sekolah tinggi filsafat theologi jakarta
TRANSCRIPT
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA (S E K O L A H T I N G G I T E O L O G I J A K A R T A)
Undangan: Pembicara Webinar Penelitian Program Pasca Sarjana (Magister)
STFT Jakarta
Kepada yang terhormat
Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D
(Ketua STFT Jakarta)
Di tempat.
Dengan Hormat,
Kami dari Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Filsafat Theologi
Jakarta (UPPM STFT Jakarta) akan mengadakan Webinar dengan Tema: “Perempuan, Alam, dan
Adat: Menguak Dampak Industri Global dan Program Food Estate terhadap Perempuan dan
Alam”.
Kegiatan Webinar ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh TIM PENELITI Program
Pasca Sarjana (Magister) STFT JAKARTA. Dalam webinar ini akan dibahas bagaimana peran dan
pengalaman perempuan di dalam masyarakat adat. Untuk informasi selengkapnya, kami
melampirkan TOR sebagai acuan dari kegiatan ini.
Oleh karena itu, kami mengundang Ibu dan Bapak untuk dapat menjadi narasumber/Pembicara
dalam kegiatan ini. Adapun agenda kegiatan ini seperti penjelasan di bawah ini:
Hari dan Tanggal : Sabtu, 20 Februari 2021
Waktu : 10.00 -12.00 WIB
Tempat/media : Zoom Cloud Meeting (link akan dikirimkan)
Tema : “Perempuan, Alam, dan Adat: Menguak Dampak Industri Global dan
Program Food Estate terhadap Perempuan dan Alam”
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA (S E K O L A H T I N G G I T E O L O G I J A K A R T A)
Pembicara : 1. Mak Kasih (Tokoh perempuan Orang Akit di desa Teluk Setimbul
Kepri),
2. Pdt. Septemmy Lakawa, Th.D. (Ketua STFT Jakarta),
3. Dr. Saur Tumiur Simatupang (Komisioner Komnas Perempuan)
Moderator : Pdt. Meilanny Risamasu (tim peneliti STFT Jakarta)
Host : UPPM dan PKGST STFT Jakarta
Demikian permohonan dan undangan kami ini, atas dukungan dan kerjasamanya kami sampaikan
terima kasih. Untuk informasi selanjutnya terkait kegiatan tersebut, sila menghubungi Sdri.
Christina Dameria (Hp: 0817 5100 114) atau sdri. Meilanny Risamasu (Hp. 08127 0013 979.
Jakarta, 11 Februari 2021
Danang Kurniawan, M.A.R.S Kepala UPPM STFT Jakarta
Kerangka Acuan Sarasehan daring Web Binar Seri-1
“Perempuan, Alam, dan Adat: Menguak Dampak Industri Global dan Program FoodEstate terhadap Perempuan dan Alam”
Latar belakang
Selagi modernitas bermutasi menjadi posmodernitas di dunia Barat, neokolonialismemewujud dalam bentuk globalisasi yang menguasai pasar dan kapital. Kwok Pui-lan, seorangteolog feminis Asia, mendasari pendapatnya di atas berbasis penelitian panjang danpengalamannya sebagai seorang perempuan Asia. Konstruksi biner terhadap manusia dan alamdalam konteks globalisasi menempatkan perempuan dan alam sebagai pihak yang palingdirugikan.
Perempuan dalam masyarakat adat di Indonesia adalah subjek yang pengalamannyasecara interseksional mengungkap praktik-praktik ketidakadilan terhadap manusia dan alam. Disatu pihak, perempuan dalam masyarakat adat secara historis memiliki relasi dan akses yang luasterhadap sumber-sumber alam. Namun, globalisasi menyudutkan perempuan sedemikian rupasehingga tidak saja mereka dijauhkan dari ruang yang memberi akses pada keberlangsunganhidup tetapi mereka juga ditarik masuk dalam ruang domestik yang menghilangkan suara dansejarah mereka sebagai subjek mandiri di alam. Perempuan dalam konteks masyarakat adatmengalami perubahan dan pergeseran.
