjadikan iman
kepada kepada hari akhir sebagai Usul al-Muhimmah (prinsip-prinsip dasar yang
penting) Maqâsid al-Qurân, karena menurut beliau hampir sepertiga al-Qur‟an
berbicara tentang keadaan manusia setelah kembali kepada Allah. Seperti,
berbicara tentang kematian, Yaum al-Ba‟tsi (hari pembangkitan), Yaum al-Hisâb
(hari perhitungan), kenikmatan surga, kepedihan siksa neraka.89
Akan tetapi,
menurut Ridā menjadikan iman kepada hari akhir sebagai prinsip dasar Maqâsid
al-Qurân adalah sebagai respon al-Qur‟an atas rusaknya keimanan masyarakat
tentang hari akhir yang mengingkari atas kepastian hari akhir.
inti persamaan Maqâsid al-Qurân keduanya yaitu pada aspek Maqâsid al-
Ammâh (tujuan-tujuan al-Qur‟an yang umum) atau Maqâsid al-Qurân al-
Asâsiyyah (dasar-dasar tujuan-tujuan al-Qur‟an) seperti, tujuan akidah/keimanan,
tujuan akhlak, tujuan syariat.
87
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 29. 88
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 23-24. Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir : Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,
h. 207 89
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 30.
77
D. Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Maqâsid Al-Qurân Al-Ghazâli Dan
Rasyîd Ridâ.
Kelebihan konsep Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan Rasyîd Ridâ, beliau
menyentuh dengan meliputi segala aspek-aspek kehidupan manusia, bagi aspek
yang berkaitan dengan individu manusia dan aspek yang berkaitan dengan
masyarakat/kelompok manusia. karena inti Maqâsid Al-Qurân menurut beliau
adalah
ح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاهلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم مقاصد القرآن ىو إصال اإلنسانية وترقية عقوهلم وتزكية أنفسهم
“Maqâsid Al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas, kaum,
serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan kesatuan
persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka, dan
membersikan jiwa mereka”.90
Rasyîd Ridâ menjelaskan hal yang berkaitan dengan Islâh al-Fardiyyah
(memperbaiki individu manusia) yaitu Islâh al-Aqîdah (memperbaiki akidah)
dengan menjelaskan keimanan kepada Allah, Rasul, hari akhir, Tazkiyyah al-Nafs
(membersikan jiwa), memperbaiki serta mengembangkan akal manusia dengan
menjelaskan Islam adalah Dîn al-Aql Wa al-Fikr (agama yang sesuai dengan akal),
sesuai dengan fitrah manusia, yang berlandaskan ilmu dan hikmah, serta melarang
Taqlid semata.91
Kemudian pula Ridâ menjelaskan Maqâsid al-Qurân berkaitan dengan
masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat/komunitas manusia.
Misalnya Islâh al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (memperbaiki persaudaraan di antara
umat manusia), memberikan Huqûq al-Nisâ` (memberikan hak-hak perempuan).
Dan pula tujuan al-Qur‟an menurut beliau berkaitan dengan Islâh al-Tasyri‟
(memperbaiki penerapan hukum) dengan menjelaskan keistimewaan hukum Islam
seperti moderat, kemudahan, tidak berlebihan/ekstrim, mencapai kebahagian
dunia dan akhirat dll. Kemudian berkaitan dengan Islâh al-Mâlî (memperbaiki
mengelola harta dengan baik) dengan menjelaskan halal, haram dalam
90
Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606
H), h. 191. 91
Abd al-Karâm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 124.
