s1-2013-283901

7
8/19/2019 S1-2013-283901 http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-283901 1/7 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sesuatu yang penting dan hak setiap manusia. Menurut  badan kesehatan dunia WHO, kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasaan sehat, sejahtera dan bahagia (well being ), ada keserasian antara  pikiran, perasaan, perilaku, dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari (http://www.who.int/topics/mental_health/en/). Sejalan dengan perkembangan jaman, masalah kesehatan terus mendapatkan  perhatian. Tidak hanya mengenai kesehatan fisik, kesehatan mental pun kini juga mendapat banyak sorotan. Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI menyebutkan bila  pada tahun 2006 masalah kesehatan jiwa atau mental termasuk masalah kesehatan yang cukup besar dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada di masyarakat sehingga harus mendapat prioritas tinggi dalam upaya mencapai kesehatan masyarakat (Soewadi & Pramono, 2010). Tahun 2007, Riset Kesehatan Dasar Indonesia juga menyebutkan bila prevalensi gangguan mental emosional berupa depresi dan cemas pada masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen. Jika jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut tahun 2010 ada 169 juta jiwa,  jumlah penderita gangguan jiwa 19,6 juta orang. Prevalensi tertinggi ada di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar 20%. Gangguan mental kebanyakan dialami mereka yang

Upload: icha-yuliani

Post on 08-Jul-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: S1-2013-283901

8/19/2019 S1-2013-283901

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-283901 1/7

14

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah 

Kesehatan merupakan sesuatu yang penting dan hak setiap manusia. Menurut

 badan kesehatan dunia WHO, kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera meliputi fisik,

mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Maka secara

analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih

kepada perasaan sehat, sejahtera dan bahagia (well being ), ada keserasian antara

 pikiran, perasaan, perilaku, dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar

kehidupannya serta mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari

(http://www.who.int/topics/mental_health/en/).

Sejalan dengan perkembangan jaman, masalah kesehatan terus mendapatkan

 perhatian. Tidak hanya mengenai kesehatan fisik, kesehatan mental pun kini juga

mendapat banyak sorotan. Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI menyebutkan bila

 pada tahun 2006 masalah kesehatan jiwa atau mental termasuk masalah kesehatan

yang cukup besar dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada di

masyarakat sehingga harus mendapat prioritas tinggi dalam upaya mencapai kesehatan

masyarakat (Soewadi & Pramono, 2010). Tahun 2007, Riset Kesehatan Dasar

Indonesia juga menyebutkan bila prevalensi gangguan mental emosional berupa

depresi dan cemas pada masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen.

Jika jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut tahun 2010 ada 169 juta jiwa,

 jumlah penderita gangguan jiwa 19,6 juta orang. Prevalensi tertinggi ada di Provinsi

Jawa Barat, yaitu sebesar 20%. Gangguan mental kebanyakan dialami mereka yang

Page 2: S1-2013-283901

8/19/2019 S1-2013-283901

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-283901 2/7

15

tidak tamat sekolah dasar (http://helth.kompas.com/read/2012/02/11/07363466/

Gangguan.Jiwa.Masih.Diabaikan).

Selain menjadi permasalahan nasional, gangguan mental juga telah menjadi

 permasalahan global yang dapat ditemukan baik di negara maju maupun negara

 berkembang. Di negara-negara Uni Eropa, sekitar 83 juta orang (27% dari

 penduduknya) memiliki masalah kesehatan mental. Dari 83 juta orang tersebut, 16,7

 juta orang berasal dari Inggris (Prince dkk, Witchen & Jacobi, dalam Cyhlarova dkk,

2010). Survey yang dilakukan oleh Office for National Statistic pada tahun 2000 juga

menemukan bahwa satu dari enam orang dewasa (usia 16-74 tahun), menderita

gangguan mental yang beragam ( National Institute for Health and Clinical Excellence,

2007).

Menurut Warih Andan Puspitosari, dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UMY, kesehatan jiwa yang bermasalah secara sekilas memang tampak

tidak menyebabkan kematian secara langsung, tapi masalah itu dapat mengakibatkan

 penderitaan yang berkepanjangan, baik bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun

negara. Penderitaan berkepanjangan timbul sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk

 produktif dan ketergantungan terhadap orang lain yang dialami oleh penderita

gangguan jiwa atau mental tersebut (Candra, 2010).

Pada tahun 2011, gangguan kesehatan mental menempati peringkat kedua

setelah gangguan kesehatan fisik kardiovasluker yang banyak dialami masyarakat.

Gangguan yang terjadi berupa gangguan ringan seperti depresi hingga gangguan berat

seperti skizofrenia (http://health.kompas.com/read/2011/04/04/06202829/Gangguan.

