student-centered learning di perguruan tinggi

5
Vol. 3 | No. 1 | Maret 2008 | Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia 4 Abstract ARTIKEL ARTIKEL ARTIKEL ARTIKEL ARTIKEL Pendahuluan Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi Harsono Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta We assume that students in higher education institutions are adult people who should be encouraged and motivated as adult learners. Moreover, students are diverse; they bring multiple perspectives to the classroom (diverse backgrounds, learning styles, experiences, and aspirations). Hence, as teachers, we can no longer assume a one-size- fits-all approach. The adult psychological condition will foster the student-centered learning (SCL) process. The SCL is built on the principles of learning which consist of active and constructive process as well as social activity, require mental reflection, use prior knowledge, take time, depend on rich context, and need motivation. The process of learning is a cycle of reflection (thinking about what happened), idea (of something to try), action (trying out something), and result (of concrete experience). Keywords: student-centered learning, multiple perspectives, constructive process, social activity, collaborative learning Correspondence: [email protected] 0811283216 Ilmu pengetahuan dan teknologi (termasuk teknologi informasi) telah dan terus berkembang dengan pesatnya. Namun demikian masih terdapat kelambanan dalam penyesuaian terhadap perkembang- an tadi, yaitu perubahan proses pembelajaran. Metode pembelajaran I lecture, you listen masih mewarnai pendidikan di Perguruan Tinggi. Dosen merupakan tokoh sentral, dan lebih-kurang 80% waktunya digunakan untuk memindahkan (transfer) ilmunya secara konvensional (one-way traffic), sementara itu para mahasiswa duduk mendengarkan ceramahnya dengan aktivitas minimal tanpa mengaktifkan prior knowledge yang relevan dengan pokok bahasan. 1 Di dalam one-way traffic method para mahasiswa menunjukkan sikap apatis dan tidak tertarik terhadap proses pembelajaran. Lebih dari itu, kemampuan konseptualisasi sebagian besar mahasiswa bersifat terbatas karena mereka belajar dalam struktur dan pengarahan yang kaku. Mereka tidak dapat think outside the box. 2 One-way traffic method terjadi di dalam paradigma teacher-centered learning (TCL). Di dalam paradigma ini para mahasiswa cenderung menjadi receiver, kurang berperan sebagai transformer dan/atau explorer. Di samping itu, para mahasiswa masuk ke dalam situasi rote learning, bukan meaningful learning. Situasi demikian ini diperkuat oleh materi kuliah yang bersifat konseptual. Pada hakekatnya para mahasiswa adalah sekelompok manusia yang beranjak dewasa dengan berbagai macam perubahan fisik, sosial dan psikologik. Mereka bukan lagi anak-anak yang menunggu untuk disuapi oleh orang tuanya. Mereka sudah mulai kritis, tahu apa yang dibutuhkan (bukan sekedar diinginkan) dan dipilihnya, serta makin paham tentang bagaimana menentukan skala prioritas. Dalam konteks TCL, spoon- feeding untuk para mahasiswa tidak lagi sesuai karena membuat proses pembelajaran lamban dan mahasiswa tidak memiliki peluang untuk memilih menu yang sesuai. Kelambanan proses pembelajaran yang terjadi di dalam paradigma TCL akan menyebab-kan peserta didik selalu tertinggal di belakang, tidak dapat segera menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Untuk mengatasi kelambanan dan ketertinggalan tadi maka proses pembelajaran perlu diubah, dari one-way traffic menjadi two-way traffic dan interaktif. Dengan pembelajaran interaktif para mahasiswa diajak bersama- sama secara aktif untuk mencari, menemukan, meng- olah, membangun dan memaknai ilmu pengetahuan

Upload: vanhanh

Post on 31-Dec-2016

214 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

Vol. 3 | No. 1 | Maret 2008 | Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia4

