sekolah tinggi teologi amanat agung ibadah komunal …
TRANSCRIPT
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG
IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER
SKRIPSI
Diajukan kepada Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teologi
Oleh Supatrin
1021512021
Jakarta 2019
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG
JAKARTA
Ketua Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung menyatakan bahwa skripsi yang berjudul IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER dinyatakan lulus setelah diuji oleh Tim Dosen Penguji pada tanggal 23 September 2019.
Dosen Penguji Tanda Tangan
1. Irwan Hidajat, S.Th., M.Pd. ____________________________________
2. Johannes Lie Han Ing, M.Min., M.Th. ____________________________________
3. Fandy Tanujaya, B.Bus., Th.M. ____________________________________
Jakarta, 23 September 2019
Casthelia Kartika, D.Th. Ketua
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang berjudul IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER, sepenuhnya adalah hasil karya tulis saya dan bebas dari plagiarisme.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa saya telah melakukan tindakan plagiarisme dalam penulisan skripsi ini, saya akan bertanggung jawab dan siap menerima sanksi apa pun yang dijatuhkan oleh Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung.
Jakarta, 23 September 2019
Supatrin NIM: 1021512021
i
ABSTRAK
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG
JAKARTA
(A) Supatrin (1021512021)
(B) IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK
PEMBENTUKAN KARAKTER
(C) viii + 99 hlm; 2019
(D) Konsentrasi Pendidikan Kristen
(E) Skripsi ini membahas tentang pembentukan karakter menuju keserupaan
dengan Kristus yang dapat terjadi melalui ibadah komunal. Hakikatnya,
pembelajaran yang melibatkan aspek kehidupan manusia secara holistik
adalah pembelajaran yang transformatif. Pembelajaran yang transformatif
tentu akan berpengaruh pada pembentukan karakter. Pembelajaran yang
transformatif sesungguhnya dapat terjadi dalam ibadah komunal. Akan
tetapi, ibadah komunal yang dilaksanakan setiap hari Minggu tidak dilihat
sebagai wadah pembelajaran transformatif yang dapat membentuk
karakter umat. Pembelajaran dipandang hanya terbatas pada transmisi
informasi saja, sehingga ibadah komunal tidak dilihat sebagai sarana
pembelajaran yang dapat membentuk kehidupan umat. Akibatnya, ibadah
komunal yang dilakukan tidak memberi dampak yang optimal pada
pembentukan karakter umat. Gereja sebagai mitra Allah dalam proses
transformasi umat harus memiliki pemahaman tentang dasar teologis
ibadah komunal sebagai sarana pembelajaran yang dapat membentuk
karakter. Pemahaman ini akan membawa gereja untuk melihat bahwa
pembentukan karakter juga dapat terjadi dalam ibadah komunal, sehingga
dapat ditemukan strategi membentuk karakter umat dalam desain ibadah
komunal.
(F) Bibliografi 80 ( 1952-2018)
(G) Irwan Hidajat, S.Th., M.Pd.
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK............................................................................................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................................ii
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................................................................... iv
BAB SATU: PENDAHULUAN .....................................................................................................................1
Latar Belakang Permasalahan ........................................................................................................1
Pokok Permasalahan ....................................................................................................................... 10
Tujuan Penulisan ............................................................................................................................... 11
Metodologi Penelitian ..................................................................................................................... 11
Pembatasan Penulisan .................................................................................................................... 12
Sistematika Penulisan ..................................................................................................................... 13
BAB DUA: IBADAH KOMUNAL DAN PEMBELAJARAN .............................................................. 14
Ibadah Komunal ................................................................................................................................. 15
Ibadah Komunal dalam Perjanjian Lama .................................................................... 19
Ibadah Komunal dalam Perjanjian Baru ..................................................................... 31
Pembelajaran dalam Ibadah Komunal .................................................................................... 40
BAB TIGA: PEMBENTUKAN KARAKTER DALAM IBADAH KOMUNAL ............................. 44
Karakter ................................................................................................................................................. 45
Karakter dalam Perspektif Kristen ........................................................................................... 49
Pembentukan Karakter dalam Kekristenan ......................................................................... 53
Pembelajaran dalam Pembentukan Karakter...................................................................... 61
Pembentukan Karakter melalui Empat Unsur dalam Ibadah Komunal .................. 66
