s1-2014-284216-chapter1

38
xvi Gambar 4.15 Peta Kelas Lebar Jalan Masuk Kecamatan Balikpapan Selatan ………………………………………………. 100 Gambar 4.16 Peta Pelanggan Listrik terhadap Blok Bangunan ……. 103 Gambar 4.17 Kenampakan Kualitas jalan baik hasil lapangan …… 105 Gambar 4.18 Peta Kelas Kualitas Jalan Kecamatan Balikpapan Selatan ……………………………………………… 106 Gambar 4.19 Peta Kelas Blok Permukiman Terhadap Jarak Kantor Pemadam Kebakaran Kecamatan Balikpapan Selatan 110 Gambar 4.20 Peta Kelas Blok Permukiman Terhadap Jangkauan Sumber Air Kecamatan Balikpapan Selatan ……………….. 114 Gambar 4.21 Peta Blok Permukiman Terhadap Buffer Hidran Kecamatan Balikpapan Selatan …………………………………. 117 Gambar 4.22 Peta Potensi Kebakaran Permukiman Kecamatan Balikpapan Selatan ……………………………………………… 125 Gambar 4.23 Peta Penanganan Kebakaran Permukiman Kecamatan Balikpapan Selatan …………………………………. 131 Gambar 4.24 Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman Kecamatan Balikpapan Selatan …………………….. 135

Upload: agus-sudrajat

Post on 04-Sep-2015

213 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

S1-2014-284216-chapter1

TRANSCRIPT

  • xvi

    Gambar 4.15 Peta Kelas Lebar Jalan Masuk Kecamatan Balikpapan

    Selatan . 100

    Gambar 4.16 Peta Pelanggan Listrik terhadap Blok Bangunan . 103

    Gambar 4.17 Kenampakan Kualitas jalan baik hasil lapangan 105

    Gambar 4.18 Peta Kelas Kualitas Jalan Kecamatan Balikpapan

    Selatan 106

    Gambar 4.19 Peta Kelas Blok Permukiman Terhadap Jarak Kantor

    Pemadam Kebakaran Kecamatan Balikpapan Selatan 110

    Gambar 4.20 Peta Kelas Blok Permukiman Terhadap Jangkauan Sumber

    Air Kecamatan Balikpapan Selatan .. 114

    Gambar 4.21 Peta Blok Permukiman Terhadap Buffer Hidran Kecamatan

    Balikpapan Selatan . 117

    Gambar 4.22 Peta Potensi Kebakaran Permukiman Kecamatan Balikpapan

    Selatan 125

    Gambar 4.23 Peta Penanganan Kebakaran Permukiman Kecamatan

    Balikpapan Selatan . 131

    Gambar 4.24 Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman

    Kecamatan Balikpapan Selatan .. 135

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Kota merupakan tempat segala aktivitas yang melibatkan beberapa

    komponen masyarakat yang saling berintegrasi terhadap berbagai bidang

    kegiatan, seperti tempat bermukimnya masyarakat, tempat bekerja, tempat

    dilakukannya berbagai kegiatan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan

    pemerintahan. Kota dapat diibaratkan sebagai pusat dari segala aktivitas manusia

    yang mengalami perkembangan. Perkembangan Kota dipengaruhi oleh beberapa

    faktor, antara lain bertambahnya jumlah penduduk yang mengakibatkan

    pertumbuhan ekonomi yang meningkat, kebutuhan akan lahan semakin

    meningkat, tersedianya kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana umum yang

    memadai untuk menjalankan aktifitas penduduk dan kota digunakan sebagai

    tempat untuk mencari penghidupan yang layak. Sehingga dari dasar inilah suatu

    kota dapat dilihat arah perkembangan kota kecil menuju kedalam perkembangan

    kota besar (Karina, 2006).

    Kota Balikpapan merupakan kota yang sedang mengalami tahap

    perkembangan kota, ini dicirikan oleh bertambahnya jumlah penduduk yang

    semakin meningkat dari tahun ke tahun serta penyediaan fasilitas umum yang

    memadai untuk menunjang aktivitas masyarakat. Semakin bertambahnya jumlah

    penduduk maka semakin besar kebutuhan lahan, seperti tempat untuk tinggal.

    Menurut Ditjen Cipta Karya PU (1980), terdapat tiga permasalahan yang dihadapi

    oleh kawasan perkotaan, yaitu (1) adanya kecenderungan pemusatan kegiatan; (2)

    perkembangan penggunaan lahan yang bercampur; dan (3) terjadinya perubahan

    alih fungsi lahan dari ruang terbuka, lahan konservasi, atau ruang terbuka hijau

    menjadi kawasan terbangun (permukiman, industri, perkantoran), sehingga

    permasalahan yang dihadapi di wilayah kota berkembang khususnya Kota

    Balikpapan antara lain adalah perubahan lahan untuk menunjang kehidupan

    masyarakat kota, baik dalam segi penyediaan sarana dan prasarana umum,

    maupun penyediaan lahan untuk tempat bermukim, dikarenakan semakin

  • 2

    banyaknya perubahan lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun, memaksa

    penyediaan lahan menjadi semakin besar dan apabila lahan tidak mungkin lagi

    untuk di konversi maka terjadi pemadatan permukiman. Pada kawasan padat

    permukiman sangat memungkinkan terjadinya sambungan listrik liar yang dapat

    mengakibatkan terjadinya kebakaran permukiman.

    Kebakaran permukiman merupakan salah satu bencana yang memiliki

    dampak yang sangat besar dalam hal kerugian, baik dalam hal kerugian material

    maupun korban jiwa. Bencana kebakaran terjadi tidak mengenal waktu sehingga

    kejadiannya tidak dapat diprediksi kapan dan dimana peristiwa ini dapat terjadi.

    Menurut Suprapto, 2005, kebakaran adalah api yang tidak dikehendaki. Dengan

    demikian kebakaran sebenarnya adalah kondisi natural akibat persentuhan bahan

    bakar (fuel), oksigen dan panas atau kalor, yang tidak dikehendaki. Bencana

    kebakaran ini terjadi akibat adanya faktor pemicu, faktor pemicu yang berasal dari

    sumber api maupun faktor pemicu disekelilingnya, contohnya saja permukiman

    yang berdekatan satu dengan yang lainnya.

    Daerah yang rentan terhadap bahaya kebakaran dicirikan oleh kondisi fisik

    bangunan itu sendiri, biasanya terjadi pada permukiman padat dengan pola tidak

    teratur yang memiliki kualitas bahan bangunan rendah, ditambah dengan

    minimnya fasilitas pemadam kebakaran. Jarak antar rumah yang sempit akan

    menyulitkan mobil petugas pemadam kebakaran, dan kurang berfungsinya hidran

    akan memudahkan perembetan api (Suharyadi, 2001). Dengan melihat dampak

    kerugian yang ditimbulkan oleh bencana kebakaran begitu besar, maka harus

    memperhatikan resiko yang terjadi akibat bencana kebakaran, seperti kawasan

    rawan kebakaran pada permukiman dan area luasan dampak kebakaran yang

    ditimbulkan dari bencana kebakaran ini. Sehingga nantinya dapat meminimalisir

    dampak musibah peristiwa kebakaran, baik dari segi keamanan lingkungan, serta

    mengurangi dampak kerugian harta benda maupun korban jiwa.

    Peristiwa kebakaran yang terjadi di Kota Balikpapan menurut data dari

    Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran Kota Balikpapan (BPBK) mengalami

    peningkatan yang signifikan. Berikut tabel 1.1 dan tabel 1.2 menerangkan

  • 3

    mengenai jumlah kasus kebakaran dari tahun ke tahun beserta kerugian harta

    benda serta korban jiwa yang dihasilkan di wilayah Kota Balikpapan.

    Tabel 1.1 Kasus Kejadian Kebakaran tahun 2009 2012 di Kota Balikpapan

    No. Tahun

    Kejadian Jumlah Kasus

    Dampak Musibah Kebakaran (rumah mukim)

    1 2009 88 kasus 37 rumah 2 2010 59 kasus 29 rumah 3 2011 93 kasus 33 rumah 4 2012 102 kasus 51 rumah

    Sumber: BPBK (Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran) Kota Balikpapan, 2012

    Tabel 1.2 Kerugian Harta Benda dan Korban Jiwa dalam Kebakaran tahun 2009

    2012 di Kota Balikpapan

    No. Tahun Korban Harta

    (Rp. Milyar) Meninggal Luka Berat Luka Ringan

    1 2009 - - - - 2 2010 - - - - 3 2011 2 - - 18,884 4 2012 2 - - 10,313

    Sumber: BPBK (Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran) Kota Balikpapan, 2012

    Kota yang berkembang harus memiliki sistem informasi keruangan yang

    digunakan untuk menunjang perkembangan kota dan menghasilkan informasi

    yang dibutuhkan masyarakat. Sistem ini berupa pemberian informasi kepada

    masyarakat maupun pengambilan informasi secara spasial yang dibutuhkan untuk

    melihat perkembangan kota. Salah satu teknik yang digunakan untuk

    mendapatkan informasi mengenai data keruangan yaitu menggunakan teknik

    penginderaan jauh yang berperan penting dalam bidang studi perkotaan.

    Penggunaan teknik penginderaan jauh ini didasarkan oleh pengambilan informasi

    tanpa melakukan kontak langsung. Media yang digunakan untuk analisis studi

    perkotaan yaitu menggunakan citra satelit yang memiliki resolusi spasial yang

    tinggi, dikarenakan resolusi spasial yang tinggi ini dapat digunakan untuk

    mengidentifikasi objek kenampakan secara lebih detail khususnya dalam hal

    mengidentifikasi permukiman. Menurut Danoedoro (2003), resolusi spasial tinggi

  • 4

    digunakan untuk mendukung aplikasi perkotaan yang dicirikan oleh pengenalan

    pola permukiman serta perluasan dan perkembangan wilayah terbangun.

    Kemudian menurut Gunawan (2005), hasil informasi yang didapat dari

    penyadapan informasi dari citra yang memiliki resolusi tinggi yaitu meliputi

    kepadatan rumah, permukiman kumuh (slump area), drainase Kota, dan topografi.