Harsono, Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

Abstract

ARTIKELARTIKELARTIKELARTIKELARTIKEL

Pendahuluan

Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

HarsonoFakultas Kedokteran Universitas Gadjah MadaYogyakarta

We assume that students in higher education institutions are adult people who shouldbe encouraged and motivated as adult learners. Moreover, students are diverse; theybring multiple perspectives to the classroom (diverse backgrounds, learning styles,experiences, and aspirations). Hence, as teachers, we can no longer assume a “one-size-fits-all approach”. The adult psychological condition will foster the student-centeredlearning (SCL) process.The SCL is built on the principles of learning which consist of active and constructiveprocess as well as social activity, require mental reflection, use prior knowledge, taketime, depend on rich context, and need motivation. The process of learning is a cycleof reflection (thinking about what happened), idea (of something to try), action(trying out something), and result (of concrete experience).

Keywords:student-centered learning,multiple perspectives,constructive process, socialactivity, collaborative learning

Correspondence:[email protected]

Ilmu pengetahuan dan teknologi (termasukteknologi informasi) telah dan terus berkembangdengan pesatnya. Namun demikian masih terdapatkelambanan dalam penyesuaian terhadap perkembang-an tadi, yaitu perubahan proses pembelajaran. Metodepembelajaran “I lecture, you listen” masih mewarnaipendidikan di Perguruan Tinggi. Dosen merupakantokoh sentral, dan lebih-kurang 80% waktunyadigunakan untuk memindahkan (transfer) ilmunya secarakonvensional (one-way traffic), sementara itu paramahasiswa duduk mendengarkan ceramahnya denganaktivitas minimal tanpa mengaktifkan prior knowledgeyang relevan dengan pokok bahasan.1 Di dalam one-waytraffic method para mahasiswa menunjukkan sikap apatisdan tidak tertarik terhadap proses pembelajaran. Lebihdari itu, kemampuan konseptualisasi sebagian besarmahasiswa bersifat terbatas karena mereka belajar dalamstruktur dan pengarahan yang kaku. Mereka tidak dapatthink outside the box.2

One-way traffic method terjadi di dalam paradigmateacher-centered learning (TCL). Di dalam paradigma inipara mahasiswa cenderung menjadi receiver, kurangberperan sebagai transformer dan/atau explorer. Disamping itu, para mahasiswa masuk ke dalam situasi

rote learning, bukan meaningful learning. Situasi demikianini diperkuat oleh materi kuliah yang bersifatkonseptual.

Pada hakekatnya para mahasiswa adalahsekelompok manusia yang beranjak dewasa denganberbagai macam perubahan fisik, sosial dan psikologik.Mereka bukan lagi anak-anak yang menunggu untukdisuapi oleh orang tuanya. Mereka sudah mulai kritis,tahu apa yang dibutuhkan (bukan sekedar diinginkan)dan dipilihnya, serta makin paham tentang bagaimanamenentukan skala prioritas. Dalam konteks TCL, spoon-feeding untuk para mahasiswa tidak lagi sesuai karenamembuat proses pembelajaran lamban dan mahasiswatidak memiliki peluang untuk memilih “menu” yangsesuai. Kelambanan proses pembelajaran yang terjadidi dalam paradigma TCL akan menyebab-kan pesertadidik selalu tertinggal di belakang, tidak dapat segeramenyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Untukmengatasi kelambanan dan ketertinggalan tadi makaproses pembelajaran perlu diubah, dari one-way trafficmenjadi two-way traffic dan interaktif. Denganpembelajaran interaktif para mahasiswa diajak bersama-sama secara aktif untuk mencari, menemukan, meng-olah, membangun dan memaknai ilmu pengetahuan

Page 2: Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

Vol. 3 | No.1 |Maret 2008 | Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia 5

Harsono, Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

yang diminatinya. Pembelajaran interaktif merupakansalah satu karakteristik student-centered learning (SCL).

