skripsi perlindungan hukum terhadap ......tiket pesawat dan mendapatkan perlindungan dalam...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA
PENERBANGAN ATAS TERJADINYA KETERLAMBATAN
ANGKUTAN PENERBANGAN :
STUDI PADA PT. GARUDA INDONESIA (PERSERO) TBK
BANDAR UDARA INTERNASIONAL I GUSTI NGURAH RAI
ANAK AGUNG AYU MIRAH KARTINI IRAWAN
NIM : 1103005080
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari beribu-
ribu pulau yang terhampar luas dengan 1.904.569 km2 luas daratan dan 3.288.683
km2 lautan.1 Selain itu, Negara Republik Indonesia juga memiliki batas-batas
wilayah, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan. Dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, demi mewujudkan
wawasan nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan peranan
dan fungsi pengangkutan yang mendukung pengembangan wilayah, pertumbuhan
ekonomi, mempererat hubungan antar bangsa, dan memperkukuh kedaulatan
negara. Saat ini perkembangan peradaban manusia khususnya dalam bidang
pengangkutan telah membawa kedalam suatu sistem pengangkutan yang lebih
maju dibandingkan era sebelumnya.2 Perkembangan tersebut di samping
membawa dampak positif juga memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi
pengguna jasa perhubungan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Salah satu kemajuan perkembangan yang dimaksud adalah keberadaan dari sistem
angkutan udara, di mana tidak dapat dipungkiri bahwa angkutan udara sangatlah
mendukung mobilitas masyarakat Indonesia.
1Iwan Gayo, 1995, Buku Pintar Seni Senior, Ctk. XX, Upaya Warga Negara, Jakarta, hal. 9
2Sution Usman Adji, 2005, Hukum Pengangkutan Di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
hal. 1
1
2
Angkutan udara pada saat ini merupakan alternatif pilihan yang paling efektif
karena cepat, efisien, dan ekonomis bagi pengangkutan antar daerah dan antar
pulau terutama antara daerah terpencil dan pulau-pulau besar baik pengangkutan
barang maupun pengangkutan orang atau penumpang.3 Angkutan udara dewasa
ini mengalami perkembangan pesat hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
perusahaan maskapai penerbangan baik maskapai penerbangan yang dikelola oleh
pihak swasta maupun pihak pemerintah yang biasa disebut dengan Badan Usaha
Milik Negara. Penerbangan merupakan bagian dari sistem pengangkutan yang
mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan
teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan
keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan
peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi
nasional yang mantap dan dinamis. Adapun perusahaan maskapai penerbangan
yang melayani jasa penerbangan diantaranya Garuda Indonesia, Mandala Air,
Citilink, Lion Air, Wings Air, Kal Star, Indonesia Air Asia, Batik Air, Sriwijaya
Air dan lain-lain.
Semakin pesatnya perkembangan dan pertumbuhan industri penerbangan
tersebut diikuti dengan semakin meningkat pula jumlah pengguna jasa angkutan
udara. Hal tersebut terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah
penumpang angkutan udara pada tahun 2014 mencapai 72,6 juta orang, naik 5,6
3E. Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Jogyakarta, (selanjutnya disingkat E. Saefullah
Wiradipradja I), hal. 1
3
persen dari tahun 2013 yang hanya sebanyak 68,5 juta orang.4 Terdapat beberapa
alasan pengguna jasa angkutan lebih memilih menggunakan angkutan udara
diantaranya karena waktu yang ditempuh relatif singkat, tarif yang masih dapat
dijangkau oleh masyarakat, serta untuk memudahkan dalam kepentingan bisnis,
kepentingan pariwisata, dan kepentingan lainnya. Di Indonesia, perkembangan
jumlah perusahaan maskapai penerbangan di satu sisi menguntungkan bagi
masyarakat pengguna jasa angkutan udara karena terdapat banyaknya pilihan
maskapai penerbangan dalam memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat, serta
telah banyak maskapai penerbangan menciptakan iklim yang kompetitif antar
maskapai penerbangan dalam memberikan penawaran terbaik kepada
konsumennya.
Bermunculannya pelaku-pelaku usaha penyedia jasa penerbangan saat ini
menyebabkan persaingan usaha yang sangat ketat. Dengan adanya persaingan
usaha yang begitu ketat, mengharuskan pelaku usaha penerbangan melakukan
berbagai cara untuk menarik penumpang sebanyak-banyaknya, salah satu strategi
bisnis yang digunakan adalah kompetisi harga yang acap kali lebih murah
dibandingkan harga tiket bus, kereta api maupun kapal laut. Namun disisi lain,
kompetisi tarif murah yang ditawarkan perusahaan maskapai penerbangan sering
kali tidak diimbangi dengan standar penerbangan yang layak seperti, menurunkan
kualitas pelayanan (service), bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah
akan berkurangnya kualitas pemeliharaan (maintenance) armada pesawat
4Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia,
2015, “Jumlah Penumpang Angkutan Udara 2014 Mencapai 72,6 Juta Orang”, Informasi Terkini,
URL : http://hubud.dephub.go.id/?id/news/detail/2374, diakses pada tanggal 6 Juli 2015
4
sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan dan akan berdampak kurang
baik terhadap keamanan, kenyamanan, dan perlindungan konsumen.5
Kekhawatiran tersebut muncul akibat sering terjadinya kecelakaan pesawat
terbang.6
Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara terdapat dua pihak yang
terlibat, yaitu pihak pelaku usaha sebagai penyedia jasa pengangkutan dalam hal
ini adalah perusahaan maskapai penerbangan dan pihak konsumen selaku
pengguna jasa pengangkutan dalam hal ini yang disebut sebagai penumpang.
