saudagar laweyan abad xx (peran dan eksistensi dalam

71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user SAUDAGAR LAWEYAN ABAD XX (PERAN DAN EKSISTENSI DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN MUSLIM) Skripsi Oleh : AN NUUR SAKHAA. HP K4406008 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Upload: nguyenngoc

Post on 19-Jan-2017

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user i

SAUDAGAR LAWEYAN ABAD XX

(PERAN DAN EKSISTENSI DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN MUSLIM)

Skripsi

Oleh :

AN NUUR SAKHAA. HP

K4406008

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii �

SAUDAGAR LAWEYAN ABAD XX

(PERAN DAN EKSISTENSI DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN

MUSLIM)

Oleh :

An Nuur Sakhaa Hazmitha Putri

K4406008

Skripsi

Ditulis Dan Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan

Gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 3: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii �

Halaman persetujuan

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas sebelas maret surakarta.

Surakarta, 02 Februari 2011

Pembimbing I

Dr. Hermanu Joebagyo, M. Pd. NIP. 19560303 198603 1 001

Pembimbing II

Drs. Leo Agung.S. M.Pd NIP. 19560515 198203 1 005

Page 4: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv �

Skripsi ini dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas sebelas maret surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Pada hari : ..........................

Tanggal : ..........................

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Djono, M. Pd ……………

Sekretaris : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ……………..

Anggota I : Dr. Hermanu. J. M. Pd ………........

Anggota II : Drs. Leo Agung S. M. Pd ……………..

Disahkan oleh Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan

Prof.Dr. M.Furqon Hidayatullah, M.Pd NIP. 19600727 198702 1 001

Page 5: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v �

ABSTRAK

An Nuur Sakhaa Hazmita Putri. K4406008. Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam Membangun Perekonomian Muslim). Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas Sebelas Maret, Januari 2011. Kata kunci : saudagar batik, peran dan eksistensinya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) Perkembangan batik Laweyan abad XIX - XX, (2) peran politik saudagar Laweyan, (3 ) Peran dan eksistensi saudagar Laweyan dalam perkembangan perekonomian muslim .

Penelitian ini menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik sumber, interpretasi, historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber tertulis yang meliputi sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Data dianalisis dengan menggunakan analisis historis yang mengutamakan ketajaman interpretasi sejarah. Langkah-langkah menganalisis data adalah: (1) pengumpulan data yang kemudian diklasifikasikan sesuai tema penelitian, (2) terhadap sumber yang didapat dilakukan kritik intern (content analysis) dan kritik ekstern (contruct analysis) untuk menentukan kredibilitas dan otentitas sumber, (3) Dari data yang didapatkan digunakan pendekatan kerangka teori, konsep, metodologi yang berfungsi sebagai kritria penyelesaian, identifikasi dan pengklasifikasian, (4) merangkaikan fakta-fakta untuk mengetahui hubungan sebab–akibat antar peristiwa satu dengan peristiwa yang lain, (5) Fakta–fakta yang sudah didapatkan dan dihubungkan kemudian disusun menjadi sebuah karya yang menyeluruh.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) Daerah Laweyan, Surakarta dikenal sebagai salah satu sentra industri batik di Jawa Tengah. Kegiatan pembatikan pada mulanya masih mempergunakan peralatan yang sederhana, yaitu canting. Industri batik tradisional di Laweyan yang semakin maju, membuat para pengusaha berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan batik lebih cepat daripada dengan menggunakan canting. Kemudian dibuatlah alat cap, di samping canting untuk memproduksi batik secara tradisional. Dari masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan (2) Organisasi Sarekat Islam (SI) bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada tahun 1911 di kota Solo oleh seorang saudagar batik bernama Haji Samanhudi. SDI yang berdasarkan koperasi dengan tujuan memajukan perdagangan pribumi dengan panji-panji Islam yang menaunginya.Perubahan nama menjadi Sarekat Islam, berawal dari saat perkumpulan SDI tersebut menyusun statuennya. (3) Saudagar laweyan berperan penting dalam memajukan perekonomian muslim laweyan. Dengan mempertimbangkan begitu besar peranan saudagar Laweyan dalam menumbuhkan sektor ekonomi kota maka kehadiran mereka dalam masyarakat Solo, tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, trikhotomi Geertz, dalam melihat masyarakat Jawa atas pembagian abangan, santri dan priyayi dirasakan tidak cocok, terutama dalam masyarakat Solo.

Page 6: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi �

ABSTRACT

An Nuur Sakhaa Hazmita Putri. K4406008. The enterpreneurs Laweyan Abad XX (The Role and Their existence of Developing Muslim Economies). Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, University Eleven March, January 2011. Key word : batik merchants, the role and existence.

The purpose of this study was to described: (1) The development of batik Laweyan since nineteenth century, (2) political role the enterpreneurs Laweyan, (3) The Role and Their existence of Developing Muslim Economies.

This study uses the historical method with i.e heuristic, critical sources, interpretation, historiography. The data used in writing this essay was written sources including primary sources and secondary sources. Data collection techniques using literature study. Data were analyzed using a historical analysis that prioritizes acuity interpretation of history. The steps to analyze the data are: (1) collecting data and then classified according to the research theme., (2) of the sources that get done internal criticism (content analysis) and external criticism (contruct analysis) to determine the credibility and authenticity of sources, (3 ) From the data obtained is used approach the theoretical framework, concepts, methodology that serves as kritria settlement, identify and classify, (4) weave the facts to determine cause-effect relationship between one event with another event, (5) The facts which has been established and connected then compiled into a comprehensive work.

Based on the results of this study concluded: (1) Regional Laweyan, Surakarta, known as one of the centers of batik industry in Central Java. Activities at first batik still use simple tools, that is canting. Ornamental pattern produced batik is still imitating decoration of the palace, as well as dark coloring that tends to and use of natural dyes. Laweyan traditional batik industry in which the more advanced, making employers think to create equipment that can produce batik batik faster than using a canting. Then the stamp was made tools, in addition to producing batik canting traditionally. From time to time many batik world began to change (2) Organization of SI (SI) SI Trade originated from Islam (SDI), which was founded in 1911 in the city of Solo by a merchant named Haji Samanhudi batik. SDI is based on cooperative with the aim of promoting indigenous trade with the banner of Islam which menaunginya.Perubahan its name to SI, starting from when SDI is set statuennya associations. (3) Merchant Laweyan play an important role in advancing the economy Laweyan Muslim. Considering the enormous role of entrepreneurs in growing sectors of the economy Laweyan city then their presence in society Solo, can not be ignored. Therefore, trikhotomi Geertz, in view of the division abangan Javanese society, students and aristocratic feel is not suitable, especially in people of Solo.

Page 7: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii �

Motto

• Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua.(Aristoteles)

• Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan padanya jalan menuju ke surga” (H.R. Muslim)

Page 8: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii �

PERSEMBAHAN :

� Bapak dan Ibu tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, doa dan

dukunganmya.

� Kakak-kakakku tercinta.

� keluarga besarku.

� Sahabat-sahabatku : Dian, Anggi, Sri Wahyuni, Wendha, Farukh, Brian.

� Seseorang yang telah memberi doa, dan kasih sayang untukku.

� Almamater.

Page 9: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix �

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian

persyaratan mendapatkan gelar Sarjana pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan

yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bantuannya, disampaikan terima

kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial FKIP Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial

FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang juga telah memberikan

ijin untuk penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd, selaku pembimbing I yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini

dapat diselesaikan.

5. Drs. Leo Agung.S,M.Pd, selaku pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat

diselesaikan.

6. Semua dosen Pendidikan sejarah FKIP UNS.

7. Masyarakat Laweyan Surakarta dan sekitarnya, atas segala informasinya

yang sangat bermanfaat bagi penulis.

8. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan semua bantuan baik

berupa semangat dan dorongan maupun materiil.

9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu, yang telah

memberikan bantuan, doa dan dorongan guna penyusunan dan

penyelesaian skripsi ini.

Page 10: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x �

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis

harapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan

perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Januari 2011

Penulis

Page 11: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi �

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL................................................................................................................................. i

PENGAJUAN...................................................................................................................... ii

PERSETUJUAN.................................................................................................................. iii

PENGESAHAN................................................................................................................... iv

ABSTRAK........................................................................................................................... v

ABSTRACT......................................................................................................................... vi

MOTTO............................................................................................................................... vii

PERSEMBAHAN............................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR......................................................................................................... ix

DAFTAR ISI........................................................................................................................ xi

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................ xiv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................................ 1

B. Perumusan Masalah............................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian................................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian................................................................................................. 7

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka.................................................................................................... 8

1. Struktur Masyarakat Jawa................................................................................ 8

2. Kebudayaan Jawa............................................................................................. 11

3. Saudagar Dan Batik......................................................................................... 18

B. Kerangka Pemikiran............................................................................................... 19

Page 12: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii �

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian................................................................................ 21

1. Tempat Penelitian............................................................................................ 21

2. Waktu Penelitian............................................................................................. 21

B. Metode Penelitian................................................................................................. 21

C. Sumber Data.......................................................................................................... 23

D. Teknik pengumpulan data..................................................................................... 24

E. Teknik Analisis Data............................................................................................. 24

F. Prosedur Penelitian Data....................................................................................... 25

1. Heuristik......................................................................................................... 25

2. Kritik.............................................................................................................. 26

3. Interprestasi.................................................................................................... 26

4. Historiografi................................................................................................... 27

BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Perkembangan Batik Di Laweyan Abad XIX – XX.............................................. 28

1. Asal Mula Batik Laweyan............................................................................... 28

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Batik Laweyan............. 31

a. Kondisi Masyarakat.................................................................................. 31

b. Semangat Kerja......................................................................................... 36

B. Peran Politik Saudagar Laweyan........................................................................... 40

a. Sejarah Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI)............................................ 40

b. Tujuan Organisasi Sarekat Dagang Islam....................................................... 42

c. Masuknya Pengaruh Komunisme.................................................................... 43

d. Perkembangan Sarekat Islam Pra Kemerdekaan............................................. 44

C. Peran Dan Eksistensi Saudagar Laweyan Dalam Membangun Perekonomian

Muslim.................................................................................................................... 48

���

Page 13: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii �

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................. 54

B. Implikasi................................................................................................................. 56

1. Implikasi Teoritis.............................................................................................. 56

2. Implikasi Praktis............................................................................................... 57

C. Saran ....................................................................................................................... 58

1. Mahasiswa......................................................................................................... 58

2. Masyarakat........................................................................................................ 58

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 59

LAMPIRAN........................................................................................................................ 62

�����

Page 14: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv �

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bunker Kampung Batik Laweyan Jadi Tempat Wisata

Suara Merdeka, 08 Agustus 2010..................................................... 62

Lampiran 2 Kebangkitan kampung batik laweyan

Suara Merdeka, 7 November 2009.................................................... 63

Lampiran 3 Samanhoedi, Batik, dan Kota Solo

Wawasan, 18 Oktober 2010.............................................................. 66

Lampiran 4 Menggagas Laweyan Living Museum

Suara Merdeka, 10 Nopember 2008.................................................. 68

Lampiran 5 Kawasan Wisata Kampung Batik Laweyan (1)

Dari Bandar hingga Pusat Pengembangan Islam

Suara Merdeka, Senin, 27 September 2004 ..................................... 71

Lampiran 6 Laweyan, Kiai Ageng Ngenis dan Cikal Bakal Mataram Islam

Suara merdeka, Rabu, 21 Agustus 2002........................................... 73

Lampiran 7 Tabel Daftar Industri batik di Laweyan ........................................... 75

Lampiran 8 Daftar Nama informan....................................................................... 79

Lampiran 9 Hasil Wawancara.............................................................................. 80

Lampiran 9 Surat ijin penelitian........................................................................... 86

Lampiran 10 Jurnal International............................................................................ 92

Page 15: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1 �

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kampung Laweyan sudah ada sejak tahun 1500 sebelum masehi.

Daerah Laweyan dulu banyak ditumbuhi pohon kapas dan merupakan sentra

industri benang yang kemudian berkembang menjadi sentra industri kain tenun

dan bahan pakaian. Kain-kain hasil tenun dan bahan pakaian ini sering disebut

dengan Lawe, sehingga daerah ini kemudian disebut dengan Laweyan. Industri

dan perdagangan di Laweyan semakin berkembang semenjak digunakannya Kali

Kabangan sebagai jalur transportasi dari dan menuju Kerajaan Pajang. Sejak

masa Dinasti Mataram, kawasan ini memang sudah dikenal sebagai daerah para

pengrajin batik. Lantas muncul Panembahan Senapati cucu dari Ki Ageng

Pemanahan yang masa mudanya mempunyai julukan Ngabehi Loring Pasar, yang

banyak menandai artefak-artefak atau situs kawasan sejarah yang ditinggalkannya.

Laweyan semakin pesat ketika Kyai Ageng Henis (keturunan Brawijaya V) dan

cucunya yaitu Raden Ngabehi Lor Ing Pasar/ Sutawijaya yang kelak menjadi raja

pertama Mataram bermukim di Laweyan tahun 1546 M. Kyai Ageng Henis

dulunya beragama Hindu Jawa, namun semenjak singgahnya Sunan Kalijaga di

daerah ini ketika hendak menuju Kerajaan Pajang, Kyai Ageng Henis pun

kemudian masuk Islam. (Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004).

Kyai Ageng Henis bersama Sunan Kalijaga kemudian menyebarkan

agama Islam di kawasan Laweyan. Seorang tokoh yang amat disegani saat itu atas

pengaruh Kyai Ageng Henis akhirnya juga masuk Islam. Beliau adalah Kyai

Ageng Beluk. Setelah masuk Islam, Kyai Ageng Beluk kemudian mengubah

sanggarnya menjadi sebuah masjid untuk menunjang dakwahnya. Masjid ini lah

yang kemudian dikenal sebagai Masjid Laweyan yang dibangun pada tahun 1546

Masehi. Agama Islam pun menyebar dengan sangat pesat di Laweyan.

(Soedarmono, 2006: 20).

Batik sendiri awalnya diperkenalkan oleh Kyai Ageng Henis yang

memang menyukai kesenian. Selain menyebarkan agama, Kyai Ageng Henis juga

Page 16: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2 �

mengajarkan masyarakat bagaimana cara membuat batik. Jadilah Laweyan yang

dulunya hanya memproduksi kain tenun berubah menjadi produsen batik. Karena

letaknya yang strategis, Laweyan pun menjadi salah satu kota perdagangan yang

maju. Sebagai kota perdagangan, dibangunlah sebuah bandar (pelabuhan) yang

berada di sisi selatan kampung dan di sebelah timur masjid di pinggir Kali

Kabangan. Namun peninggalan bandar ini sudah tidak dapat ditemukan lagi.

