sikap pemerintah terhadap konflik keagamaan; kasus ahmadiyah manislor.pdf
DESCRIPTION
SIKAP PEMERINTAH TERHADAP KONFLIK KEAGAMAANTRANSCRIPT
Saturday, 09 November 2013
Written by Rosidin M. Hum. Published in Riset Wednesday, 03 April 2013 09:04
Be the first to comment! Print
Rate this item (0 votes)
SIKAP PEMERINTAH TERHADAP KONFLIKKEAGAMAAN; KASUS AHMADIYAHMANISLOR
A. Latar Belakang
Persoalan mendasar penelitian ini adalah adanya kegelisahan tentang konflik keagamaan antara jema’ah Ahmadiyah dengan
non Ahmadiyah yang tidak kunjung selesai. Bahkan cenderung semakin memprihatinkan, fenomena mutakhir menunjukkan
konflik semakin tajam dan meluas disertai dengan aksi kekerasan.
Terkait dengan kekerasan, Syafuan Rozi berpandangan bahwa meluasnya kekerasan sering disebabkan karena gagalnya
upaya-upaya penghentian, atau dalam beberapa kasus tampak adanya indikasi “pembiaran” oleh aktor-aktor negara.[1]
Asumsi pembiaran ini karena pada situasi konflik seringkali belum diperkuat oleh resolusi konflik yang baik.
Kasus yang menimpa Jema’ah Ahmadiyah di berbagai tempat di Indonesia, belum lama ini yang terjadi di Pandegelang
Banten, yang menelan korban jiwa dan harta benda. Kasus ini menunjukkan klaim kebenaran atas pemahaman keagamaan
masih menjadi praktek keagamaan di tengah-tengah ruang demokrasi yang sedang dijalani. Tragisnya justru melalui pintu
demokrasi, mayoritas (pandangan agama mainstream) bertindak agresif. Kenyataan ini lebih buruk lagi ketika negara
melalui otoritas regulasinya ikut serta membiarkan tindakan mainstream melakukan anarkisnya. Proses demokrasi yang
sedang dijalani bangsa Indonesia saat ini, dalam beberapa hal tampak sepertinya tidak menjadi berkah bagi sebagian
kelompok-kelompok keagamaan minoritas.
Konflik Ahmadiyah yang terjadi perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Kajian dimaksudkan untuk mengetahui lebih mendalam
dan menjelaskan secara proporsional persoalan yang menimpa Jema’ah Ahmadiyah di Manislor. Sebab berdasarkan
sejarahnya Ahmadiyah masuk ke Manislor Kuningan, terjadi pada tahun 1956. Dan selama itu pula tidak pernah terjadi
apa-apa. Meski dalam catatan Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh, sesuai arsip di Kejagung, pada tahun 1960 dan 1970-
an, JAI pernah dilarang di Kuningan. Demikian juga Departemen Agama pada tahun 1984 telah mengeluarkan lararangan
penyebaran Ahmadiyah kepada yang bukan pengikutnya.[2] Namun dalam realitasnya masyarakat Manislor hidup rukun
dalam beragam organisasi keagamaan termasuk Ahmadiyah.
Konflik keagamaan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka resolusi konflik versi pemerintah, ini sebagai
sikap dan tindakan intervensi walaupun kata intervensi disangkal oleh pihak pemerintah. Kemudian peneliti, berpandangan
bahwa sangat penting untuk melihat dan membongkar lebih jauh proses dan dinamika atas sikap pemerintah yang
mengeluarkan kebijakan tentang keberadaan Ahmadiyah. Penelitian ini sangat berharap bisa mencari tahu lebih dalam
kontribusi tokoh agama dan kekuatan lokal yang tercermin dalam keterwakilannya di pemerintahan pusat dan daerah
dalam memberi saham terhadap konflik keagamaan khusunya kasus Ahmadiyah di Manislor, mengingat kejadian itu
berlangsung ditengah proses demokrasi dan otonomi daerah sedang digulirkan.
Mungkin saja pada masa Orde Lama atau Orde Baru fenomena ini tidak begitu mengejutkan, sebab negara memiliki
kekuatan yang memungkinkan untuk melakukan itu. Apalagi dalam prakteknya negara sering memiliki kepentingan
terhadap fenomena itu demi mengamankan kekuasaan. Sementara kelompok-kelompok mayoritas seringkali merasa
diuntungkan atas tindakan negara, baik keuntungan teologis, ekonomi, maupun politis.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini disederhanakan dalam bentuk pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang diajukanadalah;
1. 1.Faktor-faktor apa yang menyebabkan konflik antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di Manislor Kuningan?
2. 2.Bagaimana sikap pemerintah terhadap konflik Ahmadiyah?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dengan mengangkat permasalahan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dan menggali mengenai konflik
Search...
Home Fakultas Akademik Riset Kemahasiswaan Berita Blog Jurnal
Riset
Konsepsi Peran Lak i-lak i dan
Perem puan Ahm adiyah ManislorA.Pendahuluan Perbedaan peran antar...
SIKAP PEMERINTAH TERHADAP
KONFLIK KEAGAMAAN; KASUS
AHMADIYAH...A. Latar Belakang Persoalan mendasar
pe...
ISLAM DAN POLITIK MINORITAS
DI INDONESIAA.Istilah Minoritas Penggunaan ist...
Popular
Rek onst ruk si Kejayaan Islam di
Cirebon St udi Hist oris Pada Masa
Syarif Hidayat ullah (1479-1568)Dari berbagai sumber tertulis diketahui
bahwa pada masa Syarif Hidayatullah...
SIKAP PEMERINTAH TERHADAP
KONFLIK KEAGAMAAN; KASUS
AHMADIYAH MANISLORA. Latar Belakang Persoalan mendasar
penelitian ini adalah adanya kegelisahan
tentang...
