rini dianasari
TRANSCRIPT
TESIS
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU
(Zea Mays) MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR
MMP-1 DAN PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN
PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR UV-B
RINI DIANASARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
TESIS
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU
(Zea Mays) MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR
MMP-1 DAN PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN
PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR UV-B
RINI DIANASARI
NIM : 1290761017
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU
(Zea Mays) MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR
MMP-1 DAN PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN
PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR UV-B
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
RINI DIANASARI
NIM : 1290761017
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iii
Lembar Persetujuan Pembimbing/promotor
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 27 NOVEMBER 2014
Pembimbing I
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS
NIP 194612131971001
Pembimbing II
Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K),FINSDV,FAADV
NIP .1956091219841211001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS
NIP 194612131971001
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP 19590215985102001
iv
Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis
Tesis ini Telah Diuji dan Dinilai
oleh Panitia Penguji pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
pada Tanggal : 27 November 2014
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
No :.................
Tanggal : .................
Panitia penguji Tesis adalah:
Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS
Anggota :
1. Dr.dr.A.A.G.P .Wiraguna,SpKK (K), FINSDV,FAADV
2. Prof.dr.I Gusti Made Aman, Sp. FK
3. Dr.dr.Ida Sri Iswari,Sp.MK.M.Kes
4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rini Dianasari
NIM : 1290761017
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine
Judul Tesis :
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
*Coret yang tidak perlu
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU(Zea Mays L)
MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR MMP 1 DAN PENURUNAN
JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR UV-B
Denpasar, 27 November 2014
Yang membuat Pernyataan
( Rini Dianasari )
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadiran
Allah SWT, karena rahmat dan karunia-Nya penelitian dan penyusunan tesis yang
berjudul “Pemberian Krim Ekstrak Jagung Ungu (zea mays) Menghambat
Peningkatan Kadar MMP-1 dan Penurunan Jumlah Kolagen pada Tikus
Wistar (rattus norvegicus)Yang Dipapar Sinar UV-B” dapat berjalan lancar
sesuai waktu yang direncanakan.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir belajar
untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu
Kedokteran Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Dengan selesainya laporan ini, penulis ingin menyampaikan
rasa hormat serta penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar besarnya
kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Rektor Universitas
Udayana yang telah memberikan fasilitas pendidikan dan kesempatan kepada
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Ucapan yang sama ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi,
SpS(K) sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr.
Made Budhiarsa, MA selaku Asdir I dan Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, PhD
selaku Asdir II atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa di
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila SpAnd. FAACS, sebagai
pembimbing I yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan
dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program
magister , khususnya dalam penyelesaian tesis ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada
Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K),FINSDV,FAADV sebagai pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan dan saran dengan penuh perhatian dan
kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. I Gusti
Made Aman, Sp.FK, Prof. dr. N Tigeh Suryadhi,MPH,PhD , Dr. dr. Ida Sri
Iswari, SpMK, M.Kes. selaku penguji yang secara teliti mengkoreksi tesis ini dan
memberikan masukan yang positif baik saat akan mulai penelitian sampai
penulisan, untuk lebih menyempurnakan laporan ini.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih
kepada dr. I.Gusti Kamasan Nyoman Arijana, M.si.Med dan seluruh staf
laboratorium di histologi yang membimbing, memberi saran, masukan
sehubungan pelaksanaan pemeriksaan histologi laboratrium serta analisanya
sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar.
Tak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Drs. I Ketut
Tunas, Msi yang sangat banyak membantu terutama memberikan masukan, saran,
terutama dalam analisa statistik sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada dr. Bayu Dwi
Siswanto M.Si ,Dipl. Cid selaku pemilik PT Syifa Bio Derma yang membantu dan
membimbing pada saat pembuatan krim ekstrak jagung ungu.
vii
Tak lupa penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Bapak Yoga
yang sudah banyak membantu dalam pembuatan ekstrak murni jagung ungu
Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga saya sampaikan kepada
Para dosen dan pengajar Ilmu Biomedik FK UNUD, dan seluruh karyawan
bagian Ilmu Biomedik serta semua pihak yang telah membantu selama
pendidikan, penelitian dan penulisan tesis ini, dengan rendah hati saya ucapkan
beribu terimakasih.
Tidak lupa penulis ucapkan kepada Bapak I Gede Wiranata yang selalu
menyumbang pikiran positif serta memberi bantuan tanpa kenal lelah dari saat
pemeliharaan tikus, melakukan biopsi sampai pengiriman hasil biopsi sehingga
penelitian berjalan lancar.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing
penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Penulis juga ucapkan
terimakasih kepada Ayahanda Drs. Soepono (Alm) dan Ibunda Hj. Mun Komariah
yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, menanamkan nilai-nilai luhur,
sehingga tercipta suasana yang baik untuk berkembangnya intelektualitas,
kreativitas dan kejujuran. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak mertua
Drs. H. Muchsin Alwi MPH dan Ibu mertua Hj. S. Anisah atas dorongan dan
dukungannya kepada penulis dalam menempuh pendidikan ini. Serta tak lupa
kepada kakak-kakak dan adik-adik atas doa dan dukungannya selama ini.
Akhirnya penulis sampaikan kepada suami tercinta Aria Suyudi ,
SH,LLM yang dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu mendampingi
penulis selama ini, serta anak-anak tersayang Shalina Diandraissa Suyudi, Sultan
Devino Suyudi dan Sybrant Drienardsyah Suyudi yang dengan penuh kerelaan
dan pengorbanan membantu penulis untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan
naskah tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada teman-teman di Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran
Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas
Udayana, khususnya teman-teman angkatan 2012, atas motivasi, semangat dan
kebersamaannya.
Kekurangan adalah milik manusia, kesempurnaan hanyalah milik Allah
SWT. Saran dari berbagai pihak akan penulis terima dengan hati terbuka untuk
kelengkapan dan lebih baiknya laporan tesis ini. Semoga semua yang baik dari
segala penjuru bersatu di dalam hati kita semua.
Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa melimpahkan berkat dan
rahmat-Nya kepada kita semua, Amin.
Denpasar, 19 November 2014
Rini Dianasari
viii
ABSTRAK
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU (Zea Mays)
MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR MMP-1 DAN
PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS WISTAR
(Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR UV-B
Pembentukan radikal bebas adalah mekanisme penting yang menyebabkan
penuaan kulit. Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif dengan elektron
tidak berpasangan yang dapat langsung merusak berbagai membran sel struktural,
lipid, protein dan DNA. Antioksidan adalah zat yang dapat memberikan
perlindungan dari tekanan oksidatif endogen dan eksogen oleh radikal bebas.
Jagung Ungu mengandung asam fenolik, vitamin C dan antosianin. Antosianin
merupakan kandungan utama pada jagung ungu dan merupakan antioksidan yang
dapat menghambat proses penuaan kulit pada tikus yang dipapar sinar UV- B.
Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efektivitas pemberian krim ekstrak
jagung ungu dalam menghambat peningkatan kadar MMP-1 dan penurunan
jumlah kolagen pada tikus wistar (Rattus norvegicus) yang dipapar sinar UV-B.
Penelitian ini adalah merupakan animal experimental dengan post test only
control group design. Sebanyak 36 ekor tikus dibagi menjadi 2 kelompok yang
masing-masing terdiri dari 18 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol diolesi krim
plasebo dan kelompok perlakuan diolesi krim ekstrak jagung ungu 50%. Semua
kelompok dipapar sinar UV- B dengan dosis total 840 mJ/cm² selama 4 minggu,
kemudian dilakukan biopsi untuk pemeriksaan kadar MMP-1 dan jumlah kolagen
dermis.
Hasil Uji Shapiro-Wilk dan Levene’test menunjukkan bahwa distribusi
data kedua kelompok berdistribusi normal dan varian-nya homogen dengan p ≥
0,05. Hasil analisis komparatif kedua kelompok dengan menggunakan t-
independent test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna antara
kedua kelompok baik itu rerata kadar MMP-1 maupun jumlah kolagen kedua
kelompok dengan p < 0,05. Rerata jumlah kolagen dan rerata kadar MMP-1
perlakuan-2 masing-masing sebesar 71,7% dan 1,9 g/ml . Kelompok perlakuan-1
yang menunjukkan rerata jumlah kolagen dan rerata kadar MMP-1 masing-
masing sebesar 65,54 % dan 3,22 g/ml.
Simpulan penelitian adalah pemberian krim ekstrak jagung ungu 50 %
menghambat peningkatan kadar MMP-1 dan penurunan jumlah kolagen dermis
pada kulit tikus yang dipapar sinar UV-B.
Kata kunci: Antosianin, krim ekstrak jagung ungu 50 %, kadar MMP-1, jumlah
kolagen dermis, sinar UV-B.
ix
ABSTRACT
TOPICAL APPLICATION OF PURPLE CORN (Zea Mays L ) EXTRACT
CREAM INHIBITS THE ELEVATION OF MMP-1 LEVEL
AND THE DECLINE OF COLLAGEN AMOUNT
ON WISTAR MICE (Rattus norvegicus) EXPOSED TO UV-B RAY
Formation of free radicals is an important mechanism causing skin aging.
Free radicals are highly reactive molecules with unpaired electrons which can
directly disrupt various structures of cell membrane, lipids, proteins, and DNA.
Antioxidant is a substance which is able to give protection from endogenous and
exogenous oxidative pressure caused by free radicals. Purple corn contains
phenolic acid, vitamin C, and anthocyanin. Anthocyanin is the main contained
substance in purple corn and acts as antioxidant and able to inhibits aging process
on skin surface of mice exposed with UV-B ray. The aim of this research is to
prove the effectivity of administration of purple corn extract cream on inhibiting
the elevation of MMP-1 level and the decrease of of collagen amount on wistar
mice (Rattus norvegicus) exposed with UV-B.
This research is animal experiment with post test only control group
design. As many as 36 mice were divided into 2 groups containing 18 mice each,
control group with appliance of placebo cream and intervention group applied
with 50% purple corn extract cream. All groups were exposed with UV-B with
dose of 840 mJ/cm² for 4 weeks, and biopsy were taken to examine the level of
MMP-1 and collagen amount on dermis.
The results of Shapiro-Wilk and Levene’s test showed that the data
distribution between the two groups were normally distributed with homogenous
variance and p ≥ 0,05. Comparative analysis with t-independent test showed that
there is a significant difference between both groups, either on the mean level of
MMP-1 or the collagen amount on both groups with p < 0,05. The mean collagen
amount and mean MMP-1 level of intervention 2 are 71,7% and 1,9 g/ml,
respectively . Intervention-1 group shows the mean amount of collagen and
MMP-1 level are 65,54 % and 3,22 g/ml, respectively.
The conclusion of this research is the administration of 50% purple corn
extract cream inhibits the increase of MMP-1 level and the decrease of the amount
of dermal collagen on mice’s skin exposed with UV-B.
Keywords: Anthocyanin, 50% purple corn extract cream, MMP-1 level, dermal
collagen amount, UV-B ray.
x
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ............................. ................................................................... i
PRASYARAT GELAR................ ........................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI...................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................v
UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................................vi
ABSTRAK (BAHASA INDONESIA)..................................................................vii
ABSTRACT (BAHASA INGGRIS)....................................................................viii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiii
DAFTAR TABEL.................................................................................................xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ...................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 8
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 8
1.3.1. Tujuan Umum .................................................................................... 8
1.3.2. Tujuan Khusus ................................................................................... 9
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 9
1.4.1. Manfaat Keilmuan ............................................................................. 9
1.4.2. Manfaat Praktis .................................................................................. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 10
2.1. Proses Penuaan (Aging) ............................................................................. 10
2.1.1 Teori Penuaan dan Faktor yang Mempengaruhi Penuaan .................. 10
2.1.2 Mekanisme Aging ............................................................................... 14
1. Tahapan subklinik (usia 25-35 tahun) ................................................. 14
2. Tahap transisi (usia 35 -45 tahun) ....................................................... 14
3. Tahap klinik (Usia 45 th ke atas) ........................................................ 15
xi
2.2 Proses Penuaan Pada Kulit ......................................................................... 15
2.2.1. Definisi penuaan pada kulit ............................................................. 15
2.2.2. Mekanisme Penuaan Kulit ............................................................... 18
2.2.3. Fenomena Penuaan pada Kulit ........................................................ 19
2.3. Sinar Ultra Violet ....................................................................................... 20
2.3.1 Efek Radiasi Sinar UV .................................................................... 22
2.4. Anatomi dan Fungsi Kulit Manusia ........................................................... 23
2.5. Fibroblas ..................................................................................................... 28
2.6. Matriks Metalloproteinase ......................................................................... 29
2.7. Photoaging dan Mekanisme Kerusakan pada Kolagen .............................. 32
2.8. Manifestasi Klinis dan Histologis pada Kulit Mengalami Photoaging ...... 36
2.9. Radikal Bebas dan Antioksidan ................................................................. 37
2.9.1. Radikal Bebas .................................................................................. 37
2.9.2. Antioksidan ..................................................................................... 38
2.9.2.1. Peranan Antioksidan pada Kulit yang Mengalami Kerusakan
karena Pajanan Sinar UV ........................................................................... 39
3.1. Jagung Ungu (Zea Mays L) ........................................................................ 40
3.2. Antosianin .................................................................................................. 42
3.2.1. Struktur Kimia ................................................................................. 43
3.2.2. Efek Fisiologis ................................................................................. 44
3.3. Vitamin C ................................................................................................... 45
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN47
3.1. Kerangka Berpikir ................................................................................... 47
3.2. Konsep Penelitian .................................................................................... 49
3.3. Hipotesis Penelitian ................................................................................. 50
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 51
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................... 51
4.2. Parameter yang diamati ........................................................................... 52
4.3. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 52
4.4. Populasi dan Sampel ............................................................................... 53
4.4.1. Populasi ........................................................................................ 53
4.4.2. Sampel .......................................................................................... 53
4.4.3. Besar sampel dan teknik penentuan sampel ................................. 54
4.5. Variabel Penelitian ................................................................................. 54
4.5.1. Klasifikasi variabel ....................................................................... 54
4.5.2. Hubungan antar variabel .............................................................. 55
4.6. Definisi operasional variabel .................................................................. 56
4.7. Bahan dan Instrumen Penelitian .............................................................. 58
xii
4.7.1. Bahan penelitian ............................................................................. 58
4.7.2. Instrumen penelitian ....................................................................... 58
4.7.3. Hewan percobaan ........................................................................... 58
4.8. Prosedur Penelitian .................................................................................. 59
4.9. Analisis Statistik ...................................................................................... 64
BAB V HASIL PENELITIAN .............................................................................. 66
5.1. Uji Normalitas Data .................................................................................. 66
5.2. Uji Homogenitas Data .............................................................................. 67
5.3. Kadar MMP-1 ........................................................................................... 67
5.4. Jumlah Kolagen ........................................................................................ 68
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ................................................. 72
6.1. Subyek Penelitian .................................................................................... 72
6.2. Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian ................................. 72
6.3. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jagung Ungu ............................................ 73
6.3.1. Kadar MMP-1 ............................................................................... 73
6.3.2. Jumlah Kolagen ............................................................................ 77
BAB VII SIMPULAN DAN SARANAN ............................................................. 81
7.1. Simpulan ................................................................................................. 81
7.2. Saran ....................................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 82
Lampiran 1: Prosedur Penanganan Hewan Coba ................................................... 90
Lampiran 2 : Ethical Clearance .............................................................................. 95
Lampiran 3 : Hasil Analisis Ektrak Jagung Ungu .................................................. 96
Lampiran 4 : Analisa Statistika .............................................................................. 97
Lampiran 5 : Foto Aktifitas Penelitian ................................................................... 98
xiii
Daftar Gambar
Gambar 2. 1 Model Mekanisme Photoaging (Helfrich et al., 2008) .................... 31
Gambar 2. 2 Model Hipotesis Patofisiologi Solar Scar (Fischer, 2001) ............... 35
Gambar 2. 3 Jagung Ungu (Varien Moos, 2013) .................................................. 41
Gambar 2. 4 Struktur 6 Jenis Antosianidin, dalam Bentuk Glukosida dengan
Glukosa ................................................................................................................. 43
Gambar 4. 1 Rancangan The Randomized Post-test Only Control Group...........51
Gambar 4. 2 Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian ................................... 55
Gambar 5. 3. Jumlah kolagen pada Jaringan Dermis Tikus dengan Pengecatan
Picro Sirius Red......................................................................................................71
xiv
Daftar Tabel
Tabel 2. 1 Kandungan antosianin pada beberapa buah dan sayuran .................... 42
Tabel 5. 1 Hasil Uji Normalitas Data Kolagen dan MMP-1..................................66
Tabel 5. 2. Homogenitas Kolagen dan MM-1 antar Kelompok Perlakuan ........... 67
Tabel 5. 3. Perbedaan Rerata Jumlah Kolagen Antara Kelompok Sesudah
Diberikan Krim Ekstrak Jagung Ungu 50%.......................................................... 69
Tabel 5. 4. Perbedaan Rerata Kadar MMP-1 Antar Kelompok ............................ 67
xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
A4M : American Academy of Anti Aging Medicine
AAM : Anti Aging Medicine
AP-1 : Activator Protein
BPS : Badan Pusat Statistik
CIE : Commision Internationale d l’Eclairage
Ca : Kalsium
cDNA : Complementary Deoxyribonucleic Acid
Cu : kuprum
CoQ10 : koenzim Q10
DHEA : Dehydroepiandrosterone
DNA : Deoxyribonucleic acid
deg. : Degeneratif
et al : dan kawan-kawan
ELISA : Enzym-linked Immunosorbent Assay
ECM : Extra Cellular Matrix
EPA : Eikosapentanoeat Acid
fe : ferrum
g : gram
GH : Growth Hormon
HCl : Asam Klorida
HRD-Avidin : Horseradish peroxidase-conjugated avidin
IL-1 : Interleukin-1
Kj : Kilo Joule
MED : Minimal Erythema Dose
mJ/cm² : mili Joule per sentimeter persegi
xvi
MMP : Matrix Metalloproteinase
MMPs : Matrix Metalloproteinases
MMP-1 : Interstitial Collagenase
MMP-14 : Matrix Metalloproteinase-14
MMP-15 : Matrix Metalloproteinase-15
MMP-16 : Matrix Metalloproteinase-16
mRNA : Messenger Ribonucleic Acid
NF-κβ : Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells
O2 : Oksigen
P : Fosfor
PDA M : Perusahaan Daerah Air Minum
pH : Pangkat Hidrogen
ROS : Reactive Oxygen Species
SOD : Superoxide Dismutase
SPSS : Statistical Package for the Social Science
TβRII : TGF-β type II receptor
TGF-β : Transforming Growth Factor-beta
TL : Tubular Lamp
TMB : Tetramethylbenzidine
TNF-α : Tumor Necrosing Factor-alfa
UV : Ultraviolet
UV-A : Ultraviolet A
UV-B : Ultraviolet B
UV-C : Ultraviolet C
Q10 : Koenzim 10
α : alfa
β : beta
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami
oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang
tidaklah sama, ada beberapa orang yang mengalami proses penuaan lebih cepat
dibandingkan dengan orang lain. Kecepatan proses penuaan tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor, baik faktor ekstrinsik maupun intrinsik .
Proses penuaan intrinsik merupakan proses penuaan yang berlangsung
secara alamiah yang disebabkan berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri, seperti
genetik, hormonal, dan ras. Proses penuaan ekstrinsik terjadi akibat berbagai
faktor dari luar tubuh seperti sinar matahari/ultraviolet (Wlascheck, et al .,
2001;Yaar dan Gilchrest, 2007; Baumann dan Saghari, 2009), kelembaban udara
(Cunnningham, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2007), suhu (Baumann dan Saghari,
2009), asap rokok, polusi (Baumann dan Saghari,2009), dan berbagai faktor
eksternal lainnya yang dapat mempercepat proses penuaan kulit sehingga terjadi
penuaan dini. Proses ini dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor yang
mempercepat proses tersebut (Cunnningham, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2007;
Baumann dan Saghari, 2009).
