sikap bahasa masyarakat kota surabaya terhadap bahasa jawa
TRANSCRIPT
Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa Dialek Surabaya dan Bahasa Jawa Dialek Sala-Yogyakarta
Wahyu Zuli Firmanto, Ratnawati Rachmat
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini membahas sikap bahasa masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta. Data yang digunakan merupakan ungkapan-ungkapan mengenai kepercayaan mereka terhadap Bahasa Jawa Dialek Surabaya dan Bahasa Jawa Dialek Sala-Yogyakarta. Data-data tersebut dikumpulkan melalui teknik kuesioner skala sikap, samaran terbanding, wawancara, dan pengamatan. Penelitian ini menggunakan teori sikap Rokeach (1972) yang melihat sikap sebagai tata kepercayaan tentang suatu obyek yang relatif berlangsung lama, dan mempengaruhi seseorang untuk merespon dengancara-cara tertentu. Hasil analisis sikap bahasa menunjukkan duakepercayaan ya ng paling berpengaruh: (1) Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar serta tidak formal, (2) Bahasa Jawa dialek Surabaya merupakan identitas dan bagian dari keragaman budaya bangsa yang harus dibanggakan serta dilestarikan. Kata Kunci : sikap bahasa, Bahasa Jawa dialek Surabaya, Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta, identitas, multibahasa The Attitude of Surabaya Citizens Toward Javanese Dialect of Surabaya and Javanese
Dialect of Sala-Yogyakarta
Abstract This research discusses about language attitude of Surabaya citizens toward Javanese dialects of Surabaya and of Sala-Yogyakarta. Data that is used is based on their expression of beliefs around Javanese dialect of both places. Moreover, data was collected by using attitudes scale questionnaire, matched guise technique, interview technique, and observation. This research was uses Rokeach’s attitude theory (1972) that sees attitude as a relatively enduring organization of beliefs around an object predisposing someone to respond in some preferential manner. The analysis shows respondents belief that Javanese dialect of Surabaya is impolite and informal language, but also a part of citizens identity and national cultural diversity that must be acknowledge, preserved and be proud of. Keywords : attitude toward language, Javanese dialect of Surabaya, Javanese dialect of Sala-Yogyakarta, identity, multilingualism
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Pendahuluan
Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota kelompok masyarakat yang senantiasa
digunakan untuk bertukar informasi dalam berbagai kegiatan. Dalam proses komunikasi yang
beragam tersebut, muncul berbagai variasi bahasa. Suhardi dan Sembiring (Dalam
Kushartanti dan Yuwono, 2007: 48-49) mengelompokkan variasi bahasa menjadi tiga jenis,
yaitu variasi yang disebabkan oleh faktor kedaerahan, biasa disebut dialek regional atau
cukup dialek; variasi yang disebabkan oleh strata sosial, biasa disebut dialek sosial atau
sosiolek; dan variasi yang disebabkan oleh keperluan pemakaian.
Sebagaimana bahasa-bahasa lain, Bahasa Jawa pun memiliki berbagai variasi. Salah
satu jenis variasi yang sangat terlihat adalah variasi kedaerahan atau dialek regional
(selanjutnya cukup disebut dialek). Soedjito dkk. (1986: 2) menyebutkan bahwa Bahasa Jawa
memiliki beberapa dialek, seperti Bahasa Jawa dialek Banyumas, Tegal, Sala,1 Surabaya,2
Samin,3 dan Using.4 Meskipun memiliki berbagai dialek, namun sebagian besar masyarakat
penutur Bahasa Jawa, termasuk penutur di Kota Surabaya, memiliki anggapan bahwa satu
dialek yang paling “tinggi” adalah dialek Sala-Yogyakarta.
Menurut Ferguson (Alwasilah, 1990: 141), sebuah dialek dianggap lebih tinggi
statusnya di masyarakat apabila digunakan pada situasi-situasi formal. Situasi-situasi formal
tersebut adalah (1) khotbah di masjid/gereja; (2) pidato di parlemen, pidato politik; (3) kuliah
di universitas; (4) siaran berita; (5) puisi; (6) editorial, berita, dan tulisan (caption).
Masyarakat Surabaya menggunakan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta salah satunya pada
media massa cetak berbahasa Jawa. Hal ini terlihat pada majalah Panjebar Semangat dan
Jaya Baya. Meski terbit di Surabaya, sebagian besar rubrik dalam kedua majalah tersebut
tidak menggunakan Bahasa Jawa dialek Surabaya, tetapi menggunakan Bahasa Jawa dialek
1 Nama Sala (huruf a diucapkan seperti huruf o pada kata rokok) pada tulisan ini digunakan untuk menggantikan nama Solo yang lebih populer di masyarakat namun kurang tepat secara ejaan. Menurut Nurhajarini, Triwahyono, dan Gunawan (1999: 7-8) Sala merupakan nama sebuah desa tempat keraton Surakarta didirikan. Sala pun kemudian juga menjadi ibukota Kerajaan Surakarta. Perlu diketahui bahwa luas Kerajaan Surakarta mencakup Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukowati, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali (Nurhajarini, Triwahyono, dan Gunawan, 1999: 8) sehingga sejak masa kerajaan tersebut berdiri, daerah yang saat ini secara administrasi disebut Surakarta lebih populer dengan nama Sala. 2 Menurut Soetoko, dkk. (1984), Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah ragam bahasa Jawa yang dituturkan oleh masyarakat di wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Sidoarjo. Beebrapa ciri khas dialek ini adalah kosakata arek ‘pemuda’, kosakata embong ‘jalan’, dan akhiran –nayang digunakan untuk kata kerja pasif (misalnya dijupukna ‘diambilkan’). 3 Bahasa Jawa dialek Samin dituturkan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah. 4 Perkembangan terbaru menunjukkan Bahasa Jawa dialek Using yang dituturkan oleh masyarakat Kabupaten Banyuwangi telah diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri yang sejajar dengan Bahasa Jawa, terutama setelah disertasi Suparman (1987) dan Sarasehan Bahasa Using yang pertama pada tahun 1990 (Arps dalam Moriyama & Budiman, 2010: 225-248).
