soedjatmokodan ornebaru (1968-1989) - institutional...
TRANSCRIPT
SOEDJATMOKO DAN ORnE BARU (1968-1989)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untukMemenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Saljana Humaniora
Oleh:
Olman Dahuri102022024382
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
urn SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1428 HI 2007 M
SOEDJATMOKO DAN ORDE BARD (1968-1989)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untukMemenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Sarjal1a Humaniora
Oleh:
Olman DahuriNIM 102022024382
Di Bawah Bimbingan
\d!:#:~NIP. 150240484
JURUSAN SEJARAH DAN PERADAlJAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1428 HI 2007 M
PENGESAHAN PANIT~UJ(AN
Skripsi yang beJjudul "SOEDJATMOKO DAN ORDE BARU (1968-
1989)", telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif HidayatuJlah Jakarta pada tanggal 23 April 2007. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah-satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S1) pada
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 23 April 2007
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota,
Drs. H. M. Ma'rufMisbah, MANIP. ISO 247 010
Penguji,
Drs. Imam Subchi, M. HumNIP. ISO 299 472
Sekretaris Merangkap Anggota,
(\~Use" Abdul Matin, S. Ag., MA, MANIP. ISO 288 304
Pembiml>ing,
Dra. Hj. )'ati Hartimah, MANIP. ISO 240 484
KATAPENGANTAR
Luapan rasa syukur penulis panjatkan keharibaan I1ahi Rabbi yang telah
memberikan beragam nikmat, kesempatan serta kekuatan sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring do'a semoga tercurah kepada penerang
semesta nabi agung Muhammad SAW yang telah membawa perubahan bagi
peradaban manusia, dari peradaban yang kelam dan sempit akan ilmu pengetahuan,
menjadi peradaban yang penuh dengan warna-warni ilmu pengetahuan seperti saat
1111.
Penulisan skripsi ini adalah syarat yang hams dipenuhi oleh penulis untuk
menyelesaikan program Smjana pada jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas
Adab dan Humanaiora, DIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan penuh khidmat
penulis berikhtiar semaksimal mungkin untuk menyusun sebuah skripsi yang terbaik.
Namun, keparipurnaan bukan lah hak manusia dan karyanya, dan begitulah pada
akhirnya skripsi ini dihasilkan, ia sarat dengan cacat dan kekurangan. Oleh
karenanya, ia sangat meminta hadirnya kritik, saran, maupun komentar dari berbagai
pihak untuk memperbaiki kekurangan dari karya ini.
Terselesaikannya skripsi ini tak bisa dilepaskan dari supportberbagai
pihak,oleh karena teramat mustahil bagi penulis mampu bekeIja seorang diri tanpa
bantuan pihak-pihak lain. Maka, sudah sepatutnya penulis memberikan penghargaan
tertinggi serta mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:
I. Dr. Abdul Chair MA, Selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah berupaya menunaikan perannya dengan baik
sebagai penghimpun utama semua aspirasi dan kebutuhan mahasiswanya,
termasuk penulis.
2. Drs. H. M. Ma'ruf Misbah, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam yang telah re/a menghabiskan waktunya untuk menghadapi segala keluhan
keluhan para mahasiswanya, tak terkecuali penulis, terkait dengan persoalan
akademik jurusan.
3. Bapak Drs. Usep Abdul Matin, MA, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban
Islam yang selalu berusaha memberikan kemudahan administratif kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ora. Hj. Tati Hartimah, M.A, sebagai pembimbingskripsisekaligus pula
merangkap sebagai Pudek I Fakultas Adab dan Humaniora yang dengan pcnuh
perhatian telah membimbing dan mendorong penulis untuk menyusun skripsi ini
semaksimal mungkin dan mengingatkan penulis supaya menghindarkan diri dari
godaan-godaan pragmatis yang dapat berakibat pada terkuranginya kesungguhan
dalam mengeIjakan karya ini.
5. Pimpinan dan seluruh staf pegawai Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional
Jakarta, Perpustakaan LP3ES Jakarta, yang telah memberikan pelayanan dan
kemudahan bagi penulis dalam memperoleh data-data yang penulis butuhkan.
6. Bapak dan Ibu ku (Adri dan Darus Mawati), yang telah membesarkan dan
mendidik penuIis dengan kedua kaki dan tangannya, peluh dan darah, pikiran dan
j iwanya, hanya sekadar tuk melihat tangis bahagia anaknya; Kak Yanti dan suarili
yang tanpa parnrih telah bergandeng tangan membantu bapak dan ibu dalarn
menyelesaikan pendidikanku; Kak Sisti dan suarni serta adikku (Emmy) yang
selalu memberikan spirit dan motivasi; ketiga ponakanku (Ghita, Nola, dan Dian)
yang lucu-lucu, terimakasih untuk semuanya. Bahagiaku sungguh tak terperikan
telah lahir dan dewasa dalarn cinta kalian.
7. Istri tercinta, yang dengan penuh kelembutan dan kasih sayang telah menjadi
pendarnping setia penulis dalarn menyelesaikan skripsi ini. Engkau adalah
anugerah yang teramat berharga, obat dalarn kegetiran, pemberi makna dalarn
keharnpaan, penegar jiwa dalarn menggapai cita-cita. Ku takkan pemah sanggup
beIjarak denganmu, wahai bidadariku.
8. Seluruh kawan-kawan SPI angkatan 2002, Inshums dan Basis, Dakocan dan
Simatupang groups, dan seluruh kawan-kawan lain yang tak sempat tertulis di
lembaran sempit ini, kebersarnaan kalian sungguh telah mencipta memori
terindah yang tak bisa terlupa. Utarna sekaJi untuk Adi, Test dan Bulux,
terimakasih karena telah memberi ruang yang bebas bagi penulis untuk berdikusi,
bertukar ide dan pengetahuan. Kalian bukan hanya teman dalarn rasa tapi juga
rekan sesarna pendaki gunung kearifan.
9. Muthahhari, Khomeini, Rumi dan Bergson, merupakan guru-guru besar yang
telah membimbingku bahwa dasar filsafat hidup ini bukanlah materi semata
melainkan juga cinta pada yang Satu sebagai nilai tertinggi; yang mengajarkan
kepada penulis untuk selalu mengejar puncak spritualnya tetapi tidak melupakan
tanggungjawab sosial di dunia. Mereka tak sekadar menjadi inspirator-inspirator
bagi munculnya ide-ide cemerlang, tapi juga merupakan penuntun-penuntun yang
baik dalarn mengarungi lautan kehidupan.
10. Soedjarnoko, Sartre dan Nietsche, yang telah menebar benderang kebebasan
dalarn laju pribadiku. Mereka adalah teman dalarn keheningan yang merigajarkan
pada penulis bahwa hidup yang bermakna adalah hidup dengan penuh
kemerdekaan dan kebebasan, bukan penghanlbaan.
II. Alunan simphoni kehidupan yang tersembur dari hati seorang Ebiet G. Ade, Iwan
Fals, Doel Sumbang dan Opick yang sanggup melancarkan edarandarah,
menormalkan detak jantung, mengurai urat yangbergelung kakudan
menggerakkan tubuh yang terkulai. Anda semua lIIerupakanpericipta nada-riada
indah yang dapat memacu gairah hidupku.
Pada akhirnya, hanya ucapan terima kasih inilah yang dapat
kupersembahkan, semoga arnal dan jasa baik kalian menjadi pahala dan kemuliaan di
sisi Allah SWT. Juga, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan
pihak yang membutuhkannya. Amin.
Ciputat, 13 April 2007
Penulis
DAFTAR lSI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR lSI V
BAB I PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perwnusan masaIah 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7
D. Metode Penelitian 8
E. Kerangka Konseptual 10
F. Survey Kepustakaan 16
G. Sistematika Penulisan................................................ 18
BAB II KONDISI SOSIAL POLITIK ORDE BARU (1966-1989)
A. Latar Belakang Lahirnya Orde Barn............................... 19
B. Menciptakan Orde Barn (1966-1975): Konsep dan Kebijakan
Pembangunan Nasional 24
C. Periode Keemasan Orde Barn (1975-1989): Beberapa
Keberhasilan dan Kekurangan dalam Pembangunan 35
BAB III BIOGRAFI SINGKAT SOEDJATMOKO .
A. Latar Belakang Keluarga 46
B. Pendidikan dan Tradisi Intelektual 48
C. Perjalanan Karir 58
BAB IV PERAN SOEDJATMOKO PADA MASA ORDE BARU..
A. Membangun Citra Orde Baru di Dunia Internasional 64
B. Mengembangkan dan Menyumbangkan Pemikiran tentang
Pembangunan bagi Pelaksanaan Pembangunan di
Indonesia... . . . . . . . . .. . . . . . .. . . . . .. . . . . . . . . . . . 73
C. Kritik Soedjatmoko terhadap Konsep dan Kebijakan
Pembangunan Orde Barn 88
BAB V PENUTUP .
Kesimpulan 96
DAFTAR PUSTAKA 99
BABt
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu prinsip mendasar yang hams diperhatikan ketika menganalisa
pemikiran seseorang adalah bahwa tidak ada pemikiran seseorang yang berkembang
dari suatu vakum (kekosongan) tanpa sama sekali mendapat pengarub dari rangkaian
pemikiran lain yang telah berkembang sebelumnya.
Prinsip lain yang tidak bisa diingkari keabsahannya adalah, tidak ada satu
gagasan atau pemikiran pun di muka bumi ini yang kemunculannya lepas sama sekali
dari fakta sosial yang melingkupinya dan yang menyebabkan lahirnya suatu ide.
Durkheim, seorang sosiolog kenamaan dari Perancis, mengatakan bahwa fakta atau
gejala sosial yang melahirkan pemikiran itu sebagai sesuatu yang riil, ia
mempengarubi kesadaran individu serta prilakunya yang berbeda dari karakteristik
psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. 1 Lebih lanjut Hegel,
menyebut fakta sosial itu sebagai jiwa zaman (zeitgeist) yang membentuk pribadi dan
pemikiran seseorang.2
Satu di antara berbagai persoalan penting yang menjadi kebutuhan yang
sangat mendasar bagi bangsa Indonesia dari setelah merdeka hingga sekarang adalah
I Doyle Paul Johnson, Teori Sosiotogi Klasik dan Modern, (Ierj), Jakarta: PT Gramedia, 1986,hal. 174
2 Kuntowijoyo, "Mencari Soedatmoko", dalam, M. Nursam, Pergumulan Seoranglntelektual, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Vlama, 2002, hal. xviii
2
persoalan "pembangunan", yaitu bagaimana membangun bangsa Indonesia yang
tercinta ini, dengan berbagai dimensi kehidupan yang terdapat di dalamnya, menuju
ke arah yang progressif dan terus maju serta keadaan yang terus membaik. Sebagai
sebuah kebutuhan, pembangunan merupakan kegiatan dengan prioritas yang tidak
sama pada setiap waktu dan zaman, ia dipengaruhi oleh dinamika dan situasi sosial
yang teIjadi di dalamnya.
Pada masa setelah kemerdekaan, khususnya masa Orde lama, para elite dan
pemimpin dalam pemerintahan memiliki suatu pola pemikiran sosio-politik yang
terlalu bersifat ideologis dan politis. Sementara itu persoalan-persoalan praktis, tetapi
secara langsung bisa mengatasi masalah-masalah kebutuhan dasar rakyat banyak,
tidak diprioritaskan. Dalam pengertian sederhana, para pemimpin Orde Lama
memiliki pola pemikiran yang menjadikan "politik sebagai panglima".
Konsekuensinya, semua aspek non-politis, seperti pembangunan ekonomi dan
industrialisasi, harus ditundukkan kepada politik dan ideologi.3 Pada masa ini,
pembangunan politik lebih diutamakan daripada pembangunan ekonomi.
Tahun 1968 merupakan sebuah masa transisi dari Soekarno ke Soeharto, dari
Orde Lama ke Orde Baru.4 Untuk menyongsong peralihan kekuasaan tersebut, Orde
Baru, pada masa awal dan hingga sekarang, menerapkan suatu format politik yang
memusatkan kekuasaan pada lembaga eksekutif. Hal ini dilakukan untuk mengatasi
) Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1992, hal.94
·1 M. Nursam, Pergumulan Seorang...., hal. 158
3
situasi krisis setelah pecahnya G 30S/PKI yang harnpir melurnpuhkan sistem
pemerintahan dan membawa Indonesia ke arnbang perpecahan dan konflik berdarah.
Di sarnping itu, Indonesia juga menghadapi krisis ekonomi dengan inflasi
yang mencapai lebih dari 600%. Hal ini terutarna disebabkan oleh kurangnya
perhatian pemerintah Orde Lama terhadap pembangunan ekonomi serta
keterlibatannya dalarn berbagai petualangan luar negeri, seperti konfrontasi dengan
Malaysia.
Untuk mengatasi situasi darurat tersebut para pemimpin Orde Baru
menciptakan suatu format politik yang memberikan penekanan pada stabilitas politik
dan pembangunan ekonomi. Stabilitas politik danpembanguan ekonomi dilihat
sebagai dua sisi dari mata uang yang sarna, karena tanpa stabilitas politik
pembangunan ekonomi tidak akan dapat dijalankan, sedangkan tanpa adanya
pembangunan ekonomi, stabilitas akan suiit dicapai.5
Rezim Orde Baru telah mengarnbil legitimasinya dari "developmentalisme",
yakni ideologi yang memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi yang diukur
sebagai perturnbuhan ekonomi dan stabilitas politik, bukannya kebebasan politik dan
hak azazi manusia. Penindasan terhadap aktivitas politik dipertahankan melalui
doktrin "masa mengarnbang" yang diperkenalkan pada 1971. Menurut prinsip ini,
aktivitas politik pada tingkat masyarakat dilarang. Penduduk harus menjadi "massa
mengambang" yang berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi dan tidak boleh
5 Dewi Fortuna Anwar, "Format Politik Orde Barn dan Agenda Pengembangan DemokrasiPolitik", dalam, Demilologisasi Polilik Indonesia, Jakarta: PT Pustaka CIDESINDO, 1998, hal. 3-4
4
ambil bagian dalam politik.6 Orde Bam menerapkan semboyan, "politik no,
pembangunan yes".7
Rezim Orde Bam, pada masa awal pemerintahannya, telah berusaha
melakukan restrukturisasi umum, terutama yang menyangkut bidang pembangunan
ekonomi dan sosial politik. Pergolakan-pergolakan ideologi politik Orde Lama yang
pada akhirnya seringkali menciptakan ketidakstabilan kehidupan nasional,
diusahakan benar oleh Orde Bam agar tidak terulang kembali.
Untuk itu, trilogi pembangunan yang dicanangkannya berkisar tentang
stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Langkah-Iangkah yang
diambil Orde Bam sehuboogan dengan kebijaksanaan umum yang terangkum dalam
trilogi pembangunan segera nampak. Mooculnya gagasan rencana pem.bangunan
nasional yang kemudian dikenal sebagai pem.bangunan lima taboo (PELlTA), yang
dimulai sejak 1969, merupakan langkah besar yang dimaksudkan ootuk
merealisasikan program pembangunan nasional secara bertahap.8
Kondisi sosial politik yang tercipta pada masa Orde Bam telah mempengaruhi
pemikiran ekonomi sosial-politik dari para tokoh yang hidup dan berkiprah dari masa
ini, terutama dari kalangan menengah. Salah seorang tokoh tersebut adalah
6 Anders Uhlin, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Ge/ombang Ketiga di Indonesia,(terj), Bandung: Mizan, 1998, hal. 58
7 Dewi Fortuna Anwar, "'Ponnat Politik Orde Barn dan Agenda pengembangan DemokrasiPolitik", dalam, Demilologisosi Politik.. .., hal. 3-4
8 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan ...., hal. 106
5
Soedjatmoko. Soedjatmoko adalah sosok intelelektual besar yang mempunyai
gagasan yang besar. Soedjatmoko, meminjam ungkapan Aswab Mahasin, merupakan
anak sejati dari perubahan.9 Ia lahir, tumbuh dan berkembang dalam perubahan dari
masa pra kemerdekaan ke masa pasca kemerdekaan, dari periode Orde Lama hingga
Orde Barn. Suatu perubahan, dengan semua kenyataan struktural dan dinamika yang
melingkupinya, diandaikan oIeh M. Nursam sebagai situasi (jiwa zaman) yang teIah
memberi pengaruh pada perspektif pemikiran yang dilahirkannya. 1O
Salah satu gagasan yang telah membawanya pada kebesaran itu adalah
pemikirannya tentang pembangunan, suatu konsep yang sangat berkembang dan
menjadi kebutuhan utama bangsa Indonesia pada masa Orde Barn. Pemikirannya
tentang pembangunan itu, meski sudah mendapatkan benihnya sejak sebelum Orde
Lama, namun lebih berkembang dan memuncak pada masa ORBA.
Hal inilah yang telah melatarbelakangi penulis untuk menulis sejarah
kehidupan intelektual Soedjatmoko pada masa Orde Barn. Penulis ingin mengkaji
bagaimana peranan Soedjatmoko pada masa ini, terutama sekali terkait dengan
kapasitasnya sebagai seorang intelektual besar yang mempunyai pemikiran brilian
dalam bidang pembangunan dan sebagai tokoh yang dengan gagasan dan idenya itu
teIah turut merespon program pembangunan yang dijalankan oleh Orde Barn.
9 Aswab Mahasin, "Soedjatmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih", dalam, Soedjatmoko,Dimensi Manllsia dalam Pembangllnan, Jakarta: PT Pusataka LP3ES, 1983, hal. ix
10 M. Nursam, Pergllmllian Soerang.. .., hal. 172
6
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
Pennasalahan pokok yang ingin dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah
kehidupan intelektual Soedjatrnoko berupa peranannya pada masa Orde Barn,
terutama dalam kapasitasnya sebagai seorang cendikiawan dan intelektual yang
mempunyai pemikiran yang spektakuler dalam bidang pernbangunan.
Untuk mengkaji pennasalahan tersebut, ada beberapa hal yangdapat
diidentitkasi, yaitu:
I. Pemikiran Soedjatrnoko pada masa Orde Barn dalam berbagai bidang seperti
politik, pendidikan, pembangunan, kebebasan, sejarah dan ekonomi.
2. Tokoh-tokoh yang telah mempengaruhi pemikiran Soedjatrnoko
3. Aktivitas Soedjatrnoko baik dalam bidang politik maupun jJemikiran(intelektual)
pada masa Orde Barn.
4. Kondisi sosial politik sebagai fakta sosial yang telah membentukpribadi dan
pemikiran Soedjatrnoko
5. Pandangan dan pemikiran Soedjatmoko mengenai kebijakan pernbangunan
pemerintah pada masa Orde Barn.
Agar penelitian dan penulisan ini tidak meluas, maka penulis akan rnembatasi
pennasalahan skripsi sebagai berikut:
I. Peranan Soedjatmoko pada masa rezim Orde Barn berupa aktivitas danpemikiran
yang telah disumbangkannya untuk pembangunan Orde Baru.
2. Pandangan dan kritik Soedjatmoko terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru.
7
Dari pembatasan tersebut, maka penulis merumuskan permasalaban dalam
penelitian ini dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
I. Apa dan bagaimana peranan Soedjatmoko pada masa rezim Orde Bam berupa
aktivitas dan pemikiran yang telab disumbangkannya untuk pembangunan Orde
Baru?
2. Bagaimana pandangan dan kritik soedjatmoko terhadap kebijakan pembangunan
Orde bam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini bertujuan untuk:
I. Mengetabui peranan Soedjatmoko pada masa Orde Baru berupa aktivitas dan
pemikiran yang telab disumbangkannya untuk pembangunan Orde Bam?
2. Mengetabui pandangan dan kritik Soedjatmoko terhadap pembangunan Orde
Bam?
Adapun manfaat dari penelitian ini adalab:
I. MengenaJ lebih jauh sosok Soedjatmoko sebagai seorang intelektual besar yang
dimiliki bangsa Indonesia tercinta.
2. Menambab wawasan intelektual khususnya wawasan kesejaraban, terutama yang
berkenaan dengan sejarah Indonesia pada masa Ordc Baru
3. Menyumbang hasil karya penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah pada umumnya
dan Fakutas Adab dan Humaniora pada khususnya, terutama padajurusan Sejarab
Peradaban Islam
8
4. Memberi kontribusi pengetahuan tentang sosok Soedjatmoko pada kampus secara
khusus dan masyarakat secara urnurn
D. Metode Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian sejarah yang
menurut Louis Gottschalk berturnpu kepada kegiatan pokok, yaitu: (I) pengumpulan
objek yang berasal dari zaman itu dan pengwripilianbahancbahan tercetak, tertulis
dan lisan yang boleh jadi relevan, (2) menyingkirkan bahancbahan (ataubagiaIl
bagian daripadanya) yang tidak autentik, (3) menyimpulkan kesaksian YaIlg dapat
dipercaya mengenai bahan-bahan yang autentik, (4) penyusunan kesaksian yang
dapat dipercaya itu menjadi sesuatu kisah atau penyajian yang berarti. ll
Mengacu kepada definisi Gottschalk tentangempat kegiatan dalam l11etode
sejarah tersebut, maka penelitian dalam penulisan skripsi ini akan dilakllkari dengan
tabap-tahap sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Pada tahap ini penulis mencari dan mengurnpulkan data atau pun sumber
sumber yang terkait dengan materi pembahasan penulisan ini, baik sumber primer
maupun sekunder. Sumber primer berupa buku-bllku yang berisikan klll11pulan
tulisan-tulisan yang ditulis oleh Soedjatmoko sendiri. Sedangkan sumber sekunder
berupa buku-buku maupun artikel yang ditulis orang lain tentang Soedjatmoko.
II Louis Golischalk, Mengerli Sejarah, Jakarta: Penerbil Universitas Indonesia, 2006, hal. 23-24
9
Sebagai pelengkap akan digunakan juga buku-buku, artikel maupun jurnal mengenai
sejarah Indonesia pasca kemerdekaan khususnya pada masa Orde Baru.
Proses pencarian dan pengumpulan data dilakukan dengan menggllilakan
metode library research (studi kepustakaan), yaitu kUl1jungan ke beberapa
perpustakaan seperti Perpustakaan Umum UIN Syarif HidayatIJllahJaklU1a,
Perpustakaan Adab dan Humaniora Jakarta, LP3ES,Perpustakaan Nasional, dan
Arsip Nasional. Baru setelah itu data-data dihimpun dan diseleksi guna dijadikan
rujukan utama dalam menulis tema yang diangkat
2. Pengolahan dan Klasifikasi Data
Setelah data diperoleh maka tahap selanjutnya adalah tnengklasifikaSikan
data-data berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam pel1elitian ini sete1ah
sebelumnya dilakukan pembacaan awal terhadap sumber tersebut. Data-data seperti
buku, jurnal maupun artikel yang telah didapatkan kemudian dimasukkan sebagai
data penunjang untuk tema yang dibahas.
3. Analisa Data dan Kritik Sumber
Setelah klasifikasi data dilakukan, tahap selanjutnya adalah melakukan kritik
sumber yakni melalui pembacaan secara kritis terhadap sumber untuk kel1lUdian
dilakukan interpretasi terhadapnya. Sedangkan analisa data dilakukan secara
deskriftif historis Metode deskriptif berguna untuk memberikan gambaran obyektif
dari materi yang dibahas. Deskripsi merupakan suatu proses untuk mengurigkapkan
fakta-fakta tentang apa, siapa, kapan, dimana dan siapa. Sedangkan metode al1alitis
10
berguna untuk mendapatkan implikasi pemikiran dan tindakan sang tokoh terhadap
peristiwa yang menjadi objek kajian. Suatu proses analisis tersebut akan
membutuhkan teori dan dan konsep-konsep ilmusosial sebagai alat ana.lisisnya. 12
4. Menyusun Data Menjadi Sebuah Tulisan
Setelah data-data yang tersedia diproses sedemikian rupa, Iuelalui tahap-tahap
di atas, maka tahap terakhir adalah menyusun data-data tersebut kedalam sebuah
kisah atau atau tulisan yang utuh.
