strategi pemasaran sekolah dalam peningkatan minat peserta

231
Kelola Jurnal Manajemen Pendidikan Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018 Halaman: 1-14 1 Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik Berdasarkan Delta Model Ririn Tius Eka Margareta Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] Bambang Ismanto Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] Bambang Suteng Sulasmono Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] ABSTRACT The purpose of this study is to develop a school marketing strategy in increasing customer interest. This research is limited to the stage of product manufacturing. Data were collected using documentation study, observation, and in-depth interviews. Data is validated by source and techniques triangulation. Data analysis techniques using Miles and Huberman Model (interactive model): data reduction, presentation data, and conclusion/verification. The result of this research: 1) the implemented strategy is to use a promotional strategy by spreading brochures and/or presentations to predetermined schools and churches, word of mouth organizing month language events every year, and activities/program held/followed by school, 2) obstacles and lack of marketing strategy implemented by this school in increasing the interest of learners that time management is not right, committee less active, foundation not yet involved, dissemination of brochure less effective, marketing is less extensive, does not yet have a document of school marketing strategy, and has not been able to ensure and communicate that the services offered are relevant to the needs of the community, and 3) The resulting product is a school marketing strategy based on the Delta Model in the interest of learners: a) Best Product Strategy: conducting holistic education through various school activities/programs that are unique and relevant to customer needs, and apply multi payment system to simplify customer conduct financial transactions; b) Total Customer Solutions Strategy: maximize resources owned by the company and facilitate the human resources who participate in the competitions/activities to meet their needs, and give appreciation of the effort/achievement of human resources; and c) System Lock-In Strategy: enforcing contract system with certain experts/clients within a certain period of time to lock customer, implement career path system for teachers and school staff, and have special cooperation and instructions which applies to alumni, high school favorites, certain universities, and other educational institutions. Keywords: Delta Model, School Marketing Strategy, Student Interest Article Info Received date: 5 Juni 2018 Revised date: 13 Juni 2018 Accepted date: 21 Juni 2018

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 1-14

1

Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik

Berdasarkan Delta Model

Ririn Tius Eka Margareta

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Ismanto

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Suteng Sulasmono

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to develop a school marketing strategy in increasing

customer interest. This research is limited to the stage of product manufacturing. Data were

collected using documentation study, observation, and in-depth interviews. Data is validated

by source and techniques triangulation. Data analysis techniques using Miles and Huberman

Model (interactive model): data reduction, presentation data, and conclusion/verification.

The result of this research: 1) the implemented strategy is to use a promotional strategy by

spreading brochures and/or presentations to predetermined schools and churches, word of

mouth organizing month language events every year, and activities/program held/followed

by school, 2) obstacles and lack of marketing strategy implemented by this school in

increasing the interest of learners that time management is not right, committee less active,

foundation not yet involved, dissemination of brochure less effective, marketing is less

extensive, does not yet have a document of school marketing strategy, and has not been able

to ensure and communicate that the services offered are relevant to the needs of the

community, and 3) The resulting product is a school marketing strategy based on the Delta

Model in the interest of learners: a) Best Product Strategy: conducting holistic education

through various school activities/programs that are unique and relevant to customer needs,

and apply multi payment system to simplify customer conduct financial transactions; b) Total

Customer Solutions Strategy: maximize resources owned by the company and facilitate the

human resources who participate in the competitions/activities to meet their needs, and give

appreciation of the effort/achievement of human resources; and c) System Lock-In Strategy:

enforcing contract system with certain experts/clients within a certain period of time to lock

customer, implement career path system for teachers and school staff, and have special

cooperation and instructions which applies to alumni, high school favorites, certain

universities, and other educational institutions.

Keywords: Delta Model, School Marketing Strategy, Student Interest

Article Info

Received date: 5 Juni 2018 Revised date: 13 Juni 2018 Accepted date: 21 Juni 2018

Page 2: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

2

PENDAHULUAN

Sekolah merupakan salah satu lembaga

yang didirikan untuk mencapai tujuan

pendidikan nasional. Guna mencapai tujuan

tersebut, setiap sekolah menetapkan visi dan

misi. Visi merupakan tujuan yang harus

dicapai oleh sekolah dalam kurun waktu yang

panjang (5-10 tahun) (Muhaimin, Suti’ah, &

Prabowo, 2015). Misi adalah cara bagaimana

mencapai visi (Kautsar, 2015). Sekolah perlu

menetapkan hal-hal yang harus dilakukan

(misi) untuk mencapai visi. Salah satu hal yang

dapat dilakukan untuk mencapai visi dan misi

yaitu melibatkan berbagai pihak terkait dalam

mengelola dan mengembangkan strategi yang

tepat.

Salah satu strategi yang dapat

digunakan oleh sekolah dalam mengenalkan

visi dan misi yaitu strategi pemasaran. Strategi

pemasaran dapat menjadi sebuah terobosan

baru bagi sekolah untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan. Sekolah sebagai lembaga non-

profit sekaligus segmen kelembagaan yang

penting, tujuannya bukanlah penciptaan

kekayaan ekonomi melainkan usaha untuk

melakukan aktivitas yang secara positif akan

mempengaruhi masyarakat pada umumnya

(Hax, 2010). Sekolah perlu memperhatikan

hal-hal yang telah, sedang, dan belum

dilakukan untuk meningkatkan layanan bagi

pelanggan jasa pendidikan. Melalui strategi

pemasaran yang tepat, sekolah dapat

meningkatkan minat pelanggan (termasuk

minat peserta didik). Sekolah yang diminati

pelanggan dan memiliki SDM yang bermutu

akan tetap eksis dan mampu meningkatkan

kualitas pendidikan.

Strategi pemasaran merupakan suatu

rencana kegiatan atau usaha menyampaikan

barang atau jasa dari produsen kepada

konsumen (termasuk pelanggan), dan usaha

menciptakan pertukaran yang memuaskan

melalui kegiatan pendistribusian, sekaligus

sebagai upaya penyesuaian dengan kondisi

lingkungan eksternal (Wijaya, 2012;

Fransiska, tt). Pada penelitian ini, sekolah

sebagai produsen perlu memahami keadaan

dan kebutuhan (calon) pelanggan sehingga

dapat menyediakan jasa yang relevan dengan

kebutuhan pelanggan. Selain kondisi eksternal,

sekolah juga perlu mempertimbangkan kondisi

lingkungan internalnya. Dengan kata lain,

keberhasilan strategi pemasaran sekolah

tergantung pada kondisi lingkungan dan upaya

pemenuhan kebutuhan pihak terkait baik

secara internal maupun eksternal.

Berdasarkan penelitian yang sudah ada,

banyak sekolah telah mengembangkan, meng-

implementasikan, dan/atau mengevaluasi ber-

bagai strategi pemasaran sekolah. Salah satu

hasil penelitian yaitu penelitian Sumarni

(2011) menyatakan bahwa strategi pemasaran

SMP Kristen Satya Wacana Salatiga

berdasarkan analisis SWOT): 1) kekuatan yang

dimiliki yaitu minat, motivasi belajar yang

tinggi, kualifikasi pendidikan guru yang tinggi,

rombongan belajar kecil, prosentase lulusan

tinggi dan nilai rata-rata UAN tinggi; 2)

kelemahannya yaitu kemampuan siswa

beragam, supervisi kurang dan belum ada

jaringan alumni; 3) peluangnya yaitu motivasi

siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan

tinggi, peluang guru untuk melanjutkan

pendidikan dan hasil evalusi dapat digunakan

untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang

lebih tinggi; dan 4) ancamannya yaitu image

sekolah mahal dan eksklusif, tingginya

persaingan sekolah, dan orang tua melihat

keberhasilan anak dari hasil, bukan proses.

Strategi yang diimplementasikan oleh SMP

Kristen Satya Wacana Salatiga berdasarkan

analisis SWOT adalah strategi SO. Dengan

strategi ini, SMP Kristen Satya Wacana

Salatiga telah menggunakan kekuatannya

untuk memanfaatkan peluang yang ada.

Pengembangan strategi pemasaran juga

harus mempertimbangkan berbagai aspek

termasuk peraturan atau kebijakan yang

berlaku. Permendikbud Nomor 14 Tahun

2018: Pasal 3 Ayat (1) menyatakan bahwa

Page 3: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.

3

pelaksanaan PPDB bagi sekolah yang

diselenggarakan pemerintah daerah dimulai

pada bulan Mei setiap tahun, Pasal 16 Ayat (1)

menyatakan sekolah yang diselenggarakan

pemerintah daerah wajib menerima calon

peserta didik yang berdomisili pada radius

zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90%

dari total keseluruhan peserta didik yang

diterima, Pasal 16 Ayat (2) menyatakan

domisili calon peserta didik berdasarkan

alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan

paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan

PPDB, dan Pasal 16 Ayat (6a) menyatakan

sekolah yang diselenggarakan pemerintah

daerah dapat menerima calon peserta didik

melalui jalur prestasi yang berdomisili diluar

radius zona terdekat tetapi paling banyak 5%

dari total keseluruhan peserta didik yang

diterima. Hal ini berarti, sekolah yang tidak

diselenggarakan oleh pemerintah daerah

memiliki potensi yang sangat besar untuk

menerima calon peserta didik tanpa

mempertimbangkan asal/domisili siswa.

Berdasarkan dokumen, sekolah swasta

yang dijadikan subyek penelitian ini

mengalami penurunan jumlah peserta didik

baru khususnya empat tahun terakhir. Hal ini

tampak dari hasil PPDB pada setiap tahun

pelajaran. Beberapa tahun sebelum tahun

pelajaran 2017/2018, sekolah menyediakan 3

rombel dan terisi 3 rombel meskipun jumlah

peserta didik menurun. Pada tahun pelajaran

2017/2018 menyediakan 3 rombel tetapi hanya

terisi 2 rombel. Hal ini menginformasikan

bahwa jumlah peserta didik baru di sekolah

tersebut menurun dan belum mencapai kuota

yang disediakan. Sekolah perlu mengevaluasi

dan menindaklanjuti hal ini dan

memaksimalkan kesempatan untuk menentu-

kan segmentasi pelanggan dan mengembang-

kan strategi pemasaran yang tepat.

Berdasarkan studi pendahuluan,

sekolah ini memiliki beberapa permasalahan

lainnya: 1) strategi pemasaran yang

diimplementasikan belum mencapai tujuan, 2)

belum memiliki dokumen strategi pemasaran

secara tertulis; 3) kurang sumber dana untuk

perbaikan sarana-prasarana dan promosi; 4)

jumlah SDM terbatas dan tidak seimbang

dengan beban tugas yang diberikan; 5)

memiliki tim promosi tetapi sebagian besar

dipercayakan kepada kepala sekolah, guru, dan

staf; 6) keterbatasan biaya untuk membayar

jasa dosen/pengajar siswa yang akan

mengikuti lomba tertentu; 7) komite sekolah

kurang berperan dalam pemasaran; dan 8)

yayasan belum terlibat dan dilibatkan dalam

pemasaran sekolah. Permasalahan ini harus

segera diatasi untuk mempertahankan

keberadaan sekolah, menyampaikan tujuan

pendidikan kepada masyarakat, dan

meningkatkan minat (calon) pelanggan

pendidikan termasuk (calon) peserta didik.

Terkait dengan masalah yang dihadapi

sekolah tersebut, salah satu upaya yang dapat

dilakukan oleh pihak terkait yaitu

mengembangkan strategi pemasaran sekolah.

Strategi pemasaran sekolah yang tepat yaitu

strategi yang berpusat pada pelanggan

(termasuk peserta didik). Sekolah dapat

menggunakan Delta Model yaitu kerangka

strategi yang memposisikan pelanggan sebagai

pusat manajemen (Hax dan Dean, 2001; Hax,

2003; 2010). Model ini memberikan tiga

pilihan strategi yaitu best product, total

customer solutions, dan system lock-in. Setiap

pilihan memberikan posisi strategis untuk

merancang setiap strategi. Ditinjau dari studi

dokumen, Delta Model belum pernah

digunakan dalam menentukan strategi

pemasaran sekolah. Selain itu, sekolah ini

merupakan sekolah swasta yang memiliki

kebebasan untuk menerima calon peserta

didik. Lebih dari itu, sekolah ini perlu

mengembangkan strategi pemasaran untuk

meningkatkan minat pelanggan sekolah. Minat

pelanggan merupakan ketertarikan dan

kemauan untuk terhubung dengan sesuatu

yang berada di luar dirinya (Siagian, 2013;

Octavany, Wardani, & Prasetyo, 2018). Minat

Page 4: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

4

pelanggan sekolah dapat ditunjukkan dengan

kemauan mereka mendaftarkan diri/anaknya

sebagai calon peserta didik, merekomendasi-

kan sekolah kepada kerabat/orang lain,

melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan

sekolah termasuk dalam pemasaran sekolah,

dan/atau mengajukan diri sebagai donatur

sekolah. Oleh karena itu, peneliti akan

menggunakan Delta Model untuk membuat

produk berupa strategi pemasaran sekolah

berdasarkan Delta Model dalam peningkatan

minat peserta didik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif menggunakan metode penelitian dan

pengembangan. Langkah-langkah penelitian

dan pengembangan menggunakan model

Sugiyono namun hanya sampai langkah

ketujuh yaitu pembuatan produk. Tempat

penelitian yaitu salah satu sekolah swasta

Salatiga. Subyek penelitian ini terdiri dari

kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru,

karyawan, siswa, orang tua siswa, calon siswa

dan orang tua calon siswa. Teknik

pengumpulan data meliputi studi dokumentasi,

observasi, dan wawancara mendalam. Analisis

data menggunakan Model Miles and

Huberman: (1) Pengumpulan data, (2) Reduksi

Data, (3) Display Data, (4) Verifikasi/

Kesimpulan. Uji validitas data yang digunakan

dalam penelitian ini menggunakan uji ahli dan

praktisi serta teknik triangulasi sumber dan

teknik.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

1. Strategi Pemasaran Sekolah dalam

Peningkatan Minat Peserta Didik

Berdasarkan hasil wawancara, tujuan

strategi pemasaran yaitu mendapatkan siswa

baru sesuai dengan kuota yang disediakan oleh

sekolah dan memperkenalkan sekolah kepada

publik/masyarakat. Target utama dari

pemasaran sekolah yaitu SD seakses/seiman

khususnya SD yang berada dalam naungan

yayasan yang sama. Target lainnya yaitu

beberapa SD Negeri dan gereja. Pada

Implementasi strategi pemasaran sekolah ini

yaitu promosi. Sekolah melakukan promosi

melalui kegiatan sekolah, menyebar brosur,

presentasi ke beberapa sekolah dan gereja,

mengikut sertakan siswa dalam lomba-lomba,

memberikan pelayanan yang baik pada siswa

dan orang tua, cerita dari mulut ke mulut (word

of mouth), mengadakan bakti sosial, dan

kepala sekolah mencari siswa dengan cara

mendatangi rumah teman-temannya.

Khusus untuk SD yang berada dalam

satu yayasan, sekolah menggunakan strategi

“jemput bola” yaitu dengan cara mendatangi

sekolah tersebut. Promosi di gereja dilakukan

dengan mengambil bagian dalam pelayanan

yaitu menampilkan paduan suara dari siswa/i

dan melakukan pendataan calon siswa di

Sekolah Minggu. Promosi melalui kegiatan

sekolah khususnya dilakukan pada kegiatan

Bulan Bahasa. Promosi untuk SD Negeri

menggunakan pendekatan secara personal.

Hasil wawancara ini didukung dengan

adanya dokumen data siswa, guru, dan brosur

promosi sekolah. Berdasarkan data, jumlah

siswa pada tahun ajaran 2012/2013-2017/2018

cenderung turun dari tahun ke tahun dan

khusus pada tahun pelajaran 2017/2018 yang

juga mengalami penurunan jumlah rombel.

Jumlah guru tahun ajaran 2017/2018 yaitu 18

guru. Brosur yang digunakan merupakan

brosur yang belum diperbaharui untuk tahun

ajaran 2017/2018. Hal ini tampak antara lain

dari visi sekolah, foto pengajar dan staf

sekolah, dan foto kegiatan sekolah yang

terdapat pada brosur.

Berdasarkan hasil observasi, sekolah

menyelenggarakan Kegiataan Bulan Bahasa

dengan mengundang beberapa SD dan SMP

dari Salatiga dan luar Salatiga. Selain

menyelenggarakan lomba-lomba Bulan

Bahasa, sekolah juga membuka pendaftaran

Page 5: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.

5

peserta didik baru saat kegiatan ini

berlangsung.

2. Hambatan dan Kekurangan Strategi

Pemasaran dalam Peningkatan Pelanggan

Berdasarkan hasil wawancara

menginformasikan bahwa pelaksanaan strategi

pemasaran belum sesuai dengan yang

diharapkan. Hal ini disebabkan: manajemen

waktu belum ketat, belum ada diferensiasi,

promosi tidak dilakukan sejak semester ganjil,

penyebaran brosur kurang efektif, jangkauan

pemasaran kurang jauh, tidak presentasi ke

beberapa sekolah yang dikunjungi tahun lalu,

sumber daya manusia terbatas, keterbatasan

dana promosi, belum memiliki dokumen

strategi pemasaran, tidak mengetahui jadwal

SD sehingga timing/waktu pelaksanaan kurang

tepat (SD sudah libur/sedang try out), komite

kurang aktif, yayasan belum terlibat dalam

strategi pemasaran sekolah, dan SDM belum

mampu mengubah pandangan masyarakat

tentang SMP Negeri “gratis”.

Pada bagian ini tidak dilakukan

triangulasi teknik karena data yang terkumpul

hanya menggunakan teknik wawancara.

3. Strategi Pemasaran Sekolah

Berdasarkan Delta Model dalam

Peningkatan Minat Peserta Didik

Strategi pemasaran berdasarkan Delta

Model yang terdiri dari 3 pilihan strategi yaitu

Best Product, Total Customer Solutions, dan

System Lock-In. Setiap pilihan strategi terdiri

dari posisi strateginya masing-masing.

Kerangka kerja strategis Delta Model juga

menjadi pertimbangan pokok dalam

pembuatan strategi pemasaran sekolah

berdasarkan Delta Model.

3.1 Best Product Strategy

Berdasarkan hasil wawancara, sekolah

memiliki koordinator pengelola administrasi

kesiswaan, sarana prasarana, dan keuangan.

Untuk pembayaran, orang tua melakukan

transfer via bank. Sistem keuangan terpusat

dan dianggap konvensional sehingga perlu

dipertimbangkan oleh kedua belah pihak. Saat

ini, sekolah belum melakukan diferensiasi

tetapi memiliki rencana untuk melakukan

beberapa kegiatan/program tertentu sebagai

bentuk diferensiasi.

3.2 Total Customer Solutions Strategy

Hal ini menginformasikan bahwa

sekolah menarik, memuaskan, memper-

tahankan, dan mengembangkan pelanggan

dengan melakukan promosi sekolah dan juga

melibatkan siswa untuk memberikan

testimoni. Sekolah mempertahankan kualitas

layanan, melibatkan orang tua dalam kegiatan

sekolah, menerima masukkan orang tua,

memiliki program/kegiatan sekolah yang

diimplementasikan, memberi informasi sedini

mungkin kepada orang tua dan siswa,

menyebar angket ke orang tua, komite, dan

siswa, dan memfasilitasi kenaikan jabatan dan

keikutsertaan guru/staf dalam seminar.

Sekolah juga mengedukasi pelanggan

melalui program, kegiatan, dan pertemuan-

pertemuan yang diselenggarakan oleh sekolah

meskipun masih bersifat informatoris. Dari

segi komunikasi, sarana komunikasi yang

digunakan antara sekolah dengan orang tua

yaitu surat, telepon, tatap muka, dan grup

whatsapp. Selain sarana tersebut, komunikasi

dengan guru dan staf juga melalui pertemuan

harian dan rapat. Sekolah memiliki kerjasama

antara lain dengan sekolah-sekolah yang

berada dalam satu yayasan, universitas

tertentu, Sido Muncul, dan Sosro.

Sekolah menjalin kerjasama dengan

sekolah-sekolah yang berada dalam satu

yayasan dalam menyelenggarakan kegiatan

sekolah maupun promosi, dengan dosen suatu

universitas dalam mempersiapkan siswa

meng-ikuti lomba atau menjadi pembicara

pada seminar yang diadakan oleh sekolah, dan

dengan fakultas suatu universitas misalnya

menerima mahasiswa praktikum. Selain itu,

Pemerintah melalui dinas pendidikan juga

berperan dalam memberikan anggaran untuk

pengadaan komputer dan keperluan sarana dan

prasarana lainnya.

Page 6: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

6

3.3 System Lock-In Strategy

Hasil wawancara menginformasikan

bahwa sekolah belum memiliki sarana yang

unik untuk menjangkau pelanggan. Salah satu

alasan siswa bersekolah di sekolah ini yaitu

orang tua atau kakek mereka adalah alumni.

Sekolah sudah memiliki niat untuk membentuk

jaringan alumni tetapi belum tercapai. Sekolah

juga memiliki web tetapi belum

dimaksimalkan.

Strategi pemasaran sekolah melalui

promosi sudah melibatkan guru, staf, siswa,

orang tua, dan komite. Melalui hubungan

personal dapat tercipta word of mouth dari

pelanggan kepada pelanggan lain/ calon

pelanggan. Kontribusi intelektual dari pihak

universitas berupa mahasiswa praktik dan

dosen. Sekolah melibatkan dosen untuk

mengajar/menjadi pembicara saat seminar

orang tua dan/atau anak. Sekolah memfasilitasi

siswa yang mengikuti OSN dengan

pembelajaran yang dibimbing oleh dosen.

Sekolah biasanya mengundang dosen sebagai

pembicara dalam kegiatan sekolah atau

sebagai pengajar OSN. Sekolah mengadakan

seminar/kegiatan dan pembicara dari luar

sekolah. Sekolah juga memiliki guru ekskul

basket yang hanya melatih siswa/i sekolah

tersebut. Beberapa tahun yang lalu, komite

pernah melibatkan dosen untuk menjadi

pengurus komite.

Pembahasan

1. Strategi Pemasaran dalam Peningkatan

Minat Peserta Didik

Berdasarkan wawancara dan hasil

penelitian, tujuan strategi pemasaran sekolah

yaitu mendapatkan siswa baru sesuai dengan

kuota yang disediakan. Hal ini sejalan dengan

penelitian Abrori (2015) yaitu tujuan strategi

pemasaran yaitu meningkatkan minat peserta

didik. Tujuan ini sangat logis karena setiap

sekolah pasti menginginkan kursi-kursi yang

disediakan untuk siswa baru terisi penuh

dengan jumlah pendaftar lebih banyak dari

jumlah kursi yang tersedia bahkan meningkat

dari tahun ke tahun. Selain mendapatkan siswa

baru sesuai kuota, tujuan strategi pemasaran

sekolah yaitu memperkenalkan diri kepada

masyarakat luas. Hal ini senada dengan

pendapat Wijaya (2016), tujuan strategi

pemasaran sekolah untuk meyakinkan

masyarakat dan pelanggan pendidikan akan

keberadaan dan ketersediaan jasa yang relevan

dengan kebutuhan mereka. Pernyataan lain

yang mendukung yaitu pernyataan dari Asrori

(2016) & Putri (2016), tujuan pemasaran

pendidikan yaitu mengetahui dan memahami

kebutuhan pelanggan untuk memberikan

pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan

pelanggan. Sekolah yang mampu

menyediakan layanan jasa sesuai dengan

kebutuhan pelanggan akan menjadi pilihan

utama calon pelanggan dan lebih mudah

mempertahankan pelanggan yang sudah ada.

Namun pada kenyataannya, tujuan strategi

pemasaran sekolah ini belum tercapai. Sekolah

perlu memahami dan mempelajari cara-cara

yang diperlukan untuk menarik minat

masyarakat dalam pengambilan keputusan

pembelian jasa pendidikan (Zulhelmi, 2017:

230). Hal ini juga berarti bahwa sekolah perlu

menganalisis apa saja yang telah, sedang, dan

akan dilakukan untuk menarik minat

masyarakat termasuk minat pelanggan

khususnya minat peserta didik sehingga

mencapai tujuan strategi pemasaran.

Tujuan strategi pemasaran juga perlu

dievaluasi baik dari segi kualitas maupun

kuantitas. Tujuan pemasaran yang mengarah

pada kuantitas dapat dilihat dari jumlah siswa

baru yang diterima sedangkan yang mengarah

pada kualitas misalnya, pemberian

layanan/penyampaian jasa pendidikan kepada

konsumen secara memuaskan (sesuai selera

konsumen) (Alma, 2003: 46). Hal ini

menunjukan bahwa setiap pemasar sekolah

harus mampu memasarkan layanan jasa

dengan cara yang menarik dan memuaskan

pelanggan. Dalam hal ini, sekolah perlu

mempersiapkan pemasar termasuk pelanggan,

Page 7: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.

7

komplemen, dan pihak terkait lainnya untuk

juga mampu menjadi pemasar sekolah. Salah

satu cara yang dapat ditempuh yaitu

mendatangkan ahli pemasaran pendidikan

untuk mentransfer pengetahuan kepada

pemasar sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Tyagita (2016), salah satu

keberhasilan strategi pemasaran yaitu

mengundang seorang ahli pemasaran untuk

mengajar tim promosi melakukan pemasaran.

Bila ahli pemasaran mengajar dan memotivasi

setiap pihak terkait maka mereka akan mampu

dan mau memasarkan sekolah. Pada akhirnya

tujuan strategi pemasaran yang telah

ditetapkan dapat tercapai. Setiap pemasar perlu

mengetahui bahwa strategi pemasaran sekolah

adalah setiap langkah yang diambil sekolah

untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan

bertujuan untuk mencapai target atau sasaran

yang sudah ditetapkan (Putri, 2016). Langkah-

langkah strategi pemasaran sekolah perlu

direncanakan, dilaksanakan, dikontrol, dan

dievaluasi sedemikian rupa sehingga dapat

diketahui ketercapaian tujuannya.

Sekolah juga perlu menentukan target

strategi pemasaran untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan. Pemasar sekolah dan

pihak terkait perlu menentukan target yaitu

kelompok pelanggan yang akan dituju

(targeting) (Indrajaya, 2008). Berbeda dengan

sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh

pemerintah, sekolah ini memiliki kebebasan

untuk menentukan target pemasaran. Sekolah

ini melakukan presentasi ke beberapa sekolah

yang telah ditentukan. Hal ini juga dilakukan

oleh SMA Islam Nurul Amanah yaitu

mengunjungi target sekolah di beberapa

kecamatan Asrori (2016). Sebagai sekolah

swasta termasuk sekolah ini dituntut untuk

lebih mandiri dalam mempertahankan

eksistensi dan meningkatkan jasa yang

ditawarkan kepada target pemasaran yang

tepat.

Target utama yang ditentukan yaitu SD

seakses khususnya SD dalam yayasan yang

sama. Target lainnya yaitu SD Negeri, SD

swasta lainnya, dan beberapa gereja.

Penentuan target (targeting) merupakan salah

satu strategi pemasaran sederhana selain

segmenting dan positioning (Indrajaya, 2008).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

target pemasaran Madrasah Ibtidaiyah Nurul

Islam Pongangan Gresik yaitu TK (Putri,

2016), target pemasaran SMA Batik 1

Surakarta yaitu SMP (Lestari, 2011), target

pemasaran SMK N 1 Ngawen yaitu SMP

(Nugroho, 2013), target pemasaran SMA Islam

Nurul Amanah yaitu SMP dan MTs Nurul

Amanah (Asrori, 2016), dan target pemasaran

SMA Sedes Sapientiae Jambu yaitu SMP

diberbagai daerah Jawa (Tyagita, 2016).

Penentuan target pemasaran merupakan salah

satu aspek yang menentukan keberhasilan

tujuan pemasaran. Penentuan target pemasaran

pada setiap tingkat pendidikan berbeda. Pada

tingkat SD/sederajat, penentuan target

pemasaran berdasarkan lokasi/ jarak tempuh.

Sedangkan pada tingkat SMP /sederajat,

penentuan target pemasaran tidak hanya

berdasarkan lokasi/jarak tempuh tetapi lebih

pada kebutuhan siswa dan pelanggan lainnya.

Selain itu, sebagai sekolah swasta yang

mendapatkan kebebasan dalam menentukan

target pemasaran harus memaksimalkan

kesempatan ini.

Sekolah ini telah menerapkan strategi

pemasaran yaitu promosi diantaranya

menyebar brosur dan/atau melakukan

presentasi ke beberapa sekolah dan gereja yang

telah ditentukan, mengadakan kegiatan

sekolah khususnya Bulan Bahasa,

memenangkan lomba-lomba yang diikuti oleh

siswa, dan memberikan pelayanan yang baik

untuk siswa dan orang tua. Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Putri (2016), Madrasah

Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan Gresik juga

menjalankan strategi pemasaran melalui

brosur dan kegiatan sekolah yang produktif.

Senada juga dengan hasil penelitian Asrori

(2016), SMA Islam Nurul Amanah juga

Page 8: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

8

menyebar brosur dan banner sebagai salah satu

strategi pemasaran sekolah. Hasil penelitian

lain yang mendukung yaitu strategi pemasaran

yang paling efektif adalah promosi dengan

presentasi dan program Jakumikat (Jalur

Khusus Minat dan Bakat) ke alumni (Lestari,

2011 dan Nugroho, 2013). Hal ini menunjukan

bahwa promosi dengan cara presentasi dan

program Jakumikat telah diterapkan oleh

sekolah lain. Dalam pengelolaan strategi

pemasaran, sekolah ini dapat mengadakan

program Jakumikat dan program lain yang

memiliki keunikan untuk menjangkau

pelanggan. Melalui program yang unik dapat

mengunci pelanggan dan menghalangi

lembaga lain memperoleh pelanggan (System

Locik-In).

Strategi pemasaran sekolah ini juga

melalui cerita dari mulut ke mulut (word of

mouth) bahkan kepala sekolah ke rumah

teman-teman gerejanya untuk mencari calon

siswa. Sejalan dengan hal tersebut, hasil

penelitian Khanifudin (2013) yaitu cerita dari

mulut ke mulut (Word of Mouth/ WOM) yang

telah diterapkan oleh SD Al Firdaus Surakarta

dengan media WOM melalui tatap muka,

telepon, dan website. Dengan WOM, (calon)

pelanggan mendapatkan informasi secara

verbal tentang jasa yang ditawarkan oleh

sekolah. Selain tatap muka, telepon, dan

website, media lain juga dapat dijadikan sarana

WOM. Seiring berkembangnya teknologi dan

informasi, sekolah dapat menggunakan

berbagai media sebagai sarana WOM misalnya

email, whatsapp, facebook, Instagram, skipe,

dan sebagainya.

Strategi pemasaran yang digunakan

untuk SD dalam satu yayasan yang sama yaitu

strategi “jemput bola” dengan pendekatan

melalui komite, mengadakan presentasi, dan

try out. Senada dengan hasil penelitian Asrori

(2016) yang menyatakan bahwa SMA Islam

Nurul Amanah menggunakan strategi

pemasaran dengan cara mengunjungi target

sekolah di beberapa kecamatan. Strategi

“jemput bola” yaitu mendatangi target

pemasaran dan melakukan sosialisasi/

presentasi tentang jasa yang ditawarkan

kepada pelanggan. Melalui strategi ini,

pelanggan dapat bertanya dan mendapatkan

jawaban secara langsung.

Promosi di gereja menggunakan

pendekatan melalui kepala sekolah, mengirim

brosur, persembahan pujian (paduan

suara/vocal group siswa), dan mendata siswa

Sekolah Minggu. Selain itu, kegiatan sekolah

juga dijadikan sarana untuk promosi

khususnya kegiatan rutin tahunan yaitu Bulan

Bahasa. Pada kesempatan ini, sekolah

mengundang beberapa SD-SMP yang ada di

Salatiga dan luar Salatiga. Selain itu, sekolah

memberikan potongan khusus bagi pendaftar

sekaligus pemenang lomba Bulan Bahasa. Hal

ini senada dengan hasil penelitian Putri (2016),

salah satu strategi pemasaran Madrasah

Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan Gresik

melalui kegiatan produktif. Kegiatan-kegiatan

sekolah tidak hanya terbatas sebagai strategi

pemasaran tetapi juga dapat memperkaya/

meningkatkan kompetensi dan kapabilitas

sumber daya yang ada. Seiring dengan itu,

hasil penelitian Haryanto & Roza (2012)

menyatakan bahwa melalui strategi pemasaran

internal dengan mengembangkan kemampuan

SDM internal dalam mencapai kompetensi

yang memadai. Melalui strategi process,

sekolah mengoptimalkan citra positif yang

memiliki value added dalam integritas,

karakter, disiplin, dan tertib menjaring

pelanggan yang loyal (Nugroho, 2013).

Dengan kompetensi, dan kapabilitas sumber

daya yang memadai bahkan melebihi

ekspektasi, sekolah dapat mengelola termasuk

mengimplementasi strategi yang tepat untuk

mencapai tujuan yang ditetapkan.

2. Hambatan dan Kekurangan Strategi

Pemasaran dalam Peningkatan Pelanggan

Setiap strategi perlu dievaluasi guna

mengetahui hal-hal yang perlu diperbaiki,

dipertahankan, ataupun ditingkatkan.

Page 9: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.

9

Hambatan dan kekurangan yang ada perlu

ditinjau ulang sebagai bahan untuk merevisi

strategi di waktu yang akan datang. Hambatan

dan kekurangan strategi dapat menyebabkan

tujuan yang ditetapkan tidak tercapai.

Demikian pula dengan strategi pemasaran

yang diimplementasikan oleh sekolah ini

belum mencapai tujuan yang diharapkan. Hal

ini dikarenakan ada beberapa hambatan dan

kekurangan: 1) jumlah SDM yang terlibat

terbatas dan memiliki tugas pokok dan fungsi

yang lain, 2) tidak ada diferensiasi, 3)

manajemen waktu yang tidak tepat (kegiatan

pemasaran terlambat dimulai, beberapa

sekolah yang dikunjungi sedang sibuk), 4)

penyebaran brosur tidak efektif, 5) jangkauan

pemasaran kurang jauh, 6) tidak mengunjungi

sekolah yang dikunjungi tahun lalu, 7) promosi

di gereja terbatas pada beberapa gereja yang

ada di Salatiga, 8) keterbatasan dana promosi,

9) yayasan belum terlibat/dilibatkan dalam

kegiatan pemasaran, 10) belum memiliki

dokumen strategi pemasaran sekolah, dan 11)

belum mampu memastikan dan

mengkomunikasikan bahwa sekolah hadir

untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Senada dengan hasil penelitian Asrori (2016),

hambatan strategi pemasaran yang serupa juga

dialami oleh SMA Islam Nurul Amanah yaitu

hambatan yang berasal dari faktor internal

(belum maksimal dalam melakukan sosialisasi

dan persepsi masyarakat terkait hafalan Al-

Qur’an yang menjadi beban bagi anak) dan

eksternal sekolah (persaingan antar lembaga

pendidikan). Hambatan-hambatan yang ada

dapat diatasi dengan melakukan berbagai

upaya perbaikan misalnya menjalin hubungan

dan melibatkan berbagai pihak terkait dalam

mengembangkan strategi pemasaran sekolah.

Pelanggan, komplemen, dan pihak

terkait lainnya perlu diedukasi sehingga

implementasi strategi dapat berjalan sesuai

dengan perencanaan dan mencapai tujuan yang

diharapkan. Kepala sekolah sebagai pemimpin

sekaligus manager dapat bekerjasama dengan

wakil kepala sekolah dan pihak-pihak terkait

untuk memasarkan sekolah. Hal ini telah

dilakukan oleh kepala dan wakil kepala

Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan

Gresik yang berupaya menggandeng tokoh

masyarakat dalam memasarkan sekolah (Putri,

2016). Selain itu, sekolah dapat menganalisis

permasalahan pemasaran melalui musyawarah

bersama dalam pemecahan masalah dan selalu

menjalin hubungan yang baik dengan pihak-

pihak yang mendukung tercapainya tujuan

sekolah (Asrori, 2016). Terkait dengan

perkembangan teknologi, kegiatan pemasaran

yang dilakukan perlu mencocokkan sumber

informasi dengan kebutuhan siswa (Moogan,

2011). Melalui pemanfaatan teknologi yang

maksimal, dan komunikasi yang transparan

dan terkoordinasi antar pihak dalam kegiatan

pemasaran sekolah, tujuan dapat dicapai

dengan lebih efisien dan efektif.

3. Strategi Pemasaran Sekolah

Berdasarkan Delta Model dalam

Peningkatan Minat Peserta Didik

Berbagai strategi pemasaran telah

diterapkan oleh lembaga profit maupun non-

profit. Saat ini banyak sekolah (lembaga non-

profit) yang menerapkan strategi pemasaran.

Sebagai salah satu strategi penting, strategi

pemasaran perlu dikelola sesuai dengan

kebutuhan pelanggan, bukan hanya melakukan

diferensiasi. Hal ini senada dengan Wijaya

(2016), strategi pemasaran diperlukan karena

sekolah perlu meyakinkan pelanggan bahwa

sekolah yang dikelola masih eksis dan jasa

yang ditawarkan relevan dengan kebutuhan

mereka. Namun, alih-alih ingin tampil berbeda

dengan sekolah lain, beberapa sekolah tergoda

untuk melihat strategi pemasaran sekolah lain

dan meniru kemudian melakukan modifikasi

sesuai versi sekolah tanpa mempertimbangkan

kebutuhan pelanggan. Hasil dari tindakan ini

tidak dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan

pelanggan.

Dalam pengelolaan dan pengembangan

strategi pemasaran, sekolah dapat mengguna-

Page 10: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

10

kan berbagai alat analisis atau berdasarkan

model tertentu. Salah satu alat analisis yang

sering digunakan yaitu SWOT. Beberapa

penelitian yang menggunakan analisis SWOT

yaitu strategi pemasaran SMP Kristen Satya

Wacana Salatiga (Sumarni, 2011), SMA Batik

1 Surakarta (Lestari, 2011), dan PT Duta

Pratama Jaya (Triastuti, 2003). Melalui

analisis dan matriks SWOT diperoleh empat

tipe strategi yang dapat diterapkan yaitu

strategi SO, strategi ST, strategi WO, dan

strategi WT.

Dalam pengembangan strategi

pemasaran juga dapat didasarkan pada bauran

pemasaran, Porter, RBV, dan Delta Model.

Pada penelitian ini, strategi pemasaran yang

dibuat didasarkan pada Delta Model yang

dikemukakan pertama kali oleh oleh Hax dan

Wilde (2001) dan dikembangkan oleh Hax

(2003, 2010). Kerangka strategis Delta Model

yang dikembangkan pada penelitian ini

meliputi empat langkah yaitu 1) segmentasi

dan proposisi nilai pelanggan, 2) kompetensi,

kapabilitas, dan sumber daya, 3) misi, dan 4)

agenda strategis. Kerangka strategis Delta

Model ditentukan berdasarkan analisis hasil

penelitian. Pada bagian ini, juga akan dibahas

tiga pilihan strategi pada Delta Model untuk

meningkatkan minat peserta didik sekolah ini.

3.1 Best Product Strategy

Melalui Best Product Strategy, sekolah

dapat mengembangkan posisi strategi

diferensiasi dan efisiensi administrasi (Hax,

2010). Dengan kata lain, diferensiasi yang

diciptakan atau dikembangkan tetap

memperhitungkan efektifitas dan efisiensi dari

berbagai sudut pandang. Sekolah dapat

melakukan diferensiasi dengan men-

yelenggarakan berbagai kegiatan/program

sekolah yang unik berlandaskan pendidikan

holistik misalnya mengelola kegiatan belajar

mengajar di dalam dan di luar kelas sesuai

dengan kebutuhan pelanggan. Hal ini ini

sejalan dengan hasil penelitian Putri (2016),

Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Pongangan

Gresik melakukan kegiatan yang produktif,

menarik, dan melibatkan masyarakat, serta

menggunakan media sosial sebagai media

pemasaran. Hasil penelitian Triastuti juga

senada yaitu PT Duta Pratama memiliki

strategi diferensiasi berupa keunikan produk

dengan menambah/mengkombinasi bahan

alami untuk memenangkan pasar dalam

maupun luar negeri. Sekolah juga dapat

memfasilitasi SDM untuk mengembangkan

minat dan bakatnya, melibatkan pelanggan

dalam mengembangkan strategi pemasaran,

dan mengadakan kegiatan indoor ataupun

outdoor.

Efisiensi administrasi dapat dilakukan

dengan menerapkan multi payment dan

membuat RKAS sesuai dengan kebutuhan

pelanggan melalui kegiatan/program sekolah

yang unik. Tujuan dari efisiensi administrasi

sekolah tidak hanya mencapai efisiensi tetapi

juga efektifitas administrasi dan kegiatan/

program yang akan dilaksanakan. Sekolah

dapat menyebar angket untuk mengetahui

kebutuhan pelanggan. Dalam menarik

pelanggan, sekolah juga dapat memberi akses

kepada masyarakat untuk menggunakan sarana

dan prasarana sekolah melalui prosedur yang

ditentukan oleh pihak sekolah. Selain menarik,

sekolah dapat mempertahankan, dan memper-

tahankan pelanggan melalui keterlibatan

alumni dalam kegiatan/program sekolah yang

unik.

3.2 Total Customer Solutions Strategy

Dalam Delta Model, sekolah juga dapat

mengembangkan Total Customer Solutions

Strategy yang sangat mendukung dalam

penciptaan ikatan yang kuat antar pelanggan

dan antara pelanggan/komplemen/pihak

terkait dengan penyedia jasa. Dengan ikatan

yang kuat, penyedia jasa dapat memahami

kebutuh-an pelanggan dengan baik dan

memberikan layanan jasa yang relevan.

Sekolah dapat memenuhi seluruh kebutuhan

pelanggan yang relevan dan sesuai dengan

kompetensi yang dimiliki oleh sekolah.

Page 11: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.

11

Sekolah dapat memaksimalkan sumber daya

yang dimiliki untuk mengelola dan

mengembangkan website sekolah sebagai

sarana untuk berbagi informasi tentang sekolah

dan kegiatan/ program yang

diselenggarakan/diikuti. Hal ini senada dengan

hasil penelitian Khanifudin (2013), salah satu

media word of mouth (WOM) yaitu

pengembangan strategi pemasaran sekolah

dapat dilakukan dengan mengintensifkan

website. Hasil penelitian Tang, Yasa, &

Forrester (2004) juga senada yaitu aplikasi

berbasis web dan internet memfasilitasi cara

baru untuk mengirim produk dan layanan

kepada pelanggan secara efektif dan efisien.

Selain website, sekolah juga dapat

menyediakan sarana komunikasi lainnya yang

relevan dengan mengelola dan menyediakan

prosedur/alur komunikasi antar pihak terkait.

Melalui Total Customer Solutions

Strategy, sumber daya yang dimiliki juga perlu

difasilitasi dalam memenuhi kebutuhannya

baik melalui pelatihan ataupun kegiatan

produktif lainnya. Sekolah dapat

memfasilitasi, mempersiapkan, mengikutserta-

kan, dan mengapresiasi usaha/pencapaian

SDM yang mengikuti lomba/kegiatan tertentu.

Sebagai contoh, guru dan staf difasilitasi dalam

proses kenaikan jabatan, siswa difasilitasi

dalam mengembangkan minat dan bakat

melalui lomba ataupun ekstrakurikuler, dan

orang tua difasilitasi dalam menyelenggarakan

kegiatan orang tua (dan siswa). Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Haryanto dan Rozza

(2012), strategi internal yang dilakukan yaitu

mengembangkan kemampuan

petugas/pegawai Humas dalam mencapai

kompetensi yang memadai.

3.3 System Lock-In Strategy

Pengembangan System Lock-In

Strategy membutuhkan para pemikir yang “óut

of the box”, memikirkan strategi yang sulit

bahkan tidak dapat ditiru oleh lembaga lain.

Selain itu, dengan System Lock-In Strategy,

tidak ada lembaga lain yang dapat mengakses

pelanggan. Sekolah dapat mengunci pelanggan

dengan sistem kontrak dengan ahli/lembaga

tertentu. Sebagai contoh, sekolah dapat

mengunci SD seyayasan melalui

perjanjian/kontrak. Dalam hal ini dibutuhkan

SDM yang kompeten untuk memfasilitasi dan

mewujudkan system lock-in. Sekolah juga

dapat menerapkan sistem jenjang karir bagi

guru atau staf sekolah. Selain itu, melalui

kerjasama dengan alumni, sekolah dapat

membuat suatu prosedur khusus yang hanya

berlaku untuk alumni. Demikian pula dengan

lembaga lain yang relevan misalnya SMA/K

favorit dan Universitas tertentu. Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Tyagita (2016), salah

satu kunci sukses pemasaran yaitu kegiatan

yang menjalin hubungan baik dengan berbagai

daerah, alumni, orang tua, panitia, dan

penduduk setempat. Salah satu hasil penelitian

Sitompul dan Nahartyo (2006) juga senada

yaitu mewujudkan peluang kerjasama dengan

komplementor. Hal ini dapat diartikan bahwa

penting bagi sekolah untuk menjalin hubungan

baik dengan siapa saja untuk meningkatkan

minat pelanggan termasuk minat peserta didik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai

berikut:

1. Implementasi strategi pemasaran sekolah

dalam peningkatan minat peserta didik

yaitu menggunakan strategi promosi

dengan menyebar brosur dan/atau

presentasi ke sekolah dan gereja yang telah

ditentukan, cerita dari mulut ke mulut (word

of mouth) menyelenggarakan kegiatan

lomba Bulan Bahasa setiap tahun, dan

kegiatan/program yang diselenggara-

kan/diikuti oleh sekolah.

2. Hambatan dan kekurangan strategi

pemasaran sekolah yang diimplementasi-

kan oleh sekolah ini dalam peningkatan

minat peserta didik yaitu manajemen waktu

Page 12: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

12

belum tepat, komite kurang terlibat aktif,

yayasan belum terlibat, penyebaran brosur

kurang efektif, jangkauan pemasaran

kurang luas, belum memiliki dokumen

strategi pemasaran sekolah, dan belum

mampu memastikan dan

mengkomunikasikan bahwa jasa yang

ditawarkan relevan dengan kebutuhan

masyarakat.

3. Produk yang dihasilkan yaitu strategi

pemasaran sekolah berdasarkan Delta

Model dalam peningkatan minat peserta

didik: 1) Best Product Strategy:

menyelenggarakan pendidikan holistik

melalui berbagai kegiatan/program sekolah

yang unik dan relevan dengan kebutuhan

pelanggan, serta memberlakukan multi

payment system untuk mempermudah

pelanggan dalam melakukan transaksi

keuangan, 2) Total Customer Solutions

Strategy: memaksimalkan sumber daya

yang dimiliki dengan mengembangkan

website sekolah dan sarana komunikasi lain

yang relevan serta menyediakan

prosedur/alur komunikasi antar pihak

terkait, memfasilitasi SDM yang mengikuti

lomba/kegiatan tertentu untuk memenuhi

kebutuhan mereka, dan memberikan

apresiasi atas usaha/pencapaian SDM, dan

3) System Lock-In Strategy: member-

lakukan sistem kontrak dengan ahli/

lembaga tertentu dalam jangka waktu

tertentu untuk mengunci pelanggan,

menerapkan sistem jenjang karir bagi guru

dan staf sekolah, dan memiliki kerjasama

serta prosedur khusus yang berlaku untuk

alumni, SMA/K favorit, Universitas

tertentu, dan lembaga pendidikan lainnya.

Saran

Saran penelitian ini ditujukan kepada:

1. Kepala sekolah dan pihak terkait, menjadi

penelitian ini sebagai acuan dalam

melaksanakan dan mengembangkan

strategi pemasaran di waktu mendatang.

2. Direktur sekolah, menjadikan penelitian ini

sebagai salah satu bahan pertimbangan/

masukan untuk mengevaluasi dan

mengembangkan strategi pemasaran

sekolah.

3. Bagi penelitian berikutnya, menjadikan

penelitian ini sebagai salah satu referensi

khususnya di bidang manajemen pemasar-

an jasa pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Asrori, B. 2016. Strategi Pemasaran Sekolah

dalam Upaya Meningkatkan Partisipasi

Masyarakat di SMA Islam Nurul

Amanah Kecamatan Tragah

Kabupaten Bangkalan. Inspirasi

Manajemen Pendidikan, 2(2).

Abrori, M. 2015. Strategi Pemasaran Lembaga

Pendidikan untuk Meningkatkan

Jumlah Peserta Didik di PG/TK

Samarinda. SYAMIL, 3(2).

Alma, B. 2003. Pemasaran Stratejik Jasa

Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Fransiska, R. Kebijakan Strategi Pemasaran

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)

Palangka Raya. Jurnal Sains

Manajemen, 1 (1), 69-85.

Haryanto, R., & Rozza, S. 2012.

Pengembangan Strategi Pemasaran dan

Manajemen Hubungan Masyarakat

Dalam Meningkatkan Peminat

Layanan Pendidikan. Jurnal Ekonomi

dan Bisnis, 11(1), 27-34.

Hax, A. C. 2010. The Delta Model:

Reinventing Your Business Strategy.

Springer Science & Business Media.

Hax, A. C., & Wilde, D. L. 2003. The Delta

Model-A New Framework of

Strategy. Journal of Strategic

Management Education, 1(1), 1-21.

Hax, A., & Wilde II, D. 2001. The Delta

Model—Discovering New Sources of

Profitability in A Networked

Page 13: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta Didik ... | Ririn T. E. Margareta, dkk.

13

Economy. European Management

Journal, 19(4), 379-391.

Indrajaya, R. 2008. Jangan Takut Memulai

Bisnis. Jakarta: MeBook.

Kautsar, E. M. 2015. Be A Passionpreneur! 11

Langkah Menjadikan Hobi sebagai

Profesi yang Menyukseskan dan

Membahagiakan. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Khanifudin, K. 2013. Pengembangan Strategi

Pemasaran Sekolah Berbasis Word of

Mouth Di SD Al Firdaus

Surakarta (Doctoral dissertation,

Universitas Muhammadiyah

Surakarta).

Lestari, S. 2011. Strategi Pemasaran Sekolah

di SMA Batik 1 Surakarta (Doctoral

dissertation, Universitas

Muhammadiyah Surakarta).

Moogan, Y. J. 2011. Can A Higher Education

Institution's Marketing Strategy

Improve the Student-Institution

Match? International journal of

educational management, 25(6), 570-

589.7

Muhaimin, Suti’ah, & Prabowo. 2015.

Manajemen Pendidikan: Aplikasinya

dalam Penyusunan Rencana

Pengembangan Sekolah/ Madrasah.

Jakarta: Prenadamedia Group.

Nugroho, S. A. 2013. Strategi Pemasaran

Sekolah Berbasis Bauran Pemasaran:

SMK N 1 Ngawen,

Gunungkidul (Doctoral dissertation,

Universitas Muhammadiyah

Surakarta).

Octavany, Y., Wardani, N. S., & Prasetyo, T.

(2018). Efektivitas Pendekatan Inkuiri

dan Model Jigsaw (Pi-Mj) terhadap

Minat Belajar Siswa Kelas 4

SD. PENDEKAR| FKIP UMMat, 1(1),

226-231.

Permendikbud. 2018. Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2018

tentang Penerimaan Peserta Didik

Baru pada Taman Kanak-kanak,

Sekolah Dasar, Sekolah Menengah

Pertama, Sekolah Menengah Atas,

Sekolah Menengah Kejuruan, atau

Bentuk Lain yang Sederajat. Jakarta:

Kepala Biro Hukum dan Organisasi

Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan.

Putri, M. I. 2016. Strategi Pemasaran Sekolah

(Studi Kasus di Madrasah Ibtidaiyah

Nurul Islam Pongangan

Gresik). Inspirasi Manajemen

Pendidikan, 1(1).

Siagian, R. E. F. 2013. Pengaruh Minat dan

Kebiasaan Belajar Siswa Terhadap

Prestasi Belajar Matematika. Jurnal

Formatif, 2(2), 122-131.

Sitompul, Y. C., & Nahartyo, E. 2006. Strategi

Bank BRI Dalam Penyaluran Kredit

Mikro Melalui Pendekatan Delta

Model (Doctoral dissertation,

Universitas Gadjah Mada).

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian dan

Pengembangan (Research and

Development/ R&D). Bandung:

Alfabeta.

Tang, N. K., Yasa, P. R., & Forrester, P. L.

2004. An Application of the Delta

Model and BPR in Transforming

Electronic Business–The Case of A

Food Ingredients Company in

UK. Information Systems

Journal, 14(2), 111-130.

Tyagita, B. P. A. 2016. Strategi Pemasaran

Sekolah Menengah Atas Swasta

Berasrama di Kabupaten Semarang

1. Kelola: Jurnal Manajemen

Pendidikan, 3(1), 67-79.

Page 14: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

14

Triastuti, Y. D. 2003. Strategi Diferensiasi

Produk Sebagai Strategi

Memenangkan Persaingan di Pasar

Luar Negeri (Doctoral dissertation,

Universitas Gadjah Mada).

Wijaya, D. 2012. Pemasaran Jasa Pendidikan.

Jakarta: Salemba Empat.

Wijaya, D. 2016. Pemasaran Jasa Pendidikan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Zulhelmi, Z., & Ayu, A. F. 2017. Analisis

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Keputusan Pembelian Jasa di SMP

Kristen Kalam Kudus

Pekanbaru. PROCURATIO (Jurnal

Ilmiah Manajemen), 3(3), 228-240.

Page 15: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 15-23

15

Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik Dalam Upaya Peningkatan

Mutu Pendidikan

Triani Amrih Lestari

SMA Negeri 1 Petanahan Kebumen

[email protected]

Siti Mariah

FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to formulate the strategy of academic information

system development in an effort to improve the education quality through analysis of

internal and external conditions in SMA Negeri 1 Petanahan Kebumen Central Java.

Research type using mixed methods with SWOT (strengths, weaknesses, opportunities,

threats) analysis approach. Data collection is done through interviews, documentation,

observation, and questionnaires. The sampling technique using purposive sampling is 30

respondents. Data validity uses source and method triangulation, while data analysis

techniques use IFAS and EFAS, as well as tools for formulating development strategies

using SWOT Matrices. The results showed: the strength of academic information system

SMA Negeri 1 Petanahan on infrastructure and academic data, while the weaknesses in

resources and programs. Opportunities for academic information systems in the form of

policies and strategic issues, while the threat is geographic. The research findings show

that academic information system in SMA Negeri 1 Petanahan Kebumen in improving the

education quality is in Growth cell: concentration through horizontal integration or

stability strategy so it is appropriate to use SO strategy (strength-opportunity) that

utilizes the infrastructure and academic data to meet the issue policy and strategic.

Keywords: Academic Information System, Quality Of Education

Article Info

Received date: 7 November 2017 Revised date: 25 Mei 2018 Accepted date: 21 Juni 2018

Page 16: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

16

PENDAHULUAN

Informasi akademik merupakan salah

satu sumber daya yang sangat diperlukan

dalam suatu organisasi pendidikan untuk

memenuhi semua kebutuhan pelanggan

(peserta didik, pendidik, orang tua peserta

didik, dan masyarakat). Sistem informasi

sebagai pendukung organisasi pendidikan

harus mampu memberikan layanan informasi

sesuai dengan kebutuhan pengguna, mudah

didapatkan, dan berdampak pada peningkatan

mutu pendidikan.

Informasi adalah suatu data atau objek

yang diproses terlebih dahulu sedemikian rupa

sehingga dapat tersusun dan terklasifikasi

dengan baik sehingga memiliki arti bagi

penerimanya, yang selanjutnya menjadi

pengetahuan bagi penerima suatu hal tertentu

tersebut, sehingga membantu dalam

pengambilan keputusan secara tepat (Rusdiana

& Irfan, 2014).

Sistem informasi merupakan suatu

sistem dalam suatu organisasi untuk

mempertemukan kebutuhan pengolahan

transaksi harian, mendukung operasi, bersifat

manajerial dan kegiatan strategi dari suatu

organisasi dan

menyediakan pihak luar tertentu dengan lapor

an-laporan yang diperlukan (Jogiyanto, 2001).

Secara umum data-data yang diolah dalam

sistem informasi akademik sekolah meliputi

data guru, data siswa, data nilai, data

pembelajaran dan kegiatan, serta data lain

yang bersifat umum berdasarkan kebutuhan

masing-masing lembaga pendidikan.

Penerapan Sistem Informasi Akademik

yang tepat dapat meningkatkan mutu

pendidikan secara berkesinambung-an. Sistem

Informasi Akademik dapat dikembangkan

menggunakan alat bantu pengembangan

sistem yaitu Data Flow Diagram (DFD),

Context Diagram, Entity Relationship

Diagram (ERD) dan Flowchart serta

menggunakan bahasa pemrograman PHP dan

HTML dan MySQL sebagai databasenya

(Dengen & Khairina, 2009).

Sistem Informasi Akademik di SMA

Negeri 1 Petanahan saat ini masih sangat

terbatas, dan masih perlu dikembangkan

karena baru bisa diakses oleh pimpinan

sekolah dan guru, sedangkan untuk

stakeholder yang lain seperti staf tata usaha,

wali murid, komite, siswa, dinas pendidikan,

dunia usaha/industri dan masyarakat belum

bisa mengakses.

Agar Sistem Informasi Akademik bisa

diakses oleh semua stakeholder maka

diperlukan suatu cara yang tepat dan sesuai

dengan kondisi internal dan eksternal sekolah.

Strategi disusun atau dibuat agar visi, misi dan

tujuan sekolah dapat tercapai secara efektif dan

efisien.

Penggunaan teknologi informasi dan

komunikasi dalam pengumpulan, pengolahan,

penyimpanan, dan pelaporan data akademik

saat ini menjadi suatu keharusan. pesatnya

teknologi jaringan dan internet yang hanya

menghubungkan perangkat mesin komputasi

standar semisal komputer, laptop, tablet

hingga server pelan tapi pasti telah

menghubungkan tidak hanya manusia dan

mesin saja tapi menghubungkan mesin dengan

mesin interaksinya keduanya bermanfaat

untuk kebutuhan sehari-hari.

Tujuan penelitian ini adalah

merumuskan strategi pengembangan Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan di SMA Negeri 1 Petanahan

Kabupaten Kebumen Jawa tengah melalui

analisis kondisi lingkungan internal dan

eksternal. Manfaat penelitian, secara teoritis

dapat mengembangkan ilmu manajemen

pendidikan, dan secara praktik dapat dijadikan

referensi untuk pengembangan sistem

informasi akademik pada sekolah-sekolah, dan

penelitian selanjutnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

mix methods, yaitu suatu penelitian yang

Page 17: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik … | Triani A. Lestari & Siti Mariah

17

menggabungkan dua bentuk pendekatan dalam

penelitian kualitatif dan kuantitatif. Mix

methods adalah metode penelitian dengan

mengkombinasikan antara dua metode

penelitian sekaligus, kualitatif dan kuantitatif

dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga akan

diperoleh data yang lebih komprehensif, valid,

reliabel, dan objektif (Sugiyono, 2015).

Tempat penelitian adalah di SMA Negeri 1

Petanahan Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa

Tengah. Penelitian dilakukan selama enam

bulan pada bulan Januari – Juni 2017.

Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh guru dan karyawan SMA Negeri 1

Petanahan Kabupaten Kebumen sebanyak 62

orang. Peneliti mengambil sampel sebesar 30

orang dengan rincian 25 orang guru dan 5

karyawan dengan pertimbangan yang menjadi

sampel adalah orang yang dianggap mengerti

akan Sistem Informasi Akademik. Sampel

diambil dengan teknik purposif sampling,

yaitu teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2015).

Penelitian ini melibatkan peneliti

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu instrumen kualitatif yang meliputi

panduan observasi, panduan wawancara,

panduan dokumentasi, dan Instrumen

kuantitatif yang dalam penelitian ini adalah

kuisioner. Sumber informasi dalam penelitian

ini adalah kepala sekolah, kepala tata usaha,

dan wakil kepala sekolah.

Data yang sudah terkumpul dianalisis

dengan Analisis SWOT. Analisis SWOT

adalah identifikasi berbagai faktor secara

sistematis untuk merumuskan strategi

perusahaan. Analisis ini didasarkan pada

logika yang dapat memaksimalkan kekuatan

(strengths) dan peluang (Opportunities),

namun secara bersamaan dapat meminimalkan

kelemahan (Weakness) dan ancaman atau

Threats (Rangkuti, 2014).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

a. Penilaian Faktor Internal

Hasil analisis kondisi internal

diuraikan berikut:

1. Kekuatan

Kekuatan dari pengembangan

Sistem Informasi Akademik dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan di SMA

Negeri 1 Petanahan Kabupaten Kebumen

antara lain adalah sarana prasarana dan data

akademik. Data hasil wawancara

mengungkapkan bahwa: “...yang menjadi

kekuatan dari pelaksanaan penerapan

Sistem Informasi Akademik yaitu ruang

komputer yang nyaman dan luas, kondisi

dan jumlah sarana prasarana yang tersedia,

ketersediaan data akademik (wawancara,

selanjutnya ditulis ww dengan KS, 02

Februari 2017)”. Dikuatkan pernyataan

(ww: KTU, 10 Februari 2017) dan “…

jaringan internet dan data akademik yang

tersedia sangat mendukung (ww: WKS1, 14

Februari 2017)”.

Tabel 1. Kekuatan Sekolah dalam Pengembangan Sistem Informasi Akademik

Indikator Aspek Skor Kategori

Sarana

Prasarana

Kondisi hardware (komputer/laptop, printer, CD ROM, Hardisk,

telephone), software dan database yang digunakan dalam Sistem

Informasi Akademik

3 Baik

Jumlah komputer/laptop, CD ROM, Hardisk, telephone, dan buku

petunjuk/prosedur pengoperasian komputer yang tersedia

3 Baik

Ruang komputer yang dimiliki SMA Negeri 1 Petanahan 4 Sangat

Baik

Jaringan internet yang tersedia bagi Sistem Informasi Akademik 3 Baik

Daya listrik yang tersedia bagi pengoperasian Sistem Informasi Akademik 3 Baik

Page 18: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

18

Jumlah printer yang tersedia untuk mencetak hasil Sistem Informasi

Akademik

3 Baik

Informasi yang efektif, efisien, dan mudah diakses oleh stakeholders dari

Sistem Informasi Akademik

2 Kurang

Baik

Total Program 3 Baik

Data

Akademik

Ketersediaan sumber data akademik yang digunakan pada Sistem

Informasi Akademik

3 Baik

Kelengkapan sumber data akademik 3 Baik

Kemudahan memperoleh data akademik 3 Baik

Total Data Akademik 3 Baik

Berdasarkan tabel di atas dapat

diketahui bahwa kekuatan SMA Negeri 1

Petanahan dalam pengembangan Sistem

Informasi Akademik dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan terdiri dari

sarana prasarana dan data akademik. Sarana

dan prasrana terdiri dari 7 aspek dengan

skor rata-rata 3 yang tergolong kategori

baik. Data akademik terdiri dari 3 aspek

dengan skor rata-rata 3 yang tergolong

dalam kategori baik.

2. Kelemahan

Kelemahan dari pengembangan

Sistem Informasi Akademik dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan di SMA

Negeri 1 Petanahan antara lain: sumber daya

dan program

Tabel 2. Kelemahan Sekolah Petanahan dalam Pengembangan Sistem Informasi Akademik

Indikator Aspek Skor Kategori

Sumber

daya

Kualifikasi programer, analis, operator dan manajer database Sistem

Informasi Akademik

2 Kurang Baik

Kecukupan jumlah programer, analis, operator dan manajer database 2 Kurang Baik

Kemampuan programer, analis, operator, dan manajer database 2 Kurang Baik

Tanggung jawab programer, analis, operator, dan manajer database 3 Baik

Total Sumber Daya 2 Kurang Baik

Program

Visi dan misi SMA Negeri 1 Petanahan kaitanya dengan

pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi

3 Baik

Perencanan program Sistem Informasi Akademik 2 Kurang Baik

Pelaksanaan program Sistem Informasi Akademik 2 Kurang Baik

Pengawasan program Sistem Informasi Akademik 2 Kurang Baik

Evaluasi program Sistem Informasi Akademik 2 Kurang Baik

Total Program 2 Kurang Baik

Sebagaimana data hasil wawancara

terungkap bahwa: “...yang menjadi kelemahan

pada pelaksanaan Sistem Informasi Akademik

di SMA Negeri 1 Petanahan yaitu program,

kecukupan dan kualifikasi akademik yang

dimiliki oleh operator dan manajer data base

(ww: KS,

02 Februari 2017)”. Senada dengan

hasil wawancara berikut, bahwa

“... programer, analis, operator dan

manajer database tidak mempunyai kualifikasi

yang disyaratkan (ww KTU, 10 Februari 2017;

ww WKS3, 17 Februari 2017).

b. Penilaian Faktor Eksternal

1. Peluang

Peluang bagi SMA Negeri 1

Petanahan dalam pengembangan Sistem

Informasi Akademik dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan di SMA

Negeri 1 Petanahan yaitu: kebijakan dan Isu

strategis

2. Tantangan

Tantangan dalam hal kebijakan

Page 19: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik … | Triani A. Lestari & Siti Mariah

19

dalam penerapan Sistem Informasi

Akademik dalam upaya peningkatan mutu

pendidikan di SMA Negeri 1 Petanahaan

antara lain sebagai berikut: dinas terkait dan

letak geografis.

Penilaian dari faktor internal pada

SMA Negeri 1 Petanahan dalam

pengembangan Sistem Informasi Akademik

Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan

dirinci pada faktor internal dan eksternal

sebagaimana dapat dilihat pada uraian berikut

ini :

a. Model Faktor Strategi Internal

Tabel 3. Perhitungan Internal Factor Analysis

Summary (IFAS) No Uraian Faktor Bobot Rating Nilai

1 Program Kelemahan 0,35 2 0,70

2 Sumber

Daya

Kelemahan 0,30 2 0,60

3 Sarpras Kekuatan 0,20 4 0,80

4 Sumber

Data

Kekuatan 0,15 4 0,60

Total 1,00 12 2,70

Dari tabel 3, dapat diketahui bahwa

jumlah nilai tertimbang untuk faktor internal

adalah sebesar 2,70. Angka nilai tertimbang

sebesar 2,70 dapat digolongkan pada bagian

medium dari sumbu vertikal matriks. Artinya

adalah program-program SMA Negeri 1

Petanahan dalam pengembangan Sistem

Informasi Akademik Dalam Upaya

Peningkatan Mutu Pendidikan sudah berjalan

dengan baik namun masih memiliki

kekurangan. Kondisi ini menunjukan bahwa

SMA Negeri 1 Petanahan dalam

pengembangan Sistem Informasi Akademik

Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan

sudah berjalan dengan baik namun belum

optimal dalam memanfaatkan kekuatan pada

strategi pengembangannya. Namun demikian,

program memiliki prasyarat yang cukup untuk

dilaksanakan dan dikembangkan lebih jauh.

b. Model Faktor Strategi Eksternal

Tabel 4. Perhitungan Exsternal Faktor

Analysis Summary (EFAS) No Uraian Faktor Bobot Rating Nilai

1 Kebijakan Peluang 0,30 3 0,90

2 Isu

strategis

Peluang 0,35 3 1,05

3 Dinas

Terkait

Tantangan 0,20 2 0,40

4 Letak

Geografis

Tantangan 0,15 2 0,30

Total 1,00 10 2,65

Dari tabel di atas diketahui bahwa

jumlah nilai pada faktor eksternal adalah

sebesar 2,65. Dari nilai tertimbang 2,65 pada

sumbu horisntal dapat diketahui bahwa

pengembangan sekolah dalam Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan termasuk dalam kategori

medium apabila ditinjau dari faktor

eksternalnya. Dengan kata lain dapat dikatakan

bahwa, jika dilihat dari lingkungan

eksternalnya maka SMA Negeri 1 Petanahan

dalam Sistem Informasi Akademik dalam

upaya peningkatan mutu pendidikan memiliki

peluang pengembangan yang cukup.

Walaupun terdapat tantangan yang secara

relatif lebih rendah dibandingkan dengan

peluang untuk berkembang, namun SMA

Negeri 1 Petanahan memiliki banyak peluang

untuk melaksanakan strategi pengembangan.

Posisi SMA Negeri 1 Petanahan dapat dilihat

pada tabel berikut:

Page 20: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

20

Tabel 5. Matrik Internal Eksternal

IFAS

EFAS

HIGH (3-4) MEDIUM (2-3) LOW (1-2)

HIGH (3-4) GROWTH

Konsentrasi melalui

integrasi vertikal

GROWTH

Konsentrasi melalui integrasi

horisontal

RETRENCHMENT

Strategi turn around

MEDIUM (2-3) STABILITY GROWTH

Konsentrasi melalui integrasi

horisontal atau STABILITY

strategi

RETRENCHMENT

Strategi divestasi

LOW (1-2) GROWTH

Diversiikasi konsentrik

GROWTH

Diversifikasi konglomerat

LIKUIDASI

Hasil perhitungan sebelumnya

menunjukan bahwa nilai tertimbang dari faktor

internal adalah 2,70 sedangkan nilai

tertimbang untuk variabel eksternal 2,65. Nilai

tertimbang tersebut kemudian digunakan

dalam aplikasi matrik internal dan eksternal

untuk menentukan posisi SMA Negeri 1

Petanahan. Posisi SMA negeri 1 Petanahan

berada pada sel GROWTH: konsentrasi

melalui integrasi horisontal atau STABILITY

strategi.

Pembahasan

Kondisi internal sistem informasi

akademik dalam upaya peningkatan mutu

pendidikan

Hasil penelitian menunjukan bahwa

kekuatan pengembangan Sistem Informasi

Akademik Dalam Upaya Peningkatan Mutu

Pendidikan terletak pada sarana prasarana dan

sumber data. Sebagaimana hasil penelitian

Dengen dan Khairina (2009) menunjukkan

bahwa sistem informasi akademik berbasis

web merupakan solusi bagi pihak sekolah

dalam menyajikan laporan nilai serta keaktifan

siswa secara cepat dan tepat. Sarana prasarana

pada dasarnya merupakan faktor penting

dalam pengembangan program di satuan

pendidikan. Sarana prasarana yang memadai

sangat mendukung pengembangan Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan di SMA Negeri 1 Petanahan.

Dalam penyediaan sarana prasarana

termasuk sudah baik dan lengkap hal ini bisa

dilihat dari: a) kondisi hardware

(komputer/leptop, printer, CD ROM, Hardisk,

telephone), software dan database yang

digunakan dalam Sistem Informasi Akademik

masih baik; b) jumlah komputer/leptop, CD

ROM, Hardisk, telephone dan buku petunjuk

pengoperasian komputer yang tersedia

memadai; c) ruang komputer yang dimiliki

sudah baik dan memadai; d) daya listrik yang

tersedia bagi pengoperasian sudah baik dan

memadai; e) jumlah printer yang tersedia

untuk mencetak hasil sudah memadai; f)

ketersediaan dan kelengkapan data akademik

yang digunakan pada Sistem Informasi

Akademik sangat mendukung; g) data

akademik meliputi data siswa, data pendidik

dan tenaga kependidikan, data mata pelajaran,

dan data nilai siswa. Terkait dengan

kelemahan dalam pengembangan Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan terdapat dua faktor yaitu

faktor sumber daya dan program.

Kelemahan dalam hal sumber daya

manusia yaitu: a) Kualifikasi programer,

analis, operator dan manajer database Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan belum sesuai dengan yang

dipersyaratkan; b) kecukupan jumlah

programer, analis, operator dan manajer

database Sistem Informasi Akademik dalam

upaya peningkatan mutu pendidikan belum

Page 21: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik … | Triani A. Lestari & Siti Mariah

21

mencukupi; c) kelemahan mengenai program

Sistem Informasi Akademik dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan antara lain

sebagai berikut: perencanaan program Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan kurang baik; pengawasan

program Sistem Informasi Akademik dalam

upaya peningkatan mutu pendidikan kurang

baik; evaluasi program Sistem Informasi

Akademik dalam upaya peningkatan mutu

pendidikan kurang baik.

Kondisi Eksternal dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan

Hasil penelitian menunjukan bahwa

peluang pengembangan Sistem Informasi

Akademik Dalam Upaya Peningkatan Mutu

Pendidikan terletak pada kebijakan dan isu

strategis. Kebijakan pada dasarnya merupakan

faktor penting dalam pengembangan program

disatuan pendidikan. Adanya kebijakan

pemerintah tentang penggunaaan sistem

informasi di sekolah sangat mendukung

pengembangan Sistem Informasi Akademik

dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di

SMA Negeri 1 Petanahan.

Peluang dari faktor kebijakan dalam

penerapan Sistem Informasi Akademik dalam

Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan adalah

regulasi pemerintah yang digunakan sebagai

dasar penerapan Sistem Informasi Akademik

sangat mendukung pengembangan Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan. Peluang dari faktor isu

strategis yaitu pembiayaan yang mendukung

penerapan Sistem Informasi Akademik,

kemauan dan motivasi yang baik dari

stakeholder dalam penerapan Sistem Informasi

Akademik dalam upaya peningkatan mutu

pendidikan.

Hasil penelitian tentang tantangan

dalam pengembangan sistem informasi

akademik dalam upaya peningkatan mutu

pendidikan terletak pada dua faktor yaitu

Dinas terkait dan letak geografis.

Tantangan mengenai dinas terkait

dalam penerapan Sistem Informasi Akademik

antara lain: a) kurangnya perhatian dari Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga dalam

penerapan Sistem Informasi Akademik dalam

upaya peningkatan mutu pendidikan; dan b)

kurangnya perhatian komite mengenai

penerapan Sistem Informasi Akademik.

Tantangan mengenai letak geografis

dalam penerapan Sistem Informasi Akademik

dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di

SMA Negeri 1 Petanahan anatara lain yaitu

akses lokasi SMA Negeri 1 Petanahan

kaitannya dengan pemasangan jaringan

internet untuk penerapan Sistem Informasi

Akademik dalam upaya peningkatan mutu

pendidikan yang susah dijangkau.

Strategi Pengembangan

Perumusan strategi pengembangan

Sistem Informasi Akademik dalam upaya

peningkatan mutu sekolah di SMA Negeri 1

Petanahan berkaitan dengan konsep

manajemen strategis [6]. (Akdon 2011),

mendefinisikan bahwa manajemen strategik

adalah proses yang berkesinambungan di

mulai dari perumusan strategi, dilanjutkan

dengan pelaksanaan kenudian bergerak kearah

suatu peninjauan kembali dan penyempurnaan

strategik tersebut, karena keadaan di dalam

dan di luar perusahaan atau organisasi yang

selalu berubah. Pentingnya manajemen bagi

keberhasilan suatu organisasi mempengaruhi

organisasi pendidikan. Organisasi pendidikan

merupakan suatu wadah yang bekerja

untukmencapai suatu tujuan yaitu keberhasilan

pendidikan. Oleh karena itu dalam

menjalankan kegiatan pada organisasi

pendidikan juga membutuhkan suatu

manajemen pendidikan yang baik. Perlu suatu

strategi yang tepat untuk mengembangkan

Sistem Informasi Akademik dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan. Skinner (Akdon

2011:4), mengucapkan “bahwa strategi

merupakan filosofi yang berkaitan dengan alat

untuk mencapai tujuan”. Berdasarkan hasil

penelitian diperoleh strategi sebagai berikut. a)

Page 22: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

22

Strategi SO dengan cara:

mengimplementasikan Regulasi pemerintah

yang digunakan sebagai dasar penerapan

Sistem Informasi Akademik di SMA Negeri 1

Petanahan (S1,O1); memanfaatkan jasa

penyedia Sistem Informasi sesuai dengan

regulasi pemerintah (S2,O1); berupaya

mencari dan melaksanakan kemitraan dengan

pihak-pihak yang dapat mendukung

pengembangan sekolah (S1,O2); dan membuat

proposal pengajuan dana kegiatan penerapan

Sistem Informasi Akademik (S2,O2).

Penerapan strategi SO ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Sujoko (2017:

94) yang menyatakan bahwa strategi ini

bersifat agresif untuk mendukung

pertumbuhan mutu sekolah; b) Strategi WO,

dengan cara: Kepala sekolah mengangkat

programer, analis, operator dan manajer

database sesuai Regulasi pemerintah yang

digunakan sebagai dasar penerapan Sistem

Informasi Akademik di SMA Negeri 1

Petanahan (W1,O1); pihak sekolah harus

bekerja sama mengkaji ulang regulasi

pemerintah terkait pengembangan Sistem

Informasi Akademik (W2,O1); Kepala sekolah

mengangkat dan menambah jumlah

programer, analis, operator dan manajer

database sesuai (W1,O2); dan menyusun

ulang program Sistem Informasi Akademik

dengan memanfaatkan dukungan dari

stakeholder (W2,O2); c) Strategi ST melalui

cara: Kepala sekolah lebih aktif bekerja sama

dengan dinas terkait mengenai penerapan

Sistem Informasi Akademik dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan (S1,T1); Kepala

sekolah meningkatkan manajemen sumber

data akademik agar mudah diakses oleh pihak

terkait (S2,T1); Pihak sekolah perlu

menambah sarana prasarana kaitanya dengan

pemasangan jaringan internet (S2,T1); dan

pihak sekolah bekerja sama dengan pihak

penyedia pemasangan jaringan internet agar

akses internet lebih cepat (S2,T2); d) Strategi

WT dengan cara: Kepala sekolah

mengangkat programer, analis, operator dan

manajer database dan menyampaikan kepada

dinas terkait agar bisa bekerja sama (W1,T1);

menyusun manajemen program yang lebih

baik dan menyampaikan kepada dinas terkait

(W2,T1); mengangkat programer, analis,

operator dan manajer database yang mengerti

tentang jaringan internet (W1,T2); dan

menyusun program Sistem Informasi

Akademik yang lebih baik dengan

mempertimbangkan kekurangan dari akses

lokasi (W2,T2).

Keempat strategi tersebut di atas

pada dasarnya dapat dilaksanakan dalam

pengembangan Sistem Informasi Akademik

dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di

SMA Negeri 1 Petanahan. Namun demikian,

sesuai dengan posisi SMA Negeri 1 Petanahan

dalam pengembangan Sistem Informasi

Akademik berada pada sel dengan strategi

GROWTH: konsentrai melalui integrasi

horisontal atau STABILITY strategi maka

sekolah disarankan untuk melakukan

pengembangan terhadap program yang

dilaksanakan sehingga strategi yang paling

tepat dilaksanakan adalah strategi SO

(Strength-Opportunities). Penerapan strategi

peningkatan mutu sekolah berbasis data hasil

analisis SWOT sejalan dengan penelitian

Margareta, & Ismanto, (2017), yang

menyatakan bahwa analisis SWOT dapat

dijadikan salah satu alat ukur dalam

menentukan strategi yang tepat. Melalui

kekuatan dan peluang yang ada, sekolah dapat

meningkatkan mutu. Selain itu, sekolah dapat

meminimalkan kelemahan dan ancaman yang

ada dengan strategi yang tepat.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan yang diperoleh dari hasil

penelitian ini yaitu bahwa kondisi SMA Negeri

1 Petanahan dalam mengembangkan Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan berada pada sel dengan

Page 23: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Pengembangan Sistem Informasi Akademik … | Triani A. Lestari & Siti Mariah

23

strategi GROWTH: konsentrasi melalui

integrasi horisontal atau STABILITY strategi.

Saran

Berdasarkan simpulan seperti telah

dipapakan, maka disarankan SMA Negeri 1

Petanahan dalam pengembangan Sistem

Informasi Akademik dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan sebaiknya melaksanakan

pengembangan lebih lanjut terhadap program

yang dilaksanakan. Strategi yang tepat untuk

dilaksanakan adalah strategi SO (Strengths-

Oportunities), yang terdiri atas: a) Kepala

sekolah mengimplementasikan Regulasi

pemerintah yang digunakan sebagai dasar

penerapan Sistem Informasi Akademik; b)

memanfaatkan jasa penyedia Sistem Informasi

sesuai dengan regulasi pemerintah; c) Kepala

sekolah berupaya mencari dan melaksanakan

kemitraan dengan pihak-pihak yang dapat

mendukung pengembangan sekolah; dan d)

Kepala sekolah membuat proposal pengajuan

dana kegiatan Sistem Informasi Akademik.

DAFTAR PUSTAKA

Akdon. 2011. Strategic Management for

Educational Management

(Manajemen) Strategik untuk

Manajemen Pendidikan). Bandung:

Alfabeta.

BSNP. 2007. Peraturan Mentri Pendidikan

Nasional RI Nomor 19 Tahun 2007

Tentang Standar Pengelolaan

Pendidikan oleh Satuan Pendidikan

Dasar dan Menengah. Jakarta

Dengen, N. & Khairina, D. M. 2009. Sistem

Informasi Akademik Berbasis Web

SMP Negeri 4 Samarinda. Jurnal

Informatika Mulawarman. 4 (2), 18-

29. Diakses dari http://e-

journals.unmul.ac.id/

index.php/JIM/article/ view/38/pdf

Depdiknas. 2003. Undang-undang Nonor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Jakarta.

Jogiyanto. 2009. Sistem Teknologi Informasi.

Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Margareta, R., & Ismanto, B. 2017. Strategi

Perencanaan Pembiayaan Sekolah

dalam Peningkatan Mutu di SMP

Negeri. Kelola: Jurnal Manajemen

Pendidikan, 4(2), 195-204.

Rangkuti, F. 2014. Analisis SWOT. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Rusdiana & Irfan, M. (2014). Sistem Informasi

Manajemen. Bandung: Pustaka Setia.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian &

Pengembangan Research and

Development. Bandung: Alfabeta.

Sujoko, E. 2017. Strategi Peningkatan Mutu

Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT

di Sekolah Menengah Pertama. Kelola:

Jurnal Manajemen Pendidikan, 4 (1),

83-96.

Page 24: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 24-36

24

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson

Wara Hapsari Oktriany

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Suteng Sulasmono

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Ade Iriani

Magister Manajemen Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This study aims to evaluate the performance of certified teachers in SMP Negeri 3

Salatiga in the domain: (1) planning and preparation of learning, (2) class management,

(3) learning process, and (4) professional teacher responsibility. This research is an

evaluative research using Charlotte Danielson Model, with simple qualitative and

quantitative method. The subjects were five teachers of SMP Negeri 3 Salatiga who have

been certified educators. Data collection through interviews, observation, and document

study. Moderate data collection instruments include teacher performance assessment

rubric, interview guides, and questionnaires. The data validity test is done by source and

technique triangulation. The results of this study: (1) the certified teacher performance

in preparing and planning of learning is included in the good category, (2) the certified

teacher performance in managing the classes included in the good category; (3) the

certified teacher performance in the learning process included in either category, and (4)

the certified teacher performance in their professional responsibilities is categorized as

good enough, due to the lack of teachers' efforts to develop themselves.

Keywords: Certified Teacher, Charlotte Danielson Model, Performance Evaluation

Article Info

Received date: 30 Mei 2017 Revised date: 16 Oktober 2017 Accepted date: 21 Juni 2018

Page 25: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.

25

PENDAHULUAN

Upaya meningkatkan mutu pendidikan

telah dan terus dijalankan oleh pemerintah

melalui berbagai kebijakan. Dua kebijakan

yang menyangkut kualitas tenaga pendidik di

Indonesia adalah kebijakan peningkatan

kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme

tenaga pendidik dan kependidikan, dan

kebijakan peningkatkan kesejahteraan tenaga

pendidik melalui sertifikasi (Kunandar, 2007:

6-7). Kedua kebijakan ini amat penting karena

tenaga pendidik atau guru mempunyai peranan

yang besar dan strategis dalam proses

pendidikan. Gurulah yang berada di barisan

terdepan dalam pelaksanaan pendidikan,

langsung berhadapan dengan peserta didik

untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan

teknologi sekaligus mendidik dengan nilai-

nilai positif melalui bimbingan dan

keteladanan. Di tangan gurulah akan

dihasilkan peserta didik yang berkualitas, baik

secara akademis, skill (keahlian), kematangan

emosional, dan moral serta spiritual. Dengan

demikian akan dihasilkan generasi masa depan

yang siap hidup dengan tantangan zamannya.

Oleh karena itu, diperlukan seorang guru yang

mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan

dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas

profesionalnya. (Kunandar, 2007:40).

Lebih lanjut, guna meningkatkan

kesejahteraan dan kualitas kinerja tenaga

pendidik, pemerintah menetapkan kebijakan

sertifikasi bagi tenaga pendidik. Sertifikasi

adalah proses pemberian sertifikat kepada

sesuatu objek tertentu (orang, barang, atau

organisasi tertentu) yang menandakan bahwa

objek tersebut layak menurut kriteria atau

standar tertentu (Payong, 2011: 68). Dengan

demikian maka sertifikasi Guru adalah proses

pemberian sertifikat pendidik kepada guru

(Suyatno, 2007: 2). Secara lebih lengkap

Muslich (2007: 2) mengemukakan bahwa

sertifikasi guru adalah proses pemberian

sertifikat pendidik kepada guru yang telah

memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki

kualifikasi akademik, kompetensi, sehat

jasmani dan rohani, serta memiliki

kemampuan untuk mewujudkan tujuan

pendidikan nasional yang disertai dengan

peningkatan kesejahteraan yang layak. Sedang

dalam Undang Undang No 14 tahun 2005

dinyatakan bahwa sertifikat pendidik diberikan

kepada guru yang telah memenuhi standar

profesi guru. Sertifikasi pendidik adalah proses

pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan

dosen. Sertifikasi pendidik adalah bukti formal

sebagai pengakuan yang diberikan kepada

guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

Oleh karena itu sertifikat pendidik adalah

sertifikat yang ditanda tangani oleh perguruan

tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti

formal pengakuan profesionalitas guru yang

diberikan kepada guru sebagai tenaga

professional (Suyatno, 2007:2). Program

sertifikasi guru itu sendiri mempunyai

beberapa tujuan diantaranya adalah untuk (a)

menentukan kelayakan guru dalam

melaksanakan tugas sebagai agen

pembelajaran dalam rangka mewujudkan

tujuan pendidikan nasional, (b) meningkatkan

mutu proses dan hasil pendidikan, (c)

meningkatkan martabat guru, (d)

meningkatkan profesionalisme guru, dan (e)

meningkatkan kesejahteraan guru (Payong,

2011: 76-77). Sertifikasi bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik.

Dengan meningkatnya kesejahteraan

diharapkan tenaga pendidik bisa meningkatkan

kinerja mengajar mereka, yang akan

berdampak pada meningkatnya mutu

pembelajaran dan mutu pendidikan secara

berkelanjutan (Suyatno, 2007:24).

Dari beberapa definisi di atas, dapat

disimpulkan bahwa sertifikasi guru merupakan

proses pemberian sertifikat pendidik kepada

guru yang telah memenuhi standar profesi guru

serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan

tujuan pendidikan nasional yang disertai

dengan peningkatan kesejahteraan yang layak,

sehingga dapat meningkatkan kualitas

Page 26: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

26

pendidikan di Indonesia dan profesionalitas

guru. Guru bersertifikasi dengan demikian

adalah tenaga pendidik yang telah memenuhi

persyaratan standar profesi guru serta memiliki

kemampuan untuk mewujudkan tujuan

pendidikan nasional dan oleh karena itu

kemudian menerima sertifikat pendidik dari

lembaga yang berwenang. Guru bersertifikasi

diharapkan dapat meningkatkan kinerja

mengajar mereka yang pada gilirannya akan

berdampak pada meningkatnya mutu

pembelajaran dan mutu pendidikan secara

berkelanjutan.

Tentang kinerja Wirawan (2009:5)

berpendapat bahwa kinerja adalah keluaran

yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau

indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu

profesi dalam waktu tertentu. Suatu pekerjaan

atau profesi mempunyai sejumlah fungsi atau

indikator yang dapat digunakan untuk

mengukur hasil pekerjaan tersebut. Sedang

Bangun (2012, 231) mendefinisikan kinerja

sebagai hasil pekerjaan yang dicapai seseorang

berdasarkan persyaratan-persyaratan

pekerjaan (job requirement). Suatu pekerjaan

mempunyai persyaratan tertentu untuk dapat

dilakukan dalam mencapai tujuan (standar

pekerjaan). Mangkunegara (dalam Widodo,

2015:131) menyatakan bahwa istilah kinerja

berasal dari kata job performance atau actual

performance (prestasi kerja atau prestasi

sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang)

yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas

yang dicapai oleh seorang pegawai dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Pendapat Wirawan, Bangun, dan

Mangkunegara mempunyai persamaan, yaitu

mereka mengemukakan bahwa kinerja adalah

hasil pekerjaan seseorang yang dicapai dalam

melaksanakan pekerjaan atau tugas yang telah

diberikan kepadanya sesuai dengan

persyaratan ataupun aturan yang ada. Berbeda

dengan pendapat diatas, Wibowo (2013, 81)

mengemukakan bahwa kinerja merupakan

suatu proses tentang bagaimana pekerjaan

berlangsung untuk mencapai hasil kerja.

Marwansyah (2010:228) juga mendefinisikan

kinerja sebagai pencapaian / prestasi seseorang

berkenaan dengan tugas-tugas yang

dibebankan kepadanya. Kinerja dapat juga

dipandang sebagai perpaduan dari hasil kerja

(apa yang harus dicapai seseorang) dan

kompetensi (bagaimana seseorang

mencapainya). Dari beberapa rumusan

pengertian kinerja di atas, dapat disimpulkan

bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang

dapat dicapai oleh seseorang sesuai dengan

wewenang dan tanggung jawab masing-

masing dalam pencapaian suatu tujuan tanpa

melanggar aturan yang ada.

Mengenai kinerja Guru patut dicatata

bahwa Guru adalah seorang pendidik

professional yang bertugas mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan,

melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta

didik pada pendidikan anak usia dini jalur

pendidikan formal, pendidikan dasar, dan

pendidikan menengah (Priatna, 2013:3). Hasil

yang dicapai secara optimal dalam bentuk

lancarnya proses belajar siswa, dan berujung

pada tingginya perolehan atau hasil belajar

siswa, semuanya merupakan cerminan kinerja

seorang guru. Dalam menjalankan peran dan

fungsinya pada proses pembelajaran di kelas,

kinerja guru dapat terlihat pada kegiatannya

merencanakan, melaksanakan, dan

mengevaluasi proses pembelajaran yang

intensitasnya dilandasi oleh sikap moral dan

profesional seorang guru (Uno, 2012: 65).

Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen bab IV pasal 20 (a)

menyatakan bahwa standar prestasi kerja guru

dalam melaksanakan tugas

keprofesionalannya, guru berkewajiban

merencanakan pembelajaran, melaksanakan

proses pembelajaran yang bermutu serta

menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.

Tugas pokok guru yang diwujudkan dalam

kegiatan belajar mengajar merupakan bentuk

Page 27: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.

27

kinerja guru. Dari beberapa pengertian di atas

maka dapat disimpulkan bahwa kinerja guru

merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja

yang dilakukan oleh seorang guru berdasarkan

kemampuan mereka untuk mengelola kegiatan

belajar mengajar, yang meliputi perencanaan

pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,

evaluasi pembelajaran dan membina hubungan

antar pribadi (interpersonal) dengan siswanya.

Kebijakan sertifikasi Guru sudah

dilegalkan dalam Undang-undang Nomor14

tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta

sudah berjalan kurang lebih selama 10 tahun

sejak tahun 2007 hingga tahun 2017. Namun

pelaksanaan di lapangan ternyata belum sesuai

harapan, karena masih banyak dijumpai guru

bersertifikasi yang kualitas kinerjanya justru

diragukan. Hal itu bisa dipahami karena

berbagai kajian tentang kebijakan publik,

termasuk kebijakan publik dalam bidang

pendidikan menunjukkan bahwa selalu

terdapat kesenjangan implementasi atau

implementation gap dalam proses kebijakan

(Rosli & Rossi, 2014; Effiong, 2013; Iqbal

Ahmad et.all, 2012; Center for International

Private Enterprise and Global Integrity, 2012;

.Makinde, 2008;). Menurut Centre for

International Private Enterpise & Global

Integrity (CIPE-GI, 2012) “implementation

gap is the difference between laws on the books

and how they are carried out in practice”.

Dengan perkataan lain selalu terdapat

kesenjangan antara maksud kebijakan itu

sendiri dengan apa yang terwujud dalam

pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan

(bandingkan misalnya dengan Sulasmono &

Tri Sulistyowati, 2016; Sasadara, Sulasmono

dan Ade Iriani, 2017)

Khusus ihwal kebijakan sertifikasi

Guru, penelitian Khodijah (2013) tentang

kinerja Guru Madrasah dan Guru Pendidikan

Agama Islam pasca sertifikasi di Sumatera

Selatan, menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan dalam kinerja guru setelah

menerima tunjangan profesional dalam aspek

(1) rencana pembelajaran, pelaksanaan, dan

asesmen; (2) antara mereka yang tinggal di

daerah pedesaan dan di daerah perkotaan; dan

(3) antara mereka yang lulus melalui portofolio

dan yang melalui PLPG. Dengan kata lain

kinerja guru bersertifikasi masih di bawah

standar minimum kinerja. Selanjutnya

penelitian Kurniawan (2011) berjudul

“Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru

dalam Rangka Meningkatkan Profesionalitas

Guru di Kota Yogyakarta” menyimpulkan

bahwa jika dilihat dari segi dampak kebijakan

sertifikasi, belum ada peningkatan

profesionalitas guru secara signifikan. Sikap

para guru dalam menjalankan kebijakan

sertifikasi terlihat hanya mengejar

kesejahteraan semata, sementara mutu

pengajaran kurang mendapat perhatian.

Sedang penelitian Yusrizal, dkk (2011) dengan

judul “Evaluasi Kinerja Guru Fisika, Biologi,

dan Kimia SMA yang sudah lulus sertifikasi”

menunjukkan bahwa kinerja guru Fisika,

Biologi, dan Kimia SMA yang sudah lulus

sertifikasi dan sudah menerima tunjangan

belum seluruhnya berkinerja tinggi. Sementara

itu penelitian Amat Jaedun (2009) dengan

judul “Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikat

Profesional” juga menunjukkan bahwa kinerja

guru yang telah disertifikasi (guru profesional)

tidak menjadi lebih baik bila dibandingkan

dengan kinerja guru sebelum disertifikasi.

Kinerja guru menurun karena merasa tidak lagi

dinilai, dan tidak ada sanksi setelah

mendapatkan sertifikasi. Oleh karena itulah

perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru

yang telah disertifikasi tersebut secara

berkelanjutan.

Berbeda dengan hasil-hasil penelitian

di atas, penelitian Faiza (2015) dengan judul “

Evaluasi Implementasi Kebijakan Sertifikasi

Guru di Sekolah Dasar Negeri 13 Kota

Pontianak” menunjukkan bahwa guru sudah

dapat dikatakan layak dan dalam pelaksanaan

belajar-mengajar, guru dapat menguasai

materi pada saat proses belajar mengajar serta

Page 28: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

28

jika ada nilai siswa-siswi yang kurang dari

KKM guru bersangkutan berusaha

mengadakan remedial dan menganalisis materi

mana yang dianggap sulit oleh siswa-siswi dan

menambah nilai yang ada dengan nilai harian

mereka agar bisa mencapai KKM yang telah

ditetapkan. Namun, hanya sedikit sekali guru

yang menggunakan perangkat IT dalam proses

belajar mengajar serta nilai siswa belum naik

secara signifikan dilihat dari nilai kelulusan

siswa setiap tahunnya setelah adanya

kebijakan sertifikasi. Sedang penelitian

Setiawan, Setyorini, dan Yushita (2009) yang

berjudul “Audit Kinerja Guru Akuntansi

Bersertifikat di SMK Negeri 2 Kutoarjo

Purworejo” menunjukkan bahwa sertifikasi

pendidik dapat meningkatkan kinerja guru

dalam menjalankan tugas profesinya sebagai

guru. Kinerja guru akuntansi bersertifikat di

SMK Negeri 2 Kutoarjo ditinjau dari

pelaksanaan kompetensi guru menunjukkan

dalam kategori cukup/sedang yaitu sebesar

64,7% dan yang menunjukkan kategori baik

sebesar 32,3%. Sementara penelitian Tethys

Arsynta (2015) dengan judul “Kinerja Guru

Bersertifikat Profesi dalam Pembelajaran di

SMK Negeri se-Kota Magelang”

menyimpulkan bahwa (1) kinerja guru

bersertifikat profesi dalam perencanaan

pembelajaran dikategorikan baik; (2) kinerja

guru bersertifikat profesi dalam pelaksanaan

pembelajaran dikategorikan baik, (3) kinerja

guru bersertifikat profesi dalam pelaksanaan

pembelajaran dengan sub indikator

pengelolaan kelas dikategorikan cukup baik,

sub indikator penggunaan metode

pembelajaran dikategorikan cukup baik, dan

sub indikator penggunaan media dan sumber

belajar dikategorikan cukup baik; (4) kinerja

guru bersertifikat profesi dalam evaluasi

pembelajaran dikategorikan baik, evaluasi

pembelajaran dengan sub indikator pendekatan

dan jenis evaluasi pembelajaran dikategorikan

cukup baik, sub indikator penyusunan alat

evaluasi pembelajaran dikategorikan baik, dan

sub indikator penggunaan hasil evaluasi

pembelajaran dikategorikan sangat baik.

Berdasarkan kajian teoritis dan

berbagai temuan hasil penelitian yang saling

bertentangan di atas, maka penulis tertarik

untuk mengevaluasi kinerja mengajar guru

bersertifikasi di SMP Negeri 3 Salatiga dengan

menggunakan model Charlotte Danielson.

Evaluasi kinerja guru atau penilaian

kinerja guru adalah penilaian yang dirancang

untuk mengidentifikasi kemampuan guru

dalam melaksanakan tugasnya melalui

pengukuran penguasaan kompetensi yang

ditunjukkan dalam unjuk kerjanya (Priatna,

2013: 1). Pentingnya penilaian kompetensi

guru terutama terkait pertimbangan bahwa

penguasaan kompetensi dan penerapan

pengetahuan serta keterampilan guru, sangat

menentukan tercapainya kualitas proses

pembelajaran atau pembimbingan peserta

didik. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009

tentang jabatan Fungsional Guru dan Angka

Kreditnya, Penilaian Kinerja Guru untuk guru

mata pelajaran dan guru kelas meliputi

kegiatan sebagai berikut: (1) menyusun

kurikulum pembelajaran pada satuan

pendidikan, (2) menyusun silabus

pembelajaran, (3) menyusun rencana

pelaksanaan pembelajaran, (4) melaksanakan

kegiatan pembelajaran, (5) menyusun alat ukur

/ soal sesuai mata pelajaran, (6) menilai dan

mengevaluasi proses dan hasil belajar pada

mata pelajaran yang diampunya, (7)

menganalisis hasil penilaian pembelajaran, (8)

melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan

pengayaan dengan memanfaatkan hasil

penilaian dan evaluasi, (9) menjadi pengawas

penilaian dan evaluasi terhadap proses dan

hasil belajar tingkat sekolah dan nasional, (10)

membimbing guru pemula dalam program

induksi, (11) membimbing siswa dalam

kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran,

(12) melaksanakan pengembangan diri, (13)

Page 29: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.

29

melaksanakan publikasi ilmiah, dan (14)

membuat karya inovatif. Selain meliputi

kegiatan merencanakan dan melaksanakan

pembelajaran, mengevaluasi dan menilai serta

menganalisis hasil penilaian terkait tugas

pembelajaran, penilaian kinerja guru juga

melakukan penilaian terhadap 4 domain

kompetensi yang harus dimiliki oleh guru

sesuai dengan peraturan menteri pendidikan

nasional nomor 16 tahun 2007 tentang standar

kualifikasi akademik dan kompetensi guru.

Pengelolaan pembelajaran tersebut

mensyaratkan guru memiliki kompetensi yang

dikelompokkan ke dalam empat domain

kompetensi yaitu pedagogik, kepribadian,

sosial, dan profesional. Dapat disimpulkan

bahwa evaluasi kinerja guru bersertifikasi

adalah evaluasi terhadap kinerja guru

bersertifikasi dalam merencanakan,

melaksanakan dan mengevaluasi hasil belajar

siswa sebagai dampak dari proses belajar

mengajar yang dikelolanya.

Peneliti memilih menggunakan model

Charlotte Danielson, karena model ini sudah

diterapkan di beberapa sekolah di Amerika

Serikat dan dapat membantu meningkatkan

kualitas guru dalam mengajar. Dengan model

ini guru diharapkan dapat menilai kinerja guru

dalam mengajar dan juga dapat memperbaiki

kinerja mereka menjadi lebih baik. Model

mengajar Charlotte Danielson dikembangkan

berdasarkan Praxis Series. Praxis Series

adalah standar professional yang telah

memiliki dampak besar terhadap program

pendidikan guru secara nasional (serta

pertumbuhan dan pengembangan professional

guru berkelanjutan). Praxies Series menilai

perkembangan individu sesuai dengan tiga

langkah untuk menjadi guru. Ketiga bidang

assesmen ini adalah Asesmen Keterampilan

Akademis : memasuki program pendidikan

guru (Praxis I), Asesmen Mata Pelajaran:

lisensi untuk masuk profesi (Praxis II), dan

Asessmen Kinerja sekolah (Praxis III). Di

dalam Praxis III inilah yang melibatkan

asesmen dari keterampilan mengajar

sebenarnya yang terbagi dalam 4 domain

mengajar Danielson (Parkay, 2011:28-29).

Empat domain mengajar Charlotte

Danielson terdiri dari persiapan dan

perencanaan pembelajaran, pengelolaan ruang

kelas, pembelajaran, dan tanggung jawab

profesional. Empat domain ini memiliki 22

komponen dan terbagi lagi menjadi beberapa

elemen untuk lebih memperjelas pemahaman

kita tentang apa arti mengajar (Danielson,

2007 :1). Domain 1 yaitu persiapan dan

perencanaan pembelajaran. Didalam domain

ini adalah langkah pertama dalam mengajar

yang efektif, yaitu dengan adanya perencanaan

dan persiapan yang efektif. Domain

perencanaan, melibatkan semua pekerjaan

yang dilakukan sebelum pembelajaran yang

sebenarnya terjadi. Domain 1 terlihat pada

semua komponen yang relevan dari

perencanaan dan persiapan yang membantu

guru saat memasuki kelas dengan keyakinan

dan menginspirasi kepercayaan siswa.

