studi komparatif maqÂsid al-qurÂn abÛ hÂmid...

178
i STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID MUHAMMAD IBN MUHAMMAD AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Muhammad Anas NIM: 11140340000131 PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H./2018 M.

Upload: hoangcong

Post on 01-Apr-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

i

STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID

MUHAMMAD IBN MUHAMMAD AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Muhammad Anas

NIM: 11140340000131

PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H./2018 M.

Page 2: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan
Page 3: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan
Page 4: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

i

ABSTRAK

Muhammad Anas

Studi Komparatif Konsep Maqâsid Al-Qurân Abū Hâmid Al-Ghazâli Dan

Rasyîd Ridâ

Maqâsid al-Qurân sebuah istilah yang menjelaskan tujuan-tujuan

universal dari seluruh ayat-ayat al-Qurân, karena mustahil Allah menurunkan al-

Qur’an ke muka bumi hampa dari maksud dan tujuan. Memahami Maqâsid al-

Qurân sangat urgensi bagi para Mufassir dalam memproduksi Tafsir al-Qur’an.

Karena dengan memahaminya, Mufassir dituntut untuk berusaha memproduksi

Tafsir berorentasi pada kemaslahatan manusia dan mencegah kemafsadatan. Para

ulama menjadikan Maqâsid al-Qurân sebagai kaidah penting dalam penafsiran al-

Qur’an, karena sering kali penafsiran al-Qur’an ditunggangi hanya untuk

membela kepentingann ideologi, mazhab, golongan mufassir semata yang jauh

dari kemaslahatan manusia. Menjadikan Maqâsid al-Qurân sebagai basis

penafsiran al-Qur’an, akan mengantarkan Mufassir mampu melahirkan Tafsir

yang sejalan untuk kemaslahatan manusia. Penulis menyadari bahwa kajian

Maqâsid al-Qurân belum menjadi disiplin ilmu yang tersendiri yang disepakati

para ulama. Akan tetapi, istilah Maqâsid al-Qurân bisa didapati pada karangan-

karangan para ulama, baik ulama klasik maupun kontemporer. Pada tulisan ini,

penulis memilih dua ulama yang menawarkan konsep Maqâsid al-Qurân yaitu

Abû Hâmid al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ dan pula menganalisis studi komparatif

konsep Maqâsid al-Qurân yang keduanya tawarkan. Penulis memilih keduanya,

karena keduanya menawarkan konsep Maqâsid al-Qurân yang sistematis dan

panjang pembahasan dibandingkan ulama-ulama lainnya. Menurut penulis,

perbedaan yang sangat nampak konsep Maqâsid al-Qurân keduanya, kalau al-

Ghazâli menekankan prinsip-prinsip al-Qur’an, seperti keimanan kepada Allah

yang berha disembah, kenabian, hari akhir. Sedangkan Rasyîd Ridâ, disamping

menjelaskan Usûl al-Qurân (prinsip-prinsip al-Qur’an), beliau juga menjadikan

isu-isu kontemporer, seperti hak-hak perempuan, politik, mengelola harta bagian

dari tujuan-tujuan al-Qur’an. Hal demikian dilakukannya, agar terlihat nampak

bahwa al-Qur’an senantiasa relevan pada setiap zaman.

Kata Kunci, Maqâsid al-Qurân, Tafsir, Rasyîd Ridâ, al-Ghazâli

Page 5: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan
Page 6: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

vi

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمن الرحيم

Puji syukur kami hanturkan kepada Allah Swt, yang telah

menganugrahkan Taufīq, pertolongan, hidayah, sehinnga penulis mampu

menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi

Muhammad Saw, semoga kita mendapatkan Syafaat Rasulullah di hari kiamat

nanti. Alhamdulillah dengan izin Allah, tulisan penelitian ini bisa diselesaikan

dengan judul “Studi Komparatif Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Abû Hâmid

al-Ghazâli Dan Muhammad Rasyîd Ridâ”. Skripsi ini diajukan guna untuk

memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan S1 pada program Studi Ilmu

Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kesalahan

dan bahkan jauh sampai pada sempurna. Untuk itu penulis sangat membuka dan

menerima segala saran, kritikan dan masukan dari semua pihak agar bisa menjadi

lebh baik lagi.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang

ikut serta berpartisipasi dalam membantu menyelesaikan tulisan ini, bagi secara

langsung maupun secara tidak langsung, baik secara moril maupun materil. Untuk

itu penulis ucapkan ribuan ungkapan terima kasih kepada :

1. Orang tua kami Bapak Kiyai Mukhtar dan Ibu Ustadzah Narti yang

telah memberikan segalanya kapada saya, dengan bimbingan, arahan,

motivasinya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tulisan ini.

2. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, selaku REKTOR UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, Selaku Dekan Fakultas

Usuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A, selaku ketua Jurusan Ilmu Al-

Qur‟an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M. Pd selaku

Seketaris Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

Page 7: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

vii

5. Dosen Pembimbing Bapak Rifqi Mukhtar, M.A., yang memberikan

ilmu, arahan dan motivasi kepada penulis samapi terjuwudnya skripsi

ini dengan baik.

6. Dosen penasihat akademik, Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., yang

banyak memberi bantuan dan masukan kepada penulis selama studi di

kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, yang dengan

ikhlas memberikan ilmunya sehingga membuat penulis mampu

menyelesaikan menulis skripsi.

8. Kepada para guru yang ada di pondok Pesantren Ummul al-Qurâ al-

Islâmi. Terutama kepada Kiyai Helmi Abd al-Mubin Lc, yang telah

memperkenalkan kepada saya dasar-dasar ilmu-ilmu Islam kepada

saya. Dan pula kepada para guru Pesantren Hikām al-Salafiyyah,

terutama kepada Kiyai Badr al-Din sebagai pengasuh Pesantren, yang

pernah juga mengajar ilmu-ilmu agama kepada saya.

9. Para staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Usuluddin. Terima

kasih atas referensi yang telah dipersembahkan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada keluarga Al-Munar (Mukhtar-Narti) yaitu seluruh kakak-kakak

dan keponakan-keponakan saya yang telah mendukung selesainya

skripsi ini.

11. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, teman teman

seperjuangan dalam memburu ilmu-ilmu agama di Fakultas Usuluddin.

12. Sahabat-sahabat saya TH D „Kandang Macan”, yang mendampingi

dan menopang penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. Semoga

kalian semua menjadi orang-orang yang berguna bagi bangsa

Indonesia.

Ciputat, 9 September 2018

Muhammad Anas

Page 8: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih

aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga

konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.

Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja

oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,

khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol

dalam penerapan dan konsistensinya.

Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara

lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,

kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan

digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New

Roman, atau Times New Arabic.

Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,

pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi

di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri

hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini

disusun dengan logika yang sama.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts Te dan es ث

Page 9: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

ix

J Je ج

H H dengan garis bawah ح

Kh Ka dan Ha خ

D De د

Dz De dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy Es dan Ye ش

(S Es dengan garis di bawah ص

(D De dengan garis di bawah ض

(T Te dengan garis di bawah ط

Z Zet dengan garis di bawah ظ

„ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

Gh Ge dan ha غ

Page 10: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

x

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ` ء

Y Ye ي

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.Untukvokal

tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda VokalLatin Keterangan

A Fathah َـ

I Kasrah ِـ

U Dammah ُـ

Page 11: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

xi

Adapun untuk vokalrangkap,ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda VokalLatin Keterangan

يَـ Ai a dan i

وَـ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksaravokalpanjang (mad), ynag dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 a dan garis di atas َـا

Î i dan garis di atas ِـْي

Û u dan garis di atas ُـو

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah

maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-

dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda tasydīd (ّـ) dalam alih aksara inidilambangkan

denganhuruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah

itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah

itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,

demikian seterusnya.

Page 12: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

xii

6. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯahterdapat pada

kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf

/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta

marbûṯahtersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika

huruf ta marbûṯahtersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقة 1

al-Jâmi„ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2

Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti

ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain

untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka

yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû

Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)

atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak

miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-

Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

Page 13: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

xiii

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas

kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-

ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد

Tsabata al-ajru ثبت األجر

Al-harakah al-„asriyyah احلركة العصرية

Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشهد أن ال إله إال اهلل

Maulânâ Malik al-Sâlih موالنا ملك الصاحل

yu`atstsirukum Allâh يؤثركم اهلل

Al-maẕâhir al-„aqliyyah املظاهر العقلية

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.

Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu

dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;

Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-

Rahmân.

Page 14: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

xiv

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i

PENGESAHAN DOSEN ......................................................................................ii

SURAT PERYATAAN.........................................................................................iii

ABSTRAK............................................................................................................ iv

PENGESAHAN PANITIAN UJIAN....................................................................v

KATA PENGANTAR...........................................................................................vi

PEDOMAN TRANSLITERASI.........................................................................vii

DAFTAR ISI.........................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................5

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian......................................................5

D. Tinjauan Pustaka................................................................................6

E. Metode Penelitian..............................................................................7

F. Sistematika Pembahasa......................................................................8

BAB II ABÛ HÂMID AL-GHAZÂLI SERTA KITAB JAWÂHIR AL

QURÂN DAN RASYÎD RIDÂ SERTA TAFSÎR AL-MANÂR

A. Profil Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli...........................................9

1. Biografi Al-Ghazâli......................................................................9

2. Pendidikan Al-Ghazâli................................................................10

3. Karya-karya Al-Ghazâli..............................................................13

B. Kitab Jawâhir Al-Qurân.....................................................................15

1. Gambaran Umum Kitab Jawâhir Al-Qurân ...............................16

2. Metodologi Dan Sumber Penafsiran Kitab Jawâhir Al-

Qurân...........................................................................................17

3. Corak Kitab Jawâhir Al-Qurân...................................................18

C. Profil Muhammad Rasyîd Ridâ..........................................................19

1. Biografi Rasyîd Ridâ...................................................................20

2. Pendidikan Rasyîd Ridâ..............................................................20

3. Karya-karya Rasyîd Ridâ............................................................24

D. Tafsîr Al-Manâr ................................................................................25

Page 15: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

xv

1. Latar Belakang Penafsiran Tafsîr al-Manâr................................25

2. Tujuan pokok penafsiran.............................................................26

3. Metodologi Tafsîr al-Manâr.......................................................27

4. Sumber Penafsiran.......................................................................28

5. Corak Tafsîr al-Manâr................................................................28

BAB III GAMBARAN UMUM MAQÂSID AL-QURÂN

A. Pengertian Secara Etimologi Dan Terminologi Maqâsid al-Qurân..30

B. Sejarah Perkembangan Maqâsid al-Qurân.........................................33

C. Tafsir al-Maqâsidî dan klafikasi Maqâsid al-Qurân..........................41

D. Kolerasi Antara Maqâsid al-Qurân dengan Tafsir al-Qur‟an.............41

E. Perbedaan Antara Maqâsid al-Qurân Dan Maqâsid al-Syari’ah.......42

BAB 1V ANALISIS KONSEP MAQÂSID AL-QURÂN ANTARA

ABÛ HÂMID AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ

A. Maqâsid Al-Qurân Menurut Abū Hâmid Muhammad Al

Ghazâli.................................................................................................45

1. Ta’rîf Al-Mad’û Ilaih (Menjelaskan Yang Berhak

Sembah)..........................................................................................46

2. Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju)

Allah Swt.......................................................................................48

3. Mengenalkan Keadaan Manusia Ketika Kembali

Ke Akhirat.....................................................................................50

4. Menjelaskan Kisah-kisah Sâlik (Orang-orang Taat

Menuju Allah) Dan Nâkib (Orang-orang Yang

Mengingkari Allah Swt).................................................................51

5. Membantah Keyakinan-keyakinan Orang-orang Kafir

Dan Menyingkap Kesalahan-kesalahan Mereka Dengan

Bukti/argumentasi Yang Jelas........................................................52

6. Menjelaskan Bagaimana Memakmurkan Manâzil al-Tarîq

(Tempat-tempat Jalan) Serta Tatacara Mempersiapkan Bekal

Untuk Sulûk Menuju Allah Swt.....................................................54

Page 16: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

xvi

B. Maqâsid Al-Qurân Menurut Rasyîd Ridâ............................................55

1. Memperbaiki Tiga Pondasi Agama Islam (Keimanan,

Amal Sâlih, HariAkhir)..................................................................56

2. Menjelaskan Kebodohan Manusia Tentang Risalah Kenabian

Serta Tugas-tugas Para Rasul ...................... ................................58

3. Islam Agama Yang Sesuai Dengan Fitrah, Akal, Berdasarkan

Ilmu, Hikmah, Bukti Dan Argumentasi Secara Ilmiah, Hati,

Perasaan, Dan Membebasakan Dari Kejumudan...........................59

4. Memperbaiki Masyarakat Manusia Dengan Merealisasikan

Delapan Persatuan/persaudaraan....................................................61

5. Menetapkan Keistimewan-keistimewaan Islam Secara Umum

Dalam Menetapkan Taklîf (Pembebanan Hukum)........................62

6. Menjelaskan Hukm Al-Islâm Al-Siyâsî (Hukum politik Islam)......64

7. Irsyâd Ilâ Al-Islâ Al-Mâlî (Petunjuk Memperbaiki/mengelola

Harta Dengan Baik).......................................................................65

8. Memperbaiki Nizâm (Peraturan) berperang Di Dalam Islam........67

9. Memberikan Seluruh Hak Perempuan Dari Hak Kemanusian,

Keagamaan, Kewarganegaraan.....................................................69

10. Pembebesan Budak Dalam Islam...................................................71

C. Perbedaan Konsep Maqâsid Al-Qurân Antara

Abû Hâmid al-Ghazâli Dan Rasyîd Ridâ ...........................................73

D. Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Maqâsid Al-Qurân al-Ghazâli

Dan Rasyîd Ridâ..................................................................................76

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................79

B. Saran-saran...........................................................................................79

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................80

Page 17: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Maqâsid al-Qurân adalah istilah yang digunakan ulama untuk menggali

maksud-maksud Allah Swt menurunkan al-Qur‟an kepada seluruh manusia.

Kajian Maqâsid al-Qurân belum menjadi disiplin ilmu tersendiri di kalangan para

ulama klasik maupun kontemporer. Walau demikian, term istilah Maqâsid al-

Qurân terdapat bertebaran dijumpai di dalam karya-karya karangan ulama. Di

antara ulama klasik misalnya, Abû Hâmid al-Ghazâli dalam karyanya Jawâhir al-

Qurân yang secara eksplisit menyebutkan term Maqâsid al-Qurân dengan

ungkapannya, Fī Hasri Maqâsid al-Qurân Fî Sittah al-Aqsâm (membatasi

Maqâsid al-Qurân pada enam bagian). Menurut beliau, bahwa puncak tujuan

Allah menurunkan al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Allah Swt yang

maha esa1. Menurut „Izzuddin Abd al-Salâm, Mu‟zam Maqâsid al-Qurân Huwa

al-Amr Bi Iktisâb al-Masâlih Wa Asbâbihâ Wa al-Zajru An Iktisâb al-Mafâsid Wa

Asbâbihâ (inti dari Maqâsid al-Qurân adalah segala perintah Allah yang

mengusahakan segala kemaslahatan manusia dan sebab-sebab yang mengantarkan

kepada kemaslahatan, serta larangan yang mengusahakan mencegah segala

kerusakan-kerusakan serta sebab-sebabnya).2Begitu pula al-Râzî mengatakan,

Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan pokok al-Quran) adalah tawhîd (mengesakan

Allah), Ahkâm al-Syar‟iyyah (hukum-hukum al-Syariah), Ahwâl Ma‟âd (keadaan

hari akhir).

Di kalangan kontemporer, terdapat Ta‟rif (definisi) istilah Maqâsid al-

Qurân. Di antaranya, Ibn Âsyur mengatakan, Mâqsad al-A‟lâ Minhu Islâh Ahwâl

al-Fardiyyah Wa al-Jamâiyyah Wa al-„Imrâniyyah (tujuan puncak al-Qur‟an

1Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhir al-Qurân (Lebanon: Dar al-Ihyâ‟ al-Ulûm,

1990 ), h. 23. 2Izzuddin Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah al-

Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ), Jilid 1, h. 8.

Page 18: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

2

adalah memperbaiki keadaan individu, masyarakat, peradaban manusia).3

Sedangkan menurut Rasyîd Ridâ mengatakan:

إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاذلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم مقاصد القرآن يو اإلنسانية وترقية عقوذلم وتزكية أنفسهم

“Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas,

kaum, serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan

kesatuan persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka,

dan membersikan jiwa mereka”.4

Begitu pula Abd al-Karîm al-Hâmidî secara gamlang mendefinisikan istilah

Maqâsid al-Qurân. Menurut beliau,

مقاصد القرآن يي الغايات اليت أنزل القرآن ألجلها حتقيقا دلصاحل العباد

“Maqâsid al-Qurân yaitu tujuan-tujuan yang diturunkan al-Qur‟an untuk

merealisasikan kemaslahatan-kemaslahatan hamba-hamba Allah”.

Memahami Maqâsid al-Qurân sangat penting dalam tubuh kajian tafsir.

Pada mulanya penafsiran al-Qur‟an benar-benar otentik, murni dan sesuai dengan

tujuan al-Qur‟an tidak ada penyelewengan dan penyimpangan karena yang

menafsirkan adalah Rasulullah Saw dan para sahabat. Namun dalam

perkembangannya setelah melewati berbagai fase, penafsiran dan pemahaman

terhadap ayat mulai ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan, baik

kepentingan ideologi, politik dan pula disisipi oleh kisah-kisah Isrâ‟îliyât,

sehingga mengalami penyelewengan dan distorsi makna al-Qur‟an. Di sinilah

penafsiran mulai kehilangan ruhnya, tafsir tidak lagi berfungsi sebagai disiplin

ilmu yang secara substansial digunakan untuk mengungkap makna otentik ayat-

ayat al-Qur‟an, justru yang terjadi sebaliknya.5

Menurut Husain al-Dzahabî, ada beberapa faktor penyebab terjadinya

penyelewengan dan distorsi makna dari ayat al-Qur‟an. Di antaranya adalah

riwayat-riwayat yang bersumber dari agama yahudi dan Isrâ`îliyât, fanatik

3Muhammad Tâhir Ibn Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dâr Tunisiyyah,

1984 M ), Jilid 1, h. 38. 4Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11, h. 206.

5Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursī”,

Furqonia, no. 1 (Agustus 2015): h. 50.

Page 19: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

3

mazhab, pandangan politik dan kepentingan ideologi.6 Maka dari itu, memahami

tujuan tujuan al-Qur‟an (Maqâsid al-Qurân) menjadi sebuah keniscayaan bagi

para mufasir al-Qur‟an, agar mampu memproduksi tafsir yang sejalan dengan

tujuan tujuan Allah Swt dan kemaslahatan manusia.

Menurut Ahmad Raisûnî, dalam kitabnya Maqâsid Maqâsid menjelaskan

bahwa mengetahui tujuan-tujuan pokok al-Quran secara umum menjadi hal yang

urgensi bagi para mufasir, agar penafsiran al-Qur‟an sejalan dengan tujuan-tujuan

pokok al-Qur‟an. Sebagaimana perkataannya :

دد مهى كذل للففسري ي مهايههم مقاصد القرآن يي ادليزان وادلعيار الذي الوتفسرياهتم فبفعرفتها ومراعاهتا يضف ادلفسر لهفسى ولتفسريو أن تكون ايتفاماتى

ومقاصدو واستهباطاتى ي نطاق مقاصد القرآن دال زيادة وال نقصان ويذا ضرب م تفسري القرآن ي ضوء مقاصدو» تفسري القرآن دالقرآن » وديك تسفيتى ، » »

“Maqâsid al-Qurân adalah sebagai timbangan dan barometer yang wajib

mengetahuinya sebagai basis bagi para mufasir dalam metodologi penafsiran

mereka. Dengan memelihara Maqâsid al-Qurân, akan menjaga mufasir dan

tafsirnya yang bertumpu pada tujuan-tujuan dan istimbât pada ruang lingkup

Maqâsid al-Qurân tanpa ditambah atau dikurangi. Dan demikian perumpamaan

yang mungkin diistilahkan, menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an atau

menafsirkan al-Qur‟an dalam pencerahan Maqâsid al-qurân”.7

Sangat erat kaitannya antara Maqâsid al-Qurân dengan Tafsir. Tafsir

adalah upaya untuk melakukan identifikasi terhadap kandungan al-Qur‟an dengan

teliti dan cermat. Menurut Jalâl al-Dîn al-Suyutî, Tafsir adalah sebuah disiplin

ilmu yang berfungsi untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad dengan menjelaskan maknanya dan mengambil kesimpulan hukum.8

Sedangkan Maqâsid al-Qurân sebagai basis dan arah dalam menafsirkan al-

Qur‟an. Seorang mufassir dituntut untuk mengidentifikasi terlebih dahulu tentang

tujuan pokok dari sebuah ayat sebelum melakukan penafsiran. Ia harus memiliki

orientasi atau basis ketika hendak melakukan penafsiran atau berinteraksi dengan

6Muhammad Husain al-Dzahabî, Ittijâh al-Munharifah fī al-Tafsîr al-Qurân al-Karîm

(Kairo: Dâr al-Isti‟sâm 1978 ), h. 15-16. 7Ahmad Raisûnî, Maqâsid Maqâsid (Riyâd : Maktabah al-Rusyd 2007), hal. 16.

8Jalal al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fî Ulûm Al-Qurân (Kairo: Dâr al-Salâm 1998), hal. 174.

Page 20: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

4

al-Qur‟an.9Daghamin mengemukakan, bahwa Maqâsid al-Qurân sebagai landasan

dalam ber‟intraksi dengan al-Qur‟an. Dengan demikian penafsiran al-Qur‟an tidak

akan liar dan sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an.

Menurut Wasfî Âsyur, memahami Maqâsid al-Qurân menjadi unsur yang

penting bagi Tafsir, akan mengantarkan terbentuknya tafsir yang menjahukan hal

hal yang tidak ada faidahnya serta sejalan dengan tujuan Allah Swt. Misalnya

Dalam Surah al-Naml/27: 18 berikut:

“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor

semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak

diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”

Menurut Wasfî Âsyur, bahwa pada ayat ini tidak penting memperdebatkan

tentang seekor semut, apakah semut laki-laki atau semut perempuan sebagaimana

terdapat di beberapa kitab tafsir, karena tidak ada faidah memperdebatkan nya.

Yang terpenting bahwa tujuan ayat ini adalah menjelaskan tentang kekuasaan

Allah, yang Allah Swt berikan kepada Nabi Sulaiman sehingga mampu berbicara

dengan semut.

begitu pula menurut Ibn Âsyur, bahwa tujuan-tujuan pokok al-Quran harus

menjadi orentasi tujuan bagi para mufasir dalam menciptakan produk tafsirnya.

Karena puncak tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah bahwa Allah Swt menurunkan al-

Quran untuk kemaslahatan manusia serta menjahukan segala kemafsadatan.10

Dari penjelasan di atas, betapa eratnya hubungan antara Maqâsid al-Qurân

pada kajian tafsir. Maka penulis tertarik membahas Konsep Maqâsid al-Qurân

menurut dua ulama yaitu Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli dan

Rasyîd Ridâ. Alasan yang melatar belakangi penulis memilih kedua ulama

tersebut, karena keduanya membahas lebih luas dibandingkan dengan para ulama

lainnya. Misalnya al-Ghazâli secara khusus beliau membahas Maqâsid al-Qurân

dalam karyanya Jawâhir al-Qurân. Dan begitu pula Ridâ, membahas Maqâsid al-

9Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursī”,

Furqonia, no. 1 (Agustus 2015): h. 73. 10

Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursī”,

Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 16.

Page 21: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

5

Qurân secara panjang dalam Tafsir al-Manâr. Dan menurut Ahmad Raisūnī,

bahwa:

يو العالمة حمفد - ي حدود ما وقفت عليى-أول م توسع ي االستقصاء والبيان دلقاصد القرآن ضافياً ي حنو سبعني صفحة، وذل ي اجلزء احلادي عشر م رشيد رضا. فقد عقد لذل فصالً

.تفسري ادلهار ، عهد تفسري أول سورة يونس“Pertama kali yang meneliti secara luas dalam menjelaskan Maqâsid al-

Qurân pada batasan-batasan tertentu adalah Muhammad Rasyīd Ridā. Sungguh

beliau telah tetapkan pembahasan yang luas sekitar 70 halaman dan demikian

terdapat pada juz 11 dalam Tafsir al-Manâr pada awal tafsir surah al-Yûnus.”11

Dengan uraian di atas, maka penulis mengambil judul penelitian ini

“STUDI KOMPARATIF KONSEP MAQÂSID AL-QURÂN MENURUT

RASYÎD RIDÂ DAN ABÛ HÂMID MUHAMMAD AL-GHAZÂLI”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakangan yang sudah dipaparkan di atas, maka saya akan

membuat penelitian yang memfokuskan tentang konsep Maqâsid al-Qurân

menurut dua tokoh ulama yaitu Abū Hâmid Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd

Ridâ yang keduanya tawarkan dalam karya kedua yaitu Jawâhir al-Qurân dan

Tafsîr al-Manâr. Maka rumusan masalah yang akan dijawab pada tulisan ini

adalah bagaimana pandangan al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ tentang Maqâsid al-

Qurân serta perbandingan keduanya?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

- Untuk mengetahui apa itu Maqâsid al-Qurân menurut al-Ghazâli dan

Rasyîd Ridâ

- Mengetahui perbedaan dan persamaan konsep Maqâsid al-Qurân yang di

tawarkan oleh al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ

- Menjelaskan bahwa urgensinya mengetahui Maqâsid al-Qurân bagi para

Mufassir, sehingga mampu melahirkan produk tafsir yang tidak lepas dari

Maqâsid al-Qurân yaitu untuk kemasahatan manusia.

11

Ahmad Raisûnî, Maqâsid Maqâsid (Riyâd: Maktabah al-Rusyd 2007), hal. 16.

Page 22: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

6

- Memberikan kontribusi akademik. Peneliti berharap atas tulisan yang di

kerjakan, bisa memberikan manfaat untuk khazanah ilmu pengetahuan dan

wawasan, khususnya dalam bidang ilmu al-Quran dan Tafsir.

D. Tinjauan Pustaka

Diakui penulis, bahwa kajian Maqâsid al-Qurân bukanlah hal yang baru.

Bahkan banyak para akademisi yang telah menyoroti kajian ini. Terbukti dari

beberapa literatur yang ditemukan, baik berupa buku-buku maupun artikel, skripsi

dan lain-lain. Namun menurut hemat penulis, penelitian secara independen

tentang konsep Maqâsid al-Qurân menurut Abû Hâmid Muhammad Ibn

Muhammad al-Ghazâli serta Muhammad Rasyîd Ridâ sangat minim bahkan

barangkali merupakan hal yang baru.

Di antara karya-karya tersebut adalah :

Jurnal Moh. Bakir dengan judul Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟

al-Zamân Saîd Nursî. Artikel ini memaparkan Maqâsid al-Qurân Serta

menjelaskan pembagian Maqâsid al-Qurân menurut Saîd Nursî. Dan penekanan

artikel ini, lebih menjelaskan secara gamblang tentang menurut Saîd Nursî yang

ditawarkan beliau.12

Disertasi karya Manuba Burhan, al-Fikr al-Maqâsidî „Inda Muhammad

Rasyîd Ridâ. Dalam buku ini menjelaskan konsep Maqâsid menurut Rasyîd Ridâ

yang di dalam nya pula menyinggung permasalahan yang berkaitan dengan

pandangan beliau tentang konsep Maqâsid al-Qurân

Karya Dr Mas‟ud dengan judul Juhûd al-Ulamâ‟ Fî Istimbât al-Maqâsid al-

Qurân. Dalam karya ini menjelaskan kesungguhan para ulama dalam menggali

Maqâsid alqurân serta pula menjelaskan tentang konsep pembagian Maqâsid al-

Qurân menurut Rasyîd Ridâ dan al-Ghazâli.13

Skripsi Azmi Mufidah dengan judul Tafsir Maqâsidi Ibn Âsyur dan

Aplikasinya. Dalam Skripsi ini menjelaskan Tafsir yang berorentasi pada

12

Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursī”,

Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). 13

Mas‟ûd Baudûkhah, “Juhûd al-Ulamâ‟ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân”, h. 2.

Page 23: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

7

pendekatan tujuan-tujuan al-Syariah (Maqâsid al-Syariah) menurut Ibn Âsyur

dalam Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.14

Jurnal karya Dr. Kusmana dengan judul Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis

Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran Kuntowijoyo. Pada jurnal ini menjelaskan

perkembangan kajian Maqâsid. Dan pula Tulisan yang didasarkan studi

kepustakaan ini menemukan bahwa corak tafsirnya dapat dikelompokkan ke

dalam semangat Tafsir Maqâsidi Ilmi dengan kecenderungan untuk

mengkonstruksi ilmu pengetahuan dengan inspirasiinput Qur‟ani.15

Secara teoritis, dari berbagai literatur yang telah disebutkan diatas, sangat

membantu penulis dalam penelitian menulis konsep Maqâsid al-Qurân. Namun

secara praktis menurut hemat penulis, penelitian tersebut belum membahas secara

detail tentang konsep Maqâsid al-Qurân menurut al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ.

Dan perbedaan dari seluruh literatur kajian-kajian sebelumnya yang disebutkan di

atas dengan penelitian yang akan penulis kaji yaitu bahwa kajian-kajian

sebelumnya mengkaji Maqâsid al-Qurân secara umum saja yang berkaitan

dengan al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ. Sedangkan penulis, akan mencoba untuk

meneliti lebih dalam lagi tentang Maqâsid al-Qurân yang keduanya tawarkan.

E. Metode Penelitian

Dalam setiap penelitian ilmiah, dituntut untuk menggunakan metode yang

jelas. Metode ini merupakan cara dan aktifitas analisis yang digunakan seorang

peneliti dalam meneliti objeck penelitiannya.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian perpustakaan (Library Research),16

karena yang menjadi sumber penelitian adalah bahan pustaka, tanpa melakukan

survei dan observasi. Penelitian ini bersifat kualitatif, maka data yang diperoleh

dari data-data yang tersedia di perpustakaan. Dengan itu sumber penelitian itu

dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer

dalam penelitian ini adalah kitab Jawâhir Alqurân karya Abû Hâmid Muhammad

14

Azmi Mufidah. “Tafsir Maqâsidi Pendekatan Maqâsid al-Syariah Ibn Âsyûr.” (Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2013). 15

Kusmana, “Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran

Kuntowijoyo” Vol. 11 No. 2 (Desember 2015): h. 220 239. 16

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1998 ), hal. 256-261.

Page 24: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

8

al-Ghazâli dan Tafsîr al-Manâr karya Rasyîd Ridâ. Dan sumber sekunder dalam

penelitian ini adalah buku-buku, artikel, serta karya-karya yang berisi informasi

berkatian dengan Maqâsid al-Qurân.

Penelitian ini bersifat deskriftif komparatif yaitu berusaha memaparkan

secara jelas pandangan Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ

tentang Maqâsid al-Qurân. Dari hasil pemaparan kedua tokoh tersebut, peneliti

menganalisis serta membandingkan kedua argumentasi kedua nya dengan mencari

titik temu persamaan dan perbedaan diantara keduanya, kemudian dapat ditarik

kesimpulan yang kongkrit tentang persoalan yang di teliti.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan penelitian ini tersusun dari lima bab yaitu :

Bab I, terdiri dari pendahuan, yang berkisar tentang titik tekan permasalahan

yang menjadi objek kajian pada penelitian. Yang terdiri dari, latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan perpustakaan,

metode penelitian, dan diakhiri sistematika pembahasan.

Bab II, terdiri dari dua sub bahasan. Pertama, menjelaskan beografi riwayat

hidup Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli dan karyanya kitab Jawâhir al-Qurân

dan beografi riwayat hidup Rasyîd Ridâ dan karyanya Tafsir al-Manâr.

Bab III, menejelaskan tentang pengertian Maqâsid al-Qurân bagi secara

etimologi dan terminologi, dan perkembangan Maqâsid al-Qurân, serta kolerasi

antara Tafsir dan Maqâsid al-Qurân.

Bab IV, merupakan inti dari penulisan ini, menjelaskan konsep Maqâsid al-

Quran menurut dua tokoh yaitu Abu Hamid Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd

Rida, serta konsep menurut keduanya. Dan perbedaan di antara keduanya.

Bab V, berupa penutup serta jawaban dari rumusan masalah yang di

fokuskan dari kajian ini.

Page 25: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

9

BAB II

ABÛ HÂMID AL-GHAZÂLI SERTA KITAB JAWÂHIR AL-QURÂN DAN

RASYÎD RIDĀ SERTA TAFSÎR AL-MANÂR

Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ merupakan dua figur ulama yang tidak asing

lagi dalam dunia pemikiran Islam. Al-Ghazâli adalah seorang ilmuan besar dalam

dunia Islam di abad ke 5 yang terkenal dengan julukan Hujjah al-Islâm. Begitu

pula Rasyîd Ridâ adalah seorang tokoh muslim modernis, mufassir, penulis,

jurnalis yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Kalau al-

Ghazâli seorang ulama terkemuka di abad klasik, sedangkan Rasyîd Ridâ ulama

yang terkemuka di abad modern. Pada kesempatan ini, penulis akan memaparkan

riwayat hidup, pendidikan, serta gambaran-gambaran umum karya al-Ghazâli

yaitu Jawâhir al-Qurân dan karya Rasyîd Ridâ Tafsîr al-Manâr.

A. Sekilas Profil Abû Hâmid Al-Ghazâli

Menurut Dzahabî, al-Ghazâli adalah seorang Imam besar, Hujjah al-Islām,

penghias agama Islam yang keluasan ilmu-Nya laksana lautan sehingga memiliki

karya berbagai aneka macam disiplin ilmu. Imâm Juwainî guru al-Ghazâli pun

mengakui kecerdasan dan kepandaian ilmu al-Ghazâli, sehingga Imâm Juwainî

memberi gelar dengan “Bahr al-Mughrîq” (lautan yang menenggelamkan),

karena kedalaman dan keluasan keilmuan al-Ghazâli laksana lautan yang luas.

Begitu pula Abd al-Ghâfir al-Fârisi seorang ulama yang sezaman dengan al-

Ghazâli, beliau pula mengapresiasi keluasan ilmu al-Ghazâli dengan menyebut

beliau sebagai Imam para ahli fikih, Mujtahid pada zamannya, serta penolong

sunnah Rasulullah Saw.17

1. Biografi Al-Ghazâli

Nama lengkapnya Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli. Lebih

terkenal dengan sebutan al-Ghazâli. Ia lahir dikota kecil yang terletak Thûs,

17

Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-

Khâmisah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h.33.

Page 26: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

10

provinsi Khurasân, Republik Islam Iran pada tahun 450 H (1058 M).18

Ayah al-

Ghazâli bekerja sebagai pemintal wol yang dalam bahasa Arab disebut ghazzâl.

Terdapat perbedaan pendapat tentang nama nama sebenarnya al-Ghazâli. Pada

umumnya dikenal dengan nama al-Ghazâli (dengan satu z) dan nama ini berasal

dari nama desanya, sehingga ada yang mengatakan bahwa nama al-Ghazâli

dinisbatkan pada nama kampungnya. Akan tetapi ia dikenal juga dengan nama al-

Ghazzâli (dengan dua z) dan nama ini diambil dari pekerjaan orang tuanya

sebagai Ghazzâl.19

Ayah al-Ghazâli termasuk orang-orang saleh yang mencintai para fuqaha serta

para ahli tasawuf dan ikut serta menghadiri kumpulan-kumpulan mereka dan

berdoa kepada Allah Swt, semoga Allah menganugrahkannya anak yang

sholeh.20

Al-Ghazâli tumbuh di keluarga yang religius, maka sejak kecil al-Ghazâli

mencintai ilmu pengetahuan dan seorang pencari kebenaran. Walaupun keadaan

orang tuanya yang kurang mampu serta keadaan politik dan keagamaan yang

labih, tapi tidak menggoyangkan semangat tekad dan kemauannya untuk belajar

dan menuntut ilmu kepada para ulama.

2. Pendidikan Al-Ghazâli

Sejak kecil al-Ghazâli belajar dengan sahabat karib ayahnya, ketika menjelang

wafat ayahnya, beliau berwasiat kepada al-Ghazâli dan saudaranya yang bernama

Ahmad, agar pergi ke temen dekat ayahnya seorang ulama Sufi. Dan disanalah al-

Ghazâli diajarkan menulis, adab, dan lain sebagainya.21

Di antara guru-guru al-

Ghazâli di waktu itu adalah Ahmad Râzakâni, dan kemudian melakukan

perjalanan menuju Jurjân untuk berguru dengan Imam Abî Nasr al-Ismâilî. Dan

disanalah al-Ghazâli mempelajari bahasa arab, persia, dan pengetahuan agama.22

dan setelah itu kembali lagi menuju Thûs untuk mengulang-ulang pelajaran yang

diperoleh di Jurjan selama tiga tahun, dan mempelajari tasawuf di bawah

bimbingan Yusûf al-Nassy. Kemudian ia pergi menuju Naisâbûr dan berguru

18

Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) , hal. 155. 19

Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit Bulan

Bintang, 1974), hal. 48. 20

Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 17. 21

Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 18. 22

Muhammad Yusran Asmûnî, Pertumbuhan Dan Perkembangan Berfikir Dalam Islam

(Surabaya: al-Ikhlâs 1994), hal. 8-9.

Page 27: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

11

kepada salah-satu Imam tersohor yang mendapatkan gelar Imâm al-Haramain dan

pula seorang ulama besar beraliran al-asy‟ariyyah yaitu Ali al-Juwainî.

Dengannya, al-Ghazâli mempelajari teologi, hukum-hukum Islam, filsafat, logika,

sufiesme, dan lain lain. dengan kecerdasan al-Ghazâli, kemudian Imam Ali al-

Juwainî memberikan gelar al-Ghazâli dengan gelar “lautan yang

menenggelamkan” maksudnya adalah bahwa al-Juwainî mengibaratkan keluasan

ilmu al-Ghazâli bagaikan lautan yang dalam dan luas. Karenanya al-Ghazâli

sangat pandai dan mahir dalam beraneka ragam ilmu pengetahuan di antaranya,

dalam bidang fikih Imâm-Syâfi‟i, ilmu mantiq, ilmu usuluddin, filsafat, dan lain-

lain. Bahkan bukan hanya piawai beraneka ragam ilmu, akan tetapi juga al-

Ghazâli mengarang berbagai macam disiplin ilmu.23

Ia senantiasa bersama dengan gurunya al-Juwainî hingga ia meninggal dunia

pada tahun 478 H. Setelah itu, al-Ghazâli pergi dari Naisâbûr ke Muaskar.

kemudian bertemu dengan seorang menteri yang terkenal dengan sebutan Nidzâm

al-Muluk. Menteri tersebut sangat menghormati dan memuliakan al-Ghazâli

karena mengetahui kualitas pengetahuan kecerdasan al-Ghazâli. Dan pula, sebab

telah diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa pernah terjadi perdebatan antara al-

Ghazâli dengan sebagian ulama dalam sebuah forum ilmiah, dan al-Ghazâli keluar

menjadi pemenangnya sehingga Nidzâm al-Muluk menugaskan al-Ghazâli sebagai

pengajar di madrasah yang berada di Baghdâd yang dikenal sebagai Nidzâmiyah.

Pada tahun 484 H al-Ghazâli pergi menuju Irak dan mengajar disana, sehingga

penduduk Irak kagum dengan kecerdasan al-Ghazâli. 24

Dan berkata seorang

hakim yang bernama Abu Bakar Ibn al-Arabî, bahwa aku melihat di Baghdâd

bahwasanya lebih dari empat ratus orang-orang besar yang menghadiri majlis

pengajaran al-Ghazâli.25

Kedudukan dan ketinggian jabatan tidak membuat al-

Ghazâli congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk perang

batin dan hatinya tak tenang, suatu krisis kejiwaan melanda, setelah empat tahun

lamanya beliau menjalani tugas di Baghdâd. Sebagaimana yang di ungkapkan al-

Ghazâli, yaitu:

23

Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-

Khâmisah ( Damaskus: Dār al-Qalam, 1993 ), h.21. 24

Abū Wafâ‟ al-Ghânimi, Tasawuf Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2002),

hal. 184. 25

Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 18.

Page 28: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

12

“ketika aku merasakan kelemahanku dan seluruh ikhtiar ku benar-benar

tidak ada lagi. aku kembali berlindung kepada Allah Swt dalam bentuk

perlindungan yang terpaksa yang tidak ada lagi cara lain, hatiku merasa senang

membelakangi kemegahan, harta, anak, dan juga sahabat”.26

Kesuksesan tidak mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan, bahkan

membuatnya gelisah dan menderita. Perasaan ini muncul setelah al-Ghazâli

mempelajari ilmu kalam (teologi). Kemudian tertanamlah keraguan di hati al-

Ghazâli, mana di antara aliran-aliran yang benar. Kegelisahan intelektualnya dan

rasa penasarannya dilukiskan di dalam bukunya al-Munqîd Min al-Dalâl

(menyelamatkan dari kesesatan ). 27

Pada tahun 488 H, terpancar di hati al-Ghazâli atas kehinaan kehidupan dunia,

kemudian ia meninggalkan kekayaan, popularitas yang ia raih di baghdâd.

Kemudian al-Ghazâli pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji serta pula

pergi ke Syâm untuk ber‟itikaf disana. Pada tahun 489 H, al-Ghazâli masuk kota

Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdîs

beberapa lama dan kembali ke Damaskus ber‟tikaf di menara barat masjid Jamî‟

Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nasr Ibn Ibrâhim Al

Maqdisî di masjid Jamî‟ Umawî (yang sekarang dinamai Al Ghazâliyyah).

Tinggal di sana dan menulis kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn, Al Arba‟în, Al Qistâs.

Beliau tinggal di Syâm sekitar 10 tahun.28

Pada tahun 498 H al-Ghazâli pergi

menuju Baitul Maqdîs untuk melakukan ibadah yang mendekatkan diri kepada

Allah Swt dan pula berziarah ke tempat-tempat bersejarah di sekitar Baitul

Maqdîs. Kemudian setelah itu, al-Ghazâli pergi ke Mesir dan tinggal beberapa

hari di Iskandariyyah. kemudian setelah itu, al-Ghazâli kembali Thûs tempat tanah

airnya.29

Ketika al-Ghazâli kembali ke Thûs, kemudian beliau habiskan seluruh

waktunya untuk mengarang kitab-kitab, serta ibadah kepada Allah Swt, dan pula

menghabiskan hidupnya mengkaji ilmu serta mengajar.30

Menurut al-dzahabî,

“pada akhir hayat kehidupannya, beliau tekun mengkaji ilmu hadits dan

berkumpul dengan ahli-ahlinya serta menelaah Shahihain ( Sahîh al-Bukhârî Dan

Muslim). Seandainya beliau ber‟umur panjang, niscaya beliau akan menguasai

26

Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”,hal. 130. 27

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Al Munqîd Min al-Dalâl (Istanbul: Darus Safeka,

tt), hal. 4. 28

Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”, hal. 131. 29

Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salām 2010), hal. 19. 30

Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salām 2010), hal. 18.

Page 29: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

13

semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan

tidak memiliki keturunan kecuali beberapa putri”.31

Beliau wafat di kota Thûs pada hari Senin tanggal 14 Jumâdâ âkhir pada

Tahun 505 H bersamaan pada Tahun 1111 Masehi di Thûs. Jenazahnya di

kebumikan di tempat kelahiranya yaitu di perkuburan Tâbarân.

3. Karya- karya Al-Ghazâli

Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli mendapatkan gelar

Hujatul Islam atas pembelaaannya yang mengagumkan terhadap Islam. Dan al-

Ghazâli adalah seorang ulama besar yang produktif dalam menulis dan memiliki

karya buku yang banyak. Menurut al-Zarkalî, bahwa lebih dari dua ratus karangan

al-Ghazâli.32

Menurut Sulaimân Dunyâ, karangan Imâm al-Ghazâli mencapai 300

karangan.33

Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisâbûr.

Waktu yang digunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan

perhitungan ini, setiap tahunnya ia mengarang dan menghasilkan karya tidak

kurang dari 10 buku kitab besar dan kecil. Meliputi beberapa karya ilmu

diantaranya, ilmu filsafat, tasawuf, fikih, ilmu kalam, usul fikih, dan akhlak.

karya-karya Abû Hâmid al-Ghazâli di antaranya :

- Dalam bidang Tasawuf, al-Ghazâli mengarang kitab di antaranya, Ihyâ Ulûm al-

Dîn, pada kitab ini al-Ghazâli membagi pada empat bagian, bagian pertama

membahas Ibadah (ilmu, Taharah, Sholat, Zakat, puasa, Haji), bagian kedua

membahas norma-norma kebiasaan meliputi (adab makan, adab nikah, adab

mencari pekerjaan, adab bersahabat, adab bergaul dengan sesama insan), bagian

ketiga membahas hal-hal yang bisa membinasakan manusia, di antaranya

(musibah syahwat Farji dan perut, musibah lisan, malapetaka ujub, sombong,

pemarah, mencela dunia, harta, jabatan), dan bagian keempat membahas hal-hal

yang menyelamatkan, diantaranya (akhlak yang mulia, membersikan jiwa, sifat-

sifat yang baik seperti Sabar, jujur, syukur, juhud, Tawhîd, Tawakkal ).34

Dan

31

Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”, hal. 131. 32

Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-

Khâmisah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h.36. 33

Sulaimân Dunyâ, Al-Haqiqah fî Nazâ`ir Al-Ghazâli , (Mesir: Dâr Al-Ma‟ârif, 1119 H),

hal. 6. 34

Abû Hâmid al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm al-Dîn, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Arabiyyah, T.t ), hal.

27.

Page 30: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

14

kitab-kitab tasawuf al-Ghazâli selain Ihyâ Ulûm al-Dîn di antaranya, Bidâyah al-

Hidâyah, Mukâsyafah al-Qulûb, Minhâj al-Âbidin, al-Risâlah al-Qudsiyyah,

Nasihat al-Mulk.

- Dalam bidang Filsafat, karya al-Ghazâli di antaranya Tahâfut al-Falâsifah. Secara

umum, kitab ini khusus al-Ghâzali karang untuk menjelaskan kerancuan-

kerancuan para filosof dan kitab ini disajikan oleh al-Ghazâli terdapat 20

permasalah yang berkaitan dengan kerancuan para filosof. Selain kitab ini, ada

beberapa karya al-Ghazâli lainnya yang berkaitan dengan bidang filsafat di

antaranya Maqâsid al-Falâsifah .

- dalam bidang al-Qur‟an, banyak karya al-Ghazâli di antaranya, Jawâhîr al-Qurân

yang membahas tentang mutiara-mutiara al-Qur‟an. Secara umum, kitab ini

menggali rahasia-rahasia ayat-ayat al-Qur‟an dan al-Qur‟an ini laksana lautan

yang luas membentang dan di dalamnya mengandung beraneka ragam mutiara-

mutiara yang jelita dan berharga.35

Selain itu, banyak karya-karya al-Ghazâli di

antaranya, Yâqût al-Ta‟wil Fî Tafsirât Ta‟wîl kurang lebih 40 Jilid.

- Dalam bidang Tawhîd di antaranya, Arba‟în Fî Usûl al-Dîn membahas tentang 40

permasalahan pokok pada agama, Qistâs al-Mustaqîm, Maqâsid Asnâ‟ Fī al-

Asmâ` al-Husnâ membahas tentang sifat-sifat Allah Swt yang terbaik.

- Dalam bidang Usûl al-Fikih dan Fikih di antaranya, al-Wajîz secara umum kitab

ini membahas fikih mazhab Imâm al-Syâfi‟î secara ringkas. al-Basît, al-Wasît

kedua kitab ini juga secara umum membahas tentang fikih mazhab al-Syāfi‟ī dan

al-Mustashfâ kitab ini karya monumental al-Ghazâli pada bidang Usûl al-Fikih.

Dengan banyaknya karya al-Ghazâli, sehingga banyak ulama yang

memberikan apresiasi kepada beliau. Al-Juwainî Imâm al-Haramain mengatakan,

bahwa keilmuan al-Ghazâli itu bagaikan lautan yang luas membentang.

Muhammad Ibn Yahyâ pula mengatakan bahwa tidak ada yang mampu

mengetahui keutamaan intelektual al-Ghazâli kecuali orang-orang yang sempurna

akalnya, atau mendekati kesempurnaan. Begitu pula Gâfir al-Fârisi mengatakan

35

Abû Hâmid Al-Ghazâli, Kitâb Jawâhîr al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 21.

Page 31: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

15

bahwa tidak terlihat manusia yang seperti al-Ghazâli dari segi kepintarannya,

bagus retorika penjelasannya.36

B. Kitab Jawâhir Al-Qurân

Salah satu karya Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhamad al-Ghazâli dalam

bidang al-Qur‟an adalah Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an).

Gambaran umum kitab ini, al-Ghazâli mengibaratkan ilmu al-Qur‟an itu laksana

lautan yang luas dan membentang dan di dalamnya terdapat mutiara-mutiara yang

indah dan berkualitas, yang tak ada orang yang mendapati mutiara tersebut

kecuali orang-orang yang berusaha sekuat tenaga untuk menyelam kedalamannya.

Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazâli, yaitu:

“Sesungguhnya al-Qur‟an laksana lautan yang di dalamnya meliputi segala

macam mutiara. Segala puji bagi Allah dan pujian tersebut pembuka bagi

kitabnya (al-Qur‟an), Shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw sebagai

penutup pembawa risalah. Aku mengingatkanmu atas ketiduran mu, wahai

engkau yang terus membaca dan menjadikan al-Qur‟an sebagai pelajaran dan

amalan, dan pula mengambil makna-makna zâhir al-Qur‟an. mau sampai kapan

kau hanya berkeliling di tepi pantai laut dengan menutup kedua matamu

keindahan mutiara-mutiara di dalamnya. tidakah engkau berjalan melintasi

lautan dengan melihat keindahan-keindahan pulau-pulau, atau tidakah engkau

menyelami lautan untuk mendapati mutiara-mutiara, ataukah tidak irihkah

engkau melihat orang-orang yang menyelam mendapati mutiara-mutiara yang

indah. Sampaikah berita padamu, bahwa ilmu al-Qur‟an itu laksana lautan yang

sangat luas dan di dalamnya bercabangnya seluruh ilmu orang-orang terdahulu

dan orang-orang yang akan datang. Dan lautan itu bercabang pulau-pulau dan

sungai-sungai, begitu pula al-Qur‟an bercabang di dalamnya segala ilmu-

ilmu”.37

.

Al-Ghazâli mengibaratkan al-Qur‟an bagaikan lautan, mengisyaratkan betapa

luasnya makna ayat-ayat al-Qur‟an. Senada pula dengan pendapat Abdullah

Darrâz seorang ulama al-Azhar yang mengatakan bahwa, jika kau membaca al-

Qur‟an maka akan tampak jelas maknanya di hadapan anda. Tetapi bila anda

membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan makna-makna yang lain yang

berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya sampai anda

menemukan makna dalam satu kalimat yang bermacam-macam. Ayat-ayat al-

36

Sâlih Ahmad, al-Syâmî, Imâm al-Ghazâli Mujaddid al-Mi`ah al-Khamsah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h. 29

37Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân, (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 21.

