soal

24
P2 1. Sebutkan senyawa – senyawa yang dapat menginduksi dan menginhibisi enzim – enzim yang berperan dalam metabolisme obat. Jawab : a. Induksi Enzim Fenolbarbital dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Rokok contain polisiklik aromatik hidrokarbon, warfarin harus disesuaikan ( diperbesar ) seperti benzo(α)piren yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P 450 , sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin, fenasetin, pentazosin dan propoksifen. Fenolbarbital dapat meningkatkan kecepatan metaolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen dan obat kontrasepsi oral. Fenitoin dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol nortriptilin dan obat kontrasepsi oral. Fenolbutazon dapat meningkatkan kecepatan metabolisme aminopirin dan kortisol. b. Inhibisi Enzim Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida dan fenilbutazon dapat menghambat enzim yang memetabolisme tolbutamid dan klorpopamid sehingga meningkatanrespon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol

Upload: devi-yanti

Post on 01-Jan-2016

332 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: soal

P2

1. Sebutkan senyawa – senyawa yang dapat menginduksi dan menginhibisi enzim –

enzim yang berperan dalam metabolisme obat.

Jawab :

a. Induksi Enzim

Fenolbarbital dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan

metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Rokok contain

polisiklik aromatik hidrokarbon, warfarin harus disesuaikan ( diperbesar )

seperti benzo(α)piren yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu

sitokrom P450, sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti

teofilin, fenasetin, pentazosin dan propoksifen.

Fenolbarbital dapat meningkatkan kecepatan metaolisme griseofulvin,

kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen dan obat

kontrasepsi oral.

Fenitoin dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol nortriptilin

dan obat kontrasepsi oral. Fenolbutazon dapat meningkatkan kecepatan

metabolisme aminopirin dan kortisol.

b. Inhibisi Enzim

Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida dan fenilbutazon dapat

menghambat enzim yang memetabolisme tolbutamid dan klorpopamid

sehingga meningkatanrespon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol dan isoniazid

dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin

dan para amino salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat

dan toksisitasnya meningkat pula.

Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat metabolisme (s)-

warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya bila luka terjadi

pendarahan yang hebat.

2. Jelaskan mekanisme induksi dan inhibisi enzim

Jawab :

a. Mekanisme induksi

- Induktor jenis fenolbarbital akan menaikan proliferasi retikulum

endoplasma dan denan demikian bekerja menaikan dengan jelas bobot hti.

Induksi terutama pada sitokrom P450 dan juga pada glukuronil transferase.

Page 2: soal

Glutation transferase dan epoksida hidrolase. Induksi yang terjadi relatif

cepat dalam waktu beberapa hari.

- Induktor metilkolantren yang termasuk disina khususnya karbohidrat

aromatik (metilkolatren, triklordibenodioksin, fenantren) dan beberapa

herbisida, terutama meningkatkan kerja sitokrom P450 dan sintesis

glukuronil transfarase.

Sebagai akibat dari induksi enzim, maka kapasitas penguraian meningkat,

sehingga laju metabolisme meningkat. Apabila induktor di hentikan, kapasitas

penguraian dalam waktu beberapa minggu menurun hingga pada tingkat

asalnya.

b. Mekanisme inhibisi

Pada penambahan inhibitor enzim terjadi pula mekanisme inhibisi enzim.

Bahan obat yang menyebabkan penurunan sintesis atau menaikan penguraian

enzim retikulum endoplasma atau antara 2 obat atau beberapa obat terdapat

persaingan tempat ikatan pada enzim. Akibatnya, terjadi penghambatan

penguraian secara kompetitif sehingga laju metabolisme menurun.

3. Jelaskan hubungan antara induksi dan inhibisi enzim dengan efek farmakologi dan

toksisitas.

