seindah rinai hujan

9
SEINDAH RINAI HUJAN KARYA : HENI HANDAYANI Hujan itu indah. Hujan itu anugerah. Berjuta bidadari kecil turun dan melompat-lompat manja, seakan mengisyaratkan apa yang tengah akurasakan. Seakan ingin turut hadir dalam kebahagiaan yang tengah aku dapatkan. ku nikmati hujan sore itu. Airnya begitu lembut membelai rambutku. Tak ku hiraukan nasihat ibuku yang melarangku terkena air hujan. Beliau berkata bahwa air hujan akan membawa penyakit. Namun, tak begitu yang aku rasakan kini. Air itu begitu hangat mengalir. Mengalir begitu lembut hingga aku tak sadar kalau sekujur tubuhku telah dibasahinya. Banyak orang yang berjalan di sekitarku memandangku dengan pandangan heran. Tak jarang mereka yang mengerutkan kening. Mungkin mereka mengira aku telah hilang kesadaran karena berjalan tanpa pelindung di tengah hujan. Ditambah lagi dengan senyum yang terus mengembang di bibirku. Tapi, apalah arti pandangan mereka terhadapku. Hanya aku yang tahu apa yang membuatku seperti itu. Hanya aku dan orang yang ada di sampingku. Dia berjalan beriringan denganku. Bahkan begitu dekat. Tak ada lagi jarak yang memisahkan kami, karena tangan kami saling terpaut. Itulah yang menambah keindahan hujan sore itu. Pemuda itu memang bukan siapa-siapa bagiku. Tapi, cukup bisa meneduhkanku di kala hujan seperti ini. Aku merasa begitu nyaman di sampingnya. Kenyamanan itu tak dapat kuartikan dan aku tak akan pernah bisa menganrtikannya, karena rasa itu hanya dapat ku rasakan. Perjalanan kami memang sangat jauh. Tujuan kami adalah ke rumah salah satu teman kami, Ninda. Awalnya memang dia berencana untuk ke rumahku. Namun, karena aku takut pada orang tuaku, maka ku ajak dia ke

Upload: heni-handayani

Post on 30-Jun-2015

54 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Seindah rinai hujan

SEINDAH RINAI HUJAN

KARYA : HENI HANDAYANI

Hujan itu indah. Hujan itu anugerah. Berjuta bidadari kecil turun dan

melompat-lompat manja, seakan mengisyaratkan apa yang tengah

akurasakan. Seakan ingin turut hadir dalam kebahagiaan yang tengah aku

dapatkan. ku nikmati hujan sore itu. Airnya begitu lembut membelai

rambutku. Tak ku hiraukan nasihat ibuku yang melarangku terkena air

hujan. Beliau berkata bahwa air hujan akan membawa penyakit. Namun, tak

begitu yang aku rasakan kini. Air itu begitu hangat mengalir. Mengalir

begitu lembut hingga aku tak sadar kalau sekujur tubuhku telah

dibasahinya. Banyak orang yang berjalan di sekitarku memandangku

dengan pandangan heran. Tak jarang mereka yang mengerutkan kening.

Mungkin mereka mengira aku telah hilang kesadaran karena berjalan tanpa

pelindung di tengah hujan. Ditambah lagi dengan senyum yang terus

mengembang di bibirku. Tapi, apalah arti pandangan mereka terhadapku.

Hanya aku yang tahu apa yang membuatku seperti itu. Hanya aku dan

orang yang ada di sampingku. Dia berjalan beriringan denganku. Bahkan

begitu dekat. Tak ada lagi jarak yang memisahkan kami, karena tangan

kami saling terpaut. Itulah yang menambah keindahan hujan sore itu.

Pemuda itu memang bukan siapa-siapa bagiku. Tapi, cukup bisa

meneduhkanku di kala hujan seperti ini. Aku merasa begitu nyaman di

sampingnya. Kenyamanan itu tak dapat kuartikan dan aku tak akan

pernah bisa menganrtikannya, karena rasa itu hanya dapat ku rasakan.

Perjalanan kami memang sangat jauh. Tujuan kami adalah ke rumah

salah satu teman kami, Ninda. Awalnya memang dia berencana untuk ke

rumahku. Namun, karena aku takut pada orang tuaku, maka ku ajak dia ke

Page 2: Seindah rinai hujan

rumah teman dekatku. Dengan perasaan penuh bahagia, perjalanan panjang

pun tak terasa. Ketika sedang asyiknya bergurau, kami tak sadar bahwa

kami telah sampai di tempat yang kami tuju. Ninda pun hanya senyum

melihat kedatangan kami. Sepertinya dia pun ikut merasakan apa yang

tengah kami rasakan saat itu. Dia pun mempersilakan kami masuk. Kami

segera masuk dan duduk di kursi rotan yang mengisi penuh ruang tamu

rumah Ninda. Sepertinya ninda memang telah menyiapkan momen ini

untuk aku dan Desta. Ya, namanya Desta. Dia anak guru olahragaku.

