sindrom nefrotik agung

30
SINDROM NEFROTIK I. PENDAHULUAN Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit/sindrom yang mengenai glomerulus yang ditandai oleh adanya proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan oedem, serta dengan atau tanpa hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia 1 . Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan pravalensi sekitar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1. Laporan dari luar negeri menunjukkan dua pertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun 2 . II. KLASIFIKASI SINDROM NEFROTIK Berdasarkan etiologi, sindrom nefrotik pada anak dibagi dalam : Sindrom nefrotik primer : menunjukkan dimana penyakit terbatas hanya di dalam ginjal/glomerulus dan etiologinya

Upload: agung-ds

Post on 13-Feb-2016

247 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sn

TRANSCRIPT

Page 1: Sindrom Nefrotik Agung

SINDROM NEFROTIK

I. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit/sindrom yang mengenai glomerulus yang

ditandai oleh adanya proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan oedem, serta dengan atau tanpa

hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia1. Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit

sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak.

Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik atau berhubungan dengan

obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan pravalensi sekitar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2 :

1. Laporan dari luar negeri menunjukkan dua pertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada

umur kurang dari 5 tahun2.

II. KLASIFIKASI SINDROM NEFROTIK

Berdasarkan etiologi, sindrom nefrotik pada anak dibagi dalam :

Sindrom nefrotik primer : menunjukkan dimana penyakit terbatas hanya di dalam

ginjal/glomerulus dan etiologinya tidak diketahui (idiopatik) diduga ada hubangannya

dengan genetik, imunologi dan alergi1

Sindrom nefrotik sekunder : menunjukkan dimana penyakit tidak terbatas hanya di dalam

ginjal/glomerulus, akan tetapi penyakit berasal dari ekstrarenal atau dengan perkataan

lain, mempunyai etiologi khusus, merupakan bentuk yang jarang dijumpai1.

Page 2: Sindrom Nefrotik Agung

Sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalarn tiga kelornpok, yaitu:

1. Kongenital

Bentuk ini ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasus-kasus ini

adalah Sindom Nefrotik Tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara

autosomal resesif.

2. Responsif steroid

Kelompok ini sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindrom nefrotik kelainan

minimal (SNKM).

3. Resistensi Steroid

Berdasarkan gambaran histopatologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tipe:

Sindrom Nefrotik perubahan minimal

Sindrom Nefrotik perubahan nonminimal :

Fokal dan segmental glomerulosklerosis

Membranoproliferatif glomerulonefritis

Proliferasi mesangial difusa

Membranus glomerulonefritis (nefropati)

III. ETIOLOGI

1.Penyakit ginjal (parenkhim) primer.

Selama perjalanan penyakit glomerulonefritis akut pasca streptokokus dapat timbul

gejala-gejala sindrom nefrotik. Di klinis sebagian besar pasien sindrom nefrotik, berkisar

antara 75 - 80% termasuk sindrom nefrotik idiopati, etiologinya tidak diketahui. Sebagian

kecil pasien-pasien sindrom nefrotik (20%) termasuk sindrom nefrotik sekunder, etiologinya

sangat heterogen.

2. Diabetes mellitus

Kira-kira 30% pasien diabetes mellitus dapat terjadi proteinuria tetapi hanya sebagian

kecil terjadi proteinuria masif dengan gejala-gejala sindrom nefrotik (glomerulosklerosis

diabetik).

Page 3: Sindrom Nefrotik Agung

3.Amiloidosis (paraproteinemi)

Kappa (K) dan lambda (λ) light chain dengan berat molekul 22.000 dapat melalui

filtrasi glomerulus, direabsorbsi dan mengalami katabolisme pada sel-sel tubulus sehingga

tedadi pengendapan dari protein tersebut dan menyebabkan kerusakan sel-sel tubulus.

Lambda light chain mempunyai sifat amiloidigenic, biasanya terdapat pada

amiloidosis primer. Kedua tipe paraprotein ini baik Kappa maupun lambda light chain dapat

menyebabkan kebocoran protein melalui glomerulus dan akhirnya terjadi sindrom nefrotik.

Kappa light chain lebih sering menyebabkan sklerosis mesangial. Diagnosis

tergantung dari ditemukan monoclonal light chain.

Pengobatan yang adekuat dapat menyebabkan remisi terutama bila etiologinya kappa

light chain. Insiden kelainan ginjal kira-kira 10% pada amiloidosis primer. Sebaliknya

insiden kelainan ginjal pada amiloidosis sekunder lebih tinggi, kira-kira 50%.

