selasa, 4 oktober 2016 utama legalisasi hunian ilegal ...gelora45.com/news/sp20161004_03.pdf ·...

1
3 Suara Pembaruan Selasa, 4 Oktober 2016 Utama [JAKARTA] Isi kontrak politik bakal calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan warga Tanah Merah, Jakarta Utara, menyangkut legalisasi hunian ilegal, dinilai sangat berpotensi menabrak aturan hukum. Selain itu, jika direalisasikan, langkah itu juga dianggap tidak memberi pendidikan hukum kepada warga yang jelas-jelas men- diami lahan secara ilegal. Demikian pandangan pengamat perkotaan Firdaus Ali, pakar tata kota Yayat Supriatna, dan pakar agraria dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Satyawan Sunito, Selasa (4/10). Firdaus Ali mengingtakan, langkah Anies menandata- ngani kontrak politik dengan warga Tanah Merah terkait isu pertanahan, berpotensi menjadi blunder di kemudian hari. “Ke depan, ini sangat berpotensi menuai persoalan hukum. Selain itu, juga tidak mendidik masyarakat jika tanah yang ilegal akan dile- galkan. Di sisi lain, Anies juga akan berhadapan dengan publik yang lain,” tandasnya. Selain soal legalisasi hunian ilegal, Firdaus juga menyoroti poin kontrak poli- tik yang terkait pemenuhan kewajiban ruang terbuka hijau, di mana Anis diminta lebih mengutamakan kepentingan warga yang sudah tinggal di lahan yang sama selama 20 tahun. “Juga poin merevisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan meniadakan RTH (ruang terbuka hijau) itu bukan solusi yang tepat. Bagi saya langkah Ahok (Gubernur Basuki T Purnama) memindahkan warga di ban- taran kali dan permukiman kumuh ke rusunawa, meru- pakan langkah yang tepat dan manusiawi,” ujarnya. Dia memahami, keputusan Anies itu dalam rangka men- ingkatkan popularitas dan meraih simpati dari warga sebagai modal menghadapi petahana dan bakal cagub lainnya dalam Pilgub 2017. Senada dengan itu, Yayat Supriatna menilai, materi kontrak politik Anies berpo- tensi konflik dan melahirkan persoalan hukum yang baru. “Kalau itu terjadi, mau tidak mau Pemprov akan berhad- apan dengan masalah hukum. Apalagi kalau tanah itu milik pribadi atau perusahaan yang memiliki dokumen resmi, Pemprov yang mem-back up warga yang mendiami secara ilegal, pasti akan menuai persoalan hukum,” tandasnya. Yayat mengingatkan, persoalan yang dihadapi gubernur Jakarta ke depan adalah bagaimana menyele- saikan permasalahan tanah. “Masalah pertanahan di Jakarta hingga saat ini masih menjadi masalah yang kom- pleks. BPN (Badan Pertanahan Nasional) perlu memetakan tanah yang rawan konflik. Terkait hal itu, sertifikat tanah kalau perlu dibiayai oleh APBD, mengingat mengurus sertifikat tanah membutuhkan biaya yang tinggi, dan bagi banyak warga tidak ter- jangkau,” ujarnya. Sedangkan, Satyawan Sunito mengatakan, mele- galkan hunian ilegal yang biasanya terletak di bantaran kali, situ, dan kawasan “abu- abu” jelas bukan kebijakan yang rasional. “Karena hal itu akan berbenturan dengan infrastruktur, seperti drainase dan fasilitas publik lainnya. Bagaimana mungkin warga dibiarkan tinggal di bantaran kali, sementara Pemprov DKI Jakarta sedang membenahi persoalan banjir. Ini jelas bukan kebijakan yang baik dan tepat,” ujarnya. Di Jakarta, lanjut Satyawan, tidak terdapat zona-zona yang jelas, yang mengatur fungsi sebuah kawasan. “Sejak era gubernur Jakarta dipegang militer pun, selalu berhadapan dengan sistem pertanahan liberal yang sesuka hati mematok harga tanah. Gubernur sebelumnya pun kesulitan menghadapi persoalan tanah di Jakarta,” katanya. Pendidikan Hukum Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai, dari segi hukum, kontrak politik yang dibuat Anies dengan warga Tanah Merah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pasalnya, objek yang diperjanjikan bertentan- gan dengan hukum positif. “Kontrak politik tersebut telah membuat kekuasaan negara yang diberikan oleh UU dan Perda kepada seorang gubernur, tergadaikan manakala Anies terpilih men- jadi gubernur DKI Jakarta,” ujar Petrus. Sebagai calon pemimpin, kata Petrus, Anies seharusnya menyadari bahwa kontrak politik harus sesuatu yang bersifat memberikan penya- daran serta pendidikan kepada masyarakat, untuk hidup tertib dan taat hukum. Namun, dalam kontrak politik tersebut, Anies dianggap justru mendorong dan mengkampanyekan per- ilaku melegalkan sesuatu yang ilegal. “Ini jelas tidak men- didik bahkan