sejarah peradaban islam

Upload: anam-ratu

Post on 10-Jul-2015

210 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Assalamualaikum Wbr. Wb. Marilah terlebih dahulu kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan hidayat, taufik dan barakah-Nya pada kita semua sehingga dapat menghadiri suatu kegiatan yang penting mengenai Pengayaan Materi Pelajaran Sejarah Islam di Indonesia yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Kabupaten Bogor, Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Bogor, dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Bogor. Marilah juga kita sampaikan salawat dan doa kepada Nabi Besar Muhammad SAW. beserta keluarganya, para sahabatnya yang telah membimbing serta membina serta membimbing umatnya melalui agama Islam sebagai pedoman bagi kehidupan baik di dunia maupun di akhirat, Kepada pimpinan ketiga Lembaga peyelenggara kegiatan yang penting ini kami ingin menyampaikan rasa terimakasih atas kepercayaannya untuk menyampaikan sebuah tema yang telah diberikan yaitu Sejarah Perkembangan Islam Di Indonesia yang mudah-mudahan dapat memberikan tambahan Pengayaan Materi Pelajaran Sejarah Islam di Indonesia. I. Pokok-Pokok Permasalahan Untuk membicarakan Sejarah Islam di Indonesia mengingat materi yang sangat luas dan mengingat waktunya yang terbatas maka perkenankan kami dalam tulisan ini hanya ajan menyampaikan polol-pokok permasahannya yang meliputi: 1. Kedatangan Islam ke Indonesia dan proses penyebarannya; 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesultanan-Kesultanan di Nusantara; 2 3. Kesmpulan dan Upaya Menumbuhkan Citra Kejayaan Islam . II. Uraian Singkat 1. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Indonesia ada teorii yang berpendapat baru abad ke-13 M. yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan lainnya, dan yang berpendapat sudah sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi yann antara lain dikemukakan W.P. Groeneveldt, Syeikh Muhammad Naguib Al-Attas, S.Q. Fatimi, Hamka, Uka Tjandrasasmita dll. Masing-masing golongan membuat argumentasinya. Tetapi bagaimanapun kami berpendapat yang benar abad ke-1 H. atau abad ke-7 M. dan langsung dari Arabia (Kami telah membicarakan kelemahankelemahan teori abad ke-13 M. dalam Sejarah Nasional Indonesia III, sejak tahun 1975 dan seterusnya serta dalam berbagai tulisan lainnya. Kedatangan Islam awalnya melalui perdagangan Internasional dan penyebaran atau penyampaiannya secara lebih mendalam oleh para dai dan para wali (Di Jawa Wali Sanga) yang berasal dari luar atau dari Indonesia sendiri. Waktu kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia melalui beberapa fase dan yang abad ke-7 M. baru di bagian Barat Indonesia saja, Penyebaran Islam di Indonesia bahkan di wilayah Asia Tenggara berjalan dengan damai sesuai dengan prinsip-prinsip konsep Islam. Proses Islamisasi melalui berbagai jalur : Perdagangan, Pernikahan, Memasuki birokrasi, Sufisme, Pendidikan (Pesantren), Kesenian. 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesultanan-Kesultanan di Indonesia Setelah terjadi proses penyebaran Islam lambat laun tumbuh dan berkembang Keultanan-Kesultanan dengan dinamika sejarahnya dalam berbagai aspek:social- politik, social ekonomi-perdagangan, social keagamaan dan kebudayaan. Dalam bidang socialpolitik biasanya terjadi pergantian kekuasaan yang mulus tetapi kadang-kadng tidak mulus. Tidak mulus disebabkan terjadinya perebutan kekuasaan di kalangan keluarga; dan juga kadang-kadang karena hasutan politik dari luar dari pihak yang menginginkan penjajahan termasuk bidang monopoli perdagangan. Dalam menjalankan politik pemerintahan Kesultanan mempunyai system birokrasi yang cukup lengkap, tetapi jika mulai dimasuki system birokrasi Barat (dari Penjajah) mulai terjadi perlawanan. Tumbuh 3 dan berkembangnya Kesultanan Kesultanan di Indonesia tidak menunjukkan persamaan kaena ada yang sejak abad ke-16, 17 dan ke-18 M.mulai memudar bahkan pada awal abad ke-19 M. mulai di bawah lindungan pemerintahan jajahan (terutama Belanda sejak VOC Hindia Belanda) dan ada yang baru awal abad ke 20 M. contohnya Kesultanan