Dalam konteks program nasional Food Estate yang semarak, pesatnya pertumbuhanindustri lokal dan global, dan memerhatikan UU Cipta Kerja, alam menjadi sumber daya terbesaryang diharapkan mampu menopang kebutuhan hidup manusia di masa ini dan di masa depan.Namun, kita perlu mendapatkan informasi yang jelas tentang sejauh mana program Nasional danperkembangan industri akan berdampak pada alam dan masyarakat adat, khususnya perempuan?
Tujuan Sarasehan daring (web binar):
Pelaksanaan sarasehan daring (web binar) ini bertujuan untuk:
1. Mengungkap pengalaman perempuan dari masyarakat adat yang terdampak langsungperkembangan industri global.
2. Mendengar temuan-temuan di lapangan tentang praktik-praktik eksploitatif terhadap alamyang berdampak buruk terhadap masyarakat adat, khususnya perempuan.
3. Mendapatkan pemahaman tentang sejauh mana kajian ekofeminis dan ekoteologimenolong tokoh masyarakat, institusi sosial-spiritual, kaum ulama, dan warga masyarakatmengambil langkah dan kebijakan yang berpihak pada keberlangsungan hidup manusiadan alam.
Pertanyaan Pengarah:
1. Sejauh mana praktik-praktik mengeksploitasi alam berdampak pada perempuan?
2. Adakah temuan di lapangan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam konteksberkembangnya industri-industri lokal-global berbasis sumber daya alam?
3. Sejauh mana agensi perempuan merespons isu kerusakan alam adalah prioritas yangdiwujudkan demi keberlangsungan hidup manusia dan alam?
Pelaksanaan:
Hari dan Tanggal: Sabtu, 20 Februari 2021Waktu: 10.00 -12.00 WIBTempat/media: daring melalui zoom cloud meeting
Meeting ID: 886 3103 0295 dengan Passcode: 377658Tema: “Perempuan, Alam, dan Adat: Menguak Dampak Industri Global
dan Program Food Estate terhadap Perempuan dan Alam”Pembicara: Mak Kasih (tokoh perempuan Orang Akit di desa Teluk Setimbul Kepri),
Pdt. Septemmy Lakawa, Th.D. (Dosen dan Ketua STFT Jakarta),Saur Tumiur Situmorang, SH, MCD (Aktivis Perempuan Pembela HAM;Komisioner Komnas Perempuan Periode 2010- 2014 & 2015-2019)
Moderator: Pdt. Meilanny Risamasu (tim peneliti STFT Jakarta)Host: UPPM dan PKGST STFT Jakarta
1
Webinar
Unit Pelatihan dan Pengabdian Masyarakat dan Pusat Kajian Gender, Seksualitas,
dan Trauma STFT Jakarta dan Peruati Jabodetabek
“Perempuan, Adat dan Alam: Menguak Dampak Industri Global
dan Program Food Estate terhadap Perempuan dan Alam”
Sabtu, 20 Februari 2021
Alam, Perempuan, dan Adat: Resiliensi Ekologis-Sosial
(Sebuah Perspektif Teologis Feminis Kristen)
Oleh: Septemmy E. Lakawa, Th.D.
Alam, perempuan dan adat adalah tiga hal penting yang dipercakapkan dalam
wacana ekologi yang menjadi fokus dalam webinar ini. Secara khusus saya hendak
berfokus pada keterkaitan tiga hal tersebut yang berperan dalam membangun resiliensi
ekologis dan sosial kita dan gereja. Untuk membahas isu yang kompleks ini, sebuah
perspektif teologis feminis Kristen saya gunakan untuk setidaknya menolong kita
melihat, apakah agama atau gereja berkontribusi terhadap hilangnya kesadaran
ekologis atau sebaliknya kehadirannya memberikan kontribusi untuk memperkuat
kesadaran tersebut. Perspektif teologi feminis Kristen mestinya menjadi salah satu cara
pandang yang menolong gereja untuk membangun kesadaran ekologis-sosial yang
berujung pada upaya menemukan solusi dari persoalan alam seperti dampak industri
global dan food estate bagi alam dan perempuan.
