rumah gizi ‘aisyiyah: komunikasi kesehatan dengan
TRANSCRIPT
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020 ISSN: 2614-7998 (Print), 2614-218X (Online)
RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA-BUDAYA
Tri Hastuti Nur R1, Hajar Nur Setyowati2, Rizanna Rosemary3 1Program Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta
2Pimpinan Pusat Aisyiyah, Yogyakarta 3Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: [email protected]
Diterima: 29 April 2020; Direvisi: 23 Mei 2020; Disetujui: 30 Juni 2020
Abstrak Gizi buruk (malnutrisi) dan pendek badan anak (stunting) masih merupakan permasalahan kesehatan di Indonesia. ‘Aisyiyah sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan melalui program kesehatannya telah mendampingi pemerintah menjalankan program-program guna menurunkan angka malnutrisi dan stunting di Indonesia. Salah satunya adalah melalui program Rumah Gizi di beberapa kabupaten di tanah air. Melalui pendekatan kualitatif, dengan metode wawancara mendalam dan analisa dokumen, studi ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis implementasi program Rumah Gizi ‘Aisyiyah di tiga daerah yaitu Kabupaten Cianjur, Sambas, dan Mamuju. Melalui analisis kritis-budaya, yakni modernitas refleksif dalam pendekatan komunikasi kesehatan, hasil studi ini menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan program kampanye dan advokasi Rumah Gizi untuk menurunkan angka malnutrisi dan stunting di wilayah studi melibatkan pendekatan budaya dan agama yang terintegrasi disamping penguatan dan pemberdayaan perempuan. Kata Kunci: ‘Aisyiyah, Malnutrisi-Stunting, Pemberdayaan Perempuan, Pendekatan Budaya-Agama, Rumah Gizi
Abstract
Malnutrition and stunting remain a health problem in Indonesia. ‘Aisyiyah as one of the civil society organizations through its health program has assisted the government to reduce the number of malnutrition and stunting cases in Indonesia. One of them is through the Rumah Gizi program run in several districts in the country. Through a qualitative approach, in-depth interviews, and document analysis, this study aims to explain and analyse the implementation of the Rumah Gizi in three regions, namely Cianjur, Sambas, and Mamuju districts. Using a cultural approach—reflexive modernity in health communication, the findings of this study indicate that the success of Rumah Gizi campaign and advocacy program to reduce malnutrition and stunting requires an integrated cultural and religious approach as well as strengthening and empowering women. Keywords: ‘Aisyiyah, Cultural-Religious Approach, Malnutrition-Stunting, Rumah Gizi, Women Empowerment
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
142
Pendahuluan
Malnutrisi atau gizi buruk dan stunting atau pendek-badan (kerdil) merupakan
permasalahan kesehatan global. Prevalensi kedua isu kesehatan tersebut masih relatf
tinggi di negara berkembang, seperti Indonesia (Rachmi, Agho, Li, & Baur, 2016;
Torlesse, Cronin, Sebayang, & Nandy, 2016). Perhatian serius terhadap gizi buruk dan
pendek-badan ini ditunjukkan, salah satunya melalui Capaian Pembangunan
Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs adalah komitmen
global dan rencana aksi dunia untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan
mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, memerangi ketimpangan, membangun
masyarakat yang damai, adil dan inklusif, melindungi hak asasi manusia dan mendukung
kesetaraan dan memberdayakan perempuan, memastikan perlindungan bumi dan sumber
daya alam, menciptakan kondisi yang memastikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,
inklusif, serta menciptakan kesejahteraan.
Sebagai kelanjutan dari Capaian Pembangunan Milenium atau Millennium
Development Goals (MDGs), SDGs lebih bersifat komprehensif dengan melibatkan lebih
banyak negara, memperluas sumber pendanaan, menekankan pada hak asasi manusia, dan
perhatian pada isu inklusivitas melibatkan CSO, media, filantropi, bisnis, akademisi, dan
para ahli (Sachs, 2012). SDGs terdiri atas 17 tujuan dan 169 target. Agenda
pengembangan terkait gizi memiliki dua capaian, yakni ‘Tidak Kelaparan’ (Without
Hunger) dan menghapuskan semua bentuk gizi buruk di tahun 2030, termasuk mencapai
target internasional berupa pengurangan stunting pada anak-anak usia dibawah lima
tahun, dan memenuhi kebutuhan nutrisi untuk remaja, wanita, wanita hamil dan
menyusui, serta lansia. Terdapat enam indikator pencapaian kedua target tersebut,
meliputi prevalensi anak stunting di bawah lima tahun; prevalensi pendek-badan pada
anak di bawah dua tahun atau bayi di bawah 2 tahun; gizi buruk anak-anak di bawah usia
5 tahun; prevalensi anemia pada wanita hamil; presentasi bayi berusia kurang dari 6 bulan
yang menerima ASI eksklusif; dan kualitas konsumsi makanan sesuai nilai/skor pola
makanan ideal atau Hope Food Pattern (PPH), yang salah satu indikatornya adalah
tingkat konsumsi ikan (WHO, 2016).
Walau telah merdeka selama 75 tahun, hingga saat ini Indonesia masih
menghadapi permasalahan pelik dalam hal gizi buruk (malnutrisi) dan pendek-badan
(stunting), terutama pada anak-anak. Stunting adalah masalah kronis tumbuh kembang
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
143
anak akibat kurang atau buruknya asupan gizi dalam jangka waktu tertentu. Dampak
bahaya dari malnutrisi dan stunting adalah kematian bayi. Hal ini berkaitan erat dengan
pelanggaran hak-hak anak khususnya kehidupan usia kanak-kanak. Akibat buruk lainnya
adalah pertumbuhan anak yang kurang sempurna baik secara fisik (pertumbuhan tubuh)
dan pertumbuhan otak (kognitif), serta kerentanan anak terhadap penyakit di masa depan.
Pertumbuhan kognitif yang tidak sempurna akan berdampak pada kualitas hidup
seseorang. Fakta ini menunjukkan bahwa hak asasi dasar manusia (khususnya anak-anak)
untuk hidup sejahtera belum terpenuhi dan diabaikan. Padahal, anak-anak adalah generasi
masa depan potensial yang akan melanjutkan dan membangun negara.