Aceh Darussalam baru dikuasai Hindia-Belanda. Bahkan pada abad ke-19 M. di manamana timbul gerakan social dan keagamaan misalnya Pemberontakan Cilegon, Perang Padri, Pemberontakan Antasari, dan di daerah-daerah lainnya. Pemberontakan atau perlawanan-perlawanan terhadap penjajah tersebut umumnya dipimpin para Kiai atau Ulama. . Di antara sejumlah Kesultanan di Indonesia yang pada abad ke-17 M. mencapai keemasan dilihat dari berbagai aspek kehidupan: politik, ekonomi-perdagangan, keagamaan dan kebudayaan: ialah Kesultanan Aceh Darussalam semasa Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Mataram semasa Sultan Agung Hanyakrasusumo, Kesultanan Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Gowa semasa Sultan Hasan Uddin. Dapat kita catat tentang kemajuan keagamaan terutama yang memberikan warisan kesasteraan agama Islam mengenai berbagai hal: Taugid, Tasawuf dan Tarekatnya, Fikh, Musyah AlQuran, dan lainnya ialah Kesultanan Aceh Darussalam, kemudian Kesultanan Banaten. Aceh terkenal dengan para ulama besarnya dan tempat berguru para kiai sebelum pergi menenuaikan ibadah haj, karena itu sering digelari Aceh Serambi Mekkah. Di Aceh hidup Hamzah Fansuri (w. 1527 M.), Syamsuddin As-Sumaatrani (abad 17 M.), Nuruddin Ar-Raniri ( abd-17 M.), Abdurrauf As-Singkili (abd 17 M.)dan lainnya. Dari Aceh mulai sastra keagamaaan Islam yang ditulis dalam huruf Jawi berbagasa Melayu dan tersebar ke berbagai daerah Indonesia: di Sumatara, di Bima, Maluku, SulawesiButon, Kalimantan. Demikian pula pengaruhnya ke Banten , Cirebon dan lainnya. Pada abad 17 dan 18 Masehi hubungan atau jaringan kuat antara ulama-ulama Timur Tengah dan Melayu-Indonesia. KItab-kitab Fikh yang tersebar sejak masa lampau di Indonesia telah banyak dibicarakan dan dapat kami catatan pada umumnya di KesulatananKesultanan di Indonesia menerapkan Syariah terutama di bidang Ubudiyah, Muamalah dan Hudud, tetapi dalam bidang Jinayah tidak kecuali satu masa di Kesultanan Aceh Darussalam semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 tetapi kemudian 4 dihapus mada masa Iskandar Thani (baca Denys Lombard: Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskanda Muda (1607-1636), KPG-EFEO 2006, hlm. 118-119) Hubungan perekonomian dan perdagangan antar Kesultanan di Indonesia dan antar Bangsa dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, Di Timur Jauh: Cina, Jepang dan lainnya dan juga dengan Timur Tengah: Arabia, Persi (Iran), Irak, Turki, Mesir dan lainnya berjalan terus sekalipun penah dirintangi oleh politk monopoli perdagangan Portugis dan Belanda. Setelah penjajahan VOC dan kemudian Hindia Belanda praktis beberapa Kesulatanan perekonomian dan perdagangannya beralih kepada penjajah kecuali Aceh baru pada awal abad ke-20 awal. Hubungan-hubungan ekonomi pedagangan dengan negeri-negeri Islam diperkuat juga dengan hubungan persabatan dalam menghadapi penjajahan. Dapat pula kita catatat bahwa meskipun penjajahan VOC-Hindia Belanda merupakan factor keruntuhan bagi Kesultanan-Kesultanan di Indonesia namun perlawanan dengan cara pemberontakan seperti telah dikatakan di atas berjalan terus. Untuk merintangi atau menghalangi kegiatan-kegiatan Islam di berbagai bidang Pemerintah Hindia Belanda misalnya dalam bidang ibadah haj dikeluarkanlah Haji Ordonansi 1922 yang sebanarnya merugikan umat Islam Indonesia. Demikian pula di bidang pendidikan muncul Ordonnansi Guru, 1925. Politik penjajahan Belanda untuk merintangi berbagai upaya bagi umat Islam telah diatur pula oleh Het Kantoor voor Inlandsche Zaken , tetapi anehnya lebih mengatur kehidupan keagamaan yang dianut bangsa Indonesia yang dapat kita perhatikan dalam disertasi H. Aqib Suminto Politik Islam Hindia Belanda LP3S, 1986. Mengenai keberadaan pendidikan zaman Penjajahan Belanda dengan berbagai gerakan pendidikan sebagai lawan perimbangan terhadap system pendidikan yang diciptakan Penjajahan Belanda misalnya tumbuh dan berkembangnya pendidikanpendidikan Islami yang dipelopori oleh Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thahir Jalaluddin, Syaikh Mugammad Jamil Jambek dll di daerah Minangkabau dan di antara lain yang berpengaruh ialah pendidikan Surau Jembatan Besi. Demikian juga di Jakarta waktu itu tahun 1905, Muhammadiyah di Yogyakarta, Haji Abdulkarim dengan Hayatul Qulub di