Kehidupan masyarakat di Laweyan ini dapat kita lihat dari bentuk-

bentuk bangunan yang ada. Setiap rumah saudagar biasanya dikelilingi oleh

tembok-tembok tinggi. Tujuannya adalah saat itu demi alasan keamanan. Namun

walau setiap rumah dibatasi dengan tembok, antar rumah terdapat pintu yang

menghubungkan rumah satu dengan yang lainnya sehingga silaturahmi tetap

terjaga. Konon di beberapa rumah juga terdapat lorong bawah tanah dan bunker

yang berfungsi untuk mengungsi bila terjadi serangan (Soedarmono, 2006: 21)

Ketika masa penjajahan Belanda, pada tahun 1905 muncullah organisasi

Serikat Dagang Islam yang diprakarsai oleh K.H. Samanhudi, salah satu saudagar

batik. Tujuan didirikannya SDI saat itu sebenernya untuk menyatukan para

saudagar batik muslim bumiputra yang ada di Laweyan untuk menghadapi

Belanda yang pengaruhnya semakin kuat di dalam kraton. Laweyan yang

merupakan sebuah kampung para saudagar sekaligus pusat perdagangan industri

batik yang mulai tumbuh pada awal abad XX. Jiwa enterpreneurship yang dimiliki

masyarakat Laweyan telah mengantar pada masa kejayaan ekonomi batik dalam

abad tersebut.

Lama kelamaan Laweyan berkembang menjadi pusat industri batik

sejak jaman kerajaan Mataram. Dulu para saudagar batik yang tinggal di Laweyan

membangun rumah besar-besar dengan tembok menjulang. Para juragan batik

juga membangun lorong atau jalan rahasia di dalam rumah mereka menuju rumah

juragan batik lainnya di Laweyan. Kabarnya ketika itu mereka bersikap

berseberangan dengan pihak keraton. Sehingga lewat jalan-jalan rahasia mereka

bisa leluasa melakukan pertemuan-pertemuan dengan sesama saudagar batik

untuk membahas kondisi sosial politik saat itu.

Page 17: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3 �

Pada masa sebelum kemerdekaan kampung Laweyan memegang

peranan yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,di

Laweyan ini pada tahun 1911 muncul organisasi politik yang bernama Sarekat

Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan oleh KH. Samanhudi,dalam bidang ekonomi

para pedagang batik di laweyan juga memelopori pergerakan koperasi dengan

mendirikan Persatoean Peroesahaan Batik Boemiputra Soerakarta ( PPBBS ) pada

tahun 1935.

Kesuksesan dalam bidang ekonomi ternyata memberikan dampak

terhadap predikat yang disandang. Oleh karena itu kampung Laweyan identik

dengan kampung para saudagar batik. Akibatnya, corak kehidupan serta orientasi

nilai masyarakat Laweyan berbeda dengan masyarakat Surakarta pada umumnya

(Mulyono dan Sutrisno Kutoyo,1980: 54).

Sesuai dengan perjalanan waktu, maka para pengusaha batik Laweyan

ikut berproses dari pertumbuhannya pada awal abad XX sampai masa

kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai sekarang. Sebagai kampung yang

memiliki karakteristik berbeda dengan kampung lain di sekitarnya, tentu saja

memiliki proses perkembangan yang berbeda dengan kampung lain di sekitarnya

(Mitsuo Nakamura, 1983: 44).

Karakteristiknya sangat berbeda dengan kampung-kampung lain dikota

Surakarta (juga disebut kota sala), karena itu masyarakat sala menyebut daerah itu

sebagai ”kampung dagang” Laweyan. Profesi kerja para pengusaha batik itu jelas

menunjukkan bidang pekerjaan yang berada di luar kebiasaan pekerjaan

masyarakat feodal, yang umumnya bekerja dalam lapangan pertanian dan birokrat

kerajaan. Oleh karena itu kampung Laweyan, terasa sebagai pemukiman yang

”asing” dengan lingkungan sosialnya. Dalam mayarakat feodal, telah berlaku

suatu asumsi bahwa kedudukan dan kekuasaan serta hak seseorang banyak

ditentukan oleh besar kecilnya kekayaan yang mereka miliki. Semakin besar

kekayaan yang mereka miliki, maka semakin besar kedudukan dan kekuasaannya

(Tikno Pranoto, 2004: 56).

Dengan kekayaan yang dimiliki, para saudagar memiliki pengaruh di

tengah masyarakat seperti halnya para bangsawan kerajaan. Demikian pula

Page 18: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4 �

sebaliknya, semakin kecil kekayaan yang mereka miliki, maka semakin kecil

kedudukan dan kekuasaan yang mereka miliki. Naiknya kekayaan para pengusaha

batik berhubungan erat dengan naiknya status sosial mereka sebagai ”mbok mase:,

yaitu gelar untuk majikan pemilik perusahaan batik di Laweyan (Korver, 1985:

65).

Bila dibandingkan dengan kategori gelar yang ada dalam lingkungan

abdi dalem istana kerajaan, maka status sosial ”mbok mase” di Laweyan itu

sejajar dengan kedudukan para abdi dalem kriya pembatik dalam dinas istana.

Gaya hidup orang-orang Laweyan adalah persepsi kekayaan kebudayaan mereka

kelihatan menonjol menyejajarkan diri dengan para abdi dalem istana itu. Akan

tetapi dari segi yang lain para saudagar Laweyan justru mengkounter gaya hidup

para priyayi istana itu yang dirasa tidak cocok dengan lingkungan sosial Laweyan.

Misalnya, sikap hidup berfoya-foya, gila hormat, dan poligami yang

mencerminkan kondisi umum gaya hidup priyayi istana, adalah masalah yang

dipandang negatif dimata saudagar Laweyan. (Soedarmono,2006: 30)

Daerah itu juga punya sebutan unik yakni Galgendu. Tempat

keberadaan orang-orang kaya. Pada masa itu yang menjadi ciri khas adalah para

saudagar batik dalam teknik pengerjaannya masih dengan teknik tulis tangan

langsung memakai lilin atau Malam di atas kain mori memakai media canting.

Mereka telah terbiasa dengan batik gagrak atau gaya Surakarta. Sementara yang

menanamkan pertama kali pengaruh itu adalah Sampeyandalem Ingkang

Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono II.

Pasalnya sejak geger Kartosuro atau yang disebut pula geger Pecinan,

lantaran para pemberontaknya adalah warga Tiong Hoa masa itu, tatanan dalam

menggunakan kain batik menjadi kabur. Tak ada perbedaan jelas motif batik

antara bangsawan dan kawula, sehingga sulit membedakan status mereka

(Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004).

Lantas pada pemerintahan SISKS PB III dikeluarkan pernyataan bahwa

ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan jika dipakai kawula, yakni

batik Lar, parang yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng

berwujud tumpal dan batik cemukiran berbentuk ujung daun yang merembet di

Page 19: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5 �

tanah. Atas larangan itu, maka para saudagar yang menjadi abdi dalem kraton

memutar otaknya membuat kreasi baru, meski tidak keluar dari gaya Surakarta.

Dalam perkembangannya Laweyan pun kemudian muncul sebagai

sebuah pusat bisnis yang sangat berpengaruh. Tidak hanya bagi kerajaan

Mataram, tapi juga sampai ke luar kerajaan. Batik-batik gaya Surakarta pun secara

umum mulai merajai ke berbagai pelosok tanah air. Diantaranya ragam hias

Sawat, Slobog, Sido Mukti, Sido Luhur, Ratu Ratih, Truntum, Satrio Manah,

Pamiluto. Sementara untuk motif batik dalem kraton sendiri terdapat diantaranya

motif Semen Rama yang dibuat pada masa PB IV tahun 1787 sampai tahun 1816.

Motif Indrabrata, Bayubrata, Agnibrata, Babon Angrem, Semen Sida Raja, Naga

Raja, Semen Candra, Semen Prabu, Parang Kusuma, Wirasat dan lain-lain. Dari

kesemua desain motif itu, rata-rata mempunyai makna filosofi yang cukup tinggi

(Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004).

Untuk kasus pembatikan di Laweyan Surakarta, dapat dikatakan bahwa

perdagangan dan perkembangan batik mengalami pasang surut yang sangat tajam,

sehingga tinggal beberapa orang yang bergerak dalam bidang bisnis batik

tradisional. Dalam tahun 1950-an industri batik Laweyan mengalami

perkembangan yang pesat. Perkembangan ini terjadi ketika Koperasi Batik masuk

menjadi anggota GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan peran serta

pemerintah. Kampung Laweyan tumbuh di tengah-tengah masyarakat birokrat

kerajaan dan rakyat biasa. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa masyarakat

Laweyan sebagai inclave society. Keberadaan masyarakat tersebut sangat berbeda

dengan komunitas yang lebih besar di sekitarnya, sehingga keberadaan dan

interaksi sosial demikian tertutup (Geertz, 1973: 74).

Untuk mempertahankan komunitasnya, lebih banyak tergantung pada

masyarakat Laweyan itu sendiri. Bertambahnya kekayaan para pengusaha batik

ternyata erat kaitannya dengan naiknya status sosial para pengusaha batik. Hal ini

dibuktikan dengan pemberian gelar mbok mase, yaitu gelar untuk para majikan

(pengusaha besar) batik di Laweyan. Sebagai suatu konstelasi sosial, tentu saja

pemilikan gelar tersebut memiliki implikasi wibawa terhadap hak-hak yang

mereka miliki dalam masyarakar tradisional (Van Neil,1984: 52).

Page 20: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6 �

Kebangkitan klas menengah Jawa, justru lahir ditengah-tengah sturktur

masyarakat feodal yang justru memperhatikan pada budaya ”feodom (sistem

Apanage)”, dan cenderung menolak iklim perdagangan. Memang dalam beberapa

hal, proses pertumbuhan kelompok klas menengah Jawa di Laweyan ada

perbedaan yang cukup berarti. Ada hubungan historis dan fungsional antara islam

dan perdagangan maka kasus yang terjadi di Laweyan justru menunjukkan

fenomena berbeda, bahwa para pengusaha sebagian besar lahir dari kalangan

islam abangan (Geertz, 1973: 20).

Menurut Castle, munculnya kelompok pengusaha batik Laweyan justru

berada ditengah-tengah struktur masyarakat feodal yang hanya mengenal dua klas,

klas pengusaha dan klas rakyat. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik

terhadap perkembangan industri batik di kalangan pribumi khususnya masyarakat

Laweyan, penulis terdorong untuk mengangkatnya menjadi sebuah judul

penulisan skripsi dengan judul “ Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan

Eksistensi Membangun Perekonomian Muslim)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perkembangan batik di Laweyan Surakarta Abad XIX -

XX?

2. Bagaimanakah peran politik saudagar Laweyan?

3. Bagaimanakah peran dan eksistensi saudagar Laweyan dalam membangun

perekonomian Muslim?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan :

1. Perkembangan batik di Laweyan Surakarta abad XIX - XX.

2. Peran politik saudagar Laweyan.

3. Peran dan eksistensi saudagar Laweyan dalam membangun perekonomian

Muslim.

Page 21: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7 �

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat :

a. Dapat memberikan sumbangan bagi penelitian sejarah terutama sejarah

kebudayaan dan sejarah dalam bidang perekonomian.

b. Memberikan pengetahuan tentang dampak perkembangan industri batik

tradisional bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Laweyan

khususnya dan masyarakat Surakarta pada umumnya.

c. Memberikan sumbangan lebih lanjut, khususnya mengenai kelebihan dan

kekurangan demi kemajuan industri batik tradisional di Laweyan

Surakarta.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat :

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana kependidikan

program pendidikan sejarah fakultas keguruan dan ilmu pendidikan

universitas sebelas maret surakarta.

b. Turut menggali dan mengembangkan budaya nasional.

Page 22: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8 �

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Struktur Sosial Masyarakat Jawa

Dalam struktur sosial masyarakat Jawa di bagi menjadi tiga golongan

yaitu, priyayi, santri dan abangan. Istilah itu menjadi terkenal saat Clifford

Geertz melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an.

Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan

suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan

tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.

Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam

golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya

suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu

gelar saja yaitu Raden.

Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya.

Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar

Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika

menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas,

ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara

Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki

kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia

miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan

berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia

jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.

Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki

pengetahuan dan mengamalkan agama. Santri adalah sebutan bagi murid yang

mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah

pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan

agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan

di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa.

Page 23: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9 �

Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang

mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan

golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa

Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun

saat ini maknanya telah bergeser.

Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal

yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem

kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme.

Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap

bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu

sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya

kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat

Islam di Mesir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Edward Lane.

Abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan

santri. Namun penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan

priyayi - non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan

pengelompokkan santri - abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku

seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang

santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.

Skema konsepsi bagi pembagian masyarakat Jawa yang dibuat oleh

Clifford Geertz berdasarkan penelitian lapangan di Majokuto adalah tiga tipologi

budayawi utama;abangan, santri, dan priyayi. Tiga varian tersebut secara ringkas

dideskripsikan sebagai berikut :

Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi animisme

sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-

unsur petani di antara penduduk; Santri yang mewakili sikap menitikberatkan

pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut, pada umumnya berhubungan

dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para

petani); dan Priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan

berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.

Page 24: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10 �

Istilah abangan oleh Clifford Geertz diterapkan pada kebudayaan orang

desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan

dengan golongan-golongan lain di antara penduduk. Adapun

istilah santri diterapkan pada kebudayaan muslimin yang memegang peraturan

dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan dekat

sebuah masjid yang terdiri dari para pedagang di daerah-daerah yang lebih bersifat

kota. Istilah priyayi diterapkannya pada kebudayaan kelas-kelas tertinggi yang

pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpangkat tinggi atau rendah.

Pembagian tersebut menurut Clifford Geertz (1973: 25) merupakan

pembagian yang dibuat sendiri oleh orang-orang Jawa sendiri. Namun menurut

beberapa peneliti berikutnya pembagian tersebut telah mendapat banyak kritik.

Salah satu diantaranya dianggap kurang tepat dan tidak relevan, jika dikaitkan

dengan perkembangan masyarakat Jawa sekarang.

Menurut Harsja W. Bachtiar (1981: 25) pembagian tersebut kurang tepat, karena

klasifikasi abangan dan santri selalu dikaitkan dengan perilaku keagamaan masyarakat. Seorang

santri lebih taat kepada agama dibandingkan dengan seorang abangan, sedangkan ukuran

ketaatan itu tergantung kepada nilai-nilai pribadi orang-orang yang menggunakan istilah-istilah

itu. Demikian juga istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori dari klasifikasi yang sama,

karena ada orang-orang priyayi yang taat kepada agama, dan karenanya ia disebut santri, dan ada

orang-orang priyayi yang tidak taat atau tidak seberapa memperhatikan soal-soal agama, dan

karenanya ia disebut abangan. Istilah priyayi biasanya diperuntukan kepada orang-orang yang

memiliki status sosial tertentu yang berbeda dari rakyat biasa yang disebut wong cilik, wong

widah atau kaum mayoritas, dan wong tani.

Koentjaraningrat (1963: 30) telah menggambarkan stratifikasi Jawa dengan mencoba

menganalisa dan membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa

yang horisontal dan vertikal. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial

sebagai stratifikasi status; yaitu dhara (bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang atau

saudagar (pedagang) dan wong cilik (orang kecil, rakyat kecil).

Page 25: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11 �

2. Kebudayaan Jawa

a. Pengertian Kebudayaan.

Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta,

karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah

yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa

Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Latin, berasal dari

kata Colera yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan,

mengembangkan tanah (Elly M Setiadi, 2006: 27).