Instruksi ...................................................................................................................................... 66
Simbol .......................................................................................................................................... 68
Ritual ............................................................................................................................................ 71
iii
Komunitas Iman ...................................................................................................................... 73
BAB EMPAT: STRATEGI PEMBENTUKAN KARAKTER DALAM IBADAH KOMUNAL . 76
Menetapkan Strategi ........................................................................................................................ 77
Merencanakan Pembentukan Karakter dalam Ibadah Komunal ............................... 79
Menggunakan Empat Unsur dalam Ibadah Komunal secara Simultan ................... 80
Instruksi ...................................................................................................................................... 81
Simbol .......................................................................................................................................... 84
Ritual ............................................................................................................................................ 86
Komunitas Iman ...................................................................................................................... 87
Mengintegrasikan Keempat Unsur ........................................................................................... 89
BAB LIMA: KESIMPULAN ........................................................................................................................ 91
BIBLIOGRAFI ................................................................................................................................................. 94
1
BAB SATU
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Berdasarkan sejarah gereja, ada tiga sarana pokok pendidikan yang
digunakan oleh gereja mula-mula untuk membelajarkan umat. Robert R. Boehlke
mencatat bahwa ketiga sarana pokok itu adalah Sekolah Katekisasi, katekumenat,
dan ibadah.1 Ketiga sarana pokok untuk membelajarkan umat ini mulai digaungkan
sekitar abad ke-2 sampai awal abad ke-6. Sarana pokok ini terus dikembangkan
dengan tujuan mendidik dan membelajarkan umat, sehingga kehidupan umat dapat
dibentuk menuju keserupaan dengan Kristus.
Ketiga sarana pokok yang digunakan oleh gereja mula-mula tentu memiliki
keunikannya masing-masing, tetapi dengan tujuan yang sama yaitu membelajarkan
dan membentuk umat menuju keserupaan dengan Kristus. Sarana pertama yang
disebut Catechetical School atau Sekolah Katekisasi adalah tempat di mana orang
Kristen mendapatkan pendidikan guna mendalami dan mengembangkan pemikiran
Kristen. The Westminster Dictionary of Christian Education menjelaskan bahwa
Sekolah Katekisasi ini sebenarnya tidak pernah ditujukan untuk anak-anak
melainkan ditujukan untuk orang dewasa.2 Menurut Evangelical Dictionary of
Christian Education, tujuan awal berdirinya sekolah ini adalah untuk mengajar
1. Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen:
Dari Plato Sampai Ignatius Loyola (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 132. 2. Sister Marie Charles Dolan, Westminster Dictionary of Christian Education, ed. Kendig
Brubaker Cully (Philadelphia: The Westminster, 1952), s.v. “Catechetical School.”
2
orang-orang percaya baru, tetapi di sisi lain sekolah ini juga kemudian menjadi
sekolah lanjut untuk mendapatkan pemahaman teologi yang lebih tinggi.3 Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Sekolah Katekisasi ini merupakan institusi atau
pendidikan tinggi pertama yang didirikan dan dikelola di bawah naungan gereja, di
mana para uskup mengambil peran sebagai pengajar.4 Salah satu pengajarnya pada
waktu itu adalah Origen yang bertugas untuk memberikan pengetahuan mengenai
studi sistematik dan eksegesis Kitab Suci pada permulaan abad ke-3.5 Dalam
konteks sekarang, Sekolah Katekisasi ini dapat dikategorikan sebagai Sekolah
Alkitab atau Sekolah Teologi.
Sarana kedua adalah katekumenat atau yang saat ini disebut sebagai
katekisasi. Melalui sarana ini, umat “diberikan instruksi yang termuat dalam
Didache6 dan berbagai tulisan dari Justin Martyr dan Tertullian mengenai doktrin
dan moral beserta dengan penjelasan mengenai doa, puasa, dan menjaga diri dari
perbuatan jahat dengan terus membaca Alkitab dan melakukan instruksi yang
diberikan.”7 Berbagai muatan yang ada di dalam sarana kedua ini wajib didapatkan
oleh umat sebagai bentuk persiapan sebelum mengikuti sakramen baptisan. Selain
itu, umat juga mendapatkan berbagai instruksi dalam melaksanakan ibadah
sakramen komuni bersama dengan komunitas iman di hari Minggu. Memang pada
3. D. A. C. Mulholland, Evangelical Dictionary of Christian Education, ed. Michael J. Anthony
(Grand Rapids: Baker Academic, 2005), s.v. “Catechetical School of Alexandria.” 4. Dolan, Westminster Dictionary of Christian Education, s.v. “Catechetical School.” 5. B. L. Marthaler, Harper’s Encyclopedia of Religious Education, ed. Iris. V. Cully dan Kendig
Brubaker Cully (New York: Harper&Row, 1990), s.v. “Catechetical School.” 6. Menurut Larry D. Reinhart dalam Evangelical Dictionary of Christian Education, Didache
bagaikan buku petunjuk bagi gereja yang digunakan dalam memberikan pengajaran pada para calon baptisan. Lihat Larry D. Reinhart, Evangelical Dictionary of Christian Education, ed. Michael J. Anthony (Grand Rapids: Baker Academic, 2005), s.v. “Didache.”