E. Kerangka Konseptual
Secara keseluruhan, pembahasan dalam penulisan skripsi iniberporosjJada
satu tema penting yaitu pembangunan. Oleh karena itu,'pembangtlhan'akan l11enjadi
konsep utama yang akan dipergunakan sebagai kerangkajJem.ikiran dan teori >atatl
sebagai model dan pendekatan di dalam mengkaji permasaiaiJan dalam tulisan ini.
Umunmya orang beranggapan bahwa 'pelllbangtlnan' adalaiJ kata benda netral
yang maksudnya adalah suatu kata yang diguriakan tlhtuk menjelaskan proses dan
usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, ·infrastnJktru
masyarakat, dan sebagainya. Dengan pemahaman Seperli itu, 'pem.bangun<ln'
disejajarkan dengan kata perubahan sosial. Bagi penganut pandangan ini, konsep
'pembangunan' adalaiJ berdiri sendiri sehingga membutuhkan keterangan lain,seperti
pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme,ataupun
pembangunan model Indonesia. Dalam pengerlian seperti ini teoripel11bal1g\lnan
12 Sartono Kartodirjo, Pendekatan I/mu Sosial dalam Metodologi Se)afah,Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 5
11
berarti teori sosial ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menjadi pandangan
yang menguasai hampir setiap diskursus mengenai perubahan sosial.
Oi lain pihak, terdapat suatu pandangan lebih minoritas yang berangkat dari
asumsi bahwa kata 'pembangunan' itu sendiri adalah sebuah discourse, suatu
pendirian, suatu paham, bahkan merupakan suatu ideologi dan teori tertentu tentang
perubahan sosial. Oalam pandangan yang disebut terakhir ini konsep pembangunan
sendiri bukanJah kata yang bersifat netral, melainkan suatu aliran dan keyakinan
ideologis dan teoritis serta praktek mengenai perubahan soaial. Oengan demikian,
dalam pengertian yang kedua ini pembangunan tidak diartikan sebagai kata benda
belaka, tetapi sebagai suatu aliran dari suatu teori perubahan sosial. Bersanlaan
dengan teori pembangunan terdapat teori-teori perubahan sosial lainnya seperti
sosialisme, dependensia, atau teori lain. OIeh karena itulah banyak orang menanlakan
teori pembangunan sebagai pembangunanisme (developmentalisme). Oengan
demikian, pengertian seperti ini menolak teori-teori, seperti teori pembanl,'Ullan
berbasis rakyat, atau teori integrated rural development, atau bahkan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dan merupakan altematif dari
pembangunanisme, melainkan variasi-variasi lain dari ideologi pembangunanisme.
Istilah pembangunan atau development tersebut kini telah menyebar dan
digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir semua
negara, khususnya dunia ketiga, setelah diterjemahkannya ke dalam bahasa dengan
menggunakan kata yang sesuai dengan bahasa lokal di masing-masing negara. Oi
Amerika Latin misalnya, kata ini disamakan dengan kata dessarollo. Oi Filipina, kata
12
yang digunakan untuk melokalkan development adalah daJam tiga bahasa utama,
yakni pang-unlad untuk bahasa Tagalok, pag-uswag dalam bahasa Bongo, dan
progreso dalam bahasa lIocano. Di Indonesia, kata development diterjemahkan
dengan kata 'pembangunan,.13
Konsep pembangunan yang dimaksudkan dan akan dipakai dalam penuIisan
skripsi Inl adalah dalam konteks 'filsafat pembangullan'-nya SoeJjanto
Poespowardojo yang melihat pembangunan sebagai proses kebudayaan yang
mencakup segi-segi kehidupan yang menyeluruh di mana dalam pengertian ini,
analisis budaya harus diarahkan pada empat faktor dasar yang menjadi poros daJam
suatu proses pembangunan, yaitu:
1. Anthropos, yaitu manusia secara individual sebagai faktor sentraldaJam
pembangunan nasionaJ, karena ia bukan saja subjek pendukung melaillkan juga
pencipta dan tujuan pembangunan.
2. Oikos, menunjukkan universum kosmis, di mana manusia hidup menjaJallkan
proses kebudayaannya. Lingkungan bukaniah semata-mata merupakan sarana
bagi kelangsungan hidupnya, melaillkan merupakan lebenswelt, yaitu medan yang
memungkillkan manusia beJjuang untuk hidup melalui karya-karyanya, sehingga
tercipta adanya hubungan struktural antara manusia dan lingkungannya.
13 Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya reari Pembangunan dan Gtabalisasi, Yogyakarta: INSISTPRESS, 2003, 10-12
13
3. Tekne, adalah peralatan yang digunakan sebagai perpanjangan tangannya untuk
mengeJjakan dunianya. Oleh karena itu, kemajuan tekhnik sebagai cara keJja
yang diilmiahkan, merupakan pencerminan perkembangan kebudayaan manusia.
4. Ethnos, yang berarti komunitas, menunjukkan bahwa pembangunan sebagai unsur
kebudayaan merupakan hasil interaksi di antara pribadi-pribadi yang tergabung
dalam masyarakat. 14
Oleh Poespowardojo, pembangunan didefinisikan sebagai proses budaya
dalam usaha peningkatan dan pertumbuhan hidup masyarakat yang bersifat struktural
dan pertama-tama bergerak dalam bidang sosio-kultural, yaitu sebagai keseluruhan
proses transisi dari masyarakat yang statis ke sistem sosial yang dinlllJlis. Jadi, tujuan
perubahan tidak lain adalah menggerakkan serta membuat masyarakatmlllJlpu
menampung dinamika yang ada serta menyalurkan aspirasi-aspirasi pembangunan. ls
Menurut Poespowardojo, sebagai sebuah proses kebudayaan, pembangunan
tidak hanya berkenaan dengan proses ekonomi semata, melainkan selalu terkait dan
berhubungan dengan manusia. Peningkatan kemakmuran dapat diartikansebagai
tersedianya perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat; adanya mesin-mesin pabrik serta sarana komunikasi yang
membuat hidup mereka lebih baik dan produktif. Namun, dalam semua itu hanya
bersifat intermedier, ia hanya akan bemilai sepanjang merupakan fungsi bagi
14 Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Fi/osofis, Jakarta: PTGramedia, J989, 7-8
IS Ibid., hal. 53
14
manusla. Pembangunan selalu menunjuk pada manusla; Ia adalah subjek
pembangunan. Hal itu berarti bahwa di satu pihak manusia adalah pelaksana, dan di
pihak lain ia adalah (ujuan pembangunan. Suatu proses pembangunan tidak akan
berhasil kalau tidak memperhatikan manusia sebagai pelakunya. Oleh sebab itu,
pembangunan secara struktural berarti membangun manusia pembangunan.
Karena tujuan pembangunan adalah membentuk manusia pembangunan, maka
pembangunan sebagai usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat harus membuka
jalan bagi masing-masing warganya dan membantunya untuk dapat berkembang
sebagai manusia sesuai dengan bakat yang dimiliki dan berdasarkan keputusan yang
diambil secara bebas. Manusia tidak hanya harns berkembang menjadi seorang yang
terampil, menjadi seorang dokter, ekonom dan usahawan, melainkan menjadi
manusia dewasa. Kewajiban dalam rangka kemanusiaan, yaitu untuk menjadi seorang
pribadi yang dewasa dan patipuma tersebut., disebut kewajiban etis.
Menurut Poespowardojo, dilihat dati segi etis dan prinsip kemanusiaan, suatu
proses pembangunan harns memperhatikan dan menghidupkan tiga kesadaran moral
utama dalam masyarakat, yakni: (I) kesadaran akan keadilan, (2) tanggungjawab
sosial, dan (3) kesadaran akan kebebasan. Keadilan sosial tidak hanya diartikan
sebagai pengakuan hak-hak azazi dati masing-masing warga negara untuk
berkembang dan mempergunakan sarana yang diperlukan, tetapi juga diberi
kesempatan untuk membangun dan ikut menikmati hasil-hasil pembangunan.
kesadaran akan tanggung jawab adalah nilai yang mendasar dalam pembangunan
15
karena mencerminkan kepedulian dan keberanian dari peJaksana pembangunan untuk
bekeIja secara profesional dan penuh dcdikasi dalam pembangunan. 16
Ssedangkan kebebasan adalab ciri khas manusia sekaligus menjadi tujuannya.
Oleh sebab itu, kebebasan harus terintegrasikan dalam pembangunan. Dengan kata
Jain, pembangunan hams diarahkan sebagai kegiatan pembebasan seluruh masyarakat
dari kesuJitan dan menjadikan mereka sebagai anggota masyarakat yang mandiri,
bebas, percaya diri dan dapat mengaktualisaikan potensi masing-masing anggota
masyarakat.
Dalam terminoJogi Conyers, pembangunan yang bertitik tekan pada dimensi
sosial kemanusiaan itu disebut pembangunan sosial. Dalam konteks ini, Conyers,
sebagaimana dikutif Moeljarto Tjokrowinoto, menyebutkan ada 3 kategori definisi
pembangunan sosiaJ:
1. Pembangunan sosial sebagai pemberian pelayanan sosial, yang ll1encakl1p
program nutrisi, kesehatan, pendidikan, perumaban, dan sebagainya yang dalam
keseluruhannya memberikan kontribusinya kepada perbaikan standar hidup
masyarakat - indikator keberhasilan pembangunan sosiaJ dalam definisi ini antara
lain adalah angka harapan hidup, angka kematian bayi, morbiditi, angka
kemampuan membaca dan menulis, dan sebagainya.
2. Pembangunan sosiaJ sebagai upaya mewujudkan nilai-niJai kemanusiaan,seperti
keadilan sosial, keamanan dan ketentraman hidup, community dan self-reliance,
harga diri, kebebasan dari dominasi, hidup sederhana, dan sebagainya.
16 Ibid., hal. 57-58
16
3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka. 17
Titik perhatian studi ini adalah apa yang disebut Conyers sebagai
pembangunan sosial terutama dalam kategori kedua dan ketiga. Perhatian saya akan
memusat pada seberapa jauh pemerintah Orde Barn mampu mengimplemelasikan
nilai-nilai sosial dan kemanusiaan dalam definisi pembangunan Conyersdi atas
dalam praktek pembangunannya. Sedangkan tema dalam studi ini, atau dalam level
yang lebih spesifik, yaitu bagaimana Peranan Soedjatmoko pada Masa Orde Barn
akan dibahas dengan menjawab bagaimanakah kedudukan alau peranan, reaksi,
penilaian serta pemikirannya terhadap proses atau kegiatan pembangunan yang
diterapkan Orde Barn tersebut..
F. Survey Kepustakaan
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, penulis belum menemukan begitu
banyak buku yang mengupas secara khusus dan komprehensif tentang sosok dan
pemikiran Soedjatmoko. Setidaknya, ada dua buku yang telah penulis temukan yang
ditulis oleh pengarang lain yang membahas tentang sosok dan pemikiran
Soedjatmoko. Yang pertama adalah buku yang berjudul "Pemikiran Soedjatmoko
Tentang Kebebasan,,18. Buku ini berupaya mengurai pemikiran Soedjatmokotentang
otonomi dan kcbebasan manusia, suatu tema sentral yang menjadi mainstream dalam
17 Prof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangrman Dilema dan Tantangan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996, h. 95-96
" Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan, Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 1994
17
setiap pemikiran Soedjatmoko. Dalam buku ini, penulisnya mendeskripsikan
beberapa tema yang menjadi bidang pemikiran Soeqjatmoko untuk kemudian ditarik
ke dalam apa yang menjadi basic dari setiap gagasannya yaitu otonomi dan
kebebasan. Sebagaimana yang dinyatakan pengantar dalam buku ini, meskipul1 belurn
merupakan kata akbir, buku ini bermanfaat untuk memudahkan mencari informasi
tentang pemikiran Soedjatmoko sehingga dapat dijadikan acuan penulis lain yang
ingin mengkaji Soedjatmoko lebih lanjut.
Selanjutnya adalah buku beIjudul "Pergumulan Seorang Intelektual, Biograji
Soedjatmoko",19 merupakan panduan utama penulis terutama sekali untuk penulisan
mengenai biografi Soedjatmoko. Buku ini menggarribafkan secara IeIlgkap dan utuh
biografi Soedjatmoko, berupa peIjalanan hidup SoedjarIloko semenjak dilahirkan
sampai meninggal dunia. Buku ini menguraikan secara lengkapbagaimana
pergumulan intelektual Soedjatmoko sejak ia menerima pendidikan dari keluarga dan
sekolah; menggambarkan aktivitas intelektual Soedjatmoko dari rIlasa sebelum
kemerdekaan hingga revolusi; dari masa Orde Lama hingga Orde BarIl SarIlpai akbir
hayatnya. Gapaian akhir yang dinginkan oleh penulis buku ini adalah untuk
mendapatkan gambaran utuh mengenaJ sosok, pemikiran, dan kepribadian
Soedjatmoko yang terbentuk dari jiwa zaman dan fakta sosial yang melingkupinya
serta peIjuangan dan sumbangsih yang telah diberikan Soedjatmoko bagibangsa
Indonesia dan dunia yang ditempatinya.
19 M. Nursam, Pergumulan Seorang Inleleklual,Biograji Soedjalmoko, Jakarta: PT OramediaPustaka Vlama, 2002
18
G. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri dari lima bab, sebagai berikut:
Bab I. Adalah Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, survey kepustakaan, dan sistematika penulisan
Bab II. Akan menjelaskan kondisi sosial politik Orde Barn dalam konteks konsep dan
kebijakan pembangunan Orde Barn serta dampaknya dalam kehidupan masyarakat.
Pembahasan dalam bab ini dibagi dalam tiga sub bab yakni: latar belakang lahimya
Orde Barn, menciptakan Orde Barn (1968-1975): Konsep dan Kebijakan
Pembangunan Nasional, dan periode keemasan Orde Barn (1975-1989): keberhasilan
dan kekurangan dalam pembangunari.
Bab III. Akan menggambarkan biografi singht Soedjatmoko yang terdiri dari latar
belakang keluarga, pendidikan dan tradisi intelektual, dan peIjalanan karir
Soedjatmoko
Bab IV. Akan menjelaskan peranan Soedjatmoko, bernpa aktivitas dan pemikirannya
yang telah diberikannya untuk pembangunan Orde barn yang terdiri dari:
mempeIjuangkan citra Orde Barn di mata intemasional, mengembangkan dan
menyumbangkan pemikiran tentang pembangunan bagi pelaksanaan pembangunandi
Indonesia, serta kritik Soedjatmoko terhadap konsep dan kebijakan pembangunan
pemerintah Orde Barn.
Bab V. Mernpakan bab Penutup yang akan menyimpulkan pembahasan yang telah
diterangkan di atas.
BABII
KONDISI SOSIAL POLITIK ORDE BARU
A. Latar Belakang Lahirnya Rezim Orde Barn
Jatuhnya pemerintahan demokrasi-liberal pada tanggal 14 Matet 1957,1
telah membuka jalan bagi Soekamo, presiden pertama RI, untuk mengaJIlbil langkah-
langkah menuju suatu bentuk pemerintahan barn yang disebut oleh Soekamo sebagai
"Demokrasi terpimpin". Soekamo membayangkan suatu rezim korporatis yimg
didasarkan pada asas-asas tradisional gOlong-royong dan musyawarahuntuk
mencapai mufakal, sebagai strategi yang paling eoeok bagimasyaralmt-p()litik
Indonesia dan paling efektif uutuk memobilisasi dukungan rakyat.
Atas dasar gagasan ini, Soekarno mengusulkanpernbentukan kahinet
gOlong royong yang meliputi semua partai politik dan suatu "dewan nasional,,2 yang;
terdiri dari wakil-wakil kelompok fungsional, daerah dan anggota ex-officio seperti
para kepala staf ABRI, kepala kepolisian, Jaksa Agung dan menteri-menteri tertentu.
Badan ini diketuai oleh presiden.3
Usai membangun rezim yang diimpikannnya, pada tanggal 5 Juli1959,
Soekarno mengeluarkan dekrit yang dalam sejarah Indonesia dikenal del1gan Dekrit
1 Mohtar Mas'oed, Ekonomi don SlnJktur Polilik Orde Barll 1966-1971, Jakarta: L!'3ES1989, hal., 33
2 Lihat pidato Soekamo pada siaran RRI Jakarta, Pukul 20.05, 21 Februari J957. Telahdibukukan dalam, Wawan Tunggul Alam (peny.) Bung Kamo. Demokrasi Terpimpin Miliki RakyalIndonesia (Kumpulan Pidalo),jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal 38-48
3 Ibid, hal. 34
20
Presiden 5 Juli 1959. Dengan dekrit itu, pemerintahan Demokrasi Terpimpin, sejak
awa1 sebenamya telah menunjukkan sifat politik yang otoritarian dan monolitik.
Pemberlakuan kembali UUD 1945 yang menjadi salah satu poin dari dekrit tersebut,
telah menciptakan perubahan dari pemerintahan yang terpusat pada parlemen yang
terdapat pada sistem demokrasi liberal (Demokrasi Parlementer), menjadi terpusat
kepada presiden. Akibatnya, sementara kekuasaan politik parlemen dan partai politik
dikebiri, kekuasaan Presiden semakin meningkat.
Selain presiden Soekamo, yang juga menikmati tambahan kekuasaan akibat
perubahan politik yang disebabkan dikeluarkannya dekrit presiden itu adalah
Angkatan Darat, yang akhimya menemukan suatu rumusan legitimasi bagi
keterlibatannya dalam urusan politik dan ekonomi negara dalam bentuk perwakilan
fungsional.4
Demokrasi Terpimpin, sejak awal hingga akhir pemerintahannya, ditandai
oleh suatu aliansi kompetitif antara Soekamo dan Pimpinan Angkatan Darat - dalam
hal ini Nasution sebagai musuh bebuyutan Soekamo, dan hubungan kekuasaan antar
dua aktor politik itu lah yang menentukan nasib partai-partai. Karena itu Seokamo,
kendati politik kepartaian dalam tahun 1950-an mengecewakannya, ia tidak dapat
membiarkan partai-partai itu mati sementara ia mengahadapi berbagai tantangan dari
4 Salah satu bentuk nyata camput tangan tentara dalam urnsan politik dan ekonomi adalahketika pada bulan Mei 1959 diputusakn bahwa, mulai 1 Januari 1960, orang-orang asing dilarangmelakukan perdagangan di daerah pedesaan. Walaupun ketetapan ini mengena ke para pedagangnArab dan India, tetapi pada dasamya ketetapan ini mernpakan langkah yang didorong oleh pihakmiliter untuk memukul orang-orang Cina, dan mempersulit urnsan PKI. Selanjutanya, lihat, M. C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2005, hal.528
21
Angakatan Darat yang semakin kuat. Maka, dalam menghadapi persaingan
memperebutkan kekuasaan dengan Angkatan Darat, Soekarno menempuh dua taktik
pokok, yaitu berusaha mendapatkan dukungan partai-partai politik yang berpusat di
Jawa, Khususnya PK1, dan merangkul angkatan bersenjata lainnya terutama
Angkatan Udara.5
Selain Soekarno dan Angkatan darat, aktor ketiga yang juga ll1enjadi
penopang kekuasaan rezim Demokrasi Terpimpin adalah PKl. KemampuanPKl dan
kecondongan Presiden Seokarno terhadapnya lah yang antara lain menjadi faktor
penting yang memungkinkannya membangun basis massa pendukung yang kuat dan
menjadi salah satu dari "empat besar" dalam sistem kepartaian Indonesiasetelah
pemilihan umum 1955 menjadikannya organisasi yang kuat selain Angkalan Darat.
Karena itu, wajar jika Presiden Soekarno memandangnya sangat diperlukanlll1tuk
menghadapi Angkatan Darat.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa selama masaDemokrasi Terpimpin,
politik Indonesia pada umumnya adalah cerminan dari dinamika hubungankekuasaan
yang saling bersaing di antara tiga kekuatan politik: Presiden Soekamo, Angkatan
Darat, dan PKl,6 di mana Soekarno bertindak sebagai pengimbang antara kekllatan
Angakatan Darat dan PKI.
5 Ibid.
6 William Liddle menyebut pemerintahan Demokrasi Terpimpin sebagai bagaiklln seekorkuda berkaki tiga, yang terdiri dari Soekamo, PKI, dan tentara. Lihat, R. William Liddle, Jakarta: PTPustaka Utama Grafiti, 1992, h. 88
22
Hubungan serta perimbangan kekuasaan yang sangat kompetitif tersebut
menimbulkan akibat-akibat buruk terhadap keefektifan dan efisiensi pemerintahan.
Isyu kebijaksanaan yang seharusnya bermanfaat dalam arti kepentingan nasiollal,
seperti pembangunan ekonomi, sermg dikesampingkan demi hal lain yang
menjanjikan keuntungan jangka pendek bagi satu atau semua kelompok yang
memperebutkan kekuasaan, misalnya peningkatan kekuasaannya.
Ketika masalah Irian Barat diselesaikan dengan kemenangan Indonesia pada
tahun 1963, pemerintah memang sempat serius memperhatikan urusan ekonomi yang
semakin mengalami krisis. Pada Mei 1963, pemerintah - dengan bantuan team dana
IMF - menyusun program stabilitas ekonomi lalu diikuti dengan Deklarasi Ek()nomi
(Dekon) oleh presiden dengan tujuan membangun kernbali ekonomi Illelalui jalan
kapitalis-liberal. Namun, segera setelah itu Soekarno me1ihat isyu politik yang lebih
mendesak, yaitu kampanye "Ganyang Malaysia".7
Pengabaian masalah ekonomi tersebut membuat keadaan ekonomi Indonesia
semakin terpuruk bahkan nyaris ambruk. Hal tersebut dikarenakan operasicoperasi
militer melawan pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi selama krisisl957-58
memaksa pemerintah mengambil jalan menempuh anggaran defisit yang sangat besar.
Masalah defisit anggaran itu kemudian diperburuk oleh adanya
pembangwlan militer untuk mendukung kampanye Irian Barat dan "Ganyang
Malaysia". Kalau pada tahun 1955 defisit itu hanya 14% dari pendapatan pemerintah,
7 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan...., hal. 46
23
maka pada tahun 1965 meningkat menjadi 174%. Defisit besar itu mendorong laju
tingkat inflasi yang memang selalu menjadi masalah di Indonesia sejak merdeka.
Parahnya lagi, inflasi yang membumbung tinggi itu tidak diikuti oleh pertumbuhan
ekonomi yang berarti.
Masalah lain yang juga sangat penting adalah hutang luar negeri. Demokrasi
Terpimpin menciptakan hutang luar negeri yang beIjumlah $ 2.358 juta. Hampir 42%
kepada Uni Soviet; hampir 10% kepada Jepang dan 7,5% kepada Amerika Serikat.