Alam, perempuan dan adat: Sudah Kudengar dari Ibuku
Saya mengawali percakapan tentang alam, perempuan dan adat ini dengan
narasi personal saya. Narasi ini lahir dari pengalaman saya sebagai seorang hibrid yang
2
lahir dan besar di Kendari, Sulawesi Tenggara yang mendengar kisah dari ibu saya
tentang nenek saya yang bernama Blandina Eidja Andries. Blandina Eidha Andries
adalah seorang perempuan Bugis Bone yang berlatar belakang keluarga Muslim. Ia
adalah seorang perempuan yang hidup mandiri secara khusus ekonomi, yang memiliki
toko dan lahan kopra. Hal yang menarik dari hidup seorang Blandina Eidha Andries
adalah keakraban dan kedekatannya dengan alam. Dalam tradisi Bugis yang masih
dipelihara, ia memiliki saudara kembar yang adalah seekor budaya yang hidup di laut.
Hal ini membuatnya menjadi sangat dekat dengan laut dan berdampingan dengan roh-
roh yang menolongnya ketika melakukan perjalanan ke laut. Saat ia meninggal, salah
satu ritual yang dilakukan oleh keluarga dari tradisi Bugis adalah membawa banyak
makanan ke area laut yang bertujuan untuk menyampaikan pada saudara kembarnya
bahwa ia telah pergi. Kisah ini bagi saya memberi jejak bahwa kehidupan alam dan
perempuan bukan sesuatu yang asing bagi saya. Kisah tersebut berakar dalam
kehidupan saya dan memengaruhi cara saya berteologi.
Cerita yang Terlupakan: Pengalaman Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara
Kisah lain yang ingin saya perlihatkan adalah kisah masyarakat suku Tolaki di
Sulawesi Tenggara yang tidak banyak diketahui dan dikenal di Indonesia. Hal ini
karena kisah mereka tidak diberi tempat di ruang publik yang memungkinkan untuk
diketahui dan diakses oleh banyak orang. Padahal kisah mereka menceritakan
pengalaman hidup yang dekat dengan alam. Salah satunya adalah pengalaman hidup
masyarakat Tolaki yang lekat dengan simbol Kalosara. Simbol Kalosara menceritakan
tentang kehidupan petani yang tinggal di wilayah daratan yang dekat pada alam.
Kalosara adalah wadah yang terbuat dari anyaman yang berasal dari dedaunan
yang tumbuh di wilayah tempat masyarakat Tolaki tinggal yaitu di daratan Sulawesi
Tenggara. Kalosara terdiri dari kain putih yang berarti kesucian dan lingkaran yang
3
terbuat dari tiga rotan yang dipilin yang memiliki ujung. Lingkaran tersebut
menggambarkan ikatan yang harmonis di dalam masyarakat.
Kalosara menjadi simbol yang khas dalam masyarakat suku Tolaki terutama
yang berkaitan dengan kehidupan individu dan komunitas. Kolasara umumnya
dipakai sebagai simbol untuk mengatasi konflik. Jika terdapat konflik antar suku dan
keluarga, kalosari digunakan sebagai media perdamaian yang diberikan kepada orang
yang menjadi korban. Secara moral dan adat, orang yang melihat dan hendak diberikan
kalung Kalosara harus menerimanya karena hal tersebut menjadi sesuatu yang bersifat
imperatif.
Simbol Kalosara yang dimiliki masyarakat suku Tolaki adalah kearifan lokal
yang memperlihatkan kepada kita bahwa model etika hidup di dalam masyarakat
sudah diatur dengan simbol-simbol yang berasal dari alam. Simbol yang mengandung
etika hidup tersebut bahkan digunakan oleh Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara
(Gepsultra) sebagai lambang gereja pada era 1970-1980, yang pada saat bersamaan
sebuah teologi yaitu teologi pedesaan sedang berkembang di dalam gereja. Teologi
pedesaan yang dikembangkan oleh Gepsultra adalah teologi yang berangkat dari
konteks jemaat yang sebagian besar hidup di pedesaan. Dengan mengembangkan
teologi pedesaan tersebut, gereja pada saat itu belajar dan mendapat inspirasi untuk
bertahan, berjuang dan bertumbuh dari kehidupan masyarakat yang dekat dengan
alam. Namun pada saat ini Gepsultra melupakan teologi pedesaan yang pernah
berkembang tersebut sehingga membuatnya kehilangan daya lenting atau resiliensi.
