sistem kesiapsiagaan nuklir di indonesia -...
TRANSCRIPT
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
SISTEM KESIAPSIAGAAN NUKLIR DI INDONESIA
“Sebuah Tinjauan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentangSistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional
(RPP SKNN)”
Oleh:Dedik Eko Sumargo
Direktorat Keteknikan dan Kesiapsiagaan Nuklir BAPETEN
ABSTRAKKetentuan Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional sangat diperlukan sebagai
dasar untuk membangun kesiapsiagaan dan kemampuan tanggap darurat yang handal dalam merespon tantangan kedaruratan yang dapat terjadi kapan saja dimanapun di wilayah Republik Indonesia. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional (RPP SKNN) sebagai satu tahap proses lahirnya PP SKNN sangat memerlukan kecermatan dalam menyusun substansi dan materi pokokpokok yang akan diatur. PP SKNN merupakan aspek hukum yang mengatur secara sinergis dan strategis antara Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional untuk menyusun Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional dalam kerangka menjamin keselamatan dan keamanan publik dan lingkungan hidup dalam pemanfaatan tenaga nuklir baik pada operasi normal dan keadaan darurat. Status Kesiapsiagaan Nuklir Indonesia sampai saat ini merupakan pencapaian positif yang berguna untuk menyempurnakan langkahlangkah pengawasan yang sudah terlaksana dan sebagai langkah mendasar yang penting untuk menyusun Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional . Makalah ini memberikan informasi dan evaluasi terhadap kecukupan dan kemampuan materi/substansi RPP SKNN .Kata kunci: Kesiapsiagaan Nuklir, Kecelakaan Nuklir, Kedaruratan nuklir, Penanggulangan kedaruratan nuklir.
ABSTRACTNational Nuclear Emergency Preparedness System should be enacted to
established and reinforce the national emergency preparedness and respond in Indonesia. A nuclear emergency preparedness system is intended to maintain safety at normal operational condition and to give guaranty for the existence of the response capability which is capable to respond against nuclear emergency that might happen. This paper describes the outlines and evaluation of the Draft on Government Regulation in particular addresses the structure and contents of the Draft on GR National Nuclear Emergency Preparedness System.Keywords: Nuclear Emergency Preparedness, Nuclear accident, Nuclear emergency, Nuclear emergency respond.
441
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
PENDAHULUAN
Peningkatan pemanfaatan teknologi nuklir yang semakin meningkat baik secara
kuantitas dan kualitas mengharuskan semakin siapnya sistem kesiapsiagaan nuklir di
semua tingkatan: Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional. Peta bahaya yang
semakin meluas membutuhkan kajian dan analisa ancaman yang teliti untuk penyiapan
kemampuan kesiapsiagaan nuklir dan keandalan tanggap darurat yang efektif dan
efisien.
Keandalan kemampuan untuk menanggulangi kedaruratan nuklir membutuhkan
perencanaan kesiapan yang saling mendukung dan terintegrasi pada semua tingkatan
serta diprogramkan dalam suatu sistem kesiapsiagaan nuklir . Dengan demikian sistem
kesiapsiagaan nuklir yang terpadu harus dikembangkan sehingga fungsi penanggulangan
kedaruratan dapat diaplikasikan setiap saat jika dibutuhkan. Dalam kasus kedaruratan
nuklir, penanggulangan kedaruratan ditujukan untuk [1],[2] :
• Mengendalikan situasi
• Mencegah atau mengurangi dampak di lokasi kecelakaan
• Mencegah timbulnya efek deterministik terhadap pekerja dan masyarakat
• Memberikan pertolongan pertama dan penanganan korban radiasi
• Mencegah timbulnya efek stokastik pada masyarakat
• Mencegah timbulnya dampak non radiologi yang tidak diharapkan
• Mencegah terjadinya kerusakan alam dan lingkungan
• Kegiatan pemulihan kondisi.
Untuk mencapai tujuan tersebut secara nasional ketentuan yang berkaitan dengan
penanggulangan kecelakaan nuklir di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan
pemerintah dan Keputusan kepala BAPETEN[3],[4],[5],[6],[7]. Ketentuanketentuan
tersebut belum mengatur dan menetapkan sistem kesiapsiagaan nuklir nasional. Kondisi
ini mengakibatkan belum terwujudnya suatu sistem kesiapsiagaan nuklir yang terpadu
pada tingkat fasilitas, daerah dan nasional, hal ini ditunjukan :
1) Manajemen Penanggulangan Bencana masih terfokus pada bencana
bencana konvensional.