Banyak batasan tentang budaya yang pada dasarnya bertolak dari sudut

pandang masing-masing pemberi batasan itu. Salah seorang ahli yaitu Kroeber

mengemukakan batasan yang agak lengkap; ”budaya adalah keseleruhan

kompleks yan terdiri atas pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat

kebiasaan dan kapabilitas lain, serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang

manusia sebagai anggota suatu masyarakat.” Batasan lain seperti dikemukakan

Linton; ”budaya berarti keseluruhan bawaan sosial umat manusia”. Herkovitz juga

mengemukakan ”budaya adalah bagian buatan manusia yang berasal dari

lingkungan manusia” (Nani Tuloli, 2003:2).

Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kebudayan

dalam arti ilmu antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan

hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

dari manusia dengan belajar.

Pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya

dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Berikut pengertian

budaya atau kebudayaan dari beberapa ahli:

1. E. B. Tylor, budaya adalah sesuatu keseluruhan kompleks yang meliputi

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat,

dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai

anggota masyarakat.

2. R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku

yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur

pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.

Page 26: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12 �

3. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan

adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

4. Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan

oleh manusia (Koentjaraningrat, 1985: 181-182).

Beberapa ilmuwan seperti Talcott Parson (Sosiolog) dan Al Kroeber

(Antropolog) menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan secara tajam

sebagai suatu sistem. Di mana wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu

rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Demikian pula J. J.

Honigman dalam bukunya The World of Man (1959: 89) membagi budaya dalam

tiga wujud, yaitu: ideas, activities, and artifact. Sejalan dengan pikiran para ahli

tersebut, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau

digolongkan dalam tiga wujud, yaitu:

1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-

norma, dan peraturan. Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari

kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan

tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang

bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakuan, hal

ini menunjukan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur,

mengendalikan, dan memeberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan

manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola

dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial,

karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.

Wujud ini bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan karena dalam

sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan

berhubungan serta bergaul satu dengan yang lainnya dalam masyarakat.

Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat mereka

berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat. Kesimpulan,

sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret,

dalam bentuk perilaku dan bahasa.

Page 27: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13 �

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud yang

terakhir ini disebut pula kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir

seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua

manusia dalam masyarakat). Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda

atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto yang berwujud besar

ataupun kecil. Contohnya: Candi Borobudur (besar) dan Kain Batik (kecil).

Kesimpulannya, kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan

yang bersifat konkret, dalam bentuk materi/artefak (Koentjaraningrat,

1993:5).

b. Kebudayaan Jawa.

Kebudayaan Jawa bukanlah suatu kesatuan yang homogen, melainkan

beraneka ragam. Keanekaragaman kebudayaan Jawa dapat dilihat dari aneka

ragam logat bahasa, makanan, upacara-upacara adat, dan kesenian tradisional.

Manusia Jawa adalah menjadi individu atau kelompok individu di bawah

pengarahan pola-pola kebudayaan Jawa beserta sistem-sistem maknanya yang

tercipta secara historis. Pola-pola kebudayaan Jawa tersebut, melainkan

mengalami perubahan-perubahan. Semakin banyak dan semakin kompleks

simbol-simbol yang diadopsi, apalagi dapat memproduksi simbol-simbol Jawa

baru , maka semakin tinggi derajat kejawan seseorang atau sekelompok orang.

Orang dewasa normal yang mampu bertindak menurut pola-pola kebudayaan

Jawa beserta sistem-sistem maknanya, dikatakan sampun Jawa (sudah menjadi

Jawa). Sebaliknya anak-anak kecil, orang-orang gila, orang-orang yang tidak

bermoral, dikatakan durung Jawa (belum Jawa). Dengan demikian menjadi Jawa

memerlukan proses yang dapat berlangsung lama (Rustopo, 2007:10-27).

Daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah

dan timur dari pulau Jawa. Daerah-daerah tersebut secara kolektif disebut daerah

kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang

ini, daerah-daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta , Surakarta, Madiun,

Malang, dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur. Oleh

sebab itu, secara dikotomis wilayah kebudayaan spiritual Jawa pun dapat

Page 28: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14 �

dibedakan antara kebudayaan spiritual pesisir dan kebudayaan spiritual pedalaman

(Imam S, 2005: 53). Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka

kebudayaan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah

pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta adalah merupakan pusat dari

kebudayaan tersebut.

Dalam pergaulan-pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan

sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa

daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang

yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun

status sosialnya.Ada dua jenis bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa Ngoko dan bahasa

Jawa Krama.

Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa, orang masih

membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum

terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani-

petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya, disamping keluarga kraton dan

keturunan bangsawan atau bendara-bendara. Dalam kerangka susunan

masyarakat ini secara bertingkat yang berdasarkan lapisan atas gensi-gensi itu,

kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi

lapisan masyarakat bawah. Kemudian menurut kriteria pemeluk agamanya, orang

Jawa biasanya membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Di

berbagai daerah di Jawa baik yang bersifat kota maupun pedesaan orang santri

menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang beragama kejawen-lah yang

dominan (Koentjaraningrat. 1976: 329-344).

Perjalanan budaya Jawa yang berabad-abad bagaimanapun mengalami

transformasi. Transformasi dapat diandaikan sebagai suatu proses pengalihan total

ke suatu bentuk budaya baru yang akan mapan. Juga dapat dibayangkan sebagai

suatu proses yang lama dan bertahap-tahap, atau sebaliknya sebagai suatu titik

balik yang begitu cepat. Akan tetapi, dalam proses perubahan itu, unsur-unsur

budaya yang menjadi pilar-pilar penyangganya pada suatu saat akan meruyak,

membusuk, dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan

kebuadayaan. Yang menarik dari transformasi budaya di Jawa adalah bahwa

Page 29: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15 �

nenek moyang kita bersikap luwes, lentur, adaptable, dan kreatif dalam

menghadapi berbagai pengaruh (asing) dari luar (Rustopo, 2007:28).

Gaya Jawa mulai muncul dalam khazanah busana raja berlawanan

dengan gaya ”Belanda”, yang ini sendiri juga merupakan hasil dari lintas-busana

kultural. Pada akhir abad kesembilan belas, jas rokkie Jawi merupakan alternatif

mode yang mencampurkan gaya-gaya ”Belanda” dan ”Jawa” tanpa sepenuhnya

menghapuskan perbedaan antara keduanya. Busana yang disebut ”Langenharjan”

ini (dari nama tempat ketika pertama kali dipakai) yang menampilkan jas rokkie

yang sudah diubah itu merupakan gaya yang benar-benar bukan Belanda tanpa

buntut, dengan keris, dan kain batik sebagai bawahan, namun jelas bukan busana

resmi di Keraton. Jas rokkie menjadi busana yang dipilih bagi pengantin-pengatin

laki-laki priyayi pada pergantian abad ke duapuluh yang ingin mencapai, seperti

Mangkunagara IV sendiri, puncak-puncak prestise ”Jawa”.

Jas yang dipribumikan ini akan merupakan busana ritual yang

diisyaratkan untuk (yang kemudian disebut sebagai) pengantin laki-laki Jawa

Tengah ”tradisional”, sebagai gambaran-gambaran dari subjek-subjek kultural

yang dimaksudkan untuk memunculkan kembali wibawa ”Jawa”. Setelah

terbukkti memiliki wewenang dan kesetiaan kultural dalam kreasi-kreasi seperti

Weddhatama dan Wiwahan Dalem atau menciptakan model ”jas Jawa”, maka

menjelang tahun 1870-an, garis keturunan Mangkunagara tampaknya telah mapan

mandiri.

Ilmu mewarnai batik sudah menjadi pusaka dari Tanah Djawa, yang

semenjak dahulu kala oleh orang-orang Eropa, meskipun mereka mempunyai

banyak pengetahuan-pengetahuan keterampilan yang luhur, akan tetapi sampai

hari ini belum bisa menyamai produk asli dari Jawa. Mewarnai batik sebagai satu

lagi bentuk dari suatu pengetahuan esoterik dari ”Tanah Jawa” yang tidak bisa

disamai oleh Barat, sebagai suatu sarana produksi yang hasil-hasilnya bisa

diterapkan sebagai asli sebagaimana berbagai jiwa-jiwa ”Jawa” akan

mengidentifikasi diri mereka berdasarkan produk-produk itu. Batik ”asli Jawa”

dari Surakarta merupakan inti dari bisnis busana ini (John Pemberton, 2003:152-

181).

Page 30: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16 �

Tradisi-tradisi dalam kebudayaan secara kasar dapat di kelompokkan

menjadi dua yaitu tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi kecil hidup di kalangan

rakyat kecil yang meneruskan warisan tradisi itu dari generasi ke generasi tanpa

banyak refleksi dan perubahan sebagai hasil refleksi. Tradisi besar hidup di

kalangan atas dan masyarakat yang lebih refleksif dan mampu mengungkapkan

hasil repleksi itu. Hal ini tidak berarti bahwa tradisi-tradisi itu tidak saling

mempengaruhi. Misalnya, tradisi besar merefleksikan apa yang hidup di kalangan

rakyat dan kemudian mengungkapkan dalam bentuk pementasan wayang yang

bias di nikmati oleh tradisi kecil dan dengan demikian juga mempengaruhi apa

yang hidup dalam tradisi kecil. Kedua arus tersebut tidaklah terpisah dan statis,

tetapi saling mempengaruhi dan dinamis.

Melalui pengelompokan itu dapat diduga bahwa gerakan pembebasan

lahir di kalangan rakyat atau dalam tradisi kecil. Sedangkan dalam tradisi besar,

dalam sastra jawa misalnya, lebih ditemukan unsur pembebasan spiritual individu,

bukan pembebasan sosial kolektif. Namun, refleksi mengenai gerakan

pembebasan itu di jalankan dalam tradisi besar dan akhirnya mempengaruhi pada

tradisi kecil.

Perubahan tradisi budaya bukan hanya di sebabkan oleh pengaruh-

pengaruh internal, tetapi juga oleh pengaruh dari luar. Secara umum dapat

dikatakan bahwa kebudayaan jawa dan indonesia umumnya sekarang ini berada

dalam masa transisi dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan pasca tradisional.

Tidak ada satu kebudayaanpun yang bebas dari macam-macam pengaruh luar,

khususnya pada era globalisasi sekarang ini

Perubahan tradisi budaya tidaklah tanpa masalah bagi masyarakat. Pada

umumnya, perubahan itu akan membawa disorientasi dan krisis nilai. Nilai-nilai

lama sudah tidak berlaku lagi dan nilai baru belum terintegrasi sepenuhnya. Lebih

parah lagi jika tradisi feodal patriarkal dimanipulasikan oleh kekuasaan dan

kekuatan yang tidak adil dengan didukung oleh sarana-sarana pasca tradisional.

Kekuasaan tidak adil kemudian dilegitimasikan melalui slogan-slogan

keselarasan, kesejukan, harmoni, kekeluargaan dan sebagainya. Akibatnya lebih

parah dari tradisi tradisional. Demikianlah terjadi pada tradisi jawa yang dibidani

Page 31: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17 �

oleh mantan Presiden Soeharto dan lingkungan kekuasaannya (Sindhunata, 1999 :

29).

Terhadap macam-macam pengaruh, identitas budaya dapat mereaksi

dalam bentuk sektarianisme atau primordialisme. Bentuk reaksi ini melihat

pengaruh-pengaruh baru sebagai ancaman, dan oleh karena itu mengambil sikap

bermusuhan,bahkan dapat agresif. Pengaruh-pengaruh luar juga dapat diterima

secara kritis dan diintegrasikan dalam identitas budaya. Wujudnya bergantung

pada pengolahan kritis kelompok penyangga kebudayaan itu. Sejalan dengan

kemungkinan-kemungkinan itu, kebudayaan jawa bukanlah suatu tradisi singular,

melainkan plural. Bukan hanya dalam arti terdapat tradisi besar dan tradisi kecil,

melainkan juga dalam tradisi besar dan tradisi kecil terdapat kemajemukan.

Pengaruh dan perkembangan kebudayaan juga membawa identitas yang

menurut istilah dislocated, tidak mempunyai tempat yang tepat. Identitas

kebudayaam dengan seseorang dapat berubah-ubah atau bahkan dapat dengan

beberapa arus sekaligus. Identitas ini didasarkan atas pilihan-pilihan politis,

seperti gerakan perempuan, gerakan anti apartheid, gerakan pembebasan nasional,

anti nuklir, gerakan ekologis. Identitas menjadi terbuka, dapat hilang dan dapat

dimiliki secara baru, sebab ada tidaknya tidaklah secara otomatis, tetapi

berdasarkan pada pilihan. Dalam arti ini, identitas tidak ditentukan oleh karena

pengaruh etnis jawa misalnya, tetapi karena pilihan moral (Stuart hall, 1992 :

280).

3. Saudagar dan Usaha Batik

Saudagar berasal dari bahasa Persia atau dari bahasa Sanskerta (terdiri

dari dua suku kata, sau= seribu, dan dagar = akal) berarti seribu akal. Dalam

pengertian sehari-hari saudagar adalah pedagang besar yang lincah, kreatif dan

punya jaringan usaha yang cukup luas. Saudagar pada dasarnya memang hanya

sebuah profesi. Namun sejarah membuktikan dalam menjalankan profesinya itu

para saudagar selain berperan sebagai pedagang yang mencari keuntungan ia juga

menjalankan misi sebagai budayawan dan bahkan pahlawan bagi satu suku atau

bangsa.

Page 32: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18 �

Sedangkan munculnya pedagang batik di Laweyan Surakarta pada awal

abad ke-20 menunjukkan adanya dinamika sosial ekonomi yang penting di Kota

Surakarta. Kegiatan perdagangan yang dikendalikan oleh Mbok Mase juga

menunjukkan bahwa peran perempuan dalam kegiatan ekonomi perkotaan cukup

menonjol. Komunitas Laweyan dapat dipandang sebagai ”counter-elite” terhadap

kekuasaan yang berpusat di karaton maupun terhadap hegemoni kekuasaan asing.

Etos kerja dan jiwa enterpreunership yang tumbuh di Laweyan bertumpu pada

nilai-nilai tradisi Jawa dan Islam. Sejarah lokal Laweyan menunjukkan bahwa

kegiatan perdagangan bukanlah kultur asing di tengah-tengah budaya Jawa yang

seringkali hanya diidentikan dengan budaya agraris (Soedarmono, 2006: 40).

Munculnya saudagar batik di laweyan membawa dampak yang cukup

besar bagi kampung laweyan. Tidak hanya dalam bidang ekonomi, tapi juga

dalam bidang politik. Pada sebelum kemerdekaan kampung Laweyan memegang

peranan yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,di

Laweyan ini pada tahun 1911 muncul organisasi politik yang bernama Sarekat

Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan oleh KH. Samanhudi,dalam bidang ekonomi

para pedagang batik di laweyan juga memelopori pergerakan koperasi dengan

mendirikan Persatoean Peroesahaan Batik Boemiputra Soerakarta ( PPBBS ) pada

tahun 1935 (Mulyono dan Sutrisno Kutoyo,1980: 21).

B. Kerangka Berpikir

Keterangan :

Masyarakat

Santri

Batik

Perkembangan Perekenomian

Nasional

Priyayi Abangan

Page 33: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19 �

Masyarakat di Jawa terbagi dalam tiga golongan yaitu golongan Priyayi,

golongan Santri, dan golongan Abangan. Saudagar adalah para pengusaha-

pengusaha sukses yang mampu mengangkat perekonomian di daerahnya.