Proses penuaan atau aging sangat erat kaitannya dengan radikal bebas
(Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Radikal bebas terbentuk baik dari
proses metabolisme normal di dalam tubuh, ataupun dari kondisi patologis serta
1
2
dari sumber-sumber eksternal seperti asap rokok, polusi udara, radiasi sinar X,
sinar ultraviolet, pestisida, dan lain lain (Devasagayam et al., 2004). Pembentukan
radikal bebas di dalam sel terjadi secara terus menerus sebagai konsekuensi dari
reaksi enzimatik maupun non-enzimatik. Reactive Oxygen Species (ROS)
merupakan kumpulan radikal bebas yang berasal dari oksigen seperti radikal
superoxide, hydroxyl, hydroperoxyl, lipid peroxyl, dan lain lain (Devasagayam et
al, 2004). Radikal bebas dapat merusak integritas sel baik secara struktural
maupun fungsional yang dengan demikian dapat meningkatkan tingkat stres dan
kerusakan oksidatif sehingga mempercepat proses penuaan (Devasagayam et al,
2004; Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007).
Pada saat usia bertambah tua, akan terjadi penurunan fungsi dan
kemampuan untuk adaptasi terhadap terjadinya kerusakan dalam tubuh. Disertai
pula dengan terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh dan terjadinya
perubahan fisik pada tingkat seluler maupun pada sistem oleh karena proses
penuaan (Baskoro dan Konthen, 2008). Banyak faktor yang berperanan pada
terjadinya proses tersebut, dimana dapat dikelompokkan menjadi faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi adanya radikal bebas, hormon yang
berkurang, proses glikosilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen.
Faktor eksternal meliputi diet yang tidak sehat, gaya hidup yang tidak sehat,
kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, radiasi, sinar UV, asap rokok, dan
stress (Rabe et al., 2006; Pangkahila, 2007).
Sedangkan teori yang mendasari terjadinya proses penuaan tersebut pun
beragam antara lain adalah wear and tear theory, dan teori program. Wear and
3
tear theory menyatakan bahwa pada prinsipnya tubuh dan sel menjadi rusak
karena terlalu sering digunakan, dimana kerusakan terjadi secara terus menerus
tidak hanya pada organ namun juga pada tingkat sel. Sedangkan teori program
menyatakan bahwa dalam tubuh manusia terdapat jam biologis, mulai dari proses
konsepsi sampai pada kematian dalam suatu model yang telah terprogram. Dari
teori-teori tersebut yang paling banyak dianut adalah teori radikal bebas. Teori
radikal bebas menyatakan bahwa proses menua diawali dengan inisiasi reaksi
radikal bebas yang terus menerus secara progresif dan menyebabkan kerusakan
sistem biologi (Pangkahila, 2007).
Proses penuaan tersebut merupakan hasil interaksi dari program genetik
dan kumulasi proses wear and tear selama hidup (Gilchrest dan Yaar, 2000;
Rabe et al., 2006). Sama halnya dengan organ lain dalam tubuh manusia, kulit
juga mengalami penuaan, baik internal maupun eksternal seperti yang disebutkan
diatas. Selain itu, kulit adalah organ yang mengalami kontak langsung dengan
lingkungan sehingga sangat terpengaruh oleh faktor lingkungan seperti radiasi
ultraviolet (UV) sinar matahari.
Penuaan yang disebabkan oleh radiasi kronis UV sinar matahari disebut
sebagai Photoaging (Gilchrest dan Krutmann, 2006), yang merupakan penuaan
yang terjadi akibat efek buruk kronis dari sinar matahari yang bertumpuk dengan
gejala penuaan kronologis. Proses ini bersifat kumulatif. Reaksi kronis dari
pajanan sinar ultraviolet matahari selama bertahun-tahun dapat menimbulkan
gangguan arsitektur kulit, dan terutama menyebabkan penuaan dini kulit
(photoaging), serta kanker kulit (Walker et al ., 2003; Quan et al ., 2009).
4
Kerusakan yang ditimbulkan dapat dilihat baik secara klinis, histologis atau
patologi anatomi maupun secara fungsional (Berneburg et al ., 2000). Paparan
radiasi UV sinar matahari menyebabkan kerusakan kulit melalui beberapa
mekanisme, termasuk pembentukan sunburn cell, tercetusnya respon peradangan,
terbentuknya thymine dimer dan produksi kolagenase (MMP / Matriks
Metaloproteinase) (Baumann, 2005). MMP adalah enzym proteinase mengandung
zinc, yang bertanggung jawab mendegradasi protein matriks ekstraseluler. MMP
diklasifikasikan sebagai kolagenase, gelatinase, stromyelisin dan tipe membran
(Quan et al ., 2009).
Radiasi UV dengan panjang gelombang 100-400 nm merupakan 5% dari
seluruh radiasi sinar yang ada. Radiasi UV terbagi atas tiga golongan yaitu UV-A
(320-400nm), UV-B (280-320nm) dan UV-C (100-280nm). UV-C biasanya tidak
sampai ke permukaan bumi kecuali pada dataran tinggi sekali dimana UV-C ini
diserap oleh lapisan ozon pada atmosfir. Yang paling banyak berpengaruh kepada
kesehatan kulit adalah UV-B, karena panjang gelombangnya yang lebih pendek
dan paling banyak menembus bumi, sinar UV juga terbukti meningkatkan
degradasi kolagen melalui aktivasi MMP. Sinar UV juga dapat memacu sintesis
MMP-1 dan MMP-3 melalui pelepasan Tumor Necrosing Factor-alfa (TNF-α)
oleh keratinosit dan fibroblas serta menyebabkan penurunan Transforming
Growth Factor-beta (TGF-β) (Gilchrest dan Krutmann, 2006).
Radiasi UV diketahui secara langsung dan tidak langsung mengganggu
integritas ekstraselular matriks dengan cara meningkatkan aktivitas MMP. Pada
kulit manusia, MMP-1 adalah tipe yang paling terpengaruh oleh induksi sinar UV
5
matahari dan bertanggungjawab terhadap pemecahan kolagen pada kulit yang
mengalami photoaging (Fisher et al ., 2001). Ditemukan bahwa hanya dengan
satu kali ekspos terhadap paparan radiasi UV sinar matahari dapat mengganggu
jaringan konektif dengan menyebabkan gangguan sintesis kolagen yang hampir
komplit, selama 24 jam yang kemudian diikuti dengan recovery 48-72 jam
setelahnya ( Fisher et al ., 2001). Selain itu juga terjadi degradasi kolagen karena
terjadi peningkatan kadar MMP-1 yang cukup signifikan yaitu sekitar 4,4 ± 0,2
kali lipat jika dibandingkan dengan kulit yang tidak dipajan radiasi UV (Fisher et
al ., 2001). MMP-1 adalah mediator utama terhadap timbulnya degradasi kolagen
pada kulit yang mengalami photoaging. Enzim MMP-1 kolagenolitik
mendegradasi fibril kolagen dan elastin, yang penting untuk kekuatan dan
elastisitas kulit. Aktivitas MMP-1 di kulit akan meningkat walaupun hanya
dengan radiasi UV yang singkat, yang akan menyebabkan timbulnya kerutan pada
kulit, yang menjadi tanda photoaging (Yaar dan Gilchrest, 2008). Dengan
demikian, hambatan terhadap MMP-1 adalah salah satu cara untuk mencegah
kerusakan kulit akibat paparan sinar UV.
Selain itu radiasi ultraviolet menghasilkan reactive oxygen species / ROS
(Lee et al ., 2004; Yaar dan Gilchrest, 2007), bersama dengan aktivasi berbagai
ROS- sensitive signaling Pathways, yang selanjutnya akan mempengaruhi
berbagai macam fungsi selular termasuk menyebabkan fragmentasi kolagen dan
sekresi MMP-1 (Yaar dan Gilchrest, 2008; Helfrich et al ., 2008). Stres oksidatif
berpengaruh besar dalam proses photoaging dan fotokarsinogenesis dan juga
dalam patogenesis fotodermatosis (Stahl et al ., 2006).
6
Antioksidan diketahui dapat mencegah dan menangkal terbentuknya
radikal bebas (Stahl et al ., 2006; Yaar dan Gilchrest, 2007). Walaupun kulit
mengandung banyak enzim antioksidan [Superoksid dismutase (SOD), katalase
dan glutation peroksidase) dan molekul antioksidan non enzim (tokoferol
(vitaminE), koenzim Q10 (CoQ10), asam askorbat (vitamin C) dan karotenoid],
tetapi masih jauh dari efektif dalam mengatasi stres oksidatif yang terjadi, dan
cenderung terus berkurang bersama dengan bertambahnya usia (Yaar dan
Gilchrest, 2007; Nichols dan Katiyar, 2010) Penggunaan bahan kimia yang
berfungsi untuk melindungi kulit dari bahaya radiasi sinar matahari sudah banyak
dipakai. Salah satunya adalah senyawa polifenol dari tanaman. Penggunaan bahan
ini dimaksudkan untuk mencegah, mengembalikan dan memperlambat efek
buruk radiasi sinar UV terhadap kulit. Efek fotoprotektif kulit dari bahan polifenol
tampaknya diperoleh dari kemampuannya sebagai anti-peradangan, antioksidan,
dan mekanisme DNA Repair (Nichols dan Katiyar, 2010).
Polifenol adalah suatu kelompok bahan kimiawi (phytochemicals) yang
ditemukan dalam tumbuhan, ditandai dengan adanya lebih dari satu unit fenol per
molekul. Phenolic dalam makanan manusia terdiri dari Phenolic acid, tannin, dan
flavonoid. Polifenol yang paling banyak diteliti adalah golongan flavonoid, yang
dibagi menjadi dua grup besar yaitu antosianin dan antosantin. Antosianin
merupakan pigmen larut air yang sangat penting, yang bertanggung jawab dalam
memberi warna merah, biru, dan ungu pada tanaman (Fuhrman dan Aviram,
2002). Pigmen ini banyak terdapat pada makanan kita, antara lain buah-buahan
7
seperti blueberry, cranberry, billberry, juga terdapat pada kulit terong ungu, beras
merah, kulit anggur, ubi ungu, dan jagung ungu.
Antosianin sudah banyak dipakai di seluruh dunia sebagai pewarna
makanan, dan sejak jaman dahulu telah banyak dipakai sebagai obat herbal yang
dapat menyembuhkan hipertensi, demam, gangguan liver, diare dan disentri,
gangguan berkemih dan influenza (Konczak dan Zhang, 2004). Beberapa
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa antosianin mempunyai bioaktivitas yang
berpotensi tinggi dalam pencegahan berbagai penyakit kronik seperti diabetes dan
katarak yang dipicu oleh diabetes (Ghosh dan Konishi, 2007). Antosianin juga
dapat memperbaiki profil lipid darah dan memiliki efek vasoprotektif (Kahkonen
dan Heinonen, 2003; Jawi dan Budiasa, 2009; Astadi et al ., 2009; Shipp dan
Abdel-Aal, 2010), dan juga mempunyai efek dalam menghambat pertumbuhan
dan merangsang apoptosis sel-sel kanker (Hui et al ., 2010).
Jagung ungu ( Zea Mays L. ) telah banyak dibudidayakan di Amerika
Selatan , terutama di Peru dan Bolivia , dan digunakan untuk menyiapkan
minuman dan makanan penutup selama berabad-abad karena kandungan pigmen
yang tinggi . Jagung ungu mengandung konsentrasi antosianin yang tinggi ( ~
1640 mg/100g FW ) jauh lebih tinggi daripada sumber yang kaya antosianin
lainnya, seperti berries ( 20 ~ 1500 mg/100g FW ) , lobak ( Raphanus sativus L. )
( 11 ~ 60 mg/100g FW ) , dan kubis ( Brassica oleracea L. )
( 322 mg/100g FW ) . Ketertarikan akan jagung ungu sebagai sumber antosianin
sebagai warna dan fitonutrien telah meningkat selama tahun terakhir . Banyak
manfaat kesehatan telah dikaitkan dengan ungu jagung , termasuk pengurangan
8
stres oksidasi , pencegahan obesitas dan diabetes , dan kanker usus besar ( Pu
Jing, 2006).
Dalam penelitian pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B kemudian
diolesi krim ekstrak jagung ungu dengan dosis 25 %, 50 %, 100 % terbukti bahwa
ekstrak jagung ungu dengan dosis 50 % mempunyai efek perlindungan pada kulit
tikus Wistar yaitu dengan meningkatkan jumlah kolagen dermis dan menurunkan
kadar MMP-1. (Dianasari, 2013).
Dengan mempertimbangkan hal ini, timbul dugaan bahwa antosianin yang
banyak terdapat dalam ekstrak jagung ungu dapat menghambat penuaan dini kulit,
dengan menghambat peningkatan kadar MMP-1 pada tikus yang dipajan dengan
sinar UV-B, karena efek antioksidannya. Sehingga perlu dilakukan penelitian
untuk membuktikan dugaan tersebut diatas.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah pemberian krim ekstrak jagung ungu menurunkan kadar MMP-1
pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?
2. Apakah pemberian krim ekstrak jagung ungu meningkatan jumlah
kolagen dermis pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas pemberian krim ekstrak jagung ungu dalam
menghambat peningkatan kadar MMP-1 dan penurunan jumlah kolagen
pada tikus wistar (Rattus norvegicus) yang dipapar sinar UV-B
9
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui krim ekstrak jagung ungu menurunankan kadar
MMP-1 pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B.
2. Untuk mengetahui krim ekstrak jagung ungu meningkatkan jumlah
kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Keilmuan
Memberi informasi ilmiah tentang fungsi proteksi krim ekstrak jagung ungu
dalam melindungi kulit dari kerusakan akibat paparan sinar UV-B.
1.4.2. Manfaat Praktis
Memberi informasi pada masyarakat tentang efek penggunaan krim ekstrak
jagung ungu yang dapat memberikan perlindungan pada kulit dari pengaruh
kerusakan oleh sinar UV-B dan mencegah penuaan dini sehingga dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Proses Penuaan (Aging)
Secara umum proses penuaan akan dialami oleh semua mahluk yang
hidup di muka bumi ini. Proses tersebut adalah hal alamiah yang harus dijalani
dan tidak dapat dihindarkan, terjadi pada setiap orang dalam kecepatan yang
berbeda tergantung pada keadaan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup
yang dilakukan, sehingga proses penuaan tersebut dapat terjadi lebih dini atau
lambat tergantung dari kesehatan individu (Fowler, 2003).
Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti Aging
Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan
dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik, yang mana
dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat
(Klatz, 2003).
2.1.1 Teori Penuaan dan Faktor yang Mempengaruhi Penuaan
Bermacam-macam teori proses menua telah dikemukakan para ahli namun sampai
saat ini mekanisme yang pasti belum diketahui. Batas waktu yang tepat antara
terhentinya pertumbuhan fisik dan dimulainya proses menua tidak jelas, karena
kedua proses tersebut saling berkaitan (Wasitaatmadja, 2003).
10
11
Teori Penuaan
1. Teori Radikal Bebas
Banyak teori yang menjelaskan mengenai penuaan, yang paling banyak
dianut adalah teori radikal bebas. Radikal bebas adalah elektron dalam tubuh yang
tidak memiliki pasangan sehingga akan berusaha mencari pasangan agar dapat
berikatan dan stabil. Sebelum mendapat pasangan radikal bebas akan terus
menerus merusak sel tubuh termasuk sel tubuh normal. Hal tersebut
mengakibatkan sel akan cepat rusak dan menua, bahkan mungkin dapat
menimbulkan terjadi kanker atau keganasan. Radikal superoksid dan hidroksil
akan terbentuk saat respirasi mitokondria yang timbul akibat auto oksidasi
berbagai molekul intraseluler serta akibat pengaruh lingkungan seperti sinar
ultraviolet. Enzim superoksid dismutase akan berkurang seiring bertambahnya
umur sehingga akan mengakibatkan antioksidan alami tubuh tidak mampu lagi
menetralisir oksidan yang terbentuk.
2. Teori Replikasi DNA (Deoxyribonucleic Acid Replication Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa proses menua merupakan akumulasi
bertahap kesalahan dalam masa replikasi DNA. Kerusakan DNA akan
menyebabkan pengurangan kemampuan replikasi DNA yang mempengaruhi masa
hidup sel. Diperkirakan sekitar 50% DNA akan menghilang dari jaringan pada
usia kira kira 70 tahun.
12
3. Teori Kelainan Alat (Orgell Error Theory)
Kesalahan transkripsi DNA akan dapat menghasilkan RNA yang tidak
sempurna, hal tersebut mengakibatkan kelainan pada berbagai enzim dan protein
intraseluler sehingga terjadi gangguan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan
atau kematian sel bersangkutan. Jumlah enzim yang tidak aktif akan semakin
bertambah dengan meningkatnya umur.
4. Teori Ikatan Silang (Cross Linkage Theory)
Proses menua terjadi akibat terbentuk ikatan silang yang progresif antara
protein intraseluler dan interseluler seperti contoh pada serabut kolagen. Ikatan
silang ini akan meningkat dengan bertambahnya umur. Ikatan silang ini akan
menyebabkan penurunan elastisitas dan kelenturan kolagen pada membran basalis
atau pada substansi dasar jaringan penyambung dan hal tersebut akan
menyebabkan kerusakan fungsi organ.
5. Teori Program Genetik
Teori ini mengatakan bahwa, organ tubuh kita sudah memiliki program
genetik dalam DNA masing masing yang akan mengatur fungsi fisik dan mental
masing masing individu. Program ini yang akan menentukan berapa usia kita
mulai menua, usia berapa kita akan meninggal. Setiap manusia seakan memiliki
bom waktu yang berdetik terus sampai masanya habis dan setelah itu meninggal.
13
6. Teori Endokrin
Proses menua dikendalikan oleh alat pacu antara lain timus, hipotalamus,
hipofise, kelenjar tiroid yang yang bekerjasama mengatur keseimbangan
hormonal dan regenerasi sel tubuh manusia. Jumlah produksi hormon adalah
saling berinteraktif. Bilamana salah satu hormon produksinya berkurang kan
menyebabkan produksi hormon yang lain dapat berubah, bisa berkurang dan
bahkan malah bertambah.
7. Teori Telomerase
Telomer adalah rangkaian asam nukleat yang terdapat di ujung kromosom
yang berfungsi sebagai penjaga keutuhan kromosom. Setiap kali sel tubuh
membelah maka telomer akan menjadi lebih pendek. Bila ujung telomer sudah
terlalu pendek maka kemampuan sel untuk membelah atau mereparasi akan
berkurang, melambat dan sel akhirnya tidak dapat membelah lagi atau mati. (
Klatz dan Goldman, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008)
Banyak faktor yang berperanan pada terjadinya proses penuaan, dimana
dapat dikelompokkan menjadi faktor internal maupun eksternal. Faktor internal
meliputi adanya radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi,
metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan faktor genetik.
Sedangkan faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup yang tidak sehat, diet
tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, radiasi sinar ultraviolet, stres
dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).
14
2.1.2 Mekanisme Aging
Proses penuaan yang terjadi pada individu tidak terjadi begitu saja dengan
langsung menunjukkan tanda dan gejala penuaan seperti terjadinya perubahan
fisik seperti massa otot berkurang, kulit berkerut, daya ingat berkurang, sulit tidur,
mudah tersinggung dan tanda tanda lainnya. Namun proses tersebut terjadi secara
bertahap meliputi tahapan sebagai berikut (Fowler, 2003; Pangkahila, 2007).
1. Tahapan subklinik (usia 25-35 tahun)
Di rentangan usia ini sebagian besar hormon dalam tubuh mulai menurun, yaitu
hormon testosteron, growth hormon, dan estrogen. Pembentukan radikal bebas
mulai terjadi, namun kerusakan yang terjadi belum tampak dari luar sehingga
pada tahapan ini individu masih merasa dan tampak normal, tanpa tanda dan
gejala penuaan.
2. Tahap transisi (usia 35 -45 tahun)
Pada tahap ini kadar hormon menurun sebanyak 25%. Massa otot berkurang 1 kg
setiap beberapa tahun, akibatnya tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang
komposisi lemak tubuh bertambah. Mulai muncul gejala penuaan seperti rambut
mulai putih, elastisitas kulit menurun, pigmentasi kulit menurun, demikian juga
halnya dengan pendengaran, penglihatan, dan dorongan seksual. Kerusakan oleh
radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik, resiko terjadinya penyakit
meningkat. Saat ini orang akan mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih
tua.
15
3. Tahap klinik (Usia 45 th ke atas)
Penurunan kadar hormon terus berlanjut yaitu DHEA, melatonin, GH,
testosteron, estrogen, dan tiroid. Terjadi penurunan sampai hilangnya
kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang
menurun, massa otot berkurang sekitar 1 kg setiap tiga tahunnya, akibatnya terjadi
ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan.
Sistem organ mulai mengalami kegagalan, penyakit kronis menjadi lebih nyata.
Ketidakmampuan menjadi faktor utama.
Proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala ataupun
keluhan. Apabila tidak terjadi gejala atau keluhan bukan berarti tidak mengalami
proses penuaan. Namun saat ini dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan proses penuaan dapat dianggap dan diperlakukan sama dengan
penyakit, yang dapat dicegah, dihindari, dan diobati sehingga dapat kembali ke
keadaan semula (Pangkahila, 2007).
2.2 Proses Penuaan Pada Kulit
Sama halnya dengan organ lain dalam tubuh manusia, kulit juga
mengalami proses penuaan.
2.2.1. Definisi penuaan pada kulit
Menurut Medical online Dictionary, penuaan pada kulit adalah suatu
mekanisme biologis yang ditandai dengan adanya perubahan struktur maupun
elastisitas kulit, yang terjadi bersama dengan waktu sebagai bagian dari proses
penuaan fisiologis (intrinsik) maupun yang dipicu oleh efek dari luar (ekstrinsik).
16
1. Faktor penuaan intrinsik (intrinsic Aging, Chronologic Aging)
Merupakan proses menua fisiologik yang berlangsung secara alamiah, disebabkan
berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri seperti genetik, hormonal maupun rasial.
2. Faktor Menua Ekstrinsik
Terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh. Faktor lingkungan seperti radiasi
ultraviolet (UV) sinar matahari, kelembaban udara, suhu dan berbagai faktor luar
lainnya dapat mempercepat proses penuaan kulit sehingga terjadi penuaan dini
kulit. Selain itu, kulit adalah organ yang mengalami kontak langsung dengan
lingkungan sehingga sangat terpengaruh oleh faktor lingkungan.
Proses penuaan ekstrinsik berbeda dengan proses penuaan intrinsik baik
secara klinis maupun secara histologis. Secara klinis pada penuaan ekstrinsik
(terutama akibat radiasi sinar uv), kulit menjadi kering, kasar, tidak merata,
warnanya tidak merata (hipo/hiperpigmentasi), terjadi kerutan yang dalam atau
atrofi yang parah, timbul teleangiektasis, pembentukan lentigo solaris, timbulnya
lesi kulit premalignant, tidak elastis dan kaku, serta leathery appearance (Helfrich
et al., 2009). Ditambah tanda-tanda lain seperti elastosis (kulit menjadi kasar,
kuning dan timbul cobblestone effect) serta actinic purpura (kulit menjadi mudah
memar yang disebabkan oleh rapuhnya dinding pembuluh darah) (Gilchrest dan
Yaar, 2000). Sebaliknya penuaan kulit intrinsik (chronologic skin aging), ditandai
oleh timbul kerutan halus, xerosis, kusam, dan timbulnya berbagai tumor kulit
jinak kulit seperti seborrheic keratosis dan cherry angioma (Yaar dan Gilchrest,
2008). Penuaan ekstrinsik, secara histologis memiliki karakteristik berupa massa
elastin yang kusut dan kemudian mengalami degradasi membentuk massa yang
17
amorfik, jaringan penyangga kulit yang sebagian besar terdiri dari
glikosaminoglikan dan proteoglikan meningkat. Sementara itu, jumlah serat
kolagen berkurang karena degradasinya meningkat akibat peningkatan enzym
matriks metallo proteinase dan pelepasan sitokin, ditambah lagi dengan kontraksi
pada septa di lemak subkutan sehingga timbul kerutan. Kompaksi stratum
corneum meningkat, lapisan sel granular di epidermis menebal, epidermis menipis
akibatnya kulit jadi kering dan kasar. Melanosit yang mengalami hipertrofi
meningkat jumlahnya, begitu pula kadar melanin per unit nya, akibatnya muncul
frecless dan hiperpigmentasi (Yaar dan Gilchrest, 2008).
Penuaan berkaitan dengan perubahan yang bersifat progresif yang terjadi
di semua jaringan termasuk pada kulit. Suatu proses yang merupakan akibat dari
penggunaan sel secara terus menerus dan senescense, yang akhirnya akan diakhiri
dengan berkurangnya viabilitas dan kematian. Hal tersebut dipengaruhi oleh
faktor genetik, akumulasi dari pengaruh faktor lingkungan dan faktor endogen
lainnya yang berperanan pada life-span mahluk hidup (Tschachler dan Morizot,
2006; Yaar, 2006).
Ada 2 teori dasar penuaan pada kulit yaitu teori programmatik dan teori
stokastik (Gilchrest dan Yaar, 2000). Teori programmatik meliputi; 1) terjadinya
pemendekan telomere yaitu ujung kromosom eukariotik karena DNA polymerase
tak mampu mengadakan replikasi pada ujung akhir; 2) penuaan seluler dimana
adanya keterbatasan sel untuk membelah.
Teori stokastik meliputi adanya; 1) stress oksidatif yaitu tingkat penggunaan
oksigen berkaitan dengan proses penuaan, karena kurangnya efisiensi sistem
18
pertahanan oksidatif maka selama masa kehidupan terjadilah akumulasi kerusakan
oksidatif molekuler yang terkadang mengakibatkan terjadinya kematian sel secara
apoptosis; 2) Adanya kerusakan DNA ; 3) amino acid racemization: yaitu proses
penggantian asam amino-D dengan asam amino-L di dalam protein, terjadi selama
proses penuaan serta dapat mempengaruhi fungsi protein dan menyebabkan
akumulasi protein yang sudah tidak fungsional lagi pada jaringan; 4)
nonenzymatic glycosylation.
Proses penuaan berjalan sesuai waktu atau usia seseorang (chronological
/ intrinsic aging ) dan juga dapat diperberat oleh adanya faktor eksternal termasuk
yang paling banyak berperan adalah pajanan sinar ultra violet (exstrinsic aging).
2.2.2. Mekanisme Penuaan Kulit
Adanya akumulasi Reactive Oxygen Species (ROS) dinyatakan berperanan
penting pada proses penuaan kulit, dan hal ini terbukti dari penelitian yang telah
dilakukan. Kulit merupakan organ yang paling banyak mengalami kontak
langsung dengan lingkungan, sehingga banyak terpapar dengan ROS yang
berasal dari lingkungan termasuk dari udara, radiasi matahari, ozon, dan polusi.
Selain itu hasil metabolisme normal pun menghasilkan ROS, dari proses rantai
respirasi mitokondria yang mana elektron berlebih akan diberikan pada molekul
oksigen untuk kemudian terbentuk anion superoksid. Dengan bertambahnya usia
membuat berkurangnya kemampuan aktivitas sistem pertahanan dari enzymatic
antioxidant (Chung et al., 2004).
19
ROS yang terbentuk dari pajanan sinar ultra violet tersebut dapat
menekan serta merusak enzymatic antioxidant dan non enzymatic antioxidant
yang merupakan mekanisme pertahanan kulit terhadap radikal bebas. Hal ini akan
memicu terjadinya kerusakan oksidatif pada komponen seluler dan non seluler
yang akan berakibat pada terjadinya supresi sistem imun, penuaan dini kulit,
bahkan sampai mengakibatkan kanker kulit. ROS akan mengaktifkan jalur signal
tranduksi sitoplasmik pada fibroblast, hal ini berkaitan pada pertumbuhan,
diferensiasi, senescence, dan degradasi jaringan ikat, juga menyebabkan
perubahan genetik yang permanen (Kim et al., 2004).
Diperkirakan jumlah kolagen di dermis akan berkurang sebanyak 1 % tiap
tahunnya pada usia dewasa. Mekanisme berkurangnya kolagen selama proses
penuaan alamiah adalah akibat dari peningkatan ekspresi Matriks
Metalloproteinase (MMP). Peningkatan MMP mempengaruhi sintesis kolagen,
dimana dengan bertambahnya umur maka level MMP-1, 2, 9, dan 12 akan makin
bertambah sementara ekspresi procollagen mRNA lebih rendah dibanding saat
masih berusia muda (Chung et al., 2004). Pada proses penuaan alami terjadi
penurunan sintesa kolagen serta peningkatan ekspresi Matriks Metalloproteinase
sementara pada photoaging tampak peningkatan Matriks Metalloproteinase yang
lebih besar (Chung et al., 2001).
2.2.3. Fenomena Penuaan pada Kulit
Proses penuaan pada kulit terdiri dari 2 fenomena yang berbeda secara
signifikan namun dapat terjadi secara simultan, yaitu proses penuaan intrinsik
20
(intrinsic aging/chronological aging) dan penuaan ekstrinsik (extrinsic aging
/photoaging).
Penuaan intrinsik merupakan proses menyeluruh, dan berlangsung secara
alamiah sejalan dengan bertambahnya usia. Proses ini disebabkan oleh berbagai
faktor dari dalam tubuh sendiri yaitu faktor genetik, hormonal, dan ras. Pada
proses penuaan intrinsik yang terjadi lebih banyak ditandai dengan adanya
penurunan fungsi organ oleh karena bertambahnya usia tersebut dibandingkan
dengan perubahan morfologi yang tampak.
Proses penuaan ekstrinsik (extrinsic aging/photoaging), suatu proses
penuaan yang diakibatkan oleh berbagai faktor dari lingkungan di luar tubuh
yang terjadi secara terus menerus. Banyak faktor dari lingkungan yang ada di luar
tubuh yang dapat mempengaruhi proses penuaan antara lain sinar ultra violet,
kelembaban udara, suhu, polusi asap, dan paparan bahan kimiawi. Dari faktor
lingkungan tersebut yang paling banyak berperanan dalam penuaan kulit adalah
pengaruh dari pajanan sinar ultra violet, oleh karena itu proses penuaan ini
disebut juga sebagai photoaging. Faktor yang berpengaruh dari luar tersebut
dapat dihindari untuk mencegah terjadinya proses penuaan dini (Gilchrest dan
Yaar, 2000 ; Chung et al., 2004).
2.3. Sinar Ultra Violet
Radiasi sinar ultraviolet adalah bagian dari spektrum cahaya
elektromagnetik yang panjang gelombangnya lebih panjang daripada sinar-X
tetapi lebih pendek daripada sinar tampak yaitu antara 10 – 400 nm dan energi
21
antara 3 – 124 eV. Spektrum ultraviolet sinar matahari dapat dibagi menjadi 3
segmen berdasarkan panjang gelombang radiasinya. Yaitu gelombang pendek
(UV-C), gelombang medium (UV-B), dan gelombang panjang (UV-A).
1. UV-C dengan spektrum 200-290 nm, adalah radiasi yang paling banyak
diserap di lapisan ozon atmosfer bumi dan normalnya tidak mencapai
permukaan bumi. Panjang gelombang ini memiliki energi yang sangat
hebat dan bersifat sangat mutagenik. Radiasi UV-C dapat menembus kulit
sampai 60-80 µm dan dapat merusak molekul DNA.
2. UV-B dengan spektrum 290-320 nm, paling banyak menembus atmosfer
bumi. Walaupun hanya 5% dari total radiasi sinar matahari, tetapi
bertanggungjawab atas sebagian besar photodamage pada kulit. Radiasi
UV-B dapat menenbus kulit sampai kedalaman kira-kira 160-180 µm.
Sehingga dapat menembus seluruh lapisan epidermis (70% diserap di
stratum korneum, 20% dikeseluruhan epidermis) dan sebagian dermis
(sekitar 10%). Radiasi UV-B dapat memicu baik langsung maupun tidak
langsung, kerusakan DNA, stres oksidatif, penuaan dini kulit dan berbagai
efek terhadap sistem imun, serta memiliki efek penting terhadap timbulnya
tumor kulit.
3. UV-A dengan spektrum 320-400 nm, adalah jenis radiasi yang lemah.
1000 kali lebih lemah daripada UV-B namun 100 kali lebih banyak
mencapai permukaan bumi, sekitar 90-95% dari total radiasi sinar
matahari yang berhasil sampai ke permukaan bumi. UV-A dapat
menembus sampai kedalaman 1000 µm. Radiasi UV-A diserap sebagian
22
besar pada lapisan epidermis, tetapi 20-30% mencapai bagian yang lebih
dalam dermis kulit manusia. Dan bertanggung jawab atas timbulnya tumor
kulit baik yang jinak maupun kanker (Kochevar dan Taylor, 2003;
Nichols dan Katiyar, 2010).
2.3.1 Efek Radiasi Sinar UV
Paparan sinar UV dari matahari dapat memicu pembentukan radikal bebas
pada kulit. Radikal bebas yang terbentuk akan menyebabkan menurunnya kinerja
enzim untuk mempertahankan fungsi sel, merusak protein dan asam amino yang
merupakan struktur utama kolagen dan elastin. Radiasi sinar ultra violet memiliki
rentangan yang luas dalam efek akut yang ditimbulkannya. Efek yang ditimbulkan
selain sunburn inflammation (erythema) dan tanning (melanogenesis) juga dapat
mengakibatkan DNA photodamage, immunosupresi, dan sintesis vitamin D.
Sedangkan paparan kronik dari sinar matahari dapat memicu terjadinya
photoaging dan lebih jauh lagi dapat memicu terjadinya kanker kulit seperti
squamous cell ca, basal cell ca, dan melanoma maligna (Young, 2000).
Sunburn (eritema) adalah reaksi inflamasi akut pada kulit ditandai dengan
kemerahan yang muncul akibat ekspos langsung berlebihan dengan radiasi sinar
UV. Radiasi UVA maupun UV- B dapat menimbulkan kemerahan pada kulit,
namun intensitas dan kecepatan menimbulkan kemerahannya berbeda. Reaksi
kemerahan kulit terhadap UVA lebih cepat tapi kurang intensif dibandingkan
dengan UV- B. Pada UV- B, respon kemerahan (eritema) muncul dalam waktu 6-
24 jam setelah ekspos langsung, tergantung dari dosis penyinaran. Dosis terkecil
23
yang dapat mengakibatkan reaksi kemerahan minimal yang terlihat dengan jelas
24 jam setelah ekspos disebut MED (Minimal Erythema Dose).
Paparan radiasi UV sinar matahari menimbulkan respon pigmentasi berupa
timbulnya warna kecoklatan (tanning) dan diikuti dengan pembentukan melanin
baru. Hal ini dipengaruhi oleh panjang gelombang radiasi. Pada paparan UVA,
respon pigmentasinya bertahan lebih lama dibandingkan dengan UV- B. Hal ini
mungkin disebabkan oleh UVA menginduksi pigmentasi pada lapisan yang lebih
dalam. Pada melanogenesis yang disebabkan oleh UV- B, akan menghilang
bersama dengan pelepasan sel epidermis tiap bulan (Fisher et al., 2001)
Hanya dengan satu kali ekspos terhadap paparan radiasi UV sinar matahari
dapat mengganggu jaringan konektif dengan menyebabkan gangguan sintesis
kolagen yang hampir komplet, selama 24 jam yang kemudian diikuti dengan
recovery 48-72 jam setelahnya( Fisher et al., 2002). Selain itu juga terjadi
degradasi kolagen karena terjadi peningkatan kadar MMP-1 yang cukup
signifikan yaitu sekitar 4,4 ± 0,2 kali lipat jika dibandingkan dengan kulit yang
tida di pajan radiasi UV (Fisher et al., 2001).
2.4. Anatomi dan Fungsi Kulit Manusia
Kulit adalah organ tubuh yang penting untuk menjamin kelangsungan
hidup dan menyokong penampilan serta kepribadian seseorang, terletak pada
lapisan terluar dengan luas 1,5 m² pada orang dewasa dengan berat kira-kira 15%
dari berat badan (Wasitaatmadja, 2007).
24
Secara garis besar kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu lapisan epidermis,
lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Batas antara dermis dan epidermis tidak
teratur, dimana tonjolan dermis yang disebut papilla dermis saling mengunci
dengan tonjolan epidermis yang disebut epidermal ridges. Sedangkan batas antara
dermis dan subkutis tidak ada garis tegas yang memisahkannya (Wasitaatmadja,
2007; Junqueira et al., 1997).
Secara histopatologis lapisan kulit dapat dijabarkan sebagai berikut:
2.4.1 Lapisan Epidermis terdiri atas:
2.4.1.1 Stratum korneum(lapisan tanduk)
Adalah lapisan kulit yang paling luar, terdiri atas beberapa lapis sel-
sel gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya telah berubah
menjadi keratin (zat tanduk).
2.4.1.2 Stratum lusidum
Berada langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel
gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein
yang disebut eleidin.
2.4.1.3 Stratum granulosum (lapisan keratohialin)
Merupakan 2-3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar
dan terdapat inti di antaranya, butiran kasar tersebut terdiri atas
keratohialin
25
2.4.1.4 Stratum spinosum (stratum malphigi)
Lapisan ini disebut juga prickle cell layer, terdiri atas beberapa lapis
sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena banyak
mengandung glikogen, dan inti terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini
makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya, di antara sel-sel
terdapat jembatan antar sel yang terdiri atas protoplasma dan
tonofibril. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans.
2.4.1.5 Stratum basale
Terdiri atas sel-sel berbentuk kubis (kolumnar) yang tersusun vertical
pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini
adalah lapisan epidermis paling bawah. Lapisan ini terdiri dari 2 jenis
sel yaitu sel kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan
besar, dan sel melanosit yang merupakan sel pembentuk melanin
dengan sitoplasma basofilik dengan inti gelap mengandung butir
pigmen (melanosom).
2.4.2 Lapisan Dermis
Lapisan ini lebih tebal daripada epidermis, terdiri dari lapisan elastik
dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut .
dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu
26
2.4.2.1 Pars papilare
Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah.
2.4.2.2 Pars retikulare
Terdiri dari serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin
dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas asam hialuronat
dan kondroitin sulfat, terdapat juga fibroblast. Serabut kolagen
dibentuk oleh fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung
hidroksiprolin dan hidroksilisin. Serabut elastin biasanya
bergelombang berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih
elastis. Retikulin mirip dengan kolagen muda.
2.4.3 Lapisan Subkutis
Kelanjutan dari dermis yang terdiri dari jaringan ikat longgar berisi
sel-sel lemak didalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat besar dengan
inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini
berkelompok dipisahkan satu sama lainnya dengan trabekula yang
fibrosa. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah dan getah bening.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus yaitu yang terletak di
bagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan yang terletak di subkutis
( pleksus profunda) .
27
Kulit juga memiliki berbagai fungsi bagi tubuh antara lain adalah :
1. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh dari gangguan yang bersifat fisik atau
mekanis, gangguan kimiawi, radiasi sinar ultra violet, gangguan kuman
maupun jamur. Fungsi ini terjadi karena adanya bantalan lemak, tebalnya
lapisan kulit dan jaringan penunjangnya yang berperanan terhadap
gangguan yang bersifat fisik. Adanya melanosit turut berperan dalam
melindungi kulit dari pajanan sinar ultra violet. Keasaman kulit dengan
pH 5-6,5 merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri dan
jamur.
2. Fungsi ekskresi
Kelenjar-kelenjar kulit akan mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna dan
sisa metabolism dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit
menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 – 6,5.
3. Fungsi persepsi
Fungsi persepsi ini disebabkan karena adanya ujung-ujung saraf sensorik
di dermis dan subkutis.
4. Fungsi pengaturan suhu tubuh
Peranan kulit dalam pengaturan suhu tubuh terjadi dengan cara
mengeluarkan keringat.
28
5. Fungsi imunitas
6. Fungsi sintesis vitamin D dan melanin
2.5. Fibroblas
Fibroblas adalah sel yang utama di lapisan dermis, berbentuk spindel
dengan sitoplasma bercabang cabang tidak teratur, nukleus berbentuk lonjong,
besar dan pucat dengan nukleolus yang jelas. Sel fibroblas bertanggung jawab
terhadap produksi kolagen, serat retikulin, serat elastik dan jaringan penyangga
dari dermis. Selain itu fibroblas juga dapat menghilangkan serat-serat tersebut
dengan mensekresikan enzim seperti collagenase (MMP-1) dan elastase (Obagi,
2000 ; Junqueira et al., 1997).
Fibroblas berperanan penting pada proses penyembuhan luka (wound
healing process). Adanya suatu kerusakan pada jaringan dapat merangsang sel
fibrosit dan mitosis fibroblas. Jadi dapat dikatakan bahwa fungsi utama fibroblas
adalah menjaga integritas struktur jaringan ikat dan mengatur turnover jaringan
ikat dengan memproduksi enzim yang dapat mendegradasi kolagen (collagenase),
elastin (elastase), proteoglikan dan glikosaminoglikan (stromelysin dan lysosomal
hydrolase).