Kemampuan gereja untuk beradaptasi dan berkembang di tengah krisis akan hilang
ketika ia melupakan alam sebagai inspirasi resiliensi.
Kisah personal dan kolektif yang saya paparkan di atas adalah beberapa kisah
dari banyak kisah yang menjadi kekayaan masyarakat adat. Namun sering kali kisah-
kisah tersebut tidak diberi ruang pada teologi gereja dan menjadi terpinggir. Hal ini
menjadi salah satu penyebab gereja merasa tidak memiliki tanggung jawab pada
4
persoalan alam dan tidak memiliki kesiapan dan kesediaan dalam merumuskan
pemaknaan teologis dalam konteks kesadaran semesta. Untuk itu sebuah perspektif
dari teologi Kristen mesti digali oleh gereja untuk menemukan cara yang tepat dalam
merespons isu-isu ekologis.
Alam dari Perspektif Teologi Kristen
Berkaitan dengan kekayaan alam, selama ini kita sering menyebutnya dengan
sumber daya alam (SDA). Namun kisah personal dan kolektif yang sudah diceritakan di
atas mengajak kita untuk mengkritisi kembali penyebutan klasik tersebut dan menjadi
dasar kita bertanya apakah alam hadir hanya untuk menjadi sumber daya bagi
manusia? Apakah dari perspektif teologi Kristen alam diciptakan untuk melayani
kebutuhan manusia? Hal yang menjadi persoalan adalah jika alam dilihat hanya
sebagai sumber yang diberdayakan untuk manusia. Cara pandang seperti ini menjadi
salah satu penyebab adanya praktik yang dilakukan gereja maupun komunitas agama
lainnya yang meminggirkan alam. Alam dilihat sebagai objek semata yang hanya
berfungsi jika ia dapat digunakan demi kepentingan manusia.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa manusia tetap membutuhkan sumber-
sumber alami, namun dalam rangka penggunaannya, perspektif tentang relasi alam
dan manusia terlebih dahulu harus diperbaiki. Hal ini karena melihat alam sebagai
sumber bagi manusia berarti membangun relasi manusia dan alam yang hanya bersifat
fungsional semata dan berorientasi pasar. Oleh karena itu kita perlu melihat kembali
dari sisi teologi Kristen bahwa alam sebagai pemberi (giver) dan manusia adalah pihak
yang meminta dan menerima (receiver). Namun ketika relasi tersebut dibalik atau
diubah, maka kita menikmati “hasil” dari peminggiran alam tersebut.
Sebagai contoh, Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia mengalami banjir
besar. Kejadian tersebut merupakan hasil atau dampak dari praktik peminggiran alam,
di mana tanah dilihat hanya sebagai sumber yang harus digunakan dan yang perlu
5
memiliki fungsi pasar. Penyalahgunaan tanah menyebabkan daya serap tanah terhadap
air menjadi sangat berkurang sehingga menimbulkan banjir. Peristiwa banjir tersebut
memperlihatkan kepada kita bahwa relasi kita dengan alam menjadi peristiwa sehari-
hari dan dekat dengan kita. Namun relasi yang terbangun dalam keseharian manusia
dengan alam bukanlah relasi yang setara, melainkan relasi yang bersifat ekonomis,
fungsional dan pasar, yang berdampak buruk pada alam.
Persoalan teologis-ekologis di dalam kekristenan ada pada pandangan yang
monoteistik dan antroposentris yang meminggirkan alam dari interkoneksi ciptaan.
Dalam pandangan ini kita membuat hirarki dalam relasi antara Tuhan, manusia dan
alam. Tuhan dipandang sebagai pihak yang paling utama dan bukti kehadiran Tuhan
adalah dengan menghadirkan manusia yang dipandang sebagai mahkota ciptaan-Nya.
Sementara alam dipandang sebagai pihak/ciptaan yang berada di bawah manusia.