7. T. P. Walters, Harper’s Encyclopedia of Religious Education, ed. Iris. V. Cully dan Kendig Brubaker Cully (New York: Harper&Row, 1990), s.v. “Catechumenate.”
3
waktu itu umat harus mengikuti seleksi yang cukup ketat sebelum mereka
menerima baptisan dan bergabung di dalam persekutuan Kristen. Bukan tanpa
tujuan, seleksi yang ketat ini diberikan supaya umat sungguh mengalami
transformasi hidup dan menjadi murid Kristus yang sejati.
Sarana ketiga adalah ibadah raya atau ibadah komunal. Umat yang datang
untuk beribadah “diberikan pengalaman akan firman Allah, doa, penyembahan
kepada Allah, dan persekutuan dengan sesama orang percaya.”8 Pengalaman di
dalam beribadah kepada Allah didapatkan melalui partisipasi aktif umat. Menurut
Robert R. Pazmino, partisipasi aktif dari umat saat beribadah melibatkan berbagai
aspek dalam diri yang mengakibatkan umat dapat memiliki “wawasan baru tentang
Allah, dirinya sendiri, sesama komunitas, dan dunia, di mana wawasan ini mencakup
aspek kognitif, estetik, emosi, intuitif, kehendak, dan spiritualitas.”9 Senada dengan
Pazmino, Boehlke di dalam tulisannya juga mengatakan:
Dari warisan liturgi [ibadah] Yahudi, persekutuan Kristen menerima kebiasaan memuji Tuhan melalui doa yang mereka panjatkan dan mazmur-mazmur yang dinyanyikan bersama di samping keperluan agar jemaat dididik Firman yang dibaca, yaitu Kitab suci dengan penjelasannya… Di samping memperhadapkan para peserta dengan Sang Misteri yang Suci dan Pribadi [Allah], yang menimbulkan suatu perasaan dalam diri mereka sebagai persekutuan khusus, maka tata ibadah itu sengaja juga dirancang untuk membuat pengalaman pedagogis itu sungguh-sungguh meresap ke dalam keseluruhannya.10
Berdasarkan apa yang dikatakan Pazmino dan Boehlke, dapat dikatakan
bahwa pengalaman di dalam ibadah membuat umat mendapatkan pengenalan yang
8. Susan J. White, Encyclopedia of Christianity, ed. John Bowder (New York: Oxford University,
2005), s.v. “Worship.” 9. Robert R. Pazmino, Foundational Issues in Christian Education: an Introduction in
Evangelical Perspective (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 52. 10. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, 133-34.
4
lebih mendalam tentang Allah, karena di dalam ibadah umat dapat berjumpa
dengan Allah dan perjumpaan itu memberi makna sehingga menjadi pembelajaran
yang membentuk iman, spiritualitas, dan karakter umat.
Hingga saat ini, ketiga sarana tersebut tetap dilangsungkan oleh gereja.
Banyak gereja yang sampai saat ini berupaya mendirikan sekolah katekisasi atau
sekolah teologi untuk mendidik umat Kristen yang ingin mendedikasikan dirinya
untuk menjadi pelayan Tuhan. Sarana katekisasi adalah sarana pendidikan umat
yang tidak bisa tidak dilakukan oleh gereja, sebab katekisasi adalah syarat mutlak
yang harus dipenuhi oleh umat sebelum menerima sakramen baptisan. Melalui
katekisasi, didikan dan berbagai pemahaman diberikan sehingga umat dapat belajar
tentang arti menjadi murid yang sesungguhnya dalam setiap aspek kehidupan.
Demikian halnya dengan ibadah komunal yang terus dijalankan oleh gereja hingga
saat ini, sebab ibadah komunal adalah identitas gereja. Tanpa ibadah, gereja tidak
dapat disebut sebagai gereja, sebab eksistensi gereja ditandai dari aktivitas ibadah
komunalnya.
