seri dokumentasi sastra antologi cerpen joglo 15 botol
TRANSCRIPT
1
Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15
Botol-botol Berisi Senja
2
Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15
Botol-botol Berisi Senja
All Rights Reserved
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Edisi
Cetakan Pertama, Juni 2014
Illustrasi Sampul
eL torros
Kurator/Penyusun
Hikozza
Wijang J. Riyanto, dkk
Tata Letak
Hikozza
Penyunting
Wijang J. Riyanto
Percetakan
eL torros
ISBN 978-979-1032-85-8
Penerbit
Taman Budaya Jawa Tengah
2014
3
Pengantar
Hampir dua dasawarsa terakhir ini, khususnya
semenjak bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan
tunbangnya rezim otoritarian Orde Baru di tahun 1998, euphoria
kebebasan seolah tak terbendung lagi dan telah melanda ke
segala sisi kehidupan bangsa kita, bahkan juga di kehidupan
dunia kemenulisan sastra Indonesia mutakhir.
Hiruk pikuk euphoria kebebasan di dalam kehidupan dunia
kemenulisan sastra Indonesia mutakhir dapat dilihat dengan
tumbuh suburnya berbagai komunitas sastra yang ada di
berbagai daerah, yang merupakan “gerbong-gerbong literasi”
yang mengangkut sejumlah penukis-penulis sastra potensial,
termasuk para penulis cerita pendek (cerpenis).
Karya-karya kreatif para cerpenis banyak dijumpai di
berbagai media massa cetak dan jejaring social media yang
sedang mewabah dewasa ini. Bahkan, dalam berbagai buletin
komunitas sastra pun dapat kita temukan karya-karya para
cerpenis. Demikian juga, penerbitan buku kumpulan cerpen, tak
kalah maraknya, di mana di dalamnya terhimpun karya-karya
kreatif mereka. Hal ini menunjukkan betapa kehidupan dunia
kemenulisan sastra, khususnya penulisan cerpen memiliki ranah
eksistensinya sendiri.
Namun demikian, kenyataan yang tak dapat terelakkan,
masih banyak potensi literasi di ranah penulisan cerpen yang
sepenuhnya belum tergali secara optimal akibat minimnya
4
aksesibilitas bagi para cerpenis di dalam menyosialisasikan
karya-karya kreatif mereka. Tentu saja tertengarai, bahwa masih
banyak karya-karya para cerpenis yang hanya menghuni ruang-
ruang sunyi berupa tumpukan-tumpukan manuskrip di kamar-
kamar pribadi. Bahkan, tak jarang, karya-karya mereka berujung
di tong sampah dan atau lembaran-lembaran kertas medianya
menjadi pembungkus kacang dan makanan kecil lainnya yang
tiada pernah lagi dipedulikan orang.
Mengingat hal itu dan didasari atas betapa pentingnya
upaya pendokumentasian, maka divisi sastra Taman Budaya
Jawa Tengah mencoba berusaha memberikan ruang alternatif
bagi sosialisasi karya-karya kreatif literer para cerpenis dengan
menerbitkan buku antologi cerpen berlabel Joglo, yang
merupakan sebuah seri dokumentasi sastra.
Pada tahun 2014 ini, penerbitan antologi cerpen Joglo yang
merupakan sebuah seri dokumentasi sastra telah memasuki edisi
ke-15. Adapun tajuk yang disematkan berjudul “Botol-botol
Berisi Senja” (meminjam judul cerpen karya Mawaidi D. Mas)
yang menghimpun karya-karya dari dua belas cerpenis, yaitu
Ana Sue, Astuti Parengkuh, Ayu Sundari, Bunga Hening
Maulidina, Danang Febriansyah, Gatot Prakosa, Hardi
Rahman, Kalis Mardi Asih, Mawaidi D. Mas, Muhammad
Izzat Abidi, Saifu Ali, dan Yazid Muttaqin.
Tentu saja, kehadiran para cerpenis dengan karya-
karyanya yang terhimpun di dalam terbitan antologi kali ini
diharapkan mampu merangsang kerja kreatif mereka dan para
penulis lainnya. Selain itu, kehadiran antologi ini semoga mampu
memperkaya khazanah pustaka Sastra Indonesia mutakhir dan
memberikan manfaat bagi para pembaca.
Salam, Wijang J. Riyanto
5
Sinerai Isi
Pengantar | 3 |
Sinerai Isi | 5 |
Alice (Not) In A Wonderland | Ana Sue | 6 |
Kisah Tentang Kau dan Frangipani | Astuti Parengkuh | 18 |
Sari Awan | Ayu Sundari | 30 |
Daun Yang Berbicara | Bunga Hening Maulidina | 38 |
Penggali Pasir | Danang Febriansyah | 45 |
Gajahoying | Gatot Prakosa | 50 |
Kota Cahaya | Hardi Rahman | 56 |
Risalah Cinta Sahara | Kalis Mardi Asih | 65 |
Botol-botol Berisi Senja | Mawaidi D. Mas | 73 |
Sepasang Jam Tua yang Merindukan Keabadian | Muhammad
Izzat Abidi | 77 |
Sebatang Pohon Jati yang Menangis Setiap Malam | Saifu Ali |
85 |
Jimat Lek Darkum | Yazid Muttaqin | 93 |
6
Alice (Not) In A Wonderland Cerpen karya Ana Sue
Apa yang akan terjadi kala pagi menyambut tak ada lagi
kicauan burung yang bersenandung untuk menyapa?
Apa yang akan terjadi jika sebuah pulau tak bertuan,
menjadi kering—hampa—tak berarti?
Apa yang akan terjadi jika yang kita miliki hanyalah
sebuah mimpi buruk nyata yang membuat mata kita sulit
terpejam?
Akankah kau berlari saat tak ada seorang pun yang
menyelamatkanmu dari suara-suara kematian?
***
Pagi itu, kau bangun terlambat. Kau menyadari sesuatu—
tak ada suara Mama—membangunkanmu dengan nada sopran.
Sedikit lega pikirmu, tak perlu merasa berdebar-debar
berlebihan karena terkena ocehan-ocehan yang terkadang
membuatmu jengkel. Perlahan kau bangkit dari tempat tidurmu,
menuju sebuah gantungan pakaian, dan mengambil handuk. Kau
bersiap-siap untuk mandi.
Ketika kau hendak menginjakkan kaki ke dalam kamar
mandi, jari-jemari kakimu menyentuh sesuatu yang basah dan
sedikit lengket, kau angkat telapak kakimu dan memerhatikan
7
apa yang baru saja kau injak. Alismu mengernyit, sesaat
jantungmu berpacu—memacu adrenalin—di dalam darahmu.
“Darah?! Apa yang terjadi?!”
Kau hempaskan handuk yang tersampir di bahumu,
segera kau menyentuh kenop pintu—secepatnya menghambur
keluar dari dalam kamar. Kau menuruni tangga sesegera
mungkin bahkan melompati sekaligus dua anak tangga tanpa
berhati-hati, bisa saja kau terjatuh karena kecerobohanmu.
Kau berjalan menuju ruang tamu, tak ada siapapun!
Mama, Papa, bahkan adik kecilmu yang menyebalkan—
selalu merasa paling benar—suka mencari perhatian berlebihan,
yang sempat ingin kau bunuh dalam pikiranmu, tak ada di sana.
Ke mana mereka?
Apa yang kaurasakan?
Kesepian?
Ketakutan? Atau... kau merasa bahagia, karena tak ada
lagi seorang pun yang membuat hari-harimu terasa seperti di
neraka. Kauanggap, mereka pergi tanpa mengajakmu. Rasa
jengkel, kesal, sedih, dan dongkol—berharap—mereka mati
muncul di dalam pikiranmu. Kau selalu merasa dikucilkan, tak
dianggap keberadaanmu.
Mau bermain denganku?
Lamat-lamat kau mendengar suara yang entah darimana
asalnya, mengajakmu bermain. Kau mengedarkan pandangan ke
segala arah, tapi tak kautemukan apapun di sana. Darimana, asal
suara itu? Pikirmu. Bingung.
“Si-siapa kau? Di mana kau?!”
Bermainlah denganku. Kita akan menuju sebuah tempat,
yang tak seorang pun pernah ke sana.
Kembali kau mendengar suara yang tak bertuan. Kau
mundur beberapa langkah, menajamkan pendengaran dan
8
mengawasi sekelilingmu dengan cermat, siapa tahu ada yang
sedang bersembunyi di dekatmu.
Kau mencari dan terus mencari asal suara tersebut. Kau
menyisir tiap ruangan; menuju ruang tengah, tapi tak ada
seorang pun di sana, begitu juga, di dapur, di teras belakang, di
manapun! Kau merasa lelah, napasmu tersengal-sengal,
sedangkan suara itu terus mengusikmu, dengan ritme yang
semakin lama semakin membuatmu merasa takut. Kau
memutuskan untuk menunggu Mama, Papa, dan adikmu di teras
depan rumah, dan melupakan perihal darah yang kautemukan di
depan kamar mandi tadi.
Kau duduk di pinggir tangga dekat teras rumah dan
mendekap tubuhmu yang mulai bergetar merasakan takut.
Alice...!
Kembali kau mendengar suara yang entah darimana
asalnya, menyerukan namamu. Kau terkesiap, mencari asal
suara, lagi-lagi tak ada seorang pun di sana.
Tiba-tiba kau merasakan, kerah bajumu tertarik oleh
sesuatu. Kau menoleh ke belakang, namun tak mendapati siapa-
siapa. Kembali kau beranjak berdiri dan berhati-hati melangkah
ke dalam rumah. Tiba-tiba kau merasa, seisi rumah beserta
ruangan berguncang hebat dan...
“Ah... silau! Di mana aku?” Kau membuka dan
memicingkan kedua matamu, kau menyadari sesuatu jika kini
kau berada di tempat yang sangat asing. Seluruh persendian di
tubuhmu terasa sakit. Cahaya matahari menusuk kedua kornea
matamu. “Te-tempat apa ini?” Kau bangkit berdiri seraya
merapikan pakaianmu yang sedikit kotor terkena tanah.
Tak ada yang indah dengan pemandangan di sekitarmu,
hanya ada pepohonan dengan ranting-ranting yang layu dan
hampir mati. Rerumputan yang telah menguning—sebagian
mengering—menghiasi sekeliling.
9
“Hai!” Tiba-tiba, seekor kelinci menyeramkan melompat
seraya melambaikan tangan ke arah wajahmu. Wajahnya
mengerikan, tak seperti kelinci-kelinci pada umumnya. Kedua
matanya berwarna merah pekat, dengan dua gigi menyembul
keluar—lebih menyerupai taring—berwarna kekuningan. Ia
menunjukkan sebuah jam bandul berwarna hitam. “Ah ... kita
sudah terlambat. Sebaiknya kau ikut denganku, Ratu pasti ingin
menemui tamunya.” Ia menarik tanganmu. Kau menyadari
sesuatu, tangan kelinci itu tak utuh, koreng dan borok menghiasi
pergelangan tangannya yang kasar.
“Oh Tuhan, aku berada di mana? Semua kejadian barusan
seperti pernah kulihat, tapi ... di mana?”
“Kau ... berada di tanah ajaib, di sini semua berbalik 180
derajat dari dunia nyatamu. Kau bisa mendapatkan kematian
indah di tempat ini, membunuh orang-orang yang kau benci
tanpa takut diketahui oleh siapapun. Bukankah, itu adalah
keinginanmu?”
“Ma-maksudmu?”
“Alice, you’re not in a wonderland!” seringainya
kepadamu.
“Hah?! Bagaimana kau tahu namaku?” Kau berusaha
melepaskan cengkramannya di tanganmu, kau bergerak mundur
menjauhinya. “Bagaimana caraku kembali ke dunia nyata? Aku
harus kembali, kedua orangtuaku pasti mencariku!”
Kelinci itu mengacungkan jari telunjuk dan menggoyang-
goyangkannya. Ia tak akan melepaskanmu sebelum kau
mengikuti permainannya. Kau terpaksa mengikuti langkahnya
yang cukup cepat berjalan di depanmu. Kau bergidik ngeri
melihat pemandangan yang sangat tak biasa, setiap kau
melangkahkan kaki, kau akan menemukan sesuatu yang
membuatmu ingin berlari—kembali ke tempat asalmu. Tentu tak
mungkin! Kau tak tahu di mana jalan keluarnya.
10
Bangkai-bangkai berserakan, kerangka-kerangka
manusia berhamparan, belum lagi bau busuk yang mengusik
penciuman. Kau menutup hidung dan mulut dengan kedua
telapak tanganmu, kau merasa sangat mual. Kau berpikir, pasti
kau akan mati!
Kau mengikuti kelinci buruk rupa itu berjalan, di depan
ada sebuah kolam besar berwarna merah kehitaman, dengan bau
busuk menyengat. Hanya sebuah batang pohon besar yang
menjembatani antara ujung satu dengan ujung lainnya. Kau dan
kelinci harus melewati jembatan itu tanpa terjatuh. Kau berpikir,
sulit untuk meniti di atas batang pohon yang tak lebih hanya
selebar 10 cm.
“Jangan sampai terjatuh, atau kolam darah itu akan
menghisap tubuhmu hingga kau tenggelam,” kelinci mewanti-
wantimu.
Keringat dingin mengucur dari dahimu. Kau tak bisa
mundur, atau kau tak akan pernah kembali ke dunia nyata. “Ba-
baiklah.” Dengan perasaan gamang, cemas, kau meniti jembatan
itu dengan hati-hati seraya meremas-remas ujung pakaianmu.
Kau melihat beberapa tikus, burung, dan beberapa
binatang lainnya mengambang di atas kolam dengan keadaan
mengenaskan.
Kau terus meniti jembatan dengan sangat berhati-hati. Ya,
kau teringat sesuatu, sebuah kisah yang serupa namun tak sama
dengan yang kau hadapi sekarang. Sebuah kisah indah yang
bertolak belakang dengan keadaanmu sekarang. Tiba-tiba, tanpa
sengaja, kau tergelincir ke dalam kolam berbau busuk itu. Setelah
berada di dalam kolam, kau baru menyadari tak ada tempatmu
untuk berpijak, kolam itu benar-benar dalam. Binatang-binatang
kecil melintas di depanmu, belatung, serta kotoran dengan
tenang menyapamu. Kau berteriak berharap kelinci mengerikan
itu menolongmu.
11
“Dasar gadis bodoh! Bukankah sudah kukatakan hati-hati
pada langkahmu! Cepat raih tanganku atau kau akan tenggelam
dan membusuk!”
Kau merasakan gatal yang teramat sangat di bagian kaki
dan tubuhmu, gatal yang sangat luar biasa. Ingin rasanya kau
menggaruk sekuat tenaga agar rasa gatal itu lenyap dari
badanmu. Kelinci itu memang terlihat mengerikan dan lemah,
namun ia mampu menarikmu keluar dari dalam kolam.
Kau berhasil keluar dari dalam kolam dengan keadaan
menjijikkan. Seluruh kulit dari ujung kaki hingga ujung kepala
terlihat memerah dan timbul bintik-bintik kehitaman. “Apa yang
terjadi? Tubuhku terasa gatal!” Kau menggaruk pergelangan
kakimu sekuatnya, lagi, lagi, dan lagi. Sehingga bintik-bintik yang
menyerupai bisul itu pecah dan mengeluarkan cairan kekuningan
yang berbau tak sedap.
“Kau masuk di dalam kolam ‘putus asa’, siapa saja yang
masuk di sana tanpa diketahui maka mereka akan mati. Tubuh
mereka akan ditumbuhi bintik-bintik menyerupai bisul,
kemudian membusuk, bernanah, kuman-kuman menggerogoti
seluruh tubuh, kemudian rasa gatal itu akan berubah menjadi
rasa panas yang membakar tubuh. Sebaiknya kau basuh dengan
air bersih lalu keringkan tubuhmu!” perintah kelinci padamu.
Bagaimana mendapatkan air bersih?
Sejak tadi, kau tak melihat ada kolam, sungai, atau
sumber mata air bersih semenjak kau menginjakkan kaki di
hutan aneh itu. Hanya pemandangan mengerikan di sekelilingmu
yang kau lihat.
“Kau bercanda, bagaimana membersihkan tubuh, aku tak
melihat adanya sumber air bersih di tempat ini?!”
“Ah, memang tak ada sumber air bersih. Kau bisa
membersihkan tubuhmu, nanti setelah kau kembali ke duniamu.
Itupun jika kau bisa kembali, setelah mendapatkan kejutan-
12
kejutan. Kau di sini untuk bermain dengan kami, jadi... tahan saja
dulu rasa gatal itu!” Kelinci itu menyeringai memamerkan taring-
taring yang terlihat menguning.
Sambil berjalan kau terus menggaruki pergelangan
tangan, punggung, serta leher. Semakin kau menggaruk, semakin
kau merasakan gatal yang sulit kau ucapkan dengan kata-kata.
Saat itu kau merasa rindu pada kehidupanmu, menyesali segala
gerutu, dan tingkah lakumu terhadap mama dan papa. “Aku mau
kembali, aku ingin bertemu dengan mama, papa, juga adikku!”
Kelinci itu menggeleng, “Tenang saja, mereka sudah
berada di istana ‘Kesedihan’ lebih dulu darimu. Kita juga akan
bersenang-senang dengan mereka. Hehehe... kau akan menjadi
tamu kehormatan!”
Kau terhenyak mendengar kata-kata kelinci itu, bibir dan
lidahmu terasa kelu, nalurimu berkata bahwa sesuatu yang lebih
buruk sudah menanti. “Maksudmu?”
“Kita akan bersenang-senang, Alice. Semua orang yang
membuatmu jengkel, kesal, marah, dan benci akan menemanimu
bermain, tentu dengan tantangan yang sangat mendebarkan.
Sebentar lagi kita akan sampai…”
Kau masih memikirkan kata-kata kelinci buruk rupa itu.
***
Tak lama kemudian, kau serta kelinci buruk rupa itu tiba
di sebuah Istana nan megah, namun menyeramkan. Istana itu
lebih menyerupai sebuah kastil berhantu. Bangunan dengan batu
bata berukuran besar, pintu gerbang menjulang setinggi 10
meter, pohon-pohon yang mengelilingi pun terlihat mengerikan.
Kau ternganga melihat pemandangan yang baru seumur
hidup ini kaulihat.
Di samping istana, terdengar suara gaduh serta teriakan-
teriakan kesakitan berbaur kegirangan dari suara lainnya. Kau
13
menoleh, hanya terlihat seorang wanita bertubuh pendek,
setinggi pinggangmu sedang menggenggam sebuah tongkat
hockey.
“Itu Ratu, ia sedang bermain hockey,” jawab kelinci—
seolah membaca apa yang ada di pikiranmu.
“La-lalu, mengapa aku mendengar suara teriakan?”
“Ini bukan permainan hockey biasa!”
Pintu gerbang terbuka, setelah kelinci mengucapkan
beberapa patah kata serupa mantra.
Debu—serta bebauan lainnya—menyeruak mengusik
indera penciumanmu. Kau mengibaskan kedua tanganmu,
berusaha menghilangkan bau-bau yang membuatmu mual.
Busuk, anyir, lembab, itu yang teraba oleh inderamu.
“Te-tempat ini, menyeramkan! Aku ingin pulang!”
“Tidak, sebelum permainan berakhir. Ratu ingin
mengajakmu bermain. Kau tak boleh menolaknya!”
Kelinci meraih satu pergelangan tanganmu, menarikmu
mengikutinya. Langkahnya semakin cepat membuatmu semakin
terseret. Kau benar-benar berada di sebuah tempat yang akan
membuatmu bermimpi buruk sepanjang hidupmu.
Betapa mengerikan yang kaulihat.
Tulang-tulang berserakan di sepanjang koridor. Ada yang
tergantung di langit-langit, bahkan sebuah hiasan dinding terbuat
dari kulit manusia, terbingkai rapi di dinding. Kau mengatupkan
mulutmu rapat, tak mampu berteriak.
Klotak ...!
Sebuah lampu hias yang berada di meja tak sengaja kau
senggol. Lampu hias dengan kap yang terbuat dari batok kepala
manusia membuatmu tersentak dan menendangnya.
“Kalian gila, tempat apa ini?!”
14
“Tempat yang bisa membuatmu bermimpi indah
sepanjang hidupmu!”
Tak lama kemudian, kau dan kelinci telah sampai di
sebuah taman yang berada di belakang Istana. Wanita yang
kaulihat tadi menyapamu, dengan ramah. Ia mengenakan sebuah
gaun hitam, riasan wajah yang tebal, serta mahkota berhiaskan
batu berlian hitam membuat penampilannya tampak
menakutkan. “Selamat datang, Alice.”
“Ka-kau tahu namaku?”
Kau terpaksa membalas uluran tangannya yang terasa
dingin. Aroma yang timbul dari tubuh wanita yang dipanggil
‘Ratu’ itu, tak jauh berbeda dengan yang telah kaurasakan
sewaktu melewati perjalanan ke istana.
Kau melihat, ia menyerahkan sebuah tongkat hockey
kepadamu. Dengan terpaksa kau menerima dan mengikuti
permainannya.
“Kita akan bermain. Ini bukan hockey biasa. Di setiap
poin, jika kau kalah, satu anggota tubuhmu akan berkurang.
Seperti... keluargamu, yang sudah melewatinya terlebih dahulu,”
Ratu—ia menyeringai—tertawa terbahak-bahak tanpa
memedulikan wajahmu yang ketakutan.
“Ja-jadi ... keluargaku?”
“Yes... My Dear, mereka sudah mati. Bukankah kau
bahagia? Kau begitu menginginkan kematian mereka, karena kau
tak ingin diatur!”
“Tu-tunggu, aku tak pernah ingin mereka benar-benar
mati,” katamu dengan suara memelas. Perasaan bersalah—
kehilangan menggelayuti pikiran dan hatimu.
“Kau benci mamamu, bukan? Ia selalu mengatur
hidupmu, memarahimu jika kau terlambat sekolah, menyuruhmu
mandi seusai pulang sekolah, menyuruhmu tidur siang, serta
15
membedakan dengan adikmu yang masih berusia 5 tahun. Ia juga
pelit, ia tak pernah memberimu uang jajan lebih. Sedang
papamu? Kau juga kesal padanya. Ia selalu memakimu, saat kau
pulang terlambat. Kau juga dongkol terhadap adikmu, ia merebut
perhatian kedua orangtuamu, selalu bersikap manja padamu,
dan—“
“Hentikan! Bagaimana kau tahu semuanya?! Apa benar
mereka telah… mati?”
“Yeah, mereka mati. Kau bisa melihat ke arah gawang di
ujung sana. Ada kepala mereka. Apa ini membuatmu menyesal?”
Dadaku berdegup kencang—keringat dingin membasahi
dahi, leher, dan tangan. Membuat rasa gatal yang hampir hilang
kembali timbul, kau menggaruk, berulang-ulang sambil terus
berjalan dengan penasaran mendekati gawang yang ditunjukkan
Ratu padamu. Kakimu terasa bergetar, hendak menghentikan
langkah. Kau tak kuat, jika memang harus menyaksikan
kenyataan jika kedua orangtua serta adikmu betul-betul telah
mati!
Tidak! Jika saja waktu bisa diputar, kau tak ingin lagi
menjadi penggerutu, pemalas, pembangkang, dan pembohong.
Kau ingin kembali—seperti semula.
“Akhhh...!”
Kali ini kau yakin, mereka memang telah mati. Tiga buah
kepala, berada di dalam gawang, dengan mata membelalak lebar,
terpisah dari tubuh. Entah di mana tubuh mereka—papa, mama,
serta adikmu—di sembunyikan.
Kau jatuh terduduk dengan lemas, nyawamu serasa
melayang terlepas dari raga menyaksikan semua.
Prok...! Prok...!
“Taraaaa...! Bagaimana kejutan dariku?!”
16
“Aku ingin mereka kembali hidup. Aku akan berubah, aku
tak ingin menjadi anak yang sering berbohong, pemalas,
membangkang, dan suka menggerutu. Ratu... apakah mereka bisa
hidup kembali? Aku menyayangi mereka, kumohon kembalikan
mereka!”
“Benarkah?”
“Ya! Aku ingin mereka hidup kembali!”
