september2012 -...

32
TEACHER AS A TRANSFORMER OF COGNITIVE AND WISDOM FOR SUSTAINABLE CHARACTER DEVELOPMENT1 GURU SEBAGAI TRANSFORMER KOGNITIF DAN KEARIFAN UNTUK PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN KARAKTER BERKELANJUTAN' Hernawati W Retno Wiratih, MSc2 hernawati 1 ife(a>yahoo.com PRESIDENT UNIVERSITY <Jl Ki HajarDewantara, Jababek,i7550, Bekasi Prof Dr M Havidz Aima, Ms3 havidz.aiina(giyahoo.com Universitas Mercu Buana Jl Raya Meruya Selataii No.oi, 11650, Jakarta Barat September 2012 ABSTRACT Development of character virtue is the key to personal, academic, and professional success in life. Today, weface enormous challenges in educating of young people, who provide youth with basic academic, knowledgeand skills, accordingly, promote their character de\>elopment. Modern global culture suffers from a variety of negative trends which are reflectedand reinforced in the world of education. These challenges include a perceived decline in the value of intelligence, complex thought, wisdom of superficiality in favor, and the loss of intellectual and moral standards. These conditions will affect their mindset, attitude and behavior that will eventuallyform of character of individual and community and so will be affected to the society life, especially the characters ofyoung generation. According to Rosenshine and Stevens, 1986, teaching behavior correlate with the student performance to support and develop student's self identity. Historically, schools have always had responsibility for both academic and character development. Regarding education's wisdom, studentslieed to develop "learning strategies" that support their life long learning. To do so, education today shouldfacilitate the development of interpretative skills, deep understanding to face and solve the complex problems. Performance of professional teachers must be raised andclearly existence of knowledge by aggregation ofskills, technology, and ethics disposition. Keywords: Character, teaching behavior, student performance Mentbangun dan membina kearifan karalaer merupakan kunci keberhasilan personal karakier dan individu baik secara akademik maupun professional dalam kehidupan. Saal ini kiia menghadapi ianiangan yang sanga! besar dalam mendidik parapeserta didik iititak menjadi pemuaa yang memiliki landasan akademik, pengetahuan dan kecakapan sena kepian-aian guna penganbangan karakter mereka. Budaya global modem memberikan berbagai kecendenmga.il negattf vang tercermin serta diperkuai di dalam ditnia pendidikan. Taniangan-tantangan ini berupa menurunnva ivlai kecerdasan, pemikimn komp'eks, dan kedangkalan kearifan, dan hilangnya standar tntclektual sena moral. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku yang pada akhirnya akan membentuk karakier individu dan masyarakat sehingga akan berpengaruh lerhadap kehidupan masyarakat, khususnya karakier generasi muda. Mcnunit Rosenshine dan Stevens, i')SO. perilaku mengajar berkorelasi dengan usaha sis'ia iw.luk menibaniu dan mengenibangkan idenliias dirinya. Secara fusions, sekolah selalu memiliki ianggung jawab imiuk pengembangan dan iK'.ngayaan baik hi dang akademis maupun mentbangun karakter. Berkaitan dengan kearifan [X;n,i/diknn, siswa hams mampu mengemhangkan "siraiegi behijar" yang menyokong wrnbuhnya motives,1 belajar seumur hidup bagi mereka. Uniuk melakukannya, saat ini pendidikan hams memfasiliiasi pengembangan keiemmpilan inierpreiaiif, pemahaman yang mendalam inituk menghadapi dan memecahkan masatah yang kompleks. Kinerja guru profesiona! hams diiingkatkan dengan nyaia melalui wujud memiliki pengetahuan dengan kelvrumpilan. ieknologi dan disposisi eiika berkamkier. Kata kunci: Karakier, Perilaku mengajar, kciangsuagun (prestasi) peserta didik. 1.SeminarInternational 'Sang Curu'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia 2.Counselor and Lecturer at President University, Jahabeka, Bekasi 3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakaita Page 1

Upload: lyxuyen

Post on 18-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TEACHER AS A TRANSFORMER OF COGNITIVE AND

WISDOM FOR SUSTAINABLE CHARACTER

DEVELOPMENT1

GURU SEBAGAI TRANSFORMER KOGNITIF DAN

KEARIFAN UNTUK PENGEMBANGAN DAN

PEMBINAAN KARAKTER BERKELANJUTAN'

Hernawati W Retno Wiratih, MSc2hernawati 1ife(a>yahoo.com

PRESIDENT UNIVERSITY<Jl Ki HajarDewantara, Jababek,i7550, Bekasi

Prof Dr M Havidz Aima, Ms3havidz.aiina(giyahoo.com

Universitas Mercu BuanaJl Raya Meruya Selataii No.oi, 11650, Jakarta Barat

September 2012ABSTRACT

Development ofcharacter virtue is the key to personal, academic, andprofessional success in life. Today, wefaceenormous challenges in educating ofyoung people, who provide youth with basic academic, knowledge and skills,accordingly, promote their character de\>elopment. Modern global culture suffers from a variety of negative trendswhich are reflectedand reinforced in the world of education. These challenges include a perceived decline in thevalue of intelligence, complex thought, wisdom of superficiality in favor, and the loss of intellectual and moralstandards. These conditions will affect their mindset, attitude and behavior that will eventuallyform ofcharacter ofindividual and community and so will be affected to the society life, especially the characters ofyoung generation.According toRosenshine andStevens, 1986, teaching behavior correlate with thestudent performance to support anddevelop student's selfidentity. Historically, schoolshave always had responsibility for both academic andcharacterdevelopment. Regarding education's wisdom, studentslieed to develop "learning strategies" that support their lifelong learning. To do so, education today shouldfacilitate the development ofinterpretative skills, deepunderstandingto face and solve the complex problems. Performance ofprofessional teachers must beraised andclearly existence ofknowledge byaggregation ofskills, technology, and ethicsdisposition.

Keywords: Character, teachingbehavior, student performance

Mentbangun dan membina kearifan karalaer merupakan kunci keberhasilan personal karakier dan individu baiksecara akademik maupun professional dalam kehidupan. Saal ini kiia menghadapi ianiangan yangsanga! besar dalammendidik parapeserta didik iititak menjadi pemuaa yangmemiliki landasan akademik, pengetahuan dan kecakapansena kepian-aian guna penganbangan karakter mereka. Budaya global modem memberikan berbagaikecendenmga.il negattf vang tercermin serta diperkuai di dalam ditnia pendidikan. Taniangan-tantangan ini berupamenurunnva ivlai kecerdasan, pemikimn komp'eks, dan kedangkalan kearifan, dan hilangnya standar tntclektualsena moral. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku yang pada akhirnya akan membentukkarakier individu dan masyarakat sehingga akan berpengaruh lerhadap kehidupan masyarakat, khususnya karakiergenerasi muda. Mcnunit Rosenshine dan Stevens, i')SO. perilaku mengajar berkorelasi dengan usaha sis'ia iw.lukmenibaniu dan mengenibangkan idenliias dirinya. Secara fusions, sekolah selalu memiliki ianggung jawab imiukpengembangan dan iK'.ngayaan baik hidang akademis maupun mentbangun karakter. Berkaitan dengan kearifan[X;n,i/diknn, siswa hams mampu mengemhangkan "siraiegi behijar" yang menyokong wrnbuhnya motives,1 belajarseumur hidup bagi mereka. Uniuk melakukannya, saat ini pendidikan hams memfasiliiasi pengembangankeiemmpilan inierpreiaiif, pemahaman yang mendalam inituk menghadapi dan memecahkan masatah yang kompleks.Kinerja guru profesiona! hams diiingkatkan dengan nyaia melalui wujud memiliki pengetahuan dengankelvrumpilan. ieknologi dan disposisi eiika berkamkier.

Kata kunci: Karakier, Perilaku mengajar, kciangsuagun (prestasi) peserta didik.

1.SeminarInternational 'Sang Curu'Presentation at UNESA, Surabaya,Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University, Jahabeka, Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakaita Page 1

A. The Nature of Man and Education

Sifat Alami Manusia dnn Pendidikan

Man, for Wilhelm Leibnitz, the German thinker, was a construct of monads, but differed from the

inorganic in that he had a central, controlling monad or soul. Man in all nature, is subject to law,order, uniformity (mechanical universe). Man as a part of the process, he is part of the natural

whole and subject to its pre-established laws. Kant undertook the task of restoring man to hisdominant place in the universe. He taught that man is a part of the universe as objects and things.In man, Hegel found certain logical processes operating. As man, the universe of which man is apart. As with the human mind, with the universal mind which we find in the mind of man, man isthe universe in miniature, man is a little universe which is a miniature of the whole universe.

Society composed of men as an individual and as a whole. Plato and Aristotle develop a taughtbasically about a man. They said that man was born with natural depravity and was an untrainedsociety help to structure, educate and fulfill his needs. Descartes said, man is two substances ofbody and soul; and it is impossible to make a satisfactory connection between them. However, we

know that the universe was interpreted in term of man, likewise as we have seen, man, is a resultof the organization of real. His mental life is fusion, organization of ideas which result from theinteraction of real and consequently there are laws which we must obey.Menurut Wilhelm Leibnitz ahli dari Jerman, individu itu merupakan kesatuan yang utuh tidakdapat terbagi yang dikontrol oleh jiwa. Secara urnum sifat manusia, merupakan subyek darihukum, kerapian dan keseragaman. Individu merupakan bagian dari sebuah proses, bagian darisesuatu yang berasal dan dihasilkan oleh alam secara keseluruhan yang tak terpisahkan gunamembentuk, membina dan menegakkan aturan-aturan. Sememara itu menurut Kant tanggung

jawab memperbaiki dan memperbarui keadaan individu merupakan factor dominan secarakeseluruhan di mana individu merupakan bagian dari sebuah proses keseluruhan baik sebagaiobyek maupun sebuah kekayaan. Pada manusia. menurut Hegel, beberapa proses melakukansesuatu dengan tujuan (control) dan pemaknaan tertentu sebagai manusia di mana individumerupakan bagian dari keseluruhan sebuah proses yang dilalui. Melalui akal. jiwa dan budi,individu merupakan miniature dari sebuah keseluruhan, individu adalah bagian kecil dari sebuahkeseluruhan bagian-bagiannya. Masyarakat, terdiri dari individu-individu baik sebagai individualmaupun sebagai keseluruhan yang utuh. Menurut Plato dan Aristotle, pada dasamya membangundan mengembangkan sesuatu terhadap individu adalah melalui apa yang diajarkan kepadanya.Menurut mereka, manusia lahtr.g wajar dengan moral yang seadanya (rendah) dan tidak terlatih(terdidik), karenanya masyarakat membantu untuk mensruikturkannya, mendidik (dalam hal inijuga mengajar) serta memenuhi kebutuhannya. Menurut Descartes, manusia terdiri dari dua halyaiiu body (fisik) dan jiwa dengan seluruh energinya, dan sesuatu yang mustahil memberikanhubungan kepuasan dari keduanya. Individu merupakan hasil sebuah pengorganisasian.Kehidupan menlainya merupakan campuran dan peleburan dari sebuah penyeienggaraan ide-ideyang merupakan interaksi yang terjadi sebagai akibat dari hokum yang harus mereka patuhi.

