sekilas tentang hmi

12
Latar Belakang Pendirian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan Lafran Pane pada tahun 1947 dengan dasar keprihatinan atas kondisi umat Islam yang terpecah ke berbagai aliran keagamaan dan politik, serta terjebak dalam kebodohan dan kemiskinan. Saat itu, umat Islam di Indonesia terbagi dalam tiga golongan, yaitu golongan alim ulama yang menjalankan agama sesuai ajaran Nabi, golongan alim ulama yang terpengaruh mistik serta golongan yang berusaha menyesuaikan ajaran Islam dengan kehidupan nyata bangsa Indonesia. Golongan ketiga merupakan kelompok terkecil karena menurut Pane, saat itu agama Islam belum dipelajari secara mendalam. Selain itu, pendidikan dan mahasiswa juga dipengaruhi unsur dan sistem pendidikan Barat yang mengarah pada sekularisme. 1 Untuk menuntaskan permasalahan itu, perlu ada suatu organisasi yang mewadahi mahasiswa (Islam) sebagai insan akademik bernafaskan Islam untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kadernya (mahasiswa Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT. 2 Pertentangan pada awal pendirian HMI yang menganggap Lafran Pane memecah belah mahasiswa ditanggapi Pane dengan mendatangkan penceramah untuk menyadarkan mahasiswa akan perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi, politik 1 Sitompul (1982) dalam M Rusli Karim. 1997. HMI MPO Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung : Mizan, Cetakan Pertama. 2 Surya Makmur Nasution. 2006. HMI sebagai Gerakan Intelektual. Diakses dari www.hmikomtpub.or. id , tanggal 23 Desember 2008.

Upload: winda

Post on 12-Jun-2015

3.565 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tugas Kekuatan Politik Indonesia tentang organisasi gerakan mahasiswa (deskripsi saja), mencakup ideologi, strategi gerakan dan histori

TRANSCRIPT

Page 1: Sekilas Tentang HMI

Latar Belakang Pendirian

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan Lafran Pane pada tahun 1947

dengan dasar keprihatinan atas kondisi umat Islam yang terpecah ke berbagai aliran

keagamaan dan politik, serta terjebak dalam kebodohan dan kemiskinan. Saat itu,

umat Islam di Indonesia terbagi dalam tiga golongan, yaitu golongan alim ulama

yang menjalankan agama sesuai ajaran Nabi, golongan alim ulama yang

terpengaruh mistik serta golongan yang berusaha menyesuaikan ajaran Islam

dengan kehidupan nyata bangsa Indonesia. Golongan ketiga merupakan kelompok

terkecil karena menurut Pane, saat itu agama Islam belum dipelajari secara

mendalam. Selain itu, pendidikan dan mahasiswa juga dipengaruhi unsur dan sistem

pendidikan Barat yang mengarah pada sekularisme.1

Untuk menuntaskan permasalahan itu, perlu ada suatu organisasi yang

mewadahi mahasiswa (Islam) sebagai insan akademik bernafaskan Islam untuk

menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Penegasan HMI sebagai gerakan

intelektual tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang

bertujuan, menjadikan kadernya (mahasiswa Islam) sebagai insan akademis dan

pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang

adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.2 Pertentangan pada awal pendirian HMI

yang menganggap Lafran Pane memecah belah mahasiswa ditanggapi Pane

dengan mendatangkan penceramah untuk menyadarkan mahasiswa akan perlunya

gagasan meningkatkan kesadaran ideologi, politik dan organisasi kepada mahasiswa

Islam. Gerakan intelektual yang dilakukan HMI berfungsi merumuskan strategi-

strategi yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan

Ideologi

Misi keislaman dan kebangsaan HMI, pada masa orde lama sejatinya ialah

ideologi yang menyerang kolonialisme (penjajah) dan memusuhi komunisme.3

Ideologi ini kemudian berubah bentuk ketika direproduksi secara intelektual melalui

isu-isu; keislaman, keindonesiaan, kemodernan dan sekularisasi yang menjadi tema

aktual di era pembangunan. Kemunculan cendekiawan muslim bercorak moderat di

1 Sitompul (1982) dalam M Rusli Karim. 1997. HMI MPO Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung : Mizan, Cetakan Pertama.2 Surya Makmur Nasution. 2006. HMI sebagai Gerakan Intelektual. Diakses dari www.hmikomtpub.or. id, tanggal 23 Desember 2008.3 Budi Gunawan S. 2007. HMI dan Kevakuman Ideologi. Diakses dari www.hmi-kab-bdg.web.id, tanggal 10 November 2008.