Student-Centered LearningIde dasar dari student-centeredness adalah “student

might not only choose what to study, but how and why thattopic might be an interesting one to study”.3 SCL merupakanstrategi pembelajaran yang menempatkan mahasiswasebagai subyek/peserta didik yang aktif dan mandiri,dengan kondisi psikologik sebagai adult learner, ber-tanggung jawab sepenuhnya atas pembelajarannya, sertamampu belajar beyond the classroom. Dengan prinsip-prinsip ini maka para mahasiswa diharapkan memilikidan menghayati jiwa life-long learner serta menguasai hardskills dan soft skills yang saling mendukung. Di sisi lain,para dosen beralih fungsi menjadi fasilitator, termasuksebagai mitra pembelajaran, tidak lagi sebagai sumberpengetahuan utama.2,4

Secara operasional, di dalam SCL para mahasiswamemiliki keleluasaan untuk mengembangkan segenappotensinya (cipta, karsa dan rasa), mengeksplorasibidang/ilmu yang diminatinya, membangun penge-tahuan serta kemudian mencapai kompetensinyamelalui proses pembelajaran aktif, interaktif, kolabo-ratif, kooperatif, kontekstual dan mandiri. Keleluasaanpara mahasiswa ini difasilitasi oleh dosen yang menerap-kan “Patrap Tri Loka” secara utuh (sebagaimana telahdiketahui oleh para pendidik di Indonesia, yaitu “ingngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuriandayani”). 5

Sebenarnyalah bahwa Undang-Undang RepublikIndonesia nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen-didikan Nasional mengisyaratkan adanya karakteristikSCL dan “Patrap Tri Loka”. Di dalam Bab III pasal 4ayat (3) terdapat ketentuan tentang penyelenggaraanpendidikan, sebagai berikut: “Pendidikan diselenggara-kan sebagai suatu proses pembudayaan dan pem-berdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjanghayat”. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (4) terdapatketentuan sebagai berikut: “Pendidikan diselenggarakandengan memberi keteladanan, membangun kemauan,dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalamproses pembelajaran”.6

Pembelajaran AktifSecara operasional, pembelajaran aktif (active learn-

ing) dapat didefinisikan sebagai berikut: “Suatu aktivitasinstruksional yang melibatkan para mahasiswa di dalam

mengerjakan berbagai hal dan berpikir tentang apa yangsedang mereka kerjakan”. Pembelajaran aktif berlangsungketika para mahasiswa diberi kesempatan untuk lebihberinteraksi dengan teman sesama mahasiswa maupundengan dosen perihal pokok bahasan yang sedangdihadapinya, mengembangkan pengetahuan dan bukansekedar menerima informasi dari dosen. Di dalamsuasana pembelajaran aktif maka dosen bertindaksebagai faslitator, bukan mendikte para mahasiswa. Padahakekatnya pembelajaran aktif (mentally not physically)memerlukan upaya intelektual, analisis, sintesis danevaluasi, serta meningkatkan kemampuan mahasiswadalam hal asimilasi dan aplikasi pengetahuan. Sasaranpembelajaran aktif adalah pengembangan keterampilanberpikir, bukan pemindahan informasi.2,7

Pembelajaran InteraktifInteraksi dapat terjadi dalam berbagai bentuk yang

berbeda, antara lain antara mahasiswa dengan materipembelajaran, antara mahasiswa dengan aktivitaspembelajaran, antara mahasiswa dengan dosen/fasilitator, dan antar mahasiswa. Di dalam pembelajaraninteraktif maka setiap mahasiswa harus mengerjakansesuatu, sesuai dengan pengetahuan atau materi yangsedang dipelajarinya. Interaksi dengan content berartiterjadi proses aktif dan mengkombinasikan content tadidengan pengetahuan dan pengalaman yang telahdimilikinya (prior knowledge/experience).8

Memperhatikan pemahaman dasar tentanginteraksi maka pembelajaran merupakan suatu aktivitassosial. Hal ini mengembangkan pengertian bahwa pem-belajaran bukan sekedar interaksi tatap muka. Interaksisosial terjadi di antara kelompok orang denganmenggunakan berbagai media atau alat, misalnyatelepon, faksimili, surat elektronik, surat pos dan me-dia lainnya yang menggunakan teknologi canggih.Interaksi sosial dapat bersifat bebas dari batas waktudan tempat.8

