seks dan supremasi kristus - momentum.or.id · jika gereja masa kini benar‐benar menganggap...
TRANSCRIPT
Seks dan Supremasi Kristus
Penerbit Momentum 2008
John Piper | Justin Taylor
Copyright © momentum.or.id
Daftar Isi
Kontributor Pendahuluan 1 JUSTIN TAYLOR
Bagian 1 : Allah dan Seks 1 Seks dan Supremasi Kristus: Bagian Satu 17
JOHN PIPER
2 Seks dan Supremasi Kristus: Bagian Dua 29 JOHN PIPER
3 Kebaikan Seks dan Kemuliaan Allah 41 BEN PATTERSON
Bagian 2 : Dosa dan Seks 4 Jadikan Segalanya Baru: Memulihkan Sukacita Sejati bagi
Mereka yang Hancur Secara Seksual 61 DAVID POWLISON
5 Pernikahan Homoseksual sebagai Tantangan bagi Gereja: Refleksi‐refleksi Alkitabiah dan Kultural 119
R. ALBERT MOHLER, JR.
Bagian 3 : Pria dan Seks 6 Seks dan Pria Lajang 149
MARK DEVER, MICHAEL LAWRENCE, MATT SCHMUCKER, DAN
SCOTT CROFT
7 Seks, Kemesraan, dan Kemuliaan Allah: Apa yang Perlu Diketahui Setiap Suami Kristen 173
C. J. MAHANEY
Copyright © momentum.or.id
Seks dan Supremasi Kristus viii
Bagian 4 : Wanita dan Seks 8 Seks dan Wanita Lajang 211
CAROLYN MCCULLEY
9 Seks, Kemesraan, dan Kemuliaan Allah: Apa yang Perlu Diketahui Setiap Istri Kristen 235
CAROLYN MAHANEY
Bagian 5 : Sejarah dan Seks 10 Reformasi Pernikahan oleh Martin Luther 249 JUSTIN TAYLOR
11 Hedonis Kristen atau Orang Sopan yang Religius? Pemikiran Kaum Puritan tentang Seks 287
MARK DEVER
Bacaan‐bacaan Pendalaman yang Disarankan 319
DesiringGod 321
Copyright © momentum.or.id
PENDAHULUAN
Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
- ROMA 11:36
Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.
- 1 KORINTUS 10:31
JU ST I N TA Y L O R
edua ayat ini termasuk ayat‐ayat Alkitab yang paling sering di‐kutip oleh para penginjil. Namun, mengutip bagian Alkitab ber‐
beda dengan membentuk suatu wawasan dunia dengan bagian‐bagian tersebut. Jika gereja masa kini benar‐benar menganggap penting frasa “segala sesuatu,” tidakkah kita akan menyaksikan munculnya arus khotbah‐khotbah dan buku‐buku yang provokatif yang mengalir mantap tentang tema “Bagaimana Memiliki Hubungan Seksual yang Memuliakan Allah”? Sebaliknya, pemikiran untuk menyampaikan suatu khotbah seperti itu saja mungkin sudah menimbulkan dehem‐dehem karena gugup atau rasa malu yang menyebabkan wajah men‐jadi merah.
K
Munculnya buku ini dan upayanya untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dari Konferensi Nasional Desiring God (2004), yang berjudul “Seks dan Supremasi Kristus.” Kami ingin mendekati topik ini dengan terus terang dan rasa hormat, dengan supremasi Kristus sebagai dasar kami dan sekaligus tujuan kami. Apakah hubungan antara seks dan supremasi Kristus, dan apakah implikasi‐implikasi dari hubungan tersebut bagi kehidupan kita sehari‐hari?
Apa yang Alkitab Katakan mengenai Seks Andaikan Anda ingin mengetahui apa yang Alkitab ajarkan menge‐nai seks, bagaimanakah Anda akan mencarinya? Sebuah pencarian kata dari istilah sex dalam Alkitab Bahasa Inggris menunjukkan bah‐wa istilah tersebut hampir selalu dipakai di dalam konteks imoralitas
Copyright © momentum.or.id
Seks dan Supremasi Kristus 2
seksual (Yun.: porneia – yang darinya kita memperoleh istilah “porno‐grafi”). Maka Anda mungkin menyimpulkan bahwa Alkitab tidak ba‐nyak mengajar kita tentang seks, dan bahwa ketika Alkitab membica‐rakan tentang seksualitas, itu dilakukan hanya dalam bentuk yang negatif, bersifat melarang, dan terlalu sopan.
