sejarah tafsir asia tenggara

11

Click here to load reader

Upload: muhammad-aceh

Post on 20-Jun-2015

505 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 2: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

Sejarah Tafsir di Asia Tenggara

Bagi anda yang sedang mendalami atau sekedar ingin tahu tentang sejarah

tafsir al-Qur’an di Asia Tenggara, berikut ini saya cantumkan paper R. Michael

Feener yang mengkaji tentang hal tersebut. Tulisan ini saya terjemahkan sendiri ke

dalam bahasa Indonesia. Berikut ini adalah cuplikannya:

Beberapa karya tafsir yang ditulis di dunia Melayu-Indonesia nampaknya

telah berhati-hati sejak pertengahan abad ke-17 untuk menyusun karya tafsir yang

lebih ‘sistematik’. Kita menemukan karya yang sangat kental dengan gaya tersebut

adalah Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abd al-Ra’uf Singkeli. ‘Abd al-Ra’uf (dikenal

di Aceh sebagai Teungku di Kuala) lahir di Aceh pada pertengahan pertama abad

ke-17, pada tahun 1642 ia melakukan ibadah haji dan belajar di Arab.

Di sana ia tinggal selama 19 tahun, ia berkunjung dan belajar di pusat-pusat

pembelajaran seperi Zabid, Bayt al-Fiqh, Mekkah, dan Madinah. Di Madinah ia

banyak menghabiskan waktunya untuk belajar di bawah bimbingan Sufi

pembaharu Shaykhs Ahmad al-Qushayshi (w.1661) dan Ibrahim al-Kurani

(w.1101 H./1690). Dan setelah al-Qushayshi wafat pada tahun 1661, ‘Abd al-Ra’uf

kembali ke Aceh dan menulis beberapa karya tentang fiqh, hadith, kewajiban guru

dan murid, tasawwuf, dan tafsir sampai kematiannya pada tahun 1700. Sampai saat

ini kuburannya terus dikunjungi oleh para pengikutnya yang menganggapnya

sebagai sufi besar aliran Shattariyyah, dia dikenal secara luas dengan karya tafsir

nya, yaitu Tarjuman al-Mustafid.

Arkeologi Pemikiran Tafsir di Indonesia

Arkeologi Pemikiran Tafsir di Indonesia

Upaya Perintis

L’archeologie de la pensee (arkeologi pemikiran), sebuah istilah yang

diperkenalkan oleh Michel Foucault, merupakan upaya untuk menemukan proses

terbentuknya pengetahuan dalam kurun dan kawasan tertentu.

Page 3: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

Oleh karena itu, pengetahuan adalah sesuatu yang historis, sehingga bisa

ditelusuri. Buku atau karya kemudian menjadi ekspresi pemikiran, pengalaman,

imajinasi atau ekspresi ketidaksadaran. Berbagai hal inilah yang akan menjadi objek

analisa wacana dan arkeologi pemikiran. Azyumardi Azra, yang secara sederhana dan

tidak langsung sealur dengan metodologi Foucault ini, pernah menyatakan bahwa

ulama-ulama Indonesia bermunculan melalui berbagai jaringan yang berpusat di

Timur Tengah. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran ulama di Indonesia juga tidak

terlepas dari jaringan-jaringan tersebut. dalam konteks inilah, penulis ingin

menjelaskan secara singkat arkeologi pemikiran tafsir di Indonesia, hingga dewasa

ini.

Sejarah Al Quran di Indonesia

Penyebaran islam dari awal kemunculannya sampai hari ini, diyakini tidak

lepas dari sumber primer ajaran islam, dalam hal ini Al Quran. Bisa dikatakan bahwa

sejarah islam merupakan sejarah Al Quran. Walaupun Al Quran lebih terfokus pada

peninggalan-peninggalan tertulis dari tradisi intelektual. Oleh karena itu, sejarah Al

Quran dalam konteks yang paling sederhana di Indonesia, dapat ditelusuri sejarah

masuknya islam ke Indonesia.

