sindrom nefrotik agung
DESCRIPTION
snTRANSCRIPT
SINDROM NEFROTIK
I. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit/sindrom yang mengenai glomerulus yang
ditandai oleh adanya proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan oedem, serta dengan atau tanpa
hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia1. Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit
sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak.
Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik atau berhubungan dengan
obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan pravalensi sekitar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2 :
1. Laporan dari luar negeri menunjukkan dua pertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada
umur kurang dari 5 tahun2.
II. KLASIFIKASI SINDROM NEFROTIK
Berdasarkan etiologi, sindrom nefrotik pada anak dibagi dalam :
Sindrom nefrotik primer : menunjukkan dimana penyakit terbatas hanya di dalam
ginjal/glomerulus dan etiologinya tidak diketahui (idiopatik) diduga ada hubangannya
dengan genetik, imunologi dan alergi1
Sindrom nefrotik sekunder : menunjukkan dimana penyakit tidak terbatas hanya di dalam
ginjal/glomerulus, akan tetapi penyakit berasal dari ekstrarenal atau dengan perkataan
lain, mempunyai etiologi khusus, merupakan bentuk yang jarang dijumpai1.
Sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalarn tiga kelornpok, yaitu:
1. Kongenital
Bentuk ini ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasus-kasus ini
adalah Sindom Nefrotik Tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara
autosomal resesif.
2. Responsif steroid
Kelompok ini sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindrom nefrotik kelainan
minimal (SNKM).
3. Resistensi Steroid
Berdasarkan gambaran histopatologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tipe:
Sindrom Nefrotik perubahan minimal
Sindrom Nefrotik perubahan nonminimal :
Fokal dan segmental glomerulosklerosis
Membranoproliferatif glomerulonefritis
Proliferasi mesangial difusa
Membranus glomerulonefritis (nefropati)
III. ETIOLOGI
1.Penyakit ginjal (parenkhim) primer.
Selama perjalanan penyakit glomerulonefritis akut pasca streptokokus dapat timbul
gejala-gejala sindrom nefrotik. Di klinis sebagian besar pasien sindrom nefrotik, berkisar
antara 75 - 80% termasuk sindrom nefrotik idiopati, etiologinya tidak diketahui. Sebagian
kecil pasien-pasien sindrom nefrotik (20%) termasuk sindrom nefrotik sekunder, etiologinya
sangat heterogen.
2. Diabetes mellitus
Kira-kira 30% pasien diabetes mellitus dapat terjadi proteinuria tetapi hanya sebagian
kecil terjadi proteinuria masif dengan gejala-gejala sindrom nefrotik (glomerulosklerosis
diabetik).
3.Amiloidosis (paraproteinemi)
Kappa (K) dan lambda (λ) light chain dengan berat molekul 22.000 dapat melalui
filtrasi glomerulus, direabsorbsi dan mengalami katabolisme pada sel-sel tubulus sehingga
tedadi pengendapan dari protein tersebut dan menyebabkan kerusakan sel-sel tubulus.
Lambda light chain mempunyai sifat amiloidigenic, biasanya terdapat pada
amiloidosis primer. Kedua tipe paraprotein ini baik Kappa maupun lambda light chain dapat
menyebabkan kebocoran protein melalui glomerulus dan akhirnya terjadi sindrom nefrotik.
Kappa light chain lebih sering menyebabkan sklerosis mesangial. Diagnosis
tergantung dari ditemukan monoclonal light chain.
Pengobatan yang adekuat dapat menyebabkan remisi terutama bila etiologinya kappa
light chain. Insiden kelainan ginjal kira-kira 10% pada amiloidosis primer. Sebaliknya
insiden kelainan ginjal pada amiloidosis sekunder lebih tinggi, kira-kira 50%.
Amiloidosis sekunder biasanya terdapat pada penyakit-penyakit kronis seperti
tuberkulosis, osteomielitis kronis, abses paru, aktinomikosis, reumatoid artritis, kolitis
ulseratif, dan penyakit-penyakit keganasan (neoplasma).