Majlengka, dan gerakan-gerakan pendidikan sebagai pembaruan untuk pendidikan Islam. 5 (Baca: Deliar Noer: Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942.). Demikian pula dibicarakan hal-hal berhubungan dengan gerakan politik dari tahun tahun tersebut. Setelah jaman Penjajahan Belanda bagaimana kehidupan politik dan lainnya dalam Islam di Indonesia pada zaman Pendudukan Jepang, kita akan mendapat gambaran bagaimana dari salah sebuah buku yang juga menerangkan tentang segi positif dan sefi negatifnya tindakan Pemerintah Pendudukan Jepang, terlebih yang diakibatkan tindakantindakan Jepang yang menyebabkan penderitaan rakyat yang juga menimbulkan pemberontakan-pemberontakan di beberapa tempat (Baca: Harry J. Benda Bulan Sabit Dan Matahari Terbit. Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Pustaka Jaya, 1985). Selanjutnya kita akan sampai pada pebicaraan tentang Islam sejak Kemerdekaan Indonesia terutama masalah perjuangan Islam masa modern dari sekitar tahun 1945 sampai 1965 an setelahnya. B.J. Bolland dalam The Struggle Of Islam In Modern Indonesia 1971, telah memberikan gambaran gerakan-gerakan politik Islam di zaman sejarah Indonesia modern itu dan dampaknya terhadap kehidupan setelah 25 tahun sejak merdeka. Boland dalam kajiannya melakukan pendekatan sosiologis yaitu dari segi awal idea-idea dunia Islam dan sejarahnya untuk mengetahui sejauh dan bagaimana fungsifunsi Islam sebagai kekuatan yang hidup di Indonesia baru. Sehubungan dengan itu dikatakan pelunya serta akan berhasil jika dilakukan pendekatan perkembangannya selama duapuluh limatahun dan dari sudut inilah untuk memperoleh beberapa bahan tentang kegiatan-kegiatan Islam secara spesifik, problema-problema serta kecenderungan-kecenderungannya. Menarik perhatian kita bahwa Boland memberikan gambaran kepada kita kecuali tentang perkembangan Islam 25 tahun juga memberikan gambaran pembagian gambaran politik tahun 1945-1955, kemudian masa penguatan kedalam komunitas Islam sendiri sampai peningkatannya (1955-1965), dan masa setelah 30 September 1965.

