studi kasus penerapan model humas pimpinan pusat â...

45
13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada periode 2010-2015 selepas muktamar jelang satu abadnya yang ke-46, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PPA) justru memindahkan posisi humas dari statusnya sebagai state of being menjadi aktivitas komunikasi yang dapat dijalankan tanpa harus berada dalam posisi formal yang bernama humas. Pada periode kepemimpinan 2005 – 2010 sebelum muktamar ke-46, PPA memiliki bagian humas yang bernama Lembaga Humas dan Penerbitan lengkap dengan ketua lembaga, staf hingga karyawan kantor khusus. Namun, menurut Sekretaris PPA 2010 - 2015, Setiawati, dalam rapat pleno di awal periode 2010 – 2015 (Pleno II, 21 Juli 2010), diputuskan bahwa lembaga humas dan publikasi dihapuskan dari struktur PPA. Adapun mekanisme kehumasan diembankan kepada Sekretaris PPA yang dipimpin oleh sekretaris umum organisasi beserta dua orang sekretaris. Di bawah jabatan sekretaris umum dan sekretaris tersebut ada karyawan kantor PPA yang menunjang laju kesekretariatan pada tataran teknis. Secara rinci, Keputusan Pleno II tersebut menyatakan bahwa humas secara institusi melekat pada organisasi dengan mekanisme pelaksanaannya di bawah sekretaris. Alasan dari penghapusan Lembaga Humas dan Penerbitan tersebut tidak tertulis dalam data Keputusan Pleno II PPA (2010), maupun Keputusan Pleno III (2010) dan IV (2011) yang masih membahas perihal pelekatan tersebut. Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46 Kholifatul Fauziah Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: nguyenduong

Post on 07-Jul-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada periode 2010-2015 selepas muktamar jelang satu abadnya yang

ke-46, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PPA) justru memindahkan posisi humas dari

statusnya sebagai state of being menjadi aktivitas komunikasi yang dapat

dijalankan tanpa harus berada dalam posisi formal yang bernama humas. Pada

periode kepemimpinan 2005 – 2010 sebelum muktamar ke-46, PPA memiliki

bagian humas yang bernama Lembaga Humas dan Penerbitan lengkap dengan

ketua lembaga, staf hingga karyawan kantor khusus. Namun, menurut Sekretaris

PPA 2010 - 2015, Setiawati, dalam rapat pleno di awal periode 2010 – 2015

(Pleno II, 21 Juli 2010), diputuskan bahwa lembaga humas dan publikasi

dihapuskan dari struktur PPA. Adapun mekanisme kehumasan diembankan

kepada Sekretaris PPA yang dipimpin oleh sekretaris umum organisasi beserta

dua orang sekretaris. Di bawah jabatan sekretaris umum dan sekretaris tersebut

ada karyawan kantor PPA yang menunjang laju kesekretariatan pada tataran

teknis.

Secara rinci, Keputusan Pleno II tersebut menyatakan bahwa humas secara

institusi melekat pada organisasi dengan mekanisme pelaksanaannya di bawah

sekretaris. Alasan dari penghapusan Lembaga Humas dan Penerbitan tersebut

tidak tertulis dalam data Keputusan Pleno II PPA (2010), maupun Keputusan

Pleno III (2010) dan IV (2011) yang masih membahas perihal pelekatan tersebut.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

14

Meskipun demikian, efisiensi disinyalir menjadi salah satu faktor pemindahan

pelaksanaan humas di bawah mekanisme sekretaris. Pasalnya, dengan pelekatan

tersebut, PPA kini tinggal memiliki dua lembaga yakni Lembaga Kebudayaan

serta Lembaga Pengkajian dan Pengembangan. Dengan demikian, secara kuantitas,

terjadi perampingan jumlah anggota PPA yang memungkinkan terjalinnya

komunikasi yang lebih efisien. Di samping itu, dengan melekatkan humas pada

sekretaris, maka anggaran yang dialokasikan juga dapat diminimalisir dengan

harapan hasil yang sama atau lebih baik. Tak hanya itu, sekretaris juga

merupakan posisi yang paling dekat dengan para ketua yang turut menandakan

dekatnya posisi tersebut dengan eksekutif puncak organisasi baik untuk

kepentingan administrasi maupun komunikasi.

Setiawati menambahkan bahwa dalam mekanisme organisasi Pimpinan

Pusat ‘Aisyiyah, pengaturan struktur merupakan wewenang dari pimpinan.

Itulah sebabnya, keputusan terkait alih fungsi kehumasan dari Lembaga Humas

dan Penerbitan kepada sekretaris PPA diputuskan dalam rapat pleno yang hanya

dihadiri pimpinan pusat, dan bukan muktamar yang diikuti oleh pimpinan pusat

hingga daerah bahkan cabang. Meskipun demikian, posisi muktamar sendiri

menjadi momen penting karena menandai pergantian struktur pimpinan yang

berhak dan bahkan wajib menyelenggarakan sidang pleno guna memutuskan

kebijakan-kebijakan organisasi.

Di samping itu, rentang waktu dua periode kepemimpinan PPA dengan

praktik penerapan humas yang berbeda menunjukkan kuatnya unsur longitudinal

pada kasus ini yang sukar untuk dicari kesamaannya dengan lembaga lain yang

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

15

sejenis. Di samping memang, sejauh pengamatan peneliti pada berbagai struktur

organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia di tingkat pusat atau

nasional yang menjadi anggota KOWANI, hanya Wanita Islam dan ‘Aisyiyah

yang memiliki sebuah bagian dengan nama Lembaga Humas yang tertulis secara

eksplisit dalam rentang 10 tahun terakhir ini.

Adapun dari sisi tempat, perubahan kelembagaan humas itu terjadi pada

pimpinan paling puncak dari organisasi ini. Lazimnya, pimpinan puncak

memiliki komposisi paling purna dan lengkap dalam suatu organisasi. Sebab,

segala urusan dari tingkat ranting, cabang, daerah hingga wilayah akan

bermuara pada pimpinan pusat. Namun, Lembaga Humas dan Penerbitan yang

sebelumnya ada dalam struktur, justru ditiadakan dalam periode 2010-2015 ini.

Konsekuensinya, susunan kepemimpinan pada tingkat wilayah dan daerah, cabang

maupun ranting pasti akan menginduk pada tingkat pusat, baik sebagian maupun

keseluruhannya.

Sedangkan dari sisi waktu, keputusan untuk melekatkan fungsi mekanisme

kehumasan pada bagian sekretaris itu justru terjadi saat representasi dari

organisasi sosial keagamaan perempuan ini akan menapaki usianya yang ke-1

abad. Rentang waktu yang telah dilewati tersebut tentu juga menunjukkan

beragamnya relasi komunikasi yang perlu dibangun dengan berbagai stakeholder.

Meskipun demikian, setelah berpengalaman memiliki LHP selama satu periode,

PPA justru meniadakan lembaga yang semestinya membangun dan

mengembangkan beragam komunikasi tersebut pada periode kepemimpinan

2010-2015.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

16

Sejauh ini, sedikit sekali, kalaupun ada, penelitian yang dilakukan untuk

mengkaji status penerapan humas di Indonesia, khususnya pada zona organisasi

sosial keagamaan perempuannya. Itulah sebabnya, penelitian yang menganalisis

domain tersebut sangat diperlukan. Penelitian ini mencoba menjawab urgensi

tersebut. Selain mengkaji model penerapan humas PPA sebagai bagian dari

gerakan sosial keagamaan perempuan di Indonesia, urgensi penelitian ini juga

terletak pada upaya untuk membuktikan apakah humas memang perlu diampu

oleh lembaga khusus, atau sebenarnya secara aplikatif, khususnya dalam konteks

organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia, pelekatan mekanisme

humas humas pada bagian lain seperti yang dilakukan ‘Aisyiyah itu tidak

membuat perbedaan praksis yang signifikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah model humas yang diterapkan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah

pra Muktamar Jelang Satu Abad Ke-46 di Yogyakarta?

2. Bagaimanakah model humas yang diterapkan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah

paska Muktamar Jelang Satu Abad Ke-46 di Yogyakarta?

3. Mengapa Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menerapkan humas dengan model

tersebut?

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

17

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan humas PPA

melalui tipologi model-model humas serta faktor-faktor yang mempengaruhi

penerapan tersebut. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

sumbangan teoritis terkait urgensi kelembagaan humas dalam organisasi sosial

khususnya yang berbasis keagamaan dan digerakkan oleh perempuan. Selain itu,

hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi rekomendasi penting bagi PPA pada

muktamarnya ke-47 yang akan datang terkait aspek humas untuk mengoptimalkan

efektifitas organisasi.

D. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah PPA terkait dengan penerapan humas yang

dilakukan sebelum dan sesudah Muktamar Ke-46. Unit analisisnya adalah

organisasi, dalam hal ini Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, khususnya Lembaga Humas

dan Penerbitan yang mengelola humas pada periode 2005 – 2010 dan Sekretaris

yang mengelola humas pada periode 2010 – 2015.

E. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini bersifat kualitatif dengan menggunakan

pendekatan interpretatif. Hal ini dianggap paling tepat karena penelitian ini ingin

menggambarkan dimensi-dimensi penerapan model humas pada PPA pra dan

paska Muktamar Ke-46 yang sesungguhnya secara natural dan mendalam.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

18

Pendekatan interpretatif sendiri berdasarkan pada keyakinan bahwa realitas sosial

lebih eksis dalam alam ide daripada dalam fakta konkret. Pemaknaan atas realitas

sosial kemudian terjadi melalui interaksi sosial antar individu dan cara

masing-masing individu memaknai lingkungannya yang terdiri atas beragam

simbol maupun perilaku individu tersebut. Dengan demikian, pendekatan

interpretatif percaya bahwa individu memiliki peran penting dalam membentuk

lingkungan dan aktivitas organisasi. Hal ini membuat pendekatan interpretatif

sesuai dengan penelitian ini. Sebab, penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan

pemahaman atas proses penerapan humas dalam organisasi melalui sudut pandang

para pelaku penerapan humas PPA di lapangan daripada stabilitas organisasi itu

sendiri.

F. Kerangka Pemikiran

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah model humas yang

diterapkan oleh PPA sebelum dan sesudah Muktamar Ke-46 serta latar dari

penerapan model tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua konsep

utama yang perlu dipahami. Pertama, model humas serta dimensi-dimensinya

yang membantu memetakan penerapan humas pada level organisasi. Kedua,

faktor – faktor yang mempengaruhi penerapan humas. Faktor – faktor tersebut

diketengahkan karena secara teoritis dapat membantu menganalisis latar

penerapan model humas tertentu oleh suatu institusi. Selain itu, karena

sub-ordinasi humas dari Lembaga Humas dan Penerbitan PPA menjadi latar dari

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

19

permasalahan yang akan dijawab oleh penelitian ini maka pembahasan tentang

kelembagaan humas dalam suatu organisasi juga akan diketengahkan.

1. Model – Model Humas

Sederhananya, model atau tipologi merupakan representasi dari sesuatu,

baik berupa barang, proses maupun ide. Dengan kata lain, model yang dipakai

dalam menganalisis penerapan humas merupakan sebuah simplifikasi atau cara

cepat untuk memahami praktik atau penerapan humas yang dilakukan.

Penerapan humas dalam penelitian ini merupakan perihal mempraktikkan

aktivitas-aktivitas humas yang dilakukan oleh obyek penelitian, dalam hal ini

organisasi sosial keagamaan perempuan yang diwakili oleh PPA. Pemaknaan

tersebut berangkat dari Istilah “penerapan” yang berasal dari kata dasar “terap”

yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) memuat 3 makna utama

yaitu proses, cara, perbuatan menerapkan; pemasangan; serta pemanfaatan

atau perihal mempraktikkan. Praktik tersebut terutama pada proses komunikasi

karena dasar humas adalah komunikasi. Wolvin dan Wolvin menyebutkan bahwa

model komunikasi “help us to see the components of communication from a

perspective that allows for analysis and...understanding of the complexities of the

process” (Uyo, 2006: 40). Dalam hal ini, teori tentang model humas menyediakan

alat-alat yang dapat digunakan untuk mengkaji penerapan humas dalam organisasi

(Lihat Hon dan Grunig, 1999; Rhee, 2004; Uyo, 2006; Gale, 2007; Putra, 2008;

Laskin, 2009).

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

20

a. The Hunt Grunig Model

The Hunt Grunig Model atau yang juga dikenal dengan The Four Models

merupakan teori middle-range yang diturunkan dari excellence theory. Menurut

Grunig (2006), excellence theory merupakan grand theory atas nilai keseluruhan

fungsi humas terhadap organisasi. Walaupun tidak menjelaskan segala sesuatu

tentang humas, teori ini menyediakan cara berfikir komprehensif untuk

menyelesaikan beragam masalah humas baik yang bersifat positif maupun

normatif. Laskin (2009) menyebutnya sebagai perspektif teoritis yang dominan

dalam penelitian humas. Oleh karena itu, perspektif yang membingkai teori ini

juga bertumpu pada excellence theory yang meyakini bahwa penerapan humas

yang excellence adalah humas yang bersifat dua arah (two way) dan memiliki efek

komunikasi yang seimbang bagi institusi maupun publik (simetris).

Model PR yang diutarakan oleh Hunt dan Grunig mensimplifikasi

humas ke dalam 4 model (lihat Pētersone, 2004 dan Laskin, 2009). Model

pertama adalah keagenan pers (press agentry), yakni humas yang bertujuan untuk

propaganda atau memperoleh publisitas yang bagus dari pers atau media.

Menurut Grunig dan tim excellence project-nya, model yang diinisiasi oleh

Phineas T. Barnum ini merupakan tipologi dari humas yang bertugas membuat

cerita luar biasa tentang organisasi dengan nilai berita yang sedikit. Oleh karena

itu, model ini sering disebut sebagai PR-like activities. Model ini lebih banyak

diterapkan oleh organisasi – organisasi yang bergerak dalam bidang olahraga,

teater serta promosi produk. Dewasa ini, model keagenan pers termasuk model

yang paling jarang digunakan.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

21

Model kedua adalah informasi publik (public information), yaitu humas

yang bertujuan untuk menyebarkan informasi terpercaya bagi publik. Baik model

keagenan pers atau model informasi publik sama-sama bersifat satu arah karena

humas tidak mengambil input dari publik atau hanya menjadikan publik sebagai

obyek semata. Model yang diinisiasi oleh Ivy Leedbetter Lee ini merupakan

model humas yang saat ini paling banyak digunakan. Sebagian besar yang

menggunakan model ini adalah humas pemerintah dan asosiasi non profit.

Model ketiga adalah asimetris dua arah (two-way asymmetrical model),

yaitu humas yang bertujuan untuk melakukan persuasi ilmiah kepada publik

sehingga publik akan bertinndak sesuai dengan yang diinginkan oleh organisasi.

Model yang diinisiasi oleh George Creel dan Edward Bernays ini banyak

digunakan oleh para agensi humas serta organisasi – organisasi profit.

Model The Hunt Grunig yang terakhir adalah simetris dua arah (two-way

symmetrical model), yaitu humas yang bertujuan untuk mencapai pemahaman dua

arah dengan publik sekaligus memperoleh efek komunikasi yang seimbang.

Dengan demikian, organisasi yang digawangi humas dapat memahami keinginan

publik, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga, proses komunikasi antara humas

dengan publik tak hanya bersifat dua arah, namun juga simetris. Salah satu

penanda utama model ini adalah perencanaan komunikasi humas yang matang

dengan berbagai khalayak kunci. Sayangnya, sulit untuk menelusuri historisitas

model ini. Dan hingga saat ini, model simetris dua arah termasuk model yang

sangat jarang digunakan, susah diukur, memiliki reliabilitas rendah serta tidak

memiliki diferensiasi yang jelas antara asimetris dan simetris.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

22

Pembagian model ala Hunt dan Grunig tersebut berdasarkan pada arah

(two way or one way) dan keseimbangan efek komunikasi yang dituju (simetris

atau tidak simetris) (Rhee, 2004; Laskin, 2009). Model keagenan pers dan

informasi publik mencerminkan komunikasi yang dilakukan humas pada publik

hanya bersifat satu arah dan tidak simetris. Sementara itu, model dua arah

menunjukkan kategori humas yang melibatkan publik dalam komunikasi yang

dilakukan. Sedangkan indikator-indikator dari aktivitas humas yang simetris dan

asimetris dapat dilihat dari simpulan Hon dan Grunig (1999: 16-17) dan Rhee

(2004: 40-41) sebagai berikut:

Indikator asimetris dua arah adalah:

1. Contending: upaya organisasi meyakinkan publik untuk menerima posisi

organisasi.

2. Avoiding: upaya organisasi menghindari konflik dengan publik, baik yang

bersifat psikis maupun fisik.

3. Accommodating: upaya organisasi mendengar aspirasi publik.

4. Compromising: upaya organisasi dalam berkompromi dengan publik pada

berbagai hal, namun dengan tetap berada pada posisi yang diinginkannya.

Dengan demikian, hasil kompromi tersebut belum tentu memuaskan semua

pihak.

Indikator simetris dua arah adalah:

1. Cooperating: baik organisasi maupun publik bekerja sama untuk mencapai

hubungan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

23

2. Being unconditionally costructive: upaya organisasi untuk memberikan yang

terbaik menurut mereka bagi hubungannya dengan publik, meskipun harus

merelakan posisinya, dan atau tidak mendapatkan sikap timbal balik.

3. Saying win-win solution or no deal: upaya organisasi dan publik untuk

menyepakati keputusan yang bersifat mutual bagi keduanya. Dan atau

sama-sama sepakat untuk tidak sepakat-no deal. Kesediaan untuk sama-sama

tidak sepakat ini merupakan komunikasi yang simetris karena menunjukkan

bahwa kedua belah pihak menyadari potensi untuk saling sepakat pada

keputusan yang mutual pada waktu yang akan datang.