“Baiklah, aku memiliki tantangan untukmu. Pelayan!
Bawa tiga buah cangkir ke sini, suruh Alice memilih salah satu
yang tepat. Jika ia memilih cangkir yang tepat, maka ia akan
mendapatkan kembali kehidupannya. Jika tidak, maka tubuhnya
akan mengecil, sebesar semut, atau ia akan… langsung mati!”
Kelinci yang berlaku sebagai pelayan ratu, membawakan
sebuah nampan berisi tiga buah cangkir berisi minuman. Kau
harus memilih salah satu—yang paling tepat! Tanganmu
bergetar di hadapkan pada pilihan yang sulit. Kau memejamkan
kedua mata seraya meraih cangkir yang berada di sisi kanan. Kau
merasakan getaran yang merambat halus dari dalam tanah,
tempatmu berpijak pun ikut bergetar. Semakin lama, getaran
semakin kencang dan kuat.
“Tidak mungkin! Ia tidak mungkin memilih cangkir yang
tepat! Aku tak akan membiarkan ia lepas, aku membutuhkan
pelayan baru!!!”
Getaran semakin kencang, kau merasakan hembusan
angin yang bergerak liar mempermainkan tiap batang dan
reranting sehingga menimbulkan bunyi gemerisik. Riuh rendah
suara angin membuatmu khawatir. Kau hanya pasrah. Tiba-tiba
sebuah pusaran gelombang bulat berwarna hitam berada di atas
kepalamu, menghisap seluruh tubuhmu. Kau merasakan gelap—
tubuhmu ringan—tak berdaya.
***
17
“Alice, bangun!”
Bruk...!
Kau terjatuh dari tempat tidur dan membuka kedua
matamu. Kau terlihat gembira dan senang, kau akhirnya kembali
ke kamarmu.
Kau melihat mama, sedang berdiri berkacak pinggang
seraya menggendong adikmu. Kau bangkit berdiri dan berlari
menghampiri keduanya, kemudian memeluk.
“Aku berjanji tak akan menjadi anak nakal, Ma.”
“Kau? Apa yang berada di lehermu?”
“Ah? Ini?”
Sebuah kalung dengan liontin berbentuk jam bandul milik
kelinci tergantung di lehermu. Kau sadar, itu bukan mimpi.
Setidaknya mimpi yang berakhir bahagia, karena kau memilih
sebuah pilihan yang tepat. ***
Ana Sue , lahir di Bitung, Sulawesi Utara, 27 tahun yang
lalu. Gadis yang memiliki nama pena Ana Sue ini dapat
dihubungi melalui akun FB : [email protected].
18
Kisah Tentang Kau dan Frangipani Cerpen karya Astuti Parengkuh
Embun baru saja beranjak pergi dari pucuk pohon
Frangipani yang tumbuh lebat di halaman rumahmu. Kau
langkahkan kaki di pagi yang mulai menggeliat. Waktu di mana
anakmu masih mengerjap-ngerjapkan matanya dari tidur malam
yang panjang. Kemudian kau persiapkan segala keperluan saat
jam bersekolah menjelang.
Frangipani selalu menjadi saksi di mana engkau mulai
membuka pintu pagar rumah dan pergi melangkah.
Lalu kau kayuh sepeda biru yang kau sebut dengan
panggilan ‘Blue Wimmy’, seperti engkau mengajari anak gadismu
untuk memberi tanda atau nama pada setiap barang miliknya,
tanpa terkecuali. Sampai-sampai, tidak ada satu pun benda
kesayangannya yang tak bernama. Bukankah penanda itu baik,
tidak hanya berguna ketika sebuah jejak hilang dan berpurna?
Lalu memori akan bermain dalam imajinasi karena selalu yang
ditinggalkan adalah sebuah nama, dan bukan ilusi.
Kau titipkan sepeda di tempat parkir yang berjarak lima
ratus meter dari rumahmu, yakni sebuah rumah sakit, tempat
anakmu yang lain, dulu lama dirawat. Kau, bukan tidak berpunya
(sebuah mobil dan dua motor matik bertengger di halaman
rumahmu, dulu itu merupakan pemberian suamimu yang
19
seorang pengusaha), hanya karena kau suka bersepeda, di setiap
kali kau ke luar dari kamar kerjamu yang eksentrik.
Ya, teman-teman yang bertandang ke rumahmu selalu
bilang jika kamar kerjamu cukup unik. Hanya penyederhanaan
kata saja, karena personifikasi yang pantas untuk itu adalah kata
unik, untuk sebuah ungkapan yang sangat jelas: amburadul atau
berantakan bagi seorang penulis debutan merangkap pekerja
sosial. Meski setiap engkau tuliskan usiamu yang kepala empat,
kau tampak sedikit mencibir dirimu sendiri.
Kau gemar menghitung setiap lembar warna keperakan di
rambutmu saat becermin.
Lalu kau memilih naik angkutan kota yang kau tunggu di
depan lapak penjual koran. Setelah melihat kepala berita yang
terpampang di beberapa harian lokal dan nasional, kau pilih dua
eksemplar koran yang berlainan. Melewati menit kedua puluh,
mobil bercat kuning itu tak juga datang. Nyaris kau berputus asa
dan bergegas mengeluarkan ponsel di dalam tas ranselmu yang
kelihatan berat kaupanggul. Kau cari-cari nomor telepon taksi,
sampai kemudian mobil Carry T 21 yang kau tunggu berjalan ke
arahmu.
Bagaimana tidak berat beban yang ada di pundakmu.
Engkau masukkan dua judul buku super tebal, yang semalam
belum selesai kau baca. Novel yang ditulis oleh seorang penulis
kawakan yang ber-setting lembaran hitam tahun 65. Lalu ada
beberapa catatan goresan pena yang kautulis setiap kali kau
melakukan perjalanan. Belum lagi jas hujan dan payung yang
selalu kau selipkan di satu sisi kantong tasmu. Ah, rupanya kau
juga memperhatikan kesehatanmu. Di saku luar tasmu selalu
tersedia teosal dan salbutamol. Keduanya obat asma, satu
untukmu satu lagi untuk anak lelakimu yang selalu kau
banggakan.
20
“Dia laki-laki ganteng, pintar dan aktif seperti papanya,”
demikian selalu kau katakan setiap kau bertemu dengan
sahabatmu. Begitu pula anak sulungmu yang sudah beranjak
dewasa. Kau puja-puja keberaniannya karena dia sudah sanggup
hidup mandiri di tengah belantara kota pelajar, kota yang
berjarak enam puluh kilometer dari tempat tinggalmu. Seorang
mahasiswi yang hidup dari uang beasiswa dan menulis.
Kemandirian yang telah dia pupuk semenjak duduk di bangku
SMA dengan mengikuti berbagai lomba demi untuk mendapatkan
penghargaan berupa uang.
“Dia perempuan pintar, pemberani dan punya sense of
humanity,” lagi-lagi kau banggakan anak perempuanmu di depan
kawan karib SMP saat kalian bertemu dalam sebuah reuni. “Dia
juga yang menyarankan supaya aku dan papanya….”kau hentikan
kisahmu. Tiba-tiba kedua matamu merebak. Genangan bening itu
akhirnya jatuh meleleh di kedua pipimu. Kau tak lagi sanggup
meneruskan cerita. Kawan karibmu merangkulmu, lalu mengelus
kepalamu. Hal yang lama tak kau rasakan, sebuah kehangatan.
Sejak empat tahun lalu yang kau hadapi adalah
kekerasan-kekerasan. Sesuatu yang dulu selalu termaafkan jika
terjadi. Bukankah sebuah rumah tangga tak benar-benar berjalan
mulus tanpa adanya kerikil-kerikil tajam, katamu. Namun, empat
tahun lalu kekerasan itu menjelma menjadi monster yang
menakutkan.
Kawan karibmu, adalah sahabat sebangku saat kalian
duduk di kelas dua SMP. “Ayahku suka memukul ibuku jika ada
masalah sedikit saja. Aku tahu beberapa saat setelahnya, ternyata
dia mempunyai istri simpanan,” sebuah cerita yang masih kau
ingat dari temanmu itu ketika kalian masih bersekolah.
Perjalananmu pagi ini adalah menuju sebuah tempat yang
terletak di pusat kota. Kau sudah berjanji lewat telepon akan
bertemu dengan kepala yayasan yang membina anak-anak
21
difabel. Oh ya, pekerjaan barumu yang sangat kau inginkan sejak
berpuluh tahun lalu, memang menjadi wartawan. Lewat sebuah
wawancara, kau jadi tahu bagaimana semangatnya ketua yayasan
ini dalam memperjuangkan karyawannya supaya bisa mengakses
jaminan kesehatan yang disediakan pemerintah. Karyawan yang
beberapa di antaranya adalah penyandang difabel. “Satu orang
pun, tetap akan kami perjuangkan. Apalagi ini ada belasan,”
demikian ketua yayasan mengakhiri perjumpaan kalian.
Kau begitu bangga dengan kota kelahiran yang kaudiami
hingga usiamu berkepala empat. Kota yang erat hubungannya
saat-saat perjuangan menempuh kemerdekaan. Kota yang lincah
bergerak ketika terjadi pergolakan tahun enam puluh lima. Kota
yang menjadi surga bagi para difabel, karena di kota inilah lahir
seorang profesor yang baik budi dan mulia hatinya, ahli dalam
rehabilitasi bagi difabel daksa.
Kota yang masih saja butuh sosialisasi kepada
masyarakat luas, tentang apa itu tempat atau sarana publik yang
aksesibel bagi kaum yang sekarang ini sedang turut kauadvokasi.
Hahaha… bahkan kau marah besar saat mengetahui bahwa
guiding block di city walk yang seyogyanya digunakan bagi para
difabel netra, beralih fungsi menjadi tempat berjualan oleh
pedagang kaki lima dan ada yang dibiarkan rusak parah
berbulan-bulan tanpa perbaikan. Kau sumpah-serapahi instansi
yang bertanggungjawab terhadap kerusakan itu.
Pulang bekerja untuk sebuah wawancara, kembali kau
menumpang angkutan umum, sebuah bus ber-AC dingin dan
hanya dengan uang tiga ribu rupiah kau sudah mencapai rumah
sakit. Tempat kau parkirkan sepedamu saat berangkat tadi.
Sebuah pesan masuk di ponselmu yang berkamera dan
bisa difungsikan sebagai alat bekerja saat kau harus merekam
setiap kali melakukan reportase, ”Ma, aku terpeleset saat turun
Merapi. Pergelangan kaki kananku keseleo.”
22
Lalu kau jawab SMS dari anakmu, ”Sudah ke tukang urut?
Cari daun sligi dan tumbuklah. Campur dengan adas pulowaras.
Kalau nggak tahu, ke pasarlah, cari di tukang jamu!” Kau begitu
tradisional, sampai-sampai kau masih melakukan ritual puasa
setiap kali datang hari ‘weton’ kelahiran anak-anakmu. Itu adalah
hari dalam penanggalan Jawa yang dihitung tiga puluh lima hari
sekali. Perempuan Jawa yang tidak bergeser idealismenya. Kitab-
kitab Jawa yang membahas tentang surga perempuan yang
berada di bawah telapak kaki suaminya lumat kau baca dan
berusaha kau terapkan. Setidaknya sampai setahun lalu. Sebelum
semua peristiwa yang mengharu-biru kehidupanmu segera kau
putus.
Sebenarnya di dalam hati kecilmu kau menyesal mengapa
saat putrimu meminta ijin untuk naik ke Puncak Merapi, kau
ikhlaskan dengan perasaan was-was. Semestinya kau ikhlas yang
sebenar-benarnya ikhlas. Kau mesti menghilangkan
kekhawatiran sedikit pun yang menempel di satu bilik hatimu.
Bukankah para pembijak telah mengajarkan arti tulus yang tanpa
disertai rasa was-was, khawatir dan kecemasan? Bahkan
kecemasan akan datangnya sebuah kematian?
Kau telah berbagi pengalaman dari kematian putri
keduamu. Dia rela menyambut ajalnya sendiri dengan senyum.
Bahkan berpesan banyak hanya kepadamu sebagai ibunya.
Kematian seorang gadis kecil oleh sebuah penyakit yang tak
tersembuhkan dengan berbagai pengobatan. Perpisahan antara
raga dan sukma yang telah dia persiapkan, bahkan dengan
memintamu untuk tidak menangis saat kepergiannya.
Kau telah banyak belajar dari anak-anakmu tentang arti
keberanian menghadapi hidup dan tantangan.
“Lagi, hari ini, seorang perempuan tewas karena KDRT
yang dilakukan oleh suaminya,” demikian pesan yang kau
sampaikan kepada karibmu. “Apa solusinya agar angkanya tidak
23
bertambah?” jawab teman perempuanmu yang juga bergerak
dalam advokasi hukum dan pejuang kesetaraan. “Perbuatan
kekerasan dalam rumah tangga, tentu tidak semua spontan. Ada
banyak latar belakang. Kesehatan mental pelakunya, salah
satunya. Dan ini seperti fenomena gunung es!” Kau demikian
marah.
Anak perempuan sulungmu yang juga aktivis di salah satu
organisasi yang bergerak dalam advokasi perempuan korban
kekerasan membalas pesan yang sama seperti kau kirim pada
karibmu, “Miris. Jadi inikah tujuan sebuah pernikahan? Hanya
untuk membantai pasangan?” Kau teringat akan beberapa
kalimat percakapanmu tempo hari saat ada kesempatan
berbincang dengannya.
Kau berusaha menyugesti dirinya agar mau menerima
dengan baik penjelasanmu tentang arti positif sebuah
pernikahan. Namun, anak perempuanmu tak juga mau mengerti.
Jiwanya yang masih labil dan penuh dengan doktrin-doktrin
feminisme yang vulgar serta belum bisa memaklumkan apa yang
kau sebut dengan ‘penerimaan’. Mungkin ini bahasa yang lebih
halus dari arti kata tulus. Lalu gadis itu mengakhiri percakapan
kalian yang buntu, “Aku semakin tidak percaya dengan apa yang
disebut dengan lembaga pernikahan!”
Buru-buru kau meneruskan percakapan dalam sebuah
chatting itu dengan pesan pendek lewat ponsel, ”Kau anak Mama
yang berbudi dan santun. Berakhlak dan berakidahlah yang
benar.”
Di dalam hati sebenarnya kau menangis miris. Bukan
hendak berpikir yang tidak-tidak tentang putrimu. Bukan pula
ingin menafsirkan tentang pertemanannya yang hanya dengan
banyak kawan perempuan. Bukan akan berpikir buruk, mengapa
sampai sekarang di usianya yang menginjak 21 dia belum juga
punya pacar. Bukan juga berprasangka, mengapa dia selalu
24
punya pikiran progresif revolusioner dibuktikan dengan
banyaknya tumpukan buku-buku yang membahas tentang
perlawanan. Kata-kata yang sering diteriakkannya lewat goresan
pena, “Menolak lupa! Menolak lupa!”
Ya, dia masih muda. Kau sangat picik jika
membandingkan dengan dirimu di masa lalu. Saat seumur dia,
kau sudah menggendong anak itu dan kau ajak dia mengantre di
pegadaian untuk menggadaikan mesin ketik. Harta berharga
satu-satunya milik suamimu, setiap kali kalian membutuhkan
uang untuk membelikan susu anakmu. Negara tidak pernah
menjamin kesejahteraan bagi penulis idealis. Bosan menjadi
penulis idealis, suamimu memilih berpayung media besar milik
konglomerat yang berkongsi dengan pemerintah saat itu.
“Anak-anakmu bukan milikmu. Mereka milik kehidupan.”
Benarlah kata-kata itu. Kalimat yang menancap demikian kuat
sehingga kau punya alasan untuk nekat menjadi relawan di
sebuah rumah sakit, di kota di mana anak perempuan sulungmu
menuntut ilmu. Kau ingin menjadi bagian dalam sebuah
kehidupan bagi anak-anak yang berpenyakit kronis. Satu ego
muncul, mungkin sedikit balas dendam, dendam yang baik hanya
karena anak keduamu yang telah meninggal, pernah dirawat
lama di rumah sakit ini.
Aih, kau hanya ingin membalik-balik kenangan rupanya.
Supaya engkau terus saja bisa memainkan imajinasi dan menggali
kenangan tentang putrimu.
Ini bukan karena kekaguman rasa yang diam-diam
menyelinap di hatimu kepada salah seorang dokter yang pernah
merawat anakmu. Kagum yang hanya berhenti kepada rasa dan
tersalurkan lewat kata-kata dalam sebuah tulisan. Itu pula yang
menyebabkan pertengkaran-pertengkaran kecil di awal kalian
bermasalah empat tahun silam. “Sumpah! Demi Tuhan aku tak
pernah bertemu lagi dengan dokter itu sejak perjumpaan kita
25
yang terakhir di rumah sakit, saat dokter itu menyalami anak kita
ketika dia pamit pulang. Kau boleh cemburu tapi dengan alasan
yang masuk akal!” Kau mulai berteriak.
Laki-laki itu, ya laki-laki itu mungkin hanya ingin mencari
alasan-alasan untuk menutupi kesalahan dirinya. Tapi ingatlah,
tak ada satu lelaki pun di dunia ini yang akan rela bila istrinya
bermain hati kepada pria lain. Dan kau pasti akan mengelak jika
dituduh tidak bersetia. Tak usahlah menyamarkan rasa dalam
bentuk kekaguman. Katakan saja jika nama dokter itu telah
terpatri dalam hatimu sebagai salah seorang yang berjasa dalam
kehidupan putrimu. Begini, begini. Ini mungkin hanya semacam
rasa kekaguman biasa seperti seorang pemuja terhadap bintang
televisi kesayangannya. Mungkin.
Kau tak perlu berpura-pura menjadi orang lain untuk
menghormati seseorang yang kau kagumi.
***
4 Tahun Lalu.
Di bawah Frangipani yang rimbun, sebuah pesan pendek
terkirim. Pohon Kamboja Bali itu telah banyak menyimpan
kenangan bersama anak perempuanmu ketika kalian
menyanyikan bersama lagu ‘Ambilkan Bulan, Bu’. Malam-malam
di mana purnama sepenuh mengintip dari celah rerimbunan
daun. Atau, dalam kesendirian yang menyiksamu tatkala telah
ditinggalkan olehnya. Kau olah rasa rindu menjadi sesuatu yang
syahdu lewat selarik puisi sendu. Malam di mana romantisme
berjalan apa adanya yang kau sebut; bulan selalu mengikuti ke
mana arah kaki melangkah. Malam merapat dan membuatmu
semakin terjajah.
“Papa pulang malam ini kan?”
Kau perempuan yang akan menginjak usia kepala empat,
mendambakan kasih sayang seutuhnya dari suamimu yang
seorang pegila kerja. Bahasa apakah yang cocok untuk menyebut
26
seseorang yang mengemban ambisi luar biasa? Kegagalan demi
kegagalan ekonomi yang pernah kalian alami telah
membentuknya menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah.
“Aku menginap lagi di kota ini. Kau tak perlu
mencemaskan aku.”
Ingin kau berteriak kencang bahwa engkau tak hanya
mencemaskannya namun mencemburui dirinya tengah bermain
cinta dengan perempuan lain. Dia tengah mengejar mimpi akan
usaha barunya dengan beberapa karyawan yang menemani
bekerja. Namun untuk melakukan perjalanan maksimal dua jam,
kau semestinya bisa meyakinkan suamimu. Pekerjaannya
menyelesaikan buku-buku proyek itu bisa diteruskan esok pagi,
dan kau harapkan dia pulang menemani tidurmu untuk
mempersiapkan rutinitas esok hari lagi. Begitu seterusnya.
“Papa ditemani dengan perempuan itu pasti,” suaramu
menelepon.
Kau mulai tak bisa menahan gejolak amarah yang
membakar dadamu.
“Tidak hanya dengan dia, tapi ada beberapa yang
lainnya.”
“Kalian masih bekerja hingga jam 1 dini hari begini?”
“Iya. Dan itu sudah biasa bukan?”
“Tidak mulai malam ini!”
Kau berteriak kencang. Alasan-alasan yang tak dapat kau
tolerir lagi: bekerja lembur hingga pukul 1 dini hari, pergi
berhari-hari untuk membereskan proyek dengan seorang
pejabat, atau bepergian yang tiba-tiba ke luar kota tanpa alasan
pasti.
“Aku pulang hanya untuk melakukan ini! Praaaakk….!!!”
Suamimu – yang suka kaubangga-banggakan itu- datang
satu setengah jam (mungkin dia mengebut saat menyetir) setelah
27
kau telepon. Dia langsung menyerobot ponsel yang ada di
genggamanmu dan membantingnya ke atas lantai. Ponsel itu
sekarang tak berbentuk lagi menjadi kepingan-kepingan tak
berharga bak reremahan roti yang berhamburan.
“Bagus ya dengan apa yang telah kau lakukan!” suaramu
mengeras. Lalu kau terisak dan air matamu bukan membuat
suamimu iba. Bodoh jika kau menangis di hadapannya!
Air mata perempuan di hadapan laki-laki akan
menampakkan satu kelemahan.
“Tak adakah pekerjaan lain selain menerorku lewat
telepon?!” kembali suamimu beralasan.
“Aku kan istrimu, Pa. Aku bukan orang lain,” Kau, ah kau,
masih saja berbicara dengan berlinangan air mata. Sekali lagi,
engkau sungguh bodoh! Lihat saja, sebentar lagi suamimu akan
melakukan hal yang lebih keji dari apa yang dia lakukan
sebelumnya.
Plaaaakk!!! Sebuah pukulan telak mendarat tepat di
wajahmu. Terlambat kau menghindar.
Pohon Frangipani di depan rumah menjadi saksi ketika
seorang perempuan pernah beberapa kali terlihat berlari ke luar
rumah sambil menutupi wajah memarnya dengan kerudung yang
membalut tubuhnya. Ya, perempuan itu adalah engkau. Kau ingin
menyamarkan kejadian pahit yang sering kaualami. Kau hanya
tidak ingin orang-orang melihat mata indahmu sembab oleh air
mata yang tercurahkan. Pun kepada anakmu. Kau akan
menjawab ringan jika dia bertanya mengapa engkau telah
menangis semalaman, “Mata mama sakit terkena gigitan
serangga.”
Juga ketika anak laki-laki itu pulang dari sekolah dan
melihat berantakannya rumah. Buku-buku yang telah masuk ke
dalam karung, yang suamimu ancam untuk dibakar. Keyboard
dan mouse yang letaknya tak beraturan. Senjata api yang pernah
28
dipakainya untuk mengancammu, lalu kau curi dari
persembunyian. Sekardus besar mainan anakmu yang dia
hanyutkan ke kali, oleh karena perang batinnya sendiri yang
telah memisahkan istri dari suaminya dan seorang ibu yang dia
rampas dari pelukan dua anak kecil. Ya, dialah perempuan baru
yang berada di bawah kuasanya. Kau bilang, relasi kuasa telah
disandang suamimu.
Jika ada pertanyaan dari anak lelakimu, kembali kau
jawab dengan mimik wajah nyaris santai disertai intonasi penuh
sandiwara, dan kata-kata laiknya deklamasi, ”Mama lagi beberes,
terus ada benda yang jatuh belum sempat dibenahin. Kamu lihat
bukan? Tak ada apa-apa, tak terjadi apa-apa.”
Sementara anak perempuan sulungmu tak menutup mata
dengan kejadian-kejadian yang selama ini kau sembunyikan.
Selalu kau kirimi pesan agar dia tidak frustrasi dengan tragedi
yang tengah menimpa orangtuanya, ”Kau anak Mama yang
berbudi dan santun. Berakhlak dan berakidahlah yang benar.”
***
Sebuah pesan tampak di layar ponselmu, “Back-up kasus
perkosaan oleh Guru SLB terhadap siswinya yang tuli.” Lalu, kau
pun menjawab, “Persidangan tertutup, bukan?”
Tak lama kemudian, redaktur yang menugaskanmu
membalas, ”Kau terlambat tahu tapi bisa mencari celah. Ikuti
kasus itu.”
