soal
TRANSCRIPT
P2
1. Sebutkan senyawa – senyawa yang dapat menginduksi dan menginhibisi enzim –
enzim yang berperan dalam metabolisme obat.
Jawab :
a. Induksi Enzim
Fenolbarbital dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan
metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Rokok contain
polisiklik aromatik hidrokarbon, warfarin harus disesuaikan ( diperbesar )
seperti benzo(α)piren yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu
sitokrom P450, sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti
teofilin, fenasetin, pentazosin dan propoksifen.
Fenolbarbital dapat meningkatkan kecepatan metaolisme griseofulvin,
kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen dan obat
kontrasepsi oral.
Fenitoin dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol nortriptilin
dan obat kontrasepsi oral. Fenolbutazon dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme aminopirin dan kortisol.
b. Inhibisi Enzim
Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida dan fenilbutazon dapat
menghambat enzim yang memetabolisme tolbutamid dan klorpopamid
sehingga meningkatanrespon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol dan isoniazid
dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin
dan para amino salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat
dan toksisitasnya meningkat pula.
Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat metabolisme (s)-
warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya bila luka terjadi
pendarahan yang hebat.
2. Jelaskan mekanisme induksi dan inhibisi enzim
Jawab :
a. Mekanisme induksi
- Induktor jenis fenolbarbital akan menaikan proliferasi retikulum
endoplasma dan denan demikian bekerja menaikan dengan jelas bobot hti.
Induksi terutama pada sitokrom P450 dan juga pada glukuronil transferase.
Glutation transferase dan epoksida hidrolase. Induksi yang terjadi relatif
cepat dalam waktu beberapa hari.
- Induktor metilkolantren yang termasuk disina khususnya karbohidrat
aromatik (metilkolatren, triklordibenodioksin, fenantren) dan beberapa
herbisida, terutama meningkatkan kerja sitokrom P450 dan sintesis
glukuronil transfarase.
Sebagai akibat dari induksi enzim, maka kapasitas penguraian meningkat,
sehingga laju metabolisme meningkat. Apabila induktor di hentikan, kapasitas
penguraian dalam waktu beberapa minggu menurun hingga pada tingkat
asalnya.
b. Mekanisme inhibisi
Pada penambahan inhibitor enzim terjadi pula mekanisme inhibisi enzim.
Bahan obat yang menyebabkan penurunan sintesis atau menaikan penguraian
enzim retikulum endoplasma atau antara 2 obat atau beberapa obat terdapat
persaingan tempat ikatan pada enzim. Akibatnya, terjadi penghambatan
penguraian secara kompetitif sehingga laju metabolisme menurun.
3. Jelaskan hubungan antara induksi dan inhibisi enzim dengan efek farmakologi dan
toksisitas.
Jawab :
a. Hubungan induksi dengan efek farmakologis :
Induksi berarti peningkatan sisntesis enzim metabolisme pada tingkat
transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisma obat yang
menjadi substrat enzim yang bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan
dosis obat tersebut, berarti terjadi toleransi farmakokinetik karena melibatkan
sintesis enzim maka diperlukan waktu beberapa hari (3 hari hingga seminggu)
sebelum dicapai efek yang maksimal.
b. Hubungan inhibisi dengan efek farmakologi
Inhibisi berarti hambatan terjadi langsung, akibatnya terjadi peningkatan
kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara
langsung. Cara untuk mencegah terjadinya toksisitas, diperlukan penurunan
dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh diberikan bersama
penghambatnya (kontra indikasi) jika akibatnya membahayakan. Hambatan
pada umumnya bersifat kompetitif (karena merupakan substrat dari enzim
yang sama), tetapi juga dapat bersifat non kompetitif (bukan substrat dari
enzim yang bersangkutan atau ikatannya irreversibel).