2) Belum tersedianya Manajemen Kecelakaan nuklir dengan anggapan bahwa
kecelakaan nuklir tidak mungkin akan terjadi karena sudah disediakan desain
yang inherently safe maupun engineering safety pada fasilitas yang dimiliki.
3) Keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dan infrastruktur
pendukung
442
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
4) Belum tersedianya ketentuan yang mengatur Sistem Kesiapsiagaan nuklir
Nasional yang disebabkan oleh belum terintegrasinya kedaruratan nuklir di
dalam kebijakan nasional dalam manajemen penanggulangan bencana
nasional.
Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Indonesia harus segera ditingkatkan dan
disempurnakan sehingga ketersediaan dan kelengkapan unsur infrastruktur dan
fungsional ditingkat fasilitas, daerah dan nasional dapat mewujudkan kemampuan
respon kedaruratan yang handal. Status Kesiapsiagaan Nuklir Indonesia yang ada saat
ini merupakan pencapaian positif yang berguna untuk menyempurnakan langkahlangkah
pengawasan yang sudah terlaksana dan sebagai langkah mendasar yang penting untuk
segera menyusun Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional sebagai upaya antisipasi
kesiapan dengan pembangunan PLTN yang menuntut terintegrasinya sistem
kesiapsiagaan nuklir nasional dengan sistem kesiapsiagaan nasional pada semua level.
Tinjauan terhadap RPP SKNN diharapkan dapat mengevaluasi kecukupan
kelayakan substansi materi RPP SKNN dan mendapatkan umpan balik konstruktif untuk
menyempurnakan kekurangankekurangan yang ada sehingga dapat disusun suatu RPP
SKNN yang dapat diterapkan secara efektif dan efisien.
PEMBAHASAN
Tinjauan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem
Kesiapsiagaan Nuklir Nasional (SKNN) dilakukan dengan menyajikan dan
mengidentifikasi kecukupan/ kemampuan substansi materi RPP SKNN dalam
memberikan solusi untuk menjawab tantangan keterbatasan kondisi terkini dari
Kesiapsiagaan Nuklir Nasional pada semua tingkatan.
STATUS TERKINI
Tingkat Pemegang Izin :
a) belum atau tidak melakukan identifikasi tentang potensi dan dampak bahaya
radiasi yang ada di fasilitas terhadap manusia dan lingkungan pada saat
kondisi kecelakaan nuklir seperti tersebut dalam Laporan Analisa
Keselamatan (LAK) atau pada saat kecelakaan parah.
b) belum atau tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan evaluasi dan
identifikasi kondisi kecelakaan beserta dampaknya sebagai dasar klasifikasi
kecelakaan dan upaya langkah penanggulangan kedaan darurat.
443
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
c) belum atau tidak mempunyai sistem pelaporan kepada BAPETEN dan pihak
terkait lainnya.
d) belum atau tidak mempunyai organisasi maupun personil yang bertanggung
jawab dalam penanggulangan kedaruratan nuklir
e) belum atau tidak mempunyai koordinasi dengan pihak terkait lainnya.
f) Tidak ada atau tidak mencukupinya prosedur penanggulangan keadaan
darurat
g) Tidak tersedianya atau tidak mencukupinya fasilitas, peralatan dan
pendukung yang diperlukan untuk fungsi penanggulangan kedaruratan.
h) Belum adanya program pelatihan uji coba dan sistem tes/evaluasi untuk
menjamin kesiagaan personil, peralatan dan sistem secara keseluruhan.
i) Fungsi penanggulangan : identifikasi kecelakaan awal, pemberitahuan dan
pengaktifan, tindakan penanggulangan, perlindungan terhadap pekerja
kedaruratan dan masyarakat, informasi dan instruksi kepada masyarakat
belum ditetapkan.
Tingkat Daerah :
Kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyusun dan menyelenggarakan
sebuah sistem kesiapsiagaan terhadap bencana dan kemampuan tanggap darurat
selama ini masih terfokus kepada masalah bencana konvensional dan belum melibatkan
kesiapsiagaan untuk mengantisipasi terjadinya bencana akibat kecelakaan yang
melibatkan HAZMAT (Hazard Material) termasuk didalam kecelakaan radiologik/nuklir.