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Sala-Yogyakarta. Adapun pidato di parlemen, perkuliahan di universitas, dan siaran berita di
radio serta televisi hampir dapat dipastikan menggunakan Bahasa Indonesia.5 Keadaan
kebahasaan tersebut berlangsung hingga awal tahun 2000-an.
Saat ini zaman telah berubah. Sejak 1 Januari 2001, sistem pemerintahan yang dulu
terpusat diganti dengan otonomi daerah, sistem yang memungkinkan setiap daerah
mengembangkan potensi dan ciri khas masing-masing. Salah satu dampak perubahan ini
adalah mulai terangkatnya dialek-dialek lokal melalui berbagai media, misalnya berdirinya
JTV yang mengangkat Bahasa Jawa dialek Surabaya. JTV adalah stasiun televisi lokal Jawa
Timur yang berdiri pada November 2001. Stasiun televisi ini mempunyai beberapa program
yang mengangkat Bahasa Jawa dialek Surabaya, seperti program berita Pojok Kampung,
ludruk Kartolo CS, dan film-film asing yang disulih suara dengan Bahasa Jawa dialek
Surabaya. Digunakannya Bahasa Jawa dialek Surabaya pada program berita di televisi
menunjukkan adanya kemungkinan masyarakat Surabaya telah menempatkan Bahasa Jawa
dialek Surabaya sebagai dialek yang patut digunakan pada situasi-situasi resmi.
Selain JTV, terdapat beberapa fenomena lain seperti munculnya toko-toko kaos khas
Kota Surabaya6; akun-akun bertema Surabaya di media sosial Twitter; dan komunitas
mahasiswa Surabaya di Universitas Indonesia, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, serta
Institut Teknologi Bandung yang mengangkat Bahasa Jawa dialek Surabaya sebagai ciri khas
atau identitas mereka. Beberapa fenomena tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Surabaya
semakin memiliki kesadaran bahwa daerah mereka berbeda dengan daerah-daerah lain.
Kesadaran kedaerahan ini mirip dengan konsep kesadaran kesukuan yang oleh Asako
Shiohara (Moriyama dan Budiman, 2010: 200) dianggap melatarbelakangi terwujudnya
kesadaran bahasa. Dalam makalahnya mengenai kondisi penutur bahasa-bahasa di Indonesia
Timur, Shiohara menjelaskan bahwa kesadaran kesukuan dapat memunculkan kesadaran
bahasa, dan kesadaran bahasa dapat memunculkan penilaian-penilaian positif anggota suku
terhadap bahasa suku tersebut. Dalam kasus Bahasa Jawa dialek Surabaya, kesadaran
kedaerahan kemungkinan juga dapat memunculkan kesadaran bahasa. Kesadaran berbahasa
ini dapat memunculkan penilaian-penilaian positif masyarakat Kota Surabaya terhadap
Bahasa Jawa dialek Surabaya, serta mengubah penilaian mereka terhadap Bahasa Jawa dialek
5 Menurut Quinn (dalam Moriyama dan Budiman, 2010: 2009), TVRI dan RRI yang merupakan media penyiaran pelindung utama Bahasa Jawa bahkan cenderung menyiarkan program berbahasa Jawa pada malam hari atau jam-jam yang relatif sepi penonton atau pendengar. Adapun penggunaan bahasa untuk khotbah keagamaan dan penulisan puisi di Surabaya belum penulis temukan data yang pasti. 6 Salah satu desain kaos khas Kota Surabaya yang dijual toko Cak Cuk, misalnya, berjudul “Jika Dialog Wayang Kulit Menggunakan Bahasa Jawa Surabaya”. Desain kaos ini menampilkan gambar beberapa tokoh wayang kulit yang sedang berbicara dengan Bahasa Jawa dialek Surabaya.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Sala-Yogyakarta. Akan tetapi, hal ini harus diteliti lebih lanjut. Menurut Agheyisi dan
Fishman (Suhardi, 1996: 37), penelitian mengenai penilaian penutur bahasa terhadap bahasa
serta ragam-ragam dalam bahasanya merupakan bagian dari penelitian sikap bahasa.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian terhadap sikap masyarakat Kota Surabaya
terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta perlu
dilakukan untuk mengetahui sikap bahasa masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa
dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta saat ini.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma campuran. Paradigma campuran merupakan
kombinasi antara paradigma kualitatif dan paradigma kuantitatif. Penggunaan paradigma
campuran bertujuan untuk mendapatkan hasil penelitian yang semaksimal mungkin. Adapun
metode yang digunakan adalah metode survei dan metode deskriptif. Metode survei adalah
metode yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai variabel dari sekelompok
obyek (Noor, 2011: 38). Metode kedua adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah
metode yang bertujuan mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat ini
(Noor, 2011: 34).
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekspresi-ekspresi verbal maupun
nonverbal dari para responden yang menunjukkan sikapnya. Ekspresi verbal mencakup
penggunaan bahasa pada kehidupan sehari-hari dan pernyataan lisan mengenai sikap,
sedangkan ekspresi nonverbal meliputi penggunaan bahasa pada tulisan dan pernyataan
tertulis mengenai sikap.
Populasi penelitian ini adalah masyarakat Kota Surabaya, baik yang pada saat
penelitian tinggal di Kota Surabaya maupun yang sedang merantau. Dimasukkannya anggota
masyarakat Kota Surabaya yang sedang merantau ke dalam populasi penelitian bertujuan
untuk mengetahui pengaruh interaksi responden dengan penutur bahasa atau dialek lain
terhadap sikap responden.