Pihak penyedia jasa dan pihak pengguna jasa tersebut terikat oleh suatu
perjanjian, yakni perjanjian pengangkutan. Pada hakekatnya perjanjian
pengangkutan adalah suatu perjanjian, di mana satu pihak menyanggupi untuk
dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke lain sedangkan
pihak yang lain menyanggupi akan membayar ongkosnya.
Menurut H.M.N Purwosutjipto perjanjian pengangkutan adalah perjanjian
timbal balik antara pengangkut dengan penumpang atau pengirim, dimana
pengangkut mengikatkan diri untuk menyenggarakan pengangkutan barang atau
orang dari suatu tempat tujuan-tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan
pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.7
5E. Saefullah Wiradipradja, 2006, “Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap
Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta,
(selanjutnya disingkat E. Saefullah Wiradipradja II ), hal. 5-6
6Wagiman, 2006, “Refleksi Dan Implemntasi Hukum Udara : Studi Kasus Pesawat Adam
Air”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta, hal. 13
7R.Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 69
5
Sebagaimana layaknya suatu perjanjian, maka di dalam perjanjian
pengangkutan antar pihak pengangkut dan pihak pengguna jasa terdapat hubungan
hukum bersifat keperdataan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban
yang harus dilaksanakan dan dipenuhi. Kewajiban utama pengangkut adalah
menyelenggarakan pengangkutan dari tempat asal ke tempat tujuan dengan aman,
utuh, dan selamat sampai tujuan, memberikan pelayanan yang baik, memberikan
ganti rugi atas kerugian yang menimpa penumpang, memberangkatkan
penumpang sesuai dengan jadwal penerbangan yang telah diperjanjikan, dan lain-
lain, sedangkan hak pengangkut adalah berhak atas ongkos angkutan yang ia
selenggarakan. Sebaliknya kewajiban dari pengguna jasa atau penumpang adalah
membayar ongkos pengangkutan yang besarnya telah ditentukan dalam
perjanjian, mentaati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan pengangkut berkenaan
dengan pengangkutan yang dilakukan. Hak dari pengguna jasa atau penumpang
adalah mendapatkan pelayanan yang baik, informasi yang benar dan jelas,
kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam penyelenggaraan penerbangan.
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pihak pengangkut dan pihak
pengguna jasa atau penumpang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian
pengangkutan, maka untuk dapat melindungi hak dan kewajiban para pihak
perjanjian yang dibuat haruslah memenuhi syarat-syarat seperti yang tertuang
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya
disingkat KUH Perdata) yakni untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat :
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
6
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang.
Dalam pengangkutan udara, antara pengangkut dan pengguna jasa
penerbangan mengikatkan diri kedalam perjanjian pengangkutan yang berbentuk
tiket pesawat. Jadi, ketika penumpang telah membeli tiket pesawat yang
digunakan untuk menggunakan jasa penerbangan, maka sejak saat itu penumpang
telah mengikatkan diri terhadap ketentuan-ketentuan dan peraturan yang ada pada
tiket pesawat dan mendapatkan perlindungan dalam pemanfaatan jasa
penerbangan. Tiket pesawat merupakan dokumen berbentuk cetak, melalui
proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti
adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang jasa penerbangan dengan
pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau
diangkut dengan pesawat udara.
Berdasarkan teori mengenai kesepakatan kehendak dan dasar mengikatnya,
yaitu teori penawaran dan penerimaan, prinsip suatu kesepakatan kehendak baru
terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan
penerimaan (acceptance) oleh pihak lain.8 Kesepakatan kehendak yang dimaksud
adalah keinginan antara pembeli dan penjual itu tercapai apabila kedua belah
pihak sama-sama menyepakati satu sama lain. Dalam pengangkutan udara posisi
pelaku usaha penyedia jasa penerbangan memiliki keuntungan yaitu untuk
8Sukarmi, 2008, Cyber Law : Kontrak Elektronik Dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha,
Pustaka Sutra, Bandung, hal. 33
7
membuat penawaran yang tidak bisa ditawar oleh penumpang selaku pengguna
jasa ketika menerima penawaran itu. Dengan demikian disini pengguna jasa tidak
mempunyai posisi tawar menawar (bargaining position) yang berimbang dengan
pihak pelaku usaha penyedia jasa penerbangan. Oleh karena itu sangat penting
bagi penumpang untuk terlebih dahulu mengerti tentang hak-haknya, sehingga
ketika terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap hak, penumpang bisa
menuntut agar hak-haknya dipenuhi.