Man differs from animals not only in the possession of human intellegence and purposive will alsoin the fact that from the time he first appeared in the earth he supplemented his hereditary,physical, and psychic potential with habits, and techniques which increased his comfort, power

1.SeminarInternational 'SangGuru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 2

and safety. Man, therefore, animals, from the ideas he has learned and the material things he hasaquired. Talking about human beings and human his existence is always the actual cause andcentral discussion in a variety of events, because basically man is a creator and problem solver ofthe conflict and related to survival. According to Descartes (1596-1650) humans are creatures whothink (cogito); doubts about its existence the cogito ergo sum is answered. Humans find itsexistence for thought. Humans are unique creatures, he being a free, autonomous and dependent,he is being a dynamic and multi-dimensional, which is building a relationship with theirenvironment to develop themselves as human beings are basically productive and homo-mensuraman into a dimensions that is all to become (what I know; ethical; able to answer; religious). In thewhole course of life, man's development from the primitiveand simple to the most complexwaysof living, we impressed by the fact that wherever men have lived together there has been somegroup interest in education and as group become more complex this interest grows, and institutionin charged with the task of teaching is created. Human beings are uniquely endowed with manyabilities. The intellectual and cultural aspects of human life make human beings distinct otheranimal. Human are capable of learning and being educated. Education ensure survived of thehuman race, maintain it is intellectual and cultural traditions and helps in developing enlightened.Manusia tidakiah sama dengan makhluk lain tidak hanya ketika melakukan sesuatu dikarenakanintelegensinya tapi juga memiliki tujuan jeias atas yang menjadi milikinya, saling melengkapihereditas karakteristik secara fisik, potensi, jiwa, bersamaan dengan kebiasaan-kebiasaan danteknik yang membuatnya merasa nyaman. kuat dan aman. Memblcarakan tentang manusia dankeberadaannya akan seialu menjadi aktual sentral dan menarik karena pada dasamya manusiaadalah pembuat dan pemecahkan masalah demi kelangsungan hidupnya. Menurut Descartes(1596-1650), manusia adalah mahkluk "cogito" yang (merencanakan, berminat); meragukan"cogito ergo sum" dan menjawab tentang keberadaannya. Manusia dapat menemukan danmemperoleh kehidupannya karena pemikiran dan gagasan-gagasannya. Manusia merupakanciptaan yang unik mahkluk yang kehidupannya bergantung pada makhluk lain, ia adalah mahklukyang dinamis dan multi-dimensional yang membagun dan membina hubungan dengan lingkungandimana ia berada guna membangun dirinya sebagai seorang manusia produktif yang berkombinasiguna mennyatu untuk membentuk suatu dimensi baru dari yang ia tahu dan pelajari berdasarkankemampuan menjawab secara ethics-rasa percaya akan keberadaannya serta prinsip-prinsip benar

I'ig.l: fhr; Aa'Wr.1 <7f AfjaAnd J'chh^tion

1.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University,jababeka, Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 3

dan salah dengan ketaatannya kepada agama. Di dalam perjalanan hidupnya eksploitasi-pcrkembangan-dan perkembangan hidupnya dan yang primitive dan sederhana kepada kehidupanyang bersifat lebih kompleks dengan cara mengingat dan mempengaruhi yang meniresankan neardapat hidup bersama dakim k.unikan kemampuau baik intelektual maupun budaya. Dalam hsilmkemampuannya belajar dan mempelajari merupakan jaminan sebuah kepastian untukkeberlanjutan kehidupannya yang lebih baik.

Pettit, 1993, mention that human being has capacities that allow them to respond appropriately toenvironmental requirements, but also allow them to care for the appropriateness of their ownresponses. Human beings are intentional agents that can act on their desires and beliefs,

represent their environment internally and find more appropriate means to reach theirgoals which probably share, come reflexive that call man's educability (Bransen, 2003) thatconsists in concern for the truth ofquality in beliefs and the good quality of one's desires invirtues. As human beings we are born with a human nature and human dignity that each andevery member in the very capacity ofbeing human holds an inherent dignity and worth. Humanbeing is an ideal and a norm, need to be educated and cultivated to develop his or her humannature to become humane. The human being is a rational actor and such creates culture and

history, free in many respects and expectations. We may have across the word of'environment,'even 'environmental education.' Humans not only learn from the environment (natural, socialsystem, and the economic system), he also learned from the earlier human, processes anddevelopments will shape his pattern of learned behavior and beliefs. Man is reflections humanbeings who think about the experiences and beliefs that grow out of him. The results of thesereflections will be ascience when its develop in acritical, rational, methodical, and systematic.Petht, 1993, menyebutkan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk merespon dengan tepatterhadap suasana lingkungan serta menjaga kesesuaian yang mereka miliki. Manusia padadasarnya dengan sengaja menjadi agen (sebagai perantara atau pengantar) dapat bertindak ataskemauan (hasratj nya sendiri yang dipercayainya, hal tersebut mewakili lingkungan internalnyadan menemukan cara yang lebih tepat untuk mencapai tujuannya dengan kemungkinan-kemungkinan berbagi, dengan reflesif karenanya dikatakan manusai itu memiliki proseskemampuan sebagai peserta didik (Bransen, 2003) yang mendapat kebenaran dan keyakinankuahtas minat dan hasrat seseorang terhadap nilai-nilai kearifan (values and wisdom). Sebagaimanusia kita dilahirkan dengan membawa sifat alamiah dan mulia. Manusia merupakan mahklukyang ideal berkaitan dengan nornia-norma, membutuhkan pendidikan dan pengajaran budaya-etbichs guna mengembangkan sifat manusianya menjadi manusia yang penub kasih saying danberpenkemanusiaan. Manusia merupakan aktor rasional yang menciptakan budaya dan seiarah

1.Seminar International 'Sang Guru'Presentation atUNESA, Surabaya, IndonesiaZCounselor and Lecturer atPresident University, Jababeka, Bekasi3.Guru BesarEkonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 4

yang bcbas di banyak hal mengenai rasa peughurguan dan pengharapan yang dapat diperolehnyadari lingkungannya baik dari lingkungan pendidikan maupun dari suasana pengasuhannya.Manusia tidak hanya bebjar dari lingkungannya (alam, social system, juga sistem ekonomi) akantetapi ia juga belajar dari manusia terdahulu di lingkungannya. Proses-proses dan pembinaanyang dilaluinya akan membentuk Po!a perilaku dan kcyakinan (anggapan dan anutan yangdipercayanya). Manusia merupakan re-fleksi dari wujud makhluk insani yang berpikir denganmenggunakan rasa tentang pengalaman mengenai anggapan dan anutan dan yang dipelajarinyamelalui keadaan yang tumbuh, tertanam dan dipeliharanya untuk menjadi miliknya.

B. The Place of Education in the Development of IndividualTempat Pendidikan Di Dalam Membangun dan Membina Indvidu

U>u£ 3 OiUnotjitie t&em- &e. &a& <Jcoma&cita.

Ct&an. &£afU oaya. t*3a£. a&an *umbu&m. duma* JLtcdi&atan.jui3a mete&i.

The term education have been derived from educere which means "to draw out" or "to leadout," and it described as a "process of adjusment or developing social process as formation ofhabits." Our environment has a very great influence on what we are, on what we do and think.

Man is greatly influenced by the various of groups life as philosoper John Amos Comenius, abishop and teacher, believed that it was possible for everyone to learn everything, at firsteverythingsshould be taught in "general and undefined manner." Besides such external and the

social there is a much more important environment which plays upon men, child lookscompanion, and that is the environment, child develops not only his body but also the mind.

These mean, from the earliest childhood a person learns to conform to the thoughts, ideals,habits, sympaties, and tradition of his group. He learns how to feel, to think, to judge as hisparents or neighbors do. It teach him self-control, self-reliance, fidelity to ideals and a respect forlow. Each child represents a world and aspect of the world and an opportunity to enrich theirunderstanding with a new perspective. In a modern era, varied meaning of education but it hasbeen described as "a process ofadjustment" or as a means of"developing social efficiency andremarking ofenvironment" in "developing personality." Its important for child to continue build

their core values replacing a negative influences and attitudes with the possitive and role modelsby which the process he will be able to deal with situations and problems positively, as Rousseau

1.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia^.Counselor andLecturer at President University, jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta i->a™ 5

mention that child naturally would follow the natural curiosity of the child and he will learn and

growas trade, then, the child would develop his senses in order to be independent.

Istilah pendidikan berasal dari educere v>-.g dapat bcrarti menufusk. < >.t tn::!-u:; .. ;...',:k

"mendapatkan" atau "memimpin-membimbmg" dan meinperikan sebagai sebuah "dari proses

penyesuaian" sebagai usaha pengembangan proses pembentukan sosial untuk terciptanya

kebiasaan-kebiasaau. Lingkungan kita memiliki pengaruh yang besar dan penting dalam

membentuk seseorang "untuk menjadi," "untuk melakukan," dan untuk berpikir. Seseorang

sangat dipenganihi oleh berbagai kelompok lingkungannya. Seperti menumt philosoper John

Amos Comenius, seorang Uskup dan juga seorang gum, yang mempercayai bahwa sangat

memungkinkan bagi seseorang mempelajari segala sesuatu, yang pada dasarnya sesuatu yang

diajarkan. sefain beberapa factor eksternal dan factor sosial, ada factor lingkungan yang sangat

penting atas manusia, kanak-kanak biasanya meiihat handai-remannya tanpa menginginkan

kebersamaan. di dalam lingkungannya, kanak-kanak membangun tidak hanya raganva tetapi

juga akal budinya. Ini berarti sejak sangat dini seseorang telah belajar untuk menyesuaikan dan

menyelaraskan diri terhadap gagasan dan ajaran , ideal, kebiasaan-kebiasaan, simpati, tradisi dari

keiompoknya. Selain eksternal dan social, lingkungan lebih berperan penting bagi seseorang,

kanak-kanak menginginkan kebersamaan di dalam lingkungannya, ia tubuh tidak hanya fisiknya

tetapi juga pikirannya. Ini berarti dari sangat dini seseorang belajar untuk menyesuaikan dan

menyelaraskan gagasan dan ajaran, ideal kehiasaannya, simpati, dan tradisi keiompoknya. la

belajar bagaimana merasakan, berpikir, meniiai, sebagaimana diiakukan oleh kedua orang tuanya

ataupun para tetangganya. Hal ini mengajarkannya tentang self-control, self-reliance. loyalitas

dan niematuhi hukum yang berlaku. Settap kanak-kanak mewakili dunia dan aspek-aspek dari

dunia seita semua kesempatannya guna memperkaya pengertian dan pemahaman mereka

terhadap perspekiif baru. Di era moderan pengertian pendidikan, adalah "sebuah proses

menyesuaikan dan menyelaraskan" atau "membangun ketepatgunaan sosial akan

lingkungannya" untuk "developing personality." Hal ini sangat penting bagi kanak-kanak untuk

membangun nilai-nilai utama menggantikan pengaruh sikap negatif beralih pada sikap positif

serta sebagai role model dengan melalui prosesnya ia akan mampu bernegosiasi terhadap situasi

dan problem secara positif, seperti yang dikatakan Rousseau bahwa kanak-kanak secara alami

akan mengikuti keiogintahuan alami dari sebuah dunia kanak-kanak dan karenanya ia akan

menjalani proses belajar dan tumbuh menjadi mdependen.

1.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 6

There are many ways hedging of theoritical issue. Darwin challenged a practice of segregation

in which man set himself firmly apart from the animals. The Copernican theory displaced

manform his pre-eminent position that center of things. This argument may dissuade people from

further inquiry and have any effect. Tolstoy justified that every action of the individual is

learning and unique of child to have greater knowledge and to influenced his conduct. Strictly

human conduct which distinguishes in any activity that is specifically human, that is, The social

instinct with his desire to express himself to satisfy his ego ever lead him to desire to conform to

the standards of those arround him. The provision of good education is an important factor in

man's psychic environment, which can counteract to many harmful influences. Develop his

intellegence, his ideals, and preferences of the right kind, which will give and develop a deeper

understanding performed with rational insight and controlled by will, behind that is mental state.

The constant mutual interaction of the individual and is environment which is human conduct in

a complex thing, and its outomathic, that is his actions are habitual which gained from

environment who changed by the working of mind and imagination. Education designated as a

process of viewing and recording behavior as occurs in natural situations to help child build and

organize their character in individual and group setting, to provide a greater functioning and

facility as well as greater complexity to lead his body and mind toward his maturity.