Meskipun ketiga sarana tersebut terus diupayakan oleh gereja, ironisnya saat
ini ibadah komunal tidak lagi dipandang sebagai wadah pendidikan untuk
membelajarkan umat. Pada kenyataannya, ibadah komunal saat ini lebih
menekankan aspek pujian, penyembahan dan persekutuan sehingga ibadah
komunal tidak lagi dilihat sebagai sarana pembelajaran yang berdampak pada
pembentukan umat. Padahal, ibadah komunal memiliki kekuatan formatif yang
dapat mentransformasi kehidupan umat secara holistik. Sebagaimana yang
5
dikatakan oleh John D. Witvliet bahwa “idealnya, ibadah komunal seharusnya
memuat fitur ekspresi dan formatif.”11
Para ahli seperti Clayton J. Schmit, D. A. Carson, Jeffrey A. Truscott, dan
Robert E. Webber mengatakan bahwa penekanan hanya pada satu atau dua aspek
dalam ibadah tidak terlepas dari simplifikasi dalam mendefinisikan ibadah
komunal.12 Sebagaimana Carson mengatakan bahwa permasalahan utama yang
ditemukan di dalam ibadah saat ini bukan pada peralihan “style” atau gaya ibadah,
melainkan pada pengertian tentang ibadah itu sendiri.13 Ibadah disederhanakan
artinya sebagai sebuah pertemuan untuk memberikan penyembahan dan
mengadakan persekutuan sebagai saudara seiman. Akibatnya, ibadah komunal
hanya dipahami sebagai aktivitas yang dikerjakan oleh umat, yang ditujukan kepada
Allah. Demikian halnya dengan Truscott yang mengatakan bahwa pengertian
semacam ini adalah sebuah persoalan karena “ibadah memberi kesan bahwa apa
yang terjadi dalam kebaktian Minggu adalah murni aktivitas kita [umat Kristen].”14
Tidak dapat dipungkiri, perubahan perspektif terhadap pendidikan yang
mengakibatkan orang-orang menjadi keliru dalam memahami pembelajaran juga
11. John D. Witvliet, pengantar pada What Language Shall I Borrow?: the Bible and Christian
Worship oleh Ronald P. Byars (Grand Rapids: William B. Eerdmands, 2008), xii. 12. Pernyataan para ahli dapat dilihat dalam tulisannya sebagai berikut. Clayton J. Schmit,
“Worship as a Locus for Transformation,” dalam Worship that Changes Lives: Multidisciplinary and Congregational Perspectives on Spiritual Transformation, ed. Alexis D. Abernethy (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 28; D. A. Carson, Worship: Adoration and Action (Eugene: Wipf and Stock Publishers, 2002), 13; Jeffrey A. Truscott, Worship: A Practical Guide (Singapore: Genesis Books, 2011), 7; dan Robert E. Webber, Ancient-Future Time: Forming Spirituality through Christian Year (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 27-28. Memang dalam tulisannya, beberapa ahli tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ibadah komunal telah mengalami simplifikasi definisi seperti yang dikatakan oleh D. A. Carson. Akan tetapi dari contoh kasus yang diberikan, dapat dilihat bahwa para ahli secara implisit mengakui dan membenarkan adanya simplifikasi dalam memahami definisi ibadah komunal.
13. Carson, Worship: Adoration and Action, 13. 14. Jeffrey A. Truscott, Worship: A Practical Guide (Singapore: Genesis Books, 2011), 7.
6
menjadi salah satu faktor yang membuat pembelajaran dalam ibadah jadi tereduksi.
Debra Dean Murphy mengatakan bahwa saat ini “istilah pendidikan semakin
digolongkan ke dalam citra dan metafora ekonomi (sekolah sebagai tempat untuk
melakukan transaksi, guru sebagai manajer, pembelajar sebagai konsumer, dan
seterusnya).”15 Padahal, Jack L. Seymour mengatakan bahwa “pendidikan adalah
sebuah konteks untuk memfasilitasi pembelajaran.”16 Jika pendidikan disalah
mengerti sebagai pasar ekonomi, maka pendidikan tidak lain adalah konteks untuk
memfasilitasi sebuah transaksi. Oleh karena itu, pembelajaran dipahami tidak lebih
dari sebuah peristiwa transaksi, di mana para intelektualis berperan sebagai
pemberi informasi dan murid sebagai pembeli. Dengan pemahaman seperti ini, pada
akhirnya pembelajaran tidak lain hanyalah aktivitas transmisi konten berupa
informasi. Permasalahan dalam memahami terminasi pendidikan inilah yang
akhirnya memberikan pengaruh yang cukup masif dalam kekristenan, bahkan
membuat ibadah tidak dilihat sebagai sarana belajar.
