riset hak masyarakat adat kasus kasepuhan - naskah final

192
Hak Masyarakat Adat: Ketegangan Antara Kewajiban Negara dan Realitas Kebutuhan Studi Kasus Kasepuhan Sirnaresmi dan Citorek Oleh: Tim Riset Pusaka Bekerja sama dengan dan Atas dukungan: RESPECT

Upload: emil-kleden

Post on 21-Jun-2015

917 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Hak Masyarakat Adat:

Ketegangan Antara Kewajiban Negara

dan

Realitas Kebutuhan

Studi Kasus

Kasepuhan Sirnaresmi dan Citorek

Oleh:

Tim Riset Pusaka

Bekerja sama dengan

dan

Atas dukungan:

RESPECT

Page 2: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Daftar Isi hal. 2

Kata Pengantar

Bagian I. Pendahuluan hal. 3

Bagian II. Metodologi dan Penelitian hal. 14

Bagian III. Temuan Penelitian dan Analisis hal 24

Bagian IV. Kesimpulan dan Rekomendasi hal. 116

Catatan: wewengkon berasal dari kata wengku, struktur lengkung dari bambu atau kayu pada tepi anyaman atau jalinan yang dibuat untuk menangkap ikan atau menyerok sampak dan lain-lain.

2

Page 3: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

BAGIAN PERTAMAPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Pembangunan dan Minoritas

Persoalan pemberdayaan masyarakat telah menjadi tantangan utama bagi berbagai pihak

dalam beberapa dekade belakangan. Lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga

pembangunan nasional dan internasional, lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian,

dan lembaga-lembaga keuangan telah memberikan perhatian serius dalam isu ini, baik

yang berkarakter pro-developmentalism maupun counter-developmentalism. Salah satu

isu yang terkait erat dengan persoalan pemberdayaan masyarakat adalah masalah

minoritas dan keterpinggiran atau peminggiran (minority dan marginalization).

Kelompok-kelompok minoritas menjadi pusat perhatian dalam kajian pemberdayaan

masyarakat karena dipandang tidak cukup mendapatkan manfaat dari proses

pembangunan yang berlangsung selama ini. Sengaja maupun tidak, sudah terjadi

sebentuk peminggiran terhadap kelompok-kelompok minoritas. Yang dipahami sebagai

kelompok minoritas di sini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang secara sosial,

budaya, maupun secara politik merupakan kelompok yang kecil dalam jumlah, sementara

dalam kualitas wacana pun nilai, pandangan, dan kepentingan mereka tidak masuk

menjadi wacana arus utama (mainstream discourse).

Peminggiran terhadap sebuah kelompok minoritas dapat terjadi dalam dua cara yaitu

ketika negara tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya untuk dilaksanakan,

ataupun negara melakukan apa yang menjadi kewajibannya untuk tidak dilakukan.

Landasan konseptual hukum dalam konteks ini adalah bahwa negara merupakan

organisasi dengan otoritas politik dan hukum tertinggi yang dapat mencegah ataupun

memaksakan kehendaknya dalam upaya memenuhi hak-hak warganya. Dengan demikian

negara dapat mengontrol relasi sosial antara berbagai kelompok sosial politik dan budaya

3

Page 4: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

dalam interaksi mereka melalui berbagai instrumen politik dan hukum yang memang

(idealnya) diciptakan untuk menopang otoritas negara tersebut.

Dari perspektif hak asasi manusia hal itu menjadi pertanyaan dalam konteks kewajiban

negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi (to respect, to protect, and to

fulfill) hak asasi warga negaranya. Tidak terpenuhinya hak asasi kelompok minoritas

dapat terjadi akibat tindakan negara (act of commission) atau akibat kelalaian atau

pembiaran oleh negara (act of omission). Meskipun demikian ada sebuah prinsip utama

yang dianut dalam perdebatan mengenai hak asasi manusia (HAM), khususnya dalam

konteks hak-hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) adalah prinsip progressive realization.

Prinsip ini mempunyai makna bahwa negara mempunyai kewajiban terhadap hasil dari

upaya-upaya dalam tiga aspek (menghormati, melindungi, dan memenuhi) atau yang

disebut obligation to result dan juga mempunyai kewajiban terhadap proses pelaksanaan

upaya tersebut atau obligation to conduct. Artinya, kalaupun hasilnya belum bisa

sepenuhnya dinikmati oleh sekelompok warga negara pada suatu waktu tertentu, namun

upaya-upaya yang menjadi kewajiban negara telah dilakukan, maka negara dapat

dikatakan sudah mulai dan sedang menjalankan kewajibannya. Artinya lagi, negara tidak

dapat dikatakan sebagai sudah melakukan pelanggaran HAM terhadap warganya.

Hal inilah yang membedakan karakter hak-hak ekosob dan hak-hak sipil dan politik

(sipol). Pelanggaran terhadap sebuah hak sipol dapat dengan serta merta atau dengan

segera dibuktikan. Pelarangan terhadap keinginan sejumlah orang untuk membentuk

sebuah organisasi dapat dengan segera dijustifikasi sebagai pelanggaran terhadap

kebebasan berorganisasi yang dijamin oleh Deklarasi Universal HAM (DUHAM)

maupun Konstitusi Negara Republik Indonesia. Demikian pula halnya dengan mencekal

orang untuk tidak boleh berbicara di depan umum adalah pelanggaran HAM orang

tersebut untuk berbicara di ruang publik.

Karakter lainnya adalah bahwa jika hak-hak sipol lebih berkarakter individual, maka hak-

hak ekosob lebih bersifat kolektif. Ikatan sosial, budaya, dan pola-pola ekonomi

umumnya berkaitan dengan nilai-nilai sebuah kelompok masyarakat dan konsep-konsep

4

Page 5: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

dasar mengenai hak-hak mereka. Hal itulah yang menyebabkan bahwa pemenuhan hak

sekelompok masyarakat menjadi lebih rumit secara prosedural dan dalam karakter

standard-standard pemenuhannya atau pelanggarannya.

Meskipun demikian terdapat sejumlah standard minimum bagi pemenuhan hak-hak

ekosob. Dalam konteks minoritas, pembicaraan mengenai standard pemenuhan hak-hak

ekosob menemukan relevansinya yang kuat karena minoritas senantiasa berkonotasi

kolektivitas, menyangkut sebuah kelompok sosial di dalam sebuah negara.

1.1.2 Masyarakat Adat Sebagai Kelompok Minoritas: Kontekstualisasi Situasi dan

Problematika Umum

Diskursus masyarakat adat di Indonesia mulai muncul pada akhir periode 1980-an dan

mulai menemukan momentumnya setelah Earth Summit atau KTT Bumi di Rio de

Janeiro 1992. Karakter diskursus masyarakat adat di Indonesia secara umum sangat

diwarnai oleh diskursus ‘induk’nya di arena internasional, yaitu indigenous peoples.

Namun harus diakui bahwa sudah tersedia ‘lahan’ yang cukup potensial bagi bertumbuh-

kembangnya diskursus ini di Indonesia.

Dalam sejarah hukum dan perundang-undangan di Indonesia telah dikenal terminologi

masyarakat hukum adat sejak Cornelis van Vollenhoven mengemukakan istilah ini

sekaligus mencoba merumuskan konsep adatrecht pada penghujung abad 19 dan awal

abad 20 melalui kelompok studi Leiden School. Sejak itu, diskursus

adatrechtsgemeenschap menemukan momentumnya dalam sejarah hukum Indonesia.

Adatrechtsgemeenschap yang secara sederhana dapat dipadankan dengan istilah ‘adat

law community’ dalam bahasa Inggris atau masyarakat hukum adat seolah-olah

merupakan ‘persambungan’ bagi kelompok gerakan lingkungan dan hak asasi manusia di

Indonesia dengan gerakan indigenous peoples di dunia internasional (Henley and

Davidson dalam Henley and Davidson Ed. 2007: 20) Namun, berbeda dengan

kontekstualisasi pengertian masyarakat hukum adat yang lebih menekankan aspek hukum

dalam menyoroti kelompok-kelompok masyarakat yang dimaksud, maka kelompok-

5

Page 6: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

kelompok gerakan lingkungan dan HAM pada masa akhir 1980-an dan awal 1990-an

lebih memilih istilah ‘masyarakat adat’ dengan pertimbangan bahwa istilah ini lebih

mengakomodir dimensi kultural dan religius kelompok masyarakat yang dimaksud dan

tidak mempersempitnya menjadi sekedar sebuah entitas hukum belaka.

Persambungan atau pemadanan ini terjadi karena adanya sejumlah keserupaan dalam

karakter gerakan indigenous peoples dan gerakan-gerakan rakyat di kawasan kampung-

kampung seantero Indonesia terhadap kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh

negara.

Pada 1982 PBB membentuk United Nations Working Group on Indigenous Population

(UN – WGIP) menyusul laporan dari special raporteur yang ditunjuk oleh The United

Nations Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities,

sebuah badan yang secara hirarkis cukup rendah dalam struktur otoritas PBB namun

sangat bersemangat dalam mengusung isu indigenous peoples dan relatif tidak terlalu

tergantung pada negara (R. H. Barnes, Gray and Kingbury 1995: 14). Adalah José

Martinez Cobo, sang special raporteur yang merumuskan definisi indigenous peoples

yang kemudian menjadi rujukan utama bagi UN – WGIP dalam seluruh kerjanya,

walaupun secara resmi tidak pernah diadopsi. Ada lima persoalan penting yang menjadi

sorotan dalam definisi Cobo, yaitu:

- Self-definition atau yang kemudian lebih mengemuka sebagai self-

identification, yaitu otonomi dalam mendefinisikan diri sendiri. Hal ini

merupakan respon terhadap berbagai pendefinisian yang selama ini dilekatkan

oleh pihak luar (dominant sector of society) terhadap diri mereka;

- Historical continuity atau kesinambungan sejarah masa lampau sejak sebelum

masa pendudukan oleh penjajah dengan keberadaan mereka sekarang ini;

- Non-dominance sector of society, atau merupakan kelompok masyarakat yang

tidak dominan dalam keseluruhan masyarakat bangsa;

- Ancestral territories atau wilayah yang diidentifikasi sebagai warisan leluhur

atau nenek moyang dari kelompok tersebut; dan

6

Page 7: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

- Ethnic identity atau adanya pertalian etnis dalam kelompok masyarakat

tersebut (R. H. Barnes, Gray and Kingbury 1995: 26)

Cobo melihat persoalan ini berdasarkan perspektif minoritas terhadap kelompok-

kelompok yang diperiksanya dalam studi tersebut.

Selain definisi tentative yang dikemukakan oleh Cobo, diskursus indigenous peoples juga

diwarnai secara kental oleh rumusan yang tercantum dalam Konvensi ILO 169 yang

membedakan antara indigenous peoples dan tribal peoples. Dalam konvensi ini yang

dimaksud dengan kedua terminologi adalah:

“Sesuai isi dari Pasal 1 [1.b.], Indegenous Peoples dalam konvensi ini dirumuskan

sebagai masyarakat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai Bangsa Pribumi

yang penetapannya didasarkan pada asal-usul [keturunan] mereka di antara penduduk

lain yang mendiami suatu negara, atau suatu wilayah geografis di mana suatu negara

terletak, pada waktu terjadi penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas

negara yang baru, tanpa menilik pada status hukum mereka, dan masih tetap memiliki

sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan nasional, ekonomi, budaya dan politik

mereka. Sedangkan Tribal Peoples, sesuai isi dari pasal 1 [1.a] dirumuskan sebagai

mereka yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi-kondisi sosial, kultural

dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di negara tersebut, dan

yang statusnya diatur seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat

tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus...”1.

Dari definisi tersebut tampak bahwa persoalan territory, historical continuity dan cultural

distinctiveness merupakan kata-kata kunci untuk memahami kelompok indigenous

maupun tribal peoples. Persoalan yang agak unik dari definisi Konvensi ILO dalam

konteks Indonesia adalah bahwa meskipun dari definisi tersebut komunitas-komunitas

masyarakat adat di Indonesia lebih ‘sesuai’ dengan kriteria definisi tribal peoples namun

dalam seluruh dinamika gerakan yang diusung oleh organisasi seperti Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara (AMAN) misalnya, kiblatnya adalah gerakan indigenous peoples di

tingkat internasional. Sekali lagi ini membuktikan bahwa gerakan masyarakat adat di

Indonesia cukup banyak distimulasi dan dipengaruhi oleh diskursus indigenous peoples.

1 Konvensi ILO 169; terjemahan Indonesia terbitan Elsam dan LBBT tanpa tahun; hal. 7

7

Page 8: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Dalam konteks gerakan sosial, aspek-aspek yang mencirikan eksitensi indigenous peoples

tersebut dapat ditempatkan dalam dua kategori, yaitu yang menjadi tujuan dan merupakan

klaim pendukung. Faktor self-identification dan ancestral territory adalah tujuan dari

gerakan, yaitu otonomi dalam pengurusan diri sendiri, sedangkan faktor cultural

distinctiveness adalah klaim pendukung bagi tercapainya tujuan ini, termasuk di

dalamnya adalah historical continuity, ethnic identity, dan non-dominance sector of the

society. Dengan demikian ada persoalan kuasa dan proses yang terkait dengan ekspresi

kuasa tersebut. Hal ini menjadi lebih jelas bila kemudian yang menjadi fokus

pemeriksaan adalah gerakan masyarakat adat di Indonesia.

Secara genealogis, sulit untuk dapat menyatakan saat ini bahwa masih terdapat sebuah

kelompok masyarakat yang bisa disebut sebagai sebuah kelompok etnis dengan sifat yang

‘murni’ dalam pengertian belum terjadi pencampuran dengan etnis atau kelompok

masyarakat lain. Namun dari perspektif budaya, dalam artian nilai dan konsep-konsep

yang menjadi panduan dalam dinamika kehidupan sebuah kelompok masyarakat, dapat

dikatakan bahwa masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat dengan budaya yang

khas dalam hal-hal tertentu. Contoh yang umum adalah pandangan tentang tanah dan

lingkungan, tentang kekuatan dan peran sosok adikodrati, konsep mengenai tujuan hidup

manusi, konsep mengenai pola pengelolaan sumberdaya alam, ritual-ritual dalam siklus

pertanian maupun siklus lahir-kawin-mati.

Akan tetapi gerakan masyarakat adat di Indonesia bukan terutama dipicu oleh kehendak

untuk mendorong konteks budaya yang bersifat lokal ini untuk diperlakukan secara

khusus, atau untuk mempertahankan ‘kemurnian’nya, melainkan lebih dipicu oleh

dorongan untuk membebaskan diri dari dominasi negara yang berlebihan. Dominasi ini

termanifestasi dalam bentuk aneksasi tanah dan pengabaian terhadap kultur setempat.

Dengan demikian dari perspektif HAM dapat dikatakan bahwa telah terjadi (dari sudut

pandang gerakan masyarakat adat) pelanggaran HAM oleh negara baik dengan tindakan

(commission) maupun karena pengabaian (omission). Dengan dominasi yang eksesif dari

negara, kelompok-kelompok masyarakat adat telah kehilangan otonomi dalam mengurus

8

Page 9: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

diri sendiri dan mengelola sumberdaya dalam kawasan yang secara tradisional

merupakan wilayah yang telah dikelola secara turun temurun. Di samping itu, hilangnya

otonomi ini berdampak pada tidak dapat diwujudkannya konsep-konsep hak yang telah

berkembang dalam kultur dan konsep nilai setempat.

Wujud yang paling menonjol dari dominasi ini adalah penerapan UU No. 5 Tahun 1979

dan penyerahan konsesi-konsesi kehutanan dan pertambangan kepada sejumlah

konglomerasi nasional dan internasional berdasarkan sejumlah undang-undang dan

peraturan-peraturan yang menyertainya dalam kedua sektor tersebut. Jika UU No. 5/1979

oleh negara telah diakui sebagai sebuah kekeliruan sejarah politik yang ‘tidak sesuai

dengan jiwa UUD 1945’2, dan telah coba diperbaiki negara dengan melahirkan UU No.

22/1999 kemudian dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka wujud

dominasi negara terhadap kelompok masyarakat adat melalui penyerahan konsesi tanah

dan hutan kepada perusahaan di bidang pertambangan dan kehutanan masih terus

berlangsung sampai dengan saat ini. Tidak ada perubahan substansial dalam perlakuan

negara terhadap masyarakat adat dalam konteks ini. Dari perspektif politik-hukum dapat

dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat adat dalam pembangunan sangatlah

diabaikan, baik itu dalam perumusan kebijakan di tingkat daerah maupun di tingkat

nasional. Karena kebijakan yang dihasilkan sejauh ini tidak cukup mempertimbangkan

keberadaan dan kepentingan masyarakat adat. Sementara dari perspektif ekonomi-politik

dapat pula dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat adat bukanlah tujuan utama dari

berbagai proyek pembangunan skala besar yang dilaksanakan oleh atau dengan bantuan

negara, melainkan hanya menjadi objek eksploitasi. Dari perspektif budaya, nilai dan

konsep yang tumbuh di tengah masyarakat adat bukannya oleh negara difasilitasi untuk

mengalami transformasi yang relevan dengan perkembangan masyarakat dominan

melainkan dibiarkan terkubur oleh hegemoni nilai-nilai dari luar. Semua pernyataan ini

adalah inti dari latar belakang lahirnya gerakan masyarakat adat di Indonesia3, yang

melihat bahwa dominasi politik-hukum dan ekonomi politik terhadap masyarakat adat

telah menempatkan mereka sebagai kelompok yang sangat diabaikan dalam

pembangunan.

2 Bagian menimbang dari UU No 22/19993 Dokumen KMAN I Hotel Indonesia 1999

9

Page 10: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Secara politik, quantity of participation maupun quality of discourse masyarakat adat

tidak mendapatkan cukup ruang. Secara budaya nilai-nilai lokal sangat lambat atau tidak

menemukan ruang untuk bertransformasi, dan secara ekonomi mode of production

mereka tidak lagi menjadi pola utama dalam arus ekonomi mainstream sekarang ini.

Globalisasi informasi dan teknologi malah menempatkan mereka menjadi kelompok yang

menerima informasi ‘tangan kedua’ dibandingkan dengan kelompok masyarakat

perkotaan. Dari berbagai perspektif inilah, masyarakat adat kemudian dapat dipandang

sebagai kelompok minoritas yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari negara dalam

pembangunan.

1.1.3 Studi Kasus Kasepuhan Sinaresmi dan Kasepuhan Citorek Sebagai Dasar

Analisis Situasi Masyarakat Adat

Dengan latar belakang lahirnya diskursus masyarakat adat seperti itu, maka riset yang

dilakukan kali ini hendak memusatkan perhatian pada dua komunitas, yang sejauh ini

mengklaim diri mereka sebagai bagian dari kelompok yang menyebut diri atau disebut

(oleh beberapa pihak) sebagai masyarakat adat. Kedua komunitas tersebut adalah

Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Sinaresmi. Yang pertama berada dalam daerah

administrasi Kabupaten Lebak, Banten, sedangkan yang kedua berada dalam Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat.

Dilihat dari perspektif indigenous peoples dengan lima aspek yang menjadi definisi kerja

Cobo tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa kedua komunitas ini sampai tingkat

tertentu dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat. Pertama, kedua komunitas

mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat dengan alasan bahwa mereka memiliki

kesinambungan sejarah dengan masa lalu, baik jaman kolonial maupun pra-kolonial.

Klaim kesinambungan sejarah ini dapat dilihat dari sejarah terbentuknya kelompok-

kelompok Kasepuhan (Adimihardja, Kusnaka 1992) maupun dari sejarah lisan yang

mereka tuturkan. Sejarah ini terkait dengan jatuhnya kerajaan Pajajaran oleh Islam dan

tercerai-berainya pengikut-pengikut setia kerajaan ini keberbagai daerah di Jawa Barat.

10

Page 11: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Dalam masa penjajahan Belanda keadaan komunitas-komunitas ini tidak cukup tercatat

sebagai kelompok khas selain dari disebutnya Sunda secara keseluruhan oleh Van

Vollenhoven sebagai salah satu dari 19 adatrechtskringen atau wilayah adat di Indonesia

(Peter Burns dalam Henley and Davidson Ed.2007: 80). Ini berarti bahwa Sunda secara

keseluruhan merupakan sebuah wilayah dengan kekhasan adat dan hukum adatnya

menurut Van Vollenhoven. Meskipun demikian dalam konsep kepercayaan Sunda

Wiwitan4, kelompok-kelompok yang menyebut diri sebagai komunitas kasepuhan ini

meyakini bahwa mereka mewarisi tradisi dan aturan-aturan adat dari masa lampau yang

telah sangat lama. Tradisi dan aturan-aturan tersebut terutama terjaga dan terus hidup

sampai saat ini di dalam berbagai kasepuhan yang ada kini. Dan salah satu unsur dalam

kepercayaan tersebut adalah tentang ruang hidup, yang barangkali dapat disejajarkan

dengan konsep wilayah atau teritori. Ada kasepuhan yang mengenal wilayah adat yang

jelas, sekurang-kurangnya menurut identifikasi mereka, sementara ada pula kasepuhan

yang tidak mengenal wilayah adat yang tegas secara geografis sebagaimana umumnya

dipahami. Ruang hidup atau wilayah dari jenis kedua ini lebih dekat dengan konsep

kawasan pengembaraan dari kelompok-kelompok nomadik.

Selain dari konsep ruang hidup atau wilayah, komunitas kasepuhan juga memandang diri

mereka sebagai pewaris dari kepercayaan dan nilai-nilai budaya tertentu, yang

membedakan mereka dari kelompok masyarakat lain. Meskipun dalam kehidupan sehari-

hari mereka berbaur dengan masyarakat lain dalam sebuah desa yang sama, namun dari

aspek kepercayaan dan nilai-nilai serta relasi sosial mereka mempunyai struktur tersendiri

dengan pimpinan utamanya seorang ‘Abah’ (untuk Kasepuhan Sinaresmi) atau ‘Oyot’

(untuk Kasepuhan Citorek), yang lebih menyerupai pemimpin kelompok aliran

kepercayaan daripada seorang pemimpin politik dengan wilayah hukum yang jelas.

Seorang Abah memiliki pengikut yang tersebar di sejumlah desa dan tempat. Pada hari-

hari tertentu, seperti Seren Taun yang merupakan puncak upacara syukur atas panen, para

pengikut seorang Abah biasanya berkumpul di tempat di mana terdapat rumah adat yang

menjadi tempat kediaman Abah atau Oyot.

4 Sunda wiwitan sering disebut sebagai kepercayaan ‘asli’ masyarakat Sunda.

11

Page 12: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Beberapa aspek sosial budaya inilah yang mendorong komunitas-komunitas tersebut

kemudian turut mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat ketika terminologi ini

mulai bergaung dengan kuat seiring mencuatnya gerakan masyarakat adat di Indonesia.

Namun keterlibatan mereka dalam gerakan yang mengusung isu masyarakat adat lebih

dipengaruhi atau diakibatkan oleh relasi yang tak seimbang dengan negara ketimbang

kesadaran akan keunikan sosial budaya mereka. Hal ini dapat dilihat dari respon mereka

terhadap negara setelah menjadi bagian dari gerakan masyarakat adat yang tidak jauh

bergeser dari tuntutan mengenai hak atas tanah dan sumberdaya hutan serta keamanan

dalam mengelola kawasan yang secara tradisional telah dikelola secara turun temurun.

Dengan demikian harus dibedakan dengan tegas antara kesadaran dalam mengidentifikasi

diri sebagai sebuah kelompok masyarakat adat, dengan tujuan dari upaya membangun

kesadaran itu sendiri.

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan gambaran situasi dan latar pemikiran seperti itu, penelitian ini hendak

mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan yang merupakan manifestasi dari ketegangan

dalam hubungan antara kedua komunitas masyarakat adat tersebut – sebagai kelompok

minoritas – dengan negara, dan melihat sejauh mana klaim-klaim diri sebagai

masyarakat adat selaras dengan tuntutan-tuntutan yang disampaikan oleh mereka dan

sejauh mana tuntutan ini diwarnai oleh realitas kebutuhannya.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi pandangan masyarakat adat mengenai posisinya dalam konteks

kenegaraan dan kepemerintahan di Indonesia; termasuk di dalamnya konsep self-

identification sebagai masyarakat adat.

12

Page 13: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

2. Mengidentifikasi bentuk interaksi macam apa yang produktif bagi masyarakat

adat dan juga bagi masyarakat lain di lingkungan masyarakat adat: Interaksi

bermotif kebutuhan atau bentuk-bentuk interaksi dengan motif lain? Bagaimana

bentuk interaksi tersebut?

3. Menyisir kesenjangan antara perilaku dan nilai yang dipegang oleh masyarakat

adat; termasuk di dalamnya soal kenegaraan dan kepemerintahan serta kaitannya

dengan klaim-klaim hak yang dituntut sebagai masyarakat adapt

Sedangkan tujuan khusus dari riset ini adalah: untuk merumuskan sebuah rekomendasi

bagi kerangka kerja ke depan terhadap masyarakat adat sebagai Kelompok Minoritas

berdasarkan analisis terhadap temuan penelitian di dua komunitas kasepuhan, yaitu:

Kasepuhan Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat

dan Kasepuhan Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.

Hasil riset ini akan menyajikan temuan di masing-masing komunitas secara terpisah

mengingat sejumlah perbedaan kondisi sosial budaya dan ruang politik yang memisahkan

keduanya. Temuan-temuan tersebut akan menjadi alas analisis yang diharapkan akan

dapat memunculkan sejumlah rekomendasi yang relevan dengan tujuan penelitian ini.

13

Page 14: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

BAGIAN KEDUA

PENDEKATAN DAN METODOLOGI

2.1 Permasalahan Penelitian

Permasalahan penelitian yang diuraikan di dalam riset ini mencakup latar sejarah

problematika yang dihadapi masyarakat adat, gambaran umum persoalan yang dihadapi

dalam masa sekarang ini, asumsi yang dibangun berdasarkan latar sejarah dan gambaran

umum, dan pertanyaan penelitian yang diperlukan untuk membuktikan kebenaran atau

pun kekeliruan dari asumsi yang dibuat.

2.1.1 Latar Sejarah Permasalahan Penelitian

Isu masyarakat adat dalam perspektif kelompok minoritas merupakan persoalan lama

dengan nuansia politik hukum yang baru. Boleh dikatakan sebagai substansi lama

karakter baru, sosok lama baju baru. Sejak era kolonialisme persoalan ini telah menjadi

topik kajian dan pemikiran di kalangan pemerintah, pemikir politik, dan akademisi.

Adalah Francisco de Vitoria, seorang profesor teologi terkemuka dari Universitas

Salamanca, Spanyol, penghujung abad XV dan awal abad XVI yang berani melawan

tindakan tirani terhadap masyarakat Indian oleh bangsa Spanyol dengan sebuah

penegasan mengenai esensi kemanusiaan orang Indian. Di samping itu ia juga mengkritik

paham atau pandangan yang dianut rejim-rejim penakluk yang mengatakan bahwa tanah

orang Indian berhasil diduduki setelah melalui sebuah perang yang “adil”. Sementara

keadilan yang dimaksud melulu didasarkan atas penilaian orang Eropa pendatang.

Sikapnya ini memberi dukungan yang berarti bagi upaya Bartolome de las Casas, seorang

pastor Katholik Roma yang bertugas menjalankan misi di tengah masyarakat Indian.

Perbedaannya hanya bahwa de Vitoria tidak pernah berlayar melintasi Atlantik. Kritik de

las Casas terutama ditujukan kepada kebijakan pemerintah Spanyol mengenai sistem

encomienda yang memberi mandat kepada para pendatang Spanyol untuk menguasai

14

Page 15: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

tanah di Dunia Baru, sekaligus menjadi penguasa atas semua tenaga kerja orang Indian

yang hidup di atas kawasan yang mereka “temukan”. Sementara de Vitoria

mengembangkan konsep yang menunjukkan bahwa orang Indian memiliki sejumlah

otonomi asli dalam sistem politik kekuasaan mereka serta memiliki hak otonom atas

tanah mereka (Annaya 1996: 10).

Hal yang serupa dapat dijumpai di tanah air ketika van Vollenhoven dengan Leiden

School-nya mencoba membangun sebuah kerangka pikir dari perspektif hukum untuk

menegaskan eksistensi penduduk pribumi di hadapan rejim kolonial Belanda. Demikian

pula upaya politik etis yang muncul sebagai respon terhadap kebijakan cultuurstelsel atau

yang dikenal sebagai sistem Tanam Paksa yang diberlakukan setelah berakhirnya Perang

Jawa yang membangkrutkan kas pemerintahan kolonial. Meskipun politik etis tersebut

didorong oleh kaum liberal di Belanda masa itu, namun ini hanya kedok humanisme

kelompok tersebut, yang tujuan utamanya adalah swastanisasi perkebunan-perkebunan

besar di Hindia Belanda. Sedikit banyaknya angin politik bagi kaum liberal ini diperoleh

dari publikasi dua buku yang menggambarkan penderitaan rakyat Jawa di bawah sistem

Tanam Paksa, yaitu Max Havelaar, karya Douwes Dekker dan Suiker Contracten

(Kontrak-Kontrak Gula) karya Frans van de Putte (Kartodirdjo, Djoened Poesponegoro

dan Notosusanto 1975: 83 – 5).

Dapatlah dikatakan bahwa isu masyarakat adat, dengan terminologi yang berbeda, dan

konteks politik hukum yang berbeda sesungguhnya telah berusia berabad-abad lamanya.

2.1.2 Gambaran Umum Permasalahan Penelitian

Persoalan masyarakat adat menguat di Indonesia setelah sekian lama kelompok

masyarakat ini melakukan perlawanan terhadap kebijakan pembangunan negara yang

dipandang tidak adil. Ketidak-adilan tersebut dapat ditelusuri dalam dua domain, yaitu

aspek kebijakan dan aspek sosial budaya. Kebijakan pembangunan negara yang selama

ini sangat menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi dengan indikator-indikator

ekonomi makro kurang memperhatikan persoalan pemerataan hasil pembangunan.

15

Page 16: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Kelompok-kelompok masyarakat adat yang umumnya berdiam di kawasan pedesaan

umumnya tidak menjadi beneficiary atau penerima manfaat yang seimbang dengan nilai

kehilangan yang mereka alami.

Eksploitasi hutan secara besar-besaran dan pemberian konsesi pertambangan, maupun

pengembangan perkebunan skala besar umumnya dilakukan dengan cara penggusuran

pemukiman penduduk dan atau pengambil-alihan kawasan kelola masyarakat yang

sebagian di antaranya mengklaim diri sebagai masyarakat adat. Sementara dari aspek

pelibatan tenaga lokal sebagai tenaga kerja di dalam perusahaan-perusahaan besar yang

menjalankan proyek-proyek pembangunan tersebut sangatlah minim jika tidak mau

mengatakan tidak ada. Jika tidak menjadi buruh kasar, maka penduduk kampung yang

terkena langsung dampak proyek-proyek tersebut hanyalah menjadi penonton yang telah

kehilangan akses ke sumber-sumber daya yang selama ini menjadi gantungan hidup

mereka. Salah satu indikasi dari realitas ekonomi politik seperti ini adalah

terkonsentrasinya penduduk miskin di kawasan pedesaan. Laporan Biro Pusat Statistik

untuk periode 2006 dan 2007 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen penduduk miskin

terkonsentrasi di kawasan pedesaan5. Dengan proyeksi linear antara lamanya proyek-

proyek pembangunan skala besar berlangsung di kawasan pedesaan dengan tingkat

kesejahteraan masyarakat di kawasan pedesaan – termasuk di dalamnya masyarakat adat

– dapat memperlihatkan bahwa tidak ada relevansi langsung antara lama dan besarnya

proyek-proyek pembangunan berlangsung di suatu daerah dengan tingkat kesejahteraan

penduduk pedesaan di daerah tersebut. (PERLU DATA LENGKAP DAN GRAFIK)

Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi seperti ini berlangsung sedemikian lama

adalah kebijakan negara mengenai pembangunan dan pemerataan kesejahteraan bagi

masyarakat di kawasan pedesaan, termasuk masyarakat adat. Persoalannya bukan hanya

menyangkut Konstitusi dan sejumlah peraturan perundangan nasional, melainkan juga

pada peraturan pelaksananya dan peraturan-peraturan daerah yang menyertainya.

Terdapat banyak celah bagi multi tafsir terhadap peraturan perundangan yang ada

sementara monopoli atas tafsir dalam prakteknya tetap berada pada tangan negara dan

5 Biro Pusat Statistik; Berita Resmi Statistik, September 2006; Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik, 2007.

16

Page 17: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

dalam prakteknya sejauh ini tafsir tersebut tetap lebih condong kepada pemberian

manfaat yang besar kepada pihak perusahaan pemilik proyek-proyek besar ketimbang

kepada masyarakat adat. Salah satu tafsir yang sangat sentral adalah mengenai hak

menguasai negara terhadap bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

(Pasal 33 ayat 3 UUD 1945) dan bagaimana kuasa tersebut digunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat.

Sementara itu aspek sosial budaya masyarakat adat merupakan persoalan lain yang

kurang mendapat perhatian dari negara. Sangat sering terjadi bahwa kehidupan sosial

budaya masyarakat adat disimplifikasi menjadi serupa dengan gambaran pemerintah.

Terminologi yang bersifat minor yang dikenakan kepada sebuah komunitas masyarakat

adat adalah contoh simplifikasi tersebut. ‘Masyarakat tertinggal’; ‘suku terasing’;

‘komunitas adat terpencil’ adalah sejumlah terminologi yang masih terus bergaung

sampai saat ini, seolah-olah persoalan masyarakat adat hanyalah aksesibilitas ataupun

kerinduan akan ‘modernitas’ yang telah hinggap duluan di kawasan perkotaan. Sementara

pengamatan dari dekat menunjukkan bahwa ada banyak nilai budaya dan religi yang

menjadi alat kontrol bagi dinamika sosial masyarakat adat. Nilai-nilai yang terkait dengan

tanah dan ruang adalah unsur utama dari klaim identitas masyarakat adat. Dalam praktek

pembangunan nilai-nilai ini tidak cukup dihormati apalagi dilindungi oleh negara. Tata

ruang masyarakat adat dalam waktu singkat bisa lenyap ditelah proyek perkebunan skala

besar atau pun pertambangan. Pengabaian terhadap nilai budaya dan struktur sosial

setempat dapat dilihat dengan gamblang ketika masih berlakunya UU No. 5/1979 tentang

Pemerintahan Desa. Walaupun UU ini telah digantikan oleh UU No. 32/2004 namun

upaya secara politik hukum untuk membantu masyarakat adat memulihkan sistem kontrol

sosial politiknya masih jauh dari yang diharapkan.