Tingkat stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara
lain di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Thailand. Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia 2018, Pemantauan Status Gizi (PSG) menunjukkan bahwa
tingkat stunting di Indonesia adalah 3,5% (status merah) dan kekurangan gizi adalah
11,3% (status kuning). Data ini telah menurun dari 2016 sebesar 27,5%. Namun di tingkat
provinsi, stunting dan kekurangan gizi di beberapa provinsi masih tinggi. Provinsi dengan
gizi buruk di atas 18% adalah provinsi NTT 20,9%, Sulawesi Tengah 19,9%, Sulawesi
Barat 19,9%, Kalimantan Barat 19,4%, Aceh 18,9%, dan NTB 18,3%%; sementara data
stunting (status merah) NTT adalah 7,4%, Papua 6,8%, Papua Barat 6,6, Sulawesi Utara
6,5% dan Kalimantan Barat 6,5% (Riset Kesehatan Dasar, 2018). Fenomena ini sangat
memprihatinkan karena masalah stunting akan mempengaruhi perkembangan generasi
emas di masa depan dan mengabaikan hak-hak dasar warga negara untuk memenuhi
kesejahteraannya.
Problema kesehatan dalam masyarakat semakin tinggi, seperti penyakit menular
dan tidak menular, maka upaya untuk mengkomunikasikan isu-isu kesehatan baik dari
aspek preventif, promotif dan kuratif menjadi sangat krusial. Menurut Fajar Junaedi
(2018), komunikasi kesehatan sifatnya lebih khusus dari komunikasi antar manusia
(human communication) karena berfokus pada isu kesehatan. Komunikasi kesehatan
adalah “komunikasi di ranah kesehatan yang dilakukan untuk mendorong tercapainya
keadaan atau status yang sehat secara utuh, baik fisik, metal, maupun sosial” (Junaedi,
2018, p. 4).
Sebagaimana proses komunikasi secara umum, komunikasi kesehatan
berlangsung dalam berbagai tingkatan, baik secara individu, kelompok, organisasi,
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
144
sosial/masyarakat, dan negara yang dilakukan secara langsung, tatap muka, bermedia
maupun non-media. Promosi kesehatan merupakan ruang lingkup dari komunikasi
kesehatan yang berkaitan dengan proses kampanye isu-isu kesehatan yang bertujuan
mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku publik tentang kesehatan dan
mengurangi risiko kesehatan (Junaedi, 2018, pp. 5-6). Kegiatan komunikasi kesehatan ini
bisa dilakukan dalam bentuk himbauan hingga bentuk kebijakan yang memiliki kekuatan
hukum yang lebih besar.
Kebijakan dan upaya aktual untuk mengentaskan permasalahan malnutrisi dan
stunting telah dilakukan sejak lama. Beberapa kebijakan terkait gizi yang menjadi rujukan
dalam program gizi, termasuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009,
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Gizi
Peningkatan yang berfokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), Peraturan
Pemerintah No. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, dan RPJMN 2015-2019
dengan program untuk mempercepat peningkatan gizi masyarakat melalui peningkatan
akses dan kualitas paket layanan kesehatan dan gizi dengan fokus utama pada 1000 Hari
Hidup (1000 Hari Kehidupan). Kementerian Kesehatan sendiri menjadikan peningkatan
gizi sebagai salah satu dari 4 program prioritas oleh Kementerian Kesehatan.
Program pengembangan gizi menjadi tanggung jawab setiap periode
kepemimpinan. Pada tahun 2013, dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 42/2013 yang
mengatur Gerakan Nasional Percepatan Peningkatan Gizi dan difokuskan pada 1000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK). Program ini merupakan upaya bersama antara pemerintah
dan masyarakat melalui partisipasi yang terencana dan berkoordinasi dengan para
pemangku kepentingan dalam percepatan peningkatan gizi masyarakat di 1000 hari
pertama kehidupan (1000 Hari Kelahiran). Beberapa program pengembangan gizi lainnya
meliputi program pencegahan, seperti pendidikan kesehatan remaja, kursus calon
pengantin, wanita hamil dengan menyusui, ANC terintegrasi, kelas ibu, vitamin taburia,
skrining aktif, promosi garam beryodium, pemberian vitamin FE untuk tablet wanita
hamil, Inisiasi Menyusui Dini, pemberian Kapsul Vitamin A, Menyusui Eksklusif,
konseling menyusui, makanan tambahan untuk suplemen menyusui (MPASI), imunisasi
dan pemantauan pertumbuhan. Program kuratif seperti program amal untuk
meningkatkan gizi (Pemberian Makanan Tambahan/PMT), dan penanganan anak-anak
kurang gizi di bawah 5 tahun.
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
145
Sebagai bentuk komitmen pada prinsip-prinsip SDGs, Indonesia telah menjadikan
pencapaian target SDGs sebagai referensi dan prioritas pembangunan nasional.
Diperlukan sinergi dalam menerapkan kebijakan perencanaan pembangunan di berbagai
tingkatan, dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten, bahkan di tingkat desa. Target SDGs
harus sejalan dengan dokumen perencanaan pembangunan seperti Rencana
Pembangunan Menengah (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Di dalam
RPJMN 2015-2019, masalah pengembangan gizi diatur dalam dua poin penting, yaitu (1)
percepatan peningkatan gizi masyarakat melalui peningkatan akses, dan (2) peningkatan
kualitas paket layanan kesehatan dan gizi dengan fokus utama pada 1000 Hari Hidup.
Merujuk pada data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan 2018, pemerintah
telah mengembangkan program model untuk mengurangi stunting di 1000 kabupaten
seperti Mamuju, Cirebon, Cianjur, Sumedang, Cilacap, Cilebap, Klaten, Kepulauan
Seribu, Pidie, Bangkalan, Jember, Lamongan, Pandeglang, NTT, NTB, Kalimantan
Barat, Papua, Maluku, dan Papua Barat.
Meskipun berbagai kebijakan dan upaya telah dikembangkan oleh pemerintah dan
masyarakat, indikasi permasalahan gizi di Indonesia terjadi karena beberapa faktor.
Antara lain, kemiskinan yang mempengaruhi kerawanan pangan di rumah tangga,
pengasuhan yang tidak optimal, lingkungan yang buruk seperti konsumsi air kotor
(Torlesse et al., 2016), dan kurangnya akses ke layanan kesehatan (Riset Kesehatan
Dasar, 2013, 2018). Faktor-faktor ini menyebabkan kurangnya asupan makanan bergizi
dan kerentanan terhadap penyakit yang berkontribusi pada kekurangan gizi dan
terhambatnya tumbuh-kembang pada anak-anak (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy,
& Neufeld, 2017). Hal ini sangat tergantung pada komitmen dan kinerja pemerintah
daerah melalui alokasi anggaran daerah untuk mencegah bertambahnya angka gizi buruk
dan stunting.
‘Aisyiyah merupakan organisasi massa yang berkomitmen untuk berkontribusi
dalam meningkatkan kesehatan yang berkualitas bagi perempuan dan anak-anak.
‘Aisyiyah telah melakukan berbagai bentuk program pemberdayaan masyarakat guna
menunjukkan komitmen mereka memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat, antara lain
dalam isu imunisasi, tuberkulosis, kesehatan reproduksi termasuk gizi buruk dan stunting.