Populasi masyarakat Kota Surabaya yang sedang merantau diwakili oleh anggota
paguyuban mahasiswa Universitas Indonesia asal Surabaya, Arek Suroboyo UI (ASUI).
Berdasarkan data tahun 2013 diketahui anggota paguyuban ini berjumlah 94 orang. Anggota
paguyuban ini tidak hanya mahasiswa yang tinggal di Kota Surabaya, tetapi juga mahasiswa
yang tinggal di luar Kota Surabaya namun menempuh pendidikan SMA di Kota Surabaya.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik pusposive sampling.
Teknik pusposive sampling adalah teknik pemilihan sampel dengan pertimbangan khusus
sehingga seseorang menjadi layak untuk dijadikan sampel (Noor, 2011: 155). Sampel
penelitian harus dapat menunjukkan tujuan penelitian tetapi tidak harus mewakili keseluruhan
populasi. Berdasarkan teknik pemilihan sampel tersebut, maka tidak semua anggota ASUI
akan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak
13 orang yang cukup lama tinggal di wilayah pakai Bahasa Jawa dialek Surabaya.7 Selain itu,
para responden tersebut dipilih karena tinggal di area yang sama dan sering bepergian
bersama sehingga memudahkan proses pengumpulan data. Para responden yang merupakan
anggota ASUI pada penelitian ini disebut menggunakan nomor 1 sampai 13.
Berdasarkan teknik pusposive sampling tersebut pula dipilih 17 responden yang pada
saat penelitian tinggal di Kota Surabaya. Responden yang tinggal di Kota Surabaya
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok responden berusia di bawah 25 tahun dan
kelompok responden berusia di atas 25 tahun. Kedua kelompok ini masing-masing dibagi lagi
menjadi dua kelompok berbeda, yaitu (1) kelompok responden yang memiliki pengaruh
dalam menentukan keadaan kebahasaan di Kota Surabaya dan (2) kelompok yang tidak
memiliki pengaruh dalam menentukan keadaan kebahasaan di Kota Surabaya. Kelompok
pertama adalah para responden yang pada saat penelitian dan di masa depan diasumsikan
berprofesi sebagai guru Bahasa Jawa, pejabat publik, pembicara di depan publik, serta
penentu kebijakan di media massa. Adapun kelompok kedua merupakan responden yang pada
saat penelitian dan di masa depan diasumsikan berprofesi selain profesi-profesi kelompok
pertama.
Pembagian responden ke dalam kelompok-kelompok tersebut bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa responden. Pembagian responden
berdasarkan tempat tinggal bertujuan untuk melihat pengaruh interaksi dengan masyarakat
daerah lain. Pembagian responden berdasarkan usia bertujuan untuk melihat pengaruh
perubahan sosial-politik setelah masa reformasi. Adapun pembagian responden berdasarkan
profesi bertujuan untuk melihat kelompok manakah yang sikapnya paling berpengaruh bagi
keadaan kebahasaan di Kota Surabaya saat ini.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan empat teknik berikut ini.
7 Menurut Soetoko, dkk. (1984), wilayah pemakaian Bahasa Jawa dialek Surabaya, selain Kota Surabaya, adalah Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
a) Samaran Terbanding
Teknik ini dilakukan dengan meminta seseorang untuk menilai ciri-ciri
seorang pembicara yang telah direkam suaranya. Dalam rekaman tersebut, pembicara
yang merupakan seorang yang mampu berbicara dalam Bahasa Jawa dialek Surabaya
dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta membacakan sebuah teks dalam kedua
dialek tersebut. Penilai (responden) diberi kesan seolah-olah terdapat dua pembicara
dalam rekaman tersebut. Berdasarkan bahasa dari pembicara dalam rekaman tersebut
penilai diminta menilai ciri kepribadian pembicara dengan lima kategori penilaian,
yaitu Formal, Ilmiah, Wibawa, Humor, dan Akrab. Penilaian terhadap ciri
kepribadain pembicara tersebut dilakukan melalui skala empat kolom seperti di
bawah ini.
Formal Tidak Formal
Angka empat menunjukkan sikap “sangat ....”, sebaliknya angka satu
menunjukkan sikap “sangat tidak ....”. Dapat pula dipahami sisi sebelah kiri
menunjukkan sikap positif terhadap kategori dan semakin ke kanan menunjukkan
sikap yang semakin negatif terhadap kategori. Penilai diminta memberikan tanda
silang pada salah satu angka tersebut.
Teks untuk teknik samaran terbanding sengaja disusun oleh penulis sendiri
agar dapat leluasa memasukkan leksikon-leksikon yang merupakan pembeda Bahasa
Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa Sala-Yogyakarta. Penggunaan leksikon-
leksikon pembeda tersebut diharapkan dapat menunjukkan perbedaan antara Bahasa
Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta dengan maksimal.
Leksikon-leksikon pembeda yang digunakan untuk menyusun teks diambil dari data-
data hasil penelitian terdahulu, terutama hasil penelitian Soedjito dkk. (1981) dan
Mayani dkk. (2004), serta berdasarkan pengetahuan peneliti mengenai kedua dialek.
Agar kedua versi teks di atas setara dalam hal tingkat tutur, peneliti juga sengaja
menggunakan tingkat tutur ngoko (kasar) untuk kedua versi teks. Berikut adalah
kedua versi teks yang digunakan pada teknik ini.
Teks versi Bahasa Jawa dialek Surabaya:
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kutha Jakarta esuk maeng nganakna razia
wong ngemis. Akeh wong ngemis sing kecekel pas lagi njaluk-njaluk dhuwik nang
embong. Sing dicekel ogak mek wong-wong tuwek, nanging uga arek-arek cilik sing
4 3 2 1
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
ngamen nang prapatan. Arek-arek ngamen karo wong-wong ngemis maeng langsung
diunggahna menyang dhukur mobil Satpol PP. Satpol PP olehe ngunggahna rada
kasar nganti onok wong ngemis sing dhuwike logur. Mbarek wis munggah kabeh,
komendhan Satpol PP ngijir wong-wong sing dirazia maeng. Sawise kuwi, Pak
Komendhan ngomong lek mene bakal nganakna razia maneh amarga ijik akeh wong
ngemis sing durung kecekel. Lek razia kaya maeng dianakna terus, dhiluk engkas
Jakarta bakal saya resik.