Perencanaan dan persiapan yang melibatkan

lebih dari hanya menulis kegiatan hari itu di

kalender perencanaan. Domain 1 berisi semua

berbagai aspek perencanaan, termasuk

pentingnya pengetahuan siswa dan sumber

daya yang tersedia. Tanpa mengetahui tentang

siswa, guru tidak bisa mendesain pembelajaran

yang bermakna dan sesuai. Tanpa mengetahui

sumber daya apa tersedia dan sesuai untuk

digunakan dalam perencanaan dan instruksi,

seorang guru dibatasi dengan visi sempit dari

pengajaran. Tentu saja, seorang guru harus

memiliki pengetahuan materi ajar dan

pengetahuan strategi pembelajaran agar

menjadi efektif. Pengetahuan ini digunakan

untuk memilih hasil pengajaran, untuk

mendesain pembelajaran koheren, dan

merencanakan untuk penilaian yang bermakna

(Danielson, 2007: 26 – 28).

Domain 2 yaitu pengelolaan ruang

kelas. Di dalam domain ini para pendidik harus

selalu mengingat bahwa guru favorit adalah

Page 30: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

30

guru yang memiliki rasa humor, membuat

pembelajaran yang relevan, memberikan

pujian tanpa syarat, dan membuat siswa

merasa aman, dihargai dan dihormati. Para

pendidik juga harus mengingat bahwa ada juga

guru yang mengkritik siswa, meremehkan

usaha siswa, dan menciptakan suasana

ketakutan. Setiap sikap dan perilaku guru ini

akan dikenang lama setelah siswa tersebut

dewasa (Danielson, 2007: 28-29).

Domain 3 adalah pembelajaran. Dalam

domain 3 inilah pengajaran yang sebenarnya.

Ini mencakup segala sesuatu yang guru

lakukan agar pembelajaran siswa serta

kemampuan siswa dapat diterapkan pada

pembelajaran yang akan datang. Penyampaian

pembelajaran menempatkan keakraban guru

dengan karakteristik tingkat usia siswa,

pengetahuan tentang setiap siswa di setiap

kelas, menggunakan beberapa strategi

pengajaran, dan pembentukan gerakan tubuh

sesuai dengan kegiatan dalam pelajaran. Ini

adalah alat setiap guru yang memungkinkan

guru untuk memotivasi setiap siswa untuk

mencapai potensi diri nya. Komponen domain

ini melaksanakan perencanaan yang matang

bahwa guru telah melakukannya dalam

Domain 1, memanfaatkan lingkungan belajar

yang aman yang ditetapkan pada Domain 2,

dan mengubah semua komponen yang telah

mendahului ajaran ini ke dalam materi ajar

yang mudah dipahami siswa. Ketika materi

ajar disajikan, guru juga terus memantau dan

mengevaluasi tanggapan siswa untuk

menentukan apakah siswa memahami apa

yang diajarkan. Penilaian formal dan informal

adalah berkelanjutan dan menyediakan data

berharga yang menginformasikan kapan guru

dan bagaimana menyesuaikan pengajaran

untuk kebutuhan siswa (Danielson, 2007: 29 –

30).

Domain 4 adalah tanggung jawab

profesional guru. Tanggung jawab profesional,

berfokus pada tindakan yang terjadi setelah

proses pembelajaran. Dengan adanya

pengalaman mengajar, guru memahami nilai

refleksi untuk meningkatkan dan

merencanakan instruksi pembelajaran

berikutnya. Guru-guru yang efektif

mengevaluasi kekuatan dan kelemahan dari

pembelajaran yang telah dilakukan, mengacu

pada catatan refleksi mereka untuk

memperbaiki pengajaran mereka. Selain itu,

guru profesional berkomunikasi dan

berkolaborasi dengan orang tua murid dan

kolega. Guru yang efektif membuat orang tua

dan keluarga terlibat dalam program

pembelajaran melalui konferensi dijadwalkan,

panggilan telepon, menulis catatan, dan

mengundang orang tua datang ke sekolah.

Selain itu, guru mencoba mendukung

hubungan dengan satu sama lain dan berbagi

dalam perencanaan pembelajaran. Mereka

menerima umpan balik dan terus berupaya

membuat keputusan berdasarkan standar

profesionalisme yang tinggi (Danielson, 2007:

30-31).

Penelitian ini bertujuan untuk

mengevaluasi kinerja guru bersertifikasi di

SMP Negeri 3 Salatiga dalam (1)

merencanakan dan mempersiapkan

pembelajaran, (2) mengelola kelas, (3)

berinteraksi dengan siswa saat pembelajaran

berlangsung, dan (4) dalam menunjukkan

tanggung jawab profesionalnya sebagai

seorang guru. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberi gambaran tentang kualitas

kinerja guru bersertifikasi, dan jika diperlukan

dapat menjadi acuan dalam upaya peningkatan

kinerja guru bersertifikasi maupun para pihak

yang relevan yaitu Kepala Sekolah dan

Pengawas Sekolah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

evaluatif. Penelitian evaluatif yang dilakukan

peneliti termasuk jenis penelitian evaluatif

kinerja sumber daya manusia. Penelitian ini

bertujuan untuk melaksanakan evaluasi dan

menggambarkan data yang berupa keterangan

Page 31: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.

31

dan pernyataan yang ada tentang kinerja guru

bersertifikasi. Penelitian dilakukan terhadap 5

(lima) orang guru kelas VII bersertifikasi yang

bekerja di SMP Negeri 3 Salatiga.

Pendekatan penelitian yang digunakan

adalah pendekatan kuantitatif sederhana dan

kualitatif. Pendekatan kuantitatif

menggunakan teknik pengumpulan data

berupa angket dan observasi dengan

instrument kuesioner dan Rubrik Penilaian

Kinerja Guru yang merupakan terjemahan dari

rubrik penilaian kinerja guru Model Charlotte

Danielson. Selanjutnya untuk mencek dan

memperbaiki kebenaran data dari kuesioner

tersebut dilakukan pengumpulan data kualitatif

dengan teknik wawancara dan studi dokumen.

Subyek penelitian meliputi kepala

sekolah, wakil kepala sekolah, guru

bersertifikasi, dan siswa di SMP Negeri 3

Salatiga. Peneliti memberikan kuesioner

kepada siswa dan rubrik penilaian kinerja guru

bersertifikasi kepada wakil kepala sekolah.

Selain itu peneliti melakukan wawancara

dengan guru bersertifikasi dan kepala sekolah

serta observasi proses mengajar para guru

bersertifikasi. Data hasil kuesioner siswa dan

data hasil pengisian rubrik penilaian kinerja

guru oleh Wakasek dibandingkan dengan hasil

wawancara guru, siswa, dan Kepala Sekolah.

Selanjutnya data-data tersebut dibandingkan

dengan data hasil observasi dan studi

dokumen, sehingga data yang diperoleh benar-

benar valid.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Persiapan dan Perencanaan

Pembelajaran (DOMAIN 1). Hasil penelitian

menyatakan bahwa kelima guru yang diteliti

telah melakukan persiapan dan perencanaan

pembelajaran dengan baik.

Tabel 1. Hasil Evaluasi Kinerja Guru pada Domain 1 Persiapan dan Perencanaan pembelajaran

KOMPONEN DOMAIN 1 ZM JH TA DW SM

Menunjukkan pengetahuan tentang standar kompetensi dan

strategi pembelajaran 3 3 4 3 3

Menunjukkan pengetahuan tentang karakteristik peserta didik 3 3 3 3 3

Pemilihan tujuan pembelajaran 4 4 3 3 3

Menunjukkan pengetahuan tentang materi pembelajaran yang

digunakan 3 4 4 3 3

Merancang pembelajaran yang logis 4 4 3 3 3

Menilai pembelajaran siswa 4 4 4 4 4

Sumber: Data penelitian

Tabel di atas menunjukkan bahwa skor

para Guru berada pada kategori baik dan

beberapa aspek ada yang sangat baik, menurut

skala evaluasi Charlotte Danielson. Dengan

kata lain para guru tersebut telah mampu

menetapkan tujuan dengan cermat dan

menyusun langkah-langkah kegiatan

pembelajaran dengan baik. Dalam pembuatan

RPP guru memahami benar tentang

komponen-komponen yang harus ada dalam

RPP (standar kompetensi, kompetensi dasar,

komponen pencapaian kompetensi, tujuan

pembelajaran, alokasi waktu, metode

pembelajaran, kegiatan pembelajaran,

penilaian, dan sumber belajar). Namun ada

beberapa aspek dalam perencanaan

pembelajaran yang perlu diperbaiki yaitu

perencanaan penggunaan metode

pembelajaran, sumber belajar, dan media yang

digunakan dalam pembelajaran. Selain itu,

guru – guru tersebut belum membuat RPP

sesuai dengan karakteristik siswa, jadi hanya

ada satu macam RPP untuk semua siswa

dimana tiap siswa memliki karakteristik yang

berbeda. Materi pembelajaran ataupun tugas

yang digunakan sama untuk semua

Page 32: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

32

karakteristik anak, tidak dibedakan untuk anak

yang berkemampuan rendah, sedang, ataupun

tinggi.

Pengelolaan Kelas (Domain 2). Pada

domain 2, semua guru mempunyai kinerja

yang baik dalam mengelola kelas saat

pembelajaran.

Tabel 2. Hasil Evaluasi Kinerja Guru pada Domain 2 Pengelolaan Kelas

KOMPONEN DOMAIN 2 ZM JH TA DW SM

Menciptakan suasana belajar yang diliputi dengan sikap

saling menghargai dan saling berhubungan baik 4 4 4 3 3

Mengembangkan budaya belajar 4 4 3 3 3

Mengelola kelas 3 3 3 3 3

Mengatur perilaku siswa 3 3 4 3 3

Menata ruang kelas 3 3 3 3 3

Sumber: Data penelitian

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa

skor para Guru pada aspek pengelolaan kelas

berada pada kategori baik dan beberapa sub

aspek ada yang sangat baik, menurut skala

evaluasi Charlotte Danielson. Kinerja guru

tersebut antara lain ditunjukkan oleh sikap

semua guru yang selalu berusaha untuk

menghargai siswa, mengembangkan budaya

belajar di kelas dengan berbagai kegiatan

supaya anak tidak bosan mengikuti pelajaran

dikelas ataupun pada saat pembelajaran diluar

kelas. Selain itu juga, guru berhasil mengatur

perilaku siswa yang tidak mengikuti aturan

yang ada, seperti misalnya ketika siswa tidak

mengerjakan PR, maka guru meminta siswa

untuk berlari keliling lapangan. Guru

menggunakan tutur kata yang sopan dalam

menyampaikan materi pelajaran, sehingga

siswa tertarik atau menyukai guru tersebut.

Karena kurikulum yang dipakai saat ini adalah

kurikulum 2013, maka pembelajaran tidak

selalu dilakukan didalam kelas, terkadang guru

mengajak keluar kelas pada saat pembelajaran

berlangsung. Siswa diminta untuk melakukan

pengamatan terhadap lingkungan sekitar,

diskusi dengan teman. Dengan metode

pembelajaran diluar sekolah, siswa jadi tidak

bosan untuk belajar sehingga mereka bisa

memahami pelajaran dengan baik.

Pembelajaran (Domain 3). Pada

domain 3 tentang proses pembelajaran,

berdasarkan hasil rubrik wakil kepala sekolah,

semua guru mempunyai kinerja baik.

Tabel 3. Hasil Evaluasi Kinerja Guru pada Domain 3 Pembelajaran

KOMPONEN DOMAIN 3 ZM JH TA DW SM

Berkomunikasi dengan siswa 3 3 3 3 3

Menggunakan teknik tanya jawab dan diskusi 4 4 3 3 3

Melibatkan siswa dalam pembelajaran 4 4 3 3 3

Memberikan umpan balik bagi siswa (penilaian) 3 3 3 3 3

Menunjukkan sikap fleksibel dan responsif (cepat tanggap) 3 3 3 3 3

Sumber: Data penelitian

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa skor

para Guru pada aspek pembelajaran berada

pada kategori baik dan beberapa sub-aspek ada

yang sangat baik, menurut skala evaluasi

Charlotte Danielson.

Namun pada kenyataannya,

berdasarkan pendapat beberapa siswa, masih

ada guru yang selalu memerintahkan siswa nya

untuk mengerjakan soal sedangkan hanya

sedikit memberikan penjelasan. Ada pula guru

yang memberikan hukuman ketika siswa tidak

mengerjakan PR atau ketika remidi. Kadang –

kadang guru juga berbicara terlalu cepat dalam

menjelaskan materi pelajaran sehingga siswa

masih kurang memahami materi pelajaran

tersebut. Dalam pembelajaran, guru

menggunakan sistem berdiskusi baik dalam

kelompok kecil maupun kelompok besar.

Dengan dibuat sistem berkelompok, siswa

akan berinteraksi dengan temannya. Siswa

Page 33: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.

33

berlatih untuk bekerja sama dengan temannya.

Tanggung Jawab Profesional

(Domain 4). Pada domain 4 tentang tanggung

jawab profesional, guru berkinerja cukup

berdasarkan hasil rubrik.

Tabel 4. Hasil Evaluasi Kinerja Guru pada Domain 4 Tanggungjawab Profesional

KOMPONEN DOMAIN 4 ZM JH TA DW SM

Merefleksikan pengajaran 3 3 3 3 3

Membuat catatan yang akurat (kehadiran siswa, jurnal

pembelajaran, dll) 3 3 3 3 3

Berkomunikasi dengan orang tua siswa 2 2 2 2 2

Memberi kontribusi pada sekolah dan dinas pendidikan 2 2 2 2 2

Mengembangkan keprofesian 2 2 2 2 2

Menunjukkan profesionalisme 3 3 3 3 3

Sumber: Data penelitian

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa

skor para Guru pada aspek tanggung jawab

professional berada pada kategori baik untuk 3

sub-aspek dan berada pada kategori cukup

untuk 3sub-aspek, menurut skala evaluasi

Charlotte Danielson.

Begitu juga berdasarkan hasil

observasi wakil kepala sekolah semua guru

mempunyai kinerja yang baik. Adapun kinerja

baik dari guru ini diperoleh dari kebiasaan

guru yang selalu merefleksikan pengajaran

mereka dan juga catatan yang dimiliki oleh

guru seperti misalnya jurnal mengajar, absensi

siswa.

Namun, meskipun kinerja guru

dinyatakan baik, berdasarkan hasil wawancara

dengan guru dan kepala sekolah, masih ada

beberapa kekurangan. dimana kurangnya

komunikasi guru dengan orang tua atau wali

murid dalam hal proses pembelajaran, masih

ada guru yang belum memberikan kontribusi

baik untuk nama sekolah sendiri ataupun untuk

dinas pendidikan setempat seperti misalnya

guru berprestasi, dan juga guru masih belum

menunjukkan perkembangan dalam

keprofesiannya seperti misalnya pembuatan

PTK, menulis karya ilmiah, menghasilkan

karya inovatif baik didalam ataupun diluar

pembelajaran.

Pembahasan

Temuan penelitian ini mendukung

penelitian yang dilakukan oleh Tethys Arsynta

(2015) dengan judul “Kinerja Guru

Bersertifikat Profesi dalam Pembelajaran di

SMK Negeri se-Kota Magelang.” Hasilnya

menyimpulkan bahwa kinerja guru

bersertifikat profesi dalam perencanaan

pembelajaran dikategorikan baik; kinerja guru

sertifikasi di Gugus Mangga pada komponen

pengembangan diri berada pada kriteria

kurang baik (Kartomo & Slameto, 2016).

Kinerja mengajar guru kelas V bersertifikasi di

Daerah Binaan 2 Kecamatan Parakan pada

bidang Perencanaan dan Pelaksanaan

Pembelajaran masuk kategori baik dan sangat

baik (Setyowati & Sulasmono, 2015).

Temuan penelitian menunjukkan

sedikit perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan Tethys (2015), dimana penelitian

tersebut menyimpulkan bahwa kinerja guru

bersertifikat profesi dalam pelaksanaan

pembelajaran dengan sub komponen

pengelolaan kelas hanya dikategorikan cukup

baik, sub komponen penggunaan metode

pembelajaran juga dikategorikan cukup baik,

dan begitu pula sub komponen penggunaan

media dan sumber belajar dikategorikan cukup

baik.

Temuan penelitian ini sama dengan

penelitian yang dilakukan oleh Tethys (2015)

yang menyimpulkan bahwa kinerja guru

bersertifikat profesi dalam pelaksanaan

pembelajaran dikategorikan baik.

Page 34: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

34

Hasil temuan penelitian ini sama

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Suyanti (2009) tentang evaluasi kinerja guru

pada sekolah menengah pertama sebagai

rintisan sekolah bertaraf internasional di kota

Yogyakarta. Hasil penelitian Suyanti

menyimpulkan bahwa kompetensi profesional

yang diperoleh guru hanya dikategorikan

cukup. Sedangkan kompentensi kepribadian,

kompetensi pedagogik, dan kompetensi sosial

dikategorikan baik.

Khusus tentang kebijakan sertifikasi

Guru, penelitian Khodijah (2013) tentang

kinerja Guru Madrasah dan Guru Pendidikan

Agama Islam pasca sertifikasi di Sumatera

Selatan, menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan dalam kinerja guru setelah

menerima tunjangan professional dalam aspek

(1) rencana pembelajaran, pelaksanaan, dan

asesmen; (2) antara mereka yang tinggal di

daerah pedesaan dan di daerah perkotaan; dan

(3) antara mereka yang lulus melalui portofolio

dan yang melalui PLPG. Dengan kata lain

kinerja guru bersertifikasi masih di bawah

standar minimum kinerja. Selanjutnya

penelitian Kurniawan (2011) berjudul

“Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru

dalam Rangka Meningkatkan Profesionalitas

Guru di Kota Yogyakarta” menyimpulkan

bahwa jika dilihat dari segi dampak kebijakan

sertifikasi, belum ada peningkatan

profesionalitas guru secara signifikan. Sikap

para guru dalam menjalankan kebijakan

sertifikasi terlihat hanya mengejar

kesejahteraan semata, sementara mutu

pengajaran kurang mendapat perhatian.

Sedang penelitian Yusrizal, dkk (2011) dengan

judul “Evaluasi Kinerja Guru Fisika, Biologi,

dan Kimia SMA yang sudah lulus sertifikasi”

menunjukkan bahwa kinerja guru Fisika,

Biologi, dan Kimia SMA yang sudah lulus

sertifikasi dan sudah menerima tunjangan

belum seluruhnya berkinerja tinggi. Sementara

itu penelitian Amat Jaedun (2009) dengan

judul “Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikat

Profesional” juga menunjukkan bahwa kinerja

guru yang telah disertifikasi (guru profesional)

tidak menjadi lebih baik bila dibandingkan

dengan kinerja guru sebelum disertifikasi.

Kinerja guru menurun karena merasa tidak lagi

dinilai, dan tidak ada sanksi setelah

mendapatkan sertifikasi. Oleh karena itulah

perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru

yang telah disertifikasi tersebut secara

berkelanjutan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan temuan dan pembahasan

hasil penelitian evaluasi seperti dipaparkan

sebelumnya, dapat disimpulkan empat hal

sesuai dengan permasalahan penelitian yang

telah dirumuskan yaitu bahwa (1) kinerja

guru bersertifikasi di SMP Negeri 3 Salatiga

dalam merencanakan dan mempersiapkan

pembelajaran masuk dalam kategori baik, (2)

kinerja guru bersertifikasi di SMP Negeri 3

Salatiga dalam mengelola kelas termasuk

kategori baik, (3) kinerja guru bersertifikasi

di SMP Negeri 3 Salatiga dalam berinteraksi

dengan siswa saat pembelajaran

berlangsung masuk dalam kategori baik, dan

(4) kinerja guru bersertifikasi di SMP Negeri 3

Salatiga dalam menunjukkan tanggung

jawab profesionalnya sebagai seorang guru

dikategorikan cukup baik.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian evaluasi

kinerja guru bersertifikasi dengan model

Charlotte Danielson seperti dikemukakan

diatas, dapat disampaikan saran agar para guru,

lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan yang

berhubungan dengan pengembangan profesi

mereka seperti seminar, workshop, pelatihan

dan sejenisnya. Guru perlu mengikuti kegiatan

seperti ini agar dapat mengembangkan diri

dalam meningkatkan keprofesian mereka di

dunia pendidikan. Kepala sekolah disarankan

untuk mengadakan dan/atau mengikutsertakan

para guru agar mengikuti berbagai pelatihan,

seminar, workshop yang berhubungan dengan

Page 35: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikasi Dengan Model Charlotte Danielson | Wara H. Oktriany, dkk.

35

upaya peningkatan keprofesian mereka

sehingga semua guru dapat memberikan

kontribusi prestasi pada sekolah. Sedangkan

bagi pengawas sekolah, disarankan untuk

memberikan motivasi kepada kepala sekolah

dan guru agar guru – guru tidak hanya aktif

dalam mengajar saja namun guru – guru perlu

mengembangkan diri dalam meningkatkan

keprofesionalan mereka di dunia pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, M.; Taha, Zainuddin; ide Said DM, H.

M.; Saleh Muhammad. 2016. Analysis

of Professional Competence of Bahasa

Teachers of Senior High School in

Jeneponto Regency after Certification.

Journal of Language Teaching &

Research . Jan2016, Vol. 7 Issue 1,

p66-75

Azwar, Saifuddin. 2012. Reliabilitas dan

Validitas. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Danielson, Charlotte. 2007. Enhancing

professional practice: A framework for

teaching (2nd ed.). Alexandria, Va.:

Association for Supervision and

Curriculum Development. ISBN 978-

1416605171.

Danielson, Charlotte. 2009. Implementing the

Framework for teaching in Enhancing

Professional Practice. Alexandria,

Va.: Association for Supervision and

Curriculum Development. ISBN 978-1-

4166-0913-3.

Darmini. 2012. “Persepsi Guru Non Sertifikasi

terhadap Etos Kerja dan Kinerja

Mengajar Guru Sekolah Dasar

Bersertifikasi Kecamatan Kandangan”.

Tesis.

Dharma, Surya. 2005. Manajemen Kinerja :

Falsafah, Teori dan Penerapannya.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Faisa, Ulin. 2015. Evaluasi Implementasi

Kebijakan Sertifikasi Guru di Sekolah

Dasar Negeri 13 Kota Pontianak.

PublikA, Jurnal S-1 Ilmu Administrasi

Negara, Volume 4 Nomor 1 Edisi

Maret, hal 66-75

Jaedun, Amat. 2009. Evaluasi Kinerja Guru

Bersertifikat Profesional.

Kartomo, A. I., & Slameto, S. (2016). Evaluasi

Kinerja Guru Bersertifikasi. Kelola:

Jurnal Manajemen Pendidikan, 3(2),

219-229.

Khodijah, Nyayu. 2013. Kinerja guru

madrasah dan guru pendidikan agama

islam pasca sertifikasi di Sumatera

Selatan. Cakrawala Pendidikan,

Februari 2013, Th. XXXII, No. 1 (91-

102)

Kunandar. 2007. Guru Profesional:

Implementasi Kurikulum Tingkat

satuan Pendidikan (KTSP) dan

persiapan menghadapi sertifikasi guru.

Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Kurniawan, Bachtiar Dwi. 2011. Implementasi

Kebijakan Sertifikasi Guru dalam

Rangka Meningkatkan Profesionalitas

Guru di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi

Pemerintahan Vol.2 No.2 Agustus

2011 (278-299)

Marwansyah. 2010. Manajemen Sumber Daya

Manusia. Bandung: Alfabeta

Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi guru

menjadi profesionalisme pendidik.

Jakarta : Bumi Aksara.

Parkay, Forrest W. 2011. Menjadi Seorang

Guru. Jakarta: PT Indeks.

Payong, Marselus. 2011. Sertifikasi Profesi

Guru : Konsep Dasar, Problematika,

dan Implementasinya. Jakarta : PT

Indeks

Page 36: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

36

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi Nomor 16 tahun 2009

tentang jabatan Fungsional Guru dan

Angka Kredit

Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang

Standar Proses untuk Satuan

Pendidikan Menengah

Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 tentang

Standar Kualifikasi Akademik dan

Kompetensi Guru.

Rivai, Veithzal. 2008. Perfomance Appraisal.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sasadara,W.L.; Sulasmono, B.S.; & Ade

Iriani. 2017 Evaluasi Implementasi

Kebijakan Pendidikan Inklusi. Kelola:

Jurnal Manajemen Pendidikan Vol 4

No 2 hal 1-…

Setiawan Ngadirin.; Dhyah Setyorini; Amanita

Novi Yushita. 2009. Audit Kinerja

Guru Akuntansi Bersertifikat Di SMK

Negeri 2 Kutoarjo Purworejo. Jurnal

Pendidikan Akuntansi Indonesia Vol.

VII. No. 2 – Tahun 2009

Setyowati, T., & Sulasmono, B. S. 2015.

Evaluasi Kinerja Mengajar Guru Kelas

V Bersertifikasi di Daerah Binaan 2

Kecamatan Parakan. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 2(1), 86-98.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian

Manajemen. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian dan

Pengembangan Research and

Development. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Metode

Penelitian Pendidikan. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Sulasmono, B.S. & Tri Sulistyowati. 2016.

Context, Input, Process and Product

Evaluation of the Inclusive Education

Program in Public Elementary School.

Prosiding ICERI 2016UNY

Yogyakarta

Suyanti. 2009. Evaluasi Kinerja Guru pada

Sekolah Menengah Pertama sebagai

Rintisan Sekolah Bertaraf

Internasional di Kota Yogyakarta;

Suyatno. 2008. Panduan Sertifikasi Guru.

Jakarta: PT Indeks

Undang – Undang RI no 14 tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen

Undang – Undang RI No 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional

Uno, Hamzah B. & Nina Lamatenggo. 2012.

Teori kinerja dan pengukurannya.

Jakarta: Bumi Aksara

Viani, Farida. 2015. A Performance

Evaluation Model for School Teachers:

An Indian Perspective

Wibowo. 2013. Manajemen Kinerja. PT: Raja

Grafindo Persada: Jakarta

Widodo, Suparno Eko. 2015. Manajemen

Pengembangan Sumber Daya

Manusia. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Wirawan. 2009. Evaluasi Kinerja Sumber

Daya Manusia: Teori Aplikasi dan

Penelitian. Jakarta : Salemba Empat.

Yusrizal, Soewarno, S dan Zarlaida Fitri. 2011.

Evaluasi Kinerja Guru Fisika, Biologi,

dan Kimia SMA yang Sudah Lulus

Sertifikasi. Jurnal Penelitian dan

Evaluasi Pendidikan; Vol 15, No 2 hal

269-286

Page 37: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 37-46

37

Peningkatan Kompetensi Guru Dalam Perencanaan Pembelajaran Tematik

Melalui Supervisi Kelompok Pendekatan Kolaboratif

Rukayah

SD Negeri Ungaran 05

[email protected]

ABSTRACT

This research was conducted with the aims to improve the competence of

developing thematic learning plans in improving the quality of thematic learning in class

I, II, and III in primary school Ungaran 05. Subjek research in this action research is a

low-grade teacher at SD Negeri Ungaran 05. The school action researcher was

conducted in two cycles, with the stages of planning, acting, observing and reflecting in

each cycle. The collected data is analyzed quantitatively and qualitatively. The results of

school action research concluded that group supervision with collaborative approach

can improve the competence of lower class teachers in Elementary School Ungaran 05

in preparing thematic lesson planning.

Keywords: collaborative, competence, learning, supervision, thematic

Article Info

Received date: 3 April 2018 Revised date: 23 Mei 2018 Accepted date: 21 Juni 2018

Page 38: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

38

PENDAHULUAN

Banyak persoalan yang dihadapi dalam

proses pendidikan. Kepala sekolah, guru,

peserta didik, dan stakeholder lainya hampir

dapat dipastikan mempunyai persoalan atau

masalah dalam kaitannya dengan

pembelajaran. Guru sebagai pemeran utama

dalam pembelajaran juga tidak luput dari

masalah mengajar, karenanya dibutuhkan

pengalaman, masukan, bantuan dan pendapat

dari orang lain guna memecahkan atau

memberikan alternatif solusi atas persoalan

yang dihadapi guru tersebut. Sebagai pemeran

utama dalam pembelajaran, guru dituntut

untuk berinovasi. Pembelajaran dapat

dirumuskan sebagai proses interaksi dalam

satu lingkungan belajar tertentu antara guru,

peserta didik dan sumber-sumber belajar yang

tersedia. Proses pembelajaran itu sendiri

meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan

penilaian. Pada tahap perencanaan, para guru di

semua satuan pendidikan wajib menyusun

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang

lengkap dan sistematis agar pembelajaran dapat

berlangsung secara interaktif, inspiratif,

menyenangkan, menantang, dan memotivasi

seluruh peserta didik berpartisipasi aktif, serta

memberikan kesempatan yang memadai

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian para

peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan

perkembangan fisik serta psikologis mereka

masing-masing.

Peserta didik yang duduk di kelas satu,

dua dan tiga Sekolah Dasar hakikatnya masih

termasuk dalam rentangan usia dini, yang

mengalami perkembangan kecerdasan baik

kecerdasan akademik, kecerdasan emosional

maupun kecerdasan spiritual yang sangat luar

biasa (Tryanasari, Mursidik, & Riyanto, 2013:

139). Pada tahap perkembangan ini peserta

didik memandang semua hal sebagai satu

keutuhan dan mereka pun sudah paham relasi

antar konsep sederhana berdasarkan pada

obyek-obyek yang nyata. Proses pembelajaran

peserta didik kelas bawah masih bergantung

kepada objek-objek nyata dan hal-hal yang

dialami secara langsung. Oleh karena itu

pembelajaran di kelas bawah lebih tepat dan

akan efektif jika dikelola dengan pendekatan

pembelajaran tematik. Oleh karena itu pula lah

para guru di kelas bawah perlu menyusun RPP

bagi kegiatan pembelajaran tematik, yaitu RPP

Tematik. Pembelajaran tematik adalah suatu

pendekatan dalam mengintegrasikan

kurikulum dan dilaksanakan dalam

pembelajaran di sekolah dasar (Nugroho,

2016:82).

Berdasarkan supervisi akademik yang

dilakukan Kepala Sekolah pada bulan

November 2016, terhadap 3 (tiga) orang guru

kelas bawah di SD Negeri Ungaran 05,

ternyata ke-tiga orang guru itu, belum

menggunakan pendekatan pembelajaran

tematik. Baik dalam menyusun RPP maupun

melaksanakan pembelajaran di kelas mereka

masih menerapkan pola pembelajaran mata

pelajaran terpisah. Para guru masih

menggunakan pola pembelajaran terpisah

karena belum memahami bagaimana

mengelola pembelajaran tematik secara efektif

dan efisien. Berdasarkan permasalahan itu

maka peneliti selaku Kepala Sekolah merasa

perlu untuk melaksanakan supervisi terhadap

para guru kelas bawah, agar dapat menyusun

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Tematik

yang baik melalui sebuah PTS (PTS).

Harapannya kelak para Guru tersebut dapat

pula melaksanakan pembelajaran tematik

sesuai acuan Standar Proses pendidikan yang

berlaku

Supervisi merupakan usaha petugas–

petugas sekolah dalam memimpin guru-guru

dan petugas-petugas lainnya dalam

memperbaiki pengajaran, termasuk

menstimulasi, menyelesaikan pertumbuhan

jabatan dan perkembangan guru-guru serta

merevisi tujuan-tujuan pendidikan (Cartel

dalam Sahertian, 2000: 17). Menurut Prasojo

(2011: 3) salah satu tujuan supervisi adalah

membantu guru untuk meningkatkan

Page 39: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Bawah Dalam Menyusun Perencanaan … | Rukayah

39

kompetensinya. Supervisi dilakukan oleh

atasan kepada bawahan, dalam hal ini adalah

kepala sekolah kepada guru dengan tujuan agar

terjadi peningkatan kompetensi (Bahri, 2014:

102). Sementara Yusak dan Darmawan (2017:

50) mengungkapkan bahwa bagi sebuah

sekolah, supervisi penting untuk dilakukan

agar dapat mengontrol kualitas dan kegiatan-

kegiatan pembelajaran di sekolah. Jadi dengan

dilaksanakan supervisi, kompetensi guru

diharapkan meningkat dan akhirnya kualitas

pembelajaran dapat ditingkatkan.

Terdapat banyak ragam supervisi

kepala sekolah terhadap guru, salah satunya

adalah supervisi kelompok dengan pendekatan

kolaboratif. Tentang Supervisi Kelompok

Pendekatan Kolaboratif, Giarti (2015: 40)

menjelaskan bahwa secara etimologis kata

supervisi berasal dari kata super artinya atas

dan visi yang artinya penglihatan. Dari

pengertian tersebut Giarti (2015: 40)

mendefinisikan supervisi adalah posisi yang

melihat atau kedudukan yang lebih tinggi

daripada yang dilihat. Sementara Merukh dan

Sulasmono (2016: 31) menjelaskan bahwa

supervisi pendidikan adalah upaya perbaikan

pengajaran sebagai upaya agar terjadinya

pertumbuhan jabatan profesional guru.

Supervisi kelompok merupakan satu cara

melaksanakan supervisi yang ditujukan pada

dua atau lebih guru (Pusat Pengembangan

Tenaga Kependidikan, 2014: 7).

Menurut Sahertian, (2000:44-52).

pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan

yang memadukan cara pendekatan direktif dan

non–direktif kedalam satu pendekatan baru.

Dalam pendekatan ini baik supervisor maupun

guru bersama-sama, bersepakat untuk

menetapkan struktur, proses dan kriteria dalam

melaksanakan proses percakapan terhadap

masalah yang dihadapi guru. Pendekatan ini

didasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi

kognitif beranggapan bahwa belajar adalah

hasil panduan antara kegiatan individu dengan

lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh

dalam pembentukan aktivitas individu.

Dengan demikian pendekatan dalam supervisi

berhubungan pada dua arah yaitu dari atas ke

bawah dan dari bawah ke atas. Perilaku

supervisor dalam supervisi jenis ini adalah

sebagai berikut: menyajikan, menjelaskan,

mendengarkan, memecahkan masalah, dan

negosiasi. Efektivitas supervisi kelompok

berbasis kolaborasi ini antara lain dibuktikan

dari penelitian yang dilakukan oleh Jaya,

Samsudi, & Prihatin (2015:158) yang

menunjukkan bahwa supervisi berbasis

kolaborasi efektif untuk meningkatkan

kompetensi profesional guru.

Supervisi yang hendak dilakukan

melalui PTS ini adalah supervisi kelompok,

sedang pendekatan yang hendak digunakan

adalah pendekatan kolaboratif. Tujuan

supersisi ini adalah meningkatkan kompetensi

guru kelas bawah dalam merencanakan

pembelajaran tematik. Rumusan masalah PTS

ini adalah “Apakah supervisi kelompok

dengan pendekatan kolaboratif dapat

meningkatkan kompetensi guru dalam

menyusun perencanaan pembelajaran tematik

guru kelas bawah SD Negeri Ungaran 05

Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten

Semarang”. Sedang tujuan PTS ini adalah

meningkatkan kompetensi guru guru kelas

bawah SD Negeri Ungaran 05 Kecamatan

Ungaran Barat Kabupaten Semarang dalam

menyusun perencanaan pembelajaran tematik.

Ada pun hipotesis yang dikemukakan dalam

PTS ini adalah “Supervisi kelompok dengan

pendekatan kolaboratif dapat meningkatkan

kompetensi menyusun perencanaan

pembelajaran tematik bagi guru kelas bawah

SD Negeri Ungaran 05 Kecamatan Ungaran

Barat Kabupaten Semarang”

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk jenis penelitian

tindakan namun bukan tindakan kelas

melainkan tindakan sekolah. Jadi penelitian ini

nukan berbasis kelas melainkan berbasis

Page 40: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

40

sekolah, walaupun penelitian ini juga

melibatkan para guru di sekolah yang diteliti

yaitu di SD Negeri Ungaran 05.

Penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga)

bulan. Siklus I dilakukan selama minggu ke-2

bulan Pebruari 2017 dan Siklus II dilakukan

pada minggu ke-empat bulan Pebruari 2017.

PTS ini dilakukan di SD Negeri Ungaran 05

Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten

Semarang. Subjek penelitian ini adalah para

guru kelas bawah (guru kelas I, II, dan guru

kelas III) SD Negeri Ungaran 05 Kecamatan

Ungaran Barat Kabupaten Semarang.

Teknik pengumpulan data adalah

teknik observasi untuk menilai proses

supervisi dan studi dokumen untuk menilai

kualitas RPP. Instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini adalah lembar observasi

kegiatan supervisi dalam buku Supervisi

Implementasi Kurikulum 2013, Bahan Ajar

Implementasi Kurikulum 2013 Untuk Kepala

Sekolah. Instrumen ini digunakan oleh

pengawas SD UPTD Kecamatan Ungaran

Barat untuk memantau proses pelaksanaan

tindakan oleh Kepala Sekolah. Data tentang

skor RPP para guru sebelum tindakan, dan skor

RPP yang diperoleh para guru setelah

mendapatkan tindakan melalui siklus I dan

siklus II diperoleh dengan menggunakan

Iinstrument monitoring dan evaluasi.

Penelitian ini menggunakan teknik

teknik kuantitatif dan teknik kualitatif dalam

menganalisis data. Teknik kuantitatif

digunakan untuk menganalisis skor evaluasi

kualitas RPP tematik yang disusun para Guru

baik pada tahap pra siklus, siklus I maupun

siklus II. Skor dihitung dengan cara: (1)

memberi skor tiap aspek yang diperoleh Guru

dalam rentang 1-5; dan (2) menghitung jumlah

skor kumulatif dari seluruh aspek RPP yang

disusun Guru. Kategori tingkat keberhasilan

para Guru adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Kategori Tingkat Keberhasilan

Skor Kategori

1 - 7 Sangat tidak baik

8 – 14 Tidak baik

15 – 21 Kurang baik

22 – 27 Baik

28 – 35 Sangat baik

Data hasil observasi dianalisis dngan

teknik kualitatif dan dilakukan pada proses

refleksi di akhir setiap siklus. Data kualitatif

diperoleh dari observer yang melakukan

observasi pada kegiatan tindakan. Data yang

terkumpul kemudian dipilah dan ditemukan

permasalahan yang perlu ditingkatkan

sehingga tujuan tindakan dapat tercapai,

dengan demikian dapat melakukan perbaikan

pada siklus kedua.

Langkah-langkah pokok dalam PTS ini

meliputi: 1) Menetapkan fokus masalah; 2)

Merencanakan tindakan; 3) Melaksanakan

tindakan; 4) Mengumpulkan data

(pengamatan); 5) Refleksi, analisis, dan

interpretasi; 6) Merencanakan tindak lanjut.:

Tahap menetapkan fokus masalah dimulai

dengan tindakan merenungkan atau

memikirkan hasil supervisi awal sebelum

siklus I. Tahap merencakan tindakan dilakukan

sebagai upaya mempersiapkan langkah

pemecahan masalah-masalah yang ditemukan

dalam refleksi awal. Melalui perencanaan ini

maka diharapkan tindakan supervisi akan lebih

sistematis dan terarah. Langkah-langkah

perencanaan proses supervisi ini mencakup:

(a) menyusun rencana supervisi terhadap Guru

dalam menyusun RPP tematik, dan (b)

menyusun instrumen monitoring dan evaluasi

terhadap RPP.

Tahap Pelaksanaan Tindakan berupa

kegiatan supervisi kelompok dengan

pendekatan kolaboratif dilakukan sesuai

dengan rencana yang telah disusun yaitu

mensupervisi guru secara kelompok dalam

merencanakan pembelajaran tematik.

Walaupun supervise dilakukan secara

kelompok namun RPP harus disusun oleh guru

Page 41: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Bawah Dalam Menyusun Perencanaan … | Rukayah

41

secara individu. Langkah pengamatan

dilakukan terhadap proses supervisi akademik

yang dilakukan peneliti. Pada tahap refleksi.

peneliti bersama guru mendiskusikan

kelebihan dan kelemahan pelaksanaan

tindakan dalam siklus I dan siklus II, baik dari

perencanaan, tindakan, dan pengamatan.

Dalam tahap Rencana tindak lanjut, segala

kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan

siklus I difungsikan sebagai bahan evaluasi

dan dasar perencanaan tindakan pada siklus II.

Indikator keberhasilan dalam PTS ini

adalah jika semua guru kelas bawah SD Negeri

Ungaran 05 Kecamatan Ungaran Barat

Kabupaten Semarang, memperoleh skor

kumulatif minimal 22 atau sudah masuk ke

dalam kategori Baik.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN.

Hasil Penelitian

Hasil Refleksi Awal

Kondisi awal merupakan kondisi

sebelum tindakan dilakukan dalam siklus I.

Sebagai supervisor, peneliti melakukan

supervisi akademik kunjungan kelas, terutama

untuk memonitor dan meng-evaluasi dokumen

rencana pembelajaran yang disusun para guru

kelas bawah.

Supervisi awal menunjukkan bahwa

para guru kelas bawah belum melaksanakan

pembelajaran tematik. Guru –guru kelas awal

masih menerapkan pembelajaran secara

terpisah. Mereka belum mampu mengelola

pembelajaran tematik, sementara Kepala

Sekolah juga belum pernah melakukan

supervisi tentang penyusunan RPP tematik.

Secara ringkas data tentang kompetensi

guru kelas bawah dalam merencanakan

pembelajaran tematik di kelasnya adalah

sebagai berikut.

Tabel 2. Hasil Supervisi Akademik tarhadap Guru Kelas Bawah

No Guru Kelas

Jenis Administrasi

Silabus Promes RPP

1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 I V V V

2 II V V V

3 III V V V

Keterangan:

1. Produk orang lain

2. Produk hasil KKG

3. Produk sendiri

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa

pada awal semester II tahun pelajaran

2016/2017 para guru kelas bawah di SD

Negeri Ungaran 05 Kecamatan Ungaran

Barat, menggunakan perangkat-perangkat

rencana pembelajaran baik silabus maupun

program semesteran hasil KKG, sementara

untuk RPP para Guru menggunakan RPP karya

orang lain. Para guru belum menerapkan

pembelajaran tematik di kelas masing-masing,

sehingga RPP yang ada hanya berfungsi

terbatas sebagai dokumen semata.

Data kompetensi guru kelas bawah

dalam merencanakan pembelajaran tematik

adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil Monitoring Dan Evaluasi Terhadap RPP

Sebelum Tindakan

No Guru Kelas Perolehan Skor Kategori

1 I 13 Tidak Baik

2 II 15 Kurang Baik

3 III 13 Tidak Baik

Sumber: Data Penelitian

Page 42: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

42

Hasil Tindakan Siklus I

Dalam Siklus I peneliti -yang berstatus

sebagai Kepala Sekolah di SD tempat

penelitian-, melakukan tindakan dengan

membantu penyelesaian masalah-masalah

guru dalam merencanakan pembelajaran

tematik. Secara bersama-sama diidentifikasi

kesulitan para guru dalam merencakan

pembelajaran tematik. Berdasarkan temuan

itu, peneliti kemudian memberikan solusi

terhadap kesulitan yang dihadapi para guru.

Para guru diberi petunjuk-petunjuk yang

operasional dan mudah untuk dilaksanakan,

serta didampingi dalam menyusun RPP

tematik.

Hasil tindakan berupa supervisi

akademik dengan pendekatan kolaboratif

terhadap guru kelas bawah di dalam

merencanakan pembelajaran tematik pada

Siklus I adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Hasil Monitoring dan Evaluasi Terhadap RPP Pada Tindakan

Siklus I

No Guru

Kelas

Perolehan Skor

Sebelum tindakan Siklus I Peningkatan

Skor Kategori Skor Kategori

1 I 13 TB 18 KB 5 skor

2 II 16 KB 24 B 8 skor

3 III 13 TB 20 KB 7 skor

Sumber: Data penelitian

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa

setelah mendapat tindakan supervisi dari

peneliti maka terjadi perubahan kompetensi

Guru dalam menyusun RPP Tematis. Guru

Kelas I, meningkat perolehan skornya

sebanyak 5 skor yaitu dari 13 menjadi 18, yang

berarti meningkat dari kategori Tidak Baik

menjadi Kurang Baik. Jadi terdapat

peningkatan kemampuan guru kelas I dalam

merencanakan pembelajaran tematik. Guru

Kelas II, meningkat perolehan skornya

sebanyak 8 skor yaitu dari 16 menjadi 24, yang

berarti meningkat dari kategori Kurang Baik

menjadi Baik. Jadi terdapat peningkatan

kemampuan guru kelas II dalam

merencanakan pembelajaran tematik. Guru

Kelas III meningkat perolehan sokrnya

sebanyak 7 skor yaitu dari 13 menjadi 20, yang

berarti meningkat dari kategori Tidak Baik

menjadi Kurang Baik. Jadi terdapat

peningkatan kemampuan guru kelas III dalam

merencanakan pembelajaran tematik.

Berdasarkan hasil observasi masih

terdapat kekurangan pada penjelasan tentang

ragam metode pembelajaran yang dapat

dipilih. Hal tersebut tampak pula dalam hasil

RPP yang menunjukkan bahwa guru masih

kesulitan untuk memilih ragam metode

pembelajaran, khususnya metode

pembelajaran yang inovatif. Penjelasan awal

pada siklus pertama tentang pemilihan media

pembelajaran juga masih perlu diperjelas. Dari

dua permasalahan yang ditemukan dalam

siklus pertama, maka pada tidakan supervisi

siklus kedua perlu memberikan perhatian yang

lebih banyak pada dua hal tersebut.

Hasil Tindakan Pada Siklus II

Tindakan melalui Siklus II tetap

dilakukan karena indikator keberhasilan PTS

ini belum sepenuhnya tercapai. Memang ada

satu Guru yang kemmpaun menyusun RPP

Tematisnya sudah mencapai kategori Baik

namun perolehan skornya belum maskimal.

Pada siklus II, supervisi dilakukan dengan

membantu guru mengidentifikasi kekurangan-

Page 43: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Bawah Dalam Menyusun Perencanaan … | Rukayah

43

kekurangan dari RPP tematik yang telah

disusun pada siklus I. Karena kekurangan

umumnya lebih pada pemilihan meode dan

media pembelajaran yang tepat dan bervariasi

makan para guru diberi arahan-arahan yang

lebih operasional dan mudah dilaksanakan

oleh guru tentang ke dua hal tersebut.

Hasil tindakan berupa supervisi

akademik dengan pendekatan kolaboratif

terhadap guru kelas bawah di dalam

merencanakan pembelajaran tematik pada

Siklus II adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Hasil monitoring dan evaluasi terhadap RPP pada

tindakan siklus II

No Guru

Kelas

Perolehan Skor

Siklus I Siklus II Peningkatan

Skor Kategori Skor Kategori

1 I 18 KB 22 B 4 skor

2 II 24 B 27 B 3 Skor

3 III 20 KB 24 B 4 skor Sumber: Data penelitian

Tabel di atas menunjukkan bahwa

supersisi kelompok dengan pendekatan

kolaboratif pada siklus II telah menghasilkan

perubahan-perubahan: (1) Skor Guru Kelas I

naik 4 skor dari kategori Kurang Baik (skor 18)

meningkat menjadi kategori Baik dengan skor

22. Jadi terdapat peningkatan kompetensi guru

kelas I dalam merencanakan pembelajaran

tematik; (2) Skor Guru Kelas II naik 3 skor dari

kategori Baik (skor 24), meningkat menjadi

kategori Baik (skor 27). Jadi ada peningkatan

kompetensi guru kelas II dalam merencanakan

pembelajaran tematik; (3) Skor Guru Kelas III

naik 4 skor dari kategori Kurang Baik dengan

perolehan skor 20 meningkat menjadi kategori

Baik dengan skor 24. Jadi terdapat

peningkatan kompetensi guru kelas III dalam

merencanakan pembelajaran tematik.

Secara keseluruhan peningkatan

kompetensi guru kelas bawah SD Negeri

Ungaran 05 Kecamatan Ungaran Barat

Kabupaten Semarang dalam merencanakan

pembelajaran Tematik dari sejak kondisi awal,

siklus I, dan siklus II tergambar dalam tabel

berikut ini.

Tabel 6. Hasil Monitoring dan Evaluasi RPP Sebelum

Tindakan, Siklus I, dan Siklus II

No Guru

Kelas

Perolehan Skor

Sebelum

tindakan Siklus I Siklus II

Skor Kategori Skor Kategori Skor Kategori

1 I 13 TB 18 KB 22 B

2 II 16 KB 24 B 27 B

3 III 13 TB 20 KB 24 B Sumber: Data penelitian

Tabel di atas menunjukkan bahwa

terjadi peningkatan kompetensi guru Kelas

bawah SD Negeri Ungaran 05 Kecamatan

Ungaran Barat dalam merencanakan

pembelajaran tematik mulai pra siklus, siklus

I, sampai siklus II. Rincian peningkatan itu

adalah sebagai berikut.

Page 44: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

44

(1) Skor Guru Kelas I, meningkat 9 skor, dari

kategori Tidak Baik (skor 13) menjadi

kategori Baik. (skor 22). Dengan

perkataan lain terdapat peningkatan

kemampuan guru kelas I dalam

merencanakan pembelajaran tematik.

(2) Skor Guru Kelas II, meningkat 11 skor,

dari kategori Kurang Baik (skor 16)

menjadi kategori Baik. (skor 27). Dengan

perkataan lain terdapat peningkatan

kemampuan guru kelas II dalam

merencanakan pembelajaran tematik..

(3) Skor Guru Kelas III, meningkat 11 skor,

dari kategori Tidak Baik (skor 13)

menjadi kategori Baik. (skor 24). Dengan

perkataan lain terdapat peningkatan

kemampuan guru kelas III dalam

merencanakan pembelajaran tematik.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

telah terjadi peningkatan kompetensi guru

kelas bawah SD Negeri Ungaran 05

Kecamatan Ungaran Barat dalam

merencanakan pembelajaran tematik dari pra

siklus, siklus I sampai siklus II melalui

supervisi kelompok dengan pendekatan

kolaboratif. Hasil tersebut sejalan dengan yang

dikemukakan oleh Rosilawati (2014: 59)

bahwa pelaksanaan supervisi akademik dapat

mengembangkan kemampuan guru dalam

merencanakan dan mengelola proses

pembelajaran. Prasojo (2011: 13) juga

menjelaskan bahwa tujuan supervisi adalah

untuk mengembangkan profesionalitas guru

dalam perencanaan pembelajaran melalui

kegiatan-kegiatan reflektif. Dengan

dilaksanakannya supervisi kelompok dengan

pendekatan kolaboratif sebagai kegiatan

reflektif maka dapat terjadilah peningkatan

kompetensi guru sebagaimana ditunjukkan

dalam hasil penelitian di atas. Tindakan yang

dilakukan dalam penelitian, yang telah

menyebabkan terjadinya peningkatan

kompetensi guru ini sejalan dengan pandangan

Syarif (2011: 112) bahwa dengan

dilaksanakannya supervisi kepala sekolah

terhadap guru sebagai bentuk tindakan, maka

dapat terjadi peningkatan kompetensi guru.

Hasil di atas juga sejalan dengan pendapat

Darmawan (2014: 31) yang menyatakan

bahwa Guru dapat ditingkatkan

kompetensinya melalui supervisi akademik

karena dalam supervisi terjadi peningkatan

pengertian teori dan penerapan pengetahuan

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Argiani dan

Slameto (2015) yang menunjukkan bahwa

pelaksanaan supervisi dapat meningkatkan

kompetensi pedagogik guru. Perbedaan

tindakan dalam penelitian ini dengan

penelitian Argiani dan Slameto (2015) adalah

bentuk tindakan yang dilakukan Kepala

Sekolah. Tindakan yang gunakan dalam

penelitian ini adalah supervisi kelompok,

sementara penelitian Argiani dan Slameto

(2015) adalah supervisi kunjungan kelas.

Selain itu, penelitian ini juga sejalan dengan

penelitian Astuti (2017: 58) yang menemukan

bahwa dengan dilaksanakannya supervisi

akademik maka dapat terjadi peningkatan

kemampuan guru. Melalui pelaksanaan

supervisi, kepala sekolah dapat melakukan

bimbingan dan pengarahan sehingga terjadi

peningkatan kompetensi guru yang pada

akhirnya berdampak pada peningkatan kinerja

guru dan proses pembelajaran. Sujoko (2017:

95) mengungkapkan bahwa salah satu cara

untuk meningkatkan mutu sebuah sekolah

adalah pelaksanaan supervisi, melalui

supervisi guru dapat dibimbing dan diarahkan

sehingga terjadi peningkatan kompetensi yang

akhirnya dapat meningkatkan mutu sebuah

sekolah. Pendapat Sujoko (2017) relevan

dengan penelitian ini, yang mana penelitian ini

dilaksanakan agar terjadi peningkatan

kompetensi guru melalui supervisi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Paparan hasil tindakan di atas

menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

Page 45: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Bawah Dalam Menyusun Perencanaan … | Rukayah

45

kompetensi guru kelas bawah SD Negeri

Ungaran 05 Kecamatan Ungaran Barat

Kabupaten Semarang. dalam merencanakan

pembelajaran tematik sebagai dampak dari

dilaksanakannya supervisi kelompok dengan

pendekatan kolaboratif.

Saran

Sesuai dengan paran hasil dan

simpulan di atas makan kepada Kepala

Sekolah disrankan agar 1) melaksanakan

supervisi kelompok dengan pendekatan

kolaboratif terhadap guru kelas bawah guna

meningkatkan kompetensi Guru dalam

merencanakan pembelajaran tematik, dan 2)

mengarahkan guru agar selalu mempersiapkan

rencana pembelajaran dengan baik, agar

efektifitas dan efisiensi pembelajaran dapat

terjamin.

DAFTAR PUSTAKA

Argiani, A.R. dan Slameto. 2015. Supervisi

Kunjungan Kelas Untuk Meningkatkan

Kompetensi Pedagogik Guru SDN

Cukil 01, Tengaran, Kabupaten

Semarang. Kelola: Jurnal Manajemen

Pendidikan, 2 (1): 1-11.

Astuti, S. 2017. Supervisi Akademik untuk

Meningkatkan Kompetensi Guru di SD

LaboratoriumUKSW. Scholaria, 7(1):

49 – 59.

Bahri, Saiful. 2014. Supervisi Akademik

Dalam Peningkatan Profesionalisme

Guru. Jurnal Visipena, V (1): 100-112.

Darmawan, I P.A. 2014. Menjadi Guru Yang

Terampil. Bandung: Kalam Hidup.

Darmawan, I P.A. 2017. Faktor Yang

Mempengaruhi Profesionalitas Guru.

Prosiding Seminar Nasional PAK II

Dan Call For Papers, Tema:

Profesionalisme dan Revolusi Mental

Pendidik Kristen. Sekolah Tinggi

Teologi Simpson.

Degeng, I N.S. & Darmawan, I P.A. 2017.

Peningkatan Profesionalisme Pendidik

Melalui Penelitian Dan Penulisan

Karya Ilmiah. Prosiding Seminar

Nasional PAK II Dan Call For Papers,

Tema: Profesionalisme dan Revolusi

Mental Pendidik Kristen. Sekolah

Tinggi Teologi Simpson.

Giarti, S. 2015. Peningkatan Kompetensi

Pedagogik Guru SD melalui Supervisi

Akademik. Scholaria, 5 (3): 37 – 46.

Jaya, S., Samsudi, & Prihatin, T. 2015.

Supervisi Akademik Kolaborasi Untuk

Meningkatkan Kompetensi Profesional

Guru Produktif Sekolah Menengah

Kejuruan. Educational Management, 4

(2): 158-167.

Merukh, N.E.M. & Sulasmono, B.S. 2016.

Pengembangan Model Supervisi

Akademik Teknik Mentoring Bagi

Pembinaan Kompetensi Pedagogik

Guru Kelas. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 3 (1): 30-48.

Nugroho, I.A. 2016. Pendekatan Ilmiah

Dalam Pembelajaran Lintas

Kurikulum Di Sekolah Dasar.

Yogyakarta: Ikhlasul Workshop.

Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun

2005Tentang Standar Nasional

Pendidikan.

Permendiknas nomor 14 Tahun 2007 Tentang

Standar Isi Untuk Program Paket A,

Program Paket B, dan Program Paket

C.

Prasojo, L.D. 2011. Supervisi Pendidikan.

Yogyakarta: Gava Media.

Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan.

2014. Supervisi Implementasi

Kurikulum 2013, Bahan Ajan

Implementasi Kurikulum 2013 Untuk

Kepala Sekolah. Jakarta: Pusat

Pengembangan Tenaga Kependidikan.

Rosilawati, T. 2014. Supervisi Akademik

Dalam Upaya Peningkatan Motivasi

Page 46: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

46

Guru Menyusun Perangkat Persiapan

Pembelajaran. Jurnal Penelitian

Tindakan Sekolah dan Kepengawasan,

1 (2): 57-62.

Sahertian, Piet. 2000. Konsep Dasar dan

Teknik Supervisi Pendidikan dalam

rangka Pengembangan Sumberdaya

Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Saptaningrum, E. & Kusdaryani, W. 2010.

Model Pakem Melalui Pendekatan

Tematik Untuk Pembelajaran Sains

SD. Jurnal Penelitian Pembelajaran

Fisika, 1 (1):92-104.

Sujoko, E. 2017. Strategi Peningkatan Mutu

Sekolah Berdasarkan Analisis SWOT

di Sekolah Menengah Pertama. Kelola:

Jurnal Manajemen Pendidikan, 4 (1):

83-96.

Syarif, H.M. 2011. Pengaruh Komunikasi

Interpersonal dan Supervisi Kepala

Sekolah terhadap Kinerja Guru. Media

Akademika, 26 (1): 125-137.

Tryanasari, D., Mursidik, E.M., & Riyanto, E.

2013. Pengembangan Perangkat

Pembelajaran Terpadu Berbasis

Kearifan Lokal Untuk Kelas III

Sekolah Dasar Di Kabupaten Madiun.

Premiere Educandum: Jurnal

Pendidikan Dasar dan Pembelajaran. 3

(2): 132-172.

Yusak, L. & Darmawan, I P.A. 2017. Supervisi

Kepala Sekolah Di SD Negeri

Kalongan 02, Desa Kalongan,

Kecamatan Ungaran Timur. Prosiding

Seminar Nasional PAK II dan Call For

Papers, Tema: Profesionalisme dan

Revolusi Mental Pendidik Kristen.

Sekolah Tinggi Teologi Simpson.

Page 47: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 47-54

47

Peningkatan Disiplin Guru SD Melalui Pelatihan Partisipatif Model In - On

Slameto

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Agustina Tyas Asri Hardini

Program Studi S1 PGSD Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Tego Prasetyo

Program Studi S1 PGSD Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Endang Indarini

Program Studi S1 PGSD Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This research is taken place to describe the punctual improvement of the teacher

who’s participated in participatory training model using in-on and to determine the

influence of teacher optimism and teacher's ability to give feedback, along with the

contribution of each variable. This research was conducted based on the assessment of

elementary school teachers who are participated in training for classroom action

research preparation in KKG Gugus Joko Tingkir Salatiga, with 42 selected people

randomly. Data for this research is quantitative. Data were collected through a self-

rating scale of 21 items that proved to be valid and reliable. Data analysis using multiple

linear regression with Stepwise Model. Based on the result of this research, it can be

proved participatory training model effective in improving teacher’s punctual in

teaching. There are 2 variables/predictors of teacher optimism and or together with their

ability to provide feedback on teacher’s punctual in teaching. Teacher's optimism has an

effect (positive and significant) on teacher’s punctual in teaching equal to 35.20%.

Teacher’s optimism along with their ability to give feedback impact teacher’s punctual

in teaching as much as 42.9%. Thus participatory training model should be applying

learning principles that emphasize positive optimistic psychology, get used to working

effectively with challenges, have the confidence to use innovative thinking in achieving

success.

Keywords: Feedback, Punctual in Teaching, Teacher Optimism

Article Info

Received date: 23 Mei 2018 Revised date: 12 Juni 2018 Accepted date: 21 Juni 2018

Page 48: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

48

PENDAHULUAN

Guru memegang peran penting dalam

pendidikan (Fintiastuti, A., 2015; Muryasari,

D., 2017; Anggraini, P. M., 2017). Guru

merupakan sosok yang memiliki kedudukan

penting bagi perkembangan potensi siswa. Hal

ini disebabkan guru menjadi komponen yang

paling berpengaruh pada terciptanya proses

dan hasil pendidikan yang berkualitas.

Berhasil atau tidaknya suatu pendidikan dalam

mencapai tujuan akan selalu dikaitkan dengan

kinerja guru (Anggraini, P. M. 2017).

Sebagai pendidik profesional tugas

utama guru adalah mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai

dan mengevaluasi peserta didik; kedisiplinan

menjadi salah satu aspek penting dalam

menunaikan tugas tersebut; Maka dari itu,

disiplin juga menjadi salah satu aspek

penilaian kinerja mereka. Namun perlu

disayangkan, karena disiplin guru tidak

maksimal utamanya dalam proses mengajar

(Markhamah, M., & Muhibbin, A., 2017).

Mengingat kondisi kedisiplinan guru

seperti ditemukan Markhamah, M., &

Muhibbin, A., (2017) itu, PGSD UKSW

Salatiga terpanggil untuk melayani pelatihan

model partisipatif in – on, guna meningkatkan

kedisiplinan guru sembari melakukan

penelitian tindakan kelas. Subyek pelatihan ini

adalah 64 guru SD Gugus Joko Tingkir Kota

Salatiga. Pelatihan dilaksanakan selama 3

bulan sejak tanggal 22 Februari sampai dengan

tanggal 5 April 2018. Penulisan ini berusaha

mengetahui tingkat kedisiplinan mengajar

guru pasca pelatihan beserta faktor

penentunya. Dalam perspektif pendidikan

sebagai suatu sistem (Miarso, 2008),

keberhasilan sebuah pelatihan, yang

merupakan peningkatan kedisiplinan guru

pesertanya (Y), secara langsung dipengaruhi

oleh prosesnya sendiri, yang dalam hal ini

adalah optimisme guru (X1) dan kemampuan

memberikan balikan atau feedback (X2).

Susanty, A., & Baskoro, S. W. (2013)

menyatakan bahwa kedisiplinan adalah

kesadaran dan kesediaan seseorang menaati

semua peraturan perusahaan dan norma-norma

sosial yang berlaku. Disiplin kerja merupakan

suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang

sesuai dengan peraturan baik tertulis maupun

tidak tertulis, dan bila melanggar akan ada

sanksi atas pelanggarannya. Lebih lanjut,

disiplin merupakan upaya pembinaan

kesadaran dalam bekerja atau belajar secara

berkelanjutan dengan baik sedemikian hingga

setiap orang menjalankan tugas dan fungsinya

secara efektif (Hadari dan Martini 1990).

Disiplin adalah kemampuan untuk

mengendalikan diri agar tidak melakukan

sesuatu tindakan yang tidak sesuai dan/

bertentangan dengan aturan yang telah

ditetapkan, serta melakukan sesuatu yang

mendukung dan melindungi sesuatu aturan

yang telah ditetapkan (Soedijarto, 1989).

Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan bahwa

disiplin kerja didefinisikan sabagai suatu sikap

menghormati, menghargai, patuh, dan taat

terhadap peraturan-peraturan yang berlaku

baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta

sanggup menjalankannya dan tidak mengelak

untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia

melanggar tugas dan wewenang yang

diberikan kepadanya. Disiplin kerja

(mengajar) adalah suatu alat yang digunakan

para manajer untuk berkomunikasi dengan

karyawan agar mereka bersedia untuk

mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu

upaya untuk meningkatkan kesadaran dan

kesediaan seseorang menaati semua peraturan

dan norma-norma yang berlaku (Markhamah,

M. & Muhibbin, A., 2017). Sangat wajarlah

jika guru harus disiplin dalam mengajar, selalu

mematuhi aturan dan tata tertib yang berlaku,

sehingga proses belajar mengajarnya menjadi

efektif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Lewis, Romi, Qui, & Katz

(Markhamah, M. & Muhibbin, A., 2017) yang

menyimpulkan bahwa strategi disiplin guru

Page 49: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peningkatan Disiplin Guru SD Melalui Pelatihan Partisipatif Model In - On | Slameto, dkk.

49

telah disarankan untuk menjadi kekuatan yang

kuat untuk meningkatkan rasa tanggung jawab

siswa di kelas.

Menurut Goleman (2014) optimisme

merupakan sikap yang menopang individu

agar jangan sampai terjatuh kedalam

kemasabodohan, keputusasaan, ataupun

mengalami depresi ketika individu mengalami

kesulitan. Scheier dan Carver (Saputri, S. J.,

2014) mengatakan bahwa optimisme adalah

kecenderungan untuk percaya bahwa manusia

pada umumnya akan mengalami hasil yang

baik dan buruk dalam kehidupan. Seligman

(Saputri, S. J., 2014) mendefinisikan

optimisme dalam kerangka bagaimana

individu memandang keberhasilan dan

kegagalan mereka. Daraei dan Ghaderi (2012)

menyatakan bahwa optimisme adalah salah

satu komponen Psikologi Positif yang

dihubungkan dengan emosi positif dan

perilaku positif yang menimbulkan kesehatan,

hidup yang bebas stres, hubungan sosial dan

fungsi sosial yang baik. Individu yang optimis

biasa bekerja keras menghadapi stress

tantangan sehari-hari secara efektif, berdoa

dan mengakui adanya faktor keberuntungan

dan faktor lain yang turut mendukung

keberhasilannya, merasa yakin memiliki

kekuatan untuk menghilangkan pemikiran

negatif, berusaha meningkatkan kekuatan diri

dan menggunakan pemikiran yang inovatif

untuk menggapai kesuksesan (Aisyah, S;

Yuwono, S; Zuhri, S; 2015). Scheier dan

Carver (Saputri, S. J., 2014) menunjukkan

bahwa optimisme mungkin memiliki implikasi

bagi cara-cara orang menghadapi berbagai

tekanan hidup. Optimisme akan membawa

individu menjadi lebih realistis untuk melihat

suatu peristiwa dan masa depan, dapat

membantu dalam menghadapi kondisi sulit

dalam kehidupan serta mampu mengerjakan

sesuatu menjadi lebih baik dalam pekerjaan

(Nurtjahjanti, H., & Ratnaningsih, I. Z., 2011;

Nadhiroh, L. (2014). Umpan balik (feedback)

adalah informasi terkait output maupun

transformasi yang memberikan kepastian

kepada siswa bahwa kegiatan belajarnya telah

mencapai tujuan atau belum (Arikunto dkk,

2008). Suke (1991) menyatakan bahwa umpan

balik (feedback) adalah pemberian informasi

kepada siswa yang diperoleh dari asesmen

untuk meningkatkan pencapaian hasil belajar.

Dengan demikian umpan balik (feedback)

bermanfaat bagi siswa untuk mengevaluasi

diri, mengetahui kesalahan-kesalahan yang

terjadi dalam proses belajar, mengetahui

kelemahan diri, serta membantu siswa untuk

meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri

dalam belajar. Kemampuan guru dalam

memberikan umpan balik (feedback) ini sangat

diperlukan untuk memperbaiki proses

pembelajarannya. Menurut Romli (2011),

umpan balik (feedback) dapat meningkatkan

hasil belajar siswa dalam mencapai KKM

(Kriteria Ketuntasan Minimal) (bandingkan

dengan Retnanto, A., 2016).

Tujuan penelitian ini adalah (1)

mendeskripsikan peningkatan kedisiplinan

guru peserta pelatihan model partisipatif in –

on (Y), dan (2) menentukan model

berpengaruhnya optimisme guru (X1) dan

kemampuan memberikan balikan atau

feedback (X2) beserta besar sumbangan

masing-masing model/ variabel. Hasil

penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi

pengelola, khususnya dalam pengembangan

kualitas diklat berbasis hasil penelitian.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan berdasarkan

penilaian dari para guru SD peserta pelatihan

pendampingan pembuatan Penelitian

Tindakan Kelas Kelompok Kerja Guru Gugus

Joko Tingkir Kota Salatiga yang berjumlah 64

orang. Secara acak dipilih 42 orang sebagai

sampel. Penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif inferensial antara dua atau lebih

variabel yang bisa menjelaskan gejala, yang

meneliti pengaruh variabel X1 (optimisme

guru) dan atau X2 (kemampuan memberikan

Page 50: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

50

balikan atau feedback) terhadap Y

(kedisiplinan guru peserta pelatihan model

partisipatif in – on); dan kemudian

menemukan penentu dua variabel independen

yang bersangkutan. Penelitian ini dilakukan

selama 7 minggu pada semester 2 tahun

2017/2018.

Hipotesis statistik - Dalam skala

ordinal, variabel kedisiplinan guru peserta

pelatihan model partisipatif in – on, terdapat

satu tingkat yang dominan di antara lima

kategori: sangat rendah, rendah, sedang, tinggi

dan sangat tinggi. Di antara 2 variabel

independen, ada penentu/ determinan yang

berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kedisiplinan guru peserta pelatihan model

partisipatif in – on. Hipotesis statistik yang

diajukan adalah:

H0: b1 = 0 (tidak ada pengaruh penentu/

determinan terhadap kedisiplinan guru

peserta pelatihan model partisipatif in –

on)

H1: b1 ≠ 0 (ada pengaruh penentu/ determinan

terhadap kedisiplinan guru peserta

pelatihan model partisipatif in – on).

Dampak dari prediktor baik secara

tunggal maupun ganda dapat diketahui dengan

memeriksa nilai b dalam variabel penentu yang

bersangkutan. Pentingnya nilai b akan diuji

dengan t-test. Jika b positif, dan t signifikan

pada tingkat kesalahan kurang dari 0,05,

hipotesis (H1) diterima.

Instrumen dan Teknik Analisis Data -

Data penelitian ini adalah data kuantitatif

dalam bentuk angka berskala ordinal (Skala

Likert) yang terdiri dari pernyataan dan

jawaban dengan rendah, sedang, tinggi dan

sangat tinggi. Data dikumpulkan melalui skala

self-rating yang terdiri dari 21 item yang telah

terbukti valid dan reliabel; Skor validitas 0,325

sampai 0,783, dengan indeks reliabilitas

Cronbach Alpha = 0,899. Setelah terbukti

memenuhi persyaratan normalitas dan

homogenitas setiap variabel, dilanjutkan

dengan analisis regresi linier ganda dengan

Model Stepwise untuk mengembangkan model

kausal. Pola-pola berpengaruhnya variabel

independen (determinan) terhadap

kedisiplinan guru peserta pelatihan model

partisipatif in – on akan diuji dengan uji F pada

tingkat 0,05. Perhitungan ini dilakukan dengan

berbantu program SPSS versi 24. Hasil

perhitungan koefisien determinasi dari 2

variabel independen dalam penelitian ini

terhadap variabel dependen sebesar R2. Jika

signifikansi r < 0,05, maka model dinyatakan

signifikan, karena X1-2 (terpilih)

mempengaruhi Y, sebesar koefisien adjusted

R2.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi variabel

Setelah data dijaring menggunakan

self-rating scale yang terdiri dari 21 item untuk

guru peserta pelatihan model partisipatif in –

on, selanjutnya dianalisis secara descriptive

berbantu program SPSS for windows version

24 diperoleh dalam bentuk tabel 1.

Tabel 1. Indeks Statistik Variabel Penelitian Variabel Mean Median Std.

Deviation

Min. Max.

X1 Optimisme

guru

4,3043 4,0000 0,46522 4,00 5,00

X2 Feedback 4,4000 4,0000 0,53936 3,00 5,00

Y

Kedisiplinan guru

4,1739 4,0000 0,43738 3,00 5,00

Berdasarkan hasil analisis deskriptif

tersaji padsa tabel 1, sebagian besar responden

(guru peserta pelatihan model partisipatif in –

on) memiliki penilaian tentang optimisme

mereka (X1) pada aras tinggi, demikian juga

Kemampuan memberikan Feedback (X2) pada

aras tinggi cenderung sangat tinggi;

Kedisiplinan mereka dalam mengajar (Y) pada

aras tinggi.

Seberapa efektif pelatihan model partisipatif

in – on membentuk kedisiplinan guru

Terkait dengan permasalahan pertama,

seberapa efektif pelatihan model partisipatif in

– on membentuk kedisiplinan guru (Y)

dapatlah diperiksa pada tabel 2 berikut.

Page 51: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peningkatan Disiplin Guru SD Melalui Pelatihan Partisipatif Model In - On | Slameto, dkk.

51

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Variabel

Kedisiplinan Guru Kategori Frequency Percent Cumulative

Percent

1. Sangat

Rendah

0 0 0

2. Rendah 0 0 0

3. Sedang 1 2,2 2,2

4. Tinggi 36 78,3 80,4

5. Sangat

tinggi

9 19,6 100,0

Total 46 100,0

Sekalipun tidak ada data pra pelatihan

model partisipatif in – on tentang Kedisiplinan

Guru Dalam mengajar (Y), namun bisa

diprediksi dengan memperhatikan besarnya

Mean dan Median serta penyebaran frekuensi

tiap jenjang pada variabel Y; Mengingat Mean

= 4,1739 lebih besar dibanding dengan median

yaitu 4 dengan sebaran seperti pada tabel 2 di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kedisiplinan guru dalam mengajar berada pada

tingkat tinggi cenderung sangat tinggi.

Uji Hipotesis

Analisis selanjutnya adalah untuk

mengetahui apakah ada dari dua variabel bebas

(X1-2) yang menjadi determinan terhadap

kedisiplinan guru dalam mengajar (Y). Jika

benar, terdapat berapa model, dan berapa besar

pengaruhnya? Hasil uji hipotesis

menggunakan analisis regresi ada pada 3 tabel

berikut ini.

Tabel 3. Model Summary berpengaruhnya

determinan terhadap kedisiplinan guru dalam

mengajar Model R R

Square

Adjusted

R

Square

Std.

Error of

the

Estimate

1 0,606a 0,367 0,352 0,35531

2 0,675b 0,455 0,429 0,33363

a. Predictors: (Constant), optimisme guru

b. Predictors: (Constant), optimisme guru, feedback

Berdasarkan hasil uji hipotesis melalui

analisis regresi seperti tersaji pada tabel 3,

ternyata diperoleh 2 Model; Model 1

optimisme guru (X1) berpengaruh terhadap

kedisiplinan guru dalam mengajar (Y):

diperoleh R = 0, 606 dan Adjusted R Square =

0, 352 atau 35,2%. Model 2 optimisme guru

(X1) bersama dengan kemampuannya

memberikan feedback berpengaruh terhadap

kedisiplinan guru dalam mengajar (Y):

diperoleh R = 0,675 dan Adjusted R Square =

0,429 atau 42,9%. Dengan demikian hipotesis

yang menyatakan terdapat penentu kedisiplin-

an guru dalam mengajar terdukung data. Untuk

menentukan apakah 2 model ini signifikan,

dapat diperiksa pada tabel 4.

Tabel 4. Anovaa berpengaruhnya determinan terhadap kedisiplinan guru

dalam mengajar

Model Sum of

Squares

df Mean

Square

F Sig.

1 Regression 3,149 1 3,149 24,945 0,000b

Residual 5,429 43 0,126

Total 8,578 44

2 Regression 3,903 2 1,951 17,531 0,000c

Residual 4,675 42 0,111

Total 8,578 44

a. Dependent Variable: kedisiplinan guru dalam mengajar

b. Predictors: (Constant), optimisme guru

c. Predictors: (Constant), optimisme guru, feedback

Berdasarkan tabel 4 anova seperti di

atas, ternyata diperoleh 2 Model; Model 1

optimisme guru (X1) berpengaruh terhadap

kedisiplinan guru dalam mengajar (Y):

diperoleh F = 24,945 pada tingkat signifikansi

0,000. Model 2 optimisme guru (X1) dan

kemampuan guru memberikan feedback

berpengaruh terhadap kedisiplinan guru dalam

mengajar (Y): diperoleh F = 17,531 pada

tingkat signifikansi 0,000. Dengan demikian

Page 52: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

52

diperoleh 2 variabel prediktor yaitu optimisme

guru (X1) dan kemampuan guru memberikan

feedback berpengaruh terhadap kedisiplinan

guru dalam mengajar (Y). Untuk meyakinkan

temuan ini, dilakukan uji T yang hasilnya

tersaji pada tabel berikut.

Tabel 5. Coefficientsa berpengaruhnya determinan terhadap kedisiplinan guru

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 1,714 0,496 3,456 0,001

Optimisme guru 0,571 0,114 0,606 4,994 0,000

2 (Constant) 1,163 0,512 2,272 0,028

Optimisme guru 0,416 0,123 0,441 3,384 0,002

Feedback 0,278 0,107 0,339 2,602 0,013

a. Dependent Variable: Kedisiplinan guru

Berdasarkan tabel 5 Coefficients

seperti di atas, ternyata diperoleh 2 Model;

Model 1 optimisme guru (X1) berpengaruh

terhadap kedisiplinan guru dalam mengajar

(Y): diperoleh: diperoleh T = 4,994 pada

tingkat signifikansi 0,000. Model 2 optimisme

guru (X1) dan kemampuan guru memberikan

feedback (X2) berpengaruh terhadap ke-

disiplinan guru dalam mengajar (Y): diperoleh

T (X1) = 3,384 pada tingkat signifikansi 0,002

dan T (X2) = 2,602 pada tingkat signifikansi

0,013. Dengan demikian 2 variabel prediktor

yaitu optimisme guru (X1) dan kemampuan

guru memberikan feedback (X2) menjadi

determinan kedisiplinan guru dalam mengajar

(Y) terdukung data.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis seperti

tersaji di atas, ternyata pelatihan model

partisipatif in – on terbukti efektif

meningkatkan kedisiplinan guru dalam

mengajar; Setelah berakhir pelatihannya,

tingkat kedisiplinan guru dalam mengajar

berada pada aras tinggi cenderung sangat

tinggi. Sejalan dengan temuan Momongan dan

Supramono (2015), pasca pelatihan, guru

harus konsisten dalam penegakan kedisiplinan

dalam kelas.

Kedisiplinan ini terbentuk karena

adanya tujuan yang dimiliki oleh guru-guru

dalam mengikuti kegiatan pelatihan. Hal ini

sejalan dengan pendapat Hasibuan (2003:194)

yang menyebutkan salah satu indikator dari

guru yang disiplin adalah memiliki tanggung-

jawab yang tinggi terhadap tugasnya. Hal ini

juga sejalan dengan hasil penelitian

Markhamah dan Muhibbin (2017) dimana

penelitian tersebut juga menyatakan disiplin

guru akan terbentuk jika didorong oleh adanya

pengarahan, pembimbingan, dan stimulus

yang berasal dari supervisi atau motivasi.

Guru-guru SD di gugus Joko Tingkir selama

kegiatan pelatihan model partisipaitif in - on

mendapatkan pengawasan dari fasiliator, baik

ketika menulis proposal penelitian tindakan

kelasnya sampai saat implementasi dan

pelaporannya, facilitator juga memberikan

pendampingan dalam pembuatan artikelnya

sehingga kegiatan pengarahan,

pembimbingan, dan stimulus ini terus

berlangsung selama 7 minggu baik dalam

kegiatan in ataupun on.

Berdasarkan hasil uji hipotesis melalui

analisis regresi seperti tersaji di atas, diperoleh

2 Model; Model 1 optimisme guru

berpengaruh terhadap kedisiplinan guru dalam

mengajar sebesar 35,20%. Model 2 optimisme

guru bersama dengan kemampuannya

memberikan feedback berpengaruh terhadap

kedisiplinan guru dalam mengajar sebesar

42,9%. Berdasarkan hasil penelitian Eliyanto

(Ayuningtyas, A. E., Slameto, S., &

Dwikurnaningsih, Y. (2017) salah satu faktor

penyebab ketidak-efektifan pelatihan dalam

meningkatkan profesionalisme guru adalah

umpan balik yang kurang tepat.

Temuan ini sejalan dengan Daraei dan

Ghaderi (2012) yang menekankan tentang

Page 53: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peningkatan Disiplin Guru SD Melalui Pelatihan Partisipatif Model In - On | Slameto, dkk.

53

optimisme akan menciptakan perilaku yang

positif, yang telah teruji dalam penelitian ini

dimana optimisme guru berpengaruh terhadap

disiplin guru dalam mengajar. Bandingkan

juga dengan penelitian Septi (2015) yang

menyimpulkan adanya pengaruh kompetensi

profesional terhadap disiplin guru, dimana

salah satu indikator dari guru yang profesional

adalah melaksanakan tugas dan kewajibannya

dengan baik yang didukung dengan pendapat

Sagala (2009) yang menjelaskan kompetensi

profesional yang dimiliki oleh guru merupakan

gabungan dari kemampuan, pengetahuan,

kecakapan dan sikap. Sikap ini ditunjukkan

salah satunya dengan pemberian feedback

dalam pembelajaran. Oleh karena itu penting

apa yang Hill (Wardani, K. W., 2017) laporkan

perlunya tiga strategi pengajaran utama yang

dinilai tinggi oleh mahasiswa di pendidikan

tinggi; salah satunya adalah strategi dan teknik

pemberian umpan balik (feedback) kepada

mahasiswa di kelas dan dalam tugas.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan sajian hasil penelitian di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata

pelatihan model partisipatif in – on terbukti

efektif meningkatkan kedisiplinan guru dalam

mengajar. Terdapat 2 variabel/ prediktor yaitu

optimisme guru dan/ bersama dengan

kemampuannya memberikan feedback ber-

pengaruh terhadap kedisiplinan guru dalam

mengajar. Optimisme guru berpengaruh

(positif dan signifikan) terhadap kedisiplinan

guru dalam mengajar sebesar 35,20%.

Optimisme guru bersama dengan kemampuan-

nya memberikan feedback berpengaruh

terhadap kedisiplinan guru dalam mengajar

sebesar 42,9%.

Saran

Dengan detemukannya 2 determinan

kedisiplinan dalam mengajar bagi guru peserta

pelatihan model partisipatif in – on, ini sangat

berguna bagi manajemen mutu dalam

kerangka efektivitas pelatihan model

partisipatif berbasis pembinaan optimisme

guru dan kemampuannya memberikan

feedback. Pelatihan model partisipatif hendak-

nya menerapkan prinsip pembelajaran yang

menekankan psikologi positif yang optimis,

membiasakan bekerja keras menghadapi

tantangan secara efektif, yakin memiliki

kekuatan untuk menggunakan pemikiran yang

inovatif dalam menggapai kesuksesan.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S; Yuwono, S; Zuhri, S. 2015.

Hubungan antara selfesteem dengan

optimisme masa depan pada siswa santri

program tahfidz di Pondok Pesantren Al-

Muayyad Surakarta dan Ibnu Abbas

Klaten. Jurnal Indigenous, 13(2)

Anggraini, P. M. 2017. Upaya Guru Dalam

Meningkatkan Kompetensi Pedagogik

Di SMK Negeri 3 Buduran Kabupaten

Sidoarjo. Kajian Moral dan

Kewarganegaraan, 5(01)

Arikunto, S., dkk. 2008. Penelitian Tindakan

Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Ayuningtyas, A. E., Slameto, S., &

Dwikurnaningsih, Y. (2017). Evaluasi

Program Pelatihan In House Training

(IHT) di Sekolah Dasar Swasta. Kelola:

Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(2),

171-183.

Daraei, M., & Ghaderi, A. (2012). Impact of

Education on Optimism or Pessimism.

Journal of Indian Academy of Applied

Psychology, 38 (2)

Fintiastuti, A. 2015. Analisis Pemanfaatan

Media Wallchart Dalam Peningkatan

Pemahaman Kompetensi Akuntansi

Perusahaan Jasa Siswa Kelas X

Keuangan Smk Negeri 1 Bantul Tahun

Ajaran 2014/2015. Doctoral

dissertation, Fakultas Ekonomi UNY

Goleman, D. 2004. Kecerdasan emosional.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hadari, N. dan Martini, H. (1990).

Administrasi Personel untuk

Page 54: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

54

Produktivitas Kerja. Jakarta: Haji

Masagung.

Markhamah, M., & Muhibbin, A.

2017. Pembinaan Disiplin Kerja Guru

SD Negeri Cengklik II Surakarta.

Doctoral dissertation, Universitas

Muhammadiyah Surakarta

Miarso, Y. 2008. Peningkatan kualifikasi guru

dalam perspektif teknologi

Pendidikan. Jurnal Pendidikan

Penabur, 10, 66-76).

Momongan, H. S., and Supramono, S. 2015.

Analisis Akar Masalah Ketidakefektifan

Manajemen Kelas di Sekolah Dasar di

Salatiga dan Sekitarnya. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 2(2), 221-235.

Muryasari, D. 2017. Pembinaan Kreativitas

Melalui Metode Bercerita Dalam

Pembelajaran Melukis Kelompok B1 TK

Pembina Kecamatan Bantul.

journal.student.uny.ac.id

Nadhiroh, L. 2014. Kreativitas Guru PAI

Dalam Menumbuhkan Minat Belajar

Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan

Agama Islam. repo.iain-

tulungagung.ac.id

Nurtjahjanti, H., & Ratnaningsih, I. Z. 2011.

Hubungan Kepribadian Hardiness

Dengan Optimisme Pada Calon Tenaga

Kerja Indonesia (CTKI) Wanita di

BLKLN Disnakertrans Jawa

Tengah. Jurnal Psikologi, 10(2).

Sagala, S. 2009. Kemampuan Profesional

Guru dan Tenaga Kependidikan.

Bandung: Alfabeta.

Sastrohadiwiryo, S. 2002. Manajemen Tenaga

Kerja Indonesia, PT. Bumi Aksara,

Jakarta.

Septi, R. 2015. Pengaruh Kompetensi

Profesional Guru Terhadap Disiplin

Kerja Guru Sdn Di Gugus Gatot Subroto

Kecamatan Kutasari Kabupaten

Purbalingga (Doctoral Dissertation,

PGSD).

Soedijarto. 1989. Pendidikan Sebagai Sarana

Reformasi Mental Dalam Upaya

Pembangunan Bangsa. Jakarta: Balai

Pustaka.

Suke, S. 1991. Evaluasi Belajara dan Umpan

Balik. Jakarta: PT. Grasindo.

Wardani, K. W. 2017. Sumbangan Kreativitas

dalam Tingkat Kompetensi

Kepemimpinan Alumni Magister

Manajemen Pendidikan Pada Kurikulum

Berbasis Kompetensi. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 4(2), 220-230.

Page 55: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 55-65

55

Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi

Dengan Perilaku Agresif Siswa SMP di Salatiga

Yosua Ivan Pradana

Program Studi S1 Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Yari Dwikurnaningsih

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Setyorini

Program Studi S1 Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This study aims to determine the significance of the relationship between watching

the violence shown on television with aggressive behavior of junior high school students

in Salatiga. The hypothesis put forward is that there is a significant relationship between

watching television violence shows with aggressive behavior of junior high school

students in Salatiga. The study was conducted in one of the junior high schools in

Salatiga. Sampling technique in this research using stratified random sampling

technique. The questionnaire used was a questionnaire of aggressive behavior of

teenagers and questionnaires watching the violence on television. The analytical method

used is Kendall's tau correlation technique. Based on the data analysis obtained

correlation value 0.811 with a significance level of 0.000 (p <0.05). These results indicate

that there is a significant relationship between watching the violence shown on television

and the aggressive behavior of junior high school students in Salatiga. The higher the

students watch the violence on television, the higher the aggressive behavior. Thus the

hypothesis proposed in this study is accepted.

Keywords : Aggressive Behavior, Adolescents, Violence, Watching Television Shows

Article Info

Received date: 25 Mei 2018 Revised date: 29 Juni 2018 Accepted date: 29 Juni 2018

Page 56: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

56

PENDAHULUAN

Di era globalisasi saat ini, mayoritas

generasi muda memunculkan perilaku yang

merusak cerminan diri generasi muda, seperti

tawuran/perkelahian antar pelajar. Banyak

remaja yang tidak dapat mengontrol emosi

mereka, sehingga berujung pada tindakan

kekerasan dan perilaku agresif. Menurut

Monks dkk, 1989 remaja sebenarnya tidak

memiliki tempat yang jelas, mereka sudah

tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi

belum juga dapat diterima secara penuh untuk

masuk ke golongan orang dewasa. Remaja

berada di antara anak dan orang dewasa, oleh

karena itu remaja seringkali dikenal dengan

fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan

badai”. Remaja masih belum mampu

menguasai dirinya sendiri dan terus mencari

jati dirinya. Di masa pencarian jati diri ini,

perilaku yang sering dilakukan oleh remaja

adalah seperti berkelahi, berbicara kasar,

menentang orang yang lebih tua, bullying, dan

sebagainya, itu semua tergolong dalam

perilaku agresif.

Menurut Saad (2008) perilaku agresif

remaja merupakan perilaku yang dapat

merugikan atau mencederai orang lain dan

memiliki unsur kesengajaan. Contoh perilaku

agresif yang sering terjadi adalah pemukulan,

berkata kasar, menghina, dan perilaku agresif

lainnya baik secara fisik maupun verbal. Selain

itu, dalam prosesnya, remaja juga

memperlihatkan perilaku mereka yang aktif

menggunakan media massa, media massa

menjadi sarana dalam gaya hidup sehari-hari.

Menurut Sawono & Meinarno (2012) media

massa menjadi salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi perilaku agresif remaja.

Terjadi demikian karena peran media massa

yang semakin hebat dan kuat dalam

mempengaruhi remaja. Media massa menjadi

alat untuk mempermudah dalam pencarian

informasi maupun ilmu pengetahuan kepada

audience khusunya remaja. Media massa

berkembang menjadi kelompok penekan.

Dalam hal ini, hidup remaja bergantung pada

media massa, seperti kebutuhan sehari-hari,

dan proses belajar remaja, itu semua

ditentukan oleh media massa (Nurudin, 2014).

Media massa merupakan sarana

menyampaikan informasi dan komunikasi

secara massal. Media seperti televisi, koran,

film, radio, dan internet dapat diakses dengan

mudah oleh remaja. Menurut Kuswandi

(2008), media televisi memiliki keistimewaan

tersendiri. Televisi mampu menyampaikan

informasi dengan menampilkan visual maupun

audio secara nyata kepada penonton dalam

waktu yang bersamaan, sehingga televisi

menjadi media yang paling baik dan sangat

mudah diingat oleh orang yang menonton.

Sebagaimana dikatakan Sulaiman (dalam

Hutapea, 2010) 75% pengetahuan manusia

adalah melalui mata menuju ke otak dan

selebihnya melalui indera-indera yang lainnya.

Beberapa keistimewaan tersebut

membuat media televisi menjadi pilihan

pertama dalam mengakses informasi. Saat ini

televisi menjadi perdebatan publik mengenai

penayangan adegan kekerasan melalui acara

berita, sinetron, sport, film dalam negeri

maupun luar negeri, dan lain-lain. Menurut

Krahe (2005), publik menganggap adegan

tersebut dapat mempengaruhi peningkatan

perilaku agresif remaja. Tinjauan Comstock

dan Scharrer (dalam Krahe, 2005) menjelaskan

bahwa terdapat kandungan agresif dan

kekerasan di media televisi serta saluran

televisi berlangganan (pay per view channel).

Menurut Hutapea (2010) remaja

memiliki kemungkinan untuk meniru adegan

kekerasan yang mereka saksikan di televisi

(seperti bertindak kasar, membunuh,

menggugurkan kandungan, perkelahian,

mengganggu ketertiban, melanggar aturan, dan

sebagainya). Seperti yang dijelaskan oleh

Hanim (2005) bahwa manusia adalah makhluk

imitatif. Perilaku meniru sangat terlihat pada

masa remaja. Mereka menganggap

kekerasan/perkelahian yang ditampilkan di

Page 57: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.

57

televisi sesuai dengan sebenarnya serta sulit

membedakan antara tayangan fiktif dengan

kisah nyata.

Berita kejahatan dan kekerasan di

media televisi menjadi berita top three saat ini.

Berita kekerasan mempunyai nilai jual dan

daya tarik yang tinggi. Dikatakan demikian

karena sifat penonton yang senang dalam

menyaksikan berita kekerasan. Menurut Freud

(dalam Sawono dan Meinarno, 2012) manusia

memiliki naluri kematian atau yang disebut

naluri tanatos, yang merupakan

naluri/dorongan untuk menghancurkan yang

ada pada setiap manusia yang dinyatakan

dalam perkelahian, pembunuhan, perang,

sadisme, dan sebagainya. Menyaksikan dan

menonton kekerasan di televisi menjadi salah

satu cara manusia menyalurkan naluri

kematian, dan bisa jadi, tayangan kekerasan

menjadi efek naluri kematian muncul.

Remaja memiliki rentang usia 12 – 24

tahun, oleh karena itu siswa SMP termasuk

dalam golongan remaja, dan hal tersebut

menjadi salah satu alasan peneliti akan

melakukan penelitian ini di salah satu SMP di

Salatiga. Peneliti telah mencari data awal dan

melakukan observasi serta wawancara dengan

guru BK, guru agama, dan siswa di SMP

tempat peneliti melakukan penelitian. Guru

BK memaparkan bahwa SMP ini memang

memiliki “keistimewaan” dibanding SMP lain

di Salatiga. Siswa-siswinya terkenal “nakal”

dan itu sudah menjadi hal yang turun-temurun.

Guru BK juga menjelaskan bahwa jarang

mereka menemukan siswa yang membawa

handphone ke sekolah karena mayoritas siswa

di SMP ini berlatar belakang dari keluarga

yang kurang mampu baik secara ekonomi

maupun pendidikan. Siswa yang ditemui oleh

peneliti juga mengakui bahwa mereka tidak

memiliki handphone, kalaupun ada yang

memiliki, tidak selalu online karena mereka

tidak mampu untuk setiap saat membeli kuota

internet. Pada akhirnya, televisi adalah media

massa yang paling banyak mereka

pergunakan/manfaatkan. Guru agama di SMP

ini memberikan pernyataan yang hampir

serupa, dan mengatakan bahwa tawuran,

berkelahi, dan saling ejek serta membully

adalah hal yang terasa “lumrah” di SMP ini.

Berdasarkan penelitian sebelumnya,

terdapat kesenjangan dan dua opini yang

berbeda. Rujukan pertama yakni penelitian

yang dilakukan oleh Nando tahun 2011 dengan

judul “Hubungan antara perilaku menonton

acara kekerasan dengan perilaku agresi

remaja”. Penelitian tersebut menyimpulkan

bahwa perilaku menonton film kekerasan tidak

memiliki hubungan signifikan dengan perilaku

agresi remaja. Ini berbanding terbalik dengan

pendapat Andriadi dalam skripsinya yang

berjudul “Hubungan Paparan Tayangan

Kekerasan Dengan Perilaku Agresif Remaja di

SMK Dr. Tjipto Ambarawa Kabupaten

Semarang” pada tahun 2016, yang menyatakan

ada hubungan antara paparan tayangan

kekerasan dengan perilaku agresif pada remaja

di SMK Dr. Tjipto Ambarawa.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui signifikansi hubungan antara

menonton acara kekerasan di televisi dengan

perilaku agresif siswa SMP di Salatiga.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan

untuk pengembangan program bimbingan dan

konseling serta untuk mengetahui efek dari

menonton acara kekerasan di televisi dan

perilaku agresif, yang tentunya itu akan

berguna untuk pihak-pihak terkait seperti guru

BK, orangtua, dan lembaga pendidikan.

Perilaku adalah suatu kegiatan atau

aktivitas organisme (makhluk hidup) yang

bersangkutan. Perilaku manusia pada

hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari

manusia itu sendiri yang mempunyai

bentangan yang sangat luas antara lain :

berjalan, berbicara, menangis, tertawa,

bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2012).

Berdasarkan penjelasan tersebut,

perilaku adalah segala tindakan atau aktivitas

Page 58: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

58

yang dilakukan oleh manusia, dapat berupa

perilaku kognitif (perilaku yang menekankan

aspek intelektual), perilaku afektif (perilaku

yang menekankan aspek emosi perasaan),

maupun perilaku psikomotor (perilaku yang

menekankan aspek ketrampilan motorik).

Menurut Baron dan Richardson (dalam

Krahe, 2005) mendefinisikan agresi sebagai

suatu perilaku yang diwujudkan dalam

berbagai bentuk yang dimaksudkan untuk

menyakiti atau melukai makhluk hidup lain

yang terdorong untuk menghindari perlakuan

tersebut. Agresif merupakan setiap tindakan

yang dimaksudkan untuk menyakiti atau

melukai orang lain (Taylor, Peplau, & Sears,

2009).

Menurut Agustina, Suprihatin, dan

Rohmatun (2017), agresif memiliki makna

yang berbeda-beda, yakni : (1) Agresif

merupakan perilaku yang bertujuan untuk

melukai orang lain; (2) agresif sebagai bentuk

asertif, perilaku yang ditujukan untuk

memenuhi keinginan seseorang; (3) agresif

sebagai bentuk penegasan akan kekuasaan

seseorang.

Jadi, menurut pengertian tersebut,

peneliti sepakat bahwa agresi adalah tindakan

/ perilaku, dapat berupa fisik maupun verbal,

yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau

kelompok dengan tujuan untuk melukai,

menyakiti, memenuhi keinginan, penegasan

kekuasaan, dan merugikan orang lain maupun

kelompok lain.

Mac Neil dan Stewart (dalam

Hanurawan, 2010) menjelaskan bahwa

perilaku agresif adalah suatu perilaku atau

suatu tindakan yang diniatkan untuk

mendominasi atau berperilaku secara

destruktif, melalui kekuatan verbal maupun

kekuatan fisik, yang diarahkan kepada objek

sasaran perilaku agresif. Objek sasaran

perilaku meliputi lingkungan fisik, orang lain

dan diri sendiri.

Anantasari (2006) menyebutkan enam

ciri - ciri perilaku agresif sebagai berikut :

a. Perilaku menyerang;

b. Perilaku menyakiti atau merusak diri

sendiri, orang lain, atau objek-objek

penggantinya;

c. Perilaku yang tidak diinginkan orang yang

menjadi sasaranya;

d. Perilaku yang melanggar norma sosial;

e. Sikap bermusuhan terhadap orang lain;

f. Perilaku agresif yang dipelajari;

Menurut Koeswara (1998) ada

beberapa faktor yang mempengaruhi

terjadinya perilaku agresif, yaitu : (1)

Kemiskinan; (2) Suhu udara; (3) Peran belajar

model kekerasan; (4) Frustasi; (5)

Kesenjangan generasi; (6) Amarah; (7) Proses

pendisiplinan yang keliru; (8) Faktor biologis.

Menurut Restu dan Yusri (2013)

Perilaku Agresif bisa disebabkan oleh faktor

merasa kurang diperhatikan, tertekan,

pergaulan buruk, dan efek dari tayangan

kekerasan di media massa.

Berdasarkan penjelasan tersebut,

peneliti berpendapat bahwa faktor-faktor

penyebab perilaku agresif dapat digolongkan

menjadi dua yakni faktor internal (contoh : rasa

frustasi, tertekan) dan faktor eksternal (contoh

: kemiskinan, pergaulan yang buruk, dan

media massa seperti televisi).

Buss & Perry (1992) menjabarkan ada

empat aspek perilaku agresif yaitu :

a. Physical Aggresion (agresi fisik)

Physical Aggresion merupakan

agresi yang dapat diobservasi (terlihat).

Physical Aggresion (PA) adalah

kecenderungan individu untuk melakukan

serangan secara fisik untuk

mengekspresikan kemarahan atau agresi.

Bentuk serangan fisik tersebut adalah

memukul, mendorong, dan mencubit.

b. Verbal Aggresion (agresi verbal)

Verbal Aggresion merupakan agresi

yang dapat dioservasi (didengar). Verbal

Aggresion adalah kecenderungan

menyerang orang lain untuk memberikan

stimulus yang merugikan dan menyakitkan

Page 59: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.

59

kepada organisme lain secara verbal, yaitu

melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk

serangan verbal adalah cacian, memfitnah,

mengumpat, penolakan, ejekan, dan kata

kasar.

c. Anger (kemarahan)

Anger adalah perasaan marah, kesal,

sebal dan bagaimana menontrol hal

tersebut. Di dalamnya adalah mengenai

temperamental, kecenderungan cepat

marah, atau kesulitan mengendalikan

amarah.

d. Hostility (permusuhan)

Hostility tergolong dalam agresi

covert (tidak nampak). Hostility terdiri dari

dua bagian yaitu Resentmen seperti

cemburu dan iri hati terhadap orang lain,

serta Suspicion seperti adanya

ketidakpercayaan terhadap orang lain.

Kekerasan adalah segala sesuatu yang

menyebabkan orang terhalang untuk

mengaktualisasikan potensi diri secara wajar.

Namun, penghalang itu adalah sesuatu yang

dapat dihindarkan. Artinya, kekerasan dapat

dihindarkan kalau penghalang itu disingkirkan

(As’ad, 2000).

Menurut Chawazi (2001) tindak

kekerasan sama juga pengertiannya dengan

penganiayaan, yaitu perbuatan yang dilakukan

dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit

atau luka pada tubuh orang lain. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana pasal 351

(dalam Chazawi, 2001), penganiayaan atau

tindak kekerasan adalah : (1) Setiap perbuatan

yang dilakukan dengan sengaja untuk

merugikan kesehatan orang lain; (2) Setiap

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

untuk memberikan penderitaan pada orang

lain.