2.1.3 Asumsi pokok

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dikatakan bahwa

pembangunan hanya dapat bersifat berkelanjutan jika menyentuh tiga aspek, yaitu

economically viable, socially equitable, dan environmentally sustainable. Dengan

17

Page 18: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

demikian salah satu asumsi dasarnya adalah bahwa setiap pembangunan memiliki tiga

karakter, yaitu harus memberi manfaat secara ekonomi, secara sosial membawa

pemerataan manfaat dan dalam aspek lingkungan menjaga kelangsungan lingkungan

hidup yang menjadi fondasi bagi ruang di mana pembangunan berlangsung. Tesisnya

adalah bahwa hanya dengan menyentuh ketiga aspek tersebut secara baik dan merata

sebuah konsep pembangunan dapat berlangsung dengan memberi manfaat yang jelas dan

oleh karenanya menjadi sebuah pembangunan yang benar-benar dibutuhkan. Implikasi

dari konsep ini adalah munculnya konsep para pihak dalam pembangunan, yang antara

lain memprioritaskan kelompok-kelompok rentan seperti kelompok perempuan dan anak-

anak serta kelompok-kelompok minoritas termasuk masyarakat adat (indigenous peoples)

Dengan asumsi dasar yang tersirat dalam konsep pembangunan berkelanjutan tersebut

serta realitas pembangunan di Indonesia dengan seluruh implikasi dan dampaknya, maka

asumsi yang dijadikan landasan untuk melakukan penelitian ini adalah bahwa telah

terjadi peminggiran terhadap masyarakat adat, sebagai salah satu pihak minoritas, dalam

kebijakan negara mengenai pembangunan. Peminggiran ini terjadi akibat

instrumentalisasi hukum di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat

daerah. Artinya, dalam konteks pembangunan berkelanjutan tidak terpenuhi sekurang-

kurangnya dua tuntutan, yaitu karakternya yang semestinya economically viable dan

socially equitable.

2.1.4 Pertanyaan Penelitian

Riset ini perlu membuktikan apakah asumsi tersebut benar atau salah. Untuk itu riset ini

harus dapat menjawab sejumlah pertanyaan yang dapat membawa kepada kesimpulan

mengenai benar tidaknya asumsi tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah:

1. Apakah negara (Pemerintah) masih terus mendesakkan keseragaman model

pengelolaan pemerintahan di tingkat desa (lokal) sebagaimana pernah terjadi

dengan pemberlakuan UU Pemerintahan Desa? Jika hal itu masih terjadi berarti

pemerintah masih terus menjalankan kebijakan yang tidak memprioritaskan

kelompok rentan?

18

Page 19: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

2. Adakah ketegangan (gap) antara konsep hak menguasai negara (HMN) dengan

konsep adat soal pengelolaan sumberdaya alam? Jika ada, apa saja permasalahan

yang menjadi sumber timbulnya ketegangan dan apa wujudnya?

3. Apakah masyarakat adat sendiri memang ingin menarik diri dari keterlibatan

(engagement) dengan politik publik? Atau apakah mereka ingin diperlakukan

secara khusus? Jika ya, mengapa? Dan bagaimana wujud perlakuan khusus

tersebut?

4. Khusus untuk situasi internal terkait dengan posisi dan peran kaum perempuan:

Apakah terjadi peminggiran terhadap kaum perempuan dalam komunitas adat

tersebut? Jika ya, apakah peminggiran tersebut karena sistem patriarchy internal

dalam masyarakat adat itu?

2.2 Cakupan Penelitian

Berdasarkan asumsi pokok dan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, penelitian ini

memeriksa sejumlah arena yang menjadi cakupan dalam pertanyaan. Secara khusus akan

dikaji mengenai kebijakan negara tentang masyarakat adat dan juga aspek ekonomi,

sosial dan budaya dari komunitas yang menjadi target penelitian. Dalam dua bidang

kajian ini lingkup penelitian dikembangkan menjadi sebagai berikut:

1. Peraturan perundangan nasional dan kebijakan-kebijakan daerah mengenai

pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan pengelolaan sumberdaya alam

(tanah dan hutan) dan ketegangan yang timbul dalam berhadapan dengan konsep

nilai anutan dalam komunitas masyarakat adat;

2. Problem-problem ekonomi, sosial dan budaya yang muncul di tingkat komunitas

dalam relasi sosial antar mereka, maupun yang muncul dalam relasi dengan

negara (problem struktural) dalam wujud ketegangan-ketegangan yang timbul

baik di dalam komunitas maupun dengan negara. Persoalan internal misalnya

akan diperiksa mengenai peran kaum perempuan dalam komunitas kasepuhan

dalam mekanisme pengambilan keputusan; persoalan yang timbul dengan

komunitas lain dalam desa yang sama – karena masyarakat kasepuhan berbaur

19

Page 20: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

dengan masyarakat lainnya dalam sebuah desa yang sama; maupun pandangan

mereka mengenai struktur sosial internal mereka dan perannya dalam pemenuhan

hak-hak dasar warga kasepuhan. Problem struktural akan secara khusus dikaji

persoalan hubungan antara masyarakat adat dengan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak dan dengan PT Perhutani;

3. Upaya-upaya yang telah dilakukan komunitas target dalam menghadapi problem

sosial dan struktural yang telah disebut pada (1) dan (2) di atas dan hambatan-

hambatan yang mereka hadapi dan solusi-solusi yang mereka tawarkan dalam

relasi masyarakat sekitar dan dalam relasi dengan negara (yang perlu dilakukan

negara dan yang tidak perlu dilakukan negara). Upaya-upaya ini layak diperiksa

untuk melihat respon komunitas masyarakat adat di kedua kasepuhan tersebut

terhadap problem sosial dan struktural yang mereka hadapi;

4. Kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat adat di dua komunitas tersebut terkait

dengan klaim diri sebagai masyarakat adat dan tuntutan-tuntutan yang muncul.

Pemeriksaan kebutuhan masyarakat adat di dua kasepuhan ini dilakukan dengan

asumsi bahwa dengan terungkapnya kebutuhan akan terlihat relevansi antara

klaim yang dikemukakan, upaya yang dilakukan dalam merespon problem sosial

dan struktural, dan realitas kebutuhan. Dari pemeriksaan ini diharapkan muncul

(atau tidak muncul) gap antara nilai dan perilaku masyarakat adat tersebut.

Selaras dengan tujuan penelitian yang telah disampaikan terdahulu, cakupan penelitian

ini bergerak mulai dari aras kebijakan negara dan konsep nilai anutan masyarakat adat

sampai kepada praktek-praktek penerapan kebijakan dan konsep nilai tersebut pada

tingkat lapangan. Dengan demikian diharapkan dapat kelihatan bukan saja ketegangan

antara dua sistem, yaitu sistem negara dan adat, melainkan juga dapat dicermati gap

antara kebijakan dan praktek maupun antara konsep nilai dan perilaku.

2.3 Alur Logika Penelitian dan Informasi yang Dibutuhkan

20

Page 21: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Pertanyaan yang muncul kemudian ketika menghadapi cakupan riset dari hulu ke hilir

seperti ini adalah logika penelitian seperti apa yang dapat menjawab persoalan-persoalan

yang dimunculkan dalam penelitian ini.Menghadapi pertanyaan seperti ini tim peneliti

sekali lagi bergerak dari sebuah asumsi dasar dalam penelitian ilmu-ilmu sosial bahwa

perilaku dan tindakan sekelompok masyarakat atau individu pada dasarnya merefleksikan

sejumlah sistem nilai yang dipengaruhi atau dibentuk oleh kebudayaan dalam masyarakat

tersebut (atau dalam masyarakat tempat individu tersebut berkembang). Dengan demikian

menjadi jelas bahwa ada sejumlah sistem nilai yang membentuk atau mempengaruhi

dinamika sosial budaya sebuah masyarakat. Bagaimana bentuk perubahan yang terjadi

kemudian sangat tergantung dari konstelasi berbagai sistem nilai tersebut, dan bagaimana

masyarakat atau individu menanggapi kehadirannya.

Dengan berpijak pada asumsi dasar ini penelitian akan bergerak dari pemeriksaan

terhadap perilaku dan gejala-gejala dalam masyarakat adat dalam merespon berbagai

persoalan ketika berhadapan dengan realitas negara maupun dalam relasi sosialnya

sebagai langkah awal. Pemeriksaan ini akan dilakukan paralel dengan pemeriksaan akar

persoalan yang timbul dalam hubungan eksternal dan relasi internal. Dari sini diharapkan

akan membawa penelitian kepada sumber-sumber konsep nilai masyarakat maupun

kebijakan-kebijakan negara yang – sebagaimana diasumsikan – merupakan latar belakang

yang menggerakkan dan mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat adat. Implikasi

dari logika seperti ini adalah perlu ditetapkan secara cermat dan tepat data dan informasi

yang diperlukan terkait dengan perilaku, permasalahan, dan konsep nilai yang hendak

diperiksa.

Untuk dapat sampai kepada sebuah analisis yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan

penelitian, tim peneliti telah menetapkan sejumlah data dan informasi yang diperlukan.

Data dan informasi tersebut pada dasarnya mencakup data dan informasi dari tangan

pertama (primer) maupun sekunder, yang dapat disajikan sebagai berikut:

1. Profil komunitas, yaitu gambaran demografis yang meliputi populasi dan akses ke

pendidikan, kesehatan, pekerjaan

21

Page 22: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

2. Argumen-argumen di balik identifikasi diri diri sebagai satu komunitas adat,

meliputi faktor-faktor sosial-buday, ekonomi dan politik yang mengikat mereka

sebagai sebuah komunitas di tengah kehadiran mereka bersama dengan warga lain

di dalam sebuah desa. Apakah terjadi pembauran dengan komunitas lain?

3. Praktek penerapan model pengelolaan pemerintahan yg dipaksakan oleh

pemerintah dan bagaimana respon masyarakat adat, respon birokrasi, respon

pihak eksekutif, respon penyedia pelayanan publik terhadap pemakasaan itu, jika

memang ada. Adakah resistensi atau kompromi yang terjadi? Apa bentuknya?

4. Praktek penguasaan negara terhadap sumberdaya alam dan ketegangan yang lahir

dari praktek ini dalam perhadapannya dengan konsep adat baik itu berujung pada

resistensi yang kuat maupun pada kompromi.

5. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan bagaimana masyarakat adat

menghadapi realitas ini. Adakah gejala-gejala ekslusivisme sebagai respon

terhada konstelasi berbagai nilai yang hadir di tengah komunitas?

6. Apa yang sebaiknya dilakukan negara dan tidak dilakukan negara kepada mereka

sebagai komunitas adat?

7. Relasi antara kaum perempuan dengan berbagai pihak dalam komuntias

masyarakat adat: pandangan kaum laki-laki terhadap perempuan, posisi

perempuan dalam konsep nilai adat, bentuk-bentuk sub-ordinasi, penindasan, atau

ketidak-adilan terhadap perempuan.

2.4 Pendekatan dan Metode

Ada sejumlah pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan pertama

adalah pendekatan hak. Dengan pendekatan ini pemeriksaan terhadap kewajiban negara

dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia bagi masyarakat

adat di kedua komunitas kasepuhan tersebut akan menggunakan pedoman dalam

Konvensi-konvensi HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia, khususnya Kovenan

Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (ICESCR).

22

Page 23: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Pendekatan kedua adalah pendekatan struktural. Dengan pendekatan ini maka hubungan

antara masyarakat adat dan negara dipandang sebagai relasi struktural yang ditandai oleh

adanya sejumlah hak dan kewajiban dan tata-aturan serta mekanisme yang telah

ditetapkan dalam mengatur hubungan tersebut. Demikian pula dalam konteks relasi

internal komunitas akan dilihat relasi antara masyarakat dengan struktur-struktur dan

otoritas-otoritas yang ada.

Kedua pendekatan ini akan menjadi landasan dalam menjalan metode pengumpulan data

dan informasi. Metode yang digundakan dalam riset ini adalah (i) riset dokumen; (ii)

wawancara mendalam; (iii) focus groups discussion; dan (iv) pengamatan-pengamatan

dan pencatatan langsung. Penggunaan seluruh metode ini pada prinsipnya dilandasi

perspektif kedua pendekatan tersebut sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dirancang

maupun model pencatatan yang dilakukan sangat diwarnai perspektif hak dan relasi

struktural dalam masyarakat.

23

Page 24: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

BAGIAN KETIGA

TEMUAN PENELITIAN DAN ANALISA

Bab ini, pada bagian pertama, menyajikan hasil-hasil penelitian lapangan baik yang

diperoleh melalui studi dokumen maupun yang dari lapangan melalui metode-metode

tersebut di atas. Sedangkan pada bagian kedua akan disajikan analisis terhadap data dan

informasi yang telah diperoleh.

3.1 Temuan Penelitian di Komunitas Sinaresmi

3.1.1 Profil Komunitas

Kasepuhan Sinaresmi berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat. Keberadaan ini ditandai dengan adanya rumah adat, yang menjadi

kediaman Abah, pemimpin spiritual Kasepuhan Sinaresmi. Di Sirnaresmi terdapat tiga

komunitas kasepuhan, yaitu Ciptagelar, Sinaresmi, dan Ciptamulya. Oleh karenanya

harus dipahami bahwa penelitian ini berlangsung di Desa Sirnaresmi, tentang komunitas

Kasepuhan Sinaresmi. Hal ini merupakan implikasi dari konsep batas-batas ruang hidup

atau wilayah adat di kalangan Kasepuhan Sinaresmi lebih bersifat mitologis dan tidak ada

batas geografis yang jelas, maka data geografis yang sampaikan dalam hasil penelitian ini

adalah data geografis Desa Sinaresmi.

Letak geografis dan administrasi desa6

Secara geografis, Desa Sirnaresmi terletak antara 106˚ 27′ – 106˚ 33′ BT dan

6˚ 52′ – 6˚ 44′ LS. Secara administratif, Desa Sirnaresmi termasuk di dalam Kecamatan

Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Luas Desa Sirnaresmi adalah 4917

hektar berdasarkan data monografi desa Triwulan 1, 2008.

Batas – batas administrasi Desa Sirnaresmi adalah :

1. Sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Lebak, Propinsi Banten

2. Sebelah timur, berbatasan dengan Kecamatan Kelapa Nunggal.

3. Sebelah selatan dan barat, berbatasan dengan Desa Cicadas.

6 Sumber: Monografi dan Administrasi Desa Sirnaresmi Triwulan 1 2008.

24

Page 25: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Dalam administrasi pemerintahan Desa Sirnaresmi dibagi atas tujuh dusun, yaitu: Dusun

Sirnaresmi, Cibombong, Cikaret, Cimapag, Situmurni, Cipulus dan Sukamulya. Tiap

dusun dikepalai oleh seorang Kepala Dusun. Ketujuh dusun tersebut sekaligus

merupakan tujuh Rukun Warga (RW) dari Desa Sirnaresmi, dan kepala dusun sekaligus

merupakan ketua RW. Dusun Sirnaresmi, tempat di mana FGD penelitian ini diadakan,

merupakan salah satu dari 7 dusun yang ada di Desa Sirnaresmi.

Batas – batas Dusun Sirnaresmi adalah :

1. Sebelah utara, berbatasan dengan Sungai Cibareno.

2. Sebelah selatan, berbatasan dengan Dusun (Kampung) Cibongbong.

3. Sebelah timur, berbatasan dengan Dusun (Kampung) Cikaret.

4. Sebelah barat, berbatasan dengan Desa Cicadas.

Di dalam tujuh dusun ini terdapat lebih kurang 30 kampung dan babakan, setiap dusun

terdiri dari beberapa kampung dan babakan, yang jarak antara dusun dan antar kampung

berjauhan. Perlu dijelaskan di sini mengenai konsep ’kampung’ dan ’babakan’. Kampung

adalah sebutan untuk pemukiman yang sudah cukup banyak penduduknya dan ’berusia

lebih tua’. Terhadap siapa? Terhadap kampung tetangganya yang ’lebih muda’. Sebutan

dari seorang warga kampung yang ’lebih tua’ kepada yang lebih muda adalah ’babakan’.

Dapat terjadi penduduk sebuah babakan menyebut pemukimannya sebagai kampung.

Tidak ada standard yang pasti mengenai jumlah rumah sebuah kampung atau babakan.

Faktor pemukiman mana yang lebih dulu ada itulah yang paling menentukan sebutan atau

istilah yang digunakan. Walaupun dalam pembicaraan penduduk sering mengatakan

bahwa jumlah rumah hunian dalam sebuah babakan berkisar antara beberapa rumah

sampai belasan rumah, namun dalam pengamatan langsung di lapangan ternyata faktor

’usia’ yang paling menentukan munculnya instilah ini dalam pembicaraan. Implikasi dari

konsep ini adalah bahwa informasi mengenai jumlah kampung dalam satu desa atau

dusun dapat berbeda antara yang diterima dari penduduk ‘kampung’ dan dari penduduk

‘babakan’.

25

Page 26: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Dusun terjauh dari pusat desa adalah Dusun Sukamulya, yang terletak lebih tinggi dari

yang lain, di mana terdapat pusat Rumah Gede Kasepuhan Cipta Gelar. Beberapa

kampung yang dapat disebutkan di sini (menurut keterangan penduduk kampung

Sirnaresmi) adalah Sirnaresmi, Cijangkorang, Citeureup, Pasir Kapudang, Cibongbong,

Ciptamulya, Mekarjaya, Cipagon, Cikaret 1, Cikaret 2, Cibalandongan, Sorandil,

Cimapag, Garehong. Sementara beberapa babakan yang terekam dari pembicaraan

dengan penduduk Sirnaresmi adalah Kawung Luwuk, Cihandam, Manggu.

Iklim dan Topografi

Desa Sirnaresmi berada pada ketinggian yang bervariasi antara 300 – 600 meter di atas

permukaan laut ( m dpl ) dengan bentuk permukaan bumi (kontur) yang berbukit dan

bergunung – gunung serta memiliki kemiringan lereng berkisar antara 25 – 45 %.

Temperatur rata-rata di musim kemarau berkisar 28˚ C sedangkan di musim penghujan

berkisasr 21 – 25˚C. Curah hujan bervariasi antara 2120 – 3250 mm/tahun dengan

kelembaban udara 84 % (RMI, 2000)7.

Aksesibilitas

Untuk menuju Desa Sirnaresmi pertama – tama ditempuh dengan bus melalui jalan lintas

Bogor – Pelabuhan Ratu dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Jarak Sirnaresmi terhadap

beberapa pusat pemerintahan dan sentra bisnis dapat dilihat dalam Tabel 1; sedangkan

alternatif kendaraan umum yang dapat digunakan dapat dilihat di Tabel 2.

Kondisi jalan yang dilewati adalah jalan aspal yang keadaannya cukup baik, hanya

sepanjang sekitar 1 kilometer menjelang masuk desa merupakan jalan batu belum diaspal.

Kondisi jalan pada umumnya baik dan kendaraan pribadi roda empat dapat digunakan

sampai ke Desa Sirnaresmi, hanya perlu sedikit berhati-hati ketika melewati jalan batu

menjelang masuk Sirnaresmi. Berdasar data Monografi Desa Sirnaresmi tahun 1997,

infrastruktur yang mendukung desa adalah jalan desa yakni 2100 meter jalan batu dan

3700 meter jalan tanah, Namur dalam data monografi terakhir tidak ada keterangan 7 Rimbawan Muda Indonesia (RMI) adalah sebuah NGO berkantor di Bogor, yang memberikan perhatian besar kepada pelestarian hutan dan kesejahtaraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Dalam sepuluh tahun belakangan menghasilkan banyak dokumentasi dan penelitian advokasi di seputar wilayah Sukabumi dan Lebak terkait dengan komunitas kasepuhan.

26

Page 27: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

mengenai rentang jalan dengan berbagai kualitas tersebut. Umumnya penduduk desa

sudah menggunakan listrik untuk penerangan dan keperluan lain seperti televisi dan

radio-tape. Fasilitas keagamaan berupa mesjid dan mushola serta fasilitas pendidikan

yaitu gedung sekolah dasar semua sudah menggunakan listrik. Listrik masuk Sirnaresmi

pada 1998 dan masyarakat merasakan betul manfaatnya.

Tabel 1. Jarak Desa Sirnaresmi terhadap beberapa wilayah

Sumber : Monografi Sirnaresmi, Triwulan 1 2008.

Tabel 2. Beberapa alternatif kendaraan umum (public transportation) dan waktu tempuh

menuju Kampung Sirnaresmi

Dari Ke Alternatif Kendaraan Waktu tempuh

Bogor Pelabuhan Ratu Bis AC / Non AC ± 4 jam

Pelabuhan Ratu Persimbangan ke

Sirnaresmi

Minibus Elf ± 1.5 jam

Persimpangan Kampung Sirnaresmi Ojek motor ± 15 menit

Pelabuhan Ratu Kampung Sirnaresmi Ojek motor ± 1 jam

Sumber : Pengamatan Mei 2008

Komunikasi dengan mobile phone sudah dapat dilakukan dari desa ini. Di Sirnaresmi

sudah ada tower milik operator telepon seluler XL sejak tahun 2006 lalu. Dalam bidang

informasi, media utama adalah televisi. Media cetak, seperti koran, hanya dapat diperoleh

Wilayah Jarak

Kecamatan Cisolok 23 km

Pelabuhan Ratu (pusat

wisata dan area bisnis)

33 km

Kabupaten Sukabumi 103 km

Ibukota Propinsi 203 km

Jakarta, Ibukota Negara 183 km

27

Page 28: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

di Pelabuhan Ratu. Siaran televisi dapat dinikmati sepanjang hari, tergantung pada

ketersediaan linstrik (ketika riset sedang dilakukan dalam minggu keempat Mei 2008, dua

kali terjadi pemadaman bergilir yang berlangsung sepanjang hari di desa ini). Penduduk

umumnya menyukai siaran berita dan tayangan musik serta filem-filem nasional yang

menceriterakan jaman kerajaan masa lampau dengan nuansa kesaktiannya.

Tata Guna Lahan

Tata guna lahan di Desa Sirnaresmi berdasarkan Pemetaan Partisipatif yang dilakukan

RMI ( 2001 ) adalah hutan alam, hutan ulayat, kebun / talun / huma, makam, sawah dan

pemukiman ( Tabel 4 ).

Tabel 4. Penggunaan lahan di Desa Sirnaresmi

No. Jenis Tata Guna Lahan Hektar %

01. Hutan ulayat 1.013,00 21

02. Hutan alam lainnya 2.948,48 60

03. Kebun, talun, dan huma 303,40 6

04. Makam 7,00 1

05. Sawah 559,98 11

06. Pemukiman 74,18 1

07. Luas total 4.906,04 100

Sumber : Pemetaan Partisipatif Desa Sirnaresmi ( 2001 )8.

Catatan: Terdapat selisih sekitar 11 hektar antara data ini dengan data luas desa menurut

monografi Desa Sirnaresmi Triwulan 1, 2008.

Kebun: Di kalangan warga kasepuhan pengertian kebun adalah areal garapan yang

ditanami palawija dan sayur mayur. Singkong, talas, tomat, cabai, dan mentimun adalah

tanaman yang dapat dijumpai di dalam sebuah kebun. Umumnya kebun berdekatan

dengan tempat tinggal warga, sehingga dapat dengan segera memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. 8 Saat ini Pemda Sukabumi dengan melibatkan perwakilan komunitas-komunitas kasepuhan sedang melakukan survey untuk pemetaan ulang mengenai tata ruang dalam kabupaten, termasuk di dalamnya pemetaan tata guna lahan komunitas kasepuhan dengan dukungan dana dari JIO, sebuah perusahaan pertambangan emas (sumber: wawancara Ugis Suganda, 28 Mei 2008)

28

Page 29: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Talun: Ada yang menyebutnya dengan kebon kayu, karena umumnya ditanami pohon

kayu, baik pohon buah-buahan maupun bukan. Kebon kayu atau talun yang dibiarkan

dalam waktu bertahun-tahun tanpa ditebang untuk diambil kayunya akan menyerupai

hutan, sehingga sering diidentifikasi sebagai hutan rakyat dalam konsep kehutanan

akademis. Rambutan, nangka, jengkol, mangga, manii, akasia, durian adalah beberapa di

antara pohon kayu yang mudah dijumpai dalam sebuah talun atau kebon kayu. Pada

umumnya terletak cukup jauh dari pemukiman penduduk.

Huma: Adalah ladang tempat menanam padi non-irigasi. Selain padi dapat pula dijumpai

labuh, berbagai jenis kacang, yang ditanam dengan sistem tumpang sari. Ladang yang

dibiarkan tanpa diolah disebut sebagai reuma, untuk membedakannya dengan huma yang

diolah. Reuma yang telah lebih dari 3 tahun tidak diolah dan ditumbuhi ilalang dan

sejumlah pohon kayu disebut trasan. Sedangkan reuma yang belum ditumbuhi pohon

kayu dan tidak diolah dalam selang waktu dua tahun untuk mengembalikan

kesuburannya, dan dibuka kembali menjadi ladang kadang disebut sebagai jami pada

waktu sedang dibuka kembali (dan sebelum benar-benar menjadi huma lagi).

Areal pemakaman di Sirnaresmi kurang lebih 7 hektar luasnya dengan letak yang lebih

tinggi dari pemukiman. Pertimbangan memilih lokasi pemakaman yang lebih tinggi dari

pemukiman adalah agar areal pemakaman jangan sampai dialiri sampah dan kotoran dari

areal pemukiman ketika ada hujan. Tempat pemakaman adalah tempat ziarah penduduk

sebelum memulai siklus tanam untuk memanjatkan doa dan meminta ’restu’ dari leluhur

mereka. Selain itu juga merupakan tempat ’melapor’, yaitu menceriterakan apa saja yang

telah mereka lakukan dalam satu siklus tanam yang telah berlalu.

Sawah: Adalah areal irigasi yang ditanami padi sawah dengan aturan-aturan perbintangan

berdasarkan hitungan kalender lunar (kalender Islam). Kegiatan bertani di sawah

umumnya dipandu oleh pembacaan terhadap kedudukan konstelasi bintang ’kidang’ dan

’kereti’ atau ’karti’ ( RMI, 2000 ; FGD dengan masyarakat Mei 2008 ). Dasar

perhitungan tersebut adalah sebagai berikut:

29

Page 30: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

a Tanggal kereti turun beusi, tanggal kidang turun kujang, tilem kidang turun

kungkang. Konstelasi ’kidang’ dan ’karti’ yang bermakna warga kasepuhan

harus sudah mempersiapkan alat – alat untuk bertani.Biasanya konstelasi bintang

ini akan terlihat pada bulan Dzulhijjah.

b Kidang ngarangsang ti wetan, kerti ngarangsang ti kulon / kidang kerti pa ha-

reup – hareup yang merupakan tanda musim kemarau yang lama, ini dijadikan

tanda saat membakar ranting dan daun di huma, biasanya jatuh pada bulan

Muharam.

c Kerti mudun, kidang matang mencrang di tengah langit konstelasi yang berarti

tiba saat menanam padi di huma ( ngaseuk ), biasanya jatuh pada bulan Muharam.

d Kidang medang turun kungkang artinya bintang kidang dan kereti mulai hilang

dari pandangan, yang biasanya menandakan akan datang kungkang ( hama padi),

umumnya terjadi pada bulan Rajab / Ruwah.

e Kerti kidang ka kulon, konstelasi ini menjadi tanda datangnya musim hujan, dan

biasanya jatuh pada bulan Hapit / Rayagung.

Pemukiman: Areal pemukiman di Desa Sirnaresmi seluas 74,18 ha mencakup bangunan

rumah, bangunan tradisional dan sarana desa seperti balai desa, masjid, mushalla,

toko/warung, sekolah, pos yandu dan lapangan. Dari 4906,46 ha penggunaan lahan,

hanya 0,015% luasan pemukiman.

Hutan ulayat: Yang dimaksud dengan areal hutan ulayat di sini adalah leuweng awisan

dan leuweng garapan, yaitu kawasan hutan yang boleh digarap oleh masyarakat.

Umumnya kawasan ini berada pada lereng-lereng di seputar kampung. Sedangkan pada

kawasan yang lebih tinggi lagi terdapat hutan yang dalam konsep kasepuhan disebut

dengan leuweng titipan dan leuweng tutupan.

Dengan tata guna lahan seperti tersebut di atas, seluruh ruang hidup masyarakat di

Sinaresmi atau dalam Desa Sirnaresmi dapat dikelompokkan menjadi tiga kawasan, yaitu

paling tinggi adalah areal pemakaman, di tengah adalah pemukiman, dan di tempat paling

rendah adalah sawah dan empang, tempat masyarakat memelihara ikan.

30

Page 31: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Vegetasi dan sumberdaya air

Dalam dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak 2007 –

2026, diketahui terdapat 700 jenis tumbuhan berbunga di hutan alam dan terdapat pohon-

pohon yang tingginya mencapai 40 – 45 meter dengan diameter 120 cm pada ketinggian

1000 – 1200 m dpl, jenisnya antara lain: rasamala (altingia excelsea), saninten

(castanopsis argentea), pasang (quercus sp), huru (litsea sp), pinus (pinus merkusii),

damar (agathis sp) dan puspa (schima wallichii). Lebih dari 100 jenis tumbuhan hutan

dimanfaatkan untuk obat traditional, upacara adat dan bahan bangunan.

Menurut keterangan masyarakat, hasil hutan yang paling sering digunakan oleh

masyarakat di Sirnaresmi (dan Citorek), antara lain: tanaman kayu jenis Manii (aprika),

jenjeng (sengon), manglit, lamee, puspa, rasamala, huru hiris, huru polet, huru leuher,

huru limo, huru merah, ki damar, pinus, suren, albasia, manglit, surian, tisuk, mindi,

jabon, tangkalak, padali, teurep, muncang, lengsar, mahoni, aren, bambu, rotan, manggis,

pinang, pisang, durian, nangka, mangga, jengkol, kecapi, petai, kemang, alpukat, kelapa,

pete, bacang, dukuh, kupah, salak, cengkeh, karet dan sebagainya. Kayu rasamala adalah

jenis kayu keras dan sangat mahal harganya, sering sekali digunakan sebagai tiang

rumah. Terdapat pula jenis tanaman obat-obatan, seperti: rumput fatimah dan walang

untuk pengobatan nyeri payudara, taras tulang dan ki cantung untuk nyeri otot.

Desa Sirnaresmi mempunyai 4 mata air yaitu mata air Cipanengah, Cisodong, Cidongkap

dan Cisolok dengan empat sungai yang mengalir di sekeliling desa, yaitu Cidongkap,

Cipanengah, Cisodong dan Cibareno. Kawasan mata air (sarah cai) ini berada dalam

leuweung (hutan) titipan yaitu kawasan yang benar–benar harus dijaga kelestariannya dan

tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun. Leuweung titipan adalah kawasan

terlarang bagi aktivitas manusia – dapat dibandingkan dengan zona inti dalam Taman

Nasional.

Demografi

31

Page 32: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Jumlah penduduk Desa Sirnaresmi adalah 5138 jiwa dengan jumlah laki – laki 2533 jiwa

dan perempuan 2605 jiwa terdiri dari 1.1492 KK yang tersebar ke dalam 7 dusun. Tidak

ada satu pun WNA di sini. Pemeluk Islam 5130 orang dan 8 orang pengikut Gereja

Kristen Pasundan. Ke delapan orang ini Sejas 1960-an telah menjadi penganut Kristen

ketika mereka mengikuti juragan mereka di Pelabuhan Ratu yang merupakan penganut

Kristen. Terdapat 7 buah masjid dan 18 buah mushola. Tidak ada rumah ibadat agama

lain di luar Islam di Sirnaresmi. Data penduduk menurut kelompok usia dapat dilihat

dalam Tabel 5 berikut:

Tabel 5: Data penduduk menurut usia

0 – 5 tahun Tidak ada data

4 – 6 tahun 414 jiwa

7 – 12 tahun 638 jiwa

13 – 15 tahun 297 jiwa

16 – 20 tahun Tidak ada data

20 – 26 tahun 581 jiwa

27 – 40 tahun 1116 jiwa

41 tahun ke atas Tidak ada data

Sumber: Monografi Desa Sirnaresmi Tripulan 1, 2008

Dalam data monografi Desa Sirnaresmi 2008 disebutkan bahwa usia 4- 15 tahun adalah

kelompok pendidikan sedangkan usia 20 – 40 tahun adalah kelompok tenaga kerja. Tidak

diperoleh penjelasan yang memuaskan mengapa data 0 – 5 tahun; 16 – 20 tahun; dan di

atas 40 tahun tidak tercatat dalam monografi tersebut.

Tidak ada data mengenai komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan dalam

monografi desa tahun 2008 maupun 2007, namun menurut keterangan penduduk

sebagian besar kelompok tenaga kerja sudah mengenyam pendidikan dasar dan

menengah. Terdapat beberapa orang yang sempat mengenyam pendidikan sampai

perguruan tinggi, salah satunya adalah Ugis Suganda, narasumber dalam wawancara

penelitian ini. Tetapi ada sedikit data hasil participatory rural appraisal tahun 2000

32

Page 33: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

mengenai komposisi penduduk menurut pendidikan, yaitu sebanyak 338 orang tidak

tamat SD, 825 tamat SD (15 orang diantaranya tamat SLTA). Tidak ada data mengenai

jumlah penduduk yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Sosial-Ekonomi

Sebagian besar warga Desa Sirnaresmi bekerja sebagai petani atau buruh tani di sawah

ataupun ladang. Selain itu sebagian dari kelompok ini mengandalkan sumber mata

pencaharian dari pekerjaan sampingan seperti menjadi pandai besi, penyadap nira,

pengrajin anyam-anyaman, dan penambang emas tradisional. Pekerjaan menjadi

penyadap nira merupakan pekerjaan yang cukup memberikan manfaat melalui proses

nilai tambah menjadi gula aren dan gula semut. Cangkul dan golok, parang dan beliung

adalah hasil kerja pandai besi menurut pesanan pembeli.

Sawah, kebun, talun, dan huma adalah sumber utama ekonomi masyarakat Kasepuhan

Sinaresmi yang berdiam di Desa Sirnaresmi. Sawah ditanami padi, kebun berisi palawija

dan sayur mayur, talun adalah kebun campuran yang berisi banyak tanaman komoditi dan

buah-buahan. Nangka, petai dan jengkol, rambutan, cengkeh, durian dan pohon aren

adalah tanaman yang hampir dapat dijumpai dalam semua talun masyarakat. Huma

adalah ladang untuk padi tadah hujan. Pohon aren adalah salah satu pohon yang sangat

dipelihara oleh masyarakat Sinaresmi. Menurut kata-kata mereka, ‘ini tanaman tidak ada

bagiannya yang tidak dipake orang di sini’. Akarnya untuk ramuan, batangnya untuk

bangunan rumah, daunnya untuk atap, serabutnya untuk ijuk atap, lidinya untuk sapu,

buahnya untuk untuk disadap menjadi nira. Gula semut, pandai besi, dan kerajinan tangan

anyaman adalah tiga industri rumah tangga yang paling berkembang di Sirnaresmi.

Terdapat 61 pelaku ekonomi dalam bidang industri rumah tangga ini.

Sawah di daerah kasepuhan biasanya berbentuk terasering dengan sistem irigasi non

teknis yang airnya berasal dari sungai Cibareno, Cipanengah, Cisodong, dan Cisono.

Sedangkan jenis padi yang ditanam di sawah adalah jenis padi lokal, yang dalam dialek

setempat disebut dengan pare gede yang masa pertumbuhannya sampai siap panen

mencapai 5-7 bulan.