Page 32: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

16

Qur‟an itu bagaikan mutiara yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang

berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.38

1. Gambaran Umum Kitab Jawâhîr Al-Qurân

Kitab Jawâhir al-Qurân ini terdiri dari beberapa bab diantaranya yaitu :

- menjelaskan bahwa al-Qur‟an itu mengandung beraneka ragam mutiara-mutiara

yang berharga.39

- menjelaskan batasan tujuan-tujuan atau mutiara-mutiara al-Qur‟an. al-Ghazâli

membatasi Maqâsâd al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) dan Nafâ‟îs al-Qurân

(mutiara-mutiara al-Qur‟an) menjadi enam bagian. tiga bagian Usûl al-Muhimmah

(perkara-perkara dasar yang penting) dan tiga bagianya lainnya Tawâbi‟ al-

Mutammimah (perkara-perkara cabang yang peyempurna).40

- menjelaskan Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an). Tiga bagian Usûl al-

Muhimmah yaitu : mengenal yang berhak disembah yaitu Allah Swt (Ilmu

Tawhîd), menjelaskan Sulûk atau cara menuju Allah Swt, menjelaskan keadaan

ketika sampai kepada Allah atau keadaan hari akhirat. Dan tiga bagian Tawâbi‟al-

Mutammimah diantaranya yaitu : menjelaskan keadaan orang-orang yang Sulûk

(berjalan menuju Allah) seperti para nabi, orang bertakwa dan lain-lain. dan pula

keadaan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah seperti, orang-orang kafir,

munafik. dan pula Menjelaskan bantahan argumentasi orang-orang kafir dan

menyingkap kejahilan mereka atas penyembahan kepada berhala. Dan pula

menjelaskan bagaimana memakmurkan jalan menuju Allah dan hal-hal yang

harus yang semestinya dipersiapkan.41

- bercabangnya segala aspek-aspek ilmu agama dari sepuluh bagian yang telah

disebutkan.

- bercabangnya seluruh ilmu bersumber dari al-Qur‟an.

- Menjelaskan pula bahwa ayat-ayat al-Qur‟an ada yang lebih utama satu sama lain.

menurut al-Ghazâli, karena terdapat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang

38

Abdullah Darrâz, al-Naba` al-Azîm ( Mesir: Dâr al-Urubah, 1960), h. 111 39

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 21. 40

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 22. 41

Ahmad Raysûni, Maqâsid Maqâsid (Beirut: TT.pn., 2013 ), h. 14-15.

Page 33: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

17

menjelaskan kemuliaan yang lebih pada sebagian surah atau ayat-ayat al-Qur‟an.

seperti sabda Rasulullah Saw “Yâsîn qalb al-Qurân” (Surah Yâsîn adalah jantung

al-Qur‟an), Ayât al-Kursî Sayyid al-Qurân (ayat kursi pangerannya al-Qur‟an).

- Rahasia-rahasia yang terselubung dalam surat al-Fâtihah

- Menjelaskan keadaan Surah al-Fâtihah adalah sebagai pembuka surga yang

delapan

- Menjelaskan keadaan ayat Kursî sebagai raja ayat suci al-Qur‟an, serta

menjelaskan nama-nama Allah yang agung

- Menjelaskan illat ( motif ) surah al-Ikhlas itu seperti sepertiga al-Qur‟an

- Menjelaskan surah Yâsîn adalah Qalb al-Qurân

- Menjelaskan keadaan orang-orang yang mengenal Allah serta menisbatkan

kenikmatan mereka dengan orang-orang yang lalai

- Menjelaskan pembagian inti sari surat-surat al-Qur‟an. dan membagi dengan dua

cara, pertama Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an) dan kedua Durar al-

Qurân ( permata-permata al-Qur‟an ). 42

2. Metode Penulisan Jawâhir Al-Qurân Dan Sumber Penafsiran

Ada beberapa metode penulisan penafsiran yang selama ini digunakan yaitu :

metode analisis (Tahlîlî), global/umum (Ijmâli), komparatif (Muqâran), dan

tematik (maudhû‟i). Dan jika diamati, bahwa penafsiran al-Ghazâli itu

mengunakan metode Ijmâli (umum) yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan cara

ringkas atau global yang mencangkup dengan bahasa yang mudah, populer, enak

dibaca.43

Dan sumber penafsiran al-Ghazâli dalam kitab Jawâhîr al-Qurân adalah

elaborasi antara Tafsîr bi al-Ra`yî (tafsir rasional) dan Tafsîr bi al-Ma`sûr (Tafsir

berdasarkan riwayat). Akan tetapi al-Ghazâli lebih mendominasi dengan

penafsiran rasionalnya dibandingkan penafsiran berdasarkan riwayat. Contoh

penafsiran al-Ghazâli, yaitu:

42

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn, 1411 H), h. 214-215

43Hujair,“Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak

Mufassirin “, (Desember : 2008) : h. 272.

Page 34: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

18

ة م صفاختاصة و فقولى تعايل ) دسم اهلل ( : نبأ ع الذات و )الرمح الرحيم ( : نبأ ع صفخاصيتها اهنا تستدعي سائر الصفات م العلم و قدرة و غرييا مث تتعلق داخللق ويم ادلرحومون و تعلقا يؤنسهم دى و يرغبكم ي طاعتى ال كوصف الغضب ولو ذكرو ددال ع الرمحة فان ذل حيزن

و خيوف و يقبض القلب وال يشرح“Pada firman Allah Swt, pada kalimat Bismillah adalah

menginformasikan tentang Zat Allah Swt. Dan pada kalimat al-Rahmân al-Rahîm

adalah menginformasikan tentang sifat diantara sifat-sifat Allah yang khusus.

Dan kekhususannya adalah karena sifat kasih sayang itu membutuhkan sifat ilmu,

qudrah, dan sifat-sifat lainnya. Kemudian sifat kasih sayang Allah itu berkaitan

dengan dengan seluruh makhluk dan seluruh makhluk disayang Allah Swt. dan

sifat ini berkaitan pula, bahwa Allah memberikan kabar gembira dengan sifat

kasih sayang serta mendorong untuk taat kepada Allah, tidak dengan sifat

pemarah nya dan seandainya disebutkan sifat kebalikan dari sifat rahmat Allah

Swt, maka hal demikian membuat berkesan membuat sedih dan menakut-nakuti

dan membuat hati sempit dan tak lapang”44

.

3. Corak Kitab Jawâhir Al-Qurân

Husain al-Dzahabî dalam karyanya Tafsîr wa al-Mufassirûn mengatakan,

bahwa corak kitab Jawâhir al-Qurân karya al-Ghazâli ini bercorak Tafsîr Ilmî.

Menurut al-Zahabî, Tafsîr Ilmiî adalah penafsiran yang dilakukan dengan

mengangkat mengunakan pendekatan teori-teori ilmiah dalam mengungkap

kandungan-kandungan ayat al-Qur‟an dan berusaha dengan sungguh-sungguh

untuk menggali berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan

filsafat dari ayat tersebut.45

Sedangkan menurut Abd Mâjid al-Salâm, bahwa Tafsîr

Ilmî adalah penafsiran yang dimaksudkan oleh para mufassir untuk mencari

adanya kesesuaian ungkapan-ungkapan dalam ayat-ayat al-Qur‟an terhadap teori

ilmiah dan berusaha keras untuk menggali berbagai masalah keilmuan dan

pemikiran-pemikiran Filsafat.46

Dalam kitab Jawâhir al-Qurân pada fasal ke lima, al-Ghazâli mengatakan

pada pembahasan bercabangnya segala ilmu bersumber dari al-Qur‟an

diantaranya : Ilmu kedokteran, ilmu astronom, ilmu alam, ilmu anatomi tubuh,

dan ilmu-ilmu yang lainnya. Dan pula beliau berkata, bahwa segala ilmu yang

44

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Lebanon : Dâr Ihyâ Ulûm al-

Dīn, 1411 H), h. 64. 45

Muhammad Husain Al-Zahabî, Tafsîr Wa al-Mufassirûn (Kairo: Maktabah al-Wahbah )

Jilid II, h. 349. 46

Izzatul Laila,“Jurnal Penafsiran al-Qur‟an Berbasis Ilmi Pengetahuan”, no 1 (Juni

2014) : h. 48.

Page 35: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

19

telah disebutkan dan yang tak disebutkan, seluruhnya tidak keluar dari al-Qur‟an.

karena seluruhnya berasal dari al-Qur‟an yaitu bersumber dari Allah Swt. Dan

ilmu Allah itu laksana lautan yang tak bertepi,47

sebagaiman firman Allah Swt

dalam Surah al-Kahfi ayat 109 yaitu :

109.”Katakanlah sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat

Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat

Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".

Contoh terdapat isyarat ilmu kedokteran yang dijelaskan oleh al-Ghazâli

pada firman Allah Swt dalam Surah al-Syu‟arâ ayat 80 yaitu :

80. “Apabila ku sakit, Dialah Allah yang menyembuhkan”.

Menurut beliau, bahwa yang menyembuhkan sesungguhnya hanya Allah Swt,

dan manusia tak akan bisa menyembuhkan kecuali setelah mengetahui ilmu

kedokteran.48

C. Sekilas Profil Muhammad Rasyîd Ridâ

Rasyîd Ridâ adalah seorang tokoh muslim modernis, mufassir, penulis,

jurnalis yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Karena beliau

hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad

ke-20. Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam

sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun waktu yang sebelumnya.

Sebab saat itu kaum impirealis barat telah bersekutu dengan kaum Zionis untuk

mempecah-belah umat Islam dan merampas harta kekayaan umat Islam.49

Kemunduran umat Islam menurut Rasyîd Ridâ, disebabkan karena mereka tidak

lagi menganut Islam yang murni, untuk mengetahui Islam yang murni orang harus

47

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 45-46. 48

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 45-46. 49

Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsîr Al-Manâr (Jakarta: PT.Gelora Aksara

Pratama,2006 ) h. 21.

Page 36: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

20

kembali kepada al-Qur‟an dan Hadits. Beliau pula menolak dan menentang sifat

Jumûd (statis) yang terdapat dalam kalangan internal umat Islam. Sifat Jumûd

membuat mereka berhenti berfikir dan berusaha dan umat Islam harus memilki

sifat dinamis dan rasional.50

1. Biografi Muhammad Rasyîd Ridâ

Sayyid Rasyîd Ridâ adalah salah satu seorang tokoh pembaharu di dunia Islam

pada massa kontemporer. Nama asli Rasyîd Ridâ adalah Muhammad Rasyîd Ridâ

Ibn Alî Ridâ Ibn Muhammad Syâm al-Dîn al-Qalamûnî. Beliau lahir Hari rabu

pada tanggal 27 Jumâdâ Ûlâ tahun 1282 H atau pada tahun 1865 M, di suatu desa

bernama Qalamûn di Libanon yang letaknya tidak jauh sekitar 4 Km dari kota

Tripoli. Berkata Rasyîd Ridâ, :

”aku memilki dua tempat tinggal. Pertama tempat tinggal kelahiran ku dan

pendidikan ku yaitu di desa Qolamûn di kota Tripoli. Dan kedua tempat bekerja

ku di Mesir selama 11 Tahun. Disanalah, aku mengajar, belajar, serta bekerja di

beberapa organisasi”.51

Rasyîd Ridâ tumbuh di keluarga yang taat ber‟agama dan sangat dihormati

oleh masyarakat. Rasyîd Ridâ adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai

garis keturunan langsung dari Sayyidina Husein putra Sayyidina Ali dan Fâtimah

putri Rasulullah Saw. Oleh karena itu, di depan namanya memakai gelar Sayyid

atau kadang juga sering dipanggil Syaikh.52

Ketika Rasyîd Ridâ mencapai umur

remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa, serta ilmu sang nenek,

sehingga Rasyîd Ridâ banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri.53

2. Pendidikan Rasyîd Ridâ

Semasa kecilnya usia tujuh tahun, Rasyîd Ridâ dimasukan oleh orang tuanya

ke Madrasah tradisional di desanya Qalamûn. Rasyîd Ridâ juga belajar kepada

sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di

50

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang, 1996), h. 45. 51

Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 14.

52Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid „inda Muhammad Rasyîd Ridâ“.Tesis Fakultas

Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ`ir, 2006, hal. 14. 53

Muhammad Quraish, Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsir al-Manar,

(Tangerang : Lentera Hati, 2006), h. 72.

Page 37: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

21

kampungnya yang ketika itu bernama al-Kuttâb. Disanalah ia diajarkan membaca

al-Qur‟an, menulis, dan dasar-dasar menghitung. Berbeda dengan anak-anak yang

seusianya, Rasyîd Ridâ lebih menghabiskan massa mudanya untuk belajar dan

membaca buku dari pada bermain. Dan sejak kecil, ia memang memiliki

kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengeahuan.54

Setelah menamatkan pelajaran di taman-taman pendidikan di kampungnya

yang dinamai al-Kuttâb, Rasyîd Ridâ dikirim oleh orang tuanya ke Tripoli

(Libanon) untuk belajar di Madrasah al-Ibtidaiyyah yang mengajarkan ilmu al-

Qur‟an, Nahwu, Sharaf, teologi, Fikih, Tasawuf, berhitung, dan ilmu bumi.

dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, karena Madrasah ini adalah milik

pemerintahan yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang

akan menjadi pegawai pemerintahan Turkî Usmânî,55

Mengingat Libanon pada

waktu itu, dibawah kepemimpinan Turkî Usmânî. Rasyîd Ridâ tidak tertarik

dengan pada sekolah tersebut dan karena enggan menjadi pegawai, setahun

kemudian ia pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah al-Wathaniyyah al-

Islamiyyah yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan dengan bahasa

Arab sebagai pengantar, dan di samping diajarkan pula bahasa Turki Prancis.

Sekolah ini dipimpin oleh seorang ulama besar Syam pada massa itu yaitu Syakh

Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil yang besar terhadap perkembangan

pemikiran Rasyîd Ridâ.56

Nama asli Syaikh al-Jisr adalah Husain Ibn Muhammad Mustafâ al-Jisr.

Beliau seorang yang Alim dan bermazhab Hanafi, dan pula seorang sastrawan.

Beliau termaksuk guru dari Rasyîd Ridâ yang sangat dikagumi dan dicintai atas

pengajaranya yang dengan penuh perhatian serta keseriusan kepada Rasyîd Ridâ

semenjak duduk di bangku sekolah Madrasah al-Wataniyyah. Dan terkenal

sebagai ulama modern, yang mampu memadukan antara ilmu agama dengan ilmu

modern. Di samping itu, beliau juga pemimpin Tarîqah Khalwatiyyah.57

54

Ahmad Al-badawî Ibrâhîm, Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhid (Kâiro: al-Muassasah al-

Misriyyah al-Ammāh, t,th.), hal. 19. 55

Ahmad Al-Badawî Ibrâhîm, Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhid (Kâiro: al-Muassasah al-

Misriyyah al-Ammâh, t,th.), hal. 19. 56

A.Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar (Jakarta:PT.Gelora

Aksara Pratama,2006), hal. 25-26. 57Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas

Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 17.

Page 38: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

22

Tujuan al-Jisr mendirikan Madrasah, di samping untuk memberikan

pengajaran kepada generasi muda sesuai dengan tuntunan zaman dan

mengimbangi aktivitas pendidikan dari sekolah-sekolah asing yang telah banyak

bermunculan disana dan banyak menarik minat sementara kalangan remaja mesir

untuk belajar di sekolah-sekolah tersebut. Namun Madarasah yang didirikan oleh

Jisr tidak dapat berumur panjang, karena pihak penguasa Turkî Usmânî tidak

dapat menerima Madrasah tersebut sebagai sekolah agama yang murid-murid nya

dapat dibebaskan oleh dinas militer. Dan akibatnya, Madrasah al-Wathaniyyah al-

Islamiyyah ditinggalkan murid-muridnya dan terpaksa ditutup oleh pemerintah.

disamping itu, meski Madrasah al-Wathaniyyah di tutup, Rasyîd Ridâ tetap

belajar pada Syakh al-Jisr, baik di Madrasah Râhibiyyah maupun di rumah

gurunya itu sendiri sampai selesai dan memperoleh ijazah dari gurunya pada

tahun 1315 H / 1897 M. 58

Di samping belajar dengan Syaikh al-Jisr, Rasyîd Ridâ juga belajar pada

ulama yang lain. Di antaranya yaitu Syakh Muhammad Nasyâbah, denganya

Rasyîd Ridâ menimbah Ilmu al-Hadîts Riwâyah dan Dirâyah. Beliau terkenal ahli

di bidang hadits dan karenanya Rasyîd Ridâ memahami dalam menilai hadits-

hadits Da‟îf dan Maudû‟i.59

Rasyîd Ridâ juga belajar dari Syakh Abd al-Ghanî al-

Râfi‟î. dan Rida belajar darinya Ilmu Hadîts, Usûl al-Hadîts, Tasawwuf dan

belajar pula kitab Naylu al-Awtâr karya Imâm al-syawkânî yang bermazhab Syîah

Zaidiyyah.60

Selama massa pendidikannya, Muhammad Rasyîd Ridâ membagi

waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah-satu Masjid milik keluarganya,

ibunya bercerita bahwa semenjak Muhammad Rasyîd Ridâ dewasa, aku tidak

pernah melihat dia tidur, karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun

sebelum kami tidur. Dan tidak itu saja, adiknya yang bernama Sâlih berkata, aku

tadinya menganggap saudaraku Rasyîd Ridâ adalah seorang Nabi. Tapi setelah ku

58

A.Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar (Jakarta:PT.Gelora

Aksara Pratama,2006), hal. 28. 59Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas

Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 17. 60Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas

Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 18.

Page 39: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

23

tahu bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi penutup, maka aku menjadi yakin

bahwa dia adalah seorang Wali.

Setelah memperoleh ilmu yang luas, Ridâ memanfaatkan untuk

memberikan pengarahan dan petunjuk kepada para sahabatnya. Dalam

kegiatannya dia selalu mengamati masalah-masalah yang terjadi di kawasan

tetangga, terutama masalah agama kemasyarakatan melalaui surat dan majalah.

Ridâ sangat tertarik dan terkesan kepada Majallah ‟urwah al-Wustqâ yang

dipimpin oleh Jamâl al-Dîn al-Afghânî dan muridnya Syakh Muhammad Abduh.

Pertemuan dengan kedua tokoh tersebut hal yang didambakan dan dirindukan

Rasyîd Ridâ. Tetapi ia sangat menyesal karena ia sendiri tidak bisa bertemu

langsung dengan Jamâl al-Dîn al-Afghânî, sebab beliau keburu meninggal dunia

sebelum Ridâ bertemu dengannya. Akhirnya beliau langsung menemui muridnya

yaitu Syakh Muhammad Abduh menuju ke Mesir pada tahun 1879 M.61

Pertemuan antara murid dan guru yaitu Rasyîd Ridâ dan Muhammad

Abduh, bermula dari interaksi Ridâ dengan Majalah al-Urwah al-Wusqâ, Majalah

yang diterbitkan oleh Jamâl al-Dîn al-Afgânî dan Muhammad Abduh ketika di

Paris. Tulisan-tulisan kedua pembeharu tersebut memberikan kontribusi pengaruh

yang sangat besar kepada Muhammad Rasyîd Ridâ, sehingga mampu merubahnya

dari pemuda Sûfî menjadi pemuda yang penuh gairah semangat.62

Ketika di Mesir,

Ridâ bertemu dengan Muhammad Abduh. Pertemuan ini dijadikan momentum

yang penting bagi Ridâ untuk memperdalam pengetahuan dalam pembaharuan

Islam. Sebulan setelah bertemu Abduh, Ridâ menyampaikan keinginannya untuk

menerbitkan majalah yang nantinya diberi nama Majallah al-Manâr. Tujuan

Rasyîd Ridâ dalam menerbitkan Majallah al-Manâr yaitu untuk mengadakan

pembaharuan memalui media cetak yang di dalamnya berisikan bidang agama,

sosial, ekonomi, pemberantasan takhayyul, dan bid‟ah yang masuk di internal

umat muslim. Serta menghilangkan pula fatalisme, pemahaman-pemahaman salah

yang dibawah oleh tarikat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan, dan

membela umat Islam terhadap permainan politik negara Barat.

61

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang 1996), h. 45.

62

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang, 1996), h. 46.

Page 40: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

24

Pada awalnya Abduh tidak merestui gagasan ini dikarenakan pada saat itu

di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi masalah yang diolah diduga

kurang menarik perhatian umum. Namun Ridâ menyatakan tekadnya, walaupun

harus menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah

penerbitan itu. Akhirnya Muhammad Abduh merestui dan memilih nama Al-

Manâr dari sekian banyak nama yang diusukan oleh Rasyîd Ridâ. Majalah ini

banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh. Muhammad Abduh memberikan

ide-ide dan gagasannya kepada Rasyîd Ridâ dan kemudian Rasyîd Ridâ yang

menguraikan dan menyiarkannya kepada masyarakat umum melalui lembaran-

lembaran majalah Al-Manâr. Walaupun demikian ide-ide al-Manâr juga berisikan

artikel-artikel yang dikarang Muhammad Abduh sendiri dan juga ditulis oleh

rekan-rekan pengarang lain. kemudian Rasyîd Ridâ mengusulkan kepada

Muhammad Abduh agar ia menulis Tafsîr al-Qurân dengan metode yang

digunakan dalam penulisannya di Majallah al-„urwah al-Wusqâ.63

Setelah kedua

ulama tersebut berdialog, akhirnya Muhammad Abduh bersedia memberikan

kuliah Tafsir di Jamî‟ al-Azhar kepada murid-muridnya. Al-Manâr terbit perdana

pada tanggal 22 Syawal 1315 H / 17 Maret 1898 M, berupa media mingguan

sebanyak delapan halaman. Majalah ini mendapat sambutan hangat bukan hanya

di Mesir dan negara-negara sekitarnya saja, tetapi juga sampai ke Eropa, bahkan

ke indonesia.64

3. Karya-karya Ilmiah Muhammad Rasyîd Ridâ

Muhammad Rasyîd Ridâ berhasil menulis sekian banyak karya Ilmiah,

diantaranya sebagaimana berikut :

- Al-Azhar dan al-Manâr. Isinya antara lain, sejarah al-Azhar,

perkembangan dan missinya, serta bantahan-bantahan terhadap ulama al-

Azhar yang menentang pendapatnya.

63

Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsîr al-Manâr,

(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 78. 64

Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsîr al-Manâr,

(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 79.

Page 41: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

25

- Tarîkh al-Ustâdz al-Imâm, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan

perkembangan masyarakat Mesir di massa-Nya.

- Nidâ‟ Li al-Jins al-Latîf, berisi uraian tentang hak dan kewajiban wanita

- Zikr al-Maulîd al-Nabawî

- Risalah al-Hujjah al-Islam al-Ghazâli

- Wahdah al-Islamiyyah

- Wahyu al-Muhammadiyyah, berisi tentang penetapan wahyu Nabi

Muhammad Saw, serta perbedaan wahyu Nabi Muhammad dengan Nabi-

Nabi yang lainnya, serta menjelaskan tujuan-tujuan pokok al-Qur‟an.

- Majallah al-Manâr yang terbir sejak 1315 H / 1898 M sampai dengan

1354 H / 1935 M.

- Tafsîr al-Manâr

- Tafsir surah-surah al-Kausar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâs.65

D. Tafsîr Al-Manâr

Tafsîr al-Manâr yang bernama Tafsîr al-Qurân al-Hâkim yang

memperkenalkan dirinya sebagai salah-satu kitab Tafsir di antara kitab-kitab

Tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat yang Sahîh dan pandangan akal yang

tegas, yang menjelaskan syariah serta sunnatullah (hukum allah yang berlaku)

terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk untuk

seluruh manusia, di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara

petunjuk dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada massa diterbitkannya)

yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta (membandingkan pula) dengan

keadaan para Salaf (leluhur) yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu. Tafsîr

al-Manâr ini merupakan karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamâl al-Dîn

al-Afgânî, Muhammad Abduh, Rasyîd Ridâ. Tokoh pertama menanamkan

gagasan Islâh al-Ijtimâ‟i (memperbaiki masyarakat) kepada muridnya, yaitu

Muhammad Abduh. Kemudian gagasan tersebut dicerna, dikelola, ditafsirkan al-

Qur‟an dalam pengajaran-pengajaran Abduh di Universitas al-Azhar. Kemudian

65

Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsīr al-Manâr,

(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 80.

Page 42: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

26

penafsiran Muhammad Abduh ditulis serta dikembangkan oleh Muhammad

Rasyîd Ridâ.66

1. Latar Belakang Penafsiran Al-Manâr

Tafsîr al-Manâr ini pada mulanya adalah materi Tafsir yang diajarkan

Muhammad Abduh di Masjid al-Azhar yang dicatat oleh muridnya Ridâ. Materi

Tafsir ini kemudian diterbitkan di Kâiro, tapi pengaruhnya tersebar keseluruh

Negara Arab. Atas inisiatif Rasyîd Ridâ bahwa tulisan-tulisan ini dijadikan buku

Tafsir semua pengajaran Abduh yang dicatat oleh-Nya untuk kemudian dikoreksi

kembali oleh Abduh. Kemudian Tafsir tersebut diberi nama Tafsîr al-Hâkim dan

dikenal sangat populer dengan nama Tafsîr al-Manâr. Secara kuantitatif dalam

Tafsir al-Manar, Muhammad Abduh menafsirkan 413 ayat dari surat al-Fâtihah

sampai surat al-Nisâ‟ ayat 125 (Lima jilid pertama), karena beliau wafat tahun

1323 H. Penafsiran kemudian diteruskan oleh Rasyîd Ridâ dengan metode dan

corak yang hampir sama, sampai surat Yûsuf ayat 111 dengan jumlah 930 ayat.

Walaupun dicetaknya hanya sampai ayat ke-52 dari surat yang sama. Tepatnya

sampai pada volume ke 12, pada tahun 1354 H-1953 M Muhammd Rasyîd Ridâ

wafat. penulisan Tafsir ini tidak berhenti, tapi dilanjutkan oleh muridnya Ridâ

yaitu Muhammad bahjah al-Bîtâr, sampai selesai dan dicetak dalam edisi yang

terpisah dari Tafsîr al-Manâr.67

2. Tujuan Pokok Penafsiran

Tujuan pokok penafsiran Rasyîd Ridâ dalam Tafsîr al-Manâr sebagaimana

tujuan Muhammad Abduh yaitu memahami maksud Allah Swt sebagai Kitâb al-

Hidâyah yang membimbing manusia menuju mencapai kebahagian mereka baik

di kehidupan dunia maupun akhirat.68

Hal demikian bisa dipahami, karena

memang tujuan Allah Swt menurunkan al-Qur‟an ke bumi ini sebagai kitab

66

Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsīr al-Manâr,

(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 83-84. 67

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 ), h. 93 68

Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah, t.t.), Jilid 2, hal. 424.

Page 43: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

27

petunjuk untuk seluruh manusia menuju kebahagian di dunia dan di akhirat.

Sebagaimana firman Allah QS al-Baqarah 2: 185 berikut:

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di

dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan

yang batil”.

Menurut Ridâ, Muhammad Abduh ber‟argumentasi bahwa beliau mencela

sebagian para Mufasir yang mengiring penafsiran mereka yang hanya bertumpuh

pada kaidah-kaidah bahasa arab, cerita-cerita Isrâ`îliyyah dan tidak mengarahkan

manusia dari petunjuk al-Qur‟an. dan pula berkata bahwa menjadi kebutuhan

mendesak bagi manusia pada petunjuk al-Qur‟an sebagaimana sesuai tujuan al-

Qur‟an diturunkannya yaitu untuk memberi peringatan, kabar gembira, petunjuk,

dan perbaikan.69

Penekanan pada segi Hidâyah al-Qurân itu ditegaskan kembali

oleh muridnya Ridâ dalam muqaddimah Tafsîr al-Manâr, Ridâ mengatakan,

bahwa Allah Swt telah menurunkan bagi kita kitab suci-Nya sebagai Hidâyah

(petunjuk) dan cahaya terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya

untuk mensucikan kehidupan dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan

akhirat.70

Dan pula menurut Rasyîd ridâ, tujuan Allah Swt menurunkan al-Qur‟an

yaitu sebagai Hidâyah (petunjuk) untuk memperbaiki kepribadian insan,

kelompok, kaum, dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar dan diridhai

Allah Swt.71

3. Metodologi Tafsîr Al-Manâr

Ada beberapa metode penulisan penafsiran yang selama ini digunakan yaitu :

metode analisis (Tahlîlî), global / umum (Ijmâlî), komparatif (Muqâran), dan

tematik (maudû‟i). Jika dicermati penafsiran Rasyîd Ridâ, bahwa metodologi

69

Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,

t,t.), jilid 2, hal. 424. 70

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 94. 71

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu al-Muhammadiyyah (Beirut: Maktabah „Izzu al-Dîn,

1406 H), hal. 190.

Page 44: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

28

penafsiran-Nya hampir sama sebagaimana penafsiran guru-Nya Muhammad

Abduh yaitu mengunakan metode analisi Tahlîlî.72

Jika Muhammad abduh dalam metodologi penafsirannya menyoroti ayat-ayat

al-Qur‟an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam

ayat yang ditafsirkan dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap

bagian ayat, dan juga memperluas masalah-masalah penafsiran yang tidak

disentuh oleh mufassir lainnya, namun ia berusaha meringkas pembahasannya

tentang kebahasaan dan sastranya dan pula membatasi pengambilannya riwayat-

riwayat yang Sahîh saja. Sedangkan Rasyîd ridâ dalam metodologinya mengikut

metodologi gurunya Muhammad Abduh, akan tetapi setelah wafatnya Abduh, ada

sedikit perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Sebagaimana perkataan

Rasyid Ridâ, yaitu :

”setelah wafatnya guruku Muhammad abduh. Aku berlainan dalam Manhâj

penafsiran, dengan memperluas yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur‟an

dengan menghadirkan Hadits yang Sahih. Serta menganalisis bahasa, serta

menyingkap makna Lughawî secara umum, dan memaparkan permasalahan

ikhtilâf di kalangan „ûlamâ`, dan menghadirkan ayat-ayat al-Qur‟an pada surat-

surat yang berbeda, sera meluruskan penyimpang-penyimpang, dan menguatkan

untuk mematahkan argumentasi orang-orang kafir dan ahli bid‟ah, serta

memecahkan masalah-masalah dengan memberikan solusi yang menentramkan

jiwa dan menenangkan hati”.73

4. Sumber Penafsiran

Sumber penafsiran Rasyîd Ridâ, bahwa penafsirannya merupakan kelaborasi

antara Tafsir Riwayat (Tafsir bi al-Ma‟tsûr) dengan Tafsir akal (Tafsir bi al-

Ra‟yî). Menurut Husain al-Dzahabî, sumber penafsiran Rasyîd Ridâ sering kali

menafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, khususnya jika terulangnya ayat-ayat al-

Qur‟an dalam satu tempat. Dan pula beliau menafsirkan al-Qur‟an dengan Hadîts

Nabi Muhammad Saw yang Sahih menurut Ilmu Hadîts yang disepakati ulama.

dan juga menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat para Sahabat Rasulullah Saw,

para Tâbi‟în, dan pula menganalisis bahasa dan pula menafsirkan al-Qur‟an

mengunakan akalnya yang terlepas dari Taqlîd buta kepada para mufassir lainnya,

72

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 94. 73

Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,

t,t.), jilid 2, hal. 424.

Page 45: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

29

kecuali pendapat yang baik yang diterima Rasyîd Ridâ, terlebih pendapat gurunya

Muhammad Abduh.74

5. Corak Penafsiran

Corak penafsiran Muhammad Rasyîd Ridâ tidak terlepas dengan pemikiran

guruhnya Muhammad Abduh yang mempelopori pengembangan tafsir yang

bercorak Adabî al-Ijtimâ‟î atau Tafsir yang ber‟orentasi pada sastra, budaya,

kemasyarakatan.75

Corak Tafsir Adabî al-Ijtimâ‟î adalah penafsiran yang

ber‟orentasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang

menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur‟an pada segi penelitian redaksionalnya,

kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah

dengan menonjolkan tujuan utama turunya ayat kemudian merangkaikan

pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam

masyarakat dan pembangunan dunia.76

Menurut Muhammad Abduh, bahwa masing-masing kalimat dalam al-Qur‟an

tersusun secara serasi dan harmonis. Karena al-Qur‟an bukanlah kitab syair, akan

tetapi kitab bersumber dari Allah Swt yang maha kuasa atas segala sesuatu, dan

Dialah yang meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya secara serasi. Maka

tidak ada kata di dalam al-Qur‟an yang diletakkan hanya karena keterpaksaan.

Penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat dan keindahan susunannya dalam

penafsiran al-Qur‟an itu, tidak lain bertujuan untuk menarik jiwa manusia dan

menuntun mereka untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al-Qur‟an agar

maksud al-Qur‟an sebagai petunjuk dan Rahmat dapat tercapai dengan baik.77

Selain corak Adabî al-Ijtimâ‟î, Tafsir al-Manâr juga bercorak Hidâ‟i yaitu corak

yang di latarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan al-Qur‟an sebagai

petunjuk dan akhlak al-Qur‟an sebagai poros dan sentral dari usaha penafsiran

terhadap kitab suci al-Qur‟an.

74Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,

t,t.), jilid 2, hal. 424 75

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 97. 76

Abd al-Rahmân Rusli Tanjung,“Analisis Terhadap Corak Tafsîr al-Adabî al-Ijtimâ‟i”,

(Desember 2014): h. 163-164. 77

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 M), h. 97

Page 46: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

30

Inti dari pembahasan ini, al-Ghazâli seorang ulama besar yang multi

latenta yang mengarang ratusan karya. Salah-satu karyanya yaitu Jawâhir al-

Qurân. Kitab ini secara umum membahas Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-

Qur‟an) yang ditawarkan oleh al-Ghazâli. Dan Rasyîd Ridâ adalah seorang

mufassir, jurnalis bahkan reformis yang lantang menyuarakan ide-ide

pembaharuan Islam. Tafsîr al-Manâr sebenarnya bukan murni karangan Ridâ,

karena kitab ini merupakan penyalinan pemikiran gurunya Muhammad Abduh

yang disalin/dibukukan oleh Rasyîd Ridâ. Tafsir yang bercorak Adabî al-Ijtimâ‟i

dan al-Hidâ`i, yang di dalamnya pula terdapat pemikiran Ridâ tentang Maqâsid

al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) yang beliau tawarkan.

Page 47: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

31

BAB III

GAMBARAN UMUM MAQÂSID ALQURÂN

Al-Qur‟an diturunkan Allah ke muka bumi ini memiliki Maqâsid (tujuan-

tujuan dan tidak diturunkan secara sia-sia, hampa dari tujuan. Puncak tujuan al-

Qur‟an diturunkan adalah sebagai Hidâyah (petunjuk) bagi manusia menuju

kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, lahir istilah di kalangan para

akademisi muslim dalam kajian diskursus al-Qur‟an yaitu Maqâsid al-Qurân

(tujuan-tujuan al-Qur‟an). Maqâsid al-Qurân adalah istilah yang digunakan para

ulama sebagai sebuah upaya/menggali tujuan-tujuan al-Qur‟an diturunkan untuk

manusia. Secara umum, puncak tujuan-tujuan al-Qur‟an menurut Abd al-Karîm

al-Hâmidî adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hamba-hamba Allah.78

Penulis menyadari bahwa kajian Maqâsid al-Qurân belum menjadi disiplin ilmu

tersendiri di kalangan para ulama. Akan tetapi, istilah Maqâsid al-Qurân bisa

didapati bertebaran di karangan karya-karya para ulama. Pada kesempatan ini,

penulis akan mengkaji gambaran umum, sejarah Maqâsid al-Qurân dan kolerasi

Maqâsid al-Qurân dengan Tafsir al-Qur‟an.

A. Pengertian Maqâsid al-Qurân

Kalau ditinjau dari segi etimologi/bahasa, kata Qasada dalam Mufradât Alfâdz

al-Qurân bermakna, Istiqâmah (jalan yang lurus), menuju sesuatu, dan berada di

antara dua perkara, misalnya di tengah-tengah antara dua ekstrim.79

Kata al-

Qasdu dari sisi bahasa berakar dari tiga dasar Qaf, Sad, Dal. Ketiga huruf tersebut

dirangkai menjadi kata Qasd yang dapat diartikan di antaranya al-iltizām

(berkehendak), al-Tawajjuh (menuju), al-Nuhûd nahwa al-Sya`a (bangkit menuju

sesuatu).80

dan kata Maqâsid al-Qurân adalah bentuk plural (Jamak) dari kata

78

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 31. 79

Al-Râgib al-Asfahânî, Mufradât Alfâdz al-Qurân (Lebanon: Maktabah al-Ilmiah ,t.t.), h.

672. 80

Ali al-Fayummî, al-Misbâh al-Munîr Fī Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Lebanon: Maktabah

al-Ilmiah, 1990), h. 192.

Page 48: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

32

Maqsad yang bermakna, tempat yang diorentasikan atau dituju. Sedangkan al-

Qur‟an itu terambil dari kata أقر yang bermakna kumpulan dan himpunan, Karena

al-Qur‟an menghimpun huruf dan kalimat ayat-ayat al-Qur‟an.81

Jadi secara

bahasa, makna Maqâsid al-Qurân adalan orentasi atau tujuan al-Qur‟an.

Dalam al-Qur‟an, kata Maqâsid terdapat lima kali dan masing-masing terdapat

pada ayat yang berbeda-beda serta bentuk yang berbeda-beda. Pertama, kata

yang artinya moderat, tengah-tengah, berjalan yang lurus menuju مقتصد

kebenaran. Kata ini terdapat pada Surah al-Luqmân ayat 32 dan pula terdapat pada

Surah Fâtir ayat 32. Kedua, kata قصد dengan bentuk Masdar yang memiliki arti

jalan yang lurus. Kata ini terdapat di dalam Surah al-Nahl ayat sembilan. Ketiga,

kata قاصد dengan bentuk Isim Fâil yang bermakna dekat dan mudah ditempuh.

Dan menurut al-Qurtubî, kata tersebut bermakna mudah dan jalan yang sudah

diketahui. Keempat, kata إقصد dengan bentuk Fi‟il Amr (bentuk perintah).

Menurut Ibn Katsîr, kata tersebut bermakna sederhana, adil, seimbang yang tidak

terlalu cepat atau terlalu lambat dan adil di antara keduanya. Kelima, yang مقتصدة

bermakna moderat atau tengah-tengah di antara dua ekstrim.82

Kesimpulan dari

keseluruhan subtansi makna-makna di atas, bahwa makna Qasada adalah adil,

tengah-tengah, moderat, jalan yang lurus, dekat, mudah.

Sedangkan secara terminologi, belum ada istilah yang disepakati para ulama

tentang makna Maqâsid al-Qurân. Akan tetapi, terdapat isyarat pengertian

Maqâsid al-Qurân yang bertebaran pada karangan para ulama. Abû Hâmid al-

Ghazâli (505 H) dalam Jawâhir Al-Qurân mengatakan, puncak tujuan

diturunkannya al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Allah Swt

(Ma‟rifatullah). Sedangkan menurut Izzudin (660 H) Maqâsid al-Qurân adalah

معظم مقاصد القرآن األمر داكتساب ادلصاحل وأسباهبا، والزجر ع اكتساب ادلفاسد واسباهبا

“Puncak tujuan al-Qur‟an adalah menyeru manusia melakukan segala

kebaikan/kemaslahatan dan sebab-sebab yang mengantarkan kepada

81

Mannâ‟ al-Qattân, Mabâhis Al-Qurân (Kairo: Maktabah al-Wahbah, t.t.), h. 14 82

Muhammad Fuâd Abd al-Bâqi, Mu‟jam al-Muhfâras Li al-Alfâdz al-Qurân (Kairo:

Maktabah al-Misriyyah, 1365 H), hal. 545

Page 49: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

33

kemaslahatan. Dan melarang melakukan kerusakan dan sebab-sebab yang

mengantarkan kepadanya”.83

Hal demikian bisa diketahui jika dicermati al-Qur‟an secara seksama, karena

setiap kali Allah Swt perintahkan sesuatu, pasti dibalik perintah tersebut ada

kemaslahatan dan kebaikan bagi orang yang melakukannya. Dan setiap kali Allah

Swt melarang sesuatu, pasti dibalik itu ada kemaslahatan agar tidak terjerumus

pada hal-hal yang merusak.84

Seperti larangan Allah tentang Khamr pada Surah

al-Mâidah ayat 90, bahwa tujuan Allah melarang demikian agar untuk menjaga

akal orang-orang beriman agar tidak rusak. Di kalangan ulama Usûl fikih, istilah

kebaikan dikenal dengan Jalb al-Masâlih (menarik kemaslahatan) sedangan

istilah kerusakan adalah Daf‟u al-Mafâsid (menolak segala kerusakan). Menurut

Râzî (606 H), Maqâsid al-Qurân adalah menjelaskan Tawhîd (mengesakan Allah

Swt), Ahkâm syar‟i (hukum-hukum syariat Islam), Ahwâl Ma‟âd (keadaan-

keadaan hari akhir) seperti hari pembangkitan, hari hisab, hari timbangan, surga

dan neraka. Sedangkan menurut Ibn Âsyur, tujuan utama Allah Swt menurunkan

al-Qur‟an yaitu:

حتقيق الصالح على ادلستوى الفردي، واجلفاعي، والعفراين

“Untuk merealisasikan perbaikan atau kemaslahatan baik tingkatan

individual, kelompok, masyarakat”.85

Menurut Abd Karîm al-Hâmidî, sorang ulama Maqâsîd di kalangan

kontemporer bahwa Maqâsid al-Qurân adalah

مقاصد القران يي الغايات اليت أنزل القران ألجلها حتقيقا دلصاحل العباد

“Maqâsid al-Qurân adalah tujuan-tujuan yang diturunkannya al-Qur‟an di

karenakan untuk merealisasikan kemaslahatan hamba”.86

Yang dimaksud dengan الغاياث adalah maksud dan hikmah yang terkandung di

dalam al-Qur‟an. dan yang dimaksud تحقيقا لمصالح العباد adalah itu merealisasikan

83

Izzuddin Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah al-

Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ), Jilid 1, h. 8. 84

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 30. 85

Muhammad Tâhir Ibnu Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al Tanwîr (Tunusia: Dâr al-

Tunisiyyah, 1984 M ), Jilid 1, h. 38. 86

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 31.

Page 50: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

34

kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Rasyîd Ridâ,

Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu, masyarakat, kaum. Dan

menunjukan mereka kejalan yang benar serta mewujudkan persaudaraan sesama

manusia dan mengembangkan/meningkatkan akal serta mensucikan hati

manusia.87

B. Sejarah Perkembangan Istilah Maqâsid al-Qurân Di Kalangan Ulama

Dalam literatur klasik, penulis belum menemukan penjelasan yang pasti

tentang siapa pertama kali berbicara tentang Maqâsid al-Qurân dan kapan kajian

itu dimulai secara kajian ilmiah. Sejauh penelitian penulis, bahwa orang yang

pertama kali menjelaskan tentang Maqâsid al-Qurân di kalangan ulama klasik

adalah Abû Hâmid al-Ghazâli (w. 505 H) dalam karyanya Jawâhir Al-Qurân.

Dalam buku ini, al-Ghazâli mengemukakan bahwa puncak tujuan diturunkannya

al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Tuhan yang maha kuasa.88

Kemudian

beliau mengklasifikasi Maqâsid al-Qurân menjadi enam bagian. Tiga hal yang

pertama merupakan sentral dan prinsip-prinsip pokok dan tiga berikutnya

merupakan pelengkap atau penyempurna. Keenam demikian adalah pertama,

Menjelaskan tentang Zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt. Kedua, Menjelaskan

jalan yang lurus yang seharusnya ditempuh menuju Allah Swt. ketiga, Penjelasan

tentang kehidupan hari akhir. Empat, Menjelaskan keadaan orang-orang yang taat

kepada Allah Swt, seperti para Nabi, orang-orang Shaleh. Dan pula menjelaskan

perlakuan baik Allah Swt kepada mereka dan menjelaskan keadaan orang-orang

yang membangkang kepada Allah seperti Fir‟aun, orang-orang kafir, serta siksa

yang Allah timpakan kepada mereka. Lima, Bantahan terhadap kesalahan

argumentasi orang-orang kafir, dengan menyingkap kebenaran dan pula

menyingkap kebodohan mereka.89

Enam, Hal-hal yang diperlukan di dalam

perjalanan menuju Allah Swt yang meliputi pembekalan untuk menuju Allah Swt.

87

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu al-Muhammadiyyah, (Maktabah „Izzuddin 1406 H ), h.

191 88

Abu Hâmidi al-Ghazâli, Kitâb Jawâhir al-Qurân, (Lebanon : Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,

1411 H ), h. 23 89

Abu Hâmid al-Ghazâli, Kitâb Jawâhir al-Qurân, (Lebanon: Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,

1411 H ), h. 23-24.

Page 51: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

35

Selanjutnya Râzî (606 H) yang memperkenalkan pertama kali dalam bidang

Ilmu Tafsir. Ia membahas dalam konteks kesatuan tujuan atau tema surah-surah

al-Qur‟an (Wihdah al-Mauduiyyah Li al-Suwar) sebagaimana yang dikatakan oleh

Quraish Shihab, bahwa Râzî mufassir yang pertama kali mencetuskan prinsip

kesatuan tujuan Surah al-Qur‟an dalam Tafsîr Mafâtih al-Ghaib.90

Menurut Râzi,

bahwa prinsip tujuan-tujuan al-Qur‟an secara umum adalah menetapkan empat hal

yaitu al-Ilâhiyât (ketuhanan), al-Ma‟âd (hari akhir), al-Nubuwât (kenabian),

Itsbât al-Qadâ` Wa al-Qadar (menetapkan takdir). Dan hal demikian terdapat

dalam surah al-Fâtihah, karena di dalamnya membahas tentang dzat Allah serta

sifat-sifatnya pada ayat 1-4 Dan pula membahas tentang kenabian pada ayat 7

dengan memohon kepada Allah agar ditunjukan jalannya para Nabi. Dan pula

bicara hari akhir pada ayat ke 4, bahwa Allah yang memiliki hari akhir. Dan pada

ayat ke 7, Allah menetapkan takdir dengan menetapkan hidayah kepada para nabi,

orang-orang shaleh, syuhada dan tidak memberikan hidayah kepada orang-orang

Nasrani dan Yahudi disebabkan keangkuhan mereka.91

Selanjutnya„Izzu al-Dîn Ibn Abd al-Salâm (660 H), yang secara eksplisit

menyebutkan Maqâsid al-Qurân dalam karangannya yang berjudul Nubadz Min

Maqâsid al-Qurân (inti sari dari tujuan-tujuan al-Qur‟an yang mulia). Beliau

mengatakan bahwa Maqâsid al-Qurân adalah menyeru manusia melakukan segala

kebaikan atau kemaslahatan dan sebab-sebab yang mengantarkan kepada

kemaslahatan. Dan melarang melakukan kerusakan dan sebab-sebab yang

mengantarkan kepadanya..92

Terdapat isyarat juga dalam Tafsîr al-Baydâwî karya Abdullah Bin Umar al-

Baydâwi (685 H) ketika membahas Tafsir Surah al-Ikhlâs, beliau mengatakan

bahwa sesungguhnya tujuan-tujuan al-Qur‟an terbatas pada tiga hal, pertama

menjelaskan akidah, kedua hukum-hukum, ketiga kisah-kisah.93

Begitu pula Ibnu

Juzayi (741 H) mengatakan dalam muqaddimah Tafsirnya, sesungguhnya makna-

makna umum di dalam al-Qur‟an atau Maqâsid al-Qurân itu ada tujuh macam.

90

Mohammad Bakir, ” Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd Nursî”,

no. 01 (Agustus 2015): h. 53. 91

Dr. Mas‟ûd, Juhd Ulamâ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân (Lebanon: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 6. 92

Izzuddin Ibn Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fī Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah

al-Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ) Jilid 1, h. 8. 93

, Nasiruddin Baydâwi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Beirut: Dâr al-Rasyîd, 1421 H), Jilid 3, hal. 584.

Page 52: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

36

Ilmu al-Rububiyyah (ilmu akidah ketuhanan), Ilmu al-Nubûwâh (Kenabian),

Ma‟âd (hari akhir), Ahkâm (hukum-hukum), janji dan ancaman.94

Terdapat pula

isyarat Maqâsid al-Qurân dalam karya Imam al-Zarkasyî (794 H) yaitu Kitâb al-

Burhân Fi Ulûm al-Qurân, bahwa beliau berkata:

يقصد القصد م إنزال القرآن تعليم احلالل واحلرام وتعريف شرائع اإلسالم وقواعد اإلديان ومل

مهى تعليم طرق الفصاحة

“Tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah mengajarkan antara halal dan

haram, mengenalkan syariat-syariat Islam dan kaidah-kaidah keimanan, dan

tidak bermaksud semata-mata mengajarkan cara-cara keindahan bahasa saja”.95

Selanjutnya Biqâ‟î (w. 885 H) dalam karyanya Masâid al-Nazar Li al-

Isyrâf„Ala Maqâsid al-Suwar (tangga-tangga pandangan untuk melihat tujuan-

tujuan surat al-Qur‟an). Menurut penulis, beliaulah mufassir setelah Râzî, yang

menggunakan istilah Maqâsid dalam tubuh kajian Tafsir. Menurut Biqâ‟î, bahwa

setiap Surah al-Qur‟an terdapat Maqâsid, dengan ungkapan A‟zam Maqâsid al-

Sûrah (tujuan utama pada surah) atau Maqâsid al-„Uzmâ (tujuan terbesar). Pada

istilah yang digunakan Biqâ‟î tersebut, bahwa pada setiap Surah al-Qur‟an

terdapat tujuan-tujuan Allah Swt. 96

Selanjutnya pula Imam al-Suyûtî (911 H)

ketika menafsirkan Surah al-Fâtihah dalam Tafsirnya Dur al-Mantsûr, beliau

menjelaskan salah satu nama surah al-Fâtihah adalah Umm al-Qurân. Al-Suyûtî

berpendapat, bahwa Maqâsid al-Qurân itu terkandung ringkasannya pada surah

al-Fâtihah dengan sumber riwayat-riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan

secara ilmiah. Karena pada surah al-Fâtihah terliputi beraneka ragam Maqâsid.

Diantaranya, Ilmu al-Usûl (ilmu dasar) berkaitan dengan Zat, sifat, kehendak

Allah Swt, kenabian, dan hari akhir. Ilmu Ibâdah (ilmu ibadah) berkaitan dengan

cara ibadah menyembah Allah, Ilmu al-Sulûk (jalan menempuh Allah Swt) dan

94

Abû Qâsim Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzayi, Tafsîr Tashîl Li al-Ulûm al-Tanzîl

(Beirut: Dār al-Rasyīd 1415 H ), Jilid 1, h. 8. 95

Badruddin Zarkasyi, al-Burhân Fî Ulûm al-Qurân (Kâiro: Dâr Ihyâ al-Kutub al-

Arabiyyah, 1957 M ) jilid 1, h. 312. 96

Ibrahim Ibn Umar Al-Biqâ‟î, Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar (Riyâd:

Maktabah al-Ma‟ârif, 1308 H), Jilid 1, h. 209.