4. Trombosis vena renalis
Hubungan antara trombosis vena renalis dan sindrom nefrotik masih diperdebatkan,
apakah trombosis ini akibat atau penyebab sindrom nefrotik. Akhir-akhir ini dari berbagai
laporan ternyata bahwa kenaikan tekanan vena renalis dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas membrana basalis dan terjadi kebocoran plasma protein. Kenaikan tekanan
vena renalis ditemukan pada beberapa penyakit seperti RHS (right heart syndrome) dan gagal
jantung kongestif.
Beberapa faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kenaikan tekanan vena renalis:
a) Sindrom nefrotik apapun sebabnya,
b) Tumor hipernefroma yang menembus ke dalam vena renalis dan menyebabkan obstruksi
dan pembentukan trombus
c) Kanulisasi vena cava inferior pada pemeriksaan inferior venocavogram dan trauma pada
vena renalis
d) Dehidrasi berat terutama pada bayi.
5. Gagal jantung kongestif dan perikarditis
Proteinuria ringan merupakan salah satu kelainan laboratorium dari gagal jantung
kongestif dan perikarditis. Proteinuria masif yang diikuti oleh sindrom neftotik pernah
dilaporkan sebagai penyulit dari gagal jantung kongestif terutama yang refrakter terhadap
pengobatan konvensional seperti diet, digitalis dan diuretik.
Mekanisme proteinuria masif tidak diketahui pasti, diduga (a) akibat pemakaian
diuretik organomerkuri; (b) anoksi glomerulus; (c) kenaikan tekanan vena. renalis.
6. Lupus eritematosus sistemik (LES)
Hampir 70-90% dari pasien-pasien LES memperlihatkan kelainan ginjal. Sindrom
nefrotik merupakan salah satu gambaran klinis yang paling sering dijumpai pada lupus
eritematosus sistemik.
Perubahan-perubahan histopatologis sangat bervariasi, tidak jarang dengan lesi-lesi
campuran. Pada stadium awal biasanya memperlihatkan kelainan histopatologis yang
menyerupai lesi minimal.
7. Keganasan (neoplasma)
Hubungan antara keganasan dengan sindrom nefrotik masih belum jelas. Walaupun
hubungan kedua penyakit ini masih kabur, tetapi sangat penting diketahui :
a) Glomerulopati termasuk sindrom nefrotik dapat merupakan gambaran klinis pertama dari
suatu neoplasma di luar ginjal, termasuk sindrom paraneoplastik
b) Jaringan-jaringan ginjal atau metabolit-metabolit lainnya mungkin menyebabkan
pembentukan autoantibodi dan terjadi sindrom nefrotik
c) Glomerulonefritis apapun juga penyebabnya sering diberikan sitostatika.
8. Infeksi parasit malaria
Glomerulopati termasuk sindrom nefrotik terutarna berhubungan dengan infeksi
parasit plasmodium vivax. Infeksi parasit plasmodium falsiparum lebih sering menyebabkan
gagal ginjal akut dan kelainan otak (malaria serebral).
9. Mieloma multipel
Gambaran klinis mieloma multipel ditandai lesi-lesi osteolitik dari tulang-tulang:
adanya circulating abnormal protein, proteinuria abnormal Bence Jones.
Sindrom npfrotik sendiri hanya merupakan salah satu bentuk kelainan-kelainan ginjal yang
dapat dijumpai pada mieloma multipel. Bentuk-bentuk lain seperti nefropati hiperkalsemi,
nefropati asam urat, obstruksi intratubular, pieloneffitis, dan amiloidosis ginjal.
10. Obat-obatan
Walaupun penggunaan obat-obatan sangat luas tetapi relatif langka efek samping
berupa sindrom nefrotik. Di antara obat-obatan yang pernah dilaporkan dapat menyebabkan
sindrom nefrotik seperti : trimetadon, penisilinamin, fenindion, tolbutamid, dan probenesid.
Semua obat-obatan ini hanya menyebabkan kelainan ginjal ringan dan cepat mengalami
remisi bila obat-obatan tersebut dihentikan. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelainan-
kelainan ginjal berat terutama toksik pada tubulus ginjal: preparat-preparat yang mengandung
emas, diuretik organomerkuri, dan bismut.