Tetapi ini merupakan kesimpulan yang agak dangkal. Alkitab berbicara banyak tentang seks, sebab Alkitab berbicara banyak tentang segala sesuatu. Maka, daripada hanya mencari istilah seks di dalam Alkitab, strategi yang lebih produktif adalah mencari di dalam Alkitab frasa segala sesuatu, sebab seks jelas merupakan salah satu bagian dari segala sesuatu. Berikut ini adalah contoh dari pencarian seperti ini, yang tersingkap dalam Firman Allah yang berkuasa:
• Seks diciptakan oleh Allah (“Di dalam Dialah telah dicipta‐kan segala sesuatu” – Kol. 1:16).
• Seks terus ada oleh kehendak Kristus (“segala sesuatu ada di dalam Dia” – Kol. 1:17).
• Seks disebabkan oleh Allah (“segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak‐Nya” – Ef. 1:11).
• Seks tunduk kepada Kristus (“Segala sesuatu telah diletak‐kan‐Nya di bawah kaki Kristus” – Ef. 1:22)
• Kristus memperbarui seks (“Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” – Why. 21:5).
• Seks baik (“semua yang diciptakan Allah itu baik” – 1Tim. 4:4).
• Seks sah dalam konteks perkawinan (“Segala sesuatu diper‐bolehkan” – 1Kor. 10:23).
• Ketika kita melakukan hubungan seks, kita harus melaku‐kannya untuk kemuliaan Allah (“jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” – 1Kor. 10:31).
• Seks dipakai oleh Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi anak‐anak Allah (“Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan renca‐na Allah” – Rm. 8:28).
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan 3
• Kita harus bersyukur kepada Allah atas seks (“Suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur” – 1Tim. 4:4).
• Seks harus dikuduskan oleh Firman Allah dan doa (semua … dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” – 1Tim. 4:4‐5).
• Kita harus berjaga‐jaga agar tidak diperbudak oleh seks (“Aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun” – 1Kor. 6:12).
• Kita tidak boleh bersungut‐sungut tentang seks (“Lakukan‐lah segala sesuatu dengan tidak bersungut‐sungut” – Flp. 2:14).
• Kita harus bersukacita di dalam Tuhan selama melakukan hubungan seks (“Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan!” – Flp. 4:4).
• Kita harus puas di dalam seks (“Supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu” – 2Kor. 9:8).
• Kita harus melakukan dan menginginkan hubungan seks dalam pengudusan dan penghormatan: “supaya kamu ma‐sing‐masing mengambil seorang perempuan menjadi isteri‐mu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghor‐matan” – 1Tes. 4:4).
• Pasangan hidup tidak boleh “saling menjauhi [secara sek‐sual], kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu,” supaya mereka bisa mengabdikan diri pada doa (1Kor. 7:5).
• Namun kemudian mereka diperintahkan untuk “kembali hidup bersama‐sama [secara seksual], supaya Iblis jangan menggodai [mereka] karena [mereka] tidak tahan bertarak” (1Kor. 7:5).
• Dalam zaman yang bobrok ini, seks itu suci dan tidak suci (“Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi orang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis” – Tit. 1:15).
Betapa semua ayat Alkitab ini bisa menjadi rangkaian khotbah yang hebat! Suatu studi yang saksama terhadap ayat‐ayat ini, dalam kon‐teks keseluruhan keputusan kehendak Allah, akan menunjukkan bah‐wa seks tidak bisa dipahami dengan tepat atau dipraktikkan dengan
Copyright © momentum.or.id
Seks dan Supremasi Kristus 4
sepatutnya tanpa melihat bagaimana seks berkaitan dengan Allah. Merupakan harapan dan doa kami agar bab‐bab yang terkumpul da‐lam buku ini menolong Anda mengorientasikan seluruh hidup dan wawasan dunia Anda – termasuk kehidupan seks Anda dan pan‐dangan Anda tentang seksualitas – kepada kemuliaan Allah di dalam Kristus.