Page 2: Sekilas Tentang HMI

masa itu lebih didorong pada upaya mendamaikan hubungan negara dengan agama

(Islam) dalam rangka mempertahankan stabilitas ekonomi-politik orde baru.

Walaupun HMI bernafaskan Islam, ia tidak berniat mendirikan negara Islam.

Sejak awal pendiriannya pun HMI tidak menolak Pancasila, bahkan HMI bertekad

mewujudkan nilai-nilai Pancasila di dalam kegiatannya. Hal ini disebabkan HMI

memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi serta Islam dan Pancasila tidak pernah

dipertentangkan karena belum adanya larangan untuk menggunakan Islam sebagai

dasar organisasi. Trikomitmennya yang terkenal, ”keislaman, keindonesiaan,

kemahasiswaan” membuat HMI tidak terjebak pada fanatisme agama secara sempit

namun juga menanamkan nilai nasionalisme pada tiap kadernya. Pada awal

pendiriannya, HMI juga merupakan satu-satunya organisasi mahasiswa yang

independen saat itu, yang melakukan perannya sebagai organisasi kader dan

perjuangan.4

Sejarah Perpecahan HMI

Fragmentasi di dalam gerakan mahasiswa bukanlah hal yang mengejutkan

karena gerakan mahasiswa memang bukan gerakan yang kohesif dan solid.5

Gerakan mahasiswa tidak berdiri di atas pondasi yang homogen sehingga rentan

dengan kemungkinan terfragmentasi di antara mereka. Perbedaan cara pandang

dan motivasi dapat membuat gerakan mahasiswa terseret arus konflik yang pada

akhirnya akan menurunkan kekuatan mereka dalam menghadapi negara. Pada

tahun 1970-an terdapat perbedaan pendapat di antara kalangan HMI dalam

menempatkan Islam dan negara. Sebagian kalangan menempatkan Islam di

kedudukan yang paling tinggi, sehingga undang-undang negara harus disesuaikan

dengan ajaran agama Islam. Pihak lain menganggap Islam adalah bagian dari

negara karena negara lebih superior.

a. Penyebab perpecahan

Pemerintahan Soeharto pada era Orba sangat mengutamakan politik

keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial

dan politik dipaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak,

4 My Kadekoh. 2008. Analisis Historis Gerakan New HMI. Diakses dari www.korkomhmiuii.multiply. com, tanggal 21 Desember 2008.5 Munafrizal Manan. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta : Resist Book, Cetakan Pertama, hal 183.

Page 3: Sekilas Tentang HMI

dapat berakibat dibubarkan. Tahun 1985, pemerintah mengeluarkan kebijakan UU

Ormas yang mewajibkan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila.

HMI pun terkena dampaknya. Kongres XVI di Kota Padang tahun 1986

menjadi saksi pengaruh negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal.

MPO (majelis penyelamat organisasi) HMI menolak menurut mereka Islam adalah

satu-satunya ideologi yang mereka anut dan dengan menurut pemerintah, berarti

gerakan mahasiswa sudah melupakan karakteristik mendasar, yaitu oposan dan

tidak pro status-quo. HMI akhirnya pecah menjadi dua, HMI ”Pancasila” menjadi HMI

yang ”resmi” diakui negara (tahun 1999 HMI-DIPO mengubah asas Pancasila

menjadi Islam) dan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) yang tetap

kukuh berasas Islam.

b. Perbedaan HMI-MPO dan HMI-DIPO

HMI-DIPO menilai MPO adalah pemberontak yang menyempal dari HMI,

sehingga keberadaannya tidak sah. Sedangkan MPO menilai DIPO adalah

sekelompok pengkhianat karena tunduk terhadap status quo. DIPO dinilai jauh dari

gerakan mahasiswa yang oposan dan menentang status quo. HMI DIPO dinilai lebih

moderat karena mau menggunakan taktik menerima asas tunggal, sedangkan MPO

dinilai lebih fundamental dan tidak mau menyerah pada pemerintah yg tiran. Pilihan

HMI-MPO untuk “berhadap-hadapan” dengan rezim Orba, mau tidak mau

menempatkannya pada posisi pinggiran (peripheral) sebagai organisasi

underground. Kendati demikian, hal tersebut lalu membentuk karakteristik gerakan

HMI-MPO yang cukup khas.