Program berbasis masyarakat yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah merupakan salah satu faktor
penting dalam upaya perubahan perilaku masyarakat, antara lain melalui
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
146
pengorganisasian, pendidikan, dan advokasi. Program Rumah Gizi atau Nutrition House
yang dikembangkan oleh ‘Aisyiyah adalah program berbasis masyarakat melalui Balai
Sakinah ‘Aisyiyah (BSA). Anggota BSA adalah perempuan usia subur dan kader desa.
Model penguatan masyarakat untuk mengatasi masalah gizi buruk dan stunting ini telah
terlebih dahulu dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa organisasi internasional
seperti Save The Children, Mercy Corps, World Vision Indonesia, CARE Indonesia dan
Layanan Bantuan Katolik (USAID, 2004).
Program Rumah Gizi adalah program nutrisi berbasis keluarga dan masyarakat
untuk anak-anak yang berisiko kekurangan energi protein di negara-negara berkembang.
Rumah Gizi atau Pos Gizi adalah tempat atau rumah yang digunakan untuk melakukan
kegiatan pemulihan dan pendidikan gizi kepada masyarakat. Pendekatan ini dilakukan
dengan mengidentifikasi perilaku positif ibu atau pengasuh yang memiliki anak yang
bergizi baik tetapi dari keluarga kurang mampu. Perilaku positif tersebut diharapkan
dapat mentransmisikan kebiasaan positif ini ke keluarga lain dengan anak gizi kurang
dalam suatu komunitas tertentu. Program ini merupakan sarana untuk mobilisasi
masyarakat yang efektif, yang melibatkan berbagai lapisan sosial di masyarakat untuk
bekerja bersama mengatasi masalah dan menemukan solusi di komunitas mereka sendiri.
Namun, kecenderungan masyarakat bertindak sangat bergantung pada banyak faktor,
antara lain cara menilai apakah ada masalah, kemampuan pribadi untuk menyelesaikan
masalah dengan beberapa operasi, kegiatan penyelesaian masalah yang sesuai dengan
situasi, yaitu bagaimana menyelesaikannya langkah-langkah dan cara untuk menentukan
apakah hasil tertentu memadai (Simmons, 1990).
Sebagai salah satu organisasi perempuan, ‘Aisyiyah meyakini bahwa perempuan
adalah agen yang memiliki peran strategis dalam mengubah masyarakat, termasuk gizi.
Hal ini juga didasarkan pada nilai-nilai Islam progresif yang mendasari munculnya
gerakan ‘Aisyiyah, yaitu ajaran Islam tentang hubungan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Dalam Quran Surat An-Nahl: 97 disebutkan, “Barangsiapa yang berbuat
baik, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan
memberinya kehidupan yang baik dan benar. Kami akan memberi mereka hadiah dengan
hadiah yang lebih baik daripada apa mereka telah melakukan.” Berdasarkan pengalaman
pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan oleh ‘Aisyiyah, kepemimpinan
perempuan adalah faktor kunci untuk mengubah hidup lebih baik dan inisiatif
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
147
keberlanjutan. Oleh karena itu, ‘Aisyiyah mempertimbangkan upaya untuk meningkatkan
kepemimpinan perempuan di tingkat masyarakat. Kader ‘Aisyiyah adalah agen
perubahan di tingkat masyarakat melalui Balai Sakinah '‘Aisyiyah (BSA) menjalin kerja
sama atau kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan di desa dan kecamatan,
seperti pemimpin agama, tokoh masyarakat, bidan, pusat kesehatan, dan lembaga desa
lainnya, dan advokasi di tingkat desa dan penyedia layanan kesehatan.
Dalam menjalankan peran strategis ini, ‘Aisyiyah melakukan pengembangan
kapasitas dalam hal kepemimpinan perempuan, kesadaran akan kesehatan dan gizi di
perspektif perempuan, pemberdayaan masyarakat, dan advokasi. Pengembangan
kapasitas dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan oleh kader, pemimpin
‘Aisyiyah, dan tim pemberdayaan di tingkat kecamatan dan regional. Salah satu
kompetensi yang dibutuhkan kader adalah komunikasi partisipatif dan konseling karena
memerlukan pendekatan persuasif dalam rangka mendorong perubahan perilaku
masyarakat. Dalam kasus isu-isu kesehatan perempuan termasuk stunting pada
perempuan dan anak-anak, kepemimpinan perempuan yang mampu menyuarakan
kepentingan perempuan menjadi signifikan karena dunia sosial dibangun dengan budaya
male dominated sehingga isu-isu kesehatan perempuan menjadi marginal dan tidak
dianggap penting. Perempuan merupakan muted group (kelompok terbungkam); yang
memiliki pengalaman berbeda dengan bahasa yang ada dalam masyarakat apalagi
perempuan dari kelompok marginal. Sistem bahasa yang ada yang didominasi laki-laki
mewakili kepentingan mereka sendiri; tidak mewakili kelompok perempuan. Cheris
Kramarae (1981 dalam West & Turner, 2008) menegaskan bahwa perempuan tidak
sebebas atau mampu sebagaimana laki-laki mengatakan apa yang mereka inginkan karena
kata-kata atau norma untuk penggunaan mereka telah dirumuskan oleh kelompok
dominan, yaitu laki-laki.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Balai ‘Aisyiyah Sakinah (BSA)
melibatkan kelompok 15-20 perempuan dhu'afa mustadh'afin (perempuan di bawah
kemiskinan). BSA adalah tempat kegiatan kelompok untuk pendidikan, pengaduan,
konseling, hingga pemberdayaan ekonomi sesuai dengan kebutuhan anggota kelompok.
Di BSA, ‘Aisyiyah juga mendorong kader dan anggota BSA untuk memiliki kompetensi
berbicara di depan umum dan berkomunikasi secara setara dengan mitra mereka. Model
pemberdayaan ini penting sebagai bagian dari kepemimpinan perempuan yang
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
148
membutuhkan keberanian untuk menyampaikan aspirasi perempuan di depan umum dan
mengkomunikasikan kebutuhan mereka dan anak-anak kepada pasangan mereka.
Rumah Gizi ’Aisyiyah tidak mengacu pada keberadaan bangunan, namun
bertujuan mencapai peningkatan status gizi dan pencegahan stunting serta
mengembangkan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan berbasis masyarakat.