Dari pengertian kekerasan tersebut,

peneliti menyimpulkan bahwa kekerasan

adalah sebuah perilaku/perbuatan yang

dilakukan secara sengaja, dapat dilakukan

secara perorangan maupun banyak orang, serta

menimbulkan penderitaan dan kerugian pada

orang lain baik secara fisik maupun secara

psikis. Namun, kekerasan itu sendiri

sebenarnya dapat dihindarkan asalkan tahu

faktor penyebab dari kekerasan tersebut

terjadi.

Yayasan SEJIWA, dalam bukunya

tentang bullying (2008), membagi bentuk

kekerasan ke dalam dua jenis yaitu :

a. Kekerasan fisik; yaitu jenis kekerasan yang

kasat mata. Siapapun bisa melihat karena

terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan

korban.

b. Kekerasan non-fisik; yaitu jenis kekerasan

yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa

langsung diketahui perbuatannya karena

tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku

dengan korban. Kekerasan non-fisik dibagi

menjadi dua yaitu kekerasan verbal serta

kekerasan psikologis/psikis.

Galtung (dalam Eriyanti, 2017)

membagi kekerasan menjadi “Segitiga

Kekerasan” yaitu kekerasan langsung,

struktural, dan kultural. Kekerasan langsung

bisa terlihat secara nyata demikian pula dengan

pelakunya. Kekerasan struktural melukai

kebutuhan dasar manusia, tetapi tak ada pelaku

langsung yang bisa diminta tanggung

jawabnya. Sementara kekerasan kultural

adalah legitimasi atas kekerasan struktural

maupun kekerasan langsung secara budaya.

Berdasarkan penjelasan tersebut,

kekerasan dapat dibagi dalam dua bentuk

yakni secara fisik atau non-fisik, dan dapat

terwujud secara langsung, secara terstruktur,

maupun karena budaya / kultur yang dianut

oleh suatu kelompok.

Dalam Yosep (2009), mengemukakan

aspek perilaku kekerasan yakni : (1) Fisik; (2)

Verbal; (3) Perilaku; (4) Emosi; (5)

Intelektual; (6) Spiritual; (7) Sosial; (8)

Perhatian.

Menurut Dwikurnaningsih (2015)

media televisi efektif untuk mempengaruhi

perilaku seseorang karena televisi mempunyai

kemampuan : (1) fiksatif yaitu dapat

Page 60: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

60

menampilkan kejadian masa lampau; (2)

manipulatif, yaitu kemampuan untuk

memanipulasi kejadian yang tidak sebenarnya;

(3) distributif, dapat menyebarkan informasi

dalam waktu yang singkat dan dalam

jangkauan yang luas.

Kekerasan adalah salah satu konten

yang ada di media televisi. Berdasarkan

lembaga sensor Indonesia, 95% tayangan

televisi di Indonesia mengandung unsur

kekerasan. Kekerasan sepertinya akan sulit

dihilangkan dari layar televisi, bahkan

sekalipun usaha menguranginya dilakukan,

namun kesan dominan kekerasan akan tetap

muncul, karena kekerasan sendiri berperan

sebagai bumbu penyedap dari sebuah cerita

(Depari, 1995). Tingginya pengaruh televisi

terhadap perilaku penontonnya membuat

televisi dianggap sebagai penyebab dari

maraknya tindak kekerasan yang terjadi di

masyarakat, seperti perkelahian massa,

tawuran, pemerkosaan, pembunuhan,

perampokan, dan sebagainya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif dengan jenis deskriptif

korelasional. Metode Penelitian Kuantitatif,

sebagaimana dikemukakan oleh Sugiyono

(2012) yaitu metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat positivisme,

digunakan untuk meneliti pada populasi atau

sampel tertentu, pengumpulan data

menggunakan instrumen penelitian, analisis

data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan

untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

Penelitian deskriptif korelasional

adalah penelitian yang diarahkan untuk

menjelaskan hubungan antara dua variabel

yaitu variabel bebas dengan variabel terikat

(Notoatmodjo, 2002). Menurut Faenkel dan

Wallen (2008) Penelitian deskriptif

korelasional adalah suatu penelitian untuk

mengetahui hubungan dan tingkat hubungan

antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya

untuk mempengaruhi variabel tersebut

sehingga tidak terdapat manipulasi variabel.

Adanya hubungan dan tingkat variabel ini

penting karena dengan mengetahui tingkat

hubungan yang ada, peneliti akan dapat

mengembangkannya sesuai dengan tujuan

penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah

siswa kelas VII dan VIII salah satu SMP di

Salatiga yang berjumlah 448 siswa. Penelitian

ini tidak melibatkan kelas IX karena pihak

sekolah memfokuskan siswa kelas IX untuk

mengikuti ujian sekolah,ujian nasional, serta

kegiatan lain pasca-ujian.

Dalam menentukan besarnya sampel,

peneliti menggunakan tabel Krejcie

(Sugiyono, 2011). Ukuran sampel ini

didasarkan atas kesalahan 5%, sehingga

sampel yang diperoleh mempunyai

kepercayaan 95% terhadap populasi. Mengacu

pada tabel Krejcie, dengan jumlah populasi

antara 440 sampai 460 maka sampel yang

digunakan dalam penelitian ini sebanyak 198

siswa.

Metode pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan stratified random

sampling. Menurut Sugiyono (2012) stratified

random sampling adalah teknik penentuan

sampel pada populasi yang unsur-unsurnya

berstrata secara proporsional dan tidak

homogen. Berdasarkan penghitungan, dapat

diketahui sampel dalam penelitian ini (dari

total sampel 198 siswa) adalah 102 siswa kelas

VII dan 96 siswa kelas VIII.

Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

angket. Terdapat dua angket yakni angket

perilaku agresif dan angket menonton acara

kekerasan di televisi. Angket perilaku agresif

disusun berdasarkan teori Buss & Perry (1992)

dan angket menonton acara kekerasan di

televisi disusun berdasarkan teori Yosep

(2009) oleh peneliti.

Teknik pengolahan data yang

dipergunakan adalah dengan perhitungan

komputasi program SPSS (Statistical Package

Page 61: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.

61

for Social Science) yaitu program komputer

statistik yang mampu memproses data statistik

secara tepat dan cepat. Sementara teknik

analisis dalam penelitian ini mempergunakan

teknik kuantitatif dengan uji statistik yaitu

dengan rumus korelasi Kendall’s tau yang

digunakan untuk mengkaji hubungan variabel

bebas (X) dengan variabel terikat (Y).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Analisa Deskriptif

Setelah data terkumpul, langkah

pertama yakni dilakukan analisa deskriptif.

Dari pengolahan dan perhitungan data secara

statistik diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Menonton Acara

Kekerasan di Televisi No. Rentang

Skor

Kategori Frekuensi Persentase

1 216-256 Sangat Tinggi 49 24.7%

2 178-215 Tinggi 70 35.3%

3 140-177 Sedang 62 31.3%

4 102-139 Rendah 15 7.6%

5 64-101 Sangat Rendah 2 1.1%

TOTAL 198 100%

Dari tabel sebaran distribusi frekuensi,

dapat diketahui bahwa siswa yang menonton

acara kekerasan di televisi berkategori sangat

tinggi sebesar 24.7%, kategori tinggi sebesar

35.3%, kategori sedang sebesar 31.3%,

kategori rendah sebesar 7.6%, dan kategori

sangat rendah sebesar 1.1%. Dari data sebaran

frekuensi tersebut, dapat disimpulkan kegiatan

menonton acara kekerasan di televisi 198

siswa salah satu SMP di Salatiga didominasi

oleh kategori tinggi dengan persentase 35.3%

(70 siswa).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi

Perilaku Agresif No. Rentang

Skor

Kategori Frekuensi Persentase

1 176-208 Sangat Tinggi 27 13.6%

2 145-175 Tinggi 111 56.1%

3 114-144 Sedang 47 23.7%

4 83-113 Rendah 13 6.6%

5 52-80 Sangat Rendah 0 0%

TOTAL 198 100%

Dari tabel sebaran distribusi frekuensi,

dapat diketahui bahwa siswa yang berperilaku

agresif berkategori sangat tinggi sebesar

13.6%, kategori tinggi sebesar 56.1%, kategori

sedang sebesar 23.7%, kategori rendah sebesar

6.6%, dan kategori sangat rendah sebesar 0%.

Dari data sebaran frekuensi tersebut, dapat

disimpulkan perilaku agresif 198 siswa salah

satu SMP di Salatiga didominasi oleh kategori

tinggi dengan persentase 56.1% (111 siswa).

Analisis Korelasi

Analisis korelasi menonton acara

kekerasan di televisi dengan perilaku agresif

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Hasil Korelasi antara Menonton

Acara Kekerasan di Televisi dengan Perilaku

Agresif Correlations

Menont

on

Agresif

Kendall'

s tau_b

Menonton

Correlation

Coefficient 1.000 .811**

Sig. (2-tailed) . .000

N 198 198

Agresif

Correlation

Coefficient .811** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 198 198

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari tabel tersebut, didapatkan nilai

asymp sig. antara menonton acara kekerasan di

televisi dengan perilaku agresif sebesar 0.000

(< 0.05) dan nilai asymp sig. antara perilaku

agresif dengan menonton acara kekerasan di

televisi sebesar 0.000 (< 0.05).

Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan dengan

komputer program Statistical Package for

Social Sciences (SPSS), menggunakan rumus

korelasi Kendall’s tau yang menguji hubungan

menonton acara kekerasan di televisi dengan

perilaku agresif remaja. Dari hasil analisis,

didapatkan nilai asymp sig. antara menonton

acara kekerasan di televisi dengan perilaku

agresif sebesar 0.000 (< 0.05) dan nilai asymp

Page 62: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

62

sig. antara perilaku agresif dengan menonton

acara kekerasan di televisi sebesar 0.000 (<

0.05), yang menunjukkan ada hubungan yang

signifikan antara menonton acara kekerasan di

televisi dengan perilaku agresif siswa. Selain

itu, berdasarkan tingkat hubungan menurut

Sugiyono (2012), maka penelitian ini memiliki

tingkat hubungan sangat kuat karena nilai

korelasinya berada dalam interval 0.80 – 1.00

yakni 0.811.

Hasil analisis tersebut menunjukkan

bahwa hipotesis yang berbunyi “Ada

hubungan yang signifikan antara menonton

acara kekerasan televisi dengan perilaku

agresif siswa SMP di salatiga” diterima. Hal

itu berarti semakin tinggi siswa menonton

acara kekerasan di televisi, maka semakin

tinggi perilaku agresifnya, begitupun

sebaliknya.

Pembahasan

Hasil analisis data menemukan ada

hubungan yang signifikan antara menonton

acara kekerasan di televisi dengan perilaku

agresif siswa SMP di salatiga. Dengan

demikian hipotesis yang diajukan peneliti

diterima dengan nilai asymp sig. = 0.000 (<

0.05), yang berarti semakin tinggi siswa

menonton acara kekerasan di televisi maka

semakin tinggi perilaku agresifnya.

Hasil yang diperoleh tersebut sesuai

dengan teori Krahe (2005) yang menyatakan

bahwa perilaku agresif remaja dipengaruhi

oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah

menonton televisi. Acara televisi

menampilkan adegan pemukulan,

ejekan/bullying, pertengkaran, adu mulut, dan

pengroyokan/tawuran yang terlihat sangat asli

dan nyata. Menonton televisi memunculkan

sebuah pandangan pada remaja bahwa perilaku

agresif verbal maupun fisik adalah sesuatu

yang normal dan boleh dilakukan.

Televisi memberikan pengaruh dalam

peningkatan perilaku agresif (Sarwono &

Meinarno, 2012). Faktor menonton televisi

memberikan kesempatan lebih pada audience

untuk mengamati apa yang disampaikan secara

jelas terutama adegan-adegan bertema

kekerasan. Tayangan dari televisi memiliki

potensi yang besar untuk ditiru pemirsa

terutama pemirsa berusia remaja.

Televisi memiliki big influence

terhadap perilaku karena remaja meniru apa

yang disajikan dalam acara televisi. Remaja

merasa bahwa yang disajikan dalam televisi

adalah gambaran hidup sehari-hari. Penjelasan

tersebut sejalan dengan eksperimen boneka bo-

bo milik Bandura (dalam Sarwono &

Meinarno, 2012) yang menjelaskan bahwa

perilaku agresif individu sebagai tingkah laku

sosial yang dipelajari, dapat terbentuk hanya

dengan menirukan atau mencontoh perilaku

yang dilakukan oleh individu lain atau bahkan

hanya mengamati sepintas dan tanpa

penguatan. Individu lain yang diamati dalam

penelitian ini adalah model atau tokoh dalam

acara-acara televisi yang disaksikan remaja.

Menurut Leonard Eron dan Rowell

Huesman (dalam Kuswandi, 2008), tayangan

televisi memberikan dampak yang negatif bagi

audience khususnya remaja. Acara televisi

mulai berkembang dan tidak terkontrol,

banyak adegan dan acara yang seharusnya

tidak ditampilkan seperti, perkelahian, kata-

kata kasar, memukul/menendang, dan adegan

agresif lainnya. Masa remaja merupakan masa

perkembangan dalam adaptasi diri dengan

lingkungan/kehidupan sosial. Dengan

menonton acara-acara di televisi, remaja

menyesuaikan diri dengan hal-hal yang sedang

populer di lingkungan sosial dan lingkungan

teman sebaya (Hurlock, 2003).

Remaja adalah sosok yang cepat

menyerap adegan-adegan yang mereka

saksikan di televisi (Hanim, 2005). Remaja

merupakan masa di mana muncul perilaku

imitatif atau menirukan adegan-adegan di

televisi yang interesting dan populer. Acara-

acara di televisi saat ini banyak menampilkan

scene yang mengandung agresivitas baik fisik

maupun verbal, yang ditampilkan sangat

Page 63: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.

63

natural dan nyata. Remaja menganggap adegan

tersebut merupakan suatu hal yang wajar untuk

diteladani dalam keseharian aktivitas mereka.

Menurut Dewi (2015) daya tarik

remaja tentang kekerasan terletak pada

viewpoint mereka dalam melihat adegan

kekerasan di televisi. Jika remaja menganggap

adegan kekerasan adalah hal yang

mengasyikkan/menggembirakan, maka

kekerasan di televisi merupakan hal yang

wajar dan menarik untuk disaksikan. Remaja

tertarik pada film maupun sinetron yang

memunculkan adegan kekerasan sebagai

pembelaan diri dan penyelesaian masalah

karena hal tersebut menjadi “perwujudan”

sesuatu yang benar dan mendapat

penghargaan/reward atas perilaku tersebut,

sehingga membuat tayangan kekerasan di

televisi lebih menonjol untuk ditonton para

remaja.

Menurut Koeswara (1998) acara di

televisi memiliki dampak yang significant

terhadap pembentukan dan atau peningkatan

perilaku agresif bagi para penontonnya,

khususnya penonton usia remaja yang sering

menyaksikan acara-acara di televisi. Sejalan

dengan Dewi (2015) yang menjelaskan

adegan-adegan kekerasan di televisi yang

diperankan oleh orang/sosok/tokoh yang

diidolakan dapat menimbulkan pengajaran

dalam berfantasi, bertingkah laku,

mengeluarkan ide-ide, dan lainnya. Hal

tersebut menjadi dasar remaja ingin menirukan

adegan kekerasan. Remaja mempunyai

persoalan yang serupa dengan tokoh di televisi,

maka remaja tersebut akan melakukan

kekerasan baik fisik maupun verbal seperti

sosok yang dilihatnya, yaitu membully,

memarahi, memukul, dan berkata-kata kasar.

Kekerasan menjadi cara untuk memecahkan

masalah dan persoalan di kehidupan nyata

serta untuk membenarkan perilaku kekerasan

seperti yang tokoh idola lakukan di televisi.

Hasil analisis data yang dilakukan

menunjukkan bahwa mean hipotetik (MH)

perilaku agresif remaja adalah sebesar 130

dengan SDh sebesar 26 dan mean empiric

(ME) 186.29. Hasil menunjukkan bahwa

perilaku agresif pada siswa salah satu SMP di

Salatiga tergolong cukup tinggi. Hal ini berarti

bahwa siswa-siswi salah satu SMP di Salatiga

memiliki kecenderungan berperilaku kurang

disiplin dan melanggar norma-norma yang

ada. Tetapi, meskipun demikian, perilaku

agresif siswa masih dalam batas wajar dan

tidak masuk dalam level yang sangat

berbahaya. Para siswa masih bisa diarahkan

untuk memperbaiki perilakunya, meskipun

masih terdapat perilaku agresif yang muncul

disaat siswa tidak dapat mengendalikan emosi.

Rutinnya kegiatan berdoa sebelum pelajaran,

siswa yang menyapa dan berjabat tangan

dengan guru, serta kegiatan sekolah lain yang

berbasis kedisiplinan dan keagamaan,

menunjukkan para siswa tidak memiliki

perilaku agresif yang sangat tinggi.

Analisis lebih lanjut menunjukkan

bahwa menonton acara kekerasan di televisi

memiliki mean hipotetik (MH) sebesar 160

dengan SDh sebesar 32 dan mean empiric

(ME) sebesar 153.86. Hasil menunjukkan

bahwa menonton acara kekerasan di televisi

pada siswa salah satu SMP di Salatiga

tergolong sedang. Golongan tersebut dapat

diartikan bahwa siswa tidak selalu menonton

acara-acara kekerasan di televisi. Hal ini

dikarenakan tidak hanya kekerasan yang selalu

muncul selama siswa menonton televisi,

namun juga terdapat adegan dan acara lainnya

yang muncul di berbagai channel televisi,

seperti hiburan edukasi, promosi barang

(online, jual-beli dsb), dan iklan. Hal ini sesuai

dengan pandangan Badjuri (2010) bahwa

televisi menayangkan acara seperti iklan,

kartun, infotaiment, dan reality show yang

acara-acara tersebut secara keseluruhan tidak

selalu mengandung unsur agresif fisik maupun

verbal.

Page 64: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

64

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara menonton

acara kekerasan di televisi dengan perilaku

agresif siswa. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Andriadi, dan tidak sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Nando.

Hal ini dibuktikan dari hasil analisis

korelasional diperoleh nilai korelasi 0.811

dengan taraf signifikansi 0.000 (p<0.05). Hasil

itu dapat diartikan semakin tinggi siswa

menonton acara kekerasan di televisi, maka

semakin tinggi pula perilaku agresif siswa, dan

sebaliknya, semakin rendah siswa menonton

acara kekerasan di televisi, maka semakin

rendah pula perilaku agresif siswa.

Saran

Berdasarkan kesimpulan dari peneliti

dapat diberikan saran sebagai berikut :

1. Bagi siswa yang melakukan agresif

verbal sebaiknya untuk lebih sopan

dalam berkomunikasi atau berbicara

terhadap orang lain, dengan cara

meminta nasihat dan saran dari teman,

orang terdekat, orang tua dan guru,

serta belajar untuk lebih berfikir positif

kepada orang lain.

2. Bagi orangtua dan keluarga hendaknya

mendampingi anak-anak dalam

menonton televisi dan memberikan

wacana tentang pengaruh buruk

menonton acara kekerasan, serta

memberikan perhatian lebih kepada

anak yang seusia remaja untuk

mencegahan munculnya perilaku

agresif pada remaja.

3. Bagi sekolah dan guru BK dapat

memberikan informasi tentang dampak

menonton acara kekerasan di televisi

bagi remaja terutama dalam kaitannya

dengan perilaku agresif remaja, baik

dalam tatap muka di kelas, maupun

melalui sosialisasi dengan melibatkan

pihak luar yang terkait. Selain itu

sekolah dapat menambah kegiatan-

kegiatan non-formal yang bertujuan

untuk menyalurkan bakat dan talenta

siswa.

4. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik

untuk meneliti perilaku agresif dapat

melanjutkan dengan

mempertimbangkan faktor-faktor lain

seperti pola asuh orang tua, lingkungan

tempat tinggal, jenis kelamin, teman

sebaya dan pendidikan, sehingga yang

bersangkutan dapat mengetahui lebih

banyak hal-hal yang memengaruhi

perilaku agresif remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Dwi. Bakhtiar, J. & Matulessy, Andik.

2012. Kecerdasan Emosi, Kecerdasan

Spiritual, dan Agresivitas Pada

Remaja. Jurnal Psikologi Indonesia

Agustina, Erni. Suprihatin, Titin. & Rohmatun.

2017. Gambaran aaaaaaAgresifitas

Anak dan Remaja di Area Beresiko.

Jurnal Unissula

Anantasari. 2006. Menyikapi Perilaku Agresif

Anak. Yogyakarta : Kanisius

As’ad. 2000. Perilaku Kekerasan. Jurnal

Buletin Psikologi UGM.

Badjuri, A. 2010. Jurnalistik Televisi.

Yogyakarta : Graha Ilmu

Baron, R.A & Byrne, D. 2005. Psikologi

Sosial. Jakarta : Erlangga

Buss, A.H & Perry, M. 1992. The Aggresion

Questionnaire. Journal of Personality

and Social Psychology. The American

Psychological Association, Inc.

Chawazi, Adami. 2001. Hukum Pidana Bagian

I. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Dewi, I.C. 2015. Pengantar Psikologi Media.

Jakarta : Prestasi Pustakaraya

Page 65: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Hubungan Antara Menonton Acara Kekerasan Televisi Dengan Perilaku … | Yosua I. Pradana, dkk.

65

Depari, Edward & Collin Mac Andrew. 1995.

Peranan Komunikasi Massa Dalam

Pembangunan. Yogyakarta : Gadjah

Mada University Press

Dwikurnaningsih, Yari. 2015. The Model of

Assessment-Competencies-Based

Training Management Using E-

Learning for Guidance and Counseling

Teachers. Online International

Interdisciplinary Research Journal

Eriyanti, L.D. 2017. Pemikiran Johan Galtung

Tentang Kekerasan dalam Perspektif

Feminisme. Jurnal aaaaaHubungan

Internasional Universitas Jember

Fraenkel, J.P & Wallen N.E. 2008. How to

Design and Evaluate Research in

Education. New York : McGraw-Hill

Companies, Inc.

Hanim, Diffah. 2005. Menjadikan UKS

Sebagai Upaya Promosi Tumbuh

Kembang Anak Didik. Yogyakarta :

Gadjah Mada University Press

Hanurawan, Fattah. 2010. Psikologi Sosial :

Suatu Pengantar. Bandung : Penerbit

Rosda

Hurlock, E. 2003. Psikologi Perkembangan :

Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Hutapea, Albert M. 2010. Lingkup dan

Mekanisme Pengaruh TV Atas Jiwa,

Psikososial, dan Fungsi Kognitif Otak

Anak (presentasi). Konferensi

Mengenai Isu-Isu Anak di Indonesia

Koeswara, S. 1998. Agresi Manusia. Bandung

: PT. Eresco

Krahe, Barbara. 2005. Perilaku Agresif.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Kuswandi, Wawan. 2008. Komunikasi Massa

(sebuah analisis isi media televisi).

Jakarta : Rineka Cipta

Monks, F.J. 1989. Psikologi Perkembangan.

Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press

Mulkan, Dede. 1997. Pengantar Ilmu

Jurnalistik. Bandung : Arsad Press

Myers, David G. 2012. Psikologi Sosial Edisi

Sepuluh, Buku 2. Jakarta : Salemba

Humanika

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi

Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.

Jakarta : Rineka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Pendidikan

Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Kesehatan. Yogyakarta : Andi Offset

Nurudin. 2014. Pengantar Komunikasi Massa.

Jakarta : Rajawali Press

Restu, Yoshi & Yusri. 2013. Studi Tentang

Perilaku Agresif Siswa di Sekolah.

Jurnal Ilmiah Konseling UNP

Sarwono, Sarlito W. & Eko A. Meinarno.

2012. Psikologi Sosial. Jakarta :

Salemba Humanika

SEJIWA. 2008. Bullying : Mengatasi

Kekerasan di sekolah dan lingkungan.

Jakarta : Grasindo

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D. aaaaaaBandung :

Alfabeta

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D. aaaaaaBandung :

Alfabeta

Taylor, Shelley E., Letitia Ane Peplau, &

David O. Sears. 2009. Psikologi Sosial

Edisi Kedua Belas. Jakarta : Kencana

Prenada Media Group

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa (Edisi

Revisi). Bandung : PT. Refika

Aditama

Page 66: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 66-73

66

Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru

Nasib Tua Lumban Gaol

Pendidikan Agama Kristen, STT Anugerah Sinagoge Medan

[email protected]

Paningkat Siburian

Manajemen Pendidikan, Pascasarjana Universitas Negeri Medan

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study was to explore how the principal should work at school.

Six efforts can be implemented by school principal in enhancing the teacher’s

performance including (1) to focus seriously on the improvement of teacher

competencies, (2) to provide sufficient funding for improving teacher professionalism, (3)

to supervise and guide teachers professionally, (4) to create a organizational culture of

school that are comfortable for teachers, (5) to create innovation and advancement at

school, and (6) to provide various rewards for each achievement that are done by teacher.

Hence, it is recommended that school principal must more actively and creatively

collaborate with teachers and educational stakeholder to conduct the improvement of

teachers’ performance.

Keywords: Education, School Principal, Teacher Performance

Article Info

Received date: 6 Mei 2018 Revised date: 22 Juni 2018 Accepted date: 23 Juni 2018

Page 67: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru | Nasib Tua Lumban Gaol & Paningkat Siburian

67

PENDAHULUAN

Kualitas pendidikan sangat ditentukan

oleh proses pembelajaran di lembaga

pendidikan (Lumban Gaol, 2017), misalnya,

sekolah. Selain itu, kepala sekolah dan guru

merupakan penggerak utama yang

berpengaruh signifikan terhadap setiap

pelaksanaan proses pembelajaran siswa selama

berada di lingkungan sekolah. Tanpa adanya

kinerja guru yang baik dan peran kepala

sekolah yang memadai dalam mengelola

sekolah, sangat sulit meningkatan kualitas

pendidikan atau mencapai standar nasional

pendidikan.

Dalam Undang Undang Sistem

Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,

Bab IX Pasal 35 ayat 1, terdapat delapan

komponen standar pendidikan Nasional, yaitu

isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga

kependidikan, sarana dan prasarana,

pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian

pendidikan. Kedelapan komponen tersebut

harus ditingkatkan secara berencana dan

berkala supaya ada perubahan mendasar. Oleh

karena itu, untuk mencapai kedelapan

komponen pendidikan nasional yang

demikian, maka kualitas proses pembelajaran

di sekolah adalah sebagai penentu.

Pembelajaran di sekolah akan berhasil apabila

kepala sekolah mampu mengelola dan

memimpin sekolah dengan baik. Kemampuan

kepala sekolah dalam mengelola dan

memimpin sekolah ditunjukkan dari

kepemimpinan yang dimiliki dalam upaya

mewujudkan sekolah sebagai wadah

pembelajaran yang efektif dan efisien.

Pada hakikatnya, kepemimpinan

memainkan peran yang begitu penting dan

memiliki fungsi sebagai penentu keberhasilan

kelompok atau organisasi apapun (Okoroji,

Anyanwu & Ukpere, 2014). Hal senada

dikemukakan Igwe dan Odike (2016) yang

menegaskan bahwa sama seperti organisasi

lainya, keberhasilan dan kegagalan sekolah

sangat banyak berkaitan erat dengan kualitas

kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala

sekolah. Oleh karena itu, sekolah sebagai

organisasi pendidikan harus dipimpin kepala

sekolah yang dapat memfungsikan peran

kepemimpinannya dengan baik. Tan (2016)

menyatakan bahwa kepala sekolah sebagai

pemimpin pendidikan memiliki empat fungsi,

yaitu (1) managing the teaching–learning

program, (2) designing the organization to

emphasize collaborative decision-making

processes among different stakeholders, (3)

developing an academic school vision and

giving directions, (4) understanding and

developing teachers.

Peran yang dimiliki oleh kepala

sekolah memang begitu kompleks. Selain

berperan mengelola sekolah supaya menjadi

efektif dan efisien, kepala sekolah secara

khusus juga harus mampu meningkatkan

kinerja guru. Susanto (2016) menyatakan

bahwa peningkatan kinerja guru dalam

pembelajaran dapat tercapai apabila kepala

sekolah sebagai pemimpin mampu memacu

guru dalam meningkatakan kinerja para guru

dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi

yang tinggi terhadap tugas yang diemban. Oleh

karena itu, tanpa adanya dukungan yang

memadai dari kepala sekolah untuk

peningkatan kinerja guru, maka guru tidak

akan pernah melaksanakan tugasnya, yaitu

mendidik, melatih, membimbing, dan

mengembangkan potensi setiap siswa, dengan

maksimal. Dengan demikian, untuk

memperbaiki kualitas kinerja guru, maka peran

kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan

perlu dikembangkan lebih lagi supaya terjadi

peningkatan kinerja guru.

Saat ini, upaya perbaikan kinerja guru

di Indonesia sudah mendesak untuk dilakukan.

Rendahnya kinerja guru merupakan indikasi

dari rendahnya kemampuan kepala sekolah

dalam menjalankan perannya sebagai

pemimpin pendidikan. Akibatnya, kondisi

tersebut tidak hanya berdampak pada guru

Page 68: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

68

tetapi juga pada siswa. Potensi siswa tidak

tergali dan terkembangkan secara maksimal.

Berdasarkan data yang dipublikasikan

oleh Organization for Economic Co-operation

and Development (OECD) pada tahun 2015,

dilaporkan bahwa: “Principals in Indonesia

need support to develop the skills that will

enable them to play their role in managing

teacher induction, performance assessments

and appraisals; the monitoring, promoting,

and sanctioning of teachers; the dissemination

of information about teacher performance;

and accountability for overall school

performance.” Kondisi yang diutarakan oleh

OECD tersebut mengindikasikan bahwa

kepala sekolah belum mampu melakukan

perannya sebagai kepala sekolah dengan baik

di Indonesia sehingga berdampak pada

rendahnya kinerja guru. Sumintono,

Sheyoputri, Jiang, Misbach dan Jumintono

(2015) menyarankan bahwa persiapan dan

pengembangan kepemimpinan kepala sekolah

sangat penting untuk dilakukan karena

berfungsi sebagai fundamental untuk

peningkatan sekolah dan sistem pendidikan.

Selain itu, Susanto (2016) menyatakan bahwa

peran kepala sekolah sangat berpengaruh di

lingkungan sekolah terutama terhadap staf

pengajar atau guru. Hasil studi Supovitz,

Sirinides dan May (2010) menunjukkan betapa

pentingnya kerja kepala sekolah pada

pembelajaran siswa karena berpengaruh secara

tidak langsung pada kegiatan guru melalui

peningkatan kalaborasi dan komunikasi ketika

pengajaran.

Dengan demikian, studi ini berupaya

untuk memberikan kontribusi pada

peningkatan pengetahuan tentang peran yang

harus dilakukan oleh kepala sekolah supaya

terjadi peningkatan kinerja guru melalui peran

yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah.

Oleh karena itu, perumusan masalah dalam

studi ini adalah apakah peran yang harus

dilakukan oleh kepala sekolah supaya kinerja

guru dapat meningkat ketika mengelola

lembaga pendidikan (sekolah)?

Karya tulis ini ditujukan untuk

mengeksplorasi tentang pentingnya peran

kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja

guru. Selain itu, studi ini bertujuan untuk

menguraikan upaya yang harus dilakukan oleh

kepala sekolah supaya kinerja guru dapat

meningkat. Karya tulis ini akan berkontribusi

baik secara teoritis maupun praktis. Secara

teoritis, dapat menambah pengetahuan tentang

peranan kepala sekolah dalam peningkatan

kinerja guru. Secara praktis, dapat menambah

pengetahuan kepala sekolah dalam

melaksanakan perannya sebagai pemimpin

pendidikan di sekolah. Melalui hasil studi ini,

baik pemerintah daerah maupun pemerintah

pusat dapat dibantu dalam peningakatan

profesionalisme guru dan peran kepala

sekolah.

PEMBAHASAN

Kepala sekolah sebagai pemimpin

sekolah, memang tidak bisa dipisahkan dari

berbagi tugas yang diembannya, misalnya,

sebagai administrator, pengelola berbagai

sumber daya yang ada di sekolah, dan

pemimpin pengajaran. Kepala sekolah yang

menjabat sebagai tenaga fungsional harus

memiliki kompetensi profesional sebagai

pemimpin sekolah. Merujuk pada Surat

Keputusan Menteri Penertiban Aparatur

Negara Nomor 296 tahun 1996 tentang Jabatan

Guru, dinyatakan bahwa kepala sekolah adalah

guru yang mendapat tugas tambahan. Dengan

kata lain, kepala sekolah harus memiliki

kemampuan manajerial dan kepemimpinan

supaya sekolah menjadi lembaga pendidikan

yang efektif dan efisien dalam melaksanakn

proses pembelajaran. Atau dengan kata lain,

sekolah sebagai pusat pembelajaran haruslah

berkualitas. Dalam peningkatan kualitas

sekolah, kepemimpinan kepala sekolah

merupakan komponen yang paling penting

dalam penenetuan keputusan yang berkaitan

Page 69: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru | Nasib Tua Lumban Gaol & Paningkat Siburian

69

dengan berbagai kegiatan di sekolah (Yunus,

Andari & Islam, 2017).

Meskipun kepala sekolah memiliki

tanggung jawab yang begitu kompleks, tetapi

upaya peningkatan kinerja guru harus tetap

dilakukan. Kepala sekolah harus lebih

memfokuskan perhatian dan melakukan

berbagai upaya pada kepemimpinan

pengajaran. Kondisi ini dikarenakan kepala

sekolah sebagai pemimpin pengajaran adalah

sebagai model, pelatih, fasilitator, dan

pembimbing, bukan wali atau pengatur

pengajaran (Bredeson & Johansson, 2000).

Artinya, ketika kepala sekolah datang

melakukan supervisi pengajaran guru ke dalam

kelas, kepala sekolah tidak boleh berperan

sebagai evaluator atau hakim. Namun, ketika

kepala sekolah melakukan supervisi maka

harus menerapkan lima prinsip penting, yaitu

(1) hubungan konsultatif, kolegial dan bukan

hirarkhis, (2) dilaksanakan secara demokratis,

(3) berpusat pada guru, (4) berdasarkan

kebutuhan, dan (5) adanya bantuan

professional (Mulyasa, 2005).

Bredeson dan Johansson (2000)

menemukan empat bidang penting yang

berdampak pada pengajaran guru di sekolah

yang perlu dilakukan oleh kepala sekolah,

yaitu: (1) kepala sekolah sebagai pemimpin

pengajaran, (2) kepala sekolah sebagai

pencipta lingkungan pembelajaran, (3) kepala

sekolah terlibat secara langsung dalam

mendesain, menyampaikan dan menentukan

konten pengembangan profesionalitas guru,

dan (4) kepala sekolah menilai hasil

pengembangan profesionalitas guru. Keempat

bidang tersebut dapat diimplementasikan oleh

kepala sekolah dengan baik apabila kepala

sekolah memahami dan melakukan peran dan

tanggung jawabnya dengan sepenuh hati.

Dalam konteks pendidikan, kepala

sekolah merupakan tokoh kunci bagi

keberhasilan sekolah (Suhardiman, 2012;

Wiyono, 2017). Kemajuan atau kemunduran

kualitas pembelajaran di sekolah dipengaruhi

oleh kualitas peran yang dilakukan oleh kepala

sekolah. Semakin memadai pemahaman

kepala sekolah dalam melakukan peranannya

sebagai kepala sekolah, maka kinerja guru dan

kualitas pembelajaran juga cenderung

membaik.

Selain menjadi katalisator dan

mediator yang menerjemahkan kebijakan

pemerintah pusat, kepala sekolah juga harus

mampu menyampaikan aspirasi warga sekolah

atau steakholder kepada pemerintah. Ini

bertujuan supaya terjadi kesesuain kebijakan

dengan realitas di lapangan. Tanpa adanya

tindakan kepala sekolah yang sesuai untuk

menjembatani hal tersebut, kondisi sekolah

akan cenderung statis atau tidak mengalami

kemajuan.

Peran kepala sekolah dalam

peningkatan kinerja guru adalah begitu

penting. Kepala sekolah harus lebih fokus

memberikan perhatian pada kegiatan-kegiatan

dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan

mutu belajar melalui perbaikan kinerja guru

yang ditanganinya (Susanto, 2016). Hasil

kajian dari Emmanouil, Osia dan Paraskevi-

Ioanna (2014) dinyatakan bahwa

kepemimpinan kepala sekolah merupakan

mediator yang membangkitkan inspirasi,

motivasi, dukungan dan bimbingan sehingga

mengarahkan keluarnya potensi maksimum

guru dan tercapainya peningkatan kualitas

sekolah. Hasil studi Hasan (2017)

menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala

sekolah berpengaruh terhadap kinerja guru.

Pada hakekatnya, konsep kinerja lebih

fokus pada kemampuan individu dalam

mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya

supaya tujuan organisasi dapat tercapai

(Siburian, 2014; Pangaribuan, Siburian,

Manullang, 2016). Pangaribuan (2016)

menyatakan kinerja mengarah pada penilaian

terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku

dalam bekerja yang berorientasi pada

kuantitas, kualitas dan akuntabel sesui dengan

standar kerja yang ditetapkan. Dari pengertian

Page 70: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

70

tersebut, kinerja mencakup kognitif, afektif

dan psikomotirik yang dimiliki seseorang

dalam mengerjakan tugas-tugas yang sudah

diberikan.

Arman, Thalib dan Manda (2016)

menyatakan kinerja guru (teacher

performance) is a presentation of the work

done by teachers in carrying out his duties as

a professional educator. Defenisi yang lebih

luas disampaikan oleh Igwe dan Odike (2016)

yang menyatakan bahwa kinerja guru dapat

digambarkan sebagai tugus-tugas yang

dikerjakan oleh guru pada waktu yang

diberikan di sekolah dalam upaya mencapai

tujuan sekolah sehari-hari, tujuan kelas dan

seluruh tujuan dan sasaran pendidikan. Dengan

demikian, kinerja guru mencakup tugas-tugas

yang dikerjakan berdasarkan tugas-tugas yang

diberikan di sekolah.

Adanya berbagai tugas atau tanggung

jawab yang dimiliki oleh guru, maka dukungan

dari kepala sekolah sangat dibutuhkan oleh

guru dalam pengerjaan tugas dan tanggung

jawabnya tersebut. Apabila kepala sekolah

tidak memberikan perhatian serius terhadap

kinerja guru, maka guru akan menghadapi

kesulitan dalam menyelesaikan berbagai tugas

yang diembannya. Karena itu, peningkatan

kinerja guru dapat dilakukan oleh kepala

sekolah (Hasan, 2017) sebagai bagian dari

perananan yang harus dilakukan oleh

pemimpin pendidikan untuk meningkatkan

kualitas pemebelajaran di sekolah. Pentingnya

peningkatan kinerja guru sebagai komponen

peningkatan mutu pembelajaran di sekolah

sejalan dengan pandangan Anugraheni, I.

(2017: 211) yang menyatakan bahwa

peningkatan kinerja guru dapat dikembangkan

melaui pelatihan-pelatihan kompetensi guru.

Peningkatan kinerja guru dapat

dilakukan oleh kepala sekolah dengan

memperbaiki kompetensi guru. Kompetensi

guru merupakan kecakapan atau kemampuan

yang harus dimiliki oleh guru untuk

mengerjakan berbagai tugas yang diembannya.

Permendiknas Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi

Akademik dan Kompetensi Guru, dinyatakan

bahwa setiap guru wajib memiliki empat

kompetensi utama, yaitu pedagogik,

kepribadian, sosial, dan profesional. Apabila

kompetensi guru semakin baik, tentu kinerja

guru juga akan semakin baik. Dengan

demikian, berdasarkan peran kepala sekolah,

ada enam upaya yang dapat dilakukan oleh

kepala sekolah supaya peningkatan kinerja

guru dapat dilakukan.

Pertama, kepala sekolah harus

memiliki komitmen yang tinggi terhadap

peningkatan sekolah, fokus pada

pengembangan kurikulum, menfasilitasi dan

mendukung guru dalam pengembangan

kompetensinya (Hermino, 2016). Upaya yang

dapat dilakukan oleh kepala untuk

meningkatkan kinerja guru adalah dengan

mengarahkan guru supaya mengikuti kegiatan

pendidikan dan pelatihan untuk memperbaiki

kompetensinya, misalnya, mengikuti seminar

atau workshop. Hosnan (2016) menyatakan

bahwa untuk peningkatan kompetensi guru

dibutuhkan adanya pelatihan yang disesuaikan

dengan kompetensi masing-masing guru.

Lebih lanjut, Mulyasa (2005) menyarankan

agar peningkatan kinerja guru dapat dilakukan

oleh kepala sekolah dengan melibatkan guru

pada kegiatan Musyawarah Guru Mata

Pelajaran (MGMP), Musyawarah Guru

Pembimbing (MGP), dan Kelompok Kerja

Guru (KKG).

Kedua, peran yang dapat dilakukan

oleh kepala sekolah dalam upaya peningkatan

kinerja guru adalah dengan mengalokasikan

anggaran untuk peningkatan kompetensi guru

(Hermino, 2016). Kepala sekolah harus

mampu menyusun anggaran yang sesuai

dengan kebutuhan sekolah termasuk

kebutuhan dalam pengembangan

profesionalisme guru. Dengan adanya

opimalisasi dana untuk pengembangan

kompetensi guru, maka proses pendidikan dan

Page 71: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru | Nasib Tua Lumban Gaol & Paningkat Siburian

71

pelatihan serta kegiatan yang berkaitan dengan

pengembangan profesionalisme guru dapat

berjalan dengan lancar. Upaya yang dapat

dilakukan oleh kepala sekolah untuk

pemantapan pendanaan dalam peningkatan

kinerja guru adalah dengan mengajukan

bantuan dana kepada pihak pemerintah

maupun swasta.

Ketiga, kepala sekolah dapat

memberikan saran dan bimbingan kepada guru

atas kinerjanya dalam pembelajaran (Hermino,

2016). Artinya, ketika guru menghadapi

berbagai kendala dalam pembelajaran, kepala

sekolah harus memberikan bantuan supaya

guru dapat menyelesaikan persoalan

pembelajaran yang dihadapi. Bantuan terhadap

guru yang dapat dilakukan oleh kepala

sekolah, misalnya, memberikan supervisi

klinis atau training lanjutan kepada guru.

Keempat, kepala sekolah harus

menciptakan budaya organisasi sekolah yang

kondusif supaya kinerja guru dan tenaga

kependidikan tidak terganggu. Kepala sekolah

juga harus mampu menciptakan budaya

organisasi di sekolah sekondusif mungkin

sehingga prestasi belajar siswa dan kinerja

guru dapat meningkat (Lumban Gaol, 2017).

Susanto (2016) menyimpulkan bahwa budaya

organisasi adalah aturan main atau acuan

(nilai-nilai, norma-norma, falsafah dan

keyakinan) suatu organisasi atau komunitas

tertentu yang dipahami oleh seluruh anggota

organisasi yang dimanifestasikan dalam pola

pikir dan perilaku yang terintegrasi secara

internal dan adanya adaptasi secara eksternal

dalam usaha mencapai tujuan orgnisasi. Lebih

lanjut, Wibowo (2016) menyatakan bahwa

kinerja sumber daya manusia sangat

ditentukan oleh kondisi lingkungan internal

maupun eksternal organisasi, termasuk budaya

organisasi. Dengan adanya perasaan nyaman

yang dialami oleh guru, maka akan dapat

meningkatkan motivasi komitmen dan

loyalitas mereka dalam mengerjakan tugus-

tugas yang diemban (Hasan, 2017). Dengan

demikian, kepala sekolah memiliki peran vital

adan harus mampu menciptakan budaya

organisasi dan iklim kerja kondusif di sekolah.

Kelima, kepala sekolah dapat

menciptakan pembaruan, keunggulan

komparatif, dan memanfaatkan berbagai

peluang supaya proses pembelajaran dapat

berlanngsung dengan baik. Keenam,

pemberian penghargaan atas prestasi yang

diperoleh guru haruslah menjadi budaya di

sekolah. Artinya, kepala sekolah harus

memberikan perhatian serius terhadap

pencapain-pencapaian yang sudah

diperjuangkan oleh guru. Adapun keenam

peranan kepala sekolah yang diuraikan

sebelumnya adalah solusi untuk peningkatan

kinerja guru di sekolah. Meskipun hal tersebut

tidak begitu mudah untuk dilakukan, tetapi

kepala sekolah dapat bekerja sama dengan

steakholder pendidikan untuk mewujudkan

tujuan sekolah.

SIMPULAN

Kepala sekolah adalah pemimpin

pendidikan yang berperan penting dalam

peningkatan kinerja guru. Upaya yang dapat

dilakukan oleh kepala sekolah dalam

peningkatan kinerja guru berkaitan dengan

perannya sebagai pemimpin pendidikan di

sekolah, yaitu: (1) memaksimalkan fokus pada

peningkatan kompetensi guru, (2)

mengalokasikan anggaran yang cukup untuk

peningkatan profesionalisme guru, (3)

memberikan saran dan bimbingan yang

profesional kepada guru, (4) menciptakan

budaya organisasi sekolah yang kondusif; (5)

menciptakan pembaruan dan keunggulan, dan

(6) memberikan reward (penghargaan) bagi

guru yang berhasil atau berkinerja dengan

baik.

Dengan demikian, kepala sekolah

harus menjadikan sekolah sebagai wadah

pembelajaran bagi setiap warga sekolah

supaya terjadi proses pembelajaran yang

kondusif. Kepala sekolah juga harus mampu

menjadi sosok yang dapat mengayomi guru

supaya guru merasa bahwa pekerjaan yang

dilakukan adalah dihargai. Adanya

Page 72: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

72

keterbatasan kepala sekolah dalam melakukan

perannya dalam peningkatan kinerja guru,

pemerintah daerah (Dinas Pendiikan) dan

pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan

dan Kebudaya) harus berupaya lebih serius

memfasilitasi kepala sekolah. Dukungan dari

pemerintah daerah maupun pusat sangat

penting dalam peningkatan peran kepela

sekolah dan kinerja guru di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

____. 2010. Himpunan Peraturan Perundang-

undangan Sisdiknas: Sistem

Pendidikan Nasional. Bandung: Fokus

Media.

Anugraheni, I. 2017. Analisa Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Proses Belajar

Guru-Guru Sekolah Dasar. Kelola:

Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(2),

205-212.

Arman, A., Thalib, S. B., & Manda, D. 2016.

The effect of school supervisors

competence and school principals

competence on work motivation and

performance of Junior High School

teachers in Maros Regency, Indonesia.

International Journal of

Environmental and Science Education,

11 (15), 7309-7317.

Bredeson, P. V. & Johannson, O. 2000. The

school principal's role in teacher

professional development. Journal of

in-service education, 26(2), 385-401.

Emmanouil, K., Osia, A., & Paraskevi-Ioanna,

L. 2014. The Impact of Leadership on

Teachers’ Effectiveness. International

Journal of Humanities and Social

Science, 4(7), 34-39.

Hasan, M. N. 2017. Influence of Work

Motivation, Leadership and

Organizational Culture Principal of the

Teacher Performance in Vocational

School (SMK) Muhammadiyah,

Rembang City, Central Java Province,

Indonesia. European Journal of

Business and Management, 9(2), 36-

44.

Hermino, A. 2016. Manajemen Kemarahan

Siswa. Kajian Teoritis dan Praktis

dalam Manajemen Pendidikan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hosnan, M. 2016. Etika Profesi Pendidik:

Pembinaan dan Pemantapan Kinerja

Guru, Kepala Sekolah, serta Pengawas

Sekolah. Bogor: Ghalia Indonesia.

Igwe, N. N. & Odike, M. N. 2016. A Survey

of Principals’ Leadership Styles

Associated with Teachers’ Job

Performance in Public and Missionary

Schools in Enugu State Nigeria. British

Journal of Education, Society and

Behavioural Science, 17(2), 1-21.

Lumban Gaol, N. T. 2017. Teori dan

implementasi gaya kepemimpinan

kepala sekolah. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 4(2), 213-

219.

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah

Profesional dalam konteks

menyukseskan MBS dan KBK.

Bandung: PT REMAJA

ROSDAKARYA.

OECD/Asian Development Bank. 2015.

Reviews of national Policies for

Education/ Education in Indonesia:

Rising to the Challenge. Paris: OECD

(Organization for Economic Co-

operation and Development)

Publishing.

Okoroji, L. I., Anyanwu, O. J., & Ukpere, W.

I. 2014. Impact of leadership styles on

teaching and learning process in Imo

State. Mediterranean Journal of Social

Sciences, 5(4), 180-193.

Pangaribuan, W. 2016. Pengaruh budaya

organisasi, komitmen organisasi,

Page 73: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru | Nasib Tua Lumban Gaol & Paningkat Siburian

73

komunikasi interpersonal, dan

efektifitas sistem pengendalian

manajemen kinerja terhadap kinerja

dosen. Disertasi. Medan: Universitas

Negeri Medan.

Pangaribuan, W., Siburian, P. & Manullang, J.

2016. Determining Factors of Senior

High School Principals' Performance in

Medan. International Journal Basic

and Applied Research (IJSBAR), 25(2),

44-57.

Permendiknas Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2007 tentang Standar

Kualifikasi Akademik dan Kompetensi

Guru.

Siburian, P. 2014. Faktor Penentu Kinerja

Kepala Sekolah Menengah Kejuruan.

Cakrawala Pendidikan, 32(2), 257-

265.

Suhardiman, B. 2012. Studi Pengembangan

Kepala Sekolah: Konsep dan Aplikasi.

Jakarta: Rineka Cipta.

Sumintono, B., Sheyoputri, E. Y. A., Jiang, N.,

Misbach, I. H. & Jumintono. 2015.

Becoming Principal in Indonesia:

possibility, pitfalls and potential. Asia

Pasicific Journal of Education, 1-11.

Supovitz, J., Sirinides, P., & May, H. 2010.

How principals and peers influence

teaching and learning. Educational

Administration Quarterly, 46(1), 31-

56.

Surat Keputusan Menteri Penertiban Aparatur

Negara No.0296 Tahun 1996 tentang

Jabatan Fungsional Guru.

Susanto, A. 2016. Konsep, Strategi, dan

Implementasi Manajemen Peningkatan

Kinerja Guru. Jakarta: Prenademedia

Group.

Tan, C. Y. 2016. Examining school leadership

effects on student achievement: the role

of contextual challenges and

constraints. Cambridge Journal of

Education, 48(1), 21-45.

Wiyono, B. B. 2017. The Effect of Self-

evaluation on the Principals’

Transformational Leadership,

Teachers’ Work Motivation,

Teamwork Effectiveness, and School

Improvement. International Journal of

Leadership in Education, 21 (1).

Yunus, M., Andari, K. D. W., & Islam, M. A.

2017. The Principal's Competences In

Implementing Cultural And

Environmental Management Of The

School In SDN 033 Tarakan. JPI

(Jurnal Pendidikan Indonesia), 6(2),

263-274.

Page 74: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 74-85

74

Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor Prestasi

Akademik

Zummy Anselmus Dami

Bimbingan dan Konseling Universitas Persatuan Guru 1945 NTT

[email protected]

Paula Alfa Loppies

Bimbingan dan Konseling Universitas Persatuan Guru 1945 NTT

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this research is to investigate the relationship between significance or know

the academic efficacy and procrastination academic with achievement students academic of

project study guidance and counseling, Teaching and Education Faculty University PGRI East

Nusa Tenggara. The number of samples used in the study as much as 92 students drawn from

population 1180 includes force 2009 as much as much as 102 students 2010 force 205 students,

2011 as much as 368 students, and force as many as 505 2012 student. The sampling technique

used is the purposive sampling technique. Tool collecting data using a detailed questionnaire

with Likert scale, which consists of a detailed questionnaire for academic procrastination and

academic efficacy. While the achievement of student learning is measured based on the CPI. The

analysis used in this study is the technique of correlation of Product Moment with the help of

SPSS Version 18.0. The first hypothesis test results showed that the relationship between

academic procrastination and academic achievement, known (r) correlation coefficient between

academic procrastination and academic achievement of 0.015 with p 0.890 > 0.05 negative

correlation, direction and with the guidelines of the wear level of significance of 5%, obtained p

0.890 > 0.0.5 then correlation between academic procrastination and academic achievement is

declared not significant. The second hypothesis test results showed a relationship between

academic efficacy with academic achievement, known coefficient of correlation (r) between

academic efficacy and academic achievement -0.004 0.970 > with p 0.05, direction correlation

negative and wear guidelines significance level 5%, obtained p 0.970 > 0.05 then correlation

between academic efficacy with academic achievement is expressed is not significant. While the

third hypothesis test results showed the absence of significant correlation between academic

procrastination and academic efficacy simultaneously toward academic achievement with the

retrieved R square (coefficient of determination) of 0000, and the coefficient correlation of 0.015

with 0.990 > p 0.05. Further, it is known from the Fcount of 0.010 of Ftable of 3.10, so that H0 is

accepted and Ha was rejected.

Keywords: Correlation, Efficacy, Procrastination, Achievement, Academic

Article Info

Received date: 28 April 2018 Revised date: 20 Mei 2018 Accepted date: 19 Juni 2018

Page 75: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies

75

PENDAHULUAN

Kemajuan masyarakat dalam Ilmu

Pengetahuan,Teknologi dan Seni (IPTEKS)

dewasa ini, tidak mungkin dapat dicapai tanpa

kehadiran institusi pendidikan sebagai

organisasi yang menyelenggarakan pendidikan

secara formal. Proses pendidikan yang

berlangsung mempunyai ukuran standarisasi

dalam menilai sejauh mana pengetahuan dan

keterampilan mahasiswa tercapai (Tilaar,

2006).

Mahasiswa dalam kaitannya dengan

dunia pendidikan, merupakan salah satu

substansi yang perlu diperhatikan, karena

mahasiswa merupakan penerjemah terhadap

dinamika pengetahuan, dan melaksanakan

tugas untuk mendalami ilmu pengetahuan

tersebut. (Harahap, 2006). Mahasiswa secara

umum merupakan subyek yang memiliki

potensi untuk mengembangkan pola

kehidupannya, dan sekaligus menjadi obyek

dalam keseluruhan bentuk aktivitas dan

kreativitasnya, sehingga diharapkan mampu

menunjukkan kualitas yang dimilikinya.

Kualitas mahasiswa dapat

dilihat dari prestasi akademik yang dicapainya.

Prestasi akademik merupakan perubahan

dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun

kemampuan yang dapat bertambah selama

beberapa waktu, dan yang tidak disebabkan

oleh proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi

belajar. Sehingga dipandang sebagai bukti

usaha yang diperoleh mahasiswa (Sobur,

2006).

Banyak studi yang telah melaporkan

bahwa beberapa faktor yang secara positif dan

negatif mempengaruhi prestasi akademik

diantara para mahasiswa, seperti

menghabiskan waktu dengan mengerjakan

tugas-tugas, motivasi, kebiasaan belajar,

stress, menunda-nunda pekerjaan, efficacy,

burnout, self-esteem, dan sebagainya (Balkis &

Duru, 2009; Klassen, Krawchuk & Rajani,

2008; Crede & Kuncel, 2008).

Steel (Kartadinata & Sia, 2008),

berpendapat bahwa prokrastinasi adalah “to

voluntarity delay an intended course of action

despite expecting to be worse-off for the

delay”. Sedangkan menurut Senecal, Julian,

dan Guay (Balkis, 2011), prokrastinasi

akademik dapat didefinisikan as an irrational

tendency to delay at the beginning or

completion of an academic test. Dari dua

definisi yang telah dikemukakan menunjukkan

bahwa prokrastinasi akademik merupakan

suatu bentuk kesengajaan untuk menunda-

nunda pekerjaan akademik baik pada saat

memulai ataupun menyelesaikannya walaupan

mengetahui bahwa penundaan dapat

menghasilkan dampak yang buruk. Dampak

dari penundaan tersebut adalah menurunnya

prestasi akademik. Hal ini didukung oleh

penelitian Balkis & Duru (2009), Ozer, Demir

& Ferrari (2009), yang menunjukkan bahwa

procrastination is related to poor academic

performance. Laporan BBC News Megazine

(27 Agustus 2012), sebagaimana yang

dinyatakan oleh Steel dari The Haskayne

School of Business at the University of

Calgary, penulis The Procrastination

Equation, yang telah melakukan penelitian

yang luas di dalam topik ini, menemukan

bahwa 95% dari kita melakukan prokrastinasi.

Sedangkan penelitian Ferrari dariDePaul

University Chicago, penulis Still

Procrastinating? The No Regrets Guide to

Getting It Done, yang telah menemukan bahwa

20% populasi dunia adalah prokrastinasi

kronis, menyulitkan hidup mereka, dan

mungkin memperpendeknya, dengan tidak

putus-putusnya menunda dan menghindari

tugas-tugas. Lebih lanjut penelitian yang

dilakukan oleh Akinsola, Tella dan Tella

(2007) terhadap prestasi matematika

mahasiswa University Ibadan dan University

Lagos, Nigeria, menunjukkan adanya korelasi

yang signifikan antara prokrastinasi akademik

dengan prestasi akademik di dalam mata

pelajaran matematika. Namun, penelitian

Page 76: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

76

Keqiao (2010) yang dilakukan terhadap

mahasiswa Chinese University memberikan

hasil bahwa ada hubungan yang negatif

signifikan dengan prestasi akademik. Hasil

yang sama terjadi juga pada penelitian

dilakukan oleh Kartadinata & Tjundjing

(Mayasari, Mustami'ah & Warni, 2010) di

salah satu Perguruan Tinggi Surabaya terdapat

95% dari angket yang disebarkan pada 60

subyek mahasiswa mengatakan bahwa pernah

melakukan prokrastinasi. Alasan terbesar yang

membuat mahasiswa tersebut membuat

prokrastinasi adalah rasa malas mengerjakan

tugas (42%) dan banyak tugas lain yang harus

dilakukan (25%).

Secara singkat, penelitian-penelitian

tersebut sedang mengindikasikan bahwa

prokrastinasi adalah perilaku bermasalah yang

dialami secara luas diantara mahasiswa

sebagai perilaku yang memiliki pengaruh

negatif terhadap prestasi akademik. Dukungan

lainnya yang menyatakan adanya hubungan

yang negatif dan signifikan antara

prokrastinasi akademik dengan prestasi

akademik berasal dari hasil penelitian Amaliah

(2011) terhadap siswa kelas XI SMA Negeri 1

Malang.

Faktor penting lain yang mem-

pengaruhi prestasi akademik adalah self-

efficacy. Park dan Kim (2006), menyebutkan

efikasi diri sangat penting bagi pelajar untuk

mengontrol motivasi mencapai harapan-

harapan akademik. Efikasi diri akademik jika

disertai dengan tujuan-tujuan yang spesifik dan

pemahaman mengenai prestasi akademik,

maka akan menjadi penentu suksesnya

perilaku akademik di masa yang akan datang

(Bandura dalam Alwisol, 2004). Pemahaman

ini menggambarkan bahwa efikasi diri

akademik dapat menjadi suatu sumber daya

yang sangat penting bagi pengembangan diri

melalui pilihan aktivitas mahasiswa (Schunk

dalam Santrock, 2008). Zimmermen (Balkis,

2011), mendefinisikan efikasi akademik as

personal judgments of one’s capabilities to

organise and execute courses of action to

attain designated types of educational

performances. Melalui kedua definisi ini dapat

disimpulkan bahwa efficacy akademik

menunjuk kepada pendirian atau keputusan

seseorang berkaitan dengan kapabilitasnya

didalam mengorgansasikan dan melaksanakan

serangkaian tugas-tugas akademik untuk

mencapai kinerja akademik yang telah

dirancang. Para peneliti telah menyediakan

bukti bahwa efikasi diri akademik sebagai

faktor penting yang mempengaruhi prestasi

akademik (Adeyamo, 2007; Klassen,

Krawchuck & Rajani, 2008). Hasil penelitian

Tenaw (2013) terhadap mahasiswa Analytical

Chemistry I (ACI) di Debre Markos of Teacher

Education (DMCTE) menunjukkan bahwa

adanya hubungan yang signifikan antara self-

efficacy dan prestasi akademik. Lebih lanjut,

hasil penelitian Reniati (2009), menemukan

bahwa ada hubungan yang positif dan sangat

signifikan antara efikasi diri dengan prestasi

akademik pada mahasiswa Universitas Negeri

Malang. Senada dengan itu, penelitian

Motlagh, Amrai, Yazdani, Abderahim, dan

Souri (2011), menunjukkan bahwa self efficacy

adalah faktor yang dapat dipertimbangkan

sebagai prediktor terhadap prestasi akademik.

Akan tetapi, ada juga hasil penelitian yang

menunjukkan kontradiksi. Hasil penelitian

yang dimaksudkan adalah penelitian dari

Nurhasnah (2005), menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan yang signifikan antara self

efficacy dengan indeks prestasi keberhasilan

belajar pada mahasiswa Perguruan Tinggi

Kedinasan Akamigas.

Selain hasil penelitian secara parsial

hubungan antara prokrastinasi akademik

dengan prestasi akademik, efikasi akademik

dan prestasi akademik, Balkis (2011) telah

melakukan penelitian dengan melihat pada

peran efikasi akademik sebagai variabel

mediator dan moderator dalam hubungan

antara prokrastinasi akademik dengan prestasi

akademik. Dalam penelitian ini Balkis (2011)

Page 77: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies

77

menunjukkan bahwa mahasiswa dengan

tingkat prokrastinasi akademik yang tinggi

mereka memiliki tingkat self-efficacy yang

rendah dan prestasi akademik yang jelek, dan

mahasiswa dengan tingkat self-efficacy tinggi

memiliki tingkat prokrastinasi akademik

rendah dan tingkat prestasi akademik yang

lebih tinggi. Lebih tepatnya hasil penelitian

Balkis (2011) adalah sebagai berikut:

academic effucacy has partial mediator role in

relaion to the academic procrastination and

reported academic achievement. Results also

showed that academic-efficacy moderate

relationship between academic

procrastination and reported academic

achievement by raising reported academic

achievement and reducing academic

procrastination.

Untuk mengetahui gambaran awal

mengenai prokrastinasi akademik dan efikasi

akademik mahasiswa Program Bimbingan

Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas PGRI NTT, maka

peneliti melakukan penelitian pendahuluan.

Khusus untuk variabel prokrastinasi,

pertanyaan wawancara tidak terstruktur

diadopsi dan dimodifikasi sesuai dengan

kepentingan penelitian ini dari Procrastination

Assessment Scale for Student (PASS), yang

terdiri dari enam area akademik (Solomon &

Rothblum, 1984). Sedangkan variabel efikasi

diri, pertanyaan diadopsi dan dimodifikasi

sesuai dengan kepentingan penelitian ini dari

General self-Efficacy Scale, yang terdiri dari

10 item pertanyaan.(Born, Schwarzer &

Jerusalem, 1995). Hasil wawancara tidak

struktur yang dilakukan terhadap 21 orang

mahasiswa tersebut menunjukkan bahwa

tingkat prokrastinasi akademik mahasiswa

tinggi (19 orang), dan hanya 2 orang yang

memiliki efikasi diri dalam kaitanya dengan

melaksanakan tugas-tugas akademik.

Berdasarkan uraian permasalahan dari

aras empirik dan teoritis dalam hal ini adanya

kontradiksi hasil penelitian terdahulu serta

peran variabel efikasi akademik sebagai

mediator dan moderator terhadap hubungan

antara prokrastinasi akademik dengan prestasi

akademik, maka penelitian ini bertujuan untuk

menginvestigasi dan mengetahui apakah ada

hubungan yang positif dan signifikan antara

efikasi akademik dan prokrastinasi akademik

dengan prestasi akademik.

TINJAUAN PUSTAKA

Prestasi Akademik

Pengertian Prestasi Akademik

Prestasi akademik merupakan salah

satu determinan dari keberhasilan hidup.

Menurut Dauluta dan Nuthanap (dalam

Calaguas, 2012), academic achievement serves

as a key criterion in order to judge student’s

true potentials and capabilities. Lebih lanjut

Dauluta dan Nuthanap (Calaguas, 2012)

academic achievement has been one of the

most important goals of the educational

process. Jadi, prestasi akademik memiliki

peran yang penting didalam meningkatkan

atau menyakinkan kualitas, karena tanpa

prestasi akademik lulusan yang dihasilkan

sedang-sedang saja.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi

Akademik

Nuthana (2007) mengemukakan

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

prestasi akademik, yaitu study habit

(lingkungan rumah dan rencana kerja,

kebiasaan membaca dan membuat catatan,

perancanaan mata kuliah, kebiasaan

konsentrasi, persiapan untuk ujian, kebiasan

umum dan sikap, serta lingkungan universitas),

self-concept (persepsi, keyakinan, perasaan,

sikap, dan nilai yang mana individu

memandang dirinya sendiri), socio economic

status (posisi seseorang dalam komunitas,

budaya, dan pasrtisipasinya dalam kelompok),

dan gender. Sedangkan Soemanto (2006)

menambahkan dua faktor lain, yaitu locus of

control dan kecemasan yang dialami.

Page 78: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

78

Ciri-ciri Individu yang Berprestasi

Sahputra (2009) menyatakan bahwa

ciri individu yang memiliki keinginan

berprestasi tinggi adalah individu yang

memiliki standar berprestasi, memiliki

tanggung jawab pribadi atas apa yang

dilakukannya, individu lebih suka bekerja pada

situasi dimana dirinya mendapat umpan balik

sehingga dapat diketahui seberapa baik tugas

yang telah dilakukannya, individu tidak

menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan

atau karena tindakan orang lain, individu lebih

suka bekerja pada tugas yang tingkat

kesulitannya menengah dan realistis dalam

pencapain tujuannya, individu bersifat inovatif

dimana dalam melakukan tugasnya selalu

dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih

baik dari sebelumnya, dengan demikian

individu merasa lebih dapat menerima

kegagalan atas apa yang dilakukannya.

Efikasi Akademik

Pengertian Efikasi Akademik

Efikasi diri dapat diartikan sebagai

keyakinan manusia akan kemampuan dirinya

untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian

terhadap fungsi diri mereka dan kejadian di

lingkungannya (Bandura dalam Feist & Feist,

2006). Efikasi diri individu dalam akademik

disebut efikasi diri akademik. Sehingga,

efikasi diri akademik dapat didefinisikan

sebagai keyakinan yang dimiliki seseorang

tentang kemampuan atau kompetensinya untuk

mengarahkan motivasi, kemampuan kognisi,

dan mengambil tindakan yang diperlukan

untuk mengerjakan tugas, mencapai tujuan,

dan mengatasi tantangan akademik.

Proses-proses yang Mengiringi Efikasi

Akademik

Bandura (1997) menyebutkan empat

proses yang mengiringi efikasi diri, termasuk

efikasi diri akademik, yaitu proses kognitif,

motivasi, afeksi, dan seleksi.

Sumber-sumber Efikasi Akademik

Menurut Bandura (Feist & Feist, 2006)

efikasi diri akademik dibentuk, dikembangkan,

atau diturunkan melalui satu atau kombinasi

dari keempat sumber, yaitu pengalaman-

pengalaman tentang penguasaan, pemodelan

sosial, persuasi sosial, dan kondisi fisik serta

emosional individu.

Prokrastinasi Akademik

Pengertian Prokrastinasi Akademik

Prokrastinasi secara tipikal dapat

didefinisikan sebagai suatu pengaturan sifat

atau perilaku untuk menunda tugas-tugas

pekerjaan atau membuat keputusan (Milgram,

Haycock & Kachgal dalam Sirin, 2011). Lebih

lanjut Sirin (2011) menjelaskan bahwa apabila

prokrastinasi dikaitkan dengan akademik

(academic procrastination) maka akan

meliputi tugas-tugas akademik, dan dapat

dijelaskan sebagai penundaan tugas-tugas

akademik karena beberapa alasan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Prokrastinasi Akademik

Menurut Gufron, Nur & Rini (2010),

ada dua kategori faktor yang mempengaruhi

prokrastinasi akademik, yaitu: faktor internal

yang terdiri dari kondisi fisik individu dan

kondisi psikologis individu, sedangkan faktor

eksternal meliputi gaya pengasuhan orang tua

dan kondisi lingkungan. Ferrari (Ilfiandra,

2010) menyatakan bahwa faktor yang paling

dominan mempengaruhi prokrastinasi

akademik yaitu fear of failure yang merupakan

suatu ketakutan berlebihan untuk gagal dan

menyebabkan mahasiswa melakukan

prokrastinasi.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

eksplanasi yang bertujuan untuk memberi

jawaban atas pertanyaan mengapa dengan

menjelaskan alasan terjadinya suatu fenomena

(Supramono & Utami, 2004). Untuk menjawab

pertanyaan mengapa, maka peneliti mencoba

untuk melihat keterkaitan antara variabel,

dimana keterkaitan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah menguji hubungan

(korelasi).

Page 79: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies

79

Penelitian ini dilaksanakan di Program

Studi Bimbingan Konseling Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

PGRI Nusa Tenggara Timur yang terletask Jl.

Perintis Kemerdekaan III/40 Kota Baru, Kota

Kupang-NTT.

Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan

Sampel.

Populasi menunjuk pada keseluruhan

unit atau individu dalam ruang lingkup yang

ingin diteliti. Dalam penelitian ini, yang

menjadi populasi adalah seluruh mahasiswa

Program Studi Bimbingan Konseling Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

PGRI dari semester 2 sampai dengan semester

8, yang berjumlah 912 orang. Sedangkan

sampel adalah sebagian dari jumlah

karakteristik yang dimiliki oleh populasi dan

apa yang dipelajari dari sampel itu (Sugiyono,

2002). Memakai rumor Yamane (1973),

jumlah sampel yang akan diteliti adalah 92

orang. Teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah purposive sampling yaitu

teknik penentuan sampel dengan pertimbangan

tertentu (Supramono & Haryanto, 2005).

Sehubungan dengan tujuan penelitian yaitu

tentang prestasi akademik, maka sampel yang

dipilih adalah mahasiswa yang sementara aktif

mengikuti kuliah.

Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data

menggunakan metode survei dengan teknik

kuesioner. Lebih lanjut, teknik kuesioner/

angket dimaksudkan untuk mengukur efikasi

akademik dan prokrastinasi akademik. Teknik

pengumpulan data untuk efikasi akademik

diadaptasi dari Aitken Procrastination

Inventory (API) yang terdiri dari 19 item.

Inventory ini dikembangkan untuk

membedakan antara prokrastinasi yang kronis

dengan prokrastinasi yang tidak kronis

diantara mahasiswa-mahasiswa perguruan

tinggi.

Teknik pengumpulan data untuk

efikasi akademik diadaptasi dari sub skala

efikasi akademik dari Maslach Burnout

Inventory Student Survey yang digunakan

untuk menilai efikasi akademik partisipan.

Inventori ini terdiri dari 6 item.

Tekhnik Pengukuran Data

Metode untuk mengukur data yang

digunakan adalah metode skala. Skala adalah

alat untuk mengukur nilai, sikap, minat,

perhatian motivasi, yang disusun dalam bentuk

rentang nilai angka sesuai dengan kriteria yang

dibuat peneliti (Sudjana, 2001). Untuk

kuesioner, efikasi akademik dan prokrastinasi

akademik menggunakan teknik pengukuran

Skala Likert. Skala ini digunakan untuk

mengukur sikap, pendapat dan persepsi

seseorang atau sekelompok gejala sosial

(Riduwan, 2002). Sedangkan untuk prestasi

akademik menggunakan IPK mahasiswa.

Skala Likert merupakan instrumen

yang umum digunakan untuk meminta

responden agar memberikan respon terhadap

beberapa pertanyaan atau pernyataan, dan hal

ini sering digunakan dalam penelitian

pendidikan (Sudjana, 2001). Bentuk pilihan

responden dari kepuasan kerja, etos kerja dan

kinerja guru adalah: Sangat Setuju (SS) diberi

skor 5; Setuju (S) diberi skor 4; cukup setuju

(CS) diberi 3; dan Tidak Setuju (TS) diberi

skor 2; dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi

skor 1.

Analisis Validitas dan Reliabilitas Item

Uji validitas instrumen penelitian atau

tingkat ketepatan instrumen penelitian adalah

tingkat kemampuan instrumen penelitian

untuk mengungkapkan data sesuai dengan

masalah yang hendak diungkapkannya.

Validitas pengukuran berhubungan dengan

kesesuaian dan kecermatan fungsi ukur dari

alat yang digunakan.

Uji reliabilitas merupakan tingkat

kebebasan dari random errors sehingga alat

ukur yang digunakan dapat memberi hasil

yang konsisten. Reliabilitas merupakan faktor

kondisional bagi validitas tetapi data yang

reliabel belum tentu valid. Jadi, reliabilitas

menyangkut akurasi konsistensi, dan stabilitas

Page 80: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

80

alat ukur. Suatu kuesioner dikatakan handal

jika jawaban seseorang terhadap pernyataan

adalah konsisten atau stabil dari waktu ke

waktu (Ghozali, 2001).

Analisis Korelasi

Furchan (Atmojo, 2009) menjelaskan

bahwa analisis korelasi digunakan untuk

menemukan ada tidaknya hubungan dan

apabila ada, berapa eratnya serta berarti atau

tidak hubungan antar variabel-variabel itu.

Indeks-indeks statistik yang dapat

menunjukkan arah (positif dan negatif) dan

juga kekuatan suatu hubungan antar variabel

disebut koefisien korelasi. Derajat koefisien

korelasi dinyatakan dalam angka koefisien

korelasi yang bergerak antara -1,0 sampai

+1,0. Koefisien korelasi -1,0, menunjukkan

adanya hubungan yang negatif secara

sempurna, sedangkan nilai +1,0, menunjukkan

adanya hubungan yang positif secara

sempurna. Sedangkan jika nilainya 0,

menunjukkan bahwa dua variabel yang diteliti

tidak terdapat hubungan sama sekali.

Sudjana (2001) menetapkan

kriteria tinggi rendahnya hubungan dan

kekuatan hubungan yang dilihat dari besar

kecilnya indeks koefisien korelasi sebagai

berikut:

0,00 < 0,20 = menunjukkan hubungan sangat

rendah

0,20 – 0,40 = menunjukkan hubungan rendah

0,40 – 0,70 = menunjukkan hubungan sedang

dan cukup

0,70 - 0,90 = menunjukkan hubungan kuat

0,90 – 1,00 = menunjukkan hubungan sangat

kuat

Statistik untuk menguji korelasi antara

variabel kepuasan kerja (X1) dengan kinerja

guru (Y) dan antara variabel etos kerja (X2)

dengan kinerja guru (Y) menggunakan teknik

korelasi Product Moment dari Pearson dengan

bantuan software SPSS 18.0. Handi (Atmojo,

2009) menjelaskan bahwa teknik ini dipilih

berdasarkan tiga asumsi, yaitu: (1) Asumsi

accidental, artinya bahwa pengambilan sampel

dilakukan secara acak atau random; (2) asumsi

normal distribution, artinya variabel yang akan

dikorelasikan reratanya mengikuti sebaran

normal; (3) asumsi homegenity of variance,

artinya bahwa kelompok variansi antar

kelompok yang satu dengan kelompok yang

lain homogen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Karakteristik Responden

Berdasarkan kuesioner yang

disebarkan kepada mahasiswa Program Studi

Bimbingan dan Konseling Universitas PGRI

NTT, diperoleh karakteristik responden

mengenai jenis kelamin, usia, dan asal daerah.

Berdasarkan deskripsi sampel

penelitian dapat terlihat bahwa sampel

penelitian ini terdiri dari 92 orang mahasiswa,

terdiri dari 40 laki-laki (43%) dan 52

perempuan (57%). Hal ini berarti bahwa

subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin,

perempuan lebih mendominasi prosentasenya

daripada laki-laki. Persentase karakteristik

kedua yaitu usia menunjukkan bahwa sebagian

besar responden telah berusia 20-24 tahun

yaitu sebanyak 62 responden (67%). Data ini

menunjukkan bahwa usia responden dapat

dikategorikan masuk dalam tahap aktualisasi

diri.

Berdasarkan asal daerah, tampak

kebanyakan mahasisa Program Studi

Bimbingan Konseling Universitas PGRI NTT

berasal dari daerah, atau dengan kata lain

berasal dari luar Kota Kupang, dimana

prosentasinya terbanyak berasal dari Flores

(27%), Sumba (21%), dan Timor Tengah

Selatan (15%).

Uji Validitas Instrumen Prokrastinasi

Akademik

Dari hasil uji validitas 19 butir

instrumen prokrastinasi akademik diperoleh 3

butir item yang memiliki nilai r hitung < 0,3

yaitu butir nomor 2 (r = 0,142), 8 (r = 0,270),10

(r = -0,195), dan (r =-0,202). Dengan demikian

3 butir nomor dinyatakan tidak valid dan

Page 81: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies

81

dikeluarkan dari analisis. Butir item lainnya

sebanyak 16 butir memiliki nilai r hitung

paling rendah sebesar 0,338 (butir nomor 15)

dan nilai r hitung paling tinggi sebesar 0,684

(butir nomor 12). Dengan demikian, 16 butir

instrumen prokrastinasi akademik dinyatakan

valid.

Uji Instrumen Efikasi Akademik

Dari hasil uji validitas 6 butir

instrumen efikasi akademik diperoleh 6 butir

item yang memiliki nilai r hitung > 0,3. Dari 6

butir instrumen, yang memiliki nilai r hitung

paling rendah 0,323 (butir nomor 2) dan paling

tinggi 0,501 (butir nomor 5). Oleh karena,

seluruh butir instrumen memiliki nilai r hitung

> 0,3 maka ke-6 butir tersebut dinyatakan

valid.

Uji Reliabilitas Item

Setelah pengujian validitas, maka

tahap selanjutnya adalah pengujian reliabilitas.

Uji reliabilitas mengindikasikan bahwa suatu

instrumen tidak bias dan suatu instrumen

handal diujikan pada waktu, tempat, dan orang

yang berbeda-beda. Pengukuran reliabilitas

instrumen penelitian dilakukan dengan

menganalisis koefisien cronbach’s alpha.

Koefisien cronbach’s alpha yang mendekati

satu menandakan reliabilitas konsistensi yang

tinggi. Umumnya, koefisien reliabilitas

cronbach’s alpha kurang dari 0,60

menandakan reliabilitas yang buruk.

Reliabilitas yang dapat diterima berada

diantara nilai 0,60-0,79 dan reliabilitas yang

sangat tinggi adalah yang lebih dari 0,80

(Ghozali, 2001). Berikut Tabel 4.2 merupakan

hasil pengujiannya.

Tabel 1. Ringkasan Uji Reliabilitas

Variabel Koefisien

Alpha Batas Makna

Prokrastinasi 0,866 0,6 Reliabel

Efikasi 0,674 0,6 Reliabel

Berdasarkan hasil uji reliabilitas di

atas, tampak seluruh variabel memiliki

koefisien alpha cronbach lebih dari batas

minimal yang ditetapkan. Koefisien alpha

terendah terjadi pada variabel efikasi akademik

dan koefisien alpha tertinggi terjadi pada

variabel prokrastinasi akademik. Oleh karena

koefisien alpha > 0,6 maka seluruh instrumen

dinyatakan reliabel.

Uji Normalitas

Sebelum melakukan uji hipotesa

menggunakan dua alat analisis statistik

parametrik, maka akan dilakukan uji

penormalan data memakai tes kolmogorof-

smirnof terlebih dahulu. Tujuan dilakukannya

tes penormalan data adalah untuk melihat

apakah data yang digunakan sebagai sampel

telah terdistribusi normal.

Berdasarkan output data uji normalitas

Kolmogorov-Smirnov tersebut di atas, maka

nilai masing-masing signifikan adalah:

prokrastinasi akademik responden sebesar

0.271 efikasi akademik 0.274; dan prestasi

akademik 0.126. Ini berarti bahwa distribusi

sebaran hasil pengukuran untuk variabel

prokrastinasi (X1), efikasi (X2) dan prestasi

akademik (Y) berdasar perhitungan peluang

kesalahan p tersebut semuanya lebih besar dari

0.05. Artinya variabel prokrastinasi akademik,

efikasi akademik dan prestasi akademik

berdistribusi normal, dengan demikian

pengolahan data dapat dilanjutkan dengan

analisis korelasi Person Product Moment.

Uji Hipotesis

Pengujian Hipotesis Pertama (H1)

Hipotesis pertama pada penelitian ini

adalah: “terdapat hubungan yang tidak

signifikan antara prokrastinasi akademik

dengan prestasi akademik mahasiswa Program

Studi Bimbingan Konseling Universitas PGRI

NTT”. Hipotesis tersebut diuji dengan

menggunakan korelasi dengan hasil diketahui

koefisien korelasi (r) antara prokrastinasi

akademik prestasi akademik sebesar - 0.015

dengan p = 0.890 > 0.05, arah korelasinya

negatif dan dengan pedoman memakai taraf

signifikansi 5%, didapatkan p = 0.890 > 0.05

maka korelasi antara prokrastinasi akademik

dengan prestasi akademik dinyatakan tidak

signifikan

Page 82: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

82

Pengujian Hipotesis Kedua (H2)

Hipotesis pertama pada penelitian ini

adalah: “terdapat hubungan yang tidak

signifikan antara efikasi akademik dengan

prestasi akademik mahasiswa Program Studi

Bimbingan Konseling Universitas PGRI

NTT”. Hipotesis tersebut diuji dengan

menggunakan korelasi dengan hasil diketahui

koefisien korelasi (r) antara efikasi akademik

dengan prestasi akadmeik sebesar - 0.004

dengan p = 0.970 > 0.05, arah korelasinya

negatif dan dengan pedoman memakai taraf

signifikansi 5%, didapatkan p = 0.970 > 0.05

maka korelasi antara efikasi akademik dengan

prestasi akademik dinyatakan tidak signifikan.

Pengujian Hipotesis Ketiga (H3)

Hipotesis ketiga pada penelitian ini

adalah: “terdapat hubungan yang tidak

signifikan antara prokrastinasi akademik dan

efikasi akademik secara bersama-sama dengan

prestasi akademik mahasiwa Program Studi

Bimbingan Konseling Universitas PGRI

NTT”. Hipotesis tersebut diuji dengan

menggunakan korelasi dengan hasil sebagai

berikut:

Tabel 2. Hasil Uji Anova Prokrastinasi dan

Efikasi dengan Prestasi Akademik

ANOVAb

Model Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

1 Regression .001 2 .000 .010 .990a

Residual 3.696 89 .042

Total 3.697 91

a. Predictors: (Constant), efksi, prokras

b. Dependent Variable: ipk

Didasari Tabel 1.2. di atas diketahui

bahwa hubungan secara bersama-sama antara

prokrastinasi akademik dan efikasi akademik

dengan prestasi akademik mahasiwa Program

Studi Bimbingan Konseling Universitas PGRI

NTT memiliki koefisien korelasi sebesar 0.015

dengan p = 0.990 > 0.05. Lebih lanjut, hal ini

diketahui dari Fhitung sebesar 0.010 yang lebih

kecil dari Ftabel sebesar 3.10, sehingga H0

diterima dan Ha ditolak.

Pembahasan

Hipotesis pertama pada penelitian ini

adalah: “terdapat hubungan yang tidak

signifikan antara prokrastinasi akademik

dengan prestasi akademik mahasiswa Program

Studi Bimbingan Konseling Universitas PGRI

NTT”. Hasil penelitian membuktikan bahwa

hipotesis 1 ini tidak signifikan. Hal ini

bertentengan dengan hasil penelitian

Setyawan, A. A. (2016) yang menunjukkan

bahwa prokrastinasi berpengaruh positif

terhadap prestasi belajar mahasiswa Prodi

Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi

Universitas Negeri Surabaya. Hasil penelitian

ini juga tidak sejalan dengan hasil penelitian

Anggraini, L. Y., & Muti'ah, T. (2012) yang

menemukan bahwa hubungan antara

prokrastinasi dengan prestasi belajar adalah

linier dan signifikan.

Penelitian ini juga menemukan bahwa

korelasi antara efikasi akademik dengan

prestasi akademik dinyatakan tidak signifikan.

Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian

Sigiro, O. N., Sigit, D. V., & Komala, R.

(2017). yang diperoleh dengan taraf

signifikansi 0,05 menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara efikasi diri dengan hasil

belajar siswa (r = 0,742). Hasil ini juga

bertentangan dengan hasil penelitian Ghufron,

M. N., & Suminta, R. R. (2013); Secara

keseluruhan studi meta-analisis dari 14

penelitian yang dilakukan oleh Ghufron, M.

N., & Suminta, R. R. (2013) hasilnya bahwa

efikasi diri mempunyai pengaruh terhadap

hasil belajar matematika. Individu yang

mempunyai efikasi diri yang tinggi akan

mempunyai hasil belajar yang tinggi pula.

Mengapa demikian? Rupanya respon

mahasiswa berbeda dalam menyikapi

prokrastinasi, bisa positif dan bisa negatif;

prokrastinasi sebagai perilaku bermasalah

yang dialami mahasiswa bisa berpengaruh

positif atau negatif terhadap prestasi akademik

bisa jadi ditentukan oleh sikap mahasiswa

Page 83: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies

83

yang bersangkutan; Jika disikapi positif, maka

justru permasalahan yang dihadapi mahasiswa

yang bersangkutan menjadi tantangan yang

memicu kerja keras, tekun dan wajar jika justru

berpengaruh positif terhadap hasil belajarnya.

Sejalan dengan individu-individu

dengan efikasi diri yang tinggi, mereka lebih

efektif dan gigih dalam menghadapi kesulitan-

kesulitan dan kegagalan terutama yang

berkaitan dengan menghadapi pemecahan

masalah, mereka lebih mungkin untuk

mencapai hasil yang bernilai dan memperoleh

hasil belajar yang lebih baik. Hal ini

dikarenakan individu dengan efikasi diri tinggi

memiliki keyakinan yang kuat akan

kemampuannya dalam mengatasi tantangan

yang ada sedangkan individu dengan efikasi

diri rendah cenderung mudah menyerah dan

tidak yakin mampu mengerjakan pekerjaan

yang menantang itu.

Walaupun begitu, hasil penelitian ini

relevan dengan budaya organisasi dan kegiatan

belajar mengajar, ada tidaknya efikasi diri dan

prokrastinasi serta pengaruhnya terhadap hasil

belajar, peran dosen tetap penting demi hasil

belajar mahasiswa yang lebih baik.

KESIMPULAN

Tingkat prokrastinasi akademik

dengan prestasi akademik mempunyai

hubungan yang tidak signifikan. Selanjutnya,

korelasi antara efikasi akademik dengan

prestasi akademik dinyatakan tidak signifikan.

Dengan demikian, besarnya sumbangan

variabel prokrastinasi akademik dan efikasi

akademik terhadap prestasi akademik tidak

ada, sumbangan diberikan oleh variabel lain di

luar prokrastinasi akademik dan efikasi

akademik.

DAFTAR PUSTAKA

Adeyamo, D.A. 2007. Moderating Influence of

Emational Intelligence on the Link

between Academic Self-Efficacy and

Achievement of University Students.

Psychology and Developing Societies.

19,2, 199-213

Akinsola, M. K., Tella, A., & Tella A. 2007.

Correlates of Academic Procrastination

and Mathematics Achievement of

University Undergraduate Students.

Eurasia Journal of Mathematics,

Science & Technology Education. 3(4),

363-370

Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian.

Malang: UMM Press

Anggraini, L. Y., & Muti'ah, T. 2012. Prestasi

Akademik Siswa Ditinjau Dari

Prokrastinasi Dan Persepsi Anak Pada

Pola Asuh Orang Tua di SMK

Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Jurnal

Spirits, 3(1)

Atmojo, Y. E. 2009. Hubungan Antara Derajat

Gaya Kepemimpinan Transformasional

Kepala Sekolah dan Motivasi

Berprestasi Guru dengan Kinerja

Mengajar Guru (Studi Pada SMA Negeri

1 dan SMA Negeri 2 di Salatiga). Tesis.

Salatiga: PPS-MMP Universitas Kristen

Satya Wacana.

Balkis, M. & Duru, E. 2009. Prevelance of

Academic Procrastination Behavior

Among Pre-Service Teachers, and Its

Relationship with Demographics and

Individual Preferences. Journal of

Theory and Practice in Education. 5 (1),

18-32

Balkis, M. 2011. Academic Efficacy As a

Mediator and Moderator Variable In the

Realationship Between Academic

Procrastination and Academic

Achievement. Eurasian Journal of

Educational Research, Issue 45, 1-16

Bandura, A. 1997. Self Efficacy: The Exercise

of Control. New York: W. H. Freeman

and Company.

Page 84: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

84

Born, A., Schwarzer, & Jerusalem, M. 1995.

Indonesian Adoption of the General Self-

Efficacy Scale, diakses Januari 18, 2012

dari

http://userpage.fuberlin.de/~health/indo

nese.htm

Calaguas, G. M. 2012. Academic Achievement

and School Ability: Implications ti

Guidance and Counseling Programs.

Journal of Arts, Science & Commerce.

Vol.– III, Issue 2(3), 49-55.

Crede, M., & Kuncel, N.R. 2008. Study Habits,

Skills, and Attitudes: The Third Pillar

Supporting Collegiate Academic

Performance. Perspective on

Psychological Science. 3, 425-453

Feist, J. & Feist, G.J. 2006. Theories of

Personality, ed. VI. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Ghozali, I. 2001. Aplikasi analisis multivariate

dengan program SPSS. Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Ghufron, M. N. & Rini R.S. 2010. Teori–teori

Psikologi. Jogjakarta: Ar-ruzz media.

Ghufron, M. N., & Suminta, R. R. 2013.

Efikasi Diri dan Hasil Belajar

Matematika: Meta-analisis. Buletin

Psikologi, 21(1), 20.

Harahap, S. 2006. Penegakan Moral Akademik

di dalam dan luar Kampus. Jakarta: Raja

Grafindo.

Ilfiandra. 2010. Penanganan Prokrastinasi

Akademik Siswa Sekolah Menengah

Atas: Konsep dan aplikasi.Diakses 14

Januari, 2013 dari

http://www.osun.org//journalprokrastina

si.pdf

Kartadinata, I., & Sia, T. 2008. Prokrastinasi

Akademik dan Manajemen Waktu.

Anima, Indonesian Psychological

Journal. 23(2)110-112.

Keqiao, L. 2010. The Relationship Between

Academic Procrastination and Academic

Achievement in Chinese University

Students. Dissertation. New York: State

University of New York at Buffalo.

Kim, U. & Park, Y. 2006. Factor Influencing

Academic Achievement in Relational

Cultures: The Role of Self-, Relational,

and Collective Efficacy. In F. Pajares &

T. Urdan (ed.). The Self-Efficacy Beliefs

of Adolescents. pp. 267-285.

Connecticut: Information Age

Publishing

Klassen, R.M., Krawchuk, L.L., & Rajani, S.

2008. Academic Procrastination of

Undergraduate: Low Self-Efficacy to

Self-Regulate Predicts Higher Levels of

Procrastination. Contemporary

Educational Psychology. 33(4), 915-

931.

Mayasari, M. D., Mustami’ah, D., & Warni,

Weni, Endahing. 2010. Hubungan antara

Persepsi Mahasiwa terhadap Metode

Pengajaran Dosen dengan

Kecenderungan Prokrastinasi Akademik

pada Mahasiswa Fakultas Psikologi

Universitas Hang Tuah Surabaya. Insan.

Vol. 12 No. 02, 95-103

Motlagh, Shahrzad, Elahi, Amrai, Kourosh,

Yazdani, Mohammad, Javad,

Abderahim, Haitham, altaib, & Souri,

Hosein. (2011). The Relationship

between Self-Efficacy and Academic

Achievement in High School Students.

Procedia Social and behavioral

Sciences, 15, 765-768.

Nurhasnah. 2006. Hubungan Efikasi Diri dan

Indeks Prestasi Keberhasilan Belajar.

Forum Diklat. Vol. 13 No.03, 13-20.

Nuthana, P. G. 2007. Gender Analysis of

Academic Achievement Among High

School Students. Thesis. Dhaward:

University of Agricultural Sciences.

Page 85: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Efikasi Akademik Dan Prokrastinasi Akademik Sebagai Prediktor … | Zummy A. Dami & Paula A. Loppies

85

Ozer, B., Demir, A., & Ferrari, J. 2009.

Exploring Academic Procrastination

Among Turkish Students: Possible

Gender Differences in Perspective and

Reasons. The Journal of Social

Psychology. 149 (2), 241-257.

Riduwan. 2002. Skala Pengukuran Variabel-

variabel Penelitian. Bandung:

Alfabeta.

Santrock, J.W. 2008. Life-Span Development:

Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:

Erlangga.

Setyawan, A. A. 2016. Pengaruh Gaya Belajar,

Prokrastinasi dan Fasilitas Belajar

Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa

Prodi Pendidikan Akuntansi Fakultas

Ekonomi Universitas Negeri

Surabaya. Jurnal Pendidikan Akuntansi

(JPAK), 4(3).

Sigiro, O. N., Sigit, D. V., & Komala, R. 2017.

Hubungan Efikasi Diri Dan Penalaran

Ilmiah Dengan Hasil Belajar Biologi

Siswa SMA. Biosfer: Jurnal Pendidikan

Biologi, 10(2), 30-34.

Sirin, E. F. 2011. Academic Procrastination

among Undergraduates Attending

School of Physical of education and

Sports: Role of General Procrastination,

Academic Motivation and Academic

Self-Efficacy. Educational Reseacrh

and Reviews. Vol. 6(5)447-455.

Sobur, A. 2006. Psikologi Umum. Bandung:

Pustaka Setia.

Solomon, L. J., & Rothblum, E. D. 1984.

Academic procrastination: Frequency

and cognitive-behavioral correlates.

Journal of Counseling Psychology,

31(4), 503-509.

Sudjana, N. 2001. Penelitian dan Penilaian

Pendidikan. Bandung: Sina Baru

Algensindo

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian

Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Supramono dan Haryanto, Jony, Oktavian.

2005. Desain Proposal Penelitian

Studi Pemasaran. Yogyakarta: Andi

Offset.

Supramono dan I. Utami. 2004. Desain

Proposal Penelitian Akuntansi dan

Keuangan. Yogyakarta: Andi Offset.

Tenaw, Yazachew, Alemu. 2013. Relationship

Between Self-Efficacy, Academic

Achievement and Gender in Analytical

Chemistry at Debre Markos College of

Teacher education. AJCE. 3(2)

Tillar, H. 2006. Standarisasi Pendidikan

Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 86: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 86-95

86

Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri Dalam Meningkatkan

Kualitas Pendidikan Madrasah

Muhammad Kristiawan

Universitas PGRI Palembang

[email protected]

Nova Asvio

UIN STS Jambi

[email protected]

ABSTRACT

This research aimed at exploring the management of administration in MTs

Negeri Padang Panjang in upgrading the Madrasah quality. This research was

qualitative. Data collection used documentation study and in-depth intervie. The results

obtained indicate that the management of administration in MTs Negeri Padang Panjang

was run well in upgrading the quality of Madrasah. The quality of management

administration was seen from the administration of students’ recruitment, curriculum,

educators and staff, and counseling. This research implicates to supervisors and

Madrasah in West Sumatera to learn the management of administration in MTs Negeri

Padang Panjang in upgrading the Madrasah quality.

Keywords: Education Quality, Educational Administration, Management of Education

Article Info

Received date: 10 Oktober 2017 Revised date: 21 Maret 2018 Accepted date: 21 Juni 2018

Page 87: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio

87

PENDAHULUAN

Penelitian ini bermula dari pernyataan

Bapak Azwarhadi (Kepala Urusan Tata Usaha

MTsN Padang Panjang) pada perkuliahan

Manajemen Sumber Daya Pendidikan, di mana

Bapak Azwarhadi menyatakan bahwa “setiap

tahunnya MTsN Padang Panjang menerima

delapan rombongan belajar siswa baru, ada dua

puluh empat rombongan belajar setiap

tahunnya di MTsN Ganting Padang Panjang”.

Berarti ada lebih kurang 750 orang siswa di

MTsN Ganting Padang Panjang setiap

tahunnya.

Banyak prestasi yang diraih oleh guru-

guru maupun siswa/siswi MTsN Padang

Panjang. Mulai dari Kepala Madrasah Edi

Mardafuly, MA sebagai Juara pertama Kepala

Madrasah berprestasi Tingkat Kota Padang

Panjang Tahun 2015 diikuti oleh dua orang

guru yang juga terpilih sebagai guru berprestasi

yakni Drs. Ahmad Darmawan, M.Pd sebagai

juara I dan Leni Suryani, S.Ag sebagai juara II

di jajaran Kementerian Agama Kota Padang

Panjang (Sumbar Online.com 23 Oktober

2015). Pada Peringatan HUT PGRI ke-70

tingkat Kota Padang Panjang dimeriahkan

dengan berbagai perlombaan. Dalam cabang

olahraga, MTsN Padang Panjang berhasil

meraih juara I untuk cabang bulutangkis ganda

putri atas nama El Adra dan Aslinda dan

tunggal puteri atas nama El Adra. Sedangkan

untuk tenis meja ganda puteri juara II atas nama

Yetrianti dan Zuryati. Khusus cabang

bulutangkis tunggal puteri, tahun ini

merupakan kali ke-3 meraih juara I. Itu artinya,

srikandi PGRI ranting MTsN Padang Panjang

untuk cabang bulutangkis tunggal puteri masih

terlalu tangguh untuk dikalahkan lawan-

lawannya (studi dokumentasi pada website

resmi Kantor Wilayah Kementerian Agama

Sumatera Barat, Rabu, 13 Mei 2015 pernyataan

Adhie/ Rina, 2015).

Sementara itu siswa/siswinya juga

meraih beberapa prestasi diantaranya Fitri

Ramadhanti meraih medali perak pada

Kompetisi Sains Madrasah Tingkat Nasional

tahun 2012 (studi dokumentasi pada website

resmi Direktorat Pendidikan Madrasah,

Minggu, 01 Juli 2012, pernyataan

Marhenyantoz, 2012). Berikutnya,

Azizurrahman lolos ke final dengan nilai 70

menjadi peringkat pertama tingkat

SMP/Madrasah pada semi final peserta Seni

Bermatika UNAND ke XII tahun 2015 dan

Muhammad Azinul Haq dengan nilai 63

sebagai peringkat ketiga (studi dokumentasi

pada website resmi Universitas Andalas

Padang, Kamis, 12 Februari 2015 pernyataan

Humas dan Protokol UNAND, 2015).

Selanjutnya, MTsN Padang Panjang launching

Tahfizh Al-Qur’an sebagai program unggulan

Madrasah tahun 2014 berhasil dan sukses

menggelar wisuda tahfizul qur’an angkatan I

sebanyak 120 orang siswa pada kegiatan yang

pertama kali dilaksanakan dalam sejarah MTsN

Padang Panjang ini, Kepala Madrasah Edi

Mardafuly dalam laporannya menyampaikan

bahwa “Pada wisuda perdana ini diikuti 120

orang siswa dengan jumlah hafalan dari 1 juz

sampai 8 juz. Rangkaian seleksi ini sudah

dimulai sejak tanggal 8 Mei 2015 yang lalu.

Siswa/siswi yang ikut seleksi sebanyak 150

orang, namun yang lolos dan layak untuk

diwisuda sebanyak 120 orang. Penghafal

terbanyak memperoleh hadiah sebesar 3 juta

rupiah atas nama Nur Al Rahmah kelas IX.

(studi dokumentasi pada website resmi Kantor

Wilayah Kementerian Agama Sumatera Barat,

Rabu, 13 Mei 2015 pernyataan Adhie/ Rina,

2015). Kemudian, salah satu siswa MTsN

Annisa Inda Tartila mendapatkan nilai tertinggi

yaitu 85 pada hasil seleksi akademik

Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun

Pelajaran 2015/2016 di SMA Negeri 1

Sumatera Barat sehingga menjadikan MTsN

Padang Panjang berada diurutan pertama pada

hasil seleksi tersebut. 93 orang dari siswa/ siswi

MTsN Padang Panjang yang lulus UN Tahun

Pelajaran 2014/2015 lulus hasil seleksi

akademik Penerimaan Peserta Didik Baru

Page 88: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

88

Tahun Pelajaran 2015/2016 (studi dokumentasi

facebook SMA Negeri 1 Sumatera Barat).

Pada Tahun 2012, jumlah pendaftar

hanya sekitar 800 orang dengan kuota

penerimaan sebanyak 240 orang siswa.

Sedangkan untuk tahun 2013/2014, sebanyak

1005 orang terdaftar dan mengikuti tes tertulis

dengan kuota penerimaan juga 240 orang siswa.

Berdasarkan data di sekretariat panitia, dari

1005 orang peserta tersebut berasal dari seluruh

Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Barat.

Sedangkan dari luar provinsi Sumatera Barat

meliputi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan

Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa

Barat dan Nusa Tenggara Timur. Mereka yang

ikut mendaftar rata-rata peringkat 10 besar di

SD/MI nya masing-masing. Artinya kompetisi

untuk dapat diterima di MTsN Padang Panjang

betul-betul ketat (studi dokumentasi pada

website resmi Kantor Wilayah Kementerian

Agama Sumatera Barat, Selasa, 28 Mei 2013

pernyataan Azwarhadi, 2013).

Pada tahun 2014 MTsN Padang Panjang

telah mengukir sejarah sebagai Madrasah

dengan nilai UN tertinggi tingkat Madrasah se-

Sumatera Barat. Prestasi ini tetap

dipertahankan karena tahun pembelajaran 2013

juga sebagai juara I Madrasah yang mempunyai

nilai rata-rata UN tertinggi di Sumatera Barat.

Selain itu, di antara 100 nilai tertinggi UN

khusus Madrasah di Sumatera Barat ada 32

orang siswa berasal dari MTsN Padang

Panjang. Ditambah lagi, tahun 2014 ada 14

orang peserta didik yang nilai UN nya penuh

100 pada semua mata ujian nasional yaitu

Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,

dan IPA. Ternyata Madrasah ini bukan saja

unggul pada bidang agama, tetapi juga di mata

pelajaran umum (studi dokumentasi pada

website resmi Kantor Wilayah Kementerian

Agama Sumatera Barat, Senin, 23 Juni 2014

pernyataan Ahmad, 2014).

