staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/suzana.immanuel/publication/pbpk... · klinisi di...
TRANSCRIPT
1
Patogenesis dan Diagnosis Laboratorik
Diabetes Mellitus Gestasional
Suzanna Immanuel
ABSTRAK
Diabetes Melitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai suatu kelainan metabolik
yang disebabkan intoleransi karbohidrat ringan maupun berat, diketahui pertama kali pada
saat kehamilan. Definisi ini juga mencakup pasien yang sebetulnya sudah mengidap DM,
tetapi baru diketahui saat terjadi kehamilan dan yang mengalami intoleransi glukosa tapi
belum memenuhi kriteria diagnosis DM. Diabetes Melitus Gestasional harus dibedakan
dengan DM pada kehamilan (diabetic pregnancy), yang diketahui sebelum kehamilan. Dasar
patogenesis DMG masih belum diketahui dengan pasti namun tampaknya berkaitan erat
dengan resistensi insulin. Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan insulin
untuk merangsang respon biologis berupa metabolisme nutrien di jaringan target. Pada
kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis terutama pada masa akhir kehamilan sehingga
tubuh melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan sekresi insulin. Namun
kompensasi ini kurang terjadi pada wanita dengan DMG sehingga terjadi keadaan
hiperglikemia. Peningkatan resistensi insulin pada akhir kehamilan diperkirakan
berhubungan dengan peningkatan sekresi hormon kehamilan seperti Human Placental
Lactogen (HPL), human Placental Growth Hormone (hPGH), progesteron dan estrogen.
Kriteria diagnosis dan metoda penapisan telah direkomendasikan oleh Perkeni, ADA dan
WHO. Hal tersebut sangat penting untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas bagi
ibu hamil dan janinnya. Klinisi di Indonesia mengikuti konsensus Perkeni yang
menggunakan glukosa darah sewaktu atau glukosa darah puasa untuk penapis dan
diagnosis, selain itu juga menggunakan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban
glukosa 75g. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk penapisan, diagnosis dan
pemantauan Diabetes Melitus Gestasional adalah TTGO, glukosa darah puasa, glukosa
darah 2 jam pp/sewaktu. Pemeriksaan HbA1c lebih ditujukan hanya digunakan untuk
pemantauan.
Kata Kunci : Diabetes Mellitus Gestasional, Resistensi Insulin, Test Toleransi Glukosa Oral
2
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok kelainan metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.1-4 Salah satu tipe DM adalah Diabetes Melitus Gestasional (DMG) yang
didefinisikan sebagai suatu kelainan metabolik yang disebabkan intoleransi karbohidrat
ringan maupun berat, yang diketahui pertama kali pada saat kehamilan. Definisi ini juga
mencakup pasien yang sebetulnya sudah mengidap DM, tetapi baru diketahui saat terjadi
kehamilan dan yang mengalami intoleransi glukosa tapi belum memenuhi kriteria diagnosis
DM. Diabetes Melitus Gestasional harus dibedakan dengan DM pada kehamilan (diabetic
pregnancy), yang diketahui sebelum kehamilan.1,2
DMG meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas ibu, janin dan perinatal serta
meningkatkan risiko terjadinya DM.2,3 Penyulit yang dapat terjadi pada ibu dengan DMG
meliputi preeklamsia, poli hidramnion, infeksi saluran kemih, persalinan seksio sesaria dan
trauma persalinan akibat bayi besar.2 Penyulit yang terjadi pada janin dan perinatal adalah
makrosomia, hambatan pertumbuhan janin, cacat bawaan, gangguan metabolik
karbohidrat/kalsium, magnesium ataupun billirubin, gangguan hematologis, gangguan
respirasi dan jantung.2
Metoda penapisan, kriteria diagnosis dan cara pemantauan DMG sangat penting
dalam upaya untuk mencegah dan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas; baik untuk
ibu dan bayi. Pada makalah ini akan dibahas mengenai DMG yang meliputi epidemiologi,
patogenesis, kriteria diagnosis, dan pemeriksaan laboratorium.
Epidemiologi
Menurut American Diabetes Association (ADA) diperkirakan 7% kehamilan
mempunyai komplikasi DMG, yang berarti 200.000 kasus per tahunnya.3,4 Prevalensi di
Amerika bervariasi mulai dari 1% sampai 14% dari seluruh kehamilan, bergantung pada
populasi yang diteliti dan jenis tes diagnostik yang dilakukan.4 Di Amerika insiden DMG telah
bertambah dua kali lipat 6-8 tahun terakhir dan meningkat secara paralel dengan epidemik
obesitas. Sebagian ibu penderita DMG juga akan menderita Diabetes Tipe 2 di kemudian
hari dan peningkatan risiko untuk obesitas serta intoleransi glukosa pada anak mereka.5 Hal
ini sesuai dengan penelitian oleh Adam yang dilakukan di Makassar.2 Hasil penelitian yang
sudah dipublikasi menunjukkan peningkatan linier insiden diabetes kumulatif setelah
kehamilan dalam 10 tahun terakhir.6
Pada penelitian di New York tahun 1990-2001 ditemukan bahwa prevalensi DMG
paling tinggi terjadi pada wanita Asia Tengah/Tenggara yaitu pada tahun 1990 sebesar
5,7% dan pada tahun 2001 menjadi 11% dari total 1,5 juta kelahiran.7
3
Data epidemiologi DMG di Indonesia masih minim, namun salah satu yang dapat
ditampilkan adalah penelitian di Makassar oleh Adam. Dari 2.074 wanita hamil yang
menjalani penapisan ditemukan prevalensi 3% pada mereka yang berisiko tinggi (lihat tabel
1) dan hanya 1,2 % pada mereka tanpa risiko.1, 2
Tabel 1 . Faktor Risiko Gestasional Diabetes Melitus (Perkeni)1, 2
Riwayat kebidanan beberapa kali mengalami keguguran
riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab
yang jelas/ bayi lahir cacat
pernah melahirkan anak besar > 4000g
pernah preeklamsia
polihidramnion
Riwayat Ibu berumur > 30 tahun
obesitas, IMT > 25 kg/m2
riwayat DM dalam keluarga (ibu atau ayah)
infeksi saluran kemih berulang selama hamil
pernah menderita DMG sebelumnya
glukosuria
Patogenesis
Dasar patogenesis DMG masih belum diketahui dengan pasti namun tampaknya
berkaitan erat dengan resistensi insulin. Resistensi insulin didefinisikan sebagai
ketidakmampuan insulin untuk merangsang respon biologis berupa metabolisme nutrien di
jaringan target.8 Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis terutama pada masa
akhir kehamilan sehingga tubuh melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan sekresi
insulin. Namun kompensasi ini kurang terjadi pada wanita dengan DMG sehingga terjadi
keadaan hiperglikemia.5
Mekanisme yang berkontribusi pada resistensi insulin pada kehamilan normal terjadi
pada subunit β reseptor insulin otot rangka, substrat 1 reseptor insulin (Insulin Receptor
Substrate-1/IRS-1) serta peningkatan subunit p85α dari fosfatidil 3 kinase. Perubahan dari
pensinyalan insulin mempengaruhi ambilan glukosa yang diperantarai insulin pada otot
rangka. Resistensi insulin menurun setelah melahirkan dan perubahan pensinyalan kembali
normal setelah 1 tahun melahirkan pada wanita dengan toleransi glukosa normal.