memprovokasi masyarakat untuk melakukan pembangkangan terhadap pemerintah,” tandasnya. Menurut Petrus, secara prinsip, meniadakan kewe- nangan negara untuk mere- lokasi warga yang tidak taat hukum, hanya bisa dilakukan dengan mengubah UU dan Perda, melalui mekanisme legislasi. Tidak bisa hal terse- but dilakukan hanya dengan kontrak politik. “Kewenangan menggusur adalah kewenangan eksekutif negara yang sangat eksklusif, karena diberikan oleh UU, bukan lahir dari kontrak politik yang semu dan dilakukan antara bakal calon dengan sekelompok warga,” terang dia. Petrus khawatir, kontrak politik tersebut justru menu- runkan kesadaran hukum warga negara. Kontrak politik tersebut dianggap mengkon- firmasi kepada warga bahwa proses penegakan hukum dan tertib hukum yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta selama ini salah dan sewenang-we- nang. Padahal, relokasi yang dilakukan merupakan upaya terakhir. Justru sebaliknya, relokasi warga dari per- mukiman kumuh dan ilegal ke rusunawa yang lebih manusiawi, adalah tindakan menciptakan tertib hukum dan sekaligus mewujudkan keadilan sosial bagi warga negara yang digusur. [YUS/161] Legalisasi Hunian Ilegal Berpotensi Tabrak Hukum Kontrak Politik Harus Memberi Pendidikan Hukum Kepada Warga [YOGYAKARTA] Pengamat hukum tata negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, B Hestu Cipto Handoyo menegaskan, kontrak politik yang dilakukan seorang calon kepala daerah kepada warga, tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh karenanya, jika sang calon melakukan wanprestasi, pihak yang lain tidak bisa menuntut pemenuhannya. Kontrak politik dinilai sebagai “gula-gula” dalam praktik demokrasi. Hal tersebut disampaikannya menanggapi kontrak politik yang dilakukan bakal calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dengan warga Tanah Merah, Jakarta Utara, akhir pekan lalu. “Dengan demikian, jika Anies akan keluar sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta, maka janji atau kontrak politik itu tidak musti bisa diwujudkan,” ujarnya, saat dihubungi di Yogyakarta, Selasa (4/10). Hestu menerangkan, secara hukum, kontrak poli- tik tidak masuk dalam kategori hubungan hukum seperti yang diatur dalam hukum perjanjian pada umumnya. “Kontrak politik itu adalah Naturlijke Verbintenis, atau perjanjian natural yang pemenuhan prestasinya tidak bisa dipaksakan melalui upaya hukum,” katanya. Kontrak politik, lanjutnya, sampai saat ini tidak diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sampai kapanpun jika ada satu pihak yang dianggap wanprestasi, tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum. Hestu mencontohkan kontrak politik yang dilakukan partai politik menjelang pemilu. Meskipun partai tersebut menang di sebuah wilayah, umumnya tidak terjadi pemenuhan kontrak politik. Lagi pula, ujar Hestu lagi, kontrak politik yang dilakukan Anies Baswedan dengan warga Tanah Merah, membutuhkan legal standing dari dua pihak. “Pihak pertama memang Anies. Tetapi, pihak kedua, apakah warga setempat punya legal standing? Apakah warga Tanah Merah itu bisa mewakili seluruh warga DKI? Ini kan yang sulit,” ujarnya. Dengan demikian, warga Jakarta diingatkan agar menggunakan logika yang benar. Belum lagi jika tanah yang ditempati warga tersebut, dimiliki oleh badan hukum tertentu, atau bahkan milik pemerintah. Hestu juga berpandangan, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), meskipun produk politik karena disusun oleh kepala daerah dan DPRD, tetapi tidak serta-merta bisa diubah dengan gampang. “Apalagi di DKI Jakarta, perlu sinkronisasi den- gan pemerintah pusat. Jika RTRW tersebut sudah berjalan selama 20 tahun lebih, maka perubahannya pun akan memakan waktu lama. Jadi janji manis Anies tersebut sebaiknya dimaknai sebagai janji kam- panye saja,” tegasnya. [152] Jika Wanprestasi, Anies Tak Dapat Dituntut

Upload: dinhxuyen

Post on 02-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3Sua ra Pem ba ru an Selasa, 4 Oktober 2016 Utama

[JAKARTA] Isi kontrak politik bakal calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan warga Tanah Merah, Jakarta Utara, menyangkut legalisasi hunian ilegal, dinilai sangat berpotensi menabrak aturan hukum. Selain itu, jika direalisasikan, langkah itu juga dianggap tidak memberi pendidikan hukum kepada warga yang jelas-jelas men-diami lahan secara ilegal.