P3
1. Ada berapa macam analgetika? Jelaskan beserta contoh!
Ada 3 macam analgetika, yaitu:
Analgetik narkotik (analgetik sentral)
Analgetika narkotika bekerja di SSP, memiliki daya penghalang nyeri yang
hebat sekali. Dalam dosis besar dapat bersifat depresan umum (mengurangi
kesadaran), mempunyai efek samping menimbulkan rasa nyaman (euforia).
Hampir semua perasaan tidak nyaman dapat dihilangkan oleh analgesik narkotik
kecuali sensasi kulit.
Harus hati-hati menggunakan analgesik ini karena mempunyai risiko besar
terhadap ketergantungan obat (adiksi) dan kecenderungan penyalah gunaan obat.
Obat ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada nyeri hebat (trauma
hebat, patah tulang, nyeri infark jantung, kolik batu empedu/batu ginjal. Tanpa
indikasi kuat, tidak dibenarkan penggunaannya secara kronik, disamping untuk
mengatasi nyeri hebat, penggunaan narkotik diindikasikan pada kanker stadium
lanjut karena dapat meringankan penderitaan. Fentanil dan alfentanil umumnya
digunakan sebagai premedikasi dalam pembedahan karena dapat memperkuat
anestesi umum sehingga mengurangi timbulnya kesadaran selama anestesi.
Penggolongan analgesik–narkotik adalah sebagai berikut:
1. Alkaloid alam: morfin, codein
2. Derivat semi sintesis: heroin
3. Derivat sintetik: metadon, fentanil
4. Antagonis morfin: nalorfin, nalokson dan pentazocin
Analgesik non opioid (non narkotik)
Disebut juga analgesik perifer karena tidak mempengaruhi susunan syaraf
pusat. Semua analgesik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu
menurunkan suhu bada pada saat demam.
Khasiatnya berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di
hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer di kulit dengan bertambahnya
pengeluaran kalor disertai keluarnya banyak keringat. Misalnya parasetamol,
asetosal, dll. Dan berkhasiat pula sebagai anti inflamasi , anti radang atau anti
flogistik.
Anti radang sama kuat dengan analgesik, digunakan sebagai anti nyeri atau
rematik contohnya asetosal, asam mefenamat, ibuprofen. Anti radang yang lebih
kuat contohnya fenilbutazon. Sedangkan yang bekerja serentak sebagai anti radang
dan analgesik contohnya indometazin
Penggolongan analgesik non opioid (non narkotik) berdasarkan rumus kimianya
analgesik perifer digolongkan menjadi:
1. Golongan salisilat. Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal
atau aspirin. Obat ini diindikasikan untuk sakit kepala, nyeri otot, demam dan
lain-lain. Saat ini asetosal makin banyak dipakai karena sifat anti plateletnya.
Sebagai contoh aspirin dosis kecil digunakan untuk pencegahan trombosis
koroner dan cerebral. Asetosal adalah analgetik antipiretik dan anti inflamasi
yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Masalah efek
samping yaitu perangsangan bahkan dapat menyebabkan iritasi lambung dan
saluran cerna dapat dikurangi dengan meminum obat setelah makan atau
membuat menjadi sediaan salut enterik (enteric-coated). Karena salisilat
bersifat hepatotoksik maka tidak dianjurkan diberikan pada penderita penyakit
hati yang kronis.
2. Golongan para aminofenol. Terdiri dari fenasetin dan asetaminofen
(parasetamol). Tahun–tahun terakhir penggunaan asetaminofen yang di
Indonesia lebih terkenal dengan nama parasetamol meningkat dengan pesat.
Efek analgesik golongan ini serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang, dan dapat menurunkan suhu tubuh
dalam keadaan demam, dengan mekanisme efek sentral. Fenasetin karena
toksisitasnya terhadap hati dan ginjal saat ini sudah dilarang penggunaannya.
Efek samping parasetamol dan kombinasinya pada penggunaan dosis besar
atau jangka lama dapat menyebabkan kerusakan hati.
3. Golongan pirazolon (dipiron). Fenilbutazon dan turunannya saat ini yang
digunakan adalah dipiron sebagai analgesik antipiretik, karena efek
inflamasinya lemah. Efek samping semua derivat pirazolon dapat
menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.