33

Page 34: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Di kebun maupun talun dapat dijumpai banyak pohon (menurut bahasa lokal) manii dan

jenjeng (Akasia). Dua jenis pohon kayu ini dalam beberapa tahun belakangan menjadi

alternatif ekonomi bagi masyarakat. Saat riset dilakukan di Desa Sirnaresmi Mei 2008,

harga kayu manii adalah Rp. 700 ribu/m3 . Pada umumnya pembelinya dari orang

sekampung atau sesama penduduk desa. Pengolahan kayu dilakukan dengan chain-saw

(istilah ini sudah diserap dalam bahasa lokal menjadi senso) yang dapat disewa Rp.

50.000/hari hanya gergajinya saja atau Rp. 150.000/m3 dengan tenaga pemilik chain-saw

yang melakukan pengolahan kayu.

Tidak ada data resmi maupun hasil wawancara yang dapat menggambarkan berapa

jumlah jiwa usia kerja yang merantau ke luar desa atau keluar komunitas untuk mencari

penghidupan di daerah lain. Juga tidak ada data mengenai berapa orang yang kuliah

sampai selesai. Namun peserta FGD 28 – 29 Mei 2008 mengatakan bahwa yang selesai

kuliah umumnya mencari kerja di luar kampung atau daerah lain. Namun sebuah

peristiwa perpindahan belasan keluarga ke Riau pada tahun 2006 mungkin dapat menjadi

alas refleksi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat kasepuhan ini.

Pada pertengahan 2006 belasan keluarga dan anak muda yang pindah berdomisili ke

daerah kampung Talangmamak, di Kabupaten Indragiri Hulu. Penduduk kampung

Talangmamak juga mengklaim diri sebagai masyarakat adat. Uniknya, perpindahan ini

terjadi menurut sebuah kesepakatan informal antara Ugis Suganda yang ketika itu masih

menjadi Dewan Nasional AMAN dengan Dewan Nasional AMAN dari Riau yang berasal

dari kampung Talangmamak. Isi pembicaraan antara mereka adalah mengenai kesediaan

dari pemuka adat di Talangmamak untuk memberikan sebagian lahan bagi penduduk

Kasepuhan Sinaresmi bila mereka mau pindah ke Riau. Melihat keterbatasan lahan kelola

di Sirnaresmi dan sekitarnya, perlu diteliti lebih jauh apakah ada alasan ekonomi di balik

perpindahan ini. Salah satu keluarga muda yang pindah tersebut adalah anak dari Ugis

Suganda.

Mengenai perpindahan sekelompok penduduk ke Riau ini ada pula versi lain yang

34

Page 35: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

menyatakan bahwa perpindahan ini terkait dengan paham aliran kepercayaan tertentu.

Kelompok ini merupakan kelompok pengajian yang disebutkan berhubungan dengan

ajaran dan nama “Isa Bugis”. Mereka sering menjadi buah bibir dari warga di Sirnaresmi.

Kelompok yang menyerupai gerakan mesianik dengan berkiblat pada tokoh tertentu,

kegiatannya adalah pengajian dan pengajaran yang berbeda dengan ajaran Islam

umumnya. Masyarakat setempat khawatir karena beberapa warga Kasepuhan pengikut

kelompok ini keluar dan pergi ke daerah Riau, yang konon menjadi tempat

pengembangan komunitas aliran ini.

Menurut pendapat masyarakat yang diungkapkan dalam FGD 28 – 29 Mei 2008,

keterbatasan lahan yang dialami masyarakat diakibatkan oleh pertambahan penduduk dan

adanya perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Sementara SPPT

atau Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, yang di Sirnaresmi mencapai 808 buah,

umumnya digunakan oleh masyarakat sebagai alat transaksi keuangan. Surat pajak ini

biasanya dijadikan jaminan dalam mendapatkan kredit motor. Jumlah wajib pajak 583

orang dari 1492 KK, mengindikasikan bahwa sebagian besar keluarga belum tercatat

sebagai wajib pajak, baik itu pajak tanah (SPPT) maupun pajak lainnya. Sementara itu

tidak ada sebidang tanah pun yang bersertifikat di Desa Sirnaresmi. Masyarakat

umumnya masih bertanya-tanya tentang manfaat sertifikasi tanah, namun menurut Ugis

Suganda (wawancara Mei 2008) sertifikasi akan menimbulkan masalah tanah antara

penduduk.

Dalam bidang kesehatan, masyarakat menyatakan bahwa manfaat Puskesmas dan

Posyandu sangat dirasakan, terutama bagi kaum perempuan hamil. Meskipun demikian

pengobatan tradisional masih dimanfaatkan terus oleh masyarakat khususnya untuk

penyakit-penyakit ringan. Posyandu berjumlah 7 buah, masing-masing 1 buah di tiap

dusun. Sementara Puskesmas pembantu berjumlah 2 buah.

Dalam bidang pendidikan persoalan yang terungkap dalam FGD adalah jumlah dan

kualitas guru serta kurangnya buku-buku penunjang belajar murid. Untuk empat sekolah

tingkat dasar, yaitu 3 SD dan 1 madrasah, hanya terdapat 15 guru. Meskipun dari segi

35

Page 36: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

fasilitas fisik bangunan gedung sekolah cukup baik dalam arti bangunan tembok

permanen, namun fasilitas meja dan kursi tidak cukup memadai, karena sebagian yang

terlihat di dalam kelas SD Negeri Sirnaresmi, misalnya, sudah mulai rusak. Gedung

sekolah SD Negeri Sirnaresmi terdiri dari dua bangunan, masing-masing terdiri dari 3

kelas. Bangunan lama dibangun oleh Pemda Sukabumi sedangkan bangunan baru adalah

hasil bantuan Bank Dunia melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) 2006.

Perbedaan kualitas fasilitas dalam kelas kedua bangunan ini cukup mencolok mata.

Untuk pendidikan SMP masyarakat harus menyekolahkan anak-anak mereka di daerah

Pelabuhan Ratu. Menurut rencana pemerintah akan dibangun sebuah SMP dalam waktu

dekat di Desa Cimapag, kurang lebih 4 km dari pusat Desa Sirnaresmi.

Sejumlah program pemerintah dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi

masyarakat akan disajikan pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini, terkait dengan

hubungan natara kasepuhan sebagai sebuah entitas sosial politik dengan negara.

Beberapa fasilitas umum, selain infrastruktur kesehatan dan pendidikan, yang dapat

dijumpai di Desa Sirnaresmi disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Jenis infrastruktur fisik di Desa Sirnaresmi

No. Jenis Fasilitas Keterangan

01. Pemerintahan

Balai desa Ada di Kampung

Sirnaresmi

02. Pendidikan

SDN 1 Sirnaresmi

SDN 2 Sirnaresmi

SDN 3 Sirnaresmi

Madrasah Diniyah

Menurut rencana akan segera dibangun

sebuah SMP di Cimapag dalam waktu

Dusun Sirnaresmi

Dusun Cimapag

Dusun Cipulus

Dusun Sirnaresmi

36

Page 37: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

dekat

03. Kesehatan

Pos Yandu

Puskesmas pembantu

7 buah, ada di setiap dusun

2 buah

04. Keagamaan

Masjid

Mushola

7 buah

18 buah

05. Ekonomi

Warung

Toko

85 buah

2 buah

06. Olah raga

Lapangan sepak bola

Lapangan bulu tangkis

Lapangan terbuka

4 buah

3 buah

4 buah

Sumber : Sensus PRA- KS, 2000 dan direvisi berdasarkan monografi Desa Sirnaresmi Triwulan

1, 2008

Di samping infrastruktur kesehatan, pendidikan dan pemerintahan, di Desa Sirnaresmi

juga terdapat beberapa organisasi sosial dan kemasyarakatan. Ada empat kelompok

gugus depan (Gudep) pramuka bagi anak-anak kelompok pendidikan dasar, 1 kelompok

karang taruna dan 7 kelompok PKK. Kelompok karang taruna umumnya giat dalam olah

raga voli dan membantu dalam penyelenggaraan kegiatan kampung, seperti seren taun.

Kegiatan ibu-ibu PKK secara umum tidak bergeser jauh dari urusan ekonomi dan

kesehatan rumah tangga.

Dalam bidang pemerintahan, Desa Sirnaresmi memiliki 4 bidang urusan, yang masing-

masing dipimpin oleh seorang Kaur (kepala urusan), yaitu Kaur Pemerintahan, Ekonomi

dan Pembangunan (Ekbang), Kesehatan dan Sosial (Kesos), dan Ketentraman dan

37

Page 38: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Ketertiban (Tramtib). Kepala desa dibantu juga oleh seorang Sekretaris Desa dan seorang

staff administrasi dan keuangan.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa

komunikasi intra komunitas. Meskipun menurut warga, dialek yang digunakan warga

kasepuhan berbeda dari bahasa Sunda yang umumnya digunakan orang di Jawa Barat.

Kemampuan berbahasa Indonesia rata-rata cukup baik, terutama di kalangan penduduk

usia muda. Beberapa penduduk yang sudah berusia tua agak kesulitan mengungkapkan

gagasan dalam bahasa Indonesia ketika berlangsung FGD, meskipun mereka tampak

memahami apa yang ditanyakan dalam bahasa Indonesia oleh anggota tim peneliti. Oleh

karena itu pula tayangan acara di televisi umumnya dapat diikuti dan dipahami oleh

penduduk kasepuhan.

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, selain 8 orang yang menjadi

pengikut Gereja Kristen Pasundan, semua penduduk memeluk agama Islam. Dengan

adanya 7 buah masjid dan 18 buah mushola, yang tersebar di tiap dusun agama Islam

masih merupakan salah satu soko guru bangunan sosial budaya masyarakat kasepuhan.

Meskipun demikian nilai-nilai tradisi juga merupakan rujukan yang belum lekang oleh

pengaruh Islam. Dalam siklus pertanian dan siklus lahir-kawin-mati pengaruh tradisi

masih kuat terlihat. Ziarah ke makam leluhur sebelum memulai siklus pertanian dan

hitungan hari baik berdasarkan neptu (nilai hari), serta arah hadap lumbung atau leuit

yang harus dari utara ke selatan adalah beberapa tradisi yang masih kuat pengaruhnya

bagi perilaku sosial masyarakat.

Identifikasi Diri

38

Page 39: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Terlepas dari ada atau tidaknya wacana masyarakat adat, masyarakat kasepuhan9

umumnya memandang diri mereka sebagai sebuah komunitas10. Berdasarkan sumber

informasi tutur diperoleh dari narasumber, yang merupakan pemuka adat dalam

kasepuhan ( Amil Buchori dari Sinaresmi dan Ugis Suganda dari Ciptagelar, dua-duanya

berdiam di Desa Sirnaresmi) faktor yang mempersatukan warga komunitas ini antara lain

adalah faktor sejarah lisan dan sistem nilai budaya yang berkembang di dalam komunitas.

Sejak mereka bersentuhan dengan wacana masyarakat adat, dan beberapa di antara

pemuka adatnya mulai melihat pentingnya organisasi dalam menunjang tuntutan11, dan

dengan adanya ketegangan yang dialami dalam berhadapan dengan pihak Perhutani dan

Taman Nasional Gunung Halimun Salak, ada semacam rasa kesamaan nasib yang

mempersatukan komunitas-komunitas kasepuhan. Secara umum masyarakat kasepuhan

membedakan diri dari masyarakat lain berdasarkan sejumlah faktor, yang terungkap

dalam FGD. Faktor-faktor tersebut adalah:

- Ikatan sosial dan solidaritas yang dibentuk oleh kesamaan garis keturunan

atau kekerabatan dan wilayah.

- Dialek sehari-hari; komunitas kasepuhan membedakan dialek warga

kasepuhan sebagai dialek sunda kula, sedangkan menurut mereka di tempat

lain di Jawa Barat dialek yang digunakan adalah sunda kuring. Kula dan

Kuring mempunya pengertian sama, yaitu: ’saya’ atau ’aku’.

- Sebutan orang-orang yang menjadi tokoh: Laki laki = Ki; Perempuan = Ni

- Perilaku sehari-hari, misalnya ketika hendak melakukan hajatan tertentu selalu

minta ridho atau restu dari orang tua dan leluhur. Juga adanya derep, yaitu

ikut menikmati hasil panen (mendapat sebagian hasil panen) bila ikut kegiatan

9 Menurut Adimihardja (1992;4), istilah Kasepuhan berasal dari kata sepuh yang berawalan ka dan berakhiran an. Sepuh adalah sinonim dari kolot (bahasa Sunda) yang berarti ’tua’. Sebutan Kasepuhan menunjukkan suatu sistem kepemimpinan dari suatu komunitas atau kelompok sosial, dimana semua aktivitas anggotanya berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti adat kebiasaan warisan orang tua atau adat kebiasaan nenek moyang.

10 Istilah ‘komunitas’ di sini dipakai untuk menunjukkan adanya ikatan sosial budaya dan ada solidaritas antar warga sebuah kelompok masyarakat, baik secara genealogis maupun teritorial.11 Ugis Suganda dan Amil Buchori adalah dua orang pemuka adat kasepuhan yang cukup aktif dalam

AMAN sejak 1999. Dan sejak 2003 ikut terlibat dan ikut membidani lahirnya organisasi masyarakat di Jawa (Persatuan Masyarakat Adat Pulau Jawa, atau Pamapuja). Dalam satu dua tahun belakangan kegiatan mereka di organisasi agak mengendur dan lebih berkonsentrasi dalam upaya pengakuan oleh Pemda Sukabumi, antara lain melalui upaya pemetaan.

39

Page 40: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

memanen meskipun tidak ikut kegiatan-kegiatan sebelumnya seperti

menyiapkan lahan dan menanam.

- Sistem pertanian masih secara tradisional dan pola bercocok tanam menurut

sistem perbintangan dan kalender lunar (Islam) yang salah satu implikasinya

adalah seren taun selalu bergeser 10 hari tiap tahun berdasarkan pergeseran

bintang kidang dan karti.

- Waktu bertani diatur oleh buku taun sandi bulan.

- Masih kuatnya nilai penghormatan terhadap bumi dan langit sebagai simbol

ibu dan bapak

Di samping itu, faktor sejarah sangat berperan dalam membentuk kesadaran

masyarakatnya dalam mengidentifikasi diri sebagai sebuah komunitas. Hal ini dapat

dilihat dari kuatnya cerita lisan mengenai asal usul kasepuhan yang dihubungkan dengan

kejatuhan Pajajaran (yang Hindu) akibat serbuan serangan Kesultanan Banten (yang

Islam). Dalam mitos Sunda, raja yang sangat terkenal akan keberanian dan

keberhasilannya membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya adalah Prabu

Siliwangi. Sedangkan kerajaan yang diperintah Prabu Siliwangi adalah kerajaan Sunda

Hindu terakhir yang berpusat di Pakuan Pajajaran ( sekarang Bogor, Jawa Barat ) sekitar

1579 ( Adimihardja, Kusnaka, 1992 ). Namun nama Siliwangi hampir tidak dijumpai

dalam prasasti yang ditemukan di tatar Pasundan. Nama itu lebih sering mengapung

dalam babad, wawacan dan pantun. Sesungguhnya Prabu Siliwangi tak lain adalah Sri

Baduga Maharaja, yaitu raja ke-5 yang pernah bertahta di Kerajaan Sunda pada tahun

1482 – 1521 M ( Sutaarga, dirujuk Adimihardja, 1992 ).

Sejak runtuhnya Pajajaran dan berakhirnya kekuasaan Prabu Siliwangi, banyak penduduk

yang masih setia pada Pajajaran meninggalkan ibukota kerajaan dan menyingkir ke

pelosok – pelosok ( Pleyte 1904, dirujuk oleh Adimihardja 1992 ). Bekas ibukota

kerajaan tidak diketahui kisahnya sampai pada 1687 ketika sebuah ekspedisi pasukan

Belanda menemukan bekas puing-puingnya

40

Page 41: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Menurut sejarah lisan masyarakat Kasepuhan Sinaresmi, mereka adalah bagian dari

masyarakat yang menyingkir tersebut (wawancara dengan Ugis Suganda dan Buchori).

Hal ini dibuktikan dengan sumber Banten yang ditulis oleh Roesjan ( 1954 ) yang disitir

oleh Adimihardja ( 1992 ) yang mengemukakan bahwa pada tahun 1579 Pakuan

Pajajaran digempur habis – habisan oleh tentara Banten. Sebanyak 800 anggota lingkaran

dalam kerajaan melarikan diri ke lereng Gunung Cibodas dan Gunung Palasari. Di antara

mereka ada yang menyingkir ke Jayanga ( sekarang Jasinga ) dan sekitar Bayah, bahkan

ada yang melarikan diri ke daerah pertapaan Sang Hyang Sirah dan Borosngora di

Ujungkulon. Ada pula yang menggabungkan diri dengan penghuni Parahyang ( Baduy ).

Di duga bahwa kelompok yang menyingkir ini adalah gabungan dari kelompok istana

atau ibukota dengan rakyat kebanyakan. Sebuah pantun Sunda dari Bogor, berjudul

’Dadap Malang Sisi Cimandiri ’ yang dikisahkan oleh juru pantun Ki Baju Rambeng

pada tahun 1908, menceriterakan tentang bagaimana rakyat Pakuan menyelamatkan diri

dari gempuran tentara Banten. Di antara mereka ada yang menyingkir ke arah barat dan

selatan ke sekitar Gunung Kendeng dan Halimun, di daerah pegunungan itulah mereka

masih menjalankan ritual yang sudah menjadi tradisi sejak Pajajaran masih jaya.

Di samping sejarah lisan yang menyerupai sejarah tertulis hasil penelitian tersebut, juga

terdapat versi lain dari sejarah lisan terbentuknya Kasepuhan Sinaresmi. Menurut Amil

Buchori, terbentuknya kasepuhan ini adalah dari sejarah perpindahan komunitas nomadik

yang kemudian menetap, akibat pengaruh perkembangan sosial politik. Secara singkat

sejarah perpindahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. tahun 611 – 807 di wilayah Seni

2. tahun 807 – 1001 di wilayah Kadu Luhur

3. tahun 1001 – 1181 di wilayah Jasinga

4. tahun 1181 – 1381 di wilayah Lebak Binong Banten

5. tahun 1381 – 1558 di wilayah Cipatat Urug

6. tahun 1558 – 1720 di wilayah Lebak Larang Banten

7. tahun 1720 – 1797 di wilayah Lebak Binong Banten

8. tahun 1797 – 1834 di wilayah Pasir Talaga

9. tahun 1834 – 1900 di wilayah Tegal Lumbu Banten

41

Page 42: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

10. tahun 1900 – 1937 di wilayah Cisono Banten

11. tahun 1937 – 1960 di wilayah Cicemet, Cikaret

12. tahun 1960 – 1982 di wilayah Cikaret, Ciganas

13. tahun 1982 – 2002 di wilayah Sirnaresmi, Ciptagelar

Dalam tiap perpindahan, penduduk menggarap lahan di wilayah baru dan hanya

meninggalkan tradisi ‘nyekar’ ke wilayah-wilayah sebelumnya. Itupun bila ada

peninggalan makam leluhur. Komunitas Kasepuhan Sinaresmi menggambarkan latar

belakang asal muasal leluhur mereka sebagai mempunyai kaitan dengan prosesi ritual

adat dalam kegiatan perladangan. Menjelang permulaan kegiatan berladang dan setelah

syukuran panen, para sesepuh adat, perangkat dan pemimpin Kasepuhan melakukan acara

ritual ngembang atau ziarah kubur ke beberapa kuburan yang dianggap mempunyai

hubungan dengan sejarah keberadaan dan leluhur mereka, yang ada disekitar kawasan

hutan dalam Desa Sirnaresmi dan di luar desa, seperti: kuburan di Cipatat Urug - Bogor,

di Cisono, Tegallumbu, Lebak Larang, Lebak Binong daerah Banten. Tempat-tempat ini

diyakini berhubungan dengan tempat dan asal muasal leluhur mereka.

Di samping faktor sejarah, ada pula sistem nilai yang mengikat kelompok kasepuhan.

Dapat di lihat pengaruh Islam yang cukup kuat, namun masih juga tampak tradisi yang

dipengaruhi Hindu seperti kepercayaan akan adanya ‘roh’ yang menghuni tempat-tempat

tertentu dan perlu diberi sesajen pada waktu-waktu dan ritual-ritual tertentu. Kisah

mitologis mengenai Dewi Sri Pohaci sebagai asal usul padi di kalangan komunitas ini

yang perlu dihormati dengan tindakan tertentu adalah salah satu buktinya.

Selain dari itu dapat dijumpai adanya tradisi dan sistem nilai yang sudah mendapatkan

pengaruh baik dari Hindu maupun dari Islam yang berkembang di tengah komunitas-

komunitas kasepuhan. Pengetahuan dan tradisi nenek moyang tersebut disebut “tatali

paranti karuhun”, yang memuat pedoman, norma dan sistem nilai, pandangan moral dan

etik secara tidak tertulis, sebagai kaidah dan acuan bersikap dan berperilaku dalam

melakukan interaksi dengan sesama dan dengan lingkungan alam yang harmonis.

Pelanggaran adat ataupun kelalaian terhadap “tatali paranti karuhun” tidak mengenal

42

Page 43: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

sanksi nyata dari aturan atau dari struktur adat. Komunitas kasepuhan meyakini bila

terjadi pelanggaran ataupun kelalaian kepatuhan terhadap tata nilai adat ini, maka akan

terjadi malapetaka atau Kabendon. Wujudnya dapat berbentuk sakit penyakit, kegagalan

panen, bencana yang tidak diduga, penderitaan, keburukan dan sebagainya(Adimihardja,

1992). Untuk kasus kriminal, umumnya dibawa ke lembaga peradilan umum negara.

Salah satu tata nilai dalam ‘tatali paranti karuhun’ adalah: “tilu sapamulu, dua sakarupa,

hiji eta-eta keneh”, yang secara harfiah artinya ‘tiga se wajah, dua se rupa, satu yang itu

juga”. Tata nilai ini mengandung pengertian bahwa hidup hanya dapat berlangsung

dengan baik dan tenteram bila dipenuhi tiga syarat, yaitu (1) tekad, ucap dan lampah,

(niat atau pemikiran, ucapan dan tindakan) harus selaras dan dapat dipertanggung

jawabkan kepada incu-putu (keturunan warga kasepuhan) dan sesepuh (para orang tua

dan nenek moyang); (2) jiwa, raga dan perilaku, harus selaras dan berahlak; (3)

kepercayaan adat, negara dan agama, harus selaras, harmonis dan tidak bertentangan satu

dengan lainnya.

Keselarasan ini merupakan sebuah cerminan relasi langit dan bumi karena menurut

kepercayaan mereka adalah keturunan Pancer Pangawinan. Pancer memiliki arti akar

utama yang yang tumbuh sedangkan pangawinan adalah mengawinkan antara bumi

dengan langit/semesta, manusia dengan kemanusiaannya, dan mengawinkan raga dengan

hati, yang ghaib dengan lahir, ucap dan ‘ lampah ‘ atau tingkah laku.

Ekspresi atau cerminan dari tata nilai ini dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan

Sinaresmi dapat dilihat dari tradisi mereka. Dalam kehidupan sosial dan ekonomi terdapat

ungkapan, sebagai berikut: “mipit kudu amit, ngala kudu menta”, artinya kalau ingin

memanen atau memetik hasil di sawah dan ladang, terlebih dahulu memohon doa kepada

pencipta; “nganggo kudu suci, dahar kudu halal, kawalan ucap kudu sabenerna”, artinya

segala yang dipakai, digunakan dan dimakan harus didapatkan dengan cara-cara yang

sesuai dengan aturan yang berlaku, halal, harus baik dan suci, tidak berbohong, berkata

benar dan jujur; “nyanghulu ka hukum, nyanghujar ka nagara, mupakat jeung balarea”,

artinya segala keputusan yang diambil harus berdasarkan musyawarah bersama, hidup

43

Page 44: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan berlindung pada negara.

“Kasatuan” atau persatuan merupakan salah satu nilai dan ciri khas komunitas

Kasepuhan, bukan hanya persatuan dalam arti adanya ikatan geneologis dan sejarah

leluhur yang sama, tetapi adanya ikatan yang sama dan rasa se nasib se penanggungan

dalam lingkup incu putu pengikut Kasepuhan dan warga lainnya dalam lingkup kesatuan

teritori adat dan desa. Istilah kasatuan digunakan oleh sejumlah warga kasepuhan untuk

menegaskan identifikasi diri sekaligus sebagai wujud sikap kritis terhadap istilah

kasepuhan yang menurut mereka diintrodusir oleh pihak luar (menurut wawancara

dengan Ugis Suganda dan Amil Buchori, istilah kasepuhan pertama kali diperkenalkan

oleh Solihin G.P pada 1968 ketika menjabat pertama kali sebagai gubernur Jawa Barat).

Secara umum masyarakat kasepuhan juga mempunyai konsep dan pola budaya yang khas

dalam arsitek perumahan dan perkampungan, pakaian, klaim dan hak wilayah, perasaan

terikat dengan tanah, melakukan ritual adat mulai dari kelahiran hingga kematian, ritual

adat pertanian sawah dan ladang yang khas, adanya lembaga sosial yang dipimpin oleh

seorang Abah dengan jabatannya diwariskan turun temurun kepada anak lelaki. Peran

utama lembaga adat adalah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan upacara adat

semisal seren taun, mewakili masyarakat kasepuhan dalam berurusan dengan pihak luar,

dan menjadi penjaga konsep moral dan etika masyarakat kasepuhan. Penjagaan moral dan

etika ini umumnya melalui petuah dan wangsit atau ramalan. Salah satu contoh adalah

ramalan dalam cerita lisan yang berbunyi Lajang damar taminyakan yang artinya, bahwa

akan ada lampu yang tanpa minyak. Ini kemudian diterjemahkan sebagai masuknya

listrik ke kasepuhan.

Masyarakat percaya untuk membangun rumah perlu waktu yang tersendiri dan ritual adat,

dengan memperhatikan pendapat pemimpin kasepuhan. Misalnya, jika rumah dibangun

pada bulan Muharram dan pintu menghadap ke kidul (selatan) maka dilarang membuka

pintu ini pada hari sabtu dan minggu (ahad), sebab ini akan memberikan pertanda buruk

bagi pemilik rumah. Arsitektur rumah warga Kasepuhan mempunyai bentuk –bentuk

khas, yang dalam bahasa lokal disebut: bapang, sontog, tagog anjing, julang ngapak,

44

Page 45: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

jingjing reugis dan julang ngapak.12 Setiap rumah terdapat bagian-bagian, yakni:

Pangdaringan atau bangunan berbentuk segi empat, terbuat dari bahan kayu dan ditutupi

dengan tirai/ pintu dari kayu; Hawu untuk tempat masak; Sepen untuk ruangan tidur.

Rumah pemimpin Kasepuhan biasanya menggunakan tiang awi sejenis bambu, berfungsi

sebagai tempat penyimpanan benda pusaka dan ajaran tradisi. Bambu yang kosong

dipahami juga sebagai simbol dari jiwa manusia yang lahir kedunia (Wawancara

Sirnaresmi, Mei 2008).

Ciri khas berpakaian kaum pria seluruh komunitas kasepuhan (termasuk Baduy) adalah

menggunakan ikat kepala terbuat dari kain batik, baju koko dan sarung. Sedangkan

perempuan menggunakan kebaya dan kain sarung. Sering kali ini ditafsirkan sebagai

pengaruh Islam oleh masyarakat setempat. Cara berbusana harus menggambarkan

komunitas sebagai orang berakhlak dan terhormat, misalnya untuk perempuan dianggap

kurang baik kalau menggunakan baju kaos, celana jeans atau rok yang ketat dan

memperlihatkan lekukan tubuh dan bagian tertentu yang terbuka. Demikian halnya pria

dianggap tidak sopan bila tidak mengenakan baju apabila di hadapan umum dan ketika

bertatap muka dengan tamu yang datang.

KELEMBAGAAN ADAT DAN HUBUNGAN DENGAN NEGARA

Sekilas sejarah terbentuknya Kampung Sirnaresmi

Terbentuknya Kampung Sirnaresmi berawal dari adanya kekacauan yang ditimbulkan

DI / TII di Cicemet ( sekarang bagian dari Desa Sirnaresmi ). Oleh sebab itu warga

pindah ke suatu tempat yang sesuai untuk berladang dan berkebun, di tempat itu mereka

membuat rumah, terbentuklah suatu babakan yang diberi nama Cikaret. Seiring dengan

pertumbuhan pennduduk, Cikaret menjadi suatu kampung ( hasil wawancara dengan Ugis

Suganda Mei 2008 ).

12 Bapang berbentuk bangunan dengan dua bidang atap; Sontog menyerupai bentuk bangunan limas; Tagog anjing adalah bangunan dengan satu atap dan bagian depannya ada serambi untuk istirahat; Julang ngapak, bangunan atapnya menyerupai bentuk sayap disisi kiri dan kanan; Jinjing reugis menyerupai bentuk julang ngapak tetapi salah satu sayapnya dihilangkan; Gajah nyusu adalah bentuk bangunan terdiri dari rumah utama dan rumah tambahan.

45

Page 46: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Pada tahun 1959, diadakan pertemuan antara tokoh masyarakat dari Kabupaten Bogor,

Sukabumi, Lebak, Pandeglang dan Serang, dengan penguasa perang saat itu di kawasan

ini yakni KOREM Surya Kancana. Mereka bersama – sama merumuskan sistem

pengamanan DI / TII dengan sebutan “ Pagar Beutis ‘. Dengan izin dari Ama Rusdi,

sebagai tuan rumah dan sesepuh kampung, Juru Penerangan Kecamatan Cicurug,

Muchidin, mengusulkan penggantian nama Kampung Cikaret menjadi Sirnaresmi.

Penggantian nama kampung tersebut kemudian dikukuhkan oleh Mayor Isak Djuarsa,

Danrem Surya Kencana, Bogor. Sirna memiliki arti hilangnya kekacauan dari kerusuhan

yang dilakukan DI / TII dan arti resmi adalah lebih pada terbentuknya kampung baru

secara sah dan aman. Kebetulan bahwa penduduk kampung baru ini adalah warga dari

beberapa kasepuhan, sehingga kampung baru ini kemudian berkembang menurut tradisi

dan nilai adat sekaligus mengikuti irama administrasi dan birokrasi negara.

Pengelolaan Pemerintahan di Tingkat Desa Sirnaresmi: manifestasi relasi adat

dengan negara

Sebagaimana telah dikatakan pada bagian sebelumnya, Kasepuhan Sinaresmi tidak

mempunyai wilayah yang jelas dalam konteks geografis dan sebagian besar penduduknya

terkonsentrasi dalam Desa Sirnaresmi dan desa-desa sekitaranya. Pada dasarnya

pengurusan kehidupan di tingkat desa dan kasepuhan berjalan beriringan, dan sangat kuat

diwarnai karakter konsultatif antara kelembagaan desa dan kelembagaan kasepuhan.

Gambaran tentang struktur kedua kelembagaan ini dapat dilihat di bawah ini:

Desa:

- Kepala Desa

- Sekretaris Desa

- Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Adat:

46

Page 47: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Tabel 7. Jabatan dan tugas lembaga adat kasepuhan

Jabatan Adat Tugas

Tutunggul Memimpin kasepuhan

Sabah ( Penasehat ) Memberikan nasehat kepada Tutunggul Lembur

Ganek dan Girang Serat Ganek: Menjadi pengawal/ajudan; Girang serat: Bertugas

mengatur keperluan / acara adat berfungsi seperti sekretaris.

Bendahara (kata serapan) Mengatur keuangan kasepuhan

Dukun Mengobati orang sakit dan mencegah wabah

Ma Beurang Menolong ibu – ibu untuk melahirkan

Candoli Padaringan

(tukang nyiuk beas )

Mengambil beras dari tempat penyimpanan beras untuk

dimasak pada acara adat terutama selamatan dan juga

membantu untuk memasaknya.

Bengkong Mengkhitan ( sunat ) anak - anak

Paninggaran Melakukan perburuan

Penghulu Memimpin do’a saat kegiatan adat dilaksanakan

Juru Pemakayaan Tani Mengatur kegiatan pertanian, di sawah dan di huma

Kolot Lembur Memimpin kampung / dusun

Sumber : Profil Sirnaresmi, RMI ( 1999), wawancara Mei 2008.

‘Tutunggul ‘ adalah pimpinan tertinggi dalam struktur adat kasepuhan. Di Sirnaresmi

biasa disebut dengan ‘Abah’ sedangkan di Citorek disebut ‘Oyot’. Jabatan ini diperoleh

seorang anak lelaki langsung dari Tutunggul sebelumnya berdasarkan wangsit yang

diterima dari leluhur. Wangsit merupakan pertanda yang diperoleh melalui mimpi atau

peristiwa lain. Selain wangsit, ada juga pertimbangan atas kelebihan (bakat) yang ada

pada seorang anak yang dilihat oleh orang lain (umumnya kalangan para tetua adat).

Seorang Tutunggul memiliki beberapa bawahan dengan tugasnya masing-masing.

Mereka termasuk dalam barisan sesepuh girang, yaitu pengurus adat yang berada di

Kampung Gede. Kampung gede adalah tempat di mana rumah adat (rumah besar atau

imah gede) berada. Di rumah adat inilah berdiam Abah, dan dari sinilah pengurusan

47

Page 48: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

kasepuhan dilaksanakan dan dikontrol. Seorang Abah biasanya dibantu oleh beberapa

orang sabah atau penasehat. Seringkali kelompok sabah ini disebut pula dengan baris

kolot. Sementara orang di dalam struktur adat yang bertugas menemani/mengawal Abah

dalam segala urusan disebut ganek. Di samping ganek juga ada girang serat yang

berfungsi selayaknya sekretaris bagi Abah. Meski demikian kedua posisi ini tidak

menerima perintah langsung dari Abah menurut struktur adat. Yang menerima perintah

langsung dari Abah atau Tutunggul adalah adalah Canoli Padaringan, Mak Beurang,

Bengkong, Juru pamakayan, Paninggaran, Dukun, Panghulu dan Kolot Lembur.

Menjelang seren taun, para tokoh adat berkumpul di pusat kasepuhan (biasanya tempat

kediaman abah) untuk membicarakan keperluan acara, masa ini disebut ponggokan.

Sehari sebelum diselenggarakannya seren taun, para kolot lembur ( kepala kampung )

yang menginduk ke kasepuhan melaporkan keadaan kepada Sesepuh Girang

( Adimihardja, 1992 ). Laporan tersebut menyangkut jumlah jiwa manusia yang

menginduk pada kasepuhan, dihitung mulai dari bayi hingga orang tua ( jiwa usik ).

Selain itu mereka juga harus melaporkan jumlah ternak yang dipelihara ( kambing dan

kerbau ). Proses pelaporan ini disampaikan melalui dukun yang kemudian akan

menyampaikan laporan ke Tutunggul ditandai dengan penyerahan seekor ayam jantan

sebagai simbol bahwa jiwa yang menginduk ke kasepuhan agar dijaga kesejahteraan

hidupnya.