Page 53: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

37

ilmu kisah-kisah.97

Âlusî (1270 H) dalam Tafsirnya Tafsîr Rûh al-Ma‟âni pula

menyinggung tentang Maqâsid al-Qurân. Menurut Âlusî, yaitu:

مقاصد القرآن العظيم ال تهحصر ي األمر والههي ادلذكوري دل يو مشتفل على مقاصد أخرى كأحوال ادلبدأ وادلعاد وم يها قيل لعل األقرب أن يقال إن مقاصد القرآن التوحيد واألحكام

الشرعية وأحوال ادلعاد“Tujuan-tujuan utama al-Qur‟an tidak terbatas pada perintah dan larangan

saja, akan tetapi meliputi pula pada tujuan-tujuan yang lain, seperti tujuan

menjelaskan keadaan proses awal penciptaan makhluk sampai keadaan kembali

(hari akhir). Dari sini pernyataan yang paling tepat dikatakan, sesungguhnya

tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah Tawhîd, hukuk-hukum syariat, keadaan-keadaan

hari akhir (kematian,hari pembangkitan, padang mahsyar, surga atau neraka”.98

Pada zaman modern, konsep Maqâsid al-Qurân yang mencangkup

keseluruhan al-Qur‟an kembali diangkat oleh para mufassir. Muhammad Abduh

(1324 H) sebagai tokoh reformis dan pengarang Tafsîr al-Manâr adalah orang

yang pertama kali berbicara hal tersebut pada zaman kontemporer, meski tidak

secara eksplisit menggunakan istilah Maqâsid al-Qurân. misalnya ia berpendapat

tentang tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Menurut Abduh, yaitu:

أن ما نزل القرآن ألجلى التوحيد، والوعد والوعيد لألمة واألفراد ي الدنيا واآلخرة، والعبادة، وديان قصص م وقف عهد حدود اهلل وم نبذ أحكامى وديان سبيل السعادة ي الدنيا واآلخرة،

لالعتبار ا، وأن يذو يي األمور اليت احتوى عليها القرآن، والفاحتة مشتفلة عليها إمجاال“Sesungguhnya tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah Tahuid, janji,

ancaman bagi umat dan setiap induvidu insan di dunia dan di akhirat, dan pula

menjelaskan Ibadah kepada Allah Swt, dan menjelaskan jalan untuk mencapai

kebahagianan di dunia maupun akhirat, dan menjelaskan kisah orang-orang yang

yang bergantung atau taat pada hukum-hukum Allah (para Nabi, Syuhada, orang-

orang Shaleh) dan menjelaskan kisah orang-orang yang melempar atau tidak

patuh pada hukum-hukum Allah Swt, untuk diambil pelajaran bagi pembaca al-

Qur‟an. dan semua perkara ini yang meliputi a-Qur‟an dan Surah al-Fatihah

meliputi itu semua secara global”.99

Kemudian setelah Muhammad Abdu, kajian Maqâsid al-Qurân itu diteruskan

oleh murid nya yaitu Rasyîd Ridâ. Menurut penulis, Rasyîd Ridâ lah di kalangan

ulama kontemporer yang membahas Maqâsid al-Qurân secara luas dalam Tafsîr

97

Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fī Tafsîr Bi al-Ma„tsûr (Kairo: T.pn.,

849 H) Jilid 1, h. 22. 98

Abd al-Rahmân,“Muqârabât Ta`rikh Maqâsid al-Qurân al-Karîm”, no. 39 (desember

2016): h. 205. 99

Abd al-Rahmân,“Muqârabât Ta`rikh Maqâsid al-Qurân al-Karîm”, no. 39 (desember

2016): h. 205.

Page 54: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

38

al-Manâr dan Kitab Wahyu al-Muhammadiyyah. Dan Secara umum, Maqâsid al-

Qurân menurut Rasyîd Ridâ, yaitu:

إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وإدخاذلم ي طور الرشد وحتقيق أخوهتم اإلنسانية ووحدهتم وترقية عقوذلم وتزكية أنفسهم

“Memperbaiki baik individu manusia, masyarakat, kaum, dan memasukan

mereka kejalan yang lurus dan benar, serta merealisasikan persaudaraan sesama

manusia, dan mengembangkan potensi akal manusia serta membersikan hati

manusia”.100

Kemudian Rasyîd Ridâ membagikan Maqâsid al-Qurân pada sepuluh bagian.

di antaranya, Pertama menjelaskan tiga aspek sentral dalam agama (Iman kepada

Allah Swt, hari akhir, amal Shaleh). Kedua menjelaskan Risalah kenabian. Ketiga

menjelaskan Islam agama yang sesuai dengan Fitrah manusia, agama yang

rasional. Keempat memperbaiki masyarakat manusia serta mempererat persatuan.

Kelima menetapkan keistimewaan taklif syariat Islam. Keenam menjelaskan

hukum politik Islam. Ketujuh menjelaskan mengelola keuangan dalam Islam.

Kedelapan memperbaiki regulasi peperangan dalam Islam. Kesembilan

memberikan hak-hak perempuan pada agama maupun negara. Sepuluh

pembebasan budak.101

Kemudian pula Sa‟îd al-Nursî (1379 H) dalam Muqaddimah Isyârât al-I‟jâz

Fī Mazan al-I‟jâz mengatakan, bahwa hanya empat unsur fundamental al-Qur‟an

yaitu Tawhîd (akidah), al-Nubuwâh (kenabian), kebangkitan manusia, dan

keadilan. Dan keempat ini, Sa‟îd al-Nursî mengistilahkan dengan al-Maqâsid al-

Asâsiyyah (tujuan-tujuan dasar). Menurut beliau, empat hal demikian adalah

intisari dan hakikat dimana diturunkannya al-Qur‟an. maka dari itu, pada dasarnya

al-Qur‟an memilki berbagai macam tujuan, akan tetapi Sa‟îd al-Nursî menjadikan

empat tujuan pokok itu sebagai dasar-dasar Maqâsid al-Qurân.102

Kemudian Mahmûd Syaltût (1384 H) yang menulis buku dengan tema Ilâ al-

Qurân al-Karîm. Dalam kitab ini, Mahmûd Syaltût mengklasifikasikan Maqâsid

al-Qurân pada tiga aspek. Pertama aspek akidah yaitu membersikan jiwa dari

ketundukan kepada berhala-berhala, serta menguatkan keimanan kepada Allah

100

Muhammad Rasyîd Ridâ, al-Wahyu al-Muhammadiyyah, (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 191. 101

Ahmad Raysûni, Maqâsid Maqâsid (Beirut: T.pn., 2013 M ), h. 16-17. 102

Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursî”,

Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 53.

Page 55: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

39

Swt, Risalah kenabian, Malaikat, hari akhirat. Kedua aspek akhlak yaitu

mensucikan sera membidik jiwa dari sifat-sifat buruk dengan menghiasasi sifat-

sifat baik, seperti Sabar, jujur, santun. Ketiga aspek hukum yaitu bagi hukum yang

bersifat vertikal antara hamba dengan Allah Swt, seperti Sholat, Haji. Dan pula

hukum yang bersifat horizontal antara hamba dengan hamba, seperti hukum

pernikahan, hukum bisnis.103

Menurut penulis, klasifikasi/pembagian Maqâsid al-

Qurân Mahmûd Syaltûtlah yang mencangkup seluruh ayat-ayat al-Qurân. Karena

ayat-ayat al-Qurân tidak terlepas dari tiga hal yaitu berkaitan dengan

akidah/keimanan, Ahkâm al-Syar‟iyyah, Akhlâk (etika).

Selanjutnya Ibn Âsyûr (1393 H) pula menjelaskan tentang Maqâsid al-Qurân,

beliau berkata bahwa :

اهلل مههمأن القرآن أنزل لصالح أمر الهاس كافة رمحة ذلم لتبليغهم مراد

“Sesungguhnya tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah untuk memperbaiki

segala urusan manusia dan sebagai Rahmat bagi mereka dengan disampaikannya

maksud Allah Swt kepada mereka”.104

Dan Ibn Âsyûr pula mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân pada delapan

bagian dalam muqaddimah Tafsirnya yaitu, memperbaiki akidah dan mengajarkan

akidah yang benar, memperbaiki akhlak, hukum-hukum Islam, mengatur umat,

kisah-kisah umat terdahulu, nasihat-nasihat peringatan dan kabar gembira, I‟jâz

al-Qurân (kemukjizatan al-Qur‟an).105

Muhammad Sâlih al-Siddîq pula

mengarang sebuah buku yang berjudul Maqâsid al-Qurân. Dalam buku ini, secara

khusus Muhammad Shâlih al-Shiddîq membahas luas berkaitan dengan Maqâsid

al-Qurân. kemudian dalam buku ini secara umum, bahwa Maqâsid al-Qurân itu

ada delapan. Yaitu, Tawhîd, akidah, agama, syariat, Ibadah, kisah-kisah, I‟jâz al-

Qurân, pelajaran yang agung serta mengatur dalam bermasyarakat.106

Selanjutnya Yusûf al-Qardâwî pula dalam karyanya yang berjudul Kayfa

Nata‟âmal Ma‟a al-Qurân di dalam nya membahas tentang Maqâsid al-Qurân.

dan beliau mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân pada tujuh aspek. Di antaranya,

103

Mahmûd Syaltût, Ilâ al-Qurân al-karîm, (T.tp: Penerbit Dār al-Syurûq, t.t. ) h. 5-6. 104

Muhammad Tâhir Ibn Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dâr Tunisiyyah,

1984 M ), Jilid 1, h. 38. 105

Muhammad Tâhir Ibn Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dār Tunisiyyah,

1984 M ), Jilid 1, h. 38. 106

Muhammad Sâlih al-Siddîq, Maqâsid al-Qurân (T.tp.: Dâr al-Ba‟tsi 1982 M) h. 35.

Page 56: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

40

memperbaiki akidah-akidah yang menyimpang, memelihara manusia dan menjaga

hak-hak insan, perintah Ibadah kepada Allah serta Takwa, mensucikan jiwa

manusia, membentuk keluarga yang baik, membangun umat, dakwah keseluruh

manusia agar saling tolong menolong.107

Kemudian kajian Maqâsid al-Qurân menjadi diskursus kajian serius di

kalangan ulama. Misalnya Abd al-Karîm mengarang sebuah buku khusus

membahas Maqâsid al-Qurân dengan judul Maqâsid al-Qurân Min Tasyri‟ al-

Ahkâm. Dalam buku ini, Abd al-Karîm menjelaskan bahwa banyak di antara

ulama yang berbicara Maqâsid al-Syarî‟ah, seperti Ibn Âsyûr, Rasyîd Ridâ,

bahwa mereka menetapkan pula adanya Maqâsid al-Qurân. Misalnya Ibn Âsyûr

mengatakan bahwa Maqâsid al-Qurân secara umum adalah Islâh al-Fardiyyah

(memperbaiki induvidu manusia), Islâh al-Ijtimaiyyah (memperbaiki Masyarakat),

Islâh al-„Âlamiyyah (memperbaiki alam semesta).108

Bahkan kajian Maqâsid al-Qurân tidak saja berkembang di dunia Arab, tetapi

juga berkembang di Barat. Sejumlah buku yang ditulis meskipun mengunakan

istilah tema-tema pokok al-Qur‟an, dapat dikatagori sebagai buku-buku yang

menjelaskan Maqâsid al-Qurân. Di antaranya, Le Grands Themes Du Coran

karya Jacgues Jomier, yang kemudian diterjemahkan oleh Zoe Hezov ke dalam

bahasa Inggris dengan judul The Great Themes of the Qur‟an. buku ini bertujuan

menjelaskan persoalan-persoalan menurut pengarangnya sebagai tema-tema

utama al-Qur‟an. persoalan-persoalan itu di antaranya, al-Qur‟an, Mekkah, dan

awal kehadiran Islam, Tuhan sebagai pencipta, Adam bapak umat manusia,

Ibrahim sebagai muslim, Nabi yang maksum, Yesus anak Maryam, komunitas

muslim, argementasi dan persuasi. Selain itu pula, terdapat buku yang ditulis oleh

Fazlur Rahman dengan judul Major Thems Of The Qur‟an (Tema-tema utama

dalam al-Qur‟an). Menurutnya, tema-tema al-Qur‟an ada delapan, yaitu ; Tuhan,

manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta,

kenabian, dan wahyu, eskatologi, setan,dan lahirnya masyarakat muslim.109

107

Yusûf al-Qardâwî, Kayfa Nata‟âmal Ma‟a al-Qurân (T.tp.: Penerbit Dâr al-Syurûq,

1419 H), h. 71. 108

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkhal Ilâ Maqâsid al-Qurân, (Riyad: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 132. 109

Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursî”,

Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 60.

Page 57: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

41

C. Tafsir al-Maqâsidî Dan Klasifikasi Maqâsid Al-Qurân

Tafsir al-Maqâsidî istilah baru dalam perkembangan diskursus kajian

Tafsir al-Qur‟an. Menurut Wasfî Âsyûr, dalam karyanya Tafsîr al-Maqâsidī Li

Suwar al-Qurân al-Karîm, Tafsir al-Maqâsidî adalah:

يو لون م ألوان التفسري يبحث ي الكشف ع ادلعاين والغايات اليت يدور حوذلا القرآن الكرمي كليًّا أو جزئيًّا مع ديان كيفية اإلفادة مهها ي حتقيق مصلحة العباد

“Corak di antara corak-corak tafsir yang membahas menyingkap makna-

makna dan tujuan-tujuan yang diorentasikan oleh al-Qur‟an, bagi bersifat

tujuan universal atau tujuan parsial, serta menjelaskan tatacara menggali

manfaat darinya untuk merealisasikan kemaslahatan hamba-hamba Allah”.110

Dari definisi diatas, Tafsir al-Maqâsidî adalah corak Tafsir al-Qur‟an,

yang berfokus untuk menggali/menyingkap tujuan-tujuan al-Qur‟an baik

secara al-Kuliyyah (keseluruhan) al-Qur‟an, maupun secara al-Juz`iyyah

(parsial)/bagian-bagian tertentu al-Qur‟an. Bisa dengan topik/tema, Surah,

ayat tertentu. Dan pula sebuah upaya untuk menggali manfaat dari tafsir

tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Pada umumnya, tidak

terlalu mencolok perbedaan antara Tafsir dengan Tafsîr al-Maqâsidî, karena

keduanya sama-sama menyingkap makna-makna ayat-ayat al-Qurân. Menurut

Wasfî Âsyûr, perbedaan yang mendasar antara keduanya, kalau Tafsir hanya

sekedar menyingkap atau menjelaskan makna ayat-ayat al-Qurân, sedangkan

Tafsîr al-Maqâsidî mengupayakan berusaha untuk memproduksi tafsir yang

mampu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, sebagaimana

ungkapannya yaitu بيان كيفيت اإلفادة منها في تحقيق مصلحت العباد (menjelaskan tatacara

mengambil manfaat dari hasil tafsir tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan

hamba-hamba Allah.111

Menurut penulis, Tafsîr al-Maqâsidî adalah corak tafsir yang

memfokuskan mencari esensi ruh (tujuan-tujuan) di balik ayat-ayat al-Qur‟an.

Sama seperti corak Lughawî yang memfokuskan mencari dan mengkaji

110Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,

2013), h. 8. 111

Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,

2013), h. 9.

Page 58: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

42

gramatika bahasa pada ayat-ayat al-Qur‟an, corak Ilmî yang memfokuskan

mencari isyarat-isyarat ilmiah di balik ayat-ayat al-Qur‟an.

Kemudian Maqâsid al-Qurân diklasifikasi menjadi dua macam. Pertama,

Maqâsid al-„Âmmah (tujuan-tujuan umum/keseluruhan) al-Qur‟an. di

antaranya yaitu, Tawhîdullah (mengesakan Allah), Hidâyah bagi manusia,

memperbaiki akhlak manusia, menyucikan jiwa manusia, mengajarkan

hikmah dan lain lain. Kedua, Maqâsid al-Khâssah (tujuan-tujuan khusus).

Bisa berkaitan dengan permasalah-permasalah tertentu, seperti tujuan ayat-

ayat nikah, politik, akhlak, muamalah, dan lain lain. Bisa pula berkaitan

dengan surah-surah al-Qur‟an tertentu.112

D. Korelasi Antara Maqâsid Al-Qurân Dengan Tafsir

Penulis ber‟argumentasi bahwa sangat erat hubungan antara Maqâsid al-

Qurân dengan Tafsir. Tafsir secara etimologi atau bahasa artinya al-Bayân

(penjelasan) al-Kasyf (menyingkap). Secara terminologi makna Tafsir, menurut

al-Zarkasyî adalah perangkat ilmu dengannya dipahami kitab Allah Swt (al-

Qur‟an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, serta menjelaskan

makna-makna, dan mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah yang

terkandung di dalamnya, serta perangkat alat bantu dengannya yaitu ilmu bahasa

Arab, Nahwu, Sorof, Ilmu Bayân, Usûl fikih, Qirâ„at, Nasakh Mansûkh, dan

mengetahui Asbâb al-Nuzûl.113

Senada pula menurut Asbahânî, Tafsir adalah

perangkat ilmu untuk menyingkap makna-makna al-Qur‟an dan menjelaskan

maksud-maksudnya.114

Sedangkan Maqâsid al-Qurân adalah tujuan-tujuan atau

rahasia-rahasia yang terselubung di balik ayat-ayat al-Qur‟an.

Untuk mengetahui Maqâsid Ayât al-Qurân (tujuan-tujuan yang terselubung di

balik ayat-ayat al-Qur‟an), mufassir terlebih dahulu harus menafsirkan al-Qurân,

karena Dilâlah (indikasi) Maqâsid al-Qurân itu terdapat pada lafadz ayat al-

Qur‟an tersebut, baik secara tersurat yaitu Mâ yu`khazu Min al-Nusûs (apa yang

112

Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,

2013), h. 11-12. 113

Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fī Ulûm al-Qurân (T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah al-

Su‟udiyyah, 1426 H), hal. 2265. 114

Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fī Ulûm al-Qurân (T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah al-

Su‟udiyyah, 1426 H), hal. 2263.

Page 59: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

43

terdapat pada nas al-Qur‟an), baik pula secara tersirat yaitu Mâ yufhamu Min

Nusûs (apa yang dipahami ada nas-nas al-Qur‟an).

Abd al-Karîm al-Hâmidî dalam karyanya Madhal Ilâ Maqâsid al-Qurân,

menjelaskan bahwa terdapat Adillah „Alâ tsubût Maqâsid al-Qurân (dalil-dalil

yang menetapkan terdapat Maqâsid al-Qurân di dalam al-Qur‟an). Kemudian

beliau membagikan dua macam. Pertama, Adillah al-Ammâh (dalil-dalil umum),

kedua, Adillah al-khâssah ( dalil-dalil yang khusus).115

Pertama, Adillah al-Âmmah (dalil-dalil umum) di antaranya ayat-ayat al-

Qur‟an yang secara umum mengisyaratkan terdapat Maqâsid (tujuan-tujuan). Qs

al-Anbiyâ` 21: 16:

16. “Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di

antara keduanya dengan bermain-main”.

Menurut Abd al-Karîm, bahwa Allah meniadakan kesia-siaan, main-main

dalam menciptakan langit, bumi dan segala sesuatu yang terdapat pada keduanya.

Akan tetapi, dalam menciptakannya terdapat Maqâsid (tujuan-tujuan) dan

hikmah-hikmah di balik penciptaannya.

Kedua, Adillah al-khâssah ( dalil-dalil yang khusus). Di antara ayat-ayat yang

secara khusus memiliki Illat (motif) yaitu Qs al-Isrâ` 17: 32:

32. “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. Pada ayat ini sangat jelas, secara tersurat Allah melarang mendekati zina

dengan bertujuan untuk Hifz al-Nasl (menjaga keturunan manusia ) dan pula

karena perbuatan zina adalah perbuatan yang keji dan buruk.116

E. Perbedaan Antara Maqâsid al-Qurân Dengan Maqâsid al-Syari‟ah

Terdapat perbedaan di kalangan ulama antara Maqâsid al-Qurân Dengan

Maqâsid al-Syari‟ah. Menurut Abd Karîm al-Hâmidî, perbedaan yang nampak

115

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 61. 116

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 72

Page 60: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

44

antara keduanya, kalau Maqâsid al-Qurân merupakan Usul al-Maqâsid (pokok-

pokok Maqâsid), sedangkan Maqâsid al-Syari‟ah adalah Furû‟ al-Maqâsid

(cabang-cabang dari Maqâsid).117

Berangkat dari pernyataan di atas, bahwa

Maqâsid al-Syari‟ah termasuk bagian dari Maqâsid al-Qurân. Karena Maqâsid

al-Syari‟ah hanya bertumpu pada ayât al-Ahkâm (ayat-ayat hukum) saja,

sedangkan Maqâsid al-Qurân meliputi seluruh ayat-ayat al-Qur‟an.

Menurut Mahmûd Syaltût, Maqâsid al-Qurân adalah akidah, akhlak, syariah.

118Begitu pula menurut Râzî, Maqâsid al-Qurân adalah al-Ilâhiyât (akidah), al-

Nubûwât (kenabian), Ahkâm al-Syar‟iyyah (hukum-hukum syari‟ah), ma‟âd (hari

akhir).119

Dari pendapat keduanya sangat jelas, bahwa Maqâsid al-Syari‟ah adalah

bagian dari Maqâsid al-Qurân.

117

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 17. 118

Mahmûd Syaltût, Ilâ al-Qurân al-karîm, (T.tp: Penerbit Dâr al-Syurûq, t.t. ) h. 5-6. 119

Mohammad Bakir, ”Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd

Nursî”, no. 01 (Agustus 2015): h. 53.

Page 61: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

45

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF KONSEP MAQÂSID AL-QURÂN ANTARA ABÛ

HÂMID AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ

Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ keduanya termasuk di antara ulama yang

berkontribusi dengan menjelaskan Maqâsid al-Qurân. Dan pula keduanya

memaparkan Maqâsid al-Qurân lebih luas dan detail dibandingkan ulama yang

lainnya. Walaupun demikian, tentu saja penjelasan Maqâsid al-Qurân yang

keduanya tawarkan tidak seluruhnya sama dan berbeda. Pada tulisan ini, penulis

akan membahas secara detail konsep Maqâsid al-Qurân menurut al-Ghazâli dan

Rasyîd Ridâ dan menganalisis Muqâran120

(komparatif) dengan mencari

perbedaan dan titik temu Maqâsid al-Qurân antara keduanya.

A. Maqâsid Al-Qurân Menurut Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli

Al-Ghazâli membatasi Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) atau

Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an) menjadi enam bagian dengan

mengklasifikasikan menjadi dua bagian, tiga hal yang pertama berisi Usûl al-

Muhimmah (prinsip-prinsip pokok) dan tiga hal bagian kedua sebagai

Mutammimah (penyempurna atau pelengkap). Tiga prinsip pokok Maqâsid al-

Qurân yaitu : Pertama, mengenal Tuhan yang berhak disembah. Kedua,

Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju) Allah Swt. Ketiga, menjelaskan Hâl

(keadaan) manusia ketika sampai kepada-Nya. dan tiga prinsip penyempurna atau

pelengkap yaitu : Pertama, menjelaskan keadaan orang-orang taat kepada Allah

seperti orang-orang ber‟iman dan menjelaskan pula balasan kasih-sayang Allah

kepada mereka (surga), bertujuan Targîb Wa Tabsyîr (memotivasi dan kabar

gembira bagi pembaca al-Qur‟an) dan menjelaskan keadaan orang-orang yang

durhaka kepada Allah seperti orang-orang kafir serta menjelaskan siksa yang

menimpah mereka, bertujuan Tarhîb (menakut-nakuti) agar tidak terjerumus ke

dalam kesengsaraan. Kedua, menceritakan Ahwâl (keadaan-keadaan) orang-orang

120

Muqâran adalah upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara

permasalahan yang sama dan pula membandingkan pendapat para mufassir yang berkaitan dengan

al-Qur‟an. (Mustafa Ibrahim, Tafsîr Muqâran, hlm. 147)

Page 62: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

46

yang menentang ajaran al-Qur‟an dan menyingkap kebodohan mereka dengan

Mujâdalah (mebantah) dan Muhâjah „alâ al-Haq (ber‟argumentasi yang benar),

bertujuan untuk Ifdâh (mengungkap) kebatilan ajaran mereka, serta Tastbît

(menetapkan) kebenaran ajaran al-Qur‟an. Ketiga, menjelaskan bagaimana

memakmurkan Manâzil al-Tarîq (tempat-tempat jalan), serta tatacara

mempersiapkan bekal untuk Sulūk menuju Allah Swt.121

Maqâsid al-Qurân di dalam kitab Jawâhir al-Qurân yang ditawarkan al-

Ghazâli, sangat kental dengan istilah-istilah tasawuf. Misalnya, Tarîqah, Wusul,

Sirr, Hâl dll. Menurut Abd al-Rahmân Badawî, kitab Jawâhir al-Qurân ini

dikarang oleh al-Ghazâli sengaja untuk menjelaskan Maqâsid al-Qurân dan ilmu-

ilmu al-Qurân serta keutamaan di antara surah-surah al-Qur‟an. Kitab ini al-

Ghazâli karang tak kala beliau sudah menyelami dunia tasawuf. Hal demikian

terdapat isyarat penjelasannya pada karya al-Ghazâli yang lain, yaitu kitab al-

Qistâs al-Mustaqîm. Maka lantas, Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat

kental dengan istilah-istilah tasawuf.122

Al-Ghazâli mengibaratkan al-Qur‟an itu laksana lautan yang sangat luas

dan dalam. Dan di dalamnya terdapat Jawâhir (mutiara-mutiara) yang indah dan

jelita. Begitu pula al-Qur‟an, yang di dalamnya mengandung makna-makna yang

luas dan dalam, serta terdapat Jawâhir (mutiara-mutiara) yang diistilahkan beliau

dengan Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an). Menurut beliau, terkadang

Allah memberikan pemahaman makna al-Qur‟an kepada seseorang tidak melalui

proses pembelajaran. Akan tetapi, dengan disingkap oleh Allah rahasia-rahasia

makna al-Qur‟an kepada orang-orang tertentu. Menurut beliau :

ما م كلفة م القرآن إال وحتقيقها حموج إىل مثل ذل وإمنا يهكشف للراسخني ي العلم م أسرارو دقدر غزارة علومهم وصفاء قلوهبم وتوفر دواعيهم على التددر وجترديم للطلب ويكون

واحد حد ي الرتقي إىل درجة أعلى مهى فأما االستيفاء فال مطفع فيى ولو كان البحر مدادا لكل واألشهار أقالما فأسرار كلفات اهلل ال هناية ذلا فتهفد األحبر قبل أن تهفد كلفات اهلل عز وجل

121

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H ), h. 23-24. 122

Abd al-Rahmân Badawî, Muallafât al-Ghazâli (Kuwait: Wakâlah Matbû‟ah, 1977), h.

147.

Page 63: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

47

“tidaklah satu kalimat di dalam al-Qur‟an kecuali mewujudkannya

dibutuhkan tersingkapnya makna seperti demikian. dan sesungguhnya

tersingkapnya rahasia-rahasia al-Qur‟an bagi orang-orang yang sudah

mantap/kokoh dalam ilmunya dengan sebab kadar keluasan ilmu-ilmu mereka

dan jernihnya hati-hati mereka dan terpenuhinya sebab-sebab dalam

merenungkan al-Qur‟an. Setiap insan memiliki batasan untuk naik ke derajat

yang lebih tinggi darinya. Adapun meraih makna-makna al-Qur‟an secara

sempurna, tidak mungkin bisa dicapainya. Seandainya lautan menjadi tintanya,

dan seluruh pohonan menjadi pulpennya, maka rahasia-rahasia kalimat-kalimat

Allah tidak ada penghabisannya. Maka habisnya lautan sebelum habisnya

kalimat-kalimat Allah yang maha mulia dan agung”.123

Al-Suyûtî dalam Kitâb al-Itqân mengutip sabda Rasulullah Saw, “al-Qur‟an

itu ada makna Zâhir (tekstual), Bâtin (kontekstual), had (hukum halal dan haram),

janji dan ancaman”. Menurut Ibn Nuqaib, makna Zâhir (tekstual) hanya bisa

disingkap oleh ahli ilmu pada bidang Zâhir (makna-makna tesktual), sedangkan

makna Bâtin rahasia-rahasia makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur‟an,

hanya bisa disingkap oleh sebagian orang yang Allah informasikan yaitu `Arbâb

al-Haqâ`iq atau para Sûfî.124

Dan menurut sebagian ulama, setiap ayat al-Qur‟an

mengandung enam puluh ribu makna yang terselubung di dalamnya.

Kemudian al-Ghazâli membagikan Maqâsid a-Qur‟an sebagai mutiara-

mutiara ke dalaman dan keluasan al-Qur‟an pada enam bagian.

1. Ta‟rîf Al-Mad‟û Ilaih (Menjelaskan Yang Berhak Disembah)

Al-Ghazâli berpendapat, bahwa Maqsad al-Aqsâ (puncak tujuan-tujuan al-

Qur‟an) adalah menyeruhkan kepada seluruh manusia untuk menyembah Allah

Swt. sebagaimana perkataannya:

رس نآرقلا هبابلو ىفصألا هدصقمو ىصقألا ةوعد دابعلا ىلا رابجلا ىلعألا بر الثري ةرخآلا ىلوألاو اخقل تاوامسلا ىلعلا نيضرألاو ىلفسلا امو امهنيب امو تحت

“Intisari al-Qur‟an dan tujuan puncak al-Qur‟an adalah mengajak hamba-hamba

Allah menyembah Allah yang Maha agung, Maha tinggi, sang pencipta kehidupan

akhirat dan dunia, yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya sejagat

raya alam ini”.125

123

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm al-Dîn (Beirut: Dâr Ibn Hajm, 2005). h.

347 124

Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakar al-Suyûtî, Al-Itqân Fî Ulûm al-Qurân

(Arab : Maktabah Markaz al-Dirâsâh al-Qurāniyyah, t.t.), hal. 2310-2312 125

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H ), h. 23-24

Page 64: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

48

Al-Ghazâli menempatkat Ma‟rifatullah (mengenal Allah) sebagai Tuhan

yang berhak disembah, menjadi intisari dari keseluruhan Maqâsid al-Qurân.

Allah menjelaskan dalam Surat al-Zâriyât ayat 56 bahwa tujuan utama Allah

menciptakan Jin dan manusia adalah hanya untuk menyembah-Nya. sebagaimana

dalam Surah al-Dzâriyât/51: 56 berikut:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku”.

Menurut Ibn katsîr, Allah menciptakan manusia agar manusia menyembah

patuh kepada Allah dan bukan karena Allah butuh sesembahan mereka. Akan

tetapi maksudnya, penyembahan yang dilakukan manusia kepada Allah,

kemanfaatnya bukan untuk Allah, tapi kembali kepada manusia itu sendiri.126

Al-

Sa‟dî menafsirkan bahwa :

يذو الغاية اليت خلق اهلل اجل والإلنس ذلا, ودعث مجيع الرسل يدعون إليها ويي عبادتى، ادلتضفهة دلعرفتى وحمبتى وإلنادة إليى وإلقبال عليى وإلعراض عفا سواو، وذال يتضف معرفة اهلل

“Menyembah Allah adalah tujuan Allah menciptakan Jin dan manusia

dan Allah mengutus para Rasul menyeruh umat-umat nya agar menyembah

kepada Allah Swt. yang terkandung didalam (penyembahan Allah) adalah

mengenal, mencintai, kembali dan menuju kepada-nya dan berpaling dari selain

Allah, hal demikian adalah Ma‟rifatullah”.127

Kemudian al-Ghazâli mengutip beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan

dengan dzat, sifat-sifat, Afâl (perbuatan-perbuatan) Allah Swt. Misalnya dalam

Surat al-Syûrâ/42: 11 Allah berfirman:

“tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha

mendengar dan Melihat”.

Menurut Alî al-Sâbûnî, tidak ada yang serupa seperti Allah Swt, pada dzatnya,

sifat-sifatnya, perbuatannya, Dialah Allah Swt yang maha tunggal dan Esa. Ayat

ini bertujuan untuk mensucikan Allah Swt dari serupa pada makhluknya, karena

126

Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut: Ibn Hajm 1420 H),

h. 1768. 127

Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fî Tafsîr Kalâm al-Mannâ‟ (Riyâd:

Maktabah „Abîkân 1422), hal. 813.

Page 65: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

49

dzat Allah Swt tak seperti makhluk yang diciptakannya. Huruf Kâf disini, untuk

memberikan penguatan dan penekanan untuk menafikan keserupaan Allah Swt

dengan makhluknya.128

Menurut al-Sa‟dî, tidak ada sesuatu pun makhluk yang seperti Allah Swt pada

zat, sifat, Afâl-Nya. Karena nama-nama sifat Allah seluruhnya Asmâ` al-Husnâ

(nama-nama yang terbaik) dan sempurna. berbeda dengan sifat-sifat manusia yang

tak luput dari kekurangan. Begitu pula Afâl (perbuatan-perbuatan) Allah berbeda

dengan makhluk-Nya, karena Allah yang menciptakan ciptaan-ciptaan yang besar

seperti langit, bumi, yang Allah ciptakan sendiri tanpa campur tangan makhluk-

Nya. dan juga dzat Allah yang Esa yang tidak membutuhkan unsur-unsur yang

lain.129

2. Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju) Allah Swt

Setelah memaparkan Maqâsid al-Qurân yang pertama yaitu mengenalkan

insan kepada Allah Swt, kemudian al-Ghazâli menjelaskan tujuan al-Qur‟an yang

kedua yaitu menjelaskan Tarîq Sulûk (jalan menuju Allah Swt). Menurut al-

Ghazâli, ada dua pondasi cara atau jalan menuju Allah Swt. Pertama, dengan cara

Mulâzamah al-Zikrillah (senantiasa mengingat Allah Swt), Mukhâlafah al-Hawâ

(menentang dorongan hawâ nafsu) dan menjahukan segala hal yang menyibukan

dari zikir kepada Allah Swt.130

Dzikir secara bahasa bermakna mengingat. Ada juga sebagian pakar

berpendapat bahwa kata Dzikr itu pada mulanya berarti mengucapkan dengan

lidah atau menyebut sesuatu. kemudian makna ini berkembang menjadi

“mengingat”, karena mengingat sesuatu sering kali mengantarkan lidah

menyebutnya. Menurut Asfahânî, Dzikr itu mengupayakan menghadirkan sesuatu

yang lupa di dalam hati. dan Dzikr itu ada tiga macam.131

Pertama, Dzikr dengan

lisan yaitu dengan menyebut atau mengucapkan dengan lisan tapi tidak dihadirkan

128

Muhammad Alî al-Sâbûnî, Tafsir Safwah al-Tafāsîr (Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm

1402 H), jilid 3, h. 134. 129

Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fî Tafsîr Kalâm al-Mannâ‟ (Riyâd:

Maktabah „Abîkân 1422), hal. 754 130

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H ), h. 28. 131

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa (Jakarta:

penerbit lentera hati, 2006 ), h. 11.

Page 66: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

50

dengan hati. Di dalam Surah al-Baqarah/2: 200 yang berkaitan dengan zikir lisan

yaitu:

“Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah

dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-

banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu.

Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami

(kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di

akhirat”.

Dahulu masyarakat Arab khususnya ketika setelah melaksanakan Haji,

sangat banyak menyebut-nyebut leluhur mereka sambil membangga-

banggakannya. Kemudian Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk

memperbanyak berzikir kepada Allah serta mengagungkan Allah Swt dengan

lisan mereka sebagaimana merek menyebut-nyebut leluhur mereka, bahkan

melebihi penyebutan leluhur mereka.132

Kedua, Zikr al-Qalbi (zikir hati) yaitu

dengan menghadirkan sesuatu di hati. Ketiga, Zikr Jawârih (zikir anggota badan)

yaitu zikir dengan mengunakan anggota badan untuk ketaatan kepada Allah.133

Allah berfirman dalam Surah al-Baqarah/2: 152 yaitu:

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)

kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari

(nikmat)-Ku”.

Menurut Hasan al-Basrî, makna Dzikr kepada Allah pada ayat ini adalah

dengan dengan menjalankan segala yang Allah perintahkan.134

Senada pula

dengan Sa‟îd Ibn Jubair yang menafsirkan ayat ini yaitu :

فاذكروين دطاعيت و أذكركم مبغفريت “Ingatlah aku dengan taat atas segala perintahku, maka aku akan

mengingatmu dengan memberikan ampunan atas dosa-dosa mu”.135

.

Ibn Jarîr al-Tabarî mengutip pendapat Ja‟far bahwa beliau berkata, Allah

memerintahkan orang-orang mukmin untuk Zikrullah (mengingat Allah) dengan

132

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa (Jakarta:

penerbit lentera hati, 2006 ), h. 24. 133

Rāghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus: Dâr al-Qalam ), h.

328. 134

Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),

h. 221. 135

Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),

h. 221

Page 67: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

51

ketaatan kepada-Nya atas segala perintah-Nya dan menjahukan segala larangan

Allah. jika demikian, maka Allah akan Zikr (mengingat) kepada orang-orang

mukmin dengan mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya.136

3. Mengenalkan Keadaan Manusia Ketika Kembali Ke Akhirat

Pada tujuan-tujuan al-Qur‟an (Maqâsid al-Qurân) yang ketiga ini, al-

Ghazāli menjelaskan tentang keadaan manusia ketika kembali ke negeri akhirat.

Menurut al-Ghazâli, :

”Al-Qur‟an Meliputi menyebutkan Rûh, kenikmatan yang di dapati Sâlik

(orang-orang yang menempuh perjalanan) ketika Wusûl (sampai menuju Allah),

dan ungkapan yang menghimpun segala kenikmatan adalah surga, dan puncak

kenikmatan adalah memandang Allah Swt. meliputi juga menyebutkan kehinaan,

siksa yang didapati orang-orang yang terhalang karena teledor/mengabaikan

Sulûk menuju Allah, dan istilah yang menghimpun segala siksa adalah nereka

Jahim dan puncak siksa adalah terhalangnya dan dijahukannya dari rahmat

Allah. dan meliputi pula menyebutkan pengantar-pengantar keadaan akhirat.

diistilahkan di antaranya hari pembangkitan, Hisâb, Mîzân (timbangan),

jembatan Sirât mustaqîm”.137

Al-Ghazâli menjelaskan Ahwâl (keadaan-keadaan) orang-orang yang

menempuh jalan menuju Allah dan orang-orang yang mengabaikan jalan menuju

Allah. Menurut al-Ghazâli bahwa sepertiga al-Qur‟an menjelaskan keadaan-

keadaan hari akhir. Diawali dari kematian, kehidupan barzakh, hari pembangkitan,

hari Hisâb, Mîzân, surga dan neraka. Dan puncak kenikmatan yang Allah berikan

kepada hamba-hambanya yang Sulûk (menuju Allah) dengan taat kepada adalah

kenikmatan memandang Allah Swt. dan puncak siksa yang Allah berikan kepada

hamba-hamba-Nya yang mengabaikan Sulûk (menuju Allah) dengan mengikuti

Hawa nafsunya adalah terhalangnya tidak bisa memandang Allah dan dijahukan

dari rahmat Allah. Sebagaimana Surah al-Qiyâmah 75:23 berikut:

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri 23. Kepada

Tuhannyalah mereka Melihat”.138

136

Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-

Risalah 1415 H), jilid 2, h. 695. 137

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H), h. 30. 138

QS al-Qiyâmah 75 : 22-23

Page 68: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

52

Menurut al-Qurtûbî, mayoritas ulama menafsirkan ayat ini bahwa nanti

para penghuni surga akan memandang Allah Swt. Ibn „Umar menafsirkan, bahwa

penghuni surga yang paling mulia adalah mereka yang diberi kesempatan untuk

memandang Allah setiap pagi dan petang. Senada pula Hasan, bahwa nanti di hari

akhir, penghuni surga akan memandang Allah. akan tetapi, tidak semua ulama

sepakat dengan pendapat di atas, mereka ber‟argumentasi bahwa Allah itu bukan

materi yang bisa dijangkau oleh mata-mata manusia. mereka berpendapat bahwa

yang dimaksud memandang disini bukan memandang dzat Allah, akan tetapi

memandang pahala dari Allah.139

dan begitu pula sebaliknya, mereka yang

mengabaikan Sulûk (menuju Allah) dengan mengikuti Hawa nafsunya, akan

terhalang tidak bisa memandang Allah dan dijahukan dari rahmatnya.

Sebagaimana firman-Nya :

“Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup

dari Tuhan mereka”.140

Menurut Ibn Katsîr, bahwa nanti di hari akhir para penghuni neraka akan

terhalang tidak bisa memandang Allah Swt. Begitu pula Ibn Jarîr mengutip

pendapat Hasan, bahwa nanti di hari akhir, Allah menutup/menghalangi orang-

orang kafir sehingga tidak bisa memandang Allah Swt. Imam al-Syâfi‟î juga

berpendapat, bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa orang-orang kafir tidak bisa

memandang Allah Swt.141

4. Menjelaskan Kisah-kisah Sâlik (Orang-orang Taat Menuju Allah) Dan

Nâkib (Orang-orang Yang Mengingkari Allah Swt)

Menurut al-Ghazâli, selanjutnya tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah menjelaskan

kisah-kisah perjalanan orang-orang yang menuju Allah seperti para Nabi, Awliyâ‟

(kekasih Allah), orang-orang shālih, dan kisah perjalanan orang-orang yang

mengingkari serta membangkang kepada Allah Swt. seperti Fir‟aun, Qârun, Iblîs,

139

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar al-Qurtubî, Jâmi‟ Li al-Ahkâm al-Qurân

(Beirut: Mu`assah al-Risâlah, 1427 H), Jilid 21, hal. 427-428. 140

QS al-Mutaffifîn 83 : 15 141

Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),

h. 1973

Page 69: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

53

Namrûd, Syaitân, kaum Âd, Lût, orang-orang kafir, munafik dan lain-lain

sebagainya. Jika kisah-kisah yang baik bertujuan untuk Targîb (memotivasi/

membangkitkan hasrat pembaca) agar mengikuti jalan menuju Allah. dan kisah-

kisah yang tidak baik bertujuan untuk Tarhîb (menakut-nakuti/memperingati) agar

tidak terjerumus ke jalan yang salah.142

Ada beberapa Maqâsid (tujuan-tujuan) kisah-kisah didalam al-Qur‟an

diantaranya :

- Menjelaskan prinsip para Nabî dalam ber‟dakwah yaitu mengajak untuk

menyembah Allah Swt.

- Sebagai „Ibrâh (pelajaran yang terkandung didalam kisah).143

- Meneguhkan hati Nabi dan orang-orang ber‟iman ketika tertimpa ujian dalam

ber‟dakwah / ketaatan kepada Allah

- Membenarkan para Nabi terdahulu dan mengabadikan jejak perjuangan mereka

- Sebagai pembenar kenabian Nabi Muhammad atas kebenaran berita massa lalu

dan massa yang akan datang yang sesuai dengan fakta dan realita.144

5. Membantah Keyakinan Orang-orang Kafir Dan Menyingkap Kesalahan

Mereka Dengan Bukti/argumentasi Yang Jelas

Tujuan al-Qur‟an selanjutnya menurut al-Ghazâli adalah Mujâdalah al-Kuffâr

(mebantah keyakinan orang-orang kafir) dan memaparkan kebatilan-kebatilan

keyakinan mereka dengan Burhân al-Wâdih (bukti yang jelas/nyata). Sekiranya

ada tiga pokok permasalahan menurut al-Ghazâli atas keyakinan-keyakinan

orang-orang kafir yang salah di dalam al-Qur‟an. Pertama, mereka menisbatkan

Allah dengan hal-hal yang tidak pantas bagi Allah. Misalnya, mereka meyakini

ada sekutu bagi Allah, malaikat adalah anak Allah. Kedua, mereka menisbatkan

hal-hal yang tidak pantas bagi para Nabi. Misalnya, menuduh Nabi seorang

penyihir, pendusta, manusia biasa yang tak layak diikuti. Ketiga, mereka

mengingkari hari akhir, pembangkitan, Hisâb, surga, nereka.

142

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H), h. 31.

143

Dr. Nurdin, Ulûm al-Qurân Al-Karîm, (Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1414 H), h.

240-241. 144

Mannā‟ al-Qattân, Mabâhis Fī Ulûm al-Qurân (kāiro : Maktabah al-Wahbah, t.t.), h.

301-302

Page 70: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

54

Pertama, al-Qur‟an membantah penisbatan orang-orang kafir hal-hal yang

tidak layak bagi Allah, seperti menisbatkan Allah memiliki anak. Dalam Surah al-

Ikhlâs /112: 1 berikut:

“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.

Menurut „Ikrimah, orang-orang Yahûdi menyembah „Uzair anak Allah, orang-

orang Nasrani menyembah Isa sebagai anak Allah, orang-orang Musyrik

menyembah berhala-berhala sebagai perantara kepada Allah.145

Kemudian di

turunkan Surat al-Ikhlâs sebagai bantahan bahwa tidak layak menjadikan sekutu

bagi Allah Swt, bahwa Allah itu Esa pada dzat-Nya tidak terdiri dari unsur-unsur

atau bagian-bagian. karena bila dzat yang maha kuasa itu terdiri dari dua unsur

atau lebih, betapapun kecilnya unsur tersebut, maka ini berarti Dia membutuhkan

unsur atau bagian itu atau dengan kata lain unsur (bagian) itu merupakan syarat

bagi wujud-Nya dan ini bertentangan dengan sifat ketuhanan yang tidak

membutuhkan sesuatu apapun.146

Kedua, al-Qur‟an membantah penisbatan orang-orang kafir hal-hal yang tidak

layak kepada para Nabi, seperti penyair, penyihir, pendusta, penipu. Dalam Surah

Yâsîn/36: 69:

”Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu

tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab

yang memberi penerangan”.

Menurut Baydâwî, ayat ini sebagai bantahan bahwa nabi Muhammad tidak di

ajarkan syi‟ir, karena al-Qur‟an bukan syi‟ir yang bersajak dan tersusun baik

secara lafadz dan makna seperti imajinasi-imajinasi yang dibuat oleh para penyair.

Akan tetapi al-Qur‟an adalah peringatan, petunjuk dan kitab Samawi yang

bersumber dari Allah.147

Ketiga, al-Qur‟an membantah atas pengingkaran orang-orang kafir atas

kepastian hari pembangkitan, Hisâb, hari pertimbangan, surga, dan neraka. Dalam

Surah Yâsîn ayat 78-79 bahwa orang-orang kafir mengingkari hari akhir karena

145

Muhammad Ali al-Sabûnî, mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr (Beirut: Dâr al-Qurân al-

Karîm 1402), Jilid ke-3, hal. 693. 146

Muhammad Quraish Shihâb, Tafsîr al-Misbâh (Jakarta: Lentera Hati 2002), jilid 15,

hal. 612. 147

Abdullah Ibn „Umar Ibn Muhammad al-Syîrâzî al-Baydâwî, Tafsîr Anwâr al-Tanzîl

Wa Asrâr al-Ta`wîl (Beirut: Dâr al-Rasyîd, t.t.), jilid 3, hal 139.

Page 71: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

55

berkeyakinan bahwa Allah tidak mampu menghidupkan kembali manusia setelah

hancur menjadi tulang-berulang. Menurut Ibn Jarîr,:

“orang-orang kafir menyangka bahwa Allah tidak mampu menghidupkan

kembali manusia yang sudah menjadi tulag-berulang. Mereka membuat

per‟umpamaan akan tetapi melupakan asal muasal mereka bahwa dahulu mereka

hanya sekedar air mani yang hina, kemudian Allah mampu menciptakan mereka

dengan bentuk yang sempurna. Tentu menciptakan awal saja Allah mampu,

apalagi hanya sekedar mengulang menghidupkan kembali”148

6. Menjelaskan Bagaimana Memakmurkan Manâzil al-Tarîq (Tempat-tempat

Jalan) Serta Tatacara Mempersiapkan Bekal Untuk Sulûk Menuju Allah

Swt.

Al-Ghazâli mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah Manzil Baina

Manâzîl Ilâ Allah (tempat di antara tempat-tempat proses Sulûk menuju Allah)

dan badan manusia adalah kendaraannya. Barang siapa yang lengah mengabaikan

kendaraan (badan), maka tidak akan sempurna perjalanan Sulûk menuju Allah.

kemudian untuk keberlangsungan sempurna Suluk menuju Allah, al-Ghazâli

menyarankan agar menjaga kemaslahatan badan manusia atau istilah para ahli

Usûl al-Fiqih adalah Jalb al-Masâlih (menarik segala kemaslahatan) dan

mencegah segala kerusakan badan atau Daf‟u al-Mafâsid (mencegah segala

kemafsadatan).149

Untuk menjaga kemaslahatan badan, maka Allah memerintahkan manusia

untuk mengkomsumsi makanan untuk menjaga dan menarik kemaslahatan badan

manusia. Menurut Quraish Shihab, terdapat 27 kali perintah makan di dalam al-

Qur‟an. Dan di dalam al-Qur‟an, yang selalu ditekankan dalam konteks perintah

makan ada dua sifat yaitu Halâl dan Tayyibah (baik).150

Dan pula menurut al-

Ghazâli untuk mejaga keberlangsungan manusia, maka Allah mensyariatkan

menikah dan menjelaskan segala hal-hal yang berkaitan dengan Nikah. Seperti

ayat-ayat Talâq, Rujû‟, „Iddah, mahar, Li‟ân, Zihâr. Ini semua disyariatkan

sebagai bentuk penjagaan keturunan manusia.

148

Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-

Risalah 1415 H), jilid 19, h. 487-488. 149

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H), h. 32-33. 150

Dr. Muhammad Quraish Sihâb, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan

1992), hal. 287.

Page 72: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

56

Kemudian menurut al-Ghazâli, ada beberapa hal mencegah sebab-sebab

kerusakan jiwa/badan manusia. Disyariatkan Qisâs, untuk mencegah sewenag-

wenang menghilangkan nyawa orang lain. Disyariatkan pula Hadd al-Sariqah

(hukuman potong tangan bagi pencuri), untuk mencegah sewenang-wenang

mengambil harta orang lain tanpa hak. Begitu pula di syariatkan Hadd al-Zinâ

(hukuman bagi penzina), untuk mencegah kerancuan nasab/keturunan manusia. an

adapun disyariatkan Jihâd, untuk mencegah orang-orang yang melakukan

anarkisme penentang agama untuk mencegah kerusakan agama manusia, karena

agama sebagai sarana untuk sampai menuju Allah.151

Apa yang dipaparkan al-Ghazâli di atas, istilah yang digunakan ulama

Usûl al-Fiqih adalah al-Darûriyyah al-Khams (lima perkara mendesak/penting

pada kehidupan manusia) yaitu Hifz al-Dîn (menjaga agama), Hifz al-Nafs

(menjaga jiwa), Hifz al-Aql (menjaga akal), Hifz al-„Ird (menjaga kehormatan),

Hifz al-Mâl (menjaga harta). 152

B. MAQÂSID AL-QURÂN PERSPEKTIF RASYÎD RIDÂ

Rasyîd Ridâ termaksud ulama kontemporer yang memberikan kajian

Maqâsid al-Qurân secara panjang. Hal demikian bisa ditemukan dalam Tafsîr al-

Manâr pada jilid 11 di awal Surah al-Yunûs. Secara umum Maqâsid al-Qurân

menurut Rasyîd Ridâ adalah

إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاذلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم مقاصد القرآن يو اإلنسانية وترقية عقوذلم وتزكية أنفسهم

“Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas,

kaum, serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan

kesatuan persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka,

dan membersikan jiwa mereka”.153

Kemudian menurut Ahmad Raisûnî, Rasyîd Ridâ mengklasifikasikan

pembahasan Maqâsid al-Qurân sampai 10 bagian.154

Pertama, memperbaiki tiga

151

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H), h. 32-33. 152

Abd al-Wahhâb al-Khallâf,„Ilmu Usûl Al-Fikih (Indonesia: Penerbit al-Haramain 2004),

hal. 200. 153

Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349 H), jilid 11, h. 206. 154

Ahmad Raisûnî, Maqâsid Maqâsid (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 2007), hal 16.