Grunig menyebutkan bahwa praktik kehumasan yang paling bagus dan

paling dapat diterima adalah model simetris dua arah (Putra, 2008: 2.4). Pasalnya,

model ini menuntut humas untuk tidak egois. Dengan kata lain, humas diminta

mendengarkan aspirasi publik yang disasarnya kemudian mengakomodir aspirasi

tersebut dalam aktivitas-aktivitas kehumasannya untuk mewujudkan hubungan

yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Artinya, humas tidak memaksakan

kehendak pihak manajemen organisasi semata melainkan bertindak arif dengan

melibatkan aspirasi publik.

Dalam perkembangannya, empat model humas di atas tidak lepas dari pro

dan kontra, khususnya terkait model simetris dua arah. Kritik yang dilancarkan

oleh berbagai pihak menyatakan bahwa model ini dianggap sebagai teori normatif

atau produk akademik belaka yang tak pernah terjadi di dunia nyata. Apalagi, data

penerapan humas oleh organisasi besar dengan model dua arah simetris ini jarang

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

24

ditemukan. Karenanya, ia disebut model yang terlalu utopis (Murphy, 1991;

Laskin, 2009).

Model simetris dua arah itu juga dianggap tidak realistis karena hampir

tidak mungkin organisasi akan mengorbankan diri sepenuhnya untuk

mengakomodir kepentingan publik. Di samping itu, kecil sekali kemungkinan

bagi publik untuk bisa bekerjasama dengan organisasi dalam posisi yang setara

karena sebagian besar mereka memiliki tingkat sumber daya dan akses ke media

yang lebih rendah daripada organisasi (Pētersone, 2004).

Menjawab beragam kritikan itu, Grunig (2006) sendiri menyebutkan bahwa

akademisi humas perlu mengembangkan teori positif maupun normatif. Teori

positif adalah teori yang sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. Sementara itu,

teori normatif membantu untuk meningkatkan realitas yang ada karena ia

menyediakan idealitas dari apa yang seharusnya terjadi di lapangan (lihat juga

Bowen, 2004).

Lagipula, konsep sismetris bukan berarti organisasi mengakomodir

sepenuhnya kepentingan publik. Sebab, simetris di sini merujuk pada

keseimbangan akomodasi atas kepentingan organisasi dan publik. Tidak heran

jika Grunig, dkk dalam Laskin (2009) mengemukakan, “we did find that the four

models still provide an accurate and useful tool to describe PR practice and

worlview.” Terlebih lagi, model ini memang sudah populer digunakan untuk

menganalisis penerapan humas pada level organisasi, dan bukan pada level

program semata (Sriramesh, 2009).

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

25

Dalam merespon pro dan kontra penggunaan model The Hunt Grunig yang

berkisar pada positif versus normatif itu, peneliti cenderung tidak

mengesampingkan model tersebut, sebab model – model tersebut membantu kita

memahami penerapan humas yang kompleks. Hal tersebut tentu tidak terlepas

dari teori global public relations yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip

penerapan humas yang efektif sebaiknya diaplikasikan sesuai kondisi ekonomi,

politik, dan budaya yang melatarbelakangi suatu institusi (Grunig, 2009). Itulah

sebabnya, untuk memahami penerapan humas dalam organisasi sosial keagamaan

perempuan di Indonesia, diperlukan pemahaman terhadap hal-hal yang terkait

dengan organisasi sosial keagamaan perempuan itu sendiri selaku latar dalam

penelitian.

Selain itu, khususnya terkait dengan sisi etis, peneliti cenderung

mengasumsikan bahwa setiap institusi memiliki kondisi atau lingkungan yang

berbeda-beda. Tak hanya itu, aspirasi publik pun tak selamanya benar meskipun

dengan mendengarkan mereka akan menunjukkan kesan aspiratif bagi

tindakan-tindakan humas. Dengan demikian, apa pun model kehumasan yang

diterapkan oleh suatu lembaga tidak bisa dicap salah atau benar, melainkan dikaji

dan dipahami dulu secara seksama apa, bagaimana dan mengapa suatu humas

dalam institusi menjalankan aktivitas atau program-program kehumasannya dalam

tipologi tersebut.

Ringkasnya, The Hunt Grunig Model menjadi tipologi model humas

utama yang dipilih untuk menggambarkan penerapan humas di PPA dalam

penelitian ini karena beberapa hal berikut. Pertama, dengan posisinya sebagai

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

26

middle-range theory, The Hunt Grunig Model menjadi satu-satunya yang

mengacu langsung pada perspektif dominan atau grand theory keilmuan humas.

Kedua, model-model lain yang mencoba menggambarkan humas pada level

organisasi merupakan pengembangan dari The Hunt Grunig model dan oleh

karenanya, esensi-esensi model-model tersebut sudah ada dalam The Hunt Grunig

model.

Meskipun demikian, karena penelitian ini berupaya untuk mengeksplorasi

fakta yang ada di lapangan, model – model humas yang lain dapat menjadi pisau

analisis pendukung. Di samping itu, terbuka pula kemungkinan munculnya model

humas yang baru dari hasil analisis penelitian ini. Apalagi jika ternyata penerapan

humas di PPA memiliki esensi-esensi yang berbeda dari model – model humas

The Hunt Grunig atau model – model lain yang sudah ditemukan terlebih dahulu

pada penelitian – penelitian sebelumnya.

b. Model-Model Humas Lain

The Hunt Grunig Model telah menginisiasi munculnya beberapa model

humas yang lain, di antaranya adalah model pengaruh personal, model interpreter

kultural dan mixed motive model. Model pengaruh personal ditemukan oleh

Sriramesh setelah melakukan kajian mendalam di India. Model ini

menggambarkan upaya praktisi humas yang menjalin hubungan baik yang bersifat

personal, dengan individu-individu kunci di bidang politik dan media, supaya

mereka mendapatkan perlakuan baik dari regulator dan atau pemberitaan positif di

media yang dikelola individu-individu kunci tersebut. Dengan demikian,

meskipun tanpa menulis pers release atau menggelar konferensi pers sekalipun,

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

27

para praktisi humas dapat memperoleh porsi pemberitaan positif di media

(Pētersone, 2004; Puspa, 2007). Model ini merupakan derivasi dari model

keagenan pers dan atau informasi publik ala The Hunt Grunig. Sebab, para

praktisi yang menggunakan model pengaruh personal menujukan aktivitas humas

mereka untuk meraih pencitraan positif bagi organisasi dan atau memberikan

informasi untuk publik.

Sedangkan model interpreter kultural menggambarkan bagaimana

perusahaan – perusahaan multinasional di Yunani menggerakkan aktivitas

humasnya supaya bisa menerjemahkan norma-norma lokal untuk disesuaikan

dengan tujuan-tujuan mereka. Model ini ditemukan oleh Lyra pada tahun 1991

yang mencoba mengembangkan temuan Grunig, dkk tentang penerapan humas di

luar kultur Anglo-Saxon. Seperti model pengaruh personal, model ini juga disebut

sebagai derivasi dari The Hunt Grunig Model karena tujuan awal penelitian Lyra

adalah untuk melihat bagaimana humas diterapkan pada level organisasi di luar

kultur Anglo-Saxon dengan mengacu pada penemuan-penemuan Grunig, dkk

sebelumnya (Puspa, 2007; Gupta & Bartlett, 2009).

Sementara itu, mixed motived model lahir dari kontra atas model simetris

dua arah ala The Hunt Grunig Model yang mendominasi pengertian model humas

yang ideal pada level organisasi. Model yang ditemukan oleh Murphy ini

diderivasikan dari game theory yang mengkombinasikan elemen model simetris

dan asimetris The Hunt Grunig. Seperti laju suatu permainan, relasi antara

organisasi dengan publik dianggap berada pada kontinum kompetisi murni dan

kooperasi murni. Model ini bertumpu pada proposisi bahwa humas harus mampu

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

28

menyatukan kebutuhan-kebutuhan organisasi dan publik dengan

menyeimbangkan kompetisi dan kooperasi di antara kedua belah pihak. Sebab,

Murphy percaya bahwa kooperasi murni (simetris) itu terlalu utopis untuk dibawa

ke dunia nyata. Menanggapi Murphy, Grunig dkk mengajukan argumen bahwa

model simetris dua arah bukan berarti mengakomodasi secara total kebutuhan

publik namun integrasi dari kebutuhan kedua belah pihak. Dengan demikian,

model simetris adalah mixed motive model yang dimaksud oleh Murphy itu

sendiri (Murphy, 1991; Pētersone, 2004).

c. Dimensi – Dimensi Penerapan Humas.

Pada akhirnya, teori model humas ala Grunig dan Hunt mengalami evolusi

saat Grunig dan para akademisi humas mencoba untuk kembali pada

dimensi-dimensi yang digunakan untuk mengkategorikan penerapan humas oleh

suatu institusi, dalam rangka merekonseptualisasi model humas. Beberapa murid

Grunig seperti Huang, Rhee dan Sha mencoba memberikan solusi terkait dimensi

apa saja yang dapat diukur untuk melihat praktik humas dalam organisasi.