Secara teori rerdapat banyak cara, Darwin menurutnya, "'kesempatan mencoha melakukan"

merupakan usaha pembuktian di mana manusia hukaniah animal. Teori Copernican

menggantikan ataupun memindahkan sosok kondisi menjadi pusat unggulannya. Perbedaan

pendapat ini dapat menghalangi rasa ingin tabu seseorang lebih lanjut Ha! ini dibenarkan oleh

Tolstoy, bahwa setiap tindakan dan perbuatan individu merupakan proses belajar yang unik

pada masing-masing individu untuk memperoleh pengetahuan. terbaik yang akan mempengarubi

perilakunya. Di segala aktivitas tingkah laku manusia secara seksama dan sempurnadengan

keistimevvaannya yang spesifik insaniah, itulah, yang dikatakan sebagai "lusting Sosial" yang

memiliki hasrat untuk mengekpresikan dirinya guna menipenruhi dan meyakinkan diri (ego)

untuk membimbingnya kearah yang dikehendakinya, menyelaraskan terhadap standar-

standar yang ada disekitarnya, Ketentuan sebuah pendidikan yang baik adalah factor

lingkungan sangat penting bagi seseorang sehingga ia mempunyai kekuatan batin agar bisa

menjaga diri dari sesuatu yang dapat membahayakannya. Membangun intelegensi, ideal,

sesuatu yang disukainya merupakan hal yang cocok yang akan memberikan dan

mengembangkan pemahaman rasional yang dikendalikan oleh keinginan baik dibalik, semua itu

1.SeminarInternational 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselorand Lecturerat President University, jababeka, Bekasi

3.Guru BesarEkonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 7

^Sree oP> &*

Siuiy (.use

Cutural Influences

rLanguage and ait

Socio-political background

Child-rearing beliefs

Social^yironpseot/

Family characteristics, <Jiild-

reaiirig practices

Cultural values

about: . '

Achievement;"•['

Human nature •

Social relations-;'

Self-defiiutiori;-;,'-•-,

fntJtvidiiality^V;

Fig. 2

A model showing how cultural elements are transmitted lo the individual

through the medium ot sooal environment and family influences

•)

lunlut kcrnampuan menial. Keieraturan mutual intcraksi aniara imhvidu dan lingkungannya

•dm dapat meiiiiantarkan seseorang kepada kompleksitas Pada dasarnva, pendidikan di design

ba.ua' sebuah proses melihak memahami dan melakukan pcrekoman snafu {ingkah laku yang

rkmi^un^ >ecai'a alamicih untuk memhamu anak memhdngun. mengembangkan serta

esmotganisaMkaii karakter mereka ke dalam setting individual dan kelompok unluk

euvediakrm dan memberikan tungsi yang lebih besar begitu juga fesiliias serta kompleksitas

ma meivrn-ahknn Irak dan akal hudinya ke arah menuju kemaiangao pribadt

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya. Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University,Jababeka. Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta ['age 8

C. Education, the Necessity and Function

The major activities of school are learning and teaching. Other activities, includingadministration, curriculum construction, guidance, and methodology, likewise play importantroles in the process of modern education. The purpose is fundamentally and primarily tofacilitate and to render more effective the major activities of learning and teaching. Both of thesemajor activities are by their nature complex and in the school situation are necessarilycoordinated. Both are essentially mental processes. Learning is the mental activity by whichknowledge and skills, habits and attitudes, virtues and ideals are acquired, utilized, retained, andresulting in the progressive adaption and modification of conduct and behavior. Both areessentially mental processes. To provide the necessary motivation and direction, effective

guidance and control and likewise to evaluate learning activity the teacher must have anunderstanding of the basic laws and principles which govern the development of the growingpupils. Education is a science while teaching is an art. The art teaching is about creativity whichdepedent on knowledge of effective techniques and also upon the application of thesetechniques. Education is the culture of mind, the will and the emotions adapting a man for theexercise of the harmonious development of their powers, capacities, capabilities (moral, mental,spiritual, physical, social life, and emotional). Education depend primarily on the nature of the

one to be educated. Human beings are composed body and soul, hence, to educate a child means

the development, naturally and harmoniously, all of powers and capabilities of body and soul."

Learning and Teaching" merupakan aktifitas utama sekolah fermasuk di dalamnya administrasi,

pembuatan kurikulum. bimbingan. dan metodologi juga mempunyai peran yang penting padaproses pendidikan modern. Tujuannya secara fundamental yang pokok adalah untukmemfasilitasi dan mengubah agar proses 'learning and teaching" menjadi lebih efektif Dalam

hai ini, learning merupakan aktifitas mental melalui knowledge dan skills, habits and attitudes,guna mempunyai virtues (nilai-niiai) dan ideais idealism), menggunakannya, menguasainya, danmenghasilkan penyesuaian yang progresif sena modifikasi arahan perilaku. Untuk menyertakanmotivasi dau pengendaiian dibutuhkan juga control dan evaluasi, karenanya guru diharapkau

memiliki pemahaman (mengenai dan memahami) hukum prinsip-prinsip membangun,mengembangkan dan membina peserta didik secara benar. Education adalah sain (ihnu) dan disisi fain teaching merupakan sebuah seni. Seni dari mengajar adalah kreatifitas yang ditentukanoleh pengetahuan tentang teknik pembelajaran yang efektif. Pendidikan merupakan budaya(culture) dari kehendak akal dan budi (mind) kemauan dan kemampuan emosi seseorang untuk

beradaptasi guna melatihkan dan mec-iptakan keharmonisan dalam kesanggupannya (powers),kecakapan (capacities), kapabilitas {moral mental, spiritual, fisikal,social life, dan emosional).Pendidikan mengandalkan pada aiamiah sifat dasar manusia (nature). Manusia terdiri dari ragadm jiwa, oleh karena itu, mendidik kanak-kanak berarti membangun, memhimhing dan

membina, alami dan harmonis, dengan semua kesanggupan (powers) dan capabilities dari body

(badan dan lembaga) dan semangat.

Education oriented needs of students based on his skills and knowledge, to increase hismotivation to learn and increase material needs of students. The theory is applied to students

who are assumed to be adapted to the characteristics derived from the student's motivation is

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 9

built of intelligence culture behavior that includes mental and emotional characteristics of

student's and talent or intelligence and aptitude of students. It is modified or developed that willinfluence to learning outcomes. The success of this depends on the interaction of student suchenvironmental, mental and aptitude. In education, people who think systematically designedpupils are able to understand and live with also able to communicate with. Hence, educationalmust consider to the whole being of man. It cannot consider the child as other being endowed notonly with and sense, also with soul and intellect, and will. In the time, how ever, as traditionsand customs grew, this simple association together is not enough. The child could not learn allthatwas necessary, and the old men of the group took it upon themselves to instruct the young atcertain times in traditionand customs. As the life of group become complex, certain members ofthe group took it become thoroughly familiar with the tradition and education and devoted most

of their time to the teaching. Teaching and learning was due to the fact that among them ways ofliving and tied up each other, worship, compliance to be the power who established a traditionswhere united in education.

Pendidikan haais menipertimbangkan secara keseluruhan keberadaan manusia. Pendidikanberoriantasi pada kebutuhan peserta herdasarkan ketrampilan dan pengetahuannya untukmeningkatkan motivasmya untuk belajar serta meningkatkan kebutuhan jasmani peseita didik.Teori ini diterapkan kepada siswa yang diasumsikan sesuai dengan karakteristik berasa! darimotivasi siswa dibangun budaya perilaku yang cerdas termasuk karakteristik mental danemosional. Keberhasiian mi tergantung pada interaksi peserta didik kepada lingkungannya,kemampuan mental dan bakat keeakapannya. Seiring waktu, di mana tradisi dan adat-istiadatkelaziman tumbuh membuat kehidupan kanak-kanak menjadi lebih kompleks. ia mengalamikesuiitan mempelajari kebutuhan pentingnya sebagai anggota kelompok (society). Dalam halbeberapa anggota kelompok menjadi terbiasa dan ia belajar karenanya berdasar tradisi. Belajardan mengajar mereka ialui dari kehidupan bersama yang dijalani dengan ikatan erat saru denganlainnya, worship dan kepatuhan menjadikan kekuatan yang membentuk tradisi dalampendidikan. Karena itu, pendidikan hams mempertimbangkan keberadaan .insane individusebagai keseluruhan dan kesatuan.

Human are neither the strongest nor the biggest even the fastest of al! creatures, specifically totheir environment. Obviously, their intellectual abilities and socio-cultural aspects more thancompensated for what they lacked. Locked in permanent struggle against environmental condition.By co-existing in the form of families, he acquired knowledge and experience and learn how toknow and express, and so, this is the begining of education. Education have crucial role ofintellectual and social-cultural tradition of human life, and since human life get training ofintelectual and cultural aspects to become effective member of his group. Education for human isnecessity of life. The necessaty of education much greater in modern era. The human child neededto learn much less concentrating on vital material task to lead an effective life. With theaccumulated experience, consequently, the need for better education for learning becomeeffective. This potentialities need a favorable environment and care for their flowering. Educationis empowering human to lead a succesful life and makes them fit for their environment. Educationof an individual is always directed to the possible growth of human abilities for 'harmoniouslypersonality.' The process of education provides stimulation and the care necessary for

l.SeminarInternational 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 10

actualisation of potensialities, responsibility, and balance of developing abilities. Education is

productive energies in society such a regular supply trained of skilled of man power as humanresource. Its develop individuals intellectual and enabling them to review the structure andfunctions of society, and so, education has an influence on the environmental condition to performa certain functions.

Manusia tak seorangpun yang tcrkuat ataupun terbesar atau juga yang tereepat dari semuamahkluk. Dengan nyata, kemampuan intelektual mereka serta aspek sosio-kuluir mengimbangidari apa yang menjadi kekurangan mereka. Kunci permanen dari kerja keras berhubunganiangsung dengan kondisi lingkungan. Melalui keberadaan bentuk dan wujud keluarga seseorangmemperoleh pengerahuan dan pengalaman serta belajar tentang keingintahuannya dan bagaimanamereka haais mengekspresikan sesuatu, dan iniiah awal dari sebuah pendidikan. Pada dasarnya,pendidikan mempunyai peran yang krusial pada intelektual dan sosio-kultural sepanjang manusiaberkeinginan sebagai anggota dalam keiompoknya. Bagi manusia, pendidikan meaipakankebutuhan yang tidak terelakkan untuk dipenuhi terutama di era modern ini. Seseorang periu

belajar yang terkonsentrasi pada tugas-tugas penting guna menjalani kehidupan secara efektif.Dengan akumulasi pengalaman, kebutuhan terhadap pendidikan yang lebih bagus untuk dapatbelajar lebih menjadi efektif Pendidikan bertujuan memberdayakan manusia guna memperolehhidup yang sukses, potensi ini membutuhkan lingkungan yang positif mendukung serta peravvatanagar tetap menumbuhkan "kepribadian harmonis." Proses pendidikan menyediakan stimulasi dan

pengasuhan yang dibutuhkan guna aktualisasi dari potensi-potensi. tanggung jawab, sertakeseimbangan membangun dan membina kebolehan,kemampuan dan kearifan. Pendidikan

merupakan energi yang produktif di masyarakat berupa sumberdaya manusia.

D. The Basic Teaching as a Transformer for Wisdom and Character Sustainability

Among the Greeks as we have seen, they believed that man should be trained to take care of

himself and advance himself in his community. Their gods were believed to be the power who

establised traditions. Traditions were closely to the education that everything was learned from the

oldest and teachers that places of learning should be in intimacy, and will advocated them which

promote the success and happiness of the individual. The meaning and understsanding of wisdomhas changed. Brugman (2000) describes this transition succinctly, "throughhout history the

meaning and understanding of wisdom gradually change, took place in which wisdom coincidedwith roles for proper conduct with virtue and faith as advocate." The concept of wisdom as a

human attribute has changes. Contemporary science, wisdom has come to be regarded as a trait

that is ascribed to persons of making wise decisions, or having an effective decision-making style.In this sense, wisdom is a very broad trait of the highest level of mental functioning. Wisdom

requires that an individual must have experience, seek information, and weigh alternativeoutcomes of a decision through complex or dialectical reasoning.