Berdasarkan hasil Emergency Prepredness Review oleh IAEA yang dilakukan pada
tahun 1999 dan tahun 2004 di Indonesia oleh IAEA[8] menunjukkan bahwa belum
tersedianya :
a) Pemetaan bahaya dan dampaknya untuk kepentingan manajemen
kedaruratan di tingkat Pemerintah Daerah.
b) Prosedur penanggulangan untuk proteksi pekerja kedaruratan
nuklir/radiologik
c) Prosedur penanggulangan untuk proteksi dan evakuasi masyarakat
d) Fasilitas, peralatan dan sarana pendukung untuk pelaksanaan evakuasi,
prasarana dan lokasi evakuasi, dan pos koordinasi penanggulangan
kedaruratan belum ditetapkan.
e) Pedoman pelaksanaan pemberian informasi dan instruksi kepada
masyarakat.
444
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
Tingkat Nasional :
a) Kebijakan manajemen kedaruratan nuklir belum diakomodasikan didalam
kebijakan manajemen penanggulangan bencana nasional (belum tersedianya
UU Penanganan Bencana)
b) Identifikasi dan pembagian tugas teknis penanggulangan dari tiaptiap
organisasi terkait pada tingkat Nasional belum ditetapkan.
c) Kewenangan didalam fungsi koordinator pengendalian, komando dan
pengawasan penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat nasional belum
ditetapkan.
d) Ketersediaan fasilitas, peralatan dan sarana pendukung fungsi
penanggulangan belum mencukupi.
e) Program dan pelaksanaan pelatihan dan uji coba penanggulangan
kedaruratan nuklir tingkat nasional belum disusun.
f) Standar Pedoman Pelaksanaan Penanggulangan belum ditetapkan.
Berdasarkan keadaan dan fakta pada setiap tingkatan pada level Pemegang Izin,
Pemerintah Daerah dan Nasional seperti tersebut diatas maka tersedianya Peraturan
Pemerintah yang mencukupi untuk mengatur dan mengkoordinasikan setiap unsur pada
setiap level mutlak perlu segera ditetapkan.
POKOKPOKOK SUBSTANSI/ MATERI RPP SKNN
Pada tahun anggaran 2006 BAPETEN mulai mempersiapkan sebuah konsepsi
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional [9] yang
diharapkan mampu memberikan dasar hukum untuk mengembangkan dan
operasionalisasi Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional. Secara substansi materi dalam
Draft Rancangan Peraturan Pemerintah dimaksudkan memberikan jawaban terhadap
semua permasalahan Kesiapsiagaan Nuklir di Indonesia dewasa ini dan dimasa
mendatang.
Draft RPP tentang Sistem kesiapsiagaan Nuklir Nasional secara garis besar
mengatur ketentuan pembagian dan penetapan tugas dan kwajiban Pemegang Izin,
Pemerintah Daerah dan Nasional dalam menjalankan tugas kesiapsiagaan dan tanggap
darurat. Tugas kesiapsiagaan untuk masingmasing level penanggung jawab mencakup
menyusun dan menetapkan unsurunsur Infrastruktur dan fungsi Penanggulangan. Unsur
infrastruktur dalam kesiapsiagaan meliputi : penetapan Organisasi Tanggap Darurat dan
Koordinasi yang lengkap dengan SDM dan uraian tanggung jawabnya, Prosedur Tanggap
445
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
darurat, Peralatan dan sarana pendukung yang memadai dan program pelatihan yang
terpadu. Fungsi Penanggulangan sebagai implementasi kemampuan operasional
tanggap darurat mencakup kemampuan teknis dalam : mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan kecelakaan, melaksanakan pelaporan dan tindakan penanggulangan
mulai dari tindakan awal, mitigasi, proteksi radiasi pekerja kedaruratan dan masyarakat,
serta langkah upaya monitoring dan pemulihan/recovery. Secara garis besar identifikasi
terhadap distribusi dan penetapan tugas kwajiban dalam sistem kesiapsiagaan nuklir
Nasional untuk setiap masing masing level disajikan pada Tabel 1 :
Tabel 1
Tugas/Kwajiban
Level
Preparedness Response
Pemegang Izin PI1 PI2
Pemerintah Daerah PD1 PD2
Nasional N1 N2
PEMEGANG IZIN
Kesiapsiagaan (PI1)
Ketentuan Kesiapsiagaan dan penanggulangan kecelakaan radiasi secara
khusus telah diatur dalam peraturan pemerintah No.63/2000 , Bab VI tentang
Penanggulangan Kecelakaan Radiasi. Penanggulangan Kecelakaan Radiasi seperti yang
diatur di dalam Peraturan Pemerintah [3], Bab VI menetapkan kwajibankwajiban pokok
yang harus dilaksanakan oleh Pemegang Izin :
1) Pengusaha Instalasi harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan
radiasi (Pasal 32)
2) Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengusaha instalasi harus melakukan
upaya penanggulangan (Ps.33;1)
3) Dalam upaya penanggulangan kecelakaan radiasi keselamatan manusia harus
diutamakan (Ps.33;2)
4) Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengusaha intstalasi harus segera
melaporkan terjadinya kecelakaan radiasi dan upaya penanggulanganya kepada
Badan Pengawas dan instansi terkait lainnya. (Ps.33;3)
446
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
5) Pengusaha Instalasi yang mempunyai instalasi dengan potensi dampak radiologi
tinggi harus memiliki RPKD untuk mengatasi potensi bahaya dari kecelakaan
radiasi yang mungkin terjadi selama pengoperasian instalasi tersebut (PS.34;1).