Bagi masyarakat biasa dari luar kasepuhan maupun warga biasa kasepuhan, komunikasi

dengan seorang Abah cukup sulit dalam konteks mencari tahu keterangan mengenai adat

kasepuhan. Seorang Abah terselubung dalam peran mitologis dan legenda dan legitimasi

untuk ini dapat dilihat dari batasan-batasan yang diungkapkan tokoh adat. Peran Abah

secara sosial baru tampak pada upacara seren taun ketika Abah menjadi sosok sentral

dalam ritual ini. Konon waktu untuk dapat berbicara dengan Abah secara bebas sebagai

sesama manusia biasa hanya berkisar satu bulan dalam setahun (kalender lunar Islam).

Dan umumnya seputar hari raya seren taun. Seren taun adalah puncak perayaan siklus

pertanian masyarakat kasepuhan.

48

Page 49: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Dalam prakteknya otoritas penuh berada di tangan ‘Tutunggul’ atau ‘Abah’. Seluruh

struktur di bawahnya adalah pelaksana, yang senantiasa sebelum melakukan tugasnya

harus mendapatkan ‘restu’ dari Abah. Seorang Abah bukanlah pelaku langsung.

Demikian pula dalam hubungan dengan otoritas desa seorang Abah lebih dalam posisi

konsultatif. Hal ini dapat dipahami bahwa penduduk desa umumnya adalah warga

kasepuhan, termasuk struktur pemerintahan desanya sendiri adalah warga kasepuhan,

misalnya Sekretaris Desa saat ini (Mei 2008) adalah Amil Buchori, salah seorang dari

pengurus adat Kasepuhan Sinaresmi. Demikian pula dengan posisi dalam Badan

Perwakilan Desa terdiri dari pemuka adat dan kalangan muda yang dipandang cukup

cerdas, punya kapasitas dan kemauan bekerja di kantor desa.

Hubungan antara adat, agama, dan negara dapat dilihat dalam urusan perkawinan.

Masyarakat kasepuhan mengenal tiga tatacara perkawinan, yaitu (i) sah menurut adat; (ii)

sah menurut (agama); dan (iii) sah menurut negara. Perkawinan adat diatur oleh aturan

buhun atau sistem kepercayaan mereka (dapat dibandingkan dengan Kaharingan di

kalangan masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan; dan sejumlah adat lain).

Perkawinan agama disahkan oleh penghulu/imam dan perkawinan negara diatur dalam

catatan sipil.

Legitimasi politik utama dari seorang yang hendak menjadi kepala desa di Sirnaresmi

adalah ‘restu’ dari Abah dan kokolot lembur atau para baris kolot. Ini adalah bentuk lain

dari relasi struktur kasepuhan dengan struktur negara yang direpresentasikan oleh desa.

Hal ini agak membingungkan orang luar, karena Abah tidak pernah mengungkapkan

aspirasi politiknya secara terang-terangan kepada umum. Sementara siapa pun yang

menghadap Abah dalam rangka pencalonan dirinya menjadi Kades akan menyatakan

bahwa Abah sudah merestui dirinya. Namun dalam kenyataannya, ‘restu’ Abah yang

sesungguhnya diberikan kepada seseorang akan disampaikan kepada orang terdekatnya

dalam struktur adat untuk dilanjutkan dalam tindakan politik praktis. Orang terdekat ini

biasanya dari kalangan kokolot lembur yang termasuk dalam sesepuh girang. Kokolot

lembur atau sesepuh girang kemudian mengutus orang kepercayaannya untuk

‘membisiki’ warga komunitas kasepuhan. Tindakan ‘membisiki’ ini biasanya dilakukan

49

Page 50: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

pada malam sebelum pemilihan esok harinya. Tindakan politik praktis mempengaruhi

opini warga ini dalam istilah beberapa warga disebut ‘gerilya’. Hal yang menarik adalah

bahwa untuk menjadi kepala desa Sirnaresmi seorang kandidat perlu menarik simpati dari

tiga orang Abah yang memimpin tiga kasepuhan, yaitu Siinaresmi, Ciptagelar, dan Cipta

Mulya. Yang juga menarik adalah ungkapan nyata dari masyarakat bahwa ‘money

politics’ terjadi dalam pemilihan kepala desa. Ternyata yang dimaksud adalah

pertimbangan kemampuan finansial calon atau kandidat kepala desa.

Relasi antara sistem adat dan negara dapat juga dilihat secara longgar dalam tradisi

pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini masih kental diwarnai tradisi dan

oleh karena itu peran lembaga adat pun masih cukup kuat dalam konteks ini. Peraturan

adat mengenai tidak boleh mengambil kayu untuk bangunan rumah atau bangunan apa

pun yang memiliki api dapur – berlangsung antara 15 bulan Ruwah sampai 15 bulan

Hijriah – masih dilaksanakan masyarakat kasepuhan sampai sekarang. Uniknya,

peraturan ini dapat dikatakan berlaku dalam desa Sirnaresmi karena penduduk desa

adalah warga kasepuhan. Dengan demikian, aturan adat yang mengikat warga kasepuhan

sekaligus juga mengikat penduduk desa, meskipun tidak secara formal dan mengikat

secara hukum negara. Sebaliknya, aturan desa juga berimbas langsung pada warga

kasepuhan melalui kepala desa dan perangkatnya.

Kepala desa, yang dipilih langsung masyarakat dan disahkan Bupati Sukabumi, adalah

struktur negara yang menjadi perangkat penerusan kebijakan negara yang akan dijalankan

di desa, dan karena itu berimplikasi terhadap warga desa yang sekaligus adalah warga

kasepuhan. Otoritas sebagai bagian dari struktur pemerintahan negara ini dapat dilihat

dalam sejumlah proyek yang dilaksanakan pemerintah, baik itu merupakan proyek

pemerintaha maupun yang merupakan kerja sama dengan lembaga-lembaga

pembangunan tingkat internasional.

Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini:

a. PPK atau Program Pengembangan Kecamatan

b. PNPM atau Program Nasional Pengembangan Masyarakat Mandiri

50

Page 51: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

c. PHBS atau program Pola Hidup Bersih dan Sehat

d. MMK atau Masyarakat Mandiri Kesehatan

Program-program ini melibatkan sejumlah dinas seperti:

- Dinas Pertanian

- Dinas Kesehatan

- Dinas Pendidikan

Dalam pelaksanaannya di tingkat desa, program ini termanifestasi dalam bentuk

kegiatan-kegiatan sektoral di bawah bendera program desa yang dikoordinir kecamatan.

Bidang kesehatan misalnya mencakup:

a. Kesling atau kesehatan lingkungan

b. Tumbang atau tumbuh dan berkembang

c. Tabulin atau tabungan ibu bersalin

Bidang pendidikan, misalnya, berbentuk program Gemar Motekar untuk pemberantasan

buta huruf sedangkan program gemar binangkit adalah untuk pengembangan ekonomi

rakyat. Salah satu program PPK yang masih berjalan sampai saat penelitian dilakukan

adalah Proyek Pengembangan Kecamatan Indeks Pengembangan Manusia Sekolah

Lapang Akselerasi Ekonomi Produktif atau PPK IPM SL AEP. Program dengan nama

sangat panjang dan rumit ini adalah program peningkatan kemampuan baca tulis di

kalangan warga desa dengan kelompok sasarannya adalah:

- Kelompok keaksaraan fungsional ( KF, serupa dengan pemberantasan buta

huruf)

- Paket A

- Paket B

- Paket C

Khusus Paket A sumber dananya dari APBD Kabupaten, sedangkan untuk KF, Paket B

dan C sumber dananya dari APBD Propinsi. Perbedaan sumber dana ini berdampak pada

perkembangan dan capaian dari pelaksanaan program. Total dana untuk Paket A adalah

Rp. 16.800.000, sedangkan untuk KF, Paket B dan C berjumlah Rp. 81.416.500.

51

Page 52: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Semua program ini sampai ke desa melalui Pemerintah Daerah Kabupaten, Kecamatan,

baru kemudian di sampaikan kepada semua kepala desa. Mekanisme yang digunakan

umumnya adalah kepala desa diundang untuk membicarakan berbagai program ini di

Kabupaten bersama dengan pemerintahan kecamatan. Setelah itu pemerintah desa

bertugas dan bertanggung jawab untuk sosialisasi program ini ke desanya masing-masing

melalui para kepala dusun. Dalam rangka sosialisasi inilah salah satu kegiatannya adalah

‘meminta restu’ dari ‘Abah’ atau ‘Tutunggul’ kasepuhan. Menurut hasil wawancara dan

diskusi terfokus, belum pernah terjadi dalam ingatan narasumber maupun peserta diskusi,

kelembagaan kasepuhan menolak sebuah program.

Salah satu wujud nyata dari program PPK adalah gedung sekolah dasar SD Negeri

Sirnaresmi sebanyak tiga kelas yang dibangun pada 2006 dengan dukungan World Bank.

Juga Puskesmas Pembantu adalah hasil dari program bidang kesehatan yang mencakup

PHBS dan MMK.

Di samping itu ada pula proyek Gerhan atau Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan

Lahan yang digalang oleh Departemen Kehutanan pada 2007 di Kasepuhan melalui

Dinas Kehutanan. Areal percontohan seluas 25 ha mengambil lokasi kebun-kebun

masyarakat. Benih disiapkan oleh Dinas Kehutanan sebanyak 7000 pohon. Areal ini

terletak di blok Gunung Bugis I, Sirnaresmi, Cisolok.

Semua proses dan mekanisme penerapan proyek ini berlangsung seperti yang telah

disebutkan di atas. Kunjungan dari aparat pemerintahan biasanya pada saat mulai

dilaksanakannya sebuah program dan sekali-sekali pada saat mereka melalukan evaluasi

(menurut penuturan anak Amil Buchori ketika sedang memandu tim peneliti ke kawasan

percontohan Gerhan dan program PPK dll., Mei 2008). Proyek Gerhan sendiri tidak

menunjukkan hasil yang jelas, karena menurut keterangan pemandu dan beberapa orang

yang ditemui di dalam kebun mereka yang menjadi bagian dari areal Gerhan, pohon-

pohon yang ramai dalam kebun tersebut sudah lama adanya dan ditanam oleh mereka

52

Page 53: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

sementara proyek Gerhan 2007 belum menunjukkan hasil apa pun, dan cukup banyak

tanaman pohon tersebut yang mati setelah di tanam di dalam areal kebun.

Pengembangan Taman Nasional menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan

program-program Perhutani mungkin merupakan program pemerintah yang sejauh ini

menimbulkan ketegangan eksplisit. Dari perpektif konflik, ketegangan ini sudah manifest

meskipun tidak dalam bentuk bentrokan antara kedua pihak dengan cara kekerasan.

Berbeda dengan program-program lain yang mengambil lahan kelola masyarakat atau

tidak membatasi akses mereka ke tanah dan hutan, maka program Taman Nasional

Gunung Halimun Salak maupun kebijakan Perhutani dipandang nyata-nyata membatasi

akses masyarakat ke tanah dan hutan.

Dalam pandangan masyarakat, pengalaman mereka dalam menghadapi kebijakan dan

struktur manajemen TNGHS dan Perhutani diungkapkan dalam pembedaan yang jelas,

yaitu:

- Perhutani membolehkan masyarakat menggarap dalam kawasan hutan tetapi

harus membayar pungutan

- TNGHS membuat hutan dijaga tetapi masyarakat tidak boleh menggarap di

mana mereka pandang lahan potensial. Masyarakat hanya boleh menggarap

dalam kawasan yang menurut zonasi peruntukannya memang untuk digarap

oleh masyarakat adat. Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan zonasi umum

dari sebuah taman nasional.

- Di bawah TNGHS masyarakat mengkhawatirkan bahwa suatu saat nanti

masyarakat sama sekali tidak bisa memperoleh kayu dari kawasan di sekitar

kampung mereka, meskipun itu hanya untuk bangunan rumah dan bukan

untuk diperdagangkan.

Dalam proses perluasan TNGHS semua peserta FGD menyatakan bahwa masyarakat

tidak diajak konsultasi mengenai implikasi dan dampak dari perluasan. Bahkan banyak

masyarakat tidak tahu menahu apa dan bagaimana itu taman nasional, sehingga ada

peserta yang bertanya mengenai boleh tidaknya menggarap dalam taman nasional dan

53

Page 54: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

untuk apa taman nasional. Dalam penyelenggaraan TNGHS ada perangkan manajemen

taman nasional yang oleh masyarakat dikenal dengan kader konservasi, yang diambil dari

kalangan penduduk desa dan warga kasepuhan. Fungsi dan tugasnya adalah distribusi

informasi mengenai kebijakan taman nasional dan rencana-rencana terkait

keberadaannya.

Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah dan politik lokal turut

mempengaruhi tanggapan sebuah pemerintah daerah terhadap kebijakan nasional. Dalam

konteks TNGHS misalnya, berbeda dengan Bupati Sukabumi yang menerima kehadiran

taman nasional, Bupati Lebak yang sekarang (Mulyadi Jayabaya, akan berakhir pada

2008) justru menolak perluasan taman nasional. Argumen yang dikemukakan Bupati

Lebak adalah perlu dipertegas dulu mana yang menjadi kawasan garapan masyarakat adat

kasepuhan dan mana yang bukan. Ini menjadi masuk akal secara politik mengingat

bahwa cukup banyak komunitas kasepuhan yang berdiam dalam Kabupaten Lebak.

Di samping proyek TNGHS dan kehadiran sosok Perhutani, program Bantuan Langsung

Tunai (BLT), Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan PHBS menurut masyarakat tidak ada

manfaat yang jelas dirasakan. Yang sangat dibutuhkan adalah program-program

pemberdayaan dalam sektor pertanian dan ekonomi yang terkait dengan kondisi sosial

budaya dan lingkungan mereka.

Pandangan terhadap Negara

Selain dari program-program yang telah disebutkan di atas, masyarakat juga

mengungkapkan sejumlah pandangan mengenai hubungan kasepuhan dengan negara.

Umumnya pandangan yang muncul bersifat normatif terkait dengan kebijakan negara

dalam bidang pendidikan, kesehatan, informasi dan komunikasi, dan kebijakan

pembangunan umumnya.

Di bidang pendidikan misalnya masyarakat merasakan kekurangan tenaga guru yang

berkualitas dan buku-buku yang menunjang perkembangan pengetahuan anak didik. Hal

ini menurut mereka merupakan kewajiban negara yang harus dilakukan. Ini bisa

54

Page 55: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

dipahami karena sepanjang sejarah hidup masyarakat kasepuhan yang ada sekarang, apa

yang mereka kenal sebagai ‘sekolah’ datang dari negara/pemerintah. Program yang telah

disebutkan di atas bersifat sangat terbatas pada upaya membuat semua penduduk

memiliki kemampuan baca tulis. Namun dalam konteks ‘sekolah’ masyarakat merasakan

perlunya hal-hal seperti perpusatakaan atau taman bacaan.

Dalam bidang informasi komunikasi, masyarakat memandang perlu diperkuat dan

dipertegas peran negara dalam mengatur jenis informasi apa yang dapat dikonsumsi

masyarakat. Tayangan-tayangan televis yang bernuansa kekerasan dan disiarkan pada

jam-jam di mana anak-anak belum tidur (antara siang sampai pkl 21.00)cukup banyak

dikritik oleh masyarakat dan menurut mereka hal ini merupakan tanggung jawab negara

untuk mengatur jenis tayangan yang sesuai dengan konsumsi publik menurut kematangan

usia.

Dalam teknik pertanian, dengan keterbatasan lahan kelola masyarakat sangat

membutuhkan pengetahuan, teknik, dan jenis-jenis tanaman yang dapat membantu

mereka meningkatkan ekonomi. Dalam hal ini peran negara diharapkan menjadi lebih

nyata dalam mendukung inisiatif masyarakat untuk mengembangkan ekonomi mereka

melalui sektor pertanian. Namun terhadap bibit padi sawah misalnya, mereka cukup kritis

terhadap bibit yang ditawarkan pemerintah, karena mengkhawatirkan persoalan rentan

terhadap hama penyakit.

Masyarakat mengharapkan pembagian peran dan otoritas yang cukup jelas antara negara

dan masyarakat. Hal ini terungkap dalam pandangan dan harapan tentang bagaimana

relasi mereka dengan TNGHS sebaiknya ditata. Mengapa pembagian peran dan otoritas

ini perlu dilakukan adalah karena masyarakat memandang bahwa cara pandang dan

sistem pengelolaan sumberdaya alam yang mereka praktekan berdasarkan sistem nilai

yang mereka anut sekarang ini cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka

maupun menjadi kelangsungan sumberdaya alam. Salah satu yang mereka kemukakan

adalah sistem tataruang yang mereka anut seperti tergambar di bawah ini

55

Page 56: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

1. Leuweung Titipan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat diganggu

untuk kepentingan apapun, karena titipan berarti warisan dari karuhun yang harus

selalu dijaga.Ada kepercayaan bahwa leuweung titipan ini dijaga oleh hal yang

tidak nampak oleh mata, siapa yang melanggarnya pasti akan tertimpa ‘kabendon’

atau kemalangan.

2. Leuweung Tutupan adalah hutan yang berfungsi untuk menutupi leuweung

titipan yang dilindungi oleh hukum negara.

3. Leuweung Awisan adalah hutan yang akan dijadikan tempat pemukiman

masyarakat kesepuhan di masa yang akan datang. Hutan ini diakui oleh semua

warga sebagai hutan keramat. Jenis hutan ini tidak boleh diekspoitasi oleh

siapapun tanpa seizin Sesepuh Girang. Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan

apabila telah diterima semacam wangsit dari nenek moyang melalui Sesepuh

Girang.

4. Leuweung Garapan / Sampalan adalah lahan yang dapat diusahakan oleh

masyarakat baik untuk menanam padi ( huma ) / kebun. Ada 2 sampalan yaitu,

sampalan kebo dan sampalan untuk tanaman produksi. Keberadaan sampalan

kebo sekarang ini tidak banyak lagi ditemukan semenjak adanya SPPT dari

pemerintah dimana sampalan dibagi – bagi oleh pemerintah ke desa .Oleh pihak

desa, warga bisa memanfaatkannya asalkan ditanami tanaman produksi.

Menurut hasil penggalian informasi (Ugis Suganda dan Amil Buchori Mei 2008, dan

hasil FGD Mei 2008), permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan Halimun

menurut Balai Taman Nasional Gunung Halimun, antara lain :

Kondisi tata batas di lapangan yang tidak jelas sehingga terjadi tumpang tindih

dengan masyarakat dan Perum Perhutani

Sumberdaya manusia yang terbatas, baik dari segi kuantitas dan kualitas maupun

distribusinya di lapangan

Apresiasi masyarakat terhadap Taman Nasional masih rendah

Tingkat ketergantungan masyarakat dengan sumberdaya hutan masih tinggi,

mengakibatkan adanya pencurian hasil hutan (kayu dan non kayu)

56

Page 57: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Masih adanya perburuan satwa dan perambahan hutan secara tradisional

Upaya yang dilakukan dalam menanggulangi permasalah tersebut oleh pihak taman

nasional seringkali represif, terutama dalam perlindungan dan pengamanan kawasan.

Upaya penyuluhan, patroli rutin, operasi gabungan dan upaya represif/pencegahan hukum

dilakukan dalam penanggulangannya, selain kegiatan pelatihan dan pemberian bantuan

ekonomi untuk masyarakat yang tinggal di daerah penyangga. Upaya ini tidak

menyelesaikan persoalan dasarnya karena konflik laten telah mulai ada sejak dahulu,

sejak kawasan ini belum dijadikan kawasan konservasi.

Jika pihak pengelola mau melihat dari sejarah panjang kawasan Halimun maka tentunya

upaya penyelesaiannya tidak setengah-setengah dan hanya menyelesaikan dalam jangka

pendek. TAP MPR No. IX/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumberdaya Alam seharusnya dijadikan landasan dalam melakukan kaji ulang terhadap

berbagai peraturan pengelolaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam yang selama ini

telah terbukti menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan serta menimbulkan berbagai

konflik.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan

TNGH menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 ha seharusnya

tidak hanya menyandarkan alasan bahwa alasan penggabungan keduanya adalah

merupakan satu kesatuan yang harus dijaga dan dilestarikan. Pengakuan, penghormatan,

dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas

sumberdaya agraria/sumberdaya alam seharusnya juga dipertimbangkan dalam upaya

penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

Dengan cakupan arealnya yang sangat luas, tidak mengherankan bahwa masyarakat

meyakini terdapat ’ratusan ribu’ masyarakat adat dan lokal dalam kawasan taman

nasional. Oleh karena itu perlu ada perhatian terhadap masyarakat ini. Apakah

57

Page 58: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

masyarakat adatnya perlu pengakuan khusus? Terkait dengan ini upaya untuk mendorong

sebuah peraturan daerah khusus nampaknya sudah cukup kuat di kalangan warga

Kasepuhan Sinaresmi, dengan terlibatnya Ugis Suganda menjadi anggota tim pemetaan

wilayah adat bersama perangkat pemerintah daerah. Perda ini diharapkan mengatur

tentang hak-hak masyarakat adat kasepuhan. Keterlibatan ini diharapkan dapat

menjembatani keluhan masyarakat mengenai jarangnya komunikasi dengan masyarakat

oleh pihak Pengelola Taman Nasional mengenai program-program yang dikembangkan

oleh Pengelola TNGHS. Salah satunya adalah program pengembangan MKK atau Model

Kampung Konservasi, yang menurut masyarakat tidak dibicarakan bersama mereka,

meskipun isi program ini cukup baik, yaitu masyarakat dilibatkan dalam pemulihan hutan

yang rusak dan kemudian dapat menikmati hasil hutan yang direhabilitasi tersebut.

Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa jika harapan dan aspirasi masyarakat

dalam kawasan tidak diperhatikan konflik yang telah lama berlangsung tidak akan

selesai. Masalah perbatasan adalah salah satu yang krusial yang hendak ditindak lanjuti

melalui pemetaan. Masyarakat memandang perlu adanya perubahan kebijakan dalam

pengelolaan kawasan yang lebih memperhatikan hak dan aspirasi masyarakat di dalam

kawasan. Konsep pengelolaan yang melibatkan masyarakat secara lebih substantif,

misalnya, merupakan salah satu butir yang penting bagi masyarakat. Beberapa isu

penting terkait pengelolaan TNGHS yang dapat digali dari pembicaraan langsung, baik

wawancara maupun FGD adalah:

1. Masih terdapat ketidakjelasan Tata Batas wilayah kelola sebagai kawasan hutan

negara, padahal pengelola TN dan HL harus bertanggung jawab terhadap pengelolan

hutan di dalamnya.

2. Di dalam wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan TNGHS terdapat Enclave yang

belum dipertegas statusnya dengan penataan batas.

3. Pada kenyataanya 2/3 kawasan hutan di wilayah Halimun sudah dikelola untuk

pertanian dan pemukiman.

4. Ada perbedaan persepsi, masyarakat yang merasa berhak, pengelola TN juga merasa

berhak, sehingga menyebabkan konflik berkepanjangan dan yang ditengarai rentan

dengan penyimpangan (bahkan penipuan).

58

Page 59: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

5. Berbagai masalah sengketa mungkin sebagian dapat diselesaikan dengan kebijakan

pengukuhan hutan yang ada dan pemberian hak kelola.

6. Selayaknya dapat dilakukan pemetaan partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ada

indikasi land use yang aktual dilakukan oleh masyarakat yang memungkinan untuk

dikeluarkan dari kawasan hutan, dengan dukungan dokumen-dokumen yang

dibutuhkan, seperti Berita Acara Tata Batas (BATB).

7. Pada saat penataan batas sebaiknya sudah ada kaidah-kaidah teknis dan hukum untuk

menyelesaikan masalah-masalah ini. Trayek batas, pal batas sementara, diumumkan,

pemancangan batas, permanen segera diselesaikan dengan menggunakan prosedur

tata batas sesuai SK Menhut 32/2001.

8. Perlu menggali dokumen kesejarahan masyarakat, dokumen dinas Kehutanan dan

BPN. Pemerintah juga harus dapat membuktikan klaimnya atas tanah negara,

termasuk kawasan hutan negara (Pembuktian terbalik).

9. Selain masalah di lapangan, ada penumpukan masalah yang terjadi di pusat untuk

pengambilan keputusan mengenai pengecualian wilayah-wilayah tertentu dari

kawasan hutan, serta ijin-ijin yang akan diterbitkan. Konflik kewenangan ini perlu

diselesaikan dengan kebijakan yang memberikan kewenangan yang jelas kepada

masing-masing pihak sesuai dengan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan.

Atas temuan-temuan tersebut di atas, ada harapan-harapan yang disampaikan warga,

terutama kaum muda (seperti Dede dan Omid, anak pak Amil Buchori). Beberapa usulan

dan harapan yang muncul diantaranya adalah sebagai berikut;

1. Diharapkan terbuka proses menuju pembagian peran yang jelas dan proses

pengambilan keputusan yang melibatkan multipihak dan partisipatif atas hak

pemilikan atau pengelolaan kawasan hutan.

2. Dalam waktu dekat diharapkan ada batas kawasan hutan yang sudah diukur dengan

melibatkan instansi pemerintah dan masyarakat.

3. Per1u dibangun kesamaan persepsi dalam melihat dan menangani masalah

perambahan di kawasan hutan.

59

Page 60: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

4. Diharapkan ada collaborative action yang bisa dibangun oleh Warga Kasepuhan,

Pusaka, AMAN dan Respect.

Posisi dan Peran Kaum Perempuan dalam Komunitas Kasepuhan

Cukup sulit untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai peran kaum

perempuan dan relasinya dengan kaum pria dalam Kasepuhan Sinaresmi. Ada dua asumsi

mengenai informasi yang diperoleh secara sangat terbatas, yaitu informasi itu sungguh

mewakili apa yang dirasakan dan dialami kaum perempuan di Sinaresmi, atau informasi

itu diberikan dalam konteks menjaga dan menghormati tradisi yang sangat

mengagungkan harmoni internal dan menghindari konflik sosial. Namun riset ini

bergerak berdasarkan sebuah pendapat yang pernah diajukan oleh Prof. Dr. Nurhayati

Hakim (1991) yang dikutib dari paper Ulfa Hidayati, RMI, yang disampaikan dalam

diskusi Lokakarya Community-Based Land Rehabilitation and Management Project,

Cipanas 25 – 27 Agustus 2003, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia mengenai

pembagian kerja antara kaum laki-laki dan perempuan di sawah dan ladang. Hasil

penelitian Prof. Dr. Nurhayati Hakim menunjukkan bahwa untuk semua jenis pekerjaan

di sawah (mulai dari mengolah tanah sampai dengan menjual hasil ke pasar), rata-rata

kontribusi perempuan adalah 21 poin, sedangkan kontribusi laki-laki hanya 12 poin13.

Kaum perempuan kasepuhan umumnya menyatakan bahwa posisi mereka dalam

komunitasnya sangat dihargai dan diperlakukan sejajar dengan kaum pria (wawancara

dengan istri Amil Buchori, Mei 2008). Namun dari pengamatan selama satu minggu di

lapangan, nampak jelas beban kaum perempuan lebih tinggi dari kaum pria. Mereka

terlibat langsung dalam pekerjaan di sawah dan kebun sementara sebaliknya keterlibatan

kaum pria dalam pekerjaan di rumah dan dapur sangatlah tidak substantif.

Salah satu bukti yang umumnya selalu dikemukakan adalah pembagian waris kepada

anak. Pembagian waris kepada anak perempuan dan laki-laki sama rata. Yang mendapat

lebih hanyalah anak bungsu, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Namun dalam

13 Dewi, K dalam Terompet, Edisi No. 12 Tahun II/1994

60

Page 61: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

prioritas pendidikan akan tampak jelas perlakukan tidak seimbang. Anak laki-laki

mendapat prioritas lebih tinggi daripada anak perempuan untuk memperoleh kesempatan

bersekolah. Alasan yang diungkapkan dapat menyingkap perlakuan tidak seimbang, yaitu

bahwa anak laki-laki dipandang akan mendatangkan rejeki ke rumah orang tuanya,

sedangkan anak perempuan umumnya ‘dibawa orang laki-laki’ masuk ke rumah pihak

laki-laki. Nampak adanya prasangkan misoginis dan androginis dalam memberikan akses

pendidikan ke kaum pria dan kaum perempuan.

Dalam kasus perceraian dapat juga dilihat persoalan ketimpangan gender. Jika sepasang

suami istri bercerai, akan diperiksa siapa sumber kesalahan. Jika suami terbukti bersalah

maka suami akan meninggalkan rumah dengan semua harta kepada istrinya. Sedangkan

kalau istri bersalah maka istri diharuskan meninggalkan rumah tanpa dibekali apa pun.

Dalam konteks ini, masyarakat mengatakan bahwa harta di rumah berada di bawah

otoritas hak lelaki. Sehingga jika lelaki bersalah, maka tebusannya kepada istrinya adalah

menyerahkan sepenuhnya rumah dan harta kepada istrinya, dan hukumannya adalah

meninggalkan rumah. Sementara kalau istri bersalah maka istri harus meninggalkan

rumah dengan tangan kosong karena harta dalam rumah berada di bawah otoritas suami.

Hal ini nampak dalam konsep ‘penyerahan reseki” dari suami kepada istri. Dianggap

bahwa pencari reseki adalah suami yang kemudian membawa reseki itu ke rumah dan

menyerahkannya kepada istri.

Dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas, kaum perempuan praktis tidak

dilibatkan samasekali. Ini tercermin dalam struktur adat Kasepuhan Sinaresmi. Abah

selalu laki-laki dan jabatan ini turun langsung kepada anak laki-laki. Semua kokolot

lembur adalah laki-laki. Dan dua unsur inilah pemegang otoritas sosial, politik, dan dan

budaya dalam komunitas ini. Tidak ada representasi kaum perempuan. Bahwa paraji atau

dukun bersalin ada kaum perempuan, dan sering disebutkan oleh masyarakat sebagai

bagian dari ‘adat’, tidak dapat dijadikan sebuah argumen keseteraan karena perannya

dalam pengambilan kebijakan kasepuhan tidak ada.

3.2 Temuan Penelitian di Kasepuhan Citorek

61

Page 62: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

3.2.1 Profil Komunitas

Geografi administratif

Komunitas Kasepuhan Citorek umumnya berdiam dan hidup di empat desa di wilayah

Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, yakni: Desa Citorek Tengah,

Citorek Timur, Citorek Kidul (Selatan) dan Citorek Barat. Selain di keempat desa

tersebut, incuputu pengikut Kasepuhan Citorek terdapat pula di kampung tetangga desa

sekitar, antara lain: Kampung Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang,

Kampung Sanpai, Desa Lebak Situ, Kecamatan Lebak Gedong dan Kampung Cibarani,

Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, semuanya berada di Kabupaten Lebak.

Pusat pemerintahan dan perkampungan utama warga Desa Citorek Timur berada di

Kampung Guradog dan Desa Citorek Tengah berada di Kampung Naga. Keduanya

merupakan perkampung tua yang letak perkampungannya hampir berhimpitan. Di

Kampung Guradog terdapat ’Rumah Gede’ yang didiami oleh ’Oyot’, pimpinan

Kasepuhan Citorek, yang juga menjadi pusat aktivitas dan kebudayaan kasepuhan.

Sedangkan, Desa Citorek Barat merupakan desa yang baru dimekarkan dari Desa Citorek

Tengah pada tahun 2005 lalu, pusat pemerintahannya di Kampung Cibengkung. Posisi

Kampung Cibengkung di punggungan bukit, sekitar 1 Kilometer dari Desa Citorek

Tengah. Paling jauh adalah Desa Citorek Selatan. Pusat pemerintahannya berada di

Kampung Ciusul, sekitar 6 Km dari Desa Citorek Tengah.

Kampung-kampung di Desa Citorek Barat tersebar berjauhan, kampung paling barat

Desa Citorek Barat adalah Kampung Cisii dan Kampung Cibedug, dua kampung

terluar disisi barat yang wilayah pemerintahannya berbatasan dengan Desa Sukamulya

dan Desa Kanekes (Baduy). Kampung Cibedug merupakan perkampungan komunitas

Kasepuhan Cibedug, yang perkampungannya berada di dalam hutan dan terdapat situs

megalitik, disebut Candi Cibedug. Paling selatan ada Kampung Ciparay dan lokasi

perladangan Cirotan, yang wilayah pemerintahannya berbatasan dengan Desa Cihambali.

62

Page 63: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Kegiatan riset lapangan ini hanya menemukan dua data sekunder dari Desa Citorek

Tengah dan Citorek Timur, desa lainnya belum ditemukan informasi dan data luas desa.

Secara umum, berdasarkan hasil survei dan pengukuran Peta Wewengkon Komunitas

Kasepuhan Citorek yang wilayahnya berada di keempat desa, diketahui memiliki Luas

sebesar 7.416 hektar. Lihat Lampiran Peta Wewengkon Adat Citorek.14 Diperkirakan

luas keempat wilayah administrasi pemerintahan desa lebih luas dibandingkan luas

wewengkon adat Citorek. Batas-batas desa sudah ditentukan oleh pemerintah, sedangkan

batas-batas wewengkon adat berdasarkan pengakuan dan klaim masyarakat setempat.

Iklim dan topografi

Kondisi topografi wilayah di dominasi daerah berbukit-bukit dan sedikit tanah dataran.

Letak ketinggiannya dari permukaan laut berada diatas 750 mdpl dan sebagian besar

merupakan kawasan hutan alam dan hutan tanaman (kebon atau talun). Udara masih

terasa sejuk dan dingin di waktu pagi hari, sekitar 23o – 25o C (pengamatan Mei 2008).

Curah hujan di daerah ini tergolong tinggi dan utamanya daerah selatan dari kawasan

Gunung Halimun yang menghadap samudera Hindia, rata-rata di atas 2000 mm per

tahun. Musim hujan paling sering berlangsung dalam lima bulan per tahun, mulai dari

bulan Oktober hingga Februari. Dari segi fisik tanah, kawasan Gunung Halimun sangat

baik sebagai daerah peresapan dan penyimpanan air. (Hendrayanto dalam Hendarti,

2007;27).

Menurut keterangan masyarakat (Mei 2008), kurang lebih lima bulan terakhir situasi

iklim dan lamanya hujan sudah tidak dapat diperkirakan. Misalnya di bulan Mei dan Juni

adalah musim panas, tetapi terjadi beberapa kali hujan. Situasi iklim dan hujan yang tidak

menentu berdampak pada perkembangan dan hasil pertanian tanaman masyarakat,

khususnya sayur-sayuran dan buah-buahan, yang semakin merosot hasilnya dan

gangguan hama penyakit tiba-tiba.

14 Peta Wewengkon adat atau Peta Wilayah Adat yang dimaksudkan disini adalah wilayah atau tanah ulayat yang di klaim masyarakat Kasepuhan Citorek berdasarkan hak adat pengakuan masyarakat setempat dan masyarakat sekitar sudah sejak lama, memiliki batas-batas dengan tanda alam, tempat dan terdapat tugu batu di puncak gunung, yakni: batas sebelah utara di Gunung Kendeng, selatan di Pasir Soge, barat di Gunung Nyungcung, timur di Parakan Saat.