Dibeberapa negara penggunaannya sangat dibatasi bahkan dilarang karena
efek samping tersebut, tetapi di Indonesia frekuensi pemakaian dipiron cukup
tinggi meskipun sudah ada laporan mengenai terjadinya agranulositosis.
Fenilbutazon digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid.
4. Golongan antranilat (asam mefenamat). Digunakan sebagai analgesik karena
sebagai anti inflamasi kurang efektif dibanding dengan aspirin. Efek samping
seperti gejala iritasi mukosa lambung dan gangguan saluran cerna sering
timbul
AINS (Analgesik Anti Inflamasi Non Steroid)
AINS adalah obat-obat analgesik yang selain memiliki efek analgesik juga
memiliki efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam
pengobatan rheumatik dan gout. Contohnya ibuprofen, indometasin, diklofenak,
fenilbutazon dan piroxicam.
Sebagian besar penyakit rheumatik membutuhkan pengobatan simptomatis,
untuk meredakan rasa nyeri penyakit sendi degeneratif seperti osteoartritis,
analgesik tunggal atau campuran masih bisa digunakan. Tetapi bila nyeri dan
kekakuan disebabkan penyakit rheumatik yang meradang harus diberikan
pengobatan dengan AINS.
1. Ibuprofen. Adalah turunan asam propionat yang berkhasiat anti inflamasi,
analgesik dan anti piretik. Efek sampingnya kecil dibanding AINS yang lain,
tetapi efek anti inflamasinya juga agak lemah sehingga kurang sesuai untuk
peradangan sendi hebat seperti gout akut.
2. Diklofenak. Derivat fenilasetat ini termasuk AINS yang terkuat anti radangnya
dengan efek samping yang kurang keras dibandingkan dengan obat lainnya
seperti piroxicam dan indometasin. Obat ini sering digunakan untuk segala
macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Secara parenteral sangat efektif
untuk menanggulangi nyeri koli hebat (kandung kemih dan kandung empedu).
3. Indometasin. Daya analgetik dan anti radang sama kuat dengan asetosal, sering
digunakan pada serangan encok akut. Efek samping berupa gangguan lambung
usus, perdarahan tersembunyi (okult), pusing, tremor dan lain-lain.
4. Fenilbutazon. Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih
kuat daripada kerja analgetiknya. Karena itu golongnan ini khususnya
digunakan sebagai obat rematik seperti halnya juga dengan oksifenilbutazon.
Fenilbutazon ada kalanya dimasukan dengan diam-diam (tidak tertera pada
etiket) dalam sediaan-sediaan dari pabrik-pabrik kecil asing, dengan maksud
untuk mengobati keadaan-keadaan lesu dan letih, otot-otot lemah dan nyeri.
Penyalahgunaannya dalam obat-obat penguat dan tonikum (dengan ginseng)
adalah sangat berbahaya berhubung efek merusaknya terhadap sel-sel darah.
5. Piroksikam. Bekerja sebagai anti radang, analgetik dan antipiretik yang kuat.
Digunakan untuk melawan encok. Efek samping berupa perdarahan dalam
lambung usus.
2. Ada berapa cara mekanisme kerja analgetika? Jelaskan dan berikan contoh!
Mekanisme kerja obat analgetik merupakan sebuah mekanisme fisiologis tubuh
terhadap zat-zat tertentu. Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer
dan sentral.
Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin
tidak terjadi contoh: parasetamol. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan
cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi
penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi
contoh: morfin.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami
metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan
gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan
(eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin . meningkatkan kepekaan ujung-ujung
saraf terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang
menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek
yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung,
penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua
isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan
yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung,
parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti
agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya,
COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan
ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2
yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin
penting dalam sensitisasi sentral.