Dalam UAMBN tahun 2014 ada 19

orang peserta didik yang nilai UAMBNnya 100

khususnya dalam mata pelajaran Alquran

hadits. Kemudian, madrasah ini selalu lulus

100%. Kemudian lulusan madrasah ini diterima

di sekolah dan madrasah unggul di tingkat

nasional. Seperti di MAN Insan Cendekia

Serpong yang seleksinya ketat dan terbatas

serta diadakan secara online di seluruh

nusantara. Keberhasilan ini merupakan

kerjasama antar semua pihak Madrasah yang

terkait seperti Kantor Kemenag, Kepala

Madrasah, Kepala Administrasi, wakil, guru,

komite dan peserta didik semua (studi

dokumentasi pada website resmi Kantor

Wilayah Kementerian Agama Sumatera Barat,

Senin, 23 Juni 2014 pernyataan Ahmad, 2014).

MTsN Padang Panjang yang beralamat

di Jalan Ganting Bukit Surungan Kecamatan

Padang Panjang Barat telah terakreditasi B

(studi dokumentassi pada website resmi

Direktorat Pendidikan Madrasah, Direktorat

Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama

RI, 2013 dokumen lembaga MTs Sumatera

Barat, 2013). Banyak alumni dari MTsN

Padang Panjang dengan mudah bisa masuk ke

SMA N 1 Padang Panjang yang merupakan

SMA favourite di Padang Panjang (studi

dokumentasi wordpress pribadi Khairul Hamdi,

2008, salah satu alumni MTsN Padang

Panjang), juga di SMA Negeri 1 Sumatera

Barat yang juga terkenal dengan penyeleksian

terketat di Sumatera Barat (studi dokumentasi

facebook SMA Negeri 1 Sumatera Barat). Prof.

Dr. M. Zaim.M.Hum sebagai DEKAN FBS

UNP Padang periode 2011-2015 merupakan

alumni MTsN Padang Panjang (studi

dokumentasi facebook alumni MTsN Padang

Panjang). Salah satu siswanya ada yang

diwisuda S-2 di Institut Teknologi Bandung

(ITB) pada jurusan Teknik Elektro dengan

beasiswa (studi dokumentasi wordpress pribadi

Khairul Hamdi, 2008, salah satu alumni MTsN

Padang Panjang). Selanjutnya salah satu

siswanya Indah Fitria Ranita menjadi satu-

satunya yang lulus Akademi Kepolisian se

Sumatera Barat pada tahun 2014 (Padang

Ekspres Digital Media 19 November 2014).

Page 89: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio

89

Hal ini dianggap penting bagi peneliti

untuk dikaji terkait dengan sistem pengelolaan

administrasi di MTsN Padang Panjang. Dengan

keberhasilannya untuk menarik pendaftar

setiap tahunnya dan dengan ketatnya

penyeleksian terhadap pendaftar berarti MTsN

Ganting merupakan MTsN yang bermutu.

Mutu suatu sekolah dapat dilihat juga dari

sistem pengelolaan administrasinya.

Kepala tenaga administrasi berperan

penting dalam mengelola administrasi suatu

Madrasah. Salah satu kompetensi Kepala

Tenaga Administrasi adalah memastikan

bahwa administrasi sekolah dapat dilaksanakan

dengan baik dalam rangka menunjang

pembuatan kebijakan dan pengambilan

keputusan yang tepat oleh Kepala Madrasah,

penyusunan rencana kerja sekolah, pelaksanaan

pembelajaran, dan pelaporan kinerja sekolah.

Tugas-tugas administrasi tersebut dapat

dilaksanakan dengan baik apabila sekolah

memiliki Tenaga Administrasi Sekolah (TAS)

yang memenuhi standar, seperti tertuang dalam

Permendiknas Nomor 24 Tahun 2008 tentang

Standar Tenaga Administrasi Sekolah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 24 Tahun 2008 Tanggal 11 Juni 2008

tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/

Madrasah antara lain ditetapkannya kompetensi

Kepala Tenaga Administrasi Sekolah/

Madrasah yang intinya meliputi kompetensi

kepribadian, sosial, teknis, dan manajerial.

Kepala tenaga administrasi Madrasah

berkewajiban membina tenaga administrasi

sekolah melalui berbagai media dan situasi

sekolah secara professional.

Rukmana (2015) mengungkapkan

bahwa “Tenaga Administrasi Sekolah

merupakan salah satu bagian daripada tenaga

kependidikan yang keberadaannya tidak dapat

dipisahkan dari efektifitas program sekolah.

Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah

merupakan non teaching staff dikenal dengan

sebutan staf tata usaha (TU) yang bertugas

sebagai pendukung berjalannya proses

pendidikan di sekolah melalui layanan

administratif guna terselenggaranya proses

pendidikan yang efektif dan efisien di sekolah”.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 pasal 39 ayat 1 telah dipaparkan bahwa

“Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan

administrasi, pengelolaan, pengembangan,

pengawasan, dan pelayanan teknis untuk

menunjang proses pendidikan pada satuan

pendidikan”.

Selanjutnya Rukmana (2015)

menjelaskan “Tenaga Administrasi Sekolah/

Madrasah dalam hal ini menempati peran

penting sebagai tenaga kependidikan dengan

tugasnya yang bukan hanya sekedar membantu

sekolah dalam urusan administrasi melainkan

meliputi beberapa kegiatan penting dalam

pengembangan kualitas sekolah seperti

pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan

pelayanan teknis. Dengan kata lain Tenaga

Administrasi Sekolah ini bertugas sebagai

pendukung berjalannya proses pendidikan di

sekolah melalui layanan administratif guna

terselenggaranya proses pendidikan yang

efektif dan efisien di sekolah”.

Berikut ini adalah beberapa kajian yang

mendukung penelitian yang dilaksanakan, yang

secara substansial berkaitan dengan

pengelolaan administrasi di madrasah atau

sekolah. Pertama, temuan Sahnan (2003) di

Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru

di Kotanopan Subdistrict, Mandailing Natal

District, North Sumatera Province),

mengungkapkan bahwa “first, to formulate

educational personnel development program

planing, the lead of a pondok pesantren

Musthawafiyah Purba Baru always based on

vision and mission of pondok pesantren and

need analysis. The planning does not

formulated completely which one long distance

planning, middle and short. Second,

accomplishment of educational power

development program is not apply yet

effectively, it is because as follow: (1) many

task given to the teacher (30-40) study hours in

Page 90: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

90

a week, and two workers only, (2) its unclear of

job description between personel, (3) attention

of lead of pondok pesantren, especially in

giving incentive to monitoring and evaluation

team. Third, the control of educational

personnel development program is not

effectively applied: (1) lees of intensity of

presence controller, there is approximately

once in three months (the controller from

religion department), and only once in a year

from educational department, (2) lack of

controller understanding about educational

personnel development program, (3) the

controller is rarely has an aim, procedure of

control so that the controlling is not focus”.

Kedua, Prasojo (2006) mengungkapkan

bahwa “Pertama, peran penting TU dalam suatu

organisasi meliputi seluruh tingkatan dalam

organisasi tersebut. Peran TU diperlukan oleh

organisasi dalam rangka mencapai tujuannya.

Kedua, Pengembangan TU perlu ditingkatkan

dan disesuaikan dengan perkembangan

teknologi informasi. Ketiga, pemanfaatan

teknologi informasi untuk mendukung

pengembangan TU dalam suatu organisasi

terutama adalah melalui LAN (Local Area

Network), WAN (Wide Area Network), dan

program database. Keempat, pemanfaatan

teknologi informasi di bidang ketatausahaan

dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya;

keakuratan data dan informasi lebih terjamin

dibandingkan secara normal meningkatkan

pentingnya peranan TU”.

Ketiga, Argyriou dan Iordanidis (2014)

in Greek Secondary School menyatakan bahwa

“the headmasters consider activities

concerning their bureaucratic/conductive role

aswell as their leading behaviour as “very

important” at very high percentages (over

70.0%). However, tasks involving them in

administrative issues are, according to them,

“less” up to “least important” so that their role

is effectively fulfilled. Statistically significant

diversifications have been observed in certain

activities associated with the efficient

performance of their duties in relation to their

gender, years of experience in leadership

position, and the size of the school unit”.

Keempat, Kristiawan (2014) di Padang

menemukan bahwa “the teachers remain

equipped to teach pupils fundamental ICT

skills”. Kelima, temuan Zahro dan Baehaki

(2013) menyebutkan bahwa “There are so

many school administration staff have no

ability and good skill for doing their job,

performance, discipline, loyality and

responsibility. And from the fourth of

competention variables, personality

competention variable (X1) is the most effected

variable to the school administration staff

performance of MTsN and MAN in Kabupaten

Kediri”. Keenam, Scott (2001) di Carribbean

mengungkapkan bahwa “... focuses on the

collaboration, teamwork and planning aspects

of the project and demonstrates how such a

process can be used to meet crucial needs in

small states”.

Ketujuh, temuan Afriyenti (2013)

mengungkapkan bahwa “(1) Pegawai

merupakan keseluruhan orang-orang yang

berada dalam organisasi yang mempunyai tugas

dan tanggungjawab sesuai dengan tingkat

pendidikan dan keahliannya yang dimiliki, (2)

Pemberdayaan pegawai yang efektif dan efisien

dengan baik untuk meningkatkan layanan oleh

dan bekerjasama dari para pegawai dalam

mencapai tujuan yang telah dimaksud”.

Kedelapan, temuan Osakwe (2013)

yang menemukan bahwa “secondary school

principals differ in their efficient management

of school records in terms of gender, experience

and school location. Based on these findings, it

was recommended that government should

provide adequate funds and facilities for the

effective management of school records and

there should be adequate training and

retraining of principals through in-service

programmes, conferences, seminars and

workshops. Also effective supervision of school

Page 91: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio

91

principals is necessary irrespective of gender,

experience and school location”.

METODE PENELITIAN

Ditinjau dari jenis datanya, pendekatan

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan kualitatif dengan metode

deskriptif. Menurut Moleong (2013) penelitian

kualitatif adalah “penelitian yang dilakukan

untuk memahami dan menjelaskan fenomena-

fenomena apa yang yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi,

tindakan dan lain-lain secara holistik dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata

dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode alamiah”.

Pendekatan kualitatif merupakan

descriptive; concerned with process rather than

simply with outcomes or product; qualitative

research tend the analyze their data

inductively; and “meaning” is the essential

concern to the qualitative approach

(Kristiawan & Tobari, 2017). Alasan peneliti

mengambil penelitian kualitatif dengan metode

deskriptif ini adalah sifat dari masalah yang

diteliti dalam bentuk mengungkap fakta dan

gejala apa adanya saat penelitian dilakukan,

kemudian juga dalam bentuk menentukan dan

menafsirkan data yang berkenaan dengan

situasi yang terjadi di lokasi penelitian tentang

pengelolaan administrasi oleh Kepala

Administrasi dalam peningkatan kualitas

pendidikan di MTsN Padang Panjang.

Sugiyono (2013) mengemukakan

bahwa obyek dalam penelitian kualitatif adalah

“obyek yang alami, natural setting, obyek apa

adanya tidak dimanipulasi oleh peneliti.

Sumber data dalam penelitian ini Kepala

Administrasi Madrasah. Dalam mengumpulkan

data yang dibutuhkan, peneliti menggunakan

teknik pengumpulan data wawancara dan

dokumentasi.

Teknik wawancara yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik wawancara

tidak terstruktur (in-depth interviewing) karena

peneliti merasa ”tidak tahu apa yang belum

diketahuinya”. Dengan demikian wawancara

dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat

”open-ended”, dan mengarah kepada

kedalaman informasi (Sutopo, 2002) dari data

primer. Adapun yang diwawancarai dalam

penelitian ini adalah sesuai dengan sumber data

yang diajukan yaitu Kepala Adminitrasi MTsN

Padang Panjang, Staf Kementerian Agama

Kota Padang Panjang, salah seorang

masyarakat Kota Padang Panjang dan salah

seorang dari orang tua siswa MTsN Padang

Panjang. Kegiatan wawancara ini dilakukan

untuk mengetahui kegiatan dan kejadian yang

sesungguhnya tentang pengelolaan administrasi

oleh Kepala Administrasi dalam peningkatan

kualitas pendidikan di MTsN Padang Panjang.

Menurut Arikunto (2002) “metode

dokumentasi adalah mencari data yang berupa

catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,

prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan

sebagainya”. Nawawi (2005) menyatakan

bahwa studi dokumentasi adalah “cara

pengumpulan data melalui peninggalan tertulis

terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga

buku mengenai pendapat, dalil yang

berhubungan dengan masalah penyelidikan”.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

dokumen-dokumen madrasah yang ber-

hubungan dengan penelitian sebagai bukti dari

pelaksanaan penelitian baik diperoleh langsung

dari Madrasah maupun yan diperoleh peneliti

dari web Kementrian Agama Provinsi Sumatera

Barat. Peneliti juga mendokumentasikan hasil

wawancara dengan Kepala Administrasi

Madrasah dalam bentuk transkrip wawancara.

Teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis data

kualitatif, mengikuti Nasution dalam Sugiyono

(2013), yaitu reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Page 92: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

92

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Pengelolaan administrasi di MTs

Negeri Padang Panjang sudah terkelola dengan

sangat baik. Mulai dari Proses Penerimaan

Peserta Didik Baru (PPDB), penyeleksian

untuk PPDB ini benar-benar sudah terkelola

dengan baik sehingga pendaftar tidak bisa

hanya sembarang mendaftar saja. Azwarhadi,

KAUR TU MTs Negeri menyatakan “mereka

yang ikut mendaftar rata-rata peringkat 10 besar

di SD/MI nya masing-masing. Artinya

kompetisi untuk dapat diterima di MTsN

Padang Panjang betul-betul ketat. Pihak MTsN

Padang Panjang, telah menetapkan persyaratan

untuk bisa mendaftar yaitu nilai rapor kelas V

dan VI untuk mata pelajaran Agama, Bahasa

Indonesia, Matematika, IPA dan IPS tidak

boleh di bawah 70” (hasil wawancara dengan

Bapak Azwarhadi Kepala Administrasi

Madrasah MTsN Padang Panjang, 2016).

Tabel 1. Kondisi Peserta Didik 5 Tahun Terakhir

KELAS 2011 2012 2013

L P JML L P JML L P JML

VII 120 178 298 112 181 293 145 206 351

VIII 92 160 252 91 162 253 109 173 282

IX 80 152 232 85 157 242 90 160 250

JML 292 490 782 288 500 788 344 539 883

NO DATA 2011 2012 2013 2014 2015

1 Jumlah Pendaftar 930 950 1005 912 1031

2 Jumlah Siswa yang Diterima 249 280 375 300 300

3 Persentase kelulusan nilai UN 100% 100% 100% 100% 100%

4 Jumlah siswa Yang lanjut ke SLTA sederajat 100% 100% 100% 100% 100%

Administrasi kurikulum madrasah juga

sudah berjalan dengan sangat baik, terbukti dari

siswanya yang lulus seratus persen setiap

tahunnya. Pendidikan Umum, yang

pelaksanaannya sesuai dengan kurikulum

pendidikan dasar dan menengah meliputi

PPKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,

Matematika, IPA, IPS, Olah raga dan kesenian,

Teknologi komunikasi informasi TIK.

Pendidikan agama Islam sebagai ciri khas

Madrasah: Al-quran Hadis, Sejarah

Kebudayaan Islam, Aqidah Akhlak, Fiqih,

Bahasa Arab, Praktek Ibadah, Tahfiz. Sebagai

penunjang kegiatan pendidikan intra kurikuler

diperlukan kegiatan ekstra Kurikuler sebagai

berikut: Olah raga dan kesehatan, Keterampilan

Agama, Keterampilan kesenian, KKR/PMR,

Muatan lokal (Budaya Alam Minang Kabau),

TPA/TPSA, Muhasabah, Muhadarah, Pramuka,

PKS dan UKS, Bimbingan Taqwa Siswa,

Forum Annisa, Pembinaan Sikap, Tata Busana.

Administrasi ketenagaan pendidikan

juga terkelola dengan baik terbukti dengan

adanya guru tamatan magister sebanyak lima

orang. Setiap tenaga pendidik maupun tenaga

kependidikan bekerja sesuai dengan bidang dan

keahliannya masing-masing. Administrasi

sarana dan prasarana juga dikelola dengan baik

yang mana setiap tahunnya diadakan program

penambahan peralatan-peralatan yang

menunjang proses belajar-mengajar. Dalam

administrasi pembiayaan MTs Negeri Padang

Panjang mendapatkan bantuan dari masyarakat

berupa bantuan fisik, masyarakat memberikan

donator untuk pengembangan madrasah di local

jauh. Pembangunan local jauh sudah ada 6

ruangan yang terdiri dari dua unit yang

anggarannya dari partisipasi masyarakat

dengan biaya Rp. 900.000.000,-.

Terakhir, pengelolaan administrasi

layanan khusus pendidikan yaitu bimbingan

konseling/bimbingan penyuluhan. Untuk

Page 93: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio

93

membantu peserta didik dan menyikapi

permasalahan yang mereka hadapi, maka MTs

Negeri Padang Panjang memberikan pelayanan

Bimbingan Konseling. Proses pelayanan

bimbingan konseling di Madrasah Tsanawiyah

Negeri Padang Panjang dibuka setiap hari

belajar, bagi siswa yang akan menyampaikan

permasalahannya. Sedangkan pemberian

materi dan motivasi belajar serta

pengembangan jiwa peserta didik diberikan

secara klasikal di dalam kelas dengan

komposisi waktu satu jam perminggu setiap

kelas. Madrasah Tsanawiyah Negeri Padang

Panjang dalam penerimaan siswa baru selalu

mengadakan tes phsykology dan tes intelejensi

atau tes EQ dengan bekerja sama dengan

Fakultas Bimbingan Konseling UNP Padang.

Penelitian ini didukung yang pertama

oleh temuan Pertiwi, Asmara dan Asrori (2014)

di MTsN Kota Pontianak yang mengungkapkan

bahwa “Kepala madrasah dengan

kepemimpinannya dan layanan administrasi

tata usaha yang baik dapat membantu guru-guru

dalam meningkatkan kinerjanya menjadi guru

yang profesional. Kedua, temuan Prasojo

(2008) di SMK yang menemukan bahwa

“Dalam merumuskan kompetensi Tenaga

Administrasi SMK harus mencakup empat hal

berikut: a) mengacu pada Visi dan Misi SMK,

b) berdasarkan pada tugas pokok dan fungsi

Tenaga Administrasi SMK, c) berdasarkan

pada latar belakang pendidikan yang

dibutuhkan sesuai dengan tugasnya, d) adanya

sistem pengendali proses yang berupa mutu

layanan sebagai alat ukur keberhasilan proses

rumusan tersebut”.

Ketiga, penelitian ini juga didukung

oleh temuan Surya (2012) di Yogyakarta

menemukan bahwa ”terdapat peran penting

tenaga administrasi sekolah dalam penguatan

budaya sekolah untuk implementasi pendidikan

karakter. Mereka merupakan pihak yang

mendukung terlaksananya proses pendidikan di

sekolah. Sekolah sebagai pusat pembudayaan

berperan mengimplementasikan pendidikan

karakter melalui pendekatan pengembangan

budaya sekolah (school culture). Tenaga

administrasi sekolah sebagai warga sekolah

berkewajiban membentuk budaya sekolah yang

kondusif bagi implementasi pendidikan

karakter. Mereka memberikan layanan prima

terhadap para pihak yang terlibat dalam proses

pendidikan di sekolah, seperti kepala sekolah,

guru, siswa, komite sekolah, dan pemangku

kepentingan lainnya. Pelayanan prima yang

dilakukan dengan ikhlas, ramah, cermat,

santun, serta tertib kiranya dapat menjadi

contoh teladan bagi siswa dan para pihak yang

membutuhkan pelayanan administrasi.

Karakter yang harus dimiliki tenaga

administrasi secara tersirat tercantum pula

dalam kompetensi kepribadian, kompetensi

sosial, dan kompetensi teknis serta manajerial.

Ketika kompetensi tersebut dilaksanakan

dengan baik, begitu pula budaya sekolah yang

kuat terbentuk dan ideal bagi implementasi

pendidikan karakter”.

Keempat, penelitian ini juga sejalan

dengan temuan Muhlis, Suib & Wahyudi

(2014) di MTsN mengungkapkan bahwa

“pengelolaan ketatausahaan untuk meningkat-

kan layanan administrasi akademik sesuai

prosedur, sistematis, terarah, jelas dilihat dari

kepala madrasah melakukan perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan dan

pengawasan”. Keenam, Kristiawan (2015) di

Simpang Empat, Pasaman Barat, Sumatera

Barat mengungkapkan bahwa “the strategy

which was done to keep the output was forming

the school’s culture such behavior, tradition,

daily life, and symbols which were applied by

all members of school and society around

school”.

Namun, di sisi lain ada penelitian yang

bertentangan dengan kajian ini yaitu temuan

Rukmana (2015) di SMP Negeri se-Kecamatan

Majalengka yang menemukan bahwa

“administrasi tata usaha di Sekolah Menengah

Pertama (SMP) masih belum baik menyangkut

kurangnya indikator inisiatif khususnya

Page 94: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

94

memberikan ide/gagasan untuk kemajuan

lembaga. Staf administrasi sekolah SMP belum

memfungsikan TAS sebagaimana mestinya.

Pelaksanaan pekerjaan kurang sesuai dengan

prosedur kerja, pelayanan kurang baik terhadap

masyarakat sesuai dengan bidang tugasnya,

kurang bertanggung jawab terhadap setiap

kegiatan yang dilakukan, kurang membuat

rencana kegiatan/rencana kerja dalam

melaksanakan pekerjaan, kurang

memanfaatkan waktu kerja sebaik mungkin,

kurang menyelesaikan tugas sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan, dan lain-lain”.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pengelolaan administrasi di MTs

Negeri Padang Panjang sudah terkelola dengan

sangat baik. Mulai dari Proses Penerimaan

Peserta Didik Baru (PPDB), penyeleksian

benar-benar sudah terkelola dengan baik

sehingga pendaftar tidak bisa hanya sembarang

mendaftar saja. Administrasi kurikulum

madrasah juga sudah berjalan dengan sangat

baik. Selanjutnya administrasi ketenagaan

pendidikan juga terkelola dengan baik, begitu

juga dengan pengelolaan administrasi layanan

khusus pendidikan yaitu bimbingan konseling/

bimbingan penyuluhan terbuka setiap hari

belajar, bagi siswa yang akan menyampaikan

permasalahannya

Saran

Bagi Madrasah di Provinsi Sumatera

Barat, sebaiknya mempelajari manajemen

administrasi di MTs Negeri Padang Panjang

karena madrasah ini dapat dijadikan sebagai

model dalam mengelola administasi madrasah.

Bagi pengawas MTs di Provinsi Sumatera

Barat, sebaiknya melihat MTs Negeri Padang

Panjang dalam membimbing administrasi

madrasah yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Afriyenti. 2013. Pemberdayaan Pegawai Tata

Usaha dalam Rangka Meningkatkan

Layanan Administratif. Jurnal

Administrasi Pendidikan, Bahana

Manajemen Pendidikan, 1(1)

Argyriou, A., dan Iordanidis, G. 2014.

Management and Administration Issues

in Greek Secondary Schools: Self-

Evaluation of the Head Teacher Role.

Education Research International.

Kristiawan, M. 2014. A Model for Upgrading

Teachers Competence on Operating

Computer as Assistant of Instruction.

Global Journal of Human-Social

Science Research, 14(5).

Kristiawan, M. 2015. A Model of Educational

Character in High School Al-Istiqamah

Simpang Empat, West Pasaman, West

Sumatera. Research Journal of

Education, 1(2)

Kristiawan, M. 2017. The Characteristics of the

Full Day School Based Elementary

School. Transylvanian Review, 1(1)

Muhlis, S. dan Wahyudi. 2015. Pengelolaan

Ketatausahaan oleh Kepala Madrasah

untuk Meningkatkan Layanan

Administrasi Akademik pada Madrasah

Tsanawiyah Negeri. Jurnal

Administrasi Pendidikan, FKIP Untan,

Pontianak 1(1)

Osakwe, R. N. 2013. Secondary School

Principals and Their Efficient

Management of School Records in

Delta State, Nigeria. IOSR Journal of

Research & Method in Education 1(3)

Padang Ekspres Digital Media. 2014. Indah

Fitria Ranita, Lulus Akpol 2014 dari

Sumbar. 19 November 2014.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

2008 Tentang Standar Tenaga

Page 95: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengelolaan Administrasi Madrasah Tsanawiyah Negeri … | Muhammad Kristiawan & Nova Asvio

95

Administrasi Sekolah/Madrasah.

Jakarta: Kementerian Pendidikan

Nasional.

Pertiwi, E., Asmara, U. H., dan Asrori, M.

2014. Kepemimpinan Kepala Madrasah

dan Layanan Tata Usaha dengan

Kinerja Guru MTs Negeri Kota

Pontianak. Jurnal Pascasarjana

Administrasi Pendidikan, FKIP

Universitas Tanjungpura, Pontianak

1(1)

Prasojo, L. D. 2006. Pengembangan Tata Usaha

Berbasis Teknologi Informasi. Jurnal

Tenaga Kependidikan, 1(3)

Prasojo, L. D. 2008. Model Kompetensi Tenaga

Administrasi Sekolah Menengah

Kejuruan. Jurnal Tenaga

Kependidikan, UPI 1(1)

Rukmana, I. J. 2015. Pengaruh Pengawasan

Melekat oleh Kepala Tata Usaha

terhadap Kinerja Staf Administrasi di

SMP Negeri se-Kecamatan

Majalengka. Bandung: Universitas

Pendidikan Indonesia.

Sahnan, M. 2003. Pengembangan Tenaga

Pendidik: Sistem Manajemen Pondok

Pesantren. Bandung: Disertasi UPI.

Scott, F. 2001. Developing human resources for

effective school management in small

Caribbean states. International Journal

of Educational Development 21

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian

Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian

Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sumbar Online.com. 2015. Kepsek dan Guru

MTsN Padang Panjang Ukir Prestasi. 23

Oktober 2015.

Surya, P. 2012. Peran Penting Tenaga

Administrasi Sekolah dalam Penguatan

Budaya Sekolah untuk Implementasi

Pendidikan Karakter.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas) Pasal 39 ayat 1. Jakarta:

Kementerian Pendidikan Nasional.

Zahro’, N., dan Baehaki, I. 2013. Pengaruh

Kompetensi Tenaga Administrasi

Sekolah terhadap Kinerja Pegawai Tata

Usaha pada MTsN dan MAN di

Kabupaten Kediri. Jurnal Ilmu

Manajemen, Revitalisasi, 2(2).

Page 96: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 1, Januari-Juni 2018

Halaman: 96-106

96

Pengaruh Budaya Organisasi Dan Komunikasi Interpersonal

Terhadap Sikap Kerja Guru SMP Swasta

Elfridauli

Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta

[email protected]

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the influence of organizational culture

and interpersonal communication on the work attitude of private junior high school

teachers in Tanjung Priok district. This research was conducted using survey method

with quantitative approach and path analysis technique. The populations in this study

were 307 teachers with 75 research samples of teachers selected using simple random

sampling technique. Data were obtained through questionnaire and analyzed using path

analysis technique. Based on the results of data analysis in this study, it can be concluded:

(1) organizational culture has a direct positive influence on teacher work attitude; (2)

interpersonal communication also has a positive direct effect on teacher work attitude;

(3) organizational culture has a positive direct effect on interpersonal communication.

Therefore, work attitude can be developed through the improvement of organizational

culture and interpersonal communication.

Keywords: Interpersonal Communication, Organizational Culture, Private Junior High

School Teachers, Work Attitude

Article Info

Received date: 14 Mei 2018 Revised date: 21 Juni 2018 Accepted date: 23 Juni 2018

Page 97: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli

97

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah hal utama untuk

sebuah perubahan seseorang dari yang tidak

bisa menjadi bisa, kemudian pendidikan juga

merupakan pemandu bagi karakter seseorang.

Pendidikan juga merupakan salah satu yang

menjadi penentu pembangunan karakter

bangsa, seperti yang dituangkan dalam tujuan

pendidikan UU No. 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 yang

berbunyi: “Tujuan pendidikan nasional adalah

mengembangkan potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab".

Salah satu yang berkaitan dengan

lembaga pendidikan adalah tenaga pendidik

atau yang biasa disebut guru merupakan salah

satu ujung tombak tercapainya tujuan

pendidikan yang diharapkan dan juga

merupakan teladan hidup baik di dalam kelas

maupun di luar kelas untuk peserta didik.

Dalam meningkatkan sikap kerja guru

yang positif dalam organisasi diperlukannya

dukungan dari budaya organisasi seperti selalu

ada pelatihan-pelatihan, seminar-seminar dan

diskusi mengenai metode mengajar dalam

MGMP mata pelajaran. Menurut Darmawan

(2013: 143) organisasi dapat berlangsung dan

sampai pada visi, misi, tujuannya melalui

proses manajemen. Untuk memimpin

organisasi, seorang manajer memiliki tugas

utama yaitu interpersonal, informasional dan

pengambil keputusan.

Setiap organisasi memiliki budaya

organisasi yang dapat menjadi ciri khas

karakter dari organisasi. Budaya organisasi

yang kuat akan menciptakan bentuk perilaku

pegawai dan sikap kerja guru, kemudian akan

mempengaruhi persaingan antar organisasi.

Contohnya dalam organisasi sekolah,

bagaimana kuatnya budaya organisasi sebuah

sekolah juga akan mempengaruhi sikap guru

pada sekolah tersebut. Dengan perilaku dan

sikap yang guru tunjukkan akan menjadi ciri

khas sebuah sekolah akan semakin

meningkatnya kualitas pendidikan. Kemudian

organisasi memiliki sebuah komunikasi

interpersonal yang berjalan dengan baik

sehingga dari komunikasi tersebut akan dapat

mempengaruhi sikap kerja guru.

Menurut Sudaryono (2014: 35),

perbedaan-perbedaan kultural memiliki

dampak besar terhadap kinerja organisasi dan

kualitas pengalaman kerja yang dialami oleh

para anggota organisasi. Dengan demikian

budaya organisasi merupakan suatu kekuatan

yang tidak terlihat tetapi dapat mempengaruhi

pikiran, perasaan dan tindakan orang-orang

yang bekerja dalam suatu organisasi. Sama

seperti halnya pribadi setiap manusia memiliki

perbedaan sifat, karakter dan nilai-nilai sendiri

yang di latarbelakangi oleh latar belakang

keluarga, berasal dari suku yang berbeda dan

memiliki kebiasaan yang berbeda dalam setiap

keluarga dan lingkungan yang membentuk

setiap kepribadian seseorang.

Menurut Sugiarta dkk (2013) budaya

organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja

guru, mengikuti program pengembangan

kompetensi guru, ikut serta dalam

mengembangkan budaya organisasi dalam

mentaati peraturan dan program sekolah.

Budaya organisasi akan memberikan sebuah

nilai-nilai pada setiap guru pada saat bekerja,

budaya juga akan memberikan sikap guru pada

pekerjaan yang sedang dikerjakan dan

diselesaikan. Apakah guru merasa puas dengan

pekerjaannya dan dapat membuat bertahan

dalam pekerjaannya ini semua juga

dipengaruhi oleh budaya sebuah organisasi.

Menurut Ivancevich dkk (2006: 47)

budaya organisasi melibatkan harapan, nilai-

nilai dan sikap bersama, dan semua dapat

mempengaruhi individu, kelompok dan proses

organisasi. Membedakan budaya yang kuat

dengan budaya yang lemah sering kali sangat

berguna karena budaya yang kuat dicirikan

Page 98: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

98

oleh adanya pegawai yang memiliki nilai inti

bersama. Semakin banyak pegawai yang

berbagi dan menerima nilai inti, semakin kuat

budaya, dan semakin besar pengaruhnya

terhadap sikap kemudian prilaku.

Selain budaya organisasi juga terdapat

komunikasi dalam beraktivitas. Budaya dapat

membantu seorang pegawai bekerja sesuai

dengan budaya organisasi dan peraturan-

peraturan yang sudah disepakati. Sekalipun

budaya organisasi juga sudah dapat membantu

tetapi tanpa adanya komunikasi maka nilai-

nilai organisasi tidak dapat tersampaikan

dengan maksimal. Menurut Nurrohim dan

Anatan (2009: 2) kesuksesan organisasi sangat

dipengaruhi oleh kapabilitas dan kompetensi

masing-masing individual dan kerjasama antar

anggota tim dalam organisasi. Dalam menjalin

kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut

diperlukan adanya komunikasi.

Menurut Tahjudin Nor (2013: 8)

pimpinan perusahaan harus benar-benar

memperhatikan kepuasan komunikasi

organisasi yang ada dalam organisasinya,

karena dengan perhatian yang intensif

terhadap motivasi kerja pada organisasinya

maka diharapkan karyawan akan lebih giat

bekerja untuk mewujudkan tujuan

organisasinya. Menurut Wiyani (2015: 159)

membangun hubungan melalui komunikasi

dapat dilakukan secara bertemu dengan

bertatap muka untuk bertukar informasi atau

tidak perlu bertemu langsung tetapi dengan

menggunakan alat elektronik. Komunikasi

adalah penggerak organisasi, karena tujuan

dari organisasi akan sulit dicapai tanpa

komunikasi

Komunikasi dalam proses organisasi

menjadi sangat kurang dikarenakan semakin

beragamnya setiap pribadi dalam organisasi.

Kemudian ditambah lagi semakin

meningkatnya teknologi membuat pegawai

mengurangi komunikasi secara langsung dan

banyak juga yang sibuk kepentingan pribadi.

Sedangkan proses organisasi dibutuhkan

komunikasi untuk menciptakan sikap kerja

guru.

Budaya organisasi dan komunikasi

interpersonal memberikan pengaruh positif

terhadap kinerja. Budaya organisasi juga dapat

meningkatkan kompetensi guru, dengan

demikian sikap positif terhadap profesinya

atau terhadap pekerjaannya juga dapat

meningkat. Menurut Sawaludin (2013: 82)

komunikasi interpersonal juga mempengaruhi

dimensi sosial dalam organisasi, membuat

komunikasi efektif dan guru semakin bekerja

keras untuk bertanggung jawab atas

pekerjaanya.

Menurut Norlena (2015: 43) sekolah

sebagai sebuah organisasi formal, memiliki

struktur yang memungkinkan sekolah

menjalankan fungsinya sebagai lembaga

edukatif yang baik. Didalamnya terdapat

sekumpulan manusia yang bekerja bersama-

sama untuk mencapai suatu tujuan yaitu

mencerdaskan generasi bangsa dan adanya

prasarana sarana. Menurut Wuryantina (2015:

243) sekolah juga merupakan bentuk

keorganisasian moral, berbeda dengan bentuk

keorganisasian lain yang berorientasi kepada

keuntungan. Hal itu membawa konsekuensi

logis bagi setiap komponen sekolah untuk

bersinergi, memiliki komitmen yang sama dan

menerapkan norma dan nilai yang dianut

sekolah demi tercapainya tujuan pendidikan

sekolah.

Bekerja bersama-sama juga tidak

terlepas dari budaya organisasi, komunikasi

interpersonal dan sikap kerja. Banyak guru

sudah tidak mengikuti aturan dari budaya

organisasi sekolah, banyak juga yang sudah

mementingkan diri sendiri dan tidak

membangun komunikasi yang aktif dan positif.

Kemudian mempengaruhi sikap kerja guru

yang sudah mulai menurun, banyak yang

memberikan sikap kerja yang bermalas-

malasan, sikap kerja yang tidak konsisten

dalam membimbing, sikap kerja yang tidak

menjadi teladan dan banyak guru mengajar

Page 99: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli

99

hanya untuk sebuah alasan ekonomi. Jika guru

mengajar tanpa adanya rasa ketulusan maka

semuanya itu menjadi hambar, karena

pekerjaan guru bukan kepada sebuah benda

tetapi kepada manusia terhadap manusia.

Menurut Librawati dkk (2013) sikap

kerja guru akan dapat mempengaruhi

keberhasilan dari sebuah sekolah. Bagaimana

sikap guru dalam melayani siswa dan

bagaimana sikap guru dalam berinteraksi

kepada teman sejawat dan kepada pimpinan.

Sikap kerja dari seorang guru sangatlah

penting karena melalui sikap akan

mempengaruhi sikap pribadi, sikap kelompok

seperti organisasi dan akan mempengaruhi

tujuan organisasi.

Menurut penelitian Karya dkk (2013)

sikap kerja guru dalam merespon

menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya

serta lingkungan kerja tersebut akan dapat

berpengaruh terhadap kinerja guru dan

berdampak terhadap hasil nilai siswa di

sekolah. Sikap kerja guru tersebut meliputi tiga

sikap yaitu kepuasan kerja, komitmen

organisasi dan keterlibatan kerja. Menurut

penelitian Khoiri (2017: 109), kualitas

kehidupan kerja berpengaruh langsung positif

terhadap sikap kerja, artinya peningkatan

kualitas kehidupan kerja mengakibatkan

peningkatan sikap kerja guru

Menurut Sugiarta (2012) sikap guru

pada pekerjaan harus selalu diupayakan secara

positif oleh guru, selain itu hendaknya guru

selalu mengupayakan peningkatan

pengetahuan dan ketrampilan, dengan cara

demikian kemampuan guru akan meningkat

dan pendidikan yang berkualitas akan

terwujud. Faktor sikap kerja guru dipengaruhi

baik dari luar dan dari dalam, artinya

bagaimana sikap guru terhadap pekerjaan yang

diemban dipengaruhi dari faktor dalam diri

guru tersebut. Sedangkan faktor dari luar juga

dapat dipengaruhi oleh budaya organisasi dan

kualitas komunikasi antar guru tersebut

kemudian di bantu oleh kemampuan guru

tersebut baik itu pengalaman dan kemampuan

Kecamatan Tanjung Priok adalah salah

satu kecamatan di Kotamadya Jakarta Utara,

DKI Jakarta. Kecamatan Tanjung Priok

memiliki luas 25,13 km2. Menurut data dari

Dinas Pendidikan Kotamadya Jakarta Utara

Kecamatan Tanjung Priuk memiliki Sekolah

Menengah Pertama (SMP) sebanyak 46

sekolah, terdiri dari 35 sekolah swasta dan 11

sekolah negeri, dengan jumlah guru sekitar

635 orang dan peserta didik sekitar 12.506

anak. Khusus untuk SMP swasta jumlah guru

ada 307 orang dan jumlah murid sebanyak

6014 anak.

Penelitian ini bertujuan mengetahui

ada tidaknya pengaruh langsung budaya

organisasi terhadap sikap kerja guru, pengaruh

langsung komunikasi interpersonal terhadap

sikap kerja guru, pengaruh langsung budaya

organsasi terhadap komunikasi interpersonal.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

menjadi acuan kepada guru di SMP Swasta di

Kecamatan Tanjung Priok untuk dapat

mengevaluasi dan meningkatkan sikap kerja

guru.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan dilaksanakan di

SMP Swasta Kecamatan Tanjung Priok.

Penelitian ini dilakukan mulai April sampai

Mei 2018.

Metode penelitian yang digunakan

adalah metode survey dengan cara

mengumpulkan data dengan menyebarkan

kuesioner/ angket kepada guru yang hasilnya

kemudian diolah melalui untuk mengetahui

pengaruh antar variabel yang ada. Penelitian

ini dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif melalui sebab akibat, metode

tersebut digunakan untuk menjelaskan

pengaruh variabel bebas terhadap variabel

terikat pada penelitian ini.

Pada gambar 1 dijelaskan model

pengaruh antara variabel eksogen (bebas)

Page 100: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

100

dengan variabel endogen (terikat) sehingga

dapat dipahami dengan mudah dan jelas.

Penelitian ini menggunakan paradigma ganda

dengan dua variabel independen dan satu

dependen.

Gambar 1. Paradigma ganda dengan

dua variabel independen X1 dan X2,

dan satu variabel dependen X3

Keterangan:

X1: Budaya Organisasi

X2: Komunikasi Interpersonal

X3: Sikap Kerja Guru

Berdasarkan Gambar 1 diatas, sikap

kerja guru (X3) merupakan variabel terikat.

Budaya organisasi (X1) dan komunikasi

interpersonal (X2) merupakan variabel bebas.

Konstelasi pengaruh tersebut mengambarkan

bahwa budaya organisasi dan komunikasi

interpersonal merupakan variabel bebas yang

memilki pengaruh terhadap sikap kerja guru.

Populasi dalam penelitian ini berasal

dari guru SMP Swasta di Kecamatan Tanjung

Priok yang berjumlah 307 guru. Adapun

jumlah subjek penelitian yang dijadikan

sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak

75 orang. Jumlah ini didapat dari rumus

penentuan jumlah sampel rumus Slovin, sesuai

dengan yang dinyatakan oleh Juliansyah Noor

(2011, 158) dengan kesalahan (presisi) 10%

atau tingkat kepercayaan mencapai 90%.

Adapun rumus tersebut sebagai berikut:

n =𝑁

1 + (𝑁𝑒2)

keterangan:

n = Number of Samples (jumlah sampel)

N = Total Populations (jumlah seluruh anggota

populasi)

E = error tolerance (toleransi terjadinya galat;

taraf signifikansi)

Jika yang kita teliti itu sebanyak 307 orang

guru, maka besarnya sampel menurut rumus

Slovin ini akan menjadi:

n =𝑁

1 + (𝑁𝑒2)

n =307

1 + (307(0,1)2)

n = 75,429 ≈ 75

Pengambilan sampel dilakukan dengan

cara acak sederhana (simpel random sampling)

dimana setiap anggota populasi diberi

kesempatan yang sama untuk menjadi sampel

penelitian.

Dalam pengumpulan data penelitian

digunakan kuisioner yang diberikan kepada

responden yaitu para guru SMP Swasta

Kecamatan Tanjung Priok. Setiap kuisioner

dikembangkan dalam kisi-kisi dari masing-

masing variabel penelitian. Untuk kepentingan

penelitian ini telah disusun tiga jenis

instrument yaitu instrument yang digunakan

untuk mengukur variabel budaya organisasi,

komunikasi interpersonal dan sikap kerja guru,

seperti yang ditunjukkan di Tabel 1, Tabel 2,

dan Tabel 3.

Tabel 1. Kisi-kisi Sikap Kerja No Indikator Nomor Butir Jumlah

1 Penilaian/respon

pekerjaan

1, 2, 3, 4, 5,

6, 7, 8

8

2 Keterlibatan kerja 9,10,11,12,

13,14

6

3 Respon terhadap

profesi

15,16,17,181

9,20,21,22

8

4 Kepercayaan diri 23,24,25,262

7

5

5 Meningkatkan

pengetahuan/keahli

an

28,29,30,313

2

5

6 Ketepatan waktu 33,34,35,36,

37

5

7 Kualitas pelayanan 38,39,40,41,

42,43,44, 45

8

X1

X3

X2

Page 101: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli

101

Tabel 2. Kisi-kisi Budaya Organisasi

No Indikator Nomor Butir Jumlah

1 Peraturan sekolah 1,2,3,4,5,6 6

2 Apresiasi guru 7,8,9,10,11,

12,13,14

8

3 Program pelatihan 15,16,17,18,

19,20,21,22

8

4 Gotong Royong 23,24,25,26,

27

5

5 Prosedur kerja 28,29,30,31,

32

5

6. Kesetiakawanan 33,34,35,36,

37

5

7 Komitmen organisasi 38,39,40,41,

42,43,44,45

8

Tabel 3. Kisi-kisi Komunikasi Interpersonal No Indikator Nomor Butir Jumlah

1 Saling mengenal 1, 2, 3, 4, 5,

6, 7

7

2 Bekerjasama 8, 9, 10, 11,

12

5

3 Persepsi 13, 14, 15,

16, 17, 18

6

4 Simpati 19, 20, 21,

22, 23

5

5 Komunikatif 24, 25, 26,

27,28, 29,

30, 31

8

6 Keterbukaan 32, 33, 34,

35, 36, 37,

38, 39

8

7 Dukungan 40, 41, 42,

43, 44, 45

6

Konsep yang mendasari penyusunan

instrumen bertolak dari indikator-indikator

variabel penelitian. Selanjutnya kisi-kisi

tersebut dijabarkan menjadi beberapa

pernyataan. Alternatif jawaban untuk setiap

pernyataan adalah sebagai berikut: (a) sangat

sering, (b) sering, (c) jarang, (d) pernah, (e)

tidak pernah.

Kategori pernyataan positif diberi nilai:

sangat sering = 5, sering = 4, jarang = 3, pernah

= 2, dan tidak pernah = 1, sedangkan

pernyataan negatif diberi nilai sebaliknya

yaitu: sangat sering = 1, sering = 2, jarang = 3,

pernah = 4, dan tidak pernah = 5.

Pengujian Validitas Instrumen

Uji validitas instrument penelitian

bertujuan untuk melihat gambaran tentang

kevalidan tiap butir instrument penelitian. Uji

validitas butir diperlukan untuk menegaskan

bahwa butir-butir instrumen penelitian yang

dipakai dalam pengambilan data adalah valid.

Secara empiris, hal ini dilakukan dengan

melihat koefisien korelasi (pearson product

moment) antara butir pertanyaan dengan skor

jawaban.

Validitas instrumen diuji dengan

rumus product moment sebagai berikut:

𝑟𝑥𝑦 =𝑛(∑ 𝑋𝑌)−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌)

√[𝑛(∑ 𝑋2)−(∑ 𝑋)2𝑛 (∑ 𝑌2)−(∑ 𝑌)2]

Keterangan:

𝑟12 : Koefisien korelasi product moment

X : Jumlah skor dalam sebaran X

Y : Jumlah skor dalam sebaran Y

XY : Jumlah skor X dan Y

X2 : Jumlah hasil yang dikuadratkan dalam

sebaran X

Y2 : Jumlah hasil yang dikuadratkan dalam

sebaran Y

n : Jumlah sampel (responden)

Kriteria validitasnya satu butir

instrument penelitian adalah jika nilai rhitung

rtabel. Besar harga rtabel ditentukan oleh taraf

signifikansi dan derajat kebebasan (dk). Taraf

signifikansi ditetapkan pada α = 0,05.

Sedangkan derajat kebebasannya adalah

jumlah sampel dikurangi 1(n – 1).

Perhitungan Reliabilitas Instrumen

Perhitungan reliabilitas adalah

perhitungan terhadap konsistensi data

kuisioner dengan menggunakan rumus Alpha

Cronbach. Penggunaan rumus ini disesuaikan

dengan teknik skoring yang dilakukan pada

saat item dalam instrument. Perhitungan

reliabilitas instrumen komunikasi

interpersonal sebanyak 45 butir pernyataan.

Page 102: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

102

Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis deskriptif dan

inferensial. Analisis deskriptif menyajikan

karakteristik data dari masing-masing variabel

dalam bentuk penyajian data, ukuran sentral,

dan ukuran penyebaran data. Penyajian data

ditampilkan dalam bentuk mean, median, dan

modus. Sedangkan untuk ukuran sebaran

disajikan dalam bentuk varians dan simpangan

baku.

Analisis inferensial menggunakan

analisis jalur (path analysis). Namun sebelum

menggunakan analisis jalur, terlebih dahulu

dilakukan uji persyaratan analisis, yaitu uji

normalitas, uji signifikansi, dan linearitas.

Sedangkan untuk menghitung koefisien jalur

dengan menggunakan koefisien korelasi dari

masing-masing hubungan kausal.

Variabel dalam penelitian kausal

terbagi dua, yaitu variabel endogenus dan

variabel eksogenus. Variabel endogenus

adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

eksogenus, yang dalam penelitian ini variabel

sikap kerja guru (X3). Sedangkan variabel

eksogenus dalam penelitian ini adalah variabel

budaya organisasi (X1). Selain berperan

sebagai variabel endogenus, variabel

komunikasi interpersonal (X2) juga sebagai

variabel eksogenus

Hipotesis statistik yang digunakan

dalam penlitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis pertama terdapat pengaruh

langsung positif budaya Organisasi (X1)

terhadap Sikap Kerja (X3).

2. Hipotesis pertama terdapat pengaruh

langsung positif Komunikasi

Interpersonal (X2) terhadap Sikap Kerja

(X3).

3. Hipotesis pertama terdapat pengaruh

langsung positif Budaya Organisasi (X1)

terhadap Komunikasi Interpersonal (X2).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Pengujian Persyaratan Analisis

Analisis statistik parametris digunakan

dengan asumsi bahwa data setiap variabel

penelitian yang dianalisis terdistribusi secara

normal. Pada bagian ini dilakukan proses

pengujian persyaratan analisis sebagai syarat

agar teknik regresi yang merupakan kelompok

statistik parametris dapat diterapkan untuk

keperluan uji hipotesis.

Analisis jalur (path analysis) dapat

dilakukan apabila estimasi antara variabel

eksogen terhadap variabel endogen bersifat

linear. Dengan demikian apabila syarat di atas

dipenuhi maka analisis regresi dan analisis

jalur dapat dilakukan. Syarat analisis jalur

adalah sampel penelitian berasal dari populasi

yang terdistribusi normal dan pengaruh antara

variabel-variabel dalam model harus

signifikan dan bersifat linear. Untuk itu

pengujian terhadap kedua syarat yang berlaku

dalam analisis jalur tersebut perlu dilakukan

sebelum proses pengujian model, yang

meliputi:

- Uji Normalitas

- Uji Signifikansi dan Linearitas Koefisien

Regresi

Uji Normalitas

Dari hasil perhitungan uji normalitas

diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Uji Normalitas Galat Taksiran Regresi

X3 atas X1

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

perhitungan Lhitung = 0,051 lebih kecil dari

Ltabel (n = 75; α = 0,05) sebesar 0,102. Karena

nilai Lhitung lebih kecil dari Ltabel maka sebaran

data sikap kerja atas budaya organisasi

cenderung membentuk kurva normal.

b. Uji Normalitas Galat Taksiran Regresi

X3 atas X2

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

perhitungan Lhitung = 0,063 lebih kecil dari

Ltabel (n = 75; α = 0,05) sebesar 0,102. Karena

Page 103: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli

103

nilai Lhitung lebih kecil dari Ltabel maka sebaran

data sikap kerja atas komunikasi interpersonal

cenderung membentuk kurva normal.

c. Uji Normalitas Galat Taksiran Regresi

X2 atas X1

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

perhitungan Lhitung = 0,061 lebih kecil dari

Ltabel (n = 75; α = 0,05) sebesar 0,102. Karena

nilai Lhitung lebih kecil dari Ltabel maka sebaran

data komunikasi interpersonal atas budaya

organisasi cenderung membentuk kurva

normal.

Dengan memperhatikan harga-harga

Lhitung dan Ltabel pada uji normalitas tersebut

dapat disimpulkan bahwa semua data baik

sikap kerja atas budaya organisasi, sikap kerja

atas komunikasi interpersonal, dan komunikasi

interpersonal atas budaya organisasi berasal

dari sampel yang berdistribusi normal.

Uji Signifikansi dan Linearitas Regresi

Uji hipotesis penelitian dilakukan

dengan mempertimbangkan hasil analisis

regresi dan analisis korelasi. Untuk

memprediksi model hubungan variabel satu

dengan variabel lain digunakan analisis

regresi. Sementara itu, untuk mengetahui

pengaruh antar variabel penelitian digunakan

analisis korelasi.

Keseluruhan hasil uji signifikansi dan

linearitas regresi dirangkum pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Signifikansi dan Uji Linearitas Regresi

Reg Persamaan

Uji Regresi Uji Linearitas Kesimpulan Fhitung Ftabel Fhitung Ftabel

α=0,01 α=0,05

X3 atas X1

3X̂ = 33,91 +0,56X1

45,94**

7,00

0,90ns

75 Regresi sangat

signifikan/

Regresi linear

X3 atas X2

3X̂ = 31,60 + 0,58X2

33,63**

6,99

1,21ns

75

Regresi sangat

signifikan/

Regresi linear

X2 atas X1

= 108,81 + 0,356X1

14,67**

6,99

1,03ns

75

Regresi sangat

signifikan/

Regresi linear

Keterangan:

** : Sangat signifikan

ns : Non signifikan (regresi linear)

Dengan melihat hasil uji signifikansi

dari masing-masing variabel didapatkan

bahwa model persamaan regresi yang

terbentuk antara sikap kerja guru dengan

budaya organisasi (X3 atas X1), sikap kerja

guru atas komunikasi interperonal (X3 atas

X2), dan komunikasi interpersonal atas budaya

organisasi (X2 atas X1) merupakan regresi

yang sangat signifikan karena hasil Fhitung >

Ftabel.

Sementara itu dengan melihat hasil uji

linearitas, didapatkan bahwa dalam model

persamaan regresi yang terbentuk antara sikap

kerja guru dengan budaya organisasi (X3 atas

X1), sikap kerja guru atas komunikasi

interperonal (X3 atas X2), dan komunikasi

interpersonal atas budaya organisasi (X2 atas

X1), terdapat sebaran titik yang terestimasi

membentuk garis linear dapat diterima.

Pengujian Hipotesis

Berdasarkan hasil analisis sebelumnya

kemudian dilakukan pengujian hipotesis

dengan menggunakan analisa jalur (path

analysis). Hasil analisa jalur pengaruh

langsung dari masing-masing variabel

ditunjukkan pada Tabel 5.layout tidak/belum

tepat

2X̂

Page 104: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

104

Tabel 5. Hasil analisa jalur pengaruh langsung masing-masing variabel

Pengaruh

Langsung Koefisien Jalur thitung

ttabel

α = 0,05 α = 0,01

X1 terhadap X3 0,470 5,150** 1,99 2,65

X2 terhadap X3 0,369 4,041** 1,99 2,65

X1 terhadap X2 0,409 3,865** 1,99 2,65

**Koefisien jalur sangat signifikan (5,150 > 2,65 pada α = 0,01)

Berdasarkan hasil analisa jalur, nilai

koefisien jalur pengaruh langsung budaya

organisasi (X1) terhadap sikap kerja guru (X3)

sama dengan 0,470 dengan nilai nilai thitung

sama dengan 5,150. Nilai ttabel untuk α = 0,01

sebesar 2,65. Karena nilai thitung lebih besar dari

pada nilai ttabel maka H0 ditolak dan H1

diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa

budaya organisasi berpengaruh secara

langsung terhadap sikap kerja dapat diterima.

Hasil analisis hipotesis pertama memberikan

temuan bahwa budaya organisasi berpengaruh

secara langsung terhadap sikap kerja. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa sikap kerja

dipengaruhi secara langsung oleh budaya

organisasi. Semakin baik budaya organisasi

mengakibatkan semakin baik sikap kerja.

Dari hasil perhitungan analisis jalur

menunjukkan ada pengaruh langsung

komunikasi interpersonal terhadap sikap kerja.

Nilai koefisien jalur sama dengan 0,369 dan

nilai thitung sama dengan 4,041. Nilai ttabel untuk

α = 0,01 sebesar 2,65. Karena nilai thitung lebih

besar dari pada nilai ttabel maka H0 ditolak dan

H1 diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa

komunikasi interpersonal berpengaruh secara

langsung terhadap sikap kerja dapat diterima.

Hasil analisis hipotesis kedua memberikan

temuan bahwa komunikasi interpersonal

berpengaruh secara langsung terhadap sikap

kerja. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa sikap kerja dipengaruhi secara langsung

oleh komunikasi interpersonal. Semakin baik

komunikasi interpersonal mengakibatkan

semakin baik sikap kerja.

Dari hasil perhitungan analisis jalur

menunjukkan ada pengaruh langsung budaya

organisasi terhadap komunikasi interpersonal.

Nilai koefisien jalur sama dengan 0,409 dan

nilai thitung sama dengan 3,865. Nilai ttabel untuk

α = 0,01 sebesar 2,65. Karena nilai thitung lebih

besar dari pada nilai ttabel maka H0 ditolak dan

H1 diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa

budaya organisasi berpengaruh secara

langsung terhadap komunikasi interpersonal

dapat diterima.

Hasil analisis hipotesis ketiga

memberikan temuan bahwa budaya organisasi

berpengaruh secara langsung terhadap

komunikasi interpersonal. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa komunikasi

interpersonal dipengaruhi secara langsung oleh

budaya organisasi. Semakin baik budaya

organisasi mengakibatkan semakin baik

komunikasi interpersonal.

Pembahasan

Hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa budaya organisasi berpengaruh secara

langsung terhadap sikap kerja di atas membe-

narkan pandangan Sugiarta dkk (2013) bahwa

budaya organisasi akan memberikan sebuah

nilai-nilai pada setiap guru pada saat bekerja,

budaya juga akan memberikan sikap guru pada

pekerjaan yang sedang dikerjakan dan

diselesaikan. Hasil di atas juga sejalan dengan

teori Ivancevich dkk (2006: 47) bahwa budaya

organisasi melibatkan harapan, nilai-nilai dan

sikap bersama, dan semua dapat

mempengaruhi individu, kelompok dan proses

organisasi dan bahwa semakin banyak

pegawai yang berbagi dan menerima nilai inti,

semakin kuat budaya, dan semakin besar

pengaruhnya terhadap sikap kemudian prilaku.

Jika memperhatikan temuan I Wayan

Karya dkk (2013) bahwa sikap kerja guru

dalam merespon menyelesaikan tugas dan

Page 105: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengaruh Budaya Organsasi dan Komunikasi Interpersonal Terhadap Sikap Kerja Guru … | Elfridauli

105

tanggung jawabnya serta lingkungan kerja

tersebut akan dapat berpengaruh terhadap

kinerja guru maka hasil penelitian di atas

memiliki kesejajaran dengan temuan Rahmat

(2015) yang menyatakan bahwa budaya

organisasi mempunyai hubungan yang

signifikan dengan kinerja aparatur pendidikan

non formal di wilayah penelitiannya.

Lebih lanjut temuan penelitian ini

bahwa komunikasi interpersonal berpengaruh

secara langsung terhadap sikap kerja

menggarisbawahi pendapat Tahjudin Nor (2013:

8) bahwa pimpinan harus benar-benar

memperhatikan kepuasan komunikasi

organisasi yang ada dalam organisasinya,

karena dengan perhatian yang intensif

terhadap motivasi kerja pada organisasinya

maka diharapkan karyawan akan lebih giat

bekerja untuk mewujudkan tujuan

organisasinya. Pun pendapat Wiyani (2015:

159) bahwa komunikasi adalah penggerak

organisasi, karena tujuan dari organisasi akan

sulit dicapai tanpa komunikasi serta pendapat

Sawaludin (2013: 82) bahwa komunikasi

interpersonal juga mempengaruhi dimensi

sosial dalam organisasi, membuat komunikasi

efektif dan guru semakin bekerja keras untuk

bertanggung jawab atas pekerjaannya.

(bandingkan dengan kajian Hidayat, 2017

tentang komunikasi interpersonal).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan terhadap guru SMP Swasta di

Kecamatan Tanjung Priok, diperoleh

kesimpulan penelitian bahwa budaya

organisasi berpengaruh langsung terhadap

sikap kerja, artinya peningkatan kualitas

budaya organisasi menyebabkan peningkatan

sikap kerja guru SMP Swasta di Kecamatan

Tanjung Priok.

Komunikasi interpersonal berpengaruh

langsung terhadap sikap kerja, artinya

peningkatan komunikasi interpersonal

menyebabkan peningkatan sikap kerja guru

SMP Swasta di Kecamatan Tanjung Priok.

Budaya organisasi berpengaruh

langsung terhadap komunikasi interpersonal,

artinya peningkatan budaya organisasi

menyebabkan peningkatan komunikasi

interpersonal guru SMP Swasta di Kecamatan

Tanjung Priok.

Saran

Terdapat beberapa saran yang peneliti

sampaikan sebagai masukan bagi pihak-pihak

terkait antara lain:

Bagi Yayasan SMP swasta di

kecamatan Tanjung Priok, diharapkan lebih

banyak fokus dalam meningkatkan program-

program pelatihan guru dalam mengajar,

seminar pendidikan untuk meningkatkan

kompetensi guru secara rutin dapat mendorong

terwujudnya sikap kerja guru yang maksimal

dan berdampak pada kualitas pelayanan

sekolah swasta pada dunia pendidikan. Serta

memberikan apresiasi kepada guru yang sudah

dapat maksimal meningkatkan sikap kerja

guru.

Bagi guru SMP swasta di kecamatan

Tanjung Priok, diharapkan guru swasta

terutama di kecamatan Tanjung Priok dalam

bersikap terhadap profesinya sebagai guru

dengan pandangan yang positif dan menilai

pekerjaan guru sangat istimewa. Dengan

memandang pekerjaan guru secara positif

maka guru akan memiliki kualitas sikap kerja

sesuai dengan tugas pokok guru, kemudian

budaya organisasi yang sudah ditetapkan

dijadikan sebagai otoritas bagi guru dalam

melaksanakan pekerjaannya.

Para peneliti lain agar menindaklanjuti

penelitian ini melalui penelitian-penelitian

serupa dengan mengembangkan variabel-

variabel bebas dan cakupan wilayah penelitian.

Hal ini disebabkan masih banyak faktor yang

mempengaruhi sikap kerja guru selain budaya

organisasi dan komunikasi interpersonal.

Page 106: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2018

106

DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, D. 2013. Prinsip-Prinsip Perilaku

Organisasi. Surabaya: Pena Semesta.

Hidayat, R. 2017. Peningkatan Aktivitas

Komunikasi Interpersonal Dalam

Organisasi Melalui Perbaikan Efikasi

Diri, Kepemimpinan Dan Kekohesifan

Tim. Kelola: Jurnal Manajemen

Pendidikan, 4(2), 161-170. -170

Ivancevich, J. M, dkk. 2006. Perilaku dan

Manajemen Organisasi. Jakarta:

Erlangga.

Karya, I.W., Suhandana, I.G.A, Yudayana, M.

2013. Kontribusi Kompetensi Guru,

Sikap Profesi Guru, dan Motivasi Kerja

terhadap Kinerja Guru SMA Negeri 1

Sukawati. e-Jurnal Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan

Ganesha, 4, 1-11.

Khoiri, M. 2017. Pengaruh Kualitas

Kehidupan Kerja Dan Sikap Kerja

Terhadap Kepuasan Kerja Guru Sma

Negeri Kecamatan Jekan Raya Kota

Palangka Raya Provinsi Kalimantan

Tengah. EDUKA Jurnal Pendidikan,

Hukum dan Bisnis, 1(5), 96-112.

Librawati, Y. Md., Sunu, IGK. 2013. Analisis

Pengaruh Sikap Profesional, Iklim

Kerja Sekolah dan Gaya

Kepemimpinan Kepala Sekolah

Terhadap Kinerja Guru SMP Negeri di

Kecamatan Sukawati. e-Jurnal

Program Pascasarjana Universitas

Pendidikan Ganesha, 4, 13-24

Noor, J. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta:

Prenada Media Group.

Norlena, I. 2015. Sekolah Sebagai Organisasi

Formal (Hubungan Antar Struktur).

Tarbiyah Islamiyah, 5(2), 43-55.

Nurrohim, H. dan Anatan, L. 2009. Efektivitas

Komunikasi Dalam Organisasi. Jurnal

Manajemen, 7(4), 1-9.

Rahmat, A. 2015. Hubungan Gaya

Kepemimpinan Dan Budaya

Organisasi Dengan Kinerja Aparatur

Pendidikan Nonformal Di Dinas

Pendidikan Kota Gorontalo. Kelola:

Jurnal Manajemen Pendidikan, 2(2),

173-184.

Sawaludin. 2013. Budaya Organisasi yang

Tepat dan Kemampuan Komunikasi

Interpersonal Meningkatkan Kinerja

Guru. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial,

3(1), 73-84.

Sudaryono. 2013. Budaya & Perilaku

Organisasi. Jakarta: LCI.

Sugiarta, M.P, Dantes, N, dan Natajaya, N,

2013. Determinasi Sikap Guru Terhdap

Profesinya, Konsep Diri, dan Iklim

Kerja Sekolah Terhadap Kinerja Guru

Sekolah Dasar di Gugus IV Sukasada,

Jurnal Pendidikan Dasar, 3, 1-9.

Sugiarta. 2012. Pengaruh sikap guru terhadap

pekerjaan dan pengalaman pendidikan

dan pelatihan terhadap kompetensi

profesional guru olahraga SMPN Se-

Kabupaten Jepara. Jurnal Manajemen

Pendidikan, 1(3), 1-10

Tahjudin Nor, F. 2013. Hubungan Kepuasan

Komunikasi Organisasi dengan

Motivasi Kerja Karyawan di PT.

Srikandi Plastik Sidoarjo. Jurnal E-

Komunikasi, 1(1), 1-10.

Undang – Undang RI No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wiyani, N. A. 2015. Etika Profesi Keguruan.

Yogyakarta: Gava Media.

Wuryantina, I. 2015. Budaya Organisasi

Sekolah dan Motivasi Berprestasi

dengan Kinerja Guru pada Sekolah

Dasar Negeri Gugus Adiarsa

Karawang Barat. Jurnal Pendidikan

Dasar, 6(2), 242-253.

Page 107: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 107-123

107

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta

Daniel Kurniawan

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Yari Dwikurnaningsih

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Suteng Sulasmono

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This study was designed to evaluate academic supervision program at PAUD Tunas Kasih,

Magelang, using Context, Input, Process, Product (CIPP) evaluation model. The results of

the study were expected to provide inputs to decision-makers for subsequent programs. The

respondents of this descriptive-qualitative research included the school principal, six

teachers, and a school managerial staff. Data collection was done through interviews,

observation and document studies. Triangulation of data sources and methods validated the

data, subsequently analysed through data condensation, data display, conclusion drawing and

verification. Findings indicated the context evaluation revealed a need for academic

supervision based on the condition and the need for teacher’s quality improvement. The input

evaluation described the well-planned program—using different techniques, involving the

teachers in their readiness, supported by available budget and infrastructure. The process

evaluation reported the implementation of the planned techniques, with some adjustments

based on the on-going condition, supported by the teachers’ readiness as well as participation

and how they handle the constraints. The product evaluation found out that the academic

supervision program had positive impacts and achieved the planned goals. It also discovered

teachers’ positive responses and some follow-up plans. Lastly, this study gave

recommendations to improve the local supervision programs, inputs to the school

management, and ideas for future researches.

Keywords: Academic Supervision, CIPP, Program Evaluation

Article Info

Received date: 10 Desember 2018 Revised date: 12 Desember 2018 Accepted date: 17 Desember 2018

PENDAHULUAN

Guru memiliki peran yang penting

dalam menentukan kualitas dan keberhasilan

pendidikan sebuah sekolah (Arikunto, 2012;

Arikunto & Yuliana, 2012; Kartono, 2009;

Mette, Range, Anderson, Hvidston, &

Nieuwenhuizen, 2015, Stronge, Richard, &

Catano, 2013; Sarfo & Cudjoe, 2016). Selain

itu, penelitian menemukan bahwa guru yang

mengajar dengan efektif berdampak pada

pencapaian siswa (Aaronson, Barrow, &

Sander, 2007; Garrett & Steinberg, 2015; Mette

et al., 2015; Rockoff, 2004). Oleh karena itu,

diperlukan upaya untuk menjamin kualitas guru

Page 108: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

108

tersebut, dan supervisi pendidikan

menyediakan fungsi penjaminan mutu

pembelajaran, termasuk mutu guru.

Supervisi pendidikan berupaya

menjamin dan mengembangkan kualitas dan

kinerja guru. Brown (2002) setuju bahwa

supervisi pendidikan bertujuan

mengembangkan dan meningkatkan kualitas

pendidikan yang nantinya juga akan

berkontribusi pada pencapaian siswa yang lebih

baik. Supervisi merupakan proses sepanjang

guru masih berkarir di dunia pendidikan

(Arikunto & Yuliana, 2012) dan berperan

penting untuk meningkatkan proses

pembelajaran dengan usaha membina sekolah,

termasuk para guru (Pidarta, 2009; Suhardan,

2010). Istilah supervisi sendiri tidak perlu

dipusingkan ketika istilah ini sering digantikan

atau disamakan dengan ‘pengawasan’,

‘penilikan’, ‘pemeriksaan’, dan ‘inspeksi’

(Mulyasa, 2012; Arikunto & Yuliana, 2012).

Namun demikian, Arikunto & Yuliana

mengingatkan bahwa istilah-istilah selain

supervisi tersebut lebih menekankan pada

pemeriksaan yang berfokus pada kekurangan

dan kesalahan. Perlu digarisbawahi juga bahwa

supervisi dilaksanakan bukan semata-mata

sebagai pemenuhan tugas manajerial pimpinan

sekolah, supervisor atau administrator, namun

lebih bertujuan mengembangkan mutu para

guru serta kualitas dan produktivitas sekolah

(Mette et al., 2015; Minarti, 2011; Stronge et al.

2013).

Dilihat dari obyek supervisi, terdapat

tiga jenis supervisi pendidikan, yaitu (1)

supervisi akademik, yang berkaitan langsung

dengan kegiatan belajar-mengajar dan

berfungsi untuk memperbaiki dan

meningkatkan kualitas pengajaran, (2)

supervisi administrasi—dilakukan terhadap

administrasi yang mendukung kegiatan KBM,

dan (3) supervisi kelembagaan atau institusi,

dengan lingkup sekolah secara lembaga yang

lebih luas, termasuk kurikulum, personel atau

ketenagakerjaan, ketatausahaan atau

administrasi sekolah, sarana prasarana, humas

sekolah, dan kerja sama lainnya untuk

pengembangan sekolah.

Sebagai bagian dari supervisi

pendidikan, supervisi akademik mengusahakan

adanya pengembangan diri dan perbaikan

kualitas guru yang akhirnya bertujuan untuk

meningkatkan mutu pendidikan (Egwu, 2015;

Mukhtar & Iskandar, 2009; Sarfo & Cudjoe,

2016; Suhardan, 2010). Supervisi tidak

bertujuan untuk sekedar mengevaluasi dan

mencari kekurangan atau kesalahan para guru,

namun lebih kepada membimbing mereka dan

mengembangkan proses mengajar yang

menjadi tugasnya (Memduhoglu, 2012,

Suhardan, 2010, Tatang, 2016). Ada beberapa

teknik supervisi akademik, baik yang bersifat

individu—seperti kunjungan kelas, observasi

kelas, percakapan atau pertemuan individual,

self-evaluation, supervisi klinis—maupun

kelompok, termasuk pertemuan orientasi, rapat

guru, studi atau diskusi kelompok antar guru,

lokakarya atau seminar, kunjungan antar

sekolah atau studi banding, bulletin supervisi

dan learning resource centre (Mulyasa, 2012;

Umiarso dan Gojali, 2010; Priansa & Setiana,

2018; Imron, 2011; Pidarta, 2009).

Supervisi pendidikan, dan supervisi

akademik, dilaksanakan di semua jenjang

pendidikan di Indonesia, termasuk di tingkat

pendidikan anak usia dini. Minat dan sorotan

terhadap pentingnya Pendidikan Anak Usia

Dini (PAUD) sendiri makin meningkat di

Indonesia. Makin tinggi partisipasi masyarakat

Indonesia dalam pendidikan anak usia dini,

meskipun ada perbedaan tingkat partisipasi

orang tua dari latar belakang ekonomi yang

berbeda (Alatas, 2013). PAUD di Indonesia

mencoba menghadapi tantangan terhadap

perkembangan anak dalam domain bahasa,

keterampilan kognisi, kematangan emosi,

komunikasi juga pengetahuan umum.

Suryadarma & Jones (2013) mengemukakan

dua alasan untuk fenomena tersebut. Pertama,

adanya kesadaran bahwa kesuksesan terhadap

Page 109: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.

109

proses pendidikan di kemudian hari berakar

dari layanan PAUD. Selain itu, PAUD

menolong upaya penyamarataan titik mulai

bagi pendidikan dasar siswa-siswi, terkhusus

untuk anak-anak dari latar belakang yang

rendah.

Oleh karena itu, penjaminan terhadap

layanan mutu pendidikan anak usia dini juga

perlu diupayakan. Permendikbud No. 137,

Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD

menuliskan di Pasal 17 bahwa pengawasan

pembelajaran juga perlu dilakukan untuk

memberikan ‘penilaian dan/atau pengarahan

dalam perencanaan dan pelaksanaan

pembelajaran’. Teknik pengawasan

pembelajaran yang digunakan adalah supervisi,

dan salah satu tugas manajerial kepala lembaga

PAUD adalah pelaksanaan supervisi.

Berada di bawah naungan Yayasan

Perguruan Kristen Indonesia (YPKI)

Magelang, PAUD Tunas Kasih merupakan

salah satu lembaga swasta penyelenggara

pendidikan anak usia dini di Kota Magelang.

Secara struktur organisasi, PAUD Tunas Kasih

berada di bawah Manajemen Operasional YPKI

Magelang, yang memiliki fungsi pengelolaan

terhadap kegiatan operasional harian sekolah-

sekolah di bawah YPKI Magelang. PAUD

Tunas Kasih memiliki beberapa program, yaitu

kelompok bermain (untuk anak usia 2-3 tahun)

dan taman kanak-kanak (untuk usia 4-5 tahun).

Mulai tahun 2017, layanan penitipan anak

dibuka dengan nama Full-Day School (FDS)

Tunas Kasih, Magelang, yang menerima anak

mulai usia satu sampai dengan lima tahun.

Kegiatan pengawasan, baik secara luas

terhadap layanan pendidikan maupun spesifik

yang dilakukan terhadap para pegawai,

termasuk guru, direncanakan dan dilaksanakan

dengan rutin di PAUD Tunas Kasih. Secara

khusus, kepala sekolah memiliki tanggung

jawab untuk mengelola dan melaksanakan

program supervisi akademik. Wawancara dan

observasi prastudi menemukan bahwa beberapa

teknik supervisi akademik sebenarnya telah

dilaksanakan, termasuk observasi kelas,

konferensi, seminar dan lokakarya, studi

banding, dan kelompok kerja guru. Selain itu

terdapat laporan yang menunjukkan tingkat

kepercayaan kepada kualitas para guru di

PAUD Tunas Kasih, salah satunya dengan

adanya studi banding dari instansi ataupun

kepala sekolah lain yang datang untuk belajar

di PAUD Tunas Kasih. Ini mendorong perlu

diadakannya evaluasi terhadap program

supervisi akademik, dengan kenyataan bahwa

sejak awal dituntut diadakannya supervisi

akademik oleh Pengurus YPKI Magelang di

sekolah-sekolah yang dinaunginya, termasuk

PAUD Tunas Kasih, program supervisi

akademik belum pernah dievaluasi.

Untuk mengetahui ketercapaian dan

keberhasilan suatu program diperlukan adanya

evaluasi—yang menurut Arikunto dan Jabar

(2010), Munthe (2015) dan McMillan (2008)

merupakan proses pencarian dan pengumpulan

informasi secara sistematis, mengenai kinerja

sesuatu dengan membandingkan kriteria serta

tujuan yang telah ditetapkan. Fitzpatrick,

Sanders, dan Worthen (2012) menekankan

bahwa tujuan utama evaluasi adalah meninjau

nilai atau kepantasan/kelayakan obyek yang

dievaluasi—berupa kebijakan, program atau

produk, yang berakibat hasil evaluasi tersebut

bersifat spesifik pada obyek dan lokasinya,

seperti digarisbawahi McMillan (2008).

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi

program supervisi akademik di PAUD Tunas

Kasih, Magelang, berdasarkan aspek context,

input, process dan product. Model evaluasi

Context, Input, Process and Product (CIPP)

digunakan dalam penelitian ini. Model evaluasi

CIPP dipilih karena berorientasi pada

keputusan (decision-oriented) (Fitzpatrick,

Sanders, & Worthen, 2012), sehingga hasil

penelitian evaluatif ini diharapkan dapat

memberikan rekomendasi kepada pemimpin

atau pengelola PAUD Tunas Kasih, Magelang.

Pada sisi lain, evaluasi model CIPP memiliki

keunggulan yaitu memiliki pendekatan yang

Page 110: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

110

bersifat holistik dalam proses evaluasinya dan

lebih komprehensif dibandingkan dengan

model evaluasi lainnya (Dwikurnaningsih,

2017). Terhadap kebijakan berhubungan

dengan supervisi akademik di lembaga

pendidikan tersebut, hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai pertimbangan masukan

apakah program tersebut dilanjutkan,

dilanjutkan dengan perubahan, atau tidak

dilanjutkan (Sukardi, 2008).

METODE PENELITIAN

Penelitian evaluatif ini menggunakan

pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif.

Program supervisi akademik yang dilaksanakan

tahun pelajaran 2017/2018 menjadi obyek

evaluasi. Data dikumpulkan dengan melibatkan

kepala sekolah sebagai supervisor, para guru

(termasuk guru senior dan yunior, terdiri dari

empat guru di jenjang Taman Kanak-Kanak dan

dua guru dari Kelompok Bermain), serta satu

staff manajemen sekolah YPKI Magelang.

Lembaga PAUD tersebut dipilih karena alasan

fisibilitas penelitian; peneliti pernah bekerja

sebagai staf manajerial di kantor Manajemen

Operasional YPKI Magelang yang mengelola

TK Tunas Kasih, Magelang.

Pengumpulan data dilakukan melalui

interview, observasi, dan studi dokumen,

mengingat bahwa penelitian ini bersifat

evaluatif dan kualitatif (Wiersma dan Jurs,

2009). Wawancara sistematik yang mendalam

melibatkan kepala sekolah, enam orang guru

dan satu orang staff manajemen sekolah dan

bersifat semi terstruktur. Fleksibilitas bertanya-

menjawab dimungkinkan, namun tetap dalam

kontrol dengan pedoman wawancara yang telah

dipersiapkan. Dialog direkam dengan aplikasi

perekam suara dalam ponsel peneliti. Observasi

langsung dilaksanakan, di mana peneliti

mengambil peran non-participant observer.

Observasi dilakukan antara lain di dalam ruang

kelas, ketika kegiatan observasi kelas

dilaksanakan, juga dalam rapat guru dan

seminar. Baik descriptive maupun reflective

fieldnotes disusun untuk mencatat temuan di

lapangan atau dalam kegiatan yang diamati.

Studi dokumen dilakukan terhadap dokumen-

dokumen penunjang, meliputi dokumen

kurikulum sekolah, program supervisi, catatan

dan bukti-bukti perencanaan dan pelaksanaan

kegiatan/ teknik supervisi, laporan hasil dan

dokumentasi kegiatan, laporan rencana tindak

lanjut dan notula/catatan rapat dan kegiatan

sekolah.

Mempertimbangkan faktor batasan

waktu dan jumlah informasi dan data yang

perlu dikumpulkan, penelitian ini dibatasi pada

beberapa aspek/komponen evaluasi yang fisibel

dan mewakili untuk mengusahakan evalusi

CIPP yang komprehensif. Berdasarkan tahap

evaluasi CIPP, beberapa aspek/komponen

supervisi akademik yang berbeda, sumber data,

teknik dan instrumen pengumpulan data,

dirincikan dalam tabel berikut.

Triangulasi sumber dan triangulasi

teknik pengumpulan data dilakukan untuk

menjamin keabsahan data serta kedalaman dan

kejelasan pemahaman evaluasi. Data kualitatif

yang telah dikumpulkan dianalisa sebelum

disajikan dan dibahas. Analisa data bersifat

deskriptif dan dilakukan berdasar kelompok

tahap evaluasi CIPP. Terdapat tiga tahap

analisa data yang saling terhubung (Miles,

Huberman, & Saldana, 2014) dalam penelitian

ini: (1) kondensasi data, (2) penyajian data, dan

(3) pengambilan dan verifikasi kesimpulan.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Evaluasi Konteks

Terdapat kerancuan atau

kesalahpahaman dari kepala sekolah maupun

para guru PAUD Tunas Kasih, Magelang

terhadap konsep dan definisi supervisi

akademik. Pemahaman supervisi akademik

mereka terbatas pada observasi kelas yang

dianggap sebagai satu-satunya teknik supervisi

akademik. Observasi yang diadakan juga

Page 111: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.

111

dipahami sebagai tuntutan kelengkapan

penilaian dan evaluasi pegawai. Akibatnya,

supervisi akademik dicirikan dengan

pengamatan, evaluasi atau penilaian yang

dilakukan oleh kepala sekolah dengan fokus

pada mengamati kekurangan dan kesalahan

guru dalam melaksanakan tugasnya.

Namun demikian, kepala sekolah

maupun para guru berpendapat bahwa penilaian

atau pengamatan tersebut bertujuan untuk

perbaikan atau peningkatan kinerja dan kualitas

guru—baik secara individual maupun kolektif

(saling mengingatkan dan berbagi)—juga

perbaikan kualitas sekolah. Beberapa opini

mengenai tujuan dari supervisi akademik yang

dipikirkan mereka, antara lain berhubungan

dengan

1. wawasan dan pengetahuan pedagogis,

2. keterampilan mengajar, meliputi variasi

metode mengajar pengelolaan kelas,

strategi penanganan dan pendampingan

anak yang efektif, dan penanaman nilai-

nilai kristiani dalam pembelajaran

3. penyusunan administrasi penunjang

pembelajaran,

4. penyamaan persepsi antara kepala sekolah

dengan guru dan memberi-kan fungsi

controlling terhadap penerapan atau

pelaksanaan kesepakatan maupun

prosedur.

Mengenai dasar hukum atau aturan,

kepala sekolah menyebutkan adanya pedoman

dari dinas pendidikan dan menyadari tugas

supervisi yang dimilikinya, namun belum

mempelajari pedoman supervisi akademik

dengan lebih rinci. Secara interen, manajemen

sekolah menuntut diadakannya kegiatan-

kegiatan pengembangan kualitas guru, melalui

observasi kelas, penilaian diri, pembinaan atau

pelatihan bagi para kepala sekolah maupun

guru, dan rapat-rapat interen. Namun itu tidak

tertulis secara jelas dalam buku peraturan

kepegawaian atau pedoman interen manapun,

meski disampaikan dalam wawancara dengan

staff manajemen.

Beberapa kebutuhan dan kondisi di

PAUD Tunas Kasih mendorong perlu

diadakannya supervisi akademik, yaitu

1. peningkatan kualitas pembelajaran

2. upgrade kualitas para guru, untuk

mengupayakan inovasi pembelajaran dan

menghadapi perkembangan yang ada

3. perubahan karakteristik dan heterogenitas

siswa setiap tahunnya

4. ketidakkonsistenan dalam melak-sanakan

prosedur atau kesepakatan bersama,

terutama hal-hal yang berhubungan dengan

kegiatan belajar-mengajar, seperti

pemakaian bahasa dan aturan main dalam

kelas; dan

5. masih terdapat guru berlatar belakang non-

PAUD yang perlu diperlengkapi secara

lebih

Evaluasi Input

Perencanaan program supervisi

akademik di mulai dengan merencanakan dan

merancang program kerja sekolah. Kepala

sekolah menginisiasi dan menjelaskan rencana

yang telah disusun, kemudian mengundang

guru untuk memberikan masukan, berupa

usulan, ide kebutuhan, atau penjadwalan

pelaksanaan kegiatan. Dalam pelaksanaan

teknik observasi kelas, kepala sekolah

menawarkan rencana jadwal observasi yang

perlu dilengkapi guru.

Sebagian besar teknik dituliskan dalam

program kerja, namun ada yang tidak tertulis

perencanaannya, meskipun diungkap dalam

wawancara. Teknik-teknik yang direncanakan

dan dituliskan dalam buku program kerja,

antara lain:

1. observasi kelas, direncanakan empat kali

dalam satu tahun (dua kali setiap semester)

untuk masing-masing guru;

2. pelatihan, workshop atau seminar; terdapat

dua jenis (1) interen untuk lokal PAUD

Tunas Kasih, berhubungan dengan metode

BCCT dan penysusunan program

pembelajaran; (2) interen untuk lingkup

YPKI, yaitu partisipasi pembinaan

Page 112: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

112

pegawai, dan (3) mengikuti kegiatan dari

penyelenggara luar dengan waktu yang

menyesuaikan;

3. pertemuan keompok guru, termasuk

Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok

Kepala Sekolah (KKS), dan Ikatan Guru

TK Indonesia (GKTI);

4. kompetisi guru interen; direnca-nakan

dengan fleksibilitas waktu, menyesuaikan

ketersediaan waktu; dan

5. studi banding; direncanakan sekali.

Teknik yang direncanakan namun tidak

dituliskan dalam buku program kerja meliputi

(1) intervisitasi (dan team-teaching), (2)

konferensi, (3) learning resource center, dan (4)

rapat-rapat.

SDM yang terlibat dalam kegiatan-

kegiatan yang direncanakan tersebut meliputi

kepala sekolah maupun para guru. Para guru

melaporkan kesiapan mereka, dengan

dukungan kerja sama tim, support dari rekan

kerja, dan keterbukaan dalam komunikasi.

Sementara itu, sebagai supervisor kepala

sekolah pernah mengikuti pelatihan dalam hal

supervisi pembelajaran yang diadakan interen,

namun tidak berkala. Kepala sekolah juga

mengikuti kegiatan kelompok guru dan kepala

sekolah, serta pernah ikut pelatihan atau

seminar dari dinas, namun tidak secara spesifik

membahas supervisi pembelajaran. SDM lain

yang terlibat adalah pemateri untuk teknik

seminar atau pelatihan.

Budget yang direncanakan untuk

program supervisi akademik sebagian besar

berasal dari sumber dana sekolah (SPP), dan

dana bantuan operasional dari dinas. Seorang

guru berpendapat perlu inisiatif proaktif juga

untuk rencana penggunaan pendanaan pribadi,

untuk mendukung pengembangan diri lewat

seminar atau pelatihan maupun persiapan

dalam terlibat dalam observasi kelas (dengan

mempersiapkan alat peraga dan alat bantu

edukasi lainnya).

Sarana-prasarana yang direncanakan

untuk program supervisi akademik meliputi

LCD proyektor, media pembelajaran atau alat

permainan edukatif, dan perlengkapan-

perlengkapan lain dalam kelas atau di sekolah.

Sarana-prasarana yang ada sudah dinilai cukup,

meski ada catatan untuk keterbatasan akses

internet dan ketersediaan komputer.

Evaluasi Proses

Berdasarkan rencana yang telah disusun

sebelumnya, teknik atau kegiatan dalam

program supervisi akademik di PAUD Tunas

Kasih, Magelang dalam tahun pelajaran

2017/2018 yang dapat dilaksanakan yaitu,

1. Observasi kelas. Dilaksanakan sesuai

rencana, empat kali dalam setahun, namun

terjadwal (announced), dan anda masukan

dari guru agar observasi tanpa

pemberitahuan (unnanouced) juga

dilaksanakan untuk memberikan gambaran

yang riil. Panduan observasi dari

manajemen sekolah juga mendapat catatan

perlunya tinjauan ulang.

2. Pelatihan, workshop, dan seminar. Teknik

ini dilakukan secara interen, baik untuk

lokal PAUD Tunas Kasih dan dalam

lingkup YPKI Magelang, ataupun

mengikuti penyelenggara dari luar (dinas

pendidikan dan instansi lain). Pelatihan

interen lokal diadakan sekali, sementara

pembinaan dari manajemen sekolah

diadakan empat kali. Untuk kegiatan luar,

terdapat sembilan kegiatan yang diikuti,

termasuk empat lomba/kompetisi guru, dan

para guru berkewajiban menyusun laporan

tertulis dan men-sharing-kan dengan rekan

lain.

3. Pertemuan Kelompok Guru. Forum yang

diikuti antara lain KKG, KKS dan IGTKI,

dengan jadwal kegiatan menyesuaikan

undangan. Selain menjadi peserta ada

beberapa kesempatan guru membagikan

pengalaman/ best practice dalam

pertemuan tersebut.

4. Intervisitasi. Sekalgius menyertakan

teknik team-teaching, di mana terdapat dua

guru dalam satu kelas, sesuai kondisi

Page 113: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.

113

metode pembelajaran yang dipakai,

sehingga para guru dapat saling

mengamati.

5. Konferensi. Konferensi umumnya

dilakukan sebelum dan setelah observasi,

namun juga dilaksanakan untuk membahas

tugas atau tanggung jawab spesifik yang

diampu guru, seperti anak usia tertentu,

tanggung jawab program dan tugas

kepanitiaan.

6. Learning Resource Centre. Teknik ini

berupa penyediaan buku referensi

penunjang untuk guru serta akses internet

untuk mencari materi/ informasi

pembelajaran.

7. Rapat. Karena kendala waktu, rapat tidak

rutin dilaksanakan. Rapat diadakan

berdasarkan urgensi atau prioritas

kebutuhan dan topik yang akan dibahas.

Sebagai ganti rapat, briefing pagi diadakan,

berisi doa, pembacaan artikel rohani, dan

pembahasan singkat topik tertentu. Ini

masih dirasa bersifat informatif dan

terburu-buru, sehingga kurang efektif

untuk diskusi yang lebih mendalam.

Diskusi siang dalam waktu istirahat, terjadi

dan para guru serta kepala skeolah berbagi

informasi dan ide serta berkoodinasi. Guru

dapat membahas permasalahan yang baru

dihadapi di dalam kelas, dibandingkan

dengan menunggu jadwal rapat yang lebih

formal.

Teknik yang direncanakan namun tidak

terlaksana adalah kompetisi guru interen dan

studi banding. Ketidakterlaksanaan ini karena

faktor kepadatan kegiatan.

Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan

tersebut, kendala yang dihadapi berhubungan

dengan jadwal waktu kegiatan yang padat.

Prioritas perlu ditetapkan dan penyesuaian

(penjadwalan ulang) kegiatan lain juga

dilakukan. Perbedaan standar yang dimiliki

dalam memberikan penilaian atau evaluasi

terhadap observasi disebutkan oleh kepala

sekolah sebagai kendala yang dihadapi dalam

teknik observasi. Kendala lain adalah

persetujuan dari manajemen sekolah, yang

dapat mengakibatkan proposal kegiatan dan

partisipasi yang diusulkan menjadi ditunda atau

malah dibatalkan. Kendala lain datang dari

faktor pribadi guru, seperti rasa malas, Lelah,

dan tidak fokus, serta kurangnya inisiatif

pribadi.

Sarana prasarana yang tersedia

diupayakan untuk dimanfaatkan dengan

maksimal dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

Keterbatasan seperti yang telah disebutkan

dalam evaluasi input ditangani dengan inisiatif

para guru menggunakan peralatan pribadi.

Guru terlibat dan berperan baik sebagai

utusan atau peserta (rapat, observasi, seminar)

maupun pemateri (dalam pertemuan guru).

Keaktifan dan partisipasi guru juga nampak

dalam diskusi maupun sharing wawasan

dengan rekan dalam briefing. Di sisi lain,

kepala sekolah sudah menjalankan peran

supervisor dengan cukup baik, dalam

mengawal pelaksanaan program, mendorong

upaya perubahan, kemajuan, dan perbaikan,

menegur dan memberi masukan, memberi

kebebasan untuk mengungkapkan ide dan

masukan, serta mendelegasikan tugas. Catatan

untuk kepala sekolah diberikan berhubungan

dengan masukan yang cenderung masih

informatif dan administratif, serta ekspektasi

yang kurang jelas ditangkap guru.

Kegiatan yang dilaksanakan

didokumentasikan dengan cukup baik. Para

guru memiliki catatan pribadi mereka,

demikian pula kepala sekolah. Foto-foto

menjadi koleksi pribadi, dan oleh karenanya

perlu dikumpulkan untuk menunjang koleksi

foto sekolah. Hasil partisipasi seminar dan

kegiatan sejenis disusun oleh guru yang terlibat

dan dibagikan kepada rekan-rekan. Kepala

sekolah menyusun laporan hasil observasi guru

dan menyerahkannya kepada manajemen

sekolah.

Page 114: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

114

Evaluasi Produk

Dalam wawancara, kepala sekolah dan

guru berpendapat bahwa program supervisi

akademik efektif dan berdampak. Hasil dan

manfaat yang disebutkan para guru antara lain

(1) adanya masukan untuk perbaikan, (2)

peningkatan kemampuan, wawasan, dan

keterampilan mengajar, (3) kontrol dan

pengawasan serta penertiban administrasi, (4)

adanya koordinasi dalam kerja, (5) teguran

yang diberikan ketika salah, (6) terjalinnya

jejaring dengan komunitas lain (lewat seminar),

(7) peningkatan terhadap kepercayaan, citra

dan promosi komunitas sekolah (akibatnya

PAUD Tunas Kasih dipercaya menjadi target

studi banding instansi maupun individu lain),

dan (8) dampak jangka panjang terhadap

peningkatan karir dan reputasi guru PAUD

Tunas Kasih.

Respon positif juga disampaikan oleh

para guru maupun kepala sekolah. Hal ini

dipahami karena pemahaman mereka terhadap

tujuan supervisi dan dampak yang dirasakan.

Respon positif yang diungkapkan juga

berhubungan dengan (1) kenyamanan untuk

terlibat atau berpartisipasi dan (2) memiliki

kesempatan dan kebebasan untuk

menyampaikan pendapat dan ide (baik melalui

konferensi maupun rapat). Respon sebaliknya

yang disampaikan berhubungan dengan (1)

keraguan untuk berinisiatif dan berpartisipasi—

karena merasa masih yunior, (2) kekhawatiran

dalam partisipasi seminar, terkhusus jika

dilaksanakan di luar kota atau memakan waktu

lama, dan (3) ketidakpuasan karena

belum/tidak dapat menerapkan hasil pelatihan

atau seminar yang diterima. Namun demikian,

respon negatif yang terungkap tidak

mengganggu pelaksanaan kegiatan yang ada.

Terhadap program secara menyeluruh

maupun masing-masing kegiatan, evaluasi

dilakukan. Menurut kepala sekolah, evaluasi

dilakukan setelah satuan kegiatan berlangsung

atau secara sumatif terhadap keseluruhan

program kerja di akhir tahun. Sebagai

supervisor, kepala sekolah memmberikan

evaluasi kegiatan maupun evaluasi terhadap

kinerja guru, yang kemudian juga menjadi

bahan tindak lanjut. Sementara para guru

memberikan masukan untuk kegiatan

berhubungan dengan hal-hal teknis seperti

pemilihan pemateri seminar dan topik seminar

selanjutnya. Beberapa harapan diungkapkan

para guru, seperti (1) kelanjutan supervisi

akademik, (2) pembimbingan terhadap guru

yang berhubungan dengan pembelajaran dalam

kelas, (3) keterlibatan dan kepercayaan yang

lebih, secara spesifik dalam memimpin atau

menjadi pemateri sosialisasi pertemuan orang

tua, (4) pelibatan pihak observer selain kepala

sekolah—seperti manajemen sekolah atau guru

senior—untuk memacu semangat, dan (5)

pemenuhan kelengkapan dan ketersediaan

sarana prasarana yang masih terbatas.

Program supervisi, yang telah

dilaksanakan dan dievaluasi, mendorong

adanya tindak lanjut, baik yang direncanakan

untuk kemudian hari maupun yang dapat

diterapkan segera. Tindak lanjut yang

direncanakan antara lain (1) studi banding

untuk memperbaharui wawasan, (2) seminar

membahas topik-topik dalam peningkatan

kapasitas guru, misal penanganan anak

bermasalah, dan (3) penyusunan pedoman yang

lebih jelas, terutama dalam melaksanakan

observasi kelas.

Pembahasan

Evaluasi Konteks

Supervisi akademik bertujuan untuk

menjamin dan mengembangkan kualitas guru

yang berhubungan langsung dengan kegiatan

belajar-mengajar (Umiarso & Gojali, 2010;

Mulyasa, 2012:249). Hal serupa telah

diungkapkan oleh kepala sekolah maupun guru

yang telah memahami bahwa tujuan akhir

daripada supervisi akademik adalah

peningkatan mutu guru.

Namun demikian, pemahaman awal

mengenai makna supervisi akademik masih

rancu di PAUD Tunas Kasih, baik dari kepala

Page 115: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.

115

sekolah maupun guru. Kesalahpahaman konsep

supervisi akademik juga dilaporkan oleh

Merukh & Sulasmono (2016) dan Widodo

(2014a), yang menemukan keterbatasan

pemahaman dari kepala sekolah maupun

pengawas yang mempengaruhi perencanaan

dan pelaksanaan supervisi yang kurang efektif.

Zepeda (2006) mengingatkan agar kepala

sekolah memandang supervisi lebih luas dari

sebatas evaluasi. Saputra (2011) juga

mengeluhkan kesalahpahaman supervisi dan

praktik pengawasan yang salah, yang lebih

menekankan sisi administratif alih-alih

pengembangan kualitas guru yang lebih luas.

Wanzare (2012) mengingatkan bahwa

pemahaman yang baik dari supervisi akademik

menjamin keberhasilan supervisi tersebut dan

relasi antar supervisor dan supervisee juga akan

lebih efektif terjalin. Oleh karena itu,

diperlukan adanya sosialisasi mengenai

supervisi yang lebih lengkap di awal, untuk

menjelaskan program supervisi akademik yang

lebih komprehensif dan membangun kerja sama

yang baik antara supervisor dan para guru,

seperti diingatkan oleh Lukum (2013) dan

Ngatini & Ismanto (2015).

Dasar hukum dan aturan yang

melandasi dilaksanakannya supervisi akademik

di PAUD Tunas Kasih adalah pedoman dari

dinas pendidikan, seperti temuan Riyanto

(2016) di lokasi penelitiannya, dan juga

tuntutan dari manajemen sekolah YPKI

Magelang. Namun demikian, pedoman dari

manajemen sekolah masih belum lengkap,

serupa dengan temuan Merukh dan Sulasmono

(2016), sehingga penyusunan pedoman yang

merinci kebutuhan dan tuntutan dalam

pengembangan dan pelaksanaan supervisi

akademik dibutuhkan.

Identifikasi kebutuhan diingatkan oleh

Umiarso dan Gojali (2010) serta Sagala (2010),

menjadi dasar untuk pemilihan dan

perancangan teknik supervisi akademik yang

tepat. Kepala sekolah maupun guru PAUD

Tunas Kasih sudah menyebutkan beberapa

kebutuhan dan kondisi di lapangan dan

menjadikan kebutuhan tersebut sebagai dasar

rancangan dan pelaksanaan supervisi

akademik—berbeda dengan temuan Merukh &

Sulasmono (2016) yang mendapati kesalahan di

mana supervisi akademik yang belum

menjawab kebutuhan. Kebutuhan yang lebih

spesifik atas masing-masing guru juga

diingatkan Zepeda (2006) agar dilakukan, dan

telah dilakukan di PAUD Tunas Kasih, seperti

supervisi atas guru berlatarbelakang non-

PAUD. Perlu diingat bahwa kondisi dan

kebutuhan perlu ditinjau secara berkala untuk

menjadi bahan perencanaan program.

Evaluasi Input

Dalam perencanaan dan perancangan

program supervisi akademik, di awal tahun

pembelajaran, kepala sekolah melibatkan guru

untuk menyusun rencana program kerja sekolah

secara luas, termasuk program supervisi

akademik. Partisipasi guru tersebut merupakan

hal yang perlu dilakukan seperti disampaikan

Zepeda (2006), meskipun bentuk partisipasi

dan kolaborasi dengan guru itu perlu diperluas.

Perlu diperhatikan juga bahwa kegiatan

supervisi akademik yang dirancang masih

terpisah-pisah, karena kesalahpahaman

terhadap konsep supervisi, sehingga ada

kegiatan yang tidak tertuliskan dalam program

kerja. Berbicara mengenai perencanaan

kegiatan observasi, secara spesifik, sudah

dilakukan dengan baik: kepala sekolah

melibatkan guru dengan mengijinkan masing-

masing guru menyampaikan atau memilih

jadwal waktu mereka untuk diobservasi—

seperti ditemukan juga dalam penelitian

Ngatini & Ismanto (2015) dan Widodo (2014b).

Program supervisi di PAUD Tunas

Kasih juga didukung kesiapan para guru,

dengan dukungan kerja sama tim dalam

suasana yang suportif antar rekan sejawat,

komunikasi yang terbuka dan kolaborasi

dengan rekan sejawat. Sementara untuk

melengkapi keterampilan supervisi serta

membenahi kesalahpahaman kepala sekolah,

Page 116: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

116

pembekalan atau pelatihan pembekalan atau

pelatihan perlu diadakan. Wanzare (2011) dan

Sarfo & Cudjoe (2016) menyoroti perlunya

pelatihan bagi para pimpinan sekolah untuk

menolong mereka dalam menjalankan fungsi

supervisi di sekolah.

Pendanaan rogram supervisi akademik

di PAUD Tunas Kasih berasal dari sumber

interen, yaitu yayasan atau sekolah, maupun

eksteren dari dinas, yang berbentuk dana

bantuan operasional—dana bantuan serupa

diungkapkan Riyanto (2016). Kepala sekolah—

atau malahan manajemen sekolah—perlu

memfasilitasi pendanaan kegiatan yang akan

diikuti guru, terkhusus mereka yang

menunjukkan antusiasme untuk

mengembangkan diri lewat kegiatan pelatihan

atau seminar yang memang mendukung

pengembangan pembelajaran.

Meskipun sarana-prasarana standar

sudah tersedia, masih dilaporkan adanya

keterbatasan fasilitas internet dan perangkat

komputer. Ini perlu mendapat sorotan khusus,

mengingat teknologi dan informasi di zaman ini

memang mendukung pembelajaran.

Keterbatasan alat juga dilaporkan Saputra

(2011) sebagai kendala teknis dalam

pelaksanaan pengawasan di sekolah, meskipun

tidak dirincikan sarana prasarana apa. Buku-

buku referensi yang juga telah tersedia, perlu

diperbaharui dan ditambah koleksinya serta

dimanfaatkan dengan lebih sebagai sumber ajar

para guru.