Saudagar yang cukup berkembang di kota Solo adalah saudagar batik.

Saudagar-saudagar batik di kota Solo berkumpul dalam satu wilayah yaitu di

daerah kampung Laweyan. Di dalam kampung Laweyan ini terdapat banyak

saudagar-saudagar batik sukses yang disebut “ mbok mase”.

Keberadaan saudagar-saudagar batik di Laweyan membawa dampak baik

terhadap perkembangan ekonomi di kampung tersebut. Selalin itu keberadaan

saudagar-saudagar batik tersebut sangat berperan penting dalam peningkatan

ekonomi muslim di Laweyan.

Page 34: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20 �

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan yaitu

mendapatkan data tertulis di perpustakaan atau tempat lain di mana data itu

diketemukan. Adapun perpustakaan atau tempat-tempat yang penulis gunakan

untuk melakukan penelitian ini, adalah:

a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah / Jurusan PIPS, Fakultas Keguruan

Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

e. Perpustakaan Pusat Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

f. Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta.

g. Perpustakaan Kodya Surakarta.

h. Perpustakaan Monumen Pers.

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari

disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Juli 2009, sampai dengan selesainya

penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Januari 2011.

B. Metode Penelitian

Metode adalah suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan

yang sistematika suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu. Pemilihan metode

penelitian yang tepat harus mempertimbangkan kesesuain dengan obyek atau

masalah yang di teliti. Metode penelitian dipilih berdasarkan beberapa

Page 35: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21 �

petimbangan antara lain tujuan penelitian, obyek penelitian dan fenomena atau

waktu yang terjadinya peristiwa yang diteliti. Metode adalah suatu cara kerja yang

utama untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat tertentu (Winarno

Surachmad, 1978: 25).

Metode historis digunakan berdasarkan data masa lampau yang

merupakan hasil karya sastrawan. Berdasarkan data temuan dapat

direkonstruksikan peristiwa dimasa lampau, keadaan sosial budaya dan politik

serta biografi dari saudagar-saudagar di laweyan yang mempunyai peran penting

dalam perkembangan batik laweyan.

Dalam metode historis, Louis Gottschalk (1975: 108), terdapat kegiatan

menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi

yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan

menempuh proses historiografi. Dengan menggunakan metode historis dan

historiografi yang sering dipersatukan dengan nama metode historis, sejarawan

berusaha untuk merekonstruksikan masa lampau secara sistematis dan obyektif.

Menurut Hadari Nawawi (1993: 78), metode historis adalah prosedur

pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalan-

peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung

pada masa lampau terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami

kejadian atau keadaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian atau

keadaan masa lampau.

Metode sejarah adalah prosedur-prosedur pemecahan masalah dengan

menggunakan data-data masa lampau atau peninggalan-peninggalan, untuk

memahami suatu peristiwa yang berlangsung pada masa lampau. Dengan kata

lain, metode sejarah merupakan seperangkat asas dan kaidah-kaidah yang

sistematis untuk membantu secara efektif dalam mengumpulkan sumber-sumber

sejarah, menilainya secara kritis dan menyajikan suatu sintesis, yang dicapai

dalam bentuk historiografi (Ibrahim Alfian, 1987: 45).

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode

sejarah adalah kegiatan untuk mengumpulkan, menguji dan menganalisis secara

kritis mengenai data rekaman-rekaman dan peninggalan-peninggalan masa

Page 36: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22 �

lampau serta usaha untuk melakukan sintesa dan menyajikanya ke dalam bentuk

historiografi.

C. Sumber Data

Dalam metode historis dikenal sumber-sumber tulisan dan lisan. Menurut

Louis Gottschalk (1975: 110) kedua sumber tersebut masih dibagi lagi menjadi

dua jenis sumber yakni sumber primer dan sumber sekunder.

Data sejarah adalah segala sesuatu yang secara langsung atau tidak

langsung menceritakan kepada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia

pada masa lalu (Helius Sjamsudin, 1994:2).

Sumber yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan

ditulis. Sumber sejarah, bila dilihat dari bahannya, terdiri atas dua macam : tertulis

atau dokumen dan tidak tertulis atau artefact. Sumber tertulis itu dapat berupa

surat-surat, notulen rapat, kontrak kerja, bon-bon, dan sebagainya. Sedangkan

artefact dapat berupa foto-foto, bangunan atau alat0alat. Bila dilihat dari urutan

penyampaiannya, sumber dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber

sekunder. Sumber sejarah disebut primer bila suatu kejadian atau peristiwa sejarah

disampaikan oleh saksi mata. Adapun yang dinamakan sumber sekunder adalah

apabila suatu peristiwa disampaikan bukan oleh saksi mata (Kuntowijoyo,

2001:98-100).

Sumber primer yang penulis gunakan di dalam penelitian ilmiah ini

adalah berupa buku-buku literature, maupun artikel-artikel yang relevan dengan

penelitian. Sumber tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah “Mbok Mase Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal abad 20”, Karangan

Drs. Soedarmono.

Adapun sumber sekunder yang digunakan di dalam penelitian ini berupa

koran dan majalah yang terbit sekitar tahun 1970-an, diantaranya adalah Koran

Suara Merdeka dan Koran Kompas. Sumber primer yang berasal dari koran

tersebut berisi tentang saudagar-saudagar laweyan pada abad XIX-XX.

Page 37: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23 �

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka

dalam melakukan pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan, yaitu

melakukan pengumpulan data tertulis melalui literatur-literatur dan dokumen-

dokumen.

Dalam teknik kepustakaan ini, dilakukan kegiatan membaca dan

pengkajian terhadap berbagai mater (data) yang sesuai dengan tema penelitian ini.

Dalam pengumpulan tiap-tiap data dilakukan kritik ekstern. Kritik ekstern

berfungsi menanyakan masalah apakah data tersebut autentik atau palsu yaitu

dengan meneliti bahan yang digunakan atau jenis tulisan, gaya bahasa dan lain

sebagainya. Setelah teruji melalui kritik ekstern, kemudian dilanjutkan dengan

kritik intern untuk menguji kredibilitas sumber, apakah isi pernyataan, fakta-fakta

dan ceritanya dapat dipercaya. Setelah data-data terkumpul berkenaan dengan

masalah atau tema tertentu maka dilanjutkan interprestasiyang berfungsi untuk

membandingkan antara data yang satu dengna data yang lain, setelah melalui

proses kritik sehingga ditemukan fakta sejarah yang obyektif. Fakta-fakta sejarah

yang disajikan dalam bentuk tulisan.

E. Teknik Analisis Data

Penelitian ini diadakan dengan tujuan pokok adalah menjawab

pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkap tentang Saudagar Laweyan Abad XX

(Peran Dan Eksistensi Membangun Perekonomian Muslim), dalam mencapai

tujuan pokok tersebut maka perlu diadakan analisis data.

Penelitian ini mnggunakan analisis data historis, yaitu analisis yang

mngutamakan ketajaman dalam melakukan interpretasi data sejarah atau suatu

analisis yang memiliki ketajaman dan kekuatan dalam menginterpretasikan data

sejarah. Interprestasi dilakukan karena fakta sejarah tidak dapat berbicara sendiri.

Kategoridari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat yang sangat komplek, sehingga

suatu fakta tidak dapat mengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri (Sartono

Kartodirjo, 1982: 65).

Page 38: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24 �

Fakta merupakan bahan yang utama yang dijadikan sejarawan utnuk

menyusun historiografi, dan fakta itu sendiri merupakan hasil dari pemikiran para

sejarawan, sehingga fakta yang terkumpul mengandung subyektifitas.

Suatu kenyataan bahwa sulit menemukan fakta yang benar-benar

mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, fakta-fakta yang telah tersusun selalu

mengandung unsur subyektifitas dari sejarawan, sehingga untuk dapat

menganalisis diperlukan konsep-konsep dan teori-teori yang berfungsi sebagai

kriteria penyeleksian, identifikasidan pengklasifikasian (Sartono Kartodirjo,1982).

Berkaitan dengan penyajian atau presentasi fakta, interpretasi dan

kesimpulan yang cenderung memiliki subyektifitas, terutama dalam abstraksi

fakta, maka seorang teoritik dan metodologi yang kuat. Fakta sejarah yang telah

melalui teknik analisis, kritik sumber dan interpretasi akan menjadi cerita sejarah

yang dapat dipercaya kebenarannya (Taufik Abdullah, 1978: 65).

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu

persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena

penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus

dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan

historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan :

a. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam

pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu kita untuk mencari

Heuristik Kritik Intepretasi Historiografi

Fakta sejarah

Page 39: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25 �

jejak-jejak sejarah. Sidi Gazalba (1981 :15) mengemukakan bahwa heuristik

adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk

mendapatkan hasil penelitian.Dengan demikian heuristik adalah kegiatan

pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber

sejarah.

Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber

tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan

penelitian. Sumber tertulis primer, berupa buku-buku dan literatur yang diperoleh

dari beberapa perpustakaan; maupun sumber sekunder berupa surat kabar, dan

majalah , dan diantaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret,

Perpustakaan Jurusan FKIP, Perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS,

Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, dan Perpustakaan Reksopustolo

Mangkunegaran.

b. Kritik

Kritik sumber adalah kegiatan untuk memilih, menyeleksi, meneliti,

mengidentifikasi, menilai, dan membandingkan sumebr data sejarah yang akan

digunakan dalam penulisan sejarah. Kritik terhadap sumber data sejarah ini

melalui beberapa proses, antara lain : pertama, penilaian dengan menentukan sifat

sumber sejarah, kedua, membuat suatu perbandingan antara sumber-sumber data

yang telah terkumpul.

c. Interpretasi

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan

atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga

dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang

menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna

dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut

sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.

Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan

fakta sejarah atau sintesis sejarah.

Page 40: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26 �

d. Historiografi

Historiografi merupakan suatu kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi

kisah yang disajikan dalam bentuk tulisan atau cerita sejarah yang dapat

dibuktikan kebenarannya.

Di dalam penelitian ini berusaha untuk menyusun suatu cerita sejarah

mengenai Saudagar Batik Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

Membangun Perekonomian Muslim), dengan berdasarkan fakta sejarah yang

diperoleh. Di dalam penelitian ini berusaha menyususn fakta yang satu dengan

fakta yang lainnya dalam suatu bentuk kisah sejarah yang menarik,logis dan dapat

dipercaya.

Page 41: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27 �

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Perkembangan Batik Di Laweyan Surakarta Abad

XIX – XX.

1. Asal Mula Batik Laweyan

Asal mula batik di Laweyan itu sendiri asalnya dari kraton dengan

rajanya Pakubuwono II. Mula-mula batik di dalam kerajaan/kraton hanya

merupakan kerja sambilan bagi putri kraton yang nantinya akan dipersembahkan

untuk kekasihnya, juga untuk kepentingan (pakaian) raja dan para kerabat kraton,

raja hanya memilih orang-orang pandai membatik yang dikhususkan berdiam di

kraton untuk membuat kain batik. Oleh karena raja dan seluruh kerabat kraton

sampai ke hulu balang memerlukan kain batik, maka raja mengutus para lurah

mencari daerah penghasil batik. Melalui lurah didapat daerah Laweyan. Laweyan

sendiri berasal dari kata Lawe yang artinya benang, karena pada zaman dahulu

tempat ini adalah tempat pembuatan kain tenun, sehingga raja memilih Laweyan

yang dijadikan sebagai penghasil kain batik, karena raja memandang penduduk

Laweyan hampir semuanya pandai menenun, rajin dan tekun dalam bekerja.

Pada mulanya penduduk Laweyan membuat batik masih dengan cara

tulis (menggunakan tangan saja, dan motif-motifnya pun masih meniru motif dari

kraton, berupa motif Ceplok, Limar, Semen, Parang, Lunglungan), juga cara

mewarnainya masih memakai soga Jawa (pewarna dari bahan tumbuh-

tumbuhan) yang otomatis memerlukan waktu yang lama. Hasilnya nanti

diserahkan pada kraton, dan sebagian kecil saja yang disalurkan ke luar, karena

masyarakat biasa kurang mampu membeli kain batik yang harganya mahal itu.

Pada sekitar awal abad XVIII ditemukan alat cap, yang pada mulanya terbuat dari

ketela pohon. Ketela pohon dipotong bulat, kemudian pada permukaannya

digambari motif batik, dikarenakan ketela mudah busuk maka cap dari ketela

diganti dengan kayu agar lebih awet dan tahan lama (Bejo Haryono, 2004: 45-

60).

Page 42: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28 �

Tahun 1900-an timbul keinginan pengusaha batik Laweyan, untuk

menjual batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka,

karena dahulu masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik,

sehingga pengusaha batik Laweyan memproduksi batik tulis dengan batik cap dan

juga cara menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses

pembuatannya, disamping itu juga harganya dapat dijangkau oleh rakyat biasa dan

juga tidak meninggakan bentuk aslinya, akan tetapi alat yang untuk mengecap

pada waktu itu masih menggunakan cap dari kayu, dengan motif-motif yang

masih sangat sederhana sekali yaitu dengan bentuk yang besar-besar dan cecek-

ceceknya (isen bulat kecil pada motif batik) pun tak dapat rapih dan halus.

Batik tulis dan batik cap berkembang berdampingan sampai saat ini.

Ditinjau dari halus tidaknya, maka batik tulislah yang lebih halus daripada batik

cap, sebab batik tulis motif-motifnya lebih hidup, karena dibuat dengan rasa seni

atau unsur seni masih ada didalamnya, sedangkan walaupun batik cap prosesnya

jauh lebih cepat dari batik tulis, akan tetapi hasil batik cap ini agak berbeda

dengan batik tulis. Dari segi ketepatan pengulangan bentuk canting cap lebih

menjamin, akan tetapi dari kesempurnaan goresan kurang baik. Batikan cap sering

kali tidak tembus dan kadang-kadang dilain sisi tembus, bahkan blobor.

Semakin majunya teknologi, pada sekitar tahun 1960-an ditemukan alat

pembuatan batik dengan “printing” atau “sablon” dengan alat cap yang terbuat

dari kain yang telah dilukis dan bagian tepinya diberi plangkan (kayu) dengan

ukuran lebar 80 cm dan panjang menurut lebar mori/cambric. Batik ini terkenal

dengan batik printing. Proses dari pada cara ini lebih cepat dengan kalkulasi yang

rendah sebab batik ini tidak memakai cara ngecap dengan malam dahulu, dan

tidak juga melered (membabar), akan tetapi mori dicap langsung dengan motif

yang dikehendaki (Wawancara, Bambang Slameto, pemilik perusahaan Batik

Merak Manis, 9 Desember 2010).