    Produk Penginderaan Jauh yang memiliki keunggulan dalam hal resolusi

    spasial yang tinggi dan temporal dalam hal membantu untuk memperoleh data

    dan informasi spasial adalah citra satelit Quickbird. Citra satelit Quickbird ini

    merupakan salah satu produk penginderaan jauh terkini yang digunakan untuk

    membantu dalam hal memperoleh informasi dan data spasial di wilayah

    perkotaan. Citra Satelit Quickbird memiliki resolusi spasial yang tinggi yaitu pada

    saluran pankromatik resolusi spasialnya yaitu 0,61 meter sedangkan pada saluran

    multispektral resolusi spasialnya yaitu 2,44 meter, sehingga dari resolusi spasial

    yang tinggi ini maka untuk menganalisis maupun melakukan pengambilan data

    dan informasi kewilayahan sangat baik digunakan untuk studi perkotaan.

    Pengolahan dan penyajian dari hasil teknik penginderaan jauh dapat dilakukan

    dengan memanfaatkan sistem informasi geografis.

    Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu aplikasi yang

    digunkan untuk membantu dalam hal mengolah data, menganalisis data dan

    memanipulasi data spasial. Dalam melakukan penelitian ini aplikasi Sistem

    Informasi Geografis (SIG) digunakan sebagai alat bantu dalam hal mengolah dan

    menganalisis suatu data yang telah di dapat dari hasil interpretasi pada citra

    penginderaan jauh. Aplikasi ini digunakan untuk mengetahui variabel yang

    berpengaruh secara langsung ataupun variabel yang tidak berpengaruh terhadap

    kerawanan kebakaran permukiman, sehingga nantinya dapat memberikan

    informasi berupa peta zonasi kerawanan kebakaran permukiman.

    Peta merupakan hasil representasi data yang telah diolah dan dianalisis.

    Kelebihan data yang disajikan dalam bentuk peta yaitu dapat memberikan

    informasi mengenai lokasi atau persebaran daerah rawan kebakaran, membantu

    peneliti sebelum melakukan survei, dan digunakan sebagai alat analisis di

    lapangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyediaan data dalam bentuk peta

  • 5

    memberikan kemudahan bagi pembuat peta dan bagi pengguna peta untuk

    menyampaikan dan mendapatkan informasi yang diinginkan.

    1.2. Rumusan Masalah

    Perubahan alih fungsi lahan atau konversi lahan baik dari lahan terbuka

    menjadi lahan terbangun khususnya diperuntukan bagi kawasan permukiman

    manjadi tantangan yang dihadapi di wilayah perkotaan yang sedang berkembang.

    Dikarenakan kota yang berkembang secara cepat dan dinamis memaksa

    perubahan lahan untuk kawasan permukiman menjadi bertambah.

    Berkembangnya suatu kota yang diiringi oleh bertambahnya jumlah penduduk

    menjadikan kota tersebut memiliki permasalahan dalam hal pemadatan

    permukiman yang dapat menimbulkan bencana kebakaran, Oleh sebab itu

    permasalahan yang ditimbulkan dari bertambahnya jumlah penduduk dan

    bertambahnya jumlah permukiman dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas

    permukiman, baik dari segi keamanan lingkungan maupun material bangunan.

    Kebakaran merupakan salah satu bencana yang memiliki tingkat dampak

    kerugian yang sangat besar dilihat dari kerugian yang ditimbulkan, baik berupa

    kerugian material maupun kerugian jiwa. Hal ini berkaitan dengan tingkat

    kerawanan kebakaran dalam wilayah perkotaan yang harus memperhatikan suatu

    sistem yang dapat memberikan informasi mengenai penyajian informasi yang

    dibutuhkan untuk dijadikan sebagai sarana pendukung atau penanggulangan

    musibah kebakaran. Adapun beberapa variabel yang digunakan untuk mengetahui

    zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman baik dari segi potensi kebakaran

    dan penanganan kebakaran adalah kepadatan permukiman, lebar jalan masuk, pola

    permukiman, kualitas bahan bangunan permukiman, pelanggan listrik, kualitas

    jalan, ketersediaan fasilitas hidran, fasilitas pemadam lainnya berupa fasilitas unit

    pemadam kebakaran dan sumber air yang digunakan untuk melakukan

    pemadaman kebakaran.

    Penyediaan suatu data yang bersifat kompleks seperti daerah perkotaan

    haruslah bersifat valid, rinci, dan up to date ini dikarenakan sifat kota yang selalu

    bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman, kota berfungsi sebagai pusat

  • 6

    kegiatan, dan kota sebagai tempat untuk mencari kehidupan yang layak, oleh

    sebab itu sebagai jawaban dari penyediaan data yang dibutuhkan secara valid,

    rinci, dan up to date maka dibutuhkan teknik yang dapat memecahkan

    permasalahan analisis perkotaan, yaitu teknik penginderaan jauh yang dapat

    digunakan untuk menyelesaikan permasalahan analisis wilayah perkotaan dengan

    cara melakukan interpretasi objek kota pada tiap analisis wilayah perkotaan untuk

    mendapatkan data yang dibutuhkan berdasarkan analisis wilayah perkotaan.

    Penyediaan data ini dapat berupa hasil analisis yang telah dilakukan berdasarkan

    interpretasi menggunakan media citra resolusi tinggi yang digunakan untuk

    mendapatkan dan menyadap informasi secara berkala mengenai aktifitas

    perkotaan yang berubah begitu cepat, ataupun dengan cara melakukan kontak

    langsung untuk melihat perubahan yang ditimbulkan dari perkembangan kota

    yang begitu pesat.

    Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Balikpapan. Kota Balikpapan

    memiliki luas wilayah dataran sebesar 503,3 km2 dan terdiri dari 5 kecamatan dan

    27 kelurahan (RTRW Kota Balikpapan, 2005-2015). Dilihat dari luas wilayah

    Kota Balikpapan, maka tidak seluruh wilayah akan dilakukan pengkajian

    mengenai analisis kerawanan kebakaran permukiman, tetapi wilayah yang akan

    dikaji mengenai kerawanan kebakaran permukiman yaitu di kecamatan

    Balikpapan Selatan. Alasan utama pemilihan kecamatan Balikpapan Selatan yang

    digunakan sebagai daerah kajian adalah dikarenakan kecamatan Balikpapan

    Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu sebesar 190.529 jiwa atau

    sekitar 34,36% penduduk Kota Balikpapan (Statistik Kota Balikpapan, 2011),

    dikarenakan jumlah penduduk yang begitu pesat mengakibatkan kebutuhan akan

    lahan permukiman khususnya rumah mukim semakin meningkat dan apabila

    kebutuhan akan lahan tersebut tidak tersedia maka akan terjadi pemadatan

    permukiman yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan

    permukiman yang mengakibatkan musibah kebakaran, dan alasan lainya dalam

    hal pemilihan wilayah penelitian ini adalah daerah tersebut belum memiliki peta

    zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman. Berikut akan ditampilkan

  • 7

    mengenai persentase penduduk per kecamatan di wilayah Kota Balikpapan pada

    gambar 1.1.

    Gambar 1.1 Persentase penduduk per kecamatan Sumber : Bappeda Kota Balikpapan, 2011

    Jumlah penduduk di Kecamatan Balikpapan Selatan memiliki persentase

    angka tertinggi dibandingkan kecamatan lainnya, maka hal itu selaras atau

    berbanding lurus dengan luasan area pada Kecamatan Balikpapan Selatan. Luas

    wilayah tidak mempengaruhi kepadatan penduduk, kepadatan penduduk dapat

    terjadi pada satu wilayah yang memiliki fasilitas sarana dan prasarana umum baik,

    dikarenakan semakin baik fasilitas yang dimiliki suatu kota maka semakin banyak

    penduduk yang berdatangan dan ingin mendiami suatu wilayah tersebut yang

    digunakan untuk menunjang segala aktivitas penduduk. Berikut akan ditampilkan

    sebaran luas wilayah administrasi di Kecamatan Balikpapan Selatan pada tabel

    1.3.

    Tabel 1.3 Administrasi Kecamatan Balikpapan Selatan

    No. Kecamatan Balikpapan Selatan

    Kelurahan Luasan Area (Ha) 1 Prapatan 314,12 2 Telagasari 253,48 3 Klandasan Ulu 89,00 4 Klandasan Ilir 143,50 5 Damai 601,75 6 Gunung Bahagia 891,72 7 Sepinggan 2502,00

    Sumber: Bappeda Kota Balikpapan, 2012

    34%

    11%22%

    18%

    15%

    selatan timur utara tengah barat

  • 8

    Dari penjelasan sebelumnya mengenai luas wilayah, jumlah penduduk yang

    berada di kecamatan Balikpapan Selatan, serta belum adanya peta zonasi

    kerawanan kebakaran permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan maka

    Kecamatan Balikpapan Selatan menjadi salah satu alasan dipilihnya daerah ini

    menjadi lokasi penelitian. Sehingga semakin banyak jumah penduduk yang

    mendiami suatu wilayah khususnya Kecamatan Balikpapan Selatan maka semakin

    bertambah kebutuhan lahan akan permukiman dan apabila suatu lahan tidak

    mungkin lagi di konversi menjadi lahan baru yaitu lahan permukiman maka dapat

    mengakibatkan pemadatan permukiman yang tidak memperhatikan resiko

    keselamatan lingkungan akan bencana kebakaran. Bencana kebakaran dapat

    ditekan tingkat kejadiannya apabila masyarakat mengetahui arti penting

    keselamatan kebakaran dilihat dari faktor lingkungan dan cara penanggulangan

    kebakaran.

    Kendala yang dihadapi dalam hal penanganan kebakaran di wilayah

    perkotaan salah satunya adalah berupa akses jalan yang kurang representatif,

    bentuk permukiman yang padat mengelompok, kurangnya ketersediaan sumber

    air pada area permukiman padat penduduk, jangkauan unit pemadam kebakaran

    yang jauh dari permukiman padat penduduk, tidak tersedianya hidran pada area

    permukiman yang digunakan untuk penanggulangan dini ketika terjadi bencana

    kebakaran, serta kondisi fisik bangunan yang mudah terbakar. Hal tesebut menjadi

    alasan utama terhambatnya proses penanggulangan kebakaran. Selain faktor

    lingkungan yang menjadi penghambat dalam hal penanggulangan kebakaran

    terdapat hal dasar yang menjadi permasalahan yang dihadapi dalam hal

    penanggulangan kebakaran secara dini yaitu kurangnya fasilitas pemadaman

    kebakaran yang tersedia, minimnya pengetahuan masyarakat dalam menggunakan

    fasilitas pemadam kebakaran, serta kurang tanggapnya masyarakat terhadap

    musibah kebakaran dapat menjadikan suatu musibah kebakaran ini menjadi besar.