Dengan bertambahnya usia, secara umum ukuran fibroblas akan menjadi
semakin mengecil dan menjadi berkurang aktivitasnya, sementara pada kulit yang
mengalami kerusakan oleh karena pajanan sinar ultra violet fibroblasnya sering
menjadi hipertopi.
29
Dari suatu penelitian dinyatakan bahwa sel fibrolas memiliki ketahanan
yang lebih kuat terhadap pajanan UV-B dibandingkan dengan sel lain seperti
keratinosit dan melanosit dengan dosis yang bersifat sitotoksik dari pajanan
narrowband UV-B (100,200, dan 400 mJ/cm²) ataupun broadband UV-B (5,10,
dan 25 mJ/cm² ) (Cho et al., 2008).
2.6.Matriks Metalloproteinase
Matriks Metalloproteinase (MMP ) adalah sekelompok proteinase
mengandung Zinc, yang bertanggung jawab mendegradasi protein matriks ekstra
seluler. MMP terdiri dari sekitar 25 anggota, dimana 24 nya terekspresi pada
mamalia. MMP diklasifikasikan sebagai kolagenase, gelatinase, stromelisin dan
tipe membran (Seltzer dan Eisen, 2003; Quan et al., 2009). Pada berbagai studi
ditemukan bahwa jenis yang paling banyak terpengaruh pada paparan radiasi UV
adalah interstisial kolagenase (MMP-1), stromyelisin-1 (MMP-3), 92kd-gelatinase
(MMP-9) (Fisher et al., 2002). UV menginduksi MMP-1 untuk menginisiasi
pemecahan fibril kolagen (tipe I dan III di kulit) pada satu tempat di tengah-
tengah tripel heliks fibril kolagen (Fisher et al., 2002).
Kolagen adalah penyusun utama kulit manusia, yang memberikan
kekuatan dan kekenyalan pada kulit. Kolagen tipe I adalah struktur protein utama
penyusun matriks ekstra seluler. Fibroblas dermis membuat molekul prekursor
yang disebut prokolagen. Prokolagen kemudian di sekresi ke dalam ruang ekstra
seluler yang kemudian di proses secara enzymatik menjadi kolagen matur.
Kolagen matur spontan membentuk fibril, yang segera di stabilkan dengan
crosslink.. fibril kolagen memiliki estimasi half life sekitar 17 tahun. Itu sebabnya
30
fibril kolagen yang terpecah dapat terakumulasi sepanjang waktu dan memiliki
konsekuensi yang panjang, terhadap struktur maupun fungsi kulit (Quan et al.,
2009) Terdapat dua regulator utama dalam proses produksi kolagen yaitu :
transforming growth factor (TGF-β) dan activator protein-1 (AP)-1. TGF-β
adalah sitokin yang meningkatkan produksi kolagen. Sedangkan AP-1 adalah
faktor transkripsi yang menghambat produksi kolagen serta meningkatkan
pemecahan kolagen melalui regulasi aktivitas enzym yang disebut matriks
metalloproteinase (MMP) (Helfrich et al., 2008). Radiasi UV diketahui secara
langsung dan tidak langsung mengganggu integritas ekstraselular matriks dengan
cara meningkatkan aktivitas MMP.
Pada kulit manusia, MMP-1 adalah tipe yang paling terpengaruh oleh
induksi sinar UV matahari dan bertanggungjawab terhadap pemecahan kolagen
pada kulit yang mengalami photoaging (Fisher et al., 2001). Ditemukan bahwa
hanya dengan satu kali ekspos terhadap paparan radiasi UV sinar matahari dapat
mengganggu jaringan konektif dengan menyebabkan gangguan sintesis kolagen
yang hampir komplit, selama 24 jam yang kemudian diikuti dengan recovery 48-
72 jam setelahnya ( Fisher et al., 2002). Selain itu juga terjadi degradasi kolagen
karena terjadi peningkatan kadar MMP-1 yang cukup signifikan yaitu sekitar 4,4
± 0,2 kali lipat jika dibandingkan dengan kulit yang tidak dipajan radiasi UV
(Fisher et al., 2001). MMP-1 adalah mediator utama terhadap timbulnya degradasi
kolagen pada kulit yang mengalami photoaging. Enzim MMP-1 kolagenolitik
mendegradasi fibril kolagen dan elastin, yang penting untuk kekuatan dan
elastisitas kulit. Aktivitas MMP-1 di kulit akan meningkat walaupun hanya
31
dengan radiasi UV yang singkat, yang akan menyebabkan timbulnya kerutan pada
kulit, yang menjadi tanda photoaging (Yaar dan Gilchrest, 2008).
Secara garis besar pengaruh sinar UV matahari terhadap timbulnya
Photoaging dapat dijelaskan dengan gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Model Mekanisme Photoaging (Helfrich et al., 2008)
Radiasi UV akut menyebabkan timbulnya ROS (Radical Oxygen Species),
yang meningkatkan AP-1 dan menurunkan TGF-β. Peningkatan AP-1 dapat
meningkatkan MMP yang bertindak sebagai pemecah kolagen, sementara itu
penurunan TGF-β juga menurunkan sintesis kolagen. Pemecahan kolagen selalu
diikuti dengan sintesis dan perbaikan, yang seperti pada hampir semua proses
penyembuhan luka, tidak pernah sempurna dan menyisakan bekas, walaupun
awalnya ecara klinis tidak terlihat. Tetapi bersama dengan bertambahnya usia dan
32
ekspos sinar UV yang terus terjadi, terjadi penumpukan solar scar, yang lama
kelamaan mulai terlihat secara klinis berupa kerutan (photoaging) (Helfrich et al.,
2008).
Dengan demikian, hambatan terhadap MMP-1 adalah salah satu cara untuk
mencegah kerusakan kulit akibat paparan sinar UV. Matriks metaloproteinase-1
adalah mediator kunci yang mendegradasi kolagen pada kulit yang mengalami
photoaging (Fisher et al., 2002).
2.7.Photoaging dan Mekanisme Kerusakan pada Kolagen
Photoaging adalah proses penuaan dini yang terjadi akibat efek kumulatif
pajanan kronis UV matahari dengan gejala penuaan kronologis. Kerusakan yang
ditimbulkan dapat dilihat baik secara klinis, histologis atau patologi anatomi
maupun secara fungsional (Berneburg et al., 2000).
Reaksi kronis dari pajanan sinar ultraviolet matahari selama bertahun-
tahun dapat menimbulkan gangguan arsitektur kulit, dan terutama menyebabkan
penuaan dini kulit atau photoaging (Quan et al., 2009)
Pajanan UV akan berakibat pada timbulnya reactive oxygen species (ROS)
yang merusak membran lipid, protein seluler, dan DNA . Kerusakan pada protein
akan menginaktifkan enzim yang mempengaruhi kemampuan sel tersebut untuk
memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh sinar UV dan ini akan berakibat
pada kematian sel atau terjadinya mutasi permanen DNA seluler (Yaar dan
Gilchrest, 1995).
33
Dilaporkan bahwa penyinaran ultraviolet merusak matriks kolagen kulit
melalui dua jalur yang berbeda yaitu terjadinya stimulasi degradasi kolagen dan
hambatan produksi kolagen (Fisher et al., 2004).
Saat kulit terekspos dengan sinar matahari, radiasi UV terserap oleh
molekul kulit yang dapat menimbulkan senyawa berbahaya yang disebut raective
oxygen species (ROS) (Fisher et al., 2002). Yang mana dapat menyebabkan
kerusakan oksidatif pada komponen sel seperti dinding sel, membran lipid,
mitokondria, dan DNA. ROS ini juga berpengaruh besar pada jalur molekul.
Penyinaran kulit bokong manusia dengan 2 MED (minimal erythema dose, yaitu
dosis minimal radiasi UVA / UV- B yang dapat menimbulkan efek erythema pada
kulit) dapat meningkatkan hidrogen peroksida, suatu ROS, dalam 15 menit
(Helfrich et al., 2008).
Sedangkan penelitian lain menemukan bahwa hanya dengan satu kali
ekspos penyinaran radiasi UV sebesar 4 MED, dapat menginduksi marker stres
oksidatif pada kulit (epidermis maupun dermis), yaitu H2O2 (menggunakan
dihydrorhodamine-123, DHR) , Nitric Oxide (menggunakan spektrofotometri),
Peroksidasi Lipid (menggunakan Malondialdehida, MDA), dan infiltrasi lekosit
inflamasi (menggunakan antibodi sel CD11b+ ) yang meningkat paling signifikan
pada 48jam setelah ekspos UV. Seperti diketahui bahwa adanya nitric oxide (NO)
dan hidrogen peroksida (H2O2) sangat merusak dan sitotoksik terhadap sel target.
NO mengandung elektron tak berpasangan dan bersifat paramagnetik, dan oleh
karena itu bereaksi cepat terhadap anion superoksid untuk menbentuk anion
34
peroksi nitrat. Dekomposisi peroksi nitrat adalah oksidan yang kuat, sama seperti
radikal hidroksil (Katiyar et al., 2001).
Selain itu penyinaran radiasi UV dapat menimbulkan perubahan pada
kolagen dermal melalui dua cara: (1) stimulasi pemecahan kolagen, menghasilkan
kolagen yang terpecah dalam fragmen dan tidak beraturan. (2) menghambat
biosintesis prokolagen, sehingga kandungan kolagen berkurang (Yaar dan
Gilchrest, 2008; Helfrich et al., 2008). Hanya dengan satu kali penyinaran UV
dengan dosis 2 MED, dapat menghambat sintesis prokolagen hampir total, yang
bertahan untuk 24 jam, diikuti dengan perbaikan dalam 48-72 jam setelahnya
(Fisher et al., 2001). Penelitian-penelitian sebelumnya juga telah menemukan
bahwa AP-1 (Activator protein-1) dan MMP meningkat dan tetap bertahan sampai
sekitar 24 jam setelah paparan radiasi UV serta terdapat peningkatan pemecahan
kolagen yang signifikan.
Setiap paparan radiasi UV sepanjang usia hidup, sesungguhnya terus
terakumulasi sebagai ‘solar scar’, yang kemudian bermanifestasi sebagai kerutan
(wrinkle).
35
Gambar 2. 2 Model Hipotesis Patofisiologi Solar Scar (Fischer, 2001)
Gambar 2.2 memperagakan model hipotesis terbentuknya solar
scar. Kulit yang terekspos sinar UV pada tahap sebelum terjadi sunburn, memicu
ekspresi MMP (Matrix Metalloproteinase) dalam keratinosit (KC) di lapisan luar
kulit dan fibroblas (FB) di jaringan konektif. MMP kemudian mendegradasi
kolagen pada matriks ektraseluler lapisan dermis. Tingkat destruksi matriks
dibatasi secara simultan oleh TIMP-1 (Tissue Inhibitor of Matrix
Metalloproteinase), yang secara parsial bekerja menghambat aktivitas MMP.
Pemecahan kolagen selalu diikuti dengan sintesis dan perbaikan, yang seperti
36
pada hampir semua proses penyembuhan luka, tidak pernah sempurna dan
menyisakan bekas, walaupun awalnya ecara klinis tidak terlihat. Tetapi bersama
dengan bertambahnya usia dan ekspos sinar UV yang terus terjadi, terjadi
penumpukan solar scar, yang lama kelamaan mulai terlihat secara klinis berupa
kerutan (photoaging).
2.8. Manifestasi Klinis dan Histologis Kulit yang Mengalami Photoaging
Pada kulit yang mengalami kerusakan akibat pajanan sinar ultraviolet
secara klinis akan tampak permukaan kulit kasar menebal (leathery skin), kering,
pigmentasi tidak merata (lentigines, hipomelanosis gutata, atau hiperpigmentasi
yang persisten), bernodus, timbulnya kerutan dari yang halus sampai dalam,
elastisitas berkurang, dan teleangiektasia. Karakteristik yang khas pada kulit yang
mengalami kerusakan karena pajanan sinar ultra violet adalah elastotic wrinkle
yang sering dijumpai pada kulit tipe III-V (Yaar, 2006).
Sedangkan secara histologis tampak adanya penebalan lapisan epidermal
yang ireguler. Tepat di bawah epidermis adanya suatu gerombolan materi yang
bersifat eosinofilik (Grenz zone), kemungkinan ini merupakan analog dari suatu
mikroskar akibat proses perbaikan dari pajanan sinar ultra violet. Pada papilari
dermis menunjukkan adanya aggregasi nodular fibrous dengan materi elastotik.
Pada dermis jumlah glikosaminoglikan dan proteoglikan meningkat, sementara
serat kolagen berkurang menggumpal dan sebagian terdegradasi sebagai akibat
dari terpicunya sekresi Matriks Metalloproteinase oleh sinar ultra violet (Yaar,
2006)
37
Salah satu ciri karakteristik secara histologis pada kulit yang mengalami
kerusakan akibat pajanan sinar ultra violet adalah solar elastosis yaitu suatu
materi yang terbentuk dari sejumlah besar jaringan elastin yang terdegradasi dan
membentuk suatu masa yang kusut. Tampak juga adanya infiltrat radang yang
terdiri dari sel mast, histiosit, dan sel mononuklear lainnya (Yaar, 2006 ).
2.9. Radikal Bebas dan Antioksidan
2.9.1. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mempunyai
jumlah elektron ganjil atau elektron tidak berpasangan tunggal pada lingkar
luarnya. Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan instabilitas dan
bersifat reaktif, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang
berada disekitarnya. Hilang atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain
menciptakan radikal bebas baru dan akan mengakibatkan suatu perubahan secara
fisik dan kimiawi (Cooper, 1997 ; Pham-Huy et al., 2008).
Radikal bebas tersebut diproduksi secara endogen dan juga diperoleh
secara eksogen. Secara endogen radikal bebas diproduksi oleh mitokondria,
membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel. Secara eksogen
berasal dari asap rokok, polutan, radiasi, obat obatan, dan pestisida.
Dalam keadaan fisiologis, radikal bebas yang terbentuk secara normal
akan dinetralisasi sebelum terjadinya perusakan yang berat pada sel.
38
Tidak selamanya senyawa oksigen reaktif yang terdapat di dalam tubuh itu
merugikan, pada kondisi-kondisi tertentu keberadaannya sangat dibutuhkan. Oleh
sebab itu keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem antioksidan dalam tubuh.
2.9.2. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor) yang
mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh.
Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa
yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat
dihambat. Antioksidan berfungsi melindungi zat lainnya dari kerusakan karena
reaksi oksidasi yang dipicu oleh ROS dan radikal bebas. ROS dan radikal bebas
ini memicu terjadinya proses degenerasi (Pham-huy et al., 2008).
Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu
antioksidan enzimatis dan antioksidan non enzimatis. Antioksidan enzimatis
antara lain adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation
peroksidase. Sedangkan antioksidan non enzimatis dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu antioksidan non enzimatis yang larut lemak (seperti tokoferol,
karotenoid, flavonoid, dan quinon) dan antioksidan non enzimatis yang larut
dalam air (asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein
pengikat heme). Kedua golongan antioksidan tersebut bekerja sama untuk
memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh, sehingga terjadinya stress
oksidatif dapat dihambat oleh kerja antioksidan tersebut.
39
2.9.2.1. Peranan Antioksidan pada Kulit yang Mengalami Kerusakan karena
Pajanan Sinar UV
Secara alami kulit bergantung pada antioksidan untuk melindungi dari
ROS yang dihasilkan oleh sinar matahari maupun proses metabolisme normal.
Antioksidan enzimatis dan non enzimatis akan berinteraksi untuk memberikan
perlindungan, termasuk di sini adalah vit E, coenzyme Q10, askorbat, karotenoid,
superoksid dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Namun oleh karena
paparan ultra violet yang berlebihan, mengakibatkan terjadi deplesi pada suplai
antioksidan tersebut, terbentuklah suatu keadaan stress oksidatif. Untuk itu
diperlukan juga antioksidan yang diaplikasikan secara topikal untuk menambah
cadangan antioksidan kulit. Pada keganasan kulit seperti basal sel ca, ditemukan
kadar karotenoid yang rendah, sehingga diperkirakan antioksidan ini sangat
penting pada pertahanan kulit terhadap radiasi UV dan photokarsinogenesis
(Pinnel, 2003 ; Rabe et al., 2006).
Interaksi antara radiasi matahari pada kulit mengakibatkan terbentuknya
radikal bebas. ROS akan mengakibatkan terjadinya hidroksilasi, pemutusan rantai,
penambahan radikal pada cincin aromatik, pembentukan aldehid, dan deplesi
thiol. Terjadi pula autooksidasi asam lemak tak jenuh ganda pada membran lipid,
yang kemungkinan berkaitan dengan singlet oksigen dan radikal hidroksil. Disini
antioksidan akan berperanan untuk mengurangi efek dari ROS tersebut melalui
1. Scavenging (mengikat) : R+PH* RH+ P*
2. Inhibisi (penghambatan) : RO2 + PH* ROOH+P
3. Proteksi : (ROOH + PH* ROH + POH
40
Dimana R adalah komponen bervariasi, dan PH adalah antioksidan protektif yang
mampu memberikan ion hidrogen.
3.1. Jagung Ungu (Zea Mays L)
Tanaman jagung dalam tata nama atau sistematika (taksonomi) tumbuh-
tumbuhan jagung diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Graminae (Poales)
Famili : Graminaceae (Poaceae)
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L
(Tjitrosoepomo, 1991)
Jagung adalah kelompok sereal yang mempunyai kontribusi kandungan
pati ( karbohidrat komplek) sekitar 80% , 10% gula yang memberikan
rasa manis, 11% protein, 2% mineral , vitamin B dan asam askorbat. Selain nilai
gizi, jagung ungu memiliki komposisi yang kaya phytochemical, terutama
antosianin dan senyawa fenolik (Moos 2013).
Jagung ungu kaya akan antosianin, merupakan tanaman Andean,
dibudidayakan di lembah rendah di Amerika Selatan terutama di Peru dan Bolivia.
Dikenal juga diSpanyol dengan sebutan "maiz morado" dan telah lama digunakan
untuk makanan penutup,pewarna makanan dan minuman. Pewarna makanan dan
41
minuman dari jagung ungu banyak digunakan di Asia, Amerika Selatan dan
Eropa saat ini (Pu Jing.,2006).
Berbeda dengan jagung yang kebanyakan dikonsumsi masyarakat yaitu
jagung kuning atau jagung putih, jagung ungu masih jarang dikenal sebab jagung
tersebut sangat jarang dibudidayakan di Indonesia.
Gambar 2. 3 Jagung Ungu (Varien Moos, 2013)
Kandungan antosianin rata-rata jagung ungu adalah 1.640 mg/100g berat
segar (Jones, 2005), lebih tinggi dari blueberry segar (73-430 mg/100g) (Moyer et
al ., 2002). Cyanidin-3-glucoside adalah antosianin utama yang terdapat dalam
jagung ungu ( Nakatani et al . , 1979) , pelargonidin , dan peonidin glukosida
juga telah ditemukan ( Styles dan Ceska , 1972) serta turunannya malonyl
masing-masing ( Pascual et al. , 2002).
42
Tabel 2. 1 Kandungan antosianin pada beberapa buah dan sayuran (dikutip
dari Pu Jing 2006)
Sumber Nama Ilmiah Antosianin
(mg/100 mg)
Referensi
Buah
Apel Malus pumila P. Mill. 1 ~ 17 (Wu et al ., 2006 )
Bilberry Vaccinium myrtillus
L.
300 ~ 808 (Prior et al ., 1998; Maatta-Riihinen et al ., 2004)
Blackberry Rubus spp. 72 ~ 1221 (Clark et al ., 2002 )
Black
chokeberry
Aronia melanocarpa
(Michx.) Elliot
307 ~ 1480 (Strigl et al ., 1995; Wu et al ., 2004)
Blackcurrant Ribes nigrum L. 96 ~ 452 (Kampuse et al ., 2002; Wu et al ., 2004)
Blackberry Rubus spp. 72 ~ 1221 (Clark et al ., 2002)
Black
raspberry
Rubus occidentalis L. 145 ~ 607 (McGhie et al ., 2002; Moyer et al ., 2002)
Blueberry Vaccinium
corymbosum L.
63 ~ 430 (Prior et al ., 1998; Moyer et al ., 2002)
Cranberry Vaccinium
macrocarpon Aiton.
20 ~ 360 (Prior et al ., 2001; Wang and Stretch, 2001)
Elderberry Sambucus nigra L. 332 ~ 1374 (Maatta-Riihinen et al ., 2004; Wu et al ., 2004)
Anggur Vitis vinifera 27 ~ 120 (Wu et al ., 2006 )
Lingonberry Vaccinium vitis-idaea
L.