Page 73: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

57

rukun/pondasi agama Islam yaitu memperbaiki keimanan kepada Allah, hari

pembakitan, amal shalih. Kedua, menjelaskan bodohnya manusia tentang risalah

kerasulan dan tugas-tugas para Rasul. Ketiga, menjelaskan Islam agama yang

sesuai dengan fitrah, akal, berdasarkan ilmu, hikmah, bukti dan argumentasi

secara ilmiah, hati, perasaan, dan membebasakan dari kejumudan. Keempat,

memperbaiki masyarakat manusia, dan mengatur untuk merealisasikan persatuan.

Kelima, menetapkan keistimewaan Islam pada memberikan Taklîf (pembebanan

hukum). Keenam, menjelaskan hukum berpolitik dalam Islam. Ketujuh, petunjuk

al-Qur‟an dalam mengelola harta. Kedelapan, memperbaiki aturan/sistem

berperang dalam al-Qur‟an serta mencegah segala kemafsadatan. Kesembilan,

memberikan hak-hak perempuan. Kesepuluh, membebaskan perbudakan.

1. Memperbaiki Tiga Pondasi Agama Islam (Keimanan, Amal Shalih, Hari

Akhir)

Tujuan Maqâsid al-Qurân yang pertama menurut Rasyîd Ridâ adalah

memperbaiki tiga pondasi agama yaitu keimanan, amal shalih, hari akhir. Ketiga

pondasi ini menjadi syarat bergantungnya kebahagian seseorang di dunia dan di

akhirat.

Pertama, Islâh al-Îmân (memperbaiki keimanan kepada Allah). Menurut

Rasyīd Ridā, banyak sekali kaum-kaum yang tersesat dalam permasalahan

keimanan kepada Allah, sampai-sampai penyimpangan/penyelewengan keimanan

kepada Allah juga terjadi kepada umat-umat yang dekat dengan petunjuk para

nabi-nabi terdahulu, Seperti kaum Nasrani yang meyakini Tastlîst (trinittas) yang

berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang ketiga dari Tuhan yang tiga. Dan

pula sebagian orang-orang Yahudi yang meyakini bahwa „Uzair adalah anak

Tuhan. Hadir al-Qur‟an untuk Islâh Îmân (memperbaiki keimanan kepada Allah)

agar manusia mengesakan Allah Swt, sebagaimana ajaran yang dibawa oleh para

nabi yaitu ajaran Tawhîd.155

Kedua, memperbaiki keimanan pada hari akhir di antaranya hari

pembangkitan, Hisâb, Jazâ‟ (balasan atas segala perbuatan). Menurut Rasyîd Ridâ,

155

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 206.

Page 74: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

58

telah terjadi Fasâd (kerusakan) dalam keimanan kepada kepastian hari akhir pada

ajaran umat-umat sebelum datangnya ajaran Islam. Di antaranya, orang-orang

musyrik yang sangat mengingkari kepastian hari akhir. Banyak sekali ayat al-

Qur‟an yang mengambarkan pengingkaran mereka terhadap hari akhir.156

Misalnya dalam Surah al-Mu‟minûm/23: 37:

“Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita

hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi”.

Ibn Jarîr mengutip pendapat Ibn Zaid, bahwa orang-orang musyrik berkata

demikian karena mereka mengkufuri atau tidak mempercayai hari akhirat dan hari

pembangkitan. Mereka berkata bahwa manusia itu seperti tanaman. Tanaman

ketika tumbuh itu laksana kehidupan manusia, dan ketika panen itu laksana

kematian manusia dan tidak ada lagi kehidupan setelah panen/kematian.157

Begitu pula rusaknya keyakinan Ahl al-Kitâb (orang-orang Yahudi dan

Nasrani) terhadap keimanan pada hari akhir setelah terjadi Tahrîf (penyimpangan)

terhadap kitab-kitab suci mereka. Orang-orang Nasrani meyakini Nabi „Isâ

sebagai juru selamat yang menebus segala dosa-dosa yang dilakukan orang-orang

Nasrani.

Ketiga, amal shalih adalah buah dari keimanan kepada Allah dan yaum al-

Jaza‟ (hari pembalas). Menurut Rasyîd Ridâ, keimanan kepada Allah dan hari

akhir yang mantap di jiwa, akan memotivasi untuk gemar beramal kebaikan dan

pula akan mencegah beramal buruk, karena seorang yang kuat keimanannya

kepada Allah dan hari akhir, ia yakin bahwa sekecil apapun amalan akan diganjar

oleh Allah.158

Sebagaimana firman Allah Surah al-Zalzalah/99: 7:

“7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia

akan melihat (balasan)nya. 8. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan

sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.

156

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 200. 157

Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-

Risalah 1415 H), jilid 19, h. 44. 158

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 207.

Page 75: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

59

Menurut Alî Sâbûnî,159

barang siapa yang berbuat kebaikan sekecil debu, ia

akan mendapatkan pada catatan amalnya dan mendapatkan balasan dari Allah Swt,

begitu pula perbuatan keburukan. Menurut Ibn Abbās, jika kau meletakan telapak

tanganmu di tanah kemudian kau angkat tanganmu, dan menempelkan debu-debu

yang kecil di tanganmu maka demikianlah Zarrah. Maksud dari ayat ini, Allah

Swt memberikan perumpamahan bahwa tidak ada sekecilpun amalan yang di

lakukan oleh manusia yang luput dari pengawasan Allah.

2. Menjelaskan Kebodohan Manusia Tentang Risalah Kenabian Serta Tugas-

tugas Para Rasul

Tujuan Maqâsid al-Qurân yang kedua adalah menjelaskan kejahilan manusia

tentang Risalah kenabian dan fungsi-fungsi para Nabi. Menurut Rasyīd Ridâ,

hampir mayoritas masyarakat Arab mengingkari tentang Risalah kenabian. Orang-

orang Musyrik sangat mengingkari kenabian, karena mereka berpendapat bahwa

semua manusia sama dan tidak ada manusia yang diberikan kelebihan dari Allah.

begitu pula orang-orang Yahudi yang mengingkari kenabian yang bukan dari

bangsa Bani Israil dan hanya membatasi kenabian hanya dari bangsa mereka Dan

mereka mensifati kepada para Nabi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka

dengan penipu, pendusta, dan bahkan mereka tega membunuh para Nabi dengan

cara zalim. Dan pula orang-orang Nasrani yang mensucikan pendeta-pendeta dan

para Nabi mereka, sampai sebagian para Nabi dijadikan Tuhan oleh mereka selain

Allah.160

Di antara Tujuan diturunkan al-Qur‟an, untuk menjelaskan serta

meluruskan kejahilan manusia tentang Risalah kenabian, bahwa setiap umat pasti

diutus seorang Rasul, serta keniscayaan Allah mengutus Rasul untuk

menyampaikan wahyu dari Allah dan menjelaskan pula tugas-tugas para Nabi

yang di utus oleh-Nya. Firman Allah dalam Surah al-Nahl/16: 36 berikut:

159

Muhammad Alî Sâbûnî, Safwah al-Tafāsîr (Beirut: Dâr al-Qurân 1402 H), jilid 3, hal.

591. 160

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 219.

Page 76: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

60

“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk

menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”.

Menurut Ibn Katsîr, Allah mengutus Rasul pada setiap generasi umat

untuk menyeruh membawa misi Tawhîd (mengesakan dan menyembah Allah

Swt). Dan senantiasa Allah mengutus Rasul kepada manusia dari terjadian awal

kesyirikan kaum Nabi Nuh sehingga diutus Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad

Saw sebagai Nabi terakhir. Dan seluruh para Nabi memiliki misi yang sama yaitu

mengajak seluruh manusia untuk menyembah Allah serta melarang mereka

menyembah selain Allah Swt.161

Di antara tugas-tugas fungsi para Nabi diutus

oleh Allah diantaranya, Pertama, untuk mengeluarkan manusia dari

ber‟anekaragam kegelapan menuju cahaya kebenaran yang diridhai Allah Swt.

Kedua, Tablîgh (menyampaikan segala yang diwahyukan dari Allah). Ketiga,

menyampaikan Tabsyîr (kabar gembira) dan Tanzîr (peringatan). keempat,

membaca ayat-ayat Allah, dan mensucikan mereka serta mengajarkan kitab dan

hikmah.162

Menurut Ridâ, yang dimaksud dengan membacakan ayat-ayat Allah

adalah ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur‟an, atau ayat-ayat kauniyyah (alam

semesta) yang menunjukan atas besarnya kekuasaan Allah. kelima, Tazkiyyah al-

Nafs (mensucikan jiwa, akal, qalbu manusia dari segala keburukan). Keenam,

mengajarkan al-Kitâb (al-Qur‟an) dan al-Hikmah (pengajaran yang mendorong

untuk memperbaiki moral dan perbuatan manusia). 163

3. Islam Agama Yang Sesuai Dengan Fitrah, Akal, Berdasarkan Ilmu,

Hikmah, Bukti Dan Argumentasi Secara Ilmiah, Hati, Perasaan, Dan

Membebasakan Dari Kejumudan.

Menurut Rasyid Ridâ, sebelum datangnya Islam ajaran yang dibawa oleh

Rasulullah, manusia tidak mengenal ajaran agama kecuali ajaran yang

bertentangan dengan Fitrah manusia, akal sehat manusia, ajaran yang menyiksa

diri manusia. kemudian Allah mengutus Nabi Muhammad dengan membawa

161

Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm (Beirut: Dâr Ibn Hajm

1402 H), h. 1062. 162

Umar Sulaimân al-Asyqâr, Rasul Wa Risâlah (Kuwait: Penerbit Al-Falâh, 1983), h.

43-50. 163

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 260.

Page 77: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

61

Risalah al-Qur‟an bertujuan menjelaskan bahwa Islam itu agama yang sesuai

dengan Fitrah, akal sehat manusia, berdasarkan dengan ilmu, bukti, argumentasi

secara ilmiah, dan agama yang sesuai dengan hati, perasaan manusia.164

Pertama, Dîn al-Fitrah (agama fitrah). Fitrah secara etimologi menurut

Rāgib al-Asfahânî, memiliki beragam makna. Di antaranya membelah, memeras,

menciptakan sesuatu yang tidak ada contohnya, keadaan awal dalam penciptaan

manusia.165

Makna Fitrah yang sesuai dalam konteks Fitrah al-Dîn (fitrah agama)

terdapat dalam Surat al-Rûm/30: 30:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;

(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud Fitrah pada ayat ini adalah

kondisi atau keadaan penciptaan yang terdapat pada diri manusia yang

menjadikan manusia berpotensi untuk mengenal Allah dan ajaran-ajaran

syariatnya.166

Kedua, Dîn al-Aql Wa al-Fikr (agama yang berlandasan sesuai dengan

akal dan pikiran sehat). Menurut Ridâ, kata Aql didalam al-Qur‟an lebih dari 50

ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan akal manusia. Ini mengisyaratkan

betapa urgensinya akal bagi manusia dan pula bahwa Islam adalah ajaran yang

berlandasan sesuai dengan akal sehat manusia. banyak sekali fungsi akal di dalam

al-Qur‟an. di antaranya yaitu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an, untuk

merenungkan besarnya kekuasan Allah atas penciptaan alam semesta, untuk

memahami maksud syariat yang Allah perintahkan kepada manusia, agar tidak

terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan dan kesengsaraan.

Ketiga, Dîn al-„Ilmi Wa al-Hikmah (agama yang berlandaskan ilmu dan

hikmah). Kata علم menurut Rāghib al-Asfahânî adalah mengetahui sesuatu dengan

hakikatnya/sebenar-benarnya.167

Islam itu adalah Dîn al-„Ilmi (agama yang

164

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 224. 165

Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus: Dâr al-Qalam ), h.

353. 166

Muhammad Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati 2002), jilid 7, hal.

402. 167

Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus : Dār al-Qalam ),

h. 580.

Page 78: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

62

berlandaskan pada ilmu) bukan ajaran agama yang berlandsan Taqlîd buta dan

menduga-duga/perasangka. Dan Hikmah menurut Rasyîd Ridâ mengandung

makna yang lebih khusus dari pada ilmu. Karena hikmah menurut beliau adalah

mengetahui sesuatu secara hakikatnya yang didalamnya mengandung manfaat-

manfaat yang membangkitkan melakukan perbuatan-perbuatan baik.168

Keempat, Dîn al-Hujjah Wa al-Burhân (agama yang berlandaskan pada

argumentasi dan bukti yang jelas dan nyata). Tidak seperti ajaran-ajaran orang-

orang kafir yang menjadi berhala-berhala sebagai sesembahan mereka yang tak

berlandaskan dengan argumentasi dan bukti yang jelas.

Kelima, Dîn al-Qalb Wa Wijdân Wa Damîr (agama yang sesuai dengan

hati manusia). Segala syariat yang Allah tetapkan dalam ajaran Islām, seluruhnya

tidak ada yang bertentangan dengan hati manusia. oleh karena itu, tidak ada

paksaan dalam menganut agama dalam Islam dan tidak ada penindasan atau

kezalimanan dalam ajaran Islam, karena Islam ajaran yang senada dengan

sanubari hati manusia.169

4. Memperbaiki Masyarakat Manusia Dengan Merealisasikan Delapan

Persatuan/persaudaraan

Tujuan Maqâsid al-Qurân selanjutnya yaitu memperbaiki masyarakat

manusia dengan merealisasikan persaudaran dan persatuan. Kemudian ada

delapan hal yang harus dipersatukan di dalam al-Qur‟an menurut Ridâ. Pertama,

Wahdah al-Ummah (persatukan umat), Wahdah al-Jinsyi al-Basyarî (menyatukan

persaudaraan di antara manusia), Wahdah al-Dīn (persatukan agama), Wahdah al-

Tasyri‟ (persatuan syariat), Wahdah al-Ukhuwwah al-Ruhiyyah (menyatukan

persaudaraan seagama), Wahdah al-Jinsiyyah al-Siyâsiyyah al-Wataniyyah

(persatuan persaudaraan sesama bangsa/negara), Wahdah al-Qadâ‟ (persatuan di

hadapan hukum), Wahdah al-Lughah (persatuan bahasa).170

168

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 247-248. 169

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 248-252. 170

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 256.

Page 79: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

63

Persatuan dan persaudaraan di kalangan manusia menjadi bagian dari

Maqâsid al-Qurân, karena sebelum al-Qur‟an diturunkan ke bumi, manusia saling

bertengkar, bermusuhan karena perbedaan nasab, warna, bahasa, agama, bangsa,

kabilah dan lain-lain. mereka saling menindas, menzalimi, berperang satu sama

lain. datang ajaran al-Qur‟an yang dibawa oleh Nabi Muhammad menyuarakan

dan mengajak menuju Wahdah baina al-Insaniyyah (persatuan/persaudaraan di

antara manusia).171

Menurut Quraish Shihab, Ukhuwwah pada mulanya berarti persamaan dan

keserasian dalam banyak hal. karenanya, persamaan dalam keturunan, keimanan,

kemanusiaan mengakibatkan persaudaraan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab,

ditemukan bahwa kata Akh juga digunakan dalam arti teman atau kerabat. Dalam

al-Qur‟an, kata akh dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali, sebagian

dalam arti “saudara kandung” seperti pada ayat-ayat yang berbicara tentang

kewarisan QS al-Nisâ/4: 12. Dan sebagian mengandung arti “saudara sebangsa

walau tidak seagama”, sebagaimana dalam Surah al-A‟rāf/7: 65 “Wa ilâ „âd

akhâhum Hûd” (“dan kepada saudara mereka kaum‟Âd, Hûd”). Dalam bentuk

jamak dari kata akh ada dua macam. Pertama, Ikhwân yang digunakan untuk

persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali di

dalam al-Qur‟an. Kedua, Ikhwah terdapat tujuh kali ditemukan dalam al-Qur‟an,

yang mengandung makna persaudaraan seketurunan. Misalnya (QS 12: 58) yang

mengkisahkan kedatangan saudara-saudara kandung Nabi Yusuf dengan

menggunakan istilah Ikhwah.172

5. Menetapkan Keistimewan-keistimewaan Islam Secara Umum Dalam

Menetapkan Taklîf (Pembebanan Hukum)

Maqâsid al-Qurân selanjutnya menurut Ridâ adalah menjelaskan

keistimewaan hukum syariat Islam yang berbeda dengan ajaran-ajaran syariat

agama lain. Kemudian Ridâ meringkas terdapat beberapa hal keisitimewaan

hukum Taklif yang ditetapkan ajaran Islam.

171

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 257. 172

Muhammad Quraish Shihâb, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan,

1992 ), hal. 357.

Page 80: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

64

Pertama, bersifat Wasatiyyah (moderat) yang menghimpun antara hak

jasmani dan hak rohani manusia.173

Menurut Abdu, keadaan manusia sebelum

datangnya ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian. bagian pertama, manusia

yang bersifat materialis yang hanya memikirkan hak-hak jasmani saja seperti

Yahudi, dan orang-orang Musyrik. Bagian kedua, manusia yang bersifat non

materialis yang hanya memikirkan hak-hak ruhani saja sehingga meninggalkan

dunia dan kenikmatan dunia, seperti orang-orang Nasrani, Sabi`in, kelompok

orang-orang Hindu. Allah menjadikan umat Islam adalah umat moderat, seimbang

yang menghimpun antara hak jasmani dan hak ruhani tanpa mengabaikan satu

sama lain, karena manusia terdiri dari jasad dan ruh. Kedua, tujuan syariat hukum

Islam adalah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. QS Tâhâ 20: 2 Allah

berfirman:

“Kami tidak menurunkan al-Qur‟an kepada mu (Muhammad) agar kamu

menjadi sengsara“.

Menurut Ibn Jarîr, Allah tidak menurunkan al-Qur‟an untuk sengsara.

Akan tetapi, Allah menurunkan al-Qur‟an sebagai rahmat untuk kemaslahatan

manusia, cahaya yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di

akhirat.174

Ketiga, tujuan hukum Islam adalah agar terjalini hubungan

persaudaraan yang harmonis di antara manusia, bukan untuk memecah bela dan

permusuhan di antara manusia sebagaimana yang dituduh para orentalis barat.

Keempat, keadaan hukum Islam itu menekankan kemudahan bukan untuk

mempersulit dan menyusahkan. Kelima, Islam melarang Ghulûl ekstrim dalam

beragama dan membatalkan segala syariat yang menyiksa diri manusia. QS al-

A‟râf 7:32 menurut Ibn Katsîr, Ibn Abbâs berpendapat bahwa orang-orang

Musyrik dahulu mengharamkan mengunakan pakaian ketika bertawaf. Kemudian

Allah batalkan ajaran ekstrim yang dibuat orang-orang musyrik.175

Menurut Sâ‟dî,

ayat ini sebagai bantahan terhadap ajaran-ajaran yang mengharamkan makanan,

minuman, pakaian yang baik-baik, karena segala yang baik (Tayyibât) disediakan

173

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 518. 174

Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-

Risalah 1415 H), jilid 5, h. 183. 175

Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm

1402 H), h. 753.

Page 81: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

65

Allah untuk orang-orang mu‟min di dunia.176

Keenam, sedikitnya taklif dalam

ajaran Islam dan taklif menjadi dua bagian. pertama, Rukhsâh (keringanan).

Kedua, „Azîmah. Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Rukhsâh adalah apa yang

disyariatkan Allah dari hukum-hukum sebagai keringanan atas Mukallaf pada

keadaan tertentu atau membolehkan apa yang dilarang karena uzur memberatkan

pelaku Mukallaf.177

6. Menjelaskan Hukm Al-Islâm Al-Siyâsî (Hukum politik Islam)

Tujuan al-Qur‟an selanjutnya adalah Menjelaskan Hukm al-Islâm al-Siyâsî

(Hukum politik Islam). Secara global, Ridâ menjelaskan Qawâid al-Asâsiyyah

(kaidah-kaidah dasar) dan Usûl al-Tasyrî‟ (prinsip-prinsip penetapan hukum)

dalam politik Islam. Di antara kaidah-kaidah dasar dalam politik Islam adalah

Syûrâ (musyawarah), keadilan, mencari kebenaran, Musâwah (persamaan) dalam

memberikan hak-hak, saksi, dan hukum. Dan pula menetapkan segala

kemaslahatan dalam kebijakan, mencegah segala kemafsadatan.178

Dan diantara

Usūl al-Tasyrî (prinsip-prinsip dasar menetapkan hukum) dalam politik Islam

yaitu:

Pertama al-Qur‟an. yang masyhur di kalangan ulama Usul fikih adalah Ayât

al-Ahkâm (ayat-ayat hukum) yang hanya sekitar 500 ayat. Al-Qur‟an ini menjadi

referensi primer bagi umat muslim dalam menetapkan hukum. Karena al-Qur‟an

adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bagi secara lafadz

dan maknannya. Dan segala hukum yang di dalamnya wajib bagi umat muslim

mengikutinya, karena bersumber dari Allah disampaikan dengan cara Qat‟î tanpa

diragukan lagi kebenarannya.

Kedua Sunnah Rasulullah Saw. Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf definisi

Suunah secara Syar‟i adalah apa saja yang bersumber dari Rasulullah bagi dari

perkataan, perbuatan, ketetapan.179

Banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an yang

176

Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fī Tafsîr Kalâm al-Mannân

(Riyâd : Maktabah „Abîkân, 1422), hal. 287. 177

Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain

2004 M), h. 161. 178

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 268. 179

Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain

2004 M), h. 36.

Page 82: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

66

menjelaskan bahwa wajibnya bagi umat muslim untuk menjadikan Sunnah

sebagai Hujjah. Qs al-„Imrân/3: 32 berikut:

“Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”

Ketiga, Ijmâ‟ al-Ummah (konsensus umat) atau kesepakatan para mujtahid.

Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Ijmâ‟ adalah kesepakatan para mujtahid

dikalangan umat Islam pada beberapa generasi setelah wafatnya Rasulullah atas

hukum syar‟i yang terjadi.180

Keempat, Ijtihad para Imam, „Umarâ` (pemerintah) dalam urusan hukum,

politik, kebijakan, kemiliteran, dan lain-lain sebagainya. Dalil yang melegitimasi

melakukan ijtihad adalah Qs al-Nisâ`/4: 59 berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),

dan ulil amri di antara kamu”.

Lafadz Ulî al-Amr menunjukan arti umum. Jika berkaitan dengan agama,

maka Ûlî al-Amr adalah ulama/para Mujtahid. Akan tetapi jika dikaitkan dengan

negara, maka Ûlî al-Amr adalah pemimpin/pemerintah.

7. Irsyâd Ilâ Al-Islâh Al-Mâlî (Petunjuk Memperbaiki/mengelola Harta

Dengan Baik)

Tujuan-tujuan al-Qur‟an selajnutmya adalah Irsyâd Ilâ al-Islâh al-Mâlî

(petunjuk memperbaiki harta) dalam naungan petunjuk al-Qur‟an. Ridâ

mengklasifikasi bagian ini menjadi enam kaidah.181

Pertama, menjelaskan kaidah umum bahwa harta pada dasarnya adalah

Fitnah Wa Ikhtibâr (ujian) dari Allah Swt dalam kebaikan atau keburukan. Dalam

Surat al-Taghâbûn/64: 15 berikut:

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu),

dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

180

Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain

2004 M), h. 46. 181

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 272.

Page 83: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

67

Menurut Ibn Katsîr, harta itu adalah Ibtilâ‟ (ujian), dengannya Allah

mengetahui siapa yang taat bersyukur kepada-Nya dan siapa yang bermaksiat

dengan mengkufuri nikmat harta.182

Senada pula menurut al-Baidâwî, bahwa harta

adalah ujian dari Allah, jangan sampai kecintaanmu yang melampaui batas

terhadap harta membuatmu berkhianat kepada Allah dengan durhaka pada-Nya.183

Kedua, harta berpotensi menyebabkan manusia melampaui batas dan

memalingkan atau menjahukan pada kebenaran. Di dalam QS al-Taghâbun/96: 6-

7 Allah berfirman:

“6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. 7.

Karena dia melihat dirinya serba cukup (kaya)”.

Ketiga, memuji harta sebagai balasan atas keimanan dan amal shalih yang

di lakukan oleh orang-orang beriman. Menurut Ridâ, harta bisa berpotensi

keburukan dan bisa pula berpotensi kebaikan. Menurut beliau, dalam QS al-

Baqarah 2: 180 yakni “In Taraka khairân” (“apabila meninggalkan

kebaikan/harta”). Allah menyebutkan harta adalah Khairân (kebaikan),

mengisyaratkan bahwa harta bisa berpotensi untuk kebaikan, bagi kebaikan dunia

maupun kebaikan akhirat.

Keempat, apa-apa yang Allah wajibkan untuk Hifz al-Mâl ( menjaga harta).

Salah-satu al-Kuliyyât al-Khams (lima prinsip dasar) tujuan syariat adalah Hifz al-

Mâl ( menjaga harta). Bentuk penjagaan Allah pada harta menurut Abd al-Khallâf,

bahwa Allah mensyariatkan dan membolehkan bermuamalah/berkerja. Dan

diharamkan mencuri, menipu, khianat, mengambil harta orang lain tanpa hak yang

dibenarkan, merusak harta orang lain, mencegah memberikan harta kepada Safî`

(bodoh dalam mengelola harta) adalah sebagai bentuk penjagaan Allah terhadap

harta.184

Kelima, menginfakkan harta sebagai tanda keimanan kepada Allah dan

sebagai wasilah untuk kemaslahatan umat dan menguatkan negara.185

182

Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm

1402 H), h. 1882. 183

Abdullah Ibn Umar Ibn Muhammad al-Syîrâzîal-Baidâwî, Anwâr al-Tanzîl Wa Asrâr al-Ta’wîl (Beirut: Dâr al-Rasyîd 1421 H), hal. 413.

184 Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usūl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain

2004 M), h. 201. 185

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 273-275.

Page 84: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

68

Keenam, hak-hak harta yang diwajibkan dan disunnahkan dalam ajaran

Islam. Diantaranya yaitu pertama, Islam mengakui kepemilikan harta setiap

individu manusia sehingga tidak boleh orang lain mengambil harta orang lain

dengan cara yang zalim. Kedua, Islam mewajibkan zakat bagi orang-orang kaya

untuk kemaslahatan umat Islam dan agar harta tidak berputar hanya dikalangan

orang-orang kaya saja. Ketiga, Islam melarang pencurian, riba, judi, mengambil

hak orang lain dengan cara batil, sebagai penjagaan harta. Keempat, disyariatkan

mengeluarkan harta sebagai tebusan Kaffarât (penebus dosa-dosa) untuk

kemaslahatan orang-orang lemah (fakir-miskin). Kelima, disunnahkan sedekah,

hadiah, infaq untuk kemslahatan orang-orang ang butuh. Keenam, dilarangnya

Isrâf Wa Tabzîr (berlebihan dan boros), untuk menjaga harta.186

8. Memperbaiki Nizâm (Peraturan) berperang Di Dalam Islam

Tujuan Maqâsid al-Qurân selanjutnya menurut Ridâ adalah Islâh Nizâm

al-Harb Fî al-Qurân (memperbaiki sistem berperang di dalam al-Qur‟an).

Menurut Ridâ, ajaran Islam pada mulanya tidak menghendaki permusuhan,

pertengkaran, peperangan. Tujuan disyariatkan Qitâl (peperangan) bukan untuk

mengintimidasi atau menzalimi orang lain. Akan tetapi, hal demikian disyariatkan

untuk mencegah keganasan, kezalimanan musuh-musuh Islam. Kemudian Ridâ

mengklasifikasikan 6 kaidah mendasar peperangan di dalam al-Qur‟an.187

Pertama, tujuan peperangan dalam al-Qur‟an. Peperangan di dalam Islam,

hanya diarahkan kepada orang-orang yang zalim dengan bertujuan agar mencegah

segala bentuk kezaliman, penindasan, keganasan orang-orang yang berlaku zalim

terhadap orang-orang Islam. Jadi, spirit peperangan di dalam Islam adalah

menolak segala bentuk kriminalisasi, kezaliman, penganiayaan dan mencegah

segala kemafsadatan dan kerusakan. Karena pada sejatinya, Islam agama yang

mengajarkan kedamaian, keharmonisan, dan kasih sayang. Ayat yang pertama kali

turun perintah berperang bukan untuk menindas non muslim, akan tetapi

motif/tujuan berperang dalam Islam karena umat Islam ditindas, dizalimi orang-

186

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 317.

187

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 324.

Page 85: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

69

orang yang memusuhi Islam. Oleh karenanya, diizinkan umat muslim berperang

untuk mencegah kezaliman dan segala bentuk kerusakan. Sebagaimana firman

Allah QS al-Hâjj/22: 39:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena

Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar

Maha Kuasa menolong mereka itu”.

Kedua, Memprioritaskan perdamaian dari peperang. Memprioritaskan

perdamaian dari pada peperangan menjadi prinsip kaidah dasar dalam peraturan

peperangan didalam Islam. Menurut Rasyîd Ridâ, peperang dalam Islam adalah

darurat yang mendesak untuk kemaslahatan perdamaian dan mencegah segala

kerusakan-kerusakan. Allah memerintahkan agar umat Islam memprioritaskan

perdamaian dari pada peperang, jika musuh-musuh Islam condong pada

perdamaian.188

Sebagaimana firman-Nya QS al-Taubah/8: 61:

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah

kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha

mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Menurut Muhammad Abduh, Pada dasarnya agama Islam itu Dîn al-Salâm

Wa al-Sulh (agama yang damai). Jika mereka musuh-musuh Islam condong pada

perdamaian dari pada peperangan, maka condonglah pula wahai Rasulullah pada

perdamaian, karena engkau lebih pantas melakukan demikian dari mereka. Dan

serahkan semuanya kepada Allah dan jangan takut oleh tipu daya mereka,

sesungguhnya Allah Maha mendengar segala yang mereka katakan dan Maha

mengetahui atas apa yang mereka akan rencenakan kepada mu. 189

Ketiga, Mempersiapkan secara maksimal alat-alat persiapan peperangan

bertujuan untuk menggetarkan musuh-musuh Islam. Kewajiban negara Islam

sebelum berperang yaitu mempersiapkan alat-alat perang sesuai dengan konteks

zamannya dengan bertujuan untuk menggetarkan musuh-musuh Islam dan

188

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 325. 189

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 273-275.

Page 86: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

70

mengamankan umat Islam dari keganasan musuh-musuh Islam.190

Secara eksplisit

Allah perintahkan di dalam QS al-Taubah/8: 62:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu

sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan

persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu”.

Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsîr al-Manâr, Allah

memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan segala kekuatan untuk

mencegah musuh-musuh Islam dan mencegah keburukan serta menjaga jiwa

manusia. dan pula mempersiapkan pula mengikat kuda-kuda (militer) mereka

untuk menjaga batasan-batasan negara dari serangan musuh-musuh Islam. Dan

yang maksud dengan رداط اخليل sesuai dengan konteks zamannya. Jika zaman

Rasulullah melawan musuh dengan pedang, panah dan lain sebagainya. Akan

tetapi, pada konteks sekarang bisa juga diartikan mempersiapkan granat atau bom,

nuklir, pesawat militer, senapan peluru dan lain-lain yang yang diketahui pada

zamannya.191

Lima, Rahmâh Fî al-Harb (kasih sayang dalam peperangan). Di dalam

kondisi medan peperangan, Islam pula mengajarkan kasih sayang. bentuk kasih

sayang peperangan dalam Islam menurut Hasan al-Basrî, di antaranya dilarangnya

Ghulûl (mengambil harta rampasan perang), membunuh perempuan, anak-anak,

orang tua renta, Ruhbân (pendeta), orang-orang yang ber‟ibadah, membakar

rumah, membunuh binatang pada bukan kemaslahatan.192

9. Memberikan Seluruh Hak Perempuan Dari Hak Kemanusian, Keagamaan,

Kewarganegaraan.

Tujuan al-Qur‟an selanjutnya adalah memberikan hak-hak perempuan.

Menurut Rasyîd Ridâ sebelum datangnya Islam, perempuan kedudukannya sangat

190

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 325. 191

Rasyîd Ridâ, Tafsir Al-Manâr (Mesir: Penerbit , Al-Manār 1349 H), jilid 10, h. 69-70. 192

Abî Fidâ’ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm 1402 H), h. 248.

Page 87: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

71

rendah pada umat-umat terdahulu. Mereka diintimidasi, dihinakan oleh

masyarakat terdahulu. Menurut Rasyîd Ridâ,:

”Telah ada perempuan terdahulu diperjual belikan laksana binatang

ternak dan barang. Dan pula dipaksa untuk menikah dan berzina serta diwarisi

dan tidak dapat warisan, dimiliki sepenuhnya dan tidak memiliki apa-apa. Dan

kebanyakan orang-orang yang memilikinya mencegahnya melakukan semaunya

atas apa yang mereka miliki tanpa izin suami. dan mereka berpendapat bahwa

bagi suami punya hak sepenuhnya pada harta perempuan. Telah menetapkan

salah-satu konvensi perkumpulan di romawi, sesunguhnya perempuan itu

binatang najis yang tidak ada ruh dan tidak abadi nanti di kehidupan akhirat,

akan tetapi wajib atas perempuan untuk ber‟ibadah dan mengabdi kepada suami.

Mulutnya berhak di berangus seperti diberangusnya unta, dikarenakan

dilarangnya wanita tertawa dan berbicara karena sesungguhnya wanita adalah

perangkap syaitan. Dan syariat ter‟agung di massa lalu bahwa bagi seorang ayah

berhak menjual anak perempuannya, dan orang-orang arab berpendapat bahwa

seorang ayah berhak membunuh anak perempuannya bahkan dibenarkan pula

membunuhnya dalam keadaan hidup-hidup”193

Al-Qur‟an membatalkan segala bentuk intimidasi, kezaliman, penghinaan

terhadap perempuan, serta mengangkat derajat perempuan dari martabat kehinaan

menuju martabat kemuliaan dan memberikan hak-hak yang semestinya diberikan

kepada perempuan. Diantara bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan.

diantaranya yaitu Pertama, Allah perintahkan kaum laki-laki untuk

memperlakukan perempuan dengan cara yang baik. Dalam Surah al-Nisâ/4: 19:

“dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak

menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai

sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Menurut Ibn Katsîr, yang dimaksud dengan memperlakukan perempuan

dengan Ma‟rûf adalah laki-laki diperintahkan agar berkata, berbuat,

memperlakukan perempuan dengan cara yang baik semampu mereka.194

Menurut

Jalâl al-Suyûtî, yang dimaksud dengan memperlakukan perempuan dengan cara

baik adalah dengan Ijmâl Fî al-Qaul Wa al-Nafaqah Wa al-Mabît

193

Muhammad Rasyid Ridâ, Huqûq Al-Nisâ Fi Al-Islâm (Beirut: Maktabah al-Islamiyyah,

1404 H), h. 6. 194

Abî Fidâ’ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm 1402 H), h. 445.

Page 88: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

72

(memperperindah dalam ucapan, nafkah, memberikan tempat tinggal yang layak

dan baik).195

Kedua, Allah mengakui keimanan perempuan sama seperti keimanan laki-

laki, tidak seperti sebagian masyarakat Eropa yang melarang perempuan membaca

kitab-kitab suci, karena mereka berpendapat bahwa perempuan tidak

diperbolehkan ber‟agama. Terbukti yang pertama kali beriman kepada Nabi

Muhammad adalah seorang peremuan yaitu Khadîjah istri Rasulullah Saw.196

Dan

Allah juga menetapkan di dalam al-Qur‟an bahwa amalan shalih perempuan sama

seperti amal shalih laki-laki yang akan diganjarkan oleh Allah Swt. QS al-

Anbiyā‟/21: 94 yaitu:

“Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman,

Maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan Sesungguhnya kami

menuliskan amalannya itu untuknya”.

Ketiga, keikutsertaan perempuan bersama laki-laki dalam aspek syiar-syiar

diniyyah (agama), Ijtimâiyyah (kemasyarakatan), Siyâsah (politik).

Empat, Islam memberikan hak waris bagi perempuan, yang sebelumnya

perempuan dimiliki dan diwarisi oleh suami-suaminya. Dan pula mengharamkan

menjadikan perempuan sebagai warisan, hal demikian tertera dalam Surat al-

Nisâ‟/4: 19 berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai

wanita dengan jalan paksa. dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena

hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan

kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan

bergaullah dengan merekas secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai

mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,

padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Menurut al-Qurtubî, kronologis ayat ini turun berkenaan dengan tradisi

orang-orang musyrik, jika seorang laki-laki meninggal, maka perempuan

dijadikan warisan untuk wali-walinya dan mereka berhak berkehendak sesuka

mereka. Kemudian Allah membatalkan tradisi demikian dengan mengharamkan

195

Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallî Dan Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Ibn

Abi Bakar al-Suyûtî, Tafsîr al-Jalâlain (Surabaya: Penerbit Nurul Huda, t.t), hal. 73. 196

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 333.

Page 89: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

73

mempusakai wanita. Dan bahkan bukan saja demikian, Islam memberikan hak

waris bagi perempuan sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan.197

10. Pembebesan Budak Dalam Islam

menurut Ahmad Sayûtî al-Ansârî, mengenai bangsa Arab Jahiliyyah

bahwa kondisi budak di zaman jahiliyah mirip dengan kondisi budak di Yunani

dan Rumawi. Budak di zaman jahiliyah dianggap barang dagangan yang paling

menguntungkan. Pasar-pasar di jazirah Arab selalu dipenuhi dengan budak

sebagai komoditi unggulan, sementara orang-orang Quraisy termasuk orang yang

paling banyak menikmati hasil perdagangan budak. Kaum Quraisy mendapatkan

budak dari tawanan perang yang terjadi antar kabilah Arab atau yang mereka beli

dari pasar-pasar budak di Habsyah (untuk budak kulit hitam) atau daerah Kaukasia

(untuk budak kulit putih). Disamping itu banyak juga tuan yang mengawini

budaknya, ketika budak tersebut melahirkan anak buat tuannya, dia disebut

dengan umm al-walad. Kondisi terakhir ini berlaku terus sampai awal datangnya

Islam.198

Menurut Rasyîd Ridâ, salah satu tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah upaya

untuk memperbaiki kerusakan moral umat-umat terdahulu atas segala tindakan

kezaliman terhadap budak-budak dan pula mengupayakan menghapus perbudakan

terhadap manusia dengan cara bertahap-tahap atau sistematis. Menurut beliau, ada

dua cara al-Qur‟an untuk menghapus praktek pembudakaan.

Pertama, membatasi dan menututupi regenerasi praktek perbudakan

dengan melarang segala bentuk kezalimanan, sewenang-wenang terhadap budak.

Dan Islam melarang segala pintu menjadikan orang manusia sebagai budak,

kecuali hanya tawanan dalam peperangan.199

Kedua, Islam mensyariatkan untuk membebaskan budak dan perbudakan

diantaranya yaitu :

a. Menjelaskan hukum-hukum perbudakan dalam Islam dan pula cara-cara

untuk membebaskan perbudakan diantaranya :

197

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar al-Qurtubî, Al-Jâmî Li al-Ahkâm al-Qurân (Beirut: Mu’assah al-Risâlah, 1427 H), jilid 6, hal. 155.

198 Ahmad Sayuti Anshari, “Perbudakan Dalam Hukum Islam,” h. 97.

199 Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 340-341.

Page 90: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

74

-Banyak ayat-ayat al-Qur‟an secara eksplisit memerintahkan agar memerdekakan

budak-budak. Di antaranya QS al-Balâd/90: 12-13 berikut:

“12. Tahukah kamu apakah itu al-Aqabah? 13. Yaitu melepaskan budak

dari perbudakan”.

Menurut Ibn Katsîr, al-Aqabah adalah jalan kebaikan dan keselamatan

yaitu membebaskan budak.200

- Allah mensyariatkan agar budak-budak membebaskan diri mereka dengan

mengadakan perjanjian kepada pemilik nya. sebagaimana tertera dalam QS al-

Nur/27: 33.

- Allah melarang keras menyakiti budak-budak, dan untuk membayar balasannya

dengan memerdekakannya.

b. Memerdekakan budak sebagai sanksi hukum dalam syariat Islam.

Misalnya QS al-Nisâ‟/4: 92. Menurut Sa‟dî, ayat ini berkaitan dengan orang

mu‟min yang membunuh orang lain karena kesalahan, maka sanksi hukum

baginya yaitu memerdekaan budak orang beriman bagi kecil, besar, mu‟min laki-

laki atau perempuan.201

QS al-Mujâdalah/58: 2-3, berkaitan dengan sanksi hukum

Zihâr (menyerupai istri dengan ibu), maka sanksinya adalah memerdekaan

budak.202

C. Perbedaan Konsep Maqâsid Al-Qurân Antara Abū Hâmid al-Ghazâli Dan

Rasyîd Ridâ

Setelah penulis memaparkan konsep Maqâsid al-Qurân antara Antara Abû

Hâmid al-Ghazâli Dan Rasyîd Ridâ, kemudian penulis akan menganalisis secara

Muqāran203

(komparatif) dengan mencari persamaan dan perbedaan pendapat

antara konsep Maqâsid al-Qurân yang di tawarkan keduanya.

Kemudian perbedaan yang sangat mencolok dan nampak konsep Maqâsid al-

Qurân di antara keduanya adalah terpengaruhinya konsep Maqâsid al-Qurân yang

200 Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm

1402 H), h. 1997. 201

Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fī Tafsîr Kalâm al-Mannân

(Riyād: Maktabah „Abîkân 1422), hal. 193. 202

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 340-344. 203

Muqâran adalah upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara

permasalahan yang sama dan pula membandingkan pendapat para mufassir yang berkaitan dengan

al-Qur‟an. (Mustafa Ibrahim, Tafsîr Muqâran, hlm. 147).

Page 91: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

75

keduanya tawarkan dengan backround latar belakang keahlian dan bidang

pendidikan keduanya. Al-Ghazâli adalah seorang sufi. Dalam Taqsîmât

(pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat kental

dengan istilah-istilah tasawuf. Misalnya istilah-istilah tasawuf yang digunakan al-

Ghazâli seperti, Sulûk Ilâ Allah (jalan menuju Allah), Tazkiyyah al-Nafs

(membersihkan jiwa), Mulâzamah Zikrillah (senantiasa mengingat Allah),

Mukhâlafah Hawâ (menentang hawa nafsu), Wusûl Ilâ Allah (sampai menuju

Allah), memandang Allah sebagai puncak kenikmatan dan terhalang/terhijab dari

Allah sebagai puncak siksa. Sedangkan Ridâ seorang reformis yang menyuarakan

ide-ide pembaharuan dalam Islam, sehingga Taqsîmât (pembagian-pembagian)

Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat kental bernuansa isu-isu

kontemporer. Misalnya dari sepuluh Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan

adalah Islâh al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (memperbaiki persaudaraan di antara

umat manusia), memberikan Huqūq al-Nisâ` (memberikan hak-hak perempuan

atau kesetaraan gender), menjelaskan Siyâsah al-Islâm (politk Islam), Islâh al-

Mâl Wa al-Iqtisâd (memperbaiki harta dan mengelola ekonomi) dalam al-Qur‟an,

menjelaskan pula tentang Tahrîr al-Raqîq (membebaskan budak) atau hak asasi

manusia.

Dan Maqâsid al-Qurân yang al-Ghazâli tawarkan, lebih menekankan pada

aspek Usûl Maqâsid (dasar-dasar Maqâsid) seperti, aspek mengenal Allah pada

dzat, sifat-sifat, perbuatan-Nya (Tawhîd), aspek kepastian hari akhir, kenabian, dll.

Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang lebih menekankan pada aspek Furû Maqâsid

(cabang-cabang Maqâsid) seperti, memperbaiki mengelola harta, memperbaiki

Nizâm (aturan) berperang, memberikan hak-hak perempuan (gender),

membebaskan perbedakan, dll.

Kemudian menurut penulis, Taqsîmât Maqâsid al-Qurân (pembagian tujuan-

tujuan al-Qurân) yang keduanya tawarkan, keduanya mengetahui Maqâsid al-

Qurân, karena Dilâlah (indikasi) Maqâsid al-Qurân itu terdapat pada lafadz ayat

al-Qur‟an tersebut, baik secara tersurat yaitu Mâ yu`khazu Min al-Nusûs (apa yang

terdapat pada nas al-Qur‟an), baik pula secara tersirat yaitu Mâ yufhamu Min

Nusûs (apa yang dipahami ada nas-nas al-Qur‟an). al-Ghazâli membagikan

Maqâsid al-Qurân pada enam bagian. Sedangkan Ridâ membagikan Maqâsid al-

Page 92: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

76

Qurân pada 10 bagian. Hal yang menyebabkan perbedaan di antara keduanya,

karena berbedanya keahlian yang unggul pendidikan dan latar belakang keduanya.

Misalnya, Maqâsid al-Qurân yang al-Ghazâli tawarkan sangat banyak di

dalamnya istilah-istilah tasawuf, karena memang ketika beliau mengarang kitab

tersebut, beliau adalah seorang sufi. Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang

dijelaskan Ridâ banyak mengangkat isu-isu kontemporer, karena memang pada

massanya peradaban barat sedang naik daun. Oleh karenanya, tujuan-tujuan al-

Qur‟an yang beliau tawarkan banyak mengangkat isu-isu kontemporer, untuk

merespon dan membuktikan bahwa al-Qur‟an kitab suci yang relevan pada

kondisi zaman apapun dan mampu menjawab segala permasalahan di massa

modern.

Di antara titik temu adalah keduanya sama-sama merumuskan konsep

Taqsîmât (pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân. Al-Ghazâli membagikan

Maqâsid al-Qurân menjadi enam bagian.204

tiga hal yang pertama berisi Usûl al-

Muhimmah (prinsip-prinsip pokok) dan tiga hal bagian kedua sebagai

Mutammimah (penyempurna/pelengkap). Sedangkan muhammad Rasyîd Ridâ

mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân menjadi 10 bagian. Kemudian persamaan

keduanya yaitu sama-sama menjelaskan Maqâsid al-Qurân al-„Âmmah (tujuan-

tujuan al-Qur‟an secara umum). Seperti Islâh al-„Aqîdah (memperbaiki

akidah/keimanan) kepada Allah Swt, Tahdzîb al-Akhlâk (memperbaiki akhlak),

Bayân al-Ahkâm (menjelaskan hukum). Salah-satu contoh persamaan konsep

Maqâsid al-Qurân al-Ghazâli dan Ridâ yaitu:

Al-Ghazâli mengatakan bahwa Maqsad al-Aqsâ (tujuan puncak al-Qur‟an)

adalah mengajak manusia mengenal Allah yang berhak disembah yang

menciptakan segala sesuatu di jagat alam raya ini. begitu pula Rasyîd Ridâ yang

mengatakan bahwa tujuan pertama al-Qur‟an adalah menjelaskan Arkân al-Dîn al-

Tsalâsah (tiga pondasi dasar agama) salah satunya adalah menjelaskan keimanan

kepada Allah Swt.205

akan tetapi perbedaan Islâh al-„Aqîdah (memperbaiki akidah)

di antara keduanya, jika al-Ghazâli menekankan bahwa banyak sekali ayat-ayat al-

204

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 23-24. 205

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsīr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349 H), jilid

11, h. 207.

Page 93: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

77

Qur‟an yang menjelaskan berkaitan dengan Dzat, sifat-sifat Allah atau Asmâ al-

Husnâ (nama-nama sifat Allah), perbuatan-perbuatan Allah, agar manusia

mengenal Allah sebagai Tuhan yang sebenar-benarnya dan agar pula manusia

menyembah Allah. Sedangkan Rasyîd Ridâ menekankan bahwa tujuan diturunkan

al-Qur‟an untuk merespon/mengkritik dan memperbaiki kesesatan, penyimpangan

akidah/kepercayaan manusia yang sudah tidak lagi murni mengesakan Allah Swt,

seperti orang-orang Musyrik yang menyembah berhala, orang Nasrani yang

menjadikan „Îsa sebagai Tuhan, dan lain-lain. Kemudian pula keduanya sama-

sama menjadikan keimanan kepada hari akhir sebagai bagian dasar tujuan-tujuan

al-Qur‟an. al-Ghazâli memposisikan menjelaskan kepastian hari akhir seperti

Yaum al-Ba‟tsi (hari pembangkitan), Yaum al-Hisâb (hari perhitungan) adalah

bagian dari prinsip-prinsip pokok Maqâsid al-Qurân.206

Begitu pula Rasyîd Ridâ

yang memposisikan keimanan kepada hari akhir bagian dari prinsip dasar

Maqâsid al-Qurân.207

Perbedaan keduanya berkaitan dengan keimanan kepada

hari akhir sebagai prinsip Maqâsid al-Qurân adalah kalau al-Ghazâli menjadikan

iman kepada kepada hari akhir sebagai Usul al-Muhimmah (prinsip-prinsip dasar

yang penting) Maqâsid al-Qurân, karena menurut beliau hampir sepertiga al-

Qur‟an berbicara tentang keadaan manusia setelah kembali kepada Allah. Seperti,

berbicara tentang kematian, Yaum al-Ba‟tsi (hari pembangkitan), Yaum al-Hisâb

(hari perhitungan), kenikmatan surga, kepedihan siksa neraka.208

Akan tetapi,

menurut Ridā menjadikan iman kepada hari akhir sebagai prinsip dasar Maqâsid

al-Qurân adalah sebagai respon al-Qur‟an atas rusaknya keimanan masyarakat

tentang hari akhir yang mengingkari atas kepastian hari akhir.

inti persamaan Maqâsid al-Qurân keduanya yaitu pada aspek Maqâsid al-

Ammâh (tujuan-tujuan al-Qur‟an yang umum) atau Maqâsid al-Qurân al-

Asâsiyyah (dasar-dasar tujuan-tujuan al-Qur‟an) seperti, tujuan akidah/keimanan,

tujuan akhlak, tujuan syariat.

206

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 29. 207

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 23-24. Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir : Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,

h. 207 208

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 30.

Page 94: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

78

D. Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Maqâsid Al-Qurân Al-Ghazâli Dan

Rasyîd Ridâ.