6) RPKD harus memuat sekurangkurangnya (Ps.34;2):
a) Jenis/klasifikasi kecelakaan yang mungkin terjadi pada instalasi
b) Upaya penanggulangan terhadap jenis klasifikasi kecelakaan tersebut
c) Organisasi penanggulangan keadaan darurat
d) Prosedur penanggulangan keadaan darurat
e) Peralatan penanggulangan yang harus disediakan dan perawatannya
f) Personil penanggulangan keadaan darurat
g) Latihan penanggulangan keadaan darurat
h) Sistem komunikasi dengan pihak lain yang terkait dalam
penanggulangan kedaan darurat.
Selanjutnya berdasarkan pasal 35 Peraturan Pemerintah No.63/2000, BAPETEN
menetapkan Keputusan Kepala No.05P/2003 tentang Pedoman Rencana
Penanggulangan Keadaan Darurat (RPKD) . Pedoman tersebut memandu pengusaha
instalasi dalam menyusun dan menetapkan program yang tepat untuk menjamin bahwa
terdapat Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat yang mencukupi baik di dalam
maupun di luar lokasi yang secara rutin diuji untuk menjamin kesiagaannya.
RPKD sebagai Program Kesiapsiagaan Nuklir (PKN) disiapkan dengan
memperhatikan jenis dan potensi bahaya, sifat zat radioaktif dan bahan nuklir yang
dipergunakan dan resiko atau dampak terhadap manusia dan lingkungan. PKN harus
disusun berdasarkan hasil analisis dampak radiologi penyebaran zat radioaktif yang
diakibatkan oleh kecelakaan yang sesuai dengan analisis dalam Laporan Analisa
Keselamatan (LAK) dan atau kecelakaan parah lainnya. PKN tersebut harus dilengkapi
dengan prosedur atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis secara lengkap dan
mencukupi sesuai kebutuhan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi penanggulangan.
Lebih lanjut lebih detail teknis ketentuan itu diatur dengan SK.KA.BAPETEN No.05
P/2003 yang mengharuskan Pemegang Izin harus melengkapkan Unsur Infrastruktur :
Organisasi Penanggulangan Keadaan darurat.
Koordinasi.
Prosedur penanggulangan.
Fasilitas, Peralatan dan Sarana pendukung.
Program Pelatihan dan Uji coba.
Program Kesiapsiagaan Nuklir (PKN) merupakan salah satu dokumen yang
dijadikan persyaratan bagi BAPETEN ,untuk memberi izin kepada pengusaha instalasi
447
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
dalam mengoperasikan fasilitas radiasi yang berdampak radiologi tinggi atau instalasi
nuklir. Dokumen PKN menjadi salah satu dokumen yang dinilai dan disetujui oleh
BAPETEN sebagai bagian proses perizinan.
Ketentuanketentuan yang telah tersedia tersebut belum dapat menggerakkan
atau memerintahkan institusi lain di luar Pemegang Izin yang mungkin terlibat dalam
penyiapan infrastruktur kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan yang mungkin
timbul akibat besarnya skala kecelakaan atau akibat adanya eskalasi kecelakaan yang
meluas sampai keluar batas tapak. Hal ini disebabkan memang ruang lingkup substansi
ketentuan hanya mengatur kwajiban Pemegang Izin terhadap BAPETEN.
Dalam perizinan pembangunan dan pengoperasian PLTN, tahap perizinan
tapak mengharuskan tapak yang diajukan harus mampu menunjukkan kemampuan dan
kelayakan penanggulangan kedaruratan nuklir. Persyaratan ini merupakan acceptance
criteria yang dapat menerima dan menolak tapak yang diajukan. Pada keadaan ini
Pemegang Izin sangat membutuhkan koordinasi dan kerjasama dengan pihak offsite
atau Pemerintah Daerah setempat yang yurisdiksinya terpengaruh dampak radiologi
berdasarkan LAK untuk berkoordinasi dalam hal menyetujui dan menetapkan
infrastruktur yang diperlukan dalam pelaksanaan penanggulangan kedaruratan nuklir
misalnya : sarana prasarana evakuasi, sheltering, komunikasi, Pusat kendali operasi
penanggulangan dsb.