    Dilihat dari kondisi yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan

    beberapa permasalahan sebagai berikut:

  • 9

    1. Seberapa besar kemampuan citra Quickbird untuk mendapatkan variabel yang

    dibutuhkan untuk menganalisis tingkat kerawanan kebakaran permukiman di

    kecamatan Balikpapan Selatan?

    2. Bagaimana manfaat Sistem Informasi Geografis yang digunakan untuk

    memetakan variabel potensi kebakaran dan variabel penanganan kebakaran?

    Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis

    akan melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem

    Informasi Geografis untuk Pemetaan Zonasi Kerawanan Kebakaran Permukiman

    dengan Memanfaatkan Citra Quickbird di Kecamatan Balikpapan Selatan.

    1.3. Tujuan

    1. Mengkaji kemampuan citra Quickbird dalam hal mendapatkan data variabel

    potensi kebakaran yang akan digunakan untuk menentukan kawasan rawan

    kebakaran permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan.

    2. Memetakan zonasi tingkat kerawanan kebakaran permukiman berdasarkan

    faktor kondisi fisik bangunan dan faktor penanganan bencana kebakaran.

    1.4. Manfaat

    1. Memberikan masukan mengenai bahaya kebakaran dilihat dari kawasan

    permukiman yang memiliki bahaya kebakaran terhadap penanganan

    kebakaran di Kota Balikpapan.

    2. Membantu pihak Pemerintah Kota Balikpapan dalam hal memberikan

    informasi mengenai kawasan rawan kebakaran pada Kota Balikpapan

    khususnya di kecamatan Balikpapan Selatan.

    1.5. Kegunaan Penelitian

    1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak kerugian

    bencana kebakaran permukiman baik dalam hal bagaimana terjadinya

    kebakaran dan cara penanggulangannya secara tepat.

  • 10

    2. Membantu pihak pemkot (Pemerintah Kota) Balikpapan dalam hal

    menaggulangi bencana kebakaran secara dini dengan memberikan informasi

    kawasan yang rawan kebakaran di kecamatan Balikpapan Selatan.

    1.6 TINJAUAN PUSTAKA

    1.6.1 Penginderaan Jauh

    Penginderaan jauh merupakan suatu teknik aplikasi yang dikembangkan

    oleh para ilmuan terkemuka untuk membantu dalam hal menyadap informasi yang

    dibutuhkan tanpa adanya kontak langsung ke lapangan (Lillesand et. al, 2004),

    sehingga melalui teknik Penginderaan Jauh ini menyadap suatu informasi dapat

    dilakukan dengan mudah dan dapat membantu dalam tingkat keefektifan

    penyadapan informasi dan pengefisienan waktu dalam hal penyadapan informasi.

    Penginderaan jauh berasal dari bahasa inggris yaitu Remote Sensing yang dimana

    memiliki pengertian yaitu suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan

    informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan suatu alat

    yang dimana tanpa berhubungan langsung dengan suatu objek yang akan dikaji

    (Lillesand dan Kiefer, 1979). Jadi dari dasar inilah penginderaan jauh dapat

    diartikan sebagai ilmu dan seni yang digunakan untuk mendapatkan informasi,

    menganalisis informasi yang terdapat di permukaan bumi dari jarak jauh yang

    dilakukan perekamannya di udara dan menggunakan media atau alat (sensor) dan

    wahana untuk merekam objek yang terdapat di permukaan bumi.

    Lindgren (1985) mengemukakan bahwa penginderaan jauh merupakan

    variasi teknik yang dikembangkan untuk perolehan analisis informasi tentang

    bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan dan

    dipancarkan dari permukaan bumi. Dari hasil pendapat yang telah dikemukakan

    oleh Lindgren maka penginderaan jauh adalah suatu teknik aplikasi yang

    dikembangkan untuk menyadap atau memperoleh informasi dengan cara

    perpaduan teknik hasil interaksi antara tenaga, objek, alat, serta wahana yang

    dimana menghasilkan suatu produk gambar yang dinamakan citra. Untuk

    menganalisis lebih jauh mengenai hasil produk aplikasi penginderaan jauh ini

  • 11

    maka dilakukan suatu analisis lebih detaiil agar penyampaian hasil informasi yang

    dibutuhkan dapat tercapai.

    Data hasil teknik penginderaan jauh berupa citra. Citra merupakan suatu

    gambaran hasil perekaman objek di permukaan bumi yang diambil dengan

    menggunakan teknik penginderaan jauh. Menurut Sutanto (1986) hal dasar yang

    melandasi penggunaan citra penginderaan jauh adalah sebagai berikut:

    1. Citra merupakan hasil perekaman yang menggambarkan objek, daerah, dan

    gejala yang terdapat di permukaan bumi dengan keadaan aslinya yang terdapat

    di permukaan bumi.

    2. Citra menggambarkan objek, daerah , dan gejala yang lengkap dan memiliki

    kajian daerah yang luas dan permanen.

    3. Objek yang terdapat pada citra dapat menghasilkan gambaran 3 dimensi

    dengan menggunakan bantuan alat stereoskop.

    4. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra dapat menggambarkan suatu

    keadaan atau daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial.

    Cracknel (1986), dalam Sutanto (1986) telah membedakan teknik

    penginderaan jauh menjadi 3 sistem yaitu: (1) sistem pasif yang menggunakan

    tenaga pancaran objek, (2) sistem pasif yang menggunakan pantulan sinar

    matahari, dan (3) sistem aktif yang berupa laser, radar, dan lidar. Sistem pasif

    tenaga atau sumber tenaga berasal dari matahari. Dalam sistem pasif yaitu

    menggunakan sumber tenaga matahari sebagai tenaga utama dalam hal melakukan

    perekaman haruslah memperhatikan besarnya tenaga yang dipancarkan oleh

    sumber energi yaitu matahari dengan memperhatikan konsep pantulan dan

    hamburan. Sistem pasif dalam penginderaan jauh yang menggunakan tenaga

    matahari sebagai sumber utamanya hanya dapat beroperasi pada siang hari dan

    memiliki cuaca yang terang atau cerah. Sedangkan pada sistem aktif sumber

    tenaga atau energi berasal dari sensor yang menghasilkan pancaran energi yang

    berasal dari alat (sensor) itu sendiri, dengan cara kerja memancarkan gelombang

    yang dihasilkan dari alat (sensor) kemudian ditangkap kembali oleh alat (sensor)

    dengan memperhatikan sistem pantulan objek yang dipancarkan gelombang.

  • 12

    Salah satu teknik penginderaan jauh yang banyak digunakan dalam hal

    aplikasi penerapannya yaitu dalam hal studi perkotaan, studi perkotaan ini

    menjadi penting dikarenakan pemanfaatan dan perolehan data yang dibutuhkan

    haruslah bersifat up to date serta valid. Sehingga peran penginderaan jauh inilah

    menjadi penting dalam hal perolehan informasi dan data yang up to date dan

    valid. Sifat perkotaan yang dinamis dan selalu berkembang menjadikan suatu area

    perkotaan yang harus dikaji lebih detail dalam hal permasalahan yang terjadi di

    wilayah perkotaan. Permasalahan yang muncul di perkotaan kebanyakan berasal

    dari lingkup wilayah perkotaan yang sedang berkembang ataupun lingkup wilayah

    perkotaan besar. Adapun permasalahan yang sering timbul di wilayah perkotaan

    yaitu permasalahan perkembangan penduduk yang tinggi, kesenjangan sosial, arah

    perkembangan Kota, musibah seperti: (kebakaran, banjir, dan tanah longsor),

    sampah perkotaan, dan sebagainya.

    Penginderaan jauh menjadi penting dan diperlukan apabila suatu

    permasalahan yang menyangkut area spasial sulit untuk dicari dan dipecahkan

    secara cepat permasalahan yang dihadapi di perkotaan. Sehingga peran

    penginderaan jauh inilah menjadi sangat penting untuk memperoleh informasi

    mengenai kespasialan,contohnya saja penggunaan teknik penginderaan jauh yang

    digunakan dalam hal musibah kebakaran di perkotaan. Teknik penginderaan jauh

    ini sangatlah membantu dalam hal melihat kawasan yang memiliki kerawanan

    kebakaran yang tinggi, sedang, dan rendah. Dari teknik penginderaan jauh dengan

    hasil yaitu produk citra dalam hal studi perkotaan dapat memberikan informasi

    mengenai bentuk bangunan, ketinggian bangunan, pola bangunan, kepadatan

    bangunan, jalan, sungai, dan atribut lain yang terdapat dalam area perkotaan.

    Kebanyakan teknik penginderaan jauh yang digunakan dalam hal studi perkotaan

    menggunakan citra dengan resolusi besar dalam hal penerapan dan perekaman

    informasi yang direkam menggunakan teknik penginderaan jauh. Dikarenakan

    semakin besar atau tinggi resolusi yang digunakan maka semakin detail objek

    yang dapat direkam ataupun dilihat oleh kasat mata maka semakin baik kualitas

    citra resolusi besar atau tinggi dalam hal melakukan analisis mengenai studi

  • 13

    perkotaan dengan menampakkan setiap objek detail yang tergambar pada citra

    dengan resolusi tinggi.

    Peran penginderaan jauh untuk analisis perkotaan khususnya untuk

    menganalisis peristiwa kebakaran perkotaan tidak bisa dilakukan secara langsung

    untuk mengidentifikasi kebakaran perkotaan melainkan harus menurunkan dan

    menemukan parameter yang digunakan dalam hal menganalisis musibah

    kebakaran, sehingga peran teknik penginderaan jauh dapat menemukan parameter

    yang dibutuhkan dalam hal analisis kebakaran Kota dengan melihat beberapa

    kenampakan yang tertera di citra hasil produk teknik penginderaan jauh, serta

    dalam kaitanya dengan teknik penginderaan jauh yang menghasilkan suatu produk

    citra haruslah mengkaji citra dan melakukan penafsiran terhadap produk

    penginderaan jauh yaitu citra tersebut dengan cara mengenali objek yang

    tergambar di citra, dalam hal pengenalan objek yang tergambar haruslah

    melakukan beberapa kegiatan dalam hal pengenalan objek dengan cara deteksi,

    identifikasi, dan analisis.