Terakhir, Grunig, dkk memberikan 7 dimensi atau skala baru yang oleh para

akademisi terlihat sebagai sebuah model alih-alih sekedar dimensi. Ketujuh

dimensi itu adalah One-way, Two-way, Asymmetrical, Symmetrical,

Interpersonal, Mediated dan Ethical (Laskin, 2009).

Ketujuh dimensi di atas juga kerap disederhanakan menjadi 4 dimensi

yakni arah komunikasi yang meliputi one-way dan two-way, efek komunikasi

yang dituju (asimetris dan simetris), bentuk komunikasi yang terdiri atas

interpersonal dan termediasi, dan terakhir dimensi etik. Peneliti sendiri juga lebih

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

29

cenderung untuk menyederhanakannya menjadi 4 dimensi. Penyederhanaan

tersebut sama sekali tidak mengubah esensi dari ketujuh dimensi di atas.

Sha (2007) menyebutkan indikator-indikator dari dimensi-dimensi

strategis atau dimensi yang dianggap mewakili penerapan humas yang ideal.

Pertama, indikator komunikasi dua arah mencakup kemauan organisasi untuk

mendengarkan opini publik, melakukan penelitian sebelum melakukan aktivitas

humas dan mencoba mengerti publik. Di samping itu, organisasi yang

bersangkutan juga melakukan evaluasi setelah menyelesaikan kegiatan humas.

Kedua, indikator pada komunikasi simetrikal mencakup kemauan

organisasi untuk tidak hanya mengubah sikap dan perilaku publik, akan tetapi

juga mengubah sikap dan perilaku manajemen organisasi setelah menyerap opini

publik. Selain itu, organisasi hendaknya juga berkonsultasi dengan publik yang

terpengaruh oleh kebijakannya selama pengambilan keputusan. Organisasi juga

diharapkan untuk memainkan peran yang kompleks dalam memediasi konflik

yang terjadi antara organisasi dengan publik.

Adapun indikator komunikasi etikal mencakup kesadaran organisasi

bahwa aktivitas-aktivitas yang dilakukannya berdampak pada publik serta

kesediaannya untuk menyediakan data faktual yang akurat bagi publik meskipun

data ini menempatkan organisasi pada posisi yang tidak diinginkan. Selain itu,

organisasi menyerap kepentingan mayoritas lebih banyak daripada kepentingan

personal dan bersedia menyampaikan motif dan alasan dari aktivitas-aktivitas

yang mereka lakukan kepada publik.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

30

Sedangkan indikator komunikasi termediasi meliputi penerbitan news

release untuk menjangkau media massa, penggunaan media massa seperti televisi

dan sebagainya, penerbitan material tercetak untuk merepresentasikan organisasi,

seperti brosur atau pamflet serta penggunaan internet atau World Wide Web untuk

menerima dan mengirimkan informasi.

Terakhir, indikator – indikator pada komunikasi interpersonal meliputi

pengontakan anggota publik secara personal, pengontakan anggota publik via

telepon, penggunaan metode komunikasi tatap muka dalam frekuensi yang sering

serta penyelenggaraan pertemuan-pertemuan personal dengan anggota publik.

Secara umum, interpersonal adalah metode komunikasi yang lebih banyak

digunakan oleh humas dengan model komunikasi dua arah. Sedangkan dimensi

komunikasi termediasi lebih cenderung digunakan oleh humas yang menerapkan

model komunikasi satu arah (Laskin, 2009). Adapun dimensi etis memuat

ketentuan bahwa keputusan dan kebijakan humas yang dilakukan organisasi harus

sesuai dengan norma-norma maupun kewajiban universal (Bowen, 2004).

Humas yang menerapkan dimensi simetris dua arah secara inherent merupakan

humas yang memenuhi dimensi etik ini.

Di samping itu, meskipun tidak diadopsi secara luas layaknya The Hunt

Grunig Model, dimensi sebenarnya memiliki reliabilitas yang lebih tinggi dari

model. Dimensi-dimensi penerapan humas ini disebut juga sebagai model karena

ia menerangkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan humas dalam setiap cluster-nya

(Laskin, 2009).

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

31

Dalam perjalanannya, Pētersone (2004) menyebutkan bahwa Larissa Grunig

dkk mengaplikasikan dimensi-dimensi tersebut ke dalam The Hunt-Grunig Model.

Model keagenan pers terdiri atas dimensi asimetrikal, satu arah dan unethical serta

menggunakan bentuk komunikasi termediasi. Model informasi publik terdiri atas

dimensi asimetrikal, satu arah, cenderung serta lebih banyak menggunakan bentuk

komunikasi termediasi namun cenderung lebih beretika daripada model keagenan

pers. Sedangkan model asimetris dua arah terdiri atas dimensi dua arah

komunikasi, keseimbangan komunikasi yang dituju bersifat asimetris, dapat

dipraktikkan secara etis maupun non etis serta dapat menjalankan dua macam

bentuk komunikasi baik interpersonal maupun termediasi. Adapun model simetris

dua arah mencakup dimensi simetrikal, dua arah, etikal dan mencakup bentuk

komunikasi interpersonal dan termediasi. Petersone menambahkan bahwa studi

yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa The Hunt-Grunig

Model yang sudah disempurnakan dengan dimensi-dimensi penerapan humas ini

dapat diaplikasikan secara internasional.

Peneliti sendiri lebih cenderung pada upaya mengkaji penerapan humas

melalui The Hunt-Grunig Model yang sudah disempurnakan dengan beragam

dimensi tersebut. Sebab, model tersebut memiliki konsep deskripsi kategorisasi

penerapan humas yang lebih jelas daripada model – model humas The

Hunt-Grunig sebelumnya. Hal ini ditandai dengan indikator-indikator dari

masing-masing dimensi tersebut. Adapun untuk menandai dimensi satu arah dan

asimetris dapat dikaji melalui keterpenuhan pelaksanaan indikator-indikator dua

arah dan simetris, karena sifat kedua dimensi tersebut yang saling berlawanan.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

32

Dari sisi arah komunikasi, satu arah merupakan oposisi dari dua arah. Sementara

dari segi keseimbangan efek komunikasi yang diharapkan, asimetris berlawanan

dengan simetris.

Selain itu, indikator satu arah bisa jadi sama dengan dua arah, namun

tujuannya berbeda. Pada indikator mendengarkan opini publik bisa jadi dilakukan

juga oleh komunikasi satu arah, namun tujuannya adalah untuk publikasi dan atau

penyampaian informasi. Sedangkan tujuan dua arah adalah dialog. Indikator

pelaksanaan penelitian sebelum melakukan aktivitas humas memang tidak

dilakukan oleh satu arah. Adapun indikator melaksanakan evaluasi setelah

menyelesaikan kegiatan humas, bisa jadi juga dilakukan oleh satu arah hanya saja,

berbeda dengan dua arah, evaluasi yang dilakukan pada dimensi satu arah tidak

melibatkan publik yang terkait.

Di samping itu, indikator asimetris bisa jadi sama dengan indikator

simetris. Hanya saja tujuan dari indikator-indikator penerapan tersebut berbeda.

Bila melihat Hon dan Grunig (1999) dan Rhee (2004) di atas, maka tujuan-tujuan

dari indikator dimensi asimetris adalah contending, avoiding, accommodating dan

compromising. Sedangkan tujuan dari indikator simetris bertujuan untuk

cooperating, being unconditionally constructive dan saying win-win solution or

no deal.

Dengan demikian, penelitian ini menggunakan dimensi-dimensi humas

yang dikemukakan oleh Grunig dkk (Laskin, 2009) sebagai kerangka kerja

analisis. Semua praktik humas PPA pertama kali dianalisis melalui 4 dimensi

humas yang terdiri atas arah komunikasi, efek komunikasi yang diharapkan,

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

33

bentuk komunikasi dan penerapan etika. Selanjutnya, penerapan humas PPA

tersebut diklasifikasikan ke dalam model – model humas The Hunt Grunig yang

terdiri atas model keagenan pers, informasi publik, asimetris dua arah dan simetris

dua arah.

2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi

Penerapan Humas

Dozier dkk menyebutkan bahwa humas yang ideal (excellence) terdiri atas

3 hal yang saling melengkapi, yaitu pengetahuan, harapan terbagi dan kultur yang

partisipatif (Laskin, 2009). Pengetahuan di sini adalah inti dari humas yang ideal

di mana bagian humas harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk

melakukan komunikasi dua arah dengan publik, melakukan penelitian dan

memahami ilmu sosial dalam konteks komunikasi yang diembannya. Harapan

terbagi maksudnya adalah baik manajer puncak dan bagian humas memiliki

perspektif yang sama dalam menilai humas. Artinya, kedua pihak tidak hanya

memandang humas sebagai petugas yang menerbitkan pers release atau

menyambut tamu protokoler organisasi, namun juga sebagai bagian yang

menangani manajemen komunikasi antara organisasi dengan khalayak-khalayak

kunci. Sedangkan kultur partisipatif bermakna bahwa lingkungan kerja organisasi

memiliki budaya kerjasama yang kondusif. Dozier dkk juga menambahkan bahwa

faktanya, organisasi “that value team work, widely involve employees in

decision making, and are open to ideas of outside the organization are more likely

to have excellent programs.” Menurut peneliti, ketiga hal yang menentukan

ideal atau tidaknya humas tersebut dapat menjadi pisau analisis untuk

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

34

mengidentifikasi mengapa suatu organisasi menerapkan humas dengan model

tertentu daripada model yang lain.