KONSEP MAKRIFAT MENURUT AL-
GHAZALI DAN IBNU ` ARABILatar Masalah 1.Konflik-konflik yang terjadi
antar sesama umat beragama atas...
688 7 0 0Google + 1
yang terjadi di Manislor. Oleh karena itu beberapa tujuan penelitian ini adalah;
1. 1.Untuk mengetahui faktor-faktor konflik antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di Manislor.
2. 2.Untuk mengetahui sikap pemerintah terhadap konflik Ahmadiyah.
Sementara kegunaan penelitian ini adalah:
1. 1.Memberikan gambaran secara jelas pesoalan konflik yang berakibat pada praktek diskriminasi yang dialami Jema’ahAhamdiyah.
2. 2.Dijadikan data objektif yang dapat digunakan untuk mempelajari konflik atas nama agama dan memahami sikappemerintah serta untuk merumuskan resolusi apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk tanggungjawabatau referensi para pihak dalam menyelesaikan berbagai persoalan terkait dengan persoalan yang banyak menimpapenganut agama dan kepercayaan khususnya jema’ah Ahmadiyah.
3. 3.Sumbangsih pemikiran kepada masyarakat dan pemerintah untuk menghargai dan menghormati hak-hak minoritas.
D. Kerangka Teori
Agama sebenarnya menjadi sumber kebaikan dan kedamaian dan pemanusiaan manusia. Ketika agama berlawanandengan karakter dasar agama tersebut berarti agama telah terkontaminasi oleh kepentingan lain dari luar agama sepertikepentingan ekonomi dan politik.[3]
Michel Foucault dalam teorinya Discipline and Punishment bahwa sesuatu yang telah melembaga, seperti agama memilikikepentingan-kepentingan dan untuk memperjuangkan kepentingannya dia membuat kategori kategori normal vs tidaknormal, lurus vs tersesat, resmi vs tidak resmi, mayoritas vs minoritas, baik vs buruk, selamat vs tidak selamat, pemiliksurga vs penghuni neraka. Bagi pihak yang dianggap tidak normal perlu didisiplinkan agar lurus.[4]
Ada beberapa teori yang meyakini bahwa realitas atau bagian darinya dibangun secara sosial. Teori-teori itu dapatdianggap sebagai landasan relativisme etika, menurut sosiologi umum yang disebut “konstruksi sosial tentang realitas”,dunia dibangun melalui kegiatan kolektif manusia. Peter Berger dan Thomas Luckmann, yang mengemukakan teori ini,menjelaskan; “… Dunia keseharian tidak begitu saja dipandang sebagai realitas oleh anggota masyarakat awam dalamperilaku yang secara subjektif bermakna pada kehidupan mereka. Ia adalah dunia yang berasal dari pemikiran danperbuatan mereka, dan dipandang sebagai sesuatu yang nyata oleh mereka.”[5]
Penghargaan internal manusia terhadap sebuah dunia juga harus terjadi dalam sebuah kolektivitas. Kemudian kaitan denganperan Negara, Joel S. Migdal dalam teori State and society relations menyebutkan bahwa kemampuan suatu Negarauntuk mencapai perubahan di masyarakat memerlukan peran pemimpin mereka untuk mengupayakan membuatperencanaan Negara, kebijakan publik dan tindakan aksi, termasuk juga kemampuan untuk masuk melibatkan masyarakat,mengatur hubungan sosial, dan pengelolaan sumber daya yang ada secara baik.[6]
Konfigurasi pemilihan sosial Ahmadiyah dan non Ahmadiyah adalah polarisasi sosial dengan parameter kesenjangan
atau perbedaan pemaknaan atau penafsiran teks yang merupakan faktor kondisi yang menyebabkan terjadinya
konflik sosial di Manislor yang dibalut dengan isu keagamaan. Konflik sosial yang demikian merupakan lahan subur
bagi terjadinya konflik dengan intensitas tinggi antara kedua kolektivitas tersebut. Dengan faktor pemicu yang relatif
kecil saja, akan dapat memunculkan konflik-konflik terbuka dengan intensitas yang tinggi.
Hal yang paling penting adalah konflik ini didukung oleh kebijakan yang melanggengkan keberlangsungan konflik,
sehingga memperlihatkan bahwa pembiaran kekerasan berjalan. indikasi “pemeliharaan” cukup nampak. Kesengajaan
dalam memelihara hingga membentuk kekerasan. Terbentuknya sejumlah organisasi paramiliter tidak terlepas dari peran
sejumlah tokoh di tingkatan tertinggi struktur ekonomi politik. Termasuk dalam hal ini organisasi paramiliter yang dibentuk
dan dipelihara oleh Partai politik. Bahkan pemerintah turut membentuk organisasi yang difungsikan seperti “penegak
hukum” yang diberikan “kewenangan” represif, seperti satuan polisi pamong praja. Padahal kewenangan yang dimiliki
justru tidak sampai demikian.
Kekerasan represif terkait dengan tiga hak dasar, yaitu hak sipil, hak politik dan hak sosial. Hak sipil yang pokok adalah
kebebasan berfikir dan beragama, kebebasan bergerak, privasi, kesamaan di depan hukum dan hak untuk berusaha secara
adil.[7] Mengekang kebebasan, martabat manusia dan kesamaan hak bagi setiap manusia merupakan pelanggaran berat.
Hak-hak politik mengacu pada tingkat partisipasi masyarakat secara demokratis.