Penemuan ini menunjukkan bahwa resistensi insulin dicetuskan oleh faktor-faktor yang
4
dinduksi oleh kehamilan, misalnya Hormon Pertumbuhan Plasenta (Placental Growth
Hormone [PGH] ) dan ataupun faktor proinflamasi yaitu TNFα.6
Pada Fifth International Workshop Conference on Gestational Diabetes Mellitus
disebutkan bahwa penyebab dari disfungsi sel β pankreas yang menyebabkan insufisiensi
insulin masih belum jelas. Ada 3 kategori etiologi yang diidentifikasi yaitu disfungsi sel β
yang berkaitan dengan resistensi insulin kronik, disfungsi sel β autoimun, abnormalitas
genetik berat yang menyebabkan sekresi insulin yang terganggu.6
Resistensi insulin yang diinduksi kehamilan mencetuskan defek sel β yang
melatarbelakangi terjadinya DMG. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa defek yang
terjadi tampaknya kronik dan bukannya akut. Ini berarti sebagian wanita dengan DMG
sebenarnya sudah mengalami intoleransi glukosa sebelum hamil namun baru terdeteksi
sewaktu hamil. Keadaan ini dieksaserbasi oleh perubahan fisiologik yang mencetuskan
resistensi insulin pada masa kehamilan.6
Fosforilasi tirosin reseptor insulin berakibat pada transmisi sinyal insulin untuk
memungkinkan ambilan glukosa. Bukti memperlihatkan penurunan nyata dari fosforilasi
tirosin reseptor insulin pada otot rangka sebagai suatu mekanisme potensial yang
mengakibatkan resistensi insulin pada wanita dengan obesitas. Penelitian juga menemukan
adanya peran fosforilasi serin, yang peningkatannya mencetuskan inhibisi fosforilasi tirosin
IRS 1 dan menghambat pensinyalan insulin.6
Sebagian wanita dengan DMG tidak menunjukkan disfungsi sel β yang berkaitan
dengan resistensi insulin kronik, namun mengalami disfungsi sel β autoimun. Bukti
menunjukkan adanya antibodi terhadap sitoplasma dan antibodi terhadap GAD 65,
membran fosfatase tirosin dan insulin pada wanita dengan DMG. Autoantibodi biasa
digunakan untuk mengidentifikasi individu yang mempunyai faktor risiko tinggi terhadap
terjadinya diabetes autoimun, misal adanya keluarga kandung yang menderita DM tipe 1.
Wanita dengan karakteristik klinik yang dianggap mempunyai risiko rendah terhadap
terjadinya DMG (kurus, kaukasia), bila mengalami DMG mungkin disebabkan proses
autoimun.6
Hubungan hormon kehamilan dan adipokin dengan DMG
Peningkatan resistensi insulin pada akhir kehamilan diperkirakan berhubungan
dengan peningkatan sekresi hormon kehamilan seperti Human Placental Lactogen (HPL),
progesteron, dan estrogen.
Otot rangka dan jaringan lemak menjadi resisten insulin berat pada paruh akhir
kehamilan. Kehamilan normal di tandai dengan ambilan glukosa yang diperantarai oleh
insulin menurun 50% dan sekresi insulin yang meningkat 200-300% untuk menjaga status
5
euglikemia ibu. Hormon plasenta diyakini sebagai penyebab terjadinya resistensi insulin. Hal
ini bertujuan untuk meningkatkan asam lemak bebas, glukosa bagi pertumbuhan dan
perkembangan janin. Perubahan kadar hormon plasenta, obesitas atau faktor lain yang
berkaitan dengan kehamilan berkorelasi dengan perubahan pada resistensi insulin ibu5.
Laktogen plasenta manusia (human Placental Lactogen [hPL]) meningkat 30 kali
lipat selama kehamilan dan menginduksi pelepasan insulin dari pankreas selama kehamilan,
meski demikian penelitian Barbour dkk menunjukkan bahwa hPL menyebabkan resistensi
insulin perifer, meskipun hasil yang didapat bervariasi.5 menurut Beck dan Daughaday
kemungkinan penyebab hal tersebut adalah peningkatan lipolisis yang menyebabkan
peningkatan kadar asam lemak bebas intraselular atau peningkatan aktivitas human
Placental Growth Hormone.9
Hormon lain yang dikaitkan dengan resistensi insulin adalah human Placental
Growth Hormone (hPGH) yang berbeda dengan pituitary growth hormone pada 13 asam
amino. Human Placental Growth Hormone meningkat 6-8 kali lipat selama kehamilan dan
menggantikan pituitary growth hormone normal pada sirkulasi ibu pada minggu ke 20
kehamilan. Penelitian terakhir memperlihatkan efek penting dari hPGH adalah meningkatkan
ekspresi subunit p85α dari phosphatidilinositol (PI) 3-kinase pada otot rangka sehingga
menyebabkan kompetisi negatif dominan terhadap pembentukan heterodimer antara PI 3
kinase dengan subunit p110, hal mana menghambat aktivitas PI 3 kinase dan mencegah
berlanjutnya transduksi sinyal.5
Hormon progesteron yang sangat tinggi pada kehamilan menyebabkan peningkatan
sekresi insulin dan menurunkan kadar GLUT 4 pada sel otot. Estrogen sebenarnya
meningkatkan afinitas insulin namun efeknya tertutup oleh progesteron.10
Hormon kehamilan meningkatkan pembentukan jaringan lemak pada awal
kehamilan. Mekanisme selular dan molekuler yang menghubungkan antara hormon dalam
kehamilan dengan peningkatan lemak maternal pada wanita dengan obesitas yang
menyebabkan resistensi insulin otot masih dalam penelitian.5
Saltiel dan Kahn menyatakan bahwa meskipun jaringan lemak hanya memakai
glukosa dalam persentase yang lebih sedikit dari jaringan otot, namun regulasi yang
dilakukannya lebih bermakna.11 Jaringan lemak memproduksi adipokin yang mencakup
leptin, adiponektin, TNF (Tumour Necrosing Factor) α, interleukin 6, resistin dan lain-lain.