Terdapat enam kegiatan Rumah Gizi, meliputi pendidikan gizi, manajemen taman gizi,
praktik pengolahan makanan lokal yang bergizi, konseling menyusui, konseling gizi dan
pemberian makanan tambahan, dan sanitasi. Pendidikan gizi terkait edukasi tentang 1000
Hari Pertama Kehidupan, menyusui (ASI), MPASI (makanan tambahan selain ASI), gizi
anak-anak di bawah lima tahun, wanita hamil, ibu menyusui, dan remaja. Pendidikan
tidak hanya diberikan kepada perempuan tetapi juga nenek dan suami, karena keduanya
memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dalam keluarga mereka. Sebagai
contoh, nenek memiliki peran strategis dalam mendukung pemberian Air Susu Ibu (ASI)
eksklusif selama enam bulan tanpa minuman dan makanan tambahan. Begitu juga dengan
ayah, karena ibu juga membutuhkan dukungan ayah sehingga produksi ASI cukup dan
berhasil dalam pemberian ASI eksklusif. Dalam konteks masalah gizi, ayah penting
karena sering kali pemberian makanan bergizi menjadi kendala karena perilaku merokok
ayah, yang anggarannya seharusnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
keluarga.
Rumah Gizi menyediakan konseling ASI untuk perempuan yang mengalami
masalah dengan menyusui. Untuk mendukung kegiatan konseling ASI, pelatihan
konseling ASI diadakan untuk kader. Pelatihan konselor ASI ditujukan pada petugas
kesehatan (kader) yang memiliki kedekatan geografis dan sosial budaya dengan
masyarakat yang lebih banyak. Praktik pengolahan makanan ini menggunakan produk
lokal dan dari kebun nutrisi mereka; serta belajar bersama tentang kandungan nutrisi dari
bahan yang tersedia. Konseling nutrisi dilakukan dengan melibatkan petugas kesehatan
setempat dan kader bekerja sama dengan badan amal ‘Aisyiyah-Muhammadiyah seperti
layanan kesehatan (klinik), rumah sakit dan universitas ‘Aisyiyah Muhammadiyah.
Selain konseling, Rumah Gizi juga menyediakan praktik pengolahan makanan
bergizi. Untuk melakukan pendidikan gizi, ‘Aisyiyah juga mengadakan praktik
pengolahan makanan mengingat masyarakat menghadapi tantangan dalam menyediakan
makanan bergizi berkualitas. Hal ini membutuhkan pengetahuan dan keterampilan
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
149
pengolahan makanan yang dapat mempengaruhi kualitas gizi. Praktik pengolahan
makanan ini menggunakan produk lokal dan dari kebun nutrisi mereka; serta belajar
bersama tentang kandungan nutrisi dari bahan yang tersedia. Sedangkan, program sanitasi
tertuang dalam Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai bagian dari program
pencegahan stunting.
Untuk memahami bagaimana program berbasis masyarakat tersebut berjalan
sesuai tujuan—penurunan angka gizi buruk dan stunting, diperlukan pendekatan sosio-
kultural yang kritis yang menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek penelitian,
tapi lebih kepada subjek yang terlibat aktif dalam program dan studi yang dilakukan oleh
‘Aisyiyah. Penelitian ini bertujuan mengkaji implementasi Rumah Gizi yang telah
dilakukan ‘Aisyiyah dalam upaya mengurangi angka gizi buruk dan stunting di beberapa
provinsi di Indonesia.
Untuk mendapatkan pemahaman langsung akan masalah yang dihadapi
masyarakat, diperlukan upaya komprehensif yang tidak memisahkan subjek dan objek
penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dalam
memaknai kehidupan sosial (Salim, 2002). Penelitian ini berusaha memahami secara
intrinsik tentang fenomena, keteraturan dan kekhususan kasus yang diteliti (Salim, 2002).
Merujuk pada pendekatan yang telah dikembangkan oleh Mohan Dutta dan Rebecca de
Souza (2008), diperlukan pendekatan yang bersifat 'modernitas refleksif' (reflexive
modernity) dalam menerapkan komunikasi kesehatan dan pengembangan kampanye.
Konsep modernitas refleksif ini menekankan perlunya penelitian yang berpusat pada
budaya partisipatif dengan mengkaji praktik-praktik sosial dari isu yang bersifat multi-
dimensi, seperti dalam isu gizi buruk dan stunting dalam masyarakat (Dutta & de Souza,
2008).
Dutta (2008) menyebutkan bahwa kecenderungan penerapan komunikasi
kesehatan adalah hanya upaya mencapai target perubahan perilaku individu atau
masyarakat yang umumnya melalui penerapan model yang bersifat biomedis atau klinis,
yang diterapkan melalui kebijakan dari pemerintah ke masyarakat (top-down approach).
Di saat bersamaan berpotensi mencederai suara dan partisipasi masyarakat serta
mengabaikan kepekaan budaya yang mendasari mengapa dan bagaimana mereka
berperilaku (Dutta-Bergman & Dutta, 2005; Dutta & de Souza, 2008). Selain itu, Dutta
(2008) menjelaskan bahwa “pendekatan studi budaya menekankan sifat interaksi budaya
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
150
dan proses komunikasi kesehatan serta mengkaji budaya dalam struktur kekuasaan.”
Mereka selanjutnya berpendapat bahwa studi budaya dan paradigma interpretif dalam
komunikasi kesehatan berfokus pada bagaimana makna kesehatan diciptakan dalam
konteks lokal (Dutta & de Souza, 2008). Mohan Dutta juga menyebutkan bahwa
komunikasi kesehatan melibatkan negosiasi makna bersama yang tertanam dalam
identitas, hubungan, norma sosial, dan struktur yang dibangun secara sosial (Dutta-
Bergman & Dutta, 2005; Dutta & Zapata, 2018; Edwards & Kreshel, 2008).
Salah satu studi terdahulu dengan pendekatan perspektif budaya adalah studi
kasus program pencegahan HIV pada perempuan Afrika-Amerika yang dilakukan
Wingwood dan DiClemente (2009). Dengan melihat relasi kekuasaan dan gender, studi
ini mengevaluasi program pencegahan HIV, yang disebut 'Cinta SISTA—tangguh, aman,
dan selamat.’ Ketiga konsep tersebut mewakili kebanggaan budaya perempuan Afrika-
Amerika serta kesadaran mereka akan seks yang aman, serta pengalaman mereka
bertahan hidup dalam menghadapi kesulitan sebagai penderita HIV. Evaluasi program
tersebut menunjukkan kegagalan, karena abai melihat pengaruh struktur sosial terhadap
kesehatan perempuan yang terjadi dalam komunitas tersebut. Terdapat beberapa perilaku
atau praktik sosial, seperti stigma sosial terhadap perempuan yang masih berjalan dan
sulit dirubah (DiClemente, Crosby, & Kegler, 2009). Namun, studi tersebut menjadi
acuan untuk intervensi pencegahan HIV selanjutnya di lingkungan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, studi empiris yang menerapkan pendekatan budaya
dalam komunikasi kesehatan adalah penelitian oleh Pitaloka (2018) yang mengeksplorasi
penggunaan telepon genggam (ponsel) pada perempuan di lingkungan pedesaan di Jawa.