11. Lain-lain
Sindrom neftotik herediter jarang dijumpai, mempunyai respon yang buruk terhadap
pengobatan dan biasanya meninggal akibat gagal ginjal.
Obesitas pernah dilaporkan dapat menimbulkan proteinuria massif. Mekanisme
diduga berhubungan dengan kenaikan tekanan vena renalis, dibuktikan dengan
pemeriksaan inferior venocavogram.
Hubungan dengan kehamilan
Preeklampsi dengan gambaran proteinuria, hipertensi, sembab, penurunan LFG,
sering dijumpai di klinik Kebidanan, dan mortalitasnya masih cukup tinggi.
Pengalarnan di klinik sangat jarang djumpai recurrent nephrotic syndrom of
pregnancy.
VI. PATOFISIOLOGI
Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein sehingga terjadi proteinuria
adalah patofisiologi pasti dari sindrom nefrotik. Alburnin adalah plasma protein yang
predominan hilang dalam urin, tapi juga protein lain turut keluar seperti imunoglobulin,
faktor koagulasi, transferin, dan lain-lain. Keadaan klinis dan laboratorium pada sindrom
nefrotik seperti oedem, hipoalbumin. hiperlipidemia, terjadi akibat proteinuri. Keadaan
patofisiologis ini berlaku untuk semua jenis sindrom nefrotik tanpa membedakan morfologi
maupun etiologinya.
1. Proteinuria masif
Proteinuria secara umum merupakan kelainan primer pada sindrom nefrotik,
sedangkan kelainan klinis dan laboratoris lain dianggap sebagai kelainan sekunder.
Proteinuria pada sindrom nefrotik merupakan proteinuria yang masif, dibedakan dengan yang
lain yang tidak berhubungan dengan sindrom nefrotik. Untuk menyesuaikan dengan ukuran
pasien pediatri yang bervariasi, digunakan ukuran rata-rata untuk menentukan proteinuria
pada sindrom nefrotik, yaitu ≥40 mg/jam/m2 luas tubuh per hari.2
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan
glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan
disebut sebagai proteinuria selektif. Sedangkan pada sindrom nerotik kelainan non minimal
terjadi proteinuria non selektif (terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat
molekul besar).2
Proteinuri dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu:2
a. Hilangnya "muatan polianion" pada dinding kapiler glomerulus.
Semua permukaan kapiler glomerulus dalam keadaan normal mempunyai muatan polianion
atau muatan negatif dan yang bertanggung jawab pada keadaan ini adalah `sialoglikoprotein`
dan `proteoglikan`, seperti heparin sulfat. Protein sulfat heparan yang menimbulkan muatan
negatif pada lamina elastika interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat
keluarnya molekul bermuatan negatif seperti albumin. Sedangkan sialoprotein glomerulus
vaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki epitel, tampaknya berperan sebagai
muatan negatif di daerah ini penting untuk mengatur sel visceral epitel dan pemisahan
tonjolan-tonjolan kaki epitel. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai
respon terhadap pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya proteinuria.
b. Adanya perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus.
c. Aaanya perubahan hemodinamik. yang mengatur aliran kapiler.
2. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis di hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal, dan gastrointestinal. Meningkatnya
katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat
menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada
keadaan hipoalbumin yang menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah tampaknya
disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme
fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus
renal) yang melampaui daya sintesis hati.
Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya α globulin dan α-1
globulin (normal atau rendah). Sedangkan α-2 globulin, β globulin, dan fibrinogen meningkat
secara relative atau absolute. Meningkatnya α-2 globulin disebabkan oleh retensi selektif
protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada
beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.