78
ber‟muamalah yang baik dan benar. Dan pula berkaitan dengan Islâh al-Siyâsah
(memperbaiki politik) dengan menjelaskan keadilan, musyawarah, memberika
hak-hak, dan lain-lain. Sedangkan kekurangan konsep Maqâsid al-Qurân Rasyîd
Ridâ adalah terkesan beliau hanya menyinggung masalah-masalah kontemporer
saja, tidak begitu menekankan aspek-aspek fudamental dari tujuan-tujuan al-
Qur‟an.92
Kelebihan konsep Maqâsid al-Qurân Abū Hâmid al-Ghazâli pada Taqsîmât
(pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan yaitu tiga hal
Usûl al-Muhimmah (prinsip-prinsip yang penting) seperti mengenal Allah,
mengenal jalan yang lurus, mengenal hari akhir.93
Usûl al-Muhimmah (prinsip-
prinsip dasar yang penting) ini, mencakup tujuan-tujuan besar surah-surah al-
Qur‟an. Karena setiap Surah al-Qur‟an itu terdapat Maqâsid al-Sûrah (tujuan-
tujuan Surah), sebagaimana yang dipopulerkan dengan Râzî dalam Tafsir Mafâtih
al-Ghaib dan Biqâ‟î dalam karyanya Masâid al-Nazar Li al-Isyrâf „Alâ Maqâsid
al-Suwar (tingga-tannga memandang untuk melihat tujuan-tujuan surah-surah al-
Qur‟an).94
Dan prinsip-prinsip tujuan al-Qur‟an yang ditawarkan al-Ghazâli,
meliputi A‟zam Maqâsid Suwar al-Qurân (tujuan-tujuan besar surah al-Qur‟an),
karena tujuan-tujuan surah al-Qur‟an tidak terlepas dari aspek keimanan kepada
Allah, sifat-sifat agung Allah, kepastian hari akhir, petunjuk jalan yang di ridhai
Allah.
Dan kekurangan Maqâsid al-Qurân al-Ghazâli yaitu terkesan hanya melihat
al-Qur‟an dari aspek Tasawuf saja, tanpa melihat aspek-aspek lainnya padahal al-
Qur‟an sebagai Hidāyah bagi segala aspek kehidupan manusia.
Inti pada pembahasan ini, bahwa inti perbedaan antara Maqâsid al-Qurân
keduanya adalah kalau Abû Hâmid al-Ghazâli lebih menekankan Maqâsid al-
Qurân pada kajian-kajian klasik, seperti keimanan, risalah kenabian, kepastian
hari akhir. Sedangkan Ridâ lebih menekankan isu-isu permasalahan kontemporer,
seperti memberikan hak-hak perempuan (jender), politik, mempersiapkan
92
Abd al-Karâm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,
1428 H), h. 125. 93
Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm
al-Dīn, 1411 H), h. 23. 94
Ibrahim Ibn Umar Al-Biqâ‟î, Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar (Riyâd:
Maktabah al-Ma‟ârif, 1308 H), Jilid 1, h. 209.
79
peperangan, mengelola uang (ekonomi) dengan cara baik, memerdekakan budak
(hak asasi manusia), persatuan antar manusia, dan lain-lain.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan konsep Maqâsid al-Qurân Abû Hâmid al-
Ghazâli dan Muhammad Rasyîd Ridâ dan pula membandingkan konsep Maqāsid
al-Qurān yang keduanya tawarkan. Menurut penulis, Benang merah yang nampak
perbedaan konsep Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan keduanya, terpengaruh
oleh Background latar belakang pendidikan keduanya. Kalau Maqâsid al-Qurân
yang ditawarkan al-Ghazâli lebih menekankan kajian-kajian klasik seperti
keimanan, risalah kenabian, hari akhir. Dan pula bercorak Tasawuf, karena
Tasawuf bagian keahlian al-Ghazâli. Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang
ditawarkan Rasyîd Ridâ pula tidak terlepas dari Background latar belakang
pendidikan Rasyîd Ridâ. Beliau adalah seorang reformis yang menyuarakan ide-
ide pembaharuan di era kontemporer. Dan Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan
Ridâ terkesan bernuansa kajian-kajian kontemporer.
B. Saran
1. Sepatutnya para Mufassir memahami Maqâsid al-Qurân sebagai basis dan tujuan
para mufassir dalam menafsirkan.
2. Penulis menyadari, penilitian tentang Maqâsid al-Qurân yang telah diteliti penulis
masih banyak kekurangan dan banyak pula selah-selah kekosongan yang harus
diteliti lebih komprehensif dan luas lagi.
