satria nugraha/radar surabaya turun · pdf filearab di surabaya. kopi arab dan gulai kacang...

1
layouter: nuryono layouter: nuryono HLI sejarah Uni- versitas Airlangga Purnawan Basun- doro mengatakan, pemukiman Tiong- hoa di tepian Su- ngai Kalimas ini semakin pa- dat sekitar abad 19. Keber- adaan Sungai Kalimas me- miliki peranan penting dalam membangun kawasan Ti- onghoa di Surabaya. “Di sebelah Selatan Jemba- tan Merah itu dulu terdapat pelabuhan kecil, yaitu Willemskade,” ujar Purnawan Ba- sundoro. MASYARAKAT Tionghoa terkenal dengan perdagangan- nya. Sejarawan Unair Purna- wan Basundoro menyebutkan, beberapa rumah mereka sejak jaman dahulu telah digunakan sebagai gudang dan toko. Hal itu terus berlanjut hingga se- karang, di mana Kampung Pe- cinan menjadi salah satu pusat perekonomian di Surabaya dan Indonesia Timur. KEJAYAAN Kampung Peci- nan ini masih bisa ditelusuri. Meski usianya telah ratusan ta- hun, namun masih kokoh berdiri hingga kini. Peninggalan tersebut menjadi kekayaan budaya di Su- rabaya yang harus terus dijaga. Penelusuran bisa dilakukan dari Stasiun Semut. Bangunan bikinan Pemerintah Kolonial tersebut telah berdiri satu abad lebih. Berjalanan ke arah Jalan Karet, ada suatu bangunan de- ngan pagar hijau. Diantara ba- ngunan dengan arsitektur Ti- onghoa. Bangunan yang mirip tempat tinggal itu adalah Ru- mah Abu Keluarga The. Rumah abu ini dibangun pada 1884. Menurut Ketua Surabaya Haritage Freddy H Istanto, ru- mah abu adalah tempat di mana para keturunan atau anak cucu mendoakan leluhur mereka yang sudah tiada. Dibelakang deretan rumah bergaya Tiongkok, terdapat sa- tu pasar yang dulunya meru- pakan lahan makam. Tepatnya ada di Jalan Slompretan. Pasar tersebut bernama Pasar Bong. Dahulunya pasar ini adalah ma- kam Han Bwee Kong alias Han Bwee Sin (1727-1778). Dia adalah kapiten atau pim- pinan warga Tionghoa di Sura- baya. Menurut Freddy awalnya pedagang yang ada berjualan di sekitaran makam. Namun, lam- bat laun semakin ramai dan terus berkembang menempati lahan makam. “Makam sendiri dalam bahasa Tiongkok ada- lah Bong,” ungkapnya. Perjalanan dilan- jutkan ke arah Jembatan Me- rah, berbelok ke kanan. Ger- bang dengan tulisan Kya Kya me- nyambut setiap si- apa saja yang Pada awalnya, Kampung Pecinan terbentuk di Chine- seche Voorstraat atau Pecinan kulon (sekarang Jalan Karet). Hampir merata, bangunan di jalan tersebut berjejer dengan arsitektur Tiongkok mengha- dap Sungai Kalimas. Dipilih- nya kawasan tersebut, karena dianggap dapat mendatang- kan keberuntungan. Sehingga banyak bangunan berjejer di tepian Sungai Kalimas. Lambat laun, kawasan ter- sebut terus berkembang. Kampung Pecinan meluas ke sisi Timur hingga ke Kapasan dan Pasar Atom. Belanda Sementara itu, mengenai sebutan Kembang Jepun, Pur- nawan menuturkan, berawal dari suatu rumah di kawasan itu yang berisikan wanita Je- pang. Dia menduga, keberada- an rumah tersebut ada sekitar 1920. “Rumah hiburan tersebut dalam bahasa Jepang dinama- kan Karayuki San,” ungkapnya. Kembang sendiri berarti bunga dan Jepun adalah Jepang. Jika digabungkan, memiliki makna wanita Jepang. (bae/rak) Pusat Perdagangan dan Simpul Ekonomi di Surabaya Masjid Ampel, Jadi Salah Satu Icon Surabaya Menikmati Kuliner Khas Timur Tengah melintas. Bangunan tersebut belum lama berdiri, yakni sejak 2003. Kya-kya sendiri merupa- kan salah satu wadah bagi ma- syarakat Tionghoa untuk ber- kumpul dan bercengkerama. Kya-Kya juga merupakan salah satu tempat warga Ti- onghoa untuk tuan yuan. Ar- tinya, berkumpul untuk ma- kan bersama. (bae/rak) “Kawasan Kembang Jepun ini dahulunya bernama Hendel Straat. Menurut artinya, ada- lah Jalan Perdagangan. Sesuai nama