Rasa Malu dalam Gereja Salah satu hal yang merintangi pembahasan tentang seksualitas yang terus terang dan membangun adalah rasa malu. Rasa malu bisa sehat, dan rasa malu bisa berdosa. Pada umumnya, budaya kita benar‐benar ingin menghapus kesusilaan dan rasa malu yang tersisa dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan seks. Sebagai reaksi yang berle‐bihan, gereja sering terlalu malu‐malu untuk memulai pembicaraan tentang topik tersebut, sebab takut melanggar perintah Paulus bahwa “menyebutkan saja pun apa yang dibuat oleh mereka di tempat‐tem‐pat yang tersembunyi telah memalukan” (Ef. 5:12). Tetapi rasa malu yang sepatutnya ini bisa dengan mudah berubah menjadi rasa malu yang tidak sepatutnya, dan sikap enggan untuk menerapkan keselu‐ruhan keputusan kehendak Allah pada suatu persoalan yang sangat penting ini merupakan suatu keengganan yang tidak sehat. Namun begitu, sikap seperti ini bukanlah pilihan bagi tubuh Kristus, sebagai‐mana yang telah diperingatkan oleh Al Mohler kepada kita:
Umat Kristen tidak berhak untuk merasa malu ketika harus membicara‐kan tentang seks dan seksualitas. Sikap enggan atau rasa malu yang tak sehat dalam menghadapi isu‐isu ini merupakan bentuk ketidakhormatan terhadap ciptaan Allah. Apa pun yang telah Allah jadikan itu baik, dan segala sesuatu yang baik yang telah Allah jadikan itu memiliki tujuan ultimat untuk mengungkapkan kemuliaan‐Nya. Ketika orang‐orang Kris‐ten konservatif menanggapi seks dengan ambivalensi atau rasa malu, kita memfitnah kebaikan Allah dan menyembunyikan kemuliaan Allah yang dimaksudkan untuk dinyatakan di dalam penggunaan karunia‐karunia ciptaan dengan benar.1
1 R. Albert Mohler, Jr., “The Seduction of Pornography and the Integrity of Christian
Marriage,” ceramah yang disampaikan kepada para pria di Boyce College (13 Maret 2004), tersedia di situs www.sbts.edu/docs/Mohler/EyeCovenant.pdf (diakses 14 Januari 2005). Ceramah ini mut‐lak harus dibaca oleh semua pria.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan 5
Seks di Dunia Pada tahun 1950‐an, terjadi persetujuan yang luas terhadap tatanan moral yang berada di luar diri kita, yang menguasai dan membentuk wacana dan etika kita. Pemahaman yang dimiliki bersama tersebut runtuh pada tahun 1960‐an dengan bangkitnya revolusi seksual. Se‐bagai ganti dari tatanan lama, muncullah sebuah etika baru. Sebagian orang mengatakan bahwa apa yang sebenarnya kita miliki adalah re‐lativisme yang merajalela dan nihilisme narsisis. Namun analisis seperti ini cenderung meleset. Etika baru – yang adakalanya disebut “etika autentisitas”2 – “bersikeras bahwa suara batin memiliki otoritas moral dan seharusnya diikuti tanpa keraguan.”3 Dinesh D’Souza menyebutnya sebagai “diri sebagai raja.”4 Bagi para penyembah dan pengikut Diri sebagai Raja, rujukan kepada “moralitas yang objektif” tidak mungkin bisa memberikan pengaruh yang signifikan. Frederica Mathewes‐Green menulis:
Para murid ini memiliki suatu moralitas yang objektif. Sangat berbeda dengan apa yang kita miliki. Mereka yakin bahwa secara objektif meru‐pakan kesalahan jika merendahkan orang dengan cara yang tak berpera‐saan. Merupakan kesalahan jika melakukan hubungan seks dengan sese‐orang yang tidak bersedia. Merupakan kesalahan jika melanggar satu dari seratus petunjuk etiket tentang siapa yang boleh tidur dengan siapa dalam keadaan apa. Ada banyak moralitas yang objektif di pihak mereka, dan mereka pikir itu lebih baik daripada apa yang kita miliki. Sejauh yang bisa kita lihat, moralitas yang mereka miliki berhasil diterapkan dan moralitas yang kita miliki tampak sulit diterapkan. Mengapa mereka harus menukarnya? Sanggahan ini kedengarannya tidak lebih dari “ka‐rena aku mengatakan begitu.”5
“Karena aku mengatakan begitu” tidak terlalu membujuk anak‐anak yang berusia lima tahun yang sedang merajuk, dan “karena aku me‐ngatakan begitu” tidak terlalu efektif untuk para mahasiswa berusia dua puluh lima tahunan yang melakukan hubungan seks bebas.
2 Lihat karya Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, Mass.: Harvard University
Press, 1991). 3 Dinesh D’Souza, “The Imperial Self,” tersedia di situs http://www.tothesouce.org/
12_1_2004/12_1_2004.htm (diakses 26 Januari 2005). Saya bersandar pada analisis D’Souza di sini untuk bagian ini.
4 Ibid. 5 Frederica Mathewes‐Green, “What to Say at a Naked Party,” Christianity Today, Februari 2005,
tersedia di situs http://www.christianitytoday.com/ct/2005/002/14.48.html (diakses 21 Januari 2005).