3. Penelitian Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan Rasyîd Ridâ dan al-Ghazâli
memang sangat minim di kalangan para akademisi muslim. Diharapkan akan ada
peneliti-peneliti baru yang smampu berkontrbusi serta mengembangkan teori-teori
Maqâsid al-Qurân lebih luas lagi.
81
DAFTAR PUSTAKA
Âlûsî. Rûh al-Ma‟ânî Fî Tafsîr al-Qurân al-Azîm. Beirut: Mu`assasah al-Risâlah,
2010.
Al-Asfahânî, Râghib. Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân. Damaskus: Dâr al-
Qalam, t.t.
Asmûnî, Muhammad Yusran. Pertumbuhan Dan Perkembangan Berfikir Dalam
Islam. Surabaya: Penerbit al-Ikhlâs, 1994.
Âsyûr, Muhammad Tâhir Ibn. Tafsîr al-Tahrîr Wa al Tanwîr. Tunusia: Dâr al-
Tunisiyyah, 1984.
Al-Asyqâr, Umar Sulaimân. Rasul Wa Risâlah. Kuwait: Penerbit Al-Falâh, 1983.
Athaillah. Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsîr Al-Manâr. Jakarta: PT.Gelora
Aksara Pratama, 2006.
Bakir, Muhammad. ”Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd
Nursî”, no. 01 (Agustus 2015.
Baqi, Muhammad Fuad Abd, Mu‟jam al-Mufahrâs Li -Alfâdz al-Qurân Bi
Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarîf. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2007.
Basri, Hasan. Aktualisasi Pesan Alquran dalam bernegara. Jakarta: Ihsân
Yayasan Pancur siwah, 2003.
Baydâwi, Nasiruddin. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‟wîl. Beirut: Dâr al-Rasyîd,
1421 H.
Al-Biqâ‟î, Ibrahim Ibn Umar. Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar.
Riyâd : Maktabah al-Ma‟ārif, 1308 H.
Burhân, Manûbah.“al-Fikr al-Maqâsid „inda Muhammad Rasyîd Ridâ”. Tesis
Fakultas Syariah, Universitas Bātina al-Jazâ`ir, 2006.
Darrâz, Abdullah. al-Naba` al-Azîm. Mesir: Dâr al-Urubah, 1960.
Dunyâ, Sulaimân, al-Haqiqah fī Nazâ`ir Al-Ghazâli. Mesir: Dâr Al-Ma‟ârif, 1119
H.
Al-Fayummî, Ali. al-Misbâh al-Munîr Fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr. Beirut:
Maktabah al-Ilmiah, 1990.
Al-Ghânimi, Abû Wafâ‟. Tasawuf Islam. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama,
2002.
82
Al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad. Jawâhir Alqurân. Beirut: Dâr al-Ihyâ` Al-
Ulūm, 1990.
______________________________. al-Munqîd Min al-Dalâl. Istanbul: Darus
Safeka, t.t.
Hâmidî, Abd al-Karîm. Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân. Riyâd: Maktabah al
Rusyd,1428 H.
Hujair. “Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassirin “. (Desember : 2008).
Ibrâhîm, Ahmad Al-Badawî. Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhîd. Kâiro: al
Muassasah al-Misriyyah al-Ammâh, t.t.).
Juzayi, Abû Qâsim Muhammad Ibn Ahmad Ibn. Tafsîr Tashîl Li al-Ulûm al
Tanzîl. Beirut: Dâr al-Rasyîd 1415 H.
Katsîr, Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn. Tafsîr al-Qurân al-Azîm. Beirut: Ibn Hajm
1420 H.
Al-Khallâf, Abd al-Wahhâb. „Ilmu Usûl Al-Fikih. Indonesia: Penerbit al Haramain
2004.
Kusmana. “Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam
Pemikiran Kuntowijoyo” (Desember 2015).
Al-Mahallî, Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad dan al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Abd
Al-Rahmân Ibn Abi Bakar. Tafsîr al-Jalâlain. Surabaya: Penerbit Nurul
Huda, t.t.
Al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghi. Jilid II. Beirut: Dâr al- Kutub al-
Ilmiyah, 1998.