Pembelajaran MandiriPembelajaran mandiri (self-directed learning) adalah

suatu pendekatan pembelajaran yang berpusat padamahasiswa (student-centred approach) di mana proses danpengalaman belajar diatur dan dikontrol oleh maha-siswa sendiri. Para mahasiswa memutuskan sendiritentang “bagaimana, di mana, dan kapan belajar tentangsuatu hal yang mereka anggap merupakan hal yangpenting”.4,9 Di dalam pembelajaran mandiri para

Page 3: Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

Vol. 3 | No. 1 | Maret 2008 | Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia6

Harsono, Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

mahasiswa berlatih untuk mengidentifikasi berbagaimasalah yang perlu dipelajari lebih jauh (investigation),tahu di mana harus mencari sumber-sumber belajaryang berkaitan dengan masalah tadi, mampu menentu-kan prioritas dan merancang penelusuran sumberbelajar, mampu mempelajari materi yang ada di dalamsumber belajar tadi, dan kemudian menghubungkaninformasi yang telah terkumpul dengan pokok bahasanyang sedang dipelajarinya.10

Ditinjau dari aspek operasional pembelajaranmandiri diartikan sebagai kemampuan seseorang dalamhal metode dan disiplin, logika dan analitika,kolaboratif dan interdependen, sifat ingin tahu danterbuka, kreatif, termotivasi, persisten dan bertanggungjawab, percaya diri dan mampu untuk belajar, sertareflektif dan sadar diri. Untuk dapat memiliki sifat-sifat yang kompleks tadi, mahasiswa harus memperolehkesempatan guna mengembangkan dan mempraktikkanketerampilan dan kecakapannya yang mengarah padapeningkatan pembelajaran mandiri. Keterampilan dankecakapan tadi meliputi kemampuan mengajukanpertanyaan, mampu untuk menilai secara kritis setiapinformasi baru, mengidentifikasi kesenjanganpengetahuan dan keterampilan diri sendiri, dankemampuan untuk merefleksikan secara kritis prosespembelajaran dan outcome yang diperoleh.2,4

Kemandirian (self-direction) merupakan konseporganisasi untuk pendidikan tinggi; dengan demikiankemandirian berkaitan erat dengan politik pendidikan.Pembelajaran mandiri memiliki komitmen demokratisterhadap perubahan posisi dan peran para mahasiswadi mana mereka memegang kontrol yang lebih besarterhadap dirinya sendiri dalam hal konseptualisasi,perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi belajar sertapenetapan cara-cara pemanfaatan sumber belajar gunaproses belajar lebih lanjut. Di samping itu, kemandirianselaras dengan perkembangan fisik, psikologik dan sosialmahasiswa yang masuk ke dalam alam dewasa. Secararingkas dapat dikatakan bahwa kemandirian selarasdengan konsep adult-learner. 11

Karakteristik adult-learner meliputi self-directed, lifeexperience & knowledge, good oriented, relevance oriented,praktis dan mampu menghargai pendapat orang lain.Self-directed berarti memiliki kemampuan untukmengatur dan mengelola kegiatannya, baik yangberkaitan dengan kegiatan akademik maupun non-akademik. Life experience & knowledge berarti memilikipengalaman pada jenjang sebelumnya, serta memiliki

pengetahuan yang memadai untuk mencari tambahanpengetahuan baru sesuai dengan minatnya. Good ori-ented berarti memiliki kegiatan yang terarah pada tujuansehingga perilakunya menjadi terarah pada tujuan yanghendak dicapai. Relevance oriented berarti dalam prosespembelajaran mahasiswa berorientasi pada relevansiantara materi yang dipelajari dengan minat studinya.Praktis berarti apa yang dipelajarinya dapat diaplikasikandalam menunjang karirnya di masa yang akandatang.8,12