31 ~ 92 (Wang et al ., 2005)
Marion berry Rubus ursinus 62 ~ 155 (Deighton et al ., 2000; Wada and Ou, 2002)
Strawberry Fragaria × ananassa
D.
13 ~ 55 (Cordenunsi et al ., 2002)
Sayuran
Kacang hitam Phaseolus vulgaris L. 45 (Wu et al ., 2006 )
Eggplant Solanum melongena
L.
86 (Wu et al ., 2006 )
Wortel ungu Daucus carota 38 ~ 98 (Lazcano et al ., 2001)
Jagung Ungu Zea mays L. 1640 (Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos, 2003)
Radish Raphanus sativus L. 11 ~ 60 (Giusti et al ., 1998)
Kubis merah Brassica oleracea L. 322 (Wu et al ., 2006 )
Kentang merah 14 ~ 45 (Rodríguez-Saona et al ., 1998)
Bawang merah Allium cepa L. 49 (Wu et al ., 2006 )
3.2. Antosianin
Antosianin adalah suatu jenis polifenol grup flavonoid yang paling banyak
ditemukan pada buah-buahan dan sayuran. Antosianin adalah pigmen yang dapat
larut dalam air, memberi warna merah, ungu dan biru pada banyak buah-buahan,
sayuran, bunga dan biji-bijian (Wang dan Stoner, 2008).
43
Berbagai macam flavonoids termasuk antosianin, flavonol, flavone dan
flavanol telah banyak dilaporkan mempunyai efek anti karsiogenik, anti
mutagenik antibakteri (Puupponen-Pimia et al ., 2005) dan efek vasodilatasi pada
hewan (Steinmetz et al., 2005).
3.2.1. Struktur Kimia
Antosianin adalah derivatif polihidroksi atau polimetoksi dari 2-
fenilbenzopirilium yang terglikosilasi, mengandung 2 cincin benzoyl (A dan B)
yang dipisahkan oleh cincin heterosilik (C) (Gambar 2.6). Dengan kata lain,
antosianin adalah senyawa antosianidin dan glukosa dalam asam organik. Ada 6
jenis antosinidin yang ditemukan dalam tanaman, yaitu cyanidin, delphinidin,
malvidin, pelargonidin, peonidin dan petunidin (Abdel-Aal et al., 2010).
Gambar 2. 4 Struktur 6 Jenis Antosianidin, dalam Bentuk Glukosida dengan Glukosa
Bentuk glikosida dari 3 non-metilasi antosianidin (cyanidin, delphinidin,
pelargonidin) adalah yang paling banyak ditemukan, kira-kira 80% pada daun-
daunan berwarna, 69% pada buah-buahan dan 50% pada bunga. Mereka biasanya
44
berikatan dengan senyawa sakarida seperti glukosa, galaktosa, rhamnosa atau
arabinosa, dalam bentuk 3-glikosida atau 3,5-diglikosida. Perbedaan warna antara
antosianin biasanya karena perbedaan pola cincin B antosianidin, pola glukosilasi
dan derajat esterifikasi glukosa dengan asam alifatik atau aromatik, dan pH, suhu,
jenis pelarut dan adanya pigmen penyerta (Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
3.2.2. Efek Fisiologis
Antosianin paling dikenal sebagai antioksidan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa selain sebagai antioksidan, antosianin juga mempunyai efek
anti-inflamasi, efek anti-diabetik, anti-kanker, dan dapat memperbaiki profil lipid
darah dan memiliki efek vasoprotektif (Wrolstad, 2001; Shipp dan Abdel-Aal,
2010).
Struktur fenolik antosianin bertanggung jawab dalam efek antioksidan-nya,
yaitu gugus hidroksil pada posisi 3 dari cincin C dan posisi 3’, 4’, 5’ dari cincin B.
Sebagai antioksidan, antosianin bekerja sebagai scavenger ROS seperti
superoksid (O2-
), singlet oksigen (‘O2), peroksida (ROO-), hidrogen peroksida
(H2O2) dan radikal hidroksil (OH.) (Wang dan Stoner, 2008).
Mekanisme efek antosianin sebagai anti-inflamasi memang belum
diketahui, tapi suatu penelitian in vitro menunjukkan bahwa administrasi
antosianin dapat menurunkan aktivasi faktor transkripsi NFKB dan menurunkan
ekspresi beberapa sitokin dan mediator proinflamasi (Karlsen et al ., 2007). Suatu
penelitian epidemiologi menunjukkan penurunan insidens penyakit-penyakit
inflamasi pada populasi yang mengkonsumsi makanan kaya polifenol (Spormann
45
et al ., 2008), dan konsumsi antosianin menunjukkan berkurangnya risiko
penyakit kardiovaskular, diabetes, arthritis dan keganasan (Wang dan Stoner,
2008).
Dari berbagai literatur dan penelitian belum ada yang meneliti efek proteksi
antosianin dari jagung ungu terhadap radiasi sinar UV-B terhadap kulit secara
invivo. Padahal penelitian dengan antosianin dari tumbuhan lain sudah banyak
yang memberikan hasil yang menjanjikan.
Dengan mempertimbangkan hal ini, timbul dugaan bahwa antosianin yang
banyak terdapat dalam ekstrak jagung ungu dapat menghambat penuaan dini kulit,
dengan menghambat peningkatan kadar MMP-1dan peningkatan jumlah kolagen
pada tikus yang dipajan dengan sinar UV-B, karena efek antioksidannya.
Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan dugaan tersebut diatas.
3.3. Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat merupakan salah satu antioksidan yang poten dan
telah terbukti dapat meminimalkan eritema dan terbentuknya sel sunburn setelah paparan
sinar UV. Potensi antioksidan pada bahan topikal inilah yang terbukti dapat melindungi
kulit dari kerusakan akibat paparan sinar UV. Vitamin C terdiri dari 6 rantai karbon
lakton yang disintesis dari glukosa di dalam hepar mamalia kecuali manusia, oleh karena
manusia tidak mempunyai enzim glunolakton oksidase yang dapat mensintesis asam
askorbat dari glukosa (Padayatty et al., 2003; Baumann dan Alleman, 2009).
Fungsi vitamin C topikal pada kulit dapat 1) meningkatkan satbilitas dan
menurunkan sensitivitas kolagen terhadap panas, 2) merangsang pertumbuhan kolagen
baik secara in vitro maupun in vivo (Humbert et al., 2003), 3) melindungi kulit dari
46
kerusakan akibat paparan sinar UV melalui aktivitas antioksidannya, 4) meningkatkan
kepadatan papila dermis melalui mekanisme angiogenesis (Sauemann et al., 2004).
Vitamin C merupakan kofaktor hidroksilase prolil dan lisil yang akan
mengkatalisasi pembentukan hidroksiprolin dan hidroksilisin. Prolin dan lisin banyak
dijumpai pada molekul kolagen, hidroksilasi keduanya akan merangsang ekskresi
prokolagen keluar dari fibroblas sehingga dapat meningkatkan stabilitas kolagen dan
mengurangi sensitivitas terhadap panas (Zussman et al., 2010).
Vitamin C juga merangsang morfogenesis barier epidermal dan proliferasi
fibroblas, membantu sintesis DNA dan metabolisme mitokondria, merangsang
pembentukan membran plasma, mempercepat penutupan luka dan mengurangi kontraksi
luka (Boyce et al., 2002). Vitamin C juga berperan penting untuk reaktivasi vitamin E
yang telah mengalami perubahan menjadi radikal tokoferil dengan menarik radikal
bebasnya (Fernandes, 2008). Vitamin C mendonorkan dua elektron yang berasal dari
ikatan rangkap antara karbon kedua dan ketiga. Senyawa reaktif yang diberi elektron oleh
vitamin C kemudian berubah menjadi senyawa yang stabil, sedangkan vitamin C
kemudian berubah menjadi bentuk radikal semidehidroaskorbat atau radikal askorbil yang
tidak reaktif (Zussman et al., 2010).
47
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi berbagai organ, demikian
pula halnya dengan organ kulit yang mengalami perubahan fisik, baik ditingkat
seluler maupun molekuler. Perubahan tersebut disebabkan oleh faktor internal
seperti genetik, hormonal, radikal bebas, sistem imun tubuh, proses metilasi,
glikosilasi, dan apoptosis; serta faktor eksternal yang meliputi sinar ultraviolet,
polusi asap rokok, polusi lingkungan, bahan kimia, obat-obatan, gaya hidup , dan
asupan makanan yang tidak sehat.
Faktor eksternal yang utama dalam menimbulkan penuaan kulit dini
adalah sinar UV. Apabila sinar UV mengenai sel-sel pada jaringan kulit dapat
menyebabkan berbagai reaksi fotokimia, seperti fotoadisi, fotoisomerasi, dan
fotooksidasi. Reaksi fotooksidasi terjadi akibat pelepasan ROS berupa anion
superoksida (O2-●
), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksi (OH●) oleh
kromofor yang menyerap sinar ultraviolet.
Efek ROS terhadap kulit salah satunya adalah meningkatkan enzim matriks
metaloproteinase1 (MMP-1) pada lapisan dermis yang akan mendegradasi jaringan
kolagen dan akan mempercepat proses penuaan kulit dini.Demikian pula halnya pada
kulit, akan mengalami proses penuaan. Diketahui bahwa pajanan sinar ultra violet
khususnya sinar ultra violet B karena sifatnya yang poten, walaupun dalam dosis
47
48
yang kecil yang terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan kerusakan pada
kulit. Pada tahap awal kerusakan yang ditimbulkan masih bersifat akut, terjadi
segera setelah terpapar oleh sinar ultra violet, dimana akan tampak warna
kemerahan (erythema) pada kulit. Kerusakan lebih lanjut terjadi jika paparan
sinar ultra violet berulang terus menerus, dan dapat menimbulkan suatu kerusakan
pada lapisan epidermis dan dermis. Hal tersebut diawali dengan terbentuknya
radikal bebas pada kulit akibat paparan sinar ultra violet dan selanjutnya akan
memicu terjadinya peningkatan enzim Matriks Metalloproteinases. Salah satu di
antaranya adalah enzim MMP-1 yang akan mendegradasi kolagen yang akan
mengakibatkan terjadinya proses penuaan pada kulit. Antosianin sebagai
antioksidan berperanan menghambat dan mencegah terjadinya kerusakan kulit
oleh radikal bebas yang ditimbulkan oleh pajanan sinar ultra violet pada kulit,
dengan mengikat singlet oksigen dan menghambat peroksidasi lipid. Dengan
terjadinya hambatan tersebut, sintesis MMP-1 akan berkurang dan proses
degradasi kolagen terhambat sehingga kulit terlindungi dari proses penuaan dini
akibat pajanan sinar ultra violet B tersebut.
49
3.2. Konsep Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun suatu
kerangka konsep yang digambarkan sebagai berikut :
Keterangan gambar :
: Tidak diteliti UV : Ultraviolet
: Diteliti MMP : Matriks metaloproteinase
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU 50
%
TIKUS DIPAPAR SINAR UV-B
JUMLAH KOLAGEN
KADAR MMP-1
FAKTOR INTERNAL
-Genetik
-Hormon
-Radikal bebas
-Glikosilasi
-Metilasi
-Apoptosis
-Sistem imun tubuh
FAKTOR EKSTERNAL
-Paparan asap rokok
-Polusi lingkungan
-Bahan kimia
-Obat-obatan
-Stres
-Gaya hidup tidak
sehat
-Diet Radiasi sinar UV-B
50
3.3. Hipotesis Penelitian
Dari kajian pustaka dan kerangka konsep tersebut, maka dapat dibuat hipotesis
sebagai berikut:
1. Krim ekstrak jagung ungu (Zea mays) menghambat peningkatan kadar
MMP-1 pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B.
2. Krim ekstrak jagung ungu (Zea mays) menghambat penurunan jumlah
kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B
51
BAB IV
METODE PENELITIAN
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan the
randomized post-test only control group (Paik, 2007). Bagan rancangan penelitian
ini ditunjukkan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1
Keterangan :
P1 = Perlakuan 1 (subyek diolesi bahan dasar krim plasebo/krim dasar dan dipapar sinar UV-B, selanjutnya
disebut Kelompok 1)
P2 = Perlakuan 2 (subyek diolesi krim ekstrak jagung ungu (Zea mays l.) +krim pembawa dan dipapar
sinar UV-B, selanjutnya disebut Kelompok 2)
O1 = Hasil observasi kelompok perlakuan 1
O2 = Hasil observasi kelompok perlakuan 2
Observasi adalah hasil kadar MMP-1 dan jumlah kolagen kelompok kontrol post-test
Penelitian ini dilakukan secara in vivo, menggunakan hewan coba tikus
Wistar sebanyak 36 ekor berumur 10-12 minggu, jenis kelamin jantan dan berat
badan antara 150 - 160 g, dikelompokan secara random menjadi 2 kelompok dan
P1
Populasi Sample
O1
O2
Gambar 4. 1 Rancangan The Randomized Post-test Only Control Group
51
P2
Random Random
52
masing-massing kelompok terdiri dari 18 ekor tikus. Kelompok 1 adalah
kelompok yang diberikan bahan dasar krim plasebo (krim dasar saja); Kelompok
2 adalah kelompok yang diberikan krim ekstrak jagung ungu (Zea mays l.);
Kelompok 1 dan kelompok 2 disamping diberikan krim juga dipapar dengan sinar
UV-B.
4.2. Parameter yang diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Jumlah kolagen dermis kulit tikus Wistar, apabila terjadi peningkatan
merupakan tanda adanya efek perlindungan dari krim ekstrak jagung
ungu (Zea mays) terhadap kerusakan kolagen akibat paparan sinar
UV-B dan biomarker peningkatan produksi fibroblas.
2. Kadar MMP-1 kulit tikus Wistar, apabila terjadi peningkatan
merupakan petanda adanya stres oksidatif, dan apabila menurun
merupakan petanda adanya efek perlindungan dari krim ekstrak
jagung ungu (Zea mays) terhadap kerusakan kolagen akibat paparan
sinar UV-B.
4.3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi
FK UNUD dan Laboratorium Histologi FK UNUD. Sedangkan pembuatan
ekstrak jagung ungu dilakukan di Laboratorium Teknologi Pertanian Fakultas
Teknologi Pertanian UNUD, pembuatan krim ekstrak jagung ungu dikerjakan di
Bogor. Pemeriksaan histologi dan pengecatan Sirius red dilakukan di
53
Laboratorium Histologi FK UNUD. Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yang
berlangsung mulai bulan Februari 2014 sampai dengan Juli 2014
4.4. Populasi dan Sampel
4.4.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah:
a. Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh tikus Wistar (Rattus
norvegicus)galur Wistar race yang menerima perlakuan dan dipelihara
di kandang hewan Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana serta sesuai dengan kriteria sampel yang
telah ditentukan dalam penelitian.
b. Populasi terjangkau meliputi tikus yang berumur 10 – 12 minggu dengan
berat badan 150 - 160 g.
4.4.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah tikus Wistar dewasa, yang memenuhi
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :
Kriteria inklusi :
a. Tikus Wistar, jantan dan sehat.
b. Umur 10-12 minggu karena usia tikus 10 - 12 minggu memiliki persamaan
dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan
intrinsik (Bhattacharya dan Thomas, 2004; Bartke, 2005).
c. Berat badan 150 - 160 g.
Kriteria drop Out : apabila tikus Wistar mati pada saat penelitian.
54
4.4.3. Besar sampel dan teknik penentuan sampel
Penentuan jumlah ulangan mengikuti rumus penentuan replikasi yang
dilakukan oleh Federer (Montgomery, 2001; Islam, 2007) yaitu dihitung
berdasarkan rumus:
( t-1) (r-1) ≥ 15
Keterangan:
t = banyaknya taraf perlakuan
r = banyaknya replikasi
Dalam penelitian ini t = 2, sehingga (2 -1) (r-1) ≥ 15, dengan memakai rumus
tersebut akhirnya diperoleh jumlah r = 16
Tiap kelompok ditambah 10% sebagai cadangan ( 10% x 16 = 2 ) untuk
mengantisipasi adanya kematian pada kelompok tikus
Jadi total sampel (16 x 2) + (2 x 2) = 36 ekor tikus yang dibutuhkan untuk
penelitian secara keseluruhan.
4.5. Variabel Penelitian
4.5.1. Klasifikasi variabel
a. Variabel prakondisi: dalam penelitian ini yang menjadi variabel prakondisi
adalah sinar UV-B
b. Variabel bebas (variabel yang mempengaruhi secara langsung), yaitu : 1.
Dosis paparan sinar UV-B, 2. Krim dasar, 3. Krim ekstrak jagung ungu yang
diberikan secara topikal.
55
c. Variabel tergantung: variabel tergantung dari penelitian ini adalah efek yang
ditimbulkan akibat pemberian krim ekstrak jagung ungu, kadar MMP-1dan
jumlah kolagen.
d. Variabel kendali: Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel
tergantung di luar variabel bebas akan dikendalikan. Faktor yang dikendalikan
tersebut adalah strain tikus, umur, berat badan, jenis kelamin dan pakan tikus
Wistar.
4.5.2. Hubungan antar variabel
Untuk lebih memudahkan dalam memahami hubungan antar variabel
penelitian, dibuat skema hubungan antar variabel seperti disajikan pada Gambar
4.2.
Variabel
Prakondisi
Variabel Bebas
Krim Ekstrak Jagung Ungu Sinar UV-B
Variabel
Tergantung
- Jumlah kolagen - Kadar MMP-1
Variabel Kendali
Strain, Umur, Jenis
Kelamin, Berat Badan
Tikus,Pakan
Gambar 4. 2 Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian
56
4.6. Definisi operasional variabel
1. Jagung ungu (Zea Mays) adalah Jagung ungu yang diperoleh dari
supermarket Food Hall Sogo, berupa import dari Negara China
2. Ekstrak jagung ungu adalah ekstrak dari jagung ungu yang dibuat dengan
menggunakan pelarut etanol, kemudian dipekatkan dengan rotary vacuum
evaporator Danke dan Kunkel, IKA Labortechnik RV 06-ML, sehingga
diperoleh ekstrak kasar (crude extract), dikerjakan di Laboratorium Teknologi
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Jagung ungu yang dipilih yang segar dengan kriteria sebagai berikut:
panjang kira kira 20 cm, diameter tengah tongkol 5 cm,dan jumlah baris
tongkol 16 - 18 baris, berat 400 gram,warna ungu kehitaman, tidak cacat,
tidak busuk, tidak ada serangga dan kotoran.Jagung ungu yang digunakan
merupakan jagung yang sudah layak untuk dikonsumsi.
3. Bahan dasar krim adalah bahan untuk pembuatan krim yang tidak mengandung
bahan aktif seperti ekstrak jagung ungu, dibuat di PT Syifa Bio Derma, Depok
4. Krim dasar (placebo) diberikan secara topikal selama empat minggu
masing-masing sebagai kontrol.
5. Sinar UV-B adalah sinar UV-B yang diberikan pada tikus Wistar dari
sumber UV-B buatan China, tipe KN-4003 B, alat ini dapat memancarkan
sinar UV-B dengan besar dosis radiasi yang dapat diukur dengan UV
meter. Paparan sinar UV-B diberikan 3 kali perminggu selama 4 minggu
dengan total dosis 840 mJ/cm2
yaitu minggu pertama 50 mJ/cm2, minggu
kedua 70 mJ/cm2, minggu ketiga dan keempat 80 mJ/cm
2.
57
6. Jaringan kulit adalah jaringan yang diambil dengan cara eksisi dari kulit
pada bagian punggung tikus Wistar yang telah dipapar dengan sinar UV-
B, 3 kali perminggu selama 4 minggu dengan total dosis 840 mJ/cm2.
Jaringan kulit tikus Wistar disimpan dalam botol simpan dan direndam
dengan menggunakan buffer formalin 40%. Jaringan kulit dipotong
melintang untuk pemeriksaan kadar kadar MMP-1 dan jumlah kolagen
7. Jumlah kolagen dermis adalah persentase pixel jaringan kolagen berupa
jaringan berwarna merah terang dengan pewarnaan Sirius red
dibandingkan dengan pixel seluruh jaringan yang tampak pada foto
sediaan histologis dan dinyatakan dalam persen (%). Penilaian dilakukan
pada foto preparat dalam format JPEG yang diambil dengan kamera LC
Evolution dan mikroskop Olympus Bx51 dengan pembesaran objektif 40
kali, masing-masing preparat difoto sebanyak 3 kali.