Kelebihan konsep Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan Rasyîd Ridâ, beliau

menyentuh dengan meliputi segala aspek-aspek kehidupan manusia, bagi aspek

yang berkaitan dengan individu manusia dan aspek yang berkaitan dengan

masyarakat/kelompok manusia. karena inti Maqâsid Al-Qurân menurut beliau

adalah

ح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاذلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم مقاصد القرآن يو إصال اإلنسانية وترقية عقوذلم وتزكية أنفسهم

“Maqâsid Al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas, kaum,

serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan kesatuan

persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka, dan

membersikan jiwa mereka”.209

Rasyîd Ridâ menjelaskan hal yang berkaitan dengan Islâh al-Fardiyyah

(memperbaiki individu manusia) yaitu Islâh al-Aqîdah (memperbaiki akidah)

dengan menjelaskan keimanan kepada Allah, Rasul, hari akhir, Tazkiyyah al-Nafs

(membersikan jiwa), memperbaiki serta mengembangkan akal manusia dengan

menjelaskan Islam adalah Dîn al-Aql Wa al-Fikr (agama yang sesuai dengan akal),

sesuai dengan fitrah manusia, yang berlandaskan ilmu dan hikmah, serta melarang

Taqlid semata.210

Kemudian pula Ridâ menjelaskan Maqâsid al-Qurân berkaitan dengan

masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat/komunitas manusia.

Misalnya Islâh al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (memperbaiki persaudaraan di antara

umat manusia), memberikan Huqûq al-Nisâ` (memberikan hak-hak perempuan).

Dan pula tujuan al-Qur‟an menurut beliau berkaitan dengan Islâh al-Tasyri‟

(memperbaiki penerapan hukum) dengan menjelaskan keistimewaan hukum Islam

seperti moderat, kemudahan, tidak berlebihan/ekstrim, mencapai kebahagian

dunia dan akhirat dll. Kemudian berkaitan dengan Islâh al-Mâlî (memperbaiki

mengelola harta dengan baik) dengan menjelaskan halal, haram dalam

209

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 191. 210

Abd al-Karâm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 124.

Page 95: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

79

ber‟muamalah yang baik dan benar. Dan pula berkaitan dengan Islâh al-Siyâsah

(memperbaiki politik) dengan menjelaskan keadilan, musyawarah, memberika

hak-hak, dan lain-lain. Sedangkan kekurangan konsep Maqâsid al-Qurân Rasyîd

Ridâ adalah terkesan beliau hanya menyinggung masalah-masalah kontemporer

saja, tidak begitu menekankan aspek-aspek fudamental dari tujuan-tujuan al-

Qur‟an.211

Kelebihan konsep Maqâsid al-Qurân Abū Hâmid al-Ghazâli pada Taqsîmât

(pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan yaitu tiga hal

Usûl al-Muhimmah (prinsip-prinsip yang penting) seperti mengenal Allah,

mengenal jalan yang lurus, mengenal hari akhir.212

Usûl al-Muhimmah (prinsip-

prinsip dasar yang penting) ini, mencakup tujuan-tujuan besar surah-surah al-

Qur‟an. Karena setiap Surah al-Qur‟an itu terdapat Maqâsid al-Sûrah (tujuan-

tujuan Surah), sebagaimana yang dipopulerkan dengan Râzî dalam Tafsir Mafâtih

al-Ghaib dan Biqâ‟î dalam karyanya Masâid al-Nazar Li al-Isyrâf „Alâ Maqâsid

al-Suwar (tingga-tannga memandang untuk melihat tujuan-tujuan surah-surah al-

Qur‟an).213

Dan prinsip-prinsip tujuan al-Qur‟an yang ditawarkan al-Ghazâli,

meliputi A‟zam Maqâsid Suwar al-Qurân (tujuan-tujuan besar surah al-Qur‟an),

karena tujuan-tujuan surah al-Qur‟an tidak terlepas dari aspek keimanan kepada

Allah, sifat-sifat agung Allah, kepastian hari akhir, petunjuk jalan yang di ridhai

Allah.

Dan kekurangan Maqâsid al-Qurân al-Ghazâli yaitu terkesan hanya melihat

al-Qur‟an dari aspek Tasawuf saja, tanpa melihat aspek-aspek lainnya padahal al-

Qur‟an sebagai Hidāyah bagi segala aspek kehidupan manusia.

Inti pada pembahasan ini, bahwa inti perbedaan antara Maqâsid al-Qurân

keduanya adalah kalau Abû Hâmid al-Ghazâli lebih menekankan Maqâsid al-

Qurân pada kajian-kajian klasik, seperti keimanan, risalah kenabian, kepastian

hari akhir. Sedangkan Ridâ lebih menekankan isu-isu permasalahan kontemporer,

seperti memberikan hak-hak perempuan (jender), politik, mempersiapkan

211

Abd al-Karâm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 125. 212

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 23. 213

Ibrahim Ibn Umar Al-Biqâ‟î, Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar

(Riyâd: Maktabah al-Ma‟ârif, 1308 H), Jilid 1, h. 209.

Page 96: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

80

peperangan, mengelola uang (ekonomi) dengan cara baik, memerdekakan budak

(hak asasi manusia), persatuan antar manusia, dan lain-lain.

Page 97: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

81

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan konsep Maqâsid al-Qurân Abû Hâmid al-

Ghazâli dan Muhammad Rasyîd Ridâ dan pula membandingkan konsep Maqāsid

al-Qurān yang keduanya tawarkan. Menurut penulis, Benang merah yang nampak

perbedaan konsep Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan keduanya, terpengaruh

oleh Background latar belakang pendidikan keduanya. Kalau Maqâsid al-Qurân

yang ditawarkan al-Ghazâli lebih menekankan kajian-kajian klasik seperti

keimanan, risalah kenabian, hari akhir. Dan pula bercorak Tasawuf, karena

Tasawuf bagian keahlian al-Ghazâli. Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang

ditawarkan Rasyîd Ridâ pula tidak terlepas dari Background latar belakang

pendidikan Rasyîd Ridâ. Beliau adalah seorang reformis yang menyuarakan ide-

ide pembaharuan di era kontemporer. Dan Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan

Ridâ terkesan bernuansa kajian-kajian kontemporer.

B. Saran

1. Sepatutnya para Mufassir memahami Maqâsid al-Qurân sebagai basis dan tujuan

para mufassir dalam menafsirkan.

2. Penulis menyadari, penilitian tentang Maqâsid al-Qurân yang telah diteliti penulis

masih banyak kekurangan dan banyak pula selah-selah kekosongan yang harus

diteliti lebih komprehensif dan luas lagi.

3. Penelitian Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan Rasyîd Ridâ dan al-Ghazâli

memang sangat minim di kalangan para akademisi muslim. Diharapkan akan ada

peneliti-peneliti baru yang smampu berkontrbusi serta mengembangkan teori-teori

Maqâsid al-Qurân lebih luas lagi.

Page 98: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

82

DAFTAR PUSTAKA

Âlûsî. Rûh al-Ma‟ânî Fî Tafsîr al-Qurân al-Azîm. Beirut: Mu`assasah al-Risâlah,

2010.

Al-Asfahânî, Râghib. Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân. Damaskus: Dâr al-

Qalam, t.t.

Asmûnî, Muhammad Yusran. Pertumbuhan Dan Perkembangan Berfikir Dalam

Islam. Surabaya: Penerbit al-Ikhlâs, 1994.

Âsyûr, Muhammad Tâhir Ibn. Tafsîr al-Tahrîr Wa al Tanwîr. Tunusia: Dâr al-

Tunisiyyah, 1984.

Al-Asyqâr, Umar Sulaimân. Rasul Wa Risâlah. Kuwait: Penerbit Al-Falâh, 1983.

Athaillah. Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsîr Al-Manâr. Jakarta: PT.Gelora

Aksara Pratama, 2006.

Bakir, Muhammad. ”Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd

Nursî”, no. 01 (Agustus 2015.

Baqi, Muhammad Fuad Abd, Mu‟jam al-Mufahrâs Li -Alfâdz al-Qurân Bi

Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarîf. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2007.

Basri, Hasan. Aktualisasi Pesan Alquran dalam bernegara. Jakarta: Ihsân

Yayasan Pancur siwah, 2003.

Baydâwi, Nasiruddin. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‟wîl. Beirut: Dâr al-Rasyîd,

1421 H.

Al-Biqâ‟î, Ibrahim Ibn Umar. Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar.

Riyâd : Maktabah al-Ma‟ārif, 1308 H.

Burhân, Manûbah.“al-Fikr al-Maqâsid „inda Muhammad Rasyîd Ridâ”. Tesis

Fakultas Syariah, Universitas Bātina al-Jazâ`ir, 2006.

Darrâz, Abdullah. al-Naba` al-Azîm. Mesir: Dâr al-Urubah, 1960.

Dunyâ, Sulaimân, al-Haqiqah fī Nazâ`ir Al-Ghazâli. Mesir: Dâr Al-Ma‟ârif, 1119

H.

Al-Fayummî, Ali. al-Misbâh al-Munîr Fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr. Beirut:

Maktabah al-Ilmiah, 1990.

Al-Ghânimi, Abû Wafâ‟. Tasawuf Islam. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama,

2002.

Page 99: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

83

Al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad. Jawâhir Alqurân. Beirut: Dâr al-Ihyâ` Al-

Ulūm, 1990.

______________________________. al-Munqîd Min al-Dalâl. Istanbul: Darus

Safeka, t.t.

Hâmidî, Abd al-Karîm. Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân. Riyâd: Maktabah al

Rusyd,1428 H.

Hujair. “Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau

Corak Mufassirin “. (Desember : 2008).

Ibrâhîm, Ahmad Al-Badawî. Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhîd. Kâiro: al

Muassasah al-Misriyyah al-Ammâh, t.t.).

Juzayi, Abû Qâsim Muhammad Ibn Ahmad Ibn. Tafsîr Tashîl Li al-Ulûm al

Tanzîl. Beirut: Dâr al-Rasyîd 1415 H.

Katsîr, Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn. Tafsîr al-Qurân al-Azîm. Beirut: Ibn Hajm

1420 H.

Al-Khallâf, Abd al-Wahhâb. „Ilmu Usûl Al-Fikih. Indonesia: Penerbit al Haramain

2004.

Kusmana. “Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam

Pemikiran Kuntowijoyo” (Desember 2015).

Al-Mahallî, Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad dan al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Abd

Al-Rahmân Ibn Abi Bakar. Tafsîr al-Jalâlain. Surabaya: Penerbit Nurul

Huda, t.t.

Al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghi. Jilid II. Beirut: Dâr al- Kutub al-

Ilmiyah, 1998.

Mas‟ûd. Juhûd Ulamâ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Mufidah, Azmi. “Tafsir Maqâsidi Pendekatan Maqâsid al-Syariah Ibn Âsyûr”.

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga,

2013.

Nasution, Harun. Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit

Bulan Bintang, 1974.

______________. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.

Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Nurdin. Ulûm al-Qurân Al-Karîm. Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1414 H.

Page 100: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

84

Qardâwî, Yusûf. Kayfa Nataâ‟mal Ma‟a al-Qurân. Kâiro: Dâr al-Syurûq, 1968.

Al-Qattân, Mannâ‟ al-Khalîl. Mabâhis fī Ulûm al-Qurân. Beirut: al-Syirkah al-

Muttahidah, t.t.

Qutb, Sayyid. al-Adâlah al-Ijtimâ`iyyah Fîal-Islâm. Kâiro: Dâr: al-Syurûq, 1989.

Al-Qurtubî, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar. Jâmi‟ Li al-Ahkâm al-Qurân.

Beirut: Mu`assah al-Risâlah, 1427 H.

Râzî, Muhammad Fakhr al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr Musammâ Bi Mafâtih al Ghaib.

Beirut: Dâr al-Fikr,1990.

Raisuni, Ahmad, Maqâsid Maqâsid. Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2007.

Al-Rihyanî, Muhammad, Tafsîr Imâm al-Ghazâli. Kairo: Dâr al-Salâm 2010)

Ridâ, Muhammad Rasyîd. al-Wahyu al-Muhammadiyyah. Beirut: Maktabah „Izzu

al-Dîn, 1406 H.

________________________. Huqûq Al-Nisâ` Fi Al-Islâm. Beirut: Maktabah al

Islamiyyah, 1404 H.

________________________. Tafsîr al-Manâr. Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349

H.

Al-Sâbûnî, Muhammad „Alî. Tafsir Safwah al-Tafâsîr. Beirut: Dâr al-Qurân al

Karîm 1402 H).

______________________. Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr. Beirut: Dâr al-Qurân al

Karîm 1402 H.

_______________________. Rawâ`i‟u al-Bayân Tafsîr Ayât Al-Ahkâm Min Al

Qurân. Juz. 1. Beirut: Dār al-Qalam, 1998.

Al-Sa‟dî, Abd al-Rahmân Ibn Nâsir. Tafsîr al-Karîm Fī Tafsīr Kalâm al-Mannân.

Riyâd: Maktabah „Abīkān 1422.

Al-Salâm, Izzuddin Abd. Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm. Kairo:

Maktabah al-Kulliyyah al-Azhar, 1991.

Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Penerbit Mizan

1992.

________________________. Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa.

Jakarta: Penerbit lentera hati, 2006.

_________________________. Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsir al-

Manar. Tangerang: Lentera Hati, 2006.

Page 101: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

85

_________________________. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati 2002.

Al-Siddîq, Muhammad Sâlih. Maqâsid al-Qurân. T.tp.: Dâr al-Ba‟tsi 1982 M).

Sirajuddin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn. al-Itqân Fî Ulûm al-Qurân. T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah

Al-Su‟udiyyah, 1426 H.

__________________. Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fī Tafsîr Bi al-Ma„tsûr. Kairo:

T.pn., 849 H.

Suryadilaga, M Fâtih, Tujuan Diturunkan Syariat Islam. Yogjakarta: Teras, 2008.

Al-Syâmî, Shâlih Ahmad, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at

Al-Khâmisah. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993.

Syâtibî, Abû Ishâq Ibrâhîm Ibn Mûsâ, al-Muwâfaqât Fî Usûl al-Syariah. Beirut:

Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2005.

Syaltût, Mahmûd. Ilâ al-Qurân al-Karîm. T.tp: Penerbit Dâr al-Syurûq, t.t.

Al-Tabarî, Ibn Jarîr. Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân. Beirut: penerbit

Al-Risalah 1415 H.

Zarkasyî, Badruddin. al-Burhân Fī Ulûm al-Qurân. Kairo: Dâr Ihyâ al-Kutub al-

Arabiyyah, 1957.

Al-Zahabî, Muhammad Husain. Tafsîr Wa al-Mufassirûn. Kairo: Maktabah al

Wahbah, 1119 H.

Page 102: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

9

BAB II

ABÛ HÂMID AL-GHAZÂLI SERTA KITAB JAWÂHIR AL-QURÂN DAN

RASYÎD RIDĀ SERTA TAFSÎR AL-MANÂR

Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ merupakan dua figur ulama yang tidak asing

lagi dalam dunia pemikiran Islam. Al-Ghazâli adalah seorang ilmuan besar dalam

dunia Islam di abad ke 5 yang terkenal dengan julukan Hujjah al-Islâm. Begitu

pula Rasyîd Ridâ adalah seorang tokoh muslim modernis, mufassir, penulis,

jurnalis yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Kalau al-

Ghazâli seorang ulama terkemuka di abad klasik, sedangkan Rasyîd Ridâ ulama

yang terkemuka di abad modern. Pada kesempatan ini, penulis akan memaparkan

riwayat hidup, pendidikan, serta gambaran-gambaran umum karya al-Ghazâli

yaitu Jawâhir al-Qurân dan karya Rasyîd Ridâ Tafsîr al-Manâr.

A. Sekilas Profil Abû Hâmid Al-Ghazâli

Menurut Dzahabî, al-Ghazâli adalah seorang Imam besar, Hujjah al-Islām,

penghias agama Islam yang keluasan ilmu-Nya laksana lautan sehingga memiliki

karya berbagai aneka macam disiplin ilmu. Imâm Juwainî guru al-Ghazâli pun

mengakui kecerdasan dan kepandaian ilmu al-Ghazâli, sehingga Imâm Juwainî

memberi gelar dengan “Bahr al-Mughrîq” (lautan yang menenggelamkan),

karena kedalaman dan keluasan keilmuan al-Ghazâli laksana lautan yang luas.

Begitu pula Abd al-Ghâfir al-Fârisi seorang ulama yang sezaman dengan al-

Ghazâli, beliau pula mengapresiasi keluasan ilmu al-Ghazâli dengan menyebut

beliau sebagai Imam para ahli fikih, Mujtahid pada zamannya, serta penolong

sunnah Rasulullah Saw.1

1. Biografi Al-Ghazâli

Nama lengkapnya Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli. Lebih

terkenal dengan sebutan al-Ghazâli. Ia lahir dikota kecil yang terletak Thûs,

1 Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-

Khâmisah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h.33.

Page 103: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

10

provinsi Khurasân, Republik Islam Iran pada tahun 450 H (1058 M).2 Ayah al-

Ghazâli bekerja sebagai pemintal wol yang dalam bahasa Arab disebut ghazzâl.

Terdapat perbedaan pendapat tentang nama nama sebenarnya al-Ghazâli. Pada

umumnya dikenal dengan nama al-Ghazâli (dengan satu z) dan nama ini berasal

dari nama desanya, sehingga ada yang mengatakan bahwa nama al-Ghazâli

dinisbatkan pada nama kampungnya. Akan tetapi ia dikenal juga dengan nama al-

Ghazzâli (dengan dua z) dan nama ini diambil dari pekerjaan orang tuanya

sebagai Ghazzâl.3

Ayah al-Ghazâli termasuk orang-orang saleh yang mencintai para fuqaha serta

para ahli tasawuf dan ikut serta menghadiri kumpulan-kumpulan mereka dan

berdoa kepada Allah Swt, semoga Allah menganugrahkannya anak yang

sholeh.4Al-Ghazâli tumbuh di keluarga yang religius, maka sejak kecil al-Ghazâli

mencintai ilmu pengetahuan dan seorang pencari kebenaran. Walaupun keadaan

orang tuanya yang kurang mampu serta keadaan politik dan keagamaan yang

labih, tapi tidak menggoyangkan semangat tekad dan kemauannya untuk belajar

dan menuntut ilmu kepada para ulama.

2. Pendidikan Al-Ghazâli

Sejak kecil al-Ghazâli belajar dengan sahabat karib ayahnya, ketika menjelang

wafat ayahnya, beliau berwasiat kepada al-Ghazâli dan saudaranya yang bernama

Ahmad, agar pergi ke temen dekat ayahnya seorang ulama Sufi. Dan disanalah al-

Ghazâli diajarkan menulis, adab, dan lain sebagainya.5Di antara guru-guru al-

Ghazâli di waktu itu adalah Ahmad Râzakâni, dan kemudian melakukan

perjalanan menuju Jurjân untuk berguru dengan Imam Abî Nasr al-Ismâilî. Dan

disanalah al-Ghazâli mempelajari bahasa arab, persia, dan pengetahuan agama.6

dan setelah itu kembali lagi menuju Thûs untuk mengulang-ulang pelajaran yang

diperoleh di Jurjan selama tiga tahun, dan mempelajari tasawuf di bawah

bimbingan Yusûf al-Nassy. Kemudian ia pergi menuju Naisâbûr dan berguru

2Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) , hal. 155.

3Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit Bulan

Bintang, 1974), hal. 48. 4Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 17.

5Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 18.

6Muhammad Yusran Asmûnî, Pertumbuhan Dan Perkembangan Berfikir Dalam Islam

(Surabaya: al-Ikhlâs 1994), hal. 8-9.

Page 104: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

11

kepada salah-satu Imam tersohor yang mendapatkan gelar Imâm al-Haramain dan

pula seorang ulama besar beraliran al-asy‟ariyyah yaitu Ali al-Juwainî.

Dengannya, al-Ghazâli mempelajari teologi, hukum-hukum Islam, filsafat, logika,

sufiesme, dan lain lain. dengan kecerdasan al-Ghazâli, kemudian Imam Ali al-

Juwainî memberikan gelar al-Ghazâli dengan gelar “lautan yang

menenggelamkan” maksudnya adalah bahwa al-Juwainî mengibaratkan keluasan

ilmu al-Ghazâli bagaikan lautan yang dalam dan luas. Karenanya al-Ghazâli

sangat pandai dan mahir dalam beraneka ragam ilmu pengetahuan di antaranya,

dalam bidang fikih Imâm-Syâfi‟i, ilmu mantiq, ilmu usuluddin, filsafat, dan lain-

lain. Bahkan bukan hanya piawai beraneka ragam ilmu, akan tetapi juga al-

Ghazâli mengarang berbagai macam disiplin ilmu.7

Ia senantiasa bersama dengan gurunya al-Juwainî hingga ia meninggal dunia

pada tahun 478 H. Setelah itu, al-Ghazâli pergi dari Naisâbûr ke Muaskar.

kemudian bertemu dengan seorang menteri yang terkenal dengan sebutan Nidzâm

al-Muluk. Menteri tersebut sangat menghormati dan memuliakan al-Ghazâli

karena mengetahui kualitas pengetahuan kecerdasan al-Ghazâli. Dan pula, sebab

telah diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa pernah terjadi perdebatan antara al-

Ghazâli dengan sebagian ulama dalam sebuah forum ilmiah, dan al-Ghazâli keluar

menjadi pemenangnya sehingga Nidzâm al-Muluk menugaskan al-Ghazâli sebagai

pengajar di madrasah yang berada di Baghdâd yang dikenal sebagai Nidzâmiyah.

Pada tahun 484 H al-Ghazâli pergi menuju Irak dan mengajar disana, sehingga

penduduk Irak kagum dengan kecerdasan al-Ghazâli. 8 Dan berkata seorang hakim

yang bernama Abu Bakar Ibn al-Arabî, bahwa aku melihat di Baghdâd

bahwasanya lebih dari empat ratus orang-orang besar yang menghadiri majlis

pengajaran al-Ghazâli.9Kedudukan dan ketinggian jabatan tidak membuat al-

Ghazâli congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk perang

batin dan hatinya tak tenang, suatu krisis kejiwaan melanda, setelah empat tahun

lamanya beliau menjalani tugas di Baghdâd. Sebagaimana yang di ungkapkan al-

Ghazâli, yaitu:

7Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-

Khâmisah ( Damaskus: Dār al-Qalam, 1993 ), h.21. 8Abū Wafâ‟ al-Ghânimi, Tasawuf Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2002),

hal. 184. 9Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salâm 2010), hal. 18.

Page 105: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

12

“ketika aku merasakan kelemahanku dan seluruh ikhtiar ku benar-benar

tidak ada lagi. aku kembali berlindung kepada Allah Swt dalam bentuk

perlindungan yang terpaksa yang tidak ada lagi cara lain, hatiku merasa senang

membelakangi kemegahan, harta, anak, dan juga sahabat”.10

Kesuksesan tidak mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan, bahkan

membuatnya gelisah dan menderita. Perasaan ini muncul setelah al-Ghazâli

mempelajari ilmu kalam (teologi). Kemudian tertanamlah keraguan di hati al-

Ghazâli, mana di antara aliran-aliran yang benar. Kegelisahan intelektualnya dan

rasa penasarannya dilukiskan di dalam bukunya al-Munqîd Min al-Dalâl

(menyelamatkan dari kesesatan ). 11

Pada tahun 488 H, terpancar di hati al-Ghazâli atas kehinaan kehidupan dunia,

kemudian ia meninggalkan kekayaan, popularitas yang ia raih di baghdâd.

Kemudian al-Ghazâli pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji serta pula

pergi ke Syâm untuk ber‟itikaf disana. Pada tahun 489 H, al-Ghazâli masuk kota

Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdîs

beberapa lama dan kembali ke Damaskus ber‟tikaf di menara barat masjid Jamî‟

Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nasr Ibn Ibrâhim Al

Maqdisî di masjid Jamî‟ Umawî (yang sekarang dinamai Al Ghazâliyyah).

Tinggal di sana dan menulis kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn, Al Arba‟în, Al Qistâs.

Beliau tinggal di Syâm sekitar 10 tahun.12

Pada tahun 498 H al-Ghazâli pergi

menuju Baitul Maqdîs untuk melakukan ibadah yang mendekatkan diri kepada

Allah Swt dan pula berziarah ke tempat-tempat bersejarah di sekitar Baitul

Maqdîs. Kemudian setelah itu, al-Ghazâli pergi ke Mesir dan tinggal beberapa

hari di Iskandariyyah. kemudian setelah itu, al-Ghazâli kembali Thûs tempat tanah

airnya.13

Ketika al-Ghazâli kembali ke Thûs, kemudian beliau habiskan seluruh

waktunya untuk mengarang kitab-kitab, serta ibadah kepada Allah Swt, dan pula

menghabiskan hidupnya mengkaji ilmu serta mengajar.14

Menurut al-dzahabî,

“pada akhir hayat kehidupannya, beliau tekun mengkaji ilmu hadits dan

berkumpul dengan ahli-ahlinya serta menelaah Shahihain ( Sahîh al-Bukhârî Dan

Muslim). Seandainya beliau ber‟umur panjang, niscaya beliau akan menguasai

10

Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”,hal. 130. 11

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Al Munqîd Min al-Dalâl (Istanbul: Darus Safeka,

tt), hal. 4. 12

Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”, hal. 131. 13

Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salām 2010), hal. 19. 14

Muhammad al-Rihyanî, Tafsîr Imâm al-Ghazâli (Kairo: Dâr al-Salām 2010), hal. 18.

Page 106: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

13

semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan

tidak memiliki keturunan kecuali beberapa putri”.15

Beliau wafat di kota Thûs pada hari Senin tanggal 14 Jumâdâ âkhir pada

Tahun 505 H bersamaan pada Tahun 1111 Masehi di Thûs. Jenazahnya di

kebumikan di tempat kelahiranya yaitu di perkuburan Tâbarân.

3. Karya- karya Al-Ghazâli

Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli mendapatkan gelar

Hujatul Islam atas pembelaaannya yang mengagumkan terhadap Islam. Dan al-

Ghazâli adalah seorang ulama besar yang produktif dalam menulis dan memiliki

karya buku yang banyak. Menurut al-Zarkalî, bahwa lebih dari dua ratus karangan

al-Ghazâli.16

Menurut Sulaimân Dunyâ, karangan Imâm al-Ghazâli mencapai 300

karangan.17

Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisâbûr.

Waktu yang digunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan

perhitungan ini, setiap tahunnya ia mengarang dan menghasilkan karya tidak

kurang dari 10 buku kitab besar dan kecil. Meliputi beberapa karya ilmu

diantaranya, ilmu filsafat, tasawuf, fikih, ilmu kalam, usul fikih, dan akhlak.

karya-karya Abû Hâmid al-Ghazâli di antaranya :

- Dalam bidang Tasawuf, al-Ghazâli mengarang kitab di antaranya, Ihyâ Ulûm al-

Dîn, pada kitab ini al-Ghazâli membagi pada empat bagian, bagian pertama

membahas Ibadah (ilmu, Taharah, Sholat, Zakat, puasa, Haji), bagian kedua

membahas norma-norma kebiasaan meliputi (adab makan, adab nikah, adab

mencari pekerjaan, adab bersahabat, adab bergaul dengan sesama insan), bagian

ketiga membahas hal-hal yang bisa membinasakan manusia, di antaranya

(musibah syahwat Farji dan perut, musibah lisan, malapetaka ujub, sombong,

pemarah, mencela dunia, harta, jabatan), dan bagian keempat membahas hal-hal

yang menyelamatkan, diantaranya (akhlak yang mulia, membersikan jiwa, sifat-

sifat yang baik seperti Sabar, jujur, syukur, juhud, Tawhîd, Tawakkal ).18

Dan

15

Abd Al-Wâhid,Tafsîr,“Isyâri Dalam Pandangan Imâm al-Ghazâli”, hal. 131. 16

Shâlih Ahmad al-Syâmî, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at al-

Khâmisah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h.36. 17

Sulaimân Dunyâ, Al-Haqiqah fî Nazâ`ir Al-Ghazâli , (Mesir: Dâr Al-Ma‟ârif, 1119 H),

hal. 6. 18

Abû Hâmid al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm al-Dîn, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Arabiyyah, T.t ), hal.

27.

Page 107: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

14

kitab-kitab tasawuf al-Ghazâli selain Ihyâ Ulûm al-Dîn di antaranya, Bidâyah al-

Hidâyah, Mukâsyafah al-Qulûb, Minhâj al-Âbidin, al-Risâlah al-Qudsiyyah,

Nasihat al-Mulk.

- Dalam bidang Filsafat, karya al-Ghazâli di antaranya Tahâfut al-Falâsifah. Secara

umum, kitab ini khusus al-Ghâzali karang untuk menjelaskan kerancuan-

kerancuan para filosof dan kitab ini disajikan oleh al-Ghazâli terdapat 20

permasalah yang berkaitan dengan kerancuan para filosof. Selain kitab ini, ada

beberapa karya al-Ghazâli lainnya yang berkaitan dengan bidang filsafat di

antaranya Maqâsid al-Falâsifah .

- dalam bidang al-Qur‟an, banyak karya al-Ghazâli di antaranya, Jawâhîr al-Qurân

yang membahas tentang mutiara-mutiara al-Qur‟an. Secara umum, kitab ini

menggali rahasia-rahasia ayat-ayat al-Qur‟an dan al-Qur‟an ini laksana lautan

yang luas membentang dan di dalamnya mengandung beraneka ragam mutiara-

mutiara yang jelita dan berharga.19

Selain itu, banyak karya-karya al-Ghazâli di

antaranya, Yâqût al-Ta‟wil Fî Tafsirât Ta‟wîl kurang lebih 40 Jilid.

- Dalam bidang Tawhîd di antaranya, Arba‟în Fî Usûl al-Dîn membahas tentang 40

permasalahan pokok pada agama, Qistâs al-Mustaqîm, Maqâsid Asnâ‟ Fī al-

Asmâ` al-Husnâ membahas tentang sifat-sifat Allah Swt yang terbaik.

- Dalam bidang Usûl al-Fikih dan Fikih di antaranya, al-Wajîz secara umum kitab

ini membahas fikih mazhab Imâm al-Syâfi‟î secara ringkas. al-Basît, al-Wasît

kedua kitab ini juga secara umum membahas tentang fikih mazhab al-Syāfi‟ī dan

al-Mustashfâ kitab ini karya monumental al-Ghazâli pada bidang Usûl al-Fikih.

Dengan banyaknya karya al-Ghazâli, sehingga banyak ulama yang

memberikan apresiasi kepada beliau. Al-Juwainî Imâm al-Haramain mengatakan,

bahwa keilmuan al-Ghazâli itu bagaikan lautan yang luas membentang.

Muhammad Ibn Yahyâ pula mengatakan bahwa tidak ada yang mampu

mengetahui keutamaan intelektual al-Ghazâli kecuali orang-orang yang sempurna

akalnya, atau mendekati kesempurnaan. Begitu pula Gâfir al-Fârisi mengatakan

19

Abû Hâmid Al-Ghazâli, Kitâb Jawâhîr al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 21.

Page 108: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

15

bahwa tidak terlihat manusia yang seperti al-Ghazâli dari segi kepintarannya,

bagus retorika penjelasannya.20

B. Kitab Jawâhir Al-Qurân

Salah satu karya Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhamad al-Ghazâli dalam

bidang al-Qur‟an adalah Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an).

Gambaran umum kitab ini, al-Ghazâli mengibaratkan ilmu al-Qur‟an itu laksana

lautan yang luas dan membentang dan di dalamnya terdapat mutiara-mutiara yang

indah dan berkualitas, yang tak ada orang yang mendapati mutiara tersebut

kecuali orang-orang yang berusaha sekuat tenaga untuk menyelam kedalamannya.

Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazâli, yaitu:

“Sesungguhnya al-Qur‟an laksana lautan yang di dalamnya meliputi segala

macam mutiara. Segala puji bagi Allah dan pujian tersebut pembuka bagi

kitabnya (al-Qur‟an), Shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw sebagai

penutup pembawa risalah. Aku mengingatkanmu atas ketiduran mu, wahai

engkau yang terus membaca dan menjadikan al-Qur‟an sebagai pelajaran dan

amalan, dan pula mengambil makna-makna zâhir al-Qur‟an. mau sampai kapan

kau hanya berkeliling di tepi pantai laut dengan menutup kedua matamu

keindahan mutiara-mutiara di dalamnya. tidakah engkau berjalan melintasi

lautan dengan melihat keindahan-keindahan pulau-pulau, atau tidakah engkau

menyelami lautan untuk mendapati mutiara-mutiara, ataukah tidak irihkah

engkau melihat orang-orang yang menyelam mendapati mutiara-mutiara yang

indah. Sampaikah berita padamu, bahwa ilmu al-Qur‟an itu laksana lautan yang

sangat luas dan di dalamnya bercabangnya seluruh ilmu orang-orang terdahulu

dan orang-orang yang akan datang. Dan lautan itu bercabang pulau-pulau dan

sungai-sungai, begitu pula al-Qur‟an bercabang di dalamnya segala ilmu-

ilmu”.21

.

Al-Ghazâli mengibaratkan al-Qur‟an bagaikan lautan, mengisyaratkan betapa

luasnya makna ayat-ayat al-Qur‟an. Senada pula dengan pendapat Abdullah

Darrâz seorang ulama al-Azhar yang mengatakan bahwa, jika kau membaca al-

Qur‟an maka akan tampak jelas maknanya di hadapan anda. Tetapi bila anda

membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan makna-makna yang lain yang

berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya sampai anda

menemukan makna dalam satu kalimat yang bermacam-macam. Ayat-ayat al-

20

Sâlih Ahmad, al-Syâmî, Imâm al-Ghazâli Mujaddid al-Mi`ah al-Khamsah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h. 29

21Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân, (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 21.

Page 109: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

16

Qur‟an itu bagaikan mutiara yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang

berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.22

1. Gambaran Umum Kitab Jawâhîr Al-Qurân

Kitab Jawâhir al-Qurân ini terdiri dari beberapa bab diantaranya yaitu :

- menjelaskan bahwa al-Qur‟an itu mengandung beraneka ragam mutiara-mutiara

yang berharga.23

- menjelaskan batasan tujuan-tujuan atau mutiara-mutiara al-Qur‟an. al-Ghazâli

membatasi Maqâsâd al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) dan Nafâ‟îs al-Qurân

(mutiara-mutiara al-Qur‟an) menjadi enam bagian. tiga bagian Usûl al-Muhimmah

(perkara-perkara dasar yang penting) dan tiga bagianya lainnya Tawâbi‟ al-

Mutammimah (perkara-perkara cabang yang peyempurna).24

- menjelaskan Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an). Tiga bagian Usûl al-

Muhimmah yaitu : mengenal yang berhak disembah yaitu Allah Swt (Ilmu

Tawhîd), menjelaskan Sulûk atau cara menuju Allah Swt, menjelaskan keadaan

ketika sampai kepada Allah atau keadaan hari akhirat. Dan tiga bagian Tawâbi‟al-

Mutammimah diantaranya yaitu : menjelaskan keadaan orang-orang yang Sulûk

(berjalan menuju Allah) seperti para nabi, orang bertakwa dan lain-lain. dan pula

keadaan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah seperti, orang-orang kafir,

munafik. dan pula Menjelaskan bantahan argumentasi orang-orang kafir dan

menyingkap kejahilan mereka atas penyembahan kepada berhala. Dan pula

menjelaskan bagaimana memakmurkan jalan menuju Allah dan hal-hal yang

harus yang semestinya dipersiapkan.25

- bercabangnya segala aspek-aspek ilmu agama dari sepuluh bagian yang telah

disebutkan.

- bercabangnya seluruh ilmu bersumber dari al-Qur‟an.

- Menjelaskan pula bahwa ayat-ayat al-Qur‟an ada yang lebih utama satu sama lain.

menurut al-Ghazâli, karena terdapat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang

22

Abdullah Darrâz, al-Naba` al-Azîm ( Mesir: Dâr al-Urubah, 1960), h. 111 23

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 21. 24

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 22. 25

Ahmad Raysûni, Maqâsid Maqâsid (Beirut: TT.pn., 2013 ), h. 14-15.

Page 110: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

17

menjelaskan kemuliaan yang lebih pada sebagian surah atau ayat-ayat al-Qur‟an.

seperti sabda Rasulullah Saw “Yâsîn qalb al-Qurân” (Surah Yâsîn adalah jantung

al-Qur‟an), Ayât al-Kursî Sayyid al-Qurân (ayat kursi pangerannya al-Qur‟an).

- Rahasia-rahasia yang terselubung dalam surat al-Fâtihah

- Menjelaskan keadaan Surah al-Fâtihah adalah sebagai pembuka surga yang

delapan

- Menjelaskan keadaan ayat Kursî sebagai raja ayat suci al-Qur‟an, serta

menjelaskan nama-nama Allah yang agung

- Menjelaskan illat ( motif ) surah al-Ikhlas itu seperti sepertiga al-Qur‟an

- Menjelaskan surah Yâsîn adalah Qalb al-Qurân

- Menjelaskan keadaan orang-orang yang mengenal Allah serta menisbatkan

kenikmatan mereka dengan orang-orang yang lalai

- Menjelaskan pembagian inti sari surat-surat al-Qur‟an. dan membagi dengan dua

cara, pertama Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an) dan kedua Durar al-

Qurân ( permata-permata al-Qur‟an ). 26

2. Metode Penulisan Jawâhir Al-Qurân Dan Sumber Penafsiran

Ada beberapa metode penulisan penafsiran yang selama ini digunakan yaitu :

metode analisis (Tahlîlî), global/umum (Ijmâli), komparatif (Muqâran), dan

tematik (maudhû‟i). Dan jika diamati, bahwa penafsiran al-Ghazâli itu

mengunakan metode Ijmâli (umum) yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan cara

ringkas atau global yang mencangkup dengan bahasa yang mudah, populer, enak

dibaca.27

Dan sumber penafsiran al-Ghazâli dalam kitab Jawâhîr al-Qurân adalah

elaborasi antara Tafsîr bi al-Ra`yî (tafsir rasional) dan Tafsîr bi al-Ma`sûr (Tafsir

berdasarkan riwayat). Akan tetapi al-Ghazâli lebih mendominasi dengan

penafsiran rasionalnya dibandingkan penafsiran berdasarkan riwayat. Contoh

penafsiran al-Ghazâli, yaitu:

26

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn, 1411 H), h. 214-215

27Hujair,“Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak

Mufassirin “, (Desember : 2008) : h. 272.

Page 111: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

18

فقوله تعايل ) بسم اهلل ( : نبأ عن الذات و )الرمحن الرحيم ( : نبأ عن صفة من صفاختاصة واملرحومون و خاصيتها اهنا تستدعي سائر الصفات من العلم و قدرة و غريها مث تتعلق باخللق وهم

تعلقا يؤنسهم به و يرغبكم يف طاعته ال كوصف الغضب ولو ذكره بدال عن الرمحة فان ذلك حيزن و خيوف و يقبض القلب وال يشرح

“Pada firman Allah Swt, pada kalimat Bismillah adalah

menginformasikan tentang Zat Allah Swt. Dan pada kalimat al-Rahmân al-Rahîm

adalah menginformasikan tentang sifat diantara sifat-sifat Allah yang khusus.

Dan kekhususannya adalah karena sifat kasih sayang itu membutuhkan sifat ilmu,

qudrah, dan sifat-sifat lainnya. Kemudian sifat kasih sayang Allah itu berkaitan

dengan dengan seluruh makhluk dan seluruh makhluk disayang Allah Swt. dan

sifat ini berkaitan pula, bahwa Allah memberikan kabar gembira dengan sifat

kasih sayang serta mendorong untuk taat kepada Allah, tidak dengan sifat

pemarah nya dan seandainya disebutkan sifat kebalikan dari sifat rahmat Allah

Swt, maka hal demikian membuat berkesan membuat sedih dan menakut-nakuti

dan membuat hati sempit dan tak lapang”28

.

3. Corak Kitab Jawâhir Al-Qurân

Husain al-Dzahabî dalam karyanya Tafsîr wa al-Mufassirûn mengatakan,

bahwa corak kitab Jawâhir al-Qurân karya al-Ghazâli ini bercorak Tafsîr Ilmî.

Menurut al-Zahabî, Tafsîr Ilmiî adalah penafsiran yang dilakukan dengan

mengangkat mengunakan pendekatan teori-teori ilmiah dalam mengungkap

kandungan-kandungan ayat al-Qur‟an dan berusaha dengan sungguh-sungguh

untuk menggali berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan

filsafat dari ayat tersebut.29

Sedangkan menurut Abd Mâjid al-Salâm, bahwa Tafsîr

Ilmî adalah penafsiran yang dimaksudkan oleh para mufassir untuk mencari

adanya kesesuaian ungkapan-ungkapan dalam ayat-ayat al-Qur‟an terhadap teori

ilmiah dan berusaha keras untuk menggali berbagai masalah keilmuan dan

pemikiran-pemikiran Filsafat.30

Dalam kitab Jawâhir al-Qurân pada fasal ke lima, al-Ghazâli mengatakan

pada pembahasan bercabangnya segala ilmu bersumber dari al-Qur‟an

diantaranya : Ilmu kedokteran, ilmu astronom, ilmu alam, ilmu anatomi tubuh,

dan ilmu-ilmu yang lainnya. Dan pula beliau berkata, bahwa segala ilmu yang

28

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Lebanon : Dâr Ihyâ Ulûm al-

Dīn, 1411 H), h. 64. 29

Muhammad Husain Al-Zahabî, Tafsîr Wa al-Mufassirûn (Kairo: Maktabah al-Wahbah )

Jilid II, h. 349. 30

Izzatul Laila,“Jurnal Penafsiran al-Qur‟an Berbasis Ilmi Pengetahuan”, no 1 (Juni

2014) : h. 48.

Page 112: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

19

telah disebutkan dan yang tak disebutkan, seluruhnya tidak keluar dari al-Qur‟an.

karena seluruhnya berasal dari al-Qur‟an yaitu bersumber dari Allah Swt. Dan

ilmu Allah itu laksana lautan yang tak bertepi,31

sebagaiman firman Allah Swt

dalam Surah al-Kahfi ayat 109 yaitu :

109.”Katakanlah sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat

Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat

Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".

Contoh terdapat isyarat ilmu kedokteran yang dijelaskan oleh al-Ghazâli

pada firman Allah Swt dalam Surah al-Syu‟arâ ayat 80 yaitu :

80. “Apabila ku sakit, Dialah Allah yang menyembuhkan”.

Menurut beliau, bahwa yang menyembuhkan sesungguhnya hanya Allah Swt,

dan manusia tak akan bisa menyembuhkan kecuali setelah mengetahui ilmu

kedokteran.32

C. Sekilas Profil Muhammad Rasyîd Ridâ

Rasyîd Ridâ adalah seorang tokoh muslim modernis, mufassir, penulis,

jurnalis yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Karena beliau

hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad

ke-20. Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam

sejarah Arab modern jika dibandingkan dengan kurun waktu yang sebelumnya.

Sebab saat itu kaum impirealis barat telah bersekutu dengan kaum Zionis untuk

mempecah-belah umat Islam dan merampas harta kekayaan umat Islam.33

Kemunduran umat Islam menurut Rasyîd Ridâ, disebabkan karena mereka tidak

lagi menganut Islam yang murni, untuk mengetahui Islam yang murni orang harus

31

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 45-46. 32

Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli, Jawâhîr Al-Qurân (Beirut: Dâr Ihyâ Ulûm al-Dîn,

1411 H), h. 45-46. 33

Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsîr Al-Manâr (Jakarta: PT.Gelora Aksara

Pratama,2006 ) h. 21.

Page 113: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

20

kembali kepada al-Qur‟an dan Hadits. Beliau pula menolak dan menentang sifat

Jumûd (statis) yang terdapat dalam kalangan internal umat Islam. Sifat Jumûd

membuat mereka berhenti berfikir dan berusaha dan umat Islam harus memilki

sifat dinamis dan rasional.34

1. Biografi Muhammad Rasyîd Ridâ

Sayyid Rasyîd Ridâ adalah salah satu seorang tokoh pembaharu di dunia Islam

pada massa kontemporer. Nama asli Rasyîd Ridâ adalah Muhammad Rasyîd Ridâ

Ibn Alî Ridâ Ibn Muhammad Syâm al-Dîn al-Qalamûnî. Beliau lahir Hari rabu

pada tanggal 27 Jumâdâ Ûlâ tahun 1282 H atau pada tahun 1865 M, di suatu desa

bernama Qalamûn di Libanon yang letaknya tidak jauh sekitar 4 Km dari kota

Tripoli. Berkata Rasyîd Ridâ, :

”aku memilki dua tempat tinggal. Pertama tempat tinggal kelahiran ku dan

pendidikan ku yaitu di desa Qolamûn di kota Tripoli. Dan kedua tempat bekerja

ku di Mesir selama 11 Tahun. Disanalah, aku mengajar, belajar, serta bekerja di

beberapa organisasi”.35

Rasyîd Ridâ tumbuh di keluarga yang taat ber‟agama dan sangat dihormati

oleh masyarakat. Rasyîd Ridâ adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai

garis keturunan langsung dari Sayyidina Husein putra Sayyidina Ali dan Fâtimah

putri Rasulullah Saw. Oleh karena itu, di depan namanya memakai gelar Sayyid

atau kadang juga sering dipanggil Syaikh.36

Ketika Rasyîd Ridâ mencapai umur

remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa, serta ilmu sang nenek,

sehingga Rasyîd Ridâ banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri.37

2. Pendidikan Rasyîd Ridâ

Semasa kecilnya usia tujuh tahun, Rasyîd Ridâ dimasukan oleh orang tuanya

ke Madrasah tradisional di desanya Qalamûn. Rasyîd Ridâ juga belajar kepada

sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di

34

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang, 1996), h. 45. 35

Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 14.

36Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid „inda Muhammad Rasyîd Ridâ“.Tesis Fakultas

Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ`ir, 2006, hal. 14. 37

Muhammad Quraish, Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsir al-Manar,

(Tangerang : Lentera Hati, 2006), h. 72.

Page 114: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

21

kampungnya yang ketika itu bernama al-Kuttâb. Disanalah ia diajarkan membaca

al-Qur‟an, menulis, dan dasar-dasar menghitung. Berbeda dengan anak-anak yang

seusianya, Rasyîd Ridâ lebih menghabiskan massa mudanya untuk belajar dan

membaca buku dari pada bermain. Dan sejak kecil, ia memang memiliki

kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengeahuan.38

Setelah menamatkan pelajaran di taman-taman pendidikan di kampungnya

yang dinamai al-Kuttâb, Rasyîd Ridâ dikirim oleh orang tuanya ke Tripoli

(Libanon) untuk belajar di Madrasah al-Ibtidaiyyah yang mengajarkan ilmu al-

Qur‟an, Nahwu, Sharaf, teologi, Fikih, Tasawuf, berhitung, dan ilmu bumi.

dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, karena Madrasah ini adalah milik

pemerintahan yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang

akan menjadi pegawai pemerintahan Turkî Usmânî,39

Mengingat Libanon pada

waktu itu, dibawah kepemimpinan Turkî Usmânî. Rasyîd Ridâ tidak tertarik

dengan pada sekolah tersebut dan karena enggan menjadi pegawai, setahun

kemudian ia pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah al-Wathaniyyah al-

Islamiyyah yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan dengan bahasa

Arab sebagai pengantar, dan di samping diajarkan pula bahasa Turki Prancis.

Sekolah ini dipimpin oleh seorang ulama besar Syam pada massa itu yaitu Syakh

Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil yang besar terhadap perkembangan

pemikiran Rasyîd Ridâ.40

Nama asli Syaikh al-Jisr adalah Husain Ibn Muhammad Mustafâ al-Jisr.

Beliau seorang yang Alim dan bermazhab Hanafi, dan pula seorang sastrawan.

Beliau termaksuk guru dari Rasyîd Ridâ yang sangat dikagumi dan dicintai atas

pengajaranya yang dengan penuh perhatian serta keseriusan kepada Rasyîd Ridâ

semenjak duduk di bangku sekolah Madrasah al-Wataniyyah. Dan terkenal

sebagai ulama modern, yang mampu memadukan antara ilmu agama dengan ilmu

modern. Di samping itu, beliau juga pemimpin Tarîqah Khalwatiyyah.41

38

Ahmad Al-badawî Ibrâhîm, Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhid (Kâiro: al-Muassasah al-

Misriyyah al-Ammāh, t,th.), hal. 19. 39

Ahmad Al-Badawî Ibrâhîm, Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhid (Kâiro: al-Muassasah al-

Misriyyah al-Ammâh, t,th.), hal. 19. 40

A.Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar (Jakarta:PT.Gelora

Aksara Pratama,2006), hal. 25-26. 41Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas

Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 17.

Page 115: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

22

Tujuan al-Jisr mendirikan Madrasah, di samping untuk memberikan

pengajaran kepada generasi muda sesuai dengan tuntunan zaman dan

mengimbangi aktivitas pendidikan dari sekolah-sekolah asing yang telah banyak

bermunculan disana dan banyak menarik minat sementara kalangan remaja mesir

untuk belajar di sekolah-sekolah tersebut. Namun Madarasah yang didirikan oleh

Jisr tidak dapat berumur panjang, karena pihak penguasa Turkî Usmânî tidak

dapat menerima Madrasah tersebut sebagai sekolah agama yang murid-murid nya

dapat dibebaskan oleh dinas militer. Dan akibatnya, Madrasah al-Wathaniyyah al-

Islamiyyah ditinggalkan murid-muridnya dan terpaksa ditutup oleh pemerintah.

disamping itu, meski Madrasah al-Wathaniyyah di tutup, Rasyîd Ridâ tetap

belajar pada Syakh al-Jisr, baik di Madrasah Râhibiyyah maupun di rumah

gurunya itu sendiri sampai selesai dan memperoleh ijazah dari gurunya pada

tahun 1315 H / 1897 M. 42

Di samping belajar dengan Syaikh al-Jisr, Rasyîd Ridâ juga belajar pada

ulama yang lain. Di antaranya yaitu Syakh Muhammad Nasyâbah, denganya

Rasyîd Ridâ menimbah Ilmu al-Hadîts Riwâyah dan Dirâyah. Beliau terkenal ahli

di bidang hadits dan karenanya Rasyîd Ridâ memahami dalam menilai hadits-

hadits Da‟îf dan Maudû‟i.43

Rasyîd Ridâ juga belajar dari Syakh Abd al-Ghanî al-

Râfi‟î. dan Rida belajar darinya Ilmu Hadîts, Usûl al-Hadîts, Tasawwuf dan

belajar pula kitab Naylu al-Awtâr karya Imâm al-syawkânî yang bermazhab Syîah

Zaidiyyah.44

Selama massa pendidikannya, Muhammad Rasyîd Ridâ membagi

waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah-satu Masjid milik keluarganya,

ibunya bercerita bahwa semenjak Muhammad Rasyîd Ridâ dewasa, aku tidak

pernah melihat dia tidur, karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun

sebelum kami tidur. Dan tidak itu saja, adiknya yang bernama Sâlih berkata, aku

tadinya menganggap saudaraku Rasyîd Ridâ adalah seorang Nabi. Tapi setelah ku

42

A.Athaillah, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar (Jakarta:PT.Gelora

Aksara Pratama,2006), hal. 28. 43Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas

Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 17. 44Manûbah Burhân,“Al-Fikr Al-Maqâsid ‘inda Muhammad Rasyîd Ridâ“. Tesis Fakultas

Syariah, Universitas Bâtina al-Jazâ‟ir, 2006, hal. 18.

Page 116: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

23

tahu bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi penutup, maka aku menjadi yakin

bahwa dia adalah seorang Wali.