Amiloidosis sekunder biasanya terdapat pada penyakit-penyakit kronis seperti

tuberkulosis, osteomielitis kronis, abses paru, aktinomikosis, reumatoid artritis, kolitis

ulseratif, dan penyakit-penyakit keganasan (neoplasma).

4. Trombosis vena renalis

Hubungan antara trombosis vena renalis dan sindrom nefrotik masih diperdebatkan,

apakah trombosis ini akibat atau penyebab sindrom nefrotik. Akhir-akhir ini dari berbagai

laporan ternyata bahwa kenaikan tekanan vena renalis dapat menyebabkan peningkatan

permeabilitas membrana basalis dan terjadi kebocoran plasma protein. Kenaikan tekanan

vena renalis ditemukan pada beberapa penyakit seperti RHS (right heart syndrome) dan gagal

jantung kongestif.

Beberapa faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kenaikan tekanan vena renalis:

a) Sindrom nefrotik apapun sebabnya,

b) Tumor hipernefroma yang menembus ke dalam vena renalis dan menyebabkan obstruksi

dan pembentukan trombus

c) Kanulisasi vena cava inferior pada pemeriksaan inferior venocavogram dan trauma pada

vena renalis

d) Dehidrasi berat terutama pada bayi.

Page 4: Sindrom Nefrotik Agung

5. Gagal jantung kongestif dan perikarditis

Proteinuria ringan merupakan salah satu kelainan laboratorium dari gagal jantung

kongestif dan perikarditis. Proteinuria masif yang diikuti oleh sindrom neftotik pernah

dilaporkan sebagai penyulit dari gagal jantung kongestif terutama yang refrakter terhadap

pengobatan konvensional seperti diet, digitalis dan diuretik.

Mekanisme proteinuria masif tidak diketahui pasti, diduga (a) akibat pemakaian

diuretik organomerkuri; (b) anoksi glomerulus; (c) kenaikan tekanan vena. renalis.

6. Lupus eritematosus sistemik (LES)

Hampir 70-90% dari pasien-pasien LES memperlihatkan kelainan ginjal. Sindrom

nefrotik merupakan salah satu gambaran klinis yang paling sering dijumpai pada lupus

eritematosus sistemik.

Perubahan-perubahan histopatologis sangat bervariasi, tidak jarang dengan lesi-lesi

campuran. Pada stadium awal biasanya memperlihatkan kelainan histopatologis yang

menyerupai lesi minimal.

7. Keganasan (neoplasma)

Hubungan antara keganasan dengan sindrom nefrotik masih belum jelas. Walaupun

hubungan kedua penyakit ini masih kabur, tetapi sangat penting diketahui :

a) Glomerulopati termasuk sindrom nefrotik dapat merupakan gambaran klinis pertama dari

suatu neoplasma di luar ginjal, termasuk sindrom paraneoplastik

b) Jaringan-jaringan ginjal atau metabolit-metabolit lainnya mungkin menyebabkan

pembentukan autoantibodi dan terjadi sindrom nefrotik

c) Glomerulonefritis apapun juga penyebabnya sering diberikan sitostatika.

8. Infeksi parasit malaria

Glomerulopati termasuk sindrom nefrotik terutarna berhubungan dengan infeksi

parasit plasmodium vivax. Infeksi parasit plasmodium falsiparum lebih sering menyebabkan

gagal ginjal akut dan kelainan otak (malaria serebral).

Page 5: Sindrom Nefrotik Agung

9. Mieloma multipel

Gambaran klinis mieloma multipel ditandai lesi-lesi osteolitik dari tulang-tulang:

adanya circulating abnormal protein, proteinuria abnormal Bence Jones.

Sindrom npfrotik sendiri hanya merupakan salah satu bentuk kelainan-kelainan ginjal yang

dapat dijumpai pada mieloma multipel. Bentuk-bentuk lain seperti nefropati hiperkalsemi,

nefropati asam urat, obstruksi intratubular, pieloneffitis, dan amiloidosis ginjal.

10. Obat-obatan

Walaupun penggunaan obat-obatan sangat luas tetapi relatif langka efek samping

berupa sindrom nefrotik. Di antara obat-obatan yang pernah dilaporkan dapat menyebabkan

sindrom nefrotik seperti : trimetadon, penisilinamin, fenindion, tolbutamid, dan probenesid.

Semua obat-obatan ini hanya menyebabkan kelainan ginjal ringan dan cepat mengalami

remisi bila obat-obatan tersebut dihentikan. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelainan-

kelainan ginjal berat terutama toksik pada tubulus ginjal: preparat-preparat yang mengandung

emas, diuretik organomerkuri, dan bismut.