jalannya, maka rumah di kawasan tersebut juga memiliki berfungsi sebagai rumah da- gang. Jadi tidak hanya untuk tempat tinggal saja, melainkan berdagang,” ujar Purnawan. Dia melanjutkan, tanda bah- wa sejak dahulu kawasan terse- but sudah menjadi pusat per- dangan adalah dapat dilihat dari nama beberapa tempat yang menjadi pusat penimbunan komiditi sebelum diekspor. Salah satunya adalah Jalan Suiker Straat. Yang secara harfiah, memiliki makna Jalan Gula. “Kemungkinan di sana dahulunya ada gudang gula di sana,” jelasnya. Jalan Gula ini terletak di Kelurahan Bongkaran. Masih menurut Purnawan, selain komiditi gula yang me- mang menjadi unggulan eks- por mendampingi kopi dan rempah-rempah. Di kampung Pecinan juga terdapat bebe- rapa gudang penyimpanan ba- rang ekspor lainnya. Seperti, kain, hasil bumi dan impor. “Di sana juga ada beberapa perbankan,” ungkapnya. Peranan kampung Pacinan ini memang sangat penting. Po- sisinya yang dekat dengan Hee- renstraat, menjadikannya peng- hubung dengan pusat perda- gangan di jaman Hindia Belanda. Dosen Unair yang bergelut di Sejarah Kota ini mengakui, orang Tionghoa selalu melakukan ak- tifitas perdagangan kecil hingga besar. Sebagian lagi, bekerja di pemerintahan meski jumlahnya tak banyak. Dia pun menuturkan bahwa beberapa pasar lantas muncul di sekitar Kampung Pe- cinan, diantaranya, Pasar Bong, Pasar Pabean dan Pasar Atom untuk memenuhi kebutuhan perdagangan. (bae/rak) yang ketika itu berkuasa, mem- beri nama kawasan itu dengan nama Chinese Camp. Untuk menancapkan pengaruh di kampung Pecinan, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan kebijakan Wij- kensteltel atau Undang-un- dang yang mengatur tentang pengelompokan tiap etnis dalam satu wilayah pada 1866. “Kebijakan pembagian itu dampak dari hak istimewa gubernur jenderal dipisah- pisah. Setiap daerah ada pe- mimpinnya dari opsir yang ditunjuk pemerintah kolonial kala itu. Dimana kebijakan tersebut diikuti dengan ke- luarnya aturan passenstelsel, ini mengharuskan masya- rakat keluar masuk di setiap kawasan menunjukkan kartu pas,” tambah Purnawan Basundoro. Sisa Kejayaan Kampung Pecinan Tidak ada catatan resmi me- ngenai kapan pertama kali mas- yarakat Tionghoa tiba di Sura- baya. Belanda mencatat, sejak abad ke-17 sudah melihat ka- wasan pemukiman Tionghoa di tepi Sungai Kalimas. KEMASYURAN Kampung Arab Surabaya sudah tidak diragukan lagi. Kampung Arab yang lokasinya dimulai dari Jk KH Mas Mansyur sampai Jl Iskandar Muda. Yang terkenal di sini adalah Masjid Raden Rahmat atau Masjid Ampel Surabaya. Masjid Ampel adalah sebu- ah masjid kuno yang terletak di kelurahan Ampel, kecama- tan Semampir, kota Surabaya, Jawa Timur. Masjid seluas 120 x 180 meter persegi ini di- dirikan pada tahun 1421 oleh Sunan Ampel, yang didekat- nya terdapat kompleks pe- makakaman Sunan Ampel. Masjid yang saat ini menjadi salah satu objek wisata religi di kota Surabaya ini, dikeli- lingi oleh bangunan berarsi- tektur Tiongkok dan Arab. Ketua Takmir Masjid Ampel KH Muhammad Azmi Nawawi mengatakan, di samping kiri MENIKMATI kuliner khas Timur Tengah menjadi salah sa- tu sajian yang ada di Kampung Arab di Surabaya. Kopi Arab dan gulai kacang hijau selalu identik menu kuliner masyarakat Arab. Di kawasan kampung Arab keberadaan budaya itu tak lepas dari pencetusnya. Dari jejak penelusuran Radar Surabaya, warung kopi milik Ferry Basalamah ini menjadi cikal bakal tempat lahirnya wa- rung-warung gulai di kawasan kampung Arab. Warung itu ter- letak di salah satu sudut gang kecil Pabean Kulon V Surabaya. Berada di pinggir Jalan Pang- gung, warung kopi ini cukup sulit ditemukan. Untuk mene- mukan warung itu, Radar Sura- baya harus memasuki gang