Bukan karena itu aku dekat dengannya. Tapi, karena dia telah

memenjarakan hatiku. Tape recorder milik Ninda pun kini tengah

bersenandung merdu. Terlantun indah lagu milik Christian Bautista “The

Way You Look At Me”. Suaranya yang sendu menambah keindahan hujan

sore itu. Tak dapat ku pungkiri kalau hatiku begitu bahagia saat itu.

Namun, kebahagiaan itu justru membuatku canggung menghadapi situasi

itu. Aku tak banyak bicara. Bibirku terasa kelu dan tak sanggup berucap.

Hanya senyum yang dapat mengisyaratkan bahagianya diriku kini.

Sedang asyik-asyiknya menikmati alunan lagu itu, tiba-tiba jam

dinding di rumah Ninda pun berdentang menunjukkan pukul tiga sore. Aku

terkejut, aku teringat dengan pesan ibu. Beliau berpesan agar jangan sampai

aku pulang lewat jam tiga karena aku harus berangkat madrasah. Segera

aku bergegas pulang, Desta pun hanya memandangku dengan penuh tanya.

Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Yang aku lakukan hanya

mengambil jaketku yang sedari tadi tersandar di punggung kursi dan

mengenakannya. Dengan setengah berlari, aku menuju madrasah. Namun,

tujuan pertamaku bukan madrasahku melainkan rumah Sandra. Dia teman

madrasahku. Aku berharap dapat meminjam busana muslim untukku

kenakan ke madrasah nanti. Sesampainya aku di halaman rumah Sandra,

dia begitu terkejut dengan kedatanganku. Mungkin lebih tepatnya dengan

Page 3: Seindah rinai hujan

keadaanku yang basah kuyup. Dengan sigap dia mengambil payung dan

melindungiku dari derasnya air hujan dengan payung tersebut.

Sesampainya di dalam rumah, dia memandangku dengan penuh

pertanyaan terpendam di benaknya.

“Kenapa San, kok ngelihatnya gitu ?” tanyaku heran

“Aku yang harusnya tanya Di. Kenapa kamu hajan-hujanan gini. Masih

pake jeans lagi. Emangnya kamu darimana ?” tanyanya sambil

mengerutkan kening.

“Besok-besok aja deh jelasinnya. Sekarang udah mau masuk kan. Sekarang

aku pinjam baju muslimmu dong.” Kataku menyingkat pembicaraan

“Ya deh. Tapi lain kali kamu kasih tahu aku lho,kenapa kamu kayak gini.

Ya udah sana, keringkan badanmu dan ambil bajunya di lemariku. Terserah

kamu mau pake yang mana.” Balas Sandra

“Oke deh.” Sambungku sambil berlalu menuju kamarnya.

Setelah aku mengeringkan tubuhku, aku pun segera mengganti

pakaianku yang basah kuyup oleh guyuran air hujan dengan baju muslim

milik Sandra.

Kenangan sore itu begitu indah. Pertama kalinya jemariku bergelayut

manja di sela-sela jemari seorang lelaki. aku tak menyangka kejadian sore

itu. Aku tak menyangka kalau dia akan datang ke rumahku. Sempat

terbesit rasa malu dalam benakku. Aku tak yakin dia akan mau datang lagi

ke rumahku. Atau mungkin dia bahkan akan menjauhiku setelah tahu

keadaan rumahku. Aku bukan berasal dari keluarga yang berada. Rumahku

begitu sederhana. Berlantai tanah dan masih berdinding batu-bata yang

masih merah. Sedangkan dia adalah putra seorang guru. Hidupnya

Page 4: Seindah rinai hujan

berkecukupan. Namun, semua prasangka burukku akan hal itu seakan

lenyap saat dia meraih dan menggenggam tanganku begitu erat di

sepanjang perlanan ke rumah Ninda. Sepertinya dia tak peduli dengan

keadaan ekonomiku. Dia begitu melindungiku di tengah guyuran air hujan

yang begitu deras mengguyur sekujur tubuhku.

Dua hari setelah kejadian sore itu, aku masih tak dapat

melupakannya. Bahkan aku semakin yakin bahwa aku menyayanginya.