Evaluasi Proses

Sebagian besar kegiatan dalam program

supervisi akademik yang direncanakan telah

dilaksanakan di PAUD Tunas Kasih, baik yang

bersifat individual maupun kelompok, dengan

beberapa perubahan dan penyesuaian dalam

jadwal pelaksanaan. Dua kegiatan yang tidak

terlaksana adalah kompetisi guru interen dan

studi banding.

Teknik observasi kelas telah

dilaksanakan secara terjadwal di PAUD Tunas

Kasih, seperti dilaksanakan di beberapa sekolah

lain (Widodo, 2014a; Widodo, 2014b; Riyanto,

2016; Merukh & Sulasmono, 2016). Guru-guru

PAUD Tunas Kasih sudah terbiasa diobservasi

dan siap untuk berpartisipasi dalamnya,

berbeda dengan laporan penelitian Lukum

(2013) yang menyebutkan masih adanya guru

yang takut untuk diobservasi. Usulan

dilaksanakannya observasi tanpa

pemberitahuan sebelumnya (unnancouced),

perlu dipertimbangkan, dan instrumen

observasi perlu diperbaiki.

Untuk teknik pelatihan, lokakarya atau

seminar serta pertemuan kelompok guru,

kepala sekolah telah berupaya mendorong

partisipasi guru dengan memilih dan mengutus

guru. Guru yang diutus juga berusaha

bertanggung jawab menyusun laporan dan

membagikan informasi ke rekan yang lain.

Guru yang dinilai kompeten juga didorong

untuk mengikuti kompetisi atau lomba. Upaya

kepala sekolah untuk meningkatkan partisipasi,

yang kembali bertujuan untuk peningkatan

kompetensi, ini perlu diapresiasi.

Fleksibilitas dan penyesuaian, terhadap

situasi dan kebutuhan, untuk pelaksanaan

teknik di PAUD Tunas Kasih juga nampak,

seperti pelaksanaan intervisitasi yang

menyesuaikan situasi team-teaching, serta rapat

guru yang dapat dilaksanakan menyesuaikan

urgensi dan prioritas pembahasan. Selain itu,

upaya untuk menciptakan suasana yang

nyaman, alih-alih kaku dan formal, dengan

memanfaatkan jam istirahat siang, juga

mendukung efektifitas teknik rapat. Namun

demikian, perlu diperhatikan perlu adanya

pencatatan diskusi yang terjadi.

Konferensi dilaksanakan terutama

sebelum dan sesudah observasi. Sesuai

pengamatan dan hasil wawancara, para guru

melaporkan adanya ada relasi yang saling

mempercayai, umpan balik yang cukup

konstruktif dan jelas, terutama berbicara

tentang area-area yang perlu dikembangkan

guru. Hal ini sesuai apa yang diingatkan oleh

Range, Young dan Hvidston (2013). Kepala

Page 117: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.

117

sekolah juga perlu mendorong dan memberikan

kesempatan berefleksi bagi para guru

(Martinez, Taut, & Schaaf; 2016), seperti yang

telah terlaksana di lokasi penelitian Ngatini &

Ismanto (2015). Hal ini membantu mereka

memaknai apa yang telah didapat dari hasil

observasi atau konferensi.

Kendala-kendala yang ditemui dalam

proses pelaksanaan program supervisi

akademik berhubungan dengan pengaturan

jadwal dan prioritas pelaksanaan kegiatan,

serupa dengan permasalahan yang menghambat

pelaksanaan supervisi akademik yang diteliti

Riyanto (2016). Meskipun kepala sekolah juga

menyampaikan keluhan terhadap kesibukan

tugas yang dimilikinya, seperti temuan

Mawarni, Chiar & Sukmawati (2017) dan

Merukh & Sulasmono (2016), namun kendala

tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan

supervisi akademik di PAUD Tunas Kasih

karena adanya koordinasi dan pengaturan

prioritas kegiatan. Kendala persetujuan atau

perijinan dari pihak manajemen sekolah perlu

ditangani dan dikomunikasikan dengan baik

antara kedua pihak. Sementara kendala-kendala

yang berasal dari pribadi guru—kemalasan,

kelelahan, ketidakfokusan pekerjaan, dan

kurangnya inisiatif—perlu dibahas sebagai

bahan pembinaan guru. Keterbatasan internet

dan sarpras mempengaruhi kelancaran

penyusunan administrasi dan alat peraga yang

mendukung pembelajaran.

Mengamati keterlibatan dan kesiapan

para guru, yang berangkat dari kesadaran

manfaat yang akan diperoleh (seperti juga

ditemukan temuan Riyanto [2016]), hal

tersebut perlu diapresiasi, karena itu menjadi

faktor pendukung terlaksananya supervisi

akademik yang efektif (Mawarni, Chiar &

Sukmawati, 2017). Pengaturan prioritas,

koordinasi, dan partisipasi aktif juga menjadi

pendukung terlaksananya supervisi akademik

yang efektif.

Di sisi lain, meski pemahamannya

konsep supervisi masih belum sempurna,

kepala sekolah telah berupaya melaksanakan

perannya sebagai supervisor dengan baik dan

tegas. Dukungan, teguran atas kesalahan atau

kelalaian tugas yang dilakukan, dan dorongan

untuk terus berkembang diberikan oleh

supervisor. Kepala sekolah berupaya

membangun iklim sekolah yang kondusif dan

mendorong adanya perubahan dan inovasi

selain mengembangkan budaya kepercayaan

dan keterbukaan—hal-hal yang dicatat Argiani

& Slameto (2015), Gaol & Siburian (2018) dan

Moye, Henkin, & Egle (2005) dapat efektif

meningkatkan efektivitas pendidikan dan

kinerja guru. Perasaan cepat puas, merasa sudah

berpengalaman, takut salah dan dicemoohkan,

kehilangan semangat, mencari keamanan dan

menghindari tantangan (Saputra, 2011)—yang

kesemuanya menjadi faktor penghambat—

tidak ditemukan dalam diri Kepala Sekolah.

Menyoroti delegasi yang diberikan, perlu

disusun tim supervisi, seperti dilaporkan

Mawarni, Chiar & Sukmawati (2017), karena

tim tersebut justru dapat menolong tugas

supervisi kepala sekolah dan mengefektifkan

kegiatan yang dilaksanakan. Selain itu

masukkan diberikan agar kepala sekolah

memberikan feedback yang bukan sekedar

informatif dan administratif, selain bahwa

ekspektasi dari supervisor perlu disampaikan

dengan jelas.

PAUD Tunas Kasih telah berusaha

mendokumentasikan teknik-teknik supervisi

yang terlaksana. Baik catatan tertulis serta

laporan kegiatan telah tersusun, namun perlu

dirapihkan. Sama halnya dengan foto-foto

dokumentasi yang masih dimiliki para guru

secara pribadi, namun mendukung

pendokumentasian kegiatan, sebaiknya perlu

dikoleksi dan dirapihkan secara kelompok

untuk mendukung arsipan sekolah. Dokumen

laporan observasi telah disusun secara rapih

dan rutin, dengan catatan perlu adanya

perbaikan instrumen panduan observasi—

meskipun sudah tersedia, dibandingkan dengan

ketidaktersediaan instrumen atau tersedianya

Page 118: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

118

instrumen yang kurang baik atau tidak rinci,

seperti dicatat dalam temuan penelitian Merukh

& Sulasmono (2016). Format atau pedoman

lain, seperti format Penilaian Kinerja Guru

(PKG) yang digunakan di tempat penelitian

Widodo (2014a), dapat diadaptasi atau

melengkapi item observasi yang sudah ada.

Evaluasi Produk

Program supervisi akademik yang

dilaksanakan di PAUD Tunas Kasih dianggap

efektif oleh para guru dan kepala sekolah dan

menjawab kebutuhan yang telah diamati dalam

evaluasi konteks. Dampak yang disampaikan

tidak hanya berhubungan dengan pribadi dan

tugas guru, namun juga secara kolektif terhadap

situasi kerja dan citra sekolah. Hal ini berbeda

dengan laporan dari Sarfo & Cudjoe (2016)

yang mengeluhkan rendahnya pelaksanaan dan

efektifitas supervisi akademis di sekolah-

sekolah umum di Ghana.

Kepala sekolah dan guru PAUD Tunas

Kasih mendaftarkan beberapa manfaat yang

didapat dari supervisi akademik, seperti temuan

Wanzare (2012), yaitu perbaikan kualitas dan

kinerja guru dan peningkatan kolaborasi antar

guru, yang semuanya berdampak pada

peningkatan kualitas pembelajaran di kelas, dan

penyamaan persepsi dan kontrol atau

pengawasan yang lebih baik dari pimpinan.

Kontrol juga berdampak pada ketertiban

administrasi penunjang pembelajaran, serupa

temuan Widodo (2014a). Namun demikian,

seperti disoroti Widodo, hendaknya supervisor

tidak hanya menitikberatkan pemeriksaan

administrasi dalam melaksanakan supervisi.

Guru juga menyadari terciptanya kesempatan

untuk membangun jejaring dengan guru atau

komunitas PAUD lain, dan ini menjadi

dorongan untuk mereka lebih aktif terlibat

dalam kegiatan seminar dan sejenisnya.

Dampak jangka panjang berupa peningkatan

kepercayaan dari pihak luar terhadap PAUD

Tunas Kasih, yang juga berpengaruh pada

promosi sekolah, dapat menjadi motivasi bagi

kepala sekolah untuk melaksanakan supervisi

akademik. Bagi para guru sendiri, kualitas dan

reputasi yang unggul sebagai dampak supervisi

akademik juga dapat menjadi pemacu semangat

untuk terus mengembangkan diri.

Respon positif para guru nampak,

berupa antusiasme untuk berpartisipasi dan

kesiapan untuk mendapat masukan yang

bermanfaat untuk pengembangan diri, serupa

yang disampaikan para guru dalam penelitian

Riyanto (2016). Guru PAUD Tunas Kasih juga

mengapresiasi adanya kebebasan untuk

mengungkapkan pemikiran dan memberi

masukan. Kepala sekolah perlu memanfaatkan

komunikasi dan keterbukaan tersebut untuk

menanggapi respon negatif mereka, seperti

keraguan untuk terlibat lebih aktif atau

kekhawatiran untuk mengikuti seminar.

Komunikasi serupa dapat menampung beban

atau ketidakpuasan guru yang dirasakan karena

belum dapat memikirkan implementasi ide

yang didapat dari seminar.

Kembali, kepala sekolah perlu

membangun komunikasi yang terbuka dan

mencermati harapan dan masukan yang

disampaikan para guru. Masukan terhadap

kepala sekolah dalam menjalankan peran

supervisor-nya menyoroti upaya memfasilitasi

pengembangan kualitas dan melaksankan

fungsi kontrol dan pengawasan. Usulan lain

adalah agar supervisi dapat didelegasikan

kepada guru lain atau dengan melibatkan pihak

manajemen sekolah. Rekomendasi serupa

disampaikan oleh Widodo (2014b) dan Slameto

(2016) yang mengusulkan keterlibatan

pengawas sekolah dari dinas pendidikan, atau

melibatkan guru senior seperti yang ditemukan

Riyanto (2016) atau Mawarni, Chiar, &

Sukmawati (2017) dan disarankan Zepeda

(2006). Masukan untuk penambahan sarpras

yang menunjang, secara spesifik adalah buku

referensi dan fasilitas internet, juga

diungkapkan oleh beberapa guru.

Evaluasi terhadap kegiatan maupun

program perlu dilaksanakan, dan hal-hal yang

perlu ditindaklanjuti sebagai temuan evaluasi

Page 119: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.

119

tersebut juga perlu dicermati. Tindak lanjut

yang dirancang berdasar hasil supervisi

akademik sudah menjadi sorotan kepala

sekolah, dan perlu dikomunikasikan dengan

pihak manajemen sekolah agar juga dapat

difasilitasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Evaluasi Konteks. Program supervisi

akademik di PAUD Tunas Kasih perlu

diadakan, mempertimbangkan kondisi dan

kebutuhan adanya peningkatan dan

pengembangan kualitas guru—terkhusus

berhubungan dengan proses belajar-

mengajar—dan menyesuaikan dengan kondisi

kelas di tahun ajaran yang berlangsung maupun

menjawab atau menghadapi tantangan dunia

pendidikan yang ada. Usulan agar

dilanjutkannya program ini perlu

mengupayakan pemahaman konsep supervisi

terlebih dahulu agar perencanaan dan

perancangan program dan mekanisme

pelaksanaan lebih lanjut dapat lebih terarah dan

efektif.

Evaluasi Input. Perencanaan program

telah berjalan baik sesuai kebutuhan dan

dengan menyertakan beberapa ragam teknik

supervisi akademik. Para guru siap untuk

terlibat dalam program supervisi akademik di

PAUD Tunas Kasih, namun perlu

meningkatkan kesiapan atau keterampilan

kepala sekolah dalam melaksanakan fungsi

supervisi. Kesiapan para guru ini berangkat dari

pemahaman mereka akan pentingnya dan

manfaat supervisi akademik untuk

mengembangkan diri dan makin

memperlengkapi mereka untuk mengajar.

Pendanaan serta sarpras yang ada sudah cukup

mendukung dan tercukupi, dengan catatatan

perlunya peningkatan fasilitas internet dan

komputer.

Evaluasi Proses. Kegiatan-kegiatan

yang direncanakan sebagian besar telah

terlaksana dengan baik dengan penyesuaian

kegiatan sesuai kondisi dan kebutuhan.

Kendala yang ada, baik dari atau berhubungan

dengan pribadi guru, kepala sekolah,

manajemen sekolah, maupun sarana-prasarana,

dapat ditangani dengan baik. Kesiapan dan

partisipasi kepala sekolah maupun para guru

mendukung pelaksanaan program supervisi

akademik. Dokumentasi yang lengkap dan

lebih terstruktur terhadap kegiatan yang telah

diadakan perlu lebih ditingkatkan.

Evaluasi Produk. Program supervisi

akademik di PAUD Tunas Kasih sudah

memberikan dampak positif dan mencapai

tujuan yang direncanakan terhadap

pengembangan kualitas guru, juga secara

kolektif terhadap citra sekolah sendiri. Para

guru memberikan respon yang positif, dengan

beberapa catatan sebaliknya atas respon

negative yang kembali dapat ditangani atau

perlu mendapat tindak lanjut dari kepala

sekolah. Tindak lanjut telah direncanakan dan

beberapa sudah langsung dilaksanakan atau

disampaikan, dan evaluasi memberikan

masukan untuk perbaikan dan pengembangan

program supervisi akademik selanjutnya.

Oleh karena itu, mempertimbangkan

keempat tahap evaluasi program supervisi

akademik, penulis merekomendasikan

kelanjutan program supervisi akademik,

dengan beberapa catatan masukan dan

penyesuaian untuk perbaikan program tersebut.

Saran

Pertama, kepada PAUD Tunas Kasih,

berdasar evaluasi model CIPP, program

supervisi akademik yang ada di PAUD Tunas

Kasih perlu dilanjutkan, dengan beberapa

pertimbangan dan perbaikan. Pemahaman

konsep supervisi perlu kembali dimantapkan,

baik oleh kepala sekolah maupun para guru.

Pelatihan supervisi akademik kepada kepala

sekolah, dan guru senior, oleh karena itu

menjadi penting. Kebutuhan dan kondisi di

PAUD Tunas Kasih perlu ditinjau secara

berkala untuk dijadikan bahan perencanaan dan

pengembangan program supervisi akademik,

Page 120: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

120

termasuk juga kebutuhan individu para guru.

Penyusunan rencana dan perancangan teknik-

teknik supervisi akademik yang menjawab

kebutuhan tersebut kemudian perlu dilakukan

dengan lebih komprehensif dan menyeluruh.

Fleksibilitas dan adaptasi dalam pelaksanaan

program perlu terus diupayakan dalam

menangani kendala yang muncul. Selain itu,

kepala sekolah tetap perlu peka mewadahi dan

mengapresiasi antusiasme para guru untuk

terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan

selain menjawab usulan dari mereka, seperti

pelaksanaan unannounced observation,

delegasi, dan self-reflection.

Rekomendasi untuk manajemen

sekolah YPKI Magelang adalah adanya

kebutuhan pelatihan supervisi akademik

kepada kepala sekolah dan guru-guru senior.

Pemahaman yang baik dan lebih lengkap

menjamin efektifitas program (Moswela &

Mphale, 2015). Keterlibatan serta monitoring

dari pihak manajemen sekolah juga diharapkan,

sesuai usulan dari sekolah. Keterlibatan yang

diusulkan termasuk memfasilitasi perijinan

kegiatan dalam program supervisi akademik

untuk menjawab kebutuhan pengembangan

kualitas pendidikan dan guru. Selanjutnya,

pedoman maupun instrumen yang mendukung

program supervisi akademik juga perlu

disediakan oleh pihak manajemen sekolah.

Mengamati antusiasme dan partisipasi guru,

pemberian penghargaan atau apresiasi perlu

dipertimbangkan, seperti diusulkan oleh

Lukum (2013). Seperti diingatkan Mette et al.

(2015) dan Zepeda (2016), supervisi akademik

tidak seharusnya terbatas pada evaluasi atau

penilaian serta pencapaian standar yang tinggi,

jadi manajemen sekolah perlu mendorong

kepala sekolah dan guru untuk berkolaborasi

lebih untuk tujuan peningkatkan mutu guru dan

pendidikan.

Untuk penelitian sejenis selanjutnya,

penelitian evaluatif ini masih terbatas dan

spesifik untuk PAUD Tunas Kasih, seperti

diingatkan McMillan (2008) dan dapat

dilakukan penelitian di subyek atau lokasi lain.

Temuan dan rekomendasi evaluasi dalam

penelitian ini perlu ditinjau ulang,

menyesuaikan kondisi dan kebutuhan lokal,

sebelum diterapkan atau digeneralisasikan

untuk sekolah lain. Penelitian selanjutnya dapat

mengeksplorasi efektifitas supervisi akademik

dengan melibatkan pihak pengelola sekolah,

orang tua, dan siswa, terkhusus untuk

pendidikan yang lebih tinggi, dan dengan

penggunaan metode kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, D., Barrow, L., & Sander, W. 2007.

Teachers and student achievement in the

Chicago public high schools. Journal of

Labor Economics, 25, 95–135.

Alatas, H. 2013. Early childhood education and

development services in Indonesia.

Dalam Suryadarma, D., & Jones, G. W.

(Eds.). Education in Indonesia.

Singapore: Institute of Southeast Asian

Studies.

Argiani, A., & Slameto, S. 2015. Supervisi

Kunjungan Kelas untuk Meningkatkan

Kompetensi Pedagogik Guru SDN

Cukil 01, Tengaran, Kabupaten

Semarang. Kelola: Jurnal Manajemen

Pendidikan, 2(1), 1-11.

https://doi.org/10.24246/j.jk.2015.v2.i1

.p1-11

Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi

Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta: Bumi

Aksara.

Arikunto, S., & Jabar, C. S. A. 2010. Evaluasi

Program Pendidikan: Pedoman

Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan

Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Arikunto, S., & Yuliana, L. 2012. Manajemen

Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media.

Brown, G. B. 2002. Guiding faculty to

excellence: Instructional supervision in

Page 121: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.

121

the Christian school. Purposeful Design

Publications.

Dwikurnaningsih, Yari. 2017. Evaluasi

Program Kelas Olahraga di SMP Negeri

3 Salatiga. Repository Perpustakaan

Universitas. Salatiga: Magister

Manajemen Pendidikan UKSW.

Egwu, S. O. 2015. Principals' Performance in

Supervision of Classroom Instruction in

Ebonyi State Secondary Schools.

Journal of Education and Practice,

6(15), 99-105.

Fitzpatrick, J. L., Sanders, J. R., & Worthen, B.

R. 2012. Program Evaluation:

Alternative approaches and practical

guidelines, 4th ed.. New Jearsey:

Pearson Education.

Gaol, N.T.L., & Siburian, P. 2018. Peran

Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan

Kinerja Guru. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 5(1), 66-73.

https://doi.org/10.24246/j.jk.2018.v5.i1

.p66-73

Garrett, R., & Steinberg, M. P. 2015.

Examining teacher effectiveness using

classroom observation scores: Evidence

from the randomization of teachers to

students. Educational Evaluation and

Policy Analysis, 37(2), 224-242.

Imron, A. 2011. Supervisi Pembelajaran

Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:

Bumi Aksara.

Kartono, S. 2009. Sekolah bukan pasar:

catatan otokritik seorang guru. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

Lukum, A. 2013. Evaluation of science learning

supervision on secondary

schools. International Journal of

Education, 5(4), 61-81.

Martinez, F., Taut, S., & Schaaf, K. 2016.

Classroom observation for evaluating

and improving teaching: An

international perspective. Studies in

Educational Evaluation, 49, 15–29.

doi:10.1016/j.stueduc.2016.03.002

Mawarni, R., Chiar, H. M., & Sukmawati, H.

2017. Supervisi Akademik di Sekolah

Menengah Atas Negeri 1 Pemangkat

Kabupaten Sambas. Jurnal Pendidikan

dan Pembelajaran, 6(1).

McMillan, J. H. 2008. Educational Research:

Fundamentals for the customer, 5th Ed.

Pearson.

Memduhoglu, H. B. 2012. The issue of

education supervision in Turkey in the

views of teachers, administrators,

supervisors, and lecturers. Educational

Sciences; Theory and Practice, 12(1),

149-156.

Merukh, N., & Sulasmono, B.S. 2016.

Pengembangan Model Supervisi

Akademik Teknik Mentoring Bagi

Pembinaan Kompetensi Pedagogik

Guru Kelas. Kelola: Jurnal Manajemen

Pendidikan, 3(1), 30-48.

https://doi.org/https://doi.org/10.24246/

j.jk.2016.v3.i1.p30-48

Mette, I. M., Range, B. G., Anderson, J.,

Hvidston, D. J., & Nieuwenhuizen, L.

2015. Teachers' Perceptions of Teacher

Supervision and Evaluation: A

Reflection of School Improvement

Practices in the Age of Reform.

Education Leadership Review, 16(1),

16-30.

Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldana, J.

2014. Qualitative Data Analysis: A

methods sourcebook, 3rd Ed. Sage.

Minarti, S. 2011. Manajemen Sekolah:

Mengelola Lembaga Pendidikan Secara

Mandiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Moswela, B., & Mphale, L. M. 2015. Barriers

to clinical supervision practices in

Botswana schools. Journal of

Page 122: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

122

Education and Training Studies, 3(6),

61-70.

Moye, M.J., Henkin, A.B., & Egley, R.J., 2005.

Teacher‐principal relationships:

Exploring linkages between

empowerment and interpersonal trust.

Journal of Educational Administration,

43(3), 260-277,

https://doi.org/10.1108/095782305105

94796.

Mukhtar & Iskandar. 2009. Orientasi Baru

Supervisi Pendidikan. Jakarta: GP

Press.

Mulyasa, E. 2012. Manajemen dan

kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta:

Bumi Aksara.

Munthe, A. P. 2015. Pentingnya Evaluasi

Program di Institusi Pendidikan: Sebuah

Pengantar, Pengertian, Tujuan dan

Manfaat. Scholaria: Jurnal Pendidikan

Dan Kebudayaan, 5(2), 1-14.

Ngatini, N., & Ismanto, B. 2015. Pengelolaan

Supervisi Akademik Kepala Sekolah di

Sekolah Dasar Negeri Kota Semarang.

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan,

2(2), 127-138.

https://doi.org/10.24246/j.jk.2015.v2.i2

.p127-138

Pidarta, M. 2009. Supervisi Pendidikan

Kontekstual. Jakarta: Rineka Cipta.

Priansa, D.J., & Setiana, S.S. 2018. Manajemen

dan Supervisi Pendidikan. Bandung:

Pustaka Setia.

Range, B.G., Young, S., & Hvidston, D. 2013.

Teacher perceptions about observation

conferences: what do teachers think

about their formative supervision in one

US school district? School Leadership

& Management, 33 (1), 61-77.

Riyanto. 2016. Evaluasi Program Supervisi

Akademik Kepala Sekolah dapat

Meningkatkan Kinerja Mengajar Guru

SD Negeri 1 Tegorejo, Kecamatan

Pengandon, Kabupaten Kendal. (Tesis,

tidak diterbitkan). Program

Pascasarjana, Universitas Kristen Satya

Wacana, Salatiga.

Rockoff, J. E. 2004. The impact of individual

teachers on student achievement:

Evidence from panel data. American

Economic Review, 94, 247–252.

Sagala, S. 2010. Supervisi Pembelajaran dalam

Profesi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Saputra, Y. M. 2011. Model Pengawasan

Pembelajaran Pendidikan Jasmani di

SD. Cakrawala Pendidikan, (3), 474-

489.

Sarfo, F. K., & Cudjoe, B. 2016. Supervisors’

Knowledge and Use of Clinical

Supervision to Promote Teacher

Performance in basic schools.

International Journal of Education and

Research, 4(1).

Slameto. 2016. Supervisi Pendidikan oleh

Pengawas Sekolah. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 3(2), 192-206.

https://doi.org/10.24246/j.jk.2016.v3.i2

.p192-206

Stronge, J. H., Richard, H. B., & Catano, N.

2013. Kualitas Kepala Sekolah yang

Efektif. Jakarta: PT Indeks.

Suhardan, D. 2010. Supervisi Profesional:

layanan dalam meningkatkan mutu

pembelajaran di era otonomi daerah.

Bandung: Alfabeta.

Sukardi, H. M. 2008. Evaluasi Pendidikan

Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta:

Bumi Aksara.

Suryadarma, D., & Jones, G.W. 2013. Meeting

the education challenge. Dalam

Suryadarma, D., & Jones, G. W. (Eds.).

Education in Indonesia. Singapore:

Institute of Southeast Asian Studies.

Page 123: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Supervisi Akademik di PAUD Swasta | Daniel Kurniawan, dkk.

123

Tatang, S. 2016. Supervisi

Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Umiarso & Gojali, I. 2010. Manajemen Mutu

Sekolah di Era Otonomi

Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD.

Wanzare, Z. 2012. Instructional supervision in

public secondary schools in

Kenya. Educational Management

Administration & Leadership, 40(2),

188-216.

Widodo, T. 2014a. Evaluasi Program

Implementasi Supervisi Akademik di

Gugus Dwijawiyata, Kecamatan

Magelang Tengah, Kota Magelang.

(Tesis, tidak diterbitkan). Program

Pascasarjana, Universitas Kristen Satya

Wacana, Salatiga.

Widodo, T. 2014b. Supervisi Kunjungan Kelas

dalam Meningkatkan Kinerja Guru IPA

SMP Negeri 1 Bandungan. (Tesis, tidak

diterbitkan). Program Pascasarjana,

Universitas Kristen Satya Wacana,

Salatiga.

Wiersma, W., & Jurs, S. G. 2005. Research

Methods in Education: An introduction,

9th ed. Pearson Education.

Zepeda, S.J. 2006. High stakes supervision: we

must do more. International Journal of

Leadership in Education: Theory and

Practice, 9:1, 61-73, DOI:

10.1080/13603120500448154.

Page 124: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 124-138

124

Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan:

Kajian Literatur dari Situs Indonesian Publication Index (IPI)

Rais Hidayat

Universitas Pakuan

[email protected], [email protected]

Yuyun Elizabeth Patras

Universitas Pakuan

[email protected]

ABSTRACT

The site of Indonesian Publication Index (IPI) has become a benchmark and reference

research in Indonesia. The purpose of this research is to map educational leadership articles

on IPI sites based on types, indicators, and usefulness of educational leadership. This research

method used literatur study, where researchers examined 91 scientific articles sourced from

the corpus of the IPI database, researchers do the sorting and analysis and then the data

communicated through descriptive statistics. The findings of this research are as follows: (1)

types of educational leadership research methods include qualitative and quantitative

methods, but the types of mixed methods are rarely found; (2) types of publicized educational

leadership research are in accordance with existing educational leadership theories, but

Indonesia has several characteristics of educational leaders such as boarding school

leadership; (3) researchers in Indonesia have used indicators of effective educational

leadership in accordance with what researchers use in other countries; and (4) education

leadership researchers in Indonesia have provided recommendations for improving

educational leadership. The above findings are expected to be discussed in developing

educational leadership research in Indonesia.

Keywords: Educational Leadership, Indicators of Educational Leadership, Types of

Educational Leadership

Article Info

Received date: 10 Oktober 2018 Revised date: 15 Desember 2018 Accepted date: 24 Desember 2018

PENDAHULUAN

Peran pemimpin pada lembaga

pendidikan sangat strategis (Spillane, 2003).

Pada posisi tersebut melekat kekuasaan dan

wewenang untuk digunakan secara efektif

dalam memengaruhi jalannya lembaga

pendidikan (Hallinger, 2007). Tidak ada guru

yang gagal, yang ada adalah kepala sekolah

yang tidak bisa memimpin. Kemajuan suatu

lembaga pendidikan bergantung pada upaya

pemimpinnya dalam menggerakan mesin

organisasi (Peleg, 2012). Tidak ada sekolah

yang maju tanpa peran pimpinan (Connelly,

2013).

Pemimpin sekolah memengaruhi

kinerja anggota sekolah (Bush, 2007), yaitu

para guru dan staf pegawai lainnya agar bekerja

lebih maksimal, menampilkan etos kerja tinggi,

dan secara sukarela bekerjasama dengan

anggota lainnya untuk mewujudkan standar

mutu yang diharapkan oleh konsumen

pendidikan, masyarakat dan pemerintah

Page 125: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras

125

(Hallinger & Walker, 2017). Perilaku

kepemimpinan memprediksi kinerja (Linda

Bendikson, Viviane Robinson, 2012).

Kepemimpinan adalah faktor kunci dalam

perubahan yang berhasil (Holsted, 2016).

Posisi strategis kepemimpinan

pendidikan dan perannya pada lembaga

pendidikan telah menarik minat para peneliti

(Bush, 2007); Sumintono, 2010). Terdapat

sejumlah dan berbagai jenis penelitian

kepemimpinan pendidikan yang sudah

dipublikasikan dalam bentuk cetak maupun

elektronik. Bahkan sekarang muncul istilah e-

leadership dalam pendidikan untuk

menunjukan adanya perkembangan bahwa

kepemimpinan itu sangat penting dan terus

diteliti (Oh Siew Pei, 2018).

Penelitian terhadap kepemimpinan

pendidikan berkembang pesat di Indonesia. Hal

ini wajar karena Indonesia merupakan negara

yang paling luas di wilayah Asia Tenggara

(Sticher, 2014). Indonesia sebagain besar

wilayahnya adalah lautan sehingga Indonesia

dikenal sebagai negara kepulauan (Tumonggor

et al., 2013). Penduduk Indonesia terdiri dari

berbagai macam suku bangsa dan beraneka

ragam bahasa (Siregar, 2016). Wilayah yang

luas dan beraneka suku bangsa menyebabkan

Indonesia kaya dengan perbedaan namun tetap

bersatu (Samuel Bazzi, Arya Gaduh, Alexander

Rothenberg, 2017). Indonesia terus

membangun masyarakatnya sekaligus terus

mengupayakan berbagai penelitian, termasuk

penelitian pendidikan (Inaya Rakhmani, 2016)

dan penelitian tentang kepemimpinan

pendidikan.

Penelitian di Indonesia kini terhimpun

dalam situs Indonesian Publication Index (IPI)

dengan alamat situs http://id.portalgaruda.org/.

Mulai tanggal 4 Juli 2018 IPI telah diakuisisi

oleh Kementerian Riset Teknologi dan

Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI) yang

kemudian sekarang disebut GARUDA atau

Garba Rujukan Digital dengan alamat situs

http://garuda.ristekdikti.go.id. GARUDA

sekarang menjadi sumber rujukan atas

publikasi ilmiah. GARUDA merupakan basis

data yang komprehensif yang mencakup

berbagai bidang keilmuan.

Sampai Juli 2018, IPI memiliki 595,647

artikel dan 5,064 jurnal. Jika menggunakan

keyword: kepemimpinan pendidikan

(educational leadership) untuk mencari artikel,

maka akan ditemukan ratusan artikel yang

membahas kepemimpinan pendidikan. Selama

ini belum ada penelitian yang memetakan

tentang hasil publikasi tentang kepemimpinan

pendidikan yang berasal dari situs IPI. Artikel

ini akan mendeskripsikan kepemimpinan

pendidikan berdasarkan jenis kepemimpinan,

indikator kepemimpinan yang efektif, dan

kegunaan penelitian kepemimpinan

pendidikan.

Jenis Kepemimpinan Pendidikan

Jenis kepemimpinan adalah hubungan

di mana satu orang mengarahkan,

mengkoordinasi dan mengawasi yang lain

untuk mencapai tujuan bersama (Muhammad

Saqib Khan & Irfanullah Khan, Qamar Afaq

Qureshi, Hafiz Muhammad Ismail, Hamid

Rauf, Muhammad Tahir, 2015).

Kepemimpinan menempati posisi puncak

dalam organisasi yang mampu menggerakan

organisasi dan mencapai tujuan organisasi

(Spillane, 2003).

Jenis kepemimpinan adalah hal-hal

yang terlihat dipraktekkan oleh seorang

pemimpin seperti mengarahkan, mengubah

dan transaksi (Yahya, 2015). Jenis

kepemimpinan sangat berragam. Pada dunia

pendidikan kepemimpinan pendidikan berubah

dari jenis ‘educational administration’ menjadi

‘educational management’ dan kini mengarah

ke ‘educational leadership’ (Adams, 2017).

Berbagai jenis kepemimpinan di dalam

organisasi pendidikan dipengaruhi oleh latar

belakang si pemimpin dan keadaan sekolah

(Urick & Bowers, 2014). Hallinger & Murphy

and Robinson menggunakan istilah

Page 126: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

126

instructional leadership untuk menyebut

kepemimpinan di sekolah (Velarde, 2017).

Terdadapat beberapa tipe

kepemimpinan di sekolah yang harus

diintegrasikan antara lain transformational,

transactional, inspirational, and instructional

leadership (Smith & Squires, 2016). Tipe

kepemimpinan lainnya democratic leadership,

authoritarian style dan laissez-faire leadership

styles (Yahya, 2015). Terdapat pula istilah tipe

kepemimpinan authentic leadership (Men,

2012) dan e-leadership (Oh Siew Pei, 2018).

Jenis kepemimpinan (type of

leadership) seringkali disamakan atau

dipertukarkan dengan gaya kepemimpinan

(leadership style) (Urick & Bowers, 2014).

Jenis kepemimpinan antara lain The

Charismatic Leader, Transformational Leaders

and Transactional Leaders (Evans-Curtis,

2004). Macam-macam kepemimpinan terdiri

dari the Great Man theory, Trait theory,

Process leadership theory, Style and

Behavioral theory, Transformational,

Transactional and Laissez Faire leadership

theory (Zakeer Ahmed Khan, Allah Nawaz,

2016).

Indikator Kepemimpinan Efektif

Indikator adalah metrik yang bermakna,

sederhana, dan dapat dikuantifikasi yang

digunakan untuk menilai kemajuan menuju

pencapaian target (Suter, 2015). Bagaimanakah

mengevaluasi bahwa tujuan telah tercapai?

Indikator yang dibuat dengan benar dapat

memberikan jawaban yang benar (Network,

2015). Indikator kepemimpinan pendidikan

efektif dalam pada artikel ini diartikan sebagai

ciri-ciri atau parameter atau ukuran yang

digunakan peneliti untuk mengukur keefektifan

atau kinerja dari sebuah kepemimpinan dalam

lembaga pendidikan.

Beberapa ciri kepemimpinan

pendidikan efektif adalah pemimpin sekolah

mampu menyesuaikan program pengajaran

dengan kebutuhan sekolah, mempromosikan

kerja tim di antara guru, dan terlibat dalam

pemantauan, evaluasi dan pengembangan

profesional guru (Andreas Schleicher, 2013).

Kepemimpinan pendidikan yang efektif adalah

pemimpin yang melakukan hubungan personal

dalam mengarahkan, mengorganisir,

mengkoordinir dan mengawasi bawahan untuk

mencapai tujuan bersama (Muhammad Saqib

Khan & Irfanullah Khan, Qamar Afaq Qureshi,

Hafiz Muhammad Ismail, Hamid Rauf,

Muhammad Tahir, 2015).

Kepemimpinan pendidikan yang efektif

yaitu mampu memberikan visi ke depan

(visionary), memiliki gairah dan semangat yang

tinggi (passionate), kreatif, fleksibel,

menginspirasi, inovatif, berani, dan

mengeksperimen imajinasi untuk memulai

perubahan (Amanchukwu, Stanley, & Ololube,

2015). Kepala sekolah yang efektif memiliki

kemampuan sebagai berikut: Rational,

Consulting Persistent, Problem solving Tough-

minded, Analytical Structured Deliberate,

Authoritative Stabilising (Amanchukwu et al.,

2015).

Kegunaan Kepemipinan Pendidikan

Kepemimpinan pendidikan yang tinggi

berpengaruh pada keberhasilan memotivasi

karyawannya untuk menunjukkan kinerja yang

tinggi (Susanthi & Setiawan, 2014).

Kepemimpinan dapat mempengaruhi kinerja

dan produktivitas karyawan (Nanjundeswaras

& Swamy, 2014). Kepemimpinan berguna

untuk ketercapaian tujuan organisasi (Holsted,

2016)(Linda Bendikson, Viviane Robinson,

2012), meningkatkan kinerja guru dan

karyawan sekolah (Hallinger & Huber, 2012),

mempercepat transformasi organisasi (Joseph,

1986) (Hallinger, 2003) (Adams & Zabidi,

2017), meningkatkan mutu pendidikan di

sekolah (Donna, 2011).

Kepemimpinan pendidikan yang baik

dapat meningkatkan konsistensi atau

kedisiplinan karyawan (Amanchukwu et al.,

2015); Muhammad Saqib Khan & Irfanullah

Khan, Qamar Afaq Qureshi, Hafiz Muhammad

Ismail, Hamid Rauf, Muhammad Tahir, 2015),

Page 127: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras

127

meningkatkan mutu pelayanan guru (Atkinson,

2014), menjaga dan meningkatkan komitmen

guru dan karyawan (Oh Siew Pei,

2018)(Hallinger, 2003), memperbaiki

keprofesionalan guru (Heck & Hallinger,

2005)(Eyal & Roth, 2010), bahkan

kepemimpinan pendidikan dapat meningkatkan

hasil belajar walaupun secara tidak langsungf

(Heck & Hallinger, 2005)(Hallinger & Heck,

2010).

Kepemimpinan pendidikan juga

berguna untuk meningkatkan kolaborasi,

mewujudkan visi, tujuan, dan target sekolah,

mencapai kesetaraan dan keunggulan,

memastikan lingkungan yang tertib,

mendukung, dan kondusif untuk pembelajaran

dan kesejahteraan siswa, meningkatkan

pembuatan perencanaan yang efektif,

koordinasi dan evaluasi kurikulum,

meningkatkan promosi, membangun kapasitas

kolektif untuk melakukan evaluasi dan

peningkatan berkelanjutan (Holsted, 2016).

METODE PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan tentang kondisi publikasi

penelitian tentang kepemimpinan pendidikan

yang ada di Indonesia. Penelitian ini

menggunakan kajian literatur yang

dipublikasikan pada situs Indonesian

Publication Index (IPI). Kata kunci yang

digunakan untuk mendapatkan artikel adalah

“kepemimpinan pendidikan”. Artikel yang

digunakan untuk diteliti berasal dari kurun

waktu antara 2002 samapi 2018. Adapun

pencarian artikel dibatasi sampai April 2018.

Penelitian ini menggunakan kajian

literatur dengan tiga langkah utama yaitu: (1)

eksplorasi artikel ilmiah; (2) Interpretasi data;

dan (3) komunikasi (Flick, 2013)(Cronin,

Ryan, & Coughlan, 2008). Proses lebih detail

penelitian ini mencakup tahap-tahap berikut:

(1) masuk ke laman IPI dan mengetikan kata

kunci “kepemimpinan pendidikan”; (2)

mengumpulkan dan memeriksa artikel ilmiah;

(3) menganalisis artikel tentang kepemimpinan

pendidikan sesuai persyaratan minimal, yaitu:

tema tentang kepemimpinan, nama penulis,

nama jurnal, penerbit, volume dan nomor

jurnal. Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan

sebanyak 91 artikel ilmiah (appendix 1); (4)

peneliti melakukan pemilahan, analisis dan

interpretasi data, dan (5) melakukan laporan

penelitian atau komunikasi data.

Perumusan masalah dalam penelitian ini

sebagai berikut: (1) Jenis penelitian apakah

yang digunakan dalam penelitian

kepemimpinan pendidikan di Indonesia?; (2)

Jenis-jenis kepemimpinan pendidikan apa yang

diteliti dan dipublikasikan di Indonesia?; (3)

Indikator-indikator apa yang digunakan para

peneliti untuk mengukur kepemimpinan

pendidikan yang efektif? ; (4) Kegunaan apa

yang diharapkan dari hasil-hasil penelitian

kepemimpinan pendidikan di Indonesia?

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

1. Jenis Penelitian Kepemimpinan Pendidikan

Jenis metode dan desain penelitian

tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia

yang digunakan adalah kualitatif dan

kuantitatif. Jumlah penelitian kualitatif lebih

banyak daripada penelitian kuantitatif.

Sedangkan penelitian yang menggunakan

mixed-method atau menggabungkan penelitian

kualitatif dan kuantitatif belum popular dalam

penelitian kepemimpinan pendidikan.

Beberapa contoh penelitian berjenis

kualitatif antara lain: Peranan Kepemimpinan

Kepala Sekolah (Ason, 2013), Kepemimpinan

Pendidikan di sekolah (Nasution, 2015), dan

Kepemimpinan Pendidikan Untuk

Mengembangkan Sekolah Bermutu (Sermal,

2015). Contoh penelitian berjenis kuantitatif

antara lain: Pengaruh Kepemimpinan Kepala

Sekolah, Supervisi Dan Kepuasan Kerja Guru

Terhadap Kinerja (Walukow, Donald M. F.

Page 128: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

128

Tiogas, 2014), Pengaruh Kepemimpinan

Kepala Sekolah, Iklim Kinerja Guru Terhadap

Mutu Pendidikan (Agustina, Sulton Djasmi,

2014), dan Hubungan Perilaku Kepemimpinan

Kepala Sekolah Dan Kemampuan Mengajar

Guru Dengan Inovasi Pendidikan (Sumarsono,

2012).Penelitian kepemimpinan pendidikan

dengan metode kualitatif didominasi oleh

kajian literatur, dimana si peneliti hanya

mengumpulkan konsep atau teori tentang

kepemimpinan pendidikan kemudian ditarik

sebuah kesimpulan untuk diaplikasikan dalam

dunia pendidikan. Contoh penelitian yang

hanya menggunakan kajian literatur tentang

kepemimpinan pendidikan antara lain:

Kepemimpinan Pendidikan (Rohmat, 2006),

Kepemimpinan Kepala Sekolah Yang Efektif

Kunci Pencapaian Kualitas Pendidikan

(Ekosiswoyo, 2007) dan Agama Membentuk

Kepribadian Dan Gaya Kepemimpinan

Pendidikan (Nujuludin, 2013)

Tabel 1. Jenis Metode Penelitian Kepemimpinan Pendidikan

Secara umum kajian literatur tentang

kepemimpinan pendidikan di Indonesia

meliputi unsur sebagai berikut: hakikat atau

definisi kepemimpinan, fungsi dan tugas

pemimpin, ciri-ciri kepemimpinan yang efektif,

pengembangan kepemimpinan dan bagaimana

kepemimpinan dapat dilaksanakan di sekolah

dengan baik.

Sedangkan penelitian dengan

pendekatan kuantitatif didominasi oleh

penelitian korelasi, dimana peneliti melakukan

pengujian hipotesis untuk menghubungkan

kepemimpinan pendidikan dangan variabel

terikat seperti produktivitas, kinerja dan

keinovatifan guru. Beberapa contoh penelitian

tentang kepemimpinan pendidikan yang

menggunakan pendekatan kuantitatif melalui

desain korelasional antara lain: Pengaruh

Kepemimpinan Kepala Madrasah dan

Supervisi Pengawas Madrasah terhadap

Kinerja Guru untuk Mewujudkan Mutu

(Ruhiyat, 2017), Pengaruh Kepemimpinan

Transformasional dan Lingkungan Kerja

Terhadap Semangat Kerja Tenaga

Kependidikan (Ratnasari & Sutjahjo, 2017) dan

Pengaruh Gaya Kepemimpinan

Transformasional Terhadapmotivasi Kerja

Pegawai (Arwin Sanjaya, 2014).

Secara umum penelitian kepemimpinan

yang menggunakan pendekatan kualitatif hanya

mengkaji tidak lebih dari 2 variabel yaitu

kepemimpinan dan implikasinya pada dunia

pendidikan, contohnya seperti: Kepemimpinan

Pendidikan Untuk Mengembangkan Sekolah

Bermutu (Sermal, 2015). Tidak ada pengujian

hipotesis dalam penelitian kualitatif tersebut.

Sedangkan penelitian dengan

pendekatan kuantitatif paling sedikit dengan 2

variabel. Penelitian dengan jenis tersebut

mengkorelasikan kepemimpinan dan variabel

lain dengan salah satu variabel terikat. Contoh

penelitian korelasional yang menghubungkan

kepemimpinan bersama variabel lain terhadap

variabel terikat antara lain: Pengaruh

0

10

20

30

40

50

60

Qualitative Quantitative

0

10

20

30

40

50

60

Literatur Review Correlation

Page 129: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras

129

Kepemimpinan, Motivasi, Dan Lingkungan

Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Badan

Kepegawaian Pendidikan Dan Pelatihan

(Hardiyana & Helwiyan, 2011) dan Hubungan

Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan

Kemampuan Mengajar Guru Dengan Inovasi

Pendidikan (Sumarsono, 2012).

Dalam penelitian kuantitatif, secara

umum variabel kepemimpinan pendidikan

merupakakan variabel yang memengaruhi

variabel terikat antara lain motivasi kerja,

kinerja guru, dan produktivitas guru. Secara

umum temuan penelitian di Indonesia

menunjukkan adanya hubungan positif yang

signifikan antara kepemimpinan dengan

variabel yang dipengaruhinya seperti kinerja

guru dan komitmen pada organisasi.

Tabel 2. Metode Penelitian dan Variabel

One

Variabel

Two

Variabels

Three

Variabels

Four

Variabels Jumlah

Method Qualitative 13 35 3 0 51

Quantitative 2 8 17 13 40

Total 15 43 20 13 91

Adapun publikasi artikel penelitian tentang kepemimpinan pendidikan paling banyak

dipublikasikan antara tahun 2012 sampai 2015.

Tabel 3. Publikasi Artikel Tentang Kepemimpinan Pendidikan

1. Jenis Kepemimpinan Pendidikan

Jenis kepemimpinan pendidikan yang

menempati posisi paling banyak dipublikasikan

yaitu gaya kepemimpinan (leadership style),

kepemimpinan kepala sekolah (principal

leadership) dan kepemimpinan pendidikan

(educational leadership).

Gaya kepemimpinan mengacu pada

bagaimana seorang pemimpin menggunakan

gaya khasnya untuk mencapai tujuan yang dia

kehendaki. Contoh penelitian tentang gaya

kepemimpinan antara lain: Pengaruh Gaya

Kepemimpinan Transformasional Terhadap

Motivasi Kerja Pegawai Pada Kantor Lembaga

Penjamin Mutu Pendidikan (Arwin Sanjaya,

2014) dan Pengaruh Gaya Kepemimpinan

Kepala Sekolah Dan Motivasi Berprestasi Guru

Terhadap Layanan Pendidikan Di Sekolah

Menengah Atas (Deki Wibowo, 2014).

Kepemimpinan kepala sekolah

menunjuk pada penyebutan sosok yang menjadi

pemimpin di lembaga atau organisasi

pendidikan. Contoh penelitian tentang

kepemimpinan kepala sekolah antara lain:

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional

Kepala Sekolah, Pelaksanaan MBS, dan

Pelaksanaan TU Terhadap Kualitas Pendidikan

SD/MI Depok, Sleman (Wahyudi, 2014) dan

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

Page 130: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

130

Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah,

Supervisi Dan Kepuasan Kerja Guru Terhadap

Kinerja Guru MIPA di Yayasan Pendidikan

Advent Timika (Walukow, Donald M. F.

Tiogas, 2014)

Sedangkan kepemimpinan pendidikan

merujuk pada peran seorang pemimimpin yang

memimpin lembaga pendidikan. Contoh

penelitian tentang educational leadership

antara lain: Kepemimpinan Pendidikan Di

Sekolah (Nasution, 2015) dan Manajemen dan

Kepemimpinan Pendidikan Islam (Karimah,

2015)

Tabel 4. Jenis Kepemimpinan Pendidikan

Type of Leadership Articles %

Gaya Kepemimpinan (Leadership Style) 26 28.6

Kepemimpinan Kepala Sekolah (Principal Leadership) 20 22.0

Kepemimpinan Pendidikan (Educational Leadership) 12 13.2

Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership) 9 9.9

Kepemimpinan Pesantren (Boarding School Leadership) 5 5.5

Kepemimpinan Islam (Islamic Educational Leadership) 5 5.5

Kepemimpinan Nabi (Prophetic Leadership) 3 3.3

Perilaku Kepemimpinan (Leadership Behavior) 3 3.3

Kepemimpinan Partisipatif (Participative Leadership) 1 1.1

Kepemimpinan Istruksional (Instructional Leadership) 1 1.1

Kepemimpinan Melayani (Servant Leadership) 1 1.1

Lainnya 5 5.5

Jumlah 91 100

Adapun yang masih sedikit diteliti

antara lain tentang participative leadership,

servant leadership, dan instructional

leadership. Partisipatif leadership mengacu

pada kemampuan seorang pemimpin untuk

melibatkan anggotanya dalam mencapai tujuan

organisasi. Servant leadership mengacu kepada

kehendak dari pemimpin untuk melayani

dengan sepenuh hati untuk mencapai tujuan

organisasi. Sedangkan instructional leadership

mengacu kepada bagaimana upaya seorang

kepala sekolah dalam mengarahkan para guru

untuk mencapai target sekolah, khususnya

dalam bidang akademik.

Sedangkan yang masuk katagori ciri

khas Indonesia antara lain: Kepemipinan

Pendidikan Natsir (Saiful Falah, 2015) ,

Kepemimpinan Pesantren (Sagala, 2016),

Kepemimpinan Islam (Subhan, 2013),

Kepemimpinan Nabi (Arifin, 2016) dan

Kepemimpinan Karakter (Usman, 2013).

Kepemipinan pendidikan Natsir

mengacu kepada pemikiran dan perilaku tokoh

kemerdekaan dan muslim Indonesia dalam

memimpin dan memengaruhi lembaga

pendidikan (Saiful Falah, 2015).

Kepemimpinan pesantren mengacu kepada

sosok pengasuh dan pemimpin pesantren

(Sagala, 2016). Kepemipinan Nabi mengacu

kepada pemikiran dan ajaran seorang Nabi

(Arifin, 2016). Sedangkan Kepemimpinan

karakter mengacu pada sosok ideal dengan ciri-

ciri tertentu yang diharapkan menjadi

pemimpin-pemimpin Indonesia (Usman,

2013).

2. Indikator Kepemimpinan yang Efektif

Peneliti mengambil 2 sampai 4 indikator

yang merujuk sebuah kepemimpinan

pendidikan yang efektif. Dari 91 artikel yang

dianalisis, terdapat 341 kata atau frase yang

merujuk pada indikator kepemimpinan yang

efektif. Kemudian dari 341 kata atau frase

tersebut dilakukan pengkodingan berdasarkan

kesamaan kata atau kesamaan makna

kata/frase.

Page 131: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras

131

Tabel 5. Indikator Kepemimpinan Pendidikan

Indicators Total %

Mengelola (Managing) 33 10

Melakukan perubahan (Transform) 30 9

Merngorganisir (Organizing) 29 9

Komunikasi (Communicating) 28 8

Memengaruhi (Influencing) 26 8

Membimbing (Guiding) 23 7

Berpartisipasi (Participating) 22 6

Memiliki visi, misi (Vision) 20 6

Menjadi contoh (Role Model) 18 5

Memotivasi (Motivating) 17 5

Merencanakan (Planning) 14 4

Demokratis (Democratic) 13 4

Dipercaya (Trust) 12 4

Melakukan supervisi (Supervision) 12 4

Memahami situasi (Situational) 11 3

Berwibawa (Charismatic) 10 3

Mencintai (Love) 5 1

Pengambil keputusan (Decision Making) 5 1

Mendelegasikan (Delegation) 4 1

Otoriter (Autocratic) 3 1

Regenerasi (Regeneration) 2 1

Transaksi (Transactional) 2 1

Kolektif (Collective) 1 0

Bebas (Laissez faire) 1 0

Jumlah 341 100

Berdasarkan data di atas dapat

dinyatakan bahwa 5 indikator terbanyak

pertama yang digunakan oleh para peneliti

kepemimpinan pendidikan di Indonesia yaitu:

Managing, Transforming, Organizing,

Communicating dan Influencing. 5 indikator

terbanyak kedua yaitu: Guiding, Participating,

Vision, Role Model, Motivating. Sedangkan 5

indikator terbanyak ketiga yaitu: Planning,

Democratic, Trust, Supervision, dan

Situational.

Temuan atas indikator kepemimpinan

yang efektif sejalan temuan para peneliti lain,

yaitu: kemampuan mengelola (Lemay & Ellis,

2008)(Memon, Simkins, & Sisum,

2006)Nikoloski, 2015), kemampuan

melakukan perubahan (Hallinger, 2007),

kemampuan mengorganisir (Nanjundeswaras

& Swamy, 2014), kemampuan berkomunikasi

(Velarde, 2017, Nedelcu, 2013) dan

kemampuan memengaruhi (Muhammad Saqib

Khan & Irfanullah Khan, Qamar Afaq Qureshi,

Hafiz Muhammad Ismail, Hamid Rauf,

Muhammad Tahir, 2015, Veliu, Manxhari,

Demiri, & Jahaj, 2017). Ini menunjukan bahwa

indikator-indikator yang relevan sudah banyak

digunakan dalam penelitian di negara-negara

lain.

3. Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan

Peneliti mengambil 2 sampai 4 indikator

yang merujuk pada kegunaan praktis

kepemimpinan pendidikan. Dari 91 artikel yang

dianalisis, terdapat 232 kata atau frase yang

merujuk pada kegunaan penelitian

kepemipinan. Kemudian dari 232 kata atau

frase tersebut dilakukan pengkodingan

berdasarkan kesamaan kata atau kesamaan

makna kata/frase.

Page 132: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

132

Tabel 6. Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan

Kegunaan Kepemimpinan Jumlah %

Ketercapaian tujuan organisasi (Organizational Goal) 52 22

Meningkatkan kijerja (Performance) 33 14

Melakukan perubahan dalam organisasi (Transforming) 29 13

Meningkatkan kualitas pendidikan (Education Quality) 27 12

Memotivasi karyawan (Motivating People) 25 11

Tercipta konsistensi (Consistentcy) 12 5

Meningkatkan pelayanan (Educational Services) 8 3

Meningkatkan komitmen (Commitment) 8 3

Memperbaiki profesionalisme (Teacher Professionalism) 7 3

Meningkatkan hasil belajar (Student Learning) 6 3

Memperbaiki budaya organisasi (Organizational Culture) 6 3

Meningkatkan kreatifitas (Creativity) 3 1

Meningkatkan kepuasan kerja (Work Satisfaction) 3 1

Meningkatkan prestasi (Achievement) 3 1

Meningkatkan keinovatifan (Innovation) 2 1

MenImproving facilities 2 1

Improving Infrastructure 2 1

Lainnya 4 2

Jumlah 232 100

Berdasarkan 232 pernyataan tentang

kegunaan kepemimpinan pendidikan, terdapat

5 kata atau frase terbanyak pertama yaitu:

Organizational Goal di tingkat pertama,

meningkatkan kinerja organisasi peringkat

kedua dan membuat perubahan pada peringkat

ketiga.

Berdasarkan temuan tersebut, kegunaan

kepemimpinan pendidikan di Indonesia sudah

sejalan dengan hasil penelitian pendidikan di

Negara-negara lain. Intinya kepemimpinan

dalam institusi pendidikan berguna untuk

ketercapaian tujuan pendidikan (Holsted,

2016)(Linda Bendikson, Viviane Robinson,

2012), peningkatan kinerja guru (Hallinger &

Huber, 2012), dan melakukan perubahan

(Joseph, 1986) (Hallinger, 2003) (Adams &

Zabidi, 2017), peningkatan kualitas pendidikan

(Donna, 2011), dan meningkatkan motivasi

kerja (Hallinger & Heck, 2010)(Hallinger &

Huber, 2012).

Berdasarkan kajian literatur di atas

dapat diperoleh sebuah model kepemimpinan

pendidikaan yang ada di Indonesia sebagai

gambar berikut:

Page 133: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras

133

Pembahasan

Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian kepemimpinan pendidikan di

Indonesia masih didominasi oleh pendekatan

kualitatif dan kuantitatif. Kedua pendekatan ini

memiliki kelamahannya masing-masing

(Atieno, 2009) sehingga perlu diperbaiki

dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas

penelitian dengan menggunakan pendekatan

mixed method (Ponce, 2015). Melalui

pendekatan mixed method maka penelitian

kepemimpinan pendidikan akan lebih banyak

memberikan kontribusi untuk memperbaiki dan

memberikan solusi bagi kemajuan pendidikan

di Indonesia (Klette, 2012).

Gaya kepemimpinan merupakan jenis

penelitian kepemipinan pendidikan yang paling

banyak diteliti dan dipublikasikan. Hal ini

relevan dengan penelitian selain di Indonesia

seperti penelitian Smith dan Squires (2016)

yang mengakui bahwa gaya kepemimpinan

memainkan peran integral dalam hasil

pendidikan yang positif dalam penciptaan

budaya sekolah (Smith & Squires, 2016), gaya

kepemimpinan mempengaruhi kinerja dan

produktivitas karyawan (Nanjundeswaras &

Swamy, 2014).

Jenis kepemimpinan pendidikan yang

menjadi ciri khas Indonesia yaitu

kepemimpinan yang berkembang sesuai

lokalitas Indonesia. Jenis yang berorientasi

pada lokalitas Indonesia mendasarkan diri pada

keunikan lembaga pendidikan dan pengaruh

kuatnya pengaruh pendidikan keagamaan di

Indonesia sehingga melahirkan jenis

kepemimpinan pendidikan yang berbeda,

antara lain: kepemimpinan pesantren (Sagala,

2016, Ansor, 2014, Sulaiman, 2016),

kepemimpinan Islam (Subhan, 2013, Karimah,

2015, Yusuf, 2014), kepemimpinan nabi

(Arifin, 2016), kepemimpinan Natsir (Saiful

Falah, 2015), dan kepemimpinan karakter

(Usman, 2013).

Pengembangan kepemimpinan

pendidikan yang berbasis lokalitas Indonesia

sangat besar mengingat jumlah lembaga

pendidikan berbasis lokalitas sangat besar

(Zuhdi, 2015). Namun demikian

pengembangan kepemimpinan pendidikan

lokal harus diiringi dengan teori-teori

kepemipinan pendidikan yang berkembang

secara global. Hal tersebut perlu dilakukan agar

kepemimpinan pendidikan Indonesia mampu

mengembangkan multikulturalisme dan

toleransi (Elihami, 2016)

Temuan penelitian ini menunjukkan

bahwa peneliti kepemimpinan pendidikan di

Indonesia sudah mampu memahami dan

mengerti indikator kepemimpinan yang efektif

seperti Managing, Transforming, Organizing,

Communicating and Influencing. Fakta ini

menunjukan bahwa peneliti di Indonesia sudah

memahami variabel penelitian dengan baik.

Namun demikian pembuatan indikator

kepemimpinan pendidikan yang efektif masih

harus terus ditingkatkan, misalnya dengan

mengkombinasi antara teori global dan local.

Penelitian ini menunjukkan bahwa

penelitian tentang kepemimpinan pendidikan

sangat berguna. Rekomendasi untuk melaku-

kan perbaikan kepemimpinan pendidikan sudah

banyak dilakukan oleh para peneliti.

Persoalannya adalah kualitas pendidikan

Indonesia masih menghadapi tantangan besar

(Suratno, 2016) walau pemerintah terus

melakukan perubahan-perubahan dan

memfasilitasi internasionalisasi pendidikan

(Soejatminah, 2009), namun mentalitas dan

komitmen yang rendah untuk melakukan

perbaikan (Sulisworo, 2016) masih menjadi

kendala besar dalam meningkatkan kualitas

pendidikan di Indonesia.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan kajian literatur di atas,

penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut:

(1) Jenis penelitian kepemipinan pendidikan di

Indonseia mencakup jenis penelitian kualitatif,

kuantitatif. Sedangkan penelitian mixed method

Page 134: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

134

masih jarang dijumpai; (2) penelitian tentang

jenis kepemimpinan pendidikan sudah berpijak

pada teor-teori dan konsep kepemimpinan

pendidikan pada aras global, namun ada

beberapa jenis kepemipinan pendidikan yang

merupakan khas Indonesia, seperti

kepemimpinan pesantren; (2) para peneliti

kepemimpinan pendidikan di Indonesia sudah

mampu memahami dan mengerti berbagai

indikator kepemimpinan yang efektif secara

baik, antara lain kemampuan mengelola,

mengorganisir, dan berkomunikasi; dan (4)

para peneliti sudah memberikan rekomendasi

untuk perbaikan kepemimpinan pendidikan

berdasarkan hasil penelitian dengan baik,

namun pendidikan Indonesia masih terus

berjuang agar lebih berkualitas di tengah

persaingan global yang semakin sengit.

Saran

Berdasarkan temuan di atas maka

disarankan agar penelitian kepemimpinan

pendidikan menggunakan jenis metode

penelitian yang lebih baik seperti mixed method

(penelitian bauran). Penelitian harus lebih

banyak menggali kepemimpinan yang khas

Indonesia, misalnya kepemimpinan pesantren

dan lembaga-lembaga pendidikan agama

lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, D. 2017. Educational Leadership For

The 21st Century. International Online

Journal of Educational Leadership,

1(1), 1–4.

Adams, D., & Zabidi, Z. M. 2017. Educational

Leadership for the 21st Century.

International Online Journal of

Educational Leadership, 1(1), 1–5.

https://doi.org/10.22452/iojel.vol1no1.

1

Agustina, Sulton Djasmi, I. S. 2014. Pengaruh

Kepemimpinan Kepala Sekolah Iklim

Kinerja Guru Terhadap Mutu

Pendidikan Lampung Tengah. FKIP

Unila, Program Studi Magister

Manajemen Pendidikan, 1(1), 1–15.

Amanchukwu, R. N., Stanley, G. J., & Ololube,

N. P. 2015. A Review of Leadership

Theories , Principles and Styles and

Their Relevance to Educational

Management. Management, 5(1), 6–14.

https://doi.org/10.5923/j.mm.20150501

.02

Andreas Schleicher. 2013. School Leadership

for Learning. Paris: OECD Publishing,

Paris.

Ansor, A. S. 2014. Manajemen Pendidikan

Islam Tentang Kepemimpinan Kiai di

Pondok Pesantren Tahfidz Daarul

Qur’an Cipondoh Tangerang. Edukasi

Islami Jurnal Pendidikan Islam,

03(Juli), 650–662.

Arifin, M. Z. 2016. Kepemimpinan Pendidikan

Nabi Yusuf. Ta’allum, 04(02), 235–

254.

Arwin Sanjaya, A. B. 2014. Pengaruh Gaya

Kepemimpinan Transformasional

Terhadap Motivasi Kerja Pegawai pada

Kantor Lembaga Penjaminmutu

Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan.

Ad’ministrare, 1(1), 72–83.

Ason, Y. 2013. Peranan Kepemimpinan Kepala

Sekolah dan Profesionalisme Guru

Dalam Implementasi Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan Di Sekolah

Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, 1(1),

58–108.

Atieno, O. P. 2009. An Analysis of the

Strengths And Limitation of Qualitative

and Quantitative Research Paradigms.

Problems Of Education In The 21st

Century, 13, 13–18.

Atkinson, M. 2014. Educational leadership and

management in an international school

context. Kedleston Road, Derby: Un i v

Page 135: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras

135

e r s i t y o f De r b y F a c u l t y o f E

d u c a t i o n Kedleston Road, Derby.

Bush, T. 2007. Educational leadership and

management : theory , policy , and

practice. South African Journal of

Education, 27(3), 391–406.

Connelly, G. 2013. Leadership Matters: What

the Research Says About the Importance

of Principal Leadership. National

Association of Elementary School

Principals.

Cronin, P., Ryan, F., & Coughlan, M. 2008.

Undertaking a literatur review : a step-

by-step approach. British Journal of

Nursing, 17(1), 38–43.

Deki Wibowo, M. 2014. Pengaruh Gaya

Kepemimpinan Kepala Sekolah dan

Motivasi Berprestasi Guru Terhadap

Layanan Pendidikan di Sekolah

Menengah Atas. Jurnal Pendidikan

Dasar, 2(2), 120–130.

Donna, W. 2011. The Importance of

Educational Leadership and Policy : In

Support of Effective Instruction. Center

for Innovative Education and

Prevention & BrainSMART,

(September).

Ekosiswoyo, R. 2007. Kepemimpinan kepala

sekolah yang efektif kunci pencapaian

kualitas pendidikan. Jurnal Ilmu

Pendidikan, 14(2), 76–82.

Elihami. 2016. The Challenge of Religious

Education in Indonesia

Multiculturalism. Journal of Education

and Human Development, 5(4), 211–

221.

https://doi.org/10.15640/jehd.v5n4a20

Evans-Curtis, M. 2004. Types of Leadership

and Their Characteristics. Nova

Southeastern University.

Eyal, O., & Roth, G. 2010. Principals ’

leadership and teachers ’ motivation.

JEA, 49(3), 256–275.

https://doi.org/10.1108/0957823111112

9055

Flick, U. 2013. Qualitative Data Analysis. Los

Angeles/Londong/New Delhi: Sage.

Hallinger, P. 2003. Leading Educational

Change : reflections on the practice of

instructional and transformational

leadership. Cambridge Journal of

Education, 33(3), 331–350.

https://doi.org/10.1080/0305764032000

122005

Hallinger, P. 2007. Research on the practice of

instructional and transformational

leadership : Retrospect and prospect.

Research Conference, Australian

Council for Educational Research, 1–7.

Hallinger, P., & Heck, R. H. 2010. Educational

Management Administration &

Leadership Leadership for Learning :

Educational Management

Administration & Leadership, 38(6),

654–678.

https://doi.org/10.1177/1741143210379

060

Hallinger, P., & Huber, S. 2012. School

leadership that makes a difference:

international perspectives. School

Effectiveness and School Improvement,

23(4), 37–41.

https://doi.org/10.1080/09243453.2012.

681508

Hallinger, P., & Walker, A. 2017. Leading

learning in Asia – emerging empirical

insights from five societies. Journal of

Educational Administration, 55(2),

130–146. https://doi.org/10.1108/JEA-

02-2017-0015

Hardiyana, A., & Helwiyan, F. 2011. Pengaruh

Kepemimpinan, Motivasi, dan

Page 136: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

136

Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja

Pegawai Badan Kepegawaian

Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten

Bandung. Jurnal Ekonomi, Bisnis &

Entrepreneurship, 5(2), 86–96.

Heck, R. H., & Hallinger, P. 2005. The Study

of Educational Leadership and

Management : Where Does the Field

Stand Today? Educational

Management Administration &

Leadership, 33(2), 229–244.

https://doi.org/10.1177/1741143205051

055

Holsted, I. 2016. School Leadership That

Works. New Zealand: Education

Review Office.

Inaya Rakhmani, F. S. 2016. Working Paper

Series Reforming Research in

Indonesia : policies and practice. GDN

Working Paper, (92).

Joseph, H. P. M. 1986. Instructional Leadership

in Effective Schools. The Educational

Resources Information Center (ERIC),

(8).

Karimah, U. 2015. Manajemen dan

Kepemimpinan Pendidikan Islam. Al-

Murabbi, 2(Juli), 88–110.

Klette, K. 2012. Mixed Methods in Educational

Research. Oslo: The Research Council

of Norway.

Lemay, N., & Ellis, A. 2008. Leadership Can

Be Learned , But How Is It Measured ?

Management Sciences for Health, 8(8),

1–29.

Linda Bendikson, Viviane Robinson, J. H.

2012. Principal instructional leadership

and secondary school performance.

Teaching and Learning, 1, 2–8.

Memon, M., Simkins, T., & Sisum, C. 2006.

Developing leadership and management

capacity for school improvement.

Partnerships in Educational

Development, (January), 151–170.

Men, L. 2012. The Effects of Organizational

Leadership on Strategic Internal

Communication and Employee

Outcomes. University of Miami.

Muhammad Saqib Khan, & Irfanullah Khan,

Qamar Afaq Qureshi, Hafiz Muhammad

Ismail, Hamid Rauf, Muhammad Tahir,

A. L. 2015. The Styles of Leadership :

A Critical Review. Public Policy and

Administration Research, 5(3), 87–93.

Nanjundeswaras, T. S., & Swamy, D. R. 2014.

Leadership styles. Advances In

Management, 7(2), 57–63.

Nasution, W. N. 2015. Kepemimpinan

pendidikan di sekolah. Jurnal Tarbiyah,

22(1), 6–22.

Nedelcu, A. 2013. Transformational approach

to school leadership : Contribution to

Continued im - provement of education.

Manager, Change and Leadership,

17(17), 238–244.

Network, M. 2015. Developing Objectives And

Indicators. OJ, 1(April), 1–24.

NIKOLOSKI, K. 2015. Leadership And

Management : Practice of The Art of

Influence. Academica Brâncuşi”

Publisher, II(1), 31–39.

Nujuludin, H. D. 2013. Agama membentuk

kepribadian dan gaya kepemimpinan

pendidikan. Jurnal Pendidikan

Universitas Garut, 07(01), 1–7.

Oh Siew Pei, C. Y. P. 2018. An Explorative

Review of E-Leadership Studies.

International Online Journal of

Educational Leadership, 2(1), 4–20.

Peleg, S. 2012. The role of leadership in the

education system. Education Journal,

1(1), 5–8.

Page 137: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pemetaan Jenis, Indikator dan Kegunaan Kepemimpinan Pendidikan ... | Rais Hidayat & Yuyun E. Patras

137

https://doi.org/10.11648/j.edu.2012010

1.12

Ponce, O. A. 2015. Mixed Methods Research in

Education : Capturing the Complexity

of the Profession. International Journal

of Educational Excellence, 1(1), 111–

135.

Ratnasari, S. L., & Sutjahjo, G. 2017. Pengaruh

Kepemimpinan Transformasional Dan

Lingkungan Kerja Terhadap Semangat

Kerja Tenaga Kependidikan. Jurnal

Inspirasi Bisnis Dan Manajemen, 1(2),

99–112.

Rohmat. 2006. Kepemimpinan Pendidikan.

Pemikiran, Jurnal Kependidikan,

Alternatif, 11(1), 19–33.

Ruhiyat, M. Y. 2017. Pengaruh Kepemimpinan

Kepala Madrasah dan Supervisi

Pengawas Madrasah terhadap Kinerja

Guru untuk Mewujudkan Mutu

Pendidikan di Madrasah. Jurnal

Pendidikan Universitas Garut, 11(01),

26–37.

Sagala, S. 2016. Manajemen dan

kepemimpinan pendidikan pondok

pesantren syaiful sagala. Tarbiyah,

XXII(2), 2–20.

Saiful Falah. 2015. Pendidikan Kepemimpinan

M. Natsir Dan Implementasinya di

Lembaga Pendidikan. Edukasi Islam

Jurnal Pendidikan Islam, 04(Juli),

1076–1101.

Samuel Bazzi, Arya Gaduh, Alexander

Rothenberg, M. 2017. Unity in

Diversity ? Ethnicity , Migration , and

Nation Building in Indonesia.

ResearchGate, Working Paper,

(October).

Sermal. 2015. Kepemimpinan Pendidikan

untuk Mengembangkan Sekolah

Bermutu. Tarbiyah, XXII(2), 2–19.

Siregar, C. 2016. Pluralism and Religious

Tolerance in Indonesia : An Ethical-

Theological Review Based on Christian

Faith Perspectives. Humaniora, 7(3),

349–358.

Smith, B. S., & Squires, V. 2016. The Role of

Leadership Style in Creating a Great

School. SELU Research Review

Journal, 1(1), 65–78.

Soejatminah, S. 2009. Internationalisation of

Indonesian Higher Education : A Study

from the Periphery. Asian Social

Science, 5(9), 70–78.

Spillane, J. P. 2003. Educational Leadership.

Educational Evaluation and Policy

Analysis, 25(4), 343–346.

https://doi.org/10.3102/0162373702500

4343

Sticher, V. 2014. Indonesia : Challenges for the

New Government. CSS Analyses in

Security Policy, 157(July), 1–4.

Subhan, M. 2013. Kepemimpinan islami dalam

peningkatan mutu lembaga pendidikan

islam. Tadris, 8(1), 125–140.

Sulaiman. 2016. Kepemimpinan Kiai dalam

Transformasi Pendidikan Islam ( Studi

Atas Perilaku Kepemimpinan Kiai

dalam Mengelola Pondok Pesantren di

Situbondo ). Falasifa, 7(September

2016), 169–198.

Sulisworo, D. 2016. The Contribution of the

Education System Quality to Improve

the Nation ’ s Competitiveness of

Indonesia. Journal of Education and

Learning, 10(2), 127–138.

https://doi.org/10.11591/edulearn.v10i2

.3468

Sumarsono, R. B. 2012. Hubungan perilaku

kepemimpinan kepala sekolah dan

kemampuan mengajar guru dengan

inovasi pendidikan. Jurnal Manajemen

Pendidikan, VIII(01), 23–39.

Page 138: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

138

Sumintono, R. and B. 2010. Teacher education

in Indonesia: development and

challenges. International Handbook of

Teacher Education World-Wide, (May

2014), 181–197.

Suratno, T. 2016. The education system in

Indonesia at a time of significant

changes. Revue Internationale

d’éducation de Sèvres, (September).

Susanthi, N. I., & Setiawan, A. 2014. The

Effect of Leadership Style on

Motivation to Improve the Employee

Performance. Jurnal Manajemen

Transportasi & Logistik (JMTransLog),

01(03), 221–226.

Suter, S. 2015. Goals , Targets and Indicators

Defining and Prioritizing Targets

Potential criteria for targets in the post-

2015 development agenda. Independent

Research Forum, 2.

Tumonggor, M. K., Karafet, T. M., Hallmark,

B., Lansing, J. S., Sudoyo, H., Hammer,

M. F., & Cox, M. P. 2013. The

Indonesian archipelago : an ancient

genetic highway linking Asia and the

Pacific. Journal of Human Genetics,

58(3), 165–173.

https://doi.org/10.1038/jhg.2012.154

Urick, A., & Bowers, A. J. 2014. What Are the

Different Types of Principals Across the

United States ? A Latent Class Analysis

of Principal Perception of Leadership.

Educational Administration Quarterly,

50(1), 96–134.

https://doi.org/10.1177/0013161X1348

9019

Usman, H. 2013. Kepemimpinan Berkarakter

Sebagai Model Pendidikan Karakter.

Jurnal Pendidikan Karakter, III(3),

265–273.

Velarde, J. 2017. Instructional Leadership

Practices In International Schools

International Online Journal of

Educational, 1(1), 90–117.

Veliu, L., Manxhari, M., Demiri, V., & Jahaj,

L. 2017. The Influence Of Leadership

Styles on Employee's Performance.

Vadyba Journal of Management, 31(2),

59–69.

Wahyudi, H. R. 2014. Pengaruh

Kepemimpinan Transformasional

Kepala Sekolah, Pelaksanaan MBS,

Dan Pelaksanaan TU Terhadap Kualitas

Pendidikan SD/MI Depok Sleman.

Jurnal Akuntabilitas Manajemen

Pendidikan, 2, 250–264.

Walukow, Donald M. F. Tiogas, A. F. 2014.

Pengaruh Kepemimpinan Kepala

Sekolah, Supervisi dan Kepuasan Kerja

Guru Terhadap Kinerja Guru Mipa Di

Yayasan Pendidikan Advent Timika.

Jurnal Ilmu Pendidikan Indonesia,

2(November 3), 41–51.

Yahya, S. A. 2015. Leadership Styles, Types

and Students’ Academic Achievement In

Nigeria. Universiti Tun Hussein Onn

Malaysia.

Yusuf, M. 2014. Multikulturalime dan

Kepemimpinan Pendidikan Islam.

Jurnal Kepemimpinan Pendidikan

Islam Multikultural, 2(1), 122–139.

Zakeer Ahmed Khan, Allah Nawaz, I. K. 2016.

Leadership Theories and Styles: A

Literatur Review. Journal of Resources

Development and Management,

16(January), 1–8.

Zuhdi, M. 2015. Religious Education in

Indonesian Schools. Singapore.

Page 139: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 139-151

139

Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik

Guru IPA SMP

Vidriana Oktoviana Bano

Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Kristen Wira Wacana Sumba

[email protected]

ABSTRACT

This research aims to: (1) describe the real condition of authentic assessment of management

by science teachers at SMP Negeri 1 in Waingapu; (2) describes the gaps that occur in the

management of authentic assessment; and (3) develop training modules in the management of

authentic assessments. This Research is Research and Development (R & D), using the Four

D’s model by Thiagarajan, Semmel, and Semmel (1974). Data collection uses interview,

questionnaire, observation. Data validation uses source triangulation and technical

triangulation. Data analysis techniques through three stages are data reduction, presentation,

and conclusion. The results explain (1) teachers of science limited constraints in practicing

the attitude and skill assessment of the learners. (2) limited training of Curriculum 2013

especially authentic assessment that has been followed by trainees. (3) the validator team puts

the effectiveness of the training module for the management of authentic assessment of science

teachers in junior high school in the fair category with a score of 102 out of 150 or 68%. After

improving the module and tested it, the training participants' response was 79.75% in the

good category and the educational observers' response was 78,4% with the good category as

well.

Keywords: Authentic Assessment, Four D’s Model, R&D, Science Teacher, Training Module

Article Info

Received date: 6 Juni 2018 Revised date: 30 Juli 2018 Accepted date: 8 Desember 2018

PENDAHULUAN

Penilaian autentik (authentic

assessment) merupakan jenis penilaian dalam

penerapan kurikulum 2013 yang tengah

berlangsung saat ini, yang menurut Kunandar

(2013: 35) merupakan aktivitas menilai peserta

didik yang memusatkan pada apa yang

semestinya dinilai, baik proses maupun hasil

dengan beragam instrumen penilaian yang

disesuaikan berdasarkan ketentuan kompetensi

yang tertera dalam Standar Kompetensi atau

Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Selain

Kunandar, Majid (2014: 57) juga menyimpul-

kan definisi penilaian autentik dari beberapa

sumber sebagai: ‘proses pengumpulan berbagai

data yang bisa memberikan gambaran

perkembangan siswa yang perlu selalu dipantau

agar dapat memastikan apakah siswa telah

menjalani proses pembelajaran dengan benar’.

Berjalannya implementasi Kurikulum

2013 hingga saat ini masih dijumpai kendala-

kendala yang menghambat efektifitas

pelaksanaan kurikulum ini. Salah satu kendala

yang dimaksud adalah penilaian autentik,

seperti yang diungkapkan oleh Pramita, dkk

(2016: 290) yang mengatakan bahwa

Kurikulum 2013 akan sulit dilaksanakan di

berbagai daerah karena ketidaksiapan guru

yang tidak hanya terkait masalah

kreativitasnya, melainkan juga masalah

Page 140: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

140

kompetensi dalam menerapkan kurikulum ini.

Berikut beberapa temuan kendala-kendala

lainnya di tingkat SD/MI, SMP/MTs dan

SMA/MA. Di tingkat SMP/MTs, yakni di

MTsN 2 Palangka Raya diungkapkan oleh

Abdullah (2016: 60) tentang sistem penilaian

autentik dalam pembelajarannya yang dirasa

begitu rumit oleh guru Pendidikan Agama

Islam. Di tingkat SD/MI, dialami guru-guru di

SD Kabupaten Pidie (oleh Ruslan, Tati

Fauziah, dan Tuti Alawiyah; 2016: 147) yang

menguraikan alasan-alasan dalam masalah

penilaian yakni: pertama, banyaknya aspek

yang harus dinilai dalam penilaian Kurikulum

2013. Kedua, proses belajar mengajar dirasa

menjadi kurang efektif karena bersamaan

dengan dilakukannya penilaian. Ketiga, guru

merasa terbebani karena setiap nilai yang

diperoleh siswa secara keseluruhan harus

dijumlahkan lalu dideskripsikan nilai yang

didapat tersebut per mata pelajaran.

Permasalahan penilaian di tingkat SMA/MA,

diungkapkan oleh Syukriya, dkk (2015: 5)

melalui teknik wawancara yang menjadikan 20

orang guru Kimia se-Kabupaten Tanggamus

sebagai objek penelitiannya menjelaskan:

pertama, teknik penilaian terlalu rumit atau

membingungkan, demikian pula mekanisme

dan prosedur penilaiannya. Kedua, guru belum

pernah diutus sekolah untuk mengikuti kegiatan

pelatihan Kurikulum 2013. Ketiga, terlalu

banyak jumlah siswa yang diampu oleh satu

orang guru atau terlalu banyak format yang

harus disiapkan.

Permasalahan penilaian autentik dalam

penerapan Kurikulum 2013 ternyata juga

dialami oleh guru-guru di SMP Negeri tempat

penelitian ini, yang menjadi salah satu sekolah

rujukan di Kabupaten Sumba Timur. Setelah

melakukan wawancara dengan 5 (lima) orang

guru IPA terkait penilaian autentik yang telah

diterapkan sekolah sejak tahun 2016-2017

diketahui bahwa pemahaman guru terhadap

penilaian autentik masih terbatas, guru-guru

belum sepenuhnya mengerti bagaimana

menerapkan teknik penilaian, demikian juga

mekanisme dan prosedur penilaiannya. Hal ini

bisa terjadi karena guru-guru tersebut belum

pernah dilatih secara khusus atau pelatihan-

pelatihan yang pernah diikutipun belum

menjawab kebutuhan guru tentang penilaian

autentik. Dari 5 orang guru IPA tersebut, baru 1

orang guru yang pernah mengikuti pelatihan

K13 sebanyak 2 kali yakni pada tahun 2014 dan

2016. Meskipun demikian pelatihan-pelatihan

yang pernah diikuti oleh guru-guru IPA

tersebut belum sepenuhnya menjawab

kebutuhan para guru mengenai penilaian

autentik dalam K13 yang diharapkan, ditambah

lagi belum adanya tanggapan/ respon/umpan

balik bagi guru-guru setelah mengikuti

pelatihan K13. Diketahui bahwa di Kabupaten

Sumba Timur jumlah sekolah tingkat

SMP/MTs yang telah menerapkan K13

sebanyak 46 sekolah dan 31 sekolah belum

menggunakan K13 (Dinas Pendidikan

Kabupaten Sumba Timur, 2017). Data tersebut

menunjukkan bahwa masih banyak sekolah

SMP/MTs yang belum siap mengimplemen-

tasikan K13 yang berdampak masih begitu

besar kebutuhan guru untuk mendapat pelatihan

tentang penilaian autentik dalam K13.

Salah satu langkah yang dapat ditempuh

guna mengatasi permasalahan yang dihadapi

guru-guru di SMP Negeri ini adalah dengan

mengembangkan modul pelatihan dalam

pengelolaan penilaian autentik. Indriyanti &

Endang Susilowati (2010: 2) mengatakan

bahwa modul merupakan suatu cara

pengorganisasian materi pelajaran yang

memperhatikan fungsi pendidikan yang

kegunaannya dapat membuat siswa lebih

tertarik dalam belajar, siswa otomatis belajar

bertolak dari prerequisites, dan dapat

meningkatkan hasil belajar. Hal sama juga

diutarakan Daryanto (2013: 9) yang

mengatakan bahwa modul merupakan salah

satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara

utuh dan sistematis, di dalamnya memuat

seperangkat pengalaman belajar yang terencana

Page 141: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano

141

dan didesain untuk membantu peserta didik

menguasai tujuan belajar yang spesifik. Modul

minimal memuat tujuan pembelajaran,

materi/substansi belajar, dan evaluasi. Bahan

ajar modul ini dipilih karena modul mampu

mengatasi keterbatasan waktu, ruang, daya

indera, baik siswa maupun guru. Selain itu,

modul memungkinkan bagi peserta didik untuk

belajar secara mandiri (independent)

(Anggraini & Sukardi, 2016: 25). Mendukung

pendapat diatas, Daryanto (2013: 9) juga

menyebutkan modul berfungsi sebagai sarana

belajar yang bersifat mandiri, sehingga peserta

didik dapat belajar secara mandiri sesuai

dengan kecepatan masing-masing.

Model pengembangan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah model 4-D yang

dikembangkan pada tahun 1974 oleh

Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (Trianto,

2012: 93) yang terdiri dari 4 (empat) tahap

pengembangan yaitu Pendefinisian (Define),

Perancangan (Design), Pengembangan

(Develop) dan Pendiseminasian (Disseminate)/

Peneliti memilih model 4-D karena tahapan-

tahapan yang ada jelas dan memaparkan secara

ringkas proses pengembangan yang dilakukan.

Berikut kelebihan model 4D menurut beberapa

peneliti lain. Rochmad (2012: 60) menjelaskan

bahwa Desain Model Four-D digunakan untuk

alur pengembangan perangkat pembelajaran

(instructional development) yang pada

dasarnya dimaksudkan untuk pelatihan guru

(training teacher) untuk anak-anak

berkebutuhan khusus (exceptional children),

dan penekanannya pada pengembangan bahan

ajar (material development). Trianto (2012: 3)

menjelaskan bahwa model 4D merupakan salah

satu model desain pembelajaran sistematik.

Lebih lanjut Arywiantari, dkk (2015: 3)

mengatakan bahwa model ini tersusun secara

terprogram dengan urutan-urutan kegiatan yang

sistematis dalam upaya pemecahan masalah

belajar yang berkaitan dengan suatu sumber

belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan

karakteristik pebelajar, dimana salah satu

kelebihan 4D yaitu lebih tepat digunakan

sebagai dasar untuk mengembangkan

perangkat pembelajaran bukan untuk

mengembangkan sistem pembelajaran.

Berdasarkan permasalahan di atas,

peneliti merasa perlu melakukan penelitian dan

pengembangan dengan tujuan sebagai berikut:

(a) mendeskripsikan kondisi nyata pengelolaan

penilaian autentik; (b) mendeskripsikan

kesenjangan yang terjadi dalam pengelolaan

penilaian autentik; dan (c) mengembangkan

modul pelatihan dalam pengelolaan penilaian

autentik khususnya bagi guru mata pelajaran

IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) di tingkat

pendidikan menengah pertama Modul yang

dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan

profesionalis-me pendidik dalam

mengaplikasikan penilaian autentik dalam

Kurikulum 2013.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian dan

pengembangan. (Research & Development)

Model pengembangan yang digunakan adalah

Model 4 D (Four D’s Model) yang

dikembangkan oleh Thiagarajan, Semmel and

Semmel (1974), yang terdiri dari 4 tahap

pengembangan yaitu Pendefinisian (Define),

Perancangan (Design), Pengembangan

(Develop) dan Pendiseminasian (Disseminate).

Penelitian ini hanya sampai pada tahap

Pengembangan (Develop).

Penelitian dilakukan di SMP Negeri 1

Waingapu yang berlokasi di Jl. I.H. Doko No.6,

Prailiu, Kecamatan Kambera, Kabupaten

Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Subyek

penelitian adalah Kepala Sekolah, Wakil

Kepala Sekolah, guru mata pelajaran IPA di

SMP Negeri ini (yang menjadi sasaran khusus

sebagai peserta pelatihan, berjumlah 5 orang)

dan Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan

Kabupaten Sumba Timur. Data penelitian juga

dilengkapi dengan hasil penilaian dari tim

validasi ahli dan praktisi pendidikan lainnya

yang dapat mendukung hasil penelitian ini.

Page 142: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

142

Waktu pelaksanaan penelitian dimulai sejak

bulan September 2017 – Maret 2018.

Pengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan teknik interview

(wawancara), observasi (pengamatan), studi

dokumen, dan kuesioner. Teknik validasi data

menggunakan trianggulasi sumber dan

trianggulasi teknik. Sedang teknik analisis data

menggunakan teknik analisis data kualitatif

yang meliputi tiga tahap, yaitu: 1) Reduksi Data

(Data Reduction); 2) Penyajian Data (Data

Display); 3) Penarikan Kesimpulan

(Conclusion Drawing).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Bagian ini menguraikan tentang hasil

penelitian dengan mengikuti model pendekatan

4-D.

Tahap 1: Pendefinisian (Define)

Tahap Pendefinisian adalah tahap untuk

menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat

pembelajaran. Penjelasan pada tahap ini terbagi

dalam 5 fase, yaitu: (1) Analisis awal akhir

(front-end analysis); (2) Analisis

siswa/pebelajar (learner analysis); (3) Analisis

tugas (task analysis); (4) Analisis konsep

(concept analysis); (5) Spesifikasi tujuan

(specifying instructional objectives), sebagai

berikut:

1) Analisis awal akhir (Front-end analysis)

Analisis awal akhir bertujuan untuk

memunculkan dan menetapkan masalah dasar

yang dihadapi dalam pembelajaran sehingga

diperlukan pengembangan bahan ajar. Dari

hasil wawancara terungkap masalah/persoalan

mendasar yang dihadapi yaitu peserta pelatihan

belum memahami dengan baik dan benar

pengelolaan penilaian autentik dalam K13. Hal

ini terlihat dari pelaksanaan teknik penilaian

sikap (sosial dan spiritual) penilaian autentik

yang seharusnya juga dilakukan oleh setiap

guru mata pelajaran minimal dilakukan satu

kali terhadap seluruh peserta didik dengan

menyiapkan instrumen terlebih dahulu

(berdasarkan Panduan Penilaian oleh Pendidik

dan Satuan Pendidikan dari Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017),

namun kondisi nyata di lapangan, peserta

pelatihan justru mempercayakan penilaian

sikap terhadap peserta didik sepenuhnya

menjadi tugas Wali kelas atau guru PKN atau

guru Agama atau guru BK sementara guru-guru

IPA cukup melakukan pengamatan saja atau

penilaian tidak langsung. Selain penilaian

sikap, ada juga penilaian ketrampilan (praktik,

produk, projek, portofolio) yang perlu

diterapkan dalam penilaian autentik namun

penerapan di lapangan menunjukkan penilaian

portofolio dan proyek jarang dipraktekkan pada

peserta didik. Guru-guru IPA juga masih

merasa binggung dalam membuat instrumen

penilaian. Usaha-usaha yang dilakukan guru-

guru IPA untuk mengevaluasi pengelolaan

penilaian autentik yang telah diterapkan di

sekolah supaya dapat menjadi lebih baik lagi di

semester-semester selanjutnya belum

sepenuhnya optimal dilaksanakan. Akibatnya

walaupun sekolah secara resmi sudah

ditetapkan menjalankan K13 sejak tahun ajaran

2016-2017, namun dalam kenyataannya

pelaksanaan pola pengajaran dan penilaian

masih menggunakan kurikulum lama, yaitu

KTSP 2006.

2) Analisis siswa/pebelajar (Learner

analysis)

Analisis ini dilakukan untuk

mendapatkan gambaran karateristik pebelajar,

antara lain: (a) tingkat kemampuan atau

perkembangan intelektualnya, (b) ketrampilan-

ketrampilan individu atau sosial yang sudah

dimiliki dan dapat dikembangkan untuk

mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.

Diketahui bahwa kelima peserta

pelatihan mempunyai latar belakang

pendidikan Sarjana Strata-1 dari beberapa

kampus negeri dan swata di Indonesia,

mempunyai pengalaman dalam melakukan

pendampingan terhadap peserta didik

Page 143: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano

143

mengikuti perlombaan baik di tingkat

Kecamatan maupun tingkat Kabupaten. Guru

AM (♂) menjadi salah seorang guru senior di

sekolah tersebut, dengan lama pengabdian 24

tahun, disusul oleh guru EB (♀) dengan lama

pengabdian 14 tahun, guru MA (♀) 12 tahun,

guru VD (♀) selama 7 tahun dan guru AH (♂)

selama 4 bulan terhitung sejak Okt 2017.

3) Analisis tugas (Task analysis)

Analisis tugas bertujuan untuk

mengidentifikasi ketrampilan-ketrampilan

utama yang akan dikaji oleh peneliti dan

menganalisisnya ke dalam himpunan

ketrampilan tambahan yang mungkin

diperlukan. Analisis ini memastikan ulasan

yang menyeluruh tentang tugas dalam materi

pembelajaran.

Tugas-tugas yang dilakukan peserta

pelatihan pada saat pelatihan dengan

menggunakan produk modul yang

dikembangkan, antara lain: (a) menentukan

Kriteria Belajar Minimal (KBM) mata

pelajaran, (b) membuat rubrik penilaian untuk

penilaian sikap peserta didik, (c) membuat

deskripsi penilaian sikap peserta didik dalam

rapor.

4) Analisis konsep (Concept analysis)

Analisis konsep merupakan identifikasi

komponen materi yang akan diajarkan kepada

peserta pelatihan, yang dibuat dalam peta

konsep sehingga memudahkan peserta

pelatihan dalam pembelajaran. Tahap ini

merupakan pengidentifikasian konsep utama

yang akan diajarkan dan menyusunnya secara

sistematis dengan merinci konsep materi dalam

bentuk peta konsep, seperti gambar dibawah

ini:

Gambar 1. Peta konsep penilaian autentik

5) Spesifikasi Tujuan (Specifying

instructional objectives)

Di fase ini, peneliti akan mengubah

hasil analisis tugas (ketrampilan utama) dan

hasil hasil analisis konsep (konsep-konsep

pokok) ke dalam rumusan tujuan-tujuan

pelatihan dalam bentuk perilaku-perilaku

teramati tertentu. Adapun hasil perumusan

tujuan pelatihan yang dilakukan adalah (1)

peserta pelatihan dapat memahami konsep

penilaian autentik dalam kurikulum 2013; (2)

peserta pelatihan dapat memahami dan

melakukan penilaian sikap; (3) peserta

pelatihan dapat memahami dan melakukan

penilaian pengetahuan; (4) peserta pelatihan

dapat memahami dan melakukan penilaian

ketrampilan.

Tahap 2: Perancangan (Design)

Tahap perancangan ini bertujuan untuk

merancang perangkat pembelajaran. Ada 4

langkah yang harus dilakukan pada tahap ini,

yaitu sebagai berikut:

1) Penyusunan Tes (Criterion-test

construction)

Penyusunan tes pada penelitian ini

difokuskan pada tes akhir setelah pelatihan

menggunakan Modul Pelatihan Pengelolaan

Penilaian Autentik Guru IPA SMP. Tes yang

disusun berupa tes akhir (post test) sebagai

evaluasi untuk mengetahui hasil belajar atau uji

kompetensi peserta pelatihan setelah

pembelajaran menggunakan Modul Pelatihan

Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA

SMP. Adapun jenis evalusinya berupa tes

formatif berupa tes pilihan ganda dalam setiap

kegiatan pembelajaran. Adapula umpan balik

dan tindak lanjut yang perlu dilakukan peserta

pelatihan diakhir setiap materi.

Penilaian Autentik K13

Penilaian Sikap

Kegiatan Pembelajaran: membahas pengertian, teknik, perencanaan, dll

tentang penilaian sikap

Page 144: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

144

2) Pemilihan Media (Media selection)

Media pembelajaran atau sarana yang

diperlukan yang digunakan pada pelatihan ini

adalah berupa perlengkapan alat kantor (ATK)

yang terdiri dari: Pena/Pulpen, Pensil dan note

book. Peserta pelatihan juga dapat

menggunakan laptop masing-masing jika ingin

membaca materi pelatihan dalam bentuk soft

file.

3) Pemilihan Format (Format selection)

Pemilihan format pada tahap

perencanaan ini merupakan pemilihan metode

pembelajaran dalam pelatihan yang

memungkinkan peserta pelatihan lebih mudah

menangkap materi ajar yang disampaikan oleh

instruktur. Metode pembelajaran yang

digunakan dalam pelatihan penelitian ini adalah

metode pembelajaran langsung (direct

instruction), dengan melakukan diskusi-diskusi

terkait materi ajar dan pengalaman-pengalaman

rill (nyata) peserta pelatihan selama mengabdi.

Adapun Modul Pelatihan Pengelolaan

Penilaian Autentik Guru IPA SMP

dikembangkan berdasarkan buku Panduan

Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan

untuk SMP, oleh Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorak Jenderal Pendidikan

Dasar Dan Menengah, Direktorat Pembinaan

Sekolah Menengah Pertama Tahun 2017.

Dalam modul tersebut, peneliti

mengembangkannya dengan menambahkan

contoh-contoh penilaian dalam mata pelajaran

IPA sehingga modul tersebut dapat

memfasilitasi guru IPA secara khusus dalam

merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan

serta memanfaatkan hasil penilaian baik aspek

sikap, aspek pengetahuan, dan aspek

keterampilan.

4) Rancangan Awal (Initial design)

Pada tahap ini, instrumen dan buku

modul pelatihan dikembangkan secara

sederhana sebagai rancangan awal. Rancangan

awal berfungsi sebagai desain sebelum

instrumen dan buku modul tersebut

diujicobakan. Berikut ini adalah desain

rancangan awal buku modul Pelatihan

Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA

SMP.

Gambar 2. Rancangan awal modul

Page 145: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano

145

Tahap 3: Pengembangan (Develop)

Tahap pengembangan yang merupakan

tahap terakhir dalam penelitian ini bertujuan

untuk menghasilkan produk pengembangan

perangkat pembelajaran dalam hal ini modul

dan instrumen yang sudah direvisi berdasarkan

masukan dari para ahli.

1) Validasi ahli/praktisi (Expert appraisal)

Tahap validasi buku modul difokuskan

untuk mendapatkan sebuah modul pelatihan

yang layak dan efektif untuk digunakan dengan

memperhatikan masukan dari berbagai pihak.

Adapun hasil validasi dari para ahli adalah

sebagai berikut:

Tabel 1. Penilaian Ahli dan Praktisi terhadap Modul

Validator Pertanyaan

Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 3 3 2 3 2 2 3 3 3 3 27

2 2 3 4 4 4 4 4 3 4 4 36

3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 39

Jumlah Skor Hasil Pengumpulan Data 102

Sumber: Data penelitian

Dari tabel diatas, dapat diinterpretasi

nilai 102 termasuk dalam kategori interval

cukup jelas/sesuai/operasional atau bernilai

68% yang terletak pada daerah cukup. Secara

kontinum dapat dibuat kategori sebagai berikut.

Gambar 3. Hasil penilaian skala sikap validasi ahli/praktisi

Berdasarkan data kuantitatif dan

kualitatif yang diperoleh dari validasi

ahli/praktisi di atas menjadi input positive bagi

peneliti dalam mengkoreksi, membenahi dan

mengembangkan modul pelatihan pengelolaan

penilaian autentik guru IPA di SMP Negeri ini

menjadi lebih baik lagi.

2) Uji coba pengembangan (Developmental

testing)

Kegiatan uji coba merupakan kegiatan

penerapan sesuangguhnya terhadap guru-guru

IPA di SMP Negeri ini. Pada tahap uji coba ini,

ada beberapa kegiatan yang diamati, seperti:

aktivitas guru IPA selama pelatihan, hasil

pelatihan guru IPA, respon guru IPA terhadap

modul pelatihan serta respon praktisi

pendidikan terhadap modul pelatihan yang

dikembangkan.

1) Aktivitas peserta pelatihan

Aktivitas bapak/ibu guru IPA yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah antara

lain:

- Membaca dan memperhatikan dengan

seksama uraian-uraian materi yang ada

pada masing-masing kegiatan belajar.

- Berdiskusi tentang topik pembelajaran

yang dirasa belum paham, berdiskusi

tentang umpan balik dan tindak lanjut yang

perlu dilakukan dari setiap setiap kegiatan.

Peserta pelatihan terlihat sangat antusias

dalam melakukan aktivitas pelatihan

menggunakan modul tersebut.

Page 146: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

146

2) Hasil pelatihan guru IPA

Hasil pelatihan guru merupakan

kemampuan yang diperoleh masing-masing

guru setelah proses pelatihan berlangsung, yang

dapat memberikan perubahan tingkah laku baik

pengetahuan, pemahaman, sikap dan

ketrampilan guru sehingga menjadi lebih baik.

Hasil pelatihan guru IPA pada uji coba terbatas

pada penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian,

yaitu:

- Kognitif

Hasil pelatihan kognitif peserta

pelatihan pada saat uji coba terbatas

dengan menggunakan modul pelatihan

pengelolaan penilaian autentik dapat

dilihat pada Tabel 2. Pelatihan kognitif

tersebut dilakukan menggunakan tes

pilihan ganda dengan pemberian skor

(berskala 10-100) terhadap jawaban yang

benar mengikuti aturan:

Sk = 𝐵 −𝑆

0 − 1

Tabel 2. Penilaian hasil pelatihan kognitif peserta pelatihan

No Nama Guru IPA Nilai Keterangan

1. AM 95 Di atas minimal tanpa bimbingan

2. EB 85 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan

3. MA 90 Di atas minimal tanpa bimbingan

4. VD 77.5 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan

5. AH 87.5 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan

Sumber: Data penelitian

- Afektif

Hasil penilaian afektif peserta pelatihan

dapat terlihat jelas dengan adanya sikap yang

antusias dan bertanggung jawab dalam

menyelesaikan tugas/latihan serta evaluasi dari

setiap kegiatan pembelajaran yang diberikan.

- Psikomotorik

Hasil pelatihan psikomotorik peserta

pelatihan pada saat uji coba terbatas dengan

menggunakan modul dapat dilihat pada Tabel

3.