Jiwa.Posisi.Kedua.Setelah.Penyakit.Kardiovaskular ). Skizofrenia merupakan salah

satu penyakit mental yang parah, yang mempengaruhi sekitar 7 per 1.000 dari populasi

orang dewasa, yang sebagian besar berusia 15 tahun hingga 35 tahun. Tahun 2010,

Page 3: S1-2013-283901

8/19/2019 S1-2013-283901

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-283901 3/7

16

World Health Organization memperkirakan bahwa secara global sekitar 29 juta orang

mengalami skizofrenia (Chan, 2011).

Di Indonesia, dari data survei Kementerian Sosial tahun 2008, terdapat

650.000 orang yang mengalamai gangguan skizofrenia

(http://health.kompas.com/read/2011/06/03/07014272/80.Persen.Penderita.Skizofren. 

Tak.Diobati). Jumlah tersebut terus mengalami jumlah peningkatan dari tahun ke

tahun. Selama tahun 2010-2011, penderita skizofrenia mencapai 1-2% dari total

 populasi penduduk Indonesia (Sidakaton, 2011). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk

Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2010 jumlah penduduk Indonesia

adalah sebanyak 237.556.363 jiwa (http://sp2010.bps.go.id/), dapat diartikan bila

sekitar 1 juta hingga 2 juta orang Indonesia mengalami skizofrenia.

Jika ditilik secara historis, pada abad ke-17 penderita gangguan mental

 biasanya dikurung di rumah sakit baik rumah sakit umum maupun rumah sakit jiwa,

 panti sosial, bahkan penjara. Penderita gangguan mental dianggap sakit secara fisik

akibat perbuatan mereka sendiri, sehingga tidak diberi toleransi dan pantas dihukum.

Pada awal abad ke-18, sudut pandang yang dominan menganggap bahwa orang-orang

yang mengalami gangguan mental sebagai “sub-manusia” yang tidak dapat

disembuhkan, serta membenarkan pembatasan fisik dan kurungan. Namun pada abad

ini pula mulai muncul pandangan humanis dan banyak institusi yang mulai

memperkenalkan program tritmen yang bermoral. Pada tahun 1950-an, rumah sakit

 jiwa didiskreditkan karena alasan kemanusiaan. Hal ini menimbulkan gerakan

 perawatan berbasis komunitas (community care) dan dimulainya proses

deinstitusionalisasi, yakni pengurangan jumlah pasien kronis di rumah sakit jiwa milik

negara, perampingan dan penutupan beberapa rumah sakit, serta mengembangkan

 pelayanan kesehatan mental komunitas (World Health Organization, 2003).

Page 4: S1-2013-283901

8/19/2019 S1-2013-283901

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-283901 4/7

17

Deinstitusionalisasi bukan sekedar pengalihan tugas, akan tetapi juga merupakan

implementasi jaringan alternatif di luar institusi psikiatrik. Sayangnya, bahkan di

negara maju sekalipun, deinstitusionalisasi tidak diikuti dengan perkembangan

 pelayanan komunitas yang memadai (World Health Organization, 2003). Oleh karena

itu, kebanyakan orang dengan skizofrenia sekarang dirawat di masyarakat oleh

keluarga mereka (Saunders, 2003) yang kemudian berperan sebagai caregiver .

Sebagai akibatnya, keluarga memiliki akses terbatas untuk mendukung layanan atau

informasi untuk meringankan beban perawatan (Lefley 1989).

Sejalan dengan peran penting sebagai pendamping serta perawat pasien

skizofrenia, caregiver keluarga tidak luput berbagai konsekuensi negatif dan tuntutan

dari lingkungan berkaitan dengan proses dan kebutuhan perawatan pasien

(Koeswardani, 2011). Hidup bersama kerabat yang mengalami penyakit mental parah

dapat menimbulkan tekanan berat dan juga beban. Sekarang ini, beban selama

melakukan perawatan adalah isu global yang mempengaruhi caregiver keluarga, baik

di negara-negara maju dan juga negara berkembang (Chan, 2011).

Beban umum yang dialami oleh para caregiver  pasien skizofrenia cukup berat.

Skor tertinggi dari beban yang dialami berkaitan dengan menjadi sibuk untuk merawat

anggota keluarganya yang sakit, menjadi sedih dan khawatir, menginvestasikan waktu,

upaya fisik dalam merawat bagi anggota yang sakit mental mereka keluarga dan

 pengeluaran uang selama proses perawatan (Hassan, 2011).

Di Indonesi, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan Koeswardani (2011)

 juga menunjukkan pada umumnya para caregiver  keluarga mengalami berbagai situasi

sulit selama merawat pasien skizofrenia, antara lain yaitu penurunan kondisi finansial,

keluar dari pekerjaan, merasa marah, tidak berdaya, bingung, malu, bosan dan merasa

 bersalah. Selain itu, stigma yang melekat pada penyakit mental, dan keyakinan

Page 5: S1-2013-283901

8/19/2019 S1-2013-283901

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-283901 5/7

18

masyarakat luas bahwa keluarga berkontribusi untuk skizofrenia, menimbulkan suatu

 beban sosial bagi keluarga tersebut (Lefley 1989). Dalam penelitian yang dilakukan

oleh Darwin dkk (2013) terhadap 118 caregiver   di Rumah Sakit Islam Klender

ditemukan bahwa selama melakukan aktivitas merawat, 71,2% caregiver  melaporkan

 bila mereka merasakan distres akibat kegiatan merawat pasien yang melelahkan.