8. Kadar MMP-1 adalah konsentrasi MMP-1 pada jaringan kulit yang sudah
diekstrak, kemudian dianalisis dengan menggunakan kit Rat Matrix
Metalloproteinase 1 (MMP-1/collagenase1) buatan MyBiosource, USA
dengan teknik ELISA dan dinyatakan dalam satuan picogram/mg jaringan
(pg/mg).
9. Tikus Wistar adalah famili tikus coba yang digunakan, diperoleh dari
Laboratorium Animal, Bagian Farmakologi FK UNUD.
10. Umur tikus adalah waktu dihitung dari tikus percobaan lahir dan
dinyatakan dalam satuan minggu.
58
11. Berat badan tikus dalam satuan gram (g) yang ditimbang menggunakan
alat timbang analitik digital scale, merk Tann dengan kapasitas maksimal
2 kg dan ketelitian 2 angka dibelakang koma.
12. Pakan tikus adalah sesuai formula standar berupa konsentrat yang
diperkaya dengan vitamin B12.
4.7. Bahan dan Instrumen Penelitian
4.7.1. Bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus Wistar
berusia 10-12 minggu dengan berat badan 150 - 160 gram dengan pakan ternak,
krim plasebo (krim dasar) dan krim ekstrak jagung ungu dan krim pembawa.
Bahan-bahan kimia yang digunakan ini adalah pro analisis (p.a.) yang terdiri dari:
kit MMP-1, antibodi MMP-1, , formaldehid, NaH2PO4, Na2HPO4, parafin, xylol,
pewarna Sirius red, etanol, Avidin-HRV dan DAB.
4.7.2. Instrumen penelitian
Instrumen yang dipergunakan adalah kandang tikus individual, alat fiksasi
tikus, alat pencukur, timbangan, buku dan alat pencatatan data, alat sumber sinar
UV-B buatan China merk KN-4003B, alat-alat untuk pembuatan preparat,
kamera LC Evolution dan mikroskop Olympus Bx51, komputer dengan piranti
lunak Adobe PhotoShop Cs2 versi 9.0, SPSS buatan IBM versi 20, sentrifugasi,
neraca analitik, seperangkat alat ELISA.
4.7.3. Hewan percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus galur
wistar (Rattus norvegicus) berusia 2 bulan dengan berat badan 150-200 gram
59
dengan makanan yang mengandung protein 20-25% (tetapi hanya 12% kallau
menggunakan asam amino komplit), kadar lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar
kira-kira 5%, dan abu 4-5% ,pakan juga perlu ditambah vitamin dan mineral
misalnya ternak diet standar dengan menggunakan HPS 511 dari PT.Charoen
Pokphand jumlah perhari 12 g-20g dan air biasa untuk minum ad libitum.
Hewan yang digunakan sesuai dengan persyaratan penelitian eksperimental.
Persyaratannya adalah tikus ditempatkan dalam kandang yang terbuat dari wadah
plastik berukuran 23 cm x 17 cm x 9,5 cm untuk 15 ekor tikus (1080 cm2 untuk
4-5 ekor tikus) dengan alas sekam padi dan tutup dari anyaman kawat. Kandang
harus cukup kuat, tidak mudah rusak, tahan gigitan, hewan tidak mudah lepas, tapi
hewan harus tampak jelas dari luar. Kandang ditempatkan dalam ruangan
berventilasi dan udara alami.
4.8. Prosedur Penelitian
Jagung ungu yang dibeli dibuat ekstraknya. Ekstrak Jagung ungu diolah
kemudian diolah dalam bentuk krim dalam konsentrasi 50 % dan dimasukkan
dalam tube. Krim ekstrak jagung ungu dioleskan pada kulit punggung tikus sesuai
dengan kelompoknya. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, maka dibuat
alur penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 4.3.
a. Sebanyak 36 ekor tikus diadaptasi selama 1 minggu di dalam kandang,
dengan diberi makan dan minum ad libitum. Kondisi kandang adalah
ruangan dengan ukuran panjang 23 cm lebar 17 cm dan tinggi 9,5 cm yang
ada lampunya dengan suhu 25±2°C, kelembaban 50±10%. Satu kandang
60
maksimal dihuni 2 ekor tikus, idealnya satu kandang untuk 1 ekor tikus.
Kandang harus cukup kuat, tidak mudah rusak, tahan gigitan, hewan tidak
mudah lepas, tapi hewan harus tampak jelas dari luar
b. Kemudian secara random tikus dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
kelompok 1, kelompok 2, masing-masing kelompok terdiri dari 18 tikus
Wistar.
c. Tikus dari semua kelompok dicukur bulu punggungnya, kemudian
dioleskan bahan dasar krim pada kelompok 1 dan 2, masing-masing krim
dioleskan sebanyak 0,05mg/cm2 luas permukaan kulit tikus.
d. Paparan kronis UV-B diberikan terhadap kelompok 1dan 2 Paparan
dilakukan sebanyak 3 kali seminggu yang dimulai dengan 50 mJ/cm2 pada
minggu pertama, diikuti dengan 70 mJ/cm2 pada minggu kedua, dan 2
minggu berikutnya dengan 80 mJ/cm2 sehingga total sinar UV-B yang
diterima oleh masing-masing kelompok tikus tersebut adalah 840 mJ/cm2
selama 4 minggu.
e. Bahan dasar krim, krim jagung ungu 50 % diaplikasikan 2 kali sehari,
yaitu 20 menit sebelum disinari (untuk memberikan waktu absorpsi bahan
topikal ke dalam kulit) dan 4 jam setelah penyinaran (terbentuknya ROS
dimulai 4 jam setelah paparan). Aplikasi bahan topikal tetap dilakukan
pada hari tanpa penyinaran.
f. 48 jam setelah penyinaran terakhir, untuk menyingkirkan pengaruh
penyinaran akut, semua tikus dari kelima kelompok didekapitasi kemudian
diambil jaringan kulit punggungnya dengan ukuran 2 x 2 cm setelah
61
diekstrak kemudian diukur kadar MMP-1. Jaringan kulit tikus lainnya
dibuat sediaan histologis untuk pemeriksaan jumlah kolagen,
g. Pembuatan sediaan histologis:
1) Tahap fiksasi
Jaringan kulit tikus direndam dalam larutan formalin buffer fosfat
10% selama 1 hari ( 24 jam). Kemudian dilakukan trimming bagian
jaringan yang akan diambil.
2) Tahap dehidrasi
Jaringan kulit tikus direndam dengan alkohol bertingkat berturut-turut
50%, 70%, 90%, 96% dan 100% masing-masing selama 2 jam.
3) Tahap clearing
Jaringan dimasukkan ke clearing agent (xylene) selama 24 jam sampai
transparan.
4) Tahap embedding
Diawali dengan proses infiltrasi sebanyak 2 kali selama masing-
masing 1 jam dengan parafin murni (Histoplast) cair (suhu 60o C)
kemudian jaringan ditanam ke dalam parafin cair dan dibiarkan
membentuk blok yang memakan waktu selama satu hari, agar mudah
diiris dengan mikrotom.
5) Tahap pemotongan
Pemotongan menggunakan mikrotom rotari (Jung Histocut Leica 820),
tebal 5 mikro meter secara seri dan diambil irisan ke 5, 10, 15 untuk
selanjutnya dilakukan penempelan pada gelas obyek, lalu diinkubasi
pada suhu 60o C selama 2 jam.
62
h. Pewarnaan dengan Sirius red.
1). Sebelum dilakukan pengecatan, slide melalui proses deparafinisasi
dan rehidrasi meliputi perendaman dalam larutan xylene 2 x 5 menit,
etanol 100% selama 2 menit, etanol 96% 2 x 2 menit, etanol 70%
selama 2 menit dan aquadest selama 2 menit.
2). Pewarnaan inti sel dengan Haematoxylin Weigert’s selama 8 menit,
dan cuci sediaan selama 10 menit dengan air mengalir.
3). Kemudian pewarnaan dengan picro-sirius red selama 1 jam untuk
memberikan pewarnaan mendekati seimbang di mana penambahan
waktu tidak meningkatkan hasil dan waktu yang lebih pendek tidak
disarankan meskipun warna terlihat baik.
4). Cuci dengan air asam sebanyak 2 kali.
5). Hilangkan air yang berlebihan secara fisik dengan menggoyang
secara perlahan.
6). Dehidrasi dalan ethanol 100% sebanyak 3 kali.
7). Bersihkan dalan cairan xylene dan mounting pada medium yang
bersifat asam.
i. Pengamatan hasil.
Jumlah kolagen dihitung dengan metode analisis digital, setiap sediaan
preparat difoto dengan menggunakan kamera LC Evolution dan
63
mikroskop Olympus Bx51 dengan pembesaran objektif 40 kali, masing-
masing preparat difoto sebanyak 3 kali disimpan dalam format JPEG.
j. Prosedur penghitungan jumlah kolagen dermis.
Dengan menggunakan piranti lunak Adobe PhotoShop Cs2 versi 9.0,
foto preparat tersebut dianalisis jumlah kolagennya yang merupakan
persentase kolagen dari seluruh area jaringan. Jaringan kolagen yang
tampak berwarna merah terang dipilih dan hasil histogram dari
segmentasi gambar kolagen tersebut berupa pixel area kolagen,
kemudian hasilnya dicatat. Sedangkan jaringan lain dengan warna yang
berbeda kemudian dipilih dan dicatat pixel dari histogramnya. Jumlah
kolagen dihitung sebagai persentase pixel area kolagen dibandingkan
dengan pixel area seluruh jaringan (pixel area kolagen dijumlahkan
dengan pixel area jaringan lain) ( Widodo dan Dahlan, 2007).
Jumlah kolagen =
k. Pada akhir penelitian tikus Wistar dieuthanasia melalui cara di suntik
dengan Ketamin 75mg Xylazin 75g i.m. Bila sudah mati, tikus Wistar
ditempatkan dalam ruang kaca yang tertutup dan transparan. Setelah
dieuthanasia sisa organ dan jaringan yang tidak digunakan dikubur .
pixel area kolagen
pixel area seluruh jaringan
X 100%
64
Alur penelitian
Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian
4.9. Analisis Statistik
Semua data yang diperoleh kemudian dideskripsikan. Selanjutnya untuk
melakukan analisis perbedaan jumlah kolagen, kadar dan kadar MMP-1 pada
tikus coba antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan
langkah-langkah analisis statistik sebagai berikut:
1. Seleksi data termasuk editing, koding dan tabulasi mengunakan file
navigator program SPSS for windows buatan IBM versi 20.
Diadaptasi selama 1 minggu
4 minggu 4 minggu
36 Ekor Tikus Usia 10-12 Minggu , Berat Badan 200– 250 gram
Kelompok Perlakuan 1 (18 Ekor)
Kelompok Perlakuan 2 (18 Ekor)
Paparan UV-B 3 x seminggu dengan dosis
total 840mJ/cm2
+
Diolesi krim plasebo 2x/hari
Paparan UV-B 3 x seminggu dengan
dosis total 840 mJ/cm2
+
Diolesi krim ekstrak jagung ungu 2x/hari
Istirahat 48 jam untuk menghindari efek akut paparan UV-B 840 mJ
Biopsi dan Pengambilan darah
Jumlah kolagen dermis dan kadar MMP-1
65
2. Penentuan normalitas data kadar dan kadar MMP-1, jumlah kolagen pada
masing-masing kelompok dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk, karena
sampel < 50 dan berdistribusi normal (p>0,05)
3. Homogenitas varian dianalisis menggunakan Levene’s test didapatkan data
homogen (p>0.05)
4. Analisis komparasi dilakukan dengan t-test independent, karena data
berdistribusi normal dan variannya homogen . Analisis komparasi
bertujuan untuk mengetahui pengaruh krim ekstrak jagung ungu terhadap
kadar MMP-1, dan jumlah kolagen .
66
BAB V
HASIL PENELITIAN
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian eksperimental dengan Randomized Post Test Only Control
Group Design, menggunakan 36 ekor tikus Wistar jantan sehat dengan berat 150 -
160 gram dan berumur 10 – 12 minggu , yang dibagi menjadi 2 (dua) kelompok,
yaitu kelompok kontrol (dipapar sinar UV- B+placebo) dan kelompok perlakuan
(dipapar sinar UV- B + krim ekstrak jagung ungu 50 %).
5.1. Uji Normalitas Data
Data jumlah kadar MMP-1 dan kolagen dermis diuji normalitasnya
dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi
normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5. 1
Hasil Uji Normalitas Data Kolagen dan MMP-1
Kelompok Subjek n p Ket.
MMP-1 Perlakuan 1 18 0,624 Normal
MMP-1 Perlakuan 2 18 0,051 Normal
Kolagen Perlakuan 1 18 0,947 Normal
Kolagen Perlakuan 2 18 0,826 Normal
Keterangan : n = jumlah sampel
P = nilai kemaknaan / significancy
66
67
5.2. Uji Homogenitas Data
Data jumlah kolagen dan kadar MMP-1 diuji homogenitasnya dengan
menggunakan Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05),
disajikan pada Tabel 5.2
Tabel 5. 2.
Homogenitas Kolagen dan MM-1 antar Kelompok Perlakuan
Variabel F p Keterangan
MMP-1 3,75 0,061 Homogen
Kolagen 0,01 0,981 Homogen
Keterangan : F = Nilai levene’s test
P = Nilai Kemaknaan / significancy
5.3. Kadar MMP-1
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar MMP-1 antar
kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan krim ekstrak jagung ungu 50 %.
Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.3 .
Tabel 5. 3.
Perbedaan Rerata Kadar MMP-1 Antar Kelompok
Keterangan : n = Jumlah Sampel t = Uji t-independent
SB = Simpangan Baku p = Nilai kemaknaan / significancy
Kelompok Subjek n Rerata MMP-1
(g/ml)
SB t p
Perlakuan 1 18 3,22 0,47
5,71 0,001
Perlakuan 2 18 1,9 0,86
68
Pada Tabel 5.3, menunjukkan bahwa rerata MMP-1 kelompok kontrol
adalah 3,220,47 dan rerata kelompok krim ekstrak jagung ungu adalah
1,900,86. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa
nilai t = 5,71 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata MMP-1 pada kedua
kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Gambar 5.1
Perbandingan MMP-1 antara Kelompok Perlakuan 1
dengan Kelompok Perlakuan 2
Keterangan :
Perlakuan 1 adalah kelompok yang diolesi krim dasar dan dipapar sinar UV-B.
Perlakuan 2 adalah kelompok yang diolesi bahan dasar krim ekstrak jagung ungu 50 % dan
dipapar sinar UV-B
5.4. Jumlah Kolagen
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan jumlah kolagen antar kelompok
sesudah diberikan perlakuan berupa krim ekstrak jagung ungu 50 %. Hasil
analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.4 .
69
Tabel 5. 4.
Perbedaan Rerata Jumlah Kolagen Antara Kelompok Sesudah Diberikan
Krim Ekstrak Jagung Ungu 50%
Kelompok Subjek n
Rerata Kolagen
(%) SB t p
Perlakuan 1 18 65,54 5,61 3,44
0,00
2 Perlakuan 2 18 71,7 5,11
Keterangan : n = Jumlah Sampel t = uji t-independent
SB = Simpang Baku p = nilai kemaknaan / significancy
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa rerata kolagen kelompok kontrol adalah
65,545,61 dan rerata kelompok krim ekstrak jagung ungu adalah 71,705,11.
Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 3,44
dan nilai p = 0,002. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah kolagen pada kedua
kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
70
Gambar 5. 2
Perbandingan Rerata Jumlah Kolagen antara Kelompok Perlakuan 1
dengan Kelompok Perlakuan 2
Keterangan :
Perlakuan 1 adalah kelompok yang diolesi krim dasar dan dipapar sinar UV-B.
Perlakuan 2 adalah kelompok yang diolesi bahan dasar krim ekstrak jagung ungu 50 % dan
dipapar sinar UV-B
Hasil uji rerata antara kelompok adalah: p<0,05 vs semua kelompok
71
A
B
Gambar 5. 1.
Jumlah kolagen pada Jaringan Dermis Tikus dengan Pengecatan Picro Sirius Red
Keterangan:
A. Diberikan sinar UV-B dan bahan dasar krim: terjadi kerusakan pada susunan dan struktur
jaringan kolagen berwarna merah yang tampak tipis. Tanda panah hitam menunjukkan serat
kolagen yang utuh. Tanda panah kuning menunjukkan serat kolagen yang tidak utuh
B. Diberikan sinar UV-B dan krim ektrak jagung ungu 50 %: Jumlah kolagen dengan serat
kolagen berwarna merah tampak lebih lebar dan tebal dimana serat kolagen yang utuh mulai
nampak. Tanda panah hitam menunjukkan serat kolagen yang utuh. Tanda panah kuning
menunjukkan serat kolagen yang tidak utuh.
72
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1. Subyek Penelitian
Untuk menguji pemberian ekstrak jagung ungu terhadap peningkatan
kolagen dan penurunan MMP-1, maka dilakukan penelitian eksperimental dengan
rancangan Randomized Post Test Only Control Group Design, menggunakan 36
ekor tikus Wistar jantan sehat dengan berat 150 - 160 gram dan berumur 10 – 12
minggu sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok
kontrol (dipapar sinar UV- B+plasebo) dan kelompok perlakuan (dipapar sinar
UV- B + krim ekstrak jagung ungu).
Pada penelitian ini menggunakan tikus wistar ( Rattus norvegicus) karena
memiliki banyak keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya
membutuhkan sedikit ruang , makan dan minum, mudah dalam pemeliharaan dan
dapat diubah secara genetik . Usia yang dipilih berkisar 10-12 minggu, karena
pada usia ini tikus memiliki persamaan dengan usia manusia dewasa dan belum
mengalami penuaan intrinsik (Bhattacharya dan Thomas, 2004; Bartke, 2005).
Jenis kelamin yang dipilih adalah tikus jantan agar tidak terpengaruhi siklus estrus
dan kehamilan (hormonal).
6.2. Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian
Data hasil penelitian berupa kolagen dan MMP-1 sebelum dianalisis lebih
lanjut, terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya. Untuk uji distribusi
72
73
digunakan uji Shapiro Wilk, yaitu untuk mengetahui normalitas data dan uji
homogenitas dengan uji Levene test. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa
masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05).
6.3. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jagung Ungu
6.3.1. Kadar MMP-1
Pada penelitian ini pemberian paparan sinar UV-B pada kelompok perlakuan
1 selama empat minggu dengan dosis total 840 mJ/cm2
menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar MMP-1 yang bermakna dibandingkan dengan kelompok
perlakuan 2. Rerata MMP-1 kelompok perlakuan 1 adalah 3,220,47 dan rerata
kelompok perlakuan 2 yang diberikan krim ekstrak jagung ungu adalah 1,900,86.
Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 5,71
dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata MMP-1 pada kedua kelompok
sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Matriks metaloproteinase adalah suatu zinc-dependent endopeptidase,
suatu enzim yang bertanggung jawab dalam degradasi jaringan ikat dermis.
Matriks metaloproteinase terlibat dalam berbagai aktivitas proteolitik baik dalam
keadaan fisiologis maupun patologis seperti embriogenesis, penyembuhan luka,
inflamasi, angiogenesis, dan kanker (Quan et al., 2009). Matriks metaloproteinase
pada kulit yang paling banyak dipicu pembentukannya oleh paparan sinar UV
adalah MMP-1 dan paling bertanggung jawab terhadap pemecahan kolagen.
Disamping oleh paparan sinar UV, kadar MMP-1 juga meningkat dengan
74
bertambahnya usia, hal ini akan mengakibatkan fragmentasi dan disorganisasi
susunan serat kolagen pada dermis (Seltzer dan Eisen, 2003 ; Fisher et al., 2009).
Paparan sinar UV pada kulit, akan menimbulkan stres oksidatif dan ini
akan mengaktivasi reseptor sitokin dan growth factor pada permukaan keratinosit
epidermis dan sel fibroblas di dermis. Aktivasi reseptor ini akan menginduksi
sinyal intraseluler MAP Kinase yang selanjutnya mengaktivasi faktor transkripsi
AP-1. Activator protein -1 (AP-1) yang merupakan nuclear transcription factor,
terdiri dari dua sub unit yaitu c-jun dan c-fos, berfungsi untuk mengontrol
transkripsi MMP (Helfrich et al., 2009; Ichihashi et al., 2009).