Teks versi Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta:
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kutha Jakarta mau esuk nganakake razia
wong ngemis. Akeh wong ngemis sing kecekel pas lagi njaluk-njaluk dhuwit ing
dalan. Sing dicekel ora mung wong-wong tuwa, nanging uga bocah-bocah cilik sing
ngamen ing prapatan. Bocah-bocah ngamen karo wong-wong ngemis mau langsung
diunggahake menyang dhuwur mobil Satpol PP. Satpol PP olehe ngunggahake rada
kasar nganti ana wong ngemis sing dhuwite tiba. Sawise munggah kabeh,
komendhan Satpol PP ngitung wong-wong sing dirazia mau. Sawise kuwi, Pak
Komendhan ngomong yen sesuk bakal nganakake razia maneh amarga isih akeh
wong ngemis sing durung kecekel. Yen razia kaya mau dianakake terus, sedhela
maneh Jakarta bakal saya resik.
b) Kuesioner
Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu
(1) data diri responden dan (2) sikap bahasa responden. Seperti yang telah disebutkan
pada bagian sebelumnya, responden dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu responden
yang tinggal di Kota Surabaya dan responden yang sedang merantau. Oleh karena
itu, kuesioner untuk kedua kelompok responden ini pun berbeda. Bagian pertama
kuesioner untuk responden yang tinggal di Kota Surabaya berisi pertanyaan tentang
nama, usia, pekerjaan, dan masa tinggal di Surabaya. Adapun bagian pertama
kuesioner untuk responden yang sedang merantau berisi pertanyaan jenis kelamin,
usia, tahun masuk Universitas Indonesia, dan kota kelahiran. Kuesioner untuk
responden yang sedang merantau (yang merupakan Mahasiswa Universitas
Indonesia) tidak menanyakan nama dengan pertimbangan agar responden dapat lebih
terbuka dalam mengisi kuesioner.
Pada bagian yang kedua, responden tidak diminta untuk menjawab
pertanyaan, tetapi diminta untuk menilai pernyataan-pernyataan. Pernyataan-
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
pernyataan dalam kuesioner ini disusun untuk melihat sikap bahasa sesuai dengan
teori yang diperkenalkan oleh Rokeach (1972). Teori tersebut memandang sikap
sebagai sebuah tata kepercayaan, dan setiap kepercayaan dalam tata kepercayaan
tersebut mengandung tiga komponen, yakni 1) komponen kognitif karena
mencerminkan pengetahuan seseorang, 2) komponen afektif karena dapat
memberikan respons positif atau negatif terhadap suatu obyek berdasarkan afeksi
(perasaan), dan 3) komponen perilaku karena dapat menjadi potensi kecenderungan
bertindak (Rokeach, 1972: 113).
Berdasarkan teori tersebut, maka bagian pernyataan sikap disusun menjadi
tiga kelompok pernyataan, yaitu mengenai aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek
perilaku responden. Masing-masing kelompok pernyataan tersebut terdiri dari 6
pernyataan, sehingga secara keseluruhan terdapat 18 pernyataan. Pernyataan tersebut
dinilai dengan menggunakan skala seperti yang dicontohkan oleh Likert (1932 dalam
Summers, 1977: 149-158), yang berupa pilihan sangat setuju (SS), setuju (S), tidak
setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Pilihan ragu-ragu atau tidak berpendapat
sengaja tidak diberikan untuk memperoleh gambaran sikap yang akurat. Hal ini
sesuai dengan saran Osgood, Suci, dan Tannenbaum (1957 dalam Summers, 1977:
229) yang menyebutkan bahwa pilihan jawaban netral adalah sesuatu yang sebaiknya
dihindari pada penelitian sikap.
Pernyataan-pernyataan pada bagian skala sikap juga disusun sesuai dengan
teknik yang digunakan oleh Suhardi (1996) dan Rokhman (1996), yakni terdiri dari
pernyataan yang bersifat positif terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan
pernyataan yang bersifat negatif terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya. Pernyataan-
pernyataan dalam kuesioner juga disusun dengan membandingkan kedua dialek
tersebut karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap responden terhadap
Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.Selain
berdasarkan teknik-teknik para ahli di atas, pernyataan sikap juga disusun
berdasarkan saran Wang (1932), Thurstone dan Cave (1929), Likert (1932), Bird
(1940) serta Edward dan Kilpatrick (1948) yang dirangkum oleh Edwards (1957:
13).
Teknik samaran terbanding dan kuesioner diterapkan kepada seluruh
responden kecuali Bayu dan Wiyoto. Pengecualian ini dilakukan karena jadwal Bayu
dan Wiyoto terlalu padat. Selain itu, pertimbangan mengenai kesopanan juga
membuat peneliti memutuskan untuk tidak menerapkan teknik samaran terbanding
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
dan kuesioner terhadap kedua responden ini. Sebagai gantinya, wawancara terhadap
kedua responden ini dilakukan dengan lebih mendalam dibandingkan dengan
responden lain.
c) Wawancara
Teknik wawancara digunakan untuk menggali data yang lebih rinci dari
responden. Wawancara yang dilakukan bersifat terstruktur dan tidak terstruktur.
Wawancara terstruktur dilakukan setelah responden mengisi kuesioner dan lembar
penilaian samaran terbanding. Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara terstruktur ini
sebelumnya telah dirancang macam dan urutannya, dan tidak dapat diubah-ubah.