Jawab :

a. Hubungan induksi dengan efek farmakologis :

Induksi berarti peningkatan sisntesis enzim metabolisme pada tingkat

transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisma obat yang

menjadi substrat enzim yang bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan

dosis obat tersebut, berarti terjadi toleransi farmakokinetik karena melibatkan

sintesis enzim maka diperlukan waktu beberapa hari (3 hari hingga seminggu)

sebelum dicapai efek yang maksimal.

b. Hubungan inhibisi dengan efek farmakologi

Inhibisi berarti hambatan terjadi langsung, akibatnya terjadi peningkatan

kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara

langsung. Cara untuk mencegah terjadinya toksisitas, diperlukan penurunan

dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh diberikan bersama

penghambatnya (kontra indikasi) jika akibatnya membahayakan. Hambatan

pada umumnya bersifat kompetitif (karena merupakan substrat dari enzim

Page 3: soal

yang sama), tetapi juga dapat bersifat non kompetitif (bukan substrat dari

enzim yang bersangkutan atau ikatannya irreversibel).

P3

1. Ada berapa macam analgetika? Jelaskan beserta contoh!

Ada 3 macam analgetika, yaitu:

Analgetik narkotik (analgetik sentral)

Analgetika narkotika bekerja di SSP, memiliki daya penghalang nyeri yang

hebat sekali. Dalam dosis besar dapat bersifat depresan umum (mengurangi

kesadaran), mempunyai efek samping menimbulkan rasa nyaman (euforia).

Hampir semua perasaan tidak nyaman dapat dihilangkan oleh analgesik narkotik

kecuali sensasi kulit.

Harus hati-hati menggunakan analgesik ini karena mempunyai risiko besar

terhadap ketergantungan obat (adiksi) dan kecenderungan penyalah gunaan obat.

Obat ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada nyeri hebat (trauma

hebat, patah tulang, nyeri infark jantung, kolik batu empedu/batu ginjal. Tanpa

indikasi kuat, tidak dibenarkan penggunaannya secara kronik, disamping untuk

mengatasi nyeri hebat, penggunaan narkotik diindikasikan pada kanker stadium

lanjut karena dapat meringankan penderitaan. Fentanil dan alfentanil umumnya

digunakan sebagai premedikasi dalam pembedahan karena dapat memperkuat

anestesi umum sehingga mengurangi timbulnya kesadaran selama anestesi.

Penggolongan analgesik–narkotik adalah sebagai berikut:

1. Alkaloid alam: morfin, codein 

2. Derivat semi sintesis: heroin 

3. Derivat sintetik: metadon, fentanil 

4. Antagonis morfin: nalorfin, nalokson dan pentazocin

Analgesik non opioid (non narkotik)

Disebut juga analgesik perifer karena tidak mempengaruhi susunan syaraf

pusat. Semua analgesik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu

menurunkan suhu bada pada saat demam.

Khasiatnya berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di

hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer di kulit dengan bertambahnya

pengeluaran kalor disertai keluarnya banyak keringat. Misalnya parasetamol,

Page 4: soal

asetosal, dll. Dan berkhasiat pula sebagai anti inflamasi , anti radang atau anti

flogistik.

Anti  radang sama kuat dengan analgesik, digunakan sebagai anti nyeri atau

rematik contohnya asetosal, asam mefenamat, ibuprofen. Anti radang yang lebih

kuat  contohnya fenilbutazon. Sedangkan yang bekerja serentak sebagai anti radang

dan analgesik contohnya indometazin

Penggolongan analgesik non opioid (non narkotik) berdasarkan rumus kimianya

analgesik perifer digolongkan menjadi:

1. Golongan salisilat. Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal

atau aspirin. Obat ini diindikasikan untuk sakit kepala, nyeri otot, demam dan

lain-lain. Saat ini asetosal makin banyak dipakai karena sifat anti plateletnya.

Sebagai contoh aspirin dosis kecil digunakan untuk pencegahan trombosis

koroner dan cerebral. Asetosal adalah analgetik antipiretik dan anti inflamasi 

yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Masalah efek

samping yaitu perangsangan bahkan dapat menyebabkan iritasi lambung dan

saluran cerna dapat dikurangi dengan meminum obat setelah makan atau

membuat menjadi sediaan salut enterik (enteric-coated). Karena salisilat

bersifat hepatotoksik maka tidak dianjurkan diberikan pada penderita penyakit

hati yang kronis. 

2. Golongan para aminofenol. Terdiri dari fenasetin dan asetaminofen

(parasetamol). Tahun–tahun terakhir penggunaan asetaminofen yang di

Indonesia lebih terkenal dengan nama parasetamol meningkat dengan pesat.