Yang dimaksud dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik pada anak ialah bila
kadar albumin plasma kurang dari 2,5 gr%.1
3. Edema
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler yang menyebabkan cairan merembes ke ruang
interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar
menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan
menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan
meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus
↓
Albuminuria
↓
Hipoalbuminemia
↓
Tekanan onkotik koloid plasma ↓
↓
Volume plasma ↓
↓
Retensi Na renal sekunder ↑
↓
Edema
Terjadinya oedema menurut teori underfilled
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume
plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium
renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan
tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai. peristiwa kompensasi
sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya
akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma dan akhirnya mempercepat gerakan cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini
jelas memperberat edema sampai terdapat keseirnbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua
pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan
tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori
overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal
primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi
sebagai akibat overfilling cairan ke da!am ruang interstitial. Teori overfilled ini dapat
menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron
menurun sekunder terhadap hipovolemia.Kelainan glomerulus
↓
Retensi Na renal primer
↓
Volume plasma ↑
↓
Edema
Terjadinya edema menurut teori overfilled
Terbentuknya edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin
saja kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu
kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan
nefritis. Akibat mengecilnya volume intravaskuler akan merangsang keluarnya renin dan
menimbulkan rangsangan nonosmotik untuk keluarnya hormon antidiuretik. Dengan
meningkatnya produksi renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin angiotensin-aldosteron.
Akibat akhir ialah terjadinya retensi natrium dan air dengan keluarnya volume urin yang
sedikit dan pekat dengan sedikit natrium.
Karena pasien dengan hipovolemia, disertai renin dan aldosteron yang tinggi
umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan
volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya
menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat
merupakan pertanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap
steroid atau tidak, di samping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihnya terlalu
besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua kelompok histologis tersebut
atas dasar pemeriksaan renin.
4. Hiperlipidemia
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan ini tampak
lebih nyata pada pasien dengan SNKM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara
konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat
normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein
densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan
kadang-kadang sangat menyolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal pada
anak-anak dengan SN. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh
sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa
keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya
sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur vang berdekatan.
Menurunnya degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya
aktivitas lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya α-
glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini
menjadi normal kembali.
V. MANIFESTASI KLINIK
Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90%
anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal dengan
korlikosteroid.
Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat pada
orangtua atau anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan
memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau
dapat menghilang dan timbul kernbali. Selama periode ini edema periorbital sering
disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke
pinggang, perut dan tungkai bawah serta penumpukkan rairan di rongga lain seperti ascites,
efusi pleura, edema skrotum dan labia (edema anasarka), sehingga penyakit yang sebenarnya
menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orangtua pasien sering mengeluh berat
badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertamhah dan
terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu rnakan yang meningkat.
Pada anak dengan SNKM, edema timbul secara lebih cepat dan progresif dalam
beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan intermitten pada kelainan glomerulus jenis
lainnya, terutarna pada Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP). Edema berpindah
dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur
sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri.
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perialanan penyakit SN yaitu
diare, hepatomegali, nyeri di perut, nafsu makan berkurang, anoreksia, dan pada asites berat
dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Urine
Proteinuria bisa diperiksa secara kualitatif dengan pemeriksaan bang atau dipstik (+2)
atau secara kuantitatif dengan pemeriksaan esbach atau penghitungan rasio protein kreatinin
urin1.
Pengertian proteinuria masif adalah bila terdapat protein dalam urin :
1. >40 mg/m2/jam atau >2 g/24 jam atau >50 mg/kgBB/24 jam
2. rasio protein kreatinin urin sewaktu (urin pagi) >2,5 1
Protein selektivitas
Pada sindrom nefrotik perubahan minimal biasanya bersifat selektif, yaitu proteinuria
kebanyakan terdiri dari albumin yang mempunyai berat molekul rendah. Bila proteinuri
terdiri dari protein dengan berat molekul tinggi disebut bersifat tidak selektif1.
Selektifitas proteinuri dapat diukur dengan pemeriksaan kadar transferin (berat molekul
rendah) dan kadar IgG (berat molekul tinggi) di dalam urin dan plasma.
Rasio = (transferin urin : IgG plasma) : (IgG urin : transferin plasma)
<0,1 = selektif
>0,2 = tidak selektif 1
Hematuri
Pada 15% penderita sindrom nefrotik perubahan minimal bisa terdapat hematuri mikroskopik
sementara. Adanya hematuri mikroskopik yang terus-menerus disertai dengan adanya
eritrosit kast dan granuler kast merupakan petunjuk penyebab kronik glomerulonefritis
(sindrom nefrotik non minimal) atau adanya trombosis vena renalis1.