Kekerasan represif, yakni kekerasan yang dilegalkan atau tidak dikenakan sangsi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap
hak-hak dasar manusia. Berbeda dengan jenis kekerasan lainnya karena umumnya dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah
melakukannya dengan kedok praktek hukum, yang mengganggu hak-hak sipil dan politik yang paling fundamental, atau
secara sengaja mengaturnya dalam konstitusi negara.[8] Berkaitan dengan represi dengan berbagai kebijakannya, maka
menempatkan masyarakat dipaksa untuk mematuhi kebijakan walaupun kebijakan itu bagian tindakan pelanggaran hak
sipil politik.
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh bacaan peneliti tentang tulisan yang berkaitan dengan Ahmadiyah, baik yang berdasar pada penelitian langsungmaupun hasil refleksi telah banyak diterbitkan dalam bentuk buku maupun yang lainnya. Namun demikian sepanjangbacaan peneliti, buku-buku tersebut lebih banyak berbicara pada persoalan akidah dan ajaran-ajaran Ahmadiyah secaraumum. Sementara penelitian yang mengkhususkan pada persoalan sikap pemerintah terhadap Ahmadiyah yang terjadikhususnya di Manislor belum ada.
Selama ini banyak beredar buku-buku yang berkaitan dengan Ahmadiyah baik ajaran maupun gerakannya, baik diIndonesia maupun di dunia. Seperti buku Ghulam Ahmad Jihad Tanpa Kekerasan,[9] ini lebih banyak mengungkap danmenjelaskan riwayat hidup Mirza Ghulam Ahmad, sebagai pendiri Ahmadiyah serta lebih menjelaskan konsep Jihad, yangselama ini dikenal sebagai ajaran fundamental Ahmadiayh. Demikian juga buku Bukan Sekedar Hitam Putih[10], yangditulis orang Ahmadiyah sendiri, lebih menjelaskan pada tataran ajaran dasar Ahmadiyah.
Gerakan Ahmadiyah di Indonesia[11], merupakan karya Iskandar Zulkarnain, yang diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta,
yang mencoba memotret peran Ahmadiyah Indonesia dalam mengisi dan mengembangkan gerakan pemikiran Islam diIndonesia. Di dalamnya juga dibahas mengenai peta penyebaran Ahmadiyah di Nusantara. Dalam buku ini GerakanAhmadiyah secara umum yang dilakukan oleh Ahmadiyah Lahore di Indonesia.
Ada juga hasil penelitian yang dilakukan Sulhan dan kawan-kawan, seorang dosen STAIN Cirebon, mengenai diskriminasiminoritas dengan judul Mencari akar-akar diskriminasi minoritas untuk memantapkan Pluralisme Agama;penelitian tentang kekerasan Ahmadiyah di Kuningan[12]. Begitu juga penelitian yang dilakukan Mansur yang berjudulPelarangan Pencatatan Pernikahan Bagi Jema’at Ahmadiyah Kuningan, kedua penelitian itu menjelaskan bahwaJemaat Ahmadiyah Manislor yang jumlahnya sekitar 3000 orang banyak mengalami diskriminasi dan kekerasan sepertiintimidasi, perusakan tempat ibadah, pelarangan hak sipil berupa tidak diberi KTP dan tidak dilayani pencatatanpernikahan di KUA Jalaksana. Diskriminasi tersebut berpangkal dari perbedaan interpretasi konsep nabi, wahyu, kitabsuci; dan tuduhan sikap eksklusif Jemaat Ahmadiyah seperti Jemaat Ahmadiyah tidak boleh menunaikan shalat berjamaahdengan makmum kepada imam non ahmadi, tidak boleh menikah dengan non Ahmadi. Sementara persoalan sikappemeritah terhadap konflik keagamaan yang terjadi di Manislor belum dibahas secara mendalam.
F. Metodologi Penelitian
1. 1.Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian menggunakan paradigma kualitatif, dan pendekatan penelitian ini adalah penelitian agama sebagai gejala
sosial. Maka pendekatan sosiologi menjadi pilihan untuk digunakan, untuk melihat dinamika, respon dan pola perubahan
dan perkembangan dalam masyarakat Manislor.
3. Subyek penelitian
Dalam penelitian ini subjek penelitian ada dua pertama, meneliti aturan-atauran terkait dengan agama baik bersumber dari
pemerintah pusat sampai pada pemerintah di bawahnya, sekaligus meneliti implementasi dari aturan-aturan yang ada.
Subjek kedua, menelusuri terus subyek yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat-alat pengumpul data sebagai berikut:
a. a.Observasi
Yaitu pengamatan yang dilakukan dengan cara ikut ambil bagian atau melibatkan diri dalam situasi obyek yang diteliti[13].
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan situasi umum desa Manislor, kontestasi politik elit
desa yang meliputi elit formal, non formal dan elit agama, dan untuk melihat peta ekonomi masyarakat manislor.
a. b.Wawancara
Wawancara ini untuk memperoleh informasi secara lebih detail dan mendalam dari informan sehubungan dengan fokusmasalah yang diteliti. Dari wawancara ini diperoleh data penelitian yang berupa pendapat, pikiran, keinginan, harapan ataucita-cita. Untuk membantu peneliti dalam memfokuskan masalah yang diteliti dibuat pedoman semi struktur.
a. c.Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen. Fungsinya sebagai
pendukung dan pelengkap bagi data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara. Dokumen yang dianggap
relevan dalam penelitian ini meliputi hasil-hasil penelitian tentang Ahmadiyah di Manislor, buku-buku tentang Ahmadiyah
yang ditulis oleh Jemaat Ahmadiyah dan warga non Ahmadiyah baik yang membela maupun yang memusuhi Ahmadiyah,
berita-berita di media massa, dan dokumen kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan eksistensi Ahmadiyah Manislor.
4. Uji Keabsahan Data
Teknik yang digunakan dalam triangulasi data ini, banyak menggunakan metode atau banyak sumber untuk satu data, yaitu
membandingkan antara hasil wawancara dengan hasil observasi, antara ucapan sumber data di depan umum dengan ketika
sendirian secara informal, antara hasil wawancara dengan dokumen yang diperoleh.