Jadwal wawancara pun telah ditentukan sehingga dapat dilakukan perekaman suara
atau pencatatan pada saat wawancara. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang
ditanyakan pada wawancara terstruktur.
a. Setahu Anda, Bahasa Jawa dialek Surabaya itu seperti apa?
b. Apakah Anda bangga dengan Bahasa Jawa dialek Surabaya?
c. Apakah Anda setuju jika Bahasa Jawa dialek Surabaya digunakan pada
situasi situasi resmi seperti khotbah Jumat, berita di televisi, berita di koran,
dan diajarkan di sekolah-sekolah di Surabaya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas diajukan kepada responden yang merupakan
warga asli Surabaya atau daerah pemakaian Bahasa Jawa dialek Surabaya yang lain
(Gresik dan Sidoarjo). Adapun untuk responden yang bukan warga asli Surabaya,
pertanyaan (b) diganti dengan “Bagaimana kesan Anda saat mendengar orang
berbicara menggunakan Bahasa Jawa dialek Surabaya?” Pertanyaan (a) pada
wawancara terstruktur digunakan untuk mengungkap aspek kognitif, pertanyaan (b)
digunakan untuk mengungkap aspek afektif, dan pertanyaan (c) digunakan untuk
mengungkap aspek perilaku responden. Pertanyaan (b) yang ditanyakan untuk
responden yang merupakan warga asli Surabaya disusun dengan menyinggung aspek
kebanggaan daerah karena aspek ini menurut Alwasilah (1990: 118) terkait erat
dengan identitas sosial dan identitas sosial terkait erat dengan sikap bahasa.
Pertanyaan (c) disusun dengan menanyakan penggunaan bahasa pada situasi-situasi
resmi karena menurut Ferguson (Alwasilah, 1990: 141) penggunaan bahasa pada
situasi resmi dapat menunjukkan bahasa yang lebih diunggulkan oleh para
responden.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Selain wawancara terstruktur, penulis juga melakukan wawancara tidak
terstruktur. Wawancara ini dilakukan saat perbincangan informal dengan para
responden. Karena bersifat informal, maka macam dan urutan pertanyaan yang
diajukan pun menyesuaikan keadaan. Pada wawancara jenis ini peneliti berusaha
semaksimal mungkin untuk membuat responden merasa nyaman mengutarakan
pendapatnya. Wawancara tak terstruktur ini diperlukan untuk menggali informasi
lebih dalam yang mungkin tidak terungkapkan saat wawancara terstruktur.
Wawancara terstruktur pada penelitian ini sebenarnya dirancang untuk tidak
diubah-ubah selama penelitian berlangsung. Akan tetapi, dalam proses penelitian
ternyata diperlukan beberapa penyesuaian untuk mendapatkan data yang lebih
mendalam. Dengan demikian, akhirnya perbedaan antara wawancara terstruktur dan
tak terstruktur pada penelitian ini hanya pada aspek dokumentasi dan jadwal. Seluruh
proses wawancara terstruktur telah didokumentasikan melalui alat perekam suara
atau pencatatan, sedangkan hasil wawancara tak terstruktur tidak semua
terdokumentasikan. Pada wawancara tidak terstruktur peneliti hanya mengingat
bagian-bagian penting percakapan. Hal ini karena sifatnya yang tidak terjadwal
sehingga tidak mungkin mempersiapkan catatan atau alat perekam suara.
d) Pengamatan
Teknik pengamatan akan dilakukan untuk melengkapi data-data hasil samaran
terbanding, kuesioner, dan wawancara. Sesuai dengan teori Rokeach (1972), hasil
pengamatan perilaku kebahasaan tidak dapat menjadi data utama penelitian karena
teori tersebut memandang sikap bahasa sebagai sesuatu yang ada dibalik perilaku
kebahasaan, bukan perilaku tersebut. Rokeach (1972: 119) juga menyebutkan bahwa
sering terlihat ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku. Pengamatan dilakukan tidak
hanya terhadap responden penelitian, namun juga terhadap aktifitas-aktifitas
kebahasaan masyarakat Kota Surabaya yang lain. Pengamatan terutama dilakukan di
tempat-tempat berikut ini:
• indekos Mahasiswa Universitas Indonesia asal Surabaya di Kelurahan
Kukusan, Beji, Depok;
• Dukuh Wonokitri Gang VIII, Kelurahan Sawunggaling, Kecamatan
Wonokromo, Kota Surabaya;
• daerah perumahan di samping Ciputra World, Jl. Mayjend Sungkono, Kota
Surabaya;
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
• lapangan upacara Komando Daerah Militer (Kodam) V/Brawijaya, Kota
Surabaya;
• kantor Jawa Pos Media Televisi, Kompleks Graha Pena, Jl. Ahmad Yani,
Kota Surabaya.
Kajian Pustaka
a. Penelitian Terdahulu Sikap terhadap bahasa telah menjadi perhatian para linguis Indonesia sejak lama.
Karya tulis pertama yang membahas topik ini adalah buku Harimurti Kridalaksana yang
berjudul Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa (1974). Setelah karya tersebut hingga saat ini telah
banyak karya tulis tentang sikap bahasa. Akan tetapi, hanya beberapa yang membahas sikap
terhadap bahasa daerah atau khususnya terhadap Bahasa Jawa. Lebih lanjut, belum terdapat
penelitian yang membahas sikap masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek
Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.
b. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori Rokeach (1972) yang melihat sikap sebagai “Tata
kepercayaan yang secara relatif berlangsung lama mengenai suatu obyek atau situasi yang
mendorong seseorang untuk merespons dengan cara-cara tertentu.” Berdasarkan definisi
tersebut dapat dipahami bahwa sikap adalah tatanan beberapa kepercayaan terhadap suatu
obyek yang saling berhubungan satu sama lain. Tata kepercayaan ini bertahan dalam benak
manusia dalam waktu yang lama dan mempengaruhi cara-cara bertindak atau merespons. Jika
tata kepercayaan tersebut tidak bertahan lama, maka tidak dapat disebut sikap. Batas waktu
“bertahan lama” dan “tidak bertahan lama” sebenarnya mustahil untuk dijelaskan lebih rinci,
tetapi dapat diukur dengan melihat konsistensi kecenderungannya melalui pengujian yang
berulang-ulang (Rokeach, 1972: 112).