Ada tiga kawasan strategis yang menjadi tipologi besar gerakan HMI-MPO:

Pertama, gerakan moral-politik yang terkonsentrasi di Jakarta. Kedua, gerakan

berbasis moralitas Islam-politik yang menonjolkan nilai-nilai usuliyah, tersentralisasi

di Makassar dan sekitarnya. Ketiga, gerakan intelektualisme yang berkembang di

kawasan Yogyakarta. Sedangkan HMI DIPO membagi ‘spesialisasi’ gerakan tiap

kadernya menjadi 3, yaitu politisi, intelektual dan dakwah.6

Pada awal keberadaannya, HMI-MPO tidak hanya sekedar menjadikan Islam

sebagai azasnya, tapi juga implementasi nilai-nilai ke-Islam-an yang sangat kental

pada kader-kader HMI pada awalnya. Sehingga gerakan HMI-MPO cenderung

6 Akral Ghiffary. 2007. HMI, Umat Islam dan The End Of History? Diakses dari www.hmiushuluddien. multiply.com, tanggal 11 November 2008.

Page 4: Sekilas Tentang HMI

fundamentalis dan eksklusif. Selain itu, sikap radikal dan militansi kader menjadi

sebuah pembeda dengan kalangan organisatoris lainnya.

Identitas lain yang terlihat dari HMI-MPO adalah tingkat intelektualitas yang

dimiliki para kader-kadernya yang memperlihatkan bahwa budaya diskusi dan

membaca sangat mendominasi kader-kadernya. Hal ini bisa dibuktikan dengan

banyaknya wacana yang digulirkan oleh aktivis-aktivis HMI-MPO, seperti revolusi

sistemik dan gerakan tamaddun. Akan tetapi karena tidak mempunyai akses dalam

pemerintahan, maka wacana yang dimunculkan hanya sekedar wacana yang tiada

pernah terealisasi.

Di dalam pelatihan kader, HMI-MPO lebih menonjolkan aspek keislaman dan

agak mengabaikan aspek politik/kebangsaan, sedangkan HMI-DIPO banyak

membahas unsur kebangsaan, Pancasila dan UUD Negara. HMI-MPO tidak banyak

melakukan politik praktis dan lebih memilih melakukan kajian-kajian karena akses

politik kader sangat kecil (terbatas). Status ‘ilegal’ membuat MPO banyak ditekan

oleh pemerintah Orba.

Usaha untuk menyatukan kedua HMI bukannya tidak dilakukan. Perbedaan

AD/ART dan pola rekruitmen pada awalnya menjadi hambatan terjadinya persatuan

‘2 HMI’. Nilai dasar perjuangan (NDP) yang dijadikan landasan perkaderan HMI

DIPO berbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitik

beratkan pada wacana Islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi

pembebasan (liberal) sedangkan Khittah Perjuangan menekankan pada wacana

penafsiran Islam sebagai pandangan hidup (world of view) yang diselaraskan

dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden). Namun, pada

Kongres XXVI HMI di Hotel Novotel, Palembang (29 Juli 2008), kedua HMI sepakat

untuk meruntuhkan ego pribadi dan bersatu dalam rangka menegakkan syiar Islam

bersama-sama.7 Islah akan ditindaklanjuti dengan merumuskan anggaran dasar

(menyatukan asas dan nilai dasar perjuangan) dan menyatukan kepengurusan PB

HMI serta menyatukan perbedaan-perbedaan kultural kader-kader HMI di kedua

belah.

Peran HMI di Era Orde Lama

7 Admin. Kalla Rangkul Akbar : Sambut Positif Islah HMI Dipo dan MPO. Dimuat di harian Kendari Pos, 29 Juli 2008. Diakses dari www.kendaripos.co.id, tanggal 23 Desember 2008.

Page 5: Sekilas Tentang HMI

HMI pada Orde Lama berasaskan Islam, namun tidak berencana mendirikan

negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh HMI, Dahlan Ranuwihardjo (ketua umum PB

HMI 1951-1953) pernah berdebat dan mengusulkan kepada presiden Soekarno

untuk menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau NKRI. Sikap

intelektual HMI ini bersifat independen.