Copyright © momentum.or.id
Seks dan Supremasi Kristus 6
Konsep “karena aku mengatakan begitu” perlu diganti dengan wawasan dunia yang berdasarkan pada preposisi bahwa Allah menga‐takan begitu. Panggilan kita bukanlah semata‐mata untuk membeo ucapan‐ucapan tersebut, melainkan memaparkan theologi yang alki‐tabiah yang memperhatikan dengan serius perintah‐perintah yang penuh anugerah dan larangan yang penuh anugerah dari Pencipta kita yang kudus dan pengasiih.6 Ketika kita menantang gereja dan budaya, kita harus berjuang untuk menjalani gambaran Paulus ten‐tang kehidupan Kristen sebagai “orang berdukacita, namun senan‐tiasa bersukacita” (2Kor. 6:10). Kita harus belajar berbicara dengan terus terang namun bijaksana; secara kenabian namun juga dengan kejelasan makna; dengan berani namun juga dengan jiwa yang han‐cur. Singkat kata, kita harus belajar untuk menjadi diri kita apa ada‐nya: tubuh Kristus yang telah ditebus – orang berdosa yang sedang dikuduskan yang mencerminkan baik keteguhan maupun kelemah‐lembutan kemurahan Tuhan dan Juruselamat kita.
Seks Adalah Penunjuk Arah, Bukan Pengganti Allah Bruce Marshall, dalam novelnya The World, the Flesh, and Father Smith, menulis sebuah kalimat yang sangat provokatif: “Anak muda yang membunyikan bel di rumah bordil secara tidak sadar sedang mencari Allah.”7 Apa yang dilihat Marshall – dan apa yang jarang diucapkan orang – adalah bahwa ada suatu kaitan yang mendalam antara Allah dan seks. Peter Kreeft melihatnya. Sesudah berargumen bahwa “seks adalah agama yang efektif dari budaya kita,” dia menjelaskan:
Seks itu seperti agama bukan hanya karena seks itu secara objektif kudus pada dirinya sendiri, tetapi juga karena seks secara subjektif memberi kita suatu cicipan awal akan sorga, akan keterlupaan atas diri, akan pem‐berian diri yang melampaui diri, dan untuk itulah hati kita yang terda‐lam dirancang, merindukan dan tak akan terpuaskan sampai mendapat‐
6 Mereka yang mencari bahan untuk mendukung tugas ini akan sangat terbantu oleh dua buku
terkenal yang diterbitkan baru‐baru ini oleh Crossway Books: Daniel R. Heimbach, True Sexual Morality: Recovering Biblical Standards for a Culture in Crisis (Wheaton, Ill.: Crossway, 2004); dan Andreas J. Köstenberger bersama David W. Jones, God, Marriage, and Family: Rebuilding the Biblical Foundation (Wheaton, Ill.: Crossway, 2004). Untuk mempelajari lebih luas pengajaran hakiki dari Kitab Kejadian, lihatlah karya O. Palmer Robertson, The Genesis of Sex: Sexual Relationships in the First Book of the Bible (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian & Reformed, 2002).
7 Bruce Marshall, The World, the Flesh, and Father Smith (Boston: Houghton Mifflin, 1945), 108.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan 7
kannya sebab kita dijadikan menurut gambar Allah sendiri dan pemberi‐an diri ini merupakan kehidupan di dalam Trinitas.8
Seks dirancang untuk menjadi penunjuk arah, bukan pengganti Allah. Hati manusia, sebagaimana diperhatikan oleh Pascal, adalah suatu kekosongan yang dibentuk Allah, yang hanya bisa diisi oleh Allah sendiri:
Dalam diri manusia pernah ada satu kebahagiaan sejati yang kini hanya tersisa tandanya dan kekosongan belaka, yang dengan sia‐sia dia coba isi dengan segala sesuatu di sekelilingnya, yang mencari dari hal‐hal yang tak ada pertolongan yang tidak didapatkannya dalam hal‐hal yang ada. Namun semua ini tidak cukup, sebab jurang yang dalam dan tidak ter‐batas ini hanya bisa diisi oleh suatu objek yang tak terbatas dan tidak ber‐ubah, yang berarti hanya oleh Allah sendiri.9
Dengan dasar pertimbangan inilah kita bisa mempelajari hubungan antara seks dan supremasi Kristus.
Sekilas Pandang tentang Seks dan Supremasi Kristus Dalam dua bab pembukaan, John Piper menjabarkan hubungan antara Allah dan seks ini dengan mengajukan dua poin yang sederhana na‐mun kuat. Secara positif, dia berargumen bahwa seksualitas diran‐cang oleh Allah sebagai satu jalan untuk mengenal Allah di dalam Kristus secara lebih penuh; dan bahwa mengenal Allah di dalam Kristus secara lebih penuh dirancang sebagai jalan untuk menjaga dan memandu seksualitas kita. Atau jika dinyatakan secara negatif: semua penyalahgunaan seksualitas kita merusak pengenalan sejati terhadap Kristus; dan semua penyalahgunaan seksualitas kita dise‐babkan oleh tidak adanya pengenalan sejati akan Kristus. Dalam bab 2 – bagian kedua dari penjabaran Piper – dia mengembangkan poin kedua ini, dengan menolong kita melihat dan merasakan supremasi Kristus di dalam dan di atas segala sesuatu. Rintangan utama dari mengenal supremasi Kristus adalah murka Allah yang adil dan ku‐dus terhadap kita, ciptaan‐ciptaan‐Nya yang berdosa dan memberon‐tak. Dan solusinya adalah kebenaran Kristus yang menyerap murka tersebut dan membukakan bagi kita pintu menuju hidup yang kekal.