Rokeach (1972: 116) kemudian juga menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud
dengan tata kepercayaan dalam definisi sikap yang ia ajukan. Seperti yang telah disebutkan di
atas, frase tata kepercayaan menunjukkan makna terdapat beberapa kepercayaan yang saling
berhubungan dengan pola tertentu. Pola hubungan antarkepercayaan satu dengan kepercayaan
lain dalam membentuk sebuah tata kepercayaan yang utuh dapat dijelaskan melalui lima
perspektif, yaitu diferensiasi, sentralitas, waktu, kekhususan atau keumuman, dan keluasan
atau kesempitan.
Selain teori Rokeach, penelitian ini juga menggunakan teori mengenai fungsi bahasa
sebagai pelengkap. Menurut Hoed (2011: 2), selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
memiliki empat fungsi lain, yaitu:
1. Fungsi vernakular. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam satu
kelompok masyarakat.
2. Fungsi vehikular, Bahasa berfungsi sebagai wahana komunikasi di bidang
administrasi, hukum, dan/atau politik, atau komunikasi antar kelompok yang
berbeda bahasa.
3. Fungsi referensial kultural. Bahasa berfungsi sebagai referensi pada kebudayaan
suatu kelompok masyarakat atau kelompok etnis (misalnya sebagai bahasa dalam
kehidupan sosial atau bahasa upacara tradisional).
4. Fungsi mitis atau religius, sebagai bahasa yang digunakan dalam ranah agama
atau kepercayaan (misalnya dalam upacara religius, mitologi, atau penyebaran
agama).
Empat fungsi bahasa di atas dapat digunakan untuk melihat fungsi-fungsi Bahasa Jawa
dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta menurut masyarakat Kota
Surabaya. Semakin banyak fungsi sebuah bahasa/dialek, semakin positif sikap masyarakat
terhadap bahasa/dialek tersebut, sehingga semakin bahasa/dialek tersebut dapat terus hidup
(bervitalitas tinggi).
Hasil Penelitian
Setelah melalui tahap pengumpulan data dan analisis berdasarkan variabel
differensiasi, diketahui bahwa sikap masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek
Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta tersusun atas 14 kepercayaan berikut ini.
1. Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah bahasa formal sedangkan Bahasa
Jawa dialek Surabaya nonformal.
2. Bahasa Jawa dialek Surabaya lebih mengandung kesan akrab dibandingkan
Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.
3. Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar dan tidak sopan sedangkan Bahasa Jawa
dialek Sala-Yogyakarta halus dan sopan.
4. Bahasa Indonesia lebih halus dan sopan dibandingkan Bahasa Jawa Dialek
Surabaya.
5. Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah identitas yang harus dibanggakan.
6. Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta tidak mengandung rasa humor sedangkan
Bahasa Jawa dialek Surabaya mengandung rasa humor.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
7. Bahasa Jawa dialek Surabaya tidak berwibawa sedangkan Bahasa Jawa dialek
Sala-Yogyakarta berwibawa.
8. Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bahasa yang seru, asyik, keren, gaul, dan
identik dengan anak muda.
9. Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta lebih mengandung kesan ilmiah
dibandingkan Bahasa Jawa dialek Surabaya.
10. Bahasa Indonesia lebih mengandung kesan ilmiah dibandingkan Bahasa Jawa.
11. Bahasa Jawa dialek Surabaya mengandung kesan tidak rumit, tidak kaku, blak-
blakan, jujur, terbuka, dan lebih berani dibandingkan Bahasa Jawa dialek Sala-
Yogyakarta.
12. Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah dialek yang paling benar dan paling
lengkap dibandingkan dialek-dialek yang lain.
13. Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bagian keragaman budaya bangsa yang harus
dilestarikan.
14. Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bahasa yang egaliter.
Di antara keempat belas kepercayaan di atas, ditinjau dari variabel sentralitas, terdapat
empat kepercayaan yang paling sentral, yaitu (berturut-turut) kepercayaan ketiga, pertama,
ketiga belas dan kelima. Empat kepercayaan tersebut telah teruji lebih berpengaruh terhadap
kepercayan-kepercayaan yang lain, lebih tahan lama, dan lebih tahan terhadap perubahan.
Apabila salah satu dari empat kepercayaan tersebut berubah, dampaknya terhadap
kepercayan-kepercayaan yang lain akan sangat besar.
Berdasarkan variabel perspektif waktu diketahui bahwa kepercayaan yang
berperspektif waktu luas adalah kepercayaan keempat dan kesepuluh. Kedua kepercayaan
tersebut dapat disebut luas karena mengacu pada keadaan di masa lalu, masa kini, dan
kemungkinan di masa depan. Adapun kepercayaan Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar dan
tidak sopan sedangkan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta halus dan sopan merupakan
kepercayaan yang sempit karena hanya mengacu pada keadaan di masa lalu. Hal ini juga
berlaku untuk kepercayaan pertama, kedua, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan,
kesebelas, kedua belas, ketiga belas, dan keempat belas. Demikian pula kepercayaan Bahasa
Jawa dialek Surabaya adalah identitas yang harus dibanggakan dan Bahasa Jawa dialek
Surabaya adalah bagian keragaman budaya bangsa yang harus dilestarikan merupakan
kepercayaan yang belum dapat disebut luas karena hanya mengacu pada keadaan di masa kini
dan kemungkinan keadaan di masa depan.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Ditinjau dari variabel kekhususan atau keumuman (specifity or generality), dapat
diketahui bahwa kepercayaan Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar dan tidak sopan
sedangkan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta halus dan sopan dapat digunakan untuk
memprediksi adanya sembilan kepercayaan lain, yaitu:
• Bahasa Jawa dialek Surabaya tidak ilmiah sedangkan Bahasa Jawa dialek Sala-
Yogyakarta ilmiah
• Kepercayaan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah bahasa formal
sedangkan Bahasa Jawa dialek Surabaya nonformal.
• Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta tidak mengandung rasa humor sedangkan
Bahasa Jawa dialek Surabaya mengandung rasa humor.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bahasa yang seru, asyik, keren, gaul, dan
identik dengan anak muda.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bahasa yang egaliter
• Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah dialek yang paling benar dan paling
lengkap dibandingkan dialek-dialek yang lain.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya lebih mengandung kesan akrab dibandingkan
Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya mengandung kesan tidak rumit, tidak kaku, blak-
blakan, jujur, terbuka, dan lebih berani dibandingkan Bahasa Jawa dialek Sala-
Yogyakarta.
• Bahasa Indonesia lebih halus dan sopan dibandingkan Bahasa Jawa Dialek
Surabaya.
Selain dapat digunakan untuk memprediksi adanya ekspresi verbal atas sembilan
kepercayaan di atas, kepercayaan ini juga dapat digunakan untuk memprediksi adanya
ekspresi-ekspresi verbal dan nonverbal berikut ini.
• Campur kode yang dilakukan oleh masyarakat Kota Surabaya dengan
menggunakan unsur-unsur dari Bahasa Indonesia saat interaksi antara penutur
dan mitra tutur kurang akrab, atau akrab tetapi dalam hubungan berpacaran.
• Penggunaan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta dalam buku ajar Bahasa Jawa
yang disusun oleh penerbit asal Surabaya yang diedarkan pada sekolah-sekolah
di Kota Surabaya.
• Penggunaan Bahasa Jawa dialek Surabaya pada spanduk layanan masyarakat
yang dikeluarkan oleh Polresta Surabaya. Penggunaan Bahasa Jawa dialek
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Surabaya ini berhubungan dengan kepercayaan bahwa Bahasa Jawa dialek
Surabaya mengandung kesan akrab, tidak rumit, tidak kaku, blak-blakan, jujur,
terbuka, dan lebih berani dibandingkan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.
Adapun kepercayaan Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bagian keragaman
budaya bangsa yang harus dilestarikan dapat digunakan untuk memprediksi adanya
kepercayaan-kepercayaan berikut ini.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah identitas yang harus dibanggakan.
• Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah dialek yang paling benar dan paling
lengkap dibandingkan dialek-dialek yang lain.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar dan tidak sopan sedangkan Bahasa Jawa
dialek Sala-Yogyakarta halus dan sopan.
Ekspresi verbal kepercayaan Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah identitas yang
harus dibanggakan juga merupakan kepercayaan yang dapat digunakan untuk memprediksi
ekspresi-ekspresi nonverbal berikut ini.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya digunakan oleh akun-akun media sosial sebagai
bahan posting.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya digunakan oleh para mahasiswa Universitas
Indonesia asal Surabaya sebagai nama paguyuban mereka.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya digunakan oleh toko-toko kaos khas Surabaya
sebagai bahan desain.
• Bahasa Jawa dialek Surabaya diperkenalkan di situs resmi pariwisata Kota
Surabaya.
Berdasarkan variabel keluasan atau kesempitan, sikap masyarakat Kota Surabaya.
terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta dapat disebut
luas karena mencakup berbagai segi penggunaan bahasa berikut ini.
• Bahasa untuk situasi resmi atau formal.
• Bahasa untuk situasi nonformal.
• Bahasa untuk pendidikan dan konteks ilmiah.
• Bahasa untuk berkomunikasi dengan lawan bicara yang belum akrab.
• Bahasa untuk berkomunikasi dengan lawan bicara yang telah akrab.
• Bahasa untuk konteks komedi.
• Bahasa untuk identitas daerah.
• Bahasa sebagai bagian dari keragaman budaya.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Berdasarkan teori Hoed mengenai fungsi bahasa, diketahui bahwa menurut para
responden, Bahasa Jawa dialek Surabaya memiliki fungsi yang lebih vital sebagai bahasa
vernakular dan referensi kultural. Fungsi Bahasa Jawa dialek Surabaya sebagai bahasa
vernakular (bahasa untuk berkomunikasi dalam satu komunitas) terlihat dari adanya
kepercayaan mengenai fungsi dialek ini sebagai sarana interaksi dengan lawan bicara yang
telah akrab. Selain itu, fungsi ini juga terlihat dari adanya kepercayaan bahwa Bahasa Jawa
dialek Surabaya kurang cocok digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat dari daerah
lain.
Fungsi referensi kultural Bahasa Jawa dialek Surabaya terlihat dari digunakannya
dialek ini sebagai identitas daerah oleh masyarakat Kota Surabaya. Fungsi ini terlihat dalam
berbagai ranah, yaitu ranah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Fungsi referensi kultural pada
ranah sosial terlihat dari komunitas mahasiswa asal Surabaya di Universitas Indonesia,
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dan Institut Teknologi Bandung yang menggunakan
Bahasa Jawa dialek Surabaya sebagai ciri khas mereka. Fungsi referensi kultural pada ranah
ekonomi terlihat dari digunakannya Bahasa Jawa dialek Surabaya sebagai bahan desain kaos
khas Kota Surabaya dan diperkenalkannya dialek ini pada situs resmi pariwisata Kota
Surabaya. Pada ranah pendidikan, fungsi referensi kultural terlihat dari adanya inisiatif dari
para seniman dan pemerhati budaya Kota Surabaya untuk membuat kurikulum pendidikan
Bahasa Jawa yang memuat Bahasa Jawa dialek Surabaya. Selain itu, inisiatif mahasiswa
Universitas Negeri Surabaya untuk membantu JTV menyusun kamus Bahasa Jawa dialek
Surabaya juga menunjukkan fungsi referensi kultural dialek ini pada ranah pendidikan.