Aku tahu bahwa orang tuaku tak kan mengizinkanku untuk menjalin

hubungan dengan seorang lelaki. Namun, aku tak tega jika harus

menggantungnya seperti ini. Lagi pula aku tak kuasa untuk membohongi

perasaanku. Akhirnya ku putuskan untuk menerima cintanya. Sebagai

sahabat dekatku, aku meminta pertimbangan Ninda mengenai keputusan

yang akan aku ambil itu. Namun, sungguh betapa kecewanya hatiku ketika

mendengar tanggapan darinya. Dia mengatakan bahwa Desta sering

dimarahi ayahnya semeunjak mendekatiku. Bahkan sepulang dari kejadian

manis sore itu, dia tidah diberi uang jajan selama sebulan. Dan sekarang dia

tengah bekerja di salah satu pabrik aksesoris untuk dapat menghasilkan

uang. Betapa teririsnya batinku mendengar semuanya. Ternyata sikap

ayahnya tak ubahnya dengan sikap orang tuaku. Mereka belum

mengizinkan kami untuk menjalin hubungan. Jadi…. Haruskah aku

menolaknya ? Ya, akan menolaknya untuk sekarang, tapi, tidak untuk

beberapa tahun kemudian. Aku yakin aku sayang padanya. Dan aku juga

yakin dia mampu menjagaku. Aku harap dia mengerti makksudku

mengambil keputusan ini.

Sungguh hancur hatiku ketika melihat deraian air mata membasahi

pipinya. Aku tak pernah melihat seorang lelaki menangis untukku. Aku

tahu dia begitu kecewa. Atau mungkin dia begitu membenciku. Aku siap

dengan apa pun tanggapan yang akan dia ambil padaku. Aku tak ingin dia

Page 5: Seindah rinai hujan

tahu bahwa aku juga mencintainya. Karena ini akan membuatnya semain

mendekatiku, dan inilah yang membuat ayahnya semakin geram. Dan

mungkin akan menyiksanya lebih dari itu. Maka ku coba untuk ku

kuatkan seluruh perasaanku untuk tetap tegar melihatnya menangis. Aku

tak mau ikut menangis. Tapi, akhirnya aku tak tahan juga. Lalu, ku

putuskan untuk meninggalkannya sendiri di kelas. Aku bergegas ke

taman. Disanalah aku meluapkan seluruh perasaanku. Aku menangis sejadi-

jadinya. Aku tak kuat memendam perasaan ini. Rasanya begitu

menyesakkan hati. Aku sungguh tak kuasa. Aku tak mau dia menjauhiku

apalagi membenciku. Namun, inilah yang dapat membuatnya lepas dari

hukuman ayahnya.

Kini waktu telah berjalan tiga tahun. Dan aku telah menjadi sosok

gadis remaja. Aku sekarang duduk di kelas XII IPA 2. Kebanyakan teman

seusiaku telah memiliki pasangan. Bahkan teman sebangkuku yang

dikenal alim pun kini telah berani berkencan dengan seorang laki-laki.

Sempata aku merasa iri dengan mereka. Tapi, apa yang harus aku perbuat.

Bukankah ini semua salahku ? Sudah tiga orang laki-laki mengungkapkan

perasaannya padaku, tetapi aku menolaknya. Aku melakukannya dengan

alasan belum berani pacaran. Tapi, sekarang aku malah iri dengan teman-

temanku yang memiliki pacar ? Tak sepantasnya aku mempunyai perasaan

itu. Tapi, aku tak dapat membohongi diriku sendiri. Aku ingin seperti

mereka. Aku ingin ada seorang lelaki yang menjagaku. Tapi, ku ingin dia.

Dia…..cinta pertamaku. Dia lelaki yang tak akan pernah ku lupakan, dan

dia lelaki yang telah ku hancurkan hatinya. Begitu pilu hatiku mengenang

semuanya. Kadang sempat aku menitikkan air mata ketika mengenang

kejadian itu.

Untuk melupakan semuanya, akhirnya ku putuskan untuk

menerima cinta teman sekelasku, Putra. Aku tak punya alasan yang kuat

Page 6: Seindah rinai hujan

untuk menerimanya. Jangankan cinta, kagumpun tidak. Banyak temanku

yang kecewa dengan keputusanku itu. Mereka terkesan menyesali semua

yang telah aku ambil. Memang wajar mereka bersikap demikian. Sosok

Putra yang tergolong urakan, ditambah lagi dengan prestasi belajarnya

yang dapat dikatakan di bawah rata-rata sungguh bertolak belakang

denganku. Sebenarnya aku pun sependapat dengan mereka. Tapi, semua ini

aku lakukan untuk dapat menghapus semuas perasaan dan semua

kenanganku bersama desta. Karena aku tak mungkin memilikinya lagi.

Kini dia telah memiliki seorang kekasih.

Hubunganku dengan Putra baru berjalan selama sebulan. Aku

mencoba untuk mencintainya. Aku belajar untuk bersikap manis padanya.

Namun, semua yang aku lakukan tak seindah yang aku harapkan. Dia

begitu cuek padaku. Bahkan tak jarang dia merangkul teman wanita di

depanku. Semapat terbesit niat untuk mengakhiri hubungan ini. Tapi, aku

merasa takut kehilangannya. Aku merasa telah jatuh hatinya padanya. Jadi

sebisa mungkin aku bertahan dengan keadaan yang begitu mengiris relung

hatiku.