J. Grunig dan L. Grunig sendiri selain mengajukan 2 variabel humas

ideal yakni arah dan tujuan atau efek komunikasi yang kemudian dituangkan

dalam empat model humas di atas, juga mengajukan 3 variabel lain yang dapat

menjadi pisau analisis mengapa suatu organisasi menerapkan model humas

tertentu. Ketiga hal yang menjadi faktor – faktor yang mempengaruhi penerapan

humas tersebut adalah kultur organisasi, potensi departemen humas dan skema

humas (Pētersone, 2004).

Kultur organisasi terdiri atas nilai-nilai, simbol-simbol, makna-makna,

asumsi-asumsi, kepercayaan-kepercayaan dan harapan-harapan yang menyatu dan

menyatukan sekelompok orang yang bekerja sama. Kultur tersebut mempengaruhi

penentuan kebijakan organisasi, termasuk keputusan yang terkait dengan

penerapan model-model humas. Terkait hal itu, secara inherent, organisasi yang

menerapkan manajemen sistem tertutup cenderung menerapkan dimensi asimetris.

Sebaliknya, organisasi dengan manajemen yang mempraktikkan sistem

manajemen terbuka cenderung menerapkan dimensi simetris. Kultur organisasi

sendiri berada pada kontinuum autoritarian ke partisipatif.

Faktor kedua adalah potensi departemen humas yang mencakup

pengetahuan praktisi humas, khususnya mengenai model dua arah. Jika praktisi

humas memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait model humas yang

excellence, maka organisasi yang bersangkutan juga cenderung menerapkan

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

35

humas yang simetris dua arah. Di samping itu, semakin besar potensi departemen

humas tersebut, maka semakin besar pula kemungkinan bagi praktisi senior untuk

bergabung dalam lingkar pengambil kebijakan puncak pada organisasi tersebut.

Faktor ketiga adalah skema humas yang mencakup pemahaman dan

keterampilan manajer senior terhadap humas. Hal tersebut tergantung pada dua

hal. Pertama, praktisi humas yang memiliki pengetahuan dan keterampilan humas

terlibat dalam koalisi manajerial puncak dan memfasilitasi pemahaman para

manajer puncak terkait humas. Atau kedua, para manajer puncak itu mengedukasi

diri mereka sendiri soal humas.

Peneliti sendiri lebih cenderung menggunakan istilah dari Dozier dkk

tanpa mengabaikan substansi dari faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan

humas dari Grunig di atas. Sebab, pengetahuan dan keterampilan humas ala

Dozier dkk sama dengan potensi departemen humas dari Grunig, harapan terbagi

mewakili skema humas di mana praktisi humas dan para manajer puncak

organisasi memiliki pemahaman yang sama soal humas, dan kultur partisipatif

selaras dengan kultur organisasi dari Grunig, di mana semakin autoritarian kultur

suatu organisasi maka efek-efek komunikasi humas cenderung asimetris.

Sebaliknya, semakin partisipatif kultur suatu organisasi, maka efek-efek atau

tujuan komunikasi humas akan lebih cenderung simetris.

Merujuk pada kerangka teori yang telah dijelaskan di atas, operasionalisasi

dimensi – dimensi penerapan humas tersebut secara detail dapat dilihat dalam

Tabel 1 berikut:

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

36

TABEL 1.

DIMENSI PENERAPAN HUMAS

Dimensi Makna Dimensi Indikator Panduan Pertanyaan dalamWawancara

ArahKomunikasi (satuarahversus duaarah)

Penyampaianinformasi dariorganisasi kepadapublik. Komunikasisatu arah tidakmemfasilitasi umpanbalik dari publikkepada organisasidan sebaliknya.

1. Relasidenganpublik

1. Siapa saja publik internalPPA?

2. Siapa saja publikeksternal PPA?3. Bagaimana cara PPAmenjalin relasi denganpublik?

2. AktivitasKomunikasi

1. Apa saja kegiatan,aktivitas atau program -program Lembaga Humasdan Publikasi?2. Bagaimana dengan paskaMuktamar Ke-46? Bagianmana yang menjalankanaktivitas - aktivitas humastersebut?3. Mengapaprogram-program LembagaHumas dan Publikasidisublimasi ke bagiantersebut setelah MuktamarKe-46?

3.Perencanaan programhumas

1. Bagaimanalangkah-langkah PPA dalammenjalankan programhumas?2. Bagaimana rencanaevaluasi program humasyang dijalankan?

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

37

EfekKomunikasi(asimetrisversussimetris)

Tujuan dariaktivitas-aktivitashumas organisasi.Jika tujuan dariorganisasi adalahpersuasi kepadapublik supayamelakukan hal-halyangmenguntungkan bagiorganisasi maka efekdari komunikasiyang ditujuorganisasi itu disebutasimetris karenatidak seimbang.Sebaliknya, jikatujuannya adalahsupaya terciptadialog antaraorganisasi danpublik maka efekkomunikasi yangdituju organisasi itudisebut simetris.

1. TujuanKomunikasi

2.Penyikapanterhadapkonflikdenganpublik

1. Apakah tujuan dariprogram-program LembagaHumas dan Publikasi?Apakah tujuan-tujuantersebut berubah setelahLembaga Humas danPublikasi disublimasi kebagian lain?2. Apakah opini publikdapat mengubah perilakudan kebijakan organisasi?Jika bisa, faktor - faktorapakah yang memungkinkanhal itu terjadi?3. Apakah publik dilibatkansaat pihak manajemen PPAakan menetapkan suatukebijakan? Mengapa?4. Jika iya, bagaimanaproses pelibatan tersebut?1. Apakah selama ini PPApernah menemui sikap atauperilaku publik yang tidaksesuai dengan kepentinganorganisasi?2. Jika ada, bagaimana sikapdan perilaku manajemendalam menghadapi haltersebut? Mengapa sikapdan atau perilaku tersebutyang dipilih?

BentukKomunikasi(interpersonal versustermediasi)

Cara yang ditempuhorganisasi dalamberkomunikasidengan publik. Jikasebagian besaraktivitas komunikasidengan publikdilakukan secarapersonal, bentukkomunikasiorganisasi itu disebutinterpersonal dansebaliknya.

1. Strategikomunikasi

1. Bagaimana cara PPAmelakukan kontak denganpublik? Mengapa cara ituyang dipilih?

2. Apakah ada anggotapublik yang dihubungisecara personal?3. Jika ada, bagaimanaproses kontak personal itudilakukan?

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

38

3. Apakah PPA memilikidaftar buku telepon yangberisi no telepon anggotapublik?4. Apakah PPA melakukankontak via telepon denganpublik?5. Jika iya, apakah adapetugas khusus yangbertugas melakukan kontakvia telepon tersebut?6. Apakah metodekomunikasi tatap muka jugadilakukan PPA saat berelasidengan publik?7. Apakah PPAmenyelenggarakanpertemuan personal dengananggota publik?8. Apakah PPAmenerbitkan materialtercetak untukmerepresentasikanorganisasi kepada publik?9. Jika ada, apa saja jenismaterial tercetak itu?10. Apakah PPAmenggunakan internetdalam berkomunikasidengan publik?11. Jika iya, apa saja jenislayanan internet yangdigunakan oleh PPA?12.Apakah ada perubahanpengelolaan manajemeninformasi melalui internetsepanjang pra dan paskaMuktamar Ke-46?13. Bagaimana cara PPAmenjangkau media massa?14. Apakah PPA jugamenerbitkan news release?

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

39

15. Adakah media massaorganisasi yang digunakanPPA dalam berkomunikasidengan publik?16. Jika ada, apa sajakahmedia massa tersebut?17. Apakah ada perubahanjenis media massaorganisasi sepanjang pradan paska MuktamarKe-46?

Etik Kesesuaiankomunikasikehumasanorganisasi dengannorma-normamaupun kewajibanuniversal.

1. Sifatinformasi

1. Bagaimanakah sifatinformasi yang disampaikanPPA pada publik?2. Apakah data yangmenempatkan PPA padaposisi yang tidak diinginkanjuga disampaikan padapublik?3. Aspirasi manakah yanglebih diserap PPA: publikmayoritas atau personal?4. Apakah semua motifmaupun alasan dariaktivitas-aktivitas yangdilakukan organisasi perludisampaikan pada publik?5. Jika iya, bagaimanamekanisme penyampaiantersebut?

2.Pengamalankode etik

Apakah PPA mengadopsisuatu kode etik tertentudalam berelasi denganpublik?2. Mengapa kode etiktersebut yang diadopsi?3. Apakah menurut Andakode etik itu aplikatifdengan kondisi organisasi?