se- lebar tiga meter. Di pojok gang langsung ditemukan warung berukuran 1,5 meter dengan panjang sekitar 5 meteran. Uku- ran warung memang cukup kecil dan sangat sederhana. Namun, dari pukul 07.30 hingga 16.00 tak pernah sepi pengunjung. Ma- yoritas pengunjung adalah ke- turunan Arab. Terkadang, para pengunjung meluber hingga di depan warung. Mereka menikmati kue dan kopi Arabnya. “Ada mageli (roti arab)-nya,” kata Zaki Basmeleh, salah satu pengunjung warung. Mageli adalah satu kue Arab yang dijual di warung itu. Se- lain mageli, ternyata warung mungil itu juga menyediakan menu makanan ringan Arab seperti sambosa, kamer, pastel ampel, dan lainnya. Namun, yang spesial adalah warung itu terkenal dengan kopi Arabnya. Kopi yang dihargai Rp 3.000 secangkir itu memiliki khas rasa rempah segar, seperti jahe, serai, kapulaga, keningar, dan pandan. Semuanya disaring dan disajikan kala masih panas. Ferry Basalamah, pemilik warung kopi, menjelaskan kopi Arab dengan cita rasa rempah itu biasanya hanya disediakan waktu pesta pernikahan saja. “Biasanya, saya mendapat pesanan banyak dari masyarakat ketika ada pesta perkawinan,” kata Ferry. Meski hanya menyediakan kopi dan kue khas Arab, namun warung itu tak pernah sepi pe- ngunjung. Hal itu dari awal mula sejarah dan budaya kopi dan makan di kampung Arab. Me- nurut Ferry, warung yang disewa dirinya itu awalnya merupakan warung yang berjualan kopi, roti maryam, gulai kacang hijau pada tahun 1940-an. Pemilik dan penjualnya adalah Ali Babher yang merupakan orang Arab asli dari Hadramaut, Yaman Selatan. Ketika membuka warung itu tak pernah sepi pengunjung. Bah- kan, pegawainya sampai pulu- han orang. Ketika Ali Babher me- ninggal, maka diteruskan oleh anaknya. Namun, usaha warung itu berubah konsep hanya dengan menjual kopi saja. Karena memang, istri dari sang pemilik pindah ke Besuki, untuk mengha- biskan masa tuanya. (han/rak) halaman masjid, terdapat se- buah sumur yang diyakini merupakan sumur yang ber- tuah, biasanya digunakan oleh mereka yang meyakinin- nya untuk penguat janji atau sumpah. “Paling membludak sampai ratusan ribu kalau Ramadan, tapi kalau hari hari biasa ribuan,” kata dia. Untuk masuk ke sana, ada beberapa gerbang yang masing masing memiliki nama seperti Gapu- ra Peneksen, Gapura Madep, Gapura Ngamal, Gapura Poso dan Gapura Munggah. Kelima gapura itu memiliki makna lima Rukum Islam. Di dalam makan sendiri ter- dapat sumur-sumur berseja- rah, yang diyakini memiliki kelebihan. Makanya, banyak warga yang meminum air ter- sebut. Selain makam Sunan Ampel, terdapat tiga makam yang juga fenomenal yakni ma- kam Mbah Soleh, Mbah Bolong dan Makam Mas Mansyur. Ampel merupakan wisata belanja yang potensial. Gang- gang sempit yang menuju ke pusat kawasan yang di penuhi dengan pedagang kaki lima dan toko, bahkan sampai di sekitar Jl. Nyamplungan dan Jl. KH. Mas Mansyur. (han/rak) ESKI sejarah menca- tat bahwa sejak tahun 1451 kelompok Ha- dharim, bersama de- ngan etnis Tionghoa dan India ditempat- kan di Kota Bawah (Benedens- tad), namun baru mulai tahun 1870-an mengalami peningkatan pesat dengan wilayah timur laut menjadi pusat pemukimannya, yang hari ini dikenal sebagai kampung Arab Surabaya. Wila- yah ini dibatasi Selat Madura di sebelah Utara, Sungai Pegirian di Timur, Kembang Jepun di Utara, dan Kalimas di sisi Barat. Di antaranya, terbentang Kom- pementstraat (perkemahan ja- lan) dari Utara ke Selatan. Sekarang ini lokasi yang di- kenal sebagai kampong Arab berada di dua kecamatan yakni Pabean Cantikan dan Semampir. Dengan wilayah seluas sekitar satu kilometer persegi, seja- rah dan peradaban baru Sejarah men- catat pada 1820 merupakan masa di mana mening- katnya