Studi ini melihat bagaimana pesan teks telah dimanfaatkan untuk menfasilitasi bantuan
penyuluhan kesehatan dan pertukaran pengetahuan tentang diabetes. Minim dan
mahalnya akses teknologi telah menyebabkan masyarakat miskin di daerah perkotaan dan
pedesaan mengalami kesulitan dalam mengakses informasi terkait kesehatan (Pitaloka,
2018). Studi ini membantu memahami bagaimana memahami kesehatan sebagai nilai dan
praktik bersama dari sudut pandang perempuan adalah penting dalam membangun
promosi kesehatan yang bermakna.
Merujuk pada hasil studi di atas, penelitian ini bertujuan untuk memahami
bagaimana masyarakat merasakan manfaat dari program Rumah Gizi yang dilakukan
‘Aisyiyah. Sebagaimana penelitian terdahulu, studi ini juga akan menggunakan
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
151
pendekatan sosio-kultural (sosial-budaya) yang bersifat kritis khususnya terhadap
pendekatan modern atau pendekatan ‘westernisasi’ yang umumnya diterapkan dalam
pendekatan komunikasi kesehatan di Indonesia, yakni top-down approach yang
terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan atau konteks nilai-nilai lokal yang diyakini
masyarakat setempat.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif-interpretatif (Neuman & Neuman, 2006).
Terdapat tiga kabupaten yang menjadi kajian penelitian ini, yakni Kabupaten Cianjur,
Sambas dan Mamuju. Alasan pemilihan ketiga lokasi tersebut karena kabupaten Cianjur
dan Mamuju merupakan kabupaten prioritas intervensi penurunan stunting yang
ditetapkan oleh pemerintah. Kabupaten Cianjur memiliki prevalensi stunting sebesar
41,76 tertinggi kedua di Jawa Barat; sementara Mamuju prevalensi stunting sebesar 47,26
(Kemenkes, 2010). Adapun kabupaten Sambas merupakan salah satu kabupaten yang
masih memiliki kasus stunting sebesar 34%; sedangkan standard WHO angka stunting
maksimal 20%. Alasan berikutnya adalah ketiga daerah tersebut mendapat intervensi
program Rumah Gizi dengan capaian edukasi dan advokasi dengan pemerintah yang
hasilnya cukup baik.
Guna memahami secara spesifik studi kasus di ketiga daerah pilihan studi, metode
pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada total 18 informan
yang meliputi, koordinator program (1 orang ), staf program (4 orang ), pimpinan
organisasi di ‘Aisyiyah di tingkat nasional, wilayah, dan daerah (3 orang), tokoh agama
dan tokoh masyarakat (4 orang), kader, dan perempuan anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah
di tingkat komunitas (6 orang). Pemilihan informan penelitian dilakukan dengan teknik
purposive sampling yaitu memilih dengan kriteria tertentu.
Dalam penelitian ini para informan yang dipilih yaitu orang-orang (pihak-pihak)
dengan kriteria, yaitu pimpinan organisasi ‘Aisyiyah di tingkat nasional yang mendesain
konsep Rumah Gizi; pimpinan organisasi ‘Aisyiyah maupun tim program di tingkat
provinsi dan kabupaten yang memahami konsep Rumah Gizi, menggerakkan
pengembangan Rumah Gizi, dan melakukan pendampingan maupun asistensi pada kader
di komunitas; kader di komunitas yang menggerakkan program Rumah Gizi; tokoh
masyarakat maupun tokoh agama yang memberikan dukungan dan terlibat secara aktif
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
152
dalam program Rumah Gizi; dan anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah yang mendapatkan
manfaat dari program Rumah Gizi.
Hasil dan Pembahasan
Ketidakadilan Gender dalam Keluarga: Penghambat Penurunan Stunting
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dan pengalaman ‘Aisyiyah dalam
memberikan dukungan kesehatan dan gizi melalui Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA) di
masyarakat, ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi permasalahan gizi buruk
dalam rumah tangga, yaitu beban ganda (double burden) yang dihadapi perempuan
(khususnya ibu) dalam perawatan dan pengelolaan rumah tangga. Beban ganda
perempuan disebabkan oleh kurangnya pembagian peran dan tanggung jawab di wilayah
domestik, terutama peran suami dalam membantu istri mengurus rumah tangga.
Di ketiga kabupaten daerah penelitian, peran-peran domestik seperti memasak,
mencuci, membersihkan rumah dan mengasuh anak-anak balita merupakan peran-peran
yang dijalankan ibu meskipun mereka dalam kondisi hamil maupun menyusui. Budaya
terkait dengan pembagian kerja domestik menjadi mitos yang dianggap sebagai sebuah
konsep yang benar; diyakini oleh hampir semua masyarakat baik perempuan maupun
laki-laki. Arief Budiman dalam bukunya ‘Pembagian Kerja Secara Seksual’ menjelaskan
dalam banyak masyarakat dianut sebuah keyakinan bahwa perempuan yang hidup
mengabdi di dalam rumah tangga dan lelaki mencari nafkah (Budiman, 1982, p. 2).
Pembagian ini dianggap rigid/kaku; dan ketika perempuan berada di sektor publik
dan menjalankan peran reproduksi maka kerja-kerja domestik tetap menjadi tanggung
jawab perempuan. Sebagian perempuan tidak menyadari ketertindasan ini bahkan
menikmati dan justru melanggengkannya. Perdebatan tentang perbedaan peran antara
lelaki dan perempuan pada dasarnya selalu berputar dalam dua arus teori besar,
yakni nature atau alam dan nurture atau kebudayaan. Berdasarkan wawancara dengan
perempuan, ibu-ibu di desa Tadui dan Bambu, kabupaten Mamuju sebagai berikut:
“Iya biasa bu, ibu-ibu di sini, pagi beres-beres rumah, masak mencuci, terus ke kebun.
Pulang dari kebun bantu-bantu suami, ya masak lagi untuk makan malam semua
keluarga. Kalau bapak-bapak ya jarang bantu-bantu di dapur, tidak biasa. Ya ibu-ibu
yang mengurus rumah tangga.” (Nina, wawancara, Maret 2019)
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
153
Ketidaksetaraan gender dalam keluarga ini dipengaruhi oleh budaya patriarki,
khususnya anggapan bahwa pemenuhan kebutuhan gizi keluarga dan pengelolaan rumah
tangga hanyalah menjadi kewajiban dan tanggung jawab perempuan. Akibatnya,
perempuan mengalami kesulitan memberikan nutrisi seimbang untuk anak-anak mereka,
khususnya dalam keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas (miskin). Di satu sisi mereka
harus menjaga dan merawat anak-anak, di sisi lain mereka harus mengurus pekerjaan
domestik rumah tangga termasuk melayani kebutuhan suami.