Tabel 3. Penilaian hasil pelatihan psikomotorik peserta pelatihan

No Nama Guru IPA Nilai Keterangan

1. AM 80 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan

2. EB 85 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan

3. MA 77.5 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan

4. VD 90 Di atas minimal tanpa bimbingan

5. AH 75 Memenuhi kriteria minimal tanpa bimbingan

Sumber: Data penelitian

3) Respon peserta pelatihan terhadap modul

Peneliti juga membagikan kuesioner

untuk mengukur respon peserta pelatihan

terhadap modul pelatihan. Respon peserta dapat

di lihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4. Respon peserta pelatihan terhadap modul pelatihan

Pertanyaan Nama Guru IPA

AM EB MA VD AH

1 3 3 3 4 3

2 3 3 3 3 3

3 3 3 3 4 3

4 3 3 3 3 3

5 3 3 3 3 3

6 3 3 3 4 4

7 3 3 3 4 3

8 3 3 3 3 3

Page 147: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano

147

9 3 3 3 3 3

10 3 3 3 4 4

11 3 3 3 4 4

12 3 2 3 4 4

13 3 3 3 4 4

14 3 3 3 3 4

15 3 4 3 4 4

16 3 3 3 3 4

17 3 3 3 4 4

18 3 3 3 3 3

19 3 3 3 3 3

20 3 3 3 3 3

Jumlah 60 60 60 70 69

Jumlah Skor 319

Sumber: Data penelitian

Tabel diatas, menunjukkan bahwa

total nilai dari peserta adalah 319 yang

termasuk dalam kategori interval baik, atau

mempunyai nilai 79,75% yang terletak pada

daerah kuat. Secara kontinum dapat dibuat

kategori sebagai berikut.

Gambar 5. Skala sikap peserta pelatihan terhadap modul

4) Respon praktisi pendidikan terhadap modul

pelatihan

Selain respon dari peserta pelatihan

terhadap modul pelatihan pengelolaan

penilaian yang dikembangkan, peneliti juga

melibatkan beberapa orang praktisi dalam

dunia pendidikan. Nama, jabatan dan respon

beberapa orang praktisi tersebut dapat di lihat

pada tabel 5. sebagai berikut.

Tabel 5. Respon Praktisi Pendidikan terhadap Modul Pelatihan

Pertanyaan Kepala Sekolah

SMPN 1

Waingapu

Kepala Sekolah

SMP Kristen

Waingapu

Kepala Sekolah SMP

Muhammadiyah

(Ketua MGMP IPA

Waingapu)

Instruktur

Nasional K13

1 3 3 3 3

2 3 3 4 3

3 3 3 3 3

4 4 3 4 3

5 4 3 3 3

6 4 3 3 3

7 4 3 3 3

8 4 3 3 3

9 4 3 3 3

Page 148: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

148

10 4 3 3 3

11 3 3 3 2

12 3 3 3 3

13 3 3 3 2

14 3 3 4 2

15 4 3 4 3

16 3 3 4 3

17 3 3 3 3

18 4 3 3 4

19 3 3 3 3

20 4 3 4 4

Jumlah 66 60 66 59

Jumlah Skor 251

Sumber: Data penelitian

Apabila diinterpretasi nilai 251

termasuk dalam kategori interval baik atau

bernilai 78,4% yang terletak pada daerah kuat.

Secara kontinum dapat dibuat kategori sebagai

berikut.

Gambar 6. Skala sikap praktisi pendidikan terhadap keefektifan modul

Pembahasan

Dari tahap pendefinisian dalam

pengembangan ini, telah ditemukan a)

permasalahan yang dihadapi para guru dalam

melaksanakan penilaian autentik, yang memicu

adanya kebutuhan akan modul pelatihan b)

karakteristik para calon pengguna modul, c)

tugas-tugas yang harus dilakukan oleh

pengguna modul, d) konsep-konsep pokok

yang semestinya ada dalam modul dan e)

rumusan tujuan pelatihan. Hasil tersebut sejalan

dengan teori pengembangan dari Thiagarajan,

Semmel, dan Semmel (1974), yang menyatakan

bahwa hakikat tahap define (tahap

pendefinisian) adalah proses untuk menentukan

dan mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan di

dalam proses pembelajaran/ pelatihan serta

mengumpulkan berbagai informasi yang

berkaitan dengan produk yang akan

dikembangkan. Dengan demikian tahapan ini

hakikatnya sejalan dengan tahap analyze dalam

pengembangan model ADDIE (Branch, 2009)

atau tahap Potensi dan Masalah dalam langkah-

langkah pengembangan sebagai disebut oleh

Sugiyono (2011).

Temuan tentang kebutuhan modul

pelatihan pada tahap pendefinisian di atas

sejalan dengan hasil penelitian Giarti (2017)

yang di tahap studi pendahuluannya

menemukan adanya kebutuhan akan modul

pelatihan karya tulis ilmiah hasil PTK akibat

rendahnya kompetensi guru dalam menulis

karya tulis ilmiah, karena kemandirian guru

yang belum mencukupi untuk mengakses

Page 149: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano

149

sumber-sumber karya ilmiah, belum tepatnya

metode pelatihan yang diadakan selama ini dan

belum memadainya kemampuan pelatih dalam

merancang modul pelatihan yang

memungkinkan guru untuk belajar secara

mandiri.

Pada tahap perancangan, peneliti telah

menghasilkan rancangan awal Modul Pelatihan

Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP

setelah didahului dengan penyusunan alat

evaluasi (tes), pemilihan mediaa dan pemilihan

format pembelajaran/ pelatihan. Hasil tersebut

sejalan dengan teori pengembangan dari

Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974),

yang menyatakan bahwa hakikat tahap design

(tahap perancangan) adalah proses merancang

produk pembelajaran guna memenuhi

kebutuhan yang sudah diidentifikasi pada tahap

pendefinisian. Dengan demikian tahapan ini

hakikatnya sejalan dengan tahap design dalam

pengembangan model ADDIE (Branch, 2009)

atau tahap perancangan/disain dalam langkah-

langkah pengembangan sebagai disebut oleh

Sugiyono (2011). Keberhasilan menyusun

produk berupa draft modul pada akhir tahap

penrancangan di atas sejalan dengan penelitian

Giarti (2017) yang pada langkah perancangan

modul (blue print modul) berhasil

mengembangkan kerangka modul yang terdiri

dari 9 topik seperti tersebut di atas, berhasil

merancang portal berbasis CMS Moodle, dan

kisi-kisi evaluasi.

Pada tahap develop (tahap

pengembangan) telah dihasilkan modul

pelatihan dan instrument-instrumen yang

diperlukan guna validasi ahli maupun uji coba

produk. Penilaian validator menempatkan

keefektifan modul pelatihan pada kategori

cukup, peserta menilai modul dalam kategori

baik dan praktisi pendidikan menilai modul

pada kategori baik. Hasil tersebut sejalan

dengan teori pengembangan dari Thiagarajan,

Semmel, dan Semmel (1974), yang menyatakan

bahwa hakikat tahap develop (tahap

pengembangan) adalah tahap menghasilkan

produk pengembangan yang dilakukan melalui

dua langkah, yakni: (1) penilaian ahli (expert

appraisal) yang diikuti dengan revisi, dan (2)

uji coba pengembangan (developmental

testing). Dengan demikian tahapan ini

hakikatnya sejalan dengan tahap develop dalam

pengembangan model ADDIE (Branch, 2009)

atau tahap validasi desain, revisi desain, ujicoba

terbatas dan revisi produk dalam langkah-

langkah pengembangan sebagai disebut oleh

Sugiyono (2011).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian menggunakan

Model 4D dalam pengembangan modul

pelatihan pengelolaan penilaian guru IPA

Sekolah Menengah Pertama dapat disimpulkan

bahwa:

Kodisi nyata pengelolaan penilaian

autentik guru IPA. Guru-guru IPA belum

memahami dengan baik dan benar pengelolaan

penilaian autentik dalam K13. Guru-guru IPA

belum melaksanakan penilaian sikap (sosial

dan spiritual); Guru-guru IPA juga masih

binggung dalam membuat instrumen penilaian

ketrampilan (praktik, produk, projek,

portofolio). Usaha-usaha yang dilakukan guru-

guru IPA untuk mengevaluasi pengelolaan

penilaian autentik yang telah diterapkan di

sekolah supaya dapat menjadi lebih baik lagi di

semester-semester selanjutnya belum

sepenuhnya optimal dilaksanakan. Akibatnya

walaupun sekolah secara resmi sudah

ditetapkan menjalankan K13 sejak tahun ajaran

2016-2017, namun dalam kenyataannya

pelaksanaan pola pengajaran dan penilaian

masih menggunakan kurikulum lama, yaitu

KTSP 2006.

Kesenjangan dalam pengelolaan

penilaian autentik guru IPA. Salah satu

persoalan mendasar yang dihadapi guru-guru

IPA SMP adalah minimnya kesempatan

mengikuti pelatihan K13 tentang penilaian

autentik. Pelatihan-pelatihan yang pernah

Page 150: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

150

diikuti oleh guru-guru IPA belum sepenuhnya

menjawab kebutuhan para guru mengenai

penilaian autentik dalam K13.

Modul pelatihan dalam pengelolaan

penilaian autentik guru IPA. Modul Pelatihan

Pengelolaan Penilaian Guru IPA SMP

dikembangkan berdasarkan buku Panduan

Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan

untuk SMP, oleh Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan

Dasar Dan Menengah, Direktorat Pembinaan

Sekolah Menengah Pertama Tahun 2017

dengan menambahkan contoh-contoh penilaian

dalam mata pelajaran IPA sehingga dapat

memfasilitasi guru IPA dalam merencanakan,

melaksanakan, dan melaporkan serta

memanfaatkan hasil penilaian baik aspek sikap,

aspek pengetahuan, dan aspek keterampilan.

Hasil dari penilaian validator

menempatkan keefektifan terhadap modul

pelatihan pengelolaan penilaian autentik guru

IPA pada kategori cukup. Respon peserta

pelatihan terhadap modul pada kategori baik

dan respon praktisi pendidikan terhadap modul

menunjukkan respon positif dengan kategori

baik.

Saran

a. Bagi guru atau pendidik IPA, setelah

membaca buku modul ini diharapkan dapat

menerapkan dan mengaplikasikan

pengelolaan penilaian autentik dengan baik

dan benar terhadap peserta didik.

b. Bagi Kepala Sekolah, diharapkan untuk

terus mengoptimalkan profesionalisme

guru dalam pengelolaan penilaian autentik,

juga bagi pendidik awam di sekolahnya.

c. Bagi Dinas Pendidikan, diharapkan untuk

terus melakukan upaya pengembangan

profesionalitas guru atau pendidik melalui

buku-buku modul sehingga membawa

dampak terhadap kemandirian guru untuk

membaca dan meng-up grade diri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Implementasi Penilaian Autentik

Kurikulum 2013 Pada Pembelajaran

Pendidikan Agama Islam Di Madrasah

Tsanawiyah Negeri 2 Palangka Raya.

FITRAH Jurnal Kajian Ilmu-ilmu

Keislaman 2 (2), 59 – 82.

Anggraini & Sukardi. Pengembangan Modul

Pembelajaran Kewirausahaan Model

Student Company Di SMK Negeri 1

Godean. Jurnal Pendidikan Vokasi. 6

(1), 24 – 30.

Arywiantari, D., A. A. Gede Agung., I Dewa

Kade Sastra. 2015. Pengembangan

Multimedia Interaktif Model 4D Pada

Pembelajaran IPA Di SMP Negeri 3

Singaraja. e-Journal Edutech

Universitas Pendidikan Ganesha

Jurusan Teknologi Pendidikan 3 (1), 1 –

12.

Branch, Robert Maribe. 2009. Instructional

Design: The ADDIE Approach. New

York : Springer Science & Business

Media, LLC. 2009

Daryanto. 2013. Menyusun Modul (Bahan Ajar

untuk Persiapan Guru dalam

Mengajar). Yogyakarta: Penerbit Gava

Media.

Giarti, Sri. 2017. Pengembangan Modul

Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah

Berbasis Andragogi Berbantuan CMS

Moodle. Kelola: Jurnal Manajemen

Pendidikan, 3(2).

https://doi.org/https://doi.org/10.24246/

j.jk.2016.v3.i2.p%25p

Indriyanti, N.Y & Endang Susilowati. 2010.

Pengembangan Model. Tim Pengabdian

Kepada Masyarakat, Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Masyarakat,

Universitas Sebelas Maret. Diberikan

dalam Pelatihan Pembuatan e-module

bagi Guru-guru IPA Biologi SMP se-

Kota Surakarta menuju Open Education

Page 151: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pengelolaan Penilaian Autentik Guru IPA SMP | Vidriana O. Bano

151

Resources, Pada tanggal 7 Agustus

2010. 1 – 10.

Kunandar. 2013. Penilaian Autentik (Penilaian

Hasil Belajar Peserta Didik

Berdasarkan Kurikulum 2013). Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada.

Majid, Abdul. 2014. Penilaian Autentik. Proses

Dan Hasil Belajar. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Pramita, M., Sri Mulyati., Hery Susanto. 2016.

Implementasi Desain Pembelajaran

Pada Kurikulum 2013 Dengan

Pendekatan Kontekstual. Jurnal

Pendidikan: Teori, Penelitian, dan

Pengembangan, 1 (3), 289 - 296.

Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan

Perangkat Pembelajaran Matematika.

Jurnal Kreano. Diterbitkan oleh

Jurusan Matematika FMIPA UNNES. 3

(1), 59 - 72 .

Ruslan, Tati Fauziah, Tuti Alawiyah. 2016.

Kendala Guru Dalam Menerapkan

Penilaian Autentik di SD Kabupaten

Pidie. Jurnal Ilmiah Mahasiswa

Pendidikan Guru Sekolah Dasar

FKIP Unsyiah, 1 (1), 147-157.

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif,

Kualitatif dan R&D. Jakarta : Alfhabeta

Syukriya, H., Herpratiwi., Dwi Yulianti. 2015.

Evaluasi Implementasi Penilaian

Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Kimia

Kelas XI Di Kabupaten Tanggamus.

(download.portalgaruda.org/article.ph

p?article=372903&val=7224&title...)

di unduh pada tanggal 02/09/2017 pkl

22:02 wib.

Thiagarajan.S., Semmel, D. S., & Semmel, M.

I., 1974. Instructional Development for

Training Teachers of Exceptional

Children. Blomington: Indiana

University.

Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpatu:

Konsep, Strategi, dan Implementasinya

dalam Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi

Aksara.

Page 152: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 152-164

152

Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri

Maria Tri Erowati

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Slameto

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Wasitohadi

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This research is an evaluation that aimed to know the process of implementation policy,

factors that effected regrouping school program, the effects of regrouping, and how the

effectiveness and efficiency of the regrouping program in SD Negeri Tukang 01 and 02,

Pabelan, Semarang. This evaluation research used goal-free evaluation with the subject is SD

Negeri Tukang 01 and 02 Pabelan. The collecting data used interview, observation, and

documentation, then the data analysis was data reduction, data presentation, and drawing the

conclusion. The result of this research showed that SD Negeri Tukang 01 and 02 already

grouped for 4 years before the Regent&#39;s letter published. Then, the students, teachers,

government’s rule, and school condition be the factors affected the regrouping program. This

regrouping program has several impacts, they answered the teacher need and/or there was a

teacher mutation. Then for students, there weren’t much effect because the students already

friends, and then increasing the school’s facility. Besides that, regrouping program might

increase school quality and the society would not be confused to choose the school for their

child. But then, the alumni of these school can be difficult to get legalize for their certificate.

This regrouping program is effective and efficient enough to do because the teacher problem

can be solved, then the school facility can be maximized and about the budgeting organize by

the main school.

Keywords: Goalfree Evaluation Model, Primary School Regrouping Program, Program

Evaluation

Article Info

Received date: 30 Mei 2017 Revised date: 9 Desember 2018 Accepted date: 9 Desember 2018

PENDAHULUAN

Proses regrouping sekolah di Indonesia

sudah dimulai sejak terbitnya Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 421.2/2501/

Bangda/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan

Penggabungan (Regrouping) Sekolah Dasar

(Kemendagri, 1998). Tujuan regrouping

tersebut adalah untuk mengatasi masalah

kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu,

efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah

dan sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan

penggunaannya untuk rencana pembukaan

SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara sekolah

lanjutan sesuai ketentuan setempat untuk

Page 153: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.

153

menampung lulusan sekolah dasar. Dalam

perkembangannnya telah lahir berbagai

kebijakan yang mengatur regrouping sekolah di

negeri ini. Undang-undang Nomor 25 Tahun

2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(Propenas) Tahun 2000-2004 misalnya, antara

lain menentukan bahwa salah satu kegiatan

pokok dalam mengupayakan pemerataan

pendidikan dasar adalah melaksanakan

revitalisasi serta penggabungan (regrouping)

sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai

efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung

dengan fasilitas yang memadai. Pada tahun

2002 terbit Keputusan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 060/U/2002 tentang Pedoman

Pendirian Sekolah yang antara lain menentukan

bahwa 1) pengintegrasian sekolah merupakan

peleburan atau penggabungan dua atau lebih

sekolah yang sejenis menjadi satu sekolah, dan

2) sekolah hasil integrasi merupakan bentuk

sekolah baru (pasal 23). Sekolah yang

diintegrasikan mengalihkan tanggung jawab

edukatif dan administratif peserta didik dan

tenaga kependidikan kepada sekolah hasil

integrasi.

Sejalan dengan berlakunya kebijakan

desentralisasi bidang pendidikan di tingkat

Propinsi dan Kabupaten/ Kota – sebagaimana

terakhir diatur melalui Undang Undang Nomor

23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah-

maka setiap propinsi lazimnya menetapkan

Peraturan Daerah yang antara lain mengatur

soal regrouping sekolah. Di propinsi Jawa

Tengah hal itu diatur dalam Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2012

tentang Penyelengagaraan Pendidikan, yang

antara lain juga mengatur kewenangan para

pihak dalam melakukan penggabungan

sekolah. Kewenangan itu selanjutnya diatur

lebih rinci melalui Peraturan Gubernur Nomor

56 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor

4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Pendidikan, yang antara lain menentukan

bahwa “Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya dapat melakukan

penambahan, perubahan, penggabungan dan

penutupan satuan pendidikan formal pada

jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),

Pendidikan Dasar (DIKDAS), Pendidikan

Pendidikan Menengah (DIKMEN) dan satuan

pendidikan nonformal sesuai ketentuan

peraturan perundang- undangan” (pasal 6

ayat1).

Berdasarkan kewenangan di atas maka

itu setiap Kabupaten /Kota lazimnya kemudian

menetapkan Peraturan Bupati atau Peraturan

Walikota tentang regrouping/penggabungan

sekolah. Di Kabupaten Semarang telah terbit

Peraturan Bupati Nomor 28 Tahun 2014

tentang Pedoman Teknis Penggabungan

Sekolah Dasar Negeri dan ditandaklanjuti

dengan Keputusan Bupati Nomor

900/0413/2014 tentang Penetapan

Penggabungan Sekolah Dasar Negeri di

Kabupaten Semarang. Istilah regrouping

merupakan kata lain dari

merger/penggabungan. Merger pada awalnya

merupakan salah satu usaha pengembangan dan

pertumbuhan perusahaan. Merger dilakukan

dengan menggabungkan dan membagi sumber

daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai

tujuan bersama. Adrian Sutedi (2007: 85)

mengemukakan, ”merger sebagai suatu bentuk

penggabungan dua badan usaha, badan usaha

yang satu tetap ada, dan yang satunya lagi bubar

secara hukum, dan nama perusahaan digunakan

adalah perusahaan yang eksis/ada.” Jadi merger

merupakan penggabungan dua badan usaha

atau lebih menjadi satu badan usaha ke dalam

badan usaha yang eksis dengan nama badan

usaha yang tetap eksis. Penggabungan badan

usaha ini mengharuskan adanya peleburan aset

secara menyeluruh ke dalam badan usaha yang

tetap eksis. Hal ini secara kuantitas akan

memberikan tambahan modal bagi badan usaha

yang eksis tersebut.

Merger/penggabungan dapat juga

diterapkan di dalam dunia pendidikan. Merger/

penggabungan dalam dunia pendidikan lebih

Page 154: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

154

berkaitan dengan perampingan jumlah sekolah.

Jumlah sekolah yang cukup banyak dengan

jumlah siswa yang kurang memadai

berdasarkan standar nasional mengakibatkan

pemborosan pembiayaan pendidikan. Untuk

itu, pemerintah mengupayakan alternatif

perampingan sekolah dengan nama regrouping.

Menurut Wibawa (2009: 47), “penggabungan

sekolah dasar merupakan satu cara

pengembangan sekolah dengan

memberdayakan dan mengembangkan berbagai

sumber daya pendidikan untuk mencapai

peningkatan mutu pendidikan dan efektifitas

sekolah.”

Adapun tujuan regrouping sekolah

menurut Suparlan (2006) meliputi (1)

meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk

masyarakat. Dalam arti layanan pendidikan

harus bermutu, bukan hanya layanan

pendidikan dengan gedung sekolah yang

seadanya; (2) meningkatkan efisiensi

penyelenggaraan pendidikan, karena

keberadaan beberapa sekolah dalam satu

kompleks gedung sekolah yang sempit

menimbulkan indikasi terjadinya proses

persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang

satu dengan yang lain, sehingga perlu dilakukan

regrouping sekolah.

Sedangkan langkah-langkah regrouping

sekolah yang ideal menurut Suparlan (2006)

antara lain mencakup: a) Mengadakan

sosialisasi kebijakan merger sekolah kepada

semua pemangku kepentingan (stakeholders).

Langkah pertama ini dilakukan agar para

pemangku kepentingan memiliki pemahaman

mendalam tentang manfaat merger bagi semua

pihak, terutama bagi peserta didik. Sosialisasi

bukanlah instruksi, bukan pula pemaksaan

terselubung. Benar-benar untuk meningkatkan

pemahaman secara kritis tentang manfaat

kebijakan merger sekolah sebagai strategi

untuk meningkatkan mutu pendidikan; b)

Membentuk tim atau kepanitiaan, dengan

melibatkan komponen yang terkait.

Pembentukan tim atau kepanitiaan ini pun harus

dilakukan secara demokratis agar semua

stakeholders dapat terakomodasi aspirasinya,

dan yang lebih penting adalah agar dapat

memberikan peran sertanya secara maksimal

dalam penyelenggaraan pendidikan; c)

Mengajukan atau memasukkan program

merger sekolah ke dalam program dan kegiatan

dinas pendidikan, untuk disetujui oleh

pemerintah dan legislatif. Langkah ini penting,

karena program merger akan memerlukan

konsekuensi anggaran yang mungkin tidak

sedikit; d) Pelaksanaan program dan

monitoring pelaksanaan program melibatkan

semua stakeholder yang sejak awal dilibatkan

dalam program ini. Program ini dilaksanakan

menurut prinsip manajemen modern, yakni

demokratis, transparan, dan akuntabel. Jika

tidak, maka justru akan terjadi distrust dari

masyarakat; e) Pelaporan dan

pertanggungjawaban jika program itu telah

dapat diselesaikan. Di samping itu, kegiatan

pasca pelaksanaan program perlu dilakukan,

misalnya monitoring dampak pelaksanaan

program tersebut terhadap peningkatan mutu

pendidikan, sebagaimana telah disebutkan

dalam tulisan ini, yakni lima dimensi mutu

pendidikan: yakni 'learners, environments,

content, processes, dan outcomes' atau peserta

didik, lingkungan, kurikulum atau bahan ajar,

proses pendidikan atau proses pembelajaran,

dan hasil pendidikan atau hasil belajar peserta

didik

Implementasi kebijakan peningkatan

mutu pendidikan melalui program regrouping

sekolah dasar telah diteliti oleh beberapa

peneliti. Syahidah (2013) misalnya, meneliti

tentang evaluasi kebijakan penggabungan

Sekolah Dasar Negeri Kota Pekalongan,

dengan temuan bahwa kebijakan regrouping

sekolah sekolah yang berada di satu kawasan

sudah berhasil dalam pencapaian efektifitas

dan efesiensi pendidikan karena baik input,

aktor maupun faktor pendukung terpenuhi

sehingga implementasi kebijakan tidak

mengalami kesulitan yang berarti. Namun

Page 155: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.

155

kebijakan penggabungan manajerial memiliki

banyak kendala dalam menuju efektifitas dan

efesiensinya, karena adanya beban ganda yang

diberikan kepada kepala sekolah sehingga

terkendala dalam membagi waktu untuk dua

sekolah.

Penelitian Dwiningrum & Widiowati

(2014) tentang proses regrouping sekolah yang

terdampak erupsi Gunung Merapi di

Yogyakarta menunjukkan bahwa faktor-faktor

pendukung regrouping sekolah meliputi:

a) kebijakan pemerintah daerah; b) sponsor-

sponsor penyandang dana dalam pembuatan

gedung baru untuk SD Negeri Umbulharjo 2;

c) kemauan dari guru masing-masing sekolah

untuk mendukung kebijakan regrouping demi

kelancaran proses kegiatan belajar mengajar

pasca erupsi Merapi; d) kesediaan guru

melakukan pendampingan terhadap siswa dan

senantiasa memberikan nasihat dan dukungan

kepada siswa, dan e) siswa mau beradaptasi

terhadap lingkungan sekolah yang baru.

Sedang faktor penghambatnya adalah kurang

luasnya pengetahuan guru dalam pemulihan

psikologis anak paska erupsi Merapi, beban

kerja guru sudah tinggi, problem internal dari

guru itu sendiri, serta kurangnya kreatifitas dan

inovasi guru mengajar paska erupsi Merapi.

Sementara itu penelitian Waluya (2014)

tentang pelaksanaan program regrouping

Sekolah Dasar 1 Undaan Tengah, Kecamatan

Undaan, Kudus, menunjukkan bahwa

pelaksanaan program regrouping di SD 1

Undaan Tengah berjalan dengan sangat baik

sesuai dengan yang diharapkan. Pengelolaan

sekolah menjadi lebih efisien dan efektif serta

pembelajaran mampu mencapai standar yang

ditetapkan. Sarana dan prasarana mengalami

peningkatan, meskipun masih perlu perbaikan

dan pengadaan. Sedang penelitian evaluasi

Purwaningsih (2014) terhadap implementasi

program regrouping sekolah dasar di

Kabupaten Purworejo, menunjukan bahwa:

a) implementasi kebijakan regrouping di

sekolah dasar diawali dengan pendataan

terhadap sekolah-sekolah dasar yang nantinya

dipetakan berdasarkan skala prioritas oleh Tim

Penghapusan dan Penggabungan Sekolah; b)

monitoring dilaksanakan secara non formal

insidental dalam upaya menjaga agar

pelaksanaan regrouping sesuai dengan tujuan

yang telah direncanakan, strategi yang

digunakan dengan memberikan motivasi

negatif bagi sekolah yang akan di regrouping;

c) evaluasi program regrouping menujukkan

ketercapaian tujuan, yaitu pemenuhan standar

pelayanan minimal pendidikan, efisiensi

anggaran, efektivitas penyelenggaraan

pendidikan, dan adanya peningkatan mutu

pendidikan bagi sekolah regrouping, baik dari

segi akademis maupun non akademis.

Sementara itu, penelitian Hills (2013)

dengan tentang regrouping sekolah di New

Zealand, menunjukkan bahwa penutupan dan

penggabungan sekolah dapat menyebabkan

perbedaan budaya masyarakat yang signifikan.

Dari lima penelitian tentang regrouping

diatas, hanya satu yang membahas tentang

evaluasi kebijakan regrouping sekolah, yang

memberikan suatu rekomendasi kepada

pemangku kepentingan untuk mengkaji ulang

tentang efektifitas program regrouping

manajerial sekolah. Sementara tiga penelitian

lain membahas implementasi program

regrouping yang mengalami berbagai

permasalahan, khususnya di lingkungan

sekolah yang digabungkan. Satu penelitian

membahas tentang dampak yang ditimbulkan

oleh program regrouping bagi masyarakat

sekitar sekolah. Kesamaan dari lima penelitian

di atas sama-sama menggunakan pendekatan

deskriptif, yang memberi gambaran yang jelas

tentang program regrouping sekolah. Penelitian

yang penulis lakukan saat ini, lebih

menekankan pada evaluasi program regrouping

sekolah, yang mencakup evaluasi terhadap

proses pelaksanaan regrouping sekolah, faktor-

faktor yang mempengaruhi, dampak yang

timbul, serta efektifitas dan efisiensi dari

program regrouping sekolah tersebut.

Page 156: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

156

Evaluasi adalah suatu kegiatan

mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan

informasi dengan cara membandingkan antara

kegiatan yang direncanakan terhadap kegiatan

yang dilaksanakan dan membandingkan antara

tujuan program terhadap hasil yang tercapai,

yang selanjutnya informasi tersebut digunakan

untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi

proyek, kebijakan dan program yang dipakai

untuk menentukan alternatif yang tepat dalam

mengambil suatu keputusan (Arikunto & Cepi

2009: 2; Wirawan, 2011: 7). Sedangkan

pengertian dari evaluasi program adalah

metode sistematik untuk mengumpulkan,

menganalisis, dan memakai informasi dengan

tujuan untuk mengetahui efektivitas dan

efisiensi proyek, kebijakan dan program

(Wirawan, 2011: 17; Weiss dalam Sugiyono,

2010: 741; dan Sugiyono, 2010: 742).

Sementara itu tujuan dari evaluasi program

adalah untuk mengetahui apakah tujuan

program telah tercapai dan serta mengetahui

penyebab-penyebabnya yang selanjutnya hasil

evaluasi dapat digunakan untuk mengambil

keputusan tentang keberlanjutan sebuah

program perlu diteruskan, diperbaiki atau

dihentikan (Wirawan, 2011: 17; Arikunto &

Cepi, 2009: 18).

Pada tahun 2014 Kabupaten Semarang

berhasil melakukan penggabungan 25 SD

negeri menjadi 12 SD, yang salah satunya

adalah SD Negeri Tukang 01 dan 02

Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang

yang kemudian menjadi Sekolah Dasar Negeri

Tukang. Dari penggabungan itu, diharapkan

pemangku kepentingan, warga sekolah, dan

masyarakat sepaham dan mendukung

penggabungan tersebut (Ungaran,

Kompas.com, 6/1/2014), karena tujuan utama

regrouping sekolah adalah tercapainya efisiensi

dan efektifitas pengelolaan pendidikan di

sekolah yang bersangkutan. Permasalahannya

adalah apakah dengan diimplementasikannya

program regrouping ini akan mengubah

kualitas pendidikan di SD Negeri Tukang. Oleh

karena itu penulis merasa perlu melakukan

evaluasi terhadap program regrouping di SD

Negeri Tukang 01 dan 02, baik mengenai

proses implementasi, faktor-faktor yang

mempengaruhi, dampak serta peningkatan

efektifitas & efisiensi dari program regrouping

sekolah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

evaluatif menggunakan pendekatan diskriptif

kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif

berusaha menggambarkan dan menginterpre-

tasi objek sesuai dengan apa adanya. Penelitian

ini dimaksudkan untuk menggambarkan serta

menguraikan secara evaluativ keadaan atau

fenomena tentang pelaksanaan, faktor, dampak

dan tujuan regrouping yaitu efektifitas dan

efisiensi dari program regrouping sekolah.

Model evaluasi yang digunakan adalah Goal

Free Evaluation yaitu evaluasi bebas tujuan,

dimana peneliti berupaya mengevaluasi secara

obyektif program regrouping yang

dihubungkan dengan faktor-faktor pendukung

dan penghambat kebijakan yang dijalankan,

melihat sejauhmana tujuan regrouping tersebut

tercapai, dan memperhatikan dampak dari

penyelenggaraan program regrouping dalam

konteks secara umum tanpa harus dibatasi oleh

tujuan khusus dari program kebijakan yang

telah direncanakan.

Tempat penelitian adalah SD Negeri

Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02

Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.

Sedang subyek dalam penelitian ini adalah

Kepala Sekolah, pendidik, Ka. UPTD dan

stakeholder SD Negeri Tukang 01 dan 02

Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.

Teknik pengumpulan data meliputi wawancara,

observasi dan studi dokumen. Instrumen

pengumpulan data berupa lembar wawancara,

lembar observasi dan panduan studi dokumen.

Untuk menguji keabsahan data pada penelitian

ini digunakan teknik triangulasi sumber dan

tringulasi teknik. Sedang teknik analisis data

Page 157: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.

157

yang digunakan adalah analisa data kualitatif

yang meliputi penyajian data, reduksi data dan

penarikan simpulan.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Implementasi Program Regrouping Sekolah

Walaupun secara resmi Surat

Keputusan Bupati Semarang tentang

regrouping SD Negeri Tukang 01 & 02 baru

terbit pada tahun 2014, namun proses

regrouping sekolah di sebenarnya sudah

direncanakan oleh stekeholder dari kedua

sekolah sejak tahun 2009. Pada saat itu terjadi

kekosongan jabatan Kepala Sekolah SD Negeri

Tukang 01 karena pebjabat lama purna tugas.

Oleh karena itu terhitung sejak tanggal 1

September 2009 jabatan Kepala Sekolah SD

Negeri Tukang 01 diampu oleh Kepala Sekolah

SD Negeri Tukang 02. Selanjutnya melalui

rapat terpadu tanggal 20 Mei 2010 yang

dihadiri oleh Pengawas Sekolah TK-SD UPTD

Pendidikan Kecamatan Pabelan, Komite

Sekolah, dan Dewan Guru SD Negeri Tukang

01 dan 02 serta perangkat Desa setempat

diputuskan bahwa mulai tahun ajaran

2010/2011 SD Negeri Tukang 01 tidak lagi

menerima peserta didik baru dan hanya

mengelola siswa kelas II sampai kelas VI.

Sementara yang menerima peserta didik baru

hanya SD Negeri Tukang 02.

Melalui proses regrouping sekolah

jumlah tenaga pendidik yang semula belum

memenuhi standar menjadi berlebih. Semula

jumlah tenaga pendidik di SD Negeri Tukang

01 ada 7 orang, yang terdiri dari 6 guru kelas

dan 1 guru Mapel Agama Islam. Sedang SD

Negeri Tukang 02 memiliki 9 guru, terdiri dari

1 Kepala Aekolah, 6 guru kelas, 1 guru olah

raga dan 1 guru mulok Bahasa Inggris. Jadi

total jumlah tenaga pendidik setelah

diregrouping ada 16 guru, yang terdiri dari 12

guru kelas, 1 guru mapel Agama Islam, 1 guru

mapel Olah Raga dan 1 guru Mulok Bahasa

Inggris. Sedangkan tenaga kependidikan yang

dimiliki ada 2 orang yaitu 1 pustakawan dan 1

penjaga sekolah. Mengingat bahwa jumlah

rombel yang ada di SD hasil regrouping (SD

Tukang) hanya 6 (enam) maka terjadi kelebihan

guru kelas. Oleh karena itu kemudian dilakukan

mutasi sebagian guru ke SD lain di Kabupaten

Semarang.

Hal yang sama juga terjadi dalan hal

sarana prasarana pendidikan. Semua aset yang

dimiliki oleh SD Negeri 01 diserahkan kepada

SD Negeri Tukang 02. Aset yang berupa

bangunan, mebeler, buku dan alat peraga

dikelola oleh SD Negeri Tukang. Penggunaan

sarana prasarana diatur sepenuhnya oleh SD

Negeri Tukang sebagai sekolah induk yang

menjadi naungan. Aset yang dimilik sebelum

dan setelah regrouping dapat dilihat pada tabel

1 berikut ini.

Tabel 1. Data Sarana Prasarana Sekolah SD Negeri Tukang 02/SD Tukang

NO Nama Sebelum Regrouping Setelah Regrouping

Jumlah Ruang Luas Jumlah Ruang Luas

1 Gedung Sekolah 6 6 658 12 12 1488

2 Ruang Kepala Sekolah 1 1 14 1 1 77

3 Ruang Guru 1 1 35 1 1 35

4 Ruang Perpustakaan 1 1 56 1 1 35

5 Ruang UKS 1 1 35 1 1 35

6 Ruang Ibadah 1 1 1 1 54

7 Aula 1 1 35 1 1 35

8 Gudang 1 1 1 1 22

9 Kamar Kecil 3 3 18 7 1 34

10 Rumah Dinas Kepala Sekolah 1 1 54 1 1 54

11 Rumah Dinas Guru 1 1 54

12 Halaman 1 432 1 682

Total Area 905 1487

Sumber : Dokumen Data Absensi SD Negeri Tukang 02 Tahun 2010 dan 2017.

Page 158: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

158

Setelah selama 4 (empat) tahun SD

Negeri 01 menjadi satu atap di SD Negeri 02,

akhirnya pemerintah Kabupaten Semarang

melalui Keputusan Bupati Semarang Nomor

900/0413/2014 tanggal 30 Mei 2014

menetapkan bahwa SD Negeri Tukang 01 dan

SD Negeri Tukang 02 resmi diregrouping

dengan nama baru SD Negeri Tukang. Dari

tahun 2011 Panitia sudah mengajukan usul

diregrouping, namun Bupati Kabupaten

Semarang baru memberikan SK pada tahun

2014 dengan nama sekolah yang baru

mengakibatkan permasalahan pada bidang

administrasi sekolah. Semua administrasi

sekolah yang lama tidak lagi dipergunakan, dan

harus diarsipkan, dengan semua sejarah sekolah

lama.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Regrouping Sekolah

Faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya regrouping dapat dilihat dari

beberapa segi. Ada empat faktor yang

memungkinkan terjadinya regrouping sekolah

di SD Negeri Tukang 01 & SD Negeri Tukang

02, antara lain (1) perundangundangan yang

berlaku, (2) kondisi siswa, (3) kondisi tenaga

pendidik, dan (4) kondisi lingkungan sekolah

Berbagai perundang-undangan baik di

aras nasional maupun daerah (Provinsi dan

Kabupaten) menjadi salah satu faktor yang

memungkinkan terjadinya regrouping di SD

Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02.

Dalam perundang-undangan itu terdapat

kriteria bahwa salah satu syarat sekolah yang

diregrouping adalah sekolah berada dalam satu

lokasi, sehingga SD Negeri Tukang 01 dan SD

Negeri Tukang 02 masuk pada kategori

sekolah yang dapat diregrouping, karena bukan

hanya terletak di satu desa, tetapi kedua sekolah

tersebut justru berada dalam satu lokasi yang

menyebabkan persaingan tidak sehat antar

warga sekolah.

Kondisi siswa juga menjadi faktor

terjadinya regrouping. Jumlah siswa di SD

Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02

dari tahun ke tahun tidak mengalami

perkembangan. Rata-rata jumlah siswa setiap

tahun hanya dikisaran angka 70 - 80 siswa.

Setiap tahun jumlah siswa barupun hanya 10 –

16 orang, sehingga dikatakan bahwa kedua

sekolah tersebut adalah sekolah kurus

sebagaimana tergambar pada tabel 2 berikut

ini.

Tabel 2. Data PPDB SD Negeri Tukang 01 & 02 Tahun 2007-2010 No Tahun SDN 01 SDN 02

1 2006 7 13

2 2007 11 12

3 2008 12 12

4 2009 12 10

5 2010 15 16

Sumber : Data PSB SD N Tukang 01 & SD Tukang 02 tahun 2007 - 2010.

Data di atas menunjukan bahwa jumlah

siswa dari tahun ke tahun tidak memenuhi

standar sekolah yang bermutu. Akan menjadi

lebih baik jika kedua sekolah tersebut dilakukan

regrouping sehingga dapat tercapai efektifitas

dan efisiensi pengelolaan pendidikan.

Kondisi Guru adalah faktor ketiga bagi

terjadinya regrouping SD N Tukang 01 dengan

SD Tukang 02. SD Negeri Tukang 01 tidak

memiliki guru Olahraga dan Kepala Sekolah.

Setiap mata pelajaran olahraga, pelajaran itu

langsung diampu oleh masing-masing guru

kelas. Sementara tugas Kepala Sekolah

dijalankan oleh salah satu guru senior, hingga

pada akhirnya Ka.UPTD memberikan mandat

kepada Kepala Sekolah SD Negeri Tukang 02

untuk mengampu jabatan sebagai Kepala

Sekolah SD Tukang 01. Sementara SD Negeri

Page 159: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.

159

Tukang 02 tidak memiliki masalah dalam hal

tenaga pendidik. Semua sudah terpenuhi, baik

itu guru kelas, olah raga maupun guru agama,

dan seorang penjaga sekolah. Dengan demikian

regrouping dipandang sebagai solusi atas

masalah kekuarangan tenaga pendidik di SD

Tukang 01.

Dari sisi lingkungan sekolah, di desa

Tukang sebenarnya terdapat 3 (tiga) lembaga

pedidikan dasar setingkat sekolah dasar, yaitu 1

(satu) Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan 2 (dua) SD

Negeri. Letak MI itu sendiri cukup jauh

jaraknya dengan SD Negeri Tukang 01 dan SD

Negeri Tukang 02. Tapi masih banyak

masyarakat yang lebih berminat untuk

menyekolahkan anak mereka di SD negeri.

Masyarakat memberikan penilaian bahwa SD

negeri lebih bermutu dibanding dengan MI

yang ada di desa Tukang. Kondisi lingkungan

kedua sekolah tersebut juga menjadi faktor

penentu terjadinya regrouping. Terutama

karena keberadaan sekolah yang satu kampus.

Masyarakat secara umum lebih memilih

sekolah di SD negeri menjadi keuntungan bagi

sekolah. Namun masyarakat dibuat bingung

dalam memilih satu diantara keduanya.

Sehingga terbelah menjadi dua, sebagian

mendukung SD Negeri Tukang 01 dan sebagian

lagi di SD Negeri 02.

Dampak Program Regrouping Sekolah

Ada dua macamdampak regrouping

bagi ketenagaan di sekolah yang bersangkutan

yaitu dampak positif dan negatif. Dampak

positif regrouping adalah terpenuhinya

kebutuhan guru karena melalui regrouping itu

semua kebutuhan guru kelas, guru mapel, dan

guru mulok terpenuhi. Dampak negatifnya

adalah munculnya kecemburuan para guru

senior yang harus dimutasi ke sekolah yang

lebih jauh. Sementara itu para guru honorer

sekolah juga harus mencari sekolah lain yang

lebih membutuhkan. Bagi guru honorer

sekolah, walaupun masih dipertahankan di

sekolah tersebut, namun mereka tidak

mempunyai jam mengajar seperti waktu

sebelum regrouping dilakukan. Peraturan baru

pemerintah dalam peningkatan mutu

pendidikan dan tuntutan sertifikasi guru,

menyatakan bahwa sekolah parallel apabila

jumlah siswa lebih dari 34 anak. Sementara

guru yang mendapat tunjangan sertifikasi harus

mengampu minimal 20 siswa dalam satu kelas.

Apabila tidak memenuhi syarat tersebut maka

data yang dientri lewat dapodik tidak valid.

Oleh karena itu semua guru tetap cenderung

mengajar penuh sehingga para guru honorer

harus mencari sekolah lain yang bisa memenuhi

jam mengajar mereka.

Regrouping sekolah bagi siswa tidaklah

berdampak terlalu besar. Siswa yang sudah

bergaul antara satu dengan yang lain, walaupun

beda sekolah. Mereka tidak merasakan bahwa

selama ini beda sekolah. Hal ini disebabkan

karena mereka berada dalam satu kampus.

Persaingan hanya mereka rasakan saat

menghadapi lomba. Selebihnya dalam

pergaulan sehari-hari, sebelum dan sesudah

diregruping tidaklah berpengaruh. Dari segi

jumlah, dua sekolah yang digabung menjadi

satu berdampak pada peningkatan jumlah siswa

dua kali lipat. Sebelum regrouping jumlah

siswa dikisaran angka 70-80, setelah

regrouping terjadi berada pada 140-155 siswa.

Regrouping sekolah di SD Negeri

Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02

menghasilkan sekolah yang baru yaitu SD

Negeri Tukang. Dengan regrouping,

peningkatan mutu sekolah yang terlihat adalah:

(1) Prestasi sekolah sejak dilakukan regrouping

semakin meningkat. Hal ini terjadi karena

sekolah memiliki banyak pilihan siswa yang

berbakat. Sebelum diregrouping sekolah

kesulitan memilih anak untuk mengikuti lomba

karena keterbatan jumlah siswa. Namun setelah

diadakan regrouping, bisa meraih banyak

kejuaran yang baik tingkat kecamatan,

kabupaten bahkan juga tingkat propinsi. (2)

Tenaga pendidik. Mutu tenaga pendidik di SD

Negeri Tukang juga mengalami peningkatan.

Masing-masing kelas mendapatkan pola

Page 160: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

160

pengajaran yang semakin berkualitas. Guru

kelas yang masih muda dan berbakat

memberikan metode pengajaran yang semakin

kreatif. Terbukti anak-anak lulusan SD Negeri

Tukang mendapatkan hasil ujian yang

meningkat dari tahun ke tahun. Begitu juga

ketika mengikuti berbagai macam lomba, guru

memiliki dedikasi yang tinggi dalam melatih

para siswa untuk mencapai kejuaraan. (3)

Fasilitas/sarana prasarana sekolah. Hasil

regrouping sekolah menjadikan sekolah baru

memiliki fasilitas dan sarana prasarana yang

semakin meningkat. Dengan memiliki banyak

ruang kelas, sekolah dapat memanfaatkannya

sebagai ruang pembelajaran yang baru, seperti

ruang keterampilan, ruang olahraga, ruang

kesenian, ruang pertemuan/aula dan gudang.

Jadi pembelajaran tidak hanya dilakukan di

dalam kelas masing-masing, tetapi dilakukan

juga di ruang-ruang lain yang menunjang

pelajaran mata pelajaran bidan umum maupun

mata pelajaran muatan lokal.

Dampak Terhadap Masyarakat

Regrouping SD Negeri Tukang 01 dan

SD Negeri Tukang 02 memiliki dampak positif

dan negatif bagi masyarakat. Dampak positif

yang dirasakan masyarakat adalah mereka tidak

lagi merasa bingung harus menyekolah-kan

anak mereka di SD Negeri Tukang 01 atau SD

Negeri Tukang 02. Namun dampak negatifnya

juga ada. Para alumni kedua sekolah tersebut

kesulitan ketika meminta legalisir dari kedua

sekolah tersebut. Karena hasil dari regrouping

memunculkan nama sekolah baru, yang

memiliki NPSN dan NSS yang berbeda. Para

alumni merasa dirugikan karena sekolah yang

mengeluarkan ijazah mereka sudah ditutup,

walaupun sebenarnya data induk siswa masih

ada di arsip sekolah baru. Sekolahpun tidak bisa

memberikan surat keterangan untuk

melegalisasi ijazah dari para alumni sekolah

sebelum regrouping. Para alumni harus

meluangkan waktu dan mengeluarkan dana

yang lebih karena harus melegalisir ijazah

mereka ke Dinas Kabupaten.

Pencapaian Tujuan Regrouping Sekolah

(Efektifitas Dan Efisensi dari Regrouping)

Pencapaian tujuan awal program

regrouping sekolah, yaitu pencapaian efisiensi

dan efektifitas tenaga pendidik, keuangan dan

sarana prasarana sekolah di SD Tukang adalah

sebagai berikut. Efisiensi dan efektifitas

pengelolaan tenaga pendidik telah tercapai

karena melalui regrouping sekolah kebutuhan

akan tenaga pendidik dengan sendirinya

terpenuhi. Pemerintah tidak perlu lagi

memboroskan uang untuk menggaji guru baru.

Dari sisi keuangan, terjadi peningkatan jumlah

penerimaan dana BOS. Sejak dilakukan

regrouping, semua bentuk laporan keuangan

menjadi tanggjawab sekolah hasil regrouping.

Dana BOS dari pemerintah digabung menjadi

satu atas nama SD Negeri Tukang 02, begitu

pula dengan penggunaan dan laporan SPJ

pengelolaan dana BOS. Sekolah lebih mampu

menyelenggarakan proses pembelajaran yang

lebih bermutu, melalui penambahan alat peraga

pembelajaran dan sejenisnya.

Namun efektifitas dan efesiensi dalam

pengelolaan sarana prasarana belum sesuai

dengan yang diharapkan. Pengelolaan gedung

sekolah, terutama kelebihan ruang kelas oleh

sekolah hanya dijadikan ruang keseniaan, olah

raga, keterampilan, dan gudang yang tidak

setiap hari digunakan karena hanya dipakai

pada saat-saat tertentu. Oleh karena itu bisa

dikatakan ada pemborosan ruang gedung

sekolah.

Pembahasan Hasil Penelitian

Implementasi Program Regrouping Sekolah

Hasil penelitian di atas menunjukkan

bahwa proses implementasi program

regrouping di SD Negeri Tukang 01 dan SD

negeri Tukang 02 berjalan melalui proses

persiapan yang cukup lama oleh stakeholder ke

dua sekolah. Temuan ini sesuai dengan

pendapat Suparlan (2006) bahwa proses

regrouping memerlukan tahap di mana

stakeholder sekolah memiliki pemahaman

bersama tentang arti penting dan tujuan dari

Page 161: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.

161

regrouping sekolah. Namun bentuk kegiatan

yang terjadi dalam penelitian ini berbeda

dengan pendapat Suparlan, jika Suparlan

menamai tahap ini sebagai tahap sosialisasi,

sehingga ada proses penyajian informasi dari

pihak ketiga pada stakeholder sekolah, maka

yang terjadi di SD Negeri Tukang 01 dan SD

Negeri Tukang 02 justru pemahaman itu lahir

dari dalam diri stakeholder sekolah itu sendiri.

Stakeholder sekolah sendirilah yang memutus-

kan bahwa kedua sekolah perlu digabungkan.

Temuan di atas juga berbeda dengan temuan

penelitian Hills (2013) di New Zealand, bahwa

penutupan dan penggabungan sekolah dapat

menyebabkan perbedaan budaya masyarakat

yang signifikan. Proses regrouping di SD

Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang 02

tidak menimbulkan konflik budaya di

masyarakat sekitar dimana kedua sekolah

tersebut berada.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Regrouping Sekolah

Regrouping sekolah SD Negeri Tukang

01 dan SD Negeri Tukang 02 dipengaruhi oleh

empat faktor, yaitu perundang-undangan

tentang regrouping sekolah, kondisi siswa,

kondisi kekurangan tenaga pengajar, dan

kondisi lingkungan sekolah. Dengan demikian

proses regrouping di SD Negeri Tukang 01 dan

SD Negeri Tukang 02 sepenuhnya sejalan

dengan ketentuan dalam Peraturan Bupati

Semarang Nomor 28 tahun 2014 yang mengatur

tentang sasaran dari penggabungan

sekolah. Menurut Perbup tersebut, sasaran

penggabungan sekolah terdiri dari sekolah satu

kampus dan sekolah kecil. Kriteria teknis satu

kampus yang dimaksud yaitu: 1) dua SD atau

lebih terletak di satu lingkungan sekolah, 2)

jarak antara sekolah 200 meter atau kurang, 3)

jumlah rombel sama dengan ruang kelas yang

ada - atau kurang, dan tidak bertentangan

dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah

(RTRW). Sedangkan syarat untuk sekolah kecil

yaitu: 1) Jumlah siswa 80 orang atau kurang, 2)

jarak antar sekolah 1.000 meter atau kurang, 3)

tidak ada hambatan akses, 4) dalam satu desa

terdapat lebih dari satu SD Negeri, 5) tidak

berada di daerah perbatasan kabupaten, dan 6)

tidak bertentangan dengan RTRW (USAID-

Prioritas, 2015: 1). Tampak bahwa regrouping

SD Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang

02 menjadi SD Tukang memenuhi persyaratan

yang ditetapkan Peraturan Bupati baik dari segi

sekolah satu kampus (terletak di satu

lingkungan sekolah, jarak antar sekolah 200

meter atau kurang, dan jumlah rombel sama

dengan ruang kelas yang ada) maupun sekolah

kecil (jumlah siswa 80 orang atau kurang, jarak

antar sekolah 1.000 meter atau kurang, tidak

ada hambatan akses, dalam satu desa terdapat

lebih dari satu SD Negeri, dan tidak berada di

daerah perbatasan kabupaten).

Temuan di atas sejalan dengan hasil

penelitian Dwiningrum & Widiowati (2014)

tentang proses regrouping sekolah yang

terdampak erupsi Gunung Merapi di

Yogyakarta yang menunjukkan bahwa

kebijakan pemerintah daerah merupakan faktor

pendukung keberhasilan regrouping sekolah.

Dampak Program Regrouping Sekolah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat dampak positif maupun negatif dalam

proses regrouping di SD Negeri Tukang 01 dan

SD Negeri Tukang 02. Dampak positif

mencakup 1) teratasinya masalah kekurangan

guru; 2) teratasinya masalah kekurangan

jumlah siswa, 3) efisiensi pembiayaan melalui

dana BOS, dan 4) meningkatnya mutu

pendidikan di sekolah. Program regrouping

dapat mengatasi masalah kekurangan tenaga

pendidik. Pemerintah tidak perlu lagi

menempatkan guru dan Kepala Sekolah di SD

Negeri Tukang 01. Karena dengan adanya

regrouping sekolah, karena otomatis guru

olahraga dan kedudukan Kepala Sekolah sudah

terisi dari SD Negeri Tukang 02. Sedikitnya

jumlah siswa pada kedua sekolah dengan

sendirinya teratasi ketika sekolah digabung

menjadi satu. Jumlah siswa yang bertambah

sangat menguntungkan sekolah karena dapat

Page 162: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

162

meningkatkan jumlah bantuan dana BOS.

Dengan dana yang relatif besar, maka semua

kegiatan peningkatan mutu pendidikan

sekolahpun dapat dilaksanakan. Peningkatan

mutu pendidikan membawa pengaruh terhadap

prestasi sekolah yang semakin meningkat pula.

Banyak kejuaraan yang diraih oleh SD Negeri

Tukang. Namun, regrouping sekolah juga

menimbulkan dampak negatif berupa

kekecewaan para guru yang dimutasi dan

kesulitan bagi para guru honorer dalam

memenuhi jam mengajar. Dampak lain yang

dirasa sangat merugikan adalah bagi alumni

sekolah diregrouping adalah berhubungan

dengan legalisasi ijazah sekolah.

Temuan di atas membenarkan kebijakan

pemerintah untuk melaksanakan regrouping

sekolah baik yang berada dalam satu kampus

maupun yang termasuk dalam kategori sekolah

kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan

Bupati Semarang Nomor 28 tahun 2014

(USAID-Prioritas, 2015: 1). Namun temuan ini

berbeda dengan hasil penelitian Waluya (2014)

tentang pelaksanaan program regrouping

Sekolah Dasar 1 Undaan Tengah Kecamatan

Undaan Kudus, yang menunjukkan bahwa

pelaksanaan program regrouping di SD

tersebut berjalan sangat baik sesuai dengan

yang diharapkan. Sebab dalam penelitian ini

ditemukan bahwa walaupun proses regrouping

alami sudah dijalankan oleh stakeholder kedua

sekolah namun Surat Keputusan peresmian

regrouping baru terbit sesudah proses alami itu

berjalan selama 4 (empat) tahun.

Tujuan Regrouping Sekolah (Efektifitas Dan

Efisensi dari Regrouping)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

regrouping SD Negeri Tukang 01 dan SD

Negeri Tukang 02 menjadi SD Tukang dapat

mencapai efisiensi dan efektifitas dalam hal

tenaga pendidik dan keuangan sekolah. Namun

demikian regrouping itu belum mampu

menujukkan efisiensi dan efektifitas dalam

pengelolaan sarana prasarana sekolah.

Temuan di atas untuk sebagian sejalan

dengan hasil penelitian Purwaningsih (2014)

yang menunjukan bahwa program regrouping

menujukkan ketercapaian tujuan, yaitu

pemenuhan standar pelayanan minimal

pendidikan, efisiensi anggaran, efektivitas

penyelenggaraan pendidikan, dan adanya

peningkatan mutu pendidikan bagi sekolah

regrouping, baik dari segi akademis maupun

non akademis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik oleh

peneliti dari seluruh proses penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Proses regrouping SDN Tukang 01 dan SD

N Tukang 02 sudah dimulai secara alami

atas inisiatif stakeholder sekolah jauh

sebelum Surat Keputusan regrouping dari

Bupati diterbitkan. Tahapan regrouping

meliputi sosialisasi, pembentukan panitia,

pelaksanaan regrouping dan turunnya SK

regrouping sekolah.

2. Faktor-faktor yang memungkinkan

terjadinya program regrouping sekolah

adalah: perundang-undangan tentang

regrouping, kurangnya jumlah siswa,

kurangnya tenaga pendidik, dan kondisi

lingkungan sekolah.

3. Regrouping sekolah di SD Negeri Tukang

01 dan SD Negeri Tukang 02 menimbulkan

dampak positif maupun negatif. Dampak

positif program regrouping adalah a)

menjawab kebutuhan tenaga pendidik, b)

memenuhi jumlah siswa sesuai standar

peningkatan mutu; c) meningkatnya sarana

prasarana sekolah khususnya alat-alat

peraga dalam proses belajar mengajar; d)

meningkatnya prestasi sekolah; dan e)

keuangan sekolah menjadi lebih efektif.

Dampak negatif regrouping dirasakan oleh

guru PNS yang dimutasi ke sekolah yang

jaraknya lebih jauh dari tempat tinggal, guru

honorer sekolah yang kehilangan jam

Page 163: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Regrouping Sekolah Dasar Negeri | Maria T. Erowati, dkk.

163

mengajar dan harus mencari sekolah baru,

dan alumni yang perlu meluangkan waktu

dan mengeluarkan dana lebih banyak untuk

melakukan legalisir ijazah di sekolah lama,

karena harus ke Dinas Pendidikan

Kabupaten Semarang.

4. Dari tujuan regrouping sekolah efektifitas

dan efisiensi terjadi dalam pengelolaan

tenaga pendidik, mutu pendidikan dan

pengelolaan keuangan, namun belum terjadi

dalam hal pengelolaan sarana prasarana.

Saran

Saran yang bisa diberikan berdasarkan

simpulan hasil penelitian ini adalah:

1. Bagi Kepala Sekolah. Kepala Sekolah

hendaknya memikirkan pengelolaan ruang

kelas yang kosong untuk kegiatan yang lebih

bermanfaat, misalnya untuk

penyelenggaraan pembelajaran maupun

ujian SMP Terbuka, untuk ruang

laboratorium komputer, atau sekretariat

kegiatan KKG Gugus.

2. Bagi Kepala UPTD Pendidikan dan

Pengawas SD/TK. Hendaknya senantiasa

bekerja sama melakukan monitoring

terhadap jalannya regrouping sekolah, dan

mencari jalan keluar bagi para alumni

supaya bisa melakukan legalisir secara

mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi. 2007. Hukum Perbankan:

Suatu Tinjauan Pencucian Uang,

Merger, Likuidasi dan Kepailitan.

Jakarta: Sinar Grafika.

Arikunto Suharsimi dan Cepi Safrudin. 2009.

Evaluasi Program Pendidikan:

Pedoman Teoritis Praktis Bagi

Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan,

cetakan ketiga. Jakarta: Bumi Aksara.

Dwiningrum Siti Irene Astuti & Rani

Widiowati. 2014. School Resiliency

And Social Capital of Regrouping

Policy After Merapi Eruption in the

Special District of Yogyakarta of

Indonesia (A Case Study at SD

Umbulharjo 2, Sleman,)

https://www.google.com/search?client

=firefoxb&q=school+policy+evaluatio

n+regrouping

Hills, C. 2013. ‘Close or be closed: to what

extent can school closures and mergers

be negotiated?’ PhD thesis. Massey

University.

Kabupaten Semarang. 2014. Peraturan Bupati

Nomor 28 Tahun 2014 tentang

Pedoman Teknis Penggabungan

Sekolah Dasar Negeri; Semarang:

Pemda Kabupaten Semarang.

Kabupaten Semarang. 2014. Surat Keputusan

Bupati Semarang Nomor

900/0413/2014. tentang Penetapan

Penggabungan Sekolah Dasar Negeri di

Kabupaten Semarang; Semarang:

Pemda Kabupaten Semarang.

Kemendiknas. 2002. Keputusan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor

060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian

Sekolah; Jakarta: Kemendiknas.

Kemendiknas. 2010. Renstra Departemen

Pendidikan Nasional 2010-2014.

Jakarta: Kemendiknas.

Kemendagri. 1998. Keputusan Menteri Dalam

Negeri Nomor 421.2/2501/

Bangda/1998 tentang Pedoman

Pelaksanaan Penggabungan Sekolah

(Regrouping) SD. Jakarta: Kemendagri.

Provinsi Jawa Tengah. 2012. Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun

2012 tentang Penyelengagaraan Pendi-

dikan: Semarang: Pemda Jawa Tengah.

Provinsi Jawa Tengah. 2013. Peraturan

Gubernur Nomor 56 tahun 2013 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun

2012 tentang Penyelenggaraan

Page 164: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

164

Pendidikan; Semarang: Pemda Jawa

Tengah.

Purwaningsih, Ika 2014. Implementasi

Kebijakan Regrouping Sekolah Dasar di

Kabupaten Purworejo. E-Jurnal

Universitas Negeri Yogyakarta; Vol III,

No 3: 1.

Republik Indonesia. 2000. Undang-undang

Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program

Pembangunan Nasional (Propenas)

Tahun 2000-2004; Jakarta: Depdagri

Sugiyono. 2010. Memahami Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suparlan. 2006. Merger Sekolah Begitu

Perlukah,http://www.suparlan.com/mer

ger-sekolah-dasar-begituperlukah59.

php.htm pada tanggal 13 Juni 2016 jam

10.05 WIB.

Syahidah, Jihan Amalia 2013. Evaluasi

Kebijakan Penggabungan Sekolah

Dasar Negeri Kota Pekalongan.

Tesis.PPs-UNY.

USAID.Prioritas. 2015. Regrouping SDN di

Kabupaten Semarang, satu langkah

dalam Penataan dan Pemerataan Guru.

http://prioritaspendidikan.org/id/media/

view/detail/418 pada tanggal 15 Juni

2016, jam 19.10 WIB.

Waluya, Puji. 2014. Pelaksanaan Program

Regrouping Sekolah Dasar 1 Undaan

Tengah Kecamatan Undaan Kudus.

Masters thesis, Universitas Sebelas

Maret.

Wibawa, Sarwa. 2009. Dampak penggabungan

sekolah dasar terhadap efisiesni,

keefektivan, produktivitas, dan

pelayanan pendidikan di Kabupaten b

Bantul.Tesis. PPs-UNY.

Wirawan. 2011. Evaluasi Teori, Model,

Standar, Aplikasi dan Profesi. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Page 165: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 165-176

165

Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru

Untuk Meningkatkan Mutu Sekolah

Brigitta Putri Atika Tyagita

SMA Karangturi Semarang

[email protected]

Ade Iriani

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This study aimed to obtain a strategy to increase the pedagogic competence of teacher to

improve school quality. Teacher pedagogy competencies are important to have so that the

teacher can understand and direct students to learn well and appropriately, and can help

students to actualize their potential. Pedagogy competence of teachers can improve the school

quality because one of them seen from a professional teacher and good performance. The

subject of this study: 1 principal, 1 vice principal, 6 teachers. The research data was taken

through an interview, observation, and document study with source triangulation. Data

analysis using SWOT to analyze internal and external factors. The results of the SWOT

analysis shows that schools are in the SO or strength-opportunity quadrant, which supports

aggressive strategies by utilizing the strengths and opportunities that schools have to improve

teacher pedagogic competence. By optimizing the strength factor and the school opportunity,

there are 6 strategic plans to increase the pedagogic competence of teachers by emphasizing

cooperation among teachers, students and also parents. The strategic plan is to optimize the

performance of leaders, optimize collaboration among teachers, the collaboration between

teachers and students, optimize external support, optimize teacher pedagogical development,

and improve teacher, student, and parent collaboration.

Keywords: Teachers Pedagogic Competence, School Quality, Strategic Plan, SWOT Analysis

Article Info

Received date: 4 Mei 2017 Revised date: 13 November 2018 Accepted date: 9 Desember 2018

PENDAHULUAN

Kualitas pendidikan di Indonesia saat

ini masih jauh dari Negara-negara lainnya,

dimana Indonesia menempati peringkat ke 10

dari 14 negara berkembang dalam pendidikan,

dan kualitas guru di Indonesia berada

diperingkat ke 14 dari 14 negara berkembang di

dunia (Fahruddin, 2016:1). Hasil uji

kompetensi guru di Indonesiapun masih rendah

dan masih jauh dari yang ditargetkan oleh

pemerintah dengan nilai rata-rata 41,5 dengan

nilai terendah 1 dari 275.768 guru tingkat

nasional (Inan, 2016: 1). Untuk meningkatkan

kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah

telah menetapkan Standar Nasional Pendidikan

yang merupakan dasar dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan

dalam rangka mewujudkan pendidikan yang

bermutu (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun

2005: 6) yang mencakup 8 aspek, yaitu standar

isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,

standar pendidik dan tenaga kependidikan,

Page 166: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

166

standar sarana dan prasarana, standar

pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar

penilaian pendidikan.

Melihat permasalahan yang dihadapi

oleh pendidikan Indonesia, maka untuk

meningkatkan kualitas pendidikannya, kualitas

guru harus ditingkatkan terlebih dahulu salah

satunya dengan meningkatkan kompetensi

pedagogik guru. Jika ingin meningkatkan

kompetensi lulusan maka kualitas guru dalam

proses belajar mengajar harus ditingkatkan

(Guerriero, 2013: 2). Oleh sebab itu untuk

meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia,

maka kualitas guru harus ditingkatkan, salah

satunya dengan meningkatkan kompetensi

pedagogik guru untuk meningkatkan mutu

sekolah. Oleh sebab itu diperlukan strategi-

strategi dalam meningkatkan kompetensi

pedagogik guru untuk meningkatkan mutu

sekolah.

Kompetensi pedagogik guru penting

untuk ditingkatkan, karena kompetensi

pedagogik guru akan meningkatkan

kompetensi profesionalisme guru dalam

mengajar, karena dengan memiliki kompetensi

pedagogik, maka guru memiliki kemampuan

dalam mengatur materi pembelajaran yang

akan disampaikan dengan baik kepada murid-

muridnya dengan berbagai teknik (Rahman,

2014: 79). Menurut Panda (2012: 34)

kompetensi pedagogik guru merupakan

kemampuan dan keinginan untuk secara regular

menerapkan sikap, pengetahuan, dan keahlian-

keahlian untuk mempromosikan pembelajaran

dari guru dan murid. Kompetensi pedagogik

guru menurut Uppsala University (2010: 10)

adalah tujuan dan kerangka kerja guru yang

pasti melalui pengembangan pembelajaran dan

pengembang an profesionalisme, dukungan,

dan fasilitas pembelajaran yang terbaik secara

berkelanjut-an. Sedangkan menurut Hakim

(2015: 2) kompetensi pedagogik guru adalah

kemampuan mengatur pembelajaran, kerangka

instruksi dan implementasi, hasil evaluasi

pembelajaran, dan pengembangan siswa untuk

mengaktualisasikan potensi mereka. Dari

pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

kompetensi pedagogik guru adalah kemampuan

dan keinginan dalam menerapkan sikap,

pengetahuan dan keahlian untuk

mempromosikan pembelajaran, mengatur

pembelajaran, dan mengevaluasi serta

membantu siswa untuk dapat

mengaktualisasikan potensi mereka.

Standar kompetensi pedagogik guru

telah diatur dalam Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional No.16 tahun 2007, yang

meliputi 10 Kompetensi Inti dan Kementrian

Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal

Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga

Kependidikan (2010, 39-51) sebagai tertera

dalam tabel 1 di bawah ini.

Standar kompetensi pedagogik memuat

beberapa subkompetensi yaitu, 1) menguasai

karakteristik peserta didik dari aspek fisik,

moral, sosial, budaya, kultural, emosional dan

intelektual. 2) menguasai teori belajar dan

prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. 3)

mengembangkan kurikulum yang berkaitan

dengan mata pelajaran/bidang pengembangan

yang diampu. 4) menyelenggarakan pembe-

lajaran yang mendidik 5) memanfaatkan

teknologi informasi dan komunikasi untuk

kepentingan pembelajaran 6) memfasilitasi

pengembangan potensi peserta didik dan

membantu pengembangan potensi peserta didik

untuk mengaktualisasikan berbagai potensi

yang dimiliki. 7) berkomunikasi secara efektif,

empatik, dan santun dengan peserta didik. 8)

menyelenggarakan penilaian dan evaluasi

proses dan hasil belajar. 9) memanfaatkan hasil

penilaian dan evaluasi untuk kepentingan

pembelajaran. 10) melakukan tindakan reflektif

untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

Page 167: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita

167

Tabel 1. Komponen Kompetensi Pedagogik Guru Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

no. 16 tahun 2007

Kementrian Pendidikan Nasional Direktorat

Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan

Tenaga Kependidikan 2010

1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral,

sosial, kultural, emosional, dan intelektual

1. Menguasai karakteristik peserta didik

2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang

mendidik

2. Menguasai teori belajar dan prinsip-

prinsip pembelajaran yang mendidik

3. Mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan mata

pelajaran yang diampu

3. Pengembangan kurikulum

4. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik 4. Kegiatan pembelajaran yang mendidik

5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk

kepentingan pembelajaran

5. Pengembangan potensi peserta didik

6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki

6. Komunikasi dengan peserta didik

7. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta

didik

7. Penialaian dan evaluasi.

8. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar

9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan

pembelajaran

10. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas

pembelajaran.

Sumber: Data dokumen pemerintah

Rencana strategis merupakan proses

disiplin untuk membuat kunci keputusan dan

menyetuju tindakan yang akan membentuk dan

menimbang apa yang dilakukan suatu

organisasi, dan mengapa melakukannya (CIRR

ICD, 2005: 44). Rencana strategis merupakan

landasan dari setiap kepentingan yang sama

dalam komunitas atau organisasi, dan tanpa

rencana strategis maka organisasi tidak tahu

arah pergerakan atau tujuan dari organisasi

(Juddy, 2014: 4). Rangkuti (2016: 3)

menambahkan tujuan utama dari rencana

strategis adalah agar organisasi dapat melihat

secara objektif kondisi-kondisi internal dan

eksternal, sehingga organisasi dapat

mengantisipasi perubahan lingkungan

eksternal. Dari pengertian-pengertian tersebut,

maka rencana strategis adalah proses disiplin

untuk membuat kunci keberhasilan dan

landasan dari setiap kepentingan yang sama

dalam suatu organisasi dengan tujuan

organisasi dapat melihat secara objektif kondisi

internal maupun eksternal, sehingga organisasi

dapat mengantisipasi perubahan lingkungan.

Mutu mengandung makna derajat

keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik

berupa barang atau jasa (Danim, 2010: 53).

Pendapat tersebut dipertegas oleh pendapat

Umiarso dan Gozali (2010: 125-126) yang

mengatakan bahwa mutu pendidikan adalah

derajat keunggulan dalam pengelolaan

pendidikan secara efektif dan efisien untuk

melahirkan keunggulan akademis dan

ekstrakurikuler pada peserta didik yang

dinyatakan lulus pada suatu jenjang pendidikan

atau menyelesaikan program pendidikan

tertentu. Mutu juga merupakan hal yang

penting yang harus dimiliki oleh sekolah,

karena mutu sekolah menjadi pandangan

penting atau pertimbangan bagi orang tua untuk

menyekolahkan anak mereka, dan ukuran

sekolah bermutu dari kacamata pengguna pada

umumnya adalah sekolah dengan akreditasi A,

lulusan diterima disekolah terbaik, guru yang

profesional yang ditunjukan dengan hasil UKG

(Uji Kompetensi Guru) dan kinerja guru baik,

hasil ujian nasional baik, peserta didik memiliki

prestasi dalam berbagai kompetisi, dan peserta

didik memiliki karakter yang baik (Sani, 2015:

1-2). Mutu sekolah merupakan derajad

keunggulan yang dimiliki oleh sekolah dan

merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh

sekolah karena mutu sekolah menjadi bahan

pertimbangan bagi orang tua untuk

menyekolahkan anaknya. Mutu sekolah dapat

dilihat dari akrediatasi sekolah, lulusan yang

Page 168: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

168

diterima di sekolah terbaik, guru yang

profesional dan kinerja yang baik, hasil ujian

yang baik, peserta didik yang berprestasi dan

berkarakter baik.

Meningkatkan kompetensi pedagogik

guru untuk meningkatkan mutu sekolah dapat

dilakukan dengan beberapa cara diantaranya

melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata

Pelajaran), kursus kependidikan, workshop,

supervisi dan rapat sekolah (Saryati, 2014: 678-

680). Seperti pada penelitian yang dilakukan

oleh Suhaemi & Aedi (2015: 241-254) yang

menyatakan bahwa mengikut sertakan dosen

dalam berbagai kegiatan ilmiah, seminar,

simposium, workshop dan publikasi ilmiah

baik secara nasional maupun jurnal

internasional dapat meningkatkan kompetensi

pedagogik Dosen. Hal tersebut terlihat dari

lulusan yang bermutu dengan indeks prestasi

mahasiswa yang tinggi dan karya dosen dalam

menulis buku meningkat, dosen juga menjadi

handal dalam menggunakan multimedia dalam

pembelajaran. Selain itu pemanfaatan teknologi

dan komunikasi juga dapat meningkatkan

kompetensi pedagogik (Liu 2011; Donnelly,

dkk., 2011 dalam Khan, 2014: 21-31).

Peningkatan kompetensi pedagogik lainnya

dapat dilakukan melalui sikap saling belajar

antar guru dan mengadakan lesson study

(Tedjawati, 2011: 483), action research, study

groups, case discussion dan lesson study

(Department of Education & Training, 2005:

10). Dalam meningkatkan kompetensi

pedgogik guru juga diperlukan peran pemimpin

untuk dapat membangkitkan motivasi guru dan

dorongan untuk mencapai tujuan bersama

(Musadad, 2010: 145), selain peran pemimpin,

peran siswa perlu dilibatkan dalam

meningkatkan kompetensi pedagogik guru

karena dengan kerja sama guru dan siswa, maka

guru dapat memahami pola pikir siswa dan

mengembangkan pembelajarannya (Fullan &

Langworthy, 2014: 11). Dukungan eksternal

akan membantu meningkatkan kompetensi

pedagogik guru, seperti dukungan dari

pemerintah atau dinas pendidikan dengan

melakukan pelatihan, bantuan finansial,

mentoring dan evaluasi (Wilson. 2009: 1-9).

Kompetensi pedagogik penting

ditingkatkan untuk meningkatkan mutu

sekolah, dan hal tersebut penting untuk

dilakukan di SMA Swasta Berasrama di

Kabupaten Semarang yang memiliki murid dari

berbagai daerah dari berbagai penjuru

Indonesia. Peningkatan kompetensi pedagogik

guru ini penting karena sekolah ini sudah

memiliki rencana untuk meningkatkan dan

mengembangkan fasilitas sarana dan prasarana

dari tahun ke tahun secara berkelanjutan, dan

program promosi yang semakin berkembang.

Namun, belum ada program untuk

meningkatkan kualitas guru yang terencana

dengan jelas baik dari pihak sekolah maupun

dari pihak yayasan. Belum adanya rencana

strategis untuk meningkatkan kompetensi

pedagogik guru ini mempengaruhi kinerja guru

pada saat proses belajar mengajar, dimana

pengajaran masih student centered, kurangnya

kreatifitas dan inovasi guru pada saat mengajar.

Hal tersebut juga mempengaruhi lulusan SMA

ini, dimana untuk rumpun IPA selalu masuk

peringkat 3 besar di kabupaten, sedangkan

untuk rumpun IPS masih belum stabil untuk

berada di peringkat 5 besar kabupaten. Oleh

sebab itu, rencana strategi peningkatkan

kompetensi pedagogik bagi sekolah ini

sangatlah penting untuk meningkatkan mutu

sekolah. Dalam rangka mengembangkan

rencana strategi itulah penelitian ini dilakukan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian dan

pengembangan (Research and Development)

dengan menggunakan langkah-langkah dari

Sugiyono, namun hanya sampai pada tahap

ketujuh, yaitu: 1) potensi dan masalah; 2)

pengumpulan data; 3) desain produk; 4)

validasi desain; 5) revisi desain; 6) uji

kelayakan; dan 7) revisi produk. Penelitian

dilakukan disebuah SMA Swasta berasrama di

Page 169: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita

169

Kabupaten Semarang dengan subjek kepala

sekolah, wakil kepala sekolah, 1 guru bidang

studi pengetahuan alam, 2 guru bidang studi

sosial, 2 guru bidang studi bahasa, dan 1 guru

bidang studi umum.

Data diperoleh melalui wawancara,

observasi, dan studi dokumen. Analisa data

yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan analisis SWOT (Strength,

Weakness, Opportunity, and Threat), dan

dengan menggunakan analisis matrix IFAS

(Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS

(External Factor Analysis Summary).

HASIL PENELITIAN

Analisis SWOT yang dilakukan dengan

menganilisis faktor internal, yaitu kekuatan dan

kelemahan, serta faktor eksternal yaitu peluang

dan ancaman melalui diskusi bersama dengan

para sumber/subjek penelitian, dan kemudian

dianalisis dengan menggunakan matriks IFAS

dan EFAS. Hasil analisis faktor internal dan

eksternal kemudian diberikan bobot dan rating,

kemudian dihitung skor akhirnya untuk

mengetahui nilai dari setiap faktor yang

nantinya akan menunjukan posisi yang dimiliki

oleh sekolah, apakah berada di kuadaran SO

(Strength Opportunity), kuadran ST (Strength

Threats), kuadran WO (Weakness

Opportunity), atau kuadran WT (Weakness

Threat). Hasil analisis faktor internal, kekuatan

dan ancaman adalah sebagai tertera dalam tabel

2 berikut ini.

Tabel 2. Matrix IFAS (Internal Factors Analysis Summary) No. Kekuatan Bobot Rating Bobot X Rating

1 Fasilitas sekolah sudah memadai 0.15 4 0.6

2 Sekurang-kurangnya 80% guru sudah bergelar sarjana 0.1 3 0.3

3 Beberapa guru masih muda dengan jenjang karir yang panjang 0.15 3 0.45

4 Kesejahteraan guru terjamin 0.1 2 0.2

5 Guru mengajar sesuai dengan bidangnya 0.1 3 0.3

6 Guru akrab dengan murid dan memberikan kesempatan belajar yang sama

terhadap peserta didik 0.1 3 0.3

7 Guru membuat administrasi pembelajaran dan penilaian serta silabus yang sesuai

dengan kurikulum 0.05 1 0.05

8 Guru-guru mata pelajaran IPA metode pembelajarannya lebih variatif dan

inovatif 0.1 2 0.2

9

Beberapa guru pengampu mata pelajaran UN IPA berhasil mengajar dan

membimbing siswanya dalam persiapan UN sehingga nilai UN masuk 3 besar

kabupaten.

0.05 2 0.1

10 Loyalitas guru tinggi 0.1 3 0.3

TOTAL 1 26 2.8

No. Kelemahan Bobot Rating Bobot X Rating

1 Manajemen dalam organisasi kurang maksimal sehingga program yang disusun

belum nampak pencapaian kompetensinya 0.2 1 0.2

2 Penerimaan guru mengutamakan untuk yang beragama Nasrani, dan untuk

kompetensi pedagogik guru dapat menyusul 0.1 3 0.3

3 Pembinaan guru dalam bidang kompetensi pedagogik dan profesionalisme

kurang 0.15 2 0.3

4 Pekerjaan guru diluar kelas (jam mengajar) cukup banyak (mengurus kegiatan-

kegiatan sekolah) 0.1 4 0.4

5 Guru pengampu mata pelajaran IPS dan umum masih ada yang mengajarnya

standar/biasa saja, kurang kreatif dan inovasi 0.1 2 0.2

6 Pengembangan kurikulum masih standar (masih sama seperti kurikulum dari

pemerintah) untuk mata pelajaran IPS dan umum 0.1 2 0.2

7 Beberapa guru masih minim dalam penguasaan kelas 0.15 2 0.3

8 Hasil UN mata pelajaran IPS masih standard dan masih belum maksimal (belum

stabil dalam menempati peringkat 5 besar kabupaten) 0.1 4 0.4

TOTAL 1 20 2.3

Sumber: Data penelitian

Page 170: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

170

Berdasarkan tabel tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa nilai bobot dikalikan dengan

skor pada faktor kekuatan adalah 2.8 dan pada

faktor kelemahan adalah 2.3, sehingga nilai

akhir IFAS yaitu faktor kekuatan dikurangi

faktor kelemahan didapat 0.5. Hal ini

menunjukan bahwa faktor kekuatan lebih

dominan dari pada faktor kelemahan yang

dimiliki oleh sekolah.

Kemudian, hasil dari analisis EFAS

adalah sebagai tertera dalam table 3berikut ini.

Tabel 2. Matrix EFAS (External Factors Analysis Summary) No. Peluang Bobot Rating Bobot X Rating

1 Animo masyarakat terhadap sekolah tinggi 0.2 3 0.6

2 Jumlah murid meningkat setiap tahunnya 0.2 3 0.6

3 Sekolah berasrama 0.3 4 1.2

4 Hubungan dengan gereja dan beberapa SMP swasta baik 0.1 1 0.1

5 Adanya program sertifikasi guru dari pemerintah 0.1 2 0.2

6 Dukungan dari pemerintah 0.1 2 0.2

TOTAL 1 13 2.9

No. Ancaman Bobot Rating Bobot X Rating

1 Sekolah Negeri yang semakin baik 0.3 3 0.9

2 Munculnya sekolah-sekolah berasrama di sekitar SMA 0.4 1 0.4

3 Jumlah murid yang berasal dari sekitar menurun 0.2 2 0.4

4 Program KB (Keluarga Berencana) dari pemerintah 0.1 4 0.4

TOTAL 1 10 2.1

Sumber: Data Penelitian

Analisis dari matrik EFAS menunjukan

bahwa total pada peluang adalah 2.9 dan

ancaman adalah 2.1, sehingga skor akhir pada

matrik EFAS adalah peluang dikurangi

ancaman, 0.8. Hal ini menunjukan bahwa faktor

peluang yang dimiliki oleh sekolah lebih

dominan dan dapat dioptimalkan untuk

meningkatkan kompetensi pedagogik guru.

Berdasarkan analisis SWOT tersebut diketahui

skor akhir matrik IFAS adalah 0.5 dan skor

akhir matrik EFAS adalah 0.8, sehingga hasil

akhir menunjukan bahwa strategi berada di

kuadran SO (Strength Opportunity). Strategi

yang digunakan oleh sekolah nantinya adalah

strategi yang mengoptimalkan kekuatan dan

peluang yang dimiliki oleh sekolah. Hasil

analisis tersebut ditunjukan melalui matrik

SWOT berikut:

Table 3. Skor Akhir Matrik SWOT

IFAS EFAS

Kategori Total skor Kategori Total skor

Kekuatan (S) 2,8 Peluang (O) 2,9

Kelemahan (W) 2,3 Ancaman (T) 2,1

Total (S-W) 0,5 Total (O-T) 0,8 Sumber: Data penelitian

Dari hasil penelitian tersebut dapat

ditarik hasil bahwa faktor kekuatan internal

sekolah dan peluang eksternal sekolah lebih

kuat untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh

sebab itu dari hasil penelitian tersebut dapat

dianalisis strategi yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kompetensi pedagogik guru

untuk meningkatkan mutu sekolah dalam

penelitian ini ada 5, yaitu:

- Strategi pertama: mengoptimalkan

kolaborasi antar guru

- Strategi kedua: mengoptimalkan

kolaborasi antar guru dan siswa

- Strategi ketiga: mengoptimalkan

dukungan dari pihak eksternal (yayasan

dan dinas)

- Strategi keempat: mengoptimalkan

profesionalisme dan kualitas guru

- Strategi kelima: meningkatkan kerja sama

pengajar, murid, dan orang tua

Yang pertama adalah mengoptimalkan

kolaborasi antar guru yang dapat dilakukan

diantaranya dengan melakukan beberapa

kegiatan seperti case discussion, action

research, study groups dan lesson study

Page 171: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita

171

(Departement of Education & Training, 2005:

10; Tedjawati, 2011: 483). Selain itu, dapat juga

dilakukan kunjungan antar kelas, sehingga guru

dapat saling belajar mengenai metode mengajar

maupun keadaan kelas dari rekan guru lainnya

(Saryati, 2014: 678-680).

Kedua adalah mengoptimalkan

kolaborasi antar guru dan siswa. Hubungan

yang baik antara guru dan murid akan membuat

guru akan lebih memahami keadaan kelas dan

murid-muridnya, bagaimana muridnya

berpikir, karakter muridnya dan bagaimana

murid-muridnya berinteraksi satu sama lain,

sehingga guru dapat memilih metode mengajar

yang tepat dan sesuai. Hal tersebut dapat

membuat suasana belajar menjadi lebih

kondusif, suasana belajar menjadi lebih

komunal, dan memperkuat kesetiaan atau

ketaatan (OECD, 2010: 88-98). Selain itu,

menurut Fullan & Langworthy (2014: 11) saat

ini, siswa ingin terlibat aktif dalam

pembelajaran, sehingga untuk menciptakan

suasana belajar yang aktif dan kreatif maka

guru harus dapat bekerja sama dengan

muridnya.

Ketiga, mengoptimalkan dukungan dari

pihak eksternal (Yayasan dan Dinas). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Suhaemi dan

Aedi (2015: 241), dukungan dari pemerintah

terhadap rencana strategi untuk meningkatkan

kompetensi profesional dosen merupakan salah

satu faktor keberhasilan dari program

pengembangan kompetensi pedagogik dan

profesional dosen. Bantuan atau dorongan dari

pemerintah, instansi Dinas atau Universitas

dapat berupa memberikan pelatihan atau

seminar kepada guru terkait dengan

pembelajaran, mentoring dan meningkatkan

penilain guru supaya guru dapat terus

meningkatkan kualitasnya (Wilson, 2009: 1-9).

Kemudian, upaya ini didukung oleh penelitian

dari Ramdass & Masithulela (2016: 13) dimana

dalam penelitiannya ditemukan bahwa

dukungan dari pemerintah dan industri untuk

meningkatkan kompetensi pedagogik guru itu

penting.

Berikutnya adalah mengoptimalkan

profesionalisme dan kualitas guru. Program ini

merupakan sarana bagi guru untuk

meningkatkan dan mengembangkan

kompetensi pedagogiknya melalui beberapa

upaya dapat dilakukan oleh lembaga atau

sekolah untuk meningkatkan kompetensi

pedagogik guru, seperti dengan mengadakan

lokakarya (workshop), dan mengadakan

penataran guru (Saryati, 2014: 678-680). Selain

itu, guru juga dapat mengikuti seminar,

workshop, dan menerbitkan jurnal baik

nasional ataupun internasional untuk

meningkatkan kompetensi pedagogiknya

(Suhaemi & Aedi, 2015: 242). Penggunaan

teknologi informasi dan komunikasi juga dapat

digunakan untuk meningkatkan kualitas

mengajar guru (Liu 2011; Donnelly, dkk., 2011

dalam Khan, 2014: 21).

Meningkatkan kerja sama pengajar,

murid, dan orang tua juga dapat menjadi

strategi untuk meningkatkan mutu sekolah.

Suasana belajar mengajar dan juga suasana

sekolah akan semakin lebih kondusif dan

performa siswa akan meningkat jika guru dan

murid memiliki hubungan yang baik dan

mendapatkan dukungan dari orang tua. Peran

orang tua merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi performa siswa (OECD, 2010:

88-89).

Pembahasan

Berdasarkan analisis SWOT, maka

didapatkan lima strategi yang dapat dilakukan

untuk meningkatkan kompetensi pedagogik

guru dalam rangka meningkatkan mutu

sekolah, yaitu:

Strategi Pertama, adalah

mengoptimalkan kolaborasi antar guru.

Berdasarkan hasil analisa SWOT pada faktor

eksternal dan internal SMA Sedes Sapientiae

Jambu terlihat bahwa loyalitas guru dan

keakraban antar guru tinggi. Poin tersebut dapat

dioptimalkan untuk mendukung peningkatan

Page 172: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

172

kompetensi pedagogik guru. Kolaborasi antar

guru yang dapat dilakukan diantaranya dengan

melakukan beberapa kegiatan seperti case

discussion, action research, study groups dan

lesson study (Departement of Education &

Training, 2005: 10; Tedjawati, 2011: 483).

Selain itu, dapat juga dilakukan kunjungan

antar kelas, sehingga guru dapat saling belajar

mengenai metode mengajar maupun keadaan

kelas dari rekan guru lainnya (Saryati, 2014:

678-680). Kegiatan yang dapat dilakukan

cukup banyak, yaitu sharing teman sejawat

(sharing edukatif) mengenai metode mengajar,

nilai-nilai pengetahuan, keadaan kelas dan

kondisi siswa, action research, study group,

case discussion, kunjungan antar kelas supaya

guru dapat saling belajar dan menilai mengenai

metode mengajar yang dilakukan oleh

rekannya, team teaching dan lesson study.

Dengan mengoptimalkan kolaborasi antar guru

ini dapat membantu guru untuk saling bertukar

pikiran secara edukatif dan saling belajar

dengan lebih santai karena para guru sudah

akrab dan terbiasa. Program kegiatan untuk

mengoptimalkan kolaborasi antar guru adalah

dengan sharing teman sejawat, action research

(penelitian tindakan) yang ditindak lanjuti

dengan pembuatan karya ilmiah nantinya, study

group, case discussion, kunjungan antar kelas,

team teaching, dan lesson study.

Strategi Kedua adalah kolaborasi antar

guru dan siswa. Kompetensi pedagogik

merupakan kemampuan pengenalan peserta

didik (Sagala, 2011: 32), selain itu, kompetensi

pedagogik guru perlu dimiliki oleh guru salah

satunya untuk mendiagnosis berbagai

hambatan dan masalah yang dihadapi oleh

peserta didik (Soedijarto, 2008: 199). Oleh

sebab itu, guru perlu untuk memiliki hubungan

yang baik untuk membantu meningkatkan

kompetensi pedagogik guru, terlebih guru-guru

di SMA Sedes Sapientiae Jambu sudah akrab

dan memiliki hubungan yang baik dengan

murid-murid, sehingga hal tersebut dapat lebih

dioptimalkan. Hubungan yang baik antara guru

dan murid akan membuat guru akan lebih

memahami keadaan kelas dan murid-muridnya,

bagaimana muridnya berpikir, karakter

muridnya dan bagaimana murid-muridnya

berinteraksi satu sama lain, sehingga guru dapat

memilih metode mengajar yang tepat dan

sesuai. Hal tersebut dapat membuat suasana

belajar menjadi lebih kondusif, suasana belajar

menjadi lebih komunal, dan memperkuat

kesetiaan atau ketaatan (OECD, 2010: 88-98).

Selain itu, menurut Fullan & Langworthy

(2014: 11) saat ini, siswa ingin terlibat aktif

dalam pembelajaran, sehingga untuk

menciptakan suasana belajar yang aktif dan

kreatif maka guru harus dapat bekerja sama

dengan muridnya. Kegiatan yang dapat

membantu guru untuk meningkatkan

kompetensi pedagogiknya diantaranya dengan

evaluasi harian, evaluasi mingguan dan

evaluasi diakhir semester. Keakraban dan kerja

sama antar guru dan siswa akan membantu guru

untuk memahami karakter siswanya, sehingga

guru dapat memberikan pengajaran yang

membuat para siswa tertarik dan kreatif.

Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah

evaluasi harian, evaluasi mingguan, dan

evaluasi akhir semester yang nantinya hasil

evaluasi tersebut akan menjadi penilaian guru

favorit atau guru berprestasi.

Strategi Ketiga, mengoptimalkan

dukungan dari pihak eksternal (Yayasan dan

Dinas). Pada penelitian yang dilakukan oleh

Suhaemi dan Aedi (2015: 241), dukungan dari

pemerintah terhadap rencana strategi untuk

meningkatkan kompetensi profesional dosen

merupakan salah satu faktor keberhasilan dari

program pengembangan kompetensi pedagogik

dan profesional dosen. Oleh sebab itu,

memanfaatkan peluang dari SMA Sedes

Sapientiae Jambu yang memiliki hubungan

yang baik dengan Pemerintah (Dinas), maka

hubungan tersebut dapat terus dioptimalkan.

Bantuan atau dorongan dari pemerintah,

instansi Dinas atau Universitas dapat berupa

memberikan pelatihan atau seminar kepada

Page 173: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita

173

guru terkait dengan pembelajaran, mentoring

dan meningkatkan penilain guru supaya guru

dapat terus meningkatkan kualitasnya (Wilson,

2009: 1-9). Kemudian, upaya ini didukung oleh

penelitian dari Ramdass & Masithulela (2016:

13) dimana dalam penelitiannya ditemukan

bahwa dukungan dari pemerintah dan industri

untuk meningkatkan kompetensi pedagogik

guru itu penting. Dengan adanya dukungan dan

kerja sama dari pemerintah dan industri, maka

sekolah akan mengetahui kebutuhan dari

pemerintah dan industri, sehingga nantinya

sekolah dapat membuat kurikulum untuk

mencapai kebutuhkan sosial yang dapat

memenuhi tenaga kerja (lulusan yang

berkualitas sesuai kebutuhan stakeholder).

Dukungan secara eksternal dari yayasan dan

dinas dapat berupa dukungan dalam evaluasi

guru, seperti bantuan atau dukungan untuk guru

supaya hasil tes UKG bisa lebih baik, melihat

hasil tes UKG dimana guru di SMA Sedes

Sapientiae Jambu kebanyakan masih berada

dibawah nilai minimal. Maka mengoptimalkan

penilaian guru dari pihak yayasan ataupun

Dinas dapat membantu guru untuk lebih

memahami dan mempraktekan kompetensi

pedagogik dan profesionalisme yang harus

dimiliki oleh guru. Kegiatan yang akan

dilakukan adalah dengan pengadaan pelatihan,

seminar, workshop, pertemuan MGMP, dan

simulasi tes UKG.

Strategi Keempat, adalah

mengoptimalkan profesionalisme dan kualitas

guru. Program ini merupakan sarana bagi guru

untuk meningkatkan dan mengembangkan

kompetensi pedagogiknya melalui beberapa

upaya dapat dilakukan oleh lembaga atau

sekolah untuk meningkatkan kompetensi

pedagogik guru, seperti dengan mengadakan

lokakarya (workshop), dan mengadakan

penataran guru (Saryati, 2014: 678-680). Selain

itu, guru juga dapat mengikuti seminar,

workshop, dan menerbitkan jurnal baik

nasional ataupun internasional untuk

meningkatkan kompetensi pedagogiknya

(Suhaemi & Aedi, 2015: 242). Penggunaan

teknologi informasi dan komunikasi juga dapat

digunakan untuk meningkatkan kualitas

mengajar guru (Liu 2011; Donnelly, dkk., 2011

dalam Khan, 2014: 21). Beberapa kegiatan

peningkatan kompetensi pedagogik guru

tersebut dirangkum dalam kegiatan pelatihan,

baik pelatihan dan seminar metode mengajar

maupun pelatihan pemanfaatan media

teknologi dan e-learning, dan workshop.

Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan

bekerja sama dengan pihak luar seperti

pemerintah, universitas atau instansi

pendidikan lainnya sebagai sponsor kegiatan

maupun membantu dalam penyelenggaran

kegiatan tersebut, atau menjadi pelatih atau

pembicara dalam kegiatan tersebut.

Mengoptimalkan kegiatan pengembangan

pedagogik guru ini dapat dilakukan dengan

bekerja sama dengan beberapa instansi

pendidikan lainnya, pemerintah, atau

universitas mitra. Dalam strategi keempat ini,

kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan,

seminar, lokakarya dan karya ilmiah guru

dengan adanya pelatihan karya ilmiah, dan

ajang kompetensi.

Strategi Kelima meningkatkan kerja

sama pengajar, murid, dan orang tua. Suasana

belajar mengajar dan juga suasana sekolah akan

semakin lebih kondusif dan performa siswa

akan meningkat jika guru dan murid memiliki

hubungan yang baik dan mendapatkan

dukungan dari orang tua. Peran orang tua

merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi performa siswa (OECD, 2010:

88-89). Dengan adanya peran orang tua maka

siswa akan merasa terdorong dan termotivasi

dengan dukungan orang tua, sehingga nantinya

performa siswa akan lebih baik. Melibatkan

orang tua dalam peningkatan kompetensi

pedagogik guru dapat membantu guru untuk

mendapatkan umpan balik dari para orang tua,

dimana orang tua dapat memberikan masukan

kepada guru mengenai kondisi anaknya

sehingga guru dapat lebih memahami anaknya

Page 174: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

174

dan begitu pula sebaliknya, dimana guru dapat

memberikan masukan kepada orang tua

mengenai kondisi anaknya sehingga orang tua

dapat mendukung anaknya dengan optimal.

Program ini dapat lebih dioptimalkan dengan

adanya web sekolah dan sms gateaway dimana

kegiatan sekolah selalu diberitahukan oleh

pihak sekolah kepada orang tua dan

ditampilkan dalam web sekolah, sehingga

orang tua mengetahui kegiatan yang terjadi

disekolah. Kegiatan yang dapat dilakukan

dalam program kemitraan orang tua dan komite

yaitu meliputi kegiatan evaluasi akhir semester

bersamaan dengan evaluasi akhir semester

siswa, dan pemberian penghargaan kepada guru

supaya guru lebih termotivasi dalam mengajar.

Dalam program kemitraan orang tua dan komite

ini dapat dilakukan kemitraan keluarga.

Kerjasama antar pengajar ini dapat

dioptimalkan untuk memotivasi guru supaya

pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat

lebih maksimal, bervariatif, dan inovatif. Siswa

juga dapat berperan aktif untuk memberikan

penilaian kepada guru, sehingga guru akan

menerima masukan dari para murid untuk

pembelajaran yang lebih baik lagi. Beberapa

kegiatan yang dilakukan pada strategi kelima

ini adalah dengan evaluasi akhir semester dan

adanya teacher award atau penghargaan

kepada guru.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dalam upaya menentukan strategi

peningkatan kompetensi pedagogik guru di

sekolah menengah atas berasrama di kabupaten

Semarang, terdapat beberapa faktor internal

(kekuatan – kelemahan) dan eksternal

(peluang-ancaman) yang dimiliki oleh sekolah.

Faktor-faktor itu telah dianalisis menggunakan

SWOT dan hasil akhir dari analisis SWOT

adalah kekuatan lebih tinggi dari pada

kelemahan, dan peluang yang dimiliki oleh

sekolah lebih tinggi dari pada ancaman. Oleh

karena itu, sekolah ini berada pada kuadran SO

(Strength-Opportunity), yang berarti dalam

merencanakan strategi peningkatan kompetensi

pedagogik guru, sekolah menggunakan strategi

agresif dengan memanfaatkan kekuatan yang

dimiliki untuk menangkap peluang yang ada.

Faktor kekuatan yang dimiliki oleh

sekolah diantaranya adalah fasilitas sekolah

yang memadai, sekurang-kurangnya 80% guru

sudah bergelar sarjana, beberapa guru masih

muda dengan jenjang karir yang panjang,

kesejahteraan guru terjamin, guru mengajar

sesuai bidangnya, guru akrab dengan murid dan

memberikan kesempatan belajar yang sama

terhadap peserta didik, guru telah membuat

administrasi pembelajaran, penilaian, serta

silabus yang sesuai dengan kurikulum, guru-

guru mata pelajaran IPA memiliki metode

mengajar yang lebih variatif dan inovatif,

beberapa guru mata pelajaran IPA berhasil

mengajar dan membimbing siswanya dalam

persiapan UN sehingga nilai UN selalu masuk

3 besar di kabupaten, dan loyalitas guru

terhadap kemajuan sekolah tinggi. Sedangkan

faktor peluang yang dimiliki sekolah adalah

animo masyarakat terhadap sekolah tinggi,

jumlah murid meningkat setiap tahunnya,

sekolah berasrama, hubungan dengan gereja

dan SMP swasta baik, adanya program

sertifikasi dari pemerintah dan dukungan dari

pemerintah (dinas).

Oleh karena itu strategi yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan kompetensi

pedagogik guru untuk meningkatkan mutu

sekolah dalam penelitian ini ada 5, yaitu: a)

mengoptimalkan kolaborasi antar guru, b)

mengoptimalkan kolaborasi antar guru dan

siswa, c) mengoptimalkan dukungan dari pihak

eksternal (yayasan dan dinas), d)

mengoptimalkan profesionalisme dan kualitas

guru, dan e) meningkatkan kerja sama pengajar,

murid, dan orang tua. Kelima strategi tersebut

dapat dilakukan dalam jangka panjang dan

berkala sesuai dengan keadaan dan kondisi

sekolah. Dalam pelaksanaan program

operasional sekolah tersebut melibatkan peran

Page 175: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Strategi Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Untuk … | Brigitta P. A. Tyagita

175

serta dari yayasan atau dinas sebagai

supervisor, kepala sekolah sebagai penanggung

jawab, wakil kepala sekolah sebagai ketua

pelaksana, guru sebagai pelaksana dan juga

peserta, dan komite sebagai pendukung.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang

dapat diberikan bagi sekolah adalah

merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi

program peningkatan kompetensi pedagogik

guru di sekolah guna tercapainya tujuan

sekolah, membentuk tim pengembangan dan

peningkatan kompetensi pedagogik guru untuk

peningkatan mutu sekolah, dan menjalin kerja

sama dan komunikasi dengan instansi-instansi

atau pihak lainnya seperti universitas atau dinas

pendidikan untuk pelatihan atau workshop

untuk guru.

Sedangkan saran bagi kepala sekolah

hendaknya memiliki gaya kepemimpinan yang

tegas, sehingga dapat membantu mengarahkan

guru untuk lebih baik dan hendaknya

memotivasi guru untuk meningkatkan

kompetensi pedagogiknya dan untuk menulis

karya ilmiah untuk diterbitkan atau

diseminarkan secara nasional ataupun

internasional.