Sementara itu juga, di arena intemasional, terutama dalam masyarakat bisnis
intemasional, Indonesia semakin dikucilkan.8
Kemelut ekonomiyang juga diikuti kemelut poIitik dalam wujud persaingan
antar kekuatan di dalam negeri, dan kadang-kadang berupa konflik terbuka antara
Angkatan Darat dan komunis, membawa pemerintahan Soekamo dengan Demokrasi
Terpimpin-nya ke arah kejatuhannya. Akhimya, pada akhir 1965, tatanan Demokrasi
Terpimpin yang terus goyah itu roboh juga. Pada fajar 1 Oktober, kesatuan dari
pengawal Soekamo menculik dan membunuh enam jenderal senior anti komunis,
merebut stasion radio dan fasilitas telekomunikasi, dengan mengumumkan
pembentukan Dewan Revolusioner dengan kuasa penuh untuk melindungi Soekamo
dan mempertahankan integritas Demokrasi Terpimpin.9
R Ibid., hal. 4749
, Robert Cribb, "Bangsa: Menciplakan Indonesia", dalam, Indoensia Beyond Soeharto,Jakarta: Gramedia Pustaka Ulama, 200 I, h. 55
24
Ketegangan politik semakin meningkat dengan kudeta tersebut. Soekarno
mengalami pukulan berat dan PKI dipersalahkan. Kekuatan anti komunis dan anti
Seokarno yang sudah lama menantikan kesempatan seperti itu segera menyerang PKI
dengan bantuan pimpinan Angkatan Darat yang mana peristiwa itu telah menelan
ribuan korban jiwa.
Tidak diketahui dengan pasti apa yang terjadi selama peristiwa kudeta itu
dan siapa yang menjadi dalangnya. Berbagai teori telah diajukan tentang aktor yang
telah memainkan peran dalan peristiwa tersebut, misalnya Angkatan Bersenjata, PKI,
Soekarno, Soeharto dan CIA. Namun hingga saat ini belum ada keterangan yang
benar-benar sahih yang dapat membuktikan bahwa salah satn dari beberapa aktor
tersebut menjadi dalang kndeta yang dikenal dengan pemberontakan G-30-S-PKI itu.
Yang jelas, kejadian pada 1965-66 tersebut telah menjadi momentum penting bagi
berdirinya suatu "tertib bam" di bawah kendali Soeharto yang dikenal dengan rezim
Orde Baru.
B. Menciptakan Orde Barn (1968-1975): Konsep dan Kebijakan Pembangunan
Nasional
Sampai beberapa bulan setelah usaha kudeta 1965, masa depan Indoensia
belum jelas. Pada akhimya, Soeharto membangun apa yang dikenal dalam sejarah
Indonesia dengan "Orde Bam", untuk membedakannya dengan rezim "Orde Lama".
Kelahiran Orde Baru ini ditandai rasa optimis dari masyarakat Indonesia yang dari
sejak lama sangat merindukan terciptanya perubahan dari kekacauan masa laiu
kepada keadaan yang baik. Kekecewaan terhadap masa laiu dan harapan akan masa
25
depan yang lebih baik itu lah yang memungkinkan Soeharto yang didukung militer
itu untuk membangun dukungan dari masyarakat sipil.
Optimisme masyarakat ini kemudian diikuti oleh penghapusan orientasi
pemikiran lampau tentang masalah sosial-politik yang berkembang pada masa Orde
Lama. Dalam pandangan pemimpin Orde Barn, pemikiran sosial-politik e1it
pemimpin Orde Lama terlalu bersifat ideologis dan politik, atau dalam bahasa para
pemimpin Orde Barn, menjadikan "politik sebagai panglima". Konsekuensinya,
semua aspek non politis, seperti pembangunan ekonomi, industrialisasi dan aspek non
politis lain, harns ditundukkan kepada politik dan ideologi.
Menurut para pendukung Orde Barn, eara berpikir semaeam itu harns
dibayar mahal oleh bangsa Indonesia. Runtuhnya ekonomi Indonesia yang ditandai
oleh inflasi yang tinggi, besarnya jumlah hutang terhadap luar negeri serta berbagai
krisis sosial politik yang terjadi pada masa Orde Lama, telah menyebabkan tidak
terlaksananya kelanearan pembangunan pada masa itu.
Karena itulah, para pendukung Orde Barn berusaha meneiptakan counters
ideas (pemikiran-pemikiran tandingan). Dari sinilah kemudian muneul ide-ide seperti
"pragmatisme", "ideologisasi" atau "deparpolisasi". Ide-ide positif yang lahir dari
para pendukung Orde barn adalah "program oriented", dan "pembarigunan
oriented".lo Semua slogan yang bersifat negasi dan positif ini merupakan respon
10 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan,1992, h.95
26
terhadap ide-ide lampau, sekaligus sebagai pembenaran terhadap kehadiran situasi
baru.
Di antara beragam ide tersebut, ide tentang pembangunan lah yang paling
banyak menyita perhatian elit Orde Bam. Ide pembangunan oriented - seringdisebut
depelopmentalisme - inilah, yang telah mengilhami para pemimpin Orde Bamuntuk
menjadikan masalah pembangunan ekonomi sebagai bagian dari formatpolitik Orde
Baru. Untuk menciptakan legitimasi bagi pemerintahannya, para pemimpin Orde
Bam mengubah slogan "politik sebagai panglima" pada masa Orde Lama menjadi
"ekonomi sebagai panglima".
Pilihan kepada pembangunan ekonomi sebagaibagiandariformllla
penciptaan legitimasi adalah wajar bagi para pemimpin suatu negara yang sejak Imna
dilanda kemerosotan ekonomi. Tentang cara penciptaan legitimasi semacam ini,
Seymour Martin Lipset - sebagaimana dikutif Mohtar Mas'oed, mengatakan:
"Semua tuntutan tentang hak sah memerintah di negara-negi1rd baruakhirnya harus memenangkan dukungan (rakya/) dengan cari1 menl1njukkankeefektifannya. Ketaatan kelompok terhadap sis/em itu hi1rusdiperolehdengan cara menumbuhkan keyakinan di antara mereka bahwa sistem iniadalah jalan yang terbaik untuk meraih tujuan mereka. Bagi negara"negarabam, pendemonstrasian keefektifan umumnya berarti pembllngl1ndnekonomi "."
Menurut Bahtiar Effendy dan Fachry Ali, perubahan orientasi pemikiran dari
yang berorientasi politik dan ideologi kepada pemikiran yangberorientasi
pembangunan menunjukkan bahwa, dengan "pembangunan", telah terjadiproses
II Mohtar Mas'oed, Ekollomi dall...., hal. 58
27
westernisasi dalam alam pemikiran para pendukung Orde Barn. Hal ini terjadi karena
pada dasarnya konsep "pembangunan" - dan kemudian dilaksanakan di Indonesia-
merupakan pemindahan pengalaman negara-negara Barat dan Amerika Utara ke
dalam masyarakat Indonesia, khususnya pengalaman ekonominya. 12
Dalam bukunya Merambah Jalan Baru Islam, Balltiar dan Fachry
menunjukkan bahwa konsep dan pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan Orde Barn
merupakan cerminan dari gagasan pembangunan Hettne tentang ide ojprogress yang
kemudian direkonstruksikan oleh Rostow dalam teori ekonominya yang terkenal
dengan the Stages ojEconomic Growth atau tahap-tahap pertunlbuhan ekonomi.
Rostow merupakan seorang ahli ekonomi, tetapi perhatiannya tidak hanya
terbatas pada persoalan ekonomi melainkan juga sosiologi. Menurut Rostow, ada
lima tahapl3 proses pembangunan dalam masyarakat: pertama, adalah masyarakat
tradisional. Dalam tahap ini, ilmu pengetahuan belUlll dikuasai oleh masyarakat.
Masyarakat semacam ini masih dilruasai oleh kepercayaan-kepercayaart tentang
kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia masih tunduk kepada alam, beiliU
menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat terbatas. Masyarakat cenderung
bersifat statis dan kemajuan berjalan lambat. Produksi dipakai untuk konsUlllsi. Tidak
ada investasi, pola dan tingkat kehidupan generasi kedua pada umUlllnya hampir
sarna dengan kehidupan generasi sebelumnya.
12 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan .... , hal. 98
13 Arief Budiman. TeoriPembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Vtam",2000, hal. 26
28
Tahap kedua, adalah pra kondisi untuk lepas landas. Dalam tahap ini,
masyarakat tradisional, meskipun sangat lambat, terus bergerak sampai meneapai
posisi prakondisi untuk lepas landas. Keadaan ini terjadi karena adanya eampur
tangan dari luar, dari masyarakat yang sudah lebih maju. Perubahan ini tidak datang
dari faktor internal masyarakat tersebut, karena pada dasarnya masyarakat tradisional
tidak mampu mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar iill
menggoneangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang ide
pembaharuan.
Pada periode Ill! usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat terjadi.
Tabungan ini kemudian dipakai untuk melakukan investasi pada sektor-sektor
produktif yang menguntungkan, termasuk rnisalnya pendidikan. Investasi ini
dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh negara. Pendeknya, segaIa usaha untuk
meningkatkan produksi mulai bergerak dalam periode ini. 14
Tabap ketiga adalah tahap the take Off atau lepas landas. Tahap ini oleh
Rostow, dilihat sebagai interval, karena pada tahap ini, halangan-halangan yang dapat
menghambat proses pertumbuhan yang mantap (steady growth) dapat teratasi.
Kekuatan pendorong kemajuan ekonomi meluas dan mendominasi masyarakat.
Pertumbuhan menjadi kondisi normal.'s Pada periode ini, tabungan dan investasi
meningkat dari 5% menjadi 10% pendapatan nasional, atau lebih. Industri-industri
J4 [bid., hal. 27
15 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, MerambahJa[an...., hal. 102
29
maju mulai berkembang pesat. Dalam pertanian, tekhnik-tekbnik baru juga tumbuh.
Pertanian menjadi usaha komersial untuk mencari keuntungan, bukan sekedar untuk
konsumsi. Peningkatan dalam produktivitas pertanian menjadi sesuatu yang penting
karena proses modernisasi masyarakat membutuhkan hasH pertanian yahgbanyak
supaya ongkos perubahan ini dalam proses lepas landas illi tidak terlalu ll1ahal.16
Tahap keempat adalah tahap bergerak kekedewasaan (pematangan
pertumbuhan). Setelah lepas landas, akan tenYdi proses kemajuan yang terns bergerak
ke depan, meskipun kadang-kadang teJjadi pasang surut. Antara 10% samapi 20%
dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya bisa mengatasi
persoalan pertambahan penduduk. lndustri berkembang dengan cepat. Setelah 60
tahun sejak sebuah masyarakat lepas landas atau 40 tahun sejak periode lepas landas
berakhir, tingkat kedewasaan sudah tercapai. Perkembangan industri terjadi tidak saja
meliputi tekhnik-tekhnik produksi, tetapi juga dalam aneka barang yang diptoduksi.
Tahap kelima atau tahap terakhir adalah zaman masyarakt industri atau yang
disebut zaman konsumsi masal yang tinggi. Dalam zaman ini, karena kenaikah
pendapatan masyarakat, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk
hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang kebih tinggi. Pada periode ini,investasi
untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Seslldah
taraf kedewsaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang tcrjadi
dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dari penambahan dana sosial. Pada titik ini
16 Arief Budiman, TeoriPembangunan.... , hal. 27
30
pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan yang bisa
I . 17menopang ,emaJuan secara terus menerus.
Pendapat Bahtiar dan Fachry tentang pengaruh pemikiran Barat terhadap
konsep pembangunan Orde Baru ini diperkuat oleh Mansour Fakih. Dalam bukunya
Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Mansour menulis:
"Sejak tahun i967, pemerintahan militer di indonesia di bawah Soehartomenjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow ini dan merifadikannyalandasan pembangunan jangka parifang indonesia yang ditetapkan secaraberkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan PembangunanLima Tahun (PEUTA). Dengan demikian, selama pemerintahan Orde Baru,Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan teori pembangunan kapitalistikyang bertumpu pada ideologi dan teori modernisasi dan adaplasi sertaimplementasi teori pertumbuhan tersebut ". 18
Analisa Bahtiar, Fachry dan Mansour Fakih tentang pengaruh Teori
Preturnbuhan Rostow terhadap pemikiran pembangunan elit Orde Barn tersebut dapat
dibenarkan bilamana merujuk kepada ideologi pembangunan Orde Barn yang
termaktub dalam Trilogi Pembangunan yang memasukkan term "pertumbuhan
ekonomi" sebagai bagian terpenting kebijakan pembangunan Indonesia, selain
"stabilitas politik" dan "pemerataan".
Istilah "pertumbuhan ekonomi" dimaksudkan sebagai usaha untuk
meningkatkan produksi barang-barang dan jasa-jasa di bidang-bidang yang semakin
meluas dalam masyarakat secara keseluruhan. Hasil produksi masyarakat tersebut
disebut produk nasional. Laju pertumbuhan ekonomi menunjuk kepada tingkat
17 Ibid., hal. 28
18 Dr. Mansour Fakih. Runtuhnya Tear; Pembangunan Dunia Ketiga dan Globalisasi,Yogyakarta: INSIST PRESS, 2002, h.57
31
bertambahnya produksi masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan pemerataau
dalam istilah Trilogi pembangunan adalah suatu pembagian hasil produksi
masyarakat yang lebih merata sehingga dirasakan lebih adil dalam kehidupan
masyarakat.
Kebijaksanaau pembangunan yang menuju kepada dua sasaran kembar tadi
selanjutnya memerlukan suasana kehidupan yang stabil. Apalagi dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk dan beraneka ragam. Karenanya, stabilitas menjadi syarat
pokok bagi usaha pembangunan yang berkesinambungan.19 Maka, dengan Trilogi
Pembangunan, ideologi pembangunan yang dicanangkan Orde Barn mempunyai tiga
dimensi atau sasaran utama yaitu pertumbuhan ekonomi yang diwujudkan melalui
PELlTA, stabilitas dan pemerataau.
Pertanyaannya, kenapa "stabilitas" menjadi unsur penting dari tujuan
pembangunan Orde Barn, setelall perturnbuhan ekonomi? Jawaban terhadap
pertanyaau tersebut dapat ditemukan dengan cara melihat pola betpikir yang
melingkupi para pendukung Orde Barn saat itu. Sudah merupakan keyakinan yang
meluas di kalangan para pendukung Orde Barn saat itu bahwa masa depan Indonesia
harns bebas dari politik yang didasarkan pada ideologi. Konflik ideologi dilihat
sebagai dosa masa lalu. Ketidakstabilan politik yang menyebabkan kehancuran
ekonomi di masa lalu dianggap sebagai akibat dari konflik ideologi yang
berkepanjangan. Maka, bersamaan dengan slogan "ekonomi sebagai panglima",para
19 Sumitro Djojohadikusumo, Pmebangunan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Pustaka SinarHarapan, 1993.
32
pendukung Orde Barn mengajukan argumen tentang perlunya pembentukan suatu
masyarakat yang bebas dari ideologi.
Oleh karenanya, sejak saat itu, muneul suatu kesadaran di kalangan elit
pendukung Orde Barn tentang pentingnya ketertiban, stabilitas dan keamanan
nasional untuk mendukung pembangunan ekonomi. Tentang hal 1m James W.
Schiller menulis:
"Soeharto menggambarkan stabilitas, ketertiban dan keamanan sebagaitujuan pembangunan itu sendiri, yaitu membuat ldta semua merasa amansecara fisik dan damai di hati, bebas dari ketakutan akan ancamanancaman dari luar dan bebas dari ketakutan terhadap ganguaan daridalam. Salah satu tujuan Orde Baru yang paling penting, katanya, adalahmembangun suatu masyarakat baru yang merasa aman, menikmati artipenting ketertiban dan mengejar kemajuan dalam suasana kestabilan ... ,,20
Supaya tercipta suasana politik yang stabil dan untuk rnemastikaribahwa
konflik ideologis tidak lagi akan mengkhianati janji developmentalis iui, Soeharto
kemudian membangun di atas puing-puing Demokrasi Terpimpin suatu demoktasi
yang dikenal dengan "Demoktasi Pancasila".21 Selain itu, kebutuhan akan suasana
politik yang stabil tanpa adanya konflik tentunya tidak akan terwujud tanpa adanya
suatu alat yang dapat digunakan untuk menjaga kestabilan tersebut. Maka, muneul
pula kesadaran, terntama dikalangan Angkatan Darat, untuk memanfaatkanmiliter
mclalui mekanisme dwi-fungsi - dikenal dengan Dwi Fungsi ABRI, sebagai motor
penggerak pembangunan.
'0 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan...., hal. 147
" Robert Cribb, "Bangs.: Meneiptakan Indonesia"', dalam, Donald K. Emmerson (ed.),Indoensia Beyond...., hal. 58
33
Dengan mekanisme dwi-fungsi tersebut, sebenarnya para plmpman
Angkatan Darat tidak lagi hanya menjadi penjaga stabilitas saja, melainkan juga telah
menemukan rumusan pembenaran bagi keterlibatan mereka· dalam iurusancurusan
non-militer atau sosial politik. Tentang keterlibatanmiliterdalamurusansosial-
politik ini, Unders Uhlin mengatakan:
"Orde Baru telah sejak awal berusaha menjustijikasidirinya, dan terutamaketerlibatan militer dalam politik, dengan menggunakan alasanideologis,bukan solusi jangka pendek bagi stabilitas politik dan elwnomi, tetapisebagai rezim alami jangka panjang. Selain pancasila,langkah itudilakukan melalui doktrin dwi-jungsi militer. Menurut doktrin dwi.jungsi ini,angkatan bersenjata Indonesia tidak hanya bertugas memfteriahankannegeri, tetapi juga memainkan peran aktifdalam urusah sosial politik...',22
Selain menjadikan militer terlibat dalam bidang sosial-politik ·.urituk
menopang ideologi pembangunan Orde Barn, pemerintah juga menjadikankekuasaan
negara sepenuhnya terpusat di tangan eksekutif seearn meluas dan sisternatis,dan
membiarkan lembaga negara lainnya lemah dan terganturig padaeksekutif, serta
menjadikan Golkar sebagai alat untuk memobilisasi dukuhgan rakyat.
Dalam hal ini, Dewi Fortuna Anwar, menyebutkan adaenam hal yang
diupayakan pemerintah Orde Barn untuk memperkuateksekutif sertamenjamin
keberlanjutan pemerintahan Orde Barn: (I), semakin memperluas peranan sosial
politik ABRI, (2) meneiptakan sistem pemilu yang tujuan utamanya adalahuntuk
mempertahankan status quo, (3) menjadikan Golkar sebagai mesin pengulllplli suara
bagi pemerintah yang didukung penuh oleh ABRI dan Korpri, (4)rnembiarkan
22 Anders Uhlin, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Getombl1ng KeligadiIndonesia, (terj), Bandung: Mizan, 1998, hal. 57
34
bidang legislatif dan yudikatif dalam posisi yang lemah dan subordinat pada cabang
eksekutif, (5) dibentuknya organisasi-organisasi korporatis yang ditujukan untuk
memobilisasi dan sekaligus mengendalikan kegiatan berbagai kelompok masyarakat
oleh pemerintah, seperti kelompok buruh, pemuda, wanita dan wartawan, (6)
diterapkannya peraturan dan undang-undang yang membatasi kebebasan menyatakan
pendapat atau melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat.23
Tentu saja, implikasi dari kebijakan Orde Baru sebagaimana disebut Dewi
Fortuna tersebut tidak secara keseluruhan dirasakan langsung oleh masyarakat pada
masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, melainkan juga pada masa-masa
pertengahan dan akhir Orde Baru. Akan tetapi, format politik semacam itu telah
diupayakan sejak awal hingga akhir kekuasaan Soeharto. Dan dengan format politk
semacam itu, Orde Barn telah mendirikan suatu rezim yang otoriter, dengan
menjadikan pembangunan sebagai- meminjam istilah Robert Cribb, leitmotif
• 24rezlmnya.
Dari urman di atas, sangat nampak bahwa pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas politik merupakan dua tujuan utama dari pemerintah Orde Barn.
Pertanyaannya, bagaimana dengan "pemerataan" yang juga menjadi unsur dalam
Trilogi Pembangunan yang dicanangkan Orde Baru? Tentang hal ini Schiller menulis:
23 Dewi Fortuna Anwar, "Fonnat Politik Orde Barn dan Agenda pengembangan DemokmsiPolitik", dalam, Demitologisasi Polilik Indonesia, Jakarta: PT Pustaka CIDESINDO, 1998, h. 4-6
24 Robert Cribb, "Bangsa: Menciptakan Indonesia", dalam, Donald K. Emmerson (ed.),Indoensia Beyond...., hal. 58
35
"Kalau harus dipilih an/am keadilan dan pertumbuhan maka terdapatsejumlah besar bukti dari pernyataan-pernyataan kaum elite tentangpembangunan (juga para pengamat ekonomi Indonesia) bahwapertumbuhan ekonomi lebih diutamakan. Ali Moertopo menulis bahwa"target pokok adalah meningkatkan GNP tiga kali lipat dalam waktu 25tahun '...Mohamad Sadli menulis bahwa perhatian utama pemerintah barudiamhkan untuk membuat kue nasional menjadi lebih besar, paling tidaksebagai prioritas utama. Widjojo Nitisastro menyatakan bahwapembangunan yang lebih merata membuluhkan perlumbuhan ekonomisedemikian rupa sehingga apa yang didistribusikan jauh lebih besar.Pertumbuhan ekonomi mungkin hanya merupakan suatu tujuan anlamtetapi pernyataan-pernyataan para elite tentang pembangunan jelasmenekankannya sebagai tujuan yang paling penting".2
Jadi, meskipun terdapat semangat dari rezim Orde Barn untuk menciptakan
"masyarakat adil dan makmur" yang berarti pertumbuhan ekonomi hams disertai oleh
keadilan sosial dalam arti "pemeratan", sebagaimana terkandung dalam Trilogi
Pembangunan, namun masih terdapat kualifikasi terhadap pemyataan itu. Orde Barn,
sejak awal, sesungguhnya telah mensubordinasikan unsur keadilan dan pemerataan
dalam pembangunan dibawah semangat penciptaan "pertumbuhan ekonomi" dan
"stabilitas politik", dua istilah yang menjadi idiom yang terkenal dari rezim Orde
Barn.
C. Periode Keemasan Orde Barn (1975-1989): Beberapa Keberhasilan dan
Kekurangan dalam Pembangunan
Ideologi depelopmentalis Orde Barn yang sangat berorientasi ekonomi dan
yang telah diterapkan sejak berdirinya rezim ini, pada akhimya dapat menciptakan
25 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan...., hal. 146-147
36
"prestasi-prestasi" dan kemajuan dalam pembangunan, suatu keadaan yang memang
menjadi prioritas rezim ini dan tidak diraih pada masa Orde Lama.