Selain itu, hubungan dan peran serta yang tidak setara antara suami dan istri
menyebabkan perempuan tidak memiliki kekuatan tawar-menawar dalam
mengkomunikasikan kebutuhan gizi bagi anak-anak sementara uang yang tidak sedikit
digunakan untuk membelanjakan rokok untuk suami. Perempuan juga mengalami
kesulitan berkomunikasi dengan suami mereka dalam berbagi peran perawatan dan
manajemen rumah tangga. Salah satu yang disampaikan Nartya terkait dengan kebiasaan
merokok suami yang menggambarkan relasi tidak setara antara suami istri sebagai
berikut:
“Hehehe kalau tentang merokok ya, bagaimana ya bu, memang suami merokok sehari 1
bungkus kadang lebih. Tapi ya gimana ya bu, kan uang mereka sendiri yang cari sendiri,
dan saya kenal suami saya juga sudah merokok. Masak saya mau sampaikan untuk tidak
merokok untuk beli susu atau lauk pauk.” (Nartya, wawancara, Maret 2019)
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa tidak mudah bagi perempuan untuk
menyampaikan pada laki-laki sekalipun itu suami dan pesan yang disampaikan bukan
semata-mata kepentingan dirinya. Namun relasi kuasa yang tidak setara menyebabkan
perempuan tidak berani menyampaikan. Inilah yang disebut beda pengalaman dan
bahasa. Bahasa perempuan adalah kebutuhan keluarga dan domestik, sementara laki-laki
bahasanya adalah publik termasuk kebutuhan untuk merokok sebagai bagian dari status
sosial. Fenomena tersebut sejalan dengan pemikiran pada muted group theory yang
dikemukakan oleh Shirley Ardener asumsi-asumsi atas teori tersebut bahwa (1)
Perempuan melihat dunia secara berbeda dibandingkan dengan laki-laki karena
pengalaman berbeda antara perempuan dan laki-laki serta kegiatan berakar pada
pembagian kerja dan kedua bahwa sistem persepsi laki-laki dominan, menghambat
ekspresi secara bebas dari model-model alternatif perempuan di dunia karena dominasi
politis mereka (West & Turner, 2008).
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
154
Selanjutnya terkait dengan relasi antara faktor budaya memiliki pengaruh penting
terhadap permasalahan gizi. Sebagai contoh, di kabupaten Mamuju berlaku budaya yang
tidak mengizinkan wanita hamil dan ibu menyusui untuk mengonsumsi telur dan ikan
karena kekhawatiran bahwa anak-anak akan mengalami gatal-gatal karena makan ikan
bersisik. Padahal telur merupakan sumber protein hewani dan sumber nutrisi penting
untuk perkembangan anak dan dapat mencegah stunting. Selain itu, masih ada budaya
masyarakat yang mempercayakan perawatan penyakit pada bayi kepada tabib tradisional,
seperti demam, batuk-pilek pada tabib tradisional dibandingkan dengan petugas
kesehatan. Senada dengan temuan-temuan di atas, Lisya salah satu kader ‘Asyiyah dari
kabupaten Sambas menyebutkan bahwa banyak mitos-mitos yang berkembang dan
diyakini masyarakat secara turun temurun sampai hari ini yang berupa larangan-larangan
makanan bagi ibu hamil, ibu menyusui dan balita.
“Di kabupaten Sambas bu, terdapat banyak mitos yang di masyarakat misalnya ibu hamil
tidak boleh makan ikan pari dan jantung pisang karena menyebabkan ari-arinya bisa
berlapis dan tebal, trus setelah melahirkan dilarang makan buah nanas. Trus untuk ibu
yang menyusui tidak boleh makan daun katuk karena dapat menyebabkan sakit perut
atau meroyan dalam bahasa Sambas; sedangkan kalau makan makanan dari laut karena
menyebabkan pusar anak menjadi gatal.” (Lisya, wawancara, Januari 2019)
Selain di kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, di Jawa, misalnya di kabupaten
Cianjur, juga banyak berkembang mitos-mitos yang masih ditaati oleh banyak perempuan
yang sedang menjalankan peran-peran reproduksi; seperti dijelaskan oleh teteh Febri,
bidan dari Cianjur, sebagai berikut:
“Saya amati dan dengar dari ibu-ibu di desa-desa seperti Ciwalen, Mekarwangi,
Sukaluyu, Penyusuhan, Talagasari, Ciranjang, dan Ciendeur, banyak pantangan dan
tantangan yang tidak boleh dilakukan ibu-ibu terutama saat hamil, melahirkan dan
menyusui. Ibu hamil tidak boleh periksa kuatir banyak yang mengetahui kemudian
menyebabkan keguguran, tidak boleh mengikat-ikat apapun kuati nanti persalinannya
sulit. Sementara kalau habis melahirkan tidak boleh makan daging kuatir luka
melahirkan tidak sembuh-sembuh. Ibu yang habis melahirkan harus menduduki batu
panas, agar lukanya segera mongering.” (Febriyanti, wawancara, Januari 2019)
Namun di sisi lain, budaya lokal juga memiliki potensi positif yang membantu
pengembangan gizi dan tumbuh-kembang anak. Misalnya, tanaman lokal (daun kelor)
diyakini memiliki nilai gizi tinggi dan dapat meningkatkan produksi ASI.
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
155
Peran Pemuka Agama dan Masyarakat
Faktor agama juga memiliki pengaruh pada permasalahan gizi di ketiga wilayah
penelitian. Misalnya, saran para ulama dan pemangku adat untuk memberikan kurma atau
dikenal sebagai tahnik atau madu untuk bayi. Padahal pemberian ASI eksklusif
(menyusui selama enam bulan pertama) telah terbukti memberikan nutrisi yang cukup
untuk bayi di 1000 hari kehidupannya. Tetapi di sisi lain, banyak ajaran agama
mendukung nutrisi terbaik untuk bayi, seperti pemberian ASI selama dua tahun dan ajaran
tentang makanan halal dan thayyib.
Namun, sayangnya ketidaksetaraan antara peran gender dalam keluarga serta
faktor agama yang mendukung kesetaraan peran suami-istri dalam perawatan anak sangat
jarang disebutkan dalam analisa kajian-kajian sosial, khususnya yang berkaitan dengan
masalah gizi. Dampak strategi dan program manajemen gizi jarang menggunakan
pendekatan keluarga dan pendekatan budaya dan agama yang memiliki peran penting
dalam perilaku masyarakat di Indonesia.
Agama dan budaya adalah faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi
perilaku kesehatan seseorang, baik bagi yang ingin atau yang tidak ingin mengubah
perilakunya. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh (Yildiz S, Toruner EK, & N,
2018), pengaruh budaya yang berbeda memiliki dampak pada kesehatan anak. Hal ini
menegaskan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh faktor budaya yang dinamis, yang sama
pentingnya dengan faktor biologis dan lingkungan.