Dewasa ini dalam praktik kegiatan pengangkutan udara sering kali
pengangkut tidak memenuhi kewajibannya secara baik dan benar atau dapat
dikatakan telah melakukan wanprestasi. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh
pengangkut di antaranya tidak memberikan keselamatan dan keamanan
penerbangan pada penumpang, memberikan pelayanan atau service yang kurang
memuaskan, terjadinya keterlambatan penerbangan atau delay, pembatalan
penerbangan atau cancel, dan lain-lain. Berdasarkan daftar yang dirilis oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terdapat lima perusahaan
maskapai penerbangan yang paling sering dikeluhkan oleh konsumen. Kelima
maskapai penerbangan yang dimaksud adalah Lion Air, Mandala Air, Indonesia
Air Asia, Garuda Indonesia, dan Sriwijaya Air.9
Di Indonesia pengguna jasa penerbangan atau penumpang sering
mengeluhkan mengenai pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa
penerbangan. Bentuk-bentuk keluhan yang paling sering disampaikan adalah
9Andi Rusli, 2015, “Lima Maskapai Ini Paling Banyak Dikeluhkan”, Bisnis Tempo, URL :
http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/01/25/090637502/lima-maskapai-ini-paling-banyak-
dikeluhkan, diakses pada 7 Juli 2015
8
masalah keterlambatan angkutan penerbangan dengan berbagai alasan sepihak.
Hal tersebut memang sering terjadi, jika berdasarkan dari data Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, di mana daftar ketepatan waktu
penerbangan atau on time performance (OTP) maskapai penerbangan yang
beroperasi di Indonesia periode Januari-Desember 2014 hanya satu maskapai
penerbangan yang memiliki ketepatan waktu hingga 100 persen.10
Beberapa maskapai penerbangan di tanah air yang paling banyak mengalami
keterlambatan angkutan penerbangan berdasarkan data dari Kementerian
Perhubungan di antaranya maskapai Lion Air mengalami keterlambatan
keberangkatan sebanyak 20.882 kali, maskapai Garuda Indonesia sebanyak
10.083 kali.11 Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan masih banyak maskapai
penerbangan yang melalaikan kewajibannya dalam menyelenggarakan
penerbangan yang tertib, aman, teratur, selamat, dan nyaman.
Terdapat beberapa kasus yang terjadi terkait keterlambatan angkutan
penerbangan yang kerap kali terjadi di Indonesia. Sebagai contoh pada
penerbangan dengan rute Denpasar-Labuanbajo, terjadi keterlambatan
penerbangan dengan alasan pesawat tidak dapat terbang karena izin penerbangan
ke Labuanbajo tidak ada dan Bandara Komodo di Labuanbajo sudah terlanjur
ditutup. Para penumpang sempat melakukan protes kepada maskapai penerbangan
10Nurmayanti, 2015, Daftar Lengkap Ketepatan Waktu Terbang Maskapai Di Indonesia, URL
:http://bisnis.liputan6.com/read/2181930/daftar-lengkap-ketepatan-waktu-terbang-maskapai-di-
indonesia, diakses pada 7 Juli 2015
11Yulianus Liteni,2013, “Lion Air Jadi Maskapai Paling Sering Delay”, Indo-Aviation, URL :
http://indo-aviation.com/2013/12/14/lion-air-jadi-maskapai-paling-sering-delay, diakses pada7
Juli 2015
9
hanya saja tidak membuahkan hasil apapun. Padahal status tiket yang dimiliki
oleh para penumpang tersebut sudah ok. Pembatalan penerbangan tersebut
mengakibatkan sekitar 59 penumpang terpaksa menunggu sampai jadwal
penerbangan berikutnya.12
Contoh lain pada rute penerbangan Timika-Denpasar-Jakarta, mengalami
keterlambatan jadwal penerbangannya kurang lebih 7 jam yakni yang harusnya
take off pada pukul 11.20 WIT tetapi baru dapat berangkat pada pukul 17.20
WIT. Dimana keterlambatan keberangkatan tersebut tanpa diinformasikan
sebelumnya kepada penumpang, yang mengakibatkan penumpang harus
menunggu tanpa kepastian dari pihak maskapai penerbangan dan penumpang
mengalami kerugian besar karena hal tersebut.13
Dari contoh-contoh di atas, peristiwa keterlambatan angkutan penerbangan
tersebut sangat bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan penerbangan yang
tertib, teratur, selamat, aman dan nyaman. Keterlambatan angkutan penerbangan
apabila dikaitkan dengan perjanjian pengangkutan, maka pihak pengangkut tidak
memenuhi kewajibannya secara baik dan benar atau dapat dikatakan telah
melakukan wanprestasi. Dalam hal terjadinya wanprestasi seperti contoh di atas,
maka pihak penumpang selaku pengguna jasa penerbangan telah dirugikan, baik
kerugian materil dan immaterial.