Diantara banyak para, ahlk mereka percaya bahwa manusia harus diberikan training agar bisamenjaga dirinya sendiri juga komuniiasnya melalui keeratan dan kekuatan tradisi. Tradisi sangaterat kaitannya dengan pendidikan bahwa segala sesuatu dipelajari dari yang lebih tua; guru tempatseseorang belajar harus bisa menjaga hubungan dekat yang akan memberikan bimbingan untuk

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counsehr and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 11

keberhasilan, kebahagiaan dan kesuksesan anak didiknya. Menurut Bruggman (2000) bahwamelalui sejarah arii dan pemahaman kearifan ie'ah berubah, kearifan pada waktu yang bersamaanberperan untuk mengatur tingkah laku yang pantas dengan. menganjurkan kesetiaan dankeutamaan. Konsep kearifan (wisdom) telah mcngalami pergeseran aiii. Menurut teoriKontemporcr. kearifan merupakan sebuah ciri guna membuaf keputusan yang bijaksana ataudengan kata iain untuk gaya pengambilan keputusan yang efi'ektif. Untuk hal ini dibutuhkanfungsi kemampuan mental yang tinggi. Kearifan menuntut seseorang memiliki pengalaman yangtidak sedikif dengan meiihat, mencari, dan memperoleh iuformasi, berani membandingkan dan

mempertimbangkan alternatif-aiternatif untuk membuat keputusan melalui diskusi logic-argumentasi logika.

Birren and Fisher (1990) in their review, attempted to integrate the definition as: "Wisdom is the

organismic integration of the affective, conative, and cognitive aspects of human abilities inresponse to life's tasks and problems. Wisdom is a balance between the opposing valences ofintense emotion and detachment, action and inaction, and knowledge and doubts." In a broad

view, psychology appears to be on the threshold of dealing with the subject of wisdom whichperhaps represents the highest order of human ability. It is likely that will identify the nature ofwisdom and the circumstances leading to its development and expression, a quality that the

ancients thought was solely found in gods and goddesses.Birren dan Fisher (1990) dalam sebuah kesimpulan mereka mengatakan bahwa wisdom (kearifan)merupakan integrasi dari aspek afektif. conatif dan kognitif dari kesanggupan dan kemampuaninsani dalam merespon terhadap tugas-tugas dan permasalahan yang mereka liadapi. Kearifanadalah keseimbangan membandingkan antara emosi yang bersemangat dengan sikap yang takterpengaruh dikarenakan pendirian yang teguh sehingga tidak memihak; kecepatan tindakan danperbuatan dengan kelambanan; serta pengetahuan dengan kemampuan untuk meragukan sesuatukejadian. Dalam hal ini, pemahaman yang iuas pandangan psikologi sebagai ambang permulaanuntuk menghubungkan dan menguraikan yang boleh jadi dapat menggambarkan dan menerangkantata urutan tertinggi dari bakat dan kemampuan insani, Dengan kata lain, melalui psokologi akanmengidentiflkasi sifat alami kearifan dengan seluk beluk kenyataan penting pada masing-masingungkapan pernyataan serta pengembangan dan pembinaan, cirri dan sifat dari pemikiran dan ideterdahulu tentang suati kebaikan dan kebenaran.

In the West, the concept of wisdom express as a sort of pragmatic tool to "make sense." Wisdomrefereed to a set of socially accepted moral and religious codes, practical virtues like patience,honesty, and conformity,while denouncing antisocial vice such as greed and selfishness

(Bryce,1979; Wood, 1967). Some investigators claimed that the moral and religious codespotrayed in this ancient text was similar to those found in other ancient civilizations of differentregions such as Africa, China, Mesopotamia (Assmann, 1994). This tradition was incoporated intomore organized as the Hebraic wisdom (Crenshaw, 1976). In addition to cultivating one'scognitive ability through formal education and parental guidance, the Hebraic tradition alsoemphasized a strict adherence to religious faith as an ultimate path to wisdom (Assmann, 1994).The Book Of Job, a story about a man's struggle to find meaning amid a series of misfortunes. Inthis story, wisdom entails one's recognition of his/her place in a Divine Order that is far beyond

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 12

human cognitive capacity, and only the highest adherence to faith is believed to lead to thisrecognation (Rad, 1972).

Pada budaya barat, menurut Bryce,1979; Wood, 1967 konsep kearifan (wisdom) mengekspresikandan menyatakan alat pragniatis untuk "make sense" yaitu untuk usaha mengerti atau memahamisecara akal sehai guna membuat keputusan yang dapat diterima secara social moral dan cirri-cirikeagamaan seperti halnya nilai-nilai kejujuran, kesabaran, keseiarasan dan kepatuhan, sementaradisisi lam mencela anti social seperti ketamakan dan keserahan serta egoisme (selfishness, self-interest, self-love). Beberapa peneliti mengklaim bahwa moral dan yang berhubungan denganaturan ketaatan dan kepatuhan pada keagamaan pada dasarnya tidak hanya pada budaya Baratakan tetapi sama halnya dengan yang ada pada Afrika, China, Mesopotamia (Assmann, 1994).Crenshaw, 1976, menyatakan bahwa tradisi ini juga digabungkan secara teratur sebagai kearifanHebraic (Ibrani). Guna memperkuat dan memperkembangtumbuhkan salah satu bakatkemampuan kognitif melalui pendidikan formal dan peranan keluarga-orangtua. Buku "The BookOf Job" tentang kisah seseorang yang bergumul berjuang dalam sebuah pencarian untukmenemukan arti dari beberapa kemalangannya. Dalam cerita ini, wisdom mengharuskannyamengakui bahwa hal itu merupakan pesan khusus di luar jangkauan kapasitas kognitif insane(Rad, 1972).

Eastern wisdom refers to a process of direct understanding without overt intellectualization, andwith a great deal of emotional involvement. When a situation requires an intense, emotion,understanding, formal and cognitive oriented to imply more direct and get feeling understanding.This refers to cognitive as well as emotional experience ofmutual understanding. It is important tounderstand, Eastern teachings often deemphasize intellectual learning toward transformational andintegrative wisdom, so called, personal striving through a cultivation ofone's moral, intellectual,emotional commitment to learning. Eastern tradition equally embraces. The pragmatic andcognitive components ofwisdom along with the transformational and integrative. For example, anaccumulated domestic knowledge is refereed to as "a sack of grandma's wisdom" and is treasuredby family members for its practical utility.Budaya kearifan Timur mengacu pada proses pemahaman inteiektualisasi langsung yangcenderung lebih tertutup dengan lebih banyak keterlibatan emosional di dalamnya. Ketika situasisangat membumhkan suatu, emosi (keinginan yang kuat), pemahaman, bentuk kognitif berorientasiunluk menyiratkan lebih langsung pada pemahaman yang bersiiat ke arah perasaan. Hal inimengacu pada kognitif serta pengalaman emosional yang dipeiajarinya. Penting untuk dapatmemahami, budaya Timur lebih banyak mengajarkan untuk memberikan perhatian yang lebihkhusus terhadap pembelajaran intelektual terhadap perubahan-perubahan secara terintegrasi daribeberapa perihal yang terjadi untuk diambil kombinasi kemudian diambii jalan keluar secara arif,hal inilah yang menuntuk usaha keras individu melalui pengolahan dan pengembangan yangnerkanan dengan moral intelektual, serta komitmen emosinya untuk sebuah proses pembelajaran,Tradisi timur menganut kesetaraan. Komponen-komponen kearifan Pragniatis dan Kognitif sertatranslormasional dan integrative, seperti, menghimpun pengetahuan yang diperolehnya darilingkungan. keluarga terdekatnya seperti halnya ''sekarung kearifan (nasihat-petuah) seorang nenekyang tumn-temurun diberikan" di mana hal ini sangat berharga dan berfaedah bagi anggotakeluarga besarnya dalam kehidupan keseharian mereka di dalam masyarakat.

irMi[|| wmwwMM—•m | mini ••••iiiiiiiwhii.i w im.ii •—

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer atPresident University, jababeka, Bekasi3.Curu Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 13

As Eastern, however beautiful some places may be to the eye, some have quality that isdepressing, forlorn, and empty. Often overlooked in the West is the "feel of a place," a quality ofvibration of harmonious with the activity to take place there. Lindsey, her comments on the area of

Loch Tay convey a strong feeling of an enchanted "place." She wrote," extraordinary things keephappening all the time in a most synchronistic and serendipitous way." Here, strong feeling that"place" itself want to be developed to become a center of culture and wisdom. The Javanese have

a long recognized this concepts as "rasa" (both good and bad), a vibration or quality which mayemanate from diverse sources and imbue the "place" with a potential for good or ill. For this, wehave known in the West also, at least in small ways, but seldom utilize it, putting economics, orsocial considerations ahead of the "spirit" of place. Here the following example of what theJavanese call "rasa": a) about equality of humanity: "wiwit cilik bocah wus diparingi pangretenmenawi sedhoyo manungsa puniko sami, ingkang mekaten supadhos tansah asih tresno marangsesami" - from early age children have been taught with understanding that man are equal,therefore we should sharing love; b) about living in truth: "linambaran pengati-ati anggenipunbebrayan nindakaken dharmaning gesang, tinuntun lampahing dhumateng margi ingkang Ieres Ianbhecik, leres ateges mboten klentu, dene bhecik ateges pantes dados tepo tuladha - by carefulness(awareness), we live among others for the essence of life, our steps are guided within the passageof truth (not being wrong), and goodness.

Budaya timur, keindahan yang terlihat. beberapa memiliki perihal yang juga menyedihkan, karenarasa putus asa dan terlantar dan bermuara pada rasa kehampaan. Yang kerap kali diabaikan diBarat adalah "feel of a place."—"merasakan adanya tempat" sebuah kualitas dari getarankeserasian dan keharmonisan yang berlangsung. Lindsey, pada komentar yang diberikannya padaLoch Tay menyampaikan kuatnya perasaan keterpesonaan "place." la menulis, "Hal yang luarbiasa terus terjadi dalam cara memandang dan menyikapi yang sinkron untuk dihubungkan dengankebetulan dan keberuntungan." Di sink perasaan kuat mengenai ''place" itu sendiri dihendakiuntuk dikembangkan menjadi titik pusat sebuah budaya dan kearifan. Orang Jawa secara budayatelah mengakui hal ini sebagai konsep "rasa''- untuk rasa baik/benar ataupun rasa tidak benaratau saiah, sebuah kualitas getaran yang mungkin berasal dari berbagai sumber dan mengilhami"place" dengan potensi baik atau buruk. Untuk hal ini. seperti kita tahu telah dikenal juga di Barat.setidaknya dalam hal kecii, akan tetapi pada umumnya mereka jarang menggunakannva, menempatkan

atau memperrimbangkan perihal sosial pada "jiwa dari semangat-keberanian" untuk "place."Berikut adalah contoh dari apa yang dimaksudkan ''rasa" dalam budaya Jawa: a) Tentang kesetaraankemanusiaan : "wiwit cilik bocah wus diparingi pangreten menawi sedhoyo manungsa punikosami, ingkang mekaten supadhos tansah asih tresno marang sesami" - Dari anak-anak usia dinitelah diajarkan dengan pemahaman bahwa manusia adalah sama, oleh karena itu kita hamsberbagi cinta; b) tentang hidup dalam kebenaran: : "linambaran pengati-ati anggenipun bebrayannindakaken dharmaning gesang, tinuntun lampahing dhumateng margi ingkang ieres Ian bhecik,ieres ateges mboten klentu, dene bhecik ateges pantes dados tepo tuladha ~ dengan keliaii-hatianyang penuh (kesadaran), kita hidup antara lain untuk esensi kehidupan, langkah kita dipandudalam perjalanan kebenaran (tidak menjadi salah), dan kebaikan.

The different conceptualization of wisdom between Western and Eastern found that it is of interest

to know how these traditional meanings may have had an impact on the understanding of wisdom

l.SeminarInternational 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counseior andLecturer at President University, Jababeka, Bekasi3.Guru BesarEkonomi Universitas Mercu Buana, Jakaita Page 14

across cultures. In a large scale study, Takayama (2002) examined the implicit theories of wisdomamong Japanese men and women about behavioral attributes, and found that there are four

distinctive factors: knowledge, and education, understanding and judgment, sociability andinterpersonal relationship, and introspective attitude. Takayama conclude that Japanese are morelikely to define wisdom as a "practical" and "experience-base" competence but less likely toassociate with reasoning ability and general intelligence. Similar study Taiwanese Chinese, Yang(2001) also found four comparable factors: competencies and knowledge, benevolence andcompassion, openness and profundity, and modesty and unobtrusiveness. These result suggestedthat Taiwanese Chinese defined wisdom in less spiritual and less religious fashion, but morepragmatic concept expressed in daily life that brings "harmony" to a society as a whole. This ischaracteristic relatively unique to Chinese-origin cultures.