Perilaku kesehatan adalah hasil dari kepercayaan tentang kesehatan yang berasal
dari budaya di mana individu berasal. Praktik budaya keluarga terkait erat dengan praktik
budaya anggota keluarga lainnya. Studi ini menjelaskan bahwa anak-anak belajar tentang
kepercayaan, nilai, keterampilan, dan pengetahuan dari keluarga dan budaya mereka.
Latar belakang budaya memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan
sosial dan emosional anak-anak. Tradisi, nilai-nilai budaya, sikap dan perilaku dalam
masyarakat dan struktur keluarga akan disosialisasikan dari generasi ke generasi.
Budaya ini berkaitan erat dengan bagaimana mereka memandang konsep rasa
sakit, konsep kesehatan, konsep makanan sehat dan konsep perilaku sehat dan bersih.
Praktik kesehatan biasanya merupakan hasil dari kepercayaan kesehatan yang timbul dari
budaya individu. Dalam banyak budaya, individu menggunakan praktik perawatan
kesehatan tradisional sebelum praktik perawatan profesional. Seperti halnya masalah
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
156
perilaku yang terkait dengan stunting atau pendek-badan, dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti kepercayaan, nilai-nilai, kemampuan, pengetahuan dan keterampilan dan budaya
individu atau keluarga mereka. Bagan di bawah ini menggambarkan bagaimana faktor
dan interpretasi budaya agama mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat termasuk
dalam masalah gizi buruk dan stunting.
Gambar 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Masyarakat
Terkait dengan praktik kesehatan, interpretasi atau kepercayaan agama adalah
salah satu rujukan penting untuk membimbing individu atau masyarakat. Agama adalah
konsep yang dapat mempengaruhi filosofi hidup individu dan masyarakat, konsepsi
kesehatan dan penyakit, jenis makanan yang dikonsumsi, ritual kelahiran dan kematian,
dan praktik perawatan kesehatan. Masyarakat diketahui menggunakan berbagai praktik
keagamaan dalam pencegahan dan perawatan isu kesehatan. Menurut Yildiz dkk, budaya
memiliki dampak yang signifikan dalam pembentukan keragaman yang begitu besar
(Yildiz S et al., 2018, pp. 6-10). Sebagai contoh, dalam beberapa agama seperti
Budhisme, Kristen, Hindu, Islamisme, dan Yehuwa, mereka memiliki banyak aturan
pembatasan makanan.
Terdapat banyak faktor yang mendukung dialog agar dapat berdampak pada
perubahan perilaku, yakni pendapat pemimpin, organisasi masyarakat sipil, inovasi,
kebijakan, dan teknologi komunikasi yang mengangkat isu kesehatan ini di media
(Figueroa, Kincaid, Rani, & Lewis, 2002). ‘Aisyiyah bekerja sama dengan para pemimpin
agama setempat, baik pria maupun wanita, dalam mengkomunikasikan dan
mensosialisasikan isu kesehatan, seperti gizi dalam perspektif Islam progresif. ‘Aisyiyah
berkolaborasi dengan pemimpin agama perempuan mengingat mereka memiliki
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
157
kedekatan dan kepedulian terhadap masalah ini. Sebagai contoh, di kecamatan Jeruk Legi,
kabupaten Cilacap, seorang pemimpin Muhammadiyah bernama Darno adalah muballigh
(pemimpin agama) di lingkungan setempat yang sering menyampaikan tema kesehatan
reproduksi dan gizi. Menurut Darno, tema-tema ini adalah tema-tema penting untuk
disampaikan dalam pertemuan keagamaan sebagai kebutuhan dasar manusia. Darno
menambahkan: “ajaran Islam juga membahas tema nutrisi dan perlu disampaikan kepada
masyarakat luas, guna meningkatkan motivasi warga untuk mempraktikkan hidup sehat.”
Metode komunikasi dalam menyampaikan isu gizi dan stunting yang dilakukan
oleh pemuka agama beragam, antara lain melalui aplikasi pesan WhatsApp. Selain itu,
referensi banyak digunakan oleh para pemimpin agama untuk menambah pengetahuan
dan wawasan akan isu gizi dan stunting, pemuka agama merujuk pada majalah ‘Aisyiyah
yang diterbitkan oleh organisasi, seperti Suara Muhammadiyah, Suara ‘Aisyiyah, bulletin
dan buku-buku yang diterbitkan oleh Muhammadiyah-’Aisyiyah. Di samping majalah,
buku masih menjadi pilihan para pemimpin agama yang membantu ketika menyampaikan
materi bacaan. Berikut contoh buletin Sakinah yang didistribusikan kepada para tokoh
agama untuk menjadi bahan edukasi dan sosialisasi di komunitas:
Gambar 2. Buletin Sakinah tentang Pencegahan Stunting
dalam Perspektif Islam Berkemajuan.
Guna memperluas jangkauan informasi tentang gizi dalam perspektif progresif
Islam, tema gizi dan stunting dimasukkan ke dalam materi dakwah ‘Aisyiyah melalui
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
158
media sosial, baik dalam bentuk info grafik, videografi, vlog, dan tilawah langsung;
dengan beberapa contoh sebagai berikut:
Gambar 3. Infografis tentang Risiko Pemberian MP ASI Dini untuk Pencegahan
Stunting (Sumber: Akun Instagram Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah)
Pemberdayaan Perempuan dalam Kebijakan Pembangunan Desa
Pelibatan para tokoh masyarakat, seperti pemuka adat dan agama mendorong
pembentukan kebijakan pembangunan desa yang memiliki visi berkeadilan gender dan
inklusi sosial. Selain sebagai penerima manfaat, keberadaan kelompok perempuan juga
merupakan salah satu kekuatan sumber daya manusia di desa. Dengan demikian, sangat
penting bagi pemerintah desa untuk melibatkan kelompok-kelompok perempuan di setiap
tahap pembangunan desa karena perencanaan pembangunan akan memiliki dampak nyata
pada kehidupan perempuan yang memainkan peran penting dalam pengelolaan
kehidupan keluarga termasuk gizi.
Peraturan atau kebijakan desa tentang kesehatan reproduksi dan gizi penting
karena peraturan desa dapat menjadi referensi hukum agar desa memprioritaskan program
kesehatan reproduksi dan gizi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes). Sehingga program-program penurunan angka gizi buruk dan stunting
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
159
melalui Rumah Gizi dapat terus diwujudkan dengan alokasi anggaran di RPJMDes dan
RKPDes yang disiapkan oleh pemerintah desa setiap tahun.