    1.6.2 Interpretasi Citra

    Interpretasi citra adalah suatu teknik pengkajian objek yang terdapat pada

    citra yang diperuntukan untuk mengidentifikasi objek dan menilai objek yang

    digunakan sebagai analisis dasar pengenalan citra. Pengenalan objek yang

    tergambar pada citra dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan yaitu deteksi,

    identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengenalan dasar objek yang terdapat

    pada citra, identifikasi adalah suatu usaha untuk membagi objek atau mencirikan

    objek yang telah dideteksi dengan memberikan beberapa keterangan yang

    mewakili tiap objek hasil identifikasi, sedangkan analisis adalah tahapan yang

    digunakan untuk mengumpulkan keterangan yang telah didapat dari kegiatan

    deteksi dan identifikasi yang digunakan untuk analisis lebih lanjut.

    Kegiatan interpretasi citra dapat dilakukan dengan cara visual maupun

    secara digital. Interpretasi secara visual dapat dilakukan dengan cara melihat citra

    hardcopy ataupun citra yang terdapat pada layar monitor, sedangkan interpretasi

    citra dengan cara digital yaitu menganalisis objek gambaran permukaan bumi

  • 14

    yang terdapat pada citra yang memiliki tujuan mengidentifikasi objek dan menilai

    arti tiap objek yang tertera pada citra (Howard, dalam Suharyadi 2001).

    Pengenalan objek secara visual dicirikan oleh karakteristik atau atribut pada tiap

    objek pada citra yang digunakan sebagai dasar pengenalan objek yang tersaji

    dalam unsur interpretasi. Unsur-unsur interpretasi merupakan langkah awal

    pengenalan objek dengan melihat unsur interpretasi dalam hal pengenalan objek,

    jadi dari interpretasi inilah dapat membantu dalam hal mengidentifikasi atau

    mendapatkan informasi yang tertera pada citra yang selanjutnya digunakan

    sebagai bahan dasar untuk melakukan tahap analisis. Adapun unsur interpretasi

    menurut Sutanto (1999) adalah sebagai berikut:

    1. Rona atau warna (tone/color). Rona adalah tingkat kecerahan ataupun tingkat

    kegelapan pada citra (kecerahan relatif objek pada citra), sedangkan warna

    adalah wujud yang tertera pada tiap objek yang tertangkap oleh mata. Contoh

    unsur interpretasi rona dalam hal interpretasi jenis atap yaitu apabila atap seng

    dan asbes yang baru dipasang akan menampilkan rona putih.

    2. Bentuk (shape) adalah konfigurasi atau kerangka yang mewakili tiap objek,

    setiap objek memiliki ciri bentuk yang berbeda, contohnya bentuk memanjang,

    lingkaran, dan segi empat. Contoh unsur interpretasi bentuk dalam melakukan

    interpretasi gedung dan sekolah pada citra yaitu melihat konfigurasi bentuk

    berdasarkan kenampakannya yaitu objek gedung dan sekolah biasa dicirikan

    oleh bentuk L dan U.

    3. Ukuran (size) adalah objek yang memiliki nilai jarak, luas, tinggi, dan volume

    yang didasarkan oleh ukuran pada masing-masing objek dan

    mempertimbangkan konteks skala. Contoh unsur interpretasi ukuran dalam

    melakukan pengenalan objek rumah berdasarkan ukuran yaitu ukuran rumah

    mukim memiliki bentuk yang lebih kecil dibandingkan bangunan kantor.

    4. Kekasaran (texture) adalah perubahan rona pada gambar objek yang didasarkan

    ukuran frekuensi dikarenakan ukuran objek yang terlalu kecil untuk dibedakan

    secara individu. Tekstur bersifat relatif tergantung pada skala dan resolusi citra

    yang digunakan. Contoh unsur interpretasi kekasaran dalam melakukan

    pengenalan objek dedaunan pada pohon dan bayangannya.

  • 15

    5. Pola (pattern) adalah keterkaitan susunan keruangan objek yang didasarkan

    oleh pengulangan bentuk umum atau sekelompok objek dalam ruang. Contoh

    unsur pola dalam melakukan pengenalan objek permukiman kumuh dicirikan

    oleh pola yang tidak teratur.

    6. Bayangan (shadow) adalah aspek yang mencirikan objek yang berada dalam

    daerah gelap yang didasarkan pada dua hal yaitu bayangan dapat memperjelas

    bentuk objek ataupun memberikan kesan objek menjadi tidak jelas. Contoh

    unsur bayangan dalam melakukan pengenalan objek menara pada area

    permukiman.

    7. Situs (site) adalah letak suatu objek relatif dengan lingkungan atau objek di

    sekitarnya dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi objek yang akan dikaji.

    Contoh unsur situs dalam hal pengenalan objek permukiman berdasarkan

    letaknya yaitu di sepanjang tepi jalan.

    8. Asosiasi (association) adalah keterkaitan antara satu objek dengan objek atau

    fenomena lainnya yang digunakan sebagai dasar dalam hal pengenalan objek

    yang akan dikaji. Contoh unsur asosiasi dalam pengenalan objek bandara yaitu

    dengan melihat atau mengenali landasan pacu pesawat.

    1.6.3 Citra Satelit Quickbird

    Citra Satelit Quickbird merupakan citra yang memiliki resolusi tinggi yang

    dimana citra ini dimiliki oleh Digital Globe. Citra Quickbird menggunakan sensor

    BGIS 2000 dalam hal pengoperasiaanya, adapun derajat kedetilan dari resolusi

    yang digunakan yaitu sebesar 0.61 meter, sehingga citra ini memiliki resolusi

    yang tinggi (www.digitalglobe.com). Kegunaan citra Quickbird ini telah banyak

    dirasakan manfaatnya bagi kalangan pemerintahan, swasta ataupun masyarakat

    umum, kegunaan yang dapat dirasakan yaitu citra Quickbird merupakan data

    primer yang baik dalam hal pemanfaatannya untuk melakukan studi atau

    penelitian di berbagai bidang, dalam hal bidang lingkungan citra ini biasa

    digunakan untuk analisis penggunaan lahan, pertanian, industri, eksplorasi minyak

    dan gas, serta di bidang kehutanan. Dalam bidang perkotaan citra Quickbird

    pemanfaatannya sangat besar diantaranya dalam hal melakukan kajian mengenai

  • 16

    sampah perkotaan, kemacetan, kebakaran perkotaan, kajian kualitas permukiman,

    serta kajian lainnya yang menggunakan citra Quickbird.

    Citra Quickbird memiliki resolusi spasial yang tinggi dibandingkan citra

    satelit lainnya dimana sistem pencitraan satelit Quickbird memiliki kesamaan

    dalam hal pencitraan satelit dengan satelit lainnya. Sistem pencitraan

    menggunakan linear array CCD, yang biasa dinamakan pushbromm scanner atau

    dapat dikatakan yaitu sistem perekaman ini bergerak maju mundur mengikuti area

    perekaman yang disusun secara linier yang sesuai dengan gerakan orbit satelit.

    Citra Quickbird memiliki daya jelajah atau jangkauan dalam hal melakukan

    perekaman tidaklah luas melainkan daya jelajahnya sempit yaitu kurang dari 20

    km ini dikarenakan citra ini memiliki resolusi spasial yang tinggi dan posisi

    orbitnya rendah (450 km diatas bumi) (www.digitalglobe.com).

    Citra Quickbird melalui sensor yang digunakan dapat menghasilkan 2

    macam data yaitu multispektral dan pankromatik. Multispektral merupakan

    saluran yang menggunakan lebih dari satu saluran dalam hal penggunaannya

    sedangkan pankromatik hanya menggunakan gelombang tampak dalam hal

    pengoperasianya. Multispektral pada citra Quickbird menggunakan 4 saluran

    spektral yaitu saluran biru, hijau, merah, dan inframerah dekat. Kegunaan

    beberapa saluran ini digunakan untuk mengidentifikasi objek yang berada di

    permukaan bumi, sedangkan saluran pankromatik yang hanya menggunakan

    saluran tampak mata lebih mampu menghasilkan resolusi spasial yang tinggi

    daripada saluran multispektral dikarenakan lebar saluran ini lebih besar daripada

    saluran multispektral. Karakteristik citra Quickbird dapat dilihat pada tabel 1.4.

  • 17

    Tabel 1.4 Karakteristik Citra Quickbird

    No Keterangan Satelit

    Quickbird Spesifikasi Satelit Quickbird

    1 Tempat dan Tanggal Peluncuran

    Vandenberg Air Force Base, California, USA tanggal 18 Oktober 2001

    2 Media Peluncur Pesawat Boeing Delta II (Ball

    Aerospaces Global Imaging System 2000)

    3 Masa Operasi 7 Tahun lebih 4, Orbit 97.2,sun

    synchronous 4 Kecepatan Pada Orbit 7.1 km/detik (25,560 Km/jam) 5 Kecepatan diatas Bumi 6.8 km/detik 6 Akurasi 23m Horizontal (CE 90%) 7 Ketinggian Jelajah 450 km

    8 Resolusi Spasial

    61 cm (nadir) to 72 cm (25 off-nadir) Multi Spectral : 2.44 m (nadir) to 2.88

    m (25 off-nadir))

    9 Cakupan Citra 16.5 km x 16.5 km pada nadir

    10 Waktu Melintas Equator

    10:30 am (descending node) solar time

    11 Waktu Lintas Ulang 1 3.5 hari, tergantung latitude (30off-

    nadir)

    12 Saluran Citra

    - Pan : 450 900 nm - Blue : 450 520 nm

    - Green : 520 600 nm - Red : 630 690 nm

    - Near IR : 760 900 nm Sumber : http://www.apollomapping.com diakses pada tgl 3 Januari 2013

    Hasil pemrosesan citra resolusi tinggi yaitu citra satelit Quickbird memiliki

    lima hasil output atau keluaran produk yaitu :

    1. Pankromatik (Produk Hitam Putih)

    Produk yang dihasilkan ini bersifat memiliki kedetilan spasial lebih

    tinggi daripada produk lainnya yang digunakan untuk analisis spasial

    (visual)

    2. Produk Multispektral

    Produk yang berdasarkan panjang gelombang yang digunakan lebih

    banyak yang mencakup inframerah dekat dan saluran tampak.

  • 18

    3. Produk Bandel (bundle)

    Produk ini terdiri dari multispektral dan hitam putih.