Sebagaimana disebutkan bahwa, perhatian yang berlebihan paradit Orde
Lama pada urusan politik, telah menyebabkan keadaan perekonomian Indonesia pada
kondisi yang benar-benar terpuruk. SambiI mengutip Benyarnin Higgins, Anne Booth
menyatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin
harns dianggap sebagai kegagalan ekonomi nomor satu di antara negara-negara besar
yang sedang berkembang. Lebih lanjut, Booth menggambarkan bahwa:
"Pada paruh perlama 1960-an, ekspor menurun, cadangan devisa mencilllsampai nol (pada 1965) dan inflasi meningkal hampir 600% selahun(1966).Pada perlengahan dekade 1960-an ilu, lebih dari selengah penduduk yanglinggal di daerah pedesaan Jawa tergolong "sangat miskin", menyebabkanahli demografi Nalhan Keyfilz menggambarkan pulau yangberpendudukpadal ini sebagai "sesak naJas karena kekurangan lal1ah". Begilu jugalanda-Ianda deleriorasi lidak hanya diketahui para ah/i. Prasarana seperlipelabuhan, bandar udara, jalan raya, kerela api, pabrik, dan slasiunpembangkil listrik sudah lidak lerurus lagi. Siapa pun juga yangmengunjungi kola llIama mana pun di 1ndonesia pada 1960-an pasli akanmenyaksikan kemiskinan di lengah-Iengah keadaan kumuh dan laklerpelihara ". 26
Kondisi ekonomi yang buruk tersebut kemudian berangsur-angsur pulih
ketika Soeharto memulai pemerintahannya. Menurut Mohtar Mas'oed, di bawah
Soeharto, untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang mantap, pemerintah
menerapkan strategi kebijakan ekonomi yang "berorientasi ke Iuar",yakni
'6 Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan", dalam, Donald K.Emmerson (ed.), Indonesia Beyond...., hal. 187-188
37
menstabilkan ekonomi secepat mungkin dengan sebagian besar pembiayaan dari
surnber-surnber asing.27
Senada dengan itu, Anne Booth menyatakan bahwa, untuk menempatkan
Indonesia pada perturnbuhan ekonomi yang mantap, Soeharto menyadaribahwa ia
harns memulihkan kredibilitas negaranya di mala pemerintah dan perusahaan Barat.
ltu sebabnya diikutsertakan dalam kabinetnya kelompok yang disebllt "Mafia
Barkeley,,28 - para ahli ekonomi dan demografi dari Universitas Indeonsia yang
terdidik di Barat, termasuk diantaranya yang memang memperoIeh gelar dari
University of California di Barkeley. Kelompok yangdipimpin oleh olehProf.
Widjojo Nitisastro ini, menjalankan kebijakan ultra liberal berdasarkankepercayaan
dogmatis kepada pasar bebas.29
Strategi yang diterapkan oleh pemerintah Orde Barn kemudian berhasil
dalam menstabilkan perekonomian negara. la mampu menarik cukup banyak bantuan
asing sehingga memungkinkan pemerintah untuk mengurangi defisit APBNsecara
drastis dan kemudian berhasil mengendalikan tingkat inflasi dari 600%lebih pada
27 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan...., hal. 199
28 Munculnya kelompok Barkeley ini di arena kebijakan Orde Barn pada pertengahanl960-anmerupakan salah salu faklor penling dalam proses pembangunan ekonomi di lndonesia. MafiaBarkeley lahir lahir dari sebuah kelompok diskusi yang dibentuk oleh Emil Salim, Ali WardhanaSumarlin, Widjojo, serta rekan intelektual lndonesia lainnya. Untuk mengetahui secara lebih Jengkapperan kaum lekhnokrat ini sebagai penentu utama kebijakan ekonomi Orde Barn serta posisimeieklldalam ranah pemikiran pembangunan Indonesia pada masa tersebul, lihat, Rizal· Mallarangeng,Mendobrak Sentralisme Ekonomi. Indonesia 1986-1992, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramediabekerja sarna dengan Freedom Institute, 2004, hal. 36-57
29 Anne BOOlh, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan", dalam, Donald K. Emmerson(ed.), Indonesia Beyond...., hal. 189
38
akhir tahun 1966 menjadi 15% dua tahun kemudian (1968).30 Dari tahun 1966 -
1969, pertumbuhan ekonomi sudah mencapai 4,3%. Di bidang ekspor, pada akhir
1966, kegiatan ekpsor sudah me~adi $ 470,2 juta, pada 1967 sekitar $ 600 juta, tahun
1968 $ 830 juta, dan pada tahun 1969 $ 933 juta.31
Akan tetapi, keberhasilan dalam bidang pembangunan benar-benar dirasakan
setelah Orde Barn memerintah selama sekitar dua belas tahun, yaitu setelah selesai
tahap pertama pembangunan, Pelita I. Hingga awal 1980-an, Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dari tahun 1971 hingga 1981, tingkat
pertumbuhan tahunan Produksi Domestik Bruto (PDB) berkisar pada angka 7,7% dan
tidak pemah berada di bawah angka 5%. Prestasi ini kebanyakan karena pendapatan
dari minyak yang tetap tinggi hingga 1982, terutama dipicu lagi oleh perang Irak-Iran
pada 1979. Pada tahun 1981, Indonesia merupakan penghasil gas alam cair terbesar di
dunia.32
Transformasi ekonomi ini diikuti juga transformasi dalam bidang sosial.
Prestasi Orde Baru dalam sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan sangat
mengagumkan, terutama jika dibandingkan dengan catatan prsetasi pada masa
Soekamo. Dalam bidang pertanian, investasi untuk irigasi, jenis bibit baru, dan
pertisida mampu memacu produksi beras dan bahan pangan lainnya. Pada tahun
30 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan.. .., hal. 199
31 Prof. H. Bintoro Tjokroamidjojo, Manajemen Pembangunan, Jakarta: CV Haji Masagung,1988,h.29
J2 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia .... , hal. 594
39
I960-an, tingkat ketersediaan beras diperkirakan kurang dari 100 kilogram perkapita,
namun pada tabun 1983 angka itu berubah menjadi 146 kilogram. Impor beras
berkurang hingga hampir tidak ada, dan Jakarta mengklaim telah mencapai
swasembada beras pada pertengahan tahun 1980-an.
Pada sektor pendidikan, terjadi kemajuan pesat. Lebih dmi 100.000 sekolah
dibangtm, terutarna di daerah-daerah pedalaman, dan lebih dari 500.000 guru
dipekerjakan. Pada tabun 1974, dilaporkan bahwa 97% daJi anak berusia 7 -12 tahun
sedang mengenyam bangku sekolah, dibandingkan dengan angka 57% pada tabun
1973. Tingkat melek huruf terus meningkat. Sensus penduduk 1980 melaporkan
bahwa 80,4% kaum laki-laki di atas 10 tabun dan 63,6% wanita sudah melek huruf.33
Dalam bidang kesehatan., salah satu prestasi paling sukses yang dicapai
adalah program Keluarga Berencana. Pada tahun 1968, Soeharto mendirikan
Lembaga Keluarga Berencana, dan pada tabun 1970-an sudah nampak tanda-tanda
penurunan tingkat kesuburan di Jawa dan Bali, dan juga di Sumatera.34 Menurut
Ricklefs, kesuksesan program KB ini dikarenakan pemerintall mengalokasikan
sumber daya yang besar bagi program KB ini, ditambah fakta bahwa organisasi-
organisasi Islam tidak menentang langkah-langkah program ini.35
33 Ibid., h. 599-600
34 Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan", dalam, Donald K.Emmerson (ed.), Indonesia Beyond.... , hal. 209
35 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia ...., hal. 60 I
40
Selain itu, dan yang paling penting, keberhasilan pembangunan ekonomi
dapat dibuktikan dengan melihat taraf kemiskinan masyarakat yang teIjadi pada masa
rezim Orde Bam. Dalam hal ini, hams disebutkan bahwa pembangunan ekonomi
Orde Bam telah seeara sukses mengurangi jumlah penduduk miskin. Jika pada tahun
1976 persentase penduduk miskin adalah 40,36% dari keseluruhan penduduk, maka
pada tahun 1990 diestimasikan BPS, sebagaimana dirujuk oleh Eef SaefulIah Fatah,
bahwa angka tersebut tinggal 14,33% saja.36
Sementara itu, di samping transformasi ekonomi, pembangunan Orde Baru
juga sukses melakukan transonnasi di bidang politik. Wujudnya konkretnya adalah
terjaganya stabilitas politik sepanjang dua dasawarsa lebih, tanpa gangguan·gangguan
politik yang berarti. Konflik-konflik politik berhasil dikendalikan sehingga tidak
muneul menjadi pengganggu proses pembangunan. Lembaga-Iembaga politik
berhasil ditata seeara struktural, sehingga di satu sisi semua lembaga tersebut
terkonstruksi sejalan dengan konstitusi - dalam hal ini paneasila yang menjadi
payung pemersatu ideologis, dan di sisi lain seluruh wujud partisipasi terarahkan pada
saluran-saluran politik fonnal, dalam hal ini terutama Golkar yang ditopang oleh
kekuatan militer.
Sayangnya kebijakan ekonomi pragmatis yang sukses memproduksi
pertumbuhan ekonomi tersebut tidak disertai tertadinya pemerataan yang bennakna,
sesuatu yang juga menjadi sasaran dalam Trilogi pembangunan Orde Barn. Sekalipun
3(, Eep Saefullah fatah, Penghianalan Demokrasi Ala Orde Baru, Bandung: PT RemajaRosdakarya, 2000, h. 119
41
- menurut data resmi - jum1ah penduduk miskin mengalami penurooan berarti dari
40,8% penduduk di tahun 1976 menjadi hanya 15% di tahoo 1990, namun distribusi
pendapatan antara penduduk lapisan menengah-atas dan bawah mengalami
ketimpangan yang signifikan. Penduduk yang berada di 40% lapisan terbawah
memperoleh persentase penerimaan yang makin berkurang. Jika di taboo 1964 40%
penduduk lapisan terbawah menerima 25,3% dari penerimaan total, dalam taboo 1980
angka itu menjadi hanya 10,4% saja.37 Maka, kekurangan pertama dari kebijakan
pembangooan Orde Bam adalah menyangkut ketimpangan sosial.
Di sisi lain, penekanan stabilitas yang dilakukan demi menopang kemajuan
ekonomis telah menimbulkan dampak negatif lain yang sangat mendasar berupa
pe1anggaran dan pengekangan terhadap beberapa bentuk kebebasan yang teJjadi pada
beberapa lapisan masyarakat. Bentuk pertama pelanggaran terhadap kebebasan itu
adalah berupa lemah dan kurang berkembangnya partisipasi politik masyarakat.
Menurut Eef Saefullah Fatah, hal tersebut ditandai oleh: (I) dimonopo1inya
kekuasaan dan partisipasi politik oleh level-level teratas dalam birokrasi sipi1 dan
militer, (2) militer menjadi pengendali utama birokrasi pusat dan berperan paling
menentukan dalam proses politik dan pemerintaban, (3) sekalipoo angka partisipasi
politik dalam pemilu-pemilu Orde Bam senantiasa tinggi (di atas 90%) namoo
keadaan itu tercipta sebagai hasil represi, tekanan dan mobilisasi politik yang
dilakukan negara melalui peran birokrasi sipil dan militer dari tingkat pusat sampai ke
37 Ibid., h. 100
42
tingkat loyal yang terendah, (4) terhambatnya aktualisasi nilai dan kepentingan politik
masyarakat, baik dalam dimensi organisasi, dimensi legalitas, dimensi gerakan dan
isu-isu yang mendasari gerakan.38
Pada level kepartaian, desakan pemerintah agar beberapa partai Islam dan
non Islam dileburkan dan disederhanakan ke dalam dua partai, PPP dan PD!, pada
bulan Januari 1973,39 merupakan eontoh nyata tindakan pemerintah dalam membatasi
partisipasi politik masssa. Pada lapisan masyarakat yang lain, seperti masyarakat pers,
kebebasan berpolitik ditekan dengan kekerasan fisik, penahanan dan pelarangan
terhadap penerbitan serta tidak tersedianya peluang ootuk mengontrol apalagi
mengkritik negara. Contoh penting adalah ketika tetjadi kekerasan kampanye
berskala besar pada pemilu 1982. Surat kabar harian Islam, Pelita, dilarang terbit
karena menurunkan laporan tentang kekerasan tersebut, sebagaimana dilarangnya
penerbitan harian Tempo yang didirikan tahoo 1971 oleh salah seorang intelektual
terkemuka, Goenawan Mohamad.40
Dampak negatif lain yang penting disebut dalam pembahasan ini adalah
berkenaan dengan isyu gender. Hal ini dikarenakan, salah-satu struktur masyarakat
yang terkekang hak dan kebebasannya pada masa "orde pembangunan" ini adalah
kaum wanita. Sebagaimana dieatat oleh Saparinah Sadli, pada zaman OrdeBaru,
dengan Demokrasi Pancasila-nya, terutama di akhir 1970-an, kemandirian dart peran
3B Ibid., h. 100-10 I
39 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia .... , hal. 586
·'0 Ibid., hal. 607
aktif perempuan di dunia publik sangat menyurut jika dibanding denganperiode
sebelumnya. Pada masa sebelum kemerdekaan, menurut Saparinah, ·perell1puan
Indonesia telah aktif berorganisasi dan mengadakan aksi. Beberapa ()rganisasi
perempuan didirikan untuk memajukan el11ansipasi wanitadi antaranyaadalah Putri
Merdilw (1912) di Batavia, Pawiyata Wanita (1915)di MagelangWanitaHado
(1915) di Jepara, Wanita Soesila (1918) di Pemalang atau Poetri Sejati (1918)di
Surabaya. Sedangkan dalam periode revolusi kemerdekaan,perandan POSlSl
perempuan dan laki-Iaki cukup seimbang. Mereka tidakdirendahkan, tidak
diasosiasikan sebagai ibu yang tugas utal11anya menjadipenda1l1pil1g sUllll1i dan
mengurus rurnah tangga belaka, tetapi pere1l1puan juga diikutsertakan /dalllll1
peIjuangannya bangsa.41
Namun, pada masa Orde Baru, seiring dengansistem politik yang represif
dan otoriter, kebijakan yang dijalankan pemerintah ll1enjadikanperempuan sebagai
pihak yang berada pada posisi sangat terdiskiriminasi.Salah satu contohkebijakan
pemerintah yang diskriminatif tersebut adalah Peraturan •Menteri No.· SE-
04/Men/1988 yang antara lain mengatur tentang jaminanpemeliharaan kesehatan
yang menyatakan bahwa baik pekeIja laki-Iaki maupunpere1l1puan ll1e1l1peroleh
tunjangan kesehatan yang sarna kecuali pekeIja perempuan tersebut telah mendapat
tunjangan kesehatan dari suaminya, baik dari perusahaan yang sama maupun· dari
perusahaan yang berbeda. Ini berarti, jika pekeIja perempuan telahmel1dapat
41 Penganlar oleh Saparinah Sadli, dalam, Ani Widyani Soeljipto, Polilik Perempual1BukanGerhana. Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. xxi-xxiv
44
tunjangan kesehatan dari suaminya, maka ia dianggap berstatus tidak menikah,
sehingga ia kehilangan haknya untuk memperoleh tunjangan yang sama dengan
rekannya dari kaum laki-laki.42 Situasi diskriminatif ini sungguh ironis, mengingat
pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bnetuk
Diskriminasi terhadap perempuan tanggal 29 Juli 1980 ketika diadakan Konferensi
Sedunia tentang Perempuan di Kopenhagen, yang empat tahun kemudian diratifikasi
dengan UU No. 7 tahun 1974 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Diskriminasi terhadap Wanita43 yang menjadi acuan dikeluarkannya Peraturan
Menteri No. SE-04/Men/1988 tersebut.
Dengan fakta-fakta tersebut di atas, sangat jelas bahwa kebijakan
pembangunan Orde Barn yang berorientasi ekonomi telah melalaikan dimensi
pembangunan yang menurut hemat penulis sangat penting, yaitu dimensi sosial
kemanusiaan atau yang biasa disebut pembangunan sosial. Dalam konteks ini,
Conyers, sebagaimana dikutif Moeljarto Tjokrowinoto, menyebutkan ada 3 kategori
definisi pembangunan sosial:
I. Pembangunan sosial sebagai pemberian pelayanan sosial, yang mencakup
program nutrisi, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya yang dalam
keseluruhannya memberikan kontribusinya kepada perbaikan standar hidup
masyarakat - indikator keberhasilan pembangunan sosial dalam definisi ini antara
4' Nursyahbani Katjasungkana, "Perempuan dan Hak Azazi Manusia, Tinjauan dari SudutHukum Intemasional dan Pennasalahnnya di Indonesia", dalam, Mohammad Farid (ed.), PerisaiPerempuan. Kesepaka/an Internasional un/uk Perlindungan Perempuan, (terj.), Yogyakarta: YayasanGalang, 1999, hal. xv
4' Ibid., hal. xiii
45
lain adalah angka harapan hidup, angka kematian bayi, morbiditi, angka
kemampuan membaca dan menulis, dan sebagainya.
2. Pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti
keadilan sosial, keamanan dan ketentraman hidup, community dan self-reliance,
harga diri, kebebasan dari dominasi, hidup sederhana, dan sebagainya.
3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kem.ampuan rnasyarakat
untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka.44
Dari kategori pertama definisi pembangunan sosial Conyers, pembangunan
dikonotasikan sebagai perbaikan kesejahteraan masyarakat (social walfare). Dalam
kategori pertama ini, pembangunan Orde Barn - dengan data-data seperti dipaparkan di
atas - telah menunjukkan prestasi yang sangat mengesankan. Sedangkan kategori kedua
dan ketiga terkait dengan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam definisi kedua dan
ketiga ini lah, dapat dikatakan bahwa pembangunan OrdeBal1J mengalarI1i kegagalan.
Kebijakan pembangunan Orde Barn yang - meminjam Istilah Eef SaefullahFatah,
"memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dengan berpagarkan stabilitas· politik",45
dengan militer sebagai motor penggeraknya, telah menyebabkan tertekannya kebebasan
masyarakat dalam berbagai bidang. Kebijakan pembangunan Orde Baru,dengan
demikian, belum memanusiakan manusia. Maka, penegasan GBHN bahwa pernbangul1an
nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya,baru bersifat
slogan dari rezim Orde Barn saja.
44 Prof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto. Pembangunan Dilema dan Tantangan, Yogyakarla:Pustaka Pelajar, 1996, h. 95-96
" Eep Saefullah Fatah, Penghianatan Demokrasi.. .., hal. 98
BAB III
BIOGRAFI SINGKAT SOEDJATMOKO
Hal pertama yang akan diuraikan dalam melukiskan riwayat hidup singkat
Soedjatmoko adalah latar belakang keluarga, sebagai sebuah unit terkecil dalam
masyarakat tempat di mana seorang individu dilahirkan. Hal ini penting mengingat
keluarga merupakan tempat paling pertama dimana seseorang dapat mengenal,
mengetahui, berdialog dan bersosialisasi dengan lingkungan dan kehidupannya.
Keluarga merupakan medan di mana kepribadian seseorang mulai terbentuk.
A. Latar Belakang Kelnarga
Seodjatmoko dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 10 Januari 1922 dari
sebuah keluarga priyayi Jawa. Ayahnya, Mohammad Saleh Mang\lndiningrat,
merupakan di antara pribumi yang bernasib baik. Pendidikan formal yang pernah
diperolehnya ialah Indisch Arts, di STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlansche
Arsten), pada tanggal 22 Juni 1916. Sejak saat itu, Saleh Mangundiningrat telah
memulai kariernya sebagai dokter, 1916-1919, sebagai asissten-Chirurgie di Batavia.
Ketika bertugas Sebagi Assisten-Chirurgie inilah, ia kemudian menikah dengan R.A.
lsnadikin bt. Tcitrokusumo pada tanggal21 September 1918 di Ponorogo.
Setelah bekeIja sebagai Assisten-Chirurgie selama tiga tahun, Saleh
Mangundiningrat dipindahkan ke Sumatera Barat, sebagai Kepala Rumah Sakit
Umum Sawahlunto. Oi Rumah Sakit Umum ini, ia bertugas selama tiga tahun, 1919
1922. Oi masa akhir tugasnya inilah, istrinya, Isnadikin, melahirkan Soedjatmoko.
47
Tidak lama setelah kelahiran Soedjatmoko, pada tahun 1922, Saleh
mangundiningrat dipindahkan ke Rumah Sakit Umum di Kediri. Setelah dna tahun
bertugas di Kediri, 1922-1924, ia kemudian mendapat beasiswa dari Pemerintah
Hindia Belanda untuk melanjutkan studinya di Belanda. Maka, pada tahun 1924, ia
berangkat ke Negeri Belanda beserta keluarganya. Tiga tahun pertarna di Negeri
Belanda, dokter Saleh berhasil memperoleh diploma Europeesch Arts di Universitas
Amsterdam pada tanggal 2 Maret 1927. la juga meraih Brevet Specialist Chirurgie
(ahli bedah) dan Brevet Gynaecologie (ahli kandungan). Selanjutnya, pada tahun
1929, ia berhasil meraih gelar Doktor I dalam IImu Kedokteran pada Gemeente
Universiteit Amsterdam dengan disertasi yang berjudul : "Over Echinococus", di
bawah bimbingan promoter Prof. Dr. Nodenboos. Setelah mendapatkan gelar
doktomya, ia dan keluarganya kembali ke Indonesia, pada tahun 1929.
Sekembalinya ke Indonesia, Dr. Saleh Mangundiningrat kemudian bekeIja
pada Rumah Sakit Umum di Menado, 1929-1934, lalu pindah ke Surabaya, bekeIja
pada Centrale Burgerlijke Zieken Inrichting, bagian Chirurgie, dari tahun 1934
sampai 1937. Kemudian berturut-turut dari 1937-1945 bekeIja dan ditugaskan pada:
ter beschiking gesteld pada Rijksbetuurder Surakarta; bekeIja sebagai Dokter Kraton
Surakarta dengan pangkat Bupati Dokter; di samping itu juga merangkap sebagai
pemimpin Kantor Kesehatan "Kridonirmolo" Surakarta, Kepala Rumah Obat
I Saleh Mangundiningrat merupakan satu di antara sekelompok kecil orang Indonesia padamasanya yang mendapatkan gelar sederajat doktor di Belanda dan termasuk orang Indonesia pertamayang dididik dalam Hmu pengobatan model Bara!. Lihat Pengantar Kathleen Newland dan KemalaCandrakirana Soedjatmoko (Peny.), dalam, Soedjatmoko, Menjelajah Cakrawala Kumpulan KaryaVisioner Soedjalmoko, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. xxxi
48
"Pantihusudo" Surakarta, pemimpin Rumah Sakit Umum "Pantirogo" Surakarta,
Eiseikachoo (Karesidenan Surakarta), dan Sibuchoo Karesidenan Surakarta.
Sedangkan dari tahun 1945 sampai 1957, Dokter Saleh Mangundiningrat menjabat
sebagai Dokter Karesidenan Surakarta merangkap sebagai Letnan Kolonel (titular);
Mahaguru pada Pergurua Tinggi "Cokroaminoto" pada waktu sekolah tersebut
dipindahkan ke Surakarta; Inspektur, Kepala Dinas Kesehatan Rakyat Propinsi Jawa
Tengah; Ketua Ikatan Dokter Indonesia (lDI) Cabang Surakarta; rektor Universitas
Islam Cokroaminoto Surakarta sampai akhir hayatnya?
B. Pendidikan dan Tradisi Intelektual
Uraian berikut dilakukan dalam rangka menjawab pertanyaan: dari manakah
dasar-dasar pendidikan dan tradisi intelektual Soedjatrnoko bermula dan bagaimana
perkembangan pendidikannya untuk lahap-lahap selanjutnya dalam kehidupannya?
Telah dijelaskan bahwa, keluarga merupakan basis utama pengenalan seseorang akan
kehidupannya. Maka, jelaslah bahwa tradisi pendidikan dan intelektual awal
Soedjatmoko dibangun di keluarga.