Demikian pandangan pengamat perkotaan Firdaus Ali, pakar tata kota Yayat Supriatna, dan pakar agraria dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Satyawan Sunito, Selasa (4/10).

Firdaus Ali mengingtakan, langkah Anies menandata- ngani kontrak politik dengan warga Tanah Merah terkait isu pertanahan, berpotensi menjadi blunder di kemudian hari. “Ke depan, ini sangat berpotensi menuai persoalan hukum. Selain itu, juga tidak mendidik masyarakat jika tanah yang ilegal akan dile-galkan. Di sisi lain, Anies juga akan berhadapan dengan publik yang lain,” tandasnya.

Selain soal legalisasi hunian ilegal, Firdaus juga menyoroti poin kontrak poli-tik yang terkait pemenuhan kewajiban ruang terbuka hijau, di mana Anis diminta lebih

mengutamakan kepentingan warga yang sudah tinggal di lahan yang sama selama 20 tahun.

“Juga poin merevisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan meniadakan RTH (ruang terbuka hijau) itu bukan solusi yang tepat. Bagi saya langkah Ahok (Gubernur Basuki T Purnama) memindahkan warga di ban-taran kali dan permukiman kumuh ke rusunawa, meru-pakan langkah yang tepat dan manusiawi,” ujarnya.

Dia memahami, keputusan Anies itu dalam rangka men-ingkatkan popularitas dan meraih simpati dari warga sebagai modal menghadapi petahana dan bakal cagub lainnya dalam Pilgub 2017.

Senada dengan itu, Yayat Supriatna menilai, materi kontrak politik Anies berpo-tensi konflik dan melahirkan persoalan hukum yang baru. “Kalau itu terjadi, mau tidak mau Pemprov akan berhad-apan dengan masalah hukum. Apalagi kalau tanah itu milik pribadi atau perusahaan yang memiliki dokumen resmi, Pemprov yang mem-back up warga yang mendiami secara ilegal, pasti akan menuai persoalan hukum,” tandasnya.

Yayat mengingatkan, persoalan yang dihadapi

gubernur Jakarta ke depan adalah bagaimana menyele-saikan permasalahan tanah.

“Masalah pertanahan di Jakarta hingga saat ini masih menjadi masalah yang kom-pleks. BPN (Badan Pertanahan Nasional) perlu memetakan tanah yang rawan konflik. Terkait hal itu, sertifikat tanah kalau perlu dibiayai oleh APBD, mengingat mengurus sertifikat tanah membutuhkan biaya yang tinggi, dan bagi banyak warga tidak ter-jangkau,” ujarnya.

Sedangkan, Satyawan Sunito mengatakan, mele-galkan hunian ilegal yang biasanya terletak di bantaran kali, situ, dan kawasan “abu-abu” jelas bukan kebijakan yang rasional. “Karena hal itu akan berbenturan dengan infrastruktur, seperti drainase dan fasilitas publik lainnya. Bagaimana mungkin warga dibiarkan tinggal di bantaran kali, sementara Pemprov DKI Jakarta sedang membenahi persoalan banjir. Ini jelas bukan kebijakan yang baik dan tepat,” ujarnya.

D i J aka r t a , l an ju t Satyawan, tidak terdapat zona-zona yang jelas, yang mengatur fungsi sebuah kawasan. “Sejak era gubernur Jakarta dipegang militer pun, selalu berhadapan dengan

sistem pertanahan liberal yang sesuka hati mematok harga tanah. Gubernur sebelumnya pun kesulitan menghadapi persoalan tanah di Jakarta,” katanya.

Pendidikan HukumSementara itu, Koordinator

Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai, dari segi hukum, kontrak politik yang dibuat Anies dengan warga Tanah Merah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pasalnya, objek yang diperjanjikan bertentan-gan dengan hukum positif.

“Kontrak politik tersebut telah membuat kekuasaan negara yang diberikan oleh UU dan Perda kepada seorang gubernur, tergadaikan manakala Anies terpilih men-jadi gubernur DKI Jakarta,” ujar Petrus.