Konseptualisasi yang berbeda dari kearifan antara budaya Barat dan budayaTimur ditemukanbahwa ada hal yang menarik untuk diketahui seperti halnya makna tradisional yang mungkin telah

berdampak pada pemahaman kearifan tintas budaya. Dalam sebuah studi skala besar, Takayama(2002) meneliti teori implisit kearifan antara pria dan wanita Jepang tentang atribut perilaku, dania menemukan bahwa ada empat faktor yang berbeda: pengetahuan, pendidikan, pemahaman danpenilaian, sosialisasi dan hubungan interpersonal, dan sikap introspektif. Takayamamenyimpulkan bahwa Jepang lebih cenderung untuk mendefmisikan kearifan sebagai hal perilaku

"praktis" dan "pengalaman-dasar" yang merupakan kompetensi namun cenderungmengasosiasikan dengan kemampuan penalaran dan kecerdasan umum. Studi serupa di Taivvan-Cina, oleh Yang (2001) juga menemukan empat faktor yang sebanding: kompetensi danpengetahuan, , Ke-bajikan dan kasih sayang, keterbukaan dan kedalaman, dan kesederhanaan dan

tidak menonjolkan diri. Hasil ini menunjukkan bahwa kearifan didefinisikan di Taiwan-Cina

dalam kebiasaan yang kurang dalam hal batiniah keagamaan. namun konsep yang lebih pragniatis

dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari yang membawa "harmoni" dalam kehidupan masyarakat

secara keseluruhan, ini adalah karakteristik yang relatif unik untuk budaya asalnya, Cina.

With the aim of implicit theories of wisdom, include the identity common factors, wisdom-related

descriptors (Holliday&Chandler, 1986; Takayama, 2002; Yang, 2001) and their relationships(Clayton&Birren, 1980), make a comparisons of wisdom with intelligence and creativity

(Stenberg, 1986), and describe the characteristics of wise people or those actual people who havebeen nominated as wise. Several definitions of wisdom-related concepts such as intelligence andspirituality have been cross-culturally (Nisbett, 2003; Takashi&Ide, 2003), that to generalize the

implicit theories of wisdom beyond the conventional European American. Valdez (1994)interviewed by 15 Hispanics Americans, and she found that their definitions of wisdom stressed

the spiritual and interpersonal dimensions. Each of these studies presents additional evidence tothe common-sense variability of the meaning of the wisdom and demonstrates specific ways that

wisdom has been conceptualized across cultures.

Dengan tujuan implisit teori kearifan (wisdom), termasuk juga faktor umum yang berkaitan

dengan identitas, kearifan yang berhubungan dengan deskripsi (Holliday ct Chandler, 1986,Takayama, 2002, Yang, 2003) serta hubungannya {Clayton &. Birren, 1980). membandinganwisdom dengan kecerdasan dan kreativitas (Stenberg, 1986), dan menggambarkan karakteristik

dari orang bijak. atau orang-orang yang secara umum telah dinominasikan sebagai orang yang

l.Seminar International 'SangGuru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University,Jababeka, Bekasi

3.Guru BesarEkonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 15

arif-bijaksana. Beberapa definisi wisdom yang berhubungan dengan konsep-konsep sepertikecerdasan dan spiritualitas yang telah sihng-hudaya (Nisbett, 2003: Takashi & Ide, 2003), bahwauntuk menggeneralisasi teori implisit kearifan konvensional orang Eropa-Amerika. Valdez (1994)mewawancarai 15 orang Hispanik A:, erika, dan ia menemukan bahwa dellnisi mereka tentangwisdom ditekankan lebih pada dimensi spiritual dan interpersonal. Dari masing-masins siudimenyajikan bukti tambahan terhadap variabilitas yang masuk akal dari arti wisdom sertamenunjukkan cara ariftertentu yang dikonseptualisasikan melalui lintas budaya.

E. A Sustainable Character DevelopmentSebuah Pembinaan Karakter Berkeianjutau

What kind ofworld should we build for our children to inherit?. Beyond the hearth, child rearinghas always ambiguities and the issues for today's parents are how to raise decent kids in acomplex and morally ambiguous world where school and neighborhood are badly frayed."Education" is in no way limited to classrooms but is a mission that must be undertaken andrealized by human society as a whole. We must now go back to the original purpose ofeducation—children's lifelong happiness—and reflect upon the state of our respective societiesand our ways ofliving. At the threshold ofa new century, we have agreat opportunity to seriouslyface these issues—and it is an opportunity we must seize. Instead ofthe powerless deriving fromdespair, helplessness, defeatism, self-doubt, pessimism, indifference, cynicism, and apathy, weneed to engage in vital, volitional, proactive, and energetic efforts—in Spinoza's words, "virtuethat springs from force of character."

Dunia seperti apa yang sehamsnya kita bangun untuk anak-anak kita untuk diwarisi?. Melebihisuara hati, membesarkan anak seialu meragukan dan merupakan masalah bagi orang tua saat iniadalah bagaimana membesarkan anak-anak dengan layak dalam dunia yang sangat kompleks saatini serta moral ambigu di mana sekolah dan lingkungan yang tidak cukup baik. "Pendidikan"sama sekali tidak terbata? hanya pada ruang kelas, akan tetapi merupakan misi yang hamsdilakukan dan disadari oleh masyarakat insani secara keseluruhan, Saat ini kita musti kembalipada tujuan awal yaitu pendidikan seumur hidup bagi kebahagiaan anak-anak dan merefleksikankeadaan masyarakat masing-masing beserta cara hidupnya. Pada ambang batas dari abad baru kitamemiliki kesempatan besar untuk lebih serius menghadapi isu-isu - dan kita harus merebutkesempatan tersebul. Alih-alih keiidakberdayaan berasal dari keputusasaan, ketidakberdayaan,kepasrahan. keraguan, pesimisme, pengabaian, kesinisan, ketakacuhan, dalam hal ini kita pertuuntuk turut serta secara proaktif serta upaya yang penuh energy, yang dikatakan Spinoza, "'sifatkentamaan muncul dari kekuatan karakter5'.

Thoughts on culture, wisdom, and education is the creation of a human society that serves theessential needs to emphasize the global challenge of character of human beings that faces us.Cultural battles rarely reflect the complexity of human behavior, and proper moral child rearinglike a black or white quality. "Moral education involves explicit instruction, exhortation, andtraining. Moral education must provide training in good habits," with such preoccupation drill"human potential" construct a habit, moral and empathy (Bernett, 2003). Psychology oflearningfound the relevance for understanding personality. Many behaviors ascribed to personality areac(3_un~eq' through classical conditioning, operant conditioning, and model conditioning (Bandura,

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation atUNESA, Surabaya, Indonesia ~~~2.Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta pa<,e 16

1999). However, the learners is not simply a passive reactor to environmental forces, as though thecognitive perspective says that the human is a perceiver, a thinker, and a planner, who mentallyinterprets events, thinks about the past and anticipates the future, and decide how to behave.Environmental effects are filtered through these cognitive processes and are influenced. A keyfactor in how people regulate their lives is their sense of self-efficacy, their beliefs concerningtheir ability to perform and their desired outcomes.

Pemikiran tentang budaya, kearifan, dan pendidikan merupakan ciptaan sebuah masyarakat gunamemenuhi kebutuhan dasar untuk mempertegas tantangan global terhadap karakter manusia.Secara cultural perjuangan jarang-jarang menunjukkan kompleksitas perilaku, moral, daiammembesarkan dan mengasuh anak yang benar-benar pantas dan patut seperti layaknya kualitashitam dan putih. "Budi pekerti pendidikan melibatkan instruksi eksplisit, peringatan dan nasihat.serta training. Moral sebuah pendidikan seharusnyalah menyediakan training untuk sebuahkebiasaan-kebiasan yang baik," seperti dengan keasyikan latihan "human potential" gunamembangun kebiasaan, budi pekerti dan empati (Bernett, 2003). Psikologi belajar menemukanpada perlunya memahami kepribadian. Perilaku dianggap sebagai terbemuknya kepribadian yangdiperoleh melalui pemberian kondisi secara klasikal, peraa dan model (Bandura, 1999). Namun,pelajar tidak hanya reaktor pasif untuk memaksa lingkungan, seakan perspektif kognitifmengatakan bahwa manusia pada dasarnya mempersepsikan, seorang pemikir, dan perencana,yang secara mental dapat menafsirkan suatu peristiwa, berpikir tentang masa lalu danmengantisipasinya untuk di masa depan, serta memutuskan untuk berperilaku baik. Dampaklingkungan yang disaring melalui proses kognitif dan pengaruhnya. Faktor kunci pada caraseseorang mengatur kehidupannya rasa adalah perasaan dan akal sehat dari keberhasilan-diri (self-efficacy), keyakinannya mengenai kemampuannya untuk melakukan serta hasil yangdiinainkannva.

Persons is born

Current

environment

veiopmem

Biological

characteristics

Current

biological

mechanism

Behavior

li^ure i; BioIogii.aI and enviromncnul factors inieraci and iniliieitce om: another by interaction ofushire ami nurture

Cultures differ along a number of dimensions that can affect personality development (Triandis &Suh, 2002), a) is complexity, how much more complex or potential (information or gather) culturefor diversity and conflict of values and behavioral norms exists; b) culture's tightness there aremany rules about behavior, and those who deviate from the cultural norms, even in minor ways. Forexample, in Singapore, adolescents are expected to adhere strictly to social norms that forbidexperimenting with alcohol and tobacco.

Budaya berbeda di sejumlah dimensi yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian(Triandis & Suh, 2002), a) kompleksitas, berapa banyak hal yang lebih kompleks atau potensiaf(informasi atau menarik kesimpulan) budaya untuk keragaman dan konflik dari nilai-nilai dan

l.SeminarInternational 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturerat President University, Jababeka, Bekasi3.Guru BesarEkonomiUniversitasMercu Buana,Jakarta Page(17

norma-norma perilaku yang ada: b) keketatan dari kebudayaan yang dimilikinya berupa adanyabanyak aturan tentang perilaku, dan hal tersebut menvebabkan adanya beberapa orano vanamenwii]j>c.ng e;a;i noin^-n^mM budaya. ^va;,>upun ,! ;a: i i^i -^ •.,>,<-. ; . ; i:yd\ c-.-:.

Singapura. remaja diharapkau u:..uk: memaluhi sec as.: Jer.gan ;.t;;,_r.i ierh..i > • -a sos;:d -.dilarang untuk minum-minuman keras dan merokok.

Important personality differences have found between people in collectivistic who see theenvironment as fixed (having rigid roles and expectations), and in contrast individualisticcultures are more likely to see themselves and their personalities as relatively stable and theenvironment as malleable, so that if they don't like their situation, they can leave it or change it(Hong, 2001). Self-enhancement need equally strong in individualistic and collectivistic cultures,but they are satisfied in different ways. In development approach, cultural wisdom is embedded intheoretical framework for the study of intellectual development that interacting categories ofintellectual functioning that is mechanics and the pragmatics of intelligence (Baltes, 1987). Thecognitive mechanics refer to the neurophysiologic architecture of the brain as it has evolvedduring biological evolution. The cognitive pragmatic are thought to show stability indicated byculturally transmitted bodies of knowledge. The importance of experience in acquiringknowledge-based skills showed by typical activities are reading and writing skills, educationalqualifications, or skills related to practical problems of everyday life.Penemuan penting tentang perbedaan kepribadian antara orang yang memiliki sifat kolektif yangmelihat lingkungan sebagai sesuatu yang tak dapat diubah (memiliki peran kaku dan harapam,atau sebaliknya, budaya individualistik yang lebih cenderung untuk melihat diri mereka sendiridan kepribadian mereka sebagai relatif stabil dan lingkungan sebagai sesuatu dengan lebih lentur,sehingga jika mereka tidak menyukai situasi yang mereka hadapi, mereka meninggalkannya ataumengnbahnya (Hong, 2001). Peningkatan diri dibutuhkan sama kuat dalam budaya individualisdan kolektif, tetapi mereka puas dengan cara berbeda yang mereka miliki. Dalam pendekatanperkembangan. kearifan budaya tertanam dalam kerangka teoritis untuk studi perkembanganintelektual berinteraksi dengan kategori fungsi kecerdasan intelektual mekanik dan pragmatik(Baltes. 1987). Mekanisme kognitif mengacu pada arsitektur neurofisiologis dari otak seperti yangtelah berkembang selama evolusi biologi. Pragmatis kognitif ditunjukkan oleh siahilitas yangditunjukkan oleh bagian-bagian penting dari budaya disebarkan dalam pengetahuan. Pentingnyapengalaman dalam memperoleh pengetahuan berbasis pada keterampilan dan hal ini ditunjukkanoleh kegiatan khas membaca dan menulis, kualifikasi pendidikan, atau keterampilan yangberkaitan dengan masaiah-masalah praktis kehidupan sehari-hari.