Motif batik dari Surakarta memiliki perbedaan dengan motif batik Yogya

meskipun sama-sama daerah kerajaan/Vorstenlanden. Perbedaan yang menyolok

antara batik kedua daerah tersebut antara lain:

Page 43: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29 �

a. Yang paling utama adalah dalam hal perpaduan tata ragam hias. Ragam

hias batik Yogya pada umumnya condong pada perpaduan berbagai

ragam hias geometris, dan umumnya berukuran besar. Sedangkan ragam

hias batik Surakarta condong pada perpaduan ragam hias geometris-non

geometris-geometris dengan ukuran yang lebih kecil.

b. Warna putih batik Yogya lebih terang dan bersih, sedangkan batik

Surakarta warna putihnya agak kecoklatan (ecru). Warna hitam pada

batik Yogya agak kebiruan sedangkan batik Surakarta kecoklatan.

c. Umumnya warna babaran serta sogan antara batik dari kedua daerah

tersebut agak berbeda. Babaran adalah proses pencelupan terakhir dengan

sogan (Nian. S. Djoemena, 1986: 22).

Ragam hias pada suatu kain batikan terdapat corak dan motif. Corak

sendiri adalah bentuk yang paling dominan, seperti warna, tema babaran dan

simbol keseluruhan, seperti bang biru, sidoluhur, semen, dan sebagainya.

Sedangkan motif adalah bentuk yang menjadi komponen ragam hias. Jadi, ragam

hias, motif, dan corak merupakan satu kesatuan yang sangat penting pada unsur

kain batik (Hasanudin, 2001: 197).

Ragam hias menurut lokasi daerahnya dibagi menjadi dua, yaitu batik

pesisiran dan batik pedalaman/batik kraton. Ragam hias ini dalam

perkembangannya dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini berdasarkan

pada lingkungan dan pemikiran masyarakatnya. Daerah Laweyan, Surakarta

sendiri termasuk daerah pedalaman/ kraton. Batik di Laweyan ini merupakan batik

yang tumbuh di atas dasar-fasar filsafat Jawa yang mengacu pada pemurnian nilai-

nilai spiritual dengan memandang manusia yang tertib, serasi, dan seimbang.

Ragam hias batik pedalaman cenderung memiliki corak dengan warna coklat

kehitam-hitaman, hal ini sesuai dengan daerahnya yang banyak terdapat hutan

sehingga untuk pewarnaannya mengambil dari tumbuhan.

Mengenai kebudayaan seni batik di Laweyan secara berangsur-angsur

mengalami proses perubahan bentuk, variasi sesuai dengan kebudayaan yang

mewarnai pada masa pembuatannya. Sebelum masuknya budaya dari luar, seni

batik di Indonesia masih sederhana. Dalam proses perkembangannya seni batik

Page 44: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30 �

Laweyan mengikuti kemajuan zaman, sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknik-teknik mekanis yang baru. Ragam hias batik Laweyan, Surakarta pada

mulanya mengikuti ragam hias batik dari kerajaan/kraton. Ragam hias tersebut

merupakan ragam hias yang telah baku atau istilah jawanya “dipakemkan”.

Sebagai contoh ragam hias yang telah baku, antara lain: ragam hias Kawung,

Sawat, dan Parang. Ragam hias tersebut memiliki ciri khas batik pedalaman, dari

segi motif maupun warnanya.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Batik Di Laweyan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan batik di

Laweyan, yaitu :

a. Kondisi Masyarakat

Keberadaan Kampung Laweyan sudah sejak lama menjadi sorotan

umum, selain karena penduduknya adalah pengusaha batik, karakteristik

masyarakatnya juga sangat unik, karena hampir keseluruhannya berprofesi

sebagai pedagang atau pengusaha yang menekuni usaha perbatikan. Hal ini

dipandang sebagai sesuatu yang aneh di tengah kehidupan masyarakat Surakarta,

yang umumnya bekerja di bidang pertanian dan birokrat kerajaan. Mayoritas jenis

pekerjaan yang ditekuni, identitas masyarakat, nilai dan perilaku sosial serta

kebudayaannya tampak jelas sangat dipengaruhi oleh jiwa entrepeneurship

(Wawancara, Bambang Slameto, pemilik perusahaan Batik Merak Manis, 9

Desember 2010).

Informan ini menambahkan bahwa, pandangan umum yang tampak

menonjol dari masyarakat Laweyan adalah, sikapnya yang skeptis terhadap sistem

pendidikan, kegiatan sosial keagamaan dan kebudayaan. Mereka membentuk

perkampungan sendiri, mengikuti gaya hidup mereka sendiri, sehingga apa yang

tampak, baik secara sosial dan kultural nilai-nilai kehidupan orang Laweyan

terlepas dari komunitas sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat Jawa.

Gaya hidup masyarakatnya yang terasa asing dengan lingkungan di luar

Laweyan, semua itu melekat dalam identitas masyarakat Laweyan. Akibat yang

dirasakan penting dari perbedaan sosial kultural ini adalah tempat-tempat yang

Page 45: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31 �

ideal untuk kerajinan batik ini cenderung menjadi pusat sosio-kultural mereka,

yang agak “mandiri” itu. Dalam hal ini, Laweyan adalah contoh yang tepat untuk

itu, apabila dibandingkan dengan perkampungan pengrajin lainnya, dalam kota

Surakarta (Wawancara, Bambang Slameto, pemilik perusahaan Batik Merak

Manis, 9 Desember 2010).

Perbandingan yang lebih menyolok perbedaannya dengan identitas

masyarakat Laweyan adalah pengelompokan abdi dalem pembatik dalam dinas

kerajaan, di kampung Kratonan, tetapi beberapa perbedaan identitas yang kami

amati di antara keduanya menunjukkan bahwa masalah persepsi kultural adalah

faktor yang menentukan perbedaan kedua pengrajin batik itu. Para pengrajin

kerajaan lebih tertarik pada gaya hidup model bangsawan Kraton, oleh karena itu

identitas kelompok sosial ini lebih menyerupai “priyayi-priyayi istana“.

Kampung Kratonan dahulu, lebih dikenal sebagai pusat produksi batik

kerajaan, sama sekali tidak mencerminkan karakternya sebagai perkampungan

pengrajin, melainkan lebih membaur ke dalam kompleks bangunan bangsawan

aristokrat. Rumah induk disertai halaman yang luas menyerupai alun-alun,

dikelilingi oleh pengindung atau magersari.

Seolah-olah mencerminkan pusat kekuasaan kecil dari komunitas

lingkungannya. Disana tidak muncul sikap kompetitif di antara pengrajin batik

karena hasil pekerjaan tidak dinilai menurut prestasi kerja, melainkan di ukur

menurut nilai-nilai pengabdian sebagai abdi dalem, oleh karena itu nilai

entrepreneurship sama sekali tidak ada dalam diri para pengrajin batik istana

(Wawancara, Dhani Arifmawan, Batik Cempaka, 9 Desember 2010).

Berbeda dengan para pengusaha batik Laweyan, sikap mereka justru

mengantisipasi persepsi gaya hidup orang-orang bangsawan. Rasa percaya diri

yang kuat tidak tertarik oleh cara hidup yang bermewah-mewah seperti di dalam

kraton, tidak ingin kehormatan, tampaknya telah menciptakan kondisi umum di

Laweyan, sehingga apa yang ada di hadapan kita sekarang adalah realitas sosial.

Sekarang keadaan di Laweyan jauh berbeda dengan kondisi sosial -

ekonomi rumah tangga pengrajin kerajaan di Kratonan. Meskipun saudagar

Laweyan menghadapi kemerosotan tingkat sosial-ekonomi, tetapi keadaannya

Page 46: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32 �

sekarang masih banyak pengusaha yang lebih kaya dari pada kebanyakan hidup

para bangsawan. Mereka masih bisa menikmati sisa kejayaannya di masa lampau,

daripada pengrajin seprofesi di kampung Kratonan (Wawancara, Dhani

Arifmawan, Batik Cempaka, 9 Desember 2010).

Sejak peranan pengrajin kerajaan ini memudar sebagai akibat

pengambilalihan kekuasaan Swapraja banyak di antara mereka menjual rumah

besar yang berhalaman luas itu kepada pengusaha batik Cina. Satu di antara

meraka menjadi milik Go Tik Swap, seorang pengusaha batik Cina yang sukses

memasuki gerbang kraton.

Orang Laweyan masa lalu lebih jelas membedakan dua profesi ini.

Seorang pengusaha batik dalam kriteria saudagar kaya, menurut istilah setempat

disebut juragan dan seorang pedagang batik disebut bakul ade. Keduanya ada

keserasian dalam profesi sebagai spekulan, tetapi ketekunan kerja mereka masih

kurang mendapat tempat dalam status tradisional Jawa. Ada kecenderungan

memandang rendah pekerjaan berdagang, bagi kebanyakan orang Jawa. Dalam

pengertian ini, orang Surakarta juga cenderung untuk memandang pedagang batik

sebagai berada di luar etika kerja umum (Wawancara, Dhani Arifmawan, Batik

Cempaka, 9 Desember 2010).

Informan lain, yaitu H. Akhmad Sulaiman menjelaskan, keterasingan

adalah identitas kampung Laweyan, sebuah pemukiman saudagar-saudagar kaya

orang Jawa. Mereka tetap beragama Islam tetapi abangan, tidak ingin kehormatan

tetapi hemat, adalah persepsi budaya mereka bahwa uang dan kekayaan tidak

untuk kepentingan bersama, tidak untuk berfoya-foya, melainkan untuk

menaikkan status mereka sebagai “mas nganten/ mbok mase” (sebutan untuk

juragan batik laki-laki/wanita). Barangkali ciri khas yang dirasakan paling

menonjol dari gaya hidup orang-orang Laweyan adalah persepsinya mengenai

kekayaan, baik di kalangan majikan maupun tenaga tukang dan buruhnya saling

memahami bahwa bekerja keras yang sudah biasa mereka lakukan, semata-mata

bukan hanya mencari nafkah melainkan juga untuk mengumpulkan kekayaan.

Menurut mereka, mengumpulkan kekayaan sama halnya orang

menemukan identitas dirinya dalam status sosial tertentu. Kebanggaan mereka

Page 47: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33 �

tidak hanya ditentukan menurut klasifikasi jenis pekerjaan, sebagai sekelompok

marginal melainkan nilai kekayaan itu secara realistis telah mengangkat harga

dirinya kedalam status tertentu, yaitu orang Jawa yang kaya raya, lebih-lebih bila

disertai predikat “mas nganten/mbok mase” dalam lingkungan Laweyan sendiri

atau “juragan” di lingkungan masyarakat yang lebih luas (Wawancara, Akhmad

Sulaiman, pemilik perusahaan Batik Puspa Kencana, 11 Desember 2010).

Mereka tidak tertarik pada gelar-gelar kepriyayian, karena gelar yang

disertai kekayaan para bangsawan itu katanya bersifat hanya pemberian dari

kraton, tidak diperoleh dari keringatnya sendiri. Mereka tidak bisa lebih bebas

menikmati hasil jerih payah sendiri bila hal itu dinyatakan dalam pekerjaan

mengabdi pada majikannya. Besarnya kekayaan orang Laweyan yang masih

terkumpul, dengan mudah bisa dikenali dengan melihat pengelompokan rumah

gedongan yang besar-besar di sepanjang jalan raya Laweyan dan di lorong-lorng

sempit perkampungan dagang itu. Suatu pemandangan yang terasa asing di mata

orang Jawa adalah setiap kapling pemukiman itu yang nampak dari luar hanyalah

pagar tembok setinggi 3 meter sampai 5 meter.

Kekayaan mereka tidak begitu tampak dari luar, tetapi begitu memasuki

pintu gerbang bersusun terlihat rumah besar itu mirip istana kecil yang dibangun

selama dasa warsa-dasa warsa abad ini. Pendeknya gaya hidup orang Laweyan,

dalam batas-batas tertentu senantiasa mengantisipasi kehidupan bangsawan istana.

Mereka tidak sepenuhnya terlibat seperti dalam kehidupan aristokrat, tetapi jenis-

jenis kekayaan yang menjadi simbol status para bangsawan mereka miliki.

Para juragan Laweyan yang tergolong kaya biasanya memiliki barang-

barang sebagai simbol status kekayaan. Misalnya krobongan, dubang, perhiasan

dan tata cara berpakaian Jawa seperti model priyayi. Pada sekitar tahun 1915 di

Surakarta sering terjadi perkelahian anak-anak muda karena masalah pelanggaran

tata cara berpakian adat. Kebanyakan diantara anak-anak priyayi, merasa

tersinggung oleh perlakuan pemuda “ngecapan” (buruh tukang cap) yang meniru

cara berpakaian priyayi kraton (Wawancara, Akhmad Sulaiman, pemilik

perusahaan Batik Puspa Kencana, 11 Desember 2010).

Page 48: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34 �

Para “juragan” Laweyan dalam kedudukannya sebagai majikan dalam

perusahaan, memang tidak pernah menampilkan sikapnya seperti para bangsawan

kraton. Tidak ingin dihormati secara berlebih-lebihan, tetapi sebaliknya tentang

persepsi kekayaan yang ia miliki, ingin dipamerkan sampai yang sekecil-kecilnya.

Satu contoh yang sederhana, yaitu cara mereka memamerkan pintu gerbang yang

cukup besar. Biasanya pada rumah-rumah orang kaya disana, akan dijumpai pintu

gerbang bersusun dengan anak pintu-pintu yang lebih kecil. Di atas pintu

dilengkapi dengan ukiran “crown”, semacam lambang mahkota kerajaan Belanda.

Anehnya mereka tidak banyak yang tahu tentang arti lambang itu.

Anak pintu yang hanya bisa dimasuki orang dengan membongkokkan

badannya itu, memang berfungsi terutama untuk kepentingan tenaga buruhnya di

saat ada urusan keluar rumah, sedangkan pintu gerbang baru dibuka jika majikan

mengelurkan kendaraannya atau untuk keperluan perusahaan. Orang Laweyan

ternyata tidak banyak mengetahui makna lambang dari pintu bersusun itu, selain

hanya bisa membeli dan memakai untuk kepentingan ekonomi keluarganya.

Mereka tidak ingin merepotkan diri dengan urusan lambang-lambang semacam

itu, karena yang penting bagi orang Laweyan barang itu bisa mencerminkan

sebagai simbol kekayaannya (Wawancara dengan Saud Effendy, Batik Saud

Effendi, 11 Desember 2010).

Hasil pengamatan yang dilakukan di daerah itu memang menunjukkan

hasil yang positif, bahwa orang-orang Laweyan sangat merasa kebutuhan untuk

memamerkan standar kekayaan mereka, karena dari kekayaan itu menunjukkan

status pemiliknya. Mereka mempunyai rumah-rumah “gedongan”, banyak tenaga

buruh, beberapa kuda dan mobil dan berbagai simbol kekayaan lainnya. Faktor-

faktor ini secara tidak langsung menuntut penghormatan orang lain kepada

keluarganya. Dalam kaitannya dengan nilai hormat ini, maka permasalahan yang

cukup menarik adalah sejauh mana kekayaan itu mengangkat status sosial

penduduknya.

Sistem status dalam masyarakat Laweyan ditentukan berdasarkan

klasifikasi pembagian kerja di perusahaan keluarga. Baik secara struktural

maupun fungsionalnya, kedudukan seorang ibu menempati posisi teratas, baru

Page 49: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35 �

kemudian ayah dan anak-anak. Dilingkungan ini seorang wanita memegang

peranan cukup penting dalam pengelolaan perusahaan, disamping sifatnya yang

tekun, ulet dan lebih teliti, wanita lebih memiliki sifat “ngemong” dibanding

dengan kaum pria. Berbeda dengan masyarakat Surakarta di luar masyarakat

Laweyan yang menempatkan wanita di posisi kedua. Pemilik perusahaan ini

memperoleh sebutan sebagai keluarga majikan. Sebenarnya gelar yang mereka

peroleh dengan sebutan “mbok mase” dan “mas nganten” terkandung nilai-nilai

penghargaan dan penghormatan dari lingkungan perusahaan, terutama tenaga

buruhnya. Mereka dihormati karena perannya bukan sekedar sebagai pelindung

kepentingan ekonomi buruhnya, melainkan juga sebagai bapak asuh.