Solusi keterbatasan antarmuka Pemegang Izin dan Pemerintah Daerah seperti
diuraikan diatas diatur dengan formulasi dalam RPP antara lain :
a. PIN harus menyusun program kesiapsiagaan nuklir dengan infrastruktur
dan fungsi penanggulangan yang lengkap. Dalam menyusun PKN
tersebut, PIN harus berkoordinasi dengan Pemda dan instansi teknis
terkait di daerah. Ketentuan mengenai PKN diatur dengan Peraturan
Kepala BAPETEN.
b. PIN bertanggungjawab atas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan
kedaruratan nuklir, dan berkoordinasi dengan Pemda dan instansi terkait.
c. Pelatihan Kedaruratan terpadu tingkat Daerah dilaksanakan dengan
berkoordinasi dengan Pemda dan instansi terkait 1 (satu) kali tiap 2 (dua)
tahun.
Fungsi Penanggulangan (PI2)
Fungsi Penanggulangan sebagai aplikasi operasional kemampuan tanggap
darurat mengharuskan tindakan penanggulangan minimal harus berisi tindakan khusus
448
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
atau tertentu yang dilakukan untuk meringankan akibat kecelakaan sesuai dengan
klasifikasi keadaan darurat, fungsi penanggulangan tersebut mencakup :
Identifikasi kecelakaan awal.
Pemberitahuan dan pengaktifan.
Tindakan Penanggulangan.
Perlindungan terhadap pekerja kedaruratan dan masyarakat.
Informasi dan instruksi masyarakat.
Besarnya dampak kecelakaan membutuhkan terintegrasinya program
kesiapsiagaan nuklir Pemegang Izin dengan Pemerintah Daerah dan Institusi terkait
disekitarnya dan organisasi tanggap darurat setempat misalnya Ambulan, PMK dan RS
setempat. Pada skala bencana / mass casualties, kemampuan Pemegang izin tidak akan
mencukupi lagi karena dampak kedaruratan akibat kecelakaan telah berpengaruh luas
kepada masyarakat/lingkungan, tindakan evakuasi, sheltering , medis kedaruratan dan
upaya pemulihan sangat memerlukan keterlibatan pihakpihak lain yang berkompeten.
Antarmuka dan koordinasi penanggulangan kedaruratan antara PI dan
Pemerintah Daerah baik mulai pelaporan dan tindakan awal diatur dalam RPP antara lain
sebagai berikut :
a. Dalam hal terjadi kedaruratan nuklir, pengusaha instalasi harus segera
melaporkan terjadinya kedaruratan nuklir dan upaya penanggulangannya
kepada BAPETEN dan instansi terkait lainnya.
b. PIN wajib menyampaikan Laporan Kedaruratan Nuklir kepada Pemda
sebagaimana dimaksud diatas apabila:
(1) Laju paparan radiasi sebesar 5 µSv/jam atau lebih tinggi diukur
selama sepuluh menit atau lebih pada batas tapak.
(2) Pelepasan radioaktif yang abnormal yang konsentrasi aktivitas
udaranya setara dengan laju dosis 5 µSv/jam di batas tapak yang
terdeteksi melalui jalur pelepasan normal.
(3) Adanya kejadian hilangnya fungsi penyungkup yang disebabkan
karena ledakan atau lainnya dengan laju dosis 50 µSv/jam atau
konsentrasi aktivitas udara setara dengan laju dosis 5 µSv/jam.
(4) Adanya kejadian khusus pada tiap fasilitas seperti halnya kejadian
kritikalitas yang diperhitungkan dalam kemungkinan pada IN,
kejadian yang melibatkan ketidaktersediaan ruang kendali, kejadian
yang melibatkan kegagalan pemadaman darurat oleh batang
kendali dalam reaktor, kejadian yang melibatkan hilangnya
449
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
pendingin pada Emergency Core Cooling System (ECCS), dan
hilangnya redundansi pada suplai daya listrik.