    4. Produk warna

    Produk ini mengkombinasikan 3 saluran multispektral dan saluran

    pankromatik

    5. Pan-sharpened (4 saluran)

    Produk ini mengkombinasikan 4 saluran multispectral

    Keunggulan yang dimiliki oleh citra Quickbird yang telah dijelaskan

    sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa citra Quickbird dapat digunakan untuk

    mengkaji daerah perkotaan dengan kemampuan resolusi spasialnya yang tinggi,

    sehingga dari resolusi spasialnya yang tinggi inilah citra Quickbird dapat

    mengekstrak variabel kerawanan kebakaran yang diperlukan, contohnya saja

    dalam hal mengekstrak variabel kepadatan permukiman, pola permukiman, jenis

    atap permukiman, dan jaringan jalan. Menurut Tinambunan (2007), citra

    Quickbird dapat mengidentifikasi permukiman dengan baik yang nantinya

    digunakan sebagai indikator dalam hal melakukan analisis distribusi kepadatan

    penduduk yang dijelaskan dengan prinsip land use density, sehingga pola

    permukiman yang akan diidentifikasi dapat menggambarkan distibusi kepadatan

    penduduk.

    1.6.4 Sistem Informasi Geografis

    Sistem Informasi Geografis menurut Stan Aronaff 1989, adalah suatu

    sistem informasi yang berdasarkan cara kerja komputer yang mampu menerima

    masukan, mengelola (memberi, mengambil, memanipulasi, dan menganalisis

    data), kemudian memberikan beberapa penjelasan atau uraian. Sistem Informasi

    Geografis dapat diartikan juga sebagai suatu sistem yang dirancang mampu

    mengolah suatu data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi

    (contohnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya).

    Dalam hal perkembangan teknologi dan zaman pada saat ini mendorong

    perubahan konsep dasar SIG dalam hal proses pengambilan keputusan dan

  • 19

    penyebaran informasi. Dalam hal ini pemahaman dunia nyata menjadi sangat

    penting dalam hal menyadap informasi dan pengambilan keputusan atau informasi

    sehingga nantinya apabila melakukan proses manipulasi dan presentasi data dapat

    disejajarkan atau direlasikan dengan posisi absolute lokasi geografi di permukaan

    bumi.

    Peran SIG sangatlah penting dalam hal membantu mengolah, menganalisis

    suatu data yang di dapat dari citra penginderaan jauh dalam hal menunjang

    penelitian yang akan dilakukan, dalam hal ini peran SIG digunakan untuk mencari

    klasifikasi besaran nilai yang digunakan untuk mencari keterkaitan antar satu

    parameter dengan parameter lain yang telah dihasilkan sebelumnya berdasarkan

    data hasil interpretasi visual yang berupa citra penginderaan jauh. Selain itu

    analysist tools yang terdapat dalam aplikasi SIG sangatlah membantu, analysis

    tools yang berupa analisis skoring digunakan untuk melakukan pemberian skoring

    atau nilai pada tiap parameter yang dihasilkan dari hasil interpretasi pada citra

    penginderaan jauh, sehingga antar parameter memiliki nilai besaran yang

    dihasilkan berdasarkan peran masing-masing parameter dalam hal menunjang

    penelitian.

    1.6.4.1 Pengolahan Sistem Informasi Geografis

    Secara garis besar Sistem Informasi Geografis menurut Stan Aonoff, 1989

    dapat dibagi menjadi empat subsistem yang saling terkait antara satu dengan yang

    lain, adapun 4 subsistem itu adalah masukan data (input), pengolahan atau

    management data, manipulasi dan analisis data, dan keluaran (output).

    a. Masukan data (input)

    Subsistem ini memiliki tugas sebagai mengumpulkan dan mempersiapkan data

    spasial dan atribut dari berbagai sumber yang telah didapat. Mengkonversi

    format data asli ke dalam format yang dapat digunakan dalam SIG. Biasanya

    input data berasal dari data spasial, data grafis, dan data atribut.

    b. Pengelolaan (management data)

    Subsistem ini bertugas sebagai pengorganisasian data spasial ataupun data

    atribut ke dalam sebuah basis data sehingga nantinya apabila pengguna ingin

  • 20

    memangil data tersebut menjadi lebih mudah. Manajemen data meliputi

    berbagai hal yaitu operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali,

    dan percetakan data.

    c. Manipulasi dan analisis data

    Subsistem ini memberikan hasil berupa informasi yang dihasilkan dari proses

    manipulasi dan pemodelan data untuk dijadikan suatu informasi yang

    diinginkan. Dalam hal ini analisis data dibagi menjadi 2 yaitu analisis spasial

    dan analisis non-spasial. Analisis spasial adalah analisis yang memerlukan

    pemahaman hubungan geografi antara data-data (poitns, lines, and polygons).

    Sedangkan analisis non spasial adalah menjelaskan mengenai suatu query dari

    database. Berikut akan disajikan fungsi analisis dan manipulasi SIG pada tabel

    1.5.

    Tabel 1.5 Fungsi Analisis dan Manipulasi SIG

    Manipulasi dan Analisis SIG Fungsi

    Pemeliharaan dan analisis data

    Spatial editing functions; Transformating between map projections; geometric transformations

    Pemeliharaan data spasial dan analisis data non-spasial

    Editing atribut; Query Atribute

    Analisis terintegrasi dari data spasial dan atribut

    Overlay operations; Neighbourhood Operations; Classification; Retrievel

    Pembentukan Output Map Annotation; Text Labels; Graphic Symbols

    Sumber : Arronof, Stan. 1989

    d. Keluaran data (output) Subsistem ini bertugas sebagai menampilkan keluaran

    seluruh atau sebagian basis data yang telah diproses sebelumnya ke dalam

    bentuk softcopy ataupun hardcopy.

    1.6.5 Peta

    Peta merupakan suatu gambaran konvensional dan selektif diperkecil yang

    dituangkan dan dibuat pada bidang datar yang dimana peta menghasilkan

    kenampakan permukaan bumi ataupun benda angkasa (ICA,1977 dalam

  • 21

    Sudihardjo,1986). Jadi dapat diartikan bahwa peta merupakan suatu media kreasi

    manusia, dimana didasarkan atas kemampuan dasar dalam hal mendapatkan

    informasi luas yang nantinya akan dituangkan kedalam media datar. Sehingga dari

    informasi yang luas inilah seseorang akan mengamati dan menganalisis mengenai

    hubungan keruangan dan gejala-gejala yang terjadi pada suatu area atau wilayah

    yang luas yang menghasilkan grafis dalam wujud simbol yang digambarkan pada

    peta.

    Dalam hal pembuatannya peta haruslah memberikan gambaran yang jelas,

    rapi, dan detail mengenai informasi apa yang dibawa pada pembuat peta untuk

    dikomunikasikan terhadap pembaca peta (komunikatif). Pembuatan peta haruslah

    memperhatikan desain peta dalam hal pembuatanya ini dikarenakan dari desain

    inilah dapat memberikan informasi mengenai tujuan peta dibuat, isi yang terdapat

    dalam peta, dan kesan dari pembuatan peta tersebut, serta desain peta ini

    mencirikan suatu peta tersebut dapat diterima oleh pembaca peta baik dalam hal

    estetika keindahan peta serta informasi yang dimuat dalam bentuk peta haruslah

    mudah dipahami oleh pembaca peta. Adapun desain peta meliputi 3 hal yaitu

    desain peta dasar, desain tata letak, dan desain isi peta.

    Simbol pada peta merupakan suatu penggambaran yang berbentuk grafis

    dimana simbol pada peta ini berfungsi sebagai alat komunikasi dan pemberian

    informasi kepada pengguna dan pembaca peta oleh pembuat peta. Dalam hal

    pembuatan simbol pada peta haruslah memperhatikan poin-poin dalam hal

    pemilihan simbol dikarenakan apabila salah dalam hal pemilihan simbol maka

    penyampaian informasi menjadi tidak dapat disalurkan, adapun pemilihan simbol

    yang harus diperhatikan yaitu ukuran data (nominal, ordinal, interval, dan rasio),

    persepsi data serta pemilihan variabel visual. Data haruslah dipetakan dikarenakan

    data yang sifatnya luas haruslah dipilih dan dipetakan sebagai media informasi

    yang digunakan untuk tahap penelitian, karena data yang telah dipilih dan

    dipetakan mempermudah peneliti dalam hal menganalisis lebih lanjut mengenai

    data yang akan dipergunakan.

  • 22

    1.6.6 Bahaya Kebakaran dan Penanggulangannya

    Menurut Mochammad Zaini (1998) dalam bukunya yang berjudul Panduan

    dan Pencegahan Pemadaman Kebakaran menjelaskan bahwa kebakaran dapat

    diartikan sebagai suatu musibah atau peristiwa yang terjadi akibat adanya 3 unsur

    pemicu kebakaran (peristiwa oksidasi). Unsur-unsur kebakaran itu adalah adanya

    bahan yang mudah terbakar, terdapatnya oksigen di udara bebas, dan adanya

    sumber energi panas yang berakibat menimbulkan dampak kerugian harta benda,

    cidera dan kematian jiwa. Kebakaran ini terjadi akibat adanya pemicu ataupun

    akibat ketidaksengajaan yang dapat menimbulkan terjadinya kebakaran.