pendatang Hadharim (Arab asal Yaman Se- latan) ke Pulau Jawa, kala itu para pendatang asing telah di- tempatkan di dis- trik-distrik ter- tentu, dikenal dengan Wijken- stelsel yang telah diatur oleh peme- rintah kolonial Belanda sesuai dengan strategi mereka agar para pendatang tidak bercampur de- ngan golongan Bumiputera. masyarakat Arab tercipta di ka- wasan Surabaya Utara tersebut. Ibarat kampung mandiri, kam- pung Arab yang dimulai dari me- ngitari Jalan KH Mas Mansyur, Jalan Ampel, Jalan Panggung, Jalan Sasak, Jalan Pabean, Jalan Ketapang, Jalan Kalimas, dan lainnya itu memang sangat spesial. Hanya memiliki luas kurang lebih 1 kilometer (km) persegi yang dimulai dari titik nol Masjid Su- nan Ampel, kampung Arab me- miliki sejarah, kebudayaan, per- ekonomian yang maju hingga kini. Ketua Komunitas Arab Sura- baya Abdullah Al Batati menje- laskan bila kampung Arab bisa disebut kampung mandiri. Se- bab, selain memiliki kebudayaan unik dibandingkan wila- yah Surabaya lainnya, kampung Arab ini memiliki tingkat per- ekonomian yang cukup tinggi. “Jika kampung sepanjang satu km ini diisolasi, Insya Allah kami bisa bertahan,” jelas Abdullah. Maklum saja, sepanjang sejarah kota Surabaya, kampung Arab memang memiliki keistimewaan. Menjadi pusat perdagangan dan perkembangan religi. Di kampung yang Arab memi- liki tiga pasar yakni Pasar Pegu- ruan, Pasar Pabean, dan Pasar Kambing. Selain itu, ada dua ru- mah sakit (RS) ternama, yakni RS Al-Irsyad dan RS Muham- mdyah. Memiliki dua sungai yakni Sungai Nyamplungan dan Sungai Pegirian. Identik dengan kampung saudagar dari Timur Tengah, kampung Arab memang memiliki tingkat religi yang cukup tinggi. Hal itu diketahui dari ba- nyaknya jumlah langgar atau musala yang ada di kawasan itu. Di- perkirakan ada 50 lebih musala yang ada di kampung ter- sebut. “Sejarahnya, dulu santri Sunan Ampel membuka musala di sekitar kampung,” ujar dia. (han/rak) hingga Pengumuman Informasi SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA TURUN TEMURUN: Warga keturunan Arab banyak menekuni jual minyak wangi dan tasbih. SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA SILATURAHIM: Warga keturunan Arab yang menghuni di sekitar Ampel. SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA TRADISI: Wanita keturanan Arab meng- gunakan hena, terutama saat prosesi pernikahan. ARSITEKTUR JAWA KUNO: Masjid Sunan Ampel yang menjadi pusat syiar Islam. ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA KHAS: Salah satu sudut perkampungan Arab di Surabaya. IJAB KABUL: Adat pernikahan warga keturunan Arab tetap dipertahankan. ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA SIMPAN ABU JENAZAH LELUHUR: Rumah Abu Keluarga The (The Goan Tjing) di Jalan Karet 48 Surabaya. The Goan Tjing ini pernah menjabat mayor Tionghoa (majoor der Chineezen), pemimpin tertinggi masyarakat Tionghoa yang diangkat Belanda. ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA KHUSYUK: Umat Tri Dharma bersembahyang di Kelenteng Cokro. ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA KESENIAN DARI TIONGKOK: Suasana perayaan Imlek dimeriahkan barongsai di Kampung Pecinan Tambak Bayan. ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA KAWASAN BISNIS: Pintu gerbang Kya-Kya di Jalan Kembang Jepun. TERTUA DI SURABAYA: Kelenteng Hong Tiek Hian atau Kelenteng Dukuh, yang dibangun oleh pasukan Tartar pada zaman Khu Bilai Khan pada awal Kerajaan Mojopahit. SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA HALAMAN 60 I RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 I HALAMAN 61 ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA MURAL KHAS: Salah satu sudut kampung Tambak Bayan.