Secara umum, para peneliti mengungkapkan dua penjelasan/teori populer

masuknya islam ke Indonesia. Teori Timur, yaitu islam masuk di Indonesia pada abad

VII. M atau I. H, yang disebarkan langsung melalui jalur perdagangan oleh orang

Arab yang bermazhab Syafi’i di daerah pesisir (coast) pantai utara Sumatera

(Malaka). Sementara itu, teori Barat bersumber dari perjalanan Marcopolo (1292). hal

ini lebih diperkuat dengan catatan Ibnu Batutah yang menjelaskan berdirinya islam di

pantai utara Sumatera pada abad XVIII M. Azyumardi Azra sendiri berkesimpulan

bahwa islam masuk ke indonesia dibawa langsung dari Arabia oleh para misionaris

islam profesional yang dengan jumlah besar datang ke Indonesia pada abad XVII M -

XVII M, dan pertama-tama dipeluk oleh kalangan elit nusantara. Di samping kedua

populer tersebut, terdapat teori lainnya dengan karakteristik tertentu. secara singkat,

penulis dapat katakan bahwa islam telah masuk ke Indonesia secara perorangan pada

abad VII M, yang kemudian menjadi kekuatan sosial dan politik pada abad XII M.

Page 4: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

Islam yang masuk k Indonesia adalah islam yang dibawa langsung oleh

ulama-ulama Arab yang juga bekerja sebagai pedagang. Sebagai pedagang yang lalu-

lalang, mereka juga membawa info-info aktual dari Timur Tengah. Perkembangan

selanjutnya ditandai dengan banyaknya pemuda-pemuda Melayu dan Indonesia yang

mengembara ke pusat peradaban islam di Timur Tengah untuk belajar islam. Ketika

mereka kembali, tentu saja membawa info-info serta perkembangan aktual seputar

Timur tengah yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan islam di Indonesia.

Kajian tentang tradisi Al Quran dan tafsir di Indonesia telah dilakukan oleh

beberapa Indonesianis seperti, R. Israeli dan A.H. Johns (Islam in the Malay world: an

Explotary survey with the some refences to Quranic exegiesis, 1984), A.H. Johns

(Quranic Exegiesis in the Malay world: In search of profile, 1998). P. Riddel (Earlist

Quranic Exegetical activity in the malay speaking states, 1998).

Secara singkat, aktivitas seputar Al Quran di Indonesia dirintis oleh Abdur

Rauf Singkel, yang menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Melayu, pada

pertengahan abad XVII. Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Munawar Chalil

(Tafsir Al Quran Hidayatur rahman), A.Hassan Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud

Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935), Hamka (Tafsir Al-Azhar, 1973), Zainuddin

Hamidi (Tafsir Al-Quran, 1959), Halim Hassan (Tafsir Alquranul Karim, 1955),

Iskandar Idris (Hibarna), dan Kasim Bakry (Tafsir Alquranul hakim, 1960). dalam

bahasa-bahasa daerah, upaya-upaya ini dilakukan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta

(Quran kejawen dan Quran Sandawiyah), Bisyri Mustafa Rembang (al-Ibriz, 1960),

R.Muhammad Adnan (Alquran suci basa jawi, 1969) dan Bakry Syahid (Al-Huda,

1972). Sebelumnya pada 1310 H, Kiyai Mohammed Saleh Darat Semarang menulis

sebuah tafsir dalam bahasa jawa huruf Arab. Ada juga karya yang belum selesai yang

ditulis oleh Kiyai Bagus Arafah Sala, berjudul Tafsir jalalen basa Jawi Alus Huruf

Arab. Bahkan pada 1924, perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala menerbitkan

terjemah Alquran 30 juz basa Jawi huruf Arab Pegon. Aktivitas lainnya juga

dilakukan secara persial, seperti penerbitan terjemah dan tafsir Muhammadiyah,

Persis bandung dan Al Ittihadul Islamiyah [KH.Sanusi Sukabumi], beberapa

penerbitan terjemah di Medan, Minangkabau dan kawasan lainnya, serta tafsir

Alquran dalam bahasa jawa yang diterbitkan oleh Ahmadiah Lahore dengan nama

Quran Suci Jawa Jawi. Upaya-upaya ini bahkan ditindak-lanjuti secara resmi oleh

Page 5: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

pemerintah Republik Indonesia. Proyek penerjemahan Al Quran dikukuhkan oleh

MPR dan dimasukkan dalam Pola I Pembangunan Semesta Berencana.