12Rohmat, 2015, “Penumpang Garuda Terlantar Di Bali”, URL
:http://news.okezone.com/read/2015/04/27/340/1140916/penumpang-garuda-terlantar-di-bali,
diakses pada 8 Juli 2015
13TimeX Red, 2014, “Maskapai Garuda Kecewakan Penumpang”, URL :
http://timikaexpress.com/?p=3917, diakses pada 8 Juli 2015
10
Apabila terjadi peristiwa atau kejadian yang menyebabkan kerugian bagi
penumpang maka akan timbul tanggung jawab hukum dari pihak pengangkut
untuk mengganti kerugian yang dialami penumpang. Wujud tanggung jawab yang
tersebut adalah berupa pemberian ganti rugi (kompensasi).14 Ganti rugi yang
harus dibayarkan oleh pihak pengangkut dengan dasar bila terlambat datang atau
sampai di tempat tujuan, bukan hanya mengenai barang muatan dan bagasi saja,
melainkan juga mengenai penumpang.
Secara teoritis hubungan hukum antara pihak pengangkut dan pihak
penumpang selaku pengguna jasa menghendaki adanya kesetaraan kedudukan di
antara para pihak, karena pada dasarnya hubungan antara pengangkut dengan
penumpang merupakan hubungan yang bersifat saling ketergantungan. Hanya saja
dalam praktek pengangkutan udara hubungan hukum tersebut sering berjalan
tidak seimbang, dimana pihak pengangkut sering kali mengabaikan tanggung
jawabnya, sehingga menyebabkan penumpang kesulitan untuk mendapatkan hak-
haknya sebagai pengguna jasa yang telah dirugikan.
Begitu banyaknya peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam pengangkutan
udara semakin memperlihatkan lemahnya kedudukan pengguna jasa disini,
sehubungan dengan itu diperlukan suatu perlindungan hukum yang memadai bagi
pengguna jasa untuk memperjuangkan hak-haknya dalam kegiatan pengangkutan
udara. Berkaitan dengan itu jelas bahwa masih banyak hal yang harus diteliti dari
penyelenggaraan pengangkutan udara, seperti bagaimana sebenarnya bentuk
perlindungan hukum bagi penumpang selaku pengguna jasa penerbangan,
14Ridwan Khairandy, 2006, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 167
11
bagaimana bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan selaku pihak
pengangkut, serta upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh penumpang. Hal
inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk membuat skripsi dengan judul
“Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Penerbangan Atas
Terjadinya Keterlambatan Angkutan Penerbangan : Studi Pada PT. Garuda
Indonesia (Persero) Tbk Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia (Persero)
Tbk selaku pihak penyedia jasa penerbangan terhadap pengguna jasa
penerbangan sebagai wujud perlindungan hukum atas terjadi
keterlambatan penerbangan dari jadwal yang sudah disepakati ?
2. Apa upaya yang dapat ditempuh oleh pengguna jasa penerbangan yang
telah dirugikan akibat terjadinya keterlambatan angkutan penerbangan ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Suatu karya ilmiah pasti memiliki permasalahan yang harus diselesaikan oleh
peneliti dalam melakukan penelitian. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan
di dalam pembahasan dari suatu permasalahan maka diperlukan suatu ruang
lingkup masalah. Jadi, dengan adanya ruang lingkup masalah dapat memberikan
batasan yang jelas agar tidak keluar dari pokok permasalahan dan tujuan yang
12
ingin dicapai dalam pembahasan skripsi ini. Dengan demikian, ruang lingkup
masalah dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut.
1. terhadap permasalahan pertama akan dibahas mengenai bentuk-bentuk
tanggung jawab PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk selaku pihak
penyedia jasa penerbangan terhadap pengguna jasa penerbangan sebagai
wujud perlindungan hukum atas terjadi keterlambatan penerbangan dari
jadwal yang sudah disepakati.
2. terhadap permasalahan kedua akan dibahas mengenai upaya yang dapat
ditempuh oleh pengguna jasa penerbangan yang telah dirugikan akibat
terjadinya keterlambatan angkutan penerbangan.
1.4. Orisinalitas
Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat dilihat
indikator perbedaannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis. Untuk lebih
jelasnya, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap pengguna jasa
penerbangan atas terjadinya keterlambatan angkutan penerbangan
No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
1. Analisis Yuridis
Penerapan Peraturan
Menteri Perhubungan
Nomor 92 Tahun 2011
Tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan
Andrian Hidayat
Nasution
Fakultas Hukum
Universitas
Sumatera Utara
Tahun 2012
1. Faktor-faktor apakah
yang menjadi penyebab
keterlambatan (delay)
dan pembatalan jadwal
keberangkatan angkutan
udara ?
