shalat tarawih (bagian 1 3)

12
1 UNIVERSITY RESIDENCE - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA KARASIBAZHU (Kajian Rabu Siang Ba’da Zhuhur) Memahami Tuntunan Shalat Tarawih Dalam Hadits-hadits Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam Shalat Tarawih adalah qiyâmul lail yang dilaksananakan pada bulan Ramadhan, yang sering juga disebut dengan Qiyâmu Ramadhân, yang batass waktunya adalah antara setelah shalat ‘Isya’ sampai menjelang terbit fajar (sebelum datang waktu subuh). Sebagaimana hadits berikut, “Dari ‘Aisyah r.a. – isteri Nabi saw -- dia berkata Rasulullah saw selalu mengerjakan shalat (malam) pada waktu antara selesai shalat ‘Isya, yang disebut orang “‘al - atamah” hingga fajar, sebanyak sebelas rakaat. Beliau melakukan sebelas rakaat, setiap dua rakaat beliau salam, dan beliau juga melakukan witir satu rakaat. Jika muadzin shalat fajar telah diam, dan fajar telah jelas, sementara muadzin telah menemui beliau, maka beliau melakukan dua kali raka'at ringan, kemudian beliau berbaring diatas lambung sebelah kanan hingga datang muadzin untuk iqamat. (HR Muslim dari ‘Aisyah r.a., Shahîh Muslim, juz II, hal. 165, hadits no. 1752) Shalat Tarawih atau Qiyâmu Ramadhân di luar bulan Ramadhan umumnya disebut dengan shalat lail atau shalat tahajud, qiyâmul lail dan (juga) disebut dengan ‘witir’, dengan jumlah rakaat yang beragam. Sedang di lingkungan Muhammadiyah, Shalat Tarawih itu dilaksanakan dengan jumlah rakaat 11 (rakaat), yang biasa dilaksanakan dengan formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-3 atau (juga) 2-2-2-2-2-1. Formasi pertama didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dari ‘Aisyah r.a.; formasi kedua didasarkan pada hadits riwayat Bukhari-Muslim dan Ash-hâbus Sunan dari Abdullah bin Umar dan formasi ketiga didasarkan pada hadits Riwayat Muslim dari Zaid bin Khalid al-Juhani. Semuanya bernilai shahih, sehingga semuanya bisa diamalkan.

Upload: muhsin-hariyanto

Post on 02-Aug-2015

78 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

UNIVERSITY RESIDENCE - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

KARASIBAZHU (Kajian Rabu Siang Ba’da Zhuhur)

Memahami Tuntunan Shalat Tarawih

Dalam Hadits-hadits Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

Shalat Tarawih adalah qiyâmul lail yang dilaksananakan pada bulan

Ramadhan, yang sering juga disebut dengan Qiyâmu Ramadhân, yang batass

waktunya adalah antara setelah shalat ‘Isya’ sampai menjelang terbit fajar (sebelum datang waktu subuh). Sebagaimana hadits berikut,

“Dari ‘Aisyah r.a. – isteri Nabi saw -- dia berkata Rasulullah saw selalu mengerjakan

shalat (malam) pada waktu antara selesai shalat ‘Isya, yang disebut orang “‘al-

atamah” hingga fajar, sebanyak sebelas rakaat. Beliau melakukan sebelas rakaat,

setiap dua rakaat beliau salam, dan beliau juga melakukan witir satu rakaat. Jika

muadzin shalat fajar telah diam, dan fajar telah jelas, sementara muadzin telah

menemui beliau, maka beliau melakukan dua kali raka'at ringan, kemudian beliau

berbaring diatas lambung sebelah kanan hingga datang muadzin untuk iqamat.” (HR

Muslim dari ‘Aisyah r.a., Shahîh Muslim, juz II, hal. 165, hadits no. 1752)

Shalat Tarawih atau Qiyâmu Ramadhân di luar bulan Ramadhan

umumnya disebut dengan shalat lail atau shalat tahajud, qiyâmul lail dan (juga)

disebut dengan ‘witir’, dengan jumlah rakaat yang beragam. Sedang di

lingkungan Muhammadiyah, Shalat Tarawih itu dilaksanakan dengan jumlah rakaat 11 (rakaat), yang biasa dilaksanakan dengan formasi 4-4-3 atau

2-2-2-2-3 atau (juga) 2-2-2-2-2-1. Formasi pertama didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dari ‘Aisyah r.a.; formasi kedua didasarkan pada hadits

riwayat Bukhari-Muslim dan Ash-hâbus Sunan dari Abdullah bin Umar dan

formasi ketiga didasarkan pada hadits Riwayat Muslim dari Zaid bin Khalid

al-Juhani. Semuanya bernilai shahih, sehingga semuanya bisa diamalkan.