8 Peter Kreeft, How to Win the Culture War: A Christian Battle Plan for a Society in Crisis (Downers
Grove, Ill.: InterVarsity Press, 2002), 95. 9 Blaise Pascal, Pascal’s Pensées, terj. W. F. Trotter (New York: E. P. Dutton, 1958), 113.
Copyright © momentum.or.id
Seks dan Supremasi Kristus 8
Maka Piper menyimpulkan dengan mengajukan dan menjawab pertanyaan tentang bagaimana pengetahuan tentang supremasi Kristus – yang dibukakan oleh Injil bagi kita – bisa memandu, men‐jaga, dan memerintah kehidupan seksual kita, menjadikan seksualitas kita kudus, memuaskan, dan meninggikan Kristus.
Dalam babnya yang berjudul “Kebaikan Seks dan Kemuliaan Allah,” Ben Patterson mengatakan bahwa gambaran C. S. Lewis ten‐tang kesenangan duniawi dalam The Screwtape Letters – “suatu ke‐inginan yang semakin meningkat akan kesenangan yang semakin berkurang” – persis seperti apa yang sedang terjadi dalam budaya kita. Namun, agenda Allah untuk seks dan kesenangan, Patterson berargumen, adalah berbeda. Seks itu baik karena Allah yang men‐ciptakan seks itu adalah Allah yang baik. Dan Allah sangat dimulia‐kan ketika kita menerima karunia‐Nya dengan rasa syukur dan menikmatinya sesuai dengan cara yang dimaksudkan‐Nya. Untuk menunjukkan kebenaran ini, Patterson membawa kita menjelajah Alkitab, dengan menunjukkan pentingnya perkawinan – pada awal, pada akhir, dan di sepanjang Alkitab. Secara khusus, dia mengagumi gambaran dari Kidung Agung, dan visi kitab tersebut tentang seks yang seutuhnya dan begitu erotis, yang dilakukan dengan cara dan di dalam konteks yang Allah maksudkan, yang sama sekali bertolak belakang dengan seks murahan yang beracun yang dilakukan menu‐rut anjuran dunia. Dalam paruh kedua babnya, Patterson memeriksa dasar‐dasar theologis untuk merayakan seks di dalam kovenan per‐nikahan. Allah bukan hanya menciptakan segala sesuatunya baik, dari ketiadaan, tetapi Dia mengutus Anak‐Nya yang tunggal untuk menjadi manusia, yang menunjukkan bahwa jasmani merupakan sa‐rana yang sesuai untuk bersekutu dengan Allah. Dan Allah memper‐lihatkan kebaikan ini dengan menciptakan kita sebagai laki‐laki dan perempuan, sebagai makhluk‐makhluk seksual yang dijadikan untuk bersekutu bersama, dan yang menemukan makna diri kita saat kita menyerahkan diri. Patterson menutup babnya dengan mempersem‐bahkan sebuah contoh yang menyentuh dari kehidupannya sendiri di mana dia mengalami kembali lagi rasa syukur dan sukacita karena telah dikaruniai seorang istri oleh Allah yang baik dan penuh rahmat.
Dalam Bagian Dua, kita beralih kepada persoalan‐persoalan se‐putar dosa seksual dan kehancuran seksual. David Powlison berargu‐men bahwa kita semua terlibat dalam suatu peperangan, dan bahwa
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan 9
peperangan itu lebih panjang, lebih besar, lebih dalam, dan lebih ter‐selubung daripada yang disadari kebanyakan orang. Kita harus mem‐perluas pandangan kita tentang peperangan itu, memandangnya se‐bagai peperangan seumur hidup. Kita harus memperluas pandangan kita tentang peperangan tersebut, bukan dengan memusatkan pikiran hanya pada dosa‐dosa yang berat yang membuat kita kehilangan gambaran besarnya. Kita harus memperdalam pandangan kita ten‐tang peperangan tersebut dengan menyadari bahwa dosa seksual ha‐nyalah satu ungkapan dari suatu perang yang lebih dalam, yang memperebutkan baik kesetiaan hati maupun kasih yang terutama. Kita harus juga mengenali bahwa peperangan tersebut lebih terselu‐bung daripada yang sering kita pikirkan ketika kita mulai melihat lapisan‐lapisan rumit dari dosa dalam hati kita – sebagian jelas, seba‐gian tersamar; sebagian terwujud secara eksternal, sebagian hanya secara internal; sebagian melibatkan dosa kita terhadap sesama; seba‐gian melibatkan orang lain yang berdosa terhadap kita. Tujuan dari peperangan ini bukanlah “hanya berkata tidak” dan bukan hanya “sarana anugerah”; sebaliknya, tujuannya adalah untuk melihat Yesus Kristus sendiri. Karena kasih Kristus lebih panjang dan lebih dalam dan lebih lebar daripada yang bisa kita bayangkan. Powlison mengakhiri esainya dengan memberikan kepada kita beberapa nasi‐hat praktis tentang bagaimana terjun ke dalam pertempuran‐pertem‐puran dalam Perang Besar.