James K. A. Smith secara terang-terangan membantah konteks pendidikan
yang seperti itu dengan mengatakan bahwa “pendidikan bukanlah sesuatu yang bisa
diperdagangkan terutama dalam ide-ide abstrak yang tidak berwujud.”17
Sebenarnya secara etimologi, pendidikan tidak pernah membatasi dirinya pada
transmisi pengetahuan atau pikiran. Berdasarkan Encyclopedia of Christianity,
“pendidikan berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu educare, di mana kata ini
15. Debra Dean Murphy, Teaching that Transforms: Worship as the Heart of Christian
Education, dalam bagian prolog (Michigan: Brazos Press, 2004), 11. 16. Jack L. Seymour, Margaret Ann Crain, dan Joseph V. Crockett, Educating Christians: the
Intersection of Meaning, Learning, and Vocation (Nashville: Abingdon Press, 1993), 77. 17. James K. A. Smith, Desiring the Kingdom: Worship, Worldview, and Cultural Formation
(Grand Rapids: Baker Academic, 2009), 39.
7
berkaitan dengan proses ‘memimpin orang ke luar’, yang artinya mengembangkan
tujuan seseorang secara penuh.”18 Dari etimologi ini, dapat dipahami bahwa tujuan
dari pendidikan adalah membawa orang untuk bergerak, di mana pergerakan itu
menghasilkan perubahan untuk mencapai tujuannya. Jika dikatakan pendidikan
Kristen, itu berarti membawa orang-orang ke luar dari keberdosaannya kepada
terang keselamatan yang Allah anugerahkan melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Jadi
esensi utama dari pendidikan Kristen adalah membawa orang ke luar dari
kegelapan dosa menuju terang Allah.
Dalam ruang lingkupnya, pendidikan Kristen tidak pernah terbatas pada
lingkungan sekolah atau pun di dalam kelas. Salah satu penulis buku tentang filosofi
pendidikan Kristen, Jeff Astley, mengatakan bahwa “ada beberapa kategori aktivitas
manusia yang sulit untuk tidak terlihat di mana pun, dan salah satunya adalah
pembelajaran.”19 Oleh karena itu, jika pendidikan Kristen hanya dibatasi pada satu
ruang lingkup saja maka pembelajaran juga akan terbatas pada satu lingkungan saja,
mengingat pembelajaran terjadi di dalam konteks pendidikan Kristen. 20
Sebagaimana yang dikatakan oleh Michael J. Anthony:
Pendidikan Kristen tidak dibatasi kepada satu lingkungan pembelajaran saja, dan semua lingkungan pembelajaran dapat berkontribusi pada pertumbuhan spiritual setiap individu jika saja setiap lingkungan pembelajaran digunakan dengan intensional untuk menuntun seseorang kepada Kristus. 21
18. Ian H. Birnie, Encyclopedia of Christianity, ed. John Bowder (New York: Oxford University,
2005) s.v. “Education.” 19. Jeff Astley, The Philosophy of Christian Religious Education (Birmingham: Religious
Education Press, 1994), 11. 20. Sebagaimana yang dikatakan oleh Seymour, Crain, dan Crockett, dalam Educating
Christians, 77. 21. James R. Estep Jr., Michael J. Anthony, dan Gregg R. Allison, A Theology for Christian
Education (Nashville: B&H Publishing, 2010), 18.
8
Jika pembelajaran adalah aktivitas manusia yang tidak terbatas pada satu
lingkungan saja, seharusnya pembelajaran adalah aktivitas yang tampak jelas di
dalam ibadah komunal. Pembelajaran yang terjadi di dalam ibadah komunal
sesungguhnya dapat digunakan secara intensional untuk membentuk seluruh aspek
kehidupan umat, baik itu aspek iman, spiritualitas, maupun membentuk karakter
umat menuju keserupaan dengan Kristus.
Pembelajaran yang membentuk karakter sesungguhnya tidak boleh hanya
sampai pada tahap transmisi informasi saja. Penekanan terhadap aspek kognitif saja
tidak dapat sepenuhnya menjamin terjadinya perubahan dalam kehidupan umat.