Pembelajaran KolaboratifPembelajaran kolaboratif (collaborative learning) pada

hakekatnya merupakan pengalaman filosofis pribadi.Di dalam kelompok diskusi, tiap-tiap individu berperanaktif, saling memberi kontribusi, saling menerimapendapat kawan dengan prasangka baik, salingmenghargai kemampuan orang lain. Pembelajarankolaboratif lebih menekankan saling berbagipengalaman dan pendapat, dan bukan merupakankompetisi di antara pembelajar.2,13

Secara teknis, pembelajaran kolaboratif merupa-kan metode instruksional yang membuat mahasiswadari berbagai macam latar belakang bekerjasama dalamkelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaransecara umum. Para mahasiswa, berdasarkan padakonsensus yang dibangun sendiri oleh anggotakelompok, secara bersama-sama bertanggung jawabsepenuhnya atas proses pembelajaran yang merekalaksanakan. Dengan demikian keberhasilan seorangmahasiswa akan membantu keberhasilan kawannya.1,2

Di dalam pembelajaran tradisional ada kepercayaanbahwa apabila mutu ditingkatkan maka biaya atauongkos dengan sendirinya akan naik pula. Hal demikianini tidak perlu terjadi di dalam pembelajarankolaboratif; dengan menggunakan kolaborasi makamutu pembelajaran akan ditingkatkan tanpa harusmenaikkan ongkos produksi, atau malahan ongkosproduksi secara simultan akan turun. Kunci pem-belajaran bermutu adalah memaksimalkan partisipasimahasiswa di dalam proses interaksi (interactive learn-ing). Di dalam proses ini para mahasiswa secara bersama-sama akan berpikir, bertukar pikiran atau beradupendapat.14

Pembelajaran KooperatifPembelajaran kooperatif (cooperative learning)

merupakan kelanjutan dari pembelajaran kolaboratif.

Page 4: Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

Vol. 3 | No.1 |Maret 2008 | Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia 7

Harsono, Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

Di dalam pembelajaran kooperatif kelompok mahasiswaakan memperoleh pengetahuan baru yang bermaknadengan mutu yang lebih baik, bersifat kontekstual danrelevan bila dibandingkan dengan pembelajaran indi-vidual atau independen. Sementara itu pada saat yangsama, setiap anggota kelompok di dalam pembelajarankooperatif menunjukkan sikap positif, teguh padapendiriannya tetapi tetap dalam kerangka kerjasama dansaling menghargai.15

Pembelajaran KontekstualPembelajaran secara kontekstual merupakan salah

satu karakteristik SCL. Hal-hal penting yang perludipahami sehubungan dengan pembelajarankontekstual adalah sebagai berikut:16

a. Pembelajaran secara kontekstual ialah kaidahpembelajaran yang menggabungkan isi kandung-an (content) dengan pengalaman harian individu,masyarakat dan lingkungan/alam pekerjaan.Kaidah ini menyediakan pembelajaran secarakonkret yang melibatkan aktivitas hands-on danminds-on. Mengikuti teori pembelajaran konteks-tual, maka pembelajaran hanya akan terjadiapabila mahasiswa dapat memroses pengetahuanbaru dengan cara yang bermakna. Teori ini men-dorong pendidik untuk memilih atau mewujud-kan atmosfer pembelajaran yang mencakupberbagai pengalaman dalam konteks sosial,budaya, fisik atau psikologi untuk mem-perolehhasil pembelajaran yang diinginkan.

b. Pembelajaran secara kontekstual dapat membinarasa percaya diri karena dapat memahamihubungan antara teori dan praktik. Pembelajaransecara kontekstual juga membina pendekatankerja kelompok untuk menyelesaikan suatumasalah. Sementara itu, institusi pendidikandapat memainkan peranan sebagai penghubungantara akademik dan lingkungan/ alam pekerja-an, dengan demikian institusi pendidikan mem-peroleh dukungan dari industri. Pendekatankontekstual dapat membina tenaga kerja mahirdi masa depan; hal demikian ini akan menguat-kan posisi negara di peringkat dunia.