Salah satu “dosa paling terkenal” dalam budaya kita adalah homoseksualitas. Begitu banyak diskusi dalam gereja dan dalam budaya sudah dilakukan dengan istilah “kita” melawan “mereka.” Namun Albert Mohler menjelaskan mengapa dia memandang “Perni‐kahan Homoseksual sebagai Tantangan bagi Gereja.” Tantangannya pertama‐tama dan terutama berkaitan dengan akan menjadi seperti apa kita – sebagai tubuh Kristus – nantinya. Mohler secara meyakin‐kan berargumen bahwa “kita harus menjadi orang‐orang yang tidak bisa membahas tentang pernikahan homoseksual hanya dengan membahas tentang pernikahan homoseksual” – artinya, kita harus memulai dengan membahas persoalan‐persoalan yang lebih besar yang dipertaruhkan. “Kita harus menjadi orang‐orang yang tidak bisa membahas tentang seks tanpa membahas tentang pernikahan, dan orang‐orang yang tidak bisa membahas tentang apa pun yang hakiki atau signifikan dari pernikahan tanpa bersandar pada Alkitab. Kita
Copyright © momentum.or.id
Seks dan Supremasi Kristus 10
harus menjadi orang‐orang yang memiliki theologi yang memadai untuk menjelaskan tipu daya dosa yang membawa maut, dan juga theologi yang memadai untuk menjelaskan kemenangan Kristus atas dosa. Kita harus berkata jujur tentang dosa sebagai penyangkalan ter‐hadap kemuliaan Allah, bahkan ketika kita menunjuk kepada pene‐busan sebagai kemuliaan Allah yang dipulihkan. Kita harus menjadi orang‐orang yang mengasihi kaum homoseksual melebihi kaum ho‐moseksual mengasihi homoseksualitas mereka sendiri, dan kita harus menjadi orang‐orang yang menyatakan kebenaran tentang pernikah‐an homoseksual dan menolak untuk menerimanya, bahkan kemung‐kinan konseptualnya sekalipun, karena kita tahu apa yang diperta‐ruhkan.”
Bagian Tiga dari buku ini berfokus secara khusus pada seks dan pria. Mark Dever membuka bagian ini dengan membahas “Seks dan Pria Lajang.” Dia meneliti tantangan‐tantangan unik yang dihadapi hari ini oleh para pria lajang, karena sebagian pria muda menunda le‐bih lama untuk menikah dan menurunnya penilaian budaya terhadap pernikahan. Dever berargumen bahwa ada pilihan alkitabiah bagi pola penundaan yang lebih lama dan sikap pasif terhadap pernikah‐an ini. Berikutnya, Michael Lawrence membangun dasar theologis un‐tuk seks. Lebih dari sekadar menyajikan daftar harus‐dan‐jangan, Lawrence menunjukkan kepada kita makna seks sebagaimana yang Allah rancang dan implikasi‐implikasinya terhadap keintiman sek‐sual dan masturbasi. Matt Schmucker memfokuskan pada persoalan keintiman fisik, memperlihatkan bahwa kebanyakan kita memiliki standar ganda untuk perihal bagaimana pria yang telah menikah ha‐rus berinteraksi dengan wanita yang bukan istri mereka, dan bagai‐mana pria lajang harus berinteraksi dengan wanita yang bukan istri mereka. Schmucker kemudian menawarkan empat alasan mengapa keintiman fisik dengan seorang wanita yang bukan istri harus dila‐rang. Jadi, seperti apakah seharusnya hubungan yang sesuai Alkitab? Sesudah mendefinisikan masa pacaran dan kencan, Scott Croft men‐jelaskan berbagai motivasi, pikiran, dan metode yang berbeda antara keduanya. Berdasarkan prinsip alkitabiah bahwa komitmen menda‐hului keintiman, Croft berargumen bahwa model pacaran merupakan model yang paling konsisten dengan aturan‐aturan alkitabiah bagi suatu hubungan dengan lawan jenis.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan 11