63

Page 64: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Aksesibilitas

Sudah semenjak tahun 1990-an, jalan-jalan tanah yang menghubungkan antara desa dan

kampung dikerjakan masyarakat dan pemerintah. Awal tahun 2000 hingga tahun 2003,

jalan dari Cipanas ke Citorek hingga ke Cikotok dikerjakan dan sebagian jalan dalam

kampung di aspal. Situasi ini mendorong masyarakat untuk mengembangkan tanaman

pertanian yang komersial dan dipasarkan sendiri ke luar kampung. Semakin mudahnya

akses transportasi, membuat kebanyakan orang tua di Citorek menyekolahkan anaknya ke

sekolah lanjutan atas hingga perguruan tinggi.

Kondisi jalan masih dominan jalan tanah berbatu dan jembatan kayu dengan kondisi

sudah rusak, berkelok-kelok naik turun bukit dipinggiran tebing, tetapi setiap hari ada

saja kendaraan umum ’ELF’ jenis mini bus (ELF adalah salah satu merk Mitsubisi yang

kemudian menjadi sebutan umum bagi kendaraan penumpang ini). Untuk menuju ke

Citorek dapat melalui jalur selatan dari Cikotok ke Citorek atau melalui arah utara dari

Cipanas (Trans Bogor – Lebak) ke Citorek. Masyarakat di Sirnaresmi menggunakan

kendaraan jenis hardtop double gardan untuk menuju kampung-kampung di daerah

ketinggian dengan sewa yang cukup mahal, berkisar 300 – 400 ratus ribu sekali jalan.

Untuk mengatasinya masyarakat biasanya mencari teman beberapa orang untuk menyewa

bersama-sama. Sedangkan di Desa Citorek Kidul dan Citorek Barat, masih banyak jalan

rintisan tanah dan berbatu. Jembatannya masih jembatan gantung dan terbuat dari kawat

besi dan kayu serta alas lantai jembatan dari besi plat atau balok. Sebagian jembatan

antara kampung hanya bisa dilalui kendaraan motor roda dua.

Kebanyakan penduduk Citorek dan Sirnaresmi sudah menggunakan alat penerangan

lampu dan berbagai peralatan rumah tangga elektronik dari tenaga listrik milik PLN

(Perusahaan Listrik Negara). Jaringan listriknya berasal dari kota di Rangkas dan

Pelabuhan Ratu. Sedangkan akses terhadap media informasi dan komunikasi tidak terlalu

rumit, kebanyakan warga yang mampu memiliki media televisi dengan antena dan radio.

Informasi setiap hari dapat didengar dan ditonton dari televisi siaran nasional dan lokal.

Koran dan majalah dapat diperoleh di kabupaten. Demikian pula, pendudukan

64

Page 65: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

kebanyakan masyarakat sudah memiliki media hiburan dengan tape dan video cassette

maupun compact disc. Sedangkan untuk surat menyurat menggunakan pos, hanya dari

kantor pos umum di kabupaten.

Sedangkan untuk media komunikasi surat menyurat masih menggunakan pos, hanya dari

kantor pos umum di kabupaten. Saat ini, sedang dibangun tower pemancar untuk pesawat

telepon seluler milik Indosat di Citorek Tengah dan Citorek Kidul. Diperkirakan Juli

nanti sudah bisa beroperasi alat-alat penerima dan pengirim untuk telepon seluler. Pada

beberapa titik di ketinggian tertentu sudah diperoleh signal telepon seluler, tapi

tergantung keadaaan cuaca. Media informasi dan hiburan lain yang diminati adalah

menggunakan tape dan video cassette maupun compact disc.

Situasi ini tentu akan sangat mempengaruhi intensitas komunikasi dan interaksi

masyarakat dengan dunia luar.

Tataguna Lahan

Berdasarkan hasil Pemetaan Partisipatif oleh Masyarakat Wewengkon Adat

Kasepuhan Citorek (2005), yang meliputi empat wilayah desa di Citorek, diperoleh

bentuk penggunaan dan luas lahan, sebagai berikut: areal pemukiman (34,084 ha), sawah

(1.712,041 ha), reuma (sejenis areal belukar bekas ladang), huma dan kebon ( 2.081,500

ha), leuweung atau hutan (3.588,375 ha).

Pada tabel 6, dapat dilihat gambaran luas dan penggunaan lahan di dua desa, yaitu: Desa

di Citorek Tengah dan Citorek Timur tahun 2008. .15 Diketahui sedikitnya masyarakat

mengelola wilayahnya untuk enam fungsi dan kegunaan, yang mana keberadaan kawasan

hutan paling luas dan dibanding non-hutan. Jika dibandingkan lahan non-hutan yang

sudah dimanfaatkan dengan jumlah penduduk yang ada sekarang, maka dapat

diperkirakan akan adanya keterbatasan produktivitas masyarakat dan sempitnya lahan

untuk kegiatan produksi sosial ekonomi. Realitasnya memang demikian. Ditemukan di

15 Hingga penulisan riset ini, data sekunder dari dua desa, yakni: Desa Citorek Barat dan Desa Citorek Timur, belum kami peroleh dikarenakan buku data potensi kedua desa sedang dipinjam oleh pihak kabupaten dan juga petugas yang diperkirakan menyimpan data sedang tidak ada di kampung.

65

Page 66: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

lapangan, areal pemanfaatan ruang hidup dan areal pengelolaan masyarakat diatas

tumpang tindih dengan kawasan hutan yang ditetapkan sebagai TNGHS, Perum

Perhutani dan Pertambangan.

Tabel 8. Luas Wilayah dan Pemanfaatan Lahan di Lokasi Studi

Nama Lokasi Desa

Sirnaresmi

(ha)

Citorek

Tengah (ha)

Citorek

Timur (ha)

Citorek

Kidul (ha)

Citorek

Barat (ha)

Luas Wilayah 4.906 1.704,9 3.396,08 2.125 0

Hutan 3.961 700 2.652,5 0 0

Sawah 559,98 395 482,03 0 0

Ladang 303,40 332 85,42 0 0

Perkampungan 74,18 23 16 0 0

Perkebunan 250 158,7 0 0

Fasum 7 4,9 1,34 0 0

Σ Penduduk 4.803 3.752 2.775

Sumber Data: Profil Desa 2007

Vegetasi dan sumberdaya air

Berdasarkan Penelusuran Ruang Kelola Masyarakat Wewengkon Adat Citorek (Santosa,

2006), diperoleh hasil inventarisasi flora dan fauna yang mempunyai nilai komersial,yang

paling sering digunakan dan mempunyai manfaat, yaitu: 23 jenis tanaman di kawasan

hutan alam dan 24 jenis tanaman di kawasan hutan tanaman budidaya, 30 jenis tanaman

obat-obatan, 39 jenis burung, 15 jenis satwa melata dan 13 jenis satwa besar. Pada

umumnya, kekayaan alam ini berada di hutan alam dan dapat ditemukan hingga di

ketinggian 1200 m dpl.

Ada sekitar 43 mata air di Citorek yang mengalir ke 39 sungai kecil dan lima sungai

besar. Sungai besar tersebut adalah Sungai Ciantalwangi, Cimadur, Cikidang, Cibanteng

dan Citorek.

66

Page 67: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Beberapa sungai di daerah ini sudah terjadi pendangkalan akibat perubahan fungsi dan

penggunaan lahan oleh aktivitas pengusahaan hutan dan konversi lahan pertanian,

padahal sungai merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitar dan sepanjang daerah

aliran sungai untuk kepentingan pertanian, air minum, mandi, cuci dan sebagainya.

Komunitas Kasepuhan setempat memiliki kesamaan dan kebiasaan dalam merawat

lingkungan mata air, yaitu: menjadikan kawasan hutan penyangga sumber mata air, yang

disebut leuweng titipan, tidak boleh digarap. Masalahnya, warga dan perusahaan

seringkali melanggar dan tidak ada sangsi.

Hendrayanto (2007;29), menunjukkan terjadinya perubahan penutupan lahan hutan di

kawasan TNGHS selama 10 tahun (1992 – 2001), luas hutan alam berkurang dari 33.692,

6 ha di tahun 1992 menjadi 31.430,2 ha di tahun 2001, atau dalam tempo 10 tahun terjadi

pengurangan hutan alam seluas 2.262 ha (283 ha/th). Sejalan dengan perubahan tersebut,

terjadi peningkatan hutan tanaman dari 1.994, 9 ha di tahun 1992 menjadi 2.797 ha di

tahun 2001. Daerah penutupan lahan semakin luas, kecuali kebun teh, rumput dan sawah.

Perubahan ini sangat mempengaruhi situasi hidrologis dan berkurangnya kemampuan

fungsi dan jasa lingkungan hutan.

Demografi16

Berdasarkan wawancara dengan Oyot Kasepuhan Citorek (Didi), berdasarkan kebiasaan

ngajiwa,17 diperkirakan jumlah incuputu pengikut Kasepuhan sekitar 12.000 jiwa dan

tersebar di beberapa desa dan kota. Saat ini diperoleh data penduduk di Desa Citorek

Timur sebanyak 3.752 jiwa dan Desa Citorek Tengah sebanyak 2775 jiwa.

Umumnya, warga kasepuhan beragama Islam dan taat menjalankan rukun agama Islam.

Pengaruh ajaran dan hukum Islam sangat kuat dalam kehidupan sosial budaya dan

pandangan dasar nilai tradisi atau adat, yaitu ”tatali paranti karuhun”, sehingga hampir

setiap kampung dan dusun terdapat mushollah dan masjid di pusat desa, disamping itu

16 Sampai penulisan laporan ini belum dapat diperoleh data demografi keempat desa yang termasuk dalam Kasepuhan Citorek menyangkut populasi, dan komposisi penduduk secara lebih rinci.17 Ngajiwa, merupakan kebiasaan masyarakat untuk mencatat dan mendaftarkan jiwa pengikut kasepuhan, harta kekayaan hewan berkaki empat, yang dilakukan pada acara Seren Taon. Kegiatan ini dilakukan untuk mengevaluasi keberadaan incuputu dan kehidupan sosial ekonomi mereka.

67

Page 68: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

terdapat rumah pengajian dan kegiatan pengajian keliling tingkat anak, remaja laki-laki

dan perempuan hingga dewasa. Waktu pengajian dan kumpul-kumpul sering dilakukan

pada hari Jumat dan Sabtu. Tidak ada pemeluk agama lain di Kasepuhan Citorek.

Pengenalan dan hubungan masyarakat setempat dengan pendidikan dari luar sudah sejak

lama terjadi, utamanya pendidikan non formal di bidang keagamaan. Daerah ini telah

menjadi tempat penyebaran agama Islam sejak lama. Saat ini, sarana pendidikan umum di

wilayah Citorek adalah:

- Sekolah Dasar: 2 unit SD di Desa Citorek Timur dan 3 unit di Desa Citorek

Tengah;

- SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) 1 unit di Citorek Tengah;

- 1 SLTA Pilihan, di Desa Citorek Tengah.

- Disamping itu ada lembaga pendidikan keagamaan swasta (madrasah)

Kebanyakan penduduk di kedua lokasi pernah mengenyam pendidikan SD, sedangkan

untuk sekolah lanjutan hingga ke perguruan tinggi masih terbatas. Alasannya, biaya yang

terlalu mahal dan jauh dari lokasi desa, yakni di kota kabupaten atau propinsi.

Berdasarkan Tabel 9 di bawah, diketahui komposisi penduduk di Desa Citorek Timur dan

Citorek Tengah menurut tingkat pendidikan di Citorek Tengah dan Citorek Timur.

Tabel 9: Data komposisi penduduk menurut pendidikan di dua desa.

Uraian Desa Citorek Timur Desa Citorek Tengah

Belum sekolah 392 jiwa 143 jiwa

Tidak pernah sekolah 872 jiwa 934 jiwa

Tidak tamat SD 176 jiwa 766 jiwa

Tamat SD/ sederajat 1421 jiwa 1127 jiwa

SLTP/sederajat 689 jiwa 725 jiwa

SLTA/sederajat 214 jiwa 181 jiwa

D1 4 jiwa 0

D2 2 jiwa 13 jiwa

D3 2 jiwa 0

68

Page 69: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

S1 5 jiwa 12 jiwa

Sumber: data dari anggota BPD Desa Citorek, Mei 2008

Meskipun tidak diperoleh data komposisi penduduk menurut pekerjaan namun menurut

keterangan masyarakat kebanyakan penduduk Citorek bekerja sebagai petani dan buruh

tani. Seperti juga tidak adanya informasi mengenai komposisi menurut jenis kelamin

tidak mempengaruhi pendapat masyarakat bahwa jumlah penduduk perempuan lebih

banyak dari penduduk laki-laki.

Sosial Ekonomi dan Sistem Pertanian Sawah dan Ladang

Mata pencaharian utama penduduk adalah di bidang pertanian, usaha tanaman

perkebunan dan usaha penambangan. Kegiatan pertanian, terdiri dari: sawah padi dan

usaha padi ladang yang masih dikelola dengan pengetahuan dan teknologi sederhana,

serta sistem irigasi teknis untuk lahan sawah; usaha kebun tanaman atau kebon, yaitu

pengembangan usaha kebun campuran tanaman sayur-sayuran, tanaman tahunan, buah-

buahan dan phon kayu komersial dan konservasi. Selain itu yang paling menonjol dan

menjadi sumber pendapatan uang keluarga adalah usaha tambang yang banyak

melibatkan remaja dan pemuda dewasa.

Untuk kegiatan pertanian sawah masyarakat sudah menggunakan sistem irigasi teknis

yang dikendalikan dan didistribusikan oleh pintu air dan irigasi tradisional. Saat ini (Mei

2008), di Citorek sedang dibangun dan diperbaiki beberapa bangunan irigasi. Kehidupan

ekonomi masyarakat paling dominan ditopang oleh sektor pertanian. Umumnya bekerja

sebagai petani atau buruh tani. Pola pertaniannya berbentuk sawah dan ladang (huma)

masih dengan sistem tebang bakar dan lahan digarap secara bergulir, dengan tahapan-

tahapan kegiatan, sebagai berikut:

- menyediakan lahan,

- macul, nyacar dan ngaduruk (membakar dan membersihkan lahan),

- ngadruk (membersihkan kotoran bakaran),

- ngasep (menanam padi di Huma),

- ngored (membersihkan rumput) dan

69

Page 70: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

- ngetem (memanen padi).

Pola tebang bakar dan sistem bergulir di huma sudah terbatas dilakukan, dikarenakan

terbatasnya lahan dan kecenderungan masyarakat mengkonversi ladang untuk pertanian

kebun menetap. Dinas Kehutanan dan pengelola Taman Nasional yang mempunyai

otoritas terhadap kawasan hutan di wilayah desa, melarang masyarakat untuk

menggunakan sistem tebang bakar, yang dianggap mengancam kelestarian ekosistem

hutan. Masyarakat juga mempunyai kebon yang dalam wujud fisiknya serupa dengan

talun di Sinaresmi.

Tahapan kegiatan di sawah, biasanya dimulai dengan mengolah tanah sawah ‘tangtu’,

sawah milik Kasepuhan yang dikerjakan dan dipanen secara bersama. Tahapan kegiatan

di sawah, berturut-turut, yakni:

- melakukan perbaikan dan membuat pematang sawah (mopok galang atau

ngagalenganan,

- mencangkul dan melipat tanah (macul badag), mencangkul halus (macul alus),

meratakan tanah (nyogolan),

- pembenihan dan menyebar benih padi (sebar) dan

- menanam padi (tandur).

Jenis padi yang paling sering ditanam berasal dari padi lokal, namanya antara lain (dalam

bahasa lokal): padi batu, gadog, loyor, jamudin, bunar dan sisid naga. Masyarakat

cenderung menolak benih padi dari pemerintah yang merupakan hasil rekayasa teknologi,

meskipun usia panennya pendek. Kekhawatiran akan datangnya hama serupa dengan

respon di Sinaresmi.

Tahapan sesudah menanam adalah membersihkan rumput (ngoyos) yang dilakukan dua

kali, membersihkan lahan pematang (babat) dan akhirnya panen (dibuat). Kegiatan

selanjutnya menjemur (dilantaikan) padi selama satu bulan hingga kering dan dipikul

(diunjal) dimasukkan ke lumbung padi (leuit).

70

Page 71: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Sepanjang kegiatan di ladang dan di sawah, terdapat pula larangan-larangan dan

pantangan. Jika terdapat pelanggaran terhadap norma dan tingkah laku sosial dari ajaran

tatali paranti karuhun, misalnya perbuatan asusila, hal ini diyakini dapat menimbulkan

bencana (kabendon) dan mengakibatkan padi terserang hama dan penyakit lainnya hingga

panen tidak berhasil. Masyarakat punya kepercayaan jika seseorang melanggar atau

melakukan perbuatan melanggar adat, maka akan mendapat celaka dan kesusahan, yang

dalam ungkapan lokal disebut: cilaka ka ku dirimu; katula ku pokalua. Artinya segala

sesuatu tergantung dari perbuatannya.

Sekitar satu bulan setelah padi dimasukkan ke lumbung pada dilakukan acara seren taun,

yaitu acara syukuran atas perlindungan dan hasil usaha padi yang telah diberikan “Sang

Pencipta”. Dalam proses acara ini terdapat kegiatan Ngajiwa, para incu putu

mendaftarkan jiwa dan anggota keluarganya, mendaftarkan kekayaan hewan berkaki

empat (seperti kerbau, lembu dan lain-lain) dan mengevaluasi kemajuan usaha anggota

kasepuhan. Hadiahan, adalah upacara selamatan dilakukan dengan mengucapkan doa dan

dilanjutkan acara makan dan hiburan berbagai kesenian, atraksi dan pemutaran film.

Selain mendapatkan sumber penghidupan dari padi dan palawija, masyarakat juga

menjual kayu-kayu tertentu yang diambil dari kebon mereka. Jenis kayu manii dijula

seharga rata-rata Rp. 15.000 untuk ukuran 3 m x 10 cm x 15 cm. Pembelinya adalah

warga kasepuhan sendiri, tengkulak yang biasa memborongnya perkebon, atau

pengumpul. Pengumpul dan tengkulak adalah warga kasepuhan juga dan biasanya

menjual kayu-kayu ini ke luar kasepuhan.

Di Citorek dapat dijumpai lembaga-lembaga sosial ekonomi, seperti pedagang atau

penjual kebutuhan sehari-hari masyarakat berupa hasil-hasil pertanian. Juga terdapat

tukang ijon dan kredit yang memberikan pinjaman uang di muka sebelum melakukan

pemanenan hasil bumi maupun penagih kredit untuk barang-barang yang sudah diambil

di muka. Teridentifikasi pula ada lembaga ekonomi berbentuk usaha kelompok tani yang

dikelola secara kolektif untuk pengerjaan tanah, pengumpulan hasil dan pemasaran,

lembaga simpan pinjam, warung kelontong besar dan kecil, industri rumah tangga untuk

71

Page 72: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

usaha kue penganan dan kerajinan alat rumah tangga, pedagang pengumpul dan

tengkulak.

Pranata sosial ekonomi ini hanya dikendalikan beberapa orang pemilik modal dan mereka

juga merupakan tokoh informal dan menjadi ’patron’ di kampung, sehingga mempunyai

pengaruh dan posisi dalam organisasi sosial di desa.

Sarana Umum Lainnya

Kasus kriminal dan gangguan keamanan belum pernah terjadi selama 10 tahun terakhir,

walaupun demikian di setiap desa dalam kasepuhan ini terdapat sarana keamanan Pos

Kamling, yang menjadi tempat ’nongkrong’ di malam hari. Ada Hansip yang bertugas

menjaga lingkungan dan keamanan, akan tetapi umumnya mereka hanya berfungsi pada

acara pesta ”gawe” atau hajatan dengan mendukung tugas-tugas pemerintah desa.

Di Citorek terdapat puskesmas pembantu, posyandu dan tempat pelayanan kesehatan

sementara. Petugas kesehatan pemerintah terdapat di setiap desa dan ada pula petugas

dari warga yang dilatih untuk menangani urusan kehamilan dan kelahiran. Meskipun

sudah ada sarana kesehatan, peralatan, obat-obatan dan tenaga medis yang terlatih dengan

penanganan kesehatan masa kini, tetapi masyarakat masih menggunakan cara-cara dan

obat-obatan tradisional untuk penyakit tertentu, seperti: pijat urut dan minum jamu dari

ramuan tanaman tertentu. Kecuali penyakit yang dianggap luar biasa dan sulit

disembuhkan, maka dilakukan upacara adat dan melibatkan perangkat Kasepuhan.

Sarana air bersih MCK (Mandi, Cuci dan Kakus) tersedia disetiap lingkungan kampung

dipinggir sungai dengan bangunan tembok semen terbuka untuk cuci dan kamar mandi

tertutup. Air bersih disalurkan dengan menggunakan bambu atau pipa pralon untuk

umum dan pribadi. Masyarakat sudah menggunakan sabun dan detergen untuk MCK.

Komuntas Kasepuhan sebagaimana layaknya masyarakat desa umumnya, mempunyai

kebiasaan dan hobby di bidang olah raga, di pusat desa terdapat lapangan sepak bola,

lapangan bulu tangkis, lapangan voli dan meja pingpong. Pada acara perayaan

72

Page 73: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus dan Seren Taun, sering ada perlombaan olah

raga, pertunjukkan bela diri dan kesenian.

Pola Perkampungan

Pola perkampungan dan arsitek bangunan maupun pengelolaan ruang dalam rumah dan

wilayah dianggap sebagai ciri khas dan identitas budaya komunitas Kasepuhan Citorek.

Pola perkampungan di Citorek umumnya rumah penduduk berkumpul dan berhimpitan

di tanah dataran dan punggungan bukit, serta berada dekat pinggiran sungai dan jalan

utama. Disekeliling areal pemukiman dibuat jalan setapak mengelilingi kampung.

Bangunan umum dan rumah Imah tempat tinggal pemimpin Kasepuhan atau Oyot tidak

diatur letaknya secara khusus. Menurut penuturan penduduk (Mei 2008), pada awal

perkampungan dibuka yang terlebih dahulu dibangun adalah rumah pemimpin

Kasepuhan dan rumah ibadah masjid, yang atapnya menghadap ke barat yang merupakan

arah kiblat dalam agama Islam.

Arsitektur bangunan rumah kebanyakan sudah berubah dari rumah panggung dengan

bahan kayu dan atap rumbia, berubah menjadi rumah beton permanen bergaya modern

yang terbuat dari bahan batu, pasir, semen dan besi, jendela kaca,lantai keramik, atap

genteng atau seng dan dinding yang di cat. Besar kecil dan bentuk bangunan rumah yang

berbeda-beda menggambarkan secara eksplisit status dan kedudukan warga pemilik

rumah.

Perubahan ini secara masif terjadi tahun 2000an18, disebabkan semakin terbukanya akses

jalan ke kota kabupaten. Faktor-faktor yang mendukung keinginan masyarakat

menggunakan bangunan beton adalah karena kurangnya bahan kayu, tekanan dan

sulitnya untuk mendapatkan dan mengakses kayu di hutan.

Disekeliling kampung dan dekat dengan areal persawahan penduduk terdapat Leuit atau

18 Desa Ciparay atau Citorek Timur sekarang, kebanyakan bangunan berbentuk modern dan rumah beton permanen dan semi permanen, perubahan bentuk dan konstruksi ini terjadi semenjak kejadian terbakarnya kampung pada tanggal 10 Oktober 2001, yang membakar 403 rumah dan 4 fasilitas umum.

73

Page 74: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

lumbung tempat menyimpan padi, yang berbentuk khas (Lihat Gambar) dan dibangun

berjejer berkelompok disepanjang jalan kampung ke areal pertanian. Bangunan Leuit

terbuat dari bahan kayu dan kakinya terdapat piringan untuk menangkal tikus.

Menurut pengalaman dan keyakinan warga di Citorek, perubahan ini akan mendatangkan

’kabendon’, sehingga perlu ada upacara-upacara yang membuat kelalaian ini bisa tidak

mendatangkan bahaya maut bagi warga. Perubahan ini tidak serta merta menghilangkan

keramahan warga dalam melayani tamu dan kerabat. Para tamu dan kerabat dilayani dan

diperhatikan, sebagaimana fungsi rumah untuk tempat berlindung, berusaha, berdiskusi

dan silaturahmi.

3.2.2 Identifikasi Diri

Sumber utama pembentuk identitas masyarakat kasepuhan adalah sejarah, kebudayaan,

dan relasi dengan Negara. Faktor sejarah kasepuhan Citorek tidak jauh berbeda dengan

sejarah lisan yang disampaikan oleh warga Kasepuhan Sinaresmi maupun kasepuhan

lainnya yang umumnya berawal dari kekalahan Pajajaran dari Kesulatanan Islam Banten.

Yang membedakan adalah Citorek mempunyai konsep wilayah adat yang disebut

wewengkon. Warna Islam sangat kental mewarnai kehidupan komunitas. Ada

kecenderungan di beberapa orang kokolot lembur menyatakan pandangan tentang tidak

boleh adanya perpindahan agama ke luar Islam di kalangan warga. Jika terjadi

pernikahan dengan warga kasepuhan maka pihak luar harus masuk Islam. Demikian

pendapat bahwa laki-laki adalah pemimpin atau wali merupakan pandangan yang diserap

dari Islam (FGD Mei 2008).

Komunitas Kasepuhan Citorek sering pula menyebutkan dirinya sebagai warga papatok

pancar pangawinan, komunitas yang memiliki hubungan seketurunan dengan pemimpin

kerajaan di masa lalu. Kata pancer atau lelugu dalam bahasa Sunda berarti asal usul,

sedangkan pangawinan sering dihubungkan dengan cerita bareusan pangawinan. Ikatan

geneologis sudah kurang digunakan menjadi alasan identitas, kecenderungan identitas

yang muncul berdasarkan ikatan teritorial dan emosional sebagai warga incu putu, yang

menganut kepercayaan dan menjalankan tradisi ”Tatali paranti karuhun” dan berinduk

74

Page 75: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

pada pemimpin kasepuhan tertentu. Ada banyak pengikut ataupun warga Kasepuhan

tidak secara langsung berhubungan sedarah dengan leluhur pertama, tetapi mereka dapat

menjadi warga Kasepuhan karena kawin dan atau secara teritorial berdiam dan hidup

dalam wilayah komunitas yang menjalankan tradisi dan perilaku sebagaimana warga

Kasepuhan. Sistem kekerabatanlah (kinship) yang menjadi pengikat antar warga.

Bahasa, arsitektur, tata ruang, dan sistem sosial adalah beberapa faktor yang menurut

masyarakat kasepuhan membedakan mereka dari masyarakat Sunda umumnya di Jawa

Barat. Bahasa yang digunakan serupa dengan Sinaresmi, yaitu dialek Sunda Kula. Tidak

ada perbedaan berarti dalam kriteria identifikasi diri masyarakat Citorek dengan

Sinaresmi dalam melihat diri mereka sebagai warga kasepuhan, yaitu:

- Ikatan sosial dan solidaritas yang dibentuk oleh kesamaan garis keturunan

atau kekerabatan dan wilayah.

- Dialek sehari-hari; komunitas kasepuhan membedakan dialek warga

kasepuhan sebagai dialek sunda kula, sedangkan menurut mereka di tempat

lain di Jawa Barat dialek yang digunakan adalah sunda kuring. Kula dan

Kuring mempunya pengertian sama, yaitu: ’saya’ atau ’aku’.

- Sebutan orang-orang yang menjadi tokoh: Laki laki = Ki; Perempuan = Ni

- Perilaku sehari-hari, misalnya ketika hendak melakukan hajatan tertentu selalu

minta ridho atau restu dari orang tua dan leluhur. Juga adanya derep, yaitu

ikut menikmati hasil panen (mendapat sebagian hasil panen) bila ikut kegiatan

memanen meskipun tidak ikut kegiatan-kegiatan sebelumnya seperti

menyiapkan lahan dan menanam.

- Sistem pertanian masih secara tradisional dan pola bercocok tanam menurut

sistem perbintangan dan kalender lunar (Islam) yang salah satu implikasinya

adalah seren taun selalu bergeser 10 hari tiap tahun berdasarkan pergeseran

bintang kidang dan karti.

- Waktu bertani diatur oleh buku taun sandi bulan.

- Masih kuatnya nilai penghormatan terhadap bumi dan langit sebagai simbol

ibu dan bapak

75

Page 76: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Arsitektur tradisional yang mengikuti model bapang, sontog, tagog anjing, julang

ngapak, jingjing reugis dan julang ngapak sudah jarang digunakan, terutama setelah

kebakaran besar melanda kampung ini beberapa tahun lalu. Setelah itu sejumlah warga

mulai membangun rumah tembok permanen dengan pertimbangan ketahanan rumah.

Namun pembagian ruang berdasarkan sistem Pangdaringan, Hawu dan Sepen masih

dianut masyarakat. Tataruang masyarakat kasepuhan serupa tapi tak sama dengan

tataruang Sinaresmi. Ada kawasan pemukiman, garapan, dan kawasan hutan yang tidak

boleh digarap, karena berfungsi lindung dan konservasi. Yang membedakan adalah

bahwa tataruang di Citorek berada dalam sebuah wewengkon sementara tataruang di

Sinaresmi berada dalam wilayah desa.

Dalam riset lapangan ditemukan beberapa cerita, pendapat dan persepsi yang beragam

tentang asal usul komunitas Kasepuhan di kedua lokasi. Beberapa baris kolot di Citorek

dalam wawancara dan Diskusi Kelompok Terfokus (DKT atau FGD) menceritakan pada

dasarnya asal usul leluhur penduduk pertama di wilayah Citorek berasal dari sebuah

tempat di sekitar daerah Guradog (Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak) yang bermigrasi

ke Citorek jauh sebelum adanya pemerintahan kolonial Belanda. Sepanjang ingatan yang

diketahui warga Citorek, pada 1840-an, dalam masa pemerintahan Belanda, terjadi

perpindahan penduduk dari Guradog ke Citorek, yang kampungnya dinamakan sama

dengan kampung asal, yaitu: Guradog, sedangkan nama kawasan disebut Citorek, diambil

dari nama sungai besar di daerah ini.

Perkembangannya, seringkali warga di Citorek melakukan perpindahan ke daerah sekitar

dengan tujuan untuk mencari tempat yang lebih aman dari gangguan pihak luar, seperti:

pemerintah Belanda, tekanan masyarakat luar, gerakan DI/TII Kartosuwiryo dan untuk

usaha pertanian. Komunitas Kasepuhan di Kampung Ciusul, Desa Citorek Selatan,

menghubungkan asal usul leluhurnya tidak hanya dengan Guradog, tetapi juga dengan

daerah sekitar, seperti: Cicantolwangi, Cikotok, Pasir Nangka, Cisii dan Cirotan, yang

mana terdapat peninggalan kuburan tua dan bekas-bekas kebon (hutan tanaman). Hal ini

terlihat dalam cara berkomunikasi dan koordinasi dari kolot lembur Kampung Ciusul,

yang tidak langsung kepada Pemimpin Kasepuhan Citorek di Kampung Guradog, tetapi

76

Page 77: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

melalui kolot lembur di Kampung Naga, Desa Citorek Tengah. Kolot lembur di Kampung

Naga dan Kampung Cibengkung (Desa Citorek Barat), secara geneologis masih punya

hubungan darah langsung.

Di Kampung Cibedug, Desa Citorek Barat, tempat pusat Kasepuhan Cibedug, terdapat

peninggalan batu megalitikum, yang diklaim sebagai bagian dari identitas dan

berhubungan dengan sejarah leluhur mereka di Komunitas Kasepuhan Cibedug19.

Meskipun terdapat peninggalan batuan megalitik di Kampung Cibedug, tetapi komunitas

Kasepuhan Citorek belum pernah menceritakan hubungan mereka dan leluhur mereka

dengan benda prasejarah tersebut. Mereka menceritakan juga hubungan komunitas

Citorek dengan kuburan tua di Guradog, tempat mangkatnya Kiai Buyut Sainda, yang

dianggap sebagai bagian dari leluhur mereka. Masyarakat selalu melakukan kunjungan

ziarah ke kuburan tua ini. Cerita lainnya yang dianggap kurang meyakinkan dan miskin

informasinya oleh Ki Idong, yakni: adanya cerita bahwa di tempat tertentu di Ciusul yang

dahulu dinamakan Lebak Sabagi adalah tempat para pemimpin Kasepuhan berkampung

dan berbagi wilayah lalu pergi memimpin di daerah masing-masing.

3.2.3 Kelembagaan Adat dan Hubungan dengan Negara

Komunitas Kasepuhan setempat mempunyai ungkapan, sebagai berikut: sa adat, sa

agama dan sa nagara, tapi ngahiji adat na, (se adat, se agama dan se negara, tapi tetap

adat kebiasaannya satu), yang mana menggambarkan adanya tiga unsur pranata sosial

dalam kehidupan masyarakat kasepuhan, yaitu:

a. Baris Kolot, merupakan lembaga adat yang berfungsi mengurus kehidupan

incu putu sehari-hari, utamanya dalam memberikan nasehat, pengetahuan,

arahan dan masukan. Baris kolot di Citorek berjumlah 7 orang dan berdiam di

beberapa kampung, yaitu: Kolot Lembur Naga, Kolot Lembur Cibengkung,

19 Komunitas Kasepuhan Cibedug diperkirakan berasal dari kelompok leluhur yang berbeda dengan Kasepuhan Citorek. Ada beberapa tempat yang disebutkan sebagai tempat-tempat leluhur mereka tinggal, sebelum menetap di Kampung Cibedug sekarang. Kampung tesebut, yakni: Kampung Sajra, Lebak Menteng, Cidikit, Sinagar, Bojong Neros, dan Sanghiyang. Mereka memiliki klaim sendiri atas wilayah adatnya (wewengkon) yang berbatasan dengan wewengkon Citorek dan wilayah desa sekitar, termasuk dengan Desa Kanekes (Baduy). Selanjutnya Lihat Andri Santosa, dkk, dalam ”Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara: Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan”, Yogyakarta; 2007.

77

Page 78: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Kolot Lembur Ciusul, Kolot Lembur Babakan Pasir Nangka, Kolot Lembur

Cirompang, Kolot Lembur Sampai dan Kolot Lembur Cibarani.

Kolot lembur merupakan pimpinan kelompok komunitas dalam satuan sosial

kampung, pemukiman dan tingkatan desa, yang berperan membantu urusan

Kasepuhan di tingkatan unit sosial tertentu. Hal ini menggambarkan adanya

kepemimpinan dan otoritas yang bertingkat dalam struktur organisasi

Kasepuhan. Para baris kolot sangat menonjol perannya dalam ritual adat

Seren taon, acara pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam lainnya.

Jabatan Kolot Lembur tidak dipilih, tetapi merupakan jabatan yang diperoleh

dengan cara diwariskan dari pejabat sebelumnya dalam keluarga tertentu dan

tidak semua orang dapat menjadi kolot lembur.

b. Lembaga agama (Islam) yang dikepalai seorang penghulu agama disebut

Amil. Petugas Amil berasal dari jajaran baris kolot dan biasanya mereka

mempunyai latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam urusan

keagamaan (Islam) yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat umum.