PEMERINTAH DAERAH
Kesiapsiagaan (PD1)
Peranan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Dalam RPP SKNN ditetapkan
dalam kerangka kwajiban Pemda berkoordinasi dengan Pemegang Izin dalam upaya
penyediaan dan penyelenggaraan Program Kesiapsiagaan Nuklir Tingkat Daerah dan
kemampuan tanggap darurat nuklir yang memadai antara lain dengan menyediakan dan
melengkapkan unsurunsur : Organisasi Penanggulangan Keadaan Darurat; Koordinasi;
Prosedur Penanggulangan; dan Fasilitas, Peralatan ,Sarana Pendukung serta Program
Pelatihan/Uji Coba :
a. Pemda yang memiliki wilayah jurisdiksi yang termasuk dalam zona
perencanaan kedaruratan, harus menyusun program kesiapsiagaan nuklir
dengan infrastruktur dan fungsi penanggulangan yang lengkap. Program
kesiapsiagaan nuklir tersebut sekurangkurangnya memuat:
(1)Organisasi tanggap darurat nuklir daerah dan koordinasinya;
(2)Prosedur tanggap darurat nuklir;
(3)Sarana dan Prasarana: Peralatan proteksi radiasi, komunikasi,
transportasi, sarana prasarana evakuasi, seltering, peralatan
peringatan dini (early warning sistem), Posko tanggap darurat
nuklir; dan
(4)Pelatihan kedaruratan nuklir.
b. Pemda yang memiliki wilayah jurisdiksi yang termasuk dalam zona
perencanaan kedaruratan mendirikan dan mengoperasikan Pusat
Gabungan Informasi Publik di luar tapak memberikan informasi yang
akurat dan terpusat mengenai bencana nuklir kepada PIN,
instansi/lembaga teknis di daerah, dan masyarakat.
c. Pemda terlibat aktif dalam latihan kedaruratan yang diselenggarakan oleh
PIN 1 (satu) kali setiap 2 (dua) tahun.
Fungsi Penanggulangan (PD2)
Secara keseluruhan fungsi penanggulangan Tingkat Daerah ini merupakan
pemberdayaan kemampuan tanggap daerah yang sudah ada dan berjalan sesuai dengan
mekanisme komando Satkorlak / Satlak dengan meningkatkan kemampuan siaga dan
450
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
tanggap darurat operasionalnya dibidang kedaruratan radiologik/nuklir. Kecelakaan yang
memerlukan bantuan Operasi penanggulangan kedaruratan diluar tapak Pemegang Izin
akan dikendalikan melalui sistem komando tanggap darurat oleh organisasi tanggap
darurat nuklir tingkat daerah baik Satlak atau Satkorlak setelah mendapatkan laporan
kejadian kecelakaan dan permintaan bantuan dari Pemegang Izin.
NASIONAL
Kesiapsiagaan (N1)
RPP SKNN mengatur distribusi dan pembagian tugas kewenangan
Departemen/Lembaga Nasional dalam penyusunan dan penyelenggaraan kesiapsiagaan
dan kemampuan tanggap darurat ditetapkan sesuai dengan kompetensi dan kemampuan
teknis masing masing Departemen/Lembaga sesuai Tugas Fungsinya. RPP SKNN yang
bersifat khusus dalam bidang Teknologi Nuklir ini menuntut ditetapkannya satu Institusi
yang bertindak sebagai focal point nasional yang berfungsi sebagai koordinator nasional
dalam menginisiasi program nasional dan pelaksanaannya, sesuai dengan
UU.No.10/1997 tugas ini dilaksanakan oleh BAPETEN, selanjutnya RPP SKNN mengatur
seluruh Departemen/Instansi terkait :
a. BAPETEN mengkoordinasikan pembentukan SKNN , termasuk
didalamnya penetapan Organisasi Tanggap Darurat Nuklir Nasional
(OTDN) dan Posko tanggap darurat nuklir Nasional. OTDN ini sekurang
kurangnya mencakup :
(1) Kegiatan dukungan operasional yang melibatkan Departemen
Pertanian, BPOM, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Departemen Perhubungan, Menteri Negara Lingkungan hidup.
(2) Kegiatan investigasi / Penegakaan Hukum bersama POLRI
(3) Kegiatan operasional sekurangkurangnya melibatkan first
responder (polisi, PMK, AGD/Kesehatan) dan RMA (BAPETEN,
BATAN, NUBIKA, BMG, BPS).
b. Departemen/lembaga teknis terkait kesiapsiagaan nuklir tersebut harus
menyediakan infrastruktur dan fungsi penanggulangan sesuai dengan
bidang tugasnya.
c. Dalam hal kesiapan pemberian layanan medis kedaruratan nuklir,
Depkes harus menyediakan pusat medis kedaruratan nuklir nasional.
d. BAPETEN mengkoordinasikan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir
tingkat nasional yang melibatkan Pemda dan pemegang izin 1 (satu) kali
setiap 3 (tiga) tahun.