11. Lain-lain

Sindrom neftotik herediter jarang dijumpai, mempunyai respon yang buruk terhadap

pengobatan dan biasanya meninggal akibat gagal ginjal.

Obesitas pernah dilaporkan dapat menimbulkan proteinuria massif. Mekanisme

diduga berhubungan dengan kenaikan tekanan vena renalis, dibuktikan dengan

pemeriksaan inferior venocavogram.

Hubungan dengan kehamilan

Preeklampsi dengan gambaran proteinuria, hipertensi, sembab, penurunan LFG,

sering dijumpai di klinik Kebidanan, dan mortalitasnya masih cukup tinggi.

Pengalarnan di klinik sangat jarang djumpai recurrent nephrotic syndrom of

pregnancy.

VI. PATOFISIOLOGI

Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein sehingga terjadi proteinuria

adalah patofisiologi pasti dari sindrom nefrotik. Alburnin adalah plasma protein yang

predominan hilang dalam urin, tapi juga protein lain turut keluar seperti imunoglobulin,

faktor koagulasi, transferin, dan lain-lain. Keadaan klinis dan laboratorium pada sindrom

nefrotik seperti oedem, hipoalbumin. hiperlipidemia, terjadi akibat proteinuri. Keadaan

Page 6: Sindrom Nefrotik Agung

patofisiologis ini berlaku untuk semua jenis sindrom nefrotik tanpa membedakan morfologi

maupun etiologinya.

1. Proteinuria masif

Proteinuria secara umum merupakan kelainan primer pada sindrom nefrotik,

sedangkan kelainan klinis dan laboratoris lain dianggap sebagai kelainan sekunder.

Proteinuria pada sindrom nefrotik merupakan proteinuria yang masif, dibedakan dengan yang

lain yang tidak berhubungan dengan sindrom nefrotik. Untuk menyesuaikan dengan ukuran

pasien pediatri yang bervariasi, digunakan ukuran rata-rata untuk menentukan proteinuria

pada sindrom nefrotik, yaitu ≥40 mg/jam/m2 luas tubuh per hari.2

Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan

glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan

disebut sebagai proteinuria selektif. Sedangkan pada sindrom nerotik kelainan non minimal

terjadi proteinuria non selektif (terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat

molekul besar).2

Proteinuri dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu:2

a. Hilangnya "muatan polianion" pada dinding kapiler glomerulus.

Semua permukaan kapiler glomerulus dalam keadaan normal mempunyai muatan polianion

atau muatan negatif dan yang bertanggung jawab pada keadaan ini adalah `sialoglikoprotein`

dan `proteoglikan`, seperti heparin sulfat. Protein sulfat heparan yang menimbulkan muatan

negatif pada lamina elastika interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat

keluarnya molekul bermuatan negatif seperti albumin. Sedangkan sialoprotein glomerulus

vaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki epitel, tampaknya berperan sebagai

muatan negatif di daerah ini penting untuk mengatur sel visceral epitel dan pemisahan

tonjolan-tonjolan kaki epitel. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai

respon terhadap pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya proteinuria.

b. Adanya perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus.

c. Aaanya perubahan hemodinamik. yang mengatur aliran kapiler.

Page 7: Sindrom Nefrotik Agung

2. Hipoalbuminemia

Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis di hepar dan

pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal, dan gastrointestinal. Meningkatnya

katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat

menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada

keadaan hipoalbumin yang menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah tampaknya

disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme

fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus

renal) yang melampaui daya sintesis hati.

Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya α globulin dan α-1

globulin (normal atau rendah). Sedangkan α-2 globulin, β globulin, dan fibrinogen meningkat

secara relative atau absolute. Meningkatnya α-2 globulin disebabkan oleh retensi selektif

protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada

beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.

Yang dimaksud dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik pada anak ialah bila

kadar albumin plasma kurang dari 2,5 gr%.1

3. Edema

Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah

menurunnya tekanan onkotik intravaskuler yang menyebabkan cairan merembes ke ruang

interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar

menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan

menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan

meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang

interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.

Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma ↓

Volume plasma ↓

Page 8: Sindrom Nefrotik Agung

Retensi Na renal sekunder ↑

Edema

Terjadinya oedema menurut teori underfilled

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri

dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume

plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium

renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan

tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai. peristiwa kompensasi

sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya

akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik

plasma dan akhirnya mempercepat gerakan cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini

jelas memperberat edema sampai terdapat keseirnbangan hingga edema stabil.