1. 5.Analisis Data
Analisis merupakan proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya ke dalampola, tema atau kategori. Tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola ataukategori, mencari hubungan antara berbagai konsep.Model analisis data interaktif memungkinkan dilakukan pada waktupeneliti berada di lapangan. Setelah semua dilakukan diadakan analisis secara deskriptif sedangkan data yang kurangrelevan dengan pertanyaan penelitian disimpan.
G. Pembahasan Hasil Temuan
Melihat konflik Manslor, ada beberapa faktor yang mempengaruhi konflik itu terjadi. Yaitu:
1. Provokasi Tokoh Agama
Ketegangan hubungan mayoritas-minoritas ibarat “api dalam sekam” yang mudah disulut lewat berbagai hubungan rumit
elite politik global dan domestik, serta kelompok-kelompok dalam masyarakat di mana ketegangan ini kerap tersulut lewat
berbagai provokasi. Kerumitan ini tidak lepas dari terbentuknya format politik baru dengan penggelembungan politik
identitas sesudah berakhirnya regim Soeharto. Format politik sesudah reformasi memang lebih banyak menghamparkan
konflik horisontal. Sebaliknya, aparat keamanan dan penegak hukum lebih tertuju pada kelompok “teroris” dan mereka
yang menggagaskan bentuk negara berdasarkan agama maupun tuduhan “penodaan agama”.
Proses perubahan dalam masyarakat yang ditandai dengan pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya.
Setiap unsur terlihat sebagai faktor disintegrasi karena setiap orang mempunyai kedudukan yang strategis dalam
masyarakat, dan kekuasaannya sangat besar dalam suatu kelompok untuk memobilisir massa, menanamkan doktrin dan
menentukan proses. Itulah sebabnya mengapa prilaku massa sangat ditentukan oleh ucapan dan kepribadian prilaku para
elit. Dengan demikian apa yang terjadi di Manislor, adalah karena perilaku elit atau tokoh, selanjutnya massa akan terlibat
di dalamnya.
Upaya orang-orang Ahmadiyah mengembangkan/menyebarkan ajaran Jema’ah Ahmadiyah di Kuningan, disikapi dalam
bentuk penolakan keras dari masyarakat terutama para tokoh agama. Hal ini disebabkan karena ajaran-ajaran yang di
sampaikan oleh para muballigh Jema’ah Ahmadiyah, dinilai mengganggu ajaran Islam sebagaimana yang dipahami
masyarakat Kuningan. Mereka meyakini bahwa Ahmadiyah melakukan penodaan terhadap ajaran Islam, menyimpang
dan bahkan telah sesat dan menyesatkan. Masyarakat Kuningan terutama tokoh agama pengawal ajaran agama Islam di
Kuningan, menolak secara tegas ajaran tersebut.
Provokasi ini dilakukan dalam berbagai kesempatan kegiatan keagamaan Islam, mulai dari ceramah tahun baru Islam,
Maulid Nabi, Isro Mi’raj, khutbah jum’at dan ceramah hari ulang tahun lembaga pendidikan seperti yang ada di Pesantren
Khusnul Khotimah,[14] provokasi kebencian ini betul-betul ditanamkan pada anak-anak usia didik, yang mestinya mereka
memahami dari sumber yang asli, kini justeru mendapatkan informasi pengetahuan tentang Ahmadiyah dari tokoh yang
mempunyai rasa kebencian terhadap kelompok Ahmadiyah.
Penolakan para tokoh agama dalam kasus Ahmadiyah di Kuningan terlihat sangat dominan, sehingga masyarakat Kuningan
yang fanatik terhadap tokoh agama, mengikuti begitu saja. Hal ini disebabkan karena para tokoh agama dalam
masyarakat Kuningan merupakan figur sentral yang sangat terhormat. Segala tingkah laku dan ucapan yang keluar dari
seorang tokoh agama akan menjadi panutan bagi masyarakat. Dalam kasus ini, tokoh agama mempunyai peran
signifikan dalam penolakan terhadap keberadaan Ahmadiyah. Penolakan inilah konflik Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
sampai saat ini tak berkesudahan di Manislor Kuningan.
Bibit tumbuh suburnya konflik bisa bermacam-macam faktor, bisa faktor ekonomi, faktor politik, faktor sosial, bahkan
agarna. Oleh karena itu konflik yang terjadi di Manislor faktor agama yang dominan atau yang muncul dipermukaan,
walaupun ada faktor lain seperti ekonomi dan politik tidak banyak orang yang mengemukakan. Merupakan bagian dari
bisa dilihat agama bisa saja menjadi salah satu faktor timbulnya konflik yang ada di masyarakat.