Tumour Necrosing Factor α adalah suatu sitokin yang diproduksi bukan hanya oleh monosit
tetapi juga oleh sel T, netrofil, fibroblas, adipositas dan plasenta. Tumour Necrosing Factor α
mengganggu sinyal insulin dengan meningkatkan fosforilasi serin dari substrat reseptor
insulin (IRS1) dan mengurangi aktivitas kinase tirosin reseptor insulin. Penelitian melaporkan
bahwa perubahan dari sensitivitas insulin mulai dari (minggu ke 22-24) sampai akhir
(minggu 34-36) kehamilan berkorelasi dengan kadar TNFα plasma.5,11
6
Barbour dkk menyebutkan bahwa sekresi adiponektin dan kadar mRNA adiponektin
dalam jaringan lemak putih menurun pada akhir kehamilan, biarpun pada wanita yang
ramping, menunjukkan bahwa faktor-faktor berkaitan dengan kehamilanlah yang
mengurangi kadar adiponektin. Kadar adiponektin yang beredar menunjukkan korelasi
dengan sensitivitas insulin, diperkirakan bekerja melalui reseptor adiponektin dalam otot
rangka dan hati. Adiponektin menstimulasi ambilan glukosa pada otot rangka dan
mengurangi glukosa hepatik melalui efeknya pada protein kinase yang diaktivasi Adenosin
Monophosphat (AMP) sehingga adiponektin dapat dianggap sebagai hormon endogen
tersensitisasi insulin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar adiponektin rendah
pada pasien DMG dan pasien dengan obesitas. Pada kehamilan trimester akhir kadar
adiponektin lebih rendah lagi dibandingkan dengan kontrol pasien hamil yang di match untuk
Indeks Massa Tubuh (IMT)nya. Penjelasannya adalah TNF α dan mediator pro inflamasi
menekan transkripsi adiponektin dalam adiposit.5
Mekanisme pengurangan transpor glukosa pada otot rangka wanita hamil
Hasil penelitian Barbour dkk menemukan bahwa terjadi penurunan transpor glukosa
yang distimulasi insulin sebesar 50% padahal tidak ada perubahan nyata pada jumlah
GLUT4 total pada otot rangka. Kemungkinan hal tersebut diakibatkan peningkatan aktivasi
kinase serin dalam memfosforilasi serin dari IRS sehingga menghambat fosforilasi tirosin
dari IRS, dan pada akhirnya menghambat translokasi GLUT 4 ke membran sel. Pada wanita
dengan DMG, peningkatan ini lebih tinggi dibanding dengan kontrol (hamil). Kinase serin
yang bertanggungjawab terhadap peningkatan fosforilase serin IR atau IRS 1 belum
diketahui pasti, kemungkinan JNK1, NF – κβ, protein kinase C θ, m TOR, dan p70 S6K1.
Dari semua kinase JNK1 dan NF – κβ diaktivasi oleh mediator pro inflamasi seperti TNFα
sementara protein kinase C θ, m TOR, dan p70 S6K1 meningkat pada keadaan resistensi
insulin dengan adanya kelebihan nutrien berupa asam amino dan glukosa.5
Selain itu juga ditemukan bahwa kadar protein IRS 1 berkurang 52% pada subyek
dengan DMG dibandingkan dengan subyek kontrol wanita hamil dengan obesitas namun
kembali ke normal setelah 6 minggu post partum.5
Peran peningkatan monomer P 85 PI 3 kinase dalam resistensi insulin
Insulin Receptor Substrate 1 merupakan tempat ikatan protein pensinyal insulin p
85α, yang merupakan tahap kritis untuk memulai aktivitas PI 3 kinase sebagai respon
terhadap insulin. PI 3 kinase terdiri dari subunit regulator 85 k Da (p85α) dan subunit katalitik
110 kDa. Supaya aktivasi PI 3 kinase dapat terjadi, kedua subunit p 85α regulator dan p 110
katalitik harus berikatan sebagai heterodimer pada IRS 1 yang terfosforilasi. Terikatnya PI 3
7
kinase dengan IRS 1 akan mendekatkan substrat fosfolipid pada membran sel,
mengakibatkan pembentukan fosfoinositol 3,4,5 fosfat yang penting untuk mencetuskan
pensinyalan kepada Akt dan protein kinase C atipik yang penting untuk transpor glukosa.5
Penelitian menunjukkan bahwa gangguan keseimbangan antara kadar kedua subunit
PI 3 kinase secara langsung mencetuskan resistensi insulin. Human Placental Growth
Hormone mencetuskan peningkatan jumlah p85α. Pada penelitian dengan subyek manusia,
kadar p85α pada otot rektus abdominus dan vastus lateralis serta jaringan lemak ditemukan
meninggi 1,5-2,0 kali lipat pada wanita hamil dengan obesitas. Kadar tersebut kembali
normal pada pasien DMG maupun hamil normal setelah 1 bulan melahirkan. Setelah
stimulasi insulin, kelebihan p85α berkompetisi dengan heterodimer p85α dan p 110 untuk
situs ikatan PI 3 kinase spesifik pada IRS 1. Ikatan monomer p 85α pada IRS-1 secara
efektif mencegah akses dari berikatannya hererodimer p85α dan p 110 kepada IRS-1 (efek
dominan-negatif) mengakibatkan penurunan nyata pada aktivasi PI 3 Kinase yang
berhubungan dengan IRS-1.5
Ringkasan dari mekanisme potensial untuk terjadinya resistensi insulin pada otot
rangka selama kehamilan pada DMG
Jalur stimulasi insulin untuk transpor glukosa pada otot melibatkan aktivasi protein
reseptor insulin, menempatkan IRS-1 dan IRS 2 dan fosforilase protein-protein tersebut
pada residu tirosin (pY). IRS-1 menangkap subunit regulator p85α dari PI kinase (p85-p110),