Setelah memperoleh ilmu yang luas, Ridâ memanfaatkan untuk

memberikan pengarahan dan petunjuk kepada para sahabatnya. Dalam

kegiatannya dia selalu mengamati masalah-masalah yang terjadi di kawasan

tetangga, terutama masalah agama kemasyarakatan melalaui surat dan majalah.

Ridâ sangat tertarik dan terkesan kepada Majallah ‟urwah al-Wustqâ yang

dipimpin oleh Jamâl al-Dîn al-Afghânî dan muridnya Syakh Muhammad Abduh.

Pertemuan dengan kedua tokoh tersebut hal yang didambakan dan dirindukan

Rasyîd Ridâ. Tetapi ia sangat menyesal karena ia sendiri tidak bisa bertemu

langsung dengan Jamâl al-Dîn al-Afghânî, sebab beliau keburu meninggal dunia

sebelum Ridâ bertemu dengannya. Akhirnya beliau langsung menemui muridnya

yaitu Syakh Muhammad Abduh menuju ke Mesir pada tahun 1879 M.45

Pertemuan antara murid dan guru yaitu Rasyîd Ridâ dan Muhammad

Abduh, bermula dari interaksi Ridâ dengan Majalah al-Urwah al-Wusqâ, Majalah

yang diterbitkan oleh Jamâl al-Dîn al-Afgânî dan Muhammad Abduh ketika di

Paris. Tulisan-tulisan kedua pembeharu tersebut memberikan kontribusi pengaruh

yang sangat besar kepada Muhammad Rasyîd Ridâ, sehingga mampu merubahnya

dari pemuda Sûfî menjadi pemuda yang penuh gairah semangat.46

Ketika di Mesir,

Ridâ bertemu dengan Muhammad Abduh. Pertemuan ini dijadikan momentum

yang penting bagi Ridâ untuk memperdalam pengetahuan dalam pembaharuan

Islam. Sebulan setelah bertemu Abduh, Ridâ menyampaikan keinginannya untuk

menerbitkan majalah yang nantinya diberi nama Majallah al-Manâr. Tujuan

Rasyîd Ridâ dalam menerbitkan Majallah al-Manâr yaitu untuk mengadakan

pembaharuan memalui media cetak yang di dalamnya berisikan bidang agama,

sosial, ekonomi, pemberantasan takhayyul, dan bid‟ah yang masuk di internal

umat muslim. Serta menghilangkan pula fatalisme, pemahaman-pemahaman salah

yang dibawah oleh tarikat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan, dan

membela umat Islam terhadap permainan politik negara Barat.

45

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang 1996), h. 45.

46

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang, 1996), h. 46.

Page 117: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

24

Pada awalnya Abduh tidak merestui gagasan ini dikarenakan pada saat itu

di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi masalah yang diolah diduga

kurang menarik perhatian umum. Namun Ridâ menyatakan tekadnya, walaupun

harus menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah

penerbitan itu. Akhirnya Muhammad Abduh merestui dan memilih nama Al-

Manâr dari sekian banyak nama yang diusukan oleh Rasyîd Ridâ. Majalah ini

banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh. Muhammad Abduh memberikan

ide-ide dan gagasannya kepada Rasyîd Ridâ dan kemudian Rasyîd Ridâ yang

menguraikan dan menyiarkannya kepada masyarakat umum melalui lembaran-

lembaran majalah Al-Manâr. Walaupun demikian ide-ide al-Manâr juga berisikan

artikel-artikel yang dikarang Muhammad Abduh sendiri dan juga ditulis oleh

rekan-rekan pengarang lain. kemudian Rasyîd Ridâ mengusulkan kepada

Muhammad Abduh agar ia menulis Tafsîr al-Qurân dengan metode yang

digunakan dalam penulisannya di Majallah al-„urwah al-Wusqâ.47

Setelah kedua

ulama tersebut berdialog, akhirnya Muhammad Abduh bersedia memberikan

kuliah Tafsir di Jamî‟ al-Azhar kepada murid-muridnya. Al-Manâr terbit perdana

pada tanggal 22 Syawal 1315 H / 17 Maret 1898 M, berupa media mingguan

sebanyak delapan halaman. Majalah ini mendapat sambutan hangat bukan hanya

di Mesir dan negara-negara sekitarnya saja, tetapi juga sampai ke Eropa, bahkan

ke indonesia.48

3. Karya-karya Ilmiah Muhammad Rasyîd Ridâ

Muhammad Rasyîd Ridâ berhasil menulis sekian banyak karya Ilmiah,

diantaranya sebagaimana berikut :

- Al-Azhar dan al-Manâr. Isinya antara lain, sejarah al-Azhar,

perkembangan dan missinya, serta bantahan-bantahan terhadap ulama al-

Azhar yang menentang pendapatnya.

47

Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsîr al-Manâr,

(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 78. 48

Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsîr al-Manâr,

(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 79.

Page 118: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

25

- Tarîkh al-Ustâdz al-Imâm, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan

perkembangan masyarakat Mesir di massa-Nya.

- Nidâ‟ Li al-Jins al-Latîf, berisi uraian tentang hak dan kewajiban wanita

- Zikr al-Maulîd al-Nabawî

- Risalah al-Hujjah al-Islam al-Ghazâli

- Wahdah al-Islamiyyah

- Wahyu al-Muhammadiyyah, berisi tentang penetapan wahyu Nabi

Muhammad Saw, serta perbedaan wahyu Nabi Muhammad dengan Nabi-

Nabi yang lainnya, serta menjelaskan tujuan-tujuan pokok al-Qur‟an.

- Majallah al-Manâr yang terbir sejak 1315 H / 1898 M sampai dengan

1354 H / 1935 M.

- Tafsîr al-Manâr

- Tafsir surah-surah al-Kausar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâs.49

D. Tafsîr Al-Manâr

Tafsîr al-Manâr yang bernama Tafsîr al-Qurân al-Hâkim yang

memperkenalkan dirinya sebagai salah-satu kitab Tafsir di antara kitab-kitab

Tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat yang Sahîh dan pandangan akal yang

tegas, yang menjelaskan syariah serta sunnatullah (hukum allah yang berlaku)

terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk untuk

seluruh manusia, di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara

petunjuk dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada massa diterbitkannya)

yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta (membandingkan pula) dengan

keadaan para Salaf (leluhur) yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu. Tafsîr

al-Manâr ini merupakan karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamâl al-Dîn

al-Afgânî, Muhammad Abduh, Rasyîd Ridâ. Tokoh pertama menanamkan

gagasan Islâh al-Ijtimâ‟i (memperbaiki masyarakat) kepada muridnya, yaitu

Muhammad Abduh. Kemudian gagasan tersebut dicerna, dikelola, ditafsirkan al-

Qur‟an dalam pengajaran-pengajaran Abduh di Universitas al-Azhar. Kemudian

49

Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsīr al-Manâr,

(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 80.

Page 119: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

26

penafsiran Muhammad Abduh ditulis serta dikembangkan oleh Muhammad

Rasyîd Ridâ.50

1. Latar Belakang Penafsiran Al-Manâr

Tafsîr al-Manâr ini pada mulanya adalah materi Tafsir yang diajarkan

Muhammad Abduh di Masjid al-Azhar yang dicatat oleh muridnya Ridâ. Materi

Tafsir ini kemudian diterbitkan di Kâiro, tapi pengaruhnya tersebar keseluruh

Negara Arab. Atas inisiatif Rasyîd Ridâ bahwa tulisan-tulisan ini dijadikan buku

Tafsir semua pengajaran Abduh yang dicatat oleh-Nya untuk kemudian dikoreksi

kembali oleh Abduh. Kemudian Tafsir tersebut diberi nama Tafsîr al-Hâkim dan

dikenal sangat populer dengan nama Tafsîr al-Manâr. Secara kuantitatif dalam

Tafsir al-Manar, Muhammad Abduh menafsirkan 413 ayat dari surat al-Fâtihah

sampai surat al-Nisâ‟ ayat 125 (Lima jilid pertama), karena beliau wafat tahun

1323 H. Penafsiran kemudian diteruskan oleh Rasyîd Ridâ dengan metode dan

corak yang hampir sama, sampai surat Yûsuf ayat 111 dengan jumlah 930 ayat.

Walaupun dicetaknya hanya sampai ayat ke-52 dari surat yang sama. Tepatnya

sampai pada volume ke 12, pada tahun 1354 H-1953 M Muhammd Rasyîd Ridâ

wafat. penulisan Tafsir ini tidak berhenti, tapi dilanjutkan oleh muridnya Ridâ

yaitu Muhammad bahjah al-Bîtâr, sampai selesai dan dicetak dalam edisi yang

terpisah dari Tafsîr al-Manâr.51

2. Tujuan Pokok Penafsiran

Tujuan pokok penafsiran Rasyîd Ridâ dalam Tafsîr al-Manâr sebagaimana

tujuan Muhammad Abduh yaitu memahami maksud Allah Swt sebagai Kitâb al-

Hidâyah yang membimbing manusia menuju mencapai kebahagian mereka baik

di kehidupan dunia maupun akhirat.52

Hal demikian bisa dipahami, karena

memang tujuan Allah Swt menurunkan al-Qur‟an ke bumi ini sebagai kitab

50

Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsīr al-Manâr,

(Tangerang: Lentera Hati, 2006), h. 83-84. 51

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 ), h. 93 52

Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah, t.t.), Jilid 2, hal. 424.

Page 120: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

27

petunjuk untuk seluruh manusia menuju kebahagian di dunia dan di akhirat.

Sebagaimana firman Allah QS al-Baqarah 2: 185 berikut:

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di

dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan

yang batil”.

Menurut Ridâ, Muhammad Abduh ber‟argumentasi bahwa beliau mencela

sebagian para Mufasir yang mengiring penafsiran mereka yang hanya bertumpuh

pada kaidah-kaidah bahasa arab, cerita-cerita Isrâ`îliyyah dan tidak mengarahkan

manusia dari petunjuk al-Qur‟an. dan pula berkata bahwa menjadi kebutuhan

mendesak bagi manusia pada petunjuk al-Qur‟an sebagaimana sesuai tujuan al-

Qur‟an diturunkannya yaitu untuk memberi peringatan, kabar gembira, petunjuk,

dan perbaikan.53

Penekanan pada segi Hidâyah al-Qurân itu ditegaskan kembali

oleh muridnya Ridâ dalam muqaddimah Tafsîr al-Manâr, Ridâ mengatakan,

bahwa Allah Swt telah menurunkan bagi kita kitab suci-Nya sebagai Hidâyah

(petunjuk) dan cahaya terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya

untuk mensucikan kehidupan dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan

akhirat.54

Dan pula menurut Rasyîd ridâ, tujuan Allah Swt menurunkan al-Qur‟an

yaitu sebagai Hidâyah (petunjuk) untuk memperbaiki kepribadian insan,

kelompok, kaum, dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar dan diridhai

Allah Swt.55

3. Metodologi Tafsîr Al-Manâr

Ada beberapa metode penulisan penafsiran yang selama ini digunakan yaitu :

metode analisis (Tahlîlî), global / umum (Ijmâlî), komparatif (Muqâran), dan

tematik (maudû‟i). Jika dicermati penafsiran Rasyîd Ridâ, bahwa metodologi

53

Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,

t,t.), jilid 2, hal. 424. 54

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 94. 55

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu al-Muhammadiyyah (Beirut: Maktabah „Izzu al-Dîn,

1406 H), hal. 190.

Page 121: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

28

penafsiran-Nya hampir sama sebagaimana penafsiran guru-Nya Muhammad

Abduh yaitu mengunakan metode analisi Tahlîlî.56

Jika Muhammad abduh dalam metodologi penafsirannya menyoroti ayat-ayat

al-Qur‟an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam

ayat yang ditafsirkan dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap

bagian ayat, dan juga memperluas masalah-masalah penafsiran yang tidak

disentuh oleh mufassir lainnya, namun ia berusaha meringkas pembahasannya

tentang kebahasaan dan sastranya dan pula membatasi pengambilannya riwayat-

riwayat yang Sahîh saja. Sedangkan Rasyîd ridâ dalam metodologinya mengikut

metodologi gurunya Muhammad Abduh, akan tetapi setelah wafatnya Abduh, ada

sedikit perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Sebagaimana perkataan

Rasyid Ridâ, yaitu :

”setelah wafatnya guruku Muhammad abduh. Aku berlainan dalam Manhâj

penafsiran, dengan memperluas yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur‟an

dengan menghadirkan Hadits yang Sahih. Serta menganalisis bahasa, serta

menyingkap makna Lughawî secara umum, dan memaparkan permasalahan

ikhtilâf di kalangan „ûlamâ`, dan menghadirkan ayat-ayat al-Qur‟an pada surat-

surat yang berbeda, sera meluruskan penyimpang-penyimpang, dan menguatkan

untuk mematahkan argumentasi orang-orang kafir dan ahli bid‟ah, serta

memecahkan masalah-masalah dengan memberikan solusi yang menentramkan

jiwa dan menenangkan hati”.57

4. Sumber Penafsiran

Sumber penafsiran Rasyîd Ridâ, bahwa penafsirannya merupakan kelaborasi

antara Tafsir Riwayat (Tafsir bi al-Ma‟tsûr) dengan Tafsir akal (Tafsir bi al-

Ra‟yî). Menurut Husain al-Dzahabî, sumber penafsiran Rasyîd Ridâ sering kali

menafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, khususnya jika terulangnya ayat-ayat al-

Qur‟an dalam satu tempat. Dan pula beliau menafsirkan al-Qur‟an dengan Hadîts

Nabi Muhammad Saw yang Sahih menurut Ilmu Hadîts yang disepakati ulama.

dan juga menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat para Sahabat Rasulullah Saw,

para Tâbi‟în, dan pula menganalisis bahasa dan pula menafsirkan al-Qur‟an

mengunakan akalnya yang terlepas dari Taqlîd buta kepada para mufassir lainnya,

56

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 94. 57

Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,

t,t.), jilid 2, hal. 424.

Page 122: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

29

kecuali pendapat yang baik yang diterima Rasyîd Ridâ, terlebih pendapat gurunya

Muhammad Abduh.58

5. Corak Penafsiran

Corak penafsiran Muhammad Rasyîd Ridâ tidak terlepas dengan pemikiran

guruhnya Muhammad Abduh yang mempelopori pengembangan tafsir yang

bercorak Adabî al-Ijtimâ‟î atau Tafsir yang ber‟orentasi pada sastra, budaya,

kemasyarakatan.59

Corak Tafsir Adabî al-Ijtimâ‟î adalah penafsiran yang

ber‟orentasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang

menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur‟an pada segi penelitian redaksionalnya,

kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah

dengan menonjolkan tujuan utama turunya ayat kemudian merangkaikan

pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam

masyarakat dan pembangunan dunia.60

Menurut Muhammad Abduh, bahwa masing-masing kalimat dalam al-Qur‟an

tersusun secara serasi dan harmonis. Karena al-Qur‟an bukanlah kitab syair, akan

tetapi kitab bersumber dari Allah Swt yang maha kuasa atas segala sesuatu, dan

Dialah yang meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya secara serasi. Maka

tidak ada kata di dalam al-Qur‟an yang diletakkan hanya karena keterpaksaan.

Penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat dan keindahan susunannya dalam

penafsiran al-Qur‟an itu, tidak lain bertujuan untuk menarik jiwa manusia dan

menuntun mereka untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al-Qur‟an agar

maksud al-Qur‟an sebagai petunjuk dan Rahmat dapat tercapai dengan baik.61

Selain corak Adabî al-Ijtimâ‟î, Tafsir al-Manâr juga bercorak Hidâ‟i yaitu corak

yang di latarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan al-Qur‟an sebagai

petunjuk dan akhlak al-Qur‟an sebagai poros dan sentral dari usaha penafsiran

terhadap kitab suci al-Qur‟an.

58Muhammad Husain Al-Dzahabî, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Kâiro: Maktabah al-Wahbah,

t,t.), jilid 2, hal. 424 59

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011), h. 97. 60

Abd al-Rahmân Rusli Tanjung,“Analisis Terhadap Corak Tafsîr al-Adabî al-Ijtimâ‟i”,

(Desember 2014): h. 163-164. 61

Syibromalisi Faizah Ali dan Azizy Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta : Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2011 M), h. 97

Page 123: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

30

Inti dari pembahasan ini, al-Ghazâli seorang ulama besar yang multi

latenta yang mengarang ratusan karya. Salah-satu karyanya yaitu Jawâhir al-

Qurân. Kitab ini secara umum membahas Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-

Qur‟an) yang ditawarkan oleh al-Ghazâli. Dan Rasyîd Ridâ adalah seorang

mufassir, jurnalis bahkan reformis yang lantang menyuarakan ide-ide

pembaharuan Islam. Tafsîr al-Manâr sebenarnya bukan murni karangan Ridâ,

karena kitab ini merupakan penyalinan pemikiran gurunya Muhammad Abduh

yang disalin/dibukukan oleh Rasyîd Ridâ. Tafsir yang bercorak Adabî al-Ijtimâ‟i

dan al-Hidâ`i, yang di dalamnya pula terdapat pemikiran Ridâ tentang Maqâsid

al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) yang beliau tawarkan.

Page 124: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

30

BAB III

GAMBARAN UMUM MAQÂSID ALQURÂN

Al-Qur‟an diturunkan Allah ke muka bumi ini memiliki Maqâsid (tujuan-

tujuan dan tidak diturunkan secara sia-sia, hampa dari tujuan. Puncak tujuan al-

Qur‟an diturunkan adalah sebagai Hidâyah (petunjuk) bagi manusia menuju

kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, lahir istilah di kalangan para

akademisi muslim dalam kajian diskursus al-Qur‟an yaitu Maqâsid al-Qurân

(tujuan-tujuan al-Qur‟an). Maqâsid al-Qurân adalah istilah yang digunakan para

ulama sebagai sebuah upaya/menggali tujuan-tujuan al-Qur‟an diturunkan untuk

manusia. Secara umum, puncak tujuan-tujuan al-Qur‟an menurut Abd al-Karîm

al-Hâmidî adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hamba-hamba Allah.1

Penulis menyadari bahwa kajian Maqâsid al-Qurân belum menjadi disiplin ilmu

tersendiri di kalangan para ulama. Akan tetapi, istilah Maqâsid al-Qurân bisa

didapati bertebaran di karangan karya-karya para ulama. Pada kesempatan ini,

penulis akan mengkaji gambaran umum, sejarah Maqâsid al-Qurân dan kolerasi

Maqâsid al-Qurân dengan Tafsir al-Qur‟an.

A. Pengertian Maqâsid al-Qurân

Kalau ditinjau dari segi etimologi/bahasa, kata Qasada dalam Mufradât Alfâdz

al-Qurân bermakna, Istiqâmah (jalan yang lurus), menuju sesuatu, dan berada di

antara dua perkara, misalnya di tengah-tengah antara dua ekstrim.2 Kata al-Qasdu

dari sisi bahasa berakar dari tiga dasar Qaf, Sad, Dal. Ketiga huruf tersebut

dirangkai menjadi kata Qasd yang dapat diartikan di antaranya al-iltizām

(berkehendak), al-Tawajjuh (menuju), al-Nuhûd nahwa al-Sya`a (bangkit menuju

1Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1428

H), h. 31. 2Al-Râgib al-Asfahânî, Mufradât Alfâdz al-Qurân (Lebanon: Maktabah al-Ilmiah ,t.t.), h.

672.

Page 125: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

31

sesuatu).3 dan kata Maqâsid al-Qurân adalah bentuk plural (Jamak) dari kata

Maqsad yang bermakna, tempat yang diorentasikan atau dituju. Sedangkan al-

Qur‟an itu terambil dari kata أقر yang bermakna kumpulan dan himpunan, Karena

al-Qur‟an menghimpun huruf dan kalimat ayat-ayat al-Qur‟an.4 Jadi secara bahasa,

makna Maqâsid al-Qurân adalan orentasi atau tujuan al-Qur‟an.

Dalam al-Qur‟an, kata Maqâsid terdapat lima kali dan masing-masing terdapat

pada ayat yang berbeda-beda serta bentuk yang berbeda-beda. Pertama, kata

yang artinya moderat, tengah-tengah, berjalan yang lurus menuju مقتصد

kebenaran. Kata ini terdapat pada Surah al-Luqmân ayat 32 dan pula terdapat pada

Surah Fâtir ayat 32. Kedua, kata قصد dengan bentuk Masdar yang memiliki arti

jalan yang lurus. Kata ini terdapat di dalam Surah al-Nahl ayat sembilan. Ketiga,

kata قاصد dengan bentuk Isim Fâil yang bermakna dekat dan mudah ditempuh.

Dan menurut al-Qurtubî, kata tersebut bermakna mudah dan jalan yang sudah

diketahui. Keempat, kata إقصد dengan bentuk Fi‟il Amr (bentuk perintah).

Menurut Ibn Katsîr, kata tersebut bermakna sederhana, adil, seimbang yang tidak

terlalu cepat atau terlalu lambat dan adil di antara keduanya. Kelima, yang مقتصدة

bermakna moderat atau tengah-tengah di antara dua ekstrim.5 Kesimpulan dari

keseluruhan subtansi makna-makna di atas, bahwa makna Qasada adalah adil,

tengah-tengah, moderat, jalan yang lurus, dekat, mudah.

Sedangkan secara terminologi, belum ada istilah yang disepakati para ulama

tentang makna Maqâsid al-Qurân. Akan tetapi, terdapat isyarat pengertian

Maqâsid al-Qurân yang bertebaran pada karangan para ulama. Abû Hâmid al-

Ghazâli (505 H) dalam Jawâhir Al-Qurân mengatakan, puncak tujuan

diturunkannya al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Allah Swt

(Ma‟rifatullah). Sedangkan menurut Izzudin (660 H) Maqâsid al-Qurân adalah

معظم مقاصد القرآن األمر باكتساب املصاحل وأسباهبا، والزجر عن اكتساب املفاسد واسباهبا

3Ali al-Fayummî, al-Misbâh al-Munîr Fī Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Lebanon: Maktabah

al-Ilmiah, 1990), h. 192. 4Mannâ‟ al-Qattân, Mabâhis Al-Qurân (Kairo: Maktabah al-Wahbah, t.t.), h. 14

5Muhammad Fuâd Abd al-Bâqi, Mu‟jam al-Muhfâras Li al-Alfâdz al-Qurân (Kairo:

Maktabah al-Misriyyah, 1365 H), hal. 545

Page 126: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

32

“Puncak tujuan al-Qur‟an adalah menyeru manusia melakukan segala

kebaikan/kemaslahatan dan sebab-sebab yang mengantarkan kepada

kemaslahatan. Dan melarang melakukan kerusakan dan sebab-sebab yang

mengantarkan kepadanya”.6

Hal demikian bisa diketahui jika dicermati al-Qur‟an secara seksama, karena

setiap kali Allah Swt perintahkan sesuatu, pasti dibalik perintah tersebut ada

kemaslahatan dan kebaikan bagi orang yang melakukannya. Dan setiap kali Allah

Swt melarang sesuatu, pasti dibalik itu ada kemaslahatan agar tidak terjerumus

pada hal-hal yang merusak.7 Seperti larangan Allah tentang Khamr pada Surah al-

Mâidah ayat 90, bahwa tujuan Allah melarang demikian agar untuk menjaga akal

orang-orang beriman agar tidak rusak. Di kalangan ulama Usûl fikih, istilah

kebaikan dikenal dengan Jalb al-Masâlih (menarik kemaslahatan) sedangan

istilah kerusakan adalah Daf‟u al-Mafâsid (menolak segala kerusakan). Menurut

Râzî (606 H), Maqâsid al-Qurân adalah menjelaskan Tawhîd (mengesakan Allah

Swt), Ahkâm syar‟i (hukum-hukum syariat Islam), Ahwâl Ma‟âd (keadaan-

keadaan hari akhir) seperti hari pembangkitan, hari hisab, hari timbangan, surga

dan neraka. Sedangkan menurut Ibn Âsyur, tujuan utama Allah Swt menurunkan

al-Qur‟an yaitu:

حتقيق الصالح على املستوى الفردي، واجلماعي، والعمراين

“Untuk merealisasikan perbaikan atau kemaslahatan baik tingkatan

individual, kelompok, masyarakat”.8

Menurut Abd Karîm al-Hâmidî, sorang ulama Maqâsîd di kalangan

kontemporer bahwa Maqâsid al-Qurân adalah

مقاصد القران ىي الغايات اليت أنزل القران ألجلها حتقيقا ملصاحل العباد

“Maqâsid al-Qurân adalah tujuan-tujuan yang diturunkannya al-Qur‟an di

karenakan untuk merealisasikan kemaslahatan hamba”.9

6Izzuddin Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah al-

Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ), Jilid 1, h. 8. 7Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 30. 8

Muhammad Tâhir Ibnu Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al Tanwîr (Tunusia: Dâr al-

Tunisiyyah, 1984 M ), Jilid 1, h. 38. 9Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 31.

Page 127: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

33

Yang dimaksud dengan الغاياث adalah maksud dan hikmah yang terkandung di

dalam al-Qur‟an. dan yang dimaksud تحقيقا لمصالح العباد adalah itu merealisasikan

kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Rasyîd Ridâ,

Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu, masyarakat, kaum. Dan

menunjukan mereka kejalan yang benar serta mewujudkan persaudaraan sesama

manusia dan mengembangkan/meningkatkan akal serta mensucikan hati

manusia.10

B. Sejarah Perkembangan Istilah Maqâsid al-Qurân Di Kalangan Ulama

Dalam literatur klasik, penulis belum menemukan penjelasan yang pasti

tentang siapa pertama kali berbicara tentang Maqâsid al-Qurân dan kapan kajian

itu dimulai secara kajian ilmiah. Sejauh penelitian penulis, bahwa orang yang

pertama kali menjelaskan tentang Maqâsid al-Qurân di kalangan ulama klasik

adalah Abû Hâmid al-Ghazâli (w. 505 H) dalam karyanya Jawâhir Al-Qurân.

Dalam buku ini, al-Ghazâli mengemukakan bahwa puncak tujuan diturunkannya

al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Tuhan yang maha kuasa.11

Kemudian

beliau mengklasifikasi Maqâsid al-Qurân menjadi enam bagian. Tiga hal yang

pertama merupakan sentral dan prinsip-prinsip pokok dan tiga berikutnya

merupakan pelengkap atau penyempurna. Keenam demikian adalah pertama,

Menjelaskan tentang Zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt. Kedua, Menjelaskan

jalan yang lurus yang seharusnya ditempuh menuju Allah Swt. ketiga, Penjelasan

tentang kehidupan hari akhir. Empat, Menjelaskan keadaan orang-orang yang taat

kepada Allah Swt, seperti para Nabi, orang-orang Shaleh. Dan pula menjelaskan

perlakuan baik Allah Swt kepada mereka dan menjelaskan keadaan orang-orang

yang membangkang kepada Allah seperti Fir‟aun, orang-orang kafir, serta siksa

yang Allah timpakan kepada mereka. Lima, Bantahan terhadap kesalahan

argumentasi orang-orang kafir, dengan menyingkap kebenaran dan pula

10

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu al-Muhammadiyyah, (Maktabah „Izzuddin 1406 H ), h.

191 11

Abu Hâmidi al-Ghazâli, Kitâb Jawâhir al-Qurân, (Lebanon : Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,

1411 H ), h. 23

Page 128: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

34

menyingkap kebodohan mereka.12

Enam, Hal-hal yang diperlukan di dalam

perjalanan menuju Allah Swt yang meliputi pembekalan untuk menuju Allah Swt.

Selanjutnya Râzî (606 H) yang memperkenalkan pertama kali dalam bidang

Ilmu Tafsir. Ia membahas dalam konteks kesatuan tujuan atau tema surah-surah

al-Qur‟an (Wihdah al-Mauduiyyah Li al-Suwar) sebagaimana yang dikatakan oleh

Quraish Shihab, bahwa Râzî mufassir yang pertama kali mencetuskan prinsip

kesatuan tujuan Surah al-Qur‟an dalam Tafsîr Mafâtih al-Ghaib.13

Menurut Râzi,

bahwa prinsip tujuan-tujuan al-Qur‟an secara umum adalah menetapkan empat hal

yaitu al-Ilâhiyât (ketuhanan), al-Ma‟âd (hari akhir), al-Nubuwât (kenabian),

Itsbât al-Qadâ` Wa al-Qadar (menetapkan takdir). Dan hal demikian terdapat

dalam surah al-Fâtihah, karena di dalamnya membahas tentang dzat Allah serta

sifat-sifatnya pada ayat 1-4 Dan pula membahas tentang kenabian pada ayat 7

dengan memohon kepada Allah agar ditunjukan jalannya para Nabi. Dan pula

bicara hari akhir pada ayat ke 4, bahwa Allah yang memiliki hari akhir. Dan pada

ayat ke 7, Allah menetapkan takdir dengan menetapkan hidayah kepada para nabi,

orang-orang shaleh, syuhada dan tidak memberikan hidayah kepada orang-orang

Nasrani dan Yahudi disebabkan keangkuhan mereka.14

Selanjutnya„Izzu al-Dîn Ibn Abd al-Salâm (660 H), yang secara eksplisit

menyebutkan Maqâsid al-Qurân dalam karangannya yang berjudul Nubadz Min

Maqâsid al-Qurân (inti sari dari tujuan-tujuan al-Qur‟an yang mulia). Beliau

mengatakan bahwa Maqâsid al-Qurân adalah menyeru manusia melakukan segala

kebaikan atau kemaslahatan dan sebab-sebab yang mengantarkan kepada

kemaslahatan. Dan melarang melakukan kerusakan dan sebab-sebab yang

mengantarkan kepadanya..15

Terdapat isyarat juga dalam Tafsîr al-Baydâwî karya Abdullah Bin Umar al-

Baydâwi (685 H) ketika membahas Tafsir Surah al-Ikhlâs, beliau mengatakan

bahwa sesungguhnya tujuan-tujuan al-Qur‟an terbatas pada tiga hal, pertama

12

Abu Hâmid al-Ghazâli, Kitâb Jawâhir al-Qurân, (Lebanon: Dâr Ihyâ al-Ulûm al-Dîn,

1411 H ), h. 23-24. 13

Mohammad Bakir, ” Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd Nursî”,

no. 01 (Agustus 2015): h. 53. 14

Dr. Mas‟ûd, Juhd Ulamâ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân (Lebanon: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 6. 15

Izzuddin Ibn Abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm Fī Masâlih al-Anâm (Kairo: Maktabah

al-Kulliyyah al-Azhar, 1991 M ) Jilid 1, h. 8.

Page 129: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

35

menjelaskan akidah, kedua hukum-hukum, ketiga kisah-kisah.16

Begitu pula Ibnu

Juzayi (741 H) mengatakan dalam muqaddimah Tafsirnya, sesungguhnya makna-

makna umum di dalam al-Qur‟an atau Maqâsid al-Qurân itu ada tujuh macam.

Ilmu al-Rububiyyah (ilmu akidah ketuhanan), Ilmu al-Nubûwâh (Kenabian),

Ma‟âd (hari akhir), Ahkâm (hukum-hukum), janji dan ancaman.17

Terdapat pula

isyarat Maqâsid al-Qurân dalam karya Imam al-Zarkasyî (794 H) yaitu Kitâb al-

Burhân Fi Ulûm al-Qurân, bahwa beliau berkata:

القصد من إنزال القرآن تعليم احلالل واحلرام وتعريف شرائع اإلسالم وقواعد اإلميان ومل يقصد

منو تعليم طرق الفصاحة

“Tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah mengajarkan antara halal dan

haram, mengenalkan syariat-syariat Islam dan kaidah-kaidah keimanan, dan

tidak bermaksud semata-mata mengajarkan cara-cara keindahan bahasa saja”.18

Selanjutnya Biqâ‟î (w. 885 H) dalam karyanya Masâid al-Nazar Li al-

Isyrâf„Ala Maqâsid al-Suwar (tangga-tangga pandangan untuk melihat tujuan-

tujuan surat al-Qur‟an). Menurut penulis, beliaulah mufassir setelah Râzî, yang

menggunakan istilah Maqâsid dalam tubuh kajian Tafsir. Menurut Biqâ‟î, bahwa

setiap Surah al-Qur‟an terdapat Maqâsid, dengan ungkapan A‟zam Maqâsid al-

Sûrah (tujuan utama pada surah) atau Maqâsid al-„Uzmâ (tujuan terbesar). Pada

istilah yang digunakan Biqâ‟î tersebut, bahwa pada setiap Surah al-Qur‟an

terdapat tujuan-tujuan Allah Swt. 19

Selanjutnya pula Imam al-Suyûtî (911 H)

ketika menafsirkan Surah al-Fâtihah dalam Tafsirnya Dur al-Mantsûr, beliau

menjelaskan salah satu nama surah al-Fâtihah adalah Umm al-Qurân. Al-Suyûtî

berpendapat, bahwa Maqâsid al-Qurân itu terkandung ringkasannya pada surah

al-Fâtihah dengan sumber riwayat-riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan

secara ilmiah. Karena pada surah al-Fâtihah terliputi beraneka ragam Maqâsid.

Diantaranya, Ilmu al-Usûl (ilmu dasar) berkaitan dengan Zat, sifat, kehendak

16

, Nasiruddin Baydâwi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Beirut: Dâr al-Rasyîd, 1421 H), Jilid 3, hal. 584.

17Abû Qâsim Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzayi, Tafsîr Tashîl Li al-Ulûm al-Tanzîl

(Beirut: Dār al-Rasyīd 1415 H ), Jilid 1, h. 8. 18

Badruddin Zarkasyi, al-Burhân Fî Ulûm al-Qurân (Kâiro: Dâr Ihyâ al-Kutub al-

Arabiyyah, 1957 M ) jilid 1, h. 312. 19

Ibrahim Ibn Umar Al-Biqâ‟î, Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar (Riyâd:

Maktabah al-Ma‟ârif, 1308 H), Jilid 1, h. 209.

Page 130: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

36

Allah Swt, kenabian, dan hari akhir. Ilmu Ibâdah (ilmu ibadah) berkaitan dengan

cara ibadah menyembah Allah, Ilmu al-Sulûk (jalan menempuh Allah Swt) dan

ilmu kisah-kisah.20

Âlusî (1270 H) dalam Tafsirnya Tafsîr Rûh al-Ma‟âni pula

menyinggung tentang Maqâsid al-Qurân. Menurut Âlusî, yaitu:

يف األمر والنهي املذكورين بل ىو مشتمل على مقاصد أخرى مقاصد القرآن العظيم ال تنحصركأحوال املبدأ واملعاد ومن ىنا قيل لعل األقرب أن يقال إن مقاصد القرآن التوحيد واألحكام

الشرعية وأحوال املعاد“Tujuan-tujuan utama al-Qur‟an tidak terbatas pada perintah dan larangan

saja, akan tetapi meliputi pula pada tujuan-tujuan yang lain, seperti tujuan

menjelaskan keadaan proses awal penciptaan makhluk sampai keadaan kembali

(hari akhir). Dari sini pernyataan yang paling tepat dikatakan, sesungguhnya

tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah Tawhîd, hukuk-hukum syariat, keadaan-keadaan

hari akhir (kematian,hari pembangkitan, padang mahsyar, surga atau neraka”.21

Pada zaman modern, konsep Maqâsid al-Qurân yang mencangkup

keseluruhan al-Qur‟an kembali diangkat oleh para mufassir. Muhammad Abduh

(1324 H) sebagai tokoh reformis dan pengarang Tafsîr al-Manâr adalah orang

yang pertama kali berbicara hal tersebut pada zaman kontemporer, meski tidak

secara eksplisit menggunakan istilah Maqâsid al-Qurân. misalnya ia berpendapat

tentang tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Menurut Abduh, yaitu:

أن ما نزل القرآن ألجلو التوحيد، والوعد والوعيد لألمة واألفراد يف الدنيا واآلخرة، والعبادة، وبيان سبيل السعادة يف الدنيا واآلخرة، وبيان قصص من وقف عند حدود اهلل ومن نبذ أحكامو

القرآن، والفاحتة مشتملة عليها إمجااللالعتبار ا، وأن ىذه ىي األمور اليت احتوى عليها “Sesungguhnya tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah Tahuid, janji,

ancaman bagi umat dan setiap induvidu insan di dunia dan di akhirat, dan pula

menjelaskan Ibadah kepada Allah Swt, dan menjelaskan jalan untuk mencapai

kebahagianan di dunia maupun akhirat, dan menjelaskan kisah orang-orang yang

yang bergantung atau taat pada hukum-hukum Allah (para Nabi, Syuhada, orang-

orang Shaleh) dan menjelaskan kisah orang-orang yang melempar atau tidak

patuh pada hukum-hukum Allah Swt, untuk diambil pelajaran bagi pembaca al-

Qur‟an. dan semua perkara ini yang meliputi a-Qur‟an dan Surah al-Fatihah

meliputi itu semua secara global”.22

20

Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fī Tafsîr Bi al-Ma„tsûr (Kairo: T.pn.,

849 H) Jilid 1, h. 22. 21

Abd al-Rahmân,“Muqârabât Ta`rikh Maqâsid al-Qurân al-Karîm”, no. 39 (desember

2016): h. 205. 22

Abd al-Rahmân,“Muqârabât Ta`rikh Maqâsid al-Qurân al-Karîm”, no. 39 (desember

2016): h. 205.

Page 131: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

37

Kemudian setelah Muhammad Abdu, kajian Maqâsid al-Qurân itu diteruskan

oleh murid nya yaitu Rasyîd Ridâ. Menurut penulis, Rasyîd Ridâ lah di kalangan

ulama kontemporer yang membahas Maqâsid al-Qurân secara luas dalam Tafsîr

al-Manâr dan Kitab Wahyu al-Muhammadiyyah. Dan Secara umum, Maqâsid al-

Qurân menurut Rasyîd Ridâ, yaitu:

وأقوامهم وإدخاهلم يف طور الرشد وحتقيق أخوهتم اإلنسانية ووحدهتم إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وترقية عقوهلم وتزكية أنفسهم

“Memperbaiki baik individu manusia, masyarakat, kaum, dan memasukan

mereka kejalan yang lurus dan benar, serta merealisasikan persaudaraan sesama

manusia, dan mengembangkan potensi akal manusia serta membersikan hati

manusia”.23

Kemudian Rasyîd Ridâ membagikan Maqâsid al-Qurân pada sepuluh bagian.

di antaranya, Pertama menjelaskan tiga aspek sentral dalam agama (Iman kepada

Allah Swt, hari akhir, amal Shaleh). Kedua menjelaskan Risalah kenabian. Ketiga

menjelaskan Islam agama yang sesuai dengan Fitrah manusia, agama yang

rasional. Keempat memperbaiki masyarakat manusia serta mempererat persatuan.

Kelima menetapkan keistimewaan taklif syariat Islam. Keenam menjelaskan

hukum politik Islam. Ketujuh menjelaskan mengelola keuangan dalam Islam.

Kedelapan memperbaiki regulasi peperangan dalam Islam. Kesembilan

memberikan hak-hak perempuan pada agama maupun negara. Sepuluh

pembebasan budak.24

Kemudian pula Sa‟îd al-Nursî (1379 H) dalam Muqaddimah Isyârât al-I‟jâz

Fī Mazan al-I‟jâz mengatakan, bahwa hanya empat unsur fundamental al-Qur‟an

yaitu Tawhîd (akidah), al-Nubuwâh (kenabian), kebangkitan manusia, dan

keadilan. Dan keempat ini, Sa‟îd al-Nursî mengistilahkan dengan al-Maqâsid al-

Asâsiyyah (tujuan-tujuan dasar). Menurut beliau, empat hal demikian adalah

intisari dan hakikat dimana diturunkannya al-Qur‟an. maka dari itu, pada dasarnya

al-Qur‟an memilki berbagai macam tujuan, akan tetapi Sa‟îd al-Nursî menjadikan

empat tujuan pokok itu sebagai dasar-dasar Maqâsid al-Qurân.25

23

Muhammad Rasyîd Ridâ, al-Wahyu al-Muhammadiyyah, (Beirut: Penerbit Izzuddin,

1606 H), h. 191. 24

Ahmad Raysûni, Maqâsid Maqâsid (Beirut: T.pn., 2013 M ), h. 16-17. 25

Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursî”,

Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 53.

Page 132: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

38

Kemudian Mahmûd Syaltût (1384 H) yang menulis buku dengan tema Ilâ al-

Qurân al-Karîm. Dalam kitab ini, Mahmûd Syaltût mengklasifikasikan Maqâsid

al-Qurân pada tiga aspek. Pertama aspek akidah yaitu membersikan jiwa dari

ketundukan kepada berhala-berhala, serta menguatkan keimanan kepada Allah

Swt, Risalah kenabian, Malaikat, hari akhirat. Kedua aspek akhlak yaitu

mensucikan sera membidik jiwa dari sifat-sifat buruk dengan menghiasasi sifat-

sifat baik, seperti Sabar, jujur, santun. Ketiga aspek hukum yaitu bagi hukum yang

bersifat vertikal antara hamba dengan Allah Swt, seperti Sholat, Haji. Dan pula

hukum yang bersifat horizontal antara hamba dengan hamba, seperti hukum

pernikahan, hukum bisnis.26

Menurut penulis, klasifikasi/pembagian Maqâsid al-

Qurân Mahmûd Syaltûtlah yang mencangkup seluruh ayat-ayat al-Qurân. Karena

ayat-ayat al-Qurân tidak terlepas dari tiga hal yaitu berkaitan dengan

akidah/keimanan, Ahkâm al-Syar‟iyyah, Akhlâk (etika).

Selanjutnya Ibn Âsyûr (1393 H) pula menjelaskan tentang Maqâsid al-Qurân,

beliau berkata bahwa :

أن القرآن أنزل لصالح أمر الناس كافة رمحة هلم لتبليغهم مراد اهلل منهم

“Sesungguhnya tujuan diturunkannya al-Qur‟an adalah untuk memperbaiki

segala urusan manusia dan sebagai Rahmat bagi mereka dengan disampaikannya

maksud Allah Swt kepada mereka”.27

Dan Ibn Âsyûr pula mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân pada delapan

bagian dalam muqaddimah Tafsirnya yaitu, memperbaiki akidah dan mengajarkan

akidah yang benar, memperbaiki akhlak, hukum-hukum Islam, mengatur umat,

kisah-kisah umat terdahulu, nasihat-nasihat peringatan dan kabar gembira, I‟jâz

al-Qurân (kemukjizatan al-Qur‟an).28

Muhammad Sâlih al-Siddîq pula mengarang

sebuah buku yang berjudul Maqâsid al-Qurân. Dalam buku ini, secara khusus

Muhammad Shâlih al-Shiddîq membahas luas berkaitan dengan Maqâsid al-

Qurân. kemudian dalam buku ini secara umum, bahwa Maqâsid al-Qurân itu ada

26

Mahmûd Syaltût, Ilâ al-Qurân al-karîm, (T.tp: Penerbit Dār al-Syurûq, t.t. ) h. 5-6. 27

Muhammad Tâhir Ibn Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dâr Tunisiyyah,

1984 M ), Jilid 1, h. 38. 28

Muhammad Tâhir Ibn Âsyur, Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (Tunis: Dār Tunisiyyah,

1984 M ), Jilid 1, h. 38.

Page 133: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

39

delapan. Yaitu, Tawhîd, akidah, agama, syariat, Ibadah, kisah-kisah, I‟jâz al-

Qurân, pelajaran yang agung serta mengatur dalam bermasyarakat.29

Selanjutnya Yusûf al-Qardâwî pula dalam karyanya yang berjudul Kayfa

Nata‟âmal Ma‟a al-Qurân di dalam nya membahas tentang Maqâsid al-Qurân.

dan beliau mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân pada tujuh aspek. Di antaranya,

memperbaiki akidah-akidah yang menyimpang, memelihara manusia dan menjaga

hak-hak insan, perintah Ibadah kepada Allah serta Takwa, mensucikan jiwa

manusia, membentuk keluarga yang baik, membangun umat, dakwah keseluruh

manusia agar saling tolong menolong.30

Kemudian kajian Maqâsid al-Qurân menjadi diskursus kajian serius di

kalangan ulama. Misalnya Abd al-Karîm mengarang sebuah buku khusus

membahas Maqâsid al-Qurân dengan judul Maqâsid al-Qurân Min Tasyri‟ al-

Ahkâm. Dalam buku ini, Abd al-Karîm menjelaskan bahwa banyak di antara

ulama yang berbicara Maqâsid al-Syarî‟ah, seperti Ibn Âsyûr, Rasyîd Ridâ,

bahwa mereka menetapkan pula adanya Maqâsid al-Qurân. Misalnya Ibn Âsyûr

mengatakan bahwa Maqâsid al-Qurân secara umum adalah Islâh al-Fardiyyah

(memperbaiki induvidu manusia), Islâh al-Ijtimaiyyah (memperbaiki Masyarakat),

Islâh al-„Âlamiyyah (memperbaiki alam semesta).31

Bahkan kajian Maqâsid al-Qurân tidak saja berkembang di dunia Arab, tetapi

juga berkembang di Barat. Sejumlah buku yang ditulis meskipun mengunakan

istilah tema-tema pokok al-Qur‟an, dapat dikatagori sebagai buku-buku yang

menjelaskan Maqâsid al-Qurân. Di antaranya, Le Grands Themes Du Coran

karya Jacgues Jomier, yang kemudian diterjemahkan oleh Zoe Hezov ke dalam

bahasa Inggris dengan judul The Great Themes of the Qur‟an. buku ini bertujuan

menjelaskan persoalan-persoalan menurut pengarangnya sebagai tema-tema

utama al-Qur‟an. persoalan-persoalan itu di antaranya, al-Qur‟an, Mekkah, dan

awal kehadiran Islam, Tuhan sebagai pencipta, Adam bapak umat manusia,

Ibrahim sebagai muslim, Nabi yang maksum, Yesus anak Maryam, komunitas

muslim, argementasi dan persuasi. Selain itu pula, terdapat buku yang ditulis oleh

29

Muhammad Sâlih al-Siddîq, Maqâsid al-Qurân (T.tp.: Dâr al-Ba‟tsi 1982 M) h. 35. 30

Yusûf al-Qardâwî, Kayfa Nata‟âmal Ma‟a al-Qurân (T.tp.: Penerbit Dâr al-Syurûq,

1419 H), h. 71. 31

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkhal Ilâ Maqâsid al-Qurân, (Riyad: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 132.

Page 134: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

40

Fazlur Rahman dengan judul Major Thems Of The Qur‟an (Tema-tema utama

dalam al-Qur‟an). Menurutnya, tema-tema al-Qur‟an ada delapan, yaitu ; Tuhan,

manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta,

kenabian, dan wahyu, eskatologi, setan,dan lahirnya masyarakat muslim.32

C. Tafsir al-Maqâsidî Dan Klasifikasi Maqâsid Al-Qurân

Tafsir al-Maqâsidî istilah baru dalam perkembangan diskursus kajian

Tafsir al-Qur‟an. Menurut Wasfî Âsyûr, dalam karyanya Tafsîr al-Maqâsidī Li

Suwar al-Qurân al-Karîm, Tafsir al-Maqâsidî adalah:

ىو لون من ألوان التفسري يبحث يف الكشف عن املعاين والغايات اليت يدور حوهلا القرآن الكرمي كليًّا أو جزئيًّا مع بيان كيفية اإلفادة منها يف حتقيق مصلحة العباد

“Corak di antara corak-corak tafsir yang membahas menyingkap makna-

makna dan tujuan-tujuan yang diorentasikan oleh al-Qur‟an, bagi bersifat

tujuan universal atau tujuan parsial, serta menjelaskan tatacara menggali

manfaat darinya untuk merealisasikan kemaslahatan hamba-hamba Allah”.33

Dari definisi diatas, Tafsir al-Maqâsidî adalah corak Tafsir al-Qur‟an,

yang berfokus untuk menggali/menyingkap tujuan-tujuan al-Qur‟an baik

secara al-Kuliyyah (keseluruhan) al-Qur‟an, maupun secara al-Juz`iyyah

(parsial)/bagian-bagian tertentu al-Qur‟an. Bisa dengan topik/tema, Surah,

ayat tertentu. Dan pula sebuah upaya untuk menggali manfaat dari tafsir

tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Pada umumnya, tidak

terlalu mencolok perbedaan antara Tafsir dengan Tafsîr al-Maqâsidî, karena

keduanya sama-sama menyingkap makna-makna ayat-ayat al-Qurân. Menurut

Wasfî Âsyûr, perbedaan yang mendasar antara keduanya, kalau Tafsir hanya

sekedar menyingkap atau menjelaskan makna ayat-ayat al-Qurân, sedangkan

Tafsîr al-Maqâsidî mengupayakan berusaha untuk memproduksi tafsir yang

mampu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, sebagaimana

ungkapannya yaitu بيان كيفيت اإلفادة منها في تحقيق مصلحت العباد (menjelaskan tatacara

32

Muhammad Bakir, “Konsep Maqâsid al-Qurân Menurut Badî al-Zamân Saîd Nursî”,

Vol. 01 no. 01 (Agustus 2015). H. 60.

33

Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,

2013), h. 8.

Page 135: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

41

mengambil manfaat dari hasil tafsir tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan

hamba-hamba Allah.34

Menurut penulis, Tafsîr al-Maqâsidî adalah corak tafsir yang

memfokuskan mencari esensi ruh (tujuan-tujuan) di balik ayat-ayat al-Qur‟an.

Sama seperti corak Lughawî yang memfokuskan mencari dan mengkaji

gramatika bahasa pada ayat-ayat al-Qur‟an, corak Ilmî yang memfokuskan

mencari isyarat-isyarat ilmiah di balik ayat-ayat al-Qur‟an.

Kemudian Maqâsid al-Qurân diklasifikasi menjadi dua macam. Pertama,

Maqâsid al-„Âmmah (tujuan-tujuan umum/keseluruhan) al-Qur‟an. di

antaranya yaitu, Tawhîdullah (mengesakan Allah), Hidâyah bagi manusia,

memperbaiki akhlak manusia, menyucikan jiwa manusia, mengajarkan

hikmah dan lain lain. Kedua, Maqâsid al-Khâssah (tujuan-tujuan khusus).

Bisa berkaitan dengan permasalah-permasalah tertentu, seperti tujuan ayat-

ayat nikah, politik, akhlak, muamalah, dan lain lain. Bisa pula berkaitan

dengan surah-surah al-Qur‟an tertentu.35

D. Korelasi Antara Maqâsid Al-Qurân Dengan Tafsir

Penulis ber‟argumentasi bahwa sangat erat hubungan antara Maqâsid al-

Qurân dengan Tafsir. Tafsir secara etimologi atau bahasa artinya al-Bayân

(penjelasan) al-Kasyf (menyingkap). Secara terminologi makna Tafsir, menurut

al-Zarkasyî adalah perangkat ilmu dengannya dipahami kitab Allah Swt (al-

Qur‟an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, serta menjelaskan

makna-makna, dan mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah yang

terkandung di dalamnya, serta perangkat alat bantu dengannya yaitu ilmu bahasa

Arab, Nahwu, Sorof, Ilmu Bayân, Usûl fikih, Qirâ„at, Nasakh Mansûkh, dan

mengetahui Asbâb al-Nuzûl.36

Senada pula menurut Asbahânî, Tafsir adalah

perangkat ilmu untuk menyingkap makna-makna al-Qur‟an dan menjelaskan

34

Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,

2013), h. 9.