Pak Salimin (salah seorang aktor anti Ahmadiyah), menceritakan bahwa di Manislor dulu pernah ada konflik pribadi,
antara masyarakat atau orang sering datang ke masjid dengan masyarakat atau orang yang tidak suka datang ke masjid,
kemudian disana itu dimanfaatkan ke konflik kepentingan di penguasaan masjid. Ada lagi cerita bahwa pernah ada konflik
antara khotib dengan kepala desa. Pertama, masuk Ahmadiyah dibawa oleh kepala desa, tahun 50-an. Ketika agak
sedikit kuat karena dukungan dia sebagai kepala desa, akhirnya ada salah seorang yang sudah masuk Ahmadiyah yang
bernama pak Jakam berasal dari Padang, dia masih hubungan keluarga dengan kepala desa. Karena pak Jakam sering
berinteraksi dengan Ahmadiyah, Kemudian Jakam dengan berani memploklamirkan Ahmadiyah di masjid pada hari jum'at
ketika sedang khutbah ia menyampaikan bahwa “inilah agama yang sempurna (maksudnya Ahmadiyah)”, lantas semua
warga desa banyak yang masuk ke Ahmadiyah. Pada saat itu begitu kelihatan ahirnya begitu selesai khutbah kemudian
khotib didebat oleh seorang warga jebolan pesantren. Terjadilah adu mulut setelah juma'atan antara orang pro Ahmadiyah
dengan kontra Ahmadiyah. Ahirnya terjadi perselisihan kemudian khotib untuk meninggalkan masjid, “kalau begitu
silahkan anda tinggalkan masjid ini”, lantas dia itu mengindahkan keluar dari masjid. Yang kemudian membuat masjid
sebelah rumahnya pak kepala desa rumah yang dirubah menjadi masjid. Pada saat itu tercatat hampir 60% massanya cepat
banyak, termasuk di dalamnya banyak orang awam yang sebelumnya tidak sholat pada saat itu.[15]
2. Penerbitan SKB Kuningan
Problem yang dihadapi oleh Ahmadiyah di Manislor seperti yang disampaikan oleh Sulhan dalam hasil penelitiannya
[mencari akar diskriminasi Minoritas untuk memantapkan Pluralisme agama], sebenarnya tak lepas dari adanya perubahan
dan komunikasi budaya Kuningan-Jakarta, dan pola komuniaksi yang makin mengglobal memudahkan kelompok tertentu
satu dan yang lainnya menciptakan komuniaksi. Dalam konteks ini, rural-metropolitan ikut mempengaruhi pandanagn dan
sikap seseorang, utamanya ketika arus informasi dan wacana yang diciptakan melibatkan satu kelompok yang memiliki
basis sosial dan strategic resources yang dapat dimanfaatkan secara sosial dan politik. Intensitas dari keterlibatan 10
orang dari Kuningan dalam program diskusi yang difasilitasi Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam [LPPI] Jakarta
membawa arus yang cukup kuat untuk memojokkan Ahmadiyah. Seminar yang bertajug “membongkar Kesesatan
Ahmadiyah”, menjadi titik balik keemasan Ahmadiyah Manislor. Yang pada perkembangannya melahirkan Surat
Keputusan Bersama (SKB), antara MUI, Pimpinan Dewan, Pimpinan Ormas Islam Kuningan yang menyerukan
pembubaran Ahmdiyah. Sifat eksklusif Ahmadiyah dan pengikut yang bertambah, melahirkan gap yang akhirnya berujung
pada tuntutan pembubaran dan klaim sesat.
Konflik yang terjadi di Manislor, secara dramatis hampir terjadi selama sepuluh tahun terkahir. Misalnya pada tahun 2004,
dimana mushola Al-Hidayah dan Attaqwa, dibakar pada saat jemaah sedang tadaraus Al-Qur’an pada bulan ramadlan.
Peristiwa ini mengulang kejadian serupa, tepatnya genap dua tahun konflik sebelumnya yang merusak lebih dari 38 rumah
milik jemaah dan masjid utama pada tahun 2002. puncak dari kerusuhan di Manislor dampak dari kekersan yang terjadi di
Parung Bogor pada tanggal 9 Juli 2005 lalu, yang dilakukan oleh FPI dan LPPI, pimpinan habib Rizik dan Amin
jamaluddin. Selang seminggu dari kekerasan di parung menalar ke Manislor dengan penutupan dan penyegelan seluruh aset
milik Ahmadiayah. Masjid, sekolah, Mushola, dan lainnya, disegel dengan paksa oleh Ormas Islam dibantu Pamong Praja
kabupaten Kuningan. Akibat dari peristiwa ini, aparat kepolisian secara resmi mengeluarkan jam malam bagi warga mulai
pukul 21.00 hingga 06.00 pagi hari.
Ahmadiyah di Manislor sebagaimana Haurkoneng di Majalengka mengalami nasib tragis, yaitu dibubarkan dengan paksa
oleh kelompok mayoritas dominan. SKB Muspida, Pimpinan dewan, MUI, dan Ormas Islam di Kuningan tertanggal 3
Nopember 2002, tentang pelarang Jemaah Ahmadiyah Indonesia berada di kabupaten Kuningan. Seperti menjadi
legitimasi kelompok dominan di kabupaten Kuningan untuk melakukan teror, perusakan, dan memberi mandat kepada
Pengawas Kepercayaan Masyarakat [PAKEM] untuk memantau dan melarang kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di
Manaislor Jalakana Kuningan.
Pelarangan JAI di Kuningan dianggap oleh penentangnya, karena ajaran JAI sesat menyimpang dari ajaran Islam. Bahkan
melihat Ahmadiyah sebagai perpanjangn tangan dari kepentingan politik Inggris di Asia dan bertujuan untuk menyesatkan
Islam dan ini menjadi sandaran teologis pemerintah daerah Kuningan untuk melarang aktivitas Ahmadiyah Kuningan
dengan menerbitkan SKB.
SKB yang terbit di Kuningan ada dua, pertama keluar pada 2002, dan kedua keluar pada 2005 yang intinya mensakh
SKB yang pertama, karena SKB pertama yang bertanda tangan selain intansi pemerintah, juga ditandatangani oleh ketua-
ketua ormas Islam di Kuningan. Sementara SKB yang kedua hanya intansi pemerintahan seperti yang telah disampaikan di
atas. Sekda mengrimkan surat pengantar SKB II kepada Jemaat Ahmadiyah Manislor.