yang mengakibatkan phosphoinositol-3,4,5-phosphat (PIP3). Produksi PIP 3 dibutuhkan
untuk aktivasi Akt dan memberi sinyal untuk translokasi GLUT4. Gangguan fosforilasi tirosin
dari IR dan IRS1 terlihat pada wanita DMG dan dihubungkan dengan peningkatan fosforilasi
serin (pS) dan penurunan kadar protein IRS dibandingkan dengan subyek non diabetik
dengan obesitas. Peningkatan fosforilasi serin dari IR dan IRS1 dikaitkan dengan
peningkatan aktivasi dari JNK dan protein kinase C (PKC), enzim yang diaktivasi oleh sitokin
proinflamasi (seperti TNF α). Sebagai alternatif peningkatan fosforilasi serin dari IR dan
IRS1 mungkin disebabkan oleh peningkatan aktivasi jalur m TOR-p70S6 dan m TOR–
p70S6K1 dan AMPK yang bertindak sebagai nutrisi dan sensor energi dalam sel. Fosforilasi
basal p70S6K1 yang lebih tinggi juga terlihat pada DMG dibandingkan kontrol dan mungkin
menyebabkan peningkatan dalam fosforilasi basal serin IRS1 dan mengakibatkan degradasi
IRS 1. AMPK, target sinyal dari adiponektin, adalah regulator negatif mTOR. Pada DMG
kadar adiponektin rendah yang dapat berkontribusi pada peningkatan aktivasi jalur m TOR.
Pada DMG dan kehamilan normal, kadar p85α meningkat pada kehamilan tetapi kembali
normal setelah melahirkan. Kelebihan p85α bertindak sebagai molekul pembawa sinyal
dominan-negatif dengan menghambat terjadinya ikatan antara PI3 kinase (p85-p110)
8
dengan IRS1 sehingga menguatkan aktivasi PI 3 kinase. Berkurangnya aktivasi PI 3 kinase
karena peningkatan p85 α dan peningkatan fosforilasi serin IRS 1, keduanya mengakibatkan
terjadinya pengurangan translokasi dari GLUT 4 ke membran sel dan berakibat penurunan
uptake (ambilan) glukosa yang distimulasi insulin pada otot rangka. (lihat gambar 2)5
Gambar 2 Ringkasan dari mekanisme potensial untuk terjadinya resistensi insulin pada otot rangka selama kehamilan pada DMG. 5
Postpartum
Sebagian pasien dengan DMG berkembang menjadi diabetes tipe 2 pada 10 tahun
pertama setelah melahirkan terutama mereka yang masih mengalami gangguan toleransi
glukosa setelah melahirkan. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi insulin kronik
pada subyek dengan riwayat DMG masih harus diteliti. 5
Kriteria Diagnosis
Nilai batas kadar glukosa pada wanita DMG ditetapkan berdasarkan 5-10% nilai
teratas dari distribusi populasi. Hiperglikemia bervariasi mulai dari yang memenuhi diagnosis
DM, sampai yang ringan namun berhubungan dengan peningkatan risiko morbiditas janin.6
Penetapan kriteria diagnosis DMG baik metoda pemeriksaan dan nilai batasnya penting
untuk menentukan penatalaksanaan terbaik bagi pasien dan janinnya sehingga menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas. Terdapat berbagai metoda pemeriksaan penapisan dan
diagnosis, maupun kriterianya yang direkomendasi oleh berbagai organisasi.
Pemeriksaan penapisan bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT
(Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
9
intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.1
Penapisan DMG yang dilakukan pada umur kehamilan muda akan memberikan hasil
tes negatif yang terlalu tinggi. Sebaliknya penapisan yang dilakukan pada kehamilan yang
terlalu tua mengakibatkan keterlambatan pengobatan pada mereka dengan DMG.1
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) menyatakan bahwa penilaian
adanya risiko DMG perlu dilakukan sejak kunjungan pertama pemeriksaan kehamilan.1
Setelah itu dilakukan pemeriksaan penapisan berdasarkan faktor risiko tersebut (lihat tabel
1). Beberapa peneliti menganjurkan penapisan dimulai pada minggu gestasi ke 24-26.2,12
Perkeni merekomendasikan pada pasien dengan risiko DMG yang jelas segera
dilakukan pemeriksaan glukosa darah ( sesuai rekomendasi ADA dan WHO)(lhat tabel 2)1,2
dan diulang kembali pada minggu gestasi ke 26 bila hasil tes negatif.2,12 Bila didapat hasil
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, maka perlu
dilakukan pemeriksaan pada waktu yang lain untuk konfirmasi. Diagnosis berdasarkan hasil
pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral dengan beban 75 g glukosa dilakukan setelah
berpuasa 8-14 jam. Kemudian dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa, 1 jam dan 2
jam setelah beban. Diabetes Melitus Gestasional ditegakkan apabila memenuhi salah satu
dari tiga hasil pemeriksaan glukosa darah yang terdiri dari puasa ≥ 95 mg/dL, 1 jam setelah
beban ≥ 180 mg/dL dan 2 jam setelah beban ≥ 155 mg/dL. Apabila hanya dapat dilakukan 1
kali pemeriksaan glukosa darah maka lakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah
pembebanan, bila didapatkan hasil glukosa darah ≥ 155 mg/dL, sudah dapat didiagnosis
sebagai DMG. Pasien hamil dengan TGT (batas glukosa darah 140 sampai <200 mg/dL
dan GDPT (batas glukosa darah 110 sampai <126 mg/dL) dikelola sebagai DMG.1
American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa pasien dengan risiko