Penguatan kepemimpinan perempuan dan memberdayakan masyarakat dalam
meningkatkan status kesehatan atau gizi masyarakat adalah hal yang signifikan. Kader
perempuan dan kelompok perempuan perlu menjadi perwakilan dalam berbagai
pertemuan desa. Berdasarkan data ‘Aisyiyah bahwa perwakilan perempuan dari lembaga
di desa dan forum musyawarah desa lebih sering diwakili oleh PKK (kelompok
perempuan yang dibuat oleh pemerintah) yang dipandang sebagai organisasi perempuan
formal di desa.
Penutup
Penelitian ini menunjukkan bahwa pencegahan dan pengurangan program
stunting dan gizi buruk dilakukan oleh ‘Aisyiyah melalui Rumah Gizi dapat diterima baik
oleh masyarakat. Terdapat dua alasan (a) karena pendekatan top-down yang selama ini
dilakukan pemerintah dirasakan bersifat tidak partisipatif serta tidak berdampak pada
perubahan perilaku yang diharapkan baik di tingkat individu dan tingkat masyarakat
dengan baik; (b) karena pelibatan langsung perempuan dalam menjalankan program-
program Rumah Gizi adalah sesuai dengan kebutuhan mereka, di mana mereka
mendapatkan pembelajaran dan dapat menemukan solusi konkret dalam mengatasi
permasalahan isu kesehatan yang dihadapi.
Pendekatan budaya dan agama adalah faktor yang signifikan dalam mendorong
perubahan perilaku dalam masyarakat terkait dengan gizi. Beban ganda perempuan dalam
rumah tangga ditemukan berpengaruh terhadap status gizi anggota keluarga, khususnya
anak-anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran pemuka agama dan pemuka
masyarakat adalah penting dalam membantu mensosialisasikan isu gizi buruk dan
stunting melalui perspektif agama kepada masyarakat. Termasuk mengkomunikasikan
isu kesetaraan gender yang tertuang dalam ajaran agama Islam. Selain peran eksternal
tokoh-tokoh masyarakat tersebut, perempuan perlu terus diberdayakan melalui Rumah
Gizi untuk meningkatkan status gizi baik anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
Berdasarkan temuan penelitian ini, maka saran atau rekomendasi yang perlu
disampaikan antara lain, pertama, dalam melaksanakan program penurunan stunting
hendaknya berbasis komunitas dan bersifat partisipatif sesuai dengan karakter masyarakat
Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary
160
Indonesia yang bersifat komunal. Kedua, pentingnya pelibatan tokoh agama dan
masyarakat sebagai agen yang berpengaruh dalam mendorong perubahan perilaku, karena
tokoh agama dan masyarakat menjadi rujukan nilai yang mendasari perubahan
pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Ketiga, program peningkatan gizi keluarga
dan penurunan stunting hendaknya menggunakan perspektif gender karena salah satu
akar masalah tingginya prevalensi stunting adalah faktor budaya patriarki yang
mengakibatkan ketidakadilan gender, sehingga laki-laki tidak terlibat dalam upaya
penurunan stunting serta minimnya alokasi anggaran pembangunan bagi program
penurunan stunting.
Daftar Pustaka
Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. M. (2017). A review
of child stunting determinants in Indonesia. Maternal and Child Nutrition,
14:e12617. doi:10.1111/mcn.12617
Budiman, A. (1982). Pembagian kerja secara seksual: Sebuah pembahasan sosiologis
tentang peran wanita di dalam masyarakat: Penerbit PT Gramedia.
DiClemente, R. J., Crosby, R. A., & Kegler, M. C. (2009). Emerging theories in health
promotion practice and research: John Wiley & Sons.
Dutta-Bergman, & Dutta, M. J. (2005). Theory and practice in health communication
campaigns: A critical interrogation. Health communication, 18(2), 103-122.
doi:10.1207/s15327027hc1802_1
Dutta, M. J., & de Souza, R. (2008). The past, present, and future of health development
campaigns: Reflexivity and the critical-cultural approach. Health
Communication, 23(4), 326-339. doi:10.1080/10410230802229704
Dutta, M. J., & Zapata, D. B. (2018). Communicating for social change: meaning, power,
and resistance. Singapore: Palgrave MacMillan.
Edwards, H. H., & Kreshel, P. J. (2008). An audience interpretation of corporate
communication in a cause-related corporate outreach event: The avon breast
cancer 3-day walk. Journalism & Communication Monographs, 10(2), 175-244.
doi:10.1177/152263790801000203
Figueroa, M. E., Kincaid, D. L., Rani, M., & Lewis, G. (2002). Communication for social
change: An integrated model for measuring the process and its outcomes
Communication for social change: an integrated model for measuring the process
and its outcomes.
Junaedi, F. (2018). Komunikasi Kesehatan: Prenada Media.
Kemenkes, R. (2010). Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM).
Neuman, W. L., & Neuman, L. W. (2006). Workbook for Neumann Social research
methods: qualitative and quantitative approaches: Allyn & Bacon.
Pitaloka, D. (2018). The Use of Mobile Phones in Rural Javanese Villages: Knowledge
Production and Information Exchange Among Poor Women with Diabetes. In E.
Baulch, J. Watkins, & A. Tariq (Eds.), mHealth Innovation in Asia: Grassroots
Challenges and Practical Interventions (pp. 49-67). Dordrecht: Springer
Netherlands.
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161
161
Rachmi, C. N., Agho, K. E., Li, M., & Baur, L. A. (2016). Stunting, Underweight and
Overweight in Children Aged 2.0–4.9 Years in Indonesia: Prevalence Trends and
Associated Risk Factors. PLOS ONE, 11(5), e0154756.
doi:10.1371/journal.pone.0154756
Riset Kesehatan Dasar. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta Indonesia:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta Indonesia:
Balitbangkes.
Sachs, J. D. (2012). From millennium development goals to sustainable development
goals. The Lancet, 379(9832), 2206-2211.
Salim, A. (2002). Perubahan sosial: sketsa teori dan refleksi metodologi kasus Indonesia:
Tiara Wacana Yogya.
Simmons, R. E. (1990). Communication campaign management: A systems approach:
Addison-Wesley Longman Limited.
Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., & Nandy, R. (2016). Determinants of
stunting in Indonesian children: evidence from a cross-sectional survey indicate a
prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction.
BMC Public Health, 16(1), 669. doi:10.1186/s12889-016-3339-8
USAID. (2004). Positive Deviance and Health: Suatu Pendekatan Perubahan Perilaku
dan Pos Gizi. Retrieved from
West, R., & Turner, L. H. (2008). Pengantar teori komunikasi: analisis dan aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
WHO. (2016). Address double burden of malnutrition: WHO. Retrieved from
https://www.who.int/southeastasia/news/detail/07-09-2016-address-double-
burden-of-malnutrition-who
Yildiz S, Toruner EK, & N, A. (2018). Effects of Different Cultures on Child Health.
Journal Nursing Research Practice, 2(2), 6-10.