Typical of wisdom are the bodies of knowledge, however go beyond those subsumed under othermore limited forms of pragmatics intelligence and represents prototypical of the cognitivepragmatics. In fact, wisdom as expert knowledge about fundamental life problems is meant toexpand the traditional that close to intellectual functioning, because component of cognitivepragmatics requires a return to the original conception of intelligence as general adaptation to thechanging biological and environmental conditions inevitably taking place throughout the lifespan.Notion that intelligence and intelligent behavior need to serve a broader purpose than academicachievement is an important motivating factor to develop. High value and outstanding expertise

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturerat President University, jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Pape 18

that dealing with fundamental, that is existential, problems related to the meaning and conduct oflife (Baltes and Smith, 1990). The problem typically complex and poorly defined. Deciding onparticular path, accepting death ofaloved one, dealing with personal mortality, or conflicts amongfamily members exemplify the type of problem that calls for cultural wisdom. Expert knowledgeabout meaning and conduct of life is thought to approach cultural wisdom to meet all five criterialabeled, these are: a) rich factual knowledge about human nature and the life course; b) richprocedural knowledge about ways of dealing with life problems; c) lifespan an awareness andunderstanding of many contexts of life (how they relate each other and change over the lifespan;d) value and tolerance, that is, an acknowledgment ofindividual, social, and cultural differences invalues and life priorities; e) knowledge about handling uncertainty, including limits ofone's ownknowledge (Baltes&Staudinger, 2000).Tipe khas wisdom-kearifan merupakan bagian yang sangat peting bagi pengetahuan, digolongkandalam kategori yang lebih khusus yaitu melalui kecerdasan pragmatis, merupakan tipe khas"darikognitif pragmatis. Bahkan, kearifan merupakan keahlian pengetahuan tentang masalah-masalahkehidupan mendasar yang dimaksudkan untuk memperluas pemahaman budaya melalui fungsiintelektual, karena komponen kognitif pragmatis menuntut konsep-konsep dasar kecerdasansebagai upaya adaptasi scara umum terhadap kondisi biologis serta perubahan lingkungan yansselalu terjadi dalam kehidupan. Gagasan bahwa kecerdasan dan peri laku cerdas sesuai dengantujuan yang lebih luas daripada prestasi akademik merupakan faktor pendorong penting untukdikembangkan. Arti dari penilaian sertakeahlian keahlian dan kepiawaian ulung berhubungandengan dasar-dasar utama eksistensiai- masalah yang berkaitan dengan sesuatu pemaknaan sertaperilaku kehidupan (Baltes dan Smith, 1990), Masalah pada umumnya didefinisikan kompleks danburuk. Meniutuskan sesuatu dengan khusus, menerima kematian orang yang dicintai, berurusandengan kematian pnbadi, atau konflik di antara anggota keluarga memberikan contoh ienismasalah yang membutuhkan kearifan budaya. Para ahli ilmu pengetahuan tentang makna danperilaku mempunyai gagasan melakukan pendekatan kearifan budaya untuk memenuhi senmalima kriteria berikut: a) memperkaya^pengetahuan faktual tentang sifat alamiah manusia danperjalanan hidupnya, b) memperkaya pengetahuan yang berkenaan dengan cara menghadapi sertamenguraikan yang berkaitan masalah-masalah kehidupan; c) kesadaran dan pemahaman tentangarti kehidupan dalam berbagai konteks kehidupan (bagaimana mereka menghubungkan satu samalain dan untk sebuah perubahan: d) nilai-nilai saiing menghargai dan toleransi, yaitu suatupengakuan perbedaan individu, sosial, budaya dalam hal nilai-nilai dan prioritas hidup; e)pengetahuan tentang bagaimana memperlakukan ketidakpastian keadaan, termasuk batas-bataspengetahuannya sendiri (Baltes & Slaudinger, 2000).

Cultural wisdom is related to performance is assessed by presenting individuals with fictitious lifedilemmas. The abilities deal with uncertainty, inconsistency, imperfection, and compromise.Pivotal for post formal thinking is the transcendence ofuniversal truth criterion formal logic, atolerance of ambiguity created by an acceptance of multiple truths. However, the relationshipstages of development post formal with an area at least related to personality domains, that is,social cognition. It was also found that positive mood induction and relaxation improved postformal whereas focusing attention had detrimental effects (Sinnott, 1991). In sum, we mayconclude with regard to the personality-wisdom relation that "wise thinking" sense is related to

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor andLecturer at President University, jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta fja„p 19

tolerant and open-minded attitude, which is also characteristic of personality dimensions, that is"openness to experience." It seems easier to think "wisely" when one is relaxed and in apositivemood. In Sternberg's (1998) approach wisdom is related both practical and academic intelligenceAcademic intelligence provides a necessary b ut by no means sufficient basis to wisdom-relatedfunctioning. Wisdom also involves the application of tacit knowledge (Polanyi, 1976), which isthe key aspect of practical intelligence. Tacit knowledge is action-oriented (procedural)knowledge that is usually acquired without direct help from others and that allows individuals toachieve goals that they personally value.

Kearifan budaya berhubungan dengan kinerja seseorang yang dinifai dengan keberadaan individudengan artifisial kehidupan. Kemampuan menghadapi dan menguraikan suatu ketidakpastianketidakkonsekuenan, ketidaksempurnaan, membuat keputusan penyelesaian masalah berdasarkankompromr Sangat penting untuk menempatkan cara berpikir dengan melampaui kekakuan bentuklogika, toleransi kedwimaknaan yang menciptakan rasa penerimaan atas beragamnya truths-kebeuaran. Namun, tahap hubungan pengembangan menempatkan tentang bentuk densan luassetidaknya terkait dengan domain kepribadian, yaitu hubungan pengartian pengetahuan social Haltersebut juga menemukan bahwa suasana hati yang positif ketika menarik kesimpulan sertarelaksasi memperbaiki dan meningkatkan tentang bentuk yang memfokuskan pada aktbat yam*mengganggudanmerusak(Smnott: 1991). Singkatnya, kita dapat menyimpulkan yarn? berkenaandengan kepribadian-kearifan yang "berpikir arif secara akal sehat berkaitan dengan sikap tolerandan berpikiran terbuka, yang juga merupakan karakteristik dimensi kepribadian, yaitu"keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman." Tampaknya lebih mudah untuk berpikir ''arif-bijaksana" ketika seseorang santai dan dalam suasana hati yang positif Sternberg (1998), dalampendekatan wisdom.-keariran berhubungan keduanya yaitu kecerdasan praktis"dan akademisPolanyi, 1976, memberikan statement bahwa kecerdasan akademis menyediakan yang diperlukantetapi tidak berarti merupakan dasar yang memadai untuk kearifan yang berfungsi akiif. Kearifanjuga melibatkan penerapan pengetahuan yang tidak diucapkan- yang dipahami tanpa dikatakan(tacit), yang merupakan aspek kunci dan kecerdasan praktis. Pengetahuan tacit adalah tindakan-beronenrasi (prosedural) pengetahuan yang biasanya diperoieh tanpa bantuan langsung dari oranglam dan yang memungkinkan individu untuk memperoleh tujuan yang bernilai secara pribadi.

Commonly mentioned, cultural wisdom related to character that similar to the recognition ofuncertainty, involves the recognition that different point of view, such as considerations of valuesand contextual of lifespan, or otherwise integrate awareness. Persons first recognize adiversity ofviewpoints in searching for solution and then develop aholistic self which symbolizes wholenessand completion or systemic and awareness, these occurs within numerous cultures and religions.This component reflected a balance among intrapersonal, interpersonal, and extra personalinterests. Cross-cultural differences can exist however, even when cultural equivalence is foundwithin the structure, Triandis and Suh (2002) avered that personality may reflect both universaland culturally specific aspects of personality. To support this, some studies suggest that thepersonality dimensions express themselves differently in different contexts. Yang (1986), foundthat Chinese (samples score) lower than relative to American samples on the dimension ofextraversion. Similarly, McCrae, Yik, Trapnell, Bond, and Paulus (1998) found that ChineseCanadians scored lower than their Europian Canadian on Extraversion, lower on Openness, and

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer atPresident University, Jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta pape 20

higher on Neuroticism and Agreeableness. Also, Mastor, Jin, and Cooper (2000), found thatMalays scored higher relative to Western samples in Agreeableness and lower in Extraversion andOpenness. These group differences suggest that cultural context may be associated withpersonality.

Pada umumnya disebutkan, bahwa kearifan budaya yang berkaitan dengan karakter yang miripdengan pengakuan ketidakpastian, meiibaikan pemjakuan dari sudm pandang yang berbeda,seperti pertimbangan nilai-nilai dan suasana kehidupan, kalaupun tidak mengintegrasikankesadaran. Orang pertamakali mengakui keragaman sudut pandang dalam mencari solusi dankemudian mengembangkan diri secara holistik yang meJambangkan keuiuhan serta penyelesaianataupun sistemik dan kesadaran. ini terjadi dalam berbagai budaya dan agama. Komponen inimencerminkan keseimbangan antara kepentingan pribadi infrapersonai, interpersonal, dankepentingan ekstra personal. Perbedaan lintas-budaya dapat terwujud meskipun malahan tatkalakesetaraan budaya ditemukan di dalam struktur itu sendiri, Triandis dan Suh (2002) menegaskan,kepribadian yang mungkin mencerminkan aspek universal dan cultural akan memunculkanekspresi kepribadian secara spesifik. Untuk mendukimg hal ini, beberapa studi menunjukkanbahwa dimensi kepribadian mengekspresikan diri secara berbeda dalam konteks yang berbeda.Yang (1986), menemukan bahwa Cina (sampel skor) lebih rendah dibandingkan relatif terhadapsampel Amerika pada dimensi versi secara khusus-extraversion. Dernikian puia, McCrae, Yik,Trapnelk Obligasi, dan Paulus (1998) menemukan bahwa Kanada-Tionghoa skor lebih rendahdaripada Canadian-Europian mereka pada dimensi versi secara khusus-exiraversion yang rendahpada keierbukaan, dan lebih tinggi di neurotisisme (kegeiisahan) da?i keramahan. Juga, Mastor.Jhn, dan Cooper (2000), menemukan bahwa Melayu memperoleh angka lebih tinggi dibandingkandengan sampel Barat pada tingkat keramahan dan angka yang rendah dalam dimensi versi secarakhusus-extraversion dan keterbukaan. Perbedaan kelompok menunjukkan bahwa konteks kuHuraidapat dikaitkan dengan kepribadian seseorang dan kelompok masyarakat serta hubungan socialantar mereka maupun dengan kelompok di luar mereka. .