35

Wasfî Âsyûr Abû Zaid, Tafsîr al-Maqâsidî Li Suwar al-Qurân al-Karîm (Kairo: T.pn.,

2013), h. 11-12. 36

Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fī Ulûm al-Qurân (T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah al-

Su‟udiyyah, 1426 H), hal. 2265.

Page 136: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

42

maksud-maksudnya.37

Sedangkan Maqâsid al-Qurân adalah tujuan-tujuan atau

rahasia-rahasia yang terselubung di balik ayat-ayat al-Qur‟an.

Untuk mengetahui Maqâsid Ayât al-Qurân (tujuan-tujuan yang terselubung di

balik ayat-ayat al-Qur‟an), mufassir terlebih dahulu harus menafsirkan al-Qurân,

karena Dilâlah (indikasi) Maqâsid al-Qurân itu terdapat pada lafadz ayat al-

Qur‟an tersebut, baik secara tersurat yaitu Mâ yu`khazu Min al-Nusûs (apa yang

terdapat pada nas al-Qur‟an), baik pula secara tersirat yaitu Mâ yufhamu Min

Nusûs (apa yang dipahami ada nas-nas al-Qur‟an).

Abd al-Karîm al-Hâmidî dalam karyanya Madhal Ilâ Maqâsid al-Qurân,

menjelaskan bahwa terdapat Adillah „Alâ tsubût Maqâsid al-Qurân (dalil-dalil

yang menetapkan terdapat Maqâsid al-Qurân di dalam al-Qur‟an). Kemudian

beliau membagikan dua macam. Pertama, Adillah al-Ammâh (dalil-dalil umum),

kedua, Adillah al-khâssah ( dalil-dalil yang khusus).38

Pertama, Adillah al-Âmmah (dalil-dalil umum) di antaranya ayat-ayat al-

Qur‟an yang secara umum mengisyaratkan terdapat Maqâsid (tujuan-tujuan). Qs

al-Anbiyâ` 21: 16:

16. “Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di

antara keduanya dengan bermain-main”.

Menurut Abd al-Karîm, bahwa Allah meniadakan kesia-siaan, main-main

dalam menciptakan langit, bumi dan segala sesuatu yang terdapat pada keduanya.

Akan tetapi, dalam menciptakannya terdapat Maqâsid (tujuan-tujuan) dan

hikmah-hikmah di balik penciptaannya.

Kedua, Adillah al-khâssah ( dalil-dalil yang khusus). Di antara ayat-ayat yang

secara khusus memiliki Illat (motif) yaitu Qs al-Isrâ` 17: 32:

32. “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.

37

Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân Fī Ulûm al-Qurân (T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah al-

Su‟udiyyah, 1426 H), hal. 2263. 38

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 61.

Page 137: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

43

Pada ayat ini sangat jelas, secara tersurat Allah melarang mendekati zina

dengan bertujuan untuk Hifz al-Nasl (menjaga keturunan manusia ) dan pula

karena perbuatan zina adalah perbuatan yang keji dan buruk.39

E. Perbedaan Antara Maqâsid al-Qurân Dengan Maqâsid al-Syari‟ah

Terdapat perbedaan di kalangan ulama antara Maqâsid al-Qurân Dengan

Maqâsid al-Syari‟ah. Menurut Abd Karîm al-Hâmidî, perbedaan yang nampak

antara keduanya, kalau Maqâsid al-Qurân merupakan Usul al-Maqâsid (pokok-

pokok Maqâsid), sedangkan Maqâsid al-Syari‟ah adalah Furû‟ al-Maqâsid

(cabang-cabang dari Maqâsid).40

Berangkat dari pernyataan di atas, bahwa

Maqâsid al-Syari‟ah termasuk bagian dari Maqâsid al-Qurân. Karena Maqâsid

al-Syari‟ah hanya bertumpu pada ayât al-Ahkâm (ayat-ayat hukum) saja,

sedangkan Maqâsid al-Qurân meliputi seluruh ayat-ayat al-Qur‟an.

Menurut Mahmûd Syaltût, Maqâsid al-Qurân adalah akidah, akhlak, syariah.

41Begitu pula menurut Râzî, Maqâsid al-Qurân adalah al-Ilâhiyât (akidah), al-

Nubûwât (kenabian), Ahkâm al-Syar‟iyyah (hukum-hukum syari‟ah), ma‟âd (hari

akhir).42

Dari pendapat keduanya sangat jelas, bahwa Maqâsid al-Syari‟ah adalah

bagian dari Maqâsid al-Qurân.

39

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 72 40

Abd al-Karîm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 17. 41

Mahmûd Syaltût, Ilâ al-Qurân al-karîm, (T.tp: Penerbit Dâr al-Syurûq, t.t. ) h. 5-6. 42

Mohammad Bakir, ”Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd Nursî”,

no. 01 (Agustus 2015): h. 53.

Page 138: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

44

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF KONSEP MAQÂSID AL-QURÂN ANTARA ABÛ

HÂMID AL-GHAZÂLI DAN RASYÎD RIDÂ

Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ keduanya termasuk di antara ulama yang

berkontribusi dengan menjelaskan Maqâsid al-Qurân. Dan pula keduanya

memaparkan Maqâsid al-Qurân lebih luas dan detail dibandingkan ulama yang

lainnya. Walaupun demikian, tentu saja penjelasan Maqâsid al-Qurân yang

keduanya tawarkan tidak seluruhnya sama dan berbeda. Pada tulisan ini, penulis

akan membahas secara detail konsep Maqâsid al-Qurân menurut al-Ghazâli dan

Rasyîd Ridâ dan menganalisis Muqâran1 (komparatif) dengan mencari perbedaan

dan titik temu Maqâsid al-Qurân antara keduanya.

A. Maqâsid Al-Qurân Menurut Abû Hâmid Muhammad Al-Ghazâli

Al-Ghazâli membatasi Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an) atau

Jawâhir al-Qurân (mutiara-mutiara al-Qur‟an) menjadi enam bagian dengan

mengklasifikasikan menjadi dua bagian, tiga hal yang pertama berisi Usûl al-

Muhimmah (prinsip-prinsip pokok) dan tiga hal bagian kedua sebagai

Mutammimah (penyempurna atau pelengkap). Tiga prinsip pokok Maqâsid al-

Qurân yaitu : Pertama, mengenal Tuhan yang berhak disembah. Kedua,

Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju) Allah Swt. Ketiga, menjelaskan Hâl

(keadaan) manusia ketika sampai kepada-Nya. dan tiga prinsip penyempurna atau

pelengkap yaitu : Pertama, menjelaskan keadaan orang-orang taat kepada Allah

seperti orang-orang ber‟iman dan menjelaskan pula balasan kasih-sayang Allah

kepada mereka (surga), bertujuan Targîb Wa Tabsyîr (memotivasi dan kabar

gembira bagi pembaca al-Qur‟an) dan menjelaskan keadaan orang-orang yang

durhaka kepada Allah seperti orang-orang kafir serta menjelaskan siksa yang

menimpah mereka, bertujuan Tarhîb (menakut-nakuti) agar tidak terjerumus ke

1 Muqâran adalah upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara permasalahan

yang sama dan pula membandingkan pendapat para mufassir yang berkaitan dengan al-Qur‟an.

(Mustafa Ibrahim, Tafsîr Muqâran, hlm. 147)

Page 139: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

45

dalam kesengsaraan. Kedua, menceritakan Ahwâl (keadaan-keadaan) orang-orang

yang menentang ajaran al-Qur‟an dan menyingkap kebodohan mereka dengan

Mujâdalah (mebantah) dan Muhâjah „alâ al-Haq (ber‟argumentasi yang benar),

bertujuan untuk Ifdâh (mengungkap) kebatilan ajaran mereka, serta Tastbît

(menetapkan) kebenaran ajaran al-Qur‟an. Ketiga, menjelaskan bagaimana

memakmurkan Manâzil al-Tarîq (tempat-tempat jalan), serta tatacara

mempersiapkan bekal untuk Sulūk menuju Allah Swt.2

Maqâsid al-Qurân di dalam kitab Jawâhir al-Qurân yang ditawarkan al-

Ghazâli, sangat kental dengan istilah-istilah tasawuf. Misalnya, Tarîqah, Wusul,

Sirr, Hâl dll. Menurut Abd al-Rahmân Badawî, kitab Jawâhir al-Qurân ini

dikarang oleh al-Ghazâli sengaja untuk menjelaskan Maqâsid al-Qurân dan ilmu-

ilmu al-Qurân serta keutamaan di antara surah-surah al-Qur‟an. Kitab ini al-

Ghazâli karang tak kala beliau sudah menyelami dunia tasawuf. Hal demikian

terdapat isyarat penjelasannya pada karya al-Ghazâli yang lain, yaitu kitab al-

Qistâs al-Mustaqîm. Maka lantas, Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat

kental dengan istilah-istilah tasawuf.3

Al-Ghazâli mengibaratkan al-Qur‟an itu laksana lautan yang sangat luas

dan dalam. Dan di dalamnya terdapat Jawâhir (mutiara-mutiara) yang indah dan

jelita. Begitu pula al-Qur‟an, yang di dalamnya mengandung makna-makna yang

luas dan dalam, serta terdapat Jawâhir (mutiara-mutiara) yang diistilahkan beliau

dengan Maqâsid al-Qurân (tujuan-tujuan al-Qur‟an). Menurut beliau, terkadang

Allah memberikan pemahaman makna al-Qur‟an kepada seseorang tidak melalui

proses pembelajaran. Akan tetapi, dengan disingkap oleh Allah rahasia-rahasia

makna al-Qur‟an kepada orang-orang tertentu. Menurut beliau :

وحتقيقها حموج إىل مثل ذلك وإمنا ينكشف للراسخني يف العلم ما من كلمة من القرآن إال من أسراره بقدر غزارة علومهم وصفاء قلوهبم وتوفر دواعيهم على التدبر وجتردىم للطلب ويكون لكل واحد حد يف الرتقي إىل درجة أعلى منو فأما االستيفاء فال مطمع فيو ولو كان البحر مدادا

ات اهلل ال هناية هلا فتنفد األحبر قبل أن تنفد كلمات اهلل عز وجلواألشجار أقالما فأسرار كلم

2 Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H ), h. 23-24. 3 Abd al-Rahmân Badawî, Muallafât al-Ghazâli (Kuwait: Wakâlah Matbû‟ah, 1977), h.

147.

Page 140: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

46

“tidaklah satu kalimat di dalam al-Qur‟an kecuali mewujudkannya

dibutuhkan tersingkapnya makna seperti demikian. dan sesungguhnya

tersingkapnya rahasia-rahasia al-Qur‟an bagi orang-orang yang sudah

mantap/kokoh dalam ilmunya dengan sebab kadar keluasan ilmu-ilmu mereka

dan jernihnya hati-hati mereka dan terpenuhinya sebab-sebab dalam

merenungkan al-Qur‟an. Setiap insan memiliki batasan untuk naik ke derajat

yang lebih tinggi darinya. Adapun meraih makna-makna al-Qur‟an secara

sempurna, tidak mungkin bisa dicapainya. Seandainya lautan menjadi tintanya,

dan seluruh pohonan menjadi pulpennya, maka rahasia-rahasia kalimat-kalimat

Allah tidak ada penghabisannya. Maka habisnya lautan sebelum habisnya

kalimat-kalimat Allah yang maha mulia dan agung”.4

Al-Suyûtî dalam Kitâb al-Itqân mengutip sabda Rasulullah Saw, “al-Qur‟an

itu ada makna Zâhir (tekstual), Bâtin (kontekstual), had (hukum halal dan haram),

janji dan ancaman”. Menurut Ibn Nuqaib, makna Zâhir (tekstual) hanya bisa

disingkap oleh ahli ilmu pada bidang Zâhir (makna-makna tesktual), sedangkan

makna Bâtin rahasia-rahasia makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur‟an,

hanya bisa disingkap oleh sebagian orang yang Allah informasikan yaitu `Arbâb

al-Haqâ`iq atau para Sûfî.5 Dan menurut sebagian ulama, setiap ayat al-Qur‟an

mengandung enam puluh ribu makna yang terselubung di dalamnya.

Kemudian al-Ghazâli membagikan Maqâsid a-Qur‟an sebagai mutiara-

mutiara ke dalaman dan keluasan al-Qur‟an pada enam bagian.

1. Ta‟rîf Al-Mad‟û Ilaih (Menjelaskan Yang Berhak Disembah)

Al-Ghazâli berpendapat, bahwa Maqsad al-Aqsâ (puncak tujuan-tujuan al-

Qur‟an) adalah menyeruhkan kepada seluruh manusia untuk menyembah Allah

Swt. sebagaimana perkataannya:

رس نآرقلا هبابلو ىفصألا هدصقمو ىصقألا ةوعد دابعلا ىلا رابجلا ىلعألا بر الثري ةرخآلا اوىلوأل قلاخ تاوامسلا ىلعلا نيضرألاو ىلفسلا امو امهنيب امو تحت

“Intisari al-Qur‟an dan tujuan puncak al-Qur‟an adalah mengajak hamba-hamba

Allah menyembah Allah yang Maha agung, Maha tinggi, sang pencipta kehidupan

akhirat dan dunia, yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya sejagat

raya alam ini”.6

4 Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm al-Dîn (Beirut: Dâr Ibn Hajm, 2005). h.

347 5 Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakar al-Suyûtî, Al-Itqân Fî Ulûm al-Qurân (Arab :

Maktabah Markaz al-Dirâsâh al-Qurāniyyah, t.t.), hal. 2310-2312 6 Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H ), h. 23-24

Page 141: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

47

Al-Ghazâli menempatkat Ma‟rifatullah (mengenal Allah) sebagai Tuhan

yang berhak disembah, menjadi intisari dari keseluruhan Maqâsid al-Qurân.

Allah menjelaskan dalam Surat al-Zâriyât ayat 56 bahwa tujuan utama Allah

menciptakan Jin dan manusia adalah hanya untuk menyembah-Nya. sebagaimana

dalam Surah al-Dzâriyât/51: 56 berikut:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku”.

Menurut Ibn katsîr, Allah menciptakan manusia agar manusia menyembah

patuh kepada Allah dan bukan karena Allah butuh sesembahan mereka. Akan

tetapi maksudnya, penyembahan yang dilakukan manusia kepada Allah,

kemanfaatnya bukan untuk Allah, tapi kembali kepada manusia itu sendiri.7 Al-

Sa‟dî menafsirkan bahwa :

ىذه الغاية اليت خلق اهلل اجلن والإلنس هلا, وبعث مجيع الرسل يدعون إليها وىي عبادتو، املتضمنة ملعرفتو وحمبتو وإلنابة إليو وإلقبال عليو وإلعراض عما سواه، وذالك يتضمن معرفة اهلل

“Menyembah Allah adalah tujuan Allah menciptakan Jin dan manusia

dan Allah mengutus para Rasul menyeruh umat-umat nya agar menyembah

kepada Allah Swt. yang terkandung didalam (penyembahan Allah) adalah

mengenal, mencintai, kembali dan menuju kepada-nya dan berpaling dari selain

Allah, hal demikian adalah Ma‟rifatullah”.8

Kemudian al-Ghazâli mengutip beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan

dengan dzat, sifat-sifat, Afâl (perbuatan-perbuatan) Allah Swt. Misalnya dalam

Surat al-Syûrâ/42: 11 Allah berfirman:

“tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha

mendengar dan Melihat”.

Menurut Alî al-Sâbûnî, tidak ada yang serupa seperti Allah Swt, pada dzatnya,

sifat-sifatnya, perbuatannya, Dialah Allah Swt yang maha tunggal dan Esa. Ayat

ini bertujuan untuk mensucikan Allah Swt dari serupa pada makhluknya, karena

7Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut: Ibn Hajm 1420 H), h.

1768. 8Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fî Tafsîr Kalâm al-Mannâ‟ (Riyâd:

Maktabah „Abîkân 1422), hal. 813.

Page 142: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

48

dzat Allah Swt tak seperti makhluk yang diciptakannya. Huruf Kâf disini, untuk

memberikan penguatan dan penekanan untuk menafikan keserupaan Allah Swt

dengan makhluknya.9

Menurut al-Sa‟dî, tidak ada sesuatu pun makhluk yang seperti Allah Swt pada

zat, sifat, Afâl-Nya. Karena nama-nama sifat Allah seluruhnya Asmâ` al-Husnâ

(nama-nama yang terbaik) dan sempurna. berbeda dengan sifat-sifat manusia yang

tak luput dari kekurangan. Begitu pula Afâl (perbuatan-perbuatan) Allah berbeda

dengan makhluk-Nya, karena Allah yang menciptakan ciptaan-ciptaan yang besar

seperti langit, bumi, yang Allah ciptakan sendiri tanpa campur tangan makhluk-

Nya. dan juga dzat Allah yang Esa yang tidak membutuhkan unsur-unsur yang

lain.10

2. Mengenalkan Tarîq Sulûk (Jalan Menuju) Allah Swt

Setelah memaparkan Maqâsid al-Qurân yang pertama yaitu mengenalkan

insan kepada Allah Swt, kemudian al-Ghazâli menjelaskan tujuan al-Qur‟an yang

kedua yaitu menjelaskan Tarîq Sulûk (jalan menuju Allah Swt). Menurut al-

Ghazâli, ada dua pondasi cara atau jalan menuju Allah Swt. Pertama, dengan cara

Mulâzamah al-Zikrillah (senantiasa mengingat Allah Swt), Mukhâlafah al-Hawâ

(menentang dorongan hawâ nafsu) dan menjahukan segala hal yang menyibukan

dari zikir kepada Allah Swt.11

Dzikir secara bahasa bermakna mengingat. Ada juga sebagian pakar

berpendapat bahwa kata Dzikr itu pada mulanya berarti mengucapkan dengan

lidah atau menyebut sesuatu. kemudian makna ini berkembang menjadi

“mengingat”, karena mengingat sesuatu sering kali mengantarkan lidah

menyebutnya. Menurut Asfahânî, Dzikr itu mengupayakan menghadirkan sesuatu

yang lupa di dalam hati. dan Dzikr itu ada tiga macam.12

Pertama, Dzikr dengan

lisan yaitu dengan menyebut atau mengucapkan dengan lisan tapi tidak dihadirkan

9 Muhammad Alî al-Sâbûnî, Tafsir Safwah al-Tafāsîr (Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm

1402 H), jilid 3, h. 134. 10

Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fî Tafsîr Kalâm al-Mannâ‟ (Riyâd:

Maktabah „Abîkân 1422), hal. 754 11

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H ), h. 28. 12

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa (Jakarta:

penerbit lentera hati, 2006 ), h. 11.

Page 143: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

49

dengan hati. Di dalam Surah al-Baqarah/2: 200 yang berkaitan dengan zikir lisan

yaitu:

“Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah

dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-

banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu.

Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami

(kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di

akhirat”.

Dahulu masyarakat Arab khususnya ketika setelah melaksanakan Haji,

sangat banyak menyebut-nyebut leluhur mereka sambil membangga-

banggakannya. Kemudian Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk

memperbanyak berzikir kepada Allah serta mengagungkan Allah Swt dengan

lisan mereka sebagaimana merek menyebut-nyebut leluhur mereka, bahkan

melebihi penyebutan leluhur mereka.13

Kedua, Zikr al-Qalbi (zikir hati) yaitu

dengan menghadirkan sesuatu di hati. Ketiga, Zikr Jawârih (zikir anggota badan)

yaitu zikir dengan mengunakan anggota badan untuk ketaatan kepada Allah.14

Allah berfirman dalam Surah al-Baqarah/2: 152 yaitu:

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)

kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari

(nikmat)-Ku”.

Menurut Hasan al-Basrî, makna Dzikr kepada Allah pada ayat ini adalah

dengan dengan menjalankan segala yang Allah perintahkan.15

Senada pula dengan

Sa‟îd Ibn Jubair yang menafsirkan ayat ini yaitu :

فاذكروين بطاعيت و أذكركم مبغفريت “Ingatlah aku dengan taat atas segala perintahku, maka aku akan

mengingatmu dengan memberikan ampunan atas dosa-dosa mu”.16

.

Ibn Jarîr al-Tabarî mengutip pendapat Ja‟far bahwa beliau berkata, Allah

memerintahkan orang-orang mukmin untuk Zikrullah (mengingat Allah) dengan

13

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa (Jakarta:

penerbit lentera hati, 2006 ), h. 24. 14

Rāghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus: Dâr al-Qalam ), h.

328. 15

Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),

h. 221. 16

Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),

h. 221

Page 144: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

50

ketaatan kepada-Nya atas segala perintah-Nya dan menjahukan segala larangan

Allah. jika demikian, maka Allah akan Zikr (mengingat) kepada orang-orang

mukmin dengan mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya.17

3. Mengenalkan Keadaan Manusia Ketika Kembali Ke Akhirat

Pada tujuan-tujuan al-Qur‟an (Maqâsid al-Qurân) yang ketiga ini, al-

Ghazāli menjelaskan tentang keadaan manusia ketika kembali ke negeri akhirat.

Menurut al-Ghazâli, :

”Al-Qur‟an Meliputi menyebutkan Rûh, kenikmatan yang di dapati Sâlik

(orang-orang yang menempuh perjalanan) ketika Wusûl (sampai menuju Allah),

dan ungkapan yang menghimpun segala kenikmatan adalah surga, dan puncak

kenikmatan adalah memandang Allah Swt. meliputi juga menyebutkan kehinaan,

siksa yang didapati orang-orang yang terhalang karena teledor/mengabaikan

Sulûk menuju Allah, dan istilah yang menghimpun segala siksa adalah nereka

Jahim dan puncak siksa adalah terhalangnya dan dijahukannya dari rahmat

Allah. dan meliputi pula menyebutkan pengantar-pengantar keadaan akhirat.

diistilahkan di antaranya hari pembangkitan, Hisâb, Mîzân (timbangan),

jembatan Sirât mustaqîm”.18

Al-Ghazâli menjelaskan Ahwâl (keadaan-keadaan) orang-orang yang

menempuh jalan menuju Allah dan orang-orang yang mengabaikan jalan menuju

Allah. Menurut al-Ghazâli bahwa sepertiga al-Qur‟an menjelaskan keadaan-

keadaan hari akhir. Diawali dari kematian, kehidupan barzakh, hari pembangkitan,

hari Hisâb, Mîzân, surga dan neraka. Dan puncak kenikmatan yang Allah berikan

kepada hamba-hambanya yang Sulûk (menuju Allah) dengan taat kepada adalah

kenikmatan memandang Allah Swt. dan puncak siksa yang Allah berikan kepada

hamba-hamba-Nya yang mengabaikan Sulûk (menuju Allah) dengan mengikuti

Hawa nafsunya adalah terhalangnya tidak bisa memandang Allah dan dijahukan

dari rahmat Allah. Sebagaimana Surah al-Qiyâmah 75:23 berikut:

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri 23. Kepada

Tuhannyalah mereka Melihat”.19

17

Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-

Risalah 1415 H), jilid 2, h. 695. 18

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H), h. 30. 19

QS al-Qiyâmah 75 : 22-23

Page 145: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

51

Menurut al-Qurtûbî, mayoritas ulama menafsirkan ayat ini bahwa nanti

para penghuni surga akan memandang Allah Swt. Ibn „Umar menafsirkan, bahwa

penghuni surga yang paling mulia adalah mereka yang diberi kesempatan untuk

memandang Allah setiap pagi dan petang. Senada pula Hasan, bahwa nanti di hari

akhir, penghuni surga akan memandang Allah. akan tetapi, tidak semua ulama

sepakat dengan pendapat di atas, mereka ber‟argumentasi bahwa Allah itu bukan

materi yang bisa dijangkau oleh mata-mata manusia. mereka berpendapat bahwa

yang dimaksud memandang disini bukan memandang dzat Allah, akan tetapi

memandang pahala dari Allah.20

dan begitu pula sebaliknya, mereka yang

mengabaikan Sulûk (menuju Allah) dengan mengikuti Hawa nafsunya, akan

terhalang tidak bisa memandang Allah dan dijahukan dari rahmatnya.

Sebagaimana firman-Nya :

“Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup

dari Tuhan mereka”.21

Menurut Ibn Katsîr, bahwa nanti di hari akhir para penghuni neraka akan

terhalang tidak bisa memandang Allah Swt. Begitu pula Ibn Jarîr mengutip

pendapat Hasan, bahwa nanti di hari akhir, Allah menutup/menghalangi orang-

orang kafir sehingga tidak bisa memandang Allah Swt. Imam al-Syâfi‟î juga

berpendapat, bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa orang-orang kafir tidak bisa

memandang Allah Swt.22

4. Menjelaskan Kisah-kisah Sâlik (Orang-orang Taat Menuju Allah) Dan

Nâkib (Orang-orang Yang Mengingkari Allah Swt)

Menurut al-Ghazâli, selanjutnya tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah menjelaskan

kisah-kisah perjalanan orang-orang yang menuju Allah seperti para Nabi, Awliyâ‟

(kekasih Allah), orang-orang shālih, dan kisah perjalanan orang-orang yang

mengingkari serta membangkang kepada Allah Swt. seperti Fir‟aun, Qârun, Iblîs,

20

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar al-Qurtubî, Jâmi‟ Li al-Ahkâm al-Qurân (Beirut:

Mu`assah al-Risâlah, 1427 H), Jilid 21, hal. 427-428. 21

QS al-Mutaffifîn 83 : 15 22

Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm (Beirut : Ibn Hajm 1420 H),

h. 1973

Page 146: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

52

Namrûd, Syaitân, kaum Âd, Lût, orang-orang kafir, munafik dan lain-lain

sebagainya. Jika kisah-kisah yang baik bertujuan untuk Targîb (memotivasi/

membangkitkan hasrat pembaca) agar mengikuti jalan menuju Allah. dan kisah-

kisah yang tidak baik bertujuan untuk Tarhîb (menakut-nakuti/memperingati) agar

tidak terjerumus ke jalan yang salah.23

Ada beberapa Maqâsid (tujuan-tujuan) kisah-kisah didalam al-Qur‟an

diantaranya :

- Menjelaskan prinsip para Nabî dalam ber‟dakwah yaitu mengajak untuk

menyembah Allah Swt.

- Sebagai „Ibrâh (pelajaran yang terkandung didalam kisah).24

- Meneguhkan hati Nabi dan orang-orang ber‟iman ketika tertimpa ujian dalam

ber‟dakwah / ketaatan kepada Allah

- Membenarkan para Nabi terdahulu dan mengabadikan jejak perjuangan mereka

- Sebagai pembenar kenabian Nabi Muhammad atas kebenaran berita massa lalu

dan massa yang akan datang yang sesuai dengan fakta dan realita.25

5. Membantah Keyakinan Orang-orang Kafir Dan Menyingkap Kesalahan

Mereka Dengan Bukti/argumentasi Yang Jelas

Tujuan al-Qur‟an selanjutnya menurut al-Ghazâli adalah Mujâdalah al-Kuffâr

(mebantah keyakinan orang-orang kafir) dan memaparkan kebatilan-kebatilan

keyakinan mereka dengan Burhân al-Wâdih (bukti yang jelas/nyata). Sekiranya

ada tiga pokok permasalahan menurut al-Ghazâli atas keyakinan-keyakinan

orang-orang kafir yang salah di dalam al-Qur‟an. Pertama, mereka menisbatkan

Allah dengan hal-hal yang tidak pantas bagi Allah. Misalnya, mereka meyakini

ada sekutu bagi Allah, malaikat adalah anak Allah. Kedua, mereka menisbatkan

hal-hal yang tidak pantas bagi para Nabi. Misalnya, menuduh Nabi seorang

penyihir, pendusta, manusia biasa yang tak layak diikuti. Ketiga, mereka

mengingkari hari akhir, pembangkitan, Hisâb, surga, nereka.

23

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H), h. 31.

24

Dr. Nurdin, Ulûm al-Qurân Al-Karîm, (Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1414 H), h.

240-241. 25

Mannā‟ al-Qattân, Mabâhis Fī Ulûm al-Qurân (kāiro : Maktabah al-Wahbah, t.t.), h.

301-302

Page 147: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

53

Pertama, al-Qur‟an membantah penisbatan orang-orang kafir hal-hal yang

tidak layak bagi Allah, seperti menisbatkan Allah memiliki anak. Dalam Surah al-

Ikhlâs /112: 1 berikut:

“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.

Menurut „Ikrimah, orang-orang Yahûdi menyembah „Uzair anak Allah, orang-

orang Nasrani menyembah Isa sebagai anak Allah, orang-orang Musyrik

menyembah berhala-berhala sebagai perantara kepada Allah.26

Kemudian di

turunkan Surat al-Ikhlâs sebagai bantahan bahwa tidak layak menjadikan sekutu

bagi Allah Swt, bahwa Allah itu Esa pada dzat-Nya tidak terdiri dari unsur-unsur

atau bagian-bagian. karena bila dzat yang maha kuasa itu terdiri dari dua unsur

atau lebih, betapapun kecilnya unsur tersebut, maka ini berarti Dia membutuhkan

unsur atau bagian itu atau dengan kata lain unsur (bagian) itu merupakan syarat

bagi wujud-Nya dan ini bertentangan dengan sifat ketuhanan yang tidak

membutuhkan sesuatu apapun.27

Kedua, al-Qur‟an membantah penisbatan orang-orang kafir hal-hal yang tidak

layak kepada para Nabi, seperti penyair, penyihir, pendusta, penipu. Dalam Surah

Yâsîn/36: 69:

”Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu

tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab

yang memberi penerangan”.

Menurut Baydâwî, ayat ini sebagai bantahan bahwa nabi Muhammad tidak di

ajarkan syi‟ir, karena al-Qur‟an bukan syi‟ir yang bersajak dan tersusun baik

secara lafadz dan makna seperti imajinasi-imajinasi yang dibuat oleh para penyair.

Akan tetapi al-Qur‟an adalah peringatan, petunjuk dan kitab Samawi yang

bersumber dari Allah.28

Ketiga, al-Qur‟an membantah atas pengingkaran orang-orang kafir atas

kepastian hari pembangkitan, Hisâb, hari pertimbangan, surga, dan neraka. Dalam

Surah Yâsîn ayat 78-79 bahwa orang-orang kafir mengingkari hari akhir karena

26

Muhammad Ali al-Sabûnî, mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr (Beirut: Dâr al-Qurân al-Karîm

1402), Jilid ke-3, hal. 693. 27

Muhammad Quraish Shihâb, Tafsîr al-Misbâh (Jakarta: Lentera Hati 2002), jilid 15, hal.

612. 28

Abdullah Ibn „Umar Ibn Muhammad al-Syîrâzî al-Baydâwî, Tafsîr Anwâr al-Tanzîl Wa

Asrâr al-Ta`wîl (Beirut: Dâr al-Rasyîd, t.t.), jilid 3, hal 139.

Page 148: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

54

berkeyakinan bahwa Allah tidak mampu menghidupkan kembali manusia setelah

hancur menjadi tulang-berulang. Menurut Ibn Jarîr,:

“orang-orang kafir menyangka bahwa Allah tidak mampu menghidupkan

kembali manusia yang sudah menjadi tulag-berulang. Mereka membuat

per‟umpamaan akan tetapi melupakan asal muasal mereka bahwa dahulu mereka

hanya sekedar air mani yang hina, kemudian Allah mampu menciptakan mereka

dengan bentuk yang sempurna. Tentu menciptakan awal saja Allah mampu,

apalagi hanya sekedar mengulang menghidupkan kembali”29

6. Menjelaskan Bagaimana Memakmurkan Manâzil al-Tarîq (Tempat-tempat

Jalan) Serta Tatacara Mempersiapkan Bekal Untuk Sulûk Menuju Allah

Swt.

Al-Ghazâli mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah Manzil Baina

Manâzîl Ilâ Allah (tempat di antara tempat-tempat proses Sulûk menuju Allah)

dan badan manusia adalah kendaraannya. Barang siapa yang lengah mengabaikan

kendaraan (badan), maka tidak akan sempurna perjalanan Sulûk menuju Allah.

kemudian untuk keberlangsungan sempurna Suluk menuju Allah, al-Ghazâli

menyarankan agar menjaga kemaslahatan badan manusia atau istilah para ahli

Usûl al-Fiqih adalah Jalb al-Masâlih (menarik segala kemaslahatan) dan

mencegah segala kerusakan badan atau Daf‟u al-Mafâsid (mencegah segala

kemafsadatan).30

Untuk menjaga kemaslahatan badan, maka Allah memerintahkan manusia

untuk mengkomsumsi makanan untuk menjaga dan menarik kemaslahatan badan

manusia. Menurut Quraish Shihab, terdapat 27 kali perintah makan di dalam al-

Qur‟an. Dan di dalam al-Qur‟an, yang selalu ditekankan dalam konteks perintah

makan ada dua sifat yaitu Halâl dan Tayyibah (baik).31

Dan pula menurut al-

Ghazâli untuk mejaga keberlangsungan manusia, maka Allah mensyariatkan

menikah dan menjelaskan segala hal-hal yang berkaitan dengan Nikah. Seperti

ayat-ayat Talâq, Rujû‟, „Iddah, mahar, Li‟ân, Zihâr. Ini semua disyariatkan

sebagai bentuk penjagaan keturunan manusia.

29

Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-

Risalah 1415 H), jilid 19, h. 487-488. 30

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H), h. 32-33. 31

Dr. Muhammad Quraish Sihâb, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan

1992), hal. 287.

Page 149: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

55

Kemudian menurut al-Ghazâli, ada beberapa hal mencegah sebab-sebab

kerusakan jiwa/badan manusia. Disyariatkan Qisâs, untuk mencegah sewenag-

wenang menghilangkan nyawa orang lain. Disyariatkan pula Hadd al-Sariqah

(hukuman potong tangan bagi pencuri), untuk mencegah sewenang-wenang

mengambil harta orang lain tanpa hak. Begitu pula di syariatkan Hadd al-Zinâ

(hukuman bagi penzina), untuk mencegah kerancuan nasab/keturunan manusia. an

adapun disyariatkan Jihâd, untuk mencegah orang-orang yang melakukan

anarkisme penentang agama untuk mencegah kerusakan agama manusia, karena

agama sebagai sarana untuk sampai menuju Allah.32

Apa yang dipaparkan al-Ghazâli di atas, istilah yang digunakan ulama

Usûl al-Fiqih adalah al-Darûriyyah al-Khams (lima perkara mendesak/penting

pada kehidupan manusia) yaitu Hifz al-Dîn (menjaga agama), Hifz al-Nafs

(menjaga jiwa), Hifz al-Aql (menjaga akal), Hifz al-„Ird (menjaga kehormatan),

Hifz al-Mâl (menjaga harta). 33

B. MAQÂSID AL-QURÂN PERSPEKTIF RASYÎD RIDÂ

Rasyîd Ridâ termaksud ulama kontemporer yang memberikan kajian

Maqâsid al-Qurân secara panjang. Hal demikian bisa ditemukan dalam Tafsîr al-

Manâr pada jilid 11 di awal Surah al-Yunûs. Secara umum Maqâsid al-Qurân

menurut Rasyîd Ridâ adalah

مقاصد القرآن ىو إصالح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاهلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم اإلنسانية وترقية عقوهلم وتزكية أنفسهم

“Maqâsid al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas,

kaum, serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan

kesatuan persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka,

dan membersikan jiwa mereka”.34

Kemudian menurut Ahmad Raisûnî, Rasyîd Ridâ mengklasifikasikan

pembahasan Maqâsid al-Qurân sampai 10 bagian.35

Pertama, memperbaiki tiga

32

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dîn, 1411 H), h. 32-33. 33

Abd al-Wahhâb al-Khallâf,„Ilmu Usûl Al-Fikih (Indonesia: Penerbit al-Haramain 2004),

hal. 200. 34

Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349 H), jilid 11, h. 206. 35

Ahmad Raisûnî, Maqâsid Maqâsid (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 2007), hal 16.

Page 150: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

56

rukun/pondasi agama Islam yaitu memperbaiki keimanan kepada Allah, hari

pembakitan, amal shalih. Kedua, menjelaskan bodohnya manusia tentang risalah

kerasulan dan tugas-tugas para Rasul. Ketiga, menjelaskan Islam agama yang

sesuai dengan fitrah, akal, berdasarkan ilmu, hikmah, bukti dan argumentasi

secara ilmiah, hati, perasaan, dan membebasakan dari kejumudan. Keempat,

memperbaiki masyarakat manusia, dan mengatur untuk merealisasikan persatuan.

Kelima, menetapkan keistimewaan Islam pada memberikan Taklîf (pembebanan

hukum). Keenam, menjelaskan hukum berpolitik dalam Islam. Ketujuh, petunjuk

al-Qur‟an dalam mengelola harta. Kedelapan, memperbaiki aturan/sistem

berperang dalam al-Qur‟an serta mencegah segala kemafsadatan. Kesembilan,

memberikan hak-hak perempuan. Kesepuluh, membebaskan perbudakan.

1. Memperbaiki Tiga Pondasi Agama Islam (Keimanan, Amal Shalih, Hari

Akhir)

Tujuan Maqâsid al-Qurân yang pertama menurut Rasyîd Ridâ adalah

memperbaiki tiga pondasi agama yaitu keimanan, amal shalih, hari akhir. Ketiga

pondasi ini menjadi syarat bergantungnya kebahagian seseorang di dunia dan di

akhirat.

Pertama, Islâh al-Îmân (memperbaiki keimanan kepada Allah). Menurut

Rasyīd Ridā, banyak sekali kaum-kaum yang tersesat dalam permasalahan

keimanan kepada Allah, sampai-sampai penyimpangan/penyelewengan keimanan

kepada Allah juga terjadi kepada umat-umat yang dekat dengan petunjuk para

nabi-nabi terdahulu, Seperti kaum Nasrani yang meyakini Tastlîst (trinittas) yang

berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang ketiga dari Tuhan yang tiga. Dan

pula sebagian orang-orang Yahudi yang meyakini bahwa „Uzair adalah anak

Tuhan. Hadir al-Qur‟an untuk Islâh Îmân (memperbaiki keimanan kepada Allah)

agar manusia mengesakan Allah Swt, sebagaimana ajaran yang dibawa oleh para

nabi yaitu ajaran Tawhîd.36

Kedua, memperbaiki keimanan pada hari akhir di antaranya hari

pembangkitan, Hisâb, Jazâ‟ (balasan atas segala perbuatan). Menurut Rasyîd Ridâ,

36

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,

h. 206.

Page 151: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

57

telah terjadi Fasâd (kerusakan) dalam keimanan kepada kepastian hari akhir pada

ajaran umat-umat sebelum datangnya ajaran Islam. Di antaranya, orang-orang

musyrik yang sangat mengingkari kepastian hari akhir. Banyak sekali ayat al-

Qur‟an yang mengambarkan pengingkaran mereka terhadap hari akhir.37

Misalnya

dalam Surah al-Mu‟minûm/23: 37:

“Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita

hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi”.

Ibn Jarîr mengutip pendapat Ibn Zaid, bahwa orang-orang musyrik berkata

demikian karena mereka mengkufuri atau tidak mempercayai hari akhirat dan hari

pembangkitan. Mereka berkata bahwa manusia itu seperti tanaman. Tanaman

ketika tumbuh itu laksana kehidupan manusia, dan ketika panen itu laksana

kematian manusia dan tidak ada lagi kehidupan setelah panen/kematian.38

Begitu pula rusaknya keyakinan Ahl al-Kitâb (orang-orang Yahudi dan

Nasrani) terhadap keimanan pada hari akhir setelah terjadi Tahrîf (penyimpangan)

terhadap kitab-kitab suci mereka. Orang-orang Nasrani meyakini Nabi „Isâ

sebagai juru selamat yang menebus segala dosa-dosa yang dilakukan orang-orang

Nasrani.

Ketiga, amal shalih adalah buah dari keimanan kepada Allah dan yaum al-

Jaza‟ (hari pembalas). Menurut Rasyîd Ridâ, keimanan kepada Allah dan hari

akhir yang mantap di jiwa, akan memotivasi untuk gemar beramal kebaikan dan

pula akan mencegah beramal buruk, karena seorang yang kuat keimanannya

kepada Allah dan hari akhir, ia yakin bahwa sekecil apapun amalan akan diganjar

oleh Allah.39

Sebagaimana firman Allah Surah al-Zalzalah/99: 7:

“7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia

akan melihat (balasan)nya. 8. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan

sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.

37

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 200. 38

Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-

Risalah 1415 H), jilid 19, h. 44. 39

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 207.

Page 152: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

58

Menurut Alî Sâbûnî,40

barang siapa yang berbuat kebaikan sekecil debu, ia

akan mendapatkan pada catatan amalnya dan mendapatkan balasan dari Allah Swt,

begitu pula perbuatan keburukan. Menurut Ibn Abbās, jika kau meletakan telapak

tanganmu di tanah kemudian kau angkat tanganmu, dan menempelkan debu-debu

yang kecil di tanganmu maka demikianlah Zarrah. Maksud dari ayat ini, Allah

Swt memberikan perumpamahan bahwa tidak ada sekecilpun amalan yang di

lakukan oleh manusia yang luput dari pengawasan Allah.

2. Menjelaskan Kebodohan Manusia Tentang Risalah Kenabian Serta Tugas-

tugas Para Rasul

Tujuan Maqâsid al-Qurân yang kedua adalah menjelaskan kejahilan manusia

tentang Risalah kenabian dan fungsi-fungsi para Nabi. Menurut Rasyīd Ridâ,

hampir mayoritas masyarakat Arab mengingkari tentang Risalah kenabian. Orang-

orang Musyrik sangat mengingkari kenabian, karena mereka berpendapat bahwa

semua manusia sama dan tidak ada manusia yang diberikan kelebihan dari Allah.

begitu pula orang-orang Yahudi yang mengingkari kenabian yang bukan dari

bangsa Bani Israil dan hanya membatasi kenabian hanya dari bangsa mereka Dan

mereka mensifati kepada para Nabi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka

dengan penipu, pendusta, dan bahkan mereka tega membunuh para Nabi dengan

cara zalim. Dan pula orang-orang Nasrani yang mensucikan pendeta-pendeta dan

para Nabi mereka, sampai sebagian para Nabi dijadikan Tuhan oleh mereka selain

Allah.41

Di antara Tujuan diturunkan al-Qur‟an, untuk menjelaskan serta

meluruskan kejahilan manusia tentang Risalah kenabian, bahwa setiap umat pasti

diutus seorang Rasul, serta keniscayaan Allah mengutus Rasul untuk

menyampaikan wahyu dari Allah dan menjelaskan pula tugas-tugas para Nabi

yang di utus oleh-Nya. Firman Allah dalam Surah al-Nahl/16: 36 berikut:

40

Muhammad Alî Sâbûnî, Safwah al-Tafāsîr (Beirut: Dâr al-Qurân 1402 H), jilid 3, hal.

591. 41

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 219.

Page 153: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

59

“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk

menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”.

Menurut Ibn Katsîr, Allah mengutus Rasul pada setiap generasi umat

untuk menyeruh membawa misi Tawhîd (mengesakan dan menyembah Allah

Swt). Dan senantiasa Allah mengutus Rasul kepada manusia dari terjadian awal

kesyirikan kaum Nabi Nuh sehingga diutus Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad

Saw sebagai Nabi terakhir. Dan seluruh para Nabi memiliki misi yang sama yaitu

mengajak seluruh manusia untuk menyembah Allah serta melarang mereka

menyembah selain Allah Swt.42

Di antara tugas-tugas fungsi para Nabi diutus oleh

Allah diantaranya, Pertama, untuk mengeluarkan manusia dari ber‟anekaragam

kegelapan menuju cahaya kebenaran yang diridhai Allah Swt. Kedua, Tablîgh

(menyampaikan segala yang diwahyukan dari Allah). Ketiga, menyampaikan

Tabsyîr (kabar gembira) dan Tanzîr (peringatan). keempat, membaca ayat-ayat

Allah, dan mensucikan mereka serta mengajarkan kitab dan hikmah.43

Menurut

Ridâ, yang dimaksud dengan membacakan ayat-ayat Allah adalah ayat-ayat yang

terdapat di dalam al-Qur‟an, atau ayat-ayat kauniyyah (alam semesta) yang

menunjukan atas besarnya kekuasaan Allah. kelima, Tazkiyyah al-Nafs

(mensucikan jiwa, akal, qalbu manusia dari segala keburukan). Keenam,

mengajarkan al-Kitâb (al-Qur‟an) dan al-Hikmah (pengajaran yang mendorong

untuk memperbaiki moral dan perbuatan manusia). 44

3. Islam Agama Yang Sesuai Dengan Fitrah, Akal, Berdasarkan Ilmu,

Hikmah, Bukti Dan Argumentasi Secara Ilmiah, Hati, Perasaan, Dan

Membebasakan Dari Kejumudan.

Menurut Rasyid Ridâ, sebelum datangnya Islam ajaran yang dibawa oleh

Rasulullah, manusia tidak mengenal ajaran agama kecuali ajaran yang

bertentangan dengan Fitrah manusia, akal sehat manusia, ajaran yang menyiksa

diri manusia. kemudian Allah mengutus Nabi Muhammad dengan membawa

42

Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm (Beirut: Dâr Ibn Hajm

1402 H), h. 1062. 43

Umar Sulaimân al-Asyqâr, Rasul Wa Risâlah (Kuwait: Penerbit Al-Falâh, 1983), h. 43-

50. 44

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 260.

Page 154: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

60

Risalah al-Qur‟an bertujuan menjelaskan bahwa Islam itu agama yang sesuai

dengan Fitrah, akal sehat manusia, berdasarkan dengan ilmu, bukti, argumentasi

secara ilmiah, dan agama yang sesuai dengan hati, perasaan manusia.45

Pertama, Dîn al-Fitrah (agama fitrah). Fitrah secara etimologi menurut

Rāgib al-Asfahânî, memiliki beragam makna. Di antaranya membelah, memeras,

menciptakan sesuatu yang tidak ada contohnya, keadaan awal dalam penciptaan

manusia.46

Makna Fitrah yang sesuai dalam konteks Fitrah al-Dîn (fitrah agama)

terdapat dalam Surat al-Rûm/30: 30:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;

(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud Fitrah pada ayat ini adalah

kondisi atau keadaan penciptaan yang terdapat pada diri manusia yang

menjadikan manusia berpotensi untuk mengenal Allah dan ajaran-ajaran

syariatnya.47

Kedua, Dîn al-Aql Wa al-Fikr (agama yang berlandasan sesuai dengan

akal dan pikiran sehat). Menurut Ridâ, kata Aql didalam al-Qur‟an lebih dari 50

ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan akal manusia. Ini mengisyaratkan

betapa urgensinya akal bagi manusia dan pula bahwa Islam adalah ajaran yang

berlandasan sesuai dengan akal sehat manusia. banyak sekali fungsi akal di dalam

al-Qur‟an. di antaranya yaitu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an, untuk

merenungkan besarnya kekuasan Allah atas penciptaan alam semesta, untuk

memahami maksud syariat yang Allah perintahkan kepada manusia, agar tidak

terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan dan kesengsaraan.

Ketiga, Dîn al-„Ilmi Wa al-Hikmah (agama yang berlandaskan ilmu dan

hikmah). Kata لم ع menurut Rāghib al-Asfahânî adalah mengetahui sesuatu dengan

hakikatnya/sebenar-benarnya.48

Islam itu adalah Dîn al-„Ilmi (agama yang

45

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 224. 46

Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus: Dâr al-Qalam ), h.

353. 47

Muhammad Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati 2002), jilid 7, hal.

402. 48

Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân (Damaskus : Dār al-Qalam ), h.

580.

Page 155: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

61

berlandaskan pada ilmu) bukan ajaran agama yang berlandsan Taqlîd buta dan

menduga-duga/perasangka. Dan Hikmah menurut Rasyîd Ridâ mengandung

makna yang lebih khusus dari pada ilmu. Karena hikmah menurut beliau adalah

mengetahui sesuatu secara hakikatnya yang didalamnya mengandung manfaat-

manfaat yang membangkitkan melakukan perbuatan-perbuatan baik.49

Keempat, Dîn al-Hujjah Wa al-Burhân (agama yang berlandaskan pada

argumentasi dan bukti yang jelas dan nyata). Tidak seperti ajaran-ajaran orang-

orang kafir yang menjadi berhala-berhala sebagai sesembahan mereka yang tak

berlandaskan dengan argumentasi dan bukti yang jelas.

Kelima, Dîn al-Qalb Wa Wijdân Wa Damîr (agama yang sesuai dengan

hati manusia). Segala syariat yang Allah tetapkan dalam ajaran Islām, seluruhnya

tidak ada yang bertentangan dengan hati manusia. oleh karena itu, tidak ada

paksaan dalam menganut agama dalam Islam dan tidak ada penindasan atau

kezalimanan dalam ajaran Islam, karena Islam ajaran yang senada dengan

sanubari hati manusia.50

4. Memperbaiki Masyarakat Manusia Dengan Merealisasikan Delapan

Persatuan/persaudaraan

Tujuan Maqâsid al-Qurân selanjutnya yaitu memperbaiki masyarakat

manusia dengan merealisasikan persaudaran dan persatuan. Kemudian ada

delapan hal yang harus dipersatukan di dalam al-Qur‟an menurut Ridâ. Pertama,

Wahdah al-Ummah (persatukan umat), Wahdah al-Jinsyi al-Basyarî (menyatukan

persaudaraan di antara manusia), Wahdah al-Dīn (persatukan agama), Wahdah al-

Tasyri‟ (persatuan syariat), Wahdah al-Ukhuwwah al-Ruhiyyah (menyatukan

persaudaraan seagama), Wahdah al-Jinsiyyah al-Siyâsiyyah al-Wataniyyah

(persatuan persaudaraan sesama bangsa/negara), Wahdah al-Qadâ‟ (persatuan di

hadapan hukum), Wahdah al-Lughah (persatuan bahasa).51

49

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 247-248. 50

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 248-252. 51

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 256.

Page 156: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

62

Persatuan dan persaudaraan di kalangan manusia menjadi bagian dari

Maqâsid al-Qurân, karena sebelum al-Qur‟an diturunkan ke bumi, manusia saling

bertengkar, bermusuhan karena perbedaan nasab, warna, bahasa, agama, bangsa,

kabilah dan lain-lain. mereka saling menindas, menzalimi, berperang satu sama

lain. datang ajaran al-Qur‟an yang dibawa oleh Nabi Muhammad menyuarakan

dan mengajak menuju Wahdah baina al-Insaniyyah (persatuan/persaudaraan di

antara manusia).52

Menurut Quraish Shihab, Ukhuwwah pada mulanya berarti persamaan dan

keserasian dalam banyak hal. karenanya, persamaan dalam keturunan, keimanan,

kemanusiaan mengakibatkan persaudaraan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab,

ditemukan bahwa kata Akh juga digunakan dalam arti teman atau kerabat. Dalam

al-Qur‟an, kata akh dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali, sebagian

dalam arti “saudara kandung” seperti pada ayat-ayat yang berbicara tentang

kewarisan QS al-Nisâ/4: 12. Dan sebagian mengandung arti “saudara sebangsa

walau tidak seagama”, sebagaimana dalam Surah al-A‟rāf/7: 65 “Wa ilâ „âd

akhâhum Hûd” (“dan kepada saudara mereka kaum‟Âd, Hûd”). Dalam bentuk

jamak dari kata akh ada dua macam. Pertama, Ikhwân yang digunakan untuk

persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali di

dalam al-Qur‟an. Kedua, Ikhwah terdapat tujuh kali ditemukan dalam al-Qur‟an,

yang mengandung makna persaudaraan seketurunan. Misalnya (QS 12: 58) yang

mengkisahkan kedatangan saudara-saudara kandung Nabi Yusuf dengan

menggunakan istilah Ikhwah.53

5. Menetapkan Keistimewan-keistimewaan Islam Secara Umum Dalam

Menetapkan Taklîf (Pembebanan Hukum)

Maqâsid al-Qurân selanjutnya menurut Ridâ adalah menjelaskan

keistimewaan hukum syariat Islam yang berbeda dengan ajaran-ajaran syariat

agama lain. Kemudian Ridâ meringkas terdapat beberapa hal keisitimewaan

hukum Taklif yang ditetapkan ajaran Islam.