Peran dan fungsi lembaga keagamaan dalam upacara keagamaan, perkawinan,

kematian, khitanan, pengajian dan sebagainya. Proses dan tata cara

pelaksanaan urusan keagamaan dan bahkan beberapa prosesi adat sudah

menggunakan tata cara dan hukum Islam.

c. Lembaga ‘pamarentah’ yang dikepalai seorang disebut Jaro Adat, peran dan

fungsinya membantu kasepuhan dalam mengurusi urusan incu putu dan

dengan berurusan dengan pemerintah negara dan pihak-pihak luar lainnya,

serta aktif secara langsung mengurusi keperluan warganya. Hubungan Jaro

adat dan Jaro pamarentah negara bersifat koordinatif.

Ketiga unsur pranata sosial dalam organisasi kasepuhan selalu aktif melakukan

komunikasi dan koordinasi dalam menjalankan tugas dan masih menggunakan

musyawarah mufakat untuk membahas hal-hal dalam kampung dan urusan keluar secara

bersama dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat. Organisasi kasepuhan sangat

78

Page 79: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

besar perannya dalam mengurusi urusan incuputu, mulai dari kelahiran, pembinaan dan

mengontrol tata krama, perkawinan dan ritual adat istiadat dalam pertanian sawah

‘tangtu’ dan huma, serta kematian. Perkawinan umumnya dilakukan menurut aturan

dalam tiga otoritas utama tersebut, yakni perkawinan sah menurut agama, adat, dan

negara (catatan sipil). Namun yang paling utama adalah perkawinan menurut agama

(Islam) dalam menentukan sah tidaknya sepasang insan menjadi suami-istri.

Ketiga pranata sosial tersebut berada dalam organisasi sosial kasepuhan yang dipimpin

oleh Oyot (sebutan pimpinan kasepuhan). Sistem kepemimpinan kasepuhan berdasarkan

sistem garis keturunan laki-laki, termasuk untuk jabatan kokolot lembur di tingkat

kampung di Citorek. Penentuan siapa yang akan menjabat dalam keluarga, sangat

tergantung kepada “wangsit”, melalui peristiwa dan kejadian tertentu, termasuk melalui

mimpi, yang memberikan tanda dan simbol gaib. Sedangkan jabatan baris kolot,

penghulu agama, jaro adat, jabatannya bisa diwariskan dan juga bukan keharusan.

Pengaruh dari pimpinan adat dalam pemilihan seorang kepala desa tidak semenonjol

yang dapat dilihat di Sinaresmi. Pertimbangan kemampuan finansial, wawasan,

kedudukan sosial (misalnya status sebagai haji), dan relasi sosial politik nampaknya

sudah lebih dominan menjadi pertimbangan masyarakat dalam menentukan pilihan pada

seorang calon kepala desa di samping integritas dan loyalitas sang calon. Keterangan

lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat pada bagian berikut di bawah ini.

Pengelolaan Pemerintahan di Tingkat Desa: Manifestasi relasi adat – Negara

Dalam cerita-cerita tua yang terkait dengan urusan relasi sosial dalam masyarakat dan

dengan sumber-sumber kehidupan warga, peran dan posisi kasepuhan maupun otoritas

Oyot masih sebagai organisasi yang paling utama dan determinan dalam mengurusi relasi

sosial dalam pengurusan pengembangan hidup dan berhubungan dengan pihak luar.

Tidak begitu jelas kapan waktu dan terjadinya perubahan fungsi dan peran organisasi

kasepuhan di masyarakat. Diperkirakan sejak masyarakat hidup dalam tekanan dan

79

Page 80: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

kendali rejim pemerintahan kolonial Belanda dan hingga adanya pemerintahan desa, telah

terjadi perubahan berarti dan kooptasi dalam pengurusan relasi-relasi dalam masyarakat

dan dalam pengurusan sumberdaya alam oleh negara.

Menurut Jaro Samdani (Wawancara dengan mantan Jaro Pamarentah Citorek Kidul, Mei

2008), otoritas pemerintah daerah (Pemda) dan pemerintah pusat sangat kuat berpengaruh

dan menentukan hubungan-hubungan sosial (ekonomi, politik dan hukum), yang

melemahkan kewenangan kelembagaan kasepuhan dan mengendalikan peran

pemerintahan desa.

Organisasi kasepuhan dibatasi otoritasnya hanya mengurusi kehidupan sosial budaya,

pembinaan akhlak dan upacara pertanian., Urusan yang menyangkut kewenangan dalam

aspek sosial, politik, hukum dan ekonomi dilakukan oleh pemerintah desa yang dipimpin

oleh Jaro Nagara (Kepala Desa).

Pemerintah desa tidak lebih dari perpanjangan birokrasi negara yang menyelenggarakan

kepentingan pemerintahan dan tugas pembantuan, mengurusi administrasi, melaksanakan

program pembangunan, mewakili kepentingan masyarakat dalam berhubungan dengan

pihak luar diurus oleh pemerintah desa. Pemerintah desa mempunyai struktur organisasi

sendiri dan didalamnya termasuk kelembagaan Kasepuhan menjadi salah satu mitra dan

bersama BPD (Badan Permusyawaratan Desa) menjadi perangkat Pemerintah Desa.

Masyarakat memandang tidak ada masalah dengan adanya pemerintah desa yang

strukturnya masih dikendalikan “persetujuan” pemerintah daerah. Mereka menafsirkan

ungkapan “mupakat kudu sarerea, ngahulu ka hukum, nyanghujar ka nagara”, yang

berarti posisi masyarakat harus patuh pada hukum dan pengaturan negara. Jaro nagara

dipilih melalui musyawarah oleh warga dan tidak ada kriteria khusus, yang berhubungan

dengan status dan latar belakang sebagai keturunan pancar pangawinan. Semua

persyaratan diatur umum saja dan berbakti pada kepentingan umum.20 Biasanya calon-20 Terdapat ungkapan dan pengetahuan warga Kasepuhan untuk menilai integritas dan loyalitas seorang

pemimpin, yakni: katara, katarik, katariwan, artinya seseorang yang ketahuan sebagai pejabat, harus bertanggung jawab, mempunyai kemauan untuk melayani dan mengabdi dan mengutamakan kepentingan umum, termasuk kalau mendapatkan rejeki, harus rela berkorban dan tidak mengutamakan diri sendiri,

80

Page 81: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

calon ini sudah diketahui integritas, kapasitas dan pengetahuannya dalam kepemimpinan,

sehingga tidak ada kompetisi yang pertentangannya luar biasa, sebagaimana aksi-aksi

pemilihan lurah dan kepala desa di daerah Jawa. Fungsi utama seorang jaro nagara

adalah menjadi jembatan yang mempertemukan kepentingan negara dengan kepentingan

masyarakat kasepuhan. Program-program pemerintah masuk ke kasepuhan melalui jaro

nagara.

Program-program pembangunan dan pelayanan umum yang pernah dan hingga kini

dilaksanakan, antara lain: (1) KUT (Kredit Usaha Tani), (2) BLT (Bantuan Langsung

Tunai), PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), (3) Program Fresh money

Pemerintah Provinsi Banten, (4) P3DT (Program Pembangunan Pendukung Desa

Tertinggal), (5) P2MP (Pusat Pengembangan Mutu Pendidikan), (6) Program Kaji Terap

dengan bantuan bibit tanaman hortikultural dari Dinas pertanian/ perkebunan, seperti

cabe dan kentang, (7) GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lingkungan,

bantuan rehabilitasi hutan dengan tanaman mahoni, albasia, lame, petani dan duren. (8)

Program Bantuan Perumahan dari KAT (Komunitas Adat Terpencil) Depsos untuk

pengadaan rumah penduduk sebanyak 250 rumah, yang kemudian direalisasikan tahun

2007 sebanyak 80 rumah.

Program ini kebanyakan untuk pembangunan infrastruktur dalam kampung,

pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Perencanaan dan

pelaksanaan proyek ditentukan oleh pemerintah daerah dan instansi teknis terkait,

sedangkan pemerintah desa dan masyarakat hanya menerima dan menjalankan program

yang sudah disusun sedemikian rupa. Pada awal pelaksanaan proyek sering dilakukan

musyawarah untuk menggali kebutuhan dan memetakan situasi yang berhubungan

dengan proyek, tetapi hal ini tidak selalu dapat berlangsung dengan ideal dikarenakan

anggaran dan rancangan proyek dilakukan sendiri oleh instansi berwenang dan dengan

sedikit informasi dari masyarakat. Kesenjangan dalam proses inilah yang sering menjadi

sorotan masyarakat Citorek.

tetapi mengutamakan kapentingan banyak orang, sekalipun pemimpin tersebut tidak mendapatkan bagian rejeki tersebut.

81

Page 82: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Contoh pelajaran baik yang menunjukkan kegagalan proyek dapat dilihat pada kasus

Program Kaji Terap yang dilaksanakan beberapa waktu lalu (2008), warga kasepuhan

Citorek menolak kebijakan bantuan pemerintah Dinas Pertanian Kabupaten Lebak untuk

memberikan bibit padi unggul yang dapat berproduksi 2 kali dalam setahun. Alasan

penolakan karena program ini akan mengancam dan merusak sistem pertanian sawah

masyarakat yang sudah tertata dan berdimensi sosial religius. Carik Ciusul (Citorek)

mengatakan alasan-alasannya, yakni: (a) program ini akan mengganggu sistem pertanian

yang memberikan kesempatan kepada tanah untuk beristirahat setelah digarap selama 6

bulan; (b) sistem sawah 2 kali panen dan padi unggul, sudah ada pengalaman sering

mendapatkan gangguan hama (jenis walangsangit dan burung); (c) petani akan tergantung

pada pupuk yang harganya mahal dan tidak dijangkau penduduk; (d) padi lokal masih

bisa bertahan di konsumsi hingga 20 tahun, sedangkan padi unggul hanya tahunan; (e)

usaha-usaha masyarakat dalam memperoleh pendapatan uang tidak berkembang, seperti:

beternak, berkebun, budidaya ikan, buruh, tukang dan menambang, karena waktu

sepenuhnya digunakan untuk mengolah sawah.

Mencuatnya protes dan penolakan warga di Citorek sudah semakin terbuka berlangsung

seiring dengan perubahan politik. Semenjak tahun 2003, pemimpin-pemimpin di Citorek

bergabung bersama beberapa wakil komunitas dan pemerintah di 31 desa yang berada

dalam kawasan hutan Gunung Halimun membentuk organisasi Forum Komunikasi

Masyarakat Halimun - Jawa Barat (FKMHJB) yang menuntut pengakuan hak kelola

masyarakat kepada Departemen Kehutan dan Pemda setempat. Tahun 2005 hingga 2007,

komunitas di Citorek dan Cibedug yang mendapatkan dukungan OMS, melakukan

advokasi untuk pengakuan keberadaan dan wilayah adat mereka di kawasan hutan

Gunung Halimun, sudah ada naskah draft SK Bupati, sudah melakukan lobby dan

negosiasi, tetapi pemda Lebak belum juga bergeming untuk memenuhi aspirasi

masyarakat.

Organisasi sosial politik (Partai Politik) yang memiliki pengurus di Citorek, yaitu: PDIP,

GOLKAR, PPP, PKS, PAN, PKB dan sebagainya. Kebanyakan parpol yang ada masih

partai lama dan partai politik aliran yang berbasis agama Islam. Kehadiran partai politik

82

Page 83: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

efektif dan dirasakan perannya hanya menjelang Pemilu dan Pilkada saja. Semua

pengurus partai politik datang berkampanye dan mempropagandakan program-program

partai dan pimpinan yang dijagokan. Biasanya mereka datang membagikan bantuan

pangan dan baju kaos, propaganda melawan kemiskinan dan ketidakadilan, janji-janji

memperjuangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Pada era pemerintahan Orde Baru, partai politik (GOLKAR) yang menguasai

pemerintahan ketika itu, tidak hanya menggunakan taktik-taktik dengan bantuan dan

janji, tetapi juga melakukan tekanan secara tidak langsung melalui kontrol dan himbauan

aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan negara.

Masa kini, meskipun terdapat pengurus dan pemilih yang mempunyai pilihan sendiri

untuk partai dan calon pemimpin daerah dan nasional dalam Pemilu DPR, DPD, DPRD,

Presiden dan Pilkada Gubernur, tetapi proses hingga hasil Pemilu dan Pilkada ini tidak

menimbulkan pertentangan berarti. Prosedur Pemilu dan Pilkada berlangsung menurut

ketentuan umum dan diurus oleh pemerintah desa dan kepanitiaan setempat.

Warga menganggap pesta demokrasi yang berlangsung dalam waktu tertentu menjadi

tempat untuk memperoleh ‘rejeki nomplok’ dengan adanya bantuan yang ditawarkan

Parpol dan para calon peserta Pilkada. Partisipasi masyarakat sangat maksimal dalam

hitungan angka, akan tetapi hal ini tidak berarti masyarakat sadar dengan pilihan politik

dan pemimpinnya serta akibat-akibatnya. Beberapa warga Citorek mengatakan ikut

Pemilu dan Pilkada karena kewajiban sebagai warga negara dan hanya ikut ramai-ramai

dalam pemilihan. Terkadang peserta menitipkan kartunya kepada orang yang lebih muda

dan berpendidikan yang dipercaya untuk mencoblos partai atau pemimpin yang

dikehendaki umum dan lebih baik. Masyarakat cenderung apolitis dan masa bodoh,

mereka mengaku tidak tahu dan kurang mau mengetahui proses politik, program dan

peran partai politik dan para pemimpin.

Pemerintah maupun partai politik yang berkepentingan sangat kurang pula menjelaskan

dan memberikan pengetahuan politik kepada masyarakat tentang keberadaan dan peran

83

Page 84: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

negara, partai politik, pemilu, demokrasi dan posisi masyarakat. Seperti halnya,

pemerintah tidak pernah secara serius menjelaskan hak-hak masyarakat dan pemenuhan

hak dasar.

Ada satu warga incuputu Kasepuhan Citorek yang saat ini menjadi anggota legislatif dari

PDIP, yaitu: H. Ade Sumardi, Namun dalam pengalaman advokasi kebijakan

pemerintah daerah untuk pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat Citorek, peran

H. Ade Sumardi, dirasakan kurang maksimal dan berbenturan dengan sistem dan

kehendak politik dari legislatif dan Pemda, sehingga masyarakat mengesankan posisi

yang lemah dan kurang dalam segi jumlah akan sangat mempengaruhi perjuangan politik

mereka di pemerintahan.

Hal ini yang menginspirasikan beberapa tokoh kasepuhan dan aparat pemerintah desa

untuk melakukan perhitungan dan ‘deal’ politik jika sudah ada komitmen dan kontrak

politik dari Parpol, anggota legislatif, kepala negara dan daerah, di masa pemilu

mendatang. Kontrak politiknya adalah memuat sejumlah kebutuhan masyarakat yang

harus diperjuangkan oleh calon partai dan tokoh yang dijagokan serta memuat

persyaratan-persyaratan tertentu.

Ketegangan dengan negara paling kental terasa dalam hubungan dengan kehadiran

Perhutani dan TNGHS. Ungkapan masyarakat terhadap kedua institusi yang mengurus

hutan dan lingkungan ini serupa dengan ungkapan yang muncul di Sinaresmi. Dalam

pandangan masyarakat, pengalaman mereka menghadapi kebijakan dan struktur

manajemen TNGHS dan Perhutani diungkapkan dalam pembedaan yang jelas, yaitu:

- Perhutani membolehkan masyarakat menggarap dalam kawasan hutan tetapi

harus membayar pungutan (retribusi sebesar 25% hasil garapan)

- TNGHS membuat hutan dijaga tetapi masyarakat tidak boleh menggarap di

mana mereka pandang lahan potensial. Masyarakat hanya boleh menggarap

dalam kawasan yang menurut zonasi peruntukannya memang untuk digarap

oleh masyarakat adat. Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan zonasi umum dari

sebuah taman nasional.

84

Page 85: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

- Di bawah TNGHS masyarakat mengkhawatirkan bahwa suatu saat nanti

masyarakat sama sekali tidak bisa memperoleh kayu dari kawasan di sekitar

kampung mereka, meskipun itu hanya untuk bangunan rumah dan bukan untuk

diperdagangkan. Tidak ada rasa aman dalam menggarap.

Pada awal 2007 masyarakat diminta membuat ‘kesepakatan’ dengan manajemen TNGHS

bahwa masyarakat tidak akan mengambil kayu dari kawasan taman nasional.

Kesepakatan ini terpaksa dibuat karena 6 orang warga terancam akan ditangkap karena

mengambil kayu dalam taman nasional. Kesepakatan dibuat sebagai imbalan atas

kebebasan keenam warga tersebut.

Posisi Negara dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Komunitas Kasepuhan Citorek memiliki wewengkon adat yang di klaim berdasarkan

kebiasaan dan pengakuan sosial dari komunitas sekitarnya yang sudah berlangsung sejak

lama. Kebiasaan yang dimaksud terkait dengan batas-batas kewenangan dan wilayah

kelola masyarakat Citorek dengan komunitas sekitar, yang batasnya mengikuti tanda

alam, yaitu: puncak bukit, sumber air dan aliran sungai yang mengalir ke Citorek adalah

wilayah adat Citorek. Pada awal abad XX, terdapat dokumen pemerintah Kolonial

Belanda yang mengukuhkan keberadaan komunitas Citorek dan kawasan hutan

sekitarnya.

Sistem penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah masih berdasarkan kebiasaan dan

konsensus sosial dari masyarakat setempat. Masyarakat dapat mempunyai hak untuk

mengolah lahan dan membuka hutan dalam lingkungannya, guna keperluan kehidupan

warga setempat. Membuka dan menggarap lahan hutan untuk pertanian dan perladangan

ataupun memungut hasil hutan, harus diketahui oleh pemimpin masyarakat dan warga

setempat. Bekas-bekas pengolahan yang menjadi belukar dan atau ditumbuhi dengan

tanaman pohon buah-buahan dan tanaman tahunan lainnya, menjadi bukti bahwa lahan

tersebut sudah pernah digarap dan kalau terus menerus diolah akan memperkuat hak

milik atas tanah si pembuka dan penggarap lahan.

85

Page 86: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Masa kini komunitas kasepuhan Citorek mempunyai pengetahuan dan kebiasaan dalam

mengelola dan memanfaatkan hutan berdasarkan fungsi dan kegunaan ruang untuk

kehidupan sosial budaya, ekonomi dan lingkungan, yang masih berpedoman pada ajaran

tatali paranti karuhun dan juga sudah mengalami perkembangan mode produksi ekonomi

yang komersial.

Pengetahuan masyarakat, misalnya hutan atau ‘leuweung’ di kelompokkan ke dalam,

yaitu: (a) leuweung kolot yang dikenal juga sebagai leuweung tutupan atau kawasan

hutan yang tidak dapat dikelola dan dianggap keramat; (b) leuweung titipan atau kawasan

hutan yang mempunyai fungsi lindung bagi daerah aliran sungai; (c) leuweung bukaan

atau sempalan, merupakan kawasan hutan tanaman yang sudah digarap oleh masyarakat

untuk huma, sawah dan kebon untuk tanaman komersial. Terdapat pula semacam aturan

tidak tertulis yang memuat himbauan dan larangan dalam mengelola dan memanfaatkan

hasil hutan di kawasan tersebut. Komunitas Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek Kidul,

telah menegaskan aturan pengelolaan wilayah mereka dengan membuat kesepakatan

yang memuat aturan dan sangsi berdasarkan kebiasaan adat. (Ki Nurja, dkk dalam

Hendarti, 2007;110-114).

Namun, kebanyakan masyarakat yang mempunyai lahan garapan di kawasan hutan

produksi dan hutan lindung sudah menggunakan dan tergantung pada mekanisme dan

hukum negara. Pemanfaatan kayu dan bukan kayu, ataupun pengelolaan lahan garapan

sudah ditentukan oleh Perum Perhutani dan zonasi taman nasional. Jenis tanaman yang

ditanam bukan semata-mata karena mempunyai fungsi ekologi, melainkan dipengaruhi

oleh manfaat ekonomi dan kebutuhan pasar.

Kawasan hutan ini dahulu merupakan hak kolektif masyarakat yang juga berfungsi

sebagai ruang politik dan identitas dari komunitas atas sebuah wilayah dan sumber lahan

garapan (wawancara Mei 2008). Dalam peta-peta yang dibuat masyarakat dapat

ditunjukkan posisi dan letak lokasi hutan tersebut. Gambaran dan informasi peta ini

86

Page 87: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

sudah mendapatkan pengakuan pemerintah desa, kasepuhan dan warga sekitar21, tetapi

pemerintah daerah dan instansi lainnya belum mengakui peta tersebut.

Dalam FGD di Citorek terungkap bahwa aspirasi yang menonjol adalah keinginan

masyarakat untuk adanya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan

hak atas pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat menginginkan adanya pembagian

hak dan kewewenangan yang jelas antara negara dan kasepuhan dalam pengelolaan

sumberdaya alam di wilayah wewengkon adat Citorek yang sudah di petakan pada tahun

2005 lalu. Namun kendala utama adalah mendapatkan pengakuan dari Pemerintah

Daerah. Kesulitan dalam mendapatkan sebuah Perda khusus mengenai keberadaan dan

pengelolaan sumberdaya alam tersebut membuat masyarakat Citorek ‘menurunkan’

tuntutannya dengan meminta pengesahan melalui Surat Keputusan Bupati, namun sampai

saat ini pun hal itu belum berhasil diperoleh.

Masyarakat memandang bahwa wewengkon harus dijaga keutuhannya, dan oleh karena

itu dalam relasi dengan negara mereka menghendaki agar wewengkon mereka juga

berada dalam satu ikatan administratif yang jelas diakui oleh pemerintah.

21

Peta-peta partisipastif yang pembuatannya melibatkan masyarakat dan difasilitasi RMI merupakan sebuah gerakan social untuk mengklaim hak-hak traditional berdasarkan cerita rakyat, tanda-tanda alam, bukti tugu dan tanaman. Gerakan ini berkembang tahun 2001 hingga sekarang, seiring dengan perubahan rejim dan terbukanya system politik. Proses pemetaan partisipatif di Sirnaresmi berlangsung tahun 2001 dan di Citorek berlangsung tahun 2003 – 2005. Komunitas di Citorek dan Sirnaresmi mengidentifikasi batas wilayahnya dengan nama gunung dan tempat, yang mempunyai cerita dan arti sendiri. Luas Wewengkon adat Citorek sebesar 7.416 ha. Teridentifikasi di wilayah tersebut terdapat lahan milik warga yang sudah memiliki SPPT sebesar 2.760 hektar. Cakupan lahan yang ber SPPT, yaitu: (1) Kampung/ lembur seluas 34,084 ha, kawasan ini sudah ber SPPT; (2) areal kebon, huma dan reuma, seluas 2.081, 500 hektar; (3) lahan sawah seluas 1.712, 041 ha, untuk kebon, huma, reuma dan sawah yang diukur termasuk yang sudah dan belum ber SPPT; (4) hutan (leuweng) seluas 3.588, 375 ha, kawasan hutan ini diluar SPPT. Diketahui pula, luas areal sawah, huma, kebon dan reuma, yang sudah ber SPPT sebesar 2.725, 916 hektar dan yang belum ber SPPT seluas 1.067, 625 hektar. Sedangkan Peta wilayah Desa Sirnaresmi yang dipetakan tahun 2001, diketahui luas keseluruhan wilayahnya sekitar 4.906 hektar, yang peruntukkan dan pemanfaatan tanah, terdiri dari: areal pemukiman seluas 74,18 hektar; Sawah 559, 98 ha; kebun/talun/huma seluas 303,40 ha; hutan alam lainnya seluas 2.948, 48 ha; hutan ulayat seluas 1.013 ha; makam seluas 7 ha. Peta ini disahkan dan ditandatangani oleh Pemimpin Kasepuhan dan Perangkat Kasepuhan, kolot lembur, Kepala Desa (Jaro), dan tokoh masyarakat.

87

Page 88: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Konsep klaim wewengkon ini berlaku juga di Komunitas Kasepuhan Cibedug, yang

secara administratif wilayahnya berada di Desa Citorek Barat. Sedangkan di Desa

Sirnaresmi tidak ditemukan konsep berdasarkan pengakuan sosial dan atau dokumen

pemerintahan yang mengukuhkan wilayah kelola masyarakat. Masyarakat hanya

mengklaim bahwa lahan tanah milik dan kawasan hutan yang berada di wilayah

administrasi pemerintah Desa Citorek adalah milik leluhur yang diwariskan kepada

masyarakat. Klaim pemilikan ini diperkuat dengan adanya bukti situs-situs sejarah dan

kuburan peninggalan leluhur warga Kasepuhan di wilayah ini, penguasaan pengetahuan

dan informasi tempat.

Dalam konsep tata ruang, masyarakat juga memandang bahwa konsep mereka cukup

selaras dengan konsep yang dijalankan oleh taman nasional. Yang menjadi pertanyaan

bagi mereka adalah jika mereka telah sekian lama memanfaatkan lahan seturut konsep

tataruang mereka tanpa menimbulakn degradasi yang fatal, mengapa akses mereka ke

sumberdaya hutan dan kawasan sangat dibatasi oleh kehadiran taman nasional?

Hak atas tanah yang diakui di kalangan warga kasepuhan bersumber dari dua sistem

hukum, yaitu: hukum adat dan hukum negara. Hak berdasarkan hukum adat diperoleh

seseorang berasal dari hak waris turun temurun, pembuka pertama tanah dan biasanya

memiliki surat bukti Surat Girik, Kikitir atau surat dengan Cap Singa dari pemerintah.

Sistem pemilikan tanah dengan bukti-bukti tersurat dari negara sangat melemahkan posisi

pemilik tanah yang tidak punya akses pengetahuan dan uang untuk mengurusi legalitas

hak adat atas tanah berdasarkan sistem hukum tanah negara. Hanya mereka yang dapat

membayar pajak mampu, yang mempunyai hak atas tanah adat dan memiliki surat Girik

atau Kikitir. Di Kampung Ciusul (Citorek), dari ratusan keluarga hanya ada 5 orang yang

punya surat girik dan kebanyakan surat Girik milik warga di Citorek Timur sudah hangus

terbakar dalam kebakaran kampung beberapa tahun lampau.

Di samping persoalan tanah dan hutan, masyarakat juga memandang pentingnya sosok

Negara dalam pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan. Pengadaan

buku-buku penunjang belajar murid adalah persoalan tanggung jawab Negara yang

88

Page 89: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

menjadi sorotan masyarakat, sementara pelayanan kesehatan sampai sekarang ini dinilai

cukup memenuhi kebutuhan masyarakat.

3.2.4 Posisi dan Peran Kaum Perempuan dalam Komunitas Kasepuhan

Menurut pendapat umum warga kasepuhan (FGD Mei 2008) keberadaan perempuan,

anak-anak dan orang tua berusia lanjut, dalam urusan keluarga dan perihal hak-hak

moral, sangat dihormati dan didahulukan. Terdapat ungkapan masyarakat, bahwa:

”perempuan itu panjang rambut tapi pendek langkah”, yang menggambarkan perempuan

mempunyai sifat-sifat lemah lembut dan kekuatan fisik yang tidak sebanding pria,

sehingga mereka harus dibantu dan dilindungi.

Dalam komunitas Kasepuhan tidak ada pemisahan atau prioritas pemilikan hak waris atas

tanah dan kekayaan lainnya, semuanya sama laki-laki maupun perempuan. Sedangkan,

untuk pendidikan dan managemen ekonomi keluarga, lebih diutamakan peran laki-laki

dibandingkan perempuan, namun ada pendapat yang mengatakan ada kecenderungan

kuat berkurangnya pembedaan ini. Demikian pula, peran perempuan dan laki-laki sama

dan tidak ada perbedaan berarti dalam pekerjaan di bidang pertanian, sawah, ladang,

kebon dan usaha budi daya perikanan darat. Kecuali pekerjaan dalam rumah, seperti: jahit

menjahit, merajut, mengurusi keperluan dapur dan belanja keluarga, kebanyakan diurus

oleh perempuan. Dengan realitas itu sesungguhnya beban kerja kaum perempuan,

sebagaimana dapat dilihat di Sinaresmi, lebih tinggi daripada kaum pria.

Dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas, kaum perempuan praktis tidak

berperan sama sekali. Semua perangkat kelembagaan kasepuhan adalah lelaki dan lelaki

adalah pemegang otoritas utama pula dalam desa-desa yang ada sampai saat ini. Dalam

FGD ditanyakan keberadaan dan posisi perempuan dalam lembaga BPD (Badan

Permusyawaratan Desa) yang tidak ada dikarenakan tidak memenuhi persyaratan batasan

umur (25 tahun) dan pendidikan (minimal SMP). Masyarakat Citorek mempunyai

kebiasaan memprioritaskan pendidikan hingga tingkat lanjutan atas kepada laki-laki.

Harapannya, pihak laki-laki dapat memberikan perlindungan dan membantu terhadap

perempuan.

89

Page 90: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Disamping itu mengurusi organisasi sosial dan pemerintahan harus mempunyai

kemampuan dan kepemimpinan yang loyal, mau mengabdi dan mengutamakan

kepentingan umum, sebagaimana ungkapan: katara, katarik, katariwan. Wujud

kepemimpinan ini dalam tradisi setempat diperankan oleh kaum pria.

Salah satu kenyataan yang menarik di tengah tekanan ruang dan ekonomi adalah bahwa

tidak ada TKW dari Citorek sampai saat ini.

3.3 Konflik Struktural

Bagian konflik ini sengaja dipisahkan tersendiri dengan menyatukan konflik struktural

yang dihadapi kedua komunitas kasepuhan yang menjadi kajian dari penelitian ini.

Konflik struktural yang dimaksud adalah konflik antara masyarakat adat di kedua

kasepuhan dengan negara yang direpresentasikan oleh TNGHS (dan sebelumnya oleh

Perum Perhutani). Konflik ini telah menimbulkan perubahan dalam dinamika sosial

politik di dalam kasepuhan sejalan dengan gencarnya isu masyarakat adat memasuki

kehidupan komunitas kasepuhan. Sumber konflik adalah perbedaan klaim antara kedua

pihak mengenai status tanah di kedua kasepuhan. Di Sinaresmi muncul keluhan bahwa

lahan garapan semakin terbatas dan akses ke sumberdaya hutan juga dibatasi, sementara

di Citorek bersifat lebih rumit karena masyarakat di sini memiliki konsep tanah adat

kasepuhan yang disebut wewengkon.

Tanah dan kekayaan alam merupakan ruang dan sumber kehidupan bagi masyarakat.

Dalam pandangan komunitas Kasepuhan, tanah tidak hanya sebagai alat produksi untuk

kepentingan ekonomi belaka, tetapi juga mempunyai manfaat dan nilai sosial dan budaya,

karenanya perlu ditata dan diurus dengan benar dan adil sehingga memberikan

kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.

Tanah negara dalam pemahaman masyarakat adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh

pemerintah, meliputi: tanah garapan yang berada dalam kawasan hutan, tanah desa dan

kawasan hutan. Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah setempat yang efektif

mengelola dan mengontrol pemilikan dan pemanfaatan tanah di kawasan ini. Sejak tahun

90

Page 91: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

1945, Djawatan Kehoetanan menguasai kawasan hutan di wilayah Jawa Barat – Banten.

Sejak 1978 hingga sekarang, Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten diberikan hak

untuk mengelola hutan produksi di wilayah Jawa Barat dan Banten.22 Pada areal yang

sama di kedua lokasi studi, terdapat tanah pertanian, huma, kebon, hutan dan areal

tambang, yang dikuasai dan di klaim sebagai hak adat masyarakat setempat. Masyarakat

sangat tergantung pada areal tersebut untuk perkembangan sosial dan ekonomi. Dengan

demikian konflik dengan pihak Perhutani menjadi tak terhindarkan akibat tumpang tindih

klaim masyarakat dan kawasan di bawah otoritas Perhutani.

Setelah adanya sistem pertanahan dan hukum agraria, maka dikenal konsep legalitas

pemilikan yang berdasarkan alat bukti dan dilegalisir oleh pemerintah. Tanah-tanah milik

berdasarkan hak adat diminta didaftarkan oleh pemerintah, tetapi banyak warga tidak

mau ikut dan tidak ingin berurusan dengan birokrasi dan pendaftaran yang berbelit-belit,

mereka khawatir dengan pungutan biaya dan pajak. Hal ini berujung kemalangan karena

kemudian pemerintah tidak mengakui tanah milik berdasarkan hukum adat yang tidak

didaftar. Tanah-tanah yang belum didaftar dikategorikan sebagai tanah tak bertuan.

Pemerintah menyatakan tanah tak bertuan sebagai tanah negara. Petani dapat mengelola

lahan tersebut tetapi hanya punya hak garap (masyarakat menyebutnya tanah GG) yang

dibatasi pengelolaannya, tidak boleh dijual dan tidak diwariskan. Setiap pemilik Tanah

GG harus mempunyai surat bukti menggarap, yakni Surat Ijin Menggarap (SIM), yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten dan sekarang disebut tanah ber-SPPT (Surat

Pemberitahuan Pajak Terhutang). Ada banyak lahan garapan yang sudah dikenakan SPPT

(istilah yang digunakan warga Citorek adalah ‘diputihkan’).23 Meskipun lahan sudah ber-

22 Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten mengelola 659.039, 46 ha hutan, yang terdiri atas hutan lindung 74 ha dan hutan produksi 429.264,71 ha, yang tersebar di 14 Kesatuan Pengusahaan Hutan (KPH). Perum Perhutani menghasilkan kayu dan bukan kayu serta jasa lingkungan yang di komersialkan. (Sumber: http://www.unit3.perumperhutani.com/home/index.php?option=com_content&task=view)

23 Pada tahun 2000 an, tanah garapan di areal hutan produksi statusnya ‘diputihkan’ yang memberikan kepastian hak garap kepada warga dan dengan diterbitkannya SPPT. Di Desa Citorek Selatan, penerimaan pajak dari pengelolaan lahan sebesar Rp. 18.000 di tahun 1980 dan setelah adanya pemutihan SPPT, luas lahan ber SPPT semakin banyak dan penerimaan pajak meningkat menjadi Rp. 8.720.135 pada tahun 2008. Berdasarkan hasil pemetaan diketahui lahan ber SPPT di wewengkon adat Citorek seluas 2.760 ha, meliputi areal perkampungan, kebon, huma, reuma dan sawah. Sedangkan di Desa Sirnaresmi sudah ada 320 ha lahan ber SPPT yang dimiliki 665 orang dan sekitar 669 KK tidak mempunyai lahan garapan.

91

Page 92: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

SPPT warga tetap tidak nyaman menggarap karena kebanyakan lahan garapan berada

dalam kawasan yang di klaim sebagai TNGHS.24

Sebelumnya, kawasan hutan alam sudah dijadikan hutan lindung dan kawasan konservasi

Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Pada tahun 2003, Menteri Kehutanan

mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts II/2003 tentang

Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi

Kawasan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung

Halimun dalam dari 40.000 ha diperluas menjadi 113.357 ha dan namanya menjadi

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).25 Di sinilah masalah tersebut

mencuat dan melibatkan komunitas kasepuhan lainnya yang mengalami tekanan yang

sama akibat kehadiran TNGHS. Masalah belum berakhir dengan kehadiran TNGHS.