Kesimpulan dan Upaya Menumbuhkan Citra Kejayaan Islam Jikalau kita amati perjalanan Sejarah Islam di Indonesia dari masa ke masa sejakkedatangan, proses penyebaran sampai zaman tumbuh dan berkembangnya Kesultanan-Kesultanan bahkan mencapai keemasannya terasa telah terjadinya dinamika historiesyang menggembirakan.. Di zaman Keemasan Kesultanan-Kesultanan di Indonesia,sebagaimana telah dicontohkan terutama abad ke-17 M. telah memberikan warisansejarah yang gemilang dalam berbagai aspek: Sosial- politik Sosialekonomiperdagangan,Sosial keagamaan dan kebudayaan, ternyata telah memberikan citra yangdapat dibanggakan. Namun demikian setelah mulai dimasuki pengaruh baik politik, ekonomi-perdagangan maupun system pemerintahan maka umat Islam mengalamikeresahan yang akibatnya muncul perlawanan atau pemberontakan melwan politikpenjajahan baik melalui gerakan politik mapun gerakan keagamaan dan gerakanpendidikan. Namun upaya perjuangan masyarakat Musilm di bawah pimpinan para ulamaitu mengalami kegagalan akibat berbagai factor antara lain: perselisihan internal yangkemudian dimasuki politik divide et empera, pemisahan persatuan antara ulama danumara, antara perjuangan dari satu daerah dengan daerah lainnya belum ada persatuan,pendidikan masyarakat yang dengan sengaja oleh poLitik Belanda dibedakan terutamamenuju sekulerasmi dengan pengawasan ketat terhadap pendidikan nonpemerintah yangberlandaskan keagamaan tersebut. Demikian secara garis besar nasib umat Islam di Indonesia selama penjajahan danbagaimana seharusnya untuk masa kini dan mendatang untuk menumbuhkan citra kejayaan Islam kita Indonesia, mungkin perlu diusahakan: 1. Terpeliharana uhuwah Islamiah di kalangan umat Islam Indonesia khususnya dan umat Islam di dunia pada umumnya.

2. Melakukan serta meningkatkan kehidupan keagamaan bagi kehidupan dan kesejahteraan dunia 3. 4. 5.KE 2 Pendahuluan Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan mengakrabkan bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai benturan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk apa yang Penulis sebut dengan- mengakrabkan bangsa ini dengan hukum Islam. Wallahu ala wa alam! dan akhirat dengan berpedoman kepada isi dan maknanya Al-Quran dan Hadis serta ajaran-ajaran dalam Syariah. Memperjuangkan keadilan serta menegakkaanya untuk mencapak ketertiban, keamanan, kenyamanan serta kebahagiaan umat Islam. Mengupayakan kemajuan dalam pendidikan keagaamaan baik formal maupun Non-formal demi kecerdasan umatnya serta ketakwaannya kepada Allah SWT. Memajukan bidang seni-budaya Islami melalui berbagai kegiatan di kalangan anak-anak, remaja serta dewasa umat Muslim.

Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.1[1] Sebagai gerbang masuk ke

1[1] Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusikonstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hal. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa

dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.2[2] Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.3[3] Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.4[4] Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa kompromi yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: 1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu tersebut. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998, hal. 21. 2[2] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 61. 3[3] Ibid., hal. 61-62. 4[4] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 63-64.

2.

Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

3.

Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.5 [5]

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.6[6] Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut: 1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.7[7] 2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.8[8] 3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). 9[9] 4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata

5[5] Ibid., hal. 64-66. 6[6] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 67-68. 7[7] Ibid., hal. 68. 8[8] Ibid., hal. 68-70. 9[9] Ibid., hal. 70.

sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.10[10] Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.11[11] Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.12[12] Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian dimentahkan oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.13[13] Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada

10[10] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 72.Sebagaimana terlihat dengan jelas bahwa perubahan ini juga sangat dipengaruhi oleh Teori Receptio Snouck Hurgronje. 11[11] Ibid., hal. 76. 12[12] Mengenai apakah Masyumi versi ini merupakan asal-usul Partai Masyumi di kemudian hari, lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 93, catatan kaki no.105. 13[13] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 7679.

Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.14[14] Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945) Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai melirik dan memberi dukungan kepada para tokohtokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.15[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia.16[16] Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.17[17] Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan

14[14] Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, hal. 34, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy,Islam dan Negara, op.cit., hal. 83. 15[15] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 84. Mereka antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.H.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan UndangUndang Dasar 1945, jilid I dan II, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, hal. 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan Hukum Islam, hal. 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di Konstituante, jilid III. Bandung: Secretariat Jenderal Konstituante, 1959, hal. 35. 16[16] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 85. 17[17] Ibid., hal. 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah orang Indonesia asli dan beragama Islam.

kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itumenyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.18[18] Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi kabut rahasiasuatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.19[19] Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950 Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.20[20] Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.

18[18] Ibid., hal. 92-93. 19[19] Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa tahun, hal. 325,sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 91. 20[20] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 103.