52

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 257. 53

Muhammad Quraish Shihâb, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan,

1992 ), hal. 357.

Page 157: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

63

Pertama, bersifat Wasatiyyah (moderat) yang menghimpun antara hak

jasmani dan hak rohani manusia.54

Menurut Abdu, keadaan manusia sebelum

datangnya ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian. bagian pertama, manusia

yang bersifat materialis yang hanya memikirkan hak-hak jasmani saja seperti

Yahudi, dan orang-orang Musyrik. Bagian kedua, manusia yang bersifat non

materialis yang hanya memikirkan hak-hak ruhani saja sehingga meninggalkan

dunia dan kenikmatan dunia, seperti orang-orang Nasrani, Sabi`in, kelompok

orang-orang Hindu. Allah menjadikan umat Islam adalah umat moderat, seimbang

yang menghimpun antara hak jasmani dan hak ruhani tanpa mengabaikan satu

sama lain, karena manusia terdiri dari jasad dan ruh. Kedua, tujuan syariat hukum

Islam adalah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. QS Tâhâ 20: 2 Allah

berfirman:

“Kami tidak menurunkan al-Qur‟an kepada mu (Muhammad) agar kamu

menjadi sengsara“.

Menurut Ibn Jarîr, Allah tidak menurunkan al-Qur‟an untuk sengsara.

Akan tetapi, Allah menurunkan al-Qur‟an sebagai rahmat untuk kemaslahatan

manusia, cahaya yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di

akhirat.55

Ketiga, tujuan hukum Islam adalah agar terjalini hubungan persaudaraan

yang harmonis di antara manusia, bukan untuk memecah bela dan permusuhan di

antara manusia sebagaimana yang dituduh para orentalis barat. Keempat, keadaan

hukum Islam itu menekankan kemudahan bukan untuk mempersulit dan

menyusahkan. Kelima, Islam melarang Ghulûl ekstrim dalam beragama dan

membatalkan segala syariat yang menyiksa diri manusia. QS al-A‟râf 7:32

menurut Ibn Katsîr, Ibn Abbâs berpendapat bahwa orang-orang Musyrik dahulu

mengharamkan mengunakan pakaian ketika bertawaf. Kemudian Allah batalkan

ajaran ekstrim yang dibuat orang-orang musyrik.56

Menurut Sâ‟dî, ayat ini sebagai

bantahan terhadap ajaran-ajaran yang mengharamkan makanan, minuman,

pakaian yang baik-baik, karena segala yang baik (Tayyibât) disediakan Allah

54

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 518. 55

Ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân (Beirut: penerbit Al-

Risalah 1415 H), jilid 5, h. 183. 56

Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm

1402 H), h. 753.

Page 158: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

64

untuk orang-orang mu‟min di dunia.57

Keenam, sedikitnya taklif dalam ajaran

Islam dan taklif menjadi dua bagian. pertama, Rukhsâh (keringanan). Kedua,

„Azîmah. Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Rukhsâh adalah apa yang

disyariatkan Allah dari hukum-hukum sebagai keringanan atas Mukallaf pada

keadaan tertentu atau membolehkan apa yang dilarang karena uzur memberatkan

pelaku Mukallaf.58

6. Menjelaskan Hukm Al-Islâm Al-Siyâsî (Hukum politik Islam)

Tujuan al-Qur‟an selanjutnya adalah Menjelaskan Hukm al-Islâm al-Siyâsî

(Hukum politik Islam). Secara global, Ridâ menjelaskan Qawâid al-Asâsiyyah

(kaidah-kaidah dasar) dan Usûl al-Tasyrî‟ (prinsip-prinsip penetapan hukum)

dalam politik Islam. Di antara kaidah-kaidah dasar dalam politik Islam adalah

Syûrâ (musyawarah), keadilan, mencari kebenaran, Musâwah (persamaan) dalam

memberikan hak-hak, saksi, dan hukum. Dan pula menetapkan segala

kemaslahatan dalam kebijakan, mencegah segala kemafsadatan.59

Dan diantara

Usūl al-Tasyrî (prinsip-prinsip dasar menetapkan hukum) dalam politik Islam

yaitu:

Pertama al-Qur‟an. yang masyhur di kalangan ulama Usul fikih adalah Ayât

al-Ahkâm (ayat-ayat hukum) yang hanya sekitar 500 ayat. Al-Qur‟an ini menjadi

referensi primer bagi umat muslim dalam menetapkan hukum. Karena al-Qur‟an

adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bagi secara lafadz

dan maknannya. Dan segala hukum yang di dalamnya wajib bagi umat muslim

mengikutinya, karena bersumber dari Allah disampaikan dengan cara Qat‟î tanpa

diragukan lagi kebenarannya.

Kedua Sunnah Rasulullah Saw. Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf definisi

Suunah secara Syar‟i adalah apa saja yang bersumber dari Rasulullah bagi dari

perkataan, perbuatan, ketetapan.60

Banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an yang

57

Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fī Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyâd :

Maktabah „Abîkân, 1422), hal. 287. 58

Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain

2004 M), h. 161. 59

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid

11, h. 268. 60

Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain

2004 M), h. 36.

Page 159: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

65

menjelaskan bahwa wajibnya bagi umat muslim untuk menjadikan Sunnah

sebagai Hujjah. Qs al-„Imrân/3: 32 berikut:

“Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”

Ketiga, Ijmâ‟ al-Ummah (konsensus umat) atau kesepakatan para mujtahid.

Menurut Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Ijmâ‟ adalah kesepakatan para mujtahid

dikalangan umat Islam pada beberapa generasi setelah wafatnya Rasulullah atas

hukum syar‟i yang terjadi.61

Keempat, Ijtihad para Imam, „Umarâ` (pemerintah) dalam urusan hukum,

politik, kebijakan, kemiliteran, dan lain-lain sebagainya. Dalil yang melegitimasi

melakukan ijtihad adalah Qs al-Nisâ`/4: 59 berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya),

dan ulil amri di antara kamu”.

Lafadz Ulî al-Amr menunjukan arti umum. Jika berkaitan dengan agama,

maka Ûlî al-Amr adalah ulama/para Mujtahid. Akan tetapi jika dikaitkan dengan

negara, maka Ûlî al-Amr adalah pemimpin/pemerintah.

7. Irsyâd Ilâ Al-Islâh Al-Mâlî (Petunjuk Memperbaiki/mengelola Harta

Dengan Baik)

Tujuan-tujuan al-Qur‟an selajnutmya adalah Irsyâd Ilâ al-Islâh al-Mâlî

(petunjuk memperbaiki harta) dalam naungan petunjuk al-Qur‟an. Ridâ

mengklasifikasi bagian ini menjadi enam kaidah.62

Pertama, menjelaskan kaidah umum bahwa harta pada dasarnya adalah

Fitnah Wa Ikhtibâr (ujian) dari Allah Swt dalam kebaikan atau keburukan. Dalam

Surat al-Taghâbûn/64: 15 berikut:

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu),

dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

61

Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usûl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain

2004 M), h. 46. 62

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,

h. 272.

Page 160: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

66

Menurut Ibn Katsîr, harta itu adalah Ibtilâ‟ (ujian), dengannya Allah

mengetahui siapa yang taat bersyukur kepada-Nya dan siapa yang bermaksiat

dengan mengkufuri nikmat harta.63

Senada pula menurut al-Baidâwî, bahwa harta

adalah ujian dari Allah, jangan sampai kecintaanmu yang melampaui batas

terhadap harta membuatmu berkhianat kepada Allah dengan durhaka pada-Nya.64

Kedua, harta berpotensi menyebabkan manusia melampaui batas dan

memalingkan atau menjahukan pada kebenaran. Di dalam QS al-Taghâbun/96: 6-

7 Allah berfirman:

“6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. 7.

Karena dia melihat dirinya serba cukup (kaya)”.

Ketiga, memuji harta sebagai balasan atas keimanan dan amal shalih yang

di lakukan oleh orang-orang beriman. Menurut Ridâ, harta bisa berpotensi

keburukan dan bisa pula berpotensi kebaikan. Menurut beliau, dalam QS al-

Baqarah 2: 180 yakni “In Taraka khairân” (“apabila meninggalkan

kebaikan/harta”). Allah menyebutkan harta adalah Khairân (kebaikan),

mengisyaratkan bahwa harta bisa berpotensi untuk kebaikan, bagi kebaikan dunia

maupun kebaikan akhirat.

Keempat, apa-apa yang Allah wajibkan untuk Hifz al-Mâl ( menjaga harta).

Salah-satu al-Kuliyyât al-Khams (lima prinsip dasar) tujuan syariat adalah Hifz al-

Mâl ( menjaga harta). Bentuk penjagaan Allah pada harta menurut Abd al-Khallâf,

bahwa Allah mensyariatkan dan membolehkan bermuamalah/berkerja. Dan

diharamkan mencuri, menipu, khianat, mengambil harta orang lain tanpa hak yang

dibenarkan, merusak harta orang lain, mencegah memberikan harta kepada Safî`

(bodoh dalam mengelola harta) adalah sebagai bentuk penjagaan Allah terhadap

harta.65

Kelima, menginfakkan harta sebagai tanda keimanan kepada Allah dan

sebagai wasilah untuk kemaslahatan umat dan menguatkan negara.66

63

Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm

1402 H), h. 1882. 64

Abdullah Ibn Umar Ibn Muhammad al-Syîrâzîal-Baidâwî, Anwâr al-Tanzîl Wa Asrâr al-Ta’wîl (Beirut: Dâr al-Rasyîd 1421 H), hal. 413.

65 Abd Al-Wahhâb Al-Khallâf, Ilmu Usūl Al-Fiqih (Indonesia: Penerbit Al-Haramain

2004 M), h. 201. 66

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,

h. 273-275.

Page 161: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

67

Keenam, hak-hak harta yang diwajibkan dan disunnahkan dalam ajaran

Islam. Diantaranya yaitu pertama, Islam mengakui kepemilikan harta setiap

individu manusia sehingga tidak boleh orang lain mengambil harta orang lain

dengan cara yang zalim. Kedua, Islam mewajibkan zakat bagi orang-orang kaya

untuk kemaslahatan umat Islam dan agar harta tidak berputar hanya dikalangan

orang-orang kaya saja. Ketiga, Islam melarang pencurian, riba, judi, mengambil

hak orang lain dengan cara batil, sebagai penjagaan harta. Keempat, disyariatkan

mengeluarkan harta sebagai tebusan Kaffarât (penebus dosa-dosa) untuk

kemaslahatan orang-orang lemah (fakir-miskin). Kelima, disunnahkan sedekah,

hadiah, infaq untuk kemslahatan orang-orang ang butuh. Keenam, dilarangnya

Isrâf Wa Tabzîr (berlebihan dan boros), untuk menjaga harta.67

8. Memperbaiki Nizâm (Peraturan) berperang Di Dalam Islam

Tujuan Maqâsid al-Qurân selanjutnya menurut Ridâ adalah Islâh Nizâm

al-Harb Fî al-Qurân (memperbaiki sistem berperang di dalam al-Qur‟an).

Menurut Ridâ, ajaran Islam pada mulanya tidak menghendaki permusuhan,

pertengkaran, peperangan. Tujuan disyariatkan Qitâl (peperangan) bukan untuk

mengintimidasi atau menzalimi orang lain. Akan tetapi, hal demikian disyariatkan

untuk mencegah keganasan, kezalimanan musuh-musuh Islam. Kemudian Ridâ

mengklasifikasikan 6 kaidah mendasar peperangan di dalam al-Qur‟an.68

Pertama, tujuan peperangan dalam al-Qur‟an. Peperangan di dalam Islam,

hanya diarahkan kepada orang-orang yang zalim dengan bertujuan agar mencegah

segala bentuk kezaliman, penindasan, keganasan orang-orang yang berlaku zalim

terhadap orang-orang Islam. Jadi, spirit peperangan di dalam Islam adalah

menolak segala bentuk kriminalisasi, kezaliman, penganiayaan dan mencegah

segala kemafsadatan dan kerusakan. Karena pada sejatinya, Islam agama yang

mengajarkan kedamaian, keharmonisan, dan kasih sayang. Ayat yang pertama kali

turun perintah berperang bukan untuk menindas non muslim, akan tetapi

motif/tujuan berperang dalam Islam karena umat Islam ditindas, dizalimi orang-

67

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 317.

68

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 324.

Page 162: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

68

orang yang memusuhi Islam. Oleh karenanya, diizinkan umat muslim berperang

untuk mencegah kezaliman dan segala bentuk kerusakan. Sebagaimana firman

Allah QS al-Hâjj/22: 39:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena

Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar

Maha Kuasa menolong mereka itu”.

Kedua, Memprioritaskan perdamaian dari peperang. Memprioritaskan

perdamaian dari pada peperangan menjadi prinsip kaidah dasar dalam peraturan

peperangan didalam Islam. Menurut Rasyîd Ridâ, peperang dalam Islam adalah

darurat yang mendesak untuk kemaslahatan perdamaian dan mencegah segala

kerusakan-kerusakan. Allah memerintahkan agar umat Islam memprioritaskan

perdamaian dari pada peperang, jika musuh-musuh Islam condong pada

perdamaian.69

Sebagaimana firman-Nya QS al-Taubah/8: 61:

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah

kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha

mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Menurut Muhammad Abduh, Pada dasarnya agama Islam itu Dîn al-Salâm

Wa al-Sulh (agama yang damai). Jika mereka musuh-musuh Islam condong pada

perdamaian dari pada peperangan, maka condonglah pula wahai Rasulullah pada

perdamaian, karena engkau lebih pantas melakukan demikian dari mereka. Dan

serahkan semuanya kepada Allah dan jangan takut oleh tipu daya mereka,

sesungguhnya Allah Maha mendengar segala yang mereka katakan dan Maha

mengetahui atas apa yang mereka akan rencenakan kepada mu. 70

Ketiga, Mempersiapkan secara maksimal alat-alat persiapan peperangan

bertujuan untuk menggetarkan musuh-musuh Islam. Kewajiban negara Islam

sebelum berperang yaitu mempersiapkan alat-alat perang sesuai dengan konteks

zamannya dengan bertujuan untuk menggetarkan musuh-musuh Islam dan

69

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 325. 70

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,

h. 273-275.

Page 163: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

69

mengamankan umat Islam dari keganasan musuh-musuh Islam.71

Secara eksplisit

Allah perintahkan di dalam QS al-Taubah/8: 62:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu

sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan

persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu”.

Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsîr al-Manâr, Allah

memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan segala kekuatan untuk

mencegah musuh-musuh Islam dan mencegah keburukan serta menjaga jiwa

manusia. dan pula mempersiapkan pula mengikat kuda-kuda (militer) mereka

untuk menjaga batasan-batasan negara dari serangan musuh-musuh Islam. Dan

yang maksud dengan رباط اخليل sesuai dengan konteks zamannya. Jika zaman

Rasulullah melawan musuh dengan pedang, panah dan lain sebagainya. Akan

tetapi, pada konteks sekarang bisa juga diartikan mempersiapkan granat atau bom,

nuklir, pesawat militer, senapan peluru dan lain-lain yang yang diketahui pada

zamannya.72

Lima, Rahmâh Fî al-Harb (kasih sayang dalam peperangan). Di dalam

kondisi medan peperangan, Islam pula mengajarkan kasih sayang. bentuk kasih

sayang peperangan dalam Islam menurut Hasan al-Basrî, di antaranya dilarangnya

Ghulûl (mengambil harta rampasan perang), membunuh perempuan, anak-anak,

orang tua renta, Ruhbân (pendeta), orang-orang yang ber‟ibadah, membakar

rumah, membunuh binatang pada bukan kemaslahatan.73

9. Memberikan Seluruh Hak Perempuan Dari Hak Kemanusian, Keagamaan,

Kewarganegaraan.

Tujuan al-Qur‟an selanjutnya adalah memberikan hak-hak perempuan.

Menurut Rasyîd Ridâ sebelum datangnya Islam, perempuan kedudukannya sangat

71

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 325. 72

Rasyîd Ridâ, Tafsir Al-Manâr (Mesir: Penerbit , Al-Manār 1349 H), jilid 10, h. 69-70. 73

Abî Fidâ’ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm 1402 H), h. 248.

Page 164: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

70

rendah pada umat-umat terdahulu. Mereka diintimidasi, dihinakan oleh

masyarakat terdahulu. Menurut Rasyîd Ridâ,:

”Telah ada perempuan terdahulu diperjual belikan laksana binatang

ternak dan barang. Dan pula dipaksa untuk menikah dan berzina serta diwarisi

dan tidak dapat warisan, dimiliki sepenuhnya dan tidak memiliki apa-apa. Dan

kebanyakan orang-orang yang memilikinya mencegahnya melakukan semaunya

atas apa yang mereka miliki tanpa izin suami. dan mereka berpendapat bahwa

bagi suami punya hak sepenuhnya pada harta perempuan. Telah menetapkan

salah-satu konvensi perkumpulan di romawi, sesunguhnya perempuan itu

binatang najis yang tidak ada ruh dan tidak abadi nanti di kehidupan akhirat,

akan tetapi wajib atas perempuan untuk ber‟ibadah dan mengabdi kepada suami.

Mulutnya berhak di berangus seperti diberangusnya unta, dikarenakan

dilarangnya wanita tertawa dan berbicara karena sesungguhnya wanita adalah

perangkap syaitan. Dan syariat ter‟agung di massa lalu bahwa bagi seorang ayah

berhak menjual anak perempuannya, dan orang-orang arab berpendapat bahwa

seorang ayah berhak membunuh anak perempuannya bahkan dibenarkan pula

membunuhnya dalam keadaan hidup-hidup”74

Al-Qur‟an membatalkan segala bentuk intimidasi, kezaliman, penghinaan

terhadap perempuan, serta mengangkat derajat perempuan dari martabat kehinaan

menuju martabat kemuliaan dan memberikan hak-hak yang semestinya diberikan

kepada perempuan. Diantara bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan.

diantaranya yaitu Pertama, Allah perintahkan kaum laki-laki untuk

memperlakukan perempuan dengan cara yang baik. Dalam Surah al-Nisâ/4: 19:

“dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak

menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai

sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Menurut Ibn Katsîr, yang dimaksud dengan memperlakukan perempuan

dengan Ma‟rûf adalah laki-laki diperintahkan agar berkata, berbuat,

memperlakukan perempuan dengan cara yang baik semampu mereka.75

Menurut

Jalâl al-Suyûtî, yang dimaksud dengan memperlakukan perempuan dengan cara

baik adalah dengan Ijmâl Fî al-Qaul Wa al-Nafaqah Wa al-Mabît

74

Muhammad Rasyid Ridâ, Huqûq Al-Nisâ Fi Al-Islâm (Beirut: Maktabah al-Islamiyyah,

1404 H), h. 6. 75

Abî Fidâ’ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm 1402 H), h. 445.

Page 165: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

71

(memperperindah dalam ucapan, nafkah, memberikan tempat tinggal yang layak

dan baik).76

Kedua, Allah mengakui keimanan perempuan sama seperti keimanan laki-

laki, tidak seperti sebagian masyarakat Eropa yang melarang perempuan membaca

kitab-kitab suci, karena mereka berpendapat bahwa perempuan tidak

diperbolehkan ber‟agama. Terbukti yang pertama kali beriman kepada Nabi

Muhammad adalah seorang peremuan yaitu Khadîjah istri Rasulullah Saw.77

Dan

Allah juga menetapkan di dalam al-Qur‟an bahwa amalan shalih perempuan sama

seperti amal shalih laki-laki yang akan diganjarkan oleh Allah Swt. QS al-

Anbiyā‟/21: 94 yaitu:

“Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman,

Maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan Sesungguhnya kami

menuliskan amalannya itu untuknya”.

Ketiga, keikutsertaan perempuan bersama laki-laki dalam aspek syiar-syiar

diniyyah (agama), Ijtimâiyyah (kemasyarakatan), Siyâsah (politik).

Empat, Islam memberikan hak waris bagi perempuan, yang sebelumnya

perempuan dimiliki dan diwarisi oleh suami-suaminya. Dan pula mengharamkan

menjadikan perempuan sebagai warisan, hal demikian tertera dalam Surat al-

Nisâ‟/4: 19 berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai

wanita dengan jalan paksa. dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena

hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan

kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan

bergaullah dengan merekas secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai

mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,

padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Menurut al-Qurtubî, kronologis ayat ini turun berkenaan dengan tradisi

orang-orang musyrik, jika seorang laki-laki meninggal, maka perempuan

dijadikan warisan untuk wali-walinya dan mereka berhak berkehendak sesuka

mereka. Kemudian Allah membatalkan tradisi demikian dengan mengharamkan

76

Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallî Dan Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Ibn

Abi Bakar al-Suyûtî, Tafsîr al-Jalâlain (Surabaya: Penerbit Nurul Huda, t.t), hal. 73. 77

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 333.

Page 166: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

72

mempusakai wanita. Dan bahkan bukan saja demikian, Islam memberikan hak

waris bagi perempuan sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan.78

10. Pembebesan Budak Dalam Islam

menurut Ahmad Sayûtî al-Ansârî, mengenai bangsa Arab Jahiliyyah

bahwa kondisi budak di zaman jahiliyah mirip dengan kondisi budak di Yunani

dan Rumawi. Budak di zaman jahiliyah dianggap barang dagangan yang paling

menguntungkan. Pasar-pasar di jazirah Arab selalu dipenuhi dengan budak

sebagai komoditi unggulan, sementara orang-orang Quraisy termasuk orang yang

paling banyak menikmati hasil perdagangan budak. Kaum Quraisy mendapatkan

budak dari tawanan perang yang terjadi antar kabilah Arab atau yang mereka beli

dari pasar-pasar budak di Habsyah (untuk budak kulit hitam) atau daerah Kaukasia

(untuk budak kulit putih). Disamping itu banyak juga tuan yang mengawini

budaknya, ketika budak tersebut melahirkan anak buat tuannya, dia disebut

dengan umm al-walad. Kondisi terakhir ini berlaku terus sampai awal datangnya

Islam.79

Menurut Rasyîd Ridâ, salah satu tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah upaya

untuk memperbaiki kerusakan moral umat-umat terdahulu atas segala tindakan

kezaliman terhadap budak-budak dan pula mengupayakan menghapus perbudakan

terhadap manusia dengan cara bertahap-tahap atau sistematis. Menurut beliau, ada

dua cara al-Qur‟an untuk menghapus praktek pembudakaan.

Pertama, membatasi dan menututupi regenerasi praktek perbudakan

dengan melarang segala bentuk kezalimanan, sewenang-wenang terhadap budak.

Dan Islam melarang segala pintu menjadikan orang manusia sebagai budak,

kecuali hanya tawanan dalam peperangan.80

Kedua, Islam mensyariatkan untuk membebaskan budak dan perbudakan

diantaranya yaitu :

a. Menjelaskan hukum-hukum perbudakan dalam Islam dan pula cara-cara

untuk membebaskan perbudakan diantaranya :

78

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar al-Qurtubî, Al-Jâmî Li al-Ahkâm al-Qurân (Beirut: Mu’assah al-Risâlah, 1427 H), jilid 6, hal. 155.

79 Ahmad Sayuti Anshari, “Perbudakan Dalam Hukum Islam,” h. 97.

80 Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 340-341.

Page 167: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

73

-Banyak ayat-ayat al-Qur‟an secara eksplisit memerintahkan agar memerdekakan

budak-budak. Di antaranya QS al-Balâd/90: 12-13 berikut:

“12. Tahukah kamu apakah itu al-Aqabah? 13. Yaitu melepaskan budak

dari perbudakan”.

Menurut Ibn Katsîr, al-Aqabah adalah jalan kebaikan dan keselamatan

yaitu membebaskan budak.81

- Allah mensyariatkan agar budak-budak membebaskan diri mereka dengan

mengadakan perjanjian kepada pemilik nya. sebagaimana tertera dalam QS al-

Nur/27: 33.

- Allah melarang keras menyakiti budak-budak, dan untuk membayar balasannya

dengan memerdekakannya.

b. Memerdekakan budak sebagai sanksi hukum dalam syariat Islam.

Misalnya QS al-Nisâ‟/4: 92. Menurut Sa‟dî, ayat ini berkaitan dengan orang

mu‟min yang membunuh orang lain karena kesalahan, maka sanksi hukum

baginya yaitu memerdekaan budak orang beriman bagi kecil, besar, mu‟min laki-

laki atau perempuan.82

QS al-Mujâdalah/58: 2-3, berkaitan dengan sanksi hukum

Zihâr (menyerupai istri dengan ibu), maka sanksinya adalah memerdekaan

budak.83

C. Perbedaan Konsep Maqâsid Al-Qurân Antara Abū Hâmid al-Ghazâli Dan

Rasyîd Ridâ

Setelah penulis memaparkan konsep Maqâsid al-Qurân antara Antara Abû

Hâmid al-Ghazâli Dan Rasyîd Ridâ, kemudian penulis akan menganalisis secara

Muqāran84

(komparatif) dengan mencari persamaan dan perbedaan pendapat

antara konsep Maqâsid al-Qurân yang di tawarkan keduanya.

Kemudian perbedaan yang sangat mencolok dan nampak konsep Maqâsid al-

Qurân di antara keduanya adalah terpengaruhinya konsep Maqâsid al-Qurân yang

81 Abî Fidâ‟ Ismail Bin Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-Azîm, (Beirut: Dâr Ibn Hajm

1402 H), h. 1997. 82

Abd al-Rahmân Ibn Nâsir al-Sa‟dî, Tafsîr al-Karîm Fī Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyād:

Maktabah „Abîkân 1422), hal. 193. 83

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 340-344. 84

Muqâran adalah upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara permasalahan

yang sama dan pula membandingkan pendapat para mufassir yang berkaitan dengan al-Qur‟an.

(Mustafa Ibrahim, Tafsîr Muqâran, hlm. 147).

Page 168: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

74

keduanya tawarkan dengan backround latar belakang keahlian dan bidang

pendidikan keduanya. Al-Ghazâli adalah seorang sufi. Dalam Taqsîmât

(pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat kental

dengan istilah-istilah tasawuf. Misalnya istilah-istilah tasawuf yang digunakan al-

Ghazâli seperti, Sulûk Ilâ Allah (jalan menuju Allah), Tazkiyyah al-Nafs

(membersihkan jiwa), Mulâzamah Zikrillah (senantiasa mengingat Allah),

Mukhâlafah Hawâ (menentang hawa nafsu), Wusûl Ilâ Allah (sampai menuju

Allah), memandang Allah sebagai puncak kenikmatan dan terhalang/terhijab dari

Allah sebagai puncak siksa. Sedangkan Ridâ seorang reformis yang menyuarakan

ide-ide pembaharuan dalam Islam, sehingga Taqsîmât (pembagian-pembagian)

Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan sangat kental bernuansa isu-isu

kontemporer. Misalnya dari sepuluh Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan

adalah Islâh al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (memperbaiki persaudaraan di antara

umat manusia), memberikan Huqūq al-Nisâ` (memberikan hak-hak perempuan

atau kesetaraan gender), menjelaskan Siyâsah al-Islâm (politk Islam), Islâh al-

Mâl Wa al-Iqtisâd (memperbaiki harta dan mengelola ekonomi) dalam al-Qur‟an,

menjelaskan pula tentang Tahrîr al-Raqîq (membebaskan budak) atau hak asasi

manusia.

Dan Maqâsid al-Qurân yang al-Ghazâli tawarkan, lebih menekankan pada

aspek Usûl Maqâsid (dasar-dasar Maqâsid) seperti, aspek mengenal Allah pada

dzat, sifat-sifat, perbuatan-Nya (Tawhîd), aspek kepastian hari akhir, kenabian, dll.

Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang lebih menekankan pada aspek Furû Maqâsid

(cabang-cabang Maqâsid) seperti, memperbaiki mengelola harta, memperbaiki

Nizâm (aturan) berperang, memberikan hak-hak perempuan (gender),

membebaskan perbedakan, dll.

Kemudian menurut penulis, Taqsîmât Maqâsid al-Qurân (pembagian tujuan-

tujuan al-Qurân) yang keduanya tawarkan, keduanya mengetahui Maqâsid al-

Qurân, karena Dilâlah (indikasi) Maqâsid al-Qurân itu terdapat pada lafadz ayat

al-Qur‟an tersebut, baik secara tersurat yaitu Mâ yu`khazu Min al-Nusûs (apa yang

terdapat pada nas al-Qur‟an), baik pula secara tersirat yaitu Mâ yufhamu Min

Nusûs (apa yang dipahami ada nas-nas al-Qur‟an). al-Ghazâli membagikan

Maqâsid al-Qurân pada enam bagian. Sedangkan Ridâ membagikan Maqâsid al-

Page 169: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

75

Qurân pada 10 bagian. Hal yang menyebabkan perbedaan di antara keduanya,

karena berbedanya keahlian yang unggul pendidikan dan latar belakang keduanya.

Misalnya, Maqâsid al-Qurân yang al-Ghazâli tawarkan sangat banyak di

dalamnya istilah-istilah tasawuf, karena memang ketika beliau mengarang kitab

tersebut, beliau adalah seorang sufi. Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang

dijelaskan Ridâ banyak mengangkat isu-isu kontemporer, karena memang pada

massanya peradaban barat sedang naik daun. Oleh karenanya, tujuan-tujuan al-

Qur‟an yang beliau tawarkan banyak mengangkat isu-isu kontemporer, untuk

merespon dan membuktikan bahwa al-Qur‟an kitab suci yang relevan pada

kondisi zaman apapun dan mampu menjawab segala permasalahan di massa

modern.

Di antara titik temu adalah keduanya sama-sama merumuskan konsep

Taqsîmât (pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân. Al-Ghazâli membagikan

Maqâsid al-Qurân menjadi enam bagian.85

tiga hal yang pertama berisi Usûl al-

Muhimmah (prinsip-prinsip pokok) dan tiga hal bagian kedua sebagai

Mutammimah (penyempurna/pelengkap). Sedangkan muhammad Rasyîd Ridâ

mengklasifikasikan Maqâsid al-Qurân menjadi 10 bagian. Kemudian persamaan

keduanya yaitu sama-sama menjelaskan Maqâsid al-Qurân al-„Âmmah (tujuan-

tujuan al-Qur‟an secara umum). Seperti Islâh al-„Aqîdah (memperbaiki

akidah/keimanan) kepada Allah Swt, Tahdzîb al-Akhlâk (memperbaiki akhlak),

Bayân al-Ahkâm (menjelaskan hukum). Salah-satu contoh persamaan konsep

Maqâsid al-Qurân al-Ghazâli dan Ridâ yaitu:

Al-Ghazâli mengatakan bahwa Maqsad al-Aqsâ (tujuan puncak al-Qur‟an)

adalah mengajak manusia mengenal Allah yang berhak disembah yang

menciptakan segala sesuatu di jagat alam raya ini. begitu pula Rasyîd Ridâ yang

mengatakan bahwa tujuan pertama al-Qur‟an adalah menjelaskan Arkân al-Dîn al-

Tsalâsah (tiga pondasi dasar agama) salah satunya adalah menjelaskan keimanan

kepada Allah Swt.86

akan tetapi perbedaan Islâh al-„Aqîdah (memperbaiki akidah)

di antara keduanya, jika al-Ghazâli menekankan bahwa banyak sekali ayat-ayat al-

85

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 23-24. 86

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsīr al-Manâr (Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349 H), jilid 11,

h. 207.

Page 170: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

76

Qur‟an yang menjelaskan berkaitan dengan Dzat, sifat-sifat Allah atau Asmâ al-

Husnâ (nama-nama sifat Allah), perbuatan-perbuatan Allah, agar manusia

mengenal Allah sebagai Tuhan yang sebenar-benarnya dan agar pula manusia

menyembah Allah. Sedangkan Rasyîd Ridâ menekankan bahwa tujuan diturunkan

al-Qur‟an untuk merespon/mengkritik dan memperbaiki kesesatan, penyimpangan

akidah/kepercayaan manusia yang sudah tidak lagi murni mengesakan Allah Swt,

seperti orang-orang Musyrik yang menyembah berhala, orang Nasrani yang

menjadikan „Îsa sebagai Tuhan, dan lain-lain. Kemudian pula keduanya sama-

sama menjadikan keimanan kepada hari akhir sebagai bagian dasar tujuan-tujuan

al-Qur‟an. al-Ghazâli memposisikan menjelaskan kepastian hari akhir seperti

Yaum al-Ba‟tsi (hari pembangkitan), Yaum al-Hisâb (hari perhitungan) adalah

bagian dari prinsip-prinsip pokok Maqâsid al-Qurân.87

Begitu pula Rasyîd Ridâ

yang memposisikan keimanan kepada hari akhir bagian dari prinsip dasar

Maqâsid al-Qurân.88

Perbedaan keduanya berkaitan dengan keimanan kepada hari

akhir sebagai prinsip Maqâsid al-Qurân adalah kalau al-Ghazâli menjadikan iman

kepada kepada hari akhir sebagai Usul al-Muhimmah (prinsip-prinsip dasar yang

penting) Maqâsid al-Qurân, karena menurut beliau hampir sepertiga al-Qur‟an

berbicara tentang keadaan manusia setelah kembali kepada Allah. Seperti,

berbicara tentang kematian, Yaum al-Ba‟tsi (hari pembangkitan), Yaum al-Hisâb

(hari perhitungan), kenikmatan surga, kepedihan siksa neraka.89

Akan tetapi,

menurut Ridā menjadikan iman kepada hari akhir sebagai prinsip dasar Maqâsid

al-Qurân adalah sebagai respon al-Qur‟an atas rusaknya keimanan masyarakat

tentang hari akhir yang mengingkari atas kepastian hari akhir.

inti persamaan Maqâsid al-Qurân keduanya yaitu pada aspek Maqâsid al-

Ammâh (tujuan-tujuan al-Qur‟an yang umum) atau Maqâsid al-Qurân al-

Asâsiyyah (dasar-dasar tujuan-tujuan al-Qur‟an) seperti, tujuan akidah/keimanan,

tujuan akhlak, tujuan syariat.

87

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 29. 88

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 23-24. Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Mesir : Penerbit Al-Manâr, 1349 H), jilid 11,

h. 207 89

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 30.

Page 171: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

77

D. Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Maqâsid Al-Qurân Al-Ghazâli Dan

Rasyîd Ridâ.

Kelebihan konsep Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan Rasyîd Ridâ, beliau

menyentuh dengan meliputi segala aspek-aspek kehidupan manusia, bagi aspek

yang berkaitan dengan individu manusia dan aspek yang berkaitan dengan

masyarakat/kelompok manusia. karena inti Maqâsid Al-Qurân menurut beliau

adalah

ح أفراد البشر ومجاعاهتم وأقوامهم وادخاهلم طول الرشد وحتقيق اخوهتم مقاصد القرآن ىو إصال اإلنسانية وترقية عقوهلم وتزكية أنفسهم

“Maqâsid Al-Qurân adalah memperbaiki individu manusia, komunitas, kaum,

serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan merealisasikan kesatuan

persaudaraan diantara manusia, mengembangkan potensi akal mereka, dan

membersikan jiwa mereka”.90

Rasyîd Ridâ menjelaskan hal yang berkaitan dengan Islâh al-Fardiyyah

(memperbaiki individu manusia) yaitu Islâh al-Aqîdah (memperbaiki akidah)

dengan menjelaskan keimanan kepada Allah, Rasul, hari akhir, Tazkiyyah al-Nafs

(membersikan jiwa), memperbaiki serta mengembangkan akal manusia dengan

menjelaskan Islam adalah Dîn al-Aql Wa al-Fikr (agama yang sesuai dengan akal),

sesuai dengan fitrah manusia, yang berlandaskan ilmu dan hikmah, serta melarang

Taqlid semata.91

Kemudian pula Ridâ menjelaskan Maqâsid al-Qurân berkaitan dengan

masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat/komunitas manusia.

Misalnya Islâh al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (memperbaiki persaudaraan di antara

umat manusia), memberikan Huqûq al-Nisâ` (memberikan hak-hak perempuan).

Dan pula tujuan al-Qur‟an menurut beliau berkaitan dengan Islâh al-Tasyri‟

(memperbaiki penerapan hukum) dengan menjelaskan keistimewaan hukum Islam

seperti moderat, kemudahan, tidak berlebihan/ekstrim, mencapai kebahagian

dunia dan akhirat dll. Kemudian berkaitan dengan Islâh al-Mâlî (memperbaiki

mengelola harta dengan baik) dengan menjelaskan halal, haram dalam

90

Muhammad Rasyîd Ridâ, Wahyu Al-Muhammadiyyah (Beirut: Penerbit Izzuddin, 1606

H), h. 191. 91

Abd al-Karâm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 124.

Page 172: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

78

ber‟muamalah yang baik dan benar. Dan pula berkaitan dengan Islâh al-Siyâsah

(memperbaiki politik) dengan menjelaskan keadilan, musyawarah, memberika

hak-hak, dan lain-lain. Sedangkan kekurangan konsep Maqâsid al-Qurân Rasyîd

Ridâ adalah terkesan beliau hanya menyinggung masalah-masalah kontemporer

saja, tidak begitu menekankan aspek-aspek fudamental dari tujuan-tujuan al-

Qur‟an.92

Kelebihan konsep Maqâsid al-Qurân Abū Hâmid al-Ghazâli pada Taqsîmât

(pembagian-pembagian) Maqâsid al-Qurân yang beliau tawarkan yaitu tiga hal

Usûl al-Muhimmah (prinsip-prinsip yang penting) seperti mengenal Allah,

mengenal jalan yang lurus, mengenal hari akhir.93

Usûl al-Muhimmah (prinsip-

prinsip dasar yang penting) ini, mencakup tujuan-tujuan besar surah-surah al-

Qur‟an. Karena setiap Surah al-Qur‟an itu terdapat Maqâsid al-Sûrah (tujuan-

tujuan Surah), sebagaimana yang dipopulerkan dengan Râzî dalam Tafsir Mafâtih

al-Ghaib dan Biqâ‟î dalam karyanya Masâid al-Nazar Li al-Isyrâf „Alâ Maqâsid

al-Suwar (tingga-tannga memandang untuk melihat tujuan-tujuan surah-surah al-

Qur‟an).94

Dan prinsip-prinsip tujuan al-Qur‟an yang ditawarkan al-Ghazâli,

meliputi A‟zam Maqâsid Suwar al-Qurân (tujuan-tujuan besar surah al-Qur‟an),

karena tujuan-tujuan surah al-Qur‟an tidak terlepas dari aspek keimanan kepada

Allah, sifat-sifat agung Allah, kepastian hari akhir, petunjuk jalan yang di ridhai

Allah.

Dan kekurangan Maqâsid al-Qurân al-Ghazâli yaitu terkesan hanya melihat

al-Qur‟an dari aspek Tasawuf saja, tanpa melihat aspek-aspek lainnya padahal al-

Qur‟an sebagai Hidāyah bagi segala aspek kehidupan manusia.

Inti pada pembahasan ini, bahwa inti perbedaan antara Maqâsid al-Qurân

keduanya adalah kalau Abû Hâmid al-Ghazâli lebih menekankan Maqâsid al-

Qurân pada kajian-kajian klasik, seperti keimanan, risalah kenabian, kepastian

hari akhir. Sedangkan Ridâ lebih menekankan isu-isu permasalahan kontemporer,

seperti memberikan hak-hak perempuan (jender), politik, mempersiapkan

92

Abd al-Karâm Hâmidî, Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân (Riyâd: Maktabah al-Rusyd,

1428 H), h. 125. 93

Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Jawâhîr al-Qurân (Lebanon: Dâr Ihyâ‟ al-Ulûm

al-Dīn, 1411 H), h. 23. 94

Ibrahim Ibn Umar Al-Biqâ‟î, Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar (Riyâd:

Maktabah al-Ma‟ârif, 1308 H), Jilid 1, h. 209.

Page 173: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

79

peperangan, mengelola uang (ekonomi) dengan cara baik, memerdekakan budak

(hak asasi manusia), persatuan antar manusia, dan lain-lain.

Page 174: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

80

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan konsep Maqâsid al-Qurân Abû Hâmid al-

Ghazâli dan Muhammad Rasyîd Ridâ dan pula membandingkan konsep Maqāsid

al-Qurān yang keduanya tawarkan. Menurut penulis, Benang merah yang nampak

perbedaan konsep Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan keduanya, terpengaruh

oleh Background latar belakang pendidikan keduanya. Kalau Maqâsid al-Qurân

yang ditawarkan al-Ghazâli lebih menekankan kajian-kajian klasik seperti

keimanan, risalah kenabian, hari akhir. Dan pula bercorak Tasawuf, karena

Tasawuf bagian keahlian al-Ghazâli. Sedangkan Maqâsid al-Qurân yang

ditawarkan Rasyîd Ridâ pula tidak terlepas dari Background latar belakang

pendidikan Rasyîd Ridâ. Beliau adalah seorang reformis yang menyuarakan ide-

ide pembaharuan di era kontemporer. Dan Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan

Ridâ terkesan bernuansa kajian-kajian kontemporer.

B. Saran

1. Sepatutnya para Mufassir memahami Maqâsid al-Qurân sebagai basis dan tujuan

para mufassir dalam menafsirkan.

2. Penulis menyadari, penilitian tentang Maqâsid al-Qurân yang telah diteliti penulis

masih banyak kekurangan dan banyak pula selah-selah kekosongan yang harus

diteliti lebih komprehensif dan luas lagi.

3. Penelitian Maqâsid al-Qurân yang ditawarkan Rasyîd Ridâ dan al-Ghazâli

memang sangat minim di kalangan para akademisi muslim. Diharapkan akan ada

peneliti-peneliti baru yang smampu berkontrbusi serta mengembangkan teori-teori

Maqâsid al-Qurân lebih luas lagi.

Page 175: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

81

DAFTAR PUSTAKA

Âlûsî. Rûh al-Ma‟ânî Fî Tafsîr al-Qurân al-Azîm. Beirut: Mu`assasah al-Risâlah,

2010.

Al-Asfahânî, Râghib. Mu‟jam Mufradât Alfâdz Al-Qurân. Damaskus: Dâr al-

Qalam, t.t.

Asmûnî, Muhammad Yusran. Pertumbuhan Dan Perkembangan Berfikir Dalam

Islam. Surabaya: Penerbit al-Ikhlâs, 1994.

Âsyûr, Muhammad Tâhir Ibn. Tafsîr al-Tahrîr Wa al Tanwîr. Tunusia: Dâr al-

Tunisiyyah, 1984.

Al-Asyqâr, Umar Sulaimân. Rasul Wa Risâlah. Kuwait: Penerbit Al-Falâh, 1983.

Athaillah. Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsîr Al-Manâr. Jakarta: PT.Gelora

Aksara Pratama, 2006.

Bakir, Muhammad. ”Konsep Maqâsid al-Qurân Perspektif Badî‟ al-Zamân Saîd

Nursî”, no. 01 (Agustus 2015.

Baqi, Muhammad Fuad Abd, Mu‟jam al-Mufahrâs Li -Alfâdz al-Qurân Bi

Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarîf. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2007.

Basri, Hasan. Aktualisasi Pesan Alquran dalam bernegara. Jakarta: Ihsân

Yayasan Pancur siwah, 2003.

Baydâwi, Nasiruddin. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‟wîl. Beirut: Dâr al-Rasyîd,

1421 H.

Al-Biqâ‟î, Ibrahim Ibn Umar. Masâ‟id al-Nazar Lil Isyrâf ilâ Maqâsid al-Suwar.

Riyâd : Maktabah al-Ma‟ārif, 1308 H.

Burhân, Manûbah.“al-Fikr al-Maqâsid „inda Muhammad Rasyîd Ridâ”. Tesis

Fakultas Syariah, Universitas Bātina al-Jazâ`ir, 2006.

Darrâz, Abdullah. al-Naba` al-Azîm. Mesir: Dâr al-Urubah, 1960.

Dunyâ, Sulaimân, al-Haqiqah fī Nazâ`ir Al-Ghazâli. Mesir: Dâr Al-Ma‟ârif, 1119

H.

Al-Fayummî, Ali. al-Misbâh al-Munîr Fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr. Beirut:

Maktabah al-Ilmiah, 1990.

Al-Ghânimi, Abû Wafâ‟. Tasawuf Islam. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama,

2002.

Page 176: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

82

Al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad. Jawâhir Alqurân. Beirut: Dâr al-Ihyâ` Al-

Ulūm, 1990.

______________________________. al-Munqîd Min al-Dalâl. Istanbul: Darus

Safeka, t.t.

Hâmidî, Abd al-Karîm. Madkha Ilâ Maqâsid al-Qurân. Riyâd: Maktabah al

Rusyd,1428 H.

Hujair. “Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau

Corak Mufassirin “. (Desember : 2008).

Ibrâhîm, Ahmad Al-Badawî. Rasyîd Ridâ al-Imâm al-Mujâhîd. Kâiro: al

Muassasah al-Misriyyah al-Ammâh, t.t.).

Juzayi, Abû Qâsim Muhammad Ibn Ahmad Ibn. Tafsîr Tashîl Li al-Ulûm al

Tanzîl. Beirut: Dâr al-Rasyîd 1415 H.

Katsîr, Abî Fidâ` Ismâil Umar Ibn. Tafsîr al-Qurân al-Azîm. Beirut: Ibn Hajm

1420 H.

Al-Khallâf, Abd al-Wahhâb. „Ilmu Usûl Al-Fikih. Indonesia: Penerbit al Haramain

2004.

Kusmana. “Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam

Pemikiran Kuntowijoyo” (Desember 2015).

Al-Mahallî, Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad dan al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Abd

Al-Rahmân Ibn Abi Bakar. Tafsîr al-Jalâlain. Surabaya: Penerbit Nurul

Huda, t.t.

Al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghi. Jilid II. Beirut: Dâr al- Kutub al-

Ilmiyah, 1998.

Mas‟ûd. Juhûd Ulamâ Fî Istimbât Maqâsid al-Qurân. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Mufidah, Azmi. “Tafsir Maqâsidi Pendekatan Maqâsid al-Syariah Ibn Âsyûr”.

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga,

2013.

Nasution, Harun. Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit

Bulan Bintang, 1974.

______________. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.

Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Nurdin. Ulûm al-Qurân Al-Karîm. Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1414 H.

Page 177: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

83

Qardâwî, Yusûf. Kayfa Nataâ‟mal Ma‟a al-Qurân. Kâiro: Dâr al-Syurûq, 1968.

Al-Qattân, Mannâ‟ al-Khalîl. Mabâhis fī Ulûm al-Qurân. Beirut: al-Syirkah al-

Muttahidah, t.t.

Qutb, Sayyid. al-Adâlah al-Ijtimâ`iyyah Fîal-Islâm. Kâiro: Dâr: al-Syurûq, 1989.

Al-Qurtubî, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar. Jâmi‟ Li al-Ahkâm al-Qurân.

Beirut: Mu`assah al-Risâlah, 1427 H.

Râzî, Muhammad Fakhr al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr Musammâ Bi Mafâtih al Ghaib.

Beirut: Dâr al-Fikr,1990.

Raisuni, Ahmad, Maqâsid Maqâsid. Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2007.

Al-Rihyanî, Muhammad, Tafsîr Imâm al-Ghazâli. Kairo: Dâr al-Salâm 2010)

Ridâ, Muhammad Rasyîd. al-Wahyu al-Muhammadiyyah. Beirut: Maktabah „Izzu

al-Dîn, 1406 H.

________________________. Huqûq Al-Nisâ` Fi Al-Islâm. Beirut: Maktabah al

Islamiyyah, 1404 H.

________________________. Tafsîr al-Manâr. Mesir: Penerbit Al-Manar, 1349

H.

Al-Sâbûnî, Muhammad „Alî. Tafsir Safwah al-Tafâsîr. Beirut: Dâr al-Qurân al

Karîm 1402 H).

______________________. Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr. Beirut: Dâr al-Qurân al

Karîm 1402 H.

_______________________. Rawâ`i‟u al-Bayân Tafsîr Ayât Al-Ahkâm Min Al

Qurân. Juz. 1. Beirut: Dār al-Qalam, 1998.

Al-Sa‟dî, Abd al-Rahmân Ibn Nâsir. Tafsîr al-Karîm Fī Tafsīr Kalâm al-Mannân.

Riyâd: Maktabah „Abīkān 1422.

Al-Salâm, Izzuddin Abd. Qawâid al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm. Kairo:

Maktabah al-Kulliyyah al-Azhar, 1991.

Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Penerbit Mizan

1992.

________________________. Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir Dan Doa.

Jakarta: Penerbit lentera hati, 2006.

_________________________. Rasionalitas Al-Qur‟an Studi Kritis Tafsir al-

Manar. Tangerang: Lentera Hati, 2006.

Page 178: STUDI KOMPARATIF MAQÂSID AL-QURÂN ABÛ HÂMID …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42108/1/MUHAMMAD... · Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan

84

_________________________. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati 2002.

Al-Siddîq, Muhammad Sâlih. Maqâsid al-Qurân. T.tp.: Dâr al-Ba‟tsi 1982 M).

Sirajuddin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn. al-Itqân Fî Ulûm al-Qurân. T.tp.: Maktabah al-Arabiyyah

Al-Su‟udiyyah, 1426 H.

__________________. Tafsir al-Durr al-Mantsûr Fī Tafsîr Bi al-Ma„tsûr. Kairo:

T.pn., 849 H.

Suryadilaga, M Fâtih, Tujuan Diturunkan Syariat Islam. Yogjakarta: Teras, 2008.

Al-Syâmî, Shâlih Ahmad, Imâm Al-Ghazâli Hujjat Al-Islâm Mujaddid Al-Mi`at

Al-Khâmisah. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993.

Syâtibî, Abû Ishâq Ibrâhîm Ibn Mûsâ, al-Muwâfaqât Fî Usûl al-Syariah. Beirut:

Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2005.

Syaltût, Mahmûd. Ilâ al-Qurân al-Karîm. T.tp: Penerbit Dâr al-Syurûq, t.t.

Al-Tabarî, Ibn Jarîr. Tafsir Jâmi‟ Al-Bayân „an Ta‟wîl al-Qurân. Beirut: penerbit

Al-Risalah 1415 H.

Zarkasyî, Badruddin. al-Burhân Fī Ulûm al-Qurân. Kairo: Dâr Ihyâ al-Kutub al-

Arabiyyah, 1957.

Al-Zahabî, Muhammad Husain. Tafsîr Wa al-Mufassirûn. Kairo: Maktabah al

Wahbah, 1119 H.