Sebagai calon pemimpin, kata Petrus, Anies seharusnya menyadari bahwa kontrak politik harus sesuatu yang bersifat memberikan penya-daran serta pendidikan kepada masyarakat, untuk hidup tertib dan taat hukum. Namun, dalam kontrak politik tersebut, Anies dianggap justru mendorong dan mengkampanyekan per-ilaku melegalkan sesuatu yang ilegal. “Ini jelas tidak men-

didik bahkan memprovokasi masyarakat untuk melakukan pembangkangan terhadap pemerintah,” tandasnya.

Menurut Petrus, secara prinsip, meniadakan kewe- nangan negara untuk mere-lokasi warga yang tidak taat hukum, hanya bisa dilakukan dengan mengubah UU dan Perda, melalui mekanisme legislasi. Tidak bisa hal terse-but dilakukan hanya dengan kontrak politik.

“Kewenangan menggusur adalah kewenangan eksekutif negara yang sangat eksklusif, karena diberikan oleh UU, bukan lahir dari kontrak politik yang semu dan dilakukan antara bakal calon dengan sekelompok warga,” terang dia.

Petrus khawatir, kontrak politik tersebut justru menu-runkan kesadaran hukum warga negara. Kontrak politik tersebut dianggap mengkon-firmasi kepada warga bahwa proses penegakan hukum dan tertib hukum yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta selama ini salah dan sewenang-we-nang.

Padahal, relokasi yang dilakukan merupakan upaya terakhir. Justru sebaliknya, relokasi warga dari per-mukiman kumuh dan ilegal ke rusunawa yang lebih manusiawi, adalah tindakan menciptakan tertib hukum dan sekaligus mewujudkan keadilan sosial bagi warga negara yang d igusur. [YUS/161]

Legalisasi Hunian Ilegal Berpotensi Tabrak HukumKontrak Politik Harus Memberi Pendidikan Hukum Kepada Warga

[YOGYAKARTA] Pengamat hukum tata negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, B Hestu Cipto Handoyo menegaskan, kontrak politik yang dilakukan seorang calon kepala daerah kepada warga, tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh karenanya, jika sang calon melakukan wanprestasi, pihak yang lain tidak bisa menuntut pemenuhannya. Kontrak politik dinilai sebagai “gula-gula” dalam praktik demokrasi.

Hal tersebut disampaikannya menanggapi kontrak politik yang dilakukan bakal calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dengan warga Tanah Merah, Jakarta Utara, akhir pekan lalu. “Dengan demikian, jika Anies akan keluar sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta, maka janji atau kontrak politik itu tidak musti bisa diwujudkan,” ujarnya, saat dihubungi di Yogyakarta, Selasa (4/10).

Hestu menerangkan, secara hukum, kontrak poli-tik tidak masuk dalam kategori hubungan hukum seperti yang diatur dalam hukum perjanjian pada umumnya. “Kontrak politik itu adalah Naturlijke Verbintenis, atau perjanjian natural yang pemenuhan prestasinya tidak bisa dipaksakan melalui upaya hukum,” katanya.

Kontrak politik, lanjutnya, sampai saat ini tidak diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sampai kapanpun jika ada satu pihak yang dianggap wanprestasi, tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum.

Hestu mencontohkan kontrak politik yang dilakukan partai politik menjelang pemilu. Meskipun partai tersebut menang di sebuah wilayah, umumnya tidak terjadi pemenuhan kontrak politik.

Lagi pula, ujar Hestu lagi, kontrak politik yang dilakukan Anies Baswedan dengan warga Tanah Merah, membutuhkan legal standing dari dua pihak. “Pihak pertama memang Anies. Tetapi, pihak kedua, apakah warga setempat punya legal standing? Apakah warga Tanah Merah itu bisa mewakili seluruh warga DKI? Ini kan yang sulit,” ujarnya.

Dengan demikian, warga Jakarta diingatkan agar menggunakan logika yang benar. Belum lagi jika tanah yang ditempati warga tersebut, dimiliki oleh badan hukum tertentu, atau bahkan milik pemerintah.

Hestu juga berpandangan, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), meskipun produk politik karena disusun oleh kepala daerah dan DPRD, tetapi tidak serta-merta bisa diubah dengan gampang.

“Apalagi di DKI Jakarta, perlu sinkronisasi den-gan pemerintah pusat. Jika RTRW tersebut sudah berjalan selama 20 tahun lebih, maka perubahannya pun akan memakan waktu lama. Jadi janji manis Anies tersebut sebaiknya dimaknai sebagai janji kam-panye saja,” tegasnya. [152]

Jika Wanprestasi, Anies Tak Dapat Dituntut