Seodjatmoko merupakan individu yang "beruntung". la lahir di tengah
keluarga yang sejak awal telah menciptakan suasana keterbukaan dan
membentangkan diri terhadap semua pengetahuan dari masa silam dan masa depan
dan terbuka terhadap semua ide dari mana pun datangnya. Kondisi semacam itu
terbangun berkat pendidikan yang diterapkan oleh ayahnya. Sang ayah, Dr. Saleh
2 M. Nursam., Pergumulan Seorang Intelektual Biografi Soedjatmoko, Jakarta, PTGramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 14-16
49
Mangundiningrat, sangat ketat dalam mendidik anak. Akan tetapi, kendati keras
dalam mendidik, ayahnya sangat menghargai perbedaan pendapat dan pandangan
dalam keluarganya. Hal semacam itu bahkan sudah dibiasakan sejak Soedjatrnoko
masih dalam usia kanak-kanak.3
Sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi, ayahnya sangat gemardalam
membaca dan mempunyai berbagai macam bahan bacaan. Perpustakaan pribadinya
berisikan buku-buku mengenai sejarah dunia, filsafat, perkembangan ilmu
pengetahuan dan karya-karya klasik. Koleksinya meliputi karya-karya pemikir seperti
Hegel, Marx, Nietsche, dan karya-karya cendikiawan India seperti Krishnamurti,
Gandhi, Vivekananda, dan Ramakrsina.4 Dengan lingkungan keluarga yang
demikian, telah memungkinkan Soedjatmdko untuk memasuki duniabacaan.
Sumber-sumber bacaan yang tersedia dan sikap ayahnya yang selalu menariamkan
kebiasaan membaca, telah membuat Soedjatmoko kecil menjadi kutu buku dan selalu
bergelut dengan dunia bacaan.
Ketika memasuki sekolah dasar, bacaan yang paling memukau Soedjatmoko
adalah sen sejarah dunia dan kisah-kisah petualangan fiksi ilmiah karya Jules Verne.
lni memberikan kepadanya kesadaran akan sejarah dan perhatian terhadap luasnya
pengalaman manusia. Di akhir sekolah dasar, ia mulai membaca buku-buku tentang
3 Ibid., hal. 16-17
4 Kathleen Newland dan Kernala Candrakirana (Peny.), dalarn, Soedjatrnoko, MenjelajahCaf<rawala.. .. , hal. xxxi
50
alam pikiran Yunani dan filsafat Barat,5 Satu di antara buku-buku tersebut yang
mengesankannya adalah buku yang berjudul Leven en Lessen van Grote Denlcers
(Hidup dan Pelajaran Pemikir Besar).6
Seeara formal, Soedjatmoko mengawali pendidikannya dari pendidikan
Taman Kanak-Kanak sampai kelas II Sekolah Oasar, di Negeri Belanda, ketika
ayahnya sedang melanjutkan studinya di negeri penjajab tersebut. Kemudian ia
masuk sekolab ELS sampai kelas VI di Menado. Selama lima tabun di Menado
(1929-1934), ayahnya dipindahkan ke Surabaya. Oi Surabaya lab ia menyelesaikan
ELS-nya, lalu kemudian melanjutkan studinya ke Hogere Burger School (HBS) pada
tabun 1936.
Oari HBS, Soedjatmoko melanjutkan studinya ke Gymnasium. Oi
Gymnasium ini puIa lab, mata pelajaran yang diajarkan di HBS lebih diperdalam lagi.
Babasa Latin dan babasa Yunani merupakan mata pelajaran yang dengan intens
diajarkan. Hal ini memudahkan Soedjatmoko mengerti babasa Inggris, babasa
Peraneis dan babasa Jerman. Oi samping pelajaran babasa, diajarkan pula sastra,
sejarah, matematika, Aritmatika, ilmu pasti, dan sebagainya. Melalui mata pelajaran
ini, Soedjatmoko kemudian terangsang untuk lebih mengenal kebudayaan, sastra,
arsitektur, dan filsafat Yunani dan modern.
5 Aswab Mahasin, "Soedjatmoko dan Dimensi Manusia dalam Pembangunan: SekapurSirih", dalam. Soedjatmoko, Diemensi Manusia da/am Pembangunan Pilihan Karangan Soedjalmoko,Jakarta: LP3ES, 1995
6 M. Nursam.. Pergumu/an Seorang.. '" hal. 17
51
Jika pada saat masih duduk di bangku sekolah dasar Soedjatmoko telah
mulai berkenalan dengan pemikiran filsafat dari filsuf -filsuf Yunani dan Barat, maka
tentu saja, ketika sekolah di Gymnasiwn ini, pengenalan dan penghayatannnya akan
a1am pemikiran itu semakin bertambah. Sebagaimana ditulis Aswab Mahasin, pada
masa ini, ia meneruskan penjelajahan intelektualnya melalui perkenalannya dengan
pemikir-pemikir besar seperti Spinoza, Descartes, dan pemikir-pemikir modem
seperti Hegel, Marx dan Nietsche - buku-buku yang juga menjadi bacaan ayahnya.
Dari rak buku ayahnya ia juga mempelajari Gandhi, Krishnamurti, Vivekananda, dan
Ramakrisna.7
Bersamaan dengan itu pula minatnya terhadap sejarah dan politik mulai
muncul. Buku-buku seperti Machten van deze Tijd (Kekuasaan-Kekuasaan Masa
Kini), yang diterbitkan tahun 1932 dari Jan Romein, yang memberikan til1jauan
mengenai politik intemasional ketika itu, buku karya Ortega Y Gasset yang
membangkitkan khayalan, The Revolt of the Masses (1929), atau tentang pengarllh
minyak terhadap politik dunia dari Antoine Zischka, mulai menarik perhatianl1ya.
Bacaannya kemudian berlanjut dengan karya-karya Jan Romein yang lebih barn, De
Sociale en Economische van het Fascisme (Landasan-Landasan Sosial dan Ekonomi
dari Fascisme) yang terbit tahun 1938 dan Het Fascisme in de lnternationale Politiek
(Fasisme dalam Politik Intemasional) yang terbit pada 1939, telah memberikan
7 Aswab Mahasin, Menyemai Kuttur Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2000, h. 9
52
sumbangan kepada Soedjatmoko akan pemahaman mengenai fasisme intemasional.8
Soedjatmoko sangat terkesan dengan kedua penulis terakhir tersebut dalam
penilaiannya mengenai fasisme dan efeknya terhadap konfigurasi kekuasaan di
d. 9uma.
Di tengah pergumulannya dengan berbagai pemikiran dari pemikir-pemikir
dunia, pencariannya tentang kebenaran terns berlanjut. Dari sekolahnya di
Gymnasium Soedjatmoko mulai mengetahui dari mana dan bagaimana rasio dan
pikiran Eropa Rarat, ilmu pengetahuan serta perkembangan pemikirannya yang
dicerminkan dalam beberapa a1iran filsafat. Hal itu berlanjut pada pengertiannya pada
budaya Sarat. Dengan pengertian budaya Sarat itu, ia dapat menempatkan diri
tentang apa yang diperlukan dari budaya itu. Dia menempatkan mekamsmedalam
upayanya mencari kebenaran yang bertolak dari visi dasar tentang dirinya,sebagai
manusia universal. Kemudian memperdalam sendiri berbagai pengertian, dan dia
tidak puas pada pengertian yang berhenti pada dogma. Oleh karena dalam visinya
yang universal itu, yang menjalankan dan melakukan pikiran, akhimya dia sampai
pada kesimpulan bahwa yang penting dalam kehidupan itu adalah manusia, karena
manusia itulah yang mengisi kehidupan. Jadi, manusia itu yang hams menjadi
sasaran. 1O
8 M. Nursam., Pergumulan Seorang.. .., hal.20
9 J. D. Legge, Kaum lntelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Syahrir,terj., Jakarta: Grafiti, 1993, eel. I
10 M. Nursam., Pergumulan Seorang.... , hal. 21
53
Demikianlah, sejak kecil hingga remaja, Soedjatmoko teIah melewati tahap-
tahap kehidupannya. Tradisi demokratis yang berlaku dalam keIuarganya, berbagai
macam bacaan baik yang diperoleh dari rak buku ayahnya, mauptm yang diperoleh
dari pendidikan formalnya, merupakan dinamika sosial yang Jelahmembentuk
pribadi dan pemikirarmya. Sebuah pribadi dengan cakrawala pemikiran yang luas dan
tidak dibatasi oleh sekat-sekat ideologis dan makna serta pengertian yang sempit.
Suatu sosok yang bangunan intelektualnya tidak dibatasi oleh pengertian "Barat" dan
'Timur", melainkan gabungan dari keduanya.
Setelah lulus dari Gymnasium, Soedjatmoko mulai menapaki fase harn
dalam kehidupan dan pencarian intelektualnya dengan segala dinamika yang
menyertainya. Pada tahun 1940, Soedjatmoko kemudian melanjutkan pendidikannya
ke Geneeskundige Hoge School (HGS) atan Sekolah Tinggi Kedokteran. 11
Soedjatmoko menjadi mahasiswa.
Ketika pertama menjadi mahasiswa, Soedjatmoko berkenalan dengan
Soedarpo Sastrosatomo yang bertemn dengannya pada saat perpeloncoan12 dan
berkenalan dengan Soebandrio 13. Selanjutnya, melalui para aktivis di Sekolah
kedokteran, ia diperkenalkan kepada para pemimpin gerakan nasional seperti,
11 Ibid, hal. 23
12 Rosihan Anwar, Soedarpo Saslrosalomo Sualu Biograji 1920-2001, Berlumbuh MelawanAms, Jakarta: PUSDOK GUNTUR 49,200 I, hal. 54
13 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 25
54
Soekamo, Hatta, Syahrir, dan Amir Syarifuddin. la dengan segera direkrut masuk ke
dalam lingkaran-lingkaran puncak pergerakan itu. t4
Pada masa itu, dalam kehidupan mahasiswa, ada beberapa perkumpulan
mahasiswa, yaitu: Persatuan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) yang diketuai oleh
Chaerul Saleh, Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI), Perhimpunan Pelajar
Perempuan Indonesia (lndonesische Vrouwen Studenten Vereniging - IVSV) yang
diketuai oleh Siti Wahyunah Poppy Saleh. Soedjatmoko memilih menjadi anggota
USL t5 Melalui USI inilah kernudian Soedjatmoko melakukan aktivitasnya sebagai
rnahasiswa yang rnernungkinkannya terlibat dalam dunia pergerakan mahasiswa
ketika itu.
Pada saat rnenjadi rnahasiswa ini pula lah Soedjatmoko, untuk pertama
kalinya rnelihat kerniskinan yang ekstrem, yaitu ketika ia dibawa ke daerah
perkampungan kumuh Jakarta oleh salah seorang ternan aktivis rnahasiswa,
Soebandrio. Malam demi rnalam ia rnelihat pria, wanita dan anak-anak tidur di
jalanan dan di gerbong-gerbong kereta api. Hal ini rnerupakan kejutan besar baginya,
sejak saat itu, ia bertekad untuk beIjuang rnelawan kerniskinan dan ketirnpangan
struktural. Untuk rnencapai maksud tersebut, ia yakin bahwa kernerdekaan nasional
rnerupakan suatu prasyarat.
14 Kathleen Newland dan Kernala Candrakirana (Peny.), dalarn, Soedjatrnoko, Menje/ajahCakrawa/a .... , hal. xxxii
15 M. Nursarn., Pergumu/an Seorang...., hal. 26
55
Sementara itu, selama perang dunia II, Jepang dapat mengalahkan Belanda
di Indonesia dan mengambil a1ih kontrol terhadap daerah koloni tersebut. Mereka
datang dengan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Soedjatmoko merupakan salah
seorang dari sejumlah kecil di lingkungan pergerakan nasional yang menaruh
kecurigaan terhadap maksud kedatangan Jepang. Kemahirannya dalam bahasa Jerman
memungkinkan ia untuk membaca literatur fasis Eropa. Ia menangkap kesamaan
fasisme dengan ideologi Jepang saat itu, dan bertekad untuk menolak dominasi
Jepang terhadap Indonesia. 16
Setelah dua tahun di Sekolah Tinggi Kedokteran, Soedjatmoko ditahan
karena menyelenggarakan aksi mogok l? melawan penguasa Jepang. Tindakan itu
teIjadi ketika, pimpinan sekolah, atas keinginan Jepang, meneghamskan mahasiswa
memakai topi pet dan memotong rambutnya san1pai gunduL Hal ini menimbulkan
protes keras dari mahasiswa. Memakai topi pet masih dapat diterima, tetapi
menggunduli kepala ditolak mentah-mentah, dengan alasan bahwa hal itu tidak sesuai
dengan budaya Indonesia dan merupakan pelanggaran terhadap martabat mahasiswa
I d . 18n onesJa.
16 Kathleen dan Kemala Candrakirana (Peny.), dalam, Soedjatmoko, MenjelajahCakrmvala.... , hal. xxxiii
17 Tindakan protes ini dinilai oleh Nusa Putra sebagai tindakan yang secara nyatamellcenninkan pribadi Soedjatmoko sebagai pejuang pembela kebebasan. Lihat, Nusa Putra,Pemikiran Soedjatmoko Temong Kebebasan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 5
18 M. Nursam., Pergumulan Seorang.... , hal. 26
56
la di penjarakan dan mengalami tindakan penyiksaan seCara langsung dari
tentara Jepang, suatu pengaJaman yang terns bercokol selama hidupnya dan
menegaskan pemahamannya tentang rapuhnya pribadi manusia.Setelah selama dua
bulan ditahan di penjara, para mahasiswa dilepaskan. Akan tetapi sembilanorang
tidak diizinkan menernskan pelajaran di Sekolah Tinggi Kedokteran dan sekolah
lainnya, yaitu: Soedjatmoko, Soedarpo, Daan Yahya, Sanjoto, Octaryo, Soebianto,
Soeroto Konto, Poerwoko dan petit Moeharto. 19
Soedjatmoko, sangat terpukul dengan kejadian penangkapannya. Karena
diskriminasi semacam itu tidak pernah dirasakannya. Suatu bentuk diskrirnillasi dan
penyiksaan yang telah merenggut kebebasaannya yang selama ini telahdisernai oleh
orang tuanya. Pukulan itu semakin terasa tatkala ia, bersama delapan ternan lainnya
dilarang sekolah lagi di institusi pendidikan mana pun. Karenanya, setelah bebas dari
penjara, Soedjatmoko pergi ke rumah orang tuanya di Solo dan tinggal di sana selama
dua tahun sampai proklamasi kemerdekaan I11donesia pada tahun 1945. Selamadi
Solo ia tetap dalam pengawasan tentara Jepang
Masa dua tahun di Solo dilewatkannya hampir sepertill1asa pernbuangan
hingga kemudian masa itu menjadi sebuah periode yang sangat menentukan karena
pada masa ini penuh dengan permenungan dan penjelajahan intelektual· bagi
Soedjatmoko yang pada saat itu berwnur dua puluh satu tahun. Selama diSolo,
Soedjatmoko membaca dengan penuh semangat. DaJam keadaan hilangkontak
dengan dunia luar, ia menemukan keasyikan dengan membaca bukucbuku loakan
19 Rosihan Anwar, Soedarpo Sastrosatomo...., hal. 73
57
yang dibelinya di Pasar Klewer: Bergson, Max Scheler, Karl Jasper dan Martin
Heidegger. Masa pengucilan itu juga dipergunakannya untuk mempelajari mistik,
Islam, Katolik, India dan alam kebatinan Jawa. Pada waktu ini pula ia sempat
berdialog dengan Ki Agung Suryomentaram, pemimpin suatu aliran kebatinan yang
berpengaruh, dan tak habis mengerti, mengapa tokoh ini diam saja ketika alam
pikiran Jawa begitu terancam oleh ideologi murahan Jepang,20 Fasisme.
Setelah berbulan-bulan terserap mutlak dalam pembacaan akan karya para
pemikir besar dunia, Soedjatmoko menjadi kehilangan kepercayaan dirinya, bahkan
juga kehilangan pemahamannya mengenai dirinya sendiri. Ia mempertanyakan
penerimaan yang pasif terhadap gagasan-gagasan besar yang telah ia baca. Rasa
frustasi itu kemudian menjadi sedemikian kuat dan memuncak dalam keputusannya
untuk meninggalkan apa yang selama ini menjadi sumber proses belajarnya yang
amat ia hargai. Ia tidak mau membaca selama 6 bulan. Keputusaunya ini
membawanya pada keterpencilan secara total. Ia tak dapat berdiaIog dengan siapa
pun, juga dengan dunia ide yang selama ini digelutinya.
Namun, dalam kegelapan selalu ada cahaya. Setelah 6 bulan menjalani krisis
yang sulit dan kadang menyakitkan itu akhimya Soedjatmoko sampai kepada
kesadaran bam tentang makna pengetahuan. Ia sampai pada pemahaman akan
pengetahuan sebagai sarana pemahaman yang tidak akan memiliki makna tanpa
ketulusan hati dan kemauan untuk mengetahui, untuk memahami, dan pada akhimya
untuk mewujudkan cinta terhadap sesama manusia.
20 Aswab Mahasin, Menyemai KlIltllr .... , hal. 9
58
Setelah proses pencarian diri yang sulit itulah Soedjatmoko mulai merasa
terbebaskan dari cengkeraman dan dominasi hasil bacaan yang selama ini digelutinya.
la tidak lagi merasa diintimidasi oleh kemampuan dan reputasi pemikir-pemikir besar
melainkan mampu menjadikan pemikir-pemikir itu sebagai sesama rekan pencari
kebenaran. Krisis yang melingkupinya telah membawa pencerahan pada dirinya.
Sejak saat itu, ia memandang dirinya sebagai "seseorang manusia budaya Indonesia,
yang sekaligus juga menjadi warga dunia".21
Sejak saat, Soedjatmoko telah melakukan revolusi diri dari pembentukan,
pembebasan, lalu membawanya pada penemuan jati diri dan sekaligus siap
menghadapi serta menjawab tantangan zamannya. Dengan penemuan diri itu,
Soedjatmoko juga telah menempatkan dirinya pada posisi seorang humanis,
seseorang yang menerima gagasan tentang kesemestaan manusia.
C. Perjalanan Karir
Klliir Soedjatmoko, terutama di bidang intelektual, secara nyata dimulai
pada masa revolusi Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa, Revolusi Indonesia
bermula ketika Soekarno Hatta - atas nama bangsa Indonesia - memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat itu, Soedjatmoko
sedang berada di S010.22
21 Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana (Peny.), dalam, Soedjatmoko, MenjelajahCakrawala ... ", hal. xxxiv-xxxv
22 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 61
59
Pada permulaan revolusi, setelah menerima tawaran dari Amir Syarifuddin,
Soedjatmoko kemudian berangkat ke Jakarta dan menjadi pegawai departemen
penerangan,23 di mana Amir Syarifuddin menjadi menterinya. Ia bersama ternan
dekatnya, Soedarpo, diserahi tanggungjawab untuk hubUIlgan dengan wartawan luar
negeri. Sebuah pengalaman menarik yang didapatkannya dalammeng1lrus wartawan
luar negeri adalah bahwa di Departemen Penerangan, belum ada sistem registrasi bagi
wartawan luar negeri: "jadi, orang asing yang mengaku sebagai wartawan luar negeri
kita perlakukan sebagai wartawan luar negeri". Melalui perkenalannya dengan Harold
Isaacs, seorang koresponden perang bangsa Amerika dari majalah Asiaweeks, yang
datang ke Jawa pada akhir November 1945, ia meIldapat masukan bagaimana
mengurus wartawan luar negeri, yaitu dengan membuat sistem pendaftaran}4
Setahun kemudian, dari tahun 1946-I947,25 selain mengunIs wartawanasing
yang ada di Jakarta dan menangani keperluan-keperluan pemerintah terhadap sekutu,
Soedjatmoko ditunjuk oleh PM Syahrir menjadi pemimpin m.ajalahberbahasa
Belanda milik republik, Het Inzicht.26 Tujuan penerbitan majalah ini ialah supaya ada
komunikasi dengan pihak Belanda, agar Belanda mengerti posisi Indonesia;bahwa
23 SaaI iiu SoedjaImoko menjabat sebagai Kepala OeputiHubungan Lllar NegeriKementerian Penerangan. Lihat, kaIhleen Newland dan KemalaCandrakrana (Peny.), dalam,SoedjaImoko, Menjelajah Cakrawala...., hal. xxxv
24 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 61-62
25 Nusa Putra, Pemikiran Soedjalmoko.... , hal. 6
26 Hel lnziehl adalah sebuah mingguan berbahasa Belanda yang diterbitkan olehKementerian Penerangan sebagai respon terhadap surat kabar Belanda, Hel Vi/ziehl. Oi Hel lnziehl,Soedjatmoko bekerja bersama-sama dengan Soedarpo dan Sanjoto sebagai pemimpin redaksi. Lihat, J.O. Legge, Kaum lnlelektual...., hal. 234
60
Indonesia siap berunding tetapi juga siap berkelahi. Di Het Inzicht, Soedjatmoko
menggantikan Mr. Asmaun, pemimpin Redaksi pertama.27
Ketika teJjadi Konferensi Malino 1946, sebagai wartawan, ia ikut meliput
konferensi ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa konferensi yang
dilaksanakan pada Juli 1946 ini, bertujuan untuk membentuk negara-negara bagian
Indonesia, sebagai usaha untuk mengepung dan menghancurkan Republik. Ada tiga
wartawan yang diundang dalam kenferensi itu, yakni Rosihan Anwar, Rinto Alwi,
dan Soedjatmoko. Dalam konferensi itulah, Soedjatmoko dan Rosihan Anwar yang
kctika itu bekeJja sebagai wartawan harian Merdelw, bersepakat untuk medirikan
majalah yang berhaluan revolusioner, kritis, dan independent. Hasilnya lahirlah
sebuah majalah mingguan SJASA T, yang diterbitkan dengan modal pinjaman oleh
mereka berdua dan Abu Bakar Lubis. Rosihan Anwar menjadi redaktur dan
Soedjatmoko mengetuai dewan redaksi serta menyumbangkan artikel yang
pertarnanya yang berjudul Situasi Indonesia.28
Karir jumalistik Soedjatmoko sempat terhenti, namun be1um berakhir, ketika
suatu hari, pada bulan Februari 1947, beberapa bulan sebelum agresi mil iter Belanda
I, Syahrir, yang sudah mengetahui akan serangan itu, meminta kepada Soedjatmoko
untuk berangkat ke New York, sebagai salah seorang anggota kelompok Indonesia
yang, bilamana diperlukan, akan mengajukan masalah yang dihadapi oleh Indonesia
27 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., h. 64
28 J. D. Legge, Kaum Intelektual...., h. 234-235
61
kepada PBB. Kegiatan jurnalistik Soedjatmoko telah memungkinkan dirinya terdaftar
sebagai koresponden dinas penerangan Belanda, dan ketenmgan ini dapat
digunakannya sebagai dasar untuk memperoleh paspor Belanda, dengan alasan bahwa
ia ingin mengurus distribusi surat kabar SIASAT di Singapura. Dengan demikian ia
tidak memperoleh kesulitan ketika meninggalkan Jakarta menuju Singapura tempat ia
mengadakan pertemuan dengan Surnitro Djojohadikusurno dan Charles Tambu, yang
juga ditunjuk Syahrir untuk berangkat ke Arnerika Serikat, dan kemudian bersama
sama berangkat ke Arnerika.29
Soedjatmoko berdiam di New York selama tujuh tahun. Dengan demikian,
selama kurun waktu tersebut ia telah melewatkan dua kejadian sejarah yang menimpa
bangsa Indonesia, yakni Agresi Militer Belanda I dan II. Pada tahun 1949, melalui
Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, yang didahului dengan persetujuan
Roem-Royen pada 7 Mei 1949, Indonesia memperoleh pengakuan intemasional bagi
kedaulatan Indonesia.
Pada tahun 1951, Soedjatmoko mengirimkan surat kepada Menlu Mohamad
Hatta. Isinya memberitahukankan bahwa Soedjatmoko ingin pulang ke Indonesia.