One factor that connects cultural context and personality is cultural values. Cheung et.al.'s (2001)work on Chinese Personality Inventory includes the dimension of interpersonal relatedness, avalue that is highly emphasized in many East Asian cultures. In addition, the value of collectivismand individualism, for example, may play a role on how personality is perceived and expressed(Williams, Satterwhite. & Saiz, 1998). Furthermore, Konstabel, Realo, and Kallasmaa (2002)found that cultural groups scoring high on collectivism scored lower in extraversion andagreeableness compared to normative American sample. That is because Asian cultures tend to behigh on collectivism, their personality expressions may be more highly associated by socialcontext. In a culture that emphasizes interdependence and in-group norms, Agreeableness mayfacilitate the maintenance of social harmony while extraversion may violate those values.Salah satu faktor yang menghubungkan konteks kukural dan kepribadian adalah nilai-nilai budayabudaya itu sendiri. Cheung et.ai. 's (2001) melakukan penelitian pada Cina Invemori Personalitiyang mehputi dimensi keteitaitan interpersonal, nilai-nilai yang sangat ditekankan dalam banyakbudaya Asia Timur, Selain itu, nilai-nilai kolektivisme dan individualisme, misalnya. dapatmemainkan peran pada bagaimana kepribadian yang dirasakan dan diekspresikan (Williams,Satterwhite & Saiz., 1998). Selanjutnya, Konstabel, Realo, dan Kallasmaa (2002) menemukan

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor andLecturer at President University, Jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta pa„e 21

bahwa kelompok kulturat skor tinggi pada koiektivisme dan skor yang iebih rendah pada dimensiversi secara khusus-exrraversion dan keramahan dibandingban deng.v1 c nipel normatif Amerika,

Itu karena budaya Asia cenderung tinggi pada koiektivisme, ekbpresi kepribadian mereka mungkinlebih tinggi clikailkan dengan konteks sosial. Dalam sebuah budava vang mentrkaukan normasaling keterganiungan dan dalam kelompok, Keramahan dapat memfasilitasi pemeliharaanharmoni sosiak sementara dimensi-cxtraversion munukin melan«aar nilai-nilai tciscbut.

F PERSONAL WISDOM AND THE MATURE OF SELF

PRIBADI YANG ARIFDAN KEDEWASAAN DIRI

The concept of personal wisdom is integrating in the definition of wisdom with conception ofpersonality growth with regard to the characteristics of a mature person in the areas of cognition,emotion, motivation, and volition. This criterion is rich self-knowledge. A self-wise person, willbe aware to his or her competencies, emotions and goals, and have sense of meaning in life. Self-wise person have an available heuristic (humor) for growth and self-regulation, that how toexpress and regulate emotions or how to develop and maintain deep social relationship. Humor isimportant to help person to cope various difficult and challenging situations. Interrelating the-self,that is refers to the ability to reflect on and have insight in the possible causes of one's behaviorand/or feelings. This implies there is awareness about one's own dependency on others; they showfor others' value and lifestyles. The coping of self-efficacy-the belief that we can perform thebehaviors necessary to cope successflilly-is an important protective factor (Bandura,1989). The"three Cs" of term hardiness are commitment, control, and challenge. Such though a complexperception, disappointed or pain is influenced by numerous factors. Hardy people are committedto their work, their families, and their other involvements, and they believe that what they aredoing is important. Finally, they appraise the demands of the situations as challenges oropportunities, rather than as threats. Cultural learning, meanings attribute to pain, beliefs, andpersonality factors all affects of experiences of pain. The interpretation of pain impulses sent tothe brain depends in part on our experiences and beliefs, and both of these factors are influencedby culture in which we develop (Rollman, 1998).

Konsep dari personal wisdom (kearifan pribadi) adalah bagaimana mengintegrasikan definisikearifan (wisdom) serta konsepsi perkembangan kepribadian dengan memandang karakteristikkematangan pribadi seseorang pada area kognisi (pengetahuan), emosi. motivasi, dan kemauan.Kriteria ini penuh dengan self-knowledge (pengetahuan tentang diri sendiri). Seorang yang arifakan menyadari kompetensi yang ia miliki. emosi dan tujuan, dan memiliki pengertian akanmakna dari kehidupan, Seorang yang arif memiliki rasa humor untuk meuumhubkan penataan diri,dengan bagaimana mengekspresikan dan mengatur emosi. atau bagaimana menumbuhkan danmempertahankan hubungan sosialnya. Humor sangat penting untuk membantu seseorangmengatasi berbagai situasi yang menantang ataupun suiit. Yang berkaitan dengan diri (self),mengacu pada kemampuan untuk merefleksikan serta memiliki wawasan (pengetahuan yangdalam) pada kermmgkinan penyebab perilaku seseorang dan / atau perasaan. Ini berarti timbulnyakesadaran tentang keterganiungan seseorang pada orang lain, mereka memperlihatkan terhadapnilai-nilai serta gaya hidupnya kepada orang lam.

1.SeminarInternational 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University,Jababeka, Bekasi

3.Guru BesarEkonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 22

Content

Cognitive Affective Co native

,. ~,^^a..^dis^ v.*....-.=.. y..^„;... i

How is the ; 1 How 1 Which

self ; ~i positive or "* moral

described? ^ | negative do | values/J ;i we see 1 i ethical

ij ourselves/ ,! convictions

r* our self- I 5 guide us and

•! aspects • our

\ perception?

Figure 4. Dimensions of Sclt-Matuntv (after Donirr & Stautlm^er, 2003-

SS'V

Structure

Number of

self-aspects

Similarity of

self-aspects

Kefvrhasilan *>eif-efficacy dan keyakman bahwa kita dapat inelakukan perilaku yang diperlukanuntuk mengatasi sukscs yang merupakan faktor protektif penfing (Bandma. !98{"0. "Tiga Cs"keiamman dan kciabahan hat; :KY\>.p:j komitmen. konirol dan tawangan Meskipun pursepbi yauy

kosxoiekv kecewa atau sakrt chpengarulu oleh bcrbagai fdktor Orang yang memiiiki komitmen

untuk pekerjaan mereka, keluarga mereka,. dan keierhhaum mereka yang lain, dan mereka percaya

bah',-.a apa vane mereka lakuUm adalah penitne Nkhunya. mereka menilai nmunan ^ituasi

sebagai lanfangan ataupim peluang. bukan -eoa.uu ancaman. Budaya belajar, bermakna atribut

crras rssa sakit. huerpretasi dari impuls f,asa .^akit dikirim ke otak dan tergantung bagian otak yang

mana \ang telah pernah menenma pengalaman dan kcyakinannva. dan ke du^i factoi" tersebutdipeuLiaruhi oleh kultur di mana seseorang tumbuh dan herkembang (Rollman, 1998)

Mature of self is based on a conceptualization of the self-concept that distinguishes between

content and structure. From the figure illustrates how these two basic dimensions the self conceptand the personality growth as defined self-esteem in self-complexity, integration, and valueorientation. Only if we have enough self-esteem we can develop and courage and/or confidence to

find out more about ourselves and world. A mature person has to be self-complex, the complexityneed to be integrated by means of a common self-descriptive core that cuts across different self-

aspects. That experiences allows with consistent self across different self aspects. Here, withoutself-complexity, the person lack of identity or "self-sameness" (Ericson, 1959) as a vitalantecedent of psychological health and maturity (Campbell, Assanand, & DiPaula, 2003). Theconceptualization of personality growth that characterize as mature person in areas of cognition,

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2. Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta >age 23

emotion, motivation, and volition, that are: a) rich self-knowledge, refers to deep insight into oneself; b) heuristics for growth and selfregulation, refers to how to develop and maintain deep socialrelations; c) interrelating the self, refers to the ability to reflect on and have insight in the possiblecauses of one's behavior and/or feelings or linked to personal characteristics. Integratedcomplexity can be applied to achieve many things. A wise person is driven by self-transcendingvalues and by attempt to balance self-centered and altruistic goals (Kunzmann & Baltes, 2003).The emerging relational pattern was such that integration, value orientation, and self-esteemshowed strong relations with social maturity and adaptation, whereas complexity and valueorientation related more strongly to indicators ofpersonal maturity or personal wisdom (Dorner &Staudinger, 2003).

Kematangan diri didasarkan pada konseptualisasi individu dari konsep diri itu sendiri dan itulahyang membedakan antara konten (isi) dan srruktumya. Dari figure 4 menggambarkan bagaimanakedua dimensi dasar konsep diri dan pengembangan kepribadian yang didifmisikan sebagai self-esteem dalam selfcomplexity (kompleksitas diri), integrasi, dan orientasi dari nilai-nilai. Hanyajika kita memiliki cukup self-esteem kita dapat membangun dan mengembangkan keberanian dankeleguhan hati dan / ataupuu kepercayaan diri untuk mencaritau lebih jauh tentang diri kita dandunia. Pribadi yang dewasa harus self-complex, kompleksitas pada dasarnya perlu diinregrasikandengan cara iazimnya self-deskriptif pada aspek diri. Pengalaman tersebut memungkinkankonsisten pada keseluruhan aspek diri yang berbeda, Di sink tanpa keberadaan perankompleksitas diri, idemitas "self-sameness" seseorang kurang teruji (Ericson, 1959) sebagaisesuatu hal yang penting bagi kesehatan psikologis kematangan kepribadian (CampbellAssanand, & DiPaula, 2003). Konseptualisasi pengmbangan kepribadian dicirikan sebagaikematangan seseorang pada bidang kognisi, emosi, motivasi, dan kemauan. yaitu; a) kaya akanpengetahuan tmang diri, mengacu pada wawasan yang mendalam terhadap dirinya, b) heurisbk-rasa kemgmtahuan yang mendalam mengenai pengembangan kepribadian serta pengaturan diri(sell-regulation) yang mengacu pada bagaimana seseorang mengembangkan dan memeitharahubungan sosialnya, e) self- interrelating, mengacu pada kemampuan untuk mencerminkan danmempertimbangkan serta memiliki wawasan yang memungkinan perilaku seseorang dan / atauperasaan terkait pada karakteristik pribadi. Kompleksitas yang terintegrasi dapat diterapkan untukmencapai dan memperoleh banyak hal, Seseorang yang arif mempunyai motivasi untukmelakukan sesuatu berdasarkan nilai-nilai yang dianut dengan upaya untuk menyeimbangkantujuan egois dan allruistik-altruism -berbuat kebaikan untuk orang lain (Kunzmann & Baltes,2003). Munculnya teladan yang berhubungan dan terintegrasi seperti halnya orientasi dari nilai-nilai.. self-essreem, menunjukkan kuatnya hubungan amara kematangan sosial dan kemampuanadaptasi, sedangkan kompleksitas dan orientasi nilai-nilai yang terkait lebih kuat bersama denganindikator kematangan kepribadian atau kearifan pribadi {Dormr &Staudinger, 2003).

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Co'inselor and Lecturer at President University, Jababeka, Pekasi3.Guru BesarEkonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 24

G. CONCLUSION

KESIMPULAN

Human are social creatures, embedded within a culture, each of us encounters ever changingsocial settings that shape our actions and values, our sense ofidentity, our perception of reality.The sociocultural perspective examines how the social environment and cultural learninginfluence our behavior, thoughts, and our feelings. Awisdom culture will endured values, beliefs,behavior, and traditions that are shared by large group ofpeople and passed from generation to thenext, that will their cultural groups and develop their own social norms. Wisdom fights to existand has been found to maintain itself across the lifespan, neither increasing nor decreasing withage. Intelligence divided into two parts: wisdom which considered to be moral perfection, andscientia that refer to knowledge of the material world. The different conceptualization ofwisdomculture between Western and Eastern found that it is of interest to know how these traditionalmeanings may have had an impact on theunderstanding of wisdom across cultures.Manusia adalah makhluk sosial, tertanam di dalam budaya, masing-masing kita peraahmempertemukan dan mengubah aturan dalam perilaku sosial yang dikemudian membentuktindakan dan nilai-nilai, rasa identitas dirk persepsi kita tentang realitas. Perspektif sosial budayameneliti bagaimana lingkungan sosial. dan budaya mempengaruhi perilaku kita, pikiran, danperasaan kita. Kearifan budaya merupakan cerminan nilai-nilai, keyakinan, perilaku, dan tradisiyang dimiliki oleh sekeiompok besar orang dan. diwariskan dari generasi ke generasi herikutuya,yang akan kelompok budaya mereka dan mengembangkan norma-norma sosial sendiri. Kearifanberusaha untuk tetap eksis untuk bertahan dan merupakan pertahanan diri masyarakat yang tidakmeningkat atau menuruu dimakan usia. Intelegensi dibagi menjadi dua bagian: kearifanan(wisdom) yang merupakan kesempurnaan moral, dan scientia yang mengacu pada pengetahuantentang dunia material. Konseptualisasi yang berbeda dari kearifan budaya antara Barat dan Timurditemukan bahwa ada hal yang menarik untuk diketahui tentang bagaimana makna traditionalyang mungkin telah berdampak padapemahaman kearifan lintas budaya.