Efek analgesik golongan ini serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau

mengurangi nyeri ringan sampai sedang, dan dapat menurunkan suhu tubuh

dalam keadaan demam, dengan mekanisme efek sentral. Fenasetin karena

toksisitasnya terhadap hati dan ginjal saat ini sudah dilarang penggunaannya.

Efek samping parasetamol dan kombinasinya pada penggunaan dosis besar

atau jangka lama dapat menyebabkan kerusakan hati. 

3. Golongan pirazolon (dipiron). Fenilbutazon dan turunannya saat ini yang 

digunakan adalah dipiron sebagai analgesik antipiretik, karena efek

inflamasinya lemah. Efek samping semua derivat pirazolon dapat

menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.

Dibeberapa negara penggunaannya sangat dibatasi bahkan dilarang karena

efek samping tersebut, tetapi di Indonesia frekuensi pemakaian dipiron cukup

Page 5: soal

tinggi meskipun sudah ada laporan mengenai terjadinya agranulositosis.

Fenilbutazon digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid. 

4. Golongan antranilat (asam mefenamat). Digunakan sebagai analgesik karena

sebagai anti inflamasi kurang efektif dibanding dengan aspirin. Efek samping

seperti gejala iritasi mukosa lambung dan gangguan saluran cerna sering

timbul

AINS (Analgesik Anti Inflamasi Non Steroid)

AINS adalah obat-obat analgesik yang selain memiliki efek analgesik juga 

memiliki efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam

pengobatan rheumatik dan gout. Contohnya  ibuprofen, indometasin, diklofenak,

fenilbutazon dan piroxicam.

Sebagian besar penyakit rheumatik membutuhkan pengobatan simptomatis,

untuk meredakan rasa nyeri penyakit sendi degeneratif seperti osteoartritis,

analgesik tunggal atau campuran masih bisa digunakan. Tetapi bila nyeri dan

kekakuan disebabkan penyakit rheumatik yang meradang harus diberikan

pengobatan dengan AINS.

1. Ibuprofen. Adalah turunan asam propionat yang berkhasiat anti inflamasi,

analgesik dan anti piretik. Efek sampingnya kecil dibanding AINS yang lain,

tetapi efek anti inflamasinya juga agak lemah sehingga kurang sesuai untuk

peradangan sendi hebat seperti gout akut. 

2. Diklofenak. Derivat fenilasetat ini termasuk AINS yang terkuat anti radangnya

dengan efek samping yang kurang keras dibandingkan dengan obat lainnya

seperti piroxicam dan indometasin. Obat ini sering digunakan untuk segala

macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Secara parenteral sangat efektif

untuk menanggulangi nyeri koli hebat (kandung kemih dan kandung empedu). 

3. Indometasin. Daya analgetik dan anti radang sama kuat dengan asetosal, sering

digunakan pada serangan encok akut. Efek samping berupa gangguan lambung

usus, perdarahan tersembunyi (okult), pusing, tremor dan lain-lain. 

4. Fenilbutazon. Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih

kuat daripada kerja analgetiknya. Karena itu golongnan ini khususnya

digunakan sebagai obat rematik seperti halnya juga dengan oksifenilbutazon.

Fenilbutazon ada kalanya dimasukan dengan diam-diam (tidak tertera pada

etiket) dalam sediaan-sediaan dari pabrik-pabrik kecil asing, dengan maksud

untuk mengobati keadaan-keadaan lesu dan letih, otot-otot lemah dan nyeri.

Page 6: soal

Penyalahgunaannya dalam obat-obat penguat dan tonikum (dengan ginseng)

adalah sangat berbahaya berhubung efek merusaknya terhadap sel-sel darah. 

5. Piroksikam. Bekerja sebagai anti radang, analgetik dan antipiretik yang kuat.

Digunakan untuk melawan encok. Efek samping berupa perdarahan dalam

lambung usus.

2. Ada berapa cara mekanisme kerja analgetika? Jelaskan dan berikan contoh!

Mekanisme kerja obat analgetik merupakan sebuah mekanisme fisiologis tubuh

terhadap zat-zat tertentu. Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer

dan sentral.

Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan

mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin

tidak terjadi contoh: parasetamol. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan

cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi

penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi

contoh: morfin.

Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami

metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan

gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan

(eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin . meningkatkan kepekaan ujung-ujung

saraf terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).

Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis

prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang

menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek

yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung,

penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua

isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan

yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung,

parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti

agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya,

COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan

ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2

yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin

penting dalam sensitisasi sentral.

Page 7: soal

3. Bagaimana mekanisme kerja dari parasetamol dan asetosal? Mengapa

memberikan hasil yang berbeda?

a. Parasetamol 

Parasetamol adalah derivate p-aminofenol yang mempunyai sifat

antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik di sebabkan oleh gugus aminobenzen dan

mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik parasetamol dapat

menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat lemah

hingga tidak digunakan sebagai anti rematik. Pada penggunaan per oral parasetamol

di serap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma di capai

dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parsetamol dieksekresikan

melalui ginjal, kurang dari 5 % tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam

bentuk terkonjugasi.

b. Asetosal

Asam asetil salisilat atau asetosal banyak dijumpai dalam berbagai nama paten, salah

satunya yang terkenal adalah Aspirin. Seperti halnya obat-obat analgesik yang lain,

ia bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri

adalah suatu senyawa dalam tubuh yang merupakan mediator nyeri dan

radang/inflamasi. Ia terbentuk dari asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan

bantuan enzim cyclooxygenase (COX). Dengan penghambatan pada enzim COX,

maka prostaglandin tidak terbentuk, dan nyeri atau radang pun reda.

Prostaglandin juga merupakan senyawa yang mengganggu pengaturan suhu tubuh

oleh hipotalamus sehingga menyebabkan demam. Hipotalamus sendiri merupakan

bagian dari otak depan kita yang berfungsi sebagai semacam “termostat tubuh”, di

mana di sana terdapat reseptor suhu yang disebut termoreseptor. Termoreseptor ini

menjaga tubuh agar memiliki suhu normal, yaitu 36,5 – 37,5 derajat Celcius.

Pada keadaan tubuh sakit karena infeksi atau cedera sehingga timbul radang,

dilepaskanlah prostaglandin tadi sebagai hasil metabolisme asam arakidonat.

Prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus, di mana

hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal).

Adanya peningkatan titik patokan ini disebabkan karena termostat tadi menganggap

bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon

Page 8: soal

dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk menghasilkan panas

tubuh yang lebih banyak. Adanya perubahan suhu tubuh di atas normal karena

memang “setting” hipotalamus yang mengalami gangguan oleh mekanisme di atas

inilah yang disebut dengan demam. Karena itu, untuk bisa mengembalikan setting

termostat menuju normal lagi, perlu menghilangkan prostaglandin tadi dengan obat-

obat yang bisa menghambat sintesis prostaglandin.

Yang membuat efek parasetamol dengan asetosal berbeda adalah sebagai

berikut:

Ada sedikit perbedaan mekanisme aksi parasetamol dengan asetosal sebagai

analgesik dan antipiretik. Selain ada enzim siklooksigenase COX-1 dan COX-2 yang

mengkatalisis pembentukan prostaglandin di jaringan, ada pula COX-3, yang lebih

banyak terdapat di otak dan sistem saraf pusat. parasetamol lebih spesifik

menghambat COX-3 yang ada di otak, sehingga menghambat produksi prostaglandin

yang akan mengacau termostat di hipotalamus. Kerja ini menghasilkan efek

menurunkan demam. Selain itu, karena prostaglandin juga terlibat dalam menurunkan

ambang rasa nyeri, maka penghambatan prostaglandin dapat memberikan efek anti

nyeri atau analgesik. Karena spesifik pada COX-3, tidak menghambat COX-2, maka

efeknya sebagai anti radang di jaringan jadi kecil. Di sisi lain, karena juga tidak

menghambat COX-1, maka efeknya terhadap gangguan lambung juga kecil karena

tidak mempengaruhi produksi prostaglandin jaringan yang dibutuhkan untuk

melindungi mukosa lambung. Juga tidak memiliki efek mengencerkan darah.