3. Bagaimana mekanisme kerja dari parasetamol dan asetosal? Mengapa
memberikan hasil yang berbeda?
a. Parasetamol
Parasetamol adalah derivate p-aminofenol yang mempunyai sifat
antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik di sebabkan oleh gugus aminobenzen dan
mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik parasetamol dapat
menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat lemah
hingga tidak digunakan sebagai anti rematik. Pada penggunaan per oral parasetamol
di serap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma di capai
dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parsetamol dieksekresikan
melalui ginjal, kurang dari 5 % tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam
bentuk terkonjugasi.
b. Asetosal
Asam asetil salisilat atau asetosal banyak dijumpai dalam berbagai nama paten, salah
satunya yang terkenal adalah Aspirin. Seperti halnya obat-obat analgesik yang lain,
ia bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri
adalah suatu senyawa dalam tubuh yang merupakan mediator nyeri dan
radang/inflamasi. Ia terbentuk dari asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan
bantuan enzim cyclooxygenase (COX). Dengan penghambatan pada enzim COX,
maka prostaglandin tidak terbentuk, dan nyeri atau radang pun reda.
Prostaglandin juga merupakan senyawa yang mengganggu pengaturan suhu tubuh
oleh hipotalamus sehingga menyebabkan demam. Hipotalamus sendiri merupakan
bagian dari otak depan kita yang berfungsi sebagai semacam “termostat tubuh”, di
mana di sana terdapat reseptor suhu yang disebut termoreseptor. Termoreseptor ini
menjaga tubuh agar memiliki suhu normal, yaitu 36,5 – 37,5 derajat Celcius.
Pada keadaan tubuh sakit karena infeksi atau cedera sehingga timbul radang,
dilepaskanlah prostaglandin tadi sebagai hasil metabolisme asam arakidonat.
Prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus, di mana
hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal).
Adanya peningkatan titik patokan ini disebabkan karena termostat tadi menganggap
bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon
dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk menghasilkan panas
tubuh yang lebih banyak. Adanya perubahan suhu tubuh di atas normal karena
memang “setting” hipotalamus yang mengalami gangguan oleh mekanisme di atas
inilah yang disebut dengan demam. Karena itu, untuk bisa mengembalikan setting
termostat menuju normal lagi, perlu menghilangkan prostaglandin tadi dengan obat-
obat yang bisa menghambat sintesis prostaglandin.
Yang membuat efek parasetamol dengan asetosal berbeda adalah sebagai
berikut:
Ada sedikit perbedaan mekanisme aksi parasetamol dengan asetosal sebagai
analgesik dan antipiretik. Selain ada enzim siklooksigenase COX-1 dan COX-2 yang
mengkatalisis pembentukan prostaglandin di jaringan, ada pula COX-3, yang lebih
banyak terdapat di otak dan sistem saraf pusat. parasetamol lebih spesifik
menghambat COX-3 yang ada di otak, sehingga menghambat produksi prostaglandin
yang akan mengacau termostat di hipotalamus. Kerja ini menghasilkan efek
menurunkan demam. Selain itu, karena prostaglandin juga terlibat dalam menurunkan
ambang rasa nyeri, maka penghambatan prostaglandin dapat memberikan efek anti
nyeri atau analgesik. Karena spesifik pada COX-3, tidak menghambat COX-2, maka
efeknya sebagai anti radang di jaringan jadi kecil. Di sisi lain, karena juga tidak
menghambat COX-1, maka efeknya terhadap gangguan lambung juga kecil karena
tidak mempengaruhi produksi prostaglandin jaringan yang dibutuhkan untuk
melindungi mukosa lambung. Juga tidak memiliki efek mengencerkan darah.
Parasetamol lebih amat digunakan untuk manusia karena obat ini relatif aman
dari efek samping seperti yang dijumpai pada aspirin jika dipakai dalam dosis terapi
yang normal. Efek sampingnya berupa gangguan hati/liver dapat terjadi hanya jika
dipakai dalam dosis yang relatif besar (> 4 gram sehari). Sedangkan asetosal memiliki
beberapa efek samping yang berbahaya seperti dapat mengencerkan darah,
menimulkan sindrom Reye untuk anak-anak, dan gangguan lambung.