Menjelang pemilu 1955 gerakan mahasiswa terbagi menjadi kiri (isu utama

anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme) dan kanan (isu anti-komunis & anti

kediktatoran). Gerakan kiri misalnya GMNI dan CGMI yang berafiliasi dengan PNI

dan PKI, sedangkan gerakan kanan misalnya HMI yang dindikasikan berafiliasi

dengan Masyumi. Menjelang demokrasi terpimpin, bandul kekuasaan di bawah

Soekarno semakin di sebelah kiri sehingga kelompok mahasiswa kanan mengalami

kekalahan. Padahal, sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan

mahasiswa mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi

pergerakan. Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang,

sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara

terkucilkan atau bahkan dicap kontrev (kontrarevolusi). Presiden Soekarno sempat

akan membubarkan HMI karena menilai HMI melakukan tindakan anti-revolusi,

reaksioner, aneh, menjadi tkang kritik, liberal dan terpengaruh oleh cara berpikir

Barat8Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan

Satu Oktober) 1965, di mana kekuasaan Soekarno mulai goyah. HMI terlibat

bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer

mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya

dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut gerakan mahasiswa dan

partai politik yang mendukung ideologi Bung Karno.9

Peran HMI di Era Orde Baru

a. HMI-DIPO

Pada  masa Orba, ada kecenderungan yang amat kuat dari alumni HMI-DIPO

yang berpengaruh untuk masuk dalam lingkup kekuasaan. Jabatan menteri menjadi

mudah diraih bagi orang yang pernah menahkodai HMI. HMI yang menjadi bagian

pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber rekruitmen

8 Disarikan dari M Rusli karim, op. cit, hal 1059 Disarikan dari Budi Gunawan S, op. cit.

Page 6: Sekilas Tentang HMI

kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi; ‘HMI

sebagai sumber insani pembangunan’. Banyak ditemui tokoh HMI yang mengisi

birokrasi kekuasaan sehingga HMI ini tidak lagi menampilkan sosok herois yang

terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para

pendahulunya. Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa,

termasuk alumni HMI, berdampak besar terhadap peran HMI yang hampir-hampir

absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa.

Gerakan DIPO pun senada dan seirama dengan penguasa. Jadi, sulit untuk

menemukan hal-hal yang menonjol dari HMI-DIPO. Kritik terhadap pemerintahan

nyaris tidak ada. Dan kegiatan yang dilaksanakan DIPO cenderung normatif, seakan

menjauh dari idealisme seperti pada 20 tahun awal berdirinya.

b. HMI-MPO

HMI-MPO adalah sempalan HMI yang dianggap ilegal oleh pemerintah. Di

masa Orba, organisasi ini ditekan dan dianggap sebagai "organisasi terlarang".

Sekretariatnya terus dipantau oleh intelejen, kegiatannya direpresi, pendapatnya

dipendam secara paksa. Dalam kasus ini, cukup sulit untuk mengatakan sejauh

mana peranan MPO pada masa Orba. Kegiatan mereka berkisar di masalah dakwah

secara sembunyi-sembunyi di mushala-mushala kampus dan kampung yang menjadi

konsentrasi pondokan mahasiswa. Yang mereka lakukan selama itu adalah

membangun opini internal turun temurun mengenai kebobrokan orde baru. Selain itu

juga ada fungsi regenerasi dengan menanamkan semangat dan cita-cita HMI pada

saat awal didirikan, garis perjuangan organisasi, dan lain sebagainya. Bisa

disimpulkan, dari kegiatan HMI-MPO di masa orde baru terdapat usaha untuk

mempertahankan idealisme dan semangat organisasi ditengah paksaan untuk

mengakui asas tunggal Pancasila dan represifitas sebagai akibat pembangkangan

mereka. Mereka tidak melakukan kegiatan yang menonjol bukan karena mereka

tidak mau, tetapi karena mereka tidak memiliki sumber daya dan kesempatan untuk

melakukan hal itu. Bergerak sedikit saja, bisa-bisa salah satu aktivis mereka hilang

tak jelas keberadaannya. Ini yang diwaspadai untuk menghindari pembubaran

secara paksa oleh pemerintah.