Pembelajaran yang sesungguhnya seharusnya dapat menghubungkan antara
pengetahuan dengan tindakan. Jika korelasi antara pengetahuan dan tindakan tidak
dapat terjadi dalam pembelajaran maka pembentukan karakter tidak dapat terjadi.
Oleh karena itu, ketika seseorang mengalami pembelajaran, seharusnya seluruh
entitas atau aspek hidupnya sebagai pribadi juga ikut terlibat di dalam
pembelajaran itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Martha M. Leypoldt:
Ketika seseorang telah belajar, dia adalah seseorang yang telah diubahkan: dia ditransformasi. Ketika pembelajaran terjadi, kita mengubah keseluruhan pribadi kita. Kita tidak terbagi-bagi ke dalam entitas fisik, mental, emosional, psikologikal, dan spiritual: kita adalah seorang pribadi dengan berbagai aspek kehidupan. 22
Pembelajaran yang melibatkan seluruh aspek kehidupan sesungguhnya
dapat terlihat di dalam ibadah komunal. Oleh karena itu, pembelajaran yang terjadi
dalam ibadah komunal yang dilakukan oleh umat Kristen sudah seharusnya dapat
22. Martha M. Leypoldt, Learning is Change: Adult Education in the Church (Valley Forge:
Judson Press, 1971), 27.
9
membentuk karakter umat, karena proses pembentukan karakter juga melibatkan
seluruh aspek kehidupan umat.
Terdapat tiga aspek yang dilibatkan dalam pembentukan karakter, yaitu
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Melalui pembelajaran dalam ibadah
komunal, ketiga aspek tersebut dapat mengalami pembentukan karena
pembelajaran itu sendiri melibatkan aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek
psikomotorik. Pembelajaran yang melibatkan aspek kehidupan manusia secara
holistik dapat ditemukan dalam setiap komponen yang ada dalam ibadah komunal.
Melalui pembelajaran untuk pembentukan karakter yang terdapat dalam setiap
komponen ibadah komunal, transformasi hidup yang holistik niscaya terjadi karena
melibatkan entitas pribadi secara holistik.
Sebagai institusi yang dipanggil untuk berpartisipasi di dalam transformasi
hidup setiap umat Kristen, sudah sepatutnya bagi gereja untuk mengupayakan
pembentukan karakter umat. Gereja harus menyadari keberadaan umat sebagai
pribadi yang membutuhkan transformasi hidup yang holistik. Umat Kristen
bukanlah tong tidak berisi yang datang hanya untuk diisi dengan berbagai
informasi. Jika pembelajaran yang holistik tidak terjadi, umat tidak akan mengalami
perubahan atau transformasi di dalam hidupnya. Oleh karena itu, gereja sebagai
mitra kerja Allah di dunia harus memiliki pemahaman akan konsep ibadah sebagai
sarana pembelajaran yang dapat membentuk karakter umat Kristen.
Jika gereja sungguh-sungguh menghendaki transformasi yang holistik dalam
kehidupan umat Kristen maka seharusnya konsep itu tidak berhenti pada
10
pemahaman saja. Gereja juga harus mengerti bagaimana merealisasikan konsep
tersebut melalui desain ibadah yang dibuat secara intensional.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas,
rumusan permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini adalah:
1. Pendidikan Kristen di dalam sejarah gereja menggunakan tiga wadah
pokok untuk membelajarkan jemaat, yaitu sekolah katekisasi,
katekumenat, dan ibadah komunal. Namun saat ini ibadah komunal tidak
lagi dilihat sebagai sarana pembelajaran karena penyederhanaan ibadah
komunal hanya sebagai penyembahan dan persekutuan. Oleh karena itu,
dibutuhkan penjelasan mengenai ibadah secara teologis dan historis
sehingga ibadah dapat dilihat sebagai sarana pembelajaran bagi umat.
2. Jika ibadah komunal tidak dilihat sebagai sarana pembelajaran maka
ibadah komunal yang dilakukan tidak akan secara optimal memberikan
dampak kepada pembentukan umat, termasuk pembentukan karakter.
Padahal, sebenarnya terdapat unsur-unsur yang menyokong
pembelajaran di dalam ibadah komunal, di mana pembelajaran itu
memiliki korelasi dengan pembentukan karakter. Oleh karena itu,
dibutuhkan penjelasan tentang pembentukan karakter dan bagaimana
pembentukan karakter umat dapat terjadi melalui setiap unsur dalam
ibadah komunal.