Hubungan buruh-majikan itu sebagai keutuhan dan kesatuan., dimana

masing-masing orang dalam perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota

keluarga. Dilihat dari sikap mereka secara lahir, para saudagar Laweyan agaknya

memiliki kebanggaan tersendiri gelar yang diperoleh dari lingkungan sendiri ini.

Masalahnya karena gelar “mbok mase” dan “mas nganten” adalah identitas yang

menunjukkan dirinya sebagai pemilik perusahaan batik. Lain halnya dengan gelar

“juragan” yang mereka peroleh dari masyarakat luar. Gelar ini menyertai para

pengusaha Laweyan, terutama dalam lingkungan masyarakat pedagang di pasar-

pasar atau pedagang besar pemilik toko batik sudah berbaur dengan pengusaha

lain di luar kegiatan ini (Wawancara, Saud Effendy, Batik Saud Effendi, 11

Desember 2010).

b. Semangat Kerja

Orang Laweyan, dalam lingkungan masyarakat Surakarta dikenal sebagai

pekerja “ulet” (rajin, tekun, tabah). Terutama peranan “mbok mase” yang cukup

besar dalam perusahaan dan keluarga, dalam setiap harinya mereka hanya istirahat

selama 7 jam, selebihnya hanya disediakan untuk bekerja di perusahaan dan di

pasar-pasar sandang. Semangat kerja mereka sangat tinggi, bila dibandingkan

dengan pekerjaan para suami, di perusahaan. Etos kerja para wanita di Laweyan,

sebagaimana ungkapan berikut ini “sing wedhok mbatik, sing lanang ngingu

kutut” (pekerjaan wanita hanya membatik, sementara suaminya hanya bersantai-

santai dengan burung perkutut peliharaannya).

Page 50: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36 �

Kebanyakan dari saudagar wanita Laweyan yang memiliki etos kerja

tinggi, adalah mereka yang pertama kali membuka usaha keluarga, kemudian

generasi kedua, atau ketiga wanita. Biasanya sesudah generasi ketiga semangat

enterpreneur mereka semakin menurun, bahkan menjadi lenyap sama sekali bila

diturunkan kepada anak laki-laki (Wawancara dengan Gunawan Muh.Nizar, Batik

Putra Laweyan, 11 Desember 2010).

Menurut penuturan dari Drs. Bambang Slameto, bahkan dewasa ini

semangat kerja yang tinggi biasanya justru dimiliki oleh wanita-wanita yang

belum pernah mengenal sekolah. Anak-anak yang sudah disiapkan oleh orang

tuanya untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya memang sengaja tidak

disekolahkan, karena itu dari sejak umur enam tahun anak itu sudah dididik

memahami cara mengurus perusahaan. Mereka ternyata dalam hal pendidikan

informasi ini sangat jelas membedakan antara pengetahuan praktis yang lebih

menekankan segi ketrampilan di pabrik, dan pengetahuan empiris dalam

mengelola perusahaan. Anak-anak pengusaha umumnya lebih banyak disiapkan

untuk memahami pengetahuan dari pengalaman orang tuanya, karena itu bukan

ukuran lamanya pendidikan melainkan nilai pemahamannya.

Sehubungan dengan masalah di atas maka seorang mbok mase dalam

menyeleksi tenaga kerja anak-anak mereka dan tenaga kerja buruhnya,

dirumuskan dengan tepat berdasarkan nilai semangat kerja. Sehingga dalam

perumusan itu terdapat kategori sosial yang mencakup kriteria: usia, jenis kelamin

dan status perkawinan. Agaknya seleksi majikan terhadap seluruh tenaga kerja

yang terlibat dalam kegiatan perusahaan keluarga, tidak memandang unsur ikatan-

ikatan non ekonomis, tetapi lebih ditekankan pada prestasi kerja.

Sisi lain yang bisa kita lihat tentang etos kerja para majikan adalah

gagasan mereka untuk memproduktifitaskan tenaga laki-laki sebagai tukang cap

dan buruhnya. Alasan apa para majikan lebih memilih tenaga kerja yang sudah

menikah karena biasanya para pekerja yang sudah berkeluarga, kehidupan dirinya

sudah mapan dan seluruh gajinya hanya untuk kebutuhan keluarga. Mereka sudah

meninggalkan masa bersenang-senang, karena itu mereka mau bekerja keras,

disiplin dan penuh tanggung jawab, demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Page 51: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37 �

Para majikan baru memakai tenaga bujangan bila mereka betul-betul

sudah mengenal pribadi pekerja itu. Majikan tidak pernah menerima pekerja

bujangan yang belum dikenal, karena mereka ketakutan kalau pekerja itu ternyata

pemalas, akan mudah mempengaruhi pekerja yang lain. Masalah lain yang cukup

menarik adalah sikap majikan yang tak mengenal kompromi dengan siapapun.

Baik dengan saudara sendiri, dengan adik-kakak, bahkan dengan anak-

anaknya sendiri yang sudah mendirikan usaha lain. Ia tidak mengenal batas-batas

ikatan khusus yang sifatnya non ekonomis. Adik, kakak dan anak-anak mereka

bisanya berdiri sendiri mengelola perusahaan masing-masing. Dalam kontek yang

seperti ini, masing-masing anggota keluarga itu akan memandang mereka sebagai

orang lain yang menjadi saingan perusahaannya.

Nilai pertolongan harus bisa diukur menurut pertimbangan pinjam

meminjam sehingga pada saatnya yang tepat mereka akan meminta kembali nilai

pertolongan itu. Prinsip ini nampaknya sangat rasionalistis, karena segala

bentukhubungan sosial antar warga masyarakatnya senantiasa diukur menurut

kriteria untung dan rugi (Wawancara, Bambang Slameto, pemilik perusahaan

Batik Merak Manis, 9 Desember 2010).

Kegiatan pagi diawali dengan membagi pekerjaan kepada semua buruh-

buruhnya, yaitu kepada buruh mbatik dan buruh ngecap. Sementara Mas Nganten

(sebutan untuk pengusaha batik laki-laki) memimpin buruhnya, terlibat dalam

kegiatan pemrosesan batiknya.

Mbok Mase (sebutan untuk pengusaha batik wanita) dan anak

perempuannya menggunakan waktunya di siang hari untuk pergi ke pasar,

menyetorkan hasil produksi, membeli kain mori serta menagih hutang kepada para

langganan. Sore hari, kegiatan pabrik serta urusan pemasaran selesai dan keluarga

ini disibukkan dengan perhitungan barang yang telah selesai dikerjakan. Gaji

buruh diberikan serta membuat rancangan kerja untuk keesokan harinya. Malam

hari, mereka menghitung hutang-piutang, menghitung uang di tangan langganan

dan menghitung jumlah barang yang siap di jual (Wawancara Gunawan

Muh.Nizar, Batik Putra Laweyan, 9 Desember 2010).

Page 52: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38 �

Para pengusaha biasanya menyalurkan batik hasil produksinya melalui

koperasi. Dari koperasi ini kemudian didistribusikan kepada para pedagang besar

atau pedagang kecil/eceran. Dengan penyaluran melalui koperasi, jaringan

penjualan menjadi lebih luas dan untungnya pun tidak kalah dengan jika dijual

langsung kepada konsumen. Cara memasarkan dan memperdagang kain batik di

Laweyan itu pun terasa unik. Di kawasan Laweyan, pusat-pusat batik seolah

menutup diri dari proses manajemen transparan. Mereka memproduksi secara

diam-diam di sebuah kawasan tertutup,dengan karyawan dan ahli batik yang tak

bisa disebut massal.

Produk-produk mereka memang sering dikenal oleh orang-orang yang

tahu persis akan kualitas batik. Meski promosi yang dikedepankan, sebenarnya

cuma lewat mulut ke mulut. Produksi batik di beberapa kota besar Jawa ini

memang masih terlalu tertutup. Mereka seperti “inferior” sekali memamerkan

dagangannya, sehingga pada industri batik raksasa seperti Keris atau Danar Hadi

sekali pun, menampilkan iklan ke media cetak dan elektronik terasa jarang sekali.

Bahkan di kawasan Laweyan, sebagai salah satu pusat batik di Indonesia, para

produsen enggan membuka show room (tempat pamer).

Ini didasari atas rasa sungkan yang tinggi dengan sesama penjaja batik

lainnya. Mereka takut, promosi itu justru menghantam atau bahkan jadi bumerang

bagi citra produknya. Lebih-lebih jika kelak ada produk yang justru lebih bagus

dari yang ia tawarkan. Jikapun ada yang yang membuka show room,hanya kecil-

kecilan saja dan itu pun merangkap kantor (Wawancara dengan Gunawan

Muh.Nizar, Batik Putra Laweyan, 11 Desember 2010).

Rata-rata dari mereka adalah perusahaan keluarga. Artinya menjalankan

bisnis itu berdasarkan warisan orang tua mereka. Ada yang berkembang pesat

setelah ditangani generasi lapis kedua atau ketiga, namun ada pula yang justru

kian surut setelah generasi pertama tak memegang tampuk kepemimpinan.

Generasi lapis kedua atau ketiga, tidak jarang malah lari dari bisnis di luar batik.

Ada yang menggunakan modal keluarga untuk bisnis yang lain atau

bahkan mencari pekerjaan di luar bisnis keluarga. Namun kebanyakan, bisnis

batik di kawasan itu rata-rata bertahan karena eratnya komitmen kekeluargaan

Page 53: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39 �

tadi. Mereka berhasil menggalang sebuah kekuatan untuk tetap bertahan dengan

bisnisnya. Saingan mereka memang satu, yakni para investor bisnis bermodal

besar. Sehingga, sekuat apapun mereka berpasar, toh masih harus berpacu dengan

perusahaan-perusahaan batik raksasa yang kini merajai pasar batik Indonesia.

B. Peran Politik Saudagar Laweyan

Pada sebelum kemerdekaan kampung Laweyan memegang peranan yang

sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,di Laweyan ini pada

tahun 1911 muncul organisasi politik yang bernama Sarekat Dagang Islam ( SDI )

yang didirikan oleh KH. Samanhudi.

a. Sejarah berdirinya Sarekat Dagamg Islam (SDI)

Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan

perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji

Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun

para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing

dengan pedagang-pedagang besar Timur Asing. Pada saat itu, pedagang-pedagang

tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi

dari pada penduduk Indonesia lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh

pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial

karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi.

SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam

dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H.

Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan

yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat

Dagang Islamiah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi

organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S.

Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk

SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian

memegang keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian

dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).

Page 54: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40 �

SDI yang berdasarkan koperasi dengan tujuan memajukan perdagangan

pribumi dengan panji-panji Islam yang menaunginya. SDI berbeda dengan

organisasi pergerakan pendahulunya yaitu Boedi Oetomo yang merupakan

perkumpulan kaum priyayi. SDI sejak berdirinya diarahkan untuk memajukan

Agama Islam dan untuk kepentingan rakyat.

Organisasi ini juga dimaksudkan untuk lebih memperkuat golongan-

golongan pedagang Indonesia terhadap pedagang-pedagang China yang saat itu

memegang peranan sebagai leveransian bahan-bahan yang diperuntukan oleh

perusahaan yakni kain moni putih, bahan pembuat batik dan alat-alat untuk

memberi warna dalam proses pembuatan. Haji Samanhudi dan kawan-kawan

merasa dipermainkan oleh leveransin-leveransin China, sehingga timbul

keinginan untuk memperkuat diri dalam menghadapi leveransin China tersebut

dengan mendirikan perkumpulan yang semula bersifat ekonomi dengan nama

Sarekat Dagang Islam (Susanto Tirtoprodjo, 1970 : 26).

Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said

Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan

agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam

bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan

tujuan SI adalah sebagai berikut:

a. Mengembangkan jiwa dagang.

b. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.

c. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat

rakyat.

d. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.

e. Hidup menurut perintah agama.

SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan

Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan

tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.

Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI

mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral

Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun

Page 55: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41 �

dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam

kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan

menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah

kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga

menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.

Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan

sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah

memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan

mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.

Perubahan nama menjadi Sarekat Islam, berawal dari saat perkumpulan

SDI tersebut menyusun statuennya. Pada saat menyusun statuten tersebut Haji

Samanhudi meminta bentuan seorang terpelajar yang bekerja pada sebuah

perusahaan dagang di Surabaya, yakni Oemar Said Tjokroaminoto. Selanjutnya

Tjokroaminoto menyarankan agar perkumpulan tersebut tidak membatasi dirinya

hanya untuk golongan pedagang saja, tetapi diperluas jangkauannya maka nama

SDI diganti menjadi SI (Susanto Tirtoprodjo, 1970 : 24).

b. Tujuan Organisasi SDI

Dalam akta notaris tertanggal 10 september 1911 yang memuat anggaran

dasar SI di tetapkan tujuan organisasi sebagai berikut:

1. Memajukan perdagangan,

2. Memberi pertolongan kepada anggota-anggota yang mengalami

kesusahan,

3. Memajukan kepentingan rohani dan jasmani bagi pribumi4.

Memajukan kehidupan keagamaan islam (C. S. T. Kansil yulianto,

1986 : 26).

Melihat tujuan-tujuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa SI

merupakan organisasi penjelmaan kembali dari SDI, seperti tertulis dalam tujuan

yang pertama.

c. Masuknya Pengaruh Komunisme

SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh

paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M

Page 56: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42 �

Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische

Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan

pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di dalam

masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga

usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang

dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI

oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang

kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.

Dengan usaha yang baik, mereka berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh

muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal

ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS

Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan

asas sosialisme-komunisme.

Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam

tubuh SI antar lain:

a. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki

kekuasaan yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-

sendiri. Pemimpin cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan

nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen adalah ketua SI Semarang.

b. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai,

mengingat pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan

organisasi non-politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil

meningkatkan anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000

orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.

c. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan

membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan

untuk mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan

mudahnya rakyat memihak pada ISDV.

d. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu

Terbuka (sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870

dan wabah pes yang melanda pada tahun 1917 di Semarang.

Page 57: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43 �

SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto), Sekarmadji

Maridjan Kartosoewirjo berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan

SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang.

Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua

kubu tersebut.

Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya

pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita

Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin,

Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-

Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena

keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI

Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan

mengecam beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI

Semarang juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena

itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).

d. Perkembangan Sarekat Islam Pra Kemerdekaan

Berlainan dengan organisasi Boedi Oetomo sebagai pendahulunya, yang

dalam perakteknya, medapatkan anggota-anggotanya dari kalangana atas saja

(priyayi), SI merupakan organisasi yang menyentuh semua lapisan masyarakat

pribumi seperti yang diinginkan sejak lama.Konggres SI yang pertama

diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 26 januari 1913, di pimpin oleh H. O.