rendah tidak memerlukan pemeriksaan penapisan, namun terbatas pada mereka yang
memenuhi semua kriteria yaitu berumur <25 tahun, mempunyai berat normal sebelum
kehamilan, merupakan anggota dari grup etnik dengan prevalensi DMG yang rendah, tidak
ada riwayat diabetes pada saudara/orangtua kandung, tidak ada riwayat toleransi glukosa
abnormal, serta tidak ada riwayat kelainan kehamilan. Pasien dengan risiko sedang (di
antara risiko tinggi dan rendah) harus diperiksa pada minggu ke 24-28 kehamilan. Pasien
dengan risiko tinggi (memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut obesitas nyata /IMT
(Indeks Massa Tubuh) >25 kg/m2, riwayat GDM, glukosuria, atau riwayat keluarga menderita
diabetes) harus segera diperiksa.13 Hasil penelitian Naylor dkk pada 3.131 wanita hamil
menunjukkan bahwa tidak terdapat penurunan tingkat deteksi pada penapisan selektif
seperti rekomendasi ADA (lihat tabel 3).14
10
Tabel 2. Kriteria Diagnosis DMG1, 2,13,15 T
uju
an
Perkeni ADA WHO
parameter mg/dL parameter mg/dL parameter mg/dL
PE
NA
PIS
AN
GDP
atau
≥126 GDP
atau
≥126 GDP
atau
≥126
GDS ≥200 GDS ≥200 GDS ≥200
Bila hasil meragukan Bila hasil belum
memenuhi poin di atas Bila hasil meragukan
I. TTGO 50 g
(tahap 2 langkah) I. TTGO 50 g
(tahap 2 langkah)
GD 1 jam ≥140 GD 1 jam ≥140
DIA
GN
OS
IS
TTGO 75 g II. TTGO 75 g II. TTGO 75 g
GDP ≥95 GDP ≥95 GDP ≥126
GD 1 jam ≥180 GD 1 jam ≥180
GD 2 jam ≥155 GD 2 jam ≥155 GD 2 jam ≥200
GDP T:
110-<126 mg/dL,
TGT:
140-<200 mg/dL
diperlakukan sebagai
DMG
Atau II. TTGO 100 g GDP T:
110-<126 mg/dL,
TGT:
140-<200 mg/dL
diperlakukan sebagai
DMG
GDP ≥95
GD 1 jam ≥180
GD 2 jam ≥155
GD 3 jam ≥140
Tahap 1 langkah : TTGO 75 g atau 100 g
saja
Tahap 1 langkah : TTGO 75 g saja
Langkah pertama dalam pemeriksaan penapisan rekomendasi ADA mirip dengan
cara mendiagnosis diabetes tipe 1 atau 2, yaitu dengan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL
(7.0 mmol/L) atau glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) yang dikonfirmasi
pada hari berikutnya. Meski demikian, bila hasil pemeriksaan di atas menunjukan hasil
normal, rekomendasi ADA menyatakan bahwa pasien dengan risiko sedang atau tinggi
supaya menjalani tes tantangan glukosa (lihat tabel 2).13
11
Tabel 3 . Kategori berdasarkan besar risiko untuk Diebetes Melitus Gestasional14
Risiko tinggi Risiko sedang Risiko rendah
Obesitas jelas/IMT > 25 kg/m2
Riwayat keluarga (tingkat
pertama)
Glukosuria
Riwayat GDM/ intoleransi
glukosa
Pernah melahirkan bayi
dengan makrosomia
Antara risiko tinggi dan
rendah
berumur <25 tahun
berat normal sebelum
kehamilan
merupakan anggota dari grup
etnik dengan prevalensi DMG
yang rendah
tidak ada riwayat diabetes
pada saudara/ orangtua
kandung
tidak ada riwayat toleransi
glukosa abnormal
tidak ada riwayat kelainan
kehamilan
Grup etnik dengan risiko rendah adalah dari ras Hispanik, orang Amerika keturunan Afrika, Indian Amerika, Asia Selatan, Asia Timur, Kepulauan Pasifik, orang Australia asli.
American Diabetes Association merekomendasikan 2 cara untuk mendiagnosis DMG
yang terdiri dari tahap satu langkah dan tahap 2 langkah. Tahap satu langkah dilakukan
dengan beban glukosa 100 g atau 75 g. Langkah ini lebih efektif (biayanya) untuk pasien
atau populasi risiko tinggi (contoh populasi Indian Amerika). Tes Toleransi Glukosa Oral
100 g lebih sering digunakan, merupakan pemeriksaan standar yang didukung oleh banyak
data. Dua atau lebih kadar glukosa plasma vena sesuai tabel 4 harus dipenuhi untuk
menetapkan diagnosis positif.13
Tabel 4. Kriteria untuk interpretasi TTGO 100 g13
Kadar Glukosa Plasma (mg/dL)
Puasa ≥ 95
1 jam ≥180
2 jam ≥155
3 jam ≥140
Tes Toleransi Glukosa Oral 75 g dapat dilakukan tapi tidak tervalidasi sebaik beban
100 g. Pada beban 75 g kriteria diagnostik untuk nilai glukosa plasma sama dengan pada
beban 100 g kecuali bahwa tidak ada pemeriksaan pada jam ketiga. Dua atau lebih nilai
glukosa plasma vena harus sama atau melebihi nilai batas untuk bisa didiagnosis sebagai
DMG.13
12
Tahap 2 langkah rekomendasi ADA dilakukan sebagai berikut langkah pertama
adalah dengan beban 50 g glukosa (pasien tidak perlu puasa) diikuti dengan penetapan
glukosa plasma pada 1 jam berikutnya. Bila nilai ≥ 140 mg/dL (≥7,8 mmol/L) menunjukkan
perlu dilakukan langkah kedua. Langkah kedua adalah salah satu dari TTGO dengan beban
100 g atau 75 g (lihat tabel 4). Seseorang dinyatakan DMG menurut rekomendasi ADA bila
2 atau lebih kriteria terpenuhi pada pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 100
atau 75 g (untuk nilai batas lihat tabel 1).13
Langkah yang dilakukan World Health Organization (WHO) untuk pemeriksaan
penapisan dan diagnosis mirip dengan rekomendasi ADA (satu atau dua langkah), namun
WHO tidak menggunakan TTGO 100 g melainkan menggunakan TTGO 75 g. WHO