13
1.5. Tujuan Penelitian
Suatu pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu, karena dengan adanya
tujuan tersebut akan memberikan arah yang jelas untuk dapat mencapai tujuan
Udara Atas
Keterlambatan dan
Pembatalan Jadwal
Keberangkatan
Penumpang Angkutan
Udara (Studi Pada PT
Sriwijaya Air Medan)
2. Bagaimana
penerapan Peraturan
Menteri Perhubungan
Nomor PM 92 Tahun
2011 yang mengatur
tanggung jawab
pengangkt angkutan
udara terhadap
penumpang
3. Bagaimana tindakan
maskapai Penerbangan
(pengangkut) sebagai
bentuk tanggung jawab
atas keterlambatan
(delay) dan pembatalan
jadwal keberangkatan
penumpang ?
2. Perlindungan Konsumen
Pengguna Jasa
Penerbangan
Sunu Dipta
Wibiaksono
Fakultas Hukum
Universitas
Semarang
Tahun 2013
1. Bagaimana bentuk-
bentuk pelanggaran
hak konsumen dan
perlindungan hukum
pengguna jasa
penerbangan dalam
kasus delay?
2. Apa peran
pemerintah dalam
menanggapi masalah
penerbangan yang
delay ?
14
yang dikehendaki, baik tujuan bersifat umum maupun bersifat khusus. Tujuan
yang dimaksud adalah :
1.5.1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian skripsi ini adalah :
1. untuk mengetahui bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan
selaku pihak penyedia jasa penerbangan terhadap pengguna jasa
penerbangan sebagai wujud perlindungan hukum atas terjadinya
keterlambatan penerbangan dari jadwal yang sudah disepakati.
2. untuk mengetahui upaya yang dapat ditempuh oleh pengguna jasa
penerbangan yang telah dirugikan akibat terjadinya keterlambatan
angkutan penerbangan.
1.5.2. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian skripsi ini, yaitu :
1. untuk memahami bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia
(Persero) Tbk selaku pihak penyedia jasa penerbangan terhadap
pengguna jasa penerbangan sebagai wujud perlindungan hukum
atas terjadinya keterlambatan penerbangan dari jadwal yang sudah
disepakati.
2. untuk mendalami upaya yang dapat ditempuh oleh pengguna jasa
maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang
telah dirugikan akibat terjadinya keterlambatan angkutan
penerbangan.
15
1.6. Manfaat Penulisan
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1.6.1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan
serta wawasan bagi penulis dan para pembaca tentang bagaimana bentuk
perlindungan hukum terhadap pengguna jasa penerbangan atas terjadinya
keterlambatan angkutan penerbangan, serta diharapkan dapat memperoleh
pencerahan mengenai permasalahan hukum yang dihadapi penulis sehingga
dapat menjadi dasar pemikiran yang teoritis, dimana suatu peraturan
perundang-undangan yang ada belum tentu berjalan secara efektif dan selaras
dalam prakteknya.
1.6.2. Manfaat praktis
1. sebagai wujud nyata penelitian yang penulis lakukan untuk
memperoleh bahan informasi dalam menganalisa serta sebagai
pemecahan masalah bagi permasalahan yang dihadapi penulis,
khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap pengguna jasa
penerbangan atas terjadinya keterlambatan angkutan penerbangan.
2. bagi pemerintah selaku regulator dalam kegiatan pengangkutan
udara khususnya dalam rangka penyusunan kebijakan diharapkan
dapat menjadi sumbangan pemikiran yuridis terhadap perlindungan
hukum terhadap pengguna jasa penerbangan.
3. bagi perusahaan atau maskapai penerbangan dapat dijadikan
sebagai bahan rujukan dalam rangka memberikan pelayanan
16
kepada pengguna jasa penerbangan, khususnya dalam hal
perlindungan hukum bagi pengguna jasa dengan berlandaskan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. bagi pengguna jasa penerbangan dapat dijadikan pedoman atau
rujukan dalam mempertahankan hak-haknya sebagai konsumen
dalam rangka perlindungan hukum bagi pengguna jasa
penerbangan.
5. bagi kalangan akademisi diharapkan dapat dijadikan bahan
informasi awal dalam melakukan penelitian dan pengkajian yang
lebih mendalam mengenai perlindungan hukum terhadap pengguna
jasa penerbangan maupun mengenai hukum angkutan udara.
1.7. Landasan Teoritis
Pembahasan ini akan menjelaskan suatu landasan teoritis yang menjadi
landasan berpikir dalam pokok permasalahan yang akan dibahas yakni mengenai
perlindungan hukum terhadap pengguna jasa penerbangan atas terjadinya
keterlambatan angkutan penerbangan.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan yang dimaksud dengan hukum adalah
kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan
normatif, dikatakan umum karena berlaku bagi setiap orang sedangkan normatif
karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, dan apa yang tidak boleh
17
dilakukan serta menentukan bagaimana cara untuk melaksanakan kepatuhan pada
kaedah-kaedah.15
Pada hakekatnya perlindungan hukum adalah suatu perbuatan hal melindungi
subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi.16 Menurut Philiphus M.
Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan harkat dan martabat dan
pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam
negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara
tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum
itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih
mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada
pihak yang melanggarnya.17
Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni perlindungan
hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif
subjek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk definitif.