2. Pemeriksaan Darah
Hipoalbuminemia
Yang dimaksud dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik pada anak adalah bila kadar
albumin plasma kurang dari 2,5 gr%. Oedema pada kebanyakan sindrom nefrotik baru
terjadi apabila kadar albumin plasma kurang dari 2,7 gr%.. selain penurunan albumin plasma,
juga terdapat penurunan kadar IgG dan alfa-1-globulin, dan di pihak lain terjadi kenaikan
IgM, alfa-2-globulin, beta-globulin, fibrinogen, dan IgE. Bila kadar albumin sangat rendah
(<1,2 gr%) akan terjadi hipovolemia berat dengan gejala “hipotensi orthostatik”, sakit perut,
muntah, dan diare1.
Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan konsentrasi total kolesterol low density (LDL)
dan very low densiti lipoprotein (VLDL), sedangkan high density lipoprotein (HDL) biasanya
dalam batas normal. Hal ini disebabkan oleh:
1. peningkatan sintesis lipoprorein, yang dirangsang oleh adanya hipoalbuminemia atau
penurunan tekanan onkotik
2. penurunan klirens lipid dari sirkulasi1
Ureum, kreatinin dan elektrolit
Konsentrasi ureum dan kreatinin plasma biasanya normal, kadang-kadang sedikit
meningkat akibat adanya hipovolemi dan gangguan perfusi ginjal (prerenal azotemia). Pada
glomerulonefritis kronik dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal/gagal ginjal1. Elektrolit
umumnya normal, kadang-kadang dijumpai hiponatremi akibat hemodilusi atau pemberian
diuretik hebat pada keadaan hipovolemi1
Tata Laksana Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu
dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan
bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat anti tuberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Dietetik Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)
dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi
malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances)
yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema.
Diuretik Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian
diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
A. TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60
mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi,
untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila
setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid
B. PENGOBATAN SN RELAPS
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang
mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian
prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila
terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan
prednison mulai diberikan.
C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
1. Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5
mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating.
Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan,
kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi
dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1
mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 –
0,5 mg/ kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/
kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah
remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara
alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap
(0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5
mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang
berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek
samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam dosis tunggal, maupun secara
intravena atau puls . CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB,
yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x
seminggu. Bila jumlah leukosit 5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis
total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan
klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan
infeksi
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin).
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau
25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
KOMPLIKASI
a. Infeksi
Hipogamaglobulinemi, khususnya imunoglobulin G (IgG) bersama-sama dengan faktor B
menyebabkan penderita sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi. Lebih-lebih
penggunaan kortikosteroid yang kita kenal sebagai imunosupresi, kerentanan terhadap
infeksi menjadi lebih besar. Infeksi yang paling sering terjadi adalah peritonitis, sepsis
dan selulitis. Penyebab utama adalah Streptokokus pneumoni. Kadang-kadang dapat
disebabkan oleh bakteri Gram negatif (5%), seperti E.coli, Klebsialla, H.influenza1.
b. Trombosis
Trombosis bisa terjadi pada vena dan arteri, terutama yang mengenai vena besar di hati,
pelvis, ginjal, mesenterika dan pulmonal. Faktor penyebab terjadinya trombosis adalah:
1. Hipovolemi: hemokonsentrasi dan hiperviskositas
2. Trombositosis
3. Peninggian konsentrasi faktor koagulasi plasma : faktor V, VII, VIII, X dan
fibrinogen
4. Penurunan konsentrasi antitrombin III plasma
5. Peninggian platelet agregasi1
c. Gagal Ginjal Akut
Penyebab terjadinya GGA ini belum diketahui pasti, namun ada bukti yang melibatkan
hipovolemi dan iskemi ginjal sehingga terjadi tubulus nekrosis akut dan selanjutnya
terjadi oedem interstisial dan terjadi peninggian tekanan tubulus proksimal dengan akibat
penurunan laju filtrasi glomelurus1.