Relasi yang hirarkis ini semakin diperkuat dengan adanya persoalan kesalahan dalam
pembacaan teks Alkitab tentang penciptaan.
Pembacaan Kembali atas Kisah Penciptaan (Kejadian 1 dan 2)
Kita perlu melakukan pembacaan kembali atas kisah penciptaan khususnya
dalam Kejadian 1 dan 2 agar menemukan perspektif yang membangun kesadaran
ekologis. Dalam Kejadian 1 dan 2, manusia sebagai “tukang kebun” yang berperan
sebagai penjaga, pemelihara, perawat dan bukan “penguasa” atas alam. Dalam teks
tersebut, relasi yang dibangun antara manusia dan alam bukan relasi dosa, melainkan
relasi berkat. Namun pandangan yang mengatakan bahwa relasi manusia dan alam
adalah relasi dosa lebih mendominasi dan memengaruhi pemahaman banyak orang
Kristen. Relasi manusia dan alam yang jika di dalam cerita penciptaan dilihat sebagai
relasi dosa memberi arti bahwa manusia berdosa. Oleh karena itu, salah satu akibat dari
dosa manusia adalah keharusan manusia untuk bekerja keras yang berdampak pada
keharusan tersedianya sumber yang menjadi objek dari kerja keras manusia.
6
Pandangan ini mesti dikritik dan diluruhkan dengan membaca kembali dua versi kitab
Kejadian.
Narasi Penciptaan versi pertama
Kejadian 1:26-28
Berfirmanlah Allah: ‘baiklah kita
menjadikan manusia menurut gambar
dan rupa kita, supaya mereka berkuasa
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas ternak dan atas seluruh
bumi dan atas segala binatang melatas
yang merayap di bumi.’ Maka Allah
menciptakan manusia menurut gambar-
Nya, menurut gambar Allah diciptakan-
nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakannya mereka. Allah memberkati
mereka . . .
Narasi Penciptaan versi kedua
Kejadian 2:7, 15-18, 20-25
Ketika itulah TUHAN Allah membentuk
manusia itu dari debu tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam
hidungnya; demikianlah manusia itu
menjadi makhluk yang hidup . . .
TUHAN Allah mengambil manusia itu
dan menempatkannya dalam taman Eden
untuk mengusahakan dan memelihara
taman itu. Lalu TUHAN Allah memberi
perintah ini kepada manusia: ‘Semua
pohon dalam taman ini boleh kau makan
buahnya dengan bebas. Tetapi pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang
jahat itu, janganlah kau makan buahnya,
sebab pada hari engkau memakannya,
pastilah engkau mati. TUHAN Allah
berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja. Aku akan menjadikan
penolong baginya yang sepadan dengan
dia.’ . . . Manusia itu memberi nama
kepada segala ternak . . . tetapi baginya
sendiri ia tidak menjumpai penolong
yang sepadan dengan Dia. Lalu TUHAN
Allah membuat manusia itu tidur
nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah
mengambil salah satu rusuk dari
padanya, lalu menutup tempat itu
7
dengan daging. Dan dari rusuk yang
diambil TUHAN Allah dari manusia itu,
dibangun-Nyalah seorang perempuan,
lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
Lalu berkatalah manusia itu: Inilah dia,
tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. Ia akan dinamai perempuan,
sebab ia diambil dari laki-laki itu.
Kisah penciptaan dalam Kejadian 1 adalah kisah tentang Allah yang memberkati
manusia. Teks tersebut tidak membahas kisah manusia yang berdosa. Di dalam kisah
penciptaan bahkan ketika manusia masih berada di dalam taman Eden, konsep dosa
tidak muncul atau tidak disebutkan. Namun banyak gereja hingga saat ini masih
mempertahankan konsep dosa yang dipandang sudah muncul dalam Kejadian 1.
Perspektif dan konsep dosa ini yang pada akhirnya digunakan untuk menjelaskan
relasi manusia dan alam. Sementara itu jika kita melihat kisah dalam Kejadian 2,
dikatakan bahwa TUHAN Allah mengambil manusia dan menempatkannya dalam
taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman tersebut. Tugas pertama
yang perlu dilakukan manusia bukan untuk menguasai, mendominasi dan
mengeksploitasi taman melainkan memelihara dan mempertahankannya.