Parasetamol lebih amat digunakan untuk manusia karena obat ini relatif aman

dari efek samping seperti yang dijumpai pada aspirin jika dipakai dalam dosis terapi

yang normal. Efek sampingnya berupa gangguan hati/liver dapat terjadi hanya jika

dipakai dalam dosis yang relatif besar (> 4 gram sehari). Sedangkan asetosal memiliki

beberapa efek samping yang berbahaya seperti dapat mengencerkan darah,

menimulkan sindrom Reye untuk anak-anak, dan gangguan lambung.

4. Bagaimana proses terjadinya rasa nyeri?

Nyeri adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh untuk melindungi dan

memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan di tubuh. Dari nyeri ini tubuh

akan melakukan tindakan yang diperlukan selanjutnya.

Mekanisme terjadinya nyeri adalah sebagai berikut, rangsangan (mekanik,

termal atau kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan

Page 9: soal

tubuh,  Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat

nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer

dalam bentuk persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami).

Rangsangan yang diterima oleh reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai

faktor dan dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Rangsangan Mekanik : Nyeri yang di sebabkan karena pengaruh mekanik seperti

tekanan, tusukan jarum, irisan pisau dan lain-lain.

2. Rangsangan Termal : Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu, Rata-rata

manusia akan merasakan nyeri jika menerima panas diatas 45 C, dimana mulai

pada suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan

3. Rangsangan Kimia : Jaringan yang mengalami kerusakan akan membebaskan zat

yang di sebut mediator yang dapat berikatan dengan reseptor nyeri antaralain:

bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin dan prostaglandin. Bradikinin

merupakan zat yang paling berperan dalam menimbulkan nyeri karena kerusakan

jaringan. Zat kimia lain yang berperan dalam menimbulkan nyeri adalah asam,

enzim proteolitik, Zat P dan ion K+ (ion K positif ).

Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang

ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem

Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut Aδ

bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik.

Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan

kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik.

Serabut Aδ berperan dalam menghantarkan "Nyeri cepat" dan menghasilkan

persepsi nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan

"nyeri Lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan

tidak enak.

Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron

traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus ini ke

nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini impuls

diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.

Klasifikasi nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria antara

lain:

a. Klasifikasi nyeri berdasarkan waktu, dibagi menjadi :

Page 10: soal

Nyeri Akut adalah Nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan terjadinya

singkat contoh nyeri trauma

Nyeri Kronis adalah nyeri yang terjadi atau dialami sudah lama contoh

kanker

b. Klasifikasi nyeri berdasarkan Tempat terjadinya nyeri

Nyeri Somatik adalah Nyeri yang dirasakan hanya pada tempat terjadinya

kerusakan atau gangguan, bersifat tajam, mudah dilihat dan mudah

ditangani, contoh Nyeri karena tertusuk

Nyeri Visceral adalah nyeri yang terkait kerusakan organ dalam, contoh

nyeri karena trauma di hati atau paru-paru. 

Nyeri Reperred : nyeri yang dirasakan jauh dari lokasi nyeri, contoh nyeri

angina. 

c. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Persepsi Nyeri

Nyeri Nosiseptis adalah Nyeri yang kerusakan jaringannya jelas 

Nyeri neuropatik adalah nyeri yang kerusakan jaringan tidak jelas.

contohnya Nyeri yang diakitbatkan oleh kelainan pada susunan saraf. 

5. Cari dan jelaskan cara uji daya analgetika yang lain (3 contoh)

Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai

kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi

pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara maknik,

termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara

mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada

umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya

peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka

waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon

nyeri (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).

Metode geliat

Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa

nyeri yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan

percobaan mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat

pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks

respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali

Page 11: soal

abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki

belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal

Constriction Test (Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu

menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).

Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan

evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al., 2003).

Metode Listrik

Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri (Vohora dan

Dandiya, 1992). Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan

atau cicitan. Arus listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang

diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing, kelinci, tikus dan

mencit (Manihuruk, 2000).

Metode Panas

Tiga metode yang bisa digunakan untuk memberikan rangsangan panas:

Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang

dipertahankan pada suhu 60 ± 1oC.

Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat Ni

panas (5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992).