Aristotle considered wisdom to be one of the most basic human virtue. Birren and Fisher reviewthat "Wisdom" is the organismic integration of the affective, conative, and cognitive aspects ofhuman abilities in response to life's tasks and problems. Personality is a product of interactingbiological and environmental influences. Environment exists at many different levels in which wedevelop. In development approach, cultural wisdom is embedded of intellectual development thatinteracting to the function of mechanics and pragmatics of intelligence. Life experience alonehas not been found to be a predictor of wisdom related to knowledge. That was found whenindividuals identified as experts in life matters were assessed for their wisdom related knowledge,they performed betterthan their non expert counterparts also the individuals who received trainingand practice in domains related to conduct and meaning of life. Cultural wisdom is related toperformance by presenting individuals with fictitious life dilemmas. The abilities deal withuncertainty, inconsistency, imperfection, and compromise. The conceptualization of growthpersonality characterized as mature person in areas of cognition, emotion, motivation, andvolition. Factors facilitative to wisdom-related knowledge have been identified, that wisdom andadult age are not directly related, however does not mean that wisdom cannot and does not

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 25

increase across the lifespan. Older adults likely as their younger counterparts in wisdom-relatedknowledge (Staudinger,1992). Given that wisdom is related to fundamental life knowledge, aprogram that could potentially increase knowledge would be advantageous to both physical andemotional well-being in old age.

Aristoteles berpendapat bahwa kearifan (wisdom) menjadi salah satu kebajikan manusia yangpaling dasar. Sedangkan menurut Birren dan Fisher review "vvisdom-keariian5" merupakanpengintegrasian organismik dari aspek afektif, konatif, dan kognitif kemampuan seseorang dalammenanggapi tugas dan problema hidup, Kepribadian merupakan produk dari interaksi secarabiologis terhadap keadaan lingkungannya. Lingkungan ada diberbagai tingkatan usiaperkembangan seseorang. Dalam pendekatan perkembangan, kearifan budaya melekat padaperkembangan intelektual individu yang berimeraksi dengan fungsi mekanik dan pragmatikkecerdasan. Hanya berdasarkan pengalaman hidup saja belum dapat dijadikan ramalan untuksebuah kearifan yang berhubungan terhadap pengetahuan. Ketika seseorang diideniifikasi telahmahir sebagai rekaman juga pada individu yang pernah memperoleh training dan latihan-Iatihanpada domain yang berhubungan terhadap perbuatan dim tingkah laku serta makna dari kehidupan.Kearifan budaya berhubungan terhadap kinerja dengan menghadirkan individu bersamaan dengandiiema kehidupan. Pertumbuhan dan pengembangan (development) kemampuan dalammenghadapi ketidakpastian, inkonsistensi, ketidaksempurnaan kompromi, dan, konseptualisasikepribadian yang ditandai sebagai orang dewasa di bidang kognisi, emosi, motivasi, dan kemauan.Faktor fasilitatif dengan kearifan (wisdom) yang berhubungan dengan pengetahuan yang telahdiidentifikasi juga bahwa kerifan dan usia dewasa tidak berkaitan secara langsung, namun tidakberarti kearifan tidak bisa dan tidak munskiu menin^kal, kearifan berhubunean denaan

pengetahuan (Staudinger, 1902). Mengingat bahwa kearifan berkaitan dengan pengetahuankehidupan yang mendasar. sebuah program yang berpotensi meningkatkan pengetahuan akanmenguntungkan baik iisik dan kclenangan emosional pada usia tua.

To help society deal with complex problems, we need people having well-developed intellectsand worldly skill who have taken that extra steps and have freed themselves, to a large extent,from the tyranny of wanting or condemning mind. We really need people who are led to spendtheir whole lives in spiritual practice. We need those people as researchers for better ways. Weneed them as teachers and guides in tomorrow's cultures wisdom. We need them to show usthrough the examples of their lives, what life is like at the far reaches of the pathto help them findmeaning, to help them lay realistic plans for doing it, to help them to deal with existential crises intheir lives, and to discuss a wisdom culture and the process of spiritual development in their roleas life management counselors that who have led full rich lives and grown in a culture wisdom forbecoming wise and making progress, andbring the wisdom culture to all their daily activities.

Untuk membantu masyarakat menyelesaikan dan mengambil tindakan pada masalah yangkompleks, kita membutuhkan orang-orang yang sehai dan dapat bekerja dengan balk secaraintelektual memiliki keterampilan di bidangnya, yang mempunyai jangkauan yang luas dengantidak membuat tirani ataupun menyalahkan kepandaian seseorang. Kita memang orang-orang yangdapat berperan penting guna melewaikan sebagian waktunya untuk hal yang berkaitan denganspiritual. Kita membutuhkan orang-orang sebagai peneliti agaf memperoleh jalan yang terbaik.Kita membutuhkan mereka guna menunjukkan kepada kita melalui contoh kehidupan mereka, kita

l.SeminarInternational 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturerat PresidentUniversity, jabaheka, Bekasi3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 26

membutuhkan mereka agar dapat sebagai contoh dan membimbing untuk arah cultural wisdom-

kearifan kultural masa yang akan dating, Hal ini berguna untuk kita dalam menghadapi d'dnmemperfakukan krisis eksistensi dalam kehidupan. juga untuk membiearakan kearifan budayaserta proses pengembangan spiritual dalam peran meraka sebagai konselor yang teiah kaya akan

pengalaman hidup serta kearifan nudaya unt.uk menjadi bijaksana dan membuai kemajuan, serta

dengan membavva kearifan budaya ke dalam aktifitas keseharian mereka.

Wisdom Quote

</re&n&£ocvn&d&trArt£&F&Kn3r&o/z£.

JCft£ryforw7's&mzsr&£fierjrc*rn£yr &zrfo come towtt£sA~&7t£tre/ywt't^

tAejreotere&mnty*mfretitceztce.

UtLelatulKan. k^oAiloti ou3aua Joe. tiolom. tiaii *o6«x-i*ui**<i. metuecicati k^Aauiuut- kita Luama

,J]Lemaau}ci Mhaaian Jcecii fce-ouia*-. mtdaua ninaaa &epenumuia- t«nuaj>

ACKNOWLEDGEMENT

This study was carried out with support of President University, Jababeka, Indonesia andUniversitas Mercu Buana, Jakarta, Indonesia

We wish to share our Gratitude to,

Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH-, MH, The Previous Rector of PresidentUniversity,Dr. Chandra Setiawan, PhD, Rector of President University,Dr. Ir. Arissetyanto Nugroho, MM, Rector of Universitas Mercu Buana,

for giving us opportunity and challengeVice Rectors of President University and Universitas Mercu Buana for theirsupportLPPM P of President University and Universitas Mercu Buana for giving anopportunityProf. Dr. Muchlas Samani, Rector of Surabaya State University, for giving us

opportunity and challenge to share the picturesque of Wisdom and Sang GuruPaper Team ISSAG for his or her generous response, challenge, and friendship to let

us share the beauty of Wisdom and Sang GuruDear Ibu Muji Sri Pratiwi, M.Pd and team who attact us to share the fineness and

splendor of wisdom

Xjur dedication defivenfto

KJur Sefovetfparents wfio always f&epina ftua us intfwir magnificence

jjrayers, incessantly

Our£efove<fc/nfdren wfto incessantfy /&epinj us strenjtb'witR'affection ofsuSfimity afona tfteirjjrayers

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, IndonesiaZCounselorand Lecturerat President University, Jababeka, Bekasi3.C,uru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 27

REFERENCES

[1] Assmann, A(1994). Concept ofwisdom in historical and cross-cultural perspective.121 Adler, M, J. (1952). The Great Ideas: A syntopicon of great books of the western

world. (Vol.2)). Chicago: William Benton Publisher.131 Baltes, P. B. (1987). Theoreticalpropositions oflife-span developmental psychology:

On the dynamics between growth and decline. Developmental psychology.Cambridge University Press.

[A] Baltes. P., & Smith, J (1990). Toward a psychology of wisdom audits ontogenesis. InR.Sternberg (Ed.). Wisdom: Its nature, origins and development.

[5] Baltes, P.B., Staudinger,U.M., Maercker.A.,&Smith,J. (1995). People nominatedaswise: Acomparative study of wisdom-related knowledge. Psychology and Aging, 10,155-166.

[6] Bubeck, E.D, (1995). Care, gender andjustice. Oxford, UK: Claredon Press.[7] Berrnnet, 2003, The Book of Virtues, Cambridge University Press.L8] Bond MH. Localizing the imperial outreach. American Behavioral Scientist.

2000;44:63-72.[91 Brugman, G. (2000). Wisdom: Source ofnarrative coherence and eudaimonia. Delft,

The Nederlands: Uitgeverij Eberon.,101Birren, J. E., & Fisher, L,. M. (1990). Conceptualizing wisdom: the primacy ofaffect-

cognition relations. . In R. Sternberg (Ed). Wisdom: Its nature, origins anddevelopment.

[1I]Crenshaw, J. (1976). Studies in ancient Israeli wisdom. New York: Klave PublishingHouse.

fl2|Cheung FM, Leung K, Zhang J, Sun H, Gan Y, Song WZ, et al. Indigenous Chinesepersonality constructs: Is the five factor model complete?. Journal of Cross-CulturalPsychology. 2001;32:407-433.

(13|Dorner,J. & Staudinger, U.M. (2003). Personality growth from inside: The Matureself-concept. Unpublished manuscript. International University Bremen, Bremen,Germany.

[14|Ericson, EH. (1959). Identity and the life cycle. New York: International UniversityPress.

{151 Hashimoto, A. (1996). The gift ofgenerations: Japanese and American perspectiveson aging and the social contract. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

|l6]James, W. (1902). Varieties ofreligious experience. New York: Longmans[17] Green.Kramer, D. A (1990). Conceptualizing wisdom: the primacy of affect-

cognition relations. In R. Sternberg (Ed.). Wisdom: Its nature, origins anddevelopment.

[18!Konstabel K, Realo A, Kallasmaa T. Exploring the sources of variations in thestructure ofpersonality traits across cultures. In: McCrae RR, Allik J, editors. TheFive-Factor Model across cultures. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers;2002. pp. 29-52.

[19]Mastor KA, Jin P, Cooper M. Malay culture and personality. American BehavioralScientist. 2000;44:95-111.

[20|Michael W, Passer &Ronald E. Smith (2004). Psychology: The Science ofMind AndBehavior. Second Edition. The McGraw-Hill

l.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2 Counselor and Lecturerat President University, Jababeka, Bekasi

Pace Zo3.GuruBesar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta 6

(21!Pasupathi, M., & Staudinger, U.M. (2001). Do Advanced moral reasoners also showwisdom? Linking moral reasoning and wisdom-related knowledge and judgment.International Journal Behavior Development, 25(5).

(22!Robinson, D.N. (1990) Wisdom through the ages, New York: Cambridge UniversityPress.

[231Sinnot, D., J (1991). The Development of logic in adulthood: Postformal thoughtsand its applications. New York: Preager.

[i4i Sternberg, R., J. (1998). A balance theory of wisdom. A Review of GeneralPsychology, 2, 347-365. New York: Cambridge University Press.

^'Sendy, S. Widjaya. (2010). Business Culture in Indonesia. Jakarta: PT EndoseniMurni.

I26iTakayama, M. (2002). The concepts of wisdom and wise people in Japan.Unpublished doctoral dissertation, Tokyo university, Japan.

[27]Yang KS. Chinese personality and its change. In: Bond MH, editor. The psychologyof the Chinese people. Oxford, UK: Oxford University Press; 1986. pp. 106-170.

1.Seminar International 'Sang Guru'Presentation at UNESA, Surabaya, Indonesia2.Counselor and Lecturer at President University, Jababeka, Bekasi

3.Guru Besar Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta Page 29