Upload: duongtruc

Post on 07-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

layouter: nuryonolayouter: nuryono

HLI sejarah Uni­ver sitas Airlangga Pur nawan Basun­doro mengatakan, pe mukiman Tiong­hoa di tepian Su­

ngai Kalimas ini semakin pa­dat sekitar abad 19. Keber­adaan Sungai Kalimas me­miliki peranan penting dalam membangun kawasan Ti­onghoa di Surabaya.

“Di sebelah Selatan Jem ba­tan Merah itu dulu terdapat pelabuhan kecil, yaitu Willemskade,” ujar Purnawan Ba­sundoro.

MASYARAKAT Tionghoa ter kenal dengan perdagangan­nya. Sejarawan Unair Purn a­wan Basundoro menyebutkan, beberapa rumah mereka sejak jaman dahulu telah digunakan sebagai gudang dan toko. Hal itu terus berlanjut hingga se­karang, di mana Kampung Pe­cinan menjadi salah satu pusat perekonomian di Surabaya dan Indonesia Timur.

KEJAYAAN Kampung Pe ci­nan ini masih bisa ditelusuri. Mes ki usianya telah ratusan ta­hun, namun masih kokoh berdiri hingga kini. Peninggalan tersebut menjadi kekayaan budaya di Su­rabaya yang harus terus dijaga.

Penelusuran bisa dilakukan dari Stasiun Semut. Bangunan bikinan Pemerintah Kolonial tersebut telah berdiri satu abad lebih. Berjalanan ke arah Jalan Karet, ada suatu bangunan de­ngan pagar hijau. Diantara ba­ngunan dengan arsitektur Ti­onghoa. Bangunan yang mirip tempat tinggal itu adalah Ru­mah Abu Keluarga The.

Rumah abu ini dibangun pada 1884. Menurut Ketua Surabaya Haritage Freddy H Istanto, ru­mah abu adalah tempat di mana para keturunan atau anak cucu mendoakan leluhur mereka yang sudah tiada.

Dibelakang deretan rumah ber gaya Tiongkok, terdapat sa­tu pasar yang dulunya me ru­

pakan lahan makam. Tepatnya ada di Jalan Slompretan. Pa sar tersebut bernama Pa sar Bong. Dahulunya pasar ini adalah ma­kam Han Bwee Kong alias Han Bwee Sin (1727­1778).

Dia adalah kapiten atau pim­pinan warga Ti ong hoa di Sura­ba ya. Me nurut Freddy awalnya peda gang yang ada berjualan di se kitaran ma kam. Na mun, lam­bat laun semakin ramai dan terus berkembang menempati lahan makam. “Makam sendiri dalam bahasa Tiongkok ada­lah Bong,” ungkapnya.

Perjalanan dilan­jutkan ke arah Jembatan Me­rah, berbelok ke kanan. Ger­bang de ngan tulisan Kya Kya me­n y a m b u t se tiap si­apa saja y a n g

Pada awalnya, Kampung Pe cinan terbentuk di Chine­seche Voorstraat atau Pecinan kulon (sekarang Jalan Karet). Hampir merata, bangunan di jalan tersebut berjejer dengan ar sitektur Tiongkok meng ha­dap Sungai Kalimas. Dipi lih­nya kawasan tersebut, karena di anggap dapat men da tang­kan keberuntungan. Sehingga banyak bangunan berjejer di tepian Sungai Kalimas.

Lambat laun, kawasan ter­sebut terus berkembang. Kampung Pecinan meluas ke sisi Timur hingga ke Kapasan dan Pasar Atom. Belanda

Sementara itu, mengenai sebutan Kembang Jepun, Pur­nawan menuturkan, berawal dari suatu rumah di kawasan itu yang berisikan wanita Je­pang. Dia menduga, keber ada­an rumah tersebut ada sekitar

1920. “Rumah hiburan tersebut da lam bahasa Jepang dina ma­kan Karayuki San,” ungkapnya. Kembang sendiri berarti bunga dan Jepun adalah Jepang. Jika digabungkan, memiliki makna wanita Jepang. (bae/rak)

Pusat Perdagangan danSimpul Ekonomi di Surabaya

Masjid Ampel, JadiSalah Satu Icon Surabaya

Menikmati Kuliner Khas Timur Tengah

melintas. Bangunan tersebut belum lama berdiri, yakni sejak 2003. Kya­kya sendiri mer u pa­kan salah satu wadah bagi ma­sya rakat Tionghoa untuk ber­kum pul dan bercengkerama. Kya­Kya juga merupakan salah satu tempat warga Ti­ong hoa un tuk tuan yuan. Ar­tinya, ber kum pul untuk ma­kan bersama. (bae/rak)

“Kawasan Kembang Jepun ini dahulunya bernama Hendel Straat. Menurut artinya, ada­lah Jalan Perdagangan. Sesuai nama jalannya, maka rumah di kawasan tersebut juga memiliki berfungsi sebagai rumah da­gang. Jadi tidak hanya untuk tem pat tinggal saja, melainkan berdagang,” ujar Purnawan.