451
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
Fungsi Penanggulangan (N2)
Pelaksanaan tanggap darurat yang membutuhkan operasi tindakan sampai level
nasional dilaksanakan oleh OTDN yang aktivasinya diatur dengan menetapkan kriteria
aktivasi tanggap darurat nasional dan menggunakan mekanisme oparasional tanggap
darurat nasional BAKORNAS PB :
a. Tanggap darurat nasional diaktivasi dengan adanya laporan PIN pada
kondisi:
(1) laju paparan radiasi sebesar 500 µSv/jam atau lebih tinggi diukur
selama sepuluh menit atau lebih pada batas tapak.
(2) Pelepasan radioaktif yang abnormal yang konsentrasi aktivitas
udaranya setara dengan laju dosis 500 µSv/jam di batas tapak yang
terdeteksi melalui jalur pelepasan normal.
(3) Adanya kejadian hilangnya fungsi penyungkup yang disebabkan
karena ledakan atau lainnya dengan laju dosis 5 mSv/jam atau
konsentrasi aktivitas udara setara dengan laju dosis 500 µSv/jam.
(4) Adanya kejadian khusus pada tiap fasilitas seperti halnya kejadian
kritikalitas yang diperhitungkan dalam kemungkinan pada IN,
kejadian yang melibatkan ketidaktersediaan ruang kendali, kejadian
yang melibatkan kegagalan pemadaman darurat oleh batang
kendali dalam reaktor, kejadian yang melibatkan hilangnya
pendingin pada ECCS, dan hilangnya redundansi pada suplai daya
listrik.
b. Pelaksanaan tanggap darurat nasional mengikuti mekanisme
BAKORNAS PB sebagaimana diatur dalam PERPRES.
c. Dalam hal kecelakaan yang melibatkan :
(1) Orphan Source
(2) RDD
(3) reentry nuclear satellite
BAPETEN dapat memimpin langsung tindakan penanggulangan.
Kemampuan tindakan penanggulangan kedaruratan nasional ini tidak menutup
kemungkinan timbulnya eskalasi kecelakaan yang mengakibatkan seluruh kemampuan
nasional yang tersedia tidak mampu untuk mengatasi kedaruratan yang terjadi, RPP
SKNN memberikan kewenangan BAPETEN untuk meminta dan memberi
informasi/bantuan kepada IAEA dalam kerangka Konvensi Pemberitahuan Dini
452
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
Kecelakaan Nuklir [10,11,12], Konvensi mengenai Bantuan dalam hal terjadinya
Kecelakaan atau Kedaruratan nuklir, konvensikonvensi internasional lainnya serta
persetujuan bilateral.
KESIMPULAN
1. Pokokpokok substansi dan materi ketentuan dalam RPP Sistem Kesiapsiagaan
Nuklir Nasional mengatur tugas kwajiban Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan
Nasional untuk menyusun dan mengembangkan Sistem Kesiapsiagaan Nuklir
Nasional.
2. BAPETEN telah mensyaratkan Pemegang Izin untuk meyusun PKN, ketentuan
tersebut dilengkapkan dengan PP SKNN untuk menjamin antarmuka dan koordinasi
yang sinergis dengan Pemda dan Nasional dalam mengembangkan kemampuan
kesiapsiagaan dan tanggap darurat di wilayah terkait.
3. Pemerintah Daerah sebagai otoritas dengan kewenangan yang diatur dengan
Otonomi Daerah masih perlu dikaji lebih lanjut dalam rangka merumuskan distribusi
dan penetapan tugas kewenangan kwajibannya dalam Sistem Kesiapsiagaan Nuklir
Nasional. Integrasi Program Kesiapsiagaan Nuklir daerah kedalam mekanisme
Satkorlak dan Satlak masih memerlukan rumusan dan penyempurnaan lebih lanjut
untuk mencapai keselarasan optimalisasi pemberdayaan kemampuan kesiapsiagaan
dan tanggap darurat daerah yang sudah tersedia.
4. Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional merupakan Subsistem dari Sistem
Kesiapsiagaan Nasional yang operasional tanggap darurat nuklir nasional
dilaksanakan oleh Organisasi Tanggap Darurat Nuklir Nasional (OTDN) melalui
mekanisme BAKORNAS PB dengan melibatkan seluruh Departemen/Instansi terkait
masih memerlukan pembahasan lebih lanjut mengingat belum tersedianya aspek
hukum dasar kebijakan Penanganan Bencana Nasional dan belum optimalnya peran
Bakornas PB dalam fungsi koordinasi dan komando penangangan bencana nasional.