Hingga sampailah pada suatu peringatan hari Kartini, emosiku tak

tak terbendung lagi. Aku merasa diinjak-injak dan tak punya harga diri

lagi. Awalnya aku tak tahu kejadian itu. Namun, sungguh di luar dugaan,

Desta masih peduli padaku. Dia mengantarku ke kelas XI IPS 3. Di sanalah

semua pertanyaanku mengenai sikap Putra terjawab. Kulihat sebuah ciuman

mendarat mesra di kening Lia. Dia pacar teman Desta. Dan mereka terlihat

begitu menikmati suasana itu. Ku rasakan kakiku begitu rapuh untuk

berdiri. Aku semakin tak kuat jika aku harus terus berada di situ. Jadi,

kuputuskan untuk meninggalkan mereka. Namun untuk memperjelas

status hubunganku dengan putra, maka ku hampiri mereka untuk sekedar

Page 7: Seindah rinai hujan

mengatakan “ Kita Putus”. Tak sempat ku perhatikan respon dari Putra

maupun Lia. Aku tak ingin terlihat rapuh di hadapan mereka.

Semenjak kejadian memilukan sekaligus memalukan itu, aku

enggan dekat dengan seorang lelaki. Waktuku lebih banyak ku habiskan di

rumah untuk menyiapkan segala keperluan menjelang kuliah. Namun,

sungguh tak pernah ku sangka. Malam itu dia datang. Desta kembali

datang ke rumahku. Ini adalah kedatangannya yang kedua setelah tiga

tahun yang lalu. Ketika aku membuka pintu, aku tertegun. Namun, tak

berapa lama, aku dapat menguasai diriku. Aku tak tahu apa maksud

kedatangannya. Setelah dia bicara panjang lebar, akhirnya dia mengatakan

kata-kata yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.

“ Di, aku masih menyayangimu. Dan aku masih menunggumu.” Katanya

lirih.

“menunggu apa. Bukannya kamu sudah punya pacar ?”Kataku tertunduk.

“Kata siapa dia pacarku. Memang aku sempat ingin menjadikannya pacarku

untuk melupakanmu. Tapi, aku nggak bisa ngelakuin itu Di.” Sambungnya

sambil menggenggam erat jemariku.

“Jadi kamu nggak pacaran sama dia ? Sebenarnya aku juga pacaran sama

Putra karena aku ingin melupakannya. Karena aku lihat kamu sudah

punya pacar…..jadi, selama kita kita salah paham ?” Tanyaku

“Iya Di. Sekarang kamu nggak punya alasan lain untuk menolakku. Dulu

kamu bilang kalau kamu takut ayah melarangku kan. Tapi, sekarang

beliau telah mengizinkanku. Jadi, bisa dong kita jadian ?” Tanyanya

dengan penuh harap.

Page 8: Seindah rinai hujan

“Siapa bilang bisa. Terus oorang tuaku gimana ? belum tentu mereka ngasig

izin.” Balasku

“Kami mengizinkan sayang. Lagian kalian sudah dewasa. Pastinya mampu

untuk saling menjaga. Kami yakin desta mampu menjagamu.” Sahut

ayahku.

Sungguh bahagianya hatiku mendengar kata-kata ayah.

Penantianku selama tiga tahun akhirnya berbuah manis. Sekarang aku dan

desta resmi pacaran. Namun, kami harus bersabar dulu untuk dapat

meresmikan hubungan ini ke jenjang pernikahan. Karena aku masih harus

menyelesaikan pendidikanku di bangku kuliah selama 4 tahun ke depan.

Sedangkan Desta harus bekerja di Kupang untuk mencari penghasilan yang

cukup. Dia memang tidak kuliah karena dia merasa ingin mengembangkan

bakatnya dalam berbisnis.

Sore itu adalah keberangkatan Desta ke Kupang. Dia tak mau seluruh

anggota keluarga mengantarnya. Dia hanya ingin aku yang melepas

kepergiannya. Dengan diiringi rintik hujan akhirnya aku kami tiba di

bandara. Tak lama menunggu, akhirnya pesawat yang akan dinaiki Desta

akan Take off.

“ Di, aku berangkat dulu ya. Jaga dirimu baik-baik.” Katanya sambil

membelai rambutku.

“Ya, sayang.” Balasku sembari meneteskan air mata.

“Aku sayang kamu.” Lanjutnya sambil mengecup keningku.

“Aku juga” Balasku.

Page 9: Seindah rinai hujan

Desta mulai melangkah meninggalkanku. Namun, aku melepasnya

dengan kebahagiaan, karena kini diau milikku. Dia kekasihku. Dan rinai

hujan sore itu kembali menjadi saksi manisnya kenangan aku dan desta.