Jika kita melihat lebih mendalam narasi penciptaan versi kedua diperlihatkan
dengan jelas bahwa:
1. Tuhan menciptakan manusia dengan satu tujuan yaitu mengusahakan dan
memelihara taman Eden. Gambaran manusia sebagai penguasa mesti diubah
karena sejak pertama tugas manusia adalah menjadi “tukang kebun”.
8
2. Tuhan melihat bahwa manusia tidak dapat menjalankan perannya sebagai
“tukang kebun” seorang diri saja sehingga Ia berinisiatif menciptakan penolong
yang sepadan (Ibrani: ezer kenegdo), yang menunjuk kepada perempuan. Kata ezer
(azar, ezrah) memiliki arti penolong, penyelamat hidup, dan juruselamat. Di sini
perempuan tidak dilihat sebagai ciptaan kedua yang memiliki status lebih
rendah atau lebih tinggi daripada laki-laki karena kata ezer sendiri dalam
konteks lain di dalam teks Hakim-hakim 5:23, sebenarnya menunjuk pada fungsi
bukan pada status. Pada bagian Alkitab yang lain, misalnya dalam Ulangan 33:7
(wə-‘ê-zer), 29 (‘ez-re-ḵā), kata ezer yaitu sang penolong umumnya diberikan pada
YHWH (TUHAN Allah). Di sini ditegaskan bahwa kehadiran Allah dalam
ciptaan-Nya adalah sebagai sosok penolong dan penyelamat ciptaan-Nya.
3. Kata ezer, sang penolong tidak dilihat memiliki status yang lebih rendah
daripada sosok yang ditolong. Tanggung jawab menjadi tukang kebun
merupakan tanggung jawab kolektif atau bersama dan perempuan hadir untuk
memperlihatkan tanggung jawab tersebut. Tugas manusia untuk memelihara
taman Eden merupakan tugas yang besar sehingga menjadi tugas pertama
manusia yang sekaligus memperlihatkan kepada kita adanya peran dan fungsi
manusia sebagai makhluk sosial.
4. Di dalam kisah penciptaan, ketika Allah menciptakan ciptaan dengan
berpasangan, sebenarnya mengarahkan pada relasi yang setara dan sepadan.
Hal ini berarti manusia mesti memiliki relasi yang setara dengan ciptaan lainnya.
Kesetaraan dalam relasi menjadi salah satu inti dari narasi penciptaan versi
kedua.
Berkat Asali (Original Blessing): Relasi Semesta-Etika Ekologis.
Pembacaan kisah penciptaan yang umumnya dilihat sebagai kisah dosa asali
perlu dipahami kembali dengan perspektif yang berbeda. Danielle Shroyer dalam
9
bukunya yang berjudul Original Blessings: Putting Sin in Its Rightful Place memiliki
pandangan yang berbeda tentang kisah penciptaan. Ia membahas tentang berkat asali
yang dapat kita temukan dalam kisah penciptaan. Baginya kisah penciptaan adalah
cerita tentang berkat. Menurutnya dalam kisah penciptaan diperlihatkan bahwa Allah
memberkati manusia, sekalipun manusia melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
disepakati dengan Allah sebagai penciptanya.
Menurut Shroyer, kisah penciptaan sebagai kisah tentang berkat Allah berarti
kisah yang membahas tentang anugerah, pengampunan dan belarasa Allah kepada
ciptaan-Nya. Ia mengatakan bahwa berkat [Ibr: berakah.barak] merupakan “hak
prerogatif Allah”. Di dalam Kejadian 1:27-28a disebutkan bahwa “Allah memberkati
mereka”. Sementara di dalam Kejadian 3:21 dikatakan bahwa “dan TUHAN Allah
membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk istrinya itu, lalu
mengenakannya kepada mereka..”. Menurut Peter B. Ely yang sejalan dengan
pandangan Shroyer berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah tindakan belarasa
Allah.