Dia melanjutkan, tanda bah­wa sejak dahulu kawasan terse­but sudah menjadi pusat per­dangan adalah dapat dilihat dari nama beberapa tempat yang menjadi pusat penimbunan komiditi sebelum diekspor. Salah satunya adalah Jalan Sui ker Straat. Yang secara harfiah, memiliki makna Jalan Gula. “Kemungkinan di sana

dahulunya ada gudang gula di sana,” jelasnya. Jalan Gula ini terletak di Kelurahan Bongkaran.

Masih menurut Purnawan, se lain komiditi gula yang me­mang menjadi unggulan eks­por mendampingi kopi dan rempah­rempah. Di kampung Pe cinan juga terdapat bebe­rapa gudang penyimpanan ba­rang ekspor lainnya.

Seperti, kain, hasil bumi dan

impor. “Di sana juga ada beberapa perbankan,” ungkapnya.

Peranan kampung Pacinan ini memang sangat penting. Po­sisinya yang dekat dengan Hee­renstraat, menjadikannya peng­hubung dengan pusat perda­gangan di jaman Hindia Belanda. Dosen Unair yang bergelut di Sejarah Kota ini mengakui, orang Tionghoa selalu melakukan ak­tifitas perdagangan kecil hingga besar. Sebagian lagi, bekerja di pemerintahan meski jumlahnya tak banyak. Dia pun menuturkan bahwa beberapa pasar lantas muncul di sekitar Kampung Pe­cinan, diantaranya, Pasar Bong, Pasar Pabean dan Pasar Atom untuk memenuhi kebutuhan perdagangan. (bae/rak)

yang ketika itu berkuasa, mem­beri nama kawasan itu de ngan nama Chinese Camp. Un tuk menancapkan peng aruh di kampung Pecinan, Pe merintah Hindia Belanda ke mudian mengeluarkan ke bijakan Wij­kensteltel atau Un dang­un­dang yang meng atur tentang pengelompokan tiap etnis dalam satu wilayah pada 1866.

“Kebijakan pembagian itu dampak dari hak istimewa gubernur jenderal dipisah­pisah. Setiap daerah ada pe­mimpinnya dari opsir yang ditunjuk pemerintah kolonial kala itu. Dimana kebijakan tersebut diikuti dengan ke­luarnya aturan passenstelsel, ini mengharuskan masya­rakat keluar masuk di setiap kawasan menunjukkan kartu pas,” tambah Purnawan Basundoro.

Sisa Kejayaan Kampung Pecinan

Tidak ada catatan resmi me­nge nai kapan pertama kali mas ­yarakat Tionghoa tiba di Su ra­baya. Belanda mencatat, sejak abad ke­17 sudah me li hat ka­wa san pemukiman Ti ong hoa di tepi Sungai Kalimas.

KEMASYURAN Kampung Arab Surabaya sudah tidak diragukan lagi. Kampung Arab yang lokasinya dimulai dari Jk KH Mas Mansyur sam pai Jl Iskandar Muda. Yang terkenal di sini adalah Masjid Raden Rahmat atau Masjid Ampel Surabaya.

Masjid Ampel adalah se bu­ah masjid kuno yang terletak di kelurahan Ampel, kecama­tan Semampir, kota Surabaya, Jawa Timur. Masjid seluas 120 x 180 meter persegi ini di­dirikan pada tahun 1421 oleh Sunan Ampel, yang dide kat­nya terdapat kompleks pe­makakaman Sunan Ampel. Masjid yang saat ini menjadi salah satu objek wisata religi di kota Surabaya ini, dike li­lingi oleh bangunan berar si­tektur Tiongkok dan Arab.

Ketua Takmir Masjid Ampel KH Muhammad Azmi Nawawi mengatakan, di samping kiri

MENIKMATI kuliner khas Timur Tengah menjadi salah sa­tu sajian yang ada di Kam pung Arab di Surabaya. Kopi Arab dan gulai kacang hijau selalu iden tik menu kuliner masyarakat Arab. Di kawasan kampung Arab keberadaan budaya itu tak lepas dari pencetusnya.