Saran bagi guru hendaknya memiliki

kemauan tinggi untuk meningkatkan

kompetensi pedagogik dan profesionalisme,

sehingga kinerjanya akan semakin meningkat,

mempunyai kemauan yang tinggi untuk

mengikuti dan mengapikasikan hasil seminar

atau workshop atau pelatihan yang lain dalam

proses belajar mengajarnya dan memiliki

loyalitas yang tinggi dalam memajukan sekolah

dan memiliki keakraban antar guru maupun

siswa. Untuk penelitian yang lebih lanjut dapat

diperdalam mengenai peningkatan kompetensi-

kompetensi guru yang lain guna meningkatkan

mutu sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

CIRR ICD. 2005. Capacity Building for Local

NGOs: A Guidance Manual for Good

Practice. London: Catholic Institute for

International Relation. Retrieved from

http://www.progressio.org.uk/sites/progressio.o

rg.uk/files/3_Strategicplanning.pdf

Danim, S. 2010. Otonomi Manajemen Sekolah.

Bandung: Alfabeta.

Departement of Education & Training. 2005.

Professional Learning in Effective

Schools: The Seven Principles of Highly

Effective Professional Learning.

Melbourne: Leadership and Teacher

Development Branch. Retrieved from

http://www.sofweb.vic.edu.au/blueprint/fs5/def

ault.asp

Fahruddin, I. 2016, Desember 15. Kualitas

Pendidikan Indonesia. Retrieved 12 22,

2016, from Tentang Nusantara:

http://www.tentangnusantara.com/kualitas-

pendidikan-indonesia.html

Fullan, M., & Langworthy, M. 2014. A Rich

Seam: How New Pedagogies Find Deep

Learninng. California: Pearson.

Guerriero, Sonia. 2013. Teachers’ Pedagogical

Knowledge and the Teaching

Profession Background Report and

Project Objectives. OECD (Better

Policies For Better Lives)

Hakim, A. 2015. Contribution of Comptence

Teacher (pedagogical, Personality,

Professional Competence and Social)

On the Performance of Learning. The

International Journal of Engineering

and Science (IJES), 4 (2), 1-12.

Inan, Kito. 2016, January 24. Permasalahan

Guru di Indonesia Sekarang. Retrieved

December 20, 2016, from Inan Kito

Konsultan: Konsultan Pendidikan dan

Sains Dasar:

http://www.inankito.org/2016/01/perm

asalahan-guru-di-indonesia-

sekarang.html

Juddy, Farrah. 2014. Best Practice: Strategic

Planning. Arlington Blvd: Foundation

for Community Association Research.

Page 176: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

176

Kementrian Pendidikan Nasional. 2010.

Pedoman Pelaksanaan Penilaian

Kinerja Guru (PK Guru). Direktorat

Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik

dan Tenaga Kependidikan. Retrieved

from www.bermutuprofesi.org

Khan, S. H. 2014. A Model for Integrating ICT

into Teacher Training Programs in

Bangladesh based on TPCK.

International journal of education adn

development using information and

communication technology, 10, Issue 3,

21-31.

Musadad, A. A. 2010. Peran Kepemimpinan,

Etos Kerja, dan Persepsi Kepala

Sekolah Terhadap Mutu Pendidikan.

Paedagogia, 145.

OECD. 2005. Education at a Glance 2010:

OECD Indicators. Paris: OECD

Publishing.

Panda, S. 2012. Mapping Pedagogical

Competency of Secondary School

Science Teacher: An Attempt and

Analysis. International E-Journal

(Quarterly), 1 (4), 32-45. Retrieved

from www.oiirj.org

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16

Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi

Akamdemik dan Kompetensi Guru.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005

tentang Standar Nasional Pendidikan.

Rahman, M. H. 2014. Professional

Competence, Peagogical Competence

and the Performance of Junior High

School of Science Teachers. Journal of

Education and Practice, 5 (9), 75-80.

Retrieved from www.iiste.org

Ramdass, K. & Mashitulela, F. J. 2016.

Comparative Analysis of Pedagogical

Strategies Across Disciplines in Open

Distance Learning at Unisa.

International Review of Research in

Open and Distributed Learning, 17 (2).

Retrieved from www.irrodl.org

Rangkuti, F. 2016. Analisis SWOT: Teknik

Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT.

Gramedia.

Sagala, S. 2011. Konsep dan Makna

Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Sani, R., & Abdullah, D. 2015. Penjamin Mutu

Sekolah. (N. Syamsiyah, Ed.) Jakarta:

Bumi Aksara.

Saryati. 2014. Upaya Peningkatan Kompetensi

Pedagogik Guru Sekolah Dasar. Jurnal

Administrasi Pendidikan, 2 (1).

Retrieved from www.ejournal.unp.ac.id

Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah

Pendidikan Nasional Kita. Jakarta:

Kompas.

Suhaemi, M. E., & Aedi, N. 2015. A

Management Strategy for the

Imrpovement of Private Universities

Lectures' Professional Competencies.

International Education Studies, 8(12),

241-254. doi:10.5539/ies.v8n12p241

Tedjawati, J. M. 2011. Peningkatan

Kompetensi Guru Melalui Lesson

Studi: Kasus di Kabupaten Bantul.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 17

(4), 480-489.

Umiarso, & Gozali, I. 2010. Manajemen Mutu

Sekolah di Era Otonomi Pendidikan.

Jogjakarta: IRCiSoD

Uppsala University. 2010. A Swedish

Perspective on Pedagogical

Competence. (A. R. Apelgren, Ed., & R.

Eriksson, Trans.) Swedish: Uppsala

University.

Wilson, S. (Ed.). 2009. Teacher Quality:

Education Policy White Paper. National

Academy and Education, 1-9.

Page 177: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 177-189

177

Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK)

Dalam Meningkatkan Kompetensi Profesional dan Kompetensi Pedagogik

Guru Matematika SMP

Mega Wulandari

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Ade Iriani

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The research objectives are to describe the training that has been held so far and its

weaknesses and to develop PCK training modules in order to improve the pedagogical and

professional competence of mathematics teachers. This type of research is research and

development. The research subjects were the MGMP Coordinator and junior high school

mathematics teacher. Data collection techniques are observation, interviews, documentation

studies, and tests. Data analysis techniques use mixed methods. The PCK training module was

developed using the Sugiyono model, taking 7 stages namely potential and problems, data

collection, product design, design validation, design revisions, limited trials and product

revisions. Module validation tests are carried out by module experts, PCK experts, and

prospective users. Research results: 1) Training for junior high school mathematics teachers

have been focused on the dissemination of the 2013 curriculum and PCK training has never

been held; 2) The weakness of the training that has been held so far: material from the

powerpoint print out presented by the speaker, when the training collided with teaching

activities in the school, the training material was only about the 2013 curriculum; and 3) PCK

training modules that have been developed are feasible to use.

Keywords: Junior High School Mathematics Teacher, Pedagogical Content Knowledge

(PCK), Training Module

Article Info

Received date: 5 Desember 2018 Revised date: 24 Desember 2018 Accepted date: 24 Desember 2018

PENDAHULUAN

Pedagodical Content Knowledge (PCK)

atau pengetahuan konten pedagogik, pertama

kali dikenalkan oleh Shulman pada tahun 1986.

Menurut Shulman (1986:6) terdapat tiga

dimensi pengetahuan profesional yang penting

bagi seorang guru yaitu Subject Matter Content

Knowledge, PCK (Pedagogical Content

Knowledge), dan CK (Curricular Knowledge).

Pedagogical Content Knowledge (PCK)

merupakan salah satu pengetahuan dan elemen

penting yang mutlak harus dikuasai oleh guru

dalam rangka meningkatkan kualitas guru

(Hanggara, 2015:1). PCK menurut Shulman

(1986:9) merupakan kombinasi dari dua jenis

kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis

(pedagogical knowledge) dan pengetahuan

konten (content knowledge). Seorang guru

harus menguasai dua pengetahuan dalam

melakukan pembelajaran secara seimbang,

Page 178: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

178

yaitu pengetahuan materi pelajaran dan

pengetahuan pedagoginya (Resbiantoro,

2015:123). PCK sangat penting dimiliki oleh

seorang guru untuk menciptakan pembelajaran

yang bermakna bagi siswa. PCK menjadi isu

sekaligus ide baru untuk memaksimalkan

proses dan hasil pembelajaran, khususnya

dalam pembelajaran matematika.

Seorang guru harus menguasai

pengetahuan dalam melakukan pembelajaran

secara seimbang, antara pengentahuan materi

pelajaran dan pengetahuan pedagogi. Content

Knowledge (CK) merupakan salah satu

pengetahuan yang ada di dalam Pedagogical

Content Knowledge (PCK). Content knowledge

merupakan kompetensi profesional guru.

Menurut PP No. 74 tahun 2008, kompetensi

profesional adalah kemampuan guru dalam

menguasai pengetahuan bidang ilmu

pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang

diampunya. Selain kompetensi profesional

seorang guru juga harus memiliki kompetensi

pedagogik. Menurut Aminah (2014:56)

pengetahuan pedagogi merupakan jenis

pengetahuan yang unik untuk guru dan

didasarkan pada cara guru dalam mengajarkan

apa yang akan diajarkan. Selain itu,

Suminawati (2018: 3) berpendapat bahwa

Pedagogical Knowledge (PK) berkaitan

dengan cara dan proses mengajar yang meliputi

pengetahuan tentang manajemen kelas, tugas,

perencanaan pembelajaran dan pembelajaran

siswa. Oleh karena itu, Pedagogical Knowledge

(PK) sangat identik dengan kompetensi

pedagogik guru.

Saat ini teknologi dan informasi

berkembang dengan pesat. Sehingga,

muncullah tantangan terkait penerapan

teknologi dalam proses pembelajaran.

Tantangan tersebut, tidak mudah dihadapi oleh

guru, karena guru harus mampu menguasai

teknologi dan menerapkan dalam proses

pembelajaran. Untuk menjawab tantangan

tersebut, sebuah kerangka teoritis penting yang

muncul dalam penggunaan teknologi informasi

dan komunikasi oleh guru saat ini adalah

Technological Pedagogical Content

Knowledge (TPACK) (Rosyid, 2016). TPACK

merupakan sebuah kerangka untuk

mengintegrasikan teknologi dalam mengajar

(Koehler, Mishra, Ackaoglu,&Rosenberg,

2013). Menurut Roysid (2016) Technological

Pedagogical Content Knowledge (TPACK)

berfokus pada 3 komponen utama yaitu konten,

pedagogik dan teknologi.

Damawati (2015) berpendapat bahwa

PCK merupakan faktor penting karena sangat

berpengaruh terhadap proses pengajaran yang

dilakukan guru. Untuk mengembangkan PCK

guru dapat melalui program pelatihan yang

tujuannya untuk menfasilitasi guru dalam

mengembangkan PCK dan meningkatkan

kesadaran terhadap prosedur mengajar dan

pembelajaran. Untuk mengajar seorang guru

tidak hanya cukup dengan berbekal memahami

konten materi saja, tetapi juga harus

mengetahui cara mengajarkan materi tersebut

(Susilowati, 2015).

Penelitian ini hanya berfokus pada PCK

seorang guru. Hal ini dikarenakan, beberapa

guru matematika SMP di Kota Salatiga masih

memiliki kendala terkait pemahaman terhadap

materi matematika dan cara mengajar siswa

dengan karakteristik yang berbeda. Selain itu,

walaupun beberapa guru memiliki pemahaman

yang cukup baik terhadap teori belajar, metode

mengajar atau media mengajar, namun

terkadang guru-guru masih kesulitan dalam

mengimplementasi kan atau praktik mengajar.

Sehingga mereka memiliki pola mengajar yang

tetap, padahal tidak semua materi matematika

dapat diajarkan kepada siswa dengan metode

mengajar yang sama, karena setiap materi

memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa

PCK yang dimiliki oleh beberapa guru

matematika di Kota Salatiga masih kurang,

khususnya dalam pengetahuan materi dan cara

mengajarnya. Oleh karena itu, perlu adanya

usaha dalam mengembangkan PCK guru

Page 179: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani

179

Matematika, sehingga dapat meningkatkan

kompetensi pedagogik dan kompetensi

profesional yang dimilikinya.

Menurut Shulman (1986:14), banyak

faktor yang mempengaruhi PCK guru,

diantaranya adalah : pengalaman mengajar

(Teaching Experience), pelatihan (Training),

sarana & prasarana pembelajaran (Technology),

efikasi diri (Self Efficacy) dan motivasi

(Motivation). Pelatihan (Training) merupakan

salah satu upaya untuk mengembangkan

kemampu an dan meningkatkan kompetensi

guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya.

Berdasarkan paparan tersebut, peneliti

berupaya meningkatkan kompetensi pedagogik

dan kompetensi profesional dengan cara

mengembangkan modul pelatihan PCK. Aditia

(2013:6) mengemukakan bahwa modul

merupakan alat atau sarana pembelajaran yang

berisi materi, metode, batasan-batasan materi

pembelajaran, petunjuk kegiatan belajar,

latihan dam cara mengevaluasi yang dirancang

secara sistematis dan menarik, untuk mencapai

kompetensi yang di harapkan dan dapat

digunakan secara mandiri. Menurut

Departemen Pendidikan Nasional (2002:21-26)

satu modul dibuat untuk mengajarkan suatu

materi yang spesifik supaya peserta belajar

mencapai kompetetensi tertentu. Struktur

penulisan suatu modul sering dibagi menjadi

tiga bagian, yaitu bagian pembukaan, bagian

inti dan bagian penutup.

Modul pelatihan PCK dikembangkan

dengan model Sugiyono. Sugiyono (2010:407)

mengemukakan bahwa pengembangan atau

Research and Development (R&D) adalah

metode penelitian yang digunakan untuk

menghasilkan produk tertentu, dan menguji

keefektifan produk tersebut. Penelitian ini,

hanya mengambil 7 (tujuh) tahapan yang dalam

model Sugiyono. tujuh tahapan tersebut yaitu

potensi dan masalah, pengumpulan data, desain

produk, validasi desain, revisi desain, uji coba

terbatas, dan revisi produk.

Penelitian berjudul “Pengembang- an

Modul Pelatihan Pedagogical Content

Knowledge (PCK) Dalam Meningkatkan

Kompetensi Profesional Dan Kompetensi

Pedagogik Guru Matematika SMP” ini

bertujuan untuk a) mendeskripsikan pelatihan

yang selama ini diselenggara kan, b)

mendeskripsikan kelemahan pelatihan yang

selama ini diselenggarakan dan c)

mengembangkan modul pelatihan PCK untuk

meningkatkan kompetensi pedagogik dan

kompetensi profesional guru matematika SMP

di Kota Salatiga.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan jenis

penelitian pengembangan atau Research and

Development (R&D). Penelitian ini di lakukan

di Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah.

Penelitian pengembangan ini menggunakan

rancangan penelitian model Sugiyono dengan

mengambil tujuh tahapan saja, dimulai dengan

adanya potensi dan masalah, pengumpulan

data, desain produk, validasi desain, revisi

desain, uji coba produk terbatas, dan revisi

produk. Teknik pengumpulan data yang di

gunakan dalam penelitian ini yaitu observasi,

wawancara, studi dokumentasi dan tes.

Observasi dilakukan pada tahapan pelaksanaan

pelatihan, untuk mengamati proses pelaksanaan

pelatihan yang sedang dilakukan. Wawancara

dilakukan untuk mendapatkan data mengenai

pelatihan dan PCK yang dimiliki guru

matematika. Studi dokumen digunakan untuk

menambah dan melengkapi data yang di

perlukan dalam penelitian ini, dengan cara

membaca dan mempelajari dokumen-dokumen

yang ada. Adapun dokumen yang dibutuhkan

berupa profil sekolah dan dokumen terkait

guru-guru yang mengajar matematika di setiap

SMP, serta kajian teori mengenai PCK dan

modul pelatihan. Tes dalam penelitian ini

terdiri dari pre-test (sebelum pelatihan) dan

post-test (setelah pelatihan) yang dilakukan

pada fase implementasi atau uji coba produk

Page 180: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

180

terbatas untuk mengetahui peningkatan

kompetensi pedagogik dan kompetensi

profesioanal peserta pelatihan setelah

mengikuti pelatihan. Teknik analisis data dalam

penelitian ini menggunakan metode campuran

(Mixed Methods).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Deskripsi Pelatihan Yang Pernah

Diselenggarakan

Pelatihan bagi guru-guru merupakan

suatu kebutuhan yang penting. Selama ini, guru

matematika pada jenjang SMP di Kota Salatiga,

sering mengikuti beberapa pelatihan yang

diselenggarakan oleh dinas pendidikan maupun

MGMP. Untuk menggali informasi tentang

pelatihan yang selama ini diikuti peneliti

mewawancara1 seorang koordinator MGMP

untuk mapel matematika (YE), dan 2 (dua)

orang guru matematika (RD dan BD) yang

mengajar di SMP yang berada di wilayah

Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Hasil

wawancara dengan YE, RD dan BD

menunjukkan bahwa pelatihan yang selama ini

diikuti merupakan program pemerintah.

Adapun program pemerintah selama 3 tahun

terakhir ini adalah berkaitan dengan sosialisasi

Kurikulum 2013. Pelatihan bagi guru mapel

matematika pada jenjang SMP selama satu

tahun terakhir ini rutin dilaksanakan oleh

MGMP. Waktu pelatihan disesuaikan dengan

materi pelatihan yang akan disampaikan.

Peserta yang di undang sekitar 80 orang tetapi,

yang merespon dan berpartisipasi biasanya

hanya setengahnya saja. Tempat pelatihan

biasanya di sekolah-sekolah yang ada ruangan

atau gedung yang luas untuk dapat digunakan

sebagai tempat pelatihan. Peserta pelatihan

diberi materi pelatihan yang akan dipaparkan

oleh pembicara, biasanya berupa print out

Power Point materi ataupun modul jika ada.

Tindak lanjut dari pelatihan berbeda-beda,

misalnya dalam pelatihan Kurikulum 2013

nantinya guru-guru dituntut untuk membuat

RPP Kurikulum 2013 dan nantinya ada tim

yang mendampingi saat mengimplementasikan

nya di dalam kelas.

Berdasarkan hasil wawancara, masih

terdapat beberapa guru dengan pratik mengajar

yang belum baik. Guru-guru mengetahui dan

paham akan teori belajar, metode pembelajaran

maupun pendekatannya. Tetapi, di dalam

mewujudkannya ke dalam praktik mengajar

masih kesulitan. Tidak semua materi

matematika, bisa menggunakan pendekatan

atau metode pembelajaran yang sama, dan

masih ada guru yang memaksakan materi

tertentu yang sebetulnya tidak cocok dengan

metode yang dipilihnya. Hal ini, biasanya

dikarenakan guru-guru hanya berpatokan pada

buku ajar saja. Padahal penguasaan materi

sangat berpengaruh terhadap pemilihan dan

penentuan metode ataupun pendekatan yang

akan digunakan pada materi tertentu.

Hasil wawacara dengan RD dan BD

menunjukkan bahwa kedua guru ini pernah

mengikut pelatihan yang diselenggarakan oleh

MGMP. Tetapi, tidak semua kegiatan pelatihan

yang diselenggarakan oleh MGMP mereka

ikuti. Hal itu karena waktu pelatihan

bertabrakan dengan waktu kegiatan di sekolah

ataupun ada beberapa hal yang tidak dapat

ditinggalkan. YE juga berpendapat bahwa

setiap guru memiliki kebutuhan dan zona yang

berbeda-beda, sehingga menyebabkan guru-

guru tidak aktif dalam pelatihan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan

YE, RD, dan BD selama ini belum pernah ada

pelatihan yang berkaitan dengan PCK. RD dan

BD mengatakan bahwa belum memahami

ataupun mengerti apa itu PCK. Berdasarkan

hasil wawancara dengan YE yang menyatakan

bahwa jika diselenggarakan pelatihan

mengenai PCK sangat bermanfaat bagi guru,

dimana PCK merupakan perpaduan di antara

pengetahuan materi dan pengetahuan cara

mengajar. Hal ini, dikarenakan masih banyak

guru yang kurang menguasai materi dan pada

Page 181: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani

181

akhirnya memaksakan mengajar materi tertentu

dengan metode mengajar yang tidak cocok.

Melalui pelatihan PCK, diharapkan para guru

dapat menambah pengetahuannya tentang PCK

dan mengembangkan kompetensi yang

dimilikinya.

Deskripsi Kelemahan Pelatihan Yang

Selama Ini Diselenggarakan

Berdasarkan hasil wawancara dengan

YE, RD dan BD, peneliti menyimpulkan

beberapa kelemahan pelatihan yang selama ini

di selenggarakan, sebagai berikut: 1). Materi

yang diberikan kepada peserta pelatihan hanya

sekedar print out power point yang akan

dipaparkan pembicara. Hal ini, menghambat

guru-guru ketika hendak mempelajari kembali

materi pelatihan setelah pelatihan selesai.

Selain itu, terkadang point penting ataupun

paparan yang sebetulnya sangat berguna bagi

guru-guru tidak tertulis dan pada akhirnya

guru-guru melupakan hal tersebut.; 2).

Kebutuhan dan tuntutan setiap guru sangat

berbeda-beda. Kebutuhan guru berbeda satu

dengan yang lain. Biasanya, guru yang sudah

mendekati masa pensiun lebih cenderung pasif

dan tidak terlalu antusias dalam mengikuti

pelatihan. Selain itu, tuntutan setiap sekolah

yang berbeda-beda juga mempengaruhi

partisipasi guru dalam mengikuti pelatihan; 3).

Seorang guru memiliki tugas mengajar yang

berbeda satu dengan yang lain. Selain, tugas

mengajar, kegiatan sekolah yang lebih

mendesak dan dadakan juga menjadi kendala

guru dalam mengikuti pelatihan. Misalnya,

kunjungan pengawas sekolah atau kegiatan

lainnya. Sehingga, guru tidak memiliki waktu

untuk mengikuti kegiatan pelatihan yang

diselenggarakan oleh MGMP maupun oleh

dinas pendidikan; dan 4). Materi pelatihan

disesuaikan dengan program pemerintah.

Selama 3 tahun terakhir, pelatihan yang di

selenggarakan berkaitan dengan kurikulum

2013. Sebagian guru-guru merasa jika

mengikuti satu kali pelatihan saja sebenarnya

sudah cukup. Karena, biasanya pelatihan yang

berkaitan dengan kurikulum 2013 tidak hanya

diselenggarakan dalam waktu satu kali

pertemuan. Kelemahan dari pelatihan yang

selama ini diselenggarakan, peneliti gunakan

sebagai bahan refleksi sehingga mendorong

dilakukaannya penelitian dan pengembangan

ini.

Pengembangan Modul Pelatihan PCK

Potensi dan Masalah

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan

adalah menganalisis potensi dan masalah yang

dihadapi guru matematika SMP di Kota

Salatiga. Guru yang mengajar mata pelajaran

matematika pada jenjang SMP di kota Salatiga,

memiliki bekal ilmu yang linier dengan mapel

yang diampunya. Guru-guru memiliki

kualifikasi akademik pendidikan minimum

sarjana dengan program studi yang sesuai mata

pelajaran yang diampunya yaitu matematika.

Sehingga, guru-guru tersebut memiliki

pengetahuan matematika yang menjadi bekal

untuk mengajar.

Hasil wawancara dengan salah seorang

koordinator MGMP (YE), menunjukkan bahwa

banyak guru matematika SMP di Kota Salatiga

yang praktik mengajarnya masih kurang. Setiap

materi matematika mempunyai karakteristik

yang berbeda, sehingga tidak bisa di paksakan

dengan model atau metode atau cara mengajar

yang sama. Penguasaan materi yang kuat akan

membantu guru dalam menentukan strategi

mengajar yang akan digunakan. Pemilihan

metode atau model atau pendekatan yang tepat

akan membantu siswa dengan memahami

materi matematika. Sesulit-sulitnya materi

matematika jika di ajarkan dengan cara serta

strategi mengajar yang tepat akan mudah di

terima oleh siswa.

Berdasarkan permasalahan tersebut,

perlu dilakukan sebuah pelatihan bagi guru-

guru matematika yang masih mengalami

kesulitan cara mengajar dengan materi tertentu.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pelatihan

mengenai Pedagogical Content Knowledge

(PCK) melalui modul pelatihan yang dapat

Page 182: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

182

membantu guru matematika untuk

mengembangkan pengetahuan materi ajar dan

pengetahuan mengajar yang dimilikinya.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini

dimulai dari studi pendahuluan terkait pelatihan

yang sebelumnya diselenggarakan, kompetensi

pedagogik dan kompetensi profesional guru

matematika SMP dan penguasaan materi serta

pemahaman cara mengajar guru matematika

melalui wawancara dengan koordinator MGMP

dan guru matematika terpilih. Selain itu, dalam

tahapan pengumpulan data, dilakukan kajian

teoritik tentang PCK, modul pelatihan, dan

kompetensi profesional dan kompetensi

pedagogik guru matematika. Langkah

selanjutnya yaitu mengumpulkan berbagai

informasi dan studi literatur yang digunakan

untuk perencanaan produk.

Desain Modul Pelatihan

Perancangan modul pelatihan PCK

didasarkan data yang diperleh pada tahap

potensi dan masalah, yaitu masih terdapat guru

matematika yang mengalami kesulitan terkait

pemahaman materi ajar matematika dan

pemahaman cara mendidik peserta didik. Hal

itu dimaksudkan agar rancangan desain yang

telah disusun dapat mengatasi permasalahan

yang terjadi di lapangan.

Pada tahapan desain produk peneliti

menyusun dan menulis sebuah modul pelatihan

Pedagogical Content Knowledge (PCK).

Adapun sistematika penulisan modul ini, yaitu

(1) bagian awal yang terdiri dari halaman judul,

kata pengantar, daftar isi dan glosarium; (2)

bagian pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang, tujuan, peta kompetensi, ruang

lingkup, dan petunjuk penggunaan modul; (3)

bagian pembelajaran berisi kegiatan

pembelajaran yang terdiri dari pengantar,

kompetensi dasar, indikator pencapaian, tujuan

pembelajaran, uraian materi, aktivitas

pembelajaran, latihan atau tugas, rangkuman,

tes formatif, umpan balik dan tindak lanjut dan

kunci jawaban; (4) bagian evaluasi yang terdiri

dari tes dan kunci jawaban; (5) bagian akhir

yang terdiri dari penutup, daftar pustaka.

Pada tahapan desain modul pelatihan

PCK, juga dilakukan penulisan isi modul sesuai

dengan rancangan yang telah di buat. Penulisan

modul ini berdasarkan bahan pustaka serta

kajian referensi yang berkaitan dengan PCK.

Terdapat 3 kegiatan belajar di dalam modul ini,

yaitu kegiatan belajar 1 tentang PCK, kegiatan

belajar 2 tentang komponen PCK, dan kegiatan

belajar 3 tentang penerapan PCK dalam RPP.

Pada setiap kegiatan belajar dalam modul

pelatihan PCK ini terdapat pengantar,

kompetensi dasar, indikator pencapaian, tujuan

pembelajaran, uraian materi, aktivitas

pembelajaran, latihan atau tugas, rangkuman,

tes formatif, umpan balik dan tindak lanjut dan

kunci jawaban. Setelah menjadi draftvmodul

pelatihan PCK yang utuh, maka dilakukan

validasi desain oleh ahli.

Validasi Desain

Desain produk yang telah

dikembangkan berupa draft modul pelatihan

PCK, kemudian divalidasi oleh 3 (tiga) orang

pakar, yaitu 1). Seorang Ahli Modul; 2) seorang

Ahli PCK; dan 3) seorang calon pengguna.

Hasil penilaian dari ahli modul pelatihan dan

ahli PCK sama, Menempatkan kualitas modul

pada skor 68 atau masuk pada kategori cukup

baik. Di samping itu ahli modul pelatihan dan

ahli PCK memberikan saran dan masukan bagi

perbaikan desain modul pelatihan. Sedangkan,

calon pengguna memberi skor pada disain

modul sebesar 88 atau masuk pada kategori

sangat baik.

Revisi Desain

Tahapan revisi desain dilakukan untuk

memperbaiki draft modul yang telah disusun.

Hasil validasi oleh ahli menunjukkan bahwa

modul dapat digunakan untuk diujicobakan

tetapi, harus dilakukan revisi terlebih dahulu.

Revisi dilakukan sesuai masukan dan saran

para validator. Tahap ini menghasilkan produk

berupa Modul Pelatihan PCK bagi guru

Matematika SMP.

Page 183: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani

183

Uji Coba Terbatas

Uji coba produk terbatas dilakukan

untuk mengimplementasikan modul PCK yang

telah disusun yang telah direvisi. Uji coba

terbatas dilaksanakan melalui pelatihan dengan

skala kecil. Pelatihan melibatkan beberapa guru

matematika SMP di Kota Salatiga Kecamatan

Sidorejo. Sebanyak 6 guru matematika SMP

dari 3 sekolah yang berbeda-beda terlibat dalam

pelatihan ini. Implementasi modul PCK

dilaksanakan dalam 1 hari.

Ujicoba modul pelatihan PCK diawali

dengan pembukaan yang dilanjutkan dengan

pengerjaan pre-test oleh peserta pelatihan.

Setelah itu dilanjutkan dengan penjelasan

materi dimulai dari kegiatan pembelajaran 1

sampai pada kegiatan pembelajaran 3.

Pelatihan diakhiri dengan pengerjaan post-test

oleh peserta pelatihan.

Pre-test dan Post-test dilakukan untuk

mengetahui kemampuan peserta pelatihan

sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan.

Peningkatan kompetensi pedagogik dan

profesional guru setelah mengikuti pelatihan

PCK diketahui dengan membandingkan nilai

pre-test dan post-test. Untuk melihat adanya

peningkatan setelah pelatihan, maka batas nilai

tuntas untuk pre-test dan post-test yaitu 7.

Adapun hasil dari pre-test dan post-test dari 6

guru yang mengikuti pelatihan, yaitu sebagai

berikut.

Tabel 1. Hasil pre-test dan post-test

peserta pelatihan PCK

No Nama Guru Nilai

pre-test Ket post-test Ket

1. CS 60 TT 76 T

2. SY 48 TT 60 TT

3. RD 52 TT 76 T

4. W 72 T 72 T

5. RB 68 TT 80 T

6. AJ 76 T 72 T

Rata-rata 62,7 72,7

Persentase 33,4% 83,4%

Keterangan: T = Tuntas; TT = Tidak Tuntas

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata

pre-test peserta pelatihan adalah 62,7 dimana 2

dari 6 orang peserta pelatihan tuntas dengan

presentase 33,4%. Rata-rata post-test peserta

pelatihan adalah 72,7 dimana 1 dari 6 orang

peserta pelatihan tidak tuntas dengan presentase

83,4%. Data tersebut menegaskan adanya

peningkatan kompetensi pedagogik dan

kompetensi profesional peserta pelatihan

setelah mengikuti pelatihan PCK. Selain

meningkatnya nilai, peserta pelatihan juga

berhasil menyusun satu RPP. Dari RPP yang di

hasilkan maka dapat dilihat penguasaan materi

ajar dan cara mengajar peserta pelatihan.

Kembali mengingat Komponen PCK sangat

membantu peserta pelatihan dalam menyusun

RPP. Sehingga, tidak ada lagi kesalahan atau

ketidak tepatan di dalam memilih metode

mengajar dengan materi tertentu. Dengan

berhasilnya peserta pelatihan di dalam

menyusun RPP, maka dapat dijadikan bukti

akan keberhasilan pelatihan dengan

menggunakan modul PCK bagi guru

matematika. RPP yang telah di susun oleh enam

guru setelah pelatihan dianalisis sesuai dengan

komponen PCK yang telah di bagi kedalam dua

kompetensi yaitu kompetensi pedagogik dan

kompetensi profesional.

Kompetensi pedagogik terbagi menjadi

5 aspek dalam komponen PCK. Adapun kelima

aspek tersebut yaitu:

1. Pengetahuan tentang kurikulum

Dari ketiga sekolah yang menjadi subjek

penelitian, sudah menggunakan kurikulum

2013. Enam guru yang menjadi subjek

penelitian, juga sudah memiliki pengetahuan

tentang kurikulum 2013. Selain pengetahuan

tentang kurikulum, enam guru tersebut juga

memiliki pemahaman yang cukup di dalam

menyusun Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP).

2. Pengetahuan mengajar

Terdapat dua hal yang penting didalam

pengetahuan mengajar guru yaitu tentang

motivasi serta proses dan peran guru dalam

pembelajaran. Berdasarkan RPP yang

disusun oleh keenam guru tersebut, pada

kegiatan pendahuluan, guru selalu

Page 184: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

184

memberikan motivasi kepada siswanya

terkait dengan materi yang akan diajarkan.

Selain itu, dalam kegiatan inti peran guru

dalam proses pembelajaran hanya sebagai

fasilitator untuk membantu siswa dalam

mencapai tujuan pembelajaran yang

diinginkan.

3. Pengetahuan tentang penilaian atau evaluasi

Pengetahuan guru terhadap alat evaluasi atau

penilaian sangatlah penting dalam proses

pembelajaran. Dari RPP yang telah di susun

ke enam guru tersebut telah menyusun

evaluasi yang akan digunakan. Evaluasi

diberikan pada akhir pembelajaran,baik

dengan memberikan soal-soal secara

langsung didalam kelas ataupun

memberikan tugas-tugas lain yang akan di

kerjakan siswa.

4. Pengetahuan tentang sumber daya

Berdasarkan RPP yang telah disusun oleh

guru, Sumber-sumber materi yang di

gunakan tidak hanya berpatokan dari satu

buku paket. Guru-guru tersebut

mengembangkan materi dari berbagai

sumber. Seperti, internet, modul, dan sumber

lainnya yang relevan. Selain itu, media

pembelajaran yang di gunakan dalam

menjelaskan materi sangat beragam,

beberapa guru menggunakan power point,

video, maupun media audiovisual yang

sesuai dengan materi yang akan diajarkan.

Sehingga, dapat mempermudah siswa dalam

memahami materi yang sedang di ajarkan.

5. Pengetahuan tentang peserta didik

Pada kegiatan refleksi dalam RPP guru dapat

memahami setiap respon dari setiap siswa,

baik respon positif maupun respon negatif.

Sehingga, guru dapat memahami kesulitan

belajar yang di alami siswa.

Kompetensi profesional guru terbagi

menjadi 2 aspek dalam komponen PCK.

Adapun aspek-aspek tersebut yaitu sebagai

berikut:

1. Pengetahuan tentang tujuan

Pada kegiatan pendahuluan guru

memberikan manfaat atau gambaran yang

dikaitkan dengan contoh dalam kehidupan

sehari-hari terkait materi yang sedang di

ajarkan. Sehingga, diharapkan contoh

tersebut dapat mempermudah siswa dalam

memahami materi serta dapat menarik siswa

di dalam mempelajari materi tertentu yang

bermanfaat dalam dunia nyata.

2. Pengetahuan tentang materi

Berdasarkan RPP yang telah disusun, guru

telah menguasai materi yang akan di ajarkan.

Sehingga, guru dapat menentukan metode,

media maupun penilaian yang akan

digunakan dalam proses pembelajaran.

Observasi dilakukan untuk mengetahui

respon guru sebagai peserta pelatihan dan

proses pelaksanaan pelatihan PCK. Hasil

observasi menunjukkan bahwa rata-rata skor

pelaksanaan pelatihan PCK yang dilaksanakan

pada tahap uji coba produk terbatas yaitu

sebesar 4,5 dan 4,2 dengan persentase 90%

berkategori sangat baik dan 84% berkategori

baik. Berdasarkan hasil observasi tersebut

narasumber telah menguasai materi dan dapat

menyampaikan materi dengan baik. Sehingga,

peserta pelatihan dapat dengan mudah

memahami materi pelatihan dengan

menunjukan keaktifan, keseriusan, antusiasme

dan keterlibatan peserta pelatih dalam

mengikuti pelatihan PCK.

Revisi Produk

Hasil ujicoba produk terbatas dan

masukan-masukan dari peserta dan pelatih

dimanfaatkan untuk merevisi produk sehingga

tersusun produk Modul Pelatihan PCK bagi

Guru Matematika SMP.

Pembahasan

Pengembangan modul pelatihan PCK

melalui 7 (tujuh) tahapan yaitu potensi dan

masalah, pengumpulan data, desain produk,

validasi desain, revisi desain, uji coba produk

terbatas, dan revisi produk ini berangkat dari

Page 185: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani

185

adanya potensi atau masalah sebagaimana

dianjurkan oleh Sugiyono (2010: 409).

Dengan mengidentifikasi potensi dan

masalah yang ada maka peneliti dapat mencari

upaya untuk mengatasi masalah yang ada. Pada

tahap ini ditemukan bahwa guru-guru

matematika di Kota Salatiga memiliki potensi.

Guru-guru tersebut memiliki kualifikasi

akademik pendidikan minimum sarjana dengan

program studi yang sesuai bidang yang di

ampunya yaitu matematika. Sehingga, guru-

guru tersebut memiliki pengetahuan

matematika yang dapat dijadikan bekal untuk

mengajar.

Masalahnya belum semua guru

menguasai pengetahuan mengajar dan

mewujudkannya dalam pembelajaran di kelas.

memiliki kendala terkait pemahaman terhadap

materi matematika dan cara mengajar siswa

dengan karakteristik yang berbeda. Walaupun

beberapa guru memiliki pemahaman yang

cukup baik terhadap teori belajar, metode

mengajar atau media mengajar, namun

terkadang guru-guru masih kesulitan dalam

mengimplementasikan atau praktik mengajar.

Sehingga mereka memiliki pola mengajar yang

tetap, padahal tidak semua materi matematika

dapat diajarkan kepada siswa dengan metode

mengajar yang sama, karena setiap materi

memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Dengan kata lain penguasaan PCK para guru

tersebut lemah.

Kondisi itu sejalan dengan temuan

Margiyono (2011) yang menyatakan bahwa

masih terdapat beberapa guru yang belum

optimal dalam hal penguasaan tentang

mengajar dan pemahaman tentang kebutuhan

siswa. Padahal menurut Maryono (2016:1)

Pedagogical Content Knowledge (PCK) sangat

penting dimiliki oleh seorang guru sebagai

bekal untuk menciptakan pembelajaran yang

bermakna bagi siswa. Sementara Bunawan

(2017:83) juga berpendapat bahwa PCK

merupakan suatu pengetahuan yang unik bagi

guru, yang berkaitan dengan apa yang akan

mereka ajarkan. Hal ini menyangkut bagaimana

guru mengkaitkan pengetahuan materi

pelajaran (apa yang diketahui guru tentang apa

yang akan diajarkan) terhadap pengetahuan

pedagogi (apa yang diketahui guru tentang

mengajar). Kedua pengetahuan tersebut juga

dapat dikatakan sebagai dua kompetensi yang

harus dimilki guru, dimana pengetahuan

pedagogis terkait dengan kompetensi

pedagogik sedangkan pengetahuan materi/

konten terkait dengan kompetensi profesional.

Berdasarkan, permasalahan yang ada di

lapangan peneliti kemudian mengembang kan

modul pelatihan PCK bagi guru matematika.

Menurut Sugiyono (2010: 411) tahapan

pengumpulan data dilakukan untuk mencari

serta mengumpulkan berbagai informasi yang

dapat digunakan sebagai bahan untuk

perencanaan produk tertentu yang diharapkan

dapat mengatasi masalah yang ada. Pada tahap

ini peneliti mengumpulkan berbagai informasi

dan studi literatur terkait PCK, pelatihan

maupun modul dilakukan untuk menemukan

konsep-konsep atau landasan-landasan teoretis

yang memperkuat dalam menyusun modul

PCK. Selain itu, melalui studi literatur peneliti

dapat mengetahui langkah-langkah yang paling

tepat dalam pengembangan modul pelatihan

PCK.

Setelah mengumpulkan banyak data

terkait PCK, pelatihan maupun modul maka

dilakukan tahapan yang berikutnya yaitu tahap

desain produk. Pada tahap ini peneliti

mendesain produk yang berupa modul

pelatihan PCK guna mengatasi masalah yang

ada. Hal itu sejalan dengan pendapat

Rahdianyanta (2017:1-2) yang menyatakan

bahwa tujuan penulisan modul adalah: 1).

memperjelas dan mempermudah penyajian

pesan agar tidak terlalu bersifat verbal; 2).

mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya

indera, baik siswa atau peserta diklat maupun

guru/instruktur; 3). dapat digunakan secara

tepat dan bervariasi; 4). meningkatkan motivasi

dan gairah belajar bagi siswa atau peserta

Page 186: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

186

diklat; 5). mengembangkan kemampuan

peserta didik dalam berinteraksi langsung

dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya;

6). memungkinkan siswa atau peserta diklat

belajar mandiri sesuai kemampuan dan

minatnya; dan 7). memungkinkan siswa atau

peserta diklat dapat mengukur atau

mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.

Penyusunan modul juga didasarkan

pada pandangan Aditia (2013:6) bahwa modul

merupakan alat atau sarana pembelajaran yang

berisi materi, metode, batasan-batasan materi

pembelajaran, petunjuk kegiatan belajar,

latihan dam cara mengevaluasi yang dirancang

secara sistematis dan menarik, untuk mencapai

kompetensi yang di harapkan dan dapat

digunakan secara mandiri.

Pada tahap desain, peneliti merancang

dan kemudian mengembangkan sebuah

rancangan modul pelatihan PCK yang terdiri

dari lima bagian yaitu: (1) bagian awal yang

terdiri dari halaman judul, kata pengantar,

daftar isi dan glosarium; (2) bagian

pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

tujuan, peta kompetensi, ruang lingkup, dan

petunjuk penggunaan modul; (3) bagian

pembelajaran berisi kegiatan pembelajaran

yang terdiri dari pengantar, kompetensi dasar,

indikator pencapaian, tujuan pembelajaran,

uraian materi, aktivitas pembelajaran, latihan

atau tugas, rangkuman, tes formatif, umpan

balik dan tindak lanjut dan kunci jawaban; (4)

bagian evaluasi yang terdiri dari tes dan kunci

jawaban; (5) bagian akhir yang terdiri dari

penutup, daftar pustaka.

Modul pelatihan PCK terdiri dari 3

(tiga) penggalan kegiatan belajar, yaitu

kegiatan belajar 1 berisikan tentang PCK,

kegiatan belajar 2 tentang komponen PCK, dan

kegiatan belajar 3 tentang penerapan PCK

dalam RPP. Pada setiap penggalan kegiatan

belajar dalam modul pelatihan PCK ini terdapat

pengantar, kompetensi dasar, indikator

pencapaian, tujuan pembelajaran, uraian

materi, aktivitas pembelajaran, latihan atau

tugas, rangkuman, tes formatif, umpan balik

dan tindak lanjut dan kunci jawaban.

Pada tahap validasi desain, Desain

Modul Pelatihan PCK kemudian divalidasi oleh

pakar. Validasi dilakukan oleh 1). Ahli

Pengembangan Modul; 2). Ahli PCK; dan 3).

Calon pengguna. Hasil validasi oleh ahli

pengembangan modul dan ahli PCK memiliki

persentase yang sama, yaitu sebesar 68 % atau

termasuk kategori cukup baik dengan

keterangan layak digunakan dengan revisi.

Selain itu, terdapat beberapa saran dan masukan

yang berbeda-beda dari ahli modul dan ahli

PCK. Adapun masukan dan saran dari validator

ahli modul pelatihan yaitu 1). Rumusan

indikator dan tujuan harus operasional; 2).

Menggunakan kata kerja dengan tingkat

kognitif yang lebih tinggi; 3). Menyesuaikan

kegiatan belajar dan evaluasi dengan tingkat

kognitif yang tinggi. Sedangkan, masukan dan

saran dari validator ahli PCK yaitu 1).

Menambah uraian materi; 2). Memperhatikan

kembali hirarki CK, PK, dan PCK; 3).

Menambah contoh yang lebih sederhana; 4).

Menghubungkan PCK, K-13 dan peran PCK

dalam RPP. Persentase penilaian dari ahli calon

pengguna sebesar 88 % pada kategori sangat

baik. Adapun keterangan dari validator calon

pengguna yaitu baik dan sudah dapat di

gunakan.

Berdasarkan, penilaian dari ketiga ahli

tersebut, maka dilakukan revisi modul

pelatihan PCK, sesuai dengan masukan dan

saran yang diberikan. Setelah dilakukan revisi

maka Modul Pelatihan PCK ini siap untuk

diujicobakan.

Tahapan uji coba terbatas atas Modul

yang telah disusun dilakukan melalui pelatihan.

Pelatihan ini melibatkan 6 guru dari 3 SMP

yang berbeda. Pelatihan dilaksanakan selama 1

hari. Pada tahapan implementasi juga di

lakukan Pre-test dan Post-test untuk

mengetahui kemampuan peserta pelatihan

sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan.

Hasil rata-rata Pre-test sebesar 62,7 dan rata-

Page 187: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani

187

rata post-test peserta pelatihan adalah 72,7.

Berdasarkan, hasil tersebut maka modul

pelatihan PCK memiliki dampak bagi peserta

pelatihan. Sehingga, modul pelatihan tersebut

dapat digunakan dalam upaya meningkatkan

kompetensi guru. Hasil ini sejalan dengan hasil

penelitian Giarti (2016) yang menunjukkan

bahwa pengembangan modul pelatihan dapat

meningkatkan kompetensi guru SD. Hasil

penelitian ini juga sejalan dengan penelitian

Sumarah, dkk (2017) juga menunjukkan bahwa

modul pelatihan sangat membantu guru

didalam memahami materi tertentu. Selain itu,

hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil

penelitian Budiyono, dkk (2014) yang juga

menunjukkan bahwa modul pelatihan yang

diberikan kepada guru dapat meningkatkan

kompetensi pedagogik dan pada akhirnya juga

akan meningkatkan kompetensi profesional

para guru.

Walau berbeda subyek mata

pelajarannya pengembangan modul PCK ini

juga berfungsi sama seperti modul hasil

pengemangan Resbiantoro (2015) di mana

Modul pedagogical content knowledge (PCK)

yang dikembangkan layak diguna kan oleh guru

dan calon guru untuk menunjang dan

memberikan alternatif referensi untuk guru dan

calon guru dalam melaksanakan pembelajaran.

Pengembangan modul PCK yang disusun oleh

Resbiantoro (2015) berkaitan dengan

matapelajaran fisika serta materi tertentu,

sedangkan, pengembangan modul pelatihan

PCK yang disusun peneliti diperuntukkan bagi

guru mapel matematika pada jenjang SMP.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan hasil penelitian yang telah

dipaparkan, dapat disimpulkan sesuai dengan

rumusan masalah penelitian dan

pengembangan sebagai berikut:

(1) Pelatihan bagi guru matematika SMP

selama ini difokuskan pada sosialisasi

Kurikulum 2013. Pelatihan mengenai

PCK belum pernah diselenggarakan oleh

MGMP maupun dinas pendidikan Kota

Salatiga.;

(2) Kelemahan pelatihan yang selama ini

diselenggarakan adalah: 1). Materi

sekedar print out power point yang akan

dipaparkan pembicara; 2). Kebutuhan dan

tuntutan guru yang berbeda-beda,

sehingga menghambat guru berpartisipasi

dalam pelatihan-pelatihan; 3) waktu

pelatihan bertabrakan dengan kegiatan

guru di sekolah; dan 4) materi pelatihan

selama ini hanya berkaitan dengan K-13,

sehingga guru-guru merasa cukup satu

kali mengikuti pelatihan;

(3) Modul pelatihan PCK yang telah

dikembangkan memperoleh skor 68 dari

ahli modul dan ahli PCK sehingga masuk

kategori cukup baik. Sedangkan, skor

penilaian dari calon pengguna sebesar 88

atau sangat baik. Dalam uji coba modul

pelatihan PCK, skor rata-rata post-test

peserta pelatihan adalah 72,7 sedang

prosentase ketuntasan peserta pelatihan

sebesar 83,4%. Dengan demikian modul

ini layak untuk digunakan.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah

dipaparkan, dapat disampaikan saran agar,

Dinas Pendidikan Kota Salatiga lebih mengkaji

ulang kebutuhan dan hambatan yang dihadapi

guru di lapangan, sehingga dapat dilakukan

pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan

hambatan yang ada. Kepala sekolah disarankan

dapat mendukung danmemberikan motivasi

kepada setiap guru untuk berpartisipasi pada

pelatihan yang dapat menunjang serta

menambah pengetahuan guru di bidangnya.

Bagi guru, disarankan untuk selalu

meningkatkan minat di dalam belajar secara

mandiri dengan modul pelatihan PCK yang

telah di berikan, serta menambah referensi dari

sumber-sumber lain.

Page 188: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

188

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang tulus diberikan

kepada Dr. Bambang Suteng Sulasmono, M.Si

yang menjadi Pembimbing II dalam penulisan

Tesis yang substansinya kemudian tersaji

dalam bentuk artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aditia, M. Taufik, dkk. 2013. Pengembangan

Modul Pembelajaran Berbasis Sains,

Lingkungan, Teknologi, Masyarakat

Dan Islam (Salingtemasis). Jurnal

Scientiae Educatia Volume 2 Edisi 2.

Aminah, Neneng. 2014. Implementasi

Pedagogical Content. Universitas

Swadaya Gunung Jati Cirebon. Jurnal

Euclid, ISSN 2355-17101, vol.1, No.1,

pp. 1-59

Budiyono Herman, dkk. 2014. Pengembangan

Bahan Pelatihan Desain Sistem

Pembelajaran Bagi Guru Bahasa

Indonesia SMA. Tekno-Pedagogi Vol. 4

No. 1 Maret 2014 : 7-14.

Bunawan, Wawan dan Yarni Laoli. 2017.

Implementasi Pedagogical Content

Knowledge (PCK) Berbasis Inkuiri

Terbimbing Terhadap Hasil Belajar

Siswa. Jurnal Inovasi Pembelajaran

Fisika. e-issn 2549-8258, p-issn 2337-

4624.

Damawati, Nyoman Ari. 2015. Pemahaman

Terhadap PCK (Pedagogical Content

Knowledge) Untuk Meningkatkan

Profesionalisme Guru. Seminar

Nasional ALFA IV.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002,

Teknik Belajar dengan Modul, Jakarta:

Dirjen Pendidikan Dasar dan

Menengah.

Giarti, Sri. 2016. Pengembangan Modul

Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah

Berbasis Andragogi Berbantuan CSM

MOODLE. Kelola: Jurnal Manajemen

Pendidikan, Vol. 3 No.1, 2016.

Hanggara, Agie. 2015. Studi Pedagogical

Content Knowledge (PCK) Guru.

Universitas Pendidikan Indonesia.

Diakses dari:

http://repository.upi.edu/23967/4/D_IP

S_1202032_Chapter1.pdf

Kamil, Mustofa. 2010. Model Pendidikan dan

Pelatihan. Bandung: Alfabeta

Koehler, M. J., Mishra, P., Ackaoglu,

M.,&Rosenberg, J. M. 2013. The

Technological Pedagogical Content

Knowledge Framework for Teachers

and Teacher Educators.

Commonwealth Educational Media

Centre for Asia.

Margiyono, Iis, dkk. 2011. Deskripsi PCK

Guru Pada Bahasan Tentang Bilangan

Rasional. Diakses dari:

http://eprints.uny.ac.id/945/1/P%20-

%2013.pdf

Maryono. 2016. Profil Pedagogical Content

Knowledge (PCK) Mahasiswa Calon

Guru Matematika Ditinjau Dari

Kemampuan Akademiknya. Jurnal

Review Pembelajaran Matematika.

JRPM, 2016, 1(1), 1 - 16

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008

Tentang Guru

Rahdiyanta Dwi. 2017. Teknik Penyusunan

Modul. Diakses dari:

http://staff.uny.ac.id/sites/defaulf

les/penelitian/drdwirahdiyantamp

d/20-teknikpenyusunan-

modul.pdf.

Resbiantoro, dkk. 2015. Pengembangan Modul

Pedagogical Content Knowledge Fisika

Pada Materi Hukum Gravitasi Newton

Untuk SMA Kelas XI. Jurnal Inkuiri

ISSN: 2252-7893, Vol 4, No. I, 2015

(hal 121-130).

Page 189: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Pengembangan Modul Pelatihan Pedagogical Content Knowledge (PCK) … |Mega Wulandari & Ade Iriani

189

Rosyid, Abdul. 2016. Technological

Pedagogical Content Knowledge:

Sebuah Kerangka Pengetahuan Bagi

Guru Indonesia Di Era Mea. Prosiding

Seminar Nasional Inovasi Pendidikan

Shulman. 1986. Those Who Understand:

Knowledge Growth in Teaching.

Educational Research. Vol.15(2): 4-14.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan

Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R & D. Bandung : Alfabeta.

Sumarah, IG. Esti, dkk. 2017. Pengembangan

Modul Pelatihan Model Pembelajaran

Van Hiele Dalam Konteks Pendidikan

Karakter Guru SD. Jurnal Penelitian

Vol. 21 No. 1 Mei 2017. ISSN 1410-

5071.

Suminawati, dkk. 2018. Implementasi PCK

Terhadap Kemampuan Kognitif

Siswa. Online.

https://nanopdf.com/download/imp

lementasi-pedagogical-conten_pdf.

Susilowati, dkk. 2015. Analisis PCK Guru IPA

SMP Kelas VIII Dalam Implementasi

Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan

Matematika dan Sains Tahun III, No. 1,

Juni 2015

Page 190: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 190-195

190

Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru

Hardianto

Universitas Pasir Pengaraian

[email protected]

ABSTRACT

ACDP (Analytical and Capacity Development Partnership) data suggests that 10% of

teachers did not attend school and 14% of those attending did not attend the class. This

number indicates the teacher is not satisfied with their work. Teacher job satisfaction needs

to be improved so that education can run better. Teachers who are satisfied at work will feel

happy with their work, happy with the work environment and so on. Unsatisfied teachers can

cause low performance and even increase the desire to move or stop working. Therefore,

efforts need to be made to optimize teacher work satisfaction. Two ways that can be done to

improve teacher job satisfaction are by giving appropriate rewards and increasing

motivation.

Keywords: Job Satisfaction, Optimization, Teacher Performance

Article Info

Received date: 19 Mei 2018 Revised date: 20 Agustus 2018 Accepted date: 8 Desember 2018

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan kualitas pendidikan

harus dilakukan secara terus menerus.Saat ini

peringkat pendidikan Indonesia masih kalah

dibandingkan negara-negara lain. Untuk tingkat

ASEAN, pendidikan Indonesia hanya berada

pada peringkat lima di bawah Singapura,

Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand.

Sementara di dunia, Indonesia berada pada

peringkat 108 dengan skor 0,603. Hanya

sebanyak 44% penduduk menuntaskan

pendidikan menengah. Sementara 11% murid

gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari

sekolah (http//siedoo.com).

Banyak faktor yang menyebabkan

rendahnya peringkat pendidikan Indonesia.

Salah satu faktornya adalah guru atau tenaga

pendidik. Guru memiliki peran yang cukup

besar dalam menentukan keberhasilan

pendidikan. Seseorang yang menjadi guru

hendaknya memiliki empat kompetensi, yaitu

kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi

profesional. Menurut Bujang Rahman saat ini

baru 51% guru yang telah memenuhi

persyaratan minimal. Dari 3 juta guru di

Indonesia, hanya 51 persen yang sudah

mengantongi lisensi Strata Satu

(www.unila.ac.id).

Dalam Undang-Undang No 14 Tahun

2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan

bahwa tugas guru adalah mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai

dan mengevaluasi peserta didik pada

pendidikan anak usia dini jalur pendidikan

formal, pendidikan dasar dan pendidikan

menengah. Untuk memenuhi tugas guru

tersebut, mereka dituntut memiliki kepuasan

kerja yang tinggi. Guru yang tidak memiliki

kepuasan kerja tentu saja tidak akan mampu

melaksanakan tujuh tugas guru itu secara

maksimal.

Page 191: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru | Hardianto

191

Job satisfaction is a positive feeling

about one’s work and work setting

(Schemerhorn Hunt, Osborn dan Bein, 2010:

14). Perasaan positif tentang kerja dan

pekerjaan akan menyebabkan rasa senang

dalam diri seseorang dan akan meningkatkan

kinerja mereka. Guru yang memiliki kepuasan

kerja akan senang dengan pekerjaan dan

lingkungan kerja mereka. Perasaan senang ini

dapat dilihat dari kesenangan guru untuk berada

di sekolah atau mengajar di kelas.

Tahun 2016 menurut David Harding

dari ACDP mengemukakan bahwa ada 10 %

guru yang tidak hadir di sekolah

(http://jabarprov.go.id). Selanjutnya ada 14 %

guru yang hadir di sekolah tetapi tidak hadir di

kelas. Angka ini jelas menunjukkan bahwa

kepuasan kerja guru belum tercapai. Tidak

tercapainya kepuasan kerja guru ini tentu saja

mengakibatkan tujuan pendidikan juga tidak

akan tercapai.

Dalam melaksanakan pembelajaran

guru tentunya membutuhkan sarana dan

prasarana yang memadai. Kelengkapan sarana

prasarana di sekolah dapat menyebabkan guru

memiliki kepuasan dalam melaksanakan

pekerjaan. Saat ini banyak sekolah yang belum

memenuhi standar. Dirjen Pendidikan Dasar

dan Menengah Hamid Muhammad menyatakan

bahwa dari banyaknya sekolah di 500

kabupaten/kota yang ada hanya 70 persen yang

memenuhi standar (http//nasional.tempo.com).

Permasalahan utama untuk pemenuhan standar

itu adalah persoalan sarana prasarana dan

kompetensi guru.

Berkenaan dengan kompetensi guru

diketahui pada tahun 2016 dilaksanakan

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan

(PKB) yang menyasar sekitar 460.000 guru.

Saat dites akhir, dari target renstra 6,5, hasilnya

rata-rata nilai tes itu 6,49.

(http://kabar24.bisnis.com). Belum tercapainya

target mengindikasikan kepuasan kerja guru

juga masih rendah.

Berdasarkan temuan-temuan di atas,

penulis tertarik membuat tulisan ilmiah tentang

Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru. Tulisan ini

diharapkan dapat memberikan gambaran

bagaimana agar kepuasan kerja guru bisa

tercapai. Guru yang memiliki kepuasan kerja

diyakini akan lebih mampu mewujudkan tujuan

pendidikan nasional.

Guru merupakan faktor penting dalam

keberhasilan pendidikan. Dalam Undang-

Undang No. 14 Tahun 2005 yang dimaksud

dengan guru adalah pendidik profesional

dengan tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,

dan mengevaluasi peserta didik pada

pendidikan anak usia dini jalur pendidikan

formal, pendidikan dasar, dan pendidikan

menengah. Melihat tugas guru tersebut, maka

guru dituntut memiliki kompetensi tertentu.

Terdapat empat kompetensi yang harus

dimiliki seorang guru. Kompetensi itu adalah

kompetensi pedagogik, kompetensi

profesional, kompetensi sosial dan kompetensi

kepribadian. Kompetensi pedagogik berkaitan

dengan penguasaan keterampilan mengajar,

kompetensi profesional berkaitan dengan

penguasaan materi ajar. Kompetensi sosial

berkaitan dengan kemampuan membina

hubungan sosial dan kompetensi kepribadian

berkaitan dengan diri pribadi seorang guru.

Dalam Undang-Undang No 14 Tahun

2005 juga dinyatakan bahwa sebagai agen

pembelajaran guru berfungsi untuk

meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru

yang mampu melaksanakan fungsi tersebut

tentulah guru yang memiliki kepuasan kerja.

Kepuasan kerja akan mendatangkan rasa

senang terhadap profesi yang digeluti.

Beberapa pengertian kepuasan kerja

dikemukakan para ahli. Gibson, Ivancevic,

Donnelly dan Konopaske (2012:102)

mengemukakan Job satisfaction is an attitude

that individuals have about their jobs. It results

from their perceptions of their jobs, based on

factors of the work environment, such as the

Page 192: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

192

supervisor’s style, policies, and procedures,

work group affiliation, working conditions, and

fringe benefits. Wagner dan Hollenbeck

(2010:106) menyatakan bahwa Job satisfaction

is “a pleasurable feeling that results from the

perception that one’s job fulfills or allows for

the fulfillment of one’s important job values.

Dua pengertian di atas menekankan bahwa

kepuasan kerja merupakan perasaan dalam diri

seseorang yang merasa senang dengan

pekerjaannya.Perasaan senang itu timbul

setelah berhasil memenuhi nilai pekerjaannya

yang berdasarkan lingkungan kerja.

Lebih lanjut Luthans (2011:141)

mengemukakan Job satisfaction is a result of

employees’ perception of how well their job

provides those things that are viewed as

important. Pendapat senada juga dikemukakan

Locke (2009:146) yang menyebutkan

Satisfaction is the form in which one

experiences having gained or possessed a

value. Apabila dikaitkan dengan guru, maka

kepuasan kerja guru merupakan rasa senang

dalam diri seorang guru terhadap pekerjaan

yang telah mereka lakukan.

PEMBAHASAN

Kepuasan kerja guru sangat penting

untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang

optimal. Guru yang merasa puas dalam bekerja

akan semakin bersemangat dalam bekerja. Hal

ini tentu saja akan dapat meningkatkan kinerja

mereka. Agar kepuasan kerja guru semakin

meningkat perlu diperhatikan hal-hal berikut

ini:

Penghargaan dapat meningkatkan

kepuasan kerja guru

Pemberian penghargaan yang sesuai

dengan harapan guru akan dapat meningkatkan

kepuasan kerja mereka. Kepuasan kerja dan

kinerja pada dasarnya saling berkaitan dan

dipengaruhi oleh penghargaan. Hal ini sesuai

dengan pendapat Schemerhorn, Hunt, Osborn

dan Bein (2010:76) yang menyebutkan “job

satisfaction and performance are intertwined,

influencing one another, and mutually affected

by other factors such as the availability of

rewards”. Penekanan terhadap penghargaan

yang mempengaruhi kepuasan kerja

disampaikan oleh Gibson, Ivancevic, Donnelly

dan Konopaske (2012:175) “Satisfaction is

influenced by how satisfied employees are with

both intrinsic and extrinsic rewards”.

Adanya pengaruh pemberian

penghargaan terhadap kepuasan kerja sesuai

dengan hasil penelitian Aktar S, Uddin dan

Sachu (2013:1-8) yang menyebutkan “The

result from this study examined and determined

the relationship between rewards and

employees’ performance and job satisfaction.

Based on a result from paired sample t-test,

Pearson correlation analysis, and regression

analysis it showed that there is a strong positive

linear relationship between rewards and

employees’ performance and job satisfaction of

the pharmaceutical industry in Bangladesh”.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk

meningkatkan kepuasan kerja perlu

ditingkatkan penghargaan. Lumban Gaol dan

Siburian (2018:71) mengemukakan bahwa

salah satu cara yang dapat dilakukan kepala

sekolah dalam meningkatkan kinerja guru

adalah dengan memberikan penghargaan bagi

guru yang berhasil atau berkinerja dengan baik.

Penelitian Sarwar dan James Abugre

(2013-22-32) juga menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang positif dan signifikan

antara reward dan job satisfaction.: “There is a

significant relationship between higher

rewards and higher job satisfaction of

employees. We use Chi-Square (x2) as test

statistics at significance level of .05% (i.e. α =

.05), and the degree of freedom (df = 3),

Computed Chi-square (X2) =3.204 and Chi-

Square (X2) critical =7.815.”

Penghargaan yang diberikan kepada

guru agar mereka memperoleh kepuasan dalam

bekerja adalah penghargaan yang sesuai dengan

harapan. Guru yang melakukan tindakan atau

beban kerja yang sama harus memperoleh

penghargaan yang sama. Perbedaan dalam

Page 193: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru | Hardianto

193

pemberian penghargaan akan menyebabkan

kecemburuan bagi guru. Schemerhorn, Hunt,

Osborn dan Bein (2010:77) mengemukakan “It

suggests that the right rewards allocated in the

right ways will positively influence both

performance and satisfaction, which also

influence one another”.

Penghargaan (finansial maupun non

finansial atau intrinsik ataupun ekstrinsik) yang

diberikan kepada guru akan dapat

mempengaruhi kepuasan kerja mereka.

Penelitian Zaraket dan Saber (2017: 369-378)

menyebutkan terdapat hubungan yang

signifikan penghargaan finansial terhadap

kepuasan kerja karyawan. “A regression

analysis was used to examine the impact of

financial reward on job satisfaction and

employee performance. The result indicates

there is significant relation of the financial

reward on job satisfaction for the Blue Collar

employees (R2 = 0.253, p < 0.05)”. Sementara

penelitian Muhammad dan Faiza Maqbool

(2015:65-74) menerangkan “Descriptive

analysis shows that the mean values of

independent variable extrinsic reward are

3.2571 and mean value of dependent variable

job satisfaction is 3.8381 which mean

respondents agree that extrinsic reward

increase their job satisfaction level”.

Di Indonesia terdapat setidaknya tiga

status guru, yaitu guru PNS, guru tetap yayasan

dan guru honorer. Penghargaan untuk guru PNS

terutama penghargaan finansial diyakini sudah

mencukupi, terlebih bagi guru yang sudah

bersertifikasi.Sedangkan bagi guru honorer

penghargaan finansial umumnya dirasakan

masih sangat kurang. Sangat banyak guru yang

menerima gaji jauh dibawah Upah Minimum

Regional (UMR) daerah. Sedangkan guru tetap

yayasan juga sangat tergantung kepada sehat

tidaknya ekonomi yayasan. Guru tetap yayasan

yang sudah besar dan sehat penghargaan

finansial bisa lebih baik dari guru PNS.

Sementara guru tetap yayasan yang kurang

sehat dari sisi ekonomi juga tidak jauh lebih

baik dari guru honorer.

Selain penghargaan finansial,

penghargaan non finansial juga mesti

diperhatikan. Guru akan tetap merasakan

kepuasan kerja apabila profesinya sebagai guru

diakui dan dihargai. Kepala sekolah bisa

memberikan pujian atas prestasi atau kinerja

guru.Selain pujian, pemberian sertifikat,

suasana kerja yang nyaman juga merupakan

bentuk penghargaan non finansial.

Berdasarkan pembahasan di atas

diketahui bahwa optimalisasi kepuasan kerja

guru dapat dilakukan dengan memberikan

penghargaan yang sesuai dengan harapan

mereka. Dengan adanya kepuasan kerja guru

akan mampu menampilkan perilaku kewargaan

organisasi (memberikan kemampuan lebih dari

tugas utama) bagi sekolah. Hal ini sesuai

dengan pendapat Gibson, Ivancevic, Donnelly

dan Konopaske (2012:106) yaitu “although job

satisfaction doesn’t influence quantity and

quality of performance, it does influence

citizenship behaviors, turnover, absenteeism,

and preferences and opinions about unions”.

Motivasi dapat meningkatkan kepuasan

kerja guru

Motivasi yang meningkat diyakini akan

mampu meningkatkan kepuasan kerja guru.

Griffin dan Moorhead (2014:97) menyatakan

“motivation factors affect one dimension,

ranging from satisfaction to no satisfaction”.

Semakin tinggi motivasi guru maka akan

semakin tinggu pula kepuasan kerja mereka.

Kepala sekolah dapat meningkatkan motivasi

guru dengan meningkatkan kualitas hubungan

diantara mereka. Hal ini sesuai dengan

pendapat Armstrong (2007:44) yang

mengemukakan “the quality of the relationship

between manager and employee is the biggest

motivational factor at work, and has more

influence on job satisfaction than anything

else”.

Pendapat selanjutnya yang menyatakan

bahwa motivasi merupakan faktor yang

Page 194: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

194

mempengaruhi kepuasan kerja adalah dari

Gibson, Ivancevic, Donelly dan Konopaske

(2012:172) yaitu “the social and motivational

factors increased performance quantity,

learning the task, goal acceptance, group

commitment, and satisfaction”. Hasil penelitian

Khan, Rizwan, Arshad, Fahad (2013:226-243)

menyebutkan bahwa motivasi seseorang

berbanding lurus secara positf dengan kepuasan

kerja. Semakin meningkat motivasinya, maka

semakin puas akan pekerjaannya dalam

organisasi. Hasil penelitiannya juga

menyebutkan bahwa penghargaan intrinsik

memberikan pengaruh positif terhadap

motivasi karyawan. Griffin dan Moorhead

(2014:98) selanjutnya menyatakan bahwa

“motivation factors such as achievement and

recognition were often cited by people as

primary causes of satisfaction and motivation.”

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas

diketahui bahwa untuk meningkatkan kepuasan

kerja guru dapat dilakukan dengan

meningkatkan motivasi mereka. Kepala

sekolah atau pengawas bisa menjadi faktor

motivator ekstrinsik bagi guru. Selain itu guru

juga diharapkan mampu meningkatkan

motivasi mereka dalam melaksanakan

pekerjaan.

Motivasi bersumber dari dalam dan luar

diri. Kepala sekolah sebagai motivator

eksternal pada dasarnya juga akan

meningkatkan motivasi guru. Penerapan gaya

kepemimpinan yang melayani (servant

leadership) dapat memicu motivasi kerja guru

yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan

kerja mereka. Sari dan Supramono (2016:274)

mengemukakan bahwa dua karakteristik

servant leadership yang menonjol di SMA S

Kota Salatiga, yaitu develop people dan provide

leadership. Selanjutnya Lumban Gaol

(2017:217) mengemukakan bahwa

kepemimpinan kepala sekolah sangat

menentukan peningkatan dan pengembangan

sekolah. Tanpa adanya kemampuan yang

memadai dalam mengimplementasikan gaya

kepemimpinan, kepala sekolah akan

menemukan berbagai kesulitan dalam

mewujudkan sekolah yang efektif

Motivasi akan dapat meningkatkan

kepuasan kerja. Sementara kepuasan kerja yang

tinggi akan dapat mengurangi keinginan pindah

atau berhenti guru. Schemerhorn, Hunt, Osborn

dan Bein (2010:143) mengemukakan “Job

satisfaction can also effect turnover, or

decisions by people to terminate their

employment, simply put, dissatisfied workers

are more likely than satisfied workers to quit

their jobs”. Apabila guru banyak yang pindah

tentu saja sekolah akan mengalami kesulitan

mewujudkan tujuannya.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas

diketahui bahwa optimalisasi kepuasan kerja

guru dapat dilakukan dengan dua cara: 1)

kepuasan kerja guru dapat ditingkatkan dengan

memberikan penghargaan yang sesuai harapan

guru, dan 2) kepuasan kerja guru dapat

ditingkatkan dengan meningkatkan motivasi

guru. Kepala sekolah diharapkan mampu

sebagai motivator ekstrinsik bagi guru.

DAFTAR PUSTAKA

Aktar, Serena, Md. Zia Uddin, M.

Kamaruzzaman Sachu.2013. The

Impact of Rewards on Job Satisfaction

and Employees Performance in

Bangladesh: A Comparative Analysis

Between Pharmaceutical and Insurance

Industries. International Journal of

Business and Management Invention..

Vol 2. Issue 8. Agustus. hal: 1-8

Armstrong, Michael. 2007. A Handbook of

Employee Reward Management in

Practice. 2nd Edition. KoganPage

London Philadelphia.

Gibson,James L., John M. Ivancevich, James H.

Donnelly Jr, Robert Konopaske. 2012.

Organizations, Structure, Processes.

Page 195: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Optimalisasi Kepuasan Kerja Guru | Hardianto

195

14th Edition. McGraw-Hill Irwin. New

York.

Griffin, Ricky W. dan Gregory Moorhead.

2014.Organizational Behavior.

Managing, People and

Organization.South-Western Cengage

Learning. USA.

Khan, Muhammad Yousuf, Muhammad

Rizwan, Muhammad Ibrahim Arshad,

Muhammad Fahad Anwar. 2013.

Impact of Employee Motivation on Job

Satisfaction With Respect to Corporate

Social Responsibility and Rewards.

Journal of Public Administration and

Governance. Vol 3. No 3. hal: 226-243

Locke, Edwin A..2009. Handbook of Principles

of Organizational Behavior.

Indispensable Knowledge for Evidence-

Based Management. 2nd Edition.

Edited by John A. Locke. Wiley and

Sons.

Lumban Gaol, Nasib Tua. 2017. Teori dan

Implementasi Gaya Kepemimpinan

Kepala Sekolah. Jurnal Kelola. Vol. 4.

No. 2. hal: 213-219

Lumban Gaol, Nasib Tua dan Siburian,

Paningkat. 2018. Peran Kepala Sekolah

Dalam Meningkatkan Kinerja Guru.

Jurnal Kelola. Vol. 5. No. 1. hal: 66-73

Luthans, Fred. 2011. Organizational Behavior

An Evidence-Based Approach. 12th

Edition. McGraw-Hill Irwin. New

York.

Muhammad, Noreen, Faiza maqbool. 2015.

Impact of Extrinsik Rewards on

JobSatisfaction of Banking Sector

Employees of Karachi. Pakistan. IOSR

Journal Of Business nad Management.

Vol 17. Issue 1. hal: 65-74

Sari, Handita dan Spramono. 2016.

Kepemimpinan yang Melayani di

Sekolah Menengah Tingkat Atas

Swasta Kota Salatiga. Jurnal Kelola.

Vol. 3 No. 2.hal: 265-276

Sarwar, Shagufta, James Abugre. 2013. The

Influence of Rewards and Job

Satisfaction on Employees in The

service Industry. The Business &

Management Revew.Vol 3 No. 2.hal:

22-32

Schermerhorn Jr, John R., James G. Hunt,

Richard N. Osborn, Mary Uhl Bien.

2010. Organizational Behavior. 11th

Edition. John Wiley & Son Inc. USA.

Undang-Undang Republik Indonesia No 14

Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Wagner,John A dan John R. Hollenbeck. 2010.

Organizational Behavior. Securing

Competitive Advantege. Routledge.

New York and London.

Zaraket,Wael S. dan Farouk Saber.2017. The

Impact of Financial Reward on Job

Satisfaction and Perfotmance:

Implication for Blue Collar Employees.

China-USA Business Review.Vol.16.

No 8.hal: 369-378

https://siedoo.com/berita-4965-peringkat-

pendidikan-indonesia-dan-budaya-

buruknya/ Diakses 8 Mei 2018

https://www.unila.ac.id/baru-51-persen-guru-

penuhi-kualifikasi-pendidikan/ Diakses

7 Mei 2018

http://jabarprov.go.id/index.php/news/16352/2

016/03/07/Tiga-Masalah-Guru-di-

Indonesia Diakses 7 Mei 2018

https://nasional.tempo.co/read/840126/kement

erian-pendidikan-hanya-70-persen-

sekolah-penuhi-standar Diakses 8 Mei

2018

http://kabar24.bisnis.com/read/20171123/255/

712068/ini-3-masalah-utama-guru-

tenaga-pengajar Diakses 8 Mei 2018

Page 196: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 196-204

196

Manajemen Pendidikan Khusus di Sekolah Luar Biasa Untuk Anak Autis

Gangsar Ali Daroni

Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

[email protected]

Gina Solihat

Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

[email protected]

Abdul Salim

Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

[email protected]

ABSTRACT

This study aims to determine the implementation of special education management at Special

School for Autism. This research is descriptive qualitative research. The speakers in this

research are the principal and two teachers at Special School for Autism in Karanganyar.

Data were collected by interview, observation, and documentation. Data analysis techniques

using Miles and Huberman models. There are three steps in this model, namely data reduction,

data display, and conclusion. The implementation of special education management at Special

School for Autism in coordination by a principal. In planning educational programs, tailored

to the ability of each autistic student using IEP (Individual Educational Program). The school

has an organizational structure that works in accordance with its duties. The principal is in

charge of coordinating school management, while the teacher is responsible for the

management of the class. Special School for Autism is a recently established school. The

condition of autistic students who have different characteristics, the location of the

foundation's office with the school is very far away, and the entry of students with different

disorder conditions with autistic students makes the implementation of education management

in Special School for Autism not running optimally. Therefore, schools have made efforts to

minimize these barriers.

Keywords: Autism, Educational Management, Special School for Autism

Article Info

Received date: 1 Agustus 2018 Revised date: 7 September 2018 Accepted date: 8 Desember 2018

PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai tugas

menyiapkan sumber daya manusia untuk

pembangunan seirama dengan tuntutan zaman.

Perkembangan zaman selalu memunculkan

persoalan-persoalan baru yang tidak pernah

terpikirkan sebelumnya (Noordyana, 2016).

Suatu pendidikan dipandang bermutu diukur

dari perannya untuk ikut mencerdaskan

kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan

nasional adalah pendidikan yang berhasil

membentuk generasi muda yang cerdas,

berkarakter, bermoral dan berkepribadian

(Haryono, 2015). Untuk itu perlu dirancang

suatu sistem pendidikan yang mampu

menciptakan suasana dan proses pembelajaran

yang menyenangkan, merangsang dan

menantang peserta didik untuk

Page 197: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Manajemen Pendidikan Khsusus di SLB Autis Mitra Ananda Colomadu | Gangsar A. Daroni, dkk.

197

mengembangkan diri secara optimal sesuai

dengan bakat dan kemampuannya (Mailani,

2018).

Perhatian pemerinah terhadap masalah

pendidikan, pemerintah masih terasa kurang.

Gambaran ini tercermin dari beragamnya

masalah pendidikan yang makin rumit

(Widodo, Waridin, & Maria, 2011). Kualitas

siswa masih rendah, pengajar kurang

profesional, biaya pendidikan yang mahal,

bahkan aturan Undang undang di bidang

pendidikan masih terasa kacau. Dampak dari

pendidikan yang buruk itu, negeri kita ke

depannya makin terpuruk. Keterpurukan ini

dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi

anggaran pendidikan baik di tingkat nasional,

propinsi, maupun kota dan kabupaten (Mantja,

2016).

Penyelesaian masalah pendidikan tidak

semestinya dilakukan secara terpisah-pisah,

tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan

yang sifatnya menyeluruh (Wardani, 2017).

Artinya, kita tidak hanya memperhatikan pada

kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja,

jika kualitas sumber daya manusia dan mutu

pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah

penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun

sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita.

Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak

di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki

sarana pendidikan yang memadai (Hidayat,

2012). Dengan terbengkalainya program wajib

belajar mengakibatkan anak-anak Indonesia

masih banyak yang putus sekolah sebelum

mereka menyelesaikan wajib belajar. Dengan

kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan

kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini

keluar dari masalah-masalah pendidikan yang

ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era

global (Maamarah, 2016). Berdasarkan uraian

permasalahan diatas, maka dibutuhkan suatu

solusi yang bisa mengatasinya. Salah satu

solusi tersebut yaitu adalah diperbaikinya

sistem manajemen pendidikan di satuan-satuan

pendidikan (Wati, 2014).

Manajemen pendidikan adalah sebuah

proses yang dilaksanakan secara sadar dan

terencana untuk menciptakan suasana belajar

dan proses pembelajaran serta mencapai tujuan

pendidikan dimulai dari perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan

pengawasan dengan menggunakan sumber

daya manusia dan sumber daya yang lain untuk

mencapai tujuan organisasi (Maria & Sediyono,

2017). Fungsi pokok manajemen pembelajaran

adalah perencanaan, pengorganisasian,

kepemimpinan dan pengawasan (Sa'ud dan

Sumantri dalam Maria & Sediyono, 2017).

Semua satuan pendidikan di Indonesia harus

memiliki manajemen pendidikan yang baik tak

terkecuali bagi sekolah luar biasa (SLB).

Berbeda dengan satuan pendidikan regular,

istilah manajemen pendidikan di sekolah luar

biasa disebut dengan manajemen pendidikan

khusus, yaitu manajemen sekolah untuk

pelaksanaan pembelajaran bagi anak

berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) yaitu

anak-anak yang menyandang kecacatan

tertentu (disable children) baik secara fisik,

mental dan emosional maupun yang

mempunyai kebutuhan khusus dalam

pendidikannya (children with special

educational needs) (Suparno, 2007). Anak

berkebutuhan khusus terbagi menjadi beberapa

jenis ketunaan antara lain: tunanetra,

tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,

dan autis.

Autis adalah kelainan perkembangan

saraf kompleks yang ditandai dengan adanya

masalah dalam interaksi sosial, komunikasi,

minat terbatas, dan perilaku stereotip berulang

(Siniscalco, Cirillo, Bradstreet & Antonucci,

2013: 4261). Biasanya anak autis kurang minat

untuk melakukan kontak sosial dan tidak

adanya kontak mata. Selain itu, anak-anak autis

memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dan

terlambat dalam perkembangan bicaranya. Ciri

lainya nampak pada perilaku yang stereotype

seperti mengepakkan tangan secara berulang-

Page 198: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

198

ulang, mondar-mandir tidak bertujuan,

menyusun benda berderet dan terpukau

terhadap benda yang berputar dan masih

banyak lagi ciri autis yang tak dapat disebutkan

di sini karena setiap anak memiliki karakteristik

yang berbeda-beda (Yuwono, 2012:15).

Di Indonesia, sekolah khusus bagi siswa

autis disebut Sekolah Luar Biasa Autis. Salah

satu sekolah khusus bagi siswa autis yaitu

Sekolah Luar Biasa (SLB) Autis MAC yang

berlokasi di kota Karanganyar, Provinsi Jawa

Tengah. Di sekolah tersebut, disediakan

layanan pendidikan dan terapi bagi siswa-siswi

autis. Penanganan yang disesuaikan dengan

kondisi anak, bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing

siswa autis. Keadaan siswa autis yang unik dan

berbeda dengan siswa regular pada umumnya,

menyebabkan penangannya memerlukan cara

yang khusus, begitu pula dalam melakukan

manajemen pendidikannya. Hal tersebut

mendorong peneliti untuk mengetahui

bagaimana manajemen pendidikan khusus di

salah satu Sekolah Luar Biasa Autis di

Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di

Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten

Karanganyar. Narasumber dalam penelitian ini

adalah kepala sekolah dan dua guru di SLB

tersebut. Alat pengumpulan dalam penelitian

ini menggunakan observasi, wawancara dan

dokumentasi. Analisis data dalam penelitian

ini, menggunakan Analisis Model Interaktif

Miles dan Huberman. Ada tiga langkah pada

model ini, yaitu reduksi data, tampilan data dan

penarikan kesimpulan/ verifikasi. Reduksi data

berarti meringkas, memilih poin penting, fokus

pada masalah dan mencari temanya. Setelah

dikurangi, langkah selanjutnya adalah

menampilkan data. Langkah ketiga dalam

menganalisa penelitian kualitatif adalah

menarik kesimpulan atau verifikasi.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah

temuannya (Prakosa, Salim & Sunardi, 2018:

58).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Perencanaan Pendidikan

Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten

Karanganyar, melakukan perencanaan

pendidikan pada awal awal semester, setelah

dilakukan asesman kemampuan anak oleh guru.

Perencanaan dibuat di sekolah dengan

melibatkan berbagai pihak. Setiap anak

memiliki kondisi,kemampuan serta kebutuhan

yang berbeda-beda. Hal ini yang mendasari

diterapkannya IEP (Individual Educational

Program) di Mitra Ananda. Di dalam IEP ini

materi penanganan dimulai dari apa yang dapat

dilakukan oleh anak. Program pembelajaran

yang dikombinasikan dengan program terapi

ditentukan setelah dilakukan serangkaian

assessment / analisa kebutuhan yang

melibatkan berbagai profesi yaitu dokter anak,

psikolog/psikiater, guru dan terapis

(fisioterapis, okupasi terapis, speech terapis).

Perencanaan program sekolah disusun

oleh pengurus Sekolah Luar Biasa Autis di

Kabupaten Karanganyar dan Yayasan dan

sekolah menganggap bahwa perencanaan ini

merupakan suatu hal yang penting karena

sebagai pedoman untuk mencapai suatu tujuan

pendidikan bagi siswa-siswi di Sekolah Luar

Biasa Autis di Kabupaten Karanganyar, agar

terprogram secara sistematis. Adapun rencana

sekolah bagi peserta didik pada tahun ajaran

2017/2018 secara umum adalah sebagai

berikut.

a. Tersusunnya Program Pendidikan

Individual (PPI) untuk setiap siswa

b. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar

secara invidual dan klasikal

c. Melaksanakan kegiatan terapi sebagai

penunjang keberhasilan program

pendidikan/belajar siswa

Page 199: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Manajemen Pendidikan Khsusus di SLB Autis Mitra Ananda Colomadu | Gangsar A. Daroni, dkk.

199

d. Melaksanakan kegiatan ekstra kurikuler

sekolah dalam bentuk pendidikan kesenian

Tari dan melukis

e. Melaksanakan kegiatan ekstra kurikuler

sekolah dalam bentuk pendidikan kesenian

Tari dan melukis

f. Melaksanakan bimbingan ketrampilan hidup

sehari-hari

g. Melaksanakan kegiatan ‘Outing” / Familiy

Gathering untuk melatih anak mengenal

lingkungan dan sosialisasi dalam bentuk

rekreasi bersama

h. Melaksanakan kegiatan ujian Tengah

Semester (UTS) / dan Ujian semester serta

ujian Akhir semester kenaikan kelas

i. Menyelenggarakan Sarasehan/Seminar

orangtua anak berkebutuhan khusus

j. Menyelenggarakan kegiatan Pameran hasil

Karya anak

k. Menyelenggarakan Workshop peningkatan

SDM bagi tenaga Guru dan terapis

l. Mengirimkan guru untuk mengikuti

kegiatan seminar dan pelatihan yang relevan

dengan ketugasannya

m. Menyelenggarakan/Mengikuti kegiatan

peringatan hari Penyandang cacat

Internasional (HIPENCA)

n. Pembuatan Ruang terapi musik dan

pembenahan administrasi sekolah.

Perencanaan pembelajaran dievaluasi

dalam jangka 3 bulan sekali dan 6 bulan sekali

oleh guru dan terapis. Perencanaan program

sekolah disesuaikan dengan kurikulum dan

kebutuhan pendidikan siswa, dan dievaluasi

setiap satu tahun sekali.

Pengorganisasian

Guna menjalankan fungsi pengorgani-

sasian, maka terdapat struktur organisasi yang

terbentuk di Sekolah Luar Biasa Autis di

Kabupaten Karanganyar. Sekolah Luar Biasa

ini, merupakan Sekolah yang berada dibawah

naungan Yayasan Swasta. Selain itu terdapat

perkumpulan orang tua siswa yang bernama

POSMA (Perkumpulan Orang tua Siswa Mitra

Ananda). Perkumpulan ini bertujuan untuk

mempererat silaturahmi antar orang tua siswa di

Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten

Karanganyar dan mempermudah komunikasi

antara orang tua siswa dengan sekolah terakit

dengan pelaksanaan pembelajaran bagi siswa-

siswi di sekolah.

Struktur Kepengurusan Sekolah Luar

Biasa Autis di Kabupaten Karanganyar terdiri

dari: (a) KetuaYayasan, (b) Kepala Sekolah, (c)

Tata Usaha, (d) Bendahara Sekolah, (e) Wakil

Kepala Sekolah, (f) Guru / Terapis. Adapun

masing-masing fungsi dari setiap stuktur

organisasi yaitu sebagai berikut.

a. Kepala sekolah melakukan kegiatan

managerial sekolah, sebagai pemimpin di

sekolah.

b. Wakil Kepala Sekolah: Membantu kepala

sekolah melaksanakan kegiatan managerial

sekolah.’

c. Bendahara: Mengelola keuangan di sekolah.

d. Tata Usaha: Menjadi Operator Sekolah dan

pelaksana teknis penyelenggaraaan sistem

administrasi dan informasi pendidikan di

sekolah

e. Guru dan terapis: Melaksanakan

pembelajaran dan terapi bagi siswa-siswa di

sekolah.

f. Agar dapat melaksanakan organisasi dengan

harmonis dan baik, cara sekolah mengatur

organisasi yaitu dengan cara bekerja secara

professional sesuai dengan tanggung

jawabnya masing-masing, melakukan rapat

rutin setiap sebulan sekali untuk melakukan

evaluasi kerja. Kepala sekolah berperan

sebagai pengatur organisasi agar dapat

berjalan dengan harmonis dan baik. Apabila

terjadi suatu konflik, sekolah menanganinya

dengan cara melakukan musyawarah

bersama.

Pelaksanaan Pendidikan

Fungsi pelaksanaan pendidikan Sekolah

Luar Biasa Autis di Kabupaten Karanganyar,

dilaksanakan oleh guru dengan bantuan terapis.

Menurut sumber, pelaksanaan pendidikan telah

berjalan cukup baik, namun masih mengalami

Page 200: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

200

kendala karena kurikulum yang diberikan oleh

pemerintah merupakan Kurikulum 2013 yang

menggunakan pendekatan tematik yang

mengharuskan siswa aktif. Keharusan ini sulit

sekali diterapkan pada anak autis di sekolah

yang kebanyakan adalah siswa autis berat.

Selain itu, kemampuan anak yang berbeda-

beda, membuat guru harus lebih kreatif dalam

melakukan pembelajaran dikelas.

Pada tahun pelajaran 2017/2018

Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten

Karanganyar memiliki 2 jenjang sekolah yaitu

SDLB dan SMPLB dari kelas 1 sampai kelas 7.

Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum

2013. Namun dalam pelaksanaanya, kurikulum

2013 sulit diterapkan bagi anak autis di sekolah,

karena hampir semua anak autis di sekolah ini

tergolong kedalam autis berat. Oleh karena itu

pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan

siswa melalui Program pembelajaran individual

(PPI).

Mata pelajaran yang dilaksanakan

terbagi menjadi 3 kelompok mata pelajaran

yaitu:

a. Kelompok Akademik: Pendidikan agama

dan budi pekerti, PPKN, Bahasa Indonesia,

Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani,

olahraga dan kesehatan.

b. Kelompok Ketrampilan: Seni budaya dan

ketrampilan dan Bina Diri.

c. Kelompok Kebutuhan Khusus: Sensori

Motorik, Bicara dan komunikasi,

Ketrampilan social

Selain itu, muatan lokal yang diajarkan

adalah bahasa jawa dan pendidikan lingkungan

hidup.

Tabel 1. Karakteristik siswa

Jenis Ketunaan Jumlah Siswa

Autis 19

Cerebral Palsy 6

Down Syndrom 3

ADHD 2

Kelainan Ganda 2

Total 32

Tabel 2. Jadwal kegiatan sekolah

Kegiatan Waktu

Pembelajaran 08.30 - 12.00 WIB

Snack Time 09.30 - 10.00 WIB

Pembelajaran 10.00 - 11.30 WIB

Makan siang 11.30 – 12.00 WIB

Pulang 12.00 WIB

Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten

Karanganyar memiliki kelas kelompok. Dalam

kelas kelompok ini siswa belajar dalam satu

kelas bersama yang dibatasi jumlah siswanya.

Perbandingan guru dan siswa 2 : 3 atau 2:4. Hal

tersebut bertujuan agar anak mendapatkan

penanganan yang intensif dan optimal. Apabila

terdapat siswa yang mengalami tantrum atau

tidak bisa dikondisikan di kelas kelompok,

makan siswa akan dibawa ke kelas transisi yang

akan diberikan penanganan individual oleh

guru. Selain kegiatan pembelajaran, terdapat

kegiatan lain yaitu kegiatan terapi yang

disesuaikan dengan kebutuhan siswa: (a)

fisioterapi, (b) okupasi terapi, (c) hydroterapi,

(d) terapi wicara, (e) snoezelen. Sedangkan

kegiatan Extrakurikuler yaitu: (a) kelas musik,

(b) kelas tari, (c) senam, (d) pramuka, (e)

berenang.

Selain itu, dilaksanakan Outing class

yang dilaksanakan setiap 3 bulan sekali.

Kegiatan terapi dilakukan untuk memberikan

pelayanan terapi untuk mengatasi hambatan

anak yang bisa diatasi melalui pelayanan terapi

seperti fisioterapi, okupasi terapi, terapi wicara,

dll. Ekstrakurikuler dilaksanakan sebagai

wadah anak untuk membekali anak melalui

kegiatan-kegiatan yang dapat menyalurkan

bakat anak agar dapat terasah dengan optimal

dan sebagai sarana anak untuk bersosialisasi

dengan lingkungannya (teman dan guru).

Outing class bertujuan untuk memberi

pengalaman nyata siswa untuk belajar di tempat

kegiatan dan dapat bersosialisasi dengan

masyarakat.

Kegiatan pembelajaran dapat

mengoptimalkan kemampuan akademik siswa.

Setelah dilakukan terapi, anak mengalami

Page 201: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Manajemen Pendidikan Khsusus di SLB Autis Mitra Ananda Colomadu | Gangsar A. Daroni, dkk.

201

peningkatan dalam hal motorik, kemampuan

bicara dan ketrampilan lainnya. Outing class

membuat siswa menjadi lebih percaya diri

ketika bersosialisasi.

Pengendalian

Pengendali dalam kegiatan KBM adalah

kepala sekolah. Pengawas Sekolah Luar Biasa

Autis di Kabupaten Karanganyar, yang

ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Khusus

Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, Ketua

Yayasan juga melakukan kontroling terhadap

SLB melalui rapat tahunan dan beberapa

kunjungan. Kepala sekolah mengontrol

pelaksanaan kegiatan belajar dan mengajar

disekolah. Pengawas Sekolah, mengawasi

pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SLB

agar sesuai dengan peraturan pemerintah

provinsi jawa tengah. Ketua Yayasan

melakukan pengawasan untuk mengetahui

perkembangan dan kemajuan SLB Autis di

Kabupaten Karanganyar agar semakin baik.

Kepala sekolah melakukan monitoring setiap

hari dan rapat bulanan. Pengawas melakukan

monitoring dengan kunjungan kesekolah

beberapa kali. Ketua Yayasan melalui rapat

tahunan dan kunjungan. Kepala sekolah

melakukan monitoring setiap hari dan rapat

bulanan. Pengawas melakukan monitoring

dengan kunjungan kesekolah beberapa kali..

Evaluasi Pendidikan

Manajemen kelas menjadi tanggung

jawab guru. Setiap akhir pembelajaran, guru

memberikan laporan kegiatan pembelajaran

pada buku penghubung yang diberikan kepada

orang tua. Hal terbut menjadi catatan

perkembangan anak dan informasi kepada

orang tua agar orang tua dapat membantu

memaksimalkan program yang dilaksanakan

disekolah dapat diterapkan juga di rumah.

Setiap 3 bulan sekali dan 6 bulan sekali

guru dan terapis melaksanakan evaluasi

program bagi siswa. Hal yang dirasa masih

mengalami hambatan atau kekurangan, akan

diperbaiki. Evaluasi yang dilakukan guru

menggunakan aplikasi Therap yang digunakan

khusus untuk mencatat setiap kegiatan dan

perkembangan siswa dari akademik, terapi dan

perkembangan lainnya seperti motorik, bina

diri, perilaku dan lain-lain. Aplikasi ini sangat

mudah digunakan, guru setiap harinya

memasukkan data perkembangan siswa ditiap

kegiatan yang mereka lakukan. Setelah itu

setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali, data itu akan

terkumpul menjadi satu dalam dokumen yang

berbentuk Microsoft Exel.

Dari data yang terkumpul, guru dapat

melihat apa yang menjadi kekurangan dalam

pelaksanaan pembelajaran bagi siswa sehari-

hari selama ini, apa yang menjadi kebiasaan

siswa yang perlu diubah dapat dilihat dan

dievaluasi. Setiap satu bulan sekali kepala

sekolah melalui rapat sekolah melakukan

evaluasi kerja untuk menyelesaikan masalah-

masalah atau kendala yang ada disekolah.

Evaluasi tersebut menggunakan teknik diskusi

yang membahas perkembangan dan masalah

yang terjadi pada proses pembelajaran bagi

siswa. Melalui POSMA setiap 3 bulan sekali,

orang tua juga turut andil memberikan masukan

kepada guru untuk kebaikan bersama. Melalui

rapat tahunan yayasan, melakukan evaluasi

managemen sekolah bersama pengurus

yayasan.

Bagi sekolah, proses evaluasi penting

karena semua evaluasi bertujuan untuk

memperbaiki semua program dan manajemen

sekolah sehingga membuat SLB Autis di

Kabupaten Karanganyar menjadi lebih baik.

Evaluasi dan masukan akan diterima dengan

baik, dimusyawarahkan bersama, setelah

diterima oleh forum, maka hal tersebut akan

diperbaiki bersama. Evaluasi pembelajaran

dilakukan oleh guru kemudian meminta

pertimbangan dari terapis, psikolog dan ahli

lain, kemudian disampaikan kepada orang tua

terkait evaluasi belajar siswa agar orang tua

juga dapat membantu menyelesaikan hambatan

dalam pelaksanaan program bagi anak mereka.

Sehingga pembelajaran akan berjalan dengan

optimal. Evaluasi kepala sekolah dilakukan

Page 202: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

202

melalui musyawarah pada rapat bersama

seluruh struktur organisasi sekolah, dan

diselesaikan pada forum tersebut. Evaluasi

pengawas disampaikan kepada kepala sekolah.

Evaluasi yayasan dilakukan melalui kunjungan

dan rapat tahunan.’

Faktor Pendukung dan Penghambat

Pelaksanaan Pendidikan

Faktor pendukung di SLB Autis di

Kabupaten karanganyar yaitu sebagai berikut.

a. Sarana prasarana yang memadai

b. Banyak pihak yang mendukung evaluasi

manajemen seperti kepala sekolah,

pengawas, yayasan dan orang tua.

c. Pembiayaan sekolah yang cukup.

d. Dampak faktor-faktor tersebut pada sekolah

yaitu sebagai berikut.

e. Sarana prasarana yang memadai sehingga

memudahkan dalam pelaksanaan

pendidikan di sekolah. Dalam pelaksanaan

pembelajaran disekolah akan lebih mudah

dengan adanya sarana prasarana yang

memadai.

f. Banyak pihak yang mendukung evaluasi

manajemen seperti kepala sekolah,

pengawas, yayasan dan orang tua. Dengan

banyak masukan dari berbagai pihak, maka

pelaksanaan managemen di sekolah

menjadi lebih baik.

g. Pembiayaan sekolah yang cukup.

Pembiayaan yang cukup dapat mendukung

pelaksanaan pembelajaran di sekolah

menjadi lebih baik karena dalam pengadaan

saran dan prasaran di sekolah

membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Selain faktor pendukung, terdapat

beberapa hal yang menjadi penghambat

pelaksanaan manajemen pendidikan di SLB

Autis Mitra Ananda, yaitu:

a. Kondisi anak autis di SLB yang mayoritas

berat, menyebabkan kurikulum 2013 tidak

dapat sepenuhnya diterapkan.

b. Sekolah Luar Biasa ini merupakan sekolah

yang belum lama berdiri, sehingga masih

dalam tahap belajar dan merintis menjadi

sekolah yang baik.

c. Yayasan yang memiliki kantor di Jakarta

menyebabkan komunikasi secara langsung

antara yayasan dengan sekolah menjadi

sedikit terhambat.

d. Meskipun SLB Autis di Kabupaten

Karanganyar ini merupakan SLB khusus

Autis, namun masih menerima ketunaan lain

seperti cerebral palsy, tunagrahita dan

tunaganda. Hal tersebut dilakukan atas

permintaan orang tua dan pertimbangan lain

(dekat dengan rumah dan fasilitas terapi

yang lebih lengkap).

e. Dalam mengatasi hambatan tersebut,

sekolah telah melakukan upaya-upaya

sebagai berikut:

f. Menggunakan program pembelajaran

individual yang disesuaikan dengan kondisi

anak.

g. Belajar berbenah diri untuk menjadi lebih

baik, pembekalan ketrampilah guru melalui

pelatihan-pelatihan (pelatihan menyusun

PPi, pelatihan managerial, dll).

h. Kunjungan dengan yayasan dilakukan

berkala.

i. Tetap menyarankan kepada orang tua agar

anak ditempatkan di sekolah khusus sesuai

ketunaannya, namun apabila masih tetap di

SLB, sekolah akan memberikan program

yang disesuaikan dengan kemampuan anak.

Pembahasan

Dari paparan hasil penelitin di atas

dapat kita ketahui bahwa pelaksanaan

manajemen pendidikan di sekolah luar biasa

autis berbeda dengan pelaksanaan manajemen

pendidikan di sekolah-sekolah lain. Karena

pelaksanaan manajemen di lokasi penelitian ini

berbea dengan temuan penelitian Yuliani,

Suntoro, & Kandar (2015), serta Helsa &

Hendriati (2017) yang menyebutkan bahwa

manajemen pendidikan yang dilakukan guru di

sekolah umum, dilakukan secara klasikal

dengan jumlah siswa yang relatif banyak.

Setiap rencana pembelajaran diperuntukkan

Page 203: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Manajemen Pendidikan Khsusus di SLB Autis Mitra Ananda Colomadu | Gangsar A. Daroni, dkk.

203

untuk semua siswa tanpa adanya rencana

pembelajaran individual.

Istiningsih (2005) juga menjelaskan

pada sekolah inklusi memiliki kesamaan pada

pelaksanaan pendidikan di sekolah regular,

namun adanya guru pembimbing khusus yang

membantu siswa untuk dapat berbaur dengan

teman-temannya. Berbeda dengan sekolah lain,

Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten

Karanganyar adalah sekolah khusus bagi anak

autis, yang pelaksanaannya menggunakan cara-

cara khusus untuk menyesuaikan diri dengan

kemampuan yang dimiliki anak. Anak autis

yang unik tentu perlu diberikan pelayanan yang

lebih seperti pemberian terapi yang dapat

memaksimalkan perkembangan anak.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan temuan dan pembahasan

hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa

pelaksanaan manajemen pendidikan khusus di

Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten

Karanganyar dikoordinasi oleh seorang kepala

sekolah. Dalam merencanakan program

pendidikan, disesuaikan dengan kemampuan

masing-masing siswa autis menggunakan IEP

(Individual Educational Program). Sekolah

memiliki susunan organisasi yang berkerja

sesuai dengan tugasnya. Kepala sekolah

bertugas mengkoordinasi manajemen sekolah,

sedangkan guru bertanggungjawab melakukan

manajemen dikelas.