Bergabungnya dirimu dalam sebuah web pemberitaan
yang mengkhususkan tentang isu keadilan dan hukum bagi
difabel telah mengantarkanmu kepada dunia baru. Sejenak
melupakan kepahitan hidup dan kau bergembira dengan apa
yang tengah ada di hadapan; anak-anak yang manis, sehat dan
berbahagia dengan segala keadaan.
Pernah menjadi pengusaha batik dan mebel serta pemilik
galeri & spa telah menjadikanmu berpikir bijak bahwa dunia ini
29
selalu berputar dengan segala keadaan. Perubahan sedemikian
cepatnya mengubah seseorang yang dahulu berorientasi
kebendaan lalu menjadi orang yang ingin berjalan dengan hati
sekehendak.
Cinta tak akan pernah salah arah memilih jalan kebaikan.
“Asal jangan keterusan memperturutkan kata hati,”
demikian kata putrimu saat kalian berdiskusi.
Dan di bawah pohon Frangipani, kau telah membaca
pesan-pesan yang disampaikan olehnya.
“Sendiri itu bukan berarti bebas melakukan apa saja.
Sendiri itu mawas diri dari segala godaan. Aku telah membaca
SMS-SMS gelap dari teman Mama yang berusaha merayu. Kalau
aku jadi engkau, Ma, maka nomornya akan kublokir. Dia seorang
pemuda kan? Yang mendamba seseorang yang lebih tua untuk
dicintai olehnya. Itu gila!”
Lalu putrimu mem-forward kembali sms yang sering kau
kirimkan kepadanya dengan mengganti beberapa bagian.
“Mama adalah ibuku yang berbudi dan santun. Berakhlak
dan berakidahlah yang benar.”
Purnama separuh meluruh di antara rerimbun dedaunan
Frangipani. Dia menjadi saksi bisu atas kisah-kisahmu. ***
Astuti Parengkuh, penulis dan jurnalis. Tinggal di Solo.
Bisa ditemui di e-mail : [email protected].
30
Sari Awan Cerpen karya Ayu Sundari
Menurutmu awan itu apa? Apa maksudmu? Aku
hanya angin. Lalu menurutmu awan itu apa? Apakah awan itu
kabut? Apakah awan itu kapas? Apakah awan itu embun? Lalu
menurutmu, aku ini apa? Hanya sekedar angin yang tidak
menyatu dengan awan? Awan itu tak berbentuk. Hilang ketika
kita terlalu dekat. Nampak ketika kita terlalu jauh. Bukan kapas
ataupun kabut. Mungkin hanya sekedar gumpalan yang tidak bisa
disentuh. Bahkan, aku pernah mendaki di atasnya. Berada di
puncak tertingginya. Mungkin karena terlalu jauh atau aku yang
peduli hingga aku tak sadar tak merasakan ketika melewatinya.
Lalu, menurutmu angin tidak merasakan awan? Angin tahu,
walaupun awan menghilang saat didekati. Angin merasa awan
tetap ada, sekalipun ia menampakkan dirinya saat mereka
bejauhan. Angin tetap merasa bahwa awan tetap ada di dekatnya.
Waktu itu angin dan awan sama-sama tengah patah hati
karena dicerai oleh pasangan terkasihnya. Mereka menangis
hingga muncul hujan dan badai yang tak dikehendaki banyak
orang. Tapi orang-orang itu rela terganggu karena kegaduhan
hati mereka. Saling menikam. Saling bersedih. Saling mencari
cinta yang nyata dan benar-benar terkasih. Mereka sama-sama
linglung, sama-sama bingung, dan merasa saling canggung.
31
Suatu saat mereka pergi bersantap siang karena malas
bekerja. Mencari sesuatu yang baru, yang lebih berarti. Saling
tersenyum meskipun lebih banyak berdiam dan saling tak peduli.
Awan tiba-tiba berubah menjadi pecinta para angin. Dan angin
dengan cepat berhembus membius hingga awan takluk padanya
dengan cepat. Walaupun awan masih tetap menggoda angin yang
lainnya.
Pada hari yang lain, semua awan dan angin berpasangan
pada sebuah pesta mewah dengan gaun tak berlengan dan sepatu
tinggi berkelas. Para tamu undangan berpasangan dengan pujaan
tercinta. Sedangkan dua sosok ini tak lagi berpasangan karena
satu keputusan yang diambil terlalu cepat. Ada perasaan
menggoda di hati awan untuk berusaha bersanding dengan
angin. Angin yang begitu pendiam berubah menjadi simpatik
pada awan yang terus menggodainya. Angin dengan senang hati
membalas godaan dengan godaan. Mengedip genit tetapi tetap
nampak berkarisma. Tapi tetap saja tak ada obrolan ketika
mereka telah berdua saja. Mereka memilih saling menepi dalam
sepi.
Pernah sekali, ketika angin bertemu pertama kali dengan
awan yang nampak kusam, saat berada di satu ruang yang sama.
Angin jatuh hati padanya. Tetapi angin hanya ingin diam hingga
awan melihat cintanya dengan matanya sendiri. Semakin hari
semakin menjadi. Hingga akhirnya angin memiliki awan yang lain
dan ia pergi dari kehidupan awan kusam yang tak sedang
mendung.
Pada suatu persembahan cucu Adam yang disembelih
untuk Tuhan, angin bertemu dengan angin yang lain yang tampak
lebih pucat darinya. Sebut saja Putri. Putri adalah pasangan awan
yang selama ini ia cintai dalam diam. Sekali ia berjabat tangan
dengan Putri, batinnya langsung bersatu dengan angin pucat itu.
Ketika awan dan kekasihnya beralih tempat entah kemana. Ia
berkata dalam hati ‘serasi benar pasangan itu’. Awan yang kusam
32
dan angin yang pucat bertemu menjalin kasih. Sungguh sangat
menyenangkan. Bayangnya.
Di saat yang sama, angin merasakan kehilangan sesuatu
yang sangat ia rindui. Ia menangis hingga tangannya tertusuk
bambu karena tak sengaja kabut menutupi matanya. Ia sesal.
Mengapa sesuatu itu pergi begitu cepat dari yang ia perkirakan.
Tapi, siapa dapat menyangka kepergian siapa. Tidak ada yang tau
siapa yang datang dan apa yang pergi. Mereka bisa beralih satu
per satu dari waktu yang kita bayangkan sendiri.
Selang beberapa saat yang tak begitu lama. Awan terlihat
semakin kusam. Pucat menyatu pada dirinya. Angin menghilang
bersama awan lain yang lebih cerah dan bisa melengkapi
kepucatannya. Putri sedang memadu kasih dengan tambatannya
yang sejalan dan seiman dengan kehidupannya. Awan begitu
riuh, berlari, menangis, dan tiba-tiba rapuh. Tapi dia mencoba
untuk tetap tenang dan terus berjalan. Hinga akhirnya ia bertemu
dengan angin-angin yang lain yang berwajah sama dengan Putri
nya yang dulu. Sosok yang menyenangkan dan penuh kasih.
Bukan sosok yang tenang dan penuh damai. Ia mencari. Mencari.
Mencari. Mengencani satu per satu angin yang berserakan
disekelilingnya. Membuat lagi senyum yang beberapa saat
sempat hilang. Membuat lagi gairah dalam hidupnya tumbuh.
Karena sepasang mata para angin itu memikatnya. Hingga ia tak
tahu harus memilih sepasang yang harus ia pilah.
Tapi takdir berkata lain. Kata hati yang ia dengar tidak
menuntunnya kepada sepasang mata yang menyenangkan.
Pilihannya jatuh pada sepasang mata angin yang redup dan
masih basah karena luka kabut yang masih menggelayuti. Ia
fungsikan intuisinya untuk memilah dan melihat lagi pada
sepasang mata redup itu. Ternyata. Mata itu pernah menikmati
punggungnya yang tertutup sesuatu yang begitu gelap. Mata itu
penah mencumbui tubuhnya yang mesterius. Mata itu pernah
mendengar kata yang terucap darinya. Mata itu pernah merekam
33
semua aktifitasnya. Mata itu. Mata yang redup itu. Telah merebut
hatinya.
‘Kau datang seperti badai’ katanya di tengah malam kala
itu.
‘Apakah aku adalah badai yang akan merusak hidupmu?’
tanya angin yang masih meredup.
‘Badai di hatiku kini sedang memporak-porandakan isi
gelap yang ada di dalamnya’
Senyum manis sang awan tak bisa lagi ia hindari seperti
dulu. Senyum itu sekarang semakin dekat dan semakin melekat.
Mata itu, mata yang ia cintai kini menatapnya lebih erat.
Tubuhnya, tubuh yang ia kagumi kini semakin hangat ia rasa.
Bahagia dalam hatinya terpacar pada warna cahaya matanya
yang semula meredup kini menjadi semakin terang. Tidak ada
lagi yang bisa menghalanginya untuk menghindar dari balas cinta
awan.
‘Selama ini aku menungguimu awan’ kata angin dalam
mata.
‘Tuhan memang Maha Adil dan begitu paham dengan
anakNya. Entah ini jawaban datang darimana. Tuhan telah
mengirimmu kembali hadir dalam hatiku yang sekian lama
mencintaimu pernah mencintaimu. Aku bersyukur karena Tuhan
memberikan bisikan yang tepat dalam hatimu, hingga
membawamu kembali di hadapanku. Entah kali ini aku harus
mencintaimu lagi dengan cara apa. Atau mungkin bisa dengan
cara yang dikirimkan Tuhan. Tetapi yang jelas, aku mau
mencintaimu lagi’
Matanya terlihat berbeda setelah mendengar perkataan
angin. Tidak disangaka selama ini ada yang mencintainya secara
diam-diam. Intuisinya benar-benar tepat kali ini. Tapi ia masih
belum tahu, apakah pilihannya kali ini benar-benar tepat untuk
kehidupannya. Tanpa ada kata sepakat atau penolakan,
34
merekapun saling menjalin kasih bersama. Ada titik tangis
bahagia di kedua mata mereka. Pun ketika mereka berpisah
untuk saling melepas penat.
Ada satu kebahagiaan di hati mereka saat ini. Kemesraan
secara perlahan muncul di kehidupan mereka. Senyum yang
berbeda juga dirasanya lagi kali ini. ‘Benar-benar suatu keajaiban
Tuhan yang ternilai,‘ pikir angin. Tuhan memang selalu tahu apa
yang dia mau. Tuhan memang selalu menyayangi setiap anakNya.
Kini ia dicintai apa yang ia cintai. Tinggal merajut harapan dan
mimpi untuk kehidupan yang lebih dari hari ini. Banyak
keinginan yang ia simpan dalam hati pada kekasih barunya.
Banyak kebahagiaan yang harus ia bagi pada sekelilingnya.
Tapi kebahagiaan itu sirna. Semua hanya dirasa di awal
kisahnya. Intuisi yang selama ini ia imani kini hanya menjadi
sebuah klise. Senyum itu kini berubah menjadi badai yang
sesungguhnya. Senyum itu kini telah dikotori oleh sesuatu yang
ia cipta sendiri. Kini jurang menyeret mereka untuk hadir pada
satu kenistaan. Pada satu kehidupan yang lain. Damana mereka
saling menghidupi kehidupan yang lain. Kehidupan dimana dosa
itu tumbuh dan menjadi sesuatu yang sensitif. Dosa itu kini
menggeliat menjadi satu gumpalan awan. Awan kecil berwarna
merah. Atau mungkin mawar berwarna merah.
Kejadian itu sudah berlalu terlalu lama dan akhirnya
menjadi satu sari yang tumbuh dalam diri angin. Sari yang
dititiskan oleh awan kepadanya. Dan ia tidak tahu harus
menjaganya atau menghilangkannya. Tapi ia sangat ingin
menjaganya. Karena hanya itulah satu-satunya jalan agar ia cepat
dipinang bersama awan. Agar ia dapat segera hidup berdua tanpa
ada lagi penghalang. Agar ia dapat selalu mencintai awan di
setiap pagi. Tapi semua harapan itu telah hilang bersama
gugurnya mawar yang mereka tanam.
35
Siang itu angin berhembus ke arah timur. Kala itu ia pergi
dengan teman dekatnya yang juga sama satu arah dengan
hembusannya. Ia mulai kehidupannya pada sebuah daerah yang
pernah ia jamah. Ia mulai belajar berbicara pada anak-anak kecil.
Hanya sebuah perkenalan kecil, karena hari itu adalah
pertemuan pertama mereka. Angin mulai bicara.
Memperkenalkan identitasnya karena hari itu adalah
pertemmuan pertamanya dengan anak-anak itu. Babibu. Dan
senja tak terasa mulai meraba. Telah habis menelan waktunya
saat bercengkrama dengan anak-anak itu.
Senja itu pula yang telah melunturkan mawarnya yang
hendak mekar dalam dirinya. Menggugurkan setiap kepingnya.
Meluluhlantakkan tubuhnya yang mulai koyak. Membuat dirinya
semakin pucat dan sekarat. Ia hanya bisa diam menikmati senja
yang menggelap dan merasakan mawar-mawar yang mulai
menggugurkan kelopaknya satu per satu.
Angin berhembus dan memutuskan istirahat di suatu
tempat yang sedang ramai pengunjung. Ia berlari untuk
bersembunyi dari pandangan yang melihatnya curiga. Ia
menengok kearah bawah dan menangis sejadi-jadinya hingga
hujan tak lagi sempat untuk melampiaskan. Ia menemukan
jantung kecil yang sudah tak lagi berdetak jatuh di sela dua
jarinya. Angin terkejut setengah mati. Badai lagi-lagi
menerjangnya. Yang dapat ia fikir saat itu hanyalah awan. Ia
membutuhkan awan. Benar-benar membutuhkan awan.
‘Aku akan segera ke sana,’ kata awan saat masih sibuk
mencerna matahari sore
‘Aku sudah terlalu dekat denganmu,’ angin menangis
‘Aku akan mengahmpirimu, tetaplah di sana,’ awan
betindak
Awan membawa angin kesana kemari. Tapi semua sudah
terlambat, mawar itu telah pergi. Tidak ada yang perlu
36
diperjuangkan dan dipertahankan lagi. Hatinya hanya bisa
menatap jauh. Menerawang dimana mawarnya sekarang. Karena
ia dengan terkejut telah menjatuhkannya pada sungai kecil yang
berada di dekatnya pada saat itu. Sungai itu kini membawa
mawarnya yang telah layu, telah mati, telah gugur pergi ke entah
dimana. Kini ia kembali mencumbui malam dengan awan yang
juga gelisah. Karena masih terbekas jejak mawar merah di celana,
kaos, sepatu, kursi, tempat tidur, selimut, handuk, dan kamar
mandi.
Satu pertanyaan datang dari hati angin. Apa gunanya
bunga di atas gundukan tanah seorang mawar. Bahkan mawar itu
belum sempat mekar dan sama sekali tidak tersentuh oleh dosa.
Apa bunga-bunga itu akan mengikuti mawar yang pergi mengalir
bersama air? atau hanya diam di tempatnya untuk sekedar
mendo’akan agar dia tidak terluka saat perjalanan. Bahkan
mungkin ada yang memungutnya atau kucing lapar melahapnya
habis?. Entahlah, dia tidak ingin membuat gundukan hanya untuk
mengingat kegelapan. Walaupun angin sedang berdiri di dalam
gelap dan sedang menikmati sentuhan tangan Tuhan yang hangat
seperti badai. Angin tahu, Tuhan tidak menginginkan mawarnnya
mekar dan memunculkan duri tajam dalam kehidupannya
bersama awan. Tapi entah, ada rasa sesal dalam hatinya karena
ia telah tega tidak merawat mawar itu dengan baik. Bahkan ia
membiarkannya kelaparan dan kehausan.
Satu harapan dalam diri angin. Semoga mawar sedang
dekat dalam pelukan Tuhan atau dalam pungutan kumbang yang
mengasihinya. ‘Tuhan, jaga ia. Agar tidak terluka saat mengalir
menujuMu.’ Itulah kata terakhir yang dapat ia pinta pada Tuhan
yang juga entah dimana. Atau mungkin Tuhan telah bertemu dan
sedang menggendong mawar yang tega meninggalkannnya. Kini
hanya tersisa bau amis yang terkenang pada tubuhnya. Wajahnya
kini pucat berwarna angin. Tak merona seperti dulu.
37
Kini kehidupan berjalan seperti semula. Awan dan angin
kini hidup layaknya seorang kekasih. Hidup dalam cinta dan
kasih. Tidak ada lagi mual yang mengganggu saat sahur mereka.
Tidak ada lagi malas saat santap buka. Kini semuanya telah
kembali tenang. Karena semuanya telah lenyap ke dalam gelap.
Hanya tersisa mereka berdua. ***
38
Daun Yang Berbicara
Cerpen karya Bunga Hening Maulidina
Aku ragu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri,
bahwa daun itu memang seperti bicara padaku. Tentu tidak
bicara seperti dalam dongeng, fabel, mitos, dan sebagainya. Daun
itu hanya bergerak-gerak. Mungkin bagi orang lain itu gerakan
biasa, tapi bagiku itu adalah suatu tanda. Dia seakan
mengangguk, menggeleng, bahkan tersenyum! Hm. Ini penemuan
baru. Hal ini harus ku teliti. Lumayanlah jika proyek ini disetujui.
Aku sudah memperkirakan berapa dana yang bisa ku dapatkan.
Ku rasa mobilku sudah waktunya ganti seri. Lagi pula kali ini, aku
tak sekadar ingin dapat keuntungan, tapi tersisipi ketakjuban
pula pada daun yang aneh itu.
Segera kutelepon asistenku. “Tan, siapkan proposal
penelitian seperti biasa... Kau atur semuanya seperti biasa pula.
Materinya akan kukirim nanti... Ya... Oke...” selesai sudah. Dengan
langkah ringan ku tinggalkan daun itu. Tetapi beberapa saat
kemudian, langkahku terhenti. Aku menolehnya lagi. Daun itu
menggeleng-geleng. Ya Allah, kurasa mataku ini belum begitu tua.
Tapi benar dia menggeleng-geleng. Ah, rasa penasaranku mulai
timbul lagi.
Aku menghampirinya lagi. Itu daun dari tumbuhan biasa.
Daunnya masih hijau. Jika dipandang menyejukkan. Serasi
39
dengan warna tanah yang coklat. Pot putih. Sederhana. Hmm.
Kukira ini sejenis palem hias. Di gedung ini memang banyak
sekali pot-pot berisi tanaman hias. Tergolong masih gres. Baru
saja diturunkan seminggu lalu. Aku termasuk ‘orang penting’ di
institusi ini, tak heran jika bagian depan ruanganku juga
mendapat jatah. Hm. Mungkin pot ini harus ku masukkan ke
dalam ruangan. Sebab aku makin penasaran dengannya.
“Plok...plok...” aku menepuk tangan, memberi isyarat. Praja, si
satpam kampus paham. “Tolong masukkan pot ini ke ruangan
saya” kataku. “Baik, Pak...”Dia mengangguk mantap. Aku
tersenyum puas. Aku bergegas pergi, staf-staf pasti sudah
menunggu di ruangan rapat. Ah, alamat bakal telat. Gara-gara
daun di pot itu.
***
Di usiaku yang belum genap empat puluh tahun, gelar
doktoral di bidang ilmu pasti sudah ku sandang. Semua ini jelas
butuh kerja keras. Proses! Proses! Dulu ketika aku masih
menempuh strata satu, tertatih ku lakoni segala hal. Mulai A
sampai Z, dari melembur tugas, mengikuti seminar, pelatihan,
sampai ikut penelitian dosen. Dan akhirnya titik-titik puncak
kualami. Aku diterima sebagai pengajar di salah satu perguruan
tinggi terkemuka di Jawa. Bahkan dibiayai pemerintah untuk
melanjutkan strata dua dan studi doktor. Kata ibuku ini begja.
Mengingat dulu masa kecilku yang begitu menyedihkan(?) ketika
di desa. Ya, apalah yang bisa diharapkan dari anak seorang buruh
tani?
Nyatanya, Allah punya kehendak lain. Ketika itu aku
diusulkan menjadi penerima beasiswa oleh SMA-ku. Lanjut.
Lanjut. Berlanjut. Hingga kini aku sudah sampai menyandang
gelar doktor. Aku berharap sebentar lagi akan ada pengukuhan
guru besarku. Entah kapan. Tapi berbagai penelitian sudah ku
cicil. Buku-bukusudah ku tulis. Jam terbangku bisa dikatakan
cukup. Intinya kesejahteraan hidupku bisa dikatakan meningkat
40
pesat. Ibu dan ayahku yang kini masih tinggal di desa (karena tak
mau pindah tinggal di kota bersamaku) juga sering sekali ku
kirimi wesel. Anak dan istri, ku kira juga mengalami hidup yang
berkecukupan. Ya... rupanya memang uang jadi mudah didapat.
Proyek ini, proyek itu, semua bisa diatur lah. Aku sudah
berpengalaman sejak masih anak ingusan. Turun temurun
menyusup di ruang-ruang akademisi? Mungkin bisa dikata
seperti itu. Istilahnya ya... budaya ilmiah terkadang memang
kurang ilmiah. Tapi sudahlah, aku kini lebih bisa berpikir yang
praktis-praktis. Anakku perlu dicukupi kebutuhannya. Istriku
juga ingin ini dan itu. Orang tuaku, meski mereka tak pernah
meminta, tapi ya... aku harus tetap memikirkannya. Itu wajib.
Bicara tentang orang tua, ibu dan ayahku memang orang
yang lugu. Sungguh lugu. Mereka hanya tahu dunia desa dan
ingin agar anaknya bisa sekolah setinggi-tingginya. Ibu dan ayah
memang bukan orang berpendidikan tinggi. Bahkan SR (SR,
setingkat SD) saja tidak tamat. Tapi mereka punya kemauan kuat
untuk menyekolahkanku. Anak semata wayang mereka. Pesan
Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam selalu
dinasihatkan padaku dari dulu aku kecil, sampai kini ketika tiba
waktu aku pulang ke desa. Untuk meraih dunia butuh ilmu,
meraih akhirat juga butuh ilmu, meraih dunia dan akhirat juga
butuh ilmu. Tak bosan-bosannya terus diulang-ulang. Aku sampai
hafal.
Bicara tentang orang tua pula, aku bisa terkagum-kagum.
Kegemaranku sebagai anak buruh tani, tak jauh-jauh dari area
sawah. Aku sering bermain di sawah, mengamati sekitar, mencari
belalang, bermain lumpur, ya... intinya aku ini cukup dekat
dengan alam. Ku rasa itu cukup sebagai pengantarku untuk
masuk di dunia ilmu pasti. Apalagi spesialis doktorku juga tak
jauh-jauh dari dunia tumbuhan. Ya, itu tadi, sebab dulunya aku
memang bocah sawah, bocah alam. Didikan buruh tani pula. Nah,
lengkap kan? Aku kagum pada ibu dan ayahku yang memang
41
hanya mengerti soal sawah, suket (rumput), sabit, tapi ternyata
(selain doa mereka yang paling utama) pengetahuan dasar itu
cukup membantu studiku. Tentu kata ‘membantu’ maksudnya
adalah membantu secara tidak langsung.
Pengetahuanku tentang dunia tumbuhan jadi lebih
berkembang ketika menapak jenjang perkuliahan. Dari ketela
rambat sampai pohon Akasia. Dari tanaman Krokot sampai
Rafflesia Arnoldi. Intuisiku pada tumbuhan juga ku pikir cukup
kuat. Maka intuisi itu pun bekerja, ketika aku melihat pot berisi
tanaman berdaun dari sejenis palem-paleman yang rupanya baru
saja dipasang beberapa waktu lalu. Tampilan tanaman itu lembut
dan sederhana sekali, nampak berperasaan. Ya, unik, ajaib, aneh,
dan menantang untuk diteliti. Daunitu seolah bisa bicara. Benar!
Daun yang kinihampirsetiap hari ku amatiitu (karena ku
biarkannangkring di dekat meja kerjaku) cukup mengacaukan
pikiran. Ah, napasku jadi sesak. Berbagai pikiran dan rencana
muncul. Terbayang gelar guru besar, mobil keluaran terbaru...
“Tok... tok... tok...” pintu diketuk.