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan

aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua

pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan

tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori

overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal

primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer

mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi

sebagai akibat overfilling cairan ke da!am ruang interstitial. Teori overfilled ini dapat

menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron

menurun sekunder terhadap hipovolemia.Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer

Volume plasma ↑

Edema

Terjadinya edema menurut teori overfilled

Terbentuknya edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin

saja kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu

Page 9: Sindrom Nefrotik Agung

berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu

kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan

nefritis. Akibat mengecilnya volume intravaskuler akan merangsang keluarnya renin dan

menimbulkan rangsangan nonosmotik untuk keluarnya hormon antidiuretik. Dengan

meningkatnya produksi renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin angiotensin-aldosteron.

Akibat akhir ialah terjadinya retensi natrium dan air dengan keluarnya volume urin yang

sedikit dan pekat dengan sedikit natrium.

Karena pasien dengan hipovolemia, disertai renin dan aldosteron yang tinggi

umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan

volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya

menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat

merupakan pertanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap

steroid atau tidak, di samping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihnya terlalu

besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua kelompok histologis tersebut

atas dasar pemeriksaan renin.

4. Hiperlipidemia

Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan ini tampak

lebih nyata pada pasien dengan SNKM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara

konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat

normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein

densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan

kadang-kadang sangat menyolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal pada

anak-anak dengan SN. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh

sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa

keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya

sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur vang berdekatan.

Menurunnya degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya

aktivitas lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya α-

glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik

secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini

menjadi normal kembali.

Page 10: Sindrom Nefrotik Agung

V. MANIFESTASI KLINIK

Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90%

anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal dengan

korlikosteroid.

Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat pada

orangtua atau anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan

memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau

dapat menghilang dan timbul kernbali. Selama periode ini edema periorbital sering

disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke

pinggang, perut dan tungkai bawah serta penumpukkan rairan di rongga lain seperti ascites,

efusi pleura, edema skrotum dan labia (edema anasarka), sehingga penyakit yang sebenarnya

menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orangtua pasien sering mengeluh berat

badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertamhah dan

terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu rnakan yang meningkat.

Pada anak dengan SNKM, edema timbul secara lebih cepat dan progresif dalam

beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan intermitten pada kelainan glomerulus jenis

lainnya, terutarna pada Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP). Edema berpindah

dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur

sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri.

Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perialanan penyakit SN yaitu

diare, hepatomegali, nyeri di perut, nafsu makan berkurang, anoreksia, dan pada asites berat

dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Urine

Proteinuria bisa diperiksa secara kualitatif dengan pemeriksaan bang atau dipstik (+2)

atau secara kuantitatif dengan pemeriksaan esbach atau penghitungan rasio protein kreatinin

urin1.

Pengertian proteinuria masif adalah bila terdapat protein dalam urin :

1. >40 mg/m2/jam atau >2 g/24 jam atau >50 mg/kgBB/24 jam

2. rasio protein kreatinin urin sewaktu (urin pagi) >2,5 1

Protein selektivitas

Page 11: Sindrom Nefrotik Agung

Pada sindrom nefrotik perubahan minimal biasanya bersifat selektif, yaitu proteinuria

kebanyakan terdiri dari albumin yang mempunyai berat molekul rendah. Bila proteinuri

terdiri dari protein dengan berat molekul tinggi disebut bersifat tidak selektif1.

Selektifitas proteinuri dapat diukur dengan pemeriksaan kadar transferin (berat molekul

rendah) dan kadar IgG (berat molekul tinggi) di dalam urin dan plasma.

Rasio = (transferin urin : IgG plasma) : (IgG urin : transferin plasma)

<0,1 = selektif

>0,2 = tidak selektif 1

Hematuri

Pada 15% penderita sindrom nefrotik perubahan minimal bisa terdapat hematuri mikroskopik

sementara. Adanya hematuri mikroskopik yang terus-menerus disertai dengan adanya

eritrosit kast dan granuler kast merupakan petunjuk penyebab kronik glomerulonefritis

(sindrom nefrotik non minimal) atau adanya trombosis vena renalis1.

2. Pemeriksaan Darah

Hipoalbuminemia

Yang dimaksud dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik pada anak adalah bila kadar

albumin plasma kurang dari 2,5 gr%. Oedema pada kebanyakan sindrom nefrotik baru

terjadi apabila kadar albumin plasma kurang dari 2,7 gr%.. selain penurunan albumin plasma,

juga terdapat penurunan kadar IgG dan alfa-1-globulin, dan di pihak lain terjadi kenaikan

IgM, alfa-2-globulin, beta-globulin, fibrinogen, dan IgE. Bila kadar albumin sangat rendah

(<1,2 gr%) akan terjadi hipovolemia berat dengan gejala “hipotensi orthostatik”, sakit perut,

muntah, dan diare1.

Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia

Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan konsentrasi total kolesterol low density (LDL)

dan very low densiti lipoprotein (VLDL), sedangkan high density lipoprotein (HDL) biasanya

dalam batas normal. Hal ini disebabkan oleh:

1. peningkatan sintesis lipoprorein, yang dirangsang oleh adanya hipoalbuminemia atau

penurunan tekanan onkotik

2. penurunan klirens lipid dari sirkulasi1

Page 12: Sindrom Nefrotik Agung

Ureum, kreatinin dan elektrolit

Konsentrasi ureum dan kreatinin plasma biasanya normal, kadang-kadang sedikit

meningkat akibat adanya hipovolemi dan gangguan perfusi ginjal (prerenal azotemia). Pada

glomerulonefritis kronik dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal/gagal ginjal1. Elektrolit

umumnya normal, kadang-kadang dijumpai hiponatremi akibat hemodilusi atau pemberian

diuretik hebat pada keadaan hipovolemi1

Tata Laksana Umum

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit

dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan berikut:

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan

2. Pengukuran tekanan darah

3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus

eritematosus sistemik, purpura Henoch Schonlein.

4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu

dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan

bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat anti tuberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema

anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau

syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan

kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Dietetik Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan

menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)

dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi

malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi

cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances)

Page 13: Sindrom Nefrotik Agung

yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak

menderita edema.

Diuretik Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic

seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton

(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian

diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih

dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena

hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-

25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial

dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak

mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10

tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila

diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan

pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga

mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.

PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada

kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

A. TERAPI INSIAL

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa

kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60

mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi,

untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal

(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial

diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan

dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5

mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila

setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien

dinyatakan sebagai resisten steroid

Page 14: Sindrom Nefrotik Agung

B. PENGOBATAN SN RELAPS

diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)

dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang

mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian

prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila

terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria

menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan

proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan

prednison mulai diberikan.

C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

1. Pemberian steroid jangka panjang

2. Pemberian levamisol

3. Pengobatan dengan sitostatik

4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)

1. Steroid jangka panjang

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah

remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5

mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2

mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis

terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating.

Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan,

kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi

dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1

mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 –

0,5 mg/ kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/

kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah

remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara

alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap

(0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya

Page 15: Sindrom Nefrotik Agung

atau relaps yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5

mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang

berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb

selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

2. Levamisol

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan

dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek

samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan

neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak

adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan

peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam dosis tunggal, maupun secara

intravena atau puls . CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB,

yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA

puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian

CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi

sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka

panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan

pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x

seminggu. Bila jumlah leukosit 5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit

>100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis

total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan

mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil

diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan

klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan

infeksi

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau

sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari

(100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin

darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen

steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga

Page 16: Sindrom Nefrotik Agung

pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,

biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin).

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik

dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau

25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.

Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

KOMPLIKASI

a. Infeksi

Page 17: Sindrom Nefrotik Agung

Hipogamaglobulinemi, khususnya imunoglobulin G (IgG) bersama-sama dengan faktor B

menyebabkan penderita sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi. Lebih-lebih

penggunaan kortikosteroid yang kita kenal sebagai imunosupresi, kerentanan terhadap

infeksi menjadi lebih besar. Infeksi yang paling sering terjadi adalah peritonitis, sepsis

dan selulitis. Penyebab utama adalah Streptokokus pneumoni. Kadang-kadang dapat

disebabkan oleh bakteri Gram negatif (5%), seperti E.coli, Klebsialla, H.influenza1.

b. Trombosis

Trombosis bisa terjadi pada vena dan arteri, terutama yang mengenai vena besar di hati,

pelvis, ginjal, mesenterika dan pulmonal. Faktor penyebab terjadinya trombosis adalah:

1. Hipovolemi: hemokonsentrasi dan hiperviskositas

2. Trombositosis

3. Peninggian konsentrasi faktor koagulasi plasma : faktor V, VII, VIII, X dan

fibrinogen

4. Penurunan konsentrasi antitrombin III plasma

5. Peninggian platelet agregasi1

c. Gagal Ginjal Akut

Penyebab terjadinya GGA ini belum diketahui pasti, namun ada bukti yang melibatkan

hipovolemi dan iskemi ginjal sehingga terjadi tubulus nekrosis akut dan selanjutnya

terjadi oedem interstisial dan terjadi peninggian tekanan tubulus proksimal dengan akibat

penurunan laju filtrasi glomelurus1.