c. Dalam pendekatan kontekstual, pembelajaranperlu melalui proses motivasi, pemahaman,aplikasi serta penilaian dan feedback. Kecakapanpraktik/melakukan sesuatu (hands-on) dan berpikir(minds-on) merupakan asas pendekatan kontekstual.Paduan keduanya akan mendorong naluri ingin

tahu para mahasiswa dan menjadikan pem-belajaran suatu aktivitas bermakna.

d. Penilaian (ujian) di dalam pembelajaran secarakontekstual tidak harus dilakukan secara tertulis.Pendidik boleh menggunakan penilaian secara lisandan observasi. Contoh aktivitas adalah quiz didalam kelompok, diskusi kelompok danpenyediaan portofolio. Perubahan sikap danperilaku yang dapat diobservasi juga bolehdigunakan sebagai petunjuk bahwa mahasiswatelah menghayati isi pelajaran.

Penilaian Hasil Belajar MahasiswaDi dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional

nomor 232/U/2000 tentang Pedoman PenyusunanKurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian HasilBelajar Mahasiswa pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa“Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar mahasiswadilakukan penilaian secara berkala yang dapat berbentukujian, pelaksanaan tugas, dan pengamatan dosen”, pasal12 ayat (2) menyebutkan bahwa “Ujian dapatdiselenggarakan melalui ujian tengah semester, ujianakhir semester, ujian akhir program studi, ujian skripsi,ujian tesis, dan ujian disertasi”, dan dalam pasal 12ayat (3) disebutkan “Penilaian hasil belajar dinyatakandengan huruf A, B, C, D dan E yang masing-masingbernilai 4, 3, 2, 1, dan 0”. Kemudian di dalam pasal16 ayat (1) disebutkan bahwa “Penilaian terhadap hasilbelajar mahasiswa dilakukan secara menyeluruh danberkesinambungan dengan cara yang sesuai dengankarakteristik pendidikan yang bersangkutan”, dan dalampasal 16 ayat (2) disebutkan bahwa “Untuk mendorongpencapaian prestasi akademik yang lebih tinggi dapatdikembangkan sistem penghargaan pada mahasiswa danlulusan yang memperoleh prestasi tinggi”.17

Di dalam konteks SCL format terbaik untukmenilai hasil belajar mahasiswa adalah yang terkaitdengan metodologi dan tujuan pembelajaran, terutamauntuk kepentingan umpan balik kepada mahasiswa.Di dalam SCL penilaian hasil belajar mahasiswadirancang dalam blueprint of assessment, denganpenekanan pada knowledge, attitudes dan skills sebagai satukesatuan yang utuh, yang meliputi tanggung jawabmahasiswa dalam pembelajaran, kegiatan mahasiswayang bersifat independen dan pembelajaran kooperatif,pemecahan masalah, pemahaman materi pembelajarandan lingkungan, serta berpikir kritis. Di samping itu,penilaian hasil belajar di dalam SCL meliputi formativeassessment (untuk memberi umpan balik kepada

Page 5: Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

Vol. 3 | No. 1 | Maret 2008 | Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia8

Harsono, Student-Centered Learning di Perguruan Tinggi

mahasiswa tentang pembelajarannya) dan summativeassessment dengan menggunakan criterion-referenced assess-ment. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa baikdosen maupun mahasiswa dapat mengetahui secaramudah tentang di mana letak keberhasilan danketidakberhasilannya. Hasil penilaian tadi dapatdigunakan untuk memperbaiki proses pembelajaranyang akan datang.18

RingkasanMetode pendidikan di Perguruan Tinggi perlu

diselaraskan dengan perkembangan serta kemajuanilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam halpenyelarasan ini maka SCL merupakan suatukeniscayaan bagi Pergurun Tinggi. Di dalam SCLterdapat karakteristik sebagai berikut: (a) pembelajardewasa yang aktif (mentally not physically), interaktif,mandiri, bertanggung jawab atas pembelajarannya,mampu belajar beyond the classroom, dan memiliki jiwapembelajar sepanjang hayat, (b) adanya keleluasaan bagipara mahasiswa untuk mengembangkan segenappotensinya, mengeksplorasi dan mentransformasi ilmupengetahuan, (c) pembelajaran yang bersifat kolaboratif,kooperatif dan kontekstual, (d) alih fungsi dosen darisumber utama ilmu pengetahuan menjadi fasilitatoryang menerapkan “Patrap Tri Loka” secara utuh.