2

Formasi pertama, 4-4-3, didasarkan pada hadits Riwayat Bukhari-Muslim dari ‘Aisyah r.a.,

“Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat sunnah baik

ketika Ramadhan atau di luar ramadhan tak lebih dari sebelas rakaat, beliau

mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya

shalat beliau, setelah itu beliau mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah

menanyakan kualitas dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat tiga

rakaat." Aisyah berkata; lalu aku bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah anda tidur

sebelum witir? Beliau menjawab: "Wahai 'Aisyah, kedua mataku memang tidur,

namun hatiku tidak.” (HR al-Bukhari dari ‘Aisyah r.a., Shahîh al-Bukhâriy, juz

XI, hal. 404, hadist no. 3304 dan Muslim dari ‘Aisyah r.a., Shahîh Muslim, II,

166, hadits no. 1754)

Formasi kedua didasarkan pada riwayat Bukhari-Muslim dan Ash-

hâbus Sunan dari Abdullah bin Umar r.a..

“Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam shalat malam dua raka'at dua raka'at, dan

witir dengan satu raka'at.” (HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 31,

hadits no. 995; Muslim, Shahîh Muslim, juz II, hal. 174, hadits no. 1797; Ibnu

Majah dari Abdullah bin Umar, Sunan ibn Mâjah, juz II, hal. 150, hadits no.

1174; An-Nasâi, Sunan an-Nasâi, juz I, hal. 248, hadits no. 437; dan At-

Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz II, hal. 324, hadits no. 461)

Formasi ketiga didasarkan pada hadits Riwayat Muslim dari Zaid bin Khalid al-Juhani,

3

“Dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa ia berkata; Saya benar-benar akan

memperhatikan shalat Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam pada malam ini. (Maka saya melihat) beliau shalat dua raka'at ringan. Kemudian beliau shalat dua raka'at yang sangat panjang. Kemudian beliau shalat dua raka'at lagi selain dua

raka'at sebelumnya. Kemudian beliau shalat dua raka'at lagi selain dua raka'at sebelumnya. Kemudian beliau shalat lagi selain dua raka'at sebelumnya. Kemudian beliau shalat dua raka'at lagi selain dua raka'at sebelumnya. Dan sesudah itu beliau

shalat witir, hingga bilangan semua raka'atnya adalah tiga belas raka'at.” (HR

Muslim Dari Zaid bin Khalid al-Juhani, Shahîh Muslim, juz II, hal. 183, hadits

no. 1840)

Adapun formasi-formasi lain dari Qiyâmul Lail bisa kita temukan

dasarnya dari hadits-hadits berikut.

1. Formasi 8-1-2

Formasi ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim dari Abu Salamah,

4

“Dari Abu Salamah dia berkata: “Saya bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat

(malam) Rasulullah saw. ‘Aisyah pun menjawab, (bahwa) Rasulullah saw menunaikan shalat 13 rakaat. Beliau tunaikan shalat delapan rakaat, kemudian

menunaikan witir satu rakaat, lalu beliau shalat 2 rakaat sambil duduk, saat hendak ruku’ beliau berdiri, kemudian ruku’. Setelah itu, bekliau tunaikan shalkat (qabla

shubuh) dua rakaat antara adzan dan iqamah sebelum shalat shubuh.” (HR Muslim

dari Abu Salam, Shahîh Muslim, juz II, hal. 166, hadits no. 1758)

2. Formasi 8-2-1

Formasi ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud dari Qatadah.