Selain itu, karena penelitian ini tidak sekedar mengkaji bagaimana model

humas yang diterapkan oleh PPA, namun juga menganalisis latar atau alasan

dari diterapkannya model tersebut maka peneliti juga melakukan operasionalisasi

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

40

konsep terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi model penerapan humas.

Selain konsep Operasionalisasi konsep tersebut dapat dilihat pada TABEL 2

berikut:

TABEL 2

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

MODEL PENERAPAN HUMAS

Faktor –Faktor yang

MempengaruhiPenerapan

Humas

Makna Indikator Panduan Pertanyaandalam Wawancara

Pengetahuan danKeterampilan

Pengetahuanpraktisi humasyang memadaiuntukmelakukankomunikasi duaarah denganpublik,melakukanpenelitianhumas danmemahami ilmusosial dalamkontekskomunikasiyangdiembannya.

1. Latarpendidikandanprofesional

1. Mohon diskripsikanlatar pendidikan danprofesional Anda.

2.Pemaknaanterhadaphumas danaktivitas-aktivitasnya

1. Berdasarkanpengalaman Anda,bagaimana Andamendefinisikan humas?2. Berdasarkanpengalaman Anda,aktivitas-aktivitas apasajakah yang termasukdalam istilah humas?

3.Keterampilan dalammengelolaprogramhumas

1. Mohon diskripsikanprogram-program humasPPA yang Anda terlibat didalamnya.2. Apakah tujuan dariprogram-programtersebut?3. Mengapaprogram-program tersebutpenting?4. Langkah apa saja yangditempuh dalam mengelolaprogram tersebut?

Harapan Terbagi Kesamaanperspektif

1. Perspektifterhadap

1. Bagaimanakahpandangan Anda terhadap

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

41

antara manajerpuncak denganbagian humasdalam menilaihumas itusendiri.

humas humas?

2. Apakah menurut Anda,organisasi sosialkeagamaan perempuanseperti PPA memerlukanbagian humas? Mengapa?

2.Pandanganterhadapkinerjahumas

1. Menurut Anda,bagaimanakah kinerjaLembaga Humas danPublikasi pra MuktamarKe-46 yang lalu?2. Berdasarkanpengalaman Anda, apakahpenerapan humas PPAakan lebih efektif jikaberada pada bagian khusushumas atau jikadisublimasi pada bagianyang lain? Mengapa?

KulturPartisipatif

Kondusifitaslingkungankerjaorganisasi.

1.KarakterOrganisasi

2.Lingkungankerjaorganisasi

1. Mohon jelaskanidentitas organisasi'Aisyiyah?

Apa tujuan organisasi'Aisyiyah?2. Apakah menurut AndaPPA memiliki budayakerja yang kondusif?Mengapa?

3.Bagaimana partisipasikaryawan kantor PPAdalam mendukungaktivitas organisasi?

4. Bagaimana kondisi fisikkantor PPA?

2. Sikapterhadappandangannon

1. Bagaimanakah PPAmenyikapipemikiran-pemikiran yangdatang dari luarorganisasi?

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

42

organisasi 2. Apakah organisasipernah mengalamiperubahan sikap dan atauperilaku yang disebabkanoleh pandangan dari luarorganisasi?

Kerangka konsep di atas menjadi panduan bagi peneliti dalam melakukan

wawancara dengan informan yang dituju, dokumentasi dan observasi.

3. Kelembagaan Humas

Organisasi disebut efektif jika mampu memilih dan mencapai

tujuan-tujuan yang sesuai dengan kepentingannya sekaligus harmoni dengan

kepentingan publik baik internal maupun eksternal. Hal ini diperlukan supaya

publik yang membentuk lingkungan organisasi tidak menghalangi maksud dan

tujuan yang ingin dicapai, bahkan mendukung organisasi dalam mewujudkan

tujuan-tujuannya. Untuk itu, organisasi perlu membangun dan menjaga hubungan

jangka panjang yang bersifat terbuka, jujur dan saling menguntungkan dengan

publik. Di sinilah nilai penting keberadaan humas untuk mewujudkan organisasi

yang efektif terlihat. Sebab, humas yang excellence bertugas untuk

mengidentifikasi publik kunci organisasi, menjalin hubungan jangka panjang

dengan mereka dan menyediakan informasi yang memadai bagi manajemen

organisasi terkait dengan publik strategis tersebut untuk memuluskan jalan

organisasi dalam mencapai tujuan. (Rhee, 2004; Wilcox dan Cameron, 2009).

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

43

Meskipun demikian, tidak semua organisasi memiliki departemen

atau lembaga humas secara khusus. Terkait dengan perlu tidaknya sebuah struktur

humas yang terlembaga dalam sebuah korporasi atau organisasi, Karpel

menyebutkan, “it doesn’t matter what the structure is as long as everyone works

together” (Pophal, 2006). Kelembagaan humas sendiri dimaknai sebagai

penempatan humas dalam struktur manajemen organisasi.

Lebih lanjut. Harlow menyebutkan bahwa fungsi humas memang dapat

dimaknai sebagai kegiatan komunikasi yang tidak terlembaga maupun

perwujudan kegiatan komunikasi yang dilembagakan (Ruslan, 1999). Sebagai

kegiatan komunikasi, fungsi humas dapat dijalankan oleh setiap pimpinan

organisasi, tanpa harus ditempatkan pada bagian tertentu dalam struktur. Adapun

sebagai state of being, harus ada pejabat humas khusus yang berada pada struktur

organisasi.

Tegasnya, humas tidak harus dilembagakan dalam struktur yang baku.

Sebab, aktivitas ini dapat dilakukan oleh tim virtual yang secara struktur tidak

diberi nama Departemen atau Lembaga humas. Bahkan, perencanaan hingga

eksekusi kegiatan humas bisa saja dilakukan oleh pihak eksternal yang disewa

suatu korporasi, yang lazim disebut dengan ‘konsultan’. Keberadaannya dalam

lingkup internal sendiri tidak terlepas dari potensi negatif. Setiap organisasi juga

tidak selalu memiliki kesamaan pandangan soal bagaimana menempatkan humas

dalam kaitannya dengan fungsi manajemen yang lain seperti sumber daya

manusia (SDM), hukum dan sebagainya. Untuk itu, humas memiliki beberapa

pilihan skenario.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

44

Pertama, co-existent di mana masing-masing fungsi manajemen bergerak

secara independen. Kedua, combative, yakni masing-masing fungsi manajemen

saling berlawanan. Ketiga, co-optive, yaitu salah satu fungsi manajemen

mendominasi yang lain, baik humas yang didominasi maupun yang mendominasi.

Keempat, celibate, di mana hanya ada satu fungsi yang eksis. Salah satu sebab

suatu fungsi manajemen disub-ordinasi atau dihilangkan fungsinya ialah

kesimpulan bahwa fungsi manajemen tersebut menjadi cost center dan bukan

profit center. Begitu juga sebaliknya. Selanjutnya adalah coordinated, yakni

masing-masing fungsi bergerak secara independen namun saling bekerja sama.

Dan terakhir adalah combined, di mana fungsi humas disatukan dengan fungsi

manajemen yang lain seperti SDM atau pemasaran dalam satu departemen atau

bagian tunggal.

Lantas, bagaimanakah humas sebaiknya diterapkan, khususnya dalam

hubungannya dengan fungsi-fungsi manajemen yang lain untuk mengoptimalkan

kontribusinya dalam mengefektifkan organisasi? Hasil penelitian oleh Grunig dkk

yang dibiayai oleh International Association of Business Communicators (IABC)

merumuskan 14 generic principles of excellent public relations yang dapat

digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Empat di antaranya

mencerminkan pentingnya menempatkan humas dalam posisi yang strategis

termasuk kaitannya dengan fungsi manajemen yang lain (Grunig dan Grunig,

1998; Rhee, 2004) :

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

45

a. Humas sebaiknya ditempatkan dalam struktur organisasi sehingga ia memiliki

akses dengan pembuat kebijakan utama yang menangani manajemen strategis

dalam organisasi.

b. Semua program komunikasi sebaiknya dikoordinasikan dan diprogramkan

oleh humas.

c. Humas sebaiknya tidak disub-ordinasi pada fungsi manajemen yang lain.

d. Humas sebaiknya memiliki struktur horisontal yang mampu merefleksikan

publik strategis yang dikelolanya.

Berdasarkan empat prinsip generik humas di atas, peneliti berasumsi

bahwa posisi coordinated dimana humas dan fungsi manajemen yang lain dapat

bergerak secara independen namun saling bekerjasama merupakan posisi yang

paling tepat. Sebab, humas tidak mendominasi namun juga tidak didominasi

fungsi manajemen yang lain. Selain itu, faktor saling bekerjasama dengan fungsi

manajemen yang lain mengindikasikan adanya koordinasi tujuan yang ingin

dicapai sehingga masing-masing fungsi manajemen saling mendukung untuk

terwujudnya pencapaian yang ingin diraih organisasi.

G. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian ini memuat metode, lokasi, desain, penentuan

informan, teknik pengumpulan data, metode analisis data, hingga limitasi

penelitian.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

46

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Sebab, penelitian ini

menekankan pada sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan yang erat

antara peneliti dengan subyek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk

penyelidikan. Selain itu, metode studi kasus sendiri digunakan karena sesuai

dengan tujuan penelitian ini yang menekankan pada upaya mengkaji konteks

penerapan model humas PPA secara empiris melalui proposisi – proposisi dari

teori model-model humas dan bukan untuk menguji teori itu sendiri. Itulah

sesebabnya, gambaran detail mengenai latar belakang dan sifat dari kasus yang

diteliti menjadi sangat penting. Untuk sampai kepada tujuan penelitian, gambaran

yang mendetail tersebut kemudian dikonstruksi guna memperoleh deskripsi dan

penjelasan atas pertanyaan penelitian.

Di samping itu, pokok pertanyaan yang diajukan adalah dalam bentuk

“bagaimana” dan “mengapa”. Pertanyaan bagaimana akan diarahkan kepada

serangkaian peristiwa kontemporer di mana peneliti hanya memiliki peluang

yang kecil atau bahkan tidak memiliki peluang sama sekali untuk melakukan

kontrol terhadap peristiwa tersebut. Artinya, peneliti tidak berpeluang melakukan

kontrol terhadap peristiwa yang telah terjadi.

Selain itu, peneliti berupaya membandingkan antar kasus yang diteliti.

Artinya, dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan penerapan humas

oleh PPA sebelum dan sesudah pengalihan mekanisme kehumasan dari Lembaga

Humas dan Penerbitan kepada bagian fungsi sekretaris paska Muktamar Ke-46.

Metode perbandingan dalam studi kasus ini dilakukan agar peneliti bisa

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

47

memusatkan perhatian hanya pada atribut-atribut khusus yang sedang

diperbandingkan sekaligus mengabaikam informasi-informasi lain yang tidak

perlu tentang suatu kasus. Penelitian dengan metode studi kasus ini sendiri

bersifat deskriptif, di mana peneliti mendalami faktor-faktor yang menjadi bagian

dari peristiwa yang terjadi dan menggambarkannya melalui tulisan.

Hasil perbandingan penerapan tersebut kemudian dievaluasi dengan

pertanyaan “mengapa”. Pertanyaan tersebut diarahkan untuk mengetahui

serangkaian kondisi dan pemikiran yang mendorong penerapan humas PPA pada

model tertentu.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan pada kantor pusat ‘Aisyiyah yang berlokasi

di Jl. KH. A. Dahlan 32, Yogyakarta. Sebab, seluruh kegiatan administratif dan

manajerial lebih banyak dilakukan dari kantor ini meskipun ‘Aisyiyah pusat juga

memiliki kantor di Jakarta.

3. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi

kasus tunggal. Desain studi kasus tunggal dipilih karena peristiwa sublimasi

humas pada PPA ini merupakan kasus yang unik, jarang dan memiliki unsur

longitudinal. Rentang waktu dua periode kepemimpinan PPA dengan eksistensi

humas pra Muktamar ke-46 dan sub-ordinasi humas pada periode sesudahnya

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

48

menunjukkan kuatnya unsur longitudinal pada kasus ini yang sukar untuk dicari

kesamaannya dengan lembaga lain yang sejenis. Apalagi dalam rentang 10 tahun

ini, sejauh penelusuran peneliti pada organisasi sosial keagamaan perempuan di

Indonesia yang menjadi anggota KOWANI, baru ‘Aisyiyah dan Wanita Islam

yang memiliki bagian humas dalam struktur kepemimpinannya di tingkat pusat.

Hal ini membuat kasus perubahan kelembagaan humas pada PPA tidak hanya

memiliki unsur longitudinal tapi juga jarang ditemui. Selain itu, keunikan kasus

ini dapat digambarkan dari sisi waktu, tempat dan fenomena, sebagai berikut:

a. Dari sisi waktu, keputusan untuk mensub-ordinasi fungsi Lembaga Humas

dan Penerbitan pada bagian sekretaris itu justru terjadi saat representasi dari

organisasi sosial keagamaan perempuan ini akan menapaki usianya yang ke-1

abad. Satu abad rentang waktu yang telah dilewati tersebut tentu juga

menunjukkan beragamnya relasi komunikasi yang perlu dibangun dengan

beragam stakeholder. Meskipun demikian, setelah berpengalaman memiliki

Lembaga Humas dan Penerbitan selama satu periode, PPA justru meniadakan

lembaga yang semestinya membangun dan mengembangkan beragam

komunikasi tersebut pada periode kepemimpinan 2010-2015.

b. Dari sisi tempat, sub-ordinasi fungsi humas itu terjadi pada kepemimpinan

paling puncak dari organisasi ini. Lazimnya, pimpinan puncak memiliki

komposisi paling purna dan lengkap dalam suatu organisasi. Sebab, segala

urusan dari tingkat ranting, cabang, daerah hingga wilayah akan bermuara

pada pimpinan pusat. Namun, sebagai organisasi yang dipandang mampu

merepresentasikan gerakan sosial keagamaan perempuan di Indonesia,

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

49

Lembaga Humas dan Penerbitan yang sebelumnya ada dalam struktur, justru

ditiadakan dalam periode 2010-2015 ini. Konsekuensinya, susunan

kepemimpinan pada tingkat wilayah dan daerah, cabang maupun ranting tentu

akan menginduk pada tingkat pusat, baik sebagian maupun keseluruhannya.

Organisasi perempuan dengan puluhan ribu amal usaha praksis seperti

‘Aisyiyah tentu memiliki fenomena tersendiri yang menarik untuk dikaji

terkait hal itu.

c. Dari sisi wacana, subordinasi lembaga yang menangani bagian humas

tersebut terjadi saat wacana soal pentingnya PR bagi organisasi non profit

semakin menguat. Meskipun demikian, organisasi ini juga tetap terjaga

eksistensinya dalam masyarakat. Khususnya bila dilihat dari tidak adanya

arus penolakan publik yang disiarkan oleh media massa. Hal ini tentu

berpotensi untuk menimbulkan kesenjangan tersendiri antara teori dan praktik

sehingga diperlukan upaya pengkajian yang lebih mendalam.

Adapun kriteria untuk menilai kualitas desain penelitian terdiri atas

beberapa komponen berikut:

a. Konstruk validitas: dilakukan dengan menggunakan beberapa sumber data

yang diperoleh melalui penggunaan lebih dari satu teknik pengumpulan data

(triangulasi metode) dan penelusuran informan-informan kunci.

b. Validitas eksternal: dilakukan dengan menggunakan teori sebagai pisau

analisis pada studi kasus tunggal. Teori utama yang digunakan dalam

penelitian ini adalah The Hunt Grunig Model yang sudah disempurnakan

dengan beragam dimensinya. Meskipun demikian, sesuai dengan metode

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

50

penelitian yang digunakan, penelitian ini lebih ditujukan untuk menguji

konteks dari kasus yang dikaji, bukan untuk menguji dari teori.

c. Reliabilitas: dilakukan dengan menggunakan protokol studi kasus yang

memuat urutan atau jadwal penelitian saat melakukan pengumpulan data.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk ketajaman analisis, peneliti menganggap sumber data dari

dokumentasi wawancara, dan observasi merupakan sumber data yang paling

relevan untuk digunakan sebagai sumber data utama. Sebab, upaya mendapatkan

data tersebut secara administratif relatif lebih memungkinkan daripada sumber

lain. Secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Dokumentasi: merupakan instrumen pengumpulan data dengan menelusuri

dokumen baik dokumen publik maupun dokumen privat. Dokumentasi ini

akan digunakan peneliti untuk menelusuri dokumen baik arsip-arsip publik

maupun privat organisasi yang terkait dengan penerapan humas pada PPA.

Panduan pertanyaan dalam wawancara di atas juga menjadi panduan dalam

dokumentasi. Sebagai rancangan awal, identifikasi dokumen-dokumen yang

akan dikumpulkan mencakup dokumen-dokumen berikut:

1. Biografi atau curriculum vitae para informan.

2. Struktur kepemimpinan organisasi.

3. Sejarah Organisasi ‘Aisyiyah.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

51

4. Keputusan – keputusan Rapat Pleno II – V periode 2010 – 2015 yang

memuat sublimasi Lembaga Humas dan Publikasi.

5. Buku telepon anggota publik PPA.

6. Program PPA periode 2005-2010 dan 2010 – 2015.

7. Laporan pertanggungjawaban Lembaga Humas dan Publikasi PPA pada

Muktamar ke-46.

8. News Release organisasi.

9. Material tercetak organisasi seperti brosur atau leaflet.

b. Wawancara: Penelitian ini akan menggunakan wawancara semi terstruktur.

Wawancara terstruktur ditujukan untuk mendapatkan data yang akurat dari

karakteristik yang dapat dikodekan guna menjelaskan perilaku yang telah

dikategorikan sebelumnya. Sedangkan wawancara tak terstruktur digunakan

untuk memahami kompleksitas perilaku anggota masyarakat tanpa adanya

kategori absolut yang dapat membatasi kekayaan data yang bisa diperoleh.