Dari jejak penelusuran Radar Surabaya, warung kopi milik Ferry Basalamah ini menjadi ci kal bakal tempat lahirnya wa­rung­warung gulai di kawasan kampung Arab. Warung itu ter­letak di salah satu sudut gang kecil Pabean Kulon V Surabaya. Berada di pinggir Jalan Pang­gung, warung kopi ini cukup sulit ditemukan. Untuk mene­mu kan warung itu, Radar Sura­

baya harus memasuki gang se­lebar tiga meter. Di pojok gang langsung ditemukan warung berukuran 1,5 meter dengan pan jang sekitar 5 meteran. Uku­ran warung memang cukup kecil dan sangat sederhana. Namun, dari pukul 07.30 hingga 16.00 tak pernah sepi pengunjung. Ma­yoritas pengunjung adalah ke­turunan Arab. Terkadang, para pengunjung meluber hingga di depan warung. Mereka menikmati kue dan kopi Arabnya.

“Ada mageli (roti arab)­nya,” kata Zaki Basmeleh, salah satu pengunjung warung.

Mageli adalah satu kue Arab yang dijual di warung itu. Se­lain mageli, ternyata warung mungil itu juga menyediakan

menu makanan ringan Arab seperti sambosa, kamer, pastel ampel, dan lainnya.

Namun, yang spesial adalah warung itu terkenal dengan kopi Arabnya. Kopi yang dihar gai Rp 3.000 secangkir itu me miliki khas rasa rempah segar, seperti jahe, serai, kapulaga, keningar, dan pandan. Se mua nya disaring dan disajikan kala masih panas.

Ferry Basalamah, pemilik warung kopi, menjelaskan kopi Arab dengan cita rasa rempah itu biasanya hanya disediakan waktu pesta pernikahan saja. “Biasanya, saya mendapat pesanan banyak dari masyarakat ketika ada pesta perkawinan,” kata Ferry.

Meski hanya menyediakan kopi dan kue khas Arab, namun warung itu tak pernah sepi pe­ngunjung. Hal itu dari awal mula sejarah dan budaya kopi dan makan di kampung Arab. Me­nurut Ferry, warung yang disewa dirinya itu awalnya merupakan warung yang berjualan kopi, roti maryam, gulai kacang hijau pada tahun 1940­an. Pemilik dan penjualnya adalah Ali Babher yang merupakan orang Arab asli dari Hadramaut, Yaman Selatan. Ketika membuka warung itu tak pernah sepi pengunjung. Bah­kan, pegawainya sampai pu lu­han orang. Ketika Ali Babher me­ninggal, maka diteruskan oleh anaknya. Namun, usaha wa rung itu berubah konsep hanya dengan menjual kopi saja. Karena memang, istri dari sang pemilik pindah ke Besuki, untuk meng ha­biskan masa tuanya. (han/rak)

halaman masjid, terdapat se­buah sumur yang diyakini me rupakan sumur yang ber­tuah, biasanya digunakan oleh mereka yang meya kin in­nya untuk penguat janji atau sumpah. “Paling membludak sampai ratusan ribu kalau Ramadan, tapi kalau hari hari biasa ribuan,” kata dia. Untuk masuk ke sana, ada beberapa gerbang yang masing masing memiliki nama seperti Ga pu­ra Peneksen, Gapura Madep, Gapura Ngamal, Gapura Poso dan Gapura Munggah. Kelima gapura itu memiliki makna lima Rukum Islam.

Di dalam makan sendiri ter­dapat sumur­sumur berse ja­rah, yang diyakini memiliki kelebihan. Makanya, banyak warga yang meminum air ter­sebut. Selain makam Sunan Ampel, terdapat tiga makam yang juga fenomenal yakni ma­kam Mbah Soleh, Mbah Bolong

dan Makam Mas Mansyur. Ampel merupakan wisata

belanja yang potensial. Gang­gang sempit yang menuju ke pusat kawasan yang di penuhi dengan pedagang kaki lima dan toko, bahkan sampai di sekitar Jl. Nyamplungan dan Jl. KH. Mas Mansyur. (han/rak)

ESKI sejarah menca­tat bahwa sejak tahun 1451 kelompok Ha­dha rim, bersama de­ngan etnis Tionghoa dan India ditem pat­

kan di Kota Bawah (Bene dens­tad), namun baru mulai tahun 1870­an mengalami peningkatan pesat dengan wilayah timur laut menjadi pusat pemukimannya, yang hari ini dikenal sebagai kam pung Arab Surabaya. Wila­yah ini dibatasi Selat Madura di sebelah Utara, Sungai Pegirian di Timur, Kembang Jepun di Utara, dan Kalimas di sisi Barat. Di antaranya, terbentang Kom­pe mentstraat (perkemahan ja­lan) dari Utara ke Selatan.

Sekarang ini lokasi yang di­kenal sebagai kampong Arab berada di dua kecamatan yakni Pabean Cantikan dan Semampir.