Nuclear factor kappa B (NF-kB) dan activator protein-1 (AP-1)
merupakan faktor transkripsi yang diatur oleh keadaan redoks seluler, dan terlibat
dalam regulasi ekspresi gen. Kedua faktor transkripsi tersebut bertanggung jawab
dalam pengaturan berbagai molekul sinyal ekstraseluler yang terlibat dalam
proses inflamasi, proliferasi sel, apoptosis, tumorigenesis, dan perbaikan jaringan.
Kedua faktor transkripsi ini sangat penting dalam proses degeneratif yang
diakibatkan oleh paparan sinar UV yang berhubungan dengan photoaging seperti
induksi matriks metaloproteinase, dan keduanya merupakan target terapi
pencegahan anti-penuaan (Ichihashi et al., 2009). Matriks metaloproteinase-1,
MMP-3 dan MMP-9 adalah yang paling meningkat kadarnya setelah paparan
sinar UV-B. Peningkatan mRNA MMP-1 dan MMP-3 hampir 1000 kali lipat
setelah 24 jam paparan sinar UV (Quan et al., 2009). Setelah kolagen dipecah
oleh MMP-1, maka kolagen semakin mengalami degradasi dengan meningkatnya
MMP-3 dan MMP-9 (Fisher et al., 2001; Quan et al., 2009).
75
Fibroblas dermis merupakan sumber utama MMP-1 dan meningkat setelah
paparan sinar UV-B pada sel kultur maupun sel kulit secara in vivo (Fagot et al.,
2002, 2004). Matriks metaloproteinase-1, MMP-3 dan MMP-9 pada
permulaannya dihasilkan di epidermis, tapi enzim tersebut dapat berdifusi ke
dalam dermis dan kemudian mendegradasi kolagen (Quan et al., 2009). Difusi ini
juga dibantu oleh ikatan langsung MMP ke kolagen matriks ekstraseluler.
Walaupun ada penelitian yang mengemukakan bahwa keratinosit adalah sumber
utama MMP, yang diproduksi sebagai respon kulit terhadap paparan sinar UV-B
(Fisher et al.,1997; Fisher dan Voorhees,1998) tapi ada kemungkinan bahwa
fibroblas dermis juga memainkan peran dalam produksi MMP oleh keratinosit
melalui mekanisme parakrin tidak langsung yaitu dengan pelepasan growth factor
dan sitokin yang memicu produksi MMP oleh keratinosit (Quan et al., 2009).
Paparan sinar UV-B dengan total dosis 840 mJ/cm2 selama empat minggu
mampu meningkatkan kadar MMP-1 pada jaringan kulit tikus (Sun-Young et al.,
2004). Setelah diberikan krim ekstrak jagung ungu secara topikal maka kadar
MMP-1 mengalami penurunan. Hal ini membuktikan bahwa senyawa tersebut
mempunyai aktivitas peredaman terhadap radikal bebas.
Kemampuan ekstrak jagung ungu menurunkan kadar MMP-1 jaringan dermis
tikus Wistar diperankan oleh berbagai zat aktif yang terkandung di dalamnya
antara lain vitamin C , antosianin dan polifenol..
Polifenol merupakan antioksidan kuat, dalam beberapa penelitian in vitro
terbukti aktivitas antioksidannya lebih kuat dari vitamin C, E dan karotenoid. Efek
76
perlindungan dari buah dan sayuran dalam menurunkan risiko penyakit yang
dikaitkan dengan stres oksidatif seperti penyakit jantung, kanker atau osteoporosis
sebagian diduga berasal dari polifenol. Efek antioksidan senyawa fenolik dalam
tubuh dapat melalui tiga mekanisme yaitu: 1) peredaman radikal bebas, 2)
menekan pembentukan radikal bebas dengan menghambat beberapa enzim atau
chelating trace metals yang terlibat dalam produksi radikal bebas, dan 3)
meningkatkan persediaan antioksidan atau melindungi pertahanan antioksidan.
Ekstrak fenolik, seperti ekstrak delima, teh dan ekstrak anggur telah terbukti
dapat mengurangi kerusakan oksidatif akibat paparan sinar UV pada kulit.
Senyawa fenolik yang dimurnikan seperti antosianin, proantosianidin dan EGCG
dapat menghambat stres oksidatif akibat paparan sinar UV dan kerusakan sel
keratinosit secara in vivo (Dai dan Mumper, 2010).
Kemampuan krim ekstrak jagung ungu 50 % dalam menurunkan kadar
MMP-1 kemungkinan karena zat aktif yang terdapat dalam ekstrak jagung ungu
bekerja secara sinergistik sehingga dapat meningkatkan kapasitas antioksidannya.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa pada kelompok
perlakuan 2 terjadi peningkatan kolagen dan penurunan MMP-1 dibandingkan
dengan kelompok perlakuan 1. Hal ini disebabkan karena jagung ungu
mengandung konsentrasi antosianin yang tinggi (~1640 mg/100g FW) jauh lebih
tinggi daripada sumber yang kaya antosianin lainnya, seperti berries ( 20 ~ 1500
mg/100g FW) , lobak (Raphanus sativus L.) (11 ~ 60 mg/100g FW) , dan kubis (
Brassica oleracea L.) (322 mg/100g FW). Ketertarikan akan jagung ungu sebagai
77
sumber antosianin sebagai warna dan fitonutrien telah meningkat selama tahun
terakhir. Banyak manfaat kesehatan telah dikaitkan dengan ungu jagung ,
termasuk pengurangan stres oksidasi , pencegahan obesitas dan diabetes , dan
kanker usus besar ( Pu Jing, 2006).
Antosianin paling dikenal sebagai antioksidan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa selain sebagai antioksidan, antosianin juga mempunyai efek
anti-inflamasi, efek anti-diabetik, anti-kanker, dan dapat memperbaiki profil lipid
darah dan memiliki efek vasoprotektif (Wrolstad, 2001; Abdel et al., 2010).
Struktur fenolik antosianin bertanggung jawab dalam efek antioksidan-nya,
yaitu gugus hidroksil pada posisi 3 dari cincin C dan posisi 3’, 4’, 5’ dari cincin B.
Sebagai antioksidan, antosianin bekerja sebagai scavenger ROS seperti
superoksid (O2-
), singlet oksigen (‘O2), peroksida (ROO-), hidrogen peroksida
(H2O2) dan radikal hidroksil (OH.) (Wang dan Stoner, 2008).
6.3.2. Jumlah Kolagen
Uji perbandingan antara kedua kelompok sesudah perlakuan berupa
pemberian ekstrak jagung ungu menggunakan uji t-independdent. Rerata kolagen
kelompok kontrol adalah 65,545,61 dan rerata kelompok krim ekstrak jagung
ungu adalah 71,705,11. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent
menunjukkan bahwa nilai t = 3,44 dan nilai p = 0,002. Hal ini berarti bahwa
rerata kolagen pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara
bermakna (p<0,05).
78
Penurunan ekspresi kolagen jaringan dermis pada kelompok perlakuan 1 merupakan
suatu petanda adanya stres oksidatif akibat terjadinya pembentukan radikal bebas yang
berlebihan (Narayanan et al., 2010). Molekul oksigen (O2) yang ada di bagian bawah
epidermis merupakan target utama sinar UV-B yang masuk ke dalam kulit. Sinar UV
yang menembus kulit dapat sebagai donatur sebuah elektron pada molekul oksigen yang
menyebabkan oksigen menjadi tidak stabil, menjadi radikal bebas yang agresif (anion
superoksid).
Anion superoksid (O2-) tersebut akan mengambil secara acak sebuah
elektron dari molekul yang terdekat dan tidak hanya akan merusak molekul, tapi
juga mengubahnya menjadi radikal bebas, dan ini menimbulkan reaksi berantai.
Tipe pembentukan atau penyebaran radikal bebas semacam ini dapat merusak
berbagai komponen di dalam kulit, seperti enzim dan membran sel. Elektron
kedua yang berasal dari sinar UV-B dapat diberikan pada anion superoksid,
dengan membentuk hidrogen peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida juga dapat
dikonversi menjadi radikal hidroksil (OH) dengan adanya zat besi (Fe2+
) melalui
reaksi Fenton. Radikal hidroksil menjadi ancaman yang sangat berbahaya
terhadap sel, sebab radikal bebas ini dapat masuk melalui membran inti dan
merusak DNA. Kadar H2O2 dan OH dapat dideteksi dalam 15 menit setelah
paparan sinar UV dan berlanjut hingga 60 menit (Droge, 2002; Fisher et al.,
2002).
Dilaporkan bahwa penyinaran ultraviolet merusak matriks kolagen kulit
melalui dua jalur yang berbeda yaitu terjadinya stimulasi degradasi kolagen dan
hambatan produksi kolagen (Fisher et al., 2004).
79
Saat kulit terekspos dengan sinar matahari, radiasi UV terserap oleh
molekul kulit yang dapat menimbulkan senyawa berbahaya yang disebut raective
oxygen species (ROS) (Fisher et al., 2002). Yang mana dapat menyebabkan
kerusakan oksidatif pada komponen sel seperti dinding sel, membran lipid,
mitokondria, dan DNA. ROS ini juga berpengaruh besar pada jalur molekul.
Penyinaran kulit bokong manusia dengan 2 MED (minimal erythema dose, yaitu
dosis minimal radiasi UVA / UV- B yang dapat menimbulkan efek erythema pada
kulit) dapat meningkatkan hidrogen peroksida, suatu ROS, dalam 15 menit
(Helfrich et al., 2008).
Sedangkan penelitian lain menemukan bahwa hanya dengan satu kali
ekspos penyinaran radiasi UV sebesar 4 MED, dapat menginduksi marker stres
oksidatif pada kulit (epidermis maupun dermis), yaitu H2O2 (menggunakan
dihydrorhodamine-123, DHR) , Nitric Oxide (menggunakan spektrofotometri),
Peroksidasi Lipid (menggunakan Malondialdehida, MDA), dan infiltrasi lekosit
inflamasi (menggunakan antibodi sel CD11b+ ) yang meningkat paling signifikan
pada 48jam setelah ekspos UV. Seperti diketahui bahwa adanya nitric oxide (NO)
dan hidrogen peroksida (H2O2) sangat merusak dan sitotoksik terhadap sel target.
NO mengandung elektron tak berpasangan dan bersifat paramagnetik, dan oleh
karena itu bereaksi cepat terhadap anion superoksid untuk menbentuk anion
peroksi nitrat. Dekomposisi peroksi nitrat adalah oksidan yang kuat, sama seperti
radikal hidroksil (Katiyar et al., 2001).
Selain itu penyinaran radiasi UV dapat menimbulkan perubahan pada
kolagen dermal melalui dua cara: (1) stimulasi pemecahan kolagen, menghasilkan
80
kolagen yang terpecah dalam fragmen dan tidak beraturan. (2) menghambat
biosintesis prokolagen, sehingga kandungan kolagen berkurang (Yaar dan
Gilchrest, 2008; Helfrich et al., 2008). Hanya dengan satu kali penyinaran UV
dengan dosis 2 MED, dapat menghambat sintesis prokolagen hampir total, yang
bertahan untuk 24 jam, diikuti dengan perbaikan dalam 48-72 jam setelahnya
(Fisher et al., 2001). Penelitian-penelitian sebelumnya juga telah menemukan
bahwa AP-1 (Activator protein-1) dan MMP meningkat dan tetap bertahan sampai
sekitar 24 jam setelah paparan radiasi UV serta terdapat peningkatan pemecahan
kolagen yang signifikan.
81
SaranBAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
BAB VII SIMPULAN DAN SARANAN
7.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemberian krim ekstrak Jagung Ungu 50 % secara topikal
menghambat peningkatan kadar MMP-1 jaringan dermis kulit tikus
Wistar yang dipapar dengan sinar UV-B.
2. Pemberian krim ekstrak Jagung Ungu 50 % secara topikal
menghambat penurunan jumlah kolagen jaringan dermis kulit tikus
Wistar yang dipapar dengan sinar UV-B.
7.2. Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
Perlu dilakukan uji klinik terhadap khasiat ekstrak jagung ungu pada manusia
dalam mencegah dan memperbaiki tanda-tanda penuaan kulit dini akibat
paparan sinar ultra violet.
81
82
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Aal ,Jaclyn Shipp and El-Sayed M 2010 Food Applications and
Physiological Effects of Anthocyanins as Functional Food Ingredients , The
Open Food Science Journal, 2010, 4, 7-22
Astadi, I.R., M. Astuti, U. Santoso and P.S. Nugraheni. 2009. In vitro antioxidant
activity of
anthocyanins of black soybean seed coat in human low density lipoprotein
(LDL). Food
Chem., 122: 659-663.
Bartke, A. 2005. Role of the growth hormone/insulin-like growth factor system in
mammalian aging. Endocrinology .10: 2-12.
Baskoro, A., Konthen, P.G. 2008. Basic Immunology of Aging Process. Naskah
Lengkap pada 5th
Bali Endocrine Update 2nd
Bali Aging and Geriatric
Update Symposium. Bali 11-13 April 2008.
Baumann, L. 2005. Cosmetic and Skin Care in Dermatology, in : Fitzpatrick T.B.
et al , editors. Dermatology in General Medicine, Mc graw-Hill Book co. p.
2363-2367.
Baumann, L. 2008. Cosmetics and Skin Care in Dermatology. In: Wolff, K.,
Goldsmith, L.A, Katz, S.L., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J.,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th
. Ed. New
York: McGrawHill. p.2357-63
Baumann, L & Saghari, S 2009, Photoaging. in: Baumann L, Saghari, S,
Weisberg (eds). Cosmetic dermatology principles and practice. New York:
McGraw-Hill, pp. 2-19.
Berneburg, M., Plettenberg, H., Krutmann, J. 2000. Photoaging of Human Skin.
Photodermatology, Photoimunology, dan Photomedicine. 16: 239-244.
Bhattacharyya, T. K., and Thomas, J. R. 2004. Histomorphologic Changes in
Aging Skin. Observation in the CBA Mouse Model. Archives of Facial
Plastic Surgery. 6 (1): 21-5.
Boyce, S.T., Supp, A.P., Swope, V.B., and Warden, G.D. 2002. Vitamin C
Regulates Keratinocyte Viability, Epidermal Barrier, and Basement
Membrane In Vitro, and Reduces Wound Contraction after Grafting of
Cultured Skin Substitutes. J Invest Dermatol. 118: 565-72.
82
83
Campbell, D. 1963. Experimental and Quasi-Experimental Design for Research.
Boston: Houghton Miffin Company. p. 13-22.
Cho,T.H., Lee, J.W., Lee, M.H. 2008. Evaluating the Cytotoxic Doses of
Narrowband and Broadband UV-B in Human Keratinocytes, Melanocytes,
and Fibroblast. Photodermatology, Photoimmunology dan Photomedicine.
Vol 24. P.110-114.
Choi, C.P., Kim, Y.I., Lee, J.W., Lee, M.H. 2007. The Effect of Narrowband
Ultraviolet B on the Expressions of Matrix Metalloproteinase-
1,Transforming Growth Factor- β1 and Type 1 Collagen in Human Skin
Fibroblast. Experimental Dermatology, Original Article. Department of
Dermatology, Kyunghee University, Seoul, Korea.
Chung, J.H., Cho, S., and Kang, S. 2004. Why Does the Skin Age? Intrinsic
Aging , Photoaging and Their Pathophysiology. in: Rigel, D.S., Weiss, R.A.,
Lim, H.W., Dover, J.S. editors. Photoaging. New York: Marcel Dekker Inc.
p. 1-23.
Chung, J.H., Seo, J.Y., Choi, H.R., Lee, M.K., Youn, C.S., Rhie, G., Cho, K.H.,
Kim, K.H., Park, K.C., and Eun, H.C. 2001. Modulation of Skin Collagen
Metabolism in aged and Photoaged Human Skin In Vivo. The Journal of
Investigative Dermatology. vol 117 no 5: p. 1218-1224.
Cooper, R. 1997. Oxidant, antioxidant and Free Radicals, in Antioxidant,
Woodland Health Series. p.1- 8
Cunningham W, Aging and Photoaging., Baran R ,Maibach HI Editor. Texbook
of Cosmetic and Dermatology Edisi ke-3. Abingdon: Taylor & Francis
Group, 2005: 445-54.
Dai, J., and Mumper, R.J. 2010. Plant Phenolics: Extraction, Analysis and Their
Antioxidant and Anticancer Properties. Molecules. 15:7313-52.
Dianasari, R. 2013. Photochemoprotection Effect of Active Component of Purple
Corn (Zea Mays L) on Rats’ Skin. Denpasar. (penelitian pendahuluan)
Devasagayam ,TP., Tilak, JC., Boloor, KK., Sane, KS., Ghaskadbi, SS., Lele
,RD., Free radicals and antioxidants in human health: current status and
future prospects. PubMed 2004
Droge, W. 2002. Free Radicals in the Physiological Controlof Cell Function.
Physiol Rev.82: 47–95.
Eichler, O., Sies, H., Stahl, W. 2002. Divergent Optimum Level of Lycopene, β-
Carotene and Lutein Protecting Against UV-B Irradiation in Human
Fibroblast. Journal of Photochemistry and Photobiology. 75(5). 503-506
84
Fagot, D., Asselineau, D., and Bernerd, F. 2004. Matrix metalloproteinase-1
production observed after solarsimulated radiation exposure is assumed by
dermal fibroblasts but involves a paracrine activation through epidermal
keratinocytes. Photochem Photobiol. 79:499–505.
Fernandes, D. 2008. Evolution of Coemeceuticals and Their Application to Skin
Disorders, including Aging and Blemishes. In: Walters, K.A., Roberts,
M.S. Editor. Dermatologic, Cosmeceutic, and Cosmetic Development. New
York: Informa. p. 51-5.
Fisher, G.J., Kang, S., Varani, J., Csorgo, Z.B., Wan, Y., Datta, S., Voorhees, J.J.
2001. Mechanism of Photoaging and Chronological Skin Aging. Arch
Dermatol. Department of Dermatology, University of Michigan, Ann
Arbor. Vol 138: p. 1462-1470.
Fisher, G.J., Quan, T., Purohit, T., Shao, Y., Cho, M.K., Varani, J., Kang, S.,
Voorhess, J.J. 2009. Collagen Fragmentation Promotes Oxidative Stress and
Elevates Matrix Metalloproteinase-1 in Fibroblast in Aged Human Skin. The
American Journal of Pathology, vol 174: p. 101-115.
Fisher, G.J., Voorhees, J.J., Kang, S., Quan, T., He, T. 2004. Solar UV Irradiation
Reduces Collagen in Photoaged Human Skin by Blocking Transforming
Growth Factor-β TypeII Receptor/Smad Signaling. American Journal of
Pathology. vol 165: no 3. p. 741 -758.
Fourtanier, A., Moyal, D. 2004. Acute and Chronic effect of UV on skin, What
Are They and How To Study Then. In: Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W.,
Dover, J.S. editors. Photoaging. New York: Marcel Dekker Inc. p. 15-31.
Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging in Klatz, R. Anti
Aging Medical Therapeutic Vol 5. The A4M Publication.Chicago. p. 43.
Furr, H.C., Clark, R.M. 1997. Intestinal Absorption and Tissue Distribution of
Carotenoid. Journal of Nutritional and Biocemistry, vol 8: p. 364-377.
Fuhrman, B., Aviram, M. 2002. Polyphenols and Flavonoids Protect LDL against
Atherogenic Modifications. In: Canedas, E., Packer, L. Handbook of
Antioksidants, 2nd
edition New York : Marcel Dekker, Inc. p. 306-311
Ghosh, D., Konishi, T. 2007. Anthocyanin and Anthocyanin-rich extracts: role in
diabetes and eye function. Asia Pac J Clin Nutr 16(2): 200-208
Gilchrest, B.A., Yaar, M. 2000. Aging of Skin. In: Fitzpatrick T.B. et al , editors.
Dermatology in General Medicine, Mc Graw-Hill Book Co 2, p. 1386-1387.
Goldman, R., Klatz. 2003. The New Anti-Aging Revolution.Australasian
Edition.Theories of Aging. p. 22-24, 191-194.
85
Helfrich, Y.R., Sachs, D. L., and Voorhees, J. J. 2008. The Biology of Skin
Ageing. European Dermatology. 39-42.
Hui C, Bin Y, Xiaoping Y, Long Y, Chunye C, Mantian M, Wenhua L.2010
Anticancer activities of an anthocyanin-rich extract from black rice against
breast cancer cells in vitro and in vivo. PubMed
Humbert, P.G., Haftek, M., Creidi, P., Lapiere, C., Nusgens, B., and Richard, A.