    Faktor kesengajaan yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran yaitu

    meliputi puntung rokok yang dibuang disembarang tempat dan tidak dimatikan

    bara apinya, terjadinya konsleting listrik akibat pencurian listrik serta kelebihan

    muatan daya listrik yang melebihi beban daya yang telah ditentukan, dan kelalaian

    lainya yaitu menyalakan lilin tanpa pengawasan, karena peristiwa kebakaran tidak

    dapat ditebak kapan datangnya dan kapan terjadinya, dikarenakan peristiwa

    kebakaran pasti menimbulkan kerugian harta dan benda yang tidak sedikit, oleh

    sebab itu bahaya kebakaran dapat diartikan sebagai kejadian atau peristiwa yang

    ditimbulkan oleh adanya sumber api atau nyala api yang tidak diinginkan, tidak

    terkendali, dan berlangsung secara cepat sehingga mengakibatkan dapat

    mengancam keselamatan jiwa dan kerugian harta benda. Adapun penggolongan

    atau penanganan kebakaran terhadap kerawanan kebakaran yang digunakan untuk

    menilai kerawanan kebakaran permukiman menurut Departemen Pekerjaan

    Umum, 1987 dan Zaini, 1998 adalah:

    a. Alat pemadam kebakaran portable

    Alat pemadam kebakaran portable dapat diartikan sebagai alat penanggulangan

    kebakaran yang berbentuk tabung dan dapat dipindahkan dari satu tempat ke

    tempat lain (Departemen Pekerjaan Umum, 1987).

    b. Alat pemadam kebakaran sistem hidran dan sistem sprinkler

    Pemadam sistem hidran bekerja dengan menggunakan tekanan air yang berada

    pada lokasi tempat berdirinya suatu hidran, sehingga hidran merupakan alat

    pemadam api yang menggunakan tekanan air, sedangkan sistem sprinkler

  • 23

    bekerja secara otomatis berdasarkan kenaikan suhu ruangan yang mencapai

    suhu tertentu yang bekerja didasarkan sensor panas yang berada pada tutup

    sprinkler yang nantinnya akan meneluarkan air (Zaini, 1998).

    c. Sekering atau pemutus arus (circuit breaker)

    Sekering atau pemutus arus merupakan suatu alat pengaman yang bekerja

    berdasarkan pada sistem listrik yang terjadi pada kerusakan kabel listrik, jadi

    apabila terjadi hubungan arus pendek maka sekering ini akan putus sehingga

    potensi terjadinya kebakaran akan musnah (Zaini, 1998).

    d. Penangkal petir

    Penangkal petir merupakan suatu alat instalasi sistem penangkal petir yang

    bekerja untuk menangkal petir dan mengantarkan arus listrik ke tanah sehingga

    apabila suatu rumah bertingkat akan terhindar dari bahaya sambaran petir

    (Departemen Pekerjaan Umum, 1987).

    e. Pemadam api bergerak

    Pemadam api bergerak dapat diartikan sebagai suatu kendaran atau alat

    pemadam kebakaran yang dapat memuat alat-alat untuk melakukan

    pemadaman kebakaran (Zaini, 1998).

    Menurut National Fire Protection Association 2002 dalam Prawira, 2009

    ada beberapa tahapan terjadinya peristiwa kebakaran, tahapan tersebut antara lain:

    a. Initiation, yaitu proses awal terjadinya api dimana sifat api masih kecil, ini

    terjadi dalam kisaran waktu 0 10 menit. Hal ini dapat dicegah dengan

    mematikan sumber energi yaitu api sehingga dampak kebakaran dapat ditekan.

    b. Growth, peristiwa terjadinya perubahan api yang kecil menjadi besar dan akan

    terjadi proses flash over yang dimana benda atau material yang disekitar

    sumber energi (api) akan berdampak ikut terbakar, ini disebabkan adanya

    sumber api di sekitar material tersebut yang mengakibatkan material tersebut

    ikut terbakar. Peristiwa ini terjadi kira-kira 10 20 menit.

    c. Steady, peristiwa yang terjadi dimana sumber api tidak atau sulit untuk

    dimatikan atau dipadamkan, hal ini mengakibatkan dampak kebakaran pada

    material disekitarnya semakin besar dan meluas, kejadian ini kira-kira

    berlangsung kurang lebih sekitar 20 menit sampai berjam-jam.

  • 24

    d. Decay, peristiwa pemadaman api dari api besar menjadi api kecil, ini

    diakibatkan ketersediaan objek atau material bahan pembakarnya telah habis

    atau tidak ada, sehingga perubahan api yang semula besar akan berubah

    menjadi kecil.

    Terjadinya peristiwa kebakaran yang sulit dipadamkan ini diakibatkan salah

    satunya adalah faktor lingkungan yaitu permukiman terlalu padat, akses jalur

    pemadam yang sulit dijangkau, ketersediaan sumber air yang jauh dari lokasi

    kebakaran merupakan beberapa contoh faktor penghambat dalam hal

    penanggulangan musibah kebakaran. Selayaknya suatu lingkungan yang didirikan

    oleh peradaban manusia haruslah bersinergi dengan kondisi alam disekitarnya dan

    penanggulangan atau keamanan lingkungan menjadi faktor utama untuk menekan

    musibah bencana yang akan terjadi di kedepannya.

    Klasifikasi kebakaran didasarkan oleh penggolongan jenis atau benda yang

    mudah terbakar, Klasifikasi ini dibuat untuk memudahkan masyarakat dalam hal

    mengadakan pemilihan dalam hal pemadaman kebakaran sehingga dampak

    kerugian dapat ditekan. Adapun kelas klasifikasi kebakaran yang didasarkan oleh

    material yang mudah terbakar serta cara penanggulangannya berdasarkan

    keputusan menteri pekerjaan umum 10/KTPS/ tahun 2000 adalah sebagai berikut:

    a. Kelas A

    Kelas ini dicirikan oleh bahan yang mudah terbakar contohnya saja kertas,

    kayu, plastik, dan cara pemadamannya yaitu dengan cara menggunakan air

    dalam hal mematikan material yang mudah terbakar.

    b. Kelas B

    Yang termasuk dalam kelas ini adalah material yang melibatkan cairan yang

    mudah terbakar seperti: bensin, minyak tanah, dan lainnya, adapun cara

    penanggulangannya yaitu dengan cara menyemprotkan cairan berbahan foam.

    c. Kelas C

    Pada kelas ini diakibatkan oleh terjadinya konsleting listrik ataupun terjadinya

    tegangan listrik yang dapat mengakibatkan terjadinya percikan api. Adapun

    cara penanggulangannya yaitu dengan cara menggunakan bahan pemadam

  • 25

    kebakaran yang bersifat non kondusif, cara ini dipilih agar pengguna yang

    ingin memadamkan percikan api ini tidak mudah tersengat.

    d. Kelas D

    Kelas ini termasuk ke dalam kelas bahan logam yang mudah terbakar

    contohnya saja: kalium, magnesium dan titanium. Cara mengatasinya yaitu

    dengan cara menggunakan powder khusus untuk mengatasi kebakaran yang

    disebabkan oleh logam yang telah dijelaskan sebelumnya.

    Menurut Depnaker UNDP ILO, (1987) , terjadinya suatu musibah

    kebakaran diakibatkan oleh beberapa ketimpangan yang muncul, adapun

    ketimpangan yang terjadi adalah:

    a. Sistem alarm tidak berfungsi dengan baik.

    b. Tidak terdapatnya sarana deteksi alarm.

    c. Alat pemadam api tidak berfungsi.

    d. Alat pemadam api tidak memadai.

    e. Sarana evakuasi tidak tersedia.

    1.6.7 Pengertian Bencana, Bahaya, Kerentanan, Resiko, dan Kerawanan

    Bencana dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu kejadian yang disebabkan

    oleh alam (natural disaster), maupun yang disebabkan oleh manusia (man-made

    disaster). Menurut UU RI No 24 Tahun 2007 pasal 1 butir 1, menjelaskan bahwa

    bencana ialah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

    mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor

    alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan

    timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

    dampak psikologis. Kondisi yang dinyatakan bencana apabila terdapat potensi

    bahaya yang mengancam elemen resiko tertentu sehingga menjadi rentan atau

    berpotensi mengalami kerusakan, kehilangan atau kerugian. Kejadian yang belum

    mengakibatkan kerusakan, kehilangan, dan kerugian dapat dikatakan sebagai

    potensi bahaya. Adapun jenis bencana dibagi menjadi 3 yaitu :

    a. Bencana alam ialah bencana yang disebabkan oleh faktor alam baik yang

    berasal dari tenaga endogen maupun dari tenaga eksogen, contoh

  • 26

    bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,

    kekeringan, angina topan, tanah longsor, dan lain-lain

    b. Bencana non alam yaitu bencana yang dihasilkan bukan berasal dari alam

    yang biasa disebabkan oleh teknologi contohnya gagal teknologi dan

    wabah penyakit.

    c. Bencana Sosial yaitu bencana yang diakibatkan oleh manusia sebagai

    peran utamanya yang meliputi konflik social antar suku, kelompok,

    maupun antar komunitas masyarakat

    Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau

    gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability)

    masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti

    masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila

    kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka

    tidak akan terjadi bencana. Bahaya atau hazard merupakan suatu peristiwa atau

    fenomena alam atau fenomena buatan yang memiliki potensi mengancam

    kehidupan manusia, menimbulkan kerugian harta dan benda dan kerusakan

    lingkungan. Berdasarkan United Nations-International Strategy for Disaster

    Reduction (UN-ISDR), bahaya ini dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu : (a)

    bahaya beraspek geologi seperti tsunami, gempabumi, longsor, (b) bahaya

    beraspek hidrometerologi seperti banjir, kekeringan, angina topan, gelombang

    pasang, (c) bahaya beraspek biologi seperti wabah penyakit, hama dan penyakit

    tanaman, (d) bahaya beraspek teknologi seperti kecelakaan transportasi,

    kecelakaan industri, kegagalan teknologi, dan (e) bahaya beraspek lingkungan

    seperti kebakaran Kota, kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran

    limbah.

    Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi atau kharakteristik

    geologis, biologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan

    teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi

    kemampuan mencegah, meredam mencapai kesiapan, dan mengurangi

  • 27

    kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (Bappenas, 2008),

    Sedangkan Awotona, (1997) mengungkapkan bahwa tingkat kerentanan adalah

    suatu hal penting untuk diketahui sabagai salah satu faktor yang berpengaruh

    terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila "bahaya"

    terjadi pada "kondisi yang rentan". Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari

    kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi. Kerentanan

    fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan

    terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari

    berbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan terbangun; kepadatan

    bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang

    jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA.

    Risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan

    ancaman bahaya (hazard) yang ada. Upaya pengkajian risiko bencana pada

    dasarnya adalah menentukan besaran 3 komponen risiko tersebut dan menyajikan

    dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian

    risiko bencana digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan

    bencana di suatu kawasan. Adapun ketiga komponen tersebut adalah tingkat

    ancaman kawasan, tingkat kerentanan kawasan yang terancam, dan tingkat

    kapasitas kawasan yang terancam (BNPB, 2011). Ancaman bahaya, khususnya

    bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami

    pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal

    maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga

    kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat. Secara

    umum, risiko dapat dirumuskan sebagai bahaya dikalikan dengan kerentanan

    (ISDR, 2004). Mengingat setiap jenis bencana memiliki sifat kerusakan yang

    berlainan pada setiap jenis elemen risiko, maka untuk mendefinisakan formula

    ISDR haruslah diartikan berdasarkan jenis elemen resiko yang diteliti. Hygo

    Framework for Action 2005-2015 mengungkapkan bahwa risiko bencana akan

    meningkatkan dengan adanya kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan teknologi,

    pembangunan pada zona bahaya tinggi, degradasi lingkungan, perubahan iklim,

  • 28

    bahaya geologi, kelangkaan sumberdaya, dan dampak epidemi. Jadi apabila

    ditemukan bahaya dan kerentanan maka akan menimbulkan resiko. Menurut D.R.