S. Tjokroaminoto. Dalam konggres itu ia menerangkan bahwa SI bukan partai

politik, dan SI tidak beraksi melawan pemerintahan kolonial Belanda.

Walaupun demikian, dengan Agama Islam sebagai landasan persatuan

dan kesatuan penuh untuk mempretinggi derajat pribumi. SI tersebar keseluruh

Pulau Jawa dan beberapa tempat berdiri cabang-cabang SI yang jumlah

anggotanya sangat besar, seperti di Jakarta misalnya, jumlah anggotanya kurang

lebih 12.000 orang (Drs. M. A. Gani,1984: 89).

Pemerintah kolonial Belanda tidak senang melihat perkembangan SI

yang begitu pesat. SI dwengan dasar keagamaannya, mempunyai potensi ayng

Page 58: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44 �

luar biasa untuk menghimpun pengikut diantara rakyat. Meskipun tujuannya

mencangkup kegiatan sosial ekonomi, menerbitkan kehidupan keagamaan Islam,

mempertinggi taraf kehidupan rakyat pada umumnya, menganjurkan kepatuhan

kepada pemerintah, namun penguasa kolonial menyadari penuh kekuatan massa

dari SI. Menghadapi situasi yang demikian dinamik dan mengandung unsur-unsur

revolusioner itu, pemerintah menempuh jalan sangat hati-hati. Fikirim seorang

penasehat kepada organisasi SI. Disamping itu Gubenur Jendral Idenburg

meminta nasehat dari penasehat dari para residennya untuk menetapkan

kebijaksanaan politiknya terhadap SI (Noegroho Notosusanto dan Marwati

Djoened Poesponegoro, 1977 : 188).

Hasilnya adalah permohonan pengurus besar SI untuk dapat pengakuan

badan hukum ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Penolakan tersebut

dimuat dalam keputusan Gubernur Jendral pada tanggal 30 juni 1913. Keputusan

tersebut menjelaskan bahwa yang ditolak untuk menjadi perkumpulan yang

berbadan hukum adalah SI seluruhnya sebagai suatu perkumpulan yang

sentralistik.

Cabang-cabang SI sebagai organisasi tingkat lokal dan daerah masing-

masing dapat di beri status badan hukum.Pemerintah kolonial Belanda yang sudah

terikat oleh kesanggupan akan memberi dan mengakui badan hukum untuk SI

lokal. Akhirnya pada tahun 1914 harus merealisasikan 56 buah cabang SI lokal

sebagai organisasi yang berbadan hukum (SusantoTirtoprodjo, 1984 : 28).

Perkembangan selanjutnya Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada

1915, berdasarkan sentral ini dimaksudkan untuk memajukan dan mambantu SI di

dalam menjalankan dan memelihara hubungan serta kerjasama di antara mereka.

Permintaan CSI untuk diakui sebagai organisasi berbadan hukum dikabulkan oleh

pemerintah kolonial Belanda dengan surat keputusan tanggal 18 maret 1916.

Dalam keputusan itu ditegaskan, bahwa CSI diwajibkan mengawasi

tindakan dari pengurus serta anggota-anggota SI lokal, disusun pula pengurus

pertama CSI, H. O. S. Tjokroaminoto sebagai ketua, Abdul Muis sebagai wakil

ketua bersama Haji Gunawan. Untuk menghargai jasa pendiri organisasi SI, maka

CSI mengangkat Haji Samanhudi sebagai ketua kehormatan.

Page 59: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45 �

Selanjutnya SI mengadakan konggres di bandung pada tanggal 17-24 juni

1916 yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Pengurus ini dinamakan

Konggres Nasional pertama tingkat nasional SI.Pada konggres SI tahun 1917 di

Jakarta muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili Semaun yang pada

waktu itu menjadi ketua SI lokal Semarang. Namun konggres itu memutuskan

bahwa azas perjuangan SI ialah mendapatkan zeif bestuur atau pemerintah sendiri,

selain ditetapkan pula azas yang kedua berupa perjuangan melawan penjajah dari

kapitalisme yang jahat, sejak itupula Tjokroaminoto dan Abdul Muis mewakili SI

dalam Dewan Rakyat.Sudah disebutkan diatas bahwa keanggotaana SI terus

meningkat dan ini terbukti dalam konggres tahun 1918 ketiga di Surabaya.

Anggotanya mencapai 450.000 yang berasal dari 87 SI lokal. Sementara

itu pengaruh Semaun semakin menjalar ketubuh SI. Tahun 1919 untuk SI, adalah

suatu tahun penghebatan propaganda kapital asing yang terutama dihantam.

Jumlah anggota meningkat mencapai 2.000.000 orang.

Meski SI tidak revolusioner, pimpinan memandang perlu memikirkan

dan mencari arah aksi baru. Konggres SI yang ke empat (26 Oktober-2 November

1919 di Surabaya) terutama membicarakan soal sekitar kerja dan diputuskan juga

akan mengadakan beberapa komite penyidik, untuk mempelajari soal-soal yang

penting bagi pergerakan rakyat, sebuah penyidikan akan digunakan memperbaiki

aksinya. Tetapi dengan ini semuanya SI hendaknya mencapai barang yang diatas

kekuatannya. SI sudah melalui puncak kebesarannya, kekuasaannyapun telah

turun pula karena terbawa oleh kabar-kabar tentang banyak uang iuran yang kalut

dan lagi karena dilakukan oleh anggota ISDV sesudah revolusi di Rusia. Maka

mereka ini menyatakan dirinya komunis. Sehingga jumlah anggota SI turun

dengan cepat (A. K. Pringgodigdo, 1980 : 9-10).

Tahun 1920 dari beberapa kekuatan ingin membelokan SI dari relnya

semula, yakni dari ajaran Islam. Misalnya Darsono, yang hendak mengubah Si

menjadi Sarekat Internasional dan ada pula yang ingin mengubahnya dengan

nama Sarekat Hindia. Penyelewengan ini tidak sampai terjadi, kerena kesejukan

pemimpin-pemimpinnya, yang duduk dalam puncak pimpinan, nahwa azas Islam

dipegang teguh untuk seterusnya. Pada tahun 1920 ini, diadakan kembali

Page 60: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46 �

konggres nasional ke tujuh di Madiun dan SI resmi berubah menjadi partai politik

dengan sekaligus merubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).

Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari

organisasi. Hal ini ada kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim

pada kongres SI yang keenam 6-10 Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai

yang melarang keanggotaan rangkap. Anggota SI harus memilih antara SI atau

organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari unsur-unsur komunis. Hal ini

dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta pengecualian bagi PKI.

Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima dengan mayoritas

suara. Saat itu anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun turut pula

dikeluarkan, karena disiplin partai tidak memperbolehkannya.

Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada

bulan Februari 1923 di Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan

tentang peningkatan pendidikan kader SI dalam memperkuat organisasi dan

pengubahan nama CSI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada kongres PKI

bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk menggerakkan SI Merah untuk

menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti nama menjadi "Sarekat

Rakyat". Kemudian pada tahun 1929 berubah lagi menjadi Partai Sarekat Islam

Indonesia (PSII) dan pada tanggal 5 januari 1973 berubah kembali menjadi

Sarekat Islam.

C. Peran Dan Eksistensi Saudagar Laweyan Dalam Membangun

Perekonomian Muslim.

Kampung Laweyan memiliki beberapa keistimewaan, terutama karena

hadirnya kelompok pengusaha batik Jawa, yang mana identitas masyarakatnya

memiliki gaya hidup yang berlainan dengan masyarakat Surakarta. Ciri-ciri sosial

yang berlainan nampak pada kedudukan lapangan pekerjaan yang kelihatan

terasing di dalam masyarakat Surakarta, dan pemisahan yang tajam antara ikatan

kerja yang bersifat ekonomis dan yang bersifat non ekonomis. Mereka menyatu

dalam sistem sosialnya sendiri, yang didasarkan atas orientasi kerja wiraswasta.

Page 61: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47 �

Oleh sebab ini, kampung Laweyan lebih menampakkan diri ke dalam ciri-ciri

kampung dagang (Mlajadipura, 1984).

Selanjutnya, gagasan Geertz (1981) mengenai etos kerja pedagang

Jawa, ditunjukkan adanya ikatan yang kuat antara unsur kerja duniawi dan

rohani. Dalam hubungan ini, ia menafsirkan adanya keseimbangan antara

mengejar kepentingan duniawi adalah suatu kebajikan di dalam ajaran Islam (H.

M. Rosjidi, 1967).

Penafsiran ini justru banyak dijalankan oleh orang orang Islam reformis

di kalangan Pedagang Islam terutama di kota-kota pantai Utara Jawa. Oleh karena

itu, konsepsi Geertz, membenarkan adanya hubungan historis dan fungsional

antara Islam dan perdagangan. Apabila pengamatan Geertz itu benar, maka

bila dikaitkan dengan sejarah awal munculnya pengusaha batik di Laweyan,

terdapat perbedaan segi segi pokok yang tidak dicakup oleh gagasan Geertz.

Sejauh mengenai pengusaha Laweyan pada awal abad ini, mereka adalah

saudagar Islam Abangan. Penduduk Laweyan dari generasi sebelum

kemerdekaan, menyebutkan masyarakat setempat sebagai Islam Garingan (H. M.

Rosjidi, 1967).

Penduduk Laweyan sebenarnya bukan orang Jawa yang asing

dengan masyarakat lingkungannya karena perbedaan kultur, melainkan

terasing karena identitas lapangan pekerjaan berbeda dengan kondisi umum

komunitas yang lebih luas di sekitarnya. Dari hasil pengamatan, sebagian besar

pengusaha yang tampil sebagai saudagar kaya selama seperempat pertama abad

ini, cukup bangga dengan identitas nama ke-Jawaannya (H. M. Rosjidi,

1967).

Demikian pula saudagar santri yang sudah menunaikan ibadah

haji,tidak pernah ada yang meninggalkan identitas nama Jawanya. Kebanggaan

atas penampilan dari sebagian orang Jawa yang sukses dibidang ekonomi

dan status sosial mereka, agaknya merupakan pencerminan dari falsafah hidup

orang jawa: drajat, semat dan pangkat (status, kekayaan dan kedudukan).

Dalam komunitas pengusaha batik di Laweyan menunjukkan suatu ciri

sosial yang membentuk sistem stratifikasi antara pengusaha besar dengan

Page 62: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48 �

pengusaha kecil, antara buruh dengan majikan, dan antara buruh tetap dengan

buruh harian. Struktur kekuasaan majikan berjalan paralel dengan struktur

fungsionalnya sebagai ibu rumah tangga. Demikian sebaliknya, tenaga buruh

sebagai bawahan di perusahaan sekaligus akan berfungsi sebagai pembantu

rumah tangga majikan. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan

disebut keluarga majikan, secara turun temurun terdiri dari mbok mase sepuh

(nenek), mas nganten sepuh (kakek), biasanya mereka orang tua dari pihak ibu.

Selanjutnya adalah mbok mase (ibu rumah tangga), mas nganten (ayah

sebagai kepala rumah tangga), mas rara (anak perempuan) dan mas nganten

(anak laki-laki) atau sering dipanggil gus.

Status sosial di bawahnya yaitu kelompok besar para pekerja di

perusahaan. Status sosial mereka ditentukan menurut kriteria keahlian kerja.

Dalam kelompok pekerja, tukang cap menduduki tingkat teratas sebagai buruh

ahli, mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari majikan dibanding kelompok

pekerja lainnya. Kelompok tukang cap seringkali terjadi mobilitas vertikal

yaitu naiknya status sosial dari pekerja perusahaan menjadi pengusaha menengah

atau besar. Sedangkan kelompok pekerja dengan status sosial di bawahnya

adalah kuli mbabar, kuli celep, pengubang (buruh batik) dan pembantu

rumah tangga majikan.

Status mereka tergolong dalam kategori buruh inti. Kelompok di

bawahnya adalah kuli mberet, kuli kerok dan kuli kemplong, mereka ini

tergolong sebagai buruh tetap. Kemudian status sosial paling bawah adalah

buruh harian yaitu pekerja kasar sebagai pembantu rumah tangga. Mereka

tidak diikat oleh majikan, karena itu sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh

majikan. Meskipun demikian hubungan antara ma jikan dan buruh bukan saja

berdasarkan kepentingan ekonomi, melainkan lebih dari itu dengan meminjam

istilah setempat sambung rasa sambung warga artinya terjalinnya ikatan

persaudaraan antara buruh dan majikan.

Para saudagar Laweyan telah memperoleh apa yang dicita-citakan

orang Jawa yaitu drajat. Walaupun kedudukan saudagar di tengah masyarakat

Jawa, masih terasa asing terutama di dalam lapangan pekerjaannya, tetapi arti

Page 63: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49 �

kekayaan yang disandang dari kata saudagar itu sendiri, rupanya telah

mengangkat status sosialnya sejajar dengan status priyayi bangsawan atau

pegawai negeri. Hal ini sangat berbeda kasus di Kota Gede, di mana status

sosial kebangsawanan dapat diperoleh dengan dibeli (Mitsuo Nakamura,

1983).

Menurut mereka, hanya dengan kerja keras, hemat dan disiplin tinggi

kedudukan dan kekayaan itu akan diperoleh tanpa harus mengorbankan harga

diri di bawah perintah orang lain. Tiga aspek yang menjadi pokok

permasalahan, sosial, ekonomi dan kultural adalah variable-variabel

ketergantungan yang saling terkait untuk memperjelas munculnya kelompok

pengusaha itu ditengah-tengah masyarakat Solo.

Variabel ekonomi sangat berguna untuk mengetahui sejauh mana

pertumbuhan ekonomi perusahaan milik tiap-tiap pengusaha. Sehingga

memberi kemudahan untuk menganalisa kondisi keseimbangan antara

pertumbuhan ekonomi dengan naiknya kekayaan mereka. Dengan begitu maka

nilai kekayaan pengusaha yang diperoleh dari lapangan pekerjaannya biasa

diklasifikasikan menurut kriteria jenis dan fungsinya. Demikian pula, variabel

ekonomi sangat berguna untuk mengukur tinggi rendahnya nilai kekayaan

para saudagar dengan memperbandingkan kekayaan masyarakat lain, di luar

lapangan usaha ini. Misalnya dengan kekayaan para priyayi bangsawan istana.

Dengan memperbandingkan nilai kekayaan ini, akan diperoleh

gambaran sejauh mana adanya keterkaitan status sosial mereka. Seperti yang telah

ditunjukkan di depan, ternyata terdapat korelasi yang positif antara pertumbuhan

ekonomi dengan naiknya status sosial orang Laweyan. Gelar yang mereka

peroleh dari lingkungan Laweyan sendiri mbok mase dengan dari luar

juragan, tidak menutup kemungkinan untuk mereka mensejajarkan diri status

sosial mereka dengan priyayi istana. Dengan melihat perkembangan ini, maka

bisa dipastikan bahwa keterkaitan antara aspek sosial dan ekonomi adalah

variabel-variabel yang saling tergantung satu sama yang lain. Demikian pula

untuk melihat kekayaan para pengusaha Laweyan sebagai simbol-simbol status,

maka masalah persepsi kultural bisa dipakai sebagai variabel ketiga.