menyatakan bahwa satu dari 2 kriteria terpenuhi menggunakan pemeriksaan glukosa darah
puasa atau 2 jam pp. Subyek dengan GDPT dan TGT juga dikelola sebagai DMG (lihat tabel
2).15 Hasil penelitian The Brazilian Gestational Diabetes Study menunjukkan bahwa kriteria
WHO dan ADA keduanya memprediksi peningkatan risiko makrosomia, preeklamsia dan
kematian perinatal. Insiden GDM lebih tinggi yaitu 7,2% menggunakan kriteria WHO
dibandingkan dengan menggunakan kriteria ADA yaitu 2,4%, namun peningkatan tersebut
tidak berbeda bermakna dalam memprediksi risiko makrosomia ataupun mortalitas
perinatal.14
Batasan GDP ≥ 95 mg/dL yang direkomendasikan ADA pada TTGO dengan beban
100 g bersumber dari penelitian DMG yang tervalidasi baik oleh Carpenter-Coustan. Dahulu
berdasarkan penelitian O’Sullivan dan Mahan dipakai batasan GDP ≥105 mg/dL pada
TTGO dengan beban 100 g. Penelitian oleh Cheng dkk menunjukkan bahwa batasan GDP ≥
95 mg/dL lebih baik daripada batasan GDP ≥ 105 mg/dL karena wanita yang terdiagnosis
pada kriteria dengan batasan GDP ≥ 95 mg/dL ternyata tidak terdeteksi pada pemeriksaan
TTGO 100 g dengan batasan GDP ≥ 105 mg/dL dan terbukti mereka mengalami
peningkatan risiko bayi makrosomia, operasi sesar ataupun hiperbilirubinemia.16,17
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Menurut WHO, pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk Diabetes Melitus
Gestasional adalah TTGO, glukosa darah puasa, glukosa darah 2 jam pp/sewaktu untuk
penapisan, diagnosis dan pemantauan sedangkan pemeriksaan HbA1c lebih ditujukan untuk
pemantauan. Untuk tindak lanjut post partum, pemeriksaan subyek dengan GDM dilakukan
pemeriksaan TTGO,15 namun tampaknya di Indonesia lebih sering menggunakan
pemeriksaan glukosa darah puasa, glukosa darah 2 jam pp atau sewaktu.
13
Pemeriksaan glukosa darah
Hal yang menjadi kontroversi adalah sensitivitas yang lebih rendah dari pemeriksaan
Glukosa Plasma Puasa dibandingkan dengan TTGO untuk mendiagnosis DM (2 % kasus
tak terdeteksi dengan Glukosa Plasma Puasa). Ini didukung oleh data epidemiologik yang
menyatakan bahwa TTGO lebih baik dalam mengidentifikasi pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular, makrosomia dan risiko kematian. Penggunaan TTGO ini didukung oleh
penelitian Leewen dkk18 serta Organisasi Profesi Diabetes dari Australia dan Selandia
Baru13.
Penelitian oleh Leewen dkk membandingkan pemeriksaan glukosa sewaktu dengan
pemeriksaan tantangan glukosa 50 g sebagai pemeriksaan penapisan untuk DMG yang
dilakukan di Netherland pada wanita hamil pada minggu ke 24-28. Jika hasil salah satu
pemeriksaan penapisan melebihi ambang batas, dilakukan TTGO 75 g dalam waktu 1
minggu. TTGO juga dilakukan secara random pada sampel wanita yang hasil kedua macam
pemeriksaan penapisan memberikan hasil normal. Hasil penelitian menyatakan bahwa tes
tantangan glukosa dengan beban 50 g lima kali lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan
glukosa darah sewaktu (70,2%[IK95% 57,1-83,3]) vs 14,6%{4,6-24,6] dan lebih spesifik
(97,6%[96,6-98,5] vs 89,1% [87,4-90.9]. Nilai prediksi positif dan negatifnya sebanding.
Likelihood ratio negatifnya lebih kecil pada tes tantangan glukosa 50 g, sedangkan likelihood
ratio positifnya lebih besar. Area di bawah kurva ROC tes tantangan glukosa 50 g lebih
besar (0,88[0,83-0,93]) dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa sewaktu (0,69[0,61-
0,78]) Maka Leewen dkk merekomendasikan penggunaan tes tantangan glukosa 50 g
sebagai pemeriksaan penapisan dibandingkan penggunaan pemeriksaan glukosa darah
sewaktu.18 Penggunaan beban 100 g atau 75 g juga masih belum disepakati bersama.
Beban 75 g glukosa tampaknya lebih praktis, namun nilai batasnya masih diperdebatkan.13
Sesuatu yang harus diperhatikan adalah faktor pra analitik seperti makanan, kopi,
alkohol, obat-obatan, demam, puasa, kerja atau latihan jasmani, stres mental dan ketaatan
pasien. Makan sebanyak 700 kalori menyebabkan kenaikan kadar glukosa sebanyak 15 %.
Kopi mengandung kafein yang meningkatkan kadar glukosa darah karena glikogenolisis dan
glukoneogenesis. Merokok meningkatkan kadar glukosa darah melalui pengaruh
rangsangan nikotin terhadap medula adrenal yang meningkatkan kadar epinefrin plasma.
Alkohol menyebabkan penurunan kadar glukosa disebabkan hambatan glukoneogenesis
hepatik. Demam menyebabkan hiperglikemia dan merangsang sekresi insulin, peningkatan
sekresi growth hormon dan glukagon. Latihan jasmani berat menyebabkan hipoglikemia dan
toleransi glukosa meningkat. Stres mental meningkatkan sekresi adrenalin dan
meningkatkan kadar glukosa darah. Ketidaktaatan pasien makan karbohidrat setara dengan
75 gram glukosa terutama pada saat pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam pp
14
menyebabkan hasil pemeriksaan GD 2 jam pp lebih rendah daripada kadar glukosa puasa.