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.21[21] Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.22[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat hadangan kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.23[23] Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap. 24 [24] Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah dokumen historis. 25[25] Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya bernuansakan Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962

21[21] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 110-111. 22[22] Ibid., hal. 112. 23[23] Ibid., hal. 113. 24[24] Ibid., hal. 115. 25[25] Ibid., hal. 131-133.

dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan- kesadaran teologispolitisnya.26[26] Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno27[27]- bersama dengan PKI dan PNI28[28] kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.29[29] Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan perhatian itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. 30[30] Lalu bagaimana dengan hukum Islam? Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil

26[26] Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, hal. 10, sebagaimana dikutip dariBahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 96-97. 27[27] Ini adalah manifesto politik yang terdiri dari (1) kembali ke UUD 1945; (2) sosialisme Indonesia: (3) demokrasi terpimpin: (4) ekonomi terpimpin; dan (5) kepribadian Indonesia. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 110. 28[28] Masing-masing diwakili oleh Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan Suwirjo (PNI). 29[29] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 140-141. 30[30] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 111-112.

yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.31[31] Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.32[32] Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.33[33] Hukum Islam di Era Reformasi Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undangundang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.34[34] Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syariat Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.35[35] Penutup Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan

31[31] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 149-150, dan 153. 32[32] Lihat beberapa alasan diterimanya UU ini dalam Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit,hal. 163-164. 33[33] Ibid., hal. 156-157. Kompilasi ini terdiri dari tiga buku: (1) tentang Hukum Perkawinan, (2) tentang Hukum Kewarisan; dan (3) tentang Hukum Perwakafan. 34[34] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000. 35[35] Ibid.

bijaksana. Karena menegakkan yang maruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang maruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kemarufan Islam.36[36] Proses pengakraban bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita. Wallahu alam.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005. 2. 3. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998. Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000. 4. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syariah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H. Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Untuk lebih jelasnya silahkan Anda simak uraian materi berikut ini A. Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di indonesia Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia. Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini. 1. Teori Gujarat

36[36] Lih. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syariah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?),Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah: a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia Cambay Timur Tengah Eropa. c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam. Demikianlah penjelasan tentang teori Gujarat. Silahkan Anda simak teori berikutnya. 2. Teori Makkah Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah: a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina. b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. SedangkanGujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi. c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir. Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri. Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham simak 3. Teori Persia Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti: a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro. b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al Hallaj. c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda- tanda bunyi Harakat. d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.

e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat. Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India). Demikianlah uraian materi tentang proses masuknya Islam ke Indonesia. Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan. Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang. Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing- masing. Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia. Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari: 1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur. 2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya. 3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban). 4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu. 5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik) 6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Jafar Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus. 7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak. 8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria. 9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)

Demikian sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah. Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab. Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besarbesaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin. Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk

menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi. Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani. Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para masyarakat dalam menunjang peradaban hidup mereka karena itulah para banyak masyarakat selalu mendapatkan problematika yang bermacam-macam yang datang secara langsung maupun tidak langsung dari komunitas yang dijadikan sebagai sasaran dakwah. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam

lingkungannya. Apabila masyarakat telahmencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan. Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia sangat pesat yang dimulai dari masuknya dari daerah Aceh dengan tujuan menyebarkan agama dakwah dengan menjual rempat-rempah.

BAB II PEMBAHASAN A. Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia

Disini berbeda pendapat tentang permulaan Islam di Indonesia antara lain: Bahwa kedatangan Islam pertama di Indonesia tidak identik dengan berdirinya kerajaan Isalam pertama di Indonesia mengingat bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah para pedagang, bukan missi tentara dan bukan pelarian politik. Mereka tidak ambisi langsung mendirikan kerajaan Islam. Lagi pula di Indonesia pada zaman itu sudah ada kerajaan-kerajaan Hindu, Budha yang banyak jumlahnya dan berkekuatan besar. Jadi masa tenggang antara kedatangan orang Islam pertama di Indonesia dengan berdirinya kerajaan Islam pertama adalah sangat lama. Nah disini timbul pertanyaan dibenak kita. Orang Islam dimanakah yang pertama dating dan berdakwah Islam di Indonesia, dan pada abad berapa? Ada beberapa teori untuk menjawab pertanyaan tersebut, antara lain sebagai berikut: 1. yang dating pertama kaili ialah myballig dari Persi (Iran) pada pertengahan abad 12 Masehi. Alasanya karena kerajaan Islam pertama di Indonesia bernama Pase (Pasai) berasal dari Persi. Ditambah dengan kenyataan bahwa orang Islam Indonesia sangat hormat dengan keturunan Sayid atau Habib yaitu keturunan Hasan dan Husen putra Ali Bin Abi Tholib. Yang dating pertama kali ialah Muballig dari India barat tanah Gujarat. Alasanya karena ada persamaan bentuk nisan dan gelar nama dari Muballig yang oleh Belanda dianggap sebagai kuburan orang-orang Islam yang pertama di Indonesia.