Setelah terlebih dahulu mengadakan perjalanan intelektual mengunjungi Amerika
bagian selatan dan beberapa negara Eropa Barat dan Timur yang berlangsung selama
hampir satu tahun , ia pun kembali ke Indonesia pada tahun 1952. Dalam periode
setelah perjalanannya ke Eropa itulah Soedjatmoko mulai mengambil peran
29 Ibid., hal. 235
62
intelektual yang lebih aktif di Indonesia. Ia menjadi editor harian Pedoman dan
kemudianjuga di majalah mingguan politik SIASAT.3o
Karir Soedjatmoko mulai mengarah kepada politik ketika, pada tahun 1955,
ia bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan dipilih sebagai anggota
konstituante setahun kemudian.31 Selama menduduki posisi di konstituante, ia
menyaksikan pembusukan sistem politik di Indonesia. Penciptaan masyarakat
demokratis, yang baginya mernpakan tujuan akhir dari pergerakan nasionalis, telah
ditinggalkan dan diganti dengan otoritarianisme. Konflik politik di antara berbagai
lapisan masyarakat terns meningkat, sementara kemiskinan yang dikira akan dapat
diatasi dengan berakhimya sistem kolonial, terns merajalela.
Ketika PSI bersama Masyumi dibubarkan bertepatan dengan perayaan HUT
kemerdekaan RI ke-15, tanggal 17 Agustus 1960, yang kemudian berlanjut dengan
pembubaran surat kabar harian Pedoman yang dianggap organ PSI pada bulan Januari
1961; ketika itu pula Soedjatmoko telah berhenti dari jabatannya sebagai direktur
penerbit PT pembangunan yang dipimpinnya sejak tahun 1953. Pada masa ini, praktis
Soedjatmoko tidak punya keJja, nganggur. Di rnmah, keJjanya hanya membaca
30 Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana (peny.), dalam, Soedjatmbko, MenjelajahCakrawala.. .., hal. xxxviii
31 Soedjatmoko menjadi anggota konstituante selama kurang lebih tiga tahun yakni sejaktahun 1956-1959. Nusa Putra, Pemikiran Soedjalmoko...., hal. 6
32 M. Nursam., Pergumulan Seorang.... , hal. 118
63
Pada tahun 1968, setelah Orde Bam mengambil kontrol terhadap kekuasaan
yang sebelumnya dipimpin oleh Soekarno melalui Demokrasi Terpimpin-nya,
Soedjatmoko ditunjuk oleh Soeharto menjadi Duta besar RI untuk Amerika Serikat.
Soedjatmoko kembali ke Indonesia setelah masa tugas kenegaraannya sebagai Duta
besar di Amerika berakhir pada tahun 1971.
Karir intelektual dan jabatan penting yang dimiliki oleh Soedjatmoko pada
masa Orde Bam adalah ketika ia menjadi Rektor Universitas PBB pada tallun 1980
hingga menjelang akhir hayatnya, 1987, di Tokyo, Jepang.33 Dengan berakhimya
posisi sebagai Rektor Universitas PBB tersebut pada 1987, bukan berarti
Soedjatmoko telah mengakhiri pergumulan intelektualnya. Ia tetap menjalani sisa-sisa
terakhir hidupnya dengan permenungan, berolah gagasan, dan men)'UIllbangkan
pemikirarmya bagi Indonesia sesuai kapasitasnya sebagai intelektual. Sampai
akhimya, ia berpulang ke-Rahmatullah tahun 1989, meninggalkan semua hal yang
pemah dijumpai, dirasakan, dipikirkan dan dicintai dalam peIjalanarl hidupnya.
33 Nusa Putra, Pemikiran Soecijatmoko .. .. , hal. 7
BAD IV
PERAN SOEDJATMOKO PADA MASA ORnE BARU
A. Memperjuangkan Citra Orde Barn di Dunia Internasional
Setelah tahun 1965, Indonesia mulai memasuki tahapan baru dalam
perkembangannya. Kegagalan reZlm Soekarno untuk menciptakan tatanan
masyarakat Indonesia yang lebih baik, telah mendatangkan perubahan sosial yang
ditandai oleh sambutan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap tertib baru
yang dikenal dengan Orde Bam.
Orde Baru, sejak kelahirannya, telah memenciptakan dampak psikologis
yang sangat kuat di kalangan masyarakat Indonesia. Dampak psikologis tersebut
terutama sekali sangat terasa pengaruhnya di kalangan "kaum menengah kota" yang
secara umum terdiri dari kaum terdidik secara Barat, umat Islam, dan para
mahasiswa. Menurut Fachry Ali, dampak psikologis ini secara sl~derhana ditandai
oleh rasa optimisme yang meluap-Iuap akan kebebasan dan demokrasi yang di masa
Demokrasi Terpimpin ditekan oleh mitos revolusi,' suatu mitos yang diciptakan
Soekarno melalui semboyannya yang sangat terkenal "revolusi belum selesai".
Soedjatmoko, sebagaimana halnya sebagian besar masyarakat Indonesia
ketika terjadi proses pergantian dari Soekarno ke Soeharto, menyambut dengan penuh
I Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baril Islam, Bandung: Mizan, 1992, hal.93
65
optimis kelahiran Orde Baru,2 sebagai sebuah era baru yang akan mendatangkan
perubahan. Dalam sebuah makalahnya yang ditulis pada masa awal Orde Baru
(1967), optimisme Soedjatmoko tersebut tercermin dalam penilaiannya tentang
kelahiran Orde Baru:
"Akhirnya saya lelah mencoba mengemukakan pendapal bahwaperubahan-perubahan baru di Indonesia telah mendatangkan sualukebangkitan kembali yang dinamis, dalam beberapa segi mengingatkan kitapada ledakan semangat pada awal revolusi 1945. Dan bahwa ini, bersilmatimbulnya generasi pasca-revolusi di gelanggang politile, stabilitas relalifpersekutuan sipil-mililer yang sekarang, serta meningkalnya kemampuanserla penampilan kaum intelektual, lelah membuka peluang-peluang baruun/uk membenluk sislem polilik, memanfaatkan sumber-sumber dayaekonomi kita secara lebih rasional demi mencapai lujuan nasional kita, dandalam cara itu mempercepal proses revolusioner yang akan1l1embualIndonesia menjadi mandiri sepenuhnya".3
Dalam suasana yang penuh dengan optimisme dan harapan itu, pada tahun
1968, Soeharto sebagai pemimpin baru bangsa Indonesia, menunjuk SoedjatlIloko
untuk menjadi duta besar Amerika. Menurut Nursam, sebelumditunjukmenjadi
dubes, Soedjatmoko telah mendengar bahwa dia akan diangkat sebagai Duta Besar RI
untuk Amerika Serikat menggantikan Soewito Koesoemowidagdo} Awalnya,
Soedjatmoko belum bersedia menerima tawaran tersebut karena ia belum mengenal
2 Untuk keterangan lebih lengkap tentang masa awal Orde Baru hingga pertengahan fahun70-an, lihat buku M.e. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: PT SERAMBI. ILMVSEMESTA, 2005, hal. 558-593
J Soedjatmoko, "Indonesia: Problems dan Opportunities", ceramah yang disaml'aikan untUkDyson Memoriol Lectures, tahun I, 1967. Diterjemahkan dan dimuatkembali dalambukll,Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Jakarta: LP3ES, 1996, hal. 105
4 M. Nursam, Pergumulan Seorang Intelektual, Jakarta,PT GramediaPustaka Vtama,2002, hal. 157.
66
siapa Soeharto sebenarnya. Tapi akhimya ia mengatakan bersedia menerima tawaran
untuk menjadi dubes tersebutjika-benar-benar diminta.5
Dengan kesediaannya menjadi duta besar, Soedjatmoko sesungguhnya telah
membawa dirinya masuk dalanl struktur kekuasaan dan mengabdikan dirinya pada
kepentingan Orde Barn. Karena itu, bagi penulis, sebagai seorang cendekiawan dan
intelektual, pilihan Soedjatmoko untuk menjadi dubes ini cukup mengherankan
mengingat salah satu sifat intelektual adalah selalu menjaga jarak pada kekuasaan.
Sebagaimana dikatakan Edward Said, orang intelektual adalah pencipta sebuah
bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa, dan karena itu ia
cenderung ke oposisi daripada ke akomodasi. Seorang intelektual, kata Said, ia tidak
pernah boleh mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa.6
Dalam konteks ini, apa yang melatarbelakangi kesediaan Soedjatmoko
menjadi duta besar dapat ditelusuri dalam tulisannya tentang "Peranan Intelektual di
Negara Berkembang". Dalam tulisan tersebut, Soedjatmoko menyampaikan dilema
yang dihadapi seorang kaum cendekiawan termasuk dirinya. Menurutnya, dilema
5 Dalam sumber lain disebutkan bahwa sebelumnya yang ditunjuk menjadi duta besar RIuntuk Amerika adalah Sarbini Sumawinata yang dihubungi oleh Aspri Presiden Mayjen SoedjonoHoemardhani. Akan tetapi Sarbini merasa tidak pantas menduduki jabatan itu dan menolaknya sertamengusulkan agar Soedjatmoko yang sebaiknya dicalonkan kepada presiden dan akhimya terlaksana.Lihat catatn kaki dalam Nursam, Ibid., hal. J94
6 Pengantar oleh Franz Magnis Suseno, dalam, Edward Said, Peran Intelektual, (terj.),1akarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal. Xi
67
terbesar dan paling berat yang dihadapi seorang intelektual adalah mengenai
hubungan intelektual itu dengan kekuasaan.7
Sebagai seorang cendekiawan humanis, Soedjatmoko menyadari POSlSI
dirinya sebagai pelaksana tugas mempertalikan nilai-nilai insaniah universal terhadap
situasi konkrit di mana ia berada sambil mencari metode-metode yang tepat Ilntuk
mencapai tujuan modemisasi.8 Dalam posisi itu, Soedjatmoko melihat dirinya sebagai
sosok intelektual yang mau tidak mau terpukau oleh kekuasaan sebagai suatu alat
yang tak dapat dihindarkan untuk mewujudkan gagasan-gagasannya dalam
kenyataan.9 Menurut penulis, landasan berpikir inilah yang telah membawa
Soedjatmoko bersedia menjadi dubes dan berkompromi dengan kekuasaan Orde
Bam, yaitu untuk menjembatani nilai-nilai kemanusiaan yang menjadiaspirasi
masyarakatnya.
Sebagaimana diketahui bahwa, untuk membedakan pemerintahannya dengan
Rezim Orde Lama, Soeharto menjalankankan program pembangunan yang bertumpu
pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Konsekuensi dari kebijakan ini
adalah mendorong investasi dan bantuan asing. Kebijakan untuk membuka diri
7 Soedjannoko, "Peranan Intelektual di Negara Sedang Berkembang", berasal dari ceramahyang disampaikan di depan The Asia Society, New York, 15 Januari 1970. Dimuat kembali dalam,Aswab Mahasin dan Ismet Natsir (peny.). Cendikiawan dan Palilik, Jakarta: LP3ES, 1984, hal. 27-28.Diulas dalam bentuk berita oleh harian Kompas, Sen in, 2 Maret 1970.
8 Aswab Mahasin, "Soedjatmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih", dalam,Soedjatmoko, Dimensi Manllsia dalam Pembangllnan, Jakarta: PT Pusataka LP3ES, 1983, hal. xviii
9 Soedjatmoko, "Peranan Intelektual di Negara Sedang Berkembang", dalam, AswabMahasin dan Ismet Natsir (peny.), Cendikiawan dan ...., hal. 28
68
terhadap investasi Barat ini, memungkinkan kembali negara-negara Barat untuk
memainkan peran ekonomi utama di Indonesia.
Pada tahun 1967, da1am rangka mendapatkan investasi asi,ng, terutama dari
AS, pemerintah mengeluarkan undang-undang investasi yang memberikan
kemudahan bagi Barat, sekaligus juga menandatangani suatu perjlmjian dengan AS
untuk memberikan jaminan bagi para investor Barat. Berbagai upaya dan langkah
dilakukan untuk mensukseskan program ini dengan mendekati negara-negara Barat
dan Jepang sebagai donatur terbesar bagi program pembangunan ekonomi
Indonesia. I0
Dalam upaya dan kepentingan inilah, Soedjatmoko menunaikan tugasnya
sebagai Dubes Rl di AS. Apa yang dilakukarmya sebagai Dubes, difokuskan pada
persoalan ini: membangun citra Orde Barn di mata internasional demi kepentingan
pembangunan ekonomi nasional. Hal ini diungkapkan oleh Soedjatmoko dalam surat
pribadinya yang dikirimkan kepada Soeharto tanggal 26 Mei 1969:
"Di dalam menunaikan fugas ini saya sebagai Dufa Besar di sini (AS), darisemula fujuan pokak yang dikejar ialah figa: perfama, maksimalisosipemindahan dana: baik dari pemerinfah maupun swasfa, dari AmerikaSerikaf ke Indonesia. Kedua, sebanyak-banyaknya mempengaruhikrisfalisasi konsepsi-konsepsi baru mengenai banfuan luar negeri. Kefiga,sedapaf-dapafnya mempengaruhi konsepsi-konsepsi baru mengenai peransfarfegis Amerika Serikaf di Asia Tenggara, sehingga sesuai, afau sefidakfidaknya fidak berlawanan dengan kepenfingan nasional Indonesia ".11
10 Nursam, "Tentang Sural-Sural Pribadi Soedjalmoko Kepada Presiden (Jenderal) Soeharto1968-1971", dalam Nursam (ed), Sura/-Sural Pribadi Soetija/moko kepada Presiden (Jenderal)Soehar/o (/6 Juni /968-26 April/Ol/), Jakarta; PT Gramedia Puslaka Utama, 2002, hal.x
11 /bid., hal. 131
69
Sebagai Duta Besar, tugas yang dihadapi Soedjatmoko tidak ringan. Selain
mengemban misi negara, yang tidak kalah penting adalah karena pada saat itu, 1968,
merupakan masa transisi dari Soekarno ke Soeharto yang menyimpan banyak
persoalan. Sebagaimana diketahui, periode transisi ini didahului oleh "tragedi
nasional" yang menumpahkan darah dan menghilangkan banyak nyawa anak bangsa.
Dalam tragedi ini, PKI dianggap sebagai pelaku yang harns bertanggungjawab. Maka,
tidaklah mengherankan jika kemudian para tokoh PKI dihadapkan pada
pertanggungjawaban hukum, terutama vonis hukuman mati.
Vonis hukuman mati terhadap tokoh-tokoh PKI ini menjadi di antara
perhatian Soedjatmoko sebagai Dubes, karena masalah ini mendapat perhatian dari
dunia intemasional, terutama Amerika Serikat. Oleh karena pentingnya persoalan ini
bagi citra Indonesia di mata intemasional, dan lebih khusus lagi bagi keberhasilan
pelaksanaan tugas Soedjatmoko sebagai Duta Besar, maka pada Oktober 1968
Soedjatrnoko mengirim kawat kepada Presiden Soeharto.
lsi kawat itu, sebagaimana dikutif Nursam, menyatakan keinginan
Soedjatmoko agar Soeharto tidak melaksanakan hukuman mati tersebut dan
menginginkan agar hukuman tersebut diubah. Dalam pandangan Soedjatrnoko, vonis
hukuman mati tersebut dapat menimbulkan dampak dan image negatifbagi citra Orde
Barn yang barn berdiri. 12 Tidak dapat diketahui secara pasti seberapa jauh kawat
Soedjatmoko ini menjadi pertimbangan Presiden Soeharto? Y811g pasti adalah,
12 Nursam, Pergumulan Seorang .... , hal. 160
70
Presiden Soeharto pada akhinnya memang mengubah vonis hukuman mati tersebut
menjadi hukuman seumur hidup, antara lain terhadap Soebandrio, Latief dan Vmar
Dhani. 13
Persoalan lain yang menjadi tugas berat Soedjatmoko di Amerika adalah
bagaimana menjelaskan situasi Indonesia, pemerintahan OrdeBaru yang baru
terbentuk kepada publik Amerika, khususnya pengusaha. Para pengusaha yang
mendapatkan penjelasan dari Soedjatmoko terhimpun dalarn Forum Dagang AS,
suatu forum pergagangan semacarn KADIN I4 (Karnar Dagang dan Industri).
Penjelasan tersebut dilakukan untuk menarik simpati para pengusaha supaya mau
memberikan bantuan dan melakukan kerja sarna ekonomi kepada Indonesia. Kepada
para pengusaha ini Soedjatmoko mengatakan bahwa "Saya dikirim kemari (AS)
untuk menjelaskan kepada Tuan kalau ingin menjalin busines dengan Indonesia tidak
perlu lewat jalan belakang". Soedjatmoko membangun pandangan bahwa Indonesia
sudah memulai babak baru dalarn sejarahnya, bersih, zakelijk, yang berkonsentrasi
kepada pembangunan, dan kepemimpinannya lain sarna sekali dari kepemimpinan
sebelumnya. 15
Dalarn pandangan penulis, keperluan untuk menjelaskan posisi Indonesia
kepada para pengusaha adalah wajar mengingat tugas utarna Soedjatmoko menjadi
13 Lebih lanjut liha! catatan kaki dalm, Ibid, hal. 195
14 Ibid., hal. 162
" Nursam, "Tentang Surat-Sura! Pribadi Soedjatmoko Kepada Presiden (Jenderal) Soeharto1968-1971", dalam Nursam (ed), Sural-Sural ...., hal.xiv
71
Duta Besar AS aadalah dalam rangka memperjuangkan kepentingan pembangunan
Orde Barn berupa maksimalisasi penarikan bantuan dana dari luar negeri terutarna
AS, baik pemerintah maupun swasta. Keperluan tersebut semakin mehdesak
mengingat negara Indonesia pada waktu itu tidak begitu dikenal secara baik. Yang
dikenal oleh publik intemasional adalah Indonesia sebagai negara yang penuh konflik
dan tidak aman. Selain itu, ada pendapat yang berkembang di publik Amerika bahwa
pemerintah Orde Barn bertanggung jawab atas pembunuhan jutaan orang yang
dianggap anggota PKI. Di pihak lain, Indonesia digambarkan sebagai negara yang
korup pada akhir pemerintahan Soekarno. Maka, untuk menjalankan tugasnya dengan
baik, Soedjatmoko memmpunyai tanggung jawab untuk menjernihkan anggapan
negatif tersebut.
Untuk mempeIjuangkan citra Orde Barn kepada publik AS dan lembaga
lembaga donatur serta pihak-pihak yang berkaitan dengan kepentingan Orde Barn,
Soedjatmoko melakukan berbagai upaya. Akan tetapi, upaya yang paling dominan
adalah dengan cara menyampaikan pidato-pidato, melakukan diskusi-diskusi, dan
menerima berbagai undangan dari berbagai kalangan, baik dari kalangan pemerintah
maupun lembaga-Iembaga swasta. Selain itu, Soedjatmoko juga banyak melakukan
lawatan ke kota-kota kecil di AS.
Karena sikapnya yang senng berinteraksi dengan berbagai pihak,
menjadikan Soedjatmoko sebagai duta besar yang sangat berpengaruh, terutama di
kalangan publik AS. Selama bertugas di Amerika Serikat - Sebagaimana dicatat
Nursam - Soedjatmoko terbukti sebagai diplomat yang efektif dan dihormati selama
72
tiga tahun masa jabatannya. Ia mendapatkan perhatian dari Presiden Amerika Richard
Nixon dan Sekretaris Negara, Henry Kissinger, karena pandangan-pandangannya
yang penuh pemahan1an mengenai politik intemasional. La juga mendapatkan banyak
perhatian dari anggota kongres AS karena perjalanannya di seluruh negeri itu,
termasuk kola-kota kecil di mana ia berbicara dengan para warga Amerika. 16
Selama di Amerika itu pula, Soedjatmoko memanfaatkan waktunya untuk
tujuan-tujuan inlelektual. Dalam banyak kesempatan, ia melibatkan diri untuk
bertukar pikiran dengan pemikir dan pembuat kebijakan yang ia kagumi. Edward
Shils, Rodert McNamara, Zbignew Brezinski, dan Thomas Merton, adalah beberapa
dari banyak orang dengan siapa Soedjatmoko menjalin hubungan. Para wartawan
senior, praktisi pemhangunan dan pemhuat keputusan intemasional. serta para
cendekiawan di lingkungan universitas juga menjadi teman dialognya. Selain itu,
Soedjatmoko juga memprakarsai diskusi-diskusi dengan orang-orang di Pentagon dan
di Think Thank, seperti Rand Corporalion. 17
Dalam hal ini, upaya yang dilakukan Soedjatmoko dalam membangun citra
positif Indonesia "barn" di bawah Presiden Soeharto bukan tanpa resiko. Dalam
beberapa kesempatan ceramah di kampus. Soedjatmoko didemonstTa~i dan dituduh
16 Nursam, Pergurnulan Seorang.... , hal. 166
17 Kathleen Newland dan Kernala Candrakirana Soedjatrnoko (Peny.), dalarn, Soedjatrnoko.Menjelajah Cakrawala Kumpulan Karya Visioner Soedjatmoko, (Jakarta: PT Grarnedia PustakaUlama, 1994), hal. xlii
73
sebagai wakil bangsa pernbunuh18 oleh pihak ekstrirn kiri Arnerika. Sebagairnana
dinyatakan Koko - panggilan akrab Soedjatrnoko, ia seringkali diserang ketikll
sedang berpidato sarnpai suatu kali pemah terjadi kekacauan dalanl ruang ternpat ia
berpidato. Narnun, rnenurutnya, kekacauan itu dapat ia kuasai dan akhirnya rnayoritas
daripada audience rnenyatakan sirnpatinya untuk Indonesia. 19
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa baik pandangan rnaupun peljuangan
Soedjatrnoko pada rnasa ini pada dasarnya adalah dalam rangka rnewakili optimisrne
Orde Baru yang rnenjangkiti hampir segenap rnasyarakat Indonesia ketika itu.
Optirnisrnenya itu diperlihatkan dalam rnasa tugasnya selama tiga tahun sebagai Duta
Besar RI untuk Amerika Seribt. Hampir sernua kalangan di Arnerika Serikat, baik
para pejabat, senator universitas, pengusaha dan para pernikir dijadikannya sebagai
tempat untuk rnenjelaskan posisi Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang
berbenah diri dalam rnelakukan perubahan. Hingga akhir rnasa tugasnya, 1971,
Soedjatrnoko tetap rnasih rnernperlihatkan optirnisrnenya itu.
B. Mengembangkan dan Menyumbangkan Pemikiran tcntang Pembangunan
bagi Pelaksanaan Pembangunan di Indonesia.
Setelah selesai rnasa tugasnya sebagi Duta Besar RI untuk Amerika,
Soedjatrnoko kernbali ke tanah air tercintanya, Indonesia. Pada saat awal
kedatangannya, Soedjatrnoko dipanggil oleh Presiden Soeharto. Sebagairnana dicatat
18 Nursam, "Tenlang Sural-Sural Pribadi Soedjalmoko Kepada Presiden (Jenderal) Soeharto1968-1971", dalam Nursam (ed), Sural-Sural ...., hal.xvi
I' Ibid., hal. 212
74
Nursam, saat itu Soeharto bertanya kepada Soedjatmoko, "You minta pekeIjaan apa?"