Wajah Tan muncul dengan raut gembira. Aku tersenyum
menyambutnya. “Selamat siang Pak... Proposal kita disetujui...”
ujarnya dengan nada riang tapi berusaha datar. “Bagus” ujarku
singkat, sambil tersenyum. “Tapi Pak...” katanya dengan muka
penuh tanda tanya. Aku mengangkat alisku. “Sebenarnya saya
kurang paham dengan materi penelitian kali ini Pak...” katanya.
Aku tersenyum. “Nah, kebetulan, materi penelitian itu
kini ada di sampingmu itu...” kataku seraya melirik pot palem
berdaun aneh itu. “Lho? Ini kan palem hias biasa Pak? Tapi saya
baca rancangan materi Bapak, ada bahasa tertentu yang
digunakan tanaman ini?” tanya Tan. Aku tersenyum lega.
Rupanya tak salah aku memilihnya jadi asisten.
“Coba, tolong kau bawa palem itu ke sini!” kataku
padanya. Tan mengangkat Pot ke atas meja. “Perhatikan baik-
42
baik daunnya,” ucapku. Berdua kami mengamati daun palem itu
dengan saksama. Daun itu mengangguk, tersenyum. “Nah, kau
lihat?” tanyaku dengan nada bangga. Tan menggeleng-geleng
seperti tak percaya. “Saya melihat Pak, daun itu mengangguk,
tapi juga berekspresi seperti...” Tan mengambil jeda, ragu.
“Tersenyum kan?” aku menyela. Tan mengangguk mantap.
“Itulah... Kuperkirakan penyelesaian penelitian ini bisa lebih lama
dari penelitian-penelitian sebelumnya. Tapi, ini malah jadi hal
yang menarik...” aku mengakhirinya dengan senyum khas.
Tan seperti sudah hafal. Dia ikut tersenyum. “Tenang Pak,
pokoknya beres. Sudah saya atur. Susunan rancangan dana itu
sudah disetujui. Lagi pula ini suatu hal yang baru lho Pak...
Langka!” kata Tan dengan semangat. “Oh... iya. Kau ajukan berapa
dana itu?” tanyaku. Tan membisikan sejumlah angka. Aku
tersenyum lebih lebar. “Bagus. Nanti kau juga dapat bagian
sekian persen lebih besar dari...” jawabanku urung ku kanjutkan.
Tunggu! Ku perhatikan daun palem itu. Daun palem itu
menggeleng-geleng. Senyumnya hilang. Kini seakan layu.
Menunduk. Sedih. Dadaku berdesir.
Tan menatapku, dia beralih melihat daun itu dengan
berbinar. “Luar biasa Pak!” katanya takjub dan heran. Aku
tersenyum, tapi kikuk. “Ya, memang... Mm, baiklah, soal bagian itu
nanti kita lanjutkan. Sekarang, tolong kau urus dulu segala
keperluan penelitian ini” jawabku. Tan mengangguk. Minta diri.
Keluar. Aku termenung sejenak, sepertinya keheranan Tan tadi
berbeda dengan keherananku. Yang diherankan Tan adalah
bahasa daun itu. Sedang yang ku herankan adalah reaksi si daun.
Sepertinya daun itu turut mengikuti pembicaraanku dengan Tan.
Ah, apakah ini halusinasi? Pantaskah seorang doktor berkhayal
seperti ini? Tidak!. Dugaanku ini tak masuk akal.
Sudahlah. Ah, mungkin saja ini memang hanya khayalan
dan imajinasiku. Atau mungkin dipengaruhi keingintahuanku
yang memang sudah mengapi sejak awal. Tak pantas seorang
43
ilmuwan banyak berkhayal seperti ini. Yang bukan khayalan
tentu saja proposal yang sudah di depan mata. Dana yang akan
segera mengalir. Mobil mewah keluaran terbaru. Itu baru riil.
Penelitian ini tidak main-main. Ku ingat angka yang dibisikkan
Tan tadi. Ya, sementara mampu menetralisir imajinasiku.
“Kriiiiiing!” dering telepon. Nomor rumah. “Pah... tolong
Papa segera pulang. Tadi Pak RT telepon, mengabarkan bahwa
nenek meninggal Pah...” suara serak Juni, anak sulungku, seperti
menikam jantung. Aku tak mampu berkata apa-apa. “Innalillahi
wa inna ilaihi raji’un...” hanya itu yang mampu ku ucapkan. Air
mataku tak mampu ku cegah. Mengalir deras. Terbayang wajah
ibuku yang sangat polos itu. Ibu yang sederhana... Ibuku...
***
Dadaku bergetar keras.
“Ibumu sudahmeninggal...” suara ayahku terasa lirih
sekali. Orang-orang yang melayat sudah tak seramai tadi. Selepas
ibu dimakamkan, di rumah tinggal tersisa keluarga dekat serta
tetangga sekitar rumah. Ayah tidak menangis, hanya berkaca-
kaca. “Dia sering menanyakanmu akhir-akhir ini. Bahkan kadang
mengigau panjang lebar, membicarakanmu. Igauan terakhirnya
membicarakan sikapmu yang dianggapnya keliru...” lanjut ayah
yang masih saja menunduk. Aku diam menunggu lanjutan kata-
kata ayah. Rasa sesal menghinggap, sebab aku tak bisa menemani
ibuku di sisinya kala ia sakit sampai meninggal dunia.
“Dia berkata-kata, seolah melihatmu di sisinya. Dia
kadang bilang ‘Tak sepantasnya kau begitu Wit’, lalu kadang dia
tersenyum sendiri sambil mengucap ‘Alhamdulillah’ berkali-kali,
terakhir kali seusai tersenyum dan mengucapkan syukur, tiba-
tiba dia menangis, lalu beristighfar, menggeleng-gelengkan
kepalanya. Aku sendiri tak tahu apa yang dialami ibumu saat
itu...” ayah menatapku dengan matanya yang masih berkaca-kaca.
44
Tiba-tiba dadaku berdegub keras. “Apa ibu berpesan
sesuatu?” tanyaku gemetar. “Katakan pada Wit, dia boleh pandai,
tetapi dia tak sepantasnya membodohi orang lain dengan
kepandaiannya. Ku rasa itu yang dulu diucapkan ibumu sebelum
dia berhenti mengigau...” kata-kata lirih ayah membentur isi
kepalaku. Aku terpaku, air mataku jatuh tak bisa ditahan lagi.
Perlahan ku alihkan pandanganku yang kabur ke dinding bambu,
gedhek. Di situ terselip selembar potret ibu, mengenakan kain
batik, baju putih dan kerudung hijau. Sederhana. Menyejukkan.
Mirip dengan...
“Kriiing!!” suara telepon menyentak. Tanpa mengucap
salam, suara Tan di kejauhan terdengar tegang. “Maaf Pak,
bukannya saya tidak turut berduka cita dengan meninggalnya
ibunda Bapak. Tetapi, ada yang harus saya katakan Pak”
suaranya terdengar masih tegang.
“Ada apa?” tanyaku. “Daun palem itu mengering Pak,
padahal sudah saya sirami, tapi rupanya tak bereaksi. Daun
palem itu mungkin mati Pak” kata Tan lagi. Aku diam. Tak bisa
berkata apa-apa. Tapi otakku berputar keras. Kutatap potret
ibuku, lalu anganku melayang pada daun palem proyekku.
Daunnya hijau, bertanah coklat, potnya putih. Sederhana dan
menyejukkan. Mirip dengan... ***
Bunga Hening Maulidina, lahir di Sragen 07 Agustus
1995. Beralamat di Clupak RT. 25, Mojopuro, Sumberlawang,
Sragen. Memiliki kegemaran membaca dan menulis. Kini masih
belajar di salah satu perguruan tinggi di Surakarta. Kontak
085725124749. E-mail [email protected].
45
Penggali Pasir Cerpen karya Danang Febriansyah
Pohon-pohon waru mulai berbunga. Bunga
berwarna ungu dan kecil-kecil menyebar di setiap ranting itu
merupakan sebuah pertanda alam yang diyakini oleh orang-
orang desa itu sebagai sebuah kabar gembira karena hampir
setahun lamanya kemarau menyiksa padi-padi di sawah.
Sebuah tanda-tanda yang diberikan alam akan datangnya
musim penghujan. Itu berarti mereka bisa memanen hasil
tanaman mereka musim ini, juga berarti bahwa tanaman mereka
terutama padi yang mulai menguning itu tak jadi mati.
Meskipun bisa dipastikan musim ini panen, tapi bagi
sebuah keluarga kecil di tengah pedukuhan sebuah desa
terpencil itu juga merupakan awal dari petaka dikeluarganya.
Tangis juga menggerimis seiring hujan mulai
menjatuhkan titik-titik airnya dengan begitu deras diiringi petir
yang menyambar saling bersahutan bertubi-tubi. Tangis yang
histeris memilukan hati para pelayat yang hadir di rumah itu.
Tangis dari seorang ibu yang kemudian pingsan akibat tak kuasa
menahan hati yang berdetak dan seakan meledak akibat ditinggal
mati anaknya yang masih berusia dua belas belas tahun.
“Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah anak
itu. Anak laki-laki yang kini telah membujur berselimut kain
kafan di tengah ruangan. Sementara para pelayat mengitarinya
46
sambil membacakan surat Yasiin yang terdengar perlahan. Dua
orang ibu membantu ibu anak itu dengan mengoleskan balsem
agar sadar dari pingsannya.
Di depan rumah, terdengar sebuah truk datang menderu-
deru. Lalu turun seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju
rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap
lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
“Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok
yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar
rumah menghampiri lelaki gempal itu.
“Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau
menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram
kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil
mengacungkan goloknya.
“Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat
sambutan macam apa yang didapatnya.
“Nyawa dibalas nyawa!”
Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut
setengah mati.
***
“Sekarangkan musim hujan No, lebih baik hentikan dulu
pekerjaanmu menggali pasir, sungai bisa tiba-tiba banjir besar.
Bukit-bukit cadas bisa saja runtuh,” ibu Tino menasehati anaknya
ketika Tino baru berganti pakaian setelah pulang sekolah.
“Iya bu, tapi Tino pingin sekolah, paling tidak sampai
lulus SMP. Tino nggak pingin menyusahkan ibu dan bapak.”
“Ibu ngerti, tapi akhir-akhir ini hujan sudah mulai deras.
Sekarang mendung di luar sudah gelap. Sebentar lagi pasti hujan.
Hari ini kamu di rumah saja dulu. Lebih baik kamu membantu
bapak kamu dulu menggarap sawah.”
Sebuah truk menggeram di depan rumah Tino.
47
“Pak Margono sudah datang bu, aku harus menggali pasir
untuk diantar ke Kecamatan. Tino berangkat bu,” Tino
menyalami ibunya dan berlari menghampiri truk pak Margono.
Seperti sudah tahu apa yang terjadi, ibu Tino melepas
kepergian anaknya dengan air mata yang perlahan mengalir.
Teringat cita-cita Tino untuk menyelesaikan sekolahnya. Ketika
Tino tahu orang tuanya tak mampu lagi membiayai sekolahnya
saat surat peringatan sekolah datang kepada ayahnya, Tino
nampak begitu sedih. Ingin rasanya membantu meringankan
beban orang tuanya dengan bekerja. Maka diputuskan untuk
menggali pasir di bukit-bukit cadas di pinggir sungai dengan
bersemangat. Pak Margono yang tahu semangat yang menyala
pada diri Tino, segera mengajak Tino untuk menaikkan dan
menurunkan pasir ke dalam bak truknya untuk diantar pada
pemesan dengan imbalan sepuluh ribu rupiah setiap kali
mengangkut.
Awalnya Tino tak meminta ijin pada orang tuanya,
sampai akhirnya orang tua Tino tahu sendiri kegiatan anaknya
itu sepulang sekolah. Meski setiap kali Tino berangkat, ibu Tino
selalu was-was. Gua-gua di dinding bukit galian dari para
penggali pasir untuk mencari pasir yang lebih lembut itu bisa
saja tiba-tiba runtuh. Apalagi para penggali pasir tak dilengkapi
peralatan keamanan.
Hingga siang yang mendung itu datang ibu Tino melepas
kepergian anaknya juga dengan perasaan khawatir. Truk itu
segera berlalu meninggalkan rumah Tino.
Di bukit cadas di tepi sungai yang lebar itu Tino bersama
beberapa orang tua yang juga penggali pasir dengan
bersemangat mengayunkan cangkulnya ke bukit cadas hingga
membentuk lubang yang mereka harapkan di dalamnya akan
ditemukan pasir yang lebih lembut daripada pasir-pasir yang
sudah tersedia di tepi sungai. Tino masuk ke dalam lubang itu
48
dan mendapatkan pasir yang diharapkan. Lubang yang dalam itu
begitu gelap. Gemuruh suara petir tak mereka hiraukan. Seperti
musim penghujan yang lalu-lalu, hujan deras disertai petirpun
tak mereka hiraukan demi mendapat rupiah sebagai imbalan
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi bagi Tino, rupiah
yang masuk ke sakunya adalah untuk membiayai sekolahnya.
Sebentar kemudian sungai itu banjir. Banjir yang tak
seperti biasanya, banjir yang besar. Gemuruh suara air sungai
yang banjir itu membuat orang-orang di luar galian pasir itu
segera berteriak memanggil teman-temannya yang masih di
dalam lubang galian pasir untuk segera keluar. Dari beberapa
lubang galian pasir satu-persatu penggali pasir keluar dan segera
menyelamatkan diri. Tapi Tino karena semangat yang tetap
menyala dan karena pendengaran Tino yang agak terganggu,
ditambah gemuruh hujan yang mengguyur dan banjir yang
membesar, Tino benar-benar tak mendengar teriakan orang-
orang.
Kemudian gemuruh bertambah, orang-orang panik,
gemuruh itu bukan dari hujan ataupun banjir, tapi dari bukit
cadas yang kemudian perlahan longsor, karena dinding-
dindingnya banyak berlubang, sehingga tak kuat lagi menyangga
bukit yang tampak kuat itu.
Tino yang masih di dalam panik, segera dia berusaha
keluar dari gua itu tapi ternyata lebih cepat longsor yang
menutup pintu gua. Tino terpejam pasrah…
***
“Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah Tino
di depan mayat anaknya yang telah terbungkus kain kafan.
Lalu terdengar sebuah truk datang menderu-deru di
depan rumahnya. seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju
rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap
lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
49
“Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok
yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar
rumah menghampiri lelaki gempal itu.
“Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau
menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram
kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil
mengacungkan goloknya.
“Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat
sambutan macam apa yang didapatnya.
“Nyawa dibalas nyawa!”
Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut
setengah mati.
Golok yang diayunkan pak Widi ke tubuh pak Margono
meleset karena pak Margono dengan gesit menghindar dan
membalikkan arah golok itu ke tubuh pak Widi.
Semua tersentak. Pak Margono sendiri juga tersentak.***
Danang Feb, nama pena dari Danang Febriansah. Alumni
Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, anggota Forum
Lingkar Pena (FLP) Cabang Solo sejak 2006. Sebagian karya-
karya yang pernah dipublikasikan antara lain di Buletin Ayyada,
majalah Serambi Al-Muayyad, majalah Hadila dan Solopos.
Terhimpun dalam Antologi Cerpen “Joglo 4” (TBJT, 2007) dan
Antologi Cerpen Nulisbuku “Love Never Fails” buku #3 (2014).
Cerpen-cerpen yang lain pernah dibahas intern FLP
dalam Bakar Sate (Bahas Karya Sambil Telaah) antara lain oleh
Donatus A. Nugroho, FB : https://facebook.com/danankfeb,
TWITTER: https://twitter.com/danankfeb, BLOG: www.cahaya-
bulan-sabit.blogspot.com
50
Gajahoying Cerpen karya Gatot Prakosa
Tidak karena mengikuti migrasi ratusan burung
layang-layang api yang terbang di langit pesisir utara Jawa pada
Oktober-November, Haji Somad pergi ke daratan sebelah timur.
Sebuah kota kecil seukuran 100 lapangan bola, dengan sekitar
dua ratusan kepala keluarga. Menuruti insting perutnya ia
menetap. Ia gembira ketika tahu kalau program keluarga
berencana belum masuk. Dan pertumbuhan penduduk itu erat
kaitannya dengan jumlah calon pembeli.
Hari ini sudah menginjak tahun kedua ia tinggal di situ, di
dekat pasar. Matahari tak begitu terik di atas. Angin sesekali
mengipasi udara dan dagangan di jalan Gajahoying. Haji Somad
merapikan dagangannya, baju-baju bekas sisa ekspor, yang di-
hanger agar kelihatan bersih.
Sudah sebulan belakangan ia kesal karena di depan kios
pakaian bekasnya berdiri sebuah salon. Sebelum berganti wajah
jadi salon, tempat itu adalah warung makan. Ia kenal pemiliknya
yang selalu mengeluh kepadanya. Sebenarnya kalau salon benar-
benar, barangkali tidak menyusahkan Haji Somad. Setiap sore
pegawai salon yang semua perempuan, duduk di dekat pintu
salon dengan pakaian yang kurang pantas. Pemandangan tak
baik bagi orang beriman.
Ia mau melaporkan gangguan itu, tetapi kepada siapa? Rt
atau Rw atau kelurahan di sini belum seperadaban di tempat lain.
51
Keamanan dan ketertiban hanya memakai jasa Linmas yang
direkrut dari luar daerah. Mengadukan hal-hal seperti ini ke
pihak begitu, Haji Somad takut bakal menyulut kerusuhan SARA.
Dirinya hanya pendatang, orang biasa, tak punya backing-an.
Sedikit alasan itu menahan kegusarannya. Dan ia mulai
memikirkan pindah kios.
Sehembus nafas haji Somad, ia melihat dua orang
perempuan pekerja salon duduk di depan. Menarik pelanggan
dengan tubuh yang terbuka.
Dengan kesalnya Haji Somad pergi ke dalam kamar.
Melewati pintu yang tak bisa tertutup rapat karena gerendel
yang rusak, ia melihat pengunjung kios tak juga bergeser. Itu
tempat terbaik bagi pengunjung kios pakaian bekasnya untuk
mencuri pandang ke salon seberang jalan. Haji Somad tahu itu.
Di dalam kamarnya ia menanggalkan kopiah, melipatnya
kemudian ditaruhnya di lemari. Dengan tergesa ia mencukur
habis janggutnya yang sudah dipelihara sejak pertama bisnisnya
dirintis.
Selesai dengan janggutnya ia pergi ke depan melayani
pelanggan yang terkejut lantas pura-pura memeriksa sebuah
jaket levis yang dipajang. Haji Somad memberitahukan kualitas
jaket itu dan kenapa sampai di kiosnya.
“Kalau yang ini kualitasnya lebih bagus, tapi ada cacatnya
di sini,” Haji Somad menunjukkan jahitan yang keliru di jaket
kulit lainnya.
Beberapa saat memeriksa, pelanggannya menyerahkan
jaket itu kembali. “Lain kali saja ah, Mang.”
Pelanggannya pergi. Ia melihatnya berjalan, menoleh tiga
kali ke salon sebelah kiri jalan. Haji Somad hendak mengelus
janggutnya, dan merasa kehilangan sadar sudah mencukurnya.
52
Sejak hari itu kios baju bekasnya bertambah pelanggan.
Haji Somad meyakini kalau itu ada kaitannya dengan kopiah dan
jenggot yang hilang. Ia tahu mereka tak benar-benar membeli. Di
kios pakaian, orang-orang ini mencuri-curi pandang kepada
perempuan di salon. Haji Somad geleng-geleng kepala. Malas ia
mesti selalu menjawab pelanggannya yang malu-malu tanya
harga sebuah celana atau jaket. Meski satu dua orang akhirnya
betul-betul membeli, dan itu barang yang harganya paling murah.
Ia tak senang orang membeli karena malu.
***
Bulan ini, kabar pemerintah pusat menaikkan gaji guru
PNS tidak didengar Haji Somad. Hari itu tiba-tiba harga minyak
tanah naik, beras menyusul, lalu telur dan daging, dan terakhir es
teh dari 1500 mulai hari itu jadi 2500. Upin yang pedagang bakso
dan kopi kesulitan beli daging. Warungnya yang berjarak sepuluh
meter dari salon hijau sudah berjuang dari sedikitnya pelanggan,
sekarang ditambah harus menanggung kenaikan harga. Mau
dijual berapa baksonya nanti? Siapa yang mau beli? Warung
makan yang berganti salon itu barangkali ganti usaha karena
informasi soal-soal begini sudah terbaca pemiliknya.
Haji Somad kesulitan kalau harga pakaian bekasnya nekat
dinaikkan. Kiranya hanya guru PNS saja yang bisa beli. Dan
sayangnya pelanggannya bukanlah pegawai negeri. Dan bagi
Srondol (belakangan Haji Somad tahu pemilik warung makan
yang tutup jadi pemilik salon hijau pula), kondisinya sama saja. Ia
melulu berdoa agar moral guru-guru PNS memburuk dan suka
main ke salon hijaunya.
Hari ini Srondol, pemilik warung makan dan salon hijau
sekarang, mengajaknya makan di warung bakso Upin seperti
biasanya dulu sewaktu salon belum ada. Haji Somad merasa
senang punya kesempatan bicara soal keberatannya atas
pegawai salon.
53
Ia tak menutup kios baju bekasnya, menyusul Srondol ke
warung bakso Upin. Hari itu warna sore yang menggantung di
langit-langit tampak sewarna teh, dan Haji Somad merasa akrab
dengan Srondol.
Sebenarnya setiap kali ada kesempatan, Haji Somad ingin
benar menyampaikan keluhannya soal perempuan di salon.
Tetapi selalu saja gagal. Akalnya membaca persoalan beban
ekonomi yang lebih menyeramkan. Seperti hari ini juga.
Ia tahu semua orang sedang mengencangkan ikat
pinggang. Dan ia ingat pengakuan Srondol suatu hari di belakang
hari ini. Ia sebenarnya hanya ingin dapat makan, punya rumah,
punya istri. Sederhana saja, tak perlu berlebih. Sayangnya ia tak
punya kemampuan untuk bekerja. Ia hanya tahu laki-laki di sini
tua dan muda butuh perempuan-perempuan penghibur. Dan ia
mengerjakannya, menyediakan itu. Lagipula perempuan salon
hijaunya juga senang bekerja untuknya.
Haji Somad mengerti kalau kesulitan ekonomi tidak
hanya menimpa dirinya saja. Ia bisa membagi keluh-kesahnya
dan menerima bagian keluh-kesah tetangganya.
Desas-desus telah sampai padanya. Sebuah pabrik rokok
besar di sebelah timur, perbatasan dua kelurahan, telah siap
berproduksi. Sedang dibuka perekrutan karyawan. Butuh lebih
dari dua ratus orang baru. Kabar itu sampai di kios baju bekas
dan salon hijau. Orang menyebarkan isu kalau kerja di pabrik
adalah solusi dari kesulitan ekonomi. Bekerja di pabrik lebih
menguntungkan daripada bekerja di sawah atau kuli bangunan.
Isu itu jadi keterlaluan karena dikatakan pula, lebih
menguntungkan daripada menjual pakaian bekas.
Haji Somad, Srondol dan perempuan-perempuan pekerja
salon hijau masuk dalam gegap gempita orang-orang yang
menginginkan perubahan. Jadi karyawan pabrik yang teratur dan
tertib. Karena mendaftar bersama-sama, mereka bertemu
54
kembali di ruangan, dan jenis pekerjaan yang sama di pabrik.
Srondol ketawa mendapati dirinya bekerja bersama orang yang
kemarin bekerja untuknya.
“Bisa juga kau menjahit, bang Srondol. Daripada bisnis
salon, mendingan buka jahitan saja. Perempuan-perempuan itu
juga bisa jahit kok,” ledek Haji Somad.
Srondol ketawa. Ia tak menggubris cemoohan pak Haji.
“Sst... Mei. Mei. Ajari aku, Mei. Please. Ini model baru ya?”
pinta Srondol pada perempuan bekas anak buahnya yang
menjahit di sampingnya.
Dengan besarnya kesabaran perempuan itu pelan-pelan
mengajarkan. Haji Somad memandangnya senang. Dalam hati ia
bersyukur, jalan hidup yang baik akhirnya datang untuk
tetangganya itu.