11
3. Jika pembentukan karakter dapat terjadi melalui setiap unsur yang
terdapat dalam ibadah komunal, seharusnya gereja dapat mendesain
secara intensional setiap unsur itu sebagai sarana pembentukan karakter.
Oleh karena itu, dibutuhkan strategi dalam mendesain setiap unsur
sehingga pembentukan karakter umat dapat terjadi dalam ibadah
komunal.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Menjelaskan secara teologis dan historis apa yang dimaksud dengan ibadah
sebagai sarana pembelajaran.
2. Menjelaskan tentang pembentukan karakter dan bagaimana pembelajaran
melalui setiap unsur dalam ibadah komunal dapat mempengaruhi
pembentukan karakter.
3. Mengusulkan strategi dalam menggunakan setiap unsur dalam ibadah
komunal sehingga gereja dapat secara intensional mendesain ibadah
komunal yang membelajarkan untuk membentuk karakter umat.
Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif merupakan metode yang
digunakan untuk meninjau fenomena yang sedang terjadi di sekitar manusia.
12
Tinjauan terhadap fenomena yang sedang terjadi dilakukan dengan cara mengkaji
berbagai studi dan kumpulan berbagai jenis materi yang bersifat empiris. Hasil
penelitan tersebut kemudian disajikan dalam rincian persoalan secara naratif.23
Oleh karena itu, untuk menjawab fenomena yang sedang terjadi, penulisan ini
dilakukan berdasarkan studi terhadap berbagai literatur seperti buku dan jurnal,
sumber di internet, dan berbagai sumber lain yang berkaitan dengan variabel judul
tulisan ini.
Pembatasan Penulisan
Penulisan skripsi ini berfokus pada penjelasan bahwa ibadah komunal dapat
menjadi sarana pembelajaran yang dapat membentuk karakter umat Kristen.
Ibadah komunal yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ibadah komunal yang
dilakukan setiap hari Minggu oleh gereja di kalangan gereja Protestan Injili.
Umumnya, ibadah komunal dapat diikuti oleh siapa saja dan dari latar belakang
mana saja. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan membahas tentang bagaimana cara
belajar seseorang secara spesifik yang berdasarkan usia atau latar belakang
tertentu. Proses pembelajaran yang dipaparkan dalam tulisan ini adalah proses
pembelajaran yang terjadi secara umum.
22. Septiawan Santana K., Menulis Ilmiah: Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Pustaka
Obor, 2010), 5 dan 46.
13
Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan
pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan, pokok permasalahan,
tujuan penulisan, pembatasan penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab
kedua, penulis akan menjelaskan konsep ibadah secara teologis dan historis untuk
dapat memahami ibadah sebagai wadah pembelajaran umat. Pada bab ketiga,
penulis akan menjelaskan bagaimana pembentukan karakter dapat terjadi melalui
setiap unsur yang terdapat dalam ibadah komunal. Pada bab keempat, penulis akan
mengusulkan strategi dalam menggunakan setiap unsur yang ada dalam ibadah
komunal sehingga gereja dapat secara intensional mendesain ibadah yang
membelajarkan untuk membentuk karakter umat. Pada bab kelima penulis akan
memberikan kesimpulan dan refleksi dari seluruh tulisan ini.
14
BAB DUA
IBADAH KOMUNAL DAN PEMBELAJARAN
Ibadah komunal tidak hanya menjadi ruang perjumpaan Allah dengan umat
di mana umat hanya menyatakan pujian dan penyembahan, tetapi juga menjadi
ruang untuk umat dapat mengalami pembelajaran yang dapat mentransformasi
hidup. Akan tetapi, simplifikasi1 di dalam memahami ibadah komunal
mengakibatkan tidak dilihatnya ibadah komunal sebagai sarana pembelajaran. Pada
bab dua ini, penulis terlebih dahulu akan memberikan penjelasan singkat tentang
definisi ibadah komunal. Selanjutnya, penulis akan memperlihatkan perjalanan
praktik ibadah komunal yang terbentang di sepanjang sejarah. Penjelasan
perjalanan ibadah komunal ini dimulai dari ibadah komunal yang dilakukan oleh
bangsa Israel di dalam Perjanjian Lama, dilanjutkan dengan ibadah komunal yang
dilakukan dalam Perjanjian Baru. Penulis tidak akan membahas mengenai ibadah
yang dilakukan sebelum dipanggilnya bangsa Israel ke luar dari Mesir karena
ibadah yang dilakukan pada masa patriark itu tergolong ibadah secara personal.2
Setelah mengupas secara historis, selanjutnya penulis akan memaparkan
bagaimana ibadah komunal secara teologis telah menjadi lokus transformasi umat
secara holistik sejak awal terbentuknya ibadah komunal itu. Sebagai lokus
transformasi, ibadah komunal tentu melibatkan proses pembelajaran di dalamnya.