C. J. Mahaney, dalam babnya tentang pria yang telah menikah, membawa kita kembali kepada Kidung Agung untuk melihat petun‐juk seksualitas yang saleh. Bersama sebagian besar sarjana Injili kon‐temporer, dia dengan penuh hormat menolak penafsiran kitab ini secara alegoris atau tipologis dengan berargumen sebaliknya, bahwa kitab tersebut meliputi model dari suatu hubungan seksual yang penuh gairah dalam konteks kovenan pernikahan. Mahaney berargu‐men bahwa salah satu pelajaran utama yang bisa kita peroleh dari kitab ini adalah bahwa agar kemesraan meningkat dalam pernikahan kita, kita harus belajar menyentuh hati dan pikiran istri kita sebelum kita menyentuh tubuhnya. Ini berarti menyusun kata‐kata yang cer‐mat dan membangun kemesraan melalui perencanaan yang sungguh‐sungguh. Dia menawarkan usulan‐usulan praktis tentang bagaimana menyentuh pikiran dan hatinya. Pada bagian akhir dari bab tersebut, dia memberikan nasihat yang bijaksana dan alkitabiah tentang seks itu sendiri dan karunia keintiman dalam pernikahan.
Kita beralih kepada topik tentang “Wanita dan Seks” pada Bagi‐an Empat. Carolyn McCulley memulai dengan membuat sejumlah pe‐nelitian tentang seks dan wanita lajang dalam budaya Amerika abad kedua puluh satu. Tetapi bagaimana, dia penasaran, wanita Kristen yang berkomitmen untuk melajang, yang oleh anugerah Allah meng‐hindari imoralitas seksual, bisa berbicara kepada budaya kita dalam topik ini? Dia bersikukuh bahwa untuk bisa melakukannya, pesan yang kontrarevolusioner harus dipusatkan pada Injil dan kuasa Yesus Kristus yang menanggung dosa dan mengubah hidup. Dia kemudian beralih untuk meneliti apa yang Alkitab ajarkan tentang karunia melajang dan karunia yang dimiliki oleh wanita di dalam Amsal 31. Sepanjang pembahasan tersebut dia menjawab persoalan‐persoalan seperti menghindari godaan seksual di tempat kerja dan bagaimana para wanita lajang harus berfungsi di gereja sebagai anggota tubuh Kristus yang tidak bisa diabaikan. Pengharapan tertinggi seorang wa‐nita lajang bukanlah perkawinan, melainkan kehadiran Kristus. Ke‐bungkaman Allah bukanlah petunjuk bahwa Allah menolak, melain‐kan persiapan bagi penyataan, ketika para wanita lajang itu bertekad untuk menjalani kehidupan mereka demi supremasi Kristus.
Carolyn Mahaney, pada gilirannya, berbicara kepada para wanita yang telah menikah tentang seks. Jelas dia tidak melupakan derita dan kebingungan yang pernah banyak wanita alami dalam hubung‐
Copyright © momentum.or.id
Seks dan Supremasi Kristus 12
an‐hubungan seksual di masa lampau, namun dia berargumen bahwa tidak ada situasi yang berada di luar jangkauan anugerah Allah dan kuasa salib Kristus. Dia menekankan bahwa oleh anugerah Allah, se‐mua wanita yang menikah bisa menikmati hubungan seksual dengan suami mereka, dan dia menawarkan penelitian tentang seperti apa hubungan yang penuh gairah seperti itu dari sudut pandang istri. Mengetahui bahwa Alkitab tidak memberikan petunjuk‐petunjuk eksplisit tentang seks dalam pernikahan, Ny. Mahaney melihat bebe‐rapa prinsip alkitabiah yang bisa menumbuhkan apa yang dia sebut “hubungan intim kelas A.” Para istri, begitu argumennya, hendaklah menjadi seorang yang menarik, menyediakan diri, mengantisipasi, agresif, dan suka berpetualang. Dia mengakhiri babnya dengan kata‐kata dorongan yang lemah lembut dan nasihat yang bijaksana kepada para wanita yang berada dalam bahaya akan keputusasaan dan kehi‐langan pengharapan tentang hubungan seksual mereka dengan sua‐mi mereka.