Sekian bulan berjalan, Haji Somad, Srondol dan
perempuan-perempuan dari salon hijau bekerja dengan rajin dan
tertib. Tetapi belakangan, ternyata lambat laun pembayaran gaji
perbulan kena pemotongan ini-itu. Karyawan-karyawan pabrik
mulai gerah dengan beban kerja yang makin diperberat. Target
seorang karyawan harus menghasilkan sekian potong pakaian
sehari kerja, terlalu konyol. Jam kerja yang seharusnya sampai
pukul 4 sore, jadi molor sampai pukul 8 malam. Lagipula itu
tanpa upah lembur. Gaji yang dulu tampak cukup untuk
kebutuhan sehari-hari, sekarang jadi kurang. Banyak karyawan
yang jatuh sakit, kelelahan, tetapi tak diurus pihak pabrik.
Kejadian-kejadian itu lama-lama membakar emosi sebagian
karyawan untuk turun ke jalan, berdemo menuntut kelayakan
upah dan kelayakan kondisi kerja.
Haji Somad, Srondol dan perempuan-perempuan dari
salon hijau turut dalam gelombang demonstrasi. Mereka berjalan
mengadukan apa yang menimpa mereka ke kantor pemerintah
daerah.
55
Malam hari mereka menyiapkan kertas-kertas dan kain
yang panjang buat ditulisi. Tuntutan kelayakan upah dan
kelayakan kondisi kerja, itu tuntutannya. Paginya pada jam
masuk kerja, mereka menggelar demonstrasi, mengajak semua
buruh ikut mogok kerja. Lima puluh orang jumlah pendemo pada
akhirnya. Siang hari, setelah terusir dari depan pabrik, para
demonstran mengalihkan demo ke kantor pemerintah daerah.
Berjalan kaki sampai dua kilometer ke tengah kota.
Tetapi sial, pemerintah di daerah sini belum seperadaban
dengan daerah yang lain. Pemerintah lebih suka mendengar dan
menyaksikan pembangunan yang berjalan cepat. Pabrik yang
menampung pekerja seribuan itu mesti berjalan baik. Itu saja.
Buntut dari demonstrasi itu, lima puluh orang karyawan
pabrik yang berdemo dipecat. Haji Somad, Srondol dan
perempuan-perempuan dari salon hijau kecewa. Mereka pulang
ke rumah dengan sedih dan menyesal.
Di warung bakso si Upin mereka bertemu lagi.
Semangkok bakso panas dan pedas rasanya melegakan pikiran
yang kusut akibat pemecatan.
Besoknya Haji Somad membuka kios baju bekasnya lagi,
membersihkan debu-debu setelah berbulan-bulan ditinggal. Ia
melihat di seberangnya salon hijau sudah dibuka lagi.
Perempuan-perempuan yang berfantasi hidup lebih baik sudah
datang membersihkan dan menyiapkan salon agar nanti sore
bisa mulai buka lagi.
Haji Somad mengambil gunting, dicukurnya jenggot yang
tumbuh selama bekerja di pabrik. Kopiahnya dilepas lagi.
Seorang bapak-bapak masuk melihat-lihat baju bekas. Haji
Somad memperhatikan bagaimana pelanggannya mencuri-curi
pandang ke arah salon. Haji Somad cuma menggeleng-geleng
kepala. ***
56
Kota Cahaya Cerpen karya Hardi Rahman
Akulah cahaya yang melesat ke sana-kemari. Tubuhku
hanya sebentuk atom cahaya, yang tidak dapat dibelah lagi. Aku
tidak pernah tahu apakah aku hidup atau mati. Tapi aku selalu
bergerombol dengan cahaya lainnya. Saling berkejaran di
angkasa. Berebutan ketika tirai dibuka dan kami berlesatan
mengisi ruang gelap. Akulah hanyalah cahaya. Sebuah inti yang
bersinar tapi tidak memiliki detak jantung.
Sebuah titik terlihat begitu kecil di ujung sana. Aku dan
inti cahaya lainnya sedang menunggu tirai tempat kami
bersemayam dibuka, lantas kami berlesatan menggapai titik itu.
Titik yang menjadi ruang gelap. Hampa. Tanpa cahaya. Dan
ketika semua ruang terisi, ruang itu pun bersinar.
Tirai pun terbuka.
Aku melesat hebat dengan ekor panjang karena waktu
belum mampu merekam kecepatanku. Karena suara masih bisa
kuinjak saat berlari. Karena aku lebih cepat daripada angin,
kedipan mata, dan desah napas.
Kami pun mengerubungi titik itu. Titik kecil yang bagiku,
mungkin hanya sedikit cahaya saja yang bisa mengisi ruang gelap
di dalamnya. Ketika aku menempel, tiba-tiba ada perbedaan dari
ruang gelap sebelumnya. Titik itu bisa melakukan sesuatu yang
57
tidak dilakukan ruang gelap lain. Ia bisa menarik kami, para
cahaya. Kami ditarik. Ia seperti black hole.
Kami pun tersedot dan mengendap dalam sebuah ruang.
Ruang itu tidak bisa ditembus karena memiliki dinding selaput
tipis yang keras dan tidak berlubang.
Lama kelamaan tubuh kami melebur dan menjadi satu.
Kami, para cahaya, memadat. Membentuk sebuah entitas besar.
Apa mungkin kami akan menjadi matahari kedua? Ah. Di inti titik
ini, tidak ada sumber panas seperti matahari. Matahari tercipta
karena inti-inti cahaya panas terkumpul dan memiliki sumber
panas pada pusatnya. Tapi kami hanyalah inti cahaya biasa.
Aku merasa intiku berkembang dan semakin besar
karena inti cahaya lainnya melebur. Ah, sepertinya bukan intiku
yang berkembang. Tubuhku pun menyatu pada titik awal. Kami
mengeluarkan cahaya sampai batas tertinggi. Entitas yang
terbentuk dari tubuh kami bersinar dengan sangat terang,
mengalahkan terangnya matahari. Tapi kami teduh, karena inti
kami tidak mengandung panas.
Entitas itu mulai meredup. Kekuatan cahayanya
berkurang. Dan perlahan-lahan mulai tampak sebuah wujud
dengan warna asing. Warna-warna yang bukan berasal dari
warna cahaya. Warna-warna ini ada yang gelap, ada yang terang.
Ada cokelat, hijau, hitam, merah, kuning, biru dan sebagainya.
Angin berhembus di entitas ini.
Aku mulai sadar. Ternyata aku menjadi inti entitas ini.
Sebuah wujud baru yang bukan cahaya dengan sosok nyata, bisa
disentuh, bisa dilihat, dan bisa dipijak. Aku turun dan menempel
dengan bumi. Dan aku yakin, sekarang aku telah menjadi sebuah
tanah, tanah cahaya.
***
Orang-orang mulai berdatangan dengan membawa anak
dan istri mereka. Pada mulanya hanya bertamasya, tapi ternyata
58
aku menjadi tanah idaman mereka. Kuberikan mereka angin
yang teduh, yang sering kali berjalan pelan menyapa rambut
mereka. Kutumbuhkan pohon-pohon besar berbuah lebat dengan
ukuran yang tidak biasa. Mereka menikmatinya. Kubuat mata
mereka dimanjakan oleh danau luas yang membentang dari
ujung ke ujung, dengan warna biru berkilauan dan angsa ramah
seakan ingin berkawan dengan mereka. Gunung-gunung yang
telah lama berdiri kokoh pun membuat mereka semakin
bersemangat untuk tinggal di sini, di kota ini.
Batu demi batu mereka tumpuk. Tiang-tiang mulai
dibangun. Kubiarkan mereka menebang pohon secukupnya dan
mengangkut batu dari gunung untuk membuat tempat di mana
mereka beristirahat. Rumah. Mereka menyebutnya. Mereka
meratakan tanah yang awalnya sulit untuk dilalui. Aspal mereka
tuang di tanah itu. Lantas jalan hitam berkilauan membentang
membuat kota ini semakin nyaman.
Malam merangkak dan semakin liar. Angin kubiarkan
bergerak lebih cepat. Pohon-pohon bergoyang kencang. Daun-
daun rontok dan ranting berisik.
“Maling, maling!” teriakan membelah malam. Orang-
orang tegang. Tiba-tiba satu dua pintu rumah terbuka. Benda-
benda yang bisa dipukul pun terpukul. Malam semakin ramai
oleh semarak manusia.
Seorang lelaki dengan ketakutan terus berlari menembus
gelapnya malam. Hawa dingin yang mencekam tidak mampu
menahan keringat dari pori-pori kulitnya. Ia basah bersimbah
keringat. Berlari dan terus berlari.
Teriakan orang-orang semakin memburu.
“Maling! Maling!”
Obor mereka nyalakan. Kegelapan terbunuh satu persatu.
Mereka mencari di setiap sudut. Mencari. Dan mencari.
59
Lelaki tadi terus berlari dan ia tidak memerhatikan jalan.
Ia tersandung sesuatu. Tubuh kurusnya terlempar dan
menciptakan bunyi gemerisik yang cukup terdengar. Seakan
malam tidak rela membiarkan sunyinya terusik, diserahkannya
lelaki tadi pada kenyataan. Orang-orang pun berhenti mencari.
Mereka saling pandang dan mengangguk. Mereka pun berlari ke
asal suara tadi.
“Hey! Ini malingnya!” lelaki pembawa obor menemukan
seseorang mencoba bangkit setelah tersandung akar pohon di
pinggir jalan. Orang-orang pun langsung merapat dan
mengangkat tubuh orang itu.
Ia, lelaki yang terjatuh, ketakutan. Barang yang ia curi ia
serahkan begitu saja dengan tangan gemetar. Orang-orang saling
pandang lalu berteriak, “Adili, adili!”
Suara lelaki tadi membatu, tertahan di tenggorokan. Ia
tahu, usianya tidak lama lagi. Sekarang pun ia diseret entah
menuju ke mana. Ia terus merapalkan doa di dalam hati dan
berharap Tuhan mendengar doanya.
Aku menggetarkan tanah, membuat orang-orang berhenti
dan melepaskan lelaki tadi. Tanah pun kubelah dan memisahkan
lelaki tadi sendirian. Ya, aku harus menyucikannya.
Membersihkan jiwa dan raganya juga menyatukannya dengan
tubuhku.
Cahaya yang menyilaukan keluar dari dalam tanah. Aku
langsung memeluk lelaki itu dengan kelembutan. Senyum
tergores di bibirnya. Ia menjadi tenang. Dan perlahan, cahayaku
mulai meresap, menyatu dengan tubuhnya. Kubiarkan ia lebur
tanpa rasa sakit. Ia menjadi cahaya lantas mengeras, mengendap,
menjadi entitas nyata yang bisa dilihat dan disentuh. Ia telah
menjadi bagian dariku.
Orang-orang bergetar. Mereka tidak percaya dengan apa
yang baru saja mereka lihat.
60
“Iiitu apa?”
“Lelaki tadi ditelan cahaya.”
“Kuburkah?”
“Orang kota ini belum ada yang mati.”
“Apa itu?”
“Cahaya.”
“Ini kota cahaya!”
Malam tidak lagi gelap. Mereka pun sepakat menamaiku
sebagai kota cahaya.
***
“Kau mau menjadi cahaya seperti orang-orang dulu,
Mayra?”
Wanita yang ada di sampingnya terdiam sambil
mengusap perutnya yang semakin membesar. Di dalam hati,
Mayra terus menghitung, berapa hari lagi ia akan melahirkan. Ia
ingin sekali kedua orang tuanya hadir ketika ia melahirkan.
“May,” Adri menjatuhkan kepalanya di pundak Mayra.
“Maafkan aku.”
Mayra mengusap kepala Adri. “Bukan salahmu. Ini adalah
keputusan yang telah kita ambil.”
“Tapi keinginanmu….”
“Sudahlah,” tukas Mayra, “ini jalan kita, Dri.”
“Sekali lagi maafkan aku,” Adri memeluknya. Air matanya
mengalir deras. Rasa perih menjalar di dalam hatinya. Perasaan
bersalah pun mengendap di dalam hati.
Keheningan menebal, menjadi dinding di antara mereka.
Pelukan itu menghangat, membuat darah mereka berdua
berdesir. Ada rasa tidak ingin kehilangan yang muncul di relung
hati terdalam mereka.
61
“Mungkin setelah anak kita lahir, aku akan menyucikan
diriku, seperti orang-orang terdahulu yang penuh dosa. Aku tidak
ingin anak kita menanggung dosa yang kuwariskan,” Adri
mengecup dahi Mayra.
“Apakah mitos itu masih berlaku? Tidak ada satupun
orang bodoh yang ingin mengorbankan dirinya bersatu dengan
kota ini. Hilang di telan cahaya sebagai bentuk ritus penyucian
diri. Lagi pula itu namanya kau tidak bertanggung jawab, Dri!”
“Bbbukan begitu, May. Tapi….”
“Setidaknya kau ajaklah aku. Aku ingin selalu
bersamamu,” Mayra mengencangkan pelukannya. “Kalau saja kita
menuruti keinginan Mama dan Papa waktu itu….”
“Kita tidak akan diliputi rasa bersalah seperti ini.
Setidaknya, kita tidak akan bersama seperti ini,” senyum
kegetiran tergores di bibir Adri. Ia melepaskan pelukannya.
Mereka pun duduk di atas dipan kayu dengan kasur bersarung
biru. Jendela kamar mereka terbuka. Udara malam masuk
mereka abaikan. “Kalau seperti itu, apakah kau pikir ini sebuah
penyesalan?”
“Tidak! Aku tidak ingin itu. Aku mensyukurinya, Dri. Aku
menikmatinya.”
“Setidaknya kita telah menikmati kebersamaan yang
terjal ya, Mayra.” Mereka berdua bertukar senyum. “Berapa lama
lagi anak kita akan lahir?”
“Tinggal menghitung hari, Dri. Mulai sekarang aku harus
membiasakan diri memanggilmu Papa.”
“Aku akan memangilmu Mama. Walau tidak pernah
sekalipun pernikahan kita lewati. Ah…”
“Sudah, Adri, sudah! Papa, sudahlah. Lupakan masa lalu.”
Air mata mereka tumpah. Tapi pelangi membusur indah
di bibir mereka. Pasrah. Mereka mulai merasa hidup tanpa
62
beban, tidak seperti dulu. Mereka berusaha masa lalu dan
kepedihan yang terus menerus melukai mereka.
Adri berdiri dan mendekat ke jendela. Ia memerhatikan
keadaan di luar rumah. Sepi. Satu dua lampu rumah tetangga
mulai padam. Ia menutup jendela.
***
Kuturunkan angin untuk menggerakkan pohon. Angin
merayap cepat menghempaskan debu. Pasir-pasir berkumpul
pasrah terdorong angin, menebas rerumputan, mencabut akar
dari tanah dan mencabut pohon dari asalnya.
Malam gemetar melihat aku mulai bergerak. Cahaya
masih kupendam di dalam tanah, tapi satu persatu partikel
cahaya muncul dari rongga-rongga tanah. Seperti kunang-
kunang. Tapi cahay kali ini lebih terang. Mereka bergerak
bersama angin, debu, ranting, daun ke segala arah. Kota ini sudah
tertidur.
Aku mulai mendesak mendekati pusat kota. Menari-nari
dengan gembira. Memanggil mereka yang lupa dengan segala
bentuk perbuatan mereka. Aku harus menyucikan mereka yang
berdosa. Mereka lupa pengorbanan masa lalu.
Aku terus bergerak.
Sebuah keluarga tertidur pulas, entah bermimpi apa,
bapaknya berusaha menyembunyikan asal harta yang ia dapat.
Aku melingkupi rumah itu keseluruhan. Satu persatu partikel
cahaya berkumpul, lantas bersatu. Tanpa rasa sakit, tubuh
mereka terurai menjadi cahaya bersama partikel cahaya lainnya.
Kulit mereka retak dan pecah, berhamburanlah menjadi titik-titik
cahaya sempurna. Rumah itu lenyap, partikel cahaya lain pun
bergerak mendatangi rumah-rumah.
Seorang wanita tengah mendekap erat seorang lelaki. Ia
melupakan anak dan suaminya di rumah. Pikirannya terlupa
63
sejenak. Ada rasa bangga di sana. Ia merasakan kenikmatan yang
tidak bisa ia ceritakan. Aku pun meresap di antara tembok,
menembus dinding tebal. Tubuhku adalah cahaya, dan satu
persatu cahaya mulai mengerubungi mereka. Mereka pun
melebur dan bergerak menyucikan rumah-rumah lainnya.
Ada seorang anak yang terlentang tidak berdaya di sudut
toko. Ada pasangan dengan wanita yang sedang hamil, mungkin
beberapa hari lagi ia akan melahirkan, tapi perasaan bersalah
melingkupinya. Ada pemimpin yang tidur dengan nyenyak. Aku
semua menyucikannya. Ayam, kucing, sapi, kerbau, burung,
pohon, semua kusucikan. Menjadi cahaya, lantas bersatu bersama
tubuhku.
Pada mulanya menjadi partikel kecil sebentuk atom yang
tidak bisa dibagi lagi. Cahaya kecil yang terang. Mereka tetap
mencapai hakikat tertinggi sebagai manifestasi pencarian yang
selama ini mereka lupakan. Mereka tenang dalam penyucian. Aku
tidak menyakiti mereka. Tubuh-tubuh mereka yang bercahaya,
mulai terurai dan bersatu denganku.
Semua cahaya berputar-putar di langit malam, lantas
bersatu membentuk sebuah bola besar. Tanah ini mulai bergetar
dan memunculkan cahaya lainnya. Gunung-gunung, pepohonan,
danau, seluruh hewan, tanah beraspal, melebur, menjadi cahaya.
Mereka bersatu. Aku merasakan banyak detak jantung perlahan
melambat. Pelan. Pelan. Lalu menghilang. Tubuhku bersinar
sangat terang dan kegelapan malam sudah kutelan. Cahaya besar
itu mulai meredup. Tubuhku mengeras menjadi warna yang
beragam. Aku kembali menjadi entitas yang bisa dilihat dan
disentuh. Entitas besar yang menwujud. Kembalilah aku menjadi
tanah. Tanah yang mengambang di udara, lalu turun dan
menyatu dengan bumi.
Di tanah ini belum ada detak jantung. Tanah masih
berbau, pepohonan masih perawan, danau harmonis dan
64
binatang berbagai ukuran dan jenis berlarian di segala tempat.
Aku kembali menjadi sebuah tanah, tanah cahaya.
Balaraja, 2013
Hardi Rahman, penyuka makanan manis, sesekali
menulis cerita, puisi dan esai.
65
Risalah Cinta Sahara Cerpen karya Kalis Mardi Asih
Aku suka tubuhmu yang kurus kecil. Nampak ringkih
dan penyakitan, padahal kau pasti tak pernah sampai kelaparan.
Walaupun kau juga merokok seperti kami, kebutuhan gizimu
pastilah sangat tercukupi. Aku juga menyukai gelak tawa yang
cair di tengah-tengah ritual mendongengmu di sekolah terminal
tiap dua kali seminggu. Kalau boleh memohon pada Tuhan, sejak
kedatanganmu, rasa-rasanya aku ingin semua hari berubah
menjadi Rabu dan Sabtu, hari ketika kau terjadwal datang ke
markas kami -sebuah ruang bekas pencatatan administrasi di
belakang terminal kota Depok- agar aku bebas memandangimu
dalam waktu yang lebih dari lama.
Tidak hanya aku yang menyukaimu. Hampir semua anak
yang biasa mangkal di belakang terminal membicarakanmu pada
hari-hari senggang ketika kami menghitung uang hasil
mengamen sambil istirahat untuk sekadar minum bir oplosan
dan menghisap uap lem aibon. Menurut pendapat mereka, Kak
Abdi adalah teman baik yang tidak perlu dicurigai dan dilawan
seperti para mahasiswa pengajar sekolah terminal yang lain. Kak
Abdi sangat berbeda, tidak seperti gerombolan orang-orang suci
yang tiba-tiba sering datang ke tempat kami dan memberikan
ceramah tentang halal-haram, surga-neraka, dan juga baik-buruk.
Benturkan saja khotbah-khotbah khayal itu ke jidat kami dan
66
jangan harap sampai masuk ke kepala apalagi berharap kami
percaya.
Dua bulan lalu, sekolah terminal yang katanya program
mahasiswa kampus ternama berjaket almamater kuning cerah
itu mendapat persetujuan Ustadz Khomeini, imam masjid
terminal yang rajin adzan lima kali sehari dan lebih sering sholat
sendirian karena sepertinya tak ada orang yang ingin pergi
menjadi makmumnya. Terminal tetap hiruk pikuk diantara
teriakan dan makian, kepulan asap bis, angkutan umum, derit
klakson mobil, motor dan asap rokok. Bau-bau keringat para
sopir, kondektur, pegawai dinas perhubungan, tukang parkir,
pedagang asongan, pengamen, pengemis, mucikari dan lonte
yang biasa mangkal di losmen-losmen belakang terminal
tertinggal di warung-warung makan, kendaraan, loket, tembok,
kursi tunggu, dan angin di terik siang yang membakar kulit.
Aku tidak pernah tahu apa arti nama Sahara. Lagipula
sampai hari ketika kau datang aku juga tak menganggap penting
arti dari sebuah nama. Aku hanya tahu bahwa namaku Sahara.
Memang sepertinya aku pernah dengar dari pelajaran-pelajaran
di sekolah yang jarang kuperhatikan dengan sungguh-sungguh
tentang sebuah gurun di Afrika bernama Sahara. Tapi hanya
kamu yang bilang kalau barangkali orangtuaku menginginkan
aku punya hati yang luas seperti luasnya gurun sahara.
Hati yang luas? Ah, siapa peduli? Tidak sekalipun ibu atau
bapak. Ibu hanya seorang buruh cuci berbadan ringkih yang suka
menangis ketika bapak pulang ke rumah. Kurasa ia istri yang
kurang beruntung dan sangat aneh karena tak pernah
mengharapkan suaminya pulang. Bapakku adalah seorang
kondektur bis antar kota yang jarang pulang. Barangkali karena
manjurnya doa-doa ibu. Tapi semanjur-manjurnya doa ibu, tetap
saja sekali waktu bapak pulang. Bapak selalu pulang dengan
membawa perempuan muda yang badannya tidak ringkih seperti
Ibu. Lalu ibu akan menangis lagi. Dan aku tidak peduli.
67
Kata orang, aku adalah anak bajingan. Kau pun juga
bilang begitu. Sesuai usul Bonek, ketua geng anak terminal, kami
harus menceritakan semua aktivitas yang biasa kami lakukan
dengan jujur agar para mahasiswa yang membosankan itu tidak
betah dan tidak datang-datang lagi ke tempat kami. Bukankah
program para manusia terpelajar yang sudah-sudah juga begitu?
Paling-paling hanya kuat paling lama sebulan, mereka sudah
tidak berminat “berkawan” dengan kami lagi seperti yang
mereka ucapkan di awal pertemuan.
Biasanya Bonek akan bercerita dengan mantap kalau ia
biasa membayar duapuluh ribu rupiah agar bisa “dipijit” Tante
Rina di losmen belakang terminal. Riko dan Deri akan bercerita
disertai tawa yang menggelegak mengingat pengalaman-
pengalaman mereka ketika saling memuaskan hasrat satu sama
lain karena penghasilannya habis untuk biaya sekolah adik-
adiknya yang masih belajar di Sekolah Dasar. Puluhan anak yang
lain juga akan menceritakan hobi mereka kabur dari sekolah,
memukuli teman sekolahnya yang sok kuasa mentang-mentang
kaya, dan yang paling banyak tentunya tentang cerita-cerita
menyedihkan mengapa mereka putus sekolah.
Aku yang katamu berhati luas ini, sudah bergabung
bersama geng Bonek untuk mengamen sejak usia sembilan
tahun. Selain mengamen, aku juga sering datang ke losmen untuk
memijit. Aku kerap mengamen dengan pakaian seksi, sebab
seringkali ada om-om yang kemudian menawarku dan kemudian
minta dipijit di losmen. Hasilnya lumayan. Aku tidak perlu lagi
minta uang untuk bayar sekolah pada Ibu.
Tapi ketika berdekatan denganmu, rasanya aku ingin yang
lebih dari itu. Aku merasa aman ketika tempo hari kau mengelus
rambutku. Ada getar yang tak biasa, yang ingin sekali aku raih
dan aku bungkam dalam waktu. Entah apa.