Dengan wilayah seluas sekitar satu kilometer persegi, seja­

rah dan peradaban baru

Sejarah men­catat pada 1820

merupakan masa di mana mening­

katnya pendatang Hadharim (Arab asal Yaman Se ­latan) ke Pulau Jawa, kala itu

para pendatang asing telah di­

tempatkan di dis­trik­distrik ter­tentu, dikenal

dengan Wijken­stelsel yang telah diatur oleh peme­

rintah kolonial Belanda sesuai dengan strategi

mereka agar para pendatang tidak

bercampur de­ngan golongan

Bumiputera.

masyarakat Arab tercipta di ka­wasan Su rabaya Utara tersebut.

Ibarat kampung mandiri, kam­pung Arab yang dimulai da ri me­ngitari Jalan KH Mas Mansyur, Jalan Ampel, Jalan Panggung, Jalan Sasak, Jalan Pa bean, Jalan Ke tapang, Jalan Kalimas, dan lainnya itu memang sangat spesial.

Hanya memiliki luas kurang lebih 1 kilometer (km) persegi yang dimulai dari titik nol Masjid Su­nan Ampel, kampung Arab me­miliki sejarah, kebudayaan, per­ekonomian yang maju hingga kini.

Ketua Komunitas Arab Su ra­baya Abdullah Al Batati menje­laskan bila kampung Arab bisa di sebut kampung mandiri. Se­bab, selain memiliki kebudayaan unik diban dingkan wi la­

yah Surabaya lain nya, kampung Arab ini me miliki tingkat per­eko nomian yang cu kup tinggi. “Jika kam pung se panjang satu km ini diisolasi, Insya Allah kami bisa bertahan,” jelas Abdullah.

Maklum saja, sepan jang sejarah kota Su rabaya, kampung Arab memang me miliki ke istimewaan. Menjadi pusat perdagangan dan perkembangan religi.

Di kampung yang Arab memi­li ki tiga pasar yakni Pasar Pegu­ru an, Pasar Pabean, dan Pasar Kam bing. Selain itu, ada dua ru­mah sakit (RS) ternama, yakni RS Al­Irsyad dan RS Muham­mdyah. Me miliki dua sungai yakni Sungai Nyam plungan dan Su ngai Pegirian. Identik dengan kam pung sa udagar dari Timur Tengah, kam pung Arab memang memiliki tingkat religi yang cukup tinggi. Hal itu di ketahui dari ba­nyaknya jumlah lang gar atau musala yang ada di kawasan itu. Di­perkirakan ada 50 lebih musala yang ada di kampung ter­sebut. “Sejarah nya, dulu santri Su nan Ampel membuka musala di sekitar kampung,” ujar dia. (han/rak)

hingga Pengumuman Informasi

SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA

TURUN TEMURUN: Warga keturunan Arab banyak menekuni jual minyak wangi dan tasbih.

SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA

SILATURAHIM: Warga keturunan Arab yang menghuni di sekitar Ampel.

SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA

TRADISI: Wanita keturanan Arab meng­gunakan hena, terutama saat prosesi pernikahan.

ARSITEKTUR JAWA KUNO: Masjid Sunan Ampel yang menjadi pusat syiar Islam.

ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA

SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA

KHAS: Salah satu sudut perkampungan Arab di Surabaya.

IJAB KABUL: Adat pernikahan warga keturunan

Arab tetap dipertahankan.

ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA

SIMPAN ABU JENAZAH LELUHUR: Rumah Abu Keluarga The (The Goan Tjing) di Ja lan Karet 48 Surabaya. The Goan Tjing ini pernah menjabat mayor Tionghoa (majoor der Chineezen), pemimpin tertinggi masyarakat Tionghoa yang diangkat Belanda.

ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA

KHUSYUK: Umat Tri Dharma bersembahyang di Kelenteng Cokro.

ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA

KESENIAN DARI TIONGKOK: Suasana perayaan Imlek dimeriahkan barongsai di Kampung Pecinan Tambak Bayan.

ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA

KAWASAN BISNIS: Pintu gerbang Kya­Kya di Jalan Kembang Jepun.

TERTUA DI SURABAYA: Kelenteng Hong Tiek Hian atau Kelenteng Dukuh, yang dibangun oleh pasukan Tartar pada zaman Khu Bilai Khan pada awal Kerajaan Mojopahit.

SATRIA NUGRAHA/RADAR SURABAYA

HALAMAN 26

HALAMAN 60 I RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 I HALAMAN 61

ANDY SATRIA/RADAR SURABAYA

MURAL KHAS: Salah satu sudut

kampung Tambak Bayan.