3. SKB Tiga Menteri
Keluarnya SKB tiga menteri tidak mampu menuntaskan kasus yang menimpa Jema’ah Ahmadiyah, bahkan dalam
pandangan Ahmadiyah, keluamya SKB yang ditandatangani oleh tiga Menteri, akan menambah masalah karena akan
salah diintrepretasikan oleh masyarakat. SKB ini menurut warga Ahmadiyah, suatu waktu akan menjadi alasan atas
mereka yang menolak keberadaan Ahmadiyah untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis. Terlebih lagi dalam
SKB itu, Ahmadiyah masih dianggap sebagai kelompok yang menyimpang yang tidak boleh menyebarkan ajaran yang
diyakini. Hal ini merupakan bentuk intervensi pemerintah dalam wilayah agama yang bukan merupakan domainnya.[16]
Akan tetapi yang perlu dicermati bahwa dalam sosialisasi SKB tersebut, Balitbang Departemen Agama, tegas
dikatakan bahwa “pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyaakat”. Ini penting untuk digarisbawahi, karena
terkadang masih dipertanyakan. Dalam sebuah harian nasional disebutkan bahwa Indonesia sebagai negara religius
memiliki kewenangan untuk memasuki wilayah keyakinan.[17]
Pemerintah Indonesia mempersepsi perannya sebagai “memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu
karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang”[18]Posisi
warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam persepsi ini adalah: 1) penyebab lahirnya pertentangan tersebut, 2)
korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat. Keduanya “harus ditangani pemerintah”, sebagaimana tercermin dalam
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yang terdiri dari dua bagian yaitu peringatan kepada Ahmadiyah
untuk tidak meyebarkan ajarannya yang dianggap menyimpang, dan peringatan pada masyarakat untuk tidak
melakukan tindakan melanggar hukum pada warga JAI. Maka di sini harus diperbandingkan dua sisi persepsi
pemerintah dengan posisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang terfokus hanya pada posisi kedua.
Dalam pandangan penulis, peran terkait dengan warga JAI sebagai korban adalah pernyataan yang tidak
kontroversial, karena tindakan kekerasan adalah termasuk kriminalitas. Sisi kontroversialnya adalah bagaimana
menangani JAI sebagai penyebab munculnya ketidaktertiban sosial. Secara umum, hak memang bisa dibatasi,
sebagaimana dalam ICCPR[19] yang Indonesia telah diratifikasi menjadi Undang-Undang (UU) Yaitu, sejauh
menyangkut keamanan, ketertiban, kesehatan atau kehendak moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar
orang lain. Jembatan yang menghubungkan “penyimpangan” dengan pembolehan pembatasan alasan-alasan “ketertiban
masyarakat” adalah UU No. I PNPS/1965 jo, UU No. 5/1969 tentang pencegahan pencegahan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama. Di sinilah pada akhirnya kesahihan legal-konstitusional SKB itu bergantung.
Dengan ini pembatasan Ahmadiyah yang dituangkan dalam SKB dilakukan karena pemerintah memandang bahwa
Ahmadiyah, “meyimpangan” yang menjadi penyebab munculnya, atau “menimbulkan pertentangan dalam
masyarakat”. Keberadaan UU itu sendiri mengandaikan bahwa pemerintah, dengan satu atau lain cara, memiliki
kemampuan dan wewenang untuk memutuskan penyimpangan itu. Dalam logika pemerintah, karena tidak mau
mengintervensi keyakinan masyarakat, penentuan penyimpangan itu ditempuh dengan berbagai cara, di antaranya;
pertama, memperhatikan pendapat lembaga-lembaga keIslaman luar dan dalam negeri, khiususnya MUI yang
dianggap “mewakili” umat Islam. Kedua, memverifikasi penyimpangan JAI.
Jema’ah Ahmadiyah sendiri juga sudah menyampaikan dua belas butir klarifikasi tentang ajaran Ahmadiyah, yang
selama ini dianggap sesat. Inilah peran dua belas butir penjelasan Pengurus Besar Ahmadiyah yang perumusannya
difasilitasi Departemen Agama dan pemantauannya oleh pemerintah selam 3 bulan yaitu Februari - April 2008 di 33
Kabupaten termasuk di Kuningan, Pemantauan itu, yang dilakukan dengan kunjungan lapangan ke beberapa daerah dan
kajian tafsir al-Quran Ahmadiyah, memberikan hasil yang kemudian dipakai Bakor Pakem,sebagai dasar
rekomendasi peringatan keras kepada JAI pada april 2008.
.
Dalam banyak butir penjelasan, termasuk yang sangat prinsipil menyangkut syahadat Ahmadiyah, kitab suci mereka. Tak
mengkafirkan non Ahmadiyah, dan hubungan social dengan muslim non Ahmadi. Yang menjadi masalah akhirnya adalah
beberapa butir (nomor 2 dan 3) terkait konsep kenabian menurut Ahmadiyah. Di sini pun mereka jelas mengakui nabi
Muhammad; ketika Mirza Ghulam Ahmada disebut sebagai “nabi”. Itu dijelaskan dengan mengatakan bahwa ini adalah
soal penafsiran, yang bisa keliru dan bisa juga benar, bisa buruk dan bisa pula baik. Dan biasanya penafsiran, apalagi
dalam hal teologis seperti ini tidak bisa diputuskan segera. Dari satu sisi, bisa jadi hal ini hanya soal semantik.
H. Respon Ahmadiyah Atas SKB Kuningan
Sumber legitimasi kelompok masyarakat yang anti Ahmadiyah untuk menuntut pembubaran Ahmadiyah salah satunyaadalah Surat Keputusan Bersama (SKB). be gitu juga Bakorpakem yang telah dianggap memiliki otoritas, membuatlarangan pencatatan pernikahan bagi kaum Ahmadiyah manislor juga bersumber dari SKB tersebut.