68
Tempat kami mengamen dibagi-bagi oleh Emon, lelaki
seumuran ayah yang suka berbuat jahat pada beberapa anak laki-
laki. Seperti ayah, Emon suka memukul jika hasil mengamen
kami tidak terlalu banyak. Emon adalah satu-satunya alasan kami
ikut kegiatan-kegiatan membosankan semacam sekolah terminal
karena kami punya alasan jika pendapatan kami berkurang.
Emon tidak akan berani berhadapan dengan Ustadz Khomeini. Ia
berkali-kali dilaporkan ke polisi oleh Pak Ustadz. Tapi ia selalu
saja bisa kembali menemukan markas kami setelah keluar dari
penjara.
Anak-anak orang kaya yang suka memakai baju dan
barang-barang bagus itu mengajar matematika tiap hari Rabu
dan bahasa inggris tiap hari Sabtu. Mereka bilang dua pelajaran
itu penting agar kami bisa menjadi orang sukses. Padahal kami
tidak pernah ingin jadi orang sukses. Oh, sebenarnya kami tidak
tahu arti sukses itu apa. Barangkali, orang sukses itu adalah yang
seperti mereka. Kalau benar begitu, aku dan geng anak terminal
tidak ingin jadi sukses. Kami hanya ingin terus sama-sama.
Minum bir, ngelem sambil sesekali mengendorkan otot-otot
bareng tukang pijit di losmen kalau ada uang hasil ngamen yang
tersisa. Yang penting kami aman dari jeritan dan makian yang
ada di rumah. Aku juga aman dari ibu yang suka menangis dan
bapak yang suka memukul ibu.
“Kemarin malam Kak Abdi datang ke Margonda. Dia ikut
kita nongkrong sampai pagi.” Riko bercerita sambil mengepulkan
asap rokoknya ke udara kota yang pengap.
“Kak Abdi ikut kalian ngelem? Atau ikut kalian ke losmen
buat main-main sama Tante Rina?” Aku bertanya dengan mata
sedikit terbelalak. Kaget.
“Enggak lah. Kita cuma minum-minum sedikit. Kak Abdi
cuma ngeliatin kita sambil ngerokok dan cerita-cerita sampai
69
ketiduran disana.” Jawab Bonek dengan gerak kepalanya yang
khas, sepertinya ada sarafnya yang sudah putus karena
kebanyakan ngobat.
“Kak Abdi baik, Har,” Deri menyahut setelah
menghabiskan seplastik es teh, ”Dia bilang nggak apa-apa kita
kayak gini. Tapi kata Kak Abdi, kita tetep harus inget kalau Tuhan
masih peduli sama kita.”
“Peduli? Buktinya?” Aku menginterupsi kalimatnya.
Hatiku selalu berdebar-debar tiap nama Abdi disebut.
“Ya kalau nggak peduli, kita nggak akan bisa seneng
bareng-bareng kayak gini. Kita masih dikasih banyak temen baik.
Masih dikasih duit buat mabok, buat ngelem, buat minta jatah
Tante Rina…Kata Kak Abdi itu karena Tuhan yang Maha Baik.”
Ya. Aku tentu juga masih ingat. Suatu sore Kak Abdi
menatapku lekat sambil berujar, ”Hara, jika hidup mengharuskan
kalian jadi bajingan, kalian harus jadi bajingan yang tetap punya
cinta di hati. Bajingan yang nggak akan pernah memukul Ibu.
Bajingan yang nggak menyusahkan hidup orang lain. Bajingan
yang nggak membunuh…”
Aku adalah bajingan yang punya cinta di hati. Cinta
untukmu, Kak Abdi.
Kau tidak lebih tampan dari teman-temanmu yang lain,
para cendekia yang suka ha-ha-hi-hi setelah mengajar seolah-
olah kami adalah anak TK yang gampang dibohongi untuk
perintah menyanyi dan menari. Tapi matamu elang, senyummu
sangat purba dan aku terhempas tanpa daya di pusarannya.
Berkat kau, teman-temanku tidak terlalu melawan lagi pada para
manusia terpelajar itu, mereka malah semakin bersemangat
datang tiap hari Rabu dan Sabtu. Lucunya, mereka hanya mau
70
berkumpul jika kau datang. Kau akan mulai mendongeng hal-hal
lucu tentang Tuhan, menceritakan pengalamanmu hari itu,
menyanyi dan memetik gitar dengan tiba-tiba, serta kadang-
kadang berdiri untuk berlagak seperti artis sinetron yang
memainkan peran. Mereka mendengarkanmu dengan senang,
tapi mereka tidak mau belajar matematika ataupun bahasa
inggris.
Pada satu hari Sabtu ketika kau pamit pulang dari
terminal, aku pernah membuntutimu dengan menyambar motor
Bang Mamat, tukang ojek terminal. Kau menuju ke arah kampus
dan memarkir motormu di pelataran gedung bertuliskan
Fakultas Ilmu Budaya. Kau melangkah cepat sekali masuk ke
gedung itu hingga aku tak kuasa mengejar sosokmu. Lagipula,
dengan penampilanku yang beda kelas dengan manusia-manusia
kuliahan sebangsamu, aku tak punya cukup nyali.
Aku menikmati semua hal yang kau buat. Kurasa inilah
yang disebut jatuh cinta.
Hari Rabu pada pekan yang ke sepuluh, akhirnya aku
sudah tidak tahan lagi. Hari itu semua yang kulihat di terminal
hanyalah bunga dan kupu-kupu beraneka warna. Udara sesak
yang menguar berubah menjadi embun subuh hari yang
menenangkan. Aku ingin sekali kau tahu perasaanku. Kalau saja
bisa, biarkan aku lahir sekali lagi menjadi bunga. Yang kuncup,
mekar, layu dan membusuk, pada dahan yang satu. Padamu.
Kalau Tuhan memang Pemurah, aku ingin dia memberiku
kesempatan. Kali ini saja.
Aku memakai pakaian terbaikku untuk pergi ke sekolah
terminal. Aku juga memoles wajahku dengan sedikit foundation
dan bedak. Penampilanku makin sempurna dengan memakai
kaos ketat berwarna merah dan rok jins selutut andalanku.
71
Kuharap kau akan tertarik dan mimpi-mimpi tentangmu yang
telah menghantui selama dua bulan ini akan menjadi kenyataan.
Tapi, sepertinya harapanku tersangkut pada pilar-pilar
tembok terminal yang sering membuat sinyal televisi rumah
kami jadi buruk. Sore itu, Kak Abdi tak hadir mengajar. Hanya
ada rombongan pengajar matematika dan bahasa inggris yang
tak kami sukai. Demikian seterusnya pada pekan ke sebelas, ke
dua belas dan seterusnya, hingga geng anak terminal tidak ada
lagi satupun yang mau hadir untuk belajar pada hari Rabu dan
Sabtu.
“Mereka memang brengsek, Hara! Aku dengar sendiri
percakapan mereka. Mereka sepakat Kak Abdi nggak akan
diundang buat ngajar lagi ke terminal.” Bonek kelihatan begitu
gusar. Entah sudah berapa botol bir yang ia tenggak habis.
“Mereka bilang Kak Abdi ngajarin hal-hal buruk ke kita,”
Deri berkata lirih sambil menghisap batang rokoknya dalam-
dalam. Dari matanya yang memerah, ia nampak sangat
kehilangan sosok seorang kakak yang selama ini ia dambakan.
Aku sendiri sudah tak kuasa berkata-kata. Maka
kutinggalkan teman-temanku itu menikmati kekecewaan atas
sebuah rasa percaya yang lagi-lagi dikhianati oleh seperangkat
aturan baik-buruk orang-orang suci.
***
Aku selalu menunggumu di halte kampus depan gedung
Fakultas Ilmu Budaya. Aku masih mengamen, tapi aku sudah
tidak lagi melayani sopir dan kondektur terminal yang minta
dipijit dan kemudian selalu menggagahiku hingga aku kelelahan.
Untuk menggantinya, aku kini berjualan koran. Hasilnya
lumayan. Anak-anak orang kaya yang belajar di gedung yang
sama denganmu sering membeli koranku hingga habis
Aku masih menunggumu dengan harapan yang sama
untuk menjadi bunga yang kembang pada dahanmu. Aku percaya
72
kata-katamu, Tuhan pasti mendengar. Tugas kita hanya harus
percaya sambil mengisi hati dengan banyak cinta. Aku meyakini
pesanmu, meski hingga hari ini kau belum juga kulihat lagi.
Hingga suatu pagi yang bukan Rabu atau Sabtu, aku
melihat nama dan fotomu di salah satu koran lokal yang
kujajakan. Di foto itu kau tampak sumringah mendapat ucapan
selamat dari rektor kampusmu karena mendapat beasiswa untuk
melanjutkan kuliah di Perancis.
Jalanan Depok semakin bengkak.
Udara semakin mampat.
Mataku berair.
Puisi-puisi perlahan meninggalkanku.
Tapi aku masih menyukai tubuh kecil, mata elang serta
senyummu yang purba, Abdi Negara. Geng anak terminal telah
berikrar untuk menjadi insan bajingan penaka Tuhan. Bajingan
yang punya cinta. Dan aku menyimpan namamu hingga entah
kapan kau kembali kesini, di kampus ini.***
Kalis Mardi Asih, lahir di Blora, 16 Februari 1992. Bercita-cita
menjadi ibu bagi banyak anak-anak seperti Bunda Teresa.
Penulis dapat dihubungi di [email protected]. Gemar
berceloteh apa saja di mardiasih.tumblr.com
73
Botol-botol Berisi Senja Cerpen karya Mawaidi D. Mas
Ia tidak tahu, lebih tepatnya ia tidak pernah menghitung
uang itu, atau biar lebih rinci lagi ketika tiba di rumah setelah
meletakkan botol-botolnya di dalam kotak balok, karung
berukuran sedang dengan warna putih kekuning-kuningan yang
diperoleh dari hanyutan sungai digantung di tembok. Tujuh
karung dengan warna yang sama menandakan kalau ia baru yang
ketujuh kalinya dengan hari ini bermain botol di jalan raya.
Tak ada yang menarik sedikit pun sepulang bermain
botol-botol itu. Tetapi, setiap kali ia berada di pinggir sungai
dengan alasan ingin bertemu dengan seorang pelaut yang
tersesat di sungai, justru takdir berkehendak lain, tanpa berlama-
lama berkacak pinggang, ia akan menemukan sepotong karung
yang hanyut dari hulu.
“Hari ini tak ada pelaut itu,” katanya pada setiap sore
sembari mengail karung dengan ranting pohon bambu.
Sungai melihat ia tampak kecewa. Selalu saja sebelum ia
mendaki gundukan yang lebih tinggi di atas sungai untuk sampai
di jalan menuju rumahnya, ia melemparkan batu ke dalam perut
sungai. Ia membayangkan, batu itu adalah dirinya yang masuk ke
dalam air dengan lincah. Tetapi sungai tidak pernah tahu itu.
Esoknya ia bermain botol-botol itu dengan riang di
pinggir jalan. Karung itu sesekali berisi lembaran tapi lebih
74
banyak yang recehan. Ia tidak peduli. Botol-botol itu dipukul
pelan hingga menimbulkan denting-denting kecil yang setiap
bunyinya memiliki ciri khas. Itu yang membuat ia senang
bermain botol-botol. Setiap denting terakhir yang mengalun dari
botol-botol itu selalu dipukul dengan keras, dihentakkan. Maka ia
akan pulang. Ia sudah lelah dan capek.
Hari itu ia tahu akan pergi kemana, tetapi bukan ke
sungai. Sebelum berangkat ke pendapa kelurahan ia mandi dan
tidak ingat makan. Ia akan menjadi bagian anak paling besar dari
anak-anak kecil yang menonton perempuan-perempuan yang
sedang menari, lebih tepatnya latihan tari. Tidak hanya itu,
sebenarnya ia sendiri menyadari kalau perbuatan itu di luar
keinginannya, ia tertarik dengan salah seorang penari di sana. Itu
wajar dan lumrah seorang laki-laki mempunyai naluri kepada
lawan jenisnya. Tetapi, ia anak yang belum dewasa. Hanya di
antara teman-temannya ia tampak besar.
Ia tidak peduli. Pantas atau tidak ia tertarik pada
perempuan itu urusan takdir. Ia merasa naluri datang sendiri ke
dalam jiwanya, tanpa diminta. Yang ia rasakan selama naluri itu
tumbuh ia selalu senang dengan pekerjaan perempuan itu. Maka,
ia ada di sini bersama-sama menonton latihan tari di pendapa.
Suatu hari ia sudah mendapatkan data tentang
perempuan itu. Ia sangat ambisius untuk mengenali lebih jauh
perempuan yang sebenarnya lebih pantas menjadi kakak
kandungnya, kakak iparnya, atau, lebih tepatnya menjadi ibu
kandungnya. Ia tipe seorang wartawan. Tetapi, ia tidak peduli. Ia
peduli hanya pada perempuan itu karena memiliki kehidupan
yang pelik dan tak pernah masalahnya tampak ke raut wajahnya
ketika sedang menari. Ia semakin tertarik dan tidak akan pernah
pupus mengaguminya. Ia membayangkan seandainya dirinya
adalah perempuan itu yang diusir dari kampung sendiri karena
ketahuan bisa menari. Perempuan itu akhirnya pergi sangat jauh
meninggalkan keluarganya. Perempuan itu akan mati sia-sia jika
75
berada di kampungnya, lebih tepatnya di kampung keluarganya
yang baru. Kampungnya tidak menerima kehadiran seorang
penari. Di sana mengenalnya dengan tandha’, artinya ronggeng.
Jika saja ada warga yang mendatangkan tandha’ ke pernikahan
anaknya, acara itu akan dibubarkan oleh sebuah kelompok di
kampung. Tandha’ memiliki masa lalu yang kelabu karena pada
suatu hari tandha’ yang dikenal sebagai seniman perempuan
kepergok warga sedang ngewek dengan kepala desa. Geram para
kiai. Beringas para blater di kampung akibat ulah tandha’.
Alasan mengapa ia mencari tahu masa lalu perempuan itu
ketika ditanya mengaku tidak ada apa-apa dan seolah tidak
peduli. Maka ia pergi ke sungai pada sore hari. Berharap datang
ke sungai tidak sia-sia agar bertemu dengan pelaut yang tersesat.
Walaupun akhirnya sebelum pulang selalu ada keinginan untuk
masuk ke dalam air sungai. Satu lagi, ia mendapatkan satu buah
karung yang hanyut dari hulu.
“Tak ada pelaut yang tersesat di sini?” tanyanya kepada
seorang lelaki tua yang sedang memasang umpan ke kail
pancingnya.
“Baru saja lewat! Giarto namanya!” Jawab seorang lelaki
tua.
“Sungguh dia ada?”
“Sungguh, orang tua tidak akan menyia-nyiakan
kebenaran.”
“Besok bilang padanya ya. Tunggu aku jangan pergi dulu!”
Ia berlari ke atas gundukan dengan cepat. Lelaki tua itu
tidak mengerti dengan tingkahnya. Lelaki tua terus memberi
umpan ikan ke kail pancingnya. Ikan kesepuluh didapat.
Ia sudah menghilang dari pandangan lelaki tua. Ia akan
pergi ke jalan raya dengan botol-botol itu. Ia membayangkan kini
76
yang sedang mengalun klinang-klinung di depannya adalah
gamelan. Perempuan itu terus menari di depannya.
Yogyakarta, 29 Januari 2014
Buat: Lutfi Mardiansyah
Mawaidi D. Mas, lahir di Sumenep 14 Oktober 1993. Giat
di Malam Perjamuan Sastra dan Jurnal Kreativa. Kuliah di
UNY.
77
Sepasang Jam Tua
yang Merindukan Keabadian Cerpen karya Muhammad Izzat Abidi
Jika kau masuk ke ruangan itu, kau akan menemukan
ruangan yang atapnya disangga empat pilar kayu jati seukuran
tubuh orang dewasa yang menjulang tinggi. Ruang itu memiliki
mihrab mengarah ke kiblat, memiliki empat pintu kecil dan satu
pintu utama. Hanya lampu sentir yang menerangi ruangan itu di
kala gelapnya malam menyelimuti. Tikar lusuh nan rapuh
menutupi dinginnya ubin. Sungguh sederhana ruangan itu.
Dua jam tua berdiri tegak di ujung kanan dan kiri
ruangan. Entah sejak kapan mereka ada di ruangan itu, tak ada
yang tahu persis. Saat malam mulai larut dan orang-orang yang
bersujud mulai kembali ke rumah masing-masing, barulah
sepasang jam tua itu bercakap-cakap. Mereka tak pernah tidur.
Mereka takut jika mereka tertidur, waktu akan berhenti dan itu
masalah yang besar yang bakal merenggut keabadian hidup
keduanya.
Jam tua yang berada di sisi kiri ruangan bertubuh tinggi
kekar, bermuka kotak dan memiliki rambut yang terukir di
kepalanya. Dialah jam tua pria bernama Zam. Lalu di sisi kanan
ruangan, jam tua bertubuh agak gendut tapi seksi. Ia juga
78
lumayan tinggi, bermuka bulat dan berambut panjang terukir
indah di kepalanya. Dialah jam tua wanita bernama Zin
“Hai, kau, jam tua yang ada di sana. Bagaimana
keadaanmu?” tanya Zam.
“Apa? Jam Tua? bukannya kau juga jam tua. Aku di sini
baik-baik saja. Lalu bagaimana denganmu?”
“Bagaimana denganku? Keadaanku kurang baik, kepalaku
gatal tapi aku tak bisa menggaruknya.”
Kedua jam tua itu tertawa bersamaan. Percakapan seperti
inilah yang selalu mereka lakukan. Mereka selalu bersyukur,
meski hanya bisa bicara dan yang mengertipun hanya mereka
berdua. Setidaknya mereka bisa saling mengisi kekosongan di
ruang itu.
Pukul duabelas malam, ketika semua orang yang bersujud
di ruangan itu telah kembali ke rumah masing-masing,
menyisakan gelapnya ruangan nan tak bercahaya, benar-benar
gelap, tak ada lagi sentir yang menyala. Mungkin ruang itu akan
sedikit bercahaya bila rembulan purnama menembus dua
genteng kaca di atap sana, tapi sayang malam ini dan malam-
malam yang lalu langit selalu gelap, gelap karena awan mendung
tak mau beranjak dari langit malam.
Zin melirik ke arah Zam. Suaranya serak dan nampaknya
ia sedang ketakutan.
“Zam, apakah kau tak merasa takut di ruang gelap ini?”
tanya Zin
“Takut? Takut akan apa? Selagi ada kau, Zin, aku tak
merasa takut di ruang gelap ini,” jawab Zam dengan mantap. Lalu
Zam melanjutkan katanya kepada Zin. “Apa kau pernah berpikir
bahwa suatu waktu kita akan mati, Zin?”
“Pernah. Tapi sudah lama aku tak memikirkan hal itu lagi,
karena sepertinya kita tidak akan mati, hanya rusak.”
79
“Hanya rusak? Apa maksudmu?”
“Ya… hanya rusak. Kita diperbaiki dan hidup lagi. Rusak
kan juga seperti kematian, tak tahu kapan dan kepada siapa dia
datang.”
Zam hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban dari
Zin. Jawaban yang sungguh tak ia duga sebelumnya.
Malam terasa begitu cepat, hingga tak terasa pukul tiga
dini hari pintu utama terbuka seseorang masuk ke ruang gelap
itu. Menyalakan lampu sentir yang padam, membuat seberkas
cahaya menerangi ruangan. Sosok itu tak asing lagi bagi sepasang
jam tua yang berdiri diujung kanan dan kiri ruangan. Sosok
dengan rambut putih dan kulit keriput yang ia kenakan, sosok
tua yang sangat hebat. Ia selalu bersujud di mihrab dari pukul
tiga dini hari hingga subuh menjelang.
Di sela sujudnya, sosok tua itu berdiri dan mendekat ke
arah Jam tua pria seraya berkata.
“Ah… kau jam tua. Apa kau tahu berapa umurmu itu?
Mungkin umurmu itu sama seperti umurku. Atau mungkin kau
lebih tua dariku. Jikalau aku dengan umur setua ini sudah bisa
merasakan kematian datang mendekat, apakah kau juga bisa
merasakannya?”
Jam tua pria hanya diam, ia cuma bersuara membunyikan
detik-detiknya. Tapi jam tua wanita yang ikut mendengarkan
sosok tua itu bercerita, menjawab dengan lantang.
“Aku juga merasakan kematian itu datang mendekat,
wahai sosok tua!”
Selantang apapun jam tua wanita berbicara, yang bisa
mendengar hanyalah jam tua pria, dan begitu juga sebaliknya.
Lalu sosok tua itu membalikkan badan kembali ke mihrab
dan bersujud dengan khusyuk.
Deng … deng … deng … deng … deng …
80
Suara bel beriringan dari sepasang jam tua itu
menunjukkan pukul lima pagi. Orang-orang mulai berdatangan,
masuk ke ruangan itu dan bersujud menghadap kiblat. Waktu
terus berjalan, dengan silih berganti orang-orang yang bersujud
itu bangkit meninggalkan ruangan itu dan menyisakan kesepian
yang khusyuk.
“Lihatlah sosok tua itu! Khusyuk dalam sujudnya. Tak
seperti biasanya ia begitu. Bukankah ia harus bangkit dan
berangkat bekerja?” seru Zam memecah kesepian.
“Mungkin ia sedang libur untuk bekerja, lalu memilih
bersujud lebih lama di ruangan ini,” jawab Zin dengan senyum
manisnya. Entah apa yang terjadi kepada sosok tua itu, ia
bersujud lebih khusyuk dari sujud-sujudnya yang pernah ia
lakukan. Sepasang jam tua yang tak ingin mengganggu
kekusyukan sujud itu hanya berdiam diri tak berani
membangkitkannya.
Deng … deng … deng…
Bel berbunyi genap 12 kali menandakan sekarang pukul
duabelas siang tepat. Sosok tua itu belum juga bangkit dari
sujudnya. Sepasang jam tua merasakan ada hal aneh yang terjadi
dengan sosok tua itu. “Mengapa ia tak bangkit dari sujudnya? Apa
yang terjadi dengannya?” batin Zam. Tanya itu juga muncul di
batin Zin, dan ia memilih diam tak bersuara sama seperti Zam.
Tak lama kemudian datanglah pemuda yang juga sering
bersujud di ruangan itu tiap lima waktu. Ia adalah anak dari
sosok tua itu. Ia berjalan mendekat ke mihrab, berusaha
membangunkan ayahnya yang khusyuk bersujud. Tak ada
respon, maka pemuda itu memegang tangan dan mencari detak
nadi ayahnya lalu suara lirih yang bercampur dengan segala
perasaan kurang baik terdengar oleh sepasang jam tua dari
mulut pemuda itu. Ia segera bangkit berlari keluar ruangan, tak
81
begitu lama kemudian berbondong-bondong orang datang ke
ruangan itu dengan diiringi tangis dan ratapan kesedihan.
“Innalillahi wa inna illaihi rojiun,” Orang-orang itu
hampir serentak mengucapakan tarji’.
Maka sepasang jam tua baru paham apa yang sebenarnya
terjadi. Sosok tua itu telah menjumpai kematian.
***
Dari hari ke hari sepasang jam tua sering melihat orang-
orang yang disujudkan untuk terakhir kalinya dalam hidup
mereka.
“Apakah mati itu menuju kebahagiaan atau kesedihan di
alam sana?” kata Zam.
“Kau masih saja memikirkan hal itu? Bukannya sudah
kukatakan, kita tidak akan mati, hanya rusak, diperbaiki lalu
kembali seperti sedia kala,” jawab Zin melenceng dari pertanyaan
Zam.
“Iya, aku masih ingat apa yang kau katakan. Aku hanya
takut saja kalau rusak itu berarti mati. Bukankah yang mati itu
tak akan kembali lagi?”
“Rusak itu mati? Mungkin saja itu terjadi.”
“Mungkin terjadi? Apa maksudmu?”