Tujuannya untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Sedangkan perlindungan
hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.18
15Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
hal. 38
16Ibid 17Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi – Sisi lain Dari Hukum Di Indonesia (selanjutnya disebut
Satjipto Rahardjo I), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 121
18Ridwan, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 21
18
Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen
maka lahirlah istilah perlindungan konsumen. Perlindungan Konsumen adalah
suatu istilah yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.19
Pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disingkat UUPK) dalam
Pasal 1 angka 1 menyebutkan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Perlindungan Konsumen merupakan masalah kepentingan manusia,
oleh karena menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat
mewujudkan. Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:
1. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
keterbukaan akses dan informasi serta menjamin kepastian hukum;
2. melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh
pelaku usaha;
3. meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
4. memberikan perlindungan pada konsumen dari praktek usaha yang menipu
dan menyesatkan;
5. mengadukan pelanggaran, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang lain.20
19Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, bandung, hal. 1
20Husni Syawali dan Neni Srilmaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar
Maju, Bandung, h. 7.
19
Menurut pendapat Az Nasution bahwa hukum konsumen yang memuat asas-
asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang
melindungi kepentingan konsumen, maka dapat dikatakan hukum konsumen
adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan
atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.21
Dalam kegiatan angkutan udara, terdapat dua pihak yang melakukan
hubungan hukum yaitu pihak perusahaan maskapai penerbangan yang bertindak
sebagai pihak pelaku usaha/penyedia jasa dan pihak penumpang yang bertindak
selaku pihak pengguna jasa penerbangan. Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK
menyebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Perusahaan
maskapai penerbangan selaku pihak pelaku usaha dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, Pasal 1
angka 4 menyebutkan perusahaan angkutan udara adalah perusahaan yang
mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo,
dan pos dengan memungut pembayaran.
21Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, hal. 9
20
Konsumen menurut UUPK, pada Pasal 1 angka 2 menyebutkan konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam pengangkutan udara penumpang
selaku pengguna jasa penerbangan termasuk ke dalam kategori konsumen karena
menggunakan jasa yang tersedia di masyarakat berupa jasa penerbangan untuk
suatu kegunaan tertentu, dalam hal ini untuk kepentingan pribadi dan tidak untuk
diperdagangkan.
Namun demikian dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang
Penerbangan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
1995 tentang Angkutan Udara, tidak ada keterangan apa yang dimaksud dengan
pihak penumpang. Akan tetapi dalam penerbangan teratur dapat dikatakan bahwa
yang dimaksud penumpang dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri
Perhubungan RI Nomor PM 89 tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan
Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga
Berjadwal Nasional adalah orang yang menggunakan jasa angkutan udara dan
namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri
yang sah dan memiliki pas masuk pesawat (boarding pass). Menurut Suherman,
yang dimaksud dengan penumpang adalah seseorang yang diangkut dengan
pesawat terbang berdasarkan suatu persetujuan pengangkutan udara.22
22E. Saefullah Wiradipraja II, op cit, hal. 7
21
Para pihak dalam kegiatan angkutan udara ini terikat dalam suatu hubungan
perdata dalam bentuk perikatan yang diwujudkan dalam pembelian tiket pesawat.
Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Di sini perikatan yang terjadi adalah berupa perjanjian
pengangkutan. Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak
menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari suatu tempat
ke tempat lain, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar
ongkosnya.23 Dasar hukum perjanjian pengangkutan adalah Pasal 1320 KUH
Perdata yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian harus memenuhi :
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang.
Pasal 1338 KUH Perdata tentang asas kebebasan berkontrak yang pada
hakikatnya setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian baik itu sudah diatur
dalam Undang-Undang maupun yang belum diatur dalam Undang-Undang. Di
dalam perjanjian pengangkutan melahirkan hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh para pihak. Berdasarkan hal tersebut diperlukan asas kepastian
hukum (Pacta Sunt Servanda) yang terdapat dalam Pasal 26 Konvensi Wina
tentang Hukum Perjanjian Internasional, menyatakan bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang
23Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 22
22
menyelenggarakannya seperti Undang-Undang. Hubungan perikatan yang sudah
terjadi tersebut selanjutnya menjadi kewajiban kedua belah pihak untuk
memenuhi prestasi yang telah disepakati.