Maka, wawancara semi terstruktur merupakan penggabungan dari wawancara

terstruktur dan tidak terstruktur. Artinya, meskipun periset telah memiliki

haluan pertanyaan seperti yang tercantum dalam kerangka pemikiran di atas,

namun pertanyaan tersebut bersifat terbuka. Hal ini memungkinkan bagi

informan untuk bebas menyampaikan pendapat. Selain itu, periset juga dapat

memberikan pertanyaan di luar haluan yang telah ditetapkan sebagai

tanggapan dari respon informan.

c. Observasi: pengamatan terencana yang dilakukan peneliti pada latar

penelitian ini menggunakan observasi langsung. Jenis observasi ini dipilih

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

52

dengan pertimbangan bahwa jenis situasi yang akan diamati tidak sepenuhnya

bersifat historis, sehingga peneliti dapat memfokuskan pengamatan pada

situasi-situasi tertentu. Selain itu, kontrol peneliti dapat diminimalisir melalui

jenis observasi langsung ini, sehingga diharapkan dapat mengurangi bias pada

hasil yang mungkin didapat. Adapun hasil observasi akan dikumpulkan dalam

kartu data seperti berikut ini:

GAMBAR 1.

KARTU DATA

Sebagai rancangan awal, identifikasi peristiwa yang akan diobservasi meliputi

suasana kerja kantor PPA, rapat pimpinan organisasi, dan pengelolaan media

organisasi.

5. Penentuan Informan

Sumber informasi dalam penelitian ini adalah para pihak terkait dengan

obyek penelitian. Mereka yang berperan sebagai pengambil kebijakan organisasi

sampai kepada mereka yang memiliki andil inisiatif dalam mendesain dan

KARTU DATA

No:

Hari/Tanggal:

Waktu:

Tempat:

Pelaku:

Peristiwa:

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

53

menjalankan humas, termasuk di dalamnya. Pada level pimpinan organisasi,

informan utama dalam penelitian ini adalah mantan anggota Lembaga Humas dan

Publikasi, sekretaris umum, hingga sekretaris yang bertanggungjawab terhadap

pelaksanan humas. Informan pendukung terdiri atas para pimpinan maupun

sumber lain yang dianggap relevan terkait dengan penerapan humas oleh PPA pra

dan paska Muktamar ke-46 sesuai dengan kebutuhan peneliti saat berada di

lapangan. Secara spesifik, berdasarkan penelusuran awal peneliti, para informan

dari jajaran eksekutif puncak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Chamamah Soeratno: Saat ini mengemban amanah sebagai ketua PPA yang

berkonsentrasi pada hubungan luar negeri. Meskipun demikian, ia adalah

ketua umum PPA pra Muktamar ke-46 yang bertugas untuk mengendalikan

organisasi secara keseluruhan termasuk humas.

b. Siti Noordjannah Djohantini: Saat ini mengemban amanah sebagai ketua

umum PPA yang bertugas mengendalikan organisasi secara keseluruhan

termasuk sekretaris yang menangani mekanisme pelaksanaan humas paska

Muktamar ke-46.

c. Dyah Siti Nur’aini: Saat ini mengemban amanah sebagai sekretaris umum

yang bertanggungjawab mengelola mekanisme humas sesuai dengan

keputusan pleno pertama paska Muktamar ke-46.

d. Trias Setiawati: Saat ini mengemban amanah sebagai sekretaris yang secara

khusus menangani mekanisme pelaksanaan humas.

e. Twediana Budi Hapsari: Saat ini tidak terlibat dalam kepengurusan

‘Aisyiyah tingkat pusat. Namun, pra Muktamar ke-46, ia merupakan anggota

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

54

aktif lembaga humas dan publikasi. Mantan Ketua Lembaga Humas dan

Publikasi sendiri, Siti Hariti Sastriani, sudah meninggal dunia pada trimester

pertama tahun 2012.

f. Witriani: Saat ini mengemban amanah sebagai anggota lembaga

pengembangan dan penelitian. Namun, seperti Hapsari, ia merupakan anggota

aktif lembaga humas dan publikasi sebelum Muktamar ke-46.

Keseluruhan informan di atas tidak bersifat baku. Pada saat penelitian

berlangsung, informan yang diwawancara bisa saja berubah dengan menghormati

faktor tanggung jawab informan pada organisasi maupun rekomendasi dari

informan awal yang diwawancara.

6. Metode Analisis Data

Peneliti sebagai instrumen pokok penelitian akan mendeskripsikan secara

konstruktif data yang dikumpulkan untuk kemudian dianalisis guna mengetahui

bagaimana model – model humas diterapkan oleh PPA, pra dan paska

Muktamar ke-46. Dengan kata lain, penelitian ini mengikuti kajian secara

konstruktivis yang dikembangkan oleh para peneliti kasus yang bercorak

naturalistik. Hal ini memungkinkan periset untuk menggabungkan deskripsi

objektif dan interpretasi personalistik dalam menganalisis data, disertai dengan

sikap hormat dan rasa keingintahuan serta sikap empatik pada fenomena yang

sedang diteliti.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

55

Secara umum strategi analisis studi kasus yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penyandaran pada proposisi – proposisi teoritis (relying on

theoretical propositions). Proposisi – proposisi teoritis utama dalam penelitian ini

merujuk pada The Hunt Grunig Model yang sudah dioperasionalisasikan pada

kerangka pemikiran di atas. Proposisi – proposisi tersebut akan membantu peneliti

dalam memprioritaskan data yang dianalisis untuk dikategorikan dalam dimensi –

dimensi penerapan humas, digolongkan dalam tipologi atau model tertentu dan

dikaji latar belakangnya. Meskipun demikian, dalam proses analisis penelitian ini

juga tetap terbuka terhadap perspektif teoritis yang lain jika fakta di lapangan

ternyata berbeda sama sekali dengan proposisi-proposisi The Hunt Grunig Model.

Secara khusus, teknik yang digunakan adalah pattern matching di mana

peneliti memasukkan data yang terkumpul dalam kategori-kategori tertentu sesuai

dengan kemiripan pola – pola data tersebut dengan teori yang dirujuk untuk

kemudian diinterpretasi dan diambil kesimpulannya. Secara detail, tahap – tahap

pengolahan analisis data tersebut terdiri atas:

a. Editing: pada tahap editing, data yang telah terkumpul ditranskrip dan dibaca

kembali dengan memperhatikan kelengkapan dan kesempurnaan data,

kejelasan tulisan, pemahaman catatan, konsistensi data, keseragaman satuan

yang digunakan dalam data dan kesesuaian jawaban.

b. Koding: pemberian kode pada data untuk memudahkan analisis. Dalam hal

ini, data yang telah terkumpul diberi kode atau dimasukkan dalam kategori

tertentu. Peneliti menggunakan tiga kategori dan empat sub-kategori. Tiga

kategori tersebut adalah model penerapan humas, faktor – faktor yang

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

56

mempengaruhi penerapan humas serta karakteristik tambahan penerapan

humas PPA yang tidak termasuk dalam kategori sebelumnya. Adapun empat

sub-kategori terdiri atas empat dimensi penerapan humas yakni komunikasi

satu arah versus dua arah, efek komunikasi asimetris versus asimetris, bentuk

komunikasi interpersonal versus termediasi dan dimensi etis.

c. Tabulasi data: penyajian atau diskripsi data dalam bentuk tabel atau daftar

yang mendiskripsikan data secara kronologis berdasarkan kategori-kategori

yang telah dibuat untuk memudahkan pengamatan dan evaluasi.

d. Interpretasi data: penafsiran yang dilakukan dengan menghubungkan data

mengenai pola-pola penerapan humas yang sudah diperoleh dengan teori –

teori terkait topik penelitian yang diadaptasi.

e. Kesimpulan: pemberian konklusi atas interpretasi data sebagai hasil

penelitian.

7. Limitasi Penelitian

Agar lebih fokus dan terarah, peneliti membatasi penelitian ini pada

penerapan humas oleh Lembaga Humas dan Penerbitan (LHP) pra Muktamar

Ke-46 dan oleh sekretaris PPA paska Muktamar ke-46. Dalam hal ini,

pelaksanaan humas oleh sekretaris PPA atau paska Muktamar Ke-46 tersebut

ditandai dengan keluarnya keputusan rapat pleno yang mensub-ordinasi

tugas-tugas LHP pada sekretariat PPA pada Juli 2010 hingga peneliti turun ke

lapangan untuk melakukan penelitian. Dengan demikian, hal sejenis yang

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 45: Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75373/potongan/S2-2014-310792-chapter1.pdf · 84 -//.9 Studi Kasus Penerapan Model Humas

57

mungkin dilakukan selain oleh ‘Aisyiyah tingkat pusat, seperti Pimpinan Wilayah,

Daerah, Cabang maupun Ranting ‘Aisyiyah lewat beragam bagian strukturnya,

tidak termasuk dalam lingkup yang akan dijangkau oleh penelitian ini. Selain itu,

penelitian ini juga tidak menjangkau pelaksanaan humas yang bisa jadi juga

dilakukan oleh bagian lain dalam struktur PPA di luar LHP dan sekretaris.

Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/