Seodjatmoko menjawab, "Saya ingin menyumbangkan pikiran-pikiran untuk
pembangunan di Indonesia". Akhimya, Soedjatmoko ditempatkan sebagai penasihat
abli bidang sosial-budaya pada Ketua Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS),
yang waktu itu dipegang oleh Widjojo Nitisastro.20
Dengan pengangkatannya sebagai tenaga abli di BAPPENAS, clapat
dipastikan babwa Soedjatmoko menerima pekeIjaannya dengan senang hati karena
dapat memberinya ruang baru untuk menyumbangkan pemikirannya bagi Indonesia
yang saat itu sedang menggalakkan program pembangunan. Namun demikian,
menurut Nursam, posisi Soedjatmoko di BAPPENAS itu hanya merupakan posisi
buatan, di mana Soedjatmoko tidak mempunyai otoritas. Selama di BAPPENAS, dia
babkan tidak mengeIjakan apa-apa untuk perencanaan pembangunan negara.21
Bersamaan dengan itu, sejak kembali dari Washington D.C., Soedjatrnoko
menyaksikan negaranya telah dikendalikan oleh pemikiran tunggal ke arah pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas politik. Dan ia pun mulai merasa risau ketika menyaksikan
bagaimana, demi pertumbuhan ekonomi, stabilitas lebih diprioritaskan dad pada keadilan,
kebebasan dikorbankan demi kontrol sosial, dan partisipasi rakyat ditiadakan demi efisiensi,
serta ketimpangan struktural yang sangat menjadi kepeduliannya hanya ditangani setengah
hati."
'0. Nursam, Pergumulan Seorang...., hal. 171
21 Ibid.
22 Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko (Peny.), dalam, Soedjatmoko,Menjelajah Cakrawala. ... , hal. xliii
75
Kenyataan sosial tersebut pada akhimya memaksa Soedjatmoko untuk
mempertanyakan kembali komitmen Orde Barn dengan cita-cita awalnya,yaitu
pcnegakan kebebasan dan demokrasi. Di sisi lain, otokrasi rezim Soeharto.yang
semakin menguat dan sikap kritis Soedjatmoko, membawa. dampakpada
perselisihannya dengan Soeharto yang pada akhimya l1lenjauhkandirinyadalam
ruang pengambilan keputusan. Saat seperti itulah, perlahan-Iahan optimisme
Soedjatmoko mulai memudar. Yang teIjadi kemudian adalah kekecewaannya
terhadap praktek dan kebijakan Orde Baru beserta implikasinya.
Dalam konteks itu, benarlah apa yang dikatakan Aswab Mahasinbahwa
kekuasaan memang bukan lah negeri asal seorang cendikiawan.23 Tak mudahuhtuk
merasa betah dengan "tetek bengek" kekuasaan, apalagikarehapembawaankaum
cendekiawan hanya memandangnya sebagai sarana untuk l1lelaksal1akan gagasan-
gagasannya. Hal itu pulalah yang berlaku bagi Soedjatmoko. Kekecewaal1l1ya
terhadap Orde Barn telah menghantarkannya kembali berada di pinggir kekuasaan.
Soedjatmoko, pasca menjadi Dubes, kembali menempatkan dirinya sebagaiseorang
intelektual yang akan berbicara tentang kondisi masyarakatnya dan IIlcnyumbangkan
ide dan pemikirannya untuk negaranya tanpa menggunakankekuasaan sebagai sarana
mewujudkan berbagai gagasannya.
23 Aswab Mahasin, "Soedjalmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih",dalal11,Soedjatmoko, Dimensi Manusia... " hal. xvi
76
Dari pengalaman Soedjatmoko ketika menjadi duta besar yang
menyimbolkan optimismenya, lalu kemudian berakhir dengan pesimisme dan
kekecewaan, tampak bahwa kekuasaan hanya lah merupakan sisi lain dari kehidupan
Soedjatmoko. Yang sejati dari dirinya adalah ke-cendekiaan-nya, seorang intelektual
besar dengan keluasan pengetahuan dan gagasan. Keuyataan tersebut telah nampak
bahkan ketika ia menjadi Duta Besar RI untuk Amerika. Reputasi intemasional serta
besamya pengaruh yang diterimanya ketika di Washington adalah dikarenakan
kapasitasnya sebagai seorang intelektual.
Besarnya pengaruh intelektual Soedjatmoko itu setidaknya dapat dibuktikan
dari ulasan yang dibuat oleh hampir semua media massa yang ada di Amerika ketika
dia mengakhiri tugasnya sebagai dubes di Amerika. John Burthon, koresponden
senior United Press Internasional - sebagaimana dikutif Nursam - menulis di
harian ini tentang sosok Soedjatmoko:
·'Mungkin karena ia seorang intelektual Indonesia yang terkemuka danhumanis, Soedjatmoko telah berhasil mendapatkan pengaruh yang besar dikalangan budaya dan politik di sini, sesuatu yang hanya berhasil diperoleholeh dubes-dubes Inggris dan Perancis. Pengaruhnyajuga sangatterasa dilingkungan diplomatik. Seorang diplomatik Inggris mcnyatakan kepadasaya bahwa "jika Soedjatmoko mulai bicara, kami semua diam untukmendengarkan dengan baik".24
Sebagai seorang intelektual, Soedjatmoko merupakan seorang pemikir yang
mempunyai perhatian dalam bidang yang luas. Karena itu pemikirannya tidak dapat
dibatasi pada perspektif tertentu seperti pembangunan, politik, kebudayaan,
pendidikan, sejarah atau agama saja. Sebaliknya, jika ia berbicara tentang
24 Nursarn, Pergllmulan Seorang.... , hal. 169
77
pembangunan misalnya, ia akan membahas masalah tersebut dalam kaitannya dengan
berbagai perspektif tersebut. Ignas Kleden mengatakan bahwa seseorang yang
terbiasa dengan eara berpikir disipliner yang dengan ketat membatasi dirinya dalam
satu bidang persoalan, niseaya akan kebingungan mengikuti pemikirannya.25 Nusa
Putra menjulukinya sebagai eendikiawan "pelintas batas".26
Meski demikian, di antara berbagai subjek yang menjadifokus
pembahasannya, pembangunan merupakan tema pemikiran yang paling mendapat
perhatiannya. Perhatiannya yang besar terhadap masalah pembangunan ini
merupakan hal yang wajar mengingat persoalan terpenting yang dihadapi bangsa
Indonesia Sll!lt itu (Orde Barn) adalah bagaimana membangun bangsanya menuju
kepada keadaan yang lebih baik. Fakta sosial itu lah yang tampaknya mempengaruhi
Soedjatrnoko. Sebagaimana dikatakan Durkheim bahwa "fakta sosialmempengatuhi
kesadaran individu".
Pemikiran Soedjatrnoko tentang pembangunan· pada daSarnya telahdimulai
benihnya sejak masa Orde Lama. Pada tahun 1958, ia mengeluarkan sebuah tulisan
berjudul: "Pembangunan Ekonomi Sebagai Masalah Kebudayaan". Dalam tulisan
tersebut ia menguraikan berbagai persoalan yang muneul setelah kemerdekaan
Indonesia tereapai, baik dalam bentuk muneulnya berbagai harapan barn sebagai
akibat tereapainya kemerdekaan, maupun yang bersumber pada· keruntuhan •yang
" Ignas Kleden, "Soedjatmoko: Sebuah Psikologi Pembebasan", dalam,Soedjatmoko,Etika....• hal. Ix
26 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan, Jakarta: PT GramediaPustakaUtama, 1994, hal. 32
78
teIjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat selanla masa penjajahan sampai
tercapainya kemerdekaan. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Soedjatmoko
berpendirian bahwa tidak bisa tidak hams dilakukan pembangunan ekonomi. Ia
menulis bahwa bentuk dan sifat negara serta isi kemerdekaan Indonesia ditentukan
oleh cara kita membangun perekonomian.27
Dalam tulisannya tersebut, Soedjatmoko mengingatkan bahwa meskipun
pembangunan ekonomi sangat penting, akan tetapi dimensi manusia beserta segala
faktor kebudayaan menjadi penting diperhatikan jika kebahagiaan dan kebebasan
masyarakat hendak dicapai. Oleh karenanya, menurut Soedjatmoko, cara pelaksanaan
dan tujuan pembangunan ekonomi hams ditempatkan dalam rangka kebudayaan yang
berlangsung dalam masyarakat.28
Memasuki periode 60-an, Soedjatmoko tetap berpikir d,m mcnulis. Pada
periode ini, salah-satu tulisan terpentingnya dan yang mengupas masalah
pembangunan adalah karangannya yang beIjudul: "Daya Cipta Sebagai Unsur Mutlak
dalam Pembangunan". Dalam bagian ini ia memaparkan pentingnya tempat dan
faktor pendorong daya cipta dengan bertitik tolak dari dua gerak sejarah terpenting
yaitu bangsa-bangsa teIjajah serta usaha pcmbangunan ekonominya, dan revolusi
ilmu pengetahuan.29
27 Soedjatmoko, Kebudayaan Sosialis, Jakarta: MELIBAS, 2001, hal. 140
28 Ibid., hal. 145
29 Soedjatmoko, Dimensi Manusia .... , hal. 23
79
Dalam karangan yang disampaikan di depan Seminar tentang Daya Cipta
dan Pembangunan Indonesia (MIPI) di Bogor (Agustus 1961) ini, ia menjelaskan
revolusi ilmu pengetahuan yang telah melahirkan perubahan-perubahan dahsyat
merupakan kekuatan revolusioner paling menentukan kehidupan rnanusiadi dunia.
Persoalan krusial adalah bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan untuk
kepentingan pembangunan. Oleh karena itu, menurut Soedjatmoko, perlu
dikembangkan daya kreatif bangsa.30 la kemudian menegaskan bahwa daya cipta
manusia itu sendiri harns menjadi tujuan dari pembangunan.
Akan tetapi, meskipun pemikirannya tentang pembangunan telah dirintis
jauh sebelum rezim Orde Baru berdiri, Soedjatmoko barn benar-benar
mengembangkan pemikiran dalam bidang ini pada masa Orde Barn, terutama setelah
kembali dari tugasnya sebagai dubes untuk Amerika. Hal itu dikarenakan praktek dan
kebijakan pembangunan Orde Barn sejak kedatangannya ke Indonesia telah
membawa dirinya kepada kekecewaan yang menuntut tanggapan segera dari seorang
cendekiawan bebas seperti dirinya.
Di sisi lain, reputasi internasional yang telah diraihnya pada saat menjadi
dubes telah membuat peranannya sebagai cendekiawan semakin memuncak. Dunia
intelektual saat itu telah menerimanya dengan amat semarak; ia diminta hadir hampir
30 Ibid., hal. 32-38
80
di semua pertemuan ilmiah yang penting.31 Suatu anugerah yang menuntut
sumbangan pikiran dan pencarian yang lebih intens dari Soedjatmoko
Pada masa Orde Bam, perkembangan pemikiran Soedjatmoko tentang
pembangunan dapat dibagi ke dalam dua periode, yakni:
1. Periode 1970-ao
Dari berbagai tulisan Soedjatmoko pada periode I970-an yang dipergunakan
untuk penulisan ini, penulis menemukan dan memilih empat karangan yang secara
khusus membahas masalah pembangunan, yakni " Agama dan Proses Pembangunan
di Asia" (1970), "Tekhnologi, Pembangunan dan Kebudayaan" (1972), "Beberapa
Pemikiran tentang Perguruan Tinggi" (1975) dan "Pembangunan dan kebebasan"
(1979).
Dalam tulisannya yang berjudul "Agama dan Proses Pembangunan di Asia",
Soedjatmoko mengemukakan gagasan tentang tidak memadainya model-model
pembangunan yang ada yang didasarkan pada teori-teori pembangunan ekonomi.
Soedjatmoko berpendapat demikian karena pembangunan membutuhkan unsur-unsur
knltural, sosial dan politis. Jadi, bukan sekedar proses ekonomi.32
Khususnya pada masyarakat Asia, pertanyaan menclasar di sekitar
pembangunan ekonomi bahkan menghamskan dijawabnya pertanyaan mendasar
tentang makna hidup, keabsahan tujuan pencarian kesejahteraan material, hubungan
J1 Aswab Mahasin, "Soedjatmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih", dalam, Ibid., hal.xviii-xix
32 Soedjatmoko, Etika...., hal., 181
81
manusia dengan sesama alam dan Tuhan. Persoalan ini membawa akibat perlunya
memberi tempat pada agama, karena di Asia agama menentukan batin masyarakat
tradisional dan sistem sosialnya.
Awal tahun 1972, Soedjatmoko kembali mengembangkannya gagasannya
tentang pembangunan. Kali ini ia memperluas spektrum pemikirannya tentang
pembangunan dengan mengaitkan masalah pembangunan kepada persoalan
tekhonologi, kebudayaan dan kebebasan. Pemikirannya itu terkandung dalam
tulisannya yang beIjudul "Tekhnologi, Pembangunan dan Kebudayaan". Dalam
karangannya itu diungkapkan bahwa strategi pembangunan yang menekankan
industrialisasi temyata lebih banyak memunculkan masalah, terutama yang herkaitan
dengan pengangguran dan berbagai akibatnya pada dunia pendidikan. Untuk
mengatasi hal tersebut ia menulis bahwa yang dibutuhkan adalah strategi
pembangunan yang diarahkan kepada perkembangan, kesempatan keIja (employment)
serta keadilan sosial, inisiatif lokal dan yang paling penting kesadaran untuk
berswasembada.33
Terkait dengan hubungan pembangunan dan perguruan tinggi, dalam
tulisannya "Bebcrapa Pikiran tentang Perguruan Tinggi", Soedjatmoko
mengemukakan bahwa perguruan tinggi perlu meningkatkan kemampuannya, terus
menerus memperbaharui diri serta mendorong kemajuan pembangunan. Perguruan
tinggi juga diharapkan ikut serta memecahkan masalah sehubungan dengan keadilan
sosial dan kesempatan kerja melalui berbagai program yang terencana dan dijalankan
33 Soedjatmoko, Dimensia Mal/usia.... , hal. 72-73
82
seeara sistematis. Dengan eara itu perguruan tinggi dapat mengembangkan berbagai
kemampuan yang merupakan prasyarat untuk meningkatkan kemerdekaan dan
kebebasan Indonesia untuk memilih sesuai nilai-nilainya di dalam dunia yang saling
tergantung pada masa modem ini.
Puneak pemikiran Soedjatmoko tentang pembangunan pada periode 1970-an
tertuang dalam tulisan Soedjatmoko "Pembangunan dan Kebebasan". Pada bagian
awal tulisannya ini, ia menyatakan bahwa masa depan kebebasan dan keadilan bagi
seluruh umat manUSIa ditentukan oleh mampu tidaknya Dunia Ketiga
mengembangkan dirinya menjadi masyarakat yang relatif bebas dan terbuka, di mana
kemiskinan dapat dihapuskan. Untuk itu Soedjatmoko mengajak untuk meneari teori
tentang jenis-jenis pembangunan yang arah lintasannya bersifat mendukung dan
bukannya menghaneurkan kebebasan dan martabat manusia.34 la menyebutnya
sebagai teori pembangunan demokratik.
Teori pembangunan demokratik dikemukakan karena pembangunan yang
selama ini dijalankan dengan tujuan memperbaiki mutu hidup manusia dan
memperluas jangkauan kebebasannya temyata tidak jarang justru merupakan
aneaman bagi kebebasan manusia. Pada satu sisi pembangunan dibarengi
pemerintahan otoriter; pada sisi lainnya pembangunan gagal mengatasi kemiskinan.
Soedjatmoko berpendapat bahwa kebebasan tidak dapat tumbuh dalam kemiskinan.
Dalam kemiskinan, otoritarianisme dan penindasanlah yang akan tampil. Dalam
3<\ Soedjatmoko, Pemhangunan dan Kebebasan, Jakarta: LP3ES~ 1985, hal. 2
83
bagian akhir tulisannya, ia mengingatkan babwa tanpa teori pembangunan
demokratik, modernisasi akan tetap superfisial dan bisa jadi hanya merupakan
fenomena sementara di daJam suatu dunia yang berdesakan, lapar, bersaing dan
bengis.35
Membaca gagasan Soedjatmoko tentang pembangunan padaperiode 70-al1
secara umum dan teori pembangunan demokratik secata .khusus, terasa sekaJi
perJuangan Soedjatmoko untuk memabami dan menjelaskan kompleksitas
pembangunan. Pembangunan bagi Soedjamoko, bukanlab suatu proses ekonomi
semata, melaiukan suatu proses multi dimensional yang saling terkait satu sama lain
dengan berbagai bidang kehidupan yang lain baik agama, tekn()logi, sejatab,
pendidikan dan kebudayaan. Semua hal itu kemudian dirarigkum dalam suatu proses
perjuangan untuk menegakkan kebebasan.
Dengan pelbagai permasalaban yang mampu dikaitkan Soedjatmoko dalam
konsep pembangunannya, pada satu sisi menampakkan sketsa besar pemikiran
Soedjatmoko tentang pembangunan. Namun di sisi lain, menurutpenulis, keluasan
masalah yang dihimpun dalam pemikirannya, membuat teorinya tidak jelas. Dalam
konteks teori pembangunan demokratik misalnya, Soedjatmoko beIum menyediakan
bagaimana kerangka operasional yang dapat dipedomani untuk
mengimplementasikan teori yang dikemukakannya itu. Kendati demikian, dalam
kekurangan itu, teori pembangunan Soedjatmoko telah melampaui berbagai leori
J5 Ibid., hal 124
84
pembangunan yang ada yang menempatkan pembangungan sebagai proses ekonomi
semata.
2. Periode 1980-an.
Dari berbagai tulisan yang dihasilkan Soedjatmoko pada p,:riode ini, penulis
menemukan tiga karangan pokok yang mengupas secara khusus masalah
pembangunan. Yang pertama adalah tulisannya yang berjudul "Pembangunan sebagai
Proses Belajar" (1985). Dalam tulisan ini, ia menentang pemahaman yang
mengartikan pembangunan sebagai suatu proses yang hampir mekanis, yang mesti
dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu untuk mencapai target
tertentu. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa pembangunan bukan lah sebagai sesuatu
yang "dilakukan" - melalui berbagai tindakan atau pun melalui berbagai keahlian
yang diperoleh - melainkan sebagai sesuatu yang "dipelajari".36
Sebagai sesuatu yang dipelajari, lanjut Soedjatmoko, pembangunan
merupakan upaya peningkatan kemampuan masyarakat, baik secara individual
maupun kolektif, tidak hanya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, melainkan
juga untuk mengarahkan perubahan tersebut mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal
ini melibatkan proses belajar untuk keluar dari kerangka pikir yang menerima sikap
pasif sebagai satu-satunya tanggapan yang relevan bagi penindasan dan ketidak
berdayaan.37
36 Seodjatmoko, "Pernbangunan Sebagai Proses Belajar", dalarn, Kathleen Newland danKernala Candmkirana, Menjelajah Cakrawala...., hal. 50
37 Ibid.
85
Karangan Soedjatmoko yang lain tentang pembangunan adalah "Hlimaniora
dan Pembangunan" yang ditulisnya pada tahun 1986. Dalam karangan ini
Soedjatmoko mengemllkakan gagasan bahwa hllmaniora mendudllki tempat sentral
dalam proses pembangunan. Soedjatmoko berkeyakinan bahwa kebanyakan dari
penyimpangan dalam pembangunan muncul karena diabaikarmya hurnaniora.
Baginya, berbagai studi kemanusiaan justru menjadi penting dalam zaman teknologi
Illl.
Menurut Soedjatmoko, selain sejarah, filsafat, etika, sastra dan bahasa yang
merupakan bidang humaniora yang pokok, bidang studi lain seperti ilmu
perbandingan agama, hukurn arkeologi, sejarah seni, dan kritik seni, biasanya juga
dipandang sebagai bagian dari hurnaniora. Studi mengenai hurnaniora tersebut akan
membantu seseorang, baik secara individu maupun kolektif, untuk menangkap makna
dari pengalaman hidup dan menyajikan jalan untuk memahami kegiatan-kegiatan dan
tujuan-tujuan dari masyarakat. Mengutif William Bennet, Soedjatmoko menyatakan
bahwa hurnaniora membantu upaya untuk mengembangkan kerrmgka moral dan
imajinatifbagi pengambilan tindakan.38
Karya terakhir Soedjatmoko pada periode ini yang sekaligus juga karya
penutup Soedjatmoko dalam bidang pembangunan adalah tulisannya yang berjudul
"Manusia Indonesia Menjelang Abad ke-21 dan Persiapannya". Karya ini ia tulis
sebagai surnbangan untuk rencana pembangunan 25 tahun kedua bangsa Indonesia,
38 Ibid. hal 87
86
setelah Pelita V. Sebuah karya yang berasal dari ceramah yang ia sampaikan di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tidak lama sebelum ia wafat (1989).
Dalam karangan tersebut Soedjatmoko berpendapat bahwa pembangunan
lahap kedua merupakan masa diskontinu yang memerlukan orientasi dan garis
kebijakan yang baru.39 Terdapat persoalan yang menyangkut kependudukan, tenaga
keIja dan kemiskinan yang membawa banyak akibat. Semua itu terjadi dalam situasi
kemiskinan intemasional dan tidak terelakkannya dampak IPTEK yang akan ikut
menentukan tempat bangsa Indonesia dalam percaturan Intemasional. Khusus
mengenai IPTEK, Soedjatmoko menulis bahwa penguasaan IPTEK merupakan syarat
mutlak untuk bersaing dan menjaga otonomi bangsa Indonesia dalam pertarungan di
I . . I 40ge anggang mtemaslOna .
Persoalan lain yang diulas Soedjatmoko adalah masalah :pemanasanbumi
dan dampaknya bagi lingkungan hidup. Antisipasi yang dianjurkan Soedjatmoko
menghadapi kenyataan itu adalah meningkatkan kemampuan manusia Indonesia yang
meliputi kemampuan untuk serba tahu, sadar bahwa proses belajar tidak peruah
selesai, mampu berpikir secara integratif dan konseptual. Soedjatmoko menegaskan
pada bagian akhir tulisannya bahwa upaya untuk menumbuhkan kemampuan tersebut
hanya dapat memberikan hasilnya dalam masyarakat yang bebas dan demokratis.41
39 Soedjatmoko, Soedjall1loko dan Keprihalinan Masa Depan, Yogyakarta: PT TiaraWacana Yogya, hal. 87
'0 Ibid. hal 94
" Ibid., hal 104
87
Bagaimanakah memposisikan pemikiran pembangunan Soedjatmoko pada
periode ini dengan teori pembangunan lainnya yang berkembang di dunia ketiga
terutama sekali di Indonesia? Dalam bagian pengantar dari bukunya yang beJjudul
"Teori Pembangunan Dunia Ketiga", Arief Budiman menjelaskan bahwa ada satu
kelompok utama teori pembangunan yang sangat dominan berkembang di Indonesia
yang disebutnya kelompok Teori Modemisasi.42 Teori Rostosw tentang lima tahap
pembangunan yang dikembangkan dalam pelaksanaan pembangunan pada masa Orde
Barn adalah salah satu aliran yang tergolong ke dalam kelompok Teori Modemisasi.
Teori Modemisasi telah melibatkan faktor manusia dalarn proses
pembangunan. Sebagai contoh adalah teori Weber tentang peran agama dalam
pembentukan kapitalisme atau teori McClelland yang menekaukan bahwa kebutuhan
akan berprestasi dari seorang individu dapat mendorong semangat wira usaha yang
sangat berguna dalarn mendorong laju pembangunan. Meskipun demikian, semua
faktor manusia tersebut masih dilihat sebagai alat yang berguna dalarn mendorong
kemajuan material (ekonomis) dalam pembangunan. Dengan kata lain, menurut
penulis, Teori Modemisasi masih bersifat materialistis.