Mas‟ûd. Juhûd Ulamâ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Mufidah, Azmi. “Tafsir Maqâsidi Pendekatan Maqâsid al-Syariah Ibn Âsyûr”.
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga,
2013.
Nasution, Harun. Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang, 1974.
______________. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Nurdin. Ulûm al-Qurân Al-Karîm. Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1414 H.
83
Qardâwî, Yusûf. Kayfa Nataâ‟mal Ma‟a al-Qurân. Kâiro: Dâr al-Syurûq, 1968.
Al-Qattân, Mannâ‟ al-Khalîl. Mabâhis fī Ulûm al-Qurân. Beirut: al-Syirkah al-
Muttahidah, t.t.
Qutb, Sayyid. al-Adâlah al-Ijtimâ`iyyah Fîal-Islâm. Kâiro: Dâr: al-Syurûq, 1989.
Al-Qurtubî, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar. Jâmi‟ Li al-Ahkâm al-Qurân.
Beirut: Mu`assah al-Risâlah, 1427 H.
Râzî, Muhammad Fakhr al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr Musammâ Bi Mafâtih al Ghaib.
Beirut: Dâr al-Fikr,1990.
Raisuni, Ahmad, Maqâsid Maqâsid. Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2007.
Al-Rihyanî, Muhammad, Tafsîr Imâm al-Ghazâli. Kairo: Dâr al-Salâm 2010)
Ridâ, Muhammad Rasyîd. al-Wahyu al-Muhammadiyyah. Beirut: Maktabah „Izzu
al-Dîn, 1406 H.
________________________. Huqûq Al-Nisâ` Fi Al-Islâm. Beirut: Maktabah al
Islamiyyah, 1404 H.
________________________. Tafsîr al-Manâr. Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349
H.
Al-Sâbûnî, Muhammad „Alî. Tafsir Safwah al-Tafâsîr. Beirut: Dâr al-Qurân al
Karîm 1402 H).
______________________. Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr. Beirut: Dâr al-Qurân al
Karîm 1402 H.
_______________________. Rawâ`i‟u al-Bayân Tafsîr Ayât Al-Ahkâm Min Al
Qurân. Juz. 1. Beirut: Dār al-Qalam, 1998.
Al-Sa‟dî, Abd al-Rahmân Ibn Nâsir. Tafsîr al-Karîm Fī Tafsīr Kalâm al-Mannân.
Riyâd: Maktabah „Abīkān 1422.
Al-Salâm, Izzuddin Abd. Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm. Kairo:
Maktabah al-Kulliyyah al-Azhar, 1991.
Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Penerbit Mizan
1992.
________________________. Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa.
Jakarta: Penerbit lentera hati, 2006.
_________________________. Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsir al-
Manar. Tangerang: Lentera Hati, 2006.
84
_________________________. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati 2002.
Al-Siddîq, Muhammad Sâlih. Maqâsid al-Qurân. T.tp.: Dâr al-Ba‟tsi 1982 M).
Sirajuddin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn. al-Itqân Fî Ulûm al-Qurân. T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah
Al-Su‟udiyyah, 1426 H.
__________________. Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fī Tafsîr Bi al-Ma„tsûr. Kairo:
T.pn., 849 H.
Suryadilaga, M Fâtih, Tujuan Diturunkan Syariat Islam. Yogjakarta: Teras, 2008.
Al-Syâmî, Shâlih Ahmad, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at
Al-Khâmisah. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993.
Syâtibî, Abû Ishâq Ibrâhîm Ibn Mûsâ, al-Muwâfaqât Fî Usûl al-Syariah. Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2005.
Syaltût, Mahmûd. Ilâ al-Qurân al-Karîm. T.tp: Penerbit Dâr al-Syurûq, t.t.
Al-Tabarî, Ibn Jarîr. Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân. Beirut: penerbit
Al-Risalah 1415 H.
Zarkasyî, Badruddin. al-Burhân Fī Ulûm al-Qurân. Kairo: Dâr Ihyâ al-Kutub al-
Arabiyyah, 1957.
Al-Zahabî, Muhammad Husain. Tafsîr Wa al-Mufassirûn. Kairo: Maktabah al
Wahbah, 1119 H.