Menteri Agama yang ditunjuk sebagai pelaksana, bahkan telah membentuk

Lembaga Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsir Alquran, yang pertama kali

diketuai oleh Soenarjo. Terjemahan-terjemahan yang telah dicetak dalam jutaan

eksampler tersebut, telah mengalami perkembangan yang akhirnya, atas usul

Musyawarah Kerja Ulama Alquran ke XV (23-25 Maret 1989), disempurnakan oleh

Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Mushaf

Alquran. Lajnah ini pertama kali memiliki 10 anggota: Hasbi Ash-Shiddieqi, Bustami

A.Gani, Muchtar Jahja, Toha Jahja Omar, Mukti Ali, Kamal Mukhtar, Ghazali Thaib,

Musaddad, Ali Maksum dan Busyairi Madjid. kemudian pada tahun 1990, lajnah ini

dirombak dan diisi oleh 15 anggota: hafidz Dasuki (ketua), Ilham Mundzir

(sekretaris), Mukhtar Nasir, Lutfi Ansori, Syafi’i Hazmi, Muhammad As-Sirri, Aqib

Suminto, Shawabi Ihsan, Nur Asyiq, Wasit Aulawi, Quraish Shihab, Satria Efendi,

Muhaimin Zein, Badri Yunardi dan Surjono.

Upaya-upaya tersebut di atas, serta tuntutan masyarakat pecinta Alquran,

mengundang para cendekia untuk menulis dan menerjemahkan berbagai karya di

seputar Alquran. Kepustakaan-kepustakaan tersebut telah terisi dengan karya-karya

Hasbi Ash-Shiddieqi (Sejarah dan pengantar ilmu Al Quran, 1980), beberapa textbook

perguruan tinggi, terjemah karya Manna al-Qattan, serta beberapa karya penulis

sendiri. Khusus dalam wacana sejarah Alquran, beberapa karya dan terjemahan telah

muncul, seperti Adanan Lubis (Tarikh Alquran, 1941), Abu Bakar Aceh (Sejarah

Alquran, 1986), Mustofa (Sejarah Alquran, 1994) dan sebagainya. Bahkan Tarikh

Alquran karya az-Zinjani (Wawasan baru Tarikh Alquran, 1986) dan al-Abyari

(Sejarah Alquran, 1993) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

penyebaran islam di Indonesia diyakini secara konvensional, melalui proses

penyebaran yang sangat damai dengan memakai pendekatan sufisme.

Tokoh-tokoh besar nusantara, seperti Hamzah fansuri, Samsuddin Sumatrani,

ar-Raniri, dan Wali Songo dikenal sebagai tokoh-tokoh sufi dan kalam dengan

karakternya masing-masing. Dengan pendekatan sufisme ini, islam diterima secara

damai, tanpa melalui perang fisik yang berarti. Pendekatan sufisme/kalam ini, tentu

Page 6: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

saja akan mempengaruhi cara berfikir jaringan ulama generasi selanjutnya, termasuk

ketika diterapkan dalam tafsir atau terjemahan Alquran.

Tokoh sufi nusantara, seperti hamzah Pansuri dan Samsuddin Sumatrani

seringkali mengutip ayat-ayat Alquran yang kemudian difahami dalam konteks

mistisme. Ada riwayat kecil menyebutkan bahwa masa kedua sufi itu, telah muncul

tafsir kecil terhadap surah Al-Kahfi yang diperkirakan dan dinilai mengikuti tradisi

tafsir Al-Khasin.