Metode hot plate. Metode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral (Gupta

et al., 2003). Pada metode ini hewan percaobaan diletakkan dalam beaker

glass di atas plat panas (56 ± 1oC) sebagai stimulus nyeri. Hewan percobaan

akan memberikan respon terhadap nyeri dengan menggunakan atau menjilat

kaki depan. Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus

nyeri dan terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi

aktivitas analgesik (Adeyemi, 2001).

Metode Mekanik

Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan

diberikan pada ekor atau kaki hewan percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap

jumlah tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah

diberi obat. Metode ini dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit

(Manihuruk, 2000).

P4

Page 12: soal

1. Setelah pemberian karagenin, mengapa pengukuran volume udem diulangi 3 jam kemudian

(waktu optimum 3-4 jam)?

Jawab: untuk memperkirakan efek dari senyawa antiinflamasi, pengukuran dilakukan

pada waktu yang tepat selama pembengkakan, yaitu pada selang waktu tertentu.

Karena idealnya kaki tikus tersebut harus di ukur volume udemnya lebih dari satu kali

khususnya pada 3-4 jam (dilakukan pengukuran berulang-ilang). Hal ini memberi

kesempatan pada semua mediaor nyeri yang bersangkutan untuk dapat membuat

pembengkakan secara maksimal. Pada proses pembentukan udema, karagenin akan

menginduksi cedera sel denagan dilepaskannya mediator yang mengawali proses

inflamasi. Udema yang disebabkan induksi karagenin dapat bertahan selama 6 jam

dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam

2. Tentukan obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena karagenin?

Jawab : . Dengan adanya nilai AUC dapat dihitung daya antiinflamasi dari masing-masing

obat. Daya antiinflamasi (DAI) yang dimaksud adalah kemampuan bahan uji untuk

mengurangi pembengkakan kaki hewan uji akibat adanya udem dari pemberian karagenin.

Semakin kecil nilai AUC, menyebabkan semakin besar nilai DAI. Sehingga dapat diketahui

bahwa semakin kecil nilai AUC akan semakin poten obat tersebut. Berdasarkan literatur obat

Prednison merupakan obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena

karagenin, kemudian diikuti Na-diklofenak dan yang paling lemah adalah asam mefenamat.

3. Cari dan jelaskan cara uji daya anti inflamasi yang lain!

Jawab : Macam-macam metode yang digunakan untuk uji anti inflamasi antara lain adalah:

1.  Asam Asetat sebagai penginduksi rasa nyeri

Setelah dua minggu hewan diadaptasikan, mencit galur ICR jantan (18-25 gr) dibagi

secara acak kedalam empat kelompok, termasuk juga kedalamnya kelompok normal

dan kelompok positif kontrol, an dua kelompok sampel uji. Kelompok kontrol

diberikan salin, sedangkan kelompok positif kontrol diberikan indometasin

(10mg/kg ip) 20 menit sebelum diberikan asam asetat. Dosis sampel uji dibeirkan

dalam dua variasi dosis, dimana diberikan secara peroral 60 menti sebelum asam

asetat (0.1 ml/10g) diberikan. % menit setelah injeksi IP asam asetat dilihat tikus

yang mengalami nyeri dalam rentang waktu 10 menit (Nadjeeb,2010).

Page 13: soal

2.  Tes formalin

Mencit galur ICR jantan (18-25 gr) dikelompokkan secara acak kedalam 4 grup

(n=8). Termasuk kedalamnys kelompok normal dan positif control dan kelompok

sample uji. Kelompok control hanya diberi pembawa, positf contro, indometasin

(10mg/kg ip) dilarutkan dalam tween 80 plus 0.9% (w/v) larutan salin dan diberikan

secara IP pada volume 0.1ml/10 g. Satu jama sebelum pengujian, hewan

ditempatkan pada kandang standar ( ukuran 30x12x13 cm) yang digunakan sebagai

tempat observasi.Samepl diberikan secara peroral 60 menit sebelum injeksi

formalin. Indometasin diadministrasikan 30 menit sebelum injeksi formalin. 20 µl

formalin 1% dinjeksikan pada permukaan dorsal dari tapak kaki kanan. Dan waktu

tapak kaki meregang dicatat. 5 menit setelah injeksi formalin disebut fase awal, dan

waktu 15-40 menit disebut fase akhir. Waktu yang dibutuhkan untuk meregangkan

tapak kaki dihutng dengan stopwatch. Aktivitas diukur dlam interval waktu 5 menit

(Nadjeeb,2010).