Sifat materialistis inilah yang membedakan teori modemisasi dengan
semangat dalam pemikiran Soedjatmoko tentang pemmangunan Jika teori
modemisasi menempatkan aspek manusia sebagai alat dalam mencapai kemajuan
material dalam pembangunan, maka bagi Soedjatmoko, aspek UlflSur manusia itu
42 Arief Budiman, TeoriPembangunan Dunia Keliga, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2000, hal. x
88
bukan hanya sebagai alat melainkan sebagai tujuan dari proses pembangunan. Ia
memandang pembangunan bukan sebagai sesuatu yang dilakukan untuk mencapai
target tertentu melainkan sebagai sesuatu yang dipelajari. 1a menekankan
pembangunan sebagai suatu proses yang manusiawi dan bergantung pada
kemampuan membebaskan dan menyaIurkan kekuatan kreatif yang ada pada suatu
masyarakat atau bangsa. Jika membandingkan teori pembangunan seperti yang
dijelaskan dalam Teori Modernisasi dengan gagasan Soedjatmoko tentang
pembangunan sebagai proses belajar misalnya, maka visi yang tertuang dalam
pemikiran pembangunan Soedjatmoko jelas melampaui semangat dari teori-teori
pembangunan yang berkembang di dunia ketiga khususnya Indonesia
C. Kritik Soedjatmoko terhadap Konsep dan Kebijakan Pembangunan
Pemerintah Orde Baru
Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II bahwa, untuk membebaskan
bangsa Indonesia dari krisis ekonomi dan politik yang diwariskan Orde Lama, para
pendiri Orde Bam yang dipimpin Soeharto telah menempuh format politik
pembangunan yang berbeda dengan cara yang ditempuh oleh elit Orde Lama di
bawah Soekarno. Pemerintahan Orde Barn yang didominasi ABRI dan dibantu para
teknokrat yang dipimpin Widjojo Nitisastro dan para Mafia Barkeley lainnya, tampil
ke depan dengan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi sebagai raison d 'elre
nya.
89
Untuk mencapat kesuksesan pembangunan ekonominya, pemerintah
menempuh strategi yang diarahkan pada peningkatan perturnbuhan ekonomiyang
berusaha diwujudkan dengan cara menggalang modal dan bantuan asing. Kenyataan
ini mendorong pemerintah Orde Barn sejak tahun pertama berdirinya untuk memulai
politik luar negeri yang lebih akomodatif dan low profile43 terhadap pihak luar.
Sedangkan stabilitas politik pada dasarnya dilihat sebagai prasyarat yang diperlukan
untuk melaksanakan pembangunan ekonominya.
Dalam perkembangannya, kebijakan pembangunan yang ditempuh oleh
pemerintah Orde Baru ini berhasil menciptakan beberapa kemajuan yang ditandai
oleh meningkatnya kesejahteraan rakyat dan terkuranginya tingkat kemiskinan.
Kemajuan tersebut disokong oleh terciptanya keadaan politik yang semakin stabil.
Nanmn demikian, kebijakan pembangunan Orde Barn yang berturnpu pada
perturnbuhan ekonomi dan stabilitas politik tersebut juga diiringi oleh berbagai
dampak negatif. Dampak negatif tersebut dikarenakan keberhasilan pembangunan
ekonomi yang diraih tidak disertai oleh distribusi yang merata dalam pendapatan
nasional, antara golongan elit dan rakyat bawah. Maka, dampak negatif pertama dari
kebijakan pembangunan Orde Baru adalah terjadinya ketimpangan sosial.
Di sisi lain, penciptaan stabilitas telah menimbulkan darnpak lain berupa
terciptanya rezim negara yang bersifat korporatis dan berakibat pada terkuranginya
hak-hak politk rakyat dan hak-hak lainnya. Dalam bahasa lain, problem utama dari
43 Dewi Fortuna Anwar, "Implikasi Interdependensi Intemasional terhadap Politik OrdeBarn". dalam. Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi (ed). Menelaah KembaU Formal PaUlik Orde Barn,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1995, hal. 160
90
praktek kebijakan pembangunan Orde Baru terjadinya pengabaian terhadap
penegakan demokrasi dan pengekangan terhadap kebebasan di segala lini, terutama
kebijakan yang terkait dengan SDM perempuan yang sepintas terlihat merupakan
kebijakan yang sangat ekonomis, padahal justru menimbulkan pemiskinan terstruktur,
yang menurut penulis hal ini juga merupakan tidak beIjalannya kebebasan dan
keadilan. Relitasnya bisa dilihat melalui program Paca Dharma Wanita yang
merupakan program unggulan dalam peningkatan peran wanita dalam pembangunan.
Pengekangan terhadap kebebasan inilah yang menjadi dasar kritik
Soedjatmoko terhadap konsep dan kebijakan pembangunan Orde Baru. Kritik
tersebut muncul dari pribadi Soedjatmoko semenjak ia pulang ke Indonesia dari
Amerika, ketika ia menyaksikan progranl pembangunan Orde Baru telah berimplikasi
pada sempitnya ruang kebebasan yang berkembang dalam masyarakat. Sootu keadaan
yang telah memudarkan sikap optimismenya terhadap Orde Baru.
Kebebasan memang merupakan sesuatu hal yang sangat melekat dalam
pribadi Soedjatmoko. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakarl 19nas Kleden,
kebebasan dan otonomi manusia merupakan kata kunci untuk memahami
Soedjatmoko. Kebebasan merupakan nilai terakhir dan tertinggi yang dicita-citakan
Soedjamoko untuk setiap manusia. Dalam pengertian Soedjatmoko, masalah atau
problem berarti setiap hal, keadaan dan perkembangan yang mengancam otonomi dan
kebebasan manusia:4 Dalam keluasan masalah dan obyek yang rnenjadi perhatian
." Ignas Kleden, "Soedjatmoko: Sebuah Psikologi Pembebasan", dalam, Soedjatmoko,Etika .... , hal. x
91
dari pemikiran Soedjatmoko, apakah itu ilmu, politik, agama, kebudayaan dan
ekonomi, pada puncaknya akan berakhir pada suatu tujuan yaitu peJjuangan bagi
tegaknya kebebasan.
Cita-cita akan kebebasan itu pula yang mendasari pemikiran Soedjatmoko
tentang pembangunan. Bagi Soedjatmoko, pembangunan sebagai kondisi sosial amat
diperlukan bagi kebebasan. la menyatakan bahwa, tujuan dari pembangunan adalah
membuat penduduk suatu negeri (terntama kaum lemah dan miskin) tidak hanya lebih
produktif, tetapi juga secara sosial lebih efektif dan sadar diri. Pembangunan
dimaksudkan untuk meningkatkan keterbukaan masyarakat dan untuk memperbesar
lingkup kebebasan. Oleh karena itu, peningkatan efektivitas sosial dan kesadaran diri
hendaknya berlangsung dengan cara-cara yang tidak berbenturan dengan
kebebasa\'l!1edjatmoko menegaskan bahwa pembangunan dalam kebebasan dati
pembangunan menuju kebebasan bukan hanya berarti pembebasan kaum miskin dan
lemah dari struktur-struktur sosial yang menindas. Melaiukan, pernbangunan hams
mencakup pendidikan mereka, modemisasi keterampilan tradisional mereka, serta
keterampilan-keterampilan barn, dan kemampuan mereka berorganisasi.46 Untuk itu
ia menyarankan agar dikembangkan suatu pola pernbangunan yang employment
oriented yang mengutamakan keadilan sosial dan rnemperkuat kesanggupan untuk
berdiri di atas kaki sendiri (se(( relieance). Bahkan ia menandaskan agar menjadikan
45 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoka.. .. , hal. 92-93
46 Soedjatmoko, Pembangunan dOll.... , hal. 114
92
~elf reliance itu sendiri sebagai nilai, bukan sikap tergantung kepada negara
melainkan keberanian untuk mewujudkan kehidupan sendiri.47
Terkait dengan cakupan kebebasan yangdiinginkan Soedjatmoko dalam
proses pembangunan, sangatlah perlu untuk mengungkapkan teori Isaiah Berlin
tentang kebebasan. Berlin, dalam "Four Essays on Liberty" - sebagaimana dikutif
Carol C. Gould - mengatakan bahwa ada dua bentuk kebebasan yaitu kebebasal1
positif (kebebasan untuk) dan kebebasan negatif (kebebasan dari). Kebebasan negatif
berarti kebebasan dari gangguan yang diciptakan oleh orang lain. Dalam konteks
politik, kebebasan negatif menunjuk pada bebasnya setiap orang dari intervensi dan
pengendalian negara, atau dilindunginya tiap orang oleh negata dad intervensi atau
penindasan pihak lain. Sedangkan kebebebasan positif diartikan sebagai kebebasal1
memilih dan mengembangkan diri. Kebebasan positif dimaknai sebagai kebebasan
yang "terkandung dalam diri sendiri" atau sebagai "alatku sendiri" untuk
mengejahwantahkan keinginan.4&
Soedjatmoko, sebagai seorang cendekiawan yang bervisi hurnanis
(kemanusiaan), menginginkan agar dua bentuk kebebasan itu dapat dhvujudkan
secara serentak dalam proses pembangunan yang berlangsung di dalam masyarakat.
Dalam konteks negara, ia mcnghendaki agar negara berfungsi sebagaipembantu
masyarakat untuk mewujudkan kebebasarmya dan tidak menjadi penghambat
," Soedjatmoko, Etika... " hal. 118
48 Carol C. Gould. Demokrasi Ditinjau Kembali, (terj.). Yogyakartl: PT Tiara WacanaYogya, 1993, hal. 36
93
kebebasan tersebut. Sedangkan bagi masyarakat sendiri ia menganjurkan agar
individu-individu dalam masyarakat menyadari bahwa dirinya mempunyai kebebasan
untuk mengembangkan diri dan keinginannya dan dengan penuh percaya diri ingin
mewujudkan potensi yang dimilikinya.
Karena begitu sentralnya nilai kebebasan di dalam proses pembangunan,
Soedjatmoko menyatakan bahwa pembangunan bukanlah sekedar proses ekonomi
semata, melaiukan harns melibatkan dimensi manusia dalam proses tersebut. Ia
berpendapat bahwa usaha pembangunan tidak sekedar demi keperlrum material tetapi
dilakukan sebagai syarat untuk memungkinkan suatu kehidupan yang bebas dan
bahagia. Pembangunan harns mementingkan pertumbuhan manusia, mengubah
manusia dan kemampuan perorangan serta kolektifuya untuk menjawab secara kreatif
dan mengorganisir diri bagi tugas dan kesempatan barn.49 Oleh karena itu juga,
menurut Soedjatmoko, pembangunan harns mampu mendorong masyarakat untuk
memahami makna hidupnya dalam proses pembangunan.
Dalam kerangka penekanan kepada dimensi manusia itulah, maka
Soedjatmoko mengkritik model pembangunan ekonomi Rostow yang diterapkan pada
masa Orde Barn di Indonesia karena terlalu menekankan perturnbuhan ekonomi
(economic growth). la rnenambahkan, teori pertumbuhan ekonorni Rostow tidak
dapat memahami dinamika sosial yang sedang berlangsung di Indonesia. Dan model
apa pun yang tidak berakar dalam dinamika sosial yang ada tidak dapat ditiru begitu
49 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko...., hal. 72
94
saja dalam pembangunan negara bam seperti Indonesia.50 Oleh karena itu, lanjut
Soedjatmoko, perlu diupayakan pencarian jawaban sendiri dalam menghadapi
pembangunan.51
Akan tetapi, meskipun Soedjatmoko mengedepankan arti penting
pembangunan bagi terwujudnya kebebasan manusia, ia ffilenyadari bahwa
pembangunan yang sungguh-sungguh diupayakan tidak akan begi1:l.\ saja menurnbuh
kembangkan kebebasan. Bahkan sebaliknya, adakalanya pembangungan malah
menjadi ancaman bagi kebebasan. Apalagi jika pembangunan melahirkan
ketidakadilan, potensi tindak kekerasan dari kemarahan akan teraktualkan. Hal ini
juga dapat terjadi jika rakyat kehilangan harapan karena sistem politik yang ada tidak
mendukung pencapaian kebebasan.
Kritik Soedjatmoko terhadap teori pembangunan Rostow yang diterapkan
Orde Baru serta sarannya untuk mengembangkan pemikiran altematif, membawa ia
kepada upaya untuk merurnuskan suatu teori pembangunan bam yang arah
lintasannya bersifat mendukung kebebasan dan martabat manusia dan bukan
menghancurkannya. Teori itu disebutnya teori pembangunan demokratik.
Menurut Soedjatmoko, teori pembangunan demokratik harus memiliki
kemampuan analitik dan menjelaskan agar masyarakat dapat mernahami hubungan
antara perubahan dan pembangunan; kestabilan dan keamanan; serta keadilan sosial.
Teori ini perlu menyajikan peta perjalanan bagi pilihan-pilihan menuju arah lintasan
50 Ibid., hal. 73
51 Soedjatmoko, Etika .. .. , hal. 53
95
pembangunan yang menghormati dan secara konstan memperluas wilayah kebebasan,
martabat, dan hak-hak manusia.52
Untuk membuka ruang bagi terciptanya kebebasan tersebut, menurut
Soedjatmoko, proses pembangunan harns dilaksanakan dari bawah dengan
melibatkan partisipasi dan keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Penekanan pada emansipasi pembangunan dari bawah tersebut membawa
konsekuensi perlunya menjalankan kebijaksanaan budaya; karena itu, faktor politik
dan sosial-ekonomi saja tidak cukup. Pembangunan dati bawah pada akhimya harns
melibatkan transformasi sosial yang menyeluruh dan manusiawi.
Semangat utama yang harns ditempatkan dalam teori pembangunan
demokratik Soedjatmoko adalah penegakkan demokrasi dan kebebasan serta
keseimbangan yang harus dijaga antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan
kestabilan politik. Ia menekankan bahwa kelangsungan hidup suatu masyarakat
sebagian besar bergantung pada kemampuan negara untuk memelihara petimbangan
yang dinamik antara perubahan dan pembangunan, ketertiban dan kestabilan serta
persepsi keadilan sosial yang akan menentukan pada titik mana kebebasan dan
paksaan betimbang.53 Suatu petimbangan sosial yang tidak dirasakan masyarakat
Indonesia dalam praktek dan kebijaksanaan pembangunan rezim Orde Baru.
52 Soedjatmoko, Pembangunan dan...., hal. 38-39
53 Soedjatmoko. Pembangunan dan ....• hal. 15
BABV
PENUTUP
Kesimpulan
Soedjatmoko merupakan seorang cendekiawan dunia ketiga yang
mempunyai bidang perhatian yang luas, dari mulai agama, ilmu, pendidikan, sejarah
kebudayaan, dan pembangunan. Dalam keluasan masalah y,mg ia gumuli,
Soedjatmoko merupakan cendekiawan bervisi humanis yang memegang teguh nilai
nilai kemanusiaan sebagai tujuan akhir dari perjuangan dan pemikirannya. Salah-satu
unsur kemanusiaan yang menjadi roh dalam pemikirarmya dan yang ingin selalu
ditega!kkarmya untuk setiap manusia adalah otonomi dan kebebasan manusia.
Perjuangan untuk menega!kkan kebebasan bagi setiap manusia itu pula yang
melandasi seluruh gagasan dan ide-nya tentang pembangunan yang telah dirintisnya
sejak tahun ]950-an. Pembangunan, bagi Soedjatmoko, harns dilakukan dalam
rangka memperluas ruang kebebasan dan martabat manusia, bukan
mempersempitnya. Pembangunan yang sungguh-sungguh berhasil harns dapat
mewujudkan kehidupan yang bahagia dan membebaskan masyarakat dari
keterkekangannya. Oleh karena itu, pembangunan harns dilihat bubn sekadar proses
ekonomi semata melainkan juga sebagai proses kebudayaan yang berporos pada
kebebasan.
Sebagai intelektual yang rindu akan kebebasan, Soedjatmoko, pada saat
berdirinya Orde Barn, menyambut dengan gegap gembira rezim barn yang
dikomandoi oleh Soeharto dan Angkatan Darat itu. Kekecewaannnya terhadap rezim
97
)rde Lama dan komitmen pemerintah Orde Barn bagi penegakan kebebasan dan
iemokrasi menggiring Seodjatmoko pada sikap optimis dan akomodatif terhadap
Jemerintahan yang bam terbentuk tersebut. Dalam suasana yang penuh dengan
)ptimisme itu lah, Soedjatmoko telah memberikan peran penting bagi pembangunan
Jangsanya, Indonesia.
Peranan terpenting dan terbaik yang dijaIankan Soedjatmoko sebagai
wntributor bagi bangsa Indonesia seeara umum, dan kepentingan pembangunan Orde
Bam seeara khusus, adalah ketika ia menjadi Duta Besar R1 untuk Amerika Serikat
periode 1968-1971. Dengan tugasnya sebagai dubes, ia berhasil membangun citra
positif Indonesia di mata intemasional dan menjemihkan anggapan-anggapan negatif
lerhadap Indonesia yang saat itu dirundung krisis dan berbagai problem. Dengan
kedudukannya sebagai cendekiawan di dunia ketiga yang sangat dihormati di dunia
intemasional, ia berhasil memikat simpati negara-negara besar, terutama Amerika,
IJlltuk tetap menjalin hubungan yang erat dan memberikan bantuan ekonomi kepada
Indonesia.
Pasca menjadi Dubes, karena kekecewaannya terhadap Orde Barn yang telah
bembah menjadi rezim korporatis dan sentralistik, dengan kebijaklm pembangunan
yang menundukkan program yang lain di bawah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
politik, Soedjatmoko memposisikan dirinya sebagai cendekiawan yang tidak
mempergunakan kekuasaan untuk memperjuangkan cita-citanya akan kebebasan.
Perannya pada masa ini lebih sebagai pemikir yang mcngabdikan diri untuk
kepentingan bangsanya melalui gagasan dan ide yang disumbangkannya. Salah satu
98
~agasan yang sangat intens ia kembangkan pada masa ini ialah gagasannya tentang
Jembangunan
Dengan posisinya sebagai cendekiawan yang berada dipinggir kekuasaan,
peranan Soedjatmoko untuk kemajuan pembangunan bangsa tidak menyurut.
SebaJiknya, dengan posisi tersebut ia justru dapat lebih kreatif dan lebih bebas untuk
berpikir dan mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang brilian. Dengan posisi
yang berhadapan dengan kekuasaan, posisi Soedjatmoko sebagai intelektual justru
semakin agung; ia semakin diterima dipuja oleh pengagunmya; ia banyak
memperoleh penghargaan intemasional karena keluasan pengetahuannya. Diantara
prestasi internasional yang diperolehnya ialah penghargaan Magsaysay Award for
International Understanding - suatu penghargaan yang sering disebut sebagai
"Hadiah Nobel Asia" - untuk tulisannya yang beljuduJ "Model Kebutuhan Dasar:
Implikasinya dalam Kebijaksaaan Nasional, tahun 1978.
Pada akhirnya, Soedjatmoko adalah seorang cendekiawan dunia ketiga dan
merupakan anak bangsa yang pernah dimiliki Indonesia dan telah rnengabdikan diri
dan keseluruhan pemikirannya bagi kemajuan bangsanya dan dunia ketiga serta
merupakan sosok mulia yang telah dengan setia mempeljuangkan otonomi dan
kebebasan bagi setiap manusia.
DAFTAR rUSTAKA
IlUKU-BUKU TERCETAK
<\lam, Wawan Iunggul, (peny.), Bung Kamo, Demokrasi Terpimpin Milik RaleyalIndonesia, (Kumpulan Pidalo), Jakarta: PI Gramedia Pustaka Utama, 2001
<\nwar, Rosihan, Soedarpo Saslrosalomo sualu Biografi 1920-2001, BerlumbuhMelawan Arus, Jakarta: PUSDOK GUNIUR 49, 2001
<\li, Fachry, dan Effendy, Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan,1992
<\rba MF, Syarofin (ed.), Demilologisasi Po/itik Indonesia, Jakarta: PI PustakaCIDESINDO, 1998
Budiman, Arief, Teori Pembangunan Dunia Keliga, Jakarta, PI Gramedia PustakaUtama, 2000
Djojohadikusumo, Sumitro, Pembangunan Ekonomi Indonesia, Kuliah Perdana diUniversitas Terbuka, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Emmerson, Donald K. (peny.), Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta: PI GramediaPusatka Utama, 2001
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta, InsistPress, 2003
Farid, Mohammad (ed.), Perisai Perempuan: Kesepakatan Intemasional untukPerlindungan Perempuan, (telj.), Yogyakarta: Yayasan Galang: 1999
Fatah, Eef Saefullah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Bandung: PI RemajaRosdakarya, 2000
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006
Gould, L., Carol, Demokrasi Ditinjau Kembali, (terj.), Yogyakarta: PT Tiara WacanaYogya, 1993
100
-faris, Syamsuddin, dan Sihbudi, Riza, (ed.), Menelaah Kembali Formal Polilik OrdeBaru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995
(artodirjo, Sartono, Pendekalan Ilmu Sosial dalam Melodologi Sejarah, Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama, 1993
~egge J.D, Kaum Inteleklual dan Perjuangan Kemerdekaan, (terj.) Jakarta: Grafiti,1993
Liddle, R. William, Parlisipasi dan Parlai Polilik Indoensia pada Awal Orde Baru,Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1992
l,1allarangeng, Rizal, Mendobrak Senlralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992, Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2004
l,1ahasin, Aswab, Menyemai Kullur Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2000
l,1ahasin, Aswab, dan Natsir, Ismet, (peny.), Cendikiawan dan Polilik, Jakarta:LP3ES,1984
l,1as'oed, Mohtar, Ekonomi dan Slruktur Polilik Orde Baru /966-1971, Jakarta:LP3ES, 1989
Nursam, M, Pergumu1an Seorang Intelektual, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama,2002
.............., (ed.), Krisis Daya Cipla Indonesia, Polemik Soedjalmoko VersusBoejoeng Saleh, Yogyakarta: Ombak, 2004
.............. , (ed.), Sural-Sural Pribadi Soetijalmoko Kepada Presiden (JenderalSoeharlo (16 Juni 1968-26 April 1971), Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2002
Paul Johnson, Doyle, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (terj), Jakarta: PTGramedia, 1986
Poespowardojo, Soerjanto, Slralegi Kebudayaan, Jakarta: PT Gramedia, 1989
Putra, Nusa, Pemikiran Soedjalmoko Tenlang Kebebasan, Jakarta: PT GramediaPustaka Utama, 1994
!OI
Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Jakarta: PT Serambi IImuSemesta, 2005
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan,Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1996
............... , Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan KaranganSoedjatmoko, Jakarta: LP3ES, 1983
............... , Merifelajah Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner Soedjatmoko,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994
............... , Pembangunan dan Kebebasan, Jakarta: LP3ES, 1985
............... , Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan, Yogyakarta: PT TiaraWacana Yogya, 1991
............... , Kebudayaan Sosialis, Jakarta: MELIBAS, 2001
Soetjipto, Ani Widyani, Politik Perempuan bukan Gerhana, Esai-esai Pilihan,Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005
Said, Edward, Peran Intelektual, Kuliah-Kuliah Reith Tahun 1993, (terj), Jakarta:Yayasan Goor Indonesia, 1998
Tjokroamidjojo, Bintoro, Manajemen Pembangunan, Jakarta, CV Haji Masagung,1988
Tjokrowinoto, Moeljarto, Pembangunan Dilema dan Tantangan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga diIndonesia, (teIj), Bandung: Mizan, 1998