4. Bagaimana proses terjadinya rasa nyeri?
Nyeri adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh untuk melindungi dan
memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan di tubuh. Dari nyeri ini tubuh
akan melakukan tindakan yang diperlukan selanjutnya.
Mekanisme terjadinya nyeri adalah sebagai berikut, rangsangan (mekanik,
termal atau kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan
tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat
nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer
dalam bentuk persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami).
Rangsangan yang diterima oleh reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai
faktor dan dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Rangsangan Mekanik : Nyeri yang di sebabkan karena pengaruh mekanik seperti
tekanan, tusukan jarum, irisan pisau dan lain-lain.
2. Rangsangan Termal : Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu, Rata-rata
manusia akan merasakan nyeri jika menerima panas diatas 45 C, dimana mulai
pada suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan
3. Rangsangan Kimia : Jaringan yang mengalami kerusakan akan membebaskan zat
yang di sebut mediator yang dapat berikatan dengan reseptor nyeri antaralain:
bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin dan prostaglandin. Bradikinin
merupakan zat yang paling berperan dalam menimbulkan nyeri karena kerusakan
jaringan. Zat kimia lain yang berperan dalam menimbulkan nyeri adalah asam,
enzim proteolitik, Zat P dan ion K+ (ion K positif ).
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang
ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem
Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut Aδ
bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik.
Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan
kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik.
Serabut Aδ berperan dalam menghantarkan "Nyeri cepat" dan menghasilkan
persepsi nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan
"nyeri Lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan
tidak enak.
Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron
traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus ini ke
nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini impuls
diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.
Klasifikasi nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria antara
lain:
a. Klasifikasi nyeri berdasarkan waktu, dibagi menjadi :
Nyeri Akut adalah Nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan terjadinya
singkat contoh nyeri trauma
Nyeri Kronis adalah nyeri yang terjadi atau dialami sudah lama contoh
kanker
b. Klasifikasi nyeri berdasarkan Tempat terjadinya nyeri
Nyeri Somatik adalah Nyeri yang dirasakan hanya pada tempat terjadinya
kerusakan atau gangguan, bersifat tajam, mudah dilihat dan mudah
ditangani, contoh Nyeri karena tertusuk
Nyeri Visceral adalah nyeri yang terkait kerusakan organ dalam, contoh
nyeri karena trauma di hati atau paru-paru.
Nyeri Reperred : nyeri yang dirasakan jauh dari lokasi nyeri, contoh nyeri
angina.
c. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Persepsi Nyeri
Nyeri Nosiseptis adalah Nyeri yang kerusakan jaringannya jelas
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang kerusakan jaringan tidak jelas.
contohnya Nyeri yang diakitbatkan oleh kelainan pada susunan saraf.
5. Cari dan jelaskan cara uji daya analgetika yang lain (3 contoh)
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi
pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara maknik,
termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara
mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada
umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya
peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka
waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon
nyeri (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa
nyeri yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan
percobaan mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat
pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks
respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali
abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki
belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal
Constriction Test (Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu
menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan
evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al., 2003).
Metode Listrik
Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri (Vohora dan
Dandiya, 1992). Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan
atau cicitan. Arus listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang
diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing, kelinci, tikus dan
mencit (Manihuruk, 2000).
Metode Panas
Tiga metode yang bisa digunakan untuk memberikan rangsangan panas:
Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang
dipertahankan pada suhu 60 ± 1oC.
Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat Ni
panas (5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992).
Metode hot plate. Metode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral (Gupta
et al., 2003). Pada metode ini hewan percaobaan diletakkan dalam beaker
glass di atas plat panas (56 ± 1oC) sebagai stimulus nyeri. Hewan percobaan
akan memberikan respon terhadap nyeri dengan menggunakan atau menjilat
kaki depan. Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus
nyeri dan terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi
aktivitas analgesik (Adeyemi, 2001).