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada

kami Yahya bin Sa'id dari Sa'id dari Qatadah dengan sanad seperti hadits di atas, dia

berkata; "Beliau mengerjakan shalat delapan raka'at, dan tidak duduk kecuali di

raka'at ke delapan, kemudian beliau duduk dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla,

lalu berdo'a kemudian beliau mengucapkan salam yang dapat kami dengar. Setelah

itu beliau shalat dua raka'at dalam keadaan duduk, setelah salam beliau mengerjakan

satu raka'at lagi, hingga jumlahnya menjadi sebelas raka'at. wahai anakku, ketika

usia beliau telah lanjut dan telah tua, beliau mengerjakan witir tujuh raka'at, dan

shalat dua raka'at dalam keadaan duduk setelah beliau memberi salam." …dengan

maksud yang sama (dengan hadits di atas) sampai pada kalimat…"Musyafahah

(berbicara langsung)." (HR Abu Dawud dari Qatadah, Sunan Abî Dâwud, juz II,

hal. 41, hadits no. 1343)

3. Formasi 9-2

5

Formasi ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim dari Sa’ad bin Hisyam.

“Dari Sa'ad bin Hisyam dia berkata:"Wahai Ummul mukminin, beritahukanlah

kepadaku tentang witir Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam! Jawabnya; "Kami

dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu bersiwak dan berwudhu` dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan

berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat setelah

salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat …” (HR Muslim dari Sa’d bin Hisyam,

Shahîh Muslim, juz II, hal. 168, hadits no. 1773)

Dan (juga) hadits Riwayat Ahmad dari Abu Salamah.

“Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Muhammad bin 'Amru berkata; Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dia berkata; Saya bertanya kepada Aisyah;

6

"Bagaimana shalat Rasulullah Shallallâhu'alaihiwasallam sesudah 'isya' yang terakhir?" ia menjawab; "Sembilan beliau berdiri, dua duduk, dan dua setelah dua

adzan." (HR Ahmad dari Abu Salamah, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz VI,

hal. 55, hadits no. 24320)

4. Formasi 10-1

Formasi ini didasarkan pada hadits riwayat An-Nasâi dari ‘Aisyah.

“Dari ‘Aisyah r.a. dia berkata: “Rasulullah saw menunaikan shalat malam sepuluh

rakaat, kemudian menunaikan witir satu rakaat, lalu beliau menunaikan shalat sunag

qabla shubuh dua rakaat.” (HR an-Nasâi, Sunan an-Nasâi, juz I, hal. 243,

hadits no. 421)

5. Formasi 4-5-2 Formasi ini didasarkan pada hadits riwayat An-Nasâi dari Abdullah

bin Abbas.

“Dari Abdullah bin Abbas dia berkata: “Aku bermalam di rumah (bibiku)

Maimunah, kemudian Rasulullah saw shalat ‘Isya’, lalu dating untuk menunaikan shalat malam, lalu beliau tunaikan empat rakaat, lalu tidur, kemudian beliau bangun dan berwudhu. Kata Abdullah bin Abbas: “Aku tidak mengingat wudhunya, kemudian beliau berdiri untuk menunaikan shalat malam, aku pun ikut berdiri di

samping kirinya, lalu beliau menempatkanku di samping kanannya, lalu beliau shalat lima rakaat, lalu dua rakaat, lalu belaiu tidur, kemudian (bangun lagi untuk) shalat dua rakaat qabla shubuh, lalu beliau keluar rumah menuju masjid untukm shalat

shubuh.” (HR an-Nasâi dari Abdullah bin Abbas, Sunan an-Nasâi, juz I, hal.

239, hadits no. 406)

7

6. Formasi 2-2-2-5

Formasi ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim dari ‘Aisyah r.a.

“Dari ‘Aisyah r.a. dia berkata: “Adalah Rasulullah saw menunaikan shalat malam 13 rakaat. Beliau menunaikan witir 5 rakaat yang tidak duduk kecuali di akhir

rakatnya.” (HR Muslim dari ‘Aisyah r.a., Shahîh Muslim, juz II, hal. 166,

hadits no. 1754)

7. Formasi 8-3 Formasi ini didasarkan pada hadits riwayat an-Nasâi dari Abu

Salamah.