Pembelajaran kontekstual memerlukan rencanapembelajaran (course design) berbasis konteks yang sesuaidengan bidang ilmu yang disajikan oleh setiap programstudi. Di dalam pembelajaran kontekstual para maha-siswa berlatih tentang kecakapan melakukan sesuatu(hands-on) dan memikirkan sesuatu (minds-on) secaraterpadu.

Penilaian hasil belajar mahasiswa didasarkan atasdata yang diperoleh melalui berbagai aktivitas penilaian.Instrumen dasar yang digunakan untuk merekamberbagai aktivitas penilaian disebut blueprint of assess-ment. Instrumen ini sebagai bagian tak terpisahkan darirencana pembelajaran merupakan alat ukur pencapaiankompetensi.

Daftar Pustaka1. Harsono. Kearifan dalam transformasi pembelajaran:

dari teacher-centered ke student-centered learning. JurnalPendidikan Kedokteran 2006; 1(1):5-10.

2. Harsono, Dwiyanto D. Pembelajaran berpusat mahasiswa.Yogyakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan UniversitasGadjah Mada, Aditya Media, 2005

3. O’Neill G, McMahon T. Student-centered learning: whatdoes it mean for students and lecturers? In O’Neill G.,Moore S., McMullin B, editors. Emerging issues in thepractice of university learning and teaching. Dublin:AISHE, 2005; 27-36.

4. Candy PC. Self-direction for life-long learning: acomprehensive guide to theory and practice. SanFransisco: Jossey-Bass, 1991.

5. Harsono. Hakekat student-centered learning. Yogyakarta:Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas GadjahMada, 2006.

6. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003nomor 78 dan tambahan Lembaran Negara nomor4301. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Jakarta,2003.

7. Holzer SM. From construction to active learning. 2005(cited 2005 November 5). Available from: URL:http://www.succeed.uf l.edu/innovators/innovator-2/innovator002.html.

8. Kumara A, Harsono. Interaksi kelas. Yogyakarta: PusatPengembangan Pendidikan Universitas Gadjah MadaAditya Media, 2005.

9. Hammond M, Collins R. Self-directed learning: criticalpractice. New Jersey: Nichols-GP Printing, 1991.

10. Barrows HS, Tamblyn RM. Problem-based learning. Anapproach to medical education. New York: Springer, 1980.

11. Brookfield S, Self-directed learning, political clarity andthe critical practice of adult education. Adult Educ Quart2002; 43(4):225-30.

12. Knowles MS, Erickson M. Self-directed learning: A guidefor learners and teachers. New York: Cambridge BookCompany, 1990.

13. Rau W, Heyl BS. Humanizing the college classroom:collaborative learning and social organization amongstudents. Teaching Technology 1990; 18:141-155.

14. Gokhale AA. Collaborative learning enhances criticalthinking. J Teach Educ 1995; 7(1):1045-64.

15. Felder RM, Brent R. Effective strategies for cooperativelearning. J Coop Collab Teaching 2001;10(2):69-75.

16. Maimunah bt Syed Zin S, Abdul Hamid R, Alhabshi SFet al. Pembelajaran secara kontekstual. PusatPengembangan Kurikulum Kementerian PendidikanMalaysia, 2005.

17. Menteri Pendidikan Nasional R.I. Keputusan MenteriPendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan KurikulumPendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.Jakarta, 20 Desember 2000.

18. Ingleton C, Kiley M, Cannon R, Rogers T. Leap into student-centered learning. Adelaide: Centre for Learning andProfessional Development The University of Adelaide,2001.