Page 64: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50 �

Perubahan nilai kekayaan disana berubah sejak para pengrajin batik

laweyan memperoleh kebebasan memproduksi motif batik halus dengan

menggunakan metode “cap”. Setidaknya-tidaknya penemuan alat ini

mempengaruhi tiga proses yang mempunyai arti sangat penting bagi pertumbuhan

ekonomi lokal laweyan :

a. Jatuhnya batik tulis halus produk istana yang di kerjakan oleh para abdi

dalem kriya pengrajin batik

b. Penetrasi yang lebih dalam produk batik “sandang” dan “tejo” menggantikan

batik klasik

c. Mengikatnya jumlah kain katun sebagai barang komoditi import, yang

memberikan keuntungan besar bagi pemerintah Kolonial Belanda

(Soedarmono, 2006 :48).

Pertumbuhan ekonomi lokal di Laweyan menimbulkan asumsi dasar

bahwa sejak awal abad ini Laweyan sedang berubah dari sistem ekonomi pasar

(perdagangan lawe), menuju pada suatu sistem ekonomi firma. Dimana

perdagangan dan industri batik dilakukan lewat serangkaian pranata sosial yang

tak bersifat pribadi melainkan berlaku sistem organisasi dari berbagai pekerjaan

yang bertalian dengan tujuan produksi dan distribusi batik (Geerts, 1973: 29).

Batik dan kekayaan, agaknya dijadikan simbol status pemiliknya yang

memperoleh sebutan “saudagar” Laweyan. Oleh karena itu secara berlebih-

lebihan mereka sengaja memamerkan kekayaan itu dimata masyarakat. Tetapi

diluar dugaan orang banyak, tembok-tembok pagar yang tinggi dan kuat

melingkari setiap bangunan rumah di Laweyan, berfungsi bukan hanya untuk

melindungi kekayaan mereka dari orang jahat, melainkan juga menghindari

keterlibatan orang luar mengetahui kepentingan ekonomi perusahaannya.

Mereka hidup dalam kemandiriannya yang senantiasa di kelilingi oleh

kepentingan uang (harta) dan harga diri (persaingan). Sikap entrepreneur para

pengusaha telah mempengaruhi sikap hidup yang ekonomis bagi saudagar-

saudagar Laweyan. Sehingga dalam kehidupan mereka yang eksklusif, diperoleh

kesan sebagai orang yang pelit, hanya mengutamakan kepentingan mereka sendiri.

Page 65: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51 �

Kemakmuran dan kekayaan orang-orang Laweyan dicatat dengan baik

sebagai karakteristik perkampungan saudagar Jawa yang sukses. Sejarah ekonomi

Laweyan antara tahun 1910 sampai tahun 1930 nampaknya terus menerus

mengembangkan identitasnya ke dalam golongan masyarakat saudagar (De Kat

Angelino, 1930).

Pertalian yang erat antara keunggulan ekonomi pengusaha kaya Laweyan

dengan naiknya status sosial mereka. Walaupun dalam banyak hal mereka tidak

bisa memperoleh kedudukan ke dalam pangkat bangsawan, tetapi pengaruh

kekayaannya ditengah-tengah masyarakat sering diperhitungkan sama dengan

status sosial pejabat tinggi kerajaan setempat. Banyak para bangsawan yang

berhutang pada orang-orang kaya di Laweyan. Bahkan sebagian kekayaan Haji

Samanhudi, diperoleh dari usaha meribakan uang dan di antara peminjam uang

yang datang kepadanya terdapat orang-orang bangsawan (A.P.E Korver, 1985:

12)

Tentang naiknya status sosial ini, boleh dikatakan bahwa mayoritas

pengusaha kaya di Laweyan sama sekali tidak tertarik terhadap prestise model

kraton. Kiranya sudah menjadi kelaziman bagi orang kaya di kota Gede bisa

memperoleh status sosial kebangsawanan dengan cara membeli. Tetapi tradisi itu

tidak bisa disamakan dengan kasus di Laweyan yang tetap acuh tak acuh terhadap

prestise aristocrat. Menurut cerita tutur penduduk setempat, renggangnya

hubungan orang-orang Laweyan dengan kelompok bangsawan kerajaan itu sudah

lama diwariskan leluhur mereka, sejak jaman Kartasura (Mitsuo Nakamura, 1983:

64).

Ibu-ibu rumah tangga di Laweyan (biasa disebut “mbok mase”)

mengambil peranan 75% dalam proses produksi dan distribusi batik perusahaan

keluarga. Akibatnya pengaruh dominasi ibu rumah tangga terasa lebih kuat dalam

kebijakan ekonomi rumah tangga, bila dibandingkan peranan ayah sebagai kepala

rumah tangga. Dalam kaitanya dengan ini persepsi idealnya wanita-wanita

Laweyan tidak mau mengambil gaya hidup model bangsawan istana, terutama

sikap antagonistis terhadap segala bentuk poligami. Di mata wanita-wanita

laweyan, masalah ini dipandang sebagai penampilan yang menonjol dari gaya

Page 66: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52 �

hidup wanita-wanita bangsawan yang lemah, tidak kreatif dan apatis karena

menggantungkan hidup pada nasib atau takdir (Soedarmono, 2006: 71).

Sebenarnya keberhasilan dalam lapangan usaha dan naiknya status sosial

karenakekayaan mereka, memberikan sumbangan paling besar bagi

perkembangan sikap mental yang istemewa pada pengusaha kaya di Laweyan.

Rasa percaya diri, hemat, tidak tertarik gaya hidup yang foya-foya dan tidak hila

hormat, menjadi karakteristik kondisi umum gaya hidup saudagar Laweyan.

Page 67: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53 �

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan Berpijak dari uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat

diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Daerah Laweyan, Surakarta dikenal sebagai salah satu sentra industri batik di

Jawa Tengah. Kegiatan pembatikan pada mulanya masih mempergunakan

peralatan yang sederhana, yaitu canting. Ragam hias batik yang dihasilkan pun

masih meniru ragam hias dari kraton, demikian pula dengan pewarnaannya

yang cenderung gelap dan mempergunakan bahan pewarna dari alam. Industri

batik tradisional di Laweyan yang semakin maju, membuat para pengusaha

berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan

batik lebih cepat daripada dengan menggunakan canting. Kemudian dibuatlah

alat cap, di samping canting untuk memproduksi batik secara tradisional. Dari

masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan. Mulai

dari ragam hias batiknya hingga peralatan dalam pembatikannya. Demikian

pula dengan batik di Laweyan, Surakarta. Ragam hias batik Laweyan yang

mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun berkembang ke ragam hias

yang dinamis/bergaya kontemporer. Pewarnaannya pun mulai menggunakan

warna yang beraneka ragam. Hal tersebut tak lepas dari permintaan pasar

dengan kondisi yang berubah-ubah. Seperti adanya pengaruh dari kegiatan

kenegaraan, motif yang sedang musim, maupun karya dari seseorang yang

banyak digemari. Perkembangan peralatan untuk membatik secara tradisional,

yaitu dari canting ke cap, dan ketika zaman semakin modern ditemukan

teknologi baru dalam usaha perbatikan, yaitu alat printing/sablon.

2. Organisasi Sarekat Islam (SI) bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang

didirikan pada tahun 1911 di kota Solo oleh seorang saudagar batik bernama

Haji Samanhudi. SDI yang berdasarkan koperasi dengan tujuan memajukan

perdagangan pribumi dengan panji-panji Islam yang menaunginya.Perubahan

nama menjadi Sarekat Islam, berawal dari saat perkumpulan SDI tersebut

Page 68: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54 �

menyusun statuennya. Pada saat menyusun statuten tersebut Haji Samanhudi

meminta bentuan seorang terpelajar yang bekerja pada sebuah perusahaan

dagang di Surabaya, yakni Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokroaminoto

menyarankan agar perkumpulan tersebut tidak membatasi dirinya hanya untuk

golongan pedagang saja, tetapi diperluas jangkauannya maka nama SDI

diganti menjadi SI.Anggaran dasar SI di tetapkan tujuan organisasi sebagai

berikut:1. memajukan perdagangan2. memberi pertolongan kepada anggota-

anggota yang mengalami kesusahan3. memajukan kepentingan rohani dan

jasmani bagi pribumi memajukan kehidupan keagamaan Islam SI merupakan

organisasi yang menyentuh semua lapisan masyarakat pribumi.Perkembangan

selanjutnya Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada 1915, berdasarkan

sentral ini dimaksudkan untuk memajukan dan mambantu SI di dalam

menjalankan dan memelihara hubungan serta kerjasama di antara mereka.

Permintaan CSI untuk diakui sebagai organisasi berbadan hukum dikabulkan

oleh pemerintah kolonial Belanda dengan surat keputusan tanggal 18 maret

1916.Pada tahun 1920, diadakan kembali konggres nasional ke tujuh di

Madiun dan SI resmi berubah menjadi partai politik dengan sekaligus

merubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).Kemudian pada tahun 1929

berubah lagui menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pada tanggal

5 januari 1973 berubah kembali menjadi Sarekat Islam.

3. Saudagar laweyan berperan penting dalam memajukan perekonomian muslim

laweyan. Sesungguhnya apa yang terjadi didalam pertumbuhan ekonomi

pengusaha batik di Laweyan pada awal abad 20, adalah keunikan dalam

sejarah daerah itu. Mereka tidak dapat disamakan dengan konsep Geertz,

Castles dan Burger. Karena etos kerja pengusaha Laweyan tumbuh di dalam

kondisi persaingan untuk memperoleh status yang sama dengan para abdi

dalem pembatik dalam dinas Kerajaan. Agama Islam tidak dapat

berkembang secara baik di sana ketika pertumbuhan ekonomi Laweyan

mengalami pasang naik. Bahkan para pedagang Cina di Solo sebelum

bangkit Serikat Islam memandang perlu menjalin hubungan dengan saudagar-

saudagar Laweyan. Dengan mempertimbangkan begitu besar peranan

Page 69: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55 �

pengusaha Laweyan dalam menumbuhkan sektor ekonomi kota maka

kehadiran mereka dalam masyarakat Solo, tidak bisa diabaikan. Oleh karena

itu, trikhotomi Geertz, dalam melihat masyarakat Jawa atas pembagian

abangan, santri dan priyayi dirasakan tidak cocok, terutama dalam

masyarakat Solo. Sekiranya bila masih bisa disesuaikan dengan

masyarakat di kota itu adalah, trikhotomi sosial berdasarkan struktur kelas:

priyayi, pedagang/pengusaha dan wong cilik. Sementara abangan dan santri,

adalah dikhotomi yang seharusnya terpisah dari pembagian di atas,

karena klasifikasinya berdasarkan agama. Dengan mempertimbangkan

perubahan arus modernisasi yang begitu cepat menguasai kota Solo, lewat

berbagai media, tak pelak lagi Laweyan masih akan menghadapi masalah

tentang identitasnya.

B. Implikasi

1. Teoritis Dari hasil penelitian mengenai saudagar batik abad XX, dalam

realitasnya, batik sudah menjadi pusat perhatian di kalangan masyarakat,

khususnya masyarakat Jawa. Di dalam struktur masyarakat Jawa dibagi menjadi

tiga, yaitu priyayi, santri dan abangan. Golongan priyayi adalah golongan tertinggi

diantara struktur masyarakat tersebut karena golongan priyayi terdiri dari

golongan bangsawan-bangsawan kaya.

Yang kedua adalah golongan santri adalah sebutan bagi murid-murid

yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Sedangkan golongan terakhir

adalah golongan abangan, sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang

mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan

golongan santri yang lebih ortodoks. Akan tetapi pembagian struktur tersebut

dirasakan tidak cocok dengan pembagian masyarakat Solo.

Salah satu kebudayaan Jawa yang cukup terkenal sampai sekarang adalah

Batik. Pada jaman kerajaan batik masih menjadi barang yang cukup berharga.

Dalam daerah kerajaan/ vorstenlanden batik hanya boleh digunakan oleh golongan

priyayi atau orang-orang dari dalam kerajaan. Batik yang digunakan oleh para

Page 70: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56 �

priyayi pada saat itu adalah batik tulis halus yang dibuat oleh para abdi dalem

terpilih. Tidak sembarang orang yang dapat membuat batik tulis kraton.

Tahun 1900-an timbul keinginan pengusaha batik Laweyan, untuk

menjual batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka,

karena dahulu masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik,

sehingga pengusaha batik Laweyan memproduksi batik tulis dengan batik cap dan

juga cara menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses

pembuatannya, disamping itu juga harganya dapat dijangkau oleh rakyat biasa dan

juga tidak meninggakan bentuk aslinya, akan tetapi alat yang untuk mengecap

pada waktu itu masih menggunakan cap dari kayu, dengan motif-motif yang

masih sangat sederhana sekali yaitu dengan bentuk yang besar-besar dan cecek-

ceceknya (isen bulat kecil pada motif batik) pun tak dapat rapih dan halus.

Seiring perkembangan batik Laweyan, berkembang pula ekonomi

masyarakat Laweyan. Perekonomian masyarakat Laweyan meningkat pesat, dan

muncul saudagar-saudagar kaya di Laweyan. Dan keberadaan saudagar-saudagar

di Laweyan tersebut, dapat mengangkat perekonomian dan derajat daerah

tersebut. sehingga daerah tersebut dikenal dengan kampung saudagar.

2. Praktis

Penelitian ini dapat membantu pembaca, khususnya mahasiswa progam

pendidikan sejarah memahami peranan saudagar batik Laweyan dalam

perekonomian muslim, sehingga pembaca dapat memperoleh pengetahuan yang

jelas tentang peranan saudagar batik Laweyan, khususnya dalam bidang ekonomi

muslim. Ciri-ciri sosial yang berlainan nampak pada kedudukan lapangan

pekerjaan yang kelihatan terasing di dalam masyarakat Surakarta, dan pemisahan

yang tajam antara ikatan kerja yang bersifat ekonomis dan yang bersifat non

ekonomis. Mereka menyatu dalam sistem sosialnya sendiri, yang didasarkan atas

orientasi kerja wiraswasta. Oleh sebab ini, kampung Laweyan lebih

menampakkan diri ke dalam ciri-ciri kampung dagang. Penduduk Laweyan

sebenarnya bukan orang Jawa yang asing dengan masyarakat lingkungannya

karena perbedaan kultur, melainkan terasing karena identitas lapangan

Page 71: Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57 �

pekerjaan berbeda dengan kondisi umum komunitas yang lebih luas di sekitarnya.

Oleh karena itu, penelitian ini dapat memberikan wawasan tentang saudagar batik

Laweyan. Selain itu, hendaknya kita turut menggali dan mengembangkan budaya,

khususnya budaya Jawa yang dalam istilah Jawa terkenal dengan sebutan Nguri-

uri budaya Jawa.

C. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, saran-saran yang dapat penulis

kemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Mahasiswa

Kepada para mahasiswa dan generasi muda Indonesia hendaknya dapat

mengambil nilai-nilai keuletan dan semangat kerja yang ada pada para saudagar

Laweyan. Meniru semangat kerja mereka yang berusaha untuk mencari kekayaan

dan tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia luar.

2. Bagi Masyarakat Masyarakat hendaknya dapat mengembangkan, menjaga, dan

melestarikan budaya Jawa agar tidak punah. Agar dapat tetap di nikmati oleh anak

cucu kita.