Areal kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang semestinya tidak boleh dikelola

oleh karena fungsi lindungnya, tetapi oleh pemerintah dijadikan sebagai areal

pertambangan. Pada tahun 1992, pemerintah memberikan Kuasa Pertambangan (KP)

kepada PT. ANTAM untuk melakukan penambangan emas di kawasan hutan dan lahan

masyarakat daerah Pongkor (termasuk daerah Citorek) dengan areal KP seluas 4.058

hektar dalam jangka waktu 30 tahun. Kawasan KP ini semula seluas 4058 ha dan

diperluas menjadi 6047 ha. Pada tahun 2005, sekitar 4.188 kawasan hutan di wilayah

Citorek ditetapkan sebagai areal tambang Galena oleh Pemda Lebak yang mengeluarkan

Surat Keputusan Bupati Lebak Nomor. 503.2/76 – Distamben/KP.EK/2005 tentang

Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi Kode Wilayah (KW 05DE0105) Kepada PT.

Sasak untuk kegiatan pertambangan Galena. Kuasa Pertambangan ini kontroversial dan

mengundang silang pendapat antara Pemda, Balai Taman Nasional, Departemen

Kehutanan dan DPR RI.26

24 Dalam kawasan TNGHS terdapat penduduk sebanyak 99.782 jiwa yang tersebar di 108 desa, 26 kecamatan, 3 kabupaten dan 2 provinsi. Sebagaian besar warga tersebut mempunyai lahan garapan dalam kawasan TNGHS.

25 Lihat: http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/313426 Lihat surat Kepala Balai Taman Nasional kepada Bupati Lebak No. S.100/IV-T.13/Lind/2007

(huruf biru, tidak begitu jelas), tertanggal 6 Desember 2007, meminta kepada Bupati untuk tidak menerbitkan SK Perijinan Baru dari PT. Sasak kepada PD. Lebak Niaga; Lihat Surat Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan, No. S.100/IV-KKA/2008 (huruf biru, tidak begitu jelas), tertanggal 17 Februari 2008, yang meminta Pemda Lebak mencabut SIPD PD. Lebak Niaga; Lihat Surat Bupati

92

Page 93: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Kebijakan pengaturan dan pengelolaan kawasan hutan untuk produksi dan konservasi

taman nasional, serta kegiatan pertambangan, dilakukan tanpa ada informasi,

musyawarah dan mufakat dengan masyarakat setempat. Tanah dan kebon milik

masyarakat dirampas, tanah dan hasil hutan dikuras. Wilayah adat masyarakat dicaplok

begitu saja. Masyarakat diancam untuk dipindahkan dari dalam taman nasional.

Masyarakat dilarang dan dibatasi aksesnya untuk pemanfaatan lahan dan mengelola hasil

hutan.

Menurut tokoh masyarakat di kedua lokasi, pemerintah tidak adil dan bijaksana dalam

mengatur dan mengurusi sumberdaya alam. Masyarakat disingkirkan dan

dikriminalisasikan, sedangkan perusahaan yang mengelola hutan dan sumberdaya alam

lainnya, dibiarkan dan dilindungi dalam berusaha. Meskipun terdapat kasus perusahaan

tambang yang mencemari lingkungan dan Perum Perhutani yang mengabaikan

kewajibannya untuk merehabilitasi hutan tetapi tidak ada hukuman.27

Perlawanan masyarakat

Situasi politik nasional dan perubahan kepemimpinan sangat berpengaruh dalam

dinamika sosial politik dan ekonomi masyarakat di Kawasan Gunung Halimun.

Pemerintahan Abdurrahaman Wahid (2000) yang membuat pernyataan bahwa 40 persen

dari lahan perkebunan dirampas dari tanah rakyat, oleh sebab itu harus di bagikan

kembali kepada petani. Pernyataan ini dianggap kontroversial dan menimbulkan dampak

politik. Aksi rakyat semakin marak melakukan reklaiming dan okupasi lahan.

Situasi berubah, masyarakat setempat semakin berani menggarap lahan yang pernah

digarap dan masuk membuat ladang dalam areal hutan produksi Perum Perhutani yang

sudah ditebangi kayunya. Awalnya ada ketegangan antara warga dan petugas Perhutani.

Lebak kepada Menhut RI, No. 050/02-Bapp/2008, tertanggal 16 Januari 2008, tentang Usulan Pengurangan Rencana Perluasan TNGHS. Lihat Laporan Singkat Rapat Komisi IV DPR RI dengan Menteri Kehutanan RI, tanggal 8 April 2008, yang meminta Dephut melakukan harmonisasi Kepmen 175 dan Surat Bupati Lebak.

27 Dalam kawasan TNGHS terdapat 2 perusahaan tambang, yaitu: PT. ANTAM dan PT. Chevron, terdapat puluhan perkebunan besar dan kecil, seperti: PT. Nirmala Agung, PTPN VIII, PT. Hevea. Terdapat pula perusahaan air minum kemasan, industri garmen dan sebagainya.

93

Page 94: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Abah Anom (Alm), pemimpin Kasepuhan Ciptargelar, memimpin warganya membuka

areal hutan di Cicemet dan tinggal di lahan tersebut. Pemerintah menyebut aksi ini

sebagai perambah hutan, tetapi tidak ada aksi pengusiran.

Aksi brutal dilakukan oleh pekerja kayu dari luar desa yang menebang dan mengambil

kayu di areal hutan produksi dan hutan alam untuk dijual. Aparat tidak melarang dan

mencegah. Menurut keterangan tokoh masyarakat Kampung Cimapag (Sirnaresmi), aksi

ini dibiayai oleh para pemodal dan cukong kayu dari kota, disokong dari belakang oleh

aparat keamanan dan instansi kehutanan. Aksi ini dihentikan oleh warga Kampung

Cimapag, setelah aparat kepolisian dan dinas kehutanan tidak bertindak. Warga Cimapag

yang khawatir sumber air dan daerah penyangga semakin kritis, melakukan perlawanan

dengan menyita alat chainsaw dan mengusir pelaku yang mereka sebut sebagai illegal

logging.

Daerah perbukitan di Pondok Injuk sampai gundul tanaman kayunya akibat illegal

logging. Warga Cimapag menduduki daerah ini dan dijadikan lahan huma dan kebon,

ditanami tanaman pohon kayu dan buah-buahan, sayur-sayuran dan padi. Petugas Taman

Nasional dan operator project JICA (Japan International Cooperation Agency) yang

mempunyai proyek konservasi MKK (Masyarakat Kampung Konservasi) di daerah ini

melakukan negosiasi dengan masyarakat untuk pengelolaan kolaborasi di TNGHS. Ada

rancangan konsensus untuk sistem pengelolaan, hak dan kewajiban mengelola hutan,

tetapi hingga sekarang belum ada kesepakatan bersama.

Operator Perum Perhutani di KPH Sukabumi dan Banten melakukan pendekatan

persuasif dan berkompromi dengan warga penggarap lahan dengan membuat kesepakatan

yang keputusannya tidak diatur dalam kebijakan organisasi. Warga boleh menggarap

lahan di areal hutan produksi yang sudah ditebang tetapi warga wajib membayar atau

membagi hasil usaha garapan sebesar 25 persen, menanam dan merawat tanaman kayu.

Keluarga mampu tertentu tetap membayar upeti dan menganggap hal itu semacam ikatan

hubungan produksi antara penggarap dengan mantri hutan untuk memastikan haknya

menggarap dapat dijamin. Kewajiban membayar pajak semacam SPPT kepada

94

Page 95: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

pemerintah tidak dilakukan dan tidak ada permintaan pungutan dari pemerintah.

Komunitas kasepuhan di Citorek menolak sistem ini dan meminta Perum Perhutani

membebaskan kewajiban pungutan bagi warga kasepuhan dan disepakati.

Pada 18 oktober 2003 wakil masyarakat dari sekitar 31 desa disekitar taman nasional

melakukan pertemuan dan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa

Barat – Banten (FKMHJB). Dalam pertemuan tersebut dikemukakan keresahan

masyarakat dengan adanya TNGHS yang melakukan perluasan arealnya hingga ke lahan

garapan areal hutan produksi yang sedang dikelola masyarakat. Mereka khawatir

pemerintah dan operator taman nasional akan mengambil lahan-lahan tersebut dan sudah

ada ancaman untuk memindahkan warga. Sirnaresmi termasuk di dalam organisasi ini.

Berdasarkan keterangan Jajang (Juni 2008), salah satu ketua FKMHJB, forum

menyepakati untuk melakukan aksi kolektif mempertahankan lahan garapan, melakukan

reclaiming dan penebangan pohon secara bertahap. Forum akan melakukan negosiasi dan

lobby kepada Pemda dan Departemen Kehutanan untuk mendesak peninjauan kembali

SK Menhut tentang perluasan taman nasional. Forum meminta agar tanah, kebun dan

pemukiman masyarakat dikeluarkan dari taman nasional.

Carut marut situasi kebijakan ekonomi politik dan hukum nasional, yang ditandai dengan

pemberian hak pengelolaan sumberdaya alam kepada pemilik modal besar dan termasuk

dibolehkannya pertambangan di kawasan hutan lindung, percekcokan elit politik, kuatnya

desakan rakyat untuk peningkatan kesejahteraan, terus bergulir di kampung-kampung

sekitar Gunung Halimun.

Penduduk sekitar mendatangi sumber-sumber produksi yang dapat segera menghasilkan

pendapatan, utamanya areal penambangan PT. ANTAM. Penduduk setempat, eks pekerja

ANTAM bersama pekerja tambang dari luar desa, melakukan penambangan di kawasan

hutan areal konsesi ANTAM maupun ke kawasan hutan yang dianggap mengandung

bahan tambang emas, tembaga dan perak. Penambang ini disebut oleh pemerintah

sebagai “penambang liar” atau “penambang tanpa ijin” alias peti. Ada ribuan orang

terlibat dalam pekerjaan ini. Peralatan dan pengetahuan gurandil masih sangat sederhana,

95

Page 96: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

dengan membuat terowongan dan tanpa mempedulikan lingkungan, keamanan dan

keselamatan kerja.

Sebagian besar pria muda dan dewasa di Citorek dan Sirnaresmi terlibat dalam kegiatan

pertambangan rakyat, yang memberikan pendapatan ekonomi sangat besar dibandingkan

ekonomi pertanian. Mereka pergi ke luar kampung atau ke bukit sekitar mencari urat

emas, perak, timah dan tembaga, setelah selesai kegiatan memotong rumput di sawah dan

memasukkan ikan ke dalam keramba. Kawasan hutan sekitar Kampung Cirotan, Desa

Ciusul, merupakan lokasi ‘lubang’ tambang yang paling sering dikunjungi warga, selain

di areal konsesi tambang ANTAM. Demikian pula hutan di lereng bukit sekitar empat

kilometer dari pusat Desa Sirnaresmi arah Pelabuhan Ratu adalah areal penambangan.

Kegiatan penambangan dilakukan dengan pengetahuan dan teknologi cara sederhana,

menggunakan alat pemukul batu untuk mendapatkan tanah dan batu yang mengandung

bahan tembaga dan emas, lalu menggunakan alat gelundung yang terbuat dari besi bundar

yang didalamnya ditaruh batuan tambang dan air raksa, lalu kemudian diputar dengan air,

hingga terpisah emas dan lumpur tanah. Cara yang lain adalah nganduk dengan

menggunakan alat dari kain beluderu tebal, handuk dan kain serupa, lalu pasir dan tanah

lumpur yang bercampur emas diletakkan dikain tersebut dan diguyur dengan air, sisa

besi, tembaga dan emas, tersangkut di kain tersebut. Tapi tekhnik ini jarang digunakan.

Di Pangeleseran, Desa Ciusul, tanah seluas 5 ha di lokasi, yang tidak begitu jelas

statusnya, milik desa (dikuasai bersama), milik keluarga atau milik negara, secara diam-

diam telah dirubah statusnya oleh Jaro Pamarentah dan menjadi milik pribadi. Lahan ini

sudah dijual Rp. 60 juta pada tahun 2002, yang dibeli oleh pengusaha tambang bernama

Yanyang, warga keturunan Cina, yang berdomisili di Jakarta. Di lokasi Cipulus (Citorek),

pengusaha asal Korea dan Cina membeli/menyewa lahan warga di Ciusul dan

mendapatkan SIPR (Sirat Ijin Pertambangan Rakyat) dari Pemda Lebak untuk

pengelolaan tambang.

96

Page 97: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Aparat keamanan setempat dan pemilik modal dari kota terlibat memberikan ‘bekingan’

bisnis ini. Persaingan antara kelompok dan tidak adanya penegakan hukum di lokasi

tambang Pongkor mengakibatkan terjadinya kerusuhan antara kelompok penambang

yang terjadi pada tahun 1998. Kerugian akibat kerusuhan ini mencapai miliaran rupiah.

Kini pemerintah membuat kebijakan operasi jaga wana dan aparat keamanan sangat

restriktif terhadap warga. Suhendri, anggota FKMHJB di Kampung Cisii, Desa Citorek

Barat, ditangkap oleh petugas Perum Perhutani (2004) dan di hukum penjara dengan

tuduhan melakukan penebangan dan pencurian kayu dalam areal milik Perum Perhutani.

Padahal Suhendri meyakini aksinya untuk menggarap lahan tidak ada persoalan. Kasus

terbaru (Mei 2008), dialami oleh Arnan, warga Kasepuhan dari Kampung Cimapag, Desa

Citorek Tengah, kayu rasamala miliknya, sisa potongan bahan rumah baris kolot, yang

ditebang dipinggiran kampung disita petugas taman nasional dan aparat kepolisian

mencari Arnan, yang sudah pergi menghindari kejaran petugas sampai dengan saat

penelitian ini dilakukan. Petugas menyatakan bahwa mereka mau menangkap Arnan

padahal sampai saat ini belum ada surat perintah penahanan terhadap Arnan.

Menurut warga Kasepuhan, semestinya kayu itu tidak perlu disita dan Arnan tidak perlu

dihukum, karena kayu itu untuk digunakan buat membuat rumah warga yang

memerlukan dan tidak diperdagangkan. Kalaupun dijual harganya dibawah harga

komersial sebesar Rp. 20.000 per potong. Sedangkan kayu yang diperdagangkan hanya

ada di kota Rangkas maupun Cipanas, yang harganya mencapai Rp. 120.000 per potong

dan ongkos angkut Rp. 20.000 per potong, artinya harga kayu tersebut Rp. 140.000.-.

Dengan harga ini sangat sulit bagi masyarakat untuk dapat membeli kayu di kota dan

karena itu memilih mengambil kayu diam-diam dari hutan asalkan tidak tertangkap.

Bagi mereka yang mempunyai posisi kuat secara sosial politik dan pengaruh di kampung,

biasanya hanya ditegur oleh petugas. Tetapi sedikit sekali yang mau mengambil resiko

untuk berurusan dengan petugas dan hukum, yang konon seringkali tidak hanya menahan

dan memenjarakan masyarakat, tetapi juga memeras keluarga pelaku dengan meminta

uang dalam jumlah yang besar untuk mengurangi waktu kurungan dan atau

97

Page 98: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

mengintimidasi dengan berbagai macam cara sehingga keluarga mau mengeluarkan uang.

Hal ini terjadi juga dalam usaha pertambangan rakyat ’liar’.

Komunitas Kasepuhan dalam berbagai kesempatan pertemuan resmi dengan pemerintah

daerah dan pengambil kebijakan lainnya maupun dalam forum pertemuan masyarakat

sipil, menyampaikan keinginannya agar mendapatkan kebijakan dan payung hukum dari

pemerintah yang memberikan perlindungan dan pengakuan atas keberadaan komunitas

kasepuhan, hak-hak ulayat dan adat istiadat mereka.

Kebijakan ini diharapkan dapat membuat masyarakat mandiri dan otonom yang

mempunyai kewenangan untuk mengurusi ketertiban sosial, pengelolaan sumberdaya

alam, program pembangunan dan kesejahteraan, serta dapat menyelesaian ketegangan

antara pemerintah dan masyarakat. Kewenangan ini akan membantu keterbatasan

pemerintah untuk mengurusi dan mengelola sumberdaya alam.

Masyarakat tidak ingin pula pemerintah lepas tangan, tetapi diharapkan pemerintah dapat

terlibat mendukung dan memfasilitasi program pengembangan kesehateraan ekonomi

masyarakat, program yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dan kebutuhan dasar,

seperti: pendidikan dan kesehatan, serta dalam menegakkan hukum dan menciptakan rasa

aman. Dalam FGD di Kasepuhan Citorek, tokoh masyarakat meminta dukungan

diberikan buku-buku yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang membuat rakyat

pintar dan buku-buku agama.

Pada tahun 2007, masyarakat Kasepuhan Citorek dan Cibedug bersama LSM RMI

(Rimbawan Muda Indonesia) melakukan advokasi kebijakan untuk mendapatkan

pengakuan keberadaan masyarakat Kasepuhan melalui Peraturan Daerah ataupun Surat

Keputusan Bupati Lebak. Masyarakat menyiapkan dokumen sejarah keberadaan

masyarakat, klaim atas wilayah, pengelolaan dan penataan sumberdaya alam. Pertemuan

dan lokakarya untuk menjaring aspirasi dan tukar pendapat antara masyarakat Pemda,

DPRD, Dinas Kehutanan, Balai Taman Nasional dan akademisi, sudah sering dilakukan.

Masyarakat melakukan lobbi dengan utusan mereka dan warga Kasepuhan yang menjadi

98

Page 99: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

anggota legislatif aktif di fraksi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), yakni: H.

Ade Sumardi.

Sudah ada rancangan draft SK Bupati Lebak untuk Pengakuan Keberadaan Komunitas

Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek Barat. Pada bagian menimbang yang menjadi dasar

pembuatan draft SK ini, tersirat bahwa SK ini ditujukan pemenuhan hak masyarakat

hukum adat dan untuk mencegah permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam. Di

samping itu, dalam ketentuan mengingat mengambil UU No. 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan, yang memuat ketentuan pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat

hukum adat melalui peraturan daerah.

Namun hingga kini Pemda dan DPRD Lebak belum menerbitkan Perda ataupun

mengesahkan draft SK Bupati. Alasannya, karena masih menunggu Pilkada Bupati Lebak

dan belum jadi prioritas. Pemda Lebak mengutamakan adanya kebijakan Departemen

Kehutanan untuk mengeluarkan tanah garapan masyarakat dan areal pertambangan PD.

Lebak Niaga dari kawasan TNGHS, sebagaimana terungkap dalam Surat Bupati Lebak

yang ditujukan kepada Menhut RI, pada tanggal 17 maret 2008 dan dalam kunjungan

Tim Komisi IV DPR RI ke Kabupaten Lebak. Tetapi Menhut melalui Dirjen PKA telah

meminta Pemda Lebak mencabut SIPR PD. Lebak Niaga. Masyarakat berharap agar

pemerintah dalam pembuatan kebijakan dan peraturan yang berdampak langsung pada

masyarakat harus melibatkan masyarakat.

3.4 Analisis Sosial

Dengan cara yang tidak terlampau sulit, seseorang pengamat akan dengan segera

menangkap perbedaan antara Kasepuhan Sinaresmi dan Citorek. Sinaresmi adalah sebuah

kasepuhan yang sebagian besar warganya dan juga rumah-rumah adat tempat tinggal

Abahnya berada dalam satu desa, yaitu Desa Sirnaresmi, bersama dengan dua kasepuhan

lainnya, yaitu Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Ciptegelar. Dengan kata lain

penduduk Desa Sirnaresmi adalah warga dari tiga kasepuhan. Sementara Citorek adalah

sebuah kasepuhan yang mencakup empat desa, yaitu Citorek Tengah, Timur, Barat, dan

Selatan. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan mereka dalam konsep wilayah adat.

99

Page 100: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Kasepuhan Sinaresmi, seperti dua kasepuhan lainnya dalam Desa Sirnaresmi, tidak

memiliki batas-batas wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat secara geografis.

Konsep mereka, sebagaimana telah dikatakan pada bagian sebelumnya, lebih bersifat

ruang mitologis terkait dengan konsep sejarah lisan mereka tentang asal usulnya sebagai

komunitas nomadik. Ruang yang dipahami atau dinarasikan sebagai wilayah adat adalah

rangkaian simbol-simbol historis yang terekam dalam sejarah lisan mereka. Salah

seorang narasumber (Amil Buchori) bahkan dengan tegas menyatakan bahwa pola hidup

Kasepuhan Sinaresmi adalah nomaden, dan ia memberikan sebuah data – yang belum

dapat diklarifikasi sumbernya – tentang sejarah kasepuhan ini yang tercatat sejak awal

abad ke-7 Masehi (lihat temuan di Sinaresmi), yang pada masa itu berdiam di daerah

Seni. Sekitar duaratus tahun kemudian mereka pindah ke daerah Kadi Luhur. Demikian

terus terjadi perpindahan dalam rentang rata-rata 200 tahun, sampai 1720. Setelah tahun

ini, perpindahan terjadi hanya dalam selang beberapa puluh tahun sampai akhirnya pada

1982 mereka berdiam di Sirnaresmi. Terlepas dari sahih tidaknya informasi mengenai

keberadaan kasepuhan sejak abad ke-7 ini, pernyataan ini sesungguhnya kontradiktif

dengan pernyataan mereka sendiri yang menyatakan bahwa komunitas kasepuhan

semuanya berawal dari jatuhnya Kerajaan Pakuan Pajajaran, ketika berada di bawah

pemerintahan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (Adimihardja 1992: 15 – 7).

Seluruh rangkaian ruang perpindahan ini dalam wacana komunitas Sinaresmi dipandang

sebagai sejarah pembentukan identitas. Identitas sebagai komunitas dengan asal usul

yang sama, sebagai komunitas yang menyingkir dan mengembara dari satu tempat ke

tempat lain, sebagai komunitas dengan relasi sosial yang diatur menurut sistem nilai

warisan nenek moyang, sebagai komunitas yang sumber hidup utamanya adalah tanah

dan sumberdaya alam, termasuk identitas sebagai komunitas tanpa konsep wilayah adat

secara geografis. Dalam prakteknya mereka selalu mengolah lahan sumber hidupnya di

tempat di mana mereka berdiam dan tidak termasuk daerah di mana sebelumnya mereka

pernah berdiam. Semua daerah yang menurut sejarah lisannya pernah mereka diami,

hanya tinggal menjadi sekedar catatan sejarah tanpa sedikitpun ada klaim geografis

mengenai wilayah adat. Dengan tidak adanya klaim atas wilayah adat secara geografis,

100

Page 101: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

maka komunitas Sinaresmi hanya menggarap lahan yang secara tradisional merupakan

wilayah desa.

Citorek sebaliknya memiliki konsep wilayah adat yang jelas, yang disebut wewengkon

dengan batas-batas tradisional yang dapat diidentifikasi oleh warga kasepuhan. Perbedaan

ini tidak dapat dikatakan sebagai akibat dari tradisi mengelola sebuah wilayah dalam

waktu yang panjang dalam hitungan generasi. Melihat bahwa sejarah lisan maupun

tertulis mengenai terbentuknya komunitas kasepuhan berawal dari kejatuhan Pajajaran

dan tersebarnya masyarakat yang masih setia kepada Pajajaran ke berbagai pelosok Jawa

Barat mengindikasikan bahwa sejarah lisan tersebut tidak cukup signifikan dalam

membentuk konsep wilayah adat secara geografis. Dari sekian banyak komunitas yang

disebut kasepuhan, yang oleh Adimihardja (1992: 4) disebutkan bahwa pola sosial

budaya mereka masih menunjukkan karakteristik budaya Sunda abad ke-16, di mana

tidak ada wilayah adat, dan yang ada hanya wilayah kerajaan. Namun kemudian ada

beberapa komunitas yang kemudian berinisiatif membangun konsep wilayah adat. Hal

yang sama dengan Citorek dapat dijumpai di Cibedug, Baduy dan beberapa kasepuhan

lainnya. Adanya fakta bahwa kedua komunitas kasepuhan ini mempunyai sejarah asal-

usul serupa, memiliki konsep tata ruang yang serupa, yaitu adanya leuweng titipan,

tutupan, dan garapan, konsep ruang dalam rumah tinggal yang serupa, dengan landasan

tatali paranti karuhun yang juga serupa, maka pertanyaannya adalah mengapa ada

komunitas yang kemudian memiliki konsep wilayah adat sementara yang lainnya tidak?

Untuk menjawab ini kiranya perlu penelitian yang lebih mendalam tentang komunitas-

komunitas kasepuhan.

Komunitas di dua kasepuhan ini dapat disebut sebagai masyarakat teritorial genealogis di

mana faktor kekerabatan dan wilayah menentukan ikatan sosial mereka (Hadikusuma

1992: 110 – 10). Adanya ikatan dan perasaan bersama dalam kelompok. Dan karena

Islam sangat mempengaruhi cara pandang tentang diri mereka, mereka juga dapat

dikategorikan sebagai masyarakat adat-keagamaan (Hadikusuma 1992: 111 – 2).

Sinaresmi dan Citorek dikelola berdasarkan adat dan agama, sementara adat itu sendiri

menunjukkan warna keagamaan yang kental. Salah satu buktinya adalah bahwa sistem

101

Page 102: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

kalender adat menggunakan sistem kalender lunar Islam. Dan kegiatan reguler dalam

kasepuhan salah satunya adalah pengajian. Keselarasan antara adat dan agama adalah dua

hal yang senantiasa diupayakan. Status ‘haji’ misalnya cukup dihormati di dua komunitas

ini bersama dengan status sebagai ‘ulama’ atau ‘imam’.

Karakter genealogisnya tidak melulu berdasarkan asal usul keturunan dan ikatan melalui

perkawinan melainkan juga dipengaruhi oleh sosok ‘Abah’ sebagai tokoh sentral dalam

aspek spiritual dan budaya. Dengan demikian kelompok masyarakat ini dapat disebut

sebagai paduan dari ‘ego-oriented kingsgroup’ dan ‘ancestor-oriented kingsgroup’

(Soekanto 2001: 48 – 9). Oleh karena itu bisa dipahami bahwa legitimasi politik seorang

kepala desa, salah satunya, adalah ‘restu’ dari sang Abah atau Oyot, di samping para

tetua adat dan alim ulama.

Proses dan intensitas interaksi relasi masyarakat dengan lingkungan luar sudah sejak

lama dan sering terjadi yang membentuk mempengaruhi karakter dan pandangan

masyarakat dalam konteks pluralitas, ikatan sosial dan penerimaan terhadap sistem nilai

yang baru. Perbedaan etnis, warna kulit dan asal usul masih bisa ditolerir sejauh semua

ini merupakan komplementer terhadap kesamaan agama (Islam) dan adat. Pernah di masa

lampau komunitas kasepuhan melarang pernikahan dengan Belanda dan Cina (pernyataan

dari Ugis Suganda) dan kemudian ada petuan untuk tidak menikah dengan ‘orang timur’.

Dalam perkembangannya tafsir terhadap makna ‘orang timur’ adalah orang dengan

sistem nilai yang berbeda dengan mereka. Sedikit banyaknya hal ini masih terlihat

sampai sekarang. Kedelapan orang yang menjadi penganut Gereja Kristen Pasundan

diperkenankan tinggal di pinggiran desa dan tidak boleh beribadat dan mendirikan gereja

di dalam lingkup desa dan kasepuhan. Di Citorek menurut keterangan para baris kolot

(dalam FGD Mei 2008) tidak ada warga non-muslim. Dan mereka secara eksplisit

menyatakan keberatannya bila ada warga kasepuhan yang menjadi non-muslim.

Baik Sinaresmi maupun Citorek adalah komunitas dengan identitas Islam yang cukup

kental. Karakter Islam ini sangat kuat sehingga legitimasi tindakan-tindakan sosial

102

Page 103: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

budaya mereka terutama ditegaskan oleh pandangan Islam. Perkawinan, misalnya,

meskipun menganut konsep adat, agama, dan negara, masyarakat Citorek baru menerima

sebuah perkawinan sebagai ‘sah’ bila sudah dilakukan menurut Islam. Artinya, bisa

dipandang bahwa perkawinan secara adat dan negara bersifat komplementer dan bukan

substansial. Hal yang sama dapat dijumpai di Sinaresmi. Semua perkawinan berpijak di

atas legitimasi agama sebagai yang utama. Namun dalam berhadapan dengan sistem

administrasi negara mau tidak mau perkawinan menurut hukum negara harus mereka

lakukan. Dan proses seperti ini merupakan pola umum dalam perkawinan yang sah

menurut agama dan negara, di mana negara baru akan mensahkan sebuah perkawinan

setelah ada kejelasan keabsahannya menurut agama.

Pandangan terhadap perempuan dipengaruhi juga oleh karakter sosial masyarakatnya

yang demikian. Keharmonisan, yang salah satu ukurannya adalah dalam rumah tangga

dengan pembagian peran kaum pria sebagai kepala rumah tangga dan wali keluarga

sementara kaum perempuan bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan urusan dapur

menggambarkan warna patriarchy yang kuat dalam masyarakat ini. Meskipun dalam

urusan waris misalnya tidak ada pembedaan. Prioritas pendidikan dan perhatian lebih

kepada anak lelaki masih merupakan hal yang wajar dalam kedua komunitas. Dan bila

semua ini berjalan ‘normal’ dan tidak terusik berarti ada ‘keharmonisan’ dalam rumah

tangga dan masyarakat.

Dalam konteks struktur sosial dan budaya masyarakat di kedua lokasi diperoleh

hubungan-hubungan kekerabatan dalam keluarga inti masih kuat, tetapi hubungan sosial

dalam lingkup masyarakat yang lebih luas di desa sudah semakin mengendur dan

melemah. Bersamaan dengan perubahan sosial budaya tersebut, terjadi perkembangan

dan apresiasi terhadap hak-hak individu semakin besar dan dianggap normal.

Hal-hal tertentu dalam pekerjaan sawah tangtu, acara seren taon dan pesta perkawinan

masih dilakukan dengan cara gotong royong dan melibatkan keluarga besar. Namun

relasi produksi antara warga dan institusi sosial dilakukan dengan kekuatan dan relasi

produksi ekonomi modern yang berdasarkan perhitungan ekonomi dan berdasarkan

103

Page 104: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

kepentingan individual, seperti adanya sistem kontrak dan sewa tenaga kerja, sistem ijon,

sistem bagi hasil, penggunaan pupuk dan peralatan modern lainnya.

Pengaruh budaya dari luar melalui interaksi sosial, media massa, pendidikan formal,

institusi hukum formal, institusi ekonomi dan program-program pembangunan sangat

kuat mempengaruhi struktur sosial budaya dan corak produksi. Kehidupan sosial budaya

dan pola hidup warga, seperti kebebasan dan cara berbusana, pengobatan modern,

konsumerisme, arsitektur perumahan, yang bersumber dari luar dan ‘modern’, sudah

menggejala menjadi kecenderungan umum dan pilihan masing-masing individu. Namun

demikian, adat istiadat masih tetap dihormati dan masih menganut kepercayaan terhadap

kekuatan gaib. Hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, selalu dikaitkan

dengan adanya kekuatan gaib, seperti adanya ‘kabendon’ yang secara simbolik dianggap

kekuatan hukum karma bagi mereka yang melanggar kebiasaan umum dan ajaran tatali

paranti karuhun.

Komunitas kasepuhan Citorek dan Sinaresmi memiliki persoalan krusial yang serupa,

yaitu persoalan otoritas, kontrol dan pemanfaatan terhadap alat produksi utama, yaitu:

tanah dan kawasan hutan, yang saling tumpang tindih antara kuasa dan kepentingan

masyarakat, perusahaan dan negara. Jika kawasan kelola komunitas kasepuhan Sinaresmi

merupakan bagian intergral dari kawasan kelola tradisional seluruh Desa Sirnaresmi,

sedangkan kawasan kelola tradisional Citorek merupakan wewengkon adat. Ini pula yang

menjadi landasan pemetaan partisipatif yang menghasilkan peta wewengkon pada

Desember 2005.

Dalam wilayah kelola traditional “wewengkon” maupun dalam wilayah desa, terdapat

hak-hak inidividu, hak garap dan hak adat, yang haknya diperoleh bersumber dari pada

pengakuan sosial dan hukum kebiasaan masyarakat. Namun, sejauh ingatan sejarah

masyarakat, semenjak era pemerintahan kolonial Belanda hingga sekarang ini telah

terjadi konflik dan ketegangan yang berhubungan dengan urusan otoritas dan kontrol atas

tanah dan sumberdaya alam. Secara kasuistik telah terjadi konflik terbuka pada tanah

garapan dan kawasan kelola yang efektif digunakan oleh masyarakat, yang mana di lahan

104

Page 105: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

yang sama dikelola pula oleh Perum Perhutani, TNGH dan perusahaan pertambangan,

yang klaim dan pengelolaannya berbasiskan pada sistem kebijakan dan hukum negara.

Realitasnya, regulasi dan kontrol negara sangat menentukan sehingga membuat konsep

hak tanah adat dan tanah milik, hukum adat tentang tanah dan otoritas masyarakat

maupun organisasi kasepuhan semakin berkurang. Konsep hak yang ada bersumber dari

pemberian negara, seperti: SPPT, Surat Girik, dan sebagainya. Otoritas pengelolaan dan

penyelesaian konflik bersumber dari kebijakan dan instansi berwenang, seperti: Perum

Perhutani, Balai Taman Nasional, Petugas Jagawana, aparat kepolisian, kejaksaan dan

pengadilan umum, Pemda, dan sebagainya.

Hal lainnya, hak-hak milik dan hak garapan individu atas tanah sangat menonjol

dibandingkan klaim warga atas hak kolektif adat atas tanah. Hak milik dan hak garap

individu langsung dikelola dan dikontrol oleh masing-masing individu. Tanah milik dan

garapan masyarakat inilah yang sering menjadi persoalan karena berada dalam areal yang

juga di klaim oleh negara dan perusahaan untuk kepentingan hutan produksi, hutan

lindung, taman nasional dan areal pertambangan. Masyarakat kasepuhan yang sebagian

besar adalah petani dan mengandalkan alat produksi tanah tidak dapat menerima klaim

hak negara dan pengelolaan sumberdaya alam oleh perusahaan.

Keterbatasan atau ‘kekhawatiran’ masyarakat mengenai tidak amannya kawasan kelola

mereka bersumber dari hadirnya sosok TNGHS maupun (sebelumnya) Perhutani.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya perbedaan pengalaman riil

dalam urusan pengelolaan lahan ketika berhadapan dengan kedua institusi ini adalah

bahwa di bawah Perhutani relasi mereka adalah penggarap di dalam kawasan yang

dimiliki oleh Perhutani dan oleh karena itu harus membayar retribusi sebesar 25% hasil

garapan. Sebaliknya dalam relasi dengan TNGHS, secara normatif ada ketentuan

mengenai zona garapan masyarakat adat. Namun kekhawatiran bahwa setiap waktu dapat

terjadi pelarangan atau pembatasan ketat terhadap masyarakat dalam mengakses lahan

kelola dan hasil hutan – misalnya kayu untuk bangunan rumah – tetap bergaung di tengah

masyarakat. Hal ini karena kegamangan dalam status mereka secara hukum di hadapan

105

Page 106: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

negara, seperti yang dapat dilihat dalam bagian berikutnya mengenai analisis kebijakan.