Jika kita berbicara tentang kisah penciptaan sebagai narasi dosa asali, maka kita
juga berbicara tentang hidup yang mengarah kepada kehancuran. Hal ini menimbulkan
pertanyaan tentang apakah manusia tidak dapat menghasilkan kebaikan? Apakah
kebaikan Allah tidak ada di dalam diri ciptaan-Nya yang dipandang berdosa? Namun
jika kita melihat kisah penciptaan sebagai narasi berkat asali, perspektif kita mengarah
pada kebaikan yang dapat muncul di dalam diri ciptaan Allah yang juga
memperlihatkan kebaikan dan berkat Allah.
Banyak konsep teologis yang perlu kita pikirkan kembali, terutama jika kita
membahas tentang narasi penciptaan yang sebenarnya menceritakan manusia dan
relasinya dengan alam semesta. Dalam Kejadian 1:27 dikatakan “maka Allah
menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka.” Hal ini berarti bahwa setiap
10
ciptaan-Nya yang berada dalam relasi dengan Allah memiliki potensi kebaikan karena
semua yang diciptakan Allah dipandang baik oleh-Nya. Oleh karena semua ciptaan
Allah adalah baik adanya, maka kebaikan tersebut muncul dalam relasi antar ciptaan
Allah, termasuk antara manusia dan alam.
Kisah penciptaan menceritakan tentang peran manusia baik laki-laki maupun
perempuan yang setara dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab ekologisnya.
Tidak ada hirarkis dalam relasi perempuan dan laki-laki, melainkan relasi fungsional
untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai “tukang kebun”. Baik perempuan
maupun laki-laki diciptakan setara dan memiliki peran kolektif untuk mengusahakan
kebaikan alam semesta. Jika kita masih menggunakan pandangan bahwa perempuan
adalah ciptaan kedua dan memiliki status yang lebih rendah dari pada ciptaan pertama
yaitu laki-laki, maka pembenaran untuk merendahkan perempuan semakin menguat.
Jika kita memandang bahwa yang paling berkuasa adalah laki-laki atas perempuan dan
alam, maka suara perempuan khususnya perempuan lokal yang hidupnya dekat
dengan alam menjadi diabaikan dan alam dipinggirkan. Kisah penciptaan sebenarnya
adalah kisah yang berbicara tentang manusia (laki-laki dan perempuan) yang
relasional, bukan yang hirarkis-patriarkis, baik terhadap sesama manusia maupun
dengan alam yang diciptakan Allah.
Pemahaman yang berfokus pada kisah penciptaan sebagai narasi dosa dibanding
narasi berkat asali ternyata berkolerasi dengan kegagalan teologi untuk mengkritik
keberadaan gereja dalam menyikapi isu ekologis. Salah satu akar dari kegagalan gereja
dalam merespons persoalan ekologis adalah skema teologis yang tetap menempatkan
bukan hanya perempuan di bawah tetapi alam yang mendukung relasi yang tidak adil
tersebut. Oleh karena itu pemahaman bahwa alam tidak pernah menjadi sumber yang
diciptakan Tuhan untuk mendukung manusia perlu diluruhkan, karena justru alam
dan manusia memiliki relasi yang setara, yaitu saling menjaga. Menurut saya dari
pandangan relasi yang setara, tanggung jawab ekologis manusia dapat menjadi
11
perspektif baru yang dikaji dari kisah penciptaan dalam Kejadian. Hal ini pada
akhirnya akan menolong gereja untuk menyadari bahwa kerusakan yang terjadi pada
alam yang berdampak pada kehidupan khususnya perempuan lokal merupakan
tanggung jawab gereja. Gereja bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan bagi
alam dan juga para perempuan.