Oleh karena itu, penulis juga akan melakukan tinjauan terhadap pembelajaran di
1. Simplifikasi dalam hal ini telah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya. Penjelasan
tersebut dapat dilihat pada halaman 4-5. 2. Harold Henry Rowley, Worship in Ancient Israel: Its Forms and Meaning (Eugene: Wipf and
Stock, 1967), 37.
91
BAB LIMA
KESIMPULAN
Setelah melakukan penelusuran mengenai pembentukan karakter dalam
ibadah komunal, dapat disimpulkan bahwa ibadah komunal adalah sarana
perjumpaan Allah dengan umat yang dipanggil-Nya, di mana dalam perjumpaan itu
Allah mentransformasi kehidupan umat melalui pembelajaran yang ada di
dalamnya. Transformasi di dalam ibadah komunal terjadi melalui setiap
pembelajaran yang ada di dalamnya. Pembelajaran itu terjadi melalui setiap unsur-
unsur yang terdapat dalam ibadah komunal, yaitu instruksi, simbol, ritual, dan
komunitas iman.
Pembelajaran di dalam ibadah komunal yang melibatkan seluruh aspek
kehidupan umat, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik terkait erat dengan
pembentukan karakter. Hal ini dikarenakan proses pembentukan karakter juga
melibatkan ketiga aspek yang ada dalam pembelajaran. Oleh karena itu, sebenarnya
pembentukan karakter dapat terjadi melalui pembelajaran dalam ibadah komunal,
di mana proses pembentukan karakter dapat terjadi melalui unsur instruksi, simbol,
ritual, dan komunitas iman.
Unsur instruksi dalam ibadah komunal sesungguhnya dapat mempengaruhi
kognitif umat sehingga umat dapat memiliki pemahaman akan keutamaan yang
akan membentuk karakter. Unsur simbol dapat membawa umat kepada
penghayatan makna sehingga keutamaan yang telah dipahami dapat menjadi nilai-
nilai. Unsur ritual menjadi ruang bagi umat untuk melakukan disiplin diri atau
92
penerapan nilai-nilai secara konkrit dan secara konsisten sehingga menjadi sebuah
kebiasaan yang akan tercermin dalam karakternya. Karakter itu kemudian
dicerminkan kepada komunitas iman yang hadir bersama dengan umat dalam
ibadah komunal yang dilakukan. Komunitas iman sebagai bagian wadah bagi umat
untuk saling mendukung dalam pembentukan karakter dan dalam mencerminkan
karakter yang dibentuk.
Melihat bahwa pembentukan karakter sesungguhnya dapat terjadi dalam
ibadah komunal seharusnya membuat gereja tidak berdiam diri. Pembentukan
karakter sejatinya harus diupayakan dalam kehidupan umat Kristen, dan gereja
memiliki tanggung jawab dalam hal ini. Gereja dapat mengupayakan pembentukan
karakter tidak hanya melalui seminar atau pembinaan yang hanya menyentuh ranah
kognitif dan bahkan sering kali tidak terjadi secara konsisten dan berkala, tetapi
juga melalui ibadah komunal. Oleh karena itu, gereja seharusnya memulai untuk
mendesain pembentukan karakter dalam ibadah komunal dan menerapkannya.
Dalam membuat desain ibadah komunal yang memang ditujukan untuk
membentuk karakter umat, gereja harus memperhatikan dengan baik prinsip-
prinsip yang ada sebagai strategi untuk membentuk karakter umat. prinsip itu
mencakup merencanakannya dengan sungguh-sungguh, menggunakan keempat
unsur ibadah komunal dalam perencanaan desain ibadah, dan memperhatikan
integrasi setiap unsur dengan aspek-aspek kehidupan umat. Selain itu, gereja juga
harus mengingat bahwa fokus gereja seharusnya tidak hanya pada style ibadah,
melainkan kepada hal yang lebih esensial dalam ibadah komunal. Gereja harus
melihat apakah ibadah komunal yang diadakan itu sungguh-sungguh direncanakan
93
dan didesain untuk membentuk karakter umat dalam upaya mentransformasi
kehidupan umat.