Selain itu 67,8% caregiver juga mengeluhkan bila mereka menerima banyak beban

seperti ekonomi, fisik dan sosial selama melakukan aktivitas merawat pasien di rumah.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Rismarini (2013) terhadap 79 caregiver  pasien

skizofrenia di Yogyakarta juga menemukan bila caregiver  tersebut merasakan adanya

 beban fisik seperti menjadi sering sakit ataupun terluka secara fisik dan beban

 psikologis seperti distres akibat adanya aktivitas caregiving   di dalam rumah.

Sedangkan penelitian yang dilakukan Rahmah (2013) terhadap 80 orang caregiver

 pasien skizofrenia di Yogyakarta, menemukan bila beban ekonomi dilaporkan sebagai

salah satu kesulitan yang dialami oleh para caregiver .

Vitaliano dkk menyatakan berbagai kesulitan seperti tersebut di atas

merupakan  stressor , yang akan menjadi beban caregiver   (cargiver burden) ketika

 bertemu dengan kerentanan yang dimiliki caregiver   (caregiver vulnerability) seperti

sikap menghindari, pengunduran diri, dan menyalahkan diri sendiri (Rismarini, 2013).

Berbagai sikap yang tersebut di atas merupakan wujud reaksi pertahanan (defense

reaction), yaitu usaha mempertahanan atau melindungi diri secara psikologis dari

 berbagai keterbatasan yang dimiliki atau dialami (Schneider, 1964). Karena adanya

 berbagai tekanan tersebut, individu akan melakukan usaha menyelaraskan atau

menyesuaikan diri sebagai usaha aktif mengatasi tekanan tersebut dan mencari jalan

keluar atas berbagai masalah yang dialaminya (Calhoun & Acocella, 1990).

Page 6: S1-2013-283901

8/19/2019 S1-2013-283901

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-283901 6/7

19

Dalam hal proses menyesuaikan diri perlu dipertimbangkan pula kontribusi

karakteristik kepribadian. Menurut Lazarus (1976) kepribadian dan penyesuaian

adalah hal yang tidak terpisahkan dan terikat bersama dalam dua cara. Pada situasi

yang sama dua orang berbeda sering menunjukkan sikap yang berbeda dari proses

 penyesuaian dan kepribadian mengacu pada variasi stabil dalam teknik atau proses

 penyesuaian. Sejalan dengan pendapat Lazarus dalam Aina (2008) menyampaikan

 bahwa kepribadian seseorang berperan menentukan perilaku maupun respon seseorang

yang bersangkutan terhadap lingkungan dan permasalahan yang dihadapinya serta

akan mempengaruhi proses penyesuaian diri.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui sejauh mana hubungan

antara beban yang dialami keluarga dan kepribadian dengan penyesuaian diri yang

dilakukan.

B.  Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut :

1.  Untuk mengetahui beban sosial yang dialami oleh caregiver keluarga pasien

skizofrenia.

2. 

Untuk mengetahui kecenderungan kepribadian pada caregiver keluarga pasien

skizofrenia.

3. 

Untuk mengetahui penyesuaian (adjustment ) pada caregiver keluarga pasien

skizofrenia.

4.  Untuk mengetahui hubungan antara beban sosial yang dialami dan kepribadian

dengan penyesuaian pada caregiver keluarga pasien skizofrenia.

Page 7: S1-2013-283901

8/19/2019 S1-2013-283901

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-283901 7/7

20

C.  Manfaat Penelitian

1.  Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pemahaman dalam

keilmuan psikologi, khususnya psikologi klinis mengenai kajian skizofrenia dan

dampak yang ditimbulkannya terhadap caregiver .

2.  Manfaat praktis

a.  Untuk Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan para

 peneliti, khususnya yang tertarik dengan bidang psikologi klinis, untuk

memahami beban yang ditanggung caregiver keluarga skizofrenia dan

hubungannya dengan penyesuaian diri caregiver , sehingga empati dapat terasah

dan lebih banyak lagi peneliti yang tertarik meneliti permasalahan tersebut.

 b.  Untuk Caregiver  

Caregiver diharapkan semakin sadar akan dinamika yang terjadi terkait peran

mereka sehingga mereka mampu mencari jalan keluar atas permasalahan yang

dihadapi.

c.  Untuk Pemerintah dan Badan-Badan Kesehatan Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu pertimbangan Pemerintah

dalam menetapkan kebijakan terkait masalah-masalah gangguan dan kesehatan

mental sehingga dapat dibuat suatu langkah preventif yang baik bagi

masyarakat.