Mengenai pengaturan dari hak dan kewajiban pihak pelaku usaha dan pihak
konsumen telah secara jelas diatur dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 7
UUPK. Adapun kewajiban daripada pelaku usaha dirumuskan di dalam Pasal 7
UUPK yaitu :
a. beretikad baik dengan melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau jasa yang
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakian dan pemanfaatan barang dan/ jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Pasal 6 UUPK menyebutkan hak-hak pelaku usaha yaitu :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
23
Kewajiban konsumen juga diatur dalam Pasal 5 UUPK, yaitu :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. beritikad baik dalam melaksanakan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Menurut pendapat Sidharta terdapat empat hak dasar konsumen yang patut
dilindungi, yakni :
1. hak untuk mendapatkan keamanaan ( the right of safety );
2. hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed);
3. hak untuk memilih ( the right to be choose );
4. hak untuk didengar ( the right to be heard ).24
Apabila dalam UUPK, hak-hak konsumen diatur dalam ketentuan Pasal 4
UUPK, yaitu :
Hak-hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
24Sidharta, op.cit, hal. 16
24
h. hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dalam hal apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian
pengangkutan, maka terdapat prinsip tanggung jawab hukum kepada para pihak
yang melakukan pelanggaran, semisalnya terjadi wanprestasi. Dikalangan para
ahli hukum, tanggung jawab sering diistilahkan dengan responsibility
(verantwoordelijkeheid) atau terkadang disebut dengan liability. Tanggung jawab
dalam arti responsibility adalah sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya,
sedangkan tanggung jawab dalam arti liability adalah sikap hukum untuk
mempertanggung jawabkan pelanggaran atas kewajibannya atau pelanggaran atas
hak pihak lain. Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban
memikul pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik
dalam hukum maupun dalam administrasi.
Secara umum teori tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen
dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan ( based on fault liability )
Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan terdapat dalam Pasal
1365 KUH Perdata, yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum
(onrechtmatigdaad). Menurut pasal tersebut setiap perbuatan melawan
hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan
orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti
25
kerugian.25 Tanggung Jawab atas dasar kesalahan harus memenuhi unsur-
unsur adanya perbuatan, kesalahan, kerugian yang diderita dan adanya
hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.26
2. tanggung jawab praduga bersalah ( presumption of liability )
Tanggung jawab praduga bersalah berarti pihak tergugat selalu
dianggap bersalah sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi,
beban pembuktian ada pada si tergugat. Beban pembuktian seperti ini
dikenal dengan sebutan beban pembuktian terbalik atau pembuktian
negatif. Dasar pemikiran dari teori ini adalah seseorang dianggap bersalah,
sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, sehingga jika
teori ini digunakan maka yang berkewajiban untuk membuktikan
kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha atau penyedia jasa.
3. tanggung jawab hukum tanpa bersalah / mutlak ( liability without fault/
strict liability )
Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan
konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha
khususnya produsen barang atau jasa yang produknya merugikan
konsumen. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha harus secara
mutlak bertanggung jawab atas produknya. Prinsip tanggung jawab ini
menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku
berbahaya yang merugikan, tanpa mempersoalkan ada tidaknya
25H.K.Martono dan Amad Sudiro, 2011, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No 1
Tahun 2009, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 219
26Shidarta, op.cit, hal. 59
26
kesengajaan atau kelalaian. Jadi kesalahan bukan sebagai faktor yang
menentukan, namun adanya pengecualian-pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalkan adanya
force majeure.27
Prinsip tanggung jawab pada hukum pengangkutan tertuang di dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 43 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1995 tentang Angkutan Udara Pasal 42
sampai dengan Pasal 45 adalah prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability
principle) artinya pengangkut selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul
selama penerbangan dan tidak tergantung ada atau tidaknya unsur kesalahan
dipihak pengangkut.
Kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan karena keterlambatan, dimana
prinsip tanggung jawab yang digunakan adalah prinsip tanggung jawab praduga
bersalah (presumption of liability) yakni pelaku usaha harus bisa membuktikan
bahwa ia tidak bersalah. Hal ini sesuai dengan Pasal 42 huruf c Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1995. Sedangkan dalam UUPK telah ditentukan pula
tanggung jawab bagi pelaku usaha, sebagaimana yang diungkap dalam Pasal 19
sampai dengan Pasal 28.
Dalam hal terjadi kerugian, bila merujuk pada ketentuan Pasal 45 ayat (1)
UUPK yang menyebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat
27Ni Putu Ria Dewi Marheni, 2013, Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Berkaitan Dengan Pencantuman Desclaimer oleh Pelaku Usaha dalam Situs Internet (website),
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Bali, hal. 133
27
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum”. Sesuai dengan ketentuan di atas, maka konsumen
yang merasa dirugikan berhak menggugat pelaku usaha yang bertujuan untuk
menjaminnya perlindungan konsumen itu sendiri.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian hukum empiris yakni penelitian yang dilakukan terhadap hukum
positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota masyarakat dalam hubungan
hidup bermasyarakat.28
Dalam perspektif empiris, menurut Purwadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, hukum dipandang berlaku apabila hukum itu bekerja
efektif.29 Penelitian hukum empiris ini dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana efektivitas hukum dalam masyarakat. Pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap pengguna jasa penerbangan atas terjadinya keterlambatan angkutan
penerbangan pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Bandar Udara
Internasional I Gusti Ngurah Rai yang menjadi orientasi pengkajian skripsi
ini.