Bahasa vehikular adalah bahasa yang digunakan sebagai wahana komunikasi di
bidang administrasi, hukum, dan/atau politik, atau komunikasi antar kelompok yang berbeda
bahasa (Hoed, 2011: 2). Para responden sebenarnya ingin menempatkan Bahasa Jawa dialek
Sala-Yogyakarta sebagai bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dari daerah
lain, namun terhalang oleh ketidakmampuan mereka menggunakan dialek ini. Oleh karena itu,
fungsi bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dari daerah lain akhirnya
ditempati oleh Bahasa Indonesia. Demikian pula Bahasa Indonesia digunakan untuk
berkomunikasi dengan masyarakat dari etnis selain Jawa. Pada bidang administrasi, hukum,
dan politik pun Bahasa Indonesia sangat vital fungsinya karena telah diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia.
Adapun fungsi mitis bahasa pada masyarakat Kota Surabaya diisi oleh Bahasa Jawa
dialek Surabaya dan Bahasa Indonesia. Menurut penuturan responden 6, khotbah Jumat di
daerahnya menggunakan Bahasa Jawa dialek Surabaya. Hal ini menunjukkan Bahasa Jawa
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
dialek Surabaya memiliki fungsi mitis pada masyarakat Kota Surabaya. Pengamatan peneliti
terhadap khotbah Jumat pada sebuah masjid di daerah Lidah Wetan, Kota Surabaya
menunjukkan fungsi mitis ini juga dimiliki oleh Bahasa Indonesia.
Selain diketahui sikap masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek
Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta, berdasarkan penelitian ini juga diketahui
bahwa faktor kesadaran daerah dan kesadaran bahasa memiliki pengaruh yang lebih besar
terhadap sikap responden dibandingkan faktor pendidikan dan usia. Semakin responden
memiliki kesadaran kedaerahan dan kebahasaan, semakin positif sikapnya terhadap “bahasa”
daerahnya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dengan teori Rokeach (1972), diketahui bahwa posisi
Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta dan Bahasa Jawa dialek Surabaya pada sistem tata
kepercayaan para responden cukup seimbang. Kedua dialek tersebut dipandang memiliki
fungsi yang berbeda oleh para responden. Selanjutnya, hasil analisis dengan teori Hoed
(2011) mengenai fungsi bahasa menunjukkan bahwa pada masyarakat Kota Surabaya, fungsi
Bahasa Jawa dialek Surabaya lebih vital dibandingkan fungsi Bahasa Jawa dialek Sala-
Yogyakarta. Hal ini menunjukkan daya hidup Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa
Indonesia di Kota Surabaya lebih tinggi dibandingkan daya hidup Bahasa Jawa dialek Sala-
Yogyakarta.
Daftar Referensi
Buku
Alwasilah, A. Chaedar. 1990 . Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
________. 2006 . Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Arps, Bernard. 2010. “Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media
Elektrik di Dalamnya”. Dalam Moriyama & Budiman (Ed.). Geliat Bahasa Selaras
Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru (Hlm. 225-248).
Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo
University of Foreign Studies.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Edwards, Allen L. 1957. Techniques of Attitude Scale Construction. New York: Appleton-
Century-Crofts, INC.
Kridalaksana, Harimurti. 1974. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah.
Kushartanti & Untung Yuwono. 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Likert, Rensis. 1932. “A Technique for The Measurement of Attitudes”. Dalam Gene F.
Summers (Ed.). Attitude Measurement (Hlm. 149-158). London: Kershaw Publishing
Company Ltd.
Moriyama, Mikihiro dan Manneke Budiman (Ed.). 2010. Geliat Bahasa Selaras Zaman:
Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru. Tokyo: Research Institute
for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies.
Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah.
Jakarta: Kencana.
Nurhajarini, Dwi Ratna, Tugas Triwahyono, dan Restu Gunawan. 1999. Sejarah Kerajaan
Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Osgood, Charles E., George J. Suci, dan Percy H. Tannenbaum. “Attitude Measurement”.
Dalam Gene F. Summers (Ed.). Attitude Measurement (Hlm. 227-234). London:
Kershaw Publishing Company Ltd.
Quinn, George. 2010. “Kesempatan dalam Kesempitan? Bahasa dan Sastra Jawa Sepuluh
Tahun Pasca Ambruknya Orde Baru”. Dalam Moriyama & Budiman (Ed.). Geliat
Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru
(Hlm. 207-224). Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and
Africa, Tokyo University of Foreign Studies.
Rokeach, Milton. 1972. Beliefs, Attitudes and Values: A Theory of Organization and Change.
San Fransisco: Jossey-Bass Inc. Publishers.
Shiohara, Asako. 2010. “Penutur Bahasa Minoritas di Indonesia Timur: Mempertanyakan
Keuniversalan Konsep Multibahasa”. Dalam Moriyama & Budiman (Ed.). Geliat
Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru
(Hlm. 168-206). Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and
Africa, Tokyo University of Foreign Studies.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014
Soetoko, dkk. 1984. Geografi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Surabaya. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Sulistyo-Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedhatama Widya Sastra.
Summers, Gene F. (Ed.). 1977. Attitude Measurement. London: Kershaw Publishing
Company Ltd.
Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Telaah Eksploratif atas Sekelompok Mahasiswa di
Jakarta. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Laporan Penelitian
Hoed, Benny H. 2011. “Ekologi Bahasa, Revitalisasi Bahasa, Identitas dan Tantangan Global
dalam Masyarakat Indonesia yang Multikultur”. Kertas kerja yang disampaikan pada
Seminar Pengembangan dan Perlindungan Bahasa-Kebudayaan Etnik Minoritas untuk
Penguatan Bangsa, PMB-LIPI, Jakarta, 15 Desember 2011.
Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014