Di bagian akhir buku ini, “Sejarah dan Seks,” kita beralih kepada satu pasangan historis dan sebuah gerakan historis untuk memberi kita sejumlah perspektif. Dalam bab saya tentang “Reformasi Perni‐kahan oleh Martin Luther,” saya memperhatikan kehidupan Martin Luther, sang Reformator besar dari Jerman. Ketika Luther memulai untuk mereformasi pernikahan melalui pengajaran, khotbah, dan tulisan‐tulisannya, dia yakin bahwa dia sendiri dipanggil untuk mela‐jang dan tidak akan pernah menikah. Lagi pula, dia pikir bahwa mungkin dia akan mati sebagai martir hanya dalam waktu beberapa tahun saja! Namun Allah memiliki rencana‐rencana yang berbeda, dan satu unsur penting dari rehabilitasi dan reformasi Luther terha‐dap lembaga pernikahan adalah masa pacarannya yang singkat dan kehidupan pernikahannya yang panjang dengan Katherine von Bora, seorang biarawati muda yang dia tolong melarikan diri dari sebuah biara. Kehidupan mereka bersama – seiring dengan pengajaran Luther tentang seks, pernikahan, kasih, dan anak‐anak – memberikan dampak yang revolusioner terhadap Reformasi Jerman dan terus mempengaruhi gereja Injili masa kini.
Pada bab terakhir, Mark Dever meneliti peranan kaum Puritan dan seks. Kaum Puritan dan seks? Apakah mereka pernah menikmati hal semacam itu? Bukankah “Puritanisme” adalah “ketakutan yang terus membayangi bahwa seseorang, di tempat tertentu sedang ber‐
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan 13
bahagia”?10 Dever membantah pandangan‐pandangan yang salah karena tidak sesuai dengan fakta sejarah, dan, dalam kutipan demi kutipan, membiarkan kaum Puritan berbicara untuk diri mereka sendiri. Sesudah meneliti latar belakang historis dari tradisi Katolik Roma dan revolusi Lutheran, Dever merinci pandangan Puritan tentang pernikahan, seks, kemesraan, dosa seksual, dan kesenangan. Dever menunjukkan bahwa kaum Puritan sendiri tidak menentang kesenangan itu sendiri; mereka menentang kesenangan sepanjang kesenangan itu tidak tunduk kepada kesenangan di dalam Allah. Dever menutup bab tersebut dengan memaparkan delapan pelajaran yang bisa kita petik dari kaum Puritan sehubungan dengan pandangan alkitabiah tentang seksualitas. Juga terlampirkan pada esainya, sebuah apendiks yang mensurvei studi‐studi yang dilakukan terhadap kaum Puritan di dalam dunia akademis.
Kiranya Kristus memberkati Anda ketika Anda membaca buku ini. Doa kami, semoga buku ini akan menarik Anda lebih dekat ke‐pada‐Nya, sebab Anda melihat supremasi‐Nya di dalam segala sesua‐tu – termasuk seks.
Ucapan Terima Kasih Proses menyunting dan menulis sebuah buku tidak pernah terjadi tanpa pengaruh dari luar. Istri kami, Noël dan Lea, dengan penuh ke‐murahan dan sukacita mendukung kami dalam pelayanan ini, dan mereka layak menerima ucapan terima kasih yang khusus atas bantu‐an mereka dan atas kesabaran mereka. Kami berutang budi pada banyak sahabat, yang tanpa mereka proyek ini tidak akan pernah ada. Jon Bloom, direktur eksekutif dari Desiring God, menjaga keber‐langsungan perputaran roda dalam pelayanan ini. Scott Anderson, koordinator konferensi dari Desiring God, bekerja keras selama ber‐jam‐jam untuk mewujudkan konferensi “Seks dan Supremasi Kristus.” Vicki Anderson, asisten administrasi kami, membuat kami bebas bekerja dalam proyek‐proyek seperti ini. Kami juga ingin me‐nyatakan penghargaan kami kepada Carol Steinbach dan Robert Williams, yang dengan murah hati dan cepat menyusun indeks Alki‐tab dan Tokoh bagi kami. Kami menyatakan rasa syukur yang mendalam kepada para kontributor buku ini, yang setuju bukan
10 H. L. Mencken, A Mencken Chrestomathy (New York: Vintage, 1982), 624.
Copyright © momentum.or.id
Seks dan Supremasi Kristus 14
hanya untuk menyajikan pembahasan mereka di Minneapolis, tetapi juga untuk mengubahnya menjadi bab‐bab tertulis di tengah‐tengah jadwal pelayanan mereka yang padat.
Yang teramat penting, kami mengakui utang kami kepada Yesus Kristus. Kami pernah menjalani kehidupan kami di seputar apa pun dan segala sesuatu kecuali Engkau. Namun dengan anugerah‐Mu, Engkau telah menempatkan diri‐Mu sendiri di pusat kehidupan kami. Kami berdoa kiranya buku ini akan memuliakan Engkau dan supremasi nama‐Mu.
Copyright © momentum.or.id