Sekolah Luar Biasa Autis di Kabupaten

Karanganyar merupakan sekolah yang belum

lama berdiri. Kondisi siswa autis yang memiliki

karakteristik yang berbeda-beda, letak kantor

yayasan dengan sekolah sangat jauh, dan

masuknya siswa dengan kondisi ketunaan yang

berbeda dengan siswa autis membuat

pelaksanaan manajemen pendidikan di SLB

tidak berjalan optimal. Oleh karena itu, sekolah

telah melakukan upaya-upaya untuk

meminimalisir hambatan tersebut.

Saran

Karakteristik siswa autis yang berbeda-

beda, mengharuskan guru untuk lebih kreatif

dalam melakukan manajemen pendidikan

dikelas agar siswa autis dapat mengikuti

pembelajaran dengan baik. Masuknya siswa

dengan kelainan/ketunaan yang berbeda

dengan siswa autis karena kurang tersedianya

sekolah khusus bagi ketunaan yang sesuai.

Masalah jarak dan waktu menyebabkan orang

tua menyekolahkan anaknya di sekolah autis.

Oleh karena itu, pemerintah dapat menyediakan

sekolah khusus yang dapat mengakomodasi

semua ketunaan atau dapat menyediakan

sekolah inklusi yang terjangkau di daerah

sekitar colomadu, karanganyar.

DAFTAR PUSTAKA

Haryono, A. S. 2015. Evaluasi Pendidikan

Inklusi Bagi Anak ABK di Provinsi

Jawa Tengah. Jurnal Penelitian

Pendidikan, 32(2), 119-126.

Helsa & Hendriati, A. 2017. Kemampuan

Manajemen Kelas Guru: Penelitian

Tindakan Di Sekolah Dasar Dengan

SES Rendah. Jurnal Psikologi, 16(2),

89-104.

Istiningsih. 2005. Manajemen Pendidikan

Inklusi DiSekolah Dasar Negeri Klego

1 Kabupaten Boyolali (Tesis,

Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Hidayat, A.S. 2012. Manajemen Sekolah

berbasis Karakter. Jurnal Inovasi dan

Kewirausahaan, 1(1), 8-22.

Maamarah, S. 2016. Strategi Peningkatan Mutu

dan Citra (Image) Sekolah Dasar Negeri

Di Ungaran, Semarang. Kelola Jurnal

Manajemen Pendidikan, 3(1), 115-130.

Mailani, E. 2018. Upaya Meningkatkan Hasil

Belajar Matematika Pada Materi

Pecahan Melalui Permainan Monopoli

Pecahan. Jurnal Handayani PGSD FIP

UNIMED, 4(1), 1-14.

Page 204: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

204

Siniscalco, D., Cirillo, A., Bradstreet, J.J &

Antonucci, N. 2013. Epigenetic

Findings in Autism: New Perspectives

for Therapy. International Journal of

Environmental Research and Public

Health. 10, 4261-4273.

Suparno. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan

Khusus. Konsorsium Program S1

PGSD: Direktorat Jendral Pendidikan

Tinggi.

Mantja, W. 2016. Manajemen Pendidikan

Dalam Era Reformasi. Jurnal Ilmu

Pendidikan, 7(2), 87-96.

Maria, E & Sediyono, E. 2017. Pengembangan

Model Manajemen Pembelajaran

Berbasis TIK di Sekolah Dasar. Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(1),

59-71.

Noordyana, M. A. 2016. Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Siswa melalui Pendekatan

Metacognitive Instruction. Jurnal

Pendidikan Matematika STKIP Garut,

5(2), 120-127.

Prakosa, D., Salim, A., & Sunardi. 2018. The

Implementation of Phonic Method in

Teaching Vocabulary in Speaking to

Visually Impaired Students in SLB A

(Visual Impairment). Journal of ICSAR.

2(1): 57-61.

Wardani, K.W. 2017. Pengaruh Kreativitas

dalam Peningkatan Kompetensi

Kepemimpinan Alumni Magister

Manajemen Pendidikan Pada

Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Kelola Jurnal Manajemen Pendidikan,

4(2), 220-230.

Wati, E. 2014. Manajemen Pendidikan Inklusi

Di Sekolah Dasar Negeri 32 Kota

Banda. Jurnal Ilmiah Didaktika, 14(2),

368-378.

Widodo, A., Waridin, & Maria, K. J. 2011.

Analisis Pengaruh Pengeluaran

Pemerintah Di Sektor Pendidikan Dan

Kesehatan Terhadap Pengentasan

Kemiskinan Melalui Peningkatan

Pembangunan Manusia Di Provinsi

Jawa Tengah. Jurnal Dinamika

Ekonomi Pembangunan, 1(1), 25-42.

Yuliani, R., Suntoro, I, & Kandar, S. 2015.

Implementasi Manajemen Pendidikan

Sekolah Dasar Negeri 1 Gisting Bawah.

Jurnal Manajemen Mutu Pendidikan,

3(2).

Yuwono, J. 2012. Memahami Anak Autis

(Kajian Teori dan Empirik). Bandung:

Alfabeta.

Page 205: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola

Jurnal Manajemen Pendidikan

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 205-216

205

Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri

Eni Mariani

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Bambang Suteng Sulasmono

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

This study aims to evaluate the design, installation, process, and products of the inclusive

education program implementation in a Salatiga Public Middle School. This type of research

is program evaluation with a discrepancy evaluation model. Information sources in this study

are the Principal, Local Content Teacher, Counseling Guidance Teacher who also acts as

Special Facilitators Teacher (GPK). Data collection technique include interviews,

observation and document study. Data analysis technique include data collection, data

reduction, data presentation, and conclusion drawing. Data validation through technical and

source triangulation. The results: (1) the design evaluation showed the general curriculum

and assessment plans have not been modified, educators do not yet have adequate competence,

facilities and infrastructure do not yet support the needs of special needs student (ABK); (2)

the installation evaluation showed there is no entrance test, the learning design and

assessment have not considered the existence of ABK, funding is taken from BOS funds and

support from some ABK parents; (3) the process evaluation showed the ABK have difficulty

following learning, the support from the community and agencies has not been maximized;

and (4) the product evaluation showed that student learning outcomes, namely the assessment

of student ID cards are still equated with normal students. Based on the results of the

evaluation, the researchers gave the following recommendations: 1) Teachers and GPK

collaborated in developing curriculum and competencies, 2) Principals and teachers

collaborated in designing models and technical instructions to handle ABK, as well as

increasing collaboration with several agencies, and 3) The education office needs to pay

attention to the implementation of inclusive education programs and provide assistance in the

form of costs, training, seminars, and fulfillment of facilities and infrastructure.

Keywords: Discrepancy Evaluation Model, Inclusion Education, Program Evaluation

Article Info

Received date: 1 Agustus 2018 Revised date: 22 Desember 2018 Accepted date: 22 Desember 2018

PENDAHULUAN

Dalam Undang-undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pasal 5 antara lain ditentukan bahwa

setiap wagra negara memperoleh hak yang

sama untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu, dan warga negara yang memiliki

bakat istimewa dan kelainan fisik, emosional,

intelektual dan sosial berhak mendapatkan

pendidikan khusus. Lebih lanjut Permendiknas

No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi

menentukan bahwa siswa yang memiliki bakat

atau kecerdasan istimewa serta siswa yang

memiliki keterbatasan fisik, sosial, emosional

Page 206: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

206

dan mental dapat mengikuti pendidikan secara

bersama-sama dengan siswa pada umumnya.

Pendidikan inklusi merupakan sistem

pendidikan yang terbuka bagi semua siswa baik

siswa normal, memiliki bakat khusus dan siswa

yang memiliki kekurangan. Pelaksanaan

pembelajaran dalam pendidikan inklusi

disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

Pendidikan inklusi dapat menjadi jembatan

untuk mewujudkan pendidikan untuk semua

(education for all/EFA), tanpa ada seorangpun

yang tertinggal dari layanan pendidikan

(Kustawan, 2012: 7). Pendidikan inklusi adalah

sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan

anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar di

sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa

bersama-sama teman seusianya. Sekolah

penyelenggara pendidikan inklusi adalah

sekolah yang menampung semua murid di

sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan

program pendidikan yang layak dan

menantang, tetapi disesuaikan dengan

kemampuan dan kebutuhan setiap murid

maupun bantuan dan dukungan yang dapat

diberikan oleh para guru agar anak-anak

berhasil (Wathoni, 2005: 101). Hal ini juga

diungkapkan oleh Kustawan (2012: 7) yang

menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah

sistem pendidikan yang terbuka bagi semua

individu serta mengakomodasi semua

kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-

masing individu. Dapat disimpulkan bahwa

pendidikan inklusi adalah suatu sistem layanan

pendidikan yang mensyaratkan anak

berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-

sekolah terdekat, yang terbuka bagi semua serta

tidak membeda-bedakan latar belakang

kehidupan anak. Sekolah penyelenggara

pendidikan inklusi adalah sekolah yang

menampung semua murid, mengakomodasi

murid baik karena keterbatasan fisik maupun

mental, serta sekolah yang juga menyediakan

program pendidikan layak dan menantang,

disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan

masing-masing individu.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan

inklusi memerlukan penyesuaian dan

fleksibilitas di berbagai bidang, baik bidang

pendidikan, pengajaran, sosial, perilaku

maupun budaya. Oleh karena itu dalam proses

pembelajaran pendidikan inklusi harus ada

kesesuaian antara kurikulum, pendekatan

pembelajaran, proses pembelajaran dan sistem

evaluasi dengan kondisi siswa. Sehingga

kurikulum nasional harus dimodifikasi

sedemikian guna menyesuaikan dengan

kebutuhan siswa. Hal ini dilakukan agar anak

berkebutuhan khusus dapat mengikuti

pembelajaran seperti siswa normal lainnya.

Dalam modifikasi kurikulum itu diperlukan

kerjasama antara guru, guru pembimbing

khusus/GPK, orangtua, para professional dan

peserta didik. Kerjasama dilakukan untuk

memodifikasi program kerja, penetapan tujuan,

isi, strategi, metode pembelajaran, organisasi

kelas, assesmen, evaluasi, komunikasi dan

pembiayaan (Muftuhatin, 2014: 208).

Tujuan penyelenggaraan pendidikan

inklusi menurut Alfian (2013: 75) adalah:

1) untuk memberikan kesempatan seluas-

luasnya bagi anak berkebutuhan khusus

untuk mendapatkan pendidikan yang

layak,

2) membantu mempercepat program wajib

belajar pendidikan dasar,

3) membantu meningkatkan mutu pendidikan

dengan menekan angka tinggal kelas dan

putus sekolah,

4) menciptakan pendidikan yang menghargai

keanekaragaman, tidak diskriminatif dan

ramah terhadap pembelajaran.

Sedang karakteristik pendidikan inklusi

menurut Zakia (2015) adalah:

1) pendidikan inklusi merupakan wujud

usaha merespon keragaman individu,

2) pendidikan inklusi untuk mengatasi

hambatan-hambatan anak dalam belajar,

3) pendidikan inklusi membawa anak untuk

belajar yang bermakna dalam hidup,

Page 207: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono

207

4) pendidikan inklusi untuk anak-anak

marginal, esklusif dan membutuhkan

pendidikan khusus.

Sekolah yang menyelenggarakan

program pendidikan inklusi harus memenuhi

standar kualifikasi yang telah ditentukan dan

para gurunya pun harus memiliki kompetensi

dalam menangani anak berkebutuhan khusus.

Guru yang berperan dalam pelaksanaan

program pendidikan meliputi guru kelas, guru

mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus

(GPK) (Kemendikbud. 2012: 43; Kustawan,

2012:73). Dalam hal sarana dan prasarana

Kustawan (2012) mengatakan bahwa sebagai

penyelenggara pendidikan inklusi hendaknya

sekolah menyediakan sarana dan prasarana

yang memadai untuk menjamin kebutuhan

siswa dan agar anak berkebutuhan khusus dapat

mengikuti pembelajaran dengan siswa normal

lainnya. Permendiknas No 70 Tahun 2009 pasal

11 juga memberikan ketentuan bahwa sekolah

harus menyediakan sarana dan prasarana yang

aksesibel agar anak berkebutuhan khusus dapat

mengikuti pembelajaran dengan baik.

Sistem assesmen pembelajaran

seharusnya dirancang untuk mengetahui

kondisi siswa, di mana assesmen pembelajaran

meliputi tahap perencanaan, pengumpulan

informasi untuk mencapai hasil belajar,

pelaporan dan penggunaan informasi hasil

belajar siswa. Assesmen meliputi penilaian

tertulis, sikap, kinerja atau produk, portofolio

dan unjuk kerja. Dalam Permendiknas No 70

Tahun 2009 juga ditentukan bahwa anak

berkebutuhan khusus yang menyelesaikan

pendidikan berdasarkan kurikulum yang

dikembangkan oleh satuan pendidikan dibawah

standar nasional pendidikan mendapat surat

tanda tamat belajar yang blangkonya

dikeluarkan oleh Sekolah yang bersangkutan.

Dalam Permendiknas No 70 Tahun

2009 ditentukan pula bahwa biaya

penyelenggaran pendidikan inklusi menjadi

tanggung jawab bersama antara pemerintah,

masyarakat dan orangtua. Masyarakat dan

orangtua harus berperan untuk mendukung

pendidikan, karena pendidikan merupakan

tanggung jawab bersama. Masyarakat harus

berperan dalam perencanaan, penyediaan

tenaga ahli, pengambilan keputusan,

pelaksanaan pembelajaran, pendanaan,

pengawasan dan penyaluran lulusan. Dalam

penyelenggaraan program pendidikan inklusi

Sekolah dapat bekerjasama dan membangun

jaringan dengan satuan pendidikan khusus,

perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga

rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan

masyarakat, terapi klinik, LSM dan masyarakat

(Permendiknas No 70 Tahun 2009).

Praktik penyelenggaraan pendidikan

inklusi telah menarik perhatian sejumlah

peneliti. Mitiku, dkk (2014: 118) misalnya

menemukan bahwa walaupun ada beberapa

peluang yang mendukung pendidikan inklusi,

hal itu tidak dapat dianggap sebagai jaminan

karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan

kerjasama. Serta ada tantangan nyata yang

menghambat implementasi penuh dari

pendidikan inklusif. Secara umum dapat

disimpulkan bahwa tantangan lebih besar

daripada kesempatan pada implementasi penuh

dari pendidikan inklusif dan harus ada

kerjasama yang kuat antar pemangku

kepentingan, LSM, dan badan-badan yang

bersangkutan untuk mewujudkan pendidikan

inklusi.

Di Indonesia Sunardi, dkk (2011: 1)

menemukan bahwa kebanyakan sekolah-

sekolah telah mengembangkan rencana

strategis (untuk program inklusif), namun

masih banyak sekolah yang belum menata

ulang struktur organisasi mereka. Peneliti lain,

Sari (2012: 190), juga menemukan bahwa

pelaksanaan inklusi di SD Negeri tempat

penelitiannya, tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Oleh karena itu peneliti menyarankan

agar para guru, GPK, kepala sekolah memang

benar-benar melakukan tanggung jawabnya

dan tahu tugasnya sebagai penyelenggara

sekolah inklusi.

Page 208: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

208

Di lain pihak Sartica dan Ismanto (2016:

49), menemukan bahwa program pendidikan

inklusi di lokasi penelitian mereka sudah

memenuhi kebutuhan siswa, fasilitas khusus

memang tidak mencukupi bagi anak

berkebutuhan khusus, kompetensi guru cukup

baik, belajar secara umum dengan

memperhatikan setiap individu, prestasi

akademik dan non akademik siswa dengan

kebutuhan khusus cukup baik. Muftuhatin

(2014: 201) juga menemukan bahwa evaluasi

pembelajaran sudah cukup bagus karena guru

sudah menerapkan dua metode dalam evaluasi

yaitu dengan soal yang disamakan dengan

reguler dan yang kedua dengan soal sesuai

dengan kebutuhan mereka, disertai dengan

portofolio yang mencatat perkembangan

mereka selama pembelajaran. Sementara

Lukitasari, dkk (2017:121) menemukan bahwa

dampak positif kebijakan pendidikan inklusi di

kota penelitian mereka terlihat dari

meningkatnya jumlah peserta didik ABK di

sekolah regular dari tahun ke tahun dan

berkurangnya diskriminasi yang dialami siswa

ABK oleh teman sebaya, guru dan masyarakat.

Hasil penelitian yang sedikit berbeda

ditemukan oleh Widyawati (2013: 109) di mana

sekolah sudah mendapat izin dan juga panduan

untuk melaksanakan program inklusif, namun

infrastruktur khusus tidak memadai, sementara

kurikulum sudah dimodifikasi. Kompetensi

guru cukup memadai dalam menangani anak

dengan kebutuhan khusus, sementara

pendanaan pendidikan inklusi hanya

mengandalkan dana BOS, dan tidak ada

pemantauan terus menerus dari departemen

pemerintahan terkait. Anak berkebutuhan

khusus yang berprestasi dan tidak berprestasi

sudah dilayani dengan baik.

Dari berbagai hasil penelitian diatas

maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

pendidikan inklusi. Penelitian yang dilakukan

oleh peneliti memiliki persamaan dengan

penelitian sebelumnya yaitu sama sama

mengevaluasi program Pendidikan Inklusi.

Perbedaannya dengan penelitian-penelitian di

atas adalah pada model evaluasi yang hendak

digunakan, di mana penelitian ini

menggunakan Model Evaluasi Kesenjangan

(Discrepancy Evaluation Model).

Salah satu sekolah yang menerapkan

program pendidikan inklusi adalah SMP Negeri

7 Salatiga. Namun dalam pelaksanaannya

mengalami beberapa hambatan diantara masih

kurangnya SDM dalam proses pembelajaran

selaku GPK, guru-guru belum memiliki

keahlian khusus dan masih kurang

mendapatkan sosialisasi untuk menangani anak

berkebutuhan khusus. Sarana dan prasarana

yang tersedia masih belum menunjang kegiatan

pembelajaran yang terdapat anak berkebutuhan

khusus. Kurikulum juga belum dimodofikasi

untuk dapat memberikan pembelajaran yang

sesuai dengan semua kebutuhan siswa, selain

itu penilaian juga belum mewakili kondisi

siswa. Sekolah juga belum memiliki JUKNIS

untuk menangani anak berkebutuhan khusus.

Dengan banyaknya hambatan yang dihadapi

sekolah dan belum pernah dilakukan evaluasi

program pendidikan inklusi di SMP N 7

Salatiga, maka peneliti melakukan penelitian

evaluasi program pendidikan inklusi.

Menurut Widoyoko (2013:10) evaluasi

program merupakan rangkaian kegiatan yang

dilakukan dengan sengaja dan secara cermat

untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau

keberhasilan suatu program dengan cara

mengetahui efektifitas masing-masing

komponennya, baik terhadap program yang

sedang berjalan maupun program yang telah

berlalu. Sejalan dengan hal ini Arikunto &

Jabar (2009: 18) menjelaskan bahwa evaluasi

program adalah upaya untuk mengetahui

tingkat keterlaksanaan suatu kebijaksanaan

secara cermat dengan cara mengetahui

efektivitas masing-masing komponennya.

Selanjutnya Tayibnapis (2008: 24)

menambahkan bahwa evaluasi program harus

mengumpulkan informasi yang valid, informasi

yang dapat dipercaya, informasi yang berguna

Page 209: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono

209

untuk program yang dievaluasi. Dapat

dipahami bahwa evaluasi program adalah

rangkaian kegiatan dalam upaya untuk

mengumpulkan informasi yang dilakukan

dengan sengaja dalam tingkat keterlaksanaan

secara cermat, valid dan dapat dipercaya serta

berguna untuk di evaluasi, untuk mengetahui

tingkat keberhasilan kebijakan suatu program

dengan cara mengetahui efektivitas dari

masing-masing komponen terhadap program

yang sedang berjalan maupun program yang

berlalu sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai

tujuan dan mendapat hasil yang maksimal.

Model Kesenjangan (Discrepancy

Model) yang dikembangkan oleh Malcolm

Provus (1971) dalam bukunya berjudul

Discrepancy Evaluation. Provus percaya

bahwa evaluasi merupakan suatu seni (arts)

melukiskan ketimpangan antara standar kinerja

dengan kinerja yang terjadi (Wirawan: 2011:

106). Komponen yang perlu diperhatikan pada

evaluasi model kesenjangan menurut Malcolm

Provus adalah: 1) desain merupakan kegiatan

merumuskan program yang didalamnya

melibatkan siswa, staff dan sumber daya yang

ada untuk melakukan suatu aktivitas dalam

mencapai tujuan. 2) instalasi merupakan

rancangan yang menentukan sebuah program

sebagai standar untuk mempertimbangkan

langkah-langkah proses pelaksanaan program.

3) proses merupakan kegiatan memperoleh data

tentang sejauh mana program telah berjalan

dalam mencapai tujuan yang diharapkan. 4)

produk merupakan hasil dari tujuan program

yang telah dicapai. 5) analisis biaya dan

manfaat merupakan suatu kegiatan

membandingkan penggunaan biaya yang

dikeluarkan dengan hasil yang dicapai (Rose &

Nyre, 1977: 15). Pada penelitian ini, tidak

dilakukan analisis biaya dan manfaat.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka

tujuan dari penelitian adalah untuk

mengevaluasi desain, instalasi, proses dan

produk pelaksanaan program pendidikan

inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian evaluasi

dengan pendekatan kualitatif. Model evaluasi

yang digunakan adalah model evaluasi

kesenjangan yang mencakup 4 (empat) tahap

yaitu tahap desain, instalasi, proses dan tahap

produk. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 7

Salatiga. Sumber informasi dalam penelitian ini

dalam Kepala Sekolah, Guru MULOK selaku

GPK, dan guru BK selaku GPK. Teknik

pengumpulan data yang digunakan meliputi

wawancara, observasi dan studi dokumen.

Teknik validasi data menggunakan teknik

triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Teknik analisis data menggunakan teknik

analisis data kualitatif model Miles dan

Huberman yang meliputi reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan

(Sugiyono, 2015: 404-412).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil evaluasi terhadap desain, instalasi,

proses dan produk program inklusi di SMP

Negeri ini tergambar sebagai berikut ini.

Evaluasi Desain Program Inklusi

Pada tahap disain ditemukan bahwa

tidak terdapat kesenjangan pada aspek tujuan,

dan peserta didik, namun terdapat kesenjangan

pada aspek assesmen, kurikulum, tenaga

pendidik, rencana kegiatan pembelajaran,

sarana dan prasara pendidikan serta dukungan

masyarakat. Gambaran tentang ketiadaan

kesenjangan dan adanya kesenjangan pada

tahap desain tersebut tertera dalam tabel 1

berikut ini.

Page 210: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

210

Tabel 1. Hasil Evaluasi pada Tahap Desain

No Komponen Standar

Permendiknas

Kinerja

SMP N 7 Salatiga Kesenjangan

1 Tujuan Memberikan kesempatan, tidak

ada diskriminasi

Bersosialisasi dengan sesama, mendapat

hak pendidikan yang sama

Tidak ada

kesenjangan

2 Peserta didik Anak normal dan ABK di

sekolah yang sama

Anak normal dan anak berkebutuhan

khusus belajar di Sekolah Formal

Tidak ada

kesenjangan

3 Assesmen Penilaian Khusus bagi anak

berkebutuhan khusus

Belum ada rencana penilaian khusus bagi

anak berkebutuhan khusus

Terdapat

kesenjangan

4 Kurikulum Modifikasi kurikulum bagi

Sekolah yang memiliki ABK

Belum ada rencana modifikasi kurikulum

bagi ABK

Terdapat

Kesenjangan

5 Tenaga

Pendidik

Memiliki kompetensi untuk

menangani ABK

Guru masih mengalami kesulitan dalam

menangani ABK

Terdapat

kesenjangan

6

Rencana

Kegiatan

Pembelajaran

Pembelajaran dikembangkan

sesuai kebutuhan siswa

Belum ada pengembangan rencana

pembelajaran khusus dan masih

menggunakan metode umum

Terdapat

kesenjangan

7 Sarana dan

Prasarana

Sarana dan prasarana harus

memenuhi kebutuhan siswa,

terutama untuk ABK

Sarana dan prasarana untuk kebutuhan

anak berkebutuhan khusus masih kurang

memadai

Terdapat

kesenjangan

8 Pembiayaan Mendapat dana dari pemerin

tah, masyarakat & orangtua

Menggunakan dana BOS dan sebagian

dana dari orangtua ABK

Terdapat

kesenjangan

9 Dukungan

Masyarakat

Program pendidikan inklusi

menjadi tanggungjawab Peme-

rintah, masyarakat dan instansi.

Hanya mendapat dukungan dari sebagian

orangtua ABK dan beberapa instansi,

namun belum maksimal

Terdapat

kesenjangan

Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & Data Penelitian

Evaluasi Instalasi Program Inklusi

Pada tahap disain ditemukan

kesenjangan pada seluruh aspek instalasi.

Gambaran tentang adanya kesenjangan pada

tahap instalasi tersebut tertera dalam tabel 2

berikut ini.

Tabel 2 . Hasil Evaluasi pada Tahap Instalasi

No Komponen Standar

Permendiknas

Kinerja

SMP N 7 Salatiga Kesenjangan

1 Peserta didik

Sekolah menerima anak normal dan

ABK. Untuk mendeteksi dilakukan

tes masuk

Sekolah menerima anak normal dan

ABK. Tidak ada tes yang dirancang

saat penerimaan peserta didik

Terdapat

kesenjangan

2 Assesmen

pembelajaran

Assesmen dilakukan untuk

mengetahui kondisi ABK meliputi

aspek kompetensi, potensi dan

karakteristik siswa

Belum adanya rencana pelaksanaan

dalam assesmen pembelajaran

terkhusus untuk ABK

Terdapat

kesenjangan

3 Kurikulum

Kurikulum dirancang berdasarkan

standar nasional dengan

dimodifikasi sesuai kebutuhan dan

kemampuan siswa

Belum adanya rencana pelaksanaan

untuk modifikasi kurikulum, hanya

adanya rencana program layanan

tentang keterampilan bagi ABK

Terdapat

kesenjangan

4 Tenaga

pendidik

Pemerintah menyediakan SDM dan

meningkatkan kompetensi nya

Dinas hanya menunjuk 2 GPK dan

untuk meningkatkan kompetensi guru

dan GPK masih minim

Terdapat

kesenjangan

5 Rancangan

pembelajaran

Rencana pembelajaran

dikembangkan dengan

mempertimbangkan perbedaan

individu

Belum adanya rencana pelaksanaan

metode pembelajaran bagi ABK dan

belum mempertimbangkan perbedaan

individu

Terdapat

kesenjangan

6 Sarana dan

prasarana

Sarpras harus bersifat aksesibel,

sehingga ABK dapat belajar

dengan baik

Belum adanya rencana pelaksanaan

untuk penyediaan sarpras bersifat

aksesibel sehingga guru mengalami

kendala saat mengajar

Terdapat

kesenjangan

7 Pembiayaan

Pembiayaan harus ditanggaung

bersama antara pemerintah,

masyarakat dan orangtua

Pembiayaan hanya diambil dari dana

BOS dan dukungan biaya dari

sebagian orangtua ABK

Terdapat

kesenjangan

Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & Data Penelitian

Page 211: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono

211

Evaluasi Proses Program Inklusi

Pada tahap proses ditemukan bahwa

terdapat kesenjangan pada seluruh aspek proses

pendidikan inklusi yang meliputi kegiatan

belajar siswa, kegiatan mengajar guru, kegiatan

pembelajaran, sarana dan prasara pendidikan

serta dukungan masyarakat. Gambaran tentang

adanya kesenjangan pada tahap proses

pendidikan inklusi tersebut tertera dalam tabel

3 berikut ini.

Tabel 3. Hasil Evaluasi pada Tahap Proses

No Komponen Standar

Permendiknas

Kinerja

SMP N 7 Salatiga Kesenjangan

1 Kegiatan belajar

siswa

ABK belajar bersama anak

normal dan memperoleh layanan

khusus dari guru GPK

ABK dan anak normal belajar

bersama. Terkadang ABK

mengalami kesulitan karena tidak

mendapatkan layanan khusus saat

proses pembelajaran berlangsung

Terdapat

kesenjangan

2 Kegiatan

mengajar guru

Guru kelas menerapkan

pembelajaran sesuai kebutuhan

siswa

GPK mendampingi anak

berkebutuhan khusus

Guru memberikan materi

pembelajaran secara umum dan

belum didesain dengan

mempertimbangkan adanya ABK

GPK belum bisa sepenuhnya

melakukan pendampingan terhadap

ABK

Terdapat

kesenjangan

3 Kegiatan

pembelajaran

Kegiatan pembelajaran harus

sesuai kebutuhan siswa dengan

setting kelas inklusi

Menggunakan strategi variatif

dan PAKEM sesuai karakteristik

kebutuhan siswa

Guru melakukan proses

penilaian dan hasil belajar secara

beragam dan berkesinambungan

sesuai dengan kondisi siswa

ABK mendapat dan mengikuti

materi yang sama dengan anak

normal.

Guru dapat memaklumi dengan

adanya ABK tapi kurang mendapat

perhatian khusus dari guru

Proses penilaian diserahkan pada

GPK dan hasil penilaian belum

dibedakan dengan anak normal.

Terdapat

kesenjangan

4 Sarana dan

prasarana

Penyediaan sarana dan prasarana

secara umum, namun harus

disediakan secara khusus yang

bersifat aksesibel untuk ABK

Pemenuhan sarana dan prasarana

diambil dari dana BOS saat perlu

baru diajukan

Terdapat

kesenjangan

5 Dukungan

masyarakat

Berperan dalam perencanaan,

penyediaan tenaga ahli,

mengambil keputusan,

pelaksanaan pembelajaran,

pendanaan, pengawasan,

penyaluran lulusan melalui

komite Sekolah, dewan

pendidikan dan forum-forum

pemerhati pendidikan inklusi

Mendapat dukungan dari sebagian

orangtua ABK Menjalin kerjasama

dengan instansi, namun belum

maksimal. Komite belum

mengetahui tentang adanya program

pendidikan inklusi karena kepela

Sekolah belum menyampaikan

Terdapat

kesenjangan

Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & Data Penelitian

Evaluasi Produk Program Inklusi

Pada tahap produk ditemukan adanya

kesenjangan pada aspek rapot, namun tidak

terdapat kesenjangan pasa aspek hasil belajar

dan ijazah. Perlu dicatat bahwa untuk aspek

ujian dan lulusan belum dapat dilakukan

evaluasi karena sampai saat penelitian

dilakukan belum ada anak berkebutuhan khusus

yang mengikuti ujian sekolah, sehingga belum

ada juga lulusan. Gambaran tentang ketiadaan

kesenjangan dan adanya kesenjangan pada

tahap produk tersebut tertera dalam tabel 4

berikut ini.

Page 212: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

212

Tabel 4. Kesenjangan Pada Tahap Produk

No Komponen Standar

Permendiknas

Kinerja

SMP N 7 Salatiga Kesenjangan

1 Hasil belajar Kenaikan kelas berdasarkan

standar Sekolah

Anak berkebutuhan khusus tetap naik

kelas dan tidak ada kata tinggal kelas

Tidak ada

kesenjangan

2 Rapot

Penilaian untuk rapot bagi anak

berkebutuhan khusus berbeda

dengan anak normal

Penilaian untuk rapot anak berkebutuhan

khusus masih sama dengan anak normal

Terdapat

kesenjangan

3 Ujian Anak berkebutuhan khusus

mengikuti ujian Sekolah

Anak berkebutuhan khusus mengikuti

ujian Sekolah n.a

4 Ijazah

Anak berkebutuhan khusus

mendapatkan ijazah dari

Sekolah

Anak berkebutuhan khusus mendapatkan

ijazah berupa surat tanda tamat belajar

yang blangkonya dikeluarkan Sekolah

Tidak ada

kesenjangan

5 Lulusan

Anak berkebutuhan khusus

yang lulus Sekolah mendapat

surat keterangan dan ijazah

untuk melanjutkan pada jenjang

yang lebih tinggi

Belum adanya lulusan anak berkebutuhan

khusus dan masih menjadi problematis

bagi Sekolah tentang kelanjutan anak

berkebutuhan khusus pada jenjang lebih

tinggi

n.a

Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & Data Penelitian

Pembahasan

Pada evaluasi tahap desain secara umum

tujuan penyelenggaraan program pendidikan

inklusi di lokasi penelitian sama seperti acuan

yang ada yaitu memberikan kesempatan kepada

seluruh peserta didik untuk belajar bersama

sehingga tidak adanya diskriminasi, sasaran

peserta didik inklusi adalah anak berkebutuhan

khusus untuk dapat belajar secara bersama-

sama dengan siswa normal di Sekolah regular.

Karena memang seharusnya sistem layanan

pendidikan inklusi terbuka untuk semua siswa

dan tidak membeda-bedakan latar belakang

kehidupan siswa, serta memberikan

kesempatan yang sama untuk belajar, tidak ada

diskriminasi, memberikan hak dan kesempatan

yang sama, memberikan keadilan dan perluasan

akses bagi semua. Desain penyelenggaraan

inklusi itu sejalan dengan pendapat Ahsan

(2014), Ilahi (2013), Wathoni (2005), dan

Kustawan ( 2012) yang menyatakan bahwa

pendidikan inklusi dirancang dengan

mempertimbangkan kebutuhan siswa baik yang

normal dan penyandang cacat atau anak

berkebutuhan khusus. Namun demikian

ditemukan pula kesenjangan pada tahap desain

yaitu dalam aspek sistem assesmen

pembelajaran karena belum ada rencana secara

umum penilaian khusus untuk anak

berkebutuhan khusus. Di samping itu sekolah

masih menggunakan kurikulum nasional dan

belum ada rencana modifikasi kurikulum.

Temuan ini, untuk sebagian sejalan dengan

hasil penelitian Sari (2012), yang menyatakan

bahwa pelaksanaan inklusi di SD Negeri tempat

penelitiannya, tidak berjalan sebagai mana

mestinya. Jadi temuan ini berbeda dengan

pandangan Muftuhatin (2014 yang menyatakan

bahwa seharusnya kurikulum nasional

dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan siswa,

agar anak berkebutuhan khusus dapat

mengikuti pembelajaran seperti siswa normal

lainnya. Dalam modifikasi diperlukan

kerjasama antara guru, GPK, orangtua, para

professional dan peserta didik. Kerjasama

dilakukan untuk memodifikasi program kerja

penetapan tujuan, isi, strategi, metode

pembelajaran, organisasi kelas, assesmen,

evaluasi, komunikasi dan pembiayaan.

Dari aspek tenaga pendidik, tenaga

pendidik di sekolah ini belum memiliki

kompetensi yang tepat untuk menangani anak

berkebutuhan khusus. Rencana dalam kegiatan

pembelajaran belum dikembangkan sehingga

metode pembelajaran masih secara umum dan

belum ada rencana dengan metode

pembelajaran khusus bagi ABK. Hal itu

berbeda dengan aturan Kemendikbud (2012)

maupun pendapat Kustawan (2012) yang

menyatakan bahwa Guru adalah pihak yang

paling berperan penting dalam pelaksanaan

pembelajaran di kelas, sehingga guru harus

Page 213: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono

213

memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang

tepat untuk melakukan proses pembelajaran

dengan menyesuaikan kebutuhan seluruh siswa

dan mampu menangani anak berkebutuhan

khusus.

Rencana sekolah dalam penyediaan

sarana dan prasarana juga masih kurang

memadai untuk menjamin kebutuhan ABK di

sekolah. Hal itu tidak sejalan dengan

pandangan Kustawan (2012) yang mengatakan

bahwa pendidikan inklusi hendaknya

menyediakan sarana dan prasarana yang

memadai untuk menjamin kebutuhan siswa dan

anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti

pembelajaran dengan siswa normal lainnya.

Juga tidak sejalan dengan Permendiknas No 70

Tahun 2009 pasal 11 yang menentukan bahwa

sekolah harus menyediakan sarana dan

prasarana yang aksesibel agar anak

berkebutuhan khusus dapat mengikuti

pembelajaran dengan baik.

Sekolah hanya mendapat dukungan

pelaksanaan dari orangtua anak berkebutuhan

khusus dan beberapa instansi. Padahal

pendidikan merupakan tanggung jawab

bersama antara sekolah, mayarakat dan

pemerintah. Masyarakat juga harus berperan

dalam perencanaan, penyediaan tenaga ahli,

pengambilan keputusan, pelaksanaan

pembelajaran, pendanaan, pengawasan dan

penyaluran lulusan. Temuan ini menunjukkan

bahwa sekolah belum sepenuhnya mampu

melaksanakan Permendiknas No 70 Tahun

2009 yang menentukan bahwa dalam

penyelenggaraan program pendidikan inklusi

Sekolah dapat bekerjasama dan membangun

jaringan dengan satuan pendidikan khusus,

perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga

rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan

masyarakat, terapi klinik, LSM dan

masyarakat.

Terdapat kesenjangan dalam tahap

instalasi pada komponen peserta didik, karena

sekolah tidak memiliki tes yang dirancang

secara umum saat penerimaaan peserta didik

baru. Di samping itu dalam sistem assesemen

pembelajaran juga belum ada rancangan

penilaian khusus bagi ABK. Temuan ini

menunjukkan bahwa sekolah belum mampu

sepenuhnya melaksanakan ketentuan

Permendiknas No 70 Tahun 2009 yang

menetapkan bahwa sistem assesmen

pembelajaran seharusnya dirancang untuk

mengetahui kondisi siswa, dimana assesmen

pembelajaran meliputi tahap perencanaan,

pengumpulan informasi untuk mencapai hasil

belajar, pelaporan dan penggunaan informasi

hasil belajar siswa. Assesmen meliputi

penilaian tertulis, sikap, kinerja atau produk,

portofolio dan unjuk kerja.

Terdapat kesenjangan yang terjadi pada

tahapan proses yaitu dalam hal kegiatan belajar

siswa, di mana anak berkebutuhan khusus

masih mengalami kesulitan dalam proses

pembelajaran karena siswa tidak mendapatkan

layanan khusus saat proses pembelajaran

berlangsung. Temuan ini berbeda dengan

pandangan Zakia (2015) dan Muftuhatin (2012)

yang menyatakan bahwa seharusnya

pendidikan inklusi membantu siswa untuk

mengatasi hambatan-hanbatan siswa dalam

belajar. Maka dari itu proses pelaksanaan

pendidikan inklusi memerlukan penyesuaian

dan fleksibilitas baik dalam bidang pendidikan,

pengajaran, sosial, perilaku dan budaya

Pada kegiatan mengajar guru masih

menggunakan materi atau bahan ajar secara

umum dan belum rancangan yang didesain

dengan mempertimbangkan adanya anak

berkebutuhan khusus dan GPK belum bisa

sepenuhnya melakukan pendampingan

terhadap anak berkebutuhan khusus. Saat

kegiatan pembelajaran anak berkebutuhan

khusus masih mengikuti dan mendapatkan

materi yang sama dengan siswa normal, guru

memaklumi adanya anak berkebutuhan khusus

tapi tidak untuk dikembangkan, serta untuk

proses penilaian bagi anak berkebutuhan

khusus juga masih disamakan dengan siswa

normal. Temuan ini berbeda dari arahan

Page 214: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

214

Direktorat PPK-LK (2011) bahwa guru atau

pendidik seharusnya memberikan

pendampingan, bukan hanya menjadi tanggung

jawab guru GPK saja. Karena dalam

penyelenggaraan program pendidikan inklusi

semua pihak di Sekolah harus melakukan

penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana

dan prasarana dan sistem pembelajaran yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan

karakteristik anak berkebutuhan khusus.

Temuan ini sejalan dengan penelitian Mitiku,

dkk (2014) bahwa meskipun ada beberapa

peluang yang mendukung pendidikan inklusi,

namun kurangnya kesadaran dan kerjasama hal

itu tidak dapat dianggap sebagai jaminan

terselenggaranya program pendidikan inklusi.

Evaluasi pada tahap produk

menunjukkan bahwa Sekolah telah membuat

penetapan khusus bahwa ABK tidak akan

pernah tinggal kelas. Temuan ini sejalan

dengan pandangan Ilahi (2013: 25) yang

mengatakan bahwa pendidikan inklusi harus

dimaknai sebagai bentuk reformasi pendidikan

yang menekankan sikap anti diskriminasi,

perjuangan persamaan hak dan kesempatan,

keadilan dan perluasan akses bagi semua, serta

mengubah pandangan sikap masyarakat

terhadap anak berkebutuhan khusus. Temuan di

atas mendukung temuan penelitian Lukitasari,

dkk (2017) yang menunjukkan bahwa

impelementasi kebijakan pendidikan inklusi di

kota Salatiga dinilai baik terlihat dari

meningkatnya jumlah peserta didik ABK dan

kurangnya diskriminasi terhadap siswa ABK.

Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian

Sartica dan Ismanto (2016), yang menemukan

bahwa prestasi akademik dan non akademik

adalah siswa dengan kebutuhan khusus di

lokasi penelitian mereka cukup baik.

Namun demikian ditemukan pula

adanya fakta bahwa penilaian untuk rapot bagi

anak berkebutuhan khusus masih sama dengan

penilaian bagi siswa normal. Fakta tersebut

berbeda dengan Permendiknas No 70 Tahun

2009 yang menentukan bahwa seharusnya

sistem hasil belajar sekolah inklusi berupa

angka-angka disertai narasi penguasaan materi.

Untuk itu Sekolah yang menyelenggarakan

program pendidikan inklusi harus

memodifikasi sistem penilaiannya dengan

mempertimbangkan kondisi anak berkebutuhan

khusus.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa pada tahap desain, tujuan

penyelenggaraan program pendidikan inklusi

dan peserta didik inklusi sama dengan acuan

yang ada yaitu memberikan kesempatan yang

sama tanpa adanya diskriminasi serta sasaran

peserta didik inklusi adalah ABK. Kesenjangan

yang ditemukan adalah belum adanya rencana

dalam sistem assesmen pembelajaran, penilaian

dan modifikasi kurikulum. Disamping itu

tenaga pendidik belum memiliki kompetensi

yang tepat menangai ABK, sementara sarana

dan prasarana yang ada juga kurang memadai

bagi ABK.

Pada tahap instalasi, terdapat

kesenjangan karena pada saat penerimaan

peserta didik baru tidak dilakukan tes masuk,

dalam rancangan pembelajaran dan rancangan

penilaian belum dilakukan modifikasi dengan

mempertimbangkan ABK, belum ada

pembelajaran tambahan berupa pembekalan

keterampilan untuk ABK, pembiayaan untuk

pelaksanaan program hanya diambil dari dana

BOS dan dukungan dari sebagian orang tua

ABK.

Pada tahap proses, terdapat kesenjangan

bahwa ABK masih mengalami kesulitan dalam

mengikuti pembelajaran, karena pelaksanaan

pembelajaran belum mempertimbangkan

keadaan ABK dan penilaian hasil belajar ABK

masih disamakan dengan siswa normal.

Dukungan dari masyarakat dan beberapa

instansi juga belum maksimal. Sedangkan di

tahap produk kesenjangan terdapat pada hasil

Page 215: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri | Eni Mariani & Bambang S. Sulasmono

215

belajar siswa dalam penilaian rapot yang masih

sama dengan siswa normal.

Saran

Dari penelitian evaluasi yang telah

dilakukan, maka peneliti memberikan

rekomendasi untuk perbaikan program, sebagai

berikut: 1) guru saling bekerjasama dalam

pengembangan kurikulum dan alat evaluasi

sehingga dapat menyelenggarakan

pembelajaran yang lebih sesuai dengan

kebutuhan ABK. Selain itu guru juga perlu

meningkatkan kompetensinya dalam

menangani ABK; 2) Kepala Sekolah perlu

memberikan ruang yang dapat digunakan untuk

memberikan pelayanan terbaik bagi ABK,

meningkatkan pengembangan diri para guru

dan GPK, merancang model dan petunjuk

teknis untuk menangani berbagai kriteria ABK,

serta memaksimalkan jalinan kerjasama dengan

beberapa instansi; 3) Dinas Pendidikan perlu

membangun komunikasi dan melakukan

pembinaan serta pengawasan pada Sekolah

yang menyelenggarakan program pendidikan

inklusi. Dinas juga perlu menambah GPK yang

khusus menangani ABK, memberikan

dukungan maksimal dalam pengembangan

kompetensi guru dan GPK, memperhatikan

pelaksanaan program pendidikan inklusi dan

memberikan bantuan baik berupa biaya,

pelatihan, seminar maupun pemenuhan sarana

dan prasarana.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang tulus diberikan

kepada Dr. Ade Iriani, MM yang menjadi

Pembimbing I dalam penulisan Tesis yang

substansinya kemudian tersaji dalam bentuk

artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahsan, M. T. 2014. “Inclusive Education: A

Strategy to Address Diversity to Ensure

Equal Right to Education. Editorial”.

Asian Journal of Inclusive Education

(AJIE). Vo.2, No.1, April 2014, 1-3.

Alfian. 2013. Pendidikan Inklusif di Indonesia.

Edu-Bio. Vol. 4.

Arikunto, S., & Jabar, C. S. A. 2009. Evaluasi

Program Pendidikan: Pedoman

Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan

Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara

Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan

Dasar. 2012. Permendiknas Nomor 70

Tahun 2009. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Ilahi, Muhammad Takdir. 2013. Pendidikan

Inklusif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Kemendikbud. 2009. Permendiknas Nomor 70

Tahun 2009 Tentang Pendidikan

Inklusif Bagi Peserta Didik yang

Memiliki Kelainan dan Memiliki

Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa. Kemendikbud: Jakarta.

Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusif &

Upaya Implementasinya. Jakarta: PT.

Luxima Metro Media.

Lukitasari, S., Sulasmono, B., & Iriani, A.

2017. Evaluasi Implementasi Kebijakan

Pendidikan Inklusi. Kelola: Jurnal

Manajemen Pendidikan, 4(2), 121-134.

https://doi.org/https://doi.org/10.24246/

j.jk.2017.v4.i2.p121-134.

Maftuhatin, Lilik. 2014. Evaluasi pembelajaran

anak berklebutuhan khusus (ABK) di

kelas inklusif di SD Plus Darul ‘Ulum

Jombang. Jurnal Studi Islam. Volume 5.

201-227.

Mitiku, M., Yitayal, A., Semahegn, M., 2014.

Challenges and Opportunities to

Implement Inclusive Education. Asian

Journal of Humanity, Art and

Literature, Volume 1 (2) 118-135.

Rose Clare & Glenn F. Nyre. 1977. The

Practice of Evaluation. Princetion:

Page 216: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

216

Education Testing Service; Princeton,

New Jersey: ERIC/TM Report 65.

Sari, W. Quida. 2012. Pelaksanaan inklusi di

Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan

Payakumbuh. Jurnal Ilmiah Pendidikan

Khusus. Volume (1) 190-197.

Sartica, D., & Ismanto, B. 2016. Evaluasi

Penyelenggaraan Program Pendidikan

Inklusif di Kota Palangka Raya 1.

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan,

3(1), 49-66.

https://doi.org/https://doi.org/10.24246/

j.jk.2016.v3.i1.p49-66

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian

Manajemen. Bandung: Alfabeta.

Sunardi. Mucawir, Y., Gunarhadi. Proyono.

John, L., Yeager. 2011. The

implementation of inclusive education

for students with special needs in

Indonesia. Excellence in Higher

education. Volume 2. 1-10.

Tayibnapis, Yusuf. F. 2008. Evaluasi Program

dan Instrumen Evaluasi untuk Program

Pendidikan dan Penelitian. Jakarta:

Rineka Cipta.

Wathoni, Khasirul. 2005. Implementasi

Pendidikan Inklusi Dalam Pendidikan

Islam. Ta’allum. Volume 01. 99-109.

Widoyoko, Eko, Putro. 2013. Evaluasi Program

Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi

Pendidik dan Calon Pendidik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widyawati, R. 2017. Evaluasi Pelaksanaan

Program Inklusi Sekolah Dasar. Kelola:

Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(1),

109-120.

https://doi.org/https://doi.org/10.24246/

j.jk.2017.v4.i1.p109-120.

Wirawan. 2012. Evaluasi: Teori, Model,

Standar, Aplikasi dan Profesi. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Zakia, Dieni, Laylatul. 2015. Guru

Pembimbing Khusus (GPK): Pilar

Pendidikan Inklusi: Prosiding Seminar

Nasional Pendidikan: Meretas Sukses

Publikasi Ilmiah Bidang Pendidikan

Jurnal Bereputasi. Surakarta, 21

November 2015

Page 217: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5, No. 2, Juli-Desember 2018

Halaman: 217-229

217

Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah

Egidius Virgo

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Slameto

Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

ABSTRACT

The aim of this study is to evaluate the context, input, process, and product of the Principal

Managerial Program in a Salatiga Private Elementary School. This study is evaluative

research using CIPP models. The data collection includes interviews, documentation studies,

and observations. The data validation was technique and resource triangulation. The study

results: a) the context evaluation showed the managerial program of principals in private

elementary schools is indeed very much needed by school stakeholders; b) the input evaluation

showed the principal managerial program has been prepared to meet stakeholder needs, but

has not been supported by human resources, funding, and adequate infrastructure; c) the

process evaluation showed the principal’s managerial program carried out based on

management functions namely: planning, organizing, supervision, and assessment. Even

though it is constrained in terms of human resources, funding, and infrastructure, but the

principal still can carry out a minimum managerial program, d) the product evaluation

showed the Private Elementary School achieves more in the non-academic field than in the

academic field, although from year to year there is a slight increase in the quality of student

learning outcomes.

Keywords: CIPP, Program Evaluation, Principal's Managerial Program

Article Info

Received date: 10 Desember 2018 Revised date: 21 Desember 2018 Accepted date: 21 Desember 2018

PENDAHULUAN

Peningkatan mutu pendidikan

merupakan sasaran pembangunan di bidang

pendidikan nasional. Mutu pendidikan dapat

dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya

adalah faktor manajemen sekolah. Manajemen

merupakan suatu proses perencanaan,

pengorganisasian, kepemimpinan, dan

pengendalian anggota organisasi serta

penggunaan seluruh sumber daya organisasi

lainnya demi tercapainya tujuan organisasi

(Siswanto, 2015: 2). Di sekolah fungsi

manajerial ini dijalankan oleh Kepala Sekolah.

Menurut Keputusan Menteri

Pendidikan Nomor: 162/U/2003 tanggal 24

Oktober 2003 tentang Pedoman Penugasan

Guru sebagai Kepala Sekolah, Kepala Sekolah

adalah guru yang mendapatkan tugas tambahan

untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan.

Sedang Wahjosumidjo (2005: 83)

mendefinisikan Kepala Sekolah sebagai

seorang tenaga fungsional guru yang diberi

tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana

Page 218: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

218

diselenggarakan proses belajar mengajar, atau

tempat dimana terjadi interaksi antara guru

yang memberi pelajaran dan murid sebagai

penerima pelajaran. Dari definisi tersebut dapat

dipahami bahwa, secara sederhana pengertian

Kepala Sekolah adalah seorang tenaga

fungsional guru yang diberi tugas untuk

memimpin suatu sekolah dimana

diselenggarakan proses belajar mengajar atau

tempat dimana terjadi interaksi antara guru

yang memberi pelajaran dan murid yang

menerima pelajaran. Dengan ini Kepala

Sekolah dapat disebut sebagai pemimpin di

satuan pendidikan yang tugasnya menjalankan

menajemen satuan pendidikan yang

dipimpinnya. Di tingkat operasional, Kepala

Sekolah adalah orang yang berposisi di garis

terdepan yang mengkoordinasikan upaya dalam

meningkatkan pembelajaran bermutu. Kepala

Sekolah diangkat untuk menduduki jabatan

bertanggung jawab mengkoordinasi kan upaya

bersama mencapai tujuan pendidikan di tingkat

sekolah. Tentu saja Kepala Sekolah bukan satu-

satunya yang bertanggung jawab penuh

terhadap suatu sekolah, karena masih banyak

faktor lain yang perlu diperhitungkan. Selain

Kepala Sekolah, ada guru yang dipandang

sebagai faktor kunci yang berhadapan langsung

dengan para peserta didik dan faktor lain seperti

lingkungan yang mempengaruhi proses

pembelajaran. Namun Kepala Sekolah

memiliki peran yang berpengaruh terhadap

jalannya sistem yang ada di sekolah.

Kepala Sekolah adalah salah satu

komponen pendidikan yang berperan dalam

meningkatkan kualitas pendidikan. Kepala

Sekolah merupakan penanggung jawab atas

penyelenggaraan proses pendidikan,

administrasi sekolah, pembinaan tenaga

pendidikan lainnya, pendayagunaan serta

pemeliharaan sarana dan prasarana juga sebagai

supervisor pada sekolah yang dipimpinnya.

Jika dilihat dari syarat guru untuk menjadi

Kepala Sekolah, Kepala Sekolah bisa dikatakan

sebagai jenjang karier dari jabatan fungsional

guru. Apabila seorang guru memiliki

kompetensi sebagai Kepala Sekolah dan telah

memenuhi persyaratan atau tes tertentu maka

guru tersebut dapat memperoleh jabatan Kepala

Sekolah (Mulyasa, 2007: 24).

Kepala Sekolah bertanggungjawab atas

manajemen pendidikan secara mikro, yang

secara langsung berkaitan dengan proses

pembelajaran. Pada dasarnya pengelolaan

sekolah menjadi tanggung jawab Kepala

Sekolah dan guru. Namun demikian dalam

mencapai keberhasilan pengelolaan sekolah

peran serta dari para orang tua dan siswa, juga

turut mendukung keberhasilan itu. Di samping

itu pencapaian keberhasilan, pengelolaan

tersebut harus didukung oleh sikap pola dan

kemampuan Kepala Sekolah dalam memimpin

lembaga pendidikan yang menjadi tanggung

jawabnya. Kepemimpinan seorang Kepala

Sekolah diharapkan dapat menciptakan kondisi

yang memungkinkan bagi lahirnya iklim kerja

dan hubungan antar manusia yang harmonis

dan kondusif. Hal ini berarti bahwa seluruh

komponen pendidikan di sekolah harus

dikembangkan secara terpadu dalam rangka

meningkatkan relevansi atau kesesuaian

dengan kualitas pendidikan (Mulyasa, 2007:

25).

Dari pendapat sejumlah ahli di atas

dapat dipahami bahwa, Kepala Sekolah adalah

guru yang mendapat tugas tambahan sebagai

Kepala Sekolah atau pimpinan dari sebuah

lembaga pendidikan. Meskipun guru yang

mendapat tugas tambahan Kepala Sekolah

merupakan orang yang paling betanggung

jawab terhadap prinsip-prinsip administrasi

pendidikan yang inovatif di sekolah. Sebagai

orang yang mendapatkan tugas tambahan

berarti tugas pokok Kepala Sekolah tersebut

adalah guru yaitu sebagai tenaga pengajar dan

pendidik, maksudnya dalam suatu sekolah

seorang Kepala Sekolah harus mempunyai

tugas sebagai seorang guru yang melaksanakan

atau memberikan pelajaran atau mengajar

bidang studi tertentu atau memberikan

Page 219: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto

219

bimbingan. Berarti dalam hal ini, Kepala

Sekolah memiliki dua fungsi yaitu sebagai

tenaga kependidikan dan tenaga pendidik.

Keberhasilan Kepala Sekolah dalam

mengelola sekolahnya tidak terlepas dari

kemampuan Kepala Sekolah sebagai pemimpin

dalam melaksanakan peran serta fungsi

manajerial di lembaga yang dipimpinnya. Maka

dari itu seorang Kepala Sekolah dituntut

memiliki kecakapan serta kesiapan dalam

mengelola sekolah. Kecakapan dan kesiapan

yang dimaksud adalah kemampuan manajerial

sebagaimana diatur dalam Permendiknas No 13

Tahun 2007 Tentang Standar Kepala

Sekolah/Madrasah, yang meliputi:

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan

dan pengawasan. Dengan kemampuan

manajerial yang baik diharapkan setiap Kepala

Sekolah mampu meningkatkan kualitas serta

menjadi pendorong dan penegak disiplin bagi

para guru agar mereka mampu menunjukkan

profesionalisme dan produktivitas kinerja

secara maksimal. Dengan perkataan lain,

keberhasilan sekolah memerlukan adanya

kepemimpinan Kepala Sekolah yang

berkualitas. Hal itu diharapkan akan terwujud

manakala Kepala Sekolah menguasai 3 (tiga)

kemampuan dasar yaitu 1) kemampuan

konseptual (conceptual skills), 2) kemampuan

kemanusiaan (human skills) dan 3) kemampuan

teknis (technical skills) (Wahjosumidjo, 2013:

349).

Jadi, Kepala Sekolah mempunyai

peranan sangat penting dalam peningkatan

mutu pendidikan di lembaga yang dipimpinnya.

Mutu pendidikan akan dapat ditingkatkan

apabila Kepala Sekolah memiliki kompetensi

yang memadai baik dibidang manajerial,

kewirausahaan, kepribadian maupun supervisi.

Dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di

sekolah merupakan hasil dari keefektifan

manajerial Kepala Sekolah yang juga didukung

oleh guru dan semua warga sekolah. Hal ini

sejalan dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Darmada (2013: 1) yang

menyatakan bahwa Kepala Sekolah selaku

manajer di sekolah memberikan kontribusi

terhadap kemajuan pendidikan di sekolah,

selain itu juga pendidik dan tenaga

kependidikan juga mempunyai peranan yang

tidak kalah penting dalam keberhasilan didunia

pendidikan. Di lain pihak Hermawan (2010: 1)

menemukan bahwa faktor penghambat suatu

program yang dijalankan di sekolah lebih

banyak disebabkan oleh peserta didik, pendidik

dan tenaga kependidikan, dana, sarana

prasarana, serta patisipasi masyarakat.

Masalah kinerja mengajar guru juga

merupakan hal penting yang seharusnya

diperhatikan oleh Kepala Sekolah selaku

pimpinan lembaga pendidikan. Isjoni (2009)

menjelaskan bahwa bila diamati di lapangan

guru sudah berusaha menunjukkan kinerja

maksimal di dalam menjalankan tugas dan

fungsinya sebagai pendidik, pengajar, dan

pelatih. Pada umumnya guru telah berusaha

untuk melakukan yang terbaik, tetapi tidak

semua guru bisa melaksanakan pembelajaran

dengan baik, hal inilah yang akan menjadikan

kinerja guru masih tampak kurang maksimal.

Padahal kinerja mengajar guru dalam

meningkatkan prestasi belajar siswa yang

optimal, merupakan salah satu kekuatan yang

penting dalam proses pendidikan. Oleh karena

itu Sagala (2010: 88) menegaskan bahwa

prestasi kerja guru dan karyawan bahkan

menjadi tolok ukur dari berhasil atau tidaknya

kinerja seorang Kepala Sekolah.

Program Manajerial Kepala Sekolah

pada dasarnya merupakan kemampuan

kognitif, kemampuan afektif dan kemampuan

psikomotorik. Melalui program manajerial

Kepala Sekolah mengelola pendidikan di

sekolah dengan memanfaatkan semua sumber

daya yang ada termasuk manusia dan juga

sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan

pendidikan yang bermutu. Berdasarkan

pendapat diatas dapat diketahui bahwa program

manajerial Kepala Sekolah adalah kemampuan

Kepala Sekolah sebagai manajer yang

Page 220: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

220

menjalankan fungsi fungsi manajemen yaitu:

(a) kemampuan merencanakan dengan

indikator yaitu mampu menyusun dan

menerapkan strategi, dan mampu

mengefektifkan perencanaan, (b) kemampuan

mengorganisasikan dengan indikator mampu

melakukan departementalisasi, membagi

tanggung jawab dan mampu mengelola

personil, (c) kemampuan dalam pelaksanaan

dengan indikator yaitu mampu mengambil

keputusan, dan mampu menjalin komunikasi,

(d) kemampuan mengadakan pengawasan

dengan indikator mampu mengelola, dan

mampu mengendalikan operasional serta

mampu menjalankan peranannya sebagai

manajer agar tercapai tujuan organisasi yang

telah ditetapkan (Lazarus, 1986 : 43).

Kepala Sekolah sebagai seorang

pemimpin diharapkan mempunyai peranan

sebagai manajer dalam menjalankan

kewajibannya. Mintzberg (2006: 12),

mengemukakan ada tiga peranan utama yang

harus dimainkan oleh seorang manajer yaitu:

Pertama, peranan hubungan antar pribadi

(Interpersonal Role). Peranan ini bertalian

dengan status dan otoritas manjer dan hal-hal

yang berhubungan dengan pengembangan

hubungan antar pribadi dengan perincian

sebagai berikut: (1) Peranan sebagai

Figurehead, peranan yang sangat dasar dan

sederhana dilakukan untuk mewakili organisasi

yang dipimpinnya dalam setiap kesempatan dan

persoalan yang timbul secara formal, (2)

Peranan sebagai pimpinan (leader), yaitu

melakukan hubungan interpersonal dengan

yang dipimpin dan melakukan fungsi-fungsi

pokoknya, dan (3) Peranan sebagai pejabat

perantara (liaison manager), yaitu melakukan

interaksi dengan teman sejawat, staf, orang-

orang diluar organisasinya untuk mendapatkan

informasi.

Kedua, peranan yang berhubungan

dengan informasi (Informasional Role).

Manajer sebagai pusat informasi bagi

organisasinya, yaitu (1) sebagai monitor, yaitu

seorang manajer sebagai penerima dan

pengumpul informasi guna mengembangkan

pengertian yang baik dari organisasi yang

dipimpinnyadan pemahaman yang

komprehensif tentang lingkungan, (2) sebagai

dessiminator, yaitu menangani proses transmisi

dari informasi informasi ke dalam organisasi

yang dipimpinnya, yaitu penyampaian

informasi dari luar ke dalam organisasinya, dan

juga dari bawahan atau staf ke bawahan atau

staf yang lainnya, dan (3) sebagai jurubicara

(spokerman), yaitu manajer mewakili dan

bertindak atas nama organisasi menyampaikan

informasi keluar lingkungan organisasinya.

Ketiga, peranan pembuat keputusan

(Decissional Role). Merupakan peranan yang

tidak boleh tidak dijalankan karena seorang

manajer harus terlibat langsung dalam proses

pembuatan strategi organisasi. Peranan ini

dikelompokkan sebagai berikut: (1) Sebagai

entrepreneur, yaitu manajer bertindak sebagai

pemprakarsa dan perancang dalam organisasi

dengan memfokuskan pada pekerjaan

manajerial dengan mulai aktivitas melihat atau

memahami masalah- masalah dalam organisasi

yang mungkin dapat diselesaikan, (2) Sebagai

penghalau gangguan (disturbance handler),

yaitu manajer bertanggung jawab mengatasi

ancaman bahaya atau perbuatan yang tidak

diketahui sebelumnya yang menganggu atau

memungkinkan timbulnya krisis di dalam

organisasi, (3) Sebagai suatu pembagi sumber

(resource allocator), yaitu memutuskan

pendistribusian sumber dana ke bagian-bagian

organisasi guna mempermudah pelaksanaan

kerja, dan (4) Sebagai negosiator, yaitu aktif

berpartisipasi atau terlibat dalam negosiasi

dengan pihak-pihak lain baik diluar maupun

didalam organisasi.

Kepala Sekolah merupakan kunci bagi

terselenggaranya iklim organisasi sekolah yang

kondusif dengan dinamika perubahan yang

selalu dilakukan secara terus menerus.

Manajemen merupakan suatu komponen yang

tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan.

Page 221: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto

221

Disamping itu sebagai agen perubahan, maka

Kepala Sekolah tentu saja harus memahami dan

mengembangkan keterampilannya dalam

melaksanakan perubahan itu, apabila Kepala

Sekolah ingin sekolah yang dipimpinnya

menjadi lebih efektif Wahjosumidjo

(2001:170-171). Sesuai dengan penilaian

kinerja, Kepala Sekolah harus memiliki

kemampuan dalam melaksanakan semua

tugas–tugas kepemimpinannya yang

diwujudkan dalam kemampuannya menyusun

program sekolah, organisasi personalia,

memberdayakan tenaga kependidikan, dan

mendayagunakan sumber daya sekolah secara

optimal.

Menuurut Mulyasa (2003: 106)

kemampuan menyusun program sekolah

diwujudkan dalam : (1) pengembangan

program jangka panjang, baik program

akademis maupun nonakademis, yang

dituangkan dalam kurun waktu lebih dari lima

tahun, (2) pengembangan program jangka

menengah baik program akademis maupun

nonakademis, yang dituangkan dalam kurun

waktu tiga sampai lima tahun, dan (3)

pengembangan program jangka pendek baik

program akademis maupun nonakademis, yang

dituangkan dalam kurun waktu satu tahun

(program tahunan), termasuk pengembangan

rencana anggaran pendapatan belanja sekolah.

Kemampuan memberdayakan tenaga

kependidikan di sekolah diwujudkan dalam

pemberian arahan secara dinamis,

pengkoordinasian tenaga kependidikan dalam

pelaksanaan tugas, pemberian hadiah bagi

mereka yang berprestasi, dan pemberian

hukuman bagi mereka yang kurang disiplin

dalam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya dalam sebuah institusi atau lembaga

pendidikan tersebut

Sejauh ini telah terdapat sejumlah

penelitian di bidang program manajerial Kepala

Sekolah dengan hasil yang bervariasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Ekosiswoyo

(2007) dengan judul Kepemimpinan Kepala

Sekolah yang Efektif Kunci Pencapaian

Kualitas Pendidikan menunjukan bahwa

Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor

kunci dalam menentukan terciptanya

pendidikan yang berkualitas. Mengacu pada

fungsi dan perannya, Kepala Sekolah berperan

sebagai manajer dan pemimpin institusi

pendidikan sekolah. Manajemen dan

kepemimpinan yang efektif memerlukan

Kepala Sekolah yang mewujudkan pemodelan

dan kepemimpinan yang transformasional,

ditunjukkan oleh karakteristik seperti pengaruh

ideal, motivasi inspirasi, stimulasi intelektual

dan pertimbangan individual. Mereka harus

memberdayakan staf pengajar, bekerja

berdasarkan kerangka waktu yang jelas,

membangun hubungan interpersonal,

mengembangkan prinsip-prinsip yang adil dan

dapat dipertanggung jawabkan dan dapat

bekerja dalam tim.

Penelitian Suratman (2010) dengan

judul Kompetensi Manajerial Kepala Sekolah,

Ketersediaan Sarana Prasarana, Kapabilitas

Mengajar Guru, dan Dukungan Orang Tua,

Kaitannya dengan Prestasi Belajar Siswa SMP

Negeri Kota Surabaya menunjukkan bahwa

prestasi siswa dipengaruhi oleh banyak faktor,

seperti kompetensi manajerial Kepala Sekolah,

kompetensi mengajar guru, dukungan orang

tua, dan juga fasilitas sekolah. Ditemukan pula

bahwa ada hubungan langsung yang signifikan

antara kelima variabel penelitian tersebut.

Untuk memperbaiki prestasi siswa, peneliti

menyarankan agar: (1) Kepala Sekolah

mengoptimalkan perannya sebagai manajer (2)

guru meningkatkan kompetensinya (3) orang

tua meningkatkan partisipasi suportif mereka,

baik untuk kegiatan belajar mengajar anak-anak

mereka maupun ke sekolah sebagai

administrator proses belajar mengajar.

Sementara itu penelitian Taswir (2014)

dengan judul Manajerial Kepala Sekolah

Dalam Meningkatkan Kinerja Guru pada

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2

Sinabung Kabupaten Simeulue Banda Aceh,

Page 222: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

222

menunjukkan bahwa: (1) kemampuan

manajerial Kepala Sekolah dalam menyusun

program perencanaan dirumuskan oleh Kepala

Sekolah dimulai pada tahun ajaran baru dengan

kegiatan antara lain: melaksanakan supervisi,

penilaian kinerja guru, mengikutsertakan guru

untuk mengikuti pelatihan, pembagian tugas

tambahan bagi guru misalnya sebagai wakil

Kepala Sekolah, ketua jurusan, kepala

laboratorium, pembimbing, dan pengelola

perpustakaan; (2) strategi yang dilakukan

Kepala Sekolah dalam pelaksanaan kinerja

guru kemampuan profesional guru telah

dilakukan antara lain, membimbing guru dalam

menyusun perangkat pembelajaran,

menerapkan berbagai model terkait dengan

pembelajaran, memberikan motivasi,

mengikutsertakan guru-guru dalam berbagai

kegiatan pelatihan atau penataran, dan

memberikan kesempatan bagi guru untuk

melanjutkan studi, serta mengaktifkan kegiatan

forum MGMP dan KKG di sekolah; (3) dampak

yang ditimbulkan dari proses pembinaan yang

dilakukan Kepala Sekolah untuk meningkatkan

kinerja guru, akan tampak dari adanya

perubahan sikap guru-guru yang mengarah

kepada perubahan yang lebih baik, yaitu

kemampuan guru dalam merencanakan,

melaksanakan dan menilai proses

pembelajaran; (4) kendala yang dihadapi dalam

upaya peningkatan kemampuan profesional

guru antara lain, menyangkut masalah

keterbatasan biaya, keterbatasan waktu, dan

terbatasnya sumber daya manusia, serta

terbatasnya pelatihan atau penataran yang

diadakan sehubungan dengan peningkatan

kemampuan profesional guru.

Penelitian Jay (2014) dengan judul

“The Principals Leadership Style and Teachers

Performance in Secondary Schools of

Gambella Regional State, Ethiopia”

menunjukkan bahwa Kepala Sekolah memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap

pengambilan keputusan, termasuk komunikasi

dan pendelegasian untuk meningkatkan kinerja

guru. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang

bermutu tentu saja akan menghasilkan kinerja

yang baik bagi guru–guru dan akan sangat

berdampak pada prestasi peserta didik.

Penelitian juga dilakukan oleh

Zulkarnaen (2016) dengan judul “Kompetensi

Manajerial Kepala Sekolah Dalam

Meningkatkan Kinerja Guru Pada SMP Islam

Terpadu Kabupaten Aceh” dengan hasil bahwa

program Kepala Sekolah dalam meningkatkan

kinerja guru adalah dengan program pelatihan

guru, seminar pendidikan, workshop guru,

MGMP,KKG, memberi penghargaan guru

yang berprestasi dan juga menambah intensif

guru serta memberi kesempatan kepada guru

untuk menggunakan perangkat IT dalam

pembelajaran.

Dari beberapa penelitian terdahulu

terkait evaluasi program, terutama program

manajerial Kepala Sekolah, dimana hampir

semua penelitian terdahulu membahas

mengenai keberhasilan seorang Kepala Sekolah

dalam memimpin dan mengelola suatu program

di sekolah tersebut, hal ini menandakan bahwa

program manajerial Kepala Sekolah

mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja

baik Kepala Sekolah itu sendiri dan juga guru

dalam pelaksanaan pengelolaan program–

program yang ada di sekolah, pembelajaran

yang berkitan dengan kemampuan guru dalam

merencanakan, melaksanakan dan menilai

pembelajaran, baik yang berkaitan dengan

proses pembelajaran maupun hasil kerjanya.

Dalam hal ini peneliti tertarik ingin meneliti

mengenai program manajerial Kepala Sekolah

dalam meningkatkan kinerja mengajar guru di

SD Swasta di Kota Salatiga.

Persoalan mendasar terkait dengan

kompetensi manajerial Kepala Sekolah di SD

swasta yang hendak diteliti ini adalah: (1)

Kepala Sekolah masih belum terlalu memahami

Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 sehingga

belum mampu menjalankan tugas dan tanggung

jawabnya secara optimal, (2) keterlibatan guru

dalam penyusunan perencanaan program–

Page 223: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto

223

program sekolah yang merupakan refleksi dari

kompetensi manajerial masih belum maksimal,

dan (3) Kepala Sekolah masih belum bisa

menggerakkan iklim organisasi secara sehat,

misalnya dalam mengoptimalkan sumber daya

yang ada di sekolah. Dari hasil wawancara

dengan Kepala Sekolah, diketahui bahwa sejak

awal dijalankannnya program–program sekolah

mulai tahun 2005 sampai tahun 2018, sudah 13

tahun semenjak yang bersangkutan menjabat

sebagai Kepala Sekolah, belum pernah

dilakukan evaluasi program manajerial Kepala

Sekolah. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk

melakukan evaluasi terhadap program

manajerial Kepala Sekolah.

Arikunto dan Jabar (2014: 17)

menyatakan bahwa evaluasi program adalah

upaya untuk mengetahui efektivitas komponen

program dalam mendukung pencapaian tujuan

program. Sedang tujuan evaluasi program

menurut Wirawan (2011: 54) adalah untuk

menentukan apakah layanan atau intervensinya

telah mencapai tujuan yang ditetapkan dan

supaya dapat diketahui dengan pasti apakah

pencapaian hasil, kemajuan dan hambatan yang

dijumpai dalam pelaksanaan program dapat

dinilai dan dipelajari untuk perbaikan

pelaksanaan program dimasa yang akan

mendatang.

Penelitian ini menggunakan model

evaluasi CIPP yang dikembangkan oleh

Stufflebeam tahun 1966 (Wirawan, 2011: 92).

Komponen dalam model evaluasi CIPP dapat

dijelaskan sebagai berikut: (1) Evaluasi context

berupaya mengidentifikasi mengenai

kebutuhan lingkungan yang belum terpenuhi,

populasi sampel yang dilayani dan tujuan

program. (2) Evaluasi input berupaya

mengidentifikasi tentang kemampuan awal dari

komponen yang ada dalam menunjang

pelaksanaan program tersebut. (3) Evaluasi

process mengidentifikasi mengenai

pelaksanaan program yang meliputi program

apa yang akan dilaksanakan, dan siapa

penyelenggara program, dan waktu

pelaksanaan program. (4) Evaluasi product

berupaya untuk mengidentifikasi perubahan

yang terjadi akibat pelaksanaan program, serta

ketercapaian tujuan program.

Berdasarkan masalah diatas, tujuan

penelitian ini adalah untuk mengevaluasi

context, input, process, dan product program

manajerial Kepala Sekolah dalam

meningkatkan kinerja mengajar guru di SD

Swasta Salatiga.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian

kualitatif yang bersifat evaluatif dengan model

CIPP. Penelitian dilaksanakan di salah satu SD

Swasta di Kota Salatiga. Sumber informasi

meliputi Kepala Sekolah dan Guru. Sumber

data mengenai program manajerial Kepala

Sekolah juga berupa dokumen–dokumen,

Juknis, Surat Keputusan penyelenggaraan

kegiatan, jadwal penyelenggaraan kegiatan,

rencana program dan laporan penyelenggaraan

program. Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara, observasi, dan studi dokumen.

Tahapan yang dilakukan dalam analisis data

penelitian meliputi: (1) pengumpulan data, (2)

reduksi data, (3) display data, (4) verifikasi

data. Uji validitas data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik triangulasi sumber

dan triangulasi teknik.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Evaluasi Context Program Manajerial

Kepala Sekolah

Pada tahap context, peneliti

menganalisis kebutuhan program, tujuan,

manfaat, serta sasaran program manajerial

Kepala Sekolah di SD Swasta ini Berdasarkan

hasil wawancara dan telaah dokumen, latar

belakang dilaksanakannya program manajerial

Kepala Sekolah adalah sebagai bentuk dari

kerjasama antara Kepala Sekolah dan guru

Page 224: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

224

dalam menciptakan suasana yang aman dan

kondusif sehingga memungkinkan terciptanya

iklim belajar yang baik bagi siswa dan juga

guru. Program manajerial Kepala Sekolah di

SD Swasta ini belum pernah dilakukan

penelitian dan kinerja guru di sekolah tersebut

juga masih rendah. Tujuan program manajerial

Kepala Sekolah di SD Swasta ini adalah untuk

mengetahui secara rinci tindakan yang

seharusnya dilakukan terkait program–program

sekolah, memberikan arahan kepada Kepala

Sekolah untuk mewujudkan visi dan misi

sekolah, memberikan arahan dan target

mengenai apa saja yang perlu dikembangkan

dalam proses pembelajaran yang efektif,

meningkatkan dan melatih kemampuan seorang

Kepala Sekolah dalam menyusun program–

program sekolah serta memberikan arahan

terhadap warga sekolah untuk menyusun

perencanaan program sekolah. Manfaat yang

diharapkan dari program Manajerial Kepala

Sekolah adalah untuk memperluas

pengetahuan, memperdalam, memperkaya

konsep mengenai program manajerial Kepala

Sekolah, mengetahui apakah Kepala Sekolah

sudah berhasil dalam melaksanakan program,

dan mengelola guru–guru. Sasaran dari

program manajerial Kepala Sekolah yaitu:

Kepala Sekolah, tenaga pendidik dan

kependidikan, dan juga peserta didik.

Evaluasi Input Program Manajerial Kepala

Sekolah

Pada tahap input, peneliti mengevaluasi

mengenai rencana pelaksanaan program,

mekanisme pelaksanaan, Sumber Daya

Manusia (SDM), pembiayaan, dan sarana

prasarana terkait program manajerial Kepala

Sekolah di SD Swasta ini. Berdasarkan hasil

wawancara, observasi dan studi dokumen

didapati bahwa rencana program manajerial

tentang program pembelajaran dan kurikulum,

kepegawaian, kesiswaan, keuangan, dan juga

sarpras pendukung sudah didesain sedemikian

rupa dengan mempertimbangkan berbagai

aspek oleh Kepala Sekolah. Dalam dokumen

perencanaan program terdapat beberapa point,

yaitu: program kerja Kepala Sekolah, program

kerja tahunan Kepala Sekolah, program kerja

Kepala Sekolah (pengajaran), agenda harian

Kepala Sekolah, jadwal kegiatan sekolah,

jadwal mata pelajaran, KKM dan SKL, struktur

kurikulum, rekapitulasi keadaan pegawai,

administrasi sekolah dasar, dan lain–lain. Di

dalam rencana itu juga dirinci beberapa macam

kegiatan yang akan dilaksanakan, jadwal

pelaksanaan kegiatan, siapa saja yang

bertanggung jawab, sarpras yang dibutuhkan,

serta anggaran pembiayaan yang digunakan.

Mekanisme pelaksanaan program

manajerial Kepala Sekolah yang dilaksanakan

di SD Swasta ini berpedoman pada juknis yang

ada dan disesuaikan dengan kebutuhan sekolah.

Selanjutnya terkait dengan SDM yang

ada, dari segi kuantitas masih belum memenuhi

standar karena sekolah ini kekurangan tenaga

pendidik, jumlah peserta didik juga sangat

fluktuatif, sedang fasilitas pendukung proses

belajar mengajar juga masih kurang. Dana

bersumber dari yayasan, BOS dan bantuan

pihak ketiga yang dirasa belum mencukupi

kebutuhan sekolah.

Evaluasi Process Program Manajerial

Kepala Sekolah

Dari segi process program manajerial

Kepala Sekolah dilaksanakan berdasarkan

fungsi–fungsi manajemen yakni: perencanaan,

pengorganisasian, pengawasan, dan penilaian.

Hal ini dilakukan guna mengatur sumber daya

yang ada secara efektif dan efisien dalam

mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan.

Program–program yang dilaksanakan dalam

bentuk pembinaan pemanfaatan KKG, MGMP,

supervisi secara rutin, hal ini diharapkan untuk

mengetahui secara detail dari proses kegiatan

belajar mengajar oleh guru–guru dan juga

memberikan dukungan kepada guru–guru

untuk berkreasi sesuai dengan kompetensinya.

Sekolah juga memberi kesempatan kepada guru

untuk mengikuti seminar ataupun workshop

Page 225: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto

225

yang diharapkan bisa menambah wawasan

mereka.

Meskipun secara umum proses

manajerial Kepala Sekolah sudah berjalan

dengan baik, namun masih terdapat juga

beberapa permasalahan yang ada terutama pada

guru–guru, dimana didapatkan bahwa kinerja

guru masih kurang dan motivasi guru juga

masih kurang. Dalam implementasi kurikulum

(kurikulum yang digunakan adalah KTSP) hasil

penelitian menunjukkan bahwa (1) pada sisi

perencanaan guru yang idealnya memiliki

kompetensi untuk membuat desain

instruksional sesuai dengan faedah–faedah

pedagogik yang dituangkan dalam rencana

pelaksanaan pembelajaran (RPP), dalam

kenyataan terwujud sesuai dengan ketentuan

yang ada. dan (2) pada pelaksanaannya terkait

dengan manajemen kurikulum, dimana guru

yang seharusnya memiliki kompetensi

penguasaan materi pembelajaran sesuai dengan

bidang keahlian yang dimilikinya masing–

masing, namun pada kenyataannya pada saat

melakukan PBM masih ada guru yang mengajar

belum sesuai dengan materi atau tema yang ada,

hal ini dibuktikan dengan terbatasnya alat

peraga atau media pembelajaran sehingga guru

menjelaskan terkadang masih belum sesuai

dengan tema atau topik yang diajarkan sehingga

siswa terlihat masih belum memahami materi.

Guru sudah membuat RPP sesuai dengan tema

pembelajaran, namun pada saat mengajar

materi yang diajarkan masih belum sesuai

dengan RPP yang ada dan lebih banyak

mengambil bahan ajar di Lembar Kerja Siswa

(LKS).

Dari segi pendanaan sekolah ini juga

menerima dana Bantuan Operasional Sekolah

(BOS) dari pemerintah. Mekanisme penyaluran

dana dari pusat ke sekolah sudah jelas mulai

dari prosesnya sampai ke jumlahnya.

Penggunaan dana BOS juga sudah dilakukan

sesuai dengan prosedur dari pemerintah.

Namun dengan dana yang terbatas itu membuat

sekolah harus bijak dalam menyelenggrakan

berbagai program, dengan cara membuat skala

prioritas. Di samping itu penyelenggaraan

program-program sekolah juga didanai melalui

bantuan para donatur, alumni, orang tua siswa,

dan juga pihak yayasan. Tampak bahwa

pemerintah tidak sepenuhnya membiayai

program–program sekolah, karena memang

dana yang didapatkan dari pemerintah lebih

banyak dialokasikan pada pembangunan fisik

sesuai dengan kebutuhan sekolah tersebut serta

untuk peserta didik yang kurang mampu, di

mana beberapa anak dari keluarga yang kurang

mampu tidak dipungut biaya sama sekali oleh

pihak sekolah. Sementara itu dukungan dana

dari pemerintah daerah melalui alokasi

pendanaan dalam APBD masih belum ada.

Evaluasi Product Program Manajerial

Kepala Sekolah

Dari segi product program manjerial

Kepala Sekolah hasil evaluasi menunjukkan

bahwa semua program manajerial Kepala

Sekolah sudah dilaksanakan dengan baik,

walaupun terdapat juga faktor pendukung dan

penghambat, karena hasil akhir dari pekerjaan

tentu saja dipengaruhi oleh sumber daya dan

lingkungan yang berinteraksi secara bersama

untuk mencapai tujuan sekolah dalam mencapai

visi dan misinya. Jika hasil dari suatu kinerja

dapat tercapai atau melebihi dengan apa yang

diharapkan, baik secara kualitas maupun

kuantitas, maka hasil tersebut dapat dikatakan

memuaskan. Secara umum program–program

di sekolah SD Swasta ini sudah bisa dikatakan

sudah tercapai meskipun belum maksimal,

sehingga perlu adanya perbaikan dalam

pelaksanaannya.

Pembahasan

Dari segi context keberadaan program

manajerial Kepala Sekolah SD Swasta ini selain

merupakan pelaksanaan kebijakan dari

Pemerintah, juga memang dibutuhkan oleh

sekolah mengingat kinerja mengajar guru di

sekolah tersebut masih rendah. Tujuan program

manajerial Kepala Sekolah di SD Swasta ini

adalah untuk mengetahui secara rinci tindakan

Page 226: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

226

yang seharusnya dilakukan terkait program–

program sekolah, memberikan arahan kepada

Kepala Sekolah untuk mewujudkan visi dan

misi sekolah, memberikan arahan dan target

mengenai apa saja yang perlu dikembangkan

dalam proses pembelajaran yang efektif,

meningkatkan kemampuan Kepala Sekolah

dalam menyusun program–program sekolah,

serta memberikan arahan terhadap warga

sekolah untuk menyusun perencanaan program

program sekolah. Kesemua hal di atas

diharapkan akan berpengaruh terhadap kinerja

guru dalam mengelola proses belajar mengajar

di sekolah sehingga terjadi peningkatan mutu

pendidikan di sekolahyang bersangkutan.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan

temuan Safitri (2015) yang mengatakan bahwa

peranan Kepala Sekolah sebagai manajer dalam

mengelola sekolah merupakan faktor kunci

keberhasilan sekolah termasuk meningkatkan

kinerja guru. Temuan di atas juga sejalan

dengan hasil penelitian Ekosiswoyo (2007)

yang menunjukan bahwa Kepala Sekolah

merupakan salah satu faktor kunci dalam

menentukan terciptanya pendidikan yang

berkualitas.

Dari segi input program manajerial

Kepala Sekolah sudah terencana dan terkonsep

dengan baik, mekanisme pelaksanaan program

manajerial Kepala Sekolah juga sudah cukup

jelas sesuai dengan prosedur yang sudah

ditetapkan dalam juknis dan tentu saja

disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Namun

program itu sendiri masih belum memenuhi

standar pendidikan dan masih belum cukup

mendapat topangan yang memadai. Dari segi

sarpras apa yang tersedia di SD Swasta ini

masih belum memenuhi kriteria yang

ditentukan. Dari segi SDM juga masih belum

memenuhi standar, sementara kurikulum juga

masih perlu evaluasi lebih lanjut. Dari segi

anggaran juga masih belum mencukupi. Hasil

penelitian ini perlu dikonfirmasi dengan

temuan Ahmad & Ahmad (2013) yang

menyatakan bahwa keberhasilan pencapaian

suatu program dipengaruhi oleh ketersediaan

dana. Akan kita lihat dalan evaluasi produk di

bawah nanti apakah produk sekolah ini

terkendala oleh kurangnya dana, SDM dan

sarana prasaran sekolah.

Dari segi process bahwa program

manajerial Kepala Sekolah dilaksanakan

berdasarkan fungsi–fungsi manajemen yakni:

perencanaan, pengorganisasian, pengawasan,

dan penilaian. Program–program yang

dilaksanakan dalam bentuk pembinaan guru

melalui pemanfaatan KKG, MGMP, mengikut-

sertakan guru dalam seminar-seminar ataupun

workshop yang diharapkan bisa menambah

wawasan para guru. Supervisi akademik juga

dilaksanakan secara rutin guna mengetahui

secara detail dari proses KBM yang

dilaksanakan oleh guru-guru dan juga

memberikan dukungan kepada guru-guru untuk

berkreasi sesuai dengan kompetensinya.

Temuan di atas sejalan dengan hasil penelitian

Taswir (2014) yang menunjukkan bahwa

Kepala Sekolah juga mengikutsertakan guru-

guru dalam berbagai kegiatan pelatihan atau

penataran, dan memberikan kesempatan bagi

guru untuk melanjutkan studi, serta

mengaktifkan kegiatan forum MGMP dan

KKG di sekolah. Temuan diatas juga sejalan

dengan temuan Zulkarnaen (2016) bahwa

program Kepala Sekolah dalam meningkatkan

kinerja guru adalah dengan program pelatihan

guru, seminar pendidikan, workshop guru,

MGMP, KKG, memberi penghargaan guru

yang berprestasi dan juga menambah insentif

guru serta memberi kesempatan kepada guru

untuk menggunakan perangkat IT dalam

pembelajaran. Perlu dicatat bahwa di SD

Swasta ini belum ada pemberian penghargaan

guru yang berprestasi dan juga menambah

insentif guru serta memberi kesempatan kepada

guru untuk menggunakan perangkat IT dalam

pembelajaran.

Meskipun prosesnya sudah berjalan

dengan baik, namun masih terdapat juga

beberapa permasalahan terutama pada guru–

Page 227: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto

227

guru, dimana didapatkan bahwa kinerja guru

masih kurang dan selanjutnya ditemukan juga

kendala yaitu peran aktif pendidik memang

belum bisa berjalan dengan baik, dan motivasi

guru juga masih kurang. Temuan di atas

menggarisbawahi pandangan Majid (2006)

yang menyatakan bahwa pengembangan

pembelajaran perlu dikelola dengan baik agar

dapat mencapai hasil yang optimal. Hasil

penelitian di atas juga membuktikan pentingnya

peranan Kepala Sekolah dalam

penyelenggaraan pendidikan di sekolah

sebagaimana ditemukan dalam penelitian Jay

(2014) yang menunjukkan bahwa Kepala

Sekolah memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap pengambilan keputusan, termasuk

komunikasi dan pendelegasian untuk

meningkatkan kinerja guru. Kepemimpinan

Kepala Sekolah yang bermutu tentu saja akan

menghasilkan kinerja yang baik bagi guru–guru

dan akan sangat berdampak pada prestasi

peserta didik.

Dari sisi product program manajerial

Kepala Sekolah prestasi yang diraih oleh

siswa/i SD Swasta ini memang relatif cukup

banyak namun hampir semuanya di bidang non

akademik. Sedang di bidang non akademik

capaian sekolah ini belum optimal walau

memang terjadi perbaikan. Hasil rata–rata nilai

Ujian Nasional mulai dari tahun ajaran

2014/2015 sampai 2016/2017 semakin naik

walaupun tidak drastis, Kriteria Ketuntasan

Minimal (KKM) dan SKL juga sudah sesuai

dengan standar yang ditentukan, angka

mengulang kelas pada 2015/2016 hanya satu

orang dan mulai 2016/2017 sudah tidak ada

angka mengulang kelas, angka kelulusan 100%

setiap tahunnya, dan angka yang melanjutkan

ke SLTP mencapai 95% setiap tahunnya.

Meskipun terkendala dari sisi

pendanaan, SDM dan juga sarpras yang kurang

memadai, namun sekolah tetap masih bisa

melaksanakan program dengan dana serta

sarpras seadanya. Oleh karena itu dapat

dipahami jika pada akhir prestasi sekolah ini

belum cukup memadai.

Hasil penelitian ini menggaris bawahi

temuan penelitian terdahulu yang dilakukan

oleh Ahmad & Ahmad (2013) yang

menyatakan bahwa keberhasilan pencapaian

suatu program dipengaruhi oleh ketersediaan

dana. Hasil di atas juga membuktikan temuan

Suratman (2010) bahwa prestasi siswa

dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti

kompetensi manajerial Kepala Sekolah,

kompetensi mengajar guru, dukungan orang

tua, dan juga fasilitas sekolah. Hasil penelitian

di atas juga membenarkan temuan Hermawan

(2010: 1) bahwa faktor penghambat suatu

program yang dijalankan di sekolah lebih

banyak disebabkan oleh peserta didik, pendidik

dan tenaga kependidikan, dana, sarana

prasarana, serta patisipasi masyarakat.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil evaluasi diatas menunjukkan

bahwa, dari segi context, program manajerial

Kepala Sekolah di SD Swasta ini memang

sangat dibutuhkan oleh sekolah terutama

Kepala Sekolah dalam mengelola dirinya

sendiri, guru dan semua warga sekolah. Dari

segi input, sudah disusun program manajerial

Kepala Sekolah untuk memenuhi kebutuhan

stakeholder di SD Swasta ini namun belum

ditopang dengan sumber daya manusia (SDM),

pendanaan, dan sarana prasarana yang

memadai. Dari segi process program

manajerial Kepala Sekolah dilaksanakan

berdasarkan fungsi–fungsi manajemen yakni:

perencanaan, pengorganisasian, pengawasan,

dan penilaian. Meskipun terkendala dari sisi

pendanaan, SDM dan juga sarpras yang kurang

memadai, namun Kepala Sekolah tetap masih

bisa melaksanakan program manajerial dengan

dana serta sarpras seadanya. Dari segi product

SD Swasta ini lebih berprestasi dalam bidang

non akademik katimbang di bidang akademik

Page 228: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2018

228

walaupun dari tahun ketahun terjadi sedikit

peningkatan kualitas hasil belajar siswa.

Saran

Terdapat beberapa saran yang peneliti

sampaikan guna perbaikan penyelenggaraan

pendidikan di sekolah pada periode berikutnya,

sebagai berikut,

(1) Bagi guru, diharapkan agar meningkatkan

kinerja mengajarnya terutama dengan

mengikuti program seperti KKG dan

MGMP, serta memanfaatkan IT sebagai

media pembelajaran.

(2) Bagi Kepala Sekolah, hendaknya lebih

optimal dalam menjalin kerjasama yang

baik dengan pihak luar untuk mendapatkan

bantuan dana dalam mendukung

pelaksanaan program. SDM yang ada perlu

ditingkatkan, sarana dan prasarana perlu

ditinjau kembali agar bisa menunjang

kebutuhan sekolah, dan Kepala Sekolah

harus mengoptimalkan peranannya sebagai

manajer dalam melaksanakan program

manajerial Kepala Sekolah sehingga dapat

meningkatkan kompetensi dan kinerja

guru.

(3) Bagi Yayasan, diharapkan agar lebih

memberikan bantuan baik berupa materi,

dorongan, motivasi, dan juga evaluasi

kepada Kepala Sekolah dan guru serta

semua warga sekolah, agar dalam proses

pembelajaran semakin baik dan kinerja

guru pun meningkat.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang tulus diberikan

kepada Dr. Ade Iriani, MM yang menjadi

Pembimbing II dalam penulisan Tesis yang

substansinya kemudian tersaji dalam bentuk

artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A., & Ahmad, N. 2013. Role of

packaging in consumer buying

behavior. International Review of Basic

and Applied Sciences, 1(2), 35-41.

Arikunto, Suharsimi.dan Safruddin Abdul

Jabar, Cepi. 2014. Evaluasi Program

Pendidikan.Jakarta: PT Bumi Aksara.

Darmada. 2013. Kontribusi Kompetensi

Manajerial Kepala Sekolah, Iklim Kerja

Dan Motivasi kerja Terhadap Kinerja

Guru SMP Negeri Se-Kecamatan

Mendoyo Kabupaten Jembrana. e-

Journal Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha

Jurusan pendidikan Dasar (Volume 3

Tahun 2013).

Ekosiswoyo. 2007. Kepemimpinan Kepala

Sekolah yang Efektif Kunci Pencapaian

Kualitas Pendidikan. Jurnal Ilmu

Pendidikan ISSN 0215 – 9643 dan E-

ISSN : 2442 – 8655 Universitas Negeri

Malang.

Hermawan, Arif. 2010. Faktor – Faktor

Penghemat Dalam pembelajaran

pendidikan. Yokyakarta: FIK UNY

Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif

Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi

Antar Guru Maupun Peserta Didik.

Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Jay, Abwalla. 2014. The Principals Leadership

Style And Teachers Performance In

Secondary Schools Of Gambella

Regional State Ethiopia. Journal of

Education Jimma University Ethiopia,

Keputusan Menteri Pendidikan Nomor:

162/U/2003 tanggal 24 Oktober 2003

tentang Pedoman Penugasan Guru

sebagai Kepala Sekolah,

Lazarus. 1986. Perkembangan Peserta Didik.

Bandung: CV Pustaka Setia

Mintzberg, Henry. 2006. Tracking Strategies:

Toward A General Theory, Oxford

University Press Inc., New York

Majid, Abdul. 2006. Perencanaan

Pembelajaran. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Page 229: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Evaluasi Program Manajerial Kepala Sekolah | Egidius Virgo & Slameto

229

Mulyasa, Enco. 2003. Menjadi Kepala Sekolah

Profesional Dalam Konteks

Menyukseskan MBS dan KBK.

Bandung: Remaja Rosdakarya

----------- 2007. Standar Kompetensi Dan

Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia No. 13 Tahun 2007.

Tentang Standar Kepala

Sekolah/Madrasah. Jakarta: Depdiknas

Safitri, E., & Djailani, A. R. 2015. Kemampuan

Manajerial Kepala Sekolah dalam

Meningkatkan Kinerja Guru di MIN

Rukoh Banda Aceh. Jurnal

Administrasi Pendidikan: Program

Pascasarjana Unsyiah, Jakarta: Prestasi

Pustakaraya

Sagala, S. 2010. Supervisi Pembelajaran

Dalam Profesi Pendidikan. Bandung:

Alfabeta.

Siswanto. 2015. Pengantar Manajemen.

Jakarta: Bumi Aksara

Suratman, Anitah. 2010. Kompetensi

Manajerial Kepala Sekolah,

Ketersediaan Sarpras, Kapabilitas

Mengajar Guru, dan Dukungan Orang

Tua< kaitannya dengan Prestasi

Belajar Siswa SMP Negeri di Kota

Surabaya. Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran Vol 17, No 1 Tahun 2010

Taswir. 2014. Manajerial Kepala Sekolah

Dalam Meningkatkan Kinerja Guru

pada Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK) Negeri 2 Sinabang kabupaten

Simeulue. Jurnal Ilmiah Didaktika

Februari 2014.

Wahjosumidjo. 2001. Kepemimpinan Kepala

Sekolah. Jakarta: PT Radja Grafindo

Persada.

----------- 2005. Kepemimpinan Kepala

Sekolah. Jakarta: PT Radja Grafindo

Persada.

----------- 2013. Kepemimpinan Kepala

Sekolah, Tinjauan Teoritik dan

Permasalahannya. Jakarta: PT Radja

Grafindo Persada.

Wirawan. 2011. Evaluasi (Teori, Model,

Standar, Aplikasi, dan Profesi). Jakarta:

Rajagrafindo Persada.

Zulkarnaen. 2016. Kompetensi Manajerial

Kepala Sekolah dalam Meningkatkan

Kinerja Guru di SMP Islam Terpadu

Kabupaten Aceh. Jurnal Pendidikan

ETD Unsyiah Kuala.

Page 230: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5

Juli-Desember 2018

230

INDEKS SUBYEK

A

Academic ............................................................. 74

Academic Information System ......................... 15

Academic Supervision .................................... 107

Achievement ........................................................ 74

Adolescents ........................................................ 55

Aggressive Behavior ......................................... 55

Authentic Assessment ...................................... 139

Autism ............................................................ 196

C Certified Teacher ................................................ 24

Charlotte Danielson Model ................................. 24

CIPP ........................................................ 107, 217

Collaborative ..................................................... 37

Competence ........................................................ 37

Correlation ........................................................... 74

D Delta Model ........................................................... 1

Discrepancy Evaluation Model ....................... 205

E Education ............................................................ 66

Education Quality ............................................... 86

Educational Administration ................................ 86

Educational Leadership .................................... 124

Educational Management .................................. 196

Efficacy .............................................................. 74

F Feedback ............................................................. 47

Four D’s Model ................................................ 139

G Goalfree Evaluation Model ............................... 152

I Inclusion Education ......................................... 205

Indicators of Educational Leadership ............... 124

Interpersonal Communication ............................ 96

J Job Satisfaction ................................................ 190

Junior High School Mathematics Teacher ....... 177

L Learning ............................................................. 37

M Management of Education ................................. 86

O Optimization ..................................................... 190

Organizational Culture ...................................... 96

P Pedagogical Content Knowledge (PCK) .......... 177

Performance Evaluation ................................... 24

Primary School Regrouping Program ............... 152

Principal's Managerial Program ....................... 217

Private Junior High School Teachers ................. 96

Procrastination ................................................... 74

Program Evaluation .................. 107, 152, 205, 217

Punctual in Teaching ......................................... 47

Q Quality Of Education ......................................... 15

R R&D ................................................................ 139

S School Marketing Strategy .................................... 1

School Principal ................................................. 66

School Quality ................................................. 165

Science Teacher ............................................... 139

Special School For Autism ............................... 196

Strategic Plan ................................................... 165

Student Interest .................................................... 1

Supervision ........................................................ 37

SWOT Analysis ............................................... 165

T Teacher Optimism .............................................. 47

Teacher Performance ................................. 66, 190

Teachers Pedagogic Competence ................... 165

Thematic ............................................................. 37

Training Module ....................................... 139, 177

Types of Educational Leadership ................... 124

V Violence .............................................................. 55

W Watching Television Shows ................................ 55

Work Attitude ................................................... 96

Page 231: Strategi Pemasaran Sekolah Dalam Peningkatan Minat Peserta

Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

e-ISSN 2549-9661 Volume: 5

Juli-Desember 2018

231

INDEKS PENULIS

A

Abdul Salim ..................................................... 196

Ade Iriani ........................................... 24, 165, 177

Agustina Tyas Asri Hardini .............................. 47

B

Bambang Ismanto ................................................ 1

Bambang Suteng Sulasmono .......... 1, 24, 107, 205

Brigitta Putri Atika Tyagita .............................. 165

D

Daniel Kurniawan ........................................... 107

E

Egidius Virgo ................................................... 217

Elfridauli ........................................................... 96

Endang Indarini ................................................ 47

Eni Mariani ..................................................... 205

G

Gangsar Ali Daroni ......................................... 196

Gina Solihat ..................................................... 196

H

Hardianto ........................................................ 190

M

Maria Tri Erowati ........................................... 152

Mega Wulandari .............................................. 177

Muhammad Kristiawan ...................................... 86

N

Nasib Tua Lumban Gaol ................................... 66

Nova Asvio ........................................................ 86

P

Paningkat Siburian .............................................. 66

Paula Alfa Loppies .............................................. 74

R

Rais Hidayat ................................................... 124

Ririn Tius Eka Margareta ...................................... 1

Rukayah ............................................................. 37

S

Setyorini ............................................................. 55

Siti Mariah ........................................................ 15

Slameto ............................................. 47, 152, 217

T

Tego Prasetyo ..................................................... 47

Triani Amrih Lestari ........................................... 15

V

Vidriana Oktoviana Bano ................................. 139

W Wara Hapsari Oktriany ...................................... 24

Wasitohadi ..................................................... 152

Y

Yari Dwikurnaningsih ................................. 55, 107

Yosua Ivan Pradana ........................................... 55

Yuyun Elizabeth Patras ................................... 124

Z

Zummy Anselmus Dami ................................... 74