Tindakan-tindakan diskriminatif tersebut adalah sebagai strategi untuk mewujudkan tujuan utama SKB yaitu melarang danmenghapuskan faham Ahmadiyah di Kab Kuningan. Faham Ahmadiyah diharapkan dapat terhapus atau hilang dari kabkuningan dengan dua kemungkinan: Pertama, Jemaat Ahmadiyah karena mendapat tekanan dan diskriminasi sehinggamereka tidak betah bertahan hidup di kabupaten Kuningan, lalu mereka memilih pindah ke kabupaten lain yang menerimamereka. Kedua, mereka tidak kuat terhadap tekanan dan perilaku diskriminatif sehingga agar keluar dari kesulitan tersebutmereka menyatakan diri keluar dari paham Ahmadiyah. Ketiga, menurut penggagas perilaku diskrimiatif, perlakuantersebut juga dapat menyadarkan kaum Ahmadiyah atas kekeliruan paham keagamaan yang dianutnya dan secara sukareladiharapkan mereka mau keluar dari paham Ahmadiyah tersebut.
Berdasarkan pertimbangan bahwa sumber beberapa perilaku diskriminatif itu adalah SKB, dan SKB tersebut adalahmerupakan produk hukum yang melibatkan aparatur negara, produk hukum tersebut direspon secara hukum juga. ada duarespon secara hukum yaitu: Pertama, Anggota Jemaat Ahmadiyah Manislor mengadu ke Komnas HAM, Kedua, kaumAhmadiyah memperkarakan produk hukum Surat keputusan bersama dalam bentuk mem-PTUN-kan institusi-institusinegara yang terlibat dalam pembuatan kebijakan SKB di kabupaten Kuningan.
Indonesia adalah Negara hokum. Negara hokum ialah HAM dijamin melalui Undang-Undang, persamaan kedudukan dihadapan hukum, supremasi aturan-aturan hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas. Semuaorang dan semua kelompok mempunyai hak, kesempatan, dan kewajiban, atau komitmen yang sama sebagai warganegara dan kedudukan sama (equal) di depan hukum.
Indonesia sebagai negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Indonesia harus menjunjung tinggisupremasi hukum serta meyakini bahwa nilai-nilai religius merupakan salah satu sumber inspirasi bagi negara dalammenjalankan kewajibannya. Salah satu ciri negara hukum ialah mengakui dan menjamin adanya HAM. Salah satu HAMyang penting untuk dijamin keberadaannya ialah hak untuk beragama. Negara sama sekali tidak diberikan kewenanganuntuk mengakui bahwa keberadaan agama tertentu sesat. Jika negara kemudian melakukan perlakuan seperti itu, makasebetulnya negara telah melakukan perbuatan yang inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD RI 1945.
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa SKB No 3/2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan No 199/2008Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia(JAI) dan Warga Masyarakat sesungguhnya sangat bertentangan dan tidak sejalan dengan jaminan normatif tentang hakkebebasan beragama yang ada di dalam sistem hukum Indonesia yaitu UUD 1945.
Selain itu di dalam asas peraturan perundang-undangan terdapat asas lex superior derogat legi inferiori, yang bilamanaterjadi konflik atau pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilahyang harus didahulukan. Dalam hal ini ada pertentangan antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan isi SKB No 3/2008,KEP-033/A/JA/6/2008, dan No 199/2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan atauAnggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Tentunya perlu kita tahu bahwa UUD 1945 memiliki kedudukan tertinggi dalam Peraturan Perundang-undangan diIndonesia, sedangkan SKB No 3/2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan No 199/2008 kedudukannya dalam PeraturanPerundang-undangan di Indonesia hanya merupakan peraturan selain Peraturan Perundang-undangan yang merujuk padaUU No. 1/PNPS/1965 jo. UU No. 5/1969 tentang pencegahan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.Maka sesuai asas lex superior derogat legi inferiori, dalam menangani kasus JAI seharusnya perspektif hak kebebasanberagama dalam UUD 1945 lebih didahulukan oleh negara.
I. Kesimpulan
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan pertama, secara empirik dampak yang telah terjadi akibat sikap pemerintah
terhadap Ahmadiyah, semakin menguatkan sikap kolonisasi dari kelompok non Ahmadiyah. Dan Ahmadiyah semakin
sempit untuk mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah keyakinan yang sudah cukup banyak umat tersebar di
berbagai daerah termasuk di Manislor Kuningan. Kedua, adanya pendekatan sosialisasi keagamaan yang lebih
mengedepankan nilai “kemutlakan” keyakinan yang dianut secara berlebihan, dengan menafikan kebenaran keyakinan lain,
dan cenderung memiliki kontribusi terhadap sikap intoleransi di kalangan umat. Akibatnya derajat konflik keagamaan
menjadi tinggi.
Dengan demikian, perbedaan pandangan keyakinan dalam agama menjadi potensi dalam melahirkan konflik dan berakibat
tidak adanya transformasi internal elemen-elemen doktrin teologis yang diyakini masing-masing kelompok keagamaan.
Termasuk kegagalan tokoh agama dalam membahasakan visinya, sehingga meletakkan posisi agama sumber radikalisasi
yang mengkooptasi massa untuk menolak yang berbeda pandangan.
Kemudian tidak adanya instrument yang disepakati oleh para pihak yang berkonflik. Setiap masing-masing kelompok
menggunakan standar atau normanya sendiri-sendiri. Satu berpegang dengan standar normatif agama yang doktriner,
sementara pihak lain menggunakan standard hak asasi manusia terutama Ahmadiyah dan pembelanya. Dan tidak ada
upaya partisipasi yang kuat dari kedua belah pihak untuk merusmuskan instrumen yang disepakati.