2.

Adapun hasil seminar yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1936 mengenai masuknya agama Islam di Indonesia menyimpulkan sebagai berikut: Menurut sumebr bukti yang terbaru, Islam pertama kali dating di Indonesia pada abad ke VII M/1 H di bawa oleh pedagang dan muballig dari negeri Arab. Daerah yang pertama di masuki ialah pantai barat pulau Sumatra yaitu di daerah Baros, tempat kelahiran ulama besar bernama Hamzah Fansyuri. Adapun kerajaan Islam yang pertama ialah di Pase. Dalam proses pengislaman selanjutnya orang-orang Islam bangsa Indonesia ikut aktif mengambil bagian yang berperan, dan proses itu berjalan secara damai. Kedatangan islam di Indonesia ikut mencerdaskan rakyat dan membina karakter bangsa. Karakter tersebut dapat di buktikan pada perlawanan rakyat melawan penjajahan bangsa asing dan daya tahannya mempertahankan karakter tesebut selama dalam zaman penjajahan barat dalam waktu 350 Tahun.

B.

Periode

Pada

Zaman

Belanda

Pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan satu peraturan yang mengharuskan para guru agama

memiliki izin khusus untuk mengajar. Banyak sikap mereka yang sangat merugikan lajunya perkembangan pendidikan agama di Indonesia, misalnya Setiap sekolah atau Madrasah harus memiliki izin dari bupati/pejabat pemerintahan belanda Harus ada penjelasan dari sifat pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci Para guru harus membuat daftar murid dalam bentuk tertentu dan mengirimkanya secara periodic kepada daerah yang bersangkutan.

Atas dasar perjuangan dari organisasi Islam, melalui konggres Al-Islam pada tahun 1926 di Bogor, peraturan tentang penyelenggaraan pendidikan islam yang di buat oleh pihak Belanda pada tahun 1905 dihapuskan dan diganti dengan peraturan yang baru yang terkenal dengan sebutan Ordonansi Guru. Menurut peraturan baru ini, izin Bupati tidak lagi diperlukan untuk menyelenggarakan pendidikan Islam. Guru agama cukup memberitahukan pada pejabat yang bersangkutan tentang maksud mengajar. Disamping itu, guru juga disuruh mengisi formulir yang telah disediakan oleh pejabat pemerintahan Belanda yang isinya berupa persoalan berupa murid dan kurikulum Di sekolah-sekolah Umum secara resmi belum diberikan pendidikan agama. Hanya di fakultas-fakultas hokum telah ada matakuliah Ismologi, yang dimaksudkan agar mahasiswa dapat mengetahui hokumhukum dalam Islam. Sedangkan dosen-dosen yang memberikan matakuliah Ismologi tersebut pada umumnya bukan orang Islam dengan menggunakan buku-buku atau literature yang dikarang oleh para orentalis. C. Periode Pada Zaman Jepang

Keadaan agak berubah, karena ada kemajuan dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah Umum. Hal ini disebabkan karena mereka mengetahui bahwa sebagian besar bangsa Indonesia adalah pemeluk agama Islam, maka untuk menarik simpati dari pemeluk agama Islam maka Jepang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan agama Islam. Terlebih lagi pada awalnya, pemerintah Jepang menampakan diri seakan-akan membela kepentingan Islam yang merupakan siasat untuk kepentingan perang Dunia II. Masalahnya Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama. Untuk mendekati umat Islam Jepang menempuh beberapa kebijakan diantaranya pada jaman Jepang dibentuknya KUA, didirikanya Masyumi dan pembentukan Hisbullah. Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam dunia pendidikan, yaitu sekolah-sekolah telah di selenggarakan dan dinegerikan meskipun sekolah-sekolah suasta lain seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diiziankan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh penduduk Jepang. Di Sumatra, organisasi-organisasi Islam menggabungkan diri dalam majelis Islam tinggi. Kemudian majelis tersebut mengajukan usul kepada pemerintah Jepang, agar di sekolah-kolah pemerintah diberikan pendidikan agama sejak sekolah rakyat tiga tahun dan ternyata usul tersebut disetujui dengan syarat tidak diberikan anggaran biaya untuk guru-guru agama. Mulai saat itu maka pendidikan agama secara resmi boleh diberikan di sekolah-kolah pemerintah, namun hal ini hanya berlaku di pulau Sumatra saja. Sedangkan di daerah-daerah lain masih belum ada pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, yang ada hanya pendidikan budi pekerti yang didasarkan atau bersumber pada agama juga. D. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru

Kalau dirujuk kebelakang, memang sejak tahun 1966 terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia baik itu menyangkut kehidupan sosial agama maupun politik. Pada Orde Baru tekad yang di embank yaitu kembali pada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekwen sehingga pendidikan agama

memperoleh

tempat

yang

kuat

dalam

struktur

pemerintahan.

Pada masa Orde Baru pendidikan Islam dikembangkan masih dalam batas pemahaman dan pengembangan pengetahuan saja, baru setelah masuk pada abad 21 maka pendidikan Islam lebih difokuskan pada penerapan atau aktualisasi dari ilmu pengetahuan dan selalu didasrkan oleh keimanan dan ketakwaan. Hal ini sesuai dengan beberapa strategi yang diterapkan di sekolah-sekolah guna peningkatan kualitas peserta didiknya baik dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai landasan menuju pembaharuan masyarakat islam yang maju. Pada masa itu juga banyak jalan-jalan yang ditempuh untuk menyetarakan antara pendidikan agama dan pendidikan Umum. Hal ini bias dilihat dari surat keputusan bersama (SKB) 2 mentri tentang sekolah Umum dan Agama. Dengan adanya SKB tersebut, maka anak-anak yang sekolah agama bias melanjutkan kesekolah yang lebih tinggi. Kemudian untuk mengikis dualisme pendidikan bias dilakukan dengan cara pengintegrasian antara pelajaran umum dan agama, walaupun dualisme itu masalah klasik yang tidak mudah untuk dihapus. Tehknik pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-kolah umum mengalami perubahan-perubahan tertentu sehubungan dengan perkembangan cabang ilmu pengetahuan dan perubahan system proses belajar mengajar. Pendidikan Islam dengan pendidikan nasional semakin Nampak dalam rumusan pendidikan nasional yaitu pendidikan nasional ialah usaha sadar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, daya estetik, dan jasmaniany sehingga dia dapat mengembangkan dirinya dan bersama-sama dengan sesame manusia membangun masyarakatnya serta membudidayakan alam sekitar. E. Adapun 1) Tokoh-tokoh tokoh-tokoh Kyai Pendidikan pendidikan Haji Islam Ahmad Islam di Di Indonesia Dahlan Indonesia antara lain:

(1869-1923)

K.H Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 M dengan nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dari K.H Abu Bakar Bin Kyai Sulaiman, khatib di Masjid besar (Jami) kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, seorang penghulu Setelah beliau menamatkan pendidikan dasarnya di suatu Madrasah dalam bidang Nahwu, Fiqih dan Tafsir di Yogyakarta beliau pergi ke Makkah pada tahun 1890 dan beliau menuntut ilmu disana selama satu tahun. Salah seorang gurunya Syekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 beliau mengunjungi kembali ke Makkah dan kemudian menetap di sana selama dua tahun Beliau adalah seorang yang alim luas ilmu pengetahuanya dan tiada jemu-jemunya beliau menambah ilmu dan pengalamanya. Dimana saja ada kesempatan sambil menambah atau mencocokan ilmu yang telah diperolehnya. Observation lembaga pernah beliau datangi untuk mencocokan tentang ilmu hisab. Beliau ada keahlian dalam ilmu itu. Perantauanya kelauar pulau jawa pernah sampai ke Medan. Pondok pesantren yang besar-besar di Jawa pada waktu itu banyak dikunjungi. Cita-cita K.H Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah tegas, beliau hendak memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita agama Islam. Usaha-usahanya ditujukan hidup beragama, keyakinan beliau ialah bahwa untuk membangun masyarakat bangsa harus terlebih dahulu dibangun semangat bangsa. K.H Ahmad Dahlan pulang ke Rahmatullah pada Tahun 1923 M Tanggal 23 Pebruari dalam usia 55 Tahun dengan meninggalkan sebuah organisasi Islam yang cukup besar dan di segani karena ketegaranya. 2) K.H Hasim Asyari (1971-1947)