Resiliensi ekologis-sosial
Saya menawarkan konsep resiliensi ekologis dan sosial dengan tujuan untuk
mengatakan bahwa kita percaya bahwa alam adalah bagian dari oikonomia Allah—oikos
(rumah tangga) yang dikelola/diatur (nomos) untuk mencerminkan keadilan,
kesejahteraan, dan kecukupan bagi semua ciptaan-Nya. Relasi yang adil dengan alam
akan berimplikasi pada relasi yang adil dengan semua. Relasi yang saling memberkati
dan yang menciptakan keadilan bagi semua ciptaan adalah basis dari resiliensi sosial
yang berkesinambungan. Kedaulatan pangan, yang memberi ruang bagi perempuan
dan masyarakat lokal berdaulat menjadi cermin keadilan sosial yang merupakan bagian
dari sila Pancasila. Untuk mencapai keadilan tersebut, adat berperan sebagai lokus
resiliensi ekologis-sosial yang memampukan masyarakat untuk dapat memiliki
kemampuan yaitu daya lenting, daya tumbuh dan kembang dalam merespons krisis
(alam) yang terjadi. Dari hal tersebut, spiritualitas resiliensi berakar dari sebuah etika
semesta yang ekologis, yang sosial dan yang mampu mewujudkan keadilan kosmik.
Hal ini juga berarti bahwa kita termasuk masyarakat lokal dapat bertahan hanya jika
alam bertahan, dan alam secara alami memperlihatkan proses resiliensi tersebut.
Rujukan:
Ely, Peter B. Adam and Eve in Scripture, Theology, and Literature: Sin, Compassion, and
Forgiveness. London: Lexington Books, 2018.
12
Pink, Thomas. Free Will: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press,
2004.
Shroyer, Danielle. Original Blessing: Putting Sin in Its Rightful Place. Minneapolis:
Fortress, 2016.
6
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI NARASUMBERWEBINAR PENELITIAN STFT JAKARTA
JAKARTA, 20 FEBRUARI 2021
1. Sebagai dosen tetap STFT Jakarta dan sebagai ketua tim peneliti Dana Hibah Kemenristek DIKTIatas penelitian tim dosen dan mahasiswa Program Studi Magister Teologi STFT Jakarta, sayadiundang untuk memberi materi pada salah satu luaran penelitian yaitu serial webinar terkaittema teologi ekofeminis.
2. Webinar tersebut diselenggarakan oleh Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat(UPPM) STFT Jakarta bekerja sama dengan tim peneliti.
3. Seri pertama dari Webinar tersebut, yang diselenggarakan pada 20 Februari 2021, bertema“Perempuan, Alam, dan Adat: Menguak Dampak Industri Global dan Program Food Estateterhadap Perempuan dan Alam.”
4. Saya menyampaikan materi berjudul “Alam, Perempuan, dan Adat: Resiliensi Ekologis-Sosial(Sebuah Perspektif Teologi-Feminis Kristen). Dengan mendialogkan beberapa sumber: Alkitab(kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian), narasi lokal tentang resiliensi (suku Tolaki di SulawesiTenggara), saya menawarkan sebuah perspektif dalam menafsirkan kembali tradisi danpengajaran gereja tentang penciptaan manusia dengan menawarkan sudut pandang “berkat”ketimbang “dosa dan hukuman.” Sudut pandang ini memperlihatkan relasi yang lebih adil,menghargai, antara laki-laki dan perempuan; antara perempuan dan alam; dan manusia danalam. Resiliensi ekologis-sosial merupakan perspektif baru tersebut yang memperlihatkanketerkaitan antara tanggung jawab ekologis dan tanggung jawab sosial, yang dimulai darihubungan yang adil di antara manusia dan terbangunnya daya lenting, daya adaptif, dan dayajuang untuk memastikan keberlangsungan hidup alam dan, pada akhirnya, manusia.
5. Selain saya, ada dua orang narasumber lain yang menjadi pemateri, yaitu seorang aktivisperempuan yang berfokus pada isu alam, dan seorang tokoh dan pelaku ekonomi yangberorientasi ekologis.
6. Webinar ini dilakukan melalui zoom dan ditayangkan juga di akun Youtube STFT Jakarta.Webinar berlangsung selama 3 jam dan diikuti oleh sekitar 50 peserta yang berasal dari berbagaidaerah di Indonesia. Diskusi berjalan dengan baik yang tampak dari antusiasme peserta dalambagian diskusi dan tanya jawab.
7. Terlampir undangan, ToR, dan materi presentasi saya.
23 Februari 2021Ketua STFT Jakarta
Septemmy E. Lakawa, Th.D.