“Maksudku mungkin saja rusak itu berarti mati. Kenapa?
karena orang yang memperbaiki kita yang rusak sudah tiada alias
mati. Maka kita akan rusak untuk selamanya.”
Kata-kata yang dilontarkan jam tua wanita itu membuat
jam tua pria makin takut dan memikirkan kematian itu benar-
benar mengerikan.
“Tak usah kau pikirkan sesuatu yang tak seharusnya kau
pikirkan. Kita ini hanyalah jam tua, bukan manusia seperti
mereka!” kata Zin mencoba menenangkan pikiran Zam. Tak ada
pembicaraan lagi. Sepipun hingga diantara keduanya.
82
Sudah dua hari dari pembicaraan antara jam tua pria dan
wanita. Mereka masih saja diam membiarkan sepi hinggap
diantara mereka. Jam tua pria mencoba menyapa jam tua wanita.
“Hai, kau yang di sana. Apa kau baik-baik saja? Apa kau
marah denganku? Kalau begitu maafkan aku!”
Zin hanya diam. Lalu Zam mencoba menyapanya lagi tapi
Zin tak menyahut. Begitu seterusnya hingga jam tua pria itu
memutuskan terdiam karena ia merasa jam tua wanita marah
padanya. Lama berdiam diri dengan jam tua wanita, jam tua pria
merasakan ada hal aneh yang terjadi. Ia menoleh kearah jam tua
wanita dan memperhatikannya dengan seksama.
“Ada yang aneh kelihatannya. Itu dia, tangannya tak
bergerak dan… apa? Detiknya tak berdetak!” seru jam Zam dalam
hati. Sekarang ia benar-benar takut melihat detik milik Zin tak
berdetak. Itu berarti Zin rusak atau malah dia mati dan tak akan
mungkin kembali.
Selang satu hari kemudian, empat orang asing datang ke
ruang itu, mendekat ke arah jam tua wanita. Mengangkatnya dan
membawanya keluar dari ruangan itu. Jam tua pria pun
berteriak.
“Tidakk…? Jangan bawa pergi, Zin. Aku akan kesepian
tanpanya!”
Sekeras apapun teriakan Zam, empat orang asing itu tak
akan pernah mendengarnya. Kini sepi tak lagi hinggap di ruangan
itu, sekarang malah membuat sarang di dalamnya. Sarang yang
ditinggali oleh jam tua pria itu sendirian, benar-benar sendirian
dalam sarang kesepian. Tak akan ada lagi malam-malam yang
hangat oleh pembicaraan, tak akan ada lagi saling sapa di pagi
hari, tak akan ada lagi sepasang jam tua yang bicara.
Sudah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun jam tua pria tinggal dalam sarang
kesepian. Walau banyak orang yang datang tapi mereka hanya
83
khusyuk dalam sujudnya tanpa memperhatikan ada jam tua yang
kesepian. Hingga tiba waktunya jam tua pria ikhlas melepas
kepergian jam tua wanita untuk selamanya.
Di suatu pagi, setelah orang-orang bangkit dari sujudnya
datanglah empat orang asing, masuk ke ruang itu sambil
mengangkat barang besar nan tinggi. Mereka letakkan barang itu
diujung kanan ruangan. Sebuah jam tua rupanya. Zam membatin,
“Siapa jam tua itu? Apakah ia Zin? Mana mungkin? Ia kan sudah
mati, tak mungkin ia kembali.”
Jam tua di ujung kanan itu menyapa, membuat lamunan
Zam pecah.
“Apa kabar, Zam. Apakah kau baik-baik saja?”
“Aku? Ya, tentu aku baik-baik saja. Darimana kau tahu
namaku dan siapa kau ini sebenarnya?”
“Ya ampun, kau sudah lupa denganku. Oh ya, sudah lama
kita tidak jumpa. Aku…”
“Apakah kau Zin?”
Jam tua wanita di ujung kanan ruangan itu tersenyum
lebar.
“Iya, Zam. Ini aku Zin.”
Jam tua pria berubah ekspresi, dalam hatinya ia rasakan
bingung, tak percaya, bahagia. Semuanya bercampur menjadi
satu tak karuan.
“Ta-tapi, tapi, ba-bagaimana mungkin?” kata jam tua pria
terbata-bata.
“Tapi bagaimana aku bisa kembali lagi ke sini? Begitukan
maksudmu?”
Zam mengangguk mengiyakan. Zin yang berada di
sebelah ujung kanan ruang itu tersenyum dan bercerita.
84
“Itu semua mungkin karena kita berjodoh. Jodoh sebagai
sepasang jam tua. Kau tahu, rusak itu ternyata benar-benar
seperti mati. Aku merasakan sepi yang mencekam saat kau tak
berada disampingku. Juga rindu akan dirimu. Bertahun-tahun
aku teronggok tak diperbaiki di rumah ahli jam. Ia tak tahu cara
memperbaiki mesin kunoku yang rusak. Setelah menunggu
selama bertahun-tahun akhirnya ia menemukan orang yang bisa
memperbaiki mesin kunoku ini. Tubuhku juga diganti agar
terlihat lebih elegan katanya. Setelah semua baik, aku
dikembalikan ke ruang ini lagi.”
Zam lega mendengar cerita itu. Walau harus terpisah
bertahun-tahun lamanya, yang namanya jodoh tak akan pergi
kemana. Ia bisa datang dan pergi secara misterius, tapi
hakikatnya ia akan kembali, karena begitulah suratan takdir.
Seperti sepasang jam tua itu, akan selalu bersama, berdua,
selamanya. ***
Solo, 8 – 12 Mei 2014
Muhammad Izzat Abidi, lahir 5 Juni di Magelang. Santri
Pondok Pesantren Al-Muayyad serta siswa SMA Al-
Muayyad Surakarta ini bergiat di Majalah Serambi Al-
Muayyad sebagai reporter dan sering mengikuti
pengajian sastra di Thariqat Sastra Sapu Jagad. Karyanya
berupa puisi dibukukan dalam antologi Kisah-kisah yang
Berulang di Hari Minggu (Balai Soedjatmoko-Pawon,
2013) Solo dalam Puisi (Festival Sastra Solo, Pawon-
2014) dan antologi geguritan Timur Gumregah (Festival
Sastra Solo, Pawon-2014). Dapat di hubungi melalui
Facebook: Abidi Tersenyum. E-mail:
85
Sebatang Pohon Jati
yang Menangis Setiap Malam Cerpen karya Saifu Ali
Ini bukan kali pertama kudengar sayatan tangis seorang
perempuan. Sayatan kepedihan yang menyusup telingaku.
Menendang isi kepalaku. Akhir-akhir ini aku juga kerap
bermimpi aneh. Ada seorang perempuan bermuka kelam, duduk
meringkuk menangis, meminta pertolonganku.
Saat kumelintasi hamparan hutan jati yang gundul pukul
sebelas malam pulang dari kampus, tangisan itu mendengung-
dengung di tengah kesunyian. Malam, mungkin bagi sebagian
makhluk, adalah saat terbaik menangis demi mencurahkan
segala kegundahan dan kesedihan. Aku merasa ada sebuah
isyarat saat menghayati sayatan tangisan itu.
Di tengah redupnya rembulan di atas kepalaku,
kumatikan mesin motorku. Jalanan lengang dan tak ada satu pun
lampu penerangan di sekitar hutan jati yang gundul. Mataku
mengerjap-ngerjap. Tangisan itu masih menyayat sanubariku.
Aku memberanikan diri mendekati sumber tangisan perempuan
itu.
Langkahku menjinjit. Bulu kudukku sudah berdiri
manakala kudekati tangisan itu. Tubuhku gemetar. Aku
membayangkan sosok perempuan buruk rupa berambut panjang,
86
berpakaian kumal, bisa melayang di atas tanah, dengan ratusan
belatung menjijikkan di punggungnya sambil berpura-pura
menangis. Kamis malam yang menyeramkan. Hening. Dua mata
dan telingaku kupasang seksama. Barangkali saja kutemukan
letak tangisan perempuan itu, kemudian bisa menanyainya
mengapa menangis di malam hari.
Setelah bermenit-menit mencari dan berkeliling, aku
gagal tak mendapati apa-apa, kecuali pemandangan remang-
remang dan sebatang pohon jati yang menjulang, rapuh, dan
sendiri.
“Ah, tak ada siapa pun! Mungkin, selama ini suara
tangisan perempuan itu hanya halusinasiku,” gumamku sedikit
menggerutu seraya melangkah menjauh dari sebatang pohon jati
itu. Aku menghela napas panjang. Aku ingin segera pulang
mencuci muka, tangan, dan kakiku. Kelelahan ternyata bisa
berakibat buruk pada pikiranku.
Malam makin temaram. Senyap. Aku menguap dan
membayangkan lelap di kasur kamarku. Aku benar-benar ingin
merebahkan tubuhku malam ini.
Mendadak suara tangisan perempuan itu hadir lagi ketika
aku menyalakan mesin motor. Sungguh, mendengar sayatannya
kali ini kurasakan kepiluan yang dalam. Suara tangisan
perempuan siapakah itu? Kenapa ia seolah mempermainkanku?
“Jangan membuatku penasaran!”
Aku tak membawa alat penyuluh. Mendadak sepatuku
basah oleh kubangan air setinggi mata kaki. Aku risih. Ini musim
kemarau, seharusnya tak ada genangan air di hutan dengan tanah
kering seperti ini!
“Itu bukan air sembarangan, Tuan.” Suara seorang
perempuan angkat bicara, saat aku masih sibuk membersihkan
sepatuku. Suara itu menggema. Aku tengok kanan-kiri. Tak
87
seorang pun tampak. “Air itu merupakan air mata kesedihanku,”
lanjutnya.
Di manakah sumber suara perempuan itu bermuasal?
“Tuan, aku berada tepat di depanmu.”
Tubuhku gemetaran melihat keanehan malam itu. Aku
sungguh kaget, atau bisa jadi terpana karena melihat keajaiban
yang mencuat. Kulihat sebatang pohon jati memancarkan cahaya,
memiliki dua mata berwarna biru, lengkungan alis sempurna,
hidung mancung, serta daun telinga layaknya manusia. Sebatang
pohon jati itu adalah sosok perempuan yang berbicara barusan.
“Siapa sesungguhnya dirimu?” tanyaku menjauh
beberapa langkah, bersikap waspada. Pohon itu masih bercahaya.
“Aku adalah sebatang pohon jati yang sengsara, Tuan,”
Lelehan air matanya mengalir, membanjiri tanah.
“Mengapa kau menangis setiap malam? Apa kau tidak
lelah menangis setiap hari?”
“Semuanya ulah kaummu!”
***
Semenjak peristiwa ajaib malam itu, setiap malam aku
menyempatkan diri untuk bertandang ke hutan malam-malam
sepulang dari kampus. Aku makin penasaran pada perempuan
itu. Selalu kukatakan, “Berhentilah menangis.”
“Kalau seseorang sudah bersedih, apa ia sanggup
menahan air matanya agar tak keluar? Melawannya hanya akan
menyikasa diri sendiri, Tuan.”
Dia betul-betul perempuan yang menanggung kesedihan.
Sangat memprihatinkan.
“Tinggallah bersamaku,” pintaku padanya, “mungkin
dengan begitu berkuranglah kepedihan di hatimu. Aku akan
menghiburmu.” Aku berlagak seperti pahlawan.
88
“Aku suka berada di sini dibandingkan harus ikut
bersamamu, Tuan. Aku bebas menangis sepanjang malam di
hutan ini,” tolaknya halus.
“Kau menakut-nakuti warga kalau terus-terusan
menangis. Lagian, kau hidup sendirian di hutan ini, bukan? Di
rumahku kau lebih aman. Percayalah.”
“Warga tak bisa mendengar tangisanku. Tuan harus tahu,
rumah sendiri itu selalu nyaman untuk ditempati segersang apa
pun.”
“Kau tak mau menerima bantuanku?”
Tiba-tiba tangisannya makin pecah, berderai-derai.
“Manusia sering berbuat kasar terhadap kaumku. Menebang
sembarang pepohonan. Tak jarang, mereka kerap berselisih
dengan kaum mereka sendiri. Saling membunuh!”
***
Hampir dua bulan aku mendekati perempuan itu, jelmaan
dari sebatang pohon jati yang kerap menangis setiap malam.
Setiap aku menemuinya, sebatang pohon jati itu berubah jadi
perempuan cantik. Berparas elok. Ia memiliki kekuatan aneh
yang tak dimiliki manusia biasa. Sebagai lelaki, aku tertantang
meluluhkan hatinya dan meredam tangisnya dengan berbagai
cara. Namun, entah mengapa lama-lama muncul luapan perasaan
aneh yang belum pernah kumengerti sebelumnya.
Ke mana pun kakiku melangkah, ada paras Ratih
Kumala−dua hari yang lalu ia mengenalkan namanya−melintas di
seputaran kepalaku. Ia seperti bukan lagi sebatang pohon jati. Ia
sosok perempuan yang memiliki sebuah perasaan halus nan
lembut. Aku selalu terbayang mata birunya, gaya bicaranya.
Apakah aku tertarik padanya? Mungkinkah aku sedang jatuh
cinta? Bodoh! Ia cuma sebatang pohon jati yang bersedih!
89
Mana mungkin manusia bisa kawin dengan sebatang
pohon jati? Apa jadinya kalau ada kabar bahwa sebatang pohon
jati beranak pinak manusia dengan salah seorang mahasiswa.
Edan! Semua warga kampung akan menudingku tak waras, atau
malah mengusirku sambil berseru, “Kau mahasiswa
berpendidikan, seharusnya bisa menggunakan akal sehatmu!”
Oh, bukankah dulu juga pernah ada kisah perempuan dari
bangsa ikan mas yang menikah dengan lelaki dari bangsa
manusia? Ada juga, bukan, kisah seorang pemuda yang mati-
matian mencuri selendang bidadari karena telah membuatnya
terpesona?
Aku bingung dengan pikiranku sendiri.
***
Akhirnya Mala menerima tawaranku untuk tinggal
serumah bersamaku. Aku sungguh senang karena punya teman
bicara. Tidak sendiri dan kesepian lagi. Aku bisa berbagi kisah
dengannya. Tapi sayangnya ia masih sering menangis setiap
malam. Lama-lama aku kesal. Setiap kali aku menyuruhnya
berhenti, ia malah marah dan memberontak.
“Cukup, Mala! Hentikan tangismu! Kalau begini caranya,
kau membuat warga kampung terbangun!”
Kami pun bertengkar hebat meributkan sebuah tangisan.
Hati Mala merasa tersakiti dan memutuskan kembali ke
hutan jati supaya bisa menangis sejadi-jadinya tanpa merepotkan
orang lain. Ia meninggalkanku. Padahal malam itu belum genap
seminggu ia tinggal di rumahku. Perempuan terkadang sulit
ditaklukan.
Satu minggu kemudian, orang-orang meributkan suara
tangisan perempuan. Kadang mendengung-dengung, kadang
merintih-rintih, disertai sayatan pilu. Aku kaget mendengar
kabar itu dari mulut ke mulut. Tak salah lagi, itu tangisan Mala.
90
Sikapnya kali ini kelewatan! Ia bisa membahayakan dirinya
sendiri.
“Kalau diputusin pacarnya, nggak perlu menangis
sekencang ini! Siapa sih perempuan itu?” tetanggaku membuka
pintu rumah sambil marah-marah. Hampir semua tetanggaku
kesal, membicarakan tangisan Mala. Aku diam di antara
kerumunan mereka di pos kamling. Berpura-pura tak tahu.
Tangisan itu memang keras terdengar. Mereka pun makin resah.
Malah kata Pak RT, tangisan itu juga melesat ke lingkup
kecamatan dan kabupaten. Di sana orang-orang berkumpul di
lapangan dan mengeluh tak bisa tidur karena ulah tangisan Mala.
Orang-orang masih meributkan tangisan Mala meski
malam sudah larut. Aku memilih pulang dan menghibur diri
dengan menyalakan tivi. Hebat! Tangisan Mala menjadi topik
utama di berbagai stasiun tivi. Tangisan itu seperti tusukan
dahsyat yang menusuk telinga orang banyak.
Tak hanya di tivi, esok paginya tangisan itu menjadi Hot
Topic di majalah dan koran nasional. Warga mengadu ke
pimpinan mereka supaya menghentikan rintihan tangisan itu
segera. Kades pun melapor ke Camat untuk mencari tahu siapa
perempuan asing yang menangis itu. Camat ke Bupati, Bupati ke
Gubernur, dan seterusnya, hingga ke pangkuan Menteri dan
Presiden.
“Kalau tangisan itu tak berhenti, bumi Indonesia akan
banjir air mata melebihi banjir bandang yang meluap ke kota-
kota atau serupa sunami yang bisa meluluhlantahkan Aceh,” kata
salah seorang Menteri kepada Presiden dalam rapat.
***
“Aku akan terus menangis setiap malam, Tuan,” katanya
padaku di hutan tempat pertama kali kita bertemu. “Kau tak
perlu meminta maaf. Kau tak salah.”
91
Sungguh, aku ingin menghiburnya. Ia nampak sangat
kasihan.
“Sudahlah, Tuan. Kau tak bisa memaksaku berhenti
menangis. Selama pembalak liar itu masih berkeliaran dan
bertindak bodoh di hutan Temayang, Dander, Bubulan, dan
Clebung ini, menghancurkan kaumku seenaknya saja, aku akan
terus menangis. Setiap malam, sepanjang malam.”
Aku telah gagal meredam tangisnya.
Dari kejauhan, lampu-lampu sudah menyoroti tubuhku.
Dengan mata mengerjap, kulihat ada beberapa motor dan mobil
dinas milik orang-orang penting, yang saling berdatangan.
Mereka akhirnya menemukan sumber tangisan perempuan itu.
“Asal kau tahu, Tuan. Akulah yang selama ini masuk
dalam mimpimu. Kau orang pertama dari bangsa manusia yang
tahu kalau ada sebatang pohon jati yang bisa menangis. Aku
percaya Tuan orang baik dan berpendidikan. Sekarang,
semuanya kuserahkan pada Tuan bagaimana bersikap kepada
mereka.”
Aku berdiri tak bergeming menghadapi semua ini. Seperti
sebuah mimpi. ***
Ngaliyan, Januari 2014
Saifu Ali, lahir 11 September 1990 di Desa Sembung
Kecamatan Kapas Bojonegoro, Jawa Timur. Setelah tamat
dari MA “Abu Darrin” Bojonegoro, ia mendapat beasiswa
dari Kementerian Agama untuk Kajian Keislaman di
Fakultas Ushuluddin Program Khusus (FUPK) Jurusan
Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Walisongo Semarang. Saat
ini masih menyandang status mahasiswa semester akhir.
92
Mulai (harus) menulis cerpen dan puisi sekitar tahun
2010-an. Cerpen pertama yang terbit di media: Kucing
Perempuan (Radar Surabaya, 2013).
Penulis bisa dihubungi melalui e-mail:
[email protected], FB: Saifu Ali, Twitter: @SaifuAli
atau blog: saifuali.blogspot.com.
93
Jimat Lek Darkum Cerpen karya Yazid Muttaqin
Sejak seminggu yang lalu warga kampung Tegalglagah
mendadak geger. Mereka dikejutkan dengan berita kecelakaan
dahsyat yang menimpa Lek Darkum. Laki-laki empat puluh lima
tahun yang sehari-harinya mengayuh becak sebagai mata
pencaharian itu dihantam sebuah truk tronton dari arah
belakang. Lek Darkum terpental keras dari becaknya, limbung,
lalu menghantam bagian belakang bus yang berhenti mendadak
karena ada penyeberang jalan yang maen serobot. Tak berhenti
sampai di situ. Begitu kerasnya hantaman tubuh kerempeng Lek
Darkum pada bagian belakang bus itu menjadikannya kembali
terpental dan menghantam bagian depan truk tronton yang tadi
menabraknya.
Seisi kampung merinding mendengar dan
membayangkan kecelakaan maut itu. Karuan saja dalam
seminggu ini kejadian nahas itu menjadi buah bibir paling hangat
yang selalu dibicarakan bukan saja oleh orang kampung
Tegalglagah tapi juga masyarakat luas di daerah-daerah lain.
Media massa cetak dan elektronik lah yang memiliki andil paling
besar dalam penyebaran berita besar itu.
Tetapi sebetulnya, ada satu hal yang paling menjadi
sorotan orang-orang dari kejadian itu. Meski tubuhnya beberapa
kali dihantam dan menghantam dua kendaraan besar, tapi Lek
94
Darkum selamat tanpa luka sedikit pun. Tak ada darah mengalir
dari dalam tubuhnya, tak ada tulang yang patah. Semua baik-baik
saja. Bahkan sesaat setelah tubuh Lek Darkum tergolek di aspal
ia bisa segera bangkit layaknya orang baru bangun tidur. Lalu
segera ia mencari becaknya yang ternyata sudah ada di pinggir
jalan, pun nyaris tanpa kerusakan.
Sangat aneh. Inilah yang menjadikan peristiwa miris itu
tak henti-hentinya dibicarakan banyak orang. Bahkan keanehan
itu seakan dianggap sebagai berita utama dari pada kecelakaan
itu sendiri.
Dan umumnya orang ngerumpi pokok berita pun mulai
berkembang, meluas, serta bergeser pada hal-hal yang bisa jadi
tak ada kaitannya dengan pokok berita yang sesungguhnya.
Bahkan rasa simpati dan kasihan pada Lek Darkum yang pada
awalnya menghiasi setiap perbincangan mereka, kini seakan
bergeser pada rasa curiga. Seperti perbincangan yang terjadi
sore tadi di warung kopi Yu Kamilah.
“Nggak mungkin kalo Lek Darkum itu polosan,” kata Kang
Busro sambil sedikit melirik ke arah Mas Pi’i yang sedang
menyruput kopi panasnya.
“Polosan bagaimana, Kang?” Pakde Dar ngga mudheng.
Usai menyulutkan api ke kreteknya Kang Busro
menjelaskan penuh semangat, “Pakde, nggak mungkin Lek
Darkum itu polosan, nggak punya simpanan apa-apa. Logikanya
orang ditabrak kendaraan besar lalu terpental berulangkali itu
pasti mati. Lah ini, boro-boro mati, luka sedikit saja ngga. Ini pasti
karena Lek Darkum punya simpanan, punya senjata rahasia yang
tak kasat mata.”
“Iya, yah. Benar juga sih,” Pakde Dar mulai dong dan
terpancing menyetujui pemikiran Kang Busro.
“Aku juga berpikir begitu,” Mas Pi’i menimpali.
95
“Nah, kan.” Kang Busro segera menyahut, merasa ada
yang sepemikiran.
“Coba kita lihat,” Mas Pi’i mulai berkata serius. Rokok
kretek yang sedari tadi dijepit dengan dua jarinya kini ditaruh di
atas pising cangkir kopinya.
“Kalo kita cermati akhir-akhir ini seperti ada yang aneh
dengan Lek Darkum.”
“Aneh bagaimana, Mas?” Pakde Dar menyela bersamaan
dengan Yu Kamilah yang diam-diam dari tadi nguping
pembicaraan para pelanggannya.
“Coba kalian lihat kehidupan Lek Darkum dalam kira-kira
dua bulanan ini. Seminggu sebelum kecelakaan maut itu anak Lek
Darkum yang kecil kan kena demam berdarah. Ia dirawat di
rumah sakit swasta mewah karena saat itu rumah sakit daerah
sudah penuh. Lalu sebelumnya lagi becak Lek Darkum kan hilang
dicuri orang di pasar. Tiga hari kemudian ia sudah bisa membeli
becak baru. Sebelumnya lagi, kalian lihat sendiri kan ia membeli
kulkas dan seperangkat kursi tamu yang cukup bagus. Juga hal-
hal lain yang rasanya ganjil dilakukan Lek Darkum. Coba kalian
pikir dari mana uang untuk semua itu. Berapa sih penghasilan
tukang becak setiap harinya. Paling-paling cukup buat makan
saja.”
Pakde Dar, Kang Busro, dan Yu Kamilah manggut-
manggut, seperti membenarkan fakta yang disampaikan oleh Mas
Pi’i. Sejenak semuanya terdiam, hingga tiba-tiba Yu Kamilah
berbicara, “Satu lagi, Mas.” Yang lain terperangah. “Apa, Yu?”