2003. Topical Ascorbic Acid on Photoaged Skin: Clinical, Topographycal
and Ultrastructural Evaluation; Double Blind Study vs Placebo. Exp
Dermatol. 12:237-44.
Ichihashi, M., Ando, H., Yoshida M., Niki Y., and Matsui, M. 2009. Photoaging
of The Skin. J Anti-Aging Med. 6(6): 46-59.
Jawi, I Made and Budiasa Ketut 2009 .Water Extract of Purple Sweet Potato Tub
Decrease
Total Cholesterol and Increase Total Antioxidant In Rabbit Blood. Denpasar
Jones, Kenneth 2005. The Potential Health Benefits of Purple Corn. Herbal Gram,
65:46-49. American Botanical Council.
Junqueira, L.C., Carneiro, J., Kelley, R.O.1997. Histologi Dasar Kulit. Edisi 8.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal 357-369.
Kähkönen MP and Heinonen M. 2003 ,Antioxidant activity of anthocyanins and
their aglycons, PubMed.
Kaminer, M.S. 1995. Photodamage: Magnitude of the Problem. in: Gilchrest,
B.A., editor. Photodamage. Blackwell Science. p.3-9.
Karlsen Anette, Lars Retterstøl, Petter Laake, Ingvild Paur, Siv Kjølsrud-Bøhn,
Leiv Sandvik,and Rune Blomhoff (2007) Anthocyanins Inhibit Nuclear
Factor-kB ,Activation in Monocytes and Reduce Plasma Concentrations of
Pro-Inflammatory Mediators in Healthy Adults , The Journal of Nutrition.
Norway, vol. 137 no. 8 1951-1954
Katiyar, S.K. and Afaq, F., 2010. Polyphenols: Skin Photoprotection and
Inhibition of Photocarcinogenesis. Mini Rev Med Chem. 11(14): 1200–15.
Kim, Hyeon Ho., Shin, C.M., Park, Chi-Hyun., Kim, K.H., Cho, K.H., Eun, H.C.
Chung, Jin Ho. 2005. Eicosapentaenoic Acid Inhibits UV-Induced MMP-1
Expression in Human Dermal Fibroblast. Journal of Lipid Research, Vol 46:
p. 1712-1719.
86
Kim, S.Y., Kim , S.J., Lee, J.Y., Kim W.G., Park,W.S., Sim Y.C., Lee, S.J. 2004.
Protective Effects of Dietary Soy Isoflavones against UV-Induced Skin
Aging in Hairless Mouse Model. Original Research Journal of the American
College of Nutrition , vol 23: p.157-162.
Klatz, R. 2003. Acknowledgement in: Klatz, R. 2003 Anti Aging medical
Therapeutics Vol 5..The A4M publication. Chicago. p. 3.
Konczak and Zhang 2004, anthocyanin rich extract-induced from
WorldWideScience.org
Krutmann, J. and Glichrest, B.A. (2006) Photoaging of Skin. In: Glichrest, B.A.
and Krutmann, J., Ed., Skin Aging, Springer, Heiderberg, 33-43.
Lee, Young-Rae, Noh, Eun-Mi, Jeong, E.Y., Yun, Eok-Kweon, Kim, J.H., Kwon,
K.B., Kim, B.S., Lee, S.H., Park, C., Kim, Jong-Suk. 2009. Cordycepin
Inhibits UV-B-Induced Matrix Metalloproteinase Expression by
Suppressing the NFκB Pathway in Human Dermal Fibroblast. Experimental
and Molecular Biomedicine, Vol 41, p.548-554.
Leiden JJ. Clinical features of aging skin. Br J Dermatol 2003; 43: 1-3.
Moon, Hee Jung, Lee Soon Ryen, Shim, S,N., Jeong, S.H., Stonik, V.A.,
Rasskavov, Valery A., Zvyagintseva, T., Lee, Y.H. 2008. Fucoidan inhibits
UV-B-Induced MMP-1 Expression in Human Skin Fibroblast.
Biol.Pharm.Bull.31(2). 284-289.
Moos, Varien., 2013. Anthocyanins from Purple corn .
http://cancer.vg/en/purple-corn-maize
Moyer, R. A., Hummer, K. E., Finn, C. E., Frei, B., and Wrolstad, R. E. (2002).
Anthocyanins, phenolics, and antioxidant capacity in diverse small fruits:
Vaccinium, Rubus, and Ribes. Journal of Agricultural and Food Chemistry
50, 519-525.
Nichols, J.A., and Katiyar, S.K. 2010. Skin Photoprotection by Natural
Polyphenols: Anti-inflammatory, Antioxidant and DNA Repair
Mechanisms. Arch Dermatol Res. 302(2):1-19.
Nakatani, N., Fukuda, H., Fuwa, H.. Major anthocyanin of Bolivian purple corn
Zea mays. Agric Biol Chem. 1979;43(2):389-392.
87
Narayanan, D.L., Saladi, R.N., and Fox, J.L. 2010. Ultraviolet Radiation and Skin
Cancer. International Journal of Dermatology. 49:978–86.
Obagi, Z.E. 2000. Skin Health Concepts, in Obagi Skin Health Restoration dan
Rejuvenation. Springer. p.27-45
Padayatty, S.J., Katz, A., Yao, H.W., Eck, P., Kwon, O., Lee, J.H., Chen, S.,
Corpe, C., Dutta, A., Dutta, S.K., and Levine, M. 2003. Vitamin C as An
Antioxidant: Evaluation of Its Role in Disease Prevention. J Am Coll Nutr.
22(1):18-35.
Paik, S.J. Experimental and Quasi-Experimental Research Designs. 2004. The
LSS Review. 3(2): 3-4.
Pangkahila,W. 2007. Anti Aging Medicine Memperlambat Penuaan Meningkatkan
kualitas Hidup. Penerbit Buku Kompas. Jakarta, hal 10-1
Pascual S de – Teresa, c. Santos-Buelga, and JC Rivas-Gonzalo. LC-MS Analysis
of Anthocyanins From Purple Corn Cob.Journal Science Food Agriculture
82:1003-1006 (2002)
Pham-Huy, L.A., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidant in
Disease and Health. International Journal of Biomedical Science, Vol 4: p.
89-96.
Pinnel, R.S. 2003. Cutaneous Photodamage, Oxidative Stress, and Topical
Antioxidant Protection, A Continuing Medical Education, American
Academy of Dermatology. p. 1-19.
Pu Jing, M.S. 2006.,Presented in Partial Fulfillment of the Requirements for the
Degree Doctor of Philosophy the Graduate School of The Ohio State
University (Dissertation)
Quan, T., Qin, Z., Xia, W., Shao, Y., Voorhees, J. J., and Fisher, G. J. 2009.
Matrix-degrading Metalloproteinases in Photoaging. J Investig Dermatol
Symp Proc. 14(1):20–4.
Rabe, J.H., Mamelak, A.J., Mc Elgunn, P., Morison, W.L., Sauder, D.N. 2006.
Photoaging : Mechanism and Repair, Continuing Medical Education,
American Academy of Dermatology, Inc. p.1-19.
Sauermann, K., Jaspers, S., Koop, U., and Wenek, H. 2004. Topically Applied
Vitamin C Increases The Density of Dermal Papillae in Aged Human Skin.
BMC Dermatology. 4:13.
Seltzer, J.L., Eisen, A.Z. 2006. The Role of Extracellular Matrix
Metalloproteinases in Conective Tissue Remodelling. In: Fitzpatrick T.B. et
al , editors. Dermatology. Mc Graw-Hill Book co, p 200-209.
88
Smith, E.S. 2001. Demographics of Aging and Skin Disease, in Geriatric
Dermatology part I. p. 63.
Spormann, TM., Albert, FW., Rath, T., Dietrich ,H., Will, F., Stockis,
JP., Eisenbrand, G., Janzowski, C., (2008) . Anthocyanin/polyphenolic-rich
fruit juice reduces oxidative cell damage in an intervention study with
patients on hemodialysis .Department of Chemistry, Division of Food
Chemistry and Toxicology, University of Kaiserslautern, Erwin-
Schroedinger-Strasse 52, 67663 Kaiserslautern, Germany.
Stahl, W., Heinrich, U., Wiseman, S., Eichler, O., Sies, H., and Tronnier, H. 2001.
Dietary Tomato Paste Protects against Ultraviolet Light-Induced
Erythema in Humans. J Nutr. 131:1449 – 51.
Sun-Young, K., Su-Jun, K., Jin-Young, L., Wan-Gi, K., Won-Seok, P., Young-Chul, S.,
and Sang-Jun, L. 2004. Protective Effects of Dietary Soy Isoflavones Against UV-
Induced Skin-Aging in Hairless Mouse Model. Journal of American College of
Nutrition. 23(2):157-62.
Styles E.D and O.Ceska. Flavonoid pigments in genetic strains of maize.
Phytochemistry 11: 3019–21 (1972).
Tinkler, J.H., Bohm, F., Scalch,W., Truscott, T.G. 1994. Dietary Carotenoid
Protect Human Cells from Damage. Journal Photochemical Photobiology,
Vol 26: p. 283-285.
Tjitrosoepomo, C., 1991. Taksonomi Tumbuhan. Gajah Mada Universy Press,
Yogyakarta.
Tschachler, E., Morizot, F. 2006. Ethnic Differences in Skin Aging. In: Gilchrest,
B.A., Krutmann, J. editors. Skin Aging. Springer. p. 23-31.
Wang ,LS., Stoner ,GD., (2008) .Anthocyanins And Their Role in Cancer
Prevention. Department of Internal Medicine and Comprehensive Cancer
Center, Ohio State University College of Medicine, Columbus, OH 43210,
USA.
Wasitaatmadja, S.M. 2007. Anatomi dan Faal kulit. dalam: Djuanda, A., Hamzah,
M., Aisah, S. editor. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai
Penerbit FKUI 2007. 7-8.
WHO Report . 2010. WHOSIS (WHO Statistical Information System). Available
at: http://apps.who.int/whosis/database/core/core_select_proccess.cfm/
Accesed Januari 9, 2011
Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan Radikal Bebas, Potensi dan
aplikasinya dalam kesehatan. Kanisius.
89
Wlascheck, I. Tantcheva-Poor, L. Naderi, W. Ma, S. Alexander, Z. Razi-Wolf, J.
Shuller, K. Scharffetter-Kochanek .Solar UV irradiation and dermal
photoaging. Journal of Photochemistry and Photobiology B, 63 (2001), pp.
41–51
Wrolstad RE (2006) Anthocyanin Pigments—Bioactivity and Coloring Properties.
Journal Food of Science. Volume 69, Issue 5, pg C419-425
Yaar, M. 2006. Clinical and Histological Features of Intrinsic versus Extrinsic
Skin Agin., in : Gilchrest, B.A., Krutmann, J. editors. Skin Aging. Springer.
p.10-21.
Yaar, M., Gilchrest B.A.2008. Biochemical and Moleculer Changes in Photoaged
Skin. in: Gilchrest, B.A., editor. Photodamage. Blackwell Science.p. 168-
179.
Yolanda ,Rosi Helfrich, MD., Dana, L., Sachs, MD., John J,Voorhees., MD.
Overview of Skin Aging and Photoaging. Dermatology
Nursing. 2008;20(3):177-183.
Young, A.R. 2000. Acute and Chronic Effect of Ultraviolet Radiation on the Skin,
in: Fitzpatrick, T.B., et al ,editors. Dermatology. Mc Graw-Hill Book Co,
1275-1281.
Yulianto, I. 2008. “The Changes of Fibroblast Cells due to UV-B Irradiation in
Various Doses an In Vitro Experimental” (disertasi). Program Pasca
Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Zussman, J., Ahdout, J., and Kim, J. 2010. Vitamin and Photoaging: Do Scientific
Data Support Their Use? J Am Acad Dermatol. 63: 507-25.
90
Lampiran 1: Prosedur Penanganan Hewan Coba
Percobaan di laboratorium yang menggunakan hewan coba sebagai subjek
penelitian dalam penelitian ini adalah tikus Wistar, dimana harus diperhatikan
beberapa prinsip dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan yang baik diharapkan
hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian dan juga dipandang dari segi etika
penelitian yang berkaitan dengan penggunaan hewan coba (ethical clearance).
Beberapa prinsip yang harus dipenuhi yaitu:
1. Pengawasan lingkungan
Prinsip yang paling penting terkait dengan lingkungan tempat
pemeliharaan hewan coba adalah suatu lingkungan yang stabil dan
sesuai dengan keperluan fisiologis jenis hewan coba. Suhu,
kelembapan dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrem harus
dihindari. Pembuatan ventilasi yang baik mendukung kelancaran
pertukaran udara, serta memungkinkan mengurangi penyebaran
penyakit. Suhu ruangan yang optimum untuk pemeliharaan tikus
Wistar berkisar antara 250 – 30
0 C.
2. Pengawasan kenyamanan
Kenyamanan hewan coba terkait dengan kondisi kandang tempat
pemeliharaan. Bahan kandang terbuat dari plastik yang ditutup kawat.
Prinsip yang paling penting dalam memilih bahan untuk kandang tikus
Wistar adalah mudah dibersihkan, tahan lama, tahan digigit tikus
Wistar. Kisaran ukuran kandang tikus Wistar yang umum dipakai
91
berukuran 35 cm X 20 cm X 10 cm. Ukuran kandang tersebut cukup
untuk memelihara 10 – 15 ekor tikus Wistar dalam satu kandang.
Dengan asumsi memberi ruang cukup untuk bergerak dengan bebas
dalam berbagai posisi. Sistem kandang juga dilengkapi tempat
makanan dan minuman yang mudah dijangkau oleh seluruh tikus
Wistar.
3. Pengawasan nutrisi (makan dan minum)
Selama percobaan hewan coba diberikan makan dan minum dengan
kualitas yang optimum pula. Apabila hal ini tidak terpenuhi tentunya
juga akan berpengaruh terhadap kehidupan, kesehatan tikus Wistar dan
bias terhadap hasil penelitian. Misalnya tikus Wistar memerlukan
makanan dengan kandungan protein sekitar 20 %. Sehingga untuk
mendapatkan makanan dengan komposisi tersebut biasanya dipakai
makanan dalam bentuk pelet yang komposisinya sudah tertera dalam
kemasannya. Air minum bersih dan bebas dari kontaminasi harus
selalu tersedia untuk hewan coba. Alat-alat minum harus sering dicuci
dan disterilkan misalnya dua minggu sekali.
4. Pengawasan kesehatan
Kandang hewan percobaan harus selalu dijaga kebersihannya, agar
hewan berbiak dengan baik dan percobaan berhasil sesuai yang
diharapkan. Kandang tikus Wistar harus dibersihkan sekurang-
kurangnya seminggu sekali. Hal ini dilakukan untuk menghindari
tumbuhnya jamur dan bakteri yang dapat mempengaruhi kesehatan
92
tikus Wistar. Biasanya kandang tikus Wistar yang terbuat dari bahan
plastik dapat dibersihkan dengan mencuci kotak tersebut dan
mengganti sekam yang dipakai sebagai alas kandang.
Secara lengkap penanganan tikus Wistar yang dipakai dalam penelitian ini
dapat dijabarkan seperti di bawah ini:
1. Penanganan sebelum penelitian
Beberapa hal yang dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian terhadap
tikus Wistar antara lain:
a. Menyiapkan kandang pemeliharaan yang optimal dan nyaman bagi
tikus Wistar; terkait dengan ukuran, keadaan kandang (ventilasi
cukup, sekam padi untuk alas kandang) dan tempat makan/minum
yang mudah dijangkau oleh seluruh tikus Wistar.
b. Melakukan aklimatisasi; menyesuaikan tikus Wistar terhadap
kondisi lingkungan tempat percobaan. Aklimatisasi dilakukan pada
kandang pemeliharaan selama 14 hari sebelum pelaksanaan
penelitian.
c. Pemberian makan dan minum secara teratur.
d. Pemeriksaan kesehatan tikus Wistar; apabila ada tikus Wistar yang
sakit langsung dikeluarkan dari kelompok.
93
2. Penanganan selama penelitian
Selama penelitian tikus Wistar harus selalu dalam keadaan terkontrol.
Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
a. Kenyamanan dan kesehatan tikus Wistar; kandang tikus Wistar
selama penelitian dijaga kebersihannya dan sekam padi diganti
seminggu sekali.
b. Pemberian makan dan minum yang teratur; diberi makanan dalam
bentuk pelet secara ad libitum, tikus Wistar juga tidak boleh dalam
keadaan tanpa air minum. Air minum harus tersedia dan air tidak
terkontaminasi. Air minum diberikan dengan botol-botol plastik
dan tikus Wistar dapat minum air dari botol tersebut melalui pipa
plastik.
c. Penanganan pemberian krim ekstrak jagung ungu
Tikus Wistar dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: kelompok 1 dan
kelompok 2, masing-masing kelompok terdiri dari 18 tikus Wistar.
Tikus dari semua kelompok dicukur bulu punggungnya, kemudian
dioleskan bahan dasar krim (plasebo) pada kelompok 1 dan krim
extrak jagung ungu ada kelompok 2, masing-masing krim
dioleskan sebanyak 0,05mg/cm2 luas permukaan kulit tikus.
Paparan kronis UV-B diberikan terhadap kelompok 1dan 2.
Paparan dilakukan sebanyak 3 kali seminggu yang dimulai dengan
50 mJ/cm2 pada minggu pertama, diikuti dengan 70 mJ/cm
2 pada
minggu kedua, dan 2 minggu berikutnya dengan 80 mJ/cm2
94
sehingga total sinar UV-B yang diterima oleh masing-masing
kelompok tikus tersebut adalah 840 mJ/cm2 selama 4 minggu.
Bahan dasar krim (plasebo) dan krim ekstrak jagung ungu 50 %
diaplikasikan 2 kali sehari, yaitu 20 menit sebelum disinari (untuk
memberikan waktu absorpsi bahan topikal ke dalam kulit) dan 4
jam setelah penyinaran (terbentuknya ROS dimulai 4 jam setelah
paparan). Aplikasi bahan topikal tetap dilakukan pada hari tanpa
penyinaran.
3. Penanganan setelah penelitian
Pada akhir penelitian tikus Wistar dieuthanasia melalui cara di
suntik dengan Ketamin 20mg/25g Xylazin 20mg/25g i.m., bila belum
mati di tambahkan letal barbiturat (pentotal) i.m. Bila sudah mati,
tikus Wistar ditempatkan dalam ruang kaca yang tertutup dan
transparan. Setelah itu kadaver tikus Wistar dikubur untuk
menghindari bau yang tidak sedap atau efek negatif lainnya.
95
Lampiran 2 : Ethical Clearance
96
Lampiran 3 : Hasil Analisis Ektrak Jagung Ungu
97
Lampiran 4 : Analisa Statistika
Uji Normalitas Data
Tests of Normality
Kelompok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolagen Kontrol .099 18 .200* .980 18 .947
Perlakuan .148 18 .200* .972 18 .826
MMP_1 Kontrol .111 18 .200* .961 18 .624
Perlakuan .190 18 .084 .897 18 .051
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Uji t-inpendent Kolagen dan MMP-1 antar Kelompok
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kolagen Kontrol 18 65.5421 5.60838 1.32191
Perlakuan 18 71.6972 5.11418 1.20542
MMP_1 Kontrol 18 3.2233 .47317 .11153
Perlakuan 18 1.8989 .86234 .20326
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Differenc
e
Std.
Error
Differenc
e
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Kolagen Equal variances
assumed .001 .981 -3.441 34 .002 -6.15511 1.78899 -9.79078 -2.51945
Equal variances not
assumed -3.441 33.715 .002 -6.15511 1.78899 -9.79191 -2.51831
MMP_1 Equal variances assumed
3.748 .061 5.713 34 .000 1.32444 .23184 .85328 1.79561
Equal variances not
assumed 5.713 26.386 .000 1.32444 .23184 .84822 1.80067
98
Lampiran 5 : Foto Aktifitas Penelitian
Jagung Ungu (sebelah kiri) dan varitas
jagung lainnya di supermarket
Jagung Ungu
Ektrak Jagung Ungu
Krim Ekstrak Jagung Ungu
99
Tikus Yang Sudah Dikelompokkan
dan Telah Dicukur
Tikus Yang Sudah Dikelompokkan
dan Telah Dicukur
Pengolesan Krim Ekstrak Jagung
Ungu
Pengolesan Krim Ekstrak Jagung Ungu
100
Alat Simulator UV-B
Penyinaran Tikus Dengan Sinar UV-B
Dekapitasi Tikus
Biospi Kulit Tikus
101
KIT MMP-1