Metode Mekanik
Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan
diberikan pada ekor atau kaki hewan percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap
jumlah tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah
diberi obat. Metode ini dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit
(Manihuruk, 2000).
P4
1. Setelah pemberian karagenin, mengapa pengukuran volume udem diulangi 3 jam kemudian
(waktu optimum 3-4 jam)?
Jawab: untuk memperkirakan efek dari senyawa antiinflamasi, pengukuran dilakukan
pada waktu yang tepat selama pembengkakan, yaitu pada selang waktu tertentu.
Karena idealnya kaki tikus tersebut harus di ukur volume udemnya lebih dari satu kali
khususnya pada 3-4 jam (dilakukan pengukuran berulang-ilang). Hal ini memberi
kesempatan pada semua mediaor nyeri yang bersangkutan untuk dapat membuat
pembengkakan secara maksimal. Pada proses pembentukan udema, karagenin akan
menginduksi cedera sel denagan dilepaskannya mediator yang mengawali proses
inflamasi. Udema yang disebabkan induksi karagenin dapat bertahan selama 6 jam
dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam
2. Tentukan obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena karagenin?
Jawab : . Dengan adanya nilai AUC dapat dihitung daya antiinflamasi dari masing-masing
obat. Daya antiinflamasi (DAI) yang dimaksud adalah kemampuan bahan uji untuk
mengurangi pembengkakan kaki hewan uji akibat adanya udem dari pemberian karagenin.
Semakin kecil nilai AUC, menyebabkan semakin besar nilai DAI. Sehingga dapat diketahui
bahwa semakin kecil nilai AUC akan semakin poten obat tersebut. Berdasarkan literatur obat
Prednison merupakan obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena
karagenin, kemudian diikuti Na-diklofenak dan yang paling lemah adalah asam mefenamat.
3. Cari dan jelaskan cara uji daya anti inflamasi yang lain!
Jawab : Macam-macam metode yang digunakan untuk uji anti inflamasi antara lain adalah:
1. Asam Asetat sebagai penginduksi rasa nyeri
Setelah dua minggu hewan diadaptasikan, mencit galur ICR jantan (18-25 gr) dibagi
secara acak kedalam empat kelompok, termasuk juga kedalamnya kelompok normal
dan kelompok positif kontrol, an dua kelompok sampel uji. Kelompok kontrol
diberikan salin, sedangkan kelompok positif kontrol diberikan indometasin
(10mg/kg ip) 20 menit sebelum diberikan asam asetat. Dosis sampel uji dibeirkan
dalam dua variasi dosis, dimana diberikan secara peroral 60 menti sebelum asam
asetat (0.1 ml/10g) diberikan. % menit setelah injeksi IP asam asetat dilihat tikus
yang mengalami nyeri dalam rentang waktu 10 menit (Nadjeeb,2010).
2. Tes formalin
Mencit galur ICR jantan (18-25 gr) dikelompokkan secara acak kedalam 4 grup
(n=8). Termasuk kedalamnys kelompok normal dan positif control dan kelompok
sample uji. Kelompok control hanya diberi pembawa, positf contro, indometasin
(10mg/kg ip) dilarutkan dalam tween 80 plus 0.9% (w/v) larutan salin dan diberikan
secara IP pada volume 0.1ml/10 g. Satu jama sebelum pengujian, hewan
ditempatkan pada kandang standar ( ukuran 30x12x13 cm) yang digunakan sebagai
tempat observasi.Samepl diberikan secara peroral 60 menit sebelum injeksi
formalin. Indometasin diadministrasikan 30 menit sebelum injeksi formalin. 20 µl
formalin 1% dinjeksikan pada permukaan dorsal dari tapak kaki kanan. Dan waktu
tapak kaki meregang dicatat. 5 menit setelah injeksi formalin disebut fase awal, dan
waktu 15-40 menit disebut fase akhir. Waktu yang dibutuhkan untuk meregangkan
tapak kaki dihutng dengan stopwatch. Aktivitas diukur dlam interval waktu 5 menit
(Nadjeeb,2010).