Abdur Rauf Sengkel belajar di Saudi Arabia sejak 1640, dan diperkirakan

kembali pada 1661. Beliau inilah yang mempelopori kajian-kajian tentang Alquran,

ketika menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad VII.

Tafsir tersebut bernama Tarjuman al-Mustafid. Sebagai perintis, tafsir ini mendapat

temapt, bahkan tidak hanya di Indonesia. Tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura,

Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/

1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), Mekkah (al-Amiriah).

Dalam kajian beberapa ahli, ada dua pendapat besar tentang tafsir ini, pertama:

Snouck Hurgronje menganggap bahwa terjemah tersebut lebih mirip sebagai

terjemahan tafsir al-Baidaiwi. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain

sebagai terjemahan tafsir al-baidawi karya as-Sinkili itu juga mencakup terjemahan

tafsir Jalalain. Voorhove, murid Horgronje setelah mengikuti pendapat gurunya dan

Rinkes, berpendapat bahwa tafsir tersebut mengambil sumber dari berbagai karya

tafsir berbahasa Arab. Kedua: Riddel dan Harun memastikan bahwa Tarjuman Al-

Mustafid adalah terjemahan tafsir jalalain, hanya pada bagian tertentu saja tafsir

tersebut memanfaatkan tafsir al-baidaiwi dan tafsir al-Khanzin. Singkel cenderung

memilih tafsir Jalalain, diperkirakan karena secara emosional, Singkel memiliki

runtutan sanad itu dapat ditelusuri melalui gurunya, baik al-Qusyasyi atau al-Kurani.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa metodologi Singkel dalam Tarjuman

Mustafid sangat sederhana. Tafsir Jalalain yang dikenal sangat ringkas dan padat, itu

setelah diterjemahkan menjadi lebih ringkas. Singkel menerjemahkan kata perkata

sambari menahan diri untuk menambahkan pemahaman-pemahamannya sendiri.

Uraian-uraian linguistic yang menjadi salah satu karakter Tafsi Jalalain serta

penjelasan yang tidak perlu, ditinggalkan oleh Singkel. Penjelasan yang dinilai cukup

Page 7: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

panjang dalam Tafsir Jalalain dan diperkirakan akan memalingkan perhatian, tidak

diterjemahkan oleh Singkel. menurut penilaian Johns, ini dilakukan oleh Singkel agar

umat islam Melayu lebih dapat memahami dan mencerna karyanya dengan mudah.

Singkel memang tidak menulis angka tahun ketika beliau menyelesaikan tafsir ini.

Hasmi menilai bahwa karya ini ditulis ketika Singkel mengadakan perjalanan ke

India. Pendapat ini ditentang keras oleh Azyumardi Azra, mengingat Singkel tidak

memiliki route perjalanan ke India dalam sejarah hidupnya. Sulit bagi Singkel untuk

menulis karya besar dalam perjalanan. Justru perlindungan dan fasilitas penguasaan

Aceh semakin mempertegas kenyataan bahwa karya ini ditulis di Aceh.

Upaya rintisan Singkel ini kemudian diabadikan oleh seluruh pecinta Alquran

dan tafsir di tanah melayu dengan menjadikan tafsir Jalalain sebagai tafsir standar

atau tafsir pemula, yang dipelajari oleh hampir seluruh pesantren di nusantara. Karya

Singkel ini dinilai sebagai pondasi dasar bahkan jembatan upaya tarjamah tafsiriyah

di tanah Melayu. Karya-karya tafsir dari anak bangsa berikutnya, baru bermunculan

dalam lima puluh tahun terakhir ini, setelah Tarjuman Mustafid ini bertahan selama

tiga abad. Oleh karena itu, mengkaji sejarah Alquran di Indonesia, tanpa melibatkan

Tarjuman Mustafid, karya Abdur Rauf Singkel ini, akan menjadi kajian yang

kehilangan akar sejarahnya. Hal ini sangat terasa dalam upaya Federspiel yang

mengkaji Alquran di Indonesia, yang memulai kajiannya hanya dari Mahmud Yunus

sampai Quraish Shihab, tanpa memberikan penjelasan yang berarti, mengapa ia tidak

menyinggung penulisan tafsir di Indonesia yang telah muncul sebelum Mahmud

Yunus. Walaupun judul asli buku ini adalah Popular Indonesian Literatures on The

Quran. Padahal Tarjuman Mustafid merupakan salah satu petunjuk besar dalam

sejarah keilmuan islam, khususnya tafsir di tanah Melayu. Federspiel juga tidak

menyebut terjemah atau tafsir yang ditulis ulama Indonesia dalam bahasa daerah

seperti al-Ibriz atau Al-Quran Suci Basa Jawi yang juga sudah bermunculan pada

tahuan 60-an.

Melirik kenyataan tersebut, tesis Federspiel ketika menciptakan periodesasi

karya seputar Alquran di Indonesia. Dalam buku tersebut, sangat rentan untuk

dipertahankan. Seperti diketahui, Federspiel membagi karya-karya Indonesia seputar

Alquran menjadi tiga babak/periode yang ia sebut sebagai generasi. Generasi Pertama,

ditandai dengan gerakan terjemah atau tafsir yang berpisah-pisah, mulai dari abad XX

Page 8: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

sampai awal tahun 60-an. Federsfiel secara tegas, tidak menyebutkan karya-karya

yang dapat mewakili generasi pertama. Generasi Kedua kemudian muncul sebagai

penyempurna metodologis atas karya-karya generasi pertama. Penerjemahan generasi

kedua yang muncul pada pertengahan tahun 60-an ini, biasanya dibubuhi dengan

catatan khusus, catatan kaki, bahkan disertai dengan indeks yang sederhana. Al-

Furqan (A.Hassan, 1928), tafsir Alquranul Karim atau Tafsir Quran Indonesia

(Mahmud Yunus, 1935) serta Tafsir Quranul (Zainuddin Hamidi dan Fackhruddin,

1959), dianggap sebagai karya-karya yang mewakili generasi kedua. Sementara itu,

terjemah atau tafsir lengkap, menandai munculnya generasi ketiga pada tahun 70-an.

tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan

lebih memperluas wacana masing-masing. tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-

Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim

Hasan cs, 1955) dianggap mewakili generasi ketiga.

Tiga karya yang mewakili generasi kedua, dianggap memiliki format yang

sama. teks Arab ditulis di sebelah kanan halaman. Sementara itu, terjemahan di

sebelah kiri, serta catatan yang merupakan tafsir. Kesamaan karakter lainnya terlihat

pada penggunaan istilah yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia,

sehingga ketiganya memberikan penjelasan khusus. Ketiganya juga sama-sama

memberikan penjelasan tentang kandungan setiap Surah dalam Alquran. Di tempat

lain, dua dari tiga karya tersebut sama-sama membicarakan sejarah Alquran.Mahmud

Yunus dan Hamidi, juga sama-sama memberikan indeks sederhana dengan dibubuhi

oleh angka-angka yang merujuk pada kalimah tertentu.

Sementara itu, tiga tafsir yang mewakili generasi ketiga, dianggap telah

menggunakan metodologi penulisan kontemporer. Ketiga karya tersebut diawalai

dengan sebuah pengantar metodologis serta beberapa materi Ulumul Quran. Hasbi

dan Hamkamengelompokkan ayat-ayat secara terpisah antara satu sampai lima ayat

kemudian ditafsirkan secara luas. Hanya karya Hassan yang formatnya masih serupa

dengan karya-karya generasi kedua. Hassan menempatkan ayat dan terjemahannya

secara berurutan dan kemudian diikuti dengan catatan kaki di bawahnya, sebagai

tafsir. Ketiga tafsir ini juga menyajikan bagian ringkasan sebagai pokok-pokok

pikiran dalam suatu surah tertentu. dari ketiga tafsir di atas, hanya Hamka yang

menyajikan tafsirnya dengan uraian-uraian tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa

Page 9: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

kontemporer. Bisa dimaklumi, mengingat Hamka menyelesaikan tafsirnya ketika

masih meringkuk di penjara Orde Lama.

Setelah seluruh karya ketiga generasi tersebut, maka bermunculanlah berbagai

karya terjemah atau tafsir, baik yang dikerjakan secara individual ataupun dikoordinir

oleh lembaga atau badan tertentu. Aktivitas ini bahkan juga dilakukan oleh Negara,

dalam hal ini Departemen Agama yang kemudian pada akhirnya memunculkan

terjemah atau tafsir resmi/negara. Federspiel bahkan mengemukakan target-target

tertentu dalam proyek tersebut. Pertama: Negara telah terlibat dalam penyebaran nilai-

nilai islam, yang terbukti dengn memasukkan proyek tersebut dalam pola

pembangunan lima tahun, yang ditetapkan dengan keputusan MPR. Kedua: Karya

resmi tersebut juga telah memperlihatkan keahlian sarjana-sarjana Indonesia dalam

tafsir. Krtiga: Proyek tersebut merupakan standar dalam tafsir dan terjemahan

Indonesia lebih lanjut. Keempat: Salah satu kekuatan sosial/politik Indonesia yang

biasa disebut Muslim Nasionalis, memantapkan diri dengan pandangan ideologis yang

tercermin dalam tafsir tersebut. Bahkan Federspiel menganggap pandangan ideologis

tersebut cukup mendominasi penafsiran Departemen Agama. Referensi terjemahan

serta tafsir departemen Agama yang dikategorikan Tafsir Ilmi dan diasumsikan sangat

mengacu pada tafsir Al-Maragi, lebih memperkokoh tuduhan itu.

bagian pendahuluan setiap surah dalam Alquran dan tafsirnya, menyajikan

berbagai data dasar tentang suatu surah: waktu dan tempat turunnya serta

munasabahnya. Pada bagian yang disebut pokok bahasan, selalu ada penjelasan

tentang beberapa hal. Seperti: Keimanan, penyembahan, hukum, janji, peringatan,

kisah-kisah serta ibarat-ibara. Khusus pada Alquran dan terjemahannya, bab

pendahuluan yang terdiri dari ratusan halaman, juga memuat berbagai materi Ulumul

Quran. Pada 7 Februari 1990, Dewan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsiran Alquran

mengeluarkan edaran yang mencakup beberapa hal dalam rangak perbaikan dan

penyempurnaan ALquran dan terjemahannya,. Pertama: Sedapat mungkin mengikuti

tata bahasa Indonesia yang benar. Kedua: Menggunakan istilah bahasa Indonesia yang

betul-betul mewakili kata-kata bahasa Arabnya. Ketiga: Membuang beberapa bab

mukadimah dan memakai kata yang dianggap erat hubungannya dengan Alquran.

keempat: Menggunakan mushaf Alquran standar.

Page 10: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

Tafsir Al Quran Dewasa ini di Indonesia

Maraknya syiar islam dewasa ini di indonesia, ikut mengundang beberapa ahli

untuk menerjemahkan berbagai karya tafsir besar dalam bahasa Indonesia. Sampai

hari ini, tercatat beberapa tafsir kontemporer berbahasa Arab yang telah diterbitkan

oleh penerbit-penerbit Indonesia. Seperti Tafsir Al-Maragi (Bahrun Abu Bakar),

Tafsir Jalalain (Wahyuddin Syaf dan Bahrun Abu Bakar), Asbab an-Nuzul

(Qomaruddin Saleh), Tafsir Ibnu Katsir, Al-Asas fi Al-Tafsir (GIP), Tafsir Al-

Muntakhab (Majlis A’la) dan sebagainya. karya-karyaterjemahan ini, pada akhirnya

mendukung system pengajaran tafsir di perguruan-perguruan tinggi islam di

Indonesia, yang menurut Quraish Shihab dan Jalaluddin Rahmat memiliki kelemahan-

kelemahan tertentu.

Metode serogan di pesantren dan muhadarah di perguruan tinggi, hanya akan

mengantar peserta didik menguasai produk tafsir, bukan ilmunya. Kelebihan metode

serogan adalah pemahaman peserta didik terhadap seluruh ayat, yang dikemukakan

serta metodologi mufassirnya. Sementara itu, kelebihan metode muhadarah lebih

terletak pada sisi efisiensi dan spesialisasi. Oleh karena itu, Quraish Shihab

menawarkan beberapa hal, seperti pendefinisian dan pengajaran kaidah tafsir,

pengenalan kitab-kitab tafsir serta metode pengajaran tafsir yang sesuai dengan teori

komunikasi modern.

Catatan Umum

Dari berbagai informasi yang sangat terbatas, penulis ingin mengemukakan

beberapa catatan umum terhadap berbagai karya, khususnya karya tafsir Alquaran di

Indonesia.

Pertama: referensi (sumber) klasik Arab yang digunakan. Secara umum

referensi standar berbahasa Arab yang digunakan oleh pernulis tafsir di Indoenseia,

meliputi:

Tafsir Jauhari, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Maragi, Tafsir al-

Qasimi, Tafsir al-Razi, Tafsir al-manar, Tafsir al-Tabari, Tafsir al-Baidawi, Fi Zilal

Alquran dan sebagainya.

Page 11: Sejarah Tafsir Asia Tenggara

Kesemua tafsir ini mewakili zaman serta ideologinya masing-masing,

sehingga dengan sendirinya menggambarkan pemahaman yang berbeda-beda. Oleh

karena itu, pemahaman salah satu sumber tersebut juga mewarnai wacana pemikiran

tafsir di Indonesia. kategorisasi tafsir Indonesia berdasarkan waktu, tidak menemukan

signifikasinya, mengingat perbedaan ideologis dalam sumber-sumber klasik tersebut

juga mewarnai perbedaan ideologis para penulis tafsir tentu saja hal ini didasari

dengan asumsi bahwa perkembangan islam di timur tengah juga memegang kunci

tersendiri.

Kedua: Secara tidak sengaja, kemunculan beberapa tafsir di Indonesia juga

ikut memicu friksi antara kaum medernis dan tradisionalis. Hampir semua karya tafsir

populer yang tekah disebutkan di atas, ditulis oleh kalangan yang dikategorikan

modernis. Hal ini bisa dipahami, mengingat ulama-ulama tradisionalis lebih berkutat

pada persoalan kemasyarakatan (fiqhiyah).

Hamka merupakan jebolan gerakan pembaruan agama (madrasah tawalib) di

minangkabau dan akhirnya harus berhadapan dengan Orde Lama, yang nota bene

sealur dengan kalangan tradisionalis. Hasbi Ash-Shiddieqi dibesarkan oleh kalangan

al-Irsyad. A.Hassan diasuh bahkan kemudian memimpin Persis Bandung. Sementara

itu, kalangan tradisionalis hanya bisa bangga dengan Tarjuman Mustafid dan Al-Ibriz

karya Bisri Mustafa Rembang.

Ketiga: Pengaruh orientalis dalam pemikiran tafsir-tafsir di atas, tidak

mendapat tempat sedikitpun. bahkan Abu bakar Atceh pernah menyerukan menulis

berbagai hal tentang Alquran dalam bahasa Indonesia guna membendung arus

orientalisme. Hamka juga pernah mewanti-wanti bahaya orientalisme dalam salah

satu juz tafsir Azhar. namun kita sebentar lagi akan menyaksikan sebuah karya

orisinil Taufik Adnan Amal berjudul Rekonstruksi Sejarah Alquran yang sangat

mengacu pada sumber-sumber Barat.