    Hizbaron, 2010 Tingkat risiko akan meningkat seiring dengan tingkat bahaya dan

    tingkat kerentanan. Tingkat risiko belum tentu meningkat jika hanya salah satu

    faktor yang mengalami peningkatan.

    Kerawanan adalah suatu keadaan rawan yang pasti memiliki ancaman atau

    gangguan baik yang berasal dari faktor alam, faktor non alam, dan faktor sosial

    sehingga mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan

    lingkungan, serta dampak psikologis. Menurut Permen PU No : 22/PRT/M/2007,

    tingkat kerawanan adalah ukuran yang menyatakan tinggi rendahnya atau besar

    kecilnya kemungkinan suatu kawasan atau zona dapat mengalami bencana

    kebakaran, serta besarnya korban dan kerugian bila terjadi bencana kebakaran

    yang diukur berdasarkan tingkat kerwanan fisik alamiah dan tingkat kerawanan

    karena aktifitas manusia. Kerawanan kebakaran permukiman merupakan kondisi

    pada area permukiman yang memiliki dampak kerusakan permukiman akibat

    adanya penjalaran api yang disengaja ataupun yang tidak disengaja yang

    mengakibatkan kerugian harta benda, korban jiwa yang disebabkan beberapa

    faktor potensi kebakaran seperti kepadatan peduduk, kualitas bahan bangunan

    yang buruk, pemadatan permukiman, dan faktor lainya seperti konsleting listrik,

    dan aktifitas internal.

    1.7 Penelitian Sebelumnya

    Suharyadi (2000), telah meneliti mengenai kebakaran permukiman di

    sebagian Kecamatan Gondomanan Yogyakarta, adapun judul penelitian yang

    telah beliau buat adalah Pemodelan Zonasi Kerentanan Kebakaran dengan

    memanfaatkan Ortho-Foto Digital. Penelitian ini dibuat untuk memetakan

    kerentanan kebakaran berdasarkan variabel utama kerentanan kebakaran di daerah

    penelitian, variabel utama ini meliputi pengkajian kondisi fisik permukiman dan

    fasilitas pemadam kebakaran. Dari variabel utama nantinya akan diturunkan

    beberapa variabel rinci yang digunakan untuk membuat model spasial kerentanan

    kebakaran, variabel rinci yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah

  • 29

    kepadatan bangunan, tata letak bangunan, kualitas bahan bangunan, lebar jalan,

    kualitas jalan, fasilitas hidran, fasilitas alat pemadam kebakaran, dan fasilitas air

    tandon yang digunakan untuk melakukan pemadaman kebakaran. Dari hasil

    analisis yang telah dilakukan di dapatkan hasil mengenai daerah mana saja yang

    memiliki tingkat kerentanan kebakaran tinggi, sedang, maupun rendah, adapun

    daerah yang memiliki tingkat kerentanan kebakaran tinggi yaitu berada di Ledok

    Prawirodirjan, Mergangsan Kidul, dan Surakarsan, sedangkan daerah yang

    memiliki tingkat kerentanan kebakaran yang rendah atau dapat dikatakan tidak

    berbahaya kebakaran berada di daerah Gondomanan, Siliran, Panembahan, dan

    Kampung Mergangsan Lor.

    Soni Setiawan (2001), telah melakukan penelitian mengenai variabel bahaya

    kerawanan kebakaran permukiman dengan memanfaatkan foto udara dan sistem

    informasi geografis, penelitian ini dilakukan di sebagian Kota Yogyakarta.

    Penelitian ini memiliki tujuan yaitu mencari tingkat kemampuan foto udara dalam

    hal memberikan informasi mengenai variabel yang dibutuhkan dalam hal

    penelitian kerawanan kebakaran yang menghasilkan variabel utama yaitu variabel

    kondisi permukiman dan variabel ketersediaan fasilitas hidran. Dari hasil analisis

    yang telah dilakukan didapat beberapa hasil yaitu kawasan permukiman yang

    memiliki tingkat kerawanan kebakaran tinggi (sangat rawan) dicirikan oleh

    kepadatan rumah yang padat, ukuran rumah, tata letak rumah yang tidak teratur,

    lebar jalan masuk sempit, penggunaan listrik yang ilegal dan kualitas bahan

    bangunan yang buruk. Hasil uji lapangan diperoleh beberapa nilai mengenai

    ketelitian interpretasi yaitu sebesar 85% - 92% yang didasarkan berdasarkan hasil

    interpretasi variabel yang digunakan. Secara garis besar tingkat ketelitian hasil

    interpretasi foto udara memiliki nilai 87,68% yang baik digunakan untuk

    memetakan bahaya rawan kebakaran permukiman.

    Herlina Sri Martanti (2004), telah mengadakan penelitian mengenai

    kerawanan kebakaran permukiman dengan judul penelitian Pemanfaatan Teknik

    Penginderaan Jauh untuk Pemetaan tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman.

    Lokasi kajian yang diteliti yaitu berada di Kecamtan Jatinegara dan Pulogadung,

    Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat

  • 30

    kemampuan foto udara yang digunakan dalam hal memberikan informasi

    mengenai variabel yang digunakan untuk menilai kerawanan kebakaran beserta

    pembuatan peta kerawanan kebakaran permukiman. Metode yang digunakan

    dalam melakukan penelitian ini adalah metode analisis pengharkatan berjenjang

    tertimbang (scoring). Adapun variabel yang digunakan yaitu kepadatan rumah,

    ukuran rumah, letak rumah, lebar jalan masuk, lokasi kantor pemadam kebakaran,

    ketersediaan hidran, alat pemadam portabel, aktifitas internal, dan listrik.

    Lili Somantri (2008), telah melakukan penelitian mengenai kerentanan

    kebakaran permukiman dengan judul penelitian Pemanfaatan Citra Quickbird

    dan Sistem Informasi Geografis untuk Zonasi Kerentanan Kebakaran Permukiman

    Kasus di Kota Bandung Bagian Barat. Adapun tujuan penelitian ini adalah

    mengkaji ketelitian citra Quikbird dalam hal memperoleh variabel bahaya

    kebakaran di daerah perkotaan, mengestimasi bahaya kebakaran berdasarkan

    parameter yang diperoleh dari Citra Quickbird, dan memetakan tingkat kerentanan

    kebakaran permukiman. Penelitian ini menggunakan metode interpretasi visual

    dan pengharkatan (scoring), pembobotan, dan overlay. Variabel yang dihasilkan

    dari hasil interpretasi maupun hasil data sekunder di dapat 2 variabel utama yaitu

    variabel bahaya kebakaran dan variabel ketersediaan fasilitas pemadam

    kebakaran. Dari hasil yang telah dilakukan di dapat hasil mengenai pemetaan

    kerentanan kebakaran di daerah penelitian dibuat menjadi 3 kelas yaitu rentan,

    agak rentan, dan tidak rentan, dari pembuatan ketiga kelas ini diharapkan dapat

    memberikan informasi mengenai kawasan yang memiliki tingkat kerentanan

    kebakaran tinggi, sedang, maupun rendah.

    Perbedaan penelitian sebelumnya terhadap penelitian yang dilakukan yaitu

    didasarkan oleh daerah kajian dan luasan wilayah penelitian yang berbeda, daerah

    kajian yang diambil dalam hal melakukan penelitian ini adalah di Kota

    Balikpapan khususnya di Kecamatan Balikpapan Selatan, walaupun diambil

    hanya satu kecamatan saja tetapi luasan kecamatan di Balikpapan sangatlah besar

    sehingga satu kecamatan dapat mewakili wilayah Kota Balikpapan yang memiliki

    tingkat kerawanan kebakaran di Kota Balikpapan selain itu perbedaan penelitian

    yang dilakukan terhadap penelitian sebelumnya adalah pada pengklasifikasian

  • 31

    bahaya kebakaran terhadap penanganan kebakaran ataupun sebaliknya sehingga

    nantinya dibuat klasifikasi mengenai tingkat bahaya kebakaran terhadap

    penanganan kebakaran. Dikarenakan penelitian sebelumnya hanya berdasarkan

    hasil pengolahan mengenai kawasan yang memiliki tingkat kerawanan ataupun

    kerentanan kebakaran berdasarkan hasil analisis tanpa memperlihatkan mengenai

    penanganan kebakaran yang harus dilakukan secara dini untuk menanggulangi

    tingkat bahaya musibah kebakaran khususnya permukiman di wilayah perkotaan,

    sehingga penelitian berikutnya akan menambahkan dan meneliti mengenai

    penanganan kebakaran untuk melihat seberapa besar resiko kebakaran dilihat dari

    penanganannya, contohnya saja apabila suatu kawasan tersebut memiliki tingkat

    kerawanan kebakaran yang tinggi atau besar tetapi penanganan kebakarannya baik

    maka suatu kawasan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kawasan yang

    memiliki kawasan yang aman tehadap bahaya kebakaran. Berikut akan disajikan

    tabel 2.3 berupa perbandingan penelitian sebelumnya terhadap penelitian yang

    akan dilakukan.

  • Peneliti (tahun)

    Suharyadi (2000) Soni Setiawan (2001) Herlina Sri M (2004) Lili Somantri (2008) Wisnu Widyatmadja (2013)

    Judul Pemodelan Zonasi Kerentanan Kebakaran dengan Memanfaatkan Ortho-Foto Digital

    Penggunaan foto udara dan SIG untuk pemetaan bahaya Kerawanan Kebakaran permukiman di sebagian Kota Yogyakarta

    Pemanfaatan teknik PJ untuk Pemetaan tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman

    Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Zonasi Kerentanan Kebakaran Permukiman Kasus di Kota Bandung Bagian Barat

    Aplikasi PJ dan SIG dengan citra Quickbird untuk zonasi daerah rawan kebakaran permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan

    Tujuan Memetakan dan membuat pemodelan spasial mengenai kerentanan kebakaran permukiman

    Mengidentifikasi mengeai kawasan yang memiliki kerawanan kebakaran

    Pemetaan kerawanan kebakaran permukiman

    Mengkaji ketelitian citra Quikbird dalam hal memperoleh variabel bahaya kebakaran di daerah perkotaan, mengestimasi bahaya kebakaran berdasarkan parameter yang diperoleh dari Citra Quickbird, dan memetakan tingkat kerentanan kebakaran permukiman

    Menganalisis ketelitian citra Quickbird dalam hal mendapatkan parameter bahaya kebakaran pada wilayah perkotaan yang digunakan untuk menentukan kawasan rawan akan musibah kebakaran permukiman pada wilayah perkotaan; mengetahui keterkaitan antara bahaya kebakaran terhadap penanganan kebakaran; memetakan zonasi tingkat kerawanan kebakaran bangunan pada daerah perkotaan dengan memakai bantuan analisis SIG.