Untuk pemeriksaan glukosa darah puasa, penderita cukup bila puasa 8 jam.19 Young juga
menyebutkan bahwa TTGO yang dilakukan pada sore hari, nilai yang didapat akan lebih
tinggi daripada bila dilakukan pada pagi/siang hari. Pemisahan serum / plasma harus segera
dilakukan dalam waktu kurang dari 1 jam karena kadar glukosa darah akan menurun sekitar
7 mg/dL per jam pada suhu kamar; hal ini disebabkan glukosa dimetabolisme oleh
eritrosit.19,20 Kadar glukosa darah plasma lebih tinggi sekitar 11% dibandingkan kadar
glukosa dalam darah lengkap.15,19
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah metoda enzimatik menggunakan
enzim heksokinase atau glukosa oksidase atau glukosa dehidrogenase. Metoda enzimatik
ini lebih spesifik dibandingkan metoda terdahulu.8,19
Pemeriksaan dengan glukosameter tidak dianjurkan bila digunakan untuk tujuan
penapisan ataupun diagnosis, namun dapat digunakan untuk memantau efektivitas terapi
bagi pasien yang diterapi dengan insulin. Hal tersebut karena ketidaktelitian dan variasi
antara meter yang satu dengan yang lain.13
Target efektivitas terapi untuk DMG sesuai dengan the Fourth International Workshop
Conference on GDM adalah glukosa darah kapiler puasa < 96 mg/dL, glukosa darah 1 jam
pp < 140 mg/dL, atau glukosa darah 2 jam pp < 120 mg/dL. Target ini sedikit lebih rendah
pada the Fifth International Workshop Conference on GDM, namun target yang lama belum
direkomendasikan untuk direvisi.6
Wanita dengan DMG dianjurkan menjalani penapisan untuk diabetes, 6-12 minggu
postpartum dengan TTGO 75 g.12 Hal ini sesuai dengan rekomendasi ADA.4 Meski demikian
penelitian di Amerika menunjukkan bahwa hanya 42% wanita DMG yang menjalani
pemeriksaan glukosa darah post partum. Ini menunjukkan kesempatan yang hilang untuk
melaksanakan pencegahan dan deteksi dini terhadap DM tipe 2.21 Penelitian oleh Kshanti di
RSUPNCM juga menunjukkan kurangnya upaya ini (hanya memeriksa post partum 3 orang
dari 37 pasien yang didiagnosis DMG).17
Pemeriksaan glikohemoglobin A1c
Glikohemoglobin A1c adalah senyawa kombinasi hemoglobin A dan glukosa di mana
glukosa berikatan dengan valin pada ujung N dari rantai β pada hemoglobin.22 Usianya in
vivo mengikuti hemoglobin yaitu 90-120 hari sehingga pemeriksaan nilainya
menggambarkan kadar glukosa rata-rata dalam rentang waktu tersebut. Sekitar 50% nilai
HbA1c dipengaruhi kadar gula darah 30 hari terakhir, 40 %nya dipengaruhi 31-90 hari
sebelumnya, hanya 10 % dipengaruhi kadar gula pada rentang waktu 91-120 hari
sebelumnya.22
15
Pemeriksaan HbA1c tersebut kurang dapat dipercaya bila terdapat hemoglobinopati
atau hal yang dapat mengakibatkan hemolisis.15 Pada keadaan terseut dianurkan
pemeriksaan Hb A1c digantikan dengan pemeriksaan fruktosamin. Pada GDM pemeriksaan
HbA1c digunakan untuk tujuan pemantauan perjalanan penyakit, efektivitas terapi, dan
komplikasi serta diperiksa setiap 1-2 bulan. Juga terdapat berbagai nilai rujukan National
Glycohemoglobin Standardization Program/Diabetes Control and Complications Trial
(NGSP/DCCT) dan International Federations of Clinical Chemistry (IFCC). Nilai HbA1c
rujukan NGSP/DCCT adalah 4,8-5,9 %, sedangkan dari nilai IFCC adalah 2,9-4,2%.13,22
Nilai rujukan yang digunakan para klinisi saat ini adalah dari NGSP/DCCT.22
Terdapat bermacam metoda pemeriksaan untuk mengukur HbA1c yaitu metoda
kromatografi (High performance liquid chromatography dan low pressure liquid
chromatography), elektroforesis, affinity chromatography/binding dan metoda imunoinhibisi
turbidimetrik untuk whole blood yang dihemolisis.23
Menurut International Diabetes Federation (IDF) kadar Hb A1c < 6,5 % digunakan
sebagai patokan efektivitas terapi DM namun ADA merekomendasikan kadar HbA1c
<7.0%.8
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain yang diperiksa adalah yang berhubungan dengan etiologi yaitu
pemeriksaan penanda genetik (terbanyak HLA (Human Lecocyte Antigen) –D) serta
penanda autoimun; keduanya jarang diperiksa, selain itu pemeriksaan untuk deteksi
komplikasi, yaitu pemeriksaan benda keton dan mikroalbuminuria.
RINGKASAN
Diabetes Melitus Gestasional (DMG) adalah suatu kelainan metabolik yang
disebabkan intoleransi karbohidrat; termasuk Toleransi Glukosa Terganggu ataupun
Glukosa Puasa Terganggu, selain Diabetes Melitus yang diketahui pertama kali pada saat
kehamilan. DMG harus dibedakan dengan DM pada kehamilan (diabetic pregnancy), yang
diketahui sebelum kehamilan. Penelitian di Indonesia mengenai GDM masih minim, namun
penelitian di Amerika menunjukkan kenaikan prevalensi GDM sejalan dengan faktor risiko
lain yaitu obesitas.
Etiologi GDM masih belum diketahui dengan pasti, namun tampaknya berkaitan erat
dengan resistensi insulin. Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis terutama pada
masa akhir kehamilan sehingga tubuh melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan
sekresi insulin. Namun kompensasi ini kurang terjadi pada wanita dengan DMG sehingga
terjadi keadaan hiperglikemia. Peningkatan resistensi insulin pada akhir kehamilan
16
diperkirakan berhubungan dengan peningkatan sekresi hormon kehamilan seperti human
Placental Growth Hormone, human Placental Lactogen, progesteron, dan estrogen.