3. λ-carrageenin sebagai penginduksi udema pada tapak kaki
Mencit jantan galur ICR (18-25 gr) dipuasakan 24 jam sebelum masa percobaan
dengan tetap diberi minum. 50 µl suspensi 1% karagenan dilarutkan dalam larutan
salin dinjeksikan pada tapak kaki kanan mencit.Sampel dan indometasin dilarukan
dalam tween 80 plus 0.9% (w/v) larutan salin. Konsentrasi final dari tween 80 tidak
boleh lebih dari 5% dan tidak menyebabkan inflamasi yng berarti. 2 jam sebelum
dinduksi, diberikan sampel dengan 2 tingkatan dosis secara oral. Indometasin (10
mg/kg ip) diinjeksikan 90 menit sebelum induksi. Udema pada tapak kaki segera
dihitung setlah injeksi karagenan (interval waktu 1,2,3,4,5,6 jam) dengan
menggunakan pletismometer. Derajat udema dievaluasi dengan rasio a/b
(Nadjeeb,2010).
a= volume tapak kaki kanan setelh induksi karagenan
b= volume tapak kaki kanan sebelum induksi karagenan
4. Metode Panas
Tes Hot plate
Metode ini dengan menggunakan hot plate yang suhunya 55 ± 1°C. Waktu terjadi
reaksi basal hewan terhadap panan dicatat. Hewan yang menunjukkan respon
melompat dalam waktu 6-8 detik dimasukkan kedalam kelompok percobaan. 60
menit setelah administrasi senyawa uji dan positif control, hewan dikelompokkan
kedalam 6 grup dimana masing-masingnya ditaruh pada hot plate. Waktu sampai
terjadi lompat hewan coba disebut waktu reaksi.Persentasi inhibisi sakit dihutung
denga rumus:
(PIP) = ((T1-T0)/T0) x 100 àT1 =waktu setalah diberi obat
T0 = sebelum diberi obat (Nadjeeb,2010)
Tes menarik ujung ekor
Waktu reaksi basal hewan uji terhadap panas dicatat dengan melekatkan ujung ekor
(jarak 1-2 cm paling ujung) pada sumber panas. Respon dilihat ketika hwean
menarik ekor dari sumber panas. Hewan yang menunjukkan respon dalam 3-5 detik
dimasukkan kedlaam percobaan. Periode waktu pemgamatan selama 15 detik.
Waktu pengamatan dilakukan setelah 30 dan 60 menti administrasi obat. Persentase
inhibis dihutng dengan rumus:
(PIP) = ((T1-T0)/T0) x 100
T1 =waktu setalah diberi obat and T0 = sebelum diberi obat
5. Etil fenil propionate sebagai penginduksi edem pada telinga tikus
Tus jantan (100-150 gr) digunakan sebgai hewan coba. Edema telinga dinduksi
mengoleskan secara topical EEp dengan dosis 1mg/20 μl pertelinga pada bagian
permukaan dan dalam kedua telinga dengan mengunakan pipet otomatis. Sampel uji
juga dioleskan pada telinga denga volum yang sama seperti EEP. Waktu sebelum, 30
menit, 1 jam dan 2 jam merupakan waktu pengamatan setelah induksi. Ketebalan
telinga diukur jangka sorong (Nadjeeb,2010)..
6. Putih telur sebagai penginduksi edema
Empat grup tikus wistar jantan dan betina diberikan : grup 1, 10% propilenglikol,
grup 2 dan 3 sampel uji, dan grup 4 diberikan natrium diklofenak sebagaikontrol
positif (100 mg/kg po). Setelah 30 menit, masing-masing kelompok disuntikkan
dengan putih telur sebanyak 0.5 ml pada tapak kaki kiri. Digunakan pletismometer
digital untuk mengukur volume kaki yang mengalami udema dalam perode 120
menit. Dengan interval 30, 60, 90 dan 120 menit (Nadjeeb,2010).