    Lokasi Sebagian Kecamatan

    Sebagian Kota Yogyakarta Kecamatan Jatinegara dan Pulogadung,

    Kota Bandung Bagian Barat

    Kecamatan Balikpapan Selatan

  • 33

    Gondomanan, Yogyakarta

    Jakarta Timur

    Metode Interpretasi visual menggunakan ortho-photo digital

    Aplikasi PJ dan analisis SIG

    Aplikasi SIG dan PJ Interpretasi visual dan pengharkatan (scoring), pembobotan, dan overlay

    Pengharkatan berjenjang tertimbang, pembobotan, dan overlay (aplikasi SIG dan PJ)

    Bahan Citra Ortho-photo digital, Foto udara pankromatik

    Foto udara Pankromatik skala 1:13.000 tahun 1996

    Foto udara Pankromatik skala 1:10.000

    Citra Quickbird Citra Pankromatic dan Multispektral Quickbird tahun 2011

    Variabel Kepadatan bangunan, pola bangunan, kualitas bahan bangunan,lebar jalan, kualitas jalan, hidrant, tandon air

    Kepadatan rumah, ukuran rumah, lebar jalan masuk, tata letak rumah, jenis atap,ketersedian hidran, lokasi kantor pemadam,aktifitas internal,listrik,penangkal petir

    Kepadatan bangunan, ukuran bangunan, tata letak bangunan, bahan bangunan, aktifitas internal,listrik, lebar jalan,lokasi permukiman,APAR,hidran

    Kepadatan bangunan rumah mukim, pola bangunan rumah mukim, jenis atap bangunan rumah mukim, lokasi sumber air, lokasi permukiman dari jalan utama, lebar jalan masuk, kualitas jalan, kualitas bahan bangunan, dan pelanggan listrik.

    Kualitas Permukiman, kepadatan bangunan, pola bangunan, lebar jalan, kualitas jalan, fasilitas hidrant, fasilitas Kantor Pemadam, pelanggan listrik, dan sumber air (depo dan tangki air)

    Hasil Peta kerawanan kebakaran sebagian kecamatan Gondomanan

    Peta bahaya rawan kebakaran permukiman

    Peta tingkat kerawanan kebakaran perukiman

    Peta Kerentanan Kebakaran Permukiman

    Peta Zonasi tingkat Kerawanan kebakaran Permukiman di Kecamatan Balikpapan Selatan

  • 34

    1.8 Kerangka Pemikiran

    Bertambahnya jumlah penduduk di wilayah perkotaan memaksa suatu

    perkotaan membuka lahan baru untuk membentuk suatu lahan permukiman. Semakin

    banyak lahan yang dikonversi yaitu lahan alami berubah menjadi lahan permukiman

    maka akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan permukiman dalam hal

    kerawanan kebakaran permukiman dengan melihat faktor fisik permukiman yaitu

    terjadinya pemadatan permukiman. Selain akan kebutuhan lahan yang semakin

    meningkat yang didasarkan akan meningkatnya jumlah penduduk, faktor lainya yang

    dapat mengakibatkan kerawanan kebakaran permukiman yaitu akibat rendahnya

    tingkat ekonomi masyarakat yang menghasilkan lahan permukiman yang kumuh

    yang digunakan sebagai media tempat tinggal serta sambungan listrik liar tanpa

    memperhatikan resiko yang ditimbulkan akibat sambungan listrik liar. Kondisi inilah

    yang dapat memicu terjadinya kerawanan kebakaran permukiman.

    Kebutuhan akan fasilitas umum, permukiman, sarana dan prasarana yang

    memadai mendorong masyarakat untuk membuka lahan baru yang akan dijadikan

    sebagai suatu kawasan baru ataupun sebagai kawasan penunjang bagi kehidupan

    masyarakat perkotaan. Pemerintah Kota tidak bisa menekan kebutuhan penduduk

    akan fasilitas permukiman, fasilitas umum, serta sarana dan prasarana, hal ini akan

    mendorong terjadinya inflasi di bidang perumahan dan pembangunan gedung yaitu

    dengan membuka permukiman baru, gedung, ruko tanpa seizin pemerintah terkait

    tanpa memperhatikan lingkungan sekitar dan keamanan struktur dan bahan bangunan

    berdirinya suatu kawasan permukiman. Hal inilah yang menjadi dasar permasalahan

    yang diangkat dan dikaji lebih lanjut untuk mengetahui tingkat kerawanan kebakaran

    permukiman di wilayah perkotaan di kecamatan Balikpapan Selatan, Kalimantan

    Timur.

    Analisis kerawanan kebakaran ini didasarkan oleh beberapa variabel yang

    mempengaruhi baik secara langsung ataupun tidak langsung terjadinya peristiwa

    kebakaran. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepadatan

    permukiman, pola permukiman, lebar jalan masuk, kualitas bahan bangunan, kualitas

  • 35

    jalan, fasilitas hidran, fasilitas unit pemadam kebakaran, sumber air, dan pelanggan

    listrik, dalam hal ini, listrik dapat dikatakan berupa segala aspek yang berhubungan

    dengan tenaga listrik, baik dalam hal daya, pelanggan listrik yang berlangganan

    dengan instalasi resmi pemerintah (PLN), maupun yang tidak berlangganan dengan

    instalasi resmi dan jaringan kabel listrik yang langsung dari instalasi terkait ataupun

    membuat jaringan ilegal dengan mengambil aliran listrik di sekitarnya. Sehingga dari

    variabel-variabel yang telah didapatkan dilakukan analisis lebih lanjut mengenai

    tingkat kerawanan kebakaran pada wilayah perkotaan.

    Wilayah yang rawan kebakaran biasanya dicirikan oleh kondisi fisik bangunan

    yang padat, pola bangunan yang tidak teratur, jalan yang kurang representative

    seperti lebar jalan yang tidak dapat dilalui oleh mobil pemadam kebakaran serta

    kualitas jalan yang buruk, kualitas bangunan yang rendah serta minimnya fasilitas

    pemadam kebakaran, maupun jarak kantor pemadam ke tempat kejadian kebakaran

    dan lokasi sumber air yang jauh dari pusat kebakaran. Beberapa variabel ini

    digunakan untuk mengetahui tingkat kerawanan kebakaran di wilayah perkotaan

    dikarenakan berkembangnya suatu perkotaan tidak menutup kemungkinan dapat

    menimbulkan bahaya musibah kebakaran semakin besar, ini dilihat dari peningkatan

    jumlah penduduk, kebutuhan akan lahan permukiman, konversi lahan hijau menjadi

    lahan terbangun, dan pemadatan permukiman sehingga perubahan ini nantinya akan

    dapat menimbulkan kerugian yang besar baik dari segi materi ataupun dari segi fisik.

    Analisis kerawanan kebakaran permukiman dilakukan dengan menggunakan

    pendekatan kuantitatif yaitu menggunakan teknik penginderaan jauh berupa citra

    Quickbird yang dimana citra Quickbird ini digunakan sebagai data dasar untuk

    menurunkan beberapa informasi yang dibutuhkan berdasarkan hasil interpretasi.

    Variabel yang diturunkan berdasarkan hasil interpretasi citra yaitu kepadatan

    permukiman, pola permukiman, kualitas bahan bangunan, dan lebar jalan masuk,

    serta didukung oleh data sekunder yaitu fasilitas hidran, pelanggan listrik, lokasi unit

    pemadam kebakaran, lokasi tendon atau tangki air, dan kualitas jalan. Interpretasi

  • 36

    yang dilakukan didasarkan oleh batasan fisik yaitu administrasi, jalan, dan sungai

    serta membagi interpretasi kedalam satuan pemetaan yaitu blok permukiman.

    Variabel yang telah dihasilkan baik dari interpretasi citra Quickbird ataupun

    dengan memanfaatkan data sekunder dilakukan pembobotan (weighting factor) pada

    tiap variabel, pembobotan ini diberikan berdasarkan tinggi rendahnya pengaruh tiap

    variabel berdasarkan analisis kerawanan kebakaran permukiman. Overlay digunakan

    untuk melakukan penggabungan data atau variabel yang telah dihasilkan untuk

    menghasilkan hasil akhir yaitu peta zonasi tingkat kerawanan kebakaran

    permukiman. Sehingga dari dasar pemikiran inilah maka penulis akan melakukan

    penelitian mengenai kerawanan kebakaran permukiman di daerah perkotaan

    khususnya di Kecamatan Balikpapan Selatan. Berikut akan dijelaskan mengenai alur

    pemikiran dasar penulis mengenai terciptanya penelitian yang dilaksanakan dapat

    dilihat pada gambar 1.2.

  • 37

    Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran

    Kota

    Fasilitas umum lengkap

    Aksesbilitas mudah

    Tersedianya lapangan pekerjaan

    Penyedia lahan

    Tingginya tuntutan lahan tempat tinggal

    mengakibatkan konversi lahan

    Penurunan Kualitas

    lingkungan (Permukiman)

    Penduduk

    Mencari kehidupan layak

    Mengikuti zaman

    Mencari pekerjaan

    Peningkatan jumlah

    penduduk

    Kebutuhan lahan

    semakin meningkat,

    memerlukan lahan

    PJ (Penggunaan Citra

    Quickbird dan Survei

    Lapangan)

    - Kepadatan

    Permukiman

    - Kualitas

    Permukiman

    - Lebar Jalan Masuk

    - Pola Permukiman

    Variabel Pendukung

    - Fasilitas Hidran

    - Lokasi Unit Pemadam

    Kebakaran

    - Lokasi Depo dan Tangki Air

    Variabel yang mempengaruhi

    kerawanan kebakaran

    Pemrosesan dan

    analisis data SIG

    Peta Zonasi Kerawanan Kebakaran

    Kebakaran Permukiman