Kang Busro mengejar. Segera Yu Kamilah melengkapi ucapannya,
“Marni, istrinya Lek Darkum, kan dari dulu kena penyakit asma,
yang sangat sering kambuh. Lah sudah kira-kira tiga bulanan ini
kok aku belum pernah dengar kabar kalo penyakitnya itu
kambuh ya. Apa sudah sembuh ya?”
96
Ketiga pelanggan Yu Kamilah cuma manggut-manggut.
Bersamaan ketiganya menyruput kopinya yang sudah mulai
dingin.
“Jadi kalau memang benar begitu,” Kang Busro angkat
bicara, “sepertinya apa yang dicurigai masyarakat ada benarnya
juga. Orang-orang pada mengira kalau Lek Darkum itu punya
jimat atau pesugihan.”
“Kalau sekedar jimat sih ngga masalah, Kang. Tapi kalau
yang dipunyai itu pesugihan?” Pakde Dar menimpali.
“Iya, ya.” Mas Pi’i menimpali, “kalau sekedar jimat yang ia
punya, paling-paling itu akan memberi kesenengan pada Lek
Darkum dan keluarganya. Tapi kalau yang ia punya itu pesugihan
kita bisa jadi kena getahnya, kan? Kita bisa jadi korbannya.”
***
Lek Darkum duduk seorang diri di emperan rumahnya
yang tak besar. Hanya ditemani segelas kecil teh tubruk pahit
kesukaannya. Sesekali ia menyapa orang-orang yang lewat di
depannya. Rumahnya tepat di pinggir jalan utama kampung yang
teduh dinaungi banyak pohon asem berumur tua.
Tak berapa lama datang Wa Kaji Roup seorang diri. Laki-
laki lima puluh tahun itu adalah satu-satunya orang kaya di
kampung Tegalglagah. Tidak hanya paling kaya, ia juga satu-
satunya orang yang telah berhaji dan paling dituakan oleh
masyarakat. Mereka biasa memanggilnya Wa Kaji.
Setelah cukup berbasa-basi Wa Kaji mulai mengutarakan
maksud kedatangannya.
“Begini Lek Darkum. Terus terang saya datang ke sini
selain kemauan pribadi juga sebagai wakil dari warga kampung.”
Lek Darkum tersenyum. Wa Kaji menangkap sebuah
isyarat.
97
“Sepertinya sampean sudah tahu maksud saya?” Ia
mencoba menebak.
“Soal jimat itu kan, Wa?” Lek Darkum ganti menebak.
“Wa Kaji ke sini mau mencari tahu tentang kebenaran
berita yang tersebar di masyarakat bahwa saya punya jimat atau
pesugihan yang menjadikan saya tidak mati dihantam truk dan
bus, yang menjadikan saya bisa beli peralatan rumah tangga
mewah, yang menjadikan keluarga saya hidup di atas layaknya
seorang tukang becak. Begitu, Wa?” datar Lek Darkum
mengatakan.
“Betul, Lek. Saya rasa sampean sudah dengar desas-desus
itu. Saya pikir ngga baik kalau orang-orang pada ngrasani sesuatu
yang belum jelas jluntrungnya. Makanya saya ke sini untuk minta
penjelasan pada sampean apa sebenarnya yang terjadi, biar nanti
saya sampaikan kepada warga. Begitu, Lek.”
Lek Darkum terdiam. Nafasnya memberat.
“Wa Kaji,” ia mulai bicara, masih dengan datar, “sebodoh-
bodohnya saya, lebih-lebih dalam masalah agama, saya masih
punya dan menyembah Tuhan, menyembah Gusti Allah. Na’udzu
billah kalau saya punya pesugihan, jangan sampai. Lebih baik
saya hidup mlarat, apa adanya, dari pada saya menumpuk harta
dengan jalan yang haram.”
Wa Kaji Roup hanya diam sambil manggut-manggut
memahami perkataan Lek Darkum. Di pandangnya laki-laki
kerempeng itu. “Lah kalau soal jimat, Lek?” Ia menyelidik.
Lek Darkum tersenyum, lalu sedikit terkekeh.
“Wa Kaji lihat pohon asem blimbing itu?” Ia menunjuk
pada sebuah pohon asem blimbing yang tumbuh di pojok
pelataran depan rumahnya. Mata Wa Kaji Roup mengikuti jari
Lek Darkum ke arah pohon asem blimbing itu.
“Kenapa dengan pohon itu, Lek?”
98
“Itu jimat saya, Wa.” Lek Darkum menjawab singkat, lalu
terkekeh.
Wa Kaji Roup terperangah.
“Sampean nggak bercanda, kan? Sampean serius?”
Lagi-lagi Lek Darkum terkekeh. “Lah ya saya serius, Wa.
Pohon itu memang jimat saya.” Lek Darkum meyakinkan Wa Kaji
Roup, bibirnya masih mengulas senyum sisa kekehannya.
“Jadi benar apa yang dikatakan warga kalau sampean
punya jimat?”
Lek Darkum tak menjawab. Ia memilih diam. Raut
mukanya terlihat memberat. Ada yang ia cari dalam memori
otaknya. Wa Kaji Roup ikut terdiam.
“Wa Kaji boleh percaya boleh tidak,” Lek Darkum mulai
bicara.
“Pohon asem blimbing itu saya tanam sejak lima belas
tahun yang lalu. Kala itu saya niati kalau satu saat nanti pohon ini
tumbuh menjadi besar dan berbuah maka siapapun boleh
mengambil buahnya tanpa harus meminta ijin pada saya atau
keluarga saya. Saya tanam pohon itu dengan niatan untuk
sedekah pada siapapun. Ternyata setelah pohon itu besar
buahnya sangat lebat dan seakan tak ada hentinya. Orang-orang
kampung pada mengambil untuk kebutuhan mereka masing-
masing. Bahkan istri Wa Kaji juga sering kan mengambilnya
kalau Wa Kaji minta dibuatkan sayur asem. Katanya buah asem
milik saya ini rasanya seperti agak berbeda dengan buah asem
pada umumnya.
“Hingga kira-kira lima bulan yang lalu, saat tengah malam
dengan hujan yang cukup besar, pintu rumah saya diketok
seseorang yang tak dikenal. Ia meminta ijin untuk mengambil
buah asem blimbing yang di pohon itu. Katanya untuk istrinya
yang sedang hamil 2 bulan. Istrinya ngidam pengin banget makan
99
asem blimbing. Ia sudah mencoba memenuhi permintaannya
dengan membeli di warung-warung, pasar dan di mana saja ada
penjual sayuran. Tapi istrinya selalu menolak. Katanya buah
asem yang ia bawa nggak enak, padahal sedikitpun si istri belum
mencicipinya. Sampai satu saat ada seorang teman yang
menawari buah asem dan si istri langsung mau memakannya.
Teman itu memberi tahu bahwa asem itu dari pohon yang ada di
pekarangan rumahku.
“Malam itu sang istri kembali ngidam pengin makan buah
asem blimbing dan harus dari pohon itu. Meski tengah malam
dan hujan sangat besar sang suami menyanggupi permintaan
istrinya. Ini ia lakukan karena begitu bahagianya sang istri bisa
hamil setelah sepuluh tahun lamanya belum hamil sejak mereka
menikah.
“Sesampai di depan rumah saya ia tak mau langsung
mengambil buah asem itu. Ia merasa perlu meminta ijin agar
buah yang ia ambil dan akan dimakan istrinya benar-benar buah
yang halal dan berkah. Maka ia ketok pintu rumahku, meminta
ijin, lalu mengambil secukupnya buah asem itu. Kepadanya
sempat saya pesan, bila satu saat membutuhkan lagi, kapanpun
waktunya silakan ambil saja buah itu tanpa harus meminta
ijinku. Semuanya halal, baik dan berkah.
“Saat tamu itu hendak pulang ternyata mobilnya mogok
dan sama sekali tak bisa jalan. Maka saya tawarkan untuk
mengantarnya pulang dengan becak. Saya antar ia ke rumahnya
yang berjarak lima kilo dari sini.
“Ia sangat berterima kasih atas kebaikan itu. Bahkan di
hadapan saya, dengan jelas ia mendoakan agar kehidupanku dan
keluargaku diberi kemudahan dan keberkahan oleh Allah
sebagaimana aku telah memberikan kemudahan kepadanya.
“Pagi harinya saat saya mangkal di pasar seorang
penumpang minta di antar pulang ke rumah. Ternyata ia
100
tetangga laki-laki yang semalam meminta buah asem itu. Dari
penumpang itu saya tahu bahwa laki-laki itu adalah seorang yang
kaya raya namun tidak sombong. Ia sangat rendah hati dan
santun kepada siapapun, suka menolong dan membantu para
tetangga, selalu shalat berjamaah di masjid dan banyak kebaikan
lainnya. Karenanya ia sangat disegani oleh masyarakat di sana.
Mendengar kisahnya diam-diam hati saya merasa sangat senang.
Saya rasa laki-laki itu adalah orang yang dekat dengan Tuhan.
Jadi saya berharap doanya semalam benar-benar di dengar dan
dikabulkan oleh Tuhan.
“Dan cerita yang disampaikan penumpang becakku itu
ternyata memang benar. Laki-laki itu benar-benar dermawan.
Dia lah yang membayar semua biaya rumah sakit saat anakku
kena demam berdarah. Dia juga yang membelikan kulkas, kursi
tamu, dan peralatan rumah lain tanpa sepengetahuan saya. Dia
juga yang membelikan becak baru waktu becak saya hilang di
pasar.”
Lek Darkum berhenti bicara. Wa Kaji Roup manggut-
manggut. Baginya mulai ada titik terang tentang gosip yang
sedang hangat beredar di seantero kampung. Tiba-tiba dia
menoleh cepat ke arah Lek Darkum.
“Kalau soal kecelakaan maut itu?” Ia bertanya tajam.
“Saya juga nggak tahu, Wa. Saya juga nggak percaya kalau
saya ditabrak dan dihantam truk dan bus tapi masih bisa hidup,
bahkan badanku benar-benar wutuh tanpa lecet sedikitpun. Jadi
jangankan orang-orang kampung, aku saja yang mengalami
sendiri sampai sekarang masih ngga ngerti mengapa bisa begitu.”
Keduanya terdiam cukup lama. Tiba-tiba mata Lek
Darkum tertuju pada seekor kecoak yang lewat di depannya. Ia
bergumam, “Subhanallah.”
Wa Kaji Roup yang mendengar gumaman itu terheran.
“Kenapa, Lek?”
101
“Kecoak itu, Wa Kaji,” Lek Darkum berseru.
“Apa maksudmu? Ada apa dengan kecoak itu?” Wa Kaji
tambah tak mengerti.
Lek Darkum menarik nafas dalam-dalam, lalu
membuangnya dengan kuat.
“Tak tahulah, Wa. Allahu a’lam. Hanya Allah yang tahu
sesungguhnya. Tapi kurasa kecoak itu lah yang menjadikanku
tetap hidup dalam kecelakaan maut itu.”
Wa Kaji Roup semakin tak mengerti.
“Wa Kaji, di rumah saya ini banyak kecoaknya. Saya
sering mendapati kecoak-kecoak itu terbang atau berjalan lalu
terjatuh di lantai dengan tubuh terbalik. Kakinya bergerak-gerak
seakan berusaha keras untuk membalikkan tubuh agar dapat
berjalan kembali. Melihatnya saya selalu kasihan. Maka saya raih
tubuh kecoak itu, lalu saya balikkan badannya dan saya taruh
dengan posisi yang benar hingga ia bisa berjalan lagi. Saat saya
melakukan hal itu hati saya selalu berbisik, ya Allah, sebagaimana
aku bangkitkan kembali mahluk-Mu ini karena kasih sayangku
agar ia bisa tetap hidup, maka bangkitkan pula aku saat aku
terpuruk agar aku bisa tetap hidup dengan kasih sayang-Mu.
Perilaku demikian sudah aku lakoni bertahun-tahun sampai saat
ini.”
Sejenak Lek Darkum terdiam.
“Itu Wa Kaji. Itu jimat saya kalau sampean dan warga
kampung Tegalglagah ini percaya. Itu jimat saya yang
menjadikan kehidupan keluarga saya serasa aneh seperti
dikatakan oleh mereka. Bahkan bukan dalam dua tiga bulan
terakhir saja keanehan itu aku alami. Tapi sudah tahunan. Saya
memang nggak punya uang banyak. Sampean tahu lah berapa
penghasilan tukang becak. Tapi saya sangat bersyukur setiap
kebutuhan keluarga saya selalu dapat terpenuhi. Saat keluarga
102
saya butuh sesuatu ndilalah kok ya ada saja rejeki untuk
memenuhinya.”
“Mengapa kau lakukan semua itu, Lek? Siapa yang
mengajarimu tentang jimat itu?” Wa Kaji Roup menyelidik.
“Bapak saya, Wa. Dialah yang mengajari saya untuk
berusaha menjadi orang yang banyak memberi manfaat bagi
orang lain, dalam bentuk apapun, sekecil apapun. Dia yang
mengajari saya untuk selalu berbagi kasih sayang dengan sesama
makhluk. Katanya, bila kita menyayangi makhluk yang ada di
bumi ini, maka penghuni langit akan menyayangi kita. Ia juga
mengajariku, bila saya tak mampu melakukan tirakat dengan
berpuasa dan shalat malam sebagaimana lazim dilakukan orang-
orang alim, maka cukuplah aku bertirakat dengan membiarkan
seekor lalat menikmati makanan dan minumanku, memberi
kehangatan bagi anak kucing yang kedinginan, mengikhlaskan
gabah yang sedang kita jemur dimakan oleh ayam, atau dengan
penuh rasa sayang membalikkan tubuh kecoak yang terbalik tak
mampu kembali berbalik untuk berjalan.”
Sekali lagi Wa Kaji Roup hanya terdiam sambil kepalanya
manggut-manggut. Matanya lurus memandang ke arah pohon
asem blimbing, jimat Lek Darkum itu.***
Tegal, 8 Ramadhan 1431 H/2010
Yazid Muttaqin, tinggal di JL. KH. Iskhak RT 3 RW III
Kota Tegal.
103
Catatan Mewah Senja di Joglo 15
Esai Yosi Wulandari
Botol-Botol Berisi Senja mulanya menemui saya dengan indah
kata yang tersusun rapi berpadu dengan rajutan makna. Lalu,
perkenalan itu mulai menjadi lebih dekat setelah mozaik-mozaik
dari gulatan rasa anak manusia mengajak saya mengenalnya.
Perjalanan alam pikir dan rasa pun mulai bergerak dengan
sangat giat, rasanya waktu seolah dibiarkan saja berhenti sejenak
hingga saya kembali setelah perkenalanan ini selesai.
Pertemuan dengan gulatan rasa itu mengajak saya
mengenal dua belas cerpen beresensi senja. Setiap kisah sengaja
dikemas rapat dalam sebuah botol bening lalu dibiarkan
tergeletak pada senja. Dengan esensinya, senja menjadi semakin
megah lewat rona yang memikiat dan selalu dinanti.
Namun, dibalik kagum ada rasa yang mengiba tentang
sastra. Kita bisa sejenak menyadari tentang gelisahan para
pemerhati sastra sehingga berbagai kelompok pencinta sastra
pun hadir memberikan berbagai upaya. Lalu, seberapa besar
upaya itu telah memberikan perubahan bagi karakter
bangsa?Jangan sampai karya terus tercipta namun sebatas
pemenuh rak-rak yang kadang jenuh tak tersentuh.
Sosok H.B Jassin menjadi semakin dirindui untuk diajak
menyimak rintihan sastra masa kini. Sastra masih dirasakan
bergairah pada penikmatnya, sementara bagi sekelompok besar
104
lain, sastra hanyalah karya yang tidak berarti. Sehingga tak salah
sastrawan zaman sekarang yang terkenal masih dalam hitungan
jari. Padahal kita sama-sama setuju banyak sekali sastrawan
muda yang berkarya namun tidak terlihat. Nama-nama yang
selalu muncul masih beraroma masa lalu, padahal kegentiran
untuk masa kini jauh lebih kompleks dan perlu kita ajak
masyarakat menyadarinya sehingga bukan oase hati saja yang
dibiarkan lama mengendap.
Joglo 15 merupakan salah satu rintisan yang saya anggap
upaya yang bermagnet kegelisahan. Metamorfosa kisah dan nilai
yang terjadi pada zaman globalisasi ini bak embrio-embrio yang
siap dibentuk menjadi kisah yang hidup. Dua belas gelutan rasa
ini saya deskripsikan seperti tajuk yang muncul di arena
pencarian jati diri. Masing-masing pengarang menyuguhkan
kekuatan masing-masing dalam perajutan kata atau pun
penyarian makna. Kelindan yang muncul berbau kritikkan
tentang kehidupan dewasa ini pun terasa cukup kental.
Selain itu, Joglo15 pun hadir menawarkan sebuah
ramuan sederhana pada kita. Lewat kisah-kisang singkat kita
terkadang diajak merenung cukup lama, bahkan kadang perlu
mengulangi kembali karya itu ditelusuri agar mendapatkan
makna yang sengaja disimpan begitu rapi. Terkadang diksi pun
sengaja bergaya menampilkan eksotis majas sebagai penambah
keelokkan rupa yang cukup berharga disebut karya sastra.
Jika kita lihat mozaik ini satu persatu akan ditemui nada
tanpa suara yang kadang membuat kita menjadi takut, jijik, kesal,
lucu, bingung, bahkan sedih. Segala rasa itu akan mengantarkan
kita menemui bungkahan-bungkahan energi positif untuk bisa
berbenah. Berbenah dengan memandang ke dalam diri atau pun
menjadi relawan sastra yang siap berbagi untuk Indonesia.
Alice (not) In A Wonderland sekeping mozaik milik Ana
Sue hadir dengan begitu memikat, penokahan dengan kata ganti
105
“Kau” memberikan unsur yang menarik sehingga ada nuansa
dengan karya umum. Mozaik ini pada dasarnya memiliki tema
yang sederhana namun penulis berhasil meramunya dengan
pilihan diksi dan imajinasi yang hebat sehingga pesan
disampaikan dengan elegan. Namun, penggunaan bahasa Inggris
di dalam mozaik sedikit memunculkan perkiraan akan
ketidakpercayaan terhadap keindahan kosa kata yang kita miliki.
Saya pikir ini perlu menjadi catatan penting untuk diperhatikan
para penulis muda.
Kisah selanjutnya akan mengajak kita larut bersama
pengarang dengan kisahnya. Kisah yang cukup kompleks terasa
begitu rumit sehingga terkadang bisa menimbulkan kejenuhan.
Namun, bagi yang ingin menemui kehidupan keluarga kisah ini
bisa menggelitik berbagai problematika kehidupan keluarga.
Mozaik Kisah tentang Kau dan Frangipani karya Astuti Parengkuh
ini pun memakai penokahan dengan kata ganti “Kau” dengan
alasan tersendiri dalam menyuguhkan pemaknaan terhadap
cerita. Dengan demikian, pembaca pemula dianggap akan
kesulitan menemui makna secara cepat membaca cerpen ini.
Sari Awan dalam kisah selanjutnya pun kaya dengan
keabsurdan. Absurd menjadi ciri sendiri yang dihadirkan untuk
penamaan tokoh yang sengaja atau pun tidak akan memberikan
karakter pada tokoh. Gaya seperti ini akan menyajikan
kemewahan apabila mampu dikemas dengan lebih jelas lagi
sehingga pembaca tidak merasa bingung mengambil makna dari
maksud kita yang ditampilkan. Perlu kita catat, sesederhana apa
pun tema tetap akan menghasilkan karya yang mewah jika ada
nilai yang ingin disampaikan dengan santun.
Bunga Henung Maulidina hadir dengan potret kehidupan
yang tidak susah dicari acuannya. Imajinasi dan nilai yang
disampaikan pun cukup mampu mengajak pembaca berpikir dan
berargumen bahwa sikap seperti itu “salah” atau sebagainya.
106
Metafora daun dalam cerita menjadi selaras ketika mozaik ini
diberi judul Daun yang berbicara.
Hal senada juga dicoba diajak Danang Febriansyah, yaitu
sekeping kisah yang begitu akrab dengan masyarakat Indonesia,
miskin, ingin sekolah, menggali pasir, keinginan besar untuk
bersekolah, lalu bencana yang sudah menjadi langganan, dan
korban akibat tidak adanya keamanan untuk pekerja penggali
pasir. Kisah singkat berjudul Penggali Pasir ini mampu
menggugah perasaan pembaca lewat kelihaian pengarang
mempermainkan kata dan alur yang tidak biasa.
Kisah milik Gatot Prakosa hadir dengan judul Gajahoying,
kisahnya terkadang mengundang tawa namun menyimpan
kritikkan yang anggun untuk realita yang terjadi di negeri ini.
Kisah yang lebih memaparkan mengenai sikap dan pekerjaan
terasa begitu kental lewat pergolakkan batin tokoh utama. Kisah
ini pun sengaja mengingatkan kita bagaimana nasib para pencari
kerja yang “katanya” dijamin oleh negara. Masih sebuah
kegelisahan terhadap perhatian pemerintah untuk masyarakat.
Keabsurdan kembali ditampilkan lewat mozaik Hardi
rahmat, Kota Cahaya, permainan kata dan imajinasi terasa begitu
kuat. Meski sengaja meminta pembaca menginterpretasi dengan
pemaknaan yang ambigu kisah ini hadir dengan penanaman-
penanaman sikap baik, ada moral yang dikemas lewat kisah demi
kisah di sini. Kemudian, Risalah Cinta Sahara mozaik milik Kalis
Mardi Asih ini merupakan potret kisah sederhana bahkan tidak
baru bagi pembaca. Namun kemanisannya membentuk karakter
tokoh dengan deskripsi yang kuat menunjukkan keunggulan
pengarang dalam berkisah.
Mozaik Mawardi D. Mas di Joglo 15 ini tidak hanya
mampu menyuguhkan kisah yang memancing emosinoal
pembaca, judul Botol-botol Berisi Senja pun dianggap menjadi
judul yang bisa mewakili segala kisah dalam antologi ini.
107
Kelihaian dalam alur dan perwatakan tokoh menjadi keunggulan
yang menghadirkan makna yang mewah untuk disampaikan
kepada pembaca.
Sepasang Jam Tua yang Merindukan Keabadian mozaik
Muhammad Izzat Abidi dan Sebatang Pohon Jati yang Menangis
Setiap Malam mozaik milik Saidul Ali memiliki kesamaan dalam
penggambaran tokoh. Meski memiliki makna yang berbeda
dalam kisah yang hendak disampaikan, penokohan yang
mengajak benda dan pohon hadir serta ikut menghiasi makna
cerita menjadi suguhan yang bisa diterima. Perumpaan yang
disajikan begitu rapi sehingga kemustahilan dalam cerita
menjadi tertutupi sehingga maksud yang ingin disampaikan pun
tidak sulit diterima pembaca.
Sebagai penutup kisah-kisah anggun tentang kegelisahan
kehidupan ini, Yazid Muttaqin lewat mozaik Jimat Lek Darkem
berhasil menggugah rasa dengan kejutan-kejutan alur dalam
ceritanya. Kesederhanaan latar dan penokohan yang dirajut
dalam kata demi kata mampu menyadarkan kita tentang hal kecil
yang kadang terlupakan. Mozaik ini suguhan penutup yang
manisnya pas untuk pembaca yang hidup di zaman penuh
dengan lautan keegoan manusia.
Saat ini, mozaik itu telah disusun dengan rapi dalam satu
maksud, masihkah kita berdiam jika rasa sudah lelah menahan
gelisah? Antologi cerpen Joglo 15 Botol-botol Berisi Senja ini
adalah sentuhan yang bersama-sama menyampaikan gejolak rasa
tentang berbagai permasalahan kehidupan yang nyata dihadapan
kita. Namun demikian, segala kritikan mewah ini bukanlah
krtikian yang sengaja disusun untuk didiamkan dalam susunan
rak. Jadi, menjadi relawan sastra pun adalah hal selanjutnya yang
perlu kita lakukan bersama lewat Joglo atau pun lewat langkah
lain dan pada arena lain. Salam Cinta untuk Sastra Indonesia,
108