“Dari Abu Salamah, bahwa Ummu Salamah berkata: “Rasulullah saw menunaikan

shalat malam 13 rakaat (dengan formasi) delapan rakaat, kemudian witir 3 rakaat

dan menunaikan shalat dua rakaat sebelum shubuh.” (HR an-Nasâi dari Abu

Salamah, Sunan an-Nasâi, juz I, hal 240, hadits no. 410)

8. Formasi 2-7-2

Formasi ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud dari ‘Aisyah r.a..

8

“Dari ‘Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw menunaikan shalat malam 13 rakaat,

beliau melakukan witir 7 rakaat atau sebagaimana dikatakan ‘Aisyah r.a. kemudian Rasulullah saw menunaikan dua rakatmsambil duduk dan dua rakaat sunat sebelum

shubuh di antara adzab dan iqamah.” (HR Abu Dawud dari ‘Aisyah r.a., Sunan

Abî Dâwud, II, 43, hadits no. 1350)

Shalat Tarawih Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia

pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah

mengatakan,

“Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat sunnah baik ketika

Ramadhan atau diluar ramadhan tak lebih dari sebelas rakaat, beliau mengerjakan

empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya shalat beliau,

setelah itu beliau mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas

dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat tiga rakaat." Aisyah berkata;

lalu aku bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir? Beliau

menjawab: "Wahai 'Aisyah, kedua mataku memang tidur, namun hatiku tidak.”

(HR Muslim dari ‘Aisyah r.a., Shahîh Muslim, II, 166, hadits no. 1754)

‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ mengabarkan,

9

»

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan

shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallâhu

‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du,

sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak

mampu.”(HR al-Bukhari dari ‘Aisyah r.a., Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal 13,

hadits no. 924)

As- Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan

juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan

Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi

shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah

raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.” (Lihat: Al-

Mausû’ah al-Fiqhiyyah, juz II, hal. 9635)

10

Ibnu Hajar Al-Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam melaksanakan

shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallâhu

‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah

hadits yang sangat-sangat lemah.”(ibid.)

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallâhu

‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad

hadits itu adalah dha’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi

tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang

lainnya.” (Fathul Bâri, juz IV, hal. 254)

Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan

Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih

dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa

sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.

Juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

“Shalat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at, yakni

padad malam hari.” (HR. Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 64, hadits no.

1138 dan Muslim, Shahîh Muslim, juz II, hal. 183, hadits no. 1839). Sebagian

ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallâhu

‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua

raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai

pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri. (Fathul Bari, juz III, hal. 21)

Di antara dalilnya adalah ‘Aisyah mengatakan,

.

11

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rak’at yang

ringan.”[HR Muslim dari ‘Aisyah r.a., Shahîh Muslim, juz II, hal. 184, hadits

no. 1842) Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam,

dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih dahulu.

Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?

Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallâhu

‘alaihi wa sallam.

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak

memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nâfilah

(yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh

mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan

banyak.”(At-Tamhîd, juz XXI, hal. 70)

Bilangan shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi

shallallâhu ‘alaihi wa sallam bukanlah merupakan pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa

pendapat.

Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Inilah pendapat Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Shalâtut Tarâwîh.

Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk

witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats-Tsauri, Al-Mubârak,

Asy-Syafi’i, Ash-haâbur Ra’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan

sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para

sahabat.

Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari

riwayat Daud bin Qais, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.

Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum

termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al- Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan

dengan jumlah raka’at yang tak terhitung sebagaimana dikatakan oleh

‘Abdullah, anaknya. (Lihat: Kasyaful Qanâ’ ‘an Matnil Iqnâ’, juz III, hal. 267

dan Shahîh Fiqh Sunnah, juz I, 418-419)

12

Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas

boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah

melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka

lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktikkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi

seperti itu, demikianlah yang terbaik.

Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-

raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at

itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara

jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga

diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam

di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka

sungguh dia telah keliru.” (Majmû’ al-Fatâwâ, juz XXII, hal. 272)

Dari penjelasan di atas, bisa kami katakana: “hendaknya setiap muslim bersikap ‘arif (bijak) dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh

tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at, karena mungkin

dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah. Karena shalat tarawih yang 11 rakaat pun sudah mencukupi bilangan yang seharusnya

dilaksanakan, tanpa harus menambahnya dengan rakaat yang lain yang bisa menggenapi bilangan 23 rakaat.”

Wallâhu a’lamu bish-shawâb.