Pembedaan Ahmadiyah dan non Ahmadiyah telah memperlihatkan keajegan dalam membawa kecendrungan konflik
horizontal yang semakin menunjukkan fluktuasi “kekerasan” yang bernuansa agama semakin kentara. Kemudian kebijakan
Read 1923 times
keagamaan tentang Ahmadiyah telah memberi implikasi pada instrumentalisasi agama serumit saat ini.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad, Penelitian Kependidikan Prosedur & Strategi, Bandung: Angkasa, 1987.
A. Shomali, Mohammad, Relativisme Etika, Jakarta: Serambi, 2005.
Burhanuddin, Asep. Ghulam Ahmad Jihad Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LKiS 2005.Connoly, Petter. Approachesto the study of Religion. (terj)Aeka, Pendekatan sosiologi Agama, Yogyakarta: LkiS, 2002.
Johan Effendi, “Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan”, dalam Prisma, No.5, Juni 1978.Jakarta: LP3ES.
Muhammad, Afif tentang “Kerukunan Beragama pada Era Globaiisasi”, pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung DjatiBandung ke-29, tanggal 8 April 1997, Bandung, hlm.
Mansur, Pelarangan Pencatatan Pernikahan Bagi Jema’at Ahmadiyah Kuningan, Jakarat: Depag, 2006.
Moh. Sulhan dan kawan-kawan, Mencari akar-akar diskriminasi minoritas untuk memantapkan Pluralisme Agama;penelitian tentang kekerasan Ahmadiyah di Kuningan, Cirebon: P3M STAIN Cirebon, 2005.
Majelis Ularna Indonesia, Mengawal Aqidah Umal; Fatwa MUI tentang Aliran-aliran Sesat di Indonesia, Jakarta:Sekretariat MUI, t.th.
Rozi, Syafuan dan kawan-kawan. Kekerasan Komunal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Salmi, Jamil, Kekerasan dan Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Sunu Hardiyanto, Petrus (ed), Michel Fuocault, Bengkel Individu Modern dan Disiplin Tubuh, Yogyakarta: LkiS,1997.
Suryawan, M. A., Bukan Sekedar Hitam Putih, Bogor: Arista Brahmatyasa, 2005.
Zulkarnain, Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyayakarta: LKiS, 2005.
Sumber Media Lain:
“pemerintah tidak intervensi” harian Kompas, 17 April 2008.
Hasil Wawancara dengan pak Syukur (mantan ketua JAI manislor).
[1]Syafuan Rozi dan kawan-kawan. Kekerasan Komunal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 5.[2] Lihat, “Ahmadiyah dilarang”, Radar Cirebon, tanggal 3/9/2005.[3]Afif Muhammad tentang “Kerukunan Beragama pada Era Globaiisasi”, pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung DjatiBandung ke-29, tanggal 8 April 1997, Bandung, hlm. 1. ) Lihat juga Johan Effendi, “Dialog Antar Umat Beragama,Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan”, dalam Prisma, No.5, Juni 1978. (Jakarta: LP3ES), hlm. 13.[4] Lihat Petrus Sunu Hardiyanto (ed), Michel Fuocault, Bengkel Individu Modern dan Disiplin Tubuh, (Yogyakarta:LkiS, 1997), hlm. 56.[5] Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 141., lihat juga (the socialCoonstruction of Reality: A Treatise in the sociology of knowledge, (1971), hlm. 33, dikutip dalam Watt, 1983, hlm.7.[6]Syafuan Rozi dan kawan-kawan. Kekerasan Komunal Anatomi Resolusi Konflik di Indonesia, hlm. 13[7]Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 38.[8] Ibid, hlm. 159[9]Lihat, Asep Burhanuddin. Ghulam Ahmad Jihad Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: LKiS 2005).[10]Lihat, M. A. Suryawan, Bukan Sekedar Hitam Putih, (Bogor: Arista Brahmatyasa, 2005).[11]Lihat Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyayakarta: LKiS, 2005).[12]Lihat Moh. Sulhan dan kawan-kawan, Mencari akar-akar diskriminasi minoritas untuk memantapkanPluralisme Agama; penelitian tentang kekerasan Ahmadiyah di Kuningan, (Cirebon: P3M STAIN Cirebon, 2005).[13] Mohammad Ali, Penelitian Kependidikan Prosedur & Strategi, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 91.[14] Wawancara dengan pak Syukur (mantan ketua JAI manislor), pada tanggal 13 Februari 2011.[15] Mansur, Pelarangan Pencatatan Pernikahan Bagi Jema’at Ahmadiyah Kuningan, (Jakarat: Depag, 2006), hlm.38[16] Wawancara dengan mantan ketua JAI Kuningan Abd Syukur, 22 Februari, 2011.[17] Lihat “pemerintah tidak intervensi” Kompas, 17 April 2008.[18] Majelis Ularna Indonesia, Mengawal Aqidah Umal; Fatwa MUI tentang Aliran-aliran Sesat di Indonesia,(Jakarta: Sekretariat MUI, t.th), hlm. 12-19.[19]ICCPR (International Covenant on Civil and Political Right) adalah merupakan sebuah aturan yang disepakati olehbangsa-bangsa dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (KovenanInternasional tentang Hak-hak Sind dan politik). Artinya, Indonesia telah menjadi Negara pihak yang terikat oleh aturanInternasional.
Tweet 0
Name *
enter your name...
Email *
enter your e-mail address...
Website URL
enter your site URL...
Leave a commentPastikan yang bertanda (*) diisi, kode HTML tidak diperbolehkan! Ko
Message *
enter your message here...
Enter the two words you see below
Submit comment
Copyright © 2013 Institut Studi Islam Fahmina. All Rights Reserved.
Jl. Swasembada No. 15 Majasem - Karyamulya Cirebon - Jawa Barat 45132
Telp./Fax. 62-231-8301548 e-Mail: [email protected]
Scroll to Top
Like 0