Mekanisme yang berkontribusi pada resistensi insulin pada kehamilan normal adalah
terjadinya disfungsi sel β pankreas, gangguan pada Insulin Receptor Substrate-1 / IRS-1
dan peningkatan subunit p85α dari fosfatidil 3 kinase. Penyebab terjadinya disfungsi sel β
pankreas yang berkaitan dengan resistensi insulin kronik yaitu disfungsi sel β autoimun atau
abnormalitas genetik berat yang menyebabkan sekresi insulin terganggu. Human Placental
Growth Hormone mencetuskan peningkatan jumlah p85α. Kelebihan p85α bertindak sebagai
molekul pembawa sinyal dominan–negatif dengan menghambat terjadinya ikatan antara PI3
kinase (p85-p110) dengan IRS-1 sehingga mengurangi aktivitas PI-3 kinase. Berkurangnya
aktivasi PI3 kinase karena peningkatan p85 α dan peningkatan fosforilasi serin IRS-1,
keduanya mengakibatkan terjadinya gangguan pada IRS-1 dan hambatan translokasi dari
GLUT 4 ke membran sel dan berakibat penurunan uptake (ambilan) glukosa yang
distimulasi insulin pada otot rangka.
Hormon progesteron yang sangat tinggi pada kehamilan menyebabkan peningkatan
sekresi insulin dan menurunkan kadar GLUT 4 pada sel otot. Estrogen sebenarnya
meningkatkan afinitas insulin namun efeknya tertutup oleh progesteron.
Pemeriksaan laboratorium merupakan komponen penting untuk penapisan,
diagnosis dan pemantauan DMG berdasarkan kriteria Perkeni, ADA dan WHO yang terdiri
dari TTGO, glukosa darah puasa, glukosa darah 2 jam pp / sewaktu. Pemeriksaan HbA1c
hanya digunakan untuk pemantauan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI; 2006. p. 1-46.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus diagnosis dan penatalaksanaan
diabetes melitus gestasional: PERKENI; 1997.
3. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes - 2008. Diabetes
Care. 2008;31:S12-54.
4. American Diabetes Association. Gestational diabetes mellitus. Diabetes Care.
2004;27(Supp.1):S88-91.
5. Barbour LA, McCurdy CE, Hernandez TL, Kirwan JP, Catalano PM, Friedman JE.
Cellular mechanisms for insulin resistance in normal pregnancy and gestational
diabetes. Diabetes Care. 2007(30):S112-9.
6. Metzger BE, Buchanan TA, Coustan DR, Leiva AD, Dunger DB, Hadden DR, et al.
Summary and recommendations of the fifth international workshop conference on
gestational diabetes mellitus. Diabetes Care. 2007;30(Supplement 2):S251-60.
17
7. Thorpe LE, Berger D, Ellis JA, Bettegowda VR, Brown G, Matte T, et al. Trends and
racial/ethnic disparities in gestational diabetes among pregnant women in New York City
in 1990-2001. American Journal of Public Health. 2005;95(9):1536-9.
8. Catalano PM, Kirwan JP, Mouzon SH, King J. Gestational diabetes and insulin
resistance: role in short and long term implications for mother and fetus. The Journal of
Nutrition. 2003;133:1674S-83S.
9. Beck P, Daughaday WH. Human placental lactogen : studies of its acute metabolic
effects and disposition in normal man. JClin Invest. 1967;46:103-10.
10. Priyatini T. Kadar insulin, gula darah, sensitivitas insulin, dan hubungannya dengan
hormon leptin pada wanita hamil di Poliklinik Kebidanan RSCM. Jakarta: Universitas
Indonesia; 2004.
11. Saltiel AR, Kahn CR. Insulin signalling and the regulation of glucose and lipid
metabolism. Nature; 2001. p. 799-806.
12. Sermer M. Does screening for gestational diabetes mellitus make a difference?
Canadian Medical Association Journal. 2003;168(4):429-31.
13. Sacks DB, Bruns DE, Goldstein DE, MacLaren NK, McDonald JM, Parrot M. Guidelines
and recommendation for laboratory analysis in the diagnosis and management of
diabetes mellitus. Clinical Chemistry. 2002;48(3):436-72.
14. Setji TL, Brown AJ, Feinglos MN. Gestational diabetes mellitus. Clinical Diabetes.
2005;23(1):17-24.
15. World Health Organization. Laboratory diagnosis and monitoring of diabetes mellitus.
Geneva; 2002.
16. Chang Yw, Block-Kurbisch I, Caughley AB. Carpenter-Coustan criteria compared with
the national diabetes data group thresholds for gestational diabetes mellitus. Obstet
Gynecol. 2009;114:326-32.
17. Kshanti IA. Diabetes melitus gestasional RSUPNCM. Jakarta: RSUPNCM; 2003. p. 1-11.
18. Leewen Mv, Zweers EJK, Opmeer BC, Ballegooie Ev, Brugge HGT, Valk HWD, et al.
Comparison of accuracy measures of two screening tests for gestational diabetes
mellitus. 2007.
19. Immanuel S. Patogenesis dan diagnosis laboratorik sindroma metabolik. In: Oesman F,
editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007. Jakarta: Departemen
Patologi Klinik FKUI; 2007. p. 1-24.
20. Young DS, Bermes EW. Preanalytical variables and biological variation. In: Burtis CA,
Ashwood ER, Bruns DE, editors. Tietz textbook of clinical chemistry and molecular
diagnostics. 4 ed. Missouri: Elsevier; 2006. p. 452.
18
21. Kim C, Tabael BP, Burke R, Ewen LN, Lash RW, Johnson SL, et al. Missed
opportunities for type 2 diabetes mellitus screening among women with a history of
gestational diabetes mellitus. American Journal of Public Health. 2006;96(9):1643-8.
22. Holzel W, Vogt B, B.Zawta. Useful facts about HbA1c : questions and answers. Jerman:
Roche; 2004.
23. Roche. Leaflet pemeriksaan HBA1C II dengan reagen Roche. 2002.