Kegamangan ini dapat dipahami karena secara psikologis masyarakat kasepuhan pernah

mengalami kondisi dilemahkan status penguasaan mereka atas tanah dengan adanya

pengalaman dengan pendaftaran tanah dan lahirnya SPPT.

Sementara populasi terus bertambah dan menimbulkan tekanan ekonomi pada lahan yang

terbatas. Jumlah penduduk Desa Sirnaresmi pada 2000, menurut hasil Participatory rural

appraisal (PRA) Kasepuhan Sinaresmi oleh RMI, adalah 4.378 jiwa dengan jumlah laki –

laki 2.189 jiwa serta terdiri dari 1.163 KK yang tersebar ke dalam 7 kadusunan. Khusus

untuk Kampung Sirnaresmi terdapat 115 KK dengan komposisi 197 perempuan dan 219

laki – laki. Sedangkan pada 2008 jumlah penduduk Sirnaresmi hádala 5138 jiwa terdiri

dari 2533 perempuan dan 2605 laki-laki, dalam 1492 KK. Artinya dalam delatan tahun

terjadi pertumbuhan penduduk (tanpa menghitung yang pindah keluar, misalnya yang ke

Riau) sebesar 760 jiwa dan pertambahan KK sebesar 329. Artinya, jika menggunakan

ukuran batas maksimum pemilikan bagi petani kecil sebagaimana diusulkan dalam proses

penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria 1960, yaitu 2 hektar (Elsam 1996: 20), maka

dibutuhkan ketersediaan lahan garapan seluas 658 hektar bagi keluarga baru tersebut.

Dalam kenyataannya hal ini tidak mungkin terjadi bagi warga kasepuhan, sekurang-

kurangnya pada waktu sekarang ini, ketika UU No. 41/1999 masih menjadi rejim

kehutanan terkuat di Indonesia.

Tekanan pertambahan penduduk, keterbatasan lahan garapan, dan peraturan perundangan

yang membatasi akses masyarakat ke hutan dan tanah, akhirnya menimbulkan

ketegangan struktural. Ketegangan ini kemudian berkembang menjadi konflik yang

disertai kekerasan dan kriminalisasi (penangkapan, intimidasi, dan pemerasan). Konflik

struktural yang berakar pada perbedaan klaim atas tanah dan sumberdaya hutan kemudian

berkembang menjadi konflik yang rumit akibat tidak adanya penegakan hukum dalam

kawasan yang menjadi sumber konflik. Sebagaimana digambarkan dalam bagian

sebelumnya, masyarakat cukup memahami konsep tanah negara, demikian pula tentang

peraturan perundangan dan kebijakan yang berkaitan dengan keberadaan TNGHS

maupun (sebelumnya) Perum Perhutani. Namun pelanggaran terhadap peratuan

106

Page 107: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

perundangan dan kebijakan oleh sejumlah pihak tanpa ada penegakan hukum yang jelas

menyebabkan masyarakat menjadi tidak percaya kepada realisasi yang benar dari

peraturan dan kebijakan tersebut. Kasus penangkapan penduduk dan pencarian penduduk

yang diduga sebagai ‘perambah’ dan ‘pencuri’ di dalam kawasan TNGHS adalah

manifestasi dari tidak adanya law enforcement.

Lebih dari itu adalah bahwa tidak adanya law enforcement telah menimbulkan perluasan

konflik bukan hanya antara masyarakat dengan otoritas-otoritas negara, melainkan antar

otoritas-otoritas itu sendiri. Silang pendapat antara Pemda, Balai Taman Nasional,

Departemen Kehutanan dan DPR RI tentang adanya Kuasa Pertambangan di dalam

kawasan TNGHS adalah bukti carut marut dan lemahnya penegakan hukum. Bahwa

konflik struktural ini demikian kompleks dan bersumber dari lemahnya penegakan

hukum serta dibatasinya akses masyarakat terhadap tanah dan sumberdaya hutan diakui

baik oleh warga kasepuhan maupun oleh struktur pemerintahan desa setempat.

Persoalan-persoalan yang muncul di dua komunitas ini tidak dapat dikatakan sebagai

persoalan yang bersifat khas Kasepuhan yang dapat membedakan mereka dengan

masyarakat lainnya. Persoalan tersebut dapat ditemukan di berbagai wilayah dan

komunitas di Indonesia. Tuntutan atas keamanan wilayah kelola, kebutuhan akan

pemberdayaan melalui pelatihan maupun pendidikan adalah persoalan umum semua

masyarakat di Indonesia. Dan sebagaimana komunitas desa (atau nama lain), kampung

atau dusun di manapun, solidaritas sosial merupakan salah satu warna khas, yang

memberikan aksen ‘komunitas’. Ikatan sebagai sebuah komunitas inilah yang mendorong

masyarakat untuk memperjuangkan bersama keamanan lahan kelola. Pengakuan melalui

sebuah Perda atas keberadaan komunitas kasepuhan dan wilayah garapan adalah salah

satu strategi yang digunakan masyarakat dalam menyelesaikan ketegangan hubungannya

dengan negara dalam hal klaim atas wilayah. Hal ini menjadi agenda dalam upaya

pemetaan wilayah adat yang saat ini sedang dikerjakan oleh Pemda Sukabumi bersama

masyarakat dengan dana yang berasal dari sebuah perusahaan pertambangan JIO (belum

diperoleh keterangan dari mana asal, dan pemegang saham perusahaan ini).

107

Page 108: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Seluruh konsep diri sebagai masyarakat adat di dua kasepuhan ini bila dibenturkan

dengan definisi Cobo, maupun kriteria-kriteria yang digunakan oleh AMAN misalnya

(sebagai organisasi yang mengklaim diri punya cakupan nasional dan dengan fokus

perhatian pada pemberdayaan masyarakat adat – yang dapat dilihat dari semboyannya

yaitu menjadikan masyarakat ‘Berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan

bermartabat secara budaya’), tidak menunjukkan keselarasan yang penuh. Di satu sisi

persoalan wilayah adat adalah salah satu kriteria utama baik dalam definisi Cobo maupun

AMAN, yang jika diterapkan di Sinaresmi tidak memenuhinya. Di sisi lain struktur

kelembagaan adat di kedua komunitas ini lebih berfungsi secara simbolik dan tidak

eksplisit operasional. Apa yang disebut sebagai ‘hukum’ adat adalah norma-norma umum

yang merupakan prinsip kemanusiaan yang dapat dijumpai di masyarakat mana pun

dengan variasi bahasa dan dialeknya masing-masing. Citorek memang dapat

menunjukkan wewengkon yang merupakan kawasan kelola tradisional. Namun otoritas

Abah atau Oyot dalam wewengkon ini praktis tidak adat secara riil. Fungsinya lebih

menyerupai seorang imam di masjid atau seorang pendeta di gereja yang dalam urusan

tanah masyarakat tidak menjadikannya sebagai rujukan untuk mendapatkan legitimasi

sosial maupun hukum.

Namun demikian dalam konteks minoritas, kedua komunitas ini dapat dikatakan selaras

dengan pengertian yang terkandung di dalamnya. Dan jika ‘masyarakat adat’ dipahami

sebagai sebuah komunitas masyarakat yang dinamis, dan ‘adat’ itu sendiri adalah

kebiasaan-kebiasaan yang bersifat dinamis, maka kontekstualisasi makna ‘masyarakat

adat’ perlu dilakukan untuk menunjukkan relevansi klaim status dengan realitas sosial

yang ada dan dengan tuntutan-tuntutan yang muncul dalam relasi dengan pihak lain

(negara misalnya).

Dari tuntutan atau aspirasi yang berkembang dalam diskusi, wawancara maupun

pembicaraan santai, apa yang diharapkan dari negara di dua komunitas ini adalah:

- rasa aman dalam hal wilayah kelola

108

Page 109: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

- pengakuan hukum terhadap status keberadaan sebagai masyarakat adat

(implikasinya adalah otonomi komunitas yang memberikan rasa aman dalam

mengurus kawasan kelola yang dipetakan dan disahkan oleh negara)

- pemberdayaan dalam bidang pertanian dan ekonomi kecil

- perhatian dalam bidang pendidikan (umum maupun keagamaan)

- akses ke pasar dari produk-produk mereka

Harapan terhadap tanggung jawab negara ini mencerminkan karakter masyarakat

dominan yang membutuhkan perlindungan hukum bagi setiap usaha sosial ekonominya,

membutuhkan akses ke pendidikan dan ke pasar yang dapat menopang kehidupan sosial

ekonomi secara umum. Secara singkat adalah sikap adil negara dalam melihat komunitas-

komunitas ini dalam realitas keberadaan mereka di tengah kehadiran berbagai pihak

(perusahaan, parpol, LSM, dll) dalam kehidupan mereka. Sementara perbedaan kapasitas

antar pihak ini dengan komunitas jelas dirasakan oleh warga komunitas.

Lemahnya penegakan hukum di dalam konflik struktural yang dihadapi masyarakat

dalam kasus TNGHS menjadi sorotan hampir semua warga yang terlibat dalam FGD.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh negara justru tidak dilakukan. Peran negara juga

dibutuhkan masyarakat dalam mengatur dan menjaga relasi sosial antar warga, khususnya

menyangkut keamanan kebun dan sawah mereka. Salah satu cetusan yang muncul dalam

FGD adalah soal kerbau warga yang sering masuk ke kebun dan sawah warga lain,

sementara tindakan nyata dari kasepuhan tidak ada, demikian pula tidak ada tindakan dari

pemerintah desa. Warga dibiarkan untuk menyelesaikannya sendiri. Ketegangan seperti

ini menggambarkan bahwa ada ruang-ruang yang harus diatur secara aturan publik, dan

dorongan serta kesadaran ke arah tersebut sudah muncul dengan kuat di masyarakat,

tidak hanya menyangkut kasus konflik dengan TNGHS melainkan juga menyangkut

relasi sosial di dalam komunitas.

Pengaturan kehidupan dalam ruang publik menjadi semakin niscaya jika melihat

kehadiran otoritas-otoritas sosial politik yang ada di dalam kedua kasepuhan ini. Selain

agama, adat, dan pemerintahan negara, juga terdapat otoritas partai, ormas, dan juga

109

Page 110: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

media masa. Berbeda dengan yang lainnya, media masa berkemampuan membentuk

pandangan masyarakat (bisa berupa pembodohan atau pencerdasan). Relasi antara

otoritas ini belum cukup kompleks, karena sampai saat ini relasi yang telah terjalin

dengan koordinasi yang teratur hanya antara otoritas agama, adat, dan negara. Namun

dalam acara seren taun, misalnya posisi otoritas media massa semakin kental terasa

pengaruhnya. Demikian pula organisasi sosial kemasyarakat seperti PKK, karang taruna

dan kelompok pengajian adalah otoritas-otoritas dengan jangkauannya masing-masing.

Dan terutama kehadiran ormas seperti FKMHJBB, dengan visi perjuangannya untuk

mendapatkan pengakuan terhadap hak atas wilayah adat masyarakat, baik itu hak kelola

maupun dalam konteks wilayah adat seperti wewengkon.

Kehadiran FKMHJBB menyiratkan suatu kenyataan bahwa ada kesadaran akan

pentingnya organisasi sebagai alat perjuangan bagi masyarakat. Kesadaran ini baru pada

tataran konseptual, artinya baru pada taraf pembentukan organisasi dengan visi dan misi,

merumuskan mekanisme kerja, dan memilih orang-orang yang duduk dalam

kepengurusan organisasi. Memang organisasi ini telah terlibat dalam jaringan kerja

dengan sejumlah LSM dan telah melakukan upaya advokasi ke pemerintah daerah.

Kesadaran akan pentingnya berorganisasi sebagai strategi penting dalam menggapai

tujuan mungkin bukan merupakan sebuah keistimewaan pada masa sekarang ini. Namun

bahwa membangun jaringan dengan organisasi lain merupakan strategi yang penting dan

berdayaguna akan sangat tergantung hasilnya pada kecermatan dan ketepatan konteks.

Dengan kata lain membangun jaringan dengan pihak lain atau organisasi lain

membutuhkan kecerdasan tersendiri. Akan tetapi untuk dapat menilai sejauh mana

kinerja organisasi seperti FKMHJBB dalam menyokong upaya masyarakat seseorang

perlu melihat lebih jauh bagaimana dinamika internal organisasi ini dalam

menerjemahkan semua konsep ideal menjadi tindakan yang selaras di lapangan termasuk

dalam membangun jaringan kerja dengan organisasi lain. Pengkajian terhadap persoalan

ini seyogyanya membutuhkan sebuah upaya tersendiri lagi.

110

Page 111: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

3.5 Analisis Kebijakan

Menurut Kovenan Ekosob yang sudah diratifikasi oleh negara Indonesia, hak-hak yang

diakui oleh Kovenan ini adalah hak-hak untuk:

- Menentukan nasib sendiri (pasal 1);

- Kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan (pasal 3);

- Pekerjaan dan kondisi pekerjaan yang baik (pasal 6 dan 7);

- Membentuk dan bergabung dalam serikat kerja (pasal 8);

- Perlindungan terhadap keluarga, ibu dan anak (pasal 10);

- Standar kehidupan yang memadai, termasuk pangan, sandang dan papan yang

layak (pasal 13);

- Tingkat kesehatan dan layanan kesehatan tertinggi yang dapat dicapai (pasal 12);

- Pendidikan (pasal 13);

- Pendidikan dasar yang wajib dan gratis (pasal 14);

- Berpartisipasi dalam kehidupan kebudayaan; mengambil manfaat dari kemajuan

ilmiah; dan mengambil manfaat dari perlindungan ilmiah, sastra, atau produk

artistik lain jika ia adalah penulis/pembuatnya (pasal 15)

Dalam upaya pemenuhan kewajiban negara Indonesia untuk melindungi, menghormati,

dan memenuhi hak-hak rakyat tersebut, perlu diingat karakter hak Ekosob dan prinsip-

prinsip yang terkandung di dalamnya yang perlu dipatuhi dalam interpretasi terhadap isi

Kovenan ini, yaitu karakter atau sifat tak terpisahkannya hak yang satu dengan hak

lainnya, karakter pencapaian secara bertahap (progressive realization) dan prinsip

(antara lain) non-diskriminatif dan (oleh karena itu) kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan.

Dengan gambaran hak, karakter dan prinsip Kovenan tersebut dapat dikatakan bahwa

tuntutan/aspirasi yang disampaikan masyarakat di dua kasepuhan terhadap negara selaras

dengan isi Kovenan mengenai kewajiban negara untuk memenuhi hak warga negara.

Namun dalam konteks komunitas, pemenuhan terhadap hak-hak ini memiliki

problematika tersendiri. Hanya Pasal 1 Kovenan yang bernuansa komunitas atau nuansa

kelompok masyarakat. Jika aspirasi masyarakat kedua kasepuhan ini adalah untuk

mendapatkan pengakuan secara hukum sebagai komunitas masyarakat adat, maka

111

Page 112: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

otonomi yang dimaksud harus melewati sejumlah persyaratan dalam perundangan-

undangan Indonesia. Hal yang sama akan berlaku bagi sebuah komunitas masyarakat

(adat) yang mengklaim hak intelektual atas sebuah inovasi (Pasal 15).

UUD 1945 Amandemen kedua, dalam Pasal 18 B ayat (2) menyatakan: Negara mengakui

dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal ini jelas menyatakan adanya syarat pengakuan dan penghormatan terhadap sebuah

kelompok masyarakat yang mengklaim diri sebagai ‘masyarakat hukum adat28’ untuk

diakui oleh negara dengan status seperti itu. Klausul yang sama dapat dijumpai dalam

sejumlah peraturan perundangan. Undang-Undang No. 5/1960 tentang Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat.

‘sepanjang menurut kenyataanya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan

lain yang lebih tinggi’ (Pasal 3). UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

Pasal 51 ayat 1 (b); UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 67; UU No. 7 tahun

2004 Tentang Sumberdaya Air Pasal 6 adalah sejumlah undang-undang yang dapat

disebutkan sebagai contoh, yang mencantumkan persyaratan bagi pengakuan dan dengan

demikian berimplikasi pada pemenuhan hak mereka sebagai komunitas. Beberapa pakar

hukum menamakan kondisi ini sebagai pengakuan bersyarat. Simarmata dalam kajiannya

tentang Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia (Simarmata 2006:

58) menggambarkan kondisi ‘bersyarat’ ini dalam ulasannya mengenai pengakuan

terhadap masyarakat adat di lima propinsi dan lima kabupaten di Indonesia.

Persoalan utama dalam ketegangan antara masyarakat adat dan negara tentang klaim hak

adalah sifat hak yang berbeda yang menjadi concern masing-masing pihak dalam relasi

mereka. Dalam urusan pengakuan sebagai komunitas ada implikasi hak kolektif (hak

komunal) yang menjadi klaim dari masyarakat adat. Sementara hak-hak yang diatur oleh

28 Di sini digunakan asumsi bahwa apa yang dimaksud oleh terminologi ‘masyarakat hukum adat’ dalam peraturan perundangan Indonesia adalah subjek yang sama dengan yang dimaksud oleh terminologi ‘masyarakat adat’ dalam riset ini.

112

Page 113: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

berbagai peraturan perundangan di Indonesia berkarakter hak individu. Undang-undang

No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan hal ini dalam Pasal 51 bahwa

masyarakat adat dapat menjadi pemohon, seperti perorangan, badan hukum publik atau

privat, dan lembaga negara. Artinya bahwa masyarakat adat sebagai sebuah badan hukum

(baik publik atau privat) yang sudah diakui negara dapat memilik status pemohon. Dan

ini serupa dengan hak untuk menjadi pemohon bagi legal entity yang lain, yang bersifat

individual. Untuk memperoleh pengakuan sebagai sebuah komunitas yang diakui sebagai

sebuah legal entity dalam perundang-undangan Indonesia, masyarakat adat harus dapat

memenuhi beberapa persyaratan untuk dapat diakui:

- Masih ada atau masih hidup

- Selaras dengan perkembangan jaman

- Tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia

- Dan diatur dengan undang-undang

Persoalan menjadi sangat rumit bagi masyarakat adat dengan adanya persyaratan ini

karena tidak ada rujukan yang jelas tentang kriteria untuk ‘masih hidup’ serta ‘selaras

dengan perkembangan jaman’. Dan kalaupun kedua kriteria ini terpenuhi kepastian status

sebagai masyarakat adat atau bukan tetap tergantung pada undang-undang, yang dalam

praktek hukum di Indonesia dimulai dengan adanya Perda pengakuan dan rekomendasi

ke pemerintah pusat mengenai ada tidak dan perlu tidaknya sebuah masyarakat adat

diakui melalui undang-undang. Dengan demikian kalau pun sebuah Perda mengakui hak

masyarakat adat niscaya akan diperiksa kesesuaiannya dengan peraturan perundangan

yang lebih tinggi.

Namun jika kita melihat dalam konteks tuntutan/aspirasi masyarakat adat di dua

kasepuhan ini, aspirasi mereka terentang dari konsep hak-hak individual yang tercantum

dalam Kovenan sampai hak kolektif yang dicirikan oleh self-determination within the

state. Hak-hak mana jelas dijamin dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia. Pasal 6 UU ini menegaskan perlunya perhatian dan perlindungan terhadap hak

masyarakat adat, termasuk hak ulayat mereka, dengan catatan bahwa ‘selaras dengan

113

Page 114: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

perkembangan jaman’. Sayangnya sampai saat ini belum ada satu pun tafsir resmi atau

sebuah peraturan perundangan yang menjelaskan secara pasti apa yang dimasud dengan

empat persyaratan di atas.

Dalam kerangka Kovenan, pemenuhan hak-hak masyarakat di dua kasepuhan ini dalam

konteks hak individu sesungguhnya tidak menghadapi problematika sebagaimana yang

dihadapi hak komunal atau kolektif. Pedoman Maastricht menjelaskan aspek apa saja

yang merupakan pelanggaran terhadap Kovenan dalam hal perhormatan, perlindungan

dan pemenuhan hak warga negara. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 1 dan 2

bahwa pelanggaran oleh negara terhadap hak warga negara yang tercantum dalam

Kovenan ini dapat berupa pembiaran atau pun berupa tindakan. Dan panduan ini menjadi

pedoman atau piranti-piranti pengingat agar pelanggaran tersebut jangan terjadi.

Dengan adanya UU HAM dan Kovenan Ekosob maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik

(Sipol) sebetulnya masyarakat adat dapat memaksimalkan perjuangan mereka untuk

dapat memenuhi hak-hak dasarnya dalam konteks individu-individu warga sebuah

komunitas masyarakat adat. Tidak adanya rasa aman yang telah menjadi sejarah panjang

penderitaan mereka menyebabkan mereka sampai pada ‘kesimpulan’ bahwa status hak

individu tidak memberikan jaminan apa pun pada keamanan dalam mengakses

sumberdaya alam dalam ruang hidup tradisional mereka. Terutama ketika terjadi

‘kompetisi’ dengan berbagai legal entity yang diakui negara seperti badan hukum privat

dan publik dan lembaga-lembaga negara. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam situasi

perhadapan dengan pihak lain seperti itu mereka selalu dikalahkan.

Terkait dengan UU Kehutanan No 41/1999, ketegangan antara masyarakat adat dan

negara bukan hanya menjadi ceritera dari kasepuhan, melainkan juga dari sejumlah

komunitas masyarakat adat di Indonesia. Hal ini adalah dampak dari klausul dalam UU

ini yang menyatakan bahwa sebua hutan adalah hutan negara. Dan hutan adat adalah

hutan negara yang terletak dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 butir 6).

Provisi inilah yang menjadi rujukan bagi setiap pihak yang hendak mengembangkan

usaha di bidang kehutanan dengan melakukan eksploitasi hutan. Celakanya peluang

usaha ini tertutup bagi masyarakat adat karena mereka ‘belum diakui’, karena harus

114

Page 115: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

membuktikan diri dulu bahwa mereka masih ada, sesuai dengan perkembangan jaman

dan lain-lain.

Hal lain yang perlu diingat terkait dengan keadilan terhadap kaum perempuan adalah

bahwa negara Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk

Diskriminasi Rasial (CERD) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan (CEDAW). Tanggung jawab negara dalam melaksanakan kedua

konvensi ini di berbagai komunitas masyarakat adat dengan nilai-nilai patriarkhi yang

kuat akan menjadi tantangan serius ke depan, termasuk di kedua komunitas kasepuhan

ini. Tantangan ini bukan hanya persoalan akses dan peluang untuk partisipasi politik

dalam konteks pemilihan umum (untuk perempuan 30% misalnya), melainkan perubahan

paradigma secara mendasar yang mengoreksi seluruh prinsip patriarkhi yang dijalankan

selama ini.

115

Page 116: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Bab 4

Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Dalam pelayanan publik kebutuhan masyarakat kedua kesepuhan ini memerlukan

perhatian yang lebih serius dari negara, jika merujuk ke berbagai hukum

internasional yang telah diratifikasi maupun juga perundang-undangan nasional.

Akses ke sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi skala kecil melalui

pengembangan pertanian dan industri rumah tangga adalah persoalan-persoalan

yang mengemuka secara jelas dan berulang-ulang dari pihak masyarakat

kasepuhan. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dalam sektor ini tidak akan

menimbulkan komplikasi politik dan hukum yang serius bagi negara terkait

dengan pertanyaan mengenai otonomi komunitas dan hak-hak kolektif karena

hak-hak ini dapat dipenuhi bagi setiap warga kasepuhan tanpa harus memberikan

pengakuan hukum atas status mereka sebagai masyarakat adat.

2. Aspek informasi adalah sektor penting lain yang perlu diperhatikan dalam kaitan

dengan rekomendasi pertama di atas. Televisi barangkali sudah bukan merupakan

benda istimewa namun media cetak sangat langka di kedua komunitas. Hal ini

tidak sejalan dengan program pengentasan buta huruf yang digalakkan pemerintah

melalui program keakasaraan fungsional. Koran, tabloid, dan buku-buku bacaan

adalah barang sangat langka. Karena itu anak-anak sekolah hanya mengenal buku

pelajaran dan sangat miskin buku bacaan, sementara orang tua hanya

mengandalkan televisi sebagai sumber berita dan acara hiburan.

3. Jika adat dilihat dalam perspektif dinamis maka apa yang tertangkap di lapangan

dalam klaim-klaim adat mesti diletakkan dalam kerangka perluasan otonomi

sampai ke tingkat desa, sebuah bentuk otonomi yang terbatas dalam ruang lingkup

yang oleh undang-undang disebut sebagai ‘desa atau yang disebut dengan nama

lain’. Wewenang terbatas ini harus memberi hak tertentu kepada komunitas

masyarakat adat (desa atau yang disebut dengan nama lain) untuk dapat

mengakses sumberdaya alam dalam wilayah mereka. Wewenang terbatas ini perlu

diberi perlindungan melalui perundang-undangan untuk dapat memberikan

116

Page 117: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

kekuatan hukum bagi komunitas ketika berhadapan dengan pihak lain dalam

‘kompetisi mendapatkan akses ke sumberdaya alam’.

Harus ada produk kebijakan dan hukum, yang isinya merumuskan secara tegas

pengakuan keberadaan masyarakat adat, kewenangan dan hak mereka dalam

pengelolaan sumberdaya alam, penyelesaian sengketa dan pemenuhan hak yang

memprioritaskan warga miskin dan tidak bertanah. Gagasan pengelolaan secara

bersama antara masyarakat dan dengan melibatkan stakeholder lainnya di

kawasan hutan Halimun perlu dipertimbangkan menjadi sebuah model. Tidak

kalah pentingnya, kebijakan serupa itu dapat menguraikan paradigma pengelolaan

sumberdaya alam yang memperhatikan kepentingan sosial, keberlanjutan ekologi,

kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini diharapkan pula dapat

menyelesaikan sengketa agraria dan penataan otoritas dan kepentingan sektoral

dalam pemerintahan.

Untuk mencapai hal ini, sangat perlu adanya keseriusan dan kemauan politik

Pemerintah daerah dan legislatif untuk memenuhi hak-hak masyarakat kasepuhan

dan memfasilitasi proses dan program pembangunan sosial. Pengalaman

sebelumnya, Pemda dan legislatif belum menjadikan advokasi masyarakat

kasepuhan sebagai prioritas dan inisiatif rancangan perda dan atau SK Bupati

boleh ada karena desakan dan gagasan OMS yang concern terhadap permasalahan

masyarakat adat. Strategi dan aksi advokasi lainnya yang penting adalah

partisipasi rakyat yang masih parsial dan fokus pada kelompok komunitas tertentu

harus diperluas dan dengan tekanan yang lebih massif untuk perubahan kebijakan.

Potensi untuk adanya produk kebijakan dan hukum di tingkat daerah kabupaten

lebih “memungkinkan”, utamanya di Kabupaten Lebak, dikarenakan sudah ada

pengalaman yang bisa menjadi preseden penagkuan terkait dengan Perda Baduy

dan peluang-peluang adanya aktor pejabat legislatif dan bupati, serta organisasi

masyarakat sipil (OMS) yang mendukung inisiatif perlindungan hukum bagi

komunitas kasepuhan.

117

Page 118: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

4. Perluasan ruang bagi isu pluralitas dan kesetaraan gender adalah masalah yang

perlu ditanggapi dengan hati-hati. Identitas primordial yang kuat saat ini

memerlukan pendekatan yang cermat. Pendekatan hak adalah salah satu yang

mungkin dilakukan. Kelambatan dalam menangani isu ini akan berdampak pada

ketertundaan selama satu generasi. Oleh karena itulah media informasi cetak dan

buku-buku bacaan adalah alat yang sangat penting dalam mendorong isu

pluralitas di kalangan anak-anak usia sekolah, usia di mana fleksibilitas terhadap

nilai-nilai masih sangat terbuka. Kaum tua adalah kelompok yang telah mencapai

tahapan establish dalam menganut sebuah sistem nilai.

5. Penegakan hukum di tingkat desa adalah persoalan yang tidak terlepas dari relasi

masyarakat adat dengan badan hukum publik maupun privat dan lembaga negara.

Kasus-kasus pidana umumnya dipercayakan kepada aparat hukum negara, namun

kasus-kasus yang menyangkut konflik sumberdaya alam membutuhkan sebuah

komitmen penegakan hukum yang lebih serius dari negara. Hal ini terkait dengan

kenyataan bahwa masih terus terjadinya pencurian kayu di Taman Nasional,

penambangan di dalam kawasan taman, dan perlakuan yang tidak seimbang

terhadap masyarakat yang hanya mengambil kayu untuk bangunan rumah. Upaya

penegakan hukum dalam hal ini perlu melibatkan masyarakat secara lebih

substantif. Upaya yang serupa telah dilakukan oleh sejumlah komunitas di daerah

lain seperti Toro di Sulawesi Tengah, Bentek di Lombok Barat, dan Meratus di

Kalimantan Selatan, adalah beberapa contoh yang menunjukkan efektivitas cukup

tinggi dalam menjaga tegaknya hukum dalam sebuah kawasan taman nasional.

Relasi ini dapat ditingkatkan dengan insentif yang lebih riil bagi sebuah

komunitas, terutama dalam akses mereka ke sumberdaya alam yang menjadi

gantungan hidupnya.

6. Proses pengambilan keputusan di tingkat komunitas kedua kasepuhan ini

berlangsung melalui proses musyawarah. Keputusan di tingkat desa senantiasa

secara budaya membutuhkan legitimasi adat. Oleh karena itu, dengan kenyataan

bahwa sejumlah tokoh adat menjadi pengurus inti pemerintahan desa, proses

pengambilan keputusan di tingkat desa semestinya dapat dipengaruhi melalui

struktur adat. Kesulitannya adalah jumlah partisipasi dan kualitas wacana dalam

118

Page 119: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

proses pengambilan keputusan. Terbatasnya keterlibatan kaum perempuan dan

kelompok muda dalam struktur-struktur pengambilan keputusan ini memberikan

gambaran bahwa keputusan masih terkonsentrasi pada tangan struktur ini.

Musyawarah adalah media legitimasi bagi struktur tetapi bukan merupakan media

distribusi wewenang dari struktur kepada kelompok di luar mereka.

7. Rencana-rencana pembangunan yang hendak dilakukan dalam komunitas ini

dapat dilakukan melalui jalur negara maupun non-negara. LSM adalah salah satu

kelompok sosial yang telah membangun otoritas di tengah kasepuhan.

Keunggulan LSM adalah fleksibilitas dan egaliternya karakter mereka. Sedangkan

keunggulan pendekatan melalui jalur negara adalah kecenderungan untuk ‘patuh’

yang tinggi di kalangan pemerintah desa.

8. Orientasi politik pemerintah daerah yang berkuasa adalah faktor yang perlu

diperhitungkan dengan cermat bila melakukan sebuah program pemberdayaan

masyarakat adat dalam komunitas kasepuhan. Ketepatan dalam membaca

orientasi ini akan mempengaruhi tingkat pencapaian dari program.

9. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian pendahuluan tulisan ini, karakter

gerakan masyarakat adat di Indonesia lebih dipicu oleh dominasi negara yang

berlebihan. Dominasi ini lahir dari relasi negara dan korporasi besar yang sangat

lekat seraya menyingkirkan hak-hak masyarakat secara umum dalam bentuk

aneksasi tanah dan sumberdaya. Dalam konteks ini protes masyarakat kasepuhan

harus dilihat sebagai tuntutan rakyat atas keadilan negara terhadap warga negara.

Keadilan ini bukan hanya menyangkut penegakan hukum melainkan juga koreksi

atas perundang-undangan yang tidak memberi peluang bagi rakyat untuk

mengakses sumber daya alam dan mengekspresikan hak-hak dasar mereka.

10. ‘Sebuah upaya bersama’ dari kerjasama antara komunitas, Respect, dan Pusaka,

seperti yang diungkapkan dalam FGD dapat dilihat dari trend perjuangan rakyat

menggunakan network sebagai salah satu strategi menyampaikan persoalan dan

tuntutan mereka. Network ini akan lebih berdayaguna bilamana diletakkan dalam

kerangkan memperkuat peran civil society organisation untuk mendorong

keadilan bagi rakyat.

- Depok, Juni 2008 –

119

Page 120: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Daftar Pustaka

Adimihardja, Kusnaka (1992). Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh:

Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional Di Kawasan Gunung

Halimun, Jawa Barat. Bandung: Transito

Anaya, James S. (1996). Indigenous Peoples in International Law. New York: Oxford

Univeristy Press

Badan Pusat Statistik (2007). Statistik Indonesia 2007

Barnes, R. H.; Gray, Andrew; Kingbury, Benedict, eds. (1995). Indigenous Peoples of

Asia, Ann Arbor, Michigan: The Association for Asian Studies

Buletin Terompet, Edisi 12 Tahun II/1994

Catatan Hasil Kongres Masyarakat Adat Nusantara, Hotel Indonesia,

Jakarta, 15 – 22 Maret 1999

Davidson, Jamie S.; Henley, David, eds (2007). The Revival of Tradition in Indonesian

Politics: The deployment of adapt from colonialism to indigenism.

New York: Routledge

Elsam (1996): Tanah Sebagai Komoditas; Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde

Baru, Jakarta: Elsam

Hadikusuma, Hilman H. Prof. S.H. (1992). Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.

Bandung: Mandar Maju

Hanafi, Imam, dkk. (2004). ”Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang:

Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat – Banten”. Bogor: RMI.

Hendarti, Latipah, penyunting (2007). Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga

Rampai Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Halimun. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia

Kartodirdjo, Sartono; Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho, eds.

(1975). Sejarah Nasional Indonesia. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan

Konvensi ILO 169 ( tanpa tahun ) Mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat Di

Negara-negara Merdeka. ELSAM dan LBBT

120

Page 121: Riset Hak Masyarakat Adat Kasus Kasepuhan - Naskah Final

Simarmata, Rikardo (2006). Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia;

Jakarta: Regional Initiative on Indigenous Peoples’ Rights and

Development (RIPP) UNDP Regional Centre in Bangkok

Soekanto, Soerjono (2001). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Santosa, Andri, dkk, ”Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara: Sebuah Upaya

Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan”, Bogor, RMI, 2007.

Santosa, Andri, dkk, Penelusuran Ruang Kelola Masyarakat Wewengkon Adat Kasepuha

Citorek, Bogor, RMI, 2006.

Aprianto, Afif, paper “Hasil Riset Kelembagaan Adat Kasepuhan Citorek”, 2006.

Hidayati, Ulfa, Dinamika Perempuan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Pemaknaan

Persoalan Hidup dan Jawabannya. (Pengalaman Belajar Bersama Kawan-

Kawan Perempuan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten

Bogor, Jawa Barat), Makalah, Disampaikan dalam Lokakarya Community

Based Land Rehabilitation and Management Project, Cipanas, 25 – 27

Agustus 2003, diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat

dan Desa, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.

Hidayati, Ulfa (Editor), Akses dan Kontrol Perempuan atas Tanah dan Sumberdaya Alam

Studi Awal Bersama di Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten

Lebak, Provinsi Banten – Indonesia, Rimbawan Muda Indonesia &

Voluntary Service Overseas, April 2004

121