3.  λ-carrageenin sebagai penginduksi udema pada tapak kaki

Mencit jantan galur ICR (18-25 gr) dipuasakan 24 jam sebelum masa percobaan

dengan tetap diberi minum. 50 µl suspensi 1% karagenan dilarutkan dalam larutan

salin dinjeksikan pada tapak kaki kanan mencit.Sampel dan indometasin dilarukan

dalam tween 80 plus 0.9% (w/v) larutan salin. Konsentrasi final dari tween 80 tidak

boleh lebih dari 5% dan tidak menyebabkan inflamasi yng berarti. 2 jam sebelum

dinduksi, diberikan sampel dengan 2 tingkatan dosis secara oral. Indometasin (10

mg/kg ip)  diinjeksikan 90 menit sebelum induksi. Udema pada tapak kaki segera

dihitung setlah injeksi karagenan (interval waktu 1,2,3,4,5,6 jam) dengan

menggunakan pletismometer. Derajat udema dievaluasi dengan rasio a/b

(Nadjeeb,2010).

a= volume tapak kaki kanan setelh induksi karagenan

b= volume tapak kaki kanan sebelum induksi karagenan

4.  Metode Panas

Tes Hot plate

Page 14: soal

Metode ini dengan menggunakan hot plate yang suhunya 55 ± 1°C. Waktu terjadi

reaksi basal hewan terhadap panan dicatat. Hewan yang menunjukkan respon

melompat dalam waktu 6-8 detik dimasukkan kedalam kelompok percobaan. 60

menit setelah administrasi senyawa uji dan positif control, hewan dikelompokkan

kedalam 6 grup dimana masing-masingnya ditaruh pada hot plate. Waktu sampai

terjadi lompat hewan coba disebut waktu reaksi.Persentasi inhibisi sakit dihutung

denga rumus:

(PIP) = ((T1-T0)/T0) x 100 àT1 =waktu setalah diberi obat

T0 = sebelum diberi obat (Nadjeeb,2010)

Tes menarik ujung ekor

Waktu reaksi basal hewan uji terhadap panas dicatat dengan melekatkan ujung ekor

(jarak 1-2 cm paling ujung) pada sumber panas. Respon dilihat ketika hwean

menarik ekor dari sumber panas. Hewan yang menunjukkan respon dalam 3-5 detik

dimasukkan kedlaam percobaan. Periode waktu pemgamatan selama 15 detik.

Waktu pengamatan dilakukan setelah 30 dan 60 menti administrasi obat. Persentase

inhibis dihutng dengan rumus:

(PIP) = ((T1-T0)/T0) x 100

T1 =waktu setalah diberi obat and T0 = sebelum diberi obat

5.  Etil fenil propionate sebagai penginduksi edem pada telinga tikus

Tus jantan (100-150 gr) digunakan sebgai hewan coba. Edema telinga dinduksi

mengoleskan secara topical EEp dengan dosis 1mg/20 μl pertelinga pada bagian

permukaan dan dalam kedua telinga dengan mengunakan pipet otomatis. Sampel uji

juga dioleskan pada telinga denga volum yang sama seperti EEP. Waktu sebelum, 30

menit, 1 jam dan 2 jam merupakan waktu pengamatan setelah induksi. Ketebalan

telinga diukur jangka sorong (Nadjeeb,2010)..

6.   Putih telur sebagai penginduksi edema

Page 15: soal

Empat grup tikus wistar jantan dan betina diberikan : grup 1, 10% propilenglikol,

grup 2 dan 3 sampel uji, dan grup 4 diberikan natrium diklofenak sebagaikontrol

positif (100 mg/kg po). Setelah 30 menit, masing-masing kelompok disuntikkan

dengan putih telur sebanyak 0.5 ml pada tapak kaki kiri. Digunakan pletismometer

digital untuk mengukur volume kaki yang mengalami udema dalam perode 120

menit. Dengan interval 30, 60, 90 dan 120 menit (Nadjeeb,2010).