28Abdulrahman Soejono, H., 2003, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
hal. 155
29Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah
Alternatif, Universitas Trisakti, Jakatra, hal. 42
28
1.8.2. Jenis pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini akan dikaji dengan menggunakan
pendekatan fakta (the fact approach), dan pendekatan perundang-undangan
(the statue approach ). Pendekatan fakta yaitu suatu pendekatan dengan
melihat dan meneliti fakta yang ada di lapangan dengan penerapan hukum
yang berlaku. Sedangkan, pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian
ini, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas.30
1.8.3. Sifat penelitian
Sifat penelitian dari penulisan skripsi ini adalah bersifat penelitian
deskriptif yang sifat penelitiannya secara umum, termasuk pula didalamnya
penelitian ilmu hukum, bertujuan untuk menggambarkan sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, untuk dapat menentukan
ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya di
masyarakat. Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan
secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah
tertentu, mengenai sifat – sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor
tertentu.31
1.8.4. Data dan sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini terdiri dari data
primer dan data sekunder.
30 Abdulrahman Soejono, H., op cit, hal. 157 31Bambang Sunggono, 2010, Metode Penelitian Hukum,Rajawali Press, Jakarta, hal.35
29
1. Data primer
Data primer adalah data yang didapat dengan penelitian lapangan (field
research) yaitu langsung pada objek penelitian yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti.32 Artinya data yang didapat bersumber dari
penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari sumber lapangan yaitu baik
dari responden maupun informan. Data primer yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah ini adalah dengan melakukan penelitian langsung di
PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk Bandar Udara Internasional I Gusti
Ngurah Rai terkait masalah perlindungan hukum terhadap pengguna jasa
penerbangan atas terjadinya keterlambatan angkutan penerbangan.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang didapat dengan melakukan penelitian
kepustakaan (library research) yaitu mengadakan penelitian terhadap bahan-
bahan bacaan untuk mendapatkan data secara teoritis. Artinya, data yang
diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan dari data-
data yang sudah terdokumen. Data sekunder terdiri bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.33
2.1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif), yang terdiri atas peraturan perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan
32Romy Hanitijo Soemitro, 1985, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal.142.
33Burhan Ashofa, 2001, Metoda Penelitian Hukum, Cet.III, PT Rineka Cipta, Jakarta, hal.103.
30
perundang-undangan dan/atau peraturan daerah, putusan hakim.34
Bahan-bahan hukum primer yang digunakan adalah :
1. Kitab Undang Undang Hukum Perdata
2. Ordonansi Pengangkutan Udara / OPU (luchtvervoer-
ordonantie) Stb 1939-100;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
4. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2000 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara;
6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan
Udara;
7. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor
PM 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan
Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha
Angkutan Udara Niaga Berjadwal Di Indonesia.;
8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara;
9. Dan peraturan-peraturan lainnya.
34H. Zainuddin Ali, op cit, hal. 47
31
2.2. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen yang tidak resmi, yang terdiri atas (a)
buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa
permasalahan hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum,
(b) kamus-kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum, (d) komentar-
komentar atas putusan hakim. Publikasi tersebut merupakan
petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau
bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia,
jurnal, surat kabar, dan sebagainya.35 Bahan-bahan hukum
sekunder yang digunakan adalah buku-buku tentang hukum
pengangkutan, hukum angkutan udara, penerbangan, perlindungan
konsumen, dan buku-buku penunjang lainnya yang berkaitan
dengan penelitian skripsi ini.
2.3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang bersifat menunjang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
hukum, kamus bahasa, artikel pada surat kabar, majalah, dan
internet.
1.8.5. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penulisan skrispsi ini
adalah sebagai berikut.
35Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 33-37
32
1. terhadap data kepustakaan dilakukan dengan teknik studi
dokumen, yaitu menggunakan buku-buku atau bahan-bahan hukum
yang datanya dikumpulkan dengan pencatatan dalam lembaran-
lembaran kertas dan selanjutnya dikualifikasikan menurut
relevansinya dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini
data kepustakaan yang digunakan adalah bahan hukum perlindungan
konsumen dan hukum pengangkutan udara yang relevan dengan
penelitian skripsi ini.
2. terhadap data lapangan dilakukan dengan teknik wawancara yakni
pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung dengan
pihak-pihak yang berkompeten baik kepada responden dan informan
guna memperoleh informasi serta jawaban-jawaban yang relevan dan
mendukung permasalahan dalam penelitian. Pihak yang dimaksud
adalah pihak penyedia jasa yakni perusahaan maskapai penerbangan
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan pihak penumpang selaku
pengguna jasa penerbangan.
1.8.6. Teknik penentuan sampel penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian skripsi ini adalah
dengan menggunakan teknik non probability sampling khususnya
menggunakan teknik Purposive Sampling. Penarikan sampel dilakukan
berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh
peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan
33
pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau
karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama populasinya.36
1.8.7. Teknik pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian skripsi ini teknik pengolahan datanya adalah secara
kualitatif yakni keseluruhan data yang diperoleh dihubungankan dengan
permasalahan yang ada dan kemudian dianalisa dengan menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu dengan memaparkan data yang disertai analisis sesuai
dengan teori dan kaedah hukum yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan dan buku-buku literatur yang berhubungan dengan data dan
permasalahan yang diteliti.
36Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal.87