 

Peran HMI di Era Reformasi

Page 7: Sekilas Tentang HMI

Pada era Reformasi, tepatnya pada periode kepemimpinan Habibie, sikap

kedua HMI terbagi dalam dua macam gerakan. HMI-DIPO dengan gerakan

konformis moderat mendukung presiden Habibie sebagai pemerintahan transisi,

menerima SI MPR secara kritis serta mendesak diadakannya pemilu yang jurdil dan

demokratis. Sebaliknya, HMI-MPO yang konfrontatif radikal menolak Habibie yang

dianggap tidak konstitusional, menolak SI MPR dan hasilnya, serta menolak pemilu

yang diselenggarakan Habibie. HMI-DIPO juga mengutamakan gerakan moral dan

intelektual serta melakukan reformasi secara damai, sedangkan HMI-MPO

memadukan aksi intelektual dengan aksi jalanan dan bersedia bentrok dengan

aparat jika terpaksa. Sifat radikal yang menjadi ciri khas HMI-MPO menjadi nafas

perjuangannya. Di era presiden Wahid, HMI juga berperan dalam menentang

pemerintahan Gus Dur. Bersama dengan KAMMI dan Konsorsium mahasiswa

Indonesia, mereka mendukung pembentukan Pansus Buloggate dan Bruneigate oelh

DPR untuk menyelidiki keterlibatan KKN Presiden Wahid.10

Yang menonjol dari HMI –DIPO pada masa setelah reformasi justru bukan

gerakannya, namun aktivitas para elitnya yang dikeluhkan sebagai terlalu

berorientasi politik. Para elit HMI menganggap organisasi ini sebagai batu loncatan

dalam karier politik mereka. Orientasi idealisme HMI telah berubah menjadi ambisi

kekuasaan. Hal ini telah mengusik sejumlah alumni HMI hingga memberikan

statement keras. (Alm.) Nurcholis Madjid misalnya, pada tahun 2002 meminta HMI

dibubarkan saja. Alasannya, orientasi para kader HMI condong menjadi pejabat.

Alumni lain juga bersikap serupa. Yasin Kara, anggota DPR dari Partai Amanat

Nasional, dan Laode M Kamaluddin, Presidium Majelis Nasional Korps Alumni

Himpunan Mahasiswa Islam menganggap pergerakan HMI saat ini menjadi terlalu

pragmatis dan cenderung untuk kepentingan politik jangka pendek. Tidak lagi

memikirkan kepentingan bangsa kedepan. Pola kaderisasi yang dianut juga tidak

berprospek jauh kedepan. Dalam hal ini, pola kaderisasi yang dimaksud adalah

doktrinasi terhadap kader-kader baru.

Alumni-alumni baru HMI kini banyak tersebar di partai-partai politik. Namun

bukan berarti HMI kemudian menjadi kekuatan besar yang memiliki banyak

pengaruh di partai politik. Keterlibatan mereka lebih sebagai kepentingan individu

alumni. Dalam berbagai isu-isu bangsa, HMI juga sepi aksi dan sikap.  Elite

10 Munafrizal Manan, op. cit., hal 186.

Page 8: Sekilas Tentang HMI

organisasi justru sibuk memikirkan nasib politik mereka sendiri. Bukan lagi

memikirkan organisasi kedepannya. 

Penyebaran alumni HMI juga seolah terseparasi sesuai asal mereka.

Misalnya, Alumni HMI-DIPO cenderung lebih memilih Golkar dan partai-partai

konservatif sebagai kendaraannya setelah "lulus" dari HMI. Sedangkan HMI-MPO

memilih partai yang cenderung revolusioner dan "segar" semacam PKS dan partai

lainnya. Alumni MPO juga ditekankan untuk tidak bekerja sebagai pegawai negeri.

Sikap anti-pemerintah yang ditunjukkan MPO bukan berarti mereka hendak

mendirikan negara Islam. Mereka hanya ingin membangun sebuah peradaban yang

menurut mereka hanya mungkin dicapai jika dasar organisasi adalah Islam.

Pasca 1998, terdapat beberapa pihak yang merasa kecewa dengan HMI dan

mendirikan gerakan neo HMI dengan semangat mengembalikan khittah gerakan dan

kepeloporan HMI di Nusantara. Gerakan ini juga merasa muak dengan kelambatan

penyikapan persoalan bangsa oleh HMI serta sifat organisasi yang masih elitis,

strukturalis dan birokratis. Beberapa pokok pikiran yang merupakan ideasi gerakan

neo HMI antara lain : memunculkan idiom gerakan HMI kiri yang diilhami oleh

pemikiran Islam Kiri “Islamic left” menurut Hasan Hanafi, gerakan struktur vs gerakan

kultur, semangat kebangkitan gerakan HMI jilid II, mengembalikan kiprah HMI dalam

dunia pergerakan mahasiswa, serta memperbaiki kondisi internal HMI khususnya

HMI cabang Jogjakarta.11

11 Disarikan dari My Kadekoh, op. cit.