REKOMENDASI
Dalam rangka antisipasi tantangan pemanfaatan tenaga nuklir dan introduksi
PLTN serta menjamin keselamatan publik dan lingkungan hidup[13] secara menyeluruh,
tersedianya PP tentang SKNN mutlak segera ditetapkan untuk mengoptimalkan efektifitas
453
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
aspek hukum lain yang sudah ada khususnya RPP tentang Perizinan PLTN yang segera
ditetapkan dalam waktu dekat diperlukan upaya :
1. Koordinasi lebih intens antara BAPETEN dengan Departemen/Instansi dan
Pemerintah Daerah (Satkorlak/ Satlak) untuk menggalang sinergi integrasi SKNN
kedalam Sistem Kesiapsiagaan Nasional.
2. Kontinuitas dan konsistensi personilpersonil pelaksana dalam upaya koordinasi
dan pembahasan antar Departemen/Instansi terkait dan Pemerintah Daerah.
454
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
DAFTAR PUSTAKA
1. IAEA, Method for Developing Arrangements for Response to Nuclear or Radiological Emergency, Updating IAEATECDOC953, Viena, 2003
2. IAEA Safety Standards Series, Preparedness and Rensponse for a Nuclear or Radiological Emergency, GSR2, Viena, 2002
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion, 2000
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemafaatan Tenaga nuklir, 2000
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, 2002
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan limbah Radioaktif, 2002
7. BAPETEN, Pedoman Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat, No. 05P/KaBAPETEN/I03, 2003
8. IAEA EPREV Team, Resume Final Report Emergency Preparedness Review Indonesia, Indonesia 1999
9. BAPETEN, Konsepsi RPP Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional, 2006
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106 Tahun 2001 tentang Pengesahan Convention on Nuclear Safety, 2001
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 1993 tentang Pengesahan Convention On Early Notification of a Nuclear Accident.
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 82 Tahun 1993 tentang Pengesahan Convention on Assistance on the Case of a Nuclear or Radiological Emergenc
13. UndangUndang Republik Indonesia No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, 1997
455
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
HASIL DISKUSI DAN TANYA JAWAB
Penanya: Slamet Suprianto
Pertanyaan:
a.Sejauh mana peran aktif BAPETEN tentang program kesiapsiagaan nuklir untuk
instansi PEMDA dan Pemerintah dalam PP Bencana Alam Nasional?
b.Apakah pihak BAPETEN telah bekerjasama dengan pihak fasilitas nuklir ( on site )
dan pihak – pihak terkait dalam menjalankan infrastruktur kesiapsiagaan nuklir?
c.Mohon kejelasan batasan tapak 500 Msv/ jam apakah ada kaitan dengan APZ,
UPZ, LPZ, untuk daerah kecelakaan nuklir.
Jawaban:
a.BAPETEN telah berperan aktif sebagai inisiator dalam mengkoordinasikan seluruh
departemen dan lembaga terkait tingkat nasional dalam menyususn RPP
kesiapsiagaan nuklir Nasional tapi untuk PP bencana alam nasional belum dibahas
karena UU Penanggulangan bencana juga belum ditetapkan.
b.BAPETEN sebagi Badan Pengawas telah mensyratkan seluruh pemegang izin
untuk menyusun program Kesiapsiagaan Nuklir mengenai tapak/ fasilitasnya sesuai
PP 63/ 2000 dan SK BAPETEN 05 P/ 2003.
c.500 Msv/ jam bukan batasan tapak tetapi merupakan batasan aktivasi tanggap
darurat tingkat nasional. UPZ, LPZ, ditetapkan sendiri oleh pemegang izin sesuai
LAK yang disusun.
Penanya: Yekti Nastiti ( Dep. Radiologi RSCM )
Pertanyaan:
a.Sebagai RS rujukan Nasional kemana kami harus berkoordinasi bila terjadi ( pasien
) kecelakaan radiasi. Bisakah kami mendapatkan panduan ( buku ) langkah –
langkah yang harus dilakukan untuk menangani pasien – pasien kecelakaan radiasi?
Jawaban:
a.Sampai sekarang untuk level nasional belum di tentukan RS rujukan Nasional, hal
ini mohon dilacak ke Departemen Kesehatan merujuk hasil workshop Nasional
( BATAN PTKMR dengan DepKes ) awal 2006 dan lokakarya Nasional DepKes juni
2006.
b.Buku panduan bisa diusahakan ke PTKMR BATAN Pasar Jum’at.
456