K.H Hasim Asyari dilahirkan pada tanggal 14 Februari tahun 1981 M di Jombang Jawa Timur mula-mula beliau belajar agama Islam pada ayahnya sendiri K.H Asyari kemudian beliau belajar di pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke Plangitan Semarang Madura dan lain-lain.

Sewaktu beliau belajar di Siwalayan Panji (Sidoarjo) pada tahun 1891, K.H Yakub yang mengajarnya tertarik pada tingkahlakunya yang baik dan sopan santunya yang harus, sehingga ingin mengambilnya sebagai menantu, dan akhirnyabeliau dinikahkan dengan putri kiyainya itu yang bernama Khadijah (Tahun 1892). Tidak lama kemudian beliau pergi ke Makkah bersama istrinya untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim selama setahun, sedang istrinya meninggal di sana. Pada kunjunganya yang kedua ke Makkah beliau bermukim selama delapan tahun untuk menuntut ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari Makkah beliau membuka pesantren Tebuiring di Jombang (pada tanggal 26 Rabiulawal tahun 1899 M) Jasa K.H Hasim Asyaari selain dari pada mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng ialah keikutsertaanya mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bahkan beliau sebagai Syekul Akbar dalam perkumpulan ulama terbesar di Indonesia. Sebagai ulama beliau hidup dengan tidak mengharapkan sedekah dan belas kasihan orang. Tetapi beliu mempunyai sandaran hidup sendiri yaitu beberapa bidang sawah, hasil peninggalanya. Beliau seorang salih sungguh beribadah, taat dan rendah hati. Beliau tidak ingin pangkat dan jabatan, baik di zaman Belanda atau di zaman Jepang kerap kali beliau deberi pangkat dan jabatan, tetapi beliau menolaknya dengan bijaksana. Banyak alumni Tebuiring yang bertebarang di seluruh Indonesia, menjadi Kyai dan guru-guru agama yang masyhur dan ada diantra mereka yang memegang peranan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia, seperti mentri agama dan lain-lain (K.H A. Wahid Hasyim, dan K.H Ilyas). K.H Asyari wafat kerahmatullah pada tanggal 25 Juli 1947 M dengan meninggalkan sebuah peninggalan yang monumental berupa pondok pesantren Tebuiring yang tertua dan terbesar untuk kawasan jawa timur dan yang telah mengilhami para alumninya untuk mengembangkanya di daerah-daerah lain walaupun dengan menggunakan nama lain bagi pesantren-pesantren yang mereka dirikan. 3) K.H Abdul Halim (1887-1962)

K.H Abdul Halim lahir di Ciberelang Majalengka pada tahun 1887. beliau adlah pelopor gerakan pembeharuan di daerah Majalengka Jawa Barat yang kemudian berkembang menjadi Perserikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911. yang kemudian berubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 M. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama (ayahnya adalah seorang penghulu di Jatiwangi), sedangkan famili-familinya tetap mempunyai hubungan yang erat secara keluarga dengan orang-orang dari kalangan pemerintah. K.H Abdul Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak dengan belajra diberbagai pesantren di daerah Majalengka sampai pada umur 22 Tahun. Ketika beliau pergi ke Makkah untuk naik haji dan untuk melanjutkan pelajaranya. Pada umumnya K.H Abdul Halim berusaha untuk menyebarkan pemikiranya dengan toleransi dan penuh pengertian. Dikemukakan bahwa beliau tidak pernah mengecam golongan tradisi ataupun organisasi lain yang tidak sepaham dengan beliau, tablignya lebih banyak merupakan anjuran untuk menegakan etika di dalam masyarakat dan bukan merupak kritik tentang pemikiran ataupun pendapat orang lain. Pada tanggal 7 Mei 1962 K.H Abdul Halim pulang kerahmatullah di Majalengka Nawa Barat dalam usia